ILMU HUDHURI: Konsep Ilmu Pengetahuan

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
ILMU HUDHURI:
Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Iluminasi Suhrawardi
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Humaniora dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu
Filsafat
LUQMAN JUNAIDI
0606013292
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI MAGISTER HUMANIORA
DEPOK
JUNI 2009
i
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan
bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya
akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima saksi yang dijatuhkan
oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, 10 Juli 2009
Luqman Junaidi
ii
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Luqman Junaidi
NPM
: 0606013292
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 10 Juli 2009
iii
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh
Nama
: Luqman Junaidi
NPM
: 0606013292
Program Studi
: Ilmu Filsafat
Judul Tesis
: Ilmu Hudhuri: Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat
Iluminasi Suhrawari
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: Dr. Akhyar Yusuf Lubis
(................................)
Ketua Penguji
: Dr. A. Harsawibawa
(................................)
Penguji
: Vincensius Y. Jolasa, Ph.D
(................................)
: M. Fuad Abdullah, M.Hum
(................................)
: Naupal, M.Hum
(................................)
Ditetapkan di
Tanggal
: Depok
:10 Juli 2009
Oleh
Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Prof. Dr. Bambang Wibawarta, MA
NIP 19651023199031002
iv
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
KATA PENGANTAR
Salah satu kesulitan terbesar dalam mengupas ilmu hudhuri atau
epistemologi iluminasi ini adalah, masih adanya rasa skeptis dari sejumlah
kalangan tentang keabsahan metodologinya dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
Ada anggapan bahwa epistemologi iluminasi lebih dekat ke ranah mistik daripada
ke ranah filsafat. Anggapan ini sejatinya cukup beralasan mengingat epistemologi
iluminasi dibangun di atas pondasi kecerdasan spiritual, bukan kecerdasan
intelektual. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, kenyataannya tidaklah demikian.
Berbekal penguasaan yang tuntas terhadap pemikiran-pemikiran filsafat
yang berkembang sejak Hermes hingga abad pertengahan, Suhrawardi
membangun perspektif yang berbeda dalam tradisi kefilsafatan. Dengan ketelitian
yang tinggi, dia meramu seluruh teori filsafat yang ada, untuk kemudian
mendirikan madzhab baru yang kemudian dikenal dengan nama filsafat
ilmuninasi.
Konsep yang ia paparkan memang berbeda dengan teori filsafat yang
berkembang pada zamannya, khususnya dua aliran besar filsafat Yunani yang
dimotori oleh Plato dan Aristoeles. Namun justru di situlah letak originalitas
sekaligus keunikan aliran baru yang dibangun oleh Suhrawardi. Faktor inilah yang
melatari penulis melakukan penelitian yang mendalam terhadap konsep
epistemologi dalam filsafat ilmuniasi.
Kendati tujuan awal dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu
syarat meraih gelar magister dalam bidang filsafat, namun harus diakui bahwa
dalam perkembangannya, penulis menyadari terlalu picik jika penelitian yang
terasa panjang dan melelahkan ini hanya diperuntukkan bagi tujuan yang terlalu
formal. Begitu banyak nilai luhur dalam teori filsafat iluminasi yang belum
banyak diketahui oleh masyarakat luas, bahkan oleh kalangan yang meyakini
kebenaran ilmu hudhuri karena dilegitimasi oleh ajaran agama. Penulis yakin,
seluruh umat Islam—terutama kalangan terdidik—percaya dengan keabsahan
ilmu hudhuri, tapi penulis juga yakin, hanya sedikit dari mereka yang mengetahui
dengan benar tentang teori, sistematika, serta metodologi epistemologi religius ini.
v
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
Karena keyakinan inilah, penulis coba meluhurkan tujuan penulisan tesis ini, dari
sekadar memenuhi syarat meraih gelar master, menjadi upaya untuk
menghadirkan referensi valid kepada semua orang yang membutuhkan penjelasan
ilmiah tentang ilmu hudhuri.
Untuk mewujudkan kedua tujuan di atas, penulis terbentur dengan
beragam kesulitan teknis dan non teknis. Maklum, saat tesis ini ditulis, kondisi
sosial-ekonomi penulis kurang stabil. Perjuangan memburu literatur dengan dana
dan waktu yang sangat terbatas, ditambah lagi dengan keharusan memahami
karya-karya Suhrawardi yang saangat pelik, sesekali hampir membuat penulis
patah arang, tapi Alhamdulillah, berkat pertolongan dan ilham dari Allah Swt.,
semua kesulitan itu berhasil dilalui.
Pada kesempatan ini juga, penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan untuk menyelesaikan
penulisan tesis ini, terutama:
1. Dr. Akhyar Yusuf Lubis. Di mata penulis, beliau lebih dari sekadar
pembimbing penulisan tesis ini. Gayanya yang khas dan periang, membuat
seolah hidup ini begitu mudah untuk dijalani. Tak ada beban yang perlu
dikhawatirkan, karena semuanya bisa mengalir dan dituntaskan. Tinggal
keseriusan kita dalam menjalaninya. Kendati penulis tidak banyak
berinteraksi dengan beliau selama penulisan tesis ini, namun masukan
yang beliau berikan, sungguh-sungguh mampu memecah kebuntuan yang
kadang penulis rasakan.
2. Vincenssius Y. Jolasa Ph.D. Secara jujur penulis merasa berutang budi
besar kepada beliau. Dengan tutur kata yang santun, beliau tak pernah
bosan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan proses penulisan
tesis ini, supaya penulis bisa segera melangkah pada episode hidup yang
selanjutnya. Dorongan, nasihat, serta kesediaan berbagi pengalaman
semasa menjadi mahasiswa, benar-benar membangkitkan motivasi penulis
bahwa tak ada karya yang mungkin untuk diselesaikan, selama kita serius
menggarapnya.
3. Dr. A. Harsawibawa. Sebagai Ketua Tim Penguji tesis ini, penulis ingin
menyampaikan rasa salut kepada cara beliau dalam memimpin jalannya
vi
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
ujian. Tidak mendominasi jalannya ujian, serta memberikan kesempatan
yang luas kepada penguji lain untuk membedah tesis ini, bagi penulis
merupakan bukti sahih betapa Pak Harsa—demikian kami memanggilnya,
sangat jauh dari kesan arogan. Senyum khasnya membuat penulis tidak
mearasa tegang selama proses ujian berlangsung.
4. M. Fuad Abdullah M.Hum. Penguasaan terhadap bahasa Arab dan filsafat
Islam yang begitu dalam, membuat Pak Fuad—sapaan akrabnya, sangat
detail dalam membedah tesis ini. Beliaulah yang mengafirmasi semua
kutipan teks Arab dalam tesis ini. Berkat koreksi beliaulah, kesalahan
teknis pada penulisan kutipan Arab dalam tesis ini bisa dieliminir.
5. Naupal M.Hum. Harus penulis akui bahwa ternyata di balik sosoknya yang
santai, Pak Naupal begitu menguasai esesnsi tesis ini. Pertanyaanpertanyaan beliau sangat mendalam dan sangat menyentuh inti dari
persoalan yang penulis ketengahkan. Bagi penulis, Pak Naupal adalah
representasi dari adagium “Serius tapi santai”.
6. Ayahanda Junaidi Zainal Abidin dan Ibunda Maftuhah, yang tak pernah
lelah memotivasi penulis untuk terus berkarya. Dukungan moril dan doa
yang dipanjatkan oleh keduanya, penulis yakini sebagai salah satu pilar
utama yang menyukseskan penulis menempuh studi magister di
Universitas Indonesia. Kemudian juga adinda Ghufron Junaidi. Ia memang
masih belum tahu banyak tentang dunia perkuliahan waktu penulis
menggarap tesis ini, karena masih duduk di bangku aliyah. Namun siapa
sangka bahwa dari diskusi ringan yang kami bangun berdua, ternyata
memantik cita-citanya untuk mengikuti jejak penulis, mengambil kuliah
filsafat.
7. Anak dan istriku tercinta, Muslichatin dan Akbar Afkariz Zaman. Tawa
dan canda meraka ibarat oase yang menyegarkan semangat penulis,
menghibur saat kejenuhan melanda, serta sumber kedamaian yang
membuat penulis selalu merasakan ketenangan dan ketentraman.
Penulis juga tak lupa untuk menyampaikan terima kasih kepada semua
dosen, kerabat, serta sahabat seperti Bapak Ignatius Susilo, Yulius Aris
Widiantoro, Eric Tiwa, serta Arif yang telah banyak membantu penyelesaian studi
vii
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
magister ini. Sedikit pun penulis tidak akan pernah lupa terhadap semua kenangan
indah yang kita lalui semasa belajar filsafat bersama di bangku S2 UI. Mbak
Munawaroh yang selalu bersedia dimintai bantuan di sela-sela kesibukannya
sebagai staf administrasi di Departemen Ilmu Filsafat, dan masih banyak lagi yang
lain. Kendati tidak penulis sebutkan satu persatu, namun sedikit pun tidak
mengurangi rasa hormat sekaligus terima kasih yang tak terhingga dari lubuh hati
yang paling dalam. Besarnya jasa, dukungan, serta bantuan yang mereka berikan,
sungguh mustahil penulis balas dengan sempurna. Semoga Allah Swt. mencatat
amal kebaikan kalian semua sebagai amal salih, dan mendapat balasan yang
berlipat ganda, baik di dunia maupun di akhirat.
Jakarta, 10 Juni 2009
Luqman Junaidi
viii
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama
: Luqman Junaidi
NPM
: 0606013292
Program Studi : Ilmu Filsafat
Departemen : Filsafat
Fakultas
: Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis karya
: Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
ILMU HUDHURI:
Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Iluminasi Suhrawardi
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalti
noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 10 Juli 2009
Yang menyatakan :
Luqman Junaidi
ix
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
ABSTRAK
Nama
: Luqman Junaidi
Program Studi : Ilmu Filsafat
Judul
: Ilmu Hudhuri: Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Iluminasi
Suhrawardi
Dalam ranah epistemologi, iluminasionisme memang tidak sepopuler
empirisme dan rasionalisme. Banyak kalangan yang skeptis, menganggap metode
memperoleh ilmu pengetahuan yang bertumpu pada kekuatan hati dan perasaan
ini sebagai luapan pengalaman spiritual-mistis yang sangat personal, dan tidak
bisa dibuktikan secara ilmiah. Anggapan ini sejatinya lahir dari kecenderungan
para iluminasionis yang menulis karya mereka dalam bahasa yang sulit
dimengerti, sarat dengan kiasan, dan terkadang abai pada argumentasi logis dan
analisa yang ketat.
Di tangan Suhrawardi, benang kusut epistemologi iluminasi ini terurai
sempurna. Dengan bahasa yang lugas dan argumentasi yang logis, ia mampu
menyajikan sistematika ilmu hudhuri atau ilmu yang diperoleh melalui metode
iluminasi sehingga benar-benar membumi dan sangat terbuka untuk diafirmasi.
Tesisi ini mengupas tuntas keberhasilan Suhrawardi dalam membuktikan
keunggulan epistemologi iluminasi atas epistemologi yang lain. Suatu
epistemologi yang efektif dalam mentransformasi pengetahuan intuitif serta
pengalaman mistik ke dalam kemampuan berpikir yang konsisten dan koheren.
Kata kunci:
Epistemologi, Filsafat Iluminasi, Ilmu Hudhuri, Teori Cahaya, Pengetahuan diri
x
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
ABSTRACT
Name
Study Program
Title
: Luqman Junaidi
: Science Philosophy
: Hudhuri Science : Concepts in Philosophy of Illumination
Science Suhrawardi
In the realm of epistemology, illuminationism is not as popular as
empiricism and rationalism. Many people are skeptical, consider the method of
acquiring knowledge based on the strength of the heart and this feeling as a surge
of spiritual - mystical experience that is highly personal, and cannot be proven
scientifically. This assumption is actually born from the tendency of the
illuminationist who wrote their works in a language that is difficult to understand,
full of allusion, and sometimes neglect the logical arguments and rigorous
analysis.
In the hands of Suhrawardi, the tangled threads epistemology illumination
is perfectly unraveled. With simple language and logical argument, he was able to
present a systematic hudhuri science or knowledge obtained through the method
of illumination so it's really down to earth and very open to be affirmed.
This Thesis discuss thoroughly Suhrawardi’s triumph in proving the
superiority of illumination epistemology over the other epistemologies. An
epistemology that is effective in transforming mystical intuitive knowledge and
experience into consistent and coherent thinking skills.
Keywords:
Epistemology, Philosophy of Illumination , Hudhuri Science , Theory of Light ,
Self Knowledge
xi
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
ABSTRAK
DAFTAR ISI
i
ii
iii
iv
v
ix
x
xii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tinjauan Pustaka
1.4 Tujuan Penelitian
1.5 Manfaat Penelitian
1.6 Metode Penelitian
1.7 Sistematika Penulisan
1
1
7
9
10
11
12
15
BAB 2
BIOGRAFI SINGKAT SUHRAWARDI
2.1 Latar Belakang Sosio-Historis
2.2 Hasil Kreativitas Intelektual
2.3 Atmosfer Keilmuan Pada Masa Suhrawardi
2.4 Pengaruh Suhrawardi Pada Perkembangan Pemikiran Islam
17
17
25
28
36
BAB 3
LANDASAN
PRAEPISTEMIK
ILUMINASI
3.1 Selayang Pandang Filsafat Iluminasi
3.2 Lingkup Bahasan Filsafat Iluminasi
3.2.1 Kosmologi
3.2.2 Psikologi
3.2.3 Epistemologi
3.3 Klasifikasi Ilmu
3.4 Landasan Historis Ilmu Hudhuri
EPISTEMOLOGI
45
45
48
50
53
57
60
69
BAB 4
DIMENSI EMPIRIS EPISTEMOLOGI ILUMINASI
4.1 Teori Definsi
4.2 Teori Penyaksian
4.3 Teori Objek
75
75
82
87
BAB 5
DIMENSI INTUITIF EPISTEMOLOGI ILUMINASI
5.1 Teori Cahaya
5.2 Pengetahuan Diri
5.3 Tahapan Memperoleh Ilmu Hudhuri
90
90
96
105
xii
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
BAB 6
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
6.2 Studi Kritis Atas Konsep Epistemologi Suhrawardi
6.3 Posisi Epistemologi Suhrawardi
6.4 Rekomendasi untuk Kajian Lebih Lanjut
113
113
115
118
122
DAFTAR PUSTAKA
128
xiii
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Saat menjejakkan kaki dalam ranah filsafat Islam dan coba memfokuskan
kajian pada tokoh yang bernama Suhrawardi, setidaknya ada dua ironi besar yang
segera membentang dan menarik untuk dicermati.
Pertama, jika dibandingkan dengan para filsuf Muslim yang lain, nama
Suhrawardi jelas kurang populer di Indonesia. Tidak banyak peminat studi filsafat
yang mengenalnya, apalagi mengupas pikiran-pikirannya. Dalam katalog para
pemikir besar Islam yang dianggap sebagai inspirator kemajuan peradaban,
namanya—meminjam istilah Suhrawardi sendiri—bagaikan nur al-'aridh (cahaya
temaram) yang kalah gemerlap dari Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Farabi, atau bahkan
al-Kindi. Oleh sebab itulah, para pengkaji yang tertarik untuk mendalami teori
filsafatnya, harus menata mental-akademis semapan mungkin karena akan
berhadapan dengan kenyataan pahit minimnya referensi sekunder yang bisa
diakses.
Bagi sebagian kalangan, mungkin akan segera terbuncah pernyataan:
"Mengapa tidak merujuk langsung ke sumber primer? Bukankah hanya dengan
begitu hasil penelitian yang lebih valid, akurat, autentik, dan original didapatkan?"
Benar. Namun masalahnya adalah, Suhrawardi berbeda dengan para filsuf Islam
kebanyakan. Dalam menuangkan gagasan-gagasannya, ia tidak menggunakan
bahasa konvensional yang mudah dipahami. Akan tetapi ia mengemas karyanya
dalam bahasa simbolik yang sarat mistik sehingga sangat sulit dimengerti. Metode
seperti ini, menurut Komaruddin Hidayat, disebabkan oleh ketidakmampuan
narasi deskriptif untuk menjelaskan dan menghadirkan pengalaman unik, realitas
absolut, intuisi, dan imajinasi yang datang tiba-tiba. (Hidayat, 1996, 83)
Indikasi inilah yang mungkin menjadi salah satu faktor mengapa studi
terhadap pemikiran Suhrawardi, jauh lebih sedikit dibanding dengan studi
terhadap para filsuf Islam yang lain. Tingkat kerumitan yang luar biasa untuk
memahami karya-karyanya itulah, yang mungkin membuat para peminat studi
filsafat Islam merasa enggan untuk melakukan penelitian yang intensif terhadap
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
2
gagasan Suhrawardi, dan lebih memilih untuk mengupas salah satu aspek
pemikiran tokoh lain. Sirajuddin Zar misalnya, guru besar filsafat Islam IAIN
Imam Bonjol Padang ini dalam karyanya yang berjudul Filsafat Islam,
menghentikan uraiannya pada Ibnu Rusyd—yang hidup hanya beberapa tahun
sebelum Suhrawardi. MM Syarif juga demikian, dalam suntingannya yang
berjudul A History of Muslim Philosophy (edisi Indonesia: Para Filsuf Muslim), ia
melewatkan kajian tentang Suhrawardi, padahal, pemikir yang hidup setelahnya,
Nashiruddin al-Thusi ia paparkan secara lincah dan mendetil.
Untuk mengatasi pelbagai kesulitan terminologis dalam memahami karyakarya Suhrawardi, ada baiknya jika para peminat kajian filsafat iluminasi melirik
sumber-sumber sekunder, baik yang ditulis oleh komentator sang filsuf semisal
Syarh Hikmah al-Isyraq karya Syamsuddin Muhammad al-Syahrazuri, atau Syarh
Hikmah al-Isyraq yang dirilis oleh Quthbuddin al-Syirazi, atau pun karya-karya
lain yang mengupas teori filsafatnya. Dengan begini, secercah cahaya kemudahan
akan terpancar dan bisa digunakan sebagai panduan untuk mengarungi samudera
pemikiran Suhrawardi yang sangat luas dan mendalam.
Anehnya—dan di sinilah letak ironi yang pertama, meskipun nama
Suhrawardi kurang begitu dikenal dalam semarak kajian filsafat Islam, bahkan
seakan terpinggirkan, (Drajat, 2005, 56) teorinya sangat monumental, idenya
diakui sebagai gagasan yang brilian, bahkan karyanya yang berjudul Hikmah alIsyraq dinilai sebagai karya agung yang telah memberikan sumbangan signifikan
bagi khazanah intelektual Islam (Kartanegara, 2002, 64). Penilaian seperti ini
sejatinya sangat wajar jika dibandingkan dengan besarnya pengaruh yang
ditorehkan Suhrawardi bagi peta pemikiran Islam setelahnya. Sebagai misal,
metode
intuitif—yang
bersumber
pada
hati—dalam
memperoleh
ilmu
pengetahuan yang ia gagas, tetap lestari, menjadi topik yang menarik untuk dikaji,
sekaligus memberikan tawaran alternatif dalam upaya memperoleh ilmu
pengetahuan sejati, di samping 2 metode yang telah populer sebelumnya; [1]
Metode observasi yang bersumber pada indra, [2] metode demonstratif yang
mengandalkan kekuatan akal.
Kesan yang ditinggalkan Suhrawardi sangat dalam bagi para pemikir
setelahnya. Hal ini terbukti dengan tampilnya sejumlah pemikir yang, disadari
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
3
atau tidak, sangat terpengaruh dengan ajaran-ajaran tokoh yang ditasbihkan
sebagai pendiri madzhab iluminasi ini. Contohnya adalah Nashiruddin al-Tushi
dan Mulla Shadra.(Drajat, 2001, 89). Di tangan tokoh yang tersebut terakhir
inilah, bias filsafat ilmuninasi terpancar luas dan mendapat posisi terhormat di
antara sekian banyak teori filsafat Islam yang lain.
Menurut Seyyed Hosein Nasr, Mulla Shadra memperoleh pengajaran
filsafat iluminasi dari gurunya yang bernama Mir Damad, seorang filsuf, mistikus,
teolog, dan pujangga yang juga dikenal sebagai pendiri Madzhab Isfahan. Mir
Damad adalah figur yang secara benar mengajar filsafat Ibnu Sina yang ia
artikulasi ke dalam sistem filsafat ilmuninasi. Jadi, melalui Mir Damad ini,
pengaruh Suhrawardi secara sempurna dapat ditransfer ke Mulla Shadra. Melihat
besarnya pengaruh Suhrawardi dalam Shadra, Nasr tidak ragu untuk
mengatakannya sebagai sosok yang benar-benar mewakili kesempurnaan norma
Suhrawardian (Nasr, 1996, 77).
Kedua, intuisi, visi, ilham—dan beragam istilah lain yang searti,
merupakan terminologi unik yang menghiasi sejarah panjang kreativitas manusia
dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Metode ini tidak hanya subur dalam
tradisi Islam, tapi juga berkembang dalam hampir—kalau tidak mau dikatakan
seluruhnya—semua agama, serta ranah kefilsafatan, dari klasik hingga modern. Di
Barat misalnya, sempat muncul aliran intuisionisme yang memiliki pengaruh luar
biasa. Aliran yang dipopulerkan Henry Bergson ini mempertentangkan
pengetahuan rasional dengan persepsi langsung terhadap kenyataan yang dilandasi
intuisi. Intuisi dimengerti sebagai kemampuan khusus pikiran, yang tidak dapat
dijabarkan pada pengalaman indrawi dan pikiran diskursif. Pada titik ini,
intuisionisme sangat dekat dengan mistisisme. (Bagus, 2002, 368).
Selain Bergson, Fichte juga bisa digolongkan sebagai tokoh yang
menghargai intuisi. Menurutnya, pengetahuan intuitif (scientia intuitiva) adalah
pengetahuan yang paling sempurna, mengatasi pengetahuan indra (empiri) dan
akal budi (rasio). Alasannya, pengetahuan ini memberi kemampuan untuk melihat
sesuatu dalam perspektif keabadian (Akhyar, 2004, 203).
Dalam Islam, epistemologi intuitif ini mendapatkan kedudukan sakral
sekaligus mulia karena mendapatkan legitimasi tegas dalam al-Quran. (QS 18:
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
4
65). Oleh sebab itulah, tidak berlebihan kiranya jika banyak filsuf dan mistikus
Islam yang mendaulat intuisi sebagai epistemologi yang paling tinggi! Ibnu Arabi
misalnya, ia tidak ragu untuk menjadikan intuisi sebagai poros sekaligus intisari
dari seluruh filsafat mistisnya. (Afifi, 1995,148) Bahkan, pemikir besar yang
paling populer di kalangan umat Islam, Imam al-Ghazali, rela menyediakan bab
khusus dalam karya monumentalnya yang berjudul Ihya' Ulumuddin untuk
mengulas ilmu yang ia sebut sebagai ilmu Mukasyafah ini.
.‫ أﻣﺎ اﻷوﻟﯿﺎء ﻓﯿﺄﺧﺬون ﻋﻦ اﷲ‬.‫ ﻓﯿﺒﻌﺪ اﻟﻨﺴﺐ‬،‫اﻟﻘﯿﺎﻣﺔ‬
“Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai
Hari Kiamat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari sumbernya.
Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah.” (Ibnu Arabi
dalam Muhammad Jamil Ghazi, 35)
‫و‬
،‫ ﻓﺈن ﻛﺎن ﻋﻠﻤﮫ ﻣﺴﺘﻔﺎدا ﻣﻦ ﻧﻘﻞ أوﺷﯿﺦ‬.‫ﺑﻼ واﺳﻄﺔ ﻣﻦ ﻧﻘﻞ وﺷﯿﺦ‬
.‫ﻋﻦ اﻷﺧﺬ ﻋﻦ اﻟﻤﺤﺪﺛﺎت‬
Bagi kami, kedudukan seseorang dalam ranah ilmu pengetahuan belum
sempurna hingga ia memperoleh ilmunya dari Allah Azza wa Jalla tanpa
perantara tulisan atau guru. Apabila ia memperoleh ilmunya dari tulisan
atau guru, berarti ia mendapatkan ilmunya dari entitas yang baharu. (Ibnu
Arabi dalam al-Sinqithi, 229)
Karena mendapatkan justifikasi dari al-Quran dan Hadis, sudah barang
tentu ilmu yang diperoleh dari intuisi ini menjadi kebenaran yang langsung
diterima dan tidak dipertanyakan lagi. Walaupun dalam sejumlah kasus
pengetahuan yang diperoleh melalui cara ini sulit diterima akal sehat, atau
terkesan tidak selaras dengan teks-teks suci—seperti ketika Ibnu Arabi
menggagas teori wihdatul wujud atau saat Abu Yazid al-Bisthami mengemukakan
teori hulul, tetap saja banyak yang menerimanya secara simultan. Mengapa?
Sekali lagi, karena ilmu pengetahuan itu diyakini bersumber langsung dari Zat
Yang Mahatahu.
Titik persamaan corak ilmu pengetahuan semacam ini, baik di Barat
maupun di Timur adalah, para tokohnya seakan tidak mampu menyajikan uraian
pemikiran mereka secara bernas dan lugas. Contohnya Bergson, banyak yang
mengakui gaya bahasanya bagus. Uraiannya menjadi lebih hidup dan menarik
karena dihiasi pelbagai kiasan, perbandingan, dan contoh. Namun gaya penulisan
yang berbau sastra ini memiliki sisi negatif. Menurut Bertens, Bergson kerap kali
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
5
mengabaikan argumentasi logis yang ketat, dan analisa yang sabar dan teliti.
Akibatnya, banyak kritisi yang menganggapnya lebih sebagai seorang penyair
atau mistikus daripada seorang filsuf yang serius. (Bertens, 2001,12).
Fenomena yang sama juga terjadi dalam dunia Islam, banyak orang yang
lebih memosisikan al-Ghazali, Ibnu Arabi, dan Abu Yazid al-Bisthami sebagai
seorang mistikus dibanding seorang filsuf. Malah dalam skala yang lebih luas,
banyak orang yang kesulitan untuk menentukan posisi pasti seorang pemikir;
apakah dia filsuf atau mistikus. Pasalnya, menurut laporan sejarah, hampir semua
filsuf Islam menjalani hidup mereka secara asketis seperti seorang mistikus. Dan,
pola hidup semacam ini diyakini sebagai salah satu tangga dalam perjalanan
mendaki menuju pucak kedekatan dengan Tuhan, untuk kemudian mendapatkan
pancaran cahaya dalam bentuk ilmu pengetahuan hakiki.
Di sinilah letak persoalan sekaligus pangkal ironi yang kedua. Semua
kalangan akademisi Muslim memercayai kebenaran dan keabsahan ilmu yang
diperoleh melalui jalan intuisi. Sayangnya, mereka seakan tidak pernah bisa
menguraikan ilmu itu secara sistematis, runtut, dan mudah dipahami. Gaya
penulisan seperti ini pada kenyataannya telah menjerat para peneliti yang
berminat mendalami pemikiran mereka dengan jaring-jaring kesulitan yang,
seharusnya tidak perlu terjadi. Para peneliti tersebut seakan dipaksa mengarungi
lorong panjang nan berliku untuk mencapai tujuan yang sebenarnya tidak jauh.
Bagi orang-orang yang kurang sabar, besarnya kompleksitas untuk memahami
naskah-naskah berkualitas tapi sulit dimengerti tersebut, bisa mengantarkan pada
kesimpulan yang salah. Akhirnya, lahirlah beragam tuduhan miring terhadap para
pemikir Islam, seperti kafir, murtad, dan lain sebagainya.
Sebagai sosok yang merasakan pahitnya buah tuduhan miring ini sehingga
harus mengakhiri hidup di tiang gantungan, Suhrawardi secara ajaib telah
meninggalkan karya yang bisa dijadikan landasan indah nan elegan untuk
mengurai benang kusut epistemologi intuitif. Gagasan-gagasan yang ia
hamparkan membuat ilmu yang diperoleh secara intuitif seolah membumi dan
terbuka untuk diafirmasi. Dengan demikian, tingkat keabsahan yang diperoleh
dari ilmu semacam ini bisa disejajarkan dengan ilmu yang diperoleh melalui
metode observasi atau demonstrasi.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
6
Dengan meretas jalan yang dibentangkan Suhrawardi, para filsuf tidak
perlu ragu lagi untuk menuangkan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh melalui
ilham dalam karya yang jelas dan gamblang. Di samping itu, para pakar eksoteriempiris yang umumnya hanya membenarkan ilmu yang diperoleh melalui
observasi dan demontrasi, tidak memiliki celah untuk memungkiri kebenaran
yang dihasilkan dari ilmu yang diperoleh melalui intuisi. Konsekuensinya, mereka
juga tidak lagi mempunyai dasar yang kuat untuk melemparkan pelbagai tuduhan
murahan kepada para pakar esoteris. Pada tataran ini, Suhrawardi secara tidak
langsung sejatinya telah memberikan solusi aplikatif yang dapat menyelesaikan
pertikaian abadi antara para eksoteris yang diwakili oleh ahli-ahli fiqih dan teolog
dan ahli esoteris yang diwakili oleh kaum sufi dan mistikus.
Di samping kedua ironi di atas, faktor lain yang membuat penulis semakin
terpicu dan terpacu mengangkat tema ini adalah, adanya ketimpangan dalam dunia
intelektualitas Islam. Ketimpangan ini terlihat jika kita mengamati kekayaan
khazanah pemikiran Islam yang sangat luar bisa, kemudian membandingkan
dengan lesunya kajian tentang filsafat dan mistisisme dalam Islam..
Apabila ditinjau dari segi banyaknya warisan yang ditinggalkan, saya
yakin para cendekiawan Muslim klasik adalah sosok paling produktif dibanding
para cendekiawan dari belahan dunia mana pun dan dalam kurun waktu kapan
pun! Pernyataan ini tidak bombastis dan tidak dilandasi oleh faktor subjektifitasreligius, namun dilandaskan pada fakta sejarah. Coba bayangkan, al-Kindi selama
hidupnya bisa menulis 270 risalah, al-Razi mampu menulis 118 buku, al-Farabi
70 buku. Yang sangat menakjubkan adalah mistikus terbesar Islam Ibnu Arabi.
Menurut sumber yang dikutip William C. Chittick, tokoh yang digelari Syaikh
Akbar (Guru Besar) ini menulis 700 buku, risalah, dan kumpulan puisi yang
berjumlah lebih dari 400 buah! (Chittick, 2001, 6).
Dilihat dari banyaknya tulisan yang dihasilkan, jangan buru-buru bersikap
pesimistik dengan mengira bahwa karya itu tak lebih dari buku tipis yang tak
berkualitas, apalagi kalau dibandingkan dengan kemampuan serta waktu yang
dibutuhkan cendekiawan modern dalam menulis buku. Sekadar perbandingan,
master pies Ibnu Arabi yang berjudul Futuhat al-Makkiyah dalam edisi Osman
Yahya terdiri dari 1700 halaman! Coba bandingkan dengan Tractatus Logico-
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
7
Phylosophicus, karya yang sudah dipandang cukup untuk menyebut Ludwig
Wittgenstein sebagai salah satu filsuf besar ini hanya berjumlah 75 halaman
(Bertens, 2002, 44). Padahal selain Tractatus, Wittgenstin hanya memublikasikan
Philoshophsche Untersuchungen, sementara selebihnya adalah teks-teks catatan
pribadi atau persiapan untuk kuliah. (Bertens, 2002, 43)
Salah satu penyebab mengapa warisan kearifan, kebijaksanaan, intuisi,
visi, dan nilai-nilai luhur ini lebih setia menghiasi lemari-lemari perpustakaan
daripada mengisi kajian dan studi-studi ilmiah adalah karena tidak diolah dengan
kecakapan metodologis yang memadai. Banyak sarjana Muslim klasik yang sudah
merasa puas dengan intuisi dan kesadaran, sehingga mengabaikan logos dan nalar.
Padahal, intuisi tanpa logos ibarat cahaya tanpa medium yang dapat memancarkan
sinarnya. Ia hanya terang pada dan menerangi diri sendiri, sedangkan di sekitarnya
tetap gelap gulita. Dan, rasa tanpa nalar laksana api tanpa obor yang dapat
membatasi volumenya. Ia bisa berkobar dan membesar lalu menghanguskan
semua yang ada di sekelilingnya.
Kongkritnya, banyak ilmuwan Muslim yang berkat kebeningan kalbu serta
refleksi filosofisnya yang mendalam, mampu meraih kebenaran atau menyingkap
makna di balik realita. Sayangnya, mereka tidak bisa memberikan penjelasan yang
logis dan rasional dengan metode penalaran yang runtut dan sistematis.
Akibatnya, pengetahuan yang mereka dapatkan hanya mencerdaskan diri mereka
sendiri, sedangkan gelora rasa yang meletup-letup dalam dada hanya
mengantarkan mereka pada ekstase spiritual yang bisa dinikmati sendiri.
Kenyataan inilah yang membuat penulis merasa tertarik untuk menyajikan
epistemologi iluminasi. Suatu epistemologi yang efektif dalam mentransformasi
pengetahuan intuitif serta pengalaman mistik ke dalam kemampuan berpikir yang
konsisten dan koheren.
1.2. Rumusan Masalah
Secara sederhana penulis telah menguraikan pembagian 3 metode dalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Yaitu, metode observasi, metode demonstrasi, dan
metode intuisi. Ketiga metode ini tentunya memiliki metodologi dan epistemologi
yang berbeda satu sama lain. Untuk membedakan antara metode observasi dengan
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
8
metode demontrasi bukanlah pekerjaan sulit mengingat basis penelitian dalam
kedua metode itu berbeda secara tegas. Yang pertama berbasis pada indra,
sedangkan yang kedua berbasis pada rasio. Yang sulit adalah bagaimana
membedakan antara metode demonstrasi dengan metode intuisi, mengingat basis
keduanya sama-sama unsur yang ada dalam diri manusia. Dengan kata lain,
bagaimana membedakan akal sebagai basis demonstrasi dengan hati selaku basis
intuisi? Masalah ini harus dirumuskan secara jernih agar kita memiliki kesamaan
persepsi dan pandangan dalam mengulas kajian ini.
Perbedaan ini sebenarnya bermuara pada ketidaksamaan filsafat Islam
dengan filsafat Barat dalam mendefinisikan manusia. Sejak istilah animal
rationale dipopulerkan filsuf Yunani klasik, pemikir Barat modern seolah terkunci
dalam sebuah reduksi sederhana dengan memetakan manusia sebagai makhluk
yang tersusun dari dua substansi, jiwa dan raga. Diskusi-diskusi selanjutnya hanya
berkutat pada faktor mana yang lebih dominan dalam diri manusia.
Para filsuf yang memenangkan dominasi raga atas jiwa lazim disebut
sebagai materialisme. Menurut mereka, manusia semata-mata terdiri dari materi,
jiwa atau roh itu tidak ada, kalau pun ada tak lebih dari sifat dari materi.
Sementara para filsuf yang mengunggulkan dominasi jiwa atas raga biasa disebut
immaterialisme, spiritualisme, atau idealisme. Mereka meyakini bahwa manusia
semata-mata bersifat rohani, sedangkan materi itu tidak ada, kalau pun ada tak
lebih dari sifat dari jiwa atau roh. (Van Peursen, 1988, 120).
Ketika filsafat Barat masih berkutat dengan dua dimensi manusia ini,
filsafat Islam sudah selangkah lebih maju dengan mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk multi dimensi yang tidak hanya terbentuk dari dua substansi.
Makanya, mayoritas filsuf Muslim menolak definisi manusia sebagai hewan yang
berakal. Alasan mereka, definisi semacam ini menafikan keberadaan dimensi
ketiga yang justru merupakan dimensi paling substantif nan esesnsial. Yaitu hati,
atau kalbu, atau nurani.
Mereka tidak setuju penyamaan akal dengan hati apalagi penggolongannya
menjadi satu; dimensi rohani manusia. Sebab, secara faktual, keduanya memang
memiliki cara kerja yang berbeda. Untuk memudahkan, silakan simak ilustrasi alGhazali berikut. Jika manusia diibaratkan sebuah kerajaan, maka hati adalah raja,
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
9
akal adalah menteri, sementara anggota tubuh adalah rakyat yang selalu patuh.
Raja pasti menginginkan kerajaannya utuh dan makmur sehingga seluruh
usahanya pasti diarahkan untuk mewujudkan keinginan itu, akan tetapi tidak
demikian dengan menteri, karena didorong motif-motif tertentu, adakalanya
mereka bersikap culas sehingga membahayakan kerajaan.
Berdasarkan steksa sederhana ini bisa disimpulkan, dalam Islam ada 3
model epistemologi yang bisa digunakan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan. Pertama, epistemologi observatif yang model penelitiannya
menggunakan pengamatan indrawi. Kedua, epistemologi demonstratif yang model
penelitiannya memakai analisa-analisa logis. Ketiga, epistemologi iluminatif yang
model penelitiannya mengandalkan kekuatan hati saat berinteraksi langsung
dengan objek yang hadir dalam kesadaran.
Objek kajian dalam karya ilmiah ini adalah model epistemologi yang
ketiga. Mengingat banyaknya tokoh yang mengulas epistemologi model ini, tentu
dibutuhkan studi yang luas. Namun hal itu pasti memerlukan waktu yang relatif
lama dan tingkat kesulitan yang tinggi. Oleh sebab itu, penulis memutuskan untuk
memfokuskan penelitian ini pada pemikiran seorang tokoh saja, yaitu Suhrawardi.
Jadi, kalau dirumuskan dalam ungkapan yang singkat, maka tesis stemenet untuk
kajian ini adalah, Konsep Epistemologi dalam Filsafat Iluminasi Suhrawardi.
1.3. Tinjauan Pustaka
Sebelum menulis karya ilmiah ini, penulis telah melakukan tinjauan
pustaka terhadap karya-karya ilmiah yang membahas masalah pemikiran
Suhrawardi, dan sejauh penelusuran penulis di perpustakaan UI dan UIN Syarif
Hidayatullah, hanya ada 2 skripsi, 1 tesis, dan 2 disertasi tentang Suhrawardi.
Uniknya, semua karya itu ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa UIN. Dengan kata
lain, sampai saat ini, tak satu pun mahasiswa UI yang kelihatannya tertarik untuk
menulis tentang tokoh ini.
Skripsi pertama yang mengupas pemikiran Suhrawardi ditulis oleh
Masyhar pada tahun 2002 dengan judul Kritik Suhrawardi al-Maqtul Terhadap
Logika Peripatetik. Dalam karya ilmiah ini, Masyhar membahas 3 kritik
Suhrawardi terhadap logika Peripatetik. [1] pembuatan definisi, [2] masalah
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
10
konversi, [3] silogisme. Sementara skripsi kedua ditulis oleh penulis sendiri pada
tahun 2005 dengan judul Kosmologi di Mata Sang Iluminasionis. Dalam karya ini,
penulis memaparkan proses penciptaan alam semesta melalui cara iluminasi.
Kajian yang lebih komprehensif terhadap pemikiran Suhrawardi dapat
ditemui melalui karya ilmiah yang ditulis oleh Amroeni Drajat. Tesis yang ditulis
untuk meraih gelar master di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berjudul
Falsafah Iluminasi: Sebuah Kajian Terhadap Konsep Cahaya Suhrawardi. Karya
ilmiah ini mengupas secara tuntas konsep cahaya yang terdapat dalam filsafat
iluminasi. Seperti proses penyebaran secara vertikal, horizontal, serta masalahmasalah lain yang terkait dengan masalah cahaya ini.
Seakan ingin menyempurnakan penelitiannya mengenai pemikiran
Suhrawardi, ketika hendak menyelesaikan program S3 di Institut yang sama,
Amroeni Drajat kembali menulis mengenai pemikiran Suhrawardi. Akan tetapi,
kali ini yang ia tekankan adalah ktirik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik.
Lengkapnya, disertasi tersebut berjudul Kritik Terhadap Falsafah Peripatetik:
Analisis Pemikiran Hikmah al-Isyraq. Jika dilihat dari judulnya, disertasi ini
terkesan memiliki kesamaan dengan skripsi yang ditulis Masyhar. Sayangnya,
kesan itu akan hilang begitu kita membaca kedua karya tersebut secara lengkap.
Disertasi yang kedua adalah karya Asmuni yang ditulis pada tahun 2008
dengan judul Kesatuan Mistik dalam Filsafat Iluminasi (Isyraqi) Suhrawardi.
dalam karya ini Asmuni menegaskan bahwa ada dua interpretasi yang dapat
diajukan berkaitan dengan konsep kesatuan mistik ini. Pertama, kesatuan dengan
keindentikan diri atau swa-identitas. Berdasarkan konsep ini maka kesatuan mistis
dipahami sebagai kesatuan sempurna dengan Tuhan melalui ilmu hudhuri. Kedua,
kesatuan mistis dalam arti pencerahan dan penyerapan. Artinya, diri sebagai
emanasi Tuhan adalah kesatuan kehadiran Tuhan di dalam manusia, sekaligus
kehadiran manusia di dalam Tuhan.
Selain karya-karya yang dipaparkan di atas, tidak menutup kemungkinan
masih ada karya ilmiah lain tentang Suhrawardi yang luput dari perhatian penulis.
Hal ini didasari fakta bahwa institusi pendidikan yang membuka kajian filsafat
bukan hanya UI dan UIN Syarif Hidayatullah semata. Akan tetapi masih banyak
institusi pendidikan lain yang menyelengarakan kajian tersebut. Namun karena
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
11
terbatasnya waktu, penulis hanya memfokuskan penelusuran pada dua
perpustakaan di dua institusi pendidikan besar tersebut.
1.4. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penulisan tesis ini adalah:
1. Memperkenalkan suatu konsep epistemologi unik yang, walaupun tidak
baru dan aktual, nampaknya kurang diminati oleh kalangan akademisi,
sehingga
dalam
ranah
intelektualitas,
epistemologi
ini
seolah
termarginalkan.
2. Memperoleh pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang konsep ilmu
pengetahuan dalam madzhab iluminasi Suhrawardi.
3. Memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar master di bidang
kajian ilmu filsafat.
1.5. Manfaat Penelitian
Berangkat dari tujuan yang melatari penulisan karya ilmiah ini, setidaknya
ada sejumlah manfaat yang bisa dipetik darinya; seperti:
1. Menginsyafkan kalangan akademisi bahwa ilmu pengetahuan yang
diperoleh
melalui
jalan
intuisi
adalah
benar,
absah,
bisa
dipertanggungjawabkan, serta bisa dituangkan dan diterangkan dengan
metodologi yang ketat dan rigorus.
2. Membentangkan jalan bagi para mistikus serta filsuf yang menghargai
intuisi agar mereka bisa menjelaskan ilmu pengetahuan yang mereka
miliki dengan bernas, lugas, dan cerdas. Walaupun tidak berlaku universal,
akan tetapi selama ini kita dapati mayoritas mistikus dan filsuf beraliran
intuisionisme mengalami kesulitan untuk menguraikan sistematika
pemikiran mereka secara gamblang. Banyak mistikus Muslim yang
terjebak dalam pelbagai metafor dalam menuangkan karya mereka
sehingga sulit dipahami. Ada juga yang terjerumus ke dalam bahasabahasa simbolik yang sulit dimengerti. Bahkan ada yang memilih
menuangkannya dalam bentuk prosa dan puisi sehingga refleksi
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
12
filosofisnya nyaris hilang tertutupi keindahan gaya bahasa yang terlalu
artistik dan emosional.
3. Menyadarkan para praktisi pendidikan bahwa Timur dan dunia Islam juga
kaya dengan kreativitas intelektual yang pantas untuk dilihat, dihargai,
diapresiasi,
serta
diberi
kedudukan
yang sejajar
dengan
tradisi
intelektualitas yang berkembang di Barat.
1.6. Metode Penelitian
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu filsafat yang berimbas pada
semakin luasnya kajian yang dicakup, wajar jika metode penelitian dalam ilmu ini
juga bersifat dinamis. Oleh sebab itulah, bisa dimaklumi jika ada kalangan yang
berpendapat bahwa dalam ilmu filsafat, metode penelitian tidak perlu dirumuskan
secara praktis. Alasannya, objek ilmu filsafat tidak semata-mata data empiris,
sehingga metode dalam penelitian filsafat akan ditemukan sendiri dalam proses
penyusunan karya ilmiah tersebut.(Kaelan, 2005, 7).
