BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Perilaku Sopan Santun a. Perilaku Perilaku menurut Sujiono (2009: 126) merupakan bagian dari budi pekerti yang dapat membentuk sikap terhadap manusia, tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan alam sekitar. Pendapat senada juga dikemukakan dalam Teori Behaviors, Skinner (1953) bahwa seluruh perilaku umat manusia dapat dijelaskan atau diamati sebagai respon yang terbentuk dari berbagai stimulus yang pernah diterimanya dari lingkungannya (Sujiono, 2009: 140). Sunardi (Adisusilo, 2014: 1) berpendapat bahwa perilaku merupakan sinonim dari aktivitas, reaksi, aksi, kinerja, atau reaksi. Secara umum perilaku adalah apa yang dilakukan dan dikatakan seseorang. Berdasarkan beberapa pernyataan yang telah disajikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan tentang perilaku. Perilaku adalah bagian dari budi pekerti yaitu cerminan kepribadian seseorang yang membentuk sikap yang tampak dalam perbuatan dan interaksi terhadap orang lain dalam lingkungan sekitarnya. Perilaku anak usia dini mencakup moral, disiplin, sikap beragama, sosial, emosi dan konsep diri. Pengembangan moral pada anak usia dini berkaitan dengan Pendidikan Karakter yang diajarkan di sekolah. Pendidikan Karakter memberikan kesempatan untuk mengembangkan perilaku moral pada anak. Moral berasal dari bahasa Latin Mores yang artinya tata cara, kebiasaan dan adat. Menurut Hurlock moralitas adalah kebiasaan yang terbentuk dari standar sosial yang juga dipengaruhi dari luar individu (Utami, dkk., 2013: 483). Pendapat lain dari Immanuel Kant moral adalah 8 9 kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita (Utami, dkk., 2013: 483). Berdasarkan pendapat beberapa para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa moralitas adalah sistem kepercayaan, penghargaan, dan ketetapan tentang perbuatan benar dan salah yang terbentuk dari kebiasaankebiasan dari standar sosial yang dipengaruhi dari luar individu atau sesuai dengan harapan masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Pendidikan moral akan berhasil apabila pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangan moral anak. Perilaku moral tidak diperoleh begitu saja, melainkan harus ditanamkan. Hal ini dikarenakan pada saat lahir anak belum memiliki konsep tentang perilaku anak yang baik dan tidak baik. Selain itu, pemahaman anak tentang mana yang benar, bertindak untuk kebaikan bersama, dan menghindari hal yang salah belum dikembangkan dalam diri anak. Awalnya anak berperilaku hanya karena dorongan naluriah saja yang seolah tak terkendali. Atas dasar tersebut maka pada diri anak harus ditanamkan perilaku moral yang sesuai dengan standar yang berlaku dalam kelompok masyarakat di mana ia tinggal (Utami, dkk., 2013: 484). Pada usia 4-6 tahun anak mulai menyadari dan mengartikan bahwa sesuatu tingkah laku ada yang baik dan tidak baik. Pada usia 4 tahun perkembangan moral anak semakin luas di usia ini pengetahuan anak tentang nilai dan norma sebagai dasar perilaku moral berkembang luas. Anak belajar mengetahui tentang apa yang seharusnya ia lakukan dalam berinteraksi dengan teman-teman dan guru mereka di sekolah (Utami, dkk., 2013: 484) Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada usia 4-6 tahun anak mulai menyadari dan mengartikan bahwa sesuatu tingkah laku ada yang baik dan tidak baik. perkembangan moral anak semakin luas di usia ini pengetahuan anak tentang nilai dan norma sebagai dasar perilaku moral berkembang luas. Anak belajar mengetahui tentang apa yang seharusnya ia lakukan dalam berinteraksi dengan teman-teman dan guru mereka di sekolah sehingga anak dapat membedakan apa yang 10 berlaku di rumah dan di sekolah, hal ini membuat anak agar dapat berlaku sopan dimanapun ia berada. b. Sopan Santun 1) Pengertian Sopan Santun Secara etimologis sopan santun berasal dari dua kata, yaitu kata sopan dan santun. Keduanya telah digabung menjadi sebuah kata majemuk. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sopan santun dapat diartikan sebagai berikut: Sopan artinya hormat dengan tak lazim (akan, kepada) tertib menurut adab yang baik. Atau bisa dikatakan sebagai cerminan kognitif (pengetahuan). Sedangkan santun artinya halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan, sabar; tenang. Atau bisa dikatakan cerminan psikomotorik (penerapan pengetahuan sopan ke dalam suatu tindakan). Zuriah (2007: 139) mengatakan bahwa sopan santun yaitu norma tidak tertulis yang mengatur bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku. Sopan santun merupakan istilah bahasa jawa yang dapat diartikan sebagai perilaku seseorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai unggah-ungguh. Sopan santun menurut Taryati (Zuriah 2007:71) adalah suatu tata cara atau aturan yang turun-temurun dan berkembang dalam suatu budaya masyarakat, yang bermanfaat dalam pergaulan dengan orang lain, agar terjalin hubungan yang akrab, saling pengertian, hormatmenghormati menurut adat yang telah ditentukan. Adisusilo (2014: 54) berpendapat bahwa sopan santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok orang. Sopan santun terbentuk oleh kebiasaan masyarakat di daerah tertentu maka pada umumnya tidak tertulis, tetapi menjadi kebiasaan lisan saja, yang jika dilanggar akan mendapat celaan dari masyarakat, tetapi jika ditaati akan mendapat pujian dari masyarakat. Axia dan Baroni (2009) berpendapat bahwa, “Politeness is a complex linguistic means used to maintain good interactions with 11 other people” (hlm. 918). Kesopanan adalah suatu alat yang digunakan untuk memelihara interaksi yang baik dengan orang lain. Brown dan Levinson (Kightley, 2009: 512) mendefinisikan kesopanan sebagai sejumlah strategi yang dirancang untuk melestarikan atau memperoleh citra diri dan keinginan untuk dihargai publik. Peran dari kesopanan adalah untuk memelihara suatu hubungan yang harmonis antar pribadi sepanjang interaksi tersebut (Sukarno, 2010: 60). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sopan santun merupakan istilah bahasa Jawa yang dapat diartikan sebagai perilaku seseorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai menghormati, menghargai, dan berakhlak mulia dan dianggap sebagai tuntunan pergaulan sehari-hari masyarakat itu. 2) Implementasi Perilaku Sopan Santun pada Anak Usia Dini Upaya pembisaan sikap sopan santun agar menjadi bagian dari pola hidup seseorang yang dapat dicerminkan melalui sikap dan perilaku keseharian. Sopan santun sebagai perilaku dapat dicapai oleh anak melalui berbagai cara. Keberhasilan pendidikan sopan santun ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan yang mengelilinginya, baik faktor intern maupun ekstern. Dikatakan demikian karena pendidikan sopan santun tidak dapat berdiri sendiri dan selalu berkaitan dengan hal lainnya. Kemungkinan berkaitnya sopan santun dalam keluarga akan kelihatan dalam perilaku di masyarakat, dan pendidikan di masyarakat akan berkaitan dengan pendidikan di sekolah. Implementasi perilaku sopan santun pada anak usia dini menurut Yus (2011:55) meliputi: a) Kebiasaan anak mengucapkan salam Cara mengajarkan kebiasaan mengucapkan salam kepada anak yaitu dengan menyambut kedatangan anak di gerbang sekolah 12 sambil mengucapkan salam dan ketika masuk kelas guru membiasakan mengucapkan salam. b) Kebiasaan anak berdoa dengan tertib Untuk mengajarkan kebiasaan berdoa dengan tertib kepada anak, guru dapat mengajak anak untuk berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran dan sebelum dan sesudah makan dan minum. c) Kebiasaan anak bertutur kata yang baik Agar anak memiliki tutur kata yang baik, guru mengajarkan anak mengucapkan terima kasih, memberikan bimbingan ketika anak mulai berkata kasar dan berteriak ketika proses pembelajaran maupun bermain. d) Kebiasaan anak bertingkah laku yang baik Menanamkan sikap dan perilaku yang baik kepada anak, guru dapat melakukannya dengan membiasakan anak mencium tangan orang yang lebih tua ketika berjabat tangan, menerima sesuatu dengan tangan kanan, mengucapkan terima kasih ketika diberi sesuatu dan permisi ketika lewat di depan orang yang lebih tua. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam menanamkan pembelajaran sopan santun harus mengacu pada indikator yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak sehingga anak benar-benar siap menerima pembelajaran perilaku sopan santun tersebut. 3) Penilaian Perilaku Sopan Santun Sopan santun adalah perilaku yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa ataupun cara berperilaku terhadap orang lain. Indikator dalam Tingkat Pencapaian Perkembangan untuk kelompok B dalam mengenal perilaku baik/ sopan dan buruk menurut Pusat Kurikulum-Balitbang Departemen Pendidikan Nasional (2007) adalah sebagai berikut: a) bersikap ramah, b) meminta tolong dengan baik, c) berterima kasih jika memperoleh sesuatu, d) berbahasa sopan dalam 13 berbicara (tidak berteriak), e) mau mengalah, f) mendengarkan orang tua/ teman berbicara, g) tidak mengganggu teman, h) memberi dan membalas salam, i) menutup mulut dan hidung bila bersin/ batuk, j) menghormati yang lebih tua, k) menghargai teman/ orang lain, l) mendengarkan dan memperhatikan teman berbicara, m) mengucap salam, dan n) menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Indikator dari perkembangan nilai-nilai agama dan moral dalam tingkat pencapaian perkembangan mengenal perilaku baik/ sopan dan buruk pada kelompok B TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku adalah: a) bersikap ramah, b) berbahasa sopan dan meminta tolong dengan baik, dan c) mengucap salam. Indikator tersebut telah disesuaikan dengan kondisi dan situasi sekolah masing-masing serta kebutuhan anak didik yang didasarkan Permendiknas nomor 58 tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Berdasarkan beberapa indikator tersebut, penilaian sikap sopan santun mengacu pada tiga indikator dalam tingkat pencapaian perkembangan mengenal perilaku baik/ sopan dan buruk. Hal tersebut telah disesuaikan dengan silabus kurikulum kelompok B yang digunakan pada TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku. Indikator tersebut adalah sebagai berikut: a) Bersikap ramah Diamati ketika proses pembelajaran dan dihitung dari jumlah anak yang mampu mendengarkan guru/ teman berbicara, tidak mengganggu teman, dan mau berbagi dengan teman. b) Berbahasa sopan dan meminta tolong dengan baik Diamati ketika proses pembelajaran dan dihitung dari jumlah anak yang mampu bertutur kata sopan (tidak berteriak dan mengucap kata kasar), meminta tolong dengan baik, dan berterima kasih juka menerima sesuatu dari orang lain. 14 c) Mengucap salam Diamati ketika proses pembelajaran dan dihitung dari jumlah anak yang mampu memberi salam, menjawab salam, dan berdo’a dengan tenang dan khusyu’. 2. Hakikat Metode Sosiodrama a. Hakikat Metode Metode berasal dari bahasa latin yaitu “method” yang berarti jalan. Pengertian tersebut senada dengan pendapat dari Adisusilo (2014: 86) yang menyatakan bahwa metode adalah jalan atau cara dalam mencapai sesuatu, sedangkan menurut Asril (2010: 2), metode merupakan cara menyampaikan materi agar sampai pada tujuan. Pendapat lain dari Yus (2011: 133) menyatakan bahwa metode merupakan cara yang berfungsi untuk mencapai tujuan kegiatan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa metode adalah cara, jalan, petunjuk untuk melaksanakan suatu kegiatan yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan kegiatan. b. Metode Sosiodrama Kata drama adalah suatu kejadian atau peristiwa dalam kehidupan manusia yang mengandung konflik kejiwaan, pergolakan, clash atau benturan antara dua orang atau lebih. Metode sosiodrama merupakan metode mengajar dengan cara mempertunjukkan kepada peserta didik tentang pembelajaran tertentu (Anitah, 2009: 112). McLennan (2011) berpendapat, “Sociodrama is a step-by-step tool of creative, dramatic exploration that uses role-playing and improvisation to help participants explore, analyze and resolve everyday social issues” (hlm. 407). Sosiodrama adalah langkah kreatif, eksplorasi dramatis yang menggunakan bermain peran dan improvisasi untuk membantu peserta mengeksplorasi, menganalisis dan menyelesaikan isu-isu sosial sehari-hari. Menurut Bennet (Romlah, 2001: 22), sosiodrama adalah permainan peranan yang ditunjukkan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul 15 dalam hubungan antar manusia. Dalam sosiodrama individu akan memerankan suatu peranan tertentu dari situasi masalah sosial. Mareno (Kellermann, 2006:1), berpendapat bahwa sosiodrama adalah suatu pengalaman grup sebagai satu jalan utuh untuk eksplorasi sosial dan transformasin konflik antar kelompok. Pendapat lain dari Winkel dan Hasturi (2004: 67), sosiodrama merupakan salah satu teknik dalam bimbingan kelompok yaitu role playing atau teknik bermain peran. Sosiodrama merupakan dramatisasi dari persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam pergaulan dengan orang lain, tingkat konflik-konflik yang dialami dalam pergaulan sosial. Hughes (Riojas-Cortez, 2000: 1) mendefinisikan permainan sosiodrama yaitu suatu jenis permainan yang melibatkan kelompok dan masing-masing anggota kelompok memerankan suatu peran yang dimainkan. Permainan sosiodrama merupakan salah satu jenis dari pretend play. Smilansky (Riojas-Cortez, 2000: 1) juga mengemukakan bahwa permainan sosiodrama sangat berperan dalam perkembangan kreatifitas, inteligensi, keterampilan sosial dan perkembangan bahasa. Riojas-Cortez (2001) berpendapat “Sociodramatic play is a mediation tool that children use for learning and is also a vehicle that can assist teachers to learn about their students” (hlm. 35). Permainan sosiodrama adalah suatu alat penyelesaian masalah yang digunakan anak untuk belajar dan juga sebagai sarana yang dapat membantu para guru untuk belajar tentang siswanya. Metode sosiodrama merupakan metode mengajar dengan cara mempertunjukkan kepada peserta didik tentang masalah-masalah hubungan sosial, untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Masalah hubungan sosial tersebut didramatisasikan oleh peserta didik di bawah pimpinan guru. Melalui metode sosiodrama guru ingin mengajarkan cara-cara bertingkah laku dalam hubungan antar sesama manusia. Cara yang paling baik untuk memahami nilai sosiodrama adalah mengalami sendiri 16 sosiodrama, mengikuti penuturan terjadinya sosiodrama dan mengikuti langkah-langkah guru pada saat memimpin sosiodrama (Anitah, 2009: 112). Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa metode sosiodrama dalam kegiatan pengembangan anak usia dini adalah suatu kegiatan memainkan peran dalam suatu cerita, yang menuntut kerja sama di antara pemerannya, cerita pada umumnya diangkat dari kehidupan sehari-hari di masyarakat. c. Penerapan Metode Sosiodrama dalam Meningkatkan Perilaku Sopan Santun Anak Usia Dini Sujiono (2009: 121) mengemukakan anak usia dini belajar melalui active learning, metode yang digunakan adalah memberikan pertanyaan pada anak dan membiarkan berpikir atau bertanya pada diri sendiri, sehingga hasil belajar yang didapat merupakan konstruksi anak tersebut. Karena pada dasarnya anak memiliki kemampuan untuk membangun dan mengkreasi pengetahuan sendiri, sehingga sangat penting bagi anak untuk terlibat dalam proses belajar. Salah satu metode yang dianggap efektif untuk meningkatkan perilaku sopan santun pada anak usia dini adalah sosiodrama. Sosiodrama memungkinkan anak untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Karena antara usia 4-6 tahun interaksi antar teman sebaya meningkat (Marhar, 2011: 21). Seorang anak yang mampu mengatasi permasalahan emosinya diharapkan menjadi individu yang lebih percaya diri, tahu kelemahan dan kelebihan sehingga mereka siap menghadapi tantangan di jamannya. Dengan demikian diharapkan metode sosiodrama dapat meningkatkan perilaku pada anak usia dini. Peran yang dilakukan oleh anak pada teknik sosiodrama, memberikan pengalaman langsung bagaimana anak berperilaku. Hal ini sesuai pula dengan ciri berpikir anak usia dini yang dikemukakan oleh Semiawan (Marhar, 2011: 14) antara lain realisme, yaitu kecenderungan 17 yang kuat untuk menanggapi segala sesuatu dengan hal yang riil atau nyata. Teknik sosiodrama juga disesuaikan dengan usia anak 4-6 tahun. Tema yang diangkat berupa lingkungan kehidupan sehari-hari anak. Melalui teknik sosiodrama, guru akan berdiskusi dengan anak, perilaku yang perlu ditumbuh-kembangkan pada interaksi sosial. Di samping halhal tersebut, dengan teknik sosiodrama anak akan belajar norma-norma kelompok. Menurut Hughes (Ashiab, 2007: 200), tema permainan sosiodrama untuk anak usia dini digolongkan ke tiga kategori: keluarga, karakter, dan peran fungsional. Peran keluarga pada umumnya melukiskan ibu, bapak, saudara kandung, dan binatang kesayangan. Peran karakter adalah pada umumnya bersifat khayal, sebagai contoh, menjadi ninja kura-kura, atau seorang puteri. Peran fungsional adalah selalu digambarkan dalam kaitan dengan rencana tindakan yang spesifik; sebagai contoh, suatu anggota pemadam api mempunyai suatu peranan tertentu. Peran yang fungsional tidak menggambarkan perilaku hanyalah identitas yang permanen karakter tersebut. Pada intinya, permainan sosiodrama melibatkan emosi anak, pemikiran dan dunia eksternal mereka; yang merupakan permainan sosial di mana anak-anak menggunakan kreativitas dan imajinasi mereka dan mengambil peran yang berbeda ketika mereka menganggap dirinya sesuai dengan situasi tersebut yang menyertakan penggunaan dari khayalan dan simbolisme. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wright, Diener, dan Kemp (2012), permainan sosiodrama di awal masa kanak-kanak meningkatkan peluang untuk interaksi dan kerja sama/ kolaborasi, membantu perkembangan sosial dan pengembangan emosional ketika anak-anak menggunakan drama untuk memecahkan permasalahan, berhadapan dengan konflik, menaklukkan ketakutan, mengadopsi perspektif yang baru, mengatur emosi, dan ketrampilan pengaturan diri. 18 Gerungan (Budiningsih, 2008: 65) menyatakan sesungguhnya individu mematuhi norma-norma kelompok sebagai normanya sendiri sudah dialaminya sejak dini. Pada mulanya seorang anak mengidentifikasi dirinya dengan orang-orang tertentu seperti orang tua, guru maupun kawannya. Perencanaan teknik sosiodrama yang sistematis akan membantu interaksi sosial anak, terutama tema pembelajaran yang sesuai karakteristik anak. Langkah-langkah pelaksanaan sosiodrama untuk anak usia dini sebagaimana diambil dari pendapat Anitah (2011: 112) diuraikan sebagai berikut: 1) Guru terlebih dahulu memperkenalkan sosiodrama dengan ikut serta memainkan kejadian sederhana bersama seorang atau dua orang anak dalam tema sopan santun. 2) Guru membacakan cerita dan anak mendengarkan. 3) Guru menunjuk beberapa orang anak untuk melaksanakan tugas memerankan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita tersebut. 4) Guru meminta anak yang telah ditunjuk untuk latihan dan mempelajari perannya masing-masing 5) Guru menetapkan dengan jelas masalah dan peranan yang harus dimainkan oleh anak. Bila sosiodrama baru diadakan pertama kali, guru memilih anak yang kiranya dapat melakukan tugas itu. Pada kesempatan berikutnya, barulah guru menyuruh anak secara sukarela kemudian guru menetapkan peranan mereka masing-masing. 6) Guru menetapkan peranan pendengar. Seorang atau dua orang anak yang bertindak kurang bersungguh-sungguh dapat merusak suasana kelas dan karenanya akan merusak sosiodrama. 7) Guru menyarankan kalimat pertama agar sosiodrama segera dapat dimulai, selanjutnya dapat diteruskan dengan bebas. 8) Guru menghentikan sosiodrama pada detik-detik masalah diskusi umum. Guru menanyakan pendapat pemain tentang penyelesaian itu. 19 9) Guru memberi kesempatan kepada pendengar (peserta didik lain) untuk memberikan pendapat atau mencari pemecahan dengan cara-cara lain, kemudian diambil keputusan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa melalui langkah-langkah tersebut melalui sosiodrama dapat meningkatkan sopan santun dan diharapkan anak dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam memecahkan suatu permasalahan tentang perilaku sopan santun. d. Kelebihan dan Kelemahan Metode Sosiodrama Kelebihan metode sosiodrama menurut Anitah (2011: 115) yaitu: 1) mengembangkan kreativitas peserta didik, 2) menumbuhkan bakat peserta didik dalam seni drama, 3) peserta didik lebih memperhatikan pelajaran karena menghayati sendiri, 4) memupuk keberanian berpendapat di depan kelas, 5) melatih peserta didik untuk menganalisis masalah dan mengambil kesimpulan dalam waktu singkat. Sedangkan kelemahannya adalah: 1) adanya kurang kesungguhan para pemain menyebabkan tujuan tak tercapai, dan 2) pendengar sering menertawakan tingkah laku pemain sehingga merusak suasana. Mansyur (Sagala, 2003: 213) mengemukakan kebaikan metode sosiodrama ialah: 1) murid melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat bahan yang akan didramakan; 2) murid akan terlatih untuk berinisiatif dan berkeratif. Pada waktu bermain drama para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia; 3) bakat yang terpendam pada murid dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau timbul bibit seni dari sekolah. Jika seni drama mereka dibina dengan baik kemungkinan besar mereka akan jadi pemain yang baik kelak; 4) kerja sama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya; 5) anak memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya, dan 6) bahasa lisan murid dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain. Sedangkan kelemahan teknik sosiodrama, antara lain: 1) sebagian besar anak yang tidak ikut bermain drama mereka menjadi kurang aktif; 2) 20 banyak memakan waktu, baik waktu persiapan dalam rangka pemahaman isi bahan pelajaran maupun pada pelaksanaan pertunjukkan; 3) memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit menyebabkan gerak para pemain kurang bebas, dan 4) kelas lain sering terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan dan sebagainya. Nurcholis (2007: 152), juga mengungkapkan kelebihan metode sosiodrama antara lain: 1) melatih peserta didik untuk berkreatif dan berinisiatif, 2) melatih peserta didik untuk memahami sesuatu dan mencoba melakukannya, 3) memupuk bakat peserta didik yang memiliki bibit seni dengan baik melalui sosiodrama yang sering dilakukannya dalam metode ini , 4) memupuk kerja sama antar teman dengan baik, dan 5) membuat peserta didik merasa senang, karena dapat terhibur oleh fragmen teman-temannya. Sedangkan kekurangannya antara lain: 1) pada umumnya yang aktif hanya yang berperan saja, 2) cenderung dominan unsur kreasinya daripada kerjanya, karena untuk berlatih sosiodrama memerlukan banyak waktu dan tenaga, 3) membutuhkan ruangan yang cukup luas, 4) sering mengganggu kelas di sebelahnya. Dari uraian mengenai kelebihan dan kelemahan dari metode sosiodrama tersebut, dapat disimpulkan bahwa semua metode pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang dimiliki metode sosiodrama lebih banyak daripada kekurangannya, sehingga apabila metode ini diterapkan dalam proses belajar mengajar, peneliti menduga bahwa metode ini akan memberikan pembaharuan dalam pembelajaran siswa akan lebih aktif, tidak merasakan bosan dan jenuh ketika belajar, siswa lebih memahami tentang materi pelajaran yang telah disampaikan, akan tetapi dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode ini juga dibutuhkan guru yang kreatif dan inovatif sehingga metode ini dapat diterapkan dengan lebih maksimal. 21 B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Deni Anggreini (2013) dalam penelitian yang berjudul: “Penerapan Metode Sosiodrama untuk Meningkatkan Perilaku Saling Menghormati pada Kelompok A2 TK Mentari Nusa PG Lestari Nganjuk.” Hasil penelitian diperoleh bahwa metode sosiodrama memiliki dampak positif, yaitu dapat meningkatkan keterampilan anak dalam memainkan drama, selain itu juga dapat melatih anak untuk berperilaku saling menghormati dengan menunggu giliran dengan sabar, hal ini dapat dilihat dari peningkatan ketuntasan belajar anak dalam setiap siklus yang terus meningkat. Peningkatan dalam hal produk dapat dilihat dari perbandingan ketuntasan perilaku saling menghormati pada tahap pratindakan dengan pascatindakan siklus III. Ketuntasan perilaku saling menghormati pada tahap pratindakan sebesar 50,00 %. Ketuntasan perilaku saling menghormati pada silkus III sebesar 86,21 %. Jadi, terjadi peningkatan ketuntasan perilaku saling menghormati sebesar 36,21 %. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa metode sosiodrama dapat meningkatkan perilaku saling menghormati pada kelompok A2 TK Mentari Nusa PG Lestari Nganjuk. Penelitian Deni Anggreini (2013) ini mempunyai kesamaan dengan penelitian ini, yakni sama-sama menggunakan metode sosiodrama. Perbedaannya yakni, dalam penelitian Deni Anggreini (2013) meningkatkan perilaku saling menghormati, sedangkan penelitian ini meningkatkan perilaku sopan santun anak. Dwi Wulan Ari Haryanti (2014) dalam skripsi yang berjudul “Penggunaan Metode Sosiodrama untuk Meningkatkan Hubungan Sosial Anak Usia Dini di Bustanul Athfal Aisyiyah Tirto 2 Salam Magelang Jawa Tengah Tahun Ajaran 2013-2014”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode sosiodrama dapat digunakan untuk meningkatkan hubungan sosial anak, terbukti dengan adanya peningkatan keaktifan peserta didik dalam berhubungan sisoal, bercakap-cakap, bermain bersama. Sebelum dilakukan tindakan, hubungan sosial peserta didik di sekolah hanya mencapai 40,2 %, setelah dilakukan siklus pertama keaktifan dalam berhubungan sosial peserta didik meningkat menjadi 65,4 %, sedangkan pada siklus kedua keaktifan hubungan sosial peserta didiknya meningkat menjadi 87 %. 22 Penelitian Dwi Wulan Ari Haryanti (2014) ini mempunyai kesamaan dengan penelitian ini, yakni sama-sama menggunakan metode sosiodrama. Perbedaannya yakni, dalam penelitian Dwi Wulan Ari Haryanti (2014) meningkatkan hubungan sosial anak, sedangkan penelitian ini meningkatkan perilaku sopan santun anak. Rumbiani (2013) dalam penelitian yang berjudul “Menanamkan Sopan Santun Pada Anak Usia 5-6 Tahun di Taman Kanak-Kanak Bhayangkari 2”. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan melalui hasil yang di peroleh setelah diadakan analisis data bahwa: 1) Perencanaan pembelajaran dapat dikategorikan “baik”, antara lain: menentukan materi tema dan sub tema, menyesuaikan dengan materi pembelajaran, menyiapkan media jenis-jenis media dari bahan alam, merancang pedoman observasi dan penilaian kemampuan anak. 2) Pelaksanaan pembelajaran dengan kategori “baik”, antara lain: melaksanakan pijakan lingkungan, melaksanakan pijakan sebelum main, melaksanakan pijakan saat main, selanjutnya melaksanakan pijakan setelah main yakni memberikan penguatan tentang kegiatan yang telah diberikan. 3) Respon anak terhadap pembelajaran menanamkan perilaku sopan santun: anak sudah dapat bersikap sopan santun pada saat makan, anak dapat menyapa teman dengan sopan, anak dapat mengucapkan terima kasih saat diberikan pertolongan atau diberikan sesuatu. Penelitian Rumbiani (2013) ini mempunyai kesamaan dengan penelitian ini, yakni sama-sama meneliti tentang perilaku sopan santun pada anak usia 5-6 tahun di TK. Perbedaannya yakni, dalam penelitian Rumbiani (2013) menggunakan metode bercerita, sedangkan penelitian ini menggunakan metode sosiodrama. C. Kerangka Berpikir Kondisi awal pembelajaran ini didasarkan dari hasil pengamatan di TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016 diperoleh bahwa perilaku sopan santun pada kelompok B masih rendah dengan. Terbukti dari 18 anak di kelompok B, hanya 7 anak (38,9%) yang dapat dikategorikan berkembang 23 sangat baik dalam berperilaku sopan santun sesuai dengan tingkat pencapaian perkembangan nilai agama dan moral. Sedangkan sisanya 11 anak (61,1%) dikategorikan belum berkembang. Guru menggunakan metode pembelajaran yang masih konvensional sehingga kurang memberikan banyak contoh perilaku yang dapat diteladani dan tidak dapat diteladani. Pembelajaran pengenalan perilaku sopan santun pada anak didik, selama ini masih menggunakan metode ceramah sehingga kurang terjalin komunikasi interaktif antara guru dan anak. Anak sulit untuk memahami, menangkap dan menerapkan sikap yang mencerminkan perilaku sopan santun. Berdasarkan kondisi awal yang terjadi di dalam proses pembelajaran di TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016, maka dilakukan tindakan dalam peningkatan perilaku sopan santun pada kelompok B TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016 dengan menerapkan metode Sosiodrama. Metode sosiodrama merupakan metode mengajar dengan cara mempertunjukkan kepada peserta didik tentang masalahmasalah hubungan sosial, untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, dengan diterapkannya metode pembelajaran ini, diharapkan perilaku sopan santun pada kelompok B TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016 dapat meningkat. Pelaksanaan tindakan ini dilakukan antara peneliti dengan guru kelas dan dilaksanakan pada siklus I, siklus II dan dilanjut siklus ke-n. Kondisi akhir dalam penelitian ini adalah dengan penerapan metode sosiodrama pada kelompok B TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016 diduga dapat meningkatkan perilaku sopan santun anak. Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1: 24 Kondisi Awal Tindakan Guru mengajar dengan metode pembelajaran konvensional Guru menerapkan metode sosiodrama Perilaku sopan santun rendah. Siklus I (Pengenalan konsep dan aplikasi metode sosiodrama tema sopan santun di rumah) Siklus II (Aplikasi metode sosiodrama tema sopan santun di sekolah) Kondisi Akhir Diduga melalui penerapan metode sosiodrama perilaku sopan santun kelompok B meningkat Siklus ke-n Gambar 2.1. Kerangka Berpikir D. Hipotesis Tindakan Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: Penerapan metode sosiodrama dapat meningkatkan perilaku sopan santun kelompok B TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016.