kovenan hak-hak sipil

advertisement
Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI
Tahun 2007
Materi : Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik
KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK,
SEBUAH PENGANTAR
Ifdhal Kasim, S.H.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510
Telp (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519
Website : www.elsam.or.id
Email : [email protected] : [email protected]
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan bacaan
Materi : Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik
PENDAHULUAN
KOVENAN internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik atau International Covenan on
Civil and Political Rights (ICCPR) merupakan
produk Perang Dingin : ia merupakan hasil
dari kompromi politik yang keras antara
kekuatan negara blok Sosialis melawan
negara blok Kapitalis. Saat itu situasi ini
mempengaruhi proses legislasi perjanjian
internasional hak asasi • manusia yang
ketika itu sedang digarap Komisi Hak Asasi
Manusia PBB. Hasilnya adalah pemisahan
kategori hak-hak sipil dan politik dengan
hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial,
dan budaya ke dalam dua kovenan atau
perjanjian internasional – yang tadinya
diusahakan dapat diintegrasikan ke dalam
satu kovenan saja. Tapi realitas politik
menghendaki lain. Kovenanyang satunya
lagi itu adalah Kovenan Internasional HakHak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau
International Covenan on Economic, Social and
Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan ini
merupakan anak kembar yang dilahirkan di
bawah situasi yang tidak begitu kondusif
itu, yang telah membawa implikasiimplikasi tertentu dalam penegakan kedua
kategori hak tersebut.
mengherankan
justru
adalah
sikap
pemerintah kita terhadap kovenan ini yang
hingga hari ini belum juga memutuskan
untuk segera meratifikasinya. Jadi sampai
sekarang kita belum menjadi Negara Pihak
dari kovenan yang sangat penting itu. Entah
sampai kapan kita menunggunya ?
Tulisan ini ingin mengetengahkan suatu
paparan pengenalan terhadap ICCPR,
sekadar untuk mengantarkan pembaca
memahami esai-esai yang dipilih dan
dihimpun dalam buku ini. Karena ini
tulisan ini tidak akan masuk pada
pembahasan
detail
terhadap
semua
ketentuan yang diatur di dalam ICCPR,
karena hal ini menjadi porsi dari esai-esai
yang terhimpun dalam buku ini (meskipun
tidak seluruhnya dibahas dalam buku ini).
Tulisan ini hanya mengetengahkan analisis
yang menyeluruh terhadap ICCPR.
Saat ini Kovenan Internasional Hak-hak
Sipil dan Politik itu ( selanjutnya disingkat
ICCPR) telah diratifikasi oleh 141 Negara.
Itu artinya tidak kurang dari 95% negaranegara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang berjumlah 159 negara itu. Telah
menjadi Negara Pihak (State Parties) dari
kovenan tersebut. Ditinjau dari segi tingkat
ratifikasi, maka dapat dikatakan kovenan ini
memiliki tingkat universalitas yang sangat
tinggi bila dibanding dengan perjanjian
internasional hak asasi manusia lainnya.
Tidak salah apabila kemungkinan kovenan
ini dimasukkan menjadi bagian dari
International Bill of Human Rights. Yang
•
Ifdhal Kasim, S.H., Direktur Eksekutif
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM).
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
1
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan bacaan
Materi : Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik
SUBSTANSI HAK-HAK DI DALAMNYA
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan
mengenai
pembatasan
penggunaan
kewenangan oleh aparat represif negara,
khususnya aparatur represif negara yang
menjadi Negara-Negara Pihak ICCPR.
Makanya hak-hak yang terhimpun di
dalamnya juga sering disebut sebagai hakhak negatif (negative rights). Artinya, hakhak dan kebebasan yang dijamin di
dalamnya akan dapat terpenuhi apabila
peran negara terbatasi atau terlihat minus.
