BAB V KESIMPULAN Eksistensi tari keraton Kasunanan pada hakekatnya merupakan akar kehidupan dan perkembangan tari gaya Surakarta. Di Keraton Kasunanan terdapat benda-benda hasil budi daya yang dianggap mempunyai kekuatan dan wibawa, maka Keraton Surakarta disebut sebagai sumber kebudayaan. Mengingat tempatnya di tanah Jawa, serta hasil budi daya orang Jawa, maka kemudian disebut Sumber Kebudayaan Jawa. Keraton sebagai sumber kebudayaan Jawa memiliki kompleksitas nilai-nilai dari berbagai bentuk gejala kehidupan seperti halnya ekonomi, politik, agama, hukum, seni budaya dan lain-lain maka kajian ini kemudian membatasi persoalan pada bidang seni tari dan selaras dengan sumbernya yaitu kebudayaan Jawa maka dalam kajian ini tari keraton kemudian disebut sebagai tari Jawa gaya Surakarta. Hal ini sekaligus untuk membedakan tari Jawa dari keraton Yogyakarta yang disebut tari gaya Mataram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tari Jawa gaya Surakarta setelah keluar dari keraton dapat hidup dan berkembang dengan sangat dinamis. Dalam perkembangannya tari Jawa gaya Surakarta berubah dan menjadi berbeda dengan awal mulanya yaitu tari Keraton. Perubahan yang menonjol adalah terjadinya perubahan 464 bentuk menjadi tari gaya Surakarta pada tahun 1950 yang ditandai dengan munculnya tari dasar Rantaya dan Hasthasawanda. Kedua perangkat tersebut telah mengubah eksistensi tari Keraton yang sifatnya mistis menjadi bersifat teknis. tari gaya Surakarta kemudian dihayati sebagai bidang keahlian di lembaga pendidikan HBS dan KOKAR saat itu. Dalam kajian ini kemudian disebut sebagai perubahan budaya simbolik menjadi budaya ekspresif. Tari keraton sebagai budaya simbolik maksudnya dibalik perwujudannya dianggap memiliki kekuatan tertentu yang bersifat keramat. Ada keyakinan bahwa tari itu memiliki kekuatan yang bersifat mistis seperti halnya pada tari Bedaya Ketawang, tari Panji Sepuh, tari Srimpi Anglir Mendung, dan memiliki fungsi praktis yaitu sebagai sarana untuk membina watak luhur. Pada fungsi kedua itulah tari gaya Surakarta dikembangkan yaitu melalui teknik-teknik gerakan Rantaya yang merefleksikan nilai-nilai tata krama dan sopan santun. Dalam hal ini, tari gaya Surakarta dipandang dan didudukkan sebagai seni yang memberikan tuntunan. Pandangan inilah yang kemudian membawa tari gaya Surakarta ke dalam sistem pendidikan Indonesia. Di samping melalui kedua jalur formal tersebut, tari gaya Surakarta juga berkembang di masyarakat melalui sanggar-sanggar tari pendapan. Dalam perkembangannya sampai dengan tahun 1970an muncul adanya sebutan yang membedakan kedua jalur 465 tersebut yaitu gaya konservatori dan gaya luar. Kedua gaya tersebut kelihatan berbeda manakala berbaur seperti dalam komunitas penari Sendratari Ramayana Prambanan (1961). Perbedaan tersebut juga terlihat bahwa aliran gaya luar lebih memiliki keleluasaan untuk mengaktualisasikan diri sebagai seniman kreatif. Fenomena itu terlihat dari munculnya pertunjukan tari modern “Samgita Pancasona” karya Sardono W. Kusuma. Setelah pertunjukan tersebut muncul konflik antara komunitas tradisi dan modern yang pada akhirnya dapat dimediasi oleh PKJT (1970). PKJT memberikan ruang gerak yang seimbang antara kegiatan tari tradisi dan modern. PKJT ini juga berhasil menggali tari bedaya srimpi yang sebelumnya tidak diperbolehkan dipelajari oleh masyarakat umum. Penggalian tari keraton tersebut kemudian dipadukan dengan konsepsi kerakyatan dan keindonesiaan. Aktivitas tari PKJT pada akhirnya bermuara pada gaya Sasonomulyo yang menandai adanya perubahan bentuk fase kedua yaitu munculnya tradisi baru. Perubahan bentuk pada fase kedua ini membawa tari gaya Surakarta menjadi budaya progresif. Dalam arti orientasi nilainilai tari gaya Sasonomulyo menempatkan tradisi sebagai kekuatan untuk mengembangkan tari gaya Surakarta sebagai bentuk ekspresi seni yang bersifat menjaman dan berorientasi ke masa depan. Perubahan Tari gaya Surakarta pada fase kedua ini ditandai dengan adanya pengembangan teknik-teknik baru yang berbeda 466 dengan tari dasar Rantaya. Perbedaannya, teknik-teknik tari rantaya lebih terikat dengan nilai-nilai normatif pranatan adat Jawa, sebaliknya teknik tari gaya Sasonomulya memiliki keleluasaan bentuk yang berorientasi pada nilai-nilai ke depan. Dalam kajian ini gaya Sasonomulyo kemudian disebut sebagai bentuk tradisi baru. Dengan demikian tari gaya Surakarta dalam kelangsungan hidupnya diwarnai oleh nilai-nilai tradisi (lama), nilai-nilai tradisi baru dan nilai-nilai modern. Dalam hal penggarapan tari, ketiganya samasama bernafaskan kontemporer. Sebagai bentuk ekspresi seni, maka tari gaya Surakarta kemudian mempunyai tiga bentuk yang dapat dibedakan dari tebal tipisnya nilai-nilai tradisi (tata krama/sopan santun) yang dikandungnya. Ketiga bentuk penggarapan tersebut yaitu tradisi, tradisi baru dan modern masing-masing memiliki kewilayahannya sendiri dan apresiator tersendiri. Dinamika tari gaya Surakarta tersebut tidak lepas dari peranan (1) R.T. Kusumakesawa yang mendasari bentuk tari tradisi; (2) Gendhon Humardani yang memprakarsai adanya tari tradisi baru; dan (3) Sardono W. Kusuma yang mempelopori tari modern. Berpijak pada gambaran umum di atas dan data-data yang telah ditemukan, maka dapatlah kemudian ditarik suatu garis pemahaman tentang dinamika tari gaya Surakarta dalam rentangan 467 tahun 1940 - 2000 berdasarkan persoalan yang diajukan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Dinamika perubahan dan perkembangan tari gaya Surakarta terbagi dalam 4 tahap : a. Masa Peralihan (1940an-1950an) yaitu awal keluarnya tari gaya Surakarta dari keraton ke masyarakat. Pada tahap ini muncul aliran-aliran tari pendapan. b. Masa Pergerakan (1950an-1970an) mulai adanya pemikiran baru untuk kepentingan nasional. Pada tahap ini muncul HBS & KOKAR yang memunculkan rantaya & hasthasawanda. c. Masa Pertumbuhan (1970an-1980an) ada pertumbuhan baru hasil reorientasi tari keraton atau penggalian untuk dijadikan kajian-kajian pengembangan baru yang diprakarsai oleh PKJT. Pada tahap ini muncul bentuk pemadatan dan karya baru. d. Masa Pembebasan (1980an-2000an) kebebasan berekspresi yang berupa merupakan masa pengembangan teknik- teknik kepenarian dan pada gilirannya memicu tampilnya gaya-gaya individual. 2. Bentuk-bentuk perubahan yang terjadi dalam dinamika Tari Jawa gaya Surakarta pada dekade 1940- 2000 berorientasi pada bentuk, fungsi dan temanya dengan penjelasan sebagai berikut. a. Pada perubahan bentuk sampai dengan 1970-an masih berorientasi pada tradisi keraton (Rantaya dan 468 Hasthasawanda). Sejak PKJT ada perubahan yang signifikan yang berlanjut pada gaya pribadi. b. Pada perubahan fungsi dari budaya ekspresif menjadi budaya progresif. c. Pada perubahan tema selalu mengikuti situasi dan kondisi jaman, seperti masa perang kemerdekaan: kepahlawanan. Dinamika perubahan dan perkembangan tari gaya Surakarta disebabkan adanya berbagai gejolak dan kepentingan yang bersinggungan dengan persoalan empu tari dan kehidupan tari gaya Surakarta itu sendiri.