Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA

advertisement
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 8 PEBRUARI 2017
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS.
NIP. 19530914 197903 1 002
Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH.
NIP. 19590325 198403 1 002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister (S2) Kenotariatan
Fakultas Hukum
Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum.
NIP. 19640402 198911 2 001
Dekan
Fakultas Hukum
Universitas Udayana
Prof.Dr. I Made Arya Utama,S.H.,M.Hum.
NIP. 19650221 199003 1 005
iii
ABSTRAK
SANKSI HUKUM TERHADAP NOTARIS YANG MELANGGAR
KEWAJIBAN DAN LARANGAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dapat melakukan pelanggaran UndangUndang Jabatan Notaris (UUJN). Pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris disebabkan oleh
faktor internal yang berasal dari dalam diri notaris seperti kurangnya pengalaman dan
pengetahuan, tidak jujur, lalai dan lain-lain, juga disebabkan faktor eksternal yang
membohongi Notaris dimana Notaris seringkali dihadapkan pada dokumen-dokumen palsu
yang dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi pemiliknya. Notaris yang terbukti
melanggar UUJN, dapat dijatuhi sanksi perdata, sanksi administrasi, sanksi kode etik, bahkan
sanksi pidana, namun sanksi pidana tidak diatur secara jelas dalam UUJN. Sanksi perdata
dalam UUJN telah diatur sedemikian rupa, namun terhadap penjatuhan sanksi perdata terkait
pembatalan akta autentik menjadi akta di bawah tangan belum mendapat pengaturan yang
jelas dan tegas. Berdasarkan latar belakang tersebut, timbul masalah yaitu pertama
bagaimanakah pengaturan sanksi hukum terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan
larangan UUJN dan kedua bagaimanakah penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum acara)
terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan UUJN?
Penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif. Jenis pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum. Sumber
bahan hukum penelitian ini diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Teknik
pengumpulan bahan hukum menggunakan metoda bola salju. Teknik analisis bahan hukum
yang digunakan adalah teknik deskripsi dan teknik penemuan hukum.
Hasil penelitian tesis ini adalah Sanksi Perdata diatur dalam Pasal 16 ayat (9 dan 12),
Pasal 41, Pasal 44 ayat (5), Pasal 48 ayat (3), Pasal 49 ayat (4), Pasal 50 ayat (5) dan Pasal 51
ayat (4) UUJN. Sanksi Administratif diatur dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 16 ayat (11 dan 13) ,
Pasal 17 ayat (2), Pasal 19 ayat (4), Pasal 32 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 54 ayat (2) dan
Pasal 65A UUJN. Sanksi Pidana tidak diatur dalam UUJN, namun terhadap Notaris dapat
dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan yang ada dalam KUHP sepanjang tindakan
Notaris telah memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN, kode etik dan
KUHP. Saran penulis terkait penelitian ini adalah pertama, perlunya pengaturan tentang
penjatuhan sanksi perdata terkait pembatalan akta autentik menjadi akta dibawah tangan
melalui proses gugatan perdata ke pengadilan. Kedua, perlunya pengaturan tentang
penjatuhan sanksi pidana secara tegas dan jelas, karena tindak pidana yang dilakukan oleh
notaris dalam menjalankan tugas jabatannya merupakan kejahatan publik yang harus diberi
hukuman yang setimpal sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelakunya.
Kata kunci : sanksi hukum, kewajiban dan larangan notaris,Undang-Undang Jabatan Notaris.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ………………………………………………………....
i
PRASYARAT GELAR …………………………………………………….
ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………..
iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ………………….
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ………………………………………
v
UCAPAN TERIMAKASIH ………………………………………………..
vi
ABSTRAK ………………………………………………………………….
ix
ABSTRACT ………………………………………………………………...
x
RINGKASAN ………………………………………………………………
xi
DAFTAR ISI ………………………......……………………........................
xiv
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ………..............……………………....
1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………................….....
18
1.3 Ruang Lingkup Masalah ...............................................................
18
1.4 Tujuan Penelitian ………..……………………………………...
18
1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................
18
1.4.2 Tujuan Khusus .....................................................................
19
1.5 Manfaat Penelitian ………………...…………………………....
19
1.5.1 Manfaat Teoritis ..................................................................
19
1.5.2 Manfaat Praktis ....................................................................
20
1.6 Landasan Teoritis .........................................................................
20
xiv
1.7 Metode Penelitian .........................................................................
37
1.7.1 Jenis Penelitian ....................................................................
37
1.7.2 Jenis Pendekatan .................................................................
39
1.7.3 Sumber Bahan Hukum ………............................................
40
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ……..........................
41
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ………...............................
42
BAB II TINJAUAN UMUM NOTARIS DAN SANKSI ...........................
43
2.1 Tinjauan Umum Notaris .............................................................
44
2.1.1 Sejarah Singkat Notariat .................................................
44
2.1.2 Pengertian Notaris ..........................................................
45
2.1.3 Tugas dan Kewenangan Notaris .....................................
50
2.1.4 Kewajiban dan Larangan Notaris ...................................
53
2.2 Tinjauan Umum Sanksi .............................................................
58
2.2.1 Pengertian Sanksi ...........................................................
58
2.2.2 Pengertian Sanksi Hukum ..............................................
60
2.2.3 Jenis-jenis Sanksi Hukum ...............................................
62
2.2.3.1 Sanksi Perdata ..................................................
62
2.2.3.2 Sanksi Administratif .........................................
69
2.2.3.3 Sanksi Pidana ...................................................
72
BAB III PENGATURAN SANKSI HUKUM TERHADAP NOTARIS
YANG MELANGGAR KEWAJIBAN DAN LARANGAN
UUJN ..............................................................................................
79
3.1 Hakikat Pengaturan Sanksi Hukum Dalam UUJN ..................
79
xv
3.2 Jenis-jenis Sanksi Hukum Dalam UUJN .................................
81
3.2.1 Sanksi Perdata ..............................................................
81
3.2.1.1 Batasan Akta Notaris yang Mempunyai
Kekuatan Pembuktian di Bawah Tangan .......
83
3.2.1.2 Hubungan Hukum Notaris dengan Para
Penghadap
dalam
Menentukan
Sanksi
Perdata ............................................................
89
3.2.2 Sanksi Administratif .....................................................
95
3.2.3 Sanksi Lainnya dan Kumulasi Sanksi ..........................
102
3.2.4 Batasan Akta Notaris yang Dapat Dijadikan Dasar
Memidanakan Notaris...................................................
BAB IV PENJATUHAN
SANKSI
HUKUM
(SESUAI
106
HUKUM
ACARA) TERHADAP NOTARIS YANG MELANGGAR
KEWAJIBAN DAN LARANGAN UUJN ................................... 129
4.1 Pengawasan Notaris .................................................................
129
4.2 Pemeriksaan Notaris ................................................................
135
4.3 Jenis-jenis Penjatuhan Sanksi Hukum (Sesuai Hukum Acara)
Terhadap Notaris Yang Melanggar Kewajiban Dan Larangan
BAB V
UUJN .......................................................................................
137
4.3.1 Di bidang Perdata .........................................................
138
4.3.2 Di bidang Administratif ...............................................
147
4.3.3 Di bidang Pidana ..........................................................
150
PENUTUP ......................................................................................
161
xvi
5.1 Kesimpulan ..............................................................................
161
5.2 Saran ........................................................................................
163
DAFTAR PUSTAKA
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan secara tegas
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban
dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum dalam lalu lintas kehidupan masyarakat memerlukan alat bukti yang
menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam
masyarakat. Dalam kaitan dengan pembuktian kepastian hak dan kewajiban hukum seseorang
dalam kehidupan masyarakat, salah satunya dilakukan dengan peran yang dilaksanakan oleh
Notaris.
Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian dan perlindungan
hukum bagi masyarakat, lebih bersifat preventif (pencegahan) terjadinya masalah hukum, dengan
cara penerbitan akta autentik yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris terkait status hukum, hak
dan kewajiban seseorang yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan,
dalam hal terjadi sengketa hak dan kewajiban terkait. Akta yang diterbitkan oleh Notaris
memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat.
Berkenaan dengan diperlukannya akta Notaris sebagai alat bukti keperdataan yang terkuat
menurut tatanan hukum yang berlaku, dibutuhkan keberadaan pejabat umum yang ditugaskan
oleh undang-undang untuk melaksanakan pembuatan akta autentik. Notaris sebagai pejabat
umum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya demi terlaksananya fungsi pelayanan dan
1
tercapainya kepastian hukum bagi masyarakat, telah diatur dan dituangkan dalam undang-
undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4432, undang-undang mana telah mengalami perubahan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491 (untuk
selanjutnya disebut UUJN).
Pasal 1 angka 1 UUJN menentukan “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Notaris sebagai Pejabat Umum
yang secara khusus diberi wewenang untuk membuat akta autentik sebagaimana disebutkan
Pasal 1 angka 1 UUJN memiliki kewajiban untuk memformulasikan keinginan /tindakan
penghadap/para penghadap ke dalam bentuk akta autentik dengan memperhatikan aturan hukum
yang berlaku, salah satunya adalah dengan cara membacakan akta tersebut dihadapan para pihak.
Di samping itu Notaris juga mempunyai kewajiban memberikan penyuluhan hukum terkait akta
yang akan dibuat oleh para pihak. Dengan demikian para pihak memiliki kebebasan untuk
menyetujui atau tidak menyetujui isi akta Notaris yang akan ditandatanganinya tersebut.
Tujuannya untuk meminimalisasi terjadinya sengketa dikemudian hari, walaupun sengketa
tersebut pada akhirnya mungkin tidak dapat dihindari, namun dalam proses penyelesaian
sengketa tersebut, akta autentik yang merupakan alat bukti tertulis, terkuat dan terpenuh memberi
sumbangan yang nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat. 1 Sebagai alat bukti
tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta Notaris harus diterima
1
Sjaifurrachman, Habib Adjie (ed.), 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta,
Mandar Maju, Bandung, h.7-8.
kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara meyakinkan
di depan persidangan.
Kebutuhan terhadap akta autentik sebagai alat pembuktian dalam berbagai hubungan bisnis,
seperti kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial dan lain-lain baik dalam
lingkup lokal, regional maupun nasional semakin meningkat. Notaris mempunyai tugas utama
yang berat, karena harus memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Notaris melalui akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, terkandung suatu beban dan
tanggung jawab untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Untuk itu diperlukan suatu
tanggung jawab baik individu maupun sosial, terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum
positif dan kesediaan tunduk pada Kode Etik Profesi, sehingga akan memperkuat norma hukum
positif yang sudah ada.
Seorang Notaris harus menjunjung tinggi tugasnya serta melaksanakannya dengan tepat dan
jujur, yang berarti bertindak menurut kebenaran sesuai sumpah jabatan Notaris. Seorang Notaris
dalam memberikan pelayanan, harus mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan
tuntutan kewajiban nurani. 2
Dalam hubungan ini seorang Notaris harus mempunyai kesadaran bahwa tidaklah cukup hanya
memiliki kesadaran mengenai fungsi Notaris dan keterampilan teoritis dan teknis dibidang
profesi, akan tetapi yang utama adalah untuk mempertaruhkan sepenuhnya kepribadian Notaris.
Seorang Notaris harus menyadari bahwa pendidikan pengetahuan adalah sesuatu yang sangat
dibutuhkan bagi keahlian, akan tetapi pengenalan mengenai sifat-sifat dan hubungan-hubungan
manusia tidak kalah pentingnya. Kepercayaan terhadap Notaris tidak hanya dipupuk oleh
keahliannya akan tetapi juga integritasnya, kepribadian dan sikap Notaris yang bersangkutan.
2
Abdulkadir Muhammad, 1997, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.60.
Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempunyai integritas moral yang mantap
2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual)
3. Sadar akan batas-batas kewenangannya
4. Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang. 3
Ismail Saleh4 menyatakan bahwa ada empat hal pokok yang harus diperhatikan oleh para
Notaris dalam melaksanakan tugas profesinya, yaitu:
1. Dalam menjalankan, tugas profesinya, seorang Notaris harus mempunyai intergritas
moral yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral harus melandasi
pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi,
namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan.
2. Seorang Notaris harus jujur, tidak saja pada kliennya juga pada dirinya sendiri. Ia harus
mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji sekedar untuk
menyenangkan kliennya, atau agar klien tetap mau memakai jasanya. Kesemuanya itu
merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang Notaris.
3. Seorang Notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangannya. Ia harus mentaati
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan
apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan. Adalah bertentangan dengan
perilaku profesional apabila seorang Notaris ternyata berdomisili dan bertempat tinggal
tidak ditempat kedudukannya sebagai Notaris. Atau memasang papan dan mempunyai
kantor ditempat kedudukannya, tapi tempat tinggalnya dilain tempat. Seorang Notaris
juga dilarang untuk menjalankan jabatannya diluar daerah jabatannya. Apabila ketentuan
tersebut dilanggar, maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya autentiknya.
4. Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk
mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesinya ia tidak boleh sematamata didorong oleh pertimbangan uang semata. Seorang Notaris yang pancasilais harus
tetap berpegang teguh kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah
uang dan tidak semata-mata hanya menciptakan suatu alat bukti formal mengejar
kepastian hukum, tetapi mengabaikan rasa keadilan.
Namun di sisi lain, Notaris sebagai manusia biasa secara kodrati dapat melakukan
kesalahan-kesalahan baik yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitas dalam
3
Ismail Saleh, 1993, Membangun Citra Profesional Notaris Indonesia, Pengarahan/ceramah Umum Menteri
Kehakiman Republik Indonesia pada Upgrading/Refresing Course Notaris se-Indonesia, Bandung, h.19.
4
Ibid. h.18-21.
menjalankan tugas jabatannya. Dalam praktek, seorang Notaris sangat rentan mendapat gugatan
dari para pihak yang merasa dirugikan dalam pembuatan suatu akta. Kesalahan Notaris dalam
melaksanakan jabatannya, disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri Notaris,
misalnya kekurangan pengetahuan, pengalaman dan pengertian mengenai permasalahan hukum
yang melandasi dalam pembuatan suatu akta, bertindak tidak jujur, lalai/tidak hati-hati, memihak
salah satu pihak, tidak memenuhi prosedur, juga terdapat persyaratan lain dalam bentuk tindakan
tertentu yang tidak dilakukan dan tidak dipenuhi oleh Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya, berupa kewajiban dan larangan yang tercantum dalam UUJN, yaitu tidak
menjalankan kode etik Notaris, perilaku Notaris yang dapat merendahkan kehormatan dan
martabat Notaris, melakukan perbuatan tercela dan sebagainya, juga disebabkan faktor eksternal
yang mempengaruhi Notaris misalnya Notaris seringkali dihadapkan pada dokumen-dokumen
palsu yang dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi pemiliknya.Oleh karena itu, seorang
Notaris yang melakukan kesalahan dan/atau kelalaian dalam melaksanakan profesi jabatannya
dapat dikenakan sanksi baik itu berupa sanksi perdata dan sanksi administratif, sanksi kode etik
bahkan sanksi pidana.5
Istilah sanksi dalam khasanah ilmu hukum tidak bisa dipisahkan dengan hukum pidana atau
dengan kata lain istilah sanksi selalu melekat dalam hukum pidana. Sebagaimana disampaikan
oleh Jan Remmelink: “Hukum Pidana adalah hukum tentang penjatuhan sanksi, ikhwal
penegakan norma-norma (aturan-aturan) oleh alat-alat kekuasaan Negara yang ditujukan untuk
melawan dan memberantas perilaku yang mengancam keberlakuan norma tersebut lebih tampak
5
Putri A.R. 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Indikator Tugas-Tugas Jabatan Notaris yang
Berimplikasi Perbuatan Pidana), PT. Softmedia, Jakarta, h.9-10.
disini dibandingkan dengan bidang-bidang hukum lainnya, semisal hukum sipil”. 6 Lebih lanjut
Jan Remmelink menyatakan:
Pada umumnya sanksi itu muncul dalam bentuk pemidanaan, pengenaan secara sadar dan
matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah
melanggar aturan hukum, dimana instansi yang berwenang, hakim pidana, tidak sekedar
menjatuhkan sanksi namun juga menjatuhkan tindakan (maatregel) untuk pelanggaran norma
yang dilakukan karena kesalahan dan kadangkala juga karena kelalaian. 7
Sanksi merupakan komponen atribut. Diantara sekian banyak kaidah yang berlaku di
masyarakat, adanya sanksi yang mengikuti penerapan hukum, membedakan kaidah hukum
secara tegas dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Menurut Philipus M.Hadjon, “Sanksi
merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai
reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum administrasi”. 8Sanksi merupakan bagian
penutup yang penting dalam hukum dan tiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada
sanksi pada akhir aturan hukum tersebut.