Akan tetapi, mengingat filsafat dewasa ini sudah menjadi disiplin ilmu
tersendiri di samping ilmu-ilmu pengetahuan lain yang dicirikan dengan
koherensi, sistematis, radikal, dan, rasional, maka metode penelitian menjadi
instrumen penting yang sangat urgensif. Atas dasar itulah, dalam menyusun karya
ilmiah ini, penulis memilih salah satu metodologi yang berkembang dalam filsafat
Barat untuk dijadikan sebagai panduan, yaitu fenomenologi Edmund Husserl.
Metodologi yang digagas oleh filsuf Jerman keturunan Yahudi ini—
menurut hemat penulis—paling tepat untuk diterapkan dalam penyusunan karya
ilmiah ini karena dua alasan. Pertama, secara pribadi, Husserl tercatat sebagai
tokoh yang sangat apresiatif terhadap intuisi. Dan, fenomenologi ia proyeksikan
sebagai suatu disiplin filosofis yang akan melukiskan segala bidang pengalaman
manusia.
Kedua, secara teknis, fenomenologi Husserl bisa dijadikan sebagai
formula untuk menghasilkan penelitian yang rigorus. Walaupun keputusannya
memasukkan konsep reduksi membuat sejumlah kalangan kecewa dan
mengklaimnya telah terjebak dalam idealisme yang semula ia hindari, akan tetapi,
saya bisa menerima alasan Husserl bahwa ralitas tidak pernah memberikan
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
13
seluruh profilnya secara total dan absolut. Oleh sebab itulah, untuk mendapatkan
statemen yang apodiktis (tidak mengizinkan keraguan) dan absolut, reduksi
mutlak diperlukan. (Bentens, 2002, 114)
Setelah memutuskan penggunaan fenomeologi Husserl sebagai metode
penelitian, maka penulis langsung menerapkan langkap-langkah metodis dalam
metodologi ini sebagaimana dirangkum dan dipetakan dengan sangat cerdas dan
aplikatif oleh Akhyar. (Akhyar, 2004, 194-232)
Pertama, Deskripsi fenomenologis. Pada tataran ini, penulis berusaha
menangkap fenomena secara intuitif, bebas dari asumsi, lepas dari interpretasi,
serta berusaha menepis masuknya unsur subjetivitas. Jadi, semua karya yang
ditulis oleh Suhrawardi (sejauh yang sampai pada penulis) dari yang bercorak
diskursif hingga yang bernuansa intuitif dikaji secara mendalam tanpa
memberikan pretensi dan penilaian apa pun! Dengan kata lain, penulis berusaha
melihat objek itu apa adanya yang, dalam bahasa Husserl disebut Zurück zu den
sachen selbst.
Kedua, Memeriksa secara analitis. Pada taraf ini penulis menggunakan
intuisi eidetis untuk mencari esensi suatu fenomena supaya bisa melihat hakikat
fenomena secara langsung. Kongkritnya, berusaha menyelami rahasia yang
terkandung di balik rangkaian naskah yang ditulis oleh Suhrawardi untuk
menemukan esensinya.
Ketiga, Hubungan antarhakikat didasarkan atas pengertian adanya
hubungan antara satu fenomena dengan fenomena lain. Langkah ini tidaklah
sesulit langkah pertama dan kedua. Sebab, penulis hanya berusaha memahami
keterkaitan antara karya Suhrawardi yang satu dengan yang lain. Babak ini
menjadi begitu mudah karena Suhrawardi secara langsung sudah memaparkan
sendiri keterkaitan di antara karya-karyanya, agar diperoleh pemahaman yang
benar dan akurat.
Keempat, Mengamati cara penampakan fenomena. Dari 3 macam cara
penampakan gejala yang dipetakan Akhyar, penulis lebih tertaik mengambil sudut
pandang yang ketiga, yaitu tingkat kejelasan objek yang diselidiki, sehingga ada
aspek yang dijadikan fokus perhatian dan ada yang dipinggirkan. (Akhyar, 2004,
231). Mengingat luasnya medan kajian serta banyaknya persoalan yang dikupas
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
14
Suhrawardi, maka, penulis mengunci satu persoalan dan memfokuskan perhatian
kepadanya. Penulis coba mengonsentrasikan pengamatan pada konsep ilmu
pengetahuan dan menyingkirkan tema-tema yang lain. Walaupun penulis tetap
merasa dan yakin bahwa semua tema yang ditulis oleh Suhrawardi membentuk
satu kesatuan utuh dan saling merajut antara yang satu dengan yang lain.
Kelima, mengamati konstitusi fenomena dalam kesadaran. Apabila konsep
epistemologi Suhrawardi diposisikan sebagai gunung, dalil Phytagoras, kampus
UI, atau kota Jakarta seperti yang dicontohkan oleh Bertens dan Akhyar dalam
buku masing-masing saat mengulas masalah konstitusi, secara teknis memang
mustahil untuk memotret konsep tersebut secara silmultan. Lebih-lebih, konsep
tersebut memang terserak dalam sejumlah buku, dalam arti Suhrawardi sendiri
tidak memaparkannya secara tuntas dalam satu karya. Akan tetapi, dengan
mengonstitusi konsep itu dalam kesadaran, berarti konsep itu bisa disintesakan
dalam persepsi, dan tampilan yang terbagi dalam berbagai perspektif (terdapat
dalam sejumlah buku) itu mengutuh dalam aktus kesadaran. Dengan demikian,
konsep epistemologi Suhrawardi menjadi terpatri kuat dalam kesadaran sehingga
bisa dipaparkan kapan pun dibutuhkan, sebagaimana kita bisa melukiskan kota
Jakarta walaupun kita sedang berada jauh di daerah lain, atau bisa menyelesaikan
persoalan matematika yang bisa dipecahkan dengan dalil Phytagoras.
Keenam, Reduksi fenomenologis. Pada langkah yang ditolak oleh
mayoritas fenomenolog termasuk Heidegger ini, penulis meletakkan konsep
epistemologi suhrawardi dalam tanda kurung. Hasilnya, bagi objek yang dijadikan
fenomen, konsep itu menjadi eviden yang absolut, sedangkan penulis selaku
subjek mendapatkan kesadaran murni yang tidak berkeluasan dalam ruang dan
waktu. Kesadaran—mengutip Bertens—tampak secara total dan langsung,
sehingga memungkinkan untuk mengemukakan statemen-statemen yang apodiktis
dan absolut tentang konsep itu. (Berten, 2002, 114).
Kalau
mengacu
pada
uraian
Herbert
Spielberg
dalam
The
Phenomenological Movement yang dikutip Akhyar, sebenarnya masih ada satu
langkah lagi dalam model penelitian fenomenologis, yaitu menafsirkan makna
gejala atau fenomena. Sayangnya, mayoritas fenomenolog termasuk Husserl
menolak langkah ini, dan hanya Heidegger yang menerimanya. Kata
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
15
"menafsirkan" pada langkah ketujuh ini membuat fenomenologi berkait-kelindan
dengan hermeunetika. Oleh sebab itulah, fenomenologi Martin Heidegger lazim
disebut fenomenologi-hermeunetika.
Penulis sengaja tidak memasukkan langkah ketujuh ini karena 2 alasan. [1]
Penulis berusaha untuk bersikap konsisten menerapkan metodologi yang
dikonsepkan oleh Edmund Husserl tanpa menambahinya dengan konsep lain.
Jadi, memasukkan langkah ketujuh sama artinya dengan mengubah metodologi
dalam penyusunan karya ini, dari yang semula fenomenologi idealitik-realistik ala
Husserl, menjadi fenomenologi-hermeunetik ala Hiedegger. [2] Motif di balik
langkah ketujuh ini adalah mencoba menemukan makna yang tidak dapat dicapai
melalui intuisi (Akhyar, 2005, 232). Padahal secara pribadi, penulis sudah merasa
puas dan meyakini bahwa intuisi bisa menemukan makna apapun yang
terkandung di balik fenomena.
1.7. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, penulisan karya ilmiah ini dibagi ke dalam 6 bab,
dengan setiap bab terdiri dari beberapa sub bab dengan uraian seperti berikut.
Bab 1 : Membahas latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah,
tujuan dan signifikansi penelitian, tinjauan pustaka, serta metode penelitian
lengkap dengan alasan masing-masing yang dipaparkan dengan tegas dan jelas.
Bab 2 : Menguraikan riwayat hidup singkat Suhrawardi, karya-karyanya,
atmosfer intelektualitas pada masa hidupnya, serta pengaruhnya terhadap
perkembangan pemikiran Islam secara luas.
Bab 3 : Menjelaskan secara ringkas bangunan pemikiran filosofis
Suhrawardi yang tertuang dalam konsep filsafat iluminasi. Penjelasan dalam bab
ini menjadi sangat penting karena Suhrawardi membangun teori filsafatanya
secara integral dan utuh dengan satu tema, yaitu cahaya. Jadi, untuk memahami
teori-teori partikular yang menjadi derivasi dalam sitem filsafatnya yang begitu
megah, seperti teori tentang epistemologi, kosmologi, dan lain sebagainya, kita
terlebih dahulu wajib memahami gagasannya secara utuh.
Bab 4 : Menguraikan dimensi empiris dari ilmu hudhuri. Dalam bab ini
penulis akan menguraikan pelbagai masalah dalam tindak dan proses mengetahui
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
16
yang berlangsung terhadap data-data indarwi yang nyata. Seperti cara membuat
definisi yang sahih, serta teori penyaksian yang dalam terminologi Arab lazim
disebut musyahadah. Bab ini akan diakhiri dengan uraian seputar teori objek yang
berisi pemetaan terhadap realitas nyata, berikut metode ilmu hudhuri dalam
mengetahui setiap objek tersebut.
Bab 5 :Memaparkan dimensi intuitif ilmu hudhuri yang digagas oleh
Suhrawardi, dan inilah inti dari karya ilmiah ini. Dalam bab ini dipaparkan segala
masalah yang berkaitan dengan ilmu hudhuri, seperti pengetahuan tentang diri,
langkah-langkah untuk mendapatkan ilmu hudhuri, serta tahapan apa saja yang
harus dijalani supaya ilmu pengetahuan yang bersifat intuitif tersebut bisa
disajikan secara ilmiah dan rasional.
Bab 6 : Mengemukakan kesimpulan atas semua penjelasan dalam tesis
ini, sekaligus memberikan analisa kritis terhadap konsep epistemologi
Suhrawardi. Penulis merasa perlu memberikan analisa kritis karena semua teori
pasti memiliki keunggulan dan kekurangan. Jika hanya mengupas kelebihan
konsep epistemologi iluminasi ini tanpa memaparkan titik-titik kelemahannya,
penulis khawatir akan terjebak pada subjektifisme ekstrem yang hanya
mendewakan satu metode tertentu dan mengabaikan metode yang lain.
Subjektifisme semacam ini hanya akan memiskinkan wacana, serta mengancam
dinamika perkembangan ilmu pengetahuan. Pada bab ini juga, penulis memetakan
posisi epistemologi yang digagas Suhrawardi di antara sekian banyak
epistemologi yang dikembangkan oleh para pemikir, baik di Barat maupun di
Timur. Terakhir, penulis memberikan rekomendasi untuk kajian lebih lanjut guna
memantik hasrat para penggiat filsafat mengkaji pemikiran-pemikiran pendiri
madzhab iluminasi ini.
Jelasnya, semua bab dalam karya ilmiah ini disusun secara gradual,
dimulai dari penjelasan-penjelasan yang bersifat umum, baru kemudian menukik
ke inti permasalahan, lalu diakhiri dengan penutup dan penilaian.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
BAB 2
BIOGRAFI SINGKAT SUHRAWARDI
2.1. Latar Belakang Sosio-Historis
Sebelum lebih jauh mengupas tentang biografi Suhrawardi, penulis ingin
menginformasikan bagi para peminat studi filsafat iluminasi bahwa, sumber yang
paling akurat, representatif, dan dapat dipercaya yang melukiskan perjalanan
hidup Suhrawardi adalah dua buku yang berjudul Nuzhah al-Arwah dan Rawdhah
al-Afrah. Mengapa? Karena keduanya ditulis oleh Syamsuddin Muhammad alSyahrazuri, murid sekaligus komentator karya-karya Suhrawardi yang diyakini
benar-benar memahami sejarah hidup sekaligus pemikiran filsuf asal Persia
tersebut.
Suhrawardi lahir pada tahun 549 H./1153 M. di Suhraward, sebuah
kampung dekat Zinjan di Iran barat laut yang banyak melahirkan tokoh-tokoh
Islam. Nama lengkapnya adalah Abu al-Futuh Yahya bin Habasyi Amirak alSuhrawardi. Ia memiliki sejumlah gelar, di antaranya; Syihab al-Din, Syaykh alIsyraq, dan al-Maqtul.
Sebagaimana para pemikir besar lain yang mengembara ke daerah yang
memiliki peradaban besar, Suhrawardi tidak tinggal diam dan menetap di
kampung halamannya. Ia merantau ke sejumlah negeri untuk menggali khazanah
ilmu pengetahuan; dari Yunani klasik hingga Islam. Maragha di Azarbeijan,
Isfahan di Iran Tengah, Anatolia, Damaskus di Syiria, serta Aleppo adalah kotakota kaya peradaban yang disinggahinya. Sayang, sejauh penelusuran penulis, tak
ada sumber lengkap yang menerangkan nama-nama besar yang dijadikan
"tambang emas pengetahuan" oleh Suhrawardi. Padahal, ilmu pengetahuan yang
dikajinya cukup luas dan beragam. Dari fiqh, tafsir, ilmu kalam, mantiq, tasawuf,
hingga filsafat.(Manshur, 1996, 137)
Suhrawardi mengawali pendidikannya di Maragha kepada Majd al-Din alJili bersama Fakhr al-Din al-Razi. Di kota yang kemudian terkenal karena
lahirnya Nashir al-Din al-Thusi yang membangun observatorium pertama dalam
Islam ini, ia belajar filsafat, hukum, dan teologi. Setelah itu, ia pergi ke Isfahan
untuk memperdalam studinya kepada Fakhr al-Din al-Mardini (w. 294 H./1198
M.) dan Zhahir al-Din al-Qari dengan mengkaji al-Basya'ir al-Nasyiriyyah karya
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
18
‘Umar bin Sahlan al-Sawi (w. 540 H./1145 M.). Terakhir, ia berguru kepada alSyafir Iftikhar al-Din. Menurut Hossein Ziai, Fakhr al-Din al-Mardini merupakan
guru Suhrawardi yang paling penting dan sangat berpengaruh. (Ziai, 1998, 22)
Sekali lagi, tidak ada sumber yang lebih lengkap dalam menguraikan
petualangan Suhrawardi selama menuntut ilmu. Hampir semua referensi yang
penulis telusuri hanya menyebutkan ketiga tokoh di atas sebagai guru Suhrawardi.
Masalahnya sekarang, dengan prestasi yang luar biasa dalam bidang ilmu
pengetahuan, mungkinkah sosok seperti Suhrawardi hanya menimba ilmu dari
tiga orang guru? Kemungkinan seperti itu memang selalu terbuka. Akan tetapi
menurut hemat penulis, terlalu riskan jika Suhrawardi yang sangat cinta dan
begitu haus akan ilmu pengetahuan, sudah merasa puas setelah belajar kepada tiga
tokoh yang berbeda.
Sebagai peretas jalan kebenaran yang haus ilmu pengetahuan, Suhrawardi
tidak mencukupkan diri dengan mengetahui aspek teoritis dari ilmu yang
dipelajarinya. Lebih jauh lagi, ia menerapkannya dalam kehidupan. Ia tidak
pernah hanya memajang pengetahuan praktis yang diterimanya dalam bingkai
wacana. Misalnya ilmu tasawuf, Suhrawardi tidak sekadar mempelajari teori dan
metode untuk menjadi sufi, akan tetapi, ia langsung menyulap dirinya menjadi
sufi sejati. Dia menjalani hidup dengan pola asketis sembari terus bertafakkur,
berkontemplasi, beribadah, dan berfilsafat. (Drajat, 2005, 32)
Keuletan yang ditopang penghayatan mendalam ini pada akhirnya
mengantarkan Suhrawardi menjadi seorang filsuf sekaligus sufi. Dalam dirinya
terkumpul dua keahlian secara integral; filsafat dan tasawuf. Kecemerlangan ini
membuat penguasa Aleppo, Malik al-Zhahir terpukau dan terpaku. Selaku
penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan, filsafat, dan mistisisme, putra Shalah
al-Din al-Ayyubi ini langsung mengundang dan meminta Suhrawardi tinggal di
istananya.
Gayung pun bersambut, Suhrawardi menerima undangan ini sekaligus
mengakhiri petualangannya di Aleppo. Di sanalah kecerdasannya benar-benar
terbukti dan teruji. Dalam diskusi-diskusi yang dihadiri sejumlah pakar dalam
berbagai
disiplin ilmu, ia mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
19
mengelaborasi teori filsafat dan tasawuf sehingga mampu mengalahkan pakar dan
ulama mana pun! (Drajat, 2001, 13)
Argumentasi-argumentasi elaboratif Suhrawardi tersebut, di satu sisi
memang membuatnya semakin dekat dengan penguasa. Namun di sisi lain
membuat ulama yang dengki kepadanya semakin cemas. Buah kecemasan ini
adalah surat yang mereka kirimkan kepada Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi, yang
berisi permintaan agar Suhrawardi dibunuh, dengan alasan ajaran-ajarannya sesat,
bertentangan dengan agama, dan sangat berbahaya. Konon, ulama yang paling
gencar meminta agar sultan Sultan Shalah al-Din segera mengeksekusi
Suhrawardi adalah Qadhi al-Fadhil. Hossein Ziai merangkum fenomena ini seperti
berikut:
"Dalam tertemuan-pertemuan pribadinya yang berkembang luas, filsuf
muda ini diceritakan telah menginformasikan kepada sang pangeran
tentang filsafat barunya. Tak pelak lagi, kenaikan pesat Suhrawardi ke
posisi istimewa bersinggungan dengan intrik dan kecemburuan istana yang
lazim dijumpai dalam abad pertengahan. Bahwa hakim, wazir, dan ahliahli fiqh Aleppo tidak senang dengan status guru yang meroket dari tutor
terkemuka itu, mustahil dapat membantu meringankan perkaranya." (Ziai,
tt, 246)
Atas dasar rasa hutang budi kepada para ulama yang memiliki andil besar
mengusir tentara Salib dari Syiria, Sultan Shalah al-Din lantas memerintahkan
putranya mengabulkan permintaan mereka. Maka, dengan berat hati, Malik alZhahir mengeksekusi Suhrawardi pada tahun 587 H./1191 M. Akhirnya, sosok
jenius ini harus meninggal dalam usia yang relatif muda; 38 tahun! (Hitungan ini
didasarkan pada tahun hijriyah. Jika hitungannya didasarkan pada tahun masehi,
maka usia Suhrawardi saat meninggal adalah 36 tahun. Perbedaan ini terjadi
karena jumlah hari dalam tahun hijriyah, 11 hingga 12 lebih sedikit dari tahun
masehi). Karena matinya dieksekusi, para ulama kemudian menggelarinya alMaqtul.
Sayangnya, tak ada informasi yang akurat mengenai metode yang
digunakan untuk mengeksekusi Suhrawardi. Akibatnya, sejumlah pakar berbeda
pendapat dalam menentukan eksekusi yang dijalani oleh Suhrawardi. Menurut alTaftazani, Suhrawardi dihukum gantung. Menurut Seyyed Hossein Nasr, ia
meninggal di penjara tanpa sebab yang jelas. Annemarie Schimmel hanya
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
20
menyebutkannya tewas dipenjara. Sedangkan Abdul Hadi W.M meyakini bahwa
Suhrawardi mogok makan dan berpuasa hingga wafat dalam tahanan.
Terlepas dari kontroversi caranya menghembuskan nafas yang terakhir,
setelah kepergiannya pun para cendekiawan memberikan penilaian yang berbeda
seputar kematiannya. Bagi yang memandangnya sebagai pemikir besar yang
membawa gagasan hebat, Suhrawardi adalah pahlawan yang wajib dihargai.
Muhammad Iqbal misalnya, tokoh terkemuka dalam dunia filsafat ini jelas-jelas
menyesalkan eksekusi Suhrawardi. Dalam disertasinya yang berjudul Metafisika
Persia, ia menulis tentang Suhrawardi:
Pemikir muda Persia itu dengan tenang menghadapi pukulan yang
membuatnya menjadi martir kebenaran yang, sekaligus mengabadikan
namanya. Para pembunuh telah berlalu, tetapi filsafat yang nilainya
dibayar dengan darah masih tetap hidup dan menarik banyak minat para
pendamba kebenaran. (Iqbal, 1988, 98)
Sinisme Iqbal terhadap para eksekutor tersebut sebaliknya malah
dipandang positif oleh Ahmad Amin, seorang pemikir Islam kontemporer yang
juga banyak bergelut dengan dunia filsafat dan sufistik. Baginya, keputusan
mengeksekusi Suhrawardi sangatlah tepat karena ajarannya tidak sejalan dengan
nafas Islam. Gelar al-Maqtul yang berarti yang terbunuh atau yang tereksekusi
yang ditasbihkan pada Suhrawardi oleh orang-orang setelahnya membuktikan
bahwa gagasan filsuf muda itu memang bertentangan dengan agama. Dia
beralasan bahwa, sekiranya ajaran Suhrawardi lurus, maka orang-orang akan
menggelarinya sebagai al-Syahid. (Mahmud, tt, 442)
Titik tolak yang dijadikan senjata untuk menuduh ajaran Suhrawardi
menyimpang adalah sejumlah terminologi yang terkesan asing di telinga ulamaulama eksoteris, yang dalam hal ini adalah para teolog atau ahli fiqh. Misalnya,
teori tentang anggelologi atau kemalaikatan yang dalam Hikmah al-Isyraq disebut
hierarki cahaya horisontal (Thabaqat al-Ardh). Nyaris semua nama malaikat
dalam hierarki ini adalah nama malaikat dalam tradisi Zoroaster, seperti Khurdad,
Murdad, Urdibihist, dan Isfandarmudh. Suhrawardi hanya menyisakan satu nama
untuk malaikat dalam tradisi Islam, yaitu Jibril, itu pun bukan sebagai penyampai
wahyu, akan tetapi sebagai pemilik teurgi genus yang berpikir atau arketip
kemanusiaan. Roh suci pemberi ilmu pengetahuan, pertolongan, kehidupan, dan
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
21
keutamaan bagi bentuk manusia yang paling sempurna. (Suhrawardi, 1993, 200201)
Bagi kalangan esoteris-perennialis, penamaan malaikat versi Suhrawardi
ini pasti bisa ditoleransi. Mengingat jika ditelusuri lebih jauh, istilah malaikat
yang digunakan Suhrawardi sama sekali tidak mengacu pada malaikat dalam arti
konvensional yang berlaku dalam tradisi Islam. Seperti kita ketahui, dalam ajaran
agama Islam, ada 10 malaikat yang harus diketahui yaitu: [1] Jibril (penyampai
wahyu). [2] Mika'il (pembagi rezeki dan penurun hujan). [3] Izra'il (pencabut
nyawa). [4] Israfil (peniup sangkakala). [5] Munkar (penanya amal saleh dalam
kubur). [6] Nakir (penanya perbuatan salah dalam kubur). [7] Raqib (pencatat
perbuatan baik). [8] ‘Atid (penulis perbuatan keji). [9] Malik (penjaga neraka).
[10] Ridwan (penjaga surga). Sedangkan malaikat dalam konteks ini agak mirip
dengan dunia idea Plato, kendati tidak sama persis. Tujuan Suhrawardi
menggunakan istilah-istilah itu adalah untuk mengabadikan hikmah-hikmah
keagamaan Persia pra-Islam dengan filsafat Yunani, sejalan dengan konsep Islam.
(Drajat, 2001, 64)
Jika diselidiki lebih jauh, pengeksekusian Suhrawardi sejatinya sarat
muatan politis dan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Dengan kata lain,
permintaan para ulama eksoteris agar Suhrawardi dibunuh bukan semata-mata
karena ajarannya yang beraroma esoteris dan sarat dengan simbol. Akan tetapi,
karena mereka cemburu dan merasa tersaingi oleh tampilnya filsuf muda berbakat
tersebut.
Terobosan Suhrawardi yang asing dan baru ini, menurut Seyyed Hossein
Nasr didasarkan pada keyakinan bahwa hikmah Tuhan bersifat universal dan
perenial. Tuhan menurunkan hikmah melalui Hermes yang kemudian terbagi dua
cabang; cabang Persia dan Mesir. Cabang Mesir kemudian menyebar ke Yunani
yang pada gilirannya masuk ke dalam tradisi Islam bersama cabang Persia. Pada
titik inilah, Suhrawardi menyebut dirinya sebagai pemersatu kedua cabang
hikmah tersebut; yakni al-hikmah al-ladunniyyah dan al-hikmah al-‘athiqah.
Seyyed Hossein Nasr memetakan alur percabangan hikmah tersebut hingga
bermuara pada Suhrawardi seperti berikut ini: (Nasr, 1969, 61)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
22
Hermes
Agathedemon (Syits)
Asclepius
Para pendeta raja Iran
Pythagoras
Kayumart
Empedokles
Faridun
Plato (dan Neo-Platonis)
Kai Kusraw
Dzu al-Nun al-Mishri
Abu Yazid al-Bhistami
Abu Sahl al-Tustari
Manshur al-Hallaj
Abu al-Hasal al-Kharraqani
Suhrawardi
Berdasarkan skema di atas, Seyyed Hossein Nasr menyimpulkan bahwa
ada lima sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran Suhrawardi. Pertama,
pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya al-Hallaj (858 H/913 M) dan al-Ghazali
(1058 H/1111 M). Misykat al-Anwar, salah satu karya al-Ghazali yang
menjelaskan adanya hubungan antara cahaya dan iman, mempunyai pengaruh
langsung kepada Suhrawardi.
Kedudukan al-Ghazali sebagai figur multi talenta, yaitu sebagai filsuf dan
sufi nampaknya mengharuskan penulis menegaskan posisinya berkaitan dengan
terminologi cahaya yang ia gunakan dalam Misykat al-Anwar. Tujuannya, supaya
tidak timbul kesan bahwa pendiri awal filsafat cahaya adalah al-Ghazali, bukan
Suhrawardi. Dalam karya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Sumber Segala Cahaya (Jakarta, Hikmah, 2001) tersebut, al-Ghazali
memang terlihat begitu obsesif menggunakan metafor cahaya. Baginya, cahaya
adalah simbol keindahan spiritual yang tak terperi. Dengan menyaksikannya,
seseorang akan membumbung tinggi menaiki derajat-derajat ketinggian Ilahiah.
Sayangnya, al-Ghazali masih belum sempat mengolah lebih jauh apa yang
dituliskannya. Di tangannya, "cahaya" masih menjadi metafor dari sebuah
spekulasi filsafat, dan bukan jantung filsafat itu sendiri.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
23
Kedua, pemikiran fisafat peripatetik Islam, khususnya filsafat al-Farabi
dan Ibn Sina. Meski Suhrawardi mengkritik sebagiannya, tetapi ia memandangnya
sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan iluminatif. Tokoh
yang kedua ini nampaknya berhasil dengan gemilang menancapkan pengaruhnya
dalam diri Suhrawardi meskipun dalam beberapa kesempatan ia diserang dengan
penuh gairah. Malah secara terbuka Suhrawardi menyatakan bahwa filsafat
peripatetik merupakan salah satu unsur penting filsafat iluminasi, oleh sebab
itulah, ia kemudian menulis al-Talwihat sesuai dengan metode peripatetik, lalu
menyarankan para pembacanya untuk mengkaji kitab tersebut sebelum mengkaji
Hikmah al-Isyraq. (Suhrawardi, 1993, 484)
Ketiga, pemikiran filsafat pra-Islam, yakni aliran Pythagoras (500-580
SM), Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexandria,
kemudian dipelihara dan disebarkan ke Timur Dekat oleh kaum Sabean Harran.
Sebagai sosok yang menempati singgasana tertinggi dalam skema Nasr,
Hermes tentulah figur penting yang harus diperhitungkan. Dalam The
Encyclopedia of Religion, Hermes Trismegistos oleh sejarawan Yunani klasik
diidentifikasi sebagai Thot, dewa kebijaksanaan Mesir. Karena itu, pada abad ke-2
SM, Hermes dipuja dengan julukan megistos kai theos megas Hermes (dea
tertinggi dan termulia, Hermes yang agung). Kata Trismegistos di belakang
namanya masih diperselisihkan. Ada yang memaknainya sebagai tiga wajah yang
mengacu pada kenabian, hikmah, serta kekuasaan yang dimiliki Hermes, tapi ada
juga yang mengatakannya sebagai nama keluarga, semacam marga. Jika dilihat
dari ajaran-ajarannya, Hermes dapat dipastikan sebagai seorang filsuf dan
manusia biasa, bukan dewa. Ini dibuktikan dengan menyebarnya ajaran-ajaran
Hermes di tangan generasi penerusnya yang disebut kaum Hermetik. Disebutkan
juga bahwa Hermes menimba hikmah dari gurunya, Poimandres-Nous, dan
berdiskusi dengan murid-muridnya seperti Ammon dan Asklepios—cucu
Asklepios-Imhouthes. Dan konos, Isis bersama putranya Horus pernah
mengomentari ajaran-ajaran Hermes yang disampaikan oleh kakeknya, Kamephis.
Dalam perkembangannya, para filsuf Muslim menafsirkan sosok Hermes
sebagai Akhnukh atau Idris as. Nabi sekaligus ahli hikmah yang bertugas
menerjemahkan "pesan-pesan langit" ke dalam bahasa manusia agar bisa
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
24
dipahami. Munculnya Hermenetisme disambut oleh kepercayaan religius Mesir,
filsafat Yunani, Yudaisme, dan kemudian memunculkan prisca philosophia
(filsafat primordial), prisca magia (mistisisme primordial), serta prisca theologia
(teologi primordial) yang dipelajari secara ekstensif di Barat dan di Timur.
(Eliade, tt, 287-293)
Keempat, kebijaksanaan-kebijaksanaan Iran klasik. Di sini Suhrawardi
mencoba membangkitkan keyakinan-keyakinan secara baru dan memandang para
pemikir Iran klasik sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum
datangnya bencana topan yang menimpa kaum Nabi Idris. Dan kelima, ajaran
Zoroaster, khususnya yang berkenaan dengan simbolisme cahaya yang
dilawankan dengan kegelapan serta terminologi malaikat-malaikatnya. Semua
corak pemikiran yang berpengaruh terhadap Suhrawardi ini bisa dirangkum dalam
skema berikut ini. (Nasr, 1969, 60-61)
Pemikiran Sufisme
- Manshur al-Hallaj
- al-Ghazali
Filsafat Peripatetik
Islam
- Al-Farabi
- Ibnu Sina
Filsafat Pra-Islam
- Pytagoras
- Platonisme
- Hermenisme
Iluminasi
Suhrawardi
Hikmah Iran Klasik
Ajaran Zoroaster
Berdasarkan keterangan ini, kita tahu bahwa pemikiran Suhrawardi
didasarkan pada sumber-sumber yang beragam dan berbeda-beda—tidak hanya
Islam tetapi juga non-Islam—meski secara garis besar bisa dikelompokkan dalam
dua bagian; pemikiran filsafat dan sufisme.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
25
Dengan menyatukan kedua corak pemikiran yang berbeda tersebut,
Suhrawardi benar-benar menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Ia berhasil
menegakkan sebuah imperium filsafat baru yang kemudian dikenal dengan istilah
filsafat iluminasi. Kehebatannya dalam mengawinkan al-hikmah al-bahtsiyyah
(penalaran diskursif) yang biasanya identik dengan para filsuf, dengan al-hikmah
al-dzawqiyyah (metode eksperimental) yang selalu dikaitkan dengan kaum sufi,
telah melahirkan teori baru yang benar-benar original. Kelihaiannya memadukan
visi sufistik dan penalaran filosofis ini membuat dirinya layak disejajarkan dengan
filsuf besar yang lain; semisal Ibn Sina atau Ibn Rusyd. Al-Syahrazuri bahkan
memberikan pujian yang luar biasa berkaitan dengan kecerdasan ini. Dengan tegas
ia mengatakan bahwa tak seorang pun yang dapat menggabungkan yang teoritis
dan yang praktis dengan kecanggihan yang demikian sempurna. (Fakhri, 1986, 5)
Pujian ini memang layak ditasbihkan kepada Suhrawardi, mengingat
teorinya sukses menghilangkan dahaga pengetahuan yang berbeda. Pertama, para
filsuf yang melulu berkutat dengan nalar diskursif yang kering kerontang. Dan
kedua, para sufi yang kesulitan menerangkan pengalaman intuitif mereka yang
sangat personal.
2.2. Hasil Kreativitas Intelektual
Suhrawardi merupakan pemuda yang dinamis, progresif, dan sangat
produktif. Kendati usianya tergolong pendek, namun, karya yang dihasilkannya
sungguh luar biasa. Tidak hanya dari segi kuantitas, namun juga dari segi kualitas.
Seyyed Hossein Nasr mencatat ada sekitar 50 tulisan yang ditinggalkan
Suhrawardi, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Persia. (Nasr, 1969, 58).
Manuskrip karangan Suhrawardi yang bisa diselamatkan saat ini tersimpan di
perpustakaan Turki, India, dan Iran.
Seyyed Hossein Nasr membagi karya-karya Suhrawardi ke dalam lima
kategori. Pertama, buku-buku mengenai filsafat Peripatetik sebagaimana
interpretasi dan modifikasi Suhrawardi sendiri. Kategori ini terdiri dari 4 buku
besar yang—semuanya—ditulis dalam bahasa Arab.
1. Al-Talwihat al-Lawhiyyat al-‘Arsyiyyat (Pemaparan Rahasia dan
Mahligai Tuhan).
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
26
2. Al-Muqawamat (Pembelaan).
3. Al-Masyari‘ wa al-Mutharahat (Jalan dan Dialog).
4. Hikmah al-Isyraq (Teosofi Iluminasi).
Kedua, buku-buku tipis yang sebagian isinya menguraikan isi keempat
buku di atas dengan bahasa yang sederhana. Kategori ini terdiri dari 7 buku yang
ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.
1. Hayakil al-Nur (Altar-altar Cahaya).
2. Al-Alwah al-‘Imadiyyah (Catatan Pilar-pilar Agama).
3. Risalah fi al-Isyraq (Risalah Seputar Iluminasi).
4. Partaw-namah, Fi I‘tiqad al-Hukama' (Keyakinan Para Filsuf).
5. Al-Lamahat fi al-Haqa'iq (Seberkas Cahaya Kebenaran).
6. Ma‘rifah Allah (Pengetahuan Tuhan) Yazdan Shinakht.
7. Bustan al-Qulub (Taman Hati).
Ketiga, buku-buku singkat bermuatan sufistik yang sarat dengan simbol
dan lambang. Novel-novel yang berisi uraian seputar perjalanan jiwa di jagat raya
dalam usaha mencapai Tuhan ini hampir semuanya ditulis dalam bahasa Persia;
hanya sedikit yang berbahasa Arab. Kategori ini terdiri dari 8 buku.
1. Al-‘Aql al-Ahmar (Akal Merah).
2. Aql-i Surkh, Ashwat al-Ajnihat Jibra'il (Suara Sayap Jibril).
3. Awaz-i Par-i Jibra'il, Qishshah al-Ghurbah al-Gharbiyyah (Kisah
Pengasingan Barat).
4. Lughat al-Naml (Bahasa Semut) Lughat-i Muran.
5. Risalah fi Halah al-Thufuliyyah (Risalah Tentang Keadaan Anak).
6. Yauman Ma‘a Jama‘at al-Shufiyyin (Sehari Bersama Sufi) Ruzi ba
Jama‘at-i Sufiyan.
7. Risalah fi al-Mi‘raj (Risalah Tentang Mi'raj).
8. Taghrid al-Simurgh (Senandung Simurgh) Safir-i Simurgh.
Keempat, buku-buku yang berisi komentar atau terjemahan karya-karya
filsafat klasik serta agama kuno. Kategori ini terdiri dari 3 buku.
1. Risalah al-Thayr (Risalah Burung). Buku ini sejatinya adalah karya
Ibn Sina yang diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
27
2. Isyarah (Saran), komentar terhadap karya Ibn Sina dengan judul yang
sama.
3. Risalah fi al-‘Isyq (Risalah Tentang Cinta). Buku ini ditulis
berdasarkan karya Ibn Sina dengan judul yang sama.
Kelima, buku yang berisi doa-doa yang pada abad pertengahan dikenal
dengan Kutub al-Sa‘at, namun al-Syahrazuri menyebutnya dengan al-Waridat wa
al-Taqdisat (Doa dan Penyucian). (Nasr, 1969, 58-59).
Selain Nasr, Louis Massignon juga melakukan pengelompokan terhadap
karya-karya Suhrawardi. Secara sederhana, ia membagi karya Suhrawardi ke
dalam tiga kategori. Pertama, karya yang ditulis di masa mudanya. Meliputi; alAlwah al-‘Imadiyyah, Hayakil al-Nur, dan al-Rasa'il al-Shufiyyah. Kedua, yang
ditulis semasa menggeluti filsafat Peripatetik. Meliputi; al-Talwihat al-Lawhiyyat
al-‘Arsyiyyat, al-Lamahat fi al-Haqa'iq, al-Muqawamat, al-Masyari‘ wa alMutharahat, dan al-Munajat. Ketiga, karya yang ditulis di masa-masa akhir
hidupnya saat sudah terpengaruh oleh aliran Neo-Platonis dan Ibn Sina. Meliputi;
Hikmah al-Isyraq, Kalimah al-Hukama', dan Fi I‘tiqad al-‘Ulama'.
Pengelompokan ini terlalu simplisistis dan kurang akurat. Pasalnya, karya
Suhrawardi tidaklah seminim yang diklasifikasikan Massignon. Makanya, Nasr
menilai bahwa Magsignon keliru dalam memetakan karya-karya Suhrawardi.
Menurutnya, Massignon terlalu tergesa-gesa dalam melakukan studi sehingga
menghasilkan kesimpulan yang kurang valid. Massignon sendiri mengamini kritik
Nasr ini dengan mengatakan bahwa pengelompokan ini sebenarnya adalah
penjajakan awal yang ia lakukan berdasarkan penelitian singkatnya terhadap
tulisan-tulisan Suhrawardi. Dengan kata lain, klasifikasi itu ia lakukan
berdasarkan pengetahuannya terhadap buku-buku Suhrawardi secara sepintas,
yang ia temukan di perpustakaan Istanbul dan kota-kota lain. (Nasr, 1987, 269)
Tidak semua karya Suhrawardi berhasil diselamatkan, dan tidak semua
yang terselamatkan sudah diterbitkan. Dalam usia yang relatif singkat, Suhrawardi
mampu menghasilkan karya banyak dan beragam. Menurut Abdul Hadi W.M.,
karya-karya filsafat Suhrawardi jauh melampau usianya yang pendek. (Hadi WM,
214) Jadi, tidak menutup kemungkinan, karya itu akan berlipat ganda sekiranya
usianya lebih panjang.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
28
2.3. Atmosfer Keilmuan Pada Masa Suhrawardi
Apabila kita membuat sketsa tentang atmosfer keilmuan pada masa
Suhrawardi kemudian menimbang terobosan dan kejeniusan gagasannya, rasanya
tidak berlebihan jika kita katakan dia sebagai figur besar yang hidup pada masa
yang tepat, the rigth time in the rigth time. Ada dua alasan yang bisa kita jadikan
sebagai pengukuh hipotesa ini, di mana keduanya berkembang pada sisi yang
berbeda.
Pertama, Suhrawardi hidup pada abad ke-12, sebuah periode di mana etos
intelektual Islam mulai menunjukkan tanda-tanda kejenuhan. Fenomena ini
ditandai dengan keengganan pemikir Muslim untuk melanjutkan tradisi berpikir
filosofis seperti yang dikembangkan oleh para pendahulu mereka seperti al-Kindi
(801-873 M), al-Razi (865-950 M), al-Farabi (870-950 M), atau Ibnu Sina (9801037 M).
Gerakan intelektualitas dalam dunia Islam yang dimulai sejak dinasti
Abbasiyah mengambil alih otoritas politik kaum Muslimin dari dinasti
Umawiyah, tepatnya ketika dinasti yang berpusat di Baghdad ini menggalakkan
penerjemahan karya-karya besar berbahasa Yunani, Syiria, Sanskrit, atau Pahlevi
ke dalam bahasa Arab sepanjang beberapa abad, kelihatannya akan segera
mencapai puncaknya. Lebih-lebih setelah al-Ghazali menulis kritiknya terhadap
filsafat melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
Rasanya adalah tidak adil jika kita menimpakan kesalahan di balik
berkurangnya minat kaum Muslimin terhadap filsafat pada periode ini pada sosok
al-Ghazali seorang, dan tidak menyelidiki faktor-faktor lain yang tidak menutup
kemungkinan juga menjadi penyebab merebaknya iklim negatif ini. Salah satunya
adalah kajian filsafat itu sendiri.
Seperti telah diketahui bersama, corak kajian filsafat sebelum Suhrawardi
disominasi
oleh
aliran
peripatetik—dalam
bahasa
Arab
biasa
disebut
Masysya'iyun—yang sangat mendewakan nalar diskursif. Istilah peripatetik
sendiri berasal dari bahasa Yunani peripatein yang berarti berkeliling atau
berjalan-jalan. Menurut Majid Fakhry, dalam tradisi Yunani, kata ini juga bisa
mengacu pada suatu tempat di serambi gedung olahraga di Athena tempat
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
29
Aristoteles mengajar murid-muridnya sambil berjalan-jalan. (Fakhry, 1988, 1274).
Walaupun menurut Louis Ma'luf, metode ini sejatinya digunakan untuk pertama
kali oleh Protagoras, namun pada perkembangannya lebih populer di tangan
Aristoteles, sehingga kata peripatetik tidak hanya mengacu pada cara mengajar
Aristoteles, tapi secara lebih luas juga mengacu kepada corak filsafatnya. (Ma'luf,
1997, 764)
Penulis tidak memungkiri jika dikatakan bahwa peripatetisme di tangan
filsuf Muslim sudah mengalami perluasan objek kajian, dan tidak hanya terbatas
pada pemikiran Aristoteles, tapi sudah merupakan sintesa antara ajaran-ajaran
Aristoteles, Plato, Plotinus, plus ajaran-ajaran Islam sendiri, akan tetapi tak
seorang pun juga bisa mengingkari bahwa kata peripatetik ini sangat identik
dengan corak berpikir Aristoteles, sehingga setiap kali kata itu disebut oleh
Suhrawardi dalam karya-karyanya, titik acuan yang paling benar adalah para filsuf
Muslim yang berafiliasi atau mengembangkan gaya pikir Aristotelian.
Dalam dunia Islam, aliran peripatetisme ini berkembang dengan sangat
fantastis dan mengalahkan aliran mana pun. Terhitung sejak al-Kindi bergabung
dalam Bait al-Hikmah—lembaga penerjemahan bentukan dinasti Abbasiyah—di
Baghdad dan menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, pemikiran Aristoteles
begitu dalam memengaruhi corak berpikir para ilmuwan Muslim. Hal ini tentu
saja tak lepas dari jasa al-Kindi yang berkesempatan bersentuhan langsung dengan
teks-teks klasik itu dalam bahasa aslinya, untuk kemudian menulis sejumlah karya
yang bercorak sama seperti gaya berfilsafat Aristoteles. Silakan cermati penilaian
Majid Fakhry berikut:
"Maka Satu Yang Benar adalah Yang Pertama." Pandangan ini berasal dari
filsafat Aristoteles, tetapi Unmovable Mover-nya Aristoteles diganti dengan
Sang Pencipta. (Fakhry, 1995, 15)
Sejak al-Kindi mengemukakan pandangan-pandangan filosofisnya, banyak
filsuf Muslim berikutnya seolah terkurung dalam penjara suci yang bernama
aliran peripatetisme. Tercatat, tokoh-tokoh seperti al-Farabi dan Ibnu Sina seakan
merasa nyaman berteduh di bawah payung Aristotelianisme ini. Walaupun di
samping keduanya, tidak sedikit pula yang lebih tertarik mendalami dan
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
30
mengembangkan filsafat Platonian. Namun yang jelas, pengaruh dan gelegar
aliran kedua ini tidaklah sedahsyat aliran yang pertama, aliran peripatetisme.
