Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 PERANAN KONVENSI KESELAMATAN NUKLIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESELAMATAN PLTN SECARA GLOBAL Yusri Heni N.A.1, Suhartono Zahir2, Amil Mardha3. 1. P2STPIBN – BAPETEN. 2. Deputi PI – BAPETEN. 3. DP2IBN-BAPETEN ABSTRAK UPAYA PENINGKATAN KESELAMATAN PLTN SECARA GLOBAL MELALUI KONVENSI KESELAMATAN NUKLIR. Pemerintah RI telah meratifikasi Konvensi Keselamatan Nuklir melalui Keputusan Presiden Nomor 106 tahun 2001 dan ditetapkan sebagai negara pihak pada konvensi ini sejak 11 Juli 2002. Konvensi keselamatan nuklir mencakup tiga hal yaitu keselamatan Instalasi nuklir dalam hal ini adalah PLTN, Badan Pengawas dan perijinan. Konvensi keselamatan nuklir mengandung makna tentang arti pentingnya aspek budaya keselamatan instalasi nuklir secara global. Kewajiban negara – negara pihak peserta konvensi dinyatakan dalam: Ketentuan Umum, Perundang-undangan dan Pengawasan, Pertimbangan Keselamatan Umum, Keselamatan dalam Instalasi. Sesuai dengan tuntutan konvensi Indonesia telah mengatur pemisahan antara fungsi Badan Pengawas dan Badan Pelaksana dalam kelembagaan yang terpisah. Laporan nasional untuk sidang review meeting negara peserta memuat langkah-langkah yang telah dilakukan dari pasal-pasal konvensi keselamatan nuklir. Hasil pertemuan berkala pada sidang review meeting ketiga, bermanfaat untuk mengikuti perkembangan keselamatan nuklir PLTN dunia, yang dapat digunakan untuk penyiapan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan pengembangan kerangka kerja pengawasan PLTN di Indonesia. Kata Kunci : PLTN, Konvensi Keselamatan Nuklir ABSTRACT EFFORT FOR ENHANCEMENT OF THE SAFETY OF NPP GLOBALLY THROUGH CONVENTION ON NUCLEAR SAFETY. Indonesian Government have ratifyed the convention of Nuclear Safety through President Decree number 106 year 2001, and specified as contracting party for this convention since 11 Juli 2002. Convention on nuclear safety include cover three things that is the safety of nuclear Installation in this case is PLTN, Regulatory body and licensing. Convention on nuclear safety have meaning concerning an importance aspect of safety culture for nuclear installation globally. Obligation contracting parties of nuclear safety convention expressed in: General provisions, Legislation and regulation, General Safety Consideration, Safety of Installation. As according to nuclear safety convention Indonesia have arranged separation between the function of regulatory body and those other body concerned with the promotion or utilization of nuclear energy. National report for the review meeting of contracting parties contain stages steps which have been conducted from paragraf of nuclear safety convention. The result of third review meeting usefull for to keep the development of nuclear safety in the world of nuclear power plant, which can used for the preparation and completion of law and regulation and development of regulatory framework for controling nuclear power plant in Indonesia. Key Word : NPP, Convention on Nuclear Safety 1. PENDAHULUAN 205 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 Konvensi keselamatan nuklir mengandung konsepsi luhur akan arti pentingnya aspek budaya keselamatan instalasi nuklir secara global, untuk mencapai dan mempertahankan kualitas keselamatan nuklir yang tinggi di seluruh dunia, melalui peningkatan langkah-langkah atau kegiatan yang dilakukan secara nasional, dan kerjasama internasional. Konvensi keselamatan nuklir pada hakekatnya akan memberi jaminan perlindungan bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup. Kebijakan nasional telah menetapkan bahwa, kegiatan ketenaganukliran di Indonesia dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, dengan selalu memberikan prioritas pada keselamatan sepadan dengan kepentingannya. Selaras dengan hal tersebut, ketentuan keselamatan nuklir menetapkan konsepsi dasar prinsip keselamatan untuk setiap instalasi nuklir pada konsep pertahanan berlapis. Isu keselamatan PLTN yang akan diterapkan menggunakan teknologi