EKSPRESI PROTEIN 53 (p53) TIDAK BERHUBUNGAN

advertisement
TESIS
EKSPRESI PROTEIN 53 (p53) TIDAK BERHUBUNGAN
DENGAN STADIUM KANKER OVARIUM
I GDE SASTRA WINATA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS
EKSPRESI PROTEIN 53 (p53) TIDAK BERHUBUNGAN
DENGAN STADIUM KANKER OVARIUM
I GDE SASTRA WINATA
NIM 0914038210
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
EKSPRESI PROTEIN 53 (p53) TIDAK BERHUBUNGAN
DENGAN STADIUM KANKER OVARIUM
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
I GDE SASTRA WINATA
NIM 0914038210
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 20 JANUARI 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, Sp.OG(K)
NIP. 19530715 198003 1 009
dr. I Wayan Megadhana, Sp.OG(K)
NIP 19600125 198710 1 002
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS
NIP. 194612131971071001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 20 Januari 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.:0051a/UN14.4/HK/2014, Tanggal 3 Januari 2014
Ketua: Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, Sp.OG(K)
Anggota:
1.
2.
3.
4.
dr. I Wayan Megadhana, Sp.OG(K)
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS
Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes
Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH,PH.D
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan
Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya oleh berkatNya tesis ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suwiyoga, SpOG(K) selaku
pembimbing I dan Kepala Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Megadhana, Sp.OG(K) selaku pembimbing II, dan
kepada Bapak Drs. Ketut Tunas, Msi selaku pembimbing statistik, serta dr Dewi,
Sp.PA sebagai pembimbing dalam pemeriksaan, analisis imunohistokimia p53,
serta yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama
penulis mengikuti Program Pendidikan Spesialis I (PPDS I) dan Program
Magister Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Kedokteran Klinik
(Combined Degree), khususnya dalam penyelesaian tesis ini.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.
Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD (KEMD), Direktur Program Pascasarjana yang
dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT.,M.Kes, serta Direktur
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, dr. I Wayan Sutarga, MPHM, atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan
PPDS I dan Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan
Kedokteran Klinik (Combined Degree) di Universitas Udayana. Terima kasih
penulis ucapkan juga kepada Kepala Program Studi Ilmu Kebidanan dan Penyakit
Kandungan PPDS I FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. A.A.N. Anantasika, Sp.OG(K)
dan seluruh dosen/Staf Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah, serta Ketua Program Studi Ilmu Biomedik,
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, SpAnd, FAACS atas segala bimbingan dan
dorongan yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis. Ucapan
terima kasih yang tulus dan penghargaan kepada para penguji tesis ini, yaitu Prof.
Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS, Dr.dr. Ida Sri Iswari,
Sp.MK.,M.Kes, dan Prof.dr.N. Tigeh Suryadhi, MPH,Ph.D yang memberikan
berbagai masukan dan saran dalam penyempurnaan tesis ini. Pasien-pasien yang
telah menjadi guru dan banyak memberikan pengetahuan dan pengalaman, rekanrekan residen Obstetri dan Ginekologi, serta rekan-rekan paramedis RSUP
Sanglah.
Tidak lupa penulis haturkan ucapan terima kasih yang dalam kepada Ibu dan
Ayah penulis yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan dasardasar berpikir logik, selalu memberi dukungan baik secara moril maupun materiil
dan keadaan suasana demokratis sehingga tercipta lahan yang baik untuk
berkembangnya kreativitas.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati semua pihak yang telah
membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis
sekeluarga.
Penulis
vi
ABSTRAK
EKSPRESI PROTEIN 53 (p53) TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN
STADIUM KANKER OVARIUM
Kanker ovarium merupakan kanker kedua terbanyak pada wanita setelah
kanker servik dan memiliki angka morbiditas dan mortalitas tertinggi setelah
kanker servik dan korpus uteri. Selama ini, berbagai penelitian telah
dikembangkan untuk membantu melakukan deteksi dini kanker ovarium, sehingga
diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta
meningkatkan harapan hidup bagi penderita. Namun belum ditemukan suatu alat
deteksi dini yang ideal bagi penderita kanker ovarium. Melihat fenomena di atas,
maka para ahli mulai memikirkan berbagai metode dalam melakukan deteksi dini
terhadap kanker ovarium melalui pendekatan genetik, yaitu dengan mendeteksi
kelainan genetik pada pasien kanker ovarium. Salah satu gen yang diperkirakan
mengambil peranan penting dalam etiopatogenesis terjadinya kanker ovarium
adalah P53, gen yang mengkode atau mengekspresikan protein 53 (p53).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui penelitian ini dilakukan
penilaian korelasi atau hubungan antara p53 dengan derajat stadium kanker
ovarium.
Penelitian ini merupakan studi cross-sectional di Bagian Kebidanan dan
Penyakit Kandungan, Patologi Anatomi dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar yang dilakukan mulai Juli 2011 sampai Juli
2013 dengan sampel penelitian sebanyak 44 buah blok parafin. Sampel blok
parafin ini dikelompokkan berdasarkan atas stadium kanker ovarium, yaitu:
kanker ovarium stadium I, II, III, dan IV. Kemudian masing-masing kelompok
stadium dilakukan pemeriksaan ekspresi p53 dengan teknik imunohistokimia.
Selanjutnya dilakukan penilaian hubungan antara p53 dengan derajat stadium
kanker ovarium dengan menggunakan Uji Spearman.
Penelitian ini memperoleh rerata umur, Indek Massa Tubuh (IMT), paritas,
dan riwayat kontrasepsi hormonal pada keempat kelompok stadium kanker
ovarium adalah homogen. Berdasarkan uji korelasi diperoleh nilai r sebesar -0,099
(p=0,522) yang ditunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara stadium kanker
ovarium dengan ekspresi p53
Disimpulkan bahwa ekspresi p53 tidak berhubungan dengan stadium kanker
ovarium.
Kata kunci: ekspresi p53 dan stadium kanker ovarium
vii
ABSTRACT
PROTEIN 53 (p53) EXPRESSION DID NOT CORRELATE WITH
OVARIAN CANCER STAGING
Ovarian cancer is the second most common cancer in women after cervical
cancer and having the highest morbidity and mortality rate after cervical cancer
and uterine cancer. Many studies have been developed to explore the early
detection method for ovarian cancer, in order to decrease the morbidity and
mortality rate, and also to increase the patient’s life expectancy. However, the
ideal early detection method for ovarian cancer patient has not been established
until now. Based on that fact, many investigators initiate to investigate various
methods for the early detection of ovarian cancer through genetic approach, which
is by detecting any genetic disorder in ovarian cancer patient. One of the possible
gene that play a role in etiopathology of ovarian cancer is P53, which is the gene
that expresses or codes the protein 53 (p53). As the result, this study was aimed at
assessing the correlation between p53 and the ovarian cancer stadium staging.
This study was a cross-sectional study in Obstetric and Gynecologic,
Anatomical Pathology, and Medical Record Department of Sanglah Hospital,
Denpasar, in July 2011 until July 2013, with a total of 44 paraffin wax blocks. The
parrafin wax block samples were categorized based on the ovarium cancer
staging, namely: ovarian cancer stage I, II, III and IV respectively. Each group of
staging was performed p53 expression experiment with immunohistochemistry
technique. Analysis of correlation between p53 and ovarian cancer staging was
conducted with Spearman Test.
This study obtained mean age, Body Mass Index (BMI), parity, history of
hormonal contraception from the four groups of ovarian cancer in homogeneity.
Based on the correlation test, the r-value was -0,099 (p=0,522), which indicating
that there was no correlation between ovarian cancer staging and p53 expression.
In conclusion, p53 expression was not proved to correlate with the ovarian
cancer staging.
Keywords : p53 expression, ovarian cancer staging
viii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ............................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ......................................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...................................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT....................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
ABSTRACT ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................7
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................................8
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................9
2.1 Protein 53 (p53).................................................................................................9
ix
2.1.1 Struktur p53....................................................................................................9
2.1.2 Peran p53......................................................................................................12
2.2 Kanker Ovarium ..............................................................................................19
2.2.1 Epidemiologi kanker ovarium ......................................................................19
2.2.2 Faktor risiko kanker ovarium .......................................................................21
2.2.3 Patogenesis kanker ovarium.........................................................................29
2.2.4 Stadium kanker ovarium ..............................................................................32
2.3 Imunohistokimia ...........................................................................................33
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN .......................................................................................................36
3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................................36
3.2 Konsep Penelitian.............................................................................................38
3.3 Hipotesis Penelitian..........................................................................................38
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................39
4.1 Rancangan Penelitian .....................................................................................39
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................40
4.3 Populasi Penelitian .........................................................................................40
4.4 Sampel Penelitian ...........................................................................................40
4.4.1 Kriteria inklusi .............................................................................................40
4.4.2 Kriteria eksklusi ...........................................................................................41
4.4.3 Perhitungan besar sampel.............................................................................41
4.4.4 Cara pengambilan sampel ............................................................................41
4.5 Variabel Penelitian .........................................................................................42
x
4.5.1 Identifikasi variabel......................................................................................42
4.5.2 Definisi operasional variabel........................................................................42
4.6 Alur Penelitian ...............................................................................................44
4.7 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan .............................................46
4.7.1 Instrumen penelitian .....................................................................................46
4.7.2 Metode pemeriksaan ...................................................................................46
4.8 Pengumpulan dan Analisis Data ....................................................................49
4.8.1 Pengumpulan data ........................................................................................49
4.8.2 Analisis data .................................................................................................49
BAB V HASIL PENELITIAN...............................................................................50
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian .....................................................................50
5.2 Hubungan antara Ekspresi p53 dengan Stadium Kanker Ovarium .................51
BAB VI PEMBAHASAN ......................................................................................52
6.1 Karakteristik Sampel Penelitian .....................................................................52
6.2 Hubungan antara Ekspresi p53 dengan Stadium Kanker Ovarium ................58
6.3 Kelemahan Penelitian .....................................................................................63
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................65
7.1 Simpulan .......................................................................................................65
7.2 Saran
........................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................66
LAMPIRAN ........................................................................................................71
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1
Mekanisme Inaktivasi Gen p53 ..................................................................12
2.2
Kelompok Gen dan Ekspresi Protein Abnormal pada Kanker Ovarium ...24
2.3
Hubungan Jumlah Paritas dengan Risiko Kanker Ovarium.......................26
2.4
Kriteria Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO ....................................32
4.1
Kategori Indek Massa Tubuh (IMT) untuk Indonesia ...............................43
4.2
Interpretasi Pulasan Imunohistokimia p53 .................................................49
5.1
Distribusi Umur, IMT, Paritas, dan Riwayat Kontrasepsi Hormonal pada
Kelompok Stadium Kanker Ovarium.........................................................50
5.2
Hubungan antara Ekspresi p53 dengan Stadium Kanker Ovarium ............51
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1
Struktur p53 ...............................................................................................10
2.2
Peran p53 dalam Mempertahankan Integritas Genom ..............................14
2.3
Mekanisme Intrinsik dan Ekstrinsik pada Apoptosis ................................16
2.4
Peran p53 dalam Proses Apoptosis ............................................................17
2.5
Proses Karsinogenesis Akibat Kegagalan Peran p53 .................................18
2.6
Angka Kejadian Kanker Ovarium di RSUPN Cipto Mangunkusumo
pada Tahun 2003 sampai 2007...................................................................21
2.7
Angka Kejadian Kanker Ovarium Berdasarkan Umur Spesifik dan
Jumlah Wanita di United of Kingdom pada tahun 2006 ............................25
2.8
Hubungan Lama Pemakaian Kontrasepsi Oral dengan Risiko Kanker
Ovarium......................................................................................................27
3.1
Kerangka Konsep Penelitian ......................................................................38
4.1
Rancangan Penelitian .................................................................................39
4.2
Alur Penelitian ...........................................................................................46
xiii
DAFTAR SINGKATAN
APAF-1
:
Apoptosis Inducing Factor-1
ATP
:
Adenosine-Triphospat
CCRC
:
Cancer Chemoprevention Research Center
CDC
:
Center of Diseases Control
CDK
:
Cycline D Kinase
DAB
:
Diaminobenzinidine
DMBA
:
Dimethylbenzanthrene
DNA
:
Deoxyribonucleic Acid
DR
:
Death Reseptor
EGF receptor :
Epidermal Growth Factor receptor
FADD
:
Fas-Associative Death Domain
FIGO
:
International Federation of Gynecology and Obstetrics
FITC
:
Fluorescein isothiocyanate
FSH
:
Follicle Stimulating Hormone
G1
:
Gap 1
G2
:
Gap 2
GTP
:
Guinidine-Triphospat
IMT
:
Indek Massa Tubuh
kb
:
kilobasa
kDa
:
kilo Dalton
LH
:
Luteinizing Hormone
xiv
M
:
Mitosis
MDM2
:
Murine Double Minute 2
miRNAs
:
mikroRNAs
PBS
:
Phospate Buffer Saline
RSUP
:
Rumah Sakit Umum Pusat
RSUPN
:
Rumah Sakit Umum Pusat Negeri
S
:
Sintesis
TGF-α
:
Transforming Growth Factor-α
TNF
:
Tumor Necrotic Factor
TVS
:
Transvaginal Sonografi
WHO
:
World Health Organization
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Formulir Penelitian...................................................................... 71
Lampiran 2
Data Penelitian ............................................................................ 72
Lampiran 3
Perhitungan Statistik ................................................................... 74
Lampiran 4
Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia p53.................................... 78
xvi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker ovarium merupakan tumor ganas pada ovarium dengan histogenisitas
yang beraneka ragam oleh karena dapat berasal dari ketiga dermoblast baik
ektoderm, mesoderm dan endoderm. Kanker ini berdasarkan atas sel-sel penyusun
ovariumnya dapat dibagi menjadi tiga tipe utama, yaitu: kanker ovarium tipe
epitelial, germinal, dan stromal. Sampai saat ini penyebab pasti dari kanker
ovarium tersebut masih belum diketahui.
Beberapa faktor risiko diduga mengakibatkan terjadinya kanker ovarium,
antara lain: adanya riwayat keluarga menderita kanker ovarium, mamae dan
kolon, mutasi genetik, umur di atas 50 tahun, wanita yang tidak memiliki anak,
wanita yang memiliki anak pada umur lebih dari 35 tahun, riwayat pemakian
terapi atau kontrasepsi hormonal, dan berat badan yang berlebih, terutama wanita
dengan Indek Massa Tubuh (IMT) yang lebih dari 30 kg/m2 (Czyz, 2008). Kanker
ovarium merupakan kanker kedua terbanyak pada wanita setelah kanker servik
dan memiliki angka kematian tertinggi setelah kanker servik dan korpus uteri
(Ari, 2008). Di Amerika Serikat, jumlah kasus baru dan angka kematian kanker
ovarium meningkat setiap tahunnya, di mana pada tahun 2002 diperoleh sebanyak
23.300 kasus dengan angka kematian sebesar 56,29% dari kasus tersebut. Tahun
2003 meningkat menjadi 25.400 kasus dengan angka kematian sebesar 59,66%
dari kasus dan tahun 2007 menjadi 22.430 kasus baru dengan angka kematian
1
2
meningkat mencapai 68,12%. Bahkan pada tahun 2010 diperkirakan sebanyak
21.880 kasus baru akan terdiagnosis dengan angka kematian yang masih tinggi
yaitu sebesar 63,30% (American Cancer Society, 2010). Angka kejadian kanker
ovarium di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah pada tahun 2005 diperoleh
sebesar 35% dari seluruh kanker ginekologi dengan survival rate selama lima
tahun yang hanya sebesar 15% (Karyana, 2005).
Tingginya angka kematian dan rendahnya harapan hidup selama lima tahun
pada kanker ovarium sangat ditentukan oleh seberapa dini ditemukannya stadium
kanker ovarium tersebut. Semakin dini stadium kanker ovarium ditemukan, maka
semakin tinggi angka harapan hidup dari penderita kanker ovarium (Ari, 2008).
Namun kenyataannya sangat sulit untuk melakukan deteksi dini pada kanker
ovarium, sehingga hampir sebagian besar kasus ditemukan pada stadium terminal
dengan survival rate selama lima tahun yang sangat rendah, yaitu sebesar 20
sampai 30%. Apabila kasus kanker ovarium tersebut ditemukan pada stadium
yang lebih dini maka survival rate selama lima tahun meningkat bahkan mencapai
90 sampai 95%. Sehingga, peranan deteksi dini merupakan hal yang sangat
penting dalam upaya menurunkan morbiditas dan mortalitas pada kanker ovarium
(Ari, 2008; American Cancer Society, 2010).
Adanya keterlambatan dan kesulitan dalam melakukan diagnosis pada kanker
ovarium sangat berhubungan dengan sifat totipoten dari ovarium, lokasi ovarium
yang tersembunyi di dalam kavum pelvis, mudah terjadinya metastasis, gejala
yang tidak spesifik, sosial budaya dan pendidikan masyarakat yang relatif rendah.