Apabila dipandang dari popularitas dan besarnya pengaruh aliran
peripatetisme, barangkali tidak berlebihan jika kita asumsikan bahwa kajiankajian filsafat yang marak selama kurang lebih selama 4 abad—terhitung sejak
masa al-Kindi hingga Suhrawardi—didominasi oleh tema-tema yang menjadi
lingkup kajian peripatetisme.
Lamanya masa kejayaan aliran peripatetisme inilah yang mungkin sedikit
demi sedikit menyelusupkan kebosanan di kalangan para peminat filsafat di dunia
Islam. Mereka mulai jenuh dengan penalaran diskursif dan metode analitis logis
yang sangat bertumpu pada kekuatan olah pikir dalam memperoleh pengetahuan
atau menyelesaikan problem filosofis. Padahal, metode ini merupakan merek
dagang peripatetisme yang sangat laku di pasaran. Para peminat filsafat tersebut
seolah merasakan dahaga yang amat sangat terhadap metode baru yang berbeda
dengan yang ditawarkan oleh Aristotelianisme.
Pada masa itu, sebenarnya sudah ada metode lain dalam menggapai
kebenaran dan mencapai kebijaksanaan yang tidak mengandalkan kekuatan rasio.
Metode ini lazim disebut hikmah dzauqiyah, seni olah rasa yang bertumpu pada
intuisi dan mistisisme. Sayangnya, sebelum kedatangan Suhrawardi, metode ini
tak kunjung bisa disistematisir secara rapi lengkap dengan argumen-argumennya
yang logis dan rasional. Akibatnya, metode yang subur di kalangan sufi ini lebih
dipandang sebagai letupan-letupan emosional yang dihasilkan dari ekstase
spiritual yang sangat subjektif, dan tak bisa diturunkan ke dalam wilayah ilmu
pengetahuan yang bisa dinikmati oleh semua orang secara luas.
Tragisnya lagi, ketika coba dituturkan, pengalaman spiritual ini tertuang
dalam premis-premis aneh yang jika dipahami secara telanjang dan apa adanya,
bukan hanya tidak masuk akal, lebih jauh lagi bisa dikategorikan sebagai
ungkapan murtad dan kafir. Ungkapan-ungkapan kontroversial yang dilontarkan
Manshur al-Hallaj rasanya cukup untuk dijadikan contoh dalam kasus ini.
Telah berbaur jiwa-Mu dalam jiwaku, laksana berbaurnya khamer dan air
bening. Bila menyentuh-Mu, tersentuhlah aku. Sebab, engkau adalah aku
dalam segala hal. (Mansur, 2002, 112)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
31
Di tengah dahaga intelektual inilah, Suhrawardi datang membawa konsepkonsep filsafat yang merupakan sintesa dari kedua jenis kebijaksaan yang
sebelumnya sudah populer di tengah-tengah masyarakat Islam. Kebijaksaan
analitis yang diwakili para pengikut aliran peripatetik, dan kebijaksanaan intuitif
yang direpresentasikan para sufi dan mistikus. Suhrawardi kemudian menyebut
teori filsafatnya sebagai filsafat iluminasi.
Walaupun tidak secara ekspisit dinyatakan bahwa motif yang memicunya
mengutarakan pandangan filsafat iluminasi adalah mengatasi kejenuhan
intelektual dunia Islam yang mulai mewabah, namun Suhrawardi secara tegas
mengatakan bahwa teori-teori filsafatnya ditujukan untuk mengoreksi pelbagai
teori dalam filsafat peripatetik yang menurutnya, tidak benar dan wajib
diluruskan. Tidak sedikit halaman dalam Hikmah al-Isyraq yang ia pergunakan
untuk menyerang peripatetisme; baik ajarannya, ataupun tokohnya yang diwakili
Ibnu Sina. Dalam pasal ke-15 misalnya, ia menulis kalimat judul "Fi Hadmi
Qa'idah al-Masysya'yin fi al-Ta'rifat" yang artinya secara literal adalah
"Runtuhnya Teori Filsuf Peripatetik tentang Definisi." Sedangkan kritiknya yang
ditujukan langsung kepada Ibnu Sina tertuang dalam al-Masyari' wa alMutharahat saat Suhrawardi membahas masalah definisi. (Ziai, 1998, 97)
Keberanian Suhrawardi menempuh jalan yang berbeda dari para filsuf
yang sudah mapan ini, di luar dugaan berhasil menyulap grafik dunia filsafat
kembali menunjukkan peningkatan. Kehebatannya dalam memadukan dua aliran
besar dalam tradisi intelekstual Islam ini mendapat sambutan hangat dari para
cendekiawan Muslim di masanya, walaupun faktanya tetap ada segelintir orang
yang bersikap sinis terhadapnya. Tetapi secara garis besar bisa dikatakan bahwa
kajian filsafat kembali dinamis setelah Suhrawardi memperkenalkan filsafat
iluminasi.
Kejeniusannya
dalam
merekonstruksi
penalaran
diskursif
serta
kemampuannya memberikan landasan praepistemik yang kokoh terhadap
pengalaman mistik, tidak hanya membuatnya diterima secara aklamasi oleh kedua
kutub aliran tersebut, lebih dari itu, sukses membuat filsafatnya tampil dalam
wajah baru yang indah dan menarik sehingga bisa dikatakan sebagai teori filsafat
yang khas Islam, bukan lagi filsafat Yunani yang diislamkan.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
32
Kedua, seperti telah disinggung sedikit, Suhrawardi hidup setelah alGhazali menulis Tahafut al-Falasifah—sebuah karya yang memiliki kekuatan
magis luar biasa untuk memalingkan minat generasi Muslim dari kajian filsafat,
serta memilih bidang kajian yang lain, seperti yurisprudensi (ilmu fikih),
linguistik (tata bahasa), tafsir, hadis, dan bidang keagamaan lain. Saat itulah,
banyak kalangan yang menilai bahwa tradisi filsafat dalam dunia Islam sudah
tamat dan berakhir! Penilaian negatif seperti ini tidak hanya berlaku di kalangan
sarjana Barat, tapi juga seakan diamini oleh sarjana Muslim yang berwaasan
sempit. Sebagai bukti, sekali lagi, silakan cermati buku-buku atau daftar silabi
pengajaran filsafat Islam yang beredar luas di Indonesia, hampir semuanya
menutup kajian pada tokoh yang bernama al-Ghazali. Kendati memperpanjang
sedikit, rata-rata tak lebih dari sekadar membahas Ibnu Rusyd. Itu pun lebih
disebabkan karena filsuf tersebut menulis kritik tajam terhadap Tahafut alfalasifah yang diberi judul Tahafut at-Tahafut. Tokoh-tokoh besar seperti
Suhrawardi atau Mulla Shadra nyaris tak tersentuh, sehingga banyak peminat
kajian filsafat Islam yang gamang atau bahkan buta dengan gagasan-gagasan
kedua filsuf yang tersebut terakhir tadi.
Jika dicermati secara saksama, kritik al-Ghazali terhadap filsafat sejatinya
hanya tertuju pada satu aspek saja, yaitu aspek metafisika. Sementara aspek yang
lain seperti logika, etika, filsafat agama, dan lain sebagainya, benar-benar luput
dari kritik. Oleh sebab itulah, Amin Abdullah—guru besar kajian Islam IAIN
Sunan Kalijaga dalam karyanya yang berjudul Studi Agama sangat menyayangkan
pandangan turun-temurun yang dianut kaum Muslimin bahwa kritik al-Ghazali
berlaku bagi semua aspek kajian filsafat, dan tidak hanya terbatas pada aspek
metafisika saja. (Abdullah, 1999, 231)
Pernyataan ini diamini oleh pemikir Muslim masa kini, Seyyed Hossein
Nasr. Menurutnya, anggapan semacam itu hanyalah merugikan kaum Muslimin
sendiri, khususnya kaum Sunni. Mengapa? Karena anggapan itu mengakibatkan
timbulnya kesan stagnasi pemikiran filsafat di dunia Sunni. Dan, citra inilah yang
dipelihara oleh para orientalis. (Nasr, 1978, 3)
Terlepas pada kenyataan bahwa yang diserang al-Ghazali hanyalah aspek
metafisika saja, dan serangan itu secara spesifik ditujukan kepada Ibnu Sina
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
33
semata, dan juga terlepas dari kesalahan kaum Muslimin dalam memahami dan
menyikapi kritik ini, marilah kita melihat fakta sejarah yang ditimbulkan oleh
karya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul yang
sama tersebut: Tahafut al-Falasifah.
Sejak Tahafut al-Falasifah tersebar ke publik, mayoritas Muslim Sunni
mulai mengubah pandangan terhadap filsafat. Perhatian mereka benar-benar
tersedot oleh penilaian al-Ghazali yang ketiga terhadap filsafat al-Farabi dan Ibnu
Sina; yaitu kafir. Sekadar catatan, bagi al-Ghazali, pemikiran filsafat bisa dibagi 3
kelompok. [1] Yang tidak perlu disangkal, dengan arti dapat diterima. [2] Yang
harus dipandang sebagai bidah atau heterodoksi. [3] Yang harus dipandang kafir.
(Zar, 2004, 161)
Ironisnya adalah, penilaian yang ketiga ini hanya didasarkan pada 3
pemikiran metafisika dalam filsafat Ibnu Sina yang meliputi, [1] Alam dan semua
substansi bersifat azali dan abadi. [2] Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang
bersifat partikular. [3] Kehidupan dalam dunia eskatilogis hanyalah ruh semata.
Artinya, kelak yang akan dibangkitkan di akhirat hanyalah ruh saja, tidak
demikian dengan jasad. (Zar, 2004, 163)
Tidak ada yang tahu pasti alasan mengapa kaum Sunni kemudian
menganggap bahwa koreksi al-Ghazali ini berlaku universal terhadap seluruh
pemikiran filsafat, dan tidak kepada salah satu aspeknya saja. Yang jelas, sejak
saat itu mereka lantas bersikap lebih ekstrem dari al-Ghazali sendiri terhadap
kajian filosofis. Suatu sikap yang menurut hemat penulis, lahir dari kajian yang
tidak tuntas dan studi yang bersifat parsial terhadap karya-karya al-Ghazali
sendiri. Karena kenyataan membuktikan bahwa sejumlah poin filsafat Ibnu Sina
malah dijadikan sebagai dasar oleh al-Ghazali untuk mengembangkan suatu
konsep pemikiran baru. Contohnya adalah teori tentang cahaya dan emanasi.
Tentang hal ini, Yazdi menulis:
Berdasarkan teori Ibnu Sina, al-Ghazali mengembangkan suatu uraian
linguistik yang signifikan mengenai ungkapan "cahaya" yang layak
diterapkan kepada Tuhan sebagai sumber cahaya, dan kepada eksistensi
alam semesta sebagai cahaya emanatif yang terpancar dari Cahaya dari
segala cahaya (Light of lights) (Yazdi, 2003, 54)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
34
Kenyataan ini harus disadari lalu disikapi secara arif agar pandangan
negatif terhadap filsafat dalam dunia Sunni yang masih terasa hingga saat ini
benar-benar sirna. Sebab, inilah satu-satunya cara untuk mendobrak kemandegan
tradisi berfilsafat di kalangan Sunni. Penulis katakan sebagai satu-satunya cara
karena sampai saat ini sudah terlalu banyak pemikir dan cendekiawan yang
bersusah payah meluruskan maksud dan tujuan penulis Tahafut al-Falasifah
tersebut. Sayangnya, tak satu pun dari mereka yang berhasil. Bahkan, pemikir
sekaliber Ibnu Rusyd yang menulis koreksi terhadap Tahafut al-Falasifah 2 abad
setelah al-Ghazali meninggal juga tidak menuai apa-apa. Bagi kalangan Sunni—
aliran terbesar dalam Islam, filsafat seolah menjadi disiplin yang haram untuk
dipelajari karena bisa membuat seseorang menjadi murtad!?
Saat nasib filsafat di dunia Islam berada di ujung tanduk inilah,
Suhrawardi tampil ke permukaan membawa gagasan baru yang ia beri nama
filsafat iluminasi. Walaupun secara genitas dan kultural Suhrawardi berasal dan
dibesarkan oleh tradisi Syiah, namun keberaniaannya dalam mengutarakan
gagasan-gagasannya secara lugas dan cerdas telah membawa selaksa berkah bagi
umat Islam secara universal. Di antaranya adalah, mementahkan anggapan bahwa
filsafat dalam dunia Islam sudah selesai karena telah mencapai puncaknya di
tangan Ibnu Sina. Dengan kata lain, kemunculan Suhrawardi berikut sistem
filsafatnya yang berbeda dengan Ibnu Sina adalah bukti nyata bahwa tradisi
berpikir filosofis kaum Muslimin masih berkembang dan akan selalu melahirkan
temuan-temuan baru yang tetap menarik untuk dikaji.
Pencetusan gagasan baru dalam dunia filsafat seperti yang dilakukan
Suhrawardi ini, merupakan sarana yang jauh lebih efektif untuk mengembalikan
minat dan semangat kaum Muslimin guna mempelajari filsafat. Bahkan jauh lebih
efektif dari yang dilakukan Ibnu Rusyd, yaitu menulis kritik balik terhadap alGhazali.
Langkah seperti inilah yang seharusnya ditiru oleh segenap pemikir
Muslim jika ingin mengembalikan kejayaan filsafat dalam dunia Islam.
Menawarkan suatu konsepsi yang sama sekali berbeda dengan pelbagai konsep
yang sudah dibangun oleh para filsuf sebelumnya. Tidak perlu lagi sibuk-sibuk
mencari akar masalah di balik keengganan serta menurunnya hasrat mengkaji
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
35
filsafat, atau melakukan pelurusan terhadap pelbagai kritik tajam yang setiap saat
selalu bermunculan dan dilakukan oleh kalangan Muslim sendiri. Cara seperti ini
bukan hanya sudah terbukti tidak berhasil, alih-alih malah membuat para pengkaji
filsafat itu sendiri terjebak dalam polemik pemikiran klasik yang takkan pernah
ditemukan jalan keluarnya.
Biarkan semua kritik itu menimpa filsafat. Malah anggaplah sebagai
ornamen indah yang menghiasi dinamika pasang surut perjalanannya. Contohlah
Suhrawardi yang berikap acuh terhadap kritik picisan itu, dan memilih untuk
memberanikan diri mengutarakan teori baru yang terbukti berhasil memberikan
pencerahan terhadap filsafat.
Bukti yang menujukkan bahwa Suhrawardi bersikap acuh terhadap kritik
seperti yang dilontarkan al-Ghazali adalah, dia tidak menyediakan satu kalimat
pun dalam semua karyanya untuk memberikan tanggapan terhadap krtitik
tersebut. Padahal, ia hidup sesudah al-Ghazali dan sudah barang tentu membaca
karya-karyanya. Hal ini terlihat dari elaborasi terminologi cahaya yang
sebelumnya sudah digunakan al-Ghazali, dan seperti pengakuannya sendiri, ia
secara terbuka mengakui al-Ghazali sebagai salah seorang inspiratornya. Di
samping itu, dalam sejumlah kesempatan ia secara terus terang mengkritik bahkan
menyalahkan filsafat Ibnu Sina. Pada titik ini, ia sama seperti al-Ghazali. Akan
tetapi, krtitik Suhrawardi kepada Ibnu Sina diarahkan kepada substansi pemikiran
filsafatnya, bukan kepada unsur semantiknya seperti yang dilakukan al-Ghazali
sebagaimana penilaian Mehdi Hairi Yazdi.(Yazdi, 2003, 54)
Akibatnya, walaupun objek dan subjek yang dikritik adalah sama, yaitu
Ibnu Sina, namun dampak yang dihasilkan dari kritik tersebut bertentangan secara
diametral. Kritik yang dikemukakan al-Ghazali tidak bisa dipungkiri telah
memberikan andil terhadap meredupnya tradisi filsafat di dunia Islam, sedangkan
kritik Suhrawardi bisa diibaratkan seperti pupuk yang sangat berjasa dalam
menyegarkan kembali tamanan filsafat yang sudah mulai layu tersebut.
Sejak ia melemparkan gagasan filsafat iluminasinya, atmosfer keilmuan
yang semula kering, miskin, dan kurang variatif karena mulai kehilangan salah
satu poros kajiannya, yaitu filsafat, mulai bersemi, subur, dan semarak kembali.
Tema dalam diskusi-diskusi di halaqah-halaqah keilmuan tidak lagi terbatas pada
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
36
masalah-masalah keagamaan seperti fikih, tafsir, atau hadis semata, tapi kembali
meluas mencakup pemikiran filsafat.
.
2.4. Pengaruh Suhrawardi Pada Perkembangan Pemikiran Islam
Untuk menentukan pengaruh Suhrawardi terhadap pemikiran Islam
tidaklah semudah yang dibayangkan. Mengapa? Karena kata pengaruh selalu
bersifat netral yang konotasinya bisa dibawa positif tapi juga bisa dibawa negatif.
Tergantung ke mana kata itu akan dibawa. Pada tataran ini, nilai objektivitas suatu
karya ilmiah sangat dipertaruhkan. Timbulnya pelbagai kesalahpahaman dan
penilaian negatif terhadap seorang tokoh atau suatu teori, biasanya lahir dari
ketimpangan uraian mengenai pengaruh tokoh atau teori tersebut. Demikian juga
sebaliknya, munculnya penyucian terhadap seorang figur atau pengkultusan atas
suatu konsep, lazimnya lahir dari hal yang sama. Artinya, jika hendak membuat
seorang tokoh dinilai memiliki pengaruh positif, maka kita cukup mengungkapkan
sisi-sisi baiknya saja sembari memendam dalam-dalam sisi buruknya. Hukum
yang sebaliknya berlaku jika ingin membuat suatu tokoh dikesankan negatif.
Cukup memaparkan sejumlah cela dan keburukannya, sambil mengubur jasa dan
sisi positifnya.
Masalah lain yang berkaitan dengan pengaruh seseorang ini adalah, tidak
adanya tolok ukur jelas yang bisa dijadikan pijakan untuk menentukan seseorang
berpengaruh bagi orang lain atau tidak. Lebih-lebih dalam dunia filsafat.
Kesamaan konsep atau kemiripan teori tidak bisa dijadikan landasan untuk
mengklaim seseorang telah dipengaruhi seseorang. Bahkan, intensitas pergaulan
yang terbingkai dalam relasi guru-murid pun terkadang sulit untuk menentukan
apakah sang guru memberikan pengaruh kepada muridnya atau tidak. Semua
orang tahu bahwa Aristoteles adalah murid Plato, namun apakah bisa dikatakan
bahwa Aristoteles terpengaruh pikiran Plato? Jawaban untuk pertanyaan ini bisa
ya, tapi juga bisa tidak. Tergantung dari sudut mana kita menilainya.
Jika kita menilai gagasan-gagasan Plato telah dijadikan sumber inspirasi
bagi Aristoteles untuk mengemukakan teori-teori yang berbeda, tentu jawabannya
Plato telah berpengaruh pada diri Aristoteles. Tapi jika kita menilainya dari sudut
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
37
pendang perbedaan konsep antara keduanya, maka jawabannya pasti tidak. Sebab,
ciri filsafat Plato sangat berbeda dari Aristoteles.
Karena absurdnya kriteria dalam menentukan pengaruh inilah, penulis
kemudian berinisiatif untuk menentukan kriteria sendiri atas pengaruh Suhrawardi
terhadap pemikiran Islam. Yaitu, melihat besarnya minat para peneliti pemikiran
Islam sesudahnya dalam mengkaji, melestarikan, serta mengomentari—baik yang
bernada positif ataupun yang bernada negatif—hasil pemikiran Suhrawardi.
Dengan menentukan kriteria seperti ini, kita cukup menelisik sejarah
filsafat Islam sejak Suhrawardi hingga masa kini guna menemukan pelbagai
indikator yang menandakan bahwa tokoh iluminasi ini memiliki gagasan jenius
yang bukan hanya dikaji oleh generasi sesudahnya, tapi juga diajarkan,
dipraktikkan, serta dijadikan sebagai mahakarya yang layak untuk diwariskan
secara turun-temurun.
Sesuai dengan pepatah yang mengatakan bahwa gagasan besar takkan
padam meskipun ditinggal oleh penemunya, demikian juga dengan filsafat
iluminasi Suhrawardi. Meskipun beliau dieksekusi, sejarah membuktikan bahwa
filsafat iluminasi tidak mengikutinya ke liang lahat, tapi justru malah tersebar dan
tertebar ke seluruh penjuru, jauh melintasi batas-batas geografis Aleppo—tempat
sang penemu dihukum mati. Abad demi abad selalu ada peminat yang dengan
serius belajar dan mengajarkan teori filsafat ini secara serius.
Sebagai langkah awal, menurut Seyyed Hossein Nasr, pemikiran
Suhrawardi berkembang pesat di daerah-daerah yang secara historis dan
peradaban, memiliki latar belakang intelekstual yang sama. Persia dan sekitarnya
merupakan kawasan yang secara keseluruhan sejalan dengan alam pikiran
Suhrawardi. Perlahan namun pasti, langkah berikutnya filsafat iluminasi
merambah anak benua India-Pakistan, Syiria, Anatolia, baru kemudian masuk ke
Eropa walaupun sangat terlambat. (Nasr, 1993, 166)
Untuk mengetahui besarnya pengaruh filsafat Suhrawardi terhadap para
pemikir setelahnya, sumber yang paling lengkap dan akurat, menurut hemat
penulis, adalah dua karya cendekiawan Muslim kontemporer yang sangat giat
melakukan studi terhadap filsafat iluminasi. Pertama adalah The Islamic
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
38
Intelectual Traditional in Persia yang ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr, serta
Suhrawardi and the Scholl of Illumination karya Mehdi Amin Razafi.
Menurut kedua sumber ini, figur yang paling penting dalam proses
penyebaran pemikiran Suhrawardi yang pertama adalah Syamsuddin Muhammad
al-Syahrazuri (w. 1281). Murid langsung Suhrawardi inilah yang menulis Syarah
Hikmah al-Isyraq. Sebuah karya yang berisi komentar serta penjelasan terhadap
istilah serta masalah-masalah pelik yang sulit untuk dipahami dalam karya
gurunya yang berjudul Hikmah al-Isyraq. Di samping itu, ia juga menulis
komentar terhadap kitab al-Talwihat yang merupakan karya penting lain dari sang
guru. Selain al-Syahrazuri, figur lain yang menulis komentar terhadap al-Talwihat
dan melakukan kajian serius terhadap pemikiran Suhrawardi adalah Sa'ad bin
Manshur Ibnu Kammunah ( w. 1269). (Razafi, 1997, 122)
Kedua murid Suhrawardi ini bukan hanya berjasa dalam meneruskan
pemikiran gurunya, lebih dari itu, mereka jugalah yang memancing minat para
pengkaji setelahnya terhadap filsafat iluminasi. Dengan kata lain, keduanyalah
yang menjadi lidah penyambung pertama ajaran-ajaran Suhrawardi sehingga teori
dan pemikirannya tersiar luas dan bisa kita nikmati hingga saat ini.
Pada abad berikutnya, abad ke-14, sejumlah tokoh yang tertarik terhadap
filsafat iluminasi mulai tumbuh subur laksana cendawan di musim hujan. Banyak
kajian dan komentar terhadap Suhrawardi yang ditulis pada abad ini. Namun di
antara sekian banyak tokoh tersebut, yang paling menonjol adalah Quthbuddin alSyirazi (w. 1311).
Pada abad abad ke-15, filsafat iluminasi mengalami stagnasi sehingga
tidak melahirkan figur penting yang menulis karya di bidang ini. Meskipun
demikian, bukan berarti madzhab filsafat ini sudah tidak diminati lagi dan tidak
dipelajari. Kajian terhadap pemikiran Suhrawardi tetap semarak dan menghiasi
diskusi-diskusi filsafat di banyak tempat. Hanya saja, tidak ada tokoh besar yang
menghasilkan karya penting untuk dijadikan rujukan tentang pemikiran
Suhrawardi. Fenomena pasang surut semacam ini pada dasarnya adalah hal yang
biasa dalam suatu tradisi pemikiran.
Pada abad ke-16, filsafat iluminasi mulai menampakkan geliatnya
kembali. Ada beberapa figur penting yang menulis karya-karya filsafat yang,
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
39
secara jelas menyiratkan besarnya pengaruh Suhrawardi di dalamnya. Di
antaranya adalah Shadruddin Dasytaki dan anaknya Ghiyatsuddin Manshur
Dasytaki (1541). Dia menulis Isyraq Hayakil al-Nur li Kasyf Zhulumat Syawakil
al-Ghurur yang berisi komentar dan ulasan terhadap karya Suhrawardi yang
berjudul Hayakil al-Nur. Menurut Ziai, keduanya termasuk tokoh yang
menyiapkan landasan bagi filsafat iluminasionis di kalangan Syiah Persia. Di
samping itu, tokoh penting lain di abad ini adalah Jalaluddin Muhammad bin
Sa'aduddin ad-Dawwani (w. 1502). Dialah yang menulis Lawami' al-Isyraq fi
Makarim al-Akhlaq dan Syawakil al-Nur fi Syarah Hayakil al-Nur. Karya yang
tersebut terakhir ini merupakan ulasan terhadap karya Suhrawardi yang berjudul
Hayakil al-Nur. (Ziai, 1998, 12)
Pada abad ke-17, pemikiran Suhrawardi berhasil mendapatkan posisi yang
penting di tengah percaturan dunia intelektual Islam. Pada masa ini, di kawasan
Persia lahir Madzhab Isfahan yang dipelopori oleh Mir Muhammad Baqir Damad
Husaini Astaradadi. (w. 1631). Tokoh yang memiliki banyak murid ini berperan
besar dalam menyebarkan paham iluminasi. (Drajat, 2005, 62). Selain Mir
Damad, masih banyak tokoh besar lain dalam madzhab Isfahan ini. Di antaranya
adalah Syaikh Bahauddin Amili (w. 1622), kemudian juga Mir Abdul Qasim
Findiriski (w. 1641) yang menulis Qashidah. Sebuah buku yang merupakan
ringkasan atas Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi. (Razafi, 1997, 127).
Kemudian juga Mulla Muhsin Faydh Kashani dan Muhammad Syarif
Nizhamuddin al-Harawi.
Apabila sesaat menoleh ke Barat, tepatnya ke Jerman pada tahun 1923
ketika Falix Weil mendirikan Institut für Sozialforschung yang para ilmuwannya
kemudian disebut sebagai "Madzhab Frankfurt", maka kita akan mendapatkan
sejumlah kesamaan dengan "Madzhab Isfahan" yang melegenda di Iran pada abad
ke-17. Persamaannya adalah, [1] Kedua madzhab ini digawangi oleh sejumlah
cendekiawan yang memiliki minat besar terhadap dunia filsafat. [2] Meskipun
para cendekiawan yang berkiprah di dalamnya terdiri dari orang-orang yang
memiliki keahlian spesifik yang berbeda, atau bahkan kecenderungan berfilsafat
yang berbeda—seperti Friederich Polloch yang seorang ahli ekonom dan Walter
Benjamin yang merupakan pakar susastra, ada kecenderungan besar di antara
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
40
mereka dalam mengistimewakan pemikiran Kalr Marx, sehingga kalangan
mahasiswa kemudian menjuluki institut tersebut sebagai Café Marx (Bertens,
2002, 195) Dalam Madzhab Isfahan juga demikian, di antara mereka ada yang
merupakan pakar Yurisprudensi semisal Syaikh Amili, dan ada juga yang
merupakan mistikus seperti Faydh Kashani. Akan tetapi, mereka semua memiliki
kesatuan sikap dalam mengistimewakan filsafat Iluminasi dan gagasan
Suhrawardi. [3] Kedua madzhab ini memiliki pengaruh yang luas terhadap dunia
ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kajian filsafat.
Di samping persamaan ini, tentu saja juga ada perbedaan antara Madzhab
Isfahan dan Madzhab Franfurt. Di antaranya adalah, Madzhab Isfahan terlalu
fokus dalam dunia filsafat sehingga tidak menyentuh masalah-masalah sosial. Hal
ini berbeda dengan Madzhab Franfurt yang, tujuan awal didirikannya saja adalah
menyelidiki persoalan-persoalan sosial. (Bertens, 2002, 194)
Di antara sekian banyak pemikir iluminasi pada abad ini, mungkin yang
terbesar dan paling populer adalah Shadruddin al-Syirazi (w. 1640). Tokoh yang
lebih dikenal dengan Mulla Shadra ini tidak hanya menulis komentar atau ulasan
terhadap karya-karya Suhrawardi seperti yang dilakukan para filsuf sebelumnya,
lebih dari itu, ia berhasil mengelaborasi filsafat iluminasi sedemikian rupa
sehingga lebih komprhensif dan sempurna. Sejumlah pemikiran Suhrawardi yang
dipandangnya kurang relevan, dikoreksi lalu diperbaiki. Karya terbesarnya adalah
al-Asfar al-Arba'ah.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, dalam karya besar yang juga biasa disebut
al-Hikmah al-Muta'aliyyah ini, Mulla Shadra dengan sangat cemerlang sukses
mengelaborasi iluminasi yang diterima dari kesadaran spiritual dan ajaran wahyu
dengan argumen yang rasional. Dengan prestasi ini, Shadra bisa dikatakan
selangkah lebih hebat dibandingkan "guru"nya sendiri, Suhrawardi. Pasalnya,
ketika filsafat iluminasi Suhrawardi masih merupakan kombinasi penalaran
diskursif dengan intuisi mistik, maka Mulla Shadra telah melengkapinya dengan
ajaran wahyu. Tentang prestasi ini, tanpa ragu Nasr mendaulat Mulla Shadra
sebagai puncak aktivitas inteletual selama seribu tahun dalam dunia Islam. (Nasr,
1986, 312)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
41
Gelegar kehebatan Mulla Shadra dalam menata ulang gagasan-gagasan
Suhrawardi pada abad ini, di satu sisi memang membuat filsafat iluminasi menjadi
aliran yang paling pupuler di kalangan pemikir Muslim, tapi di sisi lain justru
menenggelamkan tokoh-tokoh penting yang juga serius mengkaji filsafat ini pada
abad berikutnya, abad ke-18. Hal ini terbukti dengan tidak adanya tokoh besar
yang "layak" diabadikan sebagai penyiar gagasan Suhrawardi pada abad ini. Nasr,
Razafi, Ziai, serta para peneliti lain filsafat iluminasi masa kini tidak
mencantumkan satu nama pun yang bisa dikatakan sebagai iluminasionis abad ini.
Pada abad ke-19, filsafat iluminasi kembali terbit dan melahirkan tokohtokoh penting seperti Mulla Ali Nuri (w. 1830), Mulla Hadi Sabziwari (w. 1878)
yang secara cerdas berhasil menulis ulasan-ulasan ringkas terhadap Hikmah alIsyraq Suhrawardi dan al-Asfar al-Arba'ah Mulla Shadra. Kemudian juga ada
Hasan Lubnani, Muhammad Shadiq Ardistani, Mir Sayyid Hasan Taliqani yang
mengajarkan wacana filsafat iluminasi di sekolah-sekolah, Muhammad Ridha
Qumsyai yang secara akurat berupaya menggabungkan pemikiran iluminasi
Suhrawardi, gnosis Ibnu Arabi, dan metafisika Mulla Shadra. (Razafi, 1997, 127134).
Menurut Razafi, pada abad ini ada sejumlah tokoh penting yang layak
diperhitungkan. Di antaranya adalah Mulla Abdullah Zumuni dan putranya Mulla
Ali Zumuni. Penguasaan kedua tokoh penganut iluminasionisme ini terhadap
wacana filsafat tidak bisa disepelekan. Hal ini terbukti dengan keberhasilan Mulla
Ali Zumuni memenuhi permintaan penguasa untuk menulis karya yang mengulas
pertemuan antara filsafat Islam dengan filsafat Barat, khususnya filsafat Imanuel
Kant. (Razafi, 1997, 134). Sedangkan ayahnya, Mulla Abdullah Zumuni menulis
Lama'at-i Ilahiyyah yang berisi uraian seputar pengaruh Suhrawardi dan Mulla
Shadra terhadap para filsuf Muslim. (Razafi, 1997, 135)
Pada abad ke-20, banyak para iluminasionis Muslim yang berjasa besar
mengukuhkan kedudukan aliran filsafat ini di antara sekian banyak aliran filsafat
yang seakan berlomba merebut simpati para pemikir. Di antaranya adalah Sayyid
Husain Thabathaba'i (w. 1982), seorang ulama Syiah yang sangat disegani
sekaligus penulis produktif di bidang tafsir, filsafat, sejarah, serta bidang-bidang
yang lain. Karyanya yang paling terkenal dan yang paling tebal adalah Tafsir al-
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
42
Mizan. Kemudian juga ada Seyyed Hossein Nasr, guru besar filsafat Islam di
Universitas Georgetown, USA yang, hampir semua karyanya sudah diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia.
Iklim keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan pada abad ini, serta adanya
kecenderungan Barat untuk mengkaji pelbagai kebudayaan Timur berikut segala
aspeknya, secara tidak langsung telah mengarahkan sarjana Barat untuk mengkaji
filsafat iluminasi. Menurut Ziai, ada sejumlah tokoh yang secara spesifik bisa
dikatakan serius mempelajari aliran filsafat ini. Di antaranya adalah Carra de
Vaux yang pada tahun 1902 menulis karangan pendek dalam bahasa Prancis
tentang Suhrawardi dengan judul La Philosophie Illuminative d'apres Suhrawerdi
Meqtoul. Kemudian Max Horten yang pada tahun 1912 menulis esai-esai pendek
tentang Suhrawardi dengan judul Die Philosophie der Erlentung nach
Suhrawardi.
Lois Massignon yang pada tahun 1929 coba mengelompokkan karya-karya
suhrawardi berdasarkan periode tertentu. Otto Spies yang pada tahun 1935
mengedit dan menerjemahkan sejumlah kiasan-kiasan filsafat Suhrawardi yang
kemudian disempurnakan oleh WM Thackcson pada tahun 1982 dalam karyanya
yang berjudul The Mystical and Visionary Treatises of Shihabuddin Yahya
Suhrawardi. Helmut Ritter yang membahas aspek-aspek kehidupan Suhrawardi,
serta membedakannya dari tiga mistikus Muslim yang mempunyai nama yang
sama—yaitu Abu al-Najib al-Suhrawardi (w. 536 H) dan Abu Hafs Syihabuddin
al-Suhrawardi al-Baghdadi (w. 632) penulis kitab Awarif al-Ma'arif—dalam
karyanya Philologika IX: Die ver Suhrawardi.. Kemudian pada pertengahan tahun
40-an ada Henry Corbin menyunting Hikmah al-Isyraq dan menulis sejumlah
karya tentang filsafat Iluminasi.. (Nasr, 1990, 7-9)
Tokoh yang tersebut trakhir di atas nampaknya pantas mendapatkan
apresiasi khusus atas intensitasnya dalam mengkaji filsafat iluminasi. Banyak
cendekiawan
Muslim
yang
secara
terbuka
menyampaikan
penghargaan
terhadanya. Hossein Ziai misalnya, dalam bukunya yang berjudul Suhrawardi &
Filsafat Iluminasi menulis:
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
43
Edisi teks Henry Corbin atas karya-karya filsafat Suhrawardi telah
mengobarkan perhatian khusus terhadap pemikiran seorang manusia yang
secara tradisional dikenal dengan Syaikh al-Isyraq. (Ziai, 1998, 17)
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Seyyed Hosein Nasr. Menurut
Nasr seperti yang dikutip Mehdi Amin Razafi, Corbin adalah sarjana yang telah
berbuat banyak bagi pemikiran Suhrawardi. Bahkan, perhatiannya melebihi
sarjana Persia sekalipun. (Razafi, 1997, 142)
Penghargaan ini nampaknya tidak berlebihan jika menimbang besarnya
jasa Corbin yang tidak hanya terbatas pada keseriusannya mengulas naskahnaskah Suhrawardi, namun seperti yang dikutip Drajat juga berhasil mendidik
sejumlah sarjana dan figur yang mengikuti jejaknya, baik yang Muslim ataupun
yang bukan. Contohnya adalah G. Berger, J. Danielu, G. Durand, A. Feivre, G.
Scholem, A. Portmann, dan lain sebagainya. (Drajat, 2005, 73)
Lebih lanjut Drajat mengatakan bahwa Oriental Ontology—sebuah buku
yang mengulas konsep ontologi Suhrawardi—yang ditulis oleh Corbin berhasil
menanamkan pengaruh yang dalam terhadap Young Philosopher (Filsuf Junior).
Sekelompok generasi di Perancis yang tokoh terkemukanya bernama Christian
Jambet. Bahkan, pengaruh Corbin juga terlihat pada para sarjana Islam-Arab,
khususnya yang hidup di negeri bekas koloni Perancis, seperti Al-Jazair. Tokoh
besar yang dinilai Drajat banyak terpengaruh Corbin di sini adalah Muhammad
Arkoun. (Drajat, 2005, 73)
Figur kharismatik yang tak boleh kita lupakan saat membincang
perkembangan filsafat iluminasi pada abad ke-20 ini adalah Sir Muhammad Iqbal.
Disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia di bawah
bimbingan profesor F. Hammel, tidak hanya membuatnya layak menyandang
gelar doktor dari Universitas Munich, Jerman pada tahun 1907, lebih dari itu,
disertasi ini harus dipandang sebagai karya yang sukses melukiskan alur
pemikiran metafisika di dunia Timur sejak zaman Zoroaster hingga tersimpul
secara sempurna di tangan Suhrawardi. Tentang hal ini, Hossein Ziai
berkomentar:
Penyebutannya dalam halaman demi halaman disertai doktoral
Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysics in Persia, tetap
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
44
merupakan catatan umum terbaik atas pemikiran filsafat Suhrawardi.
(Ziai, 1998, 17)
Sebagai catatan penutup, penulis ingin menginformasikan bahwa,
perbedaan pandangan dunia Muslim Sunni dan Syiah terhadap pemikiran filsafat
telah membawa perlakuan yang berbeda terhadap pemikir muda yang bernama
Suhrawardi ini. Pandangan negatif Muslim Sunni terhadap filsafat bukan hanya
membuat Suhrawardi berikut semua penerusnya yang penulis uraikan di atas
terkesan asing, tapi juga membuat filsafat iluminasi—sama seperti teori-teori
filsafat yang lain, sulit mendapatkan tempat. Tapi tidak demikian di kalangan
Syiah. Penghargaan mereka yang sangat tinggi terhadap wacana filsafat membuat
aliran iluminasi ini tetap hidup dan terpelihara hingga kini. Bahkan, Hikmah alIsyraq—khususnya kajian logikanya—sebagai karya utama Suhrawardi, sampai
saat ini masih dijadikan sebagai buku daras di madrasah-madrasah Persia dan
sekitarnya. Kitab tersebut diajarkan bersamaan dengan komentarnya yang ditulis
oleh Quthbuddin al-Syirazi dan Mulla Sadhra. (Nasr, 1987, 58)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
BAB 3
LANDASAN PRAEPISTEMIK EPISTEMOLOGI ILUMINASI
3.1. Selayang Pandang Filsafat Iluminasi
Apabila ditinjau dari segi linguistik, maka kata iluminasi adalah
terjemahan dari kata bahasa Inggris ilumination yang juga ditirunkan dari bahasa
latin iluminare dengan makna yang sama, yaitu menerangi. Miskinnya kosa kata
dalam bahasa Indonesia membuat kata iluminasi seolah tidak menemukan
padanan yang tepat untuk diterjemahkan. Kegigihan para peminat filsafat untuk
menerjemahkan kata tersebut ke dalam glosari Indonesia ternyata malah
membuatnya kehilangan daya magis dan keunikannya. Kata "filsafat cahaya" atau
"filsafat pencerahan" bukan hanya tidak mewakili keutuhan makna kata "filsafat
iluminasi" itu sendiri, alih-alih malah membuat maknanya menjadi kabur dan
rancu. Nampaknya, para pengkaji filsafat di tanah air harus memosisikan kata ini
sama seperti term-term khas lain dalam filsafat yang tak perlu diterjemahkan,
seperti "emanasi", "apropriasi", "alienasi", dan lain sebagainya.
Kendati kata iluminasi berasal dari bahasa Inggris dan latin, bukan berarti
aliran filsafat ini tumbuh dan berkembang di dua wilayah yang menggunakan dua
bahasa tersebut. Jadi, meskipun unsur lingistik filsafat ini berasal dari kata
Inggris, bukan berarti kita akan menemukan alur sejarah perkembangan pemikiran
filsafat ini pada pemikir Inggris, atau bahkan latin. Bahwa benih-benih filsafat ini
sudah ada sejak masa Yunani klasik, memang benar dan tak terbantahkan karena
ada fakta historis yang menguatkannya. Akan tetapi, juga merupakan fakta
historis bahwa kata iluminasi menjadi term yang mengacu pada aliran besar dalam
dunia filsafat terjadi ketika Suhrawardi mengemukakan pandangan-pandangan
filosofisnya. Menurut Hosesn Ziai, sebelum Suhrawardi mengemukakan teorinya,
di belahan dunia Timur sama sekali belum ditemukan teori filsafat iluminasi.
(Ziai, 552)
Karena teori filsafat ini dibangun di dunia Timur oleh arsitek besar yang
berbahasa Arab, berarti untuk mengetahui makna kata filsafat iluminasi berikut
segala implikasi filosofisnya, kita harus mengadakan penelitian terhadap glosari
bahasa Arab, bahasa yang mendapat kehormatan untuk dijadikan media oleh sang
arsitek dalam memaparkan konsep-konsepnya.
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
46
Dalam bahasa Arab, kata iluminasi biasa disebut dengan isyraq. Sebuah
kata yang memiliki dua makna yang sangat jauh berbeda namun berkat
kecanggihan Suhrawardi berhasil dielaborasi dalam satu struktur yang indah dan
terpadu. Makna yang pertama adalah "cahaya" sedangkan makna yang kedua
adalah "timur". Jika makna yang pertama mengacu kepada sebuah entitas unik
yang dalam dunia fisika modern masih diperdebatkan statusnya apakah
merupakan materi atau partikel, maka makna yang kedua mengacu kepada salah
satu arah mata angin yang sangat lekat dengan masalah-malasah geografis.
Di tangan Suhrawardi, kedua makna yang terkesan diametral ini kemudian
ditarik ke dalam wilayah filsafat, lalu dijadikan sebagai simbol utama. Jadi,
filsafat iluminasi berkaitan dengan simbolisme matahari yang terbit di timur dan
mencahayai segala sesuatu. Karena realitas mencahayai atau menerangi segala
sesuatu ini, maka cahaya lantas diidentifikasi dengan gnosis dan iluminasi.
Dengan demikian, kata isyaqiyyah bisa dipahami sebagai ketimuran dan
iluminasi. Ia memancar karena ia berada di timur, dan ia berada di timur karena ia
memancar.
Seakan merasa nyaman dengan menggunakan bahan yang bernama
geografis, Suhrawardi kemudian merampungkan pondasi bangunan pemikiran
filsafatnya dengan menghamparkan garis horizontal simbolik dari "timur" ke
"barat" lalu dipadu dengan garis vertikal simbolik dari atas ke bawah sehingga
terlihat jelas implikasi cahaya bagi setiap wilayah geografis-simbolik tersebut.
Menurutnya, timur adalah belahan dunia yang banyak mendapatkan
limpahan cahaya sehingga wilayah ini bebas dari kegelapan dan bebas dari materi.
Makanya, belahan dunia ini hanya dihuni oleh entitas-entitas non-materi seperti
malaikat. Sedangkan barat karena sedikit menerima limpahan cahaya menjadi
gelap sehingga disesaki oleh entitas-entitas materi. Batas yang mengantarai timur
dan barat ini disebut "barat-tengah" (middle-occident) yang disimbolkan sebagai
wilayah temaram di mana cahaya membaur dengan kegelapan. Wilayah ini
ditinggali oleh bintang-bintang tetap (fix stars) yang oleh Seyyed Hossen Nasr
disebut sebagai the premium mobile. (Nasr, 1964, 65)
Penggunaan simbolisme geografis seperti timur, barat, barat-tengah, serta
cahaya seperti ini mungkin oleh Suhrawardi dilakukan untuk mempermudah
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
47
pembacanya memahami konsep metafisika yang sangat abstrak dan sulit untuk
dituangkan dalam premis-premis naratif biasa. Sayangnya pada sejumlah kasus,
banyak para pembaca karyanya yang malah bingung dengan penggunaan simbolsimbol tersebut, bukan mendapatkan kemudahan. Beruntunglah Seyyed Hossen
Nasr—setelah melakukan penelitian yang cermat dan mendalam—berhasil
menerangkannya secara gamblang bagi kita.
