BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada era globalisasi ini film merupakan pilihan yang tepat dan praktis bagi khalayak ketika menginginkan suatu hiburan dan merupakan salah satu bentuk penyampaian pesan yang didalamnya lebih mudah dicerna dan dipahami isinya. Film merupakan media yang sangat efektif dalam pembelajaran masyarakat yang telah dicatat dalam dunia seni. Film juga sebagai media massa yang merupakan sebuah bentuk dari seni dan keindahan, bertujuan untuk dinikmati dan merupakan media yang sangat efektif sebagai media untuk penyadaran masyarakat. Kekuatan dan kemampuan sebuah film menjangkau banyak segmen sosial, hingga membuat para ahli bahwa film memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi penontonnya. Sejak itu, banyak berbagai penelitian melihat dampak film terhadap masyarakat itu sendiri, yang pada umumnya dibangun dan dibuat dengan berbagai banyak tanda. Tanda-tanda tersebut termasuk dari sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai sebuah efek yang diharapkan dalam sebuah film khususnya pada bagian gambar dan suara “kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang mengiringi gambargambar) dan musik film”. 1 2 Kekerasan merupakan salah satu formula dalam dunia tontonan dan merupakan perlakuan fisik secara kejam atau bengis dalam mencapai tujuan. Pada mulanya film-film bioskop dikutuk sebagai penyebar budaya kekerasan, yang belakangan ini dipercontohkan didunia perfilman, baik dalam film laga, drama, horror dan komedi. Film atau televisi hanya sebatas tontonan dan sebagai realitas media, bahkan sebagai “realitas” buatan, yaitu fiksi, yang perlu dibedakan dari realitas media berupa informasi faktual. Tetapi karena dipanggungkan dalam kaidah dramatisasi, “realitas” ini menjadi menonjol (Siregar, 2006: 21-22). Pada dasarnya jika sebuah film ada atau tidak ada, kekerasan merupakan hal yang termasuk biasa dalam lingkungan kehidupan umat manusia, yang mana peradaban menjadi sebuah gradasi kekerasan itu menjadi mencolok atau samar. Perang, pembunuhan, penyiksaan atas makhluk hidup, berlangsung sepanjang waktu dalam kehidupan umat manusia. Tetapi sering sebuah realitas terabaikan, kutukan ditujukan hanya kepada media, sehingga bahaya yang mengancam dari informasi media begitu diperhitungkan, seolah setiap realitas kehidupan masyarakat dibentuk oleh informasi Menurut Johan Galtung, kekerasan secara fisik adalah menyakiti tubuh manusia secara jasmani bahkan bisa sampai pada pembunuhan. Kekerasan secara psikis merupakan bentuk tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak (Galtung dalam Windhu, 1992: 68). 3 Menurut definisi diatas, maka kekerasan fisik merupakan perlakukan negatif secara jasmani: seperti penyiksaan, pemukulan dengan atau tanpa bendabenda tertentu. Kemudian kekerasan psikis merupakan perlakukan negatif yang meliputi: penyampaian kata-kata kasar dan kotor. Disamping itu bentuk kekerasan didalam film tidak hanya ditunjukan pada kekerasan fisik tetapi juga mengandung banyak kekerasan adegan kontra yang bersifat menghina, mencaci maki bahkan sampai melontarkan kata-kata kotor yang tidak sepantasnya diadegankan dalam film dan ditunjukan pada kalangan masyarakat luas. Kekerasan tersebut berawal dari termotivasinya emosional yang datang secara tiba-tiba akibat kurang adanya kontrol jiwa manusia yang dijadikan kebiasaan dalam berucap dan bersikap saat menyikapi sebuah masalah yang berujung pada adegan kontra, maka penulis menegaskan bahwa kekerasan diatas merupakan kekerasan psikis. Sebelumnya sudah ada penelitian tentang kekerasan dalam sebuah film, seperti penelitian di Universitas Kristen Petra Surabaya, oleh Stephanie Wijaya (2010) dengan judul ―Analisis Isi Pesan Kekerasan, Seks, dan Mistik dalam Film-film Indonesia Terlaris 2009‖, menemukan bahwa pada 5 film Indonesia terlaris 2009 terdapat dimensi kekerasan, seks/ porno, dan juga mistik. Tetapi yang paling mendominasi adalah dimensi kekerasan dengan prosentase 90%, sedangkan dimensi seks/ porno jarang sekali ditampilkan dengan prosentase 10%, untuk dimensi mistik bahkan hanya terjadi 2 kali dengan 4 prosentase 0%. Hal ini menunjukkan bahwa pesan kekerasan sangat mendominasi dalam 5 film Indonesia terlaris 2009 (http://dewey.petra.ac.id/jiunkpe_dg_20066.html). Pada penelitian yang akan diteliti adalah analisis isi adegan-adegan kekerasan pada film-film komedi yang sifatnya hanya memberi hiburan yang lucu tetapi justru menonjolkan adegan kekerasan yang mana jika siapa saja yang menontonnya terutama anak-anak atau remaja bukan tidak mungkin akan meniru adegan tersebut karena pa yang mereka lihat adalah hal-hal yang sudah wajar dilakukan di kehidupan sehari-hari. Tayangan film merupakan informasi yang diberikan oleh para pembuat film yang disampaikan kepada masyarakat. Pesan yang terkandung dalam film sangat beragam. Informasi yang diterima masyarakat dari sebuah media massa dapat mempengaruhi masyarakat. Sebagai contoh informasi tentang religi akan mempengaruhi khalayak untuk lebih beriman dan mendekatkan diri pada Tuhan, begitu juga informasi tentang sebuah kejahatan konon akan “mendidik” khalayak menjadi seorang penjahat. Tetapi perlu diingat bahwa pada masa sekarang ini khalayak sekarang sudah pintar dan kritis terhadap informasi, sehingga khalayak bisa memilih-milih akan sebuah informasi yang sesuai dengan seleranya. Tayangan-tayangan yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk dimasukkan dalam sebuah film sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Perfilman pasal 33 dan 34 tentang “sensor 5 film”, pada pasal 40 - 44 tentang “ketentuan pidana”, tetapi dari peraturanperaturan tersebut tidak menjadikan para pembuat film melakukan tanggung jawab tersebut. Pelanggaran demi pelanggaran aksi kekerasan ini selalu ditampilkan dan menjadi bumbu penyedap dalam sebuah film, tidak hanya berupa bentuk fisik tetapi juga dari segi psikis dalam sebuah film. Film merupakan sebuah karya yang mengandung unsur keindahan maupun keahlian didalamnya, yang berkaitan erat dengan seni. Sebagai contoh film komedi, adegan-adegan yang jenaka, warna-warni dan bentuk yang lucu dan menarik menjadikan tayangan film komedi sebagai media untuk menghibur penontonnya. Tapi ternyata banyak dari tayangan film komedi yang menjadikan kekerasan sebagai adegan yang dibuat sedemikian rupa menjadi menarik dan justru dapat membuat penontonnya tertawa atas adegan-adegan lucu namun mengandung kekerasan tersebut sebagai contoh akting yang diperankan artis Warkop DKI. Hal-hal itu memang tidak berpengaruh besar untuk penonton dewasa, namun berbanding ketika anak-anak yang menyaksikannya karena anak-anak belum mampu untuk memaknai suatu peristiwa, ketika mereka menyaksikan atau melihat suatu hal yang dapat mereka ingat kembali, mereka cenderung untuk mengikuti hal tersebut karena seorang anak-anak memang serba ingin tahu segala hal yang baru mereka mengerti. Oleh karena itu tayangan tersebut sebetulnya secara tidak langsung berpengaruh buruk bagi anak-anak, walaupun adegan kekerasan terkesan lucu dan menarik, tetap saja hal itu merupakan bentuk 6 kekerasan, sehingga orang tua seharusnya dapat membimbing anaknya dan memilih tayangan yang tidak hanya sesuai dengan umur mereka namun juga benar-benar lepas dari konten kekerasan. Maka dari itu penulis melakukan penelitian dengan memilih objek film yang rilis bulan Oktober-Desember 2010, karena pada bulan tersebut adalah akhir dari produksi film yang dirilis tiap tahunnya. Pada bulan tersebut juga merupakan masa-masa liburan sekolah dan juga liburan akhir tahun yang membuat orang perfilman merilis banyak film. Oleh sebab itu disini penulis akan meneliti objek film untuk mengetahui frekuensi adegan kekerasan yang ada didalam film tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Berapa frekuensi adegan kekerasan fisik dan psikis dalam film Indonesia bergenre komedi periode bulan Oktober – Desember 2010? 2. Bagaimana kecenderungan pemilihan sinematografi pada kemunculan adegan kekerasan dalam film Indonesia bergenre komedi periode bulan Oktober – Desember 2010? 7 C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan seberapa banyak adegan kekerasan yang disajikan dan untuk mengetahui kecenderungan penggunaan sinematografi dalam film Indonesia bergenre komedi periode bulan Oktober – Desember 2010. D. Manfaat Penelitian 1. Akademis Secara akademis hasil dalam penelitian skripsi ini diharapkan bisa menjadi tambahan pengetahuan tentang pengembangan Ilmu Komunikasi yang berkaitan dengan studi analisis isi. 2. Praktis Secara praktis penelitian ini menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya. Tidak hanya itu, dalam penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan khalayak untuk lebih selektif dalam memilih sebuah film yang sesuai dengan etika yang berlaku dikalangan masyarakat dan bagi dunia perfilman diharapkan untuk memperhatikan undang-undang dalam pembuatan film. E. Kerangka Teori 1. Komunikasi Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication 8 berasal dari kata latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak terlibat. Karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan lain-lain (Effendy, 2001: 9). Pada hakikatnya komunikasi adalah salah satu dari kegiatan sehari-hari yang benar-benar terhubung dengan semua kehidupan kemanusiaan, sehingga kadang-kadang kita mengabaikan penyebaran, kepentingan, dan kerumitannya. Setiap aspek kehidupan kita dipengaruhi oleh komunikasi kita dengan orang lain, seperti pesan-pesan dari orang yang tidak kita kenal, orang-orang dari jauh dan dekat, hidup dan mati (Littlejohn, 2009: 3). Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi seringkali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut ―Who says what in which channel to whom with what effect‖, yang artinya “Siapa berkata apa dengan menggunakan media kepada siapa dengan menimbulkan efek tertentu. Paradigma Lasswell 9 tersebut menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni: a) Komunikator (communicator, source, sender) Pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, baik individu maupun kelompok. b) Pesan (message) Apa yang akan dikomunikasikan dari komunikator kepada komunikan . c) Media (Channel, media) Alat untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan baik secara langsung maupun tidak langsung. d) Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient) Pihak yang menerima pesan dari komunikator, baik individu maupun kelompok. e) Efek (effect, impact, influence) Dampak atau efek yang terjadi pada komunikan setelah menerima pesan dari komunikator. Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2001: 10). Selain paradigma Lasswell, terdapat tiga konsep komunikasi menurut John R. Wenburg dan William W.Wilmot juga Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken: 10 a) Komunikasi sebagai tindakan satu arah Komunikasi adalah penyampaian pesan secara searah dari seseorang (atau suatu kelompok) kepada seseorang (atau sekelompok orang) yang lainnya, baik secara langsung (tatap-muka) ataupun melalui sebuah media. b) Komunikasi sebagai interaksi Komunikasi merupakan suatu proses sebab-akibat atau reaksi yang bergantian arah. Seseorang menyampaikan pesan, baik secara verbal atau nonverbal, kemudian seseorang yang menerima pesan bereaksi dengan memberi jawaban verbal atau menganggukkan kepala, kemudian orang pertama bereaksi lagi setelah menerima respons atau umpan balik dari orang kedua, dan begitu seterusnya. c) Komunikasi sebagai transaksi Komunikasi adalah suatu proses personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya bersifat pribadi. Penafsiran anda atas perilaku verbal dan nonverbal orang lain yang anda kemukakan kepadanya juga mengubah penafsiran orang lain tersebut atas pesan-pesan anda, dan pada gilirannya, mengubah penafsiran anda atas pesan-pesannya, begitu seterusnya (Mulyana, 2005: 61-67). Komunikasi (communication) adalah tindakan atau perilaku 11 mengirim pesan, ide, dan pendapat dari seseorang ke orang lainnya. Menulis dan berbicara kepada masing-masing orang hanyalah dua cara berkomunikasi. Kita juga berkomunikasi pada saat memberi isyarat, menggerakkan tubuh, atau memutar bola mata. Tiga cara untuk menggambarkan bagaimana seseorang berkomunikasi adalah: Komunikasi Intrapersonal (Intrapersonal communication), Komunikasi Interpersonal (Interpersonal communication), dan Komunikasi Massa (Mass communication) (Biagi, 2010: 8-9). Komunikasi massa adalah komunikasi dari seseorang atau sekelompok orang melalui alat pengirim (medium) kepada khalayak atau pasar. Untuk menggambarkan proses komunikasi massa, para cendekiawan menggunakan model-model komunikasi. Hal ini mencakup enam istilah kunci: pengirim (sender), pesan (message), penerima (receiver), saluran (channel), umpan balik (feedback), dan suara (noise). Kemudian proses komunikasi massa bekerja seperti berikut, yaitu pengirim (sumber) menaruh pesan dalam sebuah saluran (medium) yang mengirim pesan tersebut ke penerima. Umpan balik muncul ketika si penerima membalas, dan balasan tersebut mengubah pesan berikut dari sumber. Suara (seperti statis atau sambungan yang turun) dapat mengganggu atau mengubah pesan selama pengiriman (Biagi, 2010: 9-10). 2. Film sebagai Media Massa Media massa merupakan institusi kunci dalam masyarakat kita. 12 Mereka mempengaruhi budaya, kebiasaan membeli, dan politik kita. Sebaliknya, mereka terpengaruh oleh perubahan kepercayaan, selera, minat, dan perilaku kita. Tiga konsep penting tentang media massa dapat membantu mengorganisasi pemikiran tentang media massa dan dampaknya bagi masyarakat Amerika: a). Media massa merupakan usaha yang berpusat pada keuntungan; b). Perkembangan teknologi mengubah cara pengiriman dan pengonsumsian media massa; c). Media massa mencerminkan sekaligus mempengaruhi politik, masyarakat, dan budaya (Biagi, 2010: 13). Film sebagai penemuan teknologi baru telah muncul pada akhir abad ke-19, tetapi apa yang dapat diberikannya sebenarnya tidak terlalu baru dilhat dari segi isi atau fungsi. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Dalam sejarah perkembangan film terdapat tiga tema besar dan satu atau dua tonggak sejarah yang penting, antara lain: Yang pertama, pemanfaatan film sebagai alat propaganda, yaitu berkenaan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Kedua tema lainnya, sejarah film ialah munculnya beberapa aliran seni film dan lahirnya aliran film dokumentasi sosial, yaitu suatu penyimpangan dalam pengertian bahwa keduanya hanya menjangkau minoritas penduduk dan berorientasi ke 13 realisme (Mc Quail, 1989: 13-14). Teknologi film memiliki karakter yang spesial karena bersifat audio dan visual. Karakter ini menjadikan film sebagai cool media yang artinya film merupakan media yang penggunaannya menggunakan lebih dari satu indera, yaitu audio dan visual. Film juga menjadi media yang sangat unik karena dengan karakter yang audio-visual film mampu memberikan pengalaman dan perasaan yang spesial bagi para penonton/khalayak. Para penonton dapat merasakan ilusi dimensi parasosial yang lebih ketika menyaksikan gambar-gambar bergerak, berwarna, dan bersuara. Dengan karakter audio-visual ini juga film dapat menjadi media yang mampu menembus batas-batas kultural dan sosial. Pentingnya pemanfaatan film dalam pendidikan sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa film memiliki kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi didasari oleh alasan bahwa film memiliki kemampuan mengantar secara unik. Terlepas dari dominasi penggunaan film sebagai alat hiburan dalam sejarah film, tampaknya ada semacam aneka pengaruh yang menyatu dan mendorong kecenderungan sejarah film menuju ke penerapannya yang bersifat didaktik-propagandis, atau dengan kata lain bersifat manipulatif. Mungkin saja film pada dasarnya memang mudah dipengaruhi oleh tujuan manipulatif, karena film memerlukan penanganan yang lebih bersungguh-sungguh dan konstruksi yang lebih artificial pula 14 (melalui manipulasi) daripada media lainnya. Karena film lebih mudah dipengaruhi, maka film pun harus menerima banyak campur tangan dan modal. Film menjadi lebih bebas untuk memenuhi kebutuhan akan sajian yang berbau kekerasan, mengerikan, dan pornografis. Terlepas dari adanya iklim yang lebih bebas seperti itu, yang disebabkan oleh adanya perubahan norma-norma sosial, film masih tetap tidak mampu menikmati hak-hak politik dan ekspresi artistic secara penuh, dan masih banyak negara yang tetap mempertahankan sistem pemberian izin, sensor, dan pengendalian terhadap film. Terlepas dari kenyataan menurunnya jumlah penonton film, film justru mampu mencapai kekhususan tertentu, yakni sebagai sarana pameran bagi media lain dan sebagai sumber budaya yang berkaitan erat dengan buku, film kartun, bintang televisi dan film seri, serta lagu. Dengan demikian, film berperan sebagai pembentuk budaya massa, bukannya semata-mata mengharapkan media lainnya sebagaimana peran film pada massa kejayaannya yang lalu (Mc Quail, 1989: 14-15). 3. Film Menurut UU Republik Indonesia no.8 tahun 1992 Tentang Perfilman Bab I Pasal 1 ayat 1, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat 15 berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya. Film merupakan hasil karya seni yang berasal dari perpaduan banyak unsur, seperti suara, gambar, dan gerak. Sedangkan bahasa film adalah bahasa gambar. Jadi, film menyampaikan ceritanya melalui serangkaian gambar yang bergerak, dari satu adegan ke adegan lainnya, dari satu emosi ke emosi lain, dan dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain (AlFirdaus, 2010: 212). Film sebagai penemuan teknologi baru telah muncul pada akhir abad ke-19, tetapi apa yang dapat diberikannya sebenarnya tidak terlalu baru dilhat dari segi isi atau fungsi. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Dalam sejarah perkembangan film terdapat tiga tema besar dan satu atau dua tonggak sejarah yang penting, antara lain: Yang pertama, pemanfaatan film sebagai alat propaganda, yaitu berkenaan dengan 16 pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Kedua tema lainnya, sejarah film ialah munculnya beberapa aliran seni film dan lahirnya aliran film dokumentasi sosial, yaitu suatu penyimpangan dalam pengertian bahwa keduanya hanya menjangkau minoritas penduduk dan berorientasi ke realisme (Mc Quail, 1989: 13-14). Karya film di masa-masa awal adalah hitam-putih dan bisu. Akhir 1920-an, mulai dikenal film bersuara, dan menyusul film berwarna pada 1930-an. Jika semula karya film belum dianggap sebagai karya seni, pada perkembangannya kini karya film sudah bisa disejajarkan dengan karya seni lainnya. Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film cerita yang diproduksi pertama kali di Indonesia berjudul Lotoeng Kasaroeng, 1926. Kisah legenda ini difilmkan oleh G. Kroeger, seorang Indo Jerman, dan lokasi syuting diambil di Bandung. Perintis industri film nasional adalah Usmar Ismail dan Jamaluddin Malik, tahun 1950-an. Beliau mulai aktif berproduksi dengan perusahaan film masing-masing, studio Perfini dan studio Persari. Namun, industri film nasional belum pernah sampai pada tingkat kemapanan. Berbagai kendala dihadapi, mulai dari masalah permodalan, teknologi, SDM (Sumber Daya Manusia), hingga soal distribusi. Produksi film Indonesia belum pernah mampu bersaing dengan produksi impor, khususnya film dari Amerika, Hongkong, dan India (Zoebazary, 2010: 105-106). 17 Kelebihan dari sebuah film adalah karakternya yang memiliki lebih dari satu indera, yaitu audio-visual yang menjadikan film lebih kuat dalam menyampaikan pesan kepada khalayak yang multikultur dan lintas kelas sosial. Perasaan dan pengalaman yang hadir saat menonton film pun menjadikan film sebagai media yang sangat spesial karena dapat membuat khalayak terbawa ke dalam film bersama dimensi parasosial yang dihadirkan. Bagi para pembuat film, film merupakan media yang sangat representatif atas ide-ide kreatif mereka. Dan keakraban film terhadap khalayak menjadikan ide-ide dan pesan para pembuat film lebih gampang dicerna dan diterima khalayak. Kekurangan dari sebuah film adalah sebagai cool media film bisa jadi sangat multitafsir. Diperlukan analisa tersendiri untuk memahami unsurunsur semiotik yang ditampilkan dalam sebuah film. Kemampuan film menembus batas-batas kultural di sisi lain justru membuat film-film yang membawa unsur tradisional susah untuk ditafsirkan bahkan salah tafsir oleh penonton yang berasal dari kelompok budaya lain. Sedangkan kekurangan lain dari film adalah film-film yang dibuat dalam universalitas akan turut membentuk apa yang disebut common cuture yang dapat mengikis lokalitas masyarakat tertentu. Film juga sangat memberikan efek pada orang yang menontonnya terutama anak-anak, sehingga untuk jenis film-film tertentu seperti horor, kekerasan dan pornografi akan memberikan pengaruh negatif bagi khalayak. Dari segi industri, industrialisasi dan komersialisasi film telah 18 menjadikannya sebagai media yang dikomodifikasi. Sehingga saat ini banyak film-film yang hanya mengejar pangsa pasar dan profit semata, kualitas pun tidak dipedulikan. Ideologi yang diusung film pun tidak jelas, semuanya hanya mengejar. 4. Genre Komedi Genre merupakan suatu kerangka konseptual dalam hubungannya dengan industri, audiens, dan kebudayaan sejauh fungsinya sebagai: a) Dasar pembiayaan produksi dengan merujuk pada bentuk produkproduk sebelumnya untuk mengurangi risiko financial. b) Seperangkat persepsi dan harapan audiens untuk mengorganisir apa yang mereka tonton. c) Suatu kerangka kritis bagi pengamat untuk menentukan kekhususan sebuah karya dan cita rasa audiensnya. Dengan demikian, genre merupakan alat untuk memahami film sebagai bentuk spesifik suatu komoditas (Zoebazary, 2010: 120). Seperti halnya dalam ilmu biologi, genus atau genre merupakan kelompok spesies yang memiliki ciri fisik, tipe dan karakter yang sama. Maka dalam film, genre akan mengelompokan dan mengklasifikasikan sekelompok film yang memiliki karakter atau sama (khas) seperti setting, 19 tokoh karakter, pemain, jalan cerita serta tanda kuncinya termasuk kostum, perlengkapan dan sound effect yang digunakan dalam film tersebut. Genre atau jenis film ada bermacam ragam. Sebenarnya tidak ada maksud tersendiri dengan pemisahan tersebut, namun secara tidak langsung dengan hadirnya film-film dengan karakter tertentu, memunculkan pengelompokan tersebut. Beberapa genre film yaitu sebagai berikut: a) Action – laga Film yang bertema laga dan menceritakan tentang perjuangan hidup dengan mengutamakan keahlian pada setiap tokoh untuk bertahan dengan pertarungan hingga akhir cerita. b) Comedy – humor Jenis film yang mengandalkan kelucuan sebagai faktor penyajian utama. Genre jenis ini tergolong paling disukai, dan merambah ke semua segmentasi penonton. Tetapi termasuk paling sulit dalam menyajikannya, bila kurang waspada comedy yang ditawarkan terjebak humor yang slapstick, terkesan memaksa penonton untuk tertawa dengan kelucuan yang dibuat-buat. c) Roman – drama Genre yang populer di kalangan masyarakat penonton film, terutama di kalangan remaja. Faktor perasaan dan realitas kehidupan nyata ditawarkan dengan senjata simpati dan empati penonton terhadap tokoh yang diceritakan. Kunci utama kesuksesan film bergenre roman – drama 20 ini yaitu tema yang diangkat adalah tema klasik permasalahan manusia yang tak pernah puas terjawab. d) Mistery – horror Sebuah genre khusus dunia perfilman. Dikatakan genre khusus karena meski cakupannya sempit dan berkisar pada hal yang itu-itu saja, namun genre ini cukup mendapat perhatian yang lebih dari penonton. Hal ini disebabkan keingintahuan manusia pada sebuah dunia yang membuat mereka selalu bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia lain tersebut (Widagdo, 2004: 26-27). Komedi merupakan genre film yang mengedepankan kelucuan atau humor dengan cara mengolok-olok ironi abadi eksistensi manusia. Terdapat beberapa subgenre komedi (Zoebazary, 2010: 59), antara lain: a) Black comedy Kelucuan terjadi karena ada hal yang tidak diduga. Begitu tak terduganya sehingga yang tersisa adalah kelucuan. Topik yang dijadikan lelucon biasanya persoalan-persoalan serius, seperti kematian, perang, pembunuhan, dan lain-lain. b) Farce Humor ringan, terkadang kasar, biasanya bercerita tentang hal-hal yang tidak mungkin terjadi, seperti identitas yang tertukar, pakaian yang tertukar, da lain-lain. c) Screwball Komedi yang termasuk dalam jenis farce. 21 d) Slapstick comedy Cerita komedi yang menghasilkan kelucuan dengan terjadinya interaksi fisik antara tokoh dengan tokoh lainnya secara berlebihan. Nama ini diambil dari peralatan yang biasa digunakan oleh para pelawak sirkus – dua lembar papan yang ditepukkan dengan keras di punggung seseorang. e) Parody Komedi yang meniru dan melucukan suatu karya yang sudah ada secara berlebih-lebihan, terkadang difungsikan sebagai alat untuk mengejek. f) Situation comedy Cerita komedi yang menghasilkan kelucuan dengan cara menempatkan para pelakunya pada situasi yang tidak tepat, asing dan mengagetkan. g) Romantic comedy Film komedi dengan cerita utama bergulir di seputar adegan-adegan romantic. Salah satu genre yang begitu cukup tua dalam industri perfilman adalah komedi. Melalui film komedi, kritikan yang pedas bisa tersampaikan secara ringan. Tetapi, sejalan dengan pendekatan bisnis dalam industri perfilman, komedi disajikan dengan berbagai pendekatan sederhana, di antaranya dengan menampilkan wanita-wanita seksi, berbusana minim sebagai daya tarik dan tak jarang dibumbui dengan kekerasan. 22 Genre film komedi adalah film komedi yang dirancang untuk menghibur dan menyuguhkan adegan yang lucu dengan penutup yang memuaskan dan ditambah dengan adanya sifat sindiran yang berakhir dengan bahagia. 5. Kekerasan Kekerasan digambarkan sebagai nilai-nilai social yang mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Dalam pengertian luas banyak kekerasan kolektif dilakukan oleh segerombolan orang (mob) dan kumpulan orang banyak (crowd) yang dalam pengertian sempitnya dilakukan oleh gank. Namun dalam kekerasan kolektif didalamnya terdapat bentuk kekerasan seperti serangan dengan memukul, pembunuhan, dan pemerkosaan serta tindakan kekerasan individu seperti bunuh diri (Santoso, 2002: 9). Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu, ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi: a). kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; b). kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam; c). kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perindungan, tetapi untuk mendapatkan 23 sesuatu, seprti penjabalan; dan d). kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup (Santoso, 2002: 11). Kemudian R. Audi dalam Windhu merumuskan “violence” sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang (Windhu, 1992: 63). Menurut Galtung dalam Windhu, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya (Windhu, 1992: 64). Kekerasan ini didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual. Kekerasan (violence), merupakan salah satu formula dalam dunia tontonan. Kekerasan merupakan perlakuan fisik secara kejam atau bengis dalam mencapai tujuan. Pada mulanya film-film bioskop dikutuk sebagai penyebar budaya kekerasan. Film atau televisi hanya suatu tontonan. Sebagai tontonan, dia hanyalah realitas media. Bahkan sebagai “realitas” buatan, yaitu fiksi, yang perlu dibedakan dari realitas media berupa informasi faktual. Tetapi karena dipanggungkan dalam kaidah dramatisasi, “realitas” ini menjadi 24 menonjol (Siregar, 2006: 21). Pemahaman lain tentang kekerasan oleh Francois Chirpaz dalam Haryatmoko, “kekerasan adalah kekuatan yang sedemikian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai baik jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan dengan memisahkan orang dari kehidupannya atau dengan menghancurkan dasar kehidupannya. Melalui penderitaan atau kesengsaraan yang diakibatkannya, kekerasan tampak sebagai representasi kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan terhadap orang lain”. Jadi, kekerasan tidak harus dalam bentuk fisik, melainkan dapat menghancurkan dasar kehidupan seseorang (Haryatmoko, 2007: 120). Menurut Geen dalam Krahe, kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi yang menunjuk pada bentuk-bentuk agresi fisik ekstrem. Kekerasan didefinisikan sebagai “pemberian tekanan intensif terhadap orang atau properti dengan tujuan merusak, menghukum, atau mengontrol”. Kemudian dalam Archer dan Browne mendefinisikan kekerasan sebagai “serangan fisik yang merusak yang bagaimanapun juga tidak dibenarkan secara sosial (Krahe, 2005: 20). Agresi juga bisa termasuk dalam kekerasan, karena berdasarkan perlakuan serangan yang secara verbal dan non verbal. Menurut Medinus dan 25 Johnson (1976) dalam Tri, mengelompokkan agresi menjadi empat kategori, yaitu: a) Menyerang fisik adalah memukul, mendorong, meludahi, menendang, menggigit, meninju, memarahi dan merampas. b) Menyerang suatu obyek adalah menyerang benda mati atau binatang. c) Secara verbal atau simbolis mengancam secara verbal, memburukburukkan orang lain, sikap mengancam dan sikap menuntut. d) Pelanggaran terhadap hak milik atau menyerang daerah orang lain (Tri, 2009: 212). Kemudian Buss (1987) dalam Tri, mengelompokkan agresi manusia dalam delapan jenis, yaitu: a) Agresi fisik aktif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung, seperti memukul, mendorong, menembak, dll. b) Agresi fisik pasif langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, aksi diam. c) Agresi fisik aktif tidak langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan 26 oleh individu/kelompok lain dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul, dll. d) Agresi fisik pasif tidak langsung: tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung , seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh. e) Agresi verbal aktif langsung: tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain, seperti menghina, memaki, marah, mengumpat. f) Agresi verbal pasif langsung: tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan individu/kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti menolak bicara, bungkam. g) Agresi verbal aktif tidak langsung: tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba. h) Agresi verbal pasif tidak langsung: tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberi dukungan, tidak 27 menggunakan hak suara (Tri, 2009: 213). Jadi, dalam kekerasan ada dua faktor, yaitu pertama kekerasan fisik: tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan fisik pada objek, contohnya ditendang, dipukul, ditempeleng, dibanting, ditusuk, disiram, dilempar barang, didorong, dibenturkan, diinjak, dicekik, ditarik paksa, diceburkan, dihimpit, ditabrak, dan lain-lain. Kedua kekerasan psikis: tindakan yang berakibat kesengsaraan berupa penderitaan emosional atau psikologis pada objek, contohnya diancam, dibentak, dicemooh, digunjingkan, dihina, ditakut-takuti, diprofokasi, diremehkan, diusir, dan lain-lain. 6. Kekerasan dalam Media Massa Media massa saat sekarang ini merupakan media yang menyampaikan informasi kepada masyarakat sehingga bisa disebut sebagai alat konstruksi sosial yang paling efektif. Permasalahannya, pesan yang dibawa oleh media massa tidak hanya bersifat positif namun juga bisa bersifat negatif, bahkan tak jarang pesan-pesan positif dimodifikasi menjadi negatif. Dalam kaitannya akan permasalahan gender, media massa sebenarnya merupakan alat yang strategis untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap tindak kekerasan pada perempuan karena memiliki hegemoni untuk membangun opini publik. Namun, di sisi lain, media massa ternyata menjadi alat yang strategis untuk mengembangkan dan melestarikan tindak kekerasan 28 pada perempuan. Berkaitan dengan kemampuan media yang dapat menciptakan realitas sosial. Dunia media adalah dunia yang dengan banyak “dunia”. Setidaknya, ada tiga dunia yang bisa kita ketahui, yakni dunia riil, dunia fiksi, dan dunia virtual. Kekerasan juga harus disoroti dengan menggunakan tiga kategori ini. Yang pertama adalah kekerasan riil. Yang kedua adalah kekerasan fiktif yang dapat kita lihat di dalam sebuah film fiksi, kartun, ataupun komik. Dan ketiga adalah kekerasan simulasi yang ada di dalam dunia virtual, misalnya di dalam video games (Haryatmoko, 2007: 127). Semuanya yang dijelaskan diatas bukan merupakan kekerasan fisik, tetapi cenderung lebih pada kekerasan yang bersifat simbolik. Dan kekerasan tersebut bisa berlangsung dengan konstan, karena baik para pelaku maupun korban, keduanya menganggap bahwa kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. Kekerasan seolah sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa dalam cara bertindak, dan cara berpikir. Menurut Haryatmoko ada tiga kategori kekerasan yang harus disorot, yaitu: a) Kekerasan riil disebut sebagai kekerasan dokumen. Kekerasan ini menggambarkan hal-hal yang dialami oleh pemirsa sebagai fakta kekerasan. Sebagai contoh adalah tayangan-tayangan tentang 29 pembunuhan, perkelahian, ataupun konflik sosial yang dapat mengundang reaksi emosional yang ada dalam diri pemirsa. b) Kekerasan fiktif. Kekerasan yang digambarkan dalam kisah fiksi tidak meninggalkan bekas luka pada pemirsa atau pembacanya, terutama pada anak bisa meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Apa yang disaksikan oleh pemirsa melebihi dari realitas kontak fisik atau kekerasan yang sesungguhnya terjadi. Ada kepura-puraan dan simulasi dalam tayangan perkelahian. Namun, efek bagi pemirsa sama atau bahkan lebih dasyat daripada pertarungan tinju, karate atau bentuk kontak fisik lain. c) Kekerasan simulasi. Kekerasan ini kental di dalam video games, baik yang online maupun offline. Misalnya ketika seorang penembak di dalam video games melakukan tembakannya dengan menggunakan senapan mesin, serta berhasil membunuh ratusan musuhnya. Kejadian semacam itu tidak menakutkan, tetapi justru meningkatkan ketertarikan dan kenikmatan permainan (Haryatmoko, 2007: 128-133). Agresi dan kekerasan merupakan fitur yang sangat menonjol dalam sebuah film, program televisi, dan permainan computer, termasuk yang ditujukan kepada anak-anak dan remaja. Cukup banyak waktu yang dihabiskan oleh seseorang dari semua kelompok umur untuk media-media tersebut setiap hari. Dikaitkan dengan riset terhadap efek-efek media, kekerasan, 30 terutama yang berkaitan dengan proses menonton oleh anak-anak, selalu menjadi subjek yang penting. Terdapat banyak asumsi tentang efek-efek buruk media, terutama oleh media itu sendiri. Namun, ide media secara langsung memiliki efek-efek terhadap audiens, terutama efek-efek yang bersifat segera, tidak layak dijadikan rujukan awal. Namun, hal ini tidak akan membuat banyak orang tidak lagi meyakini bahwa adalah tidak baik bagi orang-orang untuk menonton film-film yang mengandung kekerasan, “terlalu sering” menonton televisi, mendengarkan music pop yang tidak masuk akal (mindless), membaca komik “sampah”, dan seterusnya (Burton, 2008: 195). Bukti riset tentang kekerasan dalam media, dan kritik terhadap riset ini, mengungkapkan bahwa model efek-efek sederhana tidaklah memadai. Bahkan model efek-efek yang rumit menjadi dipertanyakan karena banyaknya jumlah variabel yang mempengaruhi “pembacaan” materi yang mengandung kekerasan. Riset tentang kekerasan terbagi ke dalam area-area dominan seperti efek, sikap kebudayaan, profil/ tanggapan audiens, institusi, dan faktor-faktor ideologis. Masalah kunci dalam mengevaluasi kekerasan dan efek-efeknya adalah metodologi riset yang digunakan, kadang-kadang dikombinasikan dengan penegasan-penegasan yang memiliki kekurangan (flawed) bukti – yaitu kepercayaan, bukan keyakinan, yang mengarah ke hasil-hasilnya. Namun, pelbagai kecemasan sosial tentang kekerasan tetap harus ditangani, dan metodologi yang diperbaiki dapat memberikan hasil dalam hal membuat 31 suatu kaitan antara kekerasan dalam media serta perilaku sosial, yang tidak harus selalu bersifat sebab akibat (Burton, 2008: 203-204). 7. Sinematografi Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa Inggris cinematography yang berasal dari bahasa latin kinema yang berarti “gambar”. Sinematografi dapat diartikan sebagai seni dan teknologi dari fotografi gambar bergerak. (Irawan & Laelasari, 2011: 1). Kemudian menurut Zoebazary, Sinematografi merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik penangkapan gambar dan penggabungan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar menyampaikan gagasan (Zoebazary, 2010: 53). Jadi, yang dapat Sinematografi merupakan segala suatu bentuk perbincangan mengenai sinema (perfilman) baik dari estetika, bentuk, fungsi, makna, produksi, proses, maupun penontonnya. Jadi seluk beluk tentang perfilmam dikupas tuntas dalam sinematografi. Sinematografi juga memiliki objek yang sama dengan fotografi yakni menangkap pantulan cahaya yang mengenai benda. Objeknya yang sama menyebabkan peralatannya pun mirip. Perbedaannya, peralatan dan penyampaian ide dalam fotografi menangkap gambar tunggal, sedangkan sinematografi menangkap dan menyampaikan rangkaian gambar. Jadi, 32 sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik perangkaian gambar, atau dalam sinematografi disebut montage (Zoebazary, 2010: 5354). Sinematografi sangat dekat dengan film, yakni sebagai media penyimpan maupun sebagai genre seni. Film sebagai media penyimpan adalah berupa celluloid, sejenis pita plastik tipis yang dilapisi zat peka cahaya. Pita inilah yang selalu digunakan sebagai media penyimpan di awal pertumbuhan sinematografi. Film sebagai genre seni adalah produk sinematografi (Zoebazary, 2010: 54). Dalam hal ini sinematografi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tata cara dan teknis pembuatan sebuah film. Bagaimana sebuah angle dalam kamera menangkap sebuah objek yang diinginkan, besar kecilnya sebuah objek yang tertangkap oleh kamera (shot distance). Pencahayaan, setting dan efek-efek yang dihasilkan oleh teknis-teknis tersebut, termasuk yang ada didalamnya adalah setting pengambilan sebuah gambar serta seluruh yang ada pada dunia rekaan tersebut. Dalam mendukung untuk pengambilan gambar atau shot, terdapat beberapa elemen yang menggambarkan arti dan makna dari sebuah shot, yaitu: a) Motivasi Sebuah gambar atau shot harus memiliki motivasi guna memberi alasan editor untuk memotong dan menyambungkan ke shot berikutnya. 33 b) Informasi Sebuah gambar atau shot harus menggambarkan informasi yang akan disampaikan kepada penonton. Shot-shot ini akan menyampaikan sebuah informasi kepada penonton sehingga perlu kreativitas dalam menentukan angle kamera. c) Komposisi Perhatikan komposisi gambar agar dapat “berbicara” dengan sendiri. Ada empat bagian yang perlu diperhatikan, dan keempat bagian ini menjadi satu dalam komposisi shot yang akan dibangun, antara lain: 1) Framing, yaitu pembingkaian gambar. 2) Illusion of depth, yaitu kedalaman dimensi gambar. 3) Subject or object, yaitu subjek atau objek gambar. 4) Color, yaitu warma. d) Sound (suara) Faktor suara sangat mempengaruhi makna gambar. Shot sangat dipengaruhi dan mempengaruhi kebutuhan suara, baik dalam bentuk sound effect, live sound record, sampai pembuatan musik ilustrasi pendukung suasana. e) Camera angle Sudut pengambilan gambar akan memberi kekuatan pada sebuah shot. Point of view ini akan menempatkan arah pandangan mata penonton. Sehingga, apabila arah itu keliru maka penonton akan mempunyai 34 pandangan yang keliru dari sebuah shot. Jika hal tersebut terjadi maka seluruh elemen yang ada menjadi tidak berlaku lagi. Walaupun warna, suara, dan objek tetap indah, tetapi jika kamera angle salah maka arah pandang shot menjadi gagal. f) Continuity Continuity bisa disebut sebagai kontinuitas dari sambungan shot yang dapat melengkapi isi cerita maupun karya visual. Potongan gambar harus disiapkan sesuai dengan kontinuitas yang diinginkan. Ada lima faktor kontinuitas yang harus diperhatikan saat shooting, yaitu: 1) Contents continuity Kontinuitas atau kesinambungan gambar pada isi cerita yang terangkum dalam sambungan berbagai shot. Dalam hal ini bisa berbentuk benda (tata artistik/ properti), sinar cahaya (tata cahaya), wardrobe, dan make-up. 2) Movement continuity Kontinuitas atau kesinambungan gambar pada gerakan yang direkayasa ataupun yang terjadi dengan sendirinya (natural). Gerakan dalam adegan diperankan oleh pemain dan figuran, sedangkan natural merupakan gerakan yang terjadi karena faktor alam. 3) Position continuity Kontinuitas atau kesinambungan gambar untuk blocking pemain, 35 posisi properti (tata artisitik), dan berbagai posisi lainnya yang disesuaikan dengan komposisi gambar dalam berbagai sudut arah kamera. 4) Sound continuity Kontinuitas atau kesinambungan suara dalam gambar, baik yang bersifat direct sound (suara yang kangsung direkam saat shooting) maupun indirect sound (sound effect dan ilustrasi musik). 5) Dialogue continuity Kontinuitas atau kesinambungan dialog yang terwujud dalam percakapan para pemeran sesuai dengan tuntutan cerita dan logika visual. Seluruh elemen ini saling terkait, terangkai, dan terikat (AlFirdaus, 2010: 148-152). Adapun dalam sinematografi juga terdapat angle kamera, yaitu cara pengambilan sebuah gambar atau shot dalam sebuah film. Berikut macam-macam dari angle, yaitu: a) Bird Eye View Teknik pengambilan gambar yang dilakukan dengan posisi kamera berada lebih tinggi jauh dari objek. Hasilnya akan menunjukkan adanya lingkungan yang luas, dan benda-benda lain tampak kecil. b) High Angle Sudut pengambilan gambar tepat diatas objek, sehingga memberi kesan pendek, kecil, rendah, hina, perasaan kesepian, kurang gairah, dan 36 bawahan. c) Normal Angle (Eye level) Sudut pengambilan gambar yang menunjukkan posisi kamera sejajar dengan ketinggian mata objek yang diambil. d) Low Angle Teknik pengambilan gambar yang diambil dari bawah objek, seperti pandangan mata kodok. Kesan yang ditimbulkan adalah keagungan, kekuasaan, kuat, dominan, dan dinamis. e) ECU (Extreme Close Up) Pengambilan suatu gambar yang menampilkan bagian tertentu dari tubuh manusia atau menampilkan detail objek. Pengambilan gambar sangat dekat, dan hanya menampilkan bagian tertentu pada tubuh objek. Misalnya pengambilan gambar pada bagian mata atau mulut. f) CU (Close Up Shot) Pengambilan gambar dari dekat yang menonjolkan bagian kepala sampai bahu. Hal itu merupakan bagian dari emosi/reaksi dari objek utama (marah, kesal, dan lain-lain). g) MCU (Medium Close Up Shot) Pengambilan gambar yang menampilkan dari bagian ujung kepala sampai dada sehingga memenuhi bingkai (frame gambar). h) MS (Medium Shot) Pengambilan gambar sebatas kepala sampai pinggang. 37 i) Long shot Jenis pegambilan gambar dari jarak yang cukup jauh hingga seluruh pemandangan dapat ditampilkan didalam gambar. Long shot digunakan untuk mengantarkan mata penonton kepada keluasan suasana dan objek. Fungsinya untuk menunjukkan objek dengan latar belakangnya. j) Wide Angle/landscape Lensa dengan focal length kurang dari 25mm untuk kamera film 16mm, atau 50mm untuk kamera film 35mm, yang menghasilkan pemandangan lebih luas terhadap suatu area (Al-Firdaus, 2010: 109-121). 8. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah terdapat adegan kekerasan dalam film Indonesia bergenre komedi periode oktober-desember 2010 yang cenderung menggunakan adegan berunsur kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis. 38 38 F. Matriks Kerangka Teori R. Audi merumuskan “violence” sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang (R. Audi dalam Windhu, 1992: 63). Kekerasan digambarkan sebagai nilai-nilai social yang mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak (Santoso, 2002: 9). Menurut Geen, kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi yang menunjuk pada bentuk-bentuk agresi fisik ekstrem. Kekerasan didefinisikan sebagai “pemberian tekanan intensif terhadap orang atau property dengan tujuan merusak, menghukum, atau mengontrol” (Geen dalam Krahe, 2005: 20). Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertuutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Santoso, 2002: 11). Definisi Konseptual 1) Kekerasan fisik Kekerasan secara fisik adalah menyakiti tubuh manusia secara jasmani bahkan bisa sampai pada pembunuhan. Kekerasan fisik selalu berbentuk langsung, baik menggunakan barang maupun tanpa menggunakan barang. 2) Kekerasan psikis Kekerasan secara psikis merupakan bentuk tekanan yang dimaksudkan melemahkan kemampuan mental seseorang. Tetapi kekerasan juga bisa dilakukan tanpa adanya obyek dan bisa juga dilakukan dengan merusak yang menjadi milik orang lain (Galtung dalam Windhu, 1992: 68). 39 Kerangka Teori Sinematografi dapat diartikan sebagai seni dan teknologi dari fotografi gambar bergerak. Sinematografi merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide atau cerita tertentu (Irawan & Laelasari, 2011: 1) Sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik perangkaian gambar, atau dalam sinematografi disebut montage (Zoebazary, 2010: 54). Definisi Konseptual Angle kamera Sudut pengambilan gambar akan memberikan kekuatan sebuah shot. Point of view ini akan menempatkan arah pandangan mata penonton. Sehingga, apabila arah itu keliru maka penonton akan mempunyai pandangan yang keliru dari sebuah shot. Jika hal tersebut terjadi maka seluruh elemen yang ada menjadi tidak berlaku lagi. Walaupun warna, suara, dan objek tetap indah, tetapi jika kamera angle salah maka arah pandang shot menjadi gagal (Al-Firdaus, 2010: 150). Definisi Operasional Angle camera bird view Long shot high angle Medium Close Up medium shot low angle close up extreme close up Wide/landscape Normal Angle (Eye level) 40 Definisi Operasional Kekerasan fisik menusuk mencekik menginjak mendorong memukul membenturkan menendang, membanting menjegal mencubit menyiram menarik paksa melempar barang/orang menabrak menampar Kekerasan psikis mengusir menghimpit mengatai memprofokasi mencemooh mengancam menakut-nakuti meremehkan menggunjing membentak 41 G. Definisi Konseptual 1. Kekerasan Menurut Francois Chirpaz, “kekerasan adalah kekuatan yang sedemikian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai baik jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan dengan memisahkan orang dari kehidupannya atau dengan menghancurkan dasar kehidupannya. Melalui penderitaan atau kesengsaraan yang diakibatkannya, kekerasan tampak sebagai representasi kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan terhadap orang lain”. Jadi, kekerasan tidak harus dalam bentuk fisik, melainkan dapat menghancurkan dasar kehidupan seseorang (Chirpaz dalam Haryatmoko, 2007: 120). a) Kekerasan fisik Kekerasan secara fisik adalah menyakiti tubuh manusia secara jasmani bahkan bisa sampai pada pembunuhan. Kekerasan fisik selalu berbentuk langsung, baik menggunakan barang maupun tanpa menggunakan barang. b) Kekerasan psikologis Kekerasan secara psikis merupakan bentuk tekanan yang dimaksudkan melemahkan kemampuan mental seseorang. Tetapi kekerasan juga bisa dilakukan tanpa adanya obyek dan bisa juga dilakukan dengan merusak yang menjadi milik orang lain (Galtung dalam Windhu, 1992: 68). 42 2. Sinematografi Sinematografi merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik penangkapan gambar dan penggabungan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan gagasan (Zoebazary, 2010: 53). Jadi, Sinematografi merupakan segala suatu bentuk perbincangan mengenai sinema (perfilman) baik dari estetika, bentuk, fungsi, makna, produksi, proses, maupun penontonnya. Jadi seluk beluk tentang perfilmam dikupas tuntas dalam sinematografi. Dalam mendukung untuk pengambilan gambar atau shot, terdapat beberapa elemen yang menggambarkan arti dan makna dari sebuah shot, salah satunya adalah Camera angle. Camera angle adalah sudut pengambilan gambar akan memberikan kekuatan sebuah shot. Point of view ini akan menempatkan arah pandangan mata penonton. Sehingga, apabila arah itu keliru maka penonton akan mempunyai pandangan yang keliru dari sebuah shot. Jika hal tersebut terjadi maka seluruh elemen yang ada menjadi tidak berlaku lagi. Walaupun warna, suara, dan objek tetap indah, tetapi jika kamera angle salah maka arah pandang shot menjadi gagal (Al-Firdaus, 2010: 150). 43 H. Definisi Operasional Tabel 1.1 Variabel Kekerasan Fisik Dimensi Operasional 1. Pemukulan Badan Setiap sikap atau perbuatan yang 2. Pelemparan Senjata berakibat kesengsaraan 3. Pencekikan penderitaan fisik 4. Peludahan atau pada objek, termasuk ancaman perbuatan tertentu 5. Pencakaran yang ditujukan untuk mengakibatkan penderitaan pada fisik objek. Kekerasan Psikologis 1. Ancaman Setiap 2. Menghina kesengsaraan 3. Membentak emosional atau psikologis pada objek 4. Mengintimidasi dengan cara memandang sikap yang berupa berakibat penderitaan termasuk ancaman perbuatan tertentu yang ditujukan untuk mengakibatkan penderitaan emosional objek. Angle Kamera 1. Bird Eye View Menjelaskan posisi pemirsa dalam 2. High Angle melihat objek. Setiap shot harus 3. Normal Angle (Eye mengambil angle kamera yanng baru. level) 4. Low Angle Alasannya untuk menambah kemungkinan adanya informasi baru 44 5. ECU (Extreme Close Up) dan memperlihatkan lebih reaksi seseorang terhadap objek baru. 6. CU (Close Up Shot 7. MCU (Medium Close Up Shot) 8. MS (Medium Shot 9. Long shot 10. Wide Angle/landscape (Sumber: Irianto, 2011: dekat ) I. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Kajian “ analisis isi kekerasan dalam film Indonesia bergenre komedi periode oktober – desember 2010” ini menggunakan metodologi kuantitatif. Kuantitatif yaitu suatu metode untuk mendeskripsikan hasil penelusuran informasi ke fakta yang diolah menjadi data (Rakhmat, 1998: 24). 2. Metode Analisis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi. Analisis isi adalah metode yang digunakan untuk meriset atau menganalisis isi komunikasi secara sistematik, objektif, dan kuantitatif. Dan analisis isi kuantitatif lebih memfokuskan pada isi komunikasi yang tampak (manifest) 45 (Kriyantono, 2006: 61-62). Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menyimak dan mencatat hal-hal yang penting yang berhubungan dengan aksi kekerasan pada film tersebut. Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Krippendorf, 1993 : 15). Menurut Berelson, analisis isi didefinisikan sebagai teknik penelitian untuk mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif isi komunikasi yang tampak (manifest) (Krippendorf, 1993 : 16). Dalam definisinya, Berelson hanya menekankan pada hal yang “nampak (manifest) hanya agar pengkodean (coding) data terjamin kemudian dalam analisisnya dapat diverifikasi secara inter-subyektif dan handal. Definisinya telah mendapat kepercayaan dari banyak ilmuan bahwa isi yang tak tampak (latent) tidak perlu dianalisis. Kemudian menurut Kriyantono dalam bukunya, metode analisis isi adalah metode yang digunakan untuk meriset atau menganalisis isi komunikasi secara sistematik, objektif, dan kuantitatif. Sistematik berarti bahwa segala proses analisis harus tersusun melalui proses yang sistematik, mulai dari penentuan isi komunikasi yang dianalisis, cara menganalisisnya, maupun kategori yang dipakai untuk menganalisis. Objektif berarti bahwa periset harus mengesampingkan faktor-faktor yang bersifat subjektif atau 46 bisa personal, sehingga hasil analisis benar-benar objektif dan bila dilakukan riset lagi oleh orang lain, maka hasilnya relatif sama. Analisis isi harus bisa dikuantitatifkan ke dalam angka-angka. Pada analisis isi lebih memfokuskan kepada isi komunikasi yang tampak (tersurat/manifest/nyata) (Kriyantono, 2006: 61-62). 3. Unit Analisis Penelitian a) Kekerasan yang muncul film Seberapa sering adegan kekerasan secara fisik dan psikologis yang muncul dalam film Indonesia bergenre komedi periode oktoberdesember 2010. b) Pemilihan sinematografi Bagaimana kecenderungan pemilihan sinematografi dalam memunculkan adegan-adegan kekerasan dalam film Indonesia bergenre komedi periode oktober-desember 2010. 4. Sumber Data Teknik pengumpulan data adalah proses memperoleh atau mendapatkan data menggunakan beberapa kode berdasarkan kategori yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti menggunakan sampel film Indonesia bergenre komedi, yaitu: film Indonesia bergenre komedi periode oktober-desember 2010. 47 5. Populasi dan Sampel Menurut Sugiyono (2002: 55), menyebut bahwa populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau objek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh periset untuk dipelajari, kemudian ditarik suatu kesimpulan (Sugiyono dalam Kriyantono, 2006: 149). Maka populasinya adalah film komedi Indonesia periode bulan Oktober – Desember 2010. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang harus memenuhi unsur representatif atau mewakili dari seluruh sifatsifat yang diriset oleh peneliti. Maka sampel adalah seluruh adegan yang ada pada film Madame-X, Kabayan Jadi Milyuner, Mafia Insyaf, 3 Pejantan Tanggung, Perjaka Terakhir 2, dan Senggol Bacok. 6. Implementasi dan Reliabilitas Implementasi merupakan penerapan dilapangan terhadap sebuah objek penelitian, implementasi pada penelitian ini adalah menggunakan sistem pengkodingan. Kemudian reliabilitas diartikan sebagai tingkat keterandalan suatu instrumen. Jika datanya benar, maka berapakalipun diambil data itu tetap sama. Ini menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan adalah reliabel, artinya dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Reliabilitas pada penelitian ini adalah tes reliabilitas dengan menggunakan rumus Holsty. 48 Tes reliabilitas digunakan untuk menguji kebenaran data yang diperoleh, juga untuk mengetahui bagaimana tingkat konsistensi pengukuran sebuah data, apakah kategori yang dibuat sudah sesuai operasional dan untuk obyektivitas penelititan. Tes reliabilitas ini dilakukan oleh tiga koder, yaitu peneliti sendiri dan dua pengkoder lain, guna sebagai perbandingan hasil perhitungan data penelitian sehingga kebenarannya terjamin dan terpercaya. Dalam penelitian ini yang menjadi pengkoder ke-2 adalah Cita Yunia Wati, seorang mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta angkatan 2007. Pemilihan ini berdasarkan latar belakang pendidikan Ilmu Komunikasi, serta kualitas yang dimilikinya dan juga memiliki minat ketertarikan di bidang film. Pengkoder ke-3 adalah Shinta Puji Astuti, seorang mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta angkatan 2007. Pemilihan ini berdasarkan latar belakang pendidikan Ilmu Komunikasi serta kualitas yang dimilikinya dan juga memiliki minat ketertarikan di bidang film. Data yang diperoleh dari ketiga pengkoder akan dihitung dengan menggunakan rumus Holsty (Kriyanto, 2006: 235): 2M CR = ——————— N1 + N2 + N3 Keterangan: CR : Coefficient Reliability (koefisien reliabilitas) M : Jumlah pernyataan yang disetujui oleh ketiga orang pengkode 49 N1 + N2 + N3 : Jumlah pernyataan yang diberi kode oleh pengkode 7. Generalisasi Kesimpulan yang diambil berdasarkan pada frekuensi dan persentase atas hasil data-data yang telah diteliti oleh peneliti. Menurut Klaus Krippendorf, bentuk respresentasi data paling umum, yang pada pokoknya membantu meringkaskan fungsi analisis, berkaitan dengan frekuensi adalah frekuensi absolute seperti jumlah kejadian yang ditemukan dalam sampel (Krippendorf, 1991: 168). Maka dari itu, frekuensi tertinggi menjadi pertimbangan utama untuk menarik kesimpulan. 8. Uji Coba Penelitian Tabel 1.2 Hasil Uji Reliabilitas Kekerasan dan Sinematografi dalam Film Indonesia Bergenre Komedi Periode Oktober-Desember 2010: Film Madame-X Variabel Kekerasan Fisik Coding N1 N2 N3 M 1. menendang 26 19 16 26 2. Memukul 45 35 17 45 3. Menampar 11 7 2 10 4. Menyiram 0 0 0 0 5. Membanting 1 2 1 1 50 6. Menusuk 8 7 2 8 7. Melempar barang/ 5 5 4 5 orang Kekerasan Psikis 8. Mendorong 16 13 7 16 9. Membenturkan 0 1 0 1 10. Menginjak 1 0 0 1 11. Mencekik 0 0 0 0 12. Menarik paksa 15 13 12 14 13. Menghimpit 0 0 0 0 14. Menabrak 1 1 0 1 15. Menjegal 1 1 0 1 16. mencubit 0 0 0 0 1. Mengancam 5 1 2 4 2. Membentak 21 3 3 15 3. Mencemooh 6 2 5 6 4. Menggunjing 5 2 0 3 5. Menakut-nakuti 0 2 0 2 6. Memprofokasi 5 0 0 5 7. Meremehkan 5 0 3 5 8. Mengusir 1 1 0 1 51 Angle Kamera 9. mengatai 0 0 0 0 1. Bird view 0 0 0 0 2. High angle 2 0 2 2 3. Normal eye 0 0 0 0 4. Low angle 0 0 0 0 5. Extreme close up 0 0 0 0 20 2 3 15 7. Medium close up 19 7 10 15 10 8 20 (ECU) 6. Close up (CU) (MCU) 8. Medium shot 27 (MS) 9. Long shot 10 6 0 6 10. 0 0 0 0 1. menendang 3 5 1 5 2. Memukul 23 17 5 20 3. Menampar 1 1 1 1 4. Menyiram 0 0 0 0 5. Membanting 0 0 0 0 6. Menusuk 0 0 0 0 7. Melempar barang/ 4 3 4 4 Wide angle/landscape Kabayan Jadi Kekerasan Fisik Milyuner orang 52 Kekerasan Psikis Angle Kamera 8. Mendorong 3 3 5 3 9. Membenturkan 0 0 0 0 10. Menginjak 0 0 1 0 11. Mencekik 3 3 2 3 12. Menarik paksa 8 6 4 6 13. Menghimpit 0 0 1 1 14. Menabrak 0 2 2 2 15. Menjegal 0 0 0 0 16. Mencubit 5 3 0 4 1. Mengancam 5 0 4 4 2. Membentak 16 2 8 10 3. Mencemooh 18 0 19 15 4. Menggunjing 4 1 1 1 5. Menakut-nakuti 0 1 0 1 6. Memprofokasi 0 0 0 0 7. Meremehkan 3 0 0 3 8. Mengusir 1 0 1 1 9. Mengatai 14 7 0 10 1. Bird view 0 0 0 0 53 2. High angle 0 0 0 0 3. Normal eye 0 0 0 0 4. Low angle 0 0 1 1 5. Extreme close up 0 0 0 0 0 0 2 4 5 10 shot 15 16 10 15 9. Long shot 15 18 3 15 10. 0 0 0 0 1. Menendang 53 41 14 50 2. Memukul 57 47 21 50 3. Menampar 7 1 4 5 4. Menyiram 1 1 1 1 5. Membanting 2 2 2 2 6. Menusuk 0 1 0 0 7. Melempar barang/ 2 2 4 2 (ECU) 6. Close up (CU) 2 7. Medium close up 10 (MCU) 8. Medium (MS) Wide angle/landscape Mafia Insyaf Kekerasan Fisik orang 8. Mendorong 11 16 2 15 9. membenturkan 2 17 2 10 54 Kekerasan Psikis Angle Kamera 10. Menginjak 0 3 0 0 11. Mencekik 2 2 0 2 12. Menarik paksa 6 16 7 10 13. menghimpit 0 0 0 0 14. Menabrak 0 0 0 0 15. Menjegal 4 4 3 4 16. Mencubit 0 0 0 0 1. Mengancam 3 1 4 3 2. Membentak 11 4 3 10 3. Mencemooh 6 0 2 6 4. Menggunjing 0 0 0 0 5. Menakut-nakuti 0 0 0 0 6. memprofokasi 0 0 0 0 7. Meremehkan 0 0 0 0 8. Mengusir 0 0 1 1 9. Mengatai 6 1 7 5 1. Bird view 0 0 0 0 2. High angle 4 7 1 6 3. Normal eye 0 1 0 1 55 4. Low angle 0 1 0 1 5. Extreme close up 0 0 0 0 8 2 6 18 5 15 24 7 20 (ECU) 6. Close up (CU) 3 7. Medium close up 13 (MCU) 8. Medium shot 22 (MS) 9. Long shot 5 5 2 5 10. 0 0 0 0 1. Menendang 0 0 0 0 2. Memukul 10 2 6 10 3. Menampar 3 2 1 2 4. Menyiram 0 0 0 0 5. Membanting 0 0 0 0 6. Menusuk 0 0 0 0 7. Melempar barang/ 3 3 4 3 Wide angle/landscape 3 Pejantan Kekerasan Fisik Tanggung orang 8. Mendorong 9 2 4 6 9. Membenturkan 0 0 0 0 10. Menginjak 0 1 0 0 11. Mencekik 0 0 1 0 56 Kekerasan Psikis Angle Kamera 12. Menarik paksa 6 3 0 5 13. Menghimpit 0 0 0 0 14. Menabrak 1 0 0 1 15. Menjegal 0 0 0 0 16. Mencubit 0 0 0 0 1. Mengancam 3 3 4 3 2. Membentak 15 9 4 10 3. Mencemooh 0 2 8 7 4. Menggunjing 0 0 0 0 5. Menakut-nakuti 0 0 0 0 6. Memprofokasi 1 0 0 1 7. Meremehkan 1 0 0 1 8. Mengusir 0 2 1 2 9. Mengatai 8 5 1 8 1. Bird view 0 0 0 0 2. High angle 1 0 0 1 3. Normal eye 0 0 0 0 4. Low angle 1 1 0 1 5. Extreme close up 0 4 0 4 (ECU) 57 6. Close up (CU) 1 7. Medium close up 6 5 2 5 12 3 10 10 7 10 (MCU) 8. Medium shot 9 (MS) 9. Long shot 8 0 1 1 10. 0 0 0 0 1. Menendang 62 42 24 60 2. Memukul 88 67 24 80 3. Menampar 9 7 1 8 4. Menyiram 2 2 0 2 5. Membanting 6 6 3 6 6. Menusuk 9 8 0 8 7 8 12 Wide angle/landscape Perjaka Terakhir 2 Kekerasan Fisik 7. Melempar barang/ 12 orang 8. Mendorong 10 8 4 10 9. Membenturkan 10 3 0 3 10. Menginjak 0 2 0 2 11. Mencekik 1 1 0 1 12. Menarik paksa 1 0 3 2 13. Menghimpit 2 1 0 2 58 Kekerasan Psikis Angle Kamera 14. Menabrak 1 1 0 1 15. Menjegal 1 1 0 1 16. Mencubit 0 0 0 0 1. Mengancam 5 2 3 5 2. Membentak 12 3 3 10 3. Mencemooh 2 0 4 4 4. Menggunjing 0 0 0 0 5. Menakut-nakuti 0 2 0 2 6. Memprofokasi 0 0 0 0 7. Meremehkan 0 0 0 0 8. Mengusir 2 0 0 2 9. Mengatai 4 3 0 4 1. Bird view 0 0 0 0 2. High angle 4 3 1 4 3. Normal eye 0 0 0 0 4. Low angle 1 5 2 5 5. Extreme close up 0 0 0 0 10 22 4 20 7. Medium close up 17 26 10 25 (ECU) 6. Close up (CU) (MCU) 59 8. Medium shot 20 17 8 20 9. Long shot 13 13 3 13 10. 0 0 0 0 1. Menendang 7 4 4 4 2. Memukul 4 6 13 10 3. Menampar 8 3 0 8 4. Menyiram 1 0 0 1 5. membanting 1 1 0 1 6. Menusuk 0 0 0 0 7. Melempar barang/ 5 3 2 5 (MS) Wide angle/landscape Senggol Bacok Kekerasan Fisik orang 8. Mendorong 3 3 6 3 9. Membenturkan 10 5 7 10 10. Menginjak 0 0 0 0 11. Mencekik 2 0 3 3 12. Menarik paksa 2 1 2 2 13. Menghimpit 0 0 0 0 14. Menabrak 2 1 0 2 15. Menjegal 1 1 1 1 60 Kekerasan Psikis Angle Kamera 16. Mencubit 1 0 0 1 1. mengancam 6 1 0 5 2. Membentak 8 8 5 8 3. Mencemooh 6 1 3 6 4. Menggunjing 2 1 2 2 5. Menakut-nakuti 0 2 0 2 6. Memprofokasi 0 0 0 0 7. Meremehkan 0 1 1 1 8. Mengusir 0 1 1 1 9. Mengatai 10 8 0 10 1. bird view 0 0 0 0 2. High angle 3 0 1 3 3. Normal eye 0 0 0 0 4. Low angle 0 0 0 0 5. Extreme close up 0 0 2 2 4 4 4 9 4 11 15 6 15 (ECU) 6. Close up (CU) 8 7. Medium close up 11 (MCU) 8. Medium (MS) shot 16 61 2 9. Long shot 5 11 3 10 10. 0 0 0 0 494 1136 Wide angle/landscape JUMLAH 1128 863 2M CR = ——————— N1 + N2 + N3 2x1136 2272 = ———————— = ——— = 0.91 =91 % 1128+863+494 2485 Ambang penerimaan yang sering dipakai untuk uji reliabilitas kategori adalah 0.75. jika persetujuan antara pengkoding (periset dan hakim) tidak mencapai 0.75, maka kategori operasional mungkin perlu dirumuskan lebih spesifik lagi. Artinya kategorisasi yang dibuat belum mencapai tingkat keterandalan atau keterpercayaan (Kriyantono, 2006: 236). Koefisien reliabilitas yang didapat dari uji reliabilitas kekerasan dalam Film Indonesia Bergenre Komedi Periode Oktober-Desember 2010 adalah sebesar 91 %. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kesepakatan antara pengkode I, pengkode II, dan pengkode III dalam menghitung jumlah kekerasan yang ada dalam Film Indonesia Bergenre Komedi Periode Oktober-Desember 2010. Hal ini juga menunjukkan bahwa hasil perhitungan tersebut dianggap objektif karena persentasenya melebihi 75%.