gerakan gusdurian: kaki pengusung gagasan gus dur

advertisement
BAB I
GERAKAN GUSDURIAN: KAKI PENGUSUNG
GAGASAN GUS DUR
Dalam bab ini penulis hendak memaparkan latar belakang dan
urgensi penulis dalam melakukan penelitian terkait gerakan Gusdurian ini.
Konsep bahwa “…setiap ide harus punya kaki” menjadi landasan penulis
dalam melihat fenomena yang terjadi dalam gerakan Gusdurian, dimana
gagasan besar Gus Dur haruslah ditopang oleh “institusi” salah satunya
adalah gerakan Gusdurian yang memiliki basis jaringan yang begitu kuat.
Tulisan-tulisan terdahulu yang membahas tentang gerakan sosial, jaringan,
maupun kekuatan gagasan penulis tuangkan dalam sub-bab Tinjuan
Pustaka untuk memperlihatkan orisinalitas dan keunikan penelitian ini.
Landasan Konseptual berupa kajian tentang gerakan sosial baru dalam
perspektif jaringan dan kiat mengelola jaringan menjadi kacamata yang
membantu penulis dalam mengamati gerakan Gusdurian. Pembahasan
terkait mengapa penulis memilih menggunakan metode etnografi juga
penulis jabarkan di akhir bab ini.
1. 1. Gusdurian : Gerakan Membangkitkan Kembali Gagasan Gus Dur
Seorang intelektual kenamaan, Soedjatmoko (dalam Mallarangeng,
2002), pernah berkata bahwa “..setiap ide harus punya kaki..”. Kalimat
tersebut bermakna bahwa sehebat apapun olah pikir atau ide seseorang,
tidak akan bermanfaat banyak jika tidak ditopang dengan perangkat
pendukung, seperti organisasi kerja, sumber daya manusia yang handal,
modal, dan teknologi. “Kaki dari setiap ide”, dimaknai oleh Soedjatmoko
tidak lain adalah hadirnya perangkat-perangkat utama yang menjalankan
realisasi gagasan. Gagasan memang tidak bisa dilihat secara konkrit,
namun bisa menjadi resource besar dan begitu berpengaruh dalam banyak
lini di ranah sosial politik bangsa. Gagasan sebagai sumber daya tentu saja
tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Gagasan perlu ditopang oleh “kaki”
berupa “institusi”.
Konsep diatas menjadi kacamata yang penulis pakai dalam melihat
fenomena munculnya sebuah gerakan dalam masyarakat yang coba mengusung
1
spirit yang mewujud dalam berbagai gagasan dari sosok Abdurrahman Wahid (selanjutnya ditulis Gus Dur), yaitu gerakan Gusdurian. Gerakan Gusdurian
penulis lihat merupakan bentuk kaki yang mencoba menopang spirit, gagasan dan
ide besar sang sosok bapak bangsa. Gerakan yang menyebut dirinya sebagai
gerakan kultural ini penulis lihat sebagai bentuk gerakan sosial baru yang
berusaha mentransmisikan sumber daya berupa gagasan Gus Dur melalui berbagai
aktivitas pergerakannya, baik itu melalui aksi, media cetak, media elektronik,
seminar, diskusi dan pertemuan publik lainnya, dan berkembang hingga menjadi
gerakan sosial yang memiliki jaringan kuat dan solid.
Gerakan Gusdurian sendiri mulai muncul dan berkembang sejak tahun
2010,
beberapa saat setelah Gus Dur berpulang. Dalam perkembangannya,
gerakan Gusdurian makin solid berkat kekuatan jaringan dan tetap konsisten
dalam mempertahankan karakteristiknya sebagai gerakan yang mengutamakan sisi
voluntarisme, berusaha mempertahankan sikap apolitis dari tindak politik praktis
dan menjaga informalitas dari sisi pengorganisasiannya.
Dewasa ini, politik ketokohan dimana sosok atau tokoh menjadi sentral
dalam isu sosial politik kembali menjadi sorotan di Indonesia1. Dari sosok atau
tokoh tersebut, gagasan dari tokoh tersebut menjadi hal yang begitu penting
karena gagasan yang dilandasi oleh spirit dan ideologi seseoranglah yang menjadi
landasan seseorang untuk melakukan suatu tindakan (Haryatmoko, 2014). Gus
1
Sesuai dengan survei hasil kerjasama UGM dengan University of Oslo yang dilakukan di 30
Kabupaten/kota di Indonesia melibatkan narasumber 592 aktivis pro demokrasi yang berlangsung
sejak awal 2013 hingga awal tahun 2014. Ada empat temuan penting dari survei ini, diantaranya
perkembangan demokrasi Indonesia mengarah pada politik berbasis pada tokoh atau ketokohan,
khususnya mereka yang menduduki posisi publik seperti pimpinan daerah.
2
Dur sendiri adalah salah satu sosok yang dikenal luas masyarakat atas gagasan
dan berbagai pemikiran besarnya. Hingga saat inipun, dalam arena pemilihan
umum legislatif maupun pemilihan presiden 2014 misalnya, gagasan dari sosok
Gus Dur ternyata masih “laku dijual” guna kepentingan politis para caleg maupun
capres yang bertarung dalam pertarungan politis lima tahunan tersebut.2
Tidak dapat dipungkiri bahwa sosok Gus Dur hingga saat ini memang
masih berpengaruh dan menjadi panutan sebagian kalangan masyarakat Indonesia,
terlebih lagi warga di kalangan Nahdlatul Ulama, tempat dimana Gus Dur
dibesarkan. Hal ini menegaskan bahwa gagasan Gus Dur memang seakan ada
terus menerus dan tak lekang dimakan jaman. Walaupun Gus Dur sudah
meninggal, namun spirit, gagasan besar serta kebijakan politisnya yang dikenal
begitu demokatis dan pro terhadap keragaman bangsa masih begitu dirindukan,
khususnya saat melihat berbagai realita dimana bangsa Indonesia di berbagai segi
masih memperlihatkan sisi “out of the track”-nya.
Gagasan empat pilar kebangsaan yang diciptakan oleh para founding
fathers bangsa3 juga seakan sudah mulai luntur jika melihat tingginya intensitas
aktivitas masyarakat yang kian menunjukkan sisi intolerannya 4 . Di satu sisi,
2
Suara Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, yang memiliki jumlah pengikut yang cukup signifikan di
Indonesia, begitu diperebutkan suaranya dalam pemilihan umum dengan menggunakan nama besar
sosok Gus Dur sebagai strategi penarik suara. Selain PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang
merupakan partai yang “dibesarkan” oleh Gus Dur sendiri, perebutan suara NU dengan
memanfaatkan nama Gus Dur juga dilakukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo-Hatta.
3
Empat pilar kebangsaan yang dimaksud adalah Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika
4
Sebut saja kasus pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin di Bogor serta
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Philadelphia Bekasi yang sampai saat ini masih belum
menemui titik terang. Sama halnya dengan maraknya isu provokasi antar etnis atau agama,
3
meningkatnya jumlah insiden kekerasan dan intoleransi dalam masyarakat dalam
10 (sepuluh) tahun terakhir dan disertai dengan penegakan hukum yang lemah,
membuat masyarakat sipil perlu berjuang sendiri untuk menekan keberlanjutan
fenomena yang meresahkan ini. Seiring waktu berjalan, gagasan Gus Dur kian
dirindukan dan menjadi urgent untuk kembali diperjuangkan.
Semakin membesarnya kerinduan secara emosional akan sosok Gus Dur
membuat banyak elemen dalam masyarakat merasa perlu untuk “menghidupkan
kembali” spirit dan gagasan Gus Dur dalam kehidupan bermasyarakat. Berawal
dari kerinduan tersebut, muncul berbagai komunitas yang bermula dari rasa rindu,
ngefans, kagum dan mencintai sosok dan pemikiran Gus Dur. Komunitas mulamula yang ada di berbagai daerah ini mulai melakukan pergerakan namun masih
mengalami kesulitan dalam menentukan arah dan gerakannya masih bersifat
euphoria. Hingga pada akhirnya atas inisiatif dari murid-murid Gus Dur, perca di
berbagai daerah yang merupakan berbagai komunitas yang masih terserak tersebut
dijahit menggunakan benang berupa spirit Gus Dur, hingga akhirnya muncul
menjadi gerakan yang berusaha “menghidupkan” kembali sosok Gus Dur di
dunia. Adapun gerakan tersebut menamakan dirinya sebagai gerakan Gusdurian,
sebuah gerakan yang berusaha membangkitkan kembali sosok Gus Dur di dunia
melalui upaya merawat nilai-nilai, pemikiran-pemikiran dan melanjutkan
perjuangan Gus Dur di era kontemporer.
pembakaran rumah ibadah, bom bunuh diri di GBIS (Gereja Bethel Injil Sepenuh) Kepunton Solo,
serta kerusuhan atas nama agama seperti kasus Ahmadiyah yang merebak beberapa saat lalu. Di
sisi lain, negara hilang.
