artikel hb - Pascasarjana UNDIKSHA

advertisement
ISSN 0215 - 8250
40
EFEKTIVITAS MODEL KONFLIK KOGNITIF DAN MODEL SIKLUS
BELAJAR UNTUK MEMPERBAIKI MISKONSEPSI SISWA DALAM
PEMBELAJARAN FISIKA
oleh
I Wayan Sadia
Jurusan Pendidikan Fisika
Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Salah satu penyebab universal rendahnya hasil belajar fisika yang dicapai
siswa adalah terjadinya kesalahan konsep (miskonsepsi) pada siswa. Prakonsepsi
(prior knowledge) siswa tentang suatu konsep fisika yang dibangun secara
informal dalam memberi makna terhadap pengalaman mereka sehari-hari
mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan konsepsi ilmiah
(Trumper, 1990). Prakonsespsi siswa yang pada umumnya bersifat miskonsepsi
secara terus-menerus dapat mengganggu pembentukan konsepsi ilmiah.
Sehubungan dengan hal itu, maka dalam penelitian ini dikembangkan dua model
pembelajaran yang bebasis pada paradigma konstruktivisme, yaitu model konflik
kognitif dan model siklus belajar untuk memperbaiki miskonsepsi siswa.
Penelitian eksperimental ini menggunakan rancangan “pretest-postest control
group design” dengan melibatkan dua kelas (63 orang) siswa kelompok
eksperiemen dan dua kelas(64 orang) siswa kelompompok kontrol. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa; 1) Sebagian besar (73,5%) siswa kelompok
eksperimen dan sebagaian besar (67,8%) siswa kelompok kontrol, prakonsepsinya
berlabel miskonsepsi, 2) Rata-rata persentase siswa kelompok eksperiemen yang
miskonsepsinya dapat diperbaiki menjadi konsepsi ilmiah lebih besar daripada
siswa kelompok kontrol, 3) Hasil uji-z menunjukkan bahwa secara signifikan
(α = 0,05) proporsi penurunan miksonsepsi siswa kelompok eksperiemn lebih
tinggi daripada siswa kelompok kontrol, 4) Sebagian dari miskonsepsi siswa
bersifat resisten dalam pembelajaran. Untuk siswa kelompok eksperimen terdapat
39,2% siswa yang miskonsepsinya resisten, sedangkan untuk kelompok kontrol
terdapat 53,6% siswa yang miskonsepsinya bersifat resisten.
Kata kunci : Model konflik kognitif dan model siklus belajar, miskonsepsi,
penelitian eksperimental
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
41
ABSTRACT
One of the common factors considered resulting low students’ achievement
in physics is students’ misconception. Students’ conception or prior knowledge
about learning physics concepts which are constructed throught informal learning
in developing meaning of their daily experiences play an important role in
constructing scientific concept. (Trumper, 1990). Students’ preconception, which
showing misconception, may continually affect the development of scientific
concept. According to this condition, in this study were implementing two models
of teaching based on constructivism paradigm, that is cognitive conflict model and
learning cycle model which are aimed to reduce students’ misconception. This
experimental study using pretest-posttest control group design. Two classes (63
students) of experiomental group and two classes (64 students) of control group
were participated in this study. The research results revealed that: 1) 73,5% of
experimental group of students and 67,8% of control group of students, their
preconception were misconception; 2) In average, the percentage of misconception
of the experimental group improving to scientific concept is better than that
control of the group of student; 3) The z-testing result , significantly (α =0,05)
shows that the proportion of the reduction of students’ misconception of
experimental group was higher than that the control group; 4) Part of students’
misconception were resistance in teaching and learning process. There were 39,2%
of experimental group of students and 53,6% of control group of students which
their misconceptions were resistence.
Key words: Cognitive conflict model and learning cycle model, misconception,
and experimental study.
1. Pendahuluan
Model pembelajaran konvensional yang dianut oleh para guru Fisika di
SMU dewasa ini, tampaknya dilandasi oleh asumsi tersembunyi bahwa,
“pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa “.
Dalam model konvensional, tampak bahwa para guru memfokuskan diri pada
upaya penuangan pengetahuan ke dalam kepada para siswanya, tanpa
memperhatikan “ prior knowladge “ siswa atau gagasan – gagasan yang telah ada
dalam diri siswa sebelum mereka belajar secara formal di sekolah. Mereka berpikir
bahwa setelah proses pembelajaran, di dalam kepala para siswa terdapat tiruan
(copy) pengetahuan seperti yang telah disajikannya dalam interaksi belajar
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
42
mengajar. Kondisi di atas, ternyata merupakan salah satu penyebab kurang
berhasilnya guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran, yang tercermin dari
masih rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa dalam pelajaran Fisika.
Dewasa ini, salah satu penyebab universal atas masih rendahnya hasil
belajar Fisika yang dicapai siswa adalah terjadinya kesalahan konsep
(miskonsepsi) pada siswa. Prakonsepsi atau prior knowladge siswa atas konsep
Fisika yang dibangun oleh siswa itu sendiri melalui belajar informal dalam upaya
memberikan makna atas pengalaman meraka sehari – hari mempunyai peran yang
sangat besar dalam pembentukan konsepsi ilmiah (Trumper, 1990). Prakonsepsi
siswa yang pada umumnya bersifat miskonsepsi secara terus-menerus dapat
mengganggu pembentukan konsepsi ilmiah. Penelitian ini di negara – negara maju
selama dua dasa warsa terakhir menunjukkan bahwa salah satu sumber kesulitan
belajar siswa adalah adanya miskonsepsi siswa ( van den Berg, 1991). Ausubel
(1978) juga mengemukakan bahwa proses pembelajaran yang tidak menghiraukan
prakonsepsi siswa, akan mengakibatkan miskonsepsi – miskonsepsi siswa semakin
kompleks dan stabil.
