Abstract The provinces in Indonesia which have the potential of producing rice are Central Java and Yogyakarta. The aims of this research were to inventory the various biota use and to make a documentation of the application of ethnobiology in Central Java and Yogyakarta’s paddy agriculture. This research was done by using interview, observation, literature study, and documentation methods. Sixteen percent of the farmers in Central Java and Yogyakarta used domestic water buffalos (Bubalus bubalis) for tilling their rice fields. In seedling, husk ashes were used to minimalize root damage. Thereafter, the seedbed area was covered with straw to protect them from seed-eating birds and to prevent seed loss caused by rain. Before planting the paddy in the field, farmers hold a traditional ceremony by putting offerings to gods and Dewi Sri. This study also showed that rat (Rattus argentiventer) is controlled by using barn owl (Tyto alba). Dogfruit beans (Phitecellobium lobatum) and yam (Dioscorea sp.) were also used to control rodents pest. Biopesticides and volatile compounds of decaying crabs were used as the pest control of rice bug (Leptocorisa oratorius). Sorghum (Sorghum sp.) was used as trap crops to keep seed-eating birds away from rice plants. Meanwhile, to deal with tungro bacillioform virus of rice plants, farmers use salak (Salacca sp.). Moreover, the farmers get all of these local knowledges from previous generation. However, I could not detect the difference in local knowledge between men and women farmers due to limited number of women farmers in the agricultural field. Key words: Local knowledge, Paddy agriculture, Biota utilization, Pest control Pendahuluan Padi merupakan salah satu sumber daya utama sektor pertanian di Indonesia selain sayur-mayur dan palawija (Firdauzi, 2013). Nurmalina (2008) mengungkapkan bahwa pertanian padi di Indonesia berkembang karena lebih dari 90% masyarakat Indonesia mengandalkan beras sebagai makanan pokok bila dibandingkan dengan tanaman pokok lainnya. Tingkat konsumsi beras di Indonesia cukup tinggi hingga mencapai angka 97,4 kg/kapita/tahun (Respati et al. 2013). Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan daerah-daerah di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan sektor pertanian. Luas lahan persawahan di Jawa Tengah adalah 996.000 hektar atau 30,61% dari total luas tanah Jawa Tengah (Firdauzi, 2013). Luas daerah persawahan di Yogyakarta mencapai 56.364 hektar (Badan Pusat Statistik DIY, 2012). Revolusi hijau merupakan salah satu program untuk meningkatkan produktivitas pertanian padi (Abbas, 1999). Revolusi hijau lebih mengedepankan modernisasi pertanian dan teknologi dengan program unggulan seperti penanaman bibit unggul, penggunaan pupuk kimia dan penggunaan pestisida kimia. Program revolusi hijau yang diterapkan memiliki beberapa kerugian. Penggunaan pupuk kimia dapat mengakibatkan kerusakan 1 pada struktur tanah (tanah menjadi keras), penggunaan pestisida kimia pada dosis tertentu akan mengakibatkan resistensi hama, dan penggunaan bibit unggul dapat mendegradasi keragaman genetik karena hilangnya varietas padi lokal suatu daerah (Berg et al. 2004). Selain memberikan dampak negatif secara ekologis, revolusi hijau juga memberikan dampak negatif secara ekonomis seperti peningkatan biaya, kesempatan kerja yang cenderung menurun akibat moderenisasi teknologi, dan peningkatan konsumsi energi (Hidayat et al. 2012). Para petani padi di Jawa Tengah dan Yogyakarta telah memiliki pengalaman dalam mengelola dan mengembangkan lahan pertanian dengan menggunakan tumbuhan dan hewan. Pengetahuan ini berkembang dari proses adaptif, melalui percobaan secara berulang (trial and error), pengalaman turun temurun, pengetahuan lokal non-tradisional (belum sempat atau sedang mentradisi), dan pengetahuan yang berasal dari pendatang (penyuluhan dari Dinas pertanian) (Fakhrurrozi, 2011). Pengetahuan lokal seringkali dianggap tidak ilmiah karena belum dijelaskan secara kuantitatif (terukur oleh metode), walaupun manfaatnya dapat mengatasi persoalan masyarakat (Fakhrurrozi, 2011). Revolusi hijau telah mereduksi sistem pertanian tradisional yang berbasis pengetahuan lokal (Hidayat et al. 2012). Namun demikian, pengetahuan pertanian tradisional memiliki keterbatasan dalam menghadapi perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi. Pertanian modern lebih berorientasi pada produktivitas tinggi dan efisiensi, sedang pertanian tradisional dianggap memiliki produktifitas yang rendah (Hidayat et al. 2012). Berdasarkan penjabaran di atas, pertanyaan mendasar yang akan dijawab melalui penelitian ini yaitu (1) bagaimana proses pengolahan tanah hingga pemanenan dalam pertanian padi di Jawa Tengah Tengah dan Yogyakarta, dan (2) biota (hewan dan tumbuhan) apa saja yang digunakan dalam proses pengolahan lahan hingga proses pemanenan padi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Untuk menjawab permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah (1) menggali cara pertanian padi yang masih dilakukan maupun