VISI - Jurnal UNJ

advertisement
Jurnal Ilmiah
VISI
Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (PPTK PAUDNI)
Vol. 11 No. 2 Desember 2016
ISSN 1907-9176
Hal 65 - 158
Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil
penelitian dan kajian kepustakaan. Jurnal VISI diterbitkan pertama kali pada bulan Juni 2006.
Susunan Redaksi:
Penasehat
Penanggung Jawab
:
Prof. Dr. Djaali, M.Pd
:
Dr. Sofia Hartati, M.Si
Ketua Penyunting
:
Prof. Dr. B. P. Sitepu, M.A.
Wakil Ketua Penyunting
:
Dr. Gantina Komala Sari, M.Psi.
Penyunting Pelaksana
:
Retno Widyaningrum, S.Kom., M.M.
Ika Lestari, S.Pd., M.Si
Mitra Bestari
:
Prof. Dr. Nurdin Ibrahim, M.Pd (Teknologi Pendidikan - UNJ)
Dr. Mubiar Agustin, M.Pd. (Pendidikan Anak Usia Dini - UPI)
Dr. Asep Saepudin, M.Pd. (Pendidikan Luar Sekolah - UPI)
Dr. Anan Sutisna, M.Pd (Pendidikan Luar Sekolah - UNJ)
Pelaksana Tata Usaha
:
Supraptiningsih, S.IP.
Pelaksana Teknis
:
Mita Septiani, M.Pd
Alamat Redaksi:
Gedung Daksinapati Lt.3, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta
Rawamangun Muka, Jakarta Timur 13220
Telp. (021) 47860970; Faks: (021) 4897535; HP: 08111078887
e-mail: [email protected]
http://journal.unj.ac.id/jurnalfip/index/visi
ISSN : 1907 – 9176
VISI
PEMBINAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, NONFORMAL, DAN INFORMAL (PPTK-PAUDNI)
Penguatan Manajemen Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Dalam Meningkatkan Mutu
Layanan Pendidikan Nonformal
Strengthening The Management of Community Learning Center to Improve The Sevice
Quality of Non-Formal Education
Asep Saepudin, Ade Sadikin,& Iip Saripah
65 - 72
Meningkatkan Kemampuan Motorik Kasar Melalui Permainan Tradisional “Sikodoka”
Bagi Anak Usia Dini Berlatar Belakang Tuna Grahita
Improving Gross Motor Skills Through Traditional Game “Sikodoka” in Early Childhood With
Intellectual Disability
Mientje Ratoe Oedjoe & Beatriks Novianti Bunga
73 - 80
Dampak Pelatihan Keterampilan Hidup Montir Otomotif Terhadap Kesempatan Kerja
dan Pendapatan Warga Belajar
The Impact of Life Skill Training for Automotive Mechanic in Employment Opportunity and
Learners’ Income
Dayat Hidayat
81 - 98
Pembentukan Karakter Anak Melalui Permainan Tradisional “Cim-Ciman”
Child Character Building Through Traditional Game “Cim-Ciman”
Fauzi
99 - 110
Rekonstruksi Kecakapan Sosial Guru Dalam Pengembangan Berbicara Anak Usia Dini
Teacher Social Skills Reconstruction in Improving Early Childhood Speaking Ability
Gian Fitria Anggraini & Ari Sofia
111 - 120
Efektivitas Konseling Kognitif-Perilaku Dengan Teknik Latihan Asertif Untuk Mengatasi
Tindakan Kekerasan Pada Anak
The Effectiveness of Cognitive-Behavior Counselling With Assertive Technique to Address
Child Abuse
Mubiar Agustin, Ipah Saripah,& Asep Deni Gustiana
121 - 130
Pemerolehan Bahasa Anak: Kajian Aspek Fonologi Pada Anak Usia 2 - 2,5 Tahun
Child Language Acquisition: The Phonological Study of 2-2.5 Years Old Children
Prima Gusti Yanti
131 - 142
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Kesetaraan
Curriculum Development of Equality Education
Sutjipto
143 - 158
Indeks Penulis
Indeks Subjek
Petunjuk Penulisan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No.1, Juni 2016
PENGHARGAAN
Atas kesediaan menjadi Mitra Bestari dalam penerbitan Jurnal Ilmiah
Visi PPTK-PAUDNI Volume 11 No 2 Desember 2016 ini,
Dewan Redaksi Jurnal Ilmiah VISI PPTK-PAUDNI menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada:
NAMA
PEKERJAAN/INSTANSI
KEAHLIAN
Dr. Asep Saepudin, M.Pd
Dosen Universitas Pendidikan
Indonesia
Pendidikan Luar Sekolah
Dr. Mubiar Agustin, M.Pd
Dosen Universitas Pendidikan
Indonesia
Pendidikan Anak Usia Dini
Jurnal Ilmiah VISI PPTK-PAUDNI
Terakreditasi oleh LIPI
Nomor 621/AU2/P2MI-LIPI/03/2015
Masa Berlaku Akreditasi 2015 - 2018
PENGANTAR
REDAKSI
Kemajuan peradaban suatu bangsa ditentukan antara lain oleh
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan dialami oleh
seluruh masyarakatnya. Semakin maju dan merata pendidikan baik
secara kuantitas dan kualitas di suatu negara semakin cerdas dan
beradab pula kehidupan bangsanya. Cita-cita mewujudkan masyarakat
adil, makmur, damai, sejahtera secara lahir dan batin akan terwujud
apabila setiap anggota masyarakat adalah terdidik dengan baik.
Pentingnya pendidikan itu juga disadari oleh pendiri bangsa dan negara
Indonesia sehingga dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
disebutkan antara lain bahwa salah satu tujuan kemerdekaan Nagara
Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa
yang kemudian diatur dalam Pasal 31 UUD 1945.
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia
yang mengacu pada Pasal 31 UUD 1945 itu memberikan kesempatan
kepada setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan
sesuai dengan kemampuan fisik dan intelektualnya secara merata
tanpa membedakan usia, suku, ras, agama, maupun golongan. Dengan
perkataan lain tidak ada diskriminasi dalam memperoleh kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan. Adalah Pemerintah Indonesia dan
masyarakat yang bertugas dan bertanggung jawab menyediakan
sarana dan prasarana pendidikan sehingga kesempatan memperoleh
pendidikan itu tersedia secara merata dan berkeadilan.
Keterbatasan kemampuan Pemerintah menyediakan sarana,
prasarana, dan tenaga pendidik dan kependidikan sehingga Program
Wajib Belajar diselenggarakan secara bertahap, mulai dari Program
Wajar Dikdas 6 tahun (1985) menjadi Program Wajar Dikdas 9 tahun
(1995). Program Wajar itu dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan
pendidikan nonformal dengan tetap menjaga standar mutu pendidikan
sehingga lulusan satuan/lembaga pendidikan dari kedua jalur itu adalah
setara. Pendidikan jalur nonformal memberikan kesempatan yang
lebih luas kepada semua anggota masyarakat menempuh pendidikan
sesuai dengan waktu, tempat, usia, dan kebutuhan mereka. Di samping
itu, pendidikan jalur nonformal juga mendorong dan memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk belajar sepanjang hayat sedini
mungkin sampai usia lanjut.
Penyelenggaraan pendidikan nonformal juga merupakan upaya
mendekatkan lembaga pendidikan ke tengah-tengah masyarakat.
Melalui pendidikan Paket A, B, dan C serta berbagai jenis pendidikan
usia dini serta kursus keterampilan, masyarakat dapat belajar
meningkatkan keterampilan hidupnya sehingga lebih berkualitas.
Berbagai kegiatan pendidikan nonformal juga mendorong pertumbuhan
minat dan kebiasaan belajar masyarakat sehingga belajar itu menjadi
salah satu budaya masyarakat sebagai ciri mayarakat belajar, terdidik,
dan beradab.
Belajar sepanjang hayat akan terwujud apabila masyarakat
memiliki keterampilan belajar yang seharusnya diperoleh di setiap
lembaga pendidikan. Keterampilan belajar yang dimaksud adalah
kemampuan mengenali apa yang perlu dipelajari, memahami bagaimana
cara mempelajarinya, serta mengetahui sumber belajar yang sesuai.
Semakin tinggi keterampilan belajar yang dimiliki, semakin giat
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
seseorang belajar serta semakin dinamis dan berkualitas kehidupannya.
Program Pendidikan Untuk Semua (PUS) memiliki target yang
harus dicapai pada tahun 2015 lalu yang mencakup pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan kecakapan hidup, pemberantasan buta
aksara, pengarusutamaan gender, dan peningkatan mutu pendidikan.
Hal ini membuka kesempatan bagi semua warga negara Indonesia
memenuhi hak-hak pendidikannya serta ikut merasakan pendidikan
alternatif di samping pendidikan jalur formal. Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) lahir sebagai jawaban berbagai permasalahan
bagi pihak-pihak yang belum terpenuhi hak pendidikannya. Masih
tingginya angka buta aksara, jumlah masyarakat miskin di Indonesia
dan angka putus sekolah menjadi persoalan bagi sektor nonformal
yang diharapkan dapat terbantu dengan hadirnya PKBM. Oleh
karena itu, PKBM membutuhkan manajemen yang baik dalam rangka
meningkatkan mutu layanan pendidikan nonformal. Penelitian yang
dilakukan oleh Asep Saepudin, Ade Sadikin dan Iip Saripah berjudul
“Penguatan Manajemen Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dalam
Meningkatkan Mutu Layanan Pendidikan Nonformal” mengembangkan
model konseptual layanan PKBM. Hasil penelitiannya menunjukkan
adanya keterlibatan aktif, tanggapan positif, serta terjadinya peningkatan
kemampuan pengetahuan, sikap dan keterampilan, sehingga model
konseptual ini dapat menjadi rujukan bagi PKBM lainnya.
Pemberian kesempatan pendidikan yang merata dan luas
diharapkan dapat memperbaiki taraf kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat yang hanya mengenyam pendidikan nonformal sebaiknya
diberikan pelatihan yang bersifat keterampilan hidup sehingga dapat
memberikan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan. Pelatihan
keterampilan hidup pada dasarnya diadakan untuk memecahkan
masalah pengangguran dan kemiskinan yang terjadi di masyarakat.
Dengan adanya pelatihan ini, masyarakat dapat membuka lapangan
kerja sekaligus memiliki keterampilan yang sudah disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat. Salah satunya pelatihan di bidang montir
otomotif seperti yang ada di dalam penelitian berjudul “Dampak Pelatihan
Keterampilan Hidup (Life Skills) Montir Otomotif terhadap Kesempatan
Kerja dan Pendapatan Warga Belajar” oleh Dayat Hidayat. Hasil
penelitian ini menunjukkan, pelatihan keterampilan di bidang otomotif
dan sikap kewirausahaan telah membuat warga belajar dapat mandiri
serta mengurangi terjadinya pengangguran sehingga meningkatkan
kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar di Kabupaten
Karawang.
Pemenuhan hak pendidikan tidak hanya bagi warga masyarakat
yang buta aksara maupun yang belum berkesempatan mengenyam
pendidikan. Orang dengan berkebutuhan khusus juga mendapatkan
layanan pendidikan. Tunagrahita merupakan salah satu dari golongan
yang berkebutuhan khusus. Tunagrahita merupakan keadaan
keterbelakangan mental yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata.
Pada sebagian anak, ada yang sampai mengalami keterhambatan
perkembangan fisik. Untuk itu, perlu dilatih kemampuan motorik
kasar anak melalui permainan tradisional yang dapat menyenangkan
bagi anak. Salah satu permainan tradisional yang dapat dilatihkan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
yaitu Sikodoka atau Engklek. Penelitian yang dilakukan oleh Mientje
Ratoe Oedjoe dan Beatriks Novianti Bunga berjudul “Meningkatkan
Kemampuan Motorik Kasar Melalui Permainan Tradisional ‘Sikodoka’
Bagi Anak Usia Dini Berlatar Belakang Tuna Grahita” menunjukkan
peningkatan kemampuan motoric kasar anak tunagrahita melalui
permainan tradisional.
Permainan tradisional lainnya yang dapat dimainkan oleh anak
yaitu Cim-Ciman. Permainan tradisional Cim-Ciman berasal dari
Banyumas yang beberapa bagiannya mirip dengan permainan petak
umpet. Permainan ini mampu menstimulasi perkembangan secara
holistik-integratif, menanamkan nilai-nilai budaya dan membangun
karakter. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Fauzi berjudul
“Pembentukan Karakter Anak melalui Permainan Tradisional CimCiman” menunjukkan manfaat permainan tradisional bagi pembentukan
karakter anak sehingga perlu terus dilakukan rekonstruksi dan
revitalisasi permainan tradisional sehingga dapat dijadikan permainan
yang menarik minat anak Indonesia.
Penanaman karakter pada diri anak terutama anak usia dini juga
perlu dibarengi dengan kecakapan sosial guru karena interaksi sosial
merupakan pondasi awal bagi anak usia dini untuk belajar bersosialisasi
dan mengenal lingkungan di sekitarnya baik rumah maupun masyarakat.
Anak usia dini masih memiliki perkembangan bahasa yang terbatas
sehingga guru sebaiknya mampu memahami tahapan perkembangan
anak. Guru PAUD adalah pihak yang dapat menjadi fasilitator dalam
meningkatkan kemampuan bahasa oral serta mengurangi hambatan
yang ditemui anak ketika belajar berbahasa. Penelitian yang dilakukan
oleh Gian Fitria Anggraini dan Ari Sofia berjudul “Rekonstruksi Kecakapan
Sosial Guru dalam Pengembangan Berbicara Anak Usia Dini”. Hasil
penelitian menjelaskan bahwa semakin tinggi kualitas interaksi sosial
yang terjadi antara anak dan guru dibarengi dengan tingginya interaksi
sosial. Kecakapan sosial yang dimiliki oleh guru dapat mempengaruhi
pola interaksi yang nantinya akan sangat membantu pengembangan
potensi dan keterampilan anak usia dini. Kualitas interaksi sosial yang
baik antara anak dan guru dapat menghindari terjadinya kekerasan
dalam lingkungan anak.
Tindakan kekerasan (bullying) telah terjadi di taman kanak-kanak.
Bentuk kekerasan yang timbul di TK yaitu berupa barang/mainan
direbut dan diikuti dengan dipukul pada bagian anggota tubuh. Hal ini
termasuk ke dalam kekerasan ketika anak yang mainannya direbut
merasa teraniaya dan kemudian menjadi korban. Selain itu, kekerasan
juga dapat timbul dalam dimensi verbal Tindak kekerasan yang sering
terjadi adalah dijuluki dan dicela oleh anak lain. Kekerasan lainnya
dalam dimensi relasional, anak TK sering ditertawakan (diejek) oleh
anak lain dan diacuhkan saat bermain. Penanganan bentuk kekerasan
yang terjadi di anak TK dengan menerapkan program konseling
kognitif-perilaku dengan teknik latihan asertif. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Mubiar Agustin, Ipah Saripah, dan Asep Deni Gustiana
berjudul “Efektivitas Konseling Kognitif-Perilaku dengan Teknik Latihan
Asertif Untuk Mengatasi Tindakan Kekerasan pada Anak”. Hasil
penelitian menemukan latihan asertif efektif dalam mengatasi tindakan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
kekerasan pada anak karena membelajarkan anak untuk berani
mengungkapkan perasaan, keyakinan, dan pemikiran secara terbuka,
serta mempertahankan hal-hal pribadi.
Untuk dapat mengungkapkan perasaan dan pendapat, anak perlu
menguasai bahasa dengan baik. Hal ini dapat mulai dilatih dari usia 2 –
2,5 tahun. Pada usia ini, anak dapat mulai belajar fonologi. Pemerolehan
bunyi bahasa pada anak-anak berlangsung secara berurutan, yakni dari
bunyi yang mudah ke sukar. Penelitian berjudul “Pemerolehan Bahasa
Anak: Kajian Aspek Fonologi Pada Anak Usia 2 - 2,5 Tahun” yang
dilakukan oleh Prima Gusti Yanti memaparkan pemerolehan fonologi
anak masih belum lengkap karena belum menguasai bunyi getar [r].
Selain itu, pemerolehan fonologi juga dipengaruhi oleh stimulus dari
keluarga atau lingkungan.
Penelitian merupakan serangkaian kegiatan untuk menemukan
kebenaran untuk menjelaskan fenomena yang ada, memecahkan
masalah, serta memprediksi kejadian yang terjadi pada waktu yang
akan datang. Penelitian merupakan pendorong perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, penelitian perlu
dikembangkan termasuk dalam pendidikan nonformal. Berbagai masalah
yang menarik dan perlu dilakukan untuk meningkatan kuantitas dan
kulitas pendidikan nonformal.
Nilai utama hasil penelitian adalah pemanfaatannya lebih lanjut.
Laporan penelitian perlu disebarluaskan melalui berbagai kesempatan
dan publikasi ilmiah, bukan hanya semata-mata sebagai dokumen untuk
pertanggungjawaban dana penelitian. Penyebarluasan hasil penelitian
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah yang
relevan atau mengembangkan berbagai program pendidikan termasuk
dalam pendidikan nonformal.
Penelitian-penelitian yang ada dalam jurnal Visi PTK-PAUDNI
edisi Desember 2016 ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
dan masukan keilmuan dalam bidang PAUDNI. Hasil-hasil penelitian
itu hendaknya juga dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penelitian
lebih lanjut atau sebagai bahan perbandingan.***
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
PENGUATAN MANAJEMEN PUSAT KEGIATAN BELAJAR
MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN MUTU LAYANAN
PENDIDIKAN NONFORMAL
Asep Saepudin, Ade Sadikin,& Iip Saripah
e-mail: [email protected]
PLS FIP Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan model konseptual layanan PKBM, (2)
melakukan validasi model konseptual layanan PKBM, dan (3) menganalisis implementasi model layanan
PKBM. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam studi ini terdiri atas: studi dokumentasi, studi literatur, wawancara, dan
kelompok diskusi terfokus (FGD). Subjek penelitiannya adalah pengelola dan tutor, serta peserta didik
PKBM yang berada di wilayah Bandung Raya yang dilakukan pada April – September 2015. Hasil penelitian
berupa (1) model konseptual yang dikembangkan terdiri atas, rasionalisasi, asumsi, tujuan, komponen,
indikator, dan prosedur model; (2) validasi model dilakukan dengan menggunakan dua cara yakni diskusi
dengan teman sejawat (peer group) dan penilaian para ahli (expert judgement); serta (3) implementasi
model dideskripsikan dalam kegiatan pembelajaran di PKBM. Langkah-langkah pembelajaran sebagai
komponen model adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan penilaian dalam
pembelajaran. Kesimpulan model yang dikembangkan menunjukkan hasil yang efektif, dengan indikator
(a) adanya keterlibatan aktif dan tanggapan positif warga masyarakat terhadap kegiatan pembelajaran,
serta (b) hasil belajar warga msyarakat menunjukkan terdapat peningkatan kemampuan pengetahuan,
sikap dan keterampilan.
Kata-kata Kunci: penguatan manajemen, PKBM, mutu layanan, pendidikan nonformal.
STRENGTHENING THE MANAGEMENT OF COMMUNITY LEARNING
CENTER TO IMPROVE THE SEVICE QUALITY OF
NON-FORMAL EDUCATION
Abstract: The purposes of this research are (a) to describe service conceptual model of Community Learning
Center (CLC), (b) to validate the service conceptual model of CLC, and (c) to analyze the implementation
of the service conceptual model of CLC. The research employed qualitative approach and descriptive
method. The data were collected by using document study, literature review, interview, and Focus Group
Discussion as from April through September 2015. The subjects of the study included administrators,
tutors, and CLC participants in Bandung Raya area. The research resulted in (a) the developed conceptual
model consisting of rationalization, assumption, objectives, components, indicators, and procedure model;
(b) the model validation used peer group and expert judgement techniques; and model implementation
described in instructional activities in CLC. Instructional steps as the model components are planning
process, organizing, implementation, and evaluation in instruction. The conclusion of the developed model
indicates effective results with the indicators: (a) the active participation and respond of the community
for instructional activities and (b) the learning achievement of the community shows the improvement in
knowledge, attitude, and skills.
Keywords: strengthening management, Community Learning Center, nonformal education.
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah melahirkan percepatan perubahan
di segala bidang, yang mempengaruhi sendi-
sendi kehidupan manusia. Menyikapi perubahan
perkembangan dunia yang semakin mengglobal,
UNESCO menerapkan empat pilar belajar, yaitu
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
65
Penguatan Manajemen Pusat ...
learning to know, learning to do, learning to live
together, dan learning to be. Pada learning to know
terkandung makna bagaimana belajar, learning
to do mengandung dimensi kecakapan hidup
manusia, learning to live together mengandung
dimensi kehidupan multikultural, dan learning to be
mengandung makna belajar untuk mengenal jati diri,
kemampuan dan kelemahan serta kompetensi yang
dikuasai untuk membangun kehidupan yang utuh
secara terus-menerus.
Penerapan empat pilar belajar UNESCO
(2005), yaitu learning to know, learning to do, learning
to live together, dan learning to be, melahirkan
konsep revolusi belajar. Model pembelajaran
modern, yaitu melatih para peserta didik untuk
menjadi sumber belajar, mengubah model belajar
pasif (passive learning) menjadi belajar aktif (active
learning), mengubah model berpikir fakta (factual
thinking) menjadi berpikir kritik (critical thinking),
dari kurang aktif memberi respons menjadi proaktif
memberi respons, dari berpikir abstrak menjadi
autentik. Perubahan ini, menempatkan peranan
pendidikan nonformal dalam posisi yang strategis.
Menurut Sihombing (1999:12) pendidikan luar
sekolah bukan hanya sebagai lembaga pendidikan
dalam masyarakat tetapi juga merupakan program
strategis yang responsif dalam menanggulangi
permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Berdasarkan alur pemikiran di atas,
implementasi program belajar dalam PKBM
merupakan pendekatan pendidikan (educational
approach) pada jalur pendidikan nonformal yang
didasarkan kepada konvergensi kebutuhan belajar
(learning needs) dengan sumber belajar (learning
resourch) dalam masyarakat, yang membentuk
suatu sistem belajar. Sebagai suatu sistem belajar
PKBM dibangun atas lima komponen berikut:
(1) kebutuhan belajar, (2) sumber belajar, (3)
program pembelajaran, (4) kelompok belajar/wadah
pembelajaran, dan (5) fasilitator kegiatan belajar.
Terminologi yang berkaitan dengan PKBM
yaitu: Pusat, bermakna pemusatan manajemen,
bukan dalam pengertian pemusatan berbagai
program layanan PKBM pada satu tempat. Pemusatan
manajemen penyelenggaraan PKBM, terutama
dalam hal pemecahan masalah dan pendayagunaan
sumberdaya. Kegiatan belajar, setiap program
atau kegiatan layanan PKBM diselenggarakan
dalam setting pembelajaran sehingga proses dan
hasil program dan kegiatan layanan yang diikuti
66
dan diperoleh warga sasaran program harus
berdampak kepada perubahan pengetahuan, sikap
dan keterampilan. Masyarakat, merupakan sasaran
utama dan sasaran akhir dari setiap program/
kegiatan layanan yang dirancang oleh PKBM. Pada
sisi lain masyarakat juga merupakan sasaran utama
dan sasaran akhir dari fasilitasi dan pendampingan
yang dilakukan oleh pihak luar. Menurut Hikmat, H.,
(2001:23), fasilitasi dan atau pendampingan dari
pihak luar masyarakat dan keterlibatan masyarakat
dalam penyelenggaraan PKBM diorientasikan
kepada penguatan kemampuan masyarakat
berperan aktif: (1) sebagai penyelenggara atas
upaya pemenuhan kebutuhan pembelajarannya; (2)
dalam setiap proses pengambilan keputusan yang
menyangkut dengan upaya peningkatan taraf hidup
dan kehidupannya; dan (3) sebagai penggagas serta
penggerak bagi dirinya sendiri maupun masyarakat
lain di lingkungan sekitarnya.
Mengingat karakteristik dan trend permasalahan pendidikan nonformal saat ini mengarah
kepada penanganan kebutuhan nyata masyarakat,
maka orientasi program PKBM sebagai satuan
pendidikan nonformal diproyeksikan pada pendidikan
masyarakat dengan pendekatan Community Based
Education (CBE). Menurut Fasli Jalal dan Dedi
Supriadi (2001:31) Community Based Education
menekankan pentingnya pemahaman masyarakat,
karakteristiknya, kebutuhannya, kelemahan dan
kekuatan yang dimilikinya. Dalam implementasinya
CBE merupakan metode yang menekankan pada
cara pemecahan masalah oleh masyarakat, dengan
memanfaatkan potensi lingkungan (to help people
to help them self). Community Base Education,
dikembangkan bersandar kepada beberapa
konsepsi sebagai berikut: Pendidikan sepanjang
hayat, Pendidikan kritis yang menekankan perbaikan
kemampuan dasar masyarakat, meningkatkan
kemampuan yang ada, serta partisipasi dalam setiap
kegiatan, Andragogi, dan Learning Organization.
Berdasarkan data empiris, PKBM di wilayah
Bandung Raya merupakan PKBM yang telah teruji
mampu meningkatkan sumber daya manusia yang
bermutu. Program pendidikan yang diselenggarakan
PKBM umumnya adalah program pendidikan
kesetaraan paket A, paket B, dan paket C. Program
pendidikan anak usia dini, program pendidikan
life skill (kursus keterampilan), dan pendidikan
masyarakat lainnya yang diselenggarakan sesuai
dengan kebutuahan dan potensi lingkungan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penguatan Manajemen Pusat ...
masarakat sekitar. Namun demikian, PKBM
di wilayah Bandung Raya rata-rata belum
sepenuhnya menyelengaraan pendidikan sesuai
standar nasional pendidikan. Hal ini dikarenakan
belum seluruhnya PKBM memiliki kelayakan
dilihat dari aspek manajemen penyelenggaraan,
standarisasi dan ketertiban administrasi dan
kelayakan fisik lembaga sebagai penyelenggara
pendidikan.