yg sudah teruji, sistem perizinan multistep, field inspection, legislasi dan regulasi mengacu pada rekomendasi internasional (IAEA), dan atau negara pemasok. Konvensi keselamatan nuklir mencakup tiga hal yaitu Instalasi nuklir dalam hal ini adalah PLTN, Badan Pengawas dan perizinan. Ketiga hal ini secara nasional sudah diatur dalam UU nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, yang memberi kewenangan kepada BAPETEN untuk melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir melalui peraturan perizinan dan inspeksi. Konvensi keselamatan nuklir disetujui pada tanggal 17 Juni 1994 melalui konferensi diplomatik yang diselenggarakan oleh IAEA. Konvensi dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 20 September 1994, yaitu pada saat sidang umum IAEA yang ke 38. Indonesia menandatangani konvensi keselamatan nuklir pada tanggal 20 September 1994, seiring dengan upaya pembaharuan UU tentang ketenaganukliran di Indonesia waktu itu. Sesuai pasal 31 ayat 1 konvensi keselamatan nuklir berlaku setelah diratifikasi oleh 22 negara. Ketentuan tersebut telah tercapai sejak 24 Oktober 1996, dan saat ini terdapat 56 negara peserta konvensi meratifikasi konvensi keselamatan nuklir termasuk Indonesia. Indonesia telah dengan Keputusan Presiden no. 106 tahun 2001, dimasukkan dalam deposit instrumen of ratification 12 April 2002, dan ditetapkan sebagai Negara Pihak pada konvensi ini sejak 11 Juli 2002. Sesuai dengan pasal 3 ditetapkan bahwa, ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini diberlakukan untuk instalasi nuklir. Sedangkan pengertian instalasi nuklir sesuai pasal 2 ialah tiap pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) didarat yang berada dibawah yurisdiksinya termasuk fasilitas penyimpanan, penanganan dan pengolahan bahan- bahan radioaktif, yang berada di lokasi yang sama dan berkaitan langsung dengan pengoperasian PLTN tersebut. Pertimbangan dari negara-negara peserta konvensi terhadap penetapan konvensi keselamatan nuklir didasarkan antara lain : i. Menyadari pentingnya untuk meyakinkan masyarakat internasional, penggunaan tenaga nuklir adalah aman, terkendali dan ramah lingkungan; 206 bahwa Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 ii. Menegaskan kembali perlunya meningkatkan derajat keselamatan nuklir diseluruh dunia secara berkelanjutan. iii. Menegaskan kembali bahwa tanggung jawab terhadap keselamatan nuklir, terletak pada negara yang memiliki yurisdiksi atas instalasi nuklir. iv. Berkeinginan untuk meningkatkan budaya keselamatan nuklir yang efektif v. Menyadari bahwa kecelakaan yang terjadi pada instalasi nuklir, dapat menimbulkan dampak lintas batas negara. vi. Mengingat konvensi tentang proteksi fisik bahan nuklir (Convention on physical protection of nuclear material – 1979), Konvensi tentang pemberitahuan dini kecelakaan nuklir ( convention on early notification of nuclear accident – 1986 ), dan konvensi tentang bantuan dalam hal terjadi kecelakaan nuklir atas kedaruratan radiologi (convention on assistance in the case of nuclear accident or radiological emergency – 1986). vii. Menegaskan pentingnya kerjasama internasional, untuk peningkatan keselamatan nuklir, melalui mekanisme bilateral dan multilateral, serta penetapan penegakan konvensi ini. viii. Mengakui bahwa konvensi ini membangun ikatan pada penerapan prinsip fundamental (pokok) keselamatan terhadap instalasi nuklir dari standar keselamatan yang rinci, dan bahwa terdapat garis-garis pedoman keselamatan yang disusun secara internasional yang diperbaharui terus menerus, sehingga dapat memberikan pedoman tentang sarana-sarana mutakhir, untuk mencapai tingkat keselamatan yang tinggi. Adapun tujuan dari konvensi keselamatan nuklir yang ditetapkan pada pasal 1 menyebutkan : i Untuk mencapai dan memelihara derajat keselamatan nuklir yang tinggi di seluruh dunia, melalui peningkatan langkah nasional dan kerjasama internasional, termasuk kerjasama teknik yang berkaitan dengan keselamatan. ii Bilamana perlu untuk menetapkan dan memelihara pertahanan yang efektif pada setiap