PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KONFLIK SOSIAL TOKOH MARYAM DALAM NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia Oleh Margaretha Ervina Sipayung NIM: 124114024 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERSEMBAHAN Pertolongan-Mu begitu ajaib Kau telah memikat hatiku disaat aku tak sanggup lagi Disitu tangan-Mu bekerja (Citra Scholastika) Karya sederhana ini kupersembahkan kepada: Bapakku T. Sipayung, Mamaku E. BoruTurnip, Abang pertamaku Antonius Sipayung, Abang keduaku Albertus Ronitua Sipayung, Kakak perempuanku Tio Maria Sipayung, Adik perempuanku Tiodora Panca Sipayung, Prodi Sastra Indonesia USD, dan Segenap pembaca karya sederhana ini vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya hadiratkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya tugas akhir ini yang berjudul “Konflik Sosial Tokoh Maryam dalam Novel Maryam karya Okky Madasari: Kajian Sosiologi Sastra” dapat diselesaikan dengan baik dan merupakan salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana S1 Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam penyusunan laporan penyelesaian skripsi ini juga tidak lupa juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang telah bersedia memberikan bimbingan, waktu, masukan, dukungan, dan kesabaran, sehingga tugas akhir ini dapat berjalan dengan baik. 2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang telah mendampingi dan memberikan waktu serta kesabarannya dalam menyelesaikan tugas akhir. 3. Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Dosen Pembimbing Akademik yang tak pernah berhenti memberikan dukungan dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. 4. Seluruh staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia S.E Peni Adji, S.S., M. Hum.; Drs. Hery Antono, M.Hum.; Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.; Drs. F.X. Santosa.; Dra. Fransisca Adji, M.Hum. yang telah memberikan materi selama kuliah di Universitas Sanata Dharma.; dan Sony Christian vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sudarsono, M.A. yang telah memberikan dukungan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. 5. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu dalam menyediakan buku-buku referensi yang dibutuhkan oleh penulis. 6. Orangtuaku tercinta yang telah memberikan motivasi paling kuat, selalu mendoakan penulis, dan membiayai penulis dalam menyelesaikan kuliah dan tugas akhir ini. 7. Keempat saudara saya: Antonius Sipayung, Albertus Ronitua Sipayung, Tio Maria Sipayung, Tiodora Panca Sipayung yang telah mendukung dan memberikan semangat kepada penulis. 8. Ibu Agnes Triana Sulistyaningsih yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. 9. Mba Bety dan Kakak A. Ria Puji Utami yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 10. Teman-teman Sastra Indonesia Angkatan 2012: Bella, Roby, Gaby, Dorce, Patrick, Silvy, Shanty, Carlos, Wily, Lina, Ovi, Venta, Peng, dan Mei atas kebersamaannya dari tahun 2012 dan turut memberikan dukungan pada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 11. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan dorongan dan bantuan dalam wujud apa pun selama penyusunan tugas akhir ini. viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRAK Sipayung, Margaretha Ervina. 2016. Konflik Sosial Tokoh Maryam dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari: Kajian Sosiologi Sastra. Skripsi Strata Satu (S1). Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini mengangkat topik konflik sosial yang dialami oleh tokoh Maryam dalam novel Maryam. Konflik merupakan dilema sosial ketika orangperorangan atau kelompok manusia yang ingin memenuhi tujuannya dengan cara menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Tujuan penelitian ini (i) menganalisis dan mendeskripsikan struktur novel Maryam yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar, (ii) menganalisis dan memaparkan bentukbentuk konflik sosial yang dialami tokoh Maryam dalam novel Maryam. Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian struktural dan pendekatan sosiologi sastra dengan teori konflik sosial Soerjono Soekanto. Kajian struktural digunakan untuk menganalisis struktur novel dan untuk melihat permasalahan yang berhubungan dengan tokoh Maryam. Kajian sosiologi sastra digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami tokoh Maryam yang meliputi konflik karena perbedaan orang-perorangan dan konflik karena perbedaan kebudayaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu, teknik studi pustaka, teknik baca, dan teknik catat. Sementara itu, dalam metode analisis data, menggunakan metode berdasarkan isi laten dan isi komunikasi. Selanjutnya, dalam metode penyajian data, menggunakan deskriptif analisis. Hasil kajian dalam novel ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis struktur novel dan sosiologi sastra. Struktur novel berisi tokoh dan penokohan, tokoh protagonis dalam novel ini adalah Maryam, Umar, Pak Khairuddin, dan Zulkhair; dan tokoh antagonis yaitu Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, dan Gubernur. Maryam adalah tokoh yang memiliki permasalahan sosiologis. Alur yang digunakan, yaitu: tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik tahap klimaks, dan tahap penyelesaian. Latar terbagi menjadi tiga bagian, yaitu latar tempat (Lombok, Gerupuk, Gegerung, dan Gedung Transito), latar waktu (tahun 1999, tahun 2001, tahun 2003), dan latar sosial (segi kebiasaan hidup, segi tradisi, segi cara berpikir dan bersikap). Hasil kajian sosiologi sastra dengan teori Soerjono Soekanto terhadap tokoh Maryam mengungkap bentuk-bentuk konflik sosial sebagai berikut. 1) Konflik karena perbedaan orang-perorangan dalam novel Maryam yang meliputi: perbedaan antara individu dengan individu, perbedaan antara individu dengan kelompok, dan perbedaan antara kelompok dengan kelompok. 2) Konflik karena perbedaan kebudayaan dalam novel Maryam meliputi: kebudayaan khusus atas dasar kedaerahan, kebudayaan khusus atas dasar agama, dan kebudayaan khusus atas dasar kelas sosial. x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRACT Sipayung, Margaretha Ervina. 2016. Social Conflicts that Experienced in Maryam Novel by Okky Madasari: Literature Sociology Study. An Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program. Faculty of Letter, Sanata Dharma University. This research raised theme of social conflict that experienced by Maryam in Maryam novel. Conflict is a social dilemma when the individuals or human groups who wants to meet objectivies in away against the opposition with the threats and violence. Research purposes (1) analyzing and describing the structure of Maryam novel includes character and characterization, plot, and background, (ii) analyzing and to exposing forms of the sosial conflicts that experienced by Maryam in Maryam novel. This research using structural approach and sociology approach with Soerjono Soekanto’s social conflict theory. Structural approach is using to analyze the novel structure and to see of problems associated with Maryam. Literature sociology approach is using to exposing forms of the social conflicts that experienced by Maryam which including conflicts due to difference of individuals and conflicts due to cultural differences. The technique of using literature review technique, reading technique, and writting tchnique. Meanwhile, the techniques to analyze data using the method based on laten contents and communication contents. After that, the method of data presentation using the descriptive analysis. The resut of the study in this novel is divided into two parts, analysis of novel structure and literature sociology. The novel structure contains about character and charaterization, the protagonists character in this novel are Maryam, Umar, Pak Khairuddin, dan Zulkhair; while the antagonist figure are Alam, Ibu Alam, Pak Haji, Pak RT, dan Gubernur. Maryam is a character who has a sociology problems. The plot used are situation phase, generating circumstances phase, rising action phase, climax, and denouement phase. Background is divided into three parts, place (Lombok, Gerupuk, Gegerung, dan Gedung Transito), time (1999, 2001, 2003), and social (aspect of common life, aspect of tradition, aspect of fashion, and aspect thought and attitude). Sociology result of the study with Soerjono Soekanto’s social conflict theory on Maryam character reveals to forms of social conflict as follows. 1) conflict due to difference of individuals in the novel Maryam which cover: the difference between individual and individual, the difference between individuals and groups, and the differences between groups and groups. 2) conflict due to cultural differences distribution of conflict based on individuals in the novel Maryam are: distribution of conflict based on the basis of regionalism, special culture on the basis of religion, and special culture on the basis of social class. xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vi KATA PENGANTAR ................................................................................. vii ABSTRAK .................................................................................................... x ABSTRACT ................................................................................................... xi DAFTAR ISI ................................................................................................ xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................ 7 1.4 Manfaat Penelitian.......................................................................... 7 1.5 Tinjauan Pustaka ............................................................................ 8 1.6 Landasan Teori ............................................................................... 10 1.6.1 Kajian Struktural .................................................................... 10 1.6.1.1 Tokoh ............................................................................ 11 1.6.1.2 Penokohan .................................................................... 15 1.6.1.3 Alur atau Plot ............................................................... 20 1.6.1.4 Latar atau Setting .......................................................... 22 1.6.2 Kajian Sosiologi Sastra........................................................... 25 xii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1.6.3 Konflik Sosial Menurut Soerjono Soekanto ........................... 26 1.7 Metode Penelitian ........................................................................... 34 1.7.1 Pendekatan .............................................................................. 35 1.7.2 Metode Pengumpulan Data .................................................... 35 1.7.3 Metode Analisis Data ............................................................. 36 1.7.4 Metode Penyajian Data ........................................................... 36 1.8 Sumber Data ................................................................................... 37 1.9 Sistematikan Penyajian .................................................................. 37 BAB II STRUKTUR NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI 2.1 Pengantar ........................................................................................ 39 2.2 Tokoh dan Penokohan .................................................................... 39 2.2.1 Tokoh Protagonis dalam Novel Maryam .................................. 39 2.2.1.1 Tokoh dan Penokohan Maryam ...................................... 40 2.2.1.2 Tokoh dan Penokohan Umar .......................................... 47 2.2.1.3 Tokoh dan Penokohan Pak Khairuddin .......................... 49 2.2.1.4 Tokoh dan Penokohan Zulkhair ...................................... 52 2.2.2 Tokoh Antagonis dalam Novel Maryam ................................ 54 2.2.2.1 Tokoh dan Penokohan Alam........................................... 54 2.2.2.2 Tokoh dan Penokohan Ibu Alam .................................... 57 2.2.2.3 Tokoh dan Penokohan Pak RT ....................................... 59 2.2.2.4 Tokoh dan Penokohan Pak Haji...................................... 61 2.2.2.5 Tokoh dan Penokohan Gubernur .................................... 62 xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2.3 Alur atau Plot ................................................................................. 66 2.3.1 Tahap Penyituasian (Tahap Situation).................................... 66 2.3.2 Tahap Pemunculan Konflik (Tahap Generating Circumstances) ....................................... 67 2.3.3 Tahap Peningkatan Konflik (Tahap Rising Action) ............................................................ 71 2.3.4 Tahap Klimaks (Tahap Climax) ............................................. 75 2.3.5 Tahap Penyelesaian (Tahap Denouement) ............................. 76 2.4 Latar atau Setting ............................................................................ 78 2.4.1 Latar Tempat........................................................................... 78 2.4.2 Latar Waktu ............................................................................ 82 2.4.3 Latar Sosial ............................................................................. 84 2.5 Rangkuman ..................................................................................... 86 BAB III BENTUK-BENTUK KONFLIK SOSIAL TOKOH MARYAM DALAM NOVEL MARYAM 3.1 Pengantar ........................................................................................ 89 3.2 Konflik karena Perbedaan Orang-perorangan ................................ 92 3.2.1 Perbedaan Antara Individu dengan Individu .......................... 92 3.2.2 Perbedaan Antara Indivu dengan Kelompok .......................... 97 3.2.3 Perbedaan Antara Kelompok dengan Kelompok ................... 100 3.3 Konflik karena Perbedaan Kebudayaan ......................................... 105 3.3.1 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Faktor Kedaerahan ............. 106 xiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3.3.2 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Agama ................................ 110 3.3.3 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Kelas Sosial ........................ 113 3.4 Rangkuman ..................................................................................... 117 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan..................................................................................... 120 4.2 Saran ............................................................................................... 123 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 124 BIODATA PENULIS .................................................................................. 126 xv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Maka dari itu, sastra menampilkan gambaran kehidupan. Gambaran kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan-antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Hal inilah yang menjadi pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat (Damono, 1978: 1). Karya sastra selalu berusaha menemukan dimensi-dimensi tersembunyi dalam kehidupan manusia, dimensi-dimensi yang tidak terjangkau oleh kualitas evidensi empiris. Tujuan karya sastra adalah melukiskan konfigurasi struktur perilaku, struktur ide, dan berbagai kecenderungan sosial (Ratna, 2003: 214). Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur kata, bahasa, misalnya merupakan salah satu bagian dari totalitas (Nurgiyantoro, 2007: 22). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2 Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Ciri khas novel ada pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit (Stanton, 2007: 90). Kita dapat menemukan keunikan-keunikan dalam novel karangan siapa pun. Keunikan tersebut dapat berupa prinsip-prinsip etnis, konflik-konflik, tipetipe latar, karakter-karakter, dan tindakan. Elemen-elemen tersebut merupakan dunia ‘pengarang’ (Stanton, 2007: 106). George Lukacs adalah tokoh sosiologi sastra yang mempergunakan istilah “cermin” sebagai ciri khas dalam keseluruhan karya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan “realitas” melainkan lebih dari itu memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah “proses yang hidup.” Sastra tidak mencerminkan realitas seperti fotografi, melainkan lebih sebagai bentuk khusus yang mencerminkan realitas (Endraswara, 2013: 89). Dalam novel Maryam karya Okky Madasari, merupakan karyanya yang ketiga yang diterbitkan pada tahun 2012 oleh Gramedia Pustaka Utama. Pengarang novel tersebut pernah mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2012. Maka dari itu, penulis akan menyoroti tokoh Maryam. Tokoh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3 Maryam digambarkan sebagai tokoh wanita yang mengalami banyak konflik, khususnya konflik sosial yang dialami oleh dirinya untuk bisa berusaha melawan ketidakadilan yang ia dapat selama hidupnya sebagai seorang wanita yang terlahir dari Ahmadiyah. Maryam merupakan seorang wanita yang cerdas, ramah, taat beribadah. Namun dari itu semua, Maryam justru mendapatkan pertentangan dari keluarga sang suami dan lingkungan sekitarnya yang menilai bahwa ia merupakan seorang yang terlahir dari Ahmadiyah yang dinilai sesat, karena memiliki ajaran sendiri dengan menganggap nabi terakhir adalah Mirza Ghulam Ahmad bukan Nabi Muhammad s.a.w. meskipun sebenarnya ia merasa bahwa dirinya beragama Islam, hal tersebut tidaklah menutup hati mereka (bukan kelompok Ahmadiyah atau kelompok penentang) untuk bisa berdamai dengan dirinya. Hal ini juga disampaikan oleh pengarang novel Maryam, Okky Madasari, yang mengungkapkan pendapatnya akan pengusiran warga penganut Islam Ahmadiyah oleh kelompok penentangnya dari Nusa Tenggara Barat, Lombok. Jemaah Ahmadiyah dianggap bertentangan karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi mereka, sedangkan menurut Islam secara umum menganggap bahwa nabi terakhir mereka adalah Nabi Muhammad s.a.w. sehingga membuat kelompok bukan Ahmadiyah atau kelompok penentang pun memusuhi dan menjauhi kelompok Ahmadiyah dengan melarang dan menganggap kelompok Ahmadiyah bukanlah Islam. Melalui novel ini, pengarang mengekspresikan pada perjuangan hidup tokoh Maryam, seorang perempuan Lombok yang menderita akibat dirinya dilahirkan menjadi seorang Ahmadiyah. Maryam memberanikan dirinya untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4 berontak terhadap tata nilai keluarga, berontak terhadap perilaku masyarakat yang beragama, dan berontak atas ketidakberdayaan rasa aman terhadap negaranya akibat banyaknya pertentangan-pertentangan sehingga menimbulkan konflik. Menurut Coser melalui Saifuddin (1986: 7), konflik adalah gejala yang wajar terjadi dalam setiap masyarakat yang selalu mengalami perubahan sosial dan kebudayaan. Menurut Nurgiyantoro (2007: 124), konflik sosial merupakan konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antarmanusia, atau masalahmasalah yang muncul akibat adanya hubungan antarmanusia. Menurut Boulding (1962: 166), yang paling menarik dari konflik adalah ketika mereka berada dalam satu pihak, menganggap bahwa adalah orangperseorangan dan pihak lain adalah kelompok atau organisasi. Konflik seperti itu timbul di mana peran yang dikenakan pada individu dengan alasan keanggotaannya dalam kelompok atau organisasi berbeda dari beberapa peran atau pola perilaku yang ia suka dan berpikir mampu melakukannya. Untuk beberapa konflik ini tak terelakkan lagi; mereka diciptakan oleh fakta keanggotaan individu dalam suatu kelompok atau organisasi pembentukan yang tidak bisa dikendalikan. Saling berhubungan antara individu, kelompok, dan organisasi. Penelitian konflik sosial dikembangkan oleh Soerjono Soekanto. Ia lahir di Jakarta, 30 Januari 1942. Ia menamatkan Sarjana Hukum di Universitas Indonesia, M.A. di Universitity of California, Berkeley, dan memperoleh gelar Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia dengan disertasi “Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum.” Bulan Juli 1983, ia dikukuhkan sebagai guru besar PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5 Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan pidato pengukuhan “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum” (Soekanto, 1982: tanpa halaman). Sejak lahir di dunia, dia sudah berhubungan dengan orang tuanya misalnya, dan semakin meningkat usianya, bertambah luas pula pergaulannya dengan manusia lain di dalam masyarakat. Dia juga menyadari, bahwa kebudayaan dan peradaban dewasa ini, merupakan hasil perkembangan masamasa yang silam. Sosiologi merupakan suatu ilmu yang masih muda usianya, walaupun telah mengalami perkembangan yang cukup lama. Sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban, masyarakat manusia sebagai proses pergaulan hidup telah menarik perhatian (Soekanto, 1982: 1). Penelitian ini membahas konflik sosial dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari perkembangan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan (Wiyatmi, 2005: 97). Menurut Ratna (2003: 1), sosiologi adalah mengenai asal-usul, pertumbuhan masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sosiologi meneliti hubungan individu dengan kelompok dan budayawan sebagai unsur yang bersama-sama membentuk kenyataan hidup masyarakat dan kenyataan sosial. Hal ini terlihat pada novel Maryam karya Okky Madasari sebagai cerminan dari pelbagai kehidupannya. Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2003: 11). Novel Maryam karya Okky Madasari menarik untuk diteliti karena adanya beberapa alasan. Pertama, novel ini memaparkan sebuah kisah perjuangan seorang perempuan yang menghadapi kehidupan yang penuh lika-liku dan mengharukan. Terlihat pada perjuangan Maryam yang berusaha melewati masa hidupnya yang merasa gagal dalam membina rumah tangga. Kedua, novel Maryam karya Okky Madasari menceritakan tragedi pengusiran yang dilakukan oleh kelompok bukan Ahmadiyah (kelompok penentang) sehingga mengharuskan kelompok Ahmadiyah untuk mengungsi. Ketiga, novel ini menyajikan berbagai konflik sosial yang dialami oleh tokoh Maryam itu sendiri dalam novel Maryam karya Okky Madasari yang cocok dikaji dengan kajian sosiologi sastra. Berdasarkan penjelasan di atas, dalam novel Maryam karya Okky Madasari, penulis terlebih dahulu memberikan makna terhadap sebuah karya sastra. Langkah awal memahami karya sastra adalah menganalisis struktur novel yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Selanjutnya, akan diteruskan lagi oleh penulis dalam bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami tokoh Maryam melalui teori konflik dari Soerjono Soekanto. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1.2.1 Bagaimanakah struktur novel Maryam karya Okky Madasari? 1.2.2 Bagaimana bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami tokoh Maryam dalam novel Maryam karya Okky Madasari? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut. 1.3.1 Menganalisis dan mendeskripsikan struktur novel Maryam karya Okky Madasari. Hal ini akan dipaparkan dalam Bab II. 1.3.2 Menganalisis dan memaparkan bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami tokoh Maryam karya Okky Madasari. Kajian tentang konflik sosial tokoh Maryam karya Okky Madasari akan dibahas dalam Bab III. 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini bermanfaat sebagai contoh penerapan kajian struktural yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Serta kajian sosiologi sastra untuk memahami konflik sosial yang dialami oleh tokoh Maryam karya Okky Madasari dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Soerjono Soekanto. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan tentang karya sastra dan pemahaman tentang novel Maryam karya Okky Madasari. Selain itu, melalui penelitian ini diharapkan pengetahuan pembaca mengenai sosiologi sastra yang lebih luas sehingga ilmu yang dirasakan bermanfaat bagi pembaca dapat diaplikasikan dalam kehidupan. 1.5 Tinjauan Pustaka Novel Maryam merupakan novel ketiga Okky Madasari. Sebelumnya Okky Madasari menulis novelnya yang berjudul Entrok. Novel Entrok ini merupakan novel pertamanya yang mengkisahkan pertentangan keyakinan antara dua generasi dan kesewenangan militer pada masa Orde Baru (Orba). Novel ketiganya adalah novel yang dibahas oleh penulis, yaitu Maryam. Novel ini mengkisahkan tentang pengusiran terhadap Ahmadiyah yang dipandang sebagai “aliran sesat.” Orang-orang ini mengalami diskriminatif dari kumpulan kelompok penentang yang tidak berperasaan karena keimanannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 Novel Maryam ini pernah dikaji oleh Susi Lailatul Musarrofah (2013) seorang mahasiswa Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dalam pendekatan sosiologi sastra, dengan judul “Konflik Sosial Dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari.” Sementara itu, topik permasalahan “konflik sosial” juga dikaji oleh mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Mereka diantaranya ialah: Lucia Intan Suharti (USD-2006). Penelitian yang berjudul Konflik Sosial Antar Tokoh Novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract Karya Emil W. Aulia: Suatu Pendekatan Sosiologi Sastra. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian Lucia Intan Suharti adalah (1) Bagaimana tokoh dan penokohan, alur, dan latar serta keadaan sosial novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia: Suatu Pendekatan Sosiologi Sastra, (2) Bagaimana konflik sosial novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia. Penelitian yang dilakukan oleh Maria Yuliana Kusrini (USD-2003). Penelitian yang berjudul Konflik Sosial dalam Novel Orang-orang Malioboro karya Eko Susanto Pendekatan Sosiologi Sastra. Penelitian tersebut membahas masalah (1) Bagaimana tokoh dan penokohan serta keadaan sosial dalam Orangorang Malioboro karya Eko Susanto, (2) Bagaimana konflik sosial yang ada dalam Orang-orang Malioboro karya Eko Susanto. Berdasarkan tinjauan di atas, penulis menggunakan bahan-bahan kajian tersebut untuk menambahkan dan mengembangkan wawasan kajian penelitian ini. Penulis belum menemukan penelitian dengan pendekatan subyek yang sama yaitu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10 mengkaji “Konflik Sosial Tokoh Maryam dalam Novel Maryam karya Okky Madasari dengan Kajian Sosiologi Sastra.” 