PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini 3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah 4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!! Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh UPT PERPUSTAKAAN UNISBA STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU “X” BANDUNG SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung Disusun Oleh: Yus Rizki 10050003091 UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG FAKULTAS PSIKOLOGI 2008 LEMBAR PENGESAHAN STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU “X” BANDUNG NAMA MAHASISWA : YUS RIZKI NPM : 10050003091 Bandung, Juni 2008 UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG FAKULTAS PSIKOLOGI Menyetujui, Hedi Wahyudi, Drs., M.Psi. Suci Nugraha, Dra., M. Psi. Pembimbing I Pembimbing II Mengetahui, Dr. H. Umar Yusuf, M.Si. Psi Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung Motto : Sebab sungguh, bersama kesukaran ada keringanan. Sungguh, bersama kesukaran ada keringanan. Karena itu, selesai (tugasmu), teruslah rajin bekerja. Kepada Tuhanmu tunjukkan permohonan. Q. S. Alam Nasyrah, 94 : 5 - 8 Persembahan : Skripsi ini ku persembahkan untuk Ayah (alm) dan Mama, serta ketiga kakakku yang tak pernah lelah berusaha mendidik, menjaga, dan mendoakanku agar menjadi anak yang solehah dan berilmu demi masa depanku. i KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrohim Assalaamu’alaikum Wr. Wb. Syukur alhamdulillah , segala puji dan syukur Kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah diberikan-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul” “STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU “X” BANDUNG”. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. Setiap manusia akan dihadapkan pada ujian dan kesusahan dalam kehidupannya. Begitu juga dengan penulis yang dihadapkan dengan berbagai kesusahan dan ujian. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud apabila tidak ada bantuan dan dorongan dari berbagai pihak selama proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu: 1. Kepada Ayahku Ghazali Yus (alm), semoga Ayah berbahagia atas keberhasilan anakmu ini. Begitu pula dengan Ibundaku Chadidjah, yang tidak pernah lelah berdoa demi kesuksesan dan keberhasilan penulis. 2. Kepada kakak-kakakku tersayang: Yusrizal, Yusmaida, dan Yus Amri. serta kakak-kakak iparku: Saptari Mulyaningsih, Joko Prabowo, dan Santi ii Susanto. Terima kasih yang tak terhingga atas segala kasih sayang, do’a, pengorbanan, dan dukungan yang tiada henti diberikan dalam membesarkan dan mendidik penulis selama ini. 3. Kepada Bapak Drs. Umar Yusuf, M. Si., selaku dekan Fakultas Psikologi UNISBA. 4. Kepada Bapak Hedi Wahyudi., Drs., M. Psi., selaku dosen pembimbing pertama. Terimakasih atas waktu, tenaga, serta bantuannya dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Suci Nugraha, M. Psi., selaku dosen pembimbing kedua. Terimakasih atas masukan dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skirpsi. 6. Ibu Sukarti H. Manan., selaku dosen wali yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung. 7. Kepada segenap pimpinan, guru-guru, dan siswa SMU “X” yang telah membantu penulis dalam penelitian ini. 8. Tetehku Rizki Rudiani, S. Psi., terima kasih atas semua perhatian, kasih sayang, dan bantuannya kepada peneliti. Semoga Allah memberikan segala hal yang terbaik di setiap segi kehidupanmu. Amin. 9. Teman-teman MoonLayers yang sudah mendahului “berkhianat” meninggalkan kosan: Kak Nina, Mba Putri, dan Kak Fitri. Juga buat adikadik yang masih menikmati “kenyamanan” kosan: Geby, Saka, Icha, Anne, Citra, dan yang lainnya. iii 10. Teman-teman mantan pengurus BEMF Psikologi 2004-2005: Mbah “dinda” Uyut, Teh Tantri, Teh Day, Yana, Yani Olive, Mak Vidot, Mbe’, Teh Icha, Alpha, Adi, Wendy, dan teman-teman yang lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 11. Teman-teman seperjuangan: Septi, Nindi, dan Ririe, terus semangat karena perjuangan kita belum berakhir. Untuk Kiki Desiariani, Luthfi, Ully dan Kak Ria, terus berusaha dan jangan mudah menyerah. 12. Teman-teman Psikologi angkatan 2003 yang tidak dapat disebutkan satupersatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran dari berbagai pihak, karena hal tersebut merupakan alat motivasi penulis untuk berkarya lebih baik lagi di masa yang akan datang. Mudah-mudahan sedikit karya tangan penulis ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dengan penelitian ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bandung, Juni 2008 Penulis, Yus Rizki iv ABSTRAK YUS RIZKI. STUDI DESKRIPTIF MENGENAI INTENSI BERHUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMU “X” BANDUNG. Jumlah remaja yang telah melakukan hubungan seksual pranikah semakin meningkat setiap tahunnya. Berbagai pihak baik orangtua, guru, dan juga masyarakat telah berupaya meredusir pertumbuhan angka ini. Adapun usaha yang dilakukan orangtua dan guru yaitu memberikan pengetahuan agama, informasi mengenai dampak buruk dari perilaku tersebut, dan melakukan pengawasan terhadap remaja. Remaja pada penelitian ini adalah siswa SMU “X”, dimana SMU ini merupakan sekolah yang bernuansa islami yang lebih menekankan pendidkan agama dibandingkan dengan sekolah biasa. Akan tetapi, pada SMU ini didapat sebanyak 42% dari 50 siswa mengaku telah melakukan hubungan seksual pranikah. Berbagai faktor dari dalam diri dan juga lingkungan dihayati secara berbeda pada tiap siswa, sehingga menimbulkan reaksi yang berbeda pula. Setiap siswa mempunyai sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku yang berbeda, dimana determinan ini menentukan seberapa kuat intensi (niat) seseorang untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada siswa SMU ”X” dilihat dari sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif terhadap hubungan seksual pranikah, dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah. Alat ukur ini berbentuk kuesioner dengan skala Osgood. Alat ukur intensi untuk berhubungan seksual pranikah disusun berdasarkan Theory of Planned Behavior dari Icek Ajzen (1988) yang dimodifikasi oleh peneliti sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian ini. Selain mengukur intensi, peneliti juga melakukan pengukuran terhadap determinan pembentuk intensi yaitu: sikap terhadap tingkah laku, norma subjektif dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku berhubungan seksual pranikah. Dalam pengukuran determinan pembentuk intensi, alat ukur yang digunakan juga disusun berdasarkan Theory of Planned Behavior dari Icek Ajzen (1988). Data yang dihasilkan oleh keempat alat ukur ini merupakan data yang berskala ordinal, sedangkan diperlukan data yang berskala interval untuk dilakukannya pengujian statistik analisis regresi. Oleh karena itu, data yang terdapat dalam alat ukur ini perlu dinaikkan tingkatannya menjadi berskala interval dengan menggunakan metode succesive interval. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa 43% responden memiliki intensi berhubungan seksual pranikah yang kuat atau hampir sebagian siswa memiliki keinginan atau kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pranikah, sehingga memungkinkan untuk melakukan perbuatan tersebut. Selain itu determinan yang paling berkontribusi terhadap kekuatan intensi berhubungan seksual pranikah adalah norma subyektif dengan koefisien regresi terbesar (0,479). Hal ini berarti orang-orang yang penting bagi siswa, yang paling menentukan kuat atau lemahnya intensi berhubungan seksual pranikah dari siswa. v DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................. i ABSTRAK .................................................................................................. iv DAFTAR ISI ................................................................................................ v DAFTAR TABEL ....................................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 1.2 Identifikasi Masalah .................................................................... 6 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian .................................................... 8 1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................... 8 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian dan Batasan Usia Remaja................................ 10 2.1.2 Perkembangan Seksual Remaja ....................................... 10 2.2 Theory of Planned Behavior ..................................................... 13 2.3 Faktor-faktor Penentu Intensi 2.3.1 Sikap Terhadap Tingkah Laku .......................................... 16 2.3.1.1 Pengertian Sikap .................................................. 16 2.3.1.2 Obyek Sikap (Attitudinal Objects) ....................... 18 2.3.1.3 Determinants of Attitude Toward Behavior .......... 18 2.3.2 Norma Subyektif ............................................................... 20 2.3.2.1 Pengertian Norma Subyektif ................................ 20 vi 2.3.2.2 Determinants of Subjective Norm ......................... 22 2.3.3 Perceived Behavior Control (PBC) .................................. 24 2.3.3.1 Pengertian PBC .................................................... 24 2.3.3.2 Determinants of Perceived Behavior Control....... 25 2.3.4 Pembentukan nilai-nilai keyakinan (Belief Formation).... 27 2.3.5 Intensi ............................................................................... 28 2.3.6 Dampak Variabel Eksternal terhadap Intensi ................... 30 2.4 Perilaku Seksual 2.4.1 Pengertian Perilaku Seksual ............................................. 32 2.4.2 Pola perilaku seksual yang dianggap sesuai oleh masyarakat ....................................................................... 33 2.4.3 Cara-cara untuk mengekspresikan cinta untuk orang lain 36 2.4.4 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual ....................................... 40 2.5 Kerangka Pemikiran .................................................................. 42 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ................................................................ 48 3.2 Variabel Penelitian .................................................................... 49 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian ............................................................ 51 3.3.2 Sampel Penelitian ............................................................. 51 3.4 Alat Ukur ................................................................................... 52 3.4.1 Kisi-kisi Alat Ukur............................................................ 52 3.4.2 Sistem Penilaian Alat Ukur............................................... 56 3.4.3 Norma Alat Ukur .............................................................. 58 vii 3.4.4 Pengolahan Data Pengukuran .......................................... 60 3.4.5 Reliabilitas Alat Ukur ...................................................... 60 3.4.6 Validitas Alat Ukur dan Analisis Item ............................. 62 3.5 Prosedur Pelaksanaan Penelitian................................................ 65 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ......................................................................... 68 4.1.1 Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi menurut Kategori Intensi .................................................. 68 4.1.2 Distribusi Frekuensi Responden menurut Kategori Intensi ................................................................ 69 4.1.3 Hasil Perhitungan Kontribusi Determinan Pembentuk Intensi dengan Analisis Statistik Multiple Regression ..... 70 4.1.4 Gambaran Intensi Dikaitkan dengan Pengalaman Seksual dan Jenis Kelamin Responden ............................ 73 4.1.5 Data Penunjang ................................................................ 76 4.5 Pembahasan ............................................................................... 79 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ............................................................................... 88 5.2 Saran .......................................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii DATA TABEL DAN GRAFIK Tabel 3.4.1a – 3.4.1d : Kisi-kisi alat ukur Tabel 3.4.3a – 3.4.3d : Norma Alat Ukur Tabel 3.4.5 : Hasil uji reliabilitas alat ukur Tabel 3.4.6 : Kriteria korelasi Guilford Tabel 4.1.1 : Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi menurut Kategori Intensi Grafik 4.1 : Distribusi Frekuensi Responden menurut Kategori Intensi Tabel 4.1.3 : Hasil perhitungan kontribusi determinan pembentuk intensi Grafik 4.2 : Kontribusi Determinan Pembentuk Intensi Grafik 4.3 : Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan Pengalaman Seksual Grafik 4.4 : Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.1.4.3 : Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden Tabel 4.1.5.1a : Respon Responden Mengenai Behavioral Belief Tabel 4.1.5.1b : Respon Responden Mengenai Normative belief Tabel 4.1.5.1c : Respon Responden Mengenai Control belief ix DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A : Skor Interval Untuk Setiap Item Lampiran B : Data Mentah Lampiran C : Rekapitulasi Data Mentah Lampiran D : Alat Ukur Lampiran E : Hasil Analisis Validitas, Reliabilitas dan Analisis Item Lampiran F : Hasil Perhitungan Analisis Statistik Multiple Regression BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dimana setiap tahun jumlah remaja semakin meningkat. Saat ini penduduk berusia 15 sampai 24 tahun dan belum menikah besarnya sudah 40% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Mereka adalah remaja sekolah, yaitu SMP, SMU, dan Universitas. Remaja tidak sekolah, yaitu remaja pekerja, dan remaja jalanan. Termasuk juga remaja dengan perilaku seks beresiko seperti sexually active, seperti pekerja seks remaja, gay, dan waria. (PKBI online, 2006). Periode remaja diwarnai dengan berbagai perubahan baik biofisik maupun psikologis. Secara biofisik, masa remaja diawali dengan perubahan fungsi fisiologis yaitu meliputi kematangan organ-organ seks dan perubahan penampilan bentuk tubuh. Dari sisi psikologis, masa remaja merupakan masa transisi dalam aspek perkembangan antara lain aspek mental, emosi, sosial, kehidupan seksual dan sebagainya. Situasi transisi dalam hal fisik dan psikis ini sering timbul adanya kebutuhan-kebutuhan dalam diri remaja yang terkadang tidak ditemuinya pada masa anak-anak. Adanya kebutuhan atau dorongan ini sering menyebabkan remaja menampilkan bentuk-bentuk tingkah laku yang mencerminkan kegairahan hidup. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Hal Bab I - Pendahuluan 2 ini didukung oleh rasa keingintahuan yang tidak pernah terpuaskan mengenai misteri seksualitas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Handbook of Adolecent Psychology, 1980). Informasi yang diterima dari teman sebaya maupun dari aksesbilitas yang sangat mudah terhadap media pornografi seperti situs porno di internet, tabloid dan film porno, serta komik hentai (komik porno Jepang) yang bertebaran di sekeliling remaja, sering kali tidak tepat. Hal ini pula yang menjadi salah satu stimulan pergeseran perilaku seksual para remaja saat ini, dimana rasa keingintahuan tidak terpuaskan maka tidak jarang mereka mengadakan eksperimen dalam kehidupan sekualnya seperti berciuman, bercumbu, dan bahkan bersenggama. Menurut Sudarmadi (Deputi Bidang keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKBN), jumlah remaja Indonesia yang telah melakukan hubungan seksual pranikah telah berada pada “lampu kuning”, karena angkanya berkisar 40%-45% (www.lomboknews.com, 14 Mei 2007). Keadaan seperti ini sangat mengkhawatirkan berbagai pihak, terutama orangtua dan pihak sekolah sebagai orang-orang terdekat dalam kehidupan remaja. Sehingga berbagai upaya dilakukan agar anak remaja yang mereka miliki tidak terjebak pada hal-hal yang membawa dampak buruk. Adapun upaya yang umum dilakukan oleh orangtua adalah melarang anaknya untuk melakukan perilaku seksual pranikah, baik dengan landasan agama ataupun dengan Bab I - Pendahuluan 3 penjelasan dampak buruk dari perbuatan tersebut. Selain itu, upaya lainnya ialah menyekolahkan anaknya di sekolah yang memberikan pendidikan agama yang lebih dari sekolah biasa. SMU “X” Bandung adalah salah satu SMU yang bernuansa islami. Salah seorang pimpinan SMU “X”, mengatakan bahwa sekolah ini memiliki visi bagi terwujudnya siswa yang berprestasi, inovatif, dan kreatif yang berlandaskan pada ahlaqul karimah. Untuk mewujudkannya, sekolah melaksanakan beberapa program mulai dari penambahan jam mata pelajaran pendidikan agama menjadi 6 jam (anjuran pemerintah selama 2 jam), dan sering mengadakan peringatan hari besar seperti Maulid Nabi, Nuzul Qur’an, dan Isra Mi’raj. Kegiatan keagamaan ini dilakukan selain untuk mewujudkan visi, diharapkan pula sebagai antisipatif terhadap munculnya perilaku yang tidak sepantasnya, namun usaha-usaha yang dilakukan pihak sekolah belum sepenuhnya mencapai visi tersebut, ujar salah seorang guru. Peneliti juga melakukan wawancara kepada beberapa siswa mengenai kegiatan yang sering diadakan oleh sekolah. Mereka mengatakan bahwa kegiatan tersebut tidak menarik dan cenderung membosankan baik dari segi materi yang disampaikan, serta kondisi tempat atau aula yang digunakan tidak nyaman karena panas. Fakta lain yang didapat melalui angket pra-survei mengenai perilaku seksual yang dibagikan kepada 50 orang siswa SMU “X”, menunjukkan keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 42% diantaranya mengaku pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Selain itu, berdasarkan wawancara sebagian besar diantara siswa mengatakan bahwa perilaku berpegangan tangan, Bab I - Pendahuluan 4 berciuman, dan berpelukan merupakan hal yang wajar atau biasa dilakukan ketika berpacaran untuk menunjukkan rasa sayang terhadap pasangannya. Para siswa yang telah melakukan intercourse menyatakan bahwa mereka cenderung tertarik untuk melakukan hal tersebut, dan tak jarang pula mereka mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Disamping itu, mereka mengungkapkan bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang menimbulkan rasa puas, menyenangkan, dan menambah kedekatan dengan pasangannya. Selain itu, para siswa baik yang telah melakukan maupun yang belum melakukan hubungan seks pranikah mengaku bahwa orangtua dan juga guru selalu mengingatkan mereka agar tidak terjebak dalam perilaku tersebut, dan dan bahkan melarang perbuatan tersebut. Mereka yang melakukan hubungan seks pranikah mengatakan bahwa, ada orang-orang terdekat lainnya yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut. Dalam hal ini, bagi siswa putri lebih banyak terpengaruh oleh pasangannya yang meminta, merayu, dan bahkan memaksa mereka untuk melakukan hubungan seksual atas nama cinta. Dipihak lain, beberapa siswa putra mengaku tidak dapat menolak ajakan temannya untuk menonton film porno dan mengikuti pesta seks atau mereka sebut dengan “pesta bujang”. Sebagian besar siswa mengaku bahwa mereka memiliki hasrat seksual yang terkadang sulit untuk dibendung, terutama ketika sedang berduaan dengan kekasihnya, terlebih lagi ketika terdapat kesempatan untuk melakukan kegiatan yang menjurus kepada intercourse, seperti berciuman hingga petting. Beberapa Bab I - Pendahuluan 5 diantara mereka memilih untuk menggunakan kesempatan yang ada untuk menyalurkan hasratnya, terutama disaat rumah sedang kosong. Disisi lain, terdapat juga siswa yang belum melakukan hubungan seksual pranikah. Mereka beranggapan bahwa perilaku tersebut akan mendatangkan efek negatif, seperti dapat menyebabkan kehamilan, menghancurkan masa depan, dan perasaan berdosa. Disamping itu, bila dihadapkan pada kesempatan untuk melakukan hubungan seksual, maka mereka lebih memilih untuk menghindari kesempatan tersebut dengan cara mengunjungi tempat yang lebih ramai seperti mall atau tempat umum lainnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pada umumnya para siswa telah mendapatkan informasi yang sama di sekolah maupun di rumah. Hal ini terkait dengan lingkungan mereka terutama sekolah yang menanamkan nilai religius sehingga mereka sering mendapatkan larangan-larangan dan penjelasan larangan itu sendiri dari guru-guru dan juga orangtua di rumah. Selain itu, hampir seluruh responden mengetahui dampakdampak negatif (sebagian besar dampak secara fisik) dari perbuatan seks pranikah. Dampak-dampak ini tampaknya tidak menghalangi beberapa siswa untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Dipihak lain, terdapat siswa yang sampai saat ini belum pernah melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu patut dipertanyakan apa yang mendasari remaja untuk melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual pranikah. Masalah perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja merupakan permasalahan yang cukup serius dan harus segera ditanggulangi, oleh karena itu masalah perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja perlu untuk dikaji lebih Bab I - Pendahuluan 6 dalam sehingga dapat menambah informasi dalam usaha penanggulangan masalah ini. Menurut Icek Ajzen (2005), kemunculan suatu tingkah laku ditandai dengan adanya niat (intensi) individu untuk bertingkah laku. Dimana intensi ini merupakan kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi ini terbentuk dari beberapa determinan, yaitu bagaimana seseorang menyikapi suatu perilaku, bagaimana significant person mempengaruhi, mengharapkan, ataupun menyetujui suatu perilaku yang muncul, dan juga bagaimana seseorang mengontrol perilakunya. Dengan pertimbangan ini peneliti mengangkatnya dalam judul: “Studi Deskriptif Mengenai Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Pada Siswa SMU “X” Bandung”. 