1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Menarik Diri pada Lansia 1. Pengertian Perilaku Menarik Diri Menurut Adler (Alwisol, 2004), menarik diri merupakan sebuah bentuk mekanisme pertahanan diri yang dilakukan seseorang sebagai coping terhadap situasi-situasi yang tidak menyenangkan. Menarik diri juga berupa kecenderungan untuk melarikan diri dari kesulitan, pengamanan melalui mengambil jarak, berupa tindakan menarik diri dari aktivitas dan lingkungan sosial. Ketika seseorang dihadapkan pada masalah dan tidak mampu diselesaikan, maka seseorang akan cenderung menarik diri sebagai coping terhadap situasi yang tidak menyenangkan. Perasaan demikian dapat muncul sebagai akibat dari sesuatu yang nyata atau hasil imajinasinya saja. Sikap menarik diri sering terjadi tanpa disadari dan bisa membuat orang yang merasakannya melakukan hal berupa mundur, diam di tempat, ragu-ragu dan membuat hambatan. Semua itu dimaksudkan untuk pengamanan agar harga dirinya tidak mengalami inflasi atau penurunan. Menurut Townsend (Muhith, 2015), menarik diri merupakan suatu keadaan ketika seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. Menurut Depkes RI (1989), menarikan diri atau withdrawl merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian 2 ataupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang bersifat sementara atau menetap. Menurut Pawlin (Prabowo, 2014), menarik diri merupakan upaya yang dilakukan seseorang dengan menghindari interaksi dengan orang lain atau menghindari hubungan dengan orang lain. Seseorang dengan perilaku menarik diri akan berusaha menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak memunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi atau kegagalan. Ia memunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain (DepKes, 1998). Menurut Keliat & Akemat (2009), menarik diri merupakan keadaan ketika individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya karena merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Balitbang (Direja, 2011), menyebutkan bahwa menarik diri merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain, karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak memunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Orang yang menarik diri mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain, lalu dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman. 3 Menurut Al-Mighwar (2006), menarik diri adalah bentuk tingkahlaku yang menunjukkan adanya kecenderungan putus asa dan merasa tidak aman, sehingga menarik diri dari kegiatan dan takut memerlihatkan usaha-usahanya. Individu seperti ini tidak punya kekuatan untuk bertahan di lingkungan sosialnya, dan lebih memilih untuk menyendiri demi kenyamanan dirinya. Menarik diri juga merupakan sebuah reaksi yang dapat ditampilkan, dalam bentuk reaksi fisik maupun psikologis. Reaksi fisik individu antara lain, pergi atau menghindari sumber stressor, misalnya, menjauhi polusi, gas beracun, infeksi dan lain-lain. Adapun reaksi psikologis individu antara lain, menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat melakukan sesuatu, rasa takut dan atau bermusuhan (Dermawan & Rusdi, 2013). Menurut Chaplin (2011), withdrawl dapat dikatakan juga sebagai penarikan diri, yaitu suatu pola tingkah laku yang memindahkan seseorang dari penghalangan atau frustasi. Penarikan diri ini bisa menjadi mekanisme pembelaan diri habitual, yang menyangkut simtom serius berupa pengunduran atau penarikan diri dari realitas, kecanduan narkotik, alkoholisme dan seterusnya. Selanjutnya menurut Kartono & Gulo (1987), withdrawl diartikan sebagai penarikan diri atau menarik diri, yaitu memilih untuk tidak berbuat dalam menghadapi tekanan tertentu (hambatan, kesulitan tertentu). Menarik diri juga disebut dengan pengabaian (ketidakacuhan, kelalaian) sosial; merupakan satu gejala dari ketidaksesuaian tingkahlaku yang ekstrim. 4 Berdasarkan beberapa pengertian tentang perilaku menarik diri, peneliti menyimpulkan sesuai dengan pendapat Pawlin (Prabowo, 2014), menjelaskan bahwa menarik diri merupakan suatu upaya yang dilakukan seseorang dengan menghindari interaksi dengan orang lain atau menghindari hubungan dengan orang lain.. 2. Gejala- gejala Perilaku Menarik Diri Menurut Yosep & Sutini (2014), gejala menarik diri terbagi menjadi dua: a. Gejala subjektif Gejala subjektif merupakan gejala yang dirasakan dan dapat diungkapkan secara langsung oleh subjek. Orang lain dapat mengetahui gejala tersebut dengan menanyakan langsung pada subjek. Gejala subjektif antara lain nampak dalam gambaran perilaku sebagai berikut : 1) Perasaan kesepian 2) Merasa tidak aman berada dengan orang lain 3) Mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain 4) Merasa bosan pada aktivitas sehari-hari. 5) Tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan 6) Merasa tidak berguna 7) Merasa tidak yakin dapat melangsungkan hidup 8) Merasa ditolak oleh orang lain 5 b. Gejala objektif Gejala objektif merupakan gejala yang dapat langsung terlihat dan dapat diamati oleh orang lain mengenai kondisi atau keadaan yang dialami subjek antara lain : 1) Komunikasi verbal menurun, 2) Tidak mengikuti kegiatan 3) Banyak berdiam diri di kamar 4) Tidak mau berinteraksi dengan orang lain 5) Apatis (acuh terhadap lingkungan sekitar) 6) berperilaku kurang spontan dalam menghadapi masalah 7) Aktivitas menurun, keengganan seseorang melakukan kegiatan seharihari. 8) Ekspresi wajah kurang berseri Menurut Townsend (Muhith, 2015) dan Keliat (1999) terdapat beberapa gejala perilaku menarik diri sebagai berikut : a. Berperilaku kurang spontan yaitu tidak langsung merespon terhadap masalah yang sedang dihadapinya. b. Apatis terhadap kegiatan sekitar Merupakan sikap acuh tak acuh, tidak peduli dan masa bodoh terhadap lingkungan sekitar. Istilah psikologi untuk keadaan tidak peduli atau acuh yaitu seseorang tidak tanggap atau tidak peduli terhadap aspek emosional, sosial atau kehidupan fisik. 