Terlebih lagi, deteksi dini dari kanker ovarium sampai saat ini masih belum dapat
3
dilakukan (Berek dan Natarajan, 2007). Selain itu, penatalaksanaan kanker
ovarium yang adapun ternyata masih kurang memuaskan, di mana penderita
dengan kanker ovarium yang telah dinyatakan mengalami remisi komplit setelah
dilakukan evaluasi selama enam bulan, lebih dari 50% penderita ternyata
mengalami relaps atau kekambuhan (Parveen dkk., 2009). Angka kekambuhan
kanker ovarium yang relatif tinggi menyebabkan semakin rendahnya angka
harapan hidup pada wanita yang menderita kanker ovarium. Berdasarkan hal itu
maka diperlukan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami etiologi dan
patogenesis dari kanker ovarium yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar
untuk melakukan deteksi dini, penatalaksanaan, dan penentuan prognosis dari
kanker ovarium.
Selama ini, berbagai penelitian telah dikembangkan untuk membantu
melakukan deteksi dini kanker ovarium, sehingga diharapkan dapat menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan harapan hidup bagi penderita.
Namun sampai saat ini belum ditemukan suatu alat deteksi dini yang ideal bagi
penderita kanker ovarium. Pemanfaatan alat Transvaginal Sonografi (TVS) dan
biomarker serum Ca-125 merupakan dua di antara sekian banyak alat deteksi dini
terbaru yang telah dilakukan penelitian secara mendalam (Karst dan Drakin,
2009).
Penelitian deteksi dini kanker ovarium dengan menggunakan TVS telah
melaporkan bahwa TVS memiliki sensitivitas yang rendah sebagai deteksi dini
kanker ovarium. TVS mampu mendeteksi besar volume dari kanker ovarium saja,
sehingga dikatakan bahwa TVS hanya mendeteksi kanker ovarium yang dapat
4
mengakibatkan peningkatkan volume secara signifikan (Karst dan Drakin, 2009).
Hal ini sangat mengkhawatirkan, khususnya pada kasus kanker ovarium tipe
serosa yang dapat bermetastasis dengan cepat dari ovarium ke organ pelvis
lainnya sebelum ovarium mengalami peningkatan volume yang bermakna.
Penelitian yang dilakukan oleh Van Nagell dkk. (2007) terhadap wanita yang
tidak memiliki keluhan namun terdapat risiko menderita kanker ovarium. Setelah
wanita tersebut menjalani deteksi dini menggunakan TVS dan dinyatakan negatif,
dalam waktu 12 bulan observasi ternyata dinyatakan positif terdiagnosis kanker
ovarium melalui pemeriksaan histopatologi. Selain itu, TVS juga memiliki
kekurangan di mana tidak dapat membedakan kanker ovarium dengan massa jinak
adneksa, seperti kista dan fibroma, terutama pada wanita postmenopause (Karst
dan Drakin, 2009).
Penelitian deteksi dini kanker ovarium menggunakan biomarker serum Ca125 telah menyimpulkan bahwa Ca-125 tidak dapat digunakan sebagai alat
deteksi dini kanker ovarium pada wanita tanpa keluhan yang berisiko menderita
kanker ovarium (Hogdall dkk., 2007). Hal ini disebabkan karena sensitivitas yang
dimiliki oleh Ca-125 masih sangat rendah dan adanya positif palsu yang tinggi
akibat berbagai kondisi lainnya, seperti: penyakit radang panggul, endometriosis,
kista ovarium, dan fibroid (Karst dan Drakin, 2009).
Melihat fenomena di atas, maka para ahli mulai memikirkan berbagai metode
dalam melakukan deteksi dini terhadap kanker ovarium melalui pendekatan
genetik, yaitu dengan mendeteksi kelainan genetik pada pasien kanker ovarium.
Berbagai penelitian terhadap peran genetik telah dikembangkan dalam rangka
5
memahami etiologi dan patofisiologi kanker ovarium, baik melalui pemeriksaan
secara langsung terhadap mutasi pada gen atau pun tidak langsung melalui
abnormalitas ekspresi protein yang dihasilkan oleh gen termutasi. Beberapa gen
dan ekspresi protein gen yang diduga mengalami kelainan dan terlibat dalam jalur
karsinogenesis terjadinya kanker ovarium telah diketahui. Kelainan pada gen dan
ekspresi protein gen tersebut dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu
onkogen seperti gen HER-2/neu, MYC, CDK1, inaktivasi gen supresor tumor
seperti gen P53, perubahan pada gen apoptosis seperti gen BCL2, dan perubahan
gen perbaikan DNA seperti gen BRCA1 dan BRCA2 (Kumar dkk., 2010). Salah
satu gen yang diperkirakan mengambil peranan penting dalam etiopatogenesis
terjadinya kanker ovarium adalah P53, gen yang mengkode atau mengekspresikan
protein 53 (p53).
Gen P53 melalui ekspresi proteinnya, yaitu p53 memiliki potensi yang besar
untuk dikembangkan sebagai salah satu alat deteksi dini kanker ovarium dan
berbagai penelitian pendahuluan telah dilakukan untuk mendukung ke arah itu.
Penelitian tentang pemanfaatan gen P53 atau melalui ekspresi proteinnya, yaitu
p53 sampai saat ini masih menunjukkan hasil yang berbeda, khususnya terhadap
stadium kanker ovarium terdiri atas stadium I, II, II, dan IV yang nantinya dapat
digunakan sebagai dasar pemikiran bahwa p53 dapat dimanfaatkan sebagai media
atau alat deteksi dini kanker ovarium.
Penelitian yang dilakukan oleh Adiyanti (2007) memperoleh hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara p53 dengan stadium kanker ovarium.
Penelitian yang dilakukan oleh Rauf dan Masadah (2009) memperoleh hasil
6
sebesar 58,5% sampel mengalami ekspresi p53 positif, di mana hasil positif
terbanyak ditemukan pada kanker ovarium stadium IV, kemudian diikuti dengan
stadium III, II, dan I. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Lobna (2010)
memperoleh hasil bahwa ekspresi p53 yang positif memiliki hubungan dengan
stadium kanker ovarium, khususnya pada stadium lanjut. Penelitian yang
dilakukan oleh Marks (2006) menyimpulkan bahwa ekspresi p53 positif tidak
berhubungan dengan stadium kanker ovarium dan derajat histopatologis, namun
sangat berhubungan dengan kejadian mutasi dari gen P53 itu sendiri. Penelitian
yang dilakukan oleh Psyarii dkk. (2007) juga menyimpulkan bahwa ekspresi p53
tidak berhubungan dengan stadium dan derajat differensiasi kanker ovarium.
Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (2010) menyimpulkan bahwa mutasi dari
gen P53 lebih banyak ditemukan pada kanker ovarium stadium dini dibandingkan
dengan stadium lanjut dan ekspresi p53 tidak berhubungan dengan derajat stadium
kanker ovarium.
Pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan P53, maka sel akan
mengekspresikan p53 secara berlebih atau overekspresi p53 namun tidak dapat
bekerja sebagai pengaktivasi proses transkripsi pada beberapa gen target seperti
gen inhibitor cyclin-dipendent kinase CDKN1A (P21) dan GADD45. Sehingga
tidak akan terjadi aktivasi p21, yang mengakibatkan siklus sel tidak berhenti pada
akhir fase G1 dan tidak terjadi aktivasi GADD45, yang mengakibatkan tidak
terjadinya perbaikan DNA. Ditambah lagi, pada sel yang mengalami mutasi atau
kehilangan P53, tidak adanya aktivasi pada gen apoptosis yaitu BAX
mengakibatkan sel gagal mengalami apoptosis. Pada akhirnya, semua hal tersebut
7
berdampak pada terfiksasinya mutasi pada sel yang membelah, khususnya DNA
sehingga sel akan masuk menuju proses menuju transformasi ganas dalam hal ini
adalah kanker ovarium (Syaifudin, 2007; Kumar dkk., 2010).
Sampai saat ini, deteksi dini kanker ovarium masih belum dapat dilakukan
dan belum menunjukkan tanda-tanda adanya upaya ke arah pengembangan
genetik sebagai alat deteksi dini kanker ovarium. Bahkan ide untuk memanfaatkan
peran gen P53 dan protein p53 yang sedemikian besarnya pun masih belum
terpikirkan. Padahal pemanfaatan peran genetik sebagai sarana deteksi dini
memberikan harapan yang sangat cerah bagi kemajuan diagnostik kanker
ovarium.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui tesis ini dilakukan
upaya pemanfaatan peran genetik, khususnya protein p53, sebagai alat deteksi
terkait dengan sejauh mana tingkat keparahan atau stadium dari kanker ovarium
yang telah dialami oleh penderita. Pemanfaatan tersebut dilakukan dengan
penilaian korelasi atau hubungan antara p53 dengan derajat stadium kanker
ovarium. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau tambahan pemikiran
dalam rangka mendukung pengembangan ide pemanfaatan gen P53 dan ekspresi
protein p53 sebagai deteksi dini dalam diagnostik kanker ovarium.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan masalah pada penelitian
ini adalah:
Apakah ada hubungan antara ekspresi protein 53 (p53) dengan stadium kanker
ovarium?
8
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara ekspresi protein 53 (p53) dengan stadium kanker
ovarium.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau tambahan pengetahuan dalam
rangka mendukung pengembangan ide pemanfaatan gen P53 dan protein p53
sebagai deteksi dini dalam diagnostik kanker ovarium.
1.4.2 Manfaat bagi pelayanan
Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya khasanah medis dalam alat
deteksi dini dalam diagnostik kanker ovarium.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Protein 53 (p53)
Protein 53 atau p53 merupakan suatu polipeptida yang diekspresikan atau
dikode oleh gen P53 yang berperan dalam menjaga keutuhan sel atau integritas
genom melalui proses transkripsi dan translasi. Gen P53 tersebut merupakan suatu
gen penekan tumor atau supresor tumor (Syaifudin, 2007). Pada awalnya, P53
diperkirakan sebagai suatu onkogen oleh karena ditemukan dalam jumlah yang
berlebihan atau overekspresi pada sel-sel yang mengalami keganasan. Penelitian
terhadap P53 menunjukkan bahwa P53 dapat diisolasi dari sejumlah klon yang
terbukti mampu mempertahankan sel kultur agar tetap hidup. Kemudian diketahui
bahwa P53 yang terdapat dalam sel tersebut merupakan bentuk mutan dari P53
(Bai dan Zhu, 2006). Penelitian berikutnya terungkap bahwa P53 mampu
menghambat pertumbuhan sel yang disebabkan oleh onkogen dan dapat
menghambat potensi tumorigenik sel pada binatang. Hal tersebut membuktikan
bahwa P53 merupakan suatu gen supresor tumor (Syaifudin, 2007).
2.1.1 Struktur p53
p53 merupakan suatu nuklear fosfoprotein yang memiliki berat molekul
sebesar 53 kilo Dalton (kDa). Protein ini dikode oleh 20 kilobasa (kb) gen yang
mengandung 11 ekson dan 10 intron, terletak pada bagian lengan pendek dari
kromosom 17. p53 mengandung sebanyak 393 asam amino dan terdiri dari
9
10
beberapa struktur atau komponen penting yang dapat dilihat pada gambar 2.1 (Bai
dan Zhu, 2006).
Gambar 2.1 Struktur p53 (Bai dan Zhu, 2006)
Bagian N-terminal mengandung daerah domain terminal amino, yaitu residu 1
sampai 42 dan daerah yang memiliki asam amino prolin yang tinggi atau prolinerich region, yaitu residu 61 sampai 94 dengan urutan sekuen PXXP yang
berulang, di mana X adalah asam amino. Selain itu, terdapat sebuah daerah
domain inti sentral atau central core, yaitu residu 102 sampai 292 dan daerah
domain C-terminal, yaitu residu 324 sampai 393. Bagian C-terminal tersebut
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu daerah yang mengandung domain
oligomerisasi atau tetramerisasi, pada residu 324 sampai 355 dan domain regulasi
pada terminal karboksil, merupakan daerah dasar yang kuat pada residu 363
sampai 393 (Bai dan Zhu, 2006). Daerah domain terminal asam amino digunakan
untuk aktivitas transaktivasi dan interaksi dengan berbagai macam faktor
11
transkripsi, meliputi asetil-transferase dan Murine Double Minute 2 (MDM2).
Daerah yang kaya akan prolin memainkan peranan penting dalam stabilitas dari
p53 yang diregulasi oleh MDM2 tersebut, di mana p53 menjadi lebih rentan
terhadap degradasi oleh MDM2 jika daerah yang kaya akan prolin tersebut
dihilangkan (Syaifudin, 2007). Sehingga, MDM2 merupakan suatu protein yang
berperan khusus dalam menghancurkan protein p53. Bagian domain inti sentral
dari protein p53, terutama dibentuk oleh ikatan Deoxyribonucleic Acid (DNA), di
mana merupakan dominan yang dibutuhkan dalam sekuen ikatan DNA spesifik
yang terdiri dari dua buah kopi rantai 5’-PuPuPuC(A/T)-(T/A)GPyPyPy-3’. Pada
bagian C-terminal dari p53 juga berfungsi sebagai domain regulasi negatif yang
memiliki fungsi untuk menginduksi proses kematian sel atau apoptosis dan
mengatur kemampuan domain binding DNA inti sebagai bentuk yang laten.
Apabila interaksi antar C-terminal dan domain binding DNA inti diputus atau
dihilangkan oleh modifikasi pascatranslasi, seperti proses fosforilasi dan asetilasi,
domain DNA binding akan menjadi teraktivasi, sehingga akan menginduksi
terjadinya aktivitas transkripsi (Bai dan Zhu, 2006).
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa mayoritas mutasi terhadap P53
yang ditemukan dalam berbagai keganasan berupa missense mutation dan
sebagian besar terletak pada domain DNA binding inti. Penelitian lainnya terhadap
P53 yang dimasukkan ke dalam sel kanker yang sebelumnya telah kehilangan
fungsi P53 secara endogen, ternyata dapat memperkecil proses pembentukan
tumor atau tumorigenesis. Namun, sebaliknya adanya pemberian mutan P53 dapat
12
memperbesar proses tumorigenesis (Syaifudin, 2007). Beberapa mekanisme
inkativasi fungsi P53 dalam berbagai keganasan dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1
Mekanisme Inaktivasi Gen P53
Mekansime inaktivasi gen P53
Efek inaktivasi
Mutasi perubahan asam amino
pada domain DNA binding
Menghalangi p53 dari binding pada
deret DNA spesifik dan mengaktifkan
gen didekatnya
Delesi karboksil terminal domain
Menghalangi
p53
Penggandaan gen MDM2
MDM2 ekstra menstimuli degradasi
p53
Delesi gen p14ARF
Kegagalan menghambat MDM2 dan
menahan degradasi p53 tetap terkendali
Mis-lokasi P53 pada sitoplasma,
di luar inti
(Syaifudin, 2007)
pembentukan
tetramer
Kegagalan fungsi p53, karena p53
berfungsi hanya dalam inti
2.1.2 Peran p53
p53 merupakan suatu polipeptida yang diekspresikan atau dikode oleh gen
P53 yang berperan dalam menjaga keutuhan sel atau integritas genom melalui
jalur transkripsi tetramerik. p53 ini ditemukan dalam jumlah yang sangat rendah
pada sel yang tidak terpapar oleh stressor. Namun, apabila terjadi suatu stressor,
baik berupa hipoksia, kerusakan pada integritas seluler dan onkogen yang tidak
sesuai, maka p53 tersebut akan diekspresikan dalam jumlah yang lebih tinggi
untuk mengaktifkan berbagai jalur menuju ke arah modifikasi pascatranslasi
protein dan stabilisasi (Syaifudin, 2007). Adanya akumulasi p53 tersebut
selanjutnya akan mengaktivasi transkripsi berbagai gen yang terlibat dalam
13
menimbulkan efek antiproliferasi atau penghentian siklus dan aktivasi apoptosis.
Sehingga p53 dianggap sebagai suatu monitor sentral terhadap stressor yang dapat
mengarahkan sel untuk memberikan respon yang sesuai, baik berupa penghentian
siklus ataupun apoptosis (Kumar dkk., 2010).
p53 secara normal di dalam sel yang tidak mengalami stress memiliki waktu
paruh yang sangat pendek, kurang lebih dua puluh menit. Waktu paruh yang
relatif pendek tersebut disebabkan oleh karena adanya ikatan p53 dengan Murine
Double Minute 2 (MDM2) (Bai dan Zhu, 2006). MDM2 merupakan suatu protein
yang berperan khusus dalam menghancurkan p53. p53 mengalami modifikasi
pascatranskripsi yang membebaskan protein tersebut dari MDM2 sehingga dapat
meningkatkan lama waktu paruhnya. Selama proses pembebasan dari MDM2,
protein tersebut mengalami aktivasi menjadi suatu faktor transkripsi (Syaifudin,
2007).
Peran p53 dalam mempertahankan integritas genom dapat dilihat pada
gambar 2.2. Apabila terdapat suatu stressor, baik berupa hipoksia, kerusakan pada
integritas seluler atau Deoxyribonucleic Acid (DNA) dan onkogen yang tidak
sesuai maka akan terjadi aktivasi p53. Namun apabila perbaikan kerusakan DNA
tersebut gagal, maka p53 yang normal akan mengarahkan sel pada kematian yang
terprogram atau proses apoptosis (Kumar dkk., 2010).
2.1.2.1 Peran p53 dalam perbaikan kerusakan DNA
Siklus replikasi sel dibagi menjadi empat fase, yaitu: fase gap 1 (G1), sintesis
(S), gap 2 (G2), dan mitosis (M). Replikasi DNA berlangsung pada fase S dan
mengalami pemisahan secara mitosis menjadi sister chromatid berlangsung pada
14
fase M. Fase S dan M adalah fase yang paling sensitif terhadap berbagai macam
faktor risiko terjadinya kerusakan DNA. Oleh karena itu, apabila terdapat suatu
faktor risiko tertentu, seperti pajanan radiasi, sel tetap berada pada tahap arrest,
yaitu fase G1 atau G2. Namun, apabila perbaikan DNA tersebut telah selesai, maka
pembelahan sel akan berlanjut dan memasuki fase berikutnya (Syaifudin, 2007).
Gambar 2.2 Peran p53 dalam Mempertahankan Integritas Genom
(Kumar dkk., 2010)
P53 merupakan salah satu gen penekan kanker atau supresor tumor yang
berperan penting dalam melindungi siklus sel. Apabila terjadi kerusakan pada sel,
maka P53 di dalam inti akan teraktivasi sehingga dapat mensintesis p53. Aktivasi
p53 tersebut akan meningkatan proses transkripsi pada beberapa gen target seperti
gen inhibitor kinase dependent-cycklin, yaitu CDKN1A (P21) dan GADD45.
15
Selanjutnya aktivasi p21 menyebabkan siklus sel terhenti atau arrest pada akhir
fase G1. Sementara siklus sel berhenti pada fase G1, aktivasi GADD45 selanjutnya
berperan dalam melakukan perbaikan DNA. Apabila perbaikan DNA tersebut
berhasil maka p53 akan meningkatkan transkripsi MDM2, yang kemudian
menekan pembentukan p53, sehingga akan menghilangkan hambatan terhadap
siklus sel. Selanjutnya, sel tersebut dapat melanjutkan siklus pembelahannya
(Syaifudin, 2007). Namun apabila perbaikan kerusakan DNA tersebut gagal maka
p53 yang normal akan mengarahkan sel pada kematian yang terprogram atau
proses apoptosis (gambar 2.2a). Selain itu, p53 juga dapat mengaktivasi gen
represi melalui proses aktivasi terhadap mir-34 yang merupakan keluarga
mikroRNAs (miRNAs). Selanjutnya, mir-34 akan mengambat proses translasi dari
gen-gen pemicu pertumbuhan atau growth promoting genes, seperti MYC dan
CDK4 sehingga mengakibatkan terhentinya proses pertumbuhan sel. Protein
aktivasi mir-34 juga menghambat proses translasi dari gen anti-apoptosis sehingga
dapat memicu terjadinya proses apoptosis (gambar 2.2b) (Kumar dkk., 2010).
2.1.2.2 Peran p53 pada proses apoptosis
Apoptosis merupakan program bunuh diri intra seluler yang dilakukan dengan
cara mengaktifkan protein kaspase, yang merupakan suatu sistein protease
(Kumar dkk., 2010). Secara umum, terdapat dua jalur utama dalam proses
apoptosis, yaitu: jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik meliputi pemberian
kode yang memicu proses mitokondria-dependent melalui pelepasan sitokrom c
dan pengaktifan kaspase-9. Jalur ekstrinsik bekerja dengan cara
mengaktifkan
reseptor kematian atau Death Reseptor (DR), seperti Fas (reseptor 1 Tumor
16
Necrotic Factor (TNF)), DR4 dan DR5 (gambar 2.3) (Bai dan Zhu, 2006).
Adanya interaksi dengan ligan yang sesuai akan mengarah kepada proses
transduksi sinyal yang diawali dengan peliputan molekul yang berhubungan
dengan DR seperti Fas-Associative Death Domain (FADD), yang selanjutnya
akan mengaktifkan kaspase-8. Kaspase ini kemudian mengkatalis sederet proses
proteolitik yang manghasilkan perubahan biokimia dan morfologi khas yang
berhubungan dengan apoptosis. Selain itu, apoptosis juga merupakan suatu proses
yang aktif, di mana menginduksi gen seperti BAX dan ekspresi antigen Fas
maupun represi atau penekanan simultan gen seperti BCL2 (Kumar dkk., 2010).
Gambar 2.3 Mekanisme Intrinsik dan Ekstrinsik pada Apoptosis
(Bai dan Zhu, 2006)
P53 memiliki peranan yang penting dalam pengaturan siklus sel dengan
melakukan kontrol terhadap sejumlah gen, termasuk gen untuk apoptosis jika
terdapat kerusakan seluler yang berat. Peran p53 dalam proses apoptosis ini,
17
terutama melibatkan mitokondria sebagai peran utama melalui pembebasan
sitokrom c. Efek proapoptosis oleh p53 diperantarai melalui peningkatan sintesis
Bax. Selanjutnya protein Bax tersebut akan mendorong pelepasan sitokrom c pada
mitokondria, yang akhirnya akan membentuk suatu komplek dengan Apoptosis
Inducing Factor-1 (APAF-1), prokaspase-9 dan Adenosine-Triphospat (ATP).
Komplek tersebut mengakibatkan terjadinya aktivasi prokaspase-9 menjadi
kaspase-9. Kemudian kaspase-9 akan memicu aktivasi dari kaspase-3. Kaspase-3
merupakan kaspase terakhir atau eksekutor yang memecah DNA dan substrat
lainnya sehingga mengakibatkan terjadinya kematian sel (Gambar 2.4) (Kumar
dkk., 2010).
Gambar 2.4 Peran p53 dalam Proses Apoptosis (Kumar dkk., 2010)
Pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan P53, maka sel tidak akan
mampu mengekspresi p53 atau dapat terjadi ekspresi p53 secara berlebih
(overekspresi p53) namun tidak dapat bekerja sebagai pengaktivasi proses
18
transkripsi pada beberapa gen target seperti gen inhibitor cyclin-dipendent kinase
CDKN1A (P21) dan GADD45. Sehingga tidak terjadi aktivasi p21, yang
mengakibatkan siklus sel tidak berhenti pada akhir fase G1 dan tidak terjadi
aktivasi GADD45, yang mengakibatkan perbaikan DNA tidak terjadi. Ditambah
lagi, pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan gen P53, tidak adanya
aktivasi pada gen apoptosis yaitu BAX mengakibatkan sel gagal mengalami
apoptosis. Pada akhirnya, semua hal tersebut berdampak pada terfiksasinya mutasi
pada sel yang membelah, khususnya DNA sehingga sel akan masuk menuju
proses menuju transformasi ganas (gambar 2.5) (Syaifudin, 2007; Kumar dkk.,
2010).
Gambar 2.5 Proses Karsinogenesis Akibat Kegagalan Peran p53
(Kumar dkk., 2010)
19
2.2 Kanker Ovarium
Kanker ovarium merupakan tumor ganas pada ovarium yang memiliki
histogenisitas yang beraneka ragam, di mana dapat berasal dari ketiga dermoblast
baik ekoderm, mesoderm dan endoderm. Kanker ini berdasarkan atas sel-sel
penyusun ovarium dapat dibagi menjadi tiga tipe utama, yaitu: kanker ovarium
tipe epitelial, germinal dan stromal (Busman, 2008). Sampai saat ini penyebab
pasti dari kanker ovarium masih diperdebatkan, namun beberapa faktor risiko
yang dianggap dapat menjadi penyebab timbulnya kanker ovarium, antara lain:
adanya riwayat keluarga penderita kanker ovarium, mamae, dan kolon, mutasi
pada gen BRCA 1 dan BRCA 2, umur di atas 50 tahun, wanita yang tidak
memiliki anak atau nullipara, dan wanita yang memiliki anak pada umur lebih dari
35 tahun (Ari, 2008).
2.2.1 Epidemiologi kanker ovarium
Kanker ovarium merupakan keganasan ketiga terbanyak pada saluran
genitalia wanita. Kanker ovarium sangat sulit ditemukan pada stadium awal,
sehingga sebagian besar kasus baru ditemukan pada stadium yang telah lanjut
(Ari, 2008). Adanya keterlambatan dan kesulitan dalam melakukan diagnosis pada
kanker ovarium ini sangat berhubungan dengan sifat totipoten dari ovarium, lokasi
ovarium yang tersembunyi di dalam kavum pelvis, mudah terjadinya metastasis,
gejala yang tidak spesifik, sosial budaya, dan pendidikan masyarakat yang relatif
rendah. Terlebih lagi, deteksi dini dari kanker ovarium, sampai saat ini masih
belum dapat dilakukan (Berek dan Natarajan, 2007).
20
Kanker ovarium sebagian besar terjadi pada wanita umur 40 sampai 65 tahun
dan sangat jarang terjadi pada umur di bawah 40 tahun. Angka kejadian kanker
ovarium mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan umur wanita, di
mana kurang lebih sebesar 16 kasus per 100.000 wanita umur 40 sampai 44 tahun
meningkat menjadi 57 kasus per 100.000 wanita umur 70 sampai 74 tahun. World
Health Organization (WHO) pada tahun 2002 melaporkan bahwa kanker ovarium
di Indonesia menempati urutan ke empat terbanyak dengan angka insiden
mencapai 15 kasus per 100.000 wanita setelah kanker payudara, korpus uteri, dan
kolorektal (Fauzan, 2009). Di Amerika serikat, jumlah kasus baru dan angka
mortalitas kanker ovarium meningkat setiap tahunnya, di mana pada tahun 2002
diperoleh sebanyak 23.300 kasus, dengan angka kematian sebesar 56,29% dari
kasus tersebut. Pada tahun 2003 meningkat menjadi 25.400 kasus dengan angka
kematian sebesar 59,66% dari kasus dan tahun 2007 menjadi 22.430 kasus baru
dengan angka kematian meningkat mencapai 68,12%. Bahkan pada tahun 2010
diperkirakan sebanyak 21.880 kasus baru akan terdiagnosis dengan angka
kematian yang masih tinggi yaitu sebesar 63,30% (American Cancer Society,
2010).
Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN)
Cipto Mangunkusumo pada tahun 2008 didapatkan adanya peningkatan angka
kejadian kanker ovarium setiap tahunnya yang dirawat di RSUPN Cipto
Mangunkusumo dari tahun 2003 sampai 2007 (gambar 2.6) (Fauzan, 2009).
21
Gambar 2.6 Angka Kejadian Kanker Ovarium di RSUPN Cipto
Mangunkusumo pada Tahun 2003 sampai 2007 (Fauzan, 2009)
Angka kejadian kanker ovarium di Indonesia berdasarkan data Badan
Registrasi Kanker pada tahun 2006 mencapai 11,9% (Badan Registrasi Kanker,
2006). Angka kejadian kanker ovarium di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Sanglah pada tahun 2005 diperoleh sebesar 35% dari seluruh kanker ginekologi
dengan survival rate selama lima tahunnya hanya sebesar 15% (Karyana, 2005).
2.2.2 Faktor risiko kanker ovarium
Sampai saat ini penyebab pasti dari kanker ovarium masih diperdebatkan,
namun beberapa faktor risiko yang dianggap dapat menjadi penyebab timbulnya
kanker ovarium, antara lain adalah: genetik, umur, kehamilan dan paritas,
penggunaan obat kontrasepsi oral, terapi hormon pengganti pada masa
menopause, obat-obatan yang meningkatkan kesuburan, Indek Massa Tubuh
(IMT) dan riwayat keluarga (Fauzan, 2009).
2.2.2.1 Genetik
Berbagai kelainan genetik diduga berperan dalam menentukan terjadinya
kanker ovarium. Beberapa gen dan ekspresi protein gen yang mengalami kelainan
dan terlibat dalam karsinogenesis terjadinya kanker ovarium telah diketahui.
22
Secara umum berbagai gen berperan dalam karsinogenesis kanker ovarium.
Adanya mutasi atau delesi pada gen P53 merupakan kelainan yang paling sering
ditemukan, di mana pada lebih dari 50% kasus kanker ovarium, khususnya pada
stadium yang telah lanjut (Granstrom, 2008). Pada saat sekarang ini, telah
dikembangkan berbagai jenis penelitian untuk mengetahui hubungan antara gen
P53 maupun ekspresi p53 terhadap stadium kanker ovarium. Hasil-hasil penelitian
tersebut diharapkan dapat menjadi masukan atau tambahan pemikiran dalam
rangka mendukung pengembangan ide pemanfaatan gen P53 dan ekspresi p53
sebagai deteksi dini dalam diagnostik kanker ovarium.
Penelitian yang dilakukan oleh Lobna (2010) memperoleh hasil bahwa
sebanyak 42 (73,7%) dari 57 sampel mengalami ekspresi p53 positif. Adanya
ekspresi p53 yang positif tersebut memiliki hubungan dengan stadium kanker
ovarium, khususnya pada stadium lanjut. Penelitian yang dilakukan oleh Rauf dan
Masadah (2009) dari Universitas Hassanudin, Makasar terhadap 41 pasien kanker
ovarium. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai prognostik ekspresi
p53 terhadap kanker ovarium. Pada seluruh sampel dilakukan analisis
imunohistokimia p53 dalam jaringan kanker ovarium dari pasien yang telah
dioperasi. Hasilnya, derajat ekspresi p53 ditemukan lebih tinggi pada kanker
ovarium stadium lanjut dan pemantauan selama enam bulan sampai dua tahun
setelah operasi menunjukkan bahwa pasien yang mempunyai ekspresi p53 yang
tinggi juga diperoleh angka kematian yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh
Pasyrii dkk. (2007) pada 141 jaringan pasien kanker ovarium stadium lanjut,
bertujuan untuk menentukan peran dari p53 sebagai faktor prognostik pada kanker
23
ovarium. Pada seluruh sampel tersebut dilakukan analisis p53 dengan
menggunakan teknik analisis protein secara kuantitatif. Hasilnya, diperoleh
jumlah ekspresi p53 inti dan sitoplasma yang tinggi berhubungan dengan semakin
besarnya harapan hidup lima tahunan dari pasien tersebut, masing-masing dengan
nilai p= 0,0338 dan p= 0,0002 (p<0,005). Penelitian yang dilakukan oleh Adiyanti
(2007) yang bertujuan untuk menilai hubungan antara ekspresi p53 dengan
stadium kanker ovarium di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Penelitian tersebut
memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ekspresi p53
dengan stadium kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh Havrilesky dkk.
(2002) pada 125 blok parafin pasien kanker ovarium stadium lanjut. Penelitian ini
bertujuan untuk menentukan peran dari p53 sebagai faktor prognostik pada kanker
ovarium, khusunya dalam hubungannya dengan derajat differensiasi dan lama
harapan hidup pasien kanker ovarium serta hubungan overekspresi p53 dengan
jenis kelainan gen P53 yang ditemukan pada sampel. Pada seluruh sampel
dilakukan analisis p53 dengan menggunakan teknik imunohistokimia. Hasilnya,
diperoleh jumlah ekspresi p53 berhubungan positif dengan derajat differensiasi
namun tidak berhubungan dengan besarnya harapan hidup lima tahunan dari
pasien tersebut. Dari 55 sampel yang mengalami overekspresi p53, sebesar 100%
ditemukan kelainan berupa missense mutation.
Kanker ovarium juga diduga berhubungan dengan terjadinya mutasi pada gen
BRCA 1 dan BRCA 2. Kedua gen tersebut juga telah diketahui memiliki peranan
yang penting dalam patogenesis molekuler terjadinya kanker payudara atau
mamae (Chen dan Parmigiani, 2007; Busman, 2008).
24
Berbagai kelainan pada gen dan ekspresi protein gen tersebut dapat dibagi
menjadi empat kelompok, yaitu onkogen yang memicu pertumbuhan, gen
supresor kanker atau tumor yang tidak aktif, perubahan gen perbaikan DNA, dan
perubahan gen apoptosis (Kumar dkk., 2010). Secara lengkap pembagian dan
fungsi dari masing-masing gen dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2
Kelompok Gen dan Ekspresi Protein Abnormal pada Kanker Ovarium
Kelompok
Lokasi/Kategori
Gen
Keterangan
Onkogen
TGF-α
TGFA
Overekspresi
EGF receptor
HER-2/neu
Overekspresi
FMS- like tyrosine FLT3
Amplifikasi
Kinase 3
GTP-binding
KRAS/HRAS
Point mutation
RAS signal
BRAF
Point mutation
transduction
Transcriptional
MYC
Amplifikasi
activator
Cyclin dependent
CDK1
Amplifikasi
kinase
Inaktivasi gen
supresor tumor
Inti sel
Perubahan gen Inti sel
perbaikan DNA
Perubahan
Inti sel
gen apoptosis
(Kumar dkk., 2010)
P53
BRCA1
BRCA2
BCL2
Penghentian siklus
sel, apoptosis(-)
Perbaikan DNA(-)
Inhibisi apoptosis
meningkat
2.2.2.2 Umur
Risiko kejadian kanker ovarium meningkat seiring dengan bertambahnya
umur. Sebanyak 80% dari kejadian kanker ovarium ditemukan pada umur wanita
lebih dari 45 tahun, namun pada beberapa kasus kanker ovarium juga dapat
25
ditemukan pada umur yang relatif lebih muda daripada kanker pada wanita
lainnya, yaitu umur 20 sampai 30 tahun (Fauzan, 2009).
Kanker ovarium dapat ditemukan pada semua golongan umur, bahkan pada
kasus yang jarang, juga dapat ditemukan pada bayi bawah lima tahun (balita) dan
anak-anak. Namun angka kejadian paling banyak ditemukan pada rentang umur
60 sampai 74 tahun dengan median umur saat terdiagnosis adalah 59 tahun.
Bahkan, risiko tumor ovarium untuk mangalami degradasi keganasan pun
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, di mana risiko keganasan
didapatkan sebesar 13% pada wanita premenopause dan 45% postmenopause
(Colditz, 2004).
Kasus
Rerata wanita
Gambar 2.7 Angka Kejadian Kanker Ovarium Berdasarkan Umur Spesifik
dan Jumlah Wanita di United of Kingdom pada tahun 2006 (Granstrom, 2008)
Penelitian yang dilakukan oleh Cancer Research United of Kingdom pada
tahun 2006, diperoleh hasil bahwa, angka kejadian kanker ovarium meningkat
seiring dengan bertambahnya umur, di mana kasus tertinggi kanker ovarium
26
ditemukan pada kelompok wanita umur 60 sampai 64 tahun (gambar 2.7)
(Granstrom, 2008).
2.2.2.3 Kehamilan dan paritas
Kehamilan dan paritas merupakan salah satu faktor risiko yang penting dalam
menentukan terjadinya kanker ovarium. Wanita yang sudah pernah hamil
memiliki risiko untuk mengalami kanker ovarium sekitar 50% lebih rendah
daripada wanita yang belum pernah hamil atau nullipara. Bahkan, wanita yang
telah beberapa kali hamil risiko terjadinya kanker ovarium menjadi semakin
berkurang (Czyz, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Cancer Research United
of Kingdom pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah paritas
maka semakin rendah kemungkinan risiko terjadinya kanker ovarium. Pada
wanita yang tidak memiliki anak atau nullipara memiliki risiko dua kali lipat lebih
besar untuk terjadinya kanker ovarium daripada wanita dengan paritas tiga atau
lebih (tabel 2.3) (Granstrom, 2008).
Tabel 2.3
Hubungan Jumlah Paritas dengan Risiko Kanker Ovarium
Jumlah paritas
Risiko Relatif (95% CI)
3+
1,0
2
1,21 (1,10-1,32)
1
1,60 (1,43-1,79)
0
2,12 (1,81-2,48)
(Granstrom, 2008)
2.2.2.4 Penggunaan kontrasepsi oral
Penelitian yang dilakukan oleh Center of Diseases Control (CDC)
menyimpulkan bahwa penggunaan obat kontrasepsi oral dapat menurunkan risiko
kejadian kanker ovarium kurang lebih sebesar 40% pada wanita yang berumur 20
27
sampai 54 tahun, dengan risiko relatif sebesar 0,6. Penelitian lainnya melaporkan
bahwa penggunaan pil kontrasepsi selama kurang lebih satu tahun dapat
menurunkan risiko kejadian kanker ovarium sebesar 11%, sedangkan apabila
pemakaian mencapai lima tahun maka risiko terjadinya kanker ovarium dapat
semakin menurun, bahkan mencapai 50% (Fauzan, 2009). Penelitian yang
dilakukan oleh Beral (2008) juga memperoleh hasil bahwa penurunan risiko
relatif terjadinya kanker ovarium sesuai dengan lamanya pemakaian kontrasepsi
oral, di mana pada wanita yang memakai kontrasepsi oral selama kurang dari satu
tahun memiliki risiko relatif 1 dan semakin menurun mencapai 0,42 pada
pemakaian yang lebih dari lima belas tahun (gambar 2.8).
Never
use
Gambar 2.8 Hubungan Lama Pemakaian Kontrasepsi Oral
dengan Risiko Kanker Ovarium (Beral, 2008)
Setelah dilakukan analisis lanjutan terhadap jenis hormon pada obat
kontrasepsi, diperoleh bahwa hormon yang berperan dalam menurunkan risiko
terjadinya kanker ovarium tersebut adalah progesteron. Penggunaan obat yang
menggandung hormon estrogen saja khususnya pada wanita pascamenopause
28
justru meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium namun penggunaan
kombinasi progesteron dan estrogen atau progesteron saja akan menurunkan risiko
terjadinya kanker ovarium (Busman, 2008).
2.2.2.5 Terapi hormon pengganti pada masa menopause
Pemakaian terapi hormon pengganti pada wanita menopause dengan
menggunakan estrogen dalam jangka waktu sepuluh tahun dapat meningkatkan
risiko relatif sebesar 2,2 untuk terjadinya kanker ovarium. Pada pemakaian yang
lebih lama lagi, selama 20 tahun lebih meningkatkan risiko relatif menjadi 3,2
untuk terjadinya kanker ovarium (Busman, 2008). Pada pemakaian terapi
hormonal yang dikombinasikan dengan pemberian progestin juga masih
meningkatkan risiko relatif sebesar 1,5 untuk terjadinya kanker ovarium (Zhou,
2008; Beral, 2007).
2.2.2.6 Obat-obatan yang meningkatkan kesuburan
Obat-obat yang meningkatkan kesuburan atau fertilitas, seperti klomifen sitrat
dan obat-obatan gonadotropin, seperti Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan
Luteinizing Hormone (LH) dapat menginduksi terjadinya ovulasi baik tunggal
maupun multipel. Hal tersebut ternyata meningkatkan risiko seorang wanita
mengalami kanker ovarium. Pada pemakaian klomifen sitrat lebih dari dua belas
siklus, dapat meningkatkan risiko relatif sebesar sebelas kali untuk menjadi
kanker ovarium (Busman, 2008).
2.2.2.7 Indek Massa Tubuh (IMT)
Berbagai
penelitian
membuktikan
bahwa
peningkatan
IMT
dapat
meingkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Reeves, 2007). Penelitian yang
29
dilakukan oleh European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition
tahun 2006 memperoleh hasil bahwa pada wanita dengan IMT di atas 30 atau
obesitas memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya kanker ovarium
dibandingan dengan wanita dengan IMT normal (Lahmann, 2009). Penelitian
yang berbeda memperoleh hasil bahwa peningkatan IMT pada wanita
premenopause meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan risiko
relatif sebesar 1,72. Namun peningkatan IMT tersebut tidak bermakna
meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium pada wanita pascamenopause
(Schouten, 2008).
2.2.2.8 Riwayat keluarga
Adanya
riwayat
keluarga
yang
menderita
kanker
ovarium
dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium pada anggota keluarga yang
lainnya (Granstrom, 2008). Secara umum, risiko terjadinya kanker ovarium adalah
1,6% pada keseluruhan populasi. Risiko tersebut dapat lebih meningkat menjadi 4
sampai 5% apabila ada satu anggota keluarga, baik ibu atau saudara kandung,
menderita kanker ovarium. Apabila terdapat dua anggota keluarga yang menderita
kanker ovarium, maka risiko menderita kanker ovarium meningkat menjadi 7%.
Adanya riwayat kanker payudara dan kolon juga dapat meningkatkan risiko
terjadinya kanker ovarium pada anggota keluarga yang lainnya (Busman, 2008).
2.2.3 Patogenesis kanker ovarium
Berbagai penelitian dalam rangka mengungkap patogenesis berbagai
karsinogen sebagai penyebab terjadinya kanker ovarium masih belum
menujukkan hasil. Walaupun penyebab pasti kanker ovarium masih belum
30
ditemukan, beberapa teori telah dikemukakan oleh para ahli dalam rangka
mengungkap patogenesis terjadinya kanker ovarium, antara lain: teori incessant
ovulation, inflamasi dan gonadotropin.
2.2.3.1 Teori incessant ovulation
Teori Incessant ovulation ini beranggapan bahwa adanya trauma berulang
pada ovarium selama proses ovulasi, mengakibatkan epitel ovarium mudah
terpajan atau terpapar oleh berbagai faktor risiko sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya kelainan atau abnormalitas genetik. Semakin dini usia wanita
mengalami menstruasi, semakin terlambat mencapai menopause, tidak pernah
hamil atau memiliki keturunan merupakan berbagai kondisi yang dapat
meningkatkan frekuensi ovulasi. Berbagai kondisi yang menekan frekuensi
ovulasi, seperti kehamilan dan menyusui justru menurunkan risiko terjadinya
kanker ovarium (Choi, 2007).
Adanya
ovulasi
dan
semakin
bertambahnya
umur
seorang wanita
meyebabkan terperangkapnya fragmen epitel permukaan ovarium pada cleft atau
invaginasi pada permukaan dan badan inklusi pada kortek ovarium. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi
metaplasia dan neoplasma pada daerah-daerah ovarium yang mengalamai
invaginasi dan terbentuknya badan inklusi (Choi, 2007).
2.2.3.2 Teori inflamasi
Teori ini diangkat berdasarkan pada penelitian yang memperoleh hasil bahwa
angka insiden kanker ovarium meningkat pada wanita yang mengalami infeksi
atau radang pada panggul. Menurut teori ini, berbagai karsinogen dapat mencapai
31
ovarium melalui saluran genitalia. Walaupun adanya proteksi terhadap risiko
kanker ovarium melalui ligasi tuba dan histerektomi mendukung teori ini, namun
peranan signifikan faktor reproduksi lainnya tidak dapat dijelaskan dengan teori
ini (Choi, 2007).
2.2.3.3 Teori gonadotropin
Teori ini dapat dijadikan sebagai dasar timbulnya kanker ovarium. Adanya
kadar gonadotropin yang tinggi, berkaitan dengan lonjakan yang terjadi selama
proses ovulasi dan hilangnya gonadal negative feedbeck pada menopause dan
kegagalan ovarium prematur memegang peranan penting dalam perkembangan
dan progresivitas kanker ovarium (Choi, 2007).
Perkembangan kanker ovarium dipengaruhi oleh hormon-hormon hipofisis
pada berbagai macam tikus. Pada hewan tersebut, adanya penurunan estrogen dan
peningkatan sekresi gonadotropin hipofisis dapat mengakibatkan perkembangan
kanker
ovarium.
Ovarium
yang
terpapar
bahan
karsinogen,
seperti
Dimethylbenzanthrene (DMBA) akan berkembang menjadi kanker setelah
ditransplantasikan pada tikus yang telah menjalani ooforektomi, namun hal
tersebut tidak ditemukan pada tikus yang sebelumnya dilakukan pengangkatan
kelenjar pituitari (Choi, 2007).
Penelitian yang dilakukan Cramer dan Welch bertujuan untuk menilai
hubungan antara kadar gonadotropin dengan estrogen. Adanya sekresi
gonadotropin dalam jumlah yang tinggi ternyata mengakibatkan peningkatan
stimulasi estrogen pada epitel permukaan ovarium. Hal tersebut diduga berperan
dalam meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Choi, 2007).
32
2.2.4 Stadium kanker ovarium
Stadium kanker ovarium ditentukan berdasarkan pada penemuan yang
dilakukan saat melakukan eksplorasi. Stadium kanker ovarium menurut
International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) berdasarkan pada
hasil evaluasi pembedahan terhadap tumor ovarium primer dan penemuan
penyebarannya dapat dilihat pada tabel 2.4 (Berek dan Natarajan, 2007).
Tabel 2.4
Kriteria Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO
Stadium
Kriteria
I
Pertumbuhan tumor terbatas pada ovarium
Ia
Pertumbuhan tumor terbatas pada satu ovarium, cairan
ascites tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada
pertumbuhan tumor pada permukaan luar tumor, kapsul
utuh
Ib
Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua ovarium, cairan
ascites tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada
pertumbuhan tumor pada permukaan luar tumor, kapsul
utuh.
Ic
Tumor pada stadium Ia atau Ib tetapi dengan pertumbuhan
tumor pada permukaan luar dari satu atau kedua atau kapsul
pecah atau cairan ascites atau cairan bilasan peritoneum
mengandung sel-sel ganas
II
Pertumbuhan tumor pada satu atau kedua ovarium dengan
perluasan ke rongga pelvis
IIa
Penyebaran dan atau metastasis ke uterus dan atau tuba
fallopi
IIb
Penyebaran tumor ke organ pelvis lainnya
IIc
Tumor dengan stadium IIa atau IIb, tetapi dengan
pertumbuhan tumor pada pemukaan luar dari satu atau
kedua ovarium atau kapsul pecah atau cairan ascites atau
cairan bilasan peritoneum mengandung sel-sel ganas
III
Tumor melibatkan satu atau kedua ovarium dengan
implantasi di luar pelvis dan atau terdapat pembesaran
kelenjar limfe inguinal atau retroperitoneal. Metastasis pada
pemukaan liver sesuai dengan stadium III. Tumor terbatas
pada pelvis, tetapi pemeriksaan histologi menunjukkan
penyebaran tumor ke usus halus atau omentum
(Berek dan Natarajan, 2007)
33
Tabel 2.4
Kriteria Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO (lanjutan)
Stadium
Kriteria
IIIa
Tumor secara makroskopis terbatas pada pelvis dan tidak
ada pembesaran kelenjar limfe, tetapi pemeriksaan histologi
menunjukkan penyebaran ke permukaan peritoneum
abdominal
IIIb
Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan penyebaran di
permukaan peritoneum berdiameter tidak lebih dari 2 cm
dan didukung oleh hasil pemeriksaan histologi. Tidak ada
penyebaran ke kelenjar limfe
IIIc
Terdapat penyebaran pada peritoneum abdominal dengan
diameter lebih dari 2 cm atau terdapat penyebaran ke
kelenjar limfe retroperitoneal atau inguinal atau keduanya
IV
Pertumbuhan tumor meliputi satu atau kedua ovarium
dengan metastase jauh. Bila terdapat efusi pleura, harus
ditemukan sel-sel ganas pada pemeriksaan sitologi.
Metastasis pada parenkim liver sesuai dengan stadium IV
(Berek dan Natarajan, 2007)
2.3 Imunohistokimia
Imunohistokimia merupakan suatu teknik untuk menentukan keberadaan
suatu antigen atau protein target dalam jaringan atau sel dengan menggunakan
reaksi antigen-antibodi. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik, yaitu
suatu prosedur pembuatan irisan jaringan yang kemudian diamati di bawah
mikroskop. Setelah terbentuk suatu irisan jaringan, selanjutnya dapat dilakukan
prosedur imunohistokimia (Fatchiyah, 2006).
Interaksi antara antigen dan antibodi merupakan suatu reaksi kimia yang tidak
kasat mata, sehingga diperlukan visualisasi adanya ikatan tersebut dengan melabel
antibodi yang digunakan dengan enzim atau fluorokrom. Enzim yang digunakan
untuk melabel selanjutnya direaksikan dengan substrat kromogen, yaitu substrat
yang menghasilkan produk akhir berwarna dan tidak larut, yang dapat diamati
dengan mikroskop cahaya. Pengecatan imunohistokimia yang menggunakan
34
fluorokrom untuk melabel antibodi, dapat langsung diamati tanpa harus
direaksikan dengan bahan-bahan yang menghasilkan warna di bawah mikroskop
fluorescence (Fatchiyah, 2006).
Terdapat dua metode dasar dalam melakukan identifikasi antigen pada suatu
jaringan melalui pemeriksaan imunohistokimia, yaitu (CCRC, 2009a):
a. Metode langsung (direct method)
Metode langsung merupakan metode pengecatan satu langkah, oleh karena
hanya melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang berlabel. Salah satu
contoh
antibodi
berlabel
adalah
antiserum
terkonjugasi
Fluorescein
isothiocyanate (FITC) dan rodhamin.
b. Metode tidak langsung (indirect method)
Metode tidak langsung menggunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi
primer yang tidak berlabel dan antibodi sekunder yang berlabel. Antibodi
primer berperan dalam mengenali antigen yang diidentifikasi pada jaringan
(first layer) sedangkan antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi
primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi primer.
Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan substrat berupa
kromogen. Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang
dapat membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu.
Penggunaan kromogen fluorescent dye seperti FITC, rodhamin dan texas-red
disebut metode immunofluorescence, sedangkan penggunaan kromogen enzim
seperti peroksidase, alkali fosfatase atau glukosa oksidase disebut metode
immunoenzyme.
35
Untuk menjamin agar antibodi dapat mengikat antigen, maka sel harus
difiksasi dengan ditempelkan pada bahan pendukung padat sehingga antigen
menjadi immobile. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkan sel pada slide
mikroskop, coverslip, atau bahan pendukung plastik yang sesuai. Secara umum,
terdapat dua macam metode fiksasi, yaitu pelarut organik dan reagen crosslinking. Pelarut organik seperti alkohol dan aseton akan memindahkan lipid,
mendehidrasi sel dan mengendapkan protein. Reagen cross-linking seperti
paraformaldehid membentuk jembatan intermolekuler melalui gugus amino bebas
(CCRC, 2009a).
Imunohistokimia melibatkan inkubasi sel dengan antibodi. Antibodi akan
berikatan dengan antigen atau protein spesifik di dalam sel. Antibodi yang tidak
berikatan dapat dipisahkan dengan pencucian, sedangkan antibodi yang berikatan
dideteksi secara langsung dengan antibodi primer berlabel, maupun secara tidak
langsung dengan antibodi sekunder berlabel enzim atau fluorescence (CCRC,
2009a).
36
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Sampai saat ini penyebab pasti dari kanker ovarium masih diperdebatkan,
namun beberapa faktor risiko yang dianggap mampu mengakibatkan terjadinya
kanker ovarium, antara lain: faktor genetik, umur, kehamilan, penggunaan obat
kontrasepsi hormonal, terapi hormon pengganti pada masa menopause, Indek
Massa Tubuh (IMT) dan riwayat adanya keluarga dengan kanker ovarium,
mamae, dan kolon.
Berbagai kelainan genetik diduga berperan dalam menentukan terjadinya
kanker ovarium. Beberapa gen dan ekspresi protein gen yang mengalami kelainan
dan terlibat dalam karsinogenesis terjadinya kanker ovarium telah diketahui.
Kelainan pada gen dan ekspresi protein gen tersebut dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu onkogen yang memicu pertumbuhan, inaktivasi gen supresor tumor dan
perubahan gen apoptosis.
Pertama adalah onkogen, beberapa gen yang termasuk dalam kelompok ini
diantaranya adalah gen HER2-neu, RAS, MYC, dan CDK1. Onkogen merupakan
suatu kelainan pada gen yang mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivasi
pertumbuhan dan atau pembelahan seluler, sehingga akan mengarahkan sel pada
pertumbuhan yang tidak terkendali.
Kedua adalah inaktivasi gen supresor tumor. Gen-gen yang termasuk dalam
kelompok ini meliputi BRCA1, BRCA2 dan P53. Adanya inaktivasi pada BRCA1
36
37
dan BRCA2 mengakibatkan terjadinya gangguan penyembuhan kerusakan sel
atau DNA. P53 yang mengalami inaktivasi, misalnya pada sel yang mengalami
mutasi atau kehilangan gen P53, maka ekspresi p53 tidak terjadi atau terjadi
ekspresi p53 namun tidak dapat mengaktivasi proses transkripsi pada beberapa
gen target seperti gen inhibitor kinase dipendent-cyclin CDKN1A (P21) dan
GADD45. Kegagalan ekspresi p21 mengakibatkan siklus sel tidak dapat berhenti
pada akhir fase G1 dan ekspresi GADD45 mengakibatkan tidak terjadinya
perbaikan DNA. Keberadaan onkogen dan inaktivasi gen supresor tumor
selanjutnya akan mengakibatkan proliferasi sel menjadi tidak terkontol.
Ketiga, perubahan pada gen pengatur apoptosis, terutama diperankan oleh
BAX dan BCL2. Pada perubahan fungsi proapoptosis dari gen BAX, di mana
tidak terjadi aktivasi BAX akan mengakibatkan sel tidak mampu mengalami
proses apoptosis. Perubahan fungsi anti apoptosis gen BCL2, justru akan
memperberat ketidakmampuan sel untuk mengalami proses apoptosis.
Pada akhirnya, proliferasi sel yang tidak terkendali dan kegagalan proses
apoptosis akan berdampak pada terfiksasinya mutasi pada sel yang membelah,
khususnya DNA sehingga mengarahkan sel menuju proses transformasi ganas,
salah satunya adalah kanker ovarium.
38
3.2 Konsep Penelitian
Secara skematis konsep penelitian diperlihatkan pada gambar 3.1.
Genetik
Onkogen
HER2-neu,
RAS, MYC,
CDK1
↑Aktivasi
pertumbuhan
Inaktivasi gen
supresor tumor
Perubahan
gen apoptosis
BRCA1
BRCA2
P53
BCL2
BAX
(-) DNA
repair
(GADD45)
(-) cycle cell
arrest (P21)
Inhibisi
apoptosis↑
Proliferasi sel
tidak terkontrol
- Umur
- Paritas
- Indek Massa Tubuh
(IMT)
- Riwayat kontrasepsi
hormonal
- Riwayat terapi
hormonal pada
masa menopause
- Riwayat keluarga
kanker ovarium,
mamae dan kolon
Penurunan
apoptosis
Kanker Ovarium
Stadium Kanker Ovarium
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah:
Ada hubungan antara ekspresi protein 53 (p53) dengan stadium kanker ovarium.
39
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik (cross-sectional).
Secara sistematik penelitian dapat digambarkan sebagai berikut.
p53 (+)
Stadium I
p53 (-)
p53 (+)
Stadium II
p53 (-)
Kanker Ovarium
p53 (+)
Stadium III
p53 (-)
p53 (+)
Stadium IV
p53 (-)
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
39
40
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan,
Patologi Anatomi dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah,
Denpasar. Waktu Penelitian dilaksanakan mulai Juli 2011 sampai Juli 2013.
4.3 Populasi Penelitian
Populasi target penelitian adalah pasien kanker ovarium yang berobat ke
RSUP Sanglah. Populasi tarjangkau penelitian adalah pasien kanker ovarium yang
telah menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013, di
mana jaringan hasil pembedahannya tersebut telah dibuat blok parafin di Bagian
Patologi Anatomi RSUP Sanglah.
4.4 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah pasien kanker ovarium yang telah menjalani
pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013, di mana jaringan
hasil pembedahannya tersebut telah dibuat blok parafin di Bagian Patologi
Anatomi RSUP Sanglah serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.1 Kriteria inklusi
Kriteria inklusi penelitian adalah:
a. Blok parafin telah diperiksa secara histopatologis, sehingga telah terdiagnosis
pasti kanker ovarium.
b. Data rekam medis yang lengkap, meliputi: stadium kanker ovarium, umur,
paritas, Indek Massa Tubuh (IMT), riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat
terapi hormonal pada masa menopause, riwayat keluarga kanker ovarium,
mamae, dan kolon.
41
4.4.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi penelitian adalah:
a. Pasien pernah menjalani kemoterapi sebelum pembedahan (neoadjuvant).
b. Blok parafin rusak sehingga tidak dapat digunakan atau dianalisis.
c. Data rekam medis pasien kanker ovarium tidak ditemukan atau tidak lengkap.
4.4.3 Perhitungan besar sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut (Araoye, 2003):
Zα 2 (pq)
n=
……..……………………………………………………….......(1)
d
2
Keterangan:
n
= besar sampel
Zα
= 1,96 (α = 0,05)
p
= 11,9% (prevalensi dari stadium kanker ovarium di populasi)
q
= 88,1% (1-p)
d
= 10% (penyimpangan absolut penelitian)
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh
besar sampel penelitian adalah 43,8 buah. Sehingga dalam penelitian ini diambil
sampel penelitian sebanyak 44 buah blok parafin.
4.4.4 Cara pengambilan sampel
Blok parafin dari pasien kanker ovarium yang telah menjalani pembedahan di
RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013 serta telah memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi, kemudian dipilih dengan cara random sampling sebanyak 44 buah.
42
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Identifikasi variabel
Identifikasi variabel adalah sebagai berikut:
4.5.1.1 Variabel bebas
: stadium kanker ovarium
4.5.1.2 Variabel tergantung
: protein 53 (p53)
4.5.1.3 Variabel terkontrol
: umur, paritas, Indek Massa Tubuh (IMT), riwayat
kontrasepsi hormonal, riwayat terapi hormonal
pada masa menopause, riwayat keluarga kanker
ovarium, mamae, dan kolon.
4.5.2 Definisi operasional variabel
Adapun definisi operasional variabel penelitian adalah sebagai berikut:
a. Protein 53 (p53) adalah suatu polipeptida yang diekspresikan atau dikode oleh
gen P53 yang dinilai secara imunohistokimia menggunakan antibodi
monoklonal p53 Labvision, secara semikuantitatif, diantara 200 epitel ganas,
diamati dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus dengan
pembesaran 400 kali. Penghitungan dilakukan pada sepuluh lapangan pandang
dimulai dari bagian tumor dengan ekspresi p53 terkuat ke bagian yang lebih
lemah. Pemeriksaan imunohistokimia p53 dikerjakan di Bagian Patologi
Anatomi RSUP Sanglah. Interpretasi p53 dilakukan tanpa mengetahui data
klinikopatologi pasien. Sel yang mengekspresikan p53 akan tampak berwarna
coklat pada membran sel. Penilaian ekspresi p53 ditentukan berdasarkan
analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaan, yang
kemudian diberikan skor 0, 1+, 2+, dan 3+ (Rosai, 2004). Kemudian dari skor
43
tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu ekspresi p53 dikatakan (+) apabila
skor 1+, 2+, atau 3+. Ekspresi p53 dikatakan (-) apabila skor 0, (Yamashita,
2004).
b. Stadium kanker ovarium adalah derajat beratnya kanker ovarium menurut
International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) yang
diperoleh berdasarkan evaluasi pembedahan terhadap tumor ovarium primer
dan penyebarannya, yang terdiri dari stadium I, II, III, dan IV. Stadium kanker
ovarium diperoleh dari data atau rekam medis pasien.
c. Umur adalah usia pasien dalam tahun yang diperoleh dari rekam medis pasien.
d. Paritas adalah jumlah janin viabel yang dilahirkan, diperoleh dari rekam medis
pasien.
e. Indek Massa Tubuh (IMT) adalah indek antopometri yang dihitung dengan
menggunakan parameter berat badan dan tinggi badan, yaitu barat badan
(dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan (dalam meter).
Barat badan dan tinggi badan diperoleh dari catatan rekam medis. Kemudian
hasil perhitungan tersebut dimasukkan dalam kelompok berdasarkan kategori
IMT menurut Departemen kesehatan (Depkes) tahun 1994, dapat dilihat pada
tabel 4.1 (Supariasa, 2001).
Tabel 4.1
Kategori Indek Massa Tubuh (IMT) untuk Indonesia
Kategori
IMT (kg/m2)
Kurang berat badan berat
< 17,0
Kurang berat badan ringan
17,0 – 18,5
Normal
> 18,5 – 25,0
Kelebihan berat badan ringan
> 25,0 – 27,0
Kelebihan berat badan berat
> 27,0
(Supariasa, 2001)
44
f. Riwayat kontrasepsi hormonal adalah alat atau metode kontrasepsi hormonal
yang pernah dipergunakan, yang diperoleh dari rekam medis pasien.
g. Riwayat terapi hormonal pada masa menopause adalah penggunaan obat
hormonal setelah pasien tidak mengalami menstruasi selama satu tahun, yang
diperoleh dari rekam medis pasien.
h. Riwayat keluarga kanker ovarium, mamae dan kolon adalah adanya keluarga
pasien yang sebelumnnya atau sedang menderita kanker ovarium, mamae dan
kolon yang diperoleh dari rekam medis pasien.
4.6 Alur Penelitian
Blok parafin kanker ovarium di Bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah dari
pasien kanker ovarium yang menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun
2008 sampai 2013. Blok parafin tersebut telah diperiksa secara histopatologi di
Bagian Patologi Anatomi dan terdiagnosis pasti kanker ovarium. Blok parafin
kanker ovarium selanjutnya harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
penelitian. Pada kriteria inklusi, blok parafin telah diperiksa secara histopatologis,
sehingga telah terdiagnosis pasti kanker ovarium di Bagian Patologi Anatomi
RSUP Sanglah. Selanjutnya blok parafin tersebut didata kelengkapan rekam
medisnya di Bagian Rekam Medis RSUP Sanglah. Kelengkapan yang dicari,
meliputi: stadium kanker ovarium, umur, paritas, Indek Massa Tubuh (IMT),
riwayat kontrasepsi hormonal, riwayat terapi hormonal pada masa menopause,
riwayat keluarga kanker ovarium, mamae dan kolon. Pada kriteria eksklusi, antara
lain: pasien pernah menjalani kemoterapi sebelum pembedahan (neoadjuvant),
45
blok parafin rusak sehingga tidak dapat digunakan atau dianalisis dan data rekam
medis pasien kanker ovarium tidak ditemukan atau tidak lengkap.
Blok parafin dari semua pasien kanker ovarium yang telah menjalani
pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2008 sampai 2013 serta telah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian dipilih dengan cara random sampling
sebanyak 44 buah. Sampel blok parafin ini dikelompokkan berdasarkan atas
stadium kanker ovarium yang diperoleh dari data rekam medis, yaitu: kanker
ovarium stadium I, II, III, dan IV. Kemudian masing-masing kelompok stadium
dilakukan pemeriksaan ekspresi p53 dengan teknik imunohistokimia peroksidase
anti-peroksidase memakai antibodi primer p53. Akhirnya, dilakukan analisis
terhadap hasil pemeriksaan ekspresi p53 pada masing-masing kelompok stadium
kanker ovarium. Secara sistematis alur penelitian ditunjukkan pada gambar 4.2.
46
Blok parafin pasien
kanker ovarium
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Random sampling
Sampel penelitian
Stadium I
Stadium III
Stadium II
Stadium IV
Ekspresi p53 (+)/(-)
Analisis
Gambar 4.2 Alur Penelitian
4.7 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan
4.7.1 Instrumen penelitian
Instrumen untuk alat-alat tulis yaitu meja tulis, formulir penelitian, komputer,
kertas dan alat tulis serta perlengkapan lainnya.
4.7.2 Metode pemeriksaan
Teknik pemeriksaan yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan pemeriksaan imunohistokimia.
Adapun langkah-langkah pemeriksaan imunohistokimia p53 adalah sebagai
berikut (CCRC, 2009b):
47
a. Potong jaringan empat mikrometer, kemudian ditempelkan pada gelas objek
yang sebelumnya telah dilapisi poly-L-lysine.
b. Inkubasi dalam oven dengan suhu 37°C selama satu malam.
c. Deparafinisasi dengan xylene sebanyak tiga kali, masing-masing tiga menit.
d. Rehidrasi preparat dengan menggunakan etanol 100%, etanol 95% dan etanol
70%, masing-masing selama dua menit, dua menit, satu menit dan terakhir
dengan air selama satu menit.
e. Rendam dalam peroxidase blocking solution pada suhu kamar selama sepuluh
menit.
f. Inkubasi preparat dalam prediluted blocking serum dengan suhu 25°C selama
sepuluh menit.
g. Rendam preparat di dalam antibodi monoklonal anti-p53 dengan suhu 25°C
selama sepuluh menit.
h. Cuci preparat dengan Phospate Buffer Saline (PBS) selama lima menit.
i. Inkubasi preparat dengan antibodi sekunder dengan suhu 25°C selama sepuluh
menit.
j. Cuci preparat dengan PBS selama lima menit.
k. Inkubasi preparat dengan peroksidase dalam suhu 25°C selama sepuluh menit.
l. Cuci preparat dengan PBS selama lima menit.
m. Inkubasi preparat dengan kromogen Diaminobenzinidine (DAB) dengan suhu
25°C selama sepuluh menit.
n. Inkubasi preparat dengan Hematoxylin Eosin selama tiga menit.
o. Cuci preparat dengan air mengalir.
48
p. Bersihkan preparat dan tetesi dengan mounting media.
q. Tutup preparat dengan coverslip.
Kemudian setelah dilakukan pengecatan imunohistokimia p53 atau dipulas
dengan antibodi monoklonal p53, selanjutnya sediaan dilakukan interpretasi
sebagai berikut (Rosai, 2004):
a. Interpretasi p53 dilakukan tanpa mengetahui data klinis dan patologik dari
setiap kasus.
b. Perhitungan ekspresi p53 dilakukan secara semikuantitatif. Pertama, dilakukan
penghitungan persentase sel ganas yang tercatat positif di antara 200 sel ganas,
menggunakan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus dengan pembesaran
400 kali.
c. Pewarnaan yang dinyatakan positif hanya membran sel yang berwarna coklat.
Intensitas pewarnaan dievaluasi secara objektif yaitu lemah, sedang dan kuat.
i. Skor diperoleh berdasarkan kombinasi antara persentase sel yang terpulas dan
intensitas pewarnaannya, dengan rentang skor 0, 1+, 2+, 3+ (tabel 4.2).
Kemudian dari skor tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu ekspresi p53
dikatakan (+) apabila skor 1+, 2+, atau 3+. Ekspresi p53 dikatakan (-) apabila
skor 0, (Yamashita, 2004).
49
Tabel 4.2
Interpretasi Pulasan Imunohistokimia p53
Pola Pulasan
Tidak ada sel terpulas atau terpulas kurang 10%
Skor
0
Terpulas lebih dari 10% sel, intensitas pulasan lemah, membran sel
terpulas hanya sebagian.
1+
Terpulas lebih dari 10% sel, intensitas pulasan lemah sampai sedang,
Membran sel terpulas komplit.
2+
Terpulas lebih dari 10% sel, intensitas kuat dan komplit
(Rosai, 2004)
3+
4.8 Pengumpulan dan Analisis Data
4.8.1 Pengumpulan data
Data hasil penelitian yang diperoleh dari Bagian Obstetri dan Ginekologi,
Patologi Anatomi dan Rekam Medis RSUP Sanglah dikumpulkan dan
dimasukkan ke dalam formulir penelitian (terlampir).
4.8.2 Analisis data
Data pada formulir penelitian kanker ovarium diolah dengan menggunakan
SPSS 17,0 for windows. Kemudian dilakukan beberapa tes atau uji, antara lain:
a. Karakteristik sampel disajikan secara deskriptif, dengan menggunakan tabel
dan narasi.
b. Uji One Sample Kolmogorov-Smirnov untuk normalitas data dan Levene’s
Test untuk homogenitas data.
c. Uji Korelasi dengan menggunakan Uji Spearman.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Selama periode penelitian, sebanyak 44 sampel blok parafin dijadikan sampel
penelitian yang dilaksanakan di Bagian Obstetri dan Ginekologi, Patologi
Anatomi dan Rekam Medis RSUP Sanglah.
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan uji normalitas data dengan uji kolmogorovsmirnov dan uji homogenitas data dengan Levene’s Test terhadap variabel umur,
Indek Massa Tubuh (IMT), paritas dan riwayat kontrasepsi hormonal. Hasil
analisis menunjukkan bahwa data pada variabel umur, IMT, paritas, dan riwayat
kontrasepsi hormonal berdistribusi normal (p>0,05) dan homogen (p>0,05),
sedangkan untuk membandingkan nilai rerata masing-masing variabel digunakan
uji One Way Anova.
Tabel 5.1
Distribusi Umur, IMT, Paritas, dan Riwayat Kontrasepsi Hormonal pada
Kelompok Stadium Kanker Ovarium
Variabel
Stadium Kanker Ovarium
I
(n=7)
rerata±2SD
II
(n=9)
rerata±2SD
III
(n=21)
rerata±2SD
IV
(n=7)
rerata±2SD
p
40,86±5,24
43,56±12,70
45,57± 9,77
57,86±8,78
0,814
19,9±1,51
25,15±4,04
21,76±4,95
21,38±3,75
0,304
Paritas
1,57±0,78
1,33 ±0,70
2,00±1,30
2,43±0,97
0,057
Kontrasepsi
hormonal
1,71±0,48
1,78±0,44
1,90±0,30
1,71±0,48
0,562
Umur
(tahun)
IMT
(kg/m2)
50
51
Pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa antar kelompok stadium kanker ovarium
tidak memiliki perbedaaan pada variabel umur, IMT, paritas, dan riwayat
kontrasepsi hormonal dengan nilai p>0,05. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji
normalitas dan homogenitas data terhadap variabel riwayat terapi hormonal pada
masa menopause dan riwayat keluarga kanker ovarium, mamae, kolon oleh karena
seluruh sampel penelitian memperoleh data yang sama.
5.2 Hubungan antara Ekspresi p53 dengan Stadium Kanker Ovarium
Penilaian terhadap hubungan antara ekspresi p53 dengan stadium kanker
ovarium dilakukan analisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil
analisis tersebut disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Hubungan antara Ekspresi p53 dengan Stadium Kanker Ovarium
Variabel
Stadium Kanker Ovarium
I
(n=7)
II
(n=9)
III
(n=21)
IV
(n=7)
r
p
(+)
0
2
5
1
-0,099
0,522
(-)
7
7
16
6
Ekspresi p53
Pada Tabel 5.2 menunjukkan bahwa Ekspresi p53 pada stadium I tidak ada
yang positif, stadium II sebanyak 2 sampel, stadium III sebanyak 5 sampel, dan
stadium IV sebanyak 1 sampel. Penilaian terhadap hubungan antara ekspresi p53
dengan stadium kanker ovarium dilakukan dengan menggunakan uji korelasi
Spearman, di mana diperoleh tidak terdapat hubungan antara ekspresi p53 dengan
stadium kanker ovarium (p>0,05).
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Pada penelitian ini rerata umur pada kelompok stadium kanker ovarium
stadium I adalah 40,86 ± 5,24 tahun, stadium II adalah 43,56 ± 12,70 tahun,
stadium III adalah 45,57 ± 9,77 tahun dan stadium IV adalah 57,86 ± 8,78.
Penelitian ini sesuai dengan angka kejadian kanker ovarium pada umumnya di
mana cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, terutama pada
umur di atas 50 tahun.
Sebanyak 80% dari kejadian kanker ovarium ditemukan pada umur wanita
lebih dari 45 tahun, namun pada beberapa kasus kanker ovarium juga dapat
ditemukan pada umur yang relatif lebih muda daripada kanker pada wanita
lainnya, yaitu antara umur 20 sampai 30 tahun (Fauzan, 2009). Penelitian di
Amerika Serikat pada tahun 2001 memperoleh hasil yang sama, di mana risiko
terjadinya kanker ovarium kurang dari 3 kasus per 100.000 wanita pada umur di
bawah 30 tahun, namun cenderung meningkat seiring dengan peningkatan umur
dan menjadi 54 kasus per 100.000 wanita pada umur 75 sampai 80 tahun.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Rauf dan Masadah (2009) di mana
diperoleh rerata umur penderita kanker ovarium adalah 55 tahun. Penelitian yang
dilakukan oleh Faizal (2011) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makasar
memperoleh hasil yang serupa di mana kelompok umur yang paling banyak
menderita kanker ovarium adalah kelompok umur 41 sampai 50 tahun yaitu
52
53
sebanyak 62,7% dan paling sedikit adalah 31 sampai 40 tahun yaitu sebanyak
10,8%.
Hal tersebut sesuai dengan salah satu mekanisme terjadinya kanker ovarium
yaitu berdasarkan pada teori Incessant ovulation. Teori Incessant ovulation ini
beranggapan bahwa adanya trauma berulang pada ovarium selama proses ovulasi,
mengakibatkan epitel ovarium mudah terpajan atau terpapar oleh berbagai faktor
risiko sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelainan atau abnormalitas
genetik. Adanya ovulasi dan semakin bertambahnya umur seorang wanita dapat
menyebabkan terperangkapnya fragmen epitel permukaan ovarium pada cleft atau
invaginasi pada permukaan dan badan inklusi pada kortek ovarium. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi
metaplasia dan neoplasma pada daerah-daerah ovarium yang mengalami
invaginasi dan terbentuknya badan inklusi (Choi, 2007).
Pada penelitian ini diperoleh rerata Indek Massa Tubuh (IMT) dalam rentang
normal, hanya pada stadium II yang memiliki rerata IMT yang termasuk dalam
kelompok berat badan berlebih. Rerata IMT pada masing-masing kelompok
kanker ovarium stadium I adalah 19,9 ± 1,51 kg/m2, stadium II adalah 25,15 ±
4,04 kg/m2, stadium III adalah 21,76 ± 4,95 kg/m2, dan stadium IV adalah 21,38 ±
3,75 kg/m2. Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan IMT dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Reeves, 2007). Penelitian yang
dilakukan oleh Anders (2003) memperoleh hasil bahwa risiko relatif terjadinya
kanker ovarium memiliki kecenderungan meningkat sesuai dengan peningkatan
IMT. Pada IMT kurang dari 18,5 kg/m2 memiliki risiko sebesar 1,09, IMT antara
54
18,5 sampai 24,9 kg/m2 memiliki risiko sebesar 1,00, IMT antara 25,0 sampai
29,9 kg/m2 memilki risiko sebesar 1.43, dan IMT lebih dari 30,0 kg/m2 memiliki
risiko sebesar 1,56 untuk menderita kanker ovarium. Penelitian yang dilakukan
oleh European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition tahun 2006
memperoleh hasil bahwa pada wanita dengan IMT di atas 30 kg/m2 atau obesitas
memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya kanker ovarium dibandingkan
dengan wanita dengan IMT normal. Penelitian yang berbeda memperoleh hasil
bahwa peningkatan IMT pada wanita premenopause meningkatkan risiko
terjadinya kanker ovarium dengan risiko relatif sebesar 1,72 (Schouten, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Lahmann (2009) juga memperoleh hasil di mana
risiko terjadinya kanker ovarium pada wanita obesitas dengan IMT lebih dari 30
kg/m2 sebesar 1,26 lebih besar dibandingkan dengan IMT normal. Penelitian yang
dilakukan oleh Faizal (2011) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makasar
memperoleh hasil di mana pada IMT yang lebih dari 30 kg/m2 memiliki risiko
2,03 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang memiliki IMT yang
kurang dari 30 kg/m2.
Obesitas menyebabkan kadar estrogen dalam tubuh juga meningkat serta
beberapa zat lemak dapat menghasilkan estrogen yang pada umumnya berbentuk
estrion dan estradiol. Mekanisme perubahan dari zat lemak atau kolesterol dapat
dijelaskan melalui biosintesis hormonal, di mana semua hormon steroid termasuk
estrogen berasal dari kolesterol. Cadangan lemak di dalam tubuh memainkan
peranan yang penting sebagai bahan untuk memproduksi hormon, khususnya
hormon estrogen. Pada kondisi di mana cadangan lemak yang tinggi, yang dinilai
55
melalui IMT yang tinggi dapat mengakibatkan peningkatan kadar estrogen di
dalam darah. Peningkatan kadar estrogen tersebut mengakibatkan aktivasi jalur
Phosphatidylinositol-3-kinase
(PI3K),
Mitogenic-Activated
Protein
Kinase
(MAPK), dan transkripsi Faktor c-myc melalui reseptor estrogen jalur lain seperti
Insulin-like growth factor-1 (IGF-1), Transforming growth factor- α (TGF-α), dan
Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR). Estrogen juga bekerja melalui jalur
anti-apoptosis yaitu BCL-2, yang merupakan suatu protein anti-apoptosis dan
meningkatkan kemampuan invasif sel melalui protein fibulin-1, cathepsin D, dan
kallikreins (Choi et al., 2001).
Berbagai penelitian telah mengemukakan bahwa Estrogen Reseptor-α (ER-α)
bertanggung jawab dalam proses proliferasi ovarium, sementara Estrogen
Reseptor-β (ER-β) bertanggung jawab dalam proses modulasi dan differensiasi
sel. Peningkatan perbandingan antara ER-α:ER-β rasio juga telah diamati pada
kanker ovarium. Peningkatan estrogen tersebut meningkatan suatu molekul
Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), meningkatan kemampuan adhesi
sel, dan meningkat kemampuan sel dalam melakukan migrasi. Pada akhirnya,
semua hal tersebut berdampak pada proliferasi abnormal pada sel yang membelah
sehingga sel akan masuk menuju proses menuju transformasi ganas dalam hal ini
adalah kanker ovarium (Capen et al., 2004).
Pada penelitian ini diperoleh rerata paritas adalah dua. Rerata paritas pada
kelompok kanker ovarium stadium I adalah 1,57 ± 0,78, stadium II adalah 1,33 ±
0,70, stadium III adalah 2,00 ± 1,30, dan stadium IV adalah 2,43 ± 0,97. Paritas
merupakan salah satu faktor risiko yang penting dalam menentukan terjadinya
56
kanker ovarium. Wanita yang sudah pernah hamil memiliki risiko mengalami
kanker ovarium sebesar 50% lebih rendah daripada wanita yang belum pernah
hamil atau nullipara. Bahkan, wanita yang telah beberapa kali hamil risiko
terjadinya kanker ovarium menjadi semakin berkurang (Czyz, 2008). Penelitian
yang dilakukan oleh Cancer Research United of Kingdom pada tahun 2006
menyimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah paritas maka semakin rendah
kemungkinan risiko terjadinya kanker ovarium. Pada wanita yang tidak memiliki
anak atau nullipara memiliki risiko dua kali lipat lebih besar untuk terjadinya
kanker ovarium daripada wanita dengan paritas tiga atau lebih (Granstrom, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Sriwidyani (2008) juga memperoleh 78,1 kasus
kanker ovarium adalah multiparitas, terutama adalah paritas dua. Penelitian yang
dilakukan oleh Faizal (2011) di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makasar
memperoleh hasil yang berbeda di mana kejadian kanker ovarium tidak memiliki
hubungan dengan tingkat paritas.
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup atau jumlah anak yang dimiliki oleh
seorang wanita. Pada saat terjadinya ovulasi akan terjadi kerusakan pada epitel
ovarium dan untuk proses perbaikan kerusakan ini maka diperlukan waktu
tertentu. Apabila kerusakan epitel ini terjadi berkali-kali terutama jika sebelum
penyembuhan sempurna tercapai, atau dengan kata lain waktu yang dibutuhkan
oleh sel untuk istirahat tidak cukup, maka proses perbaikan tersebut akan
mengalami gangguan sehingga dapat terjadi transformasi menjadi sel-sel
neoplastik. Hal tersebut menjelaskan bahwa wanita yang memiliki paritas lebih
dari dua akan menurunkan risiko terjadinya kanker ovarium.
57
Pada penelitian ini diperoleh bahwa sebagian besar sampel penelitian tidak
memiliki riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal baik pada kanker ovarium
stadium I, II, III, dan IV. Penelitian lainnya melaporkan bahwa penggunaan pil
kontrasepsi selama kurang lebih satu tahun dapat menurunkan risiko kejadian
kanker ovarium sebesar 11%, sedangkan apabila pemakaian mencapai lima tahun
maka risiko terjadinya kanker ovarium dapat semakin menurun, bahkan mencapai
50% (Fauzan, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Beral (2008) juga
memperoleh hasil bahwa penurunan risiko relatif terjadinya kanker ovarium
sesuai dengan lamanya pemakaian kontrasepsi oral, di mana pada wanita yang
memakai kontrasepsi oral selama kurang dari satu tahun memiliki risiko relatif 1
dan semakin menurun mencapai 0,42 pada pemakaian yang lebih dari lima belas
tahun. Setelah dilakukan analisis lanjutan terhadap jenis hormon pada obat
kontrasepsi, diperoleh bahwa hormon yang berperan dalam menurunkan risiko
terjadinya kanker ovarium tersebut adalah progesteron. Penggunaan obat yang
menggandung hormon estrogen saja khususnya pada wanita pascamenopause
justru meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium. Pada penggunaan
kombinasi progesteron dan estrogen atau progesteron saja akan menurunkan risiko
terjadinya kanker ovarium (Busman, 2008). Pada penelitian ini seluruh sampel
tidak memiliki riwayat terapi hormonal pada masa menopause dan riwayat
keluarga kanker ovarium, mamae, kolon.
58
6.2 Hubungan antara Ekspresi p53 dengan Stadium Kanker Ovarium
Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap 44
sampel blok parafin kanker ovarium. Sebanyak 8 dari 44 (18,18%) sampel blok
parafin yang didapatkan ekspresi p53 yang positif, di mana masing-masing 2 buah
pada stadium II, 5 buah pada stadium III, dan 1 buah pada stadium IV. Pada
stadium I tidak ditemukan satu pun sampel yang positif mengalami ekspresi p53.
Setelah dilakukan analisis statistik tidak diperoleh adanya hubungan antara
ekspresi p53 dengan stadium kanker ovarium dengan nilai p = 0,522 (p>0,05).
Penelitian ini memperoleh hasil yang serupa dengan penelitian yang dilakukan
oleh Marks (2006) di mana menyimpulkan bahwa ekspresi p53 positif tidak
berhubungan dengan stadium kanker ovarium dan derajat histopatologis, namun
sangat berhubungan dengan kejadian mutasi dari gen P53 itu sendiri. Penelitian
yang dilakukan oleh Psyarii dkk. (2007) juga menyimpulkan bahwa ekspresi p53
tidak berhubungan dengan stadium dan derajat differensiasi kanker ovarium.
Penelitian yang sama juga diperoleh oleh Marcus (2010) yang menyimpulkan
bahwa mutasi dari gen P53 lebih banyak ditemukan pada kanker ovarium stadium
dini dibandingkan dengan stadium lanjut dan ekspresi p53 tidak berhubungan
dengan derajat stadium kanker ovarium.
Penelitian ini memperoleh hasil yang berbeda dengan beberapa penelitian
lainnya yang menghubungkan antara ekspresi p53 dengan stadium kanker
ovarium. Penelitian yang dilakukan oleh Adiyanti (2007) yang bertujuan untuk
menilai hubungan antara ekspresi p53 dengan stadium kanker ovarium di Rumah
Sakit Sardjito, Yogyakarta. Penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa terdapat
59
hubungan yang signifikan antara p53 dengan stadium kanker ovarium. Penelitian
yang dilakukan oleh Rauf dan Masadah (2009) dari Universitas Hassanudin,
Makasar terhadap 41 pasien kanker ovarium. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi nilai prognostik ekspresi p53 terhadap kanker ovarium. Pada
penelitian tersebut diperoleh sebesar 58,5% sampel mengalami ekspresi p53
positif, di mana hasil positif terbanyak ditemukan pada kanker ovarium stadium
IV, kemudian diikuti dengan stadium III, II, dan I. Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Lobna (2010) memperoleh hasil bahwa sebanyak 42 (73,7%) dari
57 sampel mengalami ekspresi p53 positif. Adanya ekspresi p53 yang positif
tersebut memiliki hubungan dengan stadium kanker ovarium, khususnya pada
stadium lanjut.
Pada penelitian yang memperoleh hasil adanya hubungan antara ekspresi p53
dengan stadium kanker ovarium mengemukakan bahwa pada kanker ovarium di
mana sel normal ovarium telah kehilangan fungsi dari gen P53, ekspresi p53 tetap
terjadi bahkan cenderung mengalami ekspresi yang berlebih atau overekspresi.
Ekspresi p53 yang berlebih disebabkan oleh karena adanya mutasi dari gen P53.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa mayoritas mutasi terhadap P53
yang ditemukan dalam berbagai keganasan berupa missense mutation dan
sebagian besar terletak pada domain DNA binding inti. Ekspresi p53 yang berlebih
yang dihasilkan oleh gen yang mengalami mutasi tidak akan mampu berperan
dalam mengaktivasi proses transkripsi pada beberapa gen target seperti gen
inhibitor cyclin-dipendent kinase CDKN1A (P21) dan GADD45, sehingga tidak
terjadi aktivasi p21 yang mengakibatkan siklus sel tidak berhenti pada akhir fase
60
G1 dan tidak terjadi aktivasi GADD45, yang mengakibatkan perbaikan DNA
tidak terjadi (Syaifudin, 2007; Kumar dkk., 2010).
Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara ekspresi p53 dengan
stadium kanker ovarium, hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena jalur
karsinogenesis dari kanker ovarium yang bersifat multistep, kegagalan P53 pada
kondisi kanker ovarium, dan ekspresi p53 yang bersifat labil.
Kanker ovarium merupakan suatu keganasan ginekologi yang memiliki
patofisiologi penyakit yang bersifat multistep, di mana terdapat berbagai jalur
karsinogenesis yang diduga berperan penting dalam menentukan terjadinya
kanker ovarium. Selain jalur p53 yang merupakan suatu inaktivasi gen supresor
tumor yang dianalisis pada penelitian ini. Beberapa gen dan ekspresi protein gen
yang mengalami kelainan dan terlibat dalam jalur karsinogenesis terjadinya
kanker ovarium telah diketahui. Kelainan pada gen dan ekspresi protein gen
tersebut dapat dibagi menjadi empat, yaitu onkogen sebagai gen pemicu
pertumbuhan sel, inaktivasi gen supresor tumor, perubahan pada gen apoptosis,
dan kerusakan gen yang terlibat pada perbaikan DNA (Kumar dkk., 2010).
Pertama adalah onkogen, beberapa gen yang termasuk dalam kelompok ini
diantaranya adalah gen HER2-neu, RAS, MYC, dan CDK1. Onkogen merupakan
suatu kelainan pada gen yang mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivasi
pertumbuhan dan atau pembelahan seluler, sehingga akan mengarahkan sel pada
pertumbuhan yang tidak terkendali (Kumar dkk., 2010).
Kedua adalah inaktivasi gen supresor tumor. Gen-gen yang termasuk dalam
kelompok ini meliputi P53. Adanya inaktivasi pada P53, misalnya pada sel yang
61
mengalami mutasi atau kehilangan gen P53, maka ekspresi p53 tidak terjadi atau
terjadi ekspresi p53 namun tidak dapat mengaktivasi proses transkripsi pada
beberapa gen target seperti gen inhibitor kinase dipendent-cyclin CDKN1A (P21)
dan GADD45. Kegagalan ekspresi p21 mengakibatkan siklus sel tidak dapat
berhenti pada akhir fase G1 dan ekspresi GADD45 mengakibatkan tidak
terjadinya perbaikan DNA (Syaifudin, 2007). Ditambah lagi, adanya efek
proapoptosis yang dimiliki oleh p53 melalui peningkatan sintesis Bax, sehingga
pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan gen P53, maka tidak akan terjadi
aktivasi gen apoptosis BAX. Kegagalan aktivasi pada gen BAX mengakibatkan
sel tidak mengalami apoptosis. Keberadaan onkogen dan inaktivasi gen supresor
tumor selanjutnya akan mengakibatkan proliferasi sel menjadi tidak terkontol.
Ketiga, perubahan pada gen pengatur apoptosis, terutama diperankan oleh
BAX dan BCL2. Pada perubahan fungsi proapoptosis dari gen BAX, di mana
tidak terjadi aktivasi BAX akan mengakibatkan sel tidak mampu mengalami
proses apoptosis. Perubahan fungsi anti apoptosis gen BCL2, justru akan
memperberat ketidakmampuan sel untuk mengalami proses apoptosis (Kumar
dkk., 2010).
Keempat adalah adanya kerusakan pada gen yang memperbaiki DNA atau
DNA repair gen. Gen yang termasuk dalam kelompok ini berfungsi untuk
mencegah adanya penumpukan sel yang mengalami mutasi. Apabila terjadi
gangguan atau kerusakan pada jalur ini maka sel akan kehilangan kemampuannya
untuk mengidentifikasi dan memperbaiki gen yang mengalami kerusakan. Adapun
62
gen yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain adalah gen BRCA 1 dan
BRCA 2 (Kumar dkk., 2010).
Selain itu, pada sel yang telah berubah menjadi kanker, dalam hal ini adalah
kanker ovarium maka sel tersebut telah kehilangan fungsi dari gen P53, sehingga
sudah dapat dipastikan tidak terjadi ekspresi p53 yang berperan dalam
mengaktivasi proses transkripsi pada beberapa gen target seperti gen inhibitor
cyclin-dipendent kinase CDKN1A (P21) dan GADD45, sehingga tidak terjadi
aktivasi p21 yang mengakibatkan siklus sel tidak berhenti pada akhir fase G1 dan
tidak terjadi aktivasi GADD45, yang mengakibatkan perbaikan DNA tidak terjadi.
Pada sel yang mengalami mutasi atau kehilangan gen P53, juga tidak ditemukan
adanya aktivasi pada gen apoptosis yaitu BAX yang mengakibatkan sel gagal
mengalami apoptosis (Syaifudin, 2007; Kumar dkk., 2010).
Selain hal tersebut di atas, ekspresi p53 tidak berhubungan dengan stadium
kanker ovarium juga dapat disebabkan oleh karena p53 yang diekspresikan oleh
gen P53 merupakan protein antigen yang memiliki sifat cukup labil. Sifat yang
labil tersebut mengakibatkan protein ini agak sulit untuk ditangkap atau diikat
oleh antibodi pada pemeriksaan imunohistokimia, sehingga kecil kemungkinan
akan terjadi ikatan antara antigen dengan antibodi yang telah terlabel dengan
enzim atau fluorokrom. Pada akhirnya pemeriksaan imunohistokimia p53
cenderung memberikan hasil yang negatif (Fatchiyah, 2006).
63
6.3 Kelemahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan sampel berupa blok parafin dari jaringan pasien
kanker ovarium yang telah menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun
2008 sampai 2013. Pada saat operasi jaringan yang dikeluarkan dari tubuh
penderita harus langsung dilakukan fiksasi dengan menggunakan buffer formalin,
sebelum dilanjutkan dengan langkah-langkah proses pembuatan blok parafin.
Adapun tujuan fiksasi dengan menggunakan buffer formalin terkait dengan
keberadaan protein ekspresi gen, dalam hal ini adalah p53, bahwa buffer formalin
dapat mencegah kerusakan protein yang ada pada jaringan. Sehingga protein yang
ada pada jaringan tersebut akan selalu ada sepanjang waktu, baik secara kuantitas
maupun kualitas setelah diproses menjadi blok parafin.
Pada penelitian ini menggunakan sampel blok parafin dari jaringan pasien
kanker ovarium yang telah menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun
2008 sampai 2013. Setelah dilakukan kajian secara retrospektif di bagian Patologi
Anatomi RSUP Sanglah terkait dengan metode pembuatan blok parafin,
khususnya teknik fiksasi jaringan, diperoleh informasi bahwa pada sampel blok
parafin yang dibuat di bawah tahun 2012, fiksasi jaringan tidak dilakukan dengan
mengunakan buffer formalin melainkan dengan menggunakan fiksasi alkohol.
Penggunaan fiksasi alkohol tentunya akan menggakibatkan kerusakan protein
ekspresi gen yang ada pada jaringan, dalam hal ini adalah p53. Sehingga
walaupun langkah selanjutnya dalam pembuatan blok parafin telah dikerjakan
dengan benar, tetap saja ekspresi protein gen yang ada tidak dapat ditemukan
dalam kondisi yang sebenarnya. Hal ini yang mengakibatkan ekspresi p53 pada
64
saat pengecatan immunohistokimia dari blok parafin ditemukan negatif atau tidak
terjadi ekpsresi p53.
Pada penelitian ini jumlah sampel penelitian ditentukan berdasarkan data
Badan Registrasi Kanker pada tahun 2006, dimana angka kejadian kanker
ovarium di populasi sebesar 11,9%. Oleh karena penelitian ini menilai hubungan
antara ekspresi p53 dengan stadium kanker ovarium, maka jumlah sampel
penelitian seharusnya ditentukan berdasarkan atas jumlah sampel terbanyak yang
diperoleh dari angka prevalensi masing-masing kelompok stadium kanker
ovarium, bukan berdasarkan angka prevalensi dari kanker ovarium di populasi.
Penelitian ini menggunakan angka prevalensi dari kanker ovarium di populasi
sebagai patokan dalam menentukan jumlah sampel penelitian oleh karena belum
ditemukannya angka prevalensi dari masing-masing kelompok stadium kanker
ovarium di populasi.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Adapun simpulan pada penelitian ini adalah ekspresi p53 tidak berhubungan
dengan stadium kanker ovarium.
7.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, terdapat beberapa rekomendasi yang diajukan
oleh penulis, antara lain adalah:
1.
Oleh karena jalur karsinogenesis dari kanker ovarium yang bersifat multistep,
maka dalam rangka mendukung pengembangan ide pemanfaatan gen dan
ekspresi gen sebagai deteksi dini dalam diagnostik kanker ovarium,
diperlukan penelitian lanjutan guna menilai jalur karsinogenesis yang lain,
seperti pada jalur onkogen, perubahan gen apoptosis, dan gen yang terlibat
dalam perbaikan DNA.
2.
Akibat ekspresi p53 yang bersifat labil, maka diperlukan suatu protokol
standar untuk pemeriksaan imunohistokimia p53 mulai dari jaringan tersebut
dikeluarkan dari tubuh penderita sampai menjadi sediaan yang siap dilakukan
interpretasi dan teknik interpretasi sediaan imunohistokimia p53 tersebut.
65
66
DAFTAR PUSTAKA
Adiyanti,V.P. 2007. Hubungan antara ekspresi P53 dan BeL-2 serta indeks
apoptosis dengan stadium karsinoma ovarium di RS. Dr. Sardjito Yogyakarta.
(serial online), [cited 2010 Sep. 11]. Available from: URL:http://etd.ugm.ac.id/
index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&b
uku_id=43262&obyek_id=4
Anders, E., Tretli, S., Bjorge, T. 2003. Height, Body Mass Index, and Ovarian
Cancer: A Follow-Up of 1.1 Million Norwegian Women. (serial online), [cited
2012
Aug.
20].
Available
from:
URL:
http://jnci.oxfordjournals.org/content/95/16/1244.full.pdf
American Cancer Society. 2010. Cancer Facts and Figures 2010. (serial online),
[cited
2010
Aug.
10].
Available
from:
URL:
http://documents.cancer.org/acs/groups/cid/documents/
webcontent/003130pdf.pdf.
Araoye, M.O. 2003. Sample Size in: Research Methodology with Statistic for
Health and Social Sciences. Ilorin: Nathadex Publishers. P. 115-122.
Ari .2008. Karsinoma Ovarium: DETAK. (serial online), [cited 2010 Sep. 20].
Available from: URL: http://www.detak.org/aboutcancer.php?id=21&c_id=0.
Ayadi, L., Chaabouni, S., Khabir, A., Amouri, H. 2010. Correlation Between
Immunohistochemical Biomarkers Expression and Prognosis of Ovarian
carcinomas in Tunisian Patients. (serial online), [cited 2013 Sep. 28]. Available
from: URL: http://www.wjon.org/index.php/wjon/article/view/213/144.
Badan Registrasi Kanker. 2006. Kanker di Indonesia Tahun 2006 Data
Histopatologik. Jakarta: Yayasan Kanker Indonesia.
Bai, L. & Zhu, G. 2006. p53: Structure, Function and Therapeutic Applications.
(serial online), [cited 2010 Aug. 19]. Available from : URL: http://mupnet.com/
JOCM%202(4)%20141-153.pdf.
Beral, V. 2007. Ovarian Cancer and Hormone Replacement Therapy in The
Million Women Study. (serial online), [cited 2010 Aug. 28]. Available from: URL:
http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(07)605340/fulltext.
Beral, V. 2008. Ovarian Cancer and Oral Contraceptives: Collaborative
Reanalysis of Data from 45 Epidemiological Studies Including 23,257 Women
with Ovarian Cancer and 87,303 Controls. (serial online), [cited 2010 Aug. 29].
67
Available from: URL: http://www.cancernewsincontext.org/2010/03/oralcontraceptives-reduce-cancer.html.
Berek, J.S. & Natarajan, S. 2007. Ovarian and Fallopian Tube Cancer. In: Berek,
J.S., editor. Berek & Novak’s Gynecology. 14th. Ed. Philadhelpia: Lippincott
William & Wilkins. p. 1457-1548.
Busman, B. 2008. Kanker Ovarium, dalam: Aziz, M.F., Andriono, Siafuddin,
A.B, editors. Buku Acuan Nasional Onkologi dan Ginekologi. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi Universitas
Gajah Mada (UGM). 2009a. Prosedur Tetap Pengamatan Ekspresi Protein
dengan Metode Imunohistokimia. (serial online), [cited 2010 Oct. 1]. Available
from: URL: http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2009/02/03012imunositokimia.pdf.
Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi Universitas
Gajah Mada (UGM). 2009b. Prosedur Tetap Pengecatan Imunohistokimia p53.
(serial
online),
[cited
2010
Oct.
1].
Available
from: URL:
http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sop-ihc-p53-laras.pdf.
Chen, S., Parmigiani, G. 2007. Meta-analysis of BRCA1 and BRCA2 Penetrance.
(serial online), [cited 2010 Sep. 12]. Available from: URL:
http://jco.ascopubs.org/content/25/11/1329.full.pdf.
Choi, J.H., Wong, A.S.T., Huang, H.F., Leung, P.C. 2007. Gonadotropins and
Ovarian Cancer. Endocrine Reviews. 28 (4): 440-461.
Colditz, G.A. 2004. Handbook of Cancer Risk Assesment and Prevention. (serial
online),
[cited
2010
Aug.
18).
Available
from:
URL:
http://riskfactor.cancer.gov/cancer_risk_prediction/workshop/JNCI_Workshop_C
ommentary.pdf.
Capen, C. 2004. Mechanisms of Hormone-Mediated Carcinogenesis of The
Ovary. (serial online), [cited 2013 Aug. 13). Available from: URL:
http://tpx.sagepub.com/content/32/2_suppl/1
Czyz, A.H. 2008. Ovarian Cancer- Risk factors: Imaginis. (serial online), [cited
2010 Sep. 19]. Available from: URL
http://www.imaginis.com/ovariancancer/ovarian-cancer-risk-factors-1.