1.2 Identifikasi Masalah Menurut Ajzen (2005), perilaku dalam hal ini perilaku hubungan seksual pranikah dapat diprediksikan dengan mengukur intensi individu untuk berhubungan seksual. Dimana Ajzen mengemukakan bahwa intensi terbentuk dari tiga determinan yaitu: sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, dan persepsi terhadap kontrol perilaku. Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk berespon terhadap suatu objek yang dinyatakan secara konsisten dengan perasaan menyukai atau tidak menyukai. Sedangkan sikap terhadap tingkah laku berarti evaluasi positif atau negatif terhadap hasil dari ditampilkannya tingkah laku tersebut (Ajzen, 2005). Sehingga jika seorang remaja melakukan perilaku seksual pranikah dan Bab I - Pendahuluan 7 menganggap bahwa perilaku itu menyenangkan atau menyukai perilaku tersebut, maka remaja tersebut memiliki sikap yang positif terhadap perilaku seksual pranikah. Determinan kedua yaitu norma subyektif adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial dari orang-orang penting baginya (significant person) yang mengharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku (fishbein&Ajzen, 1975:302). Bila significant person seorang remaja adalah teman-temannya yang pernah melakukan hubungan seksual, dan mendukung atau memperbolehkan remaja tersebut ia untuk melakukan hubungan seksual pranikah, maka remaja tersebut memiliki kecenderungan untuk berperilaku hubungan seksual pranikah. Determinan ketiga yaitu persepsi terhadap kontrol tingkah laku. Ajzen (1988) mendefinisikannya sebagai persepsi individu terhadap kemudahan atau kesulitan dalam menampilkan tingkah laku serta diasumsikan sebagai refleksi dari pengalaman masa lalu dan antisipasi dari hambatan yang mungkin muncul. Selanjutnya semakin positif sikap dan subjective norms tentang tingkah laku tersebut serta semakin besar kontrol tingkah laku yang dipersepsikan, semakin kuat pula intensi individu untuk menampilkan tingkah laku tertentu. Akhirnya, dengan actual behavioral control yang cukup, seorang individu diharapkan untuk merealisasikan intensinya menjadi tingkah laku jika terdapat kesempatan. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan data dan mengkaji tentang Intensi remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah Bab I - Pendahuluan 8 serta faktor-faktor pembentuk intensi yaitu sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif tentang hubungan seksual pranikah dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah. Berdasarkan uraian masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah intensi remaja untuk melakukan hubungan seksual dilihat dari sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol tingkah laku terhadap perilaku hubungan seksual pada pada siswa SMU “X” Bandung”. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah memperoleh data empiris mengenai intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada siswa SMU ”X” Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah pada SMU ”X” dilihat dari sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subjektif terhadap hubungan seksual pranikah, dan persepsi kontrol tingkah laku hubungan seksual pranikah. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis. x Kegunaan teoritis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan berupa informasi mengenai gambaran intensi berhubungan seksual pranikah pada mahasiswa. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai data awal untuk Bab I - Pendahuluan 9 penelitian-penelitian lain yang terkait dengan intensi berhubungan seksual pranikah. x Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai informasi untuk orang tua, sekolah, para praktisi dibidang sosial, masyarakat umum, dan para remaja itu sendiri mengenai intensi untuk berhubungan seksual pranikah. Dengan mengetahui gambaran intensi berhubungan seksual pranikah serta kontribusi dari sikap terhadap tingkah laku, norma subjektif dan persepsi tentang kontrol tingkah laku terhadap pembentukan intensi, pihak-pihak yang terkait dapat membuat program intervensi yang tepat untuk memberikan upaya preventif yang tepat dalam masalah yang berkaitan dengan perilaku hubungan seksual pranikah pada remaja. BAB II TINJAUAN TEORITIS Pada bab ini akan akan diuraikan beberapa landasan teori yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu konsep mengenai remaja, theory of planned behavior dan perilaku seksual. 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian dan Batasan Usia Kata adolescence (remaja) berasal dari bahasa latin yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Remaja, diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2003). Para peneliti membedakan usia kronologis remaja menjadi tiga bagian yaitu masa remaja awal yang berlangsung dari 10-13 tahun, masa remaja tengah dari 14-18 tahun, dan masa remaja akhir sejak usia 19-22 tahun (Arnett, 2000; Kagan dan Coles, 1972; Keniston, 1970; Lipsitz, 1977 dalam Steinberg, 2002:4). Sedangkan menurut Sarlito Wirawan, batasan usia untuk remaja Indonesia berkisar 11 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah. 2.1.2 Perkembangan Seksual Remaja Masa remaja adalah peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, bukan hanya secara psikologis, tetapi juga secara fisik. Perubahan-perubahan fisik yang Bab II – Tinjauan Teoritis 11 terjadi merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis mencul antara lain sebagai akibat fisik. Perubahan secara fisiologik ini erat kaitannya dengan perkembangan fungsi produksi, yang pada remaja putri ditandai dengan menstruasi pertama, sedangkan pada pria mengalami wet dream. Perubahan fungsi fisiologik ini menimbulkan perubahan terhadap seksual remaja, dimana remaja merasakan dorongan-dorongan atau hasrat terhadap seksual yang tidak ditemui pada masa anak-anak. Seiring dengan perubahan ini, menurut Elizabeth Hurlock, remaja memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Remaja mulai memiliki minat terhadap kehidupan sosial Pada saat remaja mulai mencari informasi tentang seksual, tapi kebanyakan remaja merasa malu dan bertanya kepada orangtua atau guru. Sebaliknya orangtua dan guru masih sering merasa canggung dan kesulitan memberikan pengarahan tentang masalah seksual. Sehingga remaja mencari informasi dari sumber-sumber yang terkadang kurang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Remaja mulai tertarik dengan lawan jenis Dalam hal ini remaja selalu berusaha agar dapat menarik perhatian teman lawan jenisnya. Ini berarti penampilan merupakan hal yang utama bagi mereka. 3. Remaja mulai mengenal arti cinta dan mencoba mengekspresikan perasaan dan cintanya Dalam mengekspresikan perasaan cintanya dapat berupa non fisik, seperti menjalin hubungan bersifat konstan dan memberi kepercayaan. Perasaan cinta 12 Bab II – Tinjauan Teoritis dapat diekspresikan pula secara fisik, seperti kissing, petting, atau sexual intercourse pranikah. Sehubungan dengan terjadinya perubahan kehidupan seksual dan minat remaja untuk mengekspresikan dorongan seksual, remaja memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai kehidupan seksual dewasa. Di bawah ini terdapat beberapa tugas perkembangan remaja dalam kehidupan seksual yang dikemukakan oleh Elizabeth Hurlock: 1. Remaja harus mendapatkan pengetahuan tentang seksual dan bagaimana cara berperan berdasarkan jenis kelamin secara baik, jelas, dan benar. Dimilikinya pengetahuan ini akan mendorong remaja bertingkah laku seksual dengan norma-norma susila. 2. Remaja harus memiliki nilai-nilai yang dapat diterima oleh masyarakat, untuk membimbing dalam menentukan teman hidup atau membina keluarga kelak. 3. Remaja harus belajar mengekspresikan cinta sesuai dengan norma-norma lingkungan dimana remaja tinggal. Dengan tercapainya tugas-tugas perkembangan diharapkan dapat menjalani masa transisi dalam kehidupan seksual yang baik. Remaja juga diharapkan dapat mencapai kehidupan seksual secara dewasa, yaitu memiliki kemampuan mengendalikan dorongan-dorongan seksual serta mengekspresikan melalui cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat. dapat Bab II – Tinjauan Teoritis 2.2 13 Theory of Planned Behavior Theory of Planned Behavior berpijak pada asumsi bahwa individu pada umumnya bertingkah laku secara rasional, yakni selalu mempertimbangkan informasi-informasi dan implikasi dari tindakannya baik secara implisit maupun eksplisit. Teori ini mempostulatkan niat (intensi) seseorang untuk menampilkan atau tidak menampilkan tingkah laku merupakan determinan yang paling dekat dengan tingkah laku yang ditampilkan. Fishbein dan Ajzen pada tahun 1975 (dalam Ajzen, 1988) mendefinisikan intensi sebagai berikut, “...as a person’s location on subjective probability dimension on revolving a relation between himself and some action. A behavioral intention, therefore, refers to person’s subjective probability that he will perform some behavior”. (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988). Dari pernyataan di atas, intensi didefinisikan sebagai lokasi dalam suatu dimensi kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah laku tertentu (Fishbein dan Ajzen, 1975:288). Intensi merupakan indikasi seberapa besar seseorang individu akan berusaha untuk memunculkan tingkah laku tertentu (Ajzen, 1988:113). Intensi akan tetap menjadi kecenderungan untuk bertingkah laku sampai sebuah usaha yang dilakukan oleh individu untuk merealisasi intensi menjadi tingkah laku. Intensi merupakan kecenderungan bertingkah laku yang paling dekat dengan tingkah laku itu sendiri. Oleh karena itu, ekspresi intensi dari seorang individu dapat memberikan prediksi yang akurat akan tingkah laku yang muncul. 14 Bab II – Tinjauan Teoritis Menurut theory of planned behavior, intensi merupakan fungsi dari tiga determinan dasar. Determinan pertama adalah faktor personal secara alami, yaitu sikap terhadap tingkah laku (Attitude Toward Behavior). Determinan kedua adalah faktor merefleksikan pengaruh sosial, yaitu norma subyektif (Subjective Norms). Determinan terakhir adalah berhubungan dengan kontrol, yaitu persepsi terhadap kontrol tingkah laku (Perceived Behavioral Control). Skema dari Theory of Planned Behavior disajikan pada bagan berikut ini. Behavioral Beliefs Outcome Evaluation Nomative Beliefs Attitude Toward the Behavior Subjective Norm Intention Behavior Motivation to Comply Control Beliefs Perceived Power Perceived Behavioral Control Bagan 2.1 Seperti ditunjukkan pada bagan, kekuatan intensi ditentukan oleh tiga macam faktor. Faktor-faktor ini adalah sikap terhadap tingkah laku tertentu (Attitude Toward the Behavior), norma subyektif (Subjektif Norms) dan persepsi mengenai kontrol tingkah laku (Perceived Behavioral Control). Ketiga faktor ini 15 Bab II – Tinjauan Teoritis dipengaruhi oleh belief. Belief adalah informasi yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri dan dunianya (Ajzen, 1988:122). Ketiga belief ini antara lain belief tentang konsekuensi dari tingkah laku yang mungkin terjadi (behavioral belief), belief harapan tentang orang lain terhadap dirinya yang berkaitan dengan nilainilai (normative belief) dan belief tentang keberadaan faktor-faktor yang dapat memfasilitasi maupun menghalangi munculnya tingkah laku tersebut (control belief). Hubungan antara sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, persepsi terhadap kontrol tingkah laku dan intensi dapat digambarkan dengan persamaan bagan 2.1. Pada persamaan ini ATB adalah sikap terhadap tingkah laku, SN adalah norma subjektif, PBC adalah persepsi kontrol tingkah laku. Sedangkan w1, w2, dan w3 adalah koefisien regresi yang terstandarisasi yang menandakan kekuatan kontribusi dari setiap determinan pembentuk intensi. I =ATB.w1+SN.w2+PBC.w3 Pada uraian di bawah ini, kita akan membahas ketiga faktor pembentukan intensi secara satu persatu secara mendetil. Bab II – Tinjauan Teoritis 2.3 Faktor-faktor Penentu Intensi 2.3.1 Sikap Terhadap Tingkah Laku (Attitudes Toward Behavior) 2.3.1.1 16 Pengertian Sikap “Attitude is a psychological tendency that expressed by evaluating a particular entity with some degree of favor or disafavor.” (The Psychological of Attitude, 1993). Berdasarkan definisi di atas terdapat dua pengertian mendasar: a. Sikap sebagai suatu kecenderungan psikologis (psychological tendency) yang merujuk pada suatu keadaan internal dari seorang individu. b. Sikap sebagai suatu evaluasi (evaluating) yang merujuk pada semua jenis respon evaluatif baik overt atau covert, kognitif, afektif, dan behavioral (konatif). Sikap sebagai suatu kecenderungan berarti merujuk kepada sikap sebagai suatu keadaan internal yang berlaku untuk jangka waktu pendek. Adapun sikap sebagai suatu disposisi (atau predisposisi) berarti merujuk pada periode yang relatif panjang (Ajzen, 1834; Chein, 1948; D. Davis&Ostrom, 1984). Sebuah sikap berkembang sebagai dasar dari respon evaluatif. Hal ini berarti seorang individu yang mempunyai sikap pada suatu bentuk tertentu, maka ia akan merespon secara evaluatif bentuk tertentu tersebut dengan dasar afektif, kognitif, atau konatif. Bab II – Tinjauan Teoritis 17 Respon evaluatif baik itu overt maupun covert dapat menghasilkan kecenderungan psikologis untuk berespon terhadap derajat tertentu terhadap suatu obyek. Jika kecenderungan untuk berespon meningkat, maka individu telah membentuk suatu sikap terhadap obyek tersebut. Representasi mental dari sikap disimpan dalam memori dan dapat diaktifkan melalui kehadiran obyek sikap atau tanda yang berkaitan dengan obyek tersebut. Ajzen dan Fisbein (1975) mendefinisikan sikap sebagai, “...learned predisposition to respond in a consistently favorable or unfavorableway with respect to a given object.” (Attitudes, personality, and behavior, Icek Ajzen, 1988) “Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk berespon terhadap suatu obyek yang dinyatakan secara konsisten dalam perasaan menyukai atau tidak menyukai suatu obyek tersebut.” (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988). Dari definisi yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein tersebut, terdapat tiga aspek dasar dari sikap: 1. Sikap merupakan hal yang dipelajari 2. Sikap merupakan predisposisi dari tindakan 3. Tindakan tersebut secara konsisten menunjukan perasaan suka atau tidak suka terhadap suatu obyek. Sikap terhadap tingkah laku (Attitudes Toward Behaviors) di definisikan sebagai, Bab II – Tinjauan Teoritis 18 “...the individual’s positif or negative evaluation of performing the particular of interest.” (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988). Sikap terhadap tingkah laku adalah evaluasi positif atau negatif terhadap konsekuensi dari tingkah laku yang akan dimunculkan. (Attitudes, Personality, and Behavior, Icek Ajzen, 1988). Obyek sikap (Attitudinal Objects) 2.3.1.2 Suatu evaluasi selalu dibuat berdasarkan jumlah bentuk (entity) atau sesuatu yang menjadi obyek dari evaluasi (attitudinal objects). Segala sesuatu yang nyata dapat dibedakan, maka dapat dievaluasi dan berfungsi sebagai obyek sikap. Beberapa obyek sikap adalah abstrak dan beberapa lainnya adalah kongkrit. Bentuk tertentu dapat berfungsi sebagai obyek sikap seperti juga bentuk lainnya, tingkah laku dan jenis-jenis tingkah laku dapat berfungsi sebagai obyek sikap. Determinants of Attitude Toward Behavior 2.3.1.3 Fishbein (1993:168) menyebutkan attitudes toward behaviors sebagai, “...a function of behavioral beliefs, which represents the perceived consequences of the act.” Dalam model ini, sikap ditentukan oleh dua hal, yaitu keyakinan (beliefs) dan evaluasi terhadap konsekuensi atau hasil (outcomes). Beliefs mempresentasikan konsekuensi yang didapat dari suatu tindakan (behavioral 19 Bab II – Tinjauan Teoritis beliefs), dan beliefs ini berinteraksi dengan evaluasi terhadap konsekuensi dalam memunculkan suatu sikap. Beliefs yang berhubungan dengan sikap terhadap tingkah laku tertentu disebut behavioral beliefs. Individu yang yakin bahwa jika ia melakukan tingkah laku tertentu akan mengarahkannya pada hasil yang positif, ia akan menganggapnya sebagai suatu tingkah laku yang disukai (favorable attitude). Individu yang yakin bahwa melakukan tingkah laku tertentu akan mengarahkannya pada hasil yang negatif, ia akan menganggapnya sebagai tingkah laku yang tidak disukai (unfavorable attitude). Lebih jauh Ajzen dan Fishbein (1975) menyatakan bahwa karakteristik utama yang membedakan sikap dengan konsep lainnya adalah dimensi evaluatif, atau lebih spesifik lagi yaitu mengenai aspek afek. Didapat suatu kesepakatan bahwa afek merupakan bagian paling esensial dari konsep mengenai sikap. Oleh karena itu, Ajzen dan Fishbein menyarankan bahwa pengukuran sikap harus dilakukan dengan cara memposisikan subyek pada dimensi afektif atau evaluatif secara bipolar mengenai suatu obyek (Ajzen dan Fishbein, 1975). Sikap mempresentasikan perasaan seseorang secara umum, mengenai ketertarikan atau ketidaktertarikan terhadap suatu obyek yang menjadi stimulus. Hubungan antara sikap terhadap tingkah laku dengan behavioral beliefs dan evaluasi terhadap konsekuensi atau hasil, dapat diformulasikan sebagai berikut: 20 Bab II – Tinjauan Teoritis AB v ¦ biei Keterangan: AB : Sikap terhadap tingkah laku (Attitudinal toward behavior) bi : Behavioral beliefs yang menunjukkan suatu tingkah laku yang mengarahkan pada suatu konsekuensi i. ei : Evaluasi terhadap konsekuensi i Dari formula ini, kita dapat melihat bahwa sikap individu terhadap tingkah laku tertentu ditentukan oleh keyakinannya bahwa melakukan tingkah laku tersebut akan mengarahkan individu pada hasil tertentu dan juga ditentukan oleh evaluasi terhadap hasil tersebut. 2.3.2 Norma Subyektif 2.3.2.1 Pengertian Norma Subyektif Norma subyektif berkaitan dengan pengaruh lingkungan sosial. Ajzen dan Fishbein (1975) mendefinisikan norma subyektif sebagai berikut: “...is the person’s perception that most people who important to him think he should or not perform the behavior in question.” Norma subyektif adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial dari significant person yang mengharapkan individu menampilkan atau tidak menampilkan suatu tingkah laku. 21 Bab II – Tinjauan Teoritis Tekanan sosial ini dapat berasal dari orang-orang yang dianggap penting bagi individu (significant person) dan menjadi acuan (referent) yang memunculkan motivasi individu untuk memenuhi harapan orang-orang tersebut, misalnya orangtua, teman dalam kelompok, pasangan, dan sebagainya. Individu akan memiliki intensi untuk menampilkan suatu tingkah laku ketika ia mengevaluasi bahwa melakukan tingkah laku tersebut merupakan suatu hal yang positif dan ketika ia yakin bahwa orang-orang yang penting baginya (secara perorangan maupun kelompok) mengharapkan ia menampilkan tingkah laku tersebut. Menurut Ajzen dan Fishbein, norma subyektif berkaitan dengan keyakinan individu akan norma yang berlaku (normative belief). Lebih lanjut, Fishbein (Eagle, 1993:171) menyatakan bahwa norma subyektif adalah: “A function of normative beliefs, which represent perceptions of significant others preferences about whether one should engage in a behavior.” Berdasarkan definisi di atas terdapat pengertian mendasar mengenai adanya orang yang menjadi panutan (significant person) bagi seorang individu dalam membentuk normative beliefs tertentu untuk bertingkah laku. Significant person yang dimaksud adalah orang-orang yang berada di sekitar individu yang setiap perkataanya dapat memberikan tekanan sosial bagi individu tersebut. Penghayatan individu akan harapan-harapan ini Bab II – Tinjauan Teoritis 22 menimbulkan tekanan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku tertentu. Normative beliefs sendiri merupakan keyakinan individu bahwa orangorang tertentu dalam hidupnya berpikir bahwa individu tersebut harus melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tertentu. Individu yang berpikir bahwa kebanyakan orang-orang yang menjadi rujukannya beranggapan ia seharusnya tidak melakukan tingkah laku tertentu, akan memiliki norma subyektif yang menekan individu untuk menghindari tingkah laku tersebut, demikian juga sebaliknya. Norma subyektif dapat langsung diketahui dengan cara menanyakan kepada subyek, sejauh mana orang yang dianggap berarti baginya akan setuju atau mengharapkan ditampilkannya suatu tingkah laku. 2.3.2.2 Determinan of Subjective Norm Dalam model ini, norma subyektif adalah fungsi dari normative beliefs dan motivasi. Normative beliefs mempresentasikan persepsi terhadap persetujuan orang yang signifikan mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya ditampilkan dalam suatu tingkah laku. Anggota keluarga (orangtua), teman dekat, pasangan, dan guru bisa menjadi rujukan seorang individu (remaja) dalam bertingkah laku. Seorang individu akan mempersepsikan harapan atau keyakinan dari orang yang signifikan mengenai apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya dilakukan. Individu akan mencoba mempersepsikan apakah dirinya telah sesuai dengan harapan dari orang-orang yang signifikan bagi 23 Bab II – Tinjauan Teoritis dirinya atau dipersepsikan memberi kesetujuan untuk bertingkah laku tertentu, maka hak tersebut akan menjadi acuan atau menjadi suatu belief bagi individu tersebut dalam melakukan tingkah laku tertentu. Begitu pula sebaliknya, jika kebanyakkan orang yang signifikan dipersepsi seorang individu memberikan ketidaksetujuannya untuk bertingkah laku tertentu, maka hal tersebut akan menjadi acuan atau menjadi suatu belief bagi individu untuk tidak melakukan tingkah laku tersebut. Norma subyektif juga ditentukan oleh motivasi seorang individu untuk melakukan sesuatu mengikuti harapan atau persetujuan dari orang yang menjadi rujukannya tersebut. Normative beliefs yang dimiliki seorang individu akan berinteraksi dengan motivasinya untuk membentuk norma subyektif. Jika disimbolkan ke dalam formula menjadi: SN v ¦ nimi Keterangan : SN : Norma subyektif (Subjective Norms) ni : Normative beliefs mi : Motivasi untuk patuh pada referent/significant person Dari formulasi ini dapat dilihat bahwa norma subyektif yang dimiliki individu ditentukan oleh keyakinannya pada apa yang significant person pikirkan, tentang apakah ia harus melakukan tingkah laku tersebut atau tidak, juga ditentukan oleh motivasinya, apakah ia mau mematuhi orang tersebut atau tidak. Bab II – Tinjauan Teoritis 2.3.3 24 Perceived Behavior Control (PBC) 2.3.3.1 Pengertian PBC Ajzen (1988) mendefinisikan PBC sebagai berikut, “...this factor refers to the perceived ease or difficulty of performing the behavior and it assumed to reflect past experience as well as anticipated impediment and abstracles.” Faktor ini menggambarkan persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya menampilkan tingkah laku tertentu yang diasumsikan sebagai refleksi pengalaman masa lalu dan hambatan yang diantisipasi. PBC ditentukan oleh sejumlah control belief tertentu yang memberikan sarana bagi terbentuknya perilaku. Misalnya keyakinan mengenai adanya faktor-faktor yang dapat memfasilitasi atau menghalangi munculnya suatu tingkah laku tertentu. Lebih fokus lagi kekuatan dari masing-masing control belief dipengaruhi oleh kekuatan dari adanya kesadaran akan faktor-faktor yang mampu dikontrol dan hasil-hasil yang mampu diperoleh (perceived power). PBC merupakan refleksi yang akurat dari actual behavior control. Actual behavior cantrol sendiri adalah tingkatan keterampilan, sumber daya, dah hal-hal lain yang dibutuhkan untuk terbentuknya suatu perilaku. Untuk menyatakan bahwa PBC merupakan refleksi akurat dari actual behavioral control, adalah PBC dapat bersama-sama dengan intensi digunakan untuk memprediksi munculnya suatu perilaku. 25 Bab II – Tinjauan Teoritis 2.3.3.2 Determinan of Perceived Behavioral Control (PBC) Pada dasarnya perceived behavioral control ditentukan oleh dua faktor yaitu control belief dan perceived power. PBC mengindikasikan bahwa motivasi seseorang dipengaruhi oleh bagaimana tingkat kesulitan dari suatu perilaku yang disadari menjadi nyata, sebagaimana persepsi mengenai bagaimana seorang individu yang sukses mampu menampilkan suatu perilaku. Jika seseorang memiliki control belief mengenai keberadaan faktor-faktor yang dapat memfasilitasinya untuk menampilkan suatu perilaku, maka individu tersebut akan memiliki perceived control yang tinggi terhadap perilaku tersebut. Hubungan antara perceived behavioral control dengan control beliefs dan perceived power dapat diformulasikan sebagai berikut: PBC v ¦ cipi Keterangan: PBC : Perceived Behavioral Control ci : control belief yang menunjukkan suatu tingkah laku yang mengarah pada suatu konsekuensi i pi : Perceived power terhadap konsekuensi i Dari formula ini, kita dapat melihat bahwa PBC individu terhadap tingkah laku tertentu ditentukan oleh keyakinannya bahwa ia dapat melakukan tingkah laku tersebut berdasarkan keahlian (skill) dan sumber daya Bab II – Tinjauan Teoritis 26 yang ia miliki. Hal ini juga ditentukan oleh adanya kekuatan yang disadari (perceived power) dalam menampilkan perilaku tersebut. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa PBC terbentuk dari keyakinan-keyakinan (belief) yang disebut control belief dan persepsi individu terhadap hambatan realistis yang ada ketika menampilkan tingkah laku tertentu. Semakin banyak kondisi yang memfasilitasi (kemampuan dan kesempatan) dan semakin banyak hambatan atau rintangan yang diantisipasi, maka persepsi mengenai kontrol terhadap tingkah laku semakin positif. PBC diasumsikan mempunyai implikasi motivasional terhadap intensi. Individu yang meyakini dirinya tidak memiliki kemampuan maupun kesempatan-kesempatan untuk menampilkan tingkah laku tertentu cenderung memiliki intensi yang rendah meskipun mereka memiliki sikap positif terhadap tingkah laku dan meyakini bahwa orang-orang yang penting bagi dirinya menyetujui ditampilkannya tingkah laku tersebut. Penjelasan selanjutnya mengenai PBC adalah kemungkinan adanya hubungan langsung antara PBC dan tingkah laku. Menurut Ajzen (1988), PBC dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui intensi dan dapat juga digunakan untuk memprediksi tingkah laku secara langsung. Hal ini dikarenakan PBC dapat dianggap sebagai pengganti dari pengukuran kontrol yang sesungguhnya. Garis panah yang putus-putus pada bagan 2.1 mengindikasikan adanya hubungan antara PBC dan tingkah laku ketika ada kesamaan atau kesesuaian antara persepsi terhadap kontrol individu terhadap tingkah laku sebenarnya. Bab II – Tinjauan Teoritis 2.3.4 27 Pembentukan nilai-nilai keyakinan (Belief Formation) Menurut Ajzen dan Fishbein (1975) keyakinan atau belief mengenai suatu objek merupakan dasar dari pembentukan sikap terhadap obyek yang pada akhirnya akan menentukan intensi perilakunya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa keyakinan merupakan peluang penilaian individu terhadap aspek-aspek khusus dalam dunia yang dihayatinya. Secara khusus disebutkan bahwa keyakinan merupakan hubungan probabilitas subyektif antara individu dengan suatu obyek keyakinan seperti nilai-nilai, konsep-konsep, atau atribut-atribut tertentu. Dari definisi tersebut dapat dinilai bahwa pembentukan keyakinan melibatkan kaitan antara dua aspek dari dunia individu. Pembentukan keyakinan tergantung pada informasi yang diperoleh dan pengolahan informasi tersebut oleh individu. Keyakinan-keyakinan yang terbentuk berbeda, sesuai dengan informasi yang diperoleh. Proses pembentukkan beliefs atau keyakinan ini dapat dibedakan menjadi tiga proses (Ajzen dan Fishbein, 1975). 1. Melalui pengalaman langsung dengan obyek yang berhubungan yang akan membentuk descriptive beliefs. Descriptive beliefs diperoleh melalui observasi langsung bahwa suatu obyek memiliki atribut tertentu mengenai indera-indera yang dimiliki, misalnya seorang dapat merasakan atau melihat bahwa cincin itu bulat, atau dapat mencium sate kambing yang sedang dibakar, atau melihat wanita cantik. 2. Melalui suatu proses penyimpulan dari data atau fenomenik yang ada (logika berpikir individu) yang akan membentuk inferential beliefs. Beliefs Bab II – Tinjauan Teoritis 28 yang dibentuk melalui proses ini biasanya berupa beliefs mengenai karakteristik yang tidak diobservasi langsung, misal jujur, ramah, tertutup, sopan, atau pintar. Kesimpulan yang diambil mengenai beliefs tersebut didasarkan pada descriptive beliefs yang sudah ada, atau didasarkan pada inferential beliefs yang sudah ada. 3. Melalui penerimaan informasi yang tersedia di luar dirinya yang akan membentuk informational beliefs. Informasi yang diterima bisa berasal dari koran, buku, majalah, televisi, radio, pengajar, teman, saudara, rekan kerja. Informasi yang tersedia juga menghasilkan descriptive beliefs artinya bahwa individu akan meyakini bahwa sumber tersebut akan menyediakan informasi mengenai hubungan suatu obyek dengan beberapa atribut tertentu. Dapat disimpulkan bahwa beliefs dapat dibentuk melalui setidaknya dua cara yaitu melalui pengalaman langsung dalam suatu situasi sehingga individu menyadari atau mengetahui adanya hubungan antara obyek dengan suatu atribut, dan atau individu dapat diberi tahu melalui sumber yang ada di luar dirinya bahwa suatu obyek memiliki hubungan dengan atribut tertentu. 2.3.5 Intensi Ajzen dan Fisbein mendefinisikan intensi atau niat sebagai beliefs seseorang mengenai apa yang akan dilakukan dalam suatu tingkah laku, atau harapan seseorang mengenai apa yang akan dilakukan dalam suatu tingkah laku 29 Bab II – Tinjauan Teoritis atau harapan seseorang mengenai tingkah laku mereka sendiri dalam setting yang ada (Eagly, 1993: 184). Berangkat dari theory of planned behavior yang menyatakan bahwa intensi merupakan determinan langsung dari tingkah laku maka dapat disebutkan bahwa tingkah laku individu tertentu akan konsisten dengan intensinya terhadap tingkah laku tersebut. Jika ada intensi untuk bertingkah laku tertentu, maka ia akan melakukan tingkah laku tersebut. Dalam mekanismenya, sikap dan norma subyektif yang dimiliki individu menumbuhkan intensi terhadap tingkah laku. Hubungan intensi dengan kedua komponen dasar menentukan ini dapat diformulasikan sebagai berikut: B ~ I = (AB)w1 + (SN)w2 B Keterangan: B : Tingkah laku (behavior) I : Intensi untuk melakukan tingkah laku B AB : Sikap terhadap tingkah laku B SN : Norma subyektif w1 : Bobot penentu secara empiris dari variabel sikap w2 : Bobot penentu secara empiris dari variabel norma subyektif Variabel atau komponen sikap dan norma subyektif terhadap tingkah laku tertentu mempunyai bobot tersendiri. Bobot ini sendiri merupakan kepentingan yang relatif (relative important) yang akan dapat menentukan variabel sikap atau variabel norma subyektifkah yang lebih besar pengaruhnya dalam membentuk suatu intensi untuk bertingkah laku tertentu. Variabel sikap yang dilambangkan 30 Bab II – Tinjauan Teoritis dengan w1 mempresentasikan kontribusi atau peranan dari variabel sikap terhadap terbentuknya niat (intention) untuk melakukan tingkah laku tertentu. Begitu pula halnya dengan variabel norma subyektif, variabel ini dilambangkan dengan w2 yang mempresentasikan kontribusi atau peranan dari variabel norma subyektif terhadap terbentuknya intensi untuk melakukan tingkah laku tertentu, dan intensi ini yang kemudian menentukan tingkah laku tersebut muncul. Walaupun demikian terdapat variabel eksternal (external variables). Variabel eksternal ini dapat berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosioekonomi, pendidikan, kepribadian, dan sikap terhadap target tertentu. Variabel ini dapat mempengaruhi beliefs seseorang terhadap pertimbangan relatif individu pada sikap dan pertimbangan normatif yang dipegang. Konsekuensinya memang variabel ini dapat mempengaruhi tingkah laku. Akan tetapi tidak ada hubungan yang penting atau kuat antara variabel eksternal ini dengan tingkah laku. Dengan kata lain, variabel ekternal akan memiliki efek terhadap tingkah laku sebagai perluasan variabel tersebut mempengaruhi determinan dari tingkah laku (Ajzen dan Fishbein, 1975). 2.3.6 Dampak Variabel Eksternal terhadap Intensi Banyak bukti yang menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti sikap terhadap target, sifat-sifat kepribadian, dan karakteristik-karakteristik demographic sering kali berhubungan dengan tingkah laku. Walaupun mengakui arti penting faktor-faktor tersebut. Ajzen dan Fishbein tidak memasukkan faktorfaktor tersebut sebagai bagian yang menempatkannya sebagai variabel eksternal. menyatu dalam teorinya, tetapi Bab II – Tinjauan Teoritis 31 Menurut Ajzen dan Fishbein, secara tidak langsung variabel eksternal dapat mempengaruhi belief yang dipegang oleh individu atau relativitas derajat kepentingan belief yang berhubungan dengan sikap dan pertimbangan normatif. Variabel eksternal dan mempengaruhi pembentukan belief dengan beberapa cara: 1. Mempengaruhi individu untuk memiliki belief tertentu, 2. Mempengaruhi kekuatan satu atau beberapa belief yang dipegang oleh individu, 3. Mempengaruhi penilaian atau evaluasi individu terhadap hasil tingkah laku. Selain bagan 2.1 di atas, Ajzen dan Fishbein (1980) menggambarkan hubungan tidak langsung antara berbagai variabel eksternal dengan sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, intensi, dan tingkah laku melalui bagan berikut: Bab II – Tinjauan Teoritis 32 Bagan di atas mengilustrasikan bagaimana berbagai tipe variabel eksternal dapat mempengaruhi intensi dan tingkah laku secara tidak langsung melalui efeknya terhadap behavioral beliefs, outcome evaluations, normative beliefs, motivation to comply atau pada relative weight of the attitudinal and normative component. 2.4 Perilaku Seksual 2.4.1 Pengertian Perilaku Seksual Menurut Sarlito Wirawan (2004:140), yang dimaksud perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan Bab II – Tinjauan Teoritis 33 jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sedangkan perilaku seksual pranikah adalah kedekatan fisik yang melibatkan penyatuan alat kelamin (coitus) sebelum menikah (Hurlock, 1973:289). 2.4.2 Pola perilaku seksual yang dianggap sesuai oleh masyarakat Bertingkah laku heteroseksual yang disetujui secara sosial merupakan tugas yang ketiga untuk mencapai kematangan seksualitas. Untuk menguasai tugas ini, remaja melewati fase-fase perilaku heteroseksual yang cukup jelas. Setiap fase memberikan pelajaran-pelajaran yang digunakan pada fase selanjutnya. Jika seorang remaja tidak melewati salah satu fase prilaku heteroseksual ini, maka ia akan melewatkan kesempatan untuk belajar sehingga akan mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah yang akan timbul dari fase berikutnya. Fase-fase tingkah laku heteroseksual adalah: 1. Crushes and hero worship. Crushes adalah keterikatan emosi yang kuat terhadap individu yang lebih tua dan memiliki hubungan personal dengan remaja. Sedangkan hero worship adalah keterikatan emosi yang kuat terhadap seseorang yang dikagumi dari jauh. 34 Bab II – Tinjauan Teoritis Mempunyai orang yang dikagumi membantu remaja untuk menjadi lebih mandiri dan membuat keputusan akan menjadi seperti apa dirinya kelak. Menurut Gallagher, dengan memiliki orang yang dikagumi di luar lingkup keluarga, remaja akan mendapatkan keuntungan dalam melalui perkembangan emosinya. Remaja akan mendapatkan kemandirian dengan cara yang lebih menyenangkan (Gallagher dalam Hurlock,1973:282). Sedangkan hero worship mendorong remaja untuk berusaha mencapai kesuksesan. Hal ini membantunya untuk merumuskan tujuan dan nilainilai. Pada fase ini remaja mencoba untuk mengembangkan gambaran kepribadian yang menurutnya paling ideal. 2. Puppy love. Remaja menunjukkan afeksi terhadap remaja seusianya dengan menggoda, bertindak kasar dan hal-hal lain yang berlawanan dengan perasaannya. Fase ini merupakan pengalaman awal remaja yang melibatkan lawan jenisnya. Remaja belajar untuk menilai anggota lawan jenisnya dengan standar penilaian tertentu sehingga menjadi lebih selektif. Pada fase ini, biasanya remaja sangat memfokuskan diri dengan urusan percintaan sehingga menelantarkan sekolah dan tanggung jawab di rumah. Hal ini dapat memunculkan kritik dari orang tua dan hubungan anak-orang tua menegang. Bab II – Tinjauan Teoritis 35 3. Dating. Berkencan (dating) adalah aktivitas sosial yang dilakukan bersama tanpa adanya komitmen. Hal ini biasanya bermula dari aktivitas suatu kelompok bermain lalu berkembang menjadi aktivitas yang dilakukan secara berpasangan. Remaja yang tidak berkencan pada umumnya menjadi remaja yang kurang bisa bertingkah laku dalam situasi sosial dimana terdapat kedua jenis kelamin. Hal ini menyebabkan perasaan inferior dan frustrasi saat memasuki lingkungan kuliah atau pekerjaan. 4. Going steady. Setelah melalui proses berkencan dengan beberapa remaja lawan jenis, seorang remaja memilih satu orang yang dianggap sebagai “pacar”. Fase ini menuntut adanya komitmen sehingga anggotanya dilarang berkencan dengan orang lain kecuali dengan pasangannya. 5. Pinning. Pada fase ini, remaja sudah mulai memikirkan arah dari hubungan mereka menuju pernikahan, namun belum disosialisasikan secara formal (tunangan). 6. Engagement. Saat pasangan remaja telah sepakat untuk menikah, maka diadakan upacara pemberian cincin atau simbolisasi lain. Bab II – Tinjauan Teoritis 36 7. Marriage. Pernikahan merupakan persatuan dari dua orang dengan jenis kelamin yang berbeda dengan komitmen yang permanen terhadap satu sama lain dan kepada anak-anak mereka. Banyak remaja menghadapi masalah saat melalui fase-fase ini. Masalah yang pertama adalah beberapa remaja berada pada satu fase terlalu lama sehingga saat mereka memutuskan untuk beralih ke fase yang berikutnya, mereka terlihat tidak dewasa jika dibandingkan dengan teman sebayanya yang telah berada pada fase tersebut lebih dahulu. Masalah yang kedua adalah remaja terlalu cepat melewati fase tertentu. Hal ini akan menyebabkan seorang remaja tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyerap semua keterampilan yang harus dikuasainya. 2.4.3 Cara-cara untuk mengekspresikan cinta untuk orang lain Untuk menjalani transisi heteroseksualitas, seorang remaja harus belajar untuk berorientasi kepada orang lain, untuk mengekspresikan dan menerima rasa cinta dengan orang lain. Seorang remaja harus menunjukkan bagaimana menunjukkan penghargaan terhadap rasa cinta yang diberikan oleh orang lain. Perubahan ini cukup mendasar dan diperlukan waktu bagi remaja untuk berubah. Untuk menjadi remaja yang berorientasi kepada orang lain, diperlukan dua kemampuan dasar. Kemampuan yang pertama adalah seorang remaja harus mengetahui metode-metode untuk mengekspresikan afeksi yang disetujui oleh masyarakat. Seorang remaja belajar cara yang tepat untuk mengekspresikan perasaannya dengan mengobservasi orang dewasa, teman sebayanya dan cara-cara yang dikemas oleh media massa. Kemampuan yang kedua adalah seorang remaja Bab II – Tinjauan Teoritis 37 harus mengetahui sampai sejauh mana masyarakat mengizinkan seorang individu untuk menunjukkan perasaannya. Terlepas dari seberapa besar cintanya terhadap seseorang, seorang remaja harus mengendalikan tingkah laku pengekspresian cintanya. Pada fase awal hubungan heteroseksual, terutama pada crushes dan hero worship, ekspresi cinta yang ditunjukkan tidak bersifat fisik. Secara perlahan, sejalan dengan meningkatnya dorongan seksual setelah pubertas, perasaan kasih sayang digantikan oleh perasaan cinta. Cinta adalah keterkaitan emosi antara individu-individu yang berbeda jenis kelamin dengan disertai oleh dorongan seksual dan kasih sayang. Dengan munculnya dorongan seksual ini, ekspresi cinta secara fisik mulai dimunculkan di samping ekspresi non-fisik. Tingkah laku pengekspresian cinta yang melibatkan dorongan seksual sehingga terjadi kontak fisik disebut dengan perilaku seksual. Ekspresi cinta yang umumnya dimunculkan oleh remaja adalah (Hurlock,1973:289): 1. Keepsakes Setiap hal yang berhubungan dengan pasangan dianggap sesuatu yang berharga karena memiliki arti simbolis tertentu. 2. Constant association Setiap perpisahan, walaupun hanya sebentar menimbulkan perasaan sedih. Usaha dikerahkan untuk berhubungan dengan pasangan seperti menelpon, sms, e-mail dan lain sebagainya) 38 Bab II – Tinjauan Teoritis 3. Confidence Keinginan untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan, harapan dan keinginan, serta prinsip dan perasaan. 4. Creative expressions Membuat sesuatu untuk pasangan seperti surat cinta, puisi, diary, makanan dan lain sebagainya. 5. Jealousy Orang lain yang menunjukkan perhatian kepada pasangan menimbulkan perasaan cemburu. 6. Necking Kedekatan fisik yang ditandai dengan ciuman ringan dan belaian pada bagian tubuh tidak lebih rendah daripada leher. 7. Petting Kedekatan fisik yang ditandai dengan usaha untuk memberikan sensasi erotis tanpa menyatukan alat kelamin (coitus) dan memungkinkan terjadinya pelepasan seksual (orgasme). 8. Premarital intercourse Kedekatan fisik yang ditandai dengan usaha untuk memberikan pelepasan seksual (orgasme) dengan menyatukan alat kelamin (coitus) sebelum menikah. Semua ekspresi hubungan heteroseksual di atas pada dasarkan membawa perasaan puas bagi yang memberikan maupun yang menerima. Semua ekspresi di atas memberikan perasaan aman, dan memberikan pemenuhan kebutuhan seksual 39 Bab II – Tinjauan Teoritis pada tingkat tertentu. Ekspresi yang terbilang sederhana seperti keepsakes dan keinginan untuk terus berhubungan tidak menyebabkan permasalahan secara psikologis, bahkan dapat membantu remaja untuk lebih berorientasi kepada orang lain mengingat pada pubertas cenderung membuat remaja menjadi egosentris. Ekspresi cinta yang dianggap berpengaruh buruk adalah necking dan petting. Hal ini disebabkan karena ekspresi ini cenderung mendorong kepada perilaku seksual yang lebih jauh yaitu premarital intercourse yang dapat mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan penyakit menular seksual. Selain itu, pengalaman yang tidak menyenangkan saat remaja melakukan petting dapat membuat remaja menjadi trauma terhadap petting maupun pada pernikahan. Apakah petting akan membawa pengaruh positif atau negatif tergantung dari petting seperti apa yang dilakukan serta alasannya. Petting yang dilakukan dengan “cinta” akan mengarah pada hubungan heteroseksual yang memuaskan baik sebelum maupun sesudah menikah. Akibat dari premarital intercourse ditentukan dari nilai moral dan keyakinan remaja terhadap keamanan dari perilaku tersebut. Saat remaja melakukan sesuatu yang menurutnya adalah sesuatu yang salah, remaja tersebut akan merasa bersalah dan malu. Rasa menyesal karena memulai berhubungan seksual sebelum menikah kerap dialami remaja perempuan maupun laki-laki, sekali mereka memulai berhubungan seksual maka akan sulit untuk menghentikannya. Beberapa remaja perempuan takut jika mereka menolak untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya maka mereka akan 40 Bab II – Tinjauan Teoritis ditinggalkan. Para remaja juga takut jika perilaku seksual mereka diketahui orang lain, mereka akan diasingkan. Reaksi orang tua terhadap perilaku seksual anak mereka pada masa sekarang lebih positif dibandingkan pada masa lalu. Saat ini, anak yang diketahui telah melakukan hubungan seksual atau hamil sebelum menikah biasanya dinikahkan secepatnya, berbeda dengan masa lalu dimana anak yang telah berhubungan seksual diasingkan dan tidak dianggap lagi sebagai keluarga. Sebuah perkawinan yang dimasuki karena keadaan yang memaksa atau karena rasa takut lebih besar kemungkinannya untuk menghadapi berbagai masalah (Hurlock,1973:289). Hal ini disebabkan karena pernikahan membutuhkan banyak penyesuaian dari kedua belah pihak, sehingga rasa takut, tekanan karena kehamilan di luar nikah atau tekanan karena keadaan keluarga atau hal lainnya akan menambah tekanan dalam memulai rumah tangga. 2.4.4 Bentuk-bentuk perilaku seksual Perilaku seksual remaja biasanya sifatnya meningkat atau progresif (Broderick & Rowe, 1968; DeLamater & MacCorquodale, 1979). Terdapat beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa dilakukan. Setiap individu melakukan bentuk perilaku yang berbeda, namun mengikuti pola-pola yang dapat diprediksikan. Bentuk perilaku seksual yang dilakukan oleh seseorang mempengaruhi self-concept dari individu tersebut. Semakin tingkah lakunya berbeda atau menyimpang dibandingkan dengan masyarakat disekitarnya, semakin buruklah penilaian masyarakat terhadap dirinya dan semakin buruk pula Bab II – Tinjauan Teoritis 41 ia menilai dirinya sendiri (Hurlock,1976:316). Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk perilaku seksual menurut Hurlock. Salah satu bentuk perilaku seksual yang paling awal adalah exploration. Keingintahuan selalu mengarah kepada eksplorasi. Eksplorasi dapat berupa berbagai macam bentuk. Bentuk yang pertama adalah eksplorasi yang sepenuhnya bersifat intelektual, contohnya saat anak-anak bertanya kepada orangtua mengenai seksualitas atau saat seorang individu membaca buku tentang seksualitas untuk memuaskan keingintahuannya. Bentuk yang kedua adalah eksplorasi yang bersifat manipulatif, misalnya mengeksplorasi bagian-bagian tubuh sendiri atau orang lain. Jika anak-anak diajarkan bahwa perilaku eksplorasi terutama yang bersifat manipulatif adalah hal yang salah dan dilarang, perilaku ini biasanya dilakukan secara diam-diam dengan perasaan takut tertangkap atau dihukum. Jika hal ini dibiarkan, maka lambat laun akan menjadi perasaan cemas dan perasaan bersalah setiap melakukan perbuatan terlarang ini. Bentuk perilaku seksual yang biasa dilakukan oleh anak-anak dan remaja adalah masturbasi. Walaupun tidak ada dampak fisik yang buruk, penilaian masyarakat mengenai perilaku ini sangat negatif. Penilaian negatif ini menyebabkan sebagian besar anak-anak memiliki perasaan bersalah dan malu dan dapat berkembang menjadi kegelisahan akut akan akibat yang akan mereka terima jika melakukan masturbasi. Perilaku masturbasi mencapai puncaknya saat anak memasuki masa pubertas dimana tubuh seorang anak mengalami perubahan. Pada masa ini terdapat perilaku yang disebut dengan homosexual play dimana anak bermain Bab II – Tinjauan Teoritis 42 dengan sesama jenisnya. Masturbasi dan homosexual play mendahului perasaan erotis yang muncul dari kontak fisik dengan lawan jenis. Pada masa ini pada umumnya anak mengalami crushes and heroworship. Saat anak memasuki masa remaja dan telah mencapai kematangan seksual, dorongan seksnya diarahkan kepada lawan jenis. Saat dorongan seks remaja diarahkan pada lawan jenis, terjadi penurunan pada perilaku masturbasi dan homosexual play. Sebaliknya, terjadi peningkatan pada perilaku heterosexual play yang bentuknya berupa necking, petting dan sexual intercourse. Saat dorongan seksual meningkat bersamaaan dengan kematangan seksual, pada beberapa kasus terdapat remaja yang melakukan pemaksaan kepada pasangannya untuk berhubungan seksual. Perilaku ini disebut dengan aggressive sex play. 2.5 Kerangka Pemikiran Remaja pada umumnya telah mencapai kematangan seksual, yang ditandai dengan terjadinya mimpi basah oleh remaja laki-laki dan menstruasi pada remaja perempuan yang menandakan telah mampu untuk bereproduksi (Steinberg, 2002). Selain itu remaja juga telah mengalami perkembangan ciri seks sekunder yang membuat keadaan tubuh mereka mulai menyerupai tubuh orang dewasa. Kematangan seksual ini menimbulkan ketertarikan antar remaja dengan lawan jenis kelaminnya (Hurlock, 1980). Ketertarikan yang muncul menimbulkan dorongan kepada remaja untuk berinteraksi dengan lawan jenisnya. Interaksi remaja dengan lawan jenisnya disebut dengan relasi heteroseksual. 43 Bab II – Tinjauan Teoritis Menurut Hurlock (1973), remaja mulai mengenal arti cinta dan berusaha mengekspresikannya. Relasi heterosekual yang terjalin antara dua remaja juga tidak sama dengan relasi heteroseksual pada masa anak-anak. Pada masa remaja relasi heteroseksual yang terjalin disertai dengan perasaan dan dorongan seksual. Menurut Faturochman (1990), hubungan pacaran memperbesar kemungkinan terjadinya perilaku seksual diantaranya hubungan seksual pranikah (premarital sexual intercourse). Salah satu perilaku seksual menurut Hurlock adalah premarital intercourse, yaitu kedekatan fisik yang ditandai dengan usaha untuk memberikan pelepasan seksual (orgasme) dengan menyatukan alat kelamin (coitus). Bentuk tingkah lakunya adalah berhubungan seksual atau senggama. Menurut Ajzen, kemunculan tingkah laku ditandai oleh adanya intensi individu untuk bertingkah laku. Intensi adalah kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi merupakan indikasi dan kesiapan individu untuk memunculkan tingkah laku, sehingga dianggap sebagai determinan yang paling dekat dengan tingkah laku. Dalam Theory of Planned Behavior, intensi terbentuk dari tiga determinan, yaitu sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif terhadap tingkah laku dan persepsi kontrol tingkah laku (PBC). Ketiga determinan ini membentuk intensi yang mengindikasikan kemunculan tingkah laku yang dalam penelitian ini merupakan tingkah laku hubungan seksual pranikah. Determinan yang pertama yaitu sikap terhadap perilaku hubungan seksual. Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk berespon terhadap suatu obyek yang dinyatakan secara konsisten dengan perasaan menyukai atau tidak menyukai (Ajzen, 1988). Sikap 44 Bab II – Tinjauan Teoritis adalah perasaan menyukai atau tidak menyukai seorang individu mengenai suatu obyek sikap. Dalam penelitian ini, obyek sikap yang dimaksud adalah perilaku hubungan seksual. Sikap terhadap perilaku hubungan seksual pranikah terbentuk dari keyakinan bahwa tingkah laku berhubungan seksual akan menghasilkan konsekuensi tertentu (behavioral beliefs) dan evaluasi siswa mengenai konsekuensi tersebut. Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap siswa SMU “X”, beberapa diantara mereka mempunyai keyakinan bahwa dengan berhubungan seksual ia akan lebih dekat dengan pasangannya, dapat menyalurkan dorongan seksual, dan mengikuti perkembangan pergaulan. Beberapa siswa mengevaluasi bahwa kedekatan dengan pasangan, dapat menyalurkan dorongan seksual, dan mengikuti perkembangan pergaulan merupakan outcome yang positif, maka ia akan mempunyai sikap yang positif terhadap tingkah laku hubungan seksual pranikah. Namun, beberapa siswa mengevaluasi bahwa hubungan seksual pranikah akan menghasilkan outcome yang negatif seperti dapat menyebabkan kehamilan, tertular penyakit menular seksual, dan takut dikucilkan, maka ia akan memiliki sikap yang negatif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah. Determinan yang kedua dari intensi berhubungan seksual pranikah adalah norma subyektif. Norma subyektif adalah tekanan sosial yang dipersepsikan oleh individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku (Fishbein&Ajzen, 1975:302). Norma subyektif terbentuk dari keyekinan bahwa orang-orang yang penting (significant person) bagi siswa akan menyetujui atau Bab II – Tinjauan Teoritis 45 tidak menyetujui tingkah laku tersebut (normative beliefs) dan motivasi siswa untuk memenuhi harapan dari orang-orang tersebut. Adapun Orang-orang yang dinilai penting oleh siswa SMU “X” dalam hal perilaku hubungan seksual ini antara lain orangtua, guru, pasangannya, orangtua, dan teman. Beberapa diantara siswa percaya bahwa pasangannya akan menyetujui dirinya melakukan tingkah laku tersebut dan siswa tersebut mempunyai motivasi yang kuat untuk memenuhi harapan pasangan ataupun temannya yang pernah melakukan hubungan seksual, maka akan menambah kemungkinan untuk memiliki norma subyektif yang positif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah. Akan tetapi bagi siswa yang tidak memiliki motivasi untuk memenuhi harapan dari pasangan maupun temannya dan bahkan lebih mementingkan harapan dari orangtua atau guru untuk menghindari perilaku tersebut, maka akan menambah kemungkinan untuk memiliki norma subyektif yang negatif. Determinan yang ketiga adalah persepsi kontrol tingkah laku (PBC). PBC adalah persepsi individu terhadap kemudahan atau kesulitan dalam menampilkan tingkah laku serta diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman masa lalu dan antisipasi dari hambatan yang mungkin muncul (Ajzen, 1988). PBC dibentuk oleh persepsi individu terhadap adanya faktor-faktor yang dapat mendukung atau menghalangi munculnya tingkah laku (control beliefs) dan persepsi tentang seberapa kontrol yang individu miliki untuk mengatasi faktor-faktor tersebut. Beberapa control beliefs pada siswa SMU “X” adalah ketika ada kesempatan untuk melakukan perilaku seksual seperti dorongan seksual yang sulit dibendung, pasangan meminta untuk melakukan hubungan seks, atau bahkan Bab II – Tinjauan Teoritis 46 kondisi rumah sedang yang sedang kosong. Sehingga siswa yang tidak melakukan perilaku hubungan seksual pranikah karena dirinya mengingat ajaran agama, ataupun dirinya masih menganggap tabu perbuatan itu. Maka hal ini dianggap sebagai salah satu hal yang menghambat perilaku seksual pranikah itu muncul. Siswa yang mempersepsikan hambatan-hambatan yang ada seperti perasaan berdosa, tidak ada tempat untuk melakukannya, atau pengawasan dari orangtua sebagai hal yang bisa ia kontrol sehingga tidak menghalangi munculnya tingkah laku, maka PBC-nya kuat. Sedangkan siswa yang mempersepsikan hambatan-hambatan yang ada sebagai suatu hal yang tidak mungkin dilanggar sehingga meniadakan kemungkinan munculnya tingkah laku, maka PBC-nya lemah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ketiga determinan ini membentuk intensi yang mengindikasikan kemunculan tingkah laku hubungan seksual pranikah. Semakin kuat intensi individu untuk melakukan hubungan seksual pranikah, semakin besar pula kemungkinan individu untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Kekuatan dari intensi untuk bertingkah laku terkait erat dengan kekuatan dari masing-masing determinan penyusunnya. Semakin tinggi keyakinan bahwa tingkah laku hubungan seksual pranikah menghasilkan outcome yang positif, semakin positif pula sikap yang dimiliki siswa, semakin kuat pula intensinya. Intensi untuk melakukan hubungan seksual pranikah juga menguat apabila terdapat norma subyektif yang positif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah. Siswa yang menyakini bahwa orang-orang penting baginya akan 47 Bab II – Tinjauan Teoritis menyetujui ditampilkannya tingkah laku hubungan seksual pranikah akan memiliki norma subyektif yang positif. Penguatan intensi juga dapat disebabkan oleh semakin positifnya PBC. Siswa yang mempersepsikan bahwa tingkah laku hubungan seksual pranikah adalah tingkah laku yang mungkin untuk dilakukan dan meyakini bahwa dirinya mampu mengontrol segala hal yang bisa menghalangi maupun yang mendukung munculnya tingkah laku akan memiliki PBC yang positif. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mendalam mengenai intensi berhubungan seksual pranikah pada siswa SMU “X” Bandung, dilihat dari determinan pembentuknya. Skema Berpikir Sikap terhadap Perilaku Hubungan Seksual Positif Norma Subyektif tentang Perilaku Hubungan Seksual Positif Intensi Untuk Berhubungan Seksual Kuat Berhubungan Seksual Pranikah Persepsi terhadap Kontrol Tingkah Laku Hubungan Seksual Positif Bagan 2.3 Skema Berpikir BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang hal-hal teknis yang berhubungan dengan pelaksanaan penelitian. Dalam bab ini dibahas beberapa hal di antaranya pendekatan penelitian, variabel penelitian, sampel penelitian, alat ukur penelitian, serta prosedur pelaksanaan penelitian. 3.1 Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. Peneliti menghimpun fakta dalam suatu rancangan penelitian sehingga dapat dilakukan analisa terhadap fakta-fakta tersebut dalam suatu kerangka pemikiran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun peristiwa yang sedang dialami oleh individu atau kelompok. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai karakteristik, fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nasir, 1988:63). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. 49 Bab III – Metodologi Penelitian 3.2 Variabel Penelitian Penelitian ini terdiri dari satu variabel yaitu intensi berhubungan seksual pranikah. Definisi konseptual berhubungan seksual pranikah adalah kedekatan fisik yang melibatkan penyatuan alat kelamin (coitus) sebelum menikah (Hurlock,1973:289). Sedangkan definisi konseptual dari intensi adalah kemungkinan subjektif individu untuk melakukan tingkah laku tertentu (Fishbein&Ajzen,1975:289). Sehingga definisi konseptual dan operasional yang dipakai dalam penelitian ini adalah: x Definisi Konseptual : kemungkinan subjektif individu untuk menampilkan suatu tingkah laku tertentu. (Icek Ajzen) x Definisi Operasional : kuat lemahnya kemungkinan subjektif individu untuk menampilkan perilaku berhubungan seksual dengan pasangannya sebelum menikah yang dinyatakan dalam skor total jawaban responden dalam alat ukur intensi. Selain itu, di bawah ini merupakan definisi konseptual dari ketiga determinan pembentuk intensi, yaitu Sikap terhadap perilaku berhubungan seksual pranikah, Norma subyektif terhadap perilaku berhubungan seksual pranikah, dan Persepsi terhadap kontrol tingkah laku berhubungan seksual pranikah. Bab III – Metodologi Penelitian 50 Sikap terhadap perilaku hubungan seksual pranikah x Definisi Konseptual : sikap terhadap tingkah laku adalah evaluasi positif atau negatif terhadap konsekuensi dari tingkah laku yang akan dimunculkan. (Icek Ajzen) x Definisi Operasional : perasaan positif atau negatif terhadap konsekuensi dari perilaku berhubungan seksual yang akan dilakukan dengan pasangannya sebelum menikah, yang dinyatakan dalam skor total jawaban responden dalam alat ukur sikap. Norma subyektif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah x Definisi Konseptual : norma subyektif adalah persepsi individu terhadap tekanan sosial dari significant person yang mengharapkan individu menampilkan atau tidak menampilkan suatu tingkah laku. (Icek Ajzen) x Definisi Operasional : persepsi individu terhadap seberapa kuat tekanan sosial dari significant person yang mengharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku berhubungan seksual dengan pasangannya sebelum menikah yang dinyatakan dalam skor total jawaban responden dalam alat ukur norma subjektif. Bab III – Metodologi Penelitian 51 Persepsi terhadap kontrol tingkah laku berhubungan seksual pranikah x Definisi Konseptual : persepsi terhadap kontrol perilaku adalah persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya menampilkan tingkah laku tertentu yang diasumsikan sebagai refleksi pengalaman masa lalu dan hambatan yang diantisipasi. (Icek Ajzen) x Definisi Operasional : persepsi individu terhadap faktor-faktor yang mempermudah atau yang menghambat dirinya dalam menampilkan perilaku berhubungan seksual dengan pasangannya sebelum menikah yang dinyatakan dalam skor total jawaban responden dalam alat ukur persepsi terhadap kontrol perilaku. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian Populasi penelitian dalam studi ini adalah siswa SMU “X” Bandung. Hal ini berkaitan dengan lokasi ditemukannya fenomena yang menjadi latar belakang dilaksanakannya penelitian ini. 3.3.2 Sampel Penelitian Pengambilan data dilakukan kepada sampel accidental (sampling seadanya). Sampel yang diambil berjumlah 40 orang terdiri dari siswa kelas satu dan dua. Bab III – Metodologi Penelitian 52 3.4 Alat Ukur Alat ukur intensi untuk berhubungan seksual pranikah disusun berdasarkan Theory of Planned Behavior dari Icek Ajzen (1988) yang dimodifikasi oleh peneliti sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian ini. Alat ukur ini digunakan untuk melihat kuat atau lemahnya intensi untuk berhubungan seksual yang dimiliki siswa SMU “X” Bandung. Selain mengukur intensi, peneliti juga melakukan pengukuran terhadap determinan pembentuk intensi yaitu: sikap, norma subjektif dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku berhubungan seksual pranikah. Dalam pengukuran determinan pembentuk intensi, alat ukur yang digunakan juga disusun berdasarkan Theory of Planned Behavior dari Icek Ajzen (1988). Alat ukur ini berbentuk kuesioner dengan skala Osgood. Penilaian berada pada rentang 1 samapi dengan 5, dimana semakin negatif penghayatan terhadap suatu item maka mendapat nilai 1 dan semakin positif mendapat nilai 5. Penilaian ditentukan dengan menghitung skor dari setiap butir pertanyaan kemudian dijumlahkan untuk mendapat skor intensi dari seorang individu. Tujuan dari skala ini adalah menempatkan individu pada titik tertentu pada kontinum yang didasarkan pada norma dari alat ukur. 3.4.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari empat buah kuesioner yaitu kuesioner intensi untuk berhubungan seksual pranikah, kuesioner sikap terhadap 53 Bab III – Metodologi Penelitian perilaku berhubungan seksual pranikah, kuesioner subjective norm untuk berhubungan seksual pranikah dan kuesioner persepsi terhadap kontrol perilaku berhubungan seksual pranikah. Pada pengambilan data dilapangan, keempat kuesioner ini akan dijadikan satu kuesioner. Alat ukur ini berisi item-item yang disusun untuk mengukur intensi dan determinan penyusunnya secara langsung (direct measures). Item-item yang digunakan merupakan item-item yang biasa digunakan dalam penelitian-penelitian yang menggunakan Theory of Planned Behavior yang disesuaikan dengan tingkah laku yang diteliti yaitu berhubungan seksual pranikah. Dibawah ini adalah kisi-kisi alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 3.4.1a Kisi-kisi alat ukur sikap terhadap perilaku berhubungan seksual pranikah Variabel Aspek Indikator Yakin bahwa berhubungan Sikap terhadap Item 1, 2 seksual akan meningkatkan perilaku Behavioral Beliefs kedekatan dengan pasangan. berhubungan Keyakinan bahwa seksual pranikah Yakin bahwa berhubungan 3, (-4), 5 berhubungan seksual seksual akan menambah pranikah akan pengetahuan mengenai kesehatan menghasilkan reproduksi. konsekuensi tertentu. Yakin bahwa dengan 6, 7, (-8) 54 Bab III – Metodologi Penelitian berhubungan seksual akan mendapat pengakuan dari temanteman. Evaluasi terhadap kedekatan Outcome Evaluation Evaluasi terhadap konsekuensi tertentu 29, 30 dengan pasangan. Evaluasi terhadap pengetahuan (-31), 32, 33 dan pengalaman seksualitas dari berhubungan dengan lawan jenis. seksual pranikah Evaluasi terhadap pengakuan dari 34, 35, 36 teman-teman. Tabel 3.4.1b Kisi-kisi alat ukur norma subyektif tentang perilaku berhubungan seksual pranikah Variabel Aspek Norma Indikator Item Keyakinan terhadap pengawasan dari (-9), (-10), orangtua terhadap dirinya. (-11), (-12) subyektif Normative tentang Beliefs Keyakinan bahwa orangtua atau guru (-13), (-14), perilaku Keyakinan menanamankan nilai-nilai agama dan (-15) berhubungan normatif moral. seksual mengenai Keyakinan bahwa pasangan pranikah berperilaku seksual pranikah. 16, 17, 18 mengharapkan berhubungan seksual. Keyakinan bahwa teman-teman mengharapkan dirinya untuk melakukan 19, 20, 21 55 Bab III – Metodologi Penelitian hubungan seksual. Keinginan untuk memenuhi harapan 37, 38, 39, 40, Motivation to dan anjuran orangtua atau guru. 41, 42 Comply Keinginan untuk memenuhi harapan 43, (-44) Motivasi untuk pasangan untuk melakukan hubungan memenuhi seksual. keyakinan Keinginan untuk memenuhi harapan (-45), (-46), teman-teman. (-47), (-48) normatif. Tabel 3.4.1c Kisi-kisi alat ukur persepsi terhadap kontrol perilaku (PBC) berhubungan seksual pranikah Variabel Aspek Persepsi Control Beliefs Keyakinan terhadap sumber daya terhadap Keyakinan adanya yang dimiliki untuk berhubungan kontrol tingkah faktor-faktor yang seksual. laku mengendalikan berhubungan (menghambat dan seksual memfasilitasi) pranikah untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Perceived Power Indikator Keyakinan terhadap kesempatan Item 22, (-23) 24, (-25), (-26) yang ada. Keyakinan terhadap aturan-aturan (-27), (-28) yang ada. Kekuatan untuk mengontrol (-49) 56 Bab III – Metodologi Penelitian Kekuatan yang sumber daya dari dalam diri. dihayati dalam mengontrol faktor yang menghambat Kekuatan untuk mengontrol (-50), (-51) kesempatan yang ada. dan memfasilitasi Kekuatan untuk mengontrol untuk melakukan aturan-aturan yang ada. (-52), (-53) hubungan seksual pranikah. Tabel 3.4.1d Kisi-kisi alat ukur intensi berhubungan seksual pranikah Variabel Item Intensi 54 -63 3.4.2 Sistem Penilaian Alat Ukur Data yang dihasilkan oleh keempat alat ukur ini merupakan data yang berskala ordinal, sedangkan diperlukan data yang berskala interval untuk dilakukannya pengujian statistik analisis regresi (akan dijelaskan kemudian). Oleh karena itu, data yang terdapat dalam alat ukur ini perlu dinaikkan tingkatannya menjadi berskala interval. Untuk menaikkan tingkatan skala alat ukur ini menggunakan metode succesive interval. Langkah-langkah menganalisis data dengan menggunakan Metode Succesive Interval adalah sebagai berikut : 57 Bab III – Metodologi Penelitian 1. Tentukan alternatif jawaban dari alat ukur. Dalam penelitian ini terdapat enam alternatif jawaban yang memiliki rentang skor satu sampai dengan enam. 2. Tentukan jumlah responden yang menjawab setiap alternatif jawaban yang sudah ditentukan (frekuensi = fi). 3. Menentukan proporsi, yaitu membagi setiap frekuensi (fi) pada responden yang bersesuaian dengan respon yang dijawab dengan banyaknya respon total (pi = fi/f). 4. Menghitung proporsi kumulatif dengan menjumlahkan proporsi (pi) secara berurutan untuk setiap respon. 5. Proporsi kumulatif (pk) dianggap mengikuti distribusi normal baku. 6. Tentukan nilai Z dengan menggunakan tabel Z 7. Tentukan nilai density untuk setiap Z yang diperoleh. 8. Hitung Scale Value (SV = Skala Nilai) dengan rumus : DensityAtLowerLimit DensityAtUpperLimit SV = AreaUnderUpperLimit AreaUnderLowerLimit 9. Menentukan nilai transformasi dengan rumus : Y (scale) = SV + |k|, dengan k = 1 - SVmin Bab III – Metodologi Penelitian 58 Nilai akhir dari subjek penelitian adalah skor total dari jawaban setiap item yang sebelumnya telah ditransformasikan ke dalam skala interval dengan menggunakan Metode Succesive Interval. 3.4.3 Norma Alat Ukur Untuk membedakan derajat intensi berhubungan seksual pranikah maka dibuat dua kelompok derajat kekuatan intensi. Pembagian dua kelompok derajat kekuatan intensi ini dimaksudkan agar terlihat perbedaan yang jelas antara responden yang memiliki intensi yang tinggi dan yang rendah. Kategorisasi ini diperoleh dari rata-rata skor, kemudian dibagi menjadi dua bagian. Bagian atas dari skor disebut dengan kelompok dengan derajat intensi yang tinggi. Sedangkan bagian bawah dari skor merupakan kelompok dengan derajat intensi rendah. Sedangkan untuk kategorisasi sikap, norma subjektif atau persepsi kontrol tingkah laku, dilakukan prosedur yang sama. Bagian atas dari skor disebut dengan kelompok dengan sikap, norma subjektif atau persepsi kontrol tingkah laku yang positif. Sedangkan bagian bawah dari skor merupakan kelompok dengan sikap, norma subjektif atau persepsi kontrol tingkah laku yang negatif. Berdasarkan prosedur diatas maka diperoleh kategori derajat kekuatan intensi sebagai berikut : 59 Bab III – Metodologi Penelitian Tabel 3.4.3a Norma Alat Ukur Intensi Rentang Skor Kategori 10-19,46 Intensi Lemah 19,47-35,76 Intensi Kuat Tabel 3.4.3b Norma Alat Ukur Sikap Rentang Skor Kategori 17.58 – 30,76 Sikap Negatif 30,77 - 47,51 Sikap Positif Tabel 3.4.3c Norma Alat Ukur Norma Subjektif Rentang Skor Kategori 23-46,04 Norma Subjektif Negatif 46,05-80,50 Norma Subjektif Positif Tabel 3.4.3d Norma Alat Ukur PBC Rentang Skor Kategori 10-17,70 PBC Negatif 17,71-31,70 PBC Positif Bab III – Metodologi Penelitian 60 3.4.4 Pengolahan Data Pengukuran Data intensi akan didapat dari penjumlahan skor total alat ukur. Skor intensi setiap responden kemudian dimasukkan kedalam kategori-kategori sesuai dengan norma alat ukur. Selanjutnya dari jumlah responden yang dimasukkan dalam kategori-kategori maka didapat persentase responden untuk setiap kategori yaitu persentase responden yang memiliki intensi tinggi, dan rendah. Skor setiap determinan pembentuk intensi juga merupakan penjumlahan dari setiap skor total alat ukur yang sesuai. Data skor tiap determinan pembentuk intensi yang didapat akan diolah sehingga mendapat gambaran kontribusi setiap dimensi intensi terhadap intensi. Untuk tujuan ini, akan dilakukan analisis multi regresi terhadap data yang didapat dari lapangan. Analisis multi regresi adalah suatu metode untuk mengkaji akibat-akibat dan besarnya akibat dari lebih dari satu variabel bebas terhadap satu variabel terikat, dengan menggunakan prinsip korelasi dan regresi (Kerlinger, 1990:929). Dari analisis multi regresi, akan didapatkan koefisien regresi untuk setiap determinan pembentuk intensi yang merupakan bobot dari setiap determinan. Determinan yang memiliki koefisien atau bobot yang paling besar merupakan determinan yang paling berkontribusi dalam membentuk intensi. 3.4.5 Reliabititas Alat Ukur Suatu tes dikatakan reliabel bila tes tersebut dapat diandalkan untuk menghasilkan skor yang sesuai dengan keadaan dari subjeknya. Oleh karena itu, hasil 61 Bab III – Metodologi Penelitian tes yang didapat seorang subjek tidak akan berubah kecuali subjek tersebut telah mengalami penambahan pengetahuan atau perubahan karakteristik. Untuk memastikan alat ukur pada penelitian ini memiliki reliabilitas yang baik, maka perlu diadakan perhitungan reliabilitas. Perhitungan reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach,yaitu: Rxx D 2 k ª ¦ Vi º «1 2 » k 1 ¬« V x ¼» Keterangan : k = Jumlah item Vi² = Varians tiap item V²x = Varians tes ¦Vi² = Jumlah varians tiap item Kriteria yang digunakan untuk mengetahui derajat reliabilitas dari alat ukur adalah kriteria Brown Thompson, yaitu: D>0,7 berarti alat ukur dapat diandalkan D<0,7 berarti alat ukur tidak dapat diandalkan 62 Bab III – Metodologi Penelitian Penghitungan reliabilitas alat ukur pada penelitian ini menggunakan program SPSS for MS Windows 15.0. Hasil uji reliabilitas terhadap alat ukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3.4.5 Hasil uji reliabilitas alat ukur Alat Ukur D Kategori Intensi 0,953 Reliabel Sikap 0,832 Reliabel Norma Subjektif 0,896 Reliabel Persepsi Kontrol Tingkah Laku 0,728 Reliabel Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa alat ukur yang dipakai pada penelitian ini mampu memberikan hasil yang konsisten atau hasil yang relatif sama jika dilakukan pengukuran kembali pada waktu yang berbeda. 3.4.6 Validitas Alat Ukur dan Analisis Item Analisis validitas menyatakan karakteristik apa yang diukur oleh alat tes (Friedenberg,1995:221). Suatu alat tes dikatakan valid jika dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Dengan menganalisa validitas dari alat tes, kita dapat mengetahui apakah karakteristik yang diukur oleh suatu alat tes memang mengukur apa yang menjadi tujuan penelitian. 63 Bab III – Metodologi Penelitian Untuk memperoleh validitas yang baik, perumusan item-item dalam kuesioner ini disusun berdasarkan pada teori yang melandasinya yaitu theory of planned behavior. Dengan cara ini, diharapkan akan diperoleh alat ukur yang memiliki validitas konstruk yang baik, yaitu ada kesesuaian yang tinggi antara konsep dengan hasil pengukuran yang diperoleh. Untuk memastikannya, maka peneliti mengkorelasikan skor setiap item dengan skor total. Skor yang didapat merupakan skala ordinal sehingga uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Rank Spearman. Pada teknis penghitungan korelasi, peneliti menggunakan bantuan program SPSS for MS Windows 15.0. Rumus yang digunakan dalam menghitung validitas melalui analisis item ini adalah: N rs 1 6¦ di2 i 1 3 N N Keterangan: r = Koefisien korelasi di = Selisih ranking jumlah setiap item dengan total item N = Jumlah item Analisis item dilakukan untuk mengetahui apakah item-item yang digunakan pada alat ukur ini adalah item yang baik. Item yang baik adalah item yang dapat dimengerti dan ditafsirkan sama oleh subjek penelitian. Penghitungan analisis item dilakukan dengan metode item-total correlation dimana skor setiap item akan dikorelasikan dengan skor total dari alat ukur. 64 Bab III – Metodologi Penelitian Kriteria yang digunakan untuk menunjukkan valid atau tidaknya alat ukur dan baik atau tidak baiknya item adalah kriteria Guilford (1956), yaitu: Tabel 3.4.6 Kriteria korelasi Guilford Besaran R Keterangan 0,00 - 0,20 Korelasi sangat rendah, item tidak dapat digunakan Korelasi rendah, item dapat digunakan namun sebaiknya 0,21 - 0,40 direvisi dahulu 0,41 – 0,70 Korelasi sedang, item dapat digunakan 0,71 – 0,90 Korelasi tinggi, item dapat digunakan 0,91 – 1,00 Korelasi sangat tinggi, item dapat digunakan Berdasarkan hasil perhitungan korelasi, diperoleh hasil bahwa dari 10 item yang mengukur intensi berhubungan seksual pranikah yang diujicobakan, seluruhnya merupakan item yang baik dan valid sehingga dapat tetap dipakai pada pengambilan data sesungguhnya. Sedangkan untuk alat ukur sikap, dari 16 item yang diujicobakan terdapat 1 item yang tidak dapat digunakan karena nilai validitasnya sangat rendah. Selanjutnya pada alat ukur norma subjektif yang terdiri dari 25 item, dan terdapat 1 item yang tidak dapat digunakan karena nilai validitasnya sangat rendah. Alat ukur terakhir yaitu alat ukur persepsi kontrol tingkah laku terdiri dari 12 item. Item yang diterima berjumlah 10 item dan 2 buah item tidak dapat diterima karena nilai Bab III – Metodologi Penelitian 65 validitasnya sangat rendah. Hasil analisis validitas secara rinci dapat dilihat pada lampiran. 3.5 Prosedur Pelaksanaan Penelitian Dalam melaksanakan penelitian ini, terdapat prosedur yang harus dilakukan yang dibagi ke dalam beberapa tahapan. Adapun tahapan-tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.5.1. Tahap Persiapan a. Melakukan observasi awal di “SMU X” Bandung untuk membicarakan masalah perizinan dan menjaring permasalahan yang ada. b. Melakukan studi kepustakaan mengenai landasan teoritis tentang variabelvariabel penelitian. c. Mempersiapkan surat izin yang diperlukan untuk melakukan penelitian dari Pihak Fakultas Psikologi UNISBA. d. Menyusun usulan rancangan penelitian sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. e. Menetapkan populasi penelitian. f. Menetapkan desain penelitian dan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Bab III – Metodologi Penelitian 66 3.5.2. Tahap Pelaksanaan Pengambilan Data a. Menyelesaikan urusan perizinan di “SMU X” Bandung. b. Memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan dan memohon kesediaan para siswa dan siswi untuk dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini kemudian mereka diberikan petunjuk mengenai tata cara pengisian kuesioner. c. Melaksanakan pengambilan data, yaitu subjek diminta untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan dan dilakukan secara individual. 3.5.3. Tahap Pengolahan Data a. Mengumpulkan kuesioner yang telah diisi oleh responden. b. Melakukan skoring dengan menilai setiap hasil kuesioner yang telah diisi oleh responden dan meranking data yang telah diperoleh pada setiap alat ukur tersebut. c. Menghitung, mentabulasikan data yang diperoleh kemudian memasukkannya dalam tabel data. d. Melakukan analisis data dengan menggunakan metode statistik untuk menguji hipotesisi penelitian dan korelasi anatara variabel penelitian. 3.5.4. Tahap Pembahasan a. Menginterpretasikan hasil analisis statistik yang dibahas berdasarkan teori dan kerangka pikir yang digunakan. Bab III – Metodologi Penelitian 67 b. Membuat kesimpulan hasil penelitian yang diperoleh dari hasil pengujian statistik. 3.5.5 Tahap Penyelesaian a. Menyusun laporan hasil penelitian. b. Memperbaiki dan menyempurnakan hasil penelitian secara keseluruhan. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini terdiri dari dua bagian; pertama menguraikan tentang hasil pengolahan data dari penelitian yang telah dilaksanakan. Kedua adalah pembahasan data penelitian berdasarkan teori dan konsep yang telah dikemukakan sebelumnya dalam kerangka pemikiran. 4.1 Hasil Penelitian Hasil yang dipaparkan meliputi distribusi frekuensi pembentuk intensi, presentase kategori intensi, perhitungan kontribusi determinan pembentuk intensi dengan analisis statistik multiple regression, gambaran intensi dikaitkan dengan pengalaman dan jenis kelamin responden. Adapun hasil penelitian dapat ditampilkan sebagai berikut : 4.1.1 Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi menurut Kategori Intensi Tabel 4.1.1 Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi menurut Kategori Intensi Norma Sikap Terhadap Subjektif PBC Terhadap Perilaku HSP Terhadap Perilaku HSP Intensi Perilaku HSP Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif 13 4 14 3 14 3 Kuat (81%) (17%) (70%) (15%) (74%) (14%) 3 20 6 17 5 18 Lemah (19%) (83%) (30%) (85%) (26%) (86%) 16 24 20 20 19 21 Jumlah (40%) (60%) (50%) (50%) (48%) (52%) HSP : Hubungan Seksual Pranikah 69 Bab IV - Hasil dan Pembahasan Tabel 4.1.1 memperlihatkan bahwa pada responden yang memiliki intensi yang kuat, sebagian besar memiliki determinan pembentuk intensi yang positif. Hal ini berarti pada sebagian besar responden yang memiliki intensi kuat untuk berhubungan seksual pranikah menyukai tingkah laku tersebut, mempresepsikan bahwa orang yang penting untuknya menyetujui jika ia melakukannya dan merasa mampu untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Sebaliknya terjadi pada kelompok intensi lemah, sebagian besar responden memiliki determinan pembentuk intensi yang negatif. Hal ini berarti pada sebagian besar responden yang memiliki intensi lemah untuk berhubungan seksual pranikah tidak menyukai tingkah laku tersebut, mempresepsikan bahwa orang yang penting untuknya tidak menyetujui jika ia melakukannya dan merasa tidak mampu untuk melakukan hubungan seksual pranikah. 4.1.2 Distribusi Frekuensi Responden menurut Kategori Intensi Grafik 4.1 Distribusi Frekuensi Responden menurut Kategori Intensi Kuat 43% Lemah 57% Kuat Lemah 70 Bab IV - Hasil dan Pembahasan Grafik 4.1 memperlihatkan bahwa Siswa SMU “X” yang menjadi sampel penelitian memiliki intensi berhubungan seksual pranikah yang berbeda. Pada sampel penelitian terdapat responden dengan intensi kuat sebesar 43% dari jumlah keseluruhan responden. Sedangkan responden yang memiliki intensi lemah sebanyak 57% dari total responden penelitian. Semakin kuat intensi, semakin besar kemungkinan individu untuk berhubungan seksual pranikah. Hal ini berarti Intensi yang kuat untuk berhubungan seksual pranikah memiliki kemungkinan besar akan kemunculan tingkah laku. Sedangkan intensi yang lemah untuk berhubungan seksual pranikah memiliki kemungkinan kecil akan kemunculan tingkah laku. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa 57% responden memiliki kemungkinan yang kecil untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Sedangkan sisanya yaitu 43% responden memiliki kemungkinan yang besar akan melakukan hubungan seksual pranikah. 4.1.3 Hasil Perhitungan Kontribusi Determinan Pembentuk Intensi dengan Analisis Statistik Multiple Regression Tabel 4.1.3 Hasil perhitungan kontribusi determinan pembentuk intensi Standardized Coefficients Determinan Sikap Terhadap Perilaku HSP Norma Subyektif Terhadap Perilaku HSP PBC Terhadap Perilaku HSP a Dependent Variable: INTENSI Beta .255 .479 .155 Bab IV - Hasil dan Pembahasan 71 Pada tabel 4.2, disajikan hasil dari perhitungan statistik multiple regression. Perhitungan statistik ini tujuannya adalah mengetahui besarnya kontribusi dari setiap determinan pembentuk intensi terhadap intensi. Sikap terhadap berhubungan seksual pranikah (X1) memiliki koefisien regresi terhadap intensi berhubungan seksual pranikah (Y) sebesar 0,255 (w1). Hal ini berarti jika skor sikap naik satu satuan akan diikuti oleh peningkatan skor intensi sebesar 0,255 dengan asumsi variabel independen lain (norma subyektif dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku) dianggap konstan. Jadi semakin positif sikap siswa SMU “X” terhadap hubungan seksual pranikah, semakin kuat pula intensi untuk berhubungan seksual pranikah. Selanjutnya norma subyektif tentang hubungan seksual pranikah (X2) memiliki koefisien regresi terhadap intensi berhubungan seksual pranikah (Y) sebesar 0,479 (w2). Hal ini berarti jika skor norma subyektif naik satu satuan akan diikuti oleh peningkatan skor intensi sebesar 0,479 dengan asumsi variabel independen lain (sikap dan persepsi terhadap kontrol tingkah laku) dianggap konstan. Jadi semakin positif norma subyektif siswa SMU ”X” terhadap hubungan seksual pranikah, semakin kuat pula intensi untuk berhubungan seksual pranikah. Determinan pembentuk intensi yang terakhir yaitu PBC (X3) memiliki koefisien regresi terhadap intensi berhubungan seksual pranikah (Y) sebesar 0,155 (w3). Hal ini berarti jika skor persepsi terhadap kontrol tingkah laku naik satu satuan akan diikuti oleh peningkatan skor intensi sebesar 0,155 dengan asumsi variabel independen lain (sikap dan norma subyektif) dianggap konstan. Jadi semakin positif persepsi terhadap kontrol tingkah laku siswa SMU “X” untuk 72 Bab IV - Hasil dan Pembahasan berhubungan seksual pranikah, semakin kuat pula intensi untuk berhubungan seksual pranikah. Untuk lebih jelasnya, dapat melihat ilustrasi berikut ini: Grafik 4.2 Kontribusi Determinan Pembentuk Intensi Sikap Terhadap Hubungan Seksual Pranikah Norma Subjektif Terhadap Hubungan Seksual Pranikah PBC Terhadap Hubungan Seksual Pranikah 0.6 0.4 0.479 0.255 0.2 0 0.155 Kontribusi Dari grafik 4.2 dapat dilihat bahwa norma subyektif terhadap hubungan seksual pranikah memiliki koefisien regresi yang paling besar. Oleh karena itu dalam konteks tingkah laku berhubungan seksual pranikah pada siswa SMU “X”, norma subyektif terhadap hubungan seksual pranikah merupakan determinan pembentuk intensi yang paling besar kontribusinya. Hal ini berarti penghayatan terhadap tekanan sosial dari significant person menyangkut boleh tidaknya berhubungan seksual pranikah, yang paling menentukan kuat atau lemahnya intensi berhubungan seksual pranikah pada sampel penelitian. 73 Bab IV - Hasil dan Pembahasan 4.1.4 Gambaran Intensi Dikaitkan dengan Pengalaman Seksual dan Jenis Kelamin Responden Grafik 4.3 Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan Pengalaman Seksual 100% 86% 81% 80% 60% 40% 19% 14% 20% 0% Pernah Tidak Pernah Kuat Lemah 4.1.4.1 Gambaran Intensi dikaitkan dengan pengalaman seksual Grafik 4.3 memperlihatkan bahwa hanya sebagian kecil responden yaitu sebanyak 14 orang dari seluruh responden yang melakukan hubungan seksual pranikah. Pada responden yang melakukan hubungan seksual pranikah, proporsi terbesar berada pada responden dengan intensi kuat. Sebaliknya pada kelompok responden yang tidak pernah melakukan hubungan seksual, proporsi terbesar berada pada responden dengan intensi lemah. 74 Bab IV - Hasil dan Pembahasan 4.1.4.2 Gambaran Intensi dikaitkan dengan jenis kelamin Grafik 4.4 Intensi Berhubungan Seksual Pranikah Berdasarkan Jenis Kelamin 87% 100% 63% 80% 60% 37% 40% 13% 20% 0% Laki-laki Perempuan Kuat Dari Lemah grafik 4.4 terlihat bahwa pada kelompok responden laki-laki presentase responden yang memiliki intensi kuat lebih besar dari pada responden perempuan. Hal ini berarti intensi kuat lebih banyak dimiliki oleh responden lakilaki daripada perempuan. Maka responden laki-laki memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan hubungan seksual pranikah dibandingkan dengan responden perempuan. 4.1.4.3 Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi menurut Jenis Kelamin Responden Seperti yang telah dipaparkan pada sub bab 4.1.4.1 mengenai penyebaran intensi berdasarkan jenis kelamin responden, didapat hasil bahwa responden lakilaki lebih banyak memiliki intensi yang kuat daripada perempuan. Menurut Fishbein dan Ajzen (1980), karakteristik responden yang dibahas pada penelitian Bab IV - Hasil dan Pembahasan 75 ini dapat dianggap sebagai faktor eksternal yang dapat menjadi faktor yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap pembentukan intensi pada individu. Menurut Fishbein dan Ajzen (1980), faktor eksternal mempengaruhi pembentukan intensi dengan cara mempengaruhi pembentukan determinan pembentuk intensi yang dimiliki oleh individu dan relativitas derajat kepentingan determinan pembentuk intensi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, intensi yang positif diindikasikan dengan determinan pembentuk intensi yang positif. Oleh karena itu, dibawah ini akan dipaparkan distribusi frekuensi determinan pembentuk intensi yang dikaitkan dengan karakteristik responden. Tabel 4.1.4.3 Distribusi Frekuensi Determinan Pembentuk Intensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden Norma subjektif PBC terhadap Sikap terhadap terhadap perilaku perilaku HSP perilaku HSP Jenis Kelamin HSP Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif 15 9 17 7 16 8 laki-laki 63% 37% 71% 29% 67% 33% 1 15 3 13 3 13 perempuan 6% 94% 19% 81% 19% 81% Dari tabel 4.3 terlihat bahwa sikap positif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah paling banyak dimiliki oleh responen laki-laki. Hal ini berarti lebih banyak responden laki-laki yang menyukai perilaku hubungan seksual pranikah. Norma subyektif yang positif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah pada responden laki-laki juga memiliki proporsi yang lebih banyak daripada responden perempuan. Hal ini berarti lebih banyak responden laki-laki yang mempunyai persepsi bahwa orang yang penting untuknya setuju jika ia melakukan hubungan seksual pranikah. Selanjutnya PBC yang positif terhadap Bab IV - Hasil dan Pembahasan 76 perilaku hubungan seksual pranikah pada responden laki-laki memiliki proporsi yang lebih banyak. Hal ini berarti lebih banyak responden laki-laki yang merasa mampu melakukan hubungan seksual pranikah. Sebaliknya presentasi determinan pembentuk intensi yang negatif paling banyak dimiliki oleh responen perempuan. Hal ini berarti lebih banyak responden perempuan daripada laki-laki yang tidak menyukai perilaku hubungan seksual pranikah, mempunyai presepsi bahwa orang yang penting untuknya tidak setuju jika ia melakukan hubungan seksual pranikah dan merasa tidak mampu melakukan hubungan seksual pranikah. 4.1.5 Data Penunjang Menurut Ajzen (1988), pada tingkatan awal analisa tingkah laku menggunakan theory of planned behavior, tingkah laku dapat diprediksi dari intensinya. Pada tingkat selanjutnya, intensi terhadap tingkah laku dijelaskan dengan istilah-istilah sikap, norma subjektif dan PBC. Selanjutnya sikap, norma subjektif dan PBC dijelaskan dengan belief-belief yang dimiliki oleh individu. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, sikap dibentuk oleh belief tentang konsekuensi dari tingkah laku yang mungkin terjadi (behavioral belief). Sedangkan norma subjektif didasari oleh belief tentang harapan orang lain terhadap dirinya yang berkaitan dengan nilai-nilai (normative belief) dan PBC terbentuk karena adanya belief tentang keberadaan faktor-faktor yang dapat memfasilitasi maupun menghalangi munculnya tingkah laku tersebut (control belief). 77 Bab IV - Hasil dan Pembahasan Dengan penjabaran diatas, maka data mengenai belief-belief yang dimiliki responden penelitian ini diperlukan untuk membantu menjelaskan intensi berhubungan seksual pranikah. Dibawah ini disajikan data penunjang berupa belief-belief yang mendasari intensi berhubungan seksual pranikah pada siswa SMU “X” Bandung. Dimana data ini di dapat dari hasil wawancara terhadap 10 orang sisiwa SMU “X”. 4.1.5.1 Behavioral Belief Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sikap terhadap berhubungan seksual pranikah dibentuk oleh behavioral beliefs yaitu belief tentang konsekuensi positif dan negatif dari tingkah laku tersebut. Tabel dibawah ini memaparkan beliefs tersebut. Pada tabel berikut ini beliefs yang terkumpul diurutkan berdasarkan banyaknya responden yang memunculkan beliefs tersebut. Beliefs yang paling sering muncul ini disebut juga dengan modal salient beliefs atau beliefs yang umum dimiliki pada sampel penelitian. Tabel 4.1.5.1a Respon Responden Mengenai Behavioral Belief Behavioral Belief No. Kategori % 1 Menambah kedekatan dengan pasangan Menguntungkan 80% 2 Penyaluran nafsu seks Menguntungkan 70% 3 Kehamilan di luar nikah Merugikan 60% 4 Tertular penyakit menular seksual Merugikan 60% 5 Dikucilkan Merugikan 50% 6 Mengikuti perkembangan pergaulan Menguntungkan 40% 7 Dipandang rendah oleh masyarakat Merugikan 30% 78 Bab IV - Hasil dan Pembahasan Dari tabel di atas terlihat bahwa peringkat pertama diduduki oleh konsekuensi yang menguntungkan yaitu menambah kedekatan dengan pasangan. Pada peringkat-peringkat selanjutnya, konsekuensi negatif atau merugikan cenderung berada pada peringkat bawah. Selain behavioral belief, sikap juga dipengaruhi oleh kekuatan evaluasi responden terhadap seberapa positif atau negatif konsekuensi tersebut. 4.1.5.2 Normative belief Norma subyektif terhadap berhubungan seksual pranikah dibentuk oleh normative beliefs yaitu belief tentang significant persons yang setuju dan tidak setuju jika responden berhubungan seksual pranikah. Tabel dibawah ini memaparkan beliefs tersebut. Tabel 4.1.5.1b Respon Responden Mengenai Normative belief Normative belief No Kategori % 1 Orang tua Tidak Setuju 60% 2 Guru Tidak Setuju 50% 3 Teman Tidak Setuju 40% 4 Teman Setuju 30% 5 Pacar Setuju 30% 6 Pacar Tidak Setuju 10% 7 Masyarakat Tidak Setuju 10% Dari tabel di atas terlihat bahwa significant person yang tidak setuju lebih banyak daripada significant person yang setuju jika responden melakukan hubungan seksual pranikah. Selain itu, keyakinan mengenai significant person yang tidak setuju cenderung berada pada peringkat atas. 79 Bab IV - Hasil dan Pembahasan 4.1.5.3 Control belief PBC hubungan seksual pranikah dibentuk oleh control beliefs yaitu belief tentang hal-hal yang dapat memudahkan atau menyulitkan terealisasikannya tingkah laku. Tabel berikut ini memaparkan beliefs tersebut. Tabel 4.1.5.1c Respon Responden Mengenai Control belief Control belief No. Kategori % 1 Perasaan berdosa Menyulitkan 90% 2 Permintaan pasangan Memudahkan 80% 3 Nafsu yang tidak terkontrol Memudahkan 60% 4 Tidak ada tempat Menyulitkan 50% 5 Ada pasangan Memudahkan 40% 6 Pengawasan ketat Menyulitkan 40% 8 Pacar tidak mau Menyulitkan 30% 9 Masyarakat masih menganggap tabu Menyulitkan 20% 10 Ada pekerja seks komersil Memudahkan 10% Jika melihat dari tabel di atas terlihat bahwa respon mengenai belief yang menyulitkan lebih banyak daripada yang memudahkan. Peringkat pertama diduduki oleh perasaan dosa sebagai hal yang menyulitkan untuk berhubungan seksual pranikah. 4.2 Pembahasan Pembahasan penelitian ini didasarkan pada theory of planned behavior melalui kerangka pemikiran yang telah dipaparkan sebelumnya. Menurut Ajzen (1988), Intensi adalah kemungkinan subyektif individu untuk melakukan tingkah laku tertentu. Intensi merupakan indikasi dari kesiapan individu untuk Bab IV - Hasil dan Pembahasan 80 memunculkan tingkah laku, sehingga dianggap sebagai determinan yang paling dekat dengan tingkah laku. Tingkah laku yang menjadi objek intensi dalam penelitian ini adalah hubungan seksual pranikah, yaitu kedekatan fisik yang ditandai dengan usaha untuk memberikan pelepasan seksual (orgasme) dengan menyatukan alat kelamin (coitus) (Hurlock,1973). Oleh karena itu, intensi untuk berhubungan seksual pranikah merupakan kemungkinan subyektif individu untuk menampilkan tingkah laku penyatuan alat kelamin (coitus) dengan pasangannya sebelum menikah. Kekuatan intensi berhubungan seksual pranikah dipengaruhi oleh determinan penyusunnya yaitu sikap terhadap hubungan seksual pranikah, norma subyektif terhadap hubungan seksual pranikah dan persepsi kontrol tingkah laku (PBC) hubungan seksual pranikah. Ketiga determinan ini menentukan kekuatan intensi yang memotivasi individu untuk berhubungan seksual pranikah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 43% dari total responden memiliki intensi yang kuat. Sehingga pada kelompok ini, hampir sebagian responden memiliki kemungkinan besar untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Berbagai kemungkinan terjadi yang menyebabkan responden memiliki intensi yang kuat. Kemungkinan tersebut bergantung pada determinan pembentuknya, yang akan dijelaskan dibawah ini. Tabel 4.1.1 memperlihatkan hasil pengukuran terhadap ketiga determinan pembentuk intensi. Pada kelompok responden dengan intensi kuat sebagian besar memiliki determinan pembentuk intensi yang positif. Sedangkan kelompok responden yang memiliki intensi yang lemah, sebagian besar memiliki determinan 81 Bab IV - Hasil dan Pembahasan pembentuk intensi yang negatif. Hal ini menandakan bahwa semakin positif sikap terhadap hubungan seksual pranikah, semakin positif norma subjektif terhadap hubungan seksual pranikah dan semakin positif persepsi kontrol tingkah laku (PBC) hubungan seksual pranikah, maka semakin besar pula kekuatan intensi untuk berhubungan seksual pranikah. Berdasarkan tabel 4.1.1, menggambarkan bahwa responden dengan intensi kuat memiliki sikap terhadap hubungan seksual pranikah yang cenderung positif. Pada kelompok responden berintensi kuat, 81% responden yang memiliki sikap positif terhadap hubungan seksual pranikah. Hal ini disebabkan karena individu pada kelompok ini memiliki keyakinan bahwa dengan melakukan hubungan seksual pranikah akan mendatangkan konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan seperti yang tertera pada tabel 4.1.5.1a yaitu menambah kedekatan dengan pasangan, dapat menyalurkan dorongan seksual, dan mengikuti perkembangan pergaulan. Konsekuensi-konsekuensi ini dievaluasi sebagai sesuatu yang mendatangkan kesenangan dan mereka menyukai perilaku tersebut. Berbeda dengan responden berintensi kuat, namun memiliki sikap negatif terhadap hubungan seksual pranikah (17%). Hal ini disebabkan karena intensi juga dipengaruhi oleh kedua determinan pembentuk intensi yang lain yaitu norma subjektif dan PBC. Sehingga walaupun seorang individu tidak menyukai tingkah laku ini, individu tersebut memiliki intensi yang kuat karena terdapat motivasi kuat untuk memenuhi harapan significant person yang setuju jika ia melakukan hubungan seksual pranikah dan dirinya merasa mampu untuk perilaku itu. Sehingga mengkompensasi kelemahan dari sikapnya. 82 Bab IV - Hasil dan Pembahasan Kekuatan intensi untuk berhubungan seksual pranikah juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tekanan sosial dari orang-orang penting baginya (significant person) yang mengharapkan individu untuk melakukan tingkah laku ini. Persepsi terhadap tekanan sosial ini disebut dengan norma subjektif (Ajzen, 1988). Pada responden dengan intensi yang kuat, terdapat 70% responden memiliki norma subjektif positif terhadap hubungan seksual pranikah. Responden berintensi kuat merasa mendapat tekanan dari orang penting disekitarnya untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Adapun orang-orang penting pada kelompok ini antara lain pasangan dan teman yang telah melakukan hubungan seksual. Responden dengan intensi kuat lebih termotivasi untuk memenuhi harapan significant person yang setuju jika responden melakukan hubungan seksual pranikah. Oleh karena itu responden berintensi kuat merasakan adanya tekanan untuk melakukan hubungan seksual pranikah dan berniat melakukannya. Maka terbentuklah intensi yang kuat untuk berhubungan seksual pranikah. Kemudian terdapat 15% responden berintensi kuat namun memiliki norma subjektif yang negatif. Hal ini disebabkan karena intensi juga dipengaruhi oleh sikap dan PBC. Sehingga walaupun seorang individu diharapkan untuk menjauhi perilaku ini oleh significant person yang tidak setuju terhadap perilaku ini, individu tersebut memiliki intensi kuat karena dirinya menyukai hubungan seksual pranikah atau merasa mampu untuk melakukannya. Sehingga mengkompensasi kelemahan dari norma subjektifnya terhadap hubungan seksual pranikah. Bab IV - Hasil dan Pembahasan 83 Norma subyektif yang negatif terbentuk karena responden merasa dirinya tidak mendapat tekanan dari orang penting disekitarnya untuk melakukan hubungan seksual pranikah, bahkan tekanan sosial yang diterimanya adalah untuk menjauhkan diri dari perilaku hubungan seksual pranikah. Walaupun diantara orang penting disekitarnya ada yang memintanya untuk berhubungan seksual pranikah, responden dengan intensi lemah lebih termotivasi memenuhi tuntutan orang-orang yang penting bagi mereka seperti orangtua, guru, maupun temantemannya yang menekankan untuk menghindari perilaku tersebut. Hal ini dikarenakan significant person yang tidak setuju dianggap lebih penting untuknya. Maka dari itu terbentuklah intensi yang lemah untuk berhubungan seksual pranikah. Menurut Ajzen (1988), Pada umumnya seorang individu lebih berniat untuk melakukan tingkah laku jika ia merasa mampu untuk melakukannya. Jika seorang individu merasa dirinya tidak mungkin bisa melakukannya individu tersebut cenderung untuk tidak berniat melakukannya. Persepsi terhadap kemampuan untuk melakukan hubungan seksual pranikah disebut dengan persepsi terhadap kontrol tingkah laku (PBC). Tabel 4.1.1 memperlihatkan pada responden dengan intensi kuat untuk berhubungan seksual pranikah, 74% responden memiliki PBC positif. Responden berintensi kuat dengan PBC positif terhadap hubungan seksual pranikah percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan hubungan seksual pranikah karena tingkah laku ini mudah untuk dilakukan. Karena mampu untuk melakukannya, maka responden merasa mungkin berhubungan seksual pranikah jika ada kesempatan seperti rumah yang sedang Bab IV - Hasil dan Pembahasan 84 kosong, ataupun individu memiliki pasangan yang memintanya untuk melakukan hubungan seksual. Sehingga intensinya tinggi untuk berhubungan seksual pranikah. Selain itu, terdapat 14% responden berintensi kuat namun memiliki PBC yang negatif. Hal ini disebabkan karena intensi juga dipengaruhi oleh sikap dan norma subjektif. Sehingga walaupun seorang individu tidak merasa mampu untuk melakukan hubungan seksual pranikah, namun responden menyukainya atau memiliki motivasi yang tinggi untuk memenuhi harapan significant person yang setuju jika ia berhubungan seksual pranikah. Pada responden dengan intensi yang lemah, 86% responden memiliki PBC negatif. Responden berintensi lemah dengan PBC negatif terhadap hubungan seksual pranikah berpandangan bahwa dirinya tidak mampu untuk melakukan hubungan seksual pranikah karena tingkah laku ini sulit untuk dilakukan. Kesulitan-kesulitan ini muncul karena adanya hambatan yang dirasakan responden seperti adanya perasaan berdosa, tidak adanya tempat untuk melakukan perilaku tersebut, dan adanya pengawasan yang ketat dari orangtua. Sehingga mereka meniadakan kemungkinan untuk berhubungan sesksual pranikah. Karena responden merasa tingkah laku ini sulit untuk dilakukan, maka dirinya tidak berniat untuk berusaha melakukannya. Oleh karena itu intensinya lemah untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Selanjutnya terlihat bahwa hanya 26% responden berintensi lemah yang memiliki PBC positif. Pada kelompok ini responden merasa mampu untuk melakukan hubungan seksual pranikah namun tidak menyukainya atau responden 85 Bab IV - Hasil dan Pembahasan berniat akan menjauhi tingkah laku ini untuk memenuhi harapan significant person yang tidak setuju jika ia berhubungan seksual pranikah. Sehingga intensinya lemah untuk berhubungan seksual pranikah. Berdasarkan penjelasan ketiga determinan di atas, maka diperoleh hasil sebanyak 57% dari responden penelitian memiliki intensi yang lemah dan 43% untuk berhubungan seksual pranikah. Dari respon yang diberikan oleh responden berintensi yang lemah pada alat ukur yang digunakan, secara umum responden dengan intensi yang lemah tidak memiliki keinginan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Responden dengan intensi lemah juga tidak berniat untuk melakukan hubungan seksual pranikah, tidak tertarik untuk melakukan hubungan seksual pranikah, tidak merencanakan untuk berhubungan seksual pranikah, dan tidak akan berusaha untuk berhubungan seksual pranikah. Oleh karena itu kemungkinan kelompok ini untuk melakukan hubungan seksual pranikah cenderung kecil walaupun mendapatkan kesempatan untuk melakukannya. Sedangkan sisanya yaitu 43% subjek memiliki intensi kuat untuk berhubungan seksual pranikah. Pada responden dengan intensi kuat, respon yang diberikan kebalikannya. Secara umum responden merencanakan untuk berhubungan seksual pranikah, berniat untuk melakukan hubungan seksual pranikah, tertarik untuk melakukan hubungan seksual pranikah, memiliki keinginan untuk melakukan hubungan seksual pranikah, merasa bahwa suatu saat akan melakukan hubungan seksual pranikah dan akan berusaha untuk berhubungan seksual pranikah. Oleh karena itu terdapat kemungkinan besar 86 Bab IV - Hasil dan Pembahasan bahwa kelompok ini akan melakukan hubungan seksual pranikah jika mendapatkan kesempatan untuk melakukan tingkah laku ini. Penjelasan diatas sesuai dengan temuan mengenai pengalaman seksual responden pada grafik 4.3 yang memperlihatkan bahwa sebagian besar yaitu 65% dari seluruh responden tidak berhubungan seksual pranikah. Hal ini dikarenakan intensi yang dimiliki oleh sebagian besar responden penelitian adalah intensi yang lemah. Selanjutnya pada kelompok yang tidak pernah berhubungan seksual pranikah, sebagian besar yaitu 81% dari kelompok ini memiliki intensi yang lemah. Sebaliknya pada kelompok yang pernah berhubungan seksual pranikah, terdapat 86% subjek yang memiliki intensi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan intensi berhubungan seksual pranikah yang dimiliki oleh responden dapat memprediksi keputusan responden mengenai apakah dirinya akan berhubungan seksual pranikah atau tidak. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa ketiga determinan menentukan kekuatan dari intensi responden untuk berhubungan seksual pranikah. Namun determinan manakah yang paling mempengaruhi kekuatan intensi? Untuk mengetahuinya, dilakukan perhitungan statistik multiple regression yang hasilnya terdapat pada tabel 4.1.3. Dari hasil perhitungan tersebut, terlihat bahwa ketiga determinan pembentuk intensi memiliki dampak yang signifikan terhadap pembentukkan intensi. Namun norma subyektif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah memiliki kontribusi terbesar terhadap kekuatan intensi responden. Maka dalam hal perilaku hubungan seksual pranikah, penghayatan siswa mengenai ada atau tidaknya tekanan sosial (significant person) yang Bab IV - Hasil dan Pembahasan 87 mengharapkan individu untuk melakukan tingkah laku hubungan seksual pranikah merupakan hal yang paling dipertimbangkan oleh responden. Nilai kontribusi ini berlaku spesifik untuk tingkah laku dan populasi tertentu. Jadi nilai kontribusi ini hanya berlaku untuk tingkah laku berhubungan seksual pranikah pada siswa SMU “X” Bandung. Dari data yang didapat, sebanyak 50% responden memiliki norma subyektif yang positif terhadap hubungan seksual pranikah. Karena norma subyektif terhadap hubungan seksual pranikah adalah kontribusi yang paling dominan maka dapat dipastikan hampir sebagian sampel penelitian memiliki intensi yang kuat untuk berhubungan seksual pranikah. Akan tetapi bila dilihat dari hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa sebagian besar sampel penelitian memiliki intensi yang lemah. Hal ini erat kaitannya dengan sampel penelitian yang merupakan pelajar SMU. Dimana mereka lebih menghayati bahwa hambatan untuk melakukan hubungan seksual lebih besar, seperti perasaan dosa dan tidak adanya tempat untuk melakukan hal tersebut. Maka dari itu, pada penelitian ini PBC memiliki koefisien regresi yang paling kecil. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini, akan disajikan kesimpulan dari hasil penelitian mengenai intensi berhubungan seksual pranikah pada siwa SMU “X”. Kemudian akan diuraikan beberapa saran yang diharapkan dapat memenuhi kegunaan dari penelitian ini. 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Norma subyektif terhadap tingkah laku hubungan seksual pranikah adalah determinan yang paling berkontribusi terhadap kekuatan intensi berhubungan seksual pranikah. Hal ini berarti orang-orang yang penting bagi siswa, yang paling menentukan kuat atau lemahnya intensi berhubungan seksual pranikah dari siswa. 2. Sebanyak 40% siswa memiliki sikap yang positif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah. Hal ini berarti hampir sebagain dari siswa memberikan evaluasi yang positif terhadap konsekuensi-konsekuensi dari tingkah laku hubungan seksual pranikah. Sehingga mereka cenderung menyukai perilaku berhubungan seksual pranikah. 3. Sebanyak 50% siswa memiliki norma subyektif yang positif mengenai perilaku hubungan seksual pranikah. Hal ini berarti bahwa sebagian dari jumlah responden menganggap bahwa orang-orang yang penting Bab V – Kesimpulan dan Saran 89 untuk mereka menyetujui dan mengharapkan mereka melakukan hubungan seksual pranikah. Selain itu mereka lebih termotivasi untuk memenuhi harapan orang-orang yang menyetujui dari pada orangorang yang meminta mereka untuk menghindari perilaku hubungan seksual pranikah. 4. Sebanyak 48% siswa memiliki persepsi terhadap kontrol tingkah laku yang positif. Hal ini berarti bahwa siswa-siswa tersebut mengganggap dirinya mampu melakukan hubungan seksual pranikah. 5. Jumlah responden yang memiliki intensi berhubungan seksual pranikah yang kuat pada penelitian ini sebanyak 43%. Dimana pada penelitian ini hampir sebagian siswa memiliki keinginan atau kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual pranikah, sehingga memungkinkan untuk melakukan perbuatan tersebut. 5.2 Saran Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa norma subyektif terhadap hubungan seksual pranikah yang paling memberikan kontribusi terhadap kekuatan intensi berhubungan seksual pranikah. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk membentuk norma subyektif negatif terhadap hubungan seksual pranikah, dengan cara merubah beliefs melalui pemberian informasi (Ajzen dan Fishbein, 1975). Saran-saran yang dapat diberikan antara lain: 1. Orangtua diharapkan mampu membangun komunikasi secara terbuka tentang seksualitas pada remaja. Remaja akan lebih terdidik tentang Bab V – Kesimpulan dan Saran 90 seksualitas jika percakapan mereka dengan orangtua terjadi secara interaktif atau dua arah daripada percakapan yang didominasi oleh orangtua (Lefkowitz, Romo, Corona, Au & Sigman, 2000 dalam Steinberg, 2002). Orang tua harus menyadari bahwa remaja mendapatkan banyak informasi tentang seksualitas di luar rumah seperti dari teman maupun media massa, sehingga penting bagi orangtua untuk mengetahui bagaimana pandangan remaja tentang hubungan seksual pranikah sehingga dapat diarahkan menjadi informasi yang benar dan tepat. 2. Orang tua diharapkan mampu memberikan informasi terhadap remaja mengenai konsekuensi-konsekuensi negatif kepada remaja, sehingga remaja memiliki sikap dan norma subyektif yang negatif tentang hubungan seksual pranikah. 3. Bagi remaja, saran yang dapat diberikan adalah untuk mencari informasi yang benar mengenai hubungan seksual pranikah terutama mengenai konsekuensi-konsekuensi negatif dari tingkah laku ini. Selanjutnya diarapkan remaja dapat menjadikan significant person yang tidak setuju dengan hubungan seksual pranikah dapat diperioritaskan. 4. Pada pihak sekolah, diharapkan mengadakan sarana yang memberikan muatan-muatan kesehatan reproduksi terutama pada pergaulan sehat remaja. Karena informasi ini akan akan membantu remaja membentuk norma subyektif yang negatif mengenai hubungan seksual pranikah. DAFTAR PUSTAKA Ajzen, Icek. 2005. Attitude, Personality and Behavior. Miton Keynes : Open University Press. Fishbein, M & Ajzen. I. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior, an Intro in Theory and Research. Addison-wesley Publishing Company. Reading, Massacusetts. Francis, Jillian. J. 2004. Constructing Questionnaires Based on The Theory of Planned Behavior. A Manual for Health Services Reasearch Centre For Health Services Reasearch. Newcastle, United Kingdom. http://www.people.umass.edu/aizen/pdf/tpb.intervention.pdf http://www.people.umass.edu/aizen/pdf/tpb.measurement.pdf Hurlock, E.B. 1973. Adolescent Development. Mc Graw-Hill. New York. Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan edisi kelima. Erlangga. Jakarta. Santrock, J. W. 2003. Adolescence, Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga. Sarwono, Sarlito W, Prof. Dr. 2004. Psikologi Remaja. Cetakan kedelapan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Steinberg, L. D. 2002. Adolescence. International edition. Sixth edition. New York : McGraw-Hill. Sudjana. 1990. Metode Statistika Edisi keenam. Bandung : Penerbit Tarsito. LAMPIRAN LAMPIRAN A Skor Interval Untuk Setiap Item SKOR INTERVAL UNTUK SETIAP ITEM Item 1 2 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 1 2 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 3 1,66 1,98 1,92 1,60 1,99 2,18 1,77 1,76 1,98 1,67 1,60 1,66 2,05 1,81 1,74 1,95 1,64 2,11 2,00 1,75 1,75 1,95 2,33 2,13 1,71 1,68 1,66 1,74 1,74 1,91 1,72 1,55 1,93 1,83 1,90 1,71 1,95 1,76 2,09 1,94 1,67 1,71 1,53 1,94 1,60 1,53 1,73 1,90 1,90 1,87 1,88 1,97 1,93 1,91 1,93 2,07 1,93 4 2,16 2,56 2,47 1,91 2,63 2,71 2,21 2,49 2,76 2,00 2,12 2,03 2,76 2,42 2,23 2,56 2,27 2,60 2,52 2,48 2,22 2,21 2,99 1,53 2,83 2,42 2,33 2,38 2,32 2,47 2,30 2,42 1,97 2,73 2,60 2,66 2,31 2,43 2,11 2,76 2,59 2,18 2,15 2,53 2,69 2,11 1,71 2,28 2,26 2,34 2,22 2,27 2,53 2,35 2,42 2,46 2,64 2,39 5 2,99 2,95 3,07 2,43 3,34 3,01 2,55 3,22 3,81 3,27 3,06 2,44 3,37 3,02 2,99 3,00 2,92 3,06 3,30 2,63 2,52 3,98 3,22 3,08 2,78 3,10 3,17 3,31 3,26 2,64 3,46 3,46 3,18 2,96 2,53 3,46 3,08 2,66 2,65 3,53 3,27 2,63 1,97 3,49 2,85 2,95 2,85 2,95 3,18 2,93 3,12 3,15 3,43 2,81 4,11 3,67 3,97 3,55 3,86 3,67 3,34 4,09 4,29 3,56 3,72 4,50 3,85 3,67 3,80 3,64 3,73 4,20 3,48 3,23 3,91 3,87 3,92 4,05 3,91 3,17 3,86 3,95 3,85 4,29 4,29 4,23 3,77 3,46 4,14 3,89 3,48 3,61 4,46 4,26 3,59 3,38 3,73 3,73 3,95 4,07 3,94 3,85 3,94 4,03 3,52 LAMPIRAN B Data Mentah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 1 4,11 1,00 2,16 4,11 2,99 2,99 2,99 2,99 4,11 2,16 2,99 1,66 2,99 2,99 2,16 1,66 2,99 1,00 2,99 1,00 2,16 4,11 2,16 2,99 2,16 2,99 2,99 2,16 2,99 2,16 4,11 2,99 1,00 1,00 2,16 1,66 2,16 4,11 2,99 1,00 2 3,67 1,00 1,00 3,67 3,67 1,98 2,95 2,56 2,95 1,98 2,56 1,98 3,67 2,95 1,98 1,00 3,67 1,00 3,67 1,00 1,98 2,56 1,00 1,98 1,00 3,67 1,98 1,98 1,98 2,56 1,00 1,98 2,56 1,00 1,98 3,67 2,95 2,56 2,56 1,00 3 1,00 2,47 3,07 3,97 2,47 1,92 3,07 1,92 3,97 1,00 1,92 1,92 3,07 3,07 1,92 1,00 1,92 1,00 3,07 1,00 1,00 1,92 1,00 1,92 2,47 3,07 1,00 2,47 1,00 3,07 2,47 2,47 3,97 1,00 1,92 1,00 2,47 3,07 3,97 2,47 4 1,00 1,60 2,43 3,55 1,91 1,00 1,91 3,55 1,00 1,00 1,60 1,60 1,60 1,91 3,55 1,00 1,00 1,00 2,43 1,00 1,60 1,60 1,00 1,00 1,60 1,00 1,00 1,00 1,60 1,00 3,55 1,60 1,00 1,00 1,60 1,00 1,91 1,00 1,00 1,00 6 2,63 1,00 2,63 1,99 1,00 2,63 3,86 1,00 1,00 1,99 2,63 1,00 1,99 3,86 1,00 1,00 1,00 1,00 1,99 2,63 1,00 2,63 1,00 2,63 1,00 2,63 1,00 2,63 1,00 3,34 2,63 2,63 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,99 1,00 1,99 INPUT SKOR ALAT UKUR No. 7 1,00 1,00 3,67 2,71 2,18 2,71 3,67 1,00 1,00 2,18 2,18 1,00 1,00 3,67 1,00 1,00 1,00 1,00 2,18 2,18 1,00 3,01 1,00 2,71 1,00 3,01 1,00 2,18 1,00 2,18 2,18 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,18 1,00 2,18 8 3,34 2,21 2,55 3,34 2,21 1,00 3,34 1,77 2,21 2,55 1,00 1,00 2,21 3,34 1,00 1,00 1,00 1,00 3,34 1,00 1,00 2,55 1,00 1,00 1,00 1,00 3,34 2,21 3,34 2,55 2,21 2,21 2,55 1,77 3,34 2,21 3,34 1,00 1,00 1,77 29 2,83 1,00 2,83 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,83 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,83 1,00 2,13 1,00 1,00 2,83 1,00 1,00 1,00 2,13 1,00 1,00 1,00 2,83 2,83 1,00 1,00 1,00 2,83 2,13 2,83 1,00 1,00 1,00 ATB 30 2,42 1,71 1,71 3,91 3,91 2,42 3,91 2,42 3,91 3,08 3,91 1,00 2,42 3,91 1,00 2,42 3,91 2,42 3,91 3,91 2,42 3,91 2,42 2,42 1,00 3,08 2,42 3,08 2,42 3,08 3,91 1,71 1,00 3,08 2,42 3,91 3,08 1,71 2,42 2,42 31 1,00 1,00 2,33 2,33 2,33 1,00 2,78 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,78 1,00 1,00 1,00 3,87 1,68 1,00 1,68 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,33 1,00 2,33 1,00 1,00 2,33 1,00 1,00 1,00 1,00 2,33 1,00 1,68 1,00 32 2,38 1,66 2,38 3,92 3,92 1,00 3,10 2,38 2,38 1,00 3,92 2,38 1,00 3,92 2,38 2,38 3,92 2,38 3,10 2,38 3,10 3,92 1,00 1,00 2,38 3,10 2,38 2,38 2,38 3,10 3,92 2,38 3,92 3,92 2,38 3,92 2,38 1,66 3,10 1,66 33 1,74 1,74 1,00 2,32 4,05 1,00 3,17 2,32 2,32 1,00 3,17 2,32 1,00 3,17 2,32 1,00 4,05 1,00 3,17 1,00 2,32 2,32 1,00 1,00 2,32 3,17 2,32 3,17 2,32 3,17 2,32 2,32 1,00 2,32 1,00 4,05 2,32 2,32 1,00 1,74 34 2,47 1,00 2,47 2,47 2,47 1,00 3,31 2,47 2,47 2,47 2,47 1,00 1,00 3,91 3,91 2,47 2,47 1,00 2,47 2,47 2,47 2,47 1,00 1,00 3,91 3,31 1,00 1,74 1,00 2,47 2,47 1,74 1,00 2,47 1,00 3,91 2,47 2,47 1,00 1,74 35 2,30 1,00 2,30 3,17 3,17 3,17 3,17 1,00 2,30 1,91 2,30 3,17 1,00 3,17 1,00 3,17 2,30 2,30 1,91 1,00 1,91 3,17 1,00 3,17 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,30 1,00 1,00 1,00 1,00 2,30 2,30 1,00 1,00 1,00 36 2,42 1,00 3,26 1,72 2,42 1,00 3,86 2,42 2,42 1,00 2,42 1,00 1,00 3,86 1,72 2,42 3,26 2,42 2,42 2,42 2,42 2,42 1,00 1,00 1,00 2,42 1,00 2,42 1,00 2,42 2,42 2,42 3,86 2,42 1,00 3,86 2,42 2,42 1,00 1,00 9 2,49 2,49 1,76 1,00 1,00 1,00 4,09 1,00 1,00 3,22 1,76 1,76 1,00 4,09 2,49 3,22 2,49 2,49 3,22 1,76 2,49 3,22 1,76 1,00 2,49 2,49 1,00 4,09 1,00 2,49 2,49 1,76 3,22 2,49 2,49 2,49 4,09 2,49 1,76 1,76 10 1,00 1,98 1,98 2,76 1,98 1,00 3,81 1,00 1,00 2,76 2,76 2,76 1,98 3,81 3,81 1,98 2,76 1,98 1,98 1,00 1,98 1,98 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,76 3,81 2,76 2,76 1,98 1,00 2,76 1,98 2,76 1,98 11 1,00 1,00 2,00 1,00 3,27 1,00 3,27 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,00 3,27 1,00 1,00 1,00 1,00 1,67 1,00 1,00 1,67 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,67 1,00 1,00 1,00 12 1,60 1,00 2,12 1,00 4,29 1,00 4,29 1,00 1,60 2,12 2,12 2,12 2,12 4,29 2,12 1,00 2,12 1,60 1,60 1,60 1,60 1,60 1,00 1,00 1,60 1,60 1,60 1,60 1,60 1,60 3,06 1,60 1,60 3,06 1,60 1,00 2,12 1,60 1,60 1,60 13 1,66 1,00 2,44 1,00 2,03 1,00 3,56 1,00 1,00 2,03 1,00 1,66 1,00 3,56 1,00 1,00 1,00 1,66 1,00 1,00 1,66 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,66 2,03 1,66 1,00 2,03 1,00 3,56 1,00 1,66 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 15 1,00 1,00 2,76 2,76 3,72 3,72 3,72 2,76 1,00 2,76 2,05 2,76 1,00 3,72 1,00 1,00 2,05 2,76 2,76 1,00 1,00 2,76 1,00 1,00 1,00 2,05 2,05 2,05 2,05 2,76 1,00 1,00 2,76 1,00 1,00 2,76 2,05 2,05 2,76 1,00 16 2,42 1,00 2,42 2,42 4,50 1,00 3,37 1,00 2,42 1,81 3,37 2,42 3,37 3,37 1,00 1,00 1,00 1,81 2,42 1,00 1,00 2,42 1,00 1,00 2,42 1,81 1,00 2,42 1,00 3,37 2,42 2,42 2,42 3,37 2,42 2,42 3,37 1,81 1,81 3,37 17 2,23 1,00 1,00 2,23 1,00 1,00 3,85 1,00 3,85 1,00 2,23 2,23 2,23 3,02 3,02 1,00 1,00 3,85 3,02 1,00 1,00 2,23 1,00 1,00 3,02 1,74 1,00 1,00 1,00 3,02 2,23 2,23 1,00 2,23 2,23 2,23 2,23 2,23 3,02 2,23 18 3,67 1,00 2,56 1,95 3,67 1,00 3,67 1,00 3,67 1,95 1,95 2,56 1,95 3,67 2,99 1,95 1,00 3,67 2,99 1,00 1,95 2,56 1,00 1,00 3,67 1,95 1,00 1,95 1,00 2,99 1,00 1,95 2,56 2,56 2,56 3,67 2,56 2,56 1,95 2,56 19 3,80 2,27 2,27 2,27 2,27 1,00 3,80 1,00 3,80 2,27 3,80 3,00 1,00 3,80 1,00 2,27 2,27 2,27 3,00 1,64 1,00 2,27 1,00 1,00 2,27 1,00 3,00 2,27 3,00 3,80 3,80 2,27 3,00 1,64 2,27 3,80 3,00 2,27 2,27 2,27 20 2,60 1,00 3,64 1,00 1,00 1,00 3,64 1,00 3,64 2,11 2,11 1,00 2,11 2,92 2,92 1,00 1,00 1,00 2,11 1,00 1,00 2,11 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,11 1,00 2,92 3,64 2,11 2,92 1,00 2,11 2,60 2,60 2,11 2,11 2,11 21 2,00 1,00 2,00 2,00 3,73 1,00 3,06 1,00 3,73 2,52 2,00 1,00 1,00 3,06 2,52 1,00 1,00 1,00 2,00 1,00 1,00 2,52 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,00 1,00 2,52 3,73 1,00 3,06 2,52 2,00 1,00 2,52 2,52 2,52 1,00 SN 37 1,00 1,00 1,55 1,55 1,97 1,00 2,64 1,00 1,00 1,55 1,00 1,00 1,00 3,95 1,55 1,55 1,00 1,00 1,00 1,55 1,55 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,55 1,00 1,00 1,00 1,55 1,00 1,00 1,97 1,55 1,97 1,00 1,00 1,00 39 1,93 1,00 2,73 1,00 2,73 1,00 3,85 1,00 1,93 1,93 1,93 1,93 1,93 3,85 1,00 2,73 1,93 3,85 1,00 2,73 2,73 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,73 1,00 1,00 2,73 1,93 2,73 1,00 1,93 1,93 1,93 1,93 1,93 1,00 40 2,60 1,00 1,83 2,60 2,60 1,00 3,46 3,46 4,29 2,60 3,46 1,83 2,60 3,46 1,83 2,60 2,60 1,83 1,83 4,29 2,60 2,60 2,60 1,00 1,00 1,00 2,60 1,83 2,60 2,60 2,60 2,60 1,00 1,83 2,60 1,00 3,46 4,29 3,46 1,00 41 1,90 1,90 3,46 1,00 2,66 1,00 3,46 1,00 4,29 2,66 3,46 1,90 1,00 3,46 4,29 2,66 2,66 1,90 2,66 4,29 2,66 1,90 2,66 1,00 1,90 1,00 2,66 1,00 2,66 2,66 2,66 1,90 1,00 1,90 2,66 2,66 2,66 3,46 3,46 1,90 42 1,00 2,31 1,71 2,31 4,23 1,00 3,18 1,71 4,23 3,18 2,31 2,31 1,00 4,23 3,18 3,18 4,23 2,31 3,18 2,31 1,71 2,31 1,71 1,00 2,31 1,00 3,18 2,31 3,18 2,31 2,31 3,18 1,00 2,31 3,18 2,31 3,18 3,18 1,00 3,18 43 2,43 1,00 3,77 2,43 3,77 1,00 2,96 1,00 3,77 1,00 2,96 1,00 1,00 2,96 1,95 1,00 1,00 1,00 2,96 1,00 1,00 2,43 1,00 1,00 1,95 1,95 1,95 2,43 1,95 2,96 2,43 1,95 3,77 1,95 1,95 2,43 2,96 2,43 1,00 1,00 44 1,00 1,76 2,11 1,76 3,46 1,00 1,76 3,46 3,46 1,76 1,76 3,46 2,53 2,53 1,00 1,00 1,00 1,00 1,76 1,00 3,46 2,11 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,76 1,00 2,53 2,11 1,76 2,53 3,46 2,53 2,11 2,11 1,00 3,46 3,46 45 2,09 1,00 2,09 2,76 2,76 1,00 2,09 1,00 4,14 2,09 2,76 1,00 1,00 3,46 2,76 1,00 1,00 1,00 2,09 1,00 1,00 2,76 1,00 1,00 1,00 3,46 1,00 1,00 1,00 2,76 2,76 2,09 2,09 1,00 2,09 1,00 2,76 2,09 1,00 1,00 46 3,08 1,94 1,94 2,59 1,00 1,00 3,89 1,94 3,89 3,08 1,00 3,89 2,59 3,89 1,00 1,94 3,08 1,00 2,59 3,08 1,94 2,59 3,89 1,00 1,94 1,00 2,59 3,08 2,59 3,08 3,89 3,08 2,59 2,59 2,59 1,00 3,08 1,00 3,08 3,08 47 2,18 1,00 2,18 1,00 3,48 1,00 2,66 3,48 2,18 2,18 1,00 1,00 1,00 3,48 2,18 3,48 2,18 1,67 1,67 1,00 1,00 1,67 3,48 1,00 1,00 1,00 2,18 2,66 2,18 2,18 1,00 3,48 1,67 2,18 1,00 2,18 2,66 1,00 3,48 1,00 48 2,65 3,61 1,00 1,71 3,61 1,00 2,15 3,61 1,71 1,71 1,00 1,00 1,00 2,65 1,71 1,00 1,00 1,00 2,15 1,00 1,71 2,15 1,00 1,00 1,71 1,00 1,00 1,71 1,00 2,15 2,65 2,15 2,15 1,71 1,00 3,61 2,65 2,15 3,61 1,00 22 1,75 1,75 1,00 4,20 4,20 2,48 3,30 2,48 2,48 3,30 4,20 2,48 2,48 4,20 2,48 1,00 3,30 2,48 2,48 2,48 1,75 2,48 1,00 1,00 2,48 1,00 2,48 1,75 2,48 3,30 4,20 2,48 4,20 3,30 3,30 1,75 3,30 3,30 3,30 2,48 23 2,22 3,48 2,22 3,48 3,48 1,00 2,63 1,75 2,63 1,75 2,63 1,00 1,75 2,63 1,00 1,00 1,00 1,00 2,22 1,00 3,48 2,22 3,48 1,00 1,00 2,63 1,00 1,00 1,00 2,22 2,22 1,75 1,00 1,75 1,00 2,22 2,22 1,00 3,48 3,48 24 2,52 1,00 3,23 2,21 3,23 1,00 2,52 1,00 3,23 1,95 1,95 1,00 1,00 2,52 1,00 2,21 1,00 1,00 2,21 1,00 1,00 3,23 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,95 1,00 2,52 3,23 1,95 1,00 3,23 1,00 3,23 2,21 1,00 1,00 1,00 27 2,99 1,00 2,33 2,33 2,99 1,00 2,99 2,99 1,00 1,00 1,00 2,99 1,00 2,99 1,00 1,00 1,00 1,00 3,98 2,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,99 1,00 1,00 1,00 2,99 2,99 2,99 2,99 1,00 2,99 2,33 1,00 1,00 PBC 28 1,00 1,00 1,53 1,00 1,00 1,00 3,22 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 3,22 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 49 2,53 1,53 2,53 2,53 4,46 1,00 2,53 1,53 2,53 2,53 1,53 2,53 4,46 2,53 2,53 2,53 2,53 1,53 1,53 1,00 2,53 2,53 1,00 1,00 2,53 1,53 1,00 1,00 1,00 2,53 1,53 1,53 1,53 2,53 2,53 1,53 3,53 2,53 1,00 2,53 50 1,00 1,00 3,27 1,00 4,26 1,00 3,27 1,94 1,00 2,69 1,94 2,69 2,69 3,27 1,94 1,00 1,00 2,69 2,69 2,69 1,94 1,94 1,00 1,00 1,94 1,00 1,00 2,69 1,00 1,94 2,69 1,94 3,27 1,00 2,69 1,00 3,27 1,00 1,00 1,00 51 1,00 1,00 1,00 2,11 3,59 1,00 2,11 1,60 3,59 1,60 1,60 1,00 1,60 2,11 1,00 1,00 1,00 1,00 1,60 1,00 1,60 2,11 1,00 1,00 1,00 2,11 1,00 2,11 1,00 2,63 2,63 2,11 2,11 2,11 3,59 1,00 3,59 1,00 1,00 1,00 52 1,00 1,00 1,71 1,00 1,00 1,00 3,38 1,00 1,00 1,53 1,00 1,00 1,00 3,38 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,53 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,53 1,97 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 53 1,00 1,00 1,73 1,73 3,49 1,00 3,49 1,73 1,00 1,73 1,00 1,00 1,00 3,49 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,73 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 2,28 1,00 1,00 2,28 2,28 1,73 1,00 1,73 1,73 2,28 1,00 1,00 1,00 54 1,00 1,90 2,85 1,00 3,73 1,00 2,85 1,00 3,73 1,90 1,00 1,00 1,00 2,85 2,26 1,00 1,00 3,73 2,26 2,85 1,00 1,90 1,00 1,00 2,85 1,00 1,00 2,26 1,00 2,26 2,26 1,00 2,26 2,85 1,00 2,26 2,85 1,90 1,00 1,00 55 1,00 1,00 1,90 1,00 3,73 1,00 2,95 1,00 3,73 2,34 1,00 1,00 1,00 2,95 1,00 1,00 1,00 2,34 2,34 3,73 1,00 2,34 1,00 1,00 2,34 1,00 1,00 2,34 1,00 2,34 2,95 1,90 2,95 2,34 1,90 2,34 2,95 1,90 1,00 1,00 56 2,85 1,00 2,85 1,87 3,95 1,00 2,85 1,00 2,85 2,22 2,22 1,00 1,87 2,85 1,87 1,00 1,00 2,22 2,85 3,95 1,87 2,85 1,00 1,00 1,87 1,00 1,00 2,85 1,00 2,85 2,85 2,22 2,22 2,85 1,87 3,95 2,85 1,00 1,00 1,00 57 4,07 1,00 2,27 1,88 4,07 1,00 2,95 1,00 2,27 2,27 2,95 1,00 1,00 2,95 1,88 1,00 1,00 1,88 2,95 1,00 1,88 2,95 1,00 1,00 2,27 1,00 1,00 2,95 1,00 2,95 2,95 1,88 2,27 2,95 1,88 2,95 2,95 2,27 1,00 1,00 59 2,93 1,00 3,85 1,93 3,85 1,00 2,93 1,00 2,35 1,93 2,35 1,00 1,00 2,93 1,93 1,00 2,93 1,00 2,93 1,00 1,00 2,35 1,00 1,00 1,93 1,00 1,00 2,35 1,00 2,35 2,93 2,35 2,35 2,93 1,00 3,85 2,93 1,93 1,00 1,93 INTENSI 58 1,97 1,00 3,94 1,00 3,94 1,00 3,18 1,00 2,53 1,97 2,53 1,00 1,97 3,18 1,00 1,00 1,97 1,97 2,53 1,00 1,00 2,53 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,97 1,00 2,53 3,18 2,53 2,53 2,53 1,00 2,53 3,18 1,97 1,00 1,00 60 3,94 1,00 1,00 2,42 3,94 1,00 3,12 1,00 2,42 1,00 1,91 1,00 1,00 3,12 2,42 1,00 2,42 1,00 2,42 1,00 1,00 2,42 1,00 1,00 2,42 1,00 1,00 3,12 1,00 3,12 3,12 1,91 2,42 1,91 1,00 2,42 3,12 1,91 1,00 1,91 61 4,03 1,00 2,46 1,93 4,03 1,00 3,15 1,00 2,46 1,93 1,93 1,00 1,00 3,15 2,46 1,00 1,93 1,00 2,46 1,00 1,00 3,15 1,00 1,00 2,46 1,00 1,00 3,15 1,00 2,46 3,15 1,93 3,15 2,46 1,00 3,15 3,15 1,93 1,00 1,93 62 2,64 1,00 3,43 2,07 1,00 1,00 3,43 1,00 3,43 1,00 2,07 1,00 1,00 3,43 2,07 1,00 2,07 1,00 3,43 1,00 1,00 3,43 1,00 1,00 2,07 1,00 1,00 2,64 1,00 2,64 3,43 2,07 2,64 2,07 1,00 2,64 2,64 2,07 1,00 2,07 63 2,39 1,00 2,81 2,39 3,52 1,00 3,52 1,00 3,52 1,00 1,93 1,00 1,00 2,81 1,93 1,00 1,93 1,00 2,39 1,00 1,00 2,81 1,00 1,00 1,93 1,00 3,52 2,81 3,52 2,39 2,81 1,00 3,52 3,52 1,00 2,39 3,52 1,93 1,00 1,93 LAMPIRAN C Rekapitulasi Data Mentah Rekapitulasi Data Mentah No. Sikap SN PBC Intensi Sikap SN PBC Intensi Berhubungan Seksual P/L 1 34,31 47,33 17,01 26,82 Positif Negatif Negatif Kuat Pernah L 2 20,39 33,26 13,76 10,90 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum L 3 35,79 51,32 20,55 27,36 Positif Negatif Negatif Kuat Belum L 4 44,18 42,10 21,59 17,49 Positif Negatif Positif Lemah Belum L 5 39,70 64,73 31,70 35,76 Positif Positif Positif Kuat Pernah L 6 25,82 25,72 11,48 10,00 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 7 46,09 76,23 29,44 30,93 Positif Positif Positif Kuat Pernah L 8 29,80 36,42 17,02 10,00 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 9 35,87 62,60 19,46 29,29 Positif Positif Negatif Kuat Pernah L 10 25,32 49,29 19,08 17,56 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum L 11 35,07 48,79 17,85 19,89 Positif Negatif Negatif Lemah Belum L 12 23,03 44,59 16,69 10,00 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 13 25,95 37,41 17,98 11,84 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 14 47,51 80,50 30,34 30,22 Positif Positif Positif Kuat Pernah P 15 26,94 47,32 13,95 18,82 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 16 23,52 39,56 12,74 10,00 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 17 36,32 40,37 13,83 17,25 Positif Negatif Negatif Lemah Pernah L 18 23,39 42,65 13,70 17,14 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 19 40,46 50,66 19,71 26,56 Positif Negatif Negatif Kuat Pernah L 20 24,99 37,25 15,89 17,53 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 21 27,06 38,04 16,30 11,75 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 22 40,42 48,86 19,04 26,73 Positif Negatif Negatif Kuat Pernah L 23 17,58 33,10 12,48 10,00 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 24 25,82 23,00 10,00 10,00 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 25 23,84 37,28 13,95 21,14 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 26 36,58 32,05 13,27 10,00 Positif Negatif Negatif Lemah Pernah L 27 25,76 36,47 11,48 12,52 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 28 30,42 45,58 17,77 26,44 Positif Negatif Negatif Kuat Belum L 29 26,36 36,47 11,48 12,52 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 30 35,93 57,59 19,14 25,89 Positif Positif Negatif Kuat Pernah L 31 39,32 57,78 21,78 29,63 Positif Positif Negatif Kuat Pernah L 32 29,78 48,82 19,56 18,79 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum L 33 26,86 51,39 20,80 26,31 Negatif Negatif Negatif Kuat Belum L 34 24,98 45,56 19,91 26,41 Negatif Negatif Negatif Kuat Pernah L 35 25,63 46,82 20,83 12,65 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum P 36 36,62 46,75 15,46 28,48 Positif Negatif Negatif Kuat Pernah L 37 34,96 59,39 25,39 30,14 Positif Positif Positif Kuat Pernah L 38 29,49 47,15 15,16 18,81 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum L 39 25,72 51,04 14,78 10,00 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum L 40 22,97 40,50 15,49 14,77 Negatif Negatif Negatif Lemah Belum L LAMPIRAN D Alat Ukur RAHASIA Usia : ......... tahun Jenis Kelamin :L/P Agama : ...................................... Pendidikan : ...................................... Pekerjaan Orangtua : ....................................... PETUNJUK PENGISIAN 1. Pada halaman berikut terdapat pernyataan-pernyataan yang memperlihatkan keyakinan, perasaan, kontrol tingkah laku, dan intensi yang berkaitan dengan perilaku hubungan seksual pranikah. Saudara diminta untuk menjawab sesuai dengan keadaan saudara yang sebenarnya. 2. Saudara diminta untuk memberikan hanya satu jawaban terhadap setiap pernyataan, dengan cara melingkari (O) salah satu angka diantara 1 sampai dengan 5, yang sesuai dengan keadaan Saudara. Contoh: Saya merasa sekolah itu berguna. Semakin saudara merasa sekolah itu berguna maka pilihlah angka yang semakin besar, begitu pula sebaliknya bila saudara merasa sekolah itu tidak berguna, maka lingkarilah angka yang semakin kecil. Tidak Setuju : 1 : 2 : 3 : 4 : 3. Pastikan tidak ada nomor yang saudara lewatkan. 4. Jawablah sesuai dengan keadaan saudara. 5. Bekerjalah dengan teliti. 6. Identitas saudara akan kami rahasiakan. Selamat Mengerjakan 5 : Setuju INSTRUKSI UNTUK NO. 1 – 8 Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan seberapa yakin Saudara terhadap konseksuensi yang didapat bila melakukan hubungan seksual pranikah. Lingkarilah angka yang mewakili seberapa besar keyakinan saudara terhadap pernyataan di bawah ini. 1. Berhubungan seksual pranikah akan meningkatkan kedekatan dengan pasangan. Tidak Yakin : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Yakin 2. Pasangan akan semakin mencintai saya, bila saya bersedia melakukan hubungan seksual pranikah. Tidak Yakin : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Yakin 3. Hubungan seksual pranikah merupakan cara untuk menyalurkan dorongan seksual saya. Tidak Yakin : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Yakin 4. Melakukan hubungan seksual pranikah beresiko terkena penyakit menular seksual. Tidak Yakin : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Yakin 5. Berhubungan seksual pranikah tidak dapat menyebabkan kehamilan. Tidak Yakin : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Yakin 6. Saya akan dikatakan “anak gaul” oleh teman-teman, bila telah melakukan hubungan seksual pranikah. Tidak Yakin : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Yakin 7. Saya akan lebih dihargai oleh teman-teman, bila berani melakukan hubungan seksual pranikah. Tidak Yakin : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Yakin 8. Saya akan dikucilkan oleh teman-teman, bila melakukan hubungan seksual pranikah. Tidak Yakin : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Yakin INSTRUKSI UNTUK NO. 9 – 21 Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan seberapa besar Saudara menghayati tekanan untuk memenuhi keinginan dari orang-orang terdekat Saudara. Lingkarilah angka yang mewakili seberapa besar tekanan yang saudara hayati. 9. Larangan orangtua untuk berpacaran. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 5 : Kuat 10. Batasan orangtua terhadap pergaulan saya. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 11. Harapan orangtua agar tidak terjebak dalam pergaulan bebas. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 12. Batasan orangtua terhadap waktu bermain saya. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 13. Keharusan mengerjakan sholat oleh orangtua Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 14. Keharusan mengerjakan sholat oleh guru Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 15. Ancaman orangtua yang mengusir saya dari rumah, bila melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 16. Permintaan pasangan untuk berhubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 17. Paksaan pasangan untuk berhubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 18. Rayuan pasangan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 19. Ajakan teman-teman untuk menonton film porno. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 20. Ajakan teman-teman untuk mengikuti “pesta seks”. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 21. Dorongan teman-teman untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat INSTRUKSI UNTUK NO. 22 – 28 Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan sejauh mana Saudara menyetujui akan adanya faktor-faktor yang menghambat atau memudahkan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lingkarilah angka yang mewakili persetujuan Saudara terhadap pernyataan di bawah ini. 22. Saya memiliki hasrat seksual yang harus dipenuhi. Tidak Setuju : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Setuju 23. Saya tidak memiliki keberanian untuk mengajak pasangan saya melakukan hubungan seksual pranikah. Tidak Setuju : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Setuju 24. Saya akan melakukan hubungan seksual pranikah dengan pasangan saya, bila rumah sedang kosong. Tidak Setuju : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Setuju 25. Saya sulit mencari tempat untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Tidak Setuju : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Setuju 26. Saya tidak melakukan hubungan seksual pranikah karena tidak memiliki pasangan. Tidak Setuju : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Setuju 27. Seperti kebanyakkan orang, saya menganggap bahwa melakukan hubungan seksual pranikah merupakan hal yang tabu. Tidak Setuju : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Setuju 28. Ajaran agama tidak memperbolehkan hubungan seksual pranikah. Tidak Setuju : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Setuju INSTRUKSI UNTUK NO. 29 – 36 Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan apa yang saudara rasakan apabila Saudara menghadapi situasi seperti pernyataan di bawah ini. Lingkarilah angka yang mewakili perasaan Saudara terhadap pernyataan di bawah ini. 29. Jika pasangan mengatakan akan meninggalkan saya bila tidak mau melakukan hubungan seksual, maka saya akan merasa : Tidak takut : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Takut 30. Jika melakukan hubungan seksual pranikah, hubungan saya dengan pasangan akan terasa semakin : Jauh : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Dekat 31. Jika melakukan hubungan seksual pranikah akan terkena penyakit menular seksual, yang saya rasakan adalah : Tidak takut : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Takut 32. Bila dorongan seksual terpenuhi, maka saya akan merasa : Tidak senang : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Senang 33. Jika melakukan hubungan seksual pranikah, maka saya akan merasa: Tidak senang : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Senang 34. Jika melakukan hubungan seksual pranikah, teman-teman akan menghargai saya, dan saya akan merasa : Tidak senang : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Senang 35. Jika melakukan hubungan seksual pranikah, teman-teman sekelompok menjauhi saya, maka saya akan merasa : Tidak takut : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Takut 36. Jika melakukan hubungan seksual pranikah, teman-teman mengatakan saya “anak gaul”, maka saya akan merasa : Tidak senang : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Senang INSTRUKSI UNTUK NO. 37 – 48 Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan seberapa kuat kenginan Saudara untuk memenuhi harapan orang-orang yang terdekat dengan Saudara. Lingkarilah angka yang mewakili kuat lemahnya keinginan Saudara. 37. Keinginan untuk melaksanakan ibadah sesuai anjuran orangtua agar terhindar dari perilaku-perilaku yang buruk. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 38. Keinginan untuk melaksanakan ibadah sesuai anjuran guru agar terhindar dari perilaku-perilaku yang buruk. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 39. Keinginan untuk membatasi pergaulan atas permintaan orangtua. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 40. Keengganan mematuhi himbauan orangtua, untuk melaksanakan ibadah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 41. Keengganan mematuhi himbauan guru, untuk melaksanakan ibadah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 42. Keinginan melanggar batas waktu bermain yang telah ditentukan oleh orangtua. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 43. Keinginan untuk memenuhi kemauan pasangan untuk berhubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 44. Keinginan menolak bila dirayu oleh pasangan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 45. Keinginan mengikuti dorongan teman-teman untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 46. Keinginan menolak ajakan teman untuk menonton film porno. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 47. Keinginan menghindari ajakan teman untuk datang ke acara “pesta seks”. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 48. Keengganan melakukan hubungan seksual pranikah walaupun teman-teman sudah melakukannya. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat INSTRUKSI UNTUK NO. 49 – 53 Pernyataan di bawah ini berkaitan dengan seberapa besar kemampuan Saudara untuk mengendalikan berbagai situasi yang dapat mempermudah atau menghambat dalam melakukan hubungan seksual pranikah. 49. Kemampuan saya untuk mengendalikan dorongan seksual. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 50. Kemampuan untuk memilih berpacaran di tempat umum, agar terhindar dari perilaku seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 51. Kemampuan menolak ajakan pasangan untuk melakukan hubungan seksual. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 52. Kemampuan untuk menjaga nama baik keluarga saya. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 53. Kemampuan untuk mematuhi aturan agama yang melarang perbuatan seksual pranikah Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat INSTRUKSI UNTUK NO. 54 – 63 Beberapa pernyataan di bawah ini berkaitan dengan seberapa kuat niat Saudara untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lingkarilah angka yang mewakili kuat lemahnya niat Saudara. 54. Merencanakan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 55. Berniat untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 56. Ketertarikan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 57. Keinginan melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 58. Berusaha untuk berhubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 59. Berniat mencari kesempatan untuk berhubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 60. Berniat mengajak pasangan untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat 61. Berniat mencari pasangan yang bersedia untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat : 5 : Kuat 62. Ketertarikan untuk ikut “pesta seks”. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 63. Berusaha mencari tempat agar dapat melakukan hubungan seksual pranikah. Lemah : 1 : 2 : 3 : 4 : 5 : Kuat Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan jujur 1. Apakah Anda pernah melakukan hubungan seksual pranikah? Ya / tidak 2. Dengan siapa Anda pernah melakukannya? ..................................................................................................................................... ..................................................................................................................................... 3. Kapan pertama kali anda melakukan hubungan seksual pranikah? ..................................................................................................................................... ..................................................................................................................................... 4. Dimanakah Anda melakukannya? ..................................................................................................................................... ..................................................................................................................................... Terima Kasih Atas Kerjasamanya Peneliti, Yus Rizki (08172351132) LAMPIRAN E Hasil Analisis Validitas, Reliabilitas dan Analisis Item RELIABILITY DAN VALIDITY SIKAP TERHADAP TINGKAH LAKU (X1) Case Processing Summary N Cases Valid Excluded( a) Total 40 % 100.0 0 .0 40 100.0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha .832 N of Items 16 Scale Statistics Mean 39.6250 Variance 122.394 Std. Deviation 11.06319 N of Items 16 Item Statistics VAR00001 Mean 3.3000 Std. Deviation 1.26491 N VAR00002 2.7250 1.46738 40 VAR00003 2.6250 1.35282 40 VAR00004 2.0000 1.32045 40 VAR00005 2.2250 1.18727 40 VAR00006 1.9750 1.16548 40 VAR00007 1.8500 1.23101 40 VAR00008 2.7500 1.61325 40 VAR00009 1.5250 .84694 40 VAR00010 3.4500 1.29990 40 VAR00011 1.6750 1.09515 40 VAR00012 3.3250 1.28876 40 VAR00013 2.6500 1.29199 40 VAR00014 2.5750 1.25856 40 VAR00015 2.4250 1.61543 40 VAR00016 2.5500 1.28002 40 40 Item-Total Statistics VAR00001 Scale Mean if Item Deleted 36.3250 Scale Variance if Item Deleted 108.687 Corrected Item-Total Correlation .459 Cronbach's Alpha if Item Deleted .821 VAR00002 36.9000 103.015 .578 .813 VAR00003 37.0000 110.718 .346 .828 VAR00004 37.6250 109.676 .397 .825 VAR00005 37.4000 116.451 .177 .836 VAR00006 37.6500 109.362 .479 .820 VAR00007 37.7750 106.076 .584 .814 VAR00008 36.8750 105.497 .431 .824 VAR00009 38.1000 115.579 .335 .828 VAR00010 36.1750 106.815 .517 .818 VAR00011 37.9500 113.638 .324 .828 VAR00012 36.3000 107.036 .514 .818 VAR00013 36.9750 106.589 .530 .817 VAR00014 37.0500 107.997 .490 .819 VAR00015 37.2000 106.985 .383 .827 VAR00016 37.0750 106.379 .544 .816 RELIABILITY DAN VALIDITY PBC (X3) Case Processing Summary N Cases Valid Excluded( a) Total 40 % 100.0 0 .0 40 100.0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha .728 N of Items 12 Scale Statistics Mean 27.5500 Variance 53.638 Std. Deviation 7.32383 N of Items 12 Item Statistics VAR00001 Mean 3.1500 Std. Deviation 1.21000 N VAR00002 2.6000 1.53255 40 VAR00003 2.3000 1.60448 40 VAR00004 3.5750 1.39390 40 VAR00005 3.2000 1.34355 40 VAR00006 1.7500 .98058 40 VAR00007 1.2000 .72324 40 VAR00008 2.4750 1.01242 40 VAR00009 2.1250 1.18078 40 VAR00010 2.1500 1.35021 40 VAR00011 1.4000 1.03280 40 VAR00012 1.6250 .95239 40 40 Item-Total Statistics VAR00001 Scale Mean if Item Deleted 24.4000 Scale Variance if Item Deleted 45.785 Corrected Item-Total Correlation .390 Cronbach's Alpha if Item Deleted .707 VAR00002 24.9500 44.921 .310 .721 VAR00003 25.2500 42.346 .417 .704 VAR00004 23.9750 55.974 -.205 .788 VAR00005 24.3500 48.233 .193 .734 VAR00006 25.8000 47.344 .395 .708 VAR00007 26.3500 47.977 .513 .703 VAR00008 25.0750 48.020 .327 .715 VAR00009 25.4250 42.404 .640 .673 VAR00010 25.4000 42.297 .542 .684 VAR00011 26.1500 45.772 .487 .697 VAR00012 25.9250 43.148 .766 .668 RELIABILITY DAN VALIDITY NORMA SUBYEKTIF (X2) Case Processing Summary N Cases Valid Excluded( a) Total 40 % 100.0 0 .0 40 100.0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha .896 N of Items 25 Scale Statistics Mean 60.6250 Variance 282.138 Std. Deviation 16.79696 N of Items 25 Item Statistics VAR00001 Mean 2.6750 Std. Deviation 1.24833 N VAR00002 2.1000 1.00766 40 VAR00003 1.4500 .93233 40 VAR00004 2.3250 1.09515 40 VAR00005 1.7500 1.21423 40 VAR00006 2.4500 1.15359 40 VAR00007 2.2000 1.26491 40 VAR00008 2.5250 1.19802 40 VAR00009 2.4750 1.35850 40 VAR00010 2.7250 1.44980 40 VAR00011 3.1000 1.35495 40 VAR00012 2.1250 1.36227 40 VAR00013 2.1000 1.29694 40 VAR00014 1.5750 .93060 40 VAR00015 3.8000 1.18105 40 VAR00016 2.0250 1.14326 40 VAR00017 2.7250 1.17642 40 VAR00018 2.6750 1.18511 40 VAR00019 3.0500 1.23931 40 VAR00020 2.4000 1.39229 40 VAR00021 2.6250 1.56381 40 VAR00022 1.8750 1.06669 40 VAR00023 2.9500 1.39505 40 VAR00024 2.5750 1.50021 40 VAR00025 2.3500 1.42415 40 40 Item-Total Statistics VAR00001 Scale Mean if Item Deleted 57.9500 Scale Variance if Item Deleted 263.895 Corrected Item-Total Correlation .411 Cronbach's Alpha if Item Deleted .894 VAR00002 58.5250 265.076 .489 .892 VAR00003 59.1750 263.122 .600 .891 VAR00004 58.3000 256.728 .690 .888 VAR00005 58.8750 258.881 .557 .890 VAR00006 58.1750 269.943 .287 .896 VAR00007 58.4250 264.610 .387 .894 VAR00008 58.1000 256.041 .643 .889 VAR00009 58.1500 259.926 .465 .893 VAR00010 57.9000 252.862 .589 .889 VAR00011 57.5250 253.897 .612 .889 VAR00012 58.5000 251.026 .678 .887 VAR00013 58.5250 248.461 .783 .885 VAR00014 59.0500 262.664 .617 .890 VAR00015 56.8250 284.404 -.092 .904 VAR00016 58.6000 260.759 .544 .891 VAR00017 57.9000 266.092 .382 .894 VAR00018 57.9500 264.818 .413 .894 VAR00019 57.5750 263.481 .426 .893 VAR00020 58.2250 250.076 .684 .887 VAR00021 58.0000 263.026 .329 .897 VAR00022 58.7500 262.090 .548 .891 VAR00023 57.6750 262.892 .382 .895 VAR00024 58.0500 262.254 .363 .895 VAR00025 58.2750 261.589 .402 .894 RELIABILITY DAN VALIDITY INTENSI (Y) Case Processing Summary N Cases Valid Excluded( a) Total 40 % 100.0 0 .0 40 100.0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha .953 N of Items 10 Scale Statistics Mean 22.9750 Variance 126.846 Std. Deviation 11.26257 N of Items 10 Item Statistics VAR00001 Mean 2.2750 Std. Deviation 1.41399 N VAR00002 2.2250 1.36790 40 VAR00003 2.6000 1.42864 40 VAR00004 2.4750 1.37724 40 VAR00005 2.1250 1.24422 40 VAR00006 2.3750 1.39021 40 VAR00007 2.2000 1.28502 40 VAR00008 2.2750 1.28078 40 VAR00009 2.0000 1.10940 40 VAR00010 2.4250 1.48302 40 40 Item-Total Statistics VAR00001 Scale Mean if Item Deleted 20.7000 Scale Variance if Item Deleted 104.574 Corrected Item-Total Correlation .701 Cronbach's Alpha if Item Deleted .953 VAR00002 20.7500 104.192 .744 .951 VAR00003 20.3750 100.599 .845 .946 VAR00004 20.5000 100.974 .866 .945 VAR00005 20.8500 103.618 .856 .946 VAR00006 20.6000 101.015 .855 .946 VAR00007 20.7750 104.333 .795 .949 VAR00008 20.7000 101.651 .912 .944 VAR00009 20.9750 107.922 .768 .950 VAR00010 20.5500 103.895 .686 .954 LAMPIRAN F Hasil Perhitungan Analisis Statistik Multiple Regression Hasil Perhitungan Analisis Statistik Multiple Regression Variables Entered/Removed(b) Variables Variables Entered Removed X3, X1, . X2(a) a All requested variables entered. b Dependent Variable: Y Model 1 Method Enter Model Summary Model 1 R .816(a) R Square .666 Adjusted R Square .639 Std. Error of the Estimate 4.72680 a Predictors: (Constant), X3, X1, X2 ANOVA(b) Model 1 Regression Residual Total Sum of Squares 1606.490 df 3 Mean Square 535.497 804.336 36 22.343 2410.827 39 F 23.967 Sig. .000(a) t Sig. a Predictors: (Constant), X3, X1, X2 b Dependent Variable: Y Coefficients(a) Unstandardized Coefficients Model 1 B -7.801 Std. Error 3.423 X1 .271 .144 X2 .317 X3 .243 (Constant) a Dependent Variable: Y Standardized Coefficients Beta B -2.279 Std. Error .029 .255 1.884 .068 .131 .479 2.427 .020 .310 .155 .782 .439