Land Bulletin LMPDP ISSN 1978-7626 9 771978 762634 Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan Edisi 03, Mei - Jul 07 Landreform dan Landreform Plus di Indonesia Program Pembaruan Agraria Nasional Kebijakan Pemanfaatan Lahan untuk Kesejahteraan Petani Land Bulletin LMPDP P ro gra m P E M B A RUA N 3 A G R A R I A DARI REDAKSI NASIONAL “ ...masalah-masalah bangsa yang sifatnya struktural, terutama yang terkait dengan masalah pertanahan agar dapat segera terselesaikan. Termasuk pengangguran, sengketa dan kemiskinan. Minimal masyarakat dapat merasakan manfaat dari asetnya sendiri.” 10 Agrarian Reform Programs At the current stage of Indonesia's Agrarian Reform Program it might be a good opportunity to look at similar programs in other Southeast Asian countries to identify some of the challenges that lie ahead. While all of the government statements appear very sensible and much appreciated and required, but are things as simple and straightforward as they seem? Keterangan Sampul Land Bulletin LMPDP Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan Edisi 03, Mei - Jul 07 Landreform dan Landreform Plus di Indonesia Program Pembaruan Agraria Nasional Kebijakan Pemanfaatan Lahan untuk Kesejahteraan Petani Foto : NA Lokasi : Lahan Persawahan, Darmaga-Bogor 4 6 Kebijakan Pemanfaatan Lahan untuk Kesejahteraan Petani Lahan adalah salah satu sub-faktor teknis dalam pertanian, yang bekerjanya tidak dapat dilepaskan dengan sub-sub faktor lainnya dalam agraria untuk mencapai tujuan. Kebijakan pemanfaatan lahan utntuk kesejahteraan petani adalah suatu das Sollen di Indonesia, karena dalam kenyataannya sampai sekarang kebijakan pemanfaatan lahan tidak jelas dan nasib petani masih jauh dari sejahtera (das Sein). 13 Landreform di Indonesia Cita-cita agrarian reform yang digagas oleh para pendiri Negara sejak tahun 1946 untuk menata struktur keagrariaan nasional yang feodalistik dan kolonialistik yang dicirikan oleh adanya sistem pertuanan dan konsentrasi aset keagrariaan pada sekelompok kecil masyarakat menjadi struktur keagrariaan yang berkeadilan sosial, diwujudkan dalam realita ketika pada tanggal 1 Januari 1961. Dari Redaksi Bappenas Pada tanggal 31 Januari 2007 Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato awal tahunnya mengemukakan suatu program yang menyentuh persoalan mendasar bangsa ini, yaitu masalah kemiskinan. Program tersebut adalah Program Pembaruan Agraria Nasional. Pokok program adalah mengalokasikan tanah bagi rakyat miskin dan membantu mereka mengusahakan tanah tersebut melalui program-program pemberdayaan guna mengentaskan mereka dari kemiskinan. Program pembaruan agraria tersebut tidak ayal lagi memperoleh pernyataan dukungan yang luas dari berbagai kalangan, karena memang tujuannya sangat relevan dalam upaya menyelesaikan masalah pokok bangsa Indonesia. Sejak itu pula implementasi program itu terus dirumuskan dan diupayakan pelaksanaannya oleh badan Pemerintah yang paling bertanggung jawab di bidang pertanahan, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN). Direncanakan sampai tahun 2014 nanti akan telah dibagikan kepada rakyat sebanyak 8,22 juta hektar tanah dan akan menambah kesempatan kerja bagi 7,14 juta tenaga kerja. Namun sampai saat ini informasi mengenai program itu belum banyak diketahui oleh masyarakat, mengutip berbagai diskusi di media masa masih dibutuhkan penjelasan bentuk konkrit program tersebut. Edisi 03 Bulletin LMPDP kali ini menyajikan artikel-artikel yang berkaitan dengan kebijakan pertanahan yang mengandung unsur pembagian tanah kepada rakyat yang memerlukannya, yang sebagaimana disebut di atas merupakan unsur pokok dari Program Pembaruan Agraria. Artikel-artikel tersebut diharapkan dapat membantu merumuskan bentuk detail dan konkrit dari Program Pembaruan Agraria. Sebagai artikel pertama disajikan hasil wawancara dengan Dr. Yuswanda Tumenggung, Deputi bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional, yang memberi gambaran mengenai pokok-pokok dan maksud Program Pembaruan Agraria Nasional, yang diikuti dengan tinjauan ilmiah mengenai Kebijakan Pemanfaatan Tanah untuk Kesejahteraan Petani, yang sangat erat kaitannya dengan tujuan Program Pembaruan Agraria. Suatu uraian mengenai pengalaman negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara dalam pelaksanaan kebijakan pembagian (distribusi) tanah kepada rakyat yang membutuhkan juga disajikan sebagai bahan bandingan. Selanjutnya dalam edisi ini dimuat uraian mengenai pengalaman Indonesia sendiri dengan program landreform (redistribusi tanah) yang menggambarkan secara lebih rinci upaya yang telah dilakukan di waktu yang lalu oleh Badan Pertanahan Nasional/Direktorat Jenderal Agraria. Masih banyak kiranya pengalaman menyangkut program-program yang mengandung unsur distribusi tanah yang perlu diketahui dan ditelaah untuk merumuskan kebijakan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria, misalnya program transmigrasi dan program Perusahaan Inti Rakyat (PIR), satu dan lain agar kita dapat mengambil keuntungan dari keberhasilan program-program tersebut dan tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan. Redaksi 3 MEI - JULI 2007 LAND 03 Land Edisi 03, Mei 07 - Jul 07 ISSN 1978-7626 diterbitkan oleh Komponen-1 LMPDP Pelindung Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas Penanggungjawab Direktur Perkotaan, Tata Ruang dan Pertanahan Pemimpin Redaksi Ir. Rinella Tambunan, MPA Dewan Redaksi J. Sudarjanto Wirjodarsono, SH. MA Ing. Andreas Groetschel, Dipl. Agr., Msc Ir. Salusra Widya, MA Ir. Nana Apriyana, MT Dr. jur. Any Andjarwati Sudira, S.Sos Editor B. Guntarto Khairul Rizal Redaksi Zaenal Arifin Diah Lenggogeni Ahmad Yani Andi Dyna Riana Desain & Layout M. Arief Distribusi & Administrasi Dica H Nunik P (Sekretariat Komponen-1 LMPDP) Alamat Redaksi Jl. Latuharhary No. 9 Jakarta 10310 Phone (021) 310 1885-87 Fax (021) 390 2983 www.landpolicy.or.id E-mail : [email protected] Redaksi menerima tulisan/artikel dari Pembaca. Tulisan/artikel dalam bulletin ini tidak mencerminkan opini pengelola program LMPDP (PIU-Bappenas) Program PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL Wawancara dengan Dr. Yuswanda Tumenggung Deputi bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional Apa Latar Belakang dan Mekanisme dari Program Pembaruan Agraria Nasional? PPAN sama sekali tidak steril dan baru, karena ini adalah suatu proses panjang. Pembaruan Agraria Nasional diawali dengan keluarnya TAP IX MPR RI tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria Nasional & pengelolaan Sumber Daya Alam. Di dalamnya diamanatkan pembaruan agraria, dengan beberapa poin amanat termasuk aspek hukumnya. Intinya adalah penataan. Penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Jika tadi disebut penataan kembali, apakah selama ini belum tertata? Prosesnya adalah kita lihat dari aspek sejarahnya. Kalau kita cermati bersama, pelaksanaan pembaruan agraria, diawali tahun 1960-an. Bahkan setahun sesudah kemerdekaan RI tahun 1945, keluar UU no I/1946 mengenai penghapusan tanah perdikan (tanah-tanah yang memiliki referensi sendiri terhadap pajak, dsbred). Kemudian UU no I tahun 1958, mengenai penghapusan tanah-tanah partikelir. Puncaknya adalah UUPA 5/1960, yang mengamanatkan segi penataan. Di segi praktisnya kita kenal UU No 56/1960 tentang pembatasan maksimum tanah pertanian. Ini terus berjalan bahkan dalam operasionalnya juga ada PP 224/1961 tentang redistribusi tanah, dan hingga sekarang berjalan terus dengan obyek yang ada. Ini yang kita lihat lagi sampai munculnya TAP IX tahun 2001. Kenapa ini diamanatkan? Karena banyak permasalahan negeri kita, termasuk kemiskinan, ketimpangan sosial, dsb. Untuk itu di era pemerintahan sekarang dicoba dirumuskan secara operasional mengenai program ini. Targetnya apa? Ada tujuh tujuan utama, mulai dari penataan kepemilikan penguasaan itu sendiri, hingga turut serta mengurangi angka kemiskinan di tingkat nasional. Ini karena ada sekitar 37 juta rakyat miskin, pengangguran yang tinggi, dan yang tidak kalah penting adalah sengketa-sengketa tanah, termasuk sengketa pertanahan yang begitu marak hingga saat ini. Itu semua adalah target yang diinginkan dalam program ini. Bicara soal sengketa tanah, apakah peraturan/UU selama ini masih kurang atau tidak dapat menyelesaikan sengketa-sengketa ini? Memang cukup banyak sengketa ini. Dari segi kelembagaan, menurut Perpres no 10/2006, ada satu lembaga baru di BPN yang disebut sebagai Kedeputian Penyelesaian Sengeketa Konflik Pertanahan Nasional, dan baru berjalan satu tahun ini. Divisi ini sudah bisa memetakan sengketa potensial yang tingkat kepentingannya cukup tinggi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Ada