6 c. Ekspresi wajah kurang berseri yaitu seseorang memperlihatkan ekspresi sedih. d. Afek tumpul Afek tumpul merupakan ekspresi perasaan yang kurang atau terbatas atau ketidakmampuan membangkitkan emosi dan berespon terhadap suatu keadaan. e. Aktivitas menurun Keengganan seseorang melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya perawatan diri dan kegiatan sehari-hari yang dilakukan menurun. f. Komunikasi verbal menurun atau tidak ada. Komunikasi verbal menurun nampak dalam perilaku seseorang yang tidak banyak bercakap-cakap dengan orang lain. g. Mengisolasi diri (menyendiri), yaitu seseorang yang memisahkan diri dari orang lain dalam aktivitas sehari-harinya seperti, seseorang akan mengambil jarak pada orang lain pada saat berkumpul, berdiam diri dikamar sendirian dan melarang orang lain berada didekatnya. h. Harga diri rendah Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan, yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, percaya diri kurang, dan juga dapat mencederai diri. 7 i. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk. j. Menolak berkomunikasi dengan orang lain. Klien memutuskan percakapan atau pergi jika di ajak bercakap-cakap. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala perilaku menarik diri antara lain, Seorang mengalami penurunan komunikasi verbal, tidak mengikuti kegiatan, banyak berdiam diri di kamar, tidak mau berinteraksi dengan orang lain, acuh terhadap lingkungan sekitar, berperilaku kurang spontan dalam menghadapi masalah, aktivitas menurun dan ekspresi wajah kurang berseri, menceritakan perasaan kesepian, merasa tidak aman berada dengan orang lain, mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain, merasa bosan pada aktivitas sehari-hari, tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak berguna, merasa tidak yakin dapat melangsungkan hidup dan merasa ditolak oleh orang lain. Adapun gejala-gejala perilaku menarik diri yang menjadi acuan peneliti untuk penyusunan alat ukur perilaku menarik diri pada lansia yaitu mengacu pada pendapat Yosep & Sutini (2004). Alasan peneliti memilih gejala tersebut karena pada gejala tersebut menjelaskan secara spesifik mengenai perilaku menarik diri dan lebih detail membagi perilaku menarik diri secara subjektif dan objektif. 8 3. Perilaku Menarik Diri pada Lansia Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang kesehatan, dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Menurut Laksamana (1983), perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut sebagai perubahan `senesens` dan perubahan ’senilitas’. Perubahan `senesens’ adalah perubahanperubahan normal dan fisiologik akibat usia lanjut. Perubahan ’senilitas’ adalah perubahan¬-perubahan patologik permanen disertai dengan makin memburuknya kondisi badan pada usia lanjut. Perubahan yang dihadapi lansia pada umumnya adalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa dan problema bidang sosio ekonomi. Oleh karena itu lansia adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap problem fisik dan mental. Menurut Santrock (2002), ada dua pandangan tentang definisi orang berusia lanjut atau lansia, yaitu menurut pandangan orang barat dan orang Indonesia. Menurut pandangan orang Barat, yang tergolong orang berusia lanjut atau lansia adalah orang yang sudah berumur 65 tahun ke atas, dimana usia ini akan membedakan seseorang masih dewasa atau sudah lanjut. Pandangan orang Indonesia memerlihatkan lansia adalah orang yang berumur lebih dari 60 tahun, karena di Indonesia usia 60 tahun dipakai sebagai usia maksimal kerja dan mulai tampak ciri-ciri ketuaan. 9 Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan waktu, yang dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua adalah fase akhir dari rentang kehidupan. Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial (Murwani & Priyantari, 2011). Menurut Musri (Wicaksono, 2011), Proses menua (aging) adalah proses alami disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa. Masalah kesehatan jiwa pada lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien geriatri dan psikogeriatri sebagai bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang memelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain. Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, diantaranya adalah teori sosial. Teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan menjelaskan bahwa adanya perilaku menarik diri yang dialami oleh seseorang di masa tersebut (Maryam dkk, 2008). Teori tersebut merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal dan pertama kali diperkenalkan oleh Gumming & Henry (Maryam dkk, 2008). Kemiskinan yang diderita oleh lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Proses penuaan mengakibatkan interaksi sosial lansia mulai menurun, baik secara kualitas 10 maupun kuantitas, oleh sebab itu masyarakat juga perlu memersiapkan kondisi agar para lansia tidak menarik diri (Maryam Dkk, 2008). Menarik diri merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menghindari interaksi dengan orang lain atau menghindari hubungan dengan orang lain (Prabowo, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sabri (2002) di Kecamatan Cakung (Jakarta Timur), didapatkan hasil penelitian bahwa 62,5% lansia memunyai psikososial sehat dan 37,5% mengalami gangguan pada masalah kesehatan psikososial. Hasil studi pendahuluan tersebut diperoleh data bahwa dari 10 orang lansia, 6 diantaranya memiliki tanda dan gejala menarik diri dengan keluhan diantaranya perasaan kesepian, lebih suka menyendiri, merasa tidak nyaman berada didekat orang lain dan gejala objektif seperti menolak saat diajak berinteraksi, dan tampak menyendiri di dalam ruangan, sedangkan alasan lansia menarik diri diantaranya mengatakan karena ditinggal pasangan, kehilangan pekerjaan dan sahabat karib serta keinginan untuk tidak berinteraksi dengan orang lain. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang yang berusia lanjut memiliki risiko tinggi terhadap problem fisik dan mental, karena perubahan-perubahan yang dihadapi lansia seperti perubahan dan atau mengalami penurunan kondisi fisik, psikologis dan sosial. Sejalan dengan teori sosial disebutkan adanya teori penarikan diri yang di alami oleh seorang lansia. Proses penuaan menyebabkan interaksi sosial seorang lansia menurun, sehingga 11 membuat lansia menarik diri dari lingkungan sosialnya. Penarikan diri seorang lansia dari lingkungan sosialnya merupakan bentuk tingkahlaku mereka yang berkaitan dengan penghindaran terhadap hubungan sosial dengan orang lain, melarikan diri dari kesulitan, mengamanan mengambil jarak, berupa tindakan menarik diri dari aktivitas dan lingkungan sosial. 4. Intervensi untuk Penurunan Perilaku Menarik Diri Berdasarkan hasil penelitian Pratiwi & Lukitaningsih (2014), Ariyanti & Nursalim (2013), Purwandari (1997), Keliat (2009), terdapat beberapa metode untuk penurunan perilaku menarik diri, yaitu : a. Konseling Kelompok Rasional Emotif Perilaku. Teknik ini merupakan pendekatan dalam konseling yang menekankan hubungan kolaboratif antara konselor dan konseli. Konseli didorong untuk menerima tanggung jawab terhadap kesulitannya sendiri, sekaligus merencanakan dan melaksanakan perlakuan. Konselor mengajarkan cara-cara berpikir rasional, membantu mengidentifikasi, memerdebatkan dan memodifikasi keyakinan irasional, dan memasilitasi upaya-upaya yang lebih rasional bagi klien. Konseling kelompok rasional emotif perilaku mengajak anggota kelompok untuk mengidentifikasi permasalahan secara bersama-sama yang diakibatkan oleh keyakinan atau pemikiran negatif dan mengubah proses berfikir negatif ke pemikiran lebih positif. Hasil penelitian Pratiwi & Lukitaningsih (2014) menjelaskan bahwa penerapan konseling kelompok rasional emotif perilaku dapat menurunkan perilaku menarik diri pada siswa. Hasil analisis 12 menjelaskan bahwa penerapan konseling kelompok rasional emotif perilaku dapat menurunkan perilaku menarik diri (withdrawl) pada siswa. Adanya perbedaan perilaku menarik diri siswa sebelum dan setelah dilakukan intervensi terlihat subyek AA yang mengalami penurunan skor dari 114 menjadi 87, subyek AX mengalami penurunan skor dari 114 menjadi 82, subyek BA mengalami penurunan skor dari 113 menjadi 85, subyek BJ mengalami penurunan skor dari 117 menjadi 86, subyek BR mengalami penurunan skor dari 124 menjadi 100, subyek BT mengalami penurunan skor dari 117 menjadi 89, subyek BY mengalami penurunan skor dari 117 menjadi 90, subyek CE mengalami penurunan skor dari 115 menjadi 88. b. Konseling kelompok Adlerian. Teknik ini merupakan suatu model konseling yang berorientasi pada keutuhan dan keunikan individu untuk mengarahkan dirinya sendiri. Tujuan konseling ini membentuk manusia dewasa yang utuh dan sehat secara pribadi dan sosial. Manusia dewasa yang sehat dikonseptualisasikan sebagai individu yang memerlihatkan kemandirian, baik secara fisik maupun emosi, produktif, dan mampu menjalin kerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi maupun tujuan sosial. Hasil penelitian Ariyanti & Nursalim (2013) menjelaskan adanya penurunan perilaku menarik diri setelah dilakukan penerapan konseling kelompok Adlerian pada siswa kelas VII-C MTS Wringinano. Hasil penelitian memerlihatkan adanya penurunan skor setelah diberi perlakuan. Terdapat 7 subyek dalam penelitian ini yaitu Melon, Jambu, Melati, Sepatu, Apel, Ceri 13 dan Mangga. Hasil analisis per individu berdasarkan hasil pre-test dan posttest menunjukkan bahwa semua subyek penelitian mengalami penurunan perilaku menarik diri. Untuk subyek Melon mengalami penurunan skor dari 104 menjadi 101, subyek Jambu mengalami penurunan skor dari 105 menjadi 100, subyek Melati mengalami penurunan skor dari 108 menjadi 103, subyek Sepatu mengalami penurunan skor dari 105 menjadi 99, subyek Apel mengalami penurunan skor dari 105 menjadi 98, subyek Ceri mengalami penurunan skor dari 109 menjadi 103, subyek Mangga mengalami penurunan skor dari 110 menjadi 102. Jadi dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok Adlerian dapat menurunkan perilaku menarik diri pada siswa kelas VII-C MTS Wringinanom. c. Pelatihan Strategi Berteman. Teknik ini merupakan pelatihan yang dilakukan pada remaja yang menarik diri di sekolah. Pelatihan ini memberikan strategi berteman pada peserta pelatihan. Hasil penelitian Purwandari (1997) menjelaskan bahwa pelatihan strategi berteman efektif untuk mengurangi kecenderungan perilaku menarik diri pada remaja awal. (t=22,14, p < 0,01). Pelatihan strategi berteman ini diberikan kepada kelompok eksperimen sebanyak 8 sesi dan tiap sesi berlangsung sekitar 60 menit. Pelaksanaan pelatihan dua kali serninggu selama dua minggu. Materi pelatihan terdiri dari ceramah, diskusi, latihan ketrampilan dan gladian. Alat ukur yang dipakai adalah skala perilaku menarik diri. Pengukuran dilakukan tiga kali, yaitu sebelum perlakuan, satu hari setelah perlakuan dan enam minggu setelah 14 perlakuan. Adapun Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan strategi berteman efektif untuk mengurangi kecenderungan perilaku menarik diri remaja awal. d. Terapi Aktivitas Kelompok. Terapi aktivitas kelompok merupakan terapi modalitas yang dilakukan kepada sekelompok orang yang memiliki masalah kelompok yang sama. Aktivitas yang digunakan sebagai terapi dan kelompok yang digunakan sebagai target perilaku (Keliat, 2005). Terapi Aktivitas Kelompok terbagi menjadi empat jenis, TAK Stimulasi Persepsi, TAK Stimulasi Sensoris, TAK Orientasi Realitas dan TAK Sosialisasi. Menurut Keliat & Akemat (2009), TAK untuk pasien menarik diri adalah TAK Sosialisasi, karena TAK Sosialisasi merupakan upaya memasilitasi kemampuan sosialisasi klien dengan masalah hubungan sosial. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi merupakan teknik ini merupakan upaya memasilitasi sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial secara kelompok. Aktivitas digunakan sebagai terapi, dan kelompok digunakan sebagai target perilaku. Pada kelompok terjadi dinamika interaksi saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi tempat lansia melatih perilaku baru yang adaptif untuk memerbaiki perilaku lama yang maladaptif. Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumaila (2015) menjelaskan bahwa terdapat perubahan kemampuan sosialisasi pada lansia di Panti Sosial Tresna Wherda Ilomata Kota Gorontalo setelah dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi. 15 Dari beberapa uraian di atas, maka disimpulkan bahwa upaya atau metode yang dapat digunakan untuk penurunan perilaku menarik diri dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu Konseling Kelompok Rasional Emotif Perilaku, Konseling Kelompok Adlerian, Pelatihan Strategi Berteman dan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi. Pada penelitian ini, peneliti memilih metode Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi untuk penurunan perilaku menarik diri pada lansia. TAK Sosialisasi merupakan salah satu jenis dalam terapi aktivitas kelompok. Terapi ini dipilih oleh peneliti, karena dianggap lebih tepat untuk menangani permasalahan perilaku menarik diri yang dialami oleh lansia. TAK Sosialisasi ini lebih memasilitasi kelompok untuk mengembangkan kemampuan sosialnya. TAK Sosialisasi akan memberikan atau memasilitasi dan melatih para lansia dalam meningkatkan komunikasi dan hubungan sosial mereka yang kaitannya dengan perilaku menarik diri. Sejalan dengan pendapat Keliat (2009), menjelaskan bahwa salah satu jenis TAK yang dapat dilakukan untuk orang dengan perilaku menarik diri adalah TAK Sosialisasi, karena TAK Sosialisasi merupakan upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi klien dengan masalah hubungan sosial. Terapi ini dianggap lebih tepat karena melihat kondisi lansia yang sudah menurun, baik fisik dan kognitifnya. 16 B. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi 1. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi merupakan salah satu jenis dari terapi aktivitas kelompok. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) adalah upaya memasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah orang dengan masalah hubungan sosial (Keliat & Pawirowiyono, 2014). TAKS dilaksanakan dengan membantu seseorang melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitarnya. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal (satu dan satu), kelompok, dan massa. Aktivitas dapat berupa latihan sosialisasi dalam kelompok (Keliat & Pawirowiyono, 2014). Menurut Riyadi & Purwanto (2009), Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi adalah terapi yang memasilitasi psikoterapis untuk memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal, memberi tanggapan terhadap orang lain, mengekspresikan ide dan tukar persepsi dan menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan. Menurut Purwaningsih & Karlina (2009), Terapi aktivitas kelompok sosialisasi merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk membantu orang lain melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitarnya. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan sosial. Adapun tujuan dari TAKS secara umum yaitu agar seseorang dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Secara khusus 17 tujuan dari TAKS yaitu agar seorang mampu memerkenalkan diri, mampu berkenalan dengan anggota kelompok, mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok, mampu menyampaikan dan membicarakan topic percakapan, mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain, mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok dan mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan. Dari beberapa penjelasan di atas mengenai Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) dapat disimpulkan bahwa TAKS merupakan jenis terapi yang dilakukan secara berkelompok dengan memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah orang yang memiliki masalah hubungan sosial. 2. Tahap-Tahap Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Keliat, Wiyono & Susanti (2011), terdapat lima tahap dalam pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Tahap persiapan Pada tahap persiapan dilakukan beberapa langkah berikut : 1) Mengidentifikasi peserta yang akan dilibatkan dalam TAK yaitu peserta yang sehat fisik, telah kooferatif, dapat berkomunikasi dengan baik dan tidak dalam pengaruh obat yang mengganggu kemampuan konsentrasi. 2) Menetapkan jenis TAK (TAK Stimulasi Persepsi, TAK Stimulasi Sensoris, TAK Orientasi Realitas dan TAK Sosialisasi). Pada penelitian ini, peneliti memilih jenis TAK Sosialisasi, karena jenis TAK Sosialisasi 18 ini merupakan Terapi aktivitas kelompok sosialisasi yang memberikan atau memasilitasi kemampuan sosialisasi klien dengan masalah hubungan sosial. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi juga dapat melatih para lansia dalam meningkatkan komunikasi dan hubungan sosial mereka yang kaitannya dengan perilaku menarik diri (Keliat, 2009) 3) Memersiapkan alat dan bahan yaitu seseuai dengan alat yang diperlukan, karena setiap jenis TAK akan berbeda-beda. Menentukan tempat pelaksanaan dan menetapkan waktu pelaksanaan. b. Tahap orientasi Tahap orientasi ini dilakukan setelah kelompok berkumpul di tempat dilaksanakannya TAK. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap orientasi ini meliputi : mengucapkan salam, memastikan perasaan klien, menjelaskan tujuan TAK dan menyepakati aturan main TAK. c. Tahap kerja Pada tahap kerja, pemimpin kelompok memimpin semua kelompok peserta untuk melakukan TAK guna mencapai tujuan sesuai dengan jenis TAK yang dilakukan. Pada Penelitian ini menggunakan TAK Sosialisasi dengan melibatkan 7 sesi Pawirowiyono (2009) yaitu : sebagaimana dijelaskan oleh Keliat & 19 1) Sesi 1. Kemampuan memerkenalkan diri Pada sesi ini, masing-masing peserta diminta untuk memerkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi secara bergantian dalam kelompok 2) Sesi 2. Kemampuan berkenalan dengan anggota kelompok Pada sesi ini, masing-masing peserta diminta untuk memerkenalkan diri sendiri : nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi. Peserta menanyakan identitas anggota lain : nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi. 3) Sesi 3. Kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok Peserta menanyakan kehidupan pribadi kepada satu orang anggota kelompok. Kehidupan pribadi yang dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut kehidupan peserta secara pribadi, misalnya cerita tentang keluarga, pekerjaan/sekolah atau profesi. Terapis menentukan topik kehidupan yang akan di ceritakan kepada anggota kelompok lain. Kemudian peserta menjawab pertanyaan tentang kehidupan pribadi mereka secara bergantian antara penanya dan yang menjawab. 4) Sesi 4. Kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu Peserta mampu menyampaikan topik yang ingin dibicarakan, masingmasing peserta boleh memberikan pendapat. Kemudian memilih topik yang ingin dibicarakan dan memberi pendapat tentang topik yang dipilih. 20 (topik yang akan dibahas terlebih dahulu disepakati oleh therapis dan peserta) 5) Sesi 5. Kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi Masing-masing peserta menyampaikan masalah pribadinya. Memilih satu masalah untuk dibicarakan. Memberi pendapat tentang masalah pribadi yang dipilih. 6) Sesi 6. Kemampuan bekerjasama Peserta bertanya dan meminta sesuai kebutuhan pada orang lain, menjawab dan memberi pada orang lain sesuai dengan permintaan. Therapis membuat sebuah permainan yang ada kaitannya dengan kemampuan bekerjasama antar peserta. 7) Sesi 7. Evaluasi kemampuan sosialisasi Peserta mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan kelompok yang telah dilakukan dan menyampaikan perasaannya setelah melakukan kegiatan kelompok. d. Tahap terminasi Tahap terminasi digunakan untuk mengakhiri kegiatan TAK Sosialisasi. Kegiatan terminasi ini meliputi : evaluasi perasaan klien, memberikan pujian, memberikan tindak lanjut kegiatan dan menyepakati kegiatan TAK Sosialisasi berikutnya. 21 e. Evaluasi Evaluasi dilakukan dengan mengamati perilaku klien selama pelaksanaan TAK Sosialisasi, apakah menunjukkan perilaku yang sesuai yang direncanakan atau tidak. Caranya yaitu dengan mengisi tabel evaluasi jenis TAK Sosialisasi. Adapun tahap tahap dalam TAK Sosialisasi dapat disimpulkan sesuai dengan pendapat Keliat, Wiyono & Susanti (2011) sebagai berikut : Tahap persiapan, tahap orientasi, tahap kerja, tahap terminasi dan tahap evaluasi. Ke lima tahap inilah yang akan dilakukan dalam pelaksanaan TAK Sosialisasi. C. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi untuk Penurunan Perilaku Menarik Diri pada Lansia Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, diantaranya adalah teori sosial. Teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan menjelaskan bahwa adanya perilaku menarik diri yang dialami oleh seseorang di masa tersebut (Maryam dkk, 2008). Penarikan diri seorang lansia disebabkan kemiskinan dan menurunnya derajat kesehatan. Mereka secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan sekitar. Oleh sebab itu orang di sekitarnya perlu memersiapkan dan memasilitasi para lansia agar tidak menarik diri (Maryam dkk, 2008). Penarikan diri pada lansia dapat menimbulkan resiko gangguan seperti perubahan sensori persepsi (misalnya halusinasi), mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan serta adanya keinginan untuk bunuh diri. Sejalan dengan hasil penelitian terdahulu, tampak bahwa manusia 22 yang menjaga hubungan sosial, tinggal serta aktif dalam pertemuan sosial memiliki tingkat kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan seseorang yang kurang bersosialisasi atau seseorang yang telah berhenti dari keterlibatan aktivitas sosial (Schulz-Allen, dalam Purwandari 1997). Peneliti berasumsi, bahwa para lansia tersebut memerlukan perlakuan yang tepat untuk menurunkan perilaku menarik diri. Salah satu bentuk intervensi untuk menurunkan perilaku menarik diri dengan pendekatan kelompok adalah melalui terapi aktivitas kelompok sosialisasi. TAKS merupakan terapi yang memasilitasi kemampuan sosialisasi klien dengan masalah hubungan sosial yakni menarik diri (Keliat, 2009). Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2015) tentang pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan interaksi sosial pasien isolasi (menarik diri) di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta, hasilnya menunjukkan bahwa terapi aktivitas kelompok sosialisasi dapat meningkatkan kemampuan interaksi sosial pasien isolasi sosial. Terapi ini dianggap lebih tepat karena melihat kondisi lansia yang sudah menurun, baik fisik dan kognitifnya. Terapi ini akan memberikan atau memfasilitasi dan melatih para lansia dalam meningkatkan komunikasi dan hubungan sosial mereka yang kaitannya dengan perilaku menarik diri. Menurut Videbeck (Wakhid & Susilo, 2014), melalui Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi memungkinkan seorang saling mendukung, belajar menjalin hubungan interpersonal, merasakan kebersamaan dan dapat memberikan masukan terhadap pengalaman masing-masing klien, sehingga akan meningkatkan kemampuan 23 bersosialisasi denganorang lain. Peningkatan kemampuan bersosialisasi pada klien isolasi sosial terjadi karena Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) sosialisasi dilakukan agar klien mampu mengekspresikan perasaan dan latihan perilaku dalam berhubungan dengan orang lain. TAKS bertujuan untuk meningkatkan keterampilan interaksi sosial, yaitu agar klien mampu memperkenalkan diri, berkenalan dengan anggota kelompok, bercakap-cakap dengan anggota kelompok, mampu menyampaikan topik, mampu membicarakan masalah pribadi, bekerjasama dalam kelompok serta kemampuan menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan kelompok. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi merupakan terapi dengan pendekatan kelompok, yang mana kelompok merupakan sejumlah orang yang berkumpul bersama untuk mencapai suatu tujuan dan dibentuk dengan suatu alasan. Menurut Johnson (2012), kelompok adalah kumpulan individu yang berhubungan satu sama lain (saling berinteraksi), dan proses interaksi itulah yang membedakan kelompok dari perkumpulan. Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis. Terapi dengan pendekatan kelompok ini bertujuan untuk menstimulasi seseorang dengan gangguan hubungan interpersonal (menarik diri), karena di dalam kelompok akan distimulasi langsung untuk berhubungan dengan orang lain dan meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan, memberi tanggapan terhadap pendapat maupun perasaan orang lain. 24 Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi merupakan suatu rangkainan kegiatan yang sangat penting dilakukan untuk membantu dan memfasilitasi seorang dengan perilaku menarik diri untuk mampu bersosialisasi secara bertahap untuk melatih kemampuan sosialsasi. Pada Penelitian ini menggunakan TAK Sosialisasi memiliki 5 tahap. Dari ke 5 tahap tersebut pada tahap kerja melibatkan 7 sesi sebagaimana dijelaskan oleh Keliat, Wiyono & Susanti (2011). Sesi 1, kemampuan memerkenalkan diri. Pada sesi ini masing-masing peserta diminta untuk memerkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi secara bergantian dalam kelompok. Tahap ini bertujuan untuk melatih peserta berbicara di depan orang lain, memulai pembicaraan dan berinteraksi dengan orang lain. Saat peserta berlatih berbicara dengan orang lain, maka peserta akan meningkatkan komunikasi verbalnya dengan orang lain dan mulai berinteraksi dengan orang. Ketika seseorang peserta mulai berbicara di depan orang lain, maka akan terjadi penurunan perilaku menarik diri yang ada pada gejala objektif berupa, meningkatnya komunikasi verbal peserta. Hal ini terlihat dari mulainya peserta berbicara di depan orang lain dengan menyebutkan nama, asal dan hobinya (Yosep & Sutini, 2014). Sesi 2, kemampuan berkenalan dengan anggota kelompok. Pada sesi ini, masing-masing peserta diminta untuk memerkenalkan diri sendiri: nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi. Peserta lalu menanyakan identitas anggota lain: nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi. Tahap ini bertujuan untuk melatih peserta berbicara di depan orang lain, mampu memulai pembicaraan dengan orang lain dan 25 berinteraksi dengan orang lain. Dengan kata lain, maka perilaku menarik diri akan terlihat semakin menurun yakni secara objektif meningkatnya komunikasi verbal peserta terlihat dari mulainya peserta berbicara memerkenalkan dirinya sendiri dan menanyakan identitas peserta lain. Saat peserta menanyakan identitas peserta lain hal itu melatih peserta menjalin interaksi dengan orang lain yang awalnya tidak mau berinteraksi dengan orang lain menjadi mulai berinteraksi dengan orang lain. Sesi 3, kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok. Peserta menanyakan kehidupan pribadi kepada satu orang anggota kelompok. Kehidupan pribadi yang dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut kehidupan peserta secara pribadi, misalnya cerita tentang keluarga, pekerjaan/sekolah atau profesi. Terapis menentukan topik kehidupan yang akan di ceritakan kepada anggota kelompok lain. Kemudian peserta menjawab pertanyaan tentang kehidupan pribadi mereka secara bergantian antara penanya dan yang menjawab. Tahap ini bertujuan untuk melatih peserta berbicara di depan orang lain, mengekspresikan tentang diri dan kehidupan pribadinya, sehingga peserta merasa lebih merasa didengarkan oleh orang lain terkait kondisi kehidupan pribadinya. Tahap ini juga membuat peserta merasa hubungan yang lebih berarti pada orang lain dan merasa lebih aman berada bersama orang lain. Dengan kata lain, maka perilaku menarik diri akan terlihat semakin menurun baik secara objektif dan subjektif. Secara objektif berupa meningkatnya komunikasi verbal peserta dengan cara berbicara dengan orang lain dan memulai pembicaraan. Peserta yang awalnya tidak mau berinteraksi dengan orang lain menjadi mulai berinteraksi dengan orang lain. Secara subjektif berupa subjek merasa hubungan yang tidak 26 berarti pada orang lain menjadi merasa lebih berarti dan merasa tidak aman berada didekat orang lain menjadi merasa lebih aman (Yosep & Sutini, 2014). Sesi 4, kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu. Peserta mampu menyampaikan topik yang ingin dibicarakan, masing-masing peserta boleh memberikan pendapat. Kemudian memilih topik yang ingin dibicarakan dan memberi pendapat tentang topik yang dipilih. (topik yang akan dibahas terlebih dahulu disepakati oleh therapis dan peserta). Tahap ini bertujuan untuk saling berinteraksi, memberikan pendapat dengan orang lain. Hal ini membuat peserta merasa lebih berguna, merasa lebih diterima oleh orang lain dan juga melatih subjek lebih peduli dengan lingkungan dan atau permasalahan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa lansia telah memerlihatkan terjadinya penurunan perilaku menarik diri yang ditandai dengan menurunnya gejala subjektif dan objektif perilaku menarik diri pada lansia. Gejala objektif berupa menjadi semakin lebih meningkatnya komunikasi verbal peserta terlihat dari mampunya peserta menyampaikan topik pembicaraan dan memberikan pendapat pada peserta lain. Peserta yang awalnya tidak peduli terhadap lingkungan dan permasalahan disekitar menjadi lebih peduli dengan lingkungan dan atau permasalahan orang lain (Yosep & Sutini, 2014). Adapun gejala subjektif dari perilaku menarik diri peserta berupa merasa tidak berguna bagi orang lain menjadi merasa lebih berguna, karena mulai merasa mampu memberikan pendapat pada orang lain, kemudian peserta merasa ditolak oleh oranglain menjadi merasa lebih diterima oleh orang lain, karena merasa pendapat mereka didengarkan oleh peserta lain (Yosep & Sutini, 2014). 27 Sesi 5, kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi. Masing-masing peserta menyampaikan masalah pribadinya, memilih satu masalah untuk dibicarakan dan masing-masing memberi pendapat tentang masalah pribadi yang dipilih. Tahap ini bertujuan untuk mengungkapkan masalah pribadinya, sehingga peserta merasa lebih diperhatikan, lebih didengar, lebih memiliki harapan yang lebih baik dalam hidupnya, merasa lebih berarti dan adanya perasaan aman berada bersama orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa lansia telah memerlihatkan terjadinya penurunan perilaku menarik diri yang ditandai dengan menurunnya gejala subjektif dan objektif perilaku menarik diri pada lansia. Gejala objektif berupa meningkat komunikasi verbal peserta terlihat dari mulai mau berbicara dengan orang lain dan memulai pembicaraan. Gejala subjektif berupa perasaan yang awalnya ditolak atau merasa tidak diperhatikan menjadi lebih diterima atau lebih diperhatiakan, perasaan tidak aman saat berada bersama orang lain menjadi merasa lebih aman berada bersama orang lain, merasa kesepian menjadi tidak kesepian, karena sudah merasa ada teman yang bisa mendengarkan keluhan atau masalah pribadinya dan menjadi memiliki teman dekat (Yosep & Sutini, 2014). Sesi 6, kemampuan bekerjasama. Peserta bertanya dan meminta sesuai kebutuhan pada orang lain, menjawab dan memberi pada orang lain sesuai dengan permintaan. Therapis membuat sebuah permainan yang ada kaitannya dengan kemampuan bekerjasama antar peserta. Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan kebosanan peserta dalam aktivitas sehari-harinya, membuat subjek merasa lebih banyak teman sehingga mengurangi rasa kesepiannya karena sudah berinteraksi 28 dengan orang lain, berbagi cerita, pendapat dan saling membantu saat ada kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa lansia telah memerlihatkan terjadinya penurunan perilaku menarik diri yang ditandai dengan menurunnya gejala subjektif dan objektif perilaku menarik diri pada lansia. Gejala objektif berupa meningkatnya komunikasi verbal peserta dengan cara berbicara dengan orang lain dan memulai pembicaraan. Peserta yang awalnya tidak mau berinteraksi dengan orang lain menjadi mulai berinteraksi dengan orang lain dan berhubungan dengan orang lain. Peserta yang tidak peduli terhadap lingkungan, permasalahan disekitar menjadi lebih peduli dengan lingkungan dan atau permasalahan orang lain dengan cara saling bekerjasama saat peserta lain mengalami kesulitan dan lebih spontan atau langsung merespon terhadap masalah yang dihadapi (Yosep & Sutini, 2014). Gejala subjektif berupa perasaan kesepian menjadi merasa memiliki banyak teman dan mengurangi rasa kesepiannya karena berbagi cerita, pendapat dan saling membantu saat ada kesulitan. Perasaan ditolak oleh orang lain menjadi merasa diterima oleh orang lain, karena masing-masing dari mereka saling memberikan pendapat dan saling bekerjasama antar satu sama lainnya (Yosep & Sutini, 2014). Sesi 7, evaluasi kemampuan sosialisasi. Peserta mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan kelompok yang telah dilakukan dan menyampaikan perasaannya setelah melakukan kegiatan kelompok. Tahap ini bertujuan agar peserta lebih memahami makna dari kegiatan yang dilakukan. Peserta diharapkan mampu merasakan sesuatu yang berarti selama proses kegiatan kelompok ini dan mampu mengungkapkan perasaannya setelah mengikuti kegiatan kelompok. 29 Jika kemampuan ini dimiliki, maka lansia akan mampu menurunkan gejala perilaku menarik diri baik gejala objektif maupun gejala subjektif. Gejala objektif berupa, komunikasi verbal menurun, menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang terdekat, apatis (acuh terhadap lingkungan sekitar), berperilaku kurang spontan dalam menghadapi masalah, aktivitas menurun, ekspresi wajah kurang berseri dan tidak mau berinteraksi dengan orang lain (Yosep & Sutini, 2014). Gejala subjektif berupa, menceritakan perasaan kesepian, perasaan tidak aman berada bersama orang lain, tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak berguna, merasa tidak yakin dapat melangsungkan hidup, merasa ditolak oleh orang lain dan merasa bosan pada aktivitas sehari-hari (Yosep & Sutini, 2014). Berdasarkan penjelasan di atas, dengan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi akan diterapkan pada subjek penelitian lansia dengan perilaku menarik diri. Rangkaian teknik-teknik yang terdiri dari 5 tahap. Dari 5 tahap tersebut, pada tahap kerja terdapat 7 sesi yaitu kemampuan memperkenalkan diri, kemampuan berkenalan dengan anggota kelompok, kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok, kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu, kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi, kemampuan bekerja sama dan evaluasi kemampuan sosialisasi. TAK Sosialisasi ini dilakukan dengan pendekatan kelompok diharapkan dapat menurunkan perilaku menarik diri pada lansia. 30 D. Landasan Teori Menurut Pawlin (Prabowo, 2014), menarik diri merupakan suatu upaya yang dilakukan seseorang dengan menghindari interaksi dengan orang lain atau menghindari hubungan dengan orang lain. Menurut Adler (Alwisol, 2004), perilaku menarik diri merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri yang dilakukan seseorang sebagai coping terhadap situasi-situasi yang tidak menyenangkan. Menarik diri juga berupa kecenderungan untuk malarikan diri dari kesulitan, pengamanan melalui mengambil jarak pada orang lain, berupa tindakan menarik diri dari aktivitas dan lingkungan sosial. Ketika seseorang dihadapkan pada masalah dan tidak mampu diselesaikan, maka seseorang akan cenderung menarik diri sebagai coping terhadap situasi yang tidak menyenangkan. Menurut Yosep & Sutini (2014), seseorang yang mengalami perilaku menarik diri dapat dilihat dari gejala subjektif dan gejala objektif. Gejala gejala tersebut diantaranya, menghindari hubungan dan atau berinteraksi dengan orang lain, menyendiri, merasa tidak aman berada didekat orang lain, komunikasi verbal menurun, aktivitas dan atau kegiatan sehari-hari menurun dan merasa rendah diri. Perilaku menarik diri dapat dialami seorang lansia, seperti dijelaskan dalam teori sosial dalam proses penuaan menyebutkan, bahwa penarikan diri cenderung dialami seseorang pada masa tuanya. Teori tersebut merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal dan pertama kali diperkenalkan oleh Gumming & Henry (Maryam dkk, 2008). Kemiskinan yang diderita oleh lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari 31 pergaulan sekitarnya. Proses penuaan mengakibatkan interaksi sosial lansia mulai menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas, oleh sebab itu masyarakat juga perlu memersiapkan kondisi agar para lansia tidak menarik diri (Maryam Dkk, 2008). Untuk menurunkan perilaku menarik diri pada lansia, pada penelitian ini digunakan terapi aktivitas kelompok sosialisasi sebagai salah satu metode yang berguna untuk menurunkan perilaku menarik diri, dimana metode ini merupakan terapi dengan pendekatan kelompok dan suatu rangkainan kegiatan yang dilakukan untuk membantu dan memfasilitasi seorang dengan perilaku menarik diri untuk mampu bersosialisasi secara bertahap. Terapi aktivitas kelompok sosilisasi adalah Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) adalah upaya memasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah orang dengan masalah hubungan sosial (Keliat & Pawirowiyono, 2014). Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) terdiri dari 5 tahap. Dari ke 5 tahap tersebut pada tahap kerja melibatkan 7 sesi sebagaimana dijelaskan oleh Keliat & Pawirowiyono (2009). Menerapkan Terapi aktivitas kelompok sosialisasi untuk lansia yang mengalami perilaku menarik diri dapat menurunkan perilaku menarik diri meliputi gejala objektif dan gejala subjek. Gejala subjektif seperti, Perasaan kesepian, merasa tidak aman berada dengan orang lain, mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain, merasa bosan pada aktivitas sehari-hari, tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak berguna, merasa tidak yakin dapat melangsungkan hidup dan merasa ditolak oleh orang lain. Gejala objektif seperti, komunikasi verbal menurun, tidak mengikuti kegiatan, banyak berdiam diri di kamar, tidak mau berinteraksi dengan orang lain, 32 apatis (acuh terhadap lingkungan sekitar), berperilaku kurang spontan dalam menghadapi masalah, aktivitas menurun dan ekspresi wajah kurang berseri. Terapi ini mengarahkan pada aktivitas kelompok sosialisasi, supaya individu dalam kelompok dapat belajar secara bertahap bersosialisasi dengan orang lain. Adapun tujuan dari TAKS secara umum yaitu agar seseorang dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Secara khusus tujuan dari TAKS yaitu agar seorang mampu memerkenalkan diri, mampu berkenalan dengan anggota kelompok, mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok, mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan, mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain, mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok dan mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan. Adapun tahapan yang dilakukan dalam terapi aktivitas