instalasi nuklir, terhadap potensi bahaya radiologi untuk melindungi individu, masyarakat, dan lingkungan dari akibat yang merugikan dari radiasi pengion dari instalasi tersebut. iii Untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang mempunyai akibat radiologis, dan mengurangi akibat tersebut jika kecelakaan itu terjadi. Indonesia telah menjadi negara peserta konvensi keselamatan nuklir, laporan nasional pertama pelaksanaan konvensi keselamatan nuklir secara nasional telah dikoordinasikan dan dikirim oleh BAPETEN September 2004 untuk pertemuan review meeting ke III April 2005. Sedangkan laporan kedua perlu disampaikan ke sekreatriat konvensi September 2007 untuk review meeting April 2008. 207 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 2. TINJAUAN TERHADAP KEWAJIBAN NEGARA PESERTA KONVENSI KESELAMATAN NUKLIR . 2.1. Ketentuan Umum Penggunaan tenaga nuklir yang begitu pesat menuntut perlu adanya jaminan keselamatan yang selaras dengan jaminan penggunaan tenaga nuklir untuk maksud damai, karena dengan persyaratan dasar demikian, ketergantungan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir dimasa mendatang dapat dipertahankan. Hal ini sebetulnya sudah diatur dalam ketentuan nasional di banyak negara, namun masih ada perbedaan dalam penempatan tanggungjawab tersebut antara masyarakat internasional dan negara yang bersangkutan. Untuk menjembatani masalah ini pada ketentuan umum konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi harus mengambil, dalam batas-batas kerangka hukum nasionalnya, langkah legislatif, pengawasan dan administrasi, serta tindakan lain untuk melaksanakan kewajiban menurut konvensi ini. Pasal 5 menyatakan bahwa setiap negara peserta konvensi harus menyerahkan laporan mengenai yang telah diambil untuk melaksanakan setiap kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi ini untuk dikaji sebelum pertemuan berkala dilaksanakan. 2.2. Perundang-undangan dan Pengawasan Dalam rangka membangun ikatan pada penerapan prinsip fundamental (pokok) keselamatan terhadap instalasi nuklir dari standar keselamatan yang rinci, dan bahwa terdapat garis-garis pedoman keselamatan yang disusun secara internasional yang diperbaharui terus menerus, untuk mencapai tingkat keselamatan yang tinggi, serta sebagai acuan ketentuan nasional negara peserta konvensi, maka pasal 7 konvensi menetapkan kerangka perundang-undangan dan pengawasan mencakup : 1. Setiap negara peserta harus menetapkan dan mempertahankan kerangka perundangundangan dan pengawasan untuk mengatur keselamatan instalasi nuklir. 2. Kerangka perundang-undangan dan pengawasan harus memberikan kemungkinan untuk: i. Penetapan peraturan dan persyaratan yang berlaku secara nasional. ii. Sistem perizinan yang berkaitan dengan instalasi nuklir dan larangan pengoperasian instalasi nuklir tanpa izin. iii. Sistem inspeksi dan pengkajian instalasi nuklir untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan persyaratan izin. iv. Penegakan peraturan yang berlaku dan persyaratan izin, termasuk penangguhan, perubahan dan pencabutan Pemerintah RI telah menetapkan UU nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran sebagai landasan pengaturan ketentuan keselamatan nuklir di Indonesia. Beberapa Peraturan Pemerintah yang sudah diterbitkan yaitu: 208 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 - PP nomor 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion. - PP nomor 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir. - PP nomor 48 Tahun 2001 tentang Perubahan atas PP nomor 134 tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di BAPETEN. - PP nomor 26 Tahun 2002 Tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif. - PP nomor 27 Tahun 2002 Tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. Adapun peraturan keselamatan nuklir untuk PLTN yang sedang dipersiapkan dan saat ini telah memasuki tahap finalisasi, adalah perumusan rancangan peraturan pemerintah tentang perizinan reaktor nuklir, dan penyusunan peraturan kepala BAPETEN antara lain: - Peraturan Kepala tentang