Landreform dan Landreform Plus - Portal Tata Ruang dan Pertanahan

advertisement
Land
Bulletin LMPDP
ISSN 1978-7626
9 771978
762634
Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan
Edisi 03, Mei - Jul 07
Landreform
dan Landreform Plus
di Indonesia
Program
Pembaruan Agraria Nasional
Kebijakan Pemanfaatan Lahan
untuk Kesejahteraan Petani
Land
Bulletin LMPDP
P ro gra m
P E M B A RUA N 3
A G R A R I A DARI REDAKSI
NASIONAL
“ ...masalah-masalah bangsa
yang sifatnya struktural,
terutama yang terkait dengan
masalah pertanahan agar
dapat segera terselesaikan.
Termasuk pengangguran,
sengketa dan kemiskinan.
Minimal masyarakat dapat
merasakan manfaat dari
asetnya sendiri.”
10
Agrarian
Reform
Programs
At the current stage of Indonesia's Agrarian
Reform Program it might be a good
opportunity to look at similar programs in
other Southeast Asian countries to identify
some of the challenges that lie ahead. While
all of the government statements appear very
sensible and much appreciated and required,
but are things as simple and straightforward as
they seem?
Keterangan Sampul
Land
Bulletin LMPDP
Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan
Edisi 03, Mei - Jul 07
Landreform
dan Landreform Plus
di Indonesia
Program
Pembaruan Agraria Nasional
Kebijakan Pemanfaatan Lahan
untuk Kesejahteraan Petani
Foto : NA
Lokasi : Lahan Persawahan, Darmaga-Bogor
4
6
Kebijakan Pemanfaatan Lahan
untuk Kesejahteraan
Petani
Lahan adalah salah satu sub-faktor teknis
dalam pertanian, yang bekerjanya tidak dapat
dilepaskan dengan sub-sub faktor lainnya
dalam agraria untuk mencapai tujuan.
Kebijakan pemanfaatan lahan utntuk
kesejahteraan petani adalah suatu das Sollen di
Indonesia, karena dalam kenyataannya sampai
sekarang kebijakan pemanfaatan lahan tidak
jelas dan nasib petani masih jauh dari
sejahtera (das Sein).
13
Landreform
di Indonesia
Cita-cita agrarian reform yang digagas oleh
para pendiri Negara sejak tahun 1946 untuk
menata struktur keagrariaan nasional yang
feodalistik dan kolonialistik yang dicirikan oleh
adanya sistem pertuanan dan konsentrasi aset
keagrariaan pada sekelompok kecil
masyarakat menjadi struktur keagrariaan yang
berkeadilan sosial, diwujudkan dalam realita
ketika pada tanggal 1 Januari 1961.
Dari Redaksi
Bappenas
Pada tanggal 31 Januari 2007 Presiden Republik Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono dalam pidato awal tahunnya mengemukakan
suatu program yang menyentuh persoalan mendasar bangsa ini, yaitu
masalah kemiskinan. Program tersebut adalah Program Pembaruan
Agraria Nasional. Pokok program adalah mengalokasikan tanah bagi
rakyat miskin dan membantu mereka mengusahakan tanah tersebut
melalui program-program pemberdayaan guna mengentaskan mereka
dari kemiskinan. Program pembaruan agraria tersebut tidak ayal lagi
memperoleh pernyataan dukungan yang luas dari berbagai kalangan,
karena memang tujuannya sangat relevan dalam upaya menyelesaikan
masalah pokok bangsa Indonesia. Sejak itu pula implementasi program
itu terus dirumuskan dan diupayakan pelaksanaannya oleh badan
Pemerintah yang paling bertanggung jawab di bidang pertanahan, yaitu
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Direncanakan sampai tahun 2014
nanti akan telah dibagikan kepada rakyat sebanyak 8,22 juta hektar
tanah dan akan menambah kesempatan kerja bagi 7,14 juta tenaga
kerja. Namun sampai saat ini informasi mengenai program itu belum
banyak diketahui oleh masyarakat, mengutip berbagai diskusi di media
masa masih dibutuhkan penjelasan bentuk konkrit program tersebut.
Edisi 03 Bulletin LMPDP kali ini menyajikan artikel-artikel yang
berkaitan dengan kebijakan pertanahan yang mengandung unsur
pembagian tanah kepada rakyat yang memerlukannya, yang
sebagaimana disebut di atas merupakan unsur pokok dari Program
Pembaruan Agraria. Artikel-artikel tersebut diharapkan dapat
membantu merumuskan bentuk detail dan konkrit dari Program
Pembaruan Agraria.
Sebagai artikel pertama disajikan hasil wawancara dengan
Dr. Yuswanda Tumenggung, Deputi bidang Pengaturan dan Penataan
Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional, yang memberi gambaran
mengenai pokok-pokok dan maksud Program Pembaruan Agraria
Nasional, yang diikuti dengan tinjauan ilmiah mengenai Kebijakan
Pemanfaatan Tanah untuk Kesejahteraan Petani, yang sangat erat
kaitannya dengan tujuan Program Pembaruan Agraria. Suatu uraian
mengenai pengalaman negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara
dalam pelaksanaan kebijakan pembagian (distribusi) tanah kepada
rakyat yang membutuhkan juga disajikan sebagai bahan bandingan.
Selanjutnya dalam edisi ini dimuat uraian mengenai pengalaman
Indonesia sendiri dengan program landreform (redistribusi tanah) yang
menggambarkan secara lebih rinci upaya yang telah dilakukan di waktu
yang lalu oleh Badan Pertanahan Nasional/Direktorat Jenderal Agraria.
Masih banyak kiranya pengalaman menyangkut program-program yang
mengandung unsur distribusi tanah yang perlu diketahui dan ditelaah
untuk merumuskan kebijakan pelaksanaan Program Pembaruan
Agraria, misalnya program transmigrasi dan program Perusahaan Inti
Rakyat (PIR), satu dan lain agar kita dapat mengambil keuntungan dari
keberhasilan program-program tersebut dan tidak mengulangi
kesalahan yang telah dilakukan.
Redaksi
3 MEI - JULI 2007
LAND 03
Land
Edisi 03, Mei 07 - Jul 07
ISSN 1978-7626
diterbitkan oleh Komponen-1 LMPDP
Pelindung
Deputi Bidang Pengembangan Regional
dan Otonomi Daerah Bappenas
Penanggungjawab
Direktur Perkotaan, Tata Ruang
dan Pertanahan
Pemimpin Redaksi
Ir. Rinella Tambunan, MPA
Dewan Redaksi
J. Sudarjanto Wirjodarsono, SH. MA
Ing. Andreas Groetschel, Dipl. Agr., Msc
Ir. Salusra Widya, MA
Ir. Nana Apriyana, MT
Dr. jur. Any Andjarwati
Sudira, S.Sos
Editor
B. Guntarto
Khairul Rizal
Redaksi
Zaenal Arifin
Diah Lenggogeni
Ahmad Yani
Andi Dyna Riana
Desain & Layout
M. Arief
Distribusi & Administrasi
Dica H
Nunik P
(Sekretariat Komponen-1 LMPDP)
Alamat Redaksi
Jl. Latuharhary No. 9
Jakarta 10310
Phone (021) 310 1885-87
Fax (021) 390 2983
www.landpolicy.or.id
E-mail : [email protected]
Redaksi menerima tulisan/artikel dari Pembaca.
Tulisan/artikel dalam bulletin ini
tidak mencerminkan opini pengelola
program LMPDP (PIU-Bappenas)
Program
PEMBARUAN
AGRARIA NASIONAL
Wawancara dengan Dr. Yuswanda Tumenggung
Deputi bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan,
Badan Pertanahan Nasional
Apa Latar Belakang dan Mekanisme dari
Program Pembaruan Agraria Nasional?
PPAN sama sekali tidak steril dan baru, karena
ini adalah suatu proses panjang. Pembaruan
Agraria Nasional diawali dengan keluarnya TAP
IX MPR RI tahun 2001, tentang Pembaruan
Agraria Nasional & pengelolaan Sumber Daya
Alam. Di dalamnya diamanatkan pembaruan
agraria, dengan beberapa poin amanat termasuk
aspek hukumnya. Intinya adalah penataan.
Penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku demi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Jika tadi disebut penataan kembali, apakah
selama ini belum tertata?
Prosesnya adalah kita lihat dari aspek sejarahnya.
Kalau kita cermati bersama, pelaksanaan
pembaruan agraria, diawali tahun 1960-an.
Bahkan setahun sesudah kemerdekaan RI tahun
1945, keluar UU no I/1946 mengenai
penghapusan tanah perdikan (tanah-tanah yang
memiliki referensi sendiri terhadap pajak, dsbred). Kemudian UU no I tahun 1958, mengenai
penghapusan tanah-tanah partikelir. Puncaknya
adalah UUPA 5/1960, yang mengamanatkan segi
penataan. Di segi praktisnya kita kenal UU No
56/1960 tentang pembatasan maksimum tanah
pertanian. Ini terus berjalan bahkan dalam
operasionalnya juga ada PP 224/1961 tentang
redistribusi tanah, dan hingga sekarang berjalan
terus dengan obyek yang ada. Ini yang kita lihat
lagi sampai munculnya TAP IX tahun 2001.
Kenapa ini diamanatkan? Karena banyak
permasalahan negeri kita, termasuk kemiskinan,
ketimpangan sosial, dsb. Untuk itu di era
pemerintahan sekarang dicoba dirumuskan
secara operasional mengenai program ini.
Targetnya apa?
Ada tujuh tujuan utama, mulai dari penataan
kepemilikan penguasaan itu sendiri, hingga turut
serta mengurangi angka kemiskinan di tingkat
nasional. Ini karena ada sekitar 37 juta rakyat
miskin, pengangguran yang tinggi, dan yang tidak
kalah penting adalah sengketa-sengketa tanah,
termasuk sengketa pertanahan yang begitu
marak hingga saat ini. Itu semua adalah target
yang diinginkan dalam program ini.
Bicara soal sengketa tanah, apakah
peraturan/UU selama ini masih kurang atau
tidak dapat menyelesaikan sengketa-sengketa
ini?
Memang cukup banyak sengketa ini. Dari segi
kelembagaan, menurut Perpres no 10/2006, ada
satu lembaga baru di BPN yang disebut sebagai
Kedeputian Penyelesaian Sengeketa Konflik
Pertanahan Nasional, dan baru berjalan satu
tahun ini. Divisi ini sudah bisa memetakan
sengketa potensial yang tingkat kepentingannya
cukup tinggi, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Ada berbagai pola sengketa antara
masyarakat dengan masyarakat, masyarakat
dengan pemerintah, hingga pemerintah dengan
pemerintah. Selain itu juga sudah didisain pola
resolusi, baik melalui lembaga peradilan maupun
melalui proses mediasi.
LAND 03
MEI - JULI 2007
4
Bagaimana mekanisme pelaksanaan
Pembaruan Agraria Nasional?
Saat ini masih terus disiapkan perangkatnya.
Mulai dari penyiapan obyek/sumber, dan
sebagainya. Tapi sebelumnya yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa PAN bukanlah
program bagi-bagi tanah. Ini perlu diluruskan.
Tidak semata-mata program bagi-bagi tanah
karena di masyarakat opini ini berkembang luas.
Bermulai dari penyelesaian sengketa, ada satu
kepastian hukum dan sebagainya. Jika ditanya di
mana obyek program ini? Maka kita lihat dari
potensi tanah, yang menurut peraturan
perundangan bisa diperuntukkan untuk itu,
berangkat dari tanah Negara. Tanah Negara
adalah tanah yang pengaturannya diatur oleh
Negara melalui pemerintah. Untuk itu sudah
banyak kriterianya. Intinya adalah kemungkinankemungkinan potensi tanah Negara yang sesuai
dengan peraturan perundangan bisa
diperuntukkan untuk itu.
Hubungannya dengan program-program
distribusi tanah yang lalu?
Ini yang dicanangkan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional RI bahwasanya PAN adalah
program yang secara matematis terdefinisi
sebagai: PA = land reform (LR) + access
reform (AR). Kenapa didefinisikan seperti itu,
karena kalau hanya bicara soal redistribusi tanah,
maka ini belum tentu bisa menyejahterakan. Kita
berharap selain menata aset itu sendiri, maka kita
juga juga memberikan fasilitas berupa access
reform. Jadi masyarakat selain diberikan
kepastian hukum atas tanah (sertifikasi) juga
diberi fasilitas pemerintah agar mampu
memanfaatkan tanah (oleh pemilik) sebagaimana
adanya, supaya bisa menyejahterakan diri mereka
sendiri. Jangan sampai tanah yang disertifikasi
kemudian dengan mudah dijual.
Adakah kerjasama dengan stakeholder lainnya?
Tentu saja. Karena program ini tidak steril. Jadi
bekerjasama dengan semua pihak. Dan sekali
lagi, yang lebih penting lagi Pembaruan Agraria
Nasional adalah program bangsa dan bukan
program BPN. Semua harus concern ke sini.
Termasuk masyarakat, pemerintah, lembagalembaga sosial masyarakat dan sebagainya.
Semua pihak kami ajak untuk peduli, termasuk
sejak persiapannya.
Bagaimana dengan sosialisasi PAN?
Saya kira sudah banyak dilakukan. Baik internal
pemerintah, dari pusat, pemerintahan dan non
pemerintah, sudah banyak. Kepala BPN juga
sudah melakukan sosialisasi dengan roadshow. Ke
lingkungan LSM yang bergerak di bidang ini, juga
sudah banyak. DI lingkungan Perguruan Tinggi
juga sudah. Di UI dan Unair, serta yang akan
5 MEI - JULI 2007
LAND 03
datang kepala BPN akan juga mengunjungi UGM
dan STPN Yogya.
Kalau di masyarakat?
Melalui LSM, seperti dilakukan oleh kepala BPN.
Agar jangan salah tafsir dalam melaksanakan
program ini. Bukan bagi-bagi tanah, sehingga
bukannya makin baik, tetapi malah kontra
produktif.
Rencana Kerja Program Pembaruan Agraria
Nasional ke depan bagaimana?
Sedang disiapkan, dimulai dari men-define calon
penerima manfaat potensial, kemudian
bagaimana mekanisme dan delivery-nya. Kalau
ditanya kapan program ini mulai dijalankan, ya
mulai sekarang ini kita jalankan. Hingga kapan, ya
sesuai amanat Tap MPR No. IX ini adalah
program yang berkesinambungan. Tergantung
bagaimana tahapan pemerintah melakukannya.
Termasuk juga dengan apa yang disiapkan oleh
Bappenas. Untuk desain kelembagaan masih
direncanakan, steering team prosesnya akan
dilakukan di tingkat pusat dan daerah. Lalu ada
lembaga pengelolaan reformasi agrarian, yang
merupakan satuan kerja BPN.
Bagaimana masyarakat bisa membantu
suksesnya PAN?
Harapannya masyarakat bisa secara utuh
memahami program ini, sehingga pemahaman
PAN tidak parsial. Dengan demikian tujuan
program ini akan tercapai.
Harapan BPN dengan adanya Program
Agraria Nasional?
Bukan harapan BPN, tetapi harapan kita
bersama. Saya kira masalah-masalah bangsa yang
sifatnya struktural, terutama yang terkait dengan
masalah pertanahan agar dapat segera
terselesaikan. Termasuk pengangguran, sengketa
dan kemiskinan. Minimal masyarakat dapat
merasakan manfaat dari asetnya sendiri.
(Tim Redaksi)
Kebijakan Pemanfaatan Lahan
Untuk Kesejahteraan Petani
Oleh: Any Andjarwati *)
Pendahuluan
ahan adalah salah satu sub-faktor teknis dalam
pertanian, yang bekerjanya tidak dapat
dilepaskan dengan sub-sub faktor lainnya dalam
agraria untuk mencapai tujuan. Kebijakan
pemanfaatan lahan utntuk kesejahteraan petani
adalah suatu das Sollen di Indonesia, karena
dalam kenyataannya sampai sekarang kebijakan
pemanfaatan lahan tidak jelas dan nasib petani
masih jauh dari sejahtera (das Sein). Kebijakan
pemanfaatan lahan adalah bagian dari kebijakan
pertanahan, yang dapat berupa prinsip-prinsip,
norma-norma, pedoman-pedoman mengenai
pertanahan yang dituangkan kedalam peraturanperundangan dan/atau keputusan-keputusan
aparat pemerintah. Pelaksanaannya dapat
berbentuk program-progam, misalnya
transmigrasi, extensifikasi pertanian dengan
membuka lahan gambut, program kemitraan
dibidang pertanian seperti PIR-Bun maupun PIRpeternakan, dan sebagainya. Lebih jauh kebijakan
pertanahan adalah bagian dari kebijakan agraria
secara keseluruhan (pertanahan, perairan, udara
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya).
Untuk itu kebijakan pemanfaatan lahan
membutuhkan kebijakan yang komprehensif.
L
Tujuan Politik Agraria Dalam Kerangka
Hukum
Sebagai Negara Hukum dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menuntut politik agraria
berpijak pada kerangka hukum, untuk menjamin
kesejahteraan petani seimbang dengan mereka
yang berkerja di bidang non-pertanian,
menjamin pangan penduduk dengan harga yang
pantas serta menjamin kelestarian lingkungan
hidup dan pemeliharaan pemandangan. Tujuan
politik agraria Indonesia berdasarkan Penjelasan
Umum I UUPA, yaitu untuk meletakkan dasardasar Hukum Agraria Nasional guna
kesejahteraan rakyat, yang pertama dan utama
adalah untuk menjamin kesejahteraan rakyat tani,
kedua untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan, dan ketiga untuk
memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah. Dengan demikian pertanian
merupakan inti atau roh dalam Hukum Agraria
Nasional, dimana petani sebagai titik pusat
tujuannya. Tujuan politik agraria yang stabil
merupakan modal awal dan dasar untuk
pembentukan konsep dan strategi kebijakan
agraria.
LAND 03
MEI - JULI 2007
6
Namun praktek politik selama ini, termasuk
pendidikan hukum cenderung mengidentikkan
tujuan agraria sama dan sebangun dengan tujuan
nasional, yaitu untuk kesejahteraan rakyat.
Pengertian itu sama seperti apa yang dicanangkan
dalam visi Badan Pertanahan Nasional.
Sedangkan Departemen Pertanian mempunyai
visi meningkatkan produksi dan meningkatkan
pendapatan petani. Visi ini rawan dengan
kebijakan tambal sulam dan kurang menjamin
kesejahteraan petani dan pangan penduduk.
Dengan demikian konstruksi untuk pembuatan
konsep kebijakan agraria secara khusus belum
terpikirkan. Jaminan kesejahteraan petani tidak
dapat lepas dari kebijakan untuk sistem "usaha
pertanian", yang sustainable. Sedangkan politik
pertanahan pada dasarnya sebagai sub-tujuan
politik agraria (baca: pertanian).
Era globalisasi menuntut adanya pengaturanpengaturan khusus untuk masing-masing bidang
guna memenuhi tuntutan kebutuhan-kebutuhan
hidup manusia yang semakin kompleks. Dengan
ikutnya Indonesia dalam perjanjian pasar bebas
WTO mau tidak mau bangsa Indonesia dituntut
untuk dapat segera menata sistim agrarianya
secara rasional, yang kewenangan dan tanggungjawab utama di tangan Pemerintah.
dasar lainnya, seperti kependudukan, sistim
sosial, sistim ketenaga kerjaan. "Pertanian" dalam
agraria ibarat pokok pohon, jika diangkat
permasalahannya, maka seluruh akar-akar
(permasalahan) dapat atau harus ikut diangkat
pula, supaya tidak mati.
Perencanaan Umum dan Pemanfaatan
Tanah
Dalam rangka sosialisme Indonesia pemerintah
wajib membuat perencanaan umum mengenai
persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi,
air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya. Perencanaan umum
terdiri dari perencanaan sektor-sektor dan
perencanaan tata ruang yang terdiri dari ruang
daratan, ruang perairan dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, termasuk peraturan zonasi
(zoning regulation).
Idealnya, perencanaan sektor-sektor
(perencanaan umum - rencana daerah), rencana
tata ruang, keuangan dan waktu diadakan dalam
saat bersamaan. Keseluruhan perencanaan
tersebut seyogyanya mengarusutamakan
perlindungan lahan, yang dapat diklasifikasikan
kedalam perlindungan tanah terhadap bahan
yang dapat merugikan, seperti misalnya bahan
kimia yang secara alami dapat membuat keadaan
Struktur Agraria
tanah berubah sehingga mereduksi
Pertanian diartikan sebagai penggunaan secara
kesuburannya, dan perlindungan tanah terhadap
ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur
penggunaan tanah/ perlindungan tanah secara
untuk produksi tanaman (produksi primer
fisik seperti perlindungan terhadap
seperti pangan, bahan pakan, dll) dan produksi
pemandangan, perlindungan tanah dari beban
hewan (produksi sekunder).
struktur tanah atau penggunaan tanah kualitatif.
Berdasarkan pengertian itu dan dikaitkan dengan Untuk itu perencanaan umum mutlak adanya,
tujuan politik agraria (dalam kerangka hukum),
sebagai syarat untuk perlindungan tanah dan
struktur pertanian dapat dibagi dalam tiga faktor, dapat berjalannya sistim pengendalian dan
yaitu faktor tehnik, faktor ekonomi, faktor sosial. pengawasan pemanfaatan lahan, yang dapat
Faktor teknis yaitu tanah dan/atau lahan, sistim
diselenggarakan melalui ijin mendirikan bangunan
irigasitenaga kerja (petani, pekebun, peternak,
dan ijin-ijin lainnya.
dll. sejenisnya), peraturan-perundangan, aparat
pemerintah dan organisasinya, organisasi petani Penggunaan lahan pertanian memerlukan
dan koperasi-koperasi petani, organisasi
kepastian hukum (Rechtsicherheit), baik mengenai
pedagang pertanian, perjanjian-perjanjian dalam subyek hak maupun obyeknya. Subyek berarti
pertanian, sarana produksi pertanian seperti
siapa saja yang boleh mempunyai dan/atau
bibit, pupuk, dsb.
menguasai (usaha) lahan pertanian, hal ini
berkaitan dengan sistem peralihannya: jual-beli
Faktor ekonomi banyak dipengaruhi oleh pasar, dan/atau pewarisan usaha pertanian, sewa, dan
pajak dan pungutan pertanian, pembiayaan resiko sebagainya. Sedangkan obyek dapat dikaitkan
pertanian, sistim kredit pertanian, dan
dengan prinsip-prinsip luas lahan pertanian yang
pengeluaran untuk jaminan sosial, dsb. Faktor
ekonomis, jangka waktu, hubungan lahan dengan
Sosial, hal-hal yang berkaitan dengan jaminan
benda-benda yang ada di atasnya,
kesejahteraan petani antara lain berupa jaminan pemanfaatannya, dsb. Kebijakan pertanahan
pendapatan, jaminan kesehatan petani, jaminan menghadapi berbagai masalah dasar seperti:
haritua petani, jaminan kecelakaan kerja. Melihat Ü Politik agraria yang keluar dari kerangka
struktur pertanian tersebut kebijakan sektor
hukum
pertanian tidak dapat lepas dari sektor-sektor
Ü Belum adanya peta dasar yang berprinsip "satu
7 MEI - JULI 2007
LAND 03
peta satu bumi".
Ü Implementasi UU no. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang masih akan dihadapkan pada
permasalahan agraria, khususnya pertanahan
antara lain multi peta dasar yang tidak
menjamin kepastian hukum penguasaan dan/
atau kewenangan di bidang pertanahan,
lemahnya data dan informasi. Tiadanya
kepastian hukum akan Tanah Negara, Tanah
Hak maupun Tanah Adat.
Ü Belum adanya konsep distribusi tanah negara
yang bermasa depan.
Ü Tiadanya perencanaan umum Nasional yang
stabil menghambat dan/ atau tidak
terancamnya asas-asas hukum lainnya yaitu asas
keadilan (Gerechtigkeit) dan asas kepatutan/
kelayakan (Gesetzmaessigkeit).
Permasalahan reforma agraria dengan latar
belakang peraturan-perundangan sudah menjadi
ciri umum negara berkembang seperti Indonesia,
di samping menghadapi penyesuaian kebijakan
pertanian dengan perkembangan ekonomi
(seperti yang dialami oleh Negara-negara maju).
Dengan demikian peraturan-perundangan
agraria, seperti peraturan-perundangan
Landreform (UUPA, Perpu no. 56 tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, PP no.
224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Rugi, Hak sementara
penguasaan tanah pertanian seperti sewa, bagi
hasil, gadai, dsb), UU no. 18 tahun 2004 tentang
Perkebunan, rencana UU kebijakan lahan abadi,
dll., serta program-program kebijakan pertanian
lainnya perlu mendapat pemikiran serius dan
prioritas dari Pemerintah.
Pasar Tanah dan Petani
Pasar tanah (land market) mensyaratkan adanya
"kebebasan berkontrak", "subyek-subyek bebas
keluar masuk pasar", serta "kepastian hukum".
Model seperti ini pada dasarnya hanya dapat
diterapkan di negara-negara maju, yang sudah
mempunyai sistem agraria (pertanian) yang relatif
stabil.
memungkinkan daerah membangun agraria
daerahnya secara konstruktif. Misal
terdapatnya instansi vertikal yang ada di
daerah, antara lain BPN, Kantor Pajak,
Notaris, dimana data-data dan informasi
mengenai peralihan hak atas tanahnya tidak
dipunyai daerah (dari desa sampai provinsi),
karena belum ada mekanisme yang mengatur
pemberian informasi data pertanahan kepada
daerah.
Ü Kompleksnya permasalahan dasar agraria,
menjadikan kebijakan pertanahan yang
komprehensif terlupakan dan/ atau sulit
dilaksanakan.
Ü Terdapat produk peraturan-perundangan yang
sifatnya sektoral.
Maraknya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, lebih banyak disebabkan oleh desakan
ekonomi akan tuntutan kebutuhan hidup petani
yang hidup dalam masyarakat industri. Misalnya
tuntutan kebutuhan sehari-hari, pendidikan,
kesehatan, seiring dengan nilai tukar hasil
pertanian yang tidak menentu dan bahkan
mempunyai resiko merugi. Sementara
“pasar tanah" berjalan begitu saja tidak didukung
oleh syarat-syarat yang layak yang harus
dipenuhi, yang didesak oleh kebutuhan tanah
untuk kegiatan industri dan jasa, infrastruktur,
pemukiman, turisme, dan lain-lain.
Di Indonesia subyek petani kebanyakan masih
dalam posisi ekonomi lemah sebagai akibat dari
kebijakan sistim pertanian yang tidak menjamin
sustainibilitasnya. Sementara kebebasan
berkontrak pada dasarnya mensyaratkan adanya
keseimbangan (esensi dari perjanjian), di sisi lain
kepastian hukum di bidang pertanahan masih
Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang jauh dari memadai. Oleh karena itu, berjalannya
seharusnya untuk melandasi kebijakan
"pasar tanah tak bersyarat" ini mendesak
pemanfaatan lahan pertanian, menjadikan
perlunya kerangka kebijakan pertanahan yang
harapan untuk mencapai kesejahteraan petani
melindungi semua pihak, terutama pihak
masih jauh, khususnya tiadanya kepastian hukum ekonomi lemah, mencegah cara-cara pemerasan,
(Rechtsicherheit) tendensial menjadikan
mencegah kerusakan lahan dan memelihara
LAND 03
MEI - JULI 2007
8
seluruh Indonesia, Pemerintah dapat
memanfaatkannya untuk dapat membuat
Perencanaan Umum secara kontruktif
(perencanaan sektor-sektor dan perencanaan
Pusat - Daerah Untuk Agraria
Kebijakan Pemerintah mempunyai peranan yang tata ruang), yang sampai sekarang masih menjadi
pekerjaan rumah yang luar biasa penting, besar
menentukan untuk strategi bidang agraria,
sebagai salah satu cabang ekonomi nasional, yang dan mendesak untuk perbaikan Indonesia di
masa kini dan di masa depan.
mempunyai permasalahan utama pada aspekaspek kelembagaan pada titik paling lemah.
Dalam era globalisasi dibutuhkan aparat
Dengan tujuan politik agraria yang keluar dari
pemerintah berdasarkan spesialisasi, sehingga
kerangka hukum, tiadanya konsep perbaikan
dapat menciptakan aparat pemerintah yang
agraria yang sustainable, menjadikan organisasi
berkarakter dan profesional, karena yang
administrasi agraria tidak mempunyai struktur,
dituntut oleh rakyat yang utama adalah output,
susunan serta strategi yang jelas, baik pusat
maupun daerah. Misalnya saja masalah produksi bukan proses. Untuk itu akan membawa
perbaikan mendasar apabila Lembaga
dan pasar beras ada ditangan antara lain
Departemen Pertanian, Bulog serta Departemen Administrasi Negara (LAN) dan Menteri
Aparatur Negara menata organisasi
Perindustrian dan Perdagangan, yang
kepemerintahan untuk memenuhi kebutuhanmekanismenya tidak jelas untuk jaminan
kebutuhan, khususnya di bidang strategis agraria
kesejahteraan petani dan jaminan pangan
dan/atau pertanian.
penduduk secara sustainable.Di samping itu
sistim pembangunan proyek dan target dan
penyakit kronis administrasi yaitu egoisme
sektoral (dan intern sektoral) menjadikan
pemerintah membuat kebijakan tambal sulam.
kesuburan lahan.
Adanya pengakuan otonomi daerah, belum
mendorong pemerintah daerah secara langsung
berupaya untuk memperbaiki sistem agraria
secara komprehensif, serta menganggarkan
secara khusus. Keadaan data keagrariaan tidak
lengkap dan yang bersifat kuantitatif sangat
lemah, peta lengkap belum tersedia, yang ada
tidak detail dan parsial. Misal data dan informasi
mengenai peralihan pemilikan dan/ penguasaan
tanah serta pembebanannya terdapat pada
instansi vertikal didaerah seperti BPN, Notaris,
Kantor Pajak, dsb.
Instansi pemilik peta dasar yang sifatnya
sektoral
Sampai sekarang belum ada kewajiban dan
mekanisme mengenai sharing pemberian data
dan informasi mengenai keagrariaan pada
pemerintahan daerah. Untuk penegakan
otonomi daerah, hal tersebut mutlak dibutuhkan,
untuk pemberdayaan dan/atau dukungan secara
penuh terutama terhadap desa, sebagai
organisasi pemerintahan otonom terendah. Desa
membutuhkan semua data dan informasi
mengani desanya dari supra desa, untuk dapat
digunakan secara terus-menerus, sehingga desa
yang bersangkutan dapat membangun desanya
secara konstruktif dalam kerangka pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan
adanya seluruh data dan informasi secara terusmenerus pada setiap desa yang bersangkutan di
9 MEI - JULI 2007
LAND 03
Penutup
Kebijakan pertanian di masa depan
membutuhkan re-orientasi politik pertanian
dalam kerangka hukum, merekonstruksi
organisasi administrasi pertanian dan/ atau
agraria, berdasarkan konsep yang konstruktif,
berdasarkan permasalahan yang ada, dan
disusun secara sistimatis dan logis untuk dapat
mencapai tujuan yang stabil. Hal mendasar
perlu dipikirkan yaitu usaha pertanian yang
berkesinambungan pada dasarnya bukan
usaha padat karya. Oleh karena itu kebijakan
pertanian (agraria) tidak dapat berdiri sendiri,
tetapi harus diikuti minimal oleh kebijakan
sistem jaminan kesejahteraan stabil, karena
kebijakan pertanian tidak dapat dibebani
untuk memikirkan penanggulangan
kemiskinan. Masing-masing mempunyai
konsepnya sendiri-sendiri, sebagai tuntutan
era spesialisasi.
Agrarian Reform
Programs
A Brief Look at Other South East Asia Countries
Oleh: Andreas Groetschel
A
t the current stage of Indonesia's Agrarian
Reform Program it might be a good opportunity
to look at similar programs in other Southeast
Asian countries to identify some of the
challenges that lie ahead. While all of the
government statements appear very sensible and
much appreciated and required, but are things as
simple and straightforward as they seem? Few
people would disagree with the GoI policy
objectives of economic development, poverty
eradication and more secure land rights for all.
But the way to achieve this has been based on
arguing from several assumptions that might not
always hold true. Therefore, it is important that
Indonesian policy markers review and draw
lessons from other experiences.
There is a history of different programs in the
region. In the Philippines the Comprehensive
Agrarian Reform Law of1988 laid the foundation
for what has evolved from redistribution of land
into what could be termed a rural development
program with a land distribution component. In
Vietnam, de-collectivization, and the opening of
the agricultural sector to market forces
converted a country facing chronic food
shortages in the early 1980s to the secondlargest rice exporter in the world. Thailand's
program has managed to improve ownership
rights to tenants in the private land domain and
squatters in the public land domain i.e.
encroached forests. Other target groups,
including the landless and the rural poor have so
far not benefited much from the land reform
programme. In Laos, the focus is on recognizing
communal and private rights over lands and
decentralizing management responsibilities. The
Land and Forest Allocation (LFA) policy
strengthens both communal and private land use
and management rights particularly in rural
villages, the Land Titling policy, which provides
legal documents for land parcels in urban and
peri- urban areas improves long-term land use
rights and efficient use of land.
In Cambodia, although a much smaller country in
terms of area and population, the issues appear
to be similar to the ones in Indonesia. Both
countries have comparatively large areas of
unused or underdeveloped state land, however
mostly outside the more highly populated
regions, most of these areas are classified as
forestland. Between 30 and 40% of the rural
population is either landless or does not have
access to sufficient land to secure their living.
Despite increasing urbanisation, the problem of
landlessness is rising and might have increasingly
bad social and economic effects.
Cambodia's (new) land law of 2001 provides the
basis for a potential distribution of state land. In
line with the country's Poverty Reduction
Strategy, a reform program was announced in
2003. The program envisages so-called 'Social
Land Concessions' to be used in order to
distribute the state's vacant lands to poor
households. Each eligible family would receive up
to 5ha of lands for family farming purposes. The
reform is expected to be accompanied by the
provision of basic social and economic
infrastructure to beneficiary communities. This
comprehensive package is intended to reduce
poverty and promote sustainable economic and
social development.
Insufficient delineation and identification of
vacant state land was the first challenge
encountered in reform implementation. As most
LAND 03
MEI - JULI 2007
10
governments grapple with the issue of confirmed
information on state lands (e.g., absolute extent
available at all administrative levels and its
quality), significant efforts are required to
identify, classify and assess in more detail the
status as well the different functions and the
contribution of state land to sustainable
development and livelihood generation. This
type of situation is true for Indonesia too.
Mapping and registration of state land had not
been done, and although the common
perception was that large areas of Cambodia is
state land, the legal basis for determining the
boundaries of these areas had still to be
developed. In addition, the majority of
unoccupied land is classified and claimed as
forestland, and legal mechanisms to release these
lands for other purposes needed to be
developed. A further challenge was the quality of
land. To ensure that families will be able to
survive on the land, the parcels must be suitable
for agricultural production and/or suitable
farming systems developed and promoted.
Simple tools for land resource assessments were
developed.
Identification of eligible beneficiaries had to
ensure that the land goes to needy families and
the allocation process is transparent and
prevents corruption. While it was generally
acknowledged that local communities
themselves are in the best position to identify
from amongst their members who is need of
land, the approach had to use objective criteria
to assess the eligibility of families. Different
methodologies are tested and an acceptable
approach that balances simplicity and objective
standards still needs to be decided. A remaining
question also concerns the amount of land given
to a family, whether to be based on land quality,
location, family size, and how to weigh these and
potential other criteria.
A critical issue remains the treatment of illegal
squatters on state land. Although countries like
Cambodia, Philippines had introduced a cut-off
date after which all occupation on state land are
considered strictly illegal. While long-term
occupants have the right to receive titles for
'their' land, the problem remains on whether to
include illegal squatters as potential land
recipients. There is the threat that this might
reward illegal occupants by receiving land under
the reform program, hence providing an
incentive for further encroachment on state land.
The provision of social and economic support
services had been recognized as indispensable
for the success of the program. In addition, in
11 MEI - JULI 2007
LAND 03
most countries, input and output marketing for
agricultural products were very underdeveloped,
particularly and unfortunately in those areas
where the land distribution is intended to be
implemented. Together with a basically nonexistent extension service this severely
constrains productivity improvements in rural
areas. In addition, soaring health-related
expenses caused a significant number of families
to loose their land due to indebtedness.
Addressing these issues on a broad scale is very
expensive and will need time for respective
institutions to develop.
Managing individual expectations remains a
difficult task. As is common, demands and wishes
from farming families can be very high and
however they had to be balanced taking into
consideration government's capacity to provide
required services. Cambodia's financial and
human resources limit the possibilities for
introducing or raising social and economic
service standards quickly. Although there is
significant donor assistance in this area, there is a
risk that limited services will constrain the
productive use of the land and families might
again loose their allocated parcels to banks or
local moneylenders.
Information flows within communities need to
be transparent and managed very well. The
information needs of communities on agrarian
reforms will cover a wide spectrum, ranging
from knowledge of political and policy
statements of the government to highly localised
information such as extent of land availability,
criteria for selection of beneficiaries, etc. Even
the most well-planned and comprehensive
outreach campaign will not adequately meet
community demands and needs for this kind of
information and communication. The challenge is
not just how to improve information transfer to
beneficiaries, but also how to do this in a way
that promotes dialogue and information
exchange. The challenge for a successful agrarian
reform program is to stimulate intra-, and intercommunity dialogue to improve quality of
engagement. It is here where the role and
contributions of NGOs and civil society groups
are to be highlighted and valued.
The political risk of a land allocation project is
also apparent in Cambodia. As in Indonesia,
there is an increasing demand on natural
resources. Investors are looking for access to
productive land to take advantage of high
demands and booming commodity prices.
Where financial resources of a government are
limited, it is tempting to take advantage of
potential short-term gains from allocating large
areas for plantations. Cambodia's program tries
to combine the benefits of both by optionally
linking large agroindustrial investments to smallscale land distribution.
Conclusions
The Cambodian example -and of course other
programs in the region as well- provide an outlook on
the issues that will be encountered with Indonesia's
Agrarian Reform program. Institutional weaknesses
pose the most challenging threat to any program. The
time is ripe for an accelerated process of systematic
demarcation for titling, and for an optimal use of
government resources such as state land for economic
development and poverty eradication. However, a legal
and regulatory framework on principles and
procedures for coordination of state land management
on different administrative levels and between agencies
is missing in many countries. Institutional
responsibilities need clear definitions and inter-agency
harmonization. A decentralized approach is certainly
helpful in addressing local needs for land and services
but this also requires that the coordination of the
information flows on state assets between the
ministries involved and the role and responsibilities of
different levels of line ministries (central, province,
district, kecamatan) needs to be clearly regulated.
There will certainly be a need for country and location
specific approaches and solutions. Looking at
experiences in neighbouring countries will increase the
preparedness for the problems that will be emerge,
and it will broaden also the perspective for potential
solutions.
*) Team Leader Advisory Consultant,
Komponen 1-LMPDP
LAND 03
MEI - JULI 2007
12
Landreform
di Indonesia
Oleh: Risnarto *)
Bagian Pertama dari dua tulisan. Tulisan kedua berjudul
“Landreform Plus di Indonesia”, disajikan dalam Bulletin
LAND edisi No. 04/2007
Pasang Surut Kebijakan Landreform
Perjalanan panjang, walaupun tertatih-tatih, yang
telah berlangsung lebih dari 46 tahun tidak
menyurutkan Landreform sebagai politik agraria
maupun strategi untuk memakmurkan rakyat
banyak dari lapangan usaha pertanian. Komitmen
Bangsa Indonesia terhadap keberpihakan pada
rakyat miskin terutama petani di pedesaan,
sungguh membangkitkan nasionalisme yang
semakin kuat. Hal ini membuktikan Pemerintah
konsisten dalam politik dan kebijakan terhadap
keagrariaan/pertanahan dengan perspektif tanah,
karunia Allah SWT bagi Bangsa Indonesia
merupakan sumber kemakmuran dan faktor
kunci perekat Bangsa. Cita-cita agrarian reform
yang digagas oleh para pendiri Negara sejak
tahun 1946 untuk menata struktur keagrariaan
nasional yang feodalistik dan kolonialistik yang
dicirikan oleh adanya sistem pertuanan dan
konsentrasi aset keagrariaan pada sekelompok
kecil masyarakat menjadi struktur keagrariaan
yang berkeadilan sosial, diwujudkan dalam realita
ketika pada tanggal 1 Januari 1961. Presiden
Soekarno mencanangkan Pembangunan Semesta
Nasional Berencana. Pada hari itu sekaligus
ditetapkan berlakunya Undang-Undang Nomor
56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian yang secara umum dikenal dengan
Undang-Undang Landreform. Kebijakan ini
merupakan strategi dasar pembangunan nasional
yang bertumpu pada kebijakan agraria yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria atau yang lebih dikenal dengan UUPA,
setelah sebelumnya lahir Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah-Tanah Partikelir.
Sesuai dengan pengaturan penguasaan pemilikan
tanah sebagaimana ditetapkan dalam UU
13 MEI - JULI 2007
LAND 03
56/1960, Pemerintah mengadakan usaha-usaha
agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki
tanah pertanian minimum seluas 2 hektar.
Sedangkan batas maksimum ditentukan
berdasarkan jumlah penduduk, luas daerah, dan
faktor lainnya yang kemudian menghasilkan
kisaran luas maksimum tanah sawah 5 s/d 15
hektar, atau tanah kering 6 s/d 20 hektar. Hal ini
tidak berlaku terhadap tanah-tanah pertanian: (1)
yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hakhak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas
yang didapat dari Pemerintah dan (2) yang
dikuasai oleh badan-badan hukum. Dalam UU
itu, juga diatur ketentuan larangan gadai tanah.
Kalau kita perhatikan UU 56/1960 dalam klausul
"menimbang" dinyatakan bahwa perlu ditetapkan
luas maksimum dan minimum tanah pertanian
sebagai yang dimaksud dalam pasal 17 UUPA.
Kebijakan tersebut pada dasarnya merupakan
kewenangan pemerintah untuk mengatur tanah
sebagai sumber kemakmuran dalam mekanisme
pengaturan pertanahan yang lebih adil di
masyarakat dalam memperoleh manfaat atas
penguasaan pemilikan penggunaan dan
pemanfaatan tanah. Penetapan luas maksimum
dan atau minimum tanah yang boleh dipunyai
dengan sesuatu hak oleh suatu keluarga atau
badan hukum membawa implikasi yang luas.
Pertama, tanah-tanah yang merupakan
kelebihan dari batas maksimum, diambil oleh
pemerintah dengan ganti kerugian, untuk
selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang
membutuhkan, menurut ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah. Kedua, luas maksimum
yang boleh dimiliki seseorang dibedakan antara
daerah padat dan tidak padat. Sedangkan yang
padat masih dibedakan antara daerah yang
kurang padat, cukup padat dan sangat padat.
Masih terbagi lagi menurut jenis penggunaan
tanah sawah yang lebih kecil dari tanah kering.
Dengan ketentuan itu, diperkirakan bahwa luas
minimum per keluarga akan menjadi dua hektar,
sehingga tidak diperkenankan memecah menjadi
kurang dari dua hektar, kecuali kalau semula
memang luasnya kurang dari dua hektar. Bahkan
ketentuan pada ayat (2) Pasal 9 itu, menyatakan
bahwa jika dua orang atau lebih memiliki
sebidang tanah yang luasnya kurang dari dua
hektar, maka dalam waktu kurang dari satu
tahun, wajib menunjuk salah seorang di
antaranya yang akan memiliki tanah tersebut.
Pada waktu itu, jumlah penduduk Indonesia
diperkirakan 90an juta jiwa, sebagian besar (70
persen) tinggal di Pulau Jawa, Bali, Sumatera
Utara, Lampung dan Sulawesi Selatan. Sebagian
lainnya tersebar di berbagai tempat di seluruh
wilayah Indonesia. Di wilayah itulah berkembang
usaha tani sawah, di samping tegalan, kebun
rakyat dan perkebunan besar. Maka dapat
dikatakan bahwa konsep landreform di Indonesia
selain merupakan kebijakan politik, telah
mendasarkan pada keadaan nyata geografi,
demografi, sosial ekonomi maupun sosial budaya
masyarakat. Konsepsi dasar landreform selain
diarahkan pada konsep redistribusi tanah yang
berjalan beriringan dengan konsep konsolidasi
tanah.
sebagai berikut:
a.Larangan penguasaan tanah yang melampaui
batas sebagaimana di maksud dalam pasal 7
UUPA;
b.Penetapan batas maksimum dan/atau minimum
tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak
oleh satu keluarga atau badan hukum,
dikeluarkan UU 56 Prp. Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian;
c.Larangan absentee/guntai, diatur dalam pasal 3
PP 224 tahun 1961;
d.Larangan fragmentasi, sampai suatu batas
tertentu tanah tidak boleh lagi dipecah-pecah
dalam kapling yang kecil karena tanah tidak
akan ekonomis lagi dan tidak memberi
kemungkinan hidup layak bagi petani yang
bersangkutan;
e.Pasal 10 UUPA menyatakan bahwa setiap
orang dan badan hukum yang mempunyai
sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasan;
f.Larangan gadai tanah, diatur dalam pasal 7, UU
No. 56 Tahun 1960;
g.Pelaksanaan perjanjian bagi hasil (UU No.
2/1960).
Selain kebijakan yang langsung diterapkan melalui
peraturan perundang-undangan keagrariaan/
pertanahan, upaya untuk menata penguasaan
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
juga diintegrasikan dengan program
pembangunan sektoral seperti: (1) Program
pencetakan sawah (Keppres 54/1980), yang
dikaitkan dengan peraturan lain yang mengatur
landreform; (2) Program transmigrasi, selain
untuk pemerataan kepadatan penduduk dalam
pelaksanaannya sekaligus merupakan usaha
penataan kembali penggunaan, penguasaan dan
pemilikan tanah baik di daerah asal maupun di
daerah tujuan, dimana para tansmigran
memperoleh tanah 2,0 ha yang terdiri dari 0,25
ha untuk tanah perumahan beserta rumah
sederhana, 0,75 ha berupa tanah pertanian
pangan dan 1,00 hektar berupa tanah cadangan
Pengaturan batas maksimum dan minimum
untuk tanaman keras/kebun (3) Program
merupakan salah satu kegiatan dari landreform
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan
untuk tercapainya batas minimum penguasaan
dalam landreform, misalnya petani yang menjadi
dan pemilikan tanah pertanian. Landreform
peserta akan mendapat tanah 2,0 ha berupa
dimaksud bukan hanya perombakan terhadap
perkebunan yang ditanami pohon karet atau
stuktur penguasaan pertanahan, melainkan
perombakan terhadap hubungan manusia dengan kelapa sawit, selain itu juga mendapat 0,75 ha
berupa tanah pertanian pangan dan 0,5 ha untuk
tanah, hubungan manusia dengan manusia
tanah perumahan beserta rumah sederhana.
berkenaan dengan tanah guna meningkatkan
Pelaksanaan PIR ini kemudian dikembangkan
penghasilan petani. Upaya-upaya pemerintah
kepada PIR-Bun yaitu pada perkebunan dan
untuk tercapainya batas minimum secara
dikaitkan dengan transmigrasi yang dinamakan
berangsur-angsur tersebut bila kita perhatikan
PIR-Trans atau PIR-Sus.
perkembangannya dapat digambarkan dalam
bentuk kebijakan dan pelaksanaan antara lain
Ketentuan UU 56/Prp/1960 tersebut, kemudian
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
No.224 Tahun 1961 (L.N. 1961 No.280) tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Kerugian. Dalam ketentuan itu diatur
obyek tanah-tanah yang akan dibagikan, besarnya
ganti rugi serta siapa yang berhak memperoleh
pembagian tanah. Walaupun dalam ketentuan itu
diatur pembentukan koperasi pertanian di tiap
daerah atau desa, sebagai lembaga
perekonomian di pedesaan yang didukung pula
dengan Bank Rakyat di pedesaan, namun ada
kesan yang menonjol kebijakan landreform di
masa itu, adalah pembagian tanah, penetapan
luas maksimum tanah pertanian dan larangan
gadai tanah.
LAND 03
MEI - JULI 2007
14
Sekarang, setelah berjalan hampir 47 tahun,
keadaan yang diharapkan sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
dan UUPA untuk memakmurkan rakyat
Indonesia belum tercapai. Apa yang ingin
diwujudkan melalui landreform juga belum
tercapai. Jumlah petani tanpa tanah dan petani
gurem dengan pemilikan tanah sempit
meningkat. Kontribusi sektor pertanian dalam
produk domestik bruto nasional berkurang
tajam, namun jumlah tenaga kerja di bidang
pertanian masih tinggi. Sementara itu,
produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian
rendah. Tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan
harga barang kebutuhan sehari-hari semakin
mahal. Keadaan itu menyebabkan jumlah rakyat
miskin yang sebagian besar tinggal dan berusaha
di lapangan kerja pertanian meningkat. Rakyat
yang miskin itu, bekerja. Maka dapat dibayangkan
betapa terpuruknya rakyat Indonesia yang
sebagian besar kehidupannya masih bersumber
dari usahatani basis tanah.
" ....menerapkan sistem pengelolaan pertanahan
yang efisien, efektif serta melaksanakan penegakan
hukum terhadap hak atas tanah dengan
menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi,
dan demokrasi...... perlu dilakukan penyempurnaan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah melalui... landreform."
Komitmen pemerintah menjadi semakin nyata
ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI, pada
tanggal 31 Januari 2007 menegaskan untuk
melaksanakan reforma agraria dengan prinsip
"tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat".
Agrarian Reform dan Landreform
Landreform bukan hanya hanya pengertian politik,
namun juga mengandung pengertian teknis.
Banyak kalangan akademis maupun Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) menggunakan istilah
agrarian reform yang lebih luas maknanya
dibanding landeform, sebagaimana dinyatakan
Gunnar Myrdall (1971) dalam bukunya Asian
Perkembangan lebih lanjut landreform Indonesia Drama: An Inquiry Into the Poverty of Nation; An
Abridgement: " by landreform we understand a
dalam sejarah pelaksanaannya dan politiknya,
planned legal and institutional reorganisation of
mengalami pasang surut. Situasi politik pada
relation between man and land". Selanjutnya, PBB
tahun 1965 dan setelah Sidang Umum MPRS
dalam Progress in Landreform: Fifth Report, New
Tahun 1966, seakan-akan "tabu" untuk
York United Nation, 1970.Vol.III , membedakan
membicarakan landreform. Pengalokasian dana
landreform dengan agrarian reform. "Landreform
APBN dianaktirikan. Barulah pada tahun 1978
refers to the integral reforms of tenure production
melalui GBHN secara tegas landreform
ditetapkan sebagai suatu political will pemerintah. and supporting service structure to eliminate
obstacles to economic and social development
Presiden Soeharto, pada tanggal 1 Maret 1982
dalam rapat kerja Gubernur, Bupati/Walikota se arising ot of defects in the agrarian structure, by
Indonesia di Jakarta menyatakan: "Saya tegaskan redistribution of wealth, opportunity and power, as
manifest in the ownership and control of land,
di sini bahwa landreform adalah sesuai dengan
kebutuhan dan keharusan yang perlu kita tempuh water and other resources"
"Agrarian reform to cover all aspect of institutional
demi pemanfaatan yang sebesar-besarnya dari
development including landreform, tenure
tanah untuk kemakmuran bersama"
Pernyataan Presiden kemudian dituangkan dalam production and supporting service structure and
Pola Umum Pelita IV, (Bab IV No.27 GBHN) dan related insitutions, such as local government, public
administration in rural areas,rural educationand
dalam buku Repelita IV Buku Ketiga Halaman
rural social welfare institutions, and so forth.”
414, yang intinya akan ditingkatkan lagi
pelaksanaan landreform sebagai bagian dari
Apabila diperhatikan dengan seksama apa yang
penataan kembali penguasaan pemilikan
menjadi ruang lingkup agrarian reform menurut
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih
PBB, pada dasarnya adalah mencakup tujuh
adil atas sumber penghidupan petani tersebut.
Komitmen Bangsa mencapai puncaknya dengan aspek, yaitu: (1) sistem penguasaan pemilikan
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang tanah, (2) redistribusi tanah, (3) penggarapan
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya tanah, (4) pengorganisasian kredit, produksi dan
pemasaran), (5) mekanisme pembiayaan usaha
Alam yang mengharuskan dilakukannya
tani, (6) meningkatkan efisensi pemanfaatan
pembaruan agraria atau reforma agraria.
tanah dalam rangka pengembangan pajak tanah di
Selanjutnya ditegaskan kembali perlunya
pedesaan, dan (7) pelayanan pemerintah untuk
pelaksanaan reforma agraria dalam Keputusan
MPR Nomor 5 Tahun 2003. Sebagai tindak lanjut masyarakat pedesaan seperti teknik usahatani,
fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan,
konsensus sosial dan politik, reforma agraria
pelayanan air bersih dan komunikasi.
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17
Menurut Nasikun (1998), pengertian hakiki dari
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025, antara lain: konsep agrarian reform mengandung dua elemen,
15 MEI - JULI 2007
LAND 03
yaitu nasionalisasi tanah (land nationalization) dan
pengaturan kembali struktur penguasaan
pemilikan tanah (land tenure reform). Ruang
lingkup land tenure reform tidak sekedar
redistribusi tanah (landreform) sebagai alat untuk
melakukan land tenure reform, namun juga
mencakup access reform untuk menciptakan
sumber-sumber ekonomi. Orang pertama yang
merumuskan pengertian agrarian reform dalam
konteks nasionalisasi tanah adalah AR Wallace
(dalam Hsiao,1968) yang mengemukakan bahwa
pemilikan privat atas tanah bertentangan dengan
prinsip HAM, karena hal itu memungkinkan
sekelompok kecil individu atau orang menjadi
kaya dan sebagian besar massa rakyat yang lain
berada dalam kemiskinan dan penderitaan. Oleh
karena itu, tanah yang bukan merupakan buah
dari tenaga kerja manusia, tidak selayaknya
menjadi milik privat, sebaliknya harus dimiliki
bersama oleh seluruh rakyat.
yang dihasilkan dari tanah tersebut.
Di negara yang sedang berkembang, sistem
penguasaan pemilikan tanah pertanian menjadi
faktor penting, karena mempunyai peranan
terhadap efisiensi produksi pertanian dan
perkembangan industri, distribusi pendapatan
dan kehidupan sosial masyarakat. Pada umumnya
jumlah dan luas pemilikan tanah berkaitan
dengan skala usaha ekonomi. Di negara yang
tenaga kerja di sekor pertanian melimpah,
dengan rata-rata pemilikan tanah yang sempit
jumlahnya sangat besar dan adanya konsentrasi
pemilikan tanah pada sebagian kecil masyarakat,
akan mempengaruhi pendapatan petani.
Ditambah dengan sistem budaya pewarisan tanah
mendorong pemecahan tanah pada skala yang
semakin sempit, dan akhirnya akan terjadi
kondisi berbagi kemiskinan di antara petanipetani miskin. Di Indonesia, menurut Boedi
Harsono (1973) dalam bukunya Hukum Agraria
Nasional Bagian Pertama, agrarian reform
dipahami sebagai landreform dalam arti luas, yang
meliputi lima program, yaitu: (1) pembaruan
Selanjutnya argumen mengenai pengaturan
hukum agraria, (2) penghapusan hak-hak asing
kembali struktur penguasaan pemilikan tanah
berasal dari John Stuart Mills dalam bukunya The dan konsepsi-konsepsi kolonial atas tanah, (3)
Principle of Political Economy, yang
mengakhiri penghisapan feodal secara berangsurmengemukakan bahwa prinsip dasar dari
angsur (4) perombakan struktur penguasaan
pemilikan adalah untuk menjamin penciptaan
pemilikan tanah serta hubungan-hubungan
tenaga kerja dan mengamankan uang, akan tetapi hukum yang bersangkutan dengan tanah serta (5)
tidak berlaku untuk penciptaan tanah. Argumen perencanaan persediaan, peruntukan dan
Mills bahwa nilai tanah bersumber dari alam dan penggunaan bumi, air dan kekayaan yang
oleh karena itu harus hanya sebagian daripadanya terkandung di dalamnya secara berencana sesuai
yang menjadi milik tuan tanah, sebagian lainnya
dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.
menurut Henry George dalam bukunya Progress Program yang keempat itu, dikenal sebagai
and Poverty, adalah milik negara sehingga perlu
landreform dalam arti sempit. Istilah landreform
diambil dalam bentuk pengenaan pajak atas
sebagai agrarian reform dalam arti sempit
pemilikan tanah. Teori Mills dikembangkan lebih memang lebih ditujukan pada redistribusi tanah,
lanjut oleh Adolf Damashke dalam bukunya Bund karena merupakan sarana strategis pembaruan
Deutscher Bodenreformer yang menekankan
sosial ekonomi ke arah pembangunan pertanian
transformasi pemilikan privat atas tanah dan
yang memberi pengaruh terhadap penyerapan
eliminasi akibat buruk dari pemilikan itu melalui tenaga kerja di sektor pertanian, produksi dan
sistem pemilikan tanah yang baru yaitu melalui
pendapatan usaha pertanian dan akhirnya
pemilikan publik bagi tujuan mencapai sebesarmemberi dampak terhadap penanggulangan
kemiskinan, kebodohan dan mengatasi
besar keadilan sosial. Konsep ini memberi
kecemburuan sosial ekonomi dan sosial budaya
pengaruh yang besar terhadap program
masyarakat.
landreform.
Berdasarkan cakupan di atas, tampak jelas bahwa
agrarian reform cakupan konsepnya lebih luas
ketimbang landreform, karena di dalam agrarian
reform selain mencakup faktor-faktor yang terkait
langsung dengan aspek tanah sebagai faktor
produksi pertanian, juga mencakup pula keadaan
lingkungan strategis yang mempengaruhi
pembangunan sektor pertanian bahkan lebih luas,
yaitu pembangunan wilayah pedesaan. Sedangkan
landreform lebih dititikberatkan sebagai alat
penting untuk meningkatkan produksi pertanian
Dari berbagai pendapat dapat dikemukakan
bahwa tujuan landreform, mencakup dua hal.
Pertama, untuk pemerataan aset tanah sebagai
faktor produksi pertanian di antara para pemilik
tanah. Kedua, untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan dan pemanfaatan tanah. Kedua
tujuan tersebut merupakan dasar pembangunan
sosial ekonomi. Meskipun demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa landreform juga digunakan
sebagai alat politik untuk mencapai atau
memperoleh kekuatan keseimbangan politik
suatu negara. Dalam hal ini landreform lebih
LAND 03
MEI - JULI 2007
16
Reform: Report to the Government of Indonesia,
FAO, Rome, menyatakan bahwa 30 persen tanah
pertanian dimiliki oleh 71 persen pemilik dengan
luas di bawah 1,0 hektar. Sebanyak 21 persen
tanah dimiliki oleh sekitar 2,3 persen pemilik
dengan luas lebih 5,0 hektar. Sementara itu luas
rata-rata tanah milik adalah 9,0 hektar. Keadaan
itu, mengindikasi ketimpangan pemilikan tanah
yang sudah mengkhawatirkan. Menurut
ketentuan PP Nomor 224/1961, tanah yang
menjadi obyek redistribusi meliputi: (1) tanah
yang merupakan kelebihan batas maksimum
sebagaimana dalam UU 56/Prp/1960, (2) tanah
Implementasi Landreform di Indonesia
yang dikuasai secara absentee, (3) tanah swapraja
Sebelum ditetapkannya kebijakan landreform,
kondisi penguasaan pemilikan tanah di Indonesia dan tanah negara bekas swapraja dan (4) tanah
negara lainnya. Adapun penerima tanah,
sangat menyedihkan. Sistem eksploitasi petani
ditetapkan menurut prioritas:
oleh para bangsawan dan kaum feodal, yang
a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang
menguasai tanah luas dalam usaha pertanian
bersangkutan;
tradisionil telah bercampur baur dengan sistem
b.Buruh tani tetap pada bekas pemilik yang
cultuurstelsel perkebunan modern untuk
mengerjakan tanah yang bersangkutan;
komoditi ekspor perusahaan pertanian asing.
c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang
Gerrit Huizer (1974), dalam bukunya Peasent
bersangkutan;
Mobilization & Land Reform in Indonesia,
d.Penggarap yang belum sampai tiga tahun
menunjukkan sesudah 1870 di Jawa Tengah
mengerjakan tanah yang bersangkutan;
ditemukan secara berdampingan sistem
e.Penggarap yang mengerjakan tanah hak
pertanian tradisional dan sistem pertanian
pemilik;
modern. Pabrik-pabrik gula menyewa 10 bidang
tanah yang berbeda untuk setiap hasil panennya, f. Penggarap tanah-tanah yang oleh Pemerintah
diberi peruntukkan lain berdasarkan pasal 4
dari desa-desa di sekelilingnya tempat
ayat (2) dan ayat (3);
penggilingan gula. Eksploitasi tenaga kerja petani
g.Penggarap yang tanah garapannya kurang dari
meningkat karena semakin banyak petani yang
0,5 hektar;
menjadi buruh perkebunan dan pabrik. Pada
masa itu, di awal abad ke 19, pemilikan tanah di h.Pemilik yang tanah garapannya kurang dari 0,5
hektar;
Pula Jawa rata-rata 0,3 sampai 0,5 hektar.
i.Petani atau buruh tani lainnya.
Meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti
dengan pemecahan pemilikan tanah dan
Untuk melaksanakan redistribusi tanah dalam
penjualan tanah dengan sistem gadai maupun
untuk membayar hutang, menyebabkan hampir 6 rangka melaksanakan landreform, pada waktu itu,
juta petani, tidak memiliki tanah. Ultrech (1973) melalui Keputusan Presiden nomor 131 Tahun
1961 yang diperbarui dengan Keputusan Presiden
dalam papernya: Land Reform and Bimas in
Nomor 262 Tahun 1964, dibentuk Pantia
Indonesia, melaporkan bahwa menjelang tahun
Landreform yang meliputi:
1960, lebih dari 60 persen petani di Jawa tidak
a.Panitia Pusat diketuai Presiden;
mempunyai tanah, sekitar 7,6 juta petani
b.Panitia Tingkat Provinsi, diketuai oleh
memiliki tanah yang sangat sempit kurang dari
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I setempat;
0,5 hektar; sekitar 2,3 juta petani menguasai
rata-rata 0,5 s/d 10 hektar. Sementara itu, sekitar c.Panitia Tingkat Kabupaten yang diketuai oleh
Bupati/Kepala Daerah Tingkat II setempat;
56.000 tuan tanah menguasai tanah lebih dari 10
d.Panitia Tingkat Kecamatan yang diketuai oleh
hektar, bahkan ada yang sampai 30an hektar.
Camat setempat;
e.Panitia Tingkat Kelurahan yang diketuai oleh
Tidak ada data yang akurat, bagaimana
Lurah setempat.
sebenarnya situasi pemilikan tanah pada awal
pelaksanaan landreform. Data yang dapat
Pada tingkatan yang lebih tinggi terdapat Panitia
digunakan sebagai gambaran awal adalah
berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 1963. Pleno, Badan Eksekutif dan Badan Penasihat.
Diperkirakan sekitar 36 persen tanah pertanian Panitia Pusat menyusun kebijakan umum,
digarap oleh bukan pemilik, dengan luasan rata- melaksanakan administrasi di tingkat atas. Panitia
Provinsi menyusun pelaksanaan rencana sejalan
rata untuk Jawa dan Bali 0,46 hektar dan luar
dengan pedoman yang ditetapkan oleh Panitia
Jawa dan Bali sekitar 1,36 hektar. Studi yang
dilaporkan oleh Aly A Morad (1970) dalam Land Pusat. Panitia Tingkat Kabupaten
dimanfaatkan sebagai latar belakang politik
ketimbang latar belakang ekonomi. Rusel King
(1977) dalam bukunya: Land Reform. A World
Survey, intinya menyatakan bahwa meskipun
landreform dijalankan sebagai reaksi terhadap
tekanan politik dan perubahan sosial ekonomi
akibat tingginya pengangguran, kemiskinan,
namun yang penting adalah konflik sosial
(agrarian unrest) dapat dikurangi dan ekonomi
tetap berfungsi guna menyejahterakan
masyarakat.
17 MEI - JULI 2007
LAND 03
dengan anggota 16 instansi Pemerintah yang
berhubungan dengan pertanian, termasuk ABRI,
Polisi dan Jaksa serta wakil-wakil dari 4 organisasi
tani yang terbesar di tingkat Kabupaten. Bupati
bertanggung jawab dalam rangka pemilihan
pada tahun 1963, dan tahun berikutnya di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan
Papua. Panitia landreform memperkirakan jumlah
tanah kelebihan maksimum yang harus
diredistribusi sekitar 0,97 juta hektar dan pada
tahap awal diserahkan kepada
pemerintah untuk dibagikan
No
Wilayah
Tanah yang di
Penerima
Rata-rata
redistribusi (ha) redistribusi
luas tanah
kepada penerima seluas
(petani)
(ha/petani)
337.445 hektar. Selama kurun
1
Sumatera
338 690
235 826
1,44
waktu 40 tahun diperoleh
2
Jawa dan Bali
321 765
1 496 529
0,22
gambaran pelaksanaan
3
Kalimantan
25 679
20 353
1,26
4
Sulawesi
80 862
91 674
0,88
redistribusi tanah yang belum
5
Nusa Tenggara dan Maluku
67 114
73 116
0,92
tuntas. Berdasarkan data yang
6
Papua
2 972
4 264
0,70
dikeluarkan oleh BPN (2001),
Indonesia
837 082
1 921 762
0,46
dari total obyek tanah
landreform 1.601.957 hektar,
Sumber: Badan Pertanahan Nasional, 2001
pada kurun waktu tahun
1963-2000 telah
diredistribusikan tanah seluas
anggota panitia tingkat Kecamatan dan
837.082
hektar
(52%)
kepada 1.921.762 petani
Kelurahan. Pada tahun 1980, dengan
penerima (lihat Tabel 1).
pertimbangan efektivitas kerja panitia, melalui
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980,
ditetapkan organisasi dan tata kerja
penyelenggaraan landreform yang di tingkat pusat Dengan demikian masih ada tanah obyek
diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya landreform yang belum diredistribusikan, yaitu
seluas 773.875 hektar (48 %). Dalam kurun
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri
waktu lima tahun terakhir ini jumlah yang
Nomor 37 Tahun 1981 dibentuk Panitia
Pertimbangan Landreform Tingkat Pusat, Provinsi diredistribusi bertambah, namun diperkirakan
sampai akhir 2006 tidak lebih dari 1,0 juta hektar.
dan Kabupaten/Kotamadya se-Indonesia dan
Selain itu, untuk tanah absentee dan tanah
dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 38 Tahun 1981, diatur Penerimaan Tugas kelebihan maksimum telah dilakukan ganti rugi
oleh Pemerintah seluas 134.558 hektar kepada
dan Tata Cara Kerja Pelaksanaan Landreform.
3.385 orang bekas pemilik, dengan nilai ganti rugi
Dalam rangka mempercepat pemberian fasilitas lebih dari Rp. 88 trilyun. Terdapat indikasi bahwa
kredit dan pembiayaan lainnya, Menteri Agraria pelaksanaan pemberian ganti rugi kepada bekas
pemilik tanah belum tuntas karena adanya
membentuk Yayasan Dana Landreform (YDL)
tuntutan bahwa besarnya ganti rugi tersebut
yang mempunyai status otonomi. Salah satu
sumber YDL yang efektif adalah pengenaan tarif terlalu rendah dan dianggap tidak adil.
50% dari beaya uang pemasukan ke negara
Dewasa ini, keadaan belum membaik.
untuk setiap pemberian hak atas tanah yang
berasal dari tanah negara. Menurut PP 224/1961, Membandingkan penguasaan pemilikan tanah
usaha rakyat yang dikuasai perorangan sebagai
sumber pembiayaan meliputi dana anggaran
pemerintah, pengumpulan dana administrasi dari usaha kecil sangat menarik karena akan
harga tanah yang harus dibayar oleh para petani menunjukkan betapa hak-hak rakyat yang sangat
mendasar yaitu memperoleh akses tanah usaha
(dari 10% telah diturunkan menjadi 5%
berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Agraria belum terwujud bahkan terjadi ketidakadilan
dalam distribusi penguasaan pemilikan tanah.
tahun 1967), dan penghasilan dari uang sewa
Dalam kurun waktu 40 tahun kemudian, keadaan
serta penjualan dalam pelaksanaan landreform.
Pada tahun 1967, pembiayaan juga diperoleh dari menjadi semakin.
APBN. Mengingat anggaran pemerintah untuk
Hasil sensus pertanian tahun 1983, menyebutkan
pelaksanaan landreform terbatas, maka sejak
rata-rata nasional penguasaan tanah per keluarga
tahun 1991 dikembangkan redistribusi tanah
secara swadaya melalui pola kemitraan koperasi petani adalah 1,05 hektar. Pada tahun 1993
menurun menjadi 0,74 hektar dan pada tahun
petani yang bermitra dengan pengembang
2003 diperkirakan menurun lagi menjadi
perkebunan dan perbankan dengan
0,70 hektar. Sementara itu jumlah petani gurem
menggunakan fasilitas kredit usahatani (KUT).
dengan luas penguasaan pemilikan tanah di
Tahap pertama program redistribusi tanah
bawah 0,1 hektar terus meningkat dari 9,53 juta
dilaksanakan di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara
orang (1983) menjadi 11 juta orang atau 43%
LAND 03
MEI - JULI 2007
18
No
Kelompok
Luas
Distribusi Usahatani
rumah tangga petani
Usahatani (ha)
1983
1993
2003*)
Luas Usahatani
(1993), menjadi 12,5 juta
Rata2 Luas Usahatani
Rata2 Luas Usahatani
Rata2
(%)
(%)
(%)
(ha)
(ha)
orang atau 47% rumah
1
Kurang 0,50
40,8
0,26
48,5
0,17
54,6
0,14
tangga petani (2003) dan
2
0,50 – 1,99
44,9
0,94
39,6
0,90
36,2
0,83
diperkirakan menjadi
3
2,00 - 4,99
11,9
2,72
10,6
3,23
8,1
3,45
sekitar 13,2 juta orang
4
Lebih 5,00
2,4
8,11
1,3
11,9
1,1
3,22
 Jumlah usahatani (juta)
15,9
17,9
19,2
atau 49% (2004).
 Jumlah areal (juta ha)
16,7
15,4
13,2
Demikian pula luas usaha

Rata-2
luas
usaha
(ha)
1,05
0,74
0,70
tani sawah, pada tahun
1999, rata-rata nasional,
Sumber: Sensus Pertanian Indonesia BPS, Tahun 1983,1993 dan 2003 (sementara)
hanya sekitar 0,45 hektar.
Di Jawa dan Bali bahkan
dengan luas 5,04 hektar. Peralihan itu
hanya sekitar 0,35 hektar. Diperkirakan pada saat mendorong perubahan penggunaan tanah.
ini semakin mengecil karena adanya fragmentasi Selama delapan bulan, Januari sampai Oktober
tanah serta konversi penggunaan ke
2003, telah terjadi perubahan penggunaan tanah
non pertanian. Kondisi tersebut menunjukkan
dari pertanian ke non-pertanian sebanyak 15
bahwa tanah yang dikuasai petani sudah semakin bidang tanah, seluas 4,84 hektar. Sebagian besar
tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya,
berasal dari tanah sawah menjadi
bahkan menjurus kepada degradasi kesuburan
pekarangan/rumah, industri dan jasa/kantor.
tanah dan lingkungan hidup.
Penelitian menghasilkan temuan bahwa
Gambaran yang lebih rinci mengenai kemiskinan kebutuhan hidup minimum yang harus dicukupi
petani diungkapkan melalui penelitian oleh
oleh keluarga petani dengan jumlah jiwa 5-6
Risnarto pada tahun 2003 di Desa Dasan Lekong, orang adalah sekitar Rp. 5.600.000.- hingga
Kecamatan Sukamulia, Kabupaten Lombok
Rp. 6.720 000.- per tahun. Jika seluruhnya
Timur, yang merupakan lokasi Proyek Pendataan dipenuhi dari pendapatan usahatani maka
P4T. Desa Dasan Lengkong berpenduduk padat sekurang-kurangnya pendapatannya adalah
dan tidak seluruh keluarga mempunyai tanah
sekitar Rp. 6.000.000,- per tahun atau sekitar
usaha. Dari jumlah rumah tangga sebanyak 3.257 Rp.3.000.000,- per musim. Dengan luas
Keluarga, hanya 1987 orang (61%) yang tercatat pemilikan tanah di bawah 0,5 nektar (0,39
sebagai wajib pajak tanah. Sebanyak 995 orang
hektar) pendapatan usahataninya hanya
(25,36%) keluarga yang pendapatannya
mencapai Rp 1,84 juta. Jika keluarga tersebut
bersumber dari usahatani tanah tercatat sebagai berjumlah lima jiwa, tingkat pendapatannya
pemilik penggarap sawah atau kebun. Sebanyak hanya memenuhi 33%, jika berjumlah enam jiwa
540 orang (13,76%) sebagai penyakap, 156
hanya memenuhi 27%. Petani dengan luas
orang (3,97%) sebagai penyewa dan sebanyak 2 pemilikan tanah di atas 0,5 hektar (0,64 hektar)
243 orang (56,91%) sebagai buruh tani.
pendapatan usahataninya hanya mencapai
Berdasarkan luas kepemilikan tanah, sebagian
Rp. 3,38 juta. Jika keluarga tersebut berjumlah
besar (66,10%) mempunyai tanah di bawah
lima jiwa, tingkat pendapatannya hanya
1000 meter2, sebanyak 32,71% antara 0,1 s/d
memenuhi 60%, jika berjumlah enam jiwa hanya
0,5 hektar. Hanya sekitar 1,19% yang tercatat
memenuhi 50%.
sebagai pemilik tanah di atas 1,00 hektar.
Kegiatan sertipikasi tanah pertama kali belum
Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga
banyak menjangkau Desa Dasan Lekong.
dengan 5 jiwa pada tingkat tidak miskin
Sebagian besar masih berupa tanah Girik Dari
diperlukan tanah sawah seluas 1,54 hektar atau
jumlah bidang tanah di desa tersebut yang
tanah kering seluas 1,63 hektar. Sedangkan
diperkirakan sebanyak 8.500 bidang tanah, hanya keluarga dengan 6 jiwa pada tingkat tidak miskin
sebanyak 365 bidang tanah yang sudah
diperlukan tanah sawah seluas 1,90 hektar atau
bersertipikat. Sekitar 325 bidang hasil Proyek PP tanah kering seluas 2,10 hektar. Keadaan itu sulit
10 Tahun 1961 dan PRONA tahun 1993/1994
diwujudkan, karena dengan proses fragmentasi
dan sekitar 40 bidang tanah merupakan hasil
kepemilikan tanah serta peralihan tanah disertai
kegiatan rutin. Peralihan tanah yang terjadi
dengan konversi penggunaan tanah tampaknya
selama tahun 2 tahun terakhir pada tanah yang
akan lebih mempercepat melemahnya akses
belum bersertipikat dan proses peralihannya
masyarakat terhadap tanah usaha dan secara
hanya dilakukan di Desa menunjukkan jumlah
perlahan terjadi proses pemiskinan penduduk.
peralihan yang cukup tinggi. Pada tahun 2002
sebanyak 73 bidang tanah dengan luas 12,37
*) Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan,
hektar, dan sampai bulan September 2003 telah
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
terjadi peralihan tanah sebanyak 42 bidang tanah
19 MEI - JULI 2007
LAND 03
KEBIJAKAN PERTANAHAN
bagi
KESEJAHTERAAN RAKYAT
Rata-rata PETANI di Indonesia
hanya menggarap tanah seluas 0,7 Ha
Download