kelompok sosialisasi ini mengacu pada tujuan secara khusus terapi aktivitas kelompok sosialisasi yaitu kemampuan memerkenalkan diri, kemampuan berkenalan dengan anggota kelompok, kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok, kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu, kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi, kemampuan bekerjasama dan evaluasi kemampuan sosialisasi. Kemampuan memerkenalkan diri, yaitu kemampuan menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi secara bergantian dalam kelompok. Tahap ini bertujuan untuk melatih peserta berbicara di depan orang lain, memulai pembicaraan dan berinteraksi dengan orang lain. Saat peserta berlatih berbicara dengan orang lain, 33 maka peserta akan meningkatkan komunikasi verbalnya dengan orang lain dan mulai berinteraksi dengan orang. Kemampuan berkenalan dengan anggota kelompok, yaitu kemampuan peserta memerkenalkan diri sendiri dan berkenalan dengan orang lain. Tahap ini bertujuan untuk melatih peserta berbicara di depan orang lain, mampu memulai pembicaraan dengan orang lain dan berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok, yaitu Peserta menanyakan kehidupan pribadi kepada satu orang anggota kelompok. Kehidupan pribadi yang dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut kehidupan peserta secara pribadi. Terapis menentukan topik kehidupan yang akan di ceritakan kepada anggota kelompok lain dan peserta menjawab pertanyaan tentang kehidupan pribadi mereka secara bergantian antara penanya dan yang menjawab. Tahap ini bertujuan untuk melatih peserta berbicara di depan orang lain, mengekspresikan tentang diri dan kehidupan pribadinya, sehingga peserta merasa lebih merasa didengarkan oleh orang lain terkait kondisi kehidupan pribadinya. Tahap ini juga membuat peserta merasa hubungan yang lebih berarti pada orang lain dan merasa lebih aman berada bersama orang lain. Kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu, yaitu kemampuan peserta menyampaikan topik yang ingin dibicarakan dan memberikan pendapat. (topik yang akan dibahas terlebih dahulu disepakati oleh therapis dan peserta). Tahap ini bertujuan untuk saling berinteraksi, memberikan pendapat dengan orang lain. Hal ini membuat peserta merasa lebih berguna, merasa lebih diterima oleh orang lain dan juga melatih subjek lebih peduli dengan lingkungan dan atau permasalahan orang 34 lain. Kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi, yaitu masing-masing peserta menyampaikan masalah pribadinya, memilih satu masalah untuk dibicarakan dan memberi pendapat tentang masalah pribadi yang dipilih. Tahap ini bertujuan untuk mengungkapkan masalah pribadinya, sehingga peserta merasa lebih diperhatikan, lebih didengar, lebih memiliki harapan yang lebih baik dalam hidupnya, merasa lebih berarti dan adanya perasaan aman berada bersama orang lain. Kemampuan bekerjasama, yaitu kemampuan peserta bertanya dan meminta sesuai kebutuhan pada orang lain, menjawab dan memberi pada orang lain sesuai dengan permintaan. Therapis membuat sebuah permainan yang ada kaitannya dengan kemampuan bekerjasama antar peserta. Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan kebosanan peserta dalam aktivitas sehari-harinya, membuat subjek merasa lebih banyak teman sehingga mengurangi rasa kesepiannya karena sudah berinteraksi dengan orang lain, berbagi cerita, pendapat dan saling membantu saat ada kesulitan. Evaluasi kemampuan sosialisasi, yaitu peserta menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan kelompok yang telah dilakukan dan menyampaikan perasaannya setelah melakukan kegiatan kelompok. Tahap ini bertujuan agar peserta lebih memahami makna dari kegiatan yang dilakukan. Peserta diharapkan mampu merasakan sesuatu yang berarti selama proses kegiatan kelompok ini dan mampu mengungkapkan perasaannya setelah mengikuti kegiatan kelompok. Jika kemampuan ini dimiliki, maka lansia akan mampu menurunkan gejala perilaku menarik diri. Berdasarkan penjelasan di atas maka kerangka berpikir yang peneliti buat diterangkan pada Bagan Kerangka Teoritis berikut ini. 35 Terapi AKtivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) Perilaku Menarik Diri Lansia Gejala subjektif (Perasaan kesepian, merasa tidak aman berada dengan orang lain, mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain, merasa bosan pada aktivitas sehari-hari, tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak berguna, merasa tidak yakin dapat melangsungkan hidup dan merasa ditolak oleh orang lain). Gejala objektif (komunikasi verbal menurun, tidak mengikuti kegiatan, banyak berdiam diri di kamar, tidak mau berinteraksi dengan orang lain, apatis (acuh terhadap lingkungan sekitar), berperilaku kurang spontan dalam menghadapi masalah, aktivitas menurun dan ekspresi wajah kurang berseri. : Intervensi : Hasil intervensi a. Kemampuan memerkenalkan diri b. Kemampuan berkenalan dengan anggota kelompok c. Kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok d. Kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu e. Kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi f. Kemampuan bekerjasama g. Evaluasi kemampuan sosialisasi Gejala Perilaku Menarik Diri secara subjektif dan objektif menurun Subjektif : 1. Perasaan mulai diterima oleh orang lain 2. Merasa lebih aman saat berada bersama orang lain 3. Merasa hubungan yang mulai berarti dengan orang lain 4. Merasa lebih berguna Objektif 1. Mau berinteraksi dengan orang lain 2. Ikut berkumpul dengan orang lain saat melakukan aktivitas 3. Tidak menyendiri sendiri di kamar 4. Lebih memerhatikan kebersihan 5. Ekspresi bahagia 6. Peduli terhadap lingkungan sekitar Bagan 1. Kerangka teoritis tentang perilaku menarik diri pada lansia. 36 E. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut : 1. Ada perbedaan perilaku menarik diri pada lansia antara kelompok eksperimen yang diberi perlakuan berupa terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Kelompok eksperimen memerlihatkan skor perilaku menarik diri lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. 2. Ada penurunan perilaku menarik diri pada kelompok eksperimen antara sebelum dan sesudah diberikan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS). Setelah diberikan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi skor perilaku menarik diri lebih rendah dibandingkan sebelum diberi Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi.