1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbatasan maritim dalam hukum internasional telah berkembang pesat dengan adanya perluasan yurisdiksi nasional di perbatasan maritim pada era 50 atau 60 tahun terakhir ini. Hal ini menyebabkan penyelesaian delimitasi perbatasan menjadi salah satu agenda penting bagi negara-negara pantai di dunia. Sebagai perumpamaan, satu hektar laut mungkin lebih bernilai dari satu hektar tanah tandus, terutama jika ada minyak atau gas yang terkandung di dasar lautnya. Oleh karena itu penyelesaian keputusan perbatasan saat ini menjadi tugas utama bagi negara pantai dan relatif sedikit dari negara pantai yang telah menyelesaikan perbatasan maritimnya secara keseluruhan.1 Dalam praktek penentuan perbatasan negara, proses penentuan perbatasan maritim lebih kompleks daripada perbatasan darat. Untuk menentukan perbatasan maritim antar negara perlu dilakukan proses delimitasi, yaitu suatu penentuan garis batas di wilayah maritim yang berbatasan langsung dengan negara lain baik itu yang berdampingan ataupun berseberangan. Penentuan delimitasi perbatasan maritim dipengaruhi dan berinteraksi dengan beberapa isu seperti politik, faktor historis dan kebudayaan, isu strategis dan keamanan, kepentingan ekonomi, dan kepentingan bagi kelompok-kelompok masyarakat.2 Pentingnya hasil yang harus dicapai dalam 1 http://chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/International%20Law/ilp140 206.doc, diakses tanggal 21 Januari 2014 2 Nuno M. Antunes, 2003, Toward the Conceptualisation of Maritime Delimitation, Martinus Nijhoff Publishers: Netherlands, hlm. 1-2 2 delimitasi maritim serta kompleksitas proses yang terkait dalam penentuan delimitasi maritim membuat topik ini menjadi objek penelitian yang populer dalam hukum internasional. Sesuai dengan ketentuan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), suatu negara pantai memiliki hak untuk menetapkan zona maritim di bawah yurisdiksinya. Zona ini mencakup perairan pedalaman dalam garis pangkal yang digunakan untuk mengukur sejauh mana laut teritorial dan perairan yurisdiksi lainnya, laut teritorial yang tidak boleh melebihi 12 nautical mile (n.m.)3 diukur dari garis pangkal, 4 zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang tidak boleh melebihi 200 n.m. diukur dari garis pangkal, 5 dan landas kontinen yang memiliki beberapa kriteria6 yaitu: pertama kriteria jarak sampai 200 n.m. jika tepian luar kontinennya tidak mencapai jarak 200 n.m., kedua adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 n.m. yang diukur dari garis dasar laut teritorial jika di luar 200 n.m. masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan, dan ketiga adalah kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi atau tidak boleh melebihi l00 n.m. dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter. Di zona maritim tersebut suatu negara pantai berhak untuk menikmati 3 Secara teknis singkatan untuk n.m. (n.m - nautical mile) adalah “M” (“n.m.” adalah singkatan untuk nanometer). Akan tetapi, “n.m.” secara luas telah digunakan oleh berbagai otoritas (contohnya the United Nations Office of Ocean Affairs and the Law of the Sea) dan juga untuk menghindari salah paham dengan singkatan “M,” yang sering dianggap sebagai singkatan untuk “meter.” 4 UNCLOS 1982 Pasal 3 5 UNCLOS 1982, Pasal 57 6 UNCLOS 1982, Pasal 76 3 kedaulatan dan atau hak berdaulat untuk melaksanakan yurisdiksinya serta menegakkan hukum dan peraturan yang sesuai dengan hukum internasional.7 Berkembangnya teknologi serta kebiasaan internasional di rezim zona ekonomi eksklusif yang memberikan hak berdaulat bagi negara pantai di wilayah kolom air sampai batas maksimal 200 n.m. yang disahkan dalam UNCLOS 1982 menyebabkan penambahan wilayah hak berdaulat secara signifikan pada negara pantai. Penciptaan zona laut ini membawa akibat perlunya delimitasi wilayah maritim yang berbatasan ketika masing-masing negara hendak menentukan perbatasannya. Besarnya nilai yang dipertaruhkan seperti stok perikanan, ladang minyak yang melimpah, atau karena lokasi yang strategis berdampak kemungkinan penggunaan kekuatan militer untuk menegaskan klaim negara atas wilayah maritim semakin meningkat.8 Perpanjangan yurisdiksi zona maritim negara pantai dapat menyebabkan konflik dan perselisihan diantara negara-negara tetangga yang berbagi laut yang sama sehingga pengaturan bilateral diperlukan untuk memfasilitasi pemeliharaan tatanan hukum laut. Pengaturan ini berkaitan dengan berbagai hal maritim seperti manajemen perikanan, batas maritim, pengembangan bersama sumber daya kelautan non-hayati, perlindungan lingkungan laut dan keselamatan maritim.9 Zou Keyuan, “Implementing The United Nations Convention On The Law Of The Sea In East Asia: Issues And Trends,” Singapore Year Book Of International Law And Contributors, 2005, hlm. 37 8 David J Bederman, 2006, International Law Frameworks, Second Edition, Foundation Press: New York, hlm. 134 9 Zou Keyuan, op.cit., 2005, hlm. 38 7 4 Sampai pada tanggal 7 Januari 2015, UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh 167 negara.10 Masing-masing negara memiliki kepentingan nasional dalam proses delimitasi perbatasan, diantaranya adalah alasan keamanan terlebih jika letak negara tersebut strategis secara geografis. Alasan perikanan menjadi salah satu dasar penting dalam pengajuan klaim delimitasi mengingat sumber perikanan terbanyak ada di wilayah ZEE. Pertimbangan ada atau tidaknya cadangan gas dan minyak bumi dalam suatu wilayah yang akan di delimitasi merupakan unsur krusial yang mendapat perhatian lebih dari pemerintah untuk melindungi cadangan sumber daya alam untuk kepentingan negaranya. Berdasarkan jenis perbatasan antar negara maka suatu negara pantai dapat berbatasan dengan laut bebas ataupun dengan negara tetangga di sekitarnya. Mengingat luas pantai dan keadaan geografis masing-masing negara berbeda maka ada kemungkinan suatu klaim atas wilayah maritim terjadi tumpang tindih. Hukum internasional telah mengatur mengenai delimitasi yang tercantum dalam Pasal 15 UNCLOS 1982 tentang penentuan batas laut teritorial antara negara yang berhadapan atau berdampingan, Pasal 74 UNCLOS 1982 tentang penentuan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) antara negara yang berhadapan atau berdampingan serta Pasal 83 UNCLOS 1982 tentang penentuan batas landas kontinen antara negara yang berhadapan atau berdampingan. Mengingat ZEE merupakan zona baru jika dibandingkan landas kontinen maka dengan diberlakukannya UNCLOS 1982 menyebabkan negara-negara yang 10 http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm, diakses tanggal 16 November 2015 5 saling berhadapan ataupun bersebelahan yang jarak pantainya kurang dari dua ratus n.m. harus melakukan delimitasi ZEE satu sama lain. Pengaturan delimitasi ZEE diatur tersendiri dalam Pasal 74 UNCLOS 1982. Rumusan pasal ini secara mutatis mutandis sama dengan Pasal 83 tentang delimitasi landas kontinen.11 Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan yang memiliki perairan yang luas memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap perkembangan di ZEE dan landas kontinen, baik dari segi sumber daya alam strategis, lintas navigasi, pertahanan, dan keamanan, sumber perekonomian serta sumber daya mineral yang potensial. Akan tetapi sampai tiga dekade sejak penandatanganan UNCLOS 1982 perkembangan perjanjian perbatasan antara Indonesia dan negara-negara tetangga belum semua terselesaikan. Sampai tahun 2016 perjanjian perbatasan landas kontinen masih belum dicapai kesepakatan dengan empat negara yaitu: Malaysia, Filipina, Palau, dan Timor Leste. Untuk perbatasan di ZEE masih belum disepakati dengan enam negara yaitu: Malaysia, Thailand, Vietnam, India, Palau, dan Timor Leste. Problem delimitasi ZEE dan landas kontinen yang belum selesai dilakukan dengan beberapa negara berada di beberapa kawasan, yaitu: 1. Malaysia berada di Selat Malaka, di Laut China Selatan serta di Laut Sulawesi. 2. Filipina berada di kawasan Laut Sulawesi di daerah antara Pulau sulawesi sampai ke ujung Pulau Miangas yang berhadapan dengan Kepulauan Filipina. 11 Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Alumni: Bandung, hlm.365 6 3. Palau delimitasi perbatasan yang belum disepakati di wilayah Laut Halmahera yang berhadapan dengan gugusan kepulauan di sekitar Pulau Halmahera dan Pulau Irian. 4. Timor Leste delimitasi perbatasan yang belum disepakati berada di kawasan Selat Ombai, Selat Wetar dan Laut Timor. 5. Thailand delimitasi perbatasan yang belum disepakati berada di kawasan Selat Malaka. 6. Vietnam delimitasi perbatasan yang belum disepakati berada di kawasan Laut China Selatan. 7. India delimitasi perbatasan yang belum disepakati berada di kawasan Samudera Hindia antara daratan ujung Sumatera di Nangroe Aceh Darussalam dengan Kepulauan Nicobar milik India. Untuk pembagian wilayah yang tumpang tindih ini aturan delimitasi mengenai ZEE dalam Pasal 74 ayat (1) UNCLOS 1982 menyebutkan: “Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai equitable solution.”12 Hak berdaulat di ZEE memberikan kontrol atas sumber daya laut sepanjang radius 200 n.m. (370 kilometer) di sebelah luar laut teritorial suatu negara pantai. Hal ini menyebabkan proliferasi sengketa ZEE dari dua atau lebih negara yang 12 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Departemen Luar Negeri Direktorat Perjanjian Internasional, hlm 73 7 tumpang tindih, terutama di negara yang mengklaim kedaulatan di pulau-pulau kecil karena banyak negara terutama negara kepulauan yang berada dalam jarak yang kurang dari 400 n.m. di antara kedua negara memiliki ZEE yang berpotongan satu sama lain.13 Untuk delimitasi landas kontinen dalam Pasal 83 ayat (1) UNCLOS 1982 menyatakan: “Penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai equitable solution.”14 Uniknya untuk pasal yang mengatur tentang delimitasi, UNCLOS 1982 memberi petunjuk teknis penarikan garis pangkal yang berbeda untuk masingmasing rezim hukum laut. Pada penentuan delimitasi laut teritorial ditetapkan dengan metode atau cara menarik garis tengah (median line) atau garis sama jarak (equidistance line). Ketentuan ini dapat disimpangi apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlu ditetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas. Berdasarkan esensi pasal di atas, sarana (means) dalam menentukan delimitasi laut teritorial telah ditetapkan secara definitif melalui metode median atau equidistance. Di sisi lain, UNCLOS 1982 menetapkan bahwa delimitasi ZEE dan landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus 13 Sumber dari http://people.hofstra.edu/geotrans/eng/ch5en/conc5en/EEZ.html, diakses tanggal 9 Oktober 2012 14 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, op.cit, hlm. 83 8 diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil (equitable solution). Dalam aturan ini prinsip Equitable berkedudukan sebagai hasil dari delimitasi (result) dan tidak ada cara yang dijelaskan secara definitif untuk mencapai delimitasi equitable solution. Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan delimitasi ZEE dan landas kontinen yang masih samar karena aturan yang dibuat tidak menentukan secara eksplisit definisi equitable solution serta metode penarikan delimitasinya. Hal ini merupakan salah satu contoh yang menunjukkan hukum itu terkadang masih samarsamar dan mengandung ketidakjelasan, jika membaca teks konvensi yang tercantum di dalam hukum internasional ada yang memerlukan penjelasan lebih lanjut meskipun teks konvensi atau rekam jejak konferensi sebelumnya telah dipelajari dengan seksama.15 Ada beberapa peraturan dalam hukum internasional yang memiliki kesamaran makna, ketidakjelasan peraturan ini juga diakui oleh Peterson dalam bukunya:“Its reference to ‘international law’ is questioned on the grounds that the rules of international law are too general and that the principles of justice and equity are abstract and vague.”16 Berdasarkan pendapat para ahli hukum, hukum internasional memiliki tiga permasalahan khusus yang mengacaukan keefektifan hukum internasional di 15 Henrik Ringbom, (eds), 1997, Competing Norms In the Law of Marine Environmental Protection, Kluwer Law International: Dordrecht, hlm. 5 16 Maureen Williams, Book Review, “International Regimes For The Final Frontier. By M. J. Peterson,” 105 Am. J. Int'l L. 403, 2005, hlm. 406 9 masyarakat internasional, yaitu: (1) ambiguity of rules; (2) a widespread perception of recurrent non-compliance; (3) absence or defect in rules. 17 Berdasarkan pendapat di atas permasalahan penentuan equitable principle ini termasuk dalam kategori satu, yaitu terdapat kesamaran atau ambigu peraturannya. Ada dua kemungkinan penyebab perbedaan pendapat atau sengketa dalam penyelesaian perbatasan maritim:18 1. Sengketa atas kedaulatan daratan Dua negara dapat mengklaim pulau yang sama (contohnya: perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia) atau klaim terhadap daratan yang sama (contohnya Bakassi peninsula dalam kasus Mahkamah Internasional antara Cameroon v. Nigeria). Untuk menyelesaikan permasalahan di atas, aturan yang terkait dalam hukum internasional antara lain berhubungan dengan akuisisi kedaulatan serta aktivitas manusia di wilayah tersebut (okupasi dan administrasinya). 2. Overlapping entitlements atas hak dan yurisdiksi maritim Klaim yang tumpang tindih antara negara yang bersebelahan atau berseberangan di wilayah 200 n.m. ZEE dan landas kontinen. Semenjak hak berdaulat negara pantai diperluas sampai 200 n.m. berakibat klaim tumpang tindih semakin banyak terjadi. Untuk menyelesaikan isu klaim tumpang tindih ini, aturan hukum 17 Yasuhiro Shigeta, 2010, International judicial control of environmental protection, Wolters Kluwer: Netherlands, hlm. 1 18 http://chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/International%20Law/ilp140 206.doc, diakses tanggal 21 Januari 2014 10 internasional yang berkaitan adalah delimitasi perbatasan maritim. Aturan delimitasi ini terdapat dalam UNCLOS, praktek negaranegara serta yurisprudensi internasional. Sampai saat ini masih terdapat sejumlah perbatasan ZEE dan landas kontinen yang belum selesai proses perjanjian delimitasinya, selain itu terdapat sejumlah negara yang mengeluarkan legislasi nasional yang mengklaim ZEE atau landas kontinen yang berbatasan dengan negara lain baik itu berseberangan ataupun berdampingan dengan tanpa adanya perjanjian delimitasi perbatasan maritim dengan negara tetangganya atau dilakukan secara sepihak. Sebagai contoh, terdapat beberapa kasus sengketa ZEE dan landas kontinen, diantaranya: sengketa di kepulauan Spratly di Laut China Selatan, yaitu wilayah laut yang diperebutkan oleh China, Vietnam, Malaysia, Taiwan, Brunei dan Filipina; permasalahan ZEE yang belum selesai antara negara Indonesia dan Malaysia di wilayah Selat malaka; sengketa landas kontinen antara China dan Jepang di Laut China Timur di Pulau Diaoyu; 19 sengketa antara Kanada dan Amerika Serikat di Beauford Sea; protes dari negara Islandia, Inggris dan Irlandia atas klaim Denmark bahwa landas kontinen di Kepulauan Faroe melampaui 200 n.m.; permasalahan landas kontinen laut Kaspia antara Turkmenistan dengan Azerbaijan, Iran dan Kazakhstan. 20 Zhu Fenglan, 2006, “The Delimitation of East China Sea Continental Shelf :SinoJapanese Disputes from the Perspective of International Law,” China International Studies-Fall 2006,sumber: http://yataisuo.cass.cn/English/Articles/showcontent.asp?id=793, diakses tanggal 9 Oktober 2012 20 Sumber dari https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/fields/ print_2070.html, diakses tanggal 9 Oktober 2012 19 11 Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang besar, dalam penentuan delimitasi dengan negara lain tunduk pada rezim peraturan negara kepulauan, dalam UNCLOS 1982 konsep negara kepulauan mendapatkan pengakuan dengan dimasukkannya Bab IV tentang Negara Kepulauan yang meliputi ketentuan-ketentuan hukum tentang definisi negara kepulauan, cara penarikan garis pangkal kepulauan, status hukum perairan kepulauan hak lintas alur-alur laut kepulauan, dan hak lintas damai. Setelah dikukuhkannya konsep negara kepulauan dalam hukum laut internasional menyebabkan luas laut wilayah Indonesia bertambah secara legal dengan sangat signifikan dengan panjang pantai menjadi ± 81 ribu km, memiliki wilayah daratan seluas ± 2.207 juta km2, perairan seluas ± 5.8 juta km2.21 Selain luas laut wilayah tersebut di mana Indonesia memiliki kedaulatan penuh, masih ditambah dengan luas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen di mana Indonesia memiliki hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam yang telah diatur dalam UNCLOS 1982. Indonesia juga berhak menggunakan penarikan garis pangkal kepulauan dalam penentuan zona-zona lain di dalam UNCLOS 1982. Untuk itu peneliti mengkaji substansi equitable principle dalam penentuan delimitasi di ZEE dan landas kontinen berdasarkan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Problem perbatasan negara Indonesia yang belum tuntas juga masih menjadi masalah bagi pemerintah. Perbatasan maritim Indonesia berhubungan langsung 21 Sumber dari makalah Haris D Nugroho, “Penanganan Perbatasan Negara dan ALKI Ditinjau dari Aspek Hankam,” Makalah yang disampaikan dalam Diklat Fungsional Analis Jak Hanneg di Jakarta, 19 Maret 2014 12 dengan 10 negara tetangga dan ada beberapa wilayah perbatasan antara Indonesia dengan negara tetangga yang belum disepakati bersama. Negara yang berhadapan langsung dengan Indonesia antara lain adalah: a. India dan Thailand di Laut Andaman; b. Thailand di Selat Malaka bagian Utara; c. Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan, di Laut Sulawesi serta di Laut Natuna bagian Timur dan Barat; d. Vietnam di Laut China Selatan; e. Filipina di Laut Sulawesi; f. Palau di Samudera Pasifik; g. Australia di Laut Arafura, Laut Timor, Samudera Hindia dan di wilayah perairan di sekitar Pulau Christmas; h. Timor Leste di Laut Timor. Dari seluruh batas wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, batas terpanjang adalah dengan Malaysia. Saat ini sebagian besar batas laut teritorial dan landas kontinen telah disepakati, baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Persetujuan batas laut teritorial telah mencapai lebih dari 80 persen dan yang belum disepakati adalah 20 persen, yaitu sepanjang hampir 50 n.m. atau 92,6 kilometer. Beberapa tempat yang belum ada kesepakatan perjanjian perbatasan yaitu: di bagian barat, daerah ”abu-abu” (“Grey Area”) itu berada di selatan Selat Malaka, daerah antara Johor dan Pulau Bintan, serta perairan dekat Batu Puteh di timur Singapura. Perairan Kalimantan perbatasan yang belum disepakati ada di Tanjung 13 Datuk yang berhadapan dengan Laut China Selatan dan Pulau Sebatik di Laut Sulawesi. Landas kontinen yang sudah disepakati mencapai lebih dari 95 persen, atau masih menyisakan batas berjarak kurang dari 100 mil atau 185,2 kilometer, yaitu di Ambalat Laut Sulawesi. Namun, hingga kini Zona Ekonomi Eksklusif di perbatasan kedua negara belum ada satu pun yang disepakati. Padahal, kawasan ini memiliki arti penting bagi aspek ekonomi karena Zona Ekonomi Eksklusif mengandung potensi perikanan dan nilai strategis dari aspek transportasi laut. Salah satu contoh permasalahan delimitasi maritim yaitu garis batas perairan ZEE antara Indonesia dan Malaysia dan adanya klaim tumpang tindih ZEE di wilayah Selat Malaka secara tidak langsung memiliki dampak terhadap perlindungan nelayan, jika suatu perbatasan belum diselesaikan maka berakibat nelayan yang mencari ikan di sana terancam dapat ditangkap karena tidak jelasnya perbatasan maritim antar negara. Penangkapan nelayan ini karena dianggap telah melakukan pelanggaran dengan memasuki daerah kekuasaan negara tetangga serta melakukan penangkapan ikan illegal (illegal fishing) di wilayah negara tetangga tersebut. Usaha untuk menyelesaikan perundingan batas maritim secepatnya juga mendukung perlindungan terhadap nelayan agar mereka dapat mencari ikan di lokasi yang jelas merupakan bagian wilayah negaranya. Dalam beberapa kesepakatan yang sudah dilakukan antara Indonesia dengan negara tetangga, terdapat beberapa area yang menyebabkan klaim tumpang tindih di rezim ZEE dan landas kontinen. Terdapat satu rezim yang sudah disepakati bersama yang kebanyakan menyangkut wilayah landas kontinen, sedangkan wilayah ZEE masih dalam proses penyelesaian. Timbulnya ketidaksepahaman 14 dalam penyelesaian delimitasi di ZEE ini karena beberapa negara tetangga Indonesia menyatakan bahwa perbatasan ZEE dengan sendirinya mengikuti perbatasan landas kontinen yang sudah lebih dahulu ditetapkan. Hal ini disebut sebagai “single maritime boundary” dalam perbatasan maritim. Kendala bagi penyelesaian delimitasi ini adalah Indonesia tidak menyetujui penentuan batas ZEE dan landas kontinen diwakili oleh satu garis karena beberapa alasan yang dibahas secara mendetail dalam Bab IV disertasi ini. Beberapa kesepakatan yang memiliki posisi kasus seperti itu antara lain dengan negara Malaysia, India, Thailand dan Vietnam. Berdasarkan posisi unilateral perbatasan maritim Indonesia di ZEE jelas digambarkan dalam peta resmi Indonesia. Indonesia telah mengklaim area yang lebih besar di ZEE (kolom air) dibandingkan dengan landas kontinen (dasar laut) yang dimiliki oleh Indonesia saat ini. Hal ini mungkin menjadi sumber kekhawatiran bagi negara-negara tetangganya.22 Mengingat pola yang sama dalam permasalahan kasus ini antara Indonesia dengan beberapa negara, maka peneliti merasa penting untuk menelaah tentang single maritime boundary untuk menjadi salah satu obyek penelitian yang relevan terhadap pencapaian equitable principle dalam penentuan delimitasi Indonesa dengan negara tetangga. Berdasarkan tinjauan dari sisi filosofis, equitable principle memiliki permasalahan filosofis, yaitu terdapat ketidakjelasan makna dari equitable yang merupakan suatu asas yang absolut dalam tujuan delimitasi. Hal ini mungkin terjadi 22 I Made Andi Arsana, “Predicting Indonesia’s Maritime Boundaries,” sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/22/predicting-Indonesia-s-maritimeboundaries.html, diakses tanggal 13 januari 2014 15 karena prinsip hukum equitable ini terlalu umum dan luas sehingga dapat terjadi salah interpretasi antara para pihak yang sedang melakukan proses delimitasi. Pembahasan mengenai definisi equitable principle dalam tataran hukum laut internasional belum tuntas dilakukan baik oleh pengadilan internasional maupun dari pendapat para sarjana hukum internasional. Dalam penentuan keputusan delimitasi melalui peradilan internasional kewenangan pengadilan internasional dalam mencapai equitable principle sangat luas. Untuk mencapai equitable principle maka alasan-alasan seperti: geografis, geologis, ekonomi, sosial dan kriteria keadaan yang relevant (relevant circumstances) dapat dijadikan unsur penentu dalam kasus penentuan batas wilayah maritim. Equitable yang secara umum biasa diterjemahkan sebagai keadilan atau keseimbangan, merupakan keadilan dari sudut pandang para hakim di peradilan internasional. Keadilan sendiri sampai saat ini belum mendapat definisi yang ajeg mengingat keadilan dapat dilihat dari berbagai sudut tergantung dari masingmasing pihak yang memandangnya. Lebih jauh lagi, pencapaian prinsip equitable antara negara pantai dengan negara kepulauan lebih kompleks, mengingat negara kepulauan memiliki hak untuk melakukan penarikan garis pangkal kepulauan yang tidak dimiliki oleh negara pantai. Secara filosofis perlu dipertegas pemahaman equitable principle dalam perspektif negara kepulauan yang ditinjau dari sisi interpretasi, area, orientasi, cakupan serta tujuan equitable principle. Jika ditinjau dari sisi normatif, maka pencantuman secara eksplisit equitable principle dalam penentuan delimitasi di ZEE dan landas kontinen hanya merupakan 16 suatu tujuan akhir yang ingin dicapai oleh proses delimitasi, di sini terdapat kekosongan hukum tentang bagaimana cara atau metode teknis dalam proses delimitasi sedangkan metode teknis ini merupakan salah satu elemen dasar yang diperlukan dalam setiap penarikan delimitasi perbatasan maritim. Perlu pembahasan yang mendalam tentang indikator penting untuk mencapai equitable principle dalam konsep negara kepulauan. Berdasarkan sisi implementatif, maka dengan tidak adanya definisi equitable principle serta tidak diaturnya cara atau metode untuk melakukan delimitasi secara teknis mempersulit penyelesaian delimitasi antar negara di dalam prakteknya. Pada akhirnya banyak timbul kasus sengketa atau menyebabkan lamanya proses delimitasi perbatasan maritim yang tidak hanya merugikan para pihak namun juga dapat mempengaruhi keamanan dan stabilitas masyarakat internasional. Untuk mengatasi hambatan dalam implementatsi equitable principle ini, maka diperlukan identifikasi detail atas penyebab hambatan delimitasi equitable principle khususnya dalam perspektif Indonesia sebagai negara kepulauan. Pentingnya pemecahan masalah filosofis, normatif dan implementatif equitable principle berkaitan erat dengan usaha penyelesaian delimitasi. Perbatasan maritim yang telah ditentukan dengan jelas merupakan elemen dasar untuk hubungan internasional yang baik dan pengelolaan laut yang efektif. Jika perbatasan maritim belum diselesaikan dapat menimbulkan resiko politik dan keamanan yang berpotensial besar dalam sengketa perbatasan maritim. 17 Sebagaimana yang dikatakan oleh Lord Curzon's: "frontiers are the razor's edge on which hang suspended…issues of war and peace…"23 Perbatasan maritim yang belum diselesaikan dapat menyebabkan hambatan bagi aktivitas ekonomi seperti eksplorasi dan perikanan karena adanya kekhawatiran dianggap sebagai pelanggaran oleh negara lain diperbatasan tersebut. Selain itu, dapat pula menimbulkan penyebab sengketa baru, seperti contoh penangkapan nelayan yang dituduh mencuri ikan di perbatasan atau penemuan sumber minyak dan gas bumi baru di wilayah tumpang tindih akan menyebabkan perebutan antara kedua negara yang merasa berhak atas sumber daya alam tersebut.24 Perbatasan yang tidak terselesaikan dapat merugikan kegiatan perekonomian, seperti pekerjaan eksplorasi atau penangkapan ikan, karena takut akan reaksi dari negara lain. Selain itu, perbatasan yang belum jelas secara tidak sengaja menyebabkan perselisihan, seperti misalnya, seorang nelayan yang ditangkap karena menangkap ikan di daerah perbatasan atau jika terdapat penemuan minyak bumi di daerah yang merupakan klaim tumpang tindih antara dua negara.25 Sebaliknya, tercapainya kesepakatan perbatasan membawa manfaat positif. Kepastian hukum berarti bahwa kegiatan ekonomi dapat dimulai. Industri minyak dapat lisensi untuk bekerja sampai ke garis perbatasan. Penegakan hukum perikanan juga dimungkinkan sampai ke garis perbatasan. Perbatasan maritim yang 23 http://chathamhouse.org/sites/default/files/public/Research/International%20Law/ilp140 206.doc, diakses tanggal 21 Januari 2014 24 Ibid. 25 Ibid. 18 jelas menghilangkan "kerusakan" yang disebabkan oleh ketidakpastian yurisdiksi. Sebagaimana dikatakan dalam kutipan puisi Robert Frost 26 yang berjudul “Mending Wall” dalam sebuah baitnya: "Good fences make good neighbours." Percepatan penyelesaian perbatasan maritim bagi negara Indonesia merupakan salah satu agenda penting yang harus dilakukan. Untuk alasan tersebut maka penelitian mengenai equitable principle di landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif ini menggunakan ruang lingkup di wilayah perbatasan maritim Indonesia sebagai salah satu kontribusi nantinya dalam mendorong penyelesaian delimitasi perbatasan Indonesia. Cakupan penelitian adalah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga baik yang belum selesai maupun yang sudah selesai untuk mengkaji lebih lanjut equitable principle yang menjadi topik penelitian ini. Untuk lebih fokus dan terarah maka peneliti membatasi ruang lingkup penelitian dalam beberapa kategori: 1. Kategori ruang lingkup pembahasan; dalam penelitian ini pembahasan di pusatkan pada penentuan delimitasi ZEE dan landas kontinen di mana hak yang berlaku di sana berbentuk hak berdaulat, jadi suatu negara tidak memiliki wilayah tersebut secara penuh, tidak seperti zona teritorial yang dimiliki oleh negara dan berdaulat penuh di sana. Selain itu alasan penetapan obyek penelitian kepada penentuan delimitasi ZEE dan landas kontinen karena kedua rezim ini memiliki aturan delimitasi yang sama berdasarkan UNCLOS 1982. 26 Mark Richardson, 2014, Robert Frost in Context, Cambridge University Press: Cambridge, hlm. 207 19 2. Kategori ruang lingkup wilayah; wilayah penelitian ini adalah perbatasan maritim Indonesia dengan negara tetangganya, baik yang sudah selesai dilakukan delimitasi maupun yang belum selesai dilakukan delimitasi dalam meneliti equitable principle yang menjadi topik sentral penelitian ini. Analisis terhadap equitable principle perlu dilakukan agar dapat memperjelas definisi equitable dan pencapaian kesepakatan delimitasi maritim di ZEE dan landas kontinen. Mengingat pentingnya perbatasan ZEE dan landas kontinen dalam hukum laut internasional dan khususnya bagi negara Indonesia maka peneliti merasa perlu untuk mengangkat permasalahan equitable principle ini untuk dijadikan penelitian disertasi yang kemudian dituangkan dalam judul penulisan hukum: “Equitable Principle Dalam Penentuan Delimitasi Perbatasan Indonesia Dengan Negara-Negara Lain di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.” B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka tampaklah bahwa tujuan dari perubahan UNCLOS 1982 untuk sesegera mungkin menyelesaikan dan mempermudah proses delimitasi perbatasan maritim khususnya untuk wilayah ZEE dan landas kontinen masih belum sepenuhnya tercapai. Ketidakjelasan definisi pencapaian equitable solution menjadi suatu perdebatan baru para ahli hukum internasional. Pencapaian equitable solution perlu diteliti terlebih pada negara kepulauan yang memiliki pola penarikan garis pangkal kepulauan yang berbeda dengan negara pantai umumnya. Secara khusus perlu diidentifikasi mengenai permasalahan penyelesaian perbatasan maritim antara Indonesia dengan negara 20 tetangga. Perlu dicermati apakah penentuan delimitasi antara negara kepulauan dan negara pantai dalam penentuan equitable principle terdapat kendala yang berarti? Beberapa perbatasan Indonesia dengan negara tetangga ditengarai terdapat perbedaan pandangan terhadap metode penarikan perbatasan maritim, di mana negara tetangga Indonesia menghendaki penerapan single maritime boundaries, sedangkan Indonesia menghendaki penerapan perbatasan maritim yang berbeda antara ZEE dan landas kontinen. Untuk menjawab hal tersebut maka dirumuskanlah permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Mengapa terdapat perbatasan ZEE dan landas kontinen Indonesia dengan negara-negara lain yang belum dapat diselesaikan dengan equitable principle? 2. Bagaimana substansi equitable principle dalam penentuan delimitasi di ZEE dan landas kontinen berdasarkan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) ? 3. Apakah single maritime boundaries menghasilkan equitable solution dalam hal permasalahan perbatasan Indonesia dengan negara tetangganya di ZEE dan landas kontinen? C. Keaslian Penelitian Untuk menunjang keaslian penelitian ini maka telah dilakukan penelusuran terhadap penelitian dan karya ilmiah yang berhubungan dengan topik permasalahan. Terdapat beberapa penelitian yang memiliki topik yang senada namun memiliki perbedaan sudut pandang dalam fokus kajiannya. Sampai saat 21 penelitian ini telah dilakukan belum ditemukan permasalahan yang sama dengan permasalahan yang dikaji dalam disertasi ini. Untuk melihat keaslian penelitian ini perlu dijelaskan bahwa penelitian disertasi ini fokusnya tentang equitable principle dalam penentuan delimitasi di ZEE dan landas kontinen dimana variabel yang dianalisis adalah asas hukum serta konsep negara kepulauan Indonesia dan konsep single maritime boundary yang berkaitan dengan problem perbatasan maritim Indonesia. Substansi kajian penelitian ini berkisar pada penemuan kerangka hukum equitable principle serta definisinya. Adapun obyek kajiannya adalah perbatasan Indonesia dengan negaranegara tetangga. Metode yang dipergunakan adalah metode yuridis normatif yang merupakan studi pustaka. Dari referensi tesis Strata 2, penulis mendapatkan penelitian yang berkaitan dengan perbatasan Indonesia yang dilakukan oleh I Made Andi Arsana yang berjudul: 27 “Challenges and Opportunities in Indonesia’s Maritime Boundary Delimitation: A Legal and Technical Approach.” Dalam penelitian ini yang menjadi fokus adalah tantangan dan manfaat yang di dapat dalam penyelesaian perbatasan maritim Indonesia secara keseluruhan, baik itu perbatasan teritorial, ZEE ataupun landas kontinen. Penelitian ini menggabungkan studi literatur dan percobaan teknis menggunakan data geospasial (peta, citra satelit dan data lapangan) untuk menghasilkan tesis yang komprehensif menyangkut aspek hukum dan teknis/geodesi dari delimitasi perbatasan maritim. Tujuan penelitian Andi 27 I Made Andi Arsana, Challenges and opportunities in the delimitation of Indonesia's maritime boundaries: a legal and technical approach, Thesis, Australian National Centre for Ocean Resources and Security, University of Wollongong, 2014. http://ro.uow.edu.au/theses/4040, diakses tanggal 25 Februari 2013 22 Arsana adalah untuk melakukan studi kritis dan komprehensif serta analisis mengenai aspek hukum dan teknis/geodesi yurisdiksi maritim dan perbatasan yang relevan dengan Indonesia. Penelitian tesis lainnya dilakukan oleh Andrew Mark Macrae Halliday yang mengangkat topik tentang negara kepulauan dalam tesisnya yang berjudul: “Archipelagic Matters:The Case Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea And The Republic Of The Philippines.” 28 Tesis ini meneliti kasus Republik Filipina dalam menetapkan archipelagic sea lanes (ASLs) dan pengaruh di tingkat nasional dan internasional yang memberikan dampak pada proses penetapan ASLs di Filipina. Jika dibandingkan topik penelitian disertasi ini penekanan konsep negara kepulauan lebih dikaitkan pada equitable principle, sedangkan Halliday menekankan pada kajian alur laut kepulauan. Untuk referensi dalam tataran jurnal ilmiah terdapat penelitian yang mengangkat permasalahan mengenai problem penentuan equitable principle dalam delimitasi perbatasan maritim yang ditulis oleh M. Shah Alam dan Abdullah Al Faruque yang berjudul “The Problem of Delimitation of Bangladesh’s Maritime Boundaries with India and Myanmar: Prospects for a Solution.”29 Penelitian ini menganalisis permasalahan klaim tumpang tindih dari tiga negara: Bangladesh, India, dan Myanmar di Teluk Benggala untuk zona maritim laut teritorial, ZEE, dan landas kontinen yang perlu diselesaikan agar eksplorasi sumber daya alam dapat 28 Andrew M.M. Halliday, 2013, Archipelagic Matters:The Case Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea And The Republic Of The Philippines,1-199, Master’s Thesis, University Of Prince Edward Island 29 M. Shah Alam dan Abdullah Al Faruque, “The Problem of Delimitation of Bangladesh’s Maritime Boundaries with India and Myanmar: Prospects for a Solution.” The International Journal of Marine and Coastal Law 25, 2010, 405–423 23 segera dilakukan. Sementara India dan Myanmar ingin menetapkan perbatasan maritim berdasarkan prinsip equidistance, Bangladesh menuntut perbatasan harus didasarkan pada equitable principle. Keadaan geografis khusus dari zona pesisir negara-negara ini menjadi perhatian utama dalam penelitian itu agar perbatasan yang akan ditetapkan menghasilkan equitable solution. Selain itu penelitian tentang peran equitable principle dilakukan oleh L. D. M. Nelson yang berjudul “The Roles Of Equity In The Delimitation Of Maritime Boundaries.”30 Tema utama yang disorot dalam artikel Nelson ini mengenai peran prinsip equity dalam penentuan delimitasi perbatasan maritim, sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982 bahwa untuk penentuan delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif bagi negara yang berdampingan atau berseberangan harus menggunakan equitable principle agar mencapai hasil yang adil. Dalam struktur penjelasannya di bagian kedua, Nelson memaparkan alasan utama mengapa pada akhirnya dunia internasional memilih prinsip equity dalam usaha penentuan delimitasi perbatasan maritim. Pada awal perkembangan konsep landas kontinen telah dikemukakan argumen bahwa fitur geografis sangat bervariasi sehingga sangat sulit untuk menempatkan aturan baku yang mengatur pembentukan perbatasan maritim antara negara. Ide tentang keunikan masingmasing perbatasan mendapat dukungan signifikan dalam yurisprudensi Mahkamah Internasional dan Pengadilan Arbitrase yang menangani sengketa batas maritim. Alasan keunikan bentuk masing-masing geografis ini menyebabkan sulitnya L.D.M. Nelson, “The Roles Of Equity In The Delimitation Of Maritime Boundaries,” 84 Am. J. Int'l L. 837, 1990, hlm 837-858 30 24 pemilihan suatu metode baku dalam penentuan delimitasi sehingga aturan delimitasi dibuat fleksibel dan longgar melalui equitable principle. Selanjutnya di bagian ketiga membahas peran penting prinsip equity dengan menganalisis putusan-putusan pengadilan dan arbitrase internasional terkait perkembangan prinsip equity dalam delimitasi dengan menambahkan beberapa kritikan atas perkembangan tersebut. Nelson juga membahas beberapa metode atau prinsip yang terkait dengan sarana pencapaian equitable solution, diantaranya adalah metode equidistance, natural prolongation, kriteria jarak, dengan dilengkapi beberapa komentar atas hasil pengamatannya. Selanjutnya di bagian akhir Nelson mengulas kemungkinan untuk membuat gagasan sistem equity yang terstruktur dengan baik dan peran penting dan fungsi pengadilan atau arbitrase internasional dalam permasalahan delimitasi maritim. Penulis lain yang mengangkat masalah equity adalah M. W. Janis yang menulis artikel tentang “Equity And International Law: The Comment In The Tentative Draft.”31 Artikel ini secara khusus bertujuan membahas peran ‘equity’ serta memberikan komentar terhadap prinsip ‘equity’ yang tercantum di dalam Tentative Draft No. 1 of the Restatement of Foreign Relations Law of the United States. Pada bagian awal Janis memaparkan definisi ‘equity’ dalam doktrin tradisional dan dunia modern dalam hukum internasional. Selanjutnya Janis juga memaparkan mengenai permasalahan kedudukan equity principle di dalam sumber hukum internasional di mana hal ini timbul karena equity principle tidak secara M.W. Janis, “Equity And International Law: The Comment In The Tentative Draft,” Vol.57 Tulane Law Review, 1982, hlm. 80-88 31 25 eksplisit tercantum dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional. Artikel ini juga membahas mengenai permasalahan kedudukan equity principle dibandingkan dengan prinsip ex aequo et bono yang secara umum definisinya terlihat sama. Menurut Janis permasalahan riil saat ini yang ditimbulkan oleh peran equity dalam hukum internasional terutama berkaitan dengan dua jenis perselisihan: perselisihan tentang delimitasi wilayah maritim dan distribusi global kesejahteraan. Artikel lain yang ditulis oleh M.W. Janis yang juga relevan adalah “The Ambiguity Of Equity In International Law.” 32 Untuk artikel Janis yang kedua membahas mengenai kesamaran/ambiguitas prinsip equity dalam hukum internasional secara umum. Dalam bahasannya yang pertama, Janis menjelaskan secara deskriptif beberapa doktrin umum tentang peran “equity”dalam hukum internasional; kedua, pembahasan analitis untuk mengevaluasi seberapa baik atau buruk prinsip tersebut bekerja dalam menjelaskan praktek internasional dewasa ini; ketiga, pembahasan preskriptif untuk menguraikan persepsi ketiga mengenai peran “equity” dalam hukum internasional.33 Penelitian tentang perbatasan maritim secara umum di regional Asia Tenggara dilakukan oleh Tara Davenport dengan judul “Southeast Asian Approaches to Maritime Boundaries.” 34 Penelitian ini menganalisis perbatasan maritim di Asia Tenggara dari perspektif geografis dan geopolitik dan merupakan studi kasus yang sangat menarik untuk perbatasan maritim. Meskipun adanya 32 M.W. Janis, “The Ambiguity Of Equity In International Law,” Vol.IX:1 Brooklyn Journal of International Law, 1983, hlm. 7-34 33 Ibid. 34 Tara Davenport, “Southeast Asian Approaches to Maritime Boundaries,” Asian Journal of International Law, 4, 2014, pp. 309–357 26 hambatan yang signifikan untuk penetapan perbatasan maritim, termasuk geografi pesisir yang kompleks dan banyak perselisihan teritorial dan yurisdiksi, Asia Tenggara telah digambarkan sebagai “scene of very active and innovative ocean boundary diplomacy.” Tujuan dari makalah ini adalah untuk menguji pendekatan perbatasan maritim di Asia Tenggara. Pertama, untuk mengidentifikasi apakah ada kecenderungan umum dan praktek dalam praktek Asia Tenggara yang telah memberi kontribusi pada tingginya jumlah perbatasan maritim yang disepakati oleh negara-negara Asia Tenggara. Kedua, penelitian ini mengeksplorasi sejauh mana praktik Asia Tenggara telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan normatif hukum internasional tentang perbatasan maritim. Ketiga, penelitian ini membahas apakah ada pelajaran yang bisa diambili dari praktek Asia Tenggara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah perbatasan maritim yang belum terselesaikan di kawasan itu. Penelitian dalam Strata S3 dilakukan oleh Mohamed Munavvar yang berjudul ”Ocean States: Archipelagic Regimes In The Law Of The Sea.”35 Disertasi ini membahas tentang pengembangan konsep negara kepulauan dalam hukum laut internasional di mana keadaan geografis, ekonomi, sosial, politik dan lingkungan dari negara kepulauan berbeda dengan negara pantai, oleh karena itu memerlukan definisi yang lebih realistis untuk mewakili wilayah negara kepulauan. Konsep negara kepulauan dalam hukum laut internasional telah menciptakan sebuah metode yang fungsional untuk akuisisi wilayah dalam hukum internasional. Akan 35 Mohamed Munavvar, 1993, Ocean States: Archipelagic Regimes In The Law Of The Sea, Dissertation at Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia 27 tetapi, konsep kepulauan tidak harus dilihat hanya dalam hal perluasan yurisdiksi pesisir oleh negara-negara tertentu, tetapi sebagai praktek serta dasar fungsional untuk penentuan batas teritorial negara kepulauan. Dengan kata lain, perairan yang menghubungkan pulau-pulau nusantara adalah bagian konstituen dari wilayah negara kepulauan. Meskipun ukuran, sifat dan persyaratan dari berbagai negara kepulauan berbeda jauh, konsep kepulauan menjadi dasar teritorial yang diperlukan untuk persatuan nasional, kemandirian, dan integritas negara kepulauan. Konsep negara kepulauan juga menentukan dasar penting bagi pembangunan berkelanjutan negara kepulauan. Dalam tataran disertasi penelitian tentang equitable principle telah dilakukan oleh Kuen-Chen Fu dan telah diseminasikan dalam bentuk buku yang berjudul “Equitable Ocean Boundary Delimitation.”36 Fokus bahasan Kuen-Chen fu antara lain tentang evolusi hukum equitable principle, praktek negara dalam delimitasi maritim, serta membahas metode dan indikator equitable principle untuk penentuan delimitasi negara pantai secara umum. Adapun perbedaan penulis, yang menjadi variabel adalah equitable principle dalam perspektif negara kepulauan, khususnya perbatasan maritim antara Indonesia dengan negara tetangganya serta keterkaitan teori keadilan dan kedaulatan terhadap equitable principle, yang belum dibahas dalam disertasi Kuen-Chen fu. Berdasarkan pemaparan hasil penelitian karya-karya ilmiah yang telah dilakukan para peneliti terdahulu terdapat kesamaan dalam hal-hal tertentu. Adapun 36 Kuen-Chen Fu, 1989, Equitable Ocean Boundary Delimitation, National Taiwan University Law Books No. 58, 123 Information Company: Taipei:Taiwan 28 orisinalitas penelitian ini terletak pada variabel penelitiannya yaitu merupakan penelitian yang mendalam mengenai asas equitable principle dalam konsep negara kepulauan dengan sasaran kajian yang mencakup penelitian mengenai problem penerapan equitable principle di wilayah perbatasan maritim Indonesia di ZEE dan landas kontinen, untuk mengetahui kriteria indikator equitable principle bagi negara kepulauan serta relevansi single maritime boundary pada delimitasi Indonesia dengan negara tetangganya. D. Manfaat Penelitian Sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang bahwa penentuan delimitasi maritim merupakan hal yang penting bagi Indonesia sehingga adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu secara akademis pemecahan problem perbatasan maritim Indonesia. Secara sistematis manfaat penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut: 1. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan Manfaat umum yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memberikan kajian dalam hukum laut internasional khususnya dalam penyelesaian proses delimitasi maritim di ZEE dan landas kontinen dalam konteks negara kepulauan khususnya Indonesia. Penelitian ini secara teoretis diharapkan mampu untuk menganalisis equitable principle baik dari sisi filosofis, normatif dan implementatif untuk memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum laut internasional. 29 2. Manfaat bagi pembangunan hukum Indonesia Adapun manfaat praktis dari penelitian ini secara khusus di Indonesia dapat memberikan informasi dan data yang komprehensif guna mencapai equitable principle dalam penyelesaian delimitasi maritim dan dapat memberikan masukan bagi pemerintah khususnya dalam penentuan batas maritim negara Indonesia yang saling berhadapan atau berdampingan dengan negara lain di ZEE dan landas kontinen serta mempercepat proses delimitasi yang belum selesai dengan negara tetangga. E. Tujuan Penelitian Penelitian mengenai equitable principle dalam penyelesaian delimitasi perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga di ZEE dan landas kontinen dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh jawaban atas beberapa permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis dan menemukan faktor penyebab problem yang timbul dalam delimitasi perbatasan maritim di Indonesia dengan negara tetangga dalam upaya mencapai equitable solution serta mencari jalan keluar bagi permasalahan delimitasi tersebut agar dapat tercapai percepatan penyelesaian perjanjian perbatasan maritim antar negara di ZEE dan landas kontinen. 2. Untuk menganalisis dan menemukan kerangka kriteria indikator dan definisi equitable principle dalam praktek penentuan delimitasi 30 perbatasan wilayah maritim berdasarkan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. 3. Untuk menganalisis relevansi equitable principle dengan single maritime boundary dalam kasus perbatasan Indonesia dengan negara tetangga di ZEE dan landas kontinen. F. Sistematika Disertasi Disertasi ini disusun dalam lima bab. Bab II membahas permasalahan kedua dari rumusan permasalahan penelitian mengenai problema penerapan equitable principle dalam penyelesaian perbatasan ZEE dan landas kontinen Indonesia dengan negara-negara lain. Bab III merupakan pembahasan dari rumusan permasalahan kedua yang merangkum konsep equitable principle dalam penentuan delimitasi di ZEE dan landas kontinen berdasarkan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan dalam konteks kerangka teoritis dan konseptual. Bab IV menyajikan pembahasan dari rumusan permasalahan ketiga, yaitu tentang equitable principle dan relevansinya dengan single maritime boundaries dalam kasus perbatasan Indonesia dengan negara tetangga di ZEE dan landas kontinen. Bab V merupakan Bab penutup yang merangkum hasil penelitian dalam suatu kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan serta saran bagi penelitian ini. G. Tinjauan Pustaka 1. Perkembangan Delimitasi Maritim Selama berabad-abad dari masa penemuan rute pelayaran utama antar benua sampai pada masa perang dunia kedua, perkembangan lautan hanya terkonsentrasi untuk menjamin komunikasi maritim dan keamanan negara pantai. Perkembangan 31 ini diadopsi menjadi hukum kebiasaan yang muncul selama masa abad ke-17 melalui prinsip laut bebas dan pengakuan kedaulatan negara-negara pantai terhadap wilayah laut yang berdampingan dengan pantainya, serta menjadi subjek untuk menghormati hak lintas damai bagi pihak ketiga.37 Sejarah kepemilikan hak atas laut diawali pernyataan yang dibuat oleh Paus Alexander VI dalam Inter Caetera (1492) yang membuat garis perbatasan imajiner dari utara ke selatan 100 mil sebelah barat Pulau Azores dan Pulau Cave Verde dan menyatakan bahwa wilayah laut dan teritori tersebut masuk kedalam kedaulatan Spanyol. Kenyataan itu tidak dapat diterima oleh Portugal yang akhirnya melakukan negosiasi dengan Spanyol yang akhirnya menghasilkan perjanjian Tordesillas (1493) di mana dalam perjanjian itu Portugis mengklaim rute ke India dan wilayah Atlantik Selatan, sedangkan Spanyol mengklaim wilayah laut Pasifik dan Teluk Meksiko. Dari fakta di atas tampak bahwa peraturan atas laut masih belum memiliki kepastian hukum di mana Portugis masih dapat meminta pengaturan ulang mengenai batas teritorial kepada Paus Alexander VI.38 Tindakan Spayol dan Portugis membuat perjanjian Tordesillas ini mendapat protes dari negara-negara Eropa Utara yang memiliki kepentingan perdagangan melalui laut bebas. Hugo Grotius mengarang buku berjudul Mare Liberum (1609) yang mengusung prinsip kebebasan di laut bebas. Untuk membantah pendapat Grotius maka sarjana dari Inggris, Welwood dalam bukunya Abridgement of all Sea Laws (1613) dan Selden yang mengarang buku Mare Clausum (1635) mendukung 37 Dupuy & Vignes (eds), 1991, A Handbook on the New law of the Sea, Kluwer: Netherlands, hlm. 3 38 J. O’Brien, 2001, International Law, Routledge-Cavendish: New York, hlm. 391. 32 klaim Inggris atas kontrol pelayaran di Laut Utara. Melalui “perang buku” ini O’Brien menarik kesimpulan bahwa yang akhirnya bertahan adalah pendapat grotius dengan alasan prinsip laut bebas saling menguntungkan dan untuk memfasilitasi perdagangan, selain itu juga karena suatu negara tidak dapat secara efektif memiliki kedaulatan atas laut bebas kecuali mempunyai angkatan laut yang memadai untuk mengawasi wilayah tersebut. 39 Sejalan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan ekonomi terhadap sumber daya laut, maka prinsip yang ternyata diterima oleh masyarakat internasional adalah mare clausum dengan pengesahan UNCLOS 1982 yang memberikan negara pantai kewenangan hak berdaulat sampai batas 200 n.m.. Terdapat perbedaan pola penguasaan antara daratan dan lautan, di darat telah diakui mengenai usaha-usaha negara dalam rangka untuk memperluas/ekspansi wilayah daratannya. Kebalikan dengan hukum laut, perkembangan usaha penguasaan lautan tidak diakui melalui tesis Grotius tentang Mare liberum yang mengukuhkan bahwa lautan tidak dapat dimiliki atau dikuasai oleh satu atau lebih negara di dunia dan larangan klaim kedaulatan teritorial di laut bebas. Alasan bahwa laut tidak dapat dikuasai disimpulkan oleh Oxman melalui alasan rasional yaitu “the interests of states in unrestricted access to the rest of the world outweighed their interests in restricting the access of others at sea.”40 Di awal sejarah hukum laut, beberapa eksploitasi sumber kekayaan laut khususnya perikanan telah dilakukan, namun baru dalam skala kecil dan hanya 39 Ibid, hlm. 392. Bernard H.Oxman, “The Territorial Temptation: A Siren Song At Sea,” American Journal of International Law, Oktober, 2006, hlm. 830. 40 33 dilakukan oleh beberapa negara saja, tanpa mempertimbangkan ancaman terhadap cadangan sumber daya laut yang ada. Kemajuan besar dalam industri perikanan dan peningkatan teknologi untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber alam di dasar laut dan di lapisan tanah di bawahnya akhirnya mengubah pandangan klasik terhadap lingkungan laut dan hukum yang telah dihasilkan dari pandangan klasik itu. Pada masa lampau negara-negara di dunia jarang membatasi perbatasan lautnya dengan negara lain. Situasi ini kemudian berubah, perkembangan sumber kekayaan laut telah memimpin negara untuk menentukan batas-batas maritim mereka secara lebih akurat. Dorongan utama dibalik pergerakan untuk menetapkan batas maritim itu karena perkembangan teknologi yang menemukan hidrokarbon dan sumber kekayaan alam mineral yang tinggi nilainya di dasar laut dan lapisan tanahnya. Eksploitasi komersial dari sumber daya alam ini sering memerlukan area yang telah ditentukan dan di alokasikan bagi masing-masing perusahaan minyak yang mendapatkan ijin eksploitasi dari negara pantai. Hal ini menyebabkan negara pantai memiliki dorongan kuat untuk mengklaim zona baru di luar yurisdiksi maritim laut teritorial tradisional dan untuk menegaskan perbatasan antar negara serta memaksimalkan wilayah di mana mereka memiliki kewenangan eksklusif untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber kekayaan alamnya. Sebagai akibatnya dorongan untuk membuat perbatasan wilayah laut antar negara tetangga semakin meningkat.41 41 Jonathan I. Charney, & Lewis M. Alexander (eds), 1993, International Maritime Boundaries, Volume I, Martinus Nijhoff Publishers: Netherlands, hlm. xxiii. 34 Untuk perkembangan hukum laut pada masa lalu lebih bersandar pada prinsip kebiasaan yang sederhana dan sudah di kenal secara umum. Hukum laut pada masa itu merupakan salah satu hukum yang stabil dalam hukum internasional. Hal ini karena teknik untuk memanfaatkan lingkungan laut dan untuk mengeksploitasi sumber daya alam tidak mengalami kemajuan yang berarti dan karena negara yang menikmati manfaat utama lautan hanya beberapa negara saja. Negara tersebut biasa disebut “maritime powers,” yang memiliki pantai dan juga armada kapal yang besar. Saat ini, perubahan yang radikal dalam hukum laut merupakan akibat dari pesatnya perkembangan yang terjadi dalam teknologi kelautan serta keragaman dan diversifikasi pelaku dalam kelautan.42 Konsep maritim manusia telah berevolusi dari mulanya "living by the sea" dan "inshore sailing" ke konsep lautan sebagai saluran yang penting untuk transportasi dan sebagai ruang penting bagi eksistensi manusia dan pembangunan. 43 Dengan bergesernya kepentingan tersebut membuat arus lalu lintas di laut semakin tinggi. Pengaruh kekuatan di laut dapat mempengaruhi besarnya suatu bangsa. Hal ini didukung oleh argumen Mahan yang berpendapat bahwa secara politik kekuatan di laut telah memberikan pengaruh yang menentukan pada pembangunan dan kesejahteraan bangsa sepanjang sejarah.44 Dalam bidang politik-ekonomi, asumsi dasarnya adalah bahwa ketika kereta api telah menjadi transportasi utama bagi 42 Dupuy & Vignes (eds), op.cit, hlm. xlvi. Hwai-Pong Jinn et all, 2001, World Maritime Military Geography, National Defense University: Beijing, hlm. 2 44 Mahan, “the influence of sea power upon History,” David Jablonsky (ed), 1999, Books of Strategy: Book 4, Stackpole Books: Mechanicsburg, hlm. 48 43 35 perekonomian internal negara, kapal laut akan tetap lebih mudah, lebih murah, dan dengan menjadi modus transportasi utama untuk perdagangan eksternal. Faktor pertama dalam argumen Mahan adalah bahwa akuisisi koloni dan produksi bersamaan dengan pengiriman yang menjadikan ekonomi maritim penting untuk kemakmuran suatu negara dan berfungsi sebagai faktor pendorong dalam kebijakan suatu bangsa yang berdekatan dengan laut. Faktor kedua adalah bahwa sejarah menunjukkan perlunya supremasi angkatan laut dalam melindungi kepentingan nasional terkait dengan ekonomi maritim, alasan utama pentingnya supremasi laut itu dalam kancah perang antara kekuatan-kekuatan besar. Akhirnya, faktor ketiga terdiri dari enam "kondisi pokok" atau unsur-unsur yang mempengaruhi kemampuan suatu negara untuk mengembangkan kekuatan laut: posisi geografis, konformasi fisik (meliputi iklim dan sumber daya alam), luas wilayah, jumlah penduduk, karakter nasional, dan karakter pemerintah.45 Pada abad ke-20 keadaan mulai berubah, hal ini sejalan dengan adanya kolonialisasi yang secara tidak langsung menjadikan lautan dunia sebagai bagian dari subjek kekuasaan kolonial. Kolonialisasi menyebabkan meningkatnya jumlah negara pantai independen yang menginginkan kontrol atas laut lebih luas yang berbatasan langsung dengan negaranya. Setelah perang dunia ke-I masyarakat internasional mulai berusaha untuk membentuk hukum laut melalui Liga BangsaBangsa dengan meminta Committee of Experts untuk membuat rancangan kodifikasi hukum laut, namun draft kerja komite tersebut masih belum menghasilkan konvensi. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi 45 Ibid. 36 menyebabkan spekulasi perusahaan-perusahaan swasta dalam melakukan pengeboran di laut bebas serta berupaya melakukan eksplorasi kekayaan tambangnya.46 Pada tahun 1945 dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kemudian membentuk International Law Commission (ILC) pada tahun 1947 yang aktif dalam melakukan usaha kodifikasi hukum laut internasional. Salah satu momen penting yang terjadi dalam hukum laut yaitu adanya Deklarasi Truman pada September 1945 yang intinya menyatakan dua hal; pertama, hal yang berkaitan dengan sumber kekayaan alam yang ada di bawah permukaan laut dan di dalam tanah di daerah landas kontinen; kedua, hal yang berkaitan dengan penangkapan ikan di wilayah laut bebas yang ada di atas landas kontinen tersebut. Bahaya dari perbuatan hukum sepihak (unilateral law making) yang dilakukan oleh Amerika Serikat yaitu selain melanggar zona maritim tradisional yang telah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional namun juga memicu negara lain untuk bereaksi serupa. Dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1955, beberapa negara Amerika latin secara unilateral mendeklarasikan zona maritim dengan jarak yang berbeda-beda. Negara-negara tersebut mengklaim jarak perairan teritorial dan tanah dibawahnya sampai batas 200 n.m.47 a. Konsep Delimitasi Untuk memperjelas pemaparan dalam penelitian ini maka beberapa poin penting yang berkaitan dengan terminologi dan konsep yang digunakan dalam 46 47 O’Brien, op.cit, hlm. 393. Ibid. 37 pembahasan diulas terlebih dahulu. Sebagaimana diketahui bahwa istilah-istilah dalam proses delimitasi maritim banyak menggunakan istilah asing atau istilah teknis sehingga perlu dijelaskan lebih terperinci. Ada beberapa kata yang mewakili untuk menggambarkan arti ‘perbatasan,’ dalam hal ini kata-kata tersebut biasa diadopsi dari bahasa inggris. Sebagai contoh dalam bahasa inggris terdapat kata “frontier” dan “boundary.” Pada awalnya, para ahli hukum internasional tidak membuat perbedaan jelas definisi dari kedua kata itu dalam penggunaannya untuk mewakili kata “perbatasan.” Sampai pada masa akhir perang dunia ke-1, kedua kata di atas sering digunakan secara bergantian. Setelah era 1920-an baru menjadi suatu kebiasaan untuk membedakan antara garis natural untuk boundary dan karakter zona untuk frontier. Saat ini, didalam penggunaan bahasa Inggris secara normal, istilah “boundary” hampir selalu mengacu pada ‘garis’ (a line), sedangkan penggunaan kata “frontier” untuk mengacu pada tipe zona perbatasan.48 Selain itu istilah “boundary” juga harus dibedakan dengan istilah “a maritime limit,” boundaries adalah garis yang memisahkan lingkup yurisdiksi dari negara-negara yang berdampingan. “limits” adalah garis yang memisahkan lingkup yurisdiksi suatu negara dari area maritim yang bukan merupakan subjek dari otoritas suatu negara (laut bebas). Maritime boundaries selalu memiliki karakter bilateral (berkaitan dengan dua negara atau lebih yang saling berdampingan), 48 Douglas M. Johnston, 1988, The Theory and History of Ocean Boundary-Making, McGill-Queen’s University Press: Canada, hlm. 3 38 sedangkan maritime limits adalah perbuatan unilateral yang dilakukan oleh satu negara (tidak memerlukan perjanjian atau perundingan dengan negara lain).49 Istilah delimitasi dalam proses penyelesaian perbatasan maritim harus dipergunakan dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaannya. Penarikan baselines atau closing lines/penutup mulut teluk dan tempat lainnya oleh suatu negara pantai secara unilateral yang tidak berbatasan secara langsung dan tidak tumpang tindih dengan negara lain disebut “delineation.” Definisi delimitasi adalah suatu proses dalam penentuan pembagian garis antar pemerintahan dari negara yang bertetangga melalui deskripsi verbal untuk menunjukkan lokasi perbatasan yang dibuat, yang terkadang disertai dengan petapeta atau denah gambar. Definisi verbal ini dimuat di dalam perjanjian, persetujuan, ataupun berasal dari keputusan pengadilan.50 Definisi dari delimitasi maritim sendiri adalah: ”the process that consists of “establishing lines separating from each other the maritime areas in which coastal states exercise jurisdiction.”51 Delimitasi perbatasan di dalam perjanjian haruslah komplit, akurat dan tepat. 52 Kemajuan dari beberapa metode dalam menentukan perbatasan menjelaskan bahwa, “sebuah dokumen tunggal dapat menggunakan beberapa metode delimitasi untuk bagian garis batas yang berbeda,”53 yaitu: 49 Antunes, op.cit., hlm. 6 Ron Adler, “Geographical Information and International Land Boundaries,” Volume 3 Number 4 International Boundaries Research Unit, hlm. 10 51 Lucius Caflisch, “Maritime Boundaries, Delimitation” R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law, Instalment 11, 1989, Elsevier Science Publishers: Netherlands, hlm. 212 52 Adler, op.cit., hlm. 5 53 Ibid. 50 39 1. Complete Definition, yang merupakan upaya untuk menjelaskan garis perbatasan secara menyeluruh dan demarkasi hanyalah merupakan bagian dari rutinitas survey. 2. Complete Definition, with power to deviate, yang menjabarkan garis batas selengkap mungkin dari data yang didapat di lapangan, namun juga memasukkan klausul yang memberikan wewenang kepada demarkator untuk membuat perubahan atau membuat rekomendasi, yang bertujuan untuk memfasilitasi penetapan garis batas yang sesuai dengan situasi pandangan di lapangan. 3. Definition by turning point, definisi adalah yang paling umum dan metode yang paling logis karena setiap garis dapat didefinisikan oleh bagian, yang bervariasi dalam panjang, dalam rangka untuk mengekspresikan bentuk garis. Merupakan praktek yang telah diterima dalam survei untuk membuat kurva/lengkungan dengan membuat urutan garis yang mendekati kurva yang diinginkan. intervisibilitas antara titik balik tidak lagi menjadi keharusan teknis, tetapi tetap menjadi fitur yang paling diinginkan dari sudut pandang administrasi perbatasan. Boundary-making bukanlah merupakan suatu proses yang mudah dan singkat, menurut DeLapradelle hal ini melibatkan tiga tahap perkembangan:54 1. Persiapan (Preparation), termasuk didalamnya rencana politik dan rencana teknik untuk mengantisipasi pengerjaan delimitasi. 54 Adler, op.cit., hlm. 2 40 2. Keputusan (Decision), yang merupakan kerangka dasar yang sesungguhnya dalam merumuskan perjanjian, yang disebut delimitasi. 3. Pelaksanaan (the Execution), atas perjanjian yang telah disetujui dan telah diterima oleh para pihak, pelaksanaan ini yang disebut dengan demarkasi. Tahun 1940, Jones memaparkan bahwa proses pembuatan perbatasan memiliki empat tahapan, yaitu: alokasi (Allocation), delimitasi (delimitation), demarkasi (demarcation) dan administrasi (administration). Alokasi berkaitan dengan keputusan politik dalam pembagian wilayah; delimitasi berkaitan dengan seleksi lokasi perbatasan yang spesifik; demarkasi berhubungan dengan membuat tapal batas/tanda perbatasan di daratan; sedangkan administrasi berkaitan dengan ketentuan untuk mengawasi dan memelihara perbatasan yang telah ditentukan. Alokasi dan delimitasi berkaitan dengan penggambaran garis batas di atas peta. Idealnya peta yang digunakan adalah peta terbaik yang tersedia dan berada pada skala besar sampai medium. Demarkasi membutuhkan tim survey bersama dan didukung oleh peta terbaik yang disertai tanda-tanda dan keterangan, untuk dilanjutkan pada perbatasan daratan dan menandainya dengan tanda patok atau monumen perbatasan, sedangkan untuk wilayah hutan dengan membersihkan area antara monumen atau patok perbatasan.55 55 Victor Prescott & Gillian D. Triggs, 2008, International Frontiers and Boundaries: Law, Politics and Geography, Martinus Nijhoff Publishers: Leiden-Boston, hlm. 60 41 Penekanan konsep perbatasan ini diadopsi murni dari sisi politik. Sebagaimana yang dijelaskan Jones, “the most unreal of boundary classifications is the too-familiar one of natural and artificial”. Makna politik hukum dari fitur alami (natural feature) timbul dari keputusan negara.56 Perbatasan secara umum adalah perbuatan manusia dan bernuansa politik. Terlebih lagi di lautan, perbatasan merupakan fenomena politik karena di lautan susah untuk mendapatkan karakteristik fitur alami yang dapat dipergunakan sebagai tanda perbatasan. Hakim Bedjaoui secara tegas menyatakan: The idea of ‘natural boundaries’ formed by mountains, waterways or various accidents of nature, has never been able to commend itself to states for purposes of their land frontiers, although these limits are visible to the naked eye. Legal science is unlikely to accept for maritime spaces what it reject for land spaces and to confer legal standing on those ‘natural boundaries’ constituted by an important and significat geological feature when that boundary is not even visible to the naked eye. Having always shunned land relief despite the fact that it is visible, man cannot but shun still more underwater relief which is out of his sight.57 Istilah fitur alami (natural feature) sering muncul dalam proses delimitasi, yaitu fitur pemandangan yang diciptakan oleh proses alam seperti sungai, gunung, bukit. 58 Definisi fitur alami ini masih dipandang dalam arti yang luas. Jika diterapkan dalam proses delimitasi maka dapat menimbulkan kesulitan dalam mengaplikasikan dan mempertahankannya. Sebagai contoh, fitur sungai jika dijadikan salah satu metode delimitasi maka akan sulit untuk mendefinisikan sepanjang mana sungai tersebut dapat dijadikan batas delimitasi. 56 57 Antunes, op.cit., hlm.8 Guinea-Bissau/Senegal Arbitration, Disenting Opinion dalam buku Antunes, op.cit., 58 diakses tanggal 14 hlm. 9 Sumber dari: www.newberry.org/k12maps/glossary/index.html, November 2011 42 Definisi “Zona” adalah wilayah di mana perbatasan yang akan didemarkasi tidak dilakukan sesuai dengan metode yang diinginkan karena peluang perjanjian itu untuk dapat disepakati sangat rendah, terkecuali jika kedua negara yang melakukan perundingan mempunyai hubungan yang dekat dan bersahabat.59 b. Kerangka Hukum Perbatasan Maritim Ketika melihat bumi dari angkasa, maka tampak satu fakta yang jelas bahwa lautan merupakan fitur dominan yang menutupi bumi. Sekitar 70 persen planet ini ditutupi oleh perairan dan sebagian besar bumi ditutupi oleh air beku di Kutub Utara dan Antartika. Hal ini menunjukkan fungsi penting lautan di mana sekitar 80 persen populasi dunia tinggal di dekat pantai dan 90 persen perdagangan internasional mempergunakan transportasi laut. Selain itu, sekitar 65 persen dari cadangan minyak dunia dan 35 persen dari cadangan gas dunia terletak di lautan.60 Pada jaman dahulu keperluan akan lautan tidak seperti saat ini, yang hanya dipergunakan sebagai sarana transportasi, navigasi dan perikanan. Pesatnya perrkembangan teknologi menyebabkan pengembangan potensi sumber daya alam di lautan semakin bertambah dan memberikan hasil yang menjanjikan. Terlebih dengan ditemukan cara untuk mengeksploitasi sumber gas dan minyak bumi dari dasar lautan. Banyaknya kegunaan lautan bagi dunia menyebabkan hukum internasional mau tidak mau mengikuti perkembangan tersebut dengan mengeluarkan seperangkat peraturan yang mengatur zona lautan serta memberikan hak dan 59 Johnston, op.cit,, hlm. 6 http://www.acus.org/?q=new_atlanticist/maritime-disputes-and-international-law, diakses tanggal 12 Oktober 2014 60 43 kewajiban tertentu kepada negara pantai untuk mengelola wilayah lautan yang ada disekitarnya. Beberapa sarjana seperti McDougal dan Burke memandang fungsi hukum laut, secara historis sebagai: “...that of protecting and balancing the common interests, inclusive and exclusive, of all peoples in the use and enjoyment of the oceans, while rejecting all egocentric assertions of special interests in contravention of general community interests.” Menurut kedua penulis ini, sejarah memperlihatkan bahwa pada suatu saat beberapa negara mulai melakukan klaim atas sebagian besar dari laut untuk digunakan secara eksklusif oleh mereka.61 Kapoor menyatakan bahwa terdapat tiga alasan utama yang membawa peningkatan terhadap ketertarikan internasional terhadap perkembangan hukum laut setelah perang dunia kedua: pertama, lajunya perkembangan teknologi kelautan; kedua, munculnya negara-negara baru dari masa pemerintahan kolonial dan ketiga karena meningkatnya kebutuhan terhadap sumber kekayaan laut.62 Pengaturan mengenai masalah kelautan semakin disadari pentingnya dalam hukum internasional. Mengingat hampir setiap negara khususnya bagi negara pantai telah menerbitkan ketentuan yang bersifat sepihak yaitu dengan menekankan segi kepentingan negara yang bersangkutan. Menghadapi masalah itu maka perlu suatu peraturan hukum laut yang manfaatnya dapat dirasakan antara lain:63 1. Menghilangkan penafsiran dari masing-masing negara tentang masalah kelautan. 61 Etty R. Agoes, 1991, Konvensi Hukum Laut 1982 dan Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Abardin: Bandung, hlm. 22 62 R. Kapoor, 2009, Development of international principles. Ocean management, Global Media: Jaipur, hlm. 177 63 Joko Subagyo, 2002, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 58 44 2. Menghilangkan bentuk-bentuk peraturan yang semata-mata untuk kepentingan negara tertentu. 3. Timbulnya keseragaman dalam peraturan masalah kelautan dengan pedoman pada hukum internasional yang berlaku umum. 4. Bagi negara pemakai fasilitas lautan dapat berpegang pada pedoman hukum internasional yang ada. 5. Timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban baru. Untuk mengimbangi kepentingan negara terhadap lautan maka perlu aturan internasional yang dapat menjamin keadilan dalam penggunaan laut oleh masingmasing negara. Terdapat tiga kerangka hukum internasional yang menjadi sumber hukum tertulis dalam hukum laut internasional yaitu: UNCLOS 1958, UNCLOS 1960 dan UNCLOS 1982. Berikut ini dipaparkan mengenai sejarah pembentukan UNCLOS yang menjadi acuan bagi negara-negara dalam penyelesaian perbatasan maritim. 1) UNCLOS 1958 Kerangka hukum laut internasional yang pertama adalah UNCLOS 1958. Pelopor dari konferensi ini adalah International Law Commission (ILC) yang mendapatkan mandat dari PBB untuk menyelesaikan kodifikasi hukum laut internasional. Setelah berkali-kali bersidang dimulai pada tahun 1949, maka dalam tahun 1955 ILC telah dapat merumuskan suatu “provisional draft” mengenai berbagai aspek hukum laut yang kemudian disampaikan kepada negara-negara anggota PBB. Setelah menerima komentar-komentar dari anggota PBB tersebut, maka ILC kemudian merumuskan “final draft” yang dijadikan dasar pembicaraan dalam konferensi hukum laut yang pertama di bawah PBB yang diadakan di Jenewa dari tanggal 24 Pebruari sampai tanggal 27 April 1958. 45 Konferensi Jenewa tersebut diketuai oleh Pangeran Wan Waithayakon dari Thailand dan dihadiri oleh 86 negara, termasuk Indonesia. Konferensi tersebut telah berhasil membuat 4 Konvensi Internasional yang menjadi dasar utama dari Hukum Laut Internasional dewasa ini, yaitu: 1. Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone; 2. Convention on the High Seas; 3. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas; 4. Convention on the Continental Shelf. Terdapat kekurangan dalam UNCLOS 1958, meskipin telah membuat 4 Konvensi Hukum Laut namun masih ada hal penting lain yang belum juga disepakati pada UNCLOS 1958 yaitu tidak berhasilnya ditetapkan lebar laut teritorial. Dalam konferensi yang berlangsung lebih dari 2 bulan itu, masalah Lebar laut teritorial tetap macet dan tidak dapat dipecahkan karena adanya perbedaan pendapat yang besar antara negara-negara maritim dan negara-negara berkembang. Dalam persoalan ini, Amerika Serikat disokong oleh negara-negara maritim menghendaki agar batas atau lebar laut teritorial ditetapkan sekecil mungkin yaitu selebar 3 n.m.; sebaliknya negara-negara berkembang menghendaki lebar laut wilayah yang lebih dari 3 n.m. dan mengusulkan 12 n.m.. Sampai akhir konferensi tidak tercapai kesepakatan mengenai luas laut teritorial sehingga permasalahan itu menjadi PR bagi konferensi selanjutnya. Dalam konvensi yang khusus mengatur tentang landas kontinen, pengaturan bagi negara yang berhadapan atau bersebelahan menetapkan metode yang 46 digunakan untuk menarik garis delimitasi, yaitu penggunaan median line dan equidistance line. Garis-garis ini dijadikan sebagai metode awal dalam menentukan delimitasi. Terdapat kelemahan dalam penetapan jarak maksimal landas kontinennya karena penetapan jarak maksimal hanya berdasarkan kemampuan kedalaman eksploitasi sumber mineral. Hal ini dianggap hanya menguntungkan negara-negara maju yang memiliki teknologi untuk mengeksploitasi dasar laut sehingga masyarakat internasional melakukan perundingan lagi untuk merevisi UNCLOS 1958. 2) UNCLOS 1960 Resolusi 1307 (XIII) dalam Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1958 menetapkan United Nations Conference on the Law of the Sea 1960 yang diselenggarakan di Jenewa 17 Maret 1960 sampai 26 April 1960, yang diwakili oleh 86 negara.64 Tujuan dari konferensi ini adalah untuk menyelesaikan kesepakatan dalam menyimpulkan garis batas terluar laut teritorial yang belum berhasil dirumuskan pada UNCLOS 1958. Dalam Konferensi ini telah diajukan pula beberapa usul penting antara lain: 1. Usul Amerika Serikat-Canada yang menyarankan ditetapkannya 6 n.m. wilayah ditambah 6 mil “exclusive fishing zone” (tanpa ketentuan bagi “traditional fishing”). Usul ini (yang terkenal dengan nama “six-plus-six proposal”) dikalahkan satu suara, yaitu 54 setuju, 28 menentang, 5 abstain dan 1 absent. 64 L. Juda, 1996, International Law and Ocean Use Management, Routledge: London, New York, hlm. 160. 47 2. Golongan 12 mil (termasuk Indonesia) mengulangi usul mereka, usul mana juga ditolak dengan 39 setuju, 36 menentang dan 13 abstain. 3. Suatu usul lainnya untuk hanya mengakui 12 mil wilayah perikanan saja juga dikalahkan dengan suara 38 setuju, 32 menentang dan 18 abstain. Sampai akhir konferensi tidak terdapat kesepakatan antar negara untuk memutuskan luas laut teritorial, sehingga hal ini masih menjadi hambatan yang berarti dalam hukum laut internasional mengingat kedudukan perbatasan laut teritorial merupakan elemen dasar dalam penentuan delimitasi zona laut lainnya. Pada akhirnya Konferensi Jenewa 1960 yang diadakan khusus untuk menetapkan lebar laut teritorial juga telah gagal. Setelah tahun 1960, berpuluhpuluh negara baru merdeka telah muncul dan negara-negara ini kemudian telah menetapkan sendiri lebar laut wilayah mereka sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing, umumnya antara 3 sampai 200 mil. 3) UNCLOS 1982 Setelah kegagalan kedua konferensi di atas akhirnya dilaksanakan Konferensi Ketiga yang menghasilkan konvensi yang dikenal sebagai United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982). Negosiasi selama sembilan tahun yang dilakukan oleh para ahli hukum internasional menghasilkan aturan normatif hukum laut yang komprehensif. Peran UNCLOS1982 sangat penting dalam penentuan perbatasan maritim karena UNCLOS 1982 memuat ketentuan mengenai delimitasi tiap zona maritim yang telah diakui keberadaannya oleh masyarakat internasional. 48 UNCLOS 1982 memberikan kesempatan besar bagi negara-negara berkembang untuk berpartisipasi secara penuh dan bersama-sama dalam membentuk bagian yang sangat penting dari sistem hukum internasional. Pada masa lalu hukum internasional dibuat dengan jumlah yang relatif kecil oleh negaranegara barat. Pada tahun 1973 masyarakat dunia telah berubah secara substansial dengan disintegrasi kekaisaran kolonial dan perkembangan negara-negara baru di Afrika dan Asia. Selanjutnya, negara-negara Amerika Latin memiliki pemerintahan yang tegas demi kepentingan nasional mereka, bahkan jika ketegasan tersebut membawa mereka ke dalam konflik dengan kekuatan dominan belahan bumi barat, Amerika Serikat. Memahami kurangnya pengaruh mereka dalam negosiasi internasional secara individual, negara-negara itu mencari kekuatan kolektif dan, pada tahun 1964, bergabung bersama dalam Kelompok 77 (G-77), nama itu kemudian tetap dipertahankan bahkan setelah keanggotaannya meningkat lebih dari jumlah aslinya. Pada UNCLOS 1982, pengelompokan daerah G-77 dan berbagai kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi hasil konferensi untuk memenuhi kebutuhan mereka.65 Aturan hukum laut internasional ini bersifat soft law, namun acuan kepada UNCLOS 1982 kiranya merupakan suatu keniscayaan (conditio sine qua non). Pertimbangan utamanya adalah bahwa UNCLOS 1982 berfungsi sebagai framework agreement yang secara komprehensif mengatur berbagai aspek pemanfaatan laut, baik yang berada di bawah kedaulatan dan hak berdaulat negara 65 Juda, op.cit., hlm. 209 49 pantai maupun yang tunduk kepada rezim sui generis sebagai common heritage of mankind. Berdasarkan UNCLOS 1982 sebuah negara pantai baik itu negara benua (continental state) maupun negara kepulauan (archipelagic state) berhak mengklaim batas wilayah maritim tertentu yang diukur dari garis pangkal negara tersebut. Wilayah maritim yang bisa diklaim meliputi perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (khusus untuk negara kepulauan /archipelagic waters), laut teritorial (territorial sea) sejauh maksimal 12 n.m., zona tambahan (contiguous zone) sejauh maksimal 24 n.m., zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) sejauh maksimal 200 n.m.dan landas kontinen (continental shelf).66 Negara pantai memiliki bentuk kedaulatan yang berbeda dalam masingmasing zona laut. Untuk perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial negara pantai memiliki kedaulatan mutlak (sovereignty), sedangkan di zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen negara pantai hanya memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk mengeksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan laut sampai pada batas yang telah ditentukan dalam UNCLOS. Hal ini merupakan salah satu bentuk pertimbangan masyarakat internasional dalam pembagian sumber kekayaan alam serta penggunaan lautan yang lebih adil dan merata bagi masing-masing negara baik itu negara pantai maupun negara yang tidak berpantai agar mendapat manfaat sebesar-besarnya dari sumber daya laut untuk kepentingan umat manusia. 66 I Made Andi Arsana, 2007, Batas Maritim Antar Negara, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, hlm.8 50 Bertambahnya yurisdiksi negara pantai untuk mengontrol wilayah maritim di wilayah ZEE yang disahkan oleh UNCLOS 1982 maka berdampak pada:67 a. Perubahan hukum yang merupakan modifikasi paling besar dalam hukum laut internasional setelah periode Grotius. b. Merupakan transfer of property rights dari milik masyarakat internasional menjadi rezim properti negara (State property regimes). c. Pembangunan berkelanjutan dalam hukum kebiasaan internasional melalui praktek negara-negara. Selain itu, semakin bertambah kepentinganan bagi negara pantai untuk melakukan delimitasi perbatasan maritim. Mengingat hampir 90 % stok perikanan berada di wilayah ZEE maka pengaturan mengenai ZEE ini berakibat besar bagi penambahan pemasukan bagi negara pantai yang dapat mengklaim ZEE secara maksimal. Negara pantai juga dapat mengklaim landas kontinen yang melebihi 200nm jika bentuk geografis negaranya mendukung untuk klaim perpanjangan landas kontinen sesuai dengan peraturan dalam konvensi. Konvensi baru tentang hukum laut ini menandai perubahan struktur fundamental dalam hukum laut, alasan pertama karena konvensi tersebut merupakan pendekatan komprehensif dalam masalah kelautan. Kedua, karena konvensi tersebut merupakan refleksi dari sebagian besar kebutuhan kontemporer pengelolaan sumber daya dan pengaturan kegiatan di wilayah yang luas dari 67 Clive Schofield, “Maritime Zone and Jurisdictions,” School of Surveying and Spatial Information, University of New South Wales, sumber: http://www.iho.int/mtg_docs/com_wg/ABLOS/ABLOS_Conf3/SESSION3.PDF diakses tanggal 17 November 2014 51 lingkungan laut serta merupakan konsekuensi tak terelakkan dari penggunaan ruang laut yang lebih intensif dan beragam. Inovasi penting dalam konvensi ini hampir terlalu banyak untuk dihitung. Beberapa diantaranya termasuk: 68 1. konsep lintas transit melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional; 2. konsep garis pangkal kepulauan dan perairan kepulauan; 3. konsep zona ekonomi eksklusif; 4. perubahan mendasar dalam definisi hukum landas kontinen; 5. Pengakuan eksplisit terhadap kebebasan penelitian ilmiah dan kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya seperti kebebasan tambahan di laut lepas; 6. tugas kerjasama internasional dalam pengembangan dan transfer ilmu dan teknologi kelautan; dan 7. konsep hukum lingkungan yang komprehensif dari laut berdasarkan kewajiban semua negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Dalam beberapa kasus, seperti hubungan dengan batas-batas laut teritorial, ketentuan konvensi tidak diragukan lagi mencerminkan kesepakatan substantif pada mayoritas masyarakat internasional. Ada alasan kuat untuk mempercayai bahwa perwakilan (representatives) dalam konferensi, diyakini menghadapi kesulitan untuk mencapai persetujuan pada substansi permasalahan, sehingga 68 Arvid Pardo, before and after, Law and Contemporary Problems,Vol. 46, No. 2, The Law of the Sea: Where Now? Spring, 1983, pp. 95-105, hlm.97 52 akhirnya mencari formula yang cukup samar atau ambigu untuk memungkinkan semua negara yang signifikan bersangkutan untuk mengklaim bahwa tujuan kebijakan mereka masing-masing kurang lebih telah tercapai dengan memuaskan.69 2. Tinjauan Mengenai Landas Kontinen Pengaturan mengenai landas kontinen disetujui dalam UNCLOS 1958 di Jenewa, tetapi perumusan pengertian landas kontinen yang terdapat dalam UNCLOS 1958 berbeda dari pengertian landas kontinen aslinya (pengertian “continental shelf” dalam arti geologis). Semua ketentuan tentang landas kontinen menurut UNCLOS 1958 direvisi dalam UNCLOS 1982. Landas kontinen diatur dalam Bab VI, tentang Landas Kontinen, Pasal 76-85 UNCLOS 1982 yang di dalamnya terdapat pengertian landas kontinen, hak negara pantai di landas kontinen, penetapan batas landas kontinen oleh setiap negara, pembuatan peta dan koordinat geografis dan menyampaikan ke Sekretaris Jenderal PBB. Pengertian landas kontinen menurut Pasal 76 UNCLOS 1982 adalah sebagai berikut : Article 76. Definition of the Continental Shelf:70 1. The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance. 69 Ibid., hlm. 98 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, 2009, Nova Science Publishers: New York, hlm. 43 70 53 2. The continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the limits provided for in paragraphs 4 to 6. 3. The continental margin comprises the submerged prolongation of the land mass of the coastal State, and consists of the seabed and subsoil of the shelf, the slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with its oceanic ridges or the subsoil thereof. 4. (a) For the purposes of this Convention, the coastal State shall establish the outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured, by either: (i) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to the outermost fixed points at each of which the thickness of sedimentary rocks is at least 1 per cent ofthe shortest distance from such point to the foot of the continental slope; or (ii) a line delineated in accordance with paragraph 7 byreference to fixed points not more than 60 nautical milesfrom the foot of the continental slope. (b) In the absence of evidence to the contrary, the foot of the continental slope shall be determined as the point of maximum change in the gradient at its base. 5. The fixed points comprising the line of the outer limits of the continental shelf on the seabed, drawn in accordance with paragraph 4 (a)(i)and (ii), either shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the 2,500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 metres. Berbeda dengan UNCLOS 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan lebar landas kontinen berdasarkan pada kriteria kedalaman atau kriteria kemampuan eksploitasi, maka UNCLOS 1982 berdasarkan pada beberapa kriteria: a. Jarak sampai 200 n.m. jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 n.m. tersebut; b. Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 n.m. yang diukur dari garis dasar laut teritorial jika di luar 200 n.m. masih terdapat daerah dasar laut 54 yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi; atau c. tidak boleh melebihi l00 n.m. dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter. GAMBAR 1 LANDAS KONTINEN 71 Jika ditinjau dari pengertian yuridis, alternatif yang digunakan untuk menentukan batas terluar landas kontinen hingga pinggiran luar tepian kontinen atau dengan cara melampaui batas 200 n.m. karena adanya perpanjangan alamiah maka cara pengukuran ini sudah jauh meninggalkan pengertian “continental shelf” dalam arti ilmu geologis, maka untuk membedakan pengertian tersebut Mochtar Kusumaatmadja, 72 mengungkapkan bahwa: “untuk membedakan dua pengertian yang berlainan isinya di dalam bahasa Indonesia digunakan dataran kontinen untuk 71 Sumber: http://sites.google.com/a/gadjahmada.edu/andi-arsana/papers/persetujuan-pbbatas-landas-kontinen-ekstensi-australia, diakses tanggal 12 November 2013 72 Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Bunga rampai Hukum Laut, Binacipta: Bandung, hlm.111 55 pengertian continental shelf dalam arti geologis, sedangkan pengertian hukum yang kemudian berkembang daripadanya dinamakan landas kontinen. Secara geofisik dasar laut yang berbatasan dengan pantai umumnya terdiri dari 3 bagian yang terpisah, yaitu “continental shelf”, “continental slope” dan “continental rise”, yang secara keseluruhan disebut “continental margin” atau tepian kontinen. Sedangkan “continental shelf” bukan merupakan keseluruhan dari “continental margin”. Sehingga penggunaan istilah “continental shelf” sudah tidak relevan lagi dan dapat menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan pengertian dari “continental shelf”, karena sudah mencapai batas terluar “continental margin” atau dapat juga melampaui batas itu. 73 Pasal 83 ayat (1) UNCLOS 1982 menyatakan, bagi negara-negara yang landas kontinennya berhadap atau berdampingan dalam menetapkan garis batas landas kontinen harus dilakukan dengan persetujuan atau atas dasar hukum internasional sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu “equitable solution.” Ketentuan ini berarti bahwa untuk mencapai suatu keadilan dalam penetapan garis batas landas kontinen harus berpedoman atau dilandasi oleh Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, yaitu : 1. Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa ; 73 Rosmi Hasibuan, 2002, Kaitan Permasalahan Rejim Hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Dan Lintas Kontinen Dalam Konvensi Hukum Laut 1982, Sumatera Utara, USU digital library.www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../hukuminter-Rosmi2.pdf, diakses tanggal 20 Maret 2010 56 2. Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum ; 3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; 4. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaedah-kaedah hukum. Cara penentuan garis batas tersebut berarti konvensi menunjuk pada dua pilihan, yaitu menunjuk pada hukum internasional yang disebut dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional dan menunjuk kepada “equitable solution.” Selain itu Pasal 77 UNCLOS 1982 telah jelas menyebutkan bahwa setiap perbuatan yang berpotensi sebagai bentuk okupasi seperti penanaman bendera tidak memberikan efek hukum yang signifikan kepada negara pantai sehingga dapat mengakui “sovereign rights” atas landas kontinen mereka, yang dilaksanakan dan ada secara independen dari pernyataan atau gerakan fisik dan sebagai persoalan hak, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 77 (3):“The rights of the coastal State over the continental shelf do not depend on occupation, effective or notional, or on any express proclamation.”74 3. Tinjauan Mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Rezim ZEE dibentuk pada Konferensi UNCLOS ketiga sebagai hasil kompromi antara negara pantai yang kebanyakan merupakan negara berkembang Betsy Baker, “Law, Science, And The Continental Shelf: The Russian Federation And The Promise Of Arctic Cooperation,” 25 Am. U. Int'l L. Rev. 251, 2010, hlm. 261 74 57 dengan negara maritim maju. Negara berkembang bermaksud mengklaim luas wilayah maritim yang lebih luas agar dapat melindungi sumber kekayaan alam di perairannya dari kapal-kapal ikan yang kebanyakan berasal dari negara maju. Pada posisi yang berlawanan, negara maritim yang kuat menginginkan kebebasan di lautan, khususnya kebebasan navigasi.75 Tercapainya kesepakatan atas rezim ZEE ini telah mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak. Wilayah ZEE meliputi daerah diluar laut teritorial sampai batas 200 n.m. dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur. Dalam wilayah ZEE negara pantai memiliki hak berdaulat untuk mengekplorasi dan eksploitasi, melindungi serta mengatur sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dalam kolom air ZEE. Selain itu, kebebasan navigasi di ZEE juga dijamin bagi kapal-kapal yang berlayar dengan mengibarkan bendera dari masing-masing negara. Saat ini banyak klaim terhadap perbatasan ZEE, di mana negara dengan jarak perbatasan yang kurang dari 400 n.m. satu sama lain harus melakukan delimitasi perbatasan maritim. Tumpang tindih klaim maritim ini berpotensi menjadi sengketa perbatasan maritim mengingat kecenderungan negara untuk mencoba memaksimalkan klaim maritim masing-masing. Kemajuan signifikan telah dibuat dalam hal pengaturan perbatasan maritim, namun jalan masih panjang untuk sampai pada penyelesaian batas maritim di seluruh dunia. Memang, kurang dari setengah potensi perbatasan maritim di seluruh dunia telah disepakati. Selain 75 Budislav Vukas, “‘State Practice In The Aftermath Of The Un Convention On The Law Of The Sea: The Exclusive Economic Zone And The Mediterranean Sea,” A Strati (eds), 2006, Unresolved Issues And New Challenges To The Law Of The Sea, Martinus Nijhoff Publishers: Leiden/ Boston, hlm. 251-252 58 itu, banyak dari perjanjian batas maritim yang telah diselesaikan secara parsial atau tidak lengkap, misalnya hanya meliputi sebagian dari panjang batas maritim potensial atau hanya penyelesaian perbatasan landas kontinen sedangkan di ZEE belum disepakati.76 Jika dicermati, perkembangan ZEE merupakan cermin kebiasaan internasional (international customs) yang diterima menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Menurut Ian Brownlie, elemen dari suatu kebiasaan internasional antara lain karena sudah terpenuhi empat syarat penting, yaitu:77 a. Durasi (duration); yaitu konsistensi dan keumuman praktek dari kebiasaan tersebut telah dilakukan oleh masyarakat internasonal. Meskipun tidak adanya batas minimal berapa lama suatu perbuatan harus dilakukan secara konsisten sehingga dapat diakui sebagai suatu kebiasaan. b. Keseragaman (uniformity); dalam hal ini yang dimaksud keseragaman adalah substansi dari kebiasaan itu. c. praktek umum negara-negara (generality of the practice); aspek ini adalah pelengkap dari konsistensi suatu kebiasaan. Karena jika suatu perbuatan dilakukan oleh suatu negara dan kemudian hal tersebut didiamkan oleh negara lainnya maka hal itu dapat berarti dua sisi. Bisa saja diamnya negara lain berarti persetujuan (tacit agreement) atau kebalikannya suatu bentuk ketidaktertarikan akan hal tersebut. Sehingga untuk lebih meneguhkan suatu perbuatan itu telah diterima sebagai suatu kebiasaan internasional yaitu dengan ditirunya perbuatan tersebut oleh negara-negara lain. d. opinio juris et necessitatis; ZEE bagi negara pantai sangat menguntungkan karena di dalamnya terdapat kekayaan sumber daya alam hayati dan nonhayati, sehingga mempunyai peranan Clive Schofield, “Parting the Waves: Claims to Maritime Jurisdiction and the Division of Ocean Space,” 1 Penn. St. J.L. & Int'l Aff. 40, 2012, http://elibrary.law.psu.edu/jlia/vol1/iss1/3, diakses tanggal 12 Desember 2014, hlm. 48 77 Ian Brownly, 2003, Principles of Public International Law, sixth Edition, Oxford University Press: Oxford, hlm.7 76 59 sangat penting bagi pembangunan ekonomi bangsa dan negara. ZEE suatu negara sudah diatur oleh UNCLOS 1982 yang terdapat dalam Pasal 55-75. ZEE ini mempunyai sifat sui generis78 atau specific legal regime. Pasal 55 menyatakan: “the exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal regime established in this Part, under which the rights and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedoms of other States are governed by the relevant provisions of this Convention.” ZEE adalah daerah di luar dan berdamping dengan laut territorial yang tunduk pada rezim hukum khusus di mana terdapat hak-hak dan yurisdiksi negara pantai serta hak dan kebebasan negara lain yang diatur oleh konvensi. Lebar ZEE bagi setiap negara pantai maksimal 200 mil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 57 UNCLOS 1982 yang berbunyi: “the exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured.” Jika ternyata terjadi konflik dalam penentuan hak dan yurisdiksi negara di ZEE maka berdasarkan Pasal 59 UNCLOS 1982 mengatur sebagai berikut:79 In cases where this Convention does not attribute rights or jurisdiction to the coastal State or to other States within the exclusive economic zone, and a conflict arises between the interests of the coastal State and any other Stateor States, the conflict should be resolved on the basis of equity and in thelight of all the relevant circumstances, taking into account the respective importance of the interests involved to the parties as well as to the international community as a whole. 78 (latin “of its own kind”); unique or peculiar; Bryan A. Garner (eds), 2004, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, Thomson West Publishing: St Paul, hlm. 1475 79 United Nations Convention on the Law of the Sea (1982), 2009, Nova Science Publishers: New York, hlm. 31 60 GAMBAR 2 ZONA EKONOMI EKSKLUSIF. 80 Karena besarnya keuntungan yang didapat dari hak berdaulat untuk pengelolaan laut di ZEE dan landas kontinen maka negara pantai sangat memerlukan kepastian batas-batas antar negara untuk menentukan ZEE dan landas kontinen. Ada lima belas negara yang mempunyai leading exclusive economic zone, yaitu Amerika Serikat, Perancis, Indonesia, Selandia Baru, Australia, Rusia, Jepang, Brasil, Kanada, Meksiko, Kiribati, Papua New Guinea, Chili, Norwegia dan India. Indonesia beruntung sekali termasuk satu dari lima belas negara yang mempunyai ZEE sangat luas bahkan termasuk tiga besar setelah Amerika Serikat dan Prancis, yaitu sekitar 1.577.300 n.m..81 80 Sumber: www.dekin.dkp.go.id/yopi/files/LA%20UNCLOS%20Pdf.pdf, diakses tanggal 12 Oktober 2013 81 R.R. Churchill & A.V. Lowe, 1999, Third Edition, The Law of the Sea, Manchester University Press: Manchester, hlm. 178 61 4. Tahapan Delimitasi Maritim Untuk menterjemahkan suatu konsep atau prinsip ke dalam praktek atau aplikasinya maka perlu pengadopsian suatu proses tertentu. Mengingat delimitasi perbatasan maritim merupakan suatu proses yang komprehensif maka memerlukan proses yang melibatkan semua sumber daya, materi dan keahlian. Untuk lebih memahami proses delimitasi maka di bawah ini dipaparkan mengenai konsep delimitasi yang dihimpun dari referensi tentang delimitasi maritim dan praktek negara dalam melaksanakan delimtasi maritim, mengenai tahapan-tahapan penting yang harus dilakukan dalam proses delimitasi batas maritim yang diselesaikan melalui negosiasi dan menunjukkan tugas dan isu-isu yang perlu ditangani oleh para pihak pada setiap tahap delimitasi. Jika kebutuhan untuk melakukan delimitasi antar negara telah muncul dan telah dipilah perbatasan maritim mana yang akan didelimitasi serta dasar legislasi yang mendasarinya serta keputusan politik yang diambil oleh para pihak untuk mencari kesepakatan perbatasan, maka persiapan menjelang negosiasi dapat segera dilakukan. Perlu ditekankan disini bahwa fase ini cukup penting untuk kesuksesan negosiasi perbatasan dan tidak boleh dianggap remeh, dilakukan dengan tergesagesa atau dengan sengaja mengurangi tahapan proses delimitasinya.82 Beberapa guidelines bagi para negosiator dalam fase pra-negosiasi untuk menyiapkan delimitasi maritim, yaitu:83 1. Persiapan secara menyeluruh 82 Prescott & schofield, 2005, The Maritime Political Boundaries of the World, Martinus Nijhoff Publishers: Leiden/Boston, hlm. 308 83 http://www.chathamhouse.org/search/node/Methods%20of%20resolving%20maritime% 20boundary%20disputes, diakses tanggal 21 Januari 2014 62 Pelajari area geografis yang akan di delimitasi, kepentingan para pihak yang patut dipertimbangkan, peraturan legislasi maritim dari kedua belah pihak yang diberlakukan pada area yang akan didelimitasi dan sejarah diplomatik dari area tersebut (protest notes, notifications of claims, dll). Perkirakan garis pangkal yang relevan dari kedua belah pihak yang dibuat berdasarkan peta berskala besar yang terkini. Telusuri apakah ada sengketa perebutan pulau atau fitur (misalnya low-tide elevations), atau status politik dan permasalahan teknis yang belum jelas yang pernah terjadi berkaitan dengan wilayah yang akan didelimitasi. Jika ternyata ada permasalahan maka diteliti menjadi milik pihak manakah wilayah yang dipersengketakan tersebut, selalu gunakan hipotesis kerja bahwa fitur kecil yang berada di dalam batas normal laut teritorial suatu negara pantai maka menjadi milik negara pantai itu jika tidak ada klaim dari negara lain. 84 Status tersebut tergantung pada apakah fitur itu berada di atas permukaan air saat air surut, berada di permukaan saat air pasang, atau tidak pernah berada di atas permukaan air sama sekali. Penting juga untuk mempelajari perbatasan maritim yang telah ada di area yang akan didelimitasi, terlebih pada perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. 2. Menentukan hukum yang berlaku Setelah melakukan beberapa persiapan di atas kemudian pertimbangkan apakah dalam proses delimitasi ini dapat menggunakan hukum kebiasaan internasional ataukah hanya berdasarkan hukum perjanjian. Apakah ada 84 Permasalahan ini dapat dilihat dalam kasus Qatar v. Bahrain 63 perjanjian perbatasan darat di wilayah tersebut dan jika ada apakah hal itu dapat menjadi ketentuan dalam penentuan laut teritorial. 3. Membentuk tim Pembentukan tim perunding serta menunjuk pemimpin yang akan melakukan negosiasi didampingi anggota lainnya yang telah ditentukan masing-masing tugasnya. Hidrografer juga dibutuhkan dalam tim perunding delimitasi untuk dimintai nasehatnya dalam masalah teknis delimitasi. Dalam penentuan delimitasi di zona ZEE dan landas kontinen terdapat tiga tahapan, yaitu:85 a. Menarik garis equidistance sementara berdasarkan metode geometris yang obyektif. b. membuat penyesuaian yang diperlukan untuk mencapai equitable solution. c. Verifikasi garis equidistance sementara, apakah perlu disesuaikan atau tidak, jika mengarah pada hasil yang tidak adil "berdasarkan alasan apapun ditandai oleh perbedaan yang jelas antara rasio panjang pantai masingmasing dan rasio antara daerah maritim yang relevan dari masing-masing negara." H. Landasan Teori Definisi teori adalah:“A set of assumptions, propositions, or accepted facts that attempts to provide a plausible or rational explanation of cause-and-effect (causal) relationships among a group of observed phenomenon. The word's origin 85 Case Romania v. Ukraine, 2009 ICJ Rep., paras. 116-122 64 (from the Greek thorós, a spectator), stresses the fact that all theories are mental models of the perceived reality.”86 Teori-teori diformulasikan untuk menjelaskan, memprediksi dan memahami fenomena dan dalam banyak kasus untuk menantang dan memperluas pengetahuan yang ada, dalam ikatan batas-batas asumsi kritis. Landasan teoritis adalah struktur yang dapat mempertahankan atau mendukung teori studi penelitian. landasan teoritis memperkenalkan dan mendeskripsikan teori yang menjelaskan mengapa masalah penelitian yang diteliti itu eksis.87 Dalam proses analisis penelitian diperlukan suatu landasan teori dalam rangka untuk membantu memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan. Landasan teori ini menjadi dasar dan acuan kajian permasalahan serta untuk mengetahui apakah permasalahan yang sedang dibahas itu telah sesuai dengan kaidah-kaidah dan teori dalam hukum internasional yang berlaku dalam hal penentuan delimitasi perbatasan maritim khususnya di ZEE dan landas kontinen. 1. Teori Keadilan Filsafat hukum tidak dapat dipahami tanpa pemeriksaan terhadap ide-ide dasar tentang hak dan keadilan. Hak, hukum dan moral, meliputi hukum dan sistem hukum, menjadi pusat perhatian yurisprudensi. Suatu keadilan ideal merupakan 86 http://www.businessdictionary.com/definition/theory.html, diakses tanggal 26 Februari 2013 87 http://libguides.usc.edu/print_content.php?pid=83009&sid=618409, diakses tanggal 9 Agustus 2014 65 sebuah kebanggaan utama dalam sistem hukum domestik dan dalam klaim universalitas, keadilan ideal ini bercita-cita untuk melampaui hukum itu sendiri.88 Hukum sering disamakan dengan keadilan. Pengadilan yang biasa disebut 'court of justice', bangunannya dengan semarak dihiasi dengan kata “justice”, atau representasi simbolis dari equity dan fairness.89 Keadilan, dalam hal apapun, adalah jauh dari konsep sederhana. Sebagian besar diskusi tentang subjek keadilan dimulai dari klaim Aristoteles bahwa keadilan terdiri dari memperlakukan sesuatu yang sederajat dengan yang sama sederajat dan yang tidak sederajat diperlakukan tidak sederajat pula, sesuai dengan proporsi ketidaksetaraan mereka. Ia membedakan antara keadilan 'korektif' (di mana pengadilan memperbaiki sebuah kesalahan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap yang lain), dan keadilan 'distributif' (yang berusaha untuk memberikan setiap orang haknya sesuai dengan apa yang layak dia dapatkan). Keadilan distributif dalam pandangan Aristoteles adalah perhatian utama bagi legislator. Akan tetapi Aristoteles tidak memberitahu kita apa keadilan yang sebenarnya.90 Kita mendapatkan gambaran tentang keadilan agak lebih jelas dari masa pemerintahan Romawi. Corpus Juris Civilis adalah badan hukum perdata yang dikodifikasikan di bawah perintah Kaisar Justinian di masa 482-565 Masehi. Keadilan didefinisikan sebagai “keinginan konstan dan abadi untuk memberikan semua orang apa yang layak mereka dapatkan.” Dalam kodifikasi tersebut “ajaran hukum” dinyatakan sebagai “untuk hidup jujur, tidak melukai orang lain, dan 88 Raymond Wacks, 2006, Philosophy Of Law: A Very Short Introduction, Oxford University Press: Oxford, hlm. 52 89 Ibid., hlm. 58 90 Ibid,. hlm. 59 66 memberikan semua orang haknya.” Ekspresi ini meskipun cukup umum, mengandung setidaknya tiga fitur penting yang tumpang tindih dari setiap konsepsi keadilan, yaitu pertama, menyampaikan pentingnya suatu individu; kedua, bahwa individu diperlakukan secara konsisten dan tidak memihak; dan, ketiga diperlakukan secara sama (equally).91 Pemaparan mengenai teori keadilan ini penting dijadikan sebagai salah satu lanadasan teori karena perlunya definisi dan penjelasan yang pasti mengenai perbedaan atau pendekatan antara “keadilan” dengan istilah “equitable.” Teori keadilan ini dipergunakan untuk memberi arah dalam mencari jawaban dan analisis terhadap permasalahan yang kedua dalam penelitian ini yang terfokus pada substansi equitable principle dan untuk menganalisis permasalahan ketiga yang terfokus pada relevansi single maritime boundary dan equitable principle dalam Sub-bab permasalahan. Berikut ini penjelasan mengenai teori keadilan menurut beberapa ahli hukum. Teori keadilan dipengaruhi oleh beberapa aliran, salah satunya adalah aliran utilitarianisme yang dianut oleh Jeremy bentham, John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering. Ide dasar utilitarianisme menurut Mil sangat sederhana, yaitu: yang benar untuk dilakukan adalah yang menghasilkan kebaikan terbesar. Definisi singkat yang dikemukakan Mill sebagai berikut: ‘kemanfatan’ atau ‘prinsip kebahagiaan terbesar’ menyatakan bahwa tindakan tertentu benar jika cenderung memperbesar kebahagiaan; dan tindakan itu keliru jika cenderung menghasilkan berkurangnya 91 Ibid., hlm. 59 67 kebahagiaan. Yang dimaksudkan dengan kebahagiaan adalah kesenangan dan tidak adanya rasa sakit…92 Dari pernyataan singkat ini maka dapat ditarik dua asumsi krusial yang melandasi keadilan menurut perspektif utilitarian. Pertama, tujuan hidup adalah kebahagiaan. Kedua, ‘kebenaran’ dari suatu tindakan ditentukan oleh kontribusinya bagi kebahagiaan. 93 Dalam perkembangannya teori keadilan utilitarianisme ini mendapatkan beberapa kritikan. Salah satu kritikan itu karena adanya pengabaian terhadap konsep tradisional mengenai ‘keadilan’ oleh teori yang mengklaim ‘benarnya’ suatu tindakan jika hal tersebut dapat memaksimalkan kebaikan bagi orang banyak, sehingga meskipun hal tersebut dianggap tidak adil namun jika memberikan kebahagiaan yang lebih banyak kepada banyak orang maka hal itu dianggap benar. Sebagai contoh, jika sejumlah warga yang minoritas dikorbankan haknya karena alasan pengorbanan hak itu akan memberikan kebaikan yang lebih besar bagi banyak orang maka hal itu dapat dianggap benar oleh kaum utilitarian. Selama kebaikan terbesar bisa dicapai melalui cara itu maka semua hak dan klaim individu bisa diabaikan.94 Selain Mill, tokoh utilitarian lain yaitu Jeremy Bentham, seorang ahli hukum dan pembaharu politik, adalah filsuf yang namanya paling erat terkait dengan era dasar dari tradisi utilitarian modern. Sarjana-sarjana sebelumnya telah melahirkan beberapa gagasan inti dan terminologi karakteristik filsafat utilitarian, terutama John Gay, Francis Hutcheson, David Hume, Claude-Adrien Helvetius dan 92 Karen Lebacqz, 2011, Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Terhadap Pemikiran J.S.Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, J.P. Miranda, Nusa Media: Bandung, hlm. 14 93 Ibid. 94 Ibid. 68 Cesare Beccaria, tapi dari semua sarjana tersebut Bentham-lah yang telah memperkenalkan teori dalam bentuk sekuler dan sistematis dan membuatnya menjadi alat yang penting dalam filsafat moral dan hukum dan perbaikan politik dan sosial.95 Jeremy Bentham berpendapat, karena dalam kehidupan manusia seharihari, manusia berusaha untuk menjadi bahagia dan menghindari rasa sakit, maka demikian juga dalam masyarakat terstruktur untuk mewujudkan tujuan ini:96 Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do. On the one hand the standard of right and wrong, on the other the chain of causes and effects, are fastened to their throne. . . . The principle of utility recognizes this subjection, and assumes it for the foundation of that system, the object of which is to rear the fabric of felicity by the hands of reason and of law. Systems which attempt to question it, deal in sounds instead of sense, in caprice instead of reason, in darkness instead of light. Penting untuk dicatat bahwa utilitarian membedakan antara 'act utilitarianism' yaitu kebenaran atau kesalahan dari tindakan yang akan dinilai oleh konsekuensi, baik atau buruk, tindakan itu sendiri; dan 'rule utilitarianism' yaitu kebenaran atau kesalahan dari tindakan yang akan dinilai oleh kebaikan atau keburukan konsekuensi dari aturan bahwa setiap orang harus melakukan tindakan dalam situasi yang sama.97 Bentham mendeteksi cacat serius dan berpotensi melemahkan dalam pengejewantahan prinsip utilitas sebagai "greatest happiness of the greatest 95 James E. Crimmins, "Jeremy Bentham", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2015 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL http://plato.stanford.edu/archives/spr2015/entries/bentham/. diakses tanggal 22 Mei 2016 96 Raymond Wacks, op.cit., hlm. 61 97 Ibid., hlm. 62 69 number." Dalam pandangannya Bentham berkesimpulan bahwa prinsip tersebut bisa membenarkan pengorbanan yang banyak sekali oleh minoritas, akan tetapi minoritas tersebut mungkin terbentuk untuk kepentingan meningkatkan kebahagiaan mayoritas. Ia menganggap ini sebuah kesimpulan yang keliru, tapi satu hal yang perlu dipastikan, yaitu: 98 "Be the community in question what it may," he writes, “divide it into two unequal parts, call one of them the majority, the other the minority, lay out of the account the feelings of the minority, include in the account no feelings but those of the majority, the result you will find is that to the aggregate stock of the happiness of the community, loss, not profit, is the result of the operation.” Semakin sedikit perbedaan numerik antara minoritas dan mayoritas, maka akan lebih jelas semakin berkurang dalam agregat kebahagiaannya. 99 Logikanya kemudian, semakin dekat kita mendekati kebahagiaan semua anggota masyarakat, semakin besar agregat kebahagiaannya (Greatest Happiness Principle).100 Sebagai perbaikan tambahan dalam cara di mana Bentham memahami prinsip utilitas, ia telah mencantumkan “universal interest.” Ide awalnya dinyatakan dalam Rencana Reformasi Parlemen di mana Bentham menampilkan konsepsi yang lebih khusus dari prinsip kebahagiaan terbesar yang ditujukan pada "maximum … of comfort and security" untuk semua pihak.101 “If it is a good thing to sacrifice the fortune of one individual to augment that of others, it will be yet better to sacrifice a second, a third, a hundred, a thousand, …; for whatever may be the number of 98 James E. Crimmins, loc.cit. Jeremy Bentham, “Deontology,” A. Goldworth (ed.), 1983, Deontology together with A Table of the Springs of Action and the Article on Utilitarianism, Clarendon Press: Oxford, hlm. 309 100 James E. Crimmins, loc.cit. 101 Jeremy Bentham Published under the Superintendence of his Executor, John Bowring, 1838–43, The Works of Jeremy Bentham, Vol. III., William Tait: Edinburgh, hlm. 452 99 70 those you have sacrificed, you will always have the same reason to add one more. In one word, the interest of everybody is sacred, or the interest of nobody.”102 keamanan dasar harus diberikan kepada setiap anggota masyarakat, dan pelanggaran terhadap kepentingan vital ini tidak dibenarkan, baik pelanggaran itu dilakukan oleh individu lain atau oleh pemerintah, karena pelanggaran terhadap hak mendasar bertentangan dengan unsur-unsur distributif teori utilitarian. Sejauh ini kesimpulan Bentham, diperhitungkan. 103 setidaknya kebahagiaan setiap orang harus Karena pandangannya inilah Bentham kemudian dikenal sebagai seorang filsuf yang mempergunakan pendekatan individual dalam aliran utilitarianisme. Sarjana lain yang cukup terkenal dalam aliran utilitarian adalah Rudolf von Jhering. Dalam karyanya yang paling ambisius, Geist des römischen Rechts, 104 Jhering menjelaskan hubungan hukum pada perubahan sosial. Karyanya yang lebih berpengaruh di abad ke-20 adalah “Law As a Means to an End,” yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah perlindungan kepentingan individu dan masyarakat dengan koordinasi antara keduanya sehingga meminimalkan kemungkinan timbulnya konflik. Dimana konflik tidak dapat dihindari, maka Jhering menekankan bobot yang lebih besar untuk kepentingan masyarakat, sehingga mengundang kritik bahwa ia telah mengebawahkan individu dari masyarakat. Ide- 102 Jeremy Bentham Translated from the French of Etienne Dumont, by Richard Hildreth, 1840, Theory of Legislation, Vol. I., Week, Jordan & Company: Boston, hlm. 144 103 James E. Crimmins, loc.cit. 104 Terjemahannya adalah "The Spirit of Roman Law" 4 vol. (1852-1865) 71 idenya tersebut merupakan hal yang penting bagi perkembangan "jurisprudence of interests" di Jerman.105 Pada posisi yang berlawanan terdapat juga teori keadilan yang dicetuskan oleh John Rawls, yang bertolak belakang dengan pandangan utilitarian ini, karena dalam teori keadilan Rawls hak individu sangat dilindungi. John Rawls berpendapat: “justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought.” 106 Dalam pandangan Rawls, keadilan merupakan kebaikan utama suatu institusi (misalnya: negara) dalam suatu sistem pemikiran. Salah satu gagasan utama Rawls adalah bahwa prinsip-prinsip keadilan dapat dibenarkan dengan menunjukkan bahwa mereka akan menjadi produk dari kesetaraan yang adil (justice as fairness). 107 Dalam keadilan sebagai suatu kesetaraan posisi awal keadilan berhubungan dengan keadaan alamiah dalam teori tradisional kontrak sosial. 108 Keadilan ini merupakan hak bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar bagi kaum minoritas/individu. Rawls juga memaksimalkan kebebasan. Pembatasan terhadap kebebasan ini hanya untuk kepentingan kebebasan itu sendiri.109 105 http://www.britannica.com/biography/Rudolf-von-Jhering, diakses tanggal 23 Mei 2016 106 J. Rawls, 1999, A Theory Of Justice, Revised Edition, Harvard University Press: United States, hlm. 3 107 J. Mikhail et al., “The Law of Peoples: with ‘the Idea of Public Reason Revisited’.” by John Rawls, Book Notes, 36 Stan. J. Int'l L. 357, 2000, hlm. 357 108 Rawls, op.cit., hlm. 11 109 Ibid. 72 Rawls melahirkan 3 (tiga) prinsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh para ahli yakni: 1. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle) 2. Prinsip perbedaan (differences principle) 3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle) Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: Equal liberty principle harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, Equal opportunity principle harus diprioritaskan dari pada differences principle.110 Dalam ‘The Law of Peoples,’ yaitu kumpulan perkuliahan pada tahun 1993, Rawls memperluas elemen dasar kontrak kerangka kerjanya ke dalam hubungan internasional. Rawls menjelaskan bahwa prinsip perbedaan di seluruh dunia dapat secara rasional diterima sebagai basis kerjasama yang stabil dan damai. Beliau menegaskan bahwa pilihan hanya dapat dilakukan atas dasar informasi yang relevan secara moral. Oleh karena itu ia kembali menekankan kepada para pihak yang terkait kepada selubung ketidaktahuan dan disesuaikan dengan kasus yang ada.111 Masyarakat dalam hipotetis kontrak internasional Rawls tidak tahu ukuran wilayah mereka atau populasinya, tingkat sumber daya alam mereka, tingkat pembangunan ekonomi, atau kekuatan relatif militer mereka. Melalui cara ini, mereka tidak mampu untuk mengeksploitasi kontinjensi seperti ini dalam desain lembaga yang mendukung satu pihak di atas pihak yang lain. Rawls mengakui 110 111 Rawls, op.cit., hlm. 151-156 Mikhail et al., op.cit., hlm. 358 73 bahwa eksperimen pikirannya utopis, dalam arti bahwa ia menggunakan cita-cita politik dan moral untuk menentukan isi dari suatu tatanan internasional yang adil. Konsepnya membimbing dari utopia yang realistis. Menurut Rawls, konsepsi keadilan adalah realistis hanya jika hal itu bergantung pada hukum-hukum alam yang sebenarnya dan mencapai jenis stabilitas hukum-hukum yang diperbolehkan. Selain itu, prinsip pertama dan aturannya harus dikerjakan dan berlaku untuk pengaturan politik dan sosial yang berkelanjutan.112 Keadilan dalam sudut pandang liberalisme juga berkembang dalam filsafat hukum dewasa ini. Teori liberal hukum adalah sekelompok pandangan tentang sifat hukum dan batasan yang diperbolehkan dalam penggunaan hukum. Esensi liberalisme adalah pandangan bahwa negara tidak boleh menggunakan kekuasaan koersif untuk memaksakan konsepsi tentang kehidupan yang baik pada individu. Dalam setidaknya satu dari bentuk-bentuk modern yang signifikan, liberalisme juga berkomitmen untuk kesetaraan. negara memperlakukan warganya sebagai setara hanya jika memungkinkan setiap orang untuk mengembangkan dan bertindak atas konsepsi kebaikannya sendiri. Komitmen kebebasan secara historis telah terwujud dalam hubungan filosofis antara liberalisme dan positivisme hukum.113 Dalam arti yang paling umum, libertarianisme adalah filsafat politik yang menegaskan hak-hak individu untuk kebebasan, untuk memperoleh, menyimpan, dan bertukar kepemilikan mereka, dan menganggap perlindungan hak-hak individu merupakan peran utama untuk negara. Catatan ini adalah pada libertarianisme 112 Ibid. Leslie P.Francis & Bruce Landesman, “Liberal Philosophy of Law,” Christopher Berry Gray (ed), 1999, The Philosophy of Law: An Encyclopedia Volume II, Garland Publishing, Inc.: New York & London hlm. 506 113 74 dalam arti sempit dalam pandangan moral yang agen awalnya sepenuhnya memiliki diri mereka sendiri dan memiliki kekuatan moral tertentu untuk memperoleh hak milik dalam hal-hal eksternal.114 Versi yang paling terkenal dalam aliran Libertarian tidak diragukan lagi, adalah "teori hak" Robert Nozick, yang menyatakan bahwa keadilan distributif terutama hanya terdiri dari tiga prinsip:115 1. the principle of justice in acquisition, 2. the principle of justice in transfer, 3. the principle of rectification for violations of (1) and (2). Libertarian melihat individu sebagai unit dasar analisis sosial. Hanya individu yang membuat pilihan dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. pemikiran libertarian menekankan martabat masing-masing individu, yang mencakup hak dan tanggung jawab. Karena individu adalah agen moral, mereka memiliki hak untuk menjadi aman dalam hidup mereka, kebebasan, dan properti. Hak-hak ini tidak diberikan oleh pemerintah atau masyarakat; akan tetapi melekat dalam sifat manusia.116 Berdasarkan beberapa teori tentang keadilan di atas kemudian dipergunakan untuk menganalisis permasalahan asas equitable principle dalam penentuan delimitasi maritim dengan melakukan interpretasi analogi terhadap kedudukan negara dalam penentuan delimitasi ini. Sebagaimana dijabarkan dalam teori 114 Peter Vallentyne & Bas van der Vossen, "Libertarianism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2014 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL http://plato.stanford.edu/archives/fall2014/entries/libertarianism, diakses tanggal 23 Mei 2016 115 Ibid. 116 David Boaz, 1997, Libertarian A Primer, Free Press: New York, hlm. 16 75 keadilan yang bersubyek pada individu perorangan, maka untuk memakai teori tersebut, posisi negara-negara yang melakukan delimitasi dalam kedudukannya di masyarakat internasional dianalogikan sebagai individu internasional, sehingga penggunaan teori keadilan itu dapat dicocokan dengan situasi hubungan negara dalam masyarakat internasional. Adapun peran penguasa dalam hal ini pengejewantahan negara atau pemerintah diwakili oleh hukum internasional yang mengatur tentang delimitasi yang mengacu pada UNCLOS 1982. Hal penting yang harus dicapai oleh teori keadilan ini adalah agar tercapainya salah satu dari tujuan hukum. Tujuan pemberlakuan hukum adalah agar tercapai keseimbangan sebagaimana yang disebutkan dalam teori Gustav Radbruch, menurutnya pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yaitu keadilan, manfaat dan kepastian hukum di mana ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek pertama yaitu keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek kedua kemanfaatan di mana aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.117 2. Teori Kedaulatan Teori ini dipergunakan untuk memberi arah dalam mencari jawaban terhadap permasalahan pertama, kedua, dan ketiga dalam sub-bab permasalahan. 117 hlm.163 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius: Yogyakarta, 76 Pentingnya unsur kedaulatan dalam proses perjanjian antar negara serta proses delimitasi membuat teori ini perlu untuk disertakan dalam penelitian ini. Bersamaan dengan munculnya negara modern muncul ide atau konsep ideal tentang kedaulatan.118 Kedaulatan negara diartikan sebagai organisasi politik yang menjalankan kewenangan yang tak tertandingi dalam batas wilayahnya, termasuk kekuasaan tertinggi untuk membuat dan menegakkan hukum. Kedaulatan tersebut berdiri di atas hukum dan tidak bisa dikenakan pembatasan hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Austin, “Supreme power limited by positive law, is a flat contradiction in terms.”. 119 Pemahaman tentang kedaulatan negara yang tidak terbatas sebagian didasarkan pada realitas praktis yang dirasakan. Dalam teori hukum positivis, tidak adanya otoritas penegak hukum sentral di atas negara-negara berarti tidak ada cara yang dapat diandalkan untuk memaksa kepatuhan negara tersebut. Bagi Hobbes dan para sarjana sebelumnya yang membahas tentang negara, otonomi tanpa belenggu dari kedaulatan mengikuti asal-usul dalam kontrak sosial. Mulai dari kondisi kebebasan alam, orang dikontrak untuk memberikan otoritas dalam kedaulatan besar di mana mereka yang akan menjadi subyeknya. Tindakan, atau fiksi dari kontrak itulah yang melegitimasi pelaksanaan otoritas kedaulatan seiring dengan pengorbanan otonomi individu. Tidak ada meta-kontrak yang dapat membuat legitimasi otoritas super yang mampu mengikat kedaulatan. Kedaulatan tak terbatas adalah akibat wajar dari persetujuan umum.120 118 F.H. Hinsley, 1986, Sovereignty, 2d ed., Cambridge Univ. Press: Cambridge, hlm. 126- 213 119 John Austin, 1995, The Province of Jurisprudence Determined, edited by Wilfrid E. Rumble, Cambridge Univ. Press: Cambridge, hlm. 212 120 Jack Goldsmith & Daryl Levinson, Law For States: International Law, Constitutional Law, Public Law, 122 Harv. L. Rev, 1791, hlm.1843 77 Dalam versi ekstrim dari kedaulatan negara yang dibayangkan oleh Hobbes dan Austin, bahkan persetujuan untuk membatasi kekuasaan kedaulatan oleh kedaulatan itu sendiri – merupakan hal yang mustahil. Kedaulatan, sekali diberikan, maka tidak dapat dicabut. ketika mengakui bahwa "badan-badan berdaulat telah berusaha untuk membantu diri mereka sendiri, atau untuk mewajibkan penerus kekuasaan kedaulatan mereka," Austin menyatakan kesia-siaan menundukkan kekuasaan kedaulatan bahkan jika kedaulatan itu ingin membatasi dirinya sendiri. Dalam formulasi Hobbes tentang kedaulatan, beliau menjelaskan:121 The Soveraign of a Common-wealth . . . is not subject to the Civill Lawes. For having power to make, and repeale Lawes, he may when he pleaseth, free himselfe from that subjection, by repealing those Lawes that trouble him, and making of new; and consequently he was free before. For he is free, that can be free when he will: Nor is it possible for any person to be bound to himselfe; because he that can bind, can release; and therefore he that is bound to himselfe onely, is not bound. Tentu saja kita tidak perlu berpendirian sejauh Hobbes dalam mengartikan kedaulatan tak terbatas. Status kedaulatan dapat dilihat sebagai memberdayakan kedaulatan untuk masuk ke dalam kontrak yang mengikat atau komitmen, termasuk kontrak hukum. Hukum internasional didasarkan pada konsep negara. Negara pada gilirannya terletak di atas dasar kedaulatan, yang mengekspresikan internal supremasi lembaga pemerintah dan eksternal supremasi negara sebagai subyek hukum internasional. Akan tetapi, kedaulatan itu sendiri yang mengandung hak dan kewajiban hukum, didirikan pada fakta wilayah. Tanpa wilayah suatu entitas tidak 121 Ibid., hlm.1843-1844 78 bisa menjadi negara. Tidak diragukan lagi wilayah merupakan salah satu karakteristik dasar negara dan yang paling banyak diterima dan dipahami.122 Konsep hukum fundamental seperti kedaulatan dan yurisdiksi hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan wilayah, maka bahwa sifat hukum dari wilayah menjadi bagian penting dalam setiap penelitian hukum internasional. Prinsip dimana negara dianggap menjalankan kekuasaan eksklusif atas wilayahnya dapat dianggap sebagai aksioma dasar hukum internasional klasik. 123 Perkembangan hukum internasional atas dasar kewenangan eksklusif negara dalam kerangka kerja teritorial telah disepakati memiliki arti bahwa wilayah menjadi konsep yang fundamental dalam hukum internasional. 124 Kebanyakan negara-negara memang berkembang melalui hubungan dekat dengan tanah yang mereka dihuni.125 Wilayah merupakan salah satu unsur penting kedaulatan yang menjadi fitur bagi otoritas politik dalam perkembangan modern. Teritorialitas adalah prinsip dimana anggota komunitas harus dikelompokkan. Teritorial juga menentukan bahwa keanggotaan suatu komunitas berasal dari tempat tinggal mereka di dalam suatu perbatasan. Otoritas tertinggi dalam wilayah adalah definisi umum kedaulatan, sehingga manifestasi sejarah terhadap kedaulatan hampir selalu spesifik terkait dengan klaim wilayah tersebut.126 122 Malcolm N. Shaw, 2003, International Law, Fifth Edition, cambridge university press: Cambridge, hlm. 409 123 Ibid. 124 D. P. O'Connell, 1970, International Law, 2nd edn, Stevens & Sons Ltd: London, vol. I, p. 403. 125 Shaw, 2003, op.cit., hlm. 410 126 Daniel Philpott, "Sovereignty", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2016 Edition), Edward Zalta (ed.) http://plato.stanford.edu/archives/sum2016/entries/sovereignty/, diakses tanggal 24 Mei 2016 79 Selain fungsi “power monopoly,” kedaulatan juga memainkan peran penting lainnya, seperti konsep pusat gagasan “equality of nations”… Konsep kesetaraan bangsa ini terkait dengan konsep kedaulatan karena kedaulatan telah mendorong gagasan bahwa tidak ada kekuatan yang lebih tinggi daripada negara-bangsa, jadi 'kedaulatan' meniadakan gagasan bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi, baik asing maupun internasional (kecuali yang disetujui oleh negara).127 Berkaitan dengan hukum laut internasional maka telah timbul dua bentuk kedaulatan yang disandang oleh negara, pertama kedaulatan penuh dan kedua adalah hak berdaulat. Kedua kedaulatan ini berkaitan erat dengan penentuan delimitasi perbatasan maritim, karena adanya perbatasan maritim maka batas tersebut menjadi penentu mulainya dan berakhirnya suatu kedaulatan negara di laut. Di wilayah laut teritorial, permasalahan dasarnya adalah kedaulatan teritorial yang merupakan eksistensi elemen suatu negara. Pada zona maritim lainnya, permasalahan terletak pada hak berdaulat atas sumber kekayaan alam termasuk didalamnya minyak dan gas bumi. Mengamankan perbatasan maritim berarti sama dengan mengamankan sumber kekayaan alamnya. Selain itu penting bagi negara untuk mengamankan jalur pelayaran laut di wilayahnya.128 Dalam bab pembahasan penelitian ini dilakukan analisis terhadap keterkaitan teori kedaulatan dalam proses delimitasi berdasarkan praktek negara John H Jackson, “Sovereignty: Outdated Concept or New Approaches,” Wenhua Shan, Penelope Simons & Dalvinder Singh, 2008, Redefining Sovereignty in International Economic Law, Hart Publishing: Oxford And Portland, Oregon, hlm. 4 128 A. Jinangkung, “Maritime Boundary Disputes Among Asean Member Countries: Could Asean Do Something?,” Jurnal Hukum Internasional Opinio Juris, Volume 3 edisi Sep-Des 2011, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI, hlm. 2 127 80 untuk menjelaskan posisi kedaulatan dan hak berdaulat yang dipergunakan sebagai landasan melakukan delimitasi di ZEE dan landas kontinen. 3. Konsep Single Maritime Boundary Berlakunya rezim ZEE dalam UNCLOS 1982 diikuti dengan meningkatnya trend diantara negara-negara yang mengadopsi “single maritime boundary” untuk memisahkan perbatasan laut di luar laut teritorial dengan alasan untuk kepentingan kesederhanaan, kepastian dan kenyamanan bersama. Dalam hal negara pantai yang berdampingan, garis pangkal yang ditarik ke arah laut dari tepi pantai biasanya hanya memisahkan laut teritorial dari kedua negara dalam jarak 12 n.m.. Untuk wilayah di atas laut teritorial jika negara yang berunding itu menyetujui maka garis batas zona laut ZEE dan landas kontinen dapat dibuat sama diantara mereka.129 Konsep ini dipergunakan untuk menjawab permasalahan ketiga dalam Sub-Bab permasalahan. I. Cara Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan mendalam terhadap Surya P. Sharma, “The Single Maritime Boundary Regime and the Relationship between the Continental Shelf and the Exclusive Economic Zone,” 2 Int'l J. Estuarine & Coastal L. 203, 1987, hlm. 203 129 81 fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.130 Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, disamping adanya penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data primer. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.131 Berdasarkan jenisnya penelitian mengenai “Equitable Principle Dalam Penentuan Delimitasi Perbatasan Indonesia Dengan Negara-Negara Lain di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen” ini merupakan penelitian hukum normatif atau studi kepustakaan karena yang diteliti adalah prinsip atau asas hukum yang berkaitan dengan equitable principle, sesuai dengan uraian Soerjono Soekanto di atas. 2. Jenis Data Jenis data dalam penelitian kepustakaan ini adalah data sekunder berupa kaidah atau norma yang meliputi asas-asas hukum. Pada dasarnya dapat dibedakan antara data sekunder yang bersifat pribadi dengan data sekunder yang bersifat publik. Secara sistematis-visual tipe-tipe data sekunder tersebut, adalah sebagai berikut:132 130 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hlm.43 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan singkat, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm.13-14 132 Ibid., hlm. 24-25 131 82 1. Bersifat pribadi Data sekunder a. Dokumen pribadi b. Data pribadi yang disimpan di lembaga dimana seseorang bekerja atau pernah bekerja a. Data arsip 2. Bersifat publik b. Data resmi instansi Pemerintah c. Data lain, misalnya, yurisprudensi Mahkamah Agung Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas maka data yang dicari dan dianalisis dalam penelitian ini adalah data arsip, data resmi instansi serta keputusan-keputusan hukum dan fakta-fakta yang berhubungan dengan equitable principle dalam proses delimitasi perbatasan maritim di ZEE dan landas kontinen serta problem penerapannya di Indonesia. Atas dasar pertimbangan tersebut maka data penelitian yang diperlukan antara lain: (1) informasi tentang situasi dan perkembangan delimitasi perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, serta hambatan-hambatan yang ada dalam mencapai equitable principle; (2) data tentang konsep equitable principle dikaitkan dengan penentuan delimitasi negara kepulauan dalam hukum laut internasional serta kaitannya dengan proses delimitasi di Indonesia di ZEE dan landas kontien serta serta aspek-aspek yang berpengaruh dalam proses delimitasi dalam ketentuan hukum internasional lain yang relevan; (3) data tentang metode single maritime boudary dalam penyelesaian delimitasi dan relevansinya dengan equitable principle di ZEE dan landas kontinen. Bahan hukum yang dikaji dalam penelitian ini antara lain adalah: 83 1. Bahan hukum primer; merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.133 Dalam hukum internasional yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, yang terdiri dari Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuanketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh masyarakat internasional, seperti: a. United Nations Convention Law Of The Sea 1982 b. United Nations Convention on the Continental Shelf 1958 c. Perjanjian bilateral yang menyangkut penentuan delimitasi ZEE dan landas kontinen antara Indonesia dengan negara tetangga serta perjanjian bilateral dari negara lain yang relevan dengan kasus delimitasi di Indonesia sebagai data pembanding. d. Keputusan Pengadilan Internasional dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan sengketa delimitasi ZEE dan landas kontinen e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen; f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE); 133 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana: Jakarta, hlm. 141 84 g. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76; h. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73. i. Kebiasaan internasional, yaitu suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum ; j. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab ; 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer seperti: a. yurisprudensi dan doktrin ajaran sarjana-sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaedah-kaedah hukum. b. buku hukum terutama yang berkaitan dengan hukum laut internasional; jurnal ilmiah seperti American Journal of International Law, Stanford Journal of International Law, American University International Law Review, Brooklyn Journal of International Law, Chinese Journal of International Law, dll; makalah dan karya-karya ilmiah para sarjana hukum, serta penelusuran data internet yang terkait dengan masalah yang diteliti. 85 3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus hukum baik yang berupa hardcopy misalnya: Black Law dictionary,134 Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, 135 The Advance Learner’s Dictionary of Current English,136 ataupun dalam bentuk kamus online seperti: www.thefreedictionary.com, www.businessdictionary.com, dll; ensiklopedi dalam bidang hukum contohnya: Legal Problem Solver.137 3. Cara Pengumpulan Data Dalam penelitian pada umumnya dikenal tiga jenis teknik atau cara pengumpulan data, yakni studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara. Ketiga cara tersebut dapat dipergunakan masing-masing, atau bersama-sama. Untuk penelitian ini cara yang dipergunakan adalah studi dokumen atau bahan pustaka serta wawancara dengan narasumber yang berkompeten sebagai bahan tambahan untuk melengkapi bahan penelitian. Proses pengumpulan data sekunder dan bahan hukum dalam penelitian ini diambil dari beberapa sumber, yaitu: a. Berbagai perpustakaan baik lokal maupun nasional. Dalam penelitian ini pencarian literatur sebagian besar dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum UGM. Bryan A. Garner (eds), 2004, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, Thomson West Publishing: St Paul 135 Ranuhandoko, 2003, Terminologi hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta 136 A.S.Hornby, et al., 1973, The Advance Learner’s Dictionary of Current English, ed. 2. Oxford University Press: London 137 John A. Pope, 1994, Legal Problem Solver: a Quick and Easy Action Guide To The Law, Reader’s Digest: New York 134 86 b. Pusat data dari lembaga dan instansi pemerintah terkait dengan objek penelitian, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Dinas Hidrografi dan Oceanografi, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. c. Situs jurnal internet seperti Westlaw, Jstor, Proquest, Social Science Research Network. Dalam pengumpulan data melalui wawancara, penulis melakukan wawancara kepada narasumber dari instansi pemerintah yang terkait langsung dengan proses delimitasi dan tokoh yang merupakan ekspertis dalam hukum laut internasional di Indonesia. Menurut Peter Marzuki hasil wawancara dengan pejabat yang memiliki kewenangan bukan merupakan bahan hukum primer karena hasil wawancara itu tidak bersifat autoritatif, Akan tetapi hasil wawancara dapat dogolongkan pada bahan penelitian non-hukum. Jika wawancara tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis dan narasumber memberikan hasil wawancara dalam bentuk tertulis pula maka hasil wawancara ini dapat menjadi bahan hukum sekunder.138 Wawancara dilakukan kepada beberapa narasumber berikut ini: 1. Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A., ahli hukum laut internasional Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Senior Advisor to the Indonesian Minister for Maritime Affairs and Fisheries & Indonesian Naval Chief of Staff. Beliau juga berpartisipasi aktif dalam Konferensi Hukum Laut Internasional 1973-1982 sebagai salah satu wakil delegasi Indonesia. 138 Marzuki, op.cit, hlm. 165 87 2. Prof. Dr. Ir.. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc dari instansi Badan Informasi Geospasial dan dosen tetap di Program Magister Teknik Geomatika Universitas Gadjah Mada. 3. Kol. Dr. Ir.Trismadi, M.Sc, pejabat Kepala subdissurvei Dishidros. 4. Kolonel Laut (KH) Drs. Haris Djoko Nugroho, M.Si, saat wawancara dilaksanakan menjabat sebagai Kasubdit Perbatasan Laut, Direktorat Wilayah Pertahanan, Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Kementerian Pertahanan. 5. Terry Subagja, dari Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Adapun hasil wawancara dalam penelitian ini digolongkan kepada bahan penelitian non-hukum karena hasil wawancara hanya dituangkan dalam bentuk rekaman suara, meskipun hasil wawancara dipergunakan juga sebagai masukan dalam pembahasan disertasi ini. 4. Analisis Penelitian Setelah proses pengumpulan data yang relevan dengan topik penelitian maka data tersebut diolah dan dianalisis dengan melakukan interpretasi dan evaluasi untuk menemukan jawaban permasalahan. Pengolahan data adalah suatu kegiatan mengartikan, membanding-bandingkan, menghubung-hubungkan dan mencari kesesuaian antara data yang telah dikumpulkan satu sama lain dalam rangka mengungkapkan suatu kebenaran yang dipermasalahkan. Akhir pengolahan data itu adalah penarikan kesimpulan.139 Analisis sendiri adalah upaya sistematik 139 Sugeng F. Istanto, 2007, Penelitian Hukum, Ganda: Yogyakarta, hlm. 28 88 untuk menguraikan isu penelitian dengan memilah-milahkan atau menguraikan komponen informasi yang telah dikumpulkan ke dalam bagian-bagian atau unitunit analisis.140 Sintesis sebagai upaya menggabungkan semua data yang terkait dengan komponen (unit-unit analisis), disamping memiliki kemampuan untuk menilai karya sarjana lain di bidang yang relevan; Sintesis pendahuluan harus mencakup upaya penggabungkan secara konsisten antara temuan analisis dan sintesis. Dalam hal ini peneliti berupaya menata kembali hasil analisis dalam rangka menjelaskan (a) pengertian makna harfiah dan makna real dari komponen tersebut; (b) unsur subjektif atau bias yang terkandung di dalamnya. Sintesis akhir (final synthesis), mencakup upaya penggabungan bagian-bagian secara keseluruhan dari data yang telah dianalisis. Dalam penelitian normatif bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara preskriptif dengan mempergunakan metode deduktif sebagai cara yang dipakai untuk menarik kesimpulan. Bahan penelitian tentang equitable principle berupa prinsip hukum, keputusan pengadilan serta ajaran dan pendapat para ahli dirangkai secara sistematis sebagai susunan fakta hukum untuk mengkaji pencapaian equitable principle dalam penyelesaian delimitasi ZEE dan landas kontinen Indonesia dengan negara-negara tetangga. Pencarian data pustaka dalam penelitian ini dilakukan terhadap kebijakan penerapan equitable principle dalam perjanjian bilateral mengenai penentuan batas wilayah maritim Indonesia dengan negara 140 Mestika Zed, 2004, Metode Penelitian Kepustakaan, Penerbit Yayasan obor Indonesia: Jakarta, hlm. 82 89 tetangga. Selain itu dilakukan juga studi pustaka terhadap kasus-kasus yang relevan berkaitan dengan penerapan equitable principle yang telah diputuskan oleh pengadilan internasional. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah: 1) Pendekatan konseptual; yaitu beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.141 Dalam penelitian ini pendekatan konseptual dilakukan dengan memaparkan beberapa persepsi doktrinal mengenai equitable principle yang umum digunakan dalam hukum internasional. 2) Pendekatan Hermeneutika; Kata “hermeneutika” secara etimologi berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan” dan kata benda hermeneia yang berarti “interpretasi.” Hermeneutika ditujukan kepada suatu proses mengubah sesuatu atau situasi yang tidak bisa dimengerti sehingga dapat dimengerti. Ada tiga komponen dalam proses tersebut; mengungkapkan, menjelaskan dan menerjemahkan.142 Pendekatan hermeneutika ini digunakan dalam menganalisis makna equitable principle. Selain itu dalam analisis interpretasi permasalahan dan dalam rangka membedahnya dengan teori yang telah dipilih, peneliti mempergunakan interpretasi per analogiam. Definisinya dapat di pahami sebagai berikut, analogy means partial resemblance.” Dua fenomena dapat dikatakan analogi satu sama lain jika dalam hubungan signifikan tertentu hal itu dapat 141 Marzuki, op.cit, hlm. 95 Richard E. Palmer, “Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer,” terj. Hery Mansur & M. Damanhuri, 2005, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hlm. 14. 142 90 dikategorikan sebanding atau dapat dikomparasikan, meskipun apa yang diperbandingkan itu merupakan hal yang berbeda. Secara umum interpretasi per analogiam dapat digunakan jika pengguna menarik kesimpulan terhadap arti ketentuan yang ingin diinterpretasikan itu berdasarkan observasi bahwa analogi tersebut dapat dilakukan terhadap dua fenomena tersebut.143 3) Pendekatan Komparatif; penelitian komparatif yaitu melihat dua atau lebih kelompok, individu, atau kondisi yang sama dengan membandingkan mereka. Perbandingan ini sering berfokus pada beberapa karakteristik khusus. Perbandingan dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. 144 Dalam penelitian ini yang dikomparasikan adalah metode delimitasi di wilayah ZEE dan landas kontinen antar kasus perbatasan Indonesia dengan negara tetangganya, serta membandingkannya dengan kasus serupa dalam praktek di negara lain serta yurisprudensi internasional. 143 Ulf Linderfalk, 2007, On The Interpretation Of Treaties, Springer: Netherlands, hlm. 144 http://www.hd.gov/HDdotGov/detail.jsp?ContentID=346, diakses tanggal 23 Desember 294 2012