Sehubungan dengan hal di atas, perlu dilakukan reorientasi dalam
pembelajaran fisika. Para teoretisi dan praktisi pendidikan Fisika perlu beralih dari
model pembelajaran konvensional menuju model pembelajaran yang berdasarkan
atas paradigma konstruktivisme, dengan asumsi dasar bahwa “ pengetahuan
dibangun dalam pikiran pebelajar “ (Bodner, 1986). Para konstruktivis
memandang perlu pergeseran secara tajam dari individu – individu yang berdiri di
depan kelas sebagai guru. Suatu pergeseran dari seseorang yang mengajar menjadi
seorang fasilitator dan mediator pembelajaran. Suatu pergeseran dari mengajar
sebagai proses pembebanan menuju mengajar sebagai proses negosiasi. Mengajar
bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa , melainkan
suatu kegiatan yang memungkinkan siswa untuk mengkonstruksi sendiri
pengetahuannya.
Menurut pandangan konstruktivisme, belajar pada hakikatnya merupakan
proses modifikasi gagasan – gagasan yang telah ada pada diri pebelajar. Belajar
adalah pembentukan pengertian atas pengalaman – pengalaman dalam
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
43
hubungannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (prior –
knowladge). Belajar terjadi melalui kontruksi dan elaborasi struktur kognitif atas
dasar pengalaman. Sebagai implikasi dari konseptualisasi ini, maka pikiran
pebelajar harus dipandang sebagai jaringan ide yang kaya dan bervariasi, dan
bukan sebagai tabularasa. Penekanan dalam belajar bukan pada korespondensi
dengan suatu otoritas eksternal, tetapi pada penyusunan skemata – skemata atau
struktur kognitif yang koheren dan berguna bagi pebelajar. Orientasi kita dalam
proses evaluasi pembelajaran seyogyanya digeser dari “kebenaran siswa
melakukan reflikasi atas apa yang dikerjakan guru “ menuju “ suksesnya siswa
mengorganisasi pengalaman mereka “ (Driver, 1988).
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dirancang dan dikembangkan suatu
model pembelajaran Fisika yang dilandasi oleh paradigma konstruktivisme. Model
pembelajaran ini dirancang dengan menggunakan prior knowladge siswa sebagai
basis, dan terutama diarahkan untuk memperbaiki miskonsepsi siswa menjadi
konsepsi ilmiah, yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kualitas
proses dan hasil belajar siswa. Model pembelajaran ini mengandung prosedur
ilmiah, spesifikasi hasil belajar, spesifikasi lingkungan belajar, kriteria
penampilan, dan langkah – langkah serta prosedur pembelajarannya.
Dalam penelitian ini akan dirancang dan dikembangkan dua model
pembelajaran yang berdasarkan atas paradigma konstruktivisme, yaitu model
konflik kognitif (cognitive conflict model) dan model siklus belajar (learning cycle
model). Model konflik kognitif didasarkan atas konstruktivisme Piagetian yang
memberi tekanan pada pengkonstruktisian pengetahuan melalui proses
intraindividual (Roth & Roychoudhury, 1993). Ada tiga fase pokok dalam model
konflik kognitif. Pertama, identifikasi miskonsepsi siswa beserta latar
penyebabnya. Kedua, mengkonfrontasikan gagasan siswa (prakonsepsi) dengan
konsepsi ilmiah, dalam upaya menggoyahkan miskonsepsi siswa dan agar siswa
menjadi ragu terhadap kebenaran prakonsepsinya. Ketiga, fase konflik yang
merupakan titik sentral dari pengubahan miskonsepsi siswa menjadi konsepsi
ilmiah. Hanya melalui fase konfliklah siswa akan menjadi mengerti dan mau
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
44
mereorganisasi serta merestrukturisasi gagasannya yang miskonsepsi ( Dreypus,
1990).
Model siklus belajar terdiri atas beberapa tahapan aktivitas belajar yang
dapat digunakan untuk memotivasi siswa dalam memahami fenomena – fenomena
alam yang kompleks melalui pengalaman langsung. Melalui model ini para siswa
akan memperoleh kesempatan untuk memberi penjelasan, melakukan interpretasi,
dan memperbaiki gagasannya (Ramsey, 1993). Model siklus belajar terdiri atas
tiga fase, yaitu : 1) fase eksplorasi, 2) fase pengenalan konsep, dan 3) fase aplikasi
konsep (Lawson, 1989; Ramsey, 1993). Dalam fase, eksplorasi siswa belajar
melalui aksi dan reaksinya dalam suatu situasi baru, terutama dalam kegiatan
eksperimen. Pada fase pengenalan konsep, para siswa didorong untuk
mendiskusikan temuan – temuannya dalam fase eksplorasi. Melalui fase ini para
siswa diharapkan membangun struktur mental baru sebagai modifikasi terhadap
prakonsepsinya. Pada fase aplikasi para siswa diberi kesempatan untuk
menerapkan konsepsi barunya dalam situasi yang baru. Fase ini merupakan
wahana untuk memperkaya dan memperkuat struktur mental siswa.
Fokus permasalahan yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut. (1) Bagaimanakah variasi, tipe, dan latar
penyebab miskonsepsi siswa SMA dalam pelajaran Fisika? (2) Seberapa
efektifkah model dan strategi pembelajaran Fisika SMA dalam memperbaiki
miskonsepsi siswa? (3) Kendala-kendala instruksional apa saja yang dialami oleh
para guru Fisika dalam implementasi model dan strategi konflik kognitif dalam
pembelajaran fisika?
2. Metode Penelitian
2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuasi ekperimen dengan menggunakan
rancangan “randomized pretest-posttest control group design”, yang dapat
digambarkan sebagai berikut.
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
45
Kelas Eksperimen (KE) : R
O
X
O’
------------------------------------------------------------------Kelas Kontrol (KK)
: R
O
O’
Gambar 1. Rancangan Randomized Pretest-Posttest Control Group Design
(Diadaptasi dari Fraenkel, 1993 :255).
Keterangan :
R = Random
X = Model konflik kognitif dan model siklus
belajar
O = Pretest
O’ = Posttest
Penelitian kuasi eksperimen ini dilakukan pada siswa kelas II SMA Negeri
di Singaraja tahun ajaran 2004/2005 dengan melibatkan satu kelas siswa SMA
Negeri 1 Singaraja dan satu kelas siswa SMA Negeri 3 Singaraja sebagai
kelompok eksperiemen, serta satu kelas siswa SMA Negeri 1 Singaraja dan satu
kelas siswa SMA Negeri 3 Singaraja sebagai kelompok kontrol.
2.2 Objek dan Instrumen Penelitian
Dalam penelitain ini, objek atau aspek –aspek yang diteliti adalah sebagai
berikut. (1) Profil prakonsepsi (prior knowledge) siswa SMA tentang konsepkonsep dan prinsip-prinsip Fisika kelas II yang esensial dan strategis. (2) Variasi,
tipe, dan latar penyebab miskonsepsi siswa. (3) Efektivitas dan keunggulan
komparatif model dan strategi pembelajaran Fisika dalam memperbaiki
miskonsepsi siswa. (4) Kendala-kendala instruksional yang dialami guru fisika
dalam mengimplementasikan model dan strategi pembelajaran.
Sehubungan dengan objek atau aspek tersebut, maka instrumen yang
digunakan untuk mengumpulkan data adalah (1) Tes diagnostik untuk menggali
data tentang prakonsepsi dan miskonsepsi siswa, (2) Tes penguasaan konsep yang
dilakukan setelah proses pembelajaran, dan (3) Pedoman observasi untuk
menjaring data tentang kendala-kendala instruksional yang dialami guru dalam
implementasi model dan strategi pembelajaran.
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
46
2.3 Teknik Analisis Data
Data tentang prakonsepsi siswa, variasi dan tipe miskonsepsi siswa
dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan persentase. Sedangkan, data
tentang kendala-kendala instruksional yang dialami guru fisika dianalisis secara
kualitatif dan dideskripsikan secara naratif. Untuk menetukan efektivitas dan
keunggulan komparatif model konflik kognitif dan model siklus belajar terhadap
model konvensional dalam memperbaiki miskonsepsi, maka dilakukan uji
perbedaan proporsi melalui uji-z.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
3.1.1 Profil Prakonsepsi Siswa, Miskonsepsi Siswa dan Perubahannya Setelah
Proses Pembelajaran
Sehubungan dengan konsep penjumlahan vektor, dengan mengajukan
permasalahan sebuah perahu yang menyeberangi sungai, ternyata hasil pretest
menunjukkan bahwa, sebagian terbesar dari prakonsepsi (prior knowledge) siswa
berlabel miskonsepsi. Untuk kelompok eksperimen, persentase siswa yang
mengalami miskonsepsi adalah 71,4%, dan untuk kelompok kontrol 66,7%. Pada
umumnya mereka berpendapat bahwa, agar perahu dapat sampai di seberang
sesuai dengan tempat tujuan, arah perahu adalah ke hilir dengan sudut arah
tertentu. Padahal semestinya arah perahu adalah ke hulu dengan sudut arah
tertentu. Konsepsi mereka didasarkan atas pemikiran akal sehat (commsense)
bahwa perahu tersebut dihanyutkan oleh arus air. Setelah proses pembelajaran,
untuk siswa kelompok eksperimen ternyata persentase siswa yang miskonsepsinya
dapat diperbaiki menjadi konsepsi ilmiah hanya 7,9%, yaitu dari 71,4% menjadi
63,5%. Sedangkan, untuk siswa kelompok kontrol, persentase siswa yang
mengalami miskonsepsi justru bertambah sebesar 11,1%, yaitu dari 66,7% menjadi
77,8%.
Hasil analisis data tentang konsep dinamika gerak, hasil pretest
menunjukkan bahwa sebagian besar dari prakonsepsi siswa kelompok eksperimen
ataupun kelompok kontrol sudah sesuai dengan konsep ilmiah. Untuk siswa
kelompok eksperimen 69,8% sudah sesuai dengan konsepsi ilmiah dan 30,2%
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
47
masih berlabel miskonsepsi. Sedangkan, untuk siswa kelompok kontrol 70,0%
sudah sesuai dengan konsepsi ilmiah dan 30,0% masih berlabel miskonsepsi.
Setelah proses pembelajaran, untuk siswa kelompok eksperimen persentase siswa
yang miskonsepsinya dapat diperbaiki menjadi konsepsi ilmiah adalah 14,1% yaitu
dari mula-mula yang miskonsepsi sebesar 30,2% dan setelah proses pembelajaran
persentase siswa yang masih mengalami miskonsepsi adalah 16,1%. Untuk siswa
kelompok kontrol, persentase siswa yang miskonsepsinya dapat diperbaiki
menjadi konsepsi ilmiah adalah 8,1%, yaitu dari mula-mula yang miskonsepsi
adalah sebesar 30,0%, dan setelah proses pembelajaran persentase siswa yang
masih mengalami miskonsepsi adalah 21,9%. Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan miskonsepsi siswa menjadi konsepsi ilmiah pada kelompok eksperimen
lebih besar daripada kelompok kontrol.
Secara keseluruhan, analisis terhadap dua puluh konsep fisika kelas II yang
esensial dan strategis, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. (1) Sebagian
besar prakonsepsi (prior knowledge) siswa SMA kelas II tentang konsep-konsep
fisika masih berlabel miskonsepsi. Untuk siswa kelompok eksperimen, hasil
analisis data menunjukkan bahwa 73,% dari prakonsepsinya berlabel miskonsepsi
dan untuk siswa kelompok kontrol 67,8% dari prakonsepsinya berlabel
miskonsepsi. (2) Prakonsepsi siswa SMA kelas II tentang konsep-konsep fisika
cukup bervariasi. Untuk setiap konsep fisika terdapat antara tiga sampai empat
macam konsepsi. Hal ini menunjukkan bahwa siswa masuk ke dalam kelas tidak
dengan kepala kosong (blank mind), tetapi mereka telah memiliki berbagai
gagasan tentang suatu konsep fisika. (3) Jika diperhatikan prakonsepsi siswa
untuk setiap konsep fisika, ternyata terdapat tiga konsep, yakni prakonsepsi siswa
telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, yaitu konsep tentang gerak lurus berubah
beraturan, konsep tentang dinamika gerak, dan konsep tentang gerak benda dalam
pengaruh gravitasi bumi. (4) Terdapat enam konsep dimana hampir seluruh siswa
prakonsepsinya berlabel miskonsepsi. Konsep-konsep tersebut adalah konsep
tentang gerak melingkar vertikal, prinsip hubungan koefisien gesekan dan gerak
rotasi, konsep tentang benda jatuh bebas, prinsip tentang tikungan jalan dalam
kaitannya dengan koefisien gesekan, konsep tentang gaya gesekan pada midang
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
48
miring, dan prinsip tentang hubungan periode bandul dan percepatan gravitasi.
(5) Setelah proses pembelajaran, ternyata hanya sebagain dari miskonsepsi siswa
yang dapat diperbaiki menjadi konsepsi ilmiah. Untuk siswa kelompok
eksperimen, rata-rata 34,3% dari miskonsepsi siswa yang dapat diperbaiki menjadi
konsepsi ilmiah, yaitu dari 73,% menjadi 39,2% yang masih miskonsepsi.
Sedangkan untuk siswa kelompok kontrol, ternyata hanya 14,2% dari miskonsepsi
siswa yang dapat diperbaiki menjadi konsepsi ilmiah, yaitu dari 67,8% menjadi
53,6% yang masih miskonsepsi. (6) Terdapat tujuh konsep fisika yang bersifat
sangat resisten dalam proses pembelajaran, yaitu konsep tentang resultan vektor,
konsep tentang gerak lurus berubah beraturan, konsep tentang kinematika gerak
melingkar, konsep tentang gerak melingkar vertikal, prinsip tentang hubungan
antara koefisien gesekan dan gerak rotasi, konsep tentang gerak benda jatuh bebas,
konsep tentang gaya gesekan pada benda yang diam. (7) Terdapat empat
konsep/prinsip, yakni persentase siswa kelompok kontrol yang mengalami
miskonsepsi justru bertambah setelah proses pembelajaran. Hal ini terjadi pada
konsep tentang resultan vektor, konsep tentang gerak lurus berubah beraturan,
konsep tentang benda yang dilemparkan horisontal, dan konsep gaya gesekan.
3.1.2 Efektivitas dan Keunggulan Komparatif Model Konflik Kognitif dan
Model Siklus Belajar dalam Memperbaiki Miskonsepsi Siswa
Untuk mengetahui efektivitas dan keunggulan komparatif model dan
strategi pembelajaran fisika dalam memperbaiki miskonsepsi siswa, maka data
pretest dan posttest tentang miskonsepsi siswa diolah dalam bentuk proporsi siswa
yang mengalami miskonsepsi. Proporsi penurunan miskonsepsi siswa antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dianalisis perbedaannya. Selanjutnya
hipotesis yang menyatakan bahwa “Proporsi penurunan miskonsepsi siswa
kelompok eksperimen lebih besar daripada proporsi penurunan miskonsepsi siswa
kelompok kontrol” diuji dengan menggunakan uji-z satu pihak. Secara statistik
hipotesisnya dituliskan sebagai berikut.
H0: p1 ≤ p2
vs.
H1: p1 > p2
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
49
Hipotesis ini diuji dengan menggunakan uji perbedaan proporsi “Uji-z” dengan
persamaan:
(x1/n1) – (x2/n2)
z = --------------------------(Sudjana, 1975:244)
V p q ( 1/n1 + 1/n2)
dimana:
x1/n1 = proporsi penurunan miskonsepsi kelompok eksperimen
x2/n2 = proporsi penurunan miskonsepsi kelompok kontrol
p = (x1 + x2)/(n1 + n2) dan q = 1 - p
Perhitungan uji-z adalah sebagai berikut.
p1 = x1/n1 = 0,343; n1 = 63
p = 0,242
p2 = x2/n2 = 0,142; n2 = 64
q = 0,758
0,343 – 0,142
z = -------------------------------------V 0,242 x 0,758 (1/63 + 1/64)
z = 2,64
Untuk taraf signifikansi  = 0,05, harga zk = 1,64.
Oleh karena z >zk, maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa “Proporsi
penurunan miskonsepsi siswa kelompok eksperimen tidak lebih besar daripada
proporsi penurunan miskonseps siswa kelompok kontrol ditolak. Artinya, dengan
taraf signifikansi lima persen ( = 0,05), dapat disimpulkan bahwa proporsi
penurunan miskonsepsi siswa kelompok eksperimen lebih besar daripada proporsi
penurunan miskonsepsi siswa kelompok kontrol.
3.1.3 Kendala-kendala Instruksional dalam Implementasi Model Konflik
Kognitif dan Model Siklus Belajar yang Dialami oleh Guru Fisika
Adapun kendala-kendala instruksional yang dialami guru adalah sebagai
berikut. (1) Model dan strategi pembelajaran yang dirancang secara khusus untuk
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
50
memperbaiki miskonsepsi siswa, belum dikuasai dengan baik oleh para guru fisika
yang ditugaskan dalam penelitian ini. Kondisi tersebut menyebabkan guru tidak
mampu melakukan improvisasi pembelajaran dengan baik dalam interaksi belajarmengajar di kelas. (2) Dalam proses pembelajaran secara aktual di kelas, langkah
eksplorasi prakonsepsi (prior knowledge) siswa yang merupakan langkah awal
dalam model dan strategi pembelajaran sering terlewatkan. Hal ini menyebabkan
miskonsepsi siswa serta latar penyebabnya tidak teridentifikasi dengan baik. (3)
Guru mengalami kesulitan dalam merunut latar penyebab miskonsepsi siswa,
karena terbatasnya kemampuan dan terbatasnya alokasi waktu. (4) Guru
mengalami kesulitan dalam memilih model konflik kognitif yang dapat
menggoyahkan konsepsi siswa yang miskonsepsi, karena bervariasinya tipe
miksonsepsi siswa. (5) Guru mengalami kesulitan dan sering ragu kapan konflik
kognitif harus dilontarkan agar terjadi ketidakseimbangan atau disekuilibrasi
dalam pikiran siswa. (6) Guru pada umumnya berhenti dan merasa puas jika
konsepsi siswa yang miskonsepsi sudah berubah menjadi konsepsi ilmiah, pada
hal status pengetahuan baru siswa tersebut baru pada status plausible dan bahkan
baru pada status intelligible. Kondisi demikian menyebabkan saat diberikan tes
akhir (posttest) para siswa kembali menjawab dengan menggunakan gagasan
mereka yang miskonsepsi. (7) Keterbatasan fasilitas laboratorium, yakni jumlah
set alat masih jauh dari kebutuhan proses pembelajaran, sehingga proses
pembelajaran yang semestinya dilakukan melalui kegiatan eksperimen terpaksa
dilakukan melalui kegiatan demonstrasi. Hal ini jelas akan menimbulkan kesulitan
yang cukup signifikan dalam memperbaiki miskonsepsi siswa. (8) Pikiran guru
selalu dihantui oleh target materi pelajaran yang harus diselesaikan. Kondisi
demikian menyebabkan para guru tidak mentuntaskan perubahan miskonsepsi
siswa menjadi konsepsi ilmiah sampai pada status fruitful. Mereka berhenti jika
status pengetahuan baru siswa yang merupakan rekonstruksi dari pengetahuan
yang miskonsepsi hanya sampai status plausible dan bahkan ada yang berhenti
hanya sampai pada status intelligible, lalu lanjut ke materi ajar berikutnya dengan
alasan mengejar target kurikulum.
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
51
3.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pretest terungkap bahwa prakonsepsi (prior knowledge)
siswa terhadap suatu konsep fisika cukup bervariasi, yaitu terdapat antara tiga
sampai enam macam konsepsi siswa. Hal ini menunjukkan bahwa siswa masuk ke
dalam kelas tidak dengan kepala kosong (blank mind), tetapi mereka telah
memiliki berbagai gagasan tentang peristiwa-peristiwa alam yang dibangunnya
melalui proses belajar informal dalam rangka memberi makna terhadap
pengalaman mereka sehari-hari. Temuan ini sesuai dengan pendapat Gonstone
(1990) yang menyatakan bahwa pebelajar (learner) memiliki ide-ide dan
keyakinan serta sikap tentang dunia mereka yang dibangun secara personal.
Temuan ini juga sejalan dengan pandangan konstruktivisme bahwa dalam proses
pembelajaran, pikiran siswa hendaknya tidak dipandang sebagai ‘tabula rasa”
tetapi harus dilihat sebagai jaringan ide yang kaya dan bervariasi yang
diperolehnya melalui pengalaman informal dari hari ke hari. Oleh karena itu, guru
yang konstruktivis akan selalu berupaya untuk mengeksplorasi prakonsepsi siswa
untuk digunakan sebagai pijakan dalam merancang dan mengimplementasikan
program pembelajaran, agar proses pembelajaran menjadi lebih efektif. Mengapa
prakonsepsi (prior knowledge) siswa perlu digunakan sebagai titik tolak dalam
merancang dan mengimplementasikan program pembelajaran? Karena belajar
menurut pandangan konstruktivisme adalah proses pengkonstruksian pengetahuan
oleh individu pebelajar sebagai upaya pemberian makna atas data sensori baru
dalam hubungannya dengan pengetahuan sebelumnya (Ross Tasker, 1992; Driver,
1988; Shymansky dan Kyle, 1992).
Hasil pretest juga menunjukkan bahwa, prakonsepsi (prior knowledge)
siswa sebagian besar berlabel miskonsepsi. Rata-rata 73,5% siswa kelompok
eksperimen dan 67,8% siswa kelompok kontrol, prakonsepsinya berlabel
miskonsepsi. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat bahwa prakonsepsi siswa
belum dibangun berdasarkan pola berpikir ilmiah, tetapi dibangun berdasarkan
intuisi atau akal sehat (commonsense) mereka. Misalnya, dua buah peluru besi
yang satu lebih besar daripada yang lain dijatuhkan bebas dari ketinggian yang
sama, dan siswa ditanya manakah di antara kedua peluru besi itu yang sampai di
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
52
tanah terlebih dahulu, maka para siswa akan menjawab bahwa peluru yang lebih
besar akan sampai di tanah terlebih dahulu. Akal sehat siswa menyatakan bahwa
peluru yang lebih besar adalah lebih berat, akibatnya kecepatan jatuhnya lebih
besar dan akan sampai di tanah terlebih dahulu.
Setelah proses pembelajaran, hasil posttest menunjukkan bahwa pesentase
siswa kelompok eksperimen yang miskonsepsinya dapat diperbaiki menjadi
konsepsi ilmiah lebih tinggi daripada siswa kelompok kontrol. Rata-rata 34,3%
siswa kelompok eksperimen miskonsepsinya dapat diperbaiki menjadi konsepsi
ilmiah, sedangkan untuk siswa kelompok kontrol hanya 14,2% siswa yang
miskonsepsinya dapat diperbaiki menjadi konsepsi ilmiah. Hasil uji perbedaan
proporsi penurunan miskonsepsi yang dilakukan melalui uji-z, menunjukkan
bahwa proporsi penurunan miskonsepsi siswa kelompok ekpserimen secara
signifikan lebih tinggi daripada siswa kelompok kontrol (z = 2,64, sedangkan
harga zk = 1,64). Artinya, proporsi miskonsepsi siswa kelompok eksperimen yang
berubah menjadi konsepsi ilmiah lebih besar daripada siswa kelompok kontrol.
Hal ini menunjukkan bahwa model dan strategi pembelajaran yang dirancang
untuk memperbaiki miskonsepsi siswa yaitu model konflik kognitif dan model
siklus belajar cukup efektif. Konflik kognitif yang disajikan dalam proses
pengubahan miskonsepsi siswa berarti cukup efektif dalam menggoyahkan
konsepsi siswa yang miskonsepsi sehingga pada diri siswa terjadi
ketidakseimbangan (diekuilibrasi) dan siswa merasa ragu akan kebenaran
konsepsinya. Kondisi tersebut mendorong siswa untuk melakukan modifikasi dan
merestrukturisasi gagasannya, sehingga terbangun konsepsi baru yang sesuai
dengan konsepsi ilmiah.
Jika dilihat dari aspek miskonsepsi siswa yang masih bersifat resisten,
temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, 39,2% siswa kelompok eksperimen
dan 53,6% siswa kelompok kontrol miskonsepsinya masih resisten. Di samping
itu, ditemukan pula bahwa terdapat tujuh konsep fisika SMA kelas II, yakni
miskonsepsi siswa bersifat sangat resisten. Ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan resistennya miskonsepsi siswa, seperti berikut. (1) Masing-masing
individu siswa mengkonstrukatau membangun pengetahuannya “persis”dengan
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
53
pengalamannya sehari-hari (Bodner, 1986). (2) Asumsi dominasi siswa (student’s
dominace asumption) dalam proses pembelajaran ternyata menjadi kenyataan.
Artinya, meskipun guru telah menyadari bahwa siswa masuk ke dalam kelas
telah memiliki berbagai gagasan yang bervariasi dan guru telah merancang
model pembelajaran untuk memperbaiki miskonsepsi siswa, namun gagasan
siswa yang miskonsepsi bertahan sangat kuat serta konflik kognitif yang
disajikan guru belum mampu mengoyahkan dan menggeser miskonsepsi siswa.
(3) Status pengetahuan ilmiah yang diintroduksi guru untuk memperbaiki
miskonsepsi siswa lebih rendah dari pada status pengetahuan siswa yang bersifat
miskonsepsi. Misalnya, status pengetahuan yang diintroduksi guru berada pada
status plausible, sedangkan status pengetahuan siswa yang bersifat miskonsepsi
sudah berada pada posisi fruitful. Atau, status pengetahuan yang diintroduksi guru
adalah intelligible, sedangkan status pengetahuan siswa yang miskonsepsi berada
pada status plausible. (4) Konsepsi atau pengetahuan baru sebagai hasil dari
restrukturisasi gagasan siswa yang semula berlabel miskonsepsi belum diberi
kesempatan oleh guru untuk diaplikasikan dalam berbagai situasi baru, agar
statusnya mencapai fruitful.
Hasil observasi di kelas menunjukkan bahwa ada beberapa kendala
instruksional dalam implementasi model dan strategi pembelajaran. Kendalakendala instruktsional tersebut menyebabkan belum tuntasnya miskonsepsi siswa
untuk diperbaiki menjadi konsepsi ilmiah dan belum optimalnya hasil belajar yang
dicapai siswa. Kendala instruksional yang dialami guru antara lain, model dan
strategi pembelajaran yang dirancang khusus untuk memperbaiki miskonsepsi
siswa belum dikuasai guru dengan baik. Kondisi ini berdampak pada kurangnya
improvisasi dalam proses pembelajaran, belum tepatnya penyajian konflik
kognitif, dan siswa belum terfasilitasi dengan baik pada saat mereka akan
melakukan modifikasi dan restrukturisasi gagasannya yang miskonsepsi. Kendala
instruksional lainnya adalah bahwa para guru belum mampu merunut dengan baik
latar penyebab munculnya miskonsepsi siswa, sehingga mereka mengalami
kesulitan dalam memilih dan menyajikan konflik kognitif. Guru pada umumnya
berhenti dan merasa puas jika miskonsepsi siswa dirasakan sudah berubah menjadi
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
54
konsepsi ilmiah. Pada hal indikator yang digunakan guru masih lemah yakni hanya
anggukan kepala atau suara “mengerti” yang terlontar dari siswa. Mungkin saja
konsepsi ilmiah yang diintrodusiksikan guru hanya berada pada status plausible
atau baru pada status intelligible. Guru kurang memberi kesempatan yang lebih
banyak kepada para siswa untuk mengaplikasikan gagasannya yang sesuai dengan
konsepsi ilmiah dalam berbagai situasi baru, dengan alasan tidak cukup waktu atau
ingin mengejar target kurikulum. Hal inilah yang dapat menyebabkan masih
resistennya miskonsepsi siswa dan belum optimalnya hasil belajar yang dicapai
siswa. Seharusnya guru memberi kesempatan yang cukup dengan menyiapkan
berbagai problem agar para siswa dapat mengaplikasikan gagasan atau konsepsi
barunya yang bersifat ilmiah sebagai hasil dari restrukturisasi konsepsinya yang
semula miskonsepsi, agar status pengetahuan barunya itu berada pada status
fruitful.
4. Penutup
Berdasarkan permasalahan dan hasil analisis data, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut. Pertama,
berdasarkan
hasil
pretest
yang
dilaksanakan pada awal penelitian ini, terungkap bahwa prakonsepsi (prior
knowledge) siswa terhadap suatu konsep fisika cukup bervariasi yaitu terdapat
antara tiga sampai enam macam konsepsi siswa. Hal ini menunjukkan bahwa
siswa masuk ke dalam kelas tidak dengan kepala kosong (blank mind), tetapi
mereka telah memiliki berbagai gagasan tentang suatu gejala fisika yang
dibangunnya melalui belajar informal dalam upaya memberi makna terhadap
pengalaman mereka sehari-hari.
Kedua, sebagian besar dari prakonsepsi (prior knowledge) siswa berlabel
miskonsepsi, yakni sekitar 73,5% siswa kelompok eksperimen dan 67,8% siswa
kelompok kontrol prakonsepsinya berlabel miskonsepsi. Kondisi tersebut dapat
dipahami mengingat bahwa prakonsepsi mereka belum dikonstruksi berdasarkan
pola pikir ilmiah, tetapi dibangun berdasarkan intuisi atau akal sehat
(commonsense).
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
55
Ketiga, hasil analisis data posttest yang dilakukan pada akhir program
pembelajaran menunjukkan bahwa, secara umum rata-rata persentase miskonsepsi
siswa kelompok eksperimen yang dapat diperbaiki menjadi konsepsi ilmiah lebih
besar daripada siswa kelompok kontrol. Rata-rata 34,3% siswa kelompok
eksperimen miskonsepsinya berhasil diperbaiki menjadi konsepsi ilmiah,
sedangkan miskonsepsi siswa kelompok kontrol yang berhasil diperbaiki menjadi
konsepsi ilmiah hanya 14,2%. Hal ini diperkuat lagi dengan hasil analisis uji-z
yang menunjukkan bahwa proporsi penurunan miskonsepsi siswa kelompok
eksperimen secara signifikan lebih tinggi daripada proporsi penurunan
miskonsepsi siswa kelompok kontrol.
Keempat, sebagian dari miskonsepsi siswa bersifat resisten dalam
pembelajaran, yang berarti bahwa miskonsepsi mereka tidak berubah setelah
proses pembelajaran. Dalam hal ini, terungkap bahwa 39,2% siswa kelompok
eksperimen dan 53,6% siswa kelompok kontrol msikonsepsinya bersifat resisten.
Di samping itu, ditemukan pula bahwa tujuh konsep fisika SMA kelas II yang
bersifat sangat resisten.
Kelima, berdasarkan hasil observasi di kelas, terdapat beberapa kendala
instruksional yang dialami guru fisika dalam implementasi model dan strtegi
pembelajaran model konflik kognitif dan model siklus belajar, yaitu (1) model
dan strategi pembelajaran yang dirancang khusus untuk memperbaiki miskonsepsi
siswa belum dikuasai dengan baik, (2) dalam proses pembelajaran secara aktual di
kelas, langkah eksplorasi prakonsepsi siswa yang merupakan langkah awal dalam
penerapan model dan strategi pembelajaran sering terlewatkan sehingga
miskonsepsi siswa dan latar penyebabnya tidak teridentifikasi dengan baik, (3)
guru mengalami kesulitan dalam merunut latar penyebab miskonsepsi siswa,
karena terbatasnya kemampuan dan terbatasnya waktu, (4) adanya hambatan
internal pada diri guru, yaitu mereka masih sulit untuk mengubah kebiasaan
mengajarnya dari metode ekspositori menuju model dan strategi konstuktivis yang
memposisikan guru sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran, (5) masih
terbatasnya fasilitas laboratorium, yakni jumlah set alat masih jauh dari
kebutuhan proses pembelajaran, sehingga proses pembelajaran yang semestinya
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
56
dilakukan melalui eksperimen (praktikum) terpaksa dilaksanakan melalui metode
demonstrasi, dan (6) pikiran guru selalu dihantui oleh target materi kurikulum,
sehingga guru tidak mentuntaskan perbaikan miskonsepsi siswa menjadi konsepsi
ilmiah sampai pada status fruitful.
Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini, maka diajukan saran-saran
sebagai berikut.
Pertama, prakonsepsi (prior knowledge) siswa dan variasi miskonsepsi
beserta latar penyebabnya perlu dieksplorasi dan diidentifikasi secara cermat dan
selanjutnya
digunakan
sebagai
pijakan
dalam
merancang
dan
mengimplementasikan program pembelajaran di kelas. Jika miskonsepsi siswa
tidak ditanggulangi dengan baik, maka miskonsepsi mereka akan semakin
kompleks dan semakin stabil. Kondisi demikian akan menyebabkan
berakumulasinya kesulitan belajar siswa dan pada akhirnya akan bermuara pada
rendahnya hasil belajar siswa.
Kedua,
model konflik kognitif dan model siklus belajar yang
dikembangkan dalam penelitian ini dapat dipilih sebagai salah satu alternatif
model pembelajaran untuk memperbaiki miskonsepsi siswa, karena telah terbukti
keefektifannya dalam memperbaiki miskonsepsi siswa serta memiliki keunggulan
komparatif yang signifikan dalam pencapaian hasil belajar. Ada beberapa kondisi
yang harus diperhatikan oleh para guru fisika dalam implementasi model konflik
kognitif dan model siklus belajar, yaitu (1) guru harus sadar bahwa siswa masuk
kelas telah memiliki berbagai gagasan tentang suatu konsep tertentu, (2) guru
harus mencermati variasi miskonsepsi siswa dan mencari pola umum miskonsepsi
siswa, (3) guru harus mampu menyajikan pengalaman belajar yang dapat
memunculkan koflik kognitif dalam pikiran siswa, sehingga siswa terdorong untuk
memodifikasi dan merestrukturisasi gagasannya yang miskonsepsi, (4) guru harus
selalu memposisikan diri sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran, dan (5)
guru perlu memberi kesempatan yang cukup kepada siswa untuk mengaplikasikan
konsepsi barunya sebagai hasil dari restrukturisasi gagasannya yang miskonsepsi
dalam berbagai situasi baru agar status pengetahuannya mencapai status fruitful.
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
57
DAFTAR PUSTAKA
Bodner, Georg.M. 1986. Construktivism : A Theory of Knowladge. Journal of
Chemical, Vol. 63, No Education. 10.
Dreyfus, Amos, et.al. 1990. Apllying the cognitive Conflict, Strategy for
Conceptual Change, Some Implications, Difficulties, and Problems.
Journal of Science Education, 74 (5).
Driver, Rosalin. 1988. Changing Conception. Central for Studies in Science and
Mathematics Education University of Leeds.
Fosnot, Caterine Twomey. 1989. Equiring Teacher Equiring Learning. A
Constructivist Aproach for Teaching. New York: Teachers College Press.
Gustone, Richard F. 1990. Children’s Science At Decade of Development in
Constructivist View of Science Teaching and Learning. Australian Science
Teacher Journal, Vol. 36, No. 4.
Hewson, Mariana G.. and Hewson, Peter W. 1983. Effects of Instruction Using
Student’ Prior Knowladge and Conceptual Change Strategies on Science
Learning. Journal of Research in Science Teaching, Vol. 20, No. 8.
Osborne R & Wittrock. 1985. The Generative Learning Model and its implication
on Science Education. Studies in Science Education, (12).
Paul Suparno, 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius.
Ramsey, John. 1993. Developing Conceptual Storylines with the Learning Cycle.
Journal of Elementary Science Education, Vol.5, No. 2.
Ratna Wilis Dahar. 1989. Teori – Teori Belajar. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Ross Tasker. 1992. Effective Teaching. What Can A Constructivist View of
Learning Offer ? Australian Science Teachers Journal, Vol. 38, No.1.
Sadia.1996. Pengembangan Model Belajar Konstruktivis dalam Pembelajaran
IPA di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi pada Program
Pascasarjana IKIP Bandung.
Shymansky, James A & Keyle William C. Jr.1992. Establishing a Research
Agenda. Critical Issues of Science Curriculum Reform. Journal of Research
in Science Teaching, Vol. 29, Issues 8.
Thomas, Marilia F. et.al. 1995.An Attemp to Overcome Alternative Conception
Related to Heat Temperature. Physics Education, Vol. 30, No. 1.
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
58
Tobin, Kneth. 1990. Social Constructivist Perspectives on the Reform of Science
Education. Australian Science Teachers Journal, Vol.39, No. 4.
Trumper, Ricardo. (1990). Being Constructive: An Alternative Approach to the
Teaching of Energy Concept. International Journal of Science Education.
Vol. 12, No. 4.
Van den Berg, E. 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remediasi. Salatiga : Universitas
Kristen Satya Wacana.
Wheatley, Grayson H. 1991. Constructivist Perspectives on Science and
Mathemathics Learning. Journal of Science Education, 75 (1).
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
Download