Tetapi
apabila
negara
berperan
intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak
dan kebebasan yang diatur di dalamnya
akan dilanggar oleh negara. Inilah yang
membedakannya dengan model legislasi
Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (biasanya disingkat
ICESCR) yang justru menuntut peran
maksimal negara. Negara justru melanggar
hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila
negara tidak berperan secara aktif atau
menunjukkan peran yang minus. ICESCR
karena itu sering juga disebut sebagai hakhak positif (positive rights).
Hak-hak negatif apa saja yang termuat
dalam ICCPR ? Dengan resiko terjatuh pada
penyederhanaan, kita dapat membuat dua
klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan
dasar yang tercantum dalam ICCPR itu.
Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam
jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang
bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi
pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak.
Walaupun
dalam
keadaan
darurat
sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke
dalam jenis ini adalah : (i) hak atas hidup
(rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan
(rights to be free from torture); (iii) hak bebas
dari perbudakan (rights to be free from
slavery); (iv) hak bebas dari penahanan
karena gagal memenuhi perjanjian (utang);
(v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku
surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan
(vii)
hak
atas
kebebasan
berpikir,
kenyakinan dan agama. Negara-negara
Pihak
yang
melakukan
pelanggaran
terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali
akan mendapat kecaman sebagai negara
yang telah melakukan pelanggaran serius
hak asasi manusia (gross violation of human
rights).
Kelompok kedua adalah hak-hak dalam
jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh
dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh
Negara-negara Pihak. Hak dan kebebasan
yang termasuk dalam jenis ini adalah : (i)
hak atas kebebasan berkumpul secara
damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat,
termasuk membentuk dan menjadi anggota
serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan
menyatakan pendapat atau berekpresi,
termasuk kebebasan mencari, menerima
dan memberikan informasi dan segala
macam gagasan tanpa memperhatikan batas
(baik melalui lisan atau tilisan).
Negara-Negara Pihak ICCPR diperbolehkan
mengurangi
atau
mengadakan
penyimpanan
atas
kewajiban
dalam
memenuhi
hak-hak
tersebut.
Tetapi
penyimpanan itu hanya dapat dilakukan
apabila sebanding dengan ancaman yang
dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif,
yaitu demi : (i) menjaga keamanan nasional
atau ketertiban umum atau kesehatan atau
moralitas umum; dan (ii) menghormati hak
atau kebebasan orang lain. Prof. Rosalyn
Higgins menyebut ketentuan ini sebagai
ketentuan “clawback’, yang memberikan
suatu
keleluasaan
yang
dapat
disalahgunakan
oleh
negara.
Untuk
menghindari hal ini ICCPR menggariskan
bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi
“melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan
ini”. Selain diharuskan juga menyampaikan
alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut
dilakukan kepada semua Negara Pihak
ICCPR.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
2
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan bacaan
Materi : Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik
Tanggung
jawab
perlindungan
dan
pemenuhan atas semua hak dan kebebasan
yang dijanjikan di dalam Kovenan ini
adalah di pundak negara, khususnya yang
menjadi Negara Pihak ICCPR. Hal ini
ditegaskan pada Pasal 2 (1) yang
menyatakan,
Negara-Negara
Pihak
diwajibkan
untuk
“menghormati
dan
menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan
ini, yang diperuntukkan bagi semua individu
yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada
yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam
apapun. Kalau hak dan kebebasan yang
terdapat di dalam Kovenan ini belum
dijamin dalam yurisdiksi suatu negara,
maka negara tersebut diharuskan untuk
mengambil tindakan legislatif atau tindakan
lainnya yang perlu guna mengefektifkan
perlindungan hak-hak itu (Pasal 2 (2)). Perlu
diketahui, tanggung jawab negara dalam
konteks memenuhi kewajiban yang terbit
dari ICCPR ini, adalah bersifat mutlak dan
harus segera dijalankan (immediately).
Singkatnya hak-hak yang terdapat dalam
ICCPR ini bersifat justiciable. Inilah yang
membedakannya dengan tanggung jawab
negara dalam konteks memenuhi kewajiban
yang terbit dari ICESCR, yang tidak harus
segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi
secara bertahap (progressive realization), dan
karena itu bersifat non-justiciable.
Kewajiban negara yang lainnya, yang tak
kalah
pentingnya,
adalah
kewajiban
memberikan tindakan pemulihan bagi para
korban pelanggaran hak atau kebebasan
yang terdapat dalam Kovenan ini secara
efektif. Sistem hukum suatu negara
diharuskan mempunyai perangkat yang
efektif dalam menangani hak-hak korban
tersebut. Penegasan mengenai hal ini
tertuang pada Pasal 3, yang menyatakan
sebagai berikut :
a.
b.
c.
Menjamin bahwa setiap orang yang hak
atau kebebasan sebagaimana diakui
dalam Kovenan ini dilanggar, akan
mendapat pemulihan yang efektif,
meskipun pelanggaran itu dilakukan
oleh orang yang bertindak dalam
kapasitas resmi.
Menjamin bahwa bagi setiap orang
yang menuntut pemulihan demikian,
haknya atas pemulihan tersebut akan
ditetapkan oleh lembaga peradilan,
administrasi, atau legislatif yang
berwenang, atau lembaga lain yang
berwenang, yang ditentukan oleh sistem
hukum negara tersebut, dan untuk
mengembangkan
kemungkinan
pemulihan yang bersifat hukum.
Menjamin
bahwa
lembaga
yang
berwenang
akan
melaksanakan
pemulihan tersebut apabila dikabulkan.
Dari uraian ringkas di atas tampaklah
bahwa, Kovenan ini tidak mengandung
sesuatu yang bersifat “subversif” yang bakal
menyulitkan negara-negara yang menjadi
pihak pada Kovenan tersebut. Termasuk
ketentuan mengenai hak menentukan nasib
sendiri (right of self-determination) (Pasal 1),
dan ketentuan mengenai kewajiban negara
untuk mengizinkan kelompok minoritas
(etnis, agama atau bahasa) “untuk menikmati
kebudayaan
mereka,
menyatakan
atau
mempraktekkan
agama
mereka
atau
menggunakan bahasan mereka sendiri” dalam
Komunitasnya (Pasal 27). Kovenan ini jelas
tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk
mensubversi integritas wilayah suatu
negara. Karena itu, sulit bagi kita menerima
alasan mengapa sampai hari ini kita belum
menjadi Negara Pihak dari perjanjian
multilateral yang sangat penting ini.
MEKANISME PENGAWASAN
Kovenan
ini
menciptakan
badan
pengawasannya sendiri (treaty-base organ),
yaitu Komite Hak asasi Manusia. Komite
inilah yang diserahi mandat untuk
mengawasi jalanya pelaksanaan isi ICCPR
pada semua Negara Pihak. Untuk
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
3
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan bacaan
Materi : Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik
melengkapi pengawasan yang dilakukan
oleh Komite ini, pada ICCPR ditambahkan
satu protokol yang bersifat pilihan, yakni
Optional Protocol to the International Covenant
on Civil and Political Rights (selanjutnya
disebut Protokol Opsional). Artinya Negaranegara Pihak ICCPR boleh memilih terikat
atau tidak kepada prosedur yang disusun di
dalam Protokol Opsional tersebut.
Nowak
mengatakan
tidak.
Menurut
pengamatannya, Komite ini bekerja atas
dasar konsensus. Meskipun telah terjadi
perselisihan yang tak terelakkan mengenai
doktrin dan metodologi hukum, tetapi
konfrontasi politik tak banyak terjadi. Sekali
lagi terlihat, bahwa anggota Komite hanya
memiliki komitmen pada Komite, bukan
pada negara yang mencalonkannya.
Anggota Komite Hak Asasi Manusia yang
disebut di muka terdiri dari 18 orang, yang
dipilh dari warga negara yang menjadi
Pihak pada Kovenan ini. Kualifikasi warga
negara yang dapat dipilih menjadi anggota
Komite tersebut harus merupakan “pribadipribadi bermoral tinggi dan dikenal memiliki
keahlian dalam bidang hak asasi manusia”.
Pemilihan anggota Komite dilakukan setiap
empat tahun sekali, yang dipilih dari caloncalon yang diusulkan oleh masing-masing
Negara Pihak melalui suatu pemungutan
suara secara tertutup. Meskipun anggota
tersebut diajukan oleh negara, tetapi ia tidak
mewakili negaranya ketika terpilih sebagai
anggota Komite. Ia harus berfungsi dalam
kapasitasnya sebagai pribadi. Bukan
bertindak dalam kapasitas wakil dari suatu
negara. Sifat pribadi dari tugas-tugas yang
dijalankan oleh anggota Komite, tampak
diperkuat dengan janji yang harus
diucapkannya ketika dilantik, yaitu akan
menjalankan fungsi mereka secara adil dan
sungguh-sungguh.
Komite menjalankan fungsi pengawasan
berdasarkan mekanisme yang ditetapkan
dalam ICCPR dan Protokol Opsional. Yang
pertama adalah mekanisme yang bersifat
wajib, yaitu pengawasan melalui suatu
sistem laporan berkala. Negara-Negara
Pihak pada Kovenan ini diwajibkan
menyampaikan laporan mengenai tindakantindakan yang telah mereka tempat dalam
Kovenan, dan kemajuan yang telah
dicapainya. Laporan berkala inilah yang
dipelajari dengan seksama oleh Komite, dan
kemudian
menyampaikan
komentarkomentarnya kepada Negara-Negara Pihak.
Keuntungan utama mekanisme ini adalah
dimungkinkannya
Komite
untuk
mengadakan “dialog yang konstruktif”
dengan Negara-Negara Pihak. Selain itu,
mekanisme ini juga memungkinkan Komite
menyelidiki kepatuhan Negara-Negara
Pihak dengan memeriksa kelemahankelemahan, mengatasi keragu-raguan, dan
menyoroti penggelapan fakta yang dijumpai
dalam laporan. Mekanisme ini sekilas
tampak sangat “lunak” tetapi sebetulnya
sering juga membuat Negara-Negara Pihak
marah dan gusar dengan komentar dan
kritik Komite terhadap laporan mereka.
Para
perancang
ICCPR
tampaknya
menyadari soal yang peka, yang berkaitan
dengan keterwakilan budaya atau hukum di
dalam Komite. Karena itu, untuk menjamin
keterwakilan itu, disyaratkan agar dalam
pemilihan
anggota
Komite,
masalah
distribusi geografis yang merata dan
perwakilan bagi berbagai bentuk peradaban
dan sistem hukum harus dipertimbangkan.
Tetapi tidaklah, keragaman asal-usul
anggota Komite itu, akan membawa Komite
terjebak dala perdebatan ideologi dan
politik
yang
pada
giliranya
akan
mengganggu bekerjanya Komite ? Prof.
Mekanisme pengawasan yang kedua adalah
pengaduan antar-negara. Mekanisme ini
bersifat opsional atau fakultatif, tidak
diwajibkan sebagaimana pada prosedur
yang pertama, mekanisme ini mensyaratkan
persetujuan setiap Negara Pihak, dan hanya
dapat dipergunakan terhadap negaranegara lain yang juga telah setuju untuk
terikat pada mekanisme ini. Berdasarkan
mekanisme ini, suatu negara yang
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
4
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan bacaan
Materi : Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik
beranggapan
bahwa
telah
terjadi
pelanggaran terhadap Kovenan ini oleh
suatu negara lain, dapat meminta perhatian
negara bersangkutan akan fakta tersebut.
Negara
yang
dituding
itu
harus
menanggapi tuduhan itu dalam jangka
waktu tiga bulan. Apabila kedua negara
tidak dapat menyelesaikannya perselisihan
mereka dalam jangka waktu enam bulan,
maka salah satu dapat mengajukan masalah
ini kepada Komite. Komite kemudian
menawarkan jasa baiknya dalam rangka
mencapai penyelesaian secara bersahabat
diantara negara-negara itu. Tetapi apabila
penyelesaian yang ditawarkan Komite itu
juga tidak mampu mengatasinya, maka
Komite dapat mengangkat sebuah Komisi
Perdamaian
Ad
Hoc
untuk
menyelesaikannya.
Mekanisme pengaduan antar-negara ini
merupakan mekanisme yang paling tidak
memuaskan. Mekanisme ini sangat rawan
dari penyalahgunaan untuk tujuan politis
masing-masing negara. Penekanannya pada
penyelesaian perselisihan secara bersahabat,
juga menyebabkan mekanisme ini tidak
banyak gunanya untuk kepentingan
melindungi
individu.
Yang
tampak
ditonjolkan di sini adalah kepentingan
negara-negara. Namun karena keputusankeputusan dari Komite maupun Komisi
Perdamaian ad hoc dalam memutuskan
perselisihan antar-negara tersebut tidak
mempunyai kekuatan mengikat, maka
tidaklah mengherankan apabila mekanisme
ini tidak pernah digunakan.
Mekanisme pengawasan yang ketiga adalah
pengaduan individual (individual petition).
Mekanisme ini juga bersifat opsional,
artinya hanya dapat diterapkan di NegaraNegara Pihak yang telah meratifikasi
Protokol
Opsional
Pertama
ICCPR.
Individu, melalui mekanisme ini, dapat
berhubungan langsung dengan Komite.
Tanpa melalui perantara negaranya lagi.
Mekanisme ini dengan demikian telah
menegaskan status individu dalam hukum
internasional dewasa ini, yang tidak lagi
sekedar sebagai incidental beneficiary.
Melainkan telah diakui pula sebagai subjek
hukum internasional. Melihat arti penting
dari mekanisme pengaduan individual ini,
dibawah ini dicoba diuraikan secara lebih
memadai.
MEKANISME PENGADUAN INDIVIDUAL
Mekanisme ini diperuntukkan bagi individu
yang menjadi korban pelanggaran hak dan
kebebasan yang dilindungi ICCPR. Komite
dapat menerima pengaduan ini, jika
Negara-Negara Pihak ICCPR terlebih
dahulu telah menerima kewenangan
Komite. Prosedur kerja Komite dalam
menerapkan mekanisme ini bersifat tertulis
dan rahasia. Artinya Komite hanya
mempertimbangkan suatu pengaduan, jika
pengaduan itu disampaikan secara tertulis
kepadanya. Komite akan memeriksa
pengaduan ini secara rahasia, dan semua
rapat Komite bersifat tertutup. Begitu selesai
memeriksa
bukti-bukti
tertulis
yang
dihadapinya,
Komite
menyampaikan
pandangannya
berkenaan
dengan
pengaduan tersebut kepada negara dan
individu
yang
bersangkutan.
Selain
diharuskan menyampaikannya ke ECOSOC
dan Majelis Umum PBB.
Berdasarkan pengalaman Komite dan sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan dalam
Protokol
Opsional,
pengaduan
yang
diterima dan dipertimbangkan oleh Komite
adalah
pengaduan
yang
memenuhi
beberapa syarat berikut ini :
i.
Pengaduan tertulis itu harus berasal
dari individu yang menyatakan diri
sebagai korban;
ii. Pengaduan tertulis itu tidak sedang
dipertimbangkan melalui prosedur
penyidikan atau prosedur penyelesaian
internasional lain apapun;
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
5
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan bacaan
Materi : Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik
iii. Korban harus menunjukkan bahwa ia
telah mengupayakan semua prosedur
hukum yang tersedia di negaranya
(exhaustion of domestic remedies);
iv. Pengaduan tertulis itu harus didukung
oleh fakta yang kuat.
Syarat-syarat yang dikemukakan di atas
tentu saja memerlukan penjelasan yang
panjang
lebar-lebar.
Tetapi
karena
keterbatasan halaman yang tersedia, tulisan
ini hanya membahas salah satu dari syaratsyarat tersebut. Tampaknya yang paling
mendesak dibahas adalah syarat yang
pertama; Apakah hanya individu yang
menjadi
korban
saya
yang
boleh
menyampaikan pengaduan tertulis kepada
Komite ? Bagaimana dengan kelompok
yang menjadi korban, apakah dapat
menggunakan prosedur ini ?
Apabila dilihat secara harfiah, ketentuan
harus
“korban
itu
sendiri”
yang
menyampaikan pengaduan, memang dapat
mengarah kepada suatu pengingkaran
terhadap hak untuk mengadu dalam situasi
tertentu. Bahaya ini tampaknya disadari
oleh Komite. Dalam pengalaman atau
yurisprudensi Komite, kita lihat bahwa
Komite dapat menerima pengaduan nama
korban. Jadi tidak harus korban itu sendiri.
Dalam kasus Massera v Uruguay, Komite
menerima baik suatu pengaduan tertulis
yang disampaikan oleh seorang perempuan
yang menuduh bahwa suami, ibu, dan ayah
tirinya telah ditahan dan disiksa dengan
sewenang-wenang di Uruguay, dengan
menyatakan : “Penulis pengaduan ini dapat
dibenarkan untuk bertindak atas nama…
para korban seperti yang dituduh dengan
alasan adanya hubungan keluarga dekat”.
Pandangan Komite ini telah menjadi
rujukan dalam kasus-kasus berikutnya, dan
telah memastikan bahwa pihak ketiga yang
mewakili korban itu tidak harus merupakan
keluarga dekat di korban. Si penulis
pengaduan cukup membuktikan adanya
suatu
kepentingan
dalam
tindakan
hukumnya itu.
Pengaduan tertulis atas nama kelompok
tidak diterima oleh Komite. Berdasarkan
Protokol
Opsional,
suatu
tindakan
kelompok atau dikenal sebagai actio
popularis,
tidak
dapat
diterima.
Yurisprudensi Komite berkaitan dengan isu
ini adalah kasus Mauritian Women. Dalam
kasus ini, sejumlah perempuan mengadu
mengenai efek diskriminatif dari sebuah
undang-undang imigrasi tahun 1977 yang
mempengaruhi hak tinggal para lelaki asing
yang
menjadi
suami
perempuanperempuan
Mauritius,
tetapi
tidak
mempengaruhi hak tinggal perempuan
asing yang diperistri oleh lelaki Mauritius.
Tidak semua perempuan-perempuan itu
mau menunjukkan nama dan identitas
mereka, karena itu pengaduan itu diajukan
atas nama beberapa diantara mereka yang
bersedia menunjukkan identitas mereka.
Komite menolak pengaduan actio popularis
ini. Begitu juga pengaduan tertulis oleh
suatu kelompok mengenai pelanggaran hak
menentukan nasib sendiri yang dilakukan
oleh suatu negara, juga tidak dapat diterima
oleh Komite.
PENUTUP
Tulisan ini, seperti sudah disampaikan di
awal, hanya mengetengahkan pembahasan
yang menyeluruh terhadap Kovenan HakHak Sipil dan Politik. Mulai dari aspek
substansinya,
hingga
ke
aspek
proseduralnya telah dibahas secara ringkas
dalam tulisan ini. Yang terlihat dengan
demikian barulah hutannya, bukan pohonpohon yang menciptakan hutan itu.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
6
Download