STUDI DESRIPTIF MENGENAI HAPPINESS PADA USIA LANJUT DI

advertisement
PERINGATAN !!!
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan
referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila
Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan
pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN
SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU “X” BANDUNG
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana
Psikologi Pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung
Disusun Oleh:
Yus Rizki
10050003091
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
FAKULTAS PSIKOLOGI
2008
LEMBAR PENGESAHAN
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN
SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU “X” BANDUNG
NAMA MAHASISWA
: YUS RIZKI
NPM
: 10050003091
Bandung, Juni 2008
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
FAKULTAS PSIKOLOGI
Menyetujui,
Hedi Wahyudi, Drs., M.Psi.
Suci Nugraha, Dra., M. Psi.
Pembimbing I
Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. H. Umar Yusuf, M.Si. Psi
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Islam Bandung
Motto :
Sebab sungguh, bersama kesukaran ada keringanan.
Sungguh, bersama kesukaran ada keringanan. Karena
itu, selesai (tugasmu), teruslah rajin bekerja.
Kepada Tuhanmu tunjukkan permohonan.
Q. S. Alam Nasyrah, 94 : 5 - 8 Persembahan :
Skripsi ini ku persembahkan untuk Ayah (alm) dan Mama, serta
ketiga kakakku yang tak pernah lelah berusaha mendidik, menjaga,
dan mendoakanku agar menjadi anak yang solehah dan berilmu demi
masa depanku.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrohim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Syukur alhamdulillah , segala puji dan syukur Kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan hidayahnya yang telah diberikan-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul”
“STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL
PRANIKAH PADA SISWA SMU “X” BANDUNG”.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir dalam
menempuh ujian sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. Setiap
manusia akan dihadapkan pada ujian dan kesusahan dalam kehidupannya. Begitu
juga dengan penulis yang dihadapkan dengan berbagai kesusahan dan ujian.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud apabila tidak ada
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak selama proses penyelesaian skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak
yang telah membantu:
1. Kepada Ayahku Ghazali Yus (alm), semoga Ayah berbahagia atas
keberhasilan anakmu ini. Begitu pula dengan Ibundaku Chadidjah, yang
tidak pernah lelah berdoa demi kesuksesan dan keberhasilan penulis.
2. Kepada kakak-kakakku tersayang: Yusrizal, Yusmaida, dan Yus Amri.
serta kakak-kakak iparku: Saptari Mulyaningsih, Joko Prabowo, dan Santi
ii
Susanto. Terima kasih yang tak terhingga atas segala kasih sayang, do’a,
pengorbanan,
dan
dukungan
yang
tiada
henti
diberikan
dalam
membesarkan dan mendidik penulis selama ini.
3. Kepada Bapak Drs. Umar Yusuf, M. Si., selaku dekan Fakultas Psikologi
UNISBA.
4. Kepada Bapak Hedi Wahyudi., Drs., M. Psi., selaku dosen pembimbing
pertama. Terimakasih atas waktu, tenaga, serta bantuannya dalam
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Suci Nugraha, M. Psi., selaku dosen pembimbing kedua. Terimakasih
atas masukan dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan skirpsi.
6. Ibu Sukarti H. Manan., selaku dosen wali yang telah memberikan arahan
kepada penulis dalam menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi
Universitas Islam Bandung.
7. Kepada segenap pimpinan, guru-guru, dan siswa SMU “X” yang telah
membantu penulis dalam penelitian ini.
8. Tetehku Rizki Rudiani, S. Psi., terima kasih atas semua perhatian, kasih
sayang, dan bantuannya kepada peneliti. Semoga Allah memberikan
segala hal yang terbaik di setiap segi kehidupanmu. Amin.
9. Teman-teman
MoonLayers
yang
sudah
mendahului
“berkhianat”
meninggalkan kosan: Kak Nina, Mba Putri, dan Kak Fitri. Juga buat adikadik yang masih menikmati “kenyamanan” kosan: Geby, Saka, Icha,
Anne, Citra, dan yang lainnya.
iii
10. Teman-teman mantan pengurus BEMF Psikologi 2004-2005: Mbah
“dinda” Uyut, Teh Tantri, Teh Day, Yana, Yani Olive, Mak Vidot, Mbe’,
Teh Icha, Alpha, Adi, Wendy, dan teman-teman yang lain yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
11. Teman-teman seperjuangan: Septi, Nindi, dan Ririe, terus semangat karena
perjuangan kita belum berakhir. Untuk Kiki Desiariani, Luthfi, Ully dan
Kak Ria, terus berusaha dan jangan mudah menyerah.
12. Teman-teman Psikologi angkatan 2003 yang tidak dapat disebutkan satupersatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak terdapat
kekurangan, dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran dari
berbagai pihak, karena hal tersebut merupakan alat motivasi penulis untuk
berkarya lebih baik lagi di masa yang akan datang. Mudah-mudahan sedikit
karya tangan penulis ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang
terkait dengan penelitian ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bandung, Juni 2008
Penulis,
Yus Rizki
iv
ABSTRAK
YUS
RIZKI.
STUDI
DESKRIPTIF
MENGENAI
INTENSI
BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU “X”
BANDUNG.
Jumlah remaja yang telah melakukan hubungan seksual pranikah semakin
meningkat setiap tahunnya. Berbagai pihak baik orangtua, guru, dan juga
masyarakat telah berupaya meredusir pertumbuhan angka ini. Adapun usaha yang
dilakukan orangtua dan guru yaitu memberikan pengetahuan agama, informasi
mengenai dampak buruk dari perilaku tersebut, dan melakukan pengawasan
terhadap remaja. Remaja pada penelitian ini adalah siswa SMU “X”, dimana SMU
ini merupakan sekolah yang bernuansa islami yang lebih menekankan pendidkan
agama dibandingkan dengan sekolah biasa. Akan tetapi, pada SMU ini didapat
sebanyak 42% dari 50 siswa mengaku telah melakukan hubungan seksual
pranikah. Berbagai faktor dari dalam diri dan juga lingkungan dihayati secara
berbeda pada tiap siswa, sehingga menimbulkan reaksi yang berbeda pula. Setiap
siswa mempunyai sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, dan persepsi
terhadap kontrol tingkah laku yang berbeda, dimana determinan ini menentukan
seberapa kuat intensi (niat) seseorang untuk melakukan hubungan seksual
pranikah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai intensi untuk
melakukan hubungan seksual pranikah pada siswa SMU ”X” dilihat dari sikap
terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif terhadap hubungan seksual
pranikah, dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah.
Alat ukur ini berbentuk kuesioner dengan skala Osgood. Alat ukur intensi untuk
berhubungan seksual pranikah disusun berdasarkan Theory of Planned Behavior
dari Icek Ajzen (1988) yang dimodifikasi oleh peneliti sesuai dengan tujuan dan
kebutuhan penelitian ini. Selain mengukur intensi, peneliti juga melakukan
pengukuran terhadap determinan pembentuk intensi yaitu: sikap terhadap tingkah
laku, norma subjektif dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku berhubungan
seksual pranikah. Dalam pengukuran determinan pembentuk intensi, alat ukur
yang digunakan juga disusun berdasarkan Theory of Planned Behavior dari Icek
Ajzen (1988).
Data yang dihasilkan oleh keempat alat ukur ini merupakan data yang berskala
ordinal, sedangkan diperlukan data yang berskala interval untuk dilakukannya
pengujian statistik analisis regresi. Oleh karena itu, data yang terdapat dalam alat
ukur ini perlu dinaikkan tingkatannya menjadi berskala interval dengan
menggunakan metode succesive interval.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa 43% responden memiliki intensi
berhubungan seksual pranikah yang kuat atau hampir sebagian siswa memiliki
keinginan atau kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pranikah,
sehingga memungkinkan untuk melakukan perbuatan tersebut. Selain itu
determinan yang paling berkontribusi terhadap kekuatan intensi berhubungan
seksual pranikah adalah norma subyektif dengan koefisien regresi terbesar
(0,479). Hal ini berarti orang-orang yang penting bagi siswa, yang paling
menentukan kuat atau lemahnya intensi berhubungan seksual pranikah dari siswa.
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
ABSTRAK .................................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ....................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah .................................................................... 6
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian .................................................... 8
1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................... 8
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Remaja
2.1.1 Pengertian dan Batasan Usia Remaja................................ 10
2.1.2 Perkembangan Seksual Remaja ....................................... 10
2.2 Theory of Planned Behavior ..................................................... 13
2.3 Faktor-faktor Penentu Intensi
2.3.1 Sikap Terhadap Tingkah Laku .......................................... 16
2.3.1.1 Pengertian Sikap .................................................. 16
2.3.1.2 Obyek Sikap (Attitudinal Objects) ....................... 18
2.3.1.3 Determinants of Attitude Toward Behavior .......... 18
2.3.2 Norma Subyektif ............................................................... 20
2.3.2.1 Pengertian Norma Subyektif ................................ 20
vi
2.3.2.2 Determinants of Subjective Norm ......................... 22
2.3.3 Perceived Behavior Control (PBC) .................................. 24
2.3.3.1 Pengertian PBC .................................................... 24
2.3.3.2 Determinants of Perceived Behavior Control....... 25
2.3.4 Pembentukan nilai-nilai keyakinan (Belief Formation).... 27
2.3.5 Intensi ............................................................................... 28
2.3.6 Dampak Variabel Eksternal terhadap Intensi ................... 30
2.4 Perilaku Seksual
2.4.1 Pengertian Perilaku Seksual ............................................. 32
2.4.2 Pola perilaku seksual yang dianggap sesuai oleh
masyarakat ....................................................................... 33
2.4.3 Cara-cara untuk mengekspresikan cinta untuk orang lain 36
2.4.4 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual ....................................... 40
2.5 Kerangka Pemikiran .................................................................. 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian ................................................................ 48
3.2 Variabel Penelitian .................................................................... 49
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian ............................................................ 51
3.3.2 Sampel Penelitian ............................................................. 51
3.4 Alat Ukur ................................................................................... 52
3.4.1 Kisi-kisi Alat Ukur............................................................ 52
3.4.2 Sistem Penilaian Alat Ukur............................................... 56
3.4.3 Norma Alat Ukur .............................................................. 58
vii
3.4.4 Pengolahan Data Pengukuran .......................................... 60
3.4.5 Reliabilitas Alat Ukur ...................................................... 60
3.4.6 Validitas Alat Ukur dan Analisis Item ............................. 62
3.5 Prosedur Pelaksanaan Penelitian................................................ 65
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ......................................................................... 68
4.1.1 Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi
menurut Kategori Intensi .................................................. 68
4.1.2 Distribusi Frekuensi Responden menurut
Kategori Intensi ................................................................ 69
4.1.3 Hasil Perhitungan Kontribusi Determinan Pembentuk
Intensi dengan Analisis Statistik Multiple Regression ..... 70
4.1.4 Gambaran Intensi Dikaitkan dengan Pengalaman
Seksual dan Jenis Kelamin Responden ............................ 73
4.1.5 Data Penunjang ................................................................ 76
4.5 Pembahasan ............................................................................... 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................... 88
5.2 Saran .......................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DATA TABEL DAN GRAFIK
Tabel 3.4.1a – 3.4.1d : Kisi-kisi alat ukur
Tabel 3.4.3a – 3.4.3d : Norma Alat Ukur
Tabel 3.4.5
: Hasil uji reliabilitas alat ukur
Tabel 3.4.6
: Kriteria korelasi Guilford
Tabel 4.1.1
: Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi
menurut Kategori Intensi
Grafik 4.1
: Distribusi Frekuensi Responden menurut Kategori Intensi
Tabel 4.1.3
: Hasil perhitungan kontribusi determinan pembentuk
intensi
Grafik 4.2
: Kontribusi Determinan Pembentuk Intensi
Grafik 4.3
: Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan
Pengalaman Seksual
Grafik 4.4
: Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan Jenis
Kelamin
Tabel 4.1.4.3
: Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi
Berdasarkan Jenis Kelamin Responden
Tabel 4.1.5.1a
: Respon Responden Mengenai Behavioral Belief
Tabel 4.1.5.1b
: Respon Responden Mengenai Normative belief
Tabel 4.1.5.1c
: Respon Responden Mengenai Control belief
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A
: Skor Interval Untuk Setiap Item
Lampiran B
: Data Mentah
Lampiran C
: Rekapitulasi Data Mentah
Lampiran D
: Alat Ukur
Lampiran E
: Hasil Analisis Validitas, Reliabilitas dan Analisis Item
Lampiran F
: Hasil Perhitungan Analisis Statistik Multiple Regression
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dimana setiap tahun
jumlah remaja semakin meningkat. Saat ini penduduk berusia 15 sampai 24 tahun
dan belum menikah besarnya sudah 40% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia.
Mereka adalah remaja sekolah, yaitu SMP, SMU, dan Universitas. Remaja tidak
sekolah, yaitu remaja pekerja, dan remaja jalanan. Termasuk juga remaja dengan
perilaku seks beresiko seperti sexually active, seperti pekerja seks remaja, gay,
dan waria. (PKBI online, 2006).
Periode remaja diwarnai dengan berbagai perubahan baik biofisik maupun
psikologis. Secara biofisik, masa remaja diawali dengan perubahan fungsi
fisiologis yaitu meliputi kematangan organ-organ seks dan perubahan penampilan
bentuk tubuh. Dari sisi psikologis, masa remaja merupakan masa transisi dalam
aspek perkembangan antara lain aspek mental, emosi, sosial, kehidupan seksual
dan sebagainya.
Situasi transisi dalam hal fisik dan psikis ini sering timbul adanya
kebutuhan-kebutuhan dalam diri remaja yang terkadang tidak ditemuinya pada
masa anak-anak. Adanya kebutuhan atau dorongan ini sering menyebabkan
remaja menampilkan bentuk-bentuk tingkah laku yang mencerminkan kegairahan
hidup. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting
dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Hal
Bab I - Pendahuluan
2
ini didukung oleh rasa keingintahuan yang tidak pernah terpuaskan mengenai
misteri seksualitas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih
lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan
dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki
informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Handbook of
Adolecent Psychology, 1980).
Informasi yang diterima dari teman sebaya maupun dari aksesbilitas yang
sangat mudah terhadap media pornografi seperti situs porno di internet, tabloid
dan film porno, serta komik hentai (komik porno Jepang) yang bertebaran di
sekeliling remaja, sering kali tidak tepat. Hal ini pula yang menjadi salah satu
stimulan pergeseran perilaku seksual para remaja saat ini, dimana rasa
keingintahuan tidak terpuaskan maka tidak jarang mereka mengadakan
eksperimen dalam kehidupan sekualnya seperti berciuman, bercumbu, dan bahkan
bersenggama. Menurut Sudarmadi (Deputi Bidang keluarga Sejahtera dan
Pemberdayaan Keluarga BKBN), jumlah remaja Indonesia yang telah melakukan
hubungan seksual pranikah telah berada pada “lampu kuning”, karena angkanya
berkisar 40%-45% (www.lomboknews.com, 14 Mei 2007).
Keadaan seperti ini sangat mengkhawatirkan berbagai pihak, terutama
orangtua dan pihak sekolah sebagai orang-orang terdekat dalam kehidupan
remaja. Sehingga berbagai upaya dilakukan agar anak remaja yang mereka miliki
tidak terjebak pada hal-hal yang membawa dampak buruk. Adapun upaya yang
umum dilakukan oleh orangtua adalah melarang anaknya untuk melakukan
perilaku seksual pranikah, baik dengan landasan agama ataupun dengan
Bab I - Pendahuluan
3
penjelasan dampak buruk dari perbuatan tersebut. Selain itu, upaya lainnya ialah
menyekolahkan anaknya di sekolah yang memberikan pendidikan agama yang
lebih dari sekolah biasa.
SMU “X” Bandung adalah salah satu SMU yang bernuansa islami. Salah
seorang pimpinan SMU “X”, mengatakan bahwa sekolah ini memiliki visi bagi
terwujudnya siswa yang berprestasi, inovatif, dan kreatif yang berlandaskan pada
ahlaqul karimah. Untuk mewujudkannya, sekolah melaksanakan beberapa
program mulai dari penambahan jam mata pelajaran pendidikan agama menjadi 6
jam (anjuran pemerintah selama 2 jam), dan sering mengadakan peringatan hari
besar seperti Maulid Nabi, Nuzul Qur’an, dan Isra Mi’raj.
Kegiatan keagamaan ini dilakukan selain untuk mewujudkan visi,
diharapkan pula sebagai antisipatif terhadap munculnya perilaku yang tidak
sepantasnya, namun usaha-usaha yang dilakukan pihak sekolah belum sepenuhnya
mencapai visi tersebut, ujar salah seorang guru. Peneliti juga melakukan
wawancara kepada beberapa siswa mengenai kegiatan yang sering diadakan oleh
sekolah. Mereka mengatakan bahwa kegiatan tersebut tidak menarik dan
cenderung membosankan baik dari segi materi yang disampaikan, serta kondisi
tempat atau aula yang digunakan tidak nyaman karena panas.
Fakta lain yang didapat melalui angket pra-survei mengenai perilaku
seksual yang dibagikan kepada 50 orang siswa SMU “X”, menunjukkan keadaan
yang sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 42% diantaranya mengaku pernah
melakukan hubungan seksual pranikah. Selain itu, berdasarkan wawancara
sebagian besar diantara siswa mengatakan bahwa perilaku berpegangan tangan,
Bab I - Pendahuluan
4
berciuman, dan berpelukan merupakan hal yang wajar atau biasa dilakukan ketika
berpacaran untuk menunjukkan rasa sayang terhadap pasangannya.
Para siswa yang telah melakukan intercourse menyatakan bahwa mereka
cenderung tertarik untuk melakukan hal tersebut, dan tak jarang pula mereka
mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Disamping itu,
mereka mengungkapkan bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang
menimbulkan rasa puas, menyenangkan, dan menambah kedekatan dengan
pasangannya.
Selain itu, para siswa baik yang telah melakukan maupun yang belum
melakukan hubungan seks pranikah mengaku bahwa orangtua dan juga guru
selalu mengingatkan mereka agar tidak terjebak dalam perilaku tersebut, dan dan
bahkan melarang perbuatan tersebut. Mereka yang melakukan hubungan seks
pranikah mengatakan bahwa, ada orang-orang terdekat lainnya yang mendorong
mereka untuk melakukan hal tersebut. Dalam hal ini, bagi siswa putri lebih
banyak terpengaruh oleh pasangannya yang meminta, merayu, dan bahkan
memaksa mereka untuk melakukan hubungan seksual atas nama cinta. Dipihak
lain, beberapa siswa putra mengaku tidak dapat menolak ajakan temannya untuk
menonton film porno dan mengikuti pesta seks atau mereka sebut dengan “pesta
bujang”.
Sebagian besar siswa mengaku bahwa mereka memiliki hasrat seksual
yang terkadang sulit untuk dibendung, terutama ketika sedang berduaan dengan
kekasihnya, terlebih lagi ketika terdapat kesempatan untuk melakukan kegiatan
yang menjurus kepada intercourse, seperti berciuman hingga petting. Beberapa
Bab I - Pendahuluan
5
diantara mereka memilih untuk menggunakan kesempatan yang ada untuk
menyalurkan hasratnya, terutama disaat rumah sedang kosong.
Disisi lain, terdapat juga siswa yang belum melakukan hubungan seksual
pranikah. Mereka beranggapan bahwa perilaku tersebut akan mendatangkan efek
negatif, seperti dapat menyebabkan kehamilan, menghancurkan masa depan, dan
perasaan berdosa. Disamping itu, bila dihadapkan pada kesempatan untuk
melakukan hubungan seksual, maka mereka lebih memilih untuk menghindari
kesempatan tersebut dengan cara mengunjungi tempat yang lebih ramai seperti
mall atau tempat umum lainnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada umumnya para siswa telah mendapatkan informasi yang sama di
sekolah maupun di rumah. Hal ini terkait dengan lingkungan mereka terutama
sekolah yang menanamkan nilai religius sehingga mereka sering mendapatkan
larangan-larangan dan penjelasan larangan itu sendiri dari guru-guru dan juga
orangtua di rumah. Selain itu, hampir seluruh responden mengetahui dampakdampak negatif (sebagian besar dampak secara fisik) dari perbuatan seks
pranikah. Dampak-dampak ini tampaknya tidak menghalangi beberapa siswa
untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Dipihak lain, terdapat siswa yang
sampai saat ini belum pernah melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu patut
dipertanyakan apa yang mendasari remaja untuk melakukan atau tidak melakukan
hubungan seksual pranikah.
Masalah perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja merupakan
permasalahan yang cukup serius dan harus segera ditanggulangi, oleh karena itu
masalah perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja perlu untuk dikaji lebih
Bab I - Pendahuluan
6
dalam sehingga dapat menambah informasi dalam usaha penanggulangan masalah
ini.
Menurut Icek Ajzen (2005), kemunculan suatu tingkah laku ditandai
dengan adanya niat (intensi) individu untuk bertingkah laku. Dimana intensi ini
merupakan kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah laku
tertentu. Intensi ini terbentuk dari beberapa determinan, yaitu bagaimana
seseorang menyikapi suatu perilaku, bagaimana significant person mempengaruhi,
mengharapkan, ataupun menyetujui suatu perilaku yang muncul, dan juga
bagaimana seseorang mengontrol perilakunya. Dengan pertimbangan ini peneliti
mengangkatnya dalam judul: “Studi Deskriptif Mengenai Intensi Berhubungan
Seksual Pranikah Pada Siswa SMU “X” Bandung”.
1.2
Identifikasi Masalah
Menurut Ajzen (2005), perilaku dalam hal ini perilaku hubungan seksual
pranikah dapat diprediksikan dengan mengukur intensi individu untuk
berhubungan seksual. Dimana Ajzen mengemukakan bahwa intensi terbentuk dari
tiga determinan yaitu: sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, dan persepsi
terhadap kontrol perilaku.
Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk berespon terhadap
suatu objek yang dinyatakan secara konsisten dengan perasaan menyukai atau
tidak menyukai. Sedangkan sikap terhadap tingkah laku berarti evaluasi positif
atau negatif terhadap hasil dari ditampilkannya tingkah laku tersebut (Ajzen,
2005). Sehingga jika seorang remaja melakukan perilaku seksual pranikah dan
Bab I - Pendahuluan
7
menganggap bahwa perilaku itu menyenangkan atau menyukai perilaku tersebut,
maka remaja tersebut memiliki sikap yang positif terhadap perilaku seksual
pranikah.
Determinan kedua yaitu norma subyektif adalah persepsi individu terhadap
tekanan sosial dari orang-orang penting baginya (significant person) yang
mengharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku
(fishbein&Ajzen, 1975:302). Bila significant person seorang remaja adalah
teman-temannya yang pernah melakukan hubungan seksual, dan mendukung atau
memperbolehkan remaja tersebut ia untuk melakukan hubungan seksual pranikah,
maka remaja tersebut memiliki kecenderungan untuk berperilaku hubungan
seksual pranikah.
Determinan ketiga yaitu persepsi terhadap kontrol tingkah laku. Ajzen
(1988) mendefinisikannya sebagai persepsi individu terhadap kemudahan atau
kesulitan dalam menampilkan tingkah laku serta diasumsikan sebagai refleksi dari
pengalaman masa lalu dan antisipasi dari hambatan yang mungkin muncul.