Dalam Three Muslim Sages ia memaparkan bahwa secara kongkret,
simbol "barat" mengacu pada wujud bumi yang didominasi oleh unsur materi.
"Barat-tengah"
mewakili
alam
astronomis,
sementara
simbol
timur
melambangkan alam atas yang berada jauh di balik yang terindra, yaitu alam yang
tak terjangkau penglihatan. (Nasr, 1964, 65)
Dengan memahami simbolisme geografis ini, akhirnya kita bisa sampai
pada kesimpulan bahwa term-term timur, barat, barat-tengah sejatinya tidak
mengacu pada wilayah tertentu di muka bumi seperti yang berlaku dalam disiplin
ilmu geografi. Tapi semuanya merupakan term khas yang digunakan untuk
memetakan seluruh realitas secara holistik. Realitas luhur yang immateri
dilambangkan dengan kebercahayaan yang berada di "wilayah timur", sedangkan
realitas pekat yang materi dilambangkan dengan kegelapan yang berada di
"wilayah barat".
Dengan melakukan penafsiran yang euristik terhadap simbolisme cahaya
dan kegelapan ini, rasanya tak ada yang menghalangi kita untuk mengatakan
bahwa setiap insan yang menginsafi dan mengutamakan dimensi immaterinya,
berarti ia telah berada di "wilayah timur" dalam simbiolisme geografis-filosofis
Suhrawardi, meskipun secara geografis-empiris ia tinggal di belahan dunia Barat.
Sebaliknya, orang yang tidak menyadari jati diri dan hanya memerhatikan dimensi
materinya, berarti ia berada di "wilayah barat" dalam simbolisme geografisfilosofis Suhrawardi, walaupun secara geografis-empiris ia tinggal di belahan
dunia Timur.
Kesimpulan semacam ini bisa diturunkan dari premis bahwa; orang yang
mengutamakan dimensi immaterinya, adalah orang yang mengeksplorasi potensi
ruhani atau daya kreatif batin yang hanya dimiliki manusia, dan tidak dipunyai
oleh entitas apapun yang menghuni kolong langit ini. Sosok seperti inilah yang
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
48
menyadari betul makna dan tujuan hidup di muka bumi. Sosok seperti ini jelas
berbeda dengan orang-orang yang hanya terpesona dengan dimensi materi dalam
dirinya. Eksploitasi terhadap dimensi "gelap" dalam diri ini sebagian besar—kalau
tidak semuanya—hanya tertuju pada pemenuhan hasrat ketubuhan. Sebuah
eksploitasi yang juga bisa dilakukan oleh entitas-entitas lain yang bersama-sama
manusia turut meramaikan planet yang bernama bumi.
Dengan kata lain, filsafat iluminasi ini telah memperkenalkan kita pada
satu hal yaitu; untuk memperoleh kebenaran yang beriluminasi dari pencahayaanNya, manusia harus menjadi "cahaya" bagi dirinya sendiri. Caranya adalah
dengan menyadari bahwa secara esensial manusia diciptakan sebagai makhluk
yang dianugerahi akal dan hati, rasionalitas dan spiritualitas untuk mencapai
kodrat kemanusiaan dan kebercahayaan dalam dirinya. Manusia adalah cahaya
atau cerminan dari cahaya-Nya. Dengan diri yang bercahaya ini, barulah manusia
bisa merengkuh kesejatian insani yang sesungguhnya, menjadi figur pencerah
bagi dunia, dan memancarkan pesona yang tak habis-habisnya memberi
kedamaian di muka bumi.
Puncak dari filsafat ini adalah keterangan dan kejernihan. Karenanya, tak
ada yang lebih sentral dari cahaya, sebagaimana tak ada yang lebih urgen dari
cahaya. Sebab, meskipun tidak bersifat materi dan tak bisa didefinisikan, cahaya
adalah realitas yang meliputi segala sesuatu dan menembus ke dalam struktur
setiap entitas, baik fisik maupun non-fisik sebagai sesuatu yang esensial dari
entitas itu sendiri.
3.2 Lingkup Bahasan Filsafat Iluminasi
Sebagai bangunan filsafat yang besar dan megah, sudah barang tentu
Suhrawardi membicarakan banyak masalah yang berkembang pada masanya.
Beragam persoalan aktual yang hangat diperbincangkan dalam diskusi-diskusi
filsafat, ia uraikan dalam perspektif iluminasi dengan argumentasi yang logis,
rasional, dan meyakinkan. Dalam hal ini, konsistensi Suhrawardi dalam mengulas
persoalan tersebut dalam bingkai filsafat cahaya rasanya perlu mendapatkan
apresiasi yang sepadan. Sebab, bukanlah perkara mudah untuk bisa menerangkan
pelbagai tema filosofis dengan tetap berpegang teguh pada unsur metafisika dan
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
49
ontologi. Tidak banyak pemikir yang mampu melakukannya dengan baik. Dan,
Suhrawardi adalah satu di antara segelintir pemikir yang mampu melakukannya
dengan gemilang.
Dalam kajian ini, penulis akan coba memberikan sketsa singkat sejumlah
tema besar dalam filsafat ilmunasi yang, menurut hemat penulis, bisa secara
perlahan mengantarkan kita pada pembahasan inti tentang tema epistemologi.
Karena yang menjadi dasar pertimbangan adalah keterkaitan tema tersebut dengan
kajian kita, maka penulis hanya memilih tema-tema tertentu yang memang
relevan, dan menyisihkan tema lain yang kurang, atau tidak berkaitan dengan
kajian ini. Atas dasar itulah, penulis kemudian memilih tema kosmologi (kajian
tentang tema ini sudah penulis lakukan dengan terperinci dalam skripsi yang
berjudul: Mayapada di Mata Sang Iluminasionis) dan psikologi serta
mengakhirinya dengan ulasan singkat tentang epistemologi. Ketiga tema ini
memiliki keterkaitan yang erat jika ditinjau dari sudut pandang tertentu, dan akan
membentuk garis linier yang menghubungkan antara sebuah tema yang bersifat
universal menuju tema yang bersifat partikular. Pemikiran Suhrawardi yang lain,
seperti teorinya tentang Tuhan, visi, intuisi, wujud, dan lain sebagainya sengaja
penulis abaikan dengan alasan, tidak memiliki kaitan yang spesifik dengan kajian
kita, dan hanya akan membuat karya tulis ini menjadi kurang efektif, walaupun
mungkin akan jauh lebih tebal.
Jika hukum logika Aristotelian menyaratkan agar suatu silogisme diawali
dengan premis mayor yang bersifat universal, maka tak ada alasan untuk
dipersalahkan kalau penulis menggunakan hukum yang sama dalam konteks yang
berbeda. Karena yang diambil dari logika Aristotelian itu hanya esensi hukumnya
saja, maka jangan ditafsirkan bahwa ketiga tema yang sengaja dipilih ini sebagai
ketiga premis yang biasa dioperasikan dalam silogisme, meskipun ketiganya
memiliki keterkaitan istimewa. Yang ingin penulis sampaikan hanyalah, ketiga
tema yang dipilih ini memiliki titik kesamaan dengan ketiga premis dalam
silogisme. Tema pertama berfungsi sebagai premis mayor yang berisi keterangan
umum, dilanjutkan dengan tema kedua yang berfungsi sebagai premis minor yang
berisi keterangan khusus, dan diakhiri dengan tema ketiga yang berfungsi sebagai
penjelas kajian ini, bukan sebagai kesimpulan seperti dalam silogisme.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
50
3.2.1 Kosmologi
Masalah pertama yang harus dituntaskan dalam kajian kosmologi tentu
saja adalah bagaimana proses terciptanya alam semesta ini. Bagi para filsuf teis—
khususnya yang beragama Islam, pertanyaan dasar yang harus dijawab bagaimana
cara Tuhan menciptakan alam semesta? Apakah ia tercipta secara spontan sebagai
akibat dari kata "Kun" (Jadilah) seperti yang diceritakan al-Quran ketika Tuhan
menghendaki sesuatu? Atau, adakah proses lain yang sengaja Dia pergunakan
untuk menciptakan alam semesta ini?
Supaya kajian ini tetap berada di atas ranah filosofis dan tidak jatuh
kepada dogma teistik, marilah kita ikuti pemikiran spekulatif Suhrawardi tentang
proses penciptaan alam raya. Menurutnya, Tuhan menciptakan mayapada ini
secara iluminatif. Dengan kata lain, secara keseluruhan, alam semesta merupakan
sebuah proses penyinaran raksasa, di mana semua entitas yang ada, bermula dari
dan bergantung pada Wujud Yang Tunggal atau Nur al-Anwar. Pendapat ini
melahirkan 2 konsekuensi logis yang kelihatannya sulit untuk dipecahkan. [1] Jika
Tuhan menciptakan alam semesta secara iluminatif, berarti alam sama dengan
Tuhan, azali dan abadi. [2] Bagaimana menerangkan keragaman makhluk yang
menghuni alam semesta ini, sementara Tuhan sebagai sumber iluminasi bersifat
Tunggal?
Konsekuensi yang pertama ia hadapi secara konsisten dengan menyatakan
bahwa alam semeta memang bersifat azali dan abadi. Sebab, ia berasal dari Tuhan
yang ada tanpa awal dan kekal tanpa akhir. Namun ia buru-buru meluruskan
bahwa Tuhan dan alam adalah dua entitas yang berbeda. Meskipun alam ini azali
dan abadi, bukan berarti ia mandiri laksana Tuhan. Tuhan tetap lebih dahulu dari
alam, namun keterdahuluan ini bukan dalam aspek ruang dan waktu, sebab
keduanya—ruang dan waktu—ada setelah alam ini ada. Jadi, letak keterdahuluan
Tuhan dari alam adalah pada aspek esensi. Dengan kata lain, esensi Tuhan
mendahului keberadaan esensi alam. Supaya lebih mudah dipahami, Suhrawardi
kemudian mencontohkan hubungan antara lentera dengan cahayanya. Betapa pun
cahaya langsung ada begitu lentera menyala, dan akan tetap ada sepanjang ada
lentera, kita pasti dengan mudah mengatakan bahwa secara esensial, keberadaan
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
51
lentera lebih dahulu dari cahaya, karena lenteralah yang berfungsi sebagai kausa
prima yang menghasilkan cahaya.
.‫ ﻓﯿﺪوم اﻟﻌﺎﻟﻢ ﺑﺪواﻣﮫ‬،‫ إذ اﻟﻔﺎﻋﻞ ﻻ ﯾﺘﻐﯿﺮ وﻻ ﯾﻨﻌﺪم‬،‫واﻟﻔﯿﺾ أﺑﺪي‬
"‫أن "اﻟﻔﯿﺾ ﻟﻮ دام ﻟﺴﺎوى ﻣﺒﺪﻋﮫ‬
,‫اﻟﺸﻌﺎع‬
.
.‫ ﺑﻞ ھﻮ ﻣﻨﮫ وﺑﮫ‬،‫ﯾﻮﺟﺒﮫ‬
Emanasi adalah proses yang abadi, karena subjeknya tidak pernah berubah
atau tiada. Dan karenanya, alam semesta abadi dengan keabadian-Nya.
Pernyataan yang menerangkan, "Andaikan emanasi itu abadi, ia akan
menyamai penciptanya," tidak dapat dibenarkan. Karena Cahaya yang
Mahamenyala selalu mendahului sinar, sekalipun keberadaan sinar
menjadi petunjuk ke arah eksistensi Cahaya yang mengada sebelum
eksistensi dan ketakberadaannya, atau sebelum ketakberadaan yang
memungkinkannya bereksistensi sesudahnya. Esensi yang terimplikasi
eksistensinya, tidak setara dengan Esensi yang mengimplikasi; ia mengada
dari dan dengan eksistensi-Nya. (Suhrawardi, 1993, 181)
Sukses memberikan argumentasi berikut analogi yang memuskan untuk
menjawab konsekunsi yang pertama, Suhrawardi dengan hati-hati berusaha
menjawab konsenkuensi berikutnya dengan menyatakan bahwa, Tuhan memang
bersifat Esa dan menguasai seluruh cahaya. Dia merupakan Entitas Esa yang
meliputi segala sesuatu, baik yang fisik maupun yang non-fisik.
Sebagai Zat Yang Mahaesa Tuhan memancarkan cahaya pertama yang
disebut Nur al-Aqrab. Proses kemunculan Nur al-Aqrab dari Nur al-Anwar
(Tuhan) tidak dengan cara memisah atau membelah diri. Sebab, pemisahan dan
pembelahan—menurutnya—mengindikasikan
adanya
dualitas.
Untuk
menyederhanakan ilustrasi proses lahirnya Nur al-Aqrab dari Nur al-Anwar ini,
Suhrawardî
mengumpamakannya
dengan
matahari
berikut
cahaya
yang
dihasilkannya. (Suhrawardi, 1993, 137-138) Ilustrasi ini hanya mendekati dan
hanya ditujukan untuk mempermudah pemahaman, mengingat proses iluminasi
yang sesungguhnya sangat abstrak dan sulit dipahami.
Dari Nur al-Aqrab inilah awal keragaman dimulai. Menurut Suhrawardi,
ada dua keragaman yang menjadi cikal keberagaman tak terhingga selanjutnya
yang muncul dari Nur al-Aqrab. [1] Ditinjau dari sifatnya, Nur al-Aqrab ini
memiliki dua sifat. Bagi dirinya ia bersifat mumkin al-wujud (bisa ada),
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
52
sedangkan bagi cahaya di bawahnya ia bersifat wajib al-wujud (niscaya ada). [2]
Ditinjau dari sisi yang lain, Nur al-Aqrab ini tidak hanya melahirkan cahaya, tapi
juga barzakh (mohon dipahami dalam konteks filsafat iluminasi) sebagai
substansi yang mengantarai antara dirinya dengan cahaya di bawahnya. Barzakh
ini akan terus muncul dan menjadi pengantara antara cahaya yang di atas dengan
cahaya yang di bawahnya. Dengan demikian, Suhrawardi sudah mendapatkan
peluang besar untuk menerangkan alur keragaman yang terjadi di alam semesta.
Proses penyinaran selanjutnya adalah tiap tingkatan cahaya meneruskan
cahaya yang dimilikinya kepada cahaya yang ada di bawahnya. Setiap tingkatan
cahaya juga menerima satu kali pancaran dari Nur al-Anwar. Karena setiap
tingkatan menerima pancaran cahaya dari tingkatan di atasnya sebanyak yang
dimiliki, dan ditambah satu kali pancaran dari Nur al-Anwar, otomatis, semakin
rendah tingkatan cahaya, semakin banyak pancaran yang dimiliki, namun semakin
rendah intensitasnya. Semakin rendah intensitas cahaya, semakin berkurang juga
dimensi immaterinya, dan semakin pekat dimensi materinya.
Peluang untuk menerangkan proses keragaman ini dimanfaatkan dengan
sempurna oleh Suhrawardi dengan menyatakan bahwa, proses penyinaran tersebut
tidak hanya bersifat rasional—bukan temporal, tapi juga tidak hanya membentuk
garis lurus ke bawah secara vertikal, tapi juga menghasilkan cahaya yang
memanjang membentuk garis horizontal.
.
.
.
.‫ ﻣﺎ ﺣﺼﻠﺖ أﻧﻮاع ﻣﺘﻜﺎﻓﺌﺔ‬،‫ وﻟﻮﻻ ذﻟﻚ‬.‫ﻣﺘﻜﺎﻓﺌﺔ‬
"Hendaknya diketahui bahwa fenomena hierarkis al-Anwar al-Qahirah
yang satu dengan yang lain bersifat rasional, bukan temporal. al-Anwar alQahirah ini tidak akan mampu dihitung dan dipastikan oleh umat manusia.
Cahaya ini juga tidak hanya memanjang secara vertikal semata, akan tetapi
juga berimbang (secara horizontal). Ini dikarenakan modalitas-modalitas
kebercahayaan Cahaya Tinggi yang plural atau persekutuan antara yang
satu dengan yang lain memungkinkan lahirnya al-Anwar al-Qahirah alMutakafi'ah. Sebab, tanpa mereka tidak akan muncul genus-genus yang
berimbang." (Suhrawardi, 1993, 178)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
53
Hierarki memanjang ke samping (hierarki horizontal) ini memiliki sistem
yang berbeda dengan hirarki vertikal seperti diterangkan di atas. An-Anwar alQahirah vertikal ini merupakan hasil tidak langsung dari hierarki vertikal dalam
struktur piramida iluminasi. Derajat cahaya dalam hierarki ini setara dan bersifat
plural. Suhrawardî menyebutnya dengan al-Anwar al-Mutakafiah atau Arbab alAshnam, (Suhrawardi, 1993, 178) yang artinya adalah cahaya-cahaya ini
merupakan pelindung dari genus-genus yang ada di alam nyata. Dengan kata lain,
segala sesuatu yang ada di dunia ini, memiliki kembaran di alam malakut.
Setelah sukses menerangkan proses terjadinya keragaman di alam semesta,
berarti satu-satunya masalah yang tersisa adalah menjelaskan proses metamorfosa
dari cahaya yang immateri sehingga tercipta materi di alam semesta ini. Bagi
Suhrawardi, masalah ini tidaklah sulit untuk dipecahkan. Seperti diterangkan di
atas bahwa semakin rendah tingkatan cahaya, semakin banyak pancaran yang
dimiliki namun semakin rendah intensitasnya, demikian jugalah proses
terciptanya materi. Artinya, materi tercipta karena semakin jauh cahaya dari
Tuhan, semakin kecil intensitas dan kemurniannya, dan semakin minim pula
unsur imaterinya, sehingga lama kelamaan, semakin jauh suatu cahaya dari
Tuhan, semakin dominan unsur materialnya, sehingga pada titik tertentu itulah,
lahirlah benda-benda materi seperti yang berserak di alam semesta.
Terakhir, Suhrawardi menyatakan bahwa berdasarkan refleksi filosofisnya,
ada 4 alam yang menyusun sistem kosmologi. [1] Cahaya Dominator yang oleh
Suhrawardi disebut al-Anwar al-Qahirah. Ini merupakan alam cahaya murni yang
rasional dan benar-benar terbebas dari unsur materi. Menurut al-Syahrazuri dalam
catatan kaki Hikmah al-Isyraq, alam ini dihuni oleh tentara Tuhan yang terdiri
dari para malaikat yang dekat dengan-Nya dan hamba-Nya yang luhur. [2] Cahaya
Pengatur yang ia sebut al-Anwar al-Mudabbirah. Ini adalah alam cahaya bintangbintang dan kemanusiaan. [3] Dua Barzakh yang ia sebut Barzakhan. Barzkah
pertama adalah alam materi yang berisi data-data indrawi. Sedangkan barzakh
kedua barzakh kosmik yang berisi bintang-bintang dan unsur-unsur elementer
yang memuat esensi-esensi terstruktur. [4] Citra dan Imajiner yang ia sebut
sebagai al-Asybah al-Mujarradah. Di alam inilah, proses pembangkitan jasmani
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
54
berikut semua balasan yang dijanjikan dalam risalah kenabian akan terlaksana.
(Suhrawardi, 1993, 232-235)
3.2.2 Psikologi
Setelah memahami teori kosmologi iluminasi yang dalam kajian ini kita
posisikan sebagai "premis mayor", mari kita persempit kajian ini dengan
mengambil manusia sebagai satu di antara sekian banyak entitas penghuni alam
semesta dan kita jadikan sebagai "premis minor". Penulis yakin, kajian tentang
manusia bisa menjadi "premis minor" karena dalam ralitas keseharian, pencitraan
manusia sebagai mikrokosmos, miniatur yang mewakili pruralitas alam semesta
sebagai makrokosmos sudah bukan istilah yang baru. Sayangnya, penulis tidak
bisa menyajikan pembahasan tentang filsafat manusia secara utuh, namun hanya
akan mengambil salah satu unsur penting sekaligus yang membuatnya sebagai
makhluk unik dan istimewa, yaitu unsur kejiwaaannya saja. Dengan kata lain,
pasal ini hanya akan mengupas teori iluminasi tentang jiwa atau psikologi.
Alasan lain mengapa penulis hanya mengupas masalah psikologi ini
adalah, karena masalah ini berkaitan secara signifikan dengan masalah
epistemologi. Bahkan bisa dikatakan kalau Suhrawardi membangun konsep
epistemologinya atas dasar psiklogi. Jadi, masalah jiwa dan mental ini memainkan
peranan penting yang harus betul-betul dipahami dalam teori Suhrawardi tentang
ilmu pengetahuan.
Secara runtut, uraian tentang jiwa dalam Hayakil al-Nur, dimulai dengan
pembuktian keberadaannya. Baginya, bukti paling sahih atas keberadaan jiwa
adalah fakta bahwa manusia sepanjang waktu tidak pernah lupa dan alpa tentang
esensinya, tentang jati dirinya. Pada waktu-waktu tertentu, manusia boleh saja
lupa akan organ fisiknya, tapi tak ada jeda di mana manusia lupa akan
kediriannya. Itulah sebabnya, mengapa esensi manusia sejatinya bersifat spiritual,
bukan material. Jadi, tegas Suhrawardi, ketika manusia berkata "Aku," identitas
yang ditunjuk sebenarnya jauh lebih tinggi daripada setiap wujud material
manusia. (Suhrawardi, 2003, 51)
Sesuai dengan prinsip iluminasi, Suhrawardi meyakini jiwa manusia itu
adalah cahaya suci yang kekal, selalu hidup, tetap, tak dapat dibagi atau dianalisa.
Hal ini terjadi karena jiwa berasal dari Tuhan Yang Mahakekal dan Mahamutlak.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
55
Dengan tegas Suhrawardi mendefiniskkan jiwa sebagai salah satu cahaya Tuhan
yang tidak memiliki dimensi dan tidak bertempat. Ia terbebas dari ruang dan
waktu. Ia bukan bagian dari dunia ini dan juga bukan bagian dari selainnya. Ia
tidak bergantung kepada dunia tapi juga tidak terbebas darinya. Ia terbit dari
Tuhan dan akan terbenam di dalam-Nya. Jiwa adalah misteri tak terungkap dalam
hadis qudsi yang berbunyi, "Aku adalah perbendaharaan tersembunyi. Aku ingin
dikenal, maka Kuciptakan makhluk." (Suhrawardi, 2003, 54-55)
Dari definisi yang sangat ideal sekaligus abstrak ini, sangat sulit bagi kita
untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang jiwa seperti yang dikonsepsikan
oleh Suhrawardi. Yang bisa kita lakukan mungkin hanyalah memberikan
penilaian bahwa, Suhrawardi sejatinya ingin menarik garis demarkasi yang tegas
antara dimensi materi manusia yang diwakili oleh jasad kasar yang fana dan
senantiasa berubah, dengan dimensi immateri yang halus dan tak dapat dicandra.
Apabila mengamati garis demarkasi ini, kemudian menelaah paparanpaparan Suhrawardi selanjutnya, akan terlihat bahwa filsuf iluminasi ini
nampkanya lebih cenderung berpandangan spriritualis-idealis walaupun tidak
terlalu ekstrem. Penulis berani melakukan justivikasi semacam ini karena
Suhrawardi tidak ragu untuk mengacu dimensi immateri (baca: jiwa) di balik kata
"Aku" yang diucapkan oleh seseorang. Ia tidak memberikan porsi yang berimbang
antara dimensi jiwa dan dimensi raga di balik kata tersebut.
Esensi, seorang "aku" dalam pernyataan Anda tentang "aku" adalah
sesuatu yang tak dapat dibagi, tetap, dan kekal. Oleh karena itu, esensi
Anda bersifat non-material, dan tidak mungkin merupakan bagian dari
wujud material. (Suhrawardi, 2003, 52)
Sesudah menyatakan jiwa bersifat kekal, Suhrawardi dengan segera
menyatakan bahwa kekekalan jiwa berbeda dari kekekalan Tuhan. Menurutnya,
orang yang mengatakan jiwa manusia kekal dan mandiri layaknya Tuhan, takkan
bisa menjawab pertanyaan "Siapa yang memisahkan jiwa dari tempat sucinya, lalu
memasukkannya ke dalam alam kehidupan ini, lalu mengambilnya dari dunia ini
untuk dibawa ke alam kematian dan kegelapan?" Ingat, seorang bayi yang baru
lahir tidak memiliki daya untuk menarik jiwa dari alam cahaya, alam kesucian.
Hanya Tuhanlah yang memindahkan jiwa itu dari alam kesucian ke dalam jasad
manusia, katika jasad tersebut sudah memiliki potensi untuk menerimanya. Dan,
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
56
Dia jugalah yang akan memindahkannya kembali dari tubuh manusia menuju
alam cahaya. Tentang hal ini ia menulis:
Seperti Anda ketahui, api dari sebuah korek api tidak kehilangan apa pun
ketika menyulut sesuatu yang mudah terbakar. Jiwa akan masuk ke dalam
jasad, jika jasad mempunyai potensi untuk menerimanya, tanpa
menyebabkan kekurangan kepada Yang Memindahkan jiwa kepada jasad
itu. (Suhrawardi, 2003, 61)
Walaupun diciptakan dan berasal dari Zat Yang Tunggal, bukan berarti
jiwa manusia itu tunggal. Menurut Suhrawardi, jiwa sama dengan jasad, ia
bersifat majemuk dan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Alasannya, jika
jiwa yang dimiliki manusia tunggal dan sama, praktis, sesuatu yang diketahui
seseorang juga pasti diketahui oleh orang lain. Tapi tidaklah demikian faktanya.
Jelasnya, sebagaimana Tuhan mengiluminasikan jasad yang berbeda-beda
terhadap manusia, Dia juga mengiluminasikan jiwa yang berbeda antara yang satu
dengan yang lain. Dengan kata lain, kuantitas dan tingkat kemajemukan jiwa
berbanding lurus dengan kuantitas dan jumlah manusia. Jadi, setiap manusia
hanya memiliki satu jiwa yang aktif dan menjadi daya bagi dirinya sendiri.
Sebagai daya hidup yang mengatur tubuh manusia, menurut Suhrawardi,
jiwa memiliki daya lahir dan daya batin. Daya lahirnya tercermin dari pancaindra
yang bisa diketahui secara empiris melalui indra peraba, perasa, pencium,
pendengar, dan penglihat. Sedangkan daya batinnya adalah: [1] Daya Imajinasi.
Ini adalah daya yang berfungsi mengabadikan kesan-kesan yang ditangkap oleh
indra luar. [2] Daya Pikir. Ini adalah daya yang berfungsi menganalisa, menyusun,
menyeleksi, mengafirmasi, serta menyimpulkan kesan-kesan yang masuk. [3]
Daya Estimasi. Ini adalah daya yang membawa pada khayalan dan ilusi yang
dalam cara kerjanya seringkali bertentangan dengan daya pikir. Suhrawardi
mencontohkan rasa takut yang merayap ke dalam hati saat seseorang dibiarkan
bersama jenazah. Daya akal pasti membuat seseorang tenang, karena secara
faktual orang yang sudah mati memang tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang
yang masih hidup. Sayangnya, daya estimasi memainkan tipu dayanya terutama
berkaitan dengan hal-hal yang tidak dapat dicerap dengan jelas oleh indra. [4]
Daya Memori. Ini adalah daya yang menyimpan dan mengingat semua yang telah
terjadi. (Suhrawardi, 2003, 55-57)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
57
Semua daya ini, lanjut Suhrawardi, mengambil tempat tertentu dalam otak
yang saling terpisah antara yang satu dengan yang lain. Sehingga, ketika terjadi
gangguan pada salah satu tempat di mana suatu daya berada, gangguan itu hanya
merusak daya yang berada di tempat tersebut, sementara daya yang berada di
tempat atau bagian lain dalam otak, tetap aman, tidak terpengaruh, dan bisa
menjalankan fungsinya dengan baik. (Suhrawardi, 2003, 57) Pada titik ini pun kita
akan kesulitan menghayalkan di mana posisi persis suatu daya mengambil
tempatnya dalam otak, atau bahkan, apakah otak yang dimaksud oleh Suhrawardi
adalah otak dalam pengertian empiris yang bertempat di balik tengkorak kepala,
atau bukan. Kita tidak bisa secara lugas memastikan bahwa otak yang dimaksud
Suhrawardi adalah otak dalam pengertian yang empiris. Mengapa? Karena di
muka penulis sudah mengutipkan pernyataan Suhrawardi yang menegaskan
bahwa jiwa merupakan dimensi immateri yang tidak menempati dimensi ruang
dan waktu sehingga tidak bisa dikuantivisir dan dianalisa.
Beralih dari polemik rumit yang sulit untuk diselesaikan ini, marilah kita
ambil salah satu uraian yang secara langsung bisa mengantarkan kita pada tema
selanjutnya, yaitu tema epistemologi. Uraian itu terletak pada pembagian daya
yang dimiliki jiwa, yaitu dan daya lahir dengan kelima pancaindranya dan daya
batin dengan keempat potensinya. Sebab, kedua daya inilah yang memiliki
premis-premis khusus yang berkaitan dengan konsep ilmu pengetahuan. Di
samping itu, kedua daya itu jugalah yang berperan besar dalam semua tindak
mengetahui manusia.
3.2.3 Epistemologi
Konsep epistemologi dalam filsafat iluminasi lazim disebut ilmu hudhuri.
Ini adalah terminologi khas yang hanya ada dalam filsafat iluminasi. Oleh sebab
itulah, penulis secara bergantian menggunakan istilah ini—epistemologi iluminasi
atau ilmu hudhuri—karena mengacu pada modus ilmu pengetahuan yang hanya
digagas oleh Suhrawardi. Penulis sama sekali tidak khawatir kedua istilah tersebut
dipahami secara berbeda karena dua alasan.
Pertama, konsep ilmu hudhuri hanya ada dalam filsafat iluminasi dan
tidak dijumpai dalam aliran filsafat lain. Walaupun mungkin ada dalam sistem
filsafat lain, tidak ada penamaan yang spesifik sebaga ilmu hudhuri seperti yang
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
58
dilakukan oleh Suhrawardi. Dengan kata lain, tokoh yang pertama dan paling
berhak menggunakan istilah ilmu hudhuri adalah Suhrawardi sang pencetus
filsafat iluminasi. Para pemikir setelahnya yang juga membahas modus
pengetahuan jenis ini, tak lebih dari sekadar memperluas atau menambahkan
unsur-unsur tertentu dalam spesies pengetahuan tersebut.
Kedua, kajian ini secara spesifik mencantumkan nama Suhrawardi, dengan
begitu berarti konsep epistemologi dalam kajian ini hanya mengacu kepada teori
yang ia paparkan, tidak mengacu kepada tokoh selain dirinya yang juga
mengembangkan konsep epistemologi yang sama. Katakan misalnya Mulla
Shadra. Walaupun filsuf yang memiliki nama asli Shadruddin al-Syirazi ini juga
menganut aliran iluminasi dan membicarakan ilmu hudhuri, akan tetapi, dalam
kajian ini setiap kali di dikutip atau disinggung, penulis pasti menyebutkan
namanya. Dengan begitu, pembaca takkan pernah merasa rancu sedang menelaah
konsep siapa.
Selain Mulla Shadra. Nasiruddin al-Thusi juga tercatat sebagai eksponen
utama ilmu hudhuri. Prestasinya dalam epistemologi ini terletak pada uraiannya
tentang pengetahuan Tuhan mengenai diri-Nya sendiri dan pengetahuan-Nya
mengenai alam semesta. Dalam komentarnya terhadap Ibnu Sina, kepedulian
Thusi yang utama adalah menjawab pertanyaan, "Bagaimanakah Tuhan sebagai
Wujud Niscaya yang juga bersifat niscaya dalam tindakan pengetahuan-Nya,
mengetahui emanasi-Nya?" Dalam kajian ini, penulis sengaja tidak menyinggung
Thusi sama sekali karena teori ilmu hudhuri yang ia utarakan terlalu jauh dan sulit
dipahami.
Teori tentang epistemologi ini merupakan teori yang paling banyak
dibicarakan Suhrawardi dalam karya-karyanya, berbeda dengan teori-teori lain
seperti kosmologi atau psikologi—seperti penulis contohkan di atas. Dalam
Hikmah al-Isyraq, spesies pengetahuan ini hampir selalu dikaitkan dengan konsep
epistemologi dalam filsafat peripatetik yang sangat populer pada masa
Suhrawardi. Namun penulis sengaja tidak mengupas teori epistemologi aliran
tersebut kecuali sangat diperlukan. Jadi, penulis berusaha memilah dan
memaparkan epistemologi iluminasi seperti yang digagas Suhrawardi, tanpa harus
disandingkan dengan epistemologi peripatetik.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
59
Menurut Yazdi, ajaran Suhrawardi tentang spesies pengetahuan ini
ditandai oleh ciri intrinsik "swaobjektivitas", baik dalam mistisisme maupn dalam
manifestasi lain dari pengetahuan ini. Alasannya, sifat esensial pengetahuan ini
adalah bahwa realitas kesadaran dan realitas yang disadari oleh diri secara
eksistensial adalah satu dan sama. Dengan mengambil hipotesis kesadaran diri
sebagai contoh, Suhrawardi mengemukakan bahwa diri haruslah sepenuhnya
sadar akan dirinya tanpa perantaraan representasi. (Yazdi, 200369)
Analisis Yazdi barangkali didasarkan pada tulisan Suhrawardi yang
menceritakan proses "penemuan" ilmu hudhuri. Sebuah proses yang tidak hanya
unik, tapi pada batasan-batasan tertentu bisa dikatakan sebagai kurang logis, dan
menyimpang dari proses penemuan spesies ilmu pengetahuan jenis lain. Betapa
tidak, Suhrawardi secara jelas menyatakan bahwa setelah sekian lama dirundung
kerisauan intelektual seputar masalah ilmu pengetahuan, ia akhirnya mendapatkan
jawaban memuaskan dalam dialog imajiner dengan Aristoteles yang ia lakukan
dalam keadaan tertentu yang sangat sulit, bahkan sekalipun untuk dikhayalkan.
Suhrawardi
menyebut
keadaan
itu
sebagai
Syibh
al-Naum.
Yazdi
menerjemahkannya sebagai trance mistic. Sedangkan Ziai menyebutnya dengan
dream vision. Secara literal, kata Syibh al-Naum mungkin bisa diterjemahkan—
bukan diartikan—dengan "Setengah Sadar".
Dalam al-Talwihat pasal ke-55 yang berjudul Hikayah wa Manam (Kisah
dan Tidur), Suhrawardi menghabiskan beberapa halaman untuk mengisahkan
pertemuan dan dialog imajinernya dengan Aristoteles. Dalam dialog tersebut,
Suhrawardi mengemukakan sejumlah pertanyaan tentang masalah epistemologi,
di antaranya, apakah pengetahuan sejati itu? Bagaimanakah cara memerolehnya?
Apa yang dikandungnya? Dan, bagaimana ia dinilai? Menjawab ragam pertanyaan
ini, Aristoteles menjawab, "Kembalilah kepada dirimu sendiri. Jika itu kau
lakukan, engkau pasti menemukan jawaban yang benar bagi pertanyaanmu."
(Suhrawardi, 1993, 70). Atas dasar inilah Suhrawardi kemudian membangun
suatu pemikiran tentang ilmu pengetahuan yang dilandaskan pada pengetahuan
diri, kesadaran diri.
Meskipun akar ilmu hudhuri diperoleh dalam suatu dialog imajier yang
dilaksanakan dalam keadaan setengah sadar, bukan berarti modus pengetahuan ini
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
60
hanya bisa dioperasikan dalam keadaan persis seperti ketika Suhrawardi
mendapatkannya. Tidak, sama sekali tidak. Ilmu hudhuri didasarkan sepenuhnya
pada dimensi pengetahuan manusia yang identik dengan status ontologis wujud
manusia itu sendiri. Suhrawardi pada dasarnya tetap berusaha memberi landasan
kesadaran intelektual kita maupun pengalaman keindraan kita dengan analisis
filosofis yang mendalam. Memang, istilah "kehadiran" atau "kesadaran dengan
kehadiran" bisa kita temui juga dalam karya-karya Plotinus, dan juga paparanpaparan filosofis Neoplatonis lainnya. Meskipun demikian, pertanyaan, mengapa
bentuk kesadaran ini harus menempati posisi pertama dalam realitas diri
individual, merupakan suatu masalah yang tidak secara tuntas diulas dalam batang
tubuh filsafat Neoplatonis
3.3. Klasifikasi Ilmu
Sepanjang melakukan kajian terhadap teori ilmu pengetahuan dalam
filsafat iluminasi, ada dua fenomena menarik yang penulis dapatkan dan layak
untuk diluruskan. Pertama, banyak sarjana modern yang mengulas masalah ini
seolah terjebak dalam salah satu aspek ilmu pengetahuan dalam filsafat iluminasi
saja, dan terkesan acuh pada aspek yang lain. Perhatian mereka seolah tersita oleh
terminologi ilmu hudhuri yang dikemukakan oleh Suhrawardi. Terminologi ini
ibarat magnet yang memiliki kekuatan dahsyat sehigga bisa menarik minat para
pengkaji terpusat kepadanya.
Penulis tidak menyalahkan ketertarikan mereka, mengingat teori ilmu
pengetahuan yang disebut dengan ilmu hudhuri itu memang unik dan mencirikan
originalitas pemikiran Suhrawardi, sekaligus memiliki sejumlah perbedaan
dengan epistemologi yang lain. Hossein Ziai misalnya, ketika menuliskan hasil
penelitiannya terhadap pemikiran Suhrawardi, ia menghabiskan hampir sebagian
besar halaman bukunya untuk menguraikan masalah-masalah yang berkaitan
dengan aspek intuitif dalam bangunan filsafat Suhrawardi, sehingga nyaris tak ada
halaman yang tersisa untuk menjelaskan aspek yang empiris.
Fenomena yang sama juga dilakukan oleh Amroeni Drajat saat ia
mengulas konsep cahaya dalam filsafat iluminasi. Sangat kentara sekali betapa ia
berusaha mati-matian untuk menjelaskan pelbagai istilah tak konvensional yang
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
61
digunakan Suhrawardi dalam bangunan filsafatnya. Seperti menerangkan bahwa
konsep anggelologi yang kental aroma Zoroaster tidak bisa dijadikan alasan untuk
menganggap
Suhrawardi
telah
kafir,
atau
menilainya
telah
berusaha
menghidupkan kembali tradisi agama-agama Persia kuno agar bisa berdampingan
dengan Islam.
Hal yang serupa juga terjadi pada Asmuni ketika ia menulis disertasi
tentang konsep kesatuan mistik dalam filsafat iluminasi. Walaupun konsep
kesatuan mistik ini berada dalam wilayah ontologi dan metafisika, tapi menurut
hemat penulis, tidak adil jika dalam menguraikan konsep itu, kita kemudian
terjebak dalam argumen-argumen religius yang sarat dengan nilai-nilai yang harus
diterima secara langsung karena bersumber pada teks-teks suci. Teknik
penguraian seperti ini, di satu sisi memang mumpuni untuk memberikan
legitimasi logis bagi pemikiran filosofis yang sampai sekarang banyak ditolak
oleh kalangan masyarakat Islam. Namun di sisi lain, sangat potensial untuk
memenjarakan pemikiran filsafat Suhrawardi dalam busana kaegamaan yang
hanya bisa dinikmati oleh umat Islam.
Padahal dalam beberapa bagian dalam bukunya, Suhrawardi menegaskan
bahwa teori-teori yang ia paparkan bersifat universal dan perenial. Dan, kebenaran
semacam ini, menurutnya, bersifat abadi serta memiliki juru bicara sepanjang
masa. Ia kemudian mencontohkan Plato, Aristotels, Hermes, Empedokles,
Phytagoras, Aghasademon, Ascleptus, masih banyak yang lain sebagai juru bicara
di belahan Barat, sedangkan Jamasf, Zarathustra, Buzurjumhr, Zoroaster, dan lainlain sebagai juru bicara di belahan Timur. Menurut Suhrawardi, semua juru bicara
tersebut hakikatnya menyampaikan kebenaran yang sama, perbedaannya hanya
terletak pada cara meredaksikan pesan-pesan kebenaran itu sendiri.
Uraian yang berat sebelah yang dicirikan dengan besarnya porsi bagi
dimensi mistik-intuitif ini berakibat pada lahirnya fenomena yang kedua. Yaitu
mengkristalnya pandangan bahwa Suhrawardi lebih sebagai mistikus daripada
seorang filsuf. Kristalisasi pandangan inilah yang kemudian, seperti disinggung di
muka, membuat sejumlah pengkaji merasa kurang tertarik pada pemikiran
Suhrawardi karena menganggapnya sebagai ungkapan-ungkapan imaginatifspirirual yang bersifat subjektif dan hampir mustahil diterangkan secara filosofis.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
62
Kedua fenomena inilah yang harus kita luruskan karena memang tidak
mencerminkan pemikiran Suhrawardi yang sebenarnya. Karena bagi penulis,
Suhrawardi tidak berbeda dengan para filsuf besar lain dalam menguraikan
pandangan-pandangan filosofisnya. Bahkan pada titik-titik tertentu, ia lebih cerdas
dan pandangannya lebih maju dibandingkan para pemikir yang hidup jauh
setelahnya.
Dengan kata lain, Suhrawardi tidak semata-mata menggunakan instrumen
intuitif dalam membangun pemikiran filsafatnya secara umum, dan menggagas
konsep epistemologinya secara khusus. Akan tetapi, ia juga menggunakan
instrumen empiris dengan data-data indrawi atau objek-objek fisik yang bisa
diindra. Bahkan kalau mau teliti, kita akan mendapatkan bahwa Suhrawardi
sejatinya mengombinasikan kedua instrumen itu secara selaras dan indah dalam
stuktur bangunan filsafatnya.
Sebagai misal, untuk memudahkan pembacanya dalam memahami konsep
ilmu hudhuri yang diperoleh melalui kesadaran dan bukan melalui representasi
objek, Suhrawardi dengan lincah berhasil mengolah pengalaman eksistensial
manusia akan rasa sakit—yang bersifat mental, yang ditimbulkan oleh pelbagai
faktor, dan salah satunya adalah karena cedera—yang bersifat empiris. Dalam alMaysari' wa al-Mutharahat dia menulis:
‫ﺤ‬
‫ إن اﻹﻧﺴﺎن ﯾﺘ‬،‫اﻟﻤﺪرك‬
،‫ﺑﺄن ﺗﻔﺮﯾﻖ اﻹﺗﺼﺎل ﯾﺤﺼﻞ ﻟﮫ ﺻﻮرة أﺧﺮى ﻓﻲ ذﻟﻚ اﻟﻌﻀﻮ أو ﻓﻲ ﻏﯿﺮه‬
‫ﻰ‬
.
.‫ﺣﺼﻮل ذاﺗﮭﺎ ﻟﻠﻨﻔﺲ أو ﻷﻣﺮ ﻣﺎ ﺗﻌﻠﻖ ﺣﻀﻮري ﺧﺎص ﺑﺎﻟﻨﻔﺲ‬
Salah satu yang menguatkan pendapat kami bahwa kita mempunyai
kesadaran yang tidak memerlukan representasi selain dari kehadiran
realitas sesuatu yang disadari adalah, saat seseorang merasa sakit karena
teriris atau mengalami kerusakan pada organ tubuhnya. Saat itu, ia
mempunyai perasaan tentang kerusakan ini, namun perasaan atau
kesadaran ini tidak pernah terjadi dengan cara yang sedemikian rupa
hingga kerusakan itu meninggalkan bentuk representasi dirinya dalam
organ tubuh yang sama atau dalam organ lain di samping realitas dirinya.
