BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Menarik Diri pada Lansia 1

advertisement
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Menarik Diri pada Lansia
1.
Pengertian Perilaku Menarik Diri
Menurut Adler (Alwisol, 2004), menarik diri merupakan sebuah bentuk
mekanisme pertahanan diri yang dilakukan seseorang sebagai coping terhadap
situasi-situasi
yang
tidak
menyenangkan.
Menarik
diri
juga
berupa
kecenderungan untuk melarikan diri dari kesulitan, pengamanan melalui
mengambil jarak, berupa tindakan menarik diri dari aktivitas dan lingkungan
sosial. Ketika seseorang dihadapkan pada
masalah dan tidak mampu
diselesaikan, maka seseorang akan cenderung menarik diri sebagai coping
terhadap situasi yang tidak menyenangkan. Perasaan demikian dapat muncul
sebagai akibat dari sesuatu yang nyata atau hasil imajinasinya saja. Sikap
menarik diri sering terjadi tanpa disadari dan bisa membuat orang yang
merasakannya melakukan hal berupa mundur, diam di tempat, ragu-ragu dan
membuat hambatan. Semua itu dimaksudkan untuk pengamanan agar harga
dirinya tidak mengalami inflasi atau penurunan.
Menurut Townsend (Muhith, 2015), menarik diri merupakan suatu
keadaan ketika seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain. Menurut Depkes RI (1989), menarikan diri
atau withdrawl merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian
2
ataupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang bersifat
sementara atau menetap.
Menurut Pawlin (Prabowo, 2014), menarik diri merupakan upaya yang
dilakukan seseorang dengan menghindari interaksi dengan orang lain atau
menghindari hubungan dengan orang lain. Seseorang dengan perilaku menarik
diri akan berusaha menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa
bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak memunyai kesempatan untuk
membagi perasaan, pikiran dan prestasi atau kegagalan. Ia memunyai kesulitan
untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan
dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi
pengalaman dengan orang lain (DepKes, 1998).
Menurut Keliat & Akemat (2009), menarik diri merupakan keadaan
ketika individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya karena merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan
orang lain. Balitbang (Direja, 2011), menyebutkan bahwa menarik diri
merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain,
karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak memunyai kesempatan
untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Orang yang menarik diri mengalami
kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain, lalu
dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup
berbagi pengalaman.
3
Menurut Al-Mighwar (2006), menarik diri adalah bentuk tingkahlaku
yang menunjukkan adanya kecenderungan putus asa dan merasa tidak aman,
sehingga menarik diri dari kegiatan dan takut memerlihatkan usaha-usahanya.
Individu seperti ini tidak punya kekuatan untuk bertahan di lingkungan
sosialnya, dan lebih memilih untuk menyendiri demi kenyamanan dirinya.
Menarik diri juga merupakan sebuah reaksi yang dapat ditampilkan,
dalam bentuk reaksi fisik maupun psikologis. Reaksi fisik individu antara lain,
pergi atau menghindari sumber stressor, misalnya, menjauhi polusi, gas beracun,
infeksi dan lain-lain. Adapun reaksi psikologis individu antara lain,
menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat melakukan
sesuatu, rasa takut dan atau bermusuhan (Dermawan & Rusdi, 2013).
Menurut Chaplin (2011), withdrawl dapat dikatakan juga sebagai
penarikan diri, yaitu suatu pola tingkah laku yang memindahkan seseorang dari
penghalangan atau frustasi. Penarikan diri ini bisa menjadi mekanisme
pembelaan diri habitual, yang menyangkut simtom serius berupa pengunduran
atau penarikan diri dari realitas, kecanduan narkotik, alkoholisme dan
seterusnya. Selanjutnya menurut Kartono & Gulo (1987), withdrawl diartikan
sebagai penarikan diri atau menarik diri, yaitu memilih untuk tidak berbuat
dalam menghadapi tekanan tertentu (hambatan, kesulitan tertentu). Menarik diri
juga disebut dengan pengabaian (ketidakacuhan, kelalaian) sosial; merupakan
satu gejala dari ketidaksesuaian tingkahlaku yang ekstrim.
4
Berdasarkan beberapa pengertian tentang perilaku menarik diri, peneliti
menyimpulkan sesuai dengan pendapat Pawlin (Prabowo, 2014), menjelaskan
bahwa menarik diri merupakan suatu upaya yang dilakukan seseorang dengan
menghindari interaksi dengan orang lain atau menghindari hubungan dengan
orang lain..
2. Gejala- gejala Perilaku Menarik Diri
Menurut Yosep & Sutini (2014), gejala menarik diri terbagi menjadi
dua:
a. Gejala subjektif
Gejala subjektif merupakan gejala yang dirasakan dan dapat
diungkapkan secara langsung oleh subjek. Orang lain dapat mengetahui gejala
tersebut dengan menanyakan langsung pada subjek. Gejala subjektif antara
lain nampak dalam gambaran perilaku sebagai berikut :
1) Perasaan kesepian
2) Merasa tidak aman berada dengan orang lain
3) Mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
4) Merasa bosan pada aktivitas sehari-hari.
5) Tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6) Merasa tidak berguna
7) Merasa tidak yakin dapat melangsungkan hidup
8) Merasa ditolak oleh orang lain
5
b. Gejala objektif
Gejala objektif merupakan gejala yang dapat langsung terlihat dan
dapat diamati oleh orang lain mengenai kondisi atau keadaan yang dialami
subjek antara lain :
1) Komunikasi verbal menurun,
2) Tidak mengikuti kegiatan
3) Banyak berdiam diri di kamar
4) Tidak mau berinteraksi dengan orang lain
5) Apatis (acuh terhadap lingkungan sekitar)
6) berperilaku kurang spontan dalam menghadapi masalah
7) Aktivitas menurun, keengganan seseorang melakukan kegiatan seharihari.
8) Ekspresi wajah kurang berseri
Menurut Townsend (Muhith, 2015) dan Keliat (1999) terdapat
beberapa gejala perilaku menarik diri sebagai berikut :
a. Berperilaku kurang spontan yaitu tidak langsung merespon terhadap
masalah yang sedang dihadapinya.
b. Apatis terhadap kegiatan sekitar
Merupakan sikap acuh tak acuh, tidak peduli dan masa bodoh terhadap
lingkungan sekitar. Istilah psikologi untuk keadaan tidak peduli atau acuh
yaitu seseorang tidak tanggap atau tidak peduli terhadap aspek emosional,
sosial atau kehidupan fisik.
6
c. Ekspresi wajah kurang berseri yaitu seseorang memperlihatkan ekspresi
sedih.
d. Afek tumpul
Afek tumpul merupakan ekspresi perasaan yang kurang atau terbatas atau
ketidakmampuan membangkitkan emosi dan berespon terhadap suatu
keadaan.
e. Aktivitas menurun
Keengganan seseorang
melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya
perawatan diri dan kegiatan sehari-hari yang dilakukan menurun.
f. Komunikasi verbal menurun atau tidak ada. Komunikasi verbal menurun
nampak dalam perilaku seseorang yang tidak banyak bercakap-cakap
dengan orang lain.
g. Mengisolasi diri (menyendiri), yaitu seseorang yang memisahkan diri dari
orang lain dalam aktivitas sehari-harinya seperti, seseorang akan
mengambil jarak pada orang lain pada saat berkumpul, berdiam diri
dikamar sendirian dan melarang orang lain berada didekatnya.
h. Harga diri rendah
Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang
kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan, yang ditandai dengan
adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, percaya diri
kurang, dan juga dapat mencederai diri.
7
i. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
j. Menolak
berkomunikasi
dengan
orang
lain.
Klien
memutuskan
percakapan atau pergi jika di ajak bercakap-cakap.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala
perilaku menarik diri antara lain, Seorang mengalami penurunan komunikasi
verbal, tidak mengikuti kegiatan, banyak berdiam diri di kamar, tidak mau
berinteraksi dengan orang lain, acuh terhadap lingkungan sekitar, berperilaku
kurang spontan dalam menghadapi masalah, aktivitas menurun dan ekspresi
wajah kurang berseri, menceritakan perasaan kesepian, merasa tidak aman
berada dengan orang lain, mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang
lain, merasa bosan pada aktivitas sehari-hari, tidak mampu berkonsentrasi dan
membuat keputusan, merasa tidak berguna, merasa tidak yakin dapat
melangsungkan hidup dan merasa ditolak oleh orang lain. Adapun gejala-gejala
perilaku menarik diri yang menjadi acuan peneliti untuk penyusunan alat ukur
perilaku menarik diri pada lansia yaitu mengacu pada pendapat Yosep & Sutini
(2004). Alasan peneliti memilih gejala tersebut karena pada gejala tersebut
menjelaskan secara spesifik mengenai perilaku menarik diri dan lebih detail
membagi perilaku menarik diri secara subjektif dan objektif.
8
3.
Perilaku Menarik Diri pada Lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998
tentang kesehatan, dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Menurut Laksamana
(1983), perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut sebagai perubahan
`senesens` dan perubahan ’senilitas’. Perubahan `senesens’ adalah perubahanperubahan normal dan fisiologik akibat usia lanjut. Perubahan ’senilitas’ adalah
perubahan¬-perubahan patologik permanen disertai dengan makin memburuknya
kondisi badan pada usia lanjut. Perubahan yang dihadapi lansia pada umumnya
adalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa dan problema bidang sosio ekonomi.
Oleh karena itu lansia adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap problem
fisik dan mental.
Menurut Santrock (2002), ada dua pandangan tentang definisi orang
berusia lanjut atau lansia, yaitu menurut pandangan orang barat dan orang
Indonesia. Menurut pandangan orang Barat, yang tergolong orang berusia lanjut
atau lansia adalah orang yang sudah berumur 65 tahun ke atas, dimana usia ini
akan membedakan seseorang masih dewasa atau sudah lanjut. Pandangan orang
Indonesia memerlihatkan lansia adalah orang yang berumur lebih dari 60 tahun,
karena di Indonesia usia 60 tahun dipakai sebagai usia maksimal kerja dan mulai
tampak ciri-ciri ketuaan.
9
Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan
waktu, yang dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua adalah
fase akhir dari rentang kehidupan. Manusia lanjut usia adalah seseorang yang
karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial
(Murwani & Priyantari, 2011).
Menurut Musri (Wicaksono, 2011), Proses menua (aging) adalah proses
alami disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang
saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa. Masalah
kesehatan jiwa pada lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas
pada pasien-pasien geriatri dan psikogeriatri sebagai bagian dari Gerontologi,
yaitu ilmu yang memelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek
fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain.
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, diantaranya
adalah teori sosial. Teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan
menjelaskan bahwa adanya perilaku menarik diri yang dialami oleh seseorang di
masa tersebut (Maryam dkk, 2008). Teori tersebut merupakan teori sosial
tentang penuaan yang paling awal dan pertama kali diperkenalkan oleh
Gumming & Henry (Maryam dkk, 2008). Kemiskinan yang diderita oleh lansia
dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara
perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Proses penuaan
mengakibatkan interaksi sosial lansia mulai menurun, baik secara kualitas
10
maupun kuantitas, oleh sebab itu masyarakat juga perlu memersiapkan kondisi
agar para lansia tidak menarik diri (Maryam Dkk, 2008). Menarik diri
merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menghindari
interaksi dengan orang lain atau menghindari hubungan dengan orang lain
(Prabowo, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sabri (2002) di Kecamatan
Cakung (Jakarta Timur), didapatkan hasil penelitian bahwa 62,5% lansia
memunyai psikososial sehat dan 37,5% mengalami gangguan pada masalah
kesehatan psikososial. Hasil studi pendahuluan tersebut diperoleh data bahwa
dari 10 orang lansia, 6 diantaranya memiliki tanda dan gejala menarik diri
dengan keluhan diantaranya perasaan kesepian, lebih suka menyendiri, merasa
tidak nyaman berada didekat orang lain dan gejala objektif seperti menolak saat
diajak berinteraksi, dan tampak menyendiri di dalam ruangan, sedangkan alasan
lansia menarik diri diantaranya mengatakan karena ditinggal pasangan,
kehilangan pekerjaan dan sahabat karib serta keinginan untuk tidak berinteraksi
dengan orang lain.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang yang berusia
lanjut memiliki risiko tinggi terhadap problem fisik dan mental, karena
perubahan-perubahan yang dihadapi lansia seperti perubahan dan atau
mengalami penurunan kondisi fisik, psikologis dan sosial. Sejalan dengan teori
sosial disebutkan adanya teori penarikan diri yang di alami oleh seorang lansia.
Proses penuaan menyebabkan interaksi sosial seorang lansia menurun, sehingga
11
membuat lansia menarik diri dari lingkungan sosialnya. Penarikan diri seorang
lansia dari lingkungan sosialnya merupakan bentuk tingkahlaku mereka yang
berkaitan dengan penghindaran terhadap hubungan sosial dengan orang lain,
melarikan diri dari kesulitan, mengamanan mengambil jarak, berupa tindakan
menarik diri dari aktivitas dan lingkungan sosial.
4.
Intervensi untuk Penurunan Perilaku Menarik Diri
Berdasarkan hasil penelitian Pratiwi & Lukitaningsih (2014), Ariyanti &
Nursalim (2013), Purwandari (1997), Keliat (2009), terdapat beberapa metode
untuk penurunan perilaku menarik diri, yaitu :
a. Konseling Kelompok Rasional Emotif Perilaku. Teknik ini merupakan
pendekatan dalam konseling yang menekankan hubungan kolaboratif antara
konselor dan konseli. Konseli didorong untuk menerima tanggung jawab
terhadap kesulitannya sendiri, sekaligus merencanakan dan melaksanakan
perlakuan. Konselor mengajarkan cara-cara berpikir rasional, membantu
mengidentifikasi, memerdebatkan dan memodifikasi keyakinan irasional, dan
memasilitasi upaya-upaya yang lebih rasional bagi klien. Konseling
kelompok rasional emotif perilaku mengajak anggota kelompok untuk
mengidentifikasi permasalahan secara bersama-sama yang diakibatkan oleh
keyakinan atau pemikiran negatif dan mengubah proses berfikir negatif ke
pemikiran lebih positif. Hasil penelitian Pratiwi & Lukitaningsih (2014)
menjelaskan bahwa penerapan konseling kelompok rasional emotif perilaku
dapat menurunkan perilaku menarik diri pada siswa. Hasil analisis
12
menjelaskan bahwa penerapan konseling kelompok rasional emotif perilaku
dapat menurunkan perilaku menarik diri (withdrawl) pada siswa. Adanya
perbedaan perilaku menarik diri siswa sebelum dan setelah dilakukan
intervensi terlihat subyek AA yang mengalami penurunan skor dari 114
menjadi 87, subyek AX mengalami penurunan skor dari 114 menjadi 82,
subyek BA mengalami penurunan skor dari 113 menjadi 85, subyek BJ
mengalami penurunan skor dari 117 menjadi 86, subyek BR mengalami
penurunan skor dari 124 menjadi 100, subyek BT mengalami penurunan skor
dari 117 menjadi 89, subyek BY mengalami penurunan skor dari 117
menjadi 90, subyek CE mengalami penurunan skor dari 115 menjadi 88.
b. Konseling kelompok Adlerian. Teknik ini merupakan suatu model konseling
yang berorientasi pada keutuhan dan keunikan individu untuk mengarahkan
dirinya sendiri. Tujuan konseling ini membentuk manusia dewasa yang utuh
dan sehat secara pribadi dan sosial. Manusia dewasa yang sehat
dikonseptualisasikan sebagai individu yang memerlihatkan kemandirian, baik
secara fisik maupun emosi, produktif, dan mampu menjalin kerja sama
dengan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi maupun tujuan sosial. Hasil
penelitian Ariyanti & Nursalim (2013) menjelaskan adanya penurunan
perilaku menarik diri setelah dilakukan penerapan konseling kelompok
Adlerian pada siswa kelas VII-C MTS Wringinano. Hasil penelitian
memerlihatkan adanya penurunan skor setelah diberi perlakuan. Terdapat 7
subyek dalam penelitian ini yaitu Melon, Jambu, Melati, Sepatu, Apel, Ceri
13
dan Mangga. Hasil analisis per individu berdasarkan hasil pre-test dan posttest menunjukkan bahwa semua subyek penelitian mengalami penurunan
perilaku menarik diri. Untuk subyek Melon mengalami penurunan skor dari
104 menjadi 101, subyek Jambu mengalami penurunan skor dari 105 menjadi
100, subyek Melati mengalami penurunan skor dari 108 menjadi 103, subyek
Sepatu mengalami penurunan skor dari 105 menjadi 99, subyek Apel
mengalami penurunan skor dari 105 menjadi 98, subyek Ceri mengalami
penurunan skor dari 109 menjadi 103, subyek Mangga mengalami penurunan
skor dari 110 menjadi 102. Jadi dapat disimpulkan bahwa konseling
kelompok Adlerian dapat menurunkan perilaku menarik diri pada siswa kelas
VII-C MTS Wringinanom.
c. Pelatihan Strategi Berteman. Teknik ini merupakan pelatihan yang dilakukan
pada remaja yang menarik diri di sekolah. Pelatihan ini memberikan strategi
berteman pada peserta pelatihan. Hasil penelitian Purwandari (1997)
menjelaskan bahwa pelatihan strategi berteman efektif untuk mengurangi
kecenderungan perilaku menarik diri pada remaja awal. (t=22,14, p < 0,01).
Pelatihan strategi berteman ini diberikan kepada kelompok eksperimen
sebanyak 8 sesi dan tiap sesi berlangsung sekitar 60 menit. Pelaksanaan
pelatihan dua kali serninggu selama dua minggu. Materi pelatihan terdiri dari
ceramah, diskusi, latihan ketrampilan dan gladian. Alat ukur yang dipakai
adalah skala perilaku menarik diri. Pengukuran dilakukan tiga kali, yaitu
sebelum perlakuan, satu hari setelah perlakuan dan enam minggu setelah
14
perlakuan. Adapun Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan strategi
berteman efektif untuk mengurangi kecenderungan perilaku menarik diri
remaja awal.
d. Terapi Aktivitas Kelompok. Terapi aktivitas kelompok merupakan terapi
modalitas yang dilakukan kepada sekelompok orang yang memiliki masalah
kelompok yang sama. Aktivitas yang digunakan sebagai terapi dan kelompok
yang digunakan sebagai target perilaku (Keliat, 2005). Terapi Aktivitas
Kelompok terbagi menjadi empat jenis, TAK Stimulasi Persepsi, TAK
Stimulasi Sensoris, TAK Orientasi Realitas dan TAK Sosialisasi. Menurut
Keliat & Akemat (2009), TAK untuk pasien menarik diri adalah TAK
Sosialisasi, karena TAK Sosialisasi merupakan upaya memasilitasi
kemampuan sosialisasi klien dengan masalah hubungan sosial. Terapi
Aktivitas Kelompok Sosialisasi merupakan teknik ini merupakan upaya
memasilitasi sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial
secara kelompok. Aktivitas digunakan sebagai terapi, dan kelompok
digunakan sebagai target perilaku. Pada kelompok terjadi dinamika interaksi
saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi tempat lansia melatih
perilaku baru yang adaptif untuk memerbaiki perilaku lama yang maladaptif.
Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumaila (2015)
menjelaskan bahwa terdapat perubahan kemampuan sosialisasi pada lansia di
Panti Sosial Tresna Wherda Ilomata Kota Gorontalo setelah dilakukan Terapi
Aktivitas Kelompok Sosialisasi.
15
Dari beberapa uraian di atas, maka disimpulkan bahwa upaya atau metode
yang dapat digunakan untuk penurunan perilaku menarik diri dapat dilakukan dengan
beberapa metode yaitu Konseling Kelompok Rasional Emotif Perilaku, Konseling
Kelompok Adlerian, Pelatihan Strategi Berteman dan Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi. Pada penelitian ini, peneliti memilih metode Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi untuk penurunan perilaku menarik diri pada lansia. TAK Sosialisasi
merupakan salah satu jenis dalam terapi aktivitas kelompok.
Terapi ini dipilih oleh peneliti, karena dianggap lebih tepat untuk menangani
permasalahan perilaku menarik diri yang dialami oleh lansia. TAK Sosialisasi ini
lebih memasilitasi kelompok untuk mengembangkan kemampuan sosialnya. TAK
Sosialisasi akan memberikan atau memasilitasi dan melatih para lansia dalam
meningkatkan komunikasi dan hubungan sosial mereka yang kaitannya dengan
perilaku menarik diri. Sejalan dengan pendapat Keliat (2009), menjelaskan bahwa
salah satu jenis TAK yang dapat dilakukan untuk orang dengan perilaku menarik diri
adalah TAK Sosialisasi, karena TAK Sosialisasi merupakan upaya memfasilitasi
kemampuan sosialisasi klien dengan masalah hubungan sosial. Terapi ini dianggap
lebih tepat karena melihat kondisi lansia yang sudah menurun, baik fisik dan
kognitifnya.
16
B. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
1. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi merupakan salah satu jenis dari
terapi aktivitas kelompok. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) adalah
upaya memasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah orang dengan masalah
hubungan sosial (Keliat & Pawirowiyono, 2014). TAKS dilaksanakan dengan
membantu seseorang melakukan sosialisasi dengan individu yang ada
disekitarnya. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal
(satu dan satu), kelompok, dan massa. Aktivitas dapat berupa latihan sosialisasi
dalam kelompok (Keliat & Pawirowiyono, 2014).
Menurut Riyadi & Purwanto (2009), Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi adalah terapi yang memasilitasi psikoterapis untuk memantau dan
meningkatkan hubungan interpersonal, memberi tanggapan terhadap orang lain,
mengekspresikan ide dan tukar persepsi dan menerima stimulus eksternal yang
berasal dari lingkungan. Menurut Purwaningsih & Karlina (2009), Terapi
aktivitas kelompok sosialisasi merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk
membantu orang lain melakukan sosialisasi dengan individu yang ada
disekitarnya. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan
klien dalam melakukan interaksi sosial maupun berperan dalam lingkungan
sosial.
Adapun tujuan dari TAKS secara umum yaitu agar seseorang dapat
meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Secara khusus
17
tujuan dari TAKS yaitu agar seorang mampu memerkenalkan diri, mampu
berkenalan dengan anggota kelompok, mampu bercakap-cakap dengan anggota
kelompok, mampu menyampaikan dan membicarakan topic percakapan, mampu
menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain, mampu
bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok dan mampu menyampaikan
pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan.
Dari beberapa penjelasan di atas mengenai Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi (TAKS) dapat disimpulkan bahwa TAKS merupakan jenis terapi
yang dilakukan secara berkelompok dengan memfasilitasi kemampuan
sosialisasi sejumlah orang yang memiliki masalah hubungan sosial.
2. Tahap-Tahap Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Keliat, Wiyono & Susanti (2011), terdapat lima tahap dalam
pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi yang dapat diuraikan sebagai
berikut :
a. Tahap persiapan
Pada tahap persiapan dilakukan beberapa langkah berikut :
1) Mengidentifikasi peserta yang akan dilibatkan dalam TAK yaitu peserta
yang sehat fisik, telah kooferatif, dapat berkomunikasi dengan baik dan
tidak dalam pengaruh obat yang mengganggu kemampuan konsentrasi.
2) Menetapkan jenis TAK (TAK Stimulasi Persepsi, TAK Stimulasi
Sensoris, TAK Orientasi Realitas dan TAK Sosialisasi). Pada penelitian
ini, peneliti memilih jenis TAK Sosialisasi, karena jenis TAK Sosialisasi
18
ini merupakan Terapi aktivitas kelompok sosialisasi yang memberikan
atau memasilitasi kemampuan sosialisasi klien dengan masalah hubungan
sosial. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi juga dapat melatih para lansia
dalam meningkatkan komunikasi dan hubungan sosial mereka yang
kaitannya dengan perilaku menarik diri (Keliat, 2009)
3) Memersiapkan alat dan bahan yaitu seseuai dengan alat yang diperlukan,
karena setiap jenis TAK akan berbeda-beda. Menentukan tempat
pelaksanaan dan menetapkan waktu pelaksanaan.
b. Tahap orientasi
Tahap orientasi ini dilakukan setelah kelompok berkumpul di tempat
dilaksanakannya TAK. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap orientasi ini
meliputi : mengucapkan salam, memastikan perasaan klien, menjelaskan
tujuan TAK dan menyepakati aturan main TAK.
c. Tahap kerja
Pada tahap kerja, pemimpin kelompok memimpin semua kelompok
peserta untuk melakukan TAK guna mencapai tujuan sesuai dengan jenis
TAK yang dilakukan. Pada Penelitian ini menggunakan TAK Sosialisasi
dengan melibatkan 7 sesi
Pawirowiyono (2009) yaitu :
sebagaimana dijelaskan oleh Keliat
&
19
1) Sesi 1. Kemampuan memerkenalkan diri
Pada sesi ini, masing-masing peserta diminta untuk memerkenalkan diri
dengan menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi secara
bergantian dalam kelompok
2) Sesi 2. Kemampuan berkenalan dengan anggota kelompok
Pada sesi ini, masing-masing peserta diminta untuk memerkenalkan diri
sendiri : nama lengkap, nama panggilan, asal dan hobi. Peserta
menanyakan identitas anggota lain : nama lengkap, nama panggilan, asal
dan hobi.
3) Sesi 3. Kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok
Peserta menanyakan kehidupan pribadi kepada satu orang anggota
kelompok. Kehidupan pribadi yang dimaksud adalah hal-hal yang
menyangkut kehidupan peserta secara pribadi, misalnya cerita tentang
keluarga, pekerjaan/sekolah atau profesi. Terapis menentukan topik
kehidupan yang akan di ceritakan kepada anggota kelompok lain.
Kemudian peserta menjawab pertanyaan tentang kehidupan pribadi
mereka secara bergantian antara penanya dan yang menjawab.
4) Sesi 4. Kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu
Peserta mampu menyampaikan topik yang ingin dibicarakan, masingmasing peserta boleh memberikan pendapat. Kemudian memilih topik
yang ingin dibicarakan dan memberi pendapat tentang topik yang dipilih.
20
(topik yang akan dibahas terlebih dahulu disepakati oleh therapis dan
peserta)
5) Sesi 5. Kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi
Masing-masing peserta menyampaikan masalah pribadinya. Memilih satu
masalah untuk dibicarakan. Memberi pendapat tentang masalah pribadi
yang dipilih.
6) Sesi 6. Kemampuan bekerjasama
Peserta bertanya dan meminta sesuai kebutuhan pada orang lain,
menjawab dan memberi pada orang lain sesuai dengan permintaan.
Therapis membuat sebuah permainan yang ada kaitannya dengan
kemampuan bekerjasama antar peserta.
7) Sesi 7. Evaluasi kemampuan sosialisasi
Peserta mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan
kelompok yang telah dilakukan dan menyampaikan perasaannya setelah
melakukan kegiatan kelompok.
d. Tahap terminasi
Tahap terminasi digunakan untuk mengakhiri kegiatan TAK Sosialisasi.