Pencantuman sanksi merupakan kewajiban yang harus ditegaskan dalam berbagai aturan
hukum. Aturan hukum yang bersangkutan tidak dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika
pada bagian akhir tidak mencantumkan sanksi. Tidak ada gunanya memberlakukan kaidahkaidah hukum manakala kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan
menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural (hukum acara). 9
6
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
Hukum Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, h.6.
7
Ibid. h.7.
8
Philipus M. Hadjon, 1996, Penegakan Hukum Administrasi dalam Kaitannya dengan Ketentuan Pasal 20
Ayat (3) dan (4) UU No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, No.1 Tahun XI, Januari-Pebruari 1996, h.1, dalam Habib Adjie,
2011, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PT.
Refika Aditama, Bandung, (Selanjutnya disebut Habib Adjie I), h.200.
9
Philipus M. Hadjon, dkk, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesia
Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h.262.
Pemberian sanksi terhadap Notaris disamping untuk meminimalisir terjadinya kesalahan
Notaris dalam pembuatan akta, agar pembuatan akta dilakukan sesuai prosedur dan syarat yang
telah diatur dalam UUJN, juga dalam rangka menjaga martabat lembaga Notaris itu sendiri
sebagai lembaga kepercayaan. Apabila Notaris melakukan pelanggaran dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap Notaris. Secara individu sanksi terhadap Notaris juga
merupakan suatu nestapa dan pertaruhan dalam menjalankan tugas jabatannya, apakah
masyarakat masih mempercayakan membuat akta terhadap Notaris yang bersangkutan atau tidak.
UUJN yang mengatur jabatan Notaris berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa atau
merupakan suatu aturan hukum yang imperatif untuk ditegakkan terhadap Notaris yang telah
melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatannya.
Pengaturan sanksi hukum dalam UUJN menunjukkan Notaris bukan sebagai subyek yang
kebal terhadap hukum. Notaris disamping dijatuhi sanksi perdata dan administratif, juga dapat
dijatuhi sanksi kode etik jabatan bahkan sanksi pidana. Sanksi etika dapat dijatuhkan terhadap
Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Jabatan Notaris. Adapun sanksi pidana
karena tidak diatur dalam UUJN, maka sanksi pidana akan dikenakan jika Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya telah memenuhi unsur-unsur delik tertentu suatu tindak pidana
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).10 Dengan ketiadaan sanksi pidana
dalam UUJN maka pengaturan mengenai sanksi terhadap Notaris menjadi kurang sempurna.
Sanksi pidana menjadi penting dimasukkan dalam UUJN selain menjadikannya sebagai koridor
dalam menjalankan kewenangannya, sanksi pidana juga bersifat preventif sebelum kejahatan
terjadi. Sanksi pidana dalam UUJN juga sangat penting agar undang-undang tersebut berlaku
10
Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan: “Apabila ada suatu perbuatan yang dapat dipidana menurut ketentuan
pidana yang khusus disamping pidana yang umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah yang dipakai,
sebaliknya apabila ketentuan pidana khusus tidak mengatur, maka terhadap pelanggaran tersebut akan dikenakan
pidana umum yaitu KUHP”.
efektif dan dapat menegakkan keadilan bagi masyarakat yang dirugikan akibat dari akta autentik
tersebut yang dibuat oleh Notaris.
Sanksi-sanksi yang terdapat pada norma masyarakat pada dasarnya dibuat untuk membuat
efek jera bagi seseorang yang melakukan pelanggaran agar tidak mengulangi perbuatan melawan
hukum. Sanksi pidana terbilang sanksi yang cukup mumpuni untuk membuat efek jera bagi yang
melakukan kesalahan.
Dengan adanya lebih dari satu jenis sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap Notaris, berkaitan
erat dengan kumulasi sanksi. Dalam kaidah peraturan perundang-undangan di bidang hukum
administrasi sering tidak hanya memuat satu macam sanksi, tetapi terdapat beberapa sanksi yang
diberlakukan secara kumulasi, ada kalanya suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
hanya mengancam pelanggarnya dengan sanksi hukum pidana, tetapi pada saat yang sama
mengancamnya dengan sanksi hukum administratif. 11
Sanksi administratif merupakan sanksi yang timbul dari hubungan antara pemerintah
(melalui lembaga yang berwenang) dan warganya. Tanpa perantara seorang hakim, sanksi itu
dapat langsung dijatuhkan oleh pemerintah. 12 Ketiadaan peran hakim dalam pemberian sanksi
administratif adalah karena sifat administratif yang melekat pada sanksi tersebut.
Akibat yang ditimbulkan oleh pelanggaran sanksi administratif biasanya berkaitan dengan
kewajiban dan tanggung jawab yang bersifat administratif. Keberadaan sanksi administratif yang
penjatuhannya tidak melibatkan peran hakim atau pengadilan kemudian membuat sanksi ini
tidak hanya diterapkan dalam hukum administrasi negara. Dalam suatu organisasi yang
menjalankan roda organisasinya juga dapat dibuat suatu peraturan yang dalam peraturan itu
memuat penjatuhan sanksi administratif.
11
12
Philipus M. Hadjon dkk., Op.Cit, h.263.
Jan Remmelink, Op.Cit, h.15.
Penjatuhan sanksi administratif biasanya dilakukan oleh suatu lembaga tertentu yang
berwenang untuk memberikan sanksi tersebut. Perbuatan yang dapat diberikan sanksi
administratif adalah pelanggaran yang tidak termasuk dalam perbuatan pidana maupun
pelanggaran dalam hukum perdata. Macam atau jenis sanksi hukum administratif menurut
Philipus M.Hadjon dan H.D.Van Wijk/ Willem Konijnenbelt dapat berupa, paksaan pemerintah
(bestuurdwang), penarikan kembali keputusan/ ketetapan yang menguntungkan (ijin,
pembayaran dan subsidi) serta pengenaan denda administratif. 13
UUJN mengklasifikasikan empat jenis sanksi administratif yang dijatuhkan terhadap
pelanggaran beberapa pasal yang disebutkan secara limitatif. Pasal-pasal yang mengatur tentang
sanksi Administratif adalah Pasal 7 ayat (2), Pasal 16 ayat (11 dan 13) , Pasal 17 ayat (2), Pasal
19 ayat (4), Pasal 32 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 54 ayat (2) dan Pasal 65A UUJN. Sanksi
administratif yang dapat dijatuhkan terdiri atas:
a. Peringatan tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian dengan hormat;
d. Pemberhentian dengan tidak hormat.
Mengacu pada keempat sanksi administratif tersebut, tidak ditentukan kadar beratnya
masing-masing. Dengan melihat urutan perumusan sanksi secara berjenjang, nampak bahwa
sanksi administratif dirumuskan dari yang paling ringan yaitu dimulai dari peringatan tertulis
sampai yang paling berat yaitu pemberhentian dengan tidak hormat. Penjatuhan sanksi-sanksi
administratif dilakukan hanya apabila terbukti melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 16
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l, Pasal 16 ayat (13), Pasal 17 ayat (1), Pasal 19 ayat (2),
Pasal 32 ayat (1, 2, dan 3), Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 54 ayat (1).
13
Philipus M.Hadjon dkk., Op. Cit, h.245.
UUJN disamping mengatur tentang sanksi administratif, juga mengatur tentang sanksi
perdata. Sanksi perdata pada umumnya merupakan sanksi yang diberikan atas pelanggaran
hukum perdata. Dalam pembidangan tata hukum, hukum perdata merupakan hukum privat, yaitu
hukum yang mengatur hubungan antar pribadi dalam memenuhi kepentingan-kepentingannya.14
Pengaturan sanksi Perdata dalam UUJN terdapat dalam Pasal 16 ayat (9 dan 12), Pasal 41, Pasal
44 ayat (5), Pasal 48 ayat (3), Pasal 49 ayat (4), Pasal 50 ayat (5) dan Pasal 51 ayat (4). Tindakan
pelanggaran yang dilakukan Notaris terkait sanksi perdata menyebutkan bahwa:
Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m, ayat (7) dan ayat (8) Pasal 41 yang menunjuk Pasal 38, Pasal
39 dan Pasal 40, Pasal 44 ayat (1) sampai ayat (4), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 49
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 50 ayat (1) sampai ayat (4) dan Pasal 51 ayat (2) yang
mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris.
Penting dicermati pengaturan sanksi perdata terhadap Notaris karena melanggar Pasal 16
ayat (1) huruf m, ayat (7) dan ayat (8) Pasal 41 yang menunjuk Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40,
Pasal 44 ayat (1) sampai ayat (4), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 50 ayat (1) sampai ayat (4) dan Pasal 51 ayat (2) UUJN, dimana pelanggaran pasal-pasal
diatas mengakibatkan suatu akta akan terdegradasi sehingga hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Istilah degradasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa mempunyai arti
penurunan, tentang pangkat, mutu, moral dan sebagainya, kemunduran, kemerosotan atau dapat
juga menempatkan ditingkat atau posisi yang lebih rendah. 15 Dalam pengertian yang
berhubungan dengan kekuatan bukti, akta Notaris sebagai akta autentik memiliki kekuatan bukti
14
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1993, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.63.
15
Departemen Pendidikan Nasional, 2013, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Ketujuh,
Edisi IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.304.
yang lengkap atau sempurna dan memiliki kekuatan mengikat, serta telah mencukupi batas
minimal alat bukti yang sah tanpa diperlukan alat bukti lain dalam suatu sengketa hukum
perdata.16 Namun demikian akta tersebut dapat mengalami penurunan mutu atau kemunduran
atau kemerosotan status, dalam arti posisinya lebih rendah dalam kekuatan sebagai alat bukti,
dari kekuatan bukti lengkap dan sempurna menjadi permulaan pembuktian seperti akta di bawah
tangan dan dapat memiliki cacat hukum yang menyebabkan kebatalan atau ketidakabsahannya
akta tersebut.17
Pelaksanaan turunnya kekuatan pembuktian akta hanya karena kurang paraf,
(Pasal 50 ayat (2) UUJN) yang salah satu akibatnya berpengaruh pada perjanjian kredit apabila
debitur wanprestasi, kemudian Notaris harus mengganti kerugian berikut bunga dan biaya-biaya
yang timbul. Apabila ada pihak debitur yang beritikad tidak baik, hal-hal tersebut dapat menjadi
celah hukum untuk menjatuhkan sanksi kepada Notaris tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu.
Tanpa adanya sebuah pengaturan mengenai penjatuhan sanksi hukum terhadap Notaris yang
melanggar kewajiban dan larangan sebagaimana ketentuan pasal-pasal di atas, dapat membuka
kemungkinan interpretasi bahwa pembuktian terhadap akta Notaris yang terdegradasi kekuatan
pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan dapat dilakukan secara sepihak tanpa harus
melalui proses gugatan ke pengadilan. Hal demikian tentu sangat bertentangan dengan ketentuan
Pasal 1877 KUHPerdata yang berbunyi: “Jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya,
ataupun jika para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari padanya menerangkan
tidak mengakuinya, maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda
tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan”.
16
Menurut Pasal 1870 KUHPerdata, suatu akta autentik memberikan diantara para pihak beserta para ahli
warisnya atau orang yang mendapatkan haknya dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat
didalamnya. Akta autentik merupakan suatu bukti yang mengikat dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta
tersebut harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak
dibuktikan. Akta tersebut memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa akta tersebut sudah tidak
memerlukan suatu penambahan pembuktian. Akta autentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah
menerangkan apa yang dituliskan, tetapi juga bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.
17
R. Subekti, 2008, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h.27.
Substansi pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi dalam UUJN jika dibandingkan dengan
Pasal 60 Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut PJN) yang termuat dalam Reglement op
Het Notaris Ambt in Indonesia (Stbl. 1860:3), dimana dalam Pasal 60 PJN disebutkan, “Apabila
akta yang dibuat di hadapan Notaris tidak memenuhi syarat bentuk, dapat dibatalkan di muka
pengadilan atau dianggap hanya dapat berlaku sebagai akta yang dibuat di bawah tangan”.
Menurut Pasal 60 PJN dalam pembatalan akta untuk berlaku sebagai akta dibawah tangan
memerlukan putusan pengadilan, sementara dalam pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi
perdata dalam UUJN tidak menyebutkan penjatuhan sanksi seperti yang diatur dalam Pasal 60
PJN.
Di sisi lain, penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris tunduk terhadap ketentuan pidana
umum, yaitu KUHP. UUJN tidak mengatur penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris. Dalam
praktek, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terdapat kemungkinan adanya penipuan
maupun pemalsuan dalam menjalankan jabatannya tersebut. Keberadaan Notaris sebagai orang
yang dipercaya dalam membuat akta tentang suatu perbuatan hukum membuka peluang adanya
ketidakbenaran dalam membuat akta. Ketidakbenaran tersebut menjadi lebih berbahaya
mengingat besarnya kepercayaan yang diberikan kepada Notaris. Contohnya a pabila Notaris
ikut serta dalam pemalsuan identitas penghadap maka dapat dikenai sanksi pidana Pasal 264
KUHP, yang mengatur tentang obyek pemalsuan yang mengandung nilai kepercayaan yang
tinggi sehingga sanksinya diperberat. Selain itu juga diatur dalam Pasal 266 KUHP yang akan
dikenakan terhadap pelaku yang meminta Notaris untuk membuatkan akta dengan identitas
palsu.
Penipuan maupun pemalsuan yang dilakukan oleh Notaris baik dalam akta pihak maupun
akta relaas terdapat suatu kekhususan tertentu dimana penipuan maupun pemalsuan tersebut
hanya dapat dilakukan oleh Notaris. Perbuatan-perbuatan sebagaimana diuraikan di atas, bukan
saja merupakan perbuatan yang melanggar keluhuran jabatan Notaris, namun dalam perbuatan
tersebut terdapat aspek pidana, karenanya terdapat sanksi pidana. Hal ini menunjukkan bahwa
Notaris dapat melakukan tindak pidana dalam menjalankan tugas jabatannya.
Di sisi lain, Notaris dalam melakukan suatu pelanggaran UUJN, sebenarnya dapat dijatuhi
sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan Notaris, tapi kemudian ditarik atau
dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Aspek-aspek tersebut
merupakan batasan-batasan yang jika dapat dibuktikan dapat dijadikan dasar untuk dijatuhkan
sanksi administratif dan sanksi perdata terhadap Notaris. Namun ternyata disisi yang lain
batasan-batasan seperti itu dijadikan dasar untuk memidanakan Notaris dengan dasar Notaris
telah membuat surat palsu atau memalsukan akta (Pasal 263, 264 dan 266 KUHP) dengan
kualifikasi sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Hal ini dapat terjadi sebagai
akibat tidak diaturnya penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan
larangan UUJN. Padahal jika diperhatikan kembali dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN), suatu
peraturan yang menjadi cikal bakal UUJN, di dalamnya terdapat sanksi pidana terhadap Notaris
yang melanggar ketentuan pasal-pasal dalam PJN, meskipun hanya mencantumkan sanksi pidana
berupa denda dan bukan sanksi pidana kurungan atau penjara. Sehingga yang diatur saat ini
dalam UUJN hanya sanksi perdata dan administrasi saja.
Mengacu pada fakta di atas, penulis tertarik untuk mengangkat dan membahas mengenai
pengaturan sanksi hukum terhadap Notaris yang melanggar UUJN ke dalam tesis dengan judul:
“Sanksi Hukum Terhadap Notaris yang Melanggar Kewajiban dan Larangan UndangUndang Jabatan Notaris”.
Penelitian tentang sanksi hukum terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan
UUJN ini merupakan penelitian yang asli dan dapat dipertanggungjawabkan, penulis telah
membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang sanksi
hukum terhadap Notaris yang melanggar UUJN. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian
ini antara lain:
1) Tesis berjudul: “Aspek Hukum Sanksi Terhadap Notaris Yang Melanggar Ketentuan Dalam
Pembuatan Akta Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,”
oleh Gamal Abdul Nasir, Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas
Indonesia, Depok, Tahun 2011. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis penulisan Yuridis
Normatif, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah batasan Sanksi Perdata terhadap pelanggaran ketentuan dalam pembuatan akta
menurut ketentuan Pasal 84 UUJN dan batasan Sanksi Administratif menurut ketentuan
Pasal 85 UUJN?