Yang disadari hanyalah kerusakan itu sendiri. Inilah yang benar-benar bisa
diindra dan bertanggung jawab atas rasa sakit itu, bukan representasinya,
yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Ini membuktikan bahwa, di antara
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
63
hal-hal yang kita sadari, ada beberapa hal yang cukup disadari dengan
menerima realitasnya dalam pikiran atau dalam agen yang hadir dalam
pikiran. (Suhrawardi, 1993, 485)
Berdasarkan kutipan singkat ini, kita bisa mengembangkan dua analisa
atau penilaian yang akan bergerak pada dua sisi yang berbeda. Pertama, dengan
memusatkan perhatian pada rangkaian-rangkaian kalimat pembuka dan tidak
dikecohkan oleh contoh empiris dalam rangkaian kalimat-kalimat berikutnya, kita
akan
sampai
pada
kesimpulan
bahwa
Suhrawardi
telah
menggunakan
perumpamaan yang bersifat empiris—yaitu rasa sakit pada luka, untuk
menerangkan teorinya yang bersifat non-empiris—yaitu ilmu hudhuri. Sejenis
pengetahuan yang hanya diperoleh melalui kesadaran.
Kedua, dengan menganalisa pengalaman empiris tentang rasa sakit,
Suhrawardi sejatinya ingin mengajukan pertanyaan: Apa yang sebenarnya
membuat kita menderita ketika mengalami rasa sakit karena luka pada bagian
tubuh kita—tangan misalnya—atau dalam bahasanya sendiri, karena representasi
dari luka itu?
Dalam rangkaian kalimat "Saat itu, ia mempunyai perasaan tentang
kerusakan ini, namun perasaan atau kesadaran ini tidak pernah terjadi dengan
cara yang sedemikian rupa hingga kerusakan itu meninggalkan bentuk
representasi dirinya dalam organ tubuh yang sama atau dalam organ lain di
samping realitas dirinya. Yang disadari hanyalah kerusakan itu sendiri. Inilah
yang benar-benar bisa diindra dan bertanggung jawab atas rasa sakit itu, bukan
representasinya, yang disebabkan oleh dirinya sendiri," Suhrawardi seolah ingin
mengatakan bahwa, adalah absurd untuk melemparkan kesalahan pada data
indrawi atau representasi dan kemunculan pengalaman rasa sakit, sementara
realitas rasa sakit mutlak hadir dalam pikiran yang menderita, yang semuanya
hadir dalam pikiran itu.
Dengan kata lain, adalah kenyataan fisiologis bahwa perasaan seseorang
akan luka pada tangannya, tak lain adalah pengenalannya dengan luka pada
tangan itu sendiri, bukan dengan representasi atau data indrawi tentang luka
tersebut. Sebuah luka pada tangan kita jelas tidak sama dengan goresan pada meja
yang sedang saya kita dan kita sentuh. Dalam pengalaman yang tentang meja, bisa
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
64
dipahami jika dikatakan bahwa di depan meja kita, kita memperoleh data indrawi
yang membentuk penampakan meja kita, baik warnanya atau bentuknya.
Akan tetapi, dalam "kehadiran" realitas suatu luka pada tangan, hampir
tidak ada artinya mengatakan bahwa kita berkenalan dengan data indrawi yang
membentuk penampakan tangan kita yang luka, warnanya, bentuknya,
bengkaknya, dan lain sebagainya. Apakah semua ini benar-benar menjelaskan rasa
sakit kita? Tidak sama sekali! Memang, kita bisa melihat dan menyentuh tangan
kita yang terluka dari luar dan mengenal data indrawi yang membentuk
penampakan luka pada tangan kita, seperti yang dilakukan oleh dokter, tetapi
pengenalan semacam ini tak sama dengan pengenalan kita dengan rasa sakit itu
sendiri. Jelasnya, pengenalan kita terhadap rasa sakit itu benar-benar berbeda
dengan pengenalan kita terhadap luka yang ada pada tangan kita. Kalau
pengenalan kita terhadap luka di tangan itu bisa dilakukan oleh indra, lantas,
bagaimana kita mengenal rasa sakit yang kita alami sekiranya pengenalan
terhadapnya tidaklah tertanam dan hadir dalam pikiran kita?
Setelah mengelaborasi instrumen empiris seperti di atas, kita bisa dengan
mudah menangkap maksud Suhrawardi tentang adanya kesadaran atau
pengetahuan dalam diri kita yang tidak diperoleh melalui representasi atau datadata indrawi apapun. Pengetahuan ini hanya terwujud melalui unifikasi
eksistensial yang dalam sistem filsafatnya disebut sebagai ilmu hudhuri. Oleh
karenanya, ilmu hudhuri harus dipahami sebagai pengetahuan yang di dalamnya
realitas objek—dalam hal ini adalah rasa sakit—yang diketahui hadir dalam
pikiran subjek—dalam hal ini yang menderita luka di tangan—yang mengetahui
tanpa representasi atau data-data indrawi atas subjek tersebut.
Setelah memberikan secuplik bukti yang mengukuhkan bahwa Suhrawardi
tidak mengabaikan realitas empiris dalam sistem epistemoginya, mari kita
melangkah maju dengan menelusuri halaman demi halaman dalam magnum opusnya yang berkaitan erat dengan studi yang kita lakukan. Tepatnya, pada
pembagian ilmu pengetahuan menurut Suhrawardi sendiri. Hal ini penting karena
akan memberikan pandangan yang utuh bagi kita bahwa, Suhrawardi ternyata
tidak hanya menggarap bidang metafisika dalam konsep epistemologinya lalu
mengabaikan bidang fisika. Atau, tidak hanya bereksplorasi dalam ranah
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
65
ontologis dan melupakan ranah yang ontis. Atau, tidak hanya menguraikan
masalah yang melangit dan mengacuhkan masalah yang membumi. Dalam
Hikmah al-Isyraq secara jelas ia menulis:
.
‫ﻄ‬
!‫ وھﻮ ﻣﺤﺎل‬،‫ وﻻ ﯾﺤﺼﻞ ﻟﮫ أول ﻋﻠﻢ ﻗﻂ‬،‫ﻣﺎ ﻻ ﯾﺘﻨﺎھﻰ ﻗﺒﻠﮫ‬
Pengetahuan manusia ada yang fitri dan non-fitri. Suatu objek yang belum
diketahui, jika tidak cukup ditangkap dengan isyarat dan getaran instingtif,
tidak bisa dicapai dengan pengamatan saksama seperti yang dilakukan
para ilmuwan agung, pasti membutuhkan instrumen pengetahuan lain
yang secara sistematis bisa membuatnya diketahui, dan berakhir pada
kejelasan yang bersifat fitri. Jika tidak, objek itu menjadi tak terjamah
nalar manusia, sehingga tidak membuahkan pengetahuan sama sekali. Ini
mustahil! (Suhrawardi, 1993, 18).
Untuk mengetahui dua jenis ilmu seperti yang diklasifikasikan Suhrawardi
dalam kutipan ini tidaklah sulit. Yaitu fitri atau kodrati dan non-fitri atau nonkodrati. Namun untuk mengetahui perbedaan mendasar antara kedua jenis ilmu
tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Hal ini terjadi karena: pertama,
dalam lembar-lembar lain dalam karyanya, Suhrawardi tidak pernah memberikan
definisi yang jelas atau pengertian yang tegas seputar kedua jenis pengetahuan
tersebut. Hal ini wajar karena dalam menguraikan suatu masalah, sejauh
penelusuran penulis, Suhrawardi sangat jarang atau bahkan tidak pernah
menggunakan metode definisi. Oleh sebab itulah, dibutuhkan kesabaran yang
tinggi untuk meneliti halaman demi halaman dalam karya-karyanya supaya kita
bisa sampai pada kesimpulan yang valid mengenai hakikat sesuatu yang dibahas,
termasuk juga kedua jenis ilmu di atas.
Kedua, kebiasaan Suhrawardi dalam menguraikan sesuatu dalam kemasan
gaya bahasa bercorak negasi—seperti tergambar dalam uraian mengenai
pengetahuan non-fitri di atas, semakin manambah berat upaya kita dalam
memahami pemikirannya yang dituangkan dalam premis-premis pendek yang
rumit dan terkesan berbelit. Untuk mengatasinya, kita harus mengembangkan pola
pikir positif di balik kalimat-kalimat bercorak negasi tersebut, sembari
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
66
menggunakan instrumen ilmu semantik untuk memahami maksud dari
paparannya.
Dengan menggunakan kedua metode ini, kita bisa memahami makna
pengetahuan fitri seperti yang diinginkan Suhrawardi. Baginya, pengetahuan fitri
adalah jenis pengetahuan yang bersifat pasti, primer, dan badihi (terbukti dengan
sendirinya), serta merupakan dasar bagi seluruh tindak mengetahui itu sendiri.
Komentator Suhrawardi yang bernama al-Syirazi mencontohkan pengetahuan
tentang diri (ilmu bin nafs), pengetahuan tentang Tuhan (ilm al-bari), serta
pengetahuan tentang entitas-entitas jasmani terpisah (ilm al-mujarradat almufaraqah) sebagai jenis pengetahuan yang bisa dikelompokkan ke dalam jenis
pengetahuan ini. Jenis pengetahuan ini disebut pasti dan primer karena ia bersifat
primordial, mempunyai peran utama dalam bentuk dasar intelek, serta implisit dan
inheren bagi seluruh jenis pengetahuan manusia, bahkan merupakan konstituen
utama makna pengetahuan itu sendiri. (Ziai, 1998, 135)
Dari sinilah penulis akan mengawali langkah pertama memperkenalkan
keunikan epistemologi ilmu hudhuri yang dicetuskan oleh Suhrawardi. Dengan
mengklasifikasikan pengetahuan intuitif berikut objeknya yang bersifat imanen
sebagai ilmu pengetahuan kodrati yang bersifat pasti, pandangan filosofis
Suhrawardi sudah berbeda secara diametral dengan Aristoteles yang membangun
pengetahuannya dari realitas empiris dan objek-objek transitif. Namun demikian,
klasifikasi yang dilakukan Suhrawardi tetap didasarkan pada argumen filosofis
yang ketat, dan bukan hanya disandarkan pada egoisme intelektual supaya
berbeda dengan pemikir besar Yunani tersebut.
Bagi Suhrawardi, ketiadaan objek transitif untuk diacu justru merupakan
pijakan kuat untuk menegaskan tingkat kepastian pengetahuan fitri. Mengapa?
Karena ketiadaan objek transitif dalam pengetahuan fitri, bukan berarti
pengetahuan ini tidak memiliki objek. Pengetahuan firti ini juga memiliki objek
sama seperti pengetahuan non-fitri yang akan dibahas kemudian. Namun objeknya
berbeda, bersifat imanen dan tidak transitif dalam dunia empiris-eksternal. Objek
pengetahuan jenis ini bersifat intellegible dan imaginable, tidak sensible. Para
filsuf Muslim biasa menyebut objek semacam ini sebagai ma'qulat. Walaupun
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
67
tidak sama persis, namun objek seperti ini bisa disetarakan dengan dunia idea
Plato—sebuah dunia yang menurutnya bersifat abadi, absolut, dan sempurna.
Dengan mengasumsikan bahwa objek-objek seperti ini berkarakter unik,
sederhana, universal, nonmaterial, dan tak berubah, berarti adalah suatu
keniscayaan untuk menobatkan pengetahuan fitri sebagai pengetahuan sejati.
Sebab, tingkat kepastian dari objek yang diacu sangatlah baku dan sama sekali
tidak mengenal hukum relatifitas atau probabilitas. Objek ini bersifat imanen,
intrinsik, wajib, serta merupakan bagian dari aksi subjek yang mengetahui.
Pengetahuan fitri ini bisa disamakan dengan matematika yang, untuk
memverifikasi kebenaran teorinya, tidak diperlukan objek transitif apapun, tapi
cukup dengan menguji konsistensi-logis dari rumus yang merupakan postulat
dasarnya. Oleh sebab itulah, dalam al-Masyari' wa al-Mutharahat Suhrawardi
menegaskan, untuk menguji tingkat kebenaran dalam pengetahuan ini, tidak
diperlukan instrumen yang bernama korespondensi. Sebuah instrumen yang
menyaratkan adanya kesesuaian antara objek yang diacu dengan pengetahuan
yang didapatkan. Sebab, korespondensi hanya berlaku untuk pengetahuan yang
objeknya bersifat eksternal dan transitif.
:
.‫ﺣﺼﻞ ﻓﻼﺑﺪ ﻣﻦ اﻟﻤﻄﺎﺑﻘﺔ‬
.
:
،‫ ﻓﺈذا ﺣﺼﻠﺖ ﺑﻌﺪ أن ﻟﻢ ﺗﻜﻦ‬،‫اﻟﻤﺬﻛﻮرة‬
.‫ وﻻ ﯾﺤﺘﺎج إﻟﻰ اﻟﻤﻄﺎﺑﻘﺔ‬،‫وھﻮ اﻹﺿﺎﻓﺔ اﻹﺷﺮاﻗﯿﺔ ﻻ ﻏﯿﺮ‬
Tanya: Saat seseorang mengetahui sesuatu, jika tidak mengenal apa-apa,
berarti ia tidak mengetahuinya, tapi jika mengenalnya, berarti harus ada
korespondensi.
Jawab: dalam pengetahuan tentang realitas eksternal memang demikian.
Tapi dalam epistemologi iluminasi yang kita bicarakan, jika seseorang
telah mengenal sesuatu yang sebelumnya tidak ia kenal, berarti ia telah
mengetahuinya. Di sini yang berlaku adalah relasi iluminasi, bukan yang
lain. Jadi, tidak perlu adanya korespondensi. (Suhrawardi, 1993, 489)
Jenis pengetahuan yang kedua adalah pengetahuan non-fitri. Dari
keterangan Suhrawardi di atas, kita bisa dengan jelas mengetahui bahwa jenis
pengetahuan ini berkisar pada objek-objek ekstrinsik, aksidental, tidak hadir
dalam pikiran, dan berada di luar tindak mengetahui. Oleh karenanya, tingkat
kebenaran pada pengetahuan ini benar-benar ditentukan oleh instrumen
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
68
korespondensi. Jika pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan realitas yang
diacu, praktis, pengetahuan itu tidak benar dan harus dikoreksi. Untuk
pengetahuan jenis ini, dalam Hikmah al-Isyraq Suhrawardi secara tandas
menyaratkan korespondensi.
.‫ﻣﻦ ﺟﮭﺔ ﻣﺎ ﻋﻠﻤﺖ ﻓﺎﻷﺛﺮ اﻟﺬي ﻓﯿﻚ ﻣﺜﺎﻟﮫ‬
Jika idea yang memetakan realitas dalam diri Anda tidak sesuai dengan
pengetahuan yang Anda peroleh, berarti Anda harus menyesuaikan
pengetahuan itu dengan idea yang Anda miliki. (Suhrawardi, 1993, 15)
Setelah berhasil membuktikan bahwa pengetahuan non-fitri dengan
segenap objek eksternal empirisnya terjebak pada hukum probabilitas kebenaran
karena tak bisa melepaskan instrumen korespondensi, maka dengan sendirinya tak
ada yang bisa menghalangi Suhrawardi untuk menganggap pengetahuan jenis ini
sebagai pengetahuan biasa yang tidak begitu istimewa. Sebuah pengetahuan yang
tingkat akurasi dan kepastiannya tidak konsisten yang tidak sekokoh jenis
pengetahuan yang pertama.
Dalam dunia modern, jenis pengetahuan non-fitri ini bisa disejajarkan
dengan pengetahuan alam atau pengetahuan sosial yang, hukum, rumus, serta
semua teorinya bersifat relatif, tidak berlaku universal, serta takkan pernah bisa
diangkat kepada keniscayaan logis atau pasti dengan sendirinya. Dengan
demikian, kita bisa menjawab pertanyaan, mengapa teori fisika mekanik Newton
bisa dipatahkan oleh fisika quantum Enstein? Atau, mengapa setelah melalui
rekayasa fisika yang canggih, air tak lagi mendidih pada suhu 100 derajat celcius?
Atau dalam ilmu sosial, mengapa teori sosiologi masyarakat Jawa yang dipetakan
Clifford Geertz bisa dibuktikan tidak benar? Atau, mengapa teori masyarakat ideal
berdasarkan hukum Islam tidak bisa diterapkan di Indonesia, walaupun sukses
diaplikasikan di Saudi Arabia? Lebih spesifik lagi, mengapa undang-undang anti
pornografi dan pornoaksi mustahil diberlakukan secara universal kepada seluruh
penduduk Nusantara?
Semua pertanyaan di atas bisa diatasi dengan memberikan satu jawaban
refleksif-filosofis; yaitu karena semuanya berada dalam lingkup ilmu pengetahuan
non-fitri yang memiliki objek eksternal, transitif, dan empiris. Sebuah
pengetahuan yang karena karakter objeknya sendirilah yang membuatnya takkan
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
69
pernah pasti dan niscaya. Penulis yakin, faktor yang sama jugalah—berkaitan
dengan data-data indrawi yang empiris—yang menyebabkan teori falsifikasi yang
dikemukakan Karl Popper diizinkan untuk mengisi salah satu celah kosong dalam
semarak dunia ilmu pengetahuan.
Sudah barang tentu semua pertanyaan di atas memiliki jawaban spesifik
dengan argumen yang berbeda antara satu sama lain, sesuai dengan wilayah ilmu
pengetahuan di mana pertanyaan-pertanyaan itu biasa dikaji. Seperti wilayah
fisika, kimia, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya. Namun jawaban spesifik
semacam itu hanya berlaku saat kita mengulas ragam persoalan tersebut dalam
disiplin ilmunya masing-masing secara partikular, bukan ketika mengulasnya
secara universal dalam wilayah ilmu filsafat.
3.4. Landasan Historis Ilmu Hudhuri
Dalam bagian kedua karya ini, penulis telah menerangkan sejumlah tokoh
dan teori yang, seperti diakui oleh Suhrawardi sendiri, telah memberikan
pengaruh besar baginya dalam mengembangkan sistem iluminasi. Dengan
demikian, kita mengetahui bahwa filsafat iluminasi bukanlah sebuah mahakarya
yang muncul secara tiba-tiba dari kehampaan. Begitu pun Hikmah al-Isyraq, ia
bukanlah kitab suci yang lahir dari kekosongan sebagai sebuah bentuk kodifikasi
wahyu dari Tuhan. Keduanya—filsafat iluminasi dan Hikmah al-Isyraq—adalah
buah kreativitas anak manusia yang dihasilkan dari kejeliannya dalam merajut dan
meramu pelbagai konsep yang berserak dan berkembang sebelum masanya
sehingga, meskipun telah tampil sebagai sintesa baru yang indah dan memukau,
tetap tidak bisa menghilangkan "bahan dasar" yang merupakan komponen
penyusunnya.
Berdasarkan klaim Suhrawardi bahwa hikmah kebijaksanaan yang ia
kemukakan pada dasarnya adalah sama dan berasal dari Hermes, berarti secara
historis jejak rekam ilmu hudhuri sudah ada jauh berabad-abad sebelum para
filsuf Yunani mensistematisir pemikiran-pemikiran falsafi. Akan tetapi, karena
tidak adanya sumber valid yang bisa memandu kita menelusuri pelik-pelik
pemikiran Hermes yang juga dikenal sebagai Nabi Idris ini, kelihatannya takkan
ada alasan untuk disalahkan jika kita memulai penelitian tentang akar sejarah ilmu
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
70
hudhuri dari tradisi filsafat Greek. Di samping itu, penulis juga yakin bahwa cara
ini relatif bisa diterima oleh para pengkaji pemikiran filsafat karena dua alasan.
Pertama, adalah fakta yang tak bisa dipungkiri bahwa pemikiran filsafat
Yunani dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya tetap dianggap sebagai
dasar bagi semua pemikiran filosofis yang berkembang setelahnya. Besarnya
pengaruh filsafat negeri dewa-dewi ini bisa tercermin dari ungkapan hiperbolik
Alfred North Whitehead dalam pengantar bukunya yang berjudul Process and
Reality. Menurutnya, seluruh tradisi filsafat Eropa tak lain merupakan serangkaian
catatan kaki atas filsafat Plato. (Whitehead, 1979, xiv)
Kedua, kedudukan filsafat Yunani bersifat netral dan bisa diterima oleh
semua golongan. Jadi, memulai kajian sejarah pemikiran filsafat dari periode
Yunani sangat efektif menghilangkan sentimen-sentimen sekterianisme dan
subjektivisme yang masih terpendar dari karya sejumlah pemikir Barat. Bentrand
Russel misalnya, meskipun banyak pemikir modern yang sudah menginsafi arti
penting filsafat Islam, Russell tetap bersikukuh bahwa filsafat Islam tidaklah
penting. Dalam karya besarnya yang berjudul Sejarah Filsafat Barat, ia menulis:
Filsafat Arab, sebagai pemikiran orisinal tidaklah penting. Pemikirpemikir seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd pada dasarnya adalah
komentator... Peradaban Islam pada masa kejayaannya termashur dalam
seni dan keahlian teknis, tetapi tidak menunjukkan kemampuan akan
pemikiran spekulatif yang independen dalam masalah-masalah teoritis.
(Russell, 2002, 567)
Dengan menjadikan filsafat Yunani sebagai latar penelusuran, maka
seperti yang dikemukakan oleh Bagus, serpihan-serpihan epistemologi iluminasi
sejatinya sudah bisa ditemukan dalam kisah terkenal seputar bayangan Plato
dalam gua. (Bagus, 2002, 314) Dalam kisah ini, kita memang bisa menemukan
hampir semua komponen yang digunakan Suhrawardi dalam merangkai teori
epistemologinya, bahkan seluruh pemikiran filsafatnya. Api yang digunakan
sebagai sarana untuk menghasilkan bayangan misalnya, juga termasuk dalam
komponen filsafat iluminasi. Demikian juga kegelapan dalam gua, serta keadaan
yang terang benderang di luar gua. Semua instrumen ini ada dalam karya-karya
Suhrawardi.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
71
Serpihan lain dari filsafat ini juga bisa ditemukan dalam stoisme yang
meyakini bahwa pada manusia terdapat percikan akal universal. Berbeda dari
kisah bayangan gua Plato, akal budi universal dalam stoisme tidak digambarkan
sebagai terang, melainkan sebagai api. (Bagus, 2002, 314)
Kepingan epistemologi hudhuri ini semakin mengkristal di tangan kaum
Neoplatonis pagan yang bermula dari Plotinus dan berakhir pada Proclus.
Pasalnya, merekalah yang memperkenalkan istilah-istilah emanasi, pemahaman
dengan kehadiran, dan pencerahan yang semuanya berfungsi sebagai batu pijakan
teori filsafat Suhrawardi mengenai landasan ontologis tertinggi dari semua
pengetahuan. Kaum Neoplatonis tanpa bisa diragukan lagi telah memberikan
konstribusi besar bagi penyelesaian masalah-masalah penting dalam filsafat, dan
secara khusus memberikan tilikan-tilikan baru ke dalam masalah pengetahuan
mistik berikut pemahaman mengenai Yang Esa dan Kesatuan.
Ketika mengulasan masalah nous—suatu kata yang juga tak ditemukan
padanannya dalam bahasa mana pun—misalnya, Plotinus mengatakan bahwa
nous adalah suatu Ada yang tak memiliki bagian-bagian, tercipta karena yang Esa,
serta bisa mengetahui dirinya sendiri, sehingga yang memandang dan yang
dipandang adalah satu. Menurut Russell, jika kita mengikuti analogi Plato tentang
Tuhan yang dipersepsikan seperti matahari di mana sumber terang dan yang
diterangi adalah sama, maka nous bisa dianggap sebagai cahaya yang dengan itu
yang Esa memandang diri-Nya sendiri. (Russell, 2002, 394)
Lebih lanjut Plotinus menguraikan bahwa nous inilah yang memungkinkan
kita untuk mengenal akal Ilahi yang kita lupakan karena kehendak diri. Untuk
mengenal akal Ilahi, kita harus mengenal jiwa sendiri serta mengesampingkan
jasmani, indra yang memiliki pelbagai hasrat, dorongan, serta kesia-siaan
sehingga yang tertinggal kemudian hanyalah citra intelek Ilahi. Dengan cara inilah
kita baru bisa merasakan kesadaran luar biasa yang tak terungkap dengan katakata.
Mereka yang dirasuki dan diilhami kekuatan Ilahi setidaknya tahu bahwa
mereka memendam sesuatu yang lebih agung di dalam diri mereka, meski
mereka tak dapat mengatakan apakah itu. (Plotinus, Enneads, III, 14)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
72
Menurut Russell, dari ungkapan ini kita bisa menyimpulkan bahwa saat
dirasuki dan diilhami oleh kekuatan Ilahi, kita bukan hanya melihat nous, namun
juga yang Esa. Dan, ketika sedang berinteraksi dengan-Nya, kita tidak bisa
menalar apalagi mengungkapkan visi itu dengan kata-kata. Kita baru mengetahui
telah memeroleh visi itu ketika jiwa memperoleh terang yang berasal dari dan
merupakan Yang Esa itu sendiri. inilah tujuan sejati yang terpapar di hadapan
jiwa. Mendapatkan terang dan menatap yang Esa melalui yang Esa, dan bukan
melalui cahaya dan prinsip lain apapun. Menatap yang Esa yang sekaligus adalah
sarana untuk mendapatkan visi. Sebab, apa yang menerangi jiwa adalah apa yang
juga dilihat olehnya, seperti karena terang matahari itu sendirilah kita melihat
matahari. (Russell, 2002, 395)
Uraian Plotinus mengenai nous sebagai sarana untuk memperoleh ilham
sebagai
bentuk
pertemuan
aktual
dengan
akal
Ilahi
ini
kemudian
mengantarkannya pada uraian mistik yang sangat mendalam tentang ekstase
mistik atau ekstase spiritual seperti yang terungkap dalam tulisannya berikut:
Sudah sering itu terjadi. Terangkat keluar dari tubuh menuju diriku
sendiri; berada di luar segala sesuatu lainnya dan memusat pada diri
sendiri, menyaksikan keindahan luar biasa. Kemudian, lebih daripada
sebelumnya, merasa yakin berpadu dengan tertb tertinggi. (Plotinus,
Enneads, IV, 8)
Ekstase mistik seperti yang dialami Plotinus ini sangat populer di kalangan
penganut asketisme (baca: kaum sufi) dalam Islam pada abad-abad pertengahan.
Salah satu tokoh terbesarnya adalah Manshur al-Hallaj yang tekenal dengan
ungkapan luar biasa yang mengantarkannya ke tiang gantungan karena dianggap
mengajarkan konsep kesatuan esensial antara manusia dengan Tuhan. Sesuatu
yang dianggap tabu dan mustahil dalam Islam mengingat manusia dengan Tuhan
adalah dua entitas yang berbeda secara esensial.
.‫ ﻓﺈذا أﺑﺼﺮﺗﻨﻲ أﺑﺼﺮﺗﮫ وإذا أﺑﺼﺮﺗﮫ أﺑﺼﺮﺗﻨﻲ‬.‫ﻧﺤﻦ روﺣﺎن ﺣﻠﻠﻨﺎ ﺑﺪﻧﺎ‬
Kami adalah dua jiwa yang mendiami satu raga. Jika Anda melihatku
maka Anda melihat-Nya. Dan jika Anda melihat-Nya, berarti Anda
melihatku. (al-Thawazin al-Azal, 34)
Sekadar catatan, menurut Laily Mansur, semua karya al-Hallaj sudah
punah karena vonis sesat dijatuhkan terhadapnya, para hakim dan penguasa tidak
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
73
hanya mengeksekusi sang mistikus semata, tapi juga memberangus semua kitabkitabnya. Satu-satunya karya al-Hallaj yang luput dari pemusnahan ini karena
berhasil disembunyikan oleh Ibnu Atha', salah seorang pengikutnya adalah alThawazin al-Azal. (Mansur, 2002, 111)
Dalam konteks ini kita tidak perlu melibatkan diri dengan persoalan
apakah ungkapan al-Hallaj itu bisa dibenarkan atau tidak. Sebab, tujuan utama
yang ingun penulis capai adalah memberikan bukti historis seputar alur
perkembangan ilmu hudhuri dari tradisi filsafat Yunani hingga tiba dan sempurna
di tangan Suhrawardi.
Jika kembali kepada uraian Plotinus seputar nous di atas, kita akan
menemukan keterangan yang menyatakan adanya kesatuan aktual antara dua
modus pengetahuan. Yaitu antara subjek pengetahuan (dalam hal ini adalah yang
memandang) serta objek pengetahuan (dalam hal ini adalah yang dipandang).
Pada titik ini, kita sudah bisa mengatakan bahwa Plotinus sejatinya sudah
membahas semacam ilmu hudhuri yang, boleh jadi belum ia sadari sepenuhnya,
sehingga masih belum sempurna dan tidak melibatkan satu modus pengetahuan
yang ketiga, yaitu aktivitas mengetahui.
Meskipun tingkat urgensi modus yang ketiga ini tidaklah sevital kedua
modus pengetahuan yang lain; yaitu subjek yang mengetahui dan objek yang
diketahui, akan tetapi tidak alasan bagi kita untuk mengabaikannya dalam uraianuraian epistemologis. Sebab, dalam paparan mengenai masalah epistemologis,
selalu ada tiga modus yang wajib diterangkan secara bernas. [1] Subjek yang
mengetahui. [2] Objek yang diketahui. [3] Aktivitas mengetahui. Jika satu saja di
antara ketiga modus ini terlupakan, praktis, suatu uraian mengenai epistemologi
tidak bisa dianggap valid.
Tentang kekurangan ini, Yazdi mengatakan bahwa madzhab fisafat ini
(Neoplatonis)
tidak
secara
eksplisit
mengidentifikasi
modus
primordial
pengetahuan dengan keadaan-keadaan eksistensial realitas diri itu sendiri,
meskipun ketika menjumpai masalah mistisisme ia menyentuh dasar tersebut dan
berbicara tentang sejenis ilmu hudhuri, sebagai lawan dari pengetahuan biasa
yang berkaitan dengan hubungan subjek-objek. (Yazdi, 2003, 45)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
74
Lebih jauh lagi, Neoplatonis tidak mencirikan pengertiannya tentang ilmu
hudhuri melalui kebenaran eksistensial aktual dari kesadaran mistik tentang yang
Esa yang biasa timbul dalam pikiran manusia sebagai salah satu bentuk ilmu
hudhuri. Dan, di tangan Suhrawardi, semua langkah itu ada secara nyata dan
dijelaskan apa yang dimaksud dengan ilmu hudhuri. Elaborasi arus utama
penafsiran Suhrawardi mengenai filsafat Yunani pada akhirnya membawa kepada
munculnya sistem iluminasi yang didasaran pada kebenaran logis ilmu hudhuri.
Titik kesaaan lain yang terdapat dalam uraian-uaraian Plotinus dengan
konsep
filsafat
Suhrawardi—bahkan
dengan
pemikiran
sufistik
secara
keseluruhan adalah pengenalan terhadap jiwa sendiri, atau terhadap diri sendiri.
Hal ini bisa ditempuh dengan mengesampingkan dimensi jasmani dan ketubuhan
dalam diri, untuk kemudian memusatkan perhatian pada dimensi ruhani yang juga
merupakan nous. Konsep-konsep penyucian diri semacam ini juga menjadi salah
satu tangga dalam dunia sufistik untuk melakukan pendakian spiritual menuju
puncak tertinggi, yaitu yang Esa.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
BAB 4
DIMENSI EMPIRIS EPISTEMOLOGI ILUMINASI
4.1. Teori Definisi
Adalah hal yang lumrah jika semua akademisi dari seluruh cabang ilmu
pengetahuan mengakui definisi sebagai instrumen penting yang tak boleh
diabaikan. Pengakuan ini sudah ada sejak zaman Yunani klasik dan tetap lestari
hingga sekarang. Sebagai bukti, Socrates, Plato, dan Aristoteles slih berganti
memberikan formula untuk mendapatkan definisi yang akurat. Tokoh yang
pertama menggunakan cara dialog melalui tanya jawab yang terus-menerus untuk
memperoleh pengertian yang valid tentang sesuatu yang ingin diberi definisi.
Tokoh kedua menggunakan cara pemilahan (dikotomi, qishmah), sedangkan
tokoh ketiga sudah merasa puas dengan penggunaan per genus et differentian.
Para filsuf modern pun tak kalah serius mengulas definisi. Bentham
mengemukakan cara paraphrasis untuk menentukan makna, kata, atau kalimat.
Charles Stevenson mengajukan konsep definisi persuasif. Sementara Alfred J.
Ayer membagi definisi menjadi dua; definisi eksplisit dan definisi yang
digunakan. Sedangkan WE Johnson memastikan bahwa untuk mendefinisikan
nama, mesti menunjuk entitasnya. (Bagus, 2002, 151-152).
Karena pentingnya definisi inilah, tidak salah kiranya jika Aristoteles
menyatakan bahwa definisi merupakan pintu ilmu menuju pengetahuan ilmiah.
Sebab, definisi tidak hanya berfungsi menyediakan penjelasan lugas bagi istilahistilah kunci dalam suatu kajian, tapi pada titik-titik tertentu, definisi terbukti
efektif memberikan pemahaman agar sesuatu bisa dimengerti.
Sayangnya,
Suhrawardi
tidaklah
demikian.
Dalam
penjelasan-
penjelasannya yang termuat dalam al-Talwihat, al-Maysari' wa al-Mutharahat,
serta Hikmah al-Isyraq, tersirat betapa ia bersikap pesimis terhadap kemampuan
defiisi untuk mengungkap kebenaran, lebih-lebih memberikan pengetahuan baru.
Untuk membuktikan keraguannya ini, Suhrawardi kemudian menetapkan 3 syarat
yang sangat ketat terhadap pembentukan definisi. Syarat pertama terangkum
dalam kalimat berikut:
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
76
‫ﺄﻣﻮر‬
.‫ﺗﺨﺼﮫ إﻣﺎ ﻟﺘﺨﺼﯿﺺ اﻷﺣﺎد أو ﻟﺘﺨﺼﺺ اﻟﺒﻌﺾ أو ﻟﻺﺟﺘﻤﺎع‬
Untuk mendefinisikan sesuatu bagi yang tidak tahu, maka definisi harus
mengklasifikasi segala hal yang membuat objek itu spesifik, baik dalam
satuan, parsialitas, atau kolektivitasnya. (Suhrawardi, 1993, 18).
Berdasarkan syarat ini, berarti definisi bisa dikatakan valid jika ia mampu
secara benar menyebutkan satu demi satu semua atribut esesnsial yang, secara
kolektif, ada pada benda yang didefinisikan itu, walaupun atribut-atribut tersebut
bisa saja secara tersendiri ada pada benda lain. Iqbal menyimpulkan bahwa pada
tataran ini, pandangan Suhrawardi sangat mirip dengan Bosanquet. (Iqbal, 1995,
98).
Masalahnya adalah, mampukah definsi mengurai semua atribut esensial
yang melekat pada objek yang akan didefinisikan? Kalau pun dipaksakan, maka
definisi yang dihasilkan pasti berbentuk uraian panjang yang melelahkan dan
tidak efektif, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan deretan
kerumitan-kerumitan baru sebagai akibat dari rincian yang begitu subtil. Sebagai
misal, mendefinisikan manusia sebagai "animal rationale" tidak bisa dikatakan
valid karena "berpikir" bukan satu-satunya atribut yang dimiliki oleh manusia.
Masih banyak atribut lain yang tidak terakomodasi dalam definisi tersebut, seperti
bekerja, berkeyakinan, beribadah, berbudaya, bermasyarakat, dan lain sebagainya.
Kita tidak mungkin menyela dengan menyatakan bahwa bekerja,
berbudaya, bermasyarakat, dan ragam atribut lain itu adalah cerminan dari
berpikir, sehingga mendefinisikan manusia sebagai "hewan yang berpikir" sudah
bisa dikatakan valid. Sebab, tuntutan Suhrawardi dalam syarat yang pertama ini
adalah keluasan definisi dalam memuat semua atribut kolektif, parsial, serta
satuan yang dimiliki oleh objek yang didefinisikan, bukan dengan memberikan
predikat tertentu yang membuat objek itu bisa dibedakan dengan objek yang lain.
Syarat kedua adalah:
.‫أو ﯾﻜﻮن ﻻ ﯾﻌﺮف إﻻ ﺑﻤﺎ ﻋﺮف ﺑﮫ‬
Definisi harus dibangun dengan sesuatu yang lebih jelas bukan dengan
sesuatu yang memiliki kejelasan serupa, terlebih dengan sesuatu yang
tidak jelas, atau tidak diketahui kecuali melalui yang akan diberi definisi.
(Suhrawardi, 1993, 18).
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
77
Kendati tidak dinyatakan secara tegas, namun kita bisa menangkap bahwa
makusd di balik penetapan syarat ini adalah, supaya definisi menghasilkan
pengetahuan baru, tidak bersifat tautologis, atau hanya berbentuk penggantian
nominal belaka.
Dengan demikian, mendefinisikan "ayah" sebagai orang yang mempunyai
anak, tidak bisa dikatakan valid, karena tidak mendatangkan pengetahuan baru.
Definisi semacam ini menurut Suhrawardi tidak bisa dibenarkan karena
definiendum memiliki kedudukan yang setara dengan definiens-nya. Dengan kata
lain, saat mengetahui salah satunya, secara otomatis, kita akan mengetahui yang
lainnya. (Suhrawardi, 1993, 18).
Dalam Metafisika Persia, Iqbal melengkapi uraian Suhrawardi ini dengan
menyajikan contoh bagi definisi yang dibangun dengan sesuatu yang tidak jelas,
atau tidak diketahui kecuali melalui yang akan diberi definisi. Contohnya adalah
mendefinisikan kuda sebagai "hewan yang meringkik." Menurutnya, kita
mengerti hewan, karena kita mengetahui banyak hewan yang di dalamnya atribut
ini ada. Tetapi tidak mungkin mengetahui atribut "meringkik" karena atribut ini
hanya dijumpai pada objek yang didefinisikan tersebut. Jadi, definisi semacam ini
tidak bermakna karena tidak menghasilkan pengetahuan baru bagi orang yang
belum pernah melihat kuda. (Iqbal, 1995, 98).
Sedangkan syarat yang terakhir adalah:
.‫ﻣﺎ ﯾﻌﺮف ﺑﮫ اﻟﺸﻲء أن ﯾﻜﻮن ﻣﻌﻠﻮﻣﺎ ﻗﺒﻞ اﻟﺸﻲء ﻻ ﻣﻊ اﻟﺸﻲء‬
Sesuatu yang akan digunakan untuk mendefinisikan, harus sudah
diketahui sebelum objek yang didefinisikan, jadi, keduanya tidak
bersamaan. (Suhrawardi, 1993, 18).
Dalam konteks ini, Suhrawardi tidak ingin jika definisi hanya memuat
rangkaian kalimat identis, di mana objek yang didefinisikan terpotret memiliki
kesamaan
identik
dengan
rangkaian
kalimat
yang
mendefinisikannya.
Menurutnya, definisi atas suatu esensi tidak boleh hanya berupa penggantian kata.
Sebab, definisi semacam itu hanya bisa dipahami oleh orang yang sudah
mengetahuinya, tapi tidak bagi orang yang belum mengetahui. Contohnya adalah
mendefinisikan api sebagai "elemen kimiawi serupa nyawa", atau mendefinisikan
matahari sebagai "bintang yang terbit pada siang hari."
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
78
Kedua contoh definisi ini tidak valid karena api dan elemen kimiawi
bukan hanya identis, tapi juga memiliki tingkat kebersamaan untuk diketahui.
Demikian juga dengan definisi matahari sebagai bintang yang terbit siang hari.
Kenyataan faktual membuktikan bahwa siang sangat identik dengan matahari, dan
matahari sangat identik dengan siang. Jadi, kedua unsur definisi ini datang secara
bersamaan ke dalam pemahaman.
Pesimisme Suhrawardi terhadap kemampuan definisi dalam memberikan
pengetahuan baru yang akurat semakin kentara, saat ia menguraikan adanya 3
hambatan yang pasti dijumpai saat seseorang berusaha mendefinisikan sesuatu.
Hambatan ini bisa berasal dari subjek yang hendak mendefinisikan, atau dari
objek yang hendak didefinisikan, atau bahkan karena kompleksitas definisi itu
sendiri.
Hambatan pertama adalah keterbatasan manusia dalam mempersepsi
sesuatu. Secara natural, memang tidak bisa dipungkiri bahwa manusia adalah
makhluk terbatas yang mustahil mampu mempersepsi sesuatu secara utuh,
menyeluruh, murni, dan apa adanya. Instrumen apa pun yang digunakan manusia
dalam upaya mengetahui sesuatu, pasti terbentur pada dinding keterbatasan yang
membuatnya kesulitan untuk mencapai pengetahuan yang esensial dan
komprehensif. Untuk mengatasi keterbatasan indra dalam mendapatkan gambaran
yang utuh tentang suatu objek, Edmund Husserl kemudian menawarkan konsep
konstitusi. Sedangkan untuk mengatasi keterbatasan subjektivisme yang rentan
membuat objek tak lagi murni, ia menawarkan teori reduksi.
Jauh sebelum Husserl menyadari keterbatasan ini, Suhrawardi sudah
menyatakan bahwa objek apapun yang berusaha ditangkap manusia sangatlah
rumit dan kompleks, sehingga hampir tidak mungkin diketahui seluruhnya. Pada
pragraf terakhir pasal ke-15 aksioma ke-7 dalam Hikmah al-Isyraq, ia menulis:
...
‫" إذ‬
"
... ،‫ﻛﺜﯿﺮ ﻣﻦ اﻟﺼﻔﺎت ﻏﯿﺮ ﻇﺎھﺮة‬
.‫ﯾﻜﻦ ﻣﻌﺮﻓﺔ اﻟﺤﻘﯿﻘﺔ ﻣﺘﯿﻘﻨﺔ‬
Orang yang menyatakan telah mengetahui esensi sesuatu, tidak menutup
kemungkinan ada esensi lain yang belum ia ketahui..., oleh sebab itulah,
pendefinisi tidak boleh berkata, "Seandainya ada sifat lain (dari objek
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
79
yang didefinisikan) aku pasti mengetahuinya." Karena banyak sifat-sifat
(dari objek yang didefinsiikan itu) tidak tampak..., bila ada satu esensi saja
yang luput dari pengamatan, maka pengetahuam atas realitas menjadi
tidak meyakinkan. (Suhrawardi, 1993, 21)
Hambatan yang kedua adalah kompleksitas proses definisi itu sendiri.
Dalam
al-Talwihat
bab
kedua,
Suhrawardi
menyatakan
bahwa,
untuk
mendefinisikan sesuatu, tidak cukup hanya dengan menyebutkan esensi alaminya
saja. Pasalnya, selain ciri khusus yang dimiliki sesuatu itu, ia juga memiliki sifatsifat lain yang menyertainya, yang juga harus dipertimbangkan dalam proses
pembuatan definisi. Oleh karena itu, sebuah definisi tidak cukup hanya dengan
menyebutkan esensi paling khusus dari sesuatu, tetapi juga harus menyertakan
sifat-sifat lainnya.
Saat mendefinisikan manusia sebagai hewan rasional, kita memang telah
menyebutkan esensi paling khusus dari manusia, yaitu berpikir. Akan tetapi, kita
belum menyebutkan esensi atau sifat-sifat lain yang juga merupakan esensi
manusia, walaupun bukan yang paling khusus. Kesulitan yang menghambat kita
pada tataran ini adalah keterbatasan untuk menguraikan pelbagai sifat bawaan
yang melekat kepada manusia.