tidak dari awal pengolahan lahan hingga proses pemanenan yang berkaitan dengan aplikasi ilmu ethnobiologi, dan (2) menginventarisasi dan mendokumentasi berbagai biota yang dimanfaatkan dalam pertanian padi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Metode Penelitian Lokasi studi meliputi daerah persawahan di Jawa Tengah dan Yogyakarta (Weleri, Bantul, Klaten, Salatiga, Pemalang, Batang, Sleman, Delanggu, Demak, Temanggung, Kudus, Kabupaten Semarang, Jepara, Boyolali). Pemilihan kota dan kabupaten dilakukan dengan cara purposive sampling, penelitian yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu (Tongco, 2007), yaitu pertimbangan mudahnya akses lahan persawahan dan jarak tempuh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi, wawancara, studi literatur dan dokumentasi. Observasi partisipatif dilakukan guna mendapatkan pemahaman mendalam mengenai proses pengelolaan lahan, bercocok tanam hingga 2 panen padi (Berg et al. 2000). Metode wawancara dilakukan kepada petani laki-laki dan perempuan dan petani yang berumur lebih muda guna mendapatkan informasi mendalam mengenai proses bercocok tanam, berbagai biota yang digunakan dalam proses pengolahan lahan hingga panen, serta upacara-upacara yang berkaitan dengan pertanian padi yang dilakukan oleh petani. Pendekatan lain yang digunakan yaitu menggunakan studi pustaka dengan menggunakan kata-kata kunci ethnobiologi, penaggulangan hama, pengetahuan lokal pertanian padi, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Metode dokumentasi dilakukan degan cara mengumpulkan foto, video, dan rekam suara. Tehnik triangulasi atau pengumpulan beragam sumber data digunakan sebagai validasi data yang kemudian disajikan secara deskriptif (Farida, 2011). Hasil Tahap Pengolahan Tanah Proses bercocok tanam padi di sawah terdiri dari pengolahan lahan, pembibitan, pemindahan bibit, pemupukan, pemeliharaan dan pemanenan. Gambar 1 menunjukkan seorang petani di desa Kauman Lor, Salatiga sedang mengolah lahan persawahan dengan menggunakan tenaga kerbau (Bubalus bubalis). Desain bajak yang digunakan petani padi di Jawa Tengah dan Yogyakarta adalah bentuk rakit (pasangan) yang ditarik oleh 2 ekor kerbau. Gambar 1. Proses pengolahan tanah dengan menggunakan tenaga kerbau (Bubalus bubalis) di Pabelan, Salatiga (dok. pribadi). Proses pembajakan sawah secara konvensional ini dilakukan secara turuntemurun dengan dua tahapan yaitu meluku dan menggaru. Meluku merupakan tahapan awal dalam proses pengolahan lahan persawahan. Setelah tanah mengalami proses pengairan, berikutnya dilakukan proses pembalikan tanah (meluku) dilakukan sehingga rerumputan mati dan membusuk akibat proses pembalikan tanah. Pada tahap yang kedua (menggaru),tanah diratakan, menghancurkan gumpalan-gumpalan tanah dihancurkan, dan sebagian rumput-rumput yang tersisa dibersihkan. Hasil wawancara yang dilakukan pada 45 orang petani di 14 tempat yang tersebar di Jawa Tengah dan Yogyakarta 3 menunjukkan bahwa 16% dari petani tersebut masih menggunakan tenaga kerbau dan 84% beralih menggunakan tenaga mesin traktor tangan untuk membajak sawah. Setelah tanah cukup gembur dan rata kemudian dilakukan proses penanaman. Tahap Pembibitan Setelah proses pengolahan lahan selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses penanaman padi. Padi yang ditanam di sawah, terlebih dahulu mengalami proses persemaian dari benihnya. Benih padi bernas dipilih, kemudian disemai pada lahan kecil, biji diletakkan pada bagian tanah yang sebelumnya telah dilapisi dengan abu hasil pembakaran sekam padi (Gambar 2). Petani padi di daerah Bantul dan Sleman menggunakan jerami padi dari sisa pemanenan sebelumnya untuk menutupi benih padi pada lahan persemaian (Gambar 3). Gambar 2. Benih padi bernas ditabur pada lapisan abu (dok. pribadi). Gambar 3. Penutupan lahan persemaian dengan jerami padi di daerah Bantul dan Sleman, Yogyakarta (dok. pribadi). Tahap Pemindahan Bibit Mengawali proses penanaman padi di sawah beberapa petani di daerah Salatiga dan Pemalang melakukan upacara tolak bala. Upacara tradisi yang dilakukan oleh petani ini dimaksudkan agar benih yang ditanam terbebas dari hama, dan mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam upacara tolak bala atau disebut tedhun (Jawa) dilakukan pemanjatan doa dan peletakan sesaji di sumber air pertama yang masuk ke sawah. 