Keselamatan Evaluasi Tapak PLTN. - Peraturan Kepala tentang Jaminan Mutu Keselamatan PLTN dan Instalasi Pendukungnya. - Peraturan Kepala tentang Keselamatan Desain Reaktor Daya. - Peraturan Kepala tentang Keselamatan Operasi Reaktor Daya. - Peraturan Kepala tentang Keselamatan Komisioning PLTN. - Peraturan Kepala tentang Ketentuan Penyusunan LAK PLTN . Dalam kaitan upaya peningkatan transparansi dan keterbukaan dalam penanganan keselamatan PLTN mutlak diperlukan. Upaya kearah ini dalam konvensi dilakukan dengan adanya pengawasan dari pihak lain diluar organisasi badan pelaksana, yaitu Badan Pengawas (pasal 8). Setiap negara peserta harus menetapkan atau menunjuk Badan Pengawas, yang ditugasi untuk melaksanakan kerangka perundang-undangan dan pengawasan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, dilengkapi dengan kewenangan, kecakapan, keuangan, serta SDM yang memadai, untuk melaksanakan tanggungjawab yang diembannya. Setiap negara peserta harus mengambil langkah yang sesuai untuk menjamin adanya pemisahan yang efektif antara Badan Pengawas dengan badan atau organisasi lain yang berkaitan dengan promosi atau pemanfaatan tenaga nuklir. Dengan ditetapkannya UU no. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Indonesia telah mengatur pemisahan yang efektif antara fungsi Badan Pengawas dan badan pelaksana dalam kelembagaan yg berbeda, sebagai bagian dari pelaksanaan konvensi keselamatan nuklir. Dalam hal tanggungjawab pemegang izin (pasal 9) konvensi keselamatan nuklir menetapkan bahwa setiap negara peserta harus menjamin bahwa tanggungjawab utama untuk melaksanakan keselamatan instalasi nuklir terletak pada pemegang izin, yang bersangkutan dan harus mengambil langkah yang tepat, untuk menjamin bahwa pemegang izin tersebut memenuhi tanggungjawabnya. Berkaitan dengan hal tersebut dalam prinsip pengawasan yang dituangkan dalam kebijakan keselamatan nuklir, BAPETEN menetapkan bahwa tanggungjawab utama keselamatan nuklir terletak pada 209 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 pemegang izin atau organisasi operasi. Tanggungjawab ini tidak dapat dibagi atau dipindahkan melalui kegiatan ketenaganukliran lain . 2.3. Pertimbangan keselamatan umum Adanya pertimbangan penetapan konvensi keselamatan nuklir, untuk meningkatkan budaya keselamatan nuklir yang efektif secara global. Konvensi ini menyelaraskan tanggungjawab masyarakat internasional dan negara yang bersangkutan/ negara peserta dalam mengelola keselamatan nuklir. Dalam hal prioritas keselamatan dinyatakan sebagai: Setiap negara peserta harus mengambil langkah yang sesuai untuk menjamin bahwa semua organisasi yang berkaitan dengan kegiatan yang berhubungan langsung dengan instalasi nuklir, harus menetapkan kebijakan yang memberikan prioritas yang memadai, pada keselamatan nuklir dengan selalu memperhatikan aspek keuangan dan sumberdaya manusia, faktor manusia (Human factor – pasal 12) dan jaminan kualitas (pasal 13), untuk memberi keyakinan bahwa persyaratan tertentu untuk semua kegiatan penting terhadap keselamatan nuklir dipenuhi, selama pengoperasian instalasi nuklir. Sebagai pelaksanaan konvensi ini, BAPETEN telah menetapkan kebijakan keselamatan, yang memberikan prioritas yang tinggi kepada keselamatan nuklir dalam pernyataan kebijakan keselamatan nuklir BAPETEN sejak Juni 2000. Tujuannya untuk memberikan kerangka kerja bagi pelaksana dalam mengelola pengawasan, untuk mencapai keselamatan nuklir yang tinggi, melalui peningkatan pendekatan dan dialog, dan mengikuti sistem pengawasan dunia keselamatan nuklir internasional, yang meletakkan dasar bahwa adalah prioritas utama, yang harus mendapat perhatian sebelum tenaga nuklir dimanfaatkan. Pengkajian keselamatan yang sistematis dan menyeluruh dilaksanakan sebelum konstruksi dan komisioning intalasi nuklir, dan selama pengoperasian instalasi nuklir. Verifikasi dengan cara analisa, pengamatan, pengujian, dan inspeksi dilaksanakan untuk menjamin bahwa keadaan fisik dan operasi instalasi nuklir masih sesuai dengan desain, persyaratan keselamatan nasional yang berlaku serta batas-batas dan kondisi pengoperasian. Paparan radiasi terhadap pekerja dan masyarakat yang disebabkan oleh instalasi nuklir harus diusahakan serendah mungkin dan tidak ada individu yang terkena paparan radiasi melebihi batas dosis yang telah ditentukan. Ketentuan nasional terkait dengan proteksi radiasi diatur dalam PP nomor 63 tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion. Sedangkan penetapan limit dosis diatur dalam SK Kepala BAPETEN nomor 1 tahun 1999 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi mengacu ICRP no. 26 dan akan diperbarui dengan menggunakan konsep yang tertuang dalam BSS-115. Konvensi ini juga mewajibkan tiap negara peserta konvensi untuk menyiapkan rencana penanggulangan keadaan darurat, demikian pula pelatihan-pelatihan yang diperlukan, termasuk memberi informasi kepada negara sekitar tentang upaya yang tepat bagi perencanaan kedaruratan dan penanggulangannya. 210 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 Kesiapsiagaan penanggulangan keadaan darurat ini di Indonesia telah diatur dalam peraturan pemerintah dan keputusan Kepala BAPETEN. 2.4. Keselamatan dalam instalasi Dalam kaitannya dengan keselamatan instalasi, dalam konvensi keselamatan nuklir, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan mulai dari perencanaan tapak (pasal 17), desain dan konstruksi (pasal 18), dan pengoperasian (pasal 19). Dalam hal penentuan tapak, peserta konvensi selain menempuh prosedur baku di negara masingmasing, sesuai pasal 17 (iv) negara peserta tersebut harus berkonsultasi masalah tapak tersebut, kepada negara peserta konvensi lain yang berada disekitar PLTN yang direncanakan (vicinity). Demikian juga dalam hal desain, dan konstruksi, serta pengoperasian, juga harus dapat menunjukkan bahwa PLTN yang dibangun, telah dilengkapi dengan desain dan konstruksi yang handal, metode proteksi radiasi yang lengkap dan menyeluruh, dengan batasan operasional yang diperoleh dari hasil analisis keselamatan dan uji coba, dan pengalaman pengoperasian. 3. PERTEMUAN NEGARA PESERTA Tujuan dari penyelenggaraan sidang review meeting adalah melakukan kajian status keselamatan nuklir tiap-tiap negara pihak peserta konvensi, terutama mengenai langkah-langkah dan tindakan yang telah dilaksanakan, dan tindaklanjut untuk mengimplementasikan kewajiban negara pihak peserta konvensi, sesuai yang terdapat dalam pasal konvensi keselamatan nuklir. Pertemuan negara peserta konvensi ini merupakan pelaksanaan dari pasal 5 tentang laporan , pasal 20 Pertemuan berkala, Pasal 21 jadwal pertemuan, pasal 22 – pengaturan prosedural. Setiap negara peserta konvensi, wajib membuat laporan nasional, untuk pertemuan berkala yang disebut dengan sidang review meeting, yang diselenggarakan setiap 3 (tiga) tahun sekali. Laporan disampaikan ke sekretariat konvensi di IAEA – 6 bulan sebelum pelaksanaan review meeting. Setiap negara peserta mengirimkan wakil untuk meninjau kembali hal-hal spesifik yang terdapat dalam laporan, dan berhak untuk membahas laporan yang disampaikan oleh negara peserta lain, dan meminta klarifikasi dari laporan tersebut. Indonesia pertama kali mengikuti sidang review meeting negara peserta konvensi keselamatan nuklir pada sidang review meeting ketiga yang dilaksanakan di markas besar IAEA di Wina pada tanggal 11 – 22 April 2005, dihadiri oleh 50 negara dari 56 negara pihak. Pelaksanaan sidang review meeting dimulai diskusi panel, dengan pokok bahasan “Tantangan kedepan terhadap keselamatan nuklir diakibatkan permasalahan pimpinan di industri dan Badan Pengawas “. Resume hasil diskusi panel meliputi: - Akar permasalahan terletak pada : pengetahuan manajemen dan masa pensiun para eksekutif industri berpengalaman, termasuk yang tanpa latar belakang nuklir, kurangnya kerangka kerja pengawasan yang spesifik pada persyaratan pimpinan; 211 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 tidak adanya dialog antara regulator dan Chief executive officer (CEO) dibidang- bidang dimana isu pimpinan dapat berdampak pada keselamatan. - Langkah-langkah untuk menghadapi tantangan mencakup : Usaha dari industri baik perusahaan individu maupun asosiasi, untuk menegaskan kewajiban pimpinan sebagai komponen penting terhadap keselamatan nuklir, memberikan program pendidikan bagi board of directors / pemilik / pengusaha dan para eksekutif tentang pentingnya perhatian yang berkelanjutan terhadap keselamatan nuklir. Pengembangan peraturan dan pedoman yang diharapkan, sampai dengan indikator-indikator pimpinan. Melanjutkan penyelidikan tentang akar penyebab permasalahan dan kejadian, untuk mendeteksi dampak kegagalan pimpinan. Dari summary report pelaksanaan sesi kelompok laporan negara-negara peserta konvensi keselamatan nuklir, didapatkan informasi pokok antara lain : - Deregulasi ekonomi pada pasar energi membawa perubahan dalam kepemilikan dan pengaturan operasional perusahaan listrik termasuk PLTN. - Perubahan kepemilikan dan manajemen menekankan pada perolehan keuntungan dan persaingan dengan sumber energi yang lain, merupakan tantangan terhadap prioritasisasi keselamatan. - Negara peserta tidak membicarakan banyak negara peserta yang masalah keamanan dan proteksi fisik, tetapi menjelaskan adanya hubungan antara keselamatan dengan keamanan PLTN. - Membentuk dan mempertahankan kerangka pengaturan dan pengawasan yang kuat, merupakan hal utama untuk keselamatan nuklir global. - Metodologi internasional melalui Regulatory review team (IRRT) – IAEA merupakan alat penting dalam memberikan kajian internasional dan meningkatkan kemampuan kaji diri sendiri identifikasi kekuatan dan kelemahan, dalam perbaikan kerangka kerja legislasi dan pengawasan. - Penggunaan IAEA safety standard, negara peserta setuju safety standar sebagai acuan bersama, dan telah mempertimbangkan menggunakannya, dalam penyusunan kerangka kerja pengawasan dan peraturan nasional. Banyak negara menyatakan komitmennya, untuk melakukan harmonisasi nasional, terhadap kerangka kerja legislasi dan pengawasan. - Negara peserta berusaha mengembangkan kerangka kerja pengawasan yang baru, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan. Beberapa negara peserta didalam Badan Pengawas, telah terjadi perubahan menuju pendekatan pengawasan berdasarkan resiko. 212 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 - Technical support organization mempunyai peranan penting untuk melakukan kajian atas nama badan pengawas. - Perlunya dialog antara regulator dengan operator, baik pada tatanan senior manajemen maupun pekerja, untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan isu keselamatan jangka menengah dan panjang. - Badan pengawas yang efektif berdiri sendiri, merupakan elemen penting dalam keselamatan nuklir. - Beberapa negara yang memperluas program nuklirnya, menyatakan keprihatinannya untuk mempertahankan dan membangun kompetensi, adanya penuaan tenaga kerja, dan meningkatnya kebutuhan internasional tenaga spesialis keselamatan nuklir. Perlunya kebijakan nasional, untuk mengembangkan dan menyusun program sistematis, untuk mengatasi pensiun dan hilangnya tenaga spesialis. - Keselamatan operasi PLTN didunia, tergantung dari gema pentingnya budaya keselamatan yang kuat. Pada RM-II prioritas diberikan pada konsep jaminan kualitas, manajemen keselamatan, budaya keselamatan dan operasi jangka panjang. Sedangkan pada RM-III diperluas dengan konsep yang lebih spesifik, dari jaminan kualitas dan budaya keselamatan menjadi konsep sistem manajemen keselamatan, dan perlu digabungkan dengan persyaratan keselamatan nasional didasarkan pada pengalaman (good practices). - Banyak negara peserta menegaskan pentingnya peningkatan budaya keselamatan pada PLTN harus diperkuat, mengingat kecenderungan berkurangnya pengambil kebijakan, manajemen dan komunikasi internal. - Banyak Badan Pengawas yang menyatakan bahwa, pengaturan budaya keselamatan dan manajemen keselamatan lainnya, masih merupakan tantangan, sulitnya mengkuantifikasi performance indikator, untuk penilaian budaya keselamatan. Perlunya melanjutkan usaha-usaha untuk mencari “early warning sign“, inferensial indicators, dan cara