Dari keharusan menyebutkan sifat-sifat lain yang berdampingan dengan
sifat khusus yang dimiliki sesuatu yang didefinisikan, maka kita dapat
menyimpulkan bahwa pengetahuan melalui definisi tidaklah sempurna. Mengapa?
karena kita takkan pernah mengetahui semua sifat-sifat bawaan yang terdapat
pada segala sesuatu. (Razavi, 1997, 94)
Hambatan ketiga sekaligus yang terakhir, berasal dari objek yang akan
didefinisikan. Di antara sekian banyak realitas dalam kehidupan, ada sesuatu yang
hanya memiliki genus, tapi tidak memiliki deferensia sehingga tidak dapat
didefinisikan. Misalnya adalah warna, suara, atau bau. Suhrawardi mencontohkan
warna "hitam" sebagai sesuatu yang hanya bisa didefinisikan oleh dirinya sendiri.
dalam Hikmah al-Isyraq ia menulis:
‫اﻟﺴﻮاد ﺷﻲء واﺣﺪ ﺑﺴﯿﻂ وﻗﺪ ﻋﻘﻞ‬
.‫ وﻣﻦ ﺷﺎھﺪه اﺳﺘﻐﻨﻰ ﻋﻦ اﻟﺘﻌﺮﯾﻒ‬،‫ﺗﻌﺮﯾﻔﮫ ﻟﻤﻦ ﻻ ﯾﺸﺎھﺪه ﻛﻤﺎ ھﻮ‬
Warna hitam adalah suatu objek yang sederhana, terasionalisasi, dan tidak
terbagi dalam partikel-partikel yang tidak diketahui. Orang yang tidak
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
80
menyaksikannya tidak dapat mendefinisikannya, dan orang yang
menyaksikannya tidak butuh definisi. (Suhrawardi, 1993, 73)
Di samping, warna, suara, dan bau, masih banyak lagi realitas lain yang
hanya memiliki genus tapi tidak memiliki deferensia, sehingga satu-satunya cara
untuk mengetahuinya adalah dengan berinteraksi langsung dengannya. Rasa
manis misalnya, ia juga merupakan objek sederhana yang hanya mungkin
diketahui oleh orang yang mengecapnya. Jadi, seberapa pun panjangnya uraian
definitif tentang manis, sama sekali takkan pernah mendatangkan pengetahuan
apa-apa bagi orang yang tidak merasakannya secara langsung.
Suhrawardi sejatinya ingin menegaskan bahwa pengetahuan tentang
sesuatu ditentukan oleh hubungan antara subjek dengan objek, tanpa halangan apa
pun. Hubungan langsung antara subjek dan objek inilah yang ia sebut sebagai
hubungan iluminasi (idhafah isyraqiyyah). Menurutnya, jika sesuatu sudah
terlihat, maka seseorang sudah tidak lagi membutuhkan definisi. Sebab, bentuk
sesuatu yang terkonstruksi dalam pikiran, adalah sama dengan bentuk sesuatu
yang ada dalam persepsi indra. Baginya, pengetahuan yang diperoleh melalui
persepsi ini disebut musyahadah (penyaksian). Pengetahuan semacam ini jauh
lebih tinggi dari pengetahuan predikatif.
Akan tetapi, betapa pun besarnya pesimisme Suhrawardi terhadap peranan
definisi dalam memberikan pengertian dan pemahaman, ia tetap sadar bahwa
definisi merupakan ornamen strategis dalam ranah ilmu pengetahuan yang tak
mungkin dicampakkan begitu saja. Ia menginsafi bahwa, meskipun ada cara lain
yang bisa digunakan untuk menyingkap pengetahuan, definisi tetaplah sarana
yang, pada titik-titik tertentu masih diperlukan. Oleh sebab itulah, ia kemudian
merumuskan
sendiri
teori
definisi
yang
menurutnya
bisa
memberikan
pengetahuan valid yang tak bisa diragukan. Rumusan itu ia tuangkan dalam
kalimat pendek—namun syarat makna dan multi interpretasi—seperti berikut ini.
.
.‫ﺗﻌﺮﯾﻔﺎت ﺑﺄﻣﻮ ﺗﺨﺺ ﺑﺎﻻﺟﺘﻤﺎع‬
Sesuatu itu (baru bisa dikatakan) diketahui jika semua esensinya diketahui.
Jadi bagi kita, definisi hanya diperoleh dengan perantaraan sesuatu yang
secara khusus berkaitan dengan keseluruhan sesuatu. (Suhrawardi, 1993,
21)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
81
Kalimat jami'u dzatiyyatiha (semua esensinya) dalam rumusan di atas
harus kita beri perlakuan khusus dan kita renungkan secara mendalam. Mengapa?
Karena kita berbicara dalam konteks filsafat iluminasi yang, salah satu
keunikannya adalah mengombinasikan unsur yang empiris dan intuitif. Apalagi
bagi Suhrawardi, esesnsi sesuatu itu tidak terlepas darinya baik secara nyata
ataupun secara mental. Karena itu, sesuatu tidak dapat mempunyai definisi
esensial semata, karena itu berarti bahwa sesuatu memiliki sifat-sifat pokoknya
yang "terpisah" ke dalam genus dan diferensia. Akan tetapi, hanya dapat
digambarkan sebagaimana ia terindra. Oleh sebab itu, untuk mendefinisikan
sesuatu, seseorang harus "melihat"nya sebagaimana adanya.
Bagian kedua dari rumusan Suhrawardi yang tersimpul dalam kalimat
"definisi hanya diperoleh dengan perantaraan sesuatu yang secara khusus
berkaitan dengan keseluruhan sesuatu" kental dengan aroma Aristotelian, karena
memberi peluang pada objek yang didefinisikan untuk diuraikan secara naratif.
Sedangkan penekanan pada keharusan untuk mengetahui semua esensi seperti
yang tersimpul dalam kalimat, "Sesuatu itu (baru bisa dikatakan) diketahui jika
semua esensinya diketahui" syarat dengan nuansa Platonian, di mana untuk
mengetahui suatu objek secara benar, seseorang tidak cukup hanya mengetahui
benda empiriknya saja, tapi juga harus mengetahui idea yang menjadi konsep
mental objek tersebut.
Atas dasar itulah, banyak peneliti yang kemudian menyimpulkan bahwa
teori definisi yang digagas Suhrawardi sejatinya adalah elaborasi dari teori definsi
yang digagas oleh Plato dan Aristoteles. Hossein Ziai, menyebut teori definisi ini
sebagai definisi konseptualis khas Suhrawardi. (Ziai, 1998, 82) Sayangnya, kita
takkan pernah menemukan uraian yang tuntas mengenai konsep definisi ini dalam
semua karya yang ditulis Suhrawardi. Jadi, Suhrawardi tidak menerangkan
langkah operasional, proses pembentukan, apalagi contoh kongkrit dari definisi
tersebut. Padahal, saat mengulas tentang syarat dan berbagai keterbatasan definsi,
ia bisa memberikan keterangan yang rinci lengkap dengan contoh-contoh yang
memuaskan.
Keputusan Suhrawardi untuk tidak menguraikan teori definisi yang
digagasnya itu secara spesifik sebenarnya bisa dimaklumi, mengingat sejak awal
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
82
dia sudah bersikap apriori terhadap definsi—khususnya definsi Aristotelian—
dalam mencapai pengetahuan. Atau, boleh jadi ia sengaja menggantung teori
definisi yang ia kemukakan karena pembuatan definisi semacam itu memang
mustahil untuk diwujudkan.
Setelah mengklaim definisi seperti yang lazim kita kenal sebagai metode
yang kurang memuaskan, atau bahkan tidak valid untuk memperoleh
pengetahuan, pertanyaannya sekarang, meode apa yang ditawarkan Suhrawardi
untuk mengetahui sesuatu yang bisa menggantikan kedudukan metode definisi?
Dalam bahasa yang berbeda, bagaimana menurutnya cara mengetahui sesuatu?
Di sinilah kemudian letak keunikan gagasan Suhrawardi. Ia mengajukan
suatu formula unik yang sekaligus menjadi ciri khas epistemologi iluminasi dalam
proses mengetahui. Ia menawarkan teori penyaksian yang dalam terminologi Arab
biasa disebut dengan musyahadah, sedangkan dalam terminologi Inggris biasa
disebut vision.
4.2. Teori Penyaksian
Bagi Suhrawardi, cara terbaik dan tervalid untuk mengetahui sesuatu
adalah menggabungkan dua pendekatan secara integral, yaitu pendekatan mental
dan visi langsung terhadap objek yang diketahui. Sebab, hanya dengan cara ini
suatu objek benar-benar bisa dirasakan, dan seseorang tak lagi membutuhkan
definisi.
Dua pendekatan ini akan menghasilkan pengetahuan komprehensif yang
nilainya lebih bisa dipertanggungjawabkan dibandingkan dengan pengetahuan
yang diperoleh secara predikatif. Ketika seseorang (baca: subjek) menangkap
sesuatu (baca: objek) secara visioner dan intuitif, maka ia akan sampai pada
pengetahuan sejati terhadap objek itu tanpa perantaraan predikat. Tentang hal, ini
Hossen Ziai menyatakan bahwa konsep penyaksian (Musyahadah) yang
dikemukakan Suhrawardi, sejatinya bertujuan menghasilkan pengetahuan murni
yang bisa dituangkan dalam proposisi esensial "X adalah," bukan prosisi
predikatif yang biasa dilambangkan dengan "X adalah Y". (Ziai, 1998, 131)
Dalam Hikmah al-Isyraq, Suhrawardi menegaskan bahwa proses visi
bukan terjadi karena terciptanya ilustrasi objek yang terlihat di pelupuk mata, atau
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
83
kerena mata memancarkan cahaya kepada objek yang terlihat. Akan tetapi, karena
mata yang sehat menangkap cahaya yang dipancarkan oleh objek tertentu. Hasil
dari penangkapan ini adalah, hilangnya pelbagai tirai—baik yang bersifat mental
atau pun material—antara subjek dan objek.
.
‫ﺑ‬
.‫اﻟﻤﻘﺎﺑﻠﺔ ﯾﺮﺟﻊ إﻟﻰ ﻋﺪم اﻟﺤﺠﺎب ﺑﯿﻦ اﻟﺒﺎﺻﺮ واﻟﻤﺒﺼﺮ‬
Pandangan bukan karena terciptanya ilustrasi objek pada mata, juga bukan
karena keluarnya sesuatu dari mata, akan tetapi karena penerimaan mata
yang sehat teradap objek yang bercahaya, tidak lebih. Penerimaan ini
menghasilkan tidak adanya penghalang antara yang melihat dengan yang
terlihat. (Suhrawardi, 1993, 134)
Sekilas, pandangan Suhrawardi ini sama dengan hukum fisika modern
yang menyatakan bahwa, kita bisa melihat benda karena benda itu memancarkan
cahaya kepada mata, bukan mata kita yang memancarkan cahaya kepada benda
itu. Dalam teori ini, subjek yang melihat seolah terkesan pasif, sementara objek
yang terlihat terkesan aktif. Mata sebagai instrumen yang dimiliki subjek untuk
mengetahui berada pada posisi menerima data, sedangkan benda yang terindra
berfungsi sebagai pemberi data.
Pada titik inilah, kita melihat perbedaan yang signifikan antara teori
penyaksian Suhrawardi dengan hukum fisika modern. Baginya, dalam proses
penyaksian ini, kedua pihak, subjek dan objek harus sama-sama aktif dan tidak
ada yang bersifat pasif. Makanya, ia menyaratkan keharusan adanya dua cahaya
yang bertemu dalam proses penyaksian, cahaya dari subjek dan cahaya dari objek.
Kedua cahaya ini harus bertemu sedemikian rupa sehingga bisa menghasilkan
penangkapan esensial yang bermuara pada pengetahuan sejati tentang objek yang
terlihat tersebut.
Apabila salah satu pihak bersikap pasif, semisal subjek memejamkan mata
lalu berinisiatif mengetahui suatu objek dengan menghayal, hal ini takkan
menghasilkan pengetahuan karena proses penyaksian tidak berlangsung
sempurna. Mata yang terpejam bukan hanya tidak bisa menerima cahaya yang
dipancarkan objek, tapi juga tidak bisa memancarkan cahaya untuk memindai
objek tersebut. Jadi, pada tataran ini, epistemologi hudhuri benar-benar hanya
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
84
menentukan cara memperoleh ilmu pengetahuan ketika kita sedang sadar dan
melakukan proses pengindraan terhadap sesuatu, bukan saat kita sedang
berimajinasi atau merenungkan sesuatu.
Untuk menghasilkan penyaksian yang benar, Suhrawardi menetapkan dua
syarat yang harus dipenuhi oleh subjek. Pertama, pandangan tidak boleh terlalu
dekat kepada objek, karena takkan menghasilkan persepsi yang utuh tentang
objek. Kedua, pandangan juga tidak boleh terlalu jauh dari objek, karena rentan
terhadap berbagai halangan. Dengan kata lain, Suhrawardi sebenarnya ingin
menganjurkan agar subjek menentukan jarak yang ideal dengan objek. Tidak
terlalu dekat, tidak terlalu jauh.
Konsep penyaksian yang dikemukakan Suhrawardi ini akan mudah
dipahami jika kita menggunakan contoh praktis yang lazim ditemui dalam realitas
keseharian. Untuk mengetahui gajah misalnya, kita harus menentukan posisi yang
tepat agar bisa melihat hewan itu dengan jelas dan akurat. Saat terlalu dekat,
praktis, gambaran yang kita peroleh takkan sempurna, karena boleh jadi ada
bagian-bagian tertentu dari binatang besar itu yang tidak terlihat. Tapi juga tidak
boleh terlalu jauh. Mengapa? Karena meskipun kita mendapatkan gambaran yang
utuh tentang gajah, kita pasti melewatkan detil-detil tertentu dari hewan itu yang,
boleh jadi merupakan keunikan dan ciri khas yang membedakannya dari binatang
lain, seperti tekstur kulit atau anatomi lututnya yang hanya bisa dilihat dari dekat.
Sejauh ini, penulis telah memaparkan pendekatan unik dalam mengetahui
objek yang berlaku dalam wilayah filsafat iluminasi. Sebuah pendekatan yang
mengutamakan unsur pengindraan langsung antara subjek dengan objek sehingga
diperoleh pengetahuan yang esensial dan valid. Namun demikian, masih tersisa
sekelumit pertanyaan, sehebat apakah metode penyaksian (musyahadah) ini
sehingga bisa dikatakan sebagai sarana yang bisa mengantarkan kita pada
pengetahuan yang bersifat esensial? Misalnya, bisakah kita telah mengetahui
esensi manusia dengan hanya melihat seorang pria atau wanita?
Seakan sudah mengetahui bahwa pertanyaan seperti ini akan terlontar,
Suhrawardi mengantisipasinya dengan mengajukan teknik khusus agar proses
penyaksian (musyahadah) kita sampai pada pengetahuan yang bersifat esensial
terhadap sesuatu. Menurutnya, untuk mengetahui suatu objek secara esensial,
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
85
langkah mutlak yang harus dilakukan adalah mengamati suatu objek secara an
sich, apa adanya, dan mengabaikan segala pengaruh eksternal di luar objek
tersebut.
Pengamatan yang fokus seperti ini dengan sendirinya akan membuat kita
bisa membedakan antara unsur esensial dan yang aksidental yang dimiliki oleh
suatu objek. Jika unsur yang paling esensial ini sudah berhasil ditangkap, berarti
pengetahuan kita tentang objek itu sudah benar-benar valid dan akurat. Tapi
persoalannya adalah, bagaimana cara kita membedakan antara unsur yang esensial
dan aksidental pada suatu objek? Bukankah seandainya kita salah menentukan,
menganggap suatu unsur sebagai esensial padahal sebenarnya aksidental,
pengetahuan yang kita peroleh pun tidak benar?
Supaya kita tidak keliru dalam membedakan antara unsur yang esensial
dan aksidental, maka satu-satunya cara menurut Suhrawardi adalah menemukan
satu esensi yang mustahil terlepas dari objek tersebut. Suatu esensi yang
mengikuti laju eksistensi, muncul dan mengada karena objek tersebut. Cirinya
adalah, rasionalisasi esensi itu mendahului rasionalisasi atas keseluruhan objek,
dan bisa memberikan gambaran yang utuh dan menyeluruh terhadap objek
tersebut.
.‫ﻓﺎﻧﻈﺮ إﻟﻰ اﻟﺤﻘﯿﻘﺔ وﺣﺪھﺎ واﻗﻄﻊ اﻟﻨﻈﺮ ﻋﻦ ﻏﯿﺮھﺎ‬
...‫ ﻓﻤﻮﺟﺒﮫ وﻋﻠﺘﮫ ﻧﻔﺲ اﻟﺤﻘﯿﻘﺔ‬،‫اﻟﺤﻘﯿﻘﺔ وھﻮ ﺗﺎﺑﻊ ﻟﻠﺤﻘﯿﻘﺔ‬
.‫ وأن ﻟﮫ ﻣﺪﺧﻼ ﻓﻲ ﺗﺤﻘﻖ اﻟﻜﻞ‬،‫ﺗﻌﻘﻠﮫ ﻋﻠﻰ ﺗﻌﻘﻞ اﻟﻜﻞ‬
Amati objek itu secara fokus, dan singkirkan pengamatan kepada yang
lain. Esensi yang tak mungkin dipisahkan dan menyertai objek, maka
keberadaannya adalah sama dengan keberadaan objek itu... Cirinya adalah
bahwa rasionalisasinya mendahului rasionalisasi atas keseluruhan objek,
dan punya peluang merealisasikan seluruh objek. (Suhrawardi, 1993, 16)
Suhrawardi kemudian memberikan contoh segitiga. Menurutnya, esensi
paling mendasar yang tak mungkin dilepaskan dari objek yang bernama segitiga
ini adalah, "tiga sudut." Dengan menemukan esensi ini, berarti subjek atau
seseorang sudah mengetahui elemen yang paling substantif dari objek segitiga.
Pasalnya, esensi ini bisa memberikan gambaran yang utuh tentang segitiga secara
general. Dengan kata lain, ketika seseorang sudah mengetahui "tiga sudut"
sebagai esensi segitiga, maka ia sudah bisa mempersepsi segala jenis dan ukuran
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
86
segitiga dalam dunia realitas. Berapa pun ukuran bangun segitiga yang dijumpai,
atau terbuat dari materi apapun sebuah bentuk segitiga, sudah tidak menjadi
masalah lagi. Seseorang sudah bisa mengonsepsinya secara utuh. Dan, saat esensi
ini sudah diketahui, berarti orang itu sudah tidak membutuhkan definisi lagi
tentang segitiga.
Alasan lain di balik penetapan "tiga sudut" ini sebagai esensi yang paling
substantif dari segitiga adalah karena, esensi ini pasti muncul dan mengada
bersamaan dengan segitiga. Esensi ini selalu mengikuti laju setiap segitiga, kapan
pun, di mana pun, dan dalam konteks apapun. Artinya, seseorang tidak mungkin
merekayasa bentuk segitiga sedemikian rupa, sehingga misalnya, ia bisa membuat
segitiga dengan sudut kurang atau lebih dari tiga. Jadi, kalau ada orang yang
memaksa akan membuat segitiga dengan 4 sudut, maka yang ia hasilkan pasti segi
empat, bukan lagi segitiga. Sebaliknya, jika ia berusaha membuat segitiga dengan
dua 2 sudut, maka yang ia hasilkan juga bukan segi tiga.
Pengetahuan tentang esensi ini demikian penting dalam wilayah
epistemologi iluminasi, sehingga Suhrawardi memberikan penjelasan yang agak
detil dan akurat. Dalam paparan-paparan selanjutnya, ia mengatakan bahwa tidak
setiap objek hanya memiliki satu esensi. Ada sejumlah objek yang memiliki
sejumlah esensi, dan kesemuanya itu juga harus diketahui, jika seseorang ingin
mendapatkan pengetahuan yang benar tentang sesuatu.
Hal ini sejatinya dilandasi usaha Suhrawardi untuk bersikap konsisten
dalam merumuskan teori pengetahuan, di samping memang, dalam dunia realitas
yang serba kompleks ini, kita banyak menemui suatu objek yang bersifat
majemuk, dan tidak sesederhana seperti segitiga yang dicontohkan di atas. Di sisi
lain, jika ia menggeneralisir semua objek hanya memiliki satu esensi substantif,
maka secara otomatis membuka peluang terhadap kemungkinan semua objek
yang ada di dunia ini bisa didefinisikan dalam formula genus per differentia,
seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles.
Atas dasar itulah, Surawardi bersikap realistik dengan menerangkan
pembagian objek berdasarkan karakternya masing-masing berikut bagaimana cara
penyaksian bisa dioperasikan terhadapnya.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
87
4.3 Teori Objek
Dalam Hikmah al-Isyraq, secara terpisah Suhrawardi membagi objek atau
semua realitas di dunia ini menjadi dua. Pertama adalah realitas sederhana,
monolit, simpel, dan tidak memiliki gambaran sepotong-potong dalam akal.
Untuk objek ini, Suhrawardi mencontohkan "warna", lebih spesifiknya lagi warna
"putih" pada salju, pada gading gajah, atau pun benda yang lain. (Suhrawardi,
1993, 17).
Sebelum lebih jauh, penulis ingin mengingatkan supaya kita memfokuskan
pada objek yang bernama warna "putih", bukan pada benda-benda tertentu yang
secara natural memiliki warna putih seperti dua contoh yang dikemukakan
tersebut. Terlepas apakah warna tersebut selalu identik dengan suatu benda, dan
mustahil berdiri sendiri secara mandiri, adalah persoalan lain yang, nyaris atau
bahkan tidak ada relevansinya dengan kajian kita.
Bagi Suhrawardi, "putih" adalah entitas general yang mewujud dalam
pikiran, sekaligus objek monolit yang mustahil dipilah dan dipisah ke dalam
bagian-bagian yang lebih sederhana. Sebagai objek yang sederhana, "putih" sudah
barang tentu tidak mungkin bisa dilukiskan atau digambarkan oleh orang yang
tidak melihatnya sebagaimana ia adanya. Akan tetapi, bagi orang yang
melihatnya, praktis, ia tak lagi membutuhkan definisi untuk mengetahui lebih baik
tentang objek ini. Mengapa? Karena ia sudah sampai pada keadaan yang oleh
Suhrawardi disebut, musyahadah; memahamii sesuatu secara utuh. Suatu keadaan
yang ditandai dengan terhubungnya pandangan sebagai suatu pertemuan aktual
antara subjek yang melihat dengan objek yang terlihat tanpa halangan apapun.
Kedua, adalah objek majemuk, rumit, kompleks, dan terdiri dari sejumlah
bagian yang berfungsi sebagai penopang sekaligus penyusunnya. (Suhrawardi,
1993, 15). Untuk objek ini, Suhrawardi mencontohkan hewan. Menurutnya,
hewan tersusun dari dua esensi. [1] Organ-organ tubuh yang juga disebut sebagai
esensi general, [2] Nyawa yang juga disebut sebagai esensi spesifik.
Suhrawardi mulai membangun argumennya dengan menyatakan bahwa
organ-organ tubuh disebut sebagai esensi general (al-juz al-'am) karena konsepsi
mengenai organ-organ tubuh itu bersifat lebih umum dibandingkan dengan
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
88
konsepsi hewan itu sendiri. Sedangkan nyawa ia tempatkan sebagai esensi
spesifik dengan alasan, ia adalah bagian mental yang terjadi secara per se.
Dengan kata lain, Suhrawardi sejatinya ingin menegaskan bahwa organorgan tubuh merupakan esensi yang lebih utama bagi hewan, karena jika organorgan ini tidak menyatu, maka ada kemungkinan kita tak lagi mampu untuk
mengenalinya lagi sebagai hewan, atau benda lain. Akan tetapi, meskipun
nyawanya sudah tidak ada, dalam artian hewan tersebut sudah mati, kita masih
bisa dengan mudah mengenalinya sebagai hewan.
Pemetaan Suhrawardi dengan menempatkan dimensi materi pada hewan
sebagai unsur yang general, sedangkan dimensi ruhani sebagai unsur yang
spesifik, jangan disimpulkan bahwa ia adalah pemikir bertipe empirismematerialisme yang lebih mengutamakan dimensi materi dibanding dengan dimensi
ruhani. Sama sekali tidaklah demikian. Malah sebaliknya, dari karya-karya yang
dia tulis, tersirat secara jelas betapa dia sangat mengagungkan dimensi ruhani,
khususnya bagi manusia, dibanding dengan dimensi materinya. Jadi, pemetaan
semacam ini hanya dilakukan untuk mempermudah proses pemahaman kita dalam
mengkaji gagasan epistemologinya.
Lebih lanjut Suhrawardi menerangkan bahwa esensi spesifik tersebut
adakalanya beriringan dengan esensi spesifik yang lain, seperti "berpikir" pada
manusia. Dan adakalanya juga esensi ini lebih khusus dari objek yang
bersangkutan. Contohnya adalah gender "kelelakian" bagi manusia.
Banyaknya esensi yang dimiliki oleh realitas atau objek majemuk inilah
yang, menurut Suhrawardi, membuatnya mustahil bisa dikatakan telah diketahui
secara benar jika hanya dilukiskan dengan untaian kalimat-kalimat definisi. Oleh
sebab itulah, satu-satunya cara untuk mengetahui realitas ini adalah dengan
berusaha mengetahuinya melalui dirinya sendiri melalui sebuah formula yang
disebut dengan penyaksian (musyahadah).
Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa dalam teori penyaksian,
langkah untuk memahami objek yang tunggal dan sederhana, ditempuh dengan
mengetahui esensinya. Sedangkan untuk objek yang kompleks dan majemuk,
langkah yang ditempuh adalah dengan mengetahui sifat-sifat dari esensinya. Ini
berarti, untuk memperoleh suatu pengetahuan, suatu bentuk kesatuan harus
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
89
dibangun antara subjek dengan objek, di mana keadaan psikologis subjek
merupakan faktor yang menentukan dalam membangun pengetahuan ini.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
BAB 5
DIMENSI INTUITIF EPISTEMOLOGI ILUMINASI
5.1 Teori Cahaya
Penulis sengaja mengawali kajian pada bagian ini dengan memaparkan
sekilas tentang konsep cahaya dalam filsafat iluminasi. Paparan ini sangat penting
mengingat Suhrawardi membangun sistem filsafatnya dengan menggunakan
terminologi tunggal yang unik, yaitu cahaya. Dan ini jugalah yang membuatnya
digelari sebagai Syaikh al-Isyraq yang berarti Guru Besar Iluminasi, sedangkan
teori filsafatnya disebut Hikmah al-Isyraq, Filsafat Iluminasi.
Pada sejumlah kesempatan dalam sejumlah bukunya, Suhrawardi berkalikali menekankan pentingnya menginsafi konsep cahaya guna memahami
bangunan filsafatnya secara keseluruhan. Ia menegaskan bahwa kaum
iluminasionis hanya mengulas masalah cahaya, tidak lebih dari itu. Dan, semua
prinsip dalam sistem filsafat ini dibangun berdasarkan penalaran yang
menggunakan instrumen cahaya. Oleh sebab itu, orang yang tidak memahami
teori cahaya sama sekali, pasti gagal untuk memahami teori filsafat iluminasi, ia
pasti gagal menaiki tangga pemahamannya sendiri. (Suhrawardi, 1993, 13)
Namun demikian, penulis sama sekali tidak bermaksud menerangkan
konsep cahaya dalam filsafat iluminasi secara detil dan terperinci. Mengapa?
Karena kajian itu akan membutuhkan pembahasan yang luar biasa panjang dan
potensial menggeser fokus kita dari masalah epistemologi. Atas dasar itulah,
uraian mengenai konsep cahaya dalam bab ini hanya didasarkan pada kebutuhan
urgensif dalam memahami dimensi intuitif dalam epistemologi iluminasi. Dengan
kata lain, kita hanya akan membahas konsep cahaya ini, sejauh ia dibutuhkan
sebagai elemen penting yang tak mungkin ditinggalkan dalam memahami teori
ilmu pengetahuan yang digagas Suhrawardi.
Di sinilah letak kesulitan yang sesunguhnya dalam upaya memahami
konsep epistemologi iluminasi. Di satu sisi, kita dituntut untuk memahami modus
dasar pembangun sistem filsafat ini, yaitu cahaya. Tapi di sisi lain, uraian
mengenai cahaya ini sangat luas sehingga tidak menutup kemungkinan malah
akan mengalihkan perhatian kita dari kajian utama mengenai konsep ilmu
pengetahuan. Jadi, dibutuhkan ketelitian dan kejelian yang luar biasa agar seorang
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
91
peneliti mampu memilah dan memisah antara konsep cahaya yang memang harus
diuraikan, dengan yang tidak. Tanpa ketelitian semacam ini, boleh jadi kajian
tentang teori ilmu pengetahuan ini akan melebar, tidak efektif, dan takkan
memberikan pemahaman yang sempurna.
Setelah mengupas tuntas semua masalah yang berkenaan dengan ilmuilmu eksternal yang biasa ia sebut sebagai ilmu hushuli, (ilmu dengan perolehan),
Suhrawardi kemudian melangkah lebih jauh dengan menguraikan dimensi lain
dari ilmu pengetahuan yang, nilai validitasnya tidak kalah, atau bahkan lebih
tinggi dibandingkan dengan ilmu-ilmu hushuli tersebut. Ia menyebut ilmu ini
sebagai ilmu hudhuri, dalam istilah Inggirs, pengetahuan semacam ini biasa
diistilahkan dengan knowlegde by presesnt, sedangkan terjemahan bebasnya ke
dalam bahasa Indonesia adalah ilmu dengan kehadiran atau pengetahuan dengan
kehadiran.
Di sinilah sebenarnya letak kegeniusan Suhrawardi sehingga ia disebut
sebagai tokoh besar yang sukses memberikan warna baru bagi ilmu pengetahuan.
Keberhasilannya menuntun kita menelusuri relung-relung terdalam dalam diri,
bukan hanya menyadarkan kita akan kompleksitas dimensi yang terdapat dalam
diri kita, lebih jauh lagi, Suhrawardi bisa membuktikan bahwa setiap dimensi itu
memiliki medan operasional sendiri dalam ilmu pengetahuan yang, tingkat
kebenarannya sama-sama bisa dipertanggungjawabkan.
Suhrawardi berhasil memperluas batas wilayah ilmu pengetahuan yang
semula hanya terpaku dalam uraian-uraian demonstratif-empiris dan diskursifpredikatif, dengan menghamparkan peta ilmu pengetahuan intuitif-iluminatif. Jika
ilmu-ilmu yang tersebut pertama mengandalkan data-data indrawi yang sensible,
sedangkan yang tersebut kedua berporos pada objek yang intelligible, maka ilmu
yang tersebut terakhir berusaha mengeksplorasi objek yang imaginable.
Menurut Suhrawardi, apabila kita mengakui kebenaran ilmu demonstratifempiris dan diskursif-predikatif, berarti tak ada alasan bagi kita untuk
mengingkari kebenaran yang berlaku pada ilmu intuitif-demonstratif. Sayangnya,
filsafat Barat modern telah terdorong untuk menyingkirkan klaim-klaim kesadaran
tertentu dari wilayah pengetahuan manusia, dan menuduhnya sebagai ungkapan
gairah atau lompatan-lompatan imajinasi belaka.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
92
Menurut Hairi Yazdi, hal ini dilakukan agar aliran logika filsafat tidak
mengalami kekacauan dan mengakibatkan disintegrasi kesadaran primer. Sebagai
contoh, karena pengalaman-pengalaman mistis dicirikan oleh kualitas noetic,
dalam artian bahwa pengalaman-pengalaman tersebut membuat klaim tertentu
tentang kesadaran terhadap dunia realitas, maka penyelidikan filosofis dipaksa
untuk memastikan kebenaran atau kepalsuan pengalaman-pengalaman tersebut
sebagai kemungkinan dimensi lain dari akal manusia. Akibatnya, filsafat modern
lebih sering mengecam dimasukkannya spesies-spesies pengetahuan ini ke dalam
batang tubuh pemikirannya demi mempertahankan keseragaman pemahaman
tentang kesadaran. Meskipun demikian, pengabaian pemikiran filosofis terhadap
persoalan-persoalan ini, tidaks secara otomatis membuktikan kepalsuan jenis-jenis
pengetahuan ini. (Yazdi, 2003, 38)
Bagi Suhrawardi, tidak adil jika kita hanya menerima suatu spesies ilmu
pengetahuan tertentu, dan menolak spesies yang lain tanpa alasan yang jelas.
Selama observasi spiritual ini bisa diterangkan secara cerdas dengan metodologi
yang sistematis dan ketat, maka adalah sebuah keniscayaan bagi kita untuk
mengakui kebenarannya seperti kita memperlakukan kebenaran yang diperoleh
dari refleksi filosofis, atau dari analisa ilmiah. Dalam pembukaan Hikmah alIsyraq, Suhrawardi menulis:
،
‫ﻏ‬
.‫ﻋﻠﯿﮭﺎ‬
Sebagaimana kita menyaksikan benda-benda empiris, meyakini, dan
membangun landasan epistemologis atas keyakinan itu, seperti pada fisika
dan disiplin ilmu sejenisnya, maka demikian pula kita menyaksikan
fenomena dari dunia spiritual, lalu kita susun kerangka berpikir atas
penyaksian itu. (Suhrawardi, 1993, 13)
Suhrawardi mengawali kajiannya tentang ilmu hudhuri ini dengan
menguraikan hakikat cahaya. Baginya, cahaya adalah sesuatu yang sudah jelas
dan terang dengan dirinya sendiri sehingga tidak memerlukan definisi.
(Suhrawardi, 1993, 106). Ia menyatakan bahwa cahaya bukan hanya realitas yang
paling terang, tapi juga bisa menerangi yang selainnya. Atas dasar itulah, tak ada
pengertian apapun yang bisa melukiskan cahaya. Sebab, tujuan pengertian adalah
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
93
membuat sesuatu yang awalnya kabur menjadi benar-benar dipahami. Karena
tidak ada yang lebih bisa dipahami dari cahaya, maka secara ipso facto tak ada
definisi yang bibutuhkan untuk menerangkan tentang cahaya.
Poin yang perlu dicermati di sini adalah, istilah cahaya yang dielaborasi
Suhrawardi jangan hanya dipahami secara sempit mengacu kepada cahaya yang
kita temui dalam realitas empiris. Dalam konteks yang lebih luas, istilah cahaya
ini juga mengacu kepada segala sesuatu yang begitu jelas dan cemerlang sehingga
tidak diperlukan penyelidikan praktis apapun untuk menjelaskannya.
Bagi orang yang sudah akrab dengan mistisisme Islam, penggunaan
terminologi cahaya dalam ranah ilmu pengetahuan sebenarnya bukanlah sesuatu
yang asing, dan tidak hanya dilakukan oleh Suhrawardi. Jauh sebelumnya,
terminologi semacam ini sudah dilakukan oleh Syaikh Waqi', guru Imam Syafi'i—
sang pendiri mazhab fiqih. Dalam sebuah kisah yang sudah populer, diceritakan
bahwa Imam Syafi'i mengadukan kesulitannya menghafal kepada gurunya itu.
saat itulah, sang guru memberikan jawaban dalam bentuk puisi yang berisi
penjelasan bahwa ilmu adalah cahaya, dan hanya akan diberikan Tuhan kepada
orang yang hatinya bersih. (Ad-Dimyathi, tt, 167)
.‫ﻓﺄرﺷﺪﻧﻲ إﻟﻰ ﺗﺮك اﻟﻤﻌﺎﺻﻲ‬
.‫وﻧﻮر اﷲ ﻻ ﯾﮭﺪى ﻟﻠﻌﺎﺻﻲ‬
‫ﺷﻜﻮت إﻟﻰ وﻗﯿﻊ ﺳﻮء ﺣﻔﻈﻲ‬
‫وأﺧﺒﺮﻧﻲ ﺑﺄن اﻟﻌﻠﻢ ﻧﻮر‬
Kuadukan kepada Waqi' kesulitanku dalam menghapal
Ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat
Ia mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah takkan diberikan kepada orang durjana.
Setelah menguraikan hakikat cahaya, Suhrawardi meneruskan uraiannya
dengan mempertentangkan antara cahaya dengan kegelapan yang dalam
terminologinya biasa digunakan istilah nur dan zhalam. Ia membagi masingmasing cahaya dan kegelapan menjadi dua.
Dua jenis cahaya itu adalah; [1] Cahaya murni (nur al-mujarrad, nur
mahdhi) yaitu cahaya yang asli, tak tercampur, tak inheren dalam sesuatu yang
lain, dan mandiri dalam zatnya sendiri. [2] Cahaya temaram (nur al-aridh) yaitu
cahaya tidak mandiri, berhajat kepada lokus lain, bersifat aksidental, dan
terkandung dalam sesuatu yang lain. (Suhrawardi, 1993, 108)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
94
Sedangkan dua jenis kegelapan yang dimaksud adalah; [1] Substansi kabur
(al-jauhar al-jismani al-ghasiq) yaitu kegelapan yang tidak terdapat dalam
sesuatu yang lain dan karenanya murni dan mandiri. Yazdi mencontohkan "materi
primer" (hyle) untuk jenis kegelapan jenis ini [2] Substansi gelap (al-hai'ah alzhulmaniyyah) yaitu kegelapan yang terdapat dalam sesuatu yang lain dan tidak
mandiri. Yazdi mencontohkan semua objek material yang disebut "aksiden"
dalam cara berpikir Plato untuk kegelapan jenis ini. (Suhrawardi, 1993, 109)
Lebih lanjut, Suhrawardi mengatakan adanya hal-hal yang tidak termasuk
cahaya ataupun kegelapan, tetapi berada di antara keduanya. Mereka disebut
objek-objek pertengahan (al-barzakh), misalnya "substansi-substansi material"
yang menurut Suhrawardi bukan cahaya ataupun kegelapan, melainkan substansisubstansi yang berada dalam keadaan tertentu sehingga seandainya cahaya
terpancar kepada mereka, mereka bisa masuk ke dalam terang, dan dengan
demikian menjadi tampak, tetapi seandainya cahaya tidak mencapai mereka,
mereka adakan jatuh kembali ke kegelapan mutlak dan lenyap. (Suhrawardi,
1993, 108)
Menurut Hairi Yazdi, untuk memudahkan kita dalam menangkap
pemikiran Suhrawardi, maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah
menyederhanakan pembagian-pembagian di atas dan lebih menganggapnya
sebagai penjelasan verbal mengenai istilah teknis belaka. Artinya, perhatian kita
jangan sampai tersedot untuk menganalisa dimensi ontologis-metafisik dari
istilah-istilah cahaya, kegelapan, dan objek-objek pertengahan, tapi anggaplah
semua itu sebagai usaha Suhrawardi dalam mengelaborasi khazanah kekayaan
intelektual Persia klasik ke dalam bangunan filsafatnya. Tapi juga bukan berarti
kita boleh secara bebas mengangap Suhrawardi telah melakukan elaborasi secara
serampangan sehingga elaborasinya itu tak perlu kita pedulikan. Tentu saja, dia
sudah sadar dengan konsekuensi metafisik dan religius di balik elaborasinya itu.
Oleh sebab itulah, dengan empatik dan apologetik ia membatasi diri pada
"permainan bahasa" dualisme ini, dan secara konvensional menyamakan "cahaya"
dengan eksistensi, dan makna "kegelapan" dengan ketiadaan. (Yazdi, 2003, 145)
Setelah mengetahui istilah-istilah teknis yang diperkenalkan Suhrawardi
ini, berarti kita sudah melewati satu tahapan dan bisa melangkah maju untuk
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
95
memasuki tahapan berikutnya dari pemikiran Suhrawardi tentang ilmu
pengetahuan. Dan, di sinilah titik krusial itu dimulai. Mengapa? Karena
Suhrawardi menyebut setiap orang yang mengetahui dirinya sendiri sebagai
"cahaya murni" (nur al-mahdhi).
.‫ ﻓﮭﻮ ﻧﻮر ﻣﺤﺾ ﻣﺠﺮد‬،‫ﻓﻀﻼ ﻋﻦ اﻟﻈﻠﻤﺎﻧﯿﺔ‬
Setiap diri yang tidak lalai akan esensinya bukanlah substansi kabur
karena penampakan esensinya pada dirinya. Ia juga bentuk kegelapan bagi
esensi lain, bahkan bentuk cahaya itu sendiri bukanlah cahaya-bagidirinya.ia adalah cahaya murni. (Suhrawardi, 1993, 110-111)
Dalam presmis-premis yang sangat ringkas, ruwet, dikemas dengan katakata aneh serta kalimat yang tidak biasa dalam dunia filsafat ini, ada dua hal yang
perlu kita cermati. Pertama, penasbihan setiap orang yang mengetahui dirinya
sendiri sebagai cahaya murni. Secara tersirat, Suhrawardi pada dasarnya ingin
menegaskan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi cahaya murni
yang bukan hanya mampu menerangi dirinya sendiri, tapi juga menerangi alam
sekitarnya, tidak hanya menjadi cahaya temaram yang, masih membuthkan cahaya
lain supaya bisa menerangi dirinya sendiri.
Jika ditarik dalam lapangan praktis, kita bisa menafsirkannya dengan,
setiap individu adalah entitas unik yang memiliki "bekal" sama dan setara untuk
memiliki ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Sayangnya, tidak semua individu menginsafi potensi yang sudah tertanam dalam
dirinya itu sehingga bisa dieksploitasi sedemikian rupa. Akibatnya, potensi itu
statis dan tidak mewujud menjadi aktus yang bisa dimanfaatkan, walaupun tidak
hilang sama sekali. Kondisi seperti ini disinyalir Suhrawardi pada kalimat
pembukaannya dalam premis di atas, "setiap diri yang tidak lalai akan
esensinya."
Kalimat ini sebenarnya bisa diartikan sebagai pengelompokan manusia
menurut Suhrawardi yang, secara sederhana bisa dibagi dua. Yaitu orang yang
menyadari potensi dirinya lalu mengeksplorasinya, dan orang yang tidak
menyadari potensi dirinya sehingga tidak bisa berbuat apa-apa terhadap potensi
yang dimiliki tersebut. Kelompok yang tersebut pertama ia istilahkan sebagai nur
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
96
al-mujarrad (cahaya murni), sedangkan kelompok yang tersebut terakhir ia sebut
sebagai nur al-aridh (cahaya temaram).
Kedua, kesadaran diri adalah masalah penting dalam ilmu pengetahuan,
bahkan ia—dalam terminologi ilmu hudhuri—merupakan bagian dari ilmu
pengetahuan itu sendiri. Suhrawardi
melangkah maju kepada masalah
pengetahuan diri dengan mengatakannya bahwa pengetahuan ini identik dengan
realitas diri itu sendiri, dan realitas diri dengan cahaya murni. Karena itu, realitas
diri berlaku sebagai contoh utama dalam ilmu hudhuri yang, dalam terminologi
Suhrawardi, merupakan cahaya murni yang tak ada apapun yang lebih nyata
darinya.
Pengetahuan diri ini juga menjadi elemen khusus yang oleh Hairi Yazdi
disebut sebagai modus utama dalam epistemologi ilmuninasi. Untuk kepentingan
teknis, penulis akan memisahkan uraian mengenai masalah ini dalam sub bab lain,
walaupun sebenarnya ia adalah bagian yang sangat terkait dengan konsep cahaya,
dan bahkan dalam sejumlah kesempatan, ia disebut sebagai cahaya itu sendiri oleh
Suhrawardi.
Di samping itu, penulis juga akan memberikan sentuhan-sentuhan sufistik
serta sedikit perbandingan dengan teori filsafat klasik dan modern yang memiliki
relevansi sebagai tambahan informasi untuk mempermudah proses pemahaman
kita, sekaligus sebagai contoh nyata dari bentuk ilmu hudhuri itu sendiri. Pada
titik-titik tertentu, sentuhan sufistik dan studi banding ini bisa memberikan
penjelasan bagi kita mengenai salah satu langgam yang digunakan Suhrawardi
untuk membangun konsep filsafatnya, sebagaimana yang ia akui sendiri dan telah
diterangkan di bab 2.
5.2 Pengetahuan Diri
Suhrawardi meyakini bahwa, langkah pertama yang wajib dilakukan oleh
setiap insan sebelum mengetahui yang lain adalah, mengetahui dirinya sendiri.
Mereka harus bisa menjawab pertanyaan "Bagaimana sesungguhnya kita
mengetahui diri kita?" Apakah hakikat jenis pengetahuan yang umumnya dikenal
sebagai "pengetahuan diri" atau "kesadaran diri?" apakah sama dengan
mengetahui meja, kursi, bulan, atau matahari? Atau, barangkali esensi
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
97
pengetahuan diri harus dipandang berbeda, tidak hanya sebagian, tetapi
seluruhnya, dari esensi pengetahuan yang lain? Eksistensi diri saya pasti
dipraanggapkan dalam setiap proposisi atau tindakan yang di dalamnya saya
adalah subjek, atau yang untuknya saya bertanggung jawab? Inilah pertanyaanpertanyaan fundamental bagi filsafat iluminasi tentang pengetahuan diri dalam
teori Suhrawardi tentang ilmu hudhuri.