Sejalan dengan uraian di atas, pada sisi
lain, upaya untuk mengembangkan pendidikan
nasional baik melalui jalur pendidikan formal
maupun pendidikan nonformal terus ditingkatkan
secara berkelanjutan sebagai implementasi dari
komitmen pemerintah untuk menyelenggarakan
pendidikan bermutu sebagaimana diamanatkan
dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945,
serta Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 tahun 2003. Kebijakan tentang optimalisasi
pendidikan nonformal juga dperkuat dengan
Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1991 tentang
pendidkan luar sekolah. Oleh karena itu, sangat
beralasan apabila PKBM sebagai salah satu
satuan pendidikan nonformal mendapat perhatian
lebih dan untuk terus diperkuat sebagai lemaga
pendidikan yang telah teruji mampu memberdayakan
masyarakat melalui berbagai program pendidikan
sesuai kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka
dilakukan penelitian ini dalam rangka untuk
penguatan manajemen PKBM di wilayah Bandung
Raya. Harapan besar manfaat dari penelitian
ini adalah mampu mengungkap secara empiris
terhadap ragam pengelolaan PKBM, standar
minimal penyelenggaraan PKBM, dan upaya
merumuskan desain konseptual layanan PKBM
bermutu yang dibutuhkan masyarakat khsusnya di
wilayah Bandung Raya.
Peneltian ini mengusung kajian teori yang
relevan dengan tema penelitian yakni berkenaan
dengan: (1) konsep pendidikan luar sekolah, (2)
konsep, tujuan, prinsip, karakteristik, program,
standar minimal, serta pengembangan evaluasi
PKBM.
Konsep pendidikan luar sekolah sebagai
salah satu sub sistem pendidikan nasional memiliki
ruang lingkup yang sangat luas dan komplek. Secara
teoretis, Sudjana dalam Saepudian (2015:95)
mendefinisikan pendidikan luar sekolah sebagai
kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem
persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri
atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang
lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani
peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan
belajarnya.
Konsep PKBM sebagai satuan pendidikan luar
sekolah mengemuka sejak awal tahun 1990 an, yang
dipopulerkan lewat suatu pertemuan para pimpinan
negara di dunia. Dalam studinya Jajat S. Ardiwinata
(2014: 100) menjelaskan bahwa dalam deklarasi
Dunia tentang Education For All (EFA), di Jomtien,
Thailand tahun 1990, hampir 155 negara menggagas
adanya Community Learning Centre (CLC) sebagai
cikal bakal munculnya istilah PKBM di Indonesia.
Sihombing dan Gutama (2000:34) memaparkan
PKBM adalah sebuah lembaga pendidikan yang
dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat serta
diselenggarakan di luar sistem pendidikan formal
baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan
tujuan untuk memberikan kesempatan belajar
kepada seluruh lapisan masyarakat agar mampu
membangun dirinya secara mandiri sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itulah, PKBM
berperan sebagai tempat pembelajaran masyarakat
terhadap berbagai pengetahuan atau keterampilan
dengan memanfaatkan sarana, prasarana dan
potensi yang ada di sekitar lingkungannya (desa,
kota), agar masyarakat memiliki keterampilan yang
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup
dan prestasi belajar masyarakat. Berkenaan dengan
itu, masyarakat berprestasi adalah masyarakat yang
mau belajar. Laila Hayati (2011:181) dalam hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa prestasi tidak
akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak
pernah melakukan kegiatan belajar.
Tujuan penting dalam pengembangan PKBM
menurut Sihombing dan Gutama (2000: 36) adalah
pertama, memberdayakan masyarakat agar mampu
mandiri (berdaya). Kedua, meningkatkan kualitas
hidup masyarakat baik dari segi sosial maupun
ekonomi. Ketiga, meningkatkan kepekaan terhadap
masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya
sehingga mampu memecahkan permasalahan
tersebut. Sihombing (1999) menyebutkan
bahwa tujuan pelembagaan PKBM adalah untuk
menggali, menumbuhkan, mengembangkan,
dan memanfaatkan seluruh potensi yang ada di
masyarakat itu sendiri. Dalam arti memberdayakan
seluruh potensi dan fasilitas pendidikan yang ada
di desa sebagai upaya membelajarkan masyarakat
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
67
Penguatan Manajemen Pusat ...
yang diarahkan untuk mendukung pengentasan
kemiskinan, dengan prinsip pengembangan dalam
rangka mewujudkan demokrasi bidang pendidikan.
Tujuan lain dari penyelenggaraan program
pendidikan di PKBM adalah untuk meningkatkan
kompetensi warga masyarakat sehingga memiliki
keterampilan dalam memecahkan permasalahan
yang dihadapi selama hidupnya. Kompetensi
dimaksud hanya akan diperoleh lewat proses belajar
yang diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan,
sikap dan keterampilan. Menurut Oos M. Anwas
(2011:193), kompetensi adalah kemampuan
yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan,
dan didukung oleh sikapnya yang dituntut dalam
melaksanakan tugas pekerjaannya. Ini berarti
hanya masyarakat yang mau belajar yang akan
memiliki kompetensi. Salah satu sarana peningkatan
kompetensi yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat adalah melalui belajar pada satuan
pendidikan PKBM.
Menurut Sihombing. (1999:12) beberapa
prinsip dasar yang dapat dijadikan acuan dalam
pengembangan dan menyusun program PKBM
antara lain adalah: a) program yang dikembangkan
PKBM harus meluas sehingga warga belajar
memperoleh kesempatan yang luas untuk
mengembangkan pengalaman tentang pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai yang berkaitan dengan
etika, estetika, logika dan kinestetika pada saat
pembelajaran; b) program harus memiliki prinsip
keseimbangan (balanced) dimana setiap kompetensi
yang dikembangkan dalam program PKBM harus
dicapai melalui alokasi waktu yang cukup untuk
sebuah proses pembelajaran yang efektif; c)
program yang dikembangkan PKBM harus relevan
karena setiap program terkait dengan penyiapan
warga belajar untuk meningkatkan mutu kehidupan
melalui kesempatan, pengalaman, dan latihan dalam
berperan dan bersikap secara bertanggung jawab
dalam mewujudkan kedewasaan berpikirnya, d)
program yang dikembangkan PKBM harus mampu
mengedepankan konsep perbedaan (differentiated),
prinsip ini merupakan upaya pelayanan individual
dimana warga belajar harus memahami: apa yang
perlu dipelajari; bagaimana berpikir, bagaimana
belajar, dan berbuat untuk mengembangkan potensi
dan kebutuhan dirinya masing-masing secara
optimal.
Dalam upaya untuk menjalankan prinsip
PKBM sehingga selaras dengan kepentingan dan
68
kemampuan masyarakat, maka perlu dikembangkan
standar minimal manajemen penyelenggaraan
PKBM yang berbasis masyarakat (community
based). Tujuan dikembangkannya standar minimal
PKBM Standar & Prosedur Penyelenggaraan
PKBM (Kementerian Pendidikan dan Kebudayan,
2015:3) adalah: (a) PKBM yang telah terbentuk
dapat menyelaraskan dan menyesuaikan proses
penyelenggaraannya dengan segenap potensi dan
sumber daya disekitarnya dan sekaligus memberikan
wawasan terhadap kepentingan pembangunan yang
lebih luas; dan (b) Dapat dijadikan salah satu alat
fasilitasi aparat pemerintah dalam pembentukan
PKBM oleh masyarakat.
Lingkup Standar Minimal PKBM diukur
berdasarkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah
No. 19 tahun 2005. Kedelapan aspek tersebut yakni:
(1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar lulusan,
(4) standar pendidik, (5) standar sarana prasarana, (6)
standar pengelola, (7) standar penilaian, (8) standar
pembiayaan (Pedoman Evaluasi Dikmas, 2014:3).
Merujuk kepada fungsi utama dan pendukung
PKBM, paling tidak ada empat bidang kegiatan
yang perlu dikelola oleh Pengelola PKBM. Bidang
kegiatan tersebut adalah: pertama, Pendidikan,
meliputi kegiatan pembimbingan atau penyuluhan,
pengajaran dan pelatihan. Kedua, Pelayanan
informasi, meliputi kegiatan: (1) Menghimpun
informasi dari PKBM, masyarakat sekitar, dan
lembaga luar, (2) Memberikan layanan informasi
kepada masyarakat sekitas dan lembaga luar.
Ketiga, Jaringan informasi dan kemitraan, meliputi
kegiatan: (1) Mengembangkan jaringan informasi
dan kemitraan dengan lembaga yang ada di dalam
maupun di luar masyarakat dalam penyelenggaraan
kegiatan di PKBM maupun di lembaga mitra.
(2) Memelihara jaringan yang telah terbina, dan
Keempat, Pembinaan tenaga kependidikan PKBM,
meliputi kegiatan: meningkatkan kualitas kinerja
tenaga pengelola dan tenaga pendidik (tutor, nara
sumber) baik dilakukan secara mandiri maupun atas
fasilitasi dari luar.
Berkenaan dengan standar minimal
penyelenggaraan PKBM, dalam buku Standar
& Prosedur Penyelenggaraan PKBM (2015:3)
ditegaskan bahwa berdasarkan fungsi PKBM yang
terbagi atas standar manajemen dan standar fisik
(sarana dan prasarana), meliputi: pertama, Standar
minimal manajemen, menguraikan kegiatan minimal
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penguatan Manajemen Pusat ...
yang perlu dilakukan oleh pengelola PKBM agar
fungsi PKBM dapat dilaksanakan. Kegiatan-kegiatan
pengelolaannya diuraikan berdasarkan tahapan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan pengendalian, dan penilaian. Kedua, Standar
minimal sarana fisik, menguraikan sarana dan
prasarana penunjang minimal yang perlu disiapkan
oleh pengelola untuk digunakan dalam pengelolaan
kegiatan PKBM.
Berdasarkan paparan di atas, penyelenggaraan
pendidikan dan PKBM sebagai wadah untuk
peningkatan seluruh lapisan anggota masyarakat
melalui jalur pendididkan nonformal diperkirakan
belum seluruhnya dapat memenuhi harapan sebagai
bagian dari pendidikan berbasis masyarakat, karena
faktor penunjang maupun kemampuan internal yang
belum memadai.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode deskriptif, sehubungan
penelitian ini mengungkap tentang fenomena empirik
saat ini (Sugiyono, 2011:3). Subjek penelitian yang
dijadikan sumber data utama adalah unsur pengelola
PKBM, dan unsur Dinas Pendidikan di wilayah
Bandung Raya yakni di wilayah Kota Bandung,
Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat.
Masing-masing wilayah diwakili oleh empat PKBM.
Pada masing-masing Kabupaten/Kota ditentukan
sampelnya 1 (satu) satuan PKBM berdasarkan
wilayah yakni: bagian utara, bagian selatan, bagian
barat dan bagian timur. Agar penelitian dapat
terfokus dan dilakukan secara mendalam maka
yang menjadi subjek penelitian/informan dibatasi
jumlahnya dengan pertimbangan informan tersebut
memiliki informasi yang dibutuhkan peneliti, dalam
hal ini peneliti menggunakan purpose sampling dalam
teknik pengambilan sampling. Sebagaimana yang
disebutkan Sugiyono (2012:301) bahwa “Purpose
Sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber
data dengan pertimbangan tertentu”. Dengan
demikian, dari setiap satuan PKBM, dietetapkan
ada satu orang pengelola, satu orang unsur sumber
belajar/instruktur, dan dua orang warga masyarakat
sebagai peserta didik sehingga jumlah informan
primer penelitian 12 orang yaitu 3 orang pengelola
PKBM dan 3 orang unsur sumber belajar dan 6 warga
masyarakat.
Variabel penelitian yang diekplorasi dari subjek
penelitian adalah: (1) desain model pengelolaan
lembaga PKBM, (2) deskripsi validasi model, dan (3)
implementasi model penguatan manajemen PKBM.
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu
dengan teknik observasi, wawancara, dokumentasi
dan angket. Selanjutnya, analisis data dilakukan
dengan beberapa tahap yaitu: (1) reduksi data (data
reduction), (2) penyajian data (data display), dan (3)
kesimpulan (conclusion drawing/verification). Waktu
penelitian dilakukan selama enam bulan, yakni pada
bulan April – September 2015.
Langkah-langkah penelitian adalah hal penting
yang perlu ditetapkan oleh peneliti. Menurut suharsimi
Arikunto (2010:25) dalam kegiatan penelitian
sekurang-kurangnya peneliti harus menyusun tahap
persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan. Untuk itu
dalam penelitian ini dilakukan dalam empat tahap
yaitu: (a) tahap persiapan (pra lapangan), (b) tahap
pekerjaan lapangan (pengumpulan data), (c) tahap
analisis data, dan (d) tahap pelaporan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Desain Model Penguatan Manajemen PKBM di
Wilayah Bandung Raya.
Model konseptual yang dikembangkan terdiri
atas, rasionalisasi, asumsi, tujuan, komponen,
indikator, dan prosedur model. Keenam aspek
tersebut diuraikan sebagai berikut.
Pertama, rasionalisasi pengembangan model
adalah didasari pemikiran bahwa Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan satuan
pendidikan luar sekolah yang memliki peran
sangat penting dalam pendidikan di masyarakat,
terutama di wilayah Bandung Raya. Hal tersebut
terbukti dari: (1) animo masyarakat untuk mengikuti
pendidikan pada lembaga PKBM sangat tinggi,
(2) PKBM telah berhasil menjadi lembaga
pendidikan alternatif, yakni sebagai pelengkap
(suplemen), pengganti (substitusi) dan penambah
(komplemen) pendidikan formal sangat efektif.
Pada sisi lain, satuan pendidikan PKBM dalam
perkembangannya menghadapi berbagai hambatan
terkait dengan kinerja program-program yang
dijalankan di dalamnya, diantaranya mutu layanan
dan ketersediaan sarana prasarana, pada sebagian
besar PKBM selain belum merata juga kondisi
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
69
Penguatan Manajemen Pusat ...
nya masih relatif kuirang baik sehingga standar
mutu PKBM di berbagai wilayah perlu ditingkatkan
sebagaimana mestinya. Untuk terjadinya
peningkatan produktivitas dan terpenuhinya mutu
layanan PKBM, maka diperlukan penataan mutu
dan pengelolaan PKBM khususnya di wilayah
Bandung Raya melalui intervensi penerapan model
penguatan manajemen PKBM dalam meningkatkan
mutu layanan pendidikan bagi masyarakat
Kedua, asumsi pengembangan model (1)
pengelola PKBM di satu sisi memiliki potensi
dan peluang yang dapat dikembangkan dalam
pengelolaan PKBM, dan di sisi lain dihadapkan
pada berbagai kendala dalam mengembangkan
PKBM yakni keterbatasan fasilitas dan kemampuan
pengembangan PKBM. Untuk itu pengelola PKBM
diharapkan memiliki kompetensi pengelolaan dalam
melakukan kegiatan discovery terutama berkaitan
dengan kemampuan dan keterampