BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia tidak akan bisa dipisahkan dari kegiatan yang menyangkut tentang konsumsi.
Dalam kehidupan manusia semenjak lahir sampai akhir hayat hidupnya akan terus di kelilingi
dengan pilihan-pilihan kegiatan konsumsi. Pada situasi seperti saat ini (baca:modern) dimana
batas ruang dan waktu dapat ditembus hanya dengan sepersekian detik, maka makna dari
konsumsi sendiri juga mengalami perubahan. Konsumsi tidak hanya sebatas mengenai
kebutuhan, namun konsumsi telah melebur bersama keinginan guna aktualisasi diri.
Sebagaimana yang telah terjadi pada kehidupan kaum muda khususnya di Yogyakarta.
Konsumsi menjadi media guna aktualisasi diri dalam lingkungan pergaulannya. Kegiatan
konsumsi menjadi erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan yang menampilkan gaya hidup
tertentu. Sebagai contoh adalah tren penggunaan behel yang digunakan tidak hanya khusus
kaum muda saja namun juga turut digunakan oleh anak-anak maupun dewasa. Namun dalam
perkembangannya, kaum mudalah yang lebih aktif menyebar luaskan tren ini mengingat kaum
muda cenderung lebih senang “mencoba-coba” hal baru yang menarik perhatiannya.
Para pengguna behel dapat dengan mudah dijumpai di kampus, sekolah, jalan, mall,
supermarket, dan ditempat-tempat publik lainnya. Tak terkecuali di lingkungan kampus
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada dimana ruang sosial seperti kampus
yang didalamnya terdapat sekumpulan kelompok muda dengan aksesbilitas tinggi dalam
1
pergaulan baik secara offline maupun online sehingga dengan interaksi sosial tersebut
lingkungan kampus dengan mudah menjadi arena penawaran berbagai kompetisi-kompetisi
perebutan “posisi” sosial melalui konsumsi yang dalam konteks ini tren konsumsi behel.
Bisa jadi pula tren ini turut dibawa oleh media melalui para selebritas sebagai
“trensetter” dimana apa yang dipakai selebritas bisa menjadi referensi utama untuk
berpenampilan. Selebritas yang menggunakan behel terlihat semakin cantik, menarik serta
“wah” maka kaum muda pun turut juga mengkonsumsi gaya hidup kekinian menyerupai gaya
dari selebritas tersebut. Harga dan kualitas dari masing-masing jenis behel memang berbedabeda, namun jika dilihat secara kasat mata mungkin hampir “sama” sehingga behel yang
harganya dan kualitasnya rendah bisa jadi menyerupai behel dengan harga dan kualitas tinggi.
Sehingga yang terjadi sebenarnya adalah kaum muda hanya mengkonsumsi “tanda” yang
melekat di obyek tersebut.
Sebelum populernya behel seperti saat ini, dahulu behel dianggap sebagai sesuatu yang
kuno, aneh, jelek, dan mahal karena hanya kalangan berduit saja (kelas atas) yang mampu
menggunakannya. Belum banyak orang melakukan perawatan medis behel mengingat juga
pada zaman dulu behel belum secanggih dan semenarik seperti saat ini. Dahulu, orang
menggunakan behel justru akan malu karena akan kelihatan “tonggos”. Tetapi lain halnya saat
ini, dengan perkembangan zaman maka teknologi behel pun juga berkembang sehingga
pengguna behel merasa lebih percaya diri dengan behel yang menempel di giginya. Terbukti
saat pengguna lebih suka menampakkan behelnya di hadapan publik tanpa harus malu, bahkan
bisa jadi terdapat kebanggaan tersendiri dengan menggunakan behel yang trendy.
2
Behel memiliki istilah lain yakni kawat gigi, braket. Dalam ilmu medis kedokteran,
behel memiliki istilah orthodentic. Dalam buku Orthodontics The Art and Science, dijelaskan
definisi behel yakni :
“Orthodontics is that branch of dentistry concerned with prevention, interception, and
correction of malocclusion and other abnormalities of the dento-facial region. The word
orthodentics is derivd from the Greek words orthos meaning correct and adontos meaning
teeth”.
Dari definisi diatas dapat dimengerti bahwa nilai kesehatan perawatan behel/kawat
gigi ini memiliki fungsi utama untuk mencegah terjadinya keadaan yang abnormal dari bentuk
muka yang disebabkan karena letak gigi dan rahang yang tidak tepat. Selain itu behel juga
berfungsi untuk meningkatkan fungsi pengunyahan, meningkatkan daya tahan gigi terhadap
karies, menghindarkan kerusakan gigi terhadap penyakit periodontal, mencegah adanya
perawatan orthodonti yang berat pada umur selanjutnya, mencegah dan menghilangkan cara
pernafasan yang abnormal dari segi perkembangan gigi geligi dan memperbaiki cara bicara
yang salah. Cara kerja dari perawatan behel ini adalah melakukan gerakan menarik dan
menahan gigi agar dapat tercapai kenormalan susunan gigi dan rahang.
Keberadaan behel saat ini, tidak hanya bisa dimaknai sebagai kebutuhan atas fungsi
aslinya yakni memperbaiki susunan gigi dan rahang saja. Behel yang sedang boom dalam
hitungan massa (jumlah) pengguna terutama kaum muda, dimaknai juga sebagai kebutuhan
serta keinginan atas bagian dari diri guna membedakan antara aku dan kamu. Behel dijadikan
media konsumsi yang dapat mencerminkan status sosial seseorang (prestise) mengingat
3
menggunakan behel artinya harus siap dengan pengeluaran-pengeluaran yang tidak sedikit
nominalnya.
Tren behel sendiri di Yogyakarta tercermin dari data pengguna behel yang semakin
meningkat. Di RSGM UGM Prof. Soedomo, terlihat peningkatan jumlah pengguna baru behel
dari tahun 2010 menuju 2011 sebanyak 2 kali lipat lebih. Dan pada tahun berikutnya
mengalami penurunan tajam dibanding tahun sebelumnya. Hal ini mungkin terjadi mengingat
juga dengan permintaan pengguna behel yang meningkat maka penawaran juga meningkat
melalui menjamurnya klinik-klinik kedokteran gigi baik ditingkat negeri (ex:puskesmas) dan
swasta (kelompok maupun perseorangan).
Klinik-klinik gigi swasta (kelompok) yang dapat dijumpai di Yogyakarta dan
sekitarnya misalnya Fresh Dental, Gio Dental Care, Cosmo Dent, Family Dental Care, Joy
Dental, Klinik Dental Center, Dolphin Orthodontics & Dental Care, Tugu Intan, Prima
Medika, Klinik Drg Handoko, O-smile Laser Dental Centre, klinik Peri Gigi, Klinik
R+(cabang Kotagede, Kalasan, Parangtritis, Concat, Baciro), Klinik Bright Dental Care,
Klinik Dentes dan lain-lain. Ditambah lagi klinik-klinik praktek dokter gigi perorangan yang
juga tersebar di Yogyakarta dan sekitarnya guna memberikan penawaran-penawaran
perawatan kesehatan gigi untuk masyarakat.
Dahulu klinik-klinik kesehatan gigi dikunjungi hanya pada saat pasien sakit gigi saja.
Namun saat ini terjadi perubahan besar ketika para kaum muda semakin banyak yang
memakai behel sebagai pemanis penampilannya dan mulai intens datang ke klinik guna
perawatan behel. Dengan merogoh kocek yang tidak sedikit dan harus meluangkan waktu
guna melakukan perawatan pun dilakukan para kaum muda.
4
Data pasien baru pengguna behel dihimpun dari penelitian skripsi milik mahasiswa
Fakultas Kedokteran Gigi atas nama Deozola Revici Roendri dan Shinta Dwicahya (2013).
Namun, belum dapat diketahui tren behel disana hingga tahun 2013 dan 2014 awal.
Tabel 1. Data Jumlah Pasien Ortho RSGM UGM Prof. Soetomo
Tahun
Jumlah Pasien Baru (orang)
2010
394
2011
805
2012 (Jan-Nop)
457
(Sumber : Hasil Penelitian Skripsi Mahasiswa FKG, 2013)
Data lain juga menunjukkan tren behel di Yogyakarta dan sekitarnya meningkat. Data
dihimpun dari hasil wawancara dengan salah satu dokter gigi (drg) yang membuka klinik gigi
dan memberikan layanan pemakaian behel.
Tabel 2. Data Jumlah Pasien Ortho di Klinik drg. Popi
Tahun
Jumlah Pasien Baru (orang)
2009
15
2010
17
2011
23
2012
25
2013
30
5
Feb 2014
3
(Sumber : Data Primer Hasil Wawancara, 2014)
Data diatas merupakan data dari pasien atau pengguna behel cekat dimana behel
sendiri memiliki dua macam jenis yakni behel behel cekat/permanen dan lepasan/retainer.
Behel cekat atau permanen berupa manik-manik metal yang terbuat dari platina. Ada juga
yang clear/transparan serupa dengan warna gigi yang terbuat dari composite, porselin atau
plastik. Manik-manik ditempelkan secara semi-permanen disetiap gigi dengan lem khusus
agar dapat menahannya dan tidak terlepas. Bagian lain dari kawat gigi berupa kawat lengkung
yang terbuat dari campuran logam emas dan platina atau dari campuran perak dan nikel atau
dari baja yang tidak dapat berkarat. Dan terakhir adalah karet penahan yang bervariasi bentuk
dan warnanya.
Alasan-alasan dari para pasien melakukan perawatan pemakaian behel sendiri beragam
misalnya ingin merapikan gigi yang berjejal, merapikan gigi yang jarak antar giginya
berjauhan/memiliki ruang, memperbaiki bentuk muka karena rahang yang abnormal dan lainlain. Nilai kesehatan perawatan gigi melaui media kawat gigi ini bagi pemakainya dapat
berupa meningkatnya estetika individu dengan tercapainya susunan gigi yang rapi, harmonis,
seimbang dan juga akan memiliki efek ada bentuk muka yang lebih harmonis.
Nilai utama atas estetika (baca:penampilan) yang menarik itulah yang mampu
menggerakkan massa terutama kaum muda apalagi perempuan dimana perempuan lebih peka
terhadap penampilan diri dalam lingkungan sosialnya, berbondong-bondong melakukan
perawatan medis gigi. Disini terjadi konsumsi besar-besaran atas gaya yang sedang tren.
Terlebih lagi behel dengan karet gigi yang berwarna-warni serta bentuknya yang trendi dan
6
bermacam-macam maka kaum muda semakin tertarik untuk mengekspresikan gaya dirinya di
lingkungan sosialnya. Lebih lanjut pula, dengan harga behel yang cenderung mahal maka
akan tercipta diferensiasi antara pengguna yang dikategorikan dari kalangan menengah atas
yang berpenampilan trendi dan non pengguna yang cenderung biasa-biasa saja atau kaum
tradisionalis.
Keberadaan behel yang pada awal perkembangannya digunakan sebagai alat kesehatan
dan cenderung mahal berguna untuk merapikan susunan gigi seseorang, saat ini dilihat sebagai
benda simbolik yang dapat memperlihatkan serta mencitrakan posisi social individu sebagai
masyarakat menengah keatas. Behel bagaimanapun kualitas, harganya, bentuk yang trendi
serta persepsi masyarakat yang menganggap behel dapat dijadikan simbol atas status sosial
seseorang serta sebagai gaya hidup, mengusik perhatian peneliti guna mencari jawaban atas
sejumlah pertanyaan mengenai tren behel di kalangan kaum muda khususnya Mahasiswi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.
B. RUMUSAN MASALAH
Dengan melihat latar belakang diatas maka penelitian ini akan berusaha menjawab
permasalahan yakni,
1. Bagaimana posisi sosial konsumen behel yang muncul dari pengalaman konsumen
behel dalam lingkungan sosialnya?
2. Bagaimana gaya hidup kaum muda konsumen behel dalam lingkungan sosialnya?
C. TUJUAN PENELITIAN
7
1. Mengetahui posisi sosial konsumen behel yang muncul dari pengalaman konsumen
behel pada kaum muda dalam lingkungan sosialnya.
2. Mengetahui gaya hidup konsumen behel pada kaum muda dalam lingkungan
sosialnya.
D. MANFAAT PENELITIAN
a. Penelitian ini bagi peneliti bermanfaat untuk memperluas pengetahuan dan wawasan
tentang posisi-posisi sosial yang dimaknai sebagai respon dari lingkungan sosial
konsumen behel serta pengetahuan mengenai gaya hidup atas tren penggunaan behel
dikalangan Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.
b. Bagi almamater Universitas Gadjah Mada untuk menambah referensi hasil penelitian
khususnya dalam bidang gaya hidup dan konsumerisme.
E. KERANGKA TEORI
Landasan teoritik yang digunakan dalam penelitian ini dan juga digunakan
sebagai pisau bedah dalam menganalisis data adalah Teori Masyarakat Konsumsi dari
Jean Baudrillard dan teori pendukung digunakan Teori Habitus (gaya hidup) dari
Pierre Bourdieu dan Teori Spectacle Society dari Guy Debord.
1. Teori Masyarakat Konsumsi
Pernyataan pokok dari Baudrillard adalah bahwa obyek (konsumsi) menjadi tanda
(sign) dan nilainya ditentukan oleh sebuah aturan kode (Baudrillard dalam Ritzer,
2003:137). Ketika individu mengkonsumsi objek, maka dirinya telah mengkonsumsi
tanda dan sedang dalam proses mendefinisikan diri. Oleh sebab. itu, kategori objek
8
dipahami sebagai produksi kategori pesona. “Melalui objek, setiap individu dan setiap
kelompok menemukan tempat masing-masing pada sebuah tatanan, semuanya
berusaha mendorong tatanan ini berdasarkan garis pribadi”. Melalui objek masyarakat
terstratifikasi agar setiap orang pada tempat tertentu (Baudrillard dalam Ritzer,
2003:138). Dalam arti kata, (masyarakat tingkat luas) merupakan apa yang dikonsumsi
dan berbeda dari tipe masyarakat lain berdasarkan atas objek konsumsi.
Baudrillard menyatakan, situasi masyarakat kontemporer dibentuk oleh kenyataan
bahwa manusia sekarang dikelilingi oleh faktor konsumsi. Pada kenyataannya manusia
tidak akan pernah terpuaskan atas kebutuhan-kebutuhannya (Baudrillard, 1998:32-33).
Teori konsumsi Baudrillard mengatakan bahwa masyarakat konsumeris pada masa
sekarang tidak didasarkan kepada kelasnya tetapi pada kemampuan konsumsinya.
Siapapun bisa menjadi bagian dari kelompok apapun jika sanggup mengikuti pola
konsumsi kelompok tersebut. Konsumsi menurut Baudrillard adalah tindakan
sistematis dalam memanipulasi tanda, dan untuk menjadi objek konsumsi, objek harus
mengandung atau bahkan menjadi tanda.
Mengkonsumsi objek tertentu menandakan (bahkan secara tidak sadar), bahwa
terdapat persamaan dengan orang yang mengkonsumsi objek tersebut serta
menandakan pula perbedaan dari siapa yang mengkonsumsi objek lain. Inilah kode,
kemudian mengontrol apa yang dikonsumsi dan apa yang tidak dikonsumsi
(Baudrillard dalam Piliang, 2003:138). Situasi ini tercermin dalam asumsi masyarakat
yang menandakan bahwa dengan mengkonsumsi behel maka nilai status sosial indvidu
(kelas sosial atas) akan terlihat “sama” meskipun kualitas dan harga dari behel itu
berbeda-beda. Dibandingkan juga dengan yang tidak mengkonsumsi behel. Sehingga,
9
individu yang dalam hal ini adalah mahasiswi (secara sadar maupun tidak sadar) selain
mengkonsumsi fungsi behel secara medis juga telah mengkonsumsi nilai tanda dari
behel tersebut. Nilai tanda memiliki peran cukup signifikan dalam mempengaruhi
individu untuk dapat berperilaku seperti yang terjadi dilingkungannya.
Baudrillard melihat proses konsumsi tanda dapat dianalisa dengan dua sudut
pandang yang mendasar, yaitu :
a. Konsumsi sebagai suatu proses signifikansi dan komunikasi yang didasarkan
pada suatu kode yang mana konsumsi dilakukan dan dimaknai. Saat ini, orang
cenderung mengartikulasikan identitas dan personalitas diri melalui barangbarang yang dikonsumsi. Barang-barang konsumsi menjadi penanda diri.
Dalam hal ini, konsumsi setara dengan bahasa. Tanda-tanda dan kode-kode
yang melekat pada objek konsumsi ibarat simbol komunikasi yang bisa di
encode dan decode. Mengkonsumsi objek berarti meng-encode tanda atau kode
objek pada diri konsumen. Kode tersebut nantinya menjadi label dari subjek
yang mengkonsumsi. Dalam kerangka ini juga, konsumsi dipahami sebagai
sistem pertukaran, dimana dengan mengkonsumsi objek maka konsumen telah
masuk dalam relasi dengan individu lain, karena dalam objek yang
dikonsumsinya telah dilekatkan tanda-tanda sosial, tanda-tanda identitas,
personalitas dan sebagainya.
b. Konsumsi merupakan suatu proses klarifikasi dan diferensiasi sosial, dimana
tanda-tanda atau kode disusun berdasarkan nilai-nilai status dalam hirarki
sosial, objek-objek konsumsi mengandung tanda-tanda personalisasi status
sosial sehingga menjadi sarana identifikasi status dan stratifikasi sosial. Pada
10
benda-benda konsumsi, individu menandai diri. Membedakannya dengan orang
lain. Mempersonalisasi dirinya agar tidak terlihat sama (Baudrillard, 1998:60).
2. Teori Habitus (Gaya Hidup)
Gaya hidup dalam Adlin (2006: 36-37) dipahami sebagai adaptasi aktif
individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu
dan bersosialisasi dengan orang lain. Cara berpakaian, konsumsi makanan termasuk
penggunaan zat-zat adiktif, cara kerja, dan bagaimana individu mengisi kesehariannya
merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup. Kepribadiaan dianggap sebagai
penentu gaya hidup, dan oleh karena kepribadian setiap manusia unik, maka gaya
hidup pun unik. Gaya hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan
sikap-sikap dan nilai dari seseorang.
Ketika satu gaya hidup menyebar kepada banyak orang dan menjadi mode
yang diikuti, pemahaman terhadap gaya hidup sebagai suatu keunikan tidak memadai
lagi digunakan. Gaya hidup bukan lagi semata tata cara atau kebiasaan pribadi dan
unik dari individu, tetapi menjadi sesuatu yang diadopsi oleh sekelompok orang.
Sebuah gaya hidup bisa menjadi populer dan diikuti oleh banyak orang. Sifat unik dari
gaya hidup tak lagi dipertahankan. Orang tak segan-segan mengikuti gaya hidup yang
dianggap baik oleh banyak orang. Dalam konteks penelitian ini adalah gaya hidup
behel.
Kerangka pemikiran Bourdieu mengenai gaya hidup seseorang dipahami
sebagai hasil dari interaksi antara manusia sebagai subjek sekaligus objek dalam
masyarakat, hasil dari pikiran sadar dan tak sadar, serta terbentuk sepanjang sejarah
hidupnya (Bourdieu dalam Adlin, 2006: 39). Konsep habitus dari Bourdieu dirasa
11
dapat menjawab pertanyaan mengenai fenomena gaya hidup (baca:behel). Habitus
sendiri adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi
kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan
yang digunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial.
Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakannya dan juga menilainya (Ritzer
dan Goodman, 2004:522). Dengan habitus, seakan-akan secara otomatis tindakantindakan
individu
berkesesuaian
dengan
lingkungan
sosial.
Individu
dapat
menampilkan praktik sosial secara teampil memenuhi tuntutan dan harapan sosial
(Adlin, 2006: 45).
Habitus mendasari dan disisi lain didasari ranah (field) yang merupakan
jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial. Ranah hadir
terpisah dari kesadaran individual, struktur objektif yang menata hubungan antarindividu secara objektif. Ranah bukan ikatan intersubjektif antar-individu, melainkan
hubungan yang terstuktur dan tanpa disadari mengatur posisi individu dan kelompok
dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Habitus memungkinkan
manusia hidup dalam kesehariannya secara spontan dan melakukan hubungan dengan
pihak-pihak diluar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar itu, terbentuklah
ranah (Adlin, 2006: 49).
Tindakan atau praktik adalah produk dari relasi antara habitus dan ranah yang
sama-sama merupakan produk sejarah. Disaat bersamaan, habitus dan ranah juga
merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di masyarakat. Dalam suatu ranah
ada pertarungan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan
orang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu
12
kekuatan spesifik yang beroperasi didalam ranah. Setiap ranah menuntut individu
untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan
didalamnya (Adlin, 2006, 49).
Bourdieu menggunakan istilah modal (capital) sebagai padanan metafora dari
istilah modal dalam ekonomi, yaitu segala sesuatu yang dapat diputar dan
dikembangbiakkan dalam rangka mendapatkan keuntungan (ekonomi, sosial, politik,
kultural), sehingga ada modal ekonomi (uang, simpanan, aset), modal pendidikan
(gelar, penghargaan), modal simbolik (prestise, status, otoritas), dan modal kultural
(koleksi, objek) (Adlin, 2006: 82). Modal-modal inilah yang mampu memposisikan
seseorang dalam sebuah posisi identitas tertentu.
3. Teori Spectacle Society
Pemikiran Debord, bahwa yang dimaksud dengan spectacle dalam tulisannya
yang berjudul “The Commodity as Spectacle” adalah sesuatu yang membalikkan
kenyataan, yang menyatukan sekaligus menjelaskan fenomena keragaman “yang
terlihat” menjadi sesuatu yang luar biasa. Tontonan bukanlah melulu pesan atau makna
yang disampaikan oleh media komunikasi mainstream seperti televisi, dsb, namun
bagaimana segala bentuk macam komoditas dalam pengertian lebih luas, akhirnya
membentuk pola pikir masyarakat menjadi tidak sekedar mengkonsumsi manfaat dari
sebuah produk komoditi, namun juga mengkonsumsi nilai “to be looking at” dalam
kesehariannya. Artinya, komoditas yang bertubi-tubi dibawa oleh kepentingan
ekonomi kapitalis modern ini, disodorkan kepada kehidupan sosial sehingga merubah
definisi dari seluruh kesadaran manusia, yang bermula mengenal concept of being,
menjadi having, dan selanjutnya adalah appearing.
13
Jika sudah masuk pada wilayah “tampak” (appearance), maka hal ini
beriringan dengan logika tontonan (spectacle). Nilai dari having kemudian dengan
segera mengharuskan munculnya fungsi prestise dan “yang paling mewah” dalam satu
waktu. Sehingga, pada akhirnya, orang mengkonsumsi sebuah barang, demi
kepentingan tontonan, citra, dan representasi di khalayak publik.
Debord menambahkan bahwa pada akhirnya definisi tentang dunia nyata
berubah menjadi sekumpulan citra-citra sederhana, citra sederhana menjadi sebuah
kenyataan dan motivasi efektif dari perilaku yang hipnotik. Dunia dibentuk dari citra
sederhana di sini lebih berarti bagaimana masyarakat mengidentifikasikan diri sebagai
seseorang yang inheren dengan produk real yang diidealkan oleh komoditas.
Akibatnya menurut Dubord, muncullah fenomena alienasi dalam pola mengkonsumsi.
Sistem bahasa tontonan tersusun atas tanda-tanda (signs). Sistem tanda dalam
tontonan ini pada saat yang bersamaan adalah produk akhir atas model produksi
organisasi sosial yang dominan. Dengan kata lain, formasi dan fungsi dari tontonan
bersinggungan dengan sistem bahasa sebagai ekspresi atas formasi ekonomi dan sosial
yang eksis dalam struktur masyarakat (Debord, 2002: paragraf 11).
Model-model produksi yang disokong oleh sistem kapitalisme lanjut telah
merangsek secara simultan melalui pertumbuhan masif media massa kontemporer,
khususnya media elektronik. Kapitalisme tidak hanya berdiam diri menghadapi
penumpukan barang produksi sebagai konsekuensi produksi massal. Yang ia butuhkan
adalah ketersediaan pasar atas barang konsumsi. Debord memperkirakan bahwa
masyarakat modern adalah masyarakat pada suatu momen historis saat komoditas
mengkolonialisasi seluruh gugus kehidupan. Dengan kata lain, relasi komoditas telah
14
mengalami perluasan sampai ke segala aspek kehidupan, terutama melalui fungsi
media massa yang bisa menghadirkan pertunjukkan impresif dan spektakuler bagi para
spektatornya. Objek di hadapan penonton, di luar dirinya inilah yang disebut Debord
sebagai spectacle (tontonan/tayangan/tampilan). Media massa telah menciptakan nilainilai bagi komoditas yang dipertontonkan. Di sinilah, kebebasan adalah kebebasan
untuk memilih dan mengkonsumsi komoditas yang satu atas yang lain. Komoditas
telah mencapai derajat ekstrem, kuasa total atas kehidupan sosial (Debord, 2002
paragraf 42).
F. METODE PENELITIAN
-
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono, (2008:
205) “ Masalah dalam penelitian kualitatif bersifat sementara, tentative dan akan
berkembang atau berganti setelah peneliti berada dilapangan”. Penggunaan pendekatan
kualitatif dalam penelitian ini memiliki pertimbangan bahwa dengan digunakannya
pendekatan ini maka dapat menyajikan secara langsung hubungan peneliti dan
informan kemudian peneliti dapat juga lebih peka dalam menggambarkan situasi serta
lebih dapat menyesuaikan diri dengan pola-pola nilai yang dihadapi.
Disini peneliti bertindak secara aktif untuk menghimpun data baik dengan cara
wawancara maupun observasi. Gunanya adalah untuk mendapatkan informasinya
selengkap-lengkapnya mengenai pengalaman, penilaian sikap atau pendapat dari
informan. Hal ini berguna untuk melihat pandangan serta penilaian konsumen behel
dimana behel yang bentuknya kecil dan menempel di gigi ini dapat mempengaruhi
struktur sosial masyarakat atas simbol kelas.
15
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fenomenologi. Dimana
dalam studi fenomenologis berupaya untuk menggambarkan suatu fenomena dari suatu
peristiwa atau hal menurut sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung.
Pendekatan ini juga berusaha untuk dapat menelisik lebih dalam terhadap pengalaman
seseorang secara menyeluruh, memaparkan struktur pengalamanya dan berusaha
menangkap tema-tema utama dan pemaknaan orang tersebut terhadap pengalamannya.
Ide utama dalam metode fenomenologi dan juga merupakan cara kerja dalam
penelitian ini adalah pertama, metode ini menuntut peneliti untuk dapat
menghindarkan diri dari kebiasaan mengembangkan asumsi-asumsi yang dimiliki guna
menelusuri proses untuk memahaminya. Hal ini berarti juga selama melakukan
penelitian fenomenologi seorang peneliti harus mengurung pengetahuan dan
kepercayaan-kepercayaan yang selama ini dimiliki dan diyakininya dalam rangka
untuk mendapatkan true essence atau esensi murni dari fenomena yang ditelitinya.
Dalam penelitian ini informan memiliki karakteristik batasan umur yang
mengacu pada UU RI no 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan yakni 16-30 tahun.
Informan juga sebagai konsumen behel fixed ditangani oleh dokter spesialis maupun
dokter gigi PPDGS ortho di RSGM negeri dan swasta dengan batas rentang pemakaian
lebih dari satu tahun (rentang waktu pemakaian ini dirasa cukup guna informasi
konsumsi behel). Behel fixed berupa manik-manik metal yang terbuat dari platina dan
ada juga clear/transparan serupa dengan warna gigi yang terbuat dari composite,
porselin atau plastik. Manik-manik ditempelkan secara semi-permanen disetiap gigi
dengan lem khusus agar dapat menahannya dan tidak terlepas. Bagian lainnya adalah
16
kawat lengkung yang berguna untuk mengikat manik-manik metal dan terakhir karet
behel yang warna dan bentuknya beraneka ragam.
Batasan lainnya berdasar atas jenis kelamin (dengan asumsi bahwa perempuan
lebih adaptif dengan tren behel), pendidikan (mahasiswi mewakili kaum muda), dan
batasan tempat (kampus FISIPOL UGM sebagai ranah penawaran berbagai jenis
pilihan konsumsi gaya hidup). Sehingga informan adalah mahasiswi aktif Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada yang mengkonsumsi behel fixed
ditangani oleh dokter spesialis maupun dokter gigi PPDGS ortho di RSGM negeri dan
swasta dengan batas rentang pemakaian lebih dari satu tahun. Peneliti berusaha untuk
fokus pada informasi yang di berikan informan mengingat hal yang paling penting
disini adalah pengalaman serta interpretasinya dalam memaknai konsumsi behel yang
digunakannya.
Cara kerja kedua adalah metode fenomenologi menuntut peneliti untuk
menggunakan paradigma interpretatif. Metode ini menganalisis aktivitas sosial melalui
pengamatan langsung yang mendetail atas individu didalam situasi dan kondisi yang
alami dengan tujuan untuk mencapai pemahaman dan penafsiran mengenai individu
menciptakan dan memelihara dunia sosialnya. Pemusatan perhatian dalam level mikro
melalui pemahaman tindakan individu ini berguna untuk mempelajari bagaimana
individu menciptakan dan memelihara dunia sosialnya yang dalam konteks penelitian
ini adalah mempelajari posisi-posisi sosial serta gaya hidup dan identitas yang muncul
melalui konsumsi behel dalam lingkungan sosialnya menurut sudut pandang
konsumen.
17
Metode fenomenologi juga memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan
proses tindakan yang dilakukan individu. Peneliti akan mencoba memahami
bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan
sehari-hari informan dalam konteks konsumsi behel. Menurut Schultz (Schultz dalam
Supraja, 2013: 59), tindakan seseorang tidak muncul begitu saja demi mencapai tujuan
(in order to motive), tapi melalui suatu proses panjang untuk dievaluasi dengan
mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan norma etika agama atas dasar
tingkat pemahaman sendiri sebelum tindakan itu dilakukan. Dengan kata lain, ada
tahapan because motive yang mendahului tindakan, sebelum nantinya masuk pada
tataran in order to motive.
Dalam konteks penelitian ini individu atau pemakai konsumsi behel bukan
dijadikan obyek penelitian melainkan adalah subyek penelitian guna memahami
fenomena pemakaian behel melalui sudut pandang orang pertama. Digunakannya
metode fenomenologi ini dirasa dapat menjawab diferensiasi status sosial berdasar
kemampuan konsumsi (behel) serta gaya hidup yang muncul melalui pengalaman
subyektif individu.
Konsep ini jika diturunkan dalam konteks penelitian maka tindakan yang
dilakukan oleh individu melalui pemakaian behel memiliki “makna” tersendiri dalam
kehidupan informan melalui level kesadarannya yakni pengetahuannya tentang behel
sehingga individu secara sadar melakukan perawatan gigi melalui behel. Individu
secara sadar mengalami sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada kemudian menjadi
pengalaman yang senantiasa akan dikonstruksi menjadi bahan untuk sebuah tindakan
yang bermakna dalam kehidupan sosialnya. Manakala berbicara sesuatu yang
18
dikonstruksi, tidak terlepas dari interpretasi pengalaman di dalam waktu sebelumnya.
Interpretasi itu sendiri berjalan dengan ketersediaan dari pengetahuan yang dimiliki
individu.
Bermula dari pengetahuan individu mengenai behel (fungsinya, tempat
melakukan perawatan, biaya dan lain-lain) maka individu melakukan perawatan medis
gigi dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (harga mempengaruhi kualitas).
Menjadi penting dimana peneliti harus memahami proses tindakan informan sebelum
menggunakan behel. Sehingga dari tindakan individu ini didapati bahwa informan
memposisikan diri secara sosial berdasar kemampuan mengkonsumsi objek “tanda”
(behel) serta gaya hidup yang muncul dari pengguna behel dilingkungan sosialnya.
Dengan because motive yang dalam penelitian ini adalah pengetahuan mengenai behel
mengarahkan individu untuk melakukan tindakan-tindakan bermotif dengan tujuan
yang hendak dicapai.
-
Lokasi Penelitian
Lokasi pengambilan data untuk penelitian ini adalah kampus Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada dimana lokasi ini dipilih atas dasar
keterjangkauan tempat serta peneliti menganggap kampus FISIPOL UGM mewakili
lingkungan kampus yang didalamnya tumbuh subur “kompetisi-kompetisi” untuk
mengkonsumsi objek “tanda” melalui interaksi didalamnya. Dari interaksi inilah ruang
sosial seperti lingkungan kampus menawarkan dan menyediakan berbagai macam
objek-objek konsumsi “tanda”. Dalam interaksinya sehari-hari mahasiswa saling
mempertukarkan “simbol/tanda/kode” guna memerlihatkan posisi sosial serta gaya
hidup berdasar kemampuan mengkonsumsi “objek”.
19
-
Sumber Data
Penelitian ini terdiri dari dua jenis sumber data yakni data primer dan data
sekunder.
1. Sumber data primer merupakan objek atau dokumen original-material mentah dari
pelaku yang disebut juga “first-hand information”. Data ini dikumpulkan dari
situasi aktual ketika peristiwa berlangsung. Data atau sumber primer dalam
penelitian ini dihimpun oleh peneliti melalui pengamatan dan wawancara secara
langsung dilapangan terhadap konsumen behel yakni mahasiswi aktif Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada yang mengkonsumsi behel fixed
ditangani oleh dokter spesialis maupun dokter gigi PPDGS ortho di RSGM negeri
dan swasta dengan batas rentang pemakaian lebih dari satu tahun.
2. Sumber data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau
dari sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Bahan-bahan
dalam sumber data sekunder dapat diperoleh dari artikel-artikel surat kabar dan
majalah populer, buku, jurnal ilmiah, penelitian orang lain dan internet. Data
sekunder berguna untuk memperkuat kevaliditasan dan reliabilitas dari data
primer.
-
Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah yang utama
indepth interview, sebagai pendukung dilakukan observasi.
20
1. Indepth Interview
Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka (face to face) dengan
maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan yang diwawancarai (interviewee)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara mendalam sendiri
dilakukan dengan alasan ingin mengetahui informasi secara mendalam, lengkap,
dan terperinci dari pengalaman yang dialami oleh interviewee. Kualitas wawancara
sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas hubungan interaksi yang dibangun oleh
kedua belah pihak, semakin dekat si pewawancara dengan yang diwawancarai
maka informasi yang didapat akan semakin banyak. Informasi yang dihimpun dari
proses wawancara mendalam ini dilakukan secara terus menerus dan tidak dapat
hanya dilakukan sekali saja. Kejelian si peneliti di asah dalam proses pencarian
data melalui wawancara mendalam ini.
Dalam penelitian ini, intervewee yang dituju adalah mahasiswi aktif Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada yang mengkonsumsi behel fixed
ditangani oleh dokter spesialis maupun dokter gigi PPDGS ortho di RSGM negeri
dan swasta dengan batas rentang pemakaian lebih dari satu tahun. Peneliti
melakukan wawancara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan yang
tak terstruktur. Hal ini disesuaikan dengan keadaan dan ciri unik dari informan.
21
2. Observasi
Istilah observasi berasal dari bahasa latin yang berarti “melihat”, dan
“memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara
akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar
aspek dalam fenomena tersebut. Tujuan dari observasi ini adalah sebagai alat rechecking atau pembuktian terhadap informasi /keterangan yang diperoleh
sebelumnya.
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan metode observer as participant atau
pengamat sebagai pemeran serta. Pengamatan partisipatif memungkinkan peneliti
dapat berkomunikasi secara akrab dan leluasa dengan observer. Observasi
dilakukan terhadap kehidupan sehari-hari konsumen behel dalam lingkungan
pergaulannya. Ditambah pula pengamatan di sekitar klinik-klinik kesehatan gigi
dan mulut baik negeri maupun swasta yang menawarkan perawatan behel.
-
Analisis Data
Analisis data mengacu pada analisis data fenomenologi Clark Moutakas (1994), yakni:
a. Menulis transkrip hasil wawancara
dan melakukan decoding, yaitu proses
pemberian kode-kode pada tiap baris wawancara.
b. Pembacaan hasil wawancara secara berulang-ulang agar peneliti memahami
dengan benar dan jelas isi hasil wawancara.
c. Mengerucutkan berbagai pemahaman dan konsep dari jawaban yang sesuai dengan
pertanyaan penelitian.
d. Peneliti melakukan pemotongan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan masalah
yang diteliti tanpa mengubah susunan kata awal. Hasil dari tahap pemotongan
22
tersebut dimasukkan ke dalam cluster yang seragam atau juga disebut sebagai
matriks.
e. Setelah memasukan dalam tabel matriks, data dimasukkan ke dalam tabel
horisonalisasi. Kolom pertama berisi kalimat-kalimat penting yang berhubungan
dengan masalah penelitian serta kode dari kalimat wawancara tersebut. Kolom
kedua adalah inti dari kalimat dalam kolom pertama, dan kolom ketiga berisi
makna atas inti kalimat tersebut (makna dari pernyataan informan diurai dengan
bahasa yang jelas agar esensi atau makna terdalam dari pernyataan tersebut mudah
diketahui). Kolom keempat berisi makna terdalam dari makna-makna pernyataan
informan. Pada tahap ini makna tersebut disintesakan dan diintegrasikan dalam
sebuah harmoni makna.
f. Makna terdalam dalam bentuk harmoni makna inilah yang akan menjadi fokus
bahasan peneliti serta menjadi hasil penelitian peneliti dalam bab pembahasan.
23
Download