Dalam lintasan sejarah, urgensi mengetahui diri ini sudah ditekankan oleh
Sokrates melalui ungkapannya yang sangat terkenal "Gnothi se auton" (Kenali
dirimu sendiri). Melalui kalimat singkat yang menjadi dasar dari seluruh
pemikiran filsafatnya ini, Sokrates menghimbau manusia untuk mengenali hakikat
dirinya terlebih dahulu, sebelum berusaha mencari pengetahuan faktual-etis yang
lain. Slogan ini demikian populer sehingga orang-orang Yunani menuliskannya di
kuil dewa-dewi mereka. (Bagus, 2002, 281)
Dalam dunia Islam, masalah pengetahuan diri juga menduduki posisi
agung karena diyakini sebagai pilar utama untuk mengetahui Tuhan. Sekadar
catatan, pengetahuan tentang Tuhan ini jangan dimaknai sebagai pengetahuan
tentang esensi-Nya. Sebab, manusia tidak mungkin mengetahui esensi Tuhan, dan
hanya Dia sendirilah yang mengetahui esensi diri-Nya. (Amstrong, 1995, 134).
Pengetahuan tentang Tuhan ini harus dimaknai sebagai pengetahuan
primordial nan unik. Primordial karena ia merupakan pengetahuan yang, bukan
hanya bisa mengantarkan manusia pada kedudukan spiritual tertinggi, tapi juga
mampu menghadirkan kedamaian dan ketenangan dalam jiwa. Dan, unik karena
sepanjang sejarah pergulatan kaum sufi dengan pengetahuan ini, tak satu pun di
antara mereka yang bisa memaparkan pengetahuan ini secara subtil setelah
mengalaminya. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menguraikan sejumlah
langkah yang bisa ditempuh untuk bisa mencapai pengetahuan ini. Tapi satu hal
yang pasti, geliat kaum sufi mendalami pengetahuan ini karena dimotifasi oleh
hadis maudhu' yang berbunyi:
.‫ أﻋﺮﻓﻜﻢ ﺑﻨﻔﺴﮫ أﻋﺮﻓﻜﻢ ﺑﺮﺑﮫ‬.‫ﻣﻦ ﻋﺮف ﻧﻔﺴﮫ ﻋﺮف رﺑﮫ‬
Orang yang mengetahui dirinya, pasti mengetahui Tuhannya. Orang yang
paling mengetahui dirinya di antara kalian, adalah orang yang paling
mengetahui Tuhannya. (Ar-Rifa'i, 1408, 48)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
98
Masalah ini nampaknya disadari betul oleh Suhrawardi sehingga ia, senada
dengan Sokrates, dalam karyanya yang berjudul al-Masyari' wa al-Mutharahat
menyatakan bahwa manusia seyogianya mencari pengetahuan tentang esensi
dirinya sendiri, sebelum melangkah pada pengetahuan yang lebih jauh.
(Suhrawardi, 1993, 484)
Maksud dari mengetahui diri di sini adalah mengetahui esensi diri yang
terminologi Suhrawardi dan filsafat Islam lazim disebut sebagai anaiyyah atau
keakuan, sedangkan dalam terminologi filsafat Barat biasa disebut dengan aku
performatif. Untuk memudahkan kajian, penulis selanjutnya hanya akan
menggunakan satu istilah, yaitu aku performatif.
"Aku performatif" ini adalah subjek "aku" yang asli, primer, dan langsung
yang aktif serta hadir dalam segenap tindakan, termasuk tindak mengetahui. Ia
bukan "aku" yang direnungkan, dikonsepsi, direpresentasikan. Bukan pula "aku"
yang ditindak, dihadirkan, atau ditunjuk. Ia benar-benar subjek yang telanjang,
hadir, serta imanen dalam seluruh tindakan fenomenal, dan merupakan subjek
aktif yang berpikir, berbicara, dan bertindak.
Guna memudahkan pemahaman kita tentang konsep aku performatif yang
benar-benar menjadi subjek sejati dan bukan yang dikonsepsi ini ada baiknya jika
kita menggunakan pemikiran John Langshaw Austin (1911-1960) tentang
performative utterances (ungkapan-ungkapan performatif) dan constantive
utterances (ungkapan-ungkapan konstanstif). Menurutnya, pernyataan-pernyataan
seperti "Aku melihat Pak X duduk" "Aku makan nasi" atau "Aku membaca buku".
berbeda dengan pernyataan-pernyataan semisal "Aku berjanji mengirim uang"
"Aku berterima kasih kepadamu" atau "Aku memohon ampun kepada-Mu."
Tiga contoh statemen pertama, menurut Austin, disebut sebagai
constantive utterances karena berfungsi untuk menggambarkan, melaporkan, atau
menginformasikan suatu keadaan faktual bahwa; aku berjanji, aku berterima
kasih, atau aku memohon ampun. Ada sesuatu yang dinyatakan, dilukiskan, atau
dikonstatasi dalam kalimat-kalimat tersebut.
Sedangkan tiga contoh statemen terakhir disebut sebagai performative
utterances karena sama sekali tidak bermaksud melaporkan atau melukiskan
sesuatu, akan tetapi merupakan tindakan itu sendiri. Ada sesuatu yang terjadi oleh
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
99
karena kalimat tersebut. Jelasnya, pernyataan "Aku berjanji" tidak melaporkan
suatu tindakan berjanji, tetapi ia adalah tindakan berjanji itu sendiri. Pernyataan
"Aku berterima kasih" bukan dimaksudkan untuk menggambarkan tindakan
berterima kasih, namun ia merupakan tindakan berterima kasih itu sendiri.
(Bertens, 2002, 60-67)
Dalam ungkapan performatif, "aku" yang berbicara adalah identik dengan
"aku" yang bertindak. Statemen "Aku berjanji" adalah tindakan "aku", bukan
suatu informasi tentang "aku". Dalam konteks epistemologi Suhrawardi, aku
performatif adalah aku yang identik dengan tindak mengetahui. Tidak ada dualitas
subjek-objek, dan tidak ada pula konseptualisasi, introspeksi, atau representasi
tentang "aku". Sebab, jika "aku" dikonsepsi atau direpresentasi, "aku" itu bukan
lagi aku performatif atau aku yang sejati, tapi "sesuatu yang lain" yang dianggap
sebagai "aku".
Disadari atau tidak, sampai saat ini kata "aku" yang merupakan kata kunci
dalam pengenalan diri tetap menjadi sebuah problem akut dalam dunia filsafat. Ia
implisit hadir dalam setiap tindak mengetahui, perbuatan, dan tindak bahasa
manusia. Anehnya, ia tidak bisa ditunjuk. Karena apabila ditunjuk, ditindak, atau
dinilai, ia tidak lagi berperan sebagai "aku", tetapi "dia" atau aku fiktif.
Dalam upaya menyelesaikan problem ini, kita akan tahu betapa
Suhrawardi jauh lebih matang daripada Rene Deskartes (1596-1650) kendati
tokoh iluminasi itu hidup lebih dulu, serta memiliki waktu yang jauh lebih pendek
untuk menuntaskan persoalan filosofis tentang pengetahuan diri dibanding
Deskartes yang sangat popupler sebagai bapak filsafat modern, melalui salah satu
metodenya yang terkenal dengan metode kesangsian atau keraguan (Cartesian
Doubt) yang tersimpul dalam kalimat cogito ergo sum.
Seperti telah diketahi bersama, setelah dirisaukan oleh skeptisisme
filosofis, Deskartes sampai pada satu titik di mana dia menemukan dirinya tak lagi
rentan terhadap keraguan. Dengan memusatkan pada prinsipnya yang tak
teragukan lagi, cogito. Dengan kata lain, kepastian eksistensi keraguan saya
membawa kepada kepastian mengenai eksistensi diri saya. Jadi, Deskartes
sebenarnya hendak menegakkan pengetahuan mengenai kediriannya melalui
kepastian dirinya berkenaan dengan keadaan ragu. Dia menyuguhkan satu tindak
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
100
fenomenal pikirannya sebagai bukti untuk menjelaskan kebenaran eksistensi
identitas personalnya.
Melalui prinsip "Aku berpikir, maka aku ada" Deskartes menunjukkan
bahwa rasionalitas representatif sang subjek terlebih dahulu daripada realitas
eksistensi, termasuk eksistensi dirinya sendiri. Menurutnya, kesadaran bahwa
"aku ada" muncul belakangan setelah "aku sadar bahwa aku berpikir". Ia
mengemukakan doktrin ini melalui argumen metode kesangsian bahwa, segala
sesuatu boleh disangsikan kebenarannya, kecuali kesadaran akan keraguan itu
sendiri. Suatu aktivitas yang menunjukkan aktvitas berpikir.
Dari doktrin ini, bisa disimpulkan bahwa menurut Deskartes, subjek "aku
ada" adalah produk representasi dari subjek "Aku berpikir. Doktrin ini
menimbulkan masalah baru karena eksistensi subjek ditempatkan sebagai objek
aktivitas berpikir yang representatif-fenomenal, sehingga bisa juga dipahami
bahwa subjek "aku ada" sama dengan "aku yang diobjekkan" atau "aku
representatif". Dengan demikian, konsekuensi selanjutnya adalah, kita bisa
mengatakan bahwa Deskartes sejatinya tidak merujuk kepada realitas eksistensial
manapun, kecuali apa yang ia bayangkan sebagai "aku ada". Jadi, jika kita boleh
menyebut apa yang dirujuk Deskartes itu sebagai "aku ilutif", maka adagium
pembentuk Zeitgeist (ruh zaman) modern itu menjadi berbunyi, "Aku berpikir,
maka aku ilutif ada."
Hal ini terjadi karena dengan menjadikan berpikir sebagai cara untuk
mengetahui diri, sama seperti menjadikan tindakan baik yang bersifat intelektual
seperti berpikir, ataupun fisik seperti membaca sebagai modus untuk menyadari
eksistensi diri. Dalam bahasa yang sederhana, pengetahuan saya mengenai
tindakan saya berfungsi sebagai sebab bagi pengetahuan saya tentang diri saya.
Konsekuensinya, akan terkesan bahwa seseorang harus mengeluarkan "dirinya"
dari "dirinya" supaya bisa menjadi saksi atas dirinya sendiri.
Titik krusial inilah yang sangat disadari oleh Suhrawardi sehingga ia bisa
mengantisipasinya secara indah. Menurutnya, manusia mengetahui dirinya tidak
melalui representasi dirinya. Dalam Hikmah al-Isyraq dengan akurat dia menulis:
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
101
!‫ وھﻮ ﻣﺤﺎل‬،‫ وأن ﯾﻜﻮن إدراك ذاﺗﮭﺎ ﺑﻌﯿﻨﮫ إدراك ﻏﯿﺮھﺎ‬،‫ھﻮ‬
Sesuatu yang eksis dalam dan sadar akan dirinya sendiri tidak mengetahui
dirinya melalui representasi atas dirinya yang tampak oleh dirinya. Sebab,
jika seseorang harus membuat representasi dirinya untuk mengetahui
dirinya, representasi itu adalah "dia" dalam kaitannya dengan diriku, dan
bukan "aku". Ini karena representasi keakuan tidak pernah menjadi realitas
diri "keakuan" tersebut. Dengan demikian, hal yang muncul dalam
kesadaran adalah representasi itu. Jadi, dapat dikatakan bahwa kesadaran
akan "keakuan" akan menjadi kesadaran akan "kediaan", dan bahwa
kesadaran akan realitas keakuan karenanya akan menjadi kesadaran akan
apa yang bukan "keakuan". Dan, ini absurd! (Suhrawardi, 1993, 111)
Dari argumen pelik dan berbelit ini, kita bisa memahami bahwa konsep
pengetahuan diri yang dikembangkan Suhrawardi bersifat performatif sekaligus
swaobjektif. Performatif karena "aku" yang ingin diketahui adalah aku yang
subjektif, bukan "aku" yang ditunjuk, dikonsepsi, apalagi diobjektifikasi. Dan
swaobjektif, karena pengetahuan ini bersifat mandiri tanpa representasi yang bisa
dirujuk seperti yang berlaku dalam tataran korenspondensi. Dan, faktor inilah
yang kemudian membuat ilmu hudhuri disebut sebagai ilmu yang swaobjek.
Setelah berhasil mengajukan argumen yang bersifat metafisik dengan
mengingkari pengetahuan diri diperoleh melalui pengetahuai tentang citra atau
representasi seperti di atas, Suhrawardi melangkah maju dengan menguratakan
bahwa manusia juga tidak mengetahui dirinya melalui pelbagai atribut yang
melekat atau bahkan identik dengan dirinya. Masih dalam buku dan paragraf yang
sama, ia menulis:
.
.
.‫ﺑﺎﻟﺼﻔﺎت اﻟﺰاﺋﺪة‬
Tak bisa dibayangkan bahwa seseorang mengetahui dirinya melalui
sesuatu yang ditambahkan pada dirinya, karena tambahan itu akan berlaku
sebagai atribut bagi dirinya. Jika demikian halnya, dia memutuskan bahwa
setiap atribut yang diasosiasikan dengan realitas dirinya, adalah milik
realitas dirinya sendiri dan dengan demikian tersirat bahwa dia telah
mengetahui dirinya sendiri sebelum mengetahui atau bahkan tanpa atributatribut ini. Jadi, seseorang tidaklah mengetahui dirinya sendiri melalui
atribut-atribut yang ditambahkan padanya. (Suhrawardi, 1993, 111)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
102
Dalam karya lainnya yang berjudul al-Talwihat, Suhrawardi secara lebih
spesifik mengukuhkan statemen di atas dengan menyatakan bahwa manusia tidak
mengetahui dirinya melalui organ-organ tubuhnya sendiri. Dengan tandas ia
menyatakan, jika seseorang mempostulatkan dalam pikiran bahwa seorang
manusia yang secara tiba-tiba diciptakan dalam kondisi sempurna, tanpa anggota
badan atau persepsi indrawi, manusia ini takkan menyadari sesuatu kecuali
"kediriannya" sendiri.
Bagi Suhrawardi, mustahil seseorang terisolasi dari diri dan pengenalan
atas dirinya sendiri. Alasannya, tak ada sesuatu yang lebih nyata bagi seseorang
selain kediriannya sendiri, sehingga untuk mengenalnya, ia cukup membutuhkan
dirinya sendiri, dan tidak membutuhkan pelbagai atribut dan objek eksternal
lainnya. Dengan kata lain, pengenalan diri ini berlangsung secara otomatis,
konstan, dan simultan.
Kebenaran hipotesa Suhrawardi ini belakangan sudah banyak diakui oleh
para filsuf, salah satunya adalah Santo Agustinus. Senada dengan Suhrawardi,
Agustinus juga melihat pengetahuan diri atau "keakuan performatif" sebagai
bentuk pencapaian ontologis yang paling dekat dan innate dari kesadaran
manusia. Dalam retorikanya yang sangat terkenal, ia pernah berkata, "Quid autem
propinguius meipsomihi?" (Masih adakah sesuatu yang lebih tampak bagiku
selain diriku sendiri?). Pengetahuan seperti ini tidak mengandaikan adanya jarak
atau distansiasi antara "keakuan performatif" dan diri. Sebuah pandangan yang
berbeda dari fenomenologi modern yang melihat pengetahuan atau kesadaran
semacam ini sebagai cerminan dari distansiasi yang tak terelakkan setiap kali
subjek menyadari keberadaan dirinya. Tentang masalah ini, Suhrawardi menulis
dalam Hikmah al-Isyraq pasal ke-116:
‫ وإذ‬.
.‫اﻟﻈﺎھﺮة ﻟﻨﻔﺴﮭﺎ أو اﻟﻐﯿﺮ اﻟﻐﺎﺋﺒﺔ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﮭﺎ‬
Mustahil Anda terisolasi dari diri dan pengenalan atas diri Anda. Karena
pengenalan itu tidak terjadi berkat representasi atau atribut, maka untuk
mengenali diri, Anda hanya membutuhkan diri Anda yang nyata dan tidak
pernah absen dari Anda. (Suhrawardi, 1993, 112)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
103
Berdasarkan kutipan singkat di atas, kita bisa mengetahui dengan jelas dua
argumen dasar yang digunakan Suhrawardi dalam memetakan pengetahuan diri.
Argumen pertama yang diajukan Suhrawardi berkaitan dengan fungsi logis,
epistemik, dan semantik dari "keakuan" yang dikontraskan dengan "kediaan".
Sedangkan argumen kedua berkenaan dengan distingsi antara atribut-atribut yang
kepadanya atribut-atribut ini dilekatkan, yang secara prospektif dianggap sebagai
realitas kedirian.
Meskipun argumen ini secara tegas menyerukan perbedaan antara atributatribut dan diri yang, kepada atribut-atribut ini ditujukan, Suhrawardi tetap
mengemukakannya dengan bahasa yang akrobatik sehingga bahkan pembedaan
ini mesti dibuat oleh subjek performatif itu sendiri, bukan oleh pelaku di luar
dirinya. Hal ini ia lakukan karena ingin bersikap konsisten dan tidak jatuh pada
pertimbangan dualitas "aku" seperti yang terjadi dalam permikiran Deskartes.
Konsistensi ini sangat penting karena penilaian dari luar yang membedakan
atribut-atribut dengan pemilik atribut itu, rentan terhadap konsekuensi
memperlakukan diri sebagai objek yang, karena diubah menjadi "dia", bisa
dengan mudah dianalisis menjadi kualitas-kualitas dari sesuatu yang dikualifikasi.
Dengan membangun argumen secara negatif tentang pengetahuan diri—
yaitu
mengingkari
pengetahuan
manusia
diperoleh
dengan
mengetahui
representasi dirinya, atribut, dan bahkan organ tubuhnya sendiri, Suhrawardi
hakikatnya ingin mengatakan bahwa "aku performatif" dalam epistemologi
iluminasi ini benar-benar mengacu kepada subjek yang eksis dalam dirinya
sendiri, bukan dalam yang lain, memiliki kemampuan untuk mengetahui dirinya
sendiri. Dialah subjek yang berbicara, bertindak, serta membuat penilaian
terhadap sesuatu yang disadarinya. "Aku performatif" yang tak bisa diubah dari
subjek yang mengetahui menjadi subjek tak bernyawa yang bisa dirujuk sebagai
"dia". Subjek yang mengetahui dirinya oleh dan dengan dirinya sendiri secara
murni tanpa sarana apapun.
Dari titik inilah Suhrawardi kemudian mengembangkan teori epistemogi
ilmu hudhuri yang sangat unik dan berbeda dari ragam epistemolgi yang lain.
Suatu epistemologi yang dicirikan dengan kesatuan eksistensial antara tiga modus
pengetahuan yang meliputi: [1] Subjek yang mengetahui. [2] Objek yang
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
104
diketahu. [3] Tindak mengetahui. Tentang hal ini, komentator Suhrawardi yang
paling masyhur, Syamsuddin Muhammad al-Syahrazuri menulis dalam Syarh
Hikmah al-Isyraq:
.
.‫واﻟﻤﻌﻘﻮل واﺣﺪ‬
Setiap individu yang mengetahui dirinya adalah cahaya murni. Setiap
cahaya murni adalah terang bagi dan menyinari dirinya sendiri.
Konsekuensinya, subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, tindak
mengetahui di sini adalah satu. Sama seperti pikiran, pemikir, serta sesuatu
yang dipikirkan itu adalah satu. (Syahrazuri, 1993, 301)
Artinya, pengetahuan diri ini dijadikan sebagai instrumen yang paling
dasar oleh Suhrawardi dalam konsep pengetahuan dengan kesadaran. Sekaligus
dimensi yang paling elementer dari setiap tindak mengetahui. Dengan kata lain,
mengetahui berarti menyatakan adanya suatu unifikasi eksistensial antara subjek
yang mengetahui (pikiran) dengan objek yang diketahui (realitas atau bendabenda), sehingga kehadiran objek bisa dikenali secara meyakinkan. Dengan
mengikuti aksioma Aristotelian, berarti dapat dinyatakan bahwa subjek atau
pikiran yang mengetahui dan objek yang diketahui adalah identik. Dalam bahasa
latin biasa diungkapkan dengan kalimat Idem est et intellectus et intellectum,
sedangkan dalam bahasa Arab biasa dilafalkan dengan Ittihad al-aqil wa alma'qul (Kesatuan antara pemikir dan yang dipikirkan).
Dalam epistemologi ini, pengenalan atas objek tidak selalu dijalani dengan
bantuan representasi atau gambaran objek yang terpantul pada pengindraan
subjek. Pengenalan semacam inilah yang berlaku dalam pengetahuan swaobjek.
Sebuah modus pengetahuan yang, ketika objek sudah berhasil dikenali, maka
tidak lagi dibutuhkan kata, bahasa, atau satuan proposisi. Mengapa? Karena
pengetahuan tentang objek tersebut hadir begitu saja dan mewujud dalam
kesadaran.
Sebagai dasar dari epistemologi ini, kesadaran atau pengetahuan diri tentu
menjadi kondisi yang paling ultim. Kondisi ini ditandai dengan terjadinya
penampakan maksimal atas realitas diri dan kesadaran sepenuhnya atas dimensi
ontologis subjek yang berpusat pada keakuan "I-ness." Keakuan ini bisa
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
105
didefinisikan sebagai keterpusatan eksistensial subjek pada kehadiran dirinya di
tengah fenomena objek-objek. Karena subjek hadir untuk dirinya dan mengalami
pengetahuan atas dirinya, maka terdapat wilayah kediaan "It-ness" di luar subjek,
yang berada di luar realitas faktual dan status ontologis subjek.
Dengan "kediaan" ini, subjek menegaskan kehadiran dirinya dan
memastikan adanya medan lain yang tidak dihadirinya. Ketidak-hadiran subjek
atas medan tersebut bukanlah aspek negatif dari "keakuan", tetapi lebih
disebabkan untuk menjaga totalitas eksistensinya dan menegakkan hubungan
korelatif dan keserentakan dengan "kediaan". Dengan teori korelativitas ini,
Suhrawardi berhasil menempatkan subjek-objek dalam keserentakan potensi dan
aksi, sehingga dengan begitu, relasi keakuan-kediaan berlangsung dalam
keseimbangan,
meskipun
tetap
saja
tidak
dapat
saling
dipertukarkan
(inkonvertibilitas) atau dipergantikan (invariabilitas) begitu saja.
5.3 Tahapan Memperoleh Ilmu Hudhuri
Seperti banyak disinggung di muka bahwa filsafat iluminasi dengan
konsep ilmu hudhurinya diperoleh dari sintesa elegan dari pelbagai kebijaksaan
klasik pra Suhrawardi, khususnya antara olah pikir dalam filsafat diskursif
(hikmah al-bahtsiyah) dan olah rasa dalam filsafat intuitif (hikmah al-dzauqiyah).
Sintesa semacam ini, tentu saja bukan pekerjaan mudah yang bisa dilakukan
secara serampangan dengan mengambil salah satu unsur tertentu dari semua corak
filsafat yang ditemui Suhrawardi, untuk kemudian dilebur dalam suatu wadah
yang bernama filsafat iluminasi. Sintesa yang dilakukan secara sembarangan
bukan hanya sangat mungkin menghasilkan suatu pemikiran yang kacau, alih-alih
malah membuahkan suatu teori sesat yang tak bisa dipertanggungjawabkan!
Sebagai perumpamaan, jika Anda bukan ahli farmasi yang memiliki pengetahuan
mendalam tentang kandungan kimia dalam obat-obatan, maka jangan pernah
berspekulasi meracik ramuan tertentu dari pelbagai obat yang Anda miliki dengan
harapan akan memperoleh obat mujarab yang bisa menyembuhkan beragam
penyakit. Sebab, hasil ramuan Anda bukan tidak mungkin malah menjadi racun
mematikan yang sangat berbahaya. Selain dibutuhkan pengetahuan yang
mendalam terhadap kandungan kimiawi sejumlah obat, hasil racikan Anda wajib
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
106
lulus serangkaian pengujian laboratorium sebelum dinyatakan sebagai ramuan
mujarab yang benar-benar manjur dan bisa dipergunakan semua orang.
Hukum yang sama juga berlaku dan sudah dipraktikkan oleh Suhrawardi
saat menggagas pemikiran-pemikirannya. Nampaknya ia sangat menyadari bahwa
suatu gagasan hampir sama dengan obat yang, sebelum dilemparkan kepada
konsumen secara luas, harus melewati uji kelayakan terlebih dahulu. Oleh sebab
itulah, sebelum ia menuangkan konsep filsafat iluminasi dengan segenap lingkup
bahasannya yang beragam, terlebih dahulu ia sudah mendiskusikan konsepkonsepnya itu dengan murid-muridnya. Walaupun tidak ada penjelasan yang pasti
tentang hal ini, namun kita bisa menangkapnya secara tersirat dari keterangan
seputar latar belakang penulisan karya utamanya yang berjudul Hikmah al-Isyraq.
Dalam mukaddimah Hikmah al-Isyraq, terdapat keterangan yang
menunjukkan bahwa filsafat ini pada dasarnya sudah diajarkan melalui lisan oleh
Suhrawardi terhadap murid-muridnya. Merekalah yang kemudian mendesak sang
guru agar menuangkan ajaran-ajarannya itu ke dalam bentuk tulisan. Akhirnya,
setelah berhasil menerabas berbagai kesulitan yang dihadapi, Suhrawardi berhasil
menulis karya besarnya tersebut.
.
.
.‫أﻛﺘﺐ ﻟﻜﻢ ﻛﺘﺎﺑﺎ أذﻛﺮ ﻓﯿﮫ ﻣﺎ ﺣﺼﻞ ﻟﻲ ﺑﺎﻟﺬوق ﻓﻲ ﺧﻠﻮﺗﻲ وﻣﻨﺎزﻟﺘﻲ‬
Ketahuilah saudara-saudaraku, besarnya desakan kalian agar aku
menuliskan filsafat iluminasi, telah menggoyahkan tekadku untuk menolak
dan membuatku tidak bisa mengelak. Jika bukan karena kebenaran yang
pasti dari pesan yang ada, serta perintah yang datang dari suatu tempat yang
meniscayakan terjadi, saya takkan memiliki motivasi kuat untuk
mewujudkannya. Sebab, ada kesulitan besar yang tidak kalian sadari.
Namun kalian, saudara-saudaraku—semoga Allah menunjukkan kalian pada
apa yang Dia cintai dan Dia ridhai—terus mendesakku untuk menulis
sebuah karya yang berisi pengalaman yang kuperoleh melalui intuisi selama
masa-masa khalwat dan kontemplasi. (Suhrawardi, 1993, 9)
Jika kita cermati kalimat-kalimat di atas secara teliti dan tidak terfokus
pada faktor yang melatari Suhrawardi menulis karyanya tersebut, khususnya pada
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
107
rangkaian kalimat terakhir, kita akan menemukan paparan spesifik yang berkaitan
langsung, sekaligus menjadi alasan kuat mengapa sub-bab ini menjadi sangat
penting. Persisnya, dari mana dan bagaimana Suhrawardi mendapatkan gagasan
tentang filsafat iluminasi serta ilmu hudhuri.
Kajian ini menjadi vital mengingat meskipun secara sepintas teori filsafat
iluminasi dihasilkan dari kombinasi pelbagai filsafat sebelumnya, namun ternyata
Suhrawardi tidak secara mudah mengambil bagian-bagian tertentu dari suatu
pemikiran filsafat dan membuang sebagian yang lain, supaya bisa disintesakan
secara indah dalam gagasan besarnya. Lebih-lebih kenyataan membuktikan
bahwa, meskipun dalam sejumlah tulisannya ia secara tegas menyerang pemikiran
diskursif, filsafatnya tidak secara bernas lahir dari ketidakpuasan terhadap teori
filsafat tersebut. Jadi, teori filsafat Suhrawardi bukanlah sebuah bentuk
perlawanan sengit terhadap teori filsafat peripatetik. Sebagai bukti, sejumlah
unsur filsafat diskursif tetap ia lestarikan dalam filsafat iluminasi. Dengan
demikian, filsafat iluminasi tidak berbeda secara kontras dengan filsafat
peripatetik. Hal ini berbeda dengan Aristoteles misalnya, yang karena tidak puas
terhadap pengetahuan sejati dan konsep dunia idea Plato, ia kemudian berusaha
membuktikan bahwa sumber pengetahuan adalah realitas empiris, sehingga
pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang dihasilkan dari pengamatan terhadap
benda-benda empiris, bukan terhadap dunia idea.
Fakta lain yang juga menarik adalah, meskipun Suhrawardi terus terang
mengagumi pemikiran Plato dan Aristoteles dan menyatakan bahwa teori filsafat
yang ia paparkan juga diambil dari konsep dari kedua pemikir Yunani tersebut,
ternyata untuk mendapatkan suatu konsep yang utuh tentang filsafat iluminasi, ia
menggunakan suatu metode unik. Metode itu ia paparkan dalam mukaddimah
Hikmah al-Isyraq sebagai berikut:
.‫ ﻣﺎ ﻛﺎن ﯾﺸﻜﻜﻨﻲ ﻓﯿﮫ ﻣﺸﻜﻚ‬،‫ ﺧﺘﻰ ﻟﻮ ﻗﻄﻌﺖ اﻟﻨﻈﺮ ﻋﻦ اﻟﺨﺤﺔ ﻣﺜﻼ‬،‫اﻟﺤﺠﺔ‬
Semula, (pengetahuan) ini tidak kuperoleh melalui pemikiran, tapi melalui
sumber lain. Aku pun lantas mencari argumentasinya. Sehingga ketika
argumentasinya sudah valid, tak seorang pun dapat menggoyahkanku untuk
meragukannya. (Suhrawardi, 1993, 10)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
108
Dari paparan ini, kita tahu bahwa konsep filsafat iluminasi tidak diperoleh
melalui penalaran dan pemikiran, akan tetapi diperoleh melalui mekanisme yang
berlaku dalam ilmu hudhuri sendiri. Dalam hal ini, nampaknya Suhrawardi ingin
konsisten dengan gagasannya sendiri tentang konsep epistemologinya yang unik
tersebut, sekaligus ingin membuktikan bahwa hanya dengan epistemologi
hudhuri, suatu konsep dan gagasan baru yang original benar-benar bisa dihasilkan.
Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, namun kita bisa menafsirkan
bahwa yang dimaksud dengan kalimat "sumber lain" dalam kutipan di atas adalah
intuisi yang didapatkan setelah melakukan serangkaian kontemplasi sebagaimana
ia sebutkan dalam kutipan sebelumnya. Atas dasar itulah, rasanya tidak absurd
bagi kita untuk mencoba metode yang diusulkan Suhrawardi jika kita ingin
mendapatkan ilmu pengetahuan baru, walaupun metode tersebut tetap bukan satusatunya cara yang bisa diempuh, dan masih banyak cara lain untuk digunakan.
Namun jika berkaca pada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa pemikiran
filsafat di dunia Islam tidaklah semarak seperti yang berlangsung di Barat,
mungkin sekarang sudah saatnya bagi kita untuk mempertimbangan solusi yang
ditawarkan Suhrawardi secara serius.
Pada mukaddimah kitab al-Masyari' wa al-Mutharahat yang kemudian
diulangi lagi pada penutup kitab Hikmah al-Isyraq, menurut Suhrawardi, ada tiga
tahap yang harus dilalui dalam upaya mendapatkan pengetahuan sejati yang
tersimpul dalam ilmu hudhuri.
Pertama adalah tahap persiapan. Pada tahap ini seorang pencari kebenaran
harus melakukan sejumlah aktivitas penting yang bisa mengantarkannya pada
tahap berikutnya. Uniknya adalah, rangkaian aktivitas pada tahap ini sangat jauh
dari kesan-kesan akademis semisal melakukan kajian terhadap pemikiranpemikiran tertentu, mengadakan penelitian terhadap konsep-konsep tertentu, atau
bahkan melakukan pengujian terhadap teori-teori tertentu. Menurut Suhrawardi
dalam pengantar al-Masyari' wa al-Mutharahat, aktivitas pada tahap ini adalah
menjauhi kesenangan duniawi. (Suhrawardi, 1993, 195)
Keterangan yang lebih rinci mengenai bentuk "menjauhi kesenangan
duniawi" ini bisa kita peroleh dalam bagian penutup Hikmah al-Isyraq yang
meliputi; mengasingkan diri selama empat puluh hari, berhenti mengonsumsi
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
109
daging, mengurangi konsumsi makanan, merenungkan dan mengkontemplasikan
cahaya Tuhan, serta melakukan semua perintah-Nya. (Suhrawari, 1993, 258)
Aktivitas seperti ini, menurut Hossein Ziai sangat mirip dengan poa hidup
asketik dan mistik yang marak di zaman Shurawardi, walaupun tidak sama persis
dan tidak seketat seperti yang dilakukan oleh para sufi pada masanya. Pada titik
ini, kita bisa melihat besarnya pengaruh ritual-ritual sufisme yang memang
mewarnai kehidupan sekaligus menjadi ciri khas corak keberagamaan pada abadabad tersebut. Sebagaimana laporan sejarah, ilmuwan Muslim klasik dalam segala
bidang rata-rata menjalani hidup secara zuhud dan asketik jauh dari gelimang
harta duniawi, hatta yang dekat dengan kekuasaan dan tinggal di lingkungan
istama.
Catatan
penting yang harus
penulis
utarakan
berkaitan
dengan
pembabakan tahapan—khususnya tahapan yang pertama—untuk memperoleh
ilmu hudhuri ini adalah, jangan pernah beranggapan cara memperoleh
pengetahuan jenis ini cukup dengan melakukan olah intuisi spiritual serta
menjalankan praktik hidup asketik saja, kemudian mengabaikan proses edukasi
dan instrumen studi ilmiah lainnya. Anggapan seperti ini adalah kesalahan besar
yang takkan membuahkan apa-apa. Kita harus ingat dan melihat lagi bab 2 kajian
ini yang menerangkan bahwa Suhrawardi adalah sosok terpelajar yang, karena
besarnya rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan, ia bukan saja harus rela
menemupuh kesulitan berpindah dari suatu kota ke kota yang lain untuk menuntut
ilmu dari guru-guru yang tersohor, tapi juga berusaha sekuat tenaga untuk
menelusuri suatu pengetahuan hingga ke sumbernya yang paling radikal.
Oleh sebab itu, bisa kita asumsikan bahwa sebelum merumuskan tahapantahapan ini, Suhrawardi sebelumnya sudah melakukan studi yang mendalam
terhadap pelbagai pemikiran dan teori filsafat sehingga penguasaannya terhadap
ilmu pengetahuan spekulatif ini sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Sayangnya,
meskipun secara intelektual sudah bisa dikatakan mapan, ia belum mendapatkan
kepuasan yang diinginkan. Oleh sebab itulah, ia kemudian memutuskan untuk
mengasingkan diri supaya bisa meneliti semua pengetahuan yang ia dapatkan
secara jernih, bening, dan hening. Menelusuri setiap inci dari semua teori yang
telah dipelajari guna menemukan titik lemah yang bisa diperbaiki. Menelisik
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
110
semua konsep yang ia ketahui untuk menemukan kekurangan yang bisa
disempurnakan. Sebab, hanya dengan cara seperti ini ia bisa merekonstruksi
semua konsep dan teori dalam sebuah susunan yang padu yang dapat mengobati
ketidakpuasan intelektualitasnya.
Metode mengasingkan diri untuk mencari solusi ini bukan suatu fenomena
yang aneh atau baru dalam dunia Islam. Metode seperti ini bahkan memiliki
landasan yang kuat dalam tradisi Islam karena pernah dipraktikkan Nabi
Muhammad sebelum diutus menjadi nabi. Metode yang sama juga dilakukan oleh
al-Ghazali sebelum menulis magnum opus-nya, Ihya' Ulumuddin. Jadi,
mengasingkan diri ini merupakan suatu periode analisia dan penghayatan sebelum
melakukan titik balik terhadap suatu realitas yang sudah dianggap mapan namun
diyakini kurang memuaskan. Jadi, orang yang mengasingkan diri sejatinya adalah
orang yang sudah memiliki bekal dan pengetahuan yang cukup tentang fenomena
atau realitas yang menjadi zeitgest pada masa itu. Bukankah Nabi Muhammad
melakukan uzlah ketika masyarakat Arab pra-Islam sudah merasa puas dengan
kebudayaan mereka? Dan bukankah al-Ghazali juga ber-uzlah saat iklim
intelektualitas Islam memiilki kecenderungan yang luar biasa terhadap kajian
filsafat?
Bertolak dari kenyataan ini, penulis berani memastikan bahwa tahapan
memperoleh ilmu hudhuri yang diusulkan Suhrawardi bisa dilakukan hanya dan
hanya jika seseorang sudah memiliki: [1] landasan kuat, [2] penguasan yang luas,
[3] penghayatan yang mendalam atas disiplin ilmu pengetahuan yang digeluti.
Tanpa ketiga faktor ini, praktis, semua tahapan Surawardian ini tidak bisa
dioperasikan karena bukan hanya akan menghasilan kehampaan, tapi malah
membuang-buang waktu dengan percuma.
Tahap pertama ini mengantarkan pada tahap kedua yaitu, merasakan
hadirnya cahaya Tuhan. Menurut Ziai, cahaya Tuhan ini mengambil bentuk
serangkaian cahaya penyingkap (al-anwar al-sanihah) yang masuk ke dalam
wujud
manusia.
Melalui
cahaya-cahaya
inilah
seseorang
memperoleh
pengetahuan sejati yang ditandai dengan pengalaman-pengalaman tertentu yang
bersifat personal. (Ziai, 1998, 36-37)
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
111
Pada tahap ini, seorang pencari kebenaran akan merasakan sebuah intuisi
yang membuat semua persoalan berikut solusinya terlihat demikian nyata dan
jernih. Cahaya-cahaya penyingkap tersebut menyinari dirinya lalu mencerahkan
pengetahuannya sehingga ilmu pengetahuan yang diperoleh benar-benar pasti dan
meyakinkan. Proses pencerahan seperti ini mengingatkan kita dengan konsep
pencerahan yang dirasakan Sidarta Gautama setelah melakukan serangkaian
proses pencarian kebenaran yang diakhiri dengan bersemedi di bawah pohon
Bodhi. (Smith, 2001, 109-110)
Tidak ada penjelasan empiris yang bisa dibuat untuk melukiskan proses
kehadiran cahaya Tuhan ini ke dalam diri. Pengalaman ini mutlak bersifat
personal-intuituf yang hanya bisa disampaikan secara singkat, dan tidak bisa
dipaparkan secara subtil. Namun demikian, dari keterangan Suhrawardi dalam
mukaddimah al-Masyari' wa al-Mutharahat, cahaya Tuhan (al-anwar al-ilahiyah)
bisa disaksikan sedemikian rupa sehingga keberadaannya tidak bisa disangsikan.
Tahap ketiga sekaligus yang terakhir adalah tahap merekonstruksi
pengalaman personal tersebut dan berusaha menyusunnya secara sistematis
sehingga bisa dibakukan sebagai suatu bentuk ilmu pengetahuan yang benar. Pada
tahap ini, semua metoologi yang berlaku dalam ilmu pengetahuan ilmiah harus
dioperasikan. Salah satunya adalah metode demonstrasi (posterior analytics) yang
dalam terminologi Arab biasa disebut burhani. Suhrawardi meyakini bahwa
metode yang dikemukakan Aristoteles ini cukup baik dalam menentukan validitas
ilmu pengetahuan. Dalam Hikmah al-Isyraq secara tegas ia menulis:
.‫ﻣﻘﺪﻣﺎت ﯾﻘﯿﻨﯿﺔ‬
Bahwa pengetahuan sejati harus bisa diuji secara demonstratif, yaitu
silogisme yang terstruktur dari premis-premis absolut (sangat positif dan
meyakinkan). (Suhrawardi, 1993, 40)
Terkait dengan ilmu hudhuri dalam sistem filsafat iluminasi ini, maka
langkah dmonstratif yang dilakukan adalah menempatkan pengalaman personal
yang dirasakan pada pengujian. Karena dalam pengalaman personal tersebut tidak
ada data empiris yang bisa dijadikan sebagai instrumen pembuktian, tentu
pembuktiannya juga tidak bersifat empiris seperti yang berlaku dalam disiplin
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
112
ilmu fisika, akan tetapi, sekali lagi, cukup dilakukan dengan uji konsistensi-logis
postulat-postulatnya seperti yang diterapkan dalam disiplin matematika.
Setelah ketiga tahap ini berhasil dilalui dengan sempurna, berarti takkan
ada yang menghalangi seseorang untuk melangkah lebh jauh dengan menuliskan
ilmu pengetahuan yang telah didapatkan. Sebab, apabila ketiganya sudah berhasil
dilalui, maka pengetahuan yang diperoleh sudah bisa dikatakan valid dan sangat
siap untuk berkompetisi memperebutkan minat para pengkaji dan peneliti.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
BAB 6
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Dari paparan yang dimulai pada bab ke-1 hingga bab ke-5, setidaknya, ada
tiga hal yang harus kita simpulkan secara singkat.
Pertama, secara persona, Suhrawardi adalah filsuf jenius yang sulit
dicarikan padanannya sejak masa sebelum ia hidup, sampai jauh sesudah ia wafat.
Hal ini dibuktikan dengan kecemerlangannya dalam mengawinkan semua hikmah,
kebijaksanaan, serta tradisi pemikiran filosofis yang berkembang dari masa ke
masa di belahan dunia Barat dan Timur. Walaupun ketiga istilah ini—hikmah,
kebijaksanaan, serta filsafat—secara holistik bisa dikatakan semakna, namun
untuk kepentingan tertentu, penulis ingin membedakannya secara spesifik dengan
memberikan titik acuan yang berbeda. Jika hikmah biasa dikaitan dengan ajaran
agama dalam ranah teologi, maka kebijaksanaan lazim dihubungkan dengan
mistisisme dalam ranah psikologi. Sedangkan filsafat seperti yang telah kita
ketahui, sangat identik dengan seni olah pikir dan pendayagunaan nalar analitik.
Kehebatan Suhrawardi dalam melebur ketiga spesies pilar pembangun
peradaban umat manusia ini, bukan hanya membuat teori filsafatnya terdiri serta
kental dengan aroma ketiganya, lebih dari itu, gagasannya memiliki sebutan unik
yang, walaupun sudah tidak asing, tetap tidak kehilangan pesona yang
membuncahkan rasa penasaran. Sebutan itu bernama teosofi. Terminologi yang
berasal dari kata Yunani theosophia ini menurut Runnes, secara linguistik bisa
diartikan dengan hikmah Tuhan, pengetahuan tentang ketuhanan. (Runnes, 1966,
317) Luar biasanya, Suhrawardi meraih prestasi ini dalam usia yang relatif hijau
dibanding para pemikir sebelum dan sesudahnya yang, umumnya mencapai
kematangan dalam berfilsafat di usia yang sudah senja.
Sebagai seorang teosofos (ahli teosofi) yang oleh Nasr dimaknai sebagai
orang yang mampu menyatukan antara latihan intelektual teoritis melalui filsafat
dengan penyucian jiwa melalui sufisme, Suhrawardi menjelma jadi sosok elegan
di mana kepribadiannya menjadi saksi atas adanya kekuatan batin yang besar,
serta hati yang dipenuhi dengan cinta kepada Tuhan dan umat manusia.
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
114
Pengetahuan yang dimilikinya tidak hanya bercorak rasional, tapi juga yang
termasuk dalam wilayah akal budi. Dia berhasil dengan gemilang menampilkan
ciri khas filsuf Islam klasik yang biasa merangkap sebagai seorang ilmuwan yang
bijaksana. Dialah sumber pengetahuan dan mata air cinta yang dalam dirinya
terjalin antara filsafat dan spiritualitas dalam kesatuan yang memukau.
Kedua, ditinjau dari segi pemikirannya, filsafat iluminasi tidak bisa
dipungkiri telah berhasil menjadi bagian dari pelaku sejarah yang secara aktif dan
dinamis memberikan solusi-solusi menarik terhadap pelbagai problem filosofis
yang belum tuntas atau tidak bisa dijawab oleh aliran-aliran filsafat yang lain.
Dalam sejumlah persoalan krusial, penjelasan-penjelasan filsafat iluminasi
terbukti mampu memberikan jawaban yang lebih lengkap dibanding dengan teori
filsafat lain, sehingga dengan demikian, kajian tentang filsafat ini tetap dan akan
selalu aktual dari masa ke masa.