Selanjutnya semakin positif sikap dan subjective norms tentang tingkah
laku tersebut serta semakin besar kontrol tingkah laku yang dipersepsikan,
semakin kuat pula intensi individu untuk menampilkan tingkah laku tertentu.
Akhirnya, dengan actual behavioral control yang cukup, seorang individu
diharapkan untuk merealisasikan intensinya menjadi tingkah laku jika terdapat
kesempatan.
Oleh karena itu penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan data dan
mengkaji tentang Intensi remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah
Bab I - Pendahuluan
8
serta faktor-faktor pembentuk intensi yaitu sikap terhadap hubungan seksual
pranikah, norma subjektif tentang hubungan seksual pranikah dan persepsi kontrol
tingkah laku hubungan seksual pranikah.
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “bagaimanakah intensi remaja untuk melakukan hubungan
seksual dilihat dari sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol tingkah laku
terhadap perilaku hubungan seksual pada pada siswa SMU “X” Bandung”.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah memperoleh data empiris mengenai
intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada siswa SMU ”X”
Bandung.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai
intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada SMU ”X” dilihat dari
sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif terhadap hubungan
seksual pranikah, dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis.
x
Kegunaan teoritis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan berupa
informasi mengenai gambaran intensi berhubungan seksual pranikah pada
mahasiswa. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai data awal untuk
Bab I - Pendahuluan
9
penelitian-penelitian lain yang terkait dengan intensi berhubungan seksual
pranikah.
x
Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai informasi untuk orang tua,
sekolah, para praktisi dibidang sosial, masyarakat umum, dan para remaja itu
sendiri mengenai intensi untuk berhubungan seksual pranikah. Dengan
mengetahui gambaran intensi berhubungan seksual pranikah serta kontribusi
dari sikap terhadap tingkah laku, norma subjektif dan persepsi tentang kontrol
tingkah laku terhadap pembentukan intensi, pihak-pihak yang terkait dapat
membuat program intervensi yang tepat untuk memberikan upaya preventif
yang tepat dalam masalah yang berkaitan dengan perilaku hubungan seksual
pranikah pada remaja.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Pada bab ini akan akan diuraikan beberapa landasan teori yang relevan
dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu konsep mengenai remaja, theory of
planned behavior dan perilaku seksual.
2.1
Remaja
2.1.1
Pengertian dan Batasan Usia
Kata adolescence (remaja) berasal dari bahasa latin yang berarti tumbuh
menjadi dewasa. Remaja, diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara
masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif,
dan sosial-emosional (Santrock, 2003).
Para peneliti membedakan usia kronologis remaja menjadi tiga bagian
yaitu masa remaja awal yang berlangsung dari 10-13 tahun, masa remaja tengah
dari 14-18 tahun, dan masa remaja akhir sejak usia 19-22 tahun (Arnett, 2000;
Kagan dan Coles, 1972; Keniston, 1970; Lipsitz, 1977 dalam Steinberg,
2002:4). Sedangkan menurut Sarlito Wirawan, batasan usia untuk remaja
Indonesia berkisar 11 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah.
2.1.2
Perkembangan Seksual Remaja
Masa remaja adalah peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, bukan
hanya secara psikologis, tetapi juga secara fisik. Perubahan-perubahan fisik yang
Bab II – Tinjauan Teoritis
11
terjadi merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan
perubahan-perubahan psikologis mencul antara lain sebagai akibat fisik.
Perubahan secara fisiologik ini erat kaitannya dengan perkembangan
fungsi produksi, yang pada remaja putri ditandai dengan menstruasi pertama,
sedangkan pada pria mengalami wet dream. Perubahan fungsi fisiologik ini
menimbulkan perubahan terhadap seksual remaja, dimana remaja merasakan
dorongan-dorongan atau hasrat terhadap seksual yang tidak ditemui pada masa
anak-anak. Seiring dengan perubahan ini, menurut Elizabeth Hurlock, remaja
memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Remaja mulai memiliki minat terhadap kehidupan sosial
Pada saat remaja mulai mencari informasi tentang seksual, tapi kebanyakan
remaja merasa malu dan bertanya kepada orangtua atau guru. Sebaliknya
orangtua dan guru masih sering merasa canggung dan kesulitan memberikan
pengarahan tentang masalah seksual. Sehingga remaja mencari informasi dari
sumber-sumber yang terkadang kurang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Remaja mulai tertarik dengan lawan jenis
Dalam hal ini remaja selalu berusaha agar dapat menarik perhatian teman
lawan jenisnya. Ini berarti penampilan merupakan hal yang utama bagi
mereka.
3. Remaja mulai mengenal arti cinta dan mencoba mengekspresikan
perasaan dan cintanya
Dalam mengekspresikan perasaan cintanya dapat berupa non fisik, seperti
menjalin hubungan bersifat konstan dan memberi kepercayaan. Perasaan cinta
12
Bab II – Tinjauan Teoritis
dapat diekspresikan pula secara fisik, seperti kissing, petting, atau sexual
intercourse pranikah.
Sehubungan dengan terjadinya perubahan kehidupan seksual dan minat
remaja untuk mengekspresikan dorongan seksual, remaja memiliki tugas-tugas
perkembangan yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai kehidupan seksual
dewasa. Di bawah ini terdapat beberapa tugas perkembangan remaja dalam
kehidupan seksual yang dikemukakan oleh Elizabeth Hurlock:
1. Remaja harus mendapatkan pengetahuan tentang seksual dan bagaimana cara
berperan berdasarkan jenis kelamin secara baik, jelas, dan benar. Dimilikinya
pengetahuan ini akan mendorong remaja bertingkah laku seksual dengan
norma-norma susila.
2. Remaja harus memiliki nilai-nilai yang dapat diterima oleh masyarakat, untuk
membimbing dalam menentukan teman hidup atau membina keluarga kelak.
3. Remaja harus belajar mengekspresikan cinta sesuai dengan norma-norma
lingkungan dimana remaja tinggal.
Dengan
tercapainya
tugas-tugas
perkembangan
diharapkan
dapat
menjalani masa transisi dalam kehidupan seksual yang baik. Remaja juga
diharapkan dapat mencapai kehidupan seksual secara dewasa, yaitu memiliki
kemampuan
mengendalikan
dorongan-dorongan
seksual
serta
mengekspresikan melalui cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat.
dapat
Bab II – Tinjauan Teoritis
2.2
13
Theory of Planned Behavior
Theory of Planned Behavior berpijak pada asumsi bahwa individu pada
umumnya bertingkah laku secara rasional, yakni selalu mempertimbangkan
informasi-informasi dan implikasi dari tindakannya baik secara implisit maupun
eksplisit. Teori ini mempostulatkan niat (intensi) seseorang untuk menampilkan
atau tidak menampilkan tingkah laku merupakan determinan yang paling dekat
dengan tingkah laku yang ditampilkan.
Fishbein dan Ajzen pada tahun 1975 (dalam Ajzen, 1988) mendefinisikan
intensi sebagai berikut,
“...as a person’s location on subjective probability dimension on revolving
a relation between himself and some action. A behavioral intention,
therefore, refers to person’s subjective probability that he will perform
some behavior”. (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988).
Dari pernyataan di atas, intensi didefinisikan sebagai lokasi dalam suatu
dimensi kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah laku tertentu
(Fishbein dan Ajzen, 1975:288). Intensi merupakan indikasi seberapa besar
seseorang individu akan berusaha untuk memunculkan tingkah laku tertentu
(Ajzen, 1988:113). Intensi akan tetap menjadi kecenderungan untuk bertingkah
laku sampai sebuah usaha yang dilakukan oleh individu untuk merealisasi intensi
menjadi tingkah laku. Intensi merupakan kecenderungan bertingkah laku yang
paling dekat dengan tingkah laku itu sendiri. Oleh karena itu, ekspresi intensi dari
seorang individu dapat memberikan prediksi yang akurat akan tingkah laku yang
muncul.
14
Bab II – Tinjauan Teoritis
Menurut theory of planned behavior, intensi merupakan fungsi dari tiga
determinan dasar. Determinan pertama adalah faktor personal secara alami, yaitu
sikap terhadap tingkah laku (Attitude Toward Behavior). Determinan kedua
adalah faktor merefleksikan pengaruh sosial, yaitu norma subyektif (Subjective
Norms). Determinan terakhir adalah berhubungan dengan kontrol, yaitu persepsi
terhadap kontrol tingkah laku (Perceived Behavioral Control). Skema dari Theory
of Planned Behavior disajikan pada bagan berikut ini.
Behavioral
Beliefs
Outcome
Evaluation
Nomative
Beliefs
Attitude
Toward the
Behavior
Subjective
Norm
Intention
Behavior
Motivation
to Comply
Control
Beliefs
Perceived
Power
Perceived
Behavioral
Control
Bagan 2.1
Seperti ditunjukkan pada bagan, kekuatan intensi ditentukan oleh tiga
macam faktor. Faktor-faktor ini adalah sikap terhadap tingkah laku tertentu
(Attitude Toward the Behavior), norma subyektif (Subjektif Norms) dan persepsi
mengenai kontrol tingkah laku (Perceived Behavioral Control). Ketiga faktor ini
15
Bab II – Tinjauan Teoritis
dipengaruhi oleh belief. Belief adalah informasi yang dimiliki individu mengenai
dirinya sendiri dan dunianya (Ajzen, 1988:122). Ketiga belief ini antara lain belief
tentang konsekuensi dari tingkah laku yang mungkin terjadi (behavioral belief),
belief harapan tentang orang lain terhadap dirinya yang berkaitan dengan nilainilai (normative belief) dan belief tentang keberadaan faktor-faktor yang dapat
memfasilitasi maupun menghalangi munculnya tingkah laku tersebut (control
belief).
Hubungan antara sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, persepsi
terhadap kontrol tingkah laku dan intensi dapat digambarkan dengan persamaan
bagan 2.1. Pada persamaan ini ATB adalah sikap terhadap tingkah laku, SN adalah
norma subjektif, PBC adalah persepsi kontrol tingkah laku. Sedangkan w1, w2,
dan w3 adalah koefisien regresi yang terstandarisasi yang menandakan kekuatan
kontribusi dari setiap determinan pembentuk intensi.
I =ATB.w1+SN.w2+PBC.w3
Pada uraian di bawah ini, kita akan membahas ketiga faktor pembentukan
intensi secara satu persatu secara mendetil.
Bab II – Tinjauan Teoritis
2.3
Faktor-faktor Penentu Intensi
2.3.1
Sikap Terhadap Tingkah Laku (Attitudes Toward Behavior)
2.3.1.1
16
Pengertian Sikap
“Attitude is a psychological tendency that expressed by evaluating a
particular entity with some degree of favor or disafavor.” (The
Psychological of Attitude, 1993).
Berdasarkan definisi di atas terdapat dua pengertian mendasar:
a. Sikap sebagai suatu kecenderungan psikologis (psychological tendency)
yang merujuk pada suatu keadaan internal dari seorang individu.
b. Sikap sebagai suatu evaluasi (evaluating) yang merujuk pada semua jenis
respon evaluatif baik overt atau covert, kognitif, afektif, dan behavioral
(konatif).
Sikap sebagai suatu kecenderungan berarti merujuk kepada sikap
sebagai suatu keadaan internal yang berlaku untuk jangka waktu pendek.
Adapun sikap sebagai suatu disposisi (atau predisposisi) berarti merujuk pada
periode yang relatif panjang (Ajzen, 1834; Chein, 1948; D. Davis&Ostrom,
1984).
Sebuah sikap berkembang sebagai dasar dari respon evaluatif. Hal ini
berarti seorang individu yang mempunyai sikap pada suatu bentuk tertentu,
maka ia akan merespon secara evaluatif bentuk tertentu tersebut dengan dasar
afektif, kognitif, atau konatif.
Bab II – Tinjauan Teoritis
17
Respon evaluatif baik itu overt maupun covert dapat menghasilkan
kecenderungan psikologis untuk berespon terhadap derajat tertentu terhadap
suatu obyek. Jika kecenderungan untuk berespon meningkat, maka individu
telah membentuk suatu sikap terhadap obyek tersebut. Representasi mental
dari sikap disimpan dalam memori dan dapat diaktifkan melalui kehadiran
obyek sikap atau tanda yang berkaitan dengan obyek tersebut.
Ajzen dan Fisbein (1975) mendefinisikan sikap sebagai,
“...learned predisposition to respond in a consistently favorable or
unfavorableway with respect to a given object.” (Attitudes, personality,
and behavior, Icek Ajzen, 1988)
“Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk berespon
terhadap suatu obyek yang dinyatakan secara konsisten dalam perasaan
menyukai atau tidak menyukai suatu obyek tersebut.” (Attitudes, Personality,
and Behavior, Icek Ajzen, 1988).
Dari definisi yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein tersebut,
terdapat tiga aspek dasar dari sikap:
1. Sikap merupakan hal yang dipelajari
2. Sikap merupakan predisposisi dari tindakan
3. Tindakan tersebut secara konsisten menunjukan perasaan suka atau
tidak suka terhadap suatu obyek.
Sikap terhadap tingkah laku (Attitudes Toward Behaviors) di
definisikan sebagai,
Bab II – Tinjauan Teoritis
18
“...the individual’s positif or negative evaluation of performing the
particular of interest.” (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen,
1988).
Sikap terhadap tingkah laku adalah evaluasi positif atau negatif terhadap
konsekuensi dari tingkah laku yang akan dimunculkan. (Attitudes, Personality,
and Behavior, Icek Ajzen, 1988).
Obyek sikap (Attitudinal Objects)
2.3.1.2
Suatu evaluasi selalu dibuat berdasarkan jumlah bentuk (entity) atau
sesuatu yang menjadi obyek dari evaluasi (attitudinal objects). Segala sesuatu
yang nyata dapat dibedakan, maka dapat dievaluasi dan berfungsi sebagai
obyek sikap. Beberapa obyek sikap adalah abstrak dan beberapa lainnya
adalah kongkrit. Bentuk tertentu dapat berfungsi sebagai obyek sikap seperti
juga bentuk lainnya, tingkah laku dan jenis-jenis tingkah laku dapat berfungsi
sebagai obyek sikap.
Determinants of Attitude Toward Behavior
2.3.1.3
Fishbein (1993:168) menyebutkan attitudes toward behaviors
sebagai,
“...a function of behavioral beliefs, which represents the perceived
consequences of the act.”
Dalam model ini, sikap ditentukan oleh dua hal, yaitu keyakinan
(beliefs) dan evaluasi terhadap konsekuensi atau hasil (outcomes). Beliefs
mempresentasikan konsekuensi yang didapat dari suatu tindakan (behavioral
19
Bab II – Tinjauan Teoritis
beliefs), dan beliefs ini berinteraksi dengan evaluasi terhadap konsekuensi
dalam memunculkan suatu sikap.
Beliefs yang berhubungan dengan sikap terhadap tingkah laku tertentu
disebut behavioral beliefs. Individu yang yakin bahwa jika ia melakukan
tingkah laku tertentu akan mengarahkannya pada hasil yang positif, ia akan
menganggapnya sebagai suatu tingkah laku yang disukai (favorable attitude).
Individu yang yakin bahwa melakukan tingkah laku tertentu akan
mengarahkannya pada hasil yang negatif, ia akan menganggapnya sebagai
tingkah laku yang tidak disukai (unfavorable attitude).
Lebih jauh Ajzen dan Fishbein (1975) menyatakan bahwa
karakteristik utama yang membedakan sikap dengan konsep lainnya adalah
dimensi evaluatif, atau lebih spesifik lagi yaitu mengenai aspek afek.
Didapat suatu kesepakatan bahwa afek merupakan bagian paling
esensial dari konsep mengenai sikap. Oleh karena itu, Ajzen dan Fishbein
menyarankan bahwa pengukuran sikap harus dilakukan dengan cara
memposisikan subyek pada dimensi afektif atau evaluatif secara bipolar
mengenai suatu obyek (Ajzen dan Fishbein, 1975). Sikap mempresentasikan
perasaan
seseorang
secara
umum,
mengenai
ketertarikan
atau
ketidaktertarikan terhadap suatu obyek yang menjadi stimulus.
Hubungan antara sikap terhadap tingkah laku dengan behavioral
beliefs dan evaluasi terhadap konsekuensi atau hasil, dapat diformulasikan
sebagai berikut:
20
Bab II – Tinjauan Teoritis
AB v ¦ biei
Keterangan:
AB
: Sikap terhadap tingkah laku (Attitudinal toward behavior)
bi
: Behavioral beliefs yang menunjukkan suatu tingkah laku
yang mengarahkan pada suatu konsekuensi i.
ei
: Evaluasi terhadap konsekuensi i
Dari formula ini, kita dapat melihat bahwa sikap individu terhadap tingkah
laku tertentu ditentukan oleh keyakinannya bahwa melakukan tingkah laku
tersebut akan mengarahkan individu pada hasil tertentu dan juga ditentukan oleh
evaluasi terhadap hasil tersebut.
2.3.2
Norma Subyektif
2.3.2.1
Pengertian Norma Subyektif
Norma subyektif berkaitan dengan pengaruh lingkungan sosial. Ajzen
dan Fishbein (1975) mendefinisikan norma subyektif sebagai berikut:
“...is the person’s perception that most people who important to him
think he should or not perform the behavior in question.”
Norma subyektif adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial dari
significant person yang mengharapkan individu menampilkan atau tidak
menampilkan suatu tingkah laku.
21
Bab II – Tinjauan Teoritis
Tekanan sosial ini dapat berasal dari orang-orang yang dianggap
penting bagi individu (significant person) dan menjadi acuan (referent) yang
memunculkan motivasi individu untuk memenuhi harapan orang-orang
tersebut, misalnya orangtua, teman dalam kelompok, pasangan, dan
sebagainya.
Individu akan memiliki intensi untuk menampilkan suatu tingkah laku
ketika ia mengevaluasi bahwa melakukan tingkah laku tersebut merupakan
suatu hal yang positif dan ketika ia yakin bahwa orang-orang yang penting
baginya
(secara
perorangan
maupun
kelompok)
mengharapkan
ia
menampilkan tingkah laku tersebut.
Menurut Ajzen dan Fishbein, norma subyektif berkaitan dengan
keyakinan individu akan norma yang berlaku (normative belief). Lebih lanjut,
Fishbein (Eagle, 1993:171) menyatakan bahwa norma subyektif adalah:
“A function of normative beliefs, which represent perceptions of
significant others preferences about whether one should engage in a
behavior.”
Berdasarkan definisi di atas terdapat pengertian mendasar mengenai
adanya orang yang menjadi panutan (significant person) bagi seorang
individu dalam membentuk normative beliefs tertentu untuk bertingkah laku.
Significant person yang dimaksud adalah orang-orang yang berada di sekitar
individu yang setiap perkataanya dapat memberikan tekanan sosial bagi
individu
tersebut.
Penghayatan
individu
akan
harapan-harapan
ini
Bab II – Tinjauan Teoritis
22
menimbulkan tekanan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah
laku tertentu.
Normative beliefs sendiri merupakan keyakinan individu bahwa orangorang tertentu dalam hidupnya berpikir bahwa individu tersebut harus
melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tertentu. Individu yang berpikir
bahwa kebanyakan orang-orang yang menjadi rujukannya beranggapan ia
seharusnya tidak melakukan tingkah laku tertentu, akan memiliki norma
subyektif yang menekan individu untuk menghindari tingkah laku tersebut,
demikian juga sebaliknya.
Norma subyektif dapat langsung diketahui dengan cara menanyakan
kepada subyek, sejauh mana orang yang dianggap berarti baginya akan setuju
atau mengharapkan ditampilkannya suatu tingkah laku.
2.3.2.2
Determinan of Subjective Norm
Dalam model ini, norma subyektif adalah fungsi dari normative beliefs
dan motivasi. Normative beliefs mempresentasikan persepsi terhadap
persetujuan orang yang signifikan mengenai apa yang seharusnya dan tidak
seharusnya ditampilkan dalam suatu tingkah laku. Anggota keluarga
(orangtua), teman dekat, pasangan, dan guru bisa menjadi rujukan seorang
individu (remaja) dalam bertingkah laku.
Seorang individu akan mempersepsikan harapan atau keyakinan dari
orang yang signifikan mengenai apa yang seharusnya dan yang tidak
seharusnya dilakukan. Individu akan mencoba mempersepsikan apakah
dirinya telah sesuai dengan harapan dari orang-orang yang signifikan bagi
23
Bab II – Tinjauan Teoritis
dirinya atau dipersepsikan memberi kesetujuan untuk bertingkah laku tertentu,
maka hak tersebut akan menjadi acuan atau menjadi suatu belief bagi individu
tersebut dalam melakukan tingkah laku tertentu.
Begitu pula sebaliknya, jika kebanyakkan orang yang signifikan
dipersepsi seorang individu memberikan ketidaksetujuannya untuk bertingkah
laku tertentu, maka hal tersebut akan menjadi acuan atau menjadi suatu belief
bagi individu untuk tidak melakukan tingkah laku tersebut.
Norma subyektif juga ditentukan oleh motivasi seorang individu untuk
melakukan sesuatu mengikuti harapan atau persetujuan dari orang yang
menjadi rujukannya tersebut. Normative beliefs yang dimiliki seorang
individu akan berinteraksi dengan motivasinya untuk membentuk norma
subyektif. Jika disimbolkan ke dalam formula menjadi:
SN v ¦ nimi
Keterangan :
SN
: Norma subyektif (Subjective Norms)
ni
: Normative beliefs
mi
: Motivasi untuk patuh pada referent/significant person
Dari formulasi ini dapat dilihat bahwa norma subyektif yang dimiliki
individu ditentukan oleh keyakinannya pada apa yang significant person
pikirkan, tentang apakah ia harus melakukan tingkah laku tersebut atau tidak,
juga ditentukan oleh motivasinya, apakah ia mau mematuhi orang tersebut
atau tidak.
Bab II – Tinjauan Teoritis
2.3.3
24
Perceived Behavior Control (PBC)
2.3.3.1
Pengertian PBC
Ajzen (1988) mendefinisikan PBC sebagai berikut,
“...this factor refers to the perceived ease or difficulty of performing
the behavior and it assumed to reflect past experience as well as
anticipated impediment and abstracles.”
Faktor ini menggambarkan persepsi individu mengenai mudah atau
sulitnya menampilkan tingkah laku tertentu yang diasumsikan sebagai refleksi
pengalaman masa lalu dan hambatan yang diantisipasi.
PBC ditentukan oleh sejumlah control belief tertentu yang memberikan
sarana bagi terbentuknya perilaku. Misalnya keyakinan mengenai adanya
faktor-faktor yang dapat memfasilitasi atau menghalangi munculnya suatu
tingkah laku tertentu. Lebih fokus lagi kekuatan dari masing-masing control
belief dipengaruhi oleh kekuatan dari adanya kesadaran akan faktor-faktor
yang mampu dikontrol dan hasil-hasil yang mampu diperoleh (perceived
power).
PBC merupakan refleksi yang akurat dari actual behavior control.
Actual behavior cantrol sendiri adalah tingkatan keterampilan, sumber daya,
dah hal-hal lain yang dibutuhkan untuk terbentuknya suatu perilaku. Untuk
menyatakan bahwa PBC merupakan refleksi akurat dari actual behavioral
control, adalah PBC dapat bersama-sama dengan intensi digunakan untuk
memprediksi munculnya suatu perilaku.
25
Bab II – Tinjauan Teoritis
2.3.3.2
Determinan of Perceived Behavioral Control (PBC)
Pada dasarnya perceived behavioral control ditentukan oleh dua faktor
yaitu control belief dan perceived power. PBC mengindikasikan bahwa
motivasi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana tingkat kesulitan dari suatu
perilaku yang disadari menjadi nyata, sebagaimana persepsi mengenai
bagaimana seorang individu yang sukses mampu menampilkan suatu perilaku.
Jika seseorang memiliki control belief mengenai keberadaan faktor-faktor
yang dapat memfasilitasinya untuk menampilkan suatu perilaku, maka
individu tersebut akan memiliki perceived control yang tinggi terhadap
perilaku tersebut.
Hubungan antara perceived behavioral control dengan control beliefs
dan perceived power dapat diformulasikan sebagai berikut:
PBC v ¦ cipi
Keterangan:
PBC
: Perceived Behavioral Control
ci
: control belief yang menunjukkan suatu tingkah laku
yang mengarah pada suatu konsekuensi i
pi
: Perceived power terhadap konsekuensi i
Dari formula ini, kita dapat melihat bahwa PBC individu terhadap
tingkah laku tertentu ditentukan oleh keyakinannya bahwa ia dapat
melakukan tingkah laku tersebut berdasarkan keahlian (skill) dan sumber daya
Bab II – Tinjauan Teoritis
26
yang ia miliki. Hal ini juga ditentukan oleh adanya kekuatan yang disadari
(perceived power) dalam menampilkan perilaku tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PBC terbentuk dari
keyakinan-keyakinan (belief) yang disebut control belief dan persepsi
individu terhadap hambatan realistis yang ada ketika menampilkan tingkah
laku tertentu. Semakin banyak kondisi yang memfasilitasi (kemampuan dan
kesempatan) dan semakin banyak hambatan atau rintangan yang diantisipasi,
maka persepsi mengenai kontrol terhadap tingkah laku semakin positif.
PBC diasumsikan mempunyai implikasi motivasional terhadap intensi.
Individu yang meyakini dirinya tidak memiliki kemampuan maupun
kesempatan-kesempatan untuk menampilkan tingkah laku tertentu cenderung
memiliki intensi yang rendah meskipun mereka memiliki sikap positif
terhadap tingkah laku dan meyakini bahwa orang-orang yang penting bagi
dirinya menyetujui ditampilkannya tingkah laku tersebut.
Penjelasan selanjutnya mengenai PBC adalah kemungkinan adanya
hubungan langsung antara PBC dan tingkah laku. Menurut Ajzen (1988),
PBC dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang secara tidak langsung, yaitu
melalui intensi dan dapat juga digunakan untuk memprediksi tingkah laku
secara langsung. Hal ini dikarenakan PBC dapat dianggap sebagai pengganti
dari pengukuran kontrol yang sesungguhnya. Garis panah yang putus-putus
pada bagan 2.1 mengindikasikan adanya hubungan antara PBC dan tingkah
laku ketika ada kesamaan atau kesesuaian antara persepsi terhadap kontrol
individu terhadap tingkah laku sebenarnya.
Bab II – Tinjauan Teoritis
2.3.4
27
Pembentukan nilai-nilai keyakinan (Belief Formation)
Menurut Ajzen dan Fishbein (1975) keyakinan atau belief mengenai suatu
objek merupakan dasar dari pembentukan sikap terhadap obyek yang pada
akhirnya akan menentukan intensi perilakunya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
keyakinan merupakan peluang penilaian individu terhadap aspek-aspek khusus
dalam dunia yang dihayatinya. Secara khusus disebutkan bahwa keyakinan
merupakan hubungan probabilitas subyektif antara individu dengan suatu obyek
keyakinan seperti nilai-nilai, konsep-konsep, atau atribut-atribut tertentu.
Dari definisi tersebut dapat dinilai bahwa pembentukan keyakinan
melibatkan kaitan antara dua aspek dari dunia individu. Pembentukan keyakinan
tergantung pada informasi yang diperoleh dan pengolahan informasi tersebut oleh
individu. Keyakinan-keyakinan yang terbentuk berbeda, sesuai dengan informasi
yang diperoleh.
Proses pembentukkan beliefs atau keyakinan ini dapat dibedakan menjadi
tiga proses (Ajzen dan Fishbein, 1975).
1. Melalui pengalaman langsung dengan obyek yang berhubungan yang akan
membentuk descriptive beliefs. Descriptive beliefs diperoleh melalui
observasi langsung bahwa suatu obyek memiliki atribut tertentu mengenai
indera-indera yang dimiliki, misalnya seorang dapat merasakan atau
melihat bahwa cincin itu bulat, atau dapat mencium sate kambing yang
sedang dibakar, atau melihat wanita cantik.
2. Melalui suatu proses penyimpulan dari data atau fenomenik yang ada
(logika berpikir individu) yang akan membentuk inferential beliefs. Beliefs
Bab II – Tinjauan Teoritis
28
yang dibentuk melalui proses ini biasanya berupa beliefs mengenai
karakteristik yang tidak diobservasi langsung, misal jujur, ramah, tertutup,
sopan, atau pintar. Kesimpulan yang diambil mengenai beliefs tersebut
didasarkan pada descriptive beliefs yang sudah ada, atau didasarkan pada
inferential beliefs yang sudah ada.
3. Melalui penerimaan informasi yang tersedia di luar dirinya yang akan
membentuk informational beliefs. Informasi yang diterima bisa berasal
dari koran, buku, majalah, televisi, radio, pengajar, teman, saudara, rekan
kerja. Informasi yang tersedia juga menghasilkan descriptive beliefs
artinya bahwa individu akan meyakini bahwa sumber tersebut akan
menyediakan informasi mengenai hubungan suatu obyek dengan beberapa
atribut tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa beliefs dapat dibentuk melalui setidaknya dua
cara yaitu melalui pengalaman langsung dalam suatu situasi sehingga individu
menyadari atau mengetahui adanya hubungan antara obyek dengan suatu atribut,
dan atau individu dapat diberi tahu melalui sumber yang ada di luar dirinya bahwa
suatu obyek memiliki hubungan dengan atribut tertentu.
2.3.5
Intensi
Ajzen dan Fisbein mendefinisikan intensi atau niat sebagai beliefs
seseorang mengenai apa yang akan dilakukan dalam suatu tingkah laku, atau
harapan seseorang mengenai apa yang akan dilakukan dalam suatu tingkah laku
29
Bab II – Tinjauan Teoritis
atau harapan seseorang mengenai tingkah laku mereka sendiri dalam setting yang
ada (Eagly, 1993: 184).
Berangkat dari theory of planned behavior yang menyatakan bahwa intensi
merupakan determinan langsung dari tingkah laku maka dapat disebutkan bahwa
tingkah laku individu tertentu akan konsisten dengan intensinya terhadap tingkah
laku tersebut. Jika ada intensi untuk bertingkah laku tertentu, maka ia akan
melakukan tingkah laku tersebut.
Dalam mekanismenya, sikap dan norma subyektif yang dimiliki individu
menumbuhkan intensi terhadap tingkah laku. Hubungan intensi dengan kedua
komponen dasar menentukan ini dapat diformulasikan sebagai berikut:
B ~ I = (AB)w1 + (SN)w2
B
Keterangan:
B
: Tingkah laku (behavior)
I
: Intensi untuk melakukan tingkah laku B
AB
: Sikap terhadap tingkah laku B
SN
: Norma subyektif
w1
: Bobot penentu secara empiris dari variabel sikap
w2
: Bobot penentu secara empiris dari variabel norma subyektif
Variabel atau komponen sikap dan norma subyektif terhadap tingkah laku
tertentu mempunyai bobot tersendiri. Bobot ini sendiri merupakan kepentingan
yang relatif (relative important) yang akan dapat menentukan variabel sikap atau
variabel norma subyektifkah yang lebih besar pengaruhnya dalam membentuk
suatu intensi untuk bertingkah laku tertentu. Variabel sikap yang dilambangkan
30
Bab II – Tinjauan Teoritis
dengan w1 mempresentasikan kontribusi atau peranan dari variabel sikap terhadap
terbentuknya niat (intention) untuk melakukan tingkah laku tertentu. Begitu pula
halnya dengan variabel norma subyektif, variabel ini dilambangkan dengan w2
yang mempresentasikan kontribusi atau peranan dari variabel norma subyektif
terhadap terbentuknya intensi untuk melakukan tingkah laku tertentu, dan intensi
ini yang kemudian menentukan tingkah laku tersebut muncul.
Walaupun demikian terdapat variabel eksternal (external variables).
Variabel eksternal ini dapat berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, status
sosioekonomi, pendidikan, kepribadian, dan sikap terhadap target tertentu.
Variabel ini dapat mempengaruhi beliefs seseorang terhadap pertimbangan
relatif individu pada sikap dan pertimbangan normatif yang dipegang.
Konsekuensinya memang variabel ini dapat mempengaruhi tingkah laku. Akan
tetapi tidak ada hubungan yang penting atau kuat antara variabel eksternal ini
dengan tingkah laku. Dengan kata lain, variabel ekternal akan memiliki efek
terhadap tingkah laku sebagai perluasan variabel tersebut mempengaruhi
determinan dari tingkah laku (Ajzen dan Fishbein, 1975).
2.3.6 Dampak Variabel Eksternal terhadap Intensi
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti sikap
terhadap
target,
sifat-sifat
kepribadian,
dan
karakteristik-karakteristik
demographic sering kali berhubungan dengan tingkah laku. Walaupun mengakui
arti penting faktor-faktor tersebut. Ajzen dan Fishbein tidak memasukkan faktorfaktor
tersebut
sebagai
bagian
yang
menempatkannya sebagai variabel eksternal.
menyatu
dalam
teorinya,
tetapi
Bab II – Tinjauan Teoritis
31
Menurut Ajzen dan Fishbein, secara tidak langsung variabel eksternal
dapat mempengaruhi belief yang dipegang oleh individu atau relativitas derajat
kepentingan belief yang berhubungan dengan sikap dan pertimbangan normatif.
Variabel eksternal dan mempengaruhi pembentukan belief dengan
beberapa cara:
1. Mempengaruhi individu untuk memiliki belief tertentu,
2. Mempengaruhi kekuatan satu atau beberapa belief yang dipegang oleh
individu,
3. Mempengaruhi penilaian atau evaluasi individu terhadap hasil tingkah
laku.
Selain bagan 2.1 di atas, Ajzen dan Fishbein (1980) menggambarkan
hubungan tidak langsung antara berbagai variabel eksternal dengan sikap terhadap
tingkah laku, norma subyektif, intensi, dan tingkah laku melalui bagan berikut:
Bab II – Tinjauan Teoritis
32
Bagan di atas mengilustrasikan bagaimana berbagai tipe variabel eksternal
dapat mempengaruhi intensi dan tingkah laku secara tidak langsung melalui
efeknya terhadap behavioral beliefs, outcome evaluations, normative beliefs,
motivation to comply atau pada relative weight of the attitudinal and normative
component.
2.4
Perilaku Seksual
2.4.1
Pengertian Perilaku Seksual
Menurut Sarlito Wirawan (2004:140), yang dimaksud perilaku seksual
adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan
Bab II – Tinjauan Teoritis
33
jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa
bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan,
bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang
dalam khayalan atau diri sendiri.
Sedangkan perilaku seksual pranikah adalah kedekatan fisik yang
melibatkan penyatuan alat kelamin (coitus) sebelum menikah (Hurlock,
1973:289).
2.4.2
Pola perilaku seksual yang dianggap sesuai oleh masyarakat
Bertingkah laku heteroseksual yang disetujui secara sosial merupakan
tugas yang ketiga untuk mencapai kematangan seksualitas. Untuk menguasai
tugas ini, remaja melewati fase-fase perilaku heteroseksual yang cukup jelas.
Setiap fase memberikan pelajaran-pelajaran yang digunakan pada fase
selanjutnya. Jika seorang remaja tidak melewati salah satu fase prilaku
heteroseksual ini, maka ia akan melewatkan kesempatan untuk belajar sehingga
akan mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah yang akan timbul dari fase
berikutnya.
Fase-fase tingkah laku heteroseksual adalah:
1. Crushes and hero worship.
Crushes adalah keterikatan emosi yang kuat terhadap individu yang
lebih tua dan memiliki hubungan personal dengan remaja. Sedangkan
hero worship adalah keterikatan emosi yang kuat terhadap seseorang
yang dikagumi dari jauh.
34
Bab II – Tinjauan Teoritis
Mempunyai orang yang dikagumi membantu remaja untuk menjadi
lebih mandiri dan membuat keputusan akan menjadi seperti apa dirinya
kelak. Menurut Gallagher, dengan memiliki orang yang dikagumi di
luar lingkup keluarga, remaja akan mendapatkan keuntungan dalam
melalui
perkembangan
emosinya.
Remaja
akan
mendapatkan
kemandirian dengan cara yang lebih menyenangkan (Gallagher dalam
Hurlock,1973:282).
Sedangkan hero worship mendorong remaja untuk berusaha mencapai
kesuksesan. Hal ini membantunya untuk merumuskan tujuan dan nilainilai. Pada fase ini remaja mencoba untuk mengembangkan gambaran
kepribadian yang menurutnya paling ideal.
2. Puppy love.
Remaja menunjukkan afeksi terhadap remaja seusianya dengan
menggoda, bertindak kasar dan hal-hal lain yang berlawanan dengan
perasaannya.
Fase ini merupakan pengalaman awal remaja yang melibatkan lawan
jenisnya. Remaja belajar untuk menilai anggota lawan jenisnya dengan
standar penilaian tertentu sehingga menjadi lebih selektif. Pada fase
ini, biasanya remaja sangat memfokuskan diri dengan urusan
percintaan sehingga menelantarkan sekolah dan tanggung jawab di
rumah. Hal ini dapat memunculkan kritik dari orang tua dan hubungan
anak-orang tua menegang.
Bab II – Tinjauan Teoritis
35
3. Dating.
Berkencan (dating) adalah aktivitas sosial yang dilakukan bersama
tanpa adanya komitmen. Hal ini biasanya bermula dari aktivitas suatu
kelompok bermain lalu berkembang menjadi aktivitas yang dilakukan
secara berpasangan.
Remaja yang tidak berkencan pada umumnya menjadi remaja yang
kurang bisa bertingkah laku dalam situasi sosial dimana terdapat kedua
jenis kelamin. Hal ini menyebabkan perasaan inferior dan frustrasi saat
memasuki lingkungan kuliah atau pekerjaan.
4. Going steady.
Setelah melalui proses berkencan dengan beberapa remaja lawan jenis,
seorang remaja memilih satu orang yang dianggap sebagai “pacar”.
Fase ini menuntut adanya komitmen sehingga anggotanya dilarang
berkencan dengan orang lain kecuali dengan pasangannya.
5. Pinning.
Pada fase ini, remaja sudah mulai memikirkan arah dari hubungan
mereka menuju pernikahan, namun belum disosialisasikan secara
formal (tunangan).
6. Engagement.
Saat pasangan remaja telah sepakat untuk menikah, maka diadakan
upacara pemberian cincin atau simbolisasi lain.
Bab II – Tinjauan Teoritis
36
7. Marriage.
Pernikahan merupakan persatuan dari dua orang dengan jenis kelamin
yang berbeda dengan komitmen yang permanen terhadap satu sama
lain dan kepada anak-anak mereka.
Banyak remaja menghadapi masalah saat melalui fase-fase ini. Masalah
yang pertama adalah beberapa remaja berada pada satu fase terlalu lama sehingga
saat mereka memutuskan untuk beralih ke fase yang berikutnya, mereka terlihat
tidak dewasa jika dibandingkan dengan teman sebayanya yang telah berada pada
fase tersebut lebih dahulu. Masalah yang kedua adalah remaja terlalu cepat
melewati fase tertentu. Hal ini akan menyebabkan seorang remaja tidak memiliki
waktu yang cukup untuk menyerap semua keterampilan yang harus dikuasainya.
2.4.3
Cara-cara untuk mengekspresikan cinta untuk orang lain
Untuk menjalani transisi heteroseksualitas, seorang remaja harus belajar
untuk berorientasi kepada orang lain, untuk mengekspresikan dan menerima rasa
cinta dengan orang lain. Seorang remaja harus menunjukkan bagaimana
menunjukkan penghargaan terhadap rasa cinta yang diberikan oleh orang lain.
Perubahan ini cukup mendasar dan diperlukan waktu bagi remaja untuk berubah.
Untuk menjadi remaja yang berorientasi kepada orang lain, diperlukan dua
kemampuan dasar. Kemampuan yang pertama adalah seorang remaja harus
mengetahui metode-metode untuk mengekspresikan afeksi yang disetujui oleh
masyarakat. Seorang remaja belajar cara yang tepat untuk mengekspresikan
perasaannya dengan mengobservasi orang dewasa, teman sebayanya dan cara-cara
yang dikemas oleh media massa. Kemampuan yang kedua adalah seorang remaja
Bab II – Tinjauan Teoritis
37
harus mengetahui sampai sejauh mana masyarakat mengizinkan seorang individu
untuk menunjukkan perasaannya. Terlepas dari seberapa besar cintanya terhadap
seseorang, seorang remaja harus mengendalikan tingkah laku pengekspresian
cintanya.
Pada fase awal hubungan heteroseksual, terutama pada crushes dan hero
worship, ekspresi cinta yang ditunjukkan tidak bersifat fisik. Secara perlahan,
sejalan dengan meningkatnya dorongan seksual setelah pubertas, perasaan kasih
sayang digantikan oleh perasaan cinta. Cinta adalah keterkaitan emosi antara
individu-individu yang berbeda jenis kelamin dengan disertai oleh dorongan
seksual dan kasih sayang. Dengan munculnya dorongan seksual ini, ekspresi cinta
secara fisik mulai dimunculkan di samping ekspresi non-fisik. Tingkah laku
pengekspresian cinta yang melibatkan dorongan seksual sehingga terjadi kontak
fisik disebut dengan perilaku seksual. Ekspresi cinta yang umumnya dimunculkan
oleh remaja adalah (Hurlock,1973:289):
1. Keepsakes
Setiap hal yang berhubungan dengan pasangan dianggap sesuatu yang
berharga karena memiliki arti simbolis tertentu.
2. Constant association
Setiap perpisahan, walaupun hanya sebentar menimbulkan perasaan
sedih. Usaha dikerahkan untuk berhubungan dengan pasangan seperti
menelpon, sms, e-mail dan lain sebagainya)
38
Bab II – Tinjauan Teoritis
3. Confidence
Keinginan untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan, harapan dan
keinginan, serta prinsip dan perasaan.
4. Creative expressions
Membuat sesuatu untuk pasangan seperti surat cinta, puisi, diary,
makanan dan lain sebagainya.
5. Jealousy
Orang
lain
yang
menunjukkan
perhatian
kepada
pasangan
menimbulkan perasaan cemburu.
6. Necking
Kedekatan fisik yang ditandai dengan ciuman ringan dan belaian pada
bagian tubuh tidak lebih rendah daripada leher.
7. Petting
Kedekatan fisik yang ditandai dengan usaha untuk memberikan sensasi
erotis tanpa menyatukan alat kelamin (coitus) dan memungkinkan
terjadinya pelepasan seksual (orgasme).
8. Premarital intercourse
Kedekatan fisik yang ditandai dengan usaha untuk memberikan
pelepasan seksual (orgasme) dengan menyatukan alat kelamin (coitus)
sebelum menikah.
Semua ekspresi hubungan heteroseksual di atas pada dasarkan membawa
perasaan puas bagi yang memberikan maupun yang menerima. Semua ekspresi di
atas memberikan perasaan aman, dan memberikan pemenuhan kebutuhan seksual
39
Bab II – Tinjauan Teoritis
pada tingkat tertentu. Ekspresi yang terbilang sederhana seperti keepsakes dan
keinginan untuk terus berhubungan tidak menyebabkan permasalahan secara
psikologis, bahkan dapat membantu remaja untuk lebih berorientasi kepada orang
lain mengingat pada pubertas cenderung membuat remaja menjadi egosentris.
Ekspresi cinta yang dianggap berpengaruh buruk adalah necking dan
petting. Hal ini disebabkan karena ekspresi ini cenderung mendorong kepada
perilaku seksual yang lebih jauh yaitu premarital intercourse yang dapat
mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan penyakit menular seksual. Selain itu,
pengalaman yang tidak menyenangkan saat remaja melakukan petting dapat
membuat remaja menjadi trauma terhadap petting maupun pada pernikahan.
Apakah petting akan membawa pengaruh positif atau negatif tergantung dari
petting seperti apa yang dilakukan serta alasannya. Petting yang dilakukan dengan
“cinta” akan mengarah pada hubungan heteroseksual yang memuaskan baik
sebelum maupun sesudah menikah.
Akibat dari premarital intercourse ditentukan dari nilai moral dan
keyakinan remaja terhadap keamanan dari perilaku tersebut. Saat remaja
melakukan sesuatu yang menurutnya adalah sesuatu yang salah, remaja tersebut
akan merasa bersalah dan malu. Rasa menyesal karena memulai berhubungan
seksual sebelum menikah kerap dialami remaja perempuan maupun laki-laki,
sekali
mereka
memulai
berhubungan
seksual
maka
akan
sulit
untuk
menghentikannya. Beberapa remaja perempuan takut jika mereka menolak untuk
melakukan hubungan seksual dengan pasangannya maka mereka akan
40
Bab II – Tinjauan Teoritis
ditinggalkan. Para remaja juga takut jika perilaku seksual mereka diketahui orang
lain, mereka akan diasingkan.
Reaksi orang tua terhadap perilaku seksual anak mereka pada masa
sekarang lebih positif dibandingkan pada masa lalu. Saat ini, anak yang diketahui
telah melakukan hubungan seksual atau hamil sebelum menikah biasanya
dinikahkan secepatnya, berbeda dengan masa lalu dimana anak yang telah
berhubungan seksual diasingkan dan tidak dianggap lagi sebagai keluarga. Sebuah
perkawinan yang dimasuki karena keadaan yang memaksa atau karena rasa takut
lebih
besar
kemungkinannya
untuk
menghadapi
berbagai
masalah
(Hurlock,1973:289). Hal ini disebabkan karena pernikahan membutuhkan banyak
penyesuaian dari kedua belah pihak, sehingga rasa takut, tekanan karena
kehamilan di luar nikah atau tekanan karena keadaan keluarga atau hal lainnya
akan menambah tekanan dalam memulai rumah tangga.
2.4.4
Bentuk-bentuk perilaku seksual
Perilaku seksual remaja biasanya sifatnya meningkat atau progresif
(Broderick & Rowe, 1968; DeLamater & MacCorquodale, 1979). Terdapat
beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa dilakukan. Setiap individu
melakukan bentuk perilaku yang berbeda, namun mengikuti pola-pola yang dapat
diprediksikan. Bentuk perilaku seksual yang dilakukan oleh seseorang
mempengaruhi self-concept dari individu tersebut. Semakin tingkah lakunya
berbeda atau menyimpang dibandingkan dengan masyarakat disekitarnya,
semakin buruklah penilaian masyarakat terhadap dirinya dan semakin buruk pula
Bab II – Tinjauan Teoritis
41
ia menilai dirinya sendiri (Hurlock,1976:316). Berikut ini akan dijelaskan
bentuk-bentuk perilaku seksual menurut Hurlock.
Salah satu bentuk perilaku seksual yang paling awal adalah exploration.
Keingintahuan selalu mengarah kepada eksplorasi. Eksplorasi dapat berupa
berbagai macam bentuk. Bentuk yang pertama adalah eksplorasi yang sepenuhnya
bersifat intelektual, contohnya saat anak-anak bertanya kepada orangtua mengenai
seksualitas atau saat seorang individu membaca buku tentang seksualitas untuk
memuaskan keingintahuannya. Bentuk yang kedua adalah eksplorasi yang bersifat
manipulatif, misalnya mengeksplorasi bagian-bagian tubuh sendiri atau orang
lain. Jika anak-anak diajarkan bahwa perilaku eksplorasi terutama yang bersifat
manipulatif adalah hal yang salah dan dilarang, perilaku ini biasanya dilakukan
secara diam-diam dengan perasaan takut tertangkap atau dihukum. Jika hal ini
dibiarkan, maka lambat laun akan menjadi perasaan cemas dan perasaan bersalah
setiap melakukan perbuatan terlarang ini.
Bentuk perilaku seksual yang biasa dilakukan oleh anak-anak dan remaja
adalah masturbasi. Walaupun tidak ada dampak fisik yang buruk, penilaian
masyarakat mengenai perilaku ini sangat negatif. Penilaian negatif ini
menyebabkan sebagian besar anak-anak memiliki perasaan bersalah dan malu dan
dapat berkembang menjadi kegelisahan akut akan akibat yang akan mereka terima
jika melakukan masturbasi.
Perilaku masturbasi mencapai puncaknya saat anak memasuki masa
pubertas dimana tubuh seorang anak mengalami perubahan. Pada masa ini
terdapat perilaku yang disebut dengan homosexual play dimana anak bermain
Bab II – Tinjauan Teoritis
42
dengan sesama jenisnya. Masturbasi dan homosexual play mendahului perasaan
erotis yang muncul dari kontak fisik dengan lawan jenis. Pada masa ini pada
umumnya anak mengalami crushes and heroworship.
Saat anak memasuki masa remaja dan telah mencapai kematangan seksual,
dorongan seksnya diarahkan kepada lawan jenis. Saat dorongan seks remaja
diarahkan pada lawan jenis, terjadi penurunan pada perilaku masturbasi dan
homosexual play. Sebaliknya, terjadi peningkatan pada perilaku heterosexual play
yang bentuknya berupa necking, petting dan sexual intercourse. Saat dorongan
seksual meningkat bersamaaan dengan kematangan seksual, pada beberapa kasus
terdapat remaja yang melakukan pemaksaan kepada pasangannya untuk
berhubungan seksual. Perilaku ini disebut dengan aggressive sex play.
2.5
Kerangka Pemikiran
Remaja pada umumnya telah mencapai kematangan seksual, yang ditandai
dengan terjadinya mimpi basah oleh remaja laki-laki dan menstruasi pada remaja
perempuan yang menandakan telah mampu untuk bereproduksi (Steinberg,
2002). Selain itu remaja juga telah mengalami perkembangan ciri seks sekunder
yang membuat keadaan tubuh mereka mulai menyerupai tubuh orang dewasa.
Kematangan seksual ini menimbulkan ketertarikan antar remaja dengan lawan
jenis kelaminnya (Hurlock, 1980). Ketertarikan yang muncul menimbulkan
dorongan kepada remaja untuk berinteraksi dengan lawan jenisnya. Interaksi
remaja dengan lawan jenisnya disebut dengan relasi heteroseksual.
43
Bab II – Tinjauan Teoritis
Menurut Hurlock (1973), remaja mulai mengenal arti cinta dan berusaha
mengekspresikannya. Relasi heterosekual yang terjalin antara dua remaja juga
tidak sama dengan relasi heteroseksual pada masa anak-anak. Pada masa remaja
relasi heteroseksual yang terjalin disertai dengan perasaan dan dorongan seksual.
Menurut
Faturochman
(1990),
hubungan
pacaran
memperbesar
kemungkinan terjadinya perilaku seksual diantaranya hubungan seksual pranikah
(premarital sexual intercourse). Salah satu perilaku seksual menurut Hurlock
adalah premarital intercourse, yaitu kedekatan fisik yang ditandai dengan usaha
untuk memberikan pelepasan seksual (orgasme) dengan menyatukan alat kelamin
(coitus). Bentuk tingkah lakunya adalah berhubungan seksual atau senggama.
Menurut Ajzen, kemunculan tingkah laku ditandai oleh adanya intensi individu
untuk bertingkah laku. Intensi adalah kemungkinan subyektif individu untuk
melakukan tingkah laku tertentu. Intensi merupakan indikasi dan kesiapan
individu untuk memunculkan tingkah laku, sehingga dianggap sebagai determinan
yang paling dekat dengan tingkah laku.
Dalam Theory of Planned Behavior, intensi terbentuk dari tiga determinan,
yaitu sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif terhadap tingkah laku dan
persepsi kontrol tingkah laku (PBC). Ketiga determinan ini membentuk intensi
yang mengindikasikan kemunculan tingkah laku yang dalam penelitian ini
merupakan tingkah laku hubungan seksual pranikah. Determinan yang pertama
yaitu sikap terhadap perilaku hubungan seksual. Sikap merupakan kecenderungan
yang dipelajari untuk berespon terhadap suatu obyek yang dinyatakan secara
konsisten dengan perasaan menyukai atau tidak menyukai (Ajzen, 1988). Sikap
44
Bab II – Tinjauan Teoritis
adalah perasaan menyukai atau tidak menyukai seorang individu mengenai suatu
obyek sikap. Dalam penelitian ini, obyek sikap yang dimaksud adalah perilaku
hubungan seksual.
Sikap terhadap perilaku hubungan seksual pranikah terbentuk dari
keyakinan bahwa tingkah laku berhubungan seksual akan menghasilkan
konsekuensi tertentu (behavioral beliefs) dan evaluasi siswa mengenai
konsekuensi tersebut. Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap siswa SMU “X”,
beberapa diantara mereka mempunyai keyakinan bahwa dengan berhubungan
seksual ia akan lebih dekat dengan pasangannya, dapat menyalurkan dorongan
seksual, dan mengikuti perkembangan pergaulan. Beberapa siswa mengevaluasi
bahwa kedekatan dengan pasangan, dapat menyalurkan dorongan seksual, dan
mengikuti perkembangan pergaulan merupakan outcome yang positif, maka ia
akan mempunyai sikap yang positif terhadap tingkah laku hubungan seksual
pranikah. Namun, beberapa siswa mengevaluasi bahwa hubungan seksual
pranikah akan menghasilkan outcome yang negatif seperti dapat menyebabkan
kehamilan, tertular penyakit menular seksual, dan takut dikucilkan, maka ia akan
memiliki sikap yang negatif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah.
Determinan yang kedua dari intensi berhubungan seksual pranikah adalah
norma subyektif. Norma subyektif adalah tekanan sosial yang dipersepsikan oleh
individu
untuk
melakukan
atau
tidak
melakukan
suatu
tingkah
laku
(Fishbein&Ajzen, 1975:302). Norma subyektif terbentuk dari keyekinan bahwa
orang-orang yang penting (significant person) bagi siswa akan menyetujui atau
Bab II – Tinjauan Teoritis
45
tidak menyetujui tingkah laku tersebut (normative beliefs) dan motivasi siswa
untuk memenuhi harapan dari orang-orang tersebut.
Adapun Orang-orang yang dinilai penting oleh siswa SMU “X” dalam hal
perilaku hubungan seksual ini antara lain orangtua, guru, pasangannya, orangtua,
dan teman. Beberapa diantara siswa percaya bahwa pasangannya akan menyetujui
dirinya melakukan tingkah laku tersebut dan siswa tersebut mempunyai motivasi
yang kuat untuk memenuhi harapan pasangan ataupun temannya yang pernah
melakukan hubungan seksual, maka akan menambah kemungkinan untuk
memiliki norma subyektif yang positif terhadap perilaku hubungan seksual
pranikah. Akan tetapi bagi siswa yang tidak memiliki motivasi untuk memenuhi
harapan dari pasangan maupun temannya dan bahkan lebih mementingkan
harapan dari orangtua atau guru untuk menghindari perilaku tersebut, maka akan
menambah kemungkinan untuk memiliki norma subyektif yang negatif.
Determinan yang ketiga adalah persepsi kontrol tingkah laku (PBC). PBC
adalah persepsi individu terhadap kemudahan atau kesulitan dalam menampilkan
tingkah laku serta diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman masa lalu dan
antisipasi dari hambatan yang mungkin muncul (Ajzen, 1988). PBC dibentuk oleh
persepsi individu terhadap adanya faktor-faktor yang dapat mendukung atau
menghalangi munculnya tingkah laku (control beliefs) dan persepsi tentang
seberapa kontrol yang individu miliki untuk mengatasi faktor-faktor tersebut.
Beberapa control beliefs pada siswa SMU “X” adalah ketika ada
kesempatan untuk melakukan perilaku seksual seperti dorongan seksual yang sulit
dibendung, pasangan meminta untuk melakukan hubungan seks, atau bahkan
Bab II – Tinjauan Teoritis
46
kondisi rumah sedang yang sedang kosong. Sehingga siswa yang tidak melakukan
perilaku hubungan seksual pranikah karena dirinya mengingat ajaran agama,
ataupun dirinya masih menganggap tabu perbuatan itu. Maka hal ini dianggap
sebagai salah satu hal yang menghambat perilaku seksual pranikah itu muncul.
Siswa yang mempersepsikan hambatan-hambatan yang ada seperti
perasaan berdosa, tidak ada tempat untuk melakukannya, atau pengawasan dari
orangtua sebagai hal yang bisa ia kontrol sehingga tidak menghalangi munculnya
tingkah laku, maka PBC-nya kuat. Sedangkan siswa yang mempersepsikan
hambatan-hambatan yang ada sebagai suatu hal yang tidak mungkin dilanggar
sehingga meniadakan kemungkinan munculnya tingkah laku, maka PBC-nya
lemah.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ketiga determinan ini
membentuk intensi yang mengindikasikan kemunculan tingkah laku hubungan
seksual pranikah. Semakin kuat intensi individu untuk melakukan hubungan
seksual pranikah, semakin besar pula kemungkinan individu untuk melakukan
hubungan seksual pranikah.
Kekuatan dari intensi untuk bertingkah laku terkait erat dengan kekuatan
dari masing-masing determinan penyusunnya. Semakin tinggi keyakinan bahwa
tingkah laku hubungan seksual pranikah menghasilkan outcome yang positif,
semakin positif pula sikap yang dimiliki siswa, semakin kuat pula intensinya.
Intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah juga menguat apabila
terdapat norma subyektif yang positif terhadap perilaku hubungan seksual
pranikah. Siswa yang menyakini bahwa orang-orang penting baginya akan
47
Bab II – Tinjauan Teoritis
menyetujui ditampilkannya tingkah laku hubungan seksual pranikah akan
memiliki norma subyektif yang positif.
Penguatan intensi juga dapat disebabkan oleh semakin positifnya PBC.
Siswa yang mempersepsikan bahwa tingkah laku hubungan seksual pranikah
adalah tingkah laku yang mungkin untuk dilakukan dan meyakini bahwa dirinya
mampu mengontrol segala hal yang bisa menghalangi maupun yang mendukung
munculnya tingkah laku akan memiliki PBC yang positif.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran mendalam mengenai intensi berhubungan seksual pranikah
pada siswa SMU “X” Bandung, dilihat dari determinan pembentuknya.
Skema Berpikir
Sikap terhadap
Perilaku
Hubungan
Seksual Positif
Norma Subyektif
tentang Perilaku
Hubungan
Seksual Positif
Intensi Untuk
Berhubungan
Seksual Kuat
Berhubungan
Seksual
Pranikah
Persepsi
terhadap Kontrol
Tingkah Laku
Hubungan
Seksual Positif
Bagan 2.3 Skema Berpikir
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang hal-hal teknis yang berhubungan dengan
pelaksanaan penelitian. Dalam bab ini dibahas beberapa hal di antaranya pendekatan
penelitian, variabel penelitian, sampel penelitian, alat ukur penelitian, serta prosedur
pelaksanaan penelitian.
3.1 Rancangan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menghimpun fakta tetapi tidak melakukan
pengujian hipotesa. Peneliti menghimpun fakta dalam suatu rancangan penelitian
sehingga dapat dilakukan analisa terhadap fakta-fakta tersebut dalam suatu kerangka
pemikiran.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian
deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, obyek, suatu
set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun peristiwa yang sedang dialami oleh
individu atau kelompok. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai karakteristik, fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nasir, 1988:63). Alat ukur yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
49
Bab III – Metodologi Penelitian
3.2 Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari satu variabel yaitu intensi berhubungan seksual
pranikah. Definisi konseptual berhubungan seksual pranikah adalah kedekatan fisik
yang
melibatkan
penyatuan
alat
kelamin
(coitus)
sebelum
menikah
(Hurlock,1973:289).
Sedangkan definisi konseptual dari intensi adalah kemungkinan subjektif
individu untuk melakukan tingkah laku tertentu (Fishbein&Ajzen,1975:289).
Sehingga definisi konseptual dan operasional yang dipakai dalam penelitian
ini adalah:
x
Definisi Konseptual : kemungkinan subjektif individu untuk menampilkan
suatu tingkah laku tertentu. (Icek Ajzen)
x
Definisi Operasional : kuat lemahnya kemungkinan subjektif individu untuk
menampilkan perilaku berhubungan seksual dengan pasangannya sebelum
menikah yang dinyatakan dalam skor total jawaban responden dalam alat ukur
intensi.
Selain itu, di bawah ini merupakan definisi konseptual dari ketiga determinan
pembentuk intensi, yaitu Sikap terhadap perilaku berhubungan seksual pranikah,
Norma subyektif terhadap perilaku berhubungan seksual pranikah, dan Persepsi
terhadap kontrol tingkah laku berhubungan seksual pranikah.
Bab III – Metodologi Penelitian
50
Sikap terhadap perilaku hubungan seksual pranikah
x
Definisi Konseptual : sikap terhadap tingkah laku adalah evaluasi positif
atau negatif terhadap konsekuensi dari tingkah laku yang akan dimunculkan.
(Icek Ajzen)
x
Definisi Operasional : perasaan positif atau negatif terhadap konsekuensi dari
perilaku berhubungan seksual yang akan dilakukan dengan pasangannya
sebelum menikah, yang dinyatakan dalam skor total jawaban responden dalam
alat ukur sikap.
Norma subyektif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah
x
Definisi Konseptual : norma subyektif adalah persepsi individu terhadap
tekanan sosial dari significant person yang mengharapkan individu
menampilkan atau tidak menampilkan suatu tingkah laku. (Icek Ajzen)
x
Definisi Operasional : persepsi individu terhadap seberapa kuat tekanan sosial
dari significant person yang mengharapkan individu untuk melakukan atau
tidak melakukan perilaku berhubungan seksual dengan pasangannya sebelum
menikah yang dinyatakan dalam skor total jawaban responden dalam alat ukur
norma subjektif.
Bab III – Metodologi Penelitian
51
Persepsi terhadap kontrol tingkah laku berhubungan seksual pranikah
x
Definisi Konseptual : persepsi terhadap kontrol perilaku adalah persepsi
individu mengenai mudah atau sulitnya menampilkan tingkah laku tertentu
yang diasumsikan sebagai refleksi pengalaman masa lalu dan hambatan yang
diantisipasi. (Icek Ajzen)
x
Definisi Operasional : persepsi individu terhadap faktor-faktor yang
mempermudah atau yang menghambat dirinya dalam menampilkan perilaku
berhubungan seksual dengan pasangannya sebelum menikah yang dinyatakan
dalam skor total jawaban responden dalam alat ukur persepsi terhadap kontrol
perilaku.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1
Populasi Penelitian
Populasi penelitian dalam studi ini adalah siswa SMU “X” Bandung. Hal ini
berkaitan dengan lokasi ditemukannya fenomena yang menjadi latar belakang
dilaksanakannya penelitian ini.
3.3.2 Sampel Penelitian
Pengambilan data dilakukan kepada sampel accidental (sampling seadanya).
Sampel yang diambil berjumlah 40 orang terdiri dari siswa kelas satu dan dua.
Bab III – Metodologi Penelitian
52
3.4 Alat Ukur
Alat ukur intensi untuk berhubungan seksual pranikah disusun berdasarkan
Theory of Planned Behavior dari Icek Ajzen (1988) yang dimodifikasi oleh peneliti
sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian ini. Alat ukur ini digunakan untuk
melihat kuat atau lemahnya intensi untuk berhubungan seksual yang dimiliki siswa
SMU “X” Bandung.
Selain mengukur intensi, peneliti juga melakukan pengukuran terhadap
determinan pembentuk intensi yaitu: sikap, norma subjektif dan persepsi terhadap
kontrol tingkah laku berhubungan seksual pranikah. Dalam pengukuran determinan
pembentuk intensi, alat ukur yang digunakan juga disusun berdasarkan Theory of
Planned Behavior dari Icek Ajzen (1988).
Alat ukur ini berbentuk kuesioner dengan skala Osgood. Penilaian berada
pada rentang 1 samapi dengan 5, dimana semakin negatif penghayatan terhadap suatu
item maka mendapat nilai 1 dan semakin positif mendapat nilai 5. Penilaian
ditentukan dengan menghitung skor dari setiap butir pertanyaan kemudian
dijumlahkan untuk mendapat skor intensi dari seorang individu. Tujuan dari skala ini
adalah menempatkan individu pada titik tertentu pada kontinum yang didasarkan
pada norma dari alat ukur.
3.4.1 Kisi-Kisi Alat Ukur
Alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari empat buah kuesioner
yaitu kuesioner intensi untuk berhubungan seksual pranikah, kuesioner sikap terhadap
53
Bab III – Metodologi Penelitian
perilaku berhubungan seksual pranikah, kuesioner subjective norm
untuk
berhubungan seksual pranikah dan kuesioner persepsi terhadap kontrol perilaku
berhubungan seksual pranikah. Pada pengambilan data dilapangan, keempat
kuesioner ini akan dijadikan satu kuesioner.
Alat ukur ini berisi item-item yang disusun untuk mengukur intensi dan
determinan penyusunnya secara langsung (direct measures). Item-item yang
digunakan merupakan item-item yang biasa digunakan dalam penelitian-penelitian
yang menggunakan Theory of Planned Behavior yang disesuaikan dengan tingkah
laku yang diteliti yaitu berhubungan seksual pranikah. Dibawah ini adalah kisi-kisi
alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 3.4.1a Kisi-kisi alat ukur sikap terhadap perilaku berhubungan seksual
pranikah
Variabel
Aspek
Indikator
Yakin bahwa berhubungan
Sikap terhadap
Item
1, 2
seksual akan meningkatkan
perilaku
Behavioral Beliefs
kedekatan dengan pasangan.
berhubungan
Keyakinan bahwa
seksual pranikah
Yakin bahwa berhubungan
3, (-4), 5
berhubungan seksual
seksual akan menambah
pranikah akan
pengetahuan mengenai kesehatan
menghasilkan
reproduksi.
konsekuensi tertentu.
Yakin bahwa dengan
6, 7, (-8)
54
Bab III – Metodologi Penelitian
berhubungan seksual akan
mendapat pengakuan dari temanteman.
Evaluasi terhadap kedekatan
Outcome Evaluation
Evaluasi terhadap
konsekuensi tertentu
29, 30
dengan pasangan.
Evaluasi terhadap pengetahuan
(-31), 32, 33
dan pengalaman seksualitas
dari berhubungan
dengan lawan jenis.
seksual pranikah
Evaluasi terhadap pengakuan dari
34, 35, 36
teman-teman.
Tabel 3.4.1b Kisi-kisi alat ukur norma subyektif tentang perilaku berhubungan
seksual pranikah
Variabel
Aspek
Norma
Indikator
Item
Keyakinan terhadap pengawasan dari
(-9), (-10),
orangtua terhadap dirinya.
(-11), (-12)
subyektif
Normative
tentang
Beliefs
Keyakinan bahwa orangtua atau guru
(-13), (-14),
perilaku
Keyakinan
menanamankan nilai-nilai agama dan
(-15)
berhubungan
normatif
moral.
seksual
mengenai
Keyakinan bahwa pasangan
pranikah
berperilaku
seksual pranikah.
16, 17, 18
mengharapkan berhubungan seksual.
Keyakinan bahwa teman-teman
mengharapkan dirinya untuk melakukan
19, 20, 21
55
Bab III – Metodologi Penelitian
hubungan seksual.
Keinginan untuk memenuhi harapan
37, 38, 39, 40,
Motivation to
dan anjuran orangtua atau guru.
41, 42
Comply
Keinginan untuk memenuhi harapan
43, (-44)
Motivasi untuk
pasangan untuk melakukan hubungan
memenuhi
seksual.
keyakinan
Keinginan untuk memenuhi harapan
(-45), (-46),
teman-teman.
(-47), (-48)
normatif.
Tabel 3.4.1c Kisi-kisi alat ukur persepsi terhadap kontrol perilaku (PBC)
berhubungan seksual pranikah
Variabel
Aspek
Persepsi
Control Beliefs
Keyakinan terhadap sumber daya
terhadap
Keyakinan adanya
yang dimiliki untuk berhubungan
kontrol tingkah
faktor-faktor yang
seksual.
laku
mengendalikan
berhubungan
(menghambat dan
seksual
memfasilitasi)
pranikah
untuk melakukan
hubungan seksual
pranikah.
Perceived Power
Indikator
Keyakinan terhadap kesempatan
Item
22, (-23)
24, (-25), (-26)
yang ada.
Keyakinan terhadap aturan-aturan
(-27), (-28)
yang ada.
Kekuatan untuk mengontrol
(-49)
56
Bab III – Metodologi Penelitian
Kekuatan yang
sumber daya dari dalam diri.
dihayati dalam
mengontrol faktor
yang menghambat
Kekuatan untuk mengontrol
(-50), (-51)
kesempatan yang ada.
dan memfasilitasi
Kekuatan untuk mengontrol
untuk melakukan
aturan-aturan yang ada.
(-52), (-53)
hubungan seksual
pranikah.
Tabel 3.4.1d Kisi-kisi alat ukur intensi berhubungan seksual pranikah
Variabel
Item
Intensi
54 -63
3.4.2 Sistem Penilaian Alat Ukur
Data yang dihasilkan oleh keempat alat ukur ini merupakan data yang
berskala ordinal, sedangkan diperlukan data yang berskala interval untuk
dilakukannya pengujian statistik analisis regresi (akan dijelaskan kemudian). Oleh
karena itu, data yang terdapat dalam alat ukur ini perlu dinaikkan tingkatannya
menjadi berskala interval. Untuk menaikkan tingkatan skala alat ukur ini
menggunakan metode succesive interval.
Langkah-langkah menganalisis data dengan menggunakan Metode Succesive
Interval adalah sebagai berikut :
57
Bab III – Metodologi Penelitian
1. Tentukan alternatif jawaban dari alat ukur. Dalam penelitian ini terdapat
enam alternatif jawaban yang memiliki rentang skor satu sampai dengan
enam.
2. Tentukan jumlah responden yang menjawab setiap alternatif jawaban yang
sudah ditentukan (frekuensi = fi).
3. Menentukan proporsi, yaitu membagi setiap frekuensi (fi) pada responden
yang bersesuaian dengan respon yang dijawab dengan banyaknya respon
total (pi = fi/f).
4. Menghitung proporsi kumulatif dengan menjumlahkan proporsi (pi)
secara berurutan untuk setiap respon.
5. Proporsi kumulatif (pk) dianggap mengikuti distribusi normal baku.
6. Tentukan nilai Z dengan menggunakan tabel Z
7. Tentukan nilai density untuk setiap Z yang diperoleh.
8. Hitung Scale Value (SV = Skala Nilai) dengan rumus :
DensityAtLowerLimit DensityAtUpperLimit
SV = AreaUnderUpperLimit AreaUnderLowerLimit
9. Menentukan nilai transformasi dengan rumus :
Y (scale) = SV + |k|, dengan
k = 1 - SVmin
Bab III – Metodologi Penelitian
58
Nilai akhir dari subjek penelitian adalah skor total dari jawaban setiap item
yang sebelumnya telah ditransformasikan ke dalam skala interval dengan
menggunakan Metode Succesive Interval.
3.4.3 Norma Alat Ukur
Untuk membedakan derajat intensi berhubungan seksual pranikah maka
dibuat dua kelompok derajat kekuatan intensi. Pembagian dua kelompok derajat
kekuatan intensi ini dimaksudkan agar terlihat perbedaan yang jelas antara responden
yang memiliki intensi yang tinggi dan yang rendah.
Kategorisasi ini diperoleh dari rata-rata skor, kemudian dibagi menjadi dua
bagian. Bagian atas dari skor disebut dengan kelompok dengan derajat intensi yang
tinggi. Sedangkan bagian bawah dari skor merupakan kelompok dengan derajat
intensi rendah.
Sedangkan untuk kategorisasi sikap, norma subjektif atau persepsi kontrol
tingkah laku, dilakukan prosedur yang sama. Bagian atas dari skor disebut dengan
kelompok dengan sikap, norma subjektif atau persepsi kontrol tingkah laku yang
positif. Sedangkan bagian bawah dari skor merupakan kelompok dengan sikap,
norma subjektif atau persepsi kontrol tingkah laku yang negatif.
Berdasarkan prosedur diatas maka diperoleh kategori derajat kekuatan intensi
sebagai berikut :
59
Bab III – Metodologi Penelitian
Tabel 3.4.3a Norma Alat Ukur Intensi
Rentang Skor
Kategori
10-19,46
Intensi Lemah
19,47-35,76
Intensi Kuat
Tabel 3.4.3b Norma Alat Ukur Sikap
Rentang Skor
Kategori
17.58 – 30,76
Sikap Negatif
30,77 - 47,51
Sikap Positif
Tabel 3.4.3c Norma Alat Ukur Norma Subjektif
Rentang Skor
Kategori
23-46,04
Norma Subjektif Negatif
46,05-80,50
Norma Subjektif Positif
Tabel 3.4.3d Norma Alat Ukur PBC
Rentang Skor
Kategori
10-17,70
PBC Negatif
17,71-31,70
PBC Positif
Bab III – Metodologi Penelitian
60
3.4.4 Pengolahan Data Pengukuran
Data intensi akan didapat dari penjumlahan skor total alat ukur. Skor intensi
setiap responden kemudian dimasukkan kedalam kategori-kategori sesuai dengan
norma alat ukur. Selanjutnya dari jumlah responden yang dimasukkan dalam
kategori-kategori maka didapat persentase responden untuk setiap kategori yaitu
persentase responden yang memiliki intensi tinggi, dan rendah.
Skor setiap determinan pembentuk intensi juga merupakan penjumlahan dari
setiap skor total alat ukur yang sesuai. Data skor tiap determinan pembentuk intensi
yang didapat akan diolah sehingga mendapat gambaran kontribusi setiap dimensi
intensi terhadap intensi. Untuk tujuan ini, akan dilakukan analisis multi regresi
terhadap data yang didapat dari lapangan. Analisis multi regresi adalah suatu metode
untuk mengkaji akibat-akibat dan besarnya akibat dari lebih dari satu variabel bebas
terhadap satu variabel terikat, dengan menggunakan prinsip korelasi dan regresi
(Kerlinger, 1990:929). Dari analisis multi regresi, akan didapatkan koefisien regresi
untuk setiap determinan pembentuk intensi yang merupakan bobot dari setiap
determinan. Determinan yang memiliki koefisien atau bobot yang paling besar
merupakan determinan yang paling berkontribusi dalam membentuk intensi.
3.4.5 Reliabititas Alat Ukur
Suatu tes dikatakan reliabel bila tes tersebut dapat diandalkan untuk
menghasilkan skor yang sesuai dengan keadaan dari subjeknya. Oleh karena itu, hasil
61
Bab III – Metodologi Penelitian
tes yang didapat seorang subjek tidak akan berubah kecuali subjek tersebut telah
mengalami penambahan pengetahuan atau perubahan karakteristik.
Untuk memastikan alat ukur pada penelitian ini memiliki reliabilitas yang
baik, maka perlu diadakan perhitungan reliabilitas. Perhitungan reliabilitas dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach,yaitu:
Rxx D
2
k ª ¦ Vi º
«1 2 »
k 1 ¬«
V x ¼»
Keterangan :
k
= Jumlah item
Vi²
= Varians tiap item
V²x
= Varians tes
¦Vi²
= Jumlah varians tiap item
Kriteria yang digunakan untuk mengetahui derajat reliabilitas dari alat ukur
adalah kriteria Brown Thompson, yaitu:
D>0,7 berarti alat ukur dapat diandalkan
D<0,7 berarti alat ukur tidak dapat diandalkan
62
Bab III – Metodologi Penelitian
Penghitungan reliabilitas alat ukur pada penelitian ini menggunakan program
SPSS for MS Windows 15.0. Hasil uji reliabilitas terhadap alat ukur dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4.5 Hasil uji reliabilitas alat ukur
Alat Ukur
D
Kategori
Intensi
0,953
Reliabel
Sikap
0,832
Reliabel
Norma Subjektif
0,896
Reliabel
Persepsi Kontrol Tingkah Laku
0,728
Reliabel
Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas yang didapatkan, dapat disimpulkan
bahwa alat ukur yang dipakai pada penelitian ini mampu memberikan hasil yang
konsisten atau hasil yang relatif sama jika dilakukan pengukuran kembali pada waktu
yang berbeda.
3.4.6
Validitas Alat Ukur dan Analisis Item
Analisis validitas menyatakan karakteristik apa yang diukur oleh alat tes
(Friedenberg,1995:221). Suatu alat tes dikatakan valid jika dapat mengukur apa
yang seharusnya diukur. Dengan menganalisa validitas dari alat tes, kita dapat
mengetahui apakah karakteristik yang diukur oleh suatu alat tes memang mengukur
apa yang menjadi tujuan penelitian.
63
Bab III – Metodologi Penelitian
Untuk memperoleh validitas yang baik, perumusan item-item dalam kuesioner
ini disusun berdasarkan pada teori yang melandasinya yaitu theory of planned
behavior. Dengan cara ini, diharapkan akan diperoleh alat ukur yang memiliki
validitas konstruk yang baik, yaitu ada kesesuaian yang tinggi antara konsep dengan
hasil
pengukuran
yang
diperoleh.
Untuk
memastikannya,
maka
peneliti
mengkorelasikan skor setiap item dengan skor total. Skor yang didapat merupakan
skala ordinal sehingga uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Rank
Spearman. Pada teknis penghitungan korelasi, peneliti menggunakan bantuan
program SPSS for MS Windows 15.0. Rumus yang digunakan dalam menghitung
validitas melalui analisis item ini adalah:
N
rs
1
6¦ di2
i 1
3
N N
Keterangan:
r
= Koefisien korelasi
di
= Selisih ranking jumlah setiap item dengan total item
N
= Jumlah item
Analisis item dilakukan untuk mengetahui apakah item-item yang digunakan
pada alat ukur ini adalah item yang baik. Item yang baik adalah item yang dapat
dimengerti dan ditafsirkan sama oleh subjek penelitian. Penghitungan analisis item
dilakukan dengan metode item-total correlation dimana skor setiap item akan
dikorelasikan dengan skor total dari alat ukur.
64
Bab III – Metodologi Penelitian
Kriteria yang digunakan untuk menunjukkan valid atau tidaknya alat ukur dan
baik atau tidak baiknya item adalah kriteria Guilford (1956), yaitu:
Tabel 3.4.6 Kriteria korelasi Guilford
Besaran R
Keterangan
0,00 - 0,20
Korelasi sangat rendah, item tidak dapat digunakan
Korelasi rendah, item dapat digunakan namun sebaiknya
0,21 - 0,40
direvisi dahulu
0,41 – 0,70
Korelasi sedang, item dapat digunakan
0,71 – 0,90
Korelasi tinggi, item dapat digunakan
0,91 – 1,00
Korelasi sangat tinggi, item dapat digunakan
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi, diperoleh hasil bahwa dari 10 item
yang mengukur intensi berhubungan seksual pranikah yang diujicobakan, seluruhnya
merupakan item yang baik dan valid sehingga dapat tetap dipakai pada pengambilan
data sesungguhnya. Sedangkan untuk alat ukur sikap, dari 16 item yang diujicobakan
terdapat 1 item yang tidak dapat digunakan karena nilai validitasnya sangat rendah.
Selanjutnya pada alat ukur norma subjektif yang terdiri dari 25 item, dan terdapat 1
item yang tidak dapat digunakan karena nilai validitasnya sangat rendah. Alat ukur
terakhir yaitu alat ukur persepsi kontrol tingkah laku terdiri dari 12 item. Item yang
diterima berjumlah 10 item dan 2 buah item tidak dapat diterima karena nilai
Bab III – Metodologi Penelitian
65
validitasnya sangat rendah. Hasil analisis validitas secara rinci dapat dilihat pada
lampiran.
3.5
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini, terdapat prosedur yang harus dilakukan
yang dibagi ke dalam beberapa tahapan. Adapun tahapan-tahapan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
3.5.1. Tahap Persiapan
a. Melakukan observasi awal di “SMU X” Bandung untuk membicarakan
masalah perizinan dan menjaring permasalahan yang ada.
b. Melakukan studi kepustakaan mengenai landasan teoritis tentang variabelvariabel penelitian.
c. Mempersiapkan surat izin yang diperlukan untuk melakukan penelitian dari
Pihak Fakultas Psikologi UNISBA.
d. Menyusun usulan rancangan penelitian sesuai dengan permasalahan yang
akan diteliti.
e. Menetapkan populasi penelitian.
f. Menetapkan desain penelitian dan alat ukur yang akan digunakan dalam
penelitian.
Bab III – Metodologi Penelitian
66
3.5.2. Tahap Pelaksanaan Pengambilan Data
a. Menyelesaikan urusan perizinan di “SMU X” Bandung.
b. Memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian yang
dilakukan dan memohon kesediaan para siswa dan siswi untuk dijadikan
sebagai responden dalam penelitian ini kemudian mereka diberikan petunjuk
mengenai tata cara pengisian kuesioner.
c. Melaksanakan pengambilan data, yaitu subjek diminta untuk mengisi
kuesioner yang telah disediakan dan dilakukan secara individual.
3.5.3. Tahap Pengolahan Data
a. Mengumpulkan kuesioner yang telah diisi oleh responden.
b. Melakukan skoring dengan menilai setiap hasil kuesioner yang telah diisi oleh
responden dan meranking data yang telah diperoleh pada setiap alat ukur
tersebut.
c. Menghitung, mentabulasikan data yang diperoleh kemudian memasukkannya
dalam tabel data.
d. Melakukan analisis data dengan menggunakan metode statistik untuk menguji
hipotesisi penelitian dan korelasi anatara variabel penelitian.
3.5.4. Tahap Pembahasan
a. Menginterpretasikan hasil analisis statistik yang dibahas berdasarkan teori dan
kerangka pikir yang digunakan.
Bab III – Metodologi Penelitian
67
b. Membuat kesimpulan hasil penelitian yang diperoleh dari hasil pengujian
statistik.
3.5.5 Tahap Penyelesaian
a. Menyusun laporan hasil penelitian.
b. Memperbaiki dan menyempurnakan hasil penelitian secara keseluruhan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini terdiri dari dua bagian; pertama menguraikan tentang hasil
pengolahan data dari penelitian yang telah dilaksanakan. Kedua adalah
pembahasan data penelitian berdasarkan teori dan konsep yang telah dikemukakan
sebelumnya dalam kerangka pemikiran.
4.1 Hasil Penelitian
Hasil yang dipaparkan meliputi distribusi frekuensi pembentuk intensi,
presentase kategori intensi, perhitungan kontribusi determinan pembentuk intensi
dengan analisis statistik multiple regression, gambaran intensi dikaitkan dengan
pengalaman dan jenis kelamin responden. Adapun hasil penelitian dapat
ditampilkan sebagai berikut :
4.1.1
Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi menurut
Kategori Intensi
Tabel 4.1.1 Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi
menurut Kategori Intensi
Norma
Sikap Terhadap
Subjektif
PBC Terhadap
Perilaku HSP
Terhadap
Perilaku HSP
Intensi
Perilaku HSP
Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif
13
4
14
3
14
3
Kuat
(81%) (17%) (70%) (15%) (74%) (14%)
3
20
6
17
5
18
Lemah
(19%) (83%) (30%) (85%) (26%) (86%)
16
24
20
20
19
21
Jumlah
(40%) (60%) (50%) (50%) (48%) (52%)
HSP : Hubungan Seksual Pranikah
69
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
Tabel 4.1.1 memperlihatkan bahwa pada responden yang memiliki intensi
yang kuat, sebagian besar memiliki determinan pembentuk intensi yang positif.
Hal ini berarti pada sebagian besar responden yang memiliki intensi kuat untuk
berhubungan seksual pranikah menyukai tingkah laku tersebut, mempresepsikan
bahwa orang yang penting untuknya menyetujui jika ia melakukannya dan merasa
mampu untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
Sebaliknya terjadi pada kelompok intensi lemah, sebagian besar responden
memiliki determinan pembentuk intensi yang negatif. Hal ini berarti pada
sebagian besar responden yang memiliki intensi lemah untuk berhubungan
seksual pranikah tidak menyukai tingkah laku tersebut, mempresepsikan bahwa
orang yang penting untuknya tidak menyetujui jika ia melakukannya dan merasa
tidak mampu untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
4.1.2
Distribusi Frekuensi Responden menurut Kategori Intensi
Grafik 4.1 Distribusi Frekuensi Responden menurut Kategori
Intensi
Kuat
43%
Lemah
57%
Kuat
Lemah
70
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
Grafik 4.1 memperlihatkan bahwa Siswa SMU “X” yang menjadi sampel
penelitian memiliki intensi berhubungan seksual pranikah yang berbeda. Pada
sampel penelitian terdapat responden dengan intensi kuat sebesar 43% dari jumlah
keseluruhan responden. Sedangkan responden yang memiliki intensi lemah
sebanyak 57% dari total responden penelitian.
Semakin kuat intensi, semakin besar kemungkinan individu untuk
berhubungan seksual pranikah. Hal ini berarti Intensi yang kuat untuk
berhubungan seksual pranikah memiliki kemungkinan besar akan kemunculan
tingkah laku. Sedangkan intensi yang lemah untuk berhubungan seksual pranikah
memiliki kemungkinan kecil akan kemunculan tingkah laku. Oleh karena itu dapat
diambil kesimpulan bahwa 57% responden memiliki kemungkinan yang kecil
untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Sedangkan sisanya yaitu 43%
responden memiliki kemungkinan yang besar akan melakukan hubungan seksual
pranikah.
4.1.3 Hasil Perhitungan Kontribusi Determinan Pembentuk Intensi dengan
Analisis Statistik Multiple Regression
Tabel 4.1.3 Hasil perhitungan kontribusi determinan pembentuk intensi
Standardized Coefficients
Determinan
Sikap Terhadap
Perilaku HSP
Norma Subyektif Terhadap
Perilaku HSP
PBC Terhadap
Perilaku HSP
a Dependent Variable: INTENSI
Beta
.255
.479
.155
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
71
Pada tabel 4.2, disajikan hasil dari perhitungan statistik multiple
regression. Perhitungan statistik ini tujuannya adalah mengetahui besarnya
kontribusi dari setiap determinan pembentuk intensi terhadap intensi.
Sikap terhadap berhubungan seksual pranikah (X1) memiliki koefisien
regresi terhadap intensi berhubungan seksual pranikah (Y) sebesar 0,255 (w1). Hal
ini berarti jika skor sikap naik satu satuan akan diikuti oleh peningkatan skor
intensi sebesar 0,255 dengan asumsi variabel independen lain (norma subyektif
dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku) dianggap konstan. Jadi semakin
positif sikap siswa SMU “X” terhadap hubungan seksual pranikah, semakin kuat
pula intensi untuk berhubungan seksual pranikah.
Selanjutnya norma subyektif tentang hubungan seksual pranikah (X2)
memiliki koefisien regresi terhadap intensi berhubungan seksual pranikah (Y)
sebesar 0,479 (w2). Hal ini berarti jika skor norma subyektif naik satu satuan akan
diikuti oleh peningkatan skor intensi sebesar 0,479 dengan asumsi variabel
independen lain (sikap dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku) dianggap
konstan. Jadi semakin positif norma subyektif siswa SMU ”X” terhadap hubungan
seksual pranikah, semakin kuat pula intensi untuk berhubungan seksual pranikah.
Determinan pembentuk intensi yang terakhir yaitu PBC (X3) memiliki
koefisien regresi terhadap intensi berhubungan seksual pranikah (Y) sebesar 0,155
(w3). Hal ini berarti jika skor persepsi terhadap kontrol tingkah laku naik satu
satuan akan diikuti oleh peningkatan skor intensi sebesar 0,155 dengan asumsi
variabel independen lain (sikap dan norma subyektif) dianggap konstan. Jadi
semakin positif persepsi terhadap kontrol tingkah laku siswa SMU “X” untuk
72
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
berhubungan seksual pranikah, semakin kuat pula intensi untuk berhubungan
seksual pranikah.
Untuk lebih jelasnya, dapat melihat ilustrasi berikut ini:
Grafik 4.2 Kontribusi Determinan Pembentuk
Intensi
Sikap Terhadap Hubungan Seksual Pranikah
Norma Subjektif Terhadap Hubungan Seksual Pranikah
PBC Terhadap Hubungan Seksual Pranikah
0.6
0.4
0.479
0.255
0.2
0
0.155
Kontribusi
Dari grafik 4.2 dapat dilihat bahwa norma subyektif terhadap hubungan
seksual pranikah memiliki koefisien regresi yang paling besar. Oleh karena itu
dalam konteks tingkah laku berhubungan seksual pranikah pada siswa SMU “X”,
norma subyektif terhadap hubungan seksual pranikah merupakan determinan
pembentuk intensi yang paling besar kontribusinya. Hal ini berarti penghayatan
terhadap tekanan sosial dari significant person menyangkut boleh tidaknya
berhubungan seksual pranikah, yang paling menentukan kuat atau lemahnya
intensi berhubungan seksual pranikah pada sampel penelitian.
73
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
4.1.4
Gambaran Intensi Dikaitkan dengan Pengalaman Seksual dan Jenis
Kelamin Responden
Grafik 4.3 Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan
Pengalaman Seksual
100%
86%
81%
80%
60%
40%
19%
14%
20%
0%
Pernah
Tidak Pernah
Kuat
Lemah
4.1.4.1 Gambaran Intensi dikaitkan dengan pengalaman seksual
Grafik 4.3 memperlihatkan bahwa hanya sebagian kecil responden yaitu
sebanyak 14 orang dari seluruh responden yang melakukan hubungan seksual
pranikah. Pada responden yang melakukan hubungan seksual pranikah, proporsi
terbesar berada pada responden dengan intensi kuat. Sebaliknya pada kelompok
responden yang tidak pernah melakukan hubungan seksual, proporsi terbesar
berada pada responden dengan intensi lemah.
74
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
4.1.4.2 Gambaran Intensi dikaitkan dengan jenis kelamin
Grafik 4.4 Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan
Jenis Kelamin
87%
100%
63%
80%
60%
37%
40%
13%
20%
0%
Laki-laki
Perempuan
Kuat
Dari
Lemah
grafik 4.4 terlihat bahwa pada kelompok responden laki-laki
presentase responden yang memiliki intensi kuat lebih besar dari pada responden
perempuan. Hal ini berarti intensi kuat lebih banyak dimiliki oleh responden lakilaki daripada perempuan. Maka responden laki-laki memiliki kemungkinan yang
lebih besar untuk melakukan hubungan seksual pranikah dibandingkan dengan
responden perempuan.
4.1.4.3 Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi menurut Jenis
Kelamin Responden
Seperti yang telah dipaparkan pada sub bab 4.1.4.1 mengenai penyebaran
intensi berdasarkan jenis kelamin responden, didapat hasil bahwa responden lakilaki lebih banyak memiliki intensi yang kuat daripada perempuan. Menurut
Fishbein dan Ajzen (1980), karakteristik responden yang dibahas pada penelitian
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
75
ini dapat dianggap sebagai faktor eksternal yang dapat menjadi faktor yang
berpengaruh secara tidak langsung terhadap pembentukan intensi pada individu.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1980), faktor eksternal mempengaruhi
pembentukan intensi dengan cara mempengaruhi pembentukan determinan
pembentuk intensi yang dimiliki oleh individu dan relativitas derajat kepentingan
determinan pembentuk intensi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
intensi yang positif diindikasikan dengan determinan pembentuk intensi yang
positif. Oleh karena itu, dibawah ini akan dipaparkan distribusi frekuensi
determinan pembentuk intensi yang dikaitkan dengan karakteristik responden.
Tabel 4.1.4.3 Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi
Berdasarkan Jenis Kelamin Responden
Norma subjektif
PBC terhadap
Sikap terhadap
terhadap perilaku
perilaku HSP
perilaku HSP
Jenis Kelamin
HSP
Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif
15
9
17
7
16
8
laki-laki
63%
37%
71%
29%
67%
33%
1
15
3
13
3
13
perempuan
6%
94%
19%
81%
19%
81%
Dari tabel 4.3 terlihat bahwa sikap positif terhadap perilaku hubungan
seksual pranikah paling banyak dimiliki oleh responen laki-laki. Hal ini berarti
lebih banyak responden laki-laki yang menyukai perilaku hubungan seksual
pranikah. Norma subyektif yang positif terhadap perilaku hubungan seksual
pranikah pada responden laki-laki juga memiliki proporsi yang lebih banyak
daripada responden perempuan. Hal ini berarti lebih banyak responden laki-laki
yang mempunyai persepsi bahwa orang yang penting untuknya setuju jika ia
melakukan hubungan seksual pranikah. Selanjutnya PBC yang positif terhadap
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
76
perilaku hubungan seksual pranikah pada responden laki-laki memiliki proporsi
yang lebih banyak. Hal ini berarti lebih banyak responden laki-laki yang merasa
mampu melakukan hubungan seksual pranikah.
Sebaliknya presentasi determinan pembentuk intensi yang negatif paling
banyak dimiliki oleh responen perempuan. Hal ini berarti lebih banyak responden
perempuan daripada laki-laki yang tidak menyukai perilaku hubungan seksual
pranikah, mempunyai presepsi bahwa orang yang penting untuknya tidak setuju
jika ia melakukan hubungan seksual pranikah dan merasa tidak mampu
melakukan hubungan seksual pranikah.
4.1.5
Data Penunjang
Menurut Ajzen (1988), pada tingkatan awal analisa tingkah laku
menggunakan theory of planned behavior, tingkah laku dapat diprediksi dari
intensinya. Pada tingkat selanjutnya, intensi terhadap tingkah laku dijelaskan
dengan istilah-istilah sikap, norma subjektif dan PBC. Selanjutnya sikap, norma
subjektif dan PBC dijelaskan dengan belief-belief yang dimiliki oleh individu.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, sikap dibentuk oleh
belief tentang konsekuensi dari tingkah laku yang mungkin terjadi (behavioral
belief). Sedangkan norma subjektif didasari oleh belief tentang harapan orang
lain terhadap dirinya yang berkaitan dengan nilai-nilai (normative belief) dan
PBC terbentuk karena adanya belief tentang keberadaan faktor-faktor yang dapat
memfasilitasi maupun menghalangi munculnya tingkah laku tersebut (control
belief).
77
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
Dengan penjabaran diatas, maka data mengenai belief-belief yang dimiliki
responden penelitian ini diperlukan untuk membantu menjelaskan intensi
berhubungan seksual pranikah. Dibawah ini disajikan data penunjang berupa
belief-belief yang mendasari intensi berhubungan seksual pranikah pada siswa
SMU “X” Bandung. Dimana data ini di dapat dari hasil wawancara terhadap 10
orang sisiwa SMU “X”.
4.1.5.1 Behavioral Belief
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sikap terhadap berhubungan
seksual pranikah dibentuk oleh behavioral beliefs yaitu belief tentang konsekuensi
positif dan negatif dari tingkah laku tersebut. Tabel dibawah ini memaparkan
beliefs tersebut. Pada tabel berikut ini beliefs yang terkumpul diurutkan
berdasarkan banyaknya responden yang memunculkan beliefs tersebut. Beliefs
yang paling sering muncul ini disebut juga dengan modal salient beliefs atau
beliefs yang umum dimiliki pada sampel penelitian.
Tabel 4.1.5.1a Respon Responden Mengenai Behavioral Belief
Behavioral Belief
No.
Kategori
%
1
Menambah kedekatan dengan pasangan
Menguntungkan
80%
2
Penyaluran nafsu seks
Menguntungkan
70%
3
Kehamilan di luar nikah
Merugikan
60%
4
Tertular penyakit menular seksual
Merugikan
60%
5
Dikucilkan
Merugikan
50%
6
Mengikuti perkembangan pergaulan
Menguntungkan
40%
7
Dipandang rendah oleh masyarakat
Merugikan
30%
78
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
Dari tabel di atas terlihat bahwa peringkat pertama diduduki oleh
konsekuensi yang menguntungkan yaitu menambah kedekatan dengan pasangan.
Pada peringkat-peringkat selanjutnya, konsekuensi negatif atau merugikan
cenderung berada pada peringkat bawah. Selain behavioral belief, sikap juga
dipengaruhi oleh kekuatan evaluasi responden terhadap seberapa positif atau
negatif konsekuensi tersebut.
4.1.5.2 Normative belief
Norma subyektif terhadap berhubungan seksual pranikah dibentuk oleh
normative beliefs yaitu belief tentang significant persons yang setuju dan tidak
setuju jika responden berhubungan seksual pranikah. Tabel dibawah ini
memaparkan beliefs tersebut.
Tabel 4.1.5.1b Respon Responden Mengenai Normative belief
Normative belief
No
Kategori
%
1
Orang tua
Tidak Setuju
60%
2
Guru
Tidak Setuju
50%
3
Teman
Tidak Setuju
40%
4
Teman
Setuju
30%
5
Pacar
Setuju
30%
6
Pacar
Tidak Setuju
10%
7
Masyarakat
Tidak Setuju
10%
Dari tabel di atas terlihat bahwa significant person yang tidak setuju lebih
banyak daripada significant person yang setuju jika responden melakukan
hubungan seksual pranikah. Selain itu, keyakinan mengenai significant person
yang tidak setuju cenderung berada pada peringkat atas.
79
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
4.1.5.3 Control belief
PBC hubungan seksual pranikah dibentuk oleh control beliefs yaitu belief
tentang hal-hal yang dapat memudahkan atau menyulitkan terealisasikannya
tingkah laku. Tabel berikut ini memaparkan beliefs tersebut.
Tabel 4.1.5.1c Respon Responden Mengenai Control belief
Control belief
No.
Kategori
%
1
Perasaan berdosa
Menyulitkan
90%
2
Permintaan pasangan
Memudahkan
80%
3
Nafsu yang tidak terkontrol
Memudahkan
60%
4
Tidak ada tempat
Menyulitkan
50%
5
Ada pasangan
Memudahkan
40%
6
Pengawasan ketat
Menyulitkan
40%
8
Pacar tidak mau
Menyulitkan
30%
9
Masyarakat masih menganggap tabu
Menyulitkan
20%
10
Ada pekerja seks komersil
Memudahkan
10%
Jika melihat dari tabel di atas terlihat bahwa respon mengenai belief yang
menyulitkan lebih banyak daripada yang memudahkan. Peringkat pertama
diduduki oleh perasaan dosa sebagai hal yang menyulitkan untuk berhubungan
seksual pranikah.
4.2 Pembahasan
Pembahasan penelitian ini didasarkan pada theory of planned behavior
melalui kerangka pemikiran yang telah dipaparkan sebelumnya. Menurut Ajzen
(1988), Intensi adalah kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah
laku tertentu. Intensi merupakan indikasi dari kesiapan individu untuk
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
80
memunculkan tingkah laku, sehingga dianggap sebagai determinan yang paling
dekat dengan tingkah laku.
Tingkah laku yang menjadi objek intensi dalam penelitian ini adalah
hubungan seksual pranikah, yaitu kedekatan fisik yang ditandai dengan usaha
untuk memberikan pelepasan seksual (orgasme) dengan menyatukan alat kelamin
(coitus) (Hurlock,1973). Oleh karena itu, intensi untuk berhubungan seksual
pranikah merupakan kemungkinan subyektif individu untuk menampilkan tingkah
laku penyatuan alat kelamin (coitus) dengan pasangannya sebelum menikah.
Kekuatan intensi berhubungan seksual pranikah dipengaruhi oleh
determinan penyusunnya yaitu sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma
subyektif terhadap hubungan seksual pranikah dan persepsi kontrol tingkah laku
(PBC) hubungan seksual pranikah. Ketiga determinan ini menentukan kekuatan
intensi yang memotivasi individu untuk berhubungan seksual pranikah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 43% dari total responden
memiliki intensi yang kuat. Sehingga pada kelompok ini, hampir sebagian
responden memiliki kemungkinan besar untuk melakukan hubungan seksual
pranikah. Berbagai kemungkinan terjadi yang menyebabkan responden memiliki
intensi yang kuat. Kemungkinan tersebut bergantung pada determinan
pembentuknya, yang akan dijelaskan dibawah ini.
Tabel 4.1.1 memperlihatkan hasil pengukuran terhadap ketiga determinan
pembentuk intensi. Pada kelompok responden dengan intensi kuat sebagian besar
memiliki determinan pembentuk intensi yang positif. Sedangkan kelompok
responden yang memiliki intensi yang lemah, sebagian besar memiliki determinan
81
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
pembentuk intensi yang negatif. Hal ini menandakan bahwa semakin positif sikap
terhadap hubungan seksual pranikah, semakin positif norma subjektif terhadap
hubungan seksual pranikah dan semakin positif persepsi kontrol tingkah laku
(PBC) hubungan seksual pranikah, maka semakin besar pula kekuatan intensi
untuk berhubungan seksual pranikah.
Berdasarkan tabel 4.1.1, menggambarkan bahwa responden dengan intensi
kuat memiliki sikap terhadap hubungan seksual pranikah yang cenderung positif.
Pada kelompok responden berintensi kuat, 81% responden yang memiliki sikap
positif terhadap hubungan seksual pranikah. Hal ini disebabkan karena individu
pada kelompok ini memiliki keyakinan bahwa dengan melakukan hubungan
seksual
pranikah
akan
mendatangkan
konsekuensi-konsekuensi
yang
menguntungkan seperti yang tertera pada tabel 4.1.5.1a yaitu menambah
kedekatan dengan pasangan, dapat menyalurkan dorongan seksual, dan mengikuti
perkembangan pergaulan. Konsekuensi-konsekuensi ini dievaluasi sebagai sesuatu
yang mendatangkan kesenangan dan mereka menyukai perilaku tersebut.
Berbeda dengan responden berintensi kuat, namun memiliki sikap negatif
terhadap hubungan seksual pranikah (17%). Hal ini disebabkan karena intensi
juga dipengaruhi oleh kedua determinan pembentuk intensi yang lain yaitu norma
subjektif dan PBC. Sehingga walaupun seorang individu tidak menyukai tingkah
laku ini, individu tersebut memiliki intensi yang kuat karena terdapat motivasi
kuat untuk memenuhi harapan significant person yang setuju jika ia melakukan
hubungan seksual pranikah dan dirinya merasa mampu untuk perilaku itu.
Sehingga mengkompensasi kelemahan dari sikapnya.
82
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
Kekuatan intensi untuk berhubungan seksual pranikah juga dipengaruhi
oleh ada atau tidaknya tekanan sosial dari orang-orang penting baginya
(significant person) yang mengharapkan individu untuk melakukan tingkah laku
ini. Persepsi terhadap tekanan sosial ini disebut dengan norma subjektif (Ajzen,
1988).
Pada responden dengan intensi yang kuat, terdapat 70% responden
memiliki norma subjektif positif terhadap hubungan seksual pranikah. Responden
berintensi kuat merasa mendapat tekanan dari orang penting disekitarnya untuk
melakukan hubungan seksual pranikah. Adapun orang-orang penting pada
kelompok ini antara lain pasangan dan teman yang telah melakukan hubungan
seksual. Responden dengan intensi kuat lebih termotivasi untuk memenuhi
harapan significant person yang setuju jika responden melakukan hubungan
seksual pranikah. Oleh karena itu responden berintensi kuat merasakan adanya
tekanan untuk melakukan hubungan seksual pranikah dan berniat melakukannya.
Maka terbentuklah intensi yang kuat untuk berhubungan seksual pranikah.
Kemudian terdapat 15% responden berintensi kuat namun memiliki norma
subjektif yang negatif. Hal ini disebabkan karena intensi juga dipengaruhi oleh
sikap dan PBC. Sehingga walaupun seorang individu diharapkan untuk menjauhi
perilaku ini oleh significant person yang tidak setuju terhadap perilaku ini,
individu tersebut memiliki intensi kuat karena dirinya menyukai hubungan
seksual
pranikah
atau
merasa
mampu
untuk
melakukannya.
Sehingga
mengkompensasi kelemahan dari norma subjektifnya terhadap hubungan seksual
pranikah.
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
83
Norma subyektif yang negatif terbentuk karena responden merasa dirinya
tidak mendapat tekanan dari orang penting disekitarnya untuk melakukan
hubungan seksual pranikah, bahkan tekanan sosial yang diterimanya adalah untuk
menjauhkan diri dari perilaku hubungan seksual pranikah. Walaupun diantara
orang penting disekitarnya ada yang memintanya untuk berhubungan seksual
pranikah, responden dengan intensi lemah lebih termotivasi memenuhi tuntutan
orang-orang yang penting bagi mereka seperti orangtua, guru, maupun temantemannya yang menekankan untuk menghindari perilaku tersebut. Hal ini
dikarenakan significant person yang tidak setuju dianggap lebih penting untuknya.
Maka dari itu terbentuklah intensi yang lemah untuk berhubungan seksual
pranikah.
Menurut Ajzen (1988), Pada umumnya seorang individu lebih berniat
untuk melakukan tingkah laku jika ia merasa mampu untuk melakukannya. Jika
seorang individu merasa dirinya tidak mungkin bisa melakukannya individu
tersebut cenderung untuk tidak berniat melakukannya. Persepsi terhadap
kemampuan untuk melakukan hubungan seksual pranikah disebut dengan persepsi
terhadap kontrol tingkah laku (PBC). Tabel 4.1.1 memperlihatkan pada responden
dengan intensi kuat untuk berhubungan seksual pranikah, 74% responden
memiliki PBC positif. Responden berintensi kuat dengan PBC positif terhadap
hubungan seksual pranikah percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan
hubungan seksual pranikah karena tingkah laku ini mudah untuk dilakukan.
Karena mampu untuk melakukannya, maka responden merasa mungkin
berhubungan seksual pranikah jika ada kesempatan seperti rumah yang sedang
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
84
kosong, ataupun individu memiliki pasangan yang memintanya untuk melakukan
hubungan seksual. Sehingga intensinya tinggi untuk berhubungan seksual
pranikah.
Selain itu, terdapat 14% responden berintensi kuat namun memiliki PBC
yang negatif. Hal ini disebabkan karena intensi juga dipengaruhi oleh sikap dan
norma subjektif. Sehingga walaupun seorang individu tidak merasa mampu untuk
melakukan hubungan seksual pranikah, namun responden menyukainya atau
memiliki motivasi yang tinggi untuk memenuhi harapan significant person yang
setuju jika ia berhubungan seksual pranikah.
Pada responden dengan intensi yang lemah, 86% responden memiliki PBC
negatif. Responden berintensi lemah dengan PBC negatif terhadap hubungan
seksual pranikah berpandangan bahwa dirinya tidak mampu untuk melakukan
hubungan seksual pranikah karena tingkah laku ini sulit untuk dilakukan.
Kesulitan-kesulitan ini muncul karena adanya hambatan yang dirasakan
responden seperti adanya perasaan berdosa, tidak adanya tempat untuk melakukan
perilaku tersebut, dan adanya pengawasan yang ketat dari orangtua. Sehingga
mereka meniadakan kemungkinan untuk berhubungan sesksual pranikah. Karena
responden merasa tingkah laku ini sulit untuk dilakukan, maka dirinya tidak
berniat untuk berusaha melakukannya. Oleh karena itu intensinya lemah untuk
melakukan hubungan seksual pranikah.
Selanjutnya terlihat bahwa hanya 26% responden berintensi lemah yang
memiliki PBC positif. Pada kelompok ini responden merasa mampu untuk
melakukan hubungan seksual pranikah namun tidak menyukainya atau responden
85
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
berniat akan menjauhi tingkah laku ini untuk memenuhi harapan significant
person yang tidak setuju jika ia berhubungan seksual pranikah. Sehingga
intensinya lemah untuk berhubungan seksual pranikah.
Berdasarkan penjelasan ketiga determinan di atas, maka diperoleh hasil
sebanyak 57% dari responden penelitian memiliki intensi yang lemah dan 43%
untuk berhubungan seksual pranikah. Dari respon yang diberikan oleh responden
berintensi yang lemah pada alat ukur yang digunakan, secara umum responden
dengan intensi yang lemah tidak memiliki keinginan untuk melakukan hubungan
seksual pranikah. Responden dengan intensi lemah juga tidak berniat untuk
melakukan hubungan seksual pranikah, tidak tertarik untuk melakukan hubungan
seksual pranikah, tidak merencanakan untuk berhubungan seksual pranikah, dan
tidak akan berusaha untuk berhubungan seksual pranikah. Oleh karena itu
kemungkinan kelompok ini untuk melakukan hubungan seksual pranikah
cenderung kecil walaupun mendapatkan kesempatan untuk melakukannya.
Sedangkan sisanya yaitu 43% subjek memiliki intensi kuat untuk
berhubungan seksual pranikah. Pada responden dengan intensi kuat, respon yang
diberikan
kebalikannya.
Secara
umum
responden
merencanakan
untuk
berhubungan seksual pranikah, berniat untuk melakukan hubungan seksual
pranikah, tertarik untuk melakukan hubungan seksual pranikah, memiliki
keinginan untuk melakukan hubungan seksual pranikah, merasa bahwa suatu saat
akan melakukan hubungan seksual pranikah dan akan berusaha untuk
berhubungan seksual pranikah. Oleh karena itu terdapat kemungkinan besar
86
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
bahwa kelompok ini akan melakukan hubungan seksual pranikah jika
mendapatkan kesempatan untuk melakukan tingkah laku ini.
Penjelasan diatas sesuai dengan temuan mengenai pengalaman seksual
responden pada grafik 4.3 yang memperlihatkan bahwa sebagian besar yaitu 65%
dari seluruh responden tidak berhubungan seksual pranikah. Hal ini dikarenakan
intensi yang dimiliki oleh sebagian besar responden penelitian adalah intensi yang
lemah. Selanjutnya pada kelompok yang tidak pernah berhubungan seksual
pranikah, sebagian besar yaitu 81% dari kelompok ini memiliki intensi yang
lemah. Sebaliknya pada kelompok yang pernah berhubungan seksual pranikah,
terdapat 86% subjek yang memiliki intensi yang kuat. Hal ini menunjukkan
bahwa kekuatan intensi berhubungan seksual pranikah yang dimiliki oleh
responden dapat memprediksi keputusan responden mengenai apakah dirinya
akan berhubungan seksual pranikah atau tidak.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa ketiga determinan menentukan
kekuatan dari intensi responden untuk berhubungan seksual pranikah. Namun
determinan manakah yang paling mempengaruhi kekuatan intensi? Untuk
mengetahuinya, dilakukan perhitungan statistik multiple regression yang hasilnya
terdapat pada tabel 4.1.3. Dari hasil perhitungan tersebut, terlihat bahwa ketiga
determinan pembentuk intensi memiliki dampak yang signifikan terhadap
pembentukkan intensi. Namun
norma subyektif terhadap perilaku hubungan
seksual pranikah memiliki kontribusi terbesar terhadap kekuatan intensi
responden. Maka dalam hal perilaku hubungan seksual pranikah, penghayatan
siswa mengenai ada atau tidaknya tekanan sosial (significant person) yang
Bab IV - Hasil dan Pembahasan
87
mengharapkan individu untuk melakukan tingkah laku hubungan seksual pranikah
merupakan hal yang paling dipertimbangkan oleh responden. Nilai kontribusi ini
berlaku spesifik untuk tingkah laku dan populasi tertentu. Jadi nilai kontribusi ini
hanya berlaku untuk tingkah laku berhubungan seksual pranikah pada siswa SMU
“X” Bandung.
Dari data yang didapat, sebanyak 50% responden memiliki norma
subyektif yang positif terhadap hubungan seksual pranikah. Karena norma
subyektif terhadap hubungan seksual pranikah adalah kontribusi yang paling
dominan maka dapat dipastikan hampir sebagian sampel penelitian memiliki
intensi yang kuat untuk berhubungan seksual pranikah. Akan tetapi bila dilihat
dari hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa sebagian besar sampel penelitian
memiliki intensi yang lemah. Hal ini erat kaitannya dengan sampel penelitian
yang merupakan pelajar SMU. Dimana mereka lebih menghayati bahwa hambatan
untuk melakukan hubungan seksual lebih besar, seperti perasaan dosa dan tidak
adanya tempat untuk melakukan hal tersebut. Maka dari itu, pada penelitian ini
PBC memiliki koefisien regresi yang paling kecil.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini, akan disajikan kesimpulan dari hasil penelitian mengenai
intensi berhubungan seksual pranikah pada siwa SMU “X”. Kemudian akan
diuraikan beberapa saran yang diharapkan dapat memenuhi kegunaan dari
penelitian ini.
5.1
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Norma subyektif terhadap tingkah laku hubungan seksual pranikah
adalah determinan yang paling berkontribusi terhadap kekuatan intensi
berhubungan seksual pranikah. Hal ini berarti orang-orang yang
penting bagi siswa, yang paling menentukan kuat atau lemahnya
intensi berhubungan seksual pranikah dari siswa.
2. Sebanyak 40% siswa memiliki sikap yang positif terhadap perilaku
hubungan seksual pranikah. Hal ini berarti hampir sebagain dari siswa
memberikan evaluasi yang positif terhadap konsekuensi-konsekuensi
dari tingkah laku hubungan seksual pranikah. Sehingga mereka
cenderung menyukai perilaku berhubungan seksual pranikah.
3. Sebanyak 50% siswa memiliki norma subyektif yang positif mengenai
perilaku hubungan seksual pranikah. Hal ini berarti bahwa sebagian
dari jumlah responden menganggap bahwa orang-orang yang penting
Bab V – Kesimpulan dan Saran
89
untuk mereka menyetujui dan mengharapkan mereka melakukan
hubungan seksual pranikah. Selain itu mereka lebih termotivasi untuk
memenuhi harapan orang-orang yang menyetujui dari pada orangorang yang meminta mereka untuk menghindari perilaku hubungan
seksual pranikah.
4. Sebanyak 48% siswa memiliki persepsi terhadap kontrol tingkah laku
yang positif. Hal ini berarti bahwa siswa-siswa tersebut mengganggap
dirinya mampu melakukan hubungan seksual pranikah.
5. Jumlah responden yang memiliki intensi berhubungan seksual
pranikah yang kuat pada penelitian ini sebanyak 43%. Dimana pada
penelitian ini hampir sebagian siswa memiliki keinginan atau
kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pranikah, sehingga
memungkinkan untuk melakukan perbuatan tersebut.
5.2
Saran
Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa norma subyektif
terhadap hubungan seksual pranikah yang paling memberikan kontribusi terhadap
kekuatan intensi berhubungan seksual pranikah. Oleh karena itu perlu adanya
upaya untuk membentuk norma subyektif negatif terhadap hubungan seksual
pranikah, dengan cara merubah beliefs melalui pemberian informasi (Ajzen dan
Fishbein, 1975). Saran-saran yang dapat diberikan antara lain:
1. Orangtua diharapkan mampu membangun komunikasi secara terbuka
tentang seksualitas pada remaja. Remaja akan lebih terdidik tentang
Bab V – Kesimpulan dan Saran
90
seksualitas jika percakapan mereka dengan orangtua terjadi secara
interaktif atau dua arah daripada percakapan yang didominasi oleh
orangtua (Lefkowitz, Romo, Corona, Au & Sigman, 2000 dalam
Steinberg, 2002). Orang tua harus menyadari bahwa remaja
mendapatkan banyak informasi tentang seksualitas di luar rumah
seperti dari teman maupun media massa, sehingga penting bagi
orangtua untuk mengetahui bagaimana pandangan remaja tentang
hubungan seksual pranikah sehingga dapat diarahkan menjadi
informasi yang benar dan tepat.
2. Orang tua diharapkan mampu memberikan informasi terhadap remaja
mengenai konsekuensi-konsekuensi negatif kepada remaja, sehingga
remaja memiliki sikap dan norma subyektif yang negatif tentang
hubungan seksual pranikah.
3. Bagi remaja, saran yang dapat diberikan adalah untuk mencari
informasi yang benar mengenai hubungan seksual pranikah terutama
mengenai konsekuensi-konsekuensi negatif dari tingkah laku ini.
Selanjutnya diarapkan remaja dapat menjadikan significant person
yang tidak setuju dengan hubungan seksual pranikah dapat
diperioritaskan.
4. Pada pihak sekolah, diharapkan mengadakan sarana yang memberikan
muatan-muatan kesehatan reproduksi terutama pada pergaulan sehat
remaja. Karena informasi ini akan akan membantu remaja membentuk
norma subyektif yang negatif mengenai hubungan seksual pranikah.
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, Icek. 2005. Attitude, Personality and Behavior. Miton Keynes :
Open University Press.
Fishbein, M & Ajzen. I. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior, an
Intro in Theory and Research. Addison-wesley Publishing
Company. Reading, Massacusetts.
Francis, Jillian. J. 2004. Constructing Questionnaires Based on The
Theory of Planned Behavior. A Manual for Health Services
Reasearch Centre For Health Services Reasearch. Newcastle,
United Kingdom.
http://www.people.umass.edu/aizen/pdf/tpb.intervention.pdf
http://www.people.umass.edu/aizen/pdf/tpb.measurement.pdf
Hurlock, E.B. 1973. Adolescent Development. Mc Graw-Hill. New York.
Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan edisi kelima. Erlangga.
Jakarta.
Santrock, J. W. 2003. Adolescence, Perkembangan Remaja. Edisi
Keenam. Jakarta : Erlangga.
Sarwono, Sarlito W, Prof. Dr. 2004. Psikologi Remaja. Cetakan
kedelapan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Steinberg, L. D. 2002. Adolescence. International edition. Sixth edition.
New York : McGraw-Hill.
Sudjana. 1990. Metode Statistika Edisi keenam. Bandung : Penerbit
Tarsito.
LAMPIRAN
LAMPIRAN A
Skor Interval Untuk Setiap Item
SKOR INTERVAL UNTUK SETIAP ITEM
Item
1
2
3
4
6
7
8
9
10
11
12
13
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
1
2
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
3
1,66
1,98
1,92
1,60
1,99
2,18
1,77
1,76
1,98
1,67
1,60
1,66
2,05
1,81
1,74
1,95
1,64
2,11
2,00
1,75
1,75
1,95
2,33
2,13
1,71
1,68
1,66
1,74
1,74
1,91
1,72
1,55
1,93
1,83
1,90
1,71
1,95
1,76
2,09
1,94
1,67
1,71
1,53
1,94
1,60
1,53
1,73
1,90
1,90
1,87
1,88
1,97
1,93
1,91
1,93
2,07
1,93
4
2,16
2,56
2,47
1,91
2,63
2,71
2,21
2,49
2,76
2,00
2,12
2,03
2,76
2,42
2,23
2,56
2,27
2,60
2,52
2,48
2,22
2,21
2,99
1,53
2,83
2,42
2,33
2,38
2,32
2,47
2,30
2,42
1,97
2,73
2,60
2,66
2,31
2,43
2,11
2,76
2,59
2,18
2,15
2,53
2,69
2,11
1,71
2,28
2,26
2,34
2,22
2,27
2,53
2,35
2,42
2,46
2,64
2,39
5
2,99
2,95
3,07
2,43
3,34
3,01
2,55
3,22
3,81
3,27
3,06
2,44
3,37
3,02
2,99
3,00
2,92
3,06
3,30
2,63
2,52
3,98
3,22
3,08
2,78
3,10
3,17
3,31
3,26
2,64
3,46
3,46
3,18
2,96
2,53
3,46
3,08
2,66
2,65
3,53
3,27
2,63
1,97
3,49
2,85
2,95
2,85
2,95
3,18
2,93
3,12
3,15
3,43
2,81
4,11
3,67
3,97
3,55
3,86
3,67
3,34
4,09
4,29
3,56
3,72
4,50
3,85
3,67
3,80
3,64
3,73
4,20
3,48
3,23
3,91
3,87
3,92
4,05
3,91
3,17
3,86
3,95
3,85
4,29
4,29
4,23
3,77
3,46
4,14
3,89
3,48
3,61
4,46
4,26
3,59
3,38
3,73
3,73
3,95
4,07
3,94
3,85
3,94
4,03
3,52
LAMPIRAN B
Data Mentah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
1
4,11
1,00
2,16
4,11
2,99
2,99
2,99
2,99
4,11
2,16
2,99
1,66
2,99
2,99
2,16
1,66
2,99
1,00
2,99
1,00
2,16
4,11
2,16
2,99
2,16
2,99
2,99
2,16
2,99
2,16
4,11
2,99
1,00
1,00
2,16
1,66
2,16
4,11
2,99
1,00
2
3,67
1,00
1,00
3,67
3,67
1,98
2,95
2,56
2,95
1,98
2,56
1,98
3,67
2,95
1,98
1,00
3,67
1,00
3,67
1,00
1,98
2,56
1,00
1,98
1,00
3,67
1,98
1,98
1,98
2,56
1,00
1,98
2,56
1,00
1,98
3,67
2,95
2,56
2,56
1,00
3
1,00
2,47
3,07
3,97
2,47
1,92
3,07
1,92
3,97
1,00
1,92
1,92
3,07
3,07
1,92
1,00
1,92
1,00
3,07
1,00
1,00
1,92
1,00
1,92
2,47
3,07
1,00
2,47
1,00
3,07
2,47
2,47
3,97
1,00
1,92
1,00
2,47
3,07
3,97
2,47
4
1,00
1,60
2,43
3,55
1,91
1,00
1,91
3,55
1,00
1,00
1,60
1,60
1,60
1,91
3,55
1,00
1,00
1,00
2,43
1,00
1,60
1,60
1,00
1,00
1,60
1,00
1,00
1,00
1,60
1,00
3,55
1,60
1,00
1,00
1,60
1,00
1,91
1,00
1,00
1,00
6
2,63
1,00
2,63
1,99
1,00
2,63
3,86
1,00
1,00
1,99
2,63
1,00
1,99
3,86
1,00
1,00
1,00
1,00
1,99
2,63
1,00
2,63
1,00
2,63
1,00
2,63
1,00
2,63
1,00
3,34
2,63
2,63
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,99
1,00
1,99
INPUT SKOR ALAT UKUR
No.
7
1,00
1,00
3,67
2,71
2,18
2,71
3,67
1,00
1,00
2,18
2,18
1,00
1,00
3,67
1,00
1,00
1,00
1,00
2,18
2,18
1,00
3,01
1,00
2,71
1,00
3,01
1,00
2,18
1,00
2,18
2,18
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,18
1,00
2,18
8
3,34
2,21
2,55
3,34
2,21
1,00
3,34
1,77
2,21
2,55
1,00
1,00
2,21
3,34
1,00
1,00
1,00
1,00
3,34
1,00
1,00
2,55
1,00
1,00
1,00
1,00
3,34
2,21
3,34
2,55
2,21
2,21
2,55
1,77
3,34
2,21
3,34
1,00
1,00
1,77
29
2,83
1,00
2,83
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,83
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,83
1,00
2,13
1,00
1,00
2,83
1,00
1,00
1,00
2,13
1,00
1,00
1,00
2,83
2,83
1,00
1,00
1,00
2,83
2,13
2,83
1,00
1,00
1,00
ATB
30
2,42
1,71
1,71
3,91
3,91
2,42
3,91
2,42
3,91
3,08
3,91
1,00
2,42
3,91
1,00
2,42
3,91
2,42
3,91
3,91
2,42
3,91
2,42
2,42
1,00
3,08
2,42
3,08
2,42
3,08
3,91
1,71
1,00
3,08
2,42
3,91
3,08
1,71
2,42
2,42
31
1,00
1,00
2,33
2,33
2,33
1,00
2,78
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,78
1,00
1,00
1,00
3,87
1,68
1,00
1,68
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,33
1,00
2,33
1,00
1,00
2,33
1,00
1,00
1,00
1,00
2,33
1,00
1,68
1,00
32
2,38
1,66
2,38
3,92
3,92
1,00
3,10
2,38
2,38
1,00
3,92
2,38
1,00
3,92
2,38
2,38
3,92
2,38
3,10
2,38
3,10
3,92
1,00
1,00
2,38
3,10
2,38
2,38
2,38
3,10
3,92
2,38
3,92
3,92
2,38
3,92
2,38
1,66
3,10
1,66
33
1,74
1,74
1,00
2,32
4,05
1,00
3,17
2,32
2,32
1,00
3,17
2,32
1,00
3,17
2,32
1,00
4,05
1,00
3,17
1,00
2,32
2,32
1,00
1,00
2,32
3,17
2,32
3,17
2,32
3,17
2,32
2,32
1,00
2,32
1,00
4,05
2,32
2,32
1,00
1,74
34
2,47
1,00
2,47
2,47
2,47
1,00
3,31
2,47
2,47
2,47
2,47
1,00
1,00
3,91
3,91
2,47
2,47
1,00
2,47
2,47
2,47
2,47
1,00
1,00
3,91
3,31
1,00
1,74
1,00
2,47
2,47
1,74
1,00
2,47
1,00
3,91
2,47
2,47
1,00
1,74
35
2,30
1,00
2,30
3,17
3,17
3,17
3,17
1,00
2,30
1,91
2,30
3,17
1,00
3,17
1,00
3,17
2,30
2,30
1,91
1,00
1,91
3,17
1,00
3,17
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,30
1,00
1,00
1,00
1,00
2,30
2,30
1,00
1,00
1,00
36
2,42
1,00
3,26
1,72
2,42
1,00
3,86
2,42
2,42
1,00
2,42
1,00
1,00
3,86
1,72
2,42
3,26
2,42
2,42
2,42
2,42
2,42
1,00
1,00
1,00
2,42
1,00
2,42
1,00
2,42
2,42
2,42
3,86
2,42
1,00
3,86
2,42
2,42
1,00
1,00
9
2,49
2,49
1,76
1,00
1,00
1,00
4,09
1,00
1,00
3,22
1,76
1,76
1,00
4,09
2,49
3,22
2,49
2,49
3,22
1,76
2,49
3,22
1,76
1,00
2,49
2,49
1,00
4,09
1,00
2,49
2,49
1,76
3,22
2,49
2,49
2,49
4,09
2,49
1,76
1,76
10
1,00
1,98
1,98
2,76
1,98
1,00
3,81
1,00
1,00
2,76
2,76
2,76
1,98
3,81
3,81
1,98
2,76
1,98
1,98
1,00
1,98
1,98
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,76
3,81
2,76
2,76
1,98
1,00
2,76
1,98
2,76
1,98
11
1,00
1,00
2,00
1,00
3,27
1,00
3,27
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,00
3,27
1,00
1,00
1,00
1,00
1,67
1,00
1,00
1,67
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,67
1,00
1,00
1,00
12
1,60
1,00
2,12
1,00
4,29
1,00
4,29
1,00
1,60
2,12
2,12
2,12
2,12
4,29
2,12
1,00
2,12
1,60
1,60
1,60
1,60
1,60
1,00
1,00
1,60
1,60
1,60
1,60
1,60
1,60
3,06
1,60
1,60
3,06
1,60
1,00
2,12
1,60
1,60
1,60
13
1,66
1,00
2,44
1,00
2,03
1,00
3,56
1,00
1,00
2,03
1,00
1,66
1,00
3,56
1,00
1,00
1,00
1,66
1,00
1,00
1,66
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,66
2,03
1,66
1,00
2,03
1,00
3,56
1,00
1,66
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
15
1,00
1,00
2,76
2,76
3,72
3,72
3,72
2,76
1,00
2,76
2,05
2,76
1,00
3,72
1,00
1,00
2,05
2,76
2,76
1,00
1,00
2,76
1,00
1,00
1,00
2,05
2,05
2,05
2,05
2,76
1,00
1,00
2,76
1,00
1,00
2,76
2,05
2,05
2,76
1,00
16
2,42
1,00
2,42
2,42
4,50
1,00
3,37
1,00
2,42
1,81
3,37
2,42
3,37
3,37
1,00
1,00
1,00
1,81
2,42
1,00
1,00
2,42
1,00
1,00
2,42
1,81
1,00
2,42
1,00
3,37
2,42
2,42
2,42
3,37
2,42
2,42
3,37
1,81
1,81
3,37
17
2,23
1,00
1,00
2,23
1,00
1,00
3,85
1,00
3,85
1,00
2,23
2,23
2,23
3,02
3,02
1,00
1,00
3,85
3,02
1,00
1,00
2,23
1,00
1,00
3,02
1,74
1,00
1,00
1,00
3,02
2,23
2,23
1,00
2,23
2,23
2,23
2,23
2,23
3,02
2,23
18
3,67
1,00
2,56
1,95
3,67
1,00
3,67
1,00
3,67
1,95
1,95
2,56
1,95
3,67
2,99
1,95
1,00
3,67
2,99
1,00
1,95
2,56
1,00
1,00
3,67
1,95
1,00
1,95
1,00
2,99
1,00
1,95
2,56
2,56
2,56
3,67
2,56
2,56
1,95
2,56
19
3,80
2,27
2,27
2,27
2,27
1,00
3,80
1,00
3,80
2,27
3,80
3,00
1,00
3,80
1,00
2,27
2,27
2,27
3,00
1,64
1,00
2,27
1,00
1,00
2,27
1,00
3,00
2,27
3,00
3,80
3,80
2,27
3,00
1,64
2,27
3,80
3,00
2,27
2,27
2,27
20
2,60
1,00
3,64
1,00
1,00
1,00
3,64
1,00
3,64
2,11
2,11
1,00
2,11
2,92
2,92
1,00
1,00
1,00
2,11
1,00
1,00
2,11
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,11
1,00
2,92
3,64
2,11
2,92
1,00
2,11
2,60
2,60
2,11
2,11
2,11
21
2,00
1,00
2,00
2,00
3,73
1,00
3,06
1,00
3,73
2,52
2,00
1,00
1,00
3,06
2,52
1,00
1,00
1,00
2,00
1,00
1,00
2,52
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,00
1,00
2,52
3,73
1,00
3,06
2,52
2,00
1,00
2,52
2,52
2,52
1,00
SN
37
1,00
1,00
1,55
1,55
1,97
1,00
2,64
1,00
1,00
1,55
1,00
1,00
1,00
3,95
1,55
1,55
1,00
1,00
1,00
1,55
1,55
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,55
1,00
1,00
1,00
1,55
1,00
1,00
1,97
1,55
1,97
1,00
1,00
1,00
39
1,93
1,00
2,73
1,00
2,73
1,00
3,85
1,00
1,93
1,93
1,93
1,93
1,93
3,85
1,00
2,73
1,93
3,85
1,00
2,73
2,73
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,73
1,00
1,00
2,73
1,93
2,73
1,00
1,93
1,93
1,93
1,93
1,93
1,00
40
2,60
1,00
1,83
2,60
2,60
1,00
3,46
3,46
4,29
2,60
3,46
1,83
2,60
3,46
1,83
2,60
2,60
1,83
1,83
4,29
2,60
2,60
2,60
1,00
1,00
1,00
2,60
1,83
2,60
2,60
2,60
2,60
1,00
1,83
2,60
1,00
3,46
4,29
3,46
1,00
41
1,90
1,90
3,46
1,00
2,66
1,00
3,46
1,00
4,29
2,66
3,46
1,90
1,00
3,46
4,29
2,66
2,66
1,90
2,66
4,29
2,66
1,90
2,66
1,00
1,90
1,00
2,66
1,00
2,66
2,66
2,66
1,90
1,00
1,90
2,66
2,66
2,66
3,46
3,46
1,90
42
1,00
2,31
1,71
2,31
4,23
1,00
3,18
1,71
4,23
3,18
2,31
2,31
1,00
4,23
3,18
3,18
4,23
2,31
3,18
2,31
1,71
2,31
1,71
1,00
2,31
1,00
3,18
2,31
3,18
2,31
2,31
3,18
1,00
2,31
3,18
2,31
3,18
3,18
1,00
3,18
43
2,43
1,00
3,77
2,43
3,77
1,00
2,96
1,00
3,77
1,00
2,96
1,00
1,00
2,96
1,95
1,00
1,00
1,00
2,96
1,00
1,00
2,43
1,00
1,00
1,95
1,95
1,95
2,43
1,95
2,96
2,43
1,95
3,77
1,95
1,95
2,43
2,96
2,43
1,00
1,00
44
1,00
1,76
2,11
1,76
3,46
1,00
1,76
3,46
3,46
1,76
1,76
3,46
2,53
2,53
1,00
1,00
1,00
1,00
1,76
1,00
3,46
2,11
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,76
1,00
2,53
2,11
1,76
2,53
3,46
2,53
2,11
2,11
1,00
3,46
3,46
45
2,09
1,00
2,09
2,76
2,76
1,00
2,09
1,00
4,14
2,09
2,76
1,00
1,00
3,46
2,76
1,00
1,00
1,00
2,09
1,00
1,00
2,76
1,00
1,00
1,00
3,46
1,00
1,00
1,00
2,76
2,76
2,09
2,09
1,00
2,09
1,00
2,76
2,09
1,00
1,00
46
3,08
1,94
1,94
2,59
1,00
1,00
3,89
1,94
3,89
3,08
1,00
3,89
2,59
3,89
1,00
1,94
3,08
1,00
2,59
3,08
1,94
2,59
3,89
1,00
1,94
1,00
2,59
3,08
2,59
3,08
3,89
3,08
2,59
2,59
2,59
1,00
3,08
1,00
3,08
3,08
47
2,18
1,00
2,18
1,00
3,48
1,00
2,66
3,48
2,18
2,18
1,00
1,00
1,00
3,48
2,18
3,48
2,18
1,67
1,67
1,00
1,00
1,67
3,48
1,00
1,00
1,00
2,18
2,66
2,18
2,18
1,00
3,48
1,67
2,18
1,00
2,18
2,66
1,00
3,48
1,00
48
2,65
3,61
1,00
1,71
3,61
1,00
2,15
3,61
1,71
1,71
1,00
1,00
1,00
2,65
1,71
1,00
1,00
1,00
2,15
1,00
1,71
2,15
1,00
1,00
1,71
1,00
1,00
1,71
1,00
2,15
2,65
2,15
2,15
1,71
1,00
3,61
2,65
2,15
3,61
1,00
22
1,75
1,75
1,00
4,20
4,20
2,48
3,30
2,48
2,48
3,30
4,20
2,48
2,48
4,20
2,48
1,00
3,30
2,48
2,48
2,48
1,75
2,48
1,00
1,00
2,48
1,00
2,48
1,75
2,48
3,30
4,20
2,48
4,20
3,30
3,30
1,75
3,30
3,30
3,30
2,48
23
2,22
3,48
2,22
3,48
3,48
1,00
2,63
1,75
2,63
1,75
2,63
1,00
1,75
2,63
1,00
1,00
1,00
1,00
2,22
1,00
3,48
2,22
3,48
1,00
1,00
2,63
1,00
1,00
1,00
2,22
2,22
1,75
1,00
1,75
1,00
2,22
2,22
1,00
3,48
3,48
24
2,52
1,00
3,23
2,21
3,23
1,00
2,52
1,00
3,23
1,95
1,95
1,00
1,00
2,52
1,00
2,21
1,00
1,00
2,21
1,00
1,00
3,23
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,95
1,00
2,52
3,23
1,95
1,00
3,23
1,00
3,23
2,21
1,00
1,00
1,00
27
2,99
1,00
2,33
2,33
2,99
1,00
2,99
2,99
1,00
1,00
1,00
2,99
1,00
2,99
1,00
1,00
1,00
1,00
3,98
2,99
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,99
1,00
1,00
1,00
2,99
2,99
2,99
2,99
1,00
2,99
2,33
1,00
1,00
PBC
28
1,00
1,00
1,53
1,00
1,00
1,00
3,22
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
3,22
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
49
2,53
1,53
2,53
2,53
4,46
1,00
2,53
1,53
2,53
2,53
1,53
2,53
4,46
2,53
2,53
2,53
2,53
1,53
1,53
1,00
2,53
2,53
1,00
1,00
2,53
1,53
1,00
1,00
1,00
2,53
1,53
1,53
1,53
2,53
2,53
1,53
3,53
2,53
1,00
2,53
50
1,00
1,00
3,27
1,00
4,26
1,00
3,27
1,94
1,00
2,69
1,94
2,69
2,69
3,27
1,94
1,00
1,00
2,69
2,69
2,69
1,94
1,94
1,00
1,00
1,94
1,00
1,00
2,69
1,00
1,94
2,69
1,94
3,27
1,00
2,69
1,00
3,27
1,00
1,00
1,00
51
1,00
1,00
1,00
2,11
3,59
1,00
2,11
1,60
3,59
1,60
1,60
1,00
1,60
2,11
1,00
1,00
1,00
1,00
1,60
1,00
1,60
2,11
1,00
1,00
1,00
2,11
1,00
2,11
1,00
2,63
2,63
2,11
2,11
2,11
3,59
1,00
3,59
1,00
1,00
1,00
52
1,00
1,00
1,71
1,00
1,00
1,00
3,38
1,00
1,00
1,53
1,00
1,00
1,00
3,38
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,53
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,53
1,97
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
53
1,00
1,00
1,73
1,73
3,49
1,00
3,49
1,73
1,00
1,73
1,00
1,00
1,00
3,49
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,73
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,28
1,00
1,00
2,28
2,28
1,73
1,00
1,73
1,73
2,28
1,00
1,00
1,00
54
1,00
1,90
2,85
1,00
3,73
1,00
2,85
1,00
3,73
1,90
1,00
1,00
1,00
2,85
2,26
1,00
1,00
3,73
2,26
2,85
1,00
1,90
1,00
1,00
2,85
1,00
1,00
2,26
1,00
2,26
2,26
1,00
2,26
2,85
1,00
2,26
2,85
1,90
1,00
1,00
55
1,00
1,00
1,90
1,00
3,73
1,00
2,95
1,00
3,73
2,34
1,00
1,00
1,00
2,95
1,00
1,00
1,00
2,34
2,34
3,73
1,00
2,34
1,00
1,00
2,34
1,00
1,00
2,34
1,00
2,34
2,95
1,90
2,95
2,34
1,90
2,34
2,95
1,90
1,00
1,00
56
2,85
1,00
2,85
1,87
3,95
1,00
2,85
1,00
2,85
2,22
2,22
1,00
1,87
2,85
1,87
1,00
1,00
2,22
2,85
3,95
1,87
2,85
1,00
1,00
1,87
1,00
1,00
2,85
1,00
2,85
2,85
2,22
2,22
2,85
1,87
3,95
2,85
1,00
1,00
1,00
57
4,07
1,00
2,27
1,88
4,07
1,00
2,95
1,00
2,27
2,27
2,95
1,00
1,00
2,95
1,88
1,00
1,00
1,88
2,95
1,00
1,88
2,95
1,00
1,00
2,27
1,00
1,00
2,95
1,00
2,95
2,95
1,88
2,27
2,95
1,88
2,95
2,95
2,27
1,00
1,00
59
2,93
1,00
3,85
1,93
3,85
1,00
2,93
1,00
2,35
1,93
2,35
1,00
1,00
2,93
1,93
1,00
2,93
1,00
2,93
1,00
1,00
2,35
1,00
1,00
1,93
1,00
1,00
2,35
1,00
2,35
2,93
2,35
2,35
2,93
1,00
3,85
2,93
1,93
1,00
1,93
INTENSI
58
1,97
1,00
3,94
1,00
3,94
1,00
3,18
1,00
2,53
1,97
2,53
1,00
1,97
3,18
1,00
1,00
1,97
1,97
2,53
1,00
1,00
2,53
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,97
1,00
2,53
3,18
2,53
2,53
2,53
1,00
2,53
3,18
1,97
1,00
1,00
60
3,94
1,00
1,00
2,42
3,94
1,00
3,12
1,00
2,42
1,00
1,91
1,00
1,00
3,12
2,42
1,00
2,42
1,00
2,42
1,00
1,00
2,42
1,00
1,00
2,42
1,00
1,00
3,12
1,00
3,12
3,12
1,91
2,42
1,91
1,00
2,42
3,12
1,91
1,00
1,91
61
4,03
1,00
2,46
1,93
4,03
1,00
3,15
1,00
2,46
1,93
1,93
1,00
1,00
3,15
2,46
1,00
1,93
1,00
2,46
1,00
1,00
3,15
1,00
1,00
2,46
1,00
1,00
3,15
1,00
2,46
3,15
1,93
3,15
2,46
1,00
3,15
3,15
1,93
1,00
1,93
62
2,64
1,00
3,43
2,07
1,00
1,00
3,43
1,00
3,43
1,00
2,07
1,00
1,00
3,43
2,07
1,00
2,07
1,00
3,43
1,00
1,00
3,43
1,00
1,00
2,07
1,00
1,00
2,64
1,00
2,64
3,43
2,07
2,64
2,07
1,00
2,64
2,64
2,07
1,00
2,07
63
2,39
1,00
2,81
2,39
3,52
1,00
3,52
1,00
3,52
1,00
1,93
1,00
1,00
2,81
1,93
1,00
1,93
1,00
2,39
1,00
1,00
2,81
1,00
1,00
1,93
1,00
3,52
2,81
3,52
2,39
2,81
1,00
3,52
3,52
1,00
2,39
3,52
1,93
1,00
1,93
LAMPIRAN C
Rekapitulasi Data Mentah
Rekapitulasi Data Mentah
No.
Sikap
SN
PBC
Intensi
Sikap
SN
PBC
Intensi
Berhubungan
Seksual
P/L
1
34,31
47,33
17,01
26,82 Positif
Negatif
Negatif
Kuat
Pernah
L
2
20,39
33,26
13,76
10,90 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
L
3
35,79
51,32
20,55
27,36 Positif
Negatif
Negatif
Kuat
Belum
L
4
44,18
42,10
21,59
17,49 Positif
Negatif
Positif
Lemah
Belum
L
5
39,70
64,73
31,70
35,76 Positif
Positif
Positif
Kuat
Pernah
L
6
25,82
25,72
11,48
10,00 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
7
46,09
76,23
29,44
30,93 Positif
Positif
Positif
Kuat
Pernah
L
8
29,80
36,42
17,02
10,00 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
9
35,87
62,60
19,46
29,29 Positif
Positif
Negatif
Kuat
Pernah
L
10
25,32
49,29
19,08
17,56 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
L
11
35,07
48,79
17,85
19,89 Positif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
L
12
23,03
44,59
16,69
10,00 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
13
25,95
37,41
17,98
11,84 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
14
47,51
80,50
30,34
30,22 Positif
Positif
Positif
Kuat
Pernah
P
15
26,94
47,32
13,95
18,82 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
16
23,52
39,56
12,74
10,00 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
17
36,32
40,37
13,83
17,25 Positif
Negatif
Negatif
Lemah
Pernah
L
18
23,39
42,65
13,70
17,14 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
19
40,46
50,66
19,71
26,56 Positif
Negatif
Negatif
Kuat
Pernah
L
20
24,99
37,25
15,89
17,53 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
21
27,06
38,04
16,30
11,75 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
22
40,42
48,86
19,04
26,73 Positif
Negatif
Negatif
Kuat
Pernah
L
23
17,58
33,10
12,48
10,00 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
24
25,82
23,00
10,00
10,00 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
25
23,84
37,28
13,95
21,14 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
26
36,58
32,05
13,27
10,00 Positif
Negatif
Negatif
Lemah
Pernah
L
27
25,76
36,47
11,48
12,52 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
28
30,42
45,58
17,77
26,44 Positif
Negatif
Negatif
Kuat
Belum
L
29
26,36
36,47
11,48
12,52 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
30
35,93
57,59
19,14
25,89 Positif
Positif
Negatif
Kuat
Pernah
L
31
39,32
57,78
21,78
29,63 Positif
Positif
Negatif
Kuat
Pernah
L
32
29,78
48,82
19,56
18,79 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
L
33
26,86
51,39
20,80
26,31 Negatif
Negatif
Negatif
Kuat
Belum
L
34
24,98
45,56
19,91
26,41 Negatif
Negatif
Negatif
Kuat
Pernah
L
35
25,63
46,82
20,83
12,65 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
P
36
36,62
46,75
15,46
28,48 Positif
Negatif
Negatif
Kuat
Pernah
L
37
34,96
59,39
25,39
30,14 Positif
Positif
Positif
Kuat
Pernah
L
38
29,49
47,15
15,16
18,81 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
L
39
25,72
51,04
14,78
10,00 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
L
40
22,97
40,50
15,49
14,77 Negatif
Negatif
Negatif
Lemah
Belum
L
LAMPIRAN D
Alat Ukur
RAHASIA
Usia
: ......... tahun
Jenis Kelamin
:L/P
Agama
: ......................................
Pendidikan
: ......................................
Pekerjaan Orangtua
: .......................................
PETUNJUK PENGISIAN
1. Pada
halaman
berikut
terdapat
pernyataan-pernyataan
yang
memperlihatkan keyakinan, perasaan, kontrol tingkah laku, dan intensi yang
berkaitan dengan perilaku hubungan seksual pranikah. Saudara diminta
untuk menjawab sesuai dengan keadaan saudara yang sebenarnya.
2. Saudara diminta untuk memberikan hanya satu jawaban terhadap setiap
pernyataan, dengan cara melingkari (O) salah satu angka diantara 1
sampai dengan 5, yang sesuai dengan keadaan Saudara.
Contoh:
Saya merasa sekolah itu berguna.
Semakin saudara merasa sekolah itu berguna maka pilihlah angka yang
semakin besar, begitu pula sebaliknya bila saudara merasa sekolah itu tidak
berguna, maka lingkarilah angka yang semakin kecil.
Tidak Setuju :
1
:
2
:
3
:
4
:
3. Pastikan tidak ada nomor yang saudara lewatkan.
4. Jawablah sesuai dengan keadaan saudara.
5. Bekerjalah dengan teliti.
6. Identitas saudara akan kami rahasiakan.
Selamat Mengerjakan
5
: Setuju
INSTRUKSI UNTUK NO. 1 – 8
Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan seberapa yakin Saudara terhadap
konseksuensi yang didapat bila melakukan hubungan seksual pranikah.
Lingkarilah angka yang mewakili seberapa besar keyakinan saudara terhadap
pernyataan di bawah ini.
1. Berhubungan seksual pranikah akan meningkatkan kedekatan dengan pasangan.
Tidak Yakin :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Yakin
2. Pasangan akan semakin mencintai saya, bila saya bersedia melakukan hubungan
seksual pranikah.
Tidak Yakin :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Yakin
3. Hubungan seksual pranikah merupakan cara untuk menyalurkan dorongan seksual
saya.
Tidak Yakin :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Yakin
4. Melakukan hubungan seksual pranikah beresiko terkena penyakit menular seksual.
Tidak Yakin :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Yakin
5. Berhubungan seksual pranikah tidak dapat menyebabkan kehamilan.
Tidak Yakin :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Yakin
6. Saya akan dikatakan “anak gaul” oleh teman-teman, bila telah melakukan
hubungan seksual pranikah.
Tidak Yakin :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Yakin
7. Saya akan lebih dihargai oleh teman-teman, bila berani melakukan hubungan
seksual pranikah.
Tidak Yakin :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Yakin
8. Saya akan dikucilkan oleh teman-teman, bila melakukan hubungan seksual
pranikah.
Tidak Yakin :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Yakin
INSTRUKSI UNTUK NO. 9 – 21
Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan seberapa besar Saudara menghayati
tekanan untuk memenuhi keinginan dari orang-orang terdekat Saudara.
Lingkarilah angka yang mewakili seberapa besar tekanan yang saudara hayati.
9. Larangan orangtua untuk berpacaran.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
5
: Kuat
10. Batasan orangtua terhadap pergaulan saya.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
11. Harapan orangtua agar tidak terjebak dalam pergaulan bebas.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
12. Batasan orangtua terhadap waktu bermain saya.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
13. Keharusan mengerjakan sholat oleh orangtua
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
14. Keharusan mengerjakan sholat oleh guru
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
15. Ancaman orangtua yang mengusir saya dari rumah, bila melakukan hubungan
seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
16. Permintaan pasangan untuk berhubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
17. Paksaan pasangan untuk berhubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
18. Rayuan pasangan untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
19. Ajakan teman-teman untuk menonton film porno.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
20. Ajakan teman-teman untuk mengikuti “pesta seks”.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
21. Dorongan teman-teman untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
INSTRUKSI UNTUK NO. 22 – 28
Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan sejauh mana Saudara menyetujui akan
adanya faktor-faktor yang menghambat atau memudahkan untuk melakukan
hubungan seksual pranikah.
Lingkarilah angka yang mewakili persetujuan Saudara terhadap pernyataan di bawah
ini.
22. Saya memiliki hasrat seksual yang harus dipenuhi.
Tidak Setuju :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Setuju
23. Saya tidak memiliki keberanian untuk mengajak pasangan saya melakukan
hubungan seksual pranikah.
Tidak Setuju :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Setuju
24. Saya akan melakukan hubungan seksual pranikah dengan pasangan saya, bila
rumah sedang kosong.
Tidak Setuju :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Setuju
25. Saya sulit mencari tempat untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
Tidak Setuju :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Setuju
26. Saya tidak melakukan hubungan seksual pranikah karena tidak memiliki pasangan.
Tidak Setuju :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Setuju
27. Seperti kebanyakkan orang, saya menganggap bahwa melakukan hubungan
seksual pranikah merupakan hal yang tabu.
Tidak Setuju :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Setuju
28. Ajaran agama tidak memperbolehkan hubungan seksual pranikah.
Tidak Setuju :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Setuju
INSTRUKSI UNTUK NO. 29 – 36
Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan apa yang saudara rasakan apabila
Saudara menghadapi situasi seperti pernyataan di bawah ini.
Lingkarilah angka yang mewakili perasaan Saudara terhadap pernyataan di bawah ini.
29. Jika pasangan mengatakan akan meninggalkan saya bila tidak mau melakukan
hubungan seksual, maka saya akan merasa :
Tidak takut :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Takut
30. Jika melakukan hubungan seksual pranikah, hubungan saya dengan pasangan
akan terasa semakin :
Jauh :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Dekat
31. Jika melakukan hubungan seksual pranikah akan terkena penyakit menular
seksual, yang saya rasakan adalah :
Tidak takut :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Takut
32. Bila dorongan seksual terpenuhi, maka saya akan merasa :
Tidak senang :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Senang
33. Jika melakukan hubungan seksual pranikah, maka saya akan merasa:
Tidak senang :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Senang
34. Jika melakukan hubungan seksual pranikah, teman-teman akan menghargai saya,
dan saya akan merasa :
Tidak senang :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Senang
35. Jika melakukan hubungan seksual pranikah, teman-teman sekelompok menjauhi
saya, maka saya akan merasa :
Tidak takut :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Takut
36. Jika melakukan hubungan seksual pranikah, teman-teman mengatakan saya “anak
gaul”, maka saya akan merasa :
Tidak senang :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Senang
INSTRUKSI UNTUK NO. 37 – 48
Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan seberapa kuat kenginan Saudara
untuk memenuhi harapan orang-orang yang terdekat dengan Saudara.
Lingkarilah angka yang mewakili kuat lemahnya keinginan Saudara.
37. Keinginan untuk melaksanakan ibadah sesuai anjuran orangtua agar terhindar dari
perilaku-perilaku yang buruk.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
38. Keinginan untuk melaksanakan ibadah sesuai anjuran guru agar terhindar dari
perilaku-perilaku yang buruk.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
39. Keinginan untuk membatasi pergaulan atas permintaan orangtua.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
40. Keengganan mematuhi himbauan orangtua, untuk melaksanakan ibadah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
41. Keengganan mematuhi himbauan guru, untuk melaksanakan ibadah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
42. Keinginan melanggar batas waktu bermain yang telah ditentukan oleh orangtua.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
43. Keinginan untuk memenuhi kemauan pasangan untuk berhubungan seksual
pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
44. Keinginan menolak bila dirayu oleh pasangan untuk melakukan hubungan seksual
pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
45. Keinginan mengikuti dorongan teman-teman untuk melakukan hubungan seksual
pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
46. Keinginan menolak ajakan teman untuk menonton film porno.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
47. Keinginan menghindari ajakan teman untuk datang ke acara “pesta seks”.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
48. Keengganan melakukan hubungan seksual pranikah walaupun teman-teman
sudah melakukannya.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
INSTRUKSI UNTUK NO. 49 – 53
Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan seberapa besar kemampuan Saudara
untuk mengendalikan berbagai situasi yang dapat mempermudah atau
menghambat dalam melakukan hubungan seksual pranikah.
49. Kemampuan saya untuk mengendalikan dorongan seksual.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
50. Kemampuan untuk memilih berpacaran di tempat umum, agar terhindar dari
perilaku seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
51. Kemampuan menolak ajakan pasangan untuk melakukan hubungan seksual.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
52. Kemampuan untuk menjaga nama baik keluarga saya.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
53. Kemampuan untuk mematuhi aturan agama yang melarang perbuatan seksual
pranikah
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
INSTRUKSI UNTUK NO. 54 – 63
Beberapa pernyataan di bawah ini berkaitan dengan seberapa kuat niat Saudara
untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
Lingkarilah angka yang mewakili kuat lemahnya niat Saudara.
54. Merencanakan untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
55. Berniat untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
56. Ketertarikan untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
57. Keinginan melakukan hubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
58. Berusaha untuk berhubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
59. Berniat mencari kesempatan untuk berhubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
60. Berniat mengajak pasangan untuk melakukan hubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
61. Berniat mencari pasangan yang bersedia untuk melakukan hubungan seksual
pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
:
5
: Kuat
62. Ketertarikan untuk ikut “pesta seks”.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
63. Berusaha mencari tempat agar dapat melakukan hubungan seksual pranikah.
Lemah :
1
:
2
:
3
:
4
:
5
: Kuat
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan jujur
1. Apakah Anda pernah melakukan hubungan seksual pranikah? Ya / tidak
2. Dengan siapa Anda pernah melakukannya?
.....................................................................................................................................
.....................................................................................................................................
3. Kapan pertama kali anda melakukan hubungan seksual pranikah?
.....................................................................................................................................
.....................................................................................................................................
4. Dimanakah Anda melakukannya?
.....................................................................................................................................
.....................................................................................................................................
Terima Kasih Atas Kerjasamanya
Peneliti,
Yus Rizki
(08172351132)
LAMPIRAN E
Hasil Analisis Validitas,
Reliabilitas dan Analisis Item
RELIABILITY DAN VALIDITY SIKAP TERHADAP TINGKAH LAKU (X1)
Case Processing Summary
N
Cases
Valid
Excluded(
a)
Total
40
%
100.0
0
.0
40
100.0
a Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
.832
N of Items
16
Scale Statistics
Mean
39.6250
Variance
122.394
Std. Deviation
11.06319
N of Items
16
Item Statistics
VAR00001
Mean
3.3000
Std. Deviation
1.26491
N
VAR00002
2.7250
1.46738
40
VAR00003
2.6250
1.35282
40
VAR00004
2.0000
1.32045
40
VAR00005
2.2250
1.18727
40
VAR00006
1.9750
1.16548
40
VAR00007
1.8500
1.23101
40
VAR00008
2.7500
1.61325
40
VAR00009
1.5250
.84694
40
VAR00010
3.4500
1.29990
40
VAR00011
1.6750
1.09515
40
VAR00012
3.3250
1.28876
40
VAR00013
2.6500
1.29199
40
VAR00014
2.5750
1.25856
40
VAR00015
2.4250
1.61543
40
VAR00016
2.5500
1.28002
40
40
Item-Total Statistics
VAR00001
Scale Mean if
Item Deleted
36.3250
Scale
Variance if
Item Deleted
108.687
Corrected
Item-Total
Correlation
.459
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
.821
VAR00002
36.9000
103.015
.578
.813
VAR00003
37.0000
110.718
.346
.828
VAR00004
37.6250
109.676
.397
.825
VAR00005
37.4000
116.451
.177
.836
VAR00006
37.6500
109.362
.479
.820
VAR00007
37.7750
106.076
.584
.814
VAR00008
36.8750
105.497
.431
.824
VAR00009
38.1000
115.579
.335
.828
VAR00010
36.1750
106.815
.517
.818
VAR00011
37.9500
113.638
.324
.828
VAR00012
36.3000
107.036
.514
.818
VAR00013
36.9750
106.589
.530
.817
VAR00014
37.0500
107.997
.490
.819
VAR00015
37.2000
106.985
.383
.827
VAR00016
37.0750
106.379
.544
.816
RELIABILITY DAN VALIDITY PBC (X3)
Case Processing Summary
N
Cases
Valid
Excluded(
a)
Total
40
%
100.0
0
.0
40
100.0
a Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
.728
N of Items
12
Scale Statistics
Mean
27.5500
Variance
53.638
Std. Deviation
7.32383
N of Items
12
Item Statistics
VAR00001
Mean
3.1500
Std. Deviation
1.21000
N
VAR00002
2.6000
1.53255
40
VAR00003
2.3000
1.60448
40
VAR00004
3.5750
1.39390
40
VAR00005
3.2000
1.34355
40
VAR00006
1.7500
.98058
40
VAR00007
1.2000
.72324
40
VAR00008
2.4750
1.01242
40
VAR00009
2.1250
1.18078
40
VAR00010
2.1500
1.35021
40
VAR00011
1.4000
1.03280
40
VAR00012
1.6250
.95239
40
40
Item-Total Statistics
VAR00001
Scale Mean if
Item Deleted
24.4000
Scale
Variance if
Item Deleted
45.785
Corrected
Item-Total
Correlation
.390
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
.707
VAR00002
24.9500
44.921
.310
.721
VAR00003
25.2500
42.346
.417
.704
VAR00004
23.9750
55.974
-.205
.788
VAR00005
24.3500
48.233
.193
.734
VAR00006
25.8000
47.344
.395
.708
VAR00007
26.3500
47.977
.513
.703
VAR00008
25.0750
48.020
.327
.715
VAR00009
25.4250
42.404
.640
.673
VAR00010
25.4000
42.297
.542
.684
VAR00011
26.1500
45.772
.487
.697
VAR00012
25.9250
43.148
.766
.668
RELIABILITY DAN VALIDITY NORMA SUBYEKTIF (X2)
Case Processing Summary
N
Cases
Valid
Excluded(
a)
Total
40
%
100.0
0
.0
40
100.0
a Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
.896
N of Items
25
Scale Statistics
Mean
60.6250
Variance
282.138
Std. Deviation
16.79696
N of Items
25
Item Statistics
VAR00001
Mean
2.6750
Std. Deviation
1.24833
N
VAR00002
2.1000
1.00766
40
VAR00003
1.4500
.93233
40
VAR00004
2.3250
1.09515
40
VAR00005
1.7500
1.21423
40
VAR00006
2.4500
1.15359
40
VAR00007
2.2000
1.26491
40
VAR00008
2.5250
1.19802
40
VAR00009
2.4750
1.35850
40
VAR00010
2.7250
1.44980
40
VAR00011
3.1000
1.35495
40
VAR00012
2.1250
1.36227
40
VAR00013
2.1000
1.29694
40
VAR00014
1.5750
.93060
40
VAR00015
3.8000
1.18105
40
VAR00016
2.0250
1.14326
40
VAR00017
2.7250
1.17642
40
VAR00018
2.6750
1.18511
40
VAR00019
3.0500
1.23931
40
VAR00020
2.4000
1.39229
40
VAR00021
2.6250
1.56381
40
VAR00022
1.8750
1.06669
40
VAR00023
2.9500
1.39505
40
VAR00024
2.5750
1.50021
40
VAR00025
2.3500
1.42415
40
40
Item-Total Statistics
VAR00001
Scale Mean if
Item Deleted
57.9500
Scale
Variance if
Item Deleted
263.895
Corrected
Item-Total
Correlation
.411
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
.894
VAR00002
58.5250
265.076
.489
.892
VAR00003
59.1750
263.122
.600
.891
VAR00004
58.3000
256.728
.690
.888
VAR00005
58.8750
258.881
.557
.890
VAR00006
58.1750
269.943
.287
.896
VAR00007
58.4250
264.610
.387
.894
VAR00008
58.1000
256.041
.643
.889
VAR00009
58.1500
259.926
.465
.893
VAR00010
57.9000
252.862
.589
.889
VAR00011
57.5250
253.897
.612
.889
VAR00012
58.5000
251.026
.678
.887
VAR00013
58.5250
248.461
.783
.885
VAR00014
59.0500
262.664
.617
.890
VAR00015
56.8250
284.404
-.092
.904
VAR00016
58.6000
260.759
.544
.891
VAR00017
57.9000
266.092
.382
.894
VAR00018
57.9500
264.818
.413
.894
VAR00019
57.5750
263.481
.426
.893
VAR00020
58.2250
250.076
.684
.887
VAR00021
58.0000
263.026
.329
.897
VAR00022
58.7500
262.090
.548
.891
VAR00023
57.6750
262.892
.382
.895
VAR00024
58.0500
262.254
.363
.895
VAR00025
58.2750
261.589
.402
.894
RELIABILITY DAN VALIDITY INTENSI (Y)
Case Processing Summary
N
Cases
Valid
Excluded(
a)
Total
40
%
100.0
0
.0
40
100.0
a Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
.953
N of Items
10
Scale Statistics
Mean
22.9750
Variance
126.846
Std. Deviation
11.26257
N of Items
10
Item Statistics
VAR00001
Mean
2.2750
Std. Deviation
1.41399
N
VAR00002
2.2250
1.36790
40
VAR00003
2.6000
1.42864
40
VAR00004
2.4750
1.37724
40
VAR00005
2.1250
1.24422
40
VAR00006
2.3750
1.39021
40
VAR00007
2.2000
1.28502
40
VAR00008
2.2750
1.28078
40
VAR00009
2.0000
1.10940
40
VAR00010
2.4250
1.48302
40
40
Item-Total Statistics
VAR00001
Scale Mean if
Item Deleted
20.7000
Scale
Variance if
Item Deleted
104.574
Corrected
Item-Total
Correlation
.701
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
.953
VAR00002
20.7500
104.192
.744
.951
VAR00003
20.3750
100.599
.845
.946
VAR00004
20.5000
100.974
.866
.945
VAR00005
20.8500
103.618
.856
.946
VAR00006
20.6000
101.015
.855
.946
VAR00007
20.7750
104.333
.795
.949
VAR00008
20.7000
101.651
.912
.944
VAR00009
20.9750
107.922
.768
.950
VAR00010
20.5500
103.895
.686
.954
LAMPIRAN F
Hasil Perhitungan Analisis
Statistik Multiple Regression
Hasil Perhitungan Analisis Statistik Multiple Regression
Variables Entered/Removed(b)
Variables
Variables
Entered
Removed
X3, X1,
.
X2(a)
a All requested variables entered.
b Dependent Variable: Y
Model
1
Method
Enter
Model Summary
Model
1
R
.816(a)
R Square
.666
Adjusted R
Square
.639
Std. Error of
the Estimate
4.72680
a Predictors: (Constant), X3, X1, X2
ANOVA(b)
Model
1
Regression
Residual
Total
Sum of
Squares
1606.490
df
3
Mean Square
535.497
804.336
36
22.343
2410.827
39
F
23.967
Sig.
.000(a)
t
Sig.
a Predictors: (Constant), X3, X1, X2
b Dependent Variable: Y
Coefficients(a)
Unstandardized
Coefficients
Model
1
B
-7.801
Std. Error
3.423
X1
.271
.144
X2
.317
X3
.243
(Constant)
a Dependent Variable: Y
Standardized
Coefficients
Beta
B
-2.279
Std. Error
.029
.255
1.884
.068
.131
.479
2.427
.020
.310
.155
.782
.439
Download