1.6 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (i) kajian struktural, (ii) kajian sosiologi sastra, (iii) bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami tokoh Maryam dalam novel Maryam karya Okky Madasari. Kajian struktural digunakan untuk menganalisis tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Kajian sosiologi sastra digunakan sebagai pendekatan yang digunakan penulis. Kajian konflik sosial menggunakan teori yang dikembangkan oleh Soerjono Soekanto dalam memahami bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami oleh tokoh Maryam. 1.6.1 Kajian Struktural Dalam penelitian ini, kajian struktural dibatasi pada tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Untuk kepentingan adanya tokoh dan penokohan, alur, dan latar akan digunakan penulis untuk dapat lebih mengenal dan memahami tokoh Maryam serta konflik sosial yang dialaminya dalam novel Maryam karya Okky Madasari. Kajian struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel, serta mendalam akan keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang sesuai dengan sifat dan strukturnya (Teeuw, 1984: 135-136). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11 Kajian struktural karya sastra dalam fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur instrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dicoba jelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu (Nurgiyantoro, 2007: 37). Dalam penelitian ini, penulis menganalisis masalah tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Ketiga analisis ini sangat penting bagi penulis karena berperan penting pada perkembangan konflik. 1.6.1.1 Tokoh Menurut Abrams melalui Nurgiyantoro (2007: 165), tokoh adalah orangorang yang ditampilkan dalam karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Menurut Stanton melalui Nurgiyantoro (2007: 165), tokoh (character) menyarankan pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Tema ‘karakter’ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada pencampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12 emosi, dan prinsip moral dari invidu-individu tersebut. Sebagian besar cerita dapat ditemukan satu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita (Stanton, 2007:33). Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Keadaan ini dapat berakibat kurang menguntungkan para tokoh cerita itu sendiri dilihat dari segi kewajarannya dalam bersikap dan bertindak. Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan atau bahkan mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang (Nurgiyantoro, 2007: 167-168). Walaupun tokoh cerita “hanya” merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar bagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia harus bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya (Nurgiyantoro, 2007: 167). Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Menurut Nurgiyantoro, dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya, dibedakan menjadi tokoh utama (sentral) dan tokoh tambahan (periferal). Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Ia selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Tokoh tambahan adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13 tokoh yang dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung (Nurgiyantoro, 2007: 177-178). Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Protagonis juga ditentukan dengan memperhatikan hubungan antar tokoh. Protagonis berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, sedangkan tokoh-tokoh itu sendiri tidak semua berhubungan satu dengan yang lain (Sudjiman, 1987: 18). Menurut Altenbernd dan Lewis melalui Nugiyantoro (2007: 178), tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan pembaca, harapan-harapan pembaca. Tokoh protagonis mewakili yang baik dan terpuji karena biasanya menarik simpati pembaca. Tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik. Tokoh antagonis, beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung atau pun tidak langsung, bersifat fisik atau pun batin. Tokoh antagonis cenderung menjadi tokoh yang menyakiti tokoh protagonis. Dia adalah tokoh yang jahat sehingga akan menimbulkan rasa benci. Tokoh antagonis tidak hanya pada individu atau sekelompok orang, namun dapat berupa pada bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14 kekuatan yang lebih tinggi, dan sebagainya. Hal ini dapat dikatakan sebagai kekuatan antagonistis (Nurgiyantoro, 2007: 179). Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya, dan jati dirinya (Nurgiyantoro, 2007: 182183). Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh statis atau tokoh tak berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan (Nurgiyantoro, 2007: 188). Berdasarkan kemungkinan pencerminan, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan dan kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, dan penunjukkan terhadap orang atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15 lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga yang ada di dunia nyata (Nurgiyantoro, 2007: 190). Dalam penelitian novel Maryam karya Okky Madasari, jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh cerita, penulis manganalisis tokoh cerita tersebut dalam tokoh protagonis dan antagonis. 1.6.1.2 Penokohan Menurut Jones melalui Nurgiyantoro (2007: 165), penokohan adalah gambaran tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Nurgiyantoro (2007: 166), istilah dari “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, bagaimana penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Dengan demikian, istilah penokohan ini sekaligus terkandung dalam dua aspek, yaitu: isi dan bentuk. Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau lengkapnya: pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh, dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, yaitu teknik pelukisan secara langsung (teknik ekspositori) dan teknik pelukisan secara tidak langsung (teknik dramatik). Berikut akan dibicarakan kedua teknik tersebut sebagai berikut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16 1.6.1.2.1 Teknik Ekspositori Teknik ekspositori sering juga disebut sebagai teknik analitis. Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kehadirannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya (Nurgiyantoro, 2007: 195). Deskripsi kedirian tokoh yang dilakukan secara langsung oleh pengarang akan berwujud penuturan yang bersifat deskriptif pula. Artinya, ia tak akan berwujud penuturan yang bersifat dialog, walau bukan merupakan suatu pantangan atau pelanggaran jika dalam dialog pun tercermin watak para tokoh yang terlibat (Nurgiyantoro, 2007: 197). 1.6.1.2.2 Teknik Dramatik Teknik dramatik atau pelukisan tokoh cerita yang dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2007: 198). Kelebihan teknik dramatik yang lain adalah sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Dalam situasi kehidupan sehari-hari, jika kita berkenalan dengan orang lain, kita tak mungkin menanyakan sifat kedirian orang itu apalagi kepada yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2007: 199). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17 Wujud penggambaran teknik dramatik, penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Dalam sebuah karya fiksi, biasanya pengarang mempergunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling mengisi, walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik. Berbagai teknik yang dimaksud sebagian di antaranya akan dikemukakan di bawah ini. (a) Teknik Cakapan Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak semua percakapan mencerminkan kedirian tokoh atau tidak mudah untuk menafsirkannya sebagai demikian. Namun, percakapan yang baik, yang efektif, yang lebih fungsional, adalah yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya (Nurgiyantoro, 2007: 201). (b) Teknik Tingkah Laku Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku dapat dipandang sebagai penunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18 (c) Teknik Pikiran dan Perasaan Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga. Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku pikiran dan perasaan. Dengan demikian, teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh (Nurgiyantoro, 2007: 204). (d) Teknik Arus Kesadaran Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Menurut Abrams melalui Nurgiyantoro (2007: 206), arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, ketika tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak. Aliran kesadaran berusaha menangkap dan mengungkapkan proses kehidupan batin, yang memang hanya terjadi di batin, baik yang berada di ambang kesadaran maupun ketidaksadaran, termasuk kehidupan bawah sadar (Nurgiyantoro, 2007: 206). (e) Teknik Reaksi Tokoh Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19 Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya (Nurgiyantoro, 2007: 207). (f) Teknik Reaksi Tokoh Lain Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek kata: penilaian kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya (Nurgiyantoro, 2007: 209). (g) Teknik Pelukisan Latar Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar tertentu, dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula di pihak pembaca. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara kuat walau latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang berada di luar kedirian tokoh (Nurgiyantoro, 2007: 210). (h) Teknik Pelukisan Fisik Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20 dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif (Nurgiyantoro, 2007: 210). 1.6.1.3 Alur atau Plot Menurut Stanton (2007: 26), alur merupakan rangkaian peristiwaperistiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwaperistiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Alur memiliki hukum-hukum sendiri, alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton. 2007: 28). Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki ‘konflik internal’ yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya (Stanton, 2007: 31). Menurut Nurgiyantoro (2007: 149), tahapan alur dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu, (i) tahap peyituasian atau tahap situation, (ii) tahap pemunculan konflik atau tahap generating circumstances, (iii) tahap peningkatan konflik atau tahap rising action, (iv) tahap klimaks atau tahap climax, (v) tahap penyelesaian atau tahap denouement. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21 Tahap penyituasian merupakan tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahapan ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2007: 149). Tahap pemunculan konflik merupakan tahapan ketika masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Tahapan ini merupakan tahapan awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2007: 149). Tahap peningkatan konflik merupakan tahapan konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencengkam dan menegangkan (Nurgiyantoro, 2007: 149-150). Tahap klimaks merupakan tahapan-tahapan konflik dan atau pertentanganpertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama (Nurgiyantoro, 2007: 150). Tahap penyelesaian merupakan tahapan konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri (Nurgiyantoro, 2007: 150). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22 1.6.1.4 Latar atau Setting Cerita berkisah tentang seorang atau beberapa orang tokoh. Peristiwaperistiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu waktu atau suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu tempat tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacungan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun alur cerita (Sudjiman, 1987: 44). Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah (Stanton, 2007: 35). Menurut Abrams melalui Nurgiyantoro (2007: 216), latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur ini walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dalam penelitian ini, latar berfungsi untuk menganalisis latar tempat pada lokasi peristiwa yang terjadi, latar waktu yang digunakan untuk menganalisis waktu peristiwa yang terjadi, sedangkan latar sosial digunakan untuk menganalisis keadaan sosial masyarakat tertentu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23 1.6.1.4.1 Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat dengan nama tertentu atau inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata (Nurgiyantoro, 2007: 227). Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk mengesankan pembaca seolah-olah hal yang diceritakan sungguh-sungguh ada dan terjadi, yaitu di tempat (dan waktu) seperti yang diceritakan itu (Nurgiyantoro, 2007: 227). Latar tempat berfungsi untuk menjelaskan tempat terjadinya cerita dalam novel Maryam dengan demikian memudahkan penelitian. Latar tempat memberikan gambaran mengenai keadaan suatu tempat, wilayah, dan keadaan masyarakat. Setelah mengetahui dengan jelas latar tempat, maka akan membantu dalam menganalisis proses yang terjadi dalam novel Maryam. 1.6.1.4.2 Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Namun, hal itu membawa sebuah konsekuensi: sesuatu yang diceritakan harus sesuai dengan perkembangan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24 sejarah. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan waktu, langsung atau tidak langsung, harus berkesesuaian dengan waktu sejarah yang menjadi acuannya (Nurgiyantoro, 2007: 231). Menurut Genette melalui Nurgiyantoro (2007: 231), masalah waktu dalam karya naratif bermakna ganda di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Latar waktu berfungsi untuk menjelaskan kapan terjadinya peristiwa dalam novel Maryam, sehingga penulis dapat dengan mudah menganalisisnya. Latar waktu dapat memberikan gambaran waktu terjadinya cerita karena waktu terjadinya peristiwa sangat membantu. 1.6.1.4.3 Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya (Nurgiyantoro, 2007: 233-234). Latar sosial berfungsi untuk memberikan gambaran sosial yang terjadi dalam novel Maryam. Hal ini sangat dibutuhkan dalam penelitian dengan adanya latar sosial, penulis dapat dengan mudah dalam menemukan proses yang terjadi dalam novel Maryam tersebut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25 1.6.2 Kajian Sosiologi Sastra Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai involusi (Ratna, 2013: 332). Menurut Swingewood melalui Faruk (2005: 1), sosiologi sastra merupakan studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial. Menurut Gebstein melalui Endraswara (2013: 25), mengungkapkan konsep tentang sosiologi sastra, yaitu: (i) karya sastra tidak dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya, (ii) gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk teknik pelukisannya, (iii) karya sastra bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu prestasi, (iv) masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arah: pertama, sebagai kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua, sebagai tradisi. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosio sastra, pendekatan sosiologis atau pendekatan sosiokultural terhadap sastra. Sosiologi sastra dalam penelitian ini mencakup pelbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu (Damono, 1978: 2). Menurut Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26 bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra, sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Dalam pendekatan ini, teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan epiphenomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dengan landasannya adalah sebagai gagasan bahwa sastra merupakan cermin jamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu, harus diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya (Damono, 1978: 8-9). 1.6.3 Konflik Sosial Menurut Soejono Soekanto Menurut Soekanto (1982: 94), konflik merupakan dilema sosial ketika orang-perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27 Walaupun konflik merupakan suatu proses yang disosiatif, akan tetapi konflik sebagai salah satu bentuk proses sosial mempunyai fungsinya bagi masyarakat. Dalam artian, mempunyai akibat-akibat yang positif. Apakah suatu konflik membawa akibat-akibat yang positif atau negatif, tergantung dari persoalan yang dipertentangkan dan juga dari struktur sosial di mana konflik menyangkut suatu tujuan, nilai-nilai atau kepentingan-kepentingan. Salah satu faktor yang dapat membatasi akibat-akibat negatif dari suatu konflik adalah sikap toleransi yang institutionalized. Dalam kelompok-kelompok di mana wargawarganya dalam frekuensi yang tinggi mengadakan interaksi sosial kemungkinan terjadinya konflik dapat ditekan (Soekanto, 1982: 95). Asal struktural konflik sosial terletak pada relasi-relasi hirarkis berupa kuasa/wewenang, yang berlaku di dalam kelompok-kelompok dan organisasiorganisasi sosial. Tiap kesatuan itu menunjukkan pembagian yang sama, yakni antara sejumlah orang yang berada di dalam posisi memegang kuasa dan wewenang, dan sejumlah besar lain yang berada di posisi bawahan (Veeger, 1992: 93). Teori konflik bukanlah suatu teori terpadu atau komprehensif. Mungkin karena alasan inilah, istilah “teori konflik” merupakan suatu istilah yang tidak cocok. Perhatian yang utama umumnya terhadap pelbagai teori konflik adalah mengenal dan menganalisa kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, sebab dan bentuknya, dan dalam banyak hal, akibatnya dapat menimbulkan perubahan sosial (Johnson, 1986: 162). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28 Teori konflik menerangkan kehidupan sosial dengan mengambil dampaknya struktur-struktur kekuasaan dan kepentingan kelompok sebagai masalah pokok. Prinsip dasar yang menerangkan kehidupan sosial ialah dominasi pihak kuat atas pihak lemah. Penekanan hidup rakyat, manipulasi pendapat umum, intimidasi, dan penindasan merupakan mekanisme-mekanisme yang diharapkan membawa “kestabilan”. Akan tetapi, masyarakat sebenarnya pada dasarnya bersifat goyah karena menjadi arena persaingan dan penabrakan kepentingan yang berbeda-beda. Misalnya, pelapisan sosial yang dimengerti sebagai akibat objektif dari dominasi pihak kuat (Veeger, 1992: 31). Soekanto memandang konflik terjadi pada perilaku pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok manusia yang menyadari adanya perbedaanperbedaan yang dapat mengakibatkan perbedaan tersebut menjadi suatu pertentangan atau pertikaian atau kita juga sering menyebutnya sebagai konflik. Perasaan memegang peranan yang penting dalam mempertajam perbedaanperbedaan sedemikian rupa, sehingga masing-masing pihak berusaha untuk saling menghancurkan. Perasaan tersebut biasanya berwujud amarah dan rasa benci yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk melukai atau menyerang pihak lain, atau untuk menekan dan menghancurkan orang perorangan atau kelompok manusia yang menjadi lawan (Soekanto, 1982: 94). Soekanto lebih menekankan pada akar penyebab permasalahannya sehingga menimbulkan pribadi-pribadi ataupun kelompok-kelompok menjadi pecah dan menimbulkan konflik akibat adanya perbedaan-perbedaan yang terdiri dari: (i) konflik karena perbedaan orang-perorangan, (ii) konflik karena perbedaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29 kebudayaan, (iii) konflik karena perbedaan kepentingan, dan (iv) konflik karena perubahan-perubahan sosial. 1.6.3.1 Konflik karena Perbedaan Orang-perorangan Perbedaan orang-perorangan merupakan perbedaan pendirian dan perasaan yang akan setiap orang biasanya menjadi pemicu utama dalam konflik soisal. Sebab dalam menjalin hubungan sosial yang baik, seseorang tidaklah selalu sejalan dengan kelompoknya. Perbedaan ini mampu menimbulkan konflik sosial (Soekanto, 1982: 94). Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain, agaknya paling penting adalah rekasi, entah yang berwujud pujian atau celaan yang kemudian merupakan dorongan bagi tindakan-tindakan selanjutnya dalam memberikan rekasi tersebut ada suatu kecenderungan manusia untuk memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan orang-orang lain (Soekanto, 1982: 110). Kelompok-kelomok sosial tersebut merupakan himpunan atau kesatuankesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong menolong (Soekanto, 1982: 111). Suatu konflik mungkin terjadi karena persaingan untuk mendapatkan mata pencaharian hidup yang sama, atau terjadi pemaksaan unsur-unsur kebudayaan itu. Suatu contoh adalah hubungan antara mayoritas dengan minoritas. Reaksi golongan minoritas cenderung dalam bentuk sikap tidak bisa menerima, agresif, menghindar, dan lain-lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30 Konflik karena adanya perbedaan orang-perorangan akan dibagi oleh penulis dalam penelitian ini menjadi beberapa bagian, yakni: (i) perbedaan antara individu dengan individu, (ii) perbedaan antara individu dengan kelompok, dan (iii) perbedaan antara kelompok dengan kelompok. 1.6.3.2 Konfik karena Perbedaan Kebudayaan Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti budi dan akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.” Dengan kata lain, kebudayaan mencakup kesemuanya, kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan normatif, yaitu mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak (Soekanto, 1982: 166-167). Konflik karena adanya perbedaan kebudayaan merupakan perbedaan kepribadian dari orang-perorangan yang tergantung dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seseorang secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pola-pola pendirian dari kelompoknya (Soekanto, 1982: 94). Kebudayaan sebagaimana diterangkan di atas, dimiliki oleh setiap masyarakat; bedanya hanyalah bahwa kebudayaan masyarakat yang satu lebih sempurna daripada kebudayaan masyarakat lain di dalam perkembangannya untuk memenuhi segala keperluan masyarakatnya. Di dalam hubungan di atas, maka biasanya diberikan nama “peradaban” kepada kebudayaan yang telah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31 mencapai taraf perkembangan teknologi yang sudah lebih tinggi. Dalam suatu masyarakat yang mempunyai jumlah anggota yang besar serta menempati daerah yang luas, biasanya terdapat perbedaan-perbedaan kebudayan dalam beberapa bidang (Soekanto, 1982: 168). Kebudayaan mempunyai fungsi yang besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggotaanggota masyarakat, seperti misalnya kekuatan alam di mana dia bertempat tinggal, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri, yang tidak selalu baik baginya. Kecuali daripada itu, manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang spiritual maupun bidang materiil (Soekanto, 1982: 172). Konflik karena adanya perbedaan kebudayaan akan dibagi menjadi beberapa bagian oleh penulis melalui penelitian tersebut, yakni: kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan, kebudayaan khusus atas dasar agama, dan kebudayaan khusus atas dasar kelas sosial. 1.6.3.3 Konflik karena Perbedaan Kepentingan Bentrokan-bentrokan kepentingan individu-individu maupun kelompokkelompok manusia merupakan sumber lain dari pertentangan. Kepentingan tersebut dapat bermacam-macam perwujudannya, misalnya kepentingan dalam bidang ekonomi politik, dan lain sebagainya (Soekanto, 1982: 94). Perbedaan bentrokan kepentingan inilah yang dapat disebabkan karena adanya kekuasaan dan wewenang yang menyebabkan perbedaan kepentingan dari kedua belah pihak. Kekuasaan merupakan setiap kemampuan untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32 mempengaruhi pihak lain yang dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat (Soekanto, 1982: 260). Adanya kekuasaan cenderung tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, atau dengan kata lain, antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dari pihak lain yang menerima pengaruh ini dengan rela atau karena terpaksa (Soekanto, 1982: 259-260). Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif bila didukung dengan kekuasaan yang nyata. Acapkali terjadi letaknya wewenang yang diakui oleh masyarakat dan letaknya kekuasaan yang nyata, tidak di satu tempat atau tidak di dalam satu tangan. Dalam masyarakat kecil dan susunannya sederhana, pada umumnya kekuasaan yang dipegang oleh seseorang atau kelompok meliputi bermacam bidang, sehingga terdapat gejala yang kuat, bahwa kekuasaan itu lambat laun diidentifikasikan dengan orang yang memegangnya (Soekanto, 1982: 260). Adanya kekuasaan dan wewenang pada setiap masyarakat, merupakan gejala yang wajar, walaupun wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu sendiri, oleh karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat yang bersangkutan. Setiap masyarakat memerlukan suatu faktor pengikat atau pemersatu yang terwujud dalam diri seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang yang sekaligus mempertahankan integritas masyarakat (Soekanto, 1982: 262). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33 1.6.3.4 Konflik karena Perubahan Sosial Perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat, untuk sementara waktu merubah nilai-nilai dalam masyarakat dan menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda dari pendiriannya mengenai reorganisasi dari sistem nilai-nilai yang sebagai akibat perubahan-perubahan sosial menyebabkan suatu disorganisasi dalam masyarakat (Soekanto, 1982: 95). Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perikelakuan, organisasi, susunan lembagalembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan lain sebagainya (Soekanto, 1982: 304). Perubahan-perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak zaman dahulu, namun dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat, sehingga seolah-olah membingungkan manusia yang menghadapinya, sehingga di dalam masyarakat-masyarakat di dunia ini sering terjadi perubahanperubahan atau suatu keadaan ketika perubahan-perubahan tersebut berjalan secara konstan (1982: 305). Konflik karena perubahan sosial ini terdiri dari: (i) perubahan-perubahan yang terjadi secara lambat dan cepat, (ii) perubahan-perubahan yang pengaruhnya kecil dan pengaruhnya besar, dan (iii) perubahan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Berdasarkan analisis di atas, konflik sosial merupakan pertentangan atau konflik yang berdasarkan pada tindakan yang disertai dengan adanya kekerasan dan ancaman terhadap tokoh Maryam dalam konflik yang menjadi permasalahan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34 dalam hidupnya, yakni: (i) pertama, konflik karena perbedaan orang perorangan yang terdiri dari: perbedaan antara individu dengan individu, perbedaan antara individu dengan kelompok, dan perbedaan antara kelompok dengan kelompok, (ii) kedua, konflik karena perbedaan kebudayaan yang terdiri dari: kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan, kebudayaan khusus atas dasar agama, dan kebudayaan khusus atas dasar kelas sosial, (iii) ketiga, konflik karena perbedaan kepentingan yang melibatkan adanya bentrokan-bentrokan kepenntingan yang terdiri dari: kekuasaan dan wewenang, (iv) keempat, konflik karena perubahan sosial yang terdiri dari: perubahan-perubahan yang terjadi secara lambat dan cepat, perubahan-perubahan yang pengaruhnya kecil dan pengaruhnya besar, dan perubahan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Berdasarkan gagasan di atas, penulis hanya memfokuskannya pada dua teori konflik, yaitu konflik karena perbedaan orang-perorangan dan konflik karena perbedaan kebudayaan. Alasan penulis tidak memasukan perbedaan kepentingan dan perubahan sosial ke dalam Bab III, yakni: pertama, konflik karena perbedaan kepentingan, penulis memasukkannya menjadi satu bagian ke dalam konflik karena perbedaan orang-perorangan, kedua, konflik karena perubahan sosial, penulis menempatkan konflik perubahan tersebut ke dalam konflik karena perbedaan kebudayaan. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui empat tahap, yakni (i) pendekatan, (ii) pengumpulan data, (iii) analisis data, dan (iv) penyajian hasil analisis data. Berikut akan diuraikan masing-masing tahapan dalam penelitian ini. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35 1.7.1 Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tentang Konflik Sosial Tokoh Maryam dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari adalah pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan struktural merupakan pendekatan yang bertumpu pada karya sastra dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2007: 37). Dalam pendekatan struktural tersebut, penulis akan membatasi pendekatan tersebut pada kajian yang terdiri dari: tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat dengan menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Ratna, 2013: 59). Dalam penelitian ini, pendekatan sosiologi sastra lebih sesuai untuk menganalisis bentuk-bentuk konflik sosial dalam novel Maryam karya Okky Madasari. 1.7.2 Metode Pengumpulan Data Penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui studi pustaka. Metode ini dipakai untuk mendapatkan data pada novel Maryam, buku-buku referensi, artikel, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut. Teknik yang digunakan dalam metode pengumpulan data adalah teknik baca dan teknik catat. Teknik baca digunakan untuk mengumpulkan data dengan jalan membaca seluruh cerita novel secara berulang-ulang. Teknik catat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36 digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung penulis dalam memecahkan masalah. 1.7.3 Metode Analisis Data Pada tahap analisis data, penulis menggunakan metode analisis isi untuk menganalisis data-data yang telah dikumpulkan. Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi yang dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen. Analisis terhadap isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi komunikasi akan menghasilkan makna (Ratna, 2013: 48). Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Oleh karena itu, metode analisis isi dilakukan dalam novel Maryam karya Okky Madasari untuk memaknakan isi pesan komunikasi dalam novel sehingga dapat mendukung penelitian ini. 1.7.4 Metode Penyajian Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2013: 53). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 Metode deskriptif analisis digunakan oleh penulis untuk mendeskripsikan hasil penelitian tentang tokoh dan penokohan, alur, dan latar, serta kajian sosiologi sastra dalam novel Maryam karya Okky Madasari. 1.8 Sumber Data Sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder. 1.8.1 Sumber Data Primer Judul Buku : Maryam Pengarang :Okky Madasari Tahun Terbit : Cetakan pertama, 2012 Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tebal Buku : 275 halaman 1.8.2 Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yang mendukung penulis berupa kumpulan bukubuku cetak perpustakaan, artikel-artikel dari internet, dan sumber-sumber lain yang akan menjadi sasaran yang berhubungan dengan objek penelitian. 1.9 Sistematika Penyajian Untuk mempermudah pemahaman terhadap proses dan hasil penelitian ini, dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini dapat dirinci dalam empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38 Latar belakang dalam penelitian ini menguraikan analisis penulis melakukan penelitian terhadap novel Maryam karya Okky Madasari dengan teori konflik sosial. Rumusan masalah menjelaskan beberapa permasalahan yang ditemukan dalam penelitian ini. Tujuan penelitian mendeskripsikan tujuan dalam penelitian ini. Manfaat penelitian memaparkan manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini. Landasan teori berisi teori-teori yang digunakan dalam landasan penelitian ini. Metode penelitian ini berisi tentang pendekatan, metode pengumpulan data, metode analisis data, metode penyajian data, sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini. Sistematika penyajian menguraikan urutan hasil penelitian dalam penelitian ini. Bab II berisi tentang struktur novel Maryam yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Bab III berisi tentang kajian novel Maryam karya Okky Madasari dengan menggunakan teori konflik sosial menurut Soerjono Soekanto dalam kajian sosiologi sastra. Bab IV berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran untuk penelitian selanjutnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB II STRUKTUR NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI 2.1 Pengantar Pada bab ini, penulis akan menganalisis struktur novel Maryam karya Okky Madasari yang akan difokuskan pada tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Alasan penulis menganalisis struktur novel tersebut karena berhubungan dengan konflik sosial pada tokoh Maryam dengan melihat bagaimana keadaan para tokoh cerita, bagaimana peristiwa itu dibangun, dan bagaimana latar dalam cerita tersebut. 2.2 Tokoh dan Penokohan Dalam novel Maryam, terdapat banyak tokoh dalam penelitian ini. Penulis hanya akan memfokuskan pada tokoh Maryam, Umar, Pak Khairuddin, Zulkhair, Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, Gubernur. Dalam novel ini, akan dibahas tokoh dan penokohan yang memfokuskan penulis pada tokoh protagonis dan tokoh antagonis. 2.2.1 Tokoh Protagonis dalam Novel Maryam Tokoh protagonis merupakan pelaku yang memegang karakter tertentu dengan membawa ide-ide kebenaran (jujur, setia, baik hati, cerdas, cantik, berkarismatik, berlapang dada, bertanggung jawab, dan lain-lain). Tokoh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40 protagonis dalam novel Maryam adalah Maryam, Umar, Pak Khairuddin, dan Zulkhair. 2.2.1.1 Tokoh dan Penokohan Maryam Maryam merupakan gadis yang sangat cantik di daerah itu. Kulitnya yang sawo matang, matanya yang bulat dan tajam, alis tebal, dan bibir agak tebal, rambutnya yang lurus dan hitam. Namun, dari kecantikannya itulah ia tak juga mempunyai pacar. Meskipun banyak laki-laki yang menyukainya. Justru banyak dari mereka memandang Maryam sebagai perempuan yang sombong dan tak suka bergaul dengan orang lain. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (1) Maryam memiliki kecantikan khas perempuan dari daerah timur. Kulit sawo matang yang bersih dan segar. Mata bulat dan tajam, alis tebal, dan bibir agak tebal yang selalu kemerahan. Rambutnya yang lurus dan hitam sejak kecil selalu dibiarkan panjang melebihi punggung dan lebih sering dibiarkan tergerai. Di luar segala kelebihan fisiknya, Maryam gadis yang cerdas dan ramah. Apalagi yang kurang ketika semuanya telah dibungkus dalam kesamaan iman? (Madasari, 2012: 24) (2) Karena itu, sampai tamat SMA di pulau kelahirannya, Maryam tak pernah punya pacar. Ia sudah tahu mana orang yang sejalan dengannya, mana yang bukan. Sejak awal ia membatasi diri ketika ada laki-laki yang berbeda darinya mulai mendekati. Maryam yang ketus, Maryam yang sombong, Maryam yang tak mau bergaul. Begitu pikir laki-laki yang mencoba merayunya. Tapi ketika ada laki-laki Ahmadi mendekatinya, ternyata sikap Maryam pun tak jauh berbeda. Ya, laki-laki Ahmadi tak ada yang terlihat menarik di matanya. (Madasari, 2012: 21) Berdasarkan kutipan (1) dan (2) digambarkan bahwa Maryam sebagai seorang perempuan yang cantik sehingga banyak laki-laki yang terpikat olehnya untuk dijadikan pacar maupun istri. Di luar dari kecantikan fisiknya, Maryam merupakan gadis yang cerdas dan ramah. Maryam adalah seorang anak muda yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41 telah lulus SMA pada tahun 1993. Setelah ia lulus SMA, ia sangat ingin sekali kuliah demi menggapai cita-citanya. Ia memilih kota Surabaya sebagai perguruan tinggi yang ia inginkan. Maryam pun tinggal bersama saudaranya yang tak lain adalah Pak dan Bu Zul, teman dekat ayahnya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (3) Lulus SMA pada tahun 1993, Maryam berangkat ke Surabaya. Mengikuti ujian masuk ke perguruan tinggi negeri. Ia diterima di Universitas Airlangga Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. Ia tinggal bersama keluarga yang sudah seperti saudara, kenalan orangtuanya. Sama-sama Ahmadi. Pasangan suami-istri dengan dua anak yang masih SMA dan SMP, Pak dan Bu Zazuli, yang kemudian biasa dipanggil Maryam dengan sebutan Pak dan Bu Zul. Keduanya berasal dari pulau yang sama dengan Maryam, hanya beda kampung. Tepatnya dari Praya, hampir dua puluh kilometer di sebelah utara rumah keluarga Maryam. Pak Zul teman bapak Maryam. Mereka satu sekolah sampai SMP. Lulus SMP Pak Zul merantau ke Surabaya, menumpang hidup pada keluarga Ahmadi yang mau membiayainya sekolah sampai lulus SMA. Bapak Maryam juga mendapat tawaran serupa. Tapi ia enggan. Memilih tetap tinggal di kampung, di antara ikan-ikan. Toh keduanya sama-sama berhasil. Pak Zul yang disekolahkan di Sekolah Pendidikan Guru menjadi guru SD di Surabaya. (Madasari, 2012: 21) (4) Begitu juga Maryam. Tinggal di kota besar justru makin menguatkan iman. Ia kuliah dan bergaul dengan teman-teman seperti biasa tiap hari. Tapi begitu pulang, hari-harinya dipenuhi dengan ibadah, pembicaraanpembicaraan tentang keyakinan bersama Pak dan Bu Zul, lalu pengajian di rumah salah satu keluarga Ahmadi seminggu sekali. (Madasari, 2012: 22) Berdasarkan kutipan (3) dan (4) digambarkan bahwa Maryam merupakan seorang perempuan yang tak mudah berputus asa begitu saja terlihat dengan usahanya bisa kuliah di Universitas Airlangga. Diterimanya Maryam di Universitas Airlangga, tak menutup hati Maryam begitu saja. Ia semakin mendalami keimanannya dengan taat beribadah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42 Maryam semakin merasa terpukul dalam kesedihannya. Mendengar Gamal telah pergi dari rumahnya, membuat Maryam semakin tak henti-hentinya menangisi kepergian Gamal, kekasihnya itu. Ia tak mengetahui kepergian Gamal. Namun ia memikirkan kembali akankah ia melupakan Gamal begitu saja dan mencari penggantinya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (5) Semua orang di pengajian terdiam mendengar cerita bapak dan ibu Gamal. Beberapa orang ikut menangis. Di balik punggung Bu Zul, air mata Maryam tak berhenti mengalir. Ia kemudian berlari ke kamarnya. Membenamkan muka di bantal hanya untuk meredam tangisnya. Maryam kehilangan semua harapannya. Kehilangan orang yang dicintainya. Tapi ia tak tahu harus bagaimana. Ia hanya ingin menangis. (Madasari, 2012: 29) (6) Sesekali Bu Zul masuk ke kamar Maryam, mengelus punggung Maryam dan berbicara lembut. Berulang kali ia mengatakan agar Maryam mengikhlaskan Gamal. Jangan terus bersedih, jangan patah hati terlalu lama, jangan pula sampai marah pada Tuhan. Kata Bu Zul, inilah bagian dari ujian keimanan. Mendengar itu, air mata Maryam pelan-pelan mengalir. Tapi ia buru-buru menghapus, memalingkan wajah, menahan suara isakan agar Bu Zul tak mendengarnya. (Madasari, 2012: 30) (7) Maryam merindukan Gamal dengan ragu. Tak tahu apakah rasa seperti ini masih boleh dipelihara sementara Gamal sendiri entah di mana. Tak tahu apakah rasa rindu ini punya wujud nyata, atau hanya serupa godaangodaan kecil yang datang saat ia dalam sepi. Apakah ia berhak merawat cintanya setelah Gamal terang-terangan menanggalkan iman? Maryam tak pernah mendapatkan jawaban dari segala kerisauan, sebagaimana ia juga selalu gagal menyingkirkan rasa rindunya pada Gamal. Bayangan Gamal senantiasa menyertainya. Mimpi-mimpi tentang Gamal menjadi hiburan tidurnya. Bayangan tentang kepulangan Gamal yang telah menemukan kembali iman menjadi doa-doanya. Maryam tak tahu lagi bagaimana ia bisa mendapatkan rasa yang serupa pada orang lain. Ia ingin, tapi tak pernah bisa. (Madasari, 2012: 31) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43 Berdasarkan kutipan (5), (6), dan (7) digambarkan bahwa Maryam telah kehilangan orang yang dicintainya. Ia tak sanggup lagi menahan kesedihannya atas kepergian Gamal yang meninggalkannya yang pergi entah ke mana. Ia berusaha menghapuskan semua ingatannya tentang Gamal meskipun ia benarbenar masih merindukan kekasihnya itu. Setelah lulus kuliah pada tahun 1997, Maryam bekerja di salah satu bank besar Jakarta. Saat itulah Maryam dan Alam berkenalan dan menjalin hubungan. Setelah kepedihannya waktu itu bersama Gamal, ia telah menemukan sisi baiknya Gamal pada diri Alam. Hal itu semakin membuat Maryam jatuh cinta pada Alam, kekasihnya itu. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (8) Pada awal tahun 1997, Maryam lulus kuliah dengan terengah-engah. Menyelesaikan segala kewajiban sambil tetap harus mengatur segenap rasa gundah. Bayangan Gamal masih tetap mengiringinya. Bahkan ketika ia berhasil mendapat pekerjaan di sebuah bank besar di Jakarta. Baru kemudian, ketika Alam datang, Maryam kembali merasakan apa yang dulu dirasakannya saat mulai dekat dengan Gamal. Maryam juga sengaja membanding-bandingkan keduanya. Wajah mereka yang hampir mirip, sifat dan perilaku yang serupa, dan nama mereka yang tak jauh berbeda: Gamal dan Alam. Maryam jatuh cinta. Satu-satunya yang dipikirkan adalah jangan sampai yang baru didapatkannya ini terlepas. Ia tak mau lagi mengulang masa-masa kehampaan yang melelahkan ketika kehilangan Gamal. Dengan Alam ia tak berpikir apa-apa lagi, selain ingin berdua selamanya. (Madasari, 2012: 32) (9) Delapan tahun lalu, tak lama setelah Maryam mulai bekerja di bank, mereka berdua berkenalan dalam sebuah pertemuan. Dua puluh empat tahun usia Maryam saat itu. Ia pindah ke Jakarta setelah tamat kuliah di Surabaya. Baru menikmati punya penghasilan sendiri, yang jumlahnya paling besar dibanding teman-teman kuliah seangkatan, dua juta rupiah. Sedang senang-senangnya berbelanja baju-baju baru, memoles wajah tiap pagi, pergi ke salon sebulan sekali. Punya penghasilan sendiri membuat Maryam jauh lebih percaya diri. Punya penghasilan sendiri membuatnya tak perlu bergantung pada orangtuanya lagi. (Madasari, 2012: 16) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44 Berdasarkan kutipan (8) dan (9) digambarkan bahwa Maryam bekerja di salah satu bank terbesar di kota Jakarta. Di kota itulah Maryam dan Alam bertemu, dan mereka pun berpacaran setelah Maryam berhasil move on dari Gamal mantan kekasihnya itu. Selain hubungannya bersama Alam berjalan lancar, pekerjaannya pun membuahkan hasil yang baik untuknya. Maryam mempunyai penghasilan sendiri tanpa bergantung lagi pada kedua orangtuanya. Maryam merupakan seorang yang telah menjadi janda. Ia menceraikan suaminya, Alam. Meskipun ia tahu segala usahanya untuk bahagia bersama Alam, kini telah sirna. Namun, ia bisa bebas keluar dari kehidupannya yang karam dengan bekerja dan bekerja tanpa kenal lelah. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (10) Perkawinan yang belum genap lima tahun itu karam. Maryam yang memilih keluar. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa selama itu bertahan. Berusaha membangun kebahagiaan di tengah-tengah kecurigaan dan kepalsuan. Ia selalu berpikir, yang penting Alam, suaminya itu, tulus mencintainya tanpa prasangka. Tapi siapa yang menyangka nyali laki-laki yang dicintainya hanya sebatas bualan? (Madasari, 2012: 15) Berdasarkan kutipan (10) digambarkan bahwa Maryam telah menjadi janda. Perkawinannya yang belum genap lima tahun. Baginya, cinta Alam hanyalah sebagai bualan saja, tak ada cinta, tak ada kebahagiaan, yang ada hanyalah kepalsuan. Itulah yang membuatnya mengambil keputusan, yaitu berpisah dari suaminya yang tak pernah bisa mengerti akan dirinya. Di samping itu, Maryam tetap menjadi dirinya yang bisa bekerja seperti biasanya tanpa memperlihatkan penderitaannya kepada orang lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45 Maryam pun kembali dilamar oleh laki-laki yang dijodohkan oleh orangtuanya. Umar namanya. Maryam merasa menjadi pusat perhatian di tempat itu. Maryam semakin diperlakukan seperti anak yang baru pertama kali menikah. Meskipun ia tahu, ia dulu pernah terbuai dengan mengorbankan keluarganya hanya demi laki-laki yang tak bisa berbuat apa-apa untuknya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (11) Maryam merasa menjadi pusat perhatian. Ia merasa dihargai. Merasa dicintai dan dikasihi. Sesaat ia sibuk mengurai sesal. Kenapa dulu terbuai oleh impian bahagia yang ia sendiri pun tak tahu wujudnya seperti apa? Kenapa mau-maunya ia mengorbankan keluarganya hanya demi laki-laki yang tak bisa berbuat apa-apa? Kenapa ia bisa begitu bodoh? Air mata Maryam berdesakan di sudut matanya. Maryam sebisa mungkin berusaha menahan. Tapi mata yang berkaca-kaca dan memerah tak bisa disembunyikan dari penglihatan semua orang yang ada di situ. Sesaat semuanya diam. Merasa tak enak untuk berkata-kata. (Madasari, 2012: 157) (12) Dalam hatinya timbul sedikit heran, kenapa bapak dan ibunya memperlakukannya seperti anak gadis yang baru pertama kali menikah. Mungkin ini karena begitu takut yang dulu terjadi pada pernikahanku dengan Umar, sisi hati Maryam yang lain menjawab pertanyannya sendiri. (Madasari, 2012: 159) (13) Umar memberikan alat salat dan Al Quran sebagai mas kawin. Saat suara “sah” diucapkan berkali-kali, air mata Maryam menetes. Bayangan pernikahannya dengan Alam kembali datang. Sangat jelas dan terasa nyata. Maryam bahkan merasa semuanya hanya pengulangan. Peristiwa yang sama. Hanya waktu dan tempatnya yang berbeda. Namun saat pandangannya bertemu dengan bapak dan ibunya, Maryam tahu ini bukanlah pernikahannya yang dulu. Ada bahagia yang mengintip pelanpelan dari balik hatinya. Bahagia karena telah membuat orangtuanya bahagia. Rasa yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. (Madasari, 2012: 164) Berdasarkan kutipan (11), (12), dan (13) digambarkan bahwa Maryam merasa dihargai, menjadi pusat perhatian. Dalam hatinya, Maryam yang bangga meskipun ia sedikit heran akan perlakuan orangtuanya di hari pernikahan yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46 kedua kalinya. Maryam pun kembali meneteskan air mata, ia tahu bahwa ini bukanlah pernikahannya seperti yang dulu. Ada rasa bahagia dibalik hatinya, ia pun bahagia telah membuat orangtuanya bahagia. Maryam pun melahirkan anak pertamanya. Anak perempuan yang sehat dan sempurna. Inilah yang membuat Umar dan Maryam sama-sama bahagia. Tidak hanya mereka saja yang berbahagia, keluarga dan kerabat keluarganya pun ikut berbahagia menyambut kedatangan satu orang lagi dalam keluarga mereka. Maryam pun berencana menamakan anaknya Mandalika. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (14) Dalam duka, anak Umar dan Maryam lahir. Bayi perempuan. Sehat dan sempurna. Mandalika. Begitu mereka memberinya nama. Di hari-hari terakhir kehamilannya, Maryam berkata pada Umar ingin memberi nama yang berasal dari Lombok untuk anaknya. Bukan nama Arab, seperti ayah dan ibunya. Bagi Maryam, itu langkah paling awal sekaligus langkah paling mudah dilakukan untuk menjauhkan anaknya dari segala kepedihan yang dialami keluarganya. “Biarlah anak ini jauh dari agama tapi dekat dengan kebaikan,” kata Maryam berulang kali. Umar mengiyakan. Dalam soal iman, ia selalu sepaham dengan Maryam. Semua yang mereka lakukan selama ini adalah bentuk cinta pada keluarga dan orang-orang yang teraniaya. Bukan untuk iman keluarga. (Madasari, 2012: 241) (15) Maryam dan Umar mulai memikirkan nama. Mereka membeli buku, juga membuka-buka internet. Lalu nama itu diingat Maryam begitu saja: Mandalika. Cerita yang sering didengarnya sejak kecil di Gerupuk. Tentang seorang putri cantik yang diperebutkan dua raja dari dua kerajaan besar. Perang besar akan terjadi. Tapi Mandalika memilih pergi. Mengorbankan diri agar perang tak terjadi. Ia menenggelamkan diri di pantai indah yang berbukit-bukit di wilayah selatan. Tak jauh dari Gerupuk, hanya beberapa langkah kaki dari hotel tempat menginap Maryam dan Umar dulu. Semua warga di daerah selatan akrab dengan cerita ini. Barangkali kisah Mandalika inilah yang pertama menyapa mereka di dunia dongeng. Demikian juga Maryam. (Madasari, 2012: 242) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47 Berdasarkan kutipan (14) dan (15) digambarkan bahwa Maryam telah melahirkan seorang anak perempuan yang cantik, sehat, dan sempurna. Mereka memberikan nama anaknya, Mandalika. Maryam yang menginginkan nama itu agar dapat menjauhkan anaknya dari segala kepedihan yang dialami oleh keluarga dan dirinya yang nantinya Mandalika mengorbankan diri agar perang takkan terjadi lagi. 2.2.1.2 Tokoh dan Penokohan Umar Umar merupakan anak dari Pak Ali dan Bu Ali. Umar adalah anak satusatunya keluarga Pak Ali. Umar kuliah di Universitas Udayana, Bali, Jurusan Sastra Inggris. Umar yang belum lulus juga masih terpesona pada kehidupannya dengan berkuliah yang membuatnya belum juga lulus. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (16) Anak mereka kuliah sastra Inggris di Universitas Udayana. Kata Pak Ali, ia ingin anaknya segera lulus hanya karena satu alasan, agar anaknya cepat pulang dan kembali hidup bersama mereka. Umar nama anak itu, akan melanjutkan usaha bapak dan ibunya itu. “Biarlah dia dagang madu dan susu saja, yang penting tidak terpengaruh orang-orang luar,” kata Pak Ali. (Madasari, 2012: 94) (17) Pak Ali dan Bu Ali hanya punya satu anak laki-laki. Sekarang kuliah di Bali. Sudah tahun kelima. “Harusnya sudah lulus dan bekerja. Tapi biasalah anak muda,” kata Bu Ali. Mereka semua tertawa. (Madasari, 2012: 94) Berdasarkan kutipan (16) dan (17) digambarkan bahwa Umar merupakan anak dari Ibu dan Pak Ali. Ia kuliah di Universitas Udayana, Bali. Mengambil Jurusan Sastra Inggris. Umar diharapkan kedua orangtuanya untuk segera cepat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48 menyelesaikan kuliahnya agar bisa melanjutkan usaha orangtuanya dengan menjualkan susu dan madu. Setelah kematian ayahnya, Umar tidak pernah lagi kembali ke Bali. Kuliah pun tidak lagi. Kekasihnya pun tidak. Umar meneruskan usaha yang dijalankan oleh bapaknya dengan mengurus susu dan madu milik orangtuanya dulu. Ia melanjutkan semuanya dari apa yang dilakukan oleh ayahnya sebelum meninggal. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (18) Umar tak kembali lagi ke Bali. Ia meninggalkan semua begitu saja. Demi ibunya. Tak sampai hati ia meningalkan ibunya sendirian. Lebih dari itu, hanya dialah satu-satunya harapan untuk meneruskan usaha yang telah puluhan tahun dijalankan bapaknya. Umar kini yang mengurus susu dan madu. Ia melanjutkan semua yang dulu dilakukan bapaknya. Pada bulanbulan awal, agar lebih tahu semuanya, ia berangkat ke Sumbawa setiap minggu. Mendatangi tempat-tempat yang biasa memasok susu untuk mereka. Membandingkan satu dengan yang lain, mengenali kualitas, mengingat harga. Ia juga pergi ke tempat madu-madu dihasilkan. Mencari tahu dari proses awal hingga akhirnya siap dikirim ke Lombok. Umar belajar dengan cepat. Ia merasakan bagaimana pundaknya kini membawa sesuatu yang dinamai “tanggung jawab”. Ia harus melanjutkan semuanya, membesarkan, melakukan yang lebih baik. Demi kebahagiaan ibunya. Juga demi kebanggaan dan nama bapaknya. (Madasari, 2012: 101) Berdasarkan kutipan (18) digambarkan bahwa Umar tak pernah lagi kembali ke Bali. Ia meneruskan usaha bapaknya yang diwariskan untuknya. Ia juga yang menjaga ibunya setelah ayahnya meninggal. Ia sangat tak ingin meninggalkan ibunya hidup sendirian. Maka dari itu, ia belajar menjadi orang yang lebih bertanggung jawab lagi. Ia harus melanjutkan semuanya, membesarkan, dan melakukan yang lebih baik demi membahagiakan ibunya dan juga demi kebanggaan dan nama bapaknya tersebut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49 Umar menunjukkan sikap lembutnya kepada Maryam, istrinya. Hal itu juga yang membuat Maryam merasa senang. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (19) Umar selalu sopan dan lembut pada Maryam. Setiap pulang dalam keadaan lelah karena baru berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, ia mendekati Maryam dan berkata pelan, “Sabar ya, sampai besok Jumat semua selesai.” Maryam tersenyum. Ia tahu maksud Umar. Dan ia memang tak mempermasalahkan apa-apa. Semua begitu mudah dipahami. (Madasari, 2012: 166) Berdasarkan kutipan (19) digambarkan bahwa Umar benar-benar seorang suami yang bersikap sopan dan lembut pada Maryam. Ia berusaha menenangkan Maryam agar tak bosan. Terlihat jelas juga bahwa Maryam sangat menyukai sikap Umar dibandingkan dengan mantan suaminya, Alam. 2.2.1.3 Tokoh dan Penokohan Pak Khairuddin Pak Khairuddin merupakan ayah dari Maryam. Pak Khairuddin bekerja sebagai tengkulak ikan. Dapat dikatakan, Pak Khairuddin merupakan seorang kepala keluarga yang dapat menghidupi keluarganya dengan baik. Dari hasil itulah bapak Maryam bisa membangun rumah serta membiayai kuliah Maryam, anaknya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (20) Bapak Maryam menjadi tengkulak ikan. Membeli hasil tangkapan nelayan-nelayan, lalu menjualnya ke pasar kecamatan dan rumah-rumah makan. Dengan hasil dari ikan itulah bapak Maryam bisa membangun rumah yang layak, punya satu pikap, dan menyekolahkan dua anaknya. Kuliah Maryam di Surabaya dibiayai orangtuanya sendiri. Dia hanya menumpang tinggal di rumah Pak Zul, demi keamanan, juga karena tradisi persaudaraan sesama mereka. (Madasari, 2012: 21) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50 (21) Gerupuk adalah deretan perahu-perahu nelayan, bau amis ikan, dan nelayan-nelayan berkulit legam. Setiap orang hidup dari tangkapan ikan, udang, atau teripang. Bapak Maryam satu dari sedikit orang yang beruntung. Ia hidup dari ikan-ikan itu tanpa perlu lagi melaut sendiri. Ia hanya perlu menunggu orang-orang, membelinya sesuai kesepakatan, lalu menjualnya di Pasar Sengkol, dua puluh kilometer ke arah barat dari Gerupuk. (Madasari, 2012: 42) Berdasarkan kutipan (20) dan (21) digambarkan bahwa Pak Khairuddin bekerja sebagai tengkulak ikan. Ia mempunyai usaha yang bagus di desa itu dengan hasil dari tangkapan ikan itulah Pak Khairuddin bisa membangun rumah yang layak, mempunyai satu pikap, dan dapat menyekolahkan dua anaknya, Maryam dan Fatimah, namanya. Pak Khairuddin seorang ayah yang sangat tegas terhadap anak-anaknya. Ia selalu mendidik keras anak-anaknya dari kecil. Dari situ terlihat jelas bahwa ia sangat menyayangi anak-anaknya. Ia tak ingin anaknya lupa akan agama. Pak Khairuddin juga begitu gembira melihat anaknya, Maryam, bisa kuliah di Surabaya. Ia juga percaya bahwa Maryam juga sedang mendalami agama saat berada di Surabaya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (22) Bagi Pak Khairuddin, untuk urusan keyakinan anak-anak harus dididik keras sejak kecil. Mereka harus menjadi orang-orang Ahmadi yang sejati. Yang bisa menjadi penerus dan penyiar ketika generasi-generasi lama mati. Karena itu, Pak Khairuddin begitu gembira ketika mendengar kabar tentang Maryam saat masih tinggal di rumah Pak Zu dan Bu Zul. Ia percaya, di Surabaya Maryam tak hanya mencari gelar sarjana tapi juga sedang mendalami agama. (Madasari, 2012: 88) Berdasarkan kutipan (22) digambarkan bahwa Pak Khairuddin sangat tegas sekali terhadap anak-anaknya. Di mana urusan keyakinan anak-anaknya harus dididik sejak kecil. Bagi Pak Khairuddin, anaknya haruslah menjadi orang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51 Ahmadiyah yang sejati yang bisa menjadi generasi selanjutnya. Di situlah ia sangat percaya anaknya akan mendalami agama lagi di Surabaya selain mencari gelar sarjana. Pak Khairuddin menemukan laki-laki yang tepat untuk dijadikannya sebagai menantu. Umar, namanya. Pak Khairudin benar-benar merasa bahwa pilihannya ini adalah yang tepat. Pak Khairuddin pun mengenal baik dengan orangtua Umar. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (23) Bagi Pak Khairuddin, Umar sudah menjadi menantu dalam hatinya. Tidak ada lagi yang kurang dari pemuda itu. Selain seorang Ahmadi, ia mandiri dengan usahanya, bahkan menjadikannya lebih besar daripada saat dipegang bapaknya. Apalagi keluarga Bu Ali banyak membantu saat mereka berada di pengungsian. (Madasari, 2012: 136) (24) Pada malam terakhir sebelum pernikahan digelar, Maryam diajak bicara oleh kedua orangtuanya. Berbagai nasihat disampaikan Pak Khairuddin. Ada kata-kata tertentu yang diulang berkali-kali. Yakni ikhlas, setia, dan Ahmadi. (Madasari, 2012: 159) Berdasarkan kutipan (23) dan (24) digambarkan bahwa Pak Khairuddin benar-benar menemukan pemuda yang tepat untuk Maryam. Selain dikenal samasama menjadi Ahmadiyah, Pak Khairuddin menilai Umar adalah laki-laki yang mandiri dengan usahanya itu. Pak Khairuddin tambah yakin lagi dengan mengenal orangtua Umar adalah keluarga yang membantu keluarga Pak Khairuddin saat berada di pengungsian. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52 2.2.1.4 Tokoh dan Penokohan Zulkhair Zulkhair merupakan ketua organisasi. Zulkhair adalah orang yang ditemui Maryam saat kembalinya Maryam ke kampung halamannya yang sedang mencari keluarganya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (25) Laki-laki itu diam beberapa saat. Sampai kemudian tersenyum, seolah ingin memberi tanda ia sudah paham maksud Maryam. Laki-laki itu mengajak Maryam keluar dari masjid, menuju rumah di samping yang menjadi kantor pengurus organisasi. Ternyata laki-laki itulah yang ia cari. Ketua organisasi yang sekarang, menggantikan ketua yang diingat Maryam. Namanya Zulkhair. Lebih muda sedikit dari bapak Maryam. berpakaian rapi, berbicara santun. Ia berpendidikan tinggi. Sarjana lulusan Universitas Mataram. Sekarang pegawai negeri di kantor provinsi. Tiap hari, sepulang kerja, Zulkhair datang ke kantor ini. Kadang ada pertemuan, kadang hanya sekadar memantau keadaan. Ada seorang penjaga yang setiap hari tinggal di tempat ini. (Madasari, 2012: 66) Berdasarkan kutipan (25) digambarkan bahwa Zulkhair merupakan lakilaki yang bertemu dengan Maryam. Zulkhair merupakan ketua organisasi. Ia berpendidikan tinggi lulusan Universitas Mataram. Dan sekarang ia juga bekerja sebagai pegawai negeri di kantor provinsi. Zulkhair berusaha meyakinkan Maryam untuk bisa mempertahankan segala keyakinan yang dimilikinya yaitu menjadi Ahmadiyah seutuhnya. Zulkhair berusaha menasihati Maryam untuk tidak pernah meninggalkan iman. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (26) “Meski demikian, dalam segala keputusasaan, tak ada satu pun yang berpikir untuk meninggalkan keimanan,” kata Zulkhair. Ia mengulang kalimat itu berkali-kali. Ada nada syukur dan bangga. Seolah ia ingin meyakinkan pada Maryam bahwa iman orang-orang Ahmadi tak bisa dikalahkan hanya sekadar oleh penderitaan. (Madasari, 2012: 77) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53 Berdasarkan kutipan (26) digambarkan bahwa Zulkhair berusaha memperingatkan Maryam untuk jangan lagi meninggalkan iman yang mereka miliki. Ia selalu menunjukkan sikap rasa bersyukur dan bangga menjadi Ahmadiyah secara utuh. Zulkhair pun meyakinkan Maryam bahwa iman orangorang Ahmadiyah tak bisa dikalahkan hanya sekadar oleh penderitaan. Zulkhair semakin menelan kekecewaan dan tak ada harapan lagi. Namun, melihat kegigihan Maryam yang sangat ingin mempertahankan keluarganya, dan kaum Ahmadiyah lainnya membuat Zulkhair menjadi semangat untuk menindak keadilan. Zulkhair pun merasa tertantang. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (27) “Tak ada salahnya mencoba lagi, Pak. Saya dan Umar kalau boleh ingin ikut juga ke sana,” kata Maryam sambil melirik suaminya. Umar mengangguk. Bagi Maryam, inilah saatnya ia melakukan sesuatu lebih dari sekadar memasok makanan dan pakaian. Selama hamil, ia memang sengaja membatasi diri untuk tidak terlibat dalam banyak hal. Tapi sekarang sudah tak ada lagi yang perlu dirisaukan. (Madasari, 2012: 246) (28) Melihat niat Maryam dan Umar, Zulkhair kembali bersemangat. Dengan pengurus organisasi yang telah tua dan lelah, ia kehabisan semua kegigihan. Bersama-sama mereka, Zulkhair akhirnya ikut menenggelamkan diri dalam keyakinan akan kesabaran dan kepasrahan diri. Tapi sekarang tidak lagi. Ia tertantang oleh jiwa-jiwa penuh energi dan sorot mata penuh keyakinan dan kegigihan. (Madasari, 2012: 247) Berdasarkan kutipan (27) dan (28) digambarkan bahwa Zulkhair sedikit putus asa. Zulkhair pun bertambah semangat lagi dengan melihat semangat Maryam. Ia ikut menenggelamkan diri dalam keyakinan akan kesabaran dan kepasrahan diri. Ia merasa tertantang oleh jiwa-jiwa penuh energi dan sorot mata penuh keyakinan dan kegigihan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54 2.2.2 Tokoh Antagonis dalam Novel Maryam Tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik maupun batin. Tokoh antagonis juga dapat dikatakan sebagai pelaku yang menentang pelaku protagonis. Dalam novel Maryam karya Okky Madasari, yang termasuk pada tokoh antagonis adalah Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, dan Gubernur. Mereka disebut tokoh antagonis karena mereka merupakan sebagai pelaku yang menentang tokoh Maryam sebagai tokoh protagonis. 2.2.2.1 Tokoh dan Penokohan Alam Alam Syah biasa dipanggil Alam. Ia merupakan seorang karyawan di perusahaan konstruksi Jakarta. Alam menjalin hubungannya bersama Maryam yang kini membuatnya bingung dengan pilihan yang harus ditentukannya. Ketika orangtua Maryam akan merestui Alam, bila ia menjadi bagian dari Ahmadiyah. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (29) Maryam menyebut namanya Alam Syah. Karyawan di perusahaan konstruksi. (Madasri, 2012: 16) (30) Lalu ibu Maryam dengan lembut bertanya, “Apa itu berarti Nak Alam sudah siap menjadi seorang Ahmadi?” Alam kebingungan. Maryam yang terkejut berseru memanggil ibunya. Beberapa detik ruangan senyap, masing-masing menahan napas penuh ketegangan. (Madasari, 2012: 18) Berdasarkan kutipan (29) dan (30) digambarkan bahwa Alam merupakan seorang yang telah bekerja di salah satu perusahaan konstruksi di Jakarta. Ia bertemu dengan Maryam di Jakrta, lalu menjalin hubungan dengan Maryam, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55 perempuan Ahmadiyah. Saat ia bertemu dengan orangtua Maryam, Alam merasa bingung akan pernyataan ibu Maryam yang baru ditemui di rumah Maryam, Lombok. Alam adalah seorang laki-laki yang tak bisa mengambil keputusan dengan tepat. Seringkali ia mencari alasan untuk mempertemukan Maryam kepada keluarganya, yang ditakuti adalah orangtuanya akan memarahi dirinya bila berhubungan dengan orang yang tak satu keyakinan dengannya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (31) Alam masih ragu mengenalkan Maryam ke orangtuanya. Pikirnya, ia baru akan mengenalkan kalau Maryam memang sudah pasti akan dinikahinya. Ia memilih menunda sampai keyakinan itu datang, daripada semuanya berantakan setelah dikenalkan. Apalagi sejak pertemuan Alam dengan orangtua Maryam. Meskipun di depan Maryam ia selalu pura-pura tak menjadikan semua itu persoalan, diam-diam ia memikirkannya dalamdalam. (Madasari, 2012: 37) Berdasarkan kutipan (31) digambarkan bahwa Alam masih sedikit raguragu memperkenalkan Maryam pada keluarganya. Ia tak ingin semuanya berantakan untuk membawa Maryam ke ajaran agamanya yaitu menjadi Islam yang dinilainya sah oleh hukum dan negara. Dari sedikit keraguannya, Alam berusaha memberanikan dirinya untuk memberitahukan latar belakang Maryam kepada orangtuanya tersebut. Alam berusaha meyakinkan orangtuanya untuk bisa menerima Maryam yang ingin ia nikahi itu. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (32) Maka Alam memberanikan diri bercerita pada ibunya tentang latar belakang Maryam. Tak bisa ia hanya diam, menyembunyikan apa yang sebenarnya diketahui dan pura-pura tak terjadi apa-apa. Bukan karena apaapa, tapi hanya ia tak bisa seperti itu. Sejak kecil begitulah Alam dibentuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56 ibunya. Tak akan ada satu keputusan pun ia ambil tanpa ibunya. Apalagi untuk urusan sebesar ini: soal jodoh dan pernikahan. Alam ingin menceritakan semuanya, membuat ibunya paham dan mengerti, lalu sepenuh hati merestui rencananya menikahi Maryam. (Madasari, 2012: 38) Berdasarkan kutipan (32) digambarkan bahwa Alam masih meragukan dirinya menceritakan tentang Maryam kapada keluarganya. Saat ia sudah yakin, ia pun menceritakan siapa sebenarnya Maryam itu. Ia berusaha membuat orangtuanya bisa mengerti dan merestui hubungannya bersama Maryam. Alam menceraikan Maryam. Alam lebih mempercayai ibunya dibandingkan dengan Maryam istrinya yang selalu menjadi istri yang penurut kepadanya, Maryam yang selalu menerima siksaan dari ibunya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (33) Dari kisah yang paling lama hingga yang paling baru. Sambil ia sedikit menyisipkan harapan, agar Alam mempertahankannya. Juga agar Alam bisa memahaminya setelah mendengar bagaimana selama ini Maryam merasa begitu tertekan. Maryam diam-diam berdoa agar Alam mau menukar perceraian dengan keputusan besar untuk kembali mempertahankan pernikahan ini sesuai dengan yang diharapkan Maryam. Tapi ternyata Alam hanya diam. (Madasari, 2012: 128) Berdasarkan kutipan (33) digambarkan bahwa Alam benar-benar bukan merupakan seorang suami yang baik dan pengertian terhadap istrinya. Maryam yang selalu tersiksa akan siksaan yang dilakukan oleh Alam dan keluarganya. Ia lepaskan Maryam begitu saja. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57 2.2.2.2 Tokoh dan Penokohan Ibu Alam Ibu Alam merupakan ibu dari Alam. Ibu Alam memiliki tiga anak, Alam anak laki-laki satu-satunya dan dua lainnya perempuan. Ibu Alam terlihat lebih muda dibandingkan dengan ibu Maryam dan Bi Zul. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (34) Ibu Alam guru SMA. Dua adik Alam, keduanya perempuan, satu baru lulus kuliah dan yang satunya masih SMA. (Madasari, 2012: 35) (35) Ibu Alam kelihatan masih muda, lebih muda daripada ibu Maryam atau Bu Zul. (Madasari, 2012: 36) Berdasarkan kutipan (34) dan (35) digambarkan bahwa Ibu Alam merupakan seorang guru SMA. Ia memiliki tiga anak. Anak pertamanya Alam, anak keduanya baru lulus kuliah dan yang satunya masih SMA. Selain itu, Ibu Alam juga terihat jauh lebih muda dibandingkan oleh Ibu Maryam dan Ibu Zul, saudaranya. Ibu Alam merupakan seorang yang tak begitu menyukai Maryam. Saat mengetahui latar belakang Maryam, Ibu Alam melarang anaknya berhubungan dengan Maryam. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (36) Ibunya berteriak menyerukan nama Alam, saat Alam mengatakan bahwa Maryam seorang Ahmadi. Semuanya di luar yang dibayangkan Alam. Ibunya kecewa dan marah. Tanpa memberi kesempatan Alam berbicara, ibunya terus menyesalkan kenapa Alam mau berhubungan dengan orang seperti Maryam. Ibunya berkata tegas, “Tinggalkan Maryam sekarang juga.” Setiap bantahan dari Alam membuat ibunya semakin gusar. Setiap kata Alam dibalas ibunya dengan rentetan kalimat. Pembicaraan itu berakhir dengan tangisan ibunya. Alam diam. Ia bingung sekaligus merasa bersalah. (Madasari, 2012: 38) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58 Berdasarkan kutipan (36) digambarkan bahwa Ibu Alam sebagai orang yang selalu mengekang hubungan anaknya bersama Maryam. Ia marah dan kecewa. Tanpa memberikan kesempatan pada Alam untuk berbicara, ia menyesalkan atas segala hubungan Maryam dengan anaknya, Alam. Ibunya yang tak terima mengenai Maryam, meminta pada Alam untuk meninggalkan Maryam. Pernikahan yang dijalankan oleh Maryam dan Alam tidak cukup sampai di situ saja, Ibu Alam selalu menyiapkan rencana untuk membuat Maryam tak bisa bertahan dalam rumah itu dengan menyinggung Maryam dengan mengatakan menambahkan ibadah. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (37) Tragedi pernikahannya sebenarnya sudah diawali sejak bulan-bulan awal. Ketika ibu Alam tak henti-henti berkata, “Ibadahnya ditambah. Biar tobatnya semakin bisa diterima.” Setiap saat, setiap ada kesempatan, ibu Alam selalu menjadikan kata-kata itu sebagai hal wajib yang harus disampaikan. (Madasari, 2012: 113) (38) Pada Sabtu pagi, ibu Alam mengundang seluruh keluarga besar. Pengajian sekaligus syukuran hari kelahiran bapak Alam. Ustaz langganan diundang. Di tengah acara, ibu Alam tiba-tiba berseru, “Pak Ustaz, tolong anak saya ini didoakan agar segera punya keturunan. Tolong dimintakan ampun kalau memang dulu pernah sesat.” (Madasari, 2012: 121) Berdasarkan kutipan (37) dan (38) digambarkan bahwa Ibu Alam selalu menyinggung-nyinggung tentang iman. Ia memperingati Maryam untuk selalu menambahi ibadahnya agar dapat diterima tobatnya. Bagi Ibu Alam, itu merupakan hal yang wajib disampaikan pada Maryam. Lain dari itu, Ibu Alam mengundang keluarga besar dan seorang Ustaz sambil meminta tolong untuk mendoakan menantunya agar kembali ke jalan yang benar supaya tak sesat lagi dan bisa memiliki keturunan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59 Ibu Alam masih saja belum bisa menerima Maryam sepenuhnya menjadi menantunya. Ibu Alam selalu menyimpan dendam dan menganggap Maryam adalah menantu yang sangat kurang ajar. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (39) Rumah itu jauh dari kata nyaman. Ibu Alam masih menyimpan dendam. Ia menganggap Maryam sudah kelewatan. Menantu yang kurang ajar. (Madasari, 2012: 125) (40) Ibu Alam pun semakin kecewa. Belum pulih hatinya setelah dilawan Maryam, kini ia merasa anaknya telah meninggalkannya. Segala ketakutan datang. Bayangan bahwa Alam telah dikendalikan istrinya, kekhawatiran bahwa Alam akan ikut terseret ke dalam kesesatan. Ketakutan yang sebenarnya diciptakan oleh pikiran-pikirannya sendiri. Ibu jatuh sakit. Sakit yang berpangkal dari pikiran lalu menyerang ke organ-organ. Banyak keluhan, mulai dari kepala, perut, hingga dada. Dokter bilang tak ada penyebab apa-apa selain karena terlalu banyak pikiran. (Madasari, 2012: 126) Berdasarkan kutipan (39) dan (40) digambarkan bahwa Ibu Alam sebagai mertua yang pendendam pada menantunya. Ia menganggap Maryam sebagai menantu yang kurang ajar. Ia merasa Alam telah berubah dan bersikap kasar kepadanya disebabkan karena ulah Maryam. Ia merasa bahwa Alam telah dikendalikan oleh istrinya dan takut akan terseret ke dalam kesesatan. Hal itulah yang membuatnya jatuh sakit akibat ia banyak pikiran yang selalu memikirkan Maryam. 2.2.2.3 Tokoh dan Penokohan Pak RT Pak RT atau Rohmat ini adalah ketua RT di daerah Gerupuk. Ia berlaku kasar kepada Maryam. Ia sangat tak menyambut kedatangan Maryam dan Umar di rumah Nur, teman semasa kecilnya tersebut. Rohmat sangat tak menginginkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60 orang-orang yang merupakan bagian dari keluarga Ahmadiyah datang di daerah tempat ia tinggal. Ia pun mengusir Maryam dengan kata-katanya yang lancang. Sampai-sampai membuat Maryam marah. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (41) Tapi Rohmat tak menyambut hangat. Wajah dan sikapnya masih dingin dan kaku seperti berbicara dengan orang yang sebelumnya tak pernah bertemu. “Sebelumnya maaf...” kata Rohmat. “Sebagai RT, yang saya inginkan hanya warga saya tenang, lingkungan aman.” Semua orang diam. Maryam makin berdebar. Raut muka Umar mendadak tak tenang. Nur dan ibunya tak menunjukkan perubahan. Entah apa yang mereka berdua pikirkan. “Kampung ini sudah tenang sekarang. Semua rukun, semuanya damai. Saya minta tolong, jangan lagi diganggu-ganggu,” kata Rohmat. (Madasari, 2012: 207) (42) Rohmat menunjuk ke arah orang-orang yang baru datang. “Jangan sampai tambah banyak warga yang datang ke sini lalu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya. (Madasari, 2012: 209) Berdasarkan kutipan (41) dan (42) digambarkan bahwa Rohmat merupakan ketua RT di kampung Gerupuk tersebut. Kedatangan Maryam tak disambutnya dengan hangat. Ia bersikap dingin dengan menunjukkan kesombongannya yang tak menyukai kehadiran Maryam di tempat itu. Ia pun mengusir Maryam sambil mengatakan kampung yang mereka tempati sudah tenang. Semua rukun, semua damai sambil memberikan peringatan dengan kata kasar sambil berkata “Jangan sampai tambah banyak orang yang datang agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61 2.2.2.4 Tokoh dan Penokohan Pak Haji Pak Haji mendatangi rumah Nur, teman Maryam, ia dan pak RT. Maryam mengenal pria ini adalah seorang haji. Pak haji pun tak segan-segan menegur Maryam seraya memperingati Maryam agar tak datang ke kampungnya lagi. Dengan semena-menanya pak haji membentak Maryam. Selain itu, ia juga langsung mengusir Maryam dan Umar secara tidak hormat. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (43) Laki-laki yang satu terlihat tua. Berjenggot putih, berbaju putih, berpeci putih bahan rajut. Di bagian bawah ia kenakan sarung warna cokelat. Maryam masih bisa mengenal laki-laki yang lebih tua itu. Dia dulu guru mengaji anak-anak di masjid Gerupuk. Meski tak pernah ikut mengaji di masjid itu, Maryam sering melihat laki-laki itu pulang bersama temantemannya. Sekarang laki-laki itu tampak tua. Maryam menebak ia pasti sudah menjadi imam di masjid kampung, menggantikan imam sebelumnya yang pasti sudah meninggal. Apalagi orang itu sudah mengenakan peci putih. Tanda bahwa dia sudah menjadi haji. Penanda yang masih tetap diteruskan di kampung ini sampai sekarang. (Madasari, 2012: 206) (44) “Sudahlah, Nak... tak ada gunanya meributkan hal yang sudah jelas. Masih banyak kesempatan untuk bertobat,” potong Pak Haji. Masih dengan nada lembut. (Madasari, 2012: 208) Berdasarkan kutipan (43) dan (44) digambarkan bahwa Pak Haji dikenal sebagai Ustaz di masjid tempat Maryam dan keluarganya tinggal dulu. Jenggotnya yang berwarna putih, jubahnya berwarna putih, berpeci putih, dan bahan rajut. Ia juga yang pernah mengajar anak-anak mengaji di masjid Gerupuk. Pak haji bertindak sesukanya dengan mengusir Maryam dari kampung itu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62 2.2.2.5 Tokoh dan Penokohan Gubernur Gubernur seharusnya merupakan seorang yang dapat bertanggung jawab pada rakyatnya bila rakyatnya menderita. Gubernur justru tak pernah membantu Maryam dan keluarganya untuk keluar dari pengusiran yang dilakukan oleh kelompok penentang. Ia selalu mencari berbagai alasan untuk menghindari orangorang Ahmadiyah yang sedang mengungsi akibat pengusiran. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (45) Zulkhair bersama pengurus lainnya telah beberapa kali datang ke kantor Gubernur. Katanya, mereka seperti mengulang apa yang terjadi empat tahun lalu. Datang ke Gubernur, meminta penjelasan kapan mereka bisa kembali ke rumah masing-masing. Gubernur tak pernah bisa memberi jawaban pasti. Pada kedatangan terakhir, Zulkhair dan pengurus lain marah besar. Mereka tak mau lagi datang ke kantor Gubernur sampai sekarang. “Gubernur macam apa, malah menyalahkan kita,” kata Zulkhair berulang kali. (Madasari, 2012: 246) Berdasarkan kutipan (45) digambarkan bahwa Gubernur merupakan seorang pemimpin yang tak pernah peduli pada rakyatnya. Ia selalu menyalahkan kelompok Ahmadiyah karena telah membentuk organisasi sendiri. Banyak yang marah kepadanya karena tak tegas menjadi seorang Gubernur dan tak pernah membela kelompok Ahmadiyah untuk bisa kembali ke rumah mereka masingmasing. Saat Gubernur membicarakan tentang pimpinannya, pembicaraannya bersama Zul, Maryam, dan Umar dipotong langsung oleh Maryam. Wajah Gubernur ini menunjukkan bahwa ia sedang kesal pada sikap Maryam. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63 (46) “Maaf, Pak Gub, jadi bagaimana nasib kami yang di Transito ini? Kapan bisa kembali ke rumah kami?” tanya Maryam. Ia memotong cerita Gubernur. Gubernur mengernyitkan dahi. Raut mukanya mendadak berubah. Antara sedang berpikir dan merasa tak suka. Seolah sedang purapura tak mendengar apa yang ditanyakan Maryam. Baru saat Gubernur mengeluarkan suara, mereka sama-sama mengangkat muka, memandang ke arah Gubernur, berusaha menunjukkan benar-benar sedang mendengarkan. (Madasari, 2012: 248) Berdasarkan kutipan (46) digambarkan bahwa Gubernur begitu tak menyukai sikap Maryam yang berani-beraninya memotong pembicaraannya di tengah-tengah ia sedang mengatakan atas tanggung jawabnya sebagai pemimpin di wilayah Lombok dan NTB. Raut mukanya berubah, kemudian ia menunjukkan antara sedang berpikir dan merasa tak suka. Seolah-olah sedang berpura-pura tak mendengar apa yang ditanyakan Maryam. Gubernur pun menegaskan pendapatnya kepada Maryam, Zulhair, dan Umar bahwa ini adalah demi kebaikan bersama, jadi seharusnya membiarkan mereka mengungsi saja. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (47) “Saya ini harus bagaimana lagi,” kata Gubernur. “Sudah berkali-kali saya jelaskan, semua ini demi kebaikan bersama. Mau kembali ke sana sekarang lalu ada kerusuhan?” tanyanya sambil menatap muka Maryam. “Tapi itu rumah kami, Pak. Bukankah kita punya hukum? Siapa yang mengganggu dan siapa yang diganggu?” Maryam balik bertanya. (Madasari, 2012: 248) Beradasarkan kutipan (47) digambarkan bahwa Pak Gubernur marah. Marah pada Maryam. Baginya, ia sudah berkali-kali menyatakan bahwa ini semua adalah demi kebaikan mereka secara bersama. Ia tak ingin bila mereka kembali ke rumah masing-masing yang nantinya akan menimbulkan kerusuhan lagi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64 Menanggapi hal itu, Gubernur memberikan pernyataan sambil mengingatkan Zulkhair sebagai ketua organisasi untuk bisa memahami akan itu semua. Ia tahu betul tentang Ahmadiyah itu, karena ia merasa bahwa ia telah bertanggung jawab kepada keluarga-keluarga Ahmadiyah. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (48) “Pak Zul,” kata Gubernur. Kini pandangannya beralih ke arah Zulkhair. “Anda ketua organisasi. Juga pegawai pemerintah. Tahu mana yang benar dan mana yang salah...” Gubernur memenggal kalimatnya, seperti menunggu tanggapan dari Zulkhair. Tapi Zulkhair hanya diam. “Semua hal tentang Ahmadiyah itu sudah saya pegang,” lanjutnya. (Madasari, 2012: 249) Berdasarkan kutipan (48) digambarkan bahwa Gubernur benar-benar marah. Ia menyatakan pada Zulkhair sebagai ketua organisasi bahwa sebagai ketua, ia tahu betul mana yang salah dan mana yang benar. Ia memberikan pernyataan bahwa semua hal yang mengenai Ahmadiyah telah diatur olehnya untuk ke depannya. Pak Gubernur tak bisa memahami Maryam dan keluarganya hidup dalam tempat pengungsian menyinggung mereka dengan kata-kata yang tak seharusnya dikatakan sebagai orang yang mempunyai jiwa kepemimpinan. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (49) Ruangan itu kembali sunyi. Muka Gubernur memerah. Kerutan di keningnya bertambah. Ia sedang memikirkan kata-kata yang paling tepat. “Sekarang mau kembali ke Gegerung. Tapi kenapa selalu mau ekslusif? Apa-apa sendiri. Tidak mau berbaur. Salat Jumat sendiri. Siapa yang tidak marah?” (Madasari, 2012: 249) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65 (50) “Itu urusan kami, Pak, mau salat Jumat di mana,” jawab Umar. “Ini soal rumah kami yang dirampas. Kami diusir dari rumah sendiri!” ”Bukan soal pengusiran! Bantah Gubernur. Suaranya meninggi. “Ini soal bagaimana agar kita damai. Tak ada kekerasan. Kalian cuma ratusan. Orang-orang itu ribuan. Bisa jadi puluhan ribu kalau datang juga dari mana-mana. Lebih mudah mana, mengungsikan kalian atau mengungsikan mereka?” (Madasari, 2012: 249) Berdasarkan kutipan (49) dan (50) digambarkan bahwa Pak Gubernur yang semula wajahnya tak memerah, kini memerah. Ia menyatakan pada Maryam buat apa harus kembali ke Gegerung, kalian sudah cukup aman berada di pengungsian. Ia semakin marah sambil berkata dengan nada tinggi. Sekali lagi ia katakan bahwa agar semua ini bisa tenang dan damai tak ada kekerasan. Gubernur pun semakin tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia menyatakan kepada Maryam, bila ingin kembali ke rumah masing-masing harus meninggalkan Ahmadiyah, dan ia akan mengatur itu semua. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (51) “Jadi hanya karena mereka banyak, lalu kami yang harus mengalah?” tanya Maryam. Gubernur berdecak sambil menggeleng. “Sudahlah. Tak ada ujungnya kalau bicara seperti ini,” katanya. “Pilih saja. Keluar dari Ahmadiyah lalu pulang ke Gegerung atau tetap di Transito sampai kita temukan jalan keluarnya. (Madasari, 2012: 249) Berdasarkan kutipan (51) digambarkan bahwa Gubernur menyudahi pembicaraan dengan begitu saja. Ia langsung berkata bila ingin kembali harus meninggalkan Ahmadiyah dan akan mencari jalan keluarnya nanti. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66 2.3 Alur atau Plot Menurut Nurgiyantoro (2007: 149), tahapan alur dibagi menjadi lima bagian, yaitu (i) tahap penyituasian atau tahap situation, (ii) tahap pemunculan konflik atau tahap generating circumstances, (iii) tahap peningkatan konflik atau tahap rising action, (iv) tahap klimaks atau tahap klimax, dan (v) tahap penyelesaian atau tahap denouement. 2.3.1 Tahap Penyituasian (tahap situation) Pada tahap penyituasian dalam novel Maryam, awal cerita diawali dengan flashback (kilas balik) mengenai kehidupan Maryam yang telah menjadi seorang janda semenjak ia bercerai dengan suaminya, Alam. Maryam yang tak tahan akan kehidupannya sebagai istri yang sudah cukup banyak bersabar akan kecurigaan dan kepalsuan. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (52) Perkawinan yang umurnya belum genap lima tahun itu karam. Maryam yang memilih keluar. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa selama itu bertahan. Berusaha membangun kebahagiaan di tengah-tengah kecurigaan dan kepalsuan. Ia selalu berpikir, yang penting Alam, suaminya itu, tulus mencintainya tanpa prasangka. Tapi siapa yang menyangka nyali laki-laki yang dicintainya hanya sebatas bualan? Sepenuh hati Maryam datang ke pengadilan agama meminta perceraian. Tak butuh waktu terlalu lama, dua minggu saja, permohonannya dikabulkan. Alam melepasnya begitu saja, mertuanya ikut melancarkan segala urusan. Menjadi saksi yang menunjukkan perpisahan inilah yang terbaik untuk keduanya. (Madasari, 2012: 15) Selanjutnya dipaparkan bahwa Maryam merupakan keluarga yang berasal dari Ahmadiyah. Di mana kakek dan nenek Maryam menurunkannya pada anaknya yang sekarang menjadi bapak dari Maryam, yaitu Pak Khairuddin. Kakek Maryam bukanlah seorang yang tak mengenal agama. Kakek Maryam menjadi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67 pemeluk agama yang sangat taat menjadi Islam. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (53) Keluarga Maryam menjadi Ahmadi tidak tiba-tiba. Pak Khairuddin sudah menjadi Ahmadi sejak lahir. Kakek dan nenek Maryam-lah yang menjadi pemula, lebih dari tujuh puluh tahun lalu. (Madasari, 2012: 53) (54) Kakek Maryam bukan orang yang belum kenal agama. Ia pemeluk Islam yang taat, membaca Al Quran dengan indah, hafal banyak surat, dan tahu banyak cerita tentang malaikat-malaikat dan nabi-nabi. Semua diajarkan oleh bapaknya, kakek buyut Maryam. Meski tak pernah sekolah dan tak tahu huruf Latin, mereka menguasai ilmu agama dengan baik. Karena dianggap orang yang paling tahu di Gerupuk, kakek Maryam sering diminta menjadi imam dan khatib di masjid kampung. Ada tanda hitam di keningnya. Bekas terlalu banyak sujud. Tanda hitam itu juga yang membuat orang-orang memercayainya untuk jadi imam atau khatib. (Madasari, 2012: 53) (55) Kakek Maryam kini sudah memilih jalan yang berbeda. Islam-nya tak lagi sama. Orang-orang pun mengerti. Entah benar-benar paham atau sekadar tak mau pusing. Tak ada yang menjadikan semua itu masalah. Semua orang masih menghormati kakek Maryam sebagai sesepuh kampung ini. (Madasari, 2012: 54) Dalam novel Maryam, tahap penyituasian diawali dengan kilas balik (flash back) mengenai kehidupan Maryam yang telah menjadi janda setelah bercerai dengan Alam. Selanjutnya diketahui bahwa Maryam berasal dari bagian keluarga Ahmadiyah. 2.3.2 Tahap Pemunculan Konflik (tahap generating circumstances) Pada tahap pemunculan konflik dalam novel Maryam, menceritakan perjalanan kembalinya Maryam kepada orangtuanya. Penyesalan Maryam pun semakin mendera. Mengetahui orangtuanya telah diusir dari kampungnya sendiri, ia merasa sedih dan merasa telah menyakiti hati kedua orangtuanya. Kepulangan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68 Maryam dimaksudkan bukan untuk menolong jemaahnya melainkan menebus rasa bersalahnya terhadap ibunya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (56) Maryam memang malu. Malu karena tak tahu apa-apa yang terjadi pada keluarganya. Malu karena tidak melakukan apa-apa, ketika keluarganya terusir karena mempertahankan iman. Maryam juga menyesal. Menyesal atas semua yang dilakukannya demi Alam. Menyesali segala keputusannya untuk menikah dengan Alam, tanpa memedulikan apa yang dikatakan orangtuanya. Tapi entah kenapa, Maryam sama sekali tak malu dan menyesal telah jauh meninggalkan keimanannya. Ia juga tak tahu kenapa tak ada ruang lagi dalam hatinya untuk kembali meyakini apa yang sejak kecil diperkenalkan, yang beberapa tahun lalu telah ia tinggalkan. Ia pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya. Ia terharu, ia bangga, ia menitikkan air mata atas kegigihan dan kekokohan keluarganya mempertahankan iman. Ia marah, ia dendam, ia tak bisa memaafkan orang-orang yang merongrong keluarganya karena dianggap tak benar. Tapi tidak, Maryam sama sekali tak pulang untuk iman. (Madasari, 2012: 77-78) Tidak hanya diusir dari rumah saja. Orang-orang telah berpikir bahwa nama Pak Khairuddin sudah tak ada lagi. Setelah mendengarkan cerita Zulkhair, Maryam memikirkan apa yang diungkapkan oleh laki-laki bernama Jamil. Lakilaki yang pernah bekerja menjadi bawahan Pak Khairuddin. Mereka menjadikan Pak Khairuddin dan keluarganya sebagai keluarga yang mengundang aib untuk kampung mereka sehingga akan menjadi malapetaka untuk orang-orang yang tinggal di daerah tersebut. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (57) Mendengar cerita Zulkhair seperti melanjutkan potongan kisah yang terpenggal dari Jamil. Yang diketahui Jamil berakhir seiring laju roda pikap meninggalkan Gerupuk. Begitu pikap menghilang di tikungan jalan, lenyap pula segala yang diketahui Jamil tentang keluarga Maryam. Pak Khairuddin dan keluarganya telah dianggap tidak ada. Tak seorang pun berani mneyebut tentang keluarga itu. Pak Khairuddin dan keluarganya seperti telah menjadi aib Gerupuk yang harus ditimbun dalam-dalam. (Madasari, 2012: 68) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69 Pak Khairuddin bukanlah orang yang sembarangan. Dalam kesehariannya Pak Khairuddin dipandang sebagai orang yang peduli terhadap sesama. Ia merupakan orang terpandang secara ekonomi dari sebagian jemaah lainnya. Maryam mempertanyakan apa yang menyebabkan orang-orang berubah menjadi beringas dengan seenaknya mengusir keluarganya dari rumah yang dimiliki dari kakeknya dan tanah yang dibeli dari hasil bekerja. Ia tidak pernah melihat ini sebelumnya namun saat mengetahui orangtuanya diusir, ia bisa merasakan kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh keluarganya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (58) Maryam mengangguk-angguk mengerti. Di pulau ini, orang-orang Ahmadi yang berhasil secara ekonomi bisa dihitung dengan jari. Dan bapaknya adalah satu-satunya Ahmadi dari desa yang punya usaha dan selalu punya kelebihan rezeki. Orang-orang Ahmadi lain yang mampu tinggal di pusat kota ini. Tak ada kerusuhan di kota. Tak ada satu pun orang Ahmadi di kota yang terusir. Maryam bertanya penuh keheranan, kenapa tidak semua tempat bisa damai seperti ini? (Madasari, 2012: 70) (59) Maryam menarik napas panjang. Ia menggerutu dalam hati. Memaki-maki orang-orang desa yang mau dibodohi. Tidakkah mereka bisa berpikir sejenak, menimbang-nimbang mana yang benar dan mana yang hanya hasutan? Tapi Maryam kemudian disadarkan oleh kata-kata Zulkhair. “Kalau di pusat kota seperti ini kebanyakan orang-orangnya lulus sekolah. Punya pekerjaan. Tak ada waktu mengurus begituan,” kata Zulkhair. Lalu Maryam bertanya, kenapa tiba-tiba orang-orang desa bisa berubah beringas seperti itu? Sejak lahir ia tinggal di Gerupuk, kata Maryam, tak pernah seorang pun yang meributkan soal keyakinan keluarganya. Semua rukun, semua damai, bahkan tak pernah peduli kenapa keluarga Khairuddin tak pernah ikut salat di masjid mereka. Zulkhair tak menjawab. Ia hanya mengangkat pundaknya, seolah ingin berkata, “Entahlah.” (Madasari, 2012: 70-71) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70 Mendengar cerita Zulkhair, Maryam merasa malu. Ia tahu akan perkataan Zulkhair yang menyinggung tentang dirinya, ketika Zulkhair berusaha meyakinkan Maryam bahwa iman orang-orang Ahmadiyah, tak bisa dikalahkan hanya sekadar oleh penderitaan. Namun, ia sendiri tidak merasakan sedikit penyesalan meninggalkan keimanannya. Baginya, ia kembali bukan untuk iman melainkan untuk keluarganya. Ia bisa merasakan ketangguhan keluarganya menghadapi peristiwa ini. Ia kembali menitikkan air mata dan bangga. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (60) “Meski demikian, dalam segala keputusasaan, tak ada satu pun yang berpikir untuk meninggalkan keimanan,” kata Zulkhair. Ia mengulang kalimat itu berkali-kali. Ada nada syukur dan bangga. Seolah ia ingin meyakinkan pada Maryam bahwa iman orang-orang Ahmadi tak bisa dikalahkan hanya sekadar oleh penderitaan. Tapi dalam telinga Maryam, pengulangan itu seperti sindiran. Ia merasa Zulkhair sedang membicarakan dirinya, ingin membuatnya malu dan menyesal atas apa yang dilakukan. Maryam memang malu. Malu karena tak tahu apa-apa yang terjadi pada keluarganya. Malu karena tidak melakukan apa-apa, ketika keluarganya terusir karena mempertahankan iman. Maryam juga menyesal. Menyesal atas semua yang dilakukannya demi bersama Alam. Menyesali segala keputusannya untuk menikah dengan Alam, tanpa memedulikan apa yang dikatakan orangtuanya. Tapi entah kenapa, Maryam sama sekali tak malu dan menyesal telah jauh meninggalkan keimanannya. Ia juga tak tahu kenapa tak ada ruang lagi dalam hatinya untuk kembali meyakini apa yang sejak kecil diperkenalkan, yang beberapa tahun lalu telah ia tinggalkan. Ia pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya. Ia terharu, ia bangga, ia menitikkan air mata atas kegigihan dan kekokohan keluarganya mempertahankan iman. Ia marah, ia dendam, ia tak bisa memaafkan orang-orang yang merongrong keuarganya karena dianggap tak benar. Tapi tidak, Maryam sama sekali tak pulang untuk iman. Kesadaran itu membuat Maryam mendapatkan kembali seluruh kepercayaan dirinya. Kata-kata Zulkhair tak lagi terdengar seperti sindiran. Ia kembali menyimak cerita Zulkhair sepenuhnya, merekam dalam ingatannya, ia ingin menyimpan semuanya, seolah-olah ia sendiri ikut melihat dan mengalaminya. (Madasari, 2012: 78) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71 Dalam novel Maryam, tahap pemunculan konflik menceritakan perjalanan pulang Maryam yang ingin mencari kedua orangtuanya. Saat tahu keluarganya diusir dan telah dianggap aib di kampung itu, tak ada seorang pun yang berusaha mempertahankan keluarga Pak Khairuddin untuk tidak diusir. Mengetahui hal itu, Maryam dari dulu tak pernah tahu akan kejadian ini sebelumnya namun saat mengetahui orangtuanya diusir, ia bisa merasakan kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh keluarganya. Meskipun Maryam bisa merasakan penyesalan yang mendalam tak mengalami kejadian yang menimpa keluarganya yang bisa menahan penderitaan dan kesakitan ia tak pernah menyesal yang pernah meninggalkan iman. 2.3.3 Tahap Peningkatan Konflik (tahap rising action) Pada tahap peningkatan konflik dalam novel Maryam, diawali dengan kemarahan Maryam terhadap orang-orang yang mengusir keluarganya. Ia tak pernah menyangka peristiwa ini terjadi. Di saat ia tak ada di sisi keluarganya, ia tak bisa menerima dengan semua perbuatan mereka terhadap keluarganya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (61) “Aku masih tak terima. Tapi harus pura-pura ikhlas karena Bapak dan Ibu pun sudah merelakannya. Tak mau megungkit-ungkit karena itu akan membuat mereka sedih,” kata Maryam dengan suara lebih keras dan nada lebih tegas. Tapi air matanya masih tetap mengalir. (Madasari, 2012: 170) (62) “Aku masih tak bisa menerima orangtua dan adikku pernah hidup di pengungsian. Sementara rumah yang dibangun susah payah tak boleh digunakan...” Suara Maryam mulai memelan. Isakannya juga melemah. Maryam terlihat sudah lebih tenang. (Madasari, 2012: 170-171) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72 Peningkatan konflik selanjutnya, Maryam dan Umar mencari tahu lakilaki yang ternyata mencabuli beberapa perempuan adalah seorang dukun. Hal ini yang mengundang tanya pada Maryam, sambil mengingat seperti inikah keluarganya diusir waktu itu dan mengapa mereka main hakim sendiri tanpa melaporkannya pada polisi. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (63) “Guru mengaji ternyata dukun. Dukun sesat. Cabul!” kata laki-laki itu dengan suara lantang. Laki-laki itu menyebut nama Abah Aziz, pemilik rumah yang baru saja dibakar. “Ite7 pikir iye8 orang baik. Guru mengaji. Muridnya sudah banyak. Delapan puluh orang ada. Tiap hari mengaji di sini.” “Kenapa bisa sesat?” tanya Maryam. Ia disekap. Iye laporan ke ite.” “Abah Aziz mati dibakar?” tanya Umar. “Ndeq9. Sudah kabur. Ite mau lapor polisi. Biar diburu. Dipenjara.” (Madasari, 2012: 177) (64) “Mungkin seperti itu juga waktu Bapak dan Ibu diusir,” kata Maryam tibatiba. “Tidak ada pembakaran...” jawab umar. “Hanya belum kejadian saja. Karena Bapak cepat-cepat mengalah dan pergi...” “Tapi ini berbeda, Maryam,” Umar memotong dengan cepat. “Dukun itu salah. Dia menyekap orang, mencabuli seenaknya...” “Kenapa tidak lapor polisi?” Maryam menyambar dengan suara tinggi. Umar tersentak mendengar pertanyaan Maryam. Ia tak bisa buru-buru menjawab. “Ya, memang harusnya lapor polisi... tapi mungkin orangorang sudah tak bisa lagi menahan marah,” kata Umar setelah diam agak lama. “Ya kalau yang dikatakan orang-orang itu memang benar. Bagaimana kalau ternyata hanya fitnah? Bagaimana juga kalau yang tak salah nanti terbakar?” lagi-lagi Maryam bicara dengan suara tinggi. Meski nadanya menyerupai pertanyaan, ia sama sekali tak butuh jawaban. (Madasari, 2012: 178) Dalam novel Maryam diceritakan bahwa adanya pertemuan Maryam dan Nuraini, teman kecilnya dulu. Setelah bercerita dan bercanda, Maryam dan Umar dikejutkan dengan kondisi yang menyesakkan, mereka diusir dari kampung itu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73 yang dulu pernah menjadi tempat tinggal Maryam sebelum diusir. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (65) Maryam merangkul Nur. Entah kenapa tiba-tiba air mata berdesakan ingin keluar dari matanya. Maryam menahan sekuat tenaga. Perjumpaan tak sengaja ini menghadirkan rasa haru dalam dirinya. Betapa masa lalu, apalagi masa-masa yang membahagiakan, tetapi punya ruang sendiri di hatinya. Tak bisa tergusur dan hilang meski ia berkeras tak mau megingatnya. (Madasari, 2012: 192) (66) “Tolong pulang saja... jangan sampai ada apa-apa di rumah ini,” katanya pelan. Maryam membelalak tak percaya. Ia marah pada Nur yang ternyata sama saja dengan orang-orang. Umar bergerak cepat. Menyentuh pundak Maryam dan memberinya isyarat untuk meninggalkan tempat ini. Muka Maryam merah padam. Matanya berkaca-kaca. Sambil mengikuti langkah Umar ia berteriak-teriak. “Kalian semua bukan manusia!” “Yang sesat itu kalian, bukan kami!” “Rumah itu milik kami. Kalian semua perampok!” (Madasari, 2012: 211) Tahap peningkatan konflik pun terjadi ketika pengajian empat bulanan kehamilan Maryam. Ketegangan memuncak dan mencekam ketika polisi datang dengan tegas meminta kaum Ahmadiyah untuk meninggalkan rumah mereka. Ketakutan, kesedihan, dan rasa marah mencuat yang didramatisir dengan rubuhnya seorang wanita tua serta isak tangis para ibu Ahmadiyah dan anak-anak. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (67) Orangtua Maryam sudah memilih hari pada pertengahan Ramadan untuk menggelar pengajian empat bulan kehamilan Maryam. Pengajian akan diakhiri dengan buka puasa bersama. Persiapan sudah dilakukan sejak tiga hari sebelumnya. Ibu Umar ikut berbelanja sesuai bagian yang telah mereka atur bersama. Pengajian ini akan mengundang seluruh anggota organisasi. Sekaligus menggantikan pengajian rutin yang diadakan organisasi seminggu sekali. (Madasari, 2012: 220) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74 (68) Komandan mulai kehilangan kesabaran. “Semua terserah kalian!” teriaknya. “Kalau memang mau mati semua di sini, silakan! Kami sudah menawarkan jalan keluar terbaik! Mengungsi dulu biar semuanya selamat!” (Madasari, 2012: 227) (69) Tiba-tiba seorang perempuan tua roboh. Tamu yang datang dari jauh. Satu daerah di bagian timur Lombok. Dia datang bersama anak laki-laki satusatunya dengan menggunakan angkutan umum. Selama ini mereka memang rajin datang ke pengajian. Meski tak seminggu sekali, setidaknya mereka selalu muncul sekali sebulan. Ibu tua itu sudah lama menjadi Ahmadi. Semua orang di dalam berteriak saat tubuh itu terkulai. Anak lakilakinya yang berada di luar langsung lari ke dalam, sambil berseru memanggil ibunya. Yang lainnya juga ikut bergerak. Mendekat ke pintu rumah. Salah satu dari mereka memberi aba-aba, menunjuk Umar dan dua laki-laki lain yang terihat masih muda untuk menggotong tubuh perempuan tua itu dan membawa mereka ke rumah sakit. (Madasari, 2012: 227-228) Dalam novel Maryam, tahap peningkatan konflik diawali dengan kemarahan Maryam yang semakin tak bisa menerima dengan kejadian yang dialami oleh keluarganya di saat ia tak ada bersama mereka waktu itu. Kemudian, peristiwa adanya dukun cabul yaang menambahkan permasalahan di tempat itu, sehingga Maryam pun memandang bahwa peristiwa tersebut tak jauh berbeda dengan peristiwa pengusiran terhadap kedua orangtuanya. Sementara itu, tahap peningkatan konflik juga terjadi ketika pertemuan Maryam dan Nuraini, Maryam tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan dua laki-laki yang berniat mengusir Maryam dari rumah Nuraini. Hal itu membuat Maryam marah besar pada semua orang terutama Nur yang awalnya mengatakan bahwa ia akan mempercayai Maryam. Selanjutnya, tahapan peningkatan konflik terjadi lagi ketika adanya pengajian empat bulanan pada kehamilan Maryam. Maryam dan lainnya yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75 terkejut akan sikap polisi yang anarkis. Hal itu pula yang membuat seorang perempuan tua roboh akibat peristiwa yang terjadi di hari itu. 2.3.4 Tahap Klimaks (tahap climax) Peningkatan konflik berupa penolakan kelompok penentang terhadap Maryam yang mencapai puncaknya pada penolakan kelompok Ahmadiyah. Adanya penolakan yang dilakukan oleh kelompok penentang terhadap kelompok Ahmadiyah yang tak menginginkan kelompok Ahmadiyah memasuki wilayah yang menjadi perebutan mereka. Terlihat bahwa klimaks dalam novel ini adalah penolakan yang dilakukan oleh kelompok penentang yang tak menginginkan Pak Khairuddin yang telah meninggal dimakamkan di tempat pemakaman umum. Bagi kelompok penentang, yang berhak dimakamkan di pemakaman tersebut adalah orang yang suci. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (70) (71) Tempat pemakaman yang ada di Gerupuk adalah pemakaman umum. Berada di ujung kampung, berbatasan dengan laut. Rombongan mobil itu melewati jalan utama Gerupuk. Orang-orang yang ada di depan rumah memandang iring-iringan itu penuh tanya. “Siapa yang meninggal?” tanya setiap orang ke orang di dekatnya yang juga sama-sama tak tahu jawabannya. (Madasari, 2012: 262) “Warga tidak mengizinkan Pak Khairuddin dimakamkan di sini.” “Kenapa? Apa dasarnya tidak mengizinkan?” Maryam berteriak dari kejauhan. Kini ia berjalan mendekat kerumunan laki-laki itu. “Makam ini milik warga Gerupuk. Mereka bisa menentukan siapa yang boleh dimakamkan di sini dan siapa yang tidak,” jawab Rohmat. Suaranya tenang. Seolah yakin apa yang dikatakannya benar dan akan didengar. (Madasari, 2012: 263) Pada tahapan klimaks ini, terlihat bahwa orang-orang yang berkelakuan sebagai kelompok penentang sangat menginginkan menjadi penentang untuk melawan kelompok Ahmadiyah. Mereka akan melakukan segala cara untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76 menghancurkan kelompok Ahmadiyah, yang dinilai sebagai “aliran sesat” bagi mereka. Seperti pada klimaks yang terjadi pada saat kematian Pak Khairuddin yang akan direncanakan dimakamkan di pemakaman umum, kelompok penentang sangat menolak kehadiran orang-orang yang datang ke tempat itu, mereka masih saja menganggap Ahmadiyah adalah sesat yang tak bisa dipandang sebagai ajaran yang benar. 2.3.5 Tahap Penyelesaian (tahap denouement) Pada tahap penyelesaian dalam novel Maryam, diawali dengan usaha Maryam yang tak tahan lagi berada dalam pengungsian, berusaha mencari keadilan kepada pemerintah untuk bisa mempercayai mereka. Bahwa mereka tidak pernah mencari keributan. Mereka diusir dari rumah yang sebenarnya rumah itu masih menjadi milik mereka. Orang-orang Ahmadiyah selalu mencari uang dengan bekerja. Bagi Maryam, ini sangatlah tidak adil. Tak seharusnya kepercayaan mereka dikatakan “sesat”. Maryam pun menulis sebuah surat. Maryam berharap surat yang kali ini bisa ditanggapi. Mereka tak bisa menahan lagi dengan hidup yang bersesakan. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (72) Januari 2011 Saya Maryam Hayati. Ini surat yang saya kirim ke Bapak. Semoga surat saya kali ini bisa mendapat tanggapan. Hampir enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami terpaksa tinggal di pengungsian, di Gedung Transito, Lombok. Selama itu kami berbagi ruangan dengan membuat kamar-kamar bersekat kain. Lebih dari dua ratus orang hidup bersama di situ. Setiap hari kami memasak di dapur umum, yang sebenarnya juga tak layak disebut dapur. Hanya karena kami meletakkan kompor di situ dan memasak di situ setiap hari, tempat sempit di sebelah kamar mandi itu menjadi dapur. Setiap pagi kami mengantri untuk buang air besar, anak- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77 anak yang mau sekolah mandi di luar kamar mandi, dengan ember besar berisi air. (Madasari, 2012: 273) (73) Kami hanya ingin pulang. Ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli dengan uang kami sendiri. Rumah yang berhasil kami miliki lagi dengan susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung-kampung kami. Rumah itu masih ada di sana. Sebagian ada yang hancur. Bekas terbakar di mana-mana. Genteng dan tembok yang tak lagi utuh. Tapi tidak apaapa. Kami mau menerimanya apa adanya. Kami akan memperbaiki sendiri, dengan uang dan tenaga kami sendiri. Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram. (Madasari, 2012: 274) Usaha Maryam tak cukup sampai di situ saja, ia tetap memohon dan memohon pada pemerintah untuk bisa melindungi dirinya yang diusir dari rumahnya sendiri. Ia tak meminta lebih, yang terpenting baginya adalah ia bisa kembali ke rumah dan hidup dengan damai. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (74) Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anakanak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri. Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri, kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang bisa diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini? Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu? Salam hormat, Atas nama warga Gegerung yang diusir Maryam Hayati (Madasari, 2012: 274-275) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78 2.4 Latar atau Setting Latar adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan terjadinya suatu peristiwa. Unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Ketiga unsur tersebut akan diuraikan di bawah ini. 2.4.1 Latar Tempat Dalam novel Maryam karya Okky Madasari terdapat beberapa lokasi sebagai landasan tempat penceritaan, antara lain: Lombok, Gerupuk, Gegerung, dan Gedung Transito. 2.4.1.1 Lombok Lombok merupakan wilayah kampung halaman Maryam. Ia kembali ke Lombok untuk mencari kedua orangtuanya yang telah ia tinggali selama beberapa tahun lamanya hanya demi laki-laki yang ia cintai, ternyata memberikannya harapan palsu. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (75) Hari itu juga Maryam meninggalkan daerah selatan. Menyusuri jalan raya, menuju utara. Melewati pusat Kecamatan Sengkol, tempat ia bersekolah SMP dan SMA, juga tempat bapaknya dulu tiap hari membawa keranjangkeranjang berisi ikan untuk dijual di pasar. Terus berjalan melalui kotakota kecamatan lain: Panujak, Kediri, Cakranegara, hingga Mataram, dari pusat Lombok itulah ia akan mencari di mana bapak, ibu, dan adiknya berada. (Madasari, 2012: 60) Berdasarkan kutipan (75) digambarkan bahwa Lombok merupakan wilayah tempat tinggal Maryam beserta keluarganya. Ia kembali ke Lombok tersebut setelah ia lama tak pernah mendatangi kota dan menemui kedua PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79 orangtuanya tersebut setelah ia tinggalkan demi laki-laki yang tak bertanggung jawab kepadanya. 2.4.1.2 Gerupuk Gerupuk merupakan kampung kecil yang berada di pesisir selatan Lombok. Kampungnya para nelayan untuk mencari ikan di laut. Di tempat inilah, Maryam bersama orangtua dan adiknya tinggal sebelum ia diusir dari tempat itu. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (76) Gerupuk hanyalah kampung kecil di sudut timur pesisir selatan Lombok. Nyaris tak dikenal. Peta-peta wisata menggambarkan hanya Kuta sebagai satu-satunya nama tempat di sepanjang garis pantai itu. Baru tahun-tahun belakangan, ketika orang-orang asing mulai mengetahui ada ombak tinggi di kampung ini, Gerupuk mulai didatangi. Itu pun hanya oleh mereka yang ingin mencari kepuasan berdiri di papan selancar, menaklukkan ombak yang bergulang tinggi. Semuanya orang asing. (Madasari, 2012: 41) (77) Pikiran Maryam langsung menerawang ke masa-masa ia masih tinggal di Gerupuk bersama keluarganya. Masa-maasa jauh sebelum ia datang ke Jakarta, dan jauh sebelum keluarganya terusir dari rumah yang telah puluhan tahun mereka tinggali. (Madasari, 2012: 169) Berdasarkan kutipan (76) dan (77) digambarakan bahwa keindahan Gerupuk yang merupakan tempat para nelayan mencari uang di sebuah pesisir pantai, Lombok. Gerupuk juga merupakan kenangan manis bagi Maryam. Ia mengingat kembali masa-masa ia dan keluarga di tempat itu dan sampai pada akhirnya ia dan keluarga harus pergi dari tempat itu. Kampung Gerupuk juga merupakan peristiwa terjadinya pengusiran yang dialami oleh keluarga Maryam. Orang-orang tersebut marah pada keluarga Maryam karena masih saja berpegang teguh pada kepercayaannya yang dinilai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80 sesat oleh jemaah kelompok penentang. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (78) Gerupuk pun tak mau ketinggalan. Seluruh laki-laki bergerak ke arah rumah Pak Khairuddin. Yang perempuan berdiri di sepanjang jalan. Empat kali lemparan batu dan teriakan orang-orang sudah cukup untuk Pak Khairuddin mengambil keputusan. Tanpa ada perlawanan. Tanpa perlu perusakan dan pembakaran. (Madasari, 2012: 52) Berdasarkan kutipan (78) digambarkan bahwa Gerupuk juga merupakan peristiwa pengusiran. Di mana semua orang yang tinggal di Gerupuk itu, dan kelompok penentang Ahmadiyah langsung mengusir keluarga Pak Khairuddin dari rumahnya dan kelompok Ahmadiyah. 2.4.1.2 Gegerung Gegerung merupakan tempat keluarga Maryam tempati setelah diusir dari Gerupuk. Rumah yang ia dan keluarganya tempati di waktu itu. Gegerung inilah masih menjadi tempat tinggal jemaah Ahmadiyah yang pernah diusir. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (79) Meski terpisah dari rumah-rumah penduduk lain, tanah yang dihuni orangorang Ahmadi itu termasuk kampung Gegerung. Sekitar satu setengah kilometer jauhnya dari perkampungan utama Gegerung, dipisahkan oleh sawah-sawah padi dan sungai. (Madasari, 2012: 83) Berdasarkan kutipan (79) digambarkan bahwa Gegerung merupakan tempat yang kebanyakan dihuni oleh orang-orang Ahmadiyah di kampung Gegerung tersebut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81 Tempat ini juga menjadi harapan mereka tempati setelah Gerupuk. Gegerung menjadi incaran kerusuhan setelah apa yang terjadi di Gerupuk juga menjadi tempat perlawanan bagi kelompok penentang Ahmadiyah. Kelompok Ahmadiyah diserang, dan orang-orang itu melakukan tindakan kekerasan dan kerusuhan dengan merusak rumah-rumah. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (80) Dalam perjalanan pulang, Maryam membeli beberapa koran. Satu koran lokal menjadikan peristiwa Gegerung sebagai berita utama. Gambar barisan rumah Gegerung yang rusak dipasang dengan ukuran besar di halaman pertama. Rumah-rumah itu rusak parah. Lebih parah dibandingkan dengan saat ditinggalkan. Beberapa bagian hangus terbakar. “Lihat!” seru Maryam sambil mengangkat koran yang dipegangnya agar semua yang di mobil bisa melihat foto itu. “Mereka merusaknya saat kita pergi!” (Madasari, 2012: 232) Berdasarkan kutipan (80) digambarkan bahwa Gegerung menjadi tempat peristiwa terjadinya kerusuhan lagi setelah sebelumnya Gerupuk. Orang-orang yang beringas itu pun kembali mengincar orang-orang Ahmadiyah yang tinggal di tempat itu sambil merusak tempat itu seperti tempat yang tak layak untuk ditinggalkan. 2.4.1.3 Gedung Transito Gedung Transito merupakan tempat keluarga Maryam mengungsi. Keluarganya yang diusir dari Gerupuk dan kini tinggal di Gedung Transito sebelum pindah ke Gegerung. Di mana Pak Khairuddin beserta keluarga lainnya hidup dalam kesesakan. Tempat ini dipergunakan mereka sebagai tempat kegiatan agama mereka. Di mana mereka menjadikan tempat ini sebagai masjid tempat mereka beribadah. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82 (81) Gedung Transito sekarang juga menjadi pusat kegiatan keagamaan mereka. Menggantikan masjid organisasi yang sampai kini tak bisa digunakan. Di sini setiap Jumat orang-orang Ahmadi salat bersama. Seminggu sekali ada pengajian, yang juga diikuti orang-orang Ahmadi dari daerah lain. Anak-anak kecil belajar mengaji bersama setiap sore. Diajar seorang ustaz yang baru datang dari Jawa. Ditugaskan organisasi untuk memberikan bimbingan khusus di Gedung Transito. (Madasari, 2012: 252) Berdasarkan kutipan (81) digambarkan bahwa Gedung Transito menjadi tempat tinggal bagi para pengungsi yang diungsikan di tempat tersebut khususnya bagi keluarga yang merupakan Ahmadiyah diungsikan ke tempat tersebut. Gedung Transito ini juga merupakan tempat pengajian bagi mereka. 2.4.2 Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi antara lain: tahun 1999, tahun 2001, dan tahun 2003. 2.4.2.1 Tahun 1999 Tahun 1999 menjadi tahun pertama kalinya terjadi peristiwa keributan yang terjadi di Jakarta dan kota-kota lainnya. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (82) Memang pernah sekali terjadi ribut-ribut, tambah Zulkhair. Tapi itu dulu sekali. “Semua orang sudah memaklumi. Pasti saat itu karena negara kita sedang kacau. Ribut di mana-mana.” Zulkhair menyebut peristiwa itu terjadi pada tahun 1999. Tak lama setelah televisi menayangkan peristiwa kerusuhan di Jakarta dan di banyak kota. Seorang Ahmadi dibunuh di daerah utara. Seorang lagi luka parah. (Madasari, 2012: 69) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83 Berdasarkan kutipan (82) digambarkan bahwa tahun pada 1999 merupakan tahun terjadinya pembunuhan terhadap orang Ahmadiyah yang mati dibunuh oleh kelompok penentang sehingga membuat kelompok Ahmadiyah ini marah. Tak hanya di situ saja kelompok penentang pun melawan kelompok Ahmadiyah tersebut. 2.4.2.2 Tahun 2001 Tahun 2001 merupakan tahun terjadinya pengusiran terhadap Pak Khairuddin beserta keluarganya. Entah apa yang membuat orang-orang mengusir orang-orang Ahmadiyah, padahal sebelumnya hidup rukun-rukun saja. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (83) (84) Zulkhair mengawali ceritanya dari kedatangan Khairuddin dan keluarganya menjelang magrib, pada sutau hari di pertengahan tahun 2001. Zulkhair lupa tanggal dan bulan pastinya. Tapi katanya semua ada di catatan organisasi. Akan diambilkan kalau Maryam memang mau tahu. Maryam menggeleng katanya tidak perlu. Tanggal kejadian itu tidak terlalu penting baginya dibandingkan dengan kejadian itu sendiri. Maka Zulkhair pun melanjutkan ceritanya. (Madasari, 2012: 68) Saat keluarga Maryam datang, orang-orang itu sudah dua minggu berada di masjid ini. Zulkhair juga masih heran, apa yang membuat mereka terusir hampir bersamaan. Dimulai di satu desa, lalu menular ke desa-desa lain. Tetangga yang dulu selalu rukun walau sama-sama tahu ada Ahmadi di kampung mereka, tiba-tiba berubah beringas. Semua tanpa sebab dan terjadi begitu cepat. “Seperti ada orang yang sengaja memengaruhi. Entah apa maunya, kita sama-sama tidak tahu...” kata Zulkhair. (Madasari, 2012: 69) Berdasarkan kutipan (83) dan (84) digambarkan bahwa pada tahun 2001 merupakan tahun pengusiran terhadap keluarga Pak Khairuddin. Entah apa yang membuat orang-orang itu mengusir orang-orang Ahmadiyah secara bersamaan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84 2.4.2.3 Tahun 2003 Tahun 2003 menjadi tahun di mana keluarga Pak Khairuddin pindah dari pengungsian dengan berusaha mencari rumah agar bisa tinggal, dan mencari penghasilan demi keluarga. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (85) Pada awal tahun 2003, kata Zulkhair, keluarga Maryam pindah dari pengungsian. Pikapnya dijual. Sebagian hasil penjualan digunakan untuk mengontrak rumah. Sisanya untuk terus mempertahankan hidup, sambil mencari-cari cara untuk bisa punya penghasilan. Sebuah rumah kecil tak jauh dari tempat Zulkhair, di gang kecil di pinggiran. Mataram, menjadi tempat tinggal keluarga Maryam. (Madasari, 2012: 78) Berdasarkan kutipan (85) digambarkan bahwa pada tahun 2003, Pak Khairuddin beserta anak dan istrinya pindah dari pengungsian dengan menjual mobil pikap, Pak Khairuddin bisa mengontrak rumah dan bisa mencari pekerjaan lain. 2.4.3 Latar Sosial Dalam novel ini, latar sosial akan dibedakan menjadi beberapa bagian, diantaranya: (i) latar sosial dari segi kebiasaan hidup, (ii) latar sosial dari segi tradisi, dan (iii) latar sosial dari segi cara berpikir dan bersikap. 2.4.3.1 Latar Sosial dari Segi Kebiasaan Hidup Dalam novel Maryam, terdapat latar sosial dari segi kebiasaan hidup masyarakat yang tinggal di kampung Gerupuk. Keindahan kampung Gerupuk merupakan kampung kecil di timur pesisir pantai selatan Lombok. Gerupuk adalah tanah yang berdebu saat cuaca panas dan becek penuh kubangan selepas hujan juga deretan perahu-perahu nelayan, bau amis ikan, dan nelayan-nelayan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85 berkulit legam menjadi kebiasaan hidup mereka dengan mendapatkan ikan, udang, teripang, dan lain-lain. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (86) Gerupuk hanyalah kampung kecil di sudut timur pesisir selatan Lombok. Nyaris tak dikenal. Peta-peta wisata menggambarkan hanya Kuta sebagai satu-satunya nama tempat di sepanjang garis pantai itu. Baru tahun-tahun belakangan, ketika orang-orang asing mulai didatangi. Itu pun hanya oleh mereka yang ingin mencari kepuasan berdiri di papan selancar, menaklukkan ombak yang bergulung tinggi. Tak ada keistimewaan lain yang ditawarkan Gerupuk selain ombak tinggi itu. Ia tak punya pantai indah berpasir putih, sebagaimana pantai-pantai lain yang berjajar di pesisir ini. Gerupuk adalah deretan perahu-perahu nelayan, bau amis ikan, dan nelayan-nelayan berkulit legam. Setiap orang hidup dari tangkapan ikan, udang, atau teripang. (Madasari, 2012: 41) 2.4.3.2 Latar Sosial dari Segi Tradisi Dalam novel Maryam, terdapat latar sosial dari segi tradisi yang membedakan antara Ahmadiyah dan penentangnya. Di mana kegiatan organisasi Ahmadiyah dan kelompok penentang berbeda. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (87) Semua orang tahu keluarga Maryam tak pernah mau ikut pengajian bersama mereka. Semua anak Pak Khairuddin disekolahkan di sekolah negeri, bukan di madrasah seperti anak tetangga. Mereka semua juga tahu, Pak Khairuddin punya kelompok pengajian sendiri. Beberapa kali ada pengajian di rumah Pak Khairuddin, didatangi oleh orang-orang jauh. Mereka semua juga sudah paham, keluarga Pak Khairuddin punya musala kecil di belakang rumah. Pada hari Jumat, menjelang zuhur, Pak Khairuddin pergi dengan sepeda motornya, salat Jumat entah di mana. Semua tahu mereka berbeda. Tapi mereka juga sadar mereka punya satu nama agama. Maka biasa saja ketika satu-dua kali dalam obrolan ada yang berkata, “Itu beda, itu Islamnya Pak Khairuddin,” atau, “Itu masjid kelompoknya Pak Khairuddin.” (Madasari, 2012: 56) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86 2.4.3.3 Latar Sosial dari Segi Cara Berpikir dan Bersikap Dalam novel Maryam, terdapat latar sosial dari segi cara berpikir dan bersikap. Cara berpikir kelompok penentang yang ingin merusak kelompok Ahmadiyah. Semula yang bisa hidup rukun sebagai tetangga, tidak ada lagi yang berkelakuan seperti itu lagi. Pikiran mereka telah dirusak oleh pendapatnya yang menganggap bila Ahmadiyah telah menduakan nabi sudah tak bisa ditolerir lagi. Maka kehidupan semula yang menjadi aman dan tenteram, kini mereka tak bisa berdiam diri lagi. Hal tersebut seperti dalam kutipan berikut: (88) Orang-orang yang mereka anggap telah menduakan nabi mereka dan telah memperlakukan agama sesuai keinginan mereka. Bukan lagi berdasar yang seharusnya. (Madasari, 2012: 51) (89) Mereka marah pada orang-orang yang selama puluhan tahun hidup rukun sebagai tetangga. Mereka melempar batu ke genteng, memecahkan kaca jendela, merusak pagar dengan parang dan cangkul. Laki-laki dewasa semuanya siaga. Mengepung rumah orang-orang yang mereka anggap telah menyimpang. (Madasari, 2012: 51) Semuanya diawali sekitar seminggu sebelumnya. Saat ribut-ribut besar terjadi di sebuah desa, sepuluh kilometer dari Gerupuk ke arah timur utara. Orang-orang Gerupuk sering datang ke desa itu. Di sana mereka biasa mendengarkan ceramah dari para tuan guru4. Di sana juga banyak anak Gerupuk bersekolah. Tempat itu memang sudah menjadi tempat sekolah agama. Banyak madrasah berdiri di sana. Mulai dari yang setingkat SD hingga SMA. Tanpa ada yang bisa menjelaskan asal mulanya, tiba-tiba semua orang di desa itu menjadi beringas. (Madasari, 2012: 51) (90) 2.5 Rangkuman Berdasarkan analisis tokoh dan penokohan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tokoh protagonis dalam novel Maryam adalah Maryam, Umar, Pak Khairuddin, dan Zulkhair. Dalam novel tersebut diceritakan sosok Maryam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87 yang cantik khas perempuan dari perempuan daerah timur. Maryam adalah wanita yang dikagumi oleh laki-laki. Tak heran bila Maryam bersikap cuek pada mereka. Di luar dari itu semua Maryam merupakan seorang yang cerdas dan ramah. Umar merupakan suami dari Maryam. Umar digambarkan sebagai lakilaki yang bersikap sopan yang tidak hanya pada orangtuanya saja, ia juga sopan terhadap istrinya dan juga peduli terhadap sesamanya. Pak Khairuddin digambarkan sebagai kepala keluarga yang tegas dan juga bertanggung jawab pada keluarganya. Zulkhair merupakan ketua organisasi, ia juga merupakan kerabat dari Pak Khairuddin dan juga banyak membantu keluarga maryam untuk keluar dari permasalahan yang rumit itu. Tokoh antagonis dalam novel Maryam adalah Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, Gubernur. Tokoh antagonis tersebut menjadi penyebab konflik pada tokoh protagonis baik secara langsung maupun tidak langsung. Alam digambarkan sebagai suami yang sama sekali tak menyayangi istrinya. Ia menceraikan Maryam begitu saja. Ibu Alam digambarkan sebagai ibu mertua yang memiliki dendam pada Maryam, menantunya. Pak RT digambarkan sebagai seorang yang angkuh terhadap Maryam. Ia tak menyukai kedatangan Maryam ke kampungnya di Gerupuk. Ia berusaha melakukan segala cara untuk menjelekjelekkan Maryam. Pak Haji digambarkan sebagai orang yang sangat sombong. Ia dan Pak RT sama-sama berkomplotan untuk menghancurkan Maryam. Gubernur digambarkan sebagai seorang pemimpin yang seharusnya bertanggung jawab dan peduli terhadap rakyatnya, ia justru memikirkan dirinya sendiri dan tak pernah melihat penderitaan orang lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88 Berdasarkan analisis tahapan alur di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa alur dalam novel Maryam adalah alur maju atau plot progresif. Sebab pada plot ini fokus pada permasalahan Maryam yang mengalami konflik dengan orang lain. Selain menyajikan tokoh dan penokohan dan alur, Okky Madasari juga menyajikan latar cerita yang lengkap dalam novel ini. Mulai dari latar tempat, latar waktu, dan latar sosialnya. Ketiga latar ini merupakan penggambaran dari jalannya cerita dalam novel Maryam tersebut. Latar tempat dalam kaitannya dengan penelitian ini berfungsi untuk menggambarkan tempat terjadinya peristiwa itu dan juga pembentukan watak Maryam. Latar waktu dalam kaitannya dengan penelitian ini berfungsi untuk menyaran pada yang berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan tersebut. Latar sosial dalam kaitannya dengan penelitian ini berfungsi untuk menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat. Kajian struktural dalam novel ini mencakup tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Dalam Bab II ini memperlihatkan secara jelas adanya berbagai bentukbentuk konflik sosial, terutama yang dialami tokoh Maryam. Persoalan bentukbentuk konflik sosial ini akan dibahas dalam Bab III. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB III BENTUK-BENTUK KONFIK SOSIAL TOKOH MARYAM DALAM NOVEL MARYAM 3.1 Pengantar Setelah menganalisis struktur tokoh dan penokohan, alur, dan latar dalam novel Maryam karya Okky Madasari, langkah selanjutnya adalah pembahasan mengenai konflik sosial yang terdapat dalam novel tersebut. Pemikiran, sikap, dan tindakan tokoh Maryam dalam cerita novel tersebut menjadi cerminan dalam gambaran konflik. Konflik yang tercermin dalam novel Maryam tersebut adalah konflik sosial. Sesuai dengan landasan teori yang sudah dikemukakan di dalam Bab I, peneliti menggunakan teori konflik yang dikembangkan oleh Soerjono Soekanto untuk menganalisis tokoh Maryam dengan melihat permasalahan konflik sosial yang dialaminya. Analisis sosiologi konflik berdasarkan akar-akar atau sebabmusabab konflik menurut Soerjono Soekanto mencakup: perbedaan antara orang perorangan dan perbedaan kebudayaan. Kajian tentang konflik cukup menyita perhatian. Hal ini dapat dimengerti karena konflik tersebut memiliki konsekuensi kemanusiaan yang besar. Telah banyak nyawa korban yang mati sia-sia. Belum lagi kerugian materi, hilangnya masa depan sebagaimana dialami oleh anak-anak di kawasan konflik. Apa yang terjadi di Indonesia pada kenyataannya juga terjadi di kawasan lain, di dunia bahkan tidak jarang dengan kondisi yang lebih tragis (Susetyo, 2010: 13). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90 Perhatian terhadap konflik dalam pemikiran keagamaan berakar dalam pemikiran manusia yang aktif terlibat dalam peristiwa sosial dan politik. Kita hampir tak perlu diyakinkan lagi bahwa konflik merupakan fakta yang sering terjadi di mana-mana dalam kehidupan kita. Konflik itu sendiri sangat berpengaruh terhadap seluruh tingkat realitas sosial. Pada prinsipnya, Ahmadiyah bukanlah merupakan agama baru meskipun mempunyai nama tersendiri. Syahadatnya sama dengan syahadat kaum Muslimin, dan keyakinannya pun sama, yakni mengakui keesaan Allah dan kenabian Muhammad s.a.w. Dengan demikian, Ahmadiyah adalah Islam yang benar sebagaimana aliran-aliran Islam yang lain, walaupun ajarannya tentang kenabian bertentangan dengan keyakinan ummat Islam sebelumnya (Al-Badry, 1981: 32). Ahmadiyah berbeda dengan aliran-aliran Islam, bahkan ia telah terlepas dari ikatan Islam yang disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama, ajarannya tentang berlangsungnya kenabian secara terus-menerus sesudah Muhammad s.a.w. kedua, ialah ajarannya tentang khalifah kerohanian serta pergerakannya. Dari segi ajarannya mengenai kenabian, Ahmadiyah tidak percaya bahwa Muhammad s.a.w. adalah nabi yang terakhir. Menurut mereka ada banyak nabi yang akan datang sesudah Muhammad s.a.w. yang berfungsi sebagai pelanjut syariat beliau, sebagaimana Isa al-Masih melanjutkan syariat musa a.s. oleh karena pada nabi yang akan datang itu berfungsi sebagai pelanjut syariat Muhammad s.a.w. maka mereka juga diberi gelar al-Masih, yakni al-Masih dalam kalangan ummat Islam sendiri (Al-Badry, 1981: 33). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91 Dengan sistem kekhalifaan rohani, Ahmadiyah merupakan suatu organisasi yang bergerak secara sistematis di atas landasan ideologi tersendiri. Khalifah sebagai pemimpin rohani secara hirarkis memimpin segenap ummat atau pengikut yang loyal setelah berbai’at kepadanya. Hal-hal serupa ini tidak terdapat pada aliran-aliran Islam. Ahmadiyah tidak saja merupakan kesatuan organisasi yang rapi, tetapi ia juga merupakan golongan yang mempunyai ideologi tersendiri. Gerakan Ahmadiyah senantiasa diarahkan untuk mengembangkan ideologinya, sehingga ia harus menghadapi tantangan yang berat dari ummat Islam. Akibatnya adalah bahwa ia terisolir dari dunia Islam, sebab ideologi yang dikembangkan itu bertentangan dengan ideologi ummat Islam (Al-Badry, 1981: 34). Melihat ajaran serta bentuk organisasi dan pergerakannya, Ahmadiyah dapat dikatakan sebagai suatu aliran keagamaan yang senantiasa berjuang mempertahankan eksistensinya yang terlepas dari ikatan dunia Islam. Bahkan lebih dari itu, Ahmadiyah dapat dikatakan sebagai aliran yang merupakan agama tersendiri yang berbeda dari lingkungan agama Islam. Dikatakan sebagai agama baru, oleh karena Ahmadiyah percaya akan kedatangan seorang nabi sesudah Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, Ahmadiyah mengingkari status Muhammad s.a.w. sebagai penutup kenabian. Kepercayaan Ahmadiyah akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi yang datang sesudah Muhammad s.a.w., bukan hanya mengingkari kedudukan Muhammad s.a.w. sebagai penutup kenabian, tetapi mengandung pula pengertian bahwa Ghulam Ahmad itulah pemimpin dan ikutan langsung mereka, sehingga orang-orang Ahmadiyah sendiri telah menjadi ummat tersendiri bagi Ghulam Ahmad. Kelanjutan daripada masalah itu, bahwa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 92 Ahmadiyah tidak menetapkan Muhammad s.a.w. sebagai ikutan langsung mereka, sehingga dengan demikian maka jelas orang-orang Ahmadiyah tidak merupakan bahagian dari ummat Islam yang setia menjadi ummat Muhammad s.a.w. (AlBadry, 1981: 35). 3.2 Konflik karena Perbedaan Orang-perorangan Menurut Soekanto (1986: 94), perbedaan orang-perorangan merupakan perbedaan pendirian dan perasaan yang secara mungkin dapat menyebabkan bentrokan antara orang-perorangan. Konflik sosial akibat adanya perbedaan orang-perorangan akan dibagi menjadi beberapa pembagian yang mencakup: perbedaan antara individu dengan individu, perbedaan antara individu dengan kelompok, dan perbedaan antara kelompok dengan kelompok. Pembagian konflik sosial pada perbedaan orang-perorangan di atas, meliputi konflik sosial pada perbedaan antara Maryam dengan Ibu Alam, konflik sosial pada perbedaan antara Maryam dengan Alam, konflik sosial pada perbedaan antara Maryam dengan Tuan Guru Ahmad Rizki, konflik sosial pada perbedaan antara Maryam dengan Gubernur. Analisis konflik sosial pada perbedaan orang-perorangan seperti yang disebutkan di atas akan dijelaskan di bawah ini. 3.2.1 Perbedaan Antara Individu dengan Individu Konflik sosial pada perbedaan antara individu dengan individu terjadi perbedaan antara Maryam dengan Ibu Alam, perbedaan antara Maryam dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93 Alam, perbedaan antara Maryam dengan Gubernur, dan perbedaan antara Maryam dengan Tuan Guru Ahmad Rizki. 3.2.1.1 Perbedaan antara Maryam dengan Ibu Alam Perbedaan antara Maryam dengan Ibu Alam disebabkan karena Maryam merupakan anak yang dilahirkan oleh keluarga Ahmadiyah yang dipandang sebagai keluarga ‘sesat’. Selain itu, Maryam berani menikahi anaknya yang bernama Alam. Maka perkelahian antara menantu dan mertua pun tak dapat terelakkan lagi. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (1) Rumah itu jauh dari kata nyaman. Ibu Alam masih menyimpan dendam. Ia menganggap Maryam sudah kelewatan. Menantu yang kurang ajar. Demikian pula Maryam. Semua penerimaan dan kesabarannya telah usang. Ia telah menggunakan topeng: berpura-pura baik, berpura-pura menjadi penurut. Bagi Maryam, semua yang dilakukannya selama ini sudah lebih dari cukup. Telah ia ikuti semua kata-kata ibu Alam, hanya agar ia bisa diterima sepenuhnya sebagai bagian keluarga ini. Sekarang, saat berpapasan, keduanya hanya diam. Ibu Alam malah sengaja memalingkan muka. Tak pernah lagi ada pertanyaan tentang anak. Perubahan yang diam-diam disyukuri Maryam. (Madasari, 2012: 125) (2) Di tengah acara, ibu Alam tiba-tiba berseru, “Pak Ustaz, tolong anak saya ini didoakan agar segera punya keturunan. Tolong dimintakan ampun kalau memang dulu pernah sesat.” Emosi Maryam memuncak. Ia merasa kalimat ibu Alam sengaja ditujukan untuknya. Semua yang terjadi ini karena ia penuh dosa, pernah hidup dalam kesesatan. Hal itu dikatakan di depan banyak orang. Seperti sengaja membuat Maryam malu dan jadi bahan gunjingan. (Madasari, 2012: 123) Berdasarkan kutipan (1) dan (2) terlihat jelas perkelahian antara Maryam dan Ibu Alam. Ibu Alam, sejak awal tak menyukai kehadiran Maryam di keluarganya, ia menilai Maryam memiliki kesesatan dan hidup penuh dosa. Disebabkan karena Maryam setelah menikah dengan anaknya, Alam, Maryam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94 masih saja belum mengandung, baginya hal itu terjadi karena ia lahir dalam kesesatan dan penuh dosa. 3.2.1.2 Perbedaan antara Maryam dengan Alam Perbedaan antara Maryam dan Alam disebabkan karena adanya perkelahian antara keduanya. Hal ini disebabkan karena ibu Alamlah yang menjadi perusak dalam rumah tangga Maryam dan Alam. Keduanya pun mengakhiri rumah tangganya pada perceraian. Meskipun Maryam tak menginginkan perceraian itu terjadi. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (3) Maryam semakin tersedu. Ia kecewa dengan kata-kata yang baru didengarnya. Ia ingin suaminya membelanya, memahami apa yang menjadi ganjalannya. Maryam ingin sekali marah. Mengungkapkan semua yang ada di hatinya dengan suara tinggi agar suaminya benar-benar bisa mengerti. Tapi Maryam benar-benar lelah. Ia hanya bisa berujar pelan, bahkan mirip bisikan. (Madasari, 2012: 124) (4) Sambil ia sedikit menyisipkan harapan, agar Alam mempertahankannya. Juga agar Alam bisa memahaminya setelah mendengar bagaimana selama ini merasa begitu tertekan. Maryam diam-diam berdoa agar Alam mau menukar perceraian dengan keputusan besar untuk kembali mempertahankan pernikahan ini sesuai dengan yang diharapkan Maryam. Tapi ternyata Alam hanya diam. Bahkan tak berkata apa-apa. Di ujung percakapan, ia hanya berkata pelan, “Kalau memang itu yang kamu mau, ya bagaimana lagi.” (Madasari, 2012: 128) Berdasarkan kutipan (3) dan (4) terlihat jelas bahwa perbedaan antara Maryam dengan Alam menyebabkan keduanya berpisah. Tak ada pembelaan dari sang suami kepadanya. Alam jauh lebih mempercayai ibunya dibandingkan Maryam, istrinya, yang selalu mendapatkan tuduhan serta hinaan dari ibu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95 mertuanya, sehingga membuat Maryam tak kuat lagi mempertahankan rumah tangganya dan ia memilih keluar dari rumah Alam dan menceraikan Alam. 3.2.1.3 Perbedaan antara Maryam dengan Gubernur Perbedaan antara Maryam dengan Gubernur disebabkan karena kedatangan Maryam, Umar, dan Zulkhair yang bertemu dengan Gubernur. Gubernur datang membawa kabar yang tak menyenangkan hati rakyatnya. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (5) “Maaf, Pak Gub, jadi bagaimana nasib kami yang di Transito ini? Kapan bisa kembali ke rumah kami?” tanya Maryam. Ia memotong cerita Gubernur. Gubernur mengernyitkan dahi. Raut mukanya mendadak berubah. Antara sedang berpikir dan merasa tak suka. Diam beberapa saat. Semua bawahannya menunduk. Seolah sedang pura-pura tak mendengar apa yang ditanyakan Maryam. Baru saat Gubernur mengeluarkan suara, mereka sama-sama mengangkat muka, memandnag ke arah Gubernur, berusaha menunjukkan benar-benar sedang mendengarkan. “Saya ini harus bagaimana lagi,” kata Gubernur. “Sudah berkali-kali saya jelaskan, semua ini demi kebaikan bersama. Mau kembali ke sana sekarang lalu ada kerusuhan?” tanyanya sambil menatap muka Maryam. “Tapi itu rumah kami, Pak. Bukankah kita punya hukum? Siapa yang mengganggu dan siapa yang diganggu?” Maryam balik bertanya. (Madasari, 2012: 248-249) Berdasarkan kutipan (5) terlihat jelas bahwa perbedaan antara Maryam dengan Gubernur menyebabkan perbedaan pandangan antara keduanya. Maryam menginginkan bantuan pada Gubernur, namun tindakan Gubernur ini benar-benar tidak terbantu sama sekali. Yang ada, Gubernur sama sekali tak peduli pada orangorang Ahmadiyah yang diusir dari kampung halamannya sendiri, justru Gubernur ini menceritakan kebahagiaan sang Gubernur. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96 3.2.1.4 Perbedaan antara Maryam dengan Tuan Guru Ahmad Rizki Perbedaan antara Maryam dengan Tuan Guru Ahmad Rizki disebabkan karena Tuan Guru Ahmad Rizki sebagai penghasut warga Gerupuk dengan memerintahkan orang-orang ikut melakukan penyerangan bersamanya terhadap Maryam dengan menyatakan bahwa Gegerung tak pantas menjadi tempat bagi orang-orang Ahmadiyah untuk melakukan kegiatan. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (6) Maryam menenggelamkan pikirannya dalam huruf-huruf koran yang ia pegang. Di bawah gambar rumah Gegerung yang dirusak, ada foto kecil seorang laki-laki. Berpeci putih dan berjenggot tak terlalu tebal. Di bawahnya tertulis nama: Tuan Guru Ahmad Rizki. Di dalam berita tertulis Tuan Guru Ahmad Rizki yang memerintahkan penyerangan itu. Sebagaimana yang telah Maryam dengar sendiri lewat suara keras dari masjid. Seperti orang yang ditontonnya di televisi beberapa waktu lalu, Tuan Guru Ahmad Rizki juga menyebut fatwa sesat sebagai alasan ia memerintahkan penyerangan. “Gegerung tak boleh dijadikan markas Ahmadiyah,” kata Tuan Guru Ahmad Rizki yang tertulis di koran. Maryam menggerutu pelan. Tak ada juga yang berniat menjadikan Gegerung sebagai markas, katanya. Ia lanjutkan membaca. Di bagian selanjutnya disebut Gegerung adalah permukiman dengan penghuni Ahmadiyah terbesar di Lombok. Semua yang ada di kompleks perumahan itu Ahmadiyah. Begitu koran menulis. “Ya jelas saja semua Ahmadiyah. Ini kan rumah yang dibeli bersama setelah dulu sama-sama diusir!” kata Maryam dengan suara keras yang mengejutkan semua yang ada di dalam mobil tapi tak ada yang menanggapi. Semuanya diam dan kembali sibuk dengan pikiran masing-masing. (Madasari, 2012: 233-234) Berdasarkan kutipan (6) terlihat jelas bahwa perbedaan antara Maryam dengan Tuan Guru Ahmad Rizki menyebabkan terjadinya konflik. Maryam dituduh-tuduh sebagai “sesat.” Dengan demikian, Tuan Guru Ahmad Rizki berusaha menghasuti orang-orang supaya mereka membantunya melakukan penyerangan kepada Maryam sambil mengatakan wilayah Gegerung bukanlah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97 tempat untuk menjadi markas bagi kelompok Ahmadiyah. Hal itu membuat Maryam marah akan pemberitaan yang ia baca di mana ia mengutarakan “fatwa sesat sebagai alasan ia memerintahkan penyerangan.” “Gegerung tak pantas untuk dijadikan sebagai markas Ahmadiyah,” kata Tuan Guru Ahmad Rizki yang tertulis di koran. 3.2.2 Perbedaan Antara Individu dengan Kelompok Konflik sosial pada perbedaan antara individu dengan kelompok di atas, meliputi konflik sosial perbedaan antara Maryam dengan dua laki-laki dan konflik antara Maryam dengan warga Gerupuk. Analisis konflik sosial pada perbedaan antara individu dengan kelompok seperti di atas adalah sebagai berikut. 3.2.2.1 Perbedaan antara Maryam dengan Dua Laki-laki Perbedaan antara Maryam dengan dua laki-laki disebabkan karena kedatangan Maryam ke rumah teman lamanya, mengundang kemarahan pada dua laki-laki di rumah itu. Hal ini tak terelakkan lagi, sehingga terjadilah adu mulut antara Maryam dengan dua laki-laki yang berbeda profesi tersebut. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (7) “Mereka yang sesat tak boleh lagi berada di kampung ini,” Pak Haji sekarang ikut berbicara. “Siapa yang sesat?” Nada bicara Maryam tidak lagi menyerupai pertanyaan, tapi bentakan. “Siapa saja yang mengingkari agamanya,” jawab Pak Haji dengan tenang. “Bagaimana kalian semua tahu kami mengingkari agama kami?” Maryam makin tak memperhatikan kesopanan. Ia sengaja menyebut dua orang itu dengan “kalian” untuk menunjukkan kemarahan. “Siapa yang tidak tahu kalian orang Ahmadiyah?” balas Rohmat. “Itu bukan berarti kami ingkar...” “Sudahlah, Nak... tak ada gunanya meributkan hal yang sudah jelas. Masih banyak kesempatan untuk bertobat,” potong Pak Haji. Masih dengan nada lembut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98 Maryam semakin meradang. “Pak Haji, siapa yang perlu bertobat? Saya dan keluarga saya atau orang-orang yang sudah mengusir kami dari rumah kami sendiri?” Umar mengangguk. Ingin menunjukkan ia mendukung apa yang dikatakan istrinya. “Kami warga Gerupuk, hanya sedang membela agama kami...” jawab Pak Haji. “Sudah... sudah... tidak usah terlalu panjang,” potong Rohmat. “Akan lebih tidak enak kalau nanti semua orang datang ke sini karena dengar orang teriak-teriak. Kita cari jalan yang paling enak, Bu Maryam. tinggalkan saja kampung ini sekarang.” Maryam bangkit dari duduk. Setengah berteriak dia berkata, “Saya masih punya hak di kampung ini. Rumah itu masih milik keluarga kami. Saya akan lapor ke polisi. Ke pengadilan. Semua yang mengusir kami harus mendapat hukuman!” (Madasari, 2012: 208-209) Berdasarkan kutipan (7) terlihat jelas bahwa perbedaan antara Maryam dengan dua laki-laki terjadi di kampung Gerupuk. Maryam diusir dan diperintahkan untuk tidak menginjak wilayah itu lagi, sehingga membuat Maryam marah. Ia tak menyukai dengan tudingan-tudingan kelompok penentang yang selalu menyebutkan bahwa Maryam harus bertobat dari jalan yang ia yakini sebelumnya. 3.2.2.2 Perbedaan antara Maryam dengan Warga Gerupuk Perbedaan antara Maryam dengan Warga Gerupuk disebabkan karena kemunculan Maryam di wilayah itu mengundang kebencian dan kemarahan pada Maryam. Mereka tak bisa menerima bapak Maryam, Pak Khairuddin, dimakamkan di wilayah itu. Hal ini tak terelakkan lagi, sehingga terjadi perkelahian di antara keduanya. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (8) Tempat pemakaman yang ada di Gerupuk adalah pemakaman umum. Berada di ujung kampung, berbatasan dengan laut. Rombongan mobil itu melewati jalan utama Gerupuk. Orang-orang yang ada di depan rumah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99 memandang iring-iringan itu penuh tanya. “Siapa yang meninggal?” tanya setiap orang ke orang-orang di dekatnya yang juga sama-sama tak tahu jawabannya. (Madasari, 2012: 262) (9) Saat itulah, tiba-tiba beberapa laki-laki datang. Maryam langsung tak tenang. Mereka orang-orang Gerupuk. Satu di antaranya adalah orang yang dulu mengusir Maryam saat berada di rumah Nur. Rohmat, teman semasa kecilnya yang waktu ia bertandang ke rumah Nur menjabat sebagai ketua RT. Rohmat yang sekarang mengucapkan salam, menyapa orangorang yang mengerumuni makam. “Siapa yang meninggal?” tanyanya. “Pak Khairuddin. Orang asli kampung ini,” jawab Zulkhair. “Tapi Pak Khairuddin bukan orang kampung ini lagi,” kata Rohmat. (Madasri, 2012: 263) (10) “Makam ini milik warga Gerupuk. Mereka bisa menentukan siapa yang tidak,” jawab Rohmat. Suaranya tenang. Seolah yakin apa yang dikatakannya benar dan akan didengar. “Kami juga warga Gerupuk!” Maryam kembali berteriak. “Itu di sana masih ada rumah kami,” katanya sambil menunjuk ke arah jalan. (Madasari, 2012: 264) (11) Dari kejauhan terlihat orang-orang Gerupuk datang. Jumlahnya lebih banyak lagi. Maryam ketakutan. Ia lari ke arah orang-orang yang sedang berkelahi. Berteriak sekerasnya memanggil nama Umar lalu, “Sudaaaah, berhentiiii!” (Madasari, 2012: 264) Berdasarkan kutipan (8), (9), (10) dan (11) terlihat jelas bahwa perbedaan antara Maryam dengan warga Gerupuk menimbulkan konflik. Maryam tak bisa menerima bila ayahnya yang telah meninggal tak diperbolehkan dimakamkan di Kampung Gerupuk, kampung yang dulu ia dan keluarga tempati sebelum terusir. Akibat perbuatan Rohmat, orang-orang di Gerupuk ikut melihat serta membela Rohmat yang merupakan RT di wilayah itu. Maryam akhirnya ketakutan akan perbuatan orang di Gerupuk dan Maryam pun akhirnya lebih memilih mundur dan mencari tempat pemakaman lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100 3.2.3 Perbedaan Antara Kelompok dengan Kelompok Konflik sosial pada perbedaan antara kelompok dengan kelompok terjadi antara kelompok Ahmadiyah dengan kelompok bukan Ahmadiyah atau kelompok penentang. Analisis konflik sosial pada perbedaan antara kelompok dengan kelompok tersebut adalah sebagai berikut. 3.2.3.1 Perbedaan antara Kelompok Ahmadiyah dengan Kelompok bukan Ahmadiyah atau Kelompok Penentang Dari berbagai data dan informasi yang dikemukakan di luar teks sastra, ditemukan fakta bahwa kelompok Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1925. Di Indonesia para pengikut Ahmadiyah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadi Lahore. Pertama, kelompok Ahmadiyah Qadian, di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Kedua, kelompok Ahmadiyah Lahore, di Indonesia pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang mendapat Badan Hukum Nomor IX tanggal 30 April 1930 (http://duniabaca.com/asal-usul-sejarah-ahmadiyah-di-indonesia.html). Konflik antara kelompok Ahmadiyah dan kelompok penentang telah tejadi berkali-kali. Pengusiran dan penganiayaan dimulai pada tahun 1999. Kelompok penentang pun membakar masjid yang menjadi milik kaum Ahmadiyah di Bayan, Kabupaten Lombok Barat. Sebagian dari mereka terluka dan meninggal akibat bacokan yang dilakukan oleh kelompok penentang. Dengan pembakaran masjid Ahmadiyah di Bayan, Kabupaten Lombok Barat. Ironisnya, pemerintah Lombok PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101 Timur memberikan dua opsi: warga Ahmadiyah boleh tetap di Pancor tapi keluar dari Ahmadiyah atau tetap di Ahmadiyah dan keluar dari Pancor (http://www.andreasharsono.net/2010/02/ahmadiyah-rechtstaat-dan-hak asasi_18.html). Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Ketika Tahun 2000, tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu beliau sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais (http://duniabaca.com/asal-usulsejarah-ahmadiyah-di-indonesia.html). Dalam teks sastra, yaitu novel Maryam pun terungkap adanya konflik tersebut, yaitu adanya perbedaan antara kelompok Ahmadiyah dengan kelompok penentang disebabkan karena adanya kemarahan kelompok penentang terhadap kelompok Ahmadiyah. Kelompok penentang sangat tak menyukai kehadiran Ahmadiyah di wilayah itu. Ketika salah seorang Ustaz memimpin pengajian dengan berusaha menghasut ummatnya untuk ikut terlibat mengusir keluarga Ahmadiyah. Mereka pun percaya sekali akan pembicaraan sang Ustaz dan ikut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102 memilih mengusir kelompok Ahmadiyah. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (12) Sayup-sayup terdengar suara dari masjid di seberang jalan utama. Sekitar tiga ratus meter dari rumah ini. Masjid utama di Ketapang, tempat kampung Gegerung berada. Seseorang sedang berceramah. Hal yang biasa dilakukan pada bulan Ramadan seperti ini. Suara bapak Maryam beradu dengan suara yang menggunakan pengeras itu. Diam-diam bapak Maryam menyesal memilih mengadakan pengajian hari ini. Kenapa tidak besok atau lusa saat tak bersamaan dengan ceramah di masjid itu. Tapi, ah, siapa yang bisa menjamin besok tak ada ceramah? Pikirnya. Maka segera ia tuntaskan sambutannya diserahkannya acara selanjutnya pada Ustaz. Ustaz itu yang akan memimpin pengajian dan memberi ceramah hingga buka puasa tiba. Saat menunggu Ustaz mulai memimpin pengajian, suara dari masjid jelas terdengar. Orang itu sedang bicara soal kelompok aliran sesat. Nama Ahmadiyah berkali-kali disebut. Semua yang ada di rumah Pak Khairuddin mulai tak tenang. Masing-masing berbicara dengan orang di sebelahnya. Berbisik-bisik, saling bertanya. Raut muka penuh kemarahan, sekaligus rasa resah dan takut. Umar pun berbisik kepada bapak mertuanya. Bertanya itu suara siapa. “Tuan Guru Ahmad Rizki,” jawab bapak Maryam. “Dua bulan ini sering sekali ada pengajian seperti itu. Tidak tahu apa maksudnya,” lanjutnya tetap sambil berbisik. (Madasari, 2012: 221-222) (13) “Usir orang Ahmadiyah dari Gegerung. Kalau masyarakat di sini tidak mampu mengusir, saya akan mendatangkan masyarakat dari tempat lain untuk mengusir mereka... Darah Ahmadiyah itu halal!” Suara isakan terdengar dari dalam rumah. Perempuan-perempuan itu menangis. Awalnya hanya satu, lalu menular ke yang lain. Dan akhirnya mereka semua sama-sama menangis. Tidak semuanya tangis karena ketakutan. Ada yang menangis hanya karena melihat temannya yang menangis. Ada yang menangis karena bingung dan sudah tak tahu lagi harus berbuat apa. Para laki-laki yang berada di luar rumah itu terhanyut oleh suara tangis itu. Mereka yang semula menunjukkan wajah marah kini luluh dengan mata berkaca-kaca yang memerah. Tangis yang ditahan agar tak keluar lebih menyakitkan dibanding tangis yang tersedu-sedu. Mereka harus menahan untuk tak menangis agar perempuan-perempuan itu masih percaya ada yang bisa melindungi mereka di depan rumah jika terjadi apaapa. (Madasari, 2012: 223) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 103 Berdasarkan kutipan (12) dan (13) terlihat jelas bahwa perbedaan antara kelompok Ahmadiyah dengan kelompok penentang yang disebabkan karena adanya hubungan tak baik antara kedua kelompok tersebut. Kelompok Ahmadiyah selalu dipandang rendah dan sebagai aliran ‘sesat’ oleh kelompok penentang. Terlihat bahwa seorang Ustaz bukan Islam Ahmadiyah memimpin pengajian, di tengah-tengah pengajian tersebut, sang Ustaz membicarakan soal kelompok Ahmadiyah sambil menjelek-jelekkan kelompok Ahmadiyah dengan mengatakan kelompok Ahmadiyah merupakan ‘aliran yang sesat’. Hal inilah yang membuat Maryam sebagai keluarga Ahmadiyah dan keluarga lainnya marah besar dan tak terima dengan pernyataan sang Ustaz kepada ummatnya di dalam pengajian tersebut. Banyak dari mereka kelompok Ahmadiyah menangis dan merasa sakit atas apa yang didengar dari salah satu masjid di tempat itu. Kemarahan penentang Ahmadiyah pun terjadi saat mereka sudah tak bisa bersabar lagi untuk menerima kehadiran keluarga Ahmadiyah di kampung Gerupuk itu. Terjadilah pengusiran terhadap kelompok Ahmadiyah. Kelompokkelompok yang bukan merupakan kelompok Ahmadiyah melakukan penyerangan dengan melempari batu-batu, merusak rumah-rumah, dan lain-lain. Hal ini digambarkan sebagai berikut: (14) Semuanya diawali sekitar seminggu sebelumnya. Saat ribut-ribut besar terjadi di sebuah desa, sepuluh kilometer dari Gerupuk ke arah timur utara. Orang-orang Gerupuk sering datang ke desa itu. Di sana mereka biasa mendengarkan ceramah dari para tuan guru4. Di sana juga banyak anak Gerupuk bersekolah. Tempat itu memang sudah menjadi tempat sekolah agama. Banyak madrasah berdiri di sana. Mulai dari yang setingkat SD hingga SMA. Tanpa ada yang bisa menjelaskan asal mulanya, tiba-tiba semua orang di desa itu menjadi beringas. Mengangkat cangkul dan parang, membawa batu-batu besar, menuju rumah orang-orang yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 104 mereka anggap berbeda dari yang kebanyakan. Orang-orang yang mereka anggap telah menduakan nabi mereka dan telah memperlakukan agama sesuai keinginan mereka. Bukan lagi berdasar yang seharusnya. (Madasari, 2012: 51) (15) Mereka marah pada orang-orang yang selama puluhan tahun hidup rukun sebagai tetangga. Mereka melempar batu ke genteng, memecahkan kaca jendela, merusak pagar dengan parang dan cangkul. Laki-laki dewasa semuanya siaga. Mengepung rumah orang-orang yang mereka anggap telah menyimpang. Mereka memberikan dua pilihan: kembali ke jalan yang benar atau segera meninggalkan tempat ini. Pada hari ketiga, dalam puncak ketegangan dan ketidaksabaran, api-api pun dilemparkan. Tujuh belas rumah dibakar. Penghuninya memilih pergi. Meninggalkan semua yang mereka miliki. Melepaskan kehidupan yang telah bertahun-tahun mereka miliki. Orang-orang desa itu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tapi api kemarahan terlanjur berkobar. Di desa-desa lain di seluruh Lombok, orang-orang mulai membersihkan iman dalam lingkungan mereka. Mengangkat parang dan cangkul, melempari dengan batu. Membakar ketika tak segera didengarkan. Gerupuk pun tak mau ketinggalan. Seluruh laki-laki bergerak ke arah rumah Pak Khairuddin. Yang perempuan berdiri di sepanjang jalan. Empat kali lemparan batu dan teriakan orang-orang sudah cukup untuk Pak Khairuddin mengambil keputusan. Tanpa ada perlawanan. Tanpa perlu perusakan dan pembakaran. (Madasari, 2012: 51-52) (16) Maryam menangis. Cerita Jamil tergambar jelas dalam pikirannya. Ia tak melihat peristiwa itu langsung, tapi ia merasa cukup tahu bagaimana menit demi menit peristiwa itu terjadi. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan orangtua dan adiknya saat itu. Sakitnya, pedihnya, dukanya, takutnya, semua bisa ia rasakan saat itu. Tapi kemudian buru-buru ia mengoreksi pikirannya sendiri. Tahu apa dia tentang perasaan keluarga saat itu? Bagaimana mungkin dia bisa menakar segala duka saat itu dengan duka yang baru saja dirasakannya saat ini? Duka yang datang dari cerita Jamil, tanpa merasakan langsung. Duka yang dirasakan sambil duduk tenang di berugak, bukan dalam ketergesaan dan ketakutan di tengah kepungan banyak orang. (Madasari, 2012: 52) Berdasarkan kutipan (14), (15), dan (16) terlihat jelas bahwa kelompok penentang Ahmadiyah tak bisa lagi bersabar, mereka berkelompok merencanakan perlawanan terhadap kelompok Ahmadiyah. Dengan melempar batu-batu, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 105 memecahkan kaca jendela, merusak pagar dengan parang dan cangkul. Kelompok penentang akan bisa menerima kelompok Ahmadiyah, jika mereka bisa bertobat menuju jalan yang benar jika tidak mereka harus pergi dari kampung yang sudah lama ditempati tersebut. Hal inilah yang membuat Maryam marah pada kelompok penentang Ahmadiyah. Meskipun Maryam tak berada dalam peristiwa itu, ia bisa merasakan luka, sakit, dan derita yang dialami kelompok Ahmadiyah dan keluarganya. 3.3 Konflik karena Perbedaan Kebudayaan Konflik perbedaan kebudayaan adalah perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seorang secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pola-pola pendirian dari kelompoknya (Soekanto, 1986: 94). Perubahan daripada kepribadian orang-perorangan yaitu dalam konflik yang berlangsung di dalam kelompok atau antar kelompok selalu ada orang yang menaruh simpati kepada kedua belah pihak. Ada pribadi-pribadi yang tahan untuk menghadapi situasi demikian, akan tetapi banyak pula yang merasa dirinya tertekan, sehingga mengakibatkan suatu penyiksaan terhadap mentalnya (Soekanto, 1986: 99). Pembagian perbedaan kebudayaan tersebut akan dibagi menjadi: kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan dan kebudayaan khusus atas dasar agama, dan kebudayaan khusus kelas sosial. Hal ini akan terlihat jelas di bawah ini. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 106 3.3.1 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Faktor Kedaerahan Seperti yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Suatu Pengantar, bahwa kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan dijumpai kepribadian yang berbeda dari individu-individu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, oleh karena masing-masing tinggal di daerah-daerah yang berlainan dengan kebudayaan-kebudayaan khusus yang berbeda pula (Soekanto, 1986: 184). Maryam adalah anak yang dilahirkan dari keluarga Ahmadiyah. Ia berwajah cantik dan menjadi salah satu idaman laki-laki di kampungnya. Dilihat dari faktor kedaerahannya, Maryam taat sekali dalam beribadah. Kedua orangtuanya selalu mengajak Maryam ke pengajian apabila di tempat itu mengadakan pengajian. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (17) Maryam memiliki kecantikan khas perempuan dari daerah timur. Kulit sawo matang yang bersih dan segar. Mata bulat dan tajam, alis tebal, dan bibir agak tebal yang selalu kemerahan. Rambutnya yang lurus dan hitam sejak kecil selalu dibiarkan panjang melebihi punggung dan lebih sering dibiarkan tergerai. Di luar segala kelebihan fisiknya, Maryam gadis yang cerdas dan ramah. Apalagi yang kurang ketika semuanya telah dibungkus dalam kesamaan iman? (Madasari, 2012: 24) Berdasarkan kutipan (17) terlihat jelas bahwa Maryam merupakan gadis dari daerah timur yang memiliki kecantikan khas timur dari tempat tinggalnya. Selain dikenal gadis yang cantik, ia juga dikenal sebagai orang cerdas sekaligus ramah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 107 Dilihat dari latar belakang sosialnya, Maryam hidup dengan penghasilan orangtua yang mencukupi hidupnya. Ayahnya bekerja sebagai tengkulak ikan. Dari hasil menjadi tengkulak ikan itulah Maryam dapat berkuliah di universitas yang ia inginkan. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (18) Bapak Maryam menjadi tengkulak ikan. Membeli hasil tangkapan nelayan-nelayan, lalu menjualnya ke pasar kecamatan dan rumah-rumah makan. Dengan hasil dari ikan itulah bapak Maryam bisa membangun rumah yang layak, punya satu pikap, dan menyekolahkan dua anaknya. Kuliah Maryam di Surabaya dibiayai orangtuanya sendiri. Dia hanya menumpang tinggal di rumah Pak Zul, demi keamanan, juga karena tradisi persaudaraan sesama mereka. (Madasari, 2012: 21-22) (19) Tak ada keistimewaan lain yang ditawarkan Gerupuk selain ombak tinggi itu. Ia tak punya pantai indah berpasir putih, sebagaimana pantai-pantai lain yang berjajar di pesisir ini. Gerupuk adalah deretan perahu-perahu nelayan, bau amis ikan, dan nelayan-nelayan berkulit legam. Setiap orang hidup dari tangkapan ikan, udang, atau teripang. Bapak Maryam satu dari sedikit orang yang beruntung. Ia hidup dari ikan itu tanpa perlu lagi melaut sendiri. Ia hanya perlu menunggu setoran orang-orang, membelinya sesuai kesepakatan, lalu menjualnya di Pasar Sengkol, dua puluh kilometer ke arah barat dari Gerupuk. (Madasari, 2012: 41-42) Berdasarkan kutipan (18) dan (19) terlihat jelas bahwa secara sosial, Maryam berasal dari keluarga yang berpenghasilan cukup. Bapak Maryam bekerja sebagai tengkulak ikan dari hasil tangkapan ikan daripada nelayannelayan. Maryam pun dapat berkuliah di Surabaya berkat hasil kerja keras ayahnya tersebut. Maryam selalu dituntun oleh orangtuanya untuk menikah dengan laki-laki yang berasal dari Ahmadiyah yang sama dengannya. Di sisi lain, Maryam merasa heran akan aturan yang diberikan oleh orangtuanya mengenai pernikahan yang harus dilaksanakan pada orang-orang yang benar-benar memiliki kepercayaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 108 yang sama. Meskipun begitu, Maryam telah memiliki kekasih yang sangat ia cintai, tetapi bukan dari keluarga Ahmadiyah. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (20) Maryam menjadi gusar. Ia merasa kepulangan dan segala upayanya untuk meredam segala kemarahan sia-sia. Tapi Maryam masih mencoba bertahan. Ia merasa masih punya harapan. Bapak dan ibunya mungkin masih menyimpan pengertian. Maka pelan-pelan Maryam menyampaikan apa yang dipikirkannya. Tentang pernikahan yang tak mengungkit-ungkit keyakinan. Tentang hidup bersama dalam bahagia dengan membiarkan satu sama lain memelihara apa yang sejak kecil telah mereka percayai. Maryam juga menambahkan cerita-cerita tentang keluarga Ahmadi di Kampung Gondrong. Maryam ingin menunjukkan ia tak akan melupakan akarnya, ia akan sering-sering datang ke sana, ia akan makin rajin datang ke pengajian Ahmadi setelah menikah dengan Alam. Sampai pada cerita ini Maryam berkaca-kaca. Ia menyembunyikan kenyataan bahwa Alam dan keluarganya telah memintanya menanggalkan semua yang jadi keyakinannya, menjauhi orang-orang yang jadi keyakinannya, menjauhi orang-orang yang sekelompok dengannya, setelah nanti menjadi istri Alam. (Madasari, 2012: 34-35) Berdasarkan kutipan (20) terlihat jelas bahwa Maryam berusaha meyakinkan kedua orangtuanya untuk selalu ingat bahwa ia akan selalu ingat bahwa ia adalah Ahmadiyah. Di sisi lain, ia tak bisa menepati janjinya terhadap kedua orangtuanya. Meskipun ia tahu, orangtuanya selalu mengingatkannya untuk menikah dengan sesama Ahmadiyah. Maryam justru diminta oleh Alam dan keluarga Alam untuk meninggalkan keyakinannya, dan mengikuti keyakinan Alam beserta keluarga Alam nantinya. Sikap dan tindakan Maryam sangat berbeda saat berada di rumah Alam. Maryam digambarkan sebagai sosok wanita yang sabar dan pasrah dalam keadaan yang ia jalani kepada keluarga Alam. Meskipun segala kekecewaan pun bisa ia terima. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 109 (21) “Aku capek. Aku bosan disalahkan terus. Kenapa semua hal gara-gara aku? Kenapa semuanya karena dulu aku Ahmadi?” jawab Maryam penuh emosi, meski tidak dengan nada tinggi. Setiap kata diucapkan dengan penuh tekanan, untuk menggantikan suara tinggi yang sengaja dikekang. “Siapa yang menyalahkan kamu?” Tidak ada yang mengatakan seperti itu.” “Ah... sudahlah. Nggak usah pura-pura bodoh. Selama ini aku sudah banyak mengalah. Tapi jangan terus-terusan aku dijadikan sumber masalah. Kalau memang aku belum hamil mau diapakan lagi?” “Tapi memang tidak ada yang menyalahkan kamu...” “Kamu nggak dengar, tadi Ibu kamu bilang apa di depan banyak orang?” “Cuma minta didoakan. Nggak ada yang salah, kan?” “Dia bilang ‘sesat’! Apa lagi maksudnya kalau bukan Aku?” “Maryam, kamu terlalu sensitif. Tersinggung terhadap sesuatu yang jelasjelas bukan ditujukan ke kamu...” (Madasari, 2012: 123) Berdasarkan kutipan (21) terlihat jelas bahwa Maryam selalu disalahkan terus-menerus oleh Alam. Alam yang tak peka terhadap penderitaan Maryam, menganggap bahwa tak ada hinaan ibunya kepada Maryam. Maryam justru dinilai terlalu sensitif menganggap perkataan ibunya. Padahal Maryam tahu selain ia masih keturunan Ahmadiyah, ia juga masih belum bisa dikaruniai seorang anak. Kehidupan rumah tangga antara Maryam dan Alam pun tak berjalan semulus yang ia inginkan. Ia mengakhiri hubungannya bersama Alam, dan memilih pergi dari rumah Alam. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (22) Perkawinan yang umurnya belum genap lima tahun itu karam. Maryam memilih keluar. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa selama itu bertahan. Berusaha membangun kebahagiaan di tengah-tengah kecurigaan dan kepalsuan. Ia selalu berpikir, yang penting Alam, suaminya itu, tulus mencintainya tanpa prasangka. Tapi siapa yang menyangka nyali laki-laki yang dicintainya hanya sebatas bualan? (Madasari, 2012: 15) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 110 Berdasarkan kutipan (22) terlihat jelas bahwa Maryam telah memilih pilihan yang tepat dengan mengambil tindakan bercerai dengan Alam, suaminya, yang selama hampir lima tahun dibangun. Meskipun ia berusaha membangun kebahagiaan ditengah-tengah kesedihannya. Maryam yang merasa Alam tulus mencintainya, namun ia salah, Alam juga tak bisa mempertahankan rumah tangganya. 3.3.2 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Agama Seperti yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto (1986: 185), agama juga mempunyai pengaruh besar untuk membentuk kepribadian seorang individu. Adanya madzhab dalam agama pun melahirkan kepribadian yang berbeda pula. Maryam merupakan anak dari keluarga Ahmadiyah. Ia menjadi Ahmadiyah tidak terjadi begitu saja. Dimulai dari kakek Maryam yang memilih perjalanan yang berbeda. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (23) Keluarga Maryam menjadi Ahmadi tidak tiba-tiba. Pak Khairuddin sudah Ahmadi sejak lahir. Kakek dan nenek Maryam-lah yang menjadi pemula, lebih dari tujuh puluh tahun lalu. Kakek Maryam bertemu dengan seorang dai saat pergi ke Praya. Tanpa sengaja, hanya pertemuan biasa. Awalnya ia juga tak tahu laki-laki itu dai. Sekali bertemu, mereka langsung akrab tanpa bisa dijelaskan kenapa dan bagaimana. Kakek Maryam diajak ke pengajian kecil di Praya, pengajian orang-orang Ahmadi yang saat itu pengikutnya hanya enam orang. Salah satu di antara mereka ayah Pak Zul. Memang, persahabatan kedua keluarga itu bukan diawali dari Pak Zul dan Pak Khairuddin, tapi dari orangtua mereka. Generasi pertama yang masuk Ahmadi di Praya. (Madasari, 2012: 53) (24) Rasa ingin tahu lebih banyak tentang agamanya membuat kakek Maryam tak ragu-ragu saat diajak ikut pengajian. Baginya, apa pun yang bermuara pada keberadaan Tuhannya adalah jalan kebaikan. Ia banyak mendengarkan ceramah-ceramah dari orang-orang baru. Bukan hanya dai yang pertama kali ditemuinya, tapi juga dai-dai lain yang bergiliran didatangkan dari Jawa dan Sumatra. Kakek Maryam sekaligus merasa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 111 punya teman-teman bicara yang setara, yang sama-sama tahu tentang agama, yang membicarakannya bersama untuk kebenaran dan kebaikan manusia. Hal yang tak bisa didapatkannya di Gerupuk. Yang orangorangnya hanya menurut tanpa pernah bertanya. Yang hanya mengikuti tanpa memahami. (Madasari, 2012: 53-54) Berdasarkan kutipan (23) dan (24) terlihat jelas bahwa kakek Maryam memilih jalan yang berbeda dengan memasuki Ahmadiyah. Tidak hanya kakek Maryam, ayah Pak Zul, sahabat Pak Khairuddin, ikut menjadi Ahmadiyah bersama kakek Maryam. Kakek Maryam merasa dengan kedatangan para dai dari Jawa dan Sumatra. Kakek Maryam merasa memiliki banyak teman. Dari situlah Pak Khairuddin, bapak Maryam, menjadi Ahmadiyah yang awal mulanya berasal dari Kakek Maryam tersebut. Pada novel ini, digambarkan Maryam sebagai orang yang dapat marah di depan orang-orang di Gerupuk itu. Ia juga menganggap Nur, temannya, tak lebih dari seorang penghianat. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (25) Rohmat memandang ke arah Nur dan ibunya. Tanpa kata-kata. Seolah yakin Nur akan paham maksudnya. Maryam ikut menatap Nur. Ada keyakinan Nur akan membelanya di depan orang-orang. Mengulang semua yang tadi ia katakan saat bertemu Maryam di Kuta. Pandangan Nur bertemu dengan pandangan Maryam. Lalu Nur melirik ibunya. Perempuan itu memainkan bibirnya tanpa ada yang bisa menebak apa artinya. Nur menunduk sebentar. Lalu beranjak mendekati Maryam. “Tolong pulang saja... jangan sampai ada apa-apa di rumah ini,” katanya pelan. Maryam membelalak tak percaya. Ia marah pada Nur yang ternyata sama saja dengan orang-orang. umar bergerak cepat. Menyentuh pundak Maryam dan memberinya isyarat untuk meninggalkan tempat ini. Muka Maryam merah padam. Matanya berkaca-kaca. Sambil mengikuti langkah Umar ia berteriak-teriak. “Kalian semua bukan manusia!” “Yang sesat itu kalian, bukan kami!” “Rumah itu milik kami. Kalian semua perampok!” (Madasari, 2012: 210-211) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 112 Berdasarkan kutipan (25) terlihat jelas bahwa kemarahan Maryam pada mereka dinilai buruk oleh Maryam. Maryam yang diusir tak dapat terima dengan pengusiran itu. Ia pun menilai bahwa orang-orang itu adalah orang yang sesat dan bukan Maryam, meskipun ia adalah bagian dari Ahmadiyah. Ia tak percaya akan tindakan Nur, ia merasa yakin akan ada pembelaan dari Nur, tapi Nur ikut-ikutan mengusir Maryam dan juga Umar, suaminya. Maryam tahu betul bahwa keyakinan yang ia miliki akan menimbulkan masalah. Tapi ia begitu bangga terhadap orangtuanya, mereka masih mempertahankan iman walaupun terusir dari rumah. Maryam tak malu dan menyesali atas iman yang dilahirkan untuknya. Meskipun ada sedikit penyesalan menikahi Alam, Maryam yang lebih memilih meninggalkan keyakinannya dan tak mempedulikan kedua orangtuanya. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (26) Maryam memang malu. Malu karena tak tahu apa-apa yang terjadi pada keluarganya. Malu karena tidak melakukan apa-apa, ketika keluarganya terusir karena mempertahankan iman. Maryam juga menyesal. Menyesal atas semua yang dilakukannya demi bersama Alam. Menyesali segala keputusannya untuk menikah dengan Alam, tanpa memedulikan apa yang dikatakan orangtuanya. Tapi entah kenapa, Maryam sama sekali tak malu dan menyesal telah jauh meninggalkan keimanannya. Ia juga tak tahu kenapa tak ada ruang lagi dalam hatinya untuk kembali meyakini apa yang sejak kecil diperkenalkan, yang beberapa tahun lalu telah ia tinggalkan. Ia pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya. Ia terharu, ia bangga, ia menitikkan air mata atas kegigihan dan kekokohan keluarganya mempertahankan iman. Ia marah, ia dendam, ia tak bisa memaafkan orang-orang yang merongrong keluarganya karena dianggap tak benar. Tapi tidak, Maryam sama sekali tak pulang untuk iman. (Madasari, 2012: 77-78) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 113 Berdasarkan kutipan (26) terlihat jelas bahwa Maryam memang malu dan menyesali atas semua yang ia lakukan sebelumnya. Maryam begitu bangga akan kegigihan orangtuanya dengan berani mempertahankan imannya. Walaupun ia marah dan dendam pada orang-orang yang berani mengusir keluarganya dari kampung halamannya sendiri, namun ia tahu ia tak bisa mempertahankan imannya. 3.3.3 Kebudayaan Khusus Atas Dasar Kelas Sosial Menurut Soekanto (1986: 185), kebudayaan khusus kelas sosial di dalam setiap masyarakat akan dijumpai lapisan-lapisan sosial oleh karena setiap masyarakat mempunyai sikap menghargai terhadap bidang kehidupan tertentu. Dengan demikian, kita mengenal lapisan sosial yag tinggi, rendah dan menengah. Himpunan orang-orang yang merasa dirinya tergolong pada lapisan sosial tertentu, hal mana diakui masyarakat, itu dinamakan kelas sosial. Maryam tak tahu-menahu tentang pengusiran yang terjadi padanya dan keluarga lainnya. Ia menganggap bahwa tanah di wilayah itu merupakan tanah milik kakeknya. Ia bisa berpura-pura ikhlas dan tak menangis dihadapan orangtuanya meskipun ia tak bisa terima akan pengusiran yang terjadi oleh kelompok penentang. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (27) Pikiran Maryam langsung menerawang ke masa-masa ia masih tinggal di Gerupuk bersama keluarganya. Masa-masa jauh sebelum ia datang ke Jakarta, dan jauh sebelum keluarganya terusir dari rumah yang telah puluhan tahun mereka tinggali. Semuanya berulang dalam kepalanya. Seperti rekaman video yang sewaktu-waktu bisa diputar ulang. Ada yang membuat Naryam tertawa, ada bagian yang membuatnya terharu, lalu ada bagian lain yang kembali menghadirkan rasa bersalah. Ketika yang hadir adalah gambaran pengusiran yang didapatnya dari Jamil, amarah Maryam menggelegak. (Madasari, 2012: 169-170) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 114 (28) “Rumah itu milik kakekku. Dibangun dengan uangnya sendiri. Tanahnya warisan dari buyut-buyutku. Lalu diwariskan ke bapakku. Dibangun sampai bisa seperti yang sekarang dari hasil keringat bapak. Aku dan Fatimah lahir dan besar di sana. Dan sekarang kami diusir begitu saja?” gugat Maryam. Suara Maryam bergetar. Air matanya jatuh. Ia terisak. Umar kaget dan bingung. Ia tak menyangka emosi Maryam bisa berubah begitu cepat. Digenggamnya tangan Maryam. Dielusnya. Sambil dari mulutnya keluarkan desis “ssssh”. “Sabar, Maryam...” katanya. “Aku masih tak terima. Tapi harus pura-pura ikhlas karena Bapak dan Ibu pun sudah merelakannya. Tak mau mengungkit-ungkit karena itu akan membuat mereka sedih,” kata Maryam dengan suara lebih keras dan nada lebih tegas. Tapi air matanya masih tetap mengalir. (Madasari, 2012: 170) (29) “Kita semua marah,” kata Umar. “Kita semua tak terima. Tapi apa gunanya sekarang? Yang penting bagaimana kita kedepannya bisa hidup lebih baik. Lebih aman.” “Aku masih tak bisa menerima orangtua dan adikku pernah hidup di pengungsian. Sementara rumah yang dibangun susah payah tak boleh digunakan...” Suara Maryam mulai memelan. Isakannya juga melemah. Maryam terlihat sudah lebih tenang. Tangan kiri Umar menggenggam erat tangan istrinya sementara tangan kanan terus mengendalikan setir. (Madasari, 2012: 170-171) (30) “Namanya juga cobaan. Bagian dari ujian iman, Maryam. Juga bukti bahwa kita memang benar...” kalimat Umar terdengar menggantung. Ia ingin menenangkan Maryam dengan cara terbaik. Meredam kemarahan dan menumbuhkan keikhlasan. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Sepanjang umurnya, inilah pertama kalinya Umar bicara tentang iman dengan begitu bijak. Umar seorang Ahmadi. Beribadah bersama-sama orang Ahmadi. Mengaji bersama orang-orang Ahmadi. Ia hafal di luar kepala tentang sejarah keyakinannya. Tapi tak satu alasan pun baginya untuk menjadi bagian dari Ahmadiyah selain karena memang sejak lahir ia telah dijadikan seorang Ahmadi oleh kedua orangtuanya. Karenanya ketika tiba-tiba saja kata-kata tentang iman keluar dari mulutnya, ia sendiri menjadi ragu atas apa yang dikatakannya. Apalagi yang baru ia katakan sebenarnya hanya pengulangan atas apa yang dikatakan orang-orang Ahmadi lainnya atas kepedihan yang telah mereka alami. (Madasari, 2012: 171) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 115 Berdasarkan kutipan (27), (28), (29) dan (30) terlihat jelas bahwa Maryam merasakan kesakitan atas derita yang ia dan keluarganya alami. Ia tak bisa menerima pegusiran yang terjadi di waktu itu. Ia memang dilahirkan dari bagian Ahmadiyah oleh kedua orangtuanya. Di sisi lain, Maryam juga berusaha menyembunyikan kesedihannya dari kedua orangtuanya. Namun, ia sama sekali tak bisa menerima pengusiran itu. Kebudayaan kelas sosial selanjutnya berada pada tempat pengungsian yang terjadi pada anak-anak yang tak bersekolah, langsung dinikahkan di tempat mereka tinggal. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (31) Gedung Transito kian hari terasa kian sesak. Barang-barang bertambah: baju dan aneka perkakas. Kamar sempit yang disekat dengan kain itu kini terlihat penuh tumpukan barang. Enam bayi telah lahir di pengungsian ini. Anak-anak bertambah besar. Beberapa anak remaja yang remaja yang sudah di bangku SMP dikirim ke Surabaya dan Kuningan. Tinggal bersama keluarga Ahmadi dan disekolahkan seperti anak sendiri. Ada yang masih betah sampai sekarang. Ada yang minta pulang setelah tiga bulan. Di pengungsian ini juga, pemuda-pemudi yang sudah tak sekolah langsung dikawinkan. Berumah tangga dan tinggal di sini juga. Lalu lahirlah lagi generasi-generasi baru Ahmadi. Ada yang lahir, ada yang pergi. Selama di pengungsian ini, empat orang telah meninggal. Pak Khairuddin salah satunya. (Madasari, 2012: 266) Berdasarkan kutipan (31) terlihat jelas bahwa kelas sosial yang terjadi semenjak pengusiran dan pengungsian itu terjadi. Tidur dalam kamar yang sempit, anak-anak yang bertumbuh remaja, tak dapat bersekolah lagi. Anak-anak ini pun dinikahi di tempat ini. Sampai pada akhirnya melahirkan anak dan menjadikan anak tersebut sebagai Ahmadiyah. Namun, tak sedikit dari mereka dapat bertahan hidup akibat hidup dalam kesesakan yang dipenuhi banyak pengungsi di tempat tersebut dan kurangnya kebutuhan sehari-hari mereka untuk bisa bertahan hidup. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 116 Kegigihan Maryam membulatkan tekadnya untuk menghentikan ketidakadilan yang ia alami selama ini. Berusaha meminta keadilan atas tindakan pengusiran yang dilakukan oleh kelompok penentang kepadanya. Dengan berusaha menulis sebuah surat agar dapat diterima dan dapat membantunya keluar dari kejahatan kelompok penentang. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut: (32) Ini surat ketiga yang saya kirimkan ke Bapak. Semoga surat saya kali ini bisa mendapat tanggapan. Hampir enam tahun keluarga dan saudara-saudara kami terpaksa tinggal di pengungsian, di Gedung Transito, Lombok. Selama itu kami berbagi ruangan dengan membuat kamar-kamar bersekat kain. Lebih dari dua ratus orang hidup bersama di situ. (Madasari, 2012: 273) (33) Bapak yang terhormat, kami tidak meminta lebih. Hanya minta dibantu agar bisa pulang ke rumah dan hidup aman. Kami tidak minta bantuan uang atau macam-macam. Kami hanya ingin hidup normal. Agar anakanak kami juga bisa tumbuh normal, seperti anak-anak lainnya. Agar kelak kami juga bisa mati dengan tenang, di rumah kami sendiri. Sekali lagi, Bapak, itu rumah kami. Kami beli dengan uang kami sendiri, kami punya surat-surat resmi. Kami tak pernah melakukan kejahatan, tak pernah mengganggu siapa-siapa. Adakah alasan yang bisa diterima akal, sehingga kami, lebih dari dua ratus orang, harus hidup di pengungsian seperti ini? Kami mohon keadilan. Sampai kapan lagi kami harus menunggu? (Madasari, 2012: 274-275) Berdasarkan kutipan (32) dan (33) terlihat jelas bahwa Maryam tak tahan lagi dengan hidupnya yang diharuskan mengungsi di tempat yang benar-benar tak luas karena banyaknya mereka diusir dari rumah mereka. Meskipun mereka membeli rumah itu dengan usaha dan hasil kerja keras mereka, Maryam sungguh tak bisa menerima perbuatan ini. Maryam sangat membutuhkan bantuan dari atasan supaya bisa membantunya keluar dari ketidakadilan, kejahatan, dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 117 penderitaan ini. Maryam tahu perbuatannya ini sudah tak bisa ditolerir lagi karena ia juga sudah tak bisa bersabar lagi. 3.4 Rangkuman Berdasarkan analisis di atas, terlihat bahwa konflik sosial dalam novel Maryam mencakup perbedaan orang-perorangan dan perbedaan kebudayaan. Pertama, perbedaan orang-perorangan yang terdiri dari: (i) perbedaan antara individu dengan individu, (ii) perbedaan antara individu dengan kelompok, dan (iii) perbedaan antara kelompok dengan kelompok. Kedua, perbedaan kebudayaan yang terdiri dari: (i) kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan dan (ii) kebudayaan khusus atas dasar agama, dan (iii) kebudayaan khusus atas dasar kelas sosial. Ahmadiyah merupakan aliran keagamaan yang berjuang mempertahankan eksistensinya dari dunia Islam. Ahmadiyah sendiri dapat dikatakan sebagai aliran yang merupakan agama tersendiri yang berbeda dari lingkungan agama Islam. Dikatakan sebagai agama baru, oleh karena Ahmadiyah percaya akan kedatangan seorang nabi sesudah Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, Ahmadiyah mengingkari status Muhammad s.a.w. sebagai penutup kenabian. Perbedaan antara individu dan individu terjadi antara: (i) Maryam dengan Ibu Alam disebabkan karena Maryam merupakan anak yang dilahirkan oleh keluarga Ahmadiyah yang dinilai ‘sesat’, (ii) perbedaan antara Maryam dan Alam disebabkan karena adanya perkelahian antara keduanya, (iii) perbedaan antara Maryam dengan Tuan Guru Ahmad Rizki disebabkan karena Tuan Guru Ahmad PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 118 sebagai penghasut warga Gerupuk, dan (iv) perbedaan antara Maryam dengan Gubernur disebabkan karena Gubernur datang membawa kabar yang tak menyenangkan hati dari keluarga-keluarga Ahmadiyah. Perbedaan orang-perorangan yang terjadi adalah perbedaan antara individu dengan kelompok terjadi antara: (i) Perbedaan antara Maryam dengan dua laki-laki disebabkan karena kedatangan Maryam ke rumah teman lamanya, Nur mengundang kemarahan pada dua laki-laki yang bernama Rohmat sebagai Pak RT dan satunya Pak Haji, (ii) perbedaan antara Maryam dengan Warga Gerupuk disebabkan karena kebencian dan kemarahan pada Maryam. Mereka tak bisa menerima bapak Maryam, Pak Khairuddin, dimakamkan di wilayah itu. Perbedaan antara kelompok dengan kelompok terjadi pada perbedaan antara kelompok Ahmadiyah dengan kelompok penentang yang menyebabkan kemarahan kelompok penentang yang terlalu tak menyukai kelompok Ahmadiyah. Perbedaan selanjutnya berada pada perbedaan kebudayaan yang terdiri dari: (i) kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan dijumpai kepribadian yang berbeda dari individu-individu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, (ii) kebudayaan khusus atas dasar agama mempunyai pengaruh yang besar untuk membentuk kepribadian seorang individu, dan (iii) kebudayaan khusus kelas sosial dijumpai lapisan sosial oleh karena masyarakat memiliki sikap menghargai terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 119 Dapat dipahami bahwa Maryam mengalami konflik sosial yang berat. Maryam berusaha sekuat tenaga untuk bisa mendapatkan keadilan yang ia harapkan. Ia ingin lepas dari penderitaan yang menimpanya. Ia memberikan sebuah tulisan surat yang berisikan permintaan kepada pemerintah supaya bisa lebih memperdulikan keluarga Ahmadiyah supaya tak terusir dari kampung halamannya sendiri. Mereka dapat hidup dengan usaha mereka diwaktu itu. Itulah yang benar-benar diharapkan Maryam. Tak ada lagi yang dapat membedabedakan agama baik Islam Ahmadiyah maupun bukan Islam Ahmadiyah, karena yang kita tahu akan semboyan Bhineka Tunggal Ika. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Studi ini membahas Konflik Sosial Tokoh Maryam dalam Novel Maryam dengan menggunakan pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan struktural berkaitan dengan tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Pendekatan sosiologi sastra berkaitan dengan bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami oleh tokoh Maryam. Penulis menyimpulkan bahwa dalam struktur novel berdasarkan fungsi penampilan tokoh dalam cerita yang terdapat dalam novel Maryam karya Okky Madasari, dibedakan menjadi dua bagian, yaitu, tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Pada tokoh protagonis terdapat empat tokoh, yaitu: Maryam, Umar, Pak Khairuddin, dan Zulkhair. Keempat tokoh tersebut merupakan tokoh yang dapat disikapi sebagai tokoh protagonis yang dilihat dari tokoh-tokoh tersebut yang memberikan rasa simpati dan empati serta melibatkan dalam berbagai permasalahan konflik sosial. Tokoh Maryam digambarkan sebagai tokoh wanita yang memiliki kecantikan khas dari daerah timur. Selain itu, ia merupakan seorang yang cerdas, ramah, dan taat beribadah. Di sisi lain, Maryam mempunyai kesalahan di masa lalunya terhadap kedua orangtuanya. Ia terhasut oleh Alam, mantan suaminya untuk meninggalkan keimanan yang dipelajarinya sejak kecil dari ayahnya. Maryam pun meninggalkan orangtuanya dan tak pernah kembali. Setelah beberapa tahun meningglkan keluarganya, Maryam pun kembali mencari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 121 orangtuanya. Ia menyadari perbuatannya yang menjadi anak pemberontak yang tak pernah mendengarkan nasihat orangtua. Tokoh Umar digambarkan sebagai seorang suami yang baik. Ia sangat bersikap lembut pada Maryam, istrinya. Meskipun ia tahu, Maryam adalah seorang janda. Tokoh Pak Khairuddin merupakan seorang kepala keluarga yang mampu bertanggung jawab terhadap keluarganya. Ia merupakan seorang bapak yang tegas terhadap anak-anaknya. Ia berusaha mencarikan laki-laki yang terbaik untuk anaknya dengan mencari laki-laki yang seiman yaitu sama-sama Ahmadiyah. Tokoh Zulkhair digambarkan seorang ketua organisasi yang bertanggung jawab. Selain itu, ia merupakan sahabat dari bapak Maryam. Ia membantu keluarga Pak Khairuddin untuk bisa kembali ke rumahnya dulu. Untuk tokoh antagonis, terdapat lima tokoh antagonis dalam novel Maryam karya Okky Madasari, yaitu Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, dan Gubernur. Tokoh Alam merupakan mantan suami dari Maryam. Alam digambarkan sebagai seorang yang sama sekali tidak bisa bertanggung jawab pada keluarganya. Ia rela berpisah dengan Maryam dan memilih hidup bersama ibunya. Tokoh Ibu Alam merupakan ibu mertua dari Maryam. Ibu Alam sangat tak menyukai kehadiran Maryam dalam rumah mereka. Ia benar-benar sangat membenci Maryam. Ia berusaha memisahkan anaknya dari Maryam yang dinilainya sesat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 122 Tokoh Pak RT atau Rohmat merupakan seorang laki-laki yang bersikap angkuh sekali. Sebagai RT, ia sama sekali tak bersikap ramah pada kedatangan Maryam yang hanya ingin mengunjungi kampung halamannya dulu. Tokoh Pak Haji merupakan seorang yang datang bersamaan dengan Rohmat. Dengan penampilan yang menunjukkannya dirinya seorang Haji. Ia mengikuti tingkah Rohmat dengan ikut-ikutan mengusir Maryam dari kampung Gerupuk tersebut. Tokoh Gubernur merupakan seorang pemimpin yang tak bisa bertanggung jawab dan tak bisa berpegang pada ucapannya. Ia menganggap tak ada urusannya terhadap orang-orang yang diusir yang mengungsi di tempat pengungsian. Ia sama sekali tak membantu Maryam dan jemaah lainnya untuk bisa kembali ke rumahnya masing-masing. Teknik pelukisan tokoh yang digunakan dalam novel Maryam karya Okky Madasari adalah teknik ekspositori dan teknik dramatik. Teknik ekspositori digunakan untuk menggambarkan tokoh Maryam, Umar, Pak Khairuddin, Zulkhair, Alam, Ibu Alam, Pak RT, Pak Haji, dan Gubernur. Namun, beberapa penggambaran fisik para tokoh diperjelas dengan penggambaran dramatik. Sementara penggambaran keadaan psikis dan sosialnya, pengarang menggunakan teknik dramatik. Hal ini terlihat pada penggambaran tokoh Maryam. Kajian sosiologi sastra dalam studi ini difokuskan pada bentuk-bentuk konflik sosial yang dialami tokoh Maryam. Dari keseluruhan cerita dalam novel Maryam karya Okky Madasari dengan kajian sosiologi sastra dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapatnya konflik sosial tokoh Maryam. Konflik merupakan dilema sosial ketika orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 123 memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Konflik yang mencakup dua aspek permasalahan, yaitu, konflik karena perbedaan orang perorangan dan konflik karena perbedaan kebudayaan. Okky Madasari mengangkat sebuah persoalan yang sensitif dan kompleks dalam masyarakat Indonesia. Konflik Ahmadiyah merupakan konflik yang tidak mudah diatasi oleh pemerintah. 4.2 Saran Semua permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini telah dibahas. Namun, masih ada beberapa saran yang dapat diajukan perihal penelitian yang bersumber pada novel Maryam karya Okky Madasari. Penelitian dengan sumber data novel Maryam masih dapat diteliti jauh dengan sudut pandang yang berbeda, misalnya dengan kajian psikologi sastra, kajian kritik sosial, kajian kritik feminisme, dan kajian kritik psikoanalisis. Kajian-kajian dengan perspektif tersebut dapat memperkaya pemahaman kita terhadap perjuangan Maryam dan kaum Ahmadiyah dalam menegakkan eksistensi kemanusiaannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR PUSTAKA Al-Badry, Hamka Haq. 1981. Koreksi Total terhadap Ahmadiyah. Jakarta: Yayasan Nurul Islam Boulding, Keneth A. 1962. Conflict and Defense A General Theory. Michigan: Torchbooks Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta: CAPS Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra dari Struturaisme Genetik sampai PostModernisme. Jakarta: Pustaka Jaya Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (Terjemahan: Robert M. Z. Lawang). Jakarta: Gramedia Kusrini, Yuliana Maria, 2003. “Konflik Sosial dalam Novel Orang-orang Malioboro Karya Eko Susanto: Pendekatan Sosiologi Sastra.” Skripsi: Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Madasari, Okky. 2012. Maryam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Musarrofah, Susi Lailatul. 2013. Konflik Sosial dalam Novel Maryam. (http://www.susinyainal.blogspot.co.id). diunduh pada tanggal 22 Januari 2016, pukul 13.30 Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar . 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar Saifuddin, Achmad Fedyani. 1986. Konflik dan Integrasi; Perbedaan Faham dalam Agama Islam. Jakarta: Rajawali Santosa, Heru Wijaya dan Sri Wahyunngtyas. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 125 Soekanto, Soerjono, 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sudjiman, Panuti. 1987. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya Suharti, Lucia Intan. 2006. “Konflik sosial antar tokoh Novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract Karya Emil W. Aulia: Suatu Pendekatan Sosiologi Sastra.” Skripsi. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-Daerah, Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Susetyo, D.P.B. 2010. Stereotip dan Relasi Antarkelompok. Yogyakarta: Graha Ilmu Tania, Ulfa Rahma. 2012. “Kajian Feminisme dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari.” Skripsi. Jakarta. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayattulah Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya Veeger, K.J. 1992. Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Wiyatmi. 2005. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publishing Sumber Internet: http://www.andreasharsono.net/2010/02/ahmadiyah-dan-hakasasi_18.html. diunduh pada 2 Maret 2016, pukul 13:57 http://www.duniabaca.com/asal-usul-sejarah-ahmadiyah-di-indonesia.html. diunduh pada 6 Juni 2016, pukul 10:05 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 126 PROFIL PENULIS Margaretha Ervina Sipayung lahir di Batu Langka, 24 Juni 1994. Mengawali pendidikan tingkat Sekolah Dasar Negeri I Dwi Warga Tunggal Jaya, Lampung, Tulang Bawang, pada melanjutkan studi tahun ke 2000-2006. tingkat Ia Sekolah Menengah Pertama di Sekolah Lentera Harapan Banjar Agung, Lampung, Tulang Bawang, pada tahun 2006-2009. Kemudian, melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Sekolah Lentera Harapan Banjar Agung, Lampung, Tulang Bawang, pada tahun 2009-2012. Pada tahun 2012 menempuh gelar Sarjana di Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pada tahun 2012, menjadi pengurus “Bengkel Sastra” periode 2012-2013. Selama masa aktifnya, ia terlibat dalam acara pementasan drama “Bunga Rumah Makan” Produksi Bengkel Sastra Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan Sanggar Babaran Segara Gunung. Proses produksi berlangsung pada 10 September 2013 - 3 Desember 2013 yang di sutradarai oleh Untung Basuki. Pada tahun 2016, ia mengakhiri masa studinya dengan menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Konflik Sosial Tokoh Maryam dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari: Kajian Sosiologi Sastra.”