BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa sebagai titipan yang diberikan kepada orang tua, selain itu anak merupakan generasi penerus bangsa, yang akan bertanggung jawab atas eksistensi bangsa ini di masa yang akan datang. Sebagai negara yang bijak maka selayaknya hal tersebut dijadikan sebuah peringatan kepada bangsa ini, agar senantiasa menjaga generasi mudanya dari segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Pembinaan terhadap generasi muda harus selalu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental serta perkembangan sosialnya. Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orangtua, yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 UU No 1 Tahun 1974 Pokok-pokok Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anakanak-anak yang belum dewasa atau belum dapat berdiri sendiri. Orang tua merupakan orang yang pertama-tama bertanggaung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Arif Gosita mengatakan bahwa anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta maupun pemerintahan) baik secara langsung maupun tidak langsung. 2 2 Arif Gosita. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademi Presindo, 1989, hlm 35. Universitas Sumatera Utara Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam bearbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam pelaksaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat perlindungan kesalahan dari penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosisial. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/ Yuridis Kondisi yang paling memungkinkan guna pencapaian hasil yang optimal atas cita-cita tersebut adalah terciptanya kondisi sosial yang kondusif, dan merupakan tanggung jawab negara dalam menciptakan kondisi yang semacam itu. Kondisi sosial yang kondusif selalu ditandai dengan perkembangan perekonomian yang merata di seluruh masyarakat yang ada, dan hal itu sudah barang tentu harus didukung oleh sebuah sistem hukum yang baik dalam mengawali pembangunan ekonomi yang baik. Realitas sosial menunjukkan bahwa kondisi kondusif tersebut belum dapat diwujudakan oleh pemerintah, di tengah globalisasi yang terus melaju, negara ini nampaknya mengalami anomie kondisi di mana sosial kehilangan nilai dan patokan-patokan hidup. Pemenuhan ekonomi yang menjadi barometer kesuksesan hidup menyebabkan banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat dalam mencapainya, tidak terkecuali juga dilakukan oleh anak yang merupakan generasi muda bangsa ini. Dengan keadaan seperti itu maka Universitas Sumatera Utara nampaknya penanganan anak harus menjadi perhatian yang serius. Namun demikian penanganan secara hukum terhadap anak harus pula memerhatikan sifatsifat khas anak. Penanganan terhadap perilaku menyimpang anak merupakan perhatian dunia. Adalah UNICEF badan dunia yang dibentuk oleh PBB yang diperuntukkan untuk menangani anak. UNICEF telah melakukan riset di seluruh dunia guna menemukan bagaimana menangani perilaku penyimpangan anak secara universal atau paling tidak menentukan patron yang tepat dalam pembentukan hukum perlindungan bagi anak bagi anak-anak di seluruh dunia. Namun demikian out put hukum perlindungan anak pada akhirnya digantungkan kepada kebijakan negara. 3 Indonesia sendiri mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Aturan perundangundangan tersebut merupakan bagian dari hukum pidana perlindungan anak. Dua regulasi tersebut memiliki peran masing-masing dalam upaya memberikan perlindungan terhadap anak. Pada UU No. 3/1997 berfungsi melindungi anak yang melakukan tindak pidana, dalam hal ini anak adalah pelaku tindak pidana tertentu, sedangkan pada UU No. 23/2002 berfungsi melindungi anak dalam konteks anak yang menjadi korban kejahatan. Dengan kedua regulasi tersebut diharapkan dapat menopang upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada anak. 3 UNICEF, Conventiom on The Rights of The Juvenile. Resolusi PBB No 44/25, 20 Nopember 1989 Universitas Sumatera Utara Perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda. Pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional dan juga menjadi sarana guna tercapainya tujuan Pembangunan Nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur serta aman dan sentosa berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam ketertiban pergaulan internasional yang damai, adil dan merdeka. 