untuk mengatur program yang mempengaruhi budaya keselamatan, dan mendeteksi degradasi dari manajemen keselamatan didalam organisasi operasional. - Negara peserta setuju bahwa, proses manajemen keselamatan yang komprehensif dan kajian diri dilakukan oleh organisasi operasional. Banyak perangkat untuk penilaian budaya keselamatan, dan sistem manajemen keselamatan, yang masih dalam pengembangan dan akan dilaporkan dalam RM-IV. - Human performance dan interfase antara manusia dan mesin/alat/komponen dan instrumentasi (man machine interface), termasuk juga hubungan antar manusia memegang peranan penting dalam budaya keselamatan. Beberapa negara peserta melaporkan mempunyai metodologi, untuk menganalisis kejadian-kejadian yang 213 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 disebabkan faktor manusia, dan spesialis untuk menilai faktor-faktor manusia dan organisasional. - Dalam kejadian kedaruratan perencanaan nuklir yang berakibat keluar lingkungan, diperlukan tanggap darurat terintegrasi, yang merupakan kesatuan untuk keselamatan pekerja, masyarakat dan lingkungan PLTN, dan negara tetangga yg berbatasan. Terdapat kesulitan untuk melibatkan masyarakat umum, dan tingkat pimpinannya dalam pelatihan. Banyak negara peserta melaporkan pelaksanaan peningkatan program kesiapsiagaan nuklir, termasuk modernisasi pusat manajemen kedaruratan dan pelatihan yg lebih luas seperti pemulihan. Negara peserta agar melaporkan pada RM-IV tentang bagaimana tanda bahaya kedaruratan dilaporkan ke negara lain secara effisien dan cepat. - Dalam hal transparansi dan keterbukaan, negara peserta setuju bahwa keterbukaan dan transparansi dengan masyarakat merupakan elemen penting, untuk mempertahankan kepercayaan kepada Badan Pengawas, dan kegiatan organisasi operasional PLTN. Digunakan internet untuk komunikasi dan transmisi informasi, dan juga database kejadian nuklir yang terbuka untuk umum, dan penggunaan website IAEA untuk laporan nasional konvensi keselamatan nuklir. - Prinsip ALARA dan rekomendasi ICRP 60 tetap digunakan negara peserta, untuk dasar pengawasan dosis pekerja dan pelepasan ke lingkungan. Banyak negara peserta yang telah memperbaiki kerangka kerja legislasi dan pengawasan, untuk meningkatkan pengawasan pada kesalahan proteksi radiasi. - Terdapat peningkatan penggunaan periodic safety reviews (PSR), sebagai bagian dari proses pengawasan. - Negara peserta menggunakan “Risk informed decision making” sebagai perangkat bagi pengawasan, dan digunakan untuk kegiatan kunci pengawasan, misalnya inspeksi. PSA merupakan perangkat dalam penilaian dan verifikasi keselamatan pada PLTN. PSA digunakan sebagai salah satu elemen pada risk informed decision making sebagai tambahan pada pendekatan deterministik. - Pada RM-II negara peserta dengan pembangunan PLTN, melaksanakan kegiatan untuk menjamin keselamatan tapak, design dan konstruksi. Pada RM-III negara peserta melaporkan fitur-titur desain utama, meliputi aspek keselamatan terkait pada rancangan PLTN maju. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 214 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Energi Nasional dan Rencana Umum Kelistrikan Nasional (RUKN) tahun 2005 – 2025 akan memberikan Opsi PLTN beroperasi pada tahun 2016. Rencana pembangunan dan pengoperasian PLTN tersebut perlu dipersiapkan dengan memberikan prioritas yang tinggi terhadap keselamatan yang dilaksanakan dengan benar, seksama dan penuh tanggungjawab oleh berbagai institusi terkait diantaranya adalah BAPETEN. Upaya peningkatan keselamatan PLTN secara global melalui konvensi keselamatan nuklir telah dilakukan oleh negara-negara pihak peserta konvensi keselamatan nuklir termasuk Indonesia. Konvensi keselamatan nuklir ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan kualitas keselamatan nuklir yang tinggi di seluruh dunia, melalui peningkatan langkah-langkah atau kegiatan yang dilakukan secara nasional, dan kerjasama internasional. Konvensi keselamatan nuklir mengandung konsepsi luhur akan arti pentingnya aspek budaya keselamatan instalasi nuklir secara global, yang pada hakekatnya akan memberi jaminan perlindungan bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup. Kewajiban negara peserta konvensi adalah membuat laporan nasional, dan menghadiri pertemuan berkala sidang review meeting yang dilaksanakan di markas besar IAEA di Wina Austria setiap 3 tahun sekali. Laporan nasional dan hasil review meeting memberikan arti penting dalam membangun keterbukaan dan transparansi serta kerjasama internasional dalam melakukan kajian keselamatan nuklir diantara negara-negara pihak peserta konvensi. Hasil review meeting merupakan hasil kajian dari negara-negara peserta konvensi, untuk melakukan penyempurnaan kerangka perundang-undangan dan pengawasan nasional didasarkan atas perkembangan keselamatan nuklir mutakhir, yang merupakan pengalaman baik (good practice) negaranegara peserta konvensi dan isu global keselamatan nuklir. Hasil-hasil sidang review meeting tersebut sangat bermanfaat dalam melakukan kajian untuk meningkatkan keselamatan nuklir yang tinggi. Indonesia saat ini belum memiliki PLTN, namun demikian dengan adanya program pemerintah untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN pada tahun 2016, konvensi ini akan bermanfaat untuk bertukar pikiran dan menimba pengalaman dan perkembangan terkini isu keselamatan PLTN dunia, dari negara-negara pihak peserta konvensi, sekaligus untuk menunjukkan itikad baik pemerintah RI dalam membina kerjasama internasional. Hasil pertemuan berkala pada sidang review meeting ketiga, yang dikuti oleh wakil dari BAPETEN sangat bermanfaat untuk mengikuti perkembangan keselamatan PLTN dunia, yang dapat digunakan untuk penyiapan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan maupun kerangka kerja pengawasan PLTN di masa mendatang. Beberapa hal penting hasil sidang review meeting ketiga, meliputi: Penerapan konsep sistem manajemen keselamatan perlu digabung dengan persyaratan keselamatan nasional didasarkan pengalaman (good practices). Perangkat penilaian budaya keselamatan dan sistem manajemen keselamatan masih dalam pengembangan utk dilaporkan di RM-IV. 215 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 Komitmen untuk melakukan harmonisasi terhadap kerangka kerja legislasi dan pengawasan, dan mempertimbangkan IAEA safety standard. Perubahan pendekatan pengawasan berdasarkan resiko dan risk informed decision making sebagai perangkat pengawasan. ICRP-60 dasar pengawasan dosis pekerja dan pelepasan ke lingkungan. 5. KESIMPULAN - Konvensi keselamatan nuklir ditetapkan sebagai upaya untuk meningkatkan keselamatan nuklir secara global melalui perbaikan peraturan nasional, dan kerjasama internasional, dalam upaya melindungi masyarakat maupun lingkungan atas dampak bahaya dari instalasi nuklir PLTN. Hal ini menjadi pertimbangan Pemerintah RI untuk meratifikasi konvensi keselamatan nuklir dengan keputusan presiden no. 106 Tahun 2001 - Indonesia telah mengatur pemisahan secara efektif, antara fungsi badan pengawas dan badan pelaksana dalam kelembagaan yang terpisah, pada pasal 4 UU nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, sesuai dengan tuntutan konvensi keselamatan nuklir. - Sebagai konsekuensi pengesahan konvensi keselamatan nuklir, pemerintah RI berkewajiban untuk membuat laporan nasional dan hadir dalam sidang review meeting setiap 3 tahun sekali. Pertemuan ini merupakan forum tukar pikiran dan pengalaman dalam bidang keselamatan nuklir. Perkembangan keselamatan nuklir terkini dari hasil review meeting antara lain, penerapan konsep sistem manajemen keselamatan PLTN, pengawasan berdasarkan resiko dan risk informed decision making sebagai perangkat pengawasan. 216 Seminar Keselamatan Nuklir 2 – 3 Agustus 2006 DAFTAR ACUAN 1. UU No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran 2. Keppres 106 Tahun 2001 Tentang Ratifikasi Konvensi Keselamatan Nuklir 3. Convention on Nuclear Safety , IAEA 1994 4. Laporan Nasional I Sidang Review Meeting ke III Konvensi Keselamatan Nuklir, September 2004. 5. Laporan Hasil Review Meeting III Konvensi Keselamatan Nuklir, April 2005. 217