Kegiatan terminasi ini meliputi : evaluasi perasaan klien, memberikan pujian,
memberikan tindak lanjut kegiatan dan menyepakati kegiatan TAK Sosialisasi
berikutnya.
21
e. Evaluasi
Evaluasi
dilakukan
dengan
mengamati
perilaku
klien
selama
pelaksanaan TAK Sosialisasi, apakah menunjukkan perilaku yang sesuai yang
direncanakan atau tidak. Caranya yaitu dengan mengisi tabel evaluasi jenis
TAK Sosialisasi.
Adapun tahap tahap dalam TAK Sosialisasi dapat disimpulkan sesuai dengan
pendapat Keliat, Wiyono & Susanti (2011) sebagai berikut : Tahap persiapan, tahap
orientasi, tahap kerja, tahap terminasi dan tahap evaluasi. Ke lima tahap inilah yang
akan dilakukan dalam pelaksanaan TAK Sosialisasi.
C. Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi untuk Penurunan Perilaku
Menarik Diri pada Lansia
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, diantaranya adalah
teori sosial. Teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan menjelaskan bahwa
adanya perilaku menarik diri yang dialami oleh seseorang di masa tersebut (Maryam
dkk, 2008). Penarikan diri seorang lansia disebabkan kemiskinan dan menurunnya
derajat kesehatan. Mereka secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan sekitar.
Oleh sebab itu orang di sekitarnya perlu memersiapkan dan memasilitasi para lansia
agar tidak menarik diri (Maryam dkk, 2008). Penarikan diri pada lansia dapat
menimbulkan resiko gangguan seperti perubahan sensori persepsi (misalnya
halusinasi), mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan serta adanya keinginan
untuk bunuh diri. Sejalan dengan hasil penelitian terdahulu, tampak bahwa manusia
22
yang menjaga hubungan sosial, tinggal serta aktif dalam pertemuan sosial memiliki
tingkat kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan seseorang yang kurang
bersosialisasi atau seseorang yang telah berhenti dari keterlibatan aktivitas sosial
(Schulz-Allen, dalam Purwandari 1997).
Peneliti berasumsi, bahwa para lansia tersebut memerlukan perlakuan yang
tepat untuk menurunkan perilaku menarik diri. Salah satu bentuk intervensi untuk
menurunkan perilaku menarik diri dengan pendekatan kelompok adalah melalui
terapi aktivitas kelompok sosialisasi. TAKS merupakan terapi yang memasilitasi
kemampuan sosialisasi klien dengan masalah hubungan sosial yakni menarik diri
(Keliat, 2009). Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2015)
tentang pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan interaksi
sosial pasien isolasi (menarik diri) di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta, hasilnya
menunjukkan bahwa terapi aktivitas kelompok sosialisasi dapat meningkatkan
kemampuan interaksi sosial pasien isolasi sosial. Terapi ini dianggap lebih tepat
karena melihat kondisi lansia yang sudah menurun, baik fisik dan kognitifnya. Terapi
ini akan memberikan atau memfasilitasi dan melatih para lansia dalam meningkatkan
komunikasi dan hubungan sosial mereka yang kaitannya dengan perilaku menarik
diri.
Menurut Videbeck (Wakhid & Susilo, 2014), melalui Terapi Aktivitas
Kelompok Sosialisasi memungkinkan seorang saling mendukung, belajar menjalin
hubungan interpersonal, merasakan kebersamaan dan dapat memberikan masukan
terhadap pengalaman masing-masing klien, sehingga akan meningkatkan kemampuan
23
bersosialisasi denganorang lain. Peningkatan kemampuan bersosialisasi pada klien
isolasi sosial terjadi karena Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) sosialisasi dilakukan
agar klien mampu mengekspresikan
perasaan dan latihan perilaku dalam
berhubungan dengan orang lain. TAKS bertujuan untuk meningkatkan keterampilan
interaksi sosial, yaitu agar klien mampu memperkenalkan diri, berkenalan dengan
anggota
kelompok,
bercakap-cakap
dengan
anggota
kelompok,
mampu
menyampaikan topik, mampu membicarakan masalah pribadi, bekerjasama dalam
kelompok serta kemampuan menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan
kelompok.
Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi merupakan terapi dengan pendekatan
kelompok, yang mana kelompok merupakan sejumlah orang yang berkumpul
bersama untuk mencapai suatu tujuan dan dibentuk dengan suatu alasan. Menurut
Johnson (2012), kelompok adalah kumpulan individu yang berhubungan satu sama
lain (saling berinteraksi), dan proses interaksi itulah yang membedakan kelompok
dari perkumpulan. Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang
dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis. Terapi dengan pendekatan kelompok
ini bertujuan untuk menstimulasi seseorang dengan gangguan hubungan interpersonal
(menarik diri), karena di dalam kelompok akan distimulasi langsung untuk
berhubungan dengan orang lain dan meningkatkan sosialisasi dengan memberikan
kesempatan berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan,
memberi tanggapan terhadap pendapat maupun perasaan orang lain.
24
Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi merupakan suatu rangkainan kegiatan
yang sangat penting dilakukan untuk membantu dan memfasilitasi seorang dengan
perilaku menarik diri untuk mampu bersosialisasi secara bertahap untuk melatih
kemampuan sosialsasi. Pada Penelitian ini menggunakan TAK Sosialisasi memiliki 5
tahap. Dari ke 5 tahap tersebut pada tahap kerja melibatkan 7 sesi sebagaimana
dijelaskan oleh Keliat, Wiyono & Susanti (2011).
Sesi 1, kemampuan memerkenalkan diri. Pada sesi ini masing-masing peserta
diminta untuk memerkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama
panggilan, asal dan hobi secara bergantian dalam kelompok. Tahap ini bertujuan
untuk melatih peserta berbicara di depan orang lain, memulai pembicaraan dan
berinteraksi dengan orang lain. Saat peserta berlatih berbicara dengan orang lain,
maka peserta akan meningkatkan komunikasi verbalnya dengan orang lain dan mulai
berinteraksi dengan orang. Ketika seseorang peserta mulai berbicara di depan orang
lain, maka akan terjadi penurunan perilaku menarik diri yang ada pada gejala objektif
berupa, meningkatnya komunikasi verbal peserta. Hal ini terlihat dari mulainya
peserta berbicara di depan orang lain dengan menyebutkan nama, asal dan hobinya
(Yosep & Sutini, 2014).
Sesi 2, kemampuan berkenalan dengan anggota kelompok. Pada sesi ini,
masing-masing peserta diminta untuk memerkenalkan diri sendiri: nama lengkap,
nama panggilan, asal dan hobi. Peserta lalu menanyakan identitas anggota lain: nama
lengkap, nama panggilan, asal dan hobi. Tahap ini bertujuan untuk melatih peserta
berbicara di depan orang lain, mampu memulai pembicaraan dengan orang lain dan
25
berinteraksi dengan orang lain. Dengan kata lain, maka perilaku menarik diri akan
terlihat semakin menurun yakni secara objektif meningkatnya komunikasi verbal
peserta terlihat dari mulainya peserta berbicara memerkenalkan dirinya sendiri dan
menanyakan identitas peserta lain. Saat peserta menanyakan identitas peserta lain hal
itu melatih peserta menjalin interaksi dengan orang lain yang awalnya tidak mau
berinteraksi dengan orang lain menjadi mulai berinteraksi dengan orang lain.
Sesi 3, kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok. Peserta
menanyakan kehidupan pribadi kepada satu orang anggota kelompok. Kehidupan
pribadi yang dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut kehidupan peserta secara
pribadi, misalnya cerita tentang keluarga, pekerjaan/sekolah atau profesi. Terapis
menentukan topik kehidupan yang akan di ceritakan kepada anggota kelompok lain.
Kemudian peserta menjawab pertanyaan tentang kehidupan pribadi mereka secara
bergantian antara penanya dan yang menjawab. Tahap ini bertujuan untuk melatih
peserta berbicara di depan orang lain, mengekspresikan tentang diri dan kehidupan
pribadinya, sehingga peserta merasa lebih merasa didengarkan oleh orang lain terkait
kondisi kehidupan pribadinya. Tahap ini juga membuat peserta merasa hubungan
yang lebih berarti pada orang lain dan merasa lebih aman berada bersama orang lain.
Dengan kata lain, maka perilaku menarik diri akan terlihat semakin menurun baik
secara objektif dan subjektif. Secara objektif berupa meningkatnya komunikasi verbal
peserta dengan cara berbicara dengan orang lain dan memulai pembicaraan. Peserta
yang awalnya tidak mau berinteraksi dengan orang lain menjadi mulai berinteraksi
dengan orang lain. Secara subjektif berupa subjek merasa hubungan yang tidak
26
berarti pada orang lain menjadi merasa lebih berarti dan merasa tidak aman berada
didekat orang lain menjadi merasa lebih aman (Yosep & Sutini, 2014).
Sesi 4, kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu. Peserta mampu
menyampaikan topik yang ingin dibicarakan, masing-masing peserta boleh
memberikan pendapat. Kemudian memilih topik yang ingin dibicarakan dan memberi
pendapat tentang topik yang dipilih. (topik yang akan dibahas terlebih dahulu
disepakati oleh therapis dan peserta). Tahap ini bertujuan untuk saling berinteraksi,
memberikan pendapat dengan orang lain. Hal ini membuat peserta merasa lebih
berguna, merasa lebih diterima oleh orang lain dan juga melatih subjek lebih peduli
dengan lingkungan dan atau permasalahan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa
lansia telah memerlihatkan terjadinya penurunan perilaku menarik diri yang ditandai
dengan menurunnya gejala subjektif dan objektif perilaku menarik diri pada lansia.
Gejala objektif berupa menjadi semakin lebih meningkatnya komunikasi verbal
peserta terlihat dari mampunya peserta menyampaikan topik pembicaraan dan
memberikan pendapat pada peserta lain. Peserta yang awalnya tidak peduli terhadap
lingkungan dan permasalahan disekitar menjadi lebih peduli dengan lingkungan dan
atau permasalahan orang lain (Yosep & Sutini, 2014). Adapun gejala subjektif dari
perilaku menarik diri peserta berupa merasa tidak berguna bagi orang lain menjadi
merasa lebih berguna, karena mulai merasa mampu memberikan pendapat pada orang
lain, kemudian peserta merasa ditolak oleh oranglain menjadi merasa lebih diterima
oleh orang lain, karena merasa pendapat mereka didengarkan oleh peserta lain (Yosep
& Sutini, 2014).
27
Sesi 5, kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi. Masing-masing peserta
menyampaikan masalah pribadinya, memilih satu masalah untuk dibicarakan dan
masing-masing memberi pendapat tentang masalah pribadi yang dipilih. Tahap ini
bertujuan untuk mengungkapkan masalah pribadinya, sehingga peserta merasa lebih
diperhatikan, lebih didengar, lebih memiliki harapan yang lebih baik dalam hidupnya,
merasa lebih berarti dan adanya perasaan aman berada bersama orang lain. Hal ini
menunjukkan bahwa lansia telah memerlihatkan terjadinya penurunan perilaku
menarik diri yang ditandai dengan menurunnya gejala subjektif dan objektif perilaku
menarik diri pada lansia. Gejala objektif berupa meningkat komunikasi verbal peserta
terlihat dari mulai mau berbicara dengan orang lain dan memulai pembicaraan. Gejala
subjektif berupa perasaan yang awalnya ditolak atau merasa tidak diperhatikan
menjadi lebih diterima atau lebih diperhatiakan, perasaan tidak aman saat berada
bersama orang lain menjadi merasa lebih aman berada bersama orang lain, merasa
kesepian menjadi tidak kesepian, karena sudah merasa ada teman yang bisa
mendengarkan keluhan atau masalah pribadinya dan menjadi memiliki teman dekat
(Yosep & Sutini, 2014).
Sesi 6, kemampuan bekerjasama. Peserta bertanya dan meminta sesuai
kebutuhan pada orang lain, menjawab dan memberi pada orang lain sesuai dengan
permintaan. Therapis membuat sebuah permainan yang ada kaitannya dengan
kemampuan bekerjasama antar peserta. Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan
kebosanan peserta dalam aktivitas sehari-harinya, membuat subjek merasa lebih
banyak teman sehingga mengurangi rasa kesepiannya karena sudah berinteraksi
28
dengan orang lain, berbagi cerita, pendapat dan saling membantu saat ada kesulitan.
Hal ini menunjukkan bahwa lansia telah memerlihatkan terjadinya penurunan
perilaku menarik diri yang ditandai dengan menurunnya gejala subjektif dan objektif
perilaku menarik diri pada lansia. Gejala objektif berupa meningkatnya komunikasi
verbal peserta dengan cara berbicara dengan orang lain dan memulai pembicaraan.
Peserta yang awalnya tidak mau berinteraksi dengan orang lain menjadi mulai
berinteraksi dengan orang lain dan berhubungan dengan orang lain. Peserta yang
tidak peduli terhadap lingkungan, permasalahan disekitar menjadi lebih peduli
dengan lingkungan dan atau permasalahan orang lain dengan cara saling bekerjasama
saat peserta lain mengalami kesulitan dan lebih spontan atau langsung merespon
terhadap masalah yang dihadapi (Yosep & Sutini, 2014). Gejala subjektif berupa
perasaan kesepian menjadi merasa memiliki banyak teman dan mengurangi rasa
kesepiannya karena berbagi cerita, pendapat dan saling membantu saat ada kesulitan.
Perasaan ditolak oleh orang lain menjadi merasa diterima oleh orang lain, karena
masing-masing dari mereka saling memberikan pendapat dan saling bekerjasama
antar satu sama lainnya (Yosep & Sutini, 2014).
Sesi 7, evaluasi kemampuan sosialisasi. Peserta mampu menyampaikan
pendapat
tentang manfaat
kegiatan kelompok
yang telah
dilakukan dan
menyampaikan perasaannya setelah melakukan kegiatan kelompok. Tahap ini
bertujuan agar peserta lebih memahami makna dari kegiatan yang dilakukan. Peserta
diharapkan mampu merasakan sesuatu yang berarti selama proses kegiatan kelompok
ini dan mampu mengungkapkan perasaannya setelah mengikuti kegiatan kelompok.
29
Jika kemampuan ini dimiliki, maka lansia akan mampu menurunkan gejala perilaku
menarik diri baik gejala objektif maupun gejala subjektif. Gejala objektif berupa,
komunikasi verbal menurun, menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang
terdekat, apatis (acuh terhadap lingkungan sekitar), berperilaku kurang spontan dalam
menghadapi masalah, aktivitas menurun, ekspresi wajah kurang berseri dan tidak mau
berinteraksi dengan orang lain (Yosep & Sutini, 2014). Gejala subjektif berupa,
menceritakan perasaan kesepian, perasaan tidak aman berada bersama orang lain,
tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak berguna, merasa
tidak yakin dapat melangsungkan hidup, merasa ditolak oleh orang lain dan merasa
bosan pada aktivitas sehari-hari (Yosep & Sutini, 2014).
Berdasarkan penjelasan di atas, dengan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
akan diterapkan pada subjek penelitian lansia dengan perilaku menarik diri.
Rangkaian teknik-teknik yang terdiri dari 5 tahap. Dari 5 tahap tersebut, pada tahap
kerja terdapat 7 sesi yaitu kemampuan memperkenalkan diri, kemampuan berkenalan
dengan anggota kelompok, kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok,
kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu, kemampuan bercakap-cakap
masalah pribadi, kemampuan bekerja sama dan evaluasi kemampuan sosialisasi. TAK
Sosialisasi ini dilakukan dengan pendekatan kelompok diharapkan dapat menurunkan
perilaku menarik diri pada lansia.
30
D. Landasan Teori
Menurut Pawlin (Prabowo, 2014), menarik diri merupakan suatu upaya yang
dilakukan seseorang dengan menghindari interaksi dengan orang lain atau
menghindari hubungan dengan orang lain. Menurut Adler (Alwisol, 2004), perilaku
menarik diri merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri yang dilakukan seseorang
sebagai coping terhadap situasi-situasi yang tidak menyenangkan. Menarik diri juga
berupa kecenderungan untuk malarikan diri dari kesulitan, pengamanan melalui
mengambil jarak pada orang lain, berupa tindakan menarik diri dari aktivitas dan
lingkungan sosial. Ketika seseorang dihadapkan pada masalah dan tidak mampu
diselesaikan, maka seseorang akan cenderung menarik diri sebagai coping terhadap
situasi yang tidak menyenangkan.
Menurut Yosep & Sutini (2014), seseorang yang mengalami perilaku menarik
diri dapat dilihat dari gejala subjektif dan gejala objektif. Gejala gejala tersebut
diantaranya, menghindari hubungan dan atau berinteraksi dengan orang lain,
menyendiri, merasa tidak aman berada didekat orang lain, komunikasi verbal
menurun, aktivitas dan atau kegiatan sehari-hari menurun dan merasa rendah diri.
Perilaku menarik diri dapat dialami seorang lansia, seperti dijelaskan dalam
teori sosial dalam proses penuaan menyebutkan, bahwa penarikan diri cenderung
dialami seseorang pada masa tuanya. Teori tersebut merupakan teori sosial tentang
penuaan yang paling awal dan pertama kali diperkenalkan oleh Gumming & Henry
(Maryam dkk, 2008). Kemiskinan yang diderita oleh lansia dan menurunnya derajat
kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari
31
pergaulan sekitarnya. Proses penuaan mengakibatkan interaksi sosial lansia mulai
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas, oleh sebab itu masyarakat juga perlu
memersiapkan kondisi agar para lansia tidak menarik diri (Maryam Dkk, 2008).
Untuk menurunkan perilaku menarik diri pada lansia, pada penelitian ini
digunakan terapi aktivitas kelompok sosialisasi sebagai salah satu metode yang
berguna untuk menurunkan perilaku menarik diri, dimana metode ini merupakan
terapi dengan pendekatan kelompok dan suatu rangkainan kegiatan yang dilakukan
untuk membantu dan memfasilitasi seorang dengan perilaku menarik diri untuk
mampu bersosialisasi secara bertahap. Terapi aktivitas kelompok sosilisasi adalah
Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) adalah upaya memasilitasi
kemampuan sosialisasi sejumlah orang dengan masalah hubungan sosial (Keliat &
Pawirowiyono, 2014). Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) terdiri dari 5
tahap. Dari ke 5 tahap tersebut pada tahap kerja melibatkan 7 sesi sebagaimana
dijelaskan oleh Keliat & Pawirowiyono (2009). Menerapkan Terapi aktivitas
kelompok sosialisasi untuk lansia yang mengalami perilaku menarik diri dapat
menurunkan perilaku menarik diri meliputi gejala objektif dan gejala subjek. Gejala
subjektif seperti, Perasaan kesepian, merasa tidak aman berada dengan orang lain,
mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain, merasa bosan pada
aktivitas sehari-hari, tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, merasa
tidak berguna, merasa tidak yakin dapat melangsungkan hidup dan merasa ditolak
oleh orang lain. Gejala objektif seperti, komunikasi verbal menurun, tidak mengikuti
kegiatan, banyak berdiam diri di kamar, tidak mau berinteraksi dengan orang lain,
32
apatis (acuh terhadap lingkungan sekitar), berperilaku kurang spontan dalam
menghadapi masalah, aktivitas menurun dan ekspresi wajah kurang berseri.
Terapi ini mengarahkan pada aktivitas kelompok sosialisasi, supaya individu
dalam kelompok dapat belajar secara bertahap bersosialisasi dengan orang lain.
Adapun tujuan dari TAKS secara umum yaitu agar seseorang dapat meningkatkan
hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Secara khusus tujuan dari TAKS
yaitu agar seorang mampu memerkenalkan diri, mampu berkenalan dengan anggota
kelompok,
mampu
bercakap-cakap
dengan
anggota
kelompok,
mampu
menyampaikan dan membicarakan topik percakapan, mampu menyampaikan dan
membicarakan masalah pribadi pada orang lain, mampu bekerja sama dalam
permainan sosialisasi kelompok dan mampu menyampaikan pendapat tentang
manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan.
Adapun tahapan yang dilakukan dalam terapi aktivitas kelompok sosialisasi
ini mengacu pada tujuan secara khusus terapi aktivitas kelompok sosialisasi yaitu
kemampuan memerkenalkan diri, kemampuan berkenalan dengan anggota kelompok,
kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok, kemampuan bercakap-cakap
dengan topik tertentu, kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi, kemampuan
bekerjasama dan evaluasi kemampuan sosialisasi.
Kemampuan memerkenalkan diri, yaitu kemampuan menyebutkan nama
lengkap, nama panggilan, asal dan hobi secara bergantian dalam kelompok. Tahap ini
bertujuan untuk melatih peserta berbicara di depan orang lain, memulai pembicaraan
dan berinteraksi dengan orang lain. Saat peserta berlatih berbicara dengan orang lain,
33
maka peserta akan meningkatkan komunikasi verbalnya dengan orang lain dan mulai
berinteraksi dengan orang. Kemampuan berkenalan dengan anggota kelompok, yaitu
kemampuan peserta memerkenalkan diri sendiri dan berkenalan dengan orang lain.
Tahap ini bertujuan untuk melatih peserta berbicara di depan orang lain, mampu
memulai pembicaraan dengan orang lain dan berinteraksi dengan orang lain.
Kemampuan bercakap-cakap dengan anggota kelompok, yaitu Peserta
menanyakan kehidupan pribadi kepada satu orang anggota kelompok. Kehidupan
pribadi yang dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut kehidupan peserta secara
pribadi. Terapis menentukan topik kehidupan yang akan di ceritakan kepada anggota
kelompok lain dan peserta menjawab pertanyaan tentang kehidupan pribadi mereka
secara bergantian antara penanya dan yang menjawab. Tahap ini bertujuan untuk
melatih peserta berbicara di depan orang lain, mengekspresikan tentang diri dan
kehidupan pribadinya, sehingga peserta merasa lebih merasa didengarkan oleh orang
lain terkait kondisi kehidupan pribadinya. Tahap ini juga membuat peserta merasa
hubungan yang lebih berarti pada orang lain dan merasa lebih aman berada bersama
orang lain.
Kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu, yaitu kemampuan peserta
menyampaikan topik yang ingin dibicarakan dan memberikan pendapat. (topik yang
akan dibahas terlebih dahulu disepakati oleh therapis dan peserta). Tahap ini
bertujuan untuk saling berinteraksi, memberikan pendapat dengan orang lain. Hal ini
membuat peserta merasa lebih berguna, merasa lebih diterima oleh orang lain dan
juga melatih subjek lebih peduli dengan lingkungan dan atau permasalahan orang
34
lain. Kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi, yaitu masing-masing peserta
menyampaikan masalah pribadinya, memilih satu masalah untuk dibicarakan dan
memberi pendapat tentang masalah pribadi yang dipilih. Tahap ini bertujuan untuk
mengungkapkan masalah pribadinya, sehingga peserta merasa lebih diperhatikan,
lebih didengar, lebih memiliki harapan yang lebih baik dalam hidupnya, merasa lebih
berarti dan adanya perasaan aman berada bersama orang lain.
Kemampuan bekerjasama, yaitu kemampuan peserta bertanya dan meminta
sesuai kebutuhan pada orang lain, menjawab dan memberi pada orang lain sesuai
dengan permintaan. Therapis membuat sebuah permainan yang ada kaitannya dengan
kemampuan bekerjasama antar peserta. Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan
kebosanan peserta dalam aktivitas sehari-harinya, membuat subjek merasa lebih
banyak teman sehingga mengurangi rasa kesepiannya karena sudah berinteraksi
dengan orang lain, berbagi cerita, pendapat dan saling membantu saat ada kesulitan.
Evaluasi kemampuan sosialisasi, yaitu peserta menyampaikan pendapat
tentang manfaat kegiatan kelompok yang telah dilakukan dan menyampaikan
perasaannya setelah melakukan kegiatan kelompok. Tahap ini bertujuan agar peserta
lebih memahami makna dari kegiatan yang dilakukan. Peserta diharapkan mampu
merasakan sesuatu yang berarti selama proses kegiatan kelompok ini dan mampu
mengungkapkan perasaannya setelah mengikuti kegiatan kelompok. Jika kemampuan
ini dimiliki, maka lansia akan mampu menurunkan gejala perilaku menarik diri.
Berdasarkan penjelasan di atas maka kerangka berpikir yang peneliti buat diterangkan
pada Bagan Kerangka Teoritis berikut ini.
35
Terapi AKtivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS)
Perilaku Menarik Diri Lansia
Gejala subjektif (Perasaan kesepian,
merasa tidak aman berada dengan orang
lain, mengatakan hubungan yang tidak
berarti dengan orang lain, merasa bosan
pada aktivitas sehari-hari, tidak mampu
berkonsentrasi dan membuat keputusan,
merasa tidak berguna, merasa tidak yakin
dapat melangsungkan hidup dan merasa
ditolak oleh orang lain).
Gejala objektif (komunikasi verbal
menurun, tidak mengikuti kegiatan,
banyak berdiam diri di kamar, tidak mau
berinteraksi dengan orang lain, apatis
(acuh terhadap lingkungan sekitar),
berperilaku kurang spontan dalam
menghadapi masalah, aktivitas menurun
dan ekspresi wajah kurang berseri.
: Intervensi
: Hasil intervensi
a. Kemampuan memerkenalkan diri
b. Kemampuan berkenalan dengan anggota
kelompok
c. Kemampuan
bercakap-cakap
dengan
anggota kelompok
d. Kemampuan bercakap-cakap dengan topik
tertentu
e. Kemampuan bercakap-cakap masalah
pribadi
f. Kemampuan bekerjasama
g. Evaluasi kemampuan sosialisasi
Gejala Perilaku Menarik Diri secara subjektif
dan objektif menurun
Subjektif :
1. Perasaan mulai diterima oleh orang lain
2. Merasa lebih aman saat berada bersama
orang lain
3. Merasa hubungan yang mulai berarti
dengan orang lain
4. Merasa lebih berguna
Objektif
1. Mau berinteraksi dengan orang lain
2. Ikut berkumpul dengan orang lain saat
melakukan aktivitas
3. Tidak menyendiri sendiri di kamar
4. Lebih memerhatikan kebersihan
5. Ekspresi bahagia
6. Peduli terhadap lingkungan sekitar
Bagan 1. Kerangka teoritis tentang perilaku menarik diri pada lansia.
36
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut :
1.
Ada perbedaan perilaku menarik diri pada lansia antara kelompok eksperimen
yang diberi perlakuan berupa terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS)
dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Kelompok eksperimen
memerlihatkan skor perilaku menarik diri lebih rendah dibandingkan kelompok
kontrol.
2.
Ada penurunan perilaku menarik diri pada kelompok eksperimen antara
sebelum dan sesudah diberikan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS).
Setelah diberikan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi skor perilaku menarik
diri lebih rendah dibandingkan sebelum diberi Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi.
Download