4 Gambar 4 merupakan bentuk sesaji yang digunakan pada upacara tolak bala (tedhun) di daerah Bugel, Salatiga. Telur ayam kampung, bucu (Indonesia: nasi tumpeng), kinang (campuran dari kapur, biji pinang (Areca catechu), buah gambir (Uncaria gambir), bunga kantil (Michelia alba) dan daun sirih (Piper betle)), uang logam, daun dadap serep (Erythine lithosperma), rokok, cabai (Capsicum annuum), bawang merah (Allium cepa) dan bawang putih (Allium sativum) merupakan isi dari sesaji seperti yang dikemukakan Bapak Pono (wawancara, 27 Oktober 2013). Gambar 4. Sesaji dalam upacara tradisi untuk mengawali penanaman padi di sawah atau tedhun di desa Bugel, Salatiga (dok. Pribadi). Dari hasil wawancara yang dilakukan pada 45 responden di 14 kota didapatkan bahwa 17% petani masih melakukan upacara tradisi, sedangkan 83% lainnya sudah tidak melaksanakan upacara tradisi tersebut. Tujuh belas persen responden tersebar di beberapa kota antara lain Salatiga, Boyolali, Semarang, Delanggu, Temanggung dan Pemalang. Selain upacara tedhun yang dilakukandi awal proses penanaman padi, beberapa petani padi di Delanggu, Temanggung dan Boyolali juga melakukan proses yang hampir sama di awal menjelang panen yaitu upacara selamatan yang disebut dengan wiwitan. Proses ini dilakukan secara turun-temurun dengan tujuan berterima kasih kepada Dewi Sri atau dewi padi, Tuhan, atau roh-roh nenek moyang atas hasil panen yang didapatkan. Seperti yang dikemukakan Tukiran (wawancara, 26 Oktober 2013), “Sesaji niku diagem syarat kagem tanem kalian panen, amargi lemah niki kan enten ingkang nguasani (Dewi Sri)” (sesaji itu digunakan sebagai syarat dalam tanam padi dan panen padi, karena tanah ini ada yang menguasai (Dewi Sri). Gambar 5 merupakan gambar sesaji yang diberikan pada saat upacara wiwitan. Sesaji yang diberikan adalah hasil bumi seperti padi (Oryza sativa), ketan (Oryza sativa var. glutinosaI), telur ayam dan kacang kedelai (Glycine max). 5 Gambar 5. Sesaji dalam proses selamatan menjelang panen padi (wiwitan) di Urut Sewu, Boyolali(dok. pribadi). Tahap Pemeliharaan Beberapa hama yang menyerang tanaman padi di Jawa Tengah dan Yogyakarta antara lain penggerek batang padi (Scirpophaga innotata), wereng hijau (Nephotettix sp.), walang sangit (Leptocorisa oratorius), kepinding (Scotinophara coarctata), dan tikus (Rattus argentiventer). Penanggulangan hama penggerek batang padi, wereng, dan kepinding di Klaten, Salatiga, dan kabupaten Semarang menggunakan insektisida. Serangan hama tikus dikendalikan dengan predator alaminya, yaitu burung hantu (Tyto alba). Gambar 6 merupakan gupon (rumah burung hantu) yang dibangun di lahan persawahan di Susukan, Kabupaten Semarang. Dalam satu gupon diisi dengan sepasang burung hantu dewasa. Burung hantu akan berburu tikus pada malam hari (Surtikanti, 2011). Selain di daerah Susukan, Kabupaten Semarang, pemasangan gupon juga ditemukan di daerah Salatiga, Klaten, Pemalang dan Weleri. Menurut Pono petani di daerah Bugel, Salatiga mereka memperoleh T. alba dari hasil swadaya kelompok tani dan hasil sumbangan dari dinas pertanian setempat (wawancara, 27 Oktober 2013). Gambar 6. Rumah burung hantu (Tyto alba) yang digunakan sebagai predator tikus (Rattus argentiventer) di Susukan, Kabupaten Semarang (dok. pribadi). Cara lain yang dilakukan dalam pengendalian hama tikus adalah dengan menyebarkan biji jengkol (Pithecellobium lobatum) di area persawahan. Pengendalian 6 dengan menggunakan biji jengkol dilakukan oleh petani di daerah Temanggung dan Kabupaten Semarang. Marsadi (wawancara, 17 Desember 2013) mengatakan bahwa “Nggen kulo niku pas mongso jengkol, setunggal jengkol ditugel-tugel dados tigo dipun sebaraken wonten tengah sawah, niku aman tikuse mboten tedhi malih” (Kalau di tempat saya, satu biji jengkol dipotong menjadi tiga bagian lalu disebar di tengah sawah, nanti aman tikusnya tidak akan makan (padi) lagi). Bau dari biji jengkol inilah yang dapat mengusir tikus. Gambar 7 merupakan gambar biji jengkol yang disebarkan oleh petani di persawahan saat tanaman padi sudah keluar malainya. Gambar 7. Pengendalian hama tikus (Rattus argentiventer) dengan umpan biji jengkol(Pithecellobium lobatum) (dok. Pribadi). Petani padi di daerah Salatiga, Klaten, dan Sleman juga menggunakan umbi gadung (Dioscorea sp.) untuk mengendalikan hama tikus. Gambar 8 merupakan sisa umbi gadung yang digunakan sebagai umpan pengendali hama tikus. Umbi gadung yang telah disebar di area persawahan akan dimakan, dan menghindarkan padi dari serangan tikus. Gambar 8. Pengendalian hama tikus dengan umpan umbi gadung (Dioscorea sp.) (dok. pribadi). Hama walang sangit (Leptocorisa oratorius) di Salatiga diatasi dengan umpan kepiting (Parathelphusa convexa). Walang sangit akan mengerumuni umpan bangkai kepiting sehingga tanaman padi akan terhindar dari walang sangit. Perangkap kepiting 7 dipasang di tengah sawah saat tanaman padi mulai tumbuh malai. Gambar 9 adalah gambar perangkap kepiting yang dipasang untuk mengalihkan serangan hama walang sangit pada malai padi. Gambar 9. Perangkap kepiting (Parathelphusa convexa) yang digunakan untuk hama walang sangit(Leptocorisa oratorius) di Bugel, Salatiga (dok. pribadi). Dari hasil wawancara yang dilakukan pada 45 orang petani di 14 tempat yang tersebar di Jawa tengah dan Yogyakarta mengenai pengetahuan petani tentang penggunaan kepiting (P. convexa) sebagai perangkap hama walang sangit (L. oratorius) diketahui bahwa 76% dari petani mengetahui tentang penggunaan perangkap kepiting, tetapi sudah tidak menggunakannya dan beralih menggunakan insektisida. Sebanyak 9% petani masih menggunakan perangkap kepiting dan 15% petani lainnya tidak mengetahui tentang cara pemanfaatan kepiting sebagai perangkap walang sangit. Pengetahuan para petani mengenai penggunaan umpan kepiting didapatkan dari generasi sebelumnya (turun-temurun) (wawancara, 27 Oktober 2013). Selain menggunakan umpan kepiting sebagai pengendali hama walang sangit, petani padi di Tingkir, Salatiga juga menggunakan biopestisida dari campuran umbi gadung (Dioscorea sp.), bratawali (Tinospora crispa), temu hitam (Curcuma aeruginosa) dan tembakau (Nicotina tabacum). Petani menghaluskan semua bahan dengan cara diparut, kemudian diperas untuk diambil sarinya. Sari tanaman umbi gadung, bratawali, temu hitam kemudian dicampur dengan air rendaman tembakau. Hasil campuran kemudian difermentasi selama 7 hari dengan menggunakan mikroorganisme fermentor atau EM4 (Effective Microorganisms). Setelah didapatkan hasil fermentasi, petani melakukan proses penyemprotan pada sawah yang terserang hama walang sangit dengan intensitas 2 hari sekali seperti yang diungkapkan Agus petani di Salatiga (Wawancara, 12 November 2013). Biopestisida dari air rendaman tembakau juga digunakan petani padi di daerah Klaten, sedangkan petani di daerah Sleman menggunakan air perasan umbi gadung (Dioscorea sp.) sebagai biopestisida. 8 Burung pemakan biji-bijian merupakan salah satu hama dari tanaman padi, burung ini akan memakan bulir padi. Salah satu cara pengendalian hama burung di daerah Pemalang dilakukan dengan cara penanaman tanaman umpan yaitu sorgum (Sorghum sp.) (Gambar 10). Tanaman ini akan mengalihkan perhatian burung karena burung memakan biji sorgum. Gambar 10. Sorghum sp. digunakan sebagai tanaman umpan untuk mengalihkan burung di Pemalang, Jawa Tengah (dok. pribadi). Beberapa petani padi di Salatiga, Kabupaten Semarang dan Magelang menggunakan daun salak untuk menanggulangi penyakit mentek atau virus basiliform tungropadi (Gambar 11) seperti yang diungkapkan oleh Subali (wawancara, 4 Desember 2013) “Coro wong biyen niku, nek tanduran abang loro niku diparingi pupus godhong salak diceger-cegerke ngoten” (Cara orang dahulu, apabila tanaman berwarna merah terserang penyakit diberi daun salak yang ditancapkan). Petani mendapatkan pengetahuan tentang penanggulangan penyakit tungro dari generasi sebelumnya. Daun salak digunakan untuk menanggulangi hama tungro yang menyerang tanaman padi pada umur 7 hari sampai 20 hari setelah padi ditanam (wawancara, 12 November 2013). Gambar 11. Daun salak (Salacca sp.) digunakan untuk mengatasi penyakit tungro di persawahan Kauman Lor, Salatiga (dok. pribadi). 9 Hasil wawancara dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan lokal tentang pemanfaatan biota dalam pertanian padi di Jawa Tengah dan Yogyakarta telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan lokal diwariskan secara lisan dan kebudayaan (upacara tradisional). Akan tetapi, oleh karena jumlah responden petani perempuan hanya 4 petani dari 45 responden maka perbedaan pengetahuan lokal antara petani perempuan dan petani laki-laki tidak dapat diketahui. Pembahasan Petani padi di Jawa tengah dan Yogyakarta menggunakan beberapa biota dalam proses pengolahan lahan hingga pemanenan padi. Pengolahan tanah pertanian dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi madya atau dengan tenaga hewan. Santoso et al. (1989) melaporkan bahwa penggunaan desain alat bajak berbentuk rakit memperlihatkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan denga desain berbentuk pengon (ditarik dengan seekor sapi) dalam proses pengolahan lahan. Santoso et al. (1989) mengemukakan bahwa untuk mengolah tanah seluas 1 ha untuk ternak kerbau berbentuk rakit dapat menyelesaikan selama 18,3 jam, sedangkan pada bentuk pengon diselesaikan selama 22,2 jam. Selain penggunaan desain bajak, struktur tanah, berat alat bajak, bobot badan dan kemampuan ternak mempengaruhi efisiensi pengolahan tanah dengan menggunakan tenaga ternak. Bila dilihat dari efektivitas kerjanya ternak kerbau lebih cocok digunakan untuk daerah pertanian yang berlumpur karena tenaganya lebih kuat, dan kuku lebih lebar sehingga hasilnya lebih baik bila dibandingkan dengan tenaga sapi. Efektivitas waktu pengolahan lahan, introduksi teknologi baru, rendahnya tenaga kerja, tidak adanya lahan untuk mengembangbiakkan ternak menjadi faktor-faktor pendorong beralihnya tenaga ternak ke tenaga mesin sebagai alat pengolah lahan pertanian (Setiadi, 1994). Kapasitas lapang efektif untuk penggunaan tenaga traktor tangan adalah seluas 0,076 ha/jam dan 0,041 ha/jam dengan menggunakan dua ekor kerbau (Sinaga, 2009). Menurut Sinaga (2009), jam kerja rata-rata kerbau adalah 45jam/hari, sedangkan traktor 7-8 jam/hari. Rendahnya jam kerja per hari dari ternak kerbau dikarenakan adanya cekaman panas, daya kerja kerbau akan menurun saat tercekam panas. Oleh karena itu, perlu adanya tempat berkubang untuk menghindari cekaman panas. Selain tempat berkubang waktu juga perlu diperhatikan saat proses pembajakan sawah dengan menggunakan kerbau. Waktu yang tepat adalah saat pagi (06.00-10.00 WIB) dan sore (15.00-18.00 WIB) (Setiadi, 1994). Setelah proses pengolahan lahan, proses persemaian benih padi dilakukan. Penyebaran benih dilakukan pada lahan persemaian yang sebelumya telah diberi pupuk kandang dan abu hasil pembakaran sekam padi. Pemberian abu dilakukan untuk memudahkan pencabutan bibit padi sehingga kerusakan akar dapat dikurangi, hal ini dikarenakan perakaran yang tumbuh tidak langsung menembus lapisan tanah namun, berada pada lapisan abu. Sagala (2011) menyatakan bahwa pemberian abu hasil pembakaran sekam padi sebagai sumber silikat sebanyak 0,5-1kg/m2 dalam lahan 10 persemaian akan menghasilkan bibit padi yang kuat dan sehat. Silikat yang merupakan unsur makro dengan manfaat meningkatkan ketegakan dan kekuatan daun sehingga daun tidak mudah mengalami kerebahan (lodging). Para petani padi di daerah Bantul dan Sleman menutup lahan persemaiannya dengan menggunakan jerami. Penutupan ini bertujuan untuk mengurangi serangan hama burung pemakan benih padi saat disemaikan, serta mencegah hilangnya benih padi akibat erosi air hujan. Setelah padi tumbuh tunas sekitar 1 cm penutup jerami mulai dibuka. Proses persemaian benih padi ini berlangsung selama 25HHS (hari setelah sebar) (Pujiharti et al. 2008). Mengawali proses penanaman padi di sawah dilakukan upacara tradisi tolak bala. Seiring dengan perkembangan zaman, upacara tradisi yang dilakukan secara turuntemurun ini mulai ditinggalkan. Sebanyak 83% petani di Jawa Tengah dan Yogyakarta sudah tidak melaksanakannya. Tradisi wiwitan dan tedhun diharapkan dapat meningkatkan hasil panen yang didasarkan pada kekuatan mistis (Dewi Sri, dayang, rohroh nenek moyang, dll.) namun, seiring perkembangan pertanian modern harapan akan peningkatan hasil panen dapat dijawab dengan ilmu pengetahuan (science). Selain itu, masuknya nilai-nilai Islam yang menganggap ritual tersebut sebagai tindakan syirik (menyekutukan Tuhan dan dilarang oleh agama), tidak rasional, tidak efisien menjadi beberapa faktor pendukung hilangnya upacara tradisi para petani Jawa Tengah dan Yogyakarta (Khoironi, 2007). Setelah padi ditanam di sawah dilakukan proses perawatan tanaman seperti pemupukan, pengairan, pemberantasan hama dan gulma. Pada proses perawatan tanaman padi ada beberapa organisme pengganggu tanaman padi di Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta antara lain hama tikus, burung, walang sangit dan penyakit tungro. Untuk menanggulangi hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi, petani padi di Jawa Tengah dan Yogyakarta menggunakan tanaman dan hewan yang ada di sekitar persawahan. Hama tikus menjadi salah satu hama utama pertanian padi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tikus merupakan hama yang sulit dikendalikan karena mempunyai kemampuan berkembang biak sangat pesat. Dalam satu tahun 3 pasang tikus dewasa mampu berkembang biak menjadi 2.064 ekor (Syamsuddin, 2007). Pengendalian secara hayati yang dilakukan dengan memanfaatkan predator burung hantu sebagai pengendali hama tikus merupakan teknik pengendalian hayati secara introduksi. Hal ini didasarkan pada memindahkan musuh alami (burung hantu) dari suatu daerah ke daerah lain untuk mengendalikan serangan hama tikus yang menyerang pertanian padi. Burung hantu merupakan salah satu predator yang aktif saat senja dan menjelang fajar (Surtikanti, 2011). Setiap gupon berisi burung hantu yang siap melakukan perkawinan, karena burung hantu akan aktif melakukan pemburuan sepanjang malam pada saat membesarkan anak. Pendengaran yang baik, wajah menyerupai cakram terbuka yang berfungsi sebagai radar membantu dalam proses memangsa tikus. Saat mengincar mangsanya burung hantu akan mengarahkan paruhnya lurus ke bawah untuk meningkatkan luas permukaan pada 11 cakram wajahnya yang berfungsi untuk menangkap gelombang suara yang dihasilkan oleh mangsa (Surtikanti, 2011). Pemilihan burung hantu sebagai predator hama tikus di sawah didasarkan pada harga ekonomis yang lebih murah, mudah dilakukan, ramah terhadap lingkungan, tidak perlu pengawasan ketat, populasi tikus dapat dikendalikan, tidak tergantung produsen lain misalnya produsen rodentisida (seperti pengendalian dengan menggunakan jengkol dan gadung) (Dhamayanti, 2009). Seekor burung mampu memangsa 2-3 ekor tikus setiap harinya, dalam jangkauan terbang hingga 12 km. Surtikanti (2011) melaporkan bahwa pada tahun 2004, 46 ha lahan sawah di Jawa Timur rusak akibat serangan hama tikus, tetapi setelah dilakukan introduksi burung hantu pada lahan persawahan kerusakan yang terjadi turun menjadi 19 ha pada tahun 2005. Selain pengendalian dengan menggunakan predatornya, petani padi Jawa Tengah dan Yogyakarta memiliki alternatif pengendalian hama tikus dengan pemanfaatan biji jengkol. Pemanfaatan pestisida alami ini memiliki keuntungan ramah lingkungan, murah, relatif aman karena tidak menyebabkan keracunan pada organisme bukan sasaran, dan tidak menyebabkan hama menjadi resisten (Ambarningrum et al. 2007). Penggunaan biji jengkol sebagai alternatif pengendali hama tikus selain racun kimia, diperkuat dengan temuan Pakki et al. (2009) yang mengungkapkan bahwa pemberian ekstrak biji jengkol 200 g/l akan mengakibatkan kematian pada 10,67 HAS (Hari Setelah Aplikasi). Asam jengkolat yang terdapat dalam biji jengkol dapat mengikat unsur belerang (sulfur) yang terlarut dalam air rendaman, di mana zat racun tersebut kemudian menguap dan menghasilkan bau yang dapat membunuh mencit jika terhirup. Penelitian lain dari Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Kalimantan Selatan yang diungkapkan Nursyamsi et al. (2013) bahwa air rendaman kulit jengkol dengan dosis 1,52 g/l yang disemprotkan pada daerah persawahan dapat mengurangi hama tikus, penggerak batang padi, hama putih palsu, uat grayak, ulat jengkal, ulat buah dan ulat plutella. Selain penggunaan biji jengkol, umbi gadung juga dapat digunakan untuk mengendalikan hama tikus. Umbi gadung disebarkan di sekitar persawahan saat bulir padi stadia masuk susu hingga panen. Umbi gadung akan dimakan oleh tikus, sehingga dapat mengurangi jumlah konsumsi bulir padi. Ada dua jenis gadung yang digunakan sebagai pengendali hama pertanian yaitu D. composite dan D. hispida. Karmawati dan Agus (2012) mengungkapkan bahwa ekstrak umbi gadung (D. composite) yang diberikan pada mencit (Mus musculus) mampu menurunkan jumlah dan berat embryo mencit hingga 90% dan memandulkan mencit, namun tidak berpegaruh terhadap kematian dan tingkah laku mencit. Gadung jenis D. hispida juga dapat mengendalikan hama tikus. Karmawati dan Agus (2012) mengungkapkan bahwa petani padi di Jawa Tengah menggunakan umbi gadung racun ini untuk mengendalikan hama tikus. Kandungan bahan aktif dalam umbinya adalah dioscorin yang menyebabkan rasa pahit. Dioscorin (C13H19O2N) bekerja mengganggu system syaraf pusat, terutama perpengaruh terhadap 12 aktivitas susunan syaraf parasimpatik (Ayuningtyas, 2008). Nilai LD50 dioscorin yang diberikan pada tikus putih jantan dengan dosis 580 mg/kg dan tikus betina 540 mg/kg. Kepiting merupakan salah satu hama pertanian padi, hewan ini sering mematahkan batang padi dengan capitnya. Selain itu, kepiting sering merusak dan membuat lubang pada pematang sawah sehingga terjadi kebocoran dan mengganggu sistem irigasi. Kepiting dapat digunakan sebagai pengendali hama walang sangit. Menurut penelitian Solikhin (2000), senyawa volatil yang terdapat pada kepiting yang membusuk adalah karbon dioksida, methanol, dimetil sulfida, amoniak, asam asetat, dan dimetil disulfida. Senyawa dimetil sulfida dan dimetil disulfida diduga merupakan senyawa atraktan yang menarik walang sangit untuk mengerumuni bangkai kepiting. Dijelaskan oleh Solikhin (2000) bahwa ketertarikan walang sangit terhadap senyawa atraktan yang dihasilkan bangkai kepiting digunakan sebagai isyarat untuk menemukan sumbernya. Setelah ditemukan sumbernya (bangkai kepiting) walang sangit akan menusukkan stiletnya ke dalam bangkai kepiting dan menghisap cairan yang ada di dalamnya. Selain menggunakan perangkap kepiting, biopestisida merupakan salah satu cara yang digunakan petani padi di Salatiga, Klaten dan Sleman, Jawa Tengah dan Yogyakarta untuk menanggulangi serangan hama walang sangit. Pembuatan biopestisida ini memiliki beberapa keuntungan antara lain mudah terurai sehingga tidak mencemari lingkungan, aman bagi manusia, bahan penghasil biopestisida mudah ditemui, dan relatif murah. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat biopestisida pengendali hama walang sangit adalah umbi gadung, bratawali, temu hitam dan tembakau. Kandungan alkaloid dari tanaman bratawali akan bekerja sebagai repellent (pengusir) hama walang sangit dengan rasa pahit yang ditimbulkan. Selain itu, alkaloid dapat menjadi racun syaraf dan menghambat pertumbuhan (Syakir, 2011). Umbi gadung yang mengandung dioscorin akan mengganggu system syaraf dan reproduksi pada walang sangit (Hasanah et al. 2012). Temu hitam mengandung senyawa racun terpenoid (camphor dan cineole) yang bersifat insektisida dan penolak serangga. Senyawa kimia yang terdapat dalam temu hitam akan masuk dalam tubuh walang sangit melalui sistem pencernaan atau meresap melalui kulit tubuh. Mardiningsih (2012) melaporkan bahwa ekstrak temu hitam dengan konsentrasi 2 g/ml yang diberikan akan menyebabkan kematian pada wereng coklat yang diaplikasikan secara kontak. Nikotin yang dihasilkan oleh tembakau merupakan racun syaraf yang dapat mengakibatkan kematian pada walang sangit dengan konsentrasi 31,25 g/l ekstrak tembakau (Hasanah et al. 2012). Namun demikian penggunaan biopestisida ini tidak dapat langsung membunuh sasaran dan bekerja lambat. Oleh karena itu, penyemprotan biopestisida dilakukan secara berulang-ulang (Syakir, 2011). Burung pemakan biji-bijian menjadi salah satu hama pada tanaman padi, mereka memakan bulir padi yang masih muda. Beberapa jenis burung pemakan biji-bijian adalah burung pinang (Lonchura punctulata), burung pipit (Lonchura maja), burung manyar (Ploceus manyar), bondol peking (Lonchura punctulata) dan burung gereja (Passer montanus) (Jumar, 1997). Pengendalian hama burung dapat dilakukan dengan 13 penggunaan jaring, pemasangan orang-orangan sawah, dan umbul-umbul plastik. Petani padi di Pemalang, Jawa Tengah menggunakan tanaman sorgum (Shorgum sp.) sebagai salah satu tanaman umpan untuk mengalihkan perhatian burung terhadap bulir padi. sorgum ditanam berjajar di tepian pematang sawah. Tanaman sorgum digunakan untuk mengalihkan burung dari bulir padi dan memakan biji sorgum. Agar kerusakan tanaman padi akibat hama burung dapat dikurangi, maka sewaktu malai padi masuk stadium susu, tanaman sorgum sudah keluar bijinya sehingga hama burung akan memakan biji sorgum (Jumar, 1997). Penggunaan tanaman sorgum sebagai tanaman umpan diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Riyadi (2011) tentang pengujian preferensi pakan (gabah, ketan putih, beras, ketan hitam, ulat hongkong, dan sorgum) pada burung bondol peking (L. punctulata). Biji sorgum menjadi salah satu pakan yang disukai oleh burung bondol peking selain gabah dan ketan putih. Selain menjadi salah satu pakan yang disukai burung, sorgum memiliki keunggulan pada tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lainnya (Rahmawati 2011). Selain penanggulangan hama dengan berbagai macam tumbuhan dan hewan, penanggulangan penyakit tanaman padi di derah Salatiga, Semarang dan Magelang juga memanfaatkan tanaman. Daun salak (Salacca sp.) dipercaya oleh petani berkhasiat untuk menangani penyakit tungro. Tungro merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh rice tungro bacilliform virus (RTBV) yang ditularkan oleh Nephotettix virescens, N. cincticeps, N. nigropictus, N. parvus, N.malayanus dan Recilia dorsalis (Choi et al. 2009) Gejala yang timbul akibat serangan virus ini adalah perubahan warna daun padi menjadi kuning kemerahan, pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, jumlah tunas berkurang, malai padi pendek, dan menghasilkan biji hampa (Choi et al. 2009). Namun demikian belum didapatkan hasil penelitian mengenai kandungan zat kimia daun salak (Salacca sp.) untuk menanggulangi penyakit tungro. Selain dengan penggunaan daun salak yang merupakan naluri (kepercayaan)petani jaman dulu, tindakan pencegahan penyakit tungro dapat dilakukan dengan penanaman varietas unggul yang resisten terhadap hama wereng seperti kelana, IR 52, IR 36, dan IR 42, IR 77, penanaman serempak, waktu tanam, rotasi tanaman, dan pengolahan tanah (Choi et al. 2009). Kesimpulan Beberapa jenis hewan dan tumbuhan digunakan para petani padi di Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam proses pengolahan lahan, persemaian benih, pemindahan benih, pemeliharaan hingga pemanenan. Pada proses pengolahan lahan 16% petani masih megunakan hewan kerbau (B. bubalus). Abu dan jerami digunakan dalam proses persemaian benih di daerah Bantul dan Sleman. Pada tahap pemeliharaan petani menggunakan hewan dan tanaman seperti burung hantu (Tyto alba), kepiting (Parathelphusa convexa), jengkol (Pithecellobium lobatum), umbi gadung (Dioscorea sp.), Sorghum sp., daun salak (Salacca sp.) dan biopestisida untuk menaggulangi hama dan 14 penyakit yang menyerang tanaman padi. Pada proses pemindahan benih dan pemanenan petani menggunakan sesaji hasil bumi. Pengetahuan-pengetahuan lokal tentang penggunaan biota di atas didapatkan para petani melalui proses pewarisan dari generasi sebelumnya. Akan tetapi, perbedaan pengetahuan lokal antara petani laki-laki dan perempuan tidak dapat diketahui dalam penelitian ini karena terbatasnya jumlah responden petani perempuan di lahan pertanian. Ucapan Terima Kasih Penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Rully Adi Nugroho yang telah banyak membantu, baik dari sisi pendanaan maupun ilmiah. Daftar Pustaka Abbas S. 1999. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Jakarta: Sekretariat Badan Pengendali Bimas Departemen Pertanian. Ambarningrum TB, Arthadi A, Pratiknyo H, Priyanto S. 2007. Ekstrak Kulit Jengkol (Pithecellobium lobatum): Pengaruhnya Sebagai Anti Makan dan Terhadap Efisiensi Pemanfaatan Makanan Larva Instar V Heliothis armigera. Jurnal Sains MIPA 3:165-170. Ayuningtyas R. 2008. Kepekaan Nematoda Puru Akar (Meloidogyne sp.) terhadap Ekstrak Umbi Gadung (Dioscorea hispida), Biji Orok-orok (Clotalaria anagyroides), dan Biji Bengkuang (Pachyrhizus erosus). [Skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya. Badan Pusat Statistik Provinsi DIY. 2012. Luas Lahan Pertanian dan Bukan Pertanian menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta. [online]. http://yogyakarta.bps.go.id/index.php?r=site/page&view=tantam.tabel.5-1-1. Dipublikasi 2012. [18 Maret 2014]. Berg T, Haung R, Lasren K. 2000. Research Guidelines: Gender, Local Knowledge and Plant Genetic Resource Management. [online]. http://www.fao.org/fileadmin/templates/esw/esw_new/documents/Links/Traini ng_Material/Guidelines.pdf. Dipublikasi Peb 2000. [31 Sep 2013]. Van den Berg H, Ooi PAC, , Hakim AL, Ariawan H, Cahyana W. 2004. Farmer Field Research: An Analysis of Experiences in Indonesia. Bangkok: Food and Agriculture Organization of the United Nations Regional Office of Asia and the Pasific. Choi IR, Cabauatan PQ, Cabunagan RC. 2009. Rice Tungro Disease. International Rice Research Institute (IRRI). 4p. [online]. http://www.knowledgebank.irri.org/factsheetsPDFs/Pest_Management/fs_tungr o.pdf. Dipublikasi 2009. [31 Sep 2013]. Dhamayanti A. 2009. Kajian Sosial Ekonomi Pengendalian Hama Tikus Pohon, Rattus timanicus Miller dengan Burung Hantu, Tyto alba, pada Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman. Bogor, Indonesia, 5-6 agustus 2009. p 439-445. Fakhrurrozi Y. 2011. Studi Ethnobiologi, Etnoteknologi dan Pemanfaatan Kekuak (Xenosiphon sp.) Oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 15 Farida U. 2011. Mitos Hari Pasaran dalam Pola Tanam Padi pada Petani Jawa (Studi di Dusun Jelehan Kulon Desa Kradenan Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang [Thesis]. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Firdauzi SL. 2013. Analisis Faktor Produksi Usaha Tani Padi Rojolele dan Padi IR64 (Studi Kasus di Desa Candirejo, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah) [Skripsi]. Semarang: Universitas Dipenegoro. Hasanah M, Tangkas IM, Sakung J. 2012. Daya Insektisida Alami Kombinasi Perasan Umbi Gadung (Dioscorea hispida DennstI) dan Ekstrak Tembakau (Nicotina tabacum L). Akademika Kimia 4:166-173. Hidayat T, Pandjaitan NK, Dharmawan AH, Wahyu MT, Sitorus F. 2012. Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut. [online]. http://portalgaruda.org/download_article=83548. Dipublikasi 2012. [22 November 2013]. Jumar. 1997. Entomologi Pertanian. Banjarbaru: Rineka Cipta. Karmawati E, Kardinan A. 2012. Pestisida Nabati. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Khoironi A. 2007. Tradisi Wiwitan dalam Arus Moderenisasi Peranian (Studi atas Memudarnya Tradisi Wiwitan di Desa Sendangrejo, Tayu, Pati. [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Mardiningsih TL. 2012. Aktivitas Temu Hitam (Curcuma aeruginosa) sebagai Insektisida Nabati. Warta 2:7-9. Nurmalina R. 2008. Keberlanjutan Sistem Ketersediaan Beras Nasional: Pendekatan Teknik Ordinasi Rap-Rice dengan Metoda Multidimensional Scaling (MDS) 1. Agribisnis dan Ekonomi Pertanian 2:65-89. Nursyamsi D, Asikin S, Cahyana D. 2013. Jurus Klasik Pengusir Tikus [online]. http://balittra.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article &id=258&Itemid=63. Dipublikasi Jan 2013. [5 Januari 2014]. Pakki T, Taufik M, Adnan AM. 2009. Studi Potensi Rodentisida Nabati Biji Jengkol untuk Pengendalian Hama Tikus pada Tanaman Jagung. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Serealia. Maros, Indonesia, 29 Juli 2009. p 378-382. Pujiharti Y, Barus J, Wijayanto B. 2008. Teknologi Budidaya Padi. Bandung: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Rahmawati Y. 2011. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sorgum Manis (Sorghum bicolor, L.Moench) pada Berbagai Dosis Pupuk Kandang Kambing dan Volume Penyiraman. [online]. http://repository.unand.ac.id/15193/. Dipublikasi 10 Okt 2011. [25 Jan 2014]. Respati E, Laelatul H, Wahyuningsih S, Sehusma, Megawati M, Suprihati Y, Rinawati. 2013. Beras. Buletin Konsumsi Pangan 2:8-18. Riyadi A. 2011. Uji Kemampuan Makan pada Burung Gereja (Passer montanus Oates) dan Uji Preferensi Pakan Serta Umpan Beracun pada Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore) dan Bondol Peking (Lonchura punctulata Linnaeus). [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sagala D. 2011. Perlakuan Nitrogen dan Silikat Pada Persemaian untuk Percepatan Pemulihan Pasca Terendam dan Peningkatan Produksi Padi. [online]. 16 http://bengkulu.litbang.deptan.go.id/ind/images/dokumen/tanamanpangan/dan ar.pdf. Dipublikasi 2011. [20 Sept 2013]. Santoso S, Petheram RJ, Winugroho M. 1989 Hasil dan Mutu Kerja Membajak Sawah dengan Menggunakan Ternak Kerbau dan Sapi dalam Bentuk Rakit dan Tunggal di Daerah Subang, Jawa Barat. Dalam: Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia, jilid 1: Ruminansia Besar. Puslitbang Peternakan, Bogor, Indonesia, 8-10 November 1989. p: 145-151. Setiadi B. 1994. Prestasi Kerja Ternak Sapi dan Kerbau dalam Membantu Efisiensi Usaha Tani Pertanian. Wartazoa 2:17-22. Sinaga DR. 2009. Kapasitas Lapang, Efisiensi dan Tingkat Pelumpuran Pengolahan Tanah Sawah di Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Solikhin. 2000. Ketertarian Walang Sangit (Leptocorisa oratorius F.) terhadap Beberapa Bahan Organik yang Membusuk. Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 1:16-24. Surtikanti. 2011. Bioekologi Burung Hantu (Tyto alba) sebagai Predator Tikus. Dalam: Prosiding Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar, Indonesia, 7 Juni 2011. p 72-75. Syakir M. 2011. Status Penelitian Pestisida Nabati Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman perkebunan. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Pestisida Nabati IV. Jakarta, Indonesia, 15 Oktober 2011. p: 9-18. Syamsuddin. 2007. Tingkah Laku Tikus dan Pegendaliannya. Dalam: Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda. Sumatra Selatan, Indonesia, 24 November 2007. p: 179-185. Tongco MDC. 2007. Purposive Sampling as a Tool for Informant Selection. Journal of Plants, People, and Applied Research 5:147-158. 17