2. Apakah Akta Notaris dapat dijadikan dasar untuk menuntut Notaris (Sanksi Perdata)?
2) Tesis berjudul: “Urgensi Penerapan Tindak Pidana Notaris Berkaitan Dengan Ketiadaan
Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”, oleh
Sari Jacob, Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok,
Tahun 2013. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis penulisan Yuridis Normatif, dengan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Mengapa tidak terdapatnya pengaturan mengenai sanksi pidana dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris?
2. Bagaimanakah urgensi penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN) berkaitan dengan
ketiadaan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris?
3) Tesis berjudul: “Urgensi Kebijakan Sanksi Pidana Terhadap Notaris Yang Melakukan
Pelanggaran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris”, oleh Ni Wayan
Novita Indah Pandansari, Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2016. Penulisan ini
dilakukan berdasarkan jenis penulisan Yuridis Normatif, dengan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab Notaris terhadap pelanggaran UUJN?
2. Apakah Notaris yang melakukan pelanggaran UUJN dapat dijatuhi sanksi pidana?
3. Urgensi perumusan ketentuan sanksi pidana di dalam UUJN.
Penelitian tersebut di atas berbeda penulisannya dengan penelitian ini dimana dalam
penelitian ini menekankan pada adanya kekosongan norma, terutama dengan tidak
dicantumkannya ketentuan mengenai penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum acara) baik
penjatuhan sanksi pidana maupun penjatuhan sanksi perdata terkait pembatalan akta autentik
menjadi akta dibawah tangan melalui proses pengadilan terhadap Notaris yang melanggar
kewajiban dan larangan Undang-undang Jabatan Notaris, sehingga tesis ini adalah asli, ada unsur
kebaruan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan sanksi hukum terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan
larangan Undang-Undang Jabatan Notaris?
2. Bagaimanakah penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum acara) terhadap Notaris yang
melanggar kewajiban dan larangan Undang-Undang Jabatan Notaris?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah dimaksudkan untuk membatasi permasalahan dalam penelitian ini
agar sifatnya lebih spesifik. Sesuai dengan judul yang diangkat maka dibatasi mengenai
pengaturan sanksi hukum terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan UndangUndang Jabatan Notaris dan penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum acara) terhadap Notaris
yang melanggar kewajiban dan larangan Undang-Undang Jabatan Notaris.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian tesis ini bertujuan untuk melatih diri dalam menyampaikan pikiran
secara tertulis dalam suatu karya ilmiah serta mengetahui perkembangan pengaturan hukum
khususnya bidang kenotariatan, melaksanakan dan mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi,
khususnya pada bidang akademis terkait bidang penelitian yang dilakukan mahasiswa mengenai
suatu permasalahan hukum sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini terkait Penjatuhan
Sanksi Hukum (Sesuai Hukum Acara) Terhadap Notaris Yang Melanggar Kewajiban Dan
Larangan Undang-Undang Jabatan Notaris, dan sebagai pemenuhan syarat untuk menyelesaikan
jenjang strata S2 di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis pengaturan sanksi hukum terhadap Notaris yang melanggar
kewajiban dan larangan Undang-Undang Jabatan Notaris.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum acara) terhadap
Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan Undang-Undang Jabatan Notaris.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan untuk pembenahan dalam
kajian akademis tentang perlunya kepastian hukum secara normatif tentang penjatuhan sanksi
hukum (sesuai hukum acara) terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan Undangundang Jabatan Notaris.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Bagi aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan (hakim), pengacara/
advokat, terlebih bagi Notaris / PPAT, penelitian ini dapat menjadi landasan teoritis/
acuan dalam penanganan perkara dan/ atau penegakan hukum khususnya terkait
penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum acara) terhadap Notaris yang melanggar
kewajiban dan larangan Undang-Undang Jabatan Notaris.
b. Bagi mahasiswa, khususnya program Magister Kenotariatan, penelitian ini dapat
dijadikan salah satu bahan bacaan dan memperkaya wawasan tentang penjatuhan sanksi
hukum (sesuai hukum acara) terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan
Undang-Undang Jabatan Notaris.
c. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam
memahami fungsi dan peranan Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya.
1.6 Landasan Teoritis
Meneliti suatu permasalahan hukum, pembahasan akan sangat relevan apabila dikaji
menggunakan asas-asas hukum, konsep-konsep hukum dan teori-teori hukum. Teori hukum
dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis,
yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum. 18 Menurut
Kaelan M.S.: “Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional
penelitian dan bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian”. 19
Kerlinger mengartikan teori sebagai:
A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that
present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the
purpose of explaining and predicting the phenomena” (Sebuah teori adalah satu set saling
terikat (konsep), definisi, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis tentang
fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan untuk
menjelaskan dan memprediksi fenomena itu.20
Asas-asas hukum, konsep hukum dan teori-teori hukum dalam landasan teoritis ini yang
digunakan untuk membahas masalah penelitian ini dapat penulis identifikasikan sebagai berikut:
1.
Asas-asas Hukum
a. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam Negara hukum. Menurut
Gustav Radbruch, hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada 3 (tiga) hal yaitu: 21
1. Kepastian hukum;
Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya hukum dalam
hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan
menyimpang, hal ini dikenal juga dengan istilah fiat justitia et pereat mundus (meskipun
18
Salim H.S., 2010, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h.54.
Kaelan M.S, 2005, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian
Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Paradigma, Yogyakarta, h.239.
20
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h.140.
21
Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, h.33.
19
dunia runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenangwenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu.
2. Keadilan;
Keadilan merupakan harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Berdasarkan
karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.
Apabila penegak hukum menitikberatkan kepada nilai keadilan sedangkan nilai
kemanfaatan dan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum itu tidak dapat berjalan
dengan baik.
3. Daya guna atau kemanfaatan;
Demikian pula sebaliknya jika menitikberatkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan
kepastian hukum dan keadilan dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan. Idealnya
dalam menegakkan hukum itu nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai dasar
filsafat dan nilai-nilai dasar kemanfaatan merupakan suatu kesatuan berlaku secara
sosiologis, serta nilai dasar kepastian hukum yang merupakan kesatuan yang secara
yuridis harus diterapkan secara seimbang dalam menegakkan hukum.
Asas kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang
bersifat umum yang memberi penjelasan kepada individu tentang perbuatan yang boleh dan tidak
boleh dilakukan. Kedua, adanya keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan kekuasaan
pemerintah. Asas kepastian hukum ini memberikan landasan tingkah laku individu dan landasan
perbuatan yang dapat dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya
berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan
hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa
yang telah diputuskan.22
Asas kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan yang sesuai
dengan aturan hukum. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat
dan diundangkan secara pasti karena dapat memberikan pengaturan secara jelas dan logis. Jelas
dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan atau multitafsir, dan logis dalam arti hukum
tersebut
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan
22
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, h.158.
konflik norma ataupun adanya kekaburan dan kekosongan norma. Penjelasan Pasal 6 huruf i
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234, menetapkan bahwa dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan salah satunya harus mencerminkan adanya asas kepastian hukum.
Kepastian hukum berarti bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum tidak terkecuali
UUJN.
Asas ini memiliki relevansi untuk menganalisis rumusan masalah yang pertama terkait tidak
adanya pengaturan tentang sanksi hukum khususnya sanksi pidana dan sanksi perdata terkait
pembatalan akta autentik menjadi akta dibawah tangan terhadap Notaris yang melanggar
kewajiban dan larangan UUJN.
b. Asas Praduga Sah
Asas ini menegaskan perlindungan hukum terhadap produk hukum seorang Notaris dapat
dilindungi dengan adanya asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoeden van Rechtmatigheid
atau Presumptio Iustae Causa) adalah asas yang menganggap sah suatu produk hukum sebelum
adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) yang menyatakan
tidak sah.
Mengacu pada asas praduga sah ini maka akta autentik yang dibuat oleh Notaris harus
dianggap sah dan mengikat para pihak sebelum dapat dibuktikan ketidakabsahan baik dari aspek
lahiriah, formil maupun materiil. Apabila tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan
tetap sah mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Asas ini
telah diakui dalam UUJN yang tersebut dalam penjelasan bagian umum yang menegaskan bahwa
akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam
akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal
sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. 23 Dengan asas praduga sah ini
akta autentik patut dikatakan sah sebelum ada yang membuktikan akta autentik tersebut tidak
sah, melalui mekanisme yang diatur secara jelas dan tegas oleh suatu undang-undang dalam hal
ini UUJN.
Asas ini digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua yaitu tidak diatur tentang
penjatuhan sanksi hukum(sesuai hukum acara) khususnya sanksi perdata terkait pembatalan akta
autentik menjadi akta dibawah tangan tanpa melalui pembuktian di pengadilan dan mendapatkan
keputusan pengadilan yang inkracht terlebih dahulu.
2.
Konsep Hukum
Konsep Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum selalu terkait dengan peran dan fungsi hukum sebagai pengatur dan
pelindung kepentingan masyarakat. Bronislaw Malinowski dalam bukunya berjudul Crime and
Custom in Savage mengatakan: “Bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan
yang penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi bahwa hukum juga berperan pada aktivitas
sehari-hari”.24 Philipus M. Hadjon mendefinisikan perlindungan hukum sebagai: “Perlindungan
akan harkat martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek
hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan”. 25
23
Habib Adjie I, Op. Cit, h.79.
Soeroso, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.49.
25
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, (Selanjutnya
disebut Philipus M. Hadjon II), h.37.
24
Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap suatu tindakan pemerintah dapat bersifat preventif
dan represif, yaitu:26
a. Perlindungan hukum yang bersifat preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan kewenangan. Dalam hal ini Notaris sebagai pejabat
umum harus berhati-hati dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kewenangan
yang diberikan Negara kepadanya untuk membuat suatu akta autentik guna menjamin
kepastian hukum bagi masyarakat.
b. Perlindungan hukum yang bersifat represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya
sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan. Dalam hal ini, dengan begitu
banyaknya akta autentik yang dibuat oleh Notaris, tidak jarang Notaris tersebut
dipermasalahkan oleh salah satu pihak atau pihak lainnya karena dianggap telah
merugikan kepentingannya, baik itu dengan pengingkaran akan isi akta, tanda tangan
maupun kehadiran pihak di hadapan Notaris.
Perlindungan hukum harus berdasarkan atas suatu ketentuan dan aturan hukum yang
berfungsi untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek
hukum yaitu pendukung hak
dan kewajiban, tidak terkecuali bagi seorang Notaris. 27 Notaris
sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya perlu diberikan perlindungan hukum
terhadap pihak-pihak yang beritikad tidak baik, terutama berkaitan dengan tidak diaturnya
tentang penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum acara) terhadap Notaris yang melanggar
kewajiban dan larangan UUJN, khusus ketiadaan pengaturan tentang penjatuhan sanksi perdata,
karena melanggar pasal-pasal dalam UUJN yang mengakibatkan akta autentik terdegradasi
menjadi akta di bawah tangan secara serta merta tanpa adanya proses pembuktian di pengadilan.
Juga terhadap ketiadaan pengaturan sanksi pidana, yang dalam kenyataannya sangat tidak
melindungi Notaris dalam menjalankan jabatannya, karena sebenarnya dalam suatu tindakan
hukum atau pelanggaran yang dilakukan Notaris dapat dijatuhi sanksi administrasi atau perdata
26
Ibid, h.2.
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
(selanjutnya disebut Habib Adjie II), h.83.
27
atau kode etik jabatan Notaris, tapi kemudian ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh Notaris. Hal ini tentu sangat merugikan dan tidak memberikan
perlindungan hukum secara maksimal terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
sebagai pejabat umum.
3.
Teori Hukum
Teori-teori hukum yang digunakan untuk mendukung analisa dan pembahasan dalam
penelitian ini yaitu: Teori Ketaatan Hukum dan Sanksi, Teori Pembuktian dan Teori Legislasi.
a. Teori Ketaatan Hukum dan Sanksi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, istilah taat memiliki arti senantiasa
tunduk (kepada Tuhan, pemerintah dan sebagainya), patuh, tidak berlaku curang, setia dan saleh.
Sementara ketaatan itu sendiri diartikan sebagai kepatuhan, kesetiaan dan kesalehan. 28 Ketaatan
hukum tidak terlepas dari kesadaran hukum, dan kesadaran hukum yang baik adalah ketaatan
hukum sedangkan ketidaksadaran hukum yang baik adalah ketidaktaatan itu sendiri. 29
Kesadaran hukum dalam arti sempit adalah apa yang diketahui orang tentang apa yang demi
hukum harus dilakukan dan tidak harus dilakukan, disini sadar diartikan sebagai menjadi tahu.
Dalam arti yang lebih luas, kesadaran hukum meliputi tidak hanya fenomena sudah menjadi
tahu, akan tetapi juga lebih lanjut menjadi sudah berkemantapan hati untuk mematuhi apa yang
diperintahkan oleh hukum. Dengan perkataan lain, apa yang disebut kesadaran itu tidak hanya
akan meliputi dimensi kognitif (mencakup kegiatan mental/otak) dan dimensi afektif (ranah yang
berkaitan dengan sikap dan nilai). Sehingga pernyataan ketaatan hukum harus disandingkan
sebagai sebab dan akibat dari kesadaran dan ketaatan hukum. 30
28
Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, h.1370.
Achmad Ali, 2013, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.298.
30
Ibid, h.299.
29
Hukum berbeda dengan ilmu yang lain, karena struktur hukum pada dasarnya berbasis
kepada kewajiban dan tidak diatas komitmen. Kewajiban moral untuk mentaati dan peranan
peraturan membentuk karakteristik masyarakat. Didalam kenyataannya ketaatan terhadap hukum
tidaklah sama dengan ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, tidaklah demikian dengan
ketaatan sosial. Ketaatan sosial manakala tidak dilaksanakan maka sanksi-sanksi sosial yang
berlaku pada masyarakat inilah yang menjadi penghakim. Menurut penulis tidaklah berlebihan
bila ketaatan di dalam hukum cenderung dipaksakan.
Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam 3 (tiga) jenis yaitu: 31
1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya
karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena membutuhkan
pengawasan yang terus-menerus.
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya
karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benarbenar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nila intristik yang dianutnya.
Dalam realitasnya, seseorang dapat mentaati suatu aturan hukum hanya karena ketaatan
salah satu jenis saja, misalnya ketaatan karena compliance, dan tidak karena identification dan
internalization. Tetapi juga dapat terjadi, seseorang menaati suatu aturan hukum, berdasarkan
dua jenis bahkan tiga jenis ketaatan sekaligus. Selain karena aturan hukum itu memang cocok
dengan nilai-nilai intrinsik atau harkat serta kehormatan seseorang yang dianutnya, juga
sekaligus dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan baik dengan pihak lain.
Sanksi merupakan penilaian pribadi seseorang yang ada kaitannya dengan sikap perilaku
dan hati nurani yang tidak mendapatkan pengakuan atau dinilai tidak bermanfaat bila ditaati.
Pengaruh hukum dan konsep tujuan, dapat dikatakan bahwa pengaruh konsep berarti sikap
tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah hukum dalam kenyataan, berpengaruh
31
Ibid, h.348.
positif atau efektifitasnya yang tergantung pada tujuan atau maksud suatu kaidah hukum. Suatu
tujuan hukum tidak selalu identik dinyatakan dalam suatu aturan dan belum tentu menjadi alasan
yang sesungguhnya dari pembuat aturan tersebut.
Adapun sanksi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Sanksi negatif : diberikan bagi anggota masyarakat yang melanggar norma
(hukuman/pidana);
b. Sanksi positif :
bagi yang mematuhi larangan/perintah dari norma
itu (penghargaan/hadiah);
c. Sanksi formil : dirumuskan/ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan secara
tertulis sehingga sifatnya lebih pasti;
d. Sanksi informil : dirumuskan secara tidak tertulis (hukum adat).32
Penggunakan istilah sanksi (sanction) untuk merujuk reaksi yang diperoleh orang karena
menaati atau melanggar norma. Sanksi positif (positive sanction) diberikan kepada orang-orang
yang menaati norma sebagai ungkapan persetujuan atas tindakan/perilaku yang mengikuti
norma. Sanksi positif dapat berupa materi, misalnya hadiah, piala, atau uang, atau dapat pula
berupa tindakan-tindakan seperti pelukan, senyuman, tepukan di punggung, kata-kata hiburan,
jabatan tangan, atau salam dengan saling menepuk telapak tangan (high fives). Sanksi negatif
(negative sanction) diberikan untuk mencerminkan ketidaksetujuan terhadap pelanggaran norma.
Sanksi negatif dapat berupa materi, misalnya dikenakan denda oleh pengadilan, atau dapat pula
berupa hal-hal yang simbolik, misalnya kata-kata keras, atau isyarat-isyarat seperti dahi yang
mengkerut, tatapan mata, rahang terkatup rapat, atau acungan kepalan tinju.
Sanksi terhadap Notaris terkait penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu nestapa dan
pertaruhan dalam menjalankan tugas jabatannya, juga sebagai efek jera sehingga timbul suatu
kesadaran dan ketaatan untuk mematuhi aturan-aturan atau norma-norma tentang sanksi yang
diatur dalam UUJN. Oleh karena itu pengaturan tentang sanksi hukum yang tegas dan jelas
terkait penjatuhan sanksi hukum terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan
32
Ibid., h.349.
UUJN merupakan suatu keniscayaan dalam rangka melindungi Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya sebagai pejabat umum dan juga masyarakat pengguna jasa Notaris. Sehingga teori ini
menjadi relevan dalam memecahkan masalah pertama dan kedua terkait penelitian ini.
b. Teori Pembuktian
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung beberapa pengertian yaitu
membuktikan dalam arti logis, konvensional dan yuridis. 33
1. Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena
berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2. Membuktikan dalam arti konvensional juga berarti memberikan kepastian, hanya saja
bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya yang mempunyai
tingkatan-tingkatan yaitu:
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, yang bersifat intuitif dan disebut
conviction intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, oleh karena itu disebut juga
conviction raisonnee.
3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Pembuktian dalam arti yuridis
ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari
mereka. Dengan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran
mutlak, hal ini terlihat bahwa tidak tertutup kemungkinan adanya pengakuan, kesaksian
atau surat-surat itu tidak benar atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya
bukti lawan.
Pendapat menarik dikemukakan oleh Supomo tentang pembuktian dengan menerangkan
bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Dalam arti luas membuktikan berarti
memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Sedangkan membuktikan
dalam arti terbatas maknanya bahwa yang perlu dibuktikan itu hanyalah hal-hal yang dibantah
oleh tergugat. Hal yang diakui oleh tergugat tidak perlu dibuktikan lagi. 34
Subekti memberikan arti membuktikan dengan mengikat hakim untuk membenarkan
kebenaran peristiwa/ hak yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perkara. 35 Penulis
berpendapat bahwa pengertian membuktikan yang ditekankan disini adalah pengertian
33
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h.101-102.
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2013, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenadamedia
Group, Jakarta, h.20.
35
Ibid, h.21.
34
membuktikan baik dalam hukum acara perdata maupun hukum acara pidana. Pembuktian dalam
proses perdata adalah upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan persengketaan
atau untuk memberikan kepastian tentang benar terjadinya peristiwa hukum tertentu, dengan
menggunakan alat bukti yang ditentukan oleh hukum, sehingga dapat dihasilkan suatu penetapan
atau putusan oleh pengadilan.Terkait ketiadaan pengaturan tentang proses pembatalan akta
sehingga berpotensi terhadap produk hukum Notaris yang berupa akta autentik terdegradasi
menjadi akta di bawah tangan tanpa perlu adanya pembuktian terlebih dahulu, seharusnya oleh
pihak yang mendalilkan bahwa akta Notaris itu telah terdegradasi, maka pihak yang mendalilkan
tersebutlah yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan ketidakautentikan akta tersebut.
Terhadap Notaris yang diduga melakukan pelanggaran pidana maka Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya terdapat dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi
dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sehingga teori ini memiliki relevansi untuk
memecahkan permasalahan kedua dalam penelitian ini.
c.
Teori Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau dalam bahasa Belanda dikenal
dengan istilah Politiek, yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang
berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum
dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah
masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian
hukum/peraturan, dengan tujuan umum yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan
atau kemakmuran masyarakat warga negara. Sedangkan kebijakan hukum pidana dapat diartikan
dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum
pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan. 36
Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara pendekatan yang
berorientasi pada tujuan, pendekatan rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta
pendekatan yang berorientasi pada nilai. 37 Crime is designation, which mean that crime is
defined by other than criminals. Crime is behaviour subject to judgment of other 38 (Kejahatan
adalah sebutan, yang berarti bahwa kejahatan didefinisikan oleh orang lain selain penjahat.
Kejahatan adalah perilaku subjek untuk pertimbangan lainnya).
Dalam mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, tetapi perlu
melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, karena kebijakan penegakan hukum pidana
merupakan serangkaian proses yang terdiri dari 3 (tiga) tahap kebijakan, yaitu:
a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa
yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undangundang.
b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak
hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
c. Tahap kebijakan eksekutif/ administratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit,
oleh aparat pelaksana pidana. 39
Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana, dalam hal ini
Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum
yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum
pidana dan suatu mekanisme penjatuhan sanksi pidana. 40
Penjatuhan sanksi pidana dalam arti sempit/formal berarti kewenangan menjatuhkan sanksi
pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam arti
luas/material, penjatuhan sanksi pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari
36
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h.23-24.
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h.61.
38
Peter Hoefnagels G., 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer, Holland, h.92.
39
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h.30.
40
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, h.28-29.
37
pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana
dijatuhkan oleh pengadilan dan dijalankan oleh aparat pelaksana pidana. Hal ini merupakan satu
kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Oleh karena itu keseluruhan
sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana itupun harus terwujud dalam satu kesatuan
kebijakan legislatif yang integral. 41
Terkait penjatuhan sanksi pidana, tidak bisa terlepas dari dasar pokok sistem hukum pidana
di Indonesia yang menganut asas legalitas (principle of legality) sebagaimana diatur dalam Pasal
1 ayat 1 KUHP, merupakan asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (nullum
delictum nulla poena sine praevia lege). Maka tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana jika hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undangundang. 42
Pengaturan sanksi hukum dalam UUJN yaitu sanksi perdata dan sanksi administratif yang
diatur dalam pasal-pasal tertentu secara limitatif dan dalam kode etik jabatan notaris yaitu dalam
Pasal 6, salah satunya adalah pemberhentian dengan tidak hormat, kaitannya Notaris
diberhentikan dengan tidak hormat sudah pasti melakukan pelanggaran berat dan secara
otomatis berhubungan dengan tindak pidana yang memungkinkan Notaris diberhentikan secara
tidak hormat.
Notaris melakukan suatu tindak pidana tidak terlepas dari adanya keinginan dan kesempatan,
tetapi Notaris lupa kalaupun UUJN belum mengatur tentang sanksi pidana, namun Notaris masih
dapat dikenakan ketentuan tentang sanksi pidana secara umum yang diatur dalam KUHP,
41
Ida Ayu Indah Sukma Angandari, 2011, Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu Kredit (Credit Card), Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas Udayana,
Denpasar, h.37.
42
Moeljatno,Op.Cit.,h.23-25.
sehingga alangkah lebih baik apabila UUJN sendiri mengatur ketentuan pidana tersebut dengan
menambahkan atau menyisipkan satu pasal mengenai sanksi pidana terhadap Notaris yang
melanggar kewajiban dan larangan dalam UUJN.
d. Teori Legislasi
Teori legislasi merupakan salah satu teori yang sangat penting di dalam kerangka
menganalisis tentang proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Teori ini memiliki
relevansi untuk menganalisis rumusan masalah yang pertama dan kedua, karena teori ini dapat
digunakan untuk menilai tentang produk perundang-undangan yang telah ada dan yang akan
dibuat, apakah peraturan perundang-undangan yang ada dan akan dibuat tersebut sesuai atau
tidak dengan teori legislasi. Dalam penulisan ini produk perundang-undangan yang dimaksud
adalah UUJN (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris) khususnya pasal-pasal
yang mengatur tentang sanksi terhadap Notaris yang melanggar UUJN.
Istilah teori legislasi berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu legislation theory, bahasa
Belandanya disebut dengan theorie van de wetgeving (teori membuat atau menyusun undangundang), sedangkan dalam bahasa Jerman disebut theorie der gezetsgebung.43 Anis Ibrahim
menyajikan pengertian legislasi sebagai:
Suatu proses pembuatan hukum dalam rangka melahirkan hukum positif (dalam arti hukum
perundang-undangan/ peraturan perundang-undangan). Legislasi ini dimulai dari tahap
perencanaan pembuatan hukum, penyusunan, formulasi, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, hingga sosialisasi produk hukum. 44
Teknik perundang-undangan bertujuan membuat atau menghasilkan peraturan perundang-
43
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.33.
44
Anis Ibrahim, 2008, Legislasi dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik dan Hukum dalam
Proses Pembentukan Peraturan Daerah di Jawa Timur, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, h.114,
dalam Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Ibid.
undangan yang baik. Peraturan perundang-undangan merupakan hasil karya atau produk hukum
dari lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai
dengan tata cara yang berlaku. Menurut Bagir Manan, suatu peraturan perundang-undangan yang
baik dapat dilihat dari berbagai segi: 45
1. Ketetapan struktur, ketetapan pertimbangan, ketetapan dasar hukum, ketetapan bahasa
(peristilahan), ketetapan pemakaian huruf dan tanda baca;
2. Kesesuaian isi dengan dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Kesesuaian yuridis
menunjukkan adanya kewenangan, kesesuaian bentuk dan jenis peraturan perundangundangan, diikuti cara-cara tertentu, tidak ada pertentangan antara peraturan perundangundangan yang satu dengan yang lain, dan tidak bertentangan dengan asas-asas hukum
umum yang belaku. Kesesuaian sosiologis menggambarkan bahwa peraturan perundangundangan yang dibuat sesuai dengan kebutuhan, tuntutan, dan perkembangan masyarakat.
Kesesuaian filosofis menggambarkan bahwa peraturan perundang-undangan dibuat
dalam rangka mewujudkan, melaksanakan, atau memelihara cita hukum (rechtsidee)
yang menjadi patokan hidup bermasyarakat.
3. Peraturan perundang-undangan tersebut dilaksanakan (applicable) dan menjamin
kepastian. Suatu peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan daya dukung
baik lingkungan pemerintahan yang akan melaksanakan maupun masyarakat tempat
peraturan perundang-undangan itu akan berlaku.46
Peraturan perundang-undangan yang baik setidaknya didasari pada 3 (tiga) hal yaitu:
1.
2.
3.
45
Dasar Yuridis (juridishe gelding), yakni pertama, keharusan adanya kewenangan dari
pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus
dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak, peraturan perundangundangan itu batal demi hukum (van rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan
segala akibatnya batal secara hukum. Misalnya, undang-undang dalam arti formal (wet in
formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undang yang
tidak merupakan produk bersama antara Presiden dan DPR adalah batal demi hukum.
Dasar Sosiologis (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan yang hidup
dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya (baca: peraturan
perundang-undangannya) harus sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam
masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau
masalah-masalah yang dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh,
dan lain sebagainya.
Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai cita hukum (rechtsidee)
yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum (baca: peraturan perundang-undangan),
misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Rechtidee
tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka
Bagir Manan, 1995, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, LPPM,
Unisba, Bandung, h.12.
46
Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill, Jakarta, h.14-16.
mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang
kedudukan wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya. 47
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analis dan konstruksi,
yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologi berarti sesuai dengan
metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten
berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.48
Penelitian yang dalam bahasa Inggris disebut dengan research, pada hakekatnya merupakan
sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian (research) orang mencari (search) temuan-temuan
baru, berupa pengetahuan yang benar (truth, true knowledge) yang dapat dipakai untuk
menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan masalah. 49 Sebagaimana dinyatakan dalam
buku Legal Research, yaitu “Legal research is an essential component of legal practice. It is the
prosess of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that
law”50 bahwa penelitian hukum itu merupakan komponen penting dari praktik hukum, ini
merupakan proses untuk menemukan hukum yang mengatur suatu aktifitas yang menjelaskan
atau menganalisa hukum material tersebut. Soerjono Soekanto mengemukakan, dalam ilmu
hukum terdapat dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian
hukum sosiologis atau empiris. 51
47
48
Ibid, h.13-18.
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta,
h.42.
49
M.Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.1.
Morris L. Cohen & Kent C.Olson, 2000, Legal Research, In A Nutshell, West Group, ST.Paul, Minn, Printed
In The United States of America, h.1.
51
Soerjono Soekanto, Op.Cit, h. 51.
50
Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
merupakan suatu penelitian yang melihat hukum terdiri atas peraturan-peraturan tingkah laku
atau kaidah-kaidah, peraturan-peraturan perbuatan manusia atas suruhan dan larangan. Dengan
demikian penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang melihat hukum sebagai
seperangkat norma (kaidah).52 Sesuai dengan karakter dan tradisi ilmu hukum, maka penelitian
normatif merupakan ciri khas dari tradisi ilmu hukum. Penelitian hukum normatif ini juga
disebut dengan penelitian terhadap kaidah atau hukum itu sendiri dalam peraturan perundangundangan, yurisprudensi maupun hukum yang tidak tertulis. 53 Penelitian ini beranjak dari
kekosongan norma terkait tidak diaturnya tentang penjatuhan sanksi hukum (sesuai hukum
acara) terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan Undang-Undang Jabatan
Notaris.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach), dan
pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach).54 Pendekatan peraturan
perundang-undangan (The Statute Approach) adalah penelitian menggunakan pendekatan
perundang-undangan. Materi yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral terkait penelitian ini. Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem
tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait antara satu
dengan lain secara logis.
2. All-inclussive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung
permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum.
52
Van Apeldoorn L.J., 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h.18.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkatan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.13.
54
Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.24.
53
3. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum
tersebut juga tersusun secara hierarkhis. 55
Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach) adalah analisis
terhadap bahan hukum terkait penelitian ini untuk mengetahui makna yang terkandung oleh
istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional. Hal ini
dilakukan dengan melalui dua cara: Pertama, sang peneliti berusaha memperoleh makna baru
yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan. Kedua, menguji istilah-istilah hukum
tersebut dalam praktik melalui analisis terhadap putusan pengadilan.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) maupun UndangUndang lainnya yang relevan dengan pembahasan penelitian ini seperti KUHP dan KUHPerdata
yaitu adanya kekosongan norma dengan tidak diaturnya tentang penjatuhan sanksi hukum (sesuai
hukum acara) terhadap Notaris yang melanggar kewajiban dan larangan Undang-Undang Jabatan
Notaris.
Secara lengkap sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini dapat
penulis jelaskan sebagai berikut:
a. Bahan-bahan hukum primer, antara lain:
1.
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek, Staatsblad 1847 No.23).
3.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915
no.732).
55
Jhony Ibrahim, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Pustaka Tinta Emas, Surabaya. h.302.
4.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
5.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4432.
6.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 5491.
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
8.
Peraturan Kode Etik Profesi Notaris;
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan /informasi tentang
bahan hukum primer, yang terdiri dari:
1.
Buku atau literatur hukum;
2.
Karya ilmiah para sarjana;
3.
Hasil-hasil penelitian;
4.
Jurnal hukum.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus (hukum), kamus bahasa
Indonesia, ensiklopedi hukum, internet dan lain-lain.56
1.7.4
56
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-1, Cet. IV, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.31.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metoda bola salju (snowball method).57 Metode bola salju adalah menggelinding
terus menerus yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan buku-buku hukum
dalam daftar pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tertier
diinventarisasi dan diklasifikasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini. Dengan pengklasifikasian diharapkan dapat memudahkan melakukan
analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian dengan mengelaborasikan antara
bahan hukum primer, sekunder serta bahan hukum tertier kemudian dianalisis dan disusun
secara sistematis.
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik deskripsi dan tehnik
penemuan hukum (Rechtsvinding). Teknik deskripsi adalah menguraikan adanya suatu kondisi
atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. 58 Sedangkan teknik penemuan
hukum (Rechtsvinding) menggunakan teknik konstruksi hukum dengan metode analogi adalah
suatu bentuk penalaran dengan memperluas berlakunya suatu pasal dari aturan hukum atau
undang-undang terhadap peristiwa hukum yang eksplisit (jelas-jelas) tidak disebut dalam aturan
hukum dimaksud.
Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah proses penemuan hukum oleh
hakim atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum
umum pada peristiwa yang konkret. Penemuan hukum sebagai proses konkretisasi atau
individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret
57
I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan
Pidana (tesis), Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
58
M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian dan Aplikasinya, Cet. I, Ghalia Indonesia,
Jakarta, h.43.
tertentu. Apabila terjadi kekosongan hukum maka hukum harus dicari dan ditemukan melalui
penemuan hukum. 59
59
Sudikno Mertokusumo, dalam Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan dalam Hukum Pidana,
Penerbit Erlangga, Jogjakarta, h.56.
Download