Contoh kongkritnya adalah seperti yang penulis paparkan dalam bab 6, di
mana dengan penalaran filosofis yang mendalam, ternyata kita bisa menemukan
titik lemah yang rentan membuat konsep Cogito Deskartes tidak konsisten, atau
bahkan salah kaprah. Ternyata, titik kelemahan itu sudah diantisipasi oleh filsafat
iluminiasi dengan baik, sehingga konsep "Aku" menurut Suhrwardi jauh lebih
mapan dibandingkan dengan yang refleksikan oleh Rene Deskartes. Ini belum
termasuk banyaknya titik kelemahan yang ditemukan oleh Suhrawardi sendiri
dalam aliran filsafat peripatetik yang sebagian ajarannya masih tetap dianut oleh
banyak filsuf sampai sekarang.
Ketiga, mengerucut pada konsep epistemologinya, kita dapati bahwa ilmu
hudhuri merupakan konsep tentang ilmu pengetahuan yang noetic dan primordial.
Noetic karena tindak mengetahui dalam ilmu hudhuri langsung terarah kepada
realitas, kepada objek. Tindakan mengalami objek seperti ini memang berbeda
dari
pengetahuan
metodis-ilmiah
(scientific
method)
yang
menyaratkan
berkorelasinya subjek dan objek dan dibingkai dalam premis, "tidak ada subjek
tanpa objek, dan tidak ada objek tanpa subjek." Akan tetapi, justru karena ciri
khasnya yang noetic inilah ilmu hudhuri menjadi satu-satunya tipe epistemologi
yang tidak hanya sanggup memetakan modus-modus pengetahuan dengan objek
transitifnya yang terbentang luas di jagad raya, lebih dari itu, ia juga bisa
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
115
menguraikan pengalaman-pengalaman mistik spiritual dengan segala macam jenis
objeknya yang imanen dan hanya bisa dirasakan dan tidak bisa diindra.
Epistemologi ini dikatakan primoridal karena ilmu hudhuri bersifat primer,
dasar, basis, implisit pada seluruh jenis pengetahuan manusia, dan mempunyai
peran utama dalam bentuk dasar intelek manusia. Bahkan, ia merupakan
konstituen utama makna pengetahuan itu sendiri.
6.2. Studi Kritis Atas Konsep Epistemologi Suhrawardi
Jika pada bab pertama hingga bab kelima penulis terkesan berusaha sekuat
tenaga untuk menjadikan teori ilmu hudhuri sebagai produk pemikiran
epistemologi nomor wahid tanpa cacat dan tanpa cela, kini tibalah saatnya untuk
bersikap lebih objektif dan menghindari subjektivisme berlebihan yang hanya
akan membuat dinamika ilmu pengetahuan tak lagi progresif serta menghambat
lahirnya konsep dan pemikiran baru yang lebih baik. Artinya, meskipun gagasan
epistemologi Suhrawardi sudah baik, ia tetap saja merupakan hasil kreativitas
manusia biasa yang pasti memiliki kekurangan. Tak ada istilah puncak dalam
ranah ilmu pengetahuan apa pun, sehingga tak layak menasbihkan teori apa pun
sebagai teori paripurna lalu membakukannya sebagai suatu teori yang sudah valid
dan tak membutuhkan teori lagi tentang masalah itu di masa yang akan datang.
Kita harus sadar bahwa pembakuan sama dengan pembekuan yang hanya akan
melahirkan stagnasi dan kejumudan. Dunia Islam rasanya sudah sangat
berpengalaman merasakan pahitnya stagnasi ilmu pengetahuan akibat ulah
segelintir ilmuwan yang mengatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup!
Sikap objektif semacam ini harus kita kembangkan juga dalam melihat
teori epistemologi iluminasi. Kita harus memandang teori tersebut sebagai teori
yang belum final sehingga kesempatan untuk melahirkan teori epietemologi masih
terbuka lebar bagi seluruh penggiat dan peminat kajian filsafat. Sebagai bukti
bahwa teori itu belum sempurna, penulis akan coba memaparkan beberapa studi
kritis yang bisa difungsikan sebagai koreksi sekaligus batu loncatan untuk
menggagas konsep epistemologi yang lebih brilian.
Pertama, apabila ditinjau dari segi semantik, akan tampak betapa
Suhrawardi kurang piawai dalam menuangkan gagasan-gagasannya. Semua
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
116
paparan dalam Hikmah al-Isyraq—tidak hanya yang menyangkut masalah
epistemologi—terbungkus dalam premis-premis pendek yang luar biasa rumit.
Tidak ada alasan pasti mengapa Suhrawardi menggunakan gaya bahasa yang sulit
dipahami seperti itu. Mungkin ia tidak ingin terjebak dalam narasi-narasi panjang
yang berputar-putar dan melelahkan. Ia ingin supaya maksudnya lebih cepat
disampaikan dan lebih cepat dipahami. Jika memang ini yang melandasi
metodologi penulisannya, sudah sangat jelas bahwa hasratnya itu keliru.
Bukannya mempercepat pemahaman para peneliti, struktur dan gaya bahasa
semacam itu sebaliknya lebih sering menimbulkan kebingungan yang tak jarang
malah membuat gagasannya tidak terpahami.
Kondisi ini semakin akut saat kita membaca karya Suhrawardi secara
keseluruhan, tidak hanya bagian tentang epistemologi. Obsesinya untuk menjadi
seorang filsuf perenialis dengan melebur semua pemikiran yang berkembang di
Barat dan di Timur, membuatnya tidak bisa menghindari penggunaan terminologiterminologi aneh yang sulit ditoleransi dari segi semantik. Suhrawardi seakan
belum mengantisipasi perkembangan ilmu semantik masa kini yang menyaratkan
agar penggunaan suatu kata harus mengacu kepada makna aplikatifnya yang
konvensional.
Untuk kasus ini penulis sedikit bisa memaklumi karena pada masa
Suhrawardi, ilmu bahasa masih sangat sederhana. Kajian yang marak tentang
bahasa pada saat itu juga hanya berkisar pada unsur gramatikal dan susastra.
Belum ada kamus referensi resmi yang memuat pelbagai entri kata lengkap
dengan registrasi maknanya yang sesuai.
Di samping itu, penulis juga sadar bahwa dalam dunia filsafat, fenomena
seorang pemikiran mengalami kebuntuan bahasa sehingga terpaksa menggunakan
suatu istilah secara subjektif bukanlah perkara asing yang hanya terjadi pada
Suhrawardi. Sampai saat ini pun, fenomena seperti itu tetap terjadi dan sering kita
temui. Bagi mereka, kosakata yang sudah tersedia nampaknya belum cukup
lengkap untuk bisa menguraikan penemuan mereka di bidang pemikiran
spekulatif. Faktor ini jugalah yang mungkin bisa menjawab mengapa kita bertemu
dengan kata différance saat mengkaji pemikiran Derrida, atau kata Leviathan saat
membahas filsafat Hobbes.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
117
Kedua, ada kesan inkonsistensi dan keraguan yang ditunjukkan
Suhrawardi saat mengulas masalah definisi. Seperti dikupas dalam bab 4, sang
iluminasionis begitu lincah saat menunjukkan kelemahan, mengkritisi, lalu
mematahkan teori defiisi peripatetik. Ia bahkan tidak sungkan untuk menyatakan
definsi sebagai metode yang mustahil melahirkan pengetahuan baru.
Letak inkonsistensinya adalah, ia kemudian merumuskan sendiri teori
definisi yang menurutnya lebih baik dan akurat dalam menjelaskan suatu objek.
Kalau memang hanya ingin merumuskan suatu metode baru dalam membuat
definisi, seberapa urgenkah menolak teori definisi yang sudah ada? Tidakkah ia
cukup dengan menunjukkan kelemahan lalu mengajukan tawaran metode baru
yang ia anggap lebih baik itu? Seandainya ia memang benar-benar sama sekali
menolak definisi dengan segala macam bentuk pembuatannya, mungkin masih
bisa dibenarkan posisi kritiknya. Akan tetapi pada faktanya ia hanya menutupi
celah dan kekurangan metode pembuatan definisi yang ia tolak tersebut. Menurut
hemat penulis, ini adalah ironi yang semestinya tidak perlu ia lakukan.
Adapun keraguannya tercermin dari ketiadaan contoh yang ia sajikan
berkenaan dengan metode pembuatan definisi yang ia tawarkan. Ini merupakan
sesuatu yang di luar kebiasaan, mengingat Suhrawardi lazimnya memberikan
contoh nyata dalam setiap teori yang ia paparkan. Ketika menjelaskan tentang dua
jenis pengetahuan manusia misalnya. Ia bisa dengan merinci—secara definitif—
salah satu modus pengetahuan tersebut, sehingga walaupun tidak merinci modus
yang lain, pembaca secara otomatis bisa memahaminya. Anehnya, ia tidak
melakukan hal yang sama saat mengulas teori definisi. Tidak ada alasan yang
jelas mengapa ia bersikap demikian.
Akibatnya, penulis hanya bisa mengandaikan dua hal. Pertama, karena
memang definisi yang ia gagas itu mustahil untuk diwujudkan. Kedua, karena ia
berusaha untuk bersikap konsisten dengan penolakannya terhadap definisi,
sehingga bahkan untuk jenis definisi yang ia tawarkan sendiri pun, ia enggan
untuk membuatkan contohnya. Kalau pengandaian pertama yang benar, maka
semua klaim terhadap teori definsi Suhrawardi—seperti yang dilakukan Razavi
dengan menyebutnya sebagai konbinasi dari teori definisi Platonian dan
Aristotelian—dengan sendirinya menjadi runtuh. Lebih ekstrem lagi, kita boleh
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
118
saja mengatakan bahwa Suhrawardi sejatinya tidak menawarkan metode apa pun
dalam pembentukan definisi.
Namun jika pengandaian kedua yang benar, konsekuensinya kita bisa
menyalahkan Suhrawardi sendiri, dan menasihatinya bahwa tidak selamanya
konsistensi intelektual itu harus dicirikan dengan penafian untuk memberikan
contoh terhadap suatu teori yang sebagiannya ditolak tapi sebagiannya lagi
diterima. Tekad untuk bersikap konsisten yang ingin ditunjukkan Suhrawardi
dalam kasus ini adalah tekad yang salah tempat dan tak bisa dibenarkan.
6.3. Posisi Epistemologi Suhrawardi
Adalah suatu fenomena yang sulit didustakan bahwa para peneliti yang
bergumul dengan ilmu pengetahuan dewasa ini sangat akrab dengan dua jenis
epistemologi—yaitu epistemologi observatif dan epistemologi demonstratif—
serta mengabaikan jenis epistemologi yang ketiga yaitu epistemologi iluminatif.
Satu di antara sekian banyak faktor yang melatari fenomena ini mungkin adalah
karena kedua jenis epistemologi yang tersebut pertama lebih aktif mewarnai
perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa sejak dilahirkan dari haribaan
tradisi pemikiran Yunani klasik, tepatnya oleh dua pemikir besar yang namanya
sering dikutip dalam kajian filsafat; yakni Plato dan Aristoteles.
Konsekuensi logis dari perlakuan yang kurang adil terhadap jenis
epistemologi yang ketiga ini adalah, banyak kalangan yang bukan hanya merasa
sekadar asing, alih-alih malah bersikap antipati dan menganggapnya mustahil
diterapkan dalam ilmu pengetahuan yang konsisten dan rigorus. Mereka masih
belum bisa melepaskan diri dari asumsi yang menyatakan ilmu hudhuri dan
epistemologi iluminasinya sebagai epistemologi yang hanya bisa diterapkan pada
ranah spiritualitas-mistik dan tidak lebih. Asumsi seperti ini menggejala secara
merata, tidak hanya di kalangan cendekiawan Barat saja, tapi juga di kalangan
Muslim sendiri.
Pada titik ini, siapa pun pasti sulit menentukan posisi yang tepat bagi
epistemologi iluminasi dan ilmu hudhuri. Serangkaian pertanyaan pun menyeruak
ke permukaan dan harus segera mendapatkan jawaban, seperti "Bisakah kita
memberikan posisi yang setara bagi epistemologi iluminasi seperti yang kita
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
119
berikan pada dua jenis epistemologi lainnya?" atau, "Bisakah kita memosisikan
epistemologi jenis ini sebagai salah satu sarana untuk menemukan solusi bagi
pelbagai problem ilmu pengetahuan yang sampai saat ini masih belum final?" atau
yang lebih ekstrem lagi, "Bisakah metode analisa yang ditawarkan epistemologi
iluminasi disajikan lalu dipertanggungjawabkan secara ilmiah?"
Dalam kondisi seperti ini, langkah yang paling urgen menurut hemat
penulis, bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, akan tetapi mencari akar
masalah yang menyebabkan pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Hal ini menjadi
penting karena seperti yang dipaparkan dalam bab-bab kajian ini, terbukti dengan
jelas betapa epistemologi iluminasi memiliki energi yang cukup untuk mengikuti
kompetisi sportif di medan ilmu pengetahuan. Ia juga memiliki daya untuk
memberikan solusi komprehensif bagi persoalan ilmu pengetahuan, dan analisaanalisa yang ditawarkannya juga valid sera bisa dipertanggungjawabkan. Jadi,
bagi orang yang memahami ilmu hudhuri, pertanyaan-pertanyaan bernada negatif
seperti di atas takkan pernah terajukan.
Atas dasar itulah, penulis berani mengasumsikan bahwa penilaian parsial
seperti di atas lebih disebabkan karena kurang mendalamnya pengetahuan mereka
terhadap epistemologi iluminasi, bukan karena kurangnya kapabilitas yang
dimiliki spesies epistemologi ini untuk mendapatkan posisi bergengsi seperti yang
dinikmati oleh kedua spesies epistemologi lainnya. Jelasnya, pandangan miring
tersebut dikarenakan para cendekiawan belum memiliki pengetahuan yang utuh
tentang ilmu hudhuri, dan bukan karena ilmu hudhuri tidak bisa memecahkan
pelbagai problem yang kerap terjadi di bidang epistemologi.
Penulis sadar secara prima facie bahwa asumsi tanpa indikasi ibarat
justivikasi tanpa bukti. Tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun dan tidak
boleh dilakukan oleh siapa pun. Oleh sebab itulah, penulis akan menghadirkan
indikasi yang secara jelas bisa mengukuhkan kebenaran asumsi tentang
ketidakutuhan pengetahuan sebagian kalangan terhadap ilmu hudhuri. Indikasi itu
bisa kita lihat dalam disertasi tentang Suhrawardi yang ditulis oleh Amroeni
Drajat yang berhasil ia pertahankan di depan dewan penguji UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Dalam kesimpulannya terhadap kritik epistemologi
Suhrawardi terhadap epistemologi peripetetik, Drajat menulis:
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
120
Ilmu hudhuri merupakan tawaran yang dikemukakan Suhrawardi
berkenaan dengan problem epistemologi. Meskipun demikian, tidak semua
pengetahuan harus diperoleh melalui jenis ilmu ini, sebab pada sisi lain
Suhrawardi juga mengakui fungsi-fungsi pancaindra, baik lahir (luar)
maupun batin (dalam). Ilmu hudhuri nampaknya memiliki lapangan
operasional sendiri yang bersifat spiritual, universal, dan bertumpu pada
aspek pengalaman batin yang bersifat rasa. (Drajat, 2005, 165)
Dari penyimpulan yang mempersulit ilmu hudhuri untuk memperoleh
posisi strategis ini, ada beberapa—tidak hanya satu—hal yang bisa kita
pertanyakan dan kita koreksi. Mari kita mulai koreksi ini dari aspek yang paling
sederhana, yaitu dengan menemukan kesalahan persepsional terhadap instrumen
pengetahuan yang ia sebut "pancaindra". Dalam kutipan di atas, Drajat menulis
"Suhrawardi juga mengakui fungsi-fungsi pancaindra, baik lahir (luar) maupun
batin (dalam)."
Seandainya ia tidak melakukan kesalahan tulis, maka kesalahan yang
paling kentara dalam kalimat tersebut adalah penggunaan dimensi batin terhadap
kata "pancaindra". Sebab, dalam terminologi keseharian yang sudah jamak di
kalangan masyarakat, kata "pancaindra" selalu mengacu kepada lima indra
ekstrinsik yang dimiliki manusia yang meliputi, mata (indra penglihatan), hidung
(indra penciuman), telinga (indra pendengaran), lidah (indra perasa), kulit (indra
peraba). Dengan kata lain, tidak pernah ada acuan intrinsik apa pun bagi
pancaindra, karena indra yang bersifat intrinsik kalaupun memang ada, biasa
disebut indra keenam, dan itu pun tidak jelas apa yang diacu, apakah itu akal, hati,
atau yang lainnya.
Kalimat yang jelas salah ini kemudian ia turunkan sebagai konsekuensi
dari rangkaian kalimat sebelumnya yang berbunyi, "Meskipun demikian, tidak
semua pengetahuan harus diperoleh melalui jenis ilmu ini " Penilaian ini dengan
mudah dapat memberikan dua asumsi atau dua kesan lain yang bisa
dipertanyakan. Pertama, ilmu hudhuri baginya terkesan sebagai ilmu yang sangat
terbatas dan tidak bisa menjawab persoalan-persoalan epistemologis secara tuntas.
Modus ilmu hudhuri hanya bisa dioperasionalkan pada medan tertentu dan untuk
menghasilkan pengetahuan yang tertentu pula. Tidak bisa dioperasionalkan secara
holistik dalam seluruh aspek tindak mengetahui. Asumsi ini diperkuat dengan
serangkaian kalimat yang ada di akhir kutipan di atas, di mana secara tegas ia
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
121
menyatakan bahwa ilmu hudhuri hanya bisa dioperasionalkan pada lapangan yang
bersifat spiritual.
Pembatasan medan operasional ilmu hudhuri pada ranah spiritualitas
belaka seolah menyiratkan bahwa bagi Drajat, ilmu hudhuri dirancang oleh
Suhrawardi hanya untuk mengilmiahkan data-data visioner yang bersifat spiritual
dan intuitif saja, dan tidak bersentuhan dengan data-data indrawi yang bersifat
faktual dan empiris. Padahal pada bab 2 penulis sudah menjelaskan bagaimana
cara ilmu hudhuri beroperasi dengan data-data indrawi. Apakah hanya karena
Suhrawardi menolak kategori definisi Aristotelian dan merumuskan teori
penyaksian (musyahadah) untuk mengetahui sesuatu, kemudian kita boleh
menyimpulkan bahwa ilmu hudhuri mutlak melangit dan tidak membumi? Tidak,
sama sekali tidak.
Drajat nampaknya tidak sadar dengan risiko yang harus ia tanggung akibat
penilaian seperti itu. Bukankah jika rumusan teori ilmu hudhuri hanya bersifat
intuitif, dia bisa menilai bahwa Suhrawardi berarti masih menyisakan persoalan
dalam bidang epistemologi? Bila statemen ini disetujui, konsekuensi logisnya dia
juga harus menilai upaya keras Suhrawardi untuk melakukan rekonstruksi
terhadap epistemologi mengalami kegagalan? Konsekuensi lebih lanjutnya adalah,
Drajat juga harus berpendapat bahwa teori epistemologi Suhrawardi bukanlah
hasil dari sintesa integral dari dua aliran kebijaksanaan—aliran diskursif dan
aliran intuitif—yang berbeda. Konsekuensi terakhir, ia harus mencabut
pertanyataannya bahwa sistem filsafat Suhrawardi dihasilkan dari kehebatan
Suhrawardi dalam menggabungkan seni olah pikir (rasio) dan olah rasa (intuisi)
sebagai intrumen dalam mencari kebenaran. Mengapa? Karena ia harus mengakui
bahwa epistemologi sebagai salah satu aspek kajian dari filsafat itu, ternyata tidak
dihasilkan dari penggabungan kedua instrumen yang biasa dilakukan untuk
mencari kebenaran itu sendiri. Padahal sepanjang pembacaan terhadap tulisan
Drajat, penulis tidak menemukan satu kalimat pun yang mengindikasikan
penolakan Drajat terhadap pengakuan Suhrawardi yang menasbihkan dirinya
sebagai penyintesa pelbagai kebijaksanaan klasik dalam satu wadah yang bernama
filsafat iluminasi.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
122
Penulis yakin, Drajat tidak sadar dengan rentetan konsekuensi yang harus
ia tanggung akibat tulisan singkatnya itu. Suatu konsekuensi yang lucunya,
berbentuk gradatif di mana konsekuensi yang satu menghasilkan konsekuensi
berikutnya secara berkesinambungan, persis seperti bentuk gradasi iluminasi
cahaya yang ia jadikan sebagai tema kajian tesis magisternya. Sebab, jika ia
menyadari konsekuensi dari statemennya itu, ia pasti takkan menulis kesimpulan
akhir seperti di atas.
Berdasarkan kenyataan ini, maka asumsi penulis yang awalnya mungkin
hanya bisa ditempatkan pada tataran hipotesa, sekarang sudah bisa dijadikan
sebagai tesa. Yaitu bahwa, bagi orang-orang yang tidak memahami secara utuh
dan menyeluruh, posisi ilmu hudhuri dalam sistem epistemologi iluminasi tetap
akan berada di bawah bayang-bayang kedua jenis epistemologi lain yang memang
lebih akrab dan lebih sering dipergunakan oleh masyarakat. Akan tetapi, bagi
orang yang mengetahuinya secara utuh, maka ilmu hudhuri yang digagas oleh
Suhrawardi akan menempati posisi teratas yang lebih unggul dari kedua jenis
epistemologi lainnya. Namun demikian, penulis takkan menghalangi orang yang
ingin bersikap objektif dan realistik dengan memosisikan epistemolgi hudhuri ini
setara dan sejajar dengan kedua "saudaranya", dengan catatan orang itu terlebih
dahulu harus mengetahui jenis epistemologi ini secara mendalam.
6.4. Rekomendasi untuk Kajian Lebih Lanjut
Sebelum mengakhiri kajian ini, penulis ingin menyampaikan bahwa,
meskipun ada kepuasan tersendiri yang hadir dan memenuhi seluruh relung kalbu
setelah berhasil menuntaskan penulisan karya ini, penulis tetap merasa ada yang
kurang dan belum bisa memaparkan konsep ilmu huduri secara lengkap dan
tuntas. Hal itu terjadi bukan karena minimnya waktu yang dimiliki, namun lebih
disebabkan minimnya wawasan serta terbatasnya pemahaman penulis terhadap
pemikiran Suhrawardi.
Atas dasar itulah, walaupun secara pribadi penulis merasa bahagia bisa
menyajikan salah satu teori dalam filsafat iluminasi ini ke tengah-tengah
komunitas pencinta refeleksi filosoofis tanah air, penulis merasa karya ini belum
sempurna sehingga setiap koreksi, kritik, serta saran pasti penulis terima dengan
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
123
gembira dan senang hati. Namun demikian, rasanya tidak muluk jika penulis
berharap karya ini dijadikan sebagai sumber inspirasi atau setidaknya batu pijakan
untuk melakukan studi yang lebih mendalam terhadap teori ilmu hudhuri, atau
bahkan terhadap konsep filsafat iluminasi secara holistik dan konprehensif.
Berkaca
dari
pengalaman
pribadi
yang
mungkin
layak
untuk
dipertimbangkan, bagi siapa pun yang berhasrat untuk menelusuri labirin
pemikiran filsuf muda nan jenius, Suhrawardi, sekurang-kurangnya ada empat hal
yang ingin penulis rekomendasikan.
Pertama, penguasaan bahasa Arab yang memadai. Hal ini penting karena
Suhrawardi menulis karyanya hanya dalam dua bahasa. Yaitu Arab dan Persia.
Bahasa Arab lebih urgen untuk dikuasai mengingat sebagian besar karya
Suhrawardi dituangkan ke dalam bahasa ini. Memang, saat ini hampir atau
mungkin sudah semua karya filsuf muda ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Prancis, Inggris, dan Indonesia. Akan tetapi, rasanya sangat sulit untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan jika kita mengandalkan hasil terjemahan
tersebut untuk meneliti pemikiran filsafat iluminasi. Sebagai misal, dalam pasal
yang berisi ulasan tentang pembagian ilmu pengetahuan, dalam Hikmah al-Isyraq
yang disunting Henry Corbin serta komentatornya Quthbuddin al-Syirazi, ada
bagian yang berjudul fi Muqassim al-Tashawwur wa al-Tashdiq (Pembagian
Pengetahuan ke dalam Konsepsi dan Konfirmasi).
Menurut Hossein Ziai, istilah konsepsi dan konfirmasi sebenarnya
bukanlah istilah-istilah iluminasi dan tidak digunakan oleh Suhrawardi dalam
Hikmah al-Isyraq. Bahkan, kata Tashdiq hanya digunakan sekali dalam Hikmah
al-Isyraq, itu pun memiliki arti "afirmasi", bukan "konsepsi". Al-Syirazi dan
Corbinlah yang menerjemahkan Tashdiq dengan "konfirmasi" sebagai usaha
mereka untuk memodifikasi pandangan-pandangan Suhrawardi supaya sesuai
dengan skema peripatetik tradisional. (Ziai, 1998, 134)
Di satu sisi, terobosan yang dilakukan al-Syirazi dan Corbin ini dapat
memudahkan para peneliti yang ingin mengkaji konsep epistemologi iluminasi.
Namun di sisi lain, tidak menutup kemungkinan malah menjebak para peneliti
tersebut pada kesimpulan keliru dengan menyakatakan bahwa Suhrawardi
membagi pengetahuan manusia ke dalam dua jenis—yaitu konsepsi dan
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
124
konfirmasi—yang sama persis dengan pembagian yang dilakukan kaum
peripatetik. Atas dasar itulah, Ziai dengan lantang menolak terobosan ini dan
mengingatkan kita bahwa kedua istilah tersebut tidak berasal dari Suhrawardi.
Namun ini menjadi sebuah penandaan yang tidak benar tepat atas bagian
ini dan harus ditolak. Al-Syahrazuri, yang menulis Syarh Hikmah Isyraq
lebih meyakinkan untuk tujuan-tujuan iluminasionis Suhrawardi daripada
al-Syirazi, mengihindari istilah-istilah konsepsi dan konfirmasi. (Ziai,
1990, 134)
Selain "konsepsi" dan "konfirmasi", tidak menutup kemungkinan masih
ada terminologi lain yang sejatinya tidak pernah ditulis oleh Suhrawardi, namun
ditambahkan oleh para komentatornya dengan tujuan-tujuan tertentu seperti di
atas. Atau boleh jadi ada suatu terminologi yang, karena kepentingan, tujuan atau
faktor tertentu, tidak diterjemahkan sebagaimana mestinya. Kemungkinankemungkinan semacam ini selalu terbuka jika yang dijadikan rujukan bukanlah
karya asli yang ditulis oleh Suhrawardi.
Berangkat dari kenyataan ini, praktis, penelitian dalam filsafat iluminasi
berikut segenap lingkup kajiannya, bisa dikatakan absah dan valid jika dan hanya
jika peneliti yang bersangkutan menguasai bahasa yang digunakan oleh sang
pemikir untuk mewartakan gagasan-gagasannya. Jika tidak, maka tingkat akurasi
hasil penelitian itu sangat mungkin untuk dipertanyakan.
Kedua, diperlukan kesabaran yang tinggi untuk memahami karya
Suhrawardi, khususnya Hikmah al-Isyraq. Mengapa? Karena bahasa dalam karya
itu bukan hanya singkat dan berbelit-belit, tapi juga dipenuhi beragam istilah yang
tidak mengacu pada makna konevensional seperti yang kita kenal. Apabila tidak
hati-hati, kita akan dengan mudah terjerumus ke dalam pemahaman yang salah.
Untuk kasus kalimat singkat dan berbelit, penulis sudah banyak
mengetengahkan contoh kutipan langsung dalam karya ini. Sedangkan untuk
kasus istilah yang tidak mengacu kepada makna konvensionalnya, di samping
istilah malaikat seperti yang sudah penulis paparkan pada bab 2, contoh lainnya
adalah kata barzakh. Dalam pemahaman kaum Muslimin, makna kata ini
mengacu pada alam kubur, suatu periode kehidupan yang harus dijalani setelah
mati dan sebelum pengadilan akhirat. Tapi dalam Hikmah al-Isyraq, kata itu
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
125
bermakna objek-objek pertengahan antara gelap dan terang—seperti penulis
singgung dalam bab 5.
Untuk memahami istilah-istilah seperti ini, mutlak diperlukan kesabaran
dan ketelitian yang tinggi selama proses pembacaan karya Suhrawardi. Berkaitan
dengan masalah ini, penulis merasa beruntung karena dalam pasal-pasal yang
mengulas masalah epistemologi, Suhrawardi sama sekali tidak mencantumkan
istilah-istilah ciptaannya sendiri itu.
Ketiga, pemilihan tema secara spesifik. Dalam hal ini kita harus sadar
bahwa sekarang kita hidup di zaman yang serba detil dan terperinci, sehingga
disipilin ilmu pengetahuan pun semakin mengerucut kepada bagian-bagian yang
subtil. Sebagai misal, jika dulu kita hanya mengenal disiplin biologi sebagai ilmu
hayat yang membahas tentang hewan dan tumbuhan secara general, sekarang
disiplin itu sudah semakin spesifik yang meliputi zoologi, botani, bakteriologi,
dan lain sebagainya. Dengan semangat yang sama dan untuk menghasilkan
penelitian yang lebih terperinci, ada baiknya jika dalam membahasa teori
epistemologi iluminasi, fokus kajian kita hanya berkisar pada salah satu aspeknya
saja, seperti aspek dimensi empirisnya, atau dimensi intuitifnya, atau bahkan pada
tahapan cara memperoleh ilmu hudhuri saja. Metode seperti ini memang takkan
menghasilkan kunatitas halaman yang tebal, namun penulis yakin, kualitas hasil
penelitian seperti ini pasti jauh lebih mendalam dan lebih memuaskan.
Keempat, mengikuti saran Suhrawardi dalam membaca karya-karyanya.
Inilah satu di antara sekian banyak keistimewaan Suhrawardi sekaligus yang
membedakannya dari filsuf lain di semua zaman. Dengan jelas ia menyarankan
agar siapa pun yang berminat mengkaji filsafat iluminasi, hendaknya membaca
karya-karyanya secara berurutan karena menurutnya, ia menulis semua karyanya
secara sistematik dan berkesinambungan. Tegasnya, jika ingin meneliti teori
filsafat iluminasi, akan lebih baik jika kita memulai kajian dari karya pertama
yang memang diproyeksikan sebagai pendahuluan, berlanjut kepada karya
berikutnya yang memang sengaja diproyeksikan sebagai karya lanjutan, dan
demikianlah seterusnya hingga berakhir pada master pies-nya.
Menurut Suhrawardi, urutan pembacaan terhadap karyanya harus dimulai
dari al-Talwihat, kemudian berlanjut kepada al-Muqawamat, diteruskan kepada
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
126
al-Masyari' wa al-Mutharahat, dan diakhiri pada Hikmah al-Isyraq. Pembacaan
yang teratur seperti ini akan menghasilkan kesan yang utuh tentang pemikiran
Suhrawardi, betapa pun keempat karya itu memiliki corak dan metode penulisan
yang berbeda-beda. Karya pertama al-Talwihat misalnya, ditulis sesuai dengan
metodologi filsafat peripatetik, sedangkan Hikmah al-Isyraq ditulis berdasarkan
metode iluminasionis. Tapi karena Suhrawardi sudah merancang metodologi
pembacaan terhadap karya-karyanya itu, kita kemudian tidak bisa menyimpulkan
bahwa al-Talwihat adalah periode di mana Suhrawardi menganut pemikiran
peripatetik, sedangkan Hikmah al-Isyraq adalah periode di mana ia sudah beralih
menjadi iluminasionis.
Periodisasi seperti ini mutlak tidak bisa diberlakukan kepada Suhrawardi,
walaupun boleh diberlakukan kepada para filsuf lain yang hidup sebelum atau
sesudahnya. Contohnya kepada Ludwig Wittgenstein seperti yang dilakukan oleh
Bertens. Berdasarkan perubahan kecenderungan pemikiran filsuf bahasa tersebut,
Bertens dengan mudah memetakan dua peride filosofis dalam kehidupan
Wittgenstein. [1] peride Tractatus Logico-philoshopicus yang ditandai dengan
analisis bahasa melalui picture theori. Ia menegaskan klaim bahwa bahasa hanya
bermakna bila mengacu kepada dunia eksternal, dunia faktual, dan proposisi
tautologis-matematis.
Sebuah
pandangan
yang
mengukuhkan
pandangan
atomisme logis. [2] Periode Philosophical Investigations yang ditandai dengan
ketertatarikannya kepada bahasa biasa yang menurutnya jauh lebih kaya dan
beragam dari bahasa logika. Menurutnya, bahasa digunakan dengan beragam cara
dan tujuan yang masing-masing memiliki aturan tertentu seperti halnya aneka
ragam permainan yang beroperasi dalam aturan-aturan yang telah disepakati.
Pandangannya ini kemudian populer dengan istilah Language Games (permainan
bahasa). (Bertens, 2002, 44-54)
Anjuran Suhrawardi tentang urutan pembacaan terhadap karyanya
menunjukkan bahwa pemikirannya tidak mengalami perubahan yang bisa
dipetakan dalam periodisasi. Dengan kata lain, gagasan filsafat iluminasi sudah
utuh dalam benaknya sebelum ia menulis karya-karyanya yang mengesankan
metamorfosa pemikiran filsafat dari yang bernuansa peripatetis-empiris hingga
yang bercorak iluminasionis-intuitif. Anjuran tersebut, tertuang dalam masing-
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
127
masing karyanya yang berjudul al-Talwihat, al-Muqawamat, dan al-Masyari' wa
al-Mutharahat.
Dalam akhir al-Talwihat ia menulis:
...
.‫ﻟﺘﯿﺼﯿﺮ ﻣﻦ اﻟﺤﻜﻤﺎء‬
Daam buku ini saya sudah memaparkan pandangan yang memungkinkan
seseorang tak lagi membutuhkan yang lain (maksudnya adalah metode
peripatetik) dalam seni ini... Berhentilah mengulas "ilmu yang dipelajari"
saja, dan beralihlah kepada "ilmu yang dialami dan disaksikan" supaya
Anda menjadi seorang filsuf. (Suhrawardi, 1993, 120-121)
Kemudian dalam pengantar al-Muqawamat, ia menyatakan bahwa karya
tersebut ditulis sebagai penjelas bagi karya sebelumnya yang berjudul alTalwihat, dan oleh karena itu, ia menulisnya sesuai dengan metode yang ia
gunakan dalam menulis karya yang pertama tadi. (Suhrawardi, 1993, 124)
Sedangkan mengenai karya ketiga yang berjudul al-Masyari' wa alMutharahat, secara tegas Suhrawardi menyarankan agar karya ini dibaca sebelum
mengkaji Hikmah al-Isyraq, tapi sesudah mengkaji dua karya sebelumnya yaitu
al-Talwihat dan al-Muqawamat. Dalam mukaddimahnya ia menulis:
.‫ﺑﺎﻟﺘﻠﻮﯾﺤﺎت‬
Buku ini (al-Masyari' wa al-Muthawarat) harus dikaji sebelum
membacanya (Hikmah al-Isyraq), tapi setelah membaca karya ringkas
yang berjudul al-Talwihat. (Suhrawardi, 1993, 194)
Mengikuti saran sang filsuf dalam membaca karya-karyanya bukan hanya
akan memudahkan pemahaman seorang peneliti terhadap konsep filsafat iluminasi
secara komprehensif, lebih dari itu, dapat meminimalisir kesalahpamahaman yang
mungkin terjadi karena faktor-faktor teknis dan non-teknis seperti dijelaskan di
atas. Jadi, selamat membaca!
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, (1999), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? cet. Ke-2,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Abdullah, Taufik (t.t) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, cet. Ke-1, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Ad-Dimyathi, Abu Bakar, (t.t.) Inayah al-Thalibin, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Fikir
Affifi, A. E., (1995), Filsafat Mistis Ibn Arabi. cet. Ke-2. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
al-Ghazali, (t.t.) Maqasid al-Falasifah, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
_____, (t.t.), Mi‘yar al-‘Ilm (edit: Sulayman Dunya), cet. Ke-1, Mesir: Dar alMa‘arif.
_____, (2001), Sumber Segala Cahaya (terj. Muhammad Baqir), Jakarta: Hikmah.
_____, (1966), Tahafut al-Falasifah (edit: Sulayman Dunya), cet. Ke-4, Mesir: Dar
al-Ma‘rifah.
al-Sadr, Muhammad Baqir, (1989), Falsafatuna, cet. Ke-15, Lebanon: Dar al-Ta‘aruf
li al-Mathbu‘at.
Al-Sinqithi, Ahmad Walad al-Kuri al-'Alawi, (t.t.) Bulughu Ghayah al-Amani fi alRatbi 'Ala Miftah al-Tijani, cet. I, Maktabah Syamilah.
al-Taftazani, Abu al-Wafa' al-Ghanimi, (1985) Sufi dari Zaman ke Zaman (terj.
Ahmad Rofi' Utsmani), cet. Ke-1, Bandung: Pustaka.
al-Rifa'i, Ahmad bin Ali bin Tsabit, (1408) Burhan al-Mu'ayyad, cet. Ke-1, Beirut:
Dar al-Kitab al-Nafis.
Bagus, Lorens, (2002), Kamus Filsafat, cet. Ke-3, Jakarta: Gramedia.
Bakhtiar, Amsal, (1999), Filsafat Islam, cet. Ke-3, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bertens, Kess, (2006), Filsafat Barat Kontemporer Prancis, cet. Ke-4, Jakarta:
Gramedia.
_____, (2002), Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, cet. Ke-4, Jakarta:
Gramedia.
Chittick, William C., (2001), Tuhan-tuhan Sejati dan tuhan-tuhan Palsu (terj. Ahmad
Nidjam), cet. Ke-1, Yogyakarta: Qalam.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
129
De Boer, T.J., (1954), Tarikh al-Falsafah fi al-Islam (terj. Muhammad ‘Abd al-Hadi
Abu Zaydah), cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah.
Drajat, Amroeni, (2001), Filsafat Iluminasi, cet. Ke-1, Jakarta: Riora Cipta,
_____, Suhrawardi: (2005), Kritik Falsafah Peripatetik, cet. Ke-1, Yogyakarta: LkiS.
Dunya, Sulaiman, (t.t.), al-Haqiqah fi al-Nazhr al-Ghazali, cet. Ke-1, Kairo: Dar alMa‘arif,
Eliade, Mircea (ed), (t.t.), The Encyclopedia of Religion, New York: Macmillan
Publishing Company.
Fakhry, Majid, (1986), Sejarah Filsafat Islam (terj. Drs Mulyadhi Kartanegara), cet.
Ke-1, Jakarta: Pustaka Jaya,
_____, (2001), Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (ter. Zaimul Am),
cet. Ke-1, Bandung: Mizan.
_____, (1988), al-Masysya'yah al-Qadimah, cet. Ke-I, Ma'had al-Inma' al-Arabi.
Froe, A. de., dkk, (1988), Berpikir Secara Kefilsafatan (terj. Soejono Soemargono),
cet. Ke-1, Yogyakarta: Nur Cahaya.
Ghalib, Musthafa, (1979), Ibn Sina, cet. Ke-1, Beirut: Maktabah al-Hilal.
Ghazi, Muhammad Jamil, al-Shufiyyah wa al-Wajh al-Akhar, dalam www.saaid.net.
Hadiwijono, Harun, (1999), Sari Sejarah Filsafat Barat, cet. Ke-1, Yogyakarta:
Kanisius,
Hanafi, Ahmad, (1996), Pengantar Filsafat Islam, cet. Ke-6, Jakarta: Bulan Bintang.
Hatta, Mohammad, (1980), Alam Pikiran Yunani, Cet. Ke-1, Jakarta: Tirtamas.
Hidayat,
Komaruddin, (1996), Memahami Bahasa Agama;
Hermeunetik, cet. Ke-1, Jakarta: Paramadina,
Sebuah
Kajian
Iqbal, Mohammad, (1992), Metafisika Persia (Terj. Joebar Ayoeb), cet. Ke-3,
Bandung: Mizan.
Jisr, Nadim, (1963), Qishshah al-Iman, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Andalus.
Kaelan, (2005), Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Filsafat, cet. I, Yogyakarta:
Kartanegara, Mulyadhi, (2002), Menembus Batas Waktu, cet. Ke-1, Bandung: Mizan.
_____, (2003), Menyibak Tirai Kejahilan, cet. Ke-1, Bandung: Mizan.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
130
Kattsoof, Louis O., (1986), Pengantar Filsafat (terj. Soejono Soemargono), cet. Ke-1,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lubis, Akhyar Yusuf, (2004) Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan, cet-Ke1, Bogor: Akademi.
_____, (2004), Filsafat Ilmu: Metodologi Posmodernis, cet-Ke-1, Bogor: Akademi.
Mahmud, ‘Abd al-Qadir, (t.t.), al-Falsafah al-Shufiyyah fi al-Islam, cet. Ke-1,.Kairo:
Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Manshur, Layli, (2002), Ajaran dan Teladan Para Sufi, cet. Ke-1, Jakarta: Srigunting.
Ma'luf, Louis, (1997), al-Munjid fi al-Lughghah wa al-A'lam, cet. Ke-24, Beirut: Dar
al-Masyriq.
Nasr, Seyyed Hossein, (ed), (2003), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (terj. Tim
Penerjemah Mizan), cet. Ke-1, Bandung: Mizan.
_____, (1986), Sains dan Peradaban di Dalam Islam (terj. Mahyudin), cet. Ke-1,
Bandung: Penerbit Pustaka
_____, (1978), Shadruddin al-Syirazi & Trancendence Theosophy, Teheran: Imperial
Iranian Academi of Philosophy.
_____, (1969), Three Muslim Sages, Cambrigde: cet. Ke-2, Harvard University Press.
_____, (1987), Tradisional Islam in the Modern Word, London & New York: Kegan
Paul Internasional.
Nasution, Harun, (1999), Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. Ke-10, Jakarta:
Bulan Bintang.
Netton, Ian Richard, (1994), Allah Trancendent, cet. Ke-1, England: Curzon Press
Limited.
Runes, Dagobert De, (1971), Dictionary of Philosophy, cet. Ke-1, New Jersey:
Littlefield Adam & Co.
Russell, Bentrand, (2004), Sejarah Filsafat Barat (terj. Sigit Jatmiko), cet.. Ke-2,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusyd, Ibnu, (2004), Tahafut al-Tahafut, (terj. Khalifurrahman Fath), cet. Ke-1,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schimmel, Annemarie, (1986), Dimensi Mistik dalam Islam (terj. Achdiati Ikram),
cet. Ke-1, Jakarta, Pustaka Firdaus.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
131
Sholeh, A. Khudori, (2004), Wacana Baru Filsafat Islam, cet. Ke-1,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Siregar, H.A. Rivay, (1999), Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, cet. Ke-1,
Jakarta: Rajawali Press.
Smith, Huston, (2001), Agama-agama Manusia (terj. Saafruddin Bahar), Cet. Ke- ,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sudarminta, J, (1991), Filsafat Proses: sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred
North Whitehead, cet. Ke-1, Yogyakarta: Kanisius.
Suhrawardi, (2003), Hayakil al-Nur (terj. Zaimul Am), cet. Ke-1, Jakarta: Serambi.
_____, (1993), Majmu‘ah Mushannafat Syaykh al-Isyraq I, cet. Ke-1, Teheran:
Institut d’Etudes et des Recherches Culture.
_____, (1993) Majmu‘ah Mushannafat Syaykh al-Isyraq II, cet. Ke-1, Teheran:
Institut d’Etudes et des Recherches Culture.
Strathern, Paul, (2001), 90 Menit Bersama Deskartes (terj. Frans Kowa), cet. Ke-1,
Jakarta: Erlangga.
Syaraf, Muhammad Jalal Abu al-Futuh, (1975), Allah wa al-‘Alam wa al-Insan fi alFikr al-Islami, cet. Ke-1, Mesir: Dar al-Ma‘arif.
Syarif, MM., (ed), (1993), Para Filosof Muslim (terj. Ilyas Hasan), cet. Ke-5,
Bandung: Mizan.
Yazdi, Mehdi Ha’ri, (2003), Epistemologi Iluminasionis (Terj. Ahsin Muhammad),
cet. Ke-1, Bandung: Mizan.
Zar, Sirajuddin, (2004), Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, cet. Ke-1, Jakarta:
Rajawali Press.
Ziai, Hossein, (1998), Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi, (terj. Afif Muhammad),
cet. Ke-1, Bandung: Zaman Wacana Ilmu.
Universitas Indonesia
Ilmu Hudhuri..., Luqman Junaidi, FIB UI, 2009
Download