4
Belakangan ini, gerakan Gusdurian makin melebarluaskan sayapnya,
terlihat dari setidaknya 90 (sembilan puluh) sampai 100 (seratus)-an komunitas
yang tersebar di seluruh Indonesia bahkan kini merambah hingga ke luar negeri.
Dalam perkembangannya, gerakan yang pada awalnya timbul karena alasan
emosional ini akhirnya berkembang menjadi sebuah gerakan sosial baru yang
menempatkan kekuatan jaringan baik intern maupun antar komunitas sebagai
modal utamanya dalam perkembangan gerakan. Gerakan ini juga begitu menarik
karena menghasilkan banyak aksi dan pergerakan, terdiri dari beragam aktor yaitu
komunitas, individu dan lembaga, namun tetap berlandaskan dan diikat oleh satu
hal, yaitu spirit Gus Dur.
Upaya mengelola relasi antar berbagai aktor yang otonom dan kompleks
dalam rangka mengelola kepentingan bersama tentu membutuhkan adanya
aplikasi dari konsep-konsep manajemen yang mampu menjawab tantangan terkait
kompleksitas dan horizontalisme relasi dalam gerakan yang berbasis pada jejaring
ini. Penggunaan konsep jaringan disini tidak hanya sebagai cara pandang untuk
memahami fenomena kontemporer dalam gerakan Gusdurian, namun penulis
harap juga bisa menjadi strategi baru dalam pengelolaan kompleksitas relasi antar
aktor yang bisa dikembangkan.
Konsep jaringan sendiri didasarkan pada asumsi bahwa relasi para aktor
tersebut saling bergantung satu sama lain, dimana para aktor tidak bisa mencapai
tujuannya tanpa menggunakan sumber daya yang dimiliki oleh aktor lainnya.
Mekanisme saling ketergantungan ini berjalan melalui adanya pertukaran sumber
5
daya antar aktor. Aturan dan pola distribusi tersebut hanya bisa diubah dan
dikukuhkan lewat beragam interaksi dan negoisasi antar pelaku dalam jaringan
(Jones, Hersterlet dan Borgatti, 1997; dalam Pratikno, 2008). Beroperasinya
jejaring tidak berada dalam ruang yang hampa, namun ada struktur dengan norma
tertentu yang membatasi kebebasannya dalam melakukan tindakan. Dengan
berbagai interaksi konstitutif, mekanisme jaringan berpeluang sebagai cara
mengelola tindak bersama dalam mengelola sumber daya, sekaligus mengubah
dan mengarahkan beragam pola dalam struktur jaringan.
Karena struktur dalam jaringan dibangun melalui interaksi yang bersifat
sukarela dari para pelaku yang otonom, maka struktur yang dibangun bersifat
open-ended process dan tak jarang bersifat fluktuatif. Stabil atau tidaknya struktur
dalam jaringan ditentukan oleh tingkat interdependensinya, yakni melalui
mekanisme pertukaran sumber daya yang relatif tetap dan tidak tergantikan oleh
mekanisme lain dalam struktur jejaring (Pratikno, 2008). Konsekuensinya, relasi
yang terbangun bersifat konstitutif. Perilaku dan pilihan strategi yang diambil para
pelaku juga bisa dibentuk oleh adanya negosiasi yang terus menerus antar pelaku
dalam jaringan. Berdasar dari hal tersebut, penulis menggunakan kacamata teori
strukturasi Giddens serta berbekal 4 (empat) pola berjejaring menurut Diani
(2003) untuk melihat dan mengamati fenomena yang terjadi dalam gerakan
Gusdurian.
Mengetahui lebih dalam terkait dengan sisi pembentukan, pola berjejaring
apa yang digunakan serta bagaimana upaya gerakan Gusdurian dalam merawat
6
jaringan tentu menjadi pertanyaan yang menarik. Oleh karenanya, penulis merasa
tertantang untuk melakukan pengamatan mendalam terkait gerakan ini dengan
menggunakan metode etnografi yang memungkinkan peneliti untuk terlibat
langsung ke dalam aktivitas yang dilakukan gerakan Gusdurian, khususnya
Komunitas Gusdurian Yogyakarta.
Penelitian tentang gerakan Gusdurian ini begitu penting untuk dilakukan
karena penulis melihat bahwa pengungkapan pola dan pengelolaan jejaring dalam
gerakan sosial baru tergolong sebagai penelitian yang masih jarang dilakukan oleh
peneliti lain. Penelitian yang dilakukan terhadap gerakan Gusdurian ini juga
begitu menarik, mengingat akan keberadaan gerakan ini yang masih tergolong
berusia muda dan isu yang diusung tergolong ‘berbeda’ dari gerakan-gerakan
sosial yang ada selama ini, namun telah memiliki massa dan jaringan yang begitu
masif dan solid.
1. 2. Rumusan Permasalahan
 Bagaimana pola berjejaring yang diterapkan oleh gerakan Gusdurian?
 Bagaimana bentuk pengelolaan jaringan dalam gerakan Gusdurian sebagai
sebuah gerakan sosial baru berbasis jaringan yang mengusung gagasan
Gus Dur?
1. 3. Tujuan Penelitian

Untuk menambah khazanah pengetahuan baru terkait pola dan bentuk
pengelolaan jaringan dalam gerakan Gusdurian
7

Menjelaskan spirit dan gagasan Gus Dur yang menjadi landasan
terbentuknya gerakan Gusdurian

Menjelaskan bentuk manajemen jaringan yang diaplikasikan dalam
gerakan Gusdurian dan dinamika yang terjadi hingga menjadi gerakan
sosial baru berbasis jejaring yang masif dan solid.
1. 4. Tinjauan Pustaka
Tulisan yang membahas terkait keberadaan gagasan maupun spirit dalam
dinamika sosial, politik maupun ekonomi masih begitu jarang dijumpai.
Bersyukur, penulis bisa menemukan tulisan karya Rizal Mallarangeng yang
berjudul “Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992”, terbitan
Freedom Institute. Gambaran runtut dan ringkas terkait peran gagasan dalam
analisis ekonomi politik mengenai liberalisasi di Indonesia begitu baik dibingkai
oleh Mallarangeng. Tulisan ini juga menarik karena membedah perspektif lain
terkait dengan wacana baru ekonomi politik liberalisasi di Indonesia.
Memang benar jikalau Mallarangeng bukanlah orang pertama yang
mengungkap tentang pentingnya gagasan. Soedjatmoko misalnya, sempat
mengemukakan pendapatnya terkait gagasan, bahwa pada dasarnya “gagasan
punya kaki”. Karya Mallarangeng ini muncul sebagai sebuah studi empiris yang
membenarkan pendapat Soedjatmoko yang menekankan bahwa gagasan tidak
mungkin bisa berjalan sendiri, dan membutuhkan “institusi” sebagai “kaki” untuk
menopang gagasan tersebut. Oleh karenanya, peran gagasan juga harus dilihat
dalam konteks struktur ekonomi politik yang ada dan kendala yang dihadapi oleh
8
gagasan tersebut dalam wilayah politik yang dimasuki. Dalam konteks inilah,
Mallarangeng melihat bahwa peran gagasan terkait urgensi perlunya liberalisasi
ekonomi di Indonesia telah ditransmisikan oleh komunitas epistemis liberal.
Melalui komunitas ini, berbagai gagasan terkait liberalisasi ditransmisikan melalui
media cetak, media elektronik, seminar, diskusi, dan pertemuan publik lainnya.
Selain itu, gagasan juga berjalan dalam sebuah institusi besar yang
bernama lembaga pemerintahan. Dalam perspektif itulah, Mallarangeng dalam
bukunya ini melihat adanya liberalisasi ekonomi. Karya Mallarangeng seperti
diataslah yang coba penulis singkap logika berpikirnya dan penulis pinjam untuk
bisa merangkai dan menjawab rumusan masalah diatas. Gerakan Gusdurian coba
penulis kaitkan sebagai bentuk “kaki” yang coba menopang dan mentransmisikan
kembali gagasan besar Gus Dur.
Di sisi lain, tulisan mengenai gerakan memang dengan mudah dapat kita
jumpai di berbagai karya ilmiah ilmu-ilmu sosial, baik itu sosiologi, ilmu politik,
antropologi, sejarah, dan lain sebagainya. Namun penulis melihat bahwa
penelitian yang mencoba mengangkat gerakan Gusdurian sebagai gerakan
berbasis jaringan yang mendukung ide-ide Abdurrahman Wahid masih begitu
sedikit diteliti. Hal tersebut kemungkinan besar dikarenakan oleh gerakan
Gusdurian sendiri yang masih tergolong ‘baru’ di dunia pergerakan sosial
Indonesia. Melalui pencarian di berbagai jurnal online, referensi di perpustakaan,
maupun artikel di internet, penulis seringkali menemui kesulitan dalam
menemukan sesuatu hal yang berhubungan dengan gerakan Gusdurian.
Kebanyakan artikel di internet hanya sebatas mengemukakan profil gerakan saja,
9
tidak mendalam tentang latar belakang pembentukan, strategi terlebih manajemen
jaringan yang dilakukan gerakan Gusdurian. Bahkan di dalam situs resmi
Gusdurian, hanya dikemukakan sekedar profil umum yang menyatakan bahwa
gerakan Gusdurian adalah sebuah gerakan yang mencoba mewarisi pemikiranpemikiran atau ide-ide Abdurrahman Wahid. (Gusdurian, 2014)
Hampir sama dengan apa yang telah penulis sampaikan diatas, literatur
yang ada selama ini tentang Abdurrahman Wahid misalnya, juga hanya sekedar
membahas mengenai biografi atau pemikiran beliau semata, namun belum ada
yang mencoba mengaitkannya dengan pembentukan gerakan tertentu sebagai
upaya mengusung kembali ide-ide yang selama ini menjadi spirit beliau dalam
beraktivitas. Dalam banyak literatur, pemikiran Abdurrahman Wahid dianggap
tidak biasa, bahkan kadang menimbulkan pertentangan. Jika dilacak lebih lanjut,
dari segi kultural, sosok Abdurrahman Wahid memang melintasi tiga model
lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh
dengan etika yang serba formal, dan appreciate dengan budaya lokal; kedua,
budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya Barat
yang liberal, rasional, dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya
terinternalisasi dalam pribadi Abdurrahman Wahid membentuk sinergi. Hampir
tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Abdurrahman
Wahid. Sampai akhir hayatnya, Abdurrahman Wahid senantiasa berdialog dengan
semua watak budaya tersebut. Inilah, barangkali, anasir yang Abdurrahman
Wahid selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias
kontroversial (Al-Zastrouw, 1999).
10
Dalam sebuah tulisan berjudul Gus Dur Pelindung Minoritas, Emha Ainun
Nadjib memaparkan sepak terjang Gus Dur sebenarnya terletak dalam suatu grand
theory yang tidak sukar dipahami, yaitu (1) dalam perspektif universal, Gus Dur
bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya. (2) dalam
konstelasi keindonesiaan, Gus Dur bermaksud menerapkan ideologi nasionalisme
yang habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apapun yang indikatif
terhadap primordialisme atau yang anti-nasionalisme, dan (3) dalam kaitannya
dengan Islam, Gus Dur –dengan segala resiko- berkehendak untuk melakukan
domestikasi atau pembumian nilai-nilai Islam
dalam kerangka dan nuansa
kultural yang tak bersedia ditawar oleh segala “kegamangan teologis” apapun
(Nadjib, 1995).
Di lain sisi, penulis juga menemukan tulisan yang membahas keterkaitan
antara jaringan dan gerakan sosial, salah satunya adalah karya Sudiana Sasmita
(2008) tentang Greenpeace. Dalam tulisannya, dituliskan bahwa sejak awal
pendiriannya, Greenpeace relatif tidak berpusat pada seorang tokoh kharismatik.
Greenpeace di Indonesia seperti halnya Greenpeace di negara lain, memiliki pola
gerakan yang berbasis pada jaringan. Hal ini bisa dilihat dari kerja sama yang
dibangun oleh Greenpeace di Indonesia dengan lembaga-lembaga lain yang juga
concern dalam permasalahan lingkungan hidup. Misalnya saja kampanye
penyelamatan hutan Indonesia yang diadakan oleh Greenpeace Indonesia di Tugu
Proklamasi, Jakarta Pusat pada tanggal 16 Februari 2008. Aksi kampanye yang
merupakan bentuk keprihatinan terhadap rusaknya hutan Indonesia ini adalah
kerja sama Greenpeace Indonesia dengan berbagai pihak. Diantaranya adalah
11
dengan Komisi Lingkungan Hidup DPR, anggota DPD RI perwakilan Jakarta, dan
juga Yayasan Pitaloka milik artis Rieke Dyah Pitaloka. Keberadaan Greenpeace
Indonesia yang masih sangat muda menyebabkan Greenpeace Indonesia harus
banyak belajar kepada Greenpeace Asia Tenggara yang lebih dulu berdiri.
Adanya jaringan yang kuat di antara Greenpeace dan lembaga lain yang bergerak
dalam masalah lingkungan hidup, diharapkan akan mempermudah terciptanya
misi Greenpeace serta mempertahankan eksistensi Greenpeace di Indonesia.5
Terkait jejaring, penulis menemukan pustaka terkait yaitu buku Jaringan
Sosial Dalam Organisasi yang ditulis oleh Ruddy Agusyanto (2007). Buku ini
mencoba memperkenalkan kta akan sebuah pendekatan yang relatif baru di
Indonesia, yaitu analisis jaringan sosial dalam mengkaji kompleksitas struktur dan
perilaku organisasional guna memahami konflik, perubahan dan pengendalian,
dalam kehidupan berorganisasi. Agusyanto (2007) memaknai jaringan sosial
sebagai jaringan tipe khusus, dimana ada “ikatan” yang menghubungkan satu titik
ke titik lain dalam jaringan tersebut adalah hubungan sosial.
Agusyanto melihat bahwa pada dasarnya jaringan-jaringan sosial yang ada
pada masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) jaringan interest
(dimana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan sosial
bermuatan kepentingan), (2) jaringan sentiment (terbentuk dari hubungan sosial
yang bersifat emosional), dan (3) jaringan power (terbentuk dari hubungan sosial
yang bermuatan power). Dalam paparannya, tulisan ini memperlihatkan pula
5
Sasmita, Sudiana. 2008. Eksistensi Gerakan Greenpeace di Indonesia. Yogyakarta : Jurusan Ilmu
Pemerintahan UGM (tesis yang tidak diterbitkan)
12
adanya perbedaan yang cukup menonjol antara kajian organisasi dengan kajian
gerakan sosial. Gerakan sosial menurut Giddens merupakan suatu keberanian
untuk berusaha menstabilkan sebuah tata kehidupan yang baru (new order of life).
Tidak seperti organisasi, gerakan sosial tidak memiliki karakteristik, yaitu
mengoperasikan aturan-aturan atau hukum di dalam tempat-tempat terjadinya
peristiwa gerakan sosial dan menetapkan posisi-posisi (terkait hak dan kewajiban)
dari para anggotanya secara transparan. Dengan kata lain, suatu gerakan sosial
tidak secara jelas mendefinisikan posisi-posisi dan peran-peran serta menerapkan
sistem sanksi atas perilaku atau tindakan menyimpang para anggotanya.
Walaupun pada akhirnya tidak menutup kemungkinan bahwa gerakan sosial akan
melahirkan organisasi nantinya.
Tulisan-tulisan diatas penulis coba telusuri guna menemukan sisi lain yang
belum terkuak baik dalam penelitian atau tulisan sebelumnya. Dari berbagai
pustaka diatas, penulis secara umum belum menemukan tulisan atau karya ilmiah
lain yang mencoba menghubungkan antara gagasan Gus Dur dan gerakan berbasis
jaringan yang mengusungnya. Sehingga hal ini merupakan tantangan bagi penulis
untuk menghadirkan hal baru yang berbeda dari analisis tentang gerakan sosial
secara umum, yakni mengenai strategi pengelolaan jejaring gerakan sosial
Gusdurian yang mencoba mengusung gagasan besar Gus Dur.
1. 5. Landasan Konseptual
1. 5. 1. Gerakan Sosial Baru Bercorak Kultural
13
Mengenal lebih dalam terkait gerakan kultural tentu tidak bisa dilepaskan
dari basisnya sebagai gerakan sosial yang tumbuh di masyarakat. Gerakan sosial
yang tumbuh di kalangan masyarakat pada umumnya bisa disebut sebagai suatu
gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut
perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah. Dari hal tersebut,
terlihat bahwa tuntutan perubahan tersebut muncul karena kebijakan yang
diberikan oleh pemerintah tidak lagi sesuai dengan konteks masyarakat yang ada
saat ini atau bisa saja kebijakan yang ada bertentangan dengan kehendak sebagian
besar masyarakat.
Sebelumnya, kita mengenal ada dua macam gerakan sosial, yaitu old
social movement dan new social movement. Old social movement merupakan
gerakan yang berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan sisi materi dan
biasanya terkait dengan ketimpangan ekonomi dan atau kelas pada suatu
kelompok, seperti kelompok petani atau buruh (Triwibowo, 2006). Old social
movement lebih mengarah pada masalah-masalah ketenagakerjaan, keanggotaan
massa yang memiliki kelas-kelas dan anti-kolonialisme. Dalam perspektif ini,
gerakan lahir karena dukungan dari mereka yang terisolasi di masyarakat dan
cerminan dari perjuangan kelas di sekitar proses produksi sehingga sering terkait
dengan kasus yang menimpa para buruh.
Di lain sisi, new social movement atau gerakan sosial baru merupakan tipe
gerakan sosial yang memiliki tampilan karakter yang baru atau unik dimana
gerakan ini lebih berpusat pada tujuan-tujuan non material. Gerakan ini
menekankan pada perubahan-perubahan dalam gaya hidup atau kebudayaan
14
daripada mendorong perubahan-perubahan spesifik dalam kebijakan publik atau
perubahan ekonomi (Nash, 2005). Dalam kajian ini, konsep Gerakan Sosial Baru
akan digunakan untuk melihat fenomena yang terjadi pada gerakan Gusdurian,
baik itu dari proses pembentukan maupun strategi yang digunakan dalam
mencapai tujuan. Gerakan Gusdurian dapat dilihat sebagai sebuah bentuk new
social movement tatkala unsur-unsur gerakan ini sesuai dengan karakteristik yang
melekat dalam suatu bentuk gerakan sosial baru, yang antara lain karakteristiknya
adalah:
1.
Mendorong perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan (Nash, 2005)
2.
Memiliki karakteristik yang baru, dan terkesan unik (Nash, 2005)
3.
Tampil sebagai perjuangan lintas kelas, memobilisasi opini publik untuk
mendapatkan daya tawar politik (Suharko, 2006)
4.
Mengorganisasikan diri dalam suatu bentuk yang cair (Suharko, 2006),
struktur organisasi bersifat partisipatoris dan terdesentralisasi (Nuraini, -)
5.
Partisipannya melintasi berbagai kategori sosial (Suharko, 2006)
6.
Aksi gerakan menapaki banyak jalur, mencitakan beragam tujuan, dan
menyuarakan banyak kepentingan (Singh, 2001)
7.
Berawal dari ketidakpuasan terhadap suatu hal (Dobusch, 2008)
8.
Melakukan proses persuasi menggunakan berbagai tekanan dengan
melakukan aksi-aksi nyata dan proses framing. (Dobusch, 2008)
9.
Ada proyek kebijakan bersama, ada keyakinan atas suatu prinsip bersama,
dan ada tujuan yang hendak dicapai bersama (Dobusch, 2008)
10. Kritis terhadap ideologi modern dan gagasan “kemajuan” (Nuraini, -)
15
Dalam upaya mencapai tujuannya, gerakan sosial memiliki beragam corak
yang bisa diaplikasikan. Ada 4 (empat) corak yang biasa dilakukan oleh gerakan
sosial. Hal yang bisa diterapkan adalah (1) menggunakan cara kekerasan, dengan
bentuk ekstrem seperti gerakan bersenjata, kemudian ada gerakan sosial yang
bercorak tanpa kekerasan (non violence), seperti melakukan diplomasi, dan
penggunaan saluran politik lainnya. Berikutnya, (3) gerakan sosial bisa bercorak
melakukan kombinasi diantara keduanya, dengan mengkombinasikan antara
penggunaan cara-cara non kekerasan dan cara-cara menggunakan kekerasan.
Corak terakhir (4) yang bisa digunakan adalah menggunakan corak kultural, yang
berusaha membangun isu untuk melakukan penyadaran pada masyarakat luas
tentang wacana tertentu.
Gerakan kultural adalah sebuah corak dalam gerakan sosial dimana
gerakan ini berusaha membangun isu untuk melakukan penyadaran kepada
masyarakat luas secara terus menerus, simultan, berupa ajakan yang bersifat nonkekerasan. Gerakan ini menggunakan siasat budaya, gerakan diam, dan
menggunakan simbol-simbol anti kekerasan lainnya. Pengorganisasian ini
berdasarkan isu yang sedang berkembang. Gerakan yang bercorak cultural ini
begitu diperlukan untuk mendorong perubahan paradigma masyarakat dalam
memandang arti penting sebuah isu atau masalah yang ada dalam masyarakat.
Tren baru gerakan bercorak kultural adalah berupaya menyebarkan wacana
melalui media massa, maupun media sosial.
16
1. 5. 2. Melihat Gerakan Sosial Sebagai Sebuah Jaringan
Untuk mempercepat usaha dalam mencapai tujuan dan sekaligus upaya
mengelola relasi antar berbagai aktor yang otonom dan kompleks dalam rangka
mengelola kepentingan bersama, banyak hal yang bisa dilakukan oleh gerakan
sosial, salah satunya adalah dengan membentuk jaringan. Jaringan dalam gerakan
sosial memegang peranan yang begitu penting. Melihat gerakan sosial sebagai
sebuah jaringan dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk jaringan informal yang
didasarkan pada pandangan dan solidaritas bersama untuk menggerakkan isu
bersama, melalui berbagai bentuk perlawanan yang bersifat terus menerus.
Jaringan sendiri dimaknai sebagai jalinan antara dua aktor atau lebih yang secara
sadar dibentuk dan dimaksudkan sebagai metode utama untuk mencapai tujuan
yang disepakati bersama. Jalinan ini bisa bersifat sementara, namun juga bisa
bersifat tetap. Jaringan yang bersifat sementara biasanya bersifat taktis, namun
jaringan permanen lebih bersifat strategis dan lazimnya terlembaga karena
dimaksudkan untuk mencapai tujuan membutuhkan waktu yang relatif lama. 6
Salah satu hal yang bisa dicapai terkait keterlibatan jaringan dalam
gerakan adalah bahwa (1) jejaring yang ada mempengaruhi kontribusi individu
dalam
membentuk
aksi
kolektif,
(2)
bagaimana
interorganisasional merefleksikan pola aksi kolektif
pola
dari
hubungan
yang berbeda dan
mengakibatkan sirkulasi sumber daya baik di lingkungan pergerakan itu sendiri
maupun antara organisasi gerakan dengan sistem politik yang ada, serta (3)
6
Nuraini, Atikah. Managemen Pengetahuan Untuk Kerja-kerja Gerakan. Pusat Dokumentasi dan
Informasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
17
bagaimana konsep dan teknik berjejaring digunakan untuk membangkitkan sedikit
alasan dari konsep kunci dari relasi antara gerakan dengan proses politik yang
lebih luas.7
Jaringan sosial sendiri dapat dimaknai sebagai suatu jaringan tipe khusus,
dimana “ikatan” yang menghubungkan satu titik ke titik lainnya dalam jaringan
adalah hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau
tidak, yang menjadi anggota jaringan sosial adalah manusia atau sekumpulan
kelompok, organisasi, instansi, pemerintah atau bahkan negara (Agusyanto, 2007).
Dalam jaringan sendiri, ada beberapa komponen yang harus dipenuhi, antara lain
(1) Ada sekumpulan orang, objek atau kejadian; minimal berjumlah tiga satuan
yang berperan sebagai terminal (pemberhentian). Biasanya direpresentasikan
dengan titik-titik (aktor atau node), (2) Adanya seperangkat ikatan –baik yang
nampak atau tidak nampak- yang menghubungkan satu titik ke titik-titik lainnya
dalam jaringan. (3) Adanya arus (dalam diagram digambarkan dengan ‘anak
panah’).
Di dalam sebuah jaringan, ada prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi,
antara lain (Agusyanto, 2007):
1. Ada pola tertentu. Sesuatu yang mengalir dari titik satu ke titik-titik
lainnya, saluran atau jalur yang harus dilewati tidak terjadi secara acak,
artinya bisa memilih sekehendaknya (secara acak).
7
Diani, Mario. 2003. Network and Social Movements : A Research Programme in Social
Movement and Networks: Relational Approaches to Collective Action. New York, US : Oxford
University Press
18
2. Rangkaian ‘ikatan-ikatan’ tersebut menyebabkan sekumpulan titik yang
ada bisa dikategorikan atau digolongkan sebagai ‘satu kesatuan’ yang
berbeda dengan ‘satu kesatuan’ yang lain.
3. Ikatan-ikatan yang menghubungkan satu titik ke titik-titik lainnya harus
bersifat relatif permanen (ada unsur waktu, yaitu masalah ‘durasi’).
4. Ada ‘hukum’ yang mengatur saling keterhubungan masing-masing titik
dalam jaringan, ada hak dan kewajiban yang mengatur masing-masing titik
(anggota), hubungan titik yang satu terhadap titik yang lain, hubungan
semua titik dengan titik-titik pusat dan lain sebagainya. Hukum atau aturan
ini yang melengkapi bahwa sekumpulan titik-titik (aktor / node) tersebut
bisa digolongkan sebagai satu-kesatuan yang spesifik, yang berbeda
dengan satu-kesatuan lainnya.
Jaringan sosial yang ada dalam masyarakat apabila ditinjau dari tujuan
hubungan sosial yang membentuknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Jaringan interest (jaringan kepentingan), dimana hubungan-hubungan
sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang
bermuatan kepentingan, bermuara pada ‘tujuan-tujuan’ tertentu yang ingin
dicapai oleh para pelaku. Tindakan dan interaksi yang terjadi dalam
jaringan tipe ini selalu dievaluasi berdasar tujuan-tujuan relasional.
Pertukaran (negosiasi) yang terjadi dalam jaringan kepentingan ini diatur
oleh kepentingan-kepentingan para pelaku dan serangkaian norma yang
sangat umum.
19
2. Jaringan sentiment (jaringan emosi), yang terbentuk atas dasar
hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi, dimana hubungan
sosial itu sendiri menjadi tujuan tindakan sosial. Struktur sosial yang
dibentuk oleh hubungan-hubungan emosional ini cendrung lebih mantap
atau permanen. Sehingga muncul mekanisme yang berfungsi menjamin
stabilitas struktur yang ada sehingga hubungan-hubungan sosial semacam
ini bisa dinilai semacam norma-norma yang dapat membatasi suatu
tindakan sosial yang cenderung mengganggu kepermanenan struktur
jaringan tersebut. Dengan demikian, ada sejumlah kompleks nilai dan
norma yang ditegakkan atas struktur hubungan guna memelihara
keberlangsungannya. Dalam tipe ini, solidaritas juga memegang peranan
yang begitu penting.
3.
Jaringan
power,
dimana
hubungan-hubungan
sosial
yang
membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan power.
Dalam jaringan ini, konfigurasi-konfigurasi saling keterhubungan antar
pelaku didalamnya sudah diatur sedemikian rupa. Tipe ini muncul saat
pencapaian tujuan yang telah ditargetkan butuh tindakan kolektif, dan
konfigurasi keterhubungan antar pelakunya dibuat permanen. Jaringan ini
harus memiliki pusat power, yang secara terus menerus mengkaji ulang
kinerja unit-unit sosialnya dan memolakan kembali strukturnya untuk
peningkatan efisiensinya.
20
Mendefinisikan gerakan sosial sebagai sebuah jaringan dapat diartikan
bahwa gerakan sosial adalah jejaring interaksi-interaksi informal diantara
pluralitas individu-individu, kelompok-kelompok atau asosiasi-asosiasi yang
terikat dalam sebuah pertentangan politis atau kultural, dalam basis identitas
kolektif bersama8. Menggunakan pendekatan gerakan sosial sebagai jaringan akan
memudahkan kita untuk menangkap keunikan gerakan tersebut jika dibandingkan
dengan bentuk aksi kolektif lainnya. Gerakan sosial begitu menarik dan berbeda
karena terdiri dari aktor independen formal yang menempel pada konteks
kelokalan yang spesifik, mengemban identitas, nilai dan orientasi yang spesifik,
mengejar tujuan yang spesifik dan objektif, namun dalam waktu yang sama
terhubung dalam berbagai bentuk kerjasama nyata dan atau bentuk pengakuan
satu sama lain dalam sebuah ikatan yang melebihi dari aksi protes atau kampanye
semata. Kita mencoba memfokuskan diri lebih daripada sekedar melihat dinamika
pergerakan sosial yang merupakan hubungan antara jaringan informal, identitas
kolektif dan konflik.
Menggunakan jejaring sebagai perspektif, pada saat yang sama kita akan
mendapat manfaat yang signfikan lebih daripada saat kita menggunakan teori
yang sudah ada, serta memungkinkan kita untuk engage dalam sebuah dialog
yang baik terkait gerakan sosial. Terkait dengan teori mobilisasi sumber daya,
melihat gerakan sebagai jaringan memungkinkan kita untuk bangkit dari
kecenderungan untuk memperlakukan gerakan sebagai bentuk organisasi yang
8
Diani, Mario. 1992. Analysing Social Movement Networks in M. Diani and R. Eyerman (eds.),
Studying Collective Action. Newbury Park/London: Sage.
21
khusus atau istimewa, oleh karena untuk menunjukkan isu dari hubungan antara
gerakan, partai-partai, dan kelompok kepentingan dari perspektif yang berbeda.
1. 5. 2. 1. Konsep Interdependensi Antar Aktor dan Logika Strukturasi ala
Giddens (1984)
Berangkat dari fenomena horizontalisme relasi antar aktor, teori jaringan
didasarkan pada asumsi bahwa relasi para aktor tersebut saling bergantung satu
sama lain (interdependence). Dalam makna yang lebih operasional, bisa dimaknai
bahwa para aktor tidak bisa mencapai tujuannya jikalau tidak menggunakan
sumber daya yang dimiliki oleh aktor lainnya. Mekanisme saling ketergantungan
ini berjalan melalui adanya pertukaran sumber daya antar aktor. Selanjutnya,
interaksi dan mekanisme pertukaran sumber daya dalam jaringan tersebut
berlangsung secara kontinyu, dalam jangka waktu yang lama dalam kehidupan
sehari-hari (Rhodes, 1997; Rhodes dan Marsh, 1992). Distribusi sumber daya
antar pelaku jaringan secara bertahap akan mengubah pola-pola interaksi para
pelaku dalam jaringan dan menimbulkan relasi yang bersifat inter-locking. Namun
pada saat yang sama, aturan dan pola distribusi tersebut hanya bisa diubah dan
dikukuhkan lewat beragam interaksi dan negoisasi antar pelaku jaringan tersebut
(Jones, Hersterlet dan Borgatti, 1997; dalam Pratikno, 2008).
Dalam operasi analisisnya, rangkaian interaksi yang terbangun dalam
jejaring disebut dengan permainan (games) antar aktor (Kickert dan Koppenjan,
1999). Beroperasinya jejaring tidak berada dalam ruang yang hampa, namun ada
struktur dengan norma tertentu yang membatasi kebebasannya dalam melakukan
22
tindakan. Dengan berbagai interaksi konstitutif, mekanisme jaringan berpeluang
sebagai cara mengelola tindak bersama (collective action) dalam mengelola
sumber daya, sekaligus mengubah dan mengarahkan (to steer) beragam pola
dalam struktur jaringan (network structuring).
Struktur
B
A
D
C
E
Aktor-aktor Jaringan
Gambar 1.1: Pola relasi dualitas dalam jaringan
dan munculnya relasi konstitutif antar aktor dalam jaringan9
Karena struktur dalam jaringan dibangun melalui interaksi yang bersifat
sukarela dari para pelaku yang otonom, maka struktur yang dibangun bersifat
open-ended process dan tak jarang bersifat fluktuatif. Stabil atau tidaknya struktur
dalam jaringan ditentukan oleg tingkat interdependensinya, yakni melalui
mekanisme pertukaran sumber daya yang relatif tetap dan tidak tergantikan oleh
mekanisme lain dalam struktur jejaring.10 Konsekuensinya, relasi yang terbangun
bersifat konstitutif. Perilaku dan pilihan strategi yang diambil para pelaku juga
9
Pratikno, 2008. Manajemen Jaringan dalam Perspektif Strukturasi, Jurnal Administrasi
Kebijakan Publik, Volume 12 No 1, Mei 2008, Hal 4
10
Ibid, hal. 10
23
bisa dibentuk oleh adanya negosiasi yang terus menerus antar pelaku dalam
jaringan. Model relasi struktur dan agensi yang konstitutif ini dikenal sebagai
dualitas struktur dalam epistemologi strukturasi Giddens (1984) sebagaimana
terlihat dalam gambar dibawah:
Gugus Struktur
Signifikasi
Dominasi
Legitimasi
Sarana
Intepretasi
Fasilitas
Norma
Interaksi
Komunikasi
Kekuasaan
Sanksi
Bagan 1.2 : Logika strukturasi Giddens
(1984)
Menurut Giddens, setiap struktur besar memiliki 3 (tiga) gugus struktur
yang membangunnya (Giddens, 1984:29), yaitu:

Struktur signifikasi : terkait skema simbolik dan wacana

Struktur dominasi : mencakup skema penguasaan atas orang
(politik) dan barang (ekonomi)

Struktur legitimasi : terkait skema aturan normatif dalam tata
hukum atau aturan main
24
Giddens melihat bahwa stabilitas dan fluktuasi struktur jaringan akan
ditentukan oleh keseimbangan relasi dalam tiga gugus tersebut. Terbentuk dan
berubahnya struktur jaringan terjadi lewat hubungan dualitas antara struktur
jaringan dan tindakan yang dilakukan oleh para pelaku jaringan. Kapasitas
melakukan steering
akan menjadi kekuatan yang krusial dalam perspektif
strukturasi dalam manajemen jaringan. Dengan perspektif strukturasi, manajemen
jaringan bukan hanya menjadi metode untuk melakukan relasi, namun juga
memberi kekuatan arahan pada bagaimana kolektivitas aktor dalam jaringan
melakukan kapasitas transformatifnya (restructuring).
1. 5. 2. 2. Pola-pola Gerakan Sosial dalam Berjejaring ala Diani (2003)
Dalam melihat gerakan sosial sebagai sebuah jaringan, kita perlu
mengidentifikasi struktur dari jaringan gerakan sosial, lalu mengelaborasikan
model teoritis yang tepat untuk menjelaskan pola berjejaring tertentu dan atau
jabatan atau posisi aktor-aktor tertentu yang spesifik dalam gerakan sosial. Untuk
melakukan hal tersebut, kita perlu menggunakan kerangka berupa dua dimensi
utama dari jaringan: (1) pertentangan diantara struktur yang terdesentralisasi dan
struktur yang hierarkis, serta (2) struktur yang terbagi kedalam ruas-ruas dan
terbentuk menyerupai jala / jaring (Gerlach dan Hine, 1970). Adapun empat pola
berjaring yang didapat Diani (2003) melalui pengamatan empiris tersebut adalah:
1. Pola Movement Cliques
25
Gambar 1.2 : Pola jaringan bertipe Movement Cliques
Sebuah kelompok kecil ( a Clique ), adalah sebuah kelompok yang
terdesentralisasi, jaringannya berbentuk menyerupai jala, dimana setiap simpul
berdekatan satu sama lain. Seringkali dikaitkan dengan ikatan-ikatan yang terlalu
banyak dalam pola pergerakannya, yang dalam gilirannya memberi kesan bahwa
pola hubungan pertaliannya kuat, dan memiliki modal yang kuat untuk
membangun dan mempertahankan jaringan. Pola ini juga memperlihatkan adanya
hubungan keterkaitan dan kerjasama yan terjalin amat baik diantara simpul-simpul
dalam jejaring yang menghasilkan high reticulation dan null segmentation.
Kelompok ini juga termasuk jaringan yang terdesentralisasi dimana tidak ada
kesempatan pada setiap aktor untuk mengontrol pertukaran sumber daya antara
anggota jejaring.
2. Pola Policephalous Movement
26
Gambar 1. 3. Pola jaringan bertipe Policephalous Movement (Diani, 2003)
Pola ini memperlihatkan sebuah struktur yang tersentralisasi namun
terbagi dalam segmentasi. Dengan membandingkan dengan pola lainnya, pola
jaringan semacam ini tersegmentasi secara parsial, yang mengakibatkan jarak
antara beberapa aktor relatif jauh. Kehadiran dari hubungan horizontal antara
aktor semi-peripheral (bukan aktor utama) mengesankan upaya yang sungguhsungguh untuk melakukan aksi kolektif tanpa mendelegasikan tugas penting
kepada segelintir aktor sentral. Meskipun demikian, pola jejaring ini relatif
tersentralisasi, dimana beberapa aktor (A dan B) terhubung dengan lebih banyak
link daripada aktor lainnya dan berada dalam posisi terbaik untuk mengontrol flow
dalam jejaring tersebut.
3. Pola Wheel or Star Structure
27
Gambar 1. 4. Pola jaringan bertipe Wheel atau Star Structure (Diani, 2003)
Jejaring yang berbentuk seperti roda mengkombinasikan bentuk yang
sangat terpusat namun dengan segmentasi yang rendah. Dalam pola ini, sebuah
posisi sentral mengkoordinasi pertukaran sumberdaya dalam jaringan dan
bertindak sebagai linking point diantara komponen peripheral yang tidak secara
langsung berhubungan satu sama lain. Pemegang posisi tersebut seakan sungguh
berpengaruh dalam jaringan, terkait pengumpulan dan meredistribusi sumber
daya. Kurangnya pertukaran sumberdaya secara horizontal pada bagian peripheral
dan sedikitnya simpul yang dihasilkan mengesankan adanya low level of
investment dalam pembangunan jaringan yang bulat dan kuat. Salah satu
karakteristik menonjol dari pola ini adalah adanya sebuah pola instrumental dari
jejaring, dengan hampir semua aktor menginvestasikan sumberdaya yang sedikit
dalam proses pembentukan jejaring.
4. Pola Segmented, Decentralized Network
28
Gambar 1. 5. Pola jaringan bertipe Segmented and Decentralized Network (Diani,
2003)
Model ini merefleksikan gaya atomistic dalam jaringan. Sungguh sulit
untuk memahami keberadaan jaringan dalam kasus ini, karena masing-masing
aktor mengoperasikan dirinya sendiri maupun membangun kolaborasi kecil
diantara mereka dalam menanggapi isu-isu spesifik. Mereka tidak bisa atau
bahkan segan untuk membangun perluasan jaringan. Mereka memfokuskan diri
pada area yang spesifik dan terbatas, dan menolak upaya calon pemimpin jaringan
untuk mengkoordinasi aksi mereka menuju sasaran proyek yang lebih luas.
1. 5. 3. Strategi Mengelola Jaringan: Game Management dan Network
Structuring
Hal yang menjadi tantangan berikutnya bagi gerakan sosial adalah dalam
mengelola jejaring atau relasi antar aktornya yang bersifat otonom dalam rangka
mengelola kepentingan bersama 11 , dan bagaimana cara agar para aktor dalam
11
Pratikno, 2008. Manajemen Jaringan dalam Perspektif Strukturasi, Jurnal Administrasi
Kebijakan Publik, Volume 12 No 1, Mei 2008, Hal 4
29
jaringan melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam
rangka menjawab permasalahan tersebut, maka muncul teori manajemen jaringan
karena melihat terbentuknya relasi antar jaringan tersebut muncul karena adanya
suatu rasa ketergantungan. Ketergantungan ini muncul karena adanya kesadaran
pada masing-masing aktor bahwa pada dasarnya mereka tidak sepenuhnya
memiliki sumber daya yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan dan
mungkin saja sumber daya tersebut hanya dimiliki oleh aktor lain.
Manajemen jaringan merupakan salah satu dari bermacam bentuk
pengaturan dalam berjejaring yang berimplikasi positif dalam mempercepat suatu
penyelesaian masalah bersama atau bahkan dalam proses penyusunan kebijakan.
Adapun kegiatan dari manajemen jaringan sendiri terdiri dari12:
1. Adanya intervensi pada pola yang sudah ada atau restrukturisasi relasi
jaringan
2. Melanjutkan kondisi untuk bekerjasama : membangun konsensus
3. Penyelesaian masalah bersama.
Adapun dalam upaya memanajemen jaringan tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain adalah:
a. Jumlah aktor
Dalam hal ini, semakin banyak aktor yang terlibat dalam interaksi,
maka akan makin sulit untuk mencapai kesepakatan. Namun di sisi lain,
keterlibatan banyak aktor juga kadang menghasilkan kerjasama yang baik,
12
W.J.M Kickert dan J.F.M Koppenjan, Public Management and Network Management: An
Overview, dalam Walter J.M Kickert, et., al., eds., Managing Complex Networks “Strategies for
Public Sector”, Hal. 44
30
sehingga jumlah pelaku kadangkala tidak menjadi penentu. Dalam rangka
mencapai tujuan, kadangkala terjadi proses mengeluarkan para aktor yang
“tidak dibutuhkan” (aktivasi selektif) bahwa dalam suatu proses hanya
berusaha melibatkan orang-orang yang benar-benar dibutuhkan dalam
jaringan, namun hal tersebut tidak selalu berujung mulus, karena adanya
rasa saling ketergantungan diantara sesama aktor.
b. Keberagaman dalam jaringan
Keberagaman dalam jejaring bergantung pada bermacam sifat
aktor yang berperan didalamnya. Dalam hal ini, manajemen jaringan
berusaha melakukan pendekatan yang berbeda terhadap setiap aktor dalam
jejaring. Upaya mempengaruhi beragam aktor disesuaikan dengan tingkah
laku spesifiknya.
c. Sifat tertutup dari jaringan
Konsep ini berawal dari teori sistem yang berarti bahwa mereka
tidak menerima berbagai input dari lingkungannya, namun mereka
memproses input yang datang dari luar tersebut dengan caranya sendiri.
Manajemen jaringan berusaha memanfaatkan kapasitas sistem self
management sehingga sistem diatur dengan memperhatikan tekanan dan
sumber daya yang minimal. Manajemen jaringan kemudian melakukan
penyeimbangan antara tekanan sosial dan berbagai perbedaan kepentingan
yang mengakibatkan aktor-aktor dan sistem sosial mengakomodir diri
mereka sendiri.
d. Konflik kepentingan
31
Adanya aksi bersama pasti menimbulkan suatu kepentingan. Pada
kondisi dimana kepentingan muncul atau bahkan bertentangan, maka
konsensus tidak akan tercapai karena kurangnya alternatif dan adanya
konflik. Pernyataan tersebut adalah pandangan para strukturalis, dimana
kepentingan ditetapkan dan dilekatkan pada tujuan deviasi dari sumber
daya dalam jaringan. Konflik kepentingan-kepentingan diartikan oleh para
aktor itu sendiri, jadi manajemen jaringan sebaiknya difokuskan pada
pengaruh dari maksud kepentingan tersebut.
e. Biaya
Ada biaya yang dikeluarkan dalam upaya manajemen jaringan.
Dengan pengenalan dan penggunaan ‘the know-how’ dimana kelompok
beraktifitas, dengan persepsi permasalahan serta interaksinya, secara
singkat dengan kapasitas ‘self regulating’ jaringan, dimungkinkan dapat
meminimalisir biaya manajemen jaringan. Manajemen jaringan harus
diselaraskan sebisa mungkin dengan kapasitas pengaturan diri jaringan
tersebut.
f. Pengaruh kondisi sosial politik
Glasbergen menyatakan dalam konteks makro, lingkungan dapat
mempengaruhi fungsi jaringan atau bahkan mengancam keberadaan
jaringan. Faktor sosial dan politik mungkin mendukung atau mengganggu
proses interaksi dalam jaringan. Proses-proses yang terjadi dalam jaringan
dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan lingkungan jaringan.
Jaringan menjadi terbuka, aturan permainan dan persepsi menjadi berubah
32
dan kondisi dimana terjadi interaksi akan berubah drastis pula. Akibatnya
proses interaksi akan menjadi tidak seperti yang diharapkan atau terhenti.
Hal tersebut mungkin dapat dihindari bila solusi diselesaikan dengan baik
melalui proses-proses yang baik dalam penyusunan suatu keputusan
bersama, dan akan diterima oleh lingkungan sosial politik yang lebih luas.
g. Komitmen dan kekuatan kepemimpinan
Kapasitas aktor yang menunjukkan kepemimpinannya dalam
berinteraksi menentukan sukses atau tidaknya manajemen jaringan. Jadi
dalam manajemen jaringan, untuk menunjukkan kualitas kepemimpinan,
dibuktikan dengan terbentuknya konsensus dalam interaksi dan adanya
dukungan ide dalam organisasi. Dengan kata lain, kesuksesan manajemen
jaringan sangat bergantung pada kualitas kekuatan kepemimpinan dan
kekuatan komitmen yang dilakukan oleh perwakilan dari organisasi
terkait.
Ada 2 (dua) tipe dalam manajemen jaringan yaitu Game Management
(fokus pada relasi antar aktor) dan Network Structuring (fokus pada upaya
mengubah struktur jaringan yang ada)
13
. Lebih jelasnya bahwa Game
Management ini bertujuan untuk menyatukan persepsi antar aktor yang otonom,
sehingga
dapat menyelesaikan permasalahan.
Dalam
prakteknya,
Game
Management terbagi atas 5 (lima) aktifitas antara lain14
13
Pratikno, 2008. Manajemen Jaringan dalam Perspektif Strukturasi, Jurnal Administrasi
Kebijakan Publik, Volume 12 No 1. Mei 2008, Hal 9
14
Edwar Juliartha. 2009. Manajemen Jaringan, Jurnal Ilmu Sosial Universitas Islam Riau, Edisi
April, 2009, Hal 6.
33
a.
Network Activation : suatu upaya pengaktifan jaringan yang
dilakukan untuk mengaktifkan interaksi para aktor agar bekerja sama,
sehingga akan terjadi penjaringan potensi secara selektif, sesuai kebutuhan
yang akan dicapai.
Network activation termasuk memicu proses interaksi untuk
penyelesaian masalah khusus atau untuk mencapai tujuan. Dalam konteks
ini, Scharpf menyebutkan tentang ‘Aktifasi Selektif’ yang mengkaitkan
identifikasi dan aktifasi kebutuhan kelompok untuk menyelesaikan
masalah atau tugas khusus. Menurut Frend, konteks ini difokuskan pada:
1. Aktifasi aktor yang terlibat dalam jaringan, dikaitkan dengan
penelusuran isu untuk pengambilan keputusan.
2. Jumlah dan sifat informasi yamg diperlukan15.
b.
Arranging Interaction : suatu upaya yang dilakukan para aktor
untuk mengatur diri mereka sendiri dalam berinteraksi dalam jaringan.
Aktor menyusun strategi kerja sama untuk meminimalisir sikap
oportunistik
partisipan dengan menggalang interaksi, yaitu membuat
kesepakatan dan menyusun suatu aturan sehingga partisipan memahami
tujuan, peraturan, dan prosedurnya. Elemen penting dari Arranging
Interaction adalah menyiapkan mekanisme regulasi konflik yang
menentukan seberapa jauh tindakan harus diambil dan bagaimana caranya
agar berpedaan pendapat dapat disatukan16.
15
W.J.M Kickert dan J.F.M Koppenjan, Public Management and Network Management: An
Overview, dalam Walter J.M Kickert, et. al., eds,, Managing Complex Networks “Strategies for
Public Sector”, Hal. 47
16
Ibid. Hal 48
34
c.
Brokerage : Upaya penyatuan ide – ide dari para aktor yang
berinteraksi yang dilakukan oleh seorang perantara. Hal ini biasa
dilakukan meskipun belum ada solusi penyatuan ide – ide antar aktor,
namun tujuannya sudah sama.
Brokerage merupakan perpaduan antara masalah solusi dan para
aktor. Manajemen jaringan adalah pemandu mediasi yang berperan
sebagai perantara atau peran pengganti. Peran penting seorang broker
adalah mengatasi dan memanfaatkan keberagaman ide, pandangan dan
solusi dalam jaringan yang tidak dapat diselesaikan oleh para aktor.
Dengan menciptakan keberagaman tersebut, akan mudah bagi para broker
untuk mencari solusi yang dapat diterima oleh semua aktor. Pada waktu
yang bersamaan aktivitas broker mempunyai kontribusi yang signifikan
dalam penyelesaian konflik dengan menerapkan koalisi masalah yang
membuat konflik17.
d.
kondisi
Facilitating Interaction : suatu upaya untuk terus menciptakan
yang
mendukung
jalannya
interaksi,
dimana
fasilitator
memberikan pengawasan dalam berinteraksi agar tercipta konsensus antar
aktor.
Secara umum, manajemen jaringan berperan menciptakan kondisi
yang mendukung strategi membangun konsensus di dalam proses
interaksi. Manager jaringan berperan sebagai fasilitator / manager proses.
Fasilitasi meliputi banyak aktifitas untuk meningkatkan pemahaman isu
17
Ibid. Hal 48
35
yang dilontarkan, keberagaman ide, kemampuan untuk mengapresiasi
pandangan setiap partisipan dan dedikasinya untuk bergabung dalam
proses penyelesaian masalah18.
e.
Mediation : upaya menjembatani sebuah konflik dalam jaringan
karena ego dari aktor, karena masing – masing persepsi tidak dapat
dipecahkan/ disatukan.
Mediasi dan Arbitrasi harus dibedakan dari fasilitasi karena
keduanya dilakukan pada saat terjadi konflik dan proses interaksi
berlangsung emosional atau tegang. Mediasi diterapkan dalam kelompok
tetapi tidak terlibat dalam konflik dan tidak berhubungan dengan
kelompok–kelompok lain yang berseteru dengan kelompok yang
bersangkutan. Jadi, selama proses, mediator harus independen. Mediasi
dapat terjadi secara spontan, namun sebagai alternatifnya seorang aktor
dapat ditunjuk sebagai mediator dalam kelompok19.
Selanjutnya, Network Structuring, strategi ini tidak sama dengan Game
Management yang cenderung mengamati interaksi antar actor. Network
Structuring cenderung mengamati ruang lingkup interaksi antar aktor yaitu
struktur tatanan jaringan, dimana suatu ruang beserta tata aturannya mencoba
mempengaruhi aktor–aktor di dalam jaringan untuk bekerja sama. Dalam
prakteknya, kegiatan Network Structuring 20 antara lain dperlihatkan dengan:
18
Ibid. Hal 49
Ibid. Hal 50
20
Edwar Juliartha, “Manajemen Jaringan”, Jurnal Ilmu Sosial Universitas Islam Riau, April, 2009,
Hal 7.
19
36
a. Influencing Formal Policy: upaya mempengaruhi kebijakan formal
dalam jejaring.
b. Influencing
Interrelationship:
Upaya
yang
dilakukan
untuk
mempengaruhi pola interaksi sehingga membentuk suatu pola baru
untuk mencapai efisiensi.
c. Influencing Value, Norm, and Perception: upaya mempengaruhi nilai,
norma dan persepsi dari lembaga.
d. Mobilisasi Koalisi: membentuk suatu koalisi lembaga baru untuk
mendapatkan kekuatan baru.
e. Management of Chaos : pergantian pemimpin yang lama dengan
pemimpin yang baru dalam sebuah interaksi jaringan. Hal ini untuk
mendukung adanya sinergisitas dalam berinteraksi.
Ada 3 (tiga) hal yang menjadi inti dari network structuring yaitu
reframing, repotition, dan reconstitution. Reframing adalah
upaya untuk
mempengaruhi persepsi aktor dalam struktur, tindakan tersebut dilakukan karena
ketika satu individu berbeda persepsi maka, lembaga tersebut tidak akan berjalan.
Reframing ini dilakukan karena individu–individu sudah terikat dalam lembaga.
Repotition, yaitu merubah pemimpin lembaga lama ke yang baru. Reconstitution
yaitu upaya merubah tata aturan interaksi dalam lembaga21. Melalui mekanisme
manajemen jaringan ini, hubungan horizontal antara pemerintah dan masyarakat
dalam menentukan arah kehidupan negara agar lebih terkoordinasi dan lebih bisa
mencapai tujuan.
21
Ibid. hal 8
37
1. 6. Metode Penelitian
1. 6. 1. Bentuk Penelitian
Berdasarkan jenisnya, penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang
menggunakan metode etnografi. Pemilihan etnografi disini karena peneliti ingin
mencoba menjelaskan dan mengintepretasikan suatu kebudayaan, yaitu kelompok
sosial Gusdurian yang eksis di masyarakat. Peneliti menguji kelompok (gerakan)
Gusdurian dan mencoba mempelajari karakteristik, pola membentuk jaringan, dan
cara memelihara jejaring dalam gerakan yang tercermin dalam keseharian yang
ada di kelompok tersebut. Penulis memilih etnografi sebagai metode penelitian,
karena:

Hasil penelitian lebih sistematis, karena dalam wawancara etnografi,
etnografer selalu mengarahkan informannya agar tetap pada tujuan awal
wawancara.

Sumber didapat dari sumber primer (diperoleh dari pelaku).

Penelitian dilakukan secara alami, berdasar pada kegiatan sehari–hari
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba meleburkan diri pada keseharian
dan pergerakan komunitas Gusdurian, dan mencoba menggali data dan informasi
secara mendalam atau menyeluruh mengenai fenomena yang ada pada komunitas
tersebut. Dalam observasi yang dilakukan, peneliti mencoba mempelajari arti dari
tingkah laku, bahasa, dan interaksi kebudayaan yang terjadi dalam kelompok
Gusdurian. Peneliti mendapatkan informasi dengan cara mengamati suatu
fenomena yang terjadi dalam Gusdurian dengan ikut serta berinteraksi dalam
38
situasi yang sebenarnya, dan berusaha memberikan penilaian terhadap pola
penyebaran yang terjadi, baik itu berupa keseharian dalam kehidupan sehari-hari,
peristiwa yang terjadi, dan topik-topik atau fenomena yang berhubungan dengan
karakteristik serta strategi pengelolaan jejaring dalam gerakan yang menjadi topik
penelitian.
1. 6. 2. Teknik Pengumpulan Data
Sebelum melakukan penelitian dengan fokus kajian ini, peneliti telah
mengikuti beragam aktivitas yang dilakukan oleh gerakan Gusdurian sejak medio
2012. Berawal dari kekaguman terhadap gagasan Gus Dur, penulis coba masuk,
mengikuti dan berperan aktif dalam gerakan Gusdurian sehingga secara langsung
atau tidak, penulis sudah mengikuti keseharian, mengantongi nama-nama
responden utama dan memiliki kontak serta link dari para narasumber utama dari
penelitian ini.
Setelah rencana penelitian ini disetujui, peneliti langsung melakukan gerak
cepat dengan
terjun
untuk
melakukan penelitian
pendahuluan dengan
mewawancarai beberapa subjek penelitian dan informan. Dengan tujuan, dalam
penelitian ini, peneliti mendapatkan bekal awal untuk mengetahui siapa saja
informan kunci, dan subjek penelitian yang nantinya dapat dihubungi dan
diwawancarai lebih lanjut. Kehadiran peneliti dalam gerakan Gusdurian disini
dapat dilihat dari langkah peneliti mengikuti beragam aktivitas pergerakan, serta
mewawancari key informan untuk mencari informasi terkait gerakan Gusdurian.
39
Pada awal penerjunan, peneliti sempat menemui Ahmad Jay, seorang
pengurus harian gerakan Gusdurian sekaligus menjabat sebagai koordinator
bagian Program Development gerakan Gusdurian yang saat ditemui oleh penulis
pada pertengahan bulan April 2014 menyatakan bahwa ada beberapa informan
kunci yang dapat ditemui guna mengetahui seluk-beluk tentang gerakan tersebut,
antara lain Alissa Wahid (putri pertama Gus Dur, sekaligus sebagai koordinator
utama gerakan Gusdurian), Sdri. Ita Khoiriyah (Tata Khoiriyah / staff bidang
komunikasi dan informasi gerakan Gusdurian) dan Sdri. Wahyuni Widyaningsih
(bagian Program Development gerakan Gusdurian). Dalam pertemuan tersebut,
peneliti juga mencoba meminta izin dan membuat rencana jadwal kegiatan
penelitian sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dengan informan, serta
menyiapkan segala peralatan yang diperlukan seperti alat perekam, kamera, buku
catatan.
Berikutnya, penulis terjun ke lapangan, mengikuti seluruh kegiatan
gerakan Gusdurian (bahkan mengikuti beragam acara yang dihadiri oleh
penggerak Gusdurian diluar event jaringan Gusdurian) untuk mencari data-data
pokok. Kemudian peneliti memilah data-data yang diperoleh dari berbagai
narasumber maupun data kepustakaan baik itu berupa data primer maupun data
sekunder yang sekiranya sesuai untuk menguatkan argumen penulis sebelumnya
yang mampu menjelaskan cara berjejaring gerakan sosial ini. Penggalian data
melalui situs internet dan sosial media juga menjadi salah satu tumpuan penulis
untuk mendapatkan data sekunder, khususnya terkait pergerakan komunitas lain
yang tersebar diseluruh nusantara, bahkan luar negeri.
40
Dalam penelitian ini, peneliti melebur dan mencoba masuk dalam
keseharian gerakan Gusdurian, dan melihat aktivitasnya sampai pada lingkup
yang paling rinci. Peneliti memilih untuk terlibat aktif dan menjadi volunteer
dalam setiap aksi yang dilakukan oleh Komunitas Gusdurian Yogyakarta.
Pemilihan komunitas Gusdurian Yogyakarta tentu bukan tanpa arti, karena dalam
Gusdurian Yogyakarta juga bernaung sebagian besar anggota Sekretariat Nasional
Gerakan Gusdurian yang menjadi titik pusat dalam gerakan berbasis jaringan ini.
Keterlibatan aktif penulis juga bisa membawa penulis kedalam berbagai forum
penting Sekretariat Nasional yang digelar di Jogja.
Dalam setiap kesempatan, peneliti berusaha untuk mengumpulkan
artefak, bukti fisik dan lain sebagainya sebagai bukti dan rekaman akan aktivitas
yang ada dalam kelompok tersebut. Selain itu, peneliti juga melakukan kerja
lapangan seperti melakukan observasi, wawancara, dan cara lain dalam
pengembangan deskripsi aturan budaya dalam kelompok guna menentukan pola
hubungan sosial antar anggota kelompok yang mengatur pola perilaku individu
dalam kelompok tersebut.
Dalam pelaksanannya, peneliti melakukan langkah-langkah pengumpulan
data dan analisis data sebagai berikut (Spradley, 1997) :
1. Menetapkan informan
Dalam menetapkan informan, peneliti mencoba untuk mengetahui
budaya miliknya dengan baik, karena hal itu akan menjadi fokus dalam
pertanyaan, keterlibatan langsung, suasana budaya yang tidak dikenal,
biasanya akan semakin menerima tindak budaya sebagaimana adanya, dia
41
tidak akan basa-basi, memiliki waktu yang cukup, dan bersifat nonanalitis.
2. Melakukan wawancara
Pada saat wawancara, peneliti berusaha untuk menginformasikan
tujuan, penjelasan etnografis, dan penjelasan pertanyaan.
3. Membuat catatan etnografis.
Catatan berupa laporan ringkas, berupa sebuah laporan yang
diperluas, jurnal lapangan, dan perlu diberikan analisis atau interpretasi.
4. Mengajukan pertanyaan deskriptif
5. Melakukan analisis wawancara etnografis.
Analisis dikaitkan dengan simbol dan makna yang disampaikan
informan. Tugas peneliti adalah memberi sandi simbol-simbol budaya
serta mengidentifikasikan aturan-aturan penyandian dan mendasar.
6. Membuat analisis domain.
Peneliti membuat istilah pencakup dari apa yang dinyatakan
informan. Istilah tersebut seharusnya memiliki hubungan semantis yang
jelas.
7. Mengajukan pertanyaan struktural.
Pertanyaan yang diajukan adalah untuk melengkapi pertanyaan
deskriptif.
8. Mengajukan pertanyaan kontras.
Peneliti mengajukan pertanyaan yang kontras untuk mencari
makna yang berbeda.
42
9. Membuat analisis komponen.
Analisis ini penulis dilakukan ketika dan setelah di lapangan, untuk
menghindari manakala ada hal-hal yang masih perlu ditambah, segera
dilakukan wawancara ulang kepada informan.
10. Menemukan tema-tema budaya.
Penentuan tema budaya ini boleh dikatakan merupakan puncak
analisis etnografi. Keberhasilan seorang peneliti dalam menciptakan tema
budaya, berarti keberhasilan dalam penelitian.
11. Menulis etnografi.
Penulis menuliskan laporan etnografi secara deskriptif, dengan
bahasa yang cair dan lancar dengan mengusahakan agar benar-benar dapat
menggambarkan kasus yang dipilih dalam benak setiap pembaca.
43
Download