berbagai pola sengketa antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, hingga pemerintah dengan pemerintah. Selain itu juga sudah didisain pola resolusi, baik melalui lembaga peradilan maupun melalui proses mediasi. LAND 03 MEI - JULI 2007 4 Bagaimana mekanisme pelaksanaan Pembaruan Agraria Nasional? Saat ini masih terus disiapkan perangkatnya. Mulai dari penyiapan obyek/sumber, dan sebagainya. Tapi sebelumnya yang perlu digarisbawahi adalah bahwa PAN bukanlah program bagi-bagi tanah. Ini perlu diluruskan. Tidak semata-mata program bagi-bagi tanah karena di masyarakat opini ini berkembang luas. Bermulai dari penyelesaian sengketa, ada satu kepastian hukum dan sebagainya. Jika ditanya di mana obyek program ini? Maka kita lihat dari potensi tanah, yang menurut peraturan perundangan bisa diperuntukkan untuk itu, berangkat dari tanah Negara. Tanah Negara adalah tanah yang pengaturannya diatur oleh Negara melalui pemerintah. Untuk itu sudah banyak kriterianya. Intinya adalah kemungkinankemungkinan potensi tanah Negara yang sesuai dengan peraturan perundangan bisa diperuntukkan untuk itu. Hubungannya dengan program-program distribusi tanah yang lalu? Ini yang dicanangkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional RI bahwasanya PAN adalah program yang secara matematis terdefinisi sebagai: PA = land reform (LR) + access reform (AR). Kenapa didefinisikan seperti itu, karena kalau hanya bicara soal redistribusi tanah, maka ini belum tentu bisa menyejahterakan. Kita berharap selain menata aset itu sendiri, maka kita juga juga memberikan fasilitas berupa access reform. Jadi masyarakat selain diberikan kepastian hukum atas tanah (sertifikasi) juga diberi fasilitas pemerintah agar mampu memanfaatkan tanah (oleh pemilik) sebagaimana adanya, supaya bisa menyejahterakan diri mereka sendiri. Jangan sampai tanah yang disertifikasi kemudian dengan mudah dijual. Adakah kerjasama dengan stakeholder lainnya? Tentu saja. Karena program ini tidak steril. Jadi bekerjasama dengan semua pihak. Dan sekali lagi, yang lebih penting lagi Pembaruan Agraria Nasional adalah program bangsa dan bukan program BPN. Semua harus concern ke sini. Termasuk masyarakat, pemerintah, lembagalembaga sosial masyarakat dan sebagainya. Semua pihak kami ajak untuk peduli, termasuk sejak persiapannya. Bagaimana dengan sosialisasi PAN? Saya kira sudah banyak dilakukan. Baik internal pemerintah, dari pusat, pemerintahan dan non pemerintah, sudah banyak. Kepala BPN juga sudah melakukan sosialisasi dengan roadshow. Ke lingkungan LSM yang bergerak di bidang ini, juga sudah banyak. DI lingkungan Perguruan Tinggi juga sudah. Di UI dan Unair, serta yang akan 5 MEI - JULI 2007 LAND 03 datang kepala BPN akan juga mengunjungi UGM dan STPN Yogya. Kalau di masyarakat? Melalui LSM, seperti dilakukan oleh kepala BPN. Agar jangan salah tafsir dalam melaksanakan program ini. Bukan bagi-bagi tanah, sehingga bukannya makin baik, tetapi malah kontra produktif. Rencana Kerja Program Pembaruan Agraria Nasional ke depan bagaimana? Sedang disiapkan, dimulai dari men-define calon penerima manfaat potensial, kemudian bagaimana mekanisme dan delivery-nya. Kalau ditanya kapan program ini mulai dijalankan, ya mulai sekarang ini kita jalankan. Hingga kapan, ya sesuai amanat Tap MPR No. IX ini adalah program yang berkesinambungan. Tergantung bagaimana tahapan pemerintah melakukannya. Termasuk juga dengan apa yang disiapkan oleh Bappenas. Untuk desain kelembagaan masih direncanakan, steering team prosesnya akan dilakukan di tingkat pusat dan daerah. Lalu ada lembaga pengelolaan reformasi agrarian, yang merupakan satuan kerja BPN. Bagaimana masyarakat bisa membantu suksesnya PAN? Harapannya masyarakat bisa secara utuh memahami program ini, sehingga pemahaman PAN tidak parsial. Dengan demikian tujuan program ini akan tercapai. Harapan BPN dengan adanya Program Agraria Nasional? Bukan harapan BPN, tetapi harapan kita bersama. Saya kira masalah-masalah bangsa yang sifatnya struktural, terutama yang terkait dengan masalah pertanahan agar dapat segera terselesaikan. Termasuk pengangguran, sengketa dan kemiskinan. Minimal masyarakat dapat merasakan manfaat dari asetnya sendiri. (Tim Redaksi) Kebijakan Pemanfaatan Lahan Untuk Kesejahteraan Petani Oleh: Any Andjarwati *) Pendahuluan ahan adalah salah satu sub-faktor teknis dalam pertanian, yang bekerjanya tidak dapat dilepaskan dengan sub-sub faktor lainnya dalam agraria untuk mencapai tujuan. Kebijakan pemanfaatan lahan utntuk kesejahteraan petani adalah suatu das Sollen di Indonesia, karena dalam kenyataannya sampai sekarang kebijakan pemanfaatan lahan tidak jelas dan nasib petani masih jauh dari sejahtera (das Sein). Kebijakan pemanfaatan lahan adalah bagian dari kebijakan pertanahan, yang dapat berupa prinsip-prinsip, norma-norma, pedoman-pedoman mengenai pertanahan yang dituangkan kedalam peraturanperundangan dan/atau keputusan-keputusan aparat pemerintah. Pelaksanaannya dapat berbentuk program-progam, misalnya transmigrasi, extensifikasi pertanian dengan membuka lahan gambut, program kemitraan dibidang pertanian seperti PIR-Bun maupun PIRpeternakan, dan sebagainya. Lebih jauh kebijakan pertanahan adalah bagian dari kebijakan agraria secara keseluruhan (pertanahan, perairan, udara dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya). Untuk itu kebijakan pemanfaatan lahan membutuhkan kebijakan yang komprehensif. L Tujuan Politik Agraria Dalam Kerangka Hukum Sebagai Negara Hukum dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menuntut politik agraria berpijak pada kerangka hukum, untuk menjamin kesejahteraan petani seimbang dengan mereka yang berkerja di bidang non-pertanian, menjamin pangan penduduk dengan harga yang pantas serta menjamin kelestarian lingkungan hidup dan pemeliharaan pemandangan. Tujuan politik agraria Indonesia berdasarkan Penjelasan Umum I UUPA, yaitu untuk meletakkan dasardasar Hukum Agraria Nasional guna kesejahteraan rakyat, yang pertama dan utama adalah untuk menjamin kesejahteraan rakyat tani, kedua untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan ketiga untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Dengan demikian pertanian merupakan inti atau roh dalam Hukum Agraria Nasional, dimana petani sebagai titik pusat tujuannya. Tujuan politik agraria yang stabil merupakan modal awal dan dasar untuk pembentukan konsep dan strategi kebijakan agraria. LAND 03 MEI - JULI 2007 6 Namun praktek politik selama ini, termasuk pendidikan hukum cenderung mengidentikkan tujuan agraria sama dan sebangun dengan tujuan nasional, yaitu untuk kesejahteraan rakyat. Pengertian itu sama seperti apa yang dicanangkan dalam visi Badan Pertanahan Nasional. Sedangkan Departemen Pertanian mempunyai visi meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan petani. Visi ini rawan dengan kebijakan tambal sulam dan kurang menjamin kesejahteraan petani dan pangan penduduk. Dengan demikian konstruksi untuk pembuatan konsep kebijakan agraria secara khusus belum terpikirkan. Jaminan kesejahteraan petani tidak dapat lepas dari kebijakan untuk sistem "usaha pertanian", yang sustainable. Sedangkan politik pertanahan pada dasarnya sebagai sub-tujuan politik agraria (baca: pertanian). Era globalisasi menuntut adanya pengaturanpengaturan khusus untuk masing-masing bidang guna memenuhi tuntutan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang semakin kompleks. Dengan ikutnya Indonesia dalam perjanjian pasar bebas WTO mau tidak mau bangsa Indonesia dituntut untuk dapat segera menata sistim agrarianya secara rasional, yang kewenangan dan tanggungjawab utama di tangan Pemerintah. dasar lainnya, seperti kependudukan, sistim sosial, sistim ketenaga kerjaan. "Pertanian" dalam agraria ibarat pokok pohon, jika diangkat permasalahannya, maka seluruh akar-akar (permasalahan) dapat atau harus ikut diangkat pula, supaya tidak mati. Perencanaan Umum dan Pemanfaatan Tanah Dalam rangka sosialisme Indonesia pemerintah wajib membuat perencanaan umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Perencanaan umum terdiri dari perencanaan sektor-sektor dan perencanaan tata ruang yang terdiri dari ruang daratan, ruang perairan dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, termasuk peraturan zonasi (zoning regulation). Idealnya, perencanaan sektor-sektor (perencanaan umum - rencana daerah), rencana tata ruang, keuangan dan waktu diadakan dalam saat bersamaan. Keseluruhan perencanaan tersebut seyogyanya mengarusutamakan perlindungan lahan, yang dapat diklasifikasikan kedalam perlindungan tanah terhadap bahan yang dapat merugikan, seperti misalnya bahan kimia yang secara alami dapat membuat keadaan Struktur Agraria tanah berubah sehingga mereduksi Pertanian diartikan sebagai penggunaan secara kesuburannya, dan perlindungan tanah terhadap ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur penggunaan tanah/ perlindungan tanah secara untuk produksi tanaman (produksi primer fisik seperti perlindungan terhadap seperti pangan, bahan pakan, dll) dan produksi pemandangan, perlindungan tanah dari beban hewan (produksi sekunder). struktur tanah atau penggunaan tanah kualitatif. Berdasarkan pengertian itu dan dikaitkan dengan Untuk itu perencanaan umum mutlak adanya, tujuan politik agraria (dalam kerangka hukum), sebagai syarat untuk perlindungan tanah dan struktur pertanian dapat dibagi dalam tiga faktor, dapat berjalannya sistim pengendalian dan yaitu faktor tehnik, faktor ekonomi, faktor sosial. pengawasan pemanfaatan lahan, yang dapat Faktor teknis yaitu tanah dan/atau lahan, sistim diselenggarakan melalui ijin mendirikan bangunan irigasitenaga kerja (petani, pekebun, peternak, dan ijin-ijin lainnya. dll. sejenisnya), peraturan-perundangan, aparat pemerintah dan organisasinya, organisasi petani Penggunaan lahan pertanian memerlukan dan koperasi-koperasi petani, organisasi kepastian hukum (Rechtsicherheit), baik mengenai pedagang pertanian, perjanjian-perjanjian dalam subyek hak maupun obyeknya. Subyek berarti pertanian, sarana produksi pertanian seperti siapa saja yang boleh mempunyai dan/atau bibit, pupuk, dsb. menguasai (usaha) lahan pertanian, hal ini berkaitan dengan sistem peralihannya: jual-beli Faktor ekonomi banyak dipengaruhi oleh pasar, dan/atau pewarisan usaha pertanian, sewa, dan pajak dan pungutan pertanian, pembiayaan resiko sebagainya. Sedangkan obyek dapat dikaitkan pertanian, sistim kredit pertanian, dan dengan prinsip-prinsip luas lahan pertanian yang pengeluaran untuk jaminan sosial, dsb. Faktor ekonomis, jangka waktu, hubungan lahan dengan Sosial, hal-hal yang berkaitan dengan jaminan benda-benda yang ada di atasnya, kesejahteraan petani antara lain berupa jaminan pemanfaatannya, dsb. Kebijakan pertanahan pendapatan, jaminan kesehatan petani, jaminan menghadapi berbagai masalah dasar seperti: haritua petani, jaminan kecelakaan kerja. Melihat Ü Politik agraria yang keluar dari kerangka struktur pertanian tersebut kebijakan sektor hukum pertanian tidak dapat lepas dari sektor-sektor Ü Belum adanya peta dasar yang berprinsip "satu 7 MEI - JULI 2007 LAND 03 peta satu bumi". Ü Implementasi UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang masih akan dihadapkan pada permasalahan agraria, khususnya pertanahan antara lain multi peta dasar yang tidak menjamin kepastian hukum penguasaan dan/ atau kewenangan di bidang pertanahan, lemahnya data dan informasi. Tiadanya kepastian hukum akan Tanah Negara, Tanah Hak maupun Tanah Adat. Ü Belum adanya konsep distribusi tanah negara yang bermasa depan. Ü Tiadanya perencanaan umum Nasional yang stabil menghambat dan/ atau tidak terancamnya asas-asas hukum lainnya yaitu asas keadilan (Gerechtigkeit) dan asas kepatutan/ kelayakan (Gesetzmaessigkeit). Permasalahan reforma agraria dengan latar belakang peraturan-perundangan sudah menjadi ciri umum negara berkembang seperti Indonesia, di samping menghadapi penyesuaian kebijakan pertanian dengan perkembangan ekonomi (seperti yang dialami oleh Negara-negara maju). Dengan demikian peraturan-perundangan agraria, seperti peraturan-perundangan Landreform (UUPA, Perpu no. 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, PP no. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi, Hak sementara penguasaan tanah pertanian seperti sewa, bagi hasil, gadai, dsb), UU no. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, rencana UU kebijakan lahan abadi, dll., serta program-program kebijakan pertanian lainnya perlu mendapat pemikiran serius dan prioritas dari Pemerintah. Pasar Tanah dan Petani Pasar tanah (land market) mensyaratkan adanya "kebebasan berkontrak", "subyek-subyek bebas keluar masuk pasar", serta "kepastian hukum". Model seperti ini pada dasarnya hanya dapat diterapkan di negara-negara maju, yang sudah mempunyai sistem agraria (pertanian) yang relatif stabil. memungkinkan daerah membangun agraria daerahnya secara konstruktif. Misal terdapatnya instansi vertikal yang ada di daerah, antara lain BPN, Kantor Pajak, Notaris, dimana data-data dan informasi mengenai peralihan hak atas tanahnya tidak dipunyai daerah (dari desa sampai provinsi), karena belum ada mekanisme yang mengatur pemberian informasi data pertanahan kepada daerah. Ü Kompleksnya permasalahan dasar agraria, menjadikan kebijakan pertanahan yang komprehensif terlupakan dan/ atau sulit dilaksanakan. Ü Terdapat produk peraturan-perundangan yang sifatnya sektoral. Maraknya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, lebih banyak disebabkan oleh desakan ekonomi akan tuntutan kebutuhan hidup petani yang hidup dalam masyarakat industri. Misalnya tuntutan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, seiring dengan nilai tukar hasil pertanian yang tidak menentu dan bahkan mempunyai resiko merugi. Sementara “pasar tanah" berjalan begitu saja tidak didukung oleh syarat-syarat yang layak yang harus dipenuhi, yang didesak oleh kebutuhan tanah untuk kegiatan industri dan jasa, infrastruktur, pemukiman, turisme, dan lain-lain. Di Indonesia subyek petani kebanyakan masih dalam posisi ekonomi lemah sebagai akibat dari kebijakan sistim pertanian yang tidak menjamin sustainibilitasnya. Sementara kebebasan berkontrak pada dasarnya mensyaratkan adanya keseimbangan (esensi dari perjanjian), di sisi lain kepastian hukum di bidang pertanahan masih Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang jauh dari memadai. Oleh karena itu, berjalannya seharusnya untuk melandasi kebijakan "pasar tanah tak bersyarat" ini mendesak pemanfaatan lahan pertanian, menjadikan perlunya kerangka kebijakan pertanahan yang harapan untuk mencapai kesejahteraan petani melindungi semua pihak, terutama pihak masih jauh, khususnya tiadanya kepastian hukum ekonomi lemah, mencegah cara-cara pemerasan, (Rechtsicherheit) tendensial menjadikan mencegah kerusakan lahan dan memelihara LAND 03 MEI - JULI 2007 8 seluruh Indonesia, Pemerintah dapat memanfaatkannya untuk dapat membuat Perencanaan Umum secara kontruktif (perencanaan sektor-sektor dan perencanaan Pusat - Daerah Untuk Agraria Kebijakan Pemerintah mempunyai peranan yang tata ruang), yang sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah yang luar biasa penting, besar menentukan untuk strategi bidang agraria, sebagai salah satu cabang ekonomi nasional, yang dan mendesak untuk perbaikan Indonesia di masa kini dan di masa depan. mempunyai permasalahan utama pada aspekaspek kelembagaan pada titik paling lemah. Dalam era globalisasi dibutuhkan aparat Dengan tujuan politik agraria yang keluar dari pemerintah berdasarkan spesialisasi, sehingga kerangka hukum, tiadanya konsep perbaikan dapat menciptakan aparat pemerintah yang agraria yang sustainable, menjadikan organisasi berkarakter dan profesional, karena yang administrasi agraria tidak mempunyai struktur, dituntut oleh rakyat yang utama adalah output, susunan serta strategi yang jelas, baik pusat maupun daerah. Misalnya saja masalah produksi bukan proses. Untuk itu akan membawa perbaikan mendasar apabila Lembaga dan pasar beras ada ditangan antara lain Departemen Pertanian, Bulog serta Departemen Administrasi Negara (LAN) dan Menteri Aparatur Negara menata organisasi Perindustrian dan Perdagangan, yang kepemerintahan untuk memenuhi kebutuhanmekanismenya tidak jelas untuk jaminan kebutuhan, khususnya di bidang strategis agraria kesejahteraan petani dan jaminan pangan dan/atau pertanian. penduduk secara sustainable.Di samping itu sistim pembangunan proyek dan target dan penyakit kronis administrasi yaitu egoisme sektoral (dan intern sektoral) menjadikan pemerintah membuat kebijakan tambal sulam. kesuburan lahan. Adanya pengakuan otonomi daerah, belum mendorong pemerintah daerah secara langsung berupaya untuk memperbaiki sistem agraria secara komprehensif, serta menganggarkan secara khusus. Keadaan data keagrariaan tidak lengkap dan yang bersifat kuantitatif sangat lemah, peta lengkap belum tersedia, yang ada tidak detail dan parsial. Misal data dan informasi mengenai peralihan pemilikan dan/ penguasaan tanah serta pembebanannya terdapat pada instansi vertikal didaerah seperti BPN, Notaris, Kantor Pajak, dsb. Instansi pemilik peta dasar yang sifatnya sektoral Sampai sekarang belum ada kewajiban dan mekanisme mengenai sharing pemberian data dan informasi mengenai keagrariaan pada pemerintahan daerah. Untuk penegakan otonomi daerah, hal tersebut mutlak dibutuhkan, untuk pemberdayaan dan/atau dukungan secara penuh terutama terhadap desa, sebagai organisasi pemerintahan otonom terendah. Desa membutuhkan semua data dan informasi mengani desanya dari supra desa, untuk dapat digunakan secara terus-menerus, sehingga desa yang bersangkutan dapat membangun desanya secara konstruktif dalam kerangka pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya seluruh data dan informasi secara terusmenerus pada setiap desa yang bersangkutan di 9 MEI - JULI 2007 LAND 03 Penutup Kebijakan pertanian di masa depan membutuhkan re-orientasi politik pertanian dalam kerangka hukum, merekonstruksi organisasi administrasi pertanian dan/ atau agraria, berdasarkan konsep yang konstruktif, berdasarkan permasalahan yang ada, dan disusun secara sistimatis dan logis untuk dapat mencapai tujuan yang stabil. Hal mendasar perlu dipikirkan yaitu usaha pertanian yang berkesinambungan pada dasarnya bukan usaha padat karya. Oleh karena itu kebijakan pertanian (agraria) tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus diikuti minimal oleh kebijakan sistem jaminan kesejahteraan stabil, karena kebijakan pertanian tidak dapat dibebani untuk memikirkan penanggulangan kemiskinan. Masing-masing mempunyai konsepnya sendiri-sendiri, sebagai tuntutan era spesialisasi. Agrarian Reform Programs A Brief Look at Other South East Asia Countries Oleh: Andreas Groetschel A t the current stage of Indonesia's Agrarian Reform Program it might be a good opportunity to look at similar programs in other Southeast Asian countries to identify some of the challenges that lie ahead. While all of the government statements appear very sensible and much appreciated and required, but are things as simple and straightforward as they seem? Few people would disagree with the GoI policy objectives of economic development, poverty eradication and more secure land rights for all. But the way to achieve this has been based on arguing from several assumptions that might not always hold true. Therefore, it is important that Indonesian policy markers review and draw lessons from other experiences. There is a history of different programs in the region. In the Philippines the Comprehensive Agrarian Reform Law of1988 laid the foundation for what has evolved from redistribution of land into what could be termed a rural development program with a land distribution component. In Vietnam, de-collectivization, and the opening of the agricultural sector to market forces converted a country facing chronic food shortages in the early 1980s to the secondlargest rice exporter in the world. Thailand's program has managed to improve ownership rights to tenants in the private land domain and squatters in the public land domain i.e. encroached forests. Other target groups, including the landless and the rural poor have so far not benefited much from the land reform programme. In Laos, the focus is on recognizing communal and private rights over lands and decentralizing management responsibilities. The Land and Forest Allocation (LFA) policy strengthens both communal and private land use and management rights particularly in rural villages, the Land Titling policy, which provides legal documents for land parcels in urban and peri- urban areas improves long-term land use rights and efficient use of land. In Cambodia, although a much smaller country in terms of area and population, the issues appear to be similar to the ones in Indonesia. Both countries have comparatively large areas of unused or underdeveloped state land, however mostly outside the more highly populated regions, most of these areas are classified as forestland. Between 30 and 40% of the rural population is either landless or does not have access to sufficient land to secure their living. Despite increasing urbanisation, the problem of landlessness is rising and might have increasingly bad social and economic effects. Cambodia's (new) land law of 2001 provides the basis for a potential distribution of state land. In line with the country's Poverty Reduction Strategy, a reform program was announced in 2003. The program envisages so-called 'Social Land Concessions' to be used in order to distribute the state's vacant lands to poor households. Each eligible family would receive up to 5ha of lands for family farming purposes. The reform is expected to be accompanied by the provision of basic social and economic infrastructure to beneficiary communities. This comprehensive package is intended to reduce poverty and promote sustainable economic and social development. Insufficient delineation and identification of vacant state land was the first challenge encountered in reform implementation. As most LAND 03 MEI - JULI 2007 10 governments grapple with the issue of confirmed information on state lands (e.g., absolute extent available at all administrative levels and its quality), significant efforts are required to identify, classify and assess in more detail the status as well the different functions and the contribution of state land to sustainable development and livelihood generation. This type of situation is true for Indonesia too. Mapping and registration of state land had not been done, and although the common perception was that large areas of Cambodia is state land, the legal basis for determining the boundaries of these areas had still to be developed. In addition, the majority of unoccupied land is classified and claimed as forestland, and legal mechanisms to release these lands for other purposes needed to be developed. A further challenge was the quality of land. To ensure that families will be able to survive on the land, the parcels must be suitable for agricultural production and/or suitable farming systems developed and promoted. Simple tools for land resource assessments were developed. Identification of eligible beneficiaries had to ensure that the land goes to needy families and the allocation process is transparent and prevents corruption. While it was generally acknowledged that local communities themselves are in the best position to identify from amongst their members who is need of land, the approach had to use objective criteria to assess the eligibility of families. Different methodologies are tested and an acceptable approach that balances simplicity and objective standards still needs to be decided. A remaining question also concerns the amount of land given to a family, whether to be based on land quality, location, family size, and how to weigh these and potential other criteria. A critical issue remains the treatment of illegal squatters on state land. Although countries like Cambodia, Philippines had introduced a cut-off date after which all occupation on state land are considered strictly illegal. While long-term occupants have the right to receive titles for 'their' land, the problem remains on whether to include illegal squatters as potential land recipients. There is the threat that this might reward illegal occupants by receiving land under the reform program, hence providing an incentive for further encroachment on state land. The provision of social and economic support services had been recognized as indispensable for the success of the program. In addition, in 11 MEI - JULI 2007 LAND 03 most countries, input and output marketing for agricultural products were very underdeveloped, particularly and unfortunately in those areas where the land distribution is intended to be implemented. Together with a basically nonexistent extension service this severely constrains productivity improvements in rural areas. In addition, soaring health-related expenses caused a significant number of families to loose their land due to indebtedness. Addressing these issues on a broad scale is very expensive and will need time for respective institutions to develop. Managing individual expectations remains a difficult task. As is common, demands and wishes from farming families can be very high and however they had to be balanced taking into consideration government's capacity to provide required services. Cambodia's financial and human resources limit the possibilities for introducing or raising social and economic service standards quickly. Although there is significant donor assistance in this area, there is a risk that limited services will constrain the productive use of the land and families might again loose their allocated parcels to banks or local moneylenders. Information flows within communities need to be transparent and managed very well. The information needs of communities on agrarian reforms will cover a wide spectrum, ranging from knowledge of political and policy statements of the government to highly localised information such as extent of land availability, criteria for selection of beneficiaries, etc. Even the most well-planned and comprehensive outreach campaign will not adequately meet community demands and needs for this kind of information and communication. The challenge is not just how to improve information transfer to beneficiaries, but also how to do this in a way that promotes dialogue and information exchange. The challenge for a successful agrarian reform program is to stimulate intra-, and intercommunity dialogue to improve quality of engagement. It is here where the role and contributions of NGOs and civil society groups are to be highlighted and valued. The political risk of a land allocation project is also apparent in Cambodia. As in Indonesia, there is an increasing demand on natural resources. Investors are looking for access to productive land to take advantage of high demands and booming commodity prices. Where financial resources of a government are limited, it is tempting to take advantage of potential short-term gains from allocating large areas for plantations. Cambodia's program tries to combine the benefits of both by optionally linking large agroindustrial investments to smallscale land distribution. Conclusions The Cambodian example -and of course other programs in the region as well- provide an outlook on the issues that will be encountered with Indonesia's Agrarian Reform program. Institutional weaknesses pose the most challenging threat to any program. The time is ripe for an accelerated process of systematic demarcation for titling, and for an optimal use of government resources such as state land for economic development and poverty eradication. However, a legal and regulatory framework on principles and procedures for coordination of state land management on different administrative levels and between agencies is missing in many countries. Institutional responsibilities need clear definitions and inter-agency harmonization. A decentralized approach is certainly helpful in addressing local needs for land and services but this also requires that the coordination of the information flows on state assets between the ministries involved and the role and responsibilities of different levels of line ministries (central, province, district, kecamatan) needs to be clearly regulated. There will certainly be a need for country and location specific approaches and solutions. Looking at experiences in neighbouring countries will increase the preparedness for the problems that will be emerge, and it will broaden also the perspective for potential solutions. *) Team Leader Advisory Consultant, Komponen 1-LMPDP LAND 03 MEI - JULI 2007 12 Landreform di Indonesia Oleh: Risnarto *) Bagian Pertama dari dua tulisan. Tulisan kedua berjudul “Landreform Plus di Indonesia”, disajikan dalam Bulletin LAND edisi No. 04/2007 Pasang Surut Kebijakan Landreform Perjalanan panjang, walaupun tertatih-tatih, yang telah berlangsung lebih dari 46 tahun tidak menyurutkan Landreform sebagai politik agraria maupun strategi untuk memakmurkan rakyat banyak dari lapangan usaha pertanian. Komitmen Bangsa Indonesia terhadap keberpihakan pada rakyat miskin terutama petani di pedesaan, sungguh membangkitkan nasionalisme yang semakin kuat. Hal ini membuktikan Pemerintah konsisten dalam politik dan kebijakan terhadap keagrariaan/pertanahan dengan perspektif tanah, karunia Allah SWT bagi Bangsa Indonesia merupakan sumber kemakmuran dan faktor kunci perekat Bangsa. Cita-cita agrarian reform yang digagas oleh para pendiri Negara sejak tahun 1946 untuk menata struktur keagrariaan nasional yang feodalistik dan kolonialistik yang dicirikan oleh adanya sistem pertuanan dan konsentrasi aset keagrariaan pada sekelompok kecil masyarakat menjadi struktur keagrariaan yang berkeadilan sosial, diwujudkan dalam realita ketika pada tanggal 1 Januari 1961. Presiden Soekarno mencanangkan Pembangunan Semesta Nasional Berencana. Pada hari itu sekaligus ditetapkan berlakunya Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang secara umum dikenal dengan Undang-Undang Landreform. Kebijakan ini merupakan strategi dasar pembangunan nasional yang bertumpu pada kebijakan agraria yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan UUPA, setelah sebelumnya lahir Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Sesuai dengan pengaturan penguasaan pemilikan tanah sebagaimana ditetapkan dalam UU 13 MEI - JULI 2007 LAND 03 56/1960, Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum seluas 2 hektar. Sedangkan batas maksimum ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, luas daerah, dan faktor lainnya yang kemudian menghasilkan kisaran luas maksimum tanah sawah 5 s/d 15 hektar, atau tanah kering 6 s/d 20 hektar. Hal ini tidak berlaku terhadap tanah-tanah pertanian: (1) yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hakhak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari Pemerintah dan (2) yang dikuasai oleh badan-badan hukum. Dalam UU itu, juga diatur ketentuan larangan gadai tanah. Kalau kita perhatikan UU 56/1960 dalam klausul "menimbang" dinyatakan bahwa perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah pertanian sebagai yang dimaksud dalam pasal 17 UUPA. Kebijakan tersebut pada dasarnya merupakan kewenangan pemerintah untuk mengatur tanah sebagai sumber kemakmuran dalam mekanisme pengaturan pertanahan yang lebih adil di masyarakat dalam memperoleh manfaat atas penguasaan pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penetapan luas maksimum dan atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh suatu keluarga atau badan hukum membawa implikasi yang luas. Pertama, tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum, diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. Kedua, luas maksimum yang boleh dimiliki seseorang dibedakan antara daerah padat dan tidak padat. Sedangkan yang padat masih dibedakan antara daerah yang kurang padat, cukup padat dan sangat padat. Masih terbagi lagi menurut jenis penggunaan tanah sawah yang lebih kecil dari tanah kering. Dengan ketentuan itu, diperkirakan bahwa luas minimum per keluarga akan menjadi dua hektar, sehingga tidak diperkenankan memecah menjadi kurang dari dua hektar, kecuali kalau semula memang luasnya kurang dari dua hektar. Bahkan ketentuan pada ayat (2) Pasal 9 itu, menyatakan bahwa jika dua orang atau lebih memiliki sebidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar, maka dalam waktu kurang dari satu tahun, wajib menunjuk salah seorang di antaranya yang akan memiliki tanah tersebut. Pada waktu itu, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 90an juta jiwa, sebagian besar (70 persen) tinggal di Pulau Jawa, Bali, Sumatera Utara, Lampung dan Sulawesi Selatan. Sebagian lainnya tersebar di berbagai tempat di seluruh wilayah Indonesia. Di wilayah itulah berkembang usaha tani sawah, di samping tegalan, kebun rakyat dan perkebunan besar. Maka dapat dikatakan bahwa konsep landreform di Indonesia selain merupakan kebijakan politik, telah mendasarkan pada keadaan nyata geografi, demografi, sosial ekonomi maupun sosial budaya masyarakat. Konsepsi dasar landreform selain diarahkan pada konsep redistribusi tanah yang berjalan beriringan dengan konsep konsolidasi tanah. sebagai berikut: a.Larangan penguasaan tanah yang melampaui batas sebagaimana di maksud dalam pasal 7 UUPA; b.Penetapan batas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum, dikeluarkan UU 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; c.Larangan absentee/guntai, diatur dalam pasal 3 PP 224 tahun 1961; d.Larangan fragmentasi, sampai suatu batas tertentu tanah tidak boleh lagi dipecah-pecah dalam kapling yang kecil karena tanah tidak akan ekonomis lagi dan tidak memberi kemungkinan hidup layak bagi petani yang bersangkutan; e.Pasal 10 UUPA menyatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan; f.Larangan gadai tanah, diatur dalam pasal 7, UU No. 56 Tahun 1960; g.Pelaksanaan perjanjian bagi hasil (UU No. 2/1960). Selain kebijakan yang langsung diterapkan melalui peraturan perundang-undangan keagrariaan/ pertanahan, upaya untuk menata penguasaan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah juga diintegrasikan dengan program pembangunan sektoral seperti: (1) Program pencetakan sawah (Keppres 54/1980), yang dikaitkan dengan peraturan lain yang mengatur landreform; (2) Program transmigrasi, selain untuk pemerataan kepadatan penduduk dalam pelaksanaannya sekaligus merupakan usaha penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah baik di daerah asal maupun di daerah tujuan, dimana para tansmigran memperoleh tanah 2,0 ha yang terdiri dari 0,25 ha untuk tanah perumahan beserta rumah sederhana, 0,75 ha berupa tanah pertanian pangan dan 1,00 hektar berupa tanah cadangan Pengaturan batas maksimum dan minimum untuk tanaman keras/kebun (3) Program merupakan salah satu kegiatan dari landreform Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan untuk tercapainya batas minimum penguasaan dalam landreform, misalnya petani yang menjadi dan pemilikan tanah pertanian. Landreform peserta akan mendapat tanah 2,0 ha berupa dimaksud bukan hanya perombakan terhadap perkebunan yang ditanami pohon karet atau stuktur penguasaan pertanahan, melainkan perombakan terhadap hubungan manusia dengan kelapa sawit, selain itu juga mendapat 0,75 ha berupa tanah pertanian pangan dan 0,5 ha untuk tanah, hubungan manusia dengan manusia tanah perumahan beserta rumah sederhana. berkenaan dengan tanah guna meningkatkan Pelaksanaan PIR ini kemudian dikembangkan penghasilan petani. Upaya-upaya pemerintah kepada PIR-Bun yaitu pada perkebunan dan untuk tercapainya batas minimum secara dikaitkan dengan transmigrasi yang dinamakan berangsur-angsur tersebut bila kita perhatikan PIR-Trans atau PIR-Sus. perkembangannya dapat digambarkan dalam bentuk kebijakan dan pelaksanaan antara lain Ketentuan UU 56/Prp/1960 tersebut, kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No.224 Tahun 1961 (L.N. 1961 No.280) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Dalam ketentuan itu diatur obyek tanah-tanah yang akan dibagikan, besarnya ganti rugi serta siapa yang berhak memperoleh pembagian tanah. Walaupun dalam ketentuan itu diatur pembentukan koperasi pertanian di tiap daerah atau desa, sebagai lembaga perekonomian di pedesaan yang didukung pula dengan Bank Rakyat di pedesaan, namun ada kesan yang menonjol kebijakan landreform di masa itu, adalah pembagian tanah, penetapan luas maksimum tanah pertanian dan larangan gadai tanah. LAND 03 MEI - JULI 2007 14 Sekarang, setelah berjalan hampir 47 tahun, keadaan yang diharapkan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA untuk memakmurkan rakyat Indonesia belum tercapai. Apa yang ingin diwujudkan melalui landreform juga belum tercapai. Jumlah petani tanpa tanah dan petani gurem dengan pemilikan tanah sempit meningkat. Kontribusi sektor pertanian dalam produk domestik bruto nasional berkurang tajam, namun jumlah tenaga kerja di bidang pertanian masih tinggi. Sementara itu, produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian rendah. Tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan harga barang kebutuhan sehari-hari semakin mahal. Keadaan itu menyebabkan jumlah rakyat miskin yang sebagian besar tinggal dan berusaha di lapangan kerja pertanian meningkat. Rakyat yang miskin itu, bekerja. Maka dapat dibayangkan betapa terpuruknya rakyat Indonesia yang sebagian besar kehidupannya masih bersumber dari usahatani basis tanah. " ....menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi...... perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui... landreform." Komitmen pemerintah menjadi semakin nyata ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI, pada tanggal 31 Januari 2007 menegaskan untuk melaksanakan reforma agraria dengan prinsip "tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat". Agrarian Reform dan Landreform Landreform bukan hanya hanya pengertian politik, namun juga mengandung pengertian teknis. Banyak kalangan akademis maupun Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menggunakan istilah agrarian reform yang lebih luas maknanya dibanding landeform, sebagaimana dinyatakan Gunnar Myrdall (1971) dalam bukunya Asian Perkembangan lebih lanjut landreform Indonesia Drama: An Inquiry Into the Poverty of Nation; An Abridgement: " by landreform we understand a dalam sejarah pelaksanaannya dan politiknya, planned legal and institutional reorganisation of mengalami pasang surut. Situasi politik pada relation between man and land". Selanjutnya, PBB tahun 1965 dan setelah Sidang Umum MPRS dalam Progress in Landreform: Fifth Report, New Tahun 1966, seakan-akan "tabu" untuk York United Nation, 1970.Vol.III , membedakan membicarakan landreform. Pengalokasian dana landreform dengan agrarian reform. "Landreform APBN dianaktirikan. Barulah pada tahun 1978 refers to the integral reforms of tenure production melalui GBHN secara tegas landreform ditetapkan sebagai suatu political will pemerintah. and supporting service structure to eliminate obstacles to economic and social development Presiden Soeharto, pada tanggal 1 Maret 1982 dalam rapat kerja Gubernur, Bupati/Walikota se arising ot of defects in the agrarian structure, by Indonesia di Jakarta menyatakan: "Saya tegaskan redistribution of wealth, opportunity and power, as manifest in the ownership and control of land, di sini bahwa landreform adalah sesuai dengan kebutuhan dan keharusan yang perlu kita tempuh water and other resources" "Agrarian reform to cover all aspect of institutional demi pemanfaatan yang sebesar-besarnya dari development including landreform, tenure tanah untuk kemakmuran bersama" Pernyataan Presiden kemudian dituangkan dalam production and supporting service structure and Pola Umum Pelita IV, (Bab IV No.27 GBHN) dan related insitutions, such as local government, public administration in rural areas,rural educationand dalam buku Repelita IV Buku Ketiga Halaman rural social welfare institutions, and so forth.” 414, yang intinya akan ditingkatkan lagi pelaksanaan landreform sebagai bagian dari Apabila diperhatikan dengan seksama apa yang penataan kembali penguasaan pemilikan menjadi ruang lingkup agrarian reform menurut penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih PBB, pada dasarnya adalah mencakup tujuh adil atas sumber penghidupan petani tersebut. Komitmen Bangsa mencapai puncaknya dengan aspek, yaitu: (1) sistem penguasaan pemilikan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang tanah, (2) redistribusi tanah, (3) penggarapan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya tanah, (4) pengorganisasian kredit, produksi dan pemasaran), (5) mekanisme pembiayaan usaha Alam yang mengharuskan dilakukannya tani, (6) meningkatkan efisensi pemanfaatan pembaruan agraria atau reforma agraria. tanah dalam rangka pengembangan pajak tanah di Selanjutnya ditegaskan kembali perlunya pedesaan, dan (7) pelayanan pemerintah untuk pelaksanaan reforma agraria dalam Keputusan MPR Nomor 5 Tahun 2003. Sebagai tindak lanjut masyarakat pedesaan seperti teknik usahatani, fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, konsensus sosial dan politik, reforma agraria pelayanan air bersih dan komunikasi. dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Menurut Nasikun (1998), pengertian hakiki dari Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, antara lain: konsep agrarian reform mengandung dua elemen, 15 MEI - JULI 2007 LAND 03 yaitu nasionalisasi tanah (land nationalization) dan pengaturan kembali struktur penguasaan pemilikan tanah (land tenure reform). Ruang lingkup land tenure reform tidak sekedar redistribusi tanah (landreform) sebagai alat untuk melakukan land tenure reform, namun juga mencakup access reform untuk menciptakan sumber-sumber ekonomi. Orang pertama yang merumuskan pengertian agrarian reform dalam konteks nasionalisasi tanah adalah AR Wallace (dalam Hsiao,1968) yang mengemukakan bahwa pemilikan privat atas tanah bertentangan dengan prinsip HAM, karena hal itu memungkinkan sekelompok kecil individu atau orang menjadi kaya dan sebagian besar massa rakyat yang lain berada dalam kemiskinan dan penderitaan. Oleh karena itu, tanah yang bukan merupakan buah dari tenaga kerja manusia, tidak selayaknya menjadi milik privat, sebaliknya harus dimiliki bersama oleh seluruh rakyat. yang dihasilkan dari tanah tersebut. Di negara yang sedang berkembang, sistem penguasaan pemilikan tanah pertanian menjadi faktor penting, karena mempunyai peranan terhadap efisiensi produksi pertanian dan perkembangan industri, distribusi pendapatan dan kehidupan sosial masyarakat. Pada umumnya jumlah dan luas pemilikan tanah berkaitan dengan skala usaha ekonomi. Di negara yang tenaga kerja di sekor pertanian melimpah, dengan rata-rata pemilikan tanah yang sempit jumlahnya sangat besar dan adanya konsentrasi pemilikan tanah pada sebagian kecil masyarakat, akan mempengaruhi pendapatan petani. Ditambah dengan sistem budaya pewarisan tanah mendorong pemecahan tanah pada skala yang semakin sempit, dan akhirnya akan terjadi kondisi berbagi kemiskinan di antara petanipetani miskin. Di Indonesia, menurut Boedi Harsono (1973) dalam bukunya Hukum Agraria Nasional Bagian Pertama, agrarian reform dipahami sebagai landreform dalam arti luas, yang meliputi lima program, yaitu: (1) pembaruan Selanjutnya argumen mengenai pengaturan hukum agraria, (2) penghapusan hak-hak asing kembali struktur penguasaan pemilikan tanah berasal dari John Stuart Mills dalam bukunya The dan konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah, (3) Principle of Political Economy, yang mengakhiri penghisapan feodal secara berangsurmengemukakan bahwa prinsip dasar dari angsur (4) perombakan struktur penguasaan pemilikan adalah untuk menjamin penciptaan pemilikan tanah serta hubungan-hubungan tenaga kerja dan mengamankan uang, akan tetapi hukum yang bersangkutan dengan tanah serta (5) tidak berlaku untuk penciptaan tanah. Argumen perencanaan persediaan, peruntukan dan Mills bahwa nilai tanah bersumber dari alam dan penggunaan bumi, air dan kekayaan yang oleh karena itu harus hanya sebagian daripadanya terkandung di dalamnya secara berencana sesuai yang menjadi milik tuan tanah, sebagian lainnya dengan daya kesanggupan dan kemampuannya. menurut Henry George dalam bukunya Progress Program yang keempat itu, dikenal sebagai and Poverty, adalah milik negara sehingga perlu landreform dalam arti sempit. Istilah landreform diambil dalam bentuk pengenaan pajak atas sebagai agrarian reform dalam arti sempit pemilikan tanah. Teori Mills dikembangkan lebih memang lebih ditujukan pada redistribusi tanah, lanjut oleh Adolf Damashke dalam bukunya Bund karena merupakan sarana strategis pembaruan Deutscher Bodenreformer yang menekankan sosial ekonomi ke arah pembangunan pertanian transformasi pemilikan privat atas tanah dan yang memberi pengaruh terhadap penyerapan eliminasi akibat buruk dari pemilikan itu melalui tenaga kerja di sektor pertanian, produksi dan sistem pemilikan tanah yang baru yaitu melalui pendapatan usaha pertanian dan akhirnya pemilikan publik bagi tujuan mencapai sebesarmemberi dampak terhadap penanggulangan kemiskinan, kebodohan dan mengatasi besar keadilan sosial. Konsep ini memberi kecemburuan sosial ekonomi dan sosial budaya pengaruh yang besar terhadap program masyarakat. landreform. Berdasarkan cakupan di atas, tampak jelas bahwa agrarian reform cakupan konsepnya lebih luas ketimbang landreform, karena di dalam agrarian reform selain mencakup faktor-faktor yang terkait langsung dengan aspek tanah sebagai faktor produksi pertanian, juga mencakup pula keadaan lingkungan strategis yang mempengaruhi pembangunan sektor pertanian bahkan lebih luas, yaitu pembangunan wilayah pedesaan. Sedangkan landreform lebih dititikberatkan sebagai alat penting untuk meningkatkan produksi pertanian Dari berbagai pendapat dapat dikemukakan bahwa tujuan landreform, mencakup dua hal. Pertama, untuk pemerataan aset tanah sebagai faktor produksi pertanian di antara para pemilik tanah. Kedua, untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dan pemanfaatan tanah. Kedua tujuan tersebut merupakan dasar pembangunan sosial ekonomi. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa landreform juga digunakan sebagai alat politik untuk mencapai atau memperoleh kekuatan keseimbangan politik suatu negara. Dalam hal ini landreform lebih LAND 03 MEI - JULI 2007 16 Reform: Report to the Government of Indonesia, FAO, Rome, menyatakan bahwa 30 persen tanah pertanian dimiliki oleh 71 persen pemilik dengan luas di bawah 1,0 hektar. Sebanyak 21 persen tanah dimiliki oleh sekitar 2,3 persen pemilik dengan luas lebih 5,0 hektar. Sementara itu luas rata-rata tanah milik adalah 9,0 hektar. Keadaan itu, mengindikasi ketimpangan pemilikan tanah yang sudah mengkhawatirkan. Menurut ketentuan PP Nomor 224/1961, tanah yang menjadi obyek redistribusi meliputi: (1) tanah yang merupakan kelebihan batas maksimum sebagaimana dalam UU 56/Prp/1960, (2) tanah Implementasi Landreform di Indonesia yang dikuasai secara absentee, (3) tanah swapraja Sebelum ditetapkannya kebijakan landreform, kondisi penguasaan pemilikan tanah di Indonesia dan tanah negara bekas swapraja dan (4) tanah negara lainnya. Adapun penerima tanah, sangat menyedihkan. Sistem eksploitasi petani ditetapkan menurut prioritas: oleh para bangsawan dan kaum feodal, yang a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang menguasai tanah luas dalam usaha pertanian bersangkutan; tradisionil telah bercampur baur dengan sistem b.Buruh tani tetap pada bekas pemilik yang cultuurstelsel perkebunan modern untuk mengerjakan tanah yang bersangkutan; komoditi ekspor perusahaan pertanian asing. c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang Gerrit Huizer (1974), dalam bukunya Peasent bersangkutan; Mobilization & Land Reform in Indonesia, d.Penggarap yang belum sampai tiga tahun menunjukkan sesudah 1870 di Jawa Tengah mengerjakan tanah yang bersangkutan; ditemukan secara berdampingan sistem e.Penggarap yang mengerjakan tanah hak pertanian tradisional dan sistem pertanian pemilik; modern. Pabrik-pabrik gula menyewa 10 bidang tanah yang berbeda untuk setiap hasil panennya, f. Penggarap tanah-tanah yang oleh Pemerintah diberi peruntukkan lain berdasarkan pasal 4 dari desa-desa di sekelilingnya tempat ayat (2) dan ayat (3); penggilingan gula. Eksploitasi tenaga kerja petani g.Penggarap yang tanah garapannya kurang dari meningkat karena semakin banyak petani yang 0,5 hektar; menjadi buruh perkebunan dan pabrik. Pada masa itu, di awal abad ke 19, pemilikan tanah di h.Pemilik yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar; Pula Jawa rata-rata 0,3 sampai 0,5 hektar. i.Petani atau buruh tani lainnya. Meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti dengan pemecahan pemilikan tanah dan Untuk melaksanakan redistribusi tanah dalam penjualan tanah dengan sistem gadai maupun untuk membayar hutang, menyebabkan hampir 6 rangka melaksanakan landreform, pada waktu itu, juta petani, tidak memiliki tanah. Ultrech (1973) melalui Keputusan Presiden nomor 131 Tahun 1961 yang diperbarui dengan Keputusan Presiden dalam papernya: Land Reform and Bimas in Nomor 262 Tahun 1964, dibentuk Pantia Indonesia, melaporkan bahwa menjelang tahun Landreform yang meliputi: 1960, lebih dari 60 persen petani di Jawa tidak a.Panitia Pusat diketuai Presiden; mempunyai tanah, sekitar 7,6 juta petani b.Panitia Tingkat Provinsi, diketuai oleh memiliki tanah yang sangat sempit kurang dari Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I setempat; 0,5 hektar; sekitar 2,3 juta petani menguasai rata-rata 0,5 s/d 10 hektar. Sementara itu, sekitar c.Panitia Tingkat Kabupaten yang diketuai oleh Bupati/Kepala Daerah Tingkat II setempat; 56.000 tuan tanah menguasai tanah lebih dari 10 d.Panitia Tingkat Kecamatan yang diketuai oleh hektar, bahkan ada yang sampai 30an hektar. Camat setempat; e.Panitia Tingkat Kelurahan yang diketuai oleh Tidak ada data yang akurat, bagaimana Lurah setempat. sebenarnya situasi pemilikan tanah pada awal pelaksanaan landreform. Data yang dapat Pada tingkatan yang lebih tinggi terdapat Panitia digunakan sebagai gambaran awal adalah berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 1963. Pleno, Badan Eksekutif dan Badan Penasihat. Diperkirakan sekitar 36 persen tanah pertanian Panitia Pusat menyusun kebijakan umum, digarap oleh bukan pemilik, dengan luasan rata- melaksanakan administrasi di tingkat atas. Panitia Provinsi menyusun pelaksanaan rencana sejalan rata untuk Jawa dan Bali 0,46 hektar dan luar dengan pedoman yang ditetapkan oleh Panitia Jawa dan Bali sekitar 1,36 hektar. Studi yang dilaporkan oleh Aly A Morad (1970) dalam Land Pusat. Panitia Tingkat Kabupaten dimanfaatkan sebagai latar belakang politik ketimbang latar belakang ekonomi. Rusel King (1977) dalam bukunya: Land Reform. A World Survey, intinya menyatakan bahwa meskipun landreform dijalankan sebagai reaksi terhadap tekanan politik dan perubahan sosial ekonomi akibat tingginya pengangguran, kemiskinan, namun yang penting adalah konflik sosial (agrarian unrest) dapat dikurangi dan ekonomi tetap berfungsi guna menyejahterakan masyarakat. 17 MEI - JULI 2007 LAND 03 dengan anggota 16 instansi Pemerintah yang berhubungan dengan pertanian, termasuk ABRI, Polisi dan Jaksa serta wakil-wakil dari 4 organisasi tani yang terbesar di tingkat Kabupaten. Bupati bertanggung jawab dalam rangka pemilihan pada tahun 1963, dan tahun berikutnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Panitia landreform memperkirakan jumlah tanah kelebihan maksimum yang harus diredistribusi sekitar 0,97 juta hektar dan pada tahap awal diserahkan kepada pemerintah untuk dibagikan No Wilayah Tanah yang di Penerima Rata-rata redistribusi (ha) redistribusi luas tanah kepada penerima seluas (petani) (ha/petani) 337.445 hektar. Selama kurun 1 Sumatera 338 690 235 826 1,44 waktu 40 tahun diperoleh 2 Jawa dan Bali 321 765 1 496 529 0,22 gambaran pelaksanaan 3 Kalimantan 25 679 20 353 1,26 4 Sulawesi 80 862 91 674 0,88 redistribusi tanah yang belum 5 Nusa Tenggara dan Maluku 67 114 73 116 0,92 tuntas. Berdasarkan data yang 6 Papua 2 972 4 264 0,70 dikeluarkan oleh BPN (2001), Indonesia 837 082 1 921 762 0,46 dari total obyek tanah landreform 1.601.957 hektar, Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2001 pada kurun waktu tahun 1963-2000 telah diredistribusikan tanah seluas anggota panitia tingkat Kecamatan dan 837.082 hektar (52%) kepada 1.921.762 petani Kelurahan. Pada tahun 1980, dengan penerima (lihat Tabel 1). pertimbangan efektivitas kerja panitia, melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980, ditetapkan organisasi dan tata kerja penyelenggaraan landreform yang di tingkat pusat Dengan demikian masih ada tanah obyek diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya landreform yang belum diredistribusikan, yaitu seluas 773.875 hektar (48 %). Dalam kurun melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri waktu lima tahun terakhir ini jumlah yang Nomor 37 Tahun 1981 dibentuk Panitia Pertimbangan Landreform Tingkat Pusat, Provinsi diredistribusi bertambah, namun diperkirakan sampai akhir 2006 tidak lebih dari 1,0 juta hektar. dan Kabupaten/Kotamadya se-Indonesia dan Selain itu, untuk tanah absentee dan tanah dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 1981, diatur Penerimaan Tugas kelebihan maksimum telah dilakukan ganti rugi oleh Pemerintah seluas 134.558 hektar kepada dan Tata Cara Kerja Pelaksanaan Landreform. 3.385 orang bekas pemilik, dengan nilai ganti rugi Dalam rangka mempercepat pemberian fasilitas lebih dari Rp. 88 trilyun. Terdapat indikasi bahwa kredit dan pembiayaan lainnya, Menteri Agraria pelaksanaan pemberian ganti rugi kepada bekas pemilik tanah belum tuntas karena adanya membentuk Yayasan Dana Landreform (YDL) tuntutan bahwa besarnya ganti rugi tersebut yang mempunyai status otonomi. Salah satu sumber YDL yang efektif adalah pengenaan tarif terlalu rendah dan dianggap tidak adil. 50% dari beaya uang pemasukan ke negara Dewasa ini, keadaan belum membaik. untuk setiap pemberian hak atas tanah yang berasal dari tanah negara. Menurut PP 224/1961, Membandingkan penguasaan pemilikan tanah usaha rakyat yang dikuasai perorangan sebagai sumber pembiayaan meliputi dana anggaran pemerintah, pengumpulan dana administrasi dari usaha kecil sangat menarik karena akan harga tanah yang harus dibayar oleh para petani menunjukkan betapa hak-hak rakyat yang sangat mendasar yaitu memperoleh akses tanah usaha (dari 10% telah diturunkan menjadi 5% berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Agraria belum terwujud bahkan terjadi ketidakadilan dalam distribusi penguasaan pemilikan tanah. tahun 1967), dan penghasilan dari uang sewa Dalam kurun waktu 40 tahun kemudian, keadaan serta penjualan dalam pelaksanaan landreform. Pada tahun 1967, pembiayaan juga diperoleh dari menjadi semakin. APBN. Mengingat anggaran pemerintah untuk Hasil sensus pertanian tahun 1983, menyebutkan pelaksanaan landreform terbatas, maka sejak rata-rata nasional penguasaan tanah per keluarga tahun 1991 dikembangkan redistribusi tanah secara swadaya melalui pola kemitraan koperasi petani adalah 1,05 hektar. Pada tahun 1993 menurun menjadi 0,74 hektar dan pada tahun petani yang bermitra dengan pengembang 2003 diperkirakan menurun lagi menjadi perkebunan dan perbankan dengan 0,70 hektar. Sementara itu jumlah petani gurem menggunakan fasilitas kredit usahatani (KUT). dengan luas penguasaan pemilikan tanah di Tahap pertama program redistribusi tanah bawah 0,1 hektar terus meningkat dari 9,53 juta dilaksanakan di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara orang (1983) menjadi 11 juta orang atau 43% LAND 03 MEI - JULI 2007 18 No Kelompok Luas Distribusi Usahatani rumah tangga petani Usahatani (ha) 1983 1993 2003*) Luas Usahatani (1993), menjadi 12,5 juta Rata2 Luas Usahatani Rata2 Luas Usahatani Rata2 (%) (%) (%) (ha) (ha) orang atau 47% rumah 1 Kurang 0,50 40,8 0,26 48,5 0,17 54,6 0,14 tangga petani (2003) dan 2 0,50 – 1,99 44,9 0,94 39,6 0,90 36,2 0,83 diperkirakan menjadi 3 2,00 - 4,99 11,9 2,72 10,6 3,23 8,1 3,45 sekitar 13,2 juta orang 4 Lebih 5,00 2,4 8,11 1,3 11,9 1,1 3,22 Jumlah usahatani (juta) 15,9 17,9 19,2 atau 49% (2004). Jumlah areal (juta ha) 16,7 15,4 13,2 Demikian pula luas usaha Rata-2 luas usaha (ha) 1,05 0,74 0,70 tani sawah, pada tahun 1999, rata-rata nasional, Sumber: Sensus Pertanian Indonesia BPS, Tahun 1983,1993 dan 2003 (sementara) hanya sekitar 0,45 hektar. Di Jawa dan Bali bahkan dengan luas 5,04 hektar. Peralihan itu hanya sekitar 0,35 hektar. Diperkirakan pada saat mendorong perubahan penggunaan tanah. ini semakin mengecil karena adanya fragmentasi Selama delapan bulan, Januari sampai Oktober tanah serta konversi penggunaan ke 2003, telah terjadi perubahan penggunaan tanah non pertanian. Kondisi tersebut menunjukkan dari pertanian ke non-pertanian sebanyak 15 bahwa tanah yang dikuasai petani sudah semakin bidang tanah, seluas 4,84 hektar. Sebagian besar tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, berasal dari tanah sawah menjadi bahkan menjurus kepada degradasi kesuburan pekarangan/rumah, industri dan jasa/kantor. tanah dan lingkungan hidup. Penelitian menghasilkan temuan bahwa Gambaran yang lebih rinci mengenai kemiskinan kebutuhan hidup minimum yang harus dicukupi petani diungkapkan melalui penelitian oleh oleh keluarga petani dengan jumlah jiwa 5-6 Risnarto pada tahun 2003 di Desa Dasan Lekong, orang adalah sekitar Rp. 5.600.000.- hingga Kecamatan Sukamulia, Kabupaten Lombok Rp. 6.720 000.- per tahun. Jika seluruhnya Timur, yang merupakan lokasi Proyek Pendataan dipenuhi dari pendapatan usahatani maka P4T. Desa Dasan Lengkong berpenduduk padat sekurang-kurangnya pendapatannya adalah dan tidak seluruh keluarga mempunyai tanah sekitar Rp. 6.000.000,- per tahun atau sekitar usaha. Dari jumlah rumah tangga sebanyak 3.257 Rp.3.000.000,- per musim. Dengan luas Keluarga, hanya 1987 orang (61%) yang tercatat pemilikan tanah di bawah 0,5 nektar (0,39 sebagai wajib pajak tanah. Sebanyak 995 orang hektar) pendapatan usahataninya hanya (25,36%) keluarga yang pendapatannya mencapai Rp 1,84 juta. Jika keluarga tersebut bersumber dari usahatani tanah tercatat sebagai berjumlah lima jiwa, tingkat pendapatannya pemilik penggarap sawah atau kebun. Sebanyak hanya memenuhi 33%, jika berjumlah enam jiwa 540 orang (13,76%) sebagai penyakap, 156 hanya memenuhi 27%. Petani dengan luas orang (3,97%) sebagai penyewa dan sebanyak 2 pemilikan tanah di atas 0,5 hektar (0,64 hektar) 243 orang (56,91%) sebagai buruh tani. pendapatan usahataninya hanya mencapai Berdasarkan luas kepemilikan tanah, sebagian Rp. 3,38 juta. Jika keluarga tersebut berjumlah besar (66,10%) mempunyai tanah di bawah lima jiwa, tingkat pendapatannya hanya 1000 meter2, sebanyak 32,71% antara 0,1 s/d memenuhi 60%, jika berjumlah enam jiwa hanya 0,5 hektar. Hanya sekitar 1,19% yang tercatat memenuhi 50%. sebagai pemilik tanah di atas 1,00 hektar. Kegiatan sertipikasi tanah pertama kali belum Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga banyak menjangkau Desa Dasan Lekong. dengan 5 jiwa pada tingkat tidak miskin Sebagian besar masih berupa tanah Girik Dari diperlukan tanah sawah seluas 1,54 hektar atau jumlah bidang tanah di desa tersebut yang tanah kering seluas 1,63 hektar. Sedangkan diperkirakan sebanyak 8.500 bidang tanah, hanya keluarga dengan 6 jiwa pada tingkat tidak miskin sebanyak 365 bidang tanah yang sudah diperlukan tanah sawah seluas 1,90 hektar atau bersertipikat. Sekitar 325 bidang hasil Proyek PP tanah kering seluas 2,10 hektar. Keadaan itu sulit 10 Tahun 1961 dan PRONA tahun 1993/1994 diwujudkan, karena dengan proses fragmentasi dan sekitar 40 bidang tanah merupakan hasil kepemilikan tanah serta peralihan tanah disertai kegiatan rutin. Peralihan tanah yang terjadi dengan konversi penggunaan tanah tampaknya selama tahun 2 tahun terakhir pada tanah yang akan lebih mempercepat melemahnya akses belum bersertipikat dan proses peralihannya masyarakat terhadap tanah usaha dan secara hanya dilakukan di Desa menunjukkan jumlah perlahan terjadi proses pemiskinan penduduk. peralihan yang cukup tinggi. Pada tahun 2002 sebanyak 73 bidang tanah dengan luas 12,37 *) Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan, hektar, dan sampai bulan September 2003 telah Badan Pertanahan Nasional (BPN) terjadi peralihan tanah sebanyak 42 bidang tanah 19 MEI - JULI 2007 LAND 03 KEBIJAKAN PERTANAHAN bagi KESEJAHTERAAN RAKYAT Rata-rata PETANI di Indonesia hanya menggarap tanah seluas 0,7 Ha