4 Sedangkan konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa dan raga sianak, tapi mencakup pula perlidungan atas semua hak serta kepentingannya yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohaniah, jasmani maupun sosialnya sehingga diharapkan Anak Indonesia akan berkembang menjadi orang dewasa Indonesia yang mampu dan mau berkarya untuk mencapai dan memelihara tujuan Pembangunan Nasional. 5 Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami 4 Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak 5 Wagiati Soetodjo. Hukum Pidana Anak. Bandung . Refika Aditama. 2005.hal 62 Universitas Sumatera Utara hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan, baik rohani, jasmani, maupun sosial. 6 Perlindungan anak bermanfat bagi anak dan orang tuanya serta pemerintahnya, maka koordinasi kerja sama perlu diadakan dalam rangka mencegah ketidak seimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan. 7 Sehubungan denga hal ini, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan : ” Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.” 8 Kejahatan yang terjadi di Indonesia beragam diantarnya, seorang guru mencabuli anak didiknya, seorang suami membunuh istrinya yang selingkuh, seorang kakek mencabuli cucunya, seorang anak melakukan pencurian HP akibat terdesak kebutuhan hidup, seorang saudara kandung merengguk kehormatan adiknya, seorang ayah kandung memperkosa anaknya yang masih dibangku sekolah dasar, seorang ibu (janda) memiliki dua orang anak melakukan pencurian disebuah supermarket di Tangerang karena alasan terdesak kebutuhan hidupnya yang terus meningkat, seorang anak pengamen menjambret dompet ibu-ibu yang sedang belanja, seorang anak yang berumur 15 tahun melakukan tindak pidana 6 Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Refika Aditama. 2010.hlm 35 Maidin Gultom. Tesis. Aspek Hukum Pencatatatan Kelahiran dalam Usaha Perlindungan Anak pada Kantor Catatan Sipil Kotamadya Medan. Medan: Program Pasca Sarjana USU, 1997, hlm 53 8 Abdul Hakim Garuda Nusantara. . Makalah “Proses Perlindungan Anak”. Jakarta: seminar perlindungan Hak-hak Anak, 1986, hlm. 22 7 Universitas Sumatera Utara pemerkosaan kepada 2 orang anak perempuan berumur 10 tahun bersama 5 orang temannya. Pelaku melakukan tindakannya setelah selesai menoton VCD porno sendiri. 9 Siswi SMP Terpaksa Membayar Traktiran Semangkok Bakso Dengan Menyerahkan Keperawanannya, Siswi Pelajar SMP Diperkosa Sehari Semalam Oleh 9 Pemuda dan Hasilnya Direkam Pakai HP Untuk Kenang Kenangan, Makin Banyak ABG Putri Memilih Jadi Pelacur Karena Ingin Hidup Enak dan Mewah Tanpa Kerja Keras, Siswi Kelas 5 SD Diperkosa Di Sekolah Malakasari Oleh Dua Orang Teman Sekelasnya, Kejahatan seksual terhadap remaja putri di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur cenderung meningkat, 6 Anak Usia 11-12 Tahun Pesta Seks dan Memperkosa Bocah Perempuan Balita di Palembang. 10 Ruangan asing yang mengisolasinya dari kehidupan keluarga dan teman-temannya harus dihuni oleh Andang Pradika Purnama selama 52 hari. Keluguan wajahnnya belum bisa mengeja makna perlakuan yang diberikan kepadanya. Yang ia ingat sebelum menghuni ruangan tersebut ia telah mengambil dua ekor burung leci milik tetangganya. Pemilik burung tahu, lalu menangkap dan menyerahkannya kepada Pak Polisi. Sementara lima anak sebayanya di lampung ; Nanang, Madroni, Herman, Safrizal dan Samsudi mengalami nasib sama, harus meringkuk dalam tahanan selama 20 hari. Lima kurcaci yang baru kelas 3 SD itu harus menerima sanksi, karena ingin memiliki stiker yang ada dimobil Petrus, salah satu Direktur 9 Acara Reportase Pagi, Televisi Tranformasi Indonesia, Senin, Tanggal 9 Mei 2011 http://www.detiknews.com/read/2011/04/20/ya-ampun-sekumpulan-bocah-dipalembang-pesta-seks, diakses tanggal 04 Agustus 2011 10 Universitas Sumatera Utara Artomoro Plaza, Tnjung Karang, Lampung. Dan empat anak yang lain dituntut hukukman 9-11 hari karena telah mencuri kelapa sawit di Medan. 11 Mengingat dalam kejadian-kejadian yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang ada didalam kehidupan masyarakat, maka timbul keinginan penulis untuk mengetahui secara mendalam lagi bagaimana bentuk perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan latarbelakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul: ”PENGARUH TINGKAT EKONOMI KELUARGA TERHADAP KENAKALAN DAN KEJAHATAN ANAK DINTINJAU DARI ASPEK HUKUM PERLINDDUNGAN ANAK” B. Permasalahan 1. Bagaimanakah Pengaturan dan Penerapan Kejahatan dan Kenakalan Anak di Indonesia 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejahatan dan Kenakalan Anak? 3. Bagaimana Upaya Penanggulangan Kenakalan dan Kejahatan Anak akibat Tingkat Ekonomi Keluarga? 11 http// berita.liputan6.com/hukrim/23/06/2011, diakses tanggal 03 Agustus 2011 Universitas Sumatera Utara C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan penerapan kejahatan dan kenakalan anak di Indonesia. 2. Untuk memahami faktor-faktor sosial ekonomi keluarga yang mempengaruhi kenakalan dan kejahatan anak serta memberikan jalan keluar untuk menanggulangi kenakalan dan kejahatan anak yang dewasa ini semakin meningkat. 3. Untuk menyadarkan semua pihak bahwa masalah kenakalan anak dewasa ini tetap merupakan persoalan actual dan tanggung jawab semua bangsa karena anak adalah aset bangsa yang potensial. 4. Untuk mengetengahkan mengenai arti pentingnya perlakuan khusus terhadap anak yang terlibat dalam tindak pidana sehingga dapat diharapkan dalam proses peradilan pidana. Hal ini demi upaya melindungi dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang dalam perkembang kepribadiannya kelak. Sedangkan manfaat penulisan ini sebagai berikut: 1. Secara teoritis, penelitian dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hokum pidana di Indonesia. Universitas Sumatera Utara 2. Secara praktis, penulisan ini dapat menjadikan sumber pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya masyarakat agar dapat mengetahui permasalahan tentang kejahatan dan kenakalan anak yang merebak dimasyarakat ini. D. Keaslian Penulisan Penulisan ini tentang “ Pengaruh Tingkat Ekonomi Keluarga Terhadap Kenakalan dan Kejahatan Anak ditinjau dari Aspek Hukum Perlindungan Anak”. Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan dari media cetak, media massa ataupun eletronik, setelah sebelumnya penulis memeriksa bahwa belum pernah ada judul yang sama dengan skipsi ini. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Anak Menurut Maulana Hasan Wadong Pengertian anak di sini mencakup batas usia anak. Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum. 12 Untuk dapat disebut sebagai anak maka orang itu harus berada pada batas usia bawah atau usia minimum 0 (nol) tahun (terhitung dalam kandungan) sampai dengan batas usia atas atau usia maksimum 18 tahun sesuai dengan ketentuan 12 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta. Grafindo,2000 , hal 24-27 Universitas Sumatera Utara hokum yang berlaku, yaitu ketentuan pasal 1 ayat 1 UU No 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak Untuk meletakkan batas usia seseorang yang layak dalam pengertian yang diletakkan oleh spesifikasi hokum seperti berikut ini. 1. Menurut Hukum Perdata. Mengenai pengertian anak di bawah umur (belum dewasa) tercantum dalam pasal 330 KUHPerdata yang bunyinya sebagai berikut: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dari dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dalam kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ke-tiga, ke-empat, ke-lima, ke-enam,bab ini. 13 Jadi yang dimaksud belum dewasa(di bawah umur) berdasarkan pasal 330 KUHPerdata adalah: a. Belum penuh berumur 21 tahun b. Belum pernah kawin 2. Menurut Hukum Adat Menurut hukum adat tidak ada batasan umur yang pasti bilamana dikatakan seseorang itu masih dibawah umur atau tidak, hal ini dapat 13 R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta, Pradnya Paramita,, 1984, hal 98. Universitas Sumatera Utara dilihat dari ciri-ciri Ter Haar dalam bukunya “BEGINSELLEN EN STELSEL VAN HET ADATRECHT” Mengatakan: “Seseorang sudah dewasa menurut hukum adat di dalam persekutuan hukum yang kecil adalah pada seseorang baik perempuan maupun lakilaki apabila dia sudah kawin dan disamping itu telah meninggalkan orang tuanya ataupun rumah mertua dan pergi pindah mendirikan kehidupan rumah keluarganya sendiri. 14 3. Menurut Hukum Pidana Berdasarkan KUHPidana bahwa mengeai anak di bawah umur (belum dewasa) adalah mereka yang berusia di bawah 16 tahun. Dalam pasal 45 KUHP menyebutkan: “Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan sitersalah itu dikembalikan kepada orang tunya, wali, atau pemeliharaanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 417-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu 2 tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan 14 Datuk Usman, Medan, Diktat Hukum Adat, Bina Sarana Balai Pemnas SU, ,1984, Hal 8. Universitas Sumatera Utara salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan; atau menghukum anak yang bersalah itu. 15 4. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Yang dimaksud dari Anak di dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 perlindungan anak bab I Ketentuan umum pasal 1 nomor 1 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 16 Menarik garis batas antara belum dewasa dan sudah dewasa, tidak perlu dipermasalhkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan Hukum, misalnya anak yang belum dewasa sudah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya, walaupun ia belum berwewenang kawin. Dengan demikian untuk menentukan batas usia baik minimum atau maksimum dari seseorang anak ditentukan berdasarkan kepentingan hukum yang dipenuhi. Perbedaanperbedaan yang diberikan oleh masing-masing sub system hokum tentang batas usia seseorang anak tidak terlalau menunjukkan jarak perbedaan usia terlalu menonjol. Artinya perselisihan itu hanya mencapai waktu ± 1-3 tahun. Dengan diketahui batas perbedaan usia perbedaan tersebut tidak memiliki siknipikasi terhadap bidang hukum yang satu dengan bidang hukum yang lain. Atau terhadap anak sebagai subjek hokum dengan para 15 R. Soesilo, Op. Cit pasal 45 16 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002, Jakarta, 2003, Pasal 1 Nomor 1 Universitas Sumatera Utara pihak yang terikat dalam lingkaran hukum yang ditimbulkan dari perbuatan hukum oleh anak yang bersangkutan. 2. Pengertian Kejahatan dan Kenakalan Sebelum dikemukakan beberapa pengertian, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu beberapa istilah yang sering dipergunakan dalam bahasa kita. Seperti diketahui bahwa tampaknya adanya keaneka ragaman istilah yang dipergunakan untuk kejahatan dan kenakalan anak. Istilah yang sering terdengar dan lazim dipergunakan dalam media massa adalah kejahatan anak atau sering juga dipergunakan istilah kejahatan anak atau Juvenile Delinquency. Mengenai juvenile Delinguency ini masih belum ada keseragaman dalam terjemahan istilah. Ada sebahagian sarjana menyebutkan Tindak pidana anak-anak ataupun kejahatan anak. Secara etimologi Juvenile Delinquency berasal dari bahasa latin, “Juvenilis” yang artinya anak-anak, anak muda, ini karasteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada saat remaja. Delinquent berasal dari bahasa latin “Delinquere” artinya terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, criminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diprbaiki lagi, dll. 17 Istilah kejahatan Anak dirasakan terlalu tajam. Sementara istilah Kenakalan anak sering disalah tafsirkan dengan kenakalan yang tertuang dalam pasal 489 KUHP (Kitap Undang-undang Hukum Pidana). Penjelasan pasal tersebut selanjutnya menerangkan serta memperinci beberapa perbuatan yang 17 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta, Rajawali Pers, 1992 hal 7 Universitas Sumatera Utara dapat dimasukkan kedalam pengertian umum dan dapat pula terjadi pada anakanak. 18 Istilah kejahatan anak ini terlalu tajam, karna memiliki konotasi negative secara kejiwaan terhadap anak, sehingga diperhalus dengan istilah Kenakalan Anak yang dirasakn lebih baik, namun sering ditafsirkan dengan kenakalan pada pasal 489 KUHP. Oleh karena itu disepakati dengan istilah Juvenile Delinquency. Kartini Kartono memberikan pengertian Juvenile Delinquency sebagai berikut : Juvenile Delinquency ialah perilaku jahat/ dursila, atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. 19 Romli Atmasasmita memberikan rumusan sebagai berikut : Juveline Delinquenci ialah setiap perbuatan/ tingkah lakuseseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi seseorang anak yang bersangkutan. 20 18 hal 249 R. Soesilo : “ Kitap Undang-undang Hukum Pidana” , Komentar; Polites Bogor, 1965; 19 Ibid Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-anak/ Remaja, Bandung. Armico 1983. hal. 40 20 Universitas Sumatera Utara Kemudian Bismar Siregar menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada pengertian tertentu mengenai kejahatan anak yang ada ialah perbuatan pelanggaran hukum dilakukan oleh seorang, mungkin ia seorang dewasa atau seorang anak. Jadi hanya perbedaan siapa pelaku. 21 Dalam Undang-undang peradilan Anak No 3 Tahun 1997, disebutkan defenisi” adalah anak pelaku kejahatan. Dalam pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa: 1. Anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana. 2. Anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik bagi peraturan Perundang-undangan maupun bagi peraturan hukum lain yang peka dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (patologi). 22 Dari uraian diatas kelihatannya untuk memberikan penafsiran seragam tentang kejahatan anak adalah sulit, karena dalam penafsiran tersebut kita akan kembali mempersoalkan defenisi anak. Apalagi jika kita simak pasal 45 KUHP, secara teoritis sejak anak usia 0 tahun sampai 16 tahun dapat dikenakan ancaman pidana. Hal ini tidak masuk akal jika seorang bayi melakukan tindak pidana. Oleh karena itu penulis sependapat dengan pendapat Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu yang menyatakan adalah rasional untuk menentukan batas usia minimum dan maksimum secara juridis dengan pertimbangan sosiologis phisikologis seperti yang tertera dalam Undang-undang Peradilan Anak (Undang-Undang No 3 Tahun 21 Bismar Siregar, Masalah Penahanan dan Hukuman Terhadap kejahan Anak. Majalah Hukum dan Pembangunan No.4 Tahun x, 1980.hal. 340 22 Enam Undang-undang, Jakarta, CV. Eka Jaya, , 2005. hal 262 Universitas Sumatera Utara 1997) pasal 4 ayat 1bahwa batas umur minimum 8(delapan) tahun dan maksimum 18(delapan belas tahun) dapat diajukan ke Pengadilan Anak. 23 3. Pengertian Kejahatan Anak Menurut Bimo Walgito dalam bukunya ; Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), Juvenile delinquency adalah tiap perbuatan, bila perbuatan itu dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan. Jadi perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, khusus anak remaja dinamakan kenakalan. 24 Jadi menurut pendapat sarjana ini, istilah kejahatan anak itu tidak ada. Yang ada hanya kenakalan anak. Karena perbuatan kejahatan itu hanya dilakukan orang dewasa. Sedangkan perbuatan yang sama yang dilakukan oleh anak-anak dinamakan kenakalan. Bersamaan dengan pendapat Bimo Walgito yaitu pendapat dari Fuat Hasan. Sarjana ini berpendapat, dilinquensi adalah perbuatan snit sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bila mana dilakukan orang dewasa, dikwalifikasikan sebagai tindak kejahatan. 25 Sedangkan Kartini Kartono dalam bukunya; Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, tidak membedakan istilah kejahatan anak dengan kenakalan anak seperti pendapatnya tentang arti dan Juvenile delinquency, yaitu perilkaku jahat/ dursila, atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda: merupakan gejala sakit (patologis) 23 Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika 1993 hal. 108 24 Bimo Walgito, Kenakalan Anak ( Juvenile Delinquency), Yogyakarta Fakultas Psykologi UGM, , 1982, hal 2 25 B.Simanjuntak. Latar Belakang Anak (Etiologi Juvenile Delinguency) Bandung . Rineka Cipta. 1975, hal 187 Universitas Sumatera Utara secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Anak-anak muda yang delinkuen atau jahat itu disebutpula sebagai anak cacat secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat. 26 Menurut B. Simanjuntak dalam bukunya. Latar belakang kenakalan Anak (Etiologi Junvenile Delinquency), penterjemahan juvenile delinquency dengan kejahatan anak mempunyai efek psikologis yang tidak baik bagi anakanak tersebut. Anak merasa dirinya telah dicap dengan predikat jahat yang menimbulkan isolasi diri. Padahal kriteria yang digunakan untuk mencapnya adalh criteria orang dewasa. Anak-anak bukanlah manusia dewasa kecil. Mereka dalam berbuat belum dapat memikirkan akibat negatife yang terjadi, dalam dirinya atau terhadap masyrakat. Tidak merasakan bahwa tingkah lakunya itu keliru. Karena motivasi dari tindakannya itu belum disadarinya sebagai syarat dari suatu tindakan. Karena itulah istilah kejahatan anak dalam hal ini kurang tepat kita gunakan. 27 Sedangkan Paul Moedikko, berpendat, juvenile delinquency adalah ; 1. Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinkuensi; jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti menganiaya, mencuri, membunuh, dan sebagainya. 2. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk gelandangan, mengemis. 26 27 Kartini Kartono, Op, Cit, hal, 12 B Simanjuntak, Op, cit, hal 189 Universitas Sumatera Utara 3. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat itu, misalnya memakai pakaian yang tidak sopan dan sebagainya. Jadi dari pendapat sarjana-sarjana ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa juvenile delinquency adalah perbuatan anak-anak yang melanggar normanorma ; norma sosial, norma hukum, norma kelompok, mengganggu ketertiban masyarakat sehingga yang berwajib mengambil suatu tindakan pengasingan. 4. Pengertian Sosial Ekonomi Dalam pengertian ekonomi, status anak sering dikelompokkan pada golongan yang non produktif. Jika terdapat kemampuan ekonomi yang persuasif dalam kelompok anak, kemampauan tersebut dikarenakan anak mengalami transformasi finansial yang disebabkan dari terjadinya perbedaan didalam lingkungan keluarga yang berdasarkan nilai kemanusiaan. Kenyataan-kenyataan dalam masyarakat sering memprotes anak-anak dalam melakukan kegiatan ekonomi atau kegiatan produktivitas yang dapat menghasilkan nilai-nilai ekonomi. Kedudukan pengertian anak dalam bidang ekonomi adalah elemen yang mendasar untuk menciptakan kesejahtraan anak kedalam suatu konsep normatif, agar status anak tindak menjadi korban (victim) dari ketidakmampuan ekonomi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Kelompok pengertian anak dalam bidang ekonomi mengarah pada konsepsi kesejahteraan anak yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan termasuk didalam klasifikasi menafkahkan Universitas Sumatera Utara anak, mendidik untuk melakukan kegiatan berproduktivitas yang wajar, sehat dan tidak bertentangan dengan hak asasi anak. 28 Sistem hukum yang berlaku di Indonesia menetapkan pengertian anak kedalam pengertian status atau eksistensi anak yang menjadi permasalahan hukum. Hal ini disebabkan negara Indonesia yang memiliki sistem hukum yang berasal dari sendi-sendi hukum adat berbagai suku dan ras, kedudukan anak menjadi bagian utama dalam sendi pertumbuhan mental spiritual yang berstatus dan berkedudukan sebagai anak dan sekaligus sebagai subjek hukum. 5. Pengertian Keluarga Pengertian keluarga berarti nuclear family yaitu yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah dan ibu secara ideal tidak terpisah tetapi bahu membahu dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua dan mampu memenuhi tugas sebagai pendidik. Keluarga merupakan wadah pertama bagi seseorang untuk mempelajari bagaimana dirinya merupakan suatu pribadi yang terpisah dan harus berinteraksi dengan orang-orang lain di luar dirinya. Interaksi sosial yang terjadi dalam keluarga ini merupakan suatu komponen vital dalam sosialisasi seorang manusia. Anak akan menyerap berbagai macam pengetahuan, norma, nilai, budi pekerti, tatakrama, sopan santun, serta berbagai keterampilan sosial lainnya yang sangat berguna dalam berbagai kehidupan masyarakat. Anak akan belajar bagaimana memikul rasa bersalah, bagaimana menghadapi secara konstruktif berbagai tanggapan anggota keluarganya yang lain, anak akan mengembangkan rasa 28 Maulana Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, , Jakarta Gramedia Wirasarana Indonesia Indonesia, 2000, hlm 27 Universitas Sumatera Utara percaya diri, harga diri, kepuasan, dan cinta kasih terhadap sesama mahluk. Dengan demikian, keluargalah pelaku pendidikan utama bagi seorang anak menjadi manusia secara penuh, manusia yang mampu hidup bersama manusia lain dalam lingkungannya yang diliputi suasana harmonis, bukan manusia congkak yang memiliki dorongan agresi, merusak, dan mengganggu lingkungan sosialnya. Suatu keluarga yang penuh dengan kehangatan, cinta kasih, dan dialog terbuka akan diserap oleh anak dan dijadikan sebagai nilainya sendiri. Hal inilah yang menjadi landasan kuat anak dalam berinteraksi dengan orang lain di masyarakat yang lebih luas. Pada kenyataannya, keluarga dengan kondisi seperti itu tidak selalu terbentuk. Banyak keluarga yang penuh dengan kekerasan, akibat berbagai situasinya tidak sempat mendidik anaknya menjadi manusia yang secara sosial memiliki kematangan, misalnya anak yang hanya diarahkan kepada pembantu rumah tangga dari pagi hingga malam hari, enam hari dalam seminggu, akibat kedua orang tuanya harus bekerja mencari nafkah. Banyak keluarga yang merasa lingkungan sosialnya kurang aman sehingga melarang anak-anaknya bergaul di luar rumah, sedangkan orang tuanya sendiri sibuk dengan pekerjaannya. Keluarga akan menghasilkan manusia yang “kering”, “kerdil” dan “tidak bersahabat”. Inilah yang memungkinkan menjadi pra kondisi bagi kenakalan anak dan remaja. Anak akan menyerap perilaku, kebiasaan, tatakrama, serta norma yang berasal dari televisi tanpa mendapat bimbingan Universitas Sumatera Utara yang cukup berarti dari kedua orang tuanya. Anak akan menyerap tanpa evaluasi, atas perilaku orang lain yang diamatinya. 29 6. Pengertian Perlindungan Anak. Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon peminpin bangsa dimas mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi teerdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa dikemudian hari. Jika mereka telah matang pisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu. Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkebangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegitan perlindungan anak. 30 29 http://mo2gi.studen.umm.ac.id/ 2010/02/05/ remaja problema dan solusinya, diakses tanggal 27 Juni 2011 30 Maidin Gultom. Op. Cit, hlm 33 Universitas Sumatera Utara Perlindungan anak adalah meletak hak asasi kedalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat , sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingankepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam berbagai proses edukasional terhadap ketidak pahaman dan ketidak mampun anak dalam melakukan suatu tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif. 31 Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berati tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan bebagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila ingin mengusahakan pembangunan nasional dengan baik. Perlindungan anak dalam arti luas adalah semua usaha yang melindungi anak melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusia positif. Setiap anak dapat melaksanakan haknya, ini berarti dilindungi untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, 31 Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1997 hlm 165 Universitas Sumatera Utara bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri dan atau bersama para pelindungnya. 32 Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negative yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak. 33 Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat negative. Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggunjawab dan bermanfaat dan mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efesian. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, keraktivitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan hakhaknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. 34 Sehubungan dengan hal ini, Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengatakan: “Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya. 35 32 Ibid,.Op, Cit hlm 167 Arf Gosita. Op.Cit, hlm. 19 34 Maidin Gultom.. Op, Cit.hlm 35 35 Abdul hakim Garuda Nusantara. Makalah.”Prospek Perlindungan Anak” Jakata : Seminar Perlindungan Hak-hak Anak, 1986, hlm.22 33 Universitas Sumatera Utara Perlindungan Anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu: 1. Luas lingkup perlindungan: a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan, pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum. b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder yang berakibat pada perioritas pemenuhannya. 2. Jaminan pelaksanaan perlindungan: a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada jaminan terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat diketahui, dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perlindungan. b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu peraturan tertulis baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah yang perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggung jawapkan serta disebarluaskan secara merata dalam masyrakat. c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan dinegara lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru (peniruan yang kritis). 36 36 Arif Gosita. Op.Cit, hlm 4-6 Universitas Sumatera Utara F. Metode penelitian Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua macam metode pengumpulan data dengan maksud agar dapat diungkapkan secara jelas dan lengkap. Adapun kedua metode tersebut adalah : a. Library research (Penelitian Perpustakan). Penulisan ini dilakukan melalui sumber bacaan (literature) baik dengan menggunakan buku-buku bacaan yang penulis miliki, perpustakaan, diktat kulia, media massa,maupun ketentuan-ketentuan peraturan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. b. Observasi (Pengamatan). Yaitu dengan cara mengamati subjek langsung dari permasalahan ini. Penelitan ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif, dimana peneliti ikut bersama anak-anak dalam bersahabat dengan mereka. Pendekatan ini berdasarkan pada prinsip-prisip penelitian kualitatif deskriptif dengan meletakkan anak sebagai subjek, bukan sebagai objek dan mengutamakan hubungan persahabatan. Penelitian ini juga penulis lakukan dilapangan yang menjadi bahan hukumnya adalah data sekunder sedangkan sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari penelitian hukum normatife dengan metode pendekatan empiris sedangkan bahan hukum primer diperoleh dilapangan yaitu dengan melalui wawancara pada Bagian Pusat Kajian Perlindungan Anak Medan. Universitas Sumatera Utara Berpegangan pada pola penelitian seperti itulah maka dalam pelaksanaannya penulis tidak menggunakan kuisioner tetapi hanya menggunakan suatu kerangka acuan dalam mengumpulkan data kualitatif untuk mengungkapkan kehidupan dan realitas yang dialami oleh anak-anak tersebut seperti: 1. Gambaran lokasi aktifitas anak-anak 2. Tempat tinggal 3. Latar belakang ekonomi keluarga G. Sistematika Penulisan Untuk memberikaan gambaran yang akan merupakan isi pembahasan dari skripsi ini dan mempermudah penguraiannya maka penulisan membagi skripsi ini menjadi 5 bab. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan, Pada Bab ini penulis menjelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulisan juga diuraikan dalam bab ini. Bab II : Dalam bab ini penulis menguraikan tentang pengaturan sanksi pidana di Indonesia dan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak Bab III : Disini penulis menjelas dan menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi kejahatan dan kenakalan anak. Universitas Sumatera Utara Bab IV : Pada bab ini penulis menjelaskan dan menguraikan tentang upaya penanggulangan kenakalan dan kejahatan anak akibat tingkat ekonomi keluarga. Bab V : Kesimpulan dan Saran Universitas Sumatera Utara