Fatchiyah. 2006. Imunohistokimia. [Kuliah] Universitas Brawijaya, 24 November.
Faizal, A. 2011. “Faktor Risiko Kanker Ovarium di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Makassar” (tesis). Makassar: Universitas Hasanuddin.
68
Fauzan, R. 2009. “Gambaran faktor penggunaan kontrasepsi terhadap angka
kejadian kanker ovarium di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
berdasarkan pemeriksaan histopatologik tahun 2003-2007” (tesis). Jakarta:
Universitas Indonesia.
Granstrom, C. 2008. Population Attributable Fractions for Ovarian Cancer in
Swedish Women by Morphological Type. (serial online), [cited 2010 Oct. 21].
Available from: URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2359681/.
Havrilesky, L., Darcy, K.M., Hamdan, H., Priore, R.L., Leon, J., Bell, J.,
Berchuck, A. 2002. Prognostic Significance of P53 Mutatuin and p53
Overexpression in Advanced Epithelial Ovarian Cancer: A Gynecologic
Oncology Group Study. (serial online), [cited 2010 Oct. 12]. Available from:
URL: http://jco.ascopubs.org/content/21/20/3814.full.pdf+html.
Hogdall, E.V.S., Christensen, L., Kjaer, S.K. 2007. CA125 Expression Pattern,
Prognosis and Correlation with Serum CA125 in Ovarian Tumor Patients. From
The Danish “MALOVA” Ovarian Cancer Study. (serial online),
[cited
2010
Aug.
21].
Available
from:
URL:
http://info.cancerresearchuk.org/cancerstats/types/ovary/ riskfactors/.
Karst, A.M. & Drakin, R. 2009. Ovarian Cancer Pathogenesis: A Model in
Evolution. (serial online), [cited 2010 Aug. 4]. Available from: URL:
http://www.hindawi.com/journals/jo/2010/932371.html.
Karyana, K. 2005. “Profil Kanker Ovarium di Rumah Sakit Sanglah Denpasar
periode Januari 2002 sampai Desember 2004” (tesis). Denpasar: Universitas
Udayana.
Kumar, V., Kabbas, A., Fausto, N. 2010. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease 8th ed. (serial online), [cited 2010 Aug. 18]. Available from: URL:
http://www.microsoft.com/isapi/redir.dll?prd=ie&pver=6&ar=msnhome.
Lahmann, P.H. 2009. Anthropometric Measures and Epithelial Ovarian Cancer
Risk in The European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition. (serial
online),
[cited
2010
Sep.
18].
Available
from:
URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19821492.
Marks, J.R. Davidoff, A.M., Kerns, B.J., Humphrey, P.A., Pence, J.C. Dodge,
R.K. 2006. Overexpression and Mutation of p53 in Epithelial Ovarian Cancer.
(serial online), [cited 2013
Sep. 11]. Available from: http://cancerres.
aacrjournals.org/content/51/11/2979.full.pdf
69
Marcus, Q.B., Baba, T., Lee, P.S., Barnet, J.C. 2010. Expression signatures of
TP53 mutations in serous ovarian cancers. (serial online), [cited 2013 Aug. 16].
Available from: URL: http://www.biomedcentral.com/1471-2407/10/237
Nagell, V., DePriest, P.D., Ueland, F.R. 2007. Ovarian Cancer Screening with
Annual Transvaginal Sonography: Findings of 25,000 Women Screened. (serial
online),
[cited
2010
Aug.
26].
Available
from:
URL:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ cncr.22594/pdf.
Parveen, Z., Qureshi, A.N., Akbar, M., Zafar, A., Subhani, A. 2009. Palliative
Surgery for Intestinal Obstruction Due to Recurrent Ovarian Cancer. (serial
online),
[cited
2010
Sep.
14].
Available
from:
URL:
http://info.cancerresearchuk.org/cancerstats/ types/ovary/riskfactors/
Psyrri, A., Kountourakis, P., Yu, Z., Papadimitriou, C., Markakis, S., Camp, R.L.,
Economopoulos, T., Dimopoulos, M.A. 2007.
Analysis of p53
protein
expression
levels
on
ovarian
cancer
tissue
microarray automated
quantitative
analysis elucidates
prognostic
patient subsets. (serial online),
[cited 2010 Sep. 14]. Available from:
URL: http://annonc.oxfordjournals.org/content/18/4/709.full.pdf+html.
Rauf, S., Masadah, R. 2009. The Prognostic Value of The p53 Expression and
Mutation in Ovarian Cancer. Medical Journal of Indonesia. 18 (2): 81-90.
Reeves, G.K. 2007. Cancer Incidence and Mortality in Relation to Body
Mass Index in The Million Women Study: Cohort Study. (serial online),
[Accessed:
2010
Aug.
5].
Available
from:
URL:
http://www.bmj.com/content/335/7630/1134.abstract.
Rosai, J. 2004. Breast. In Rosai and Ackerman’s Surgical Paathology. 9th ed.
Edinburg: Mosby. p. 1763-1876.
Schouten, L.J. 2008. Height, Body Mass index, and Ovarian Cancer: a Pooled
Analysis of 12 Cohort Studies. (serial online), [cited 2010 Sep. 10]. Available
from: URL: http://info.cancerresearchuk.org/cancerstats/types/ovary/riskfactors/.
Supariasa, I.D.N. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Sriwidyani. 2008. “Korelasi Ekspresi HER-2/neu dengan Tipe Histologik dan
Derajat Diferensiasi Karsinoma Ovarium” (tesis). Denpasar: Universitas
Udayana.
Syaifudin, M. 2007. Gen Penekan Tumor p53, Kanker dan Radiasi Pengion.
(serial online), [cited 2010 Aug. 20]. Available from : URL:
http://www.batan.go.id/ptkmr/Biomedika/Publikasi%202007/MS_BAlara_Vol_8_
3_Apr07.pdf.
70
Yamashita. 2004. P53 and BCL-2 Scoring Breast Cancer Res.6. p. 24-30.
Zhou, B. 2008. Hormone Replacement Therapy and Ovarian Cancer Risk: a
Meta-analysis. (serial online), [cited 2010 Sep. 11]. Available from: URL:
http://info. cancerresearchuk.org/cancerstats/types/ovary/riskfactors/.
71
Lampiran 1. Formulir Penelitian
PENELITIAN
HUBUNGAN POSITIF ANTARA PROTEIN 53 (p53)
DENGAN STADIUM KANKER OVARIUM
A IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Alamat
Nomor Parafin Blok
Nomor Rekam Medis
B DATA KLINIS
Jumlah Paritas
Stadium Kanker Ovarium
IMT (BB/(TB)2)
Riwayat Kontrasepsi Hormonal
Riwayat Terapi Hormonal
Riwayat Keluarga Kanker Ovarium, Mamae dan Kolon
C PEMERIKSAAN IMUNOHISTOKIMIA p53
Skor
72
Lampiran 2. Data Penelitian
No
Nama pasien
CM
Umur
Std
intensitas
%
hasil
Paritas
rwy
kel
mnp
IMT
KB
HOR
No Parafin
1
Suati ni wayan
01.44.62.10
50
IIIC
negatif
0
-
2
tidak
ya
18.9
tidak
tidak
245/pp/2011
2
Suriani ni nengah
01.44.94.40
34
IC
negatif
0
-
2
tidak
tidak
18.3
ya
tidak
385/PP/2011
3
Mawe Ni wayan
01.45.18.86
48
IA
negatif
0
-
unmarried
tidak
tidak
21.2
tidak
tidak
442/pp/2011
4
Gandri ni made
01.45.44.57
59
IIIC
negatif
0
-
3
tidak
ya
22.0
tidak
tidak
554/pp/2011
5
Nuryani
00.44.13.72
49
IIIC
negatif
0
-
3
tidak
ya
21.6
ya
tidak
668/pp/2011
6
Yuli armini ketut
01.46.84.91
30
IIB
negatif
0
-
1
tidak
tidak
26.8
ya
tidak
1151/pp/2011
7
rumiati
01.46.67.88
40
IIIC
negatif
0
-
unmarried
tidak
tidak
29.6
tidak
tidak
1246/pp/2011
8
Sabin ni made
01.44.95.40
64
IV
negatif
0
-
3
tidak
ya
17.3
tidak
tidak
1306/pp/2011
9
Sri suartini
01.46.61.79
44
IC
negatif
0
-
2
tidak
tidak
20.0
tidak
tidak
1391/pp/2011
10
Luh witi
01.47.05.36
60
IV
negatif
0
-
3
tidak
ya
22.8
ya
tidak
1460/pp/2011
11
Sari wiyani
01.38.48.90
48
III
negatif
0
-
2
tidak
tidak
19.4
ya
tidak
1737/pp/2011
12
nurminah husen
01.47.90.00
45
IIIC
negatif
0
-
2
tidak
ya
19.1
tidak
tidak
1914/pp/2011
13
siti nuria
01.47.69.39
28
IIA
negatif
0
-
2
tidak
tidak
28.3
ya
tidak
1992/pp/2011
14
Sukarini
01.47.21.38
44
IIIB
kuat
90
+
unmarried
tidak
tidak
21.2
tidak
tidak
2024/pp/2011
15
widiastri ni made
01.23.13.40
43
IV
negatif
0
-
2
tidak
tidak
23.8
tidak
tidak
2139/pp/2011
16
narti ni nyoman
01.48.31.89
36
IIA
negatif
0
-
2
tidak
tidak
19.4
tidak
tidak
2208/pp/2011
17
merta ni nengah
01.49.25.03
50
IIC
negatif
0
-
2
tidak
ya
22.5
tidak
tidak
2527/pp/2011
18
Latri nyoman
01.49.63.90
47
IIA
negatif
0
-
0
tidak
tidak
32.3
tidak
tidak
2667/pp/2011
19
sudiasih kadek
01.46.20.82
37
IIIB
negatif
0
-
3
tidak
tidak
38.2
tidak
tidak
2965/pp/2011
20
taluh wayan
01.52.30.28
61
IV
negatif
0
-
2
tidak
ya
26.8
tidak
tidak
4335/pp/2011
21
rasmini ni wayan
01.52.52.09
36
IC
negatif
0
-
2
tidak
tidak
18.9
tidak
tidak
4474/pp/2011
22
sari ni kt
01.48.35.96
48
IV
negatif
0
-
2
tidak
ya
23.5
ya
tidak
4497/pp/2011
23
suwartini ni made
01.50.80.92
39
IA
negatif
0
-
1
tidak
ya
20.5
ya
tidak
175/pp/2012
24
tinggen ni kt
01.53.48.73
52
IIIC
sedang
5
+
4
tidak
ya
24.6
tidak
tidak
263/pp/2012
25
surti ni keetut
01.53.50.97
55
IIC
negatif
0
-
0
tidak
ya
22.0
tidak
tidak
0479/pp/2012
26
alit ruktini ni gusti
01.53.39.11
39
IC
negatif
0
-
0
tidak
tidak
18.2
tidak
tidak
507/pp/2012
27
Nyemplo ni ketut
01.53.95.99
67
IIA
negatif
0
-
0
tidak
ya
28.4
tidak
tidak
721/pp/2012
28
komang seniwati
01.54.14.54
35
IIIC
negatif
0
-
2
tidak
tidak
23.3
tidak
tidak
917/pp/2012
29
sontri ni nyoman
01.54.80.49
56
IIIA
kuat
5
+
3
tidak
ya
15.2
tidak
tidak
1097/pp/2012
30
komang seniwati
01.55.67.92
44
IIC
kuat
50
+
2
tidak
tidak
23.3
tidak
tidak
pp0016912012
73
31
01.55.81.11
58
IIIC
negatif
0
-
1
tidak
ya
24.5
tidak
tidak
pp0017092012
32
ni luh murti
putri sang ayu
made
01.18.69.85
39
IIIC
negatif
0
-
2
tidak
tidak
15.5
tidak
tidak
pp0012852012
33
erni mutiara
01.55.43.48
48
IIIC
kuat
90
+
unmarried
tidak
tidak
23.8
tidak
tidak
pp0013212012
34
Nur zannah
01.55.04.87
63
IV
negatif
0
-
4
tidak
ya
17.7
tidak
tidak
pp0013242012
35
Ni made tirta
01.14.23.14
35
IIC
sedang
30
+
0
tidak
tidak
23.4
tidak
tidak
pp0013482012
36
made suparingsih
01.55.66.84
66
IV
sedang
40
+
4
tidak
ya
17.8
tidak
tidak
554/pp/2012
37
wayan taluh
01.52.30.28
46
IIIC
negatif
0
-
0
tidak
tidak
20.0
tidak
tidak
4335/pp/2011
38
Nyoman Sari
01.60.66.47
46
IA
negatif
0
-
2
tidak
tidak
22.2
tidak
tidak
0022/pp/2013
39
Ni Made Nili
01.60.65.71
45
IIIC
negatif
0
-
2
tidak
tidak
19.8
tidak
tidak
0154/pp/2013
40
karmini
01.61.98.89
51
IIIC
negatif
0
-
4
tidak
tidak
20.4
tidak
tidak
pp/000829/2013
41
Mihin
01.61.89.00
50
IIIC
negatif
0
-
4
tidak
tidak
22.0
tidak
tidak
pp/0012462013
42
ni kadek astini
01.55.59.01
44
IIIC
negatif
0
-
3
tidak
tidak
21.2
tidak
tidak
pp0014632013
43
No name
tidak ada
13
IIIC
kuat
100
+
unmarried
tidak
tidak
17.6
tidak
tidak
pp004202/pp/12
44
No name
tidak ada
48
IIIC
negatif
0
2
tidak
tidak
19,2
tidak
tidak
pp004103/pp/12
74
Lampiran 3. Perhitungan Statistik
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
paritas
N
Normal Parameters
a,,b
IMT
44
44
44
1.86
46.36
22.102
1.112
10.835
4.4290
Absolute
.201
.096
.146
Positive
.201
.096
.146
Negative
-.185
-.095
-.094
Kolmogorov-Smirnov Z
1.335
.636
.970
.057
.814
.304
Mean
Std. Deviation
Most Extreme Differences
Umur
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic
df1
df2
Sig.
paritas
1.713
3
40
.180
Umur
1.172
3
40
.332
IMT
1.041
3
40
.385
75
Oneway
Descriptives
N
paritas
1.57
.787
.297
stadium 2
9
1.33
.707
.236
stadium 3
21
2.00
1.304
.285
stadium 4
7
2.43
.976
.369
44
1.86
1.112
.168
stadium 1
7
40.86
5.242
1.981
stadium 2
9
43.56
12.700
4.233
stadium 3
21
45.57
9.770
2.132
stadium 4
7
57.86
8.783
3.320
44
46.36
10.835
1.633
stadium 1
7
19.900
1.5166
.5732
stadium 2
9
25.156
4.0439
1.3480
stadium 3
21
21.767
4.9513
1.0805
stadium 4
7
21.386
3.7583
1.4205
44
22.102
4.4290
.6677
Total
N
riwayat
Mean
Std. Deviation
Std. Error
stadium 1
7
2.00
.000
.000
stadium 2
9
2.00
.000
.000
stadium 3
21
2.00
.000
.000
stadium 4
7
2.00
.000
.000
44
2.00
.000
.000
stadium 1
7
1.71
.488
.184
stadium 2
9
1.78
.441
.147
stadium 3
21
1.90
.301
.066
stadium 4
7
1.71
.488
.184
44
1.82
.390
.059
Total
kontrasepsi
Std. Error
7
Total
IMT
Std. Deviation
stadium 1
Total
Umur
Mean
Total
76
HRT
stadium 1
7
2.00
.000
.000
stadium 2
9
2.00
.000
.000
stadium 3
21
2.00
.000
.000
stadium 4
7
2.00
.000
.000
44
2.00
.000
.000
Total
ANOVA
Sum of Squares
paritas
Umur
IMT
Between Groups
df
Mean Square
5.753
3
1.918
Within Groups
47.429
40
1.186
Total
53.182
43
Between Groups
1221.102
3
407.034
Within Groups
3827.079
40
95.677
Total
5048.182
43
Between Groups
123.812
3
41.271
Within Groups
719.677
40
17.992
Total
843.490
43
F
Sig.
1.617
.200
4.254
.011
2.294
.093
77
ANOVA
Sum of Squares
riwayat
kontrasepsi
HRT
df
Mean Square
Between Groups
.000
3
.000
Within Groups
.000
40
.000
Total
.000
43
Between Groups
.323
3
.108
Within Groups
6.222
40
.156
Total
6.545
43
Between Groups
.000
3
.000
Within Groups
.000
40
.000
Total
.000
43
F
Sig.
.
.
.693
.562
.
.
Correlations
p53
Spearman's rho
p53
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Stadium
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Stadium
1.000
-.099
.
.522
44
44
-.099
1.000
.522
.
44
44
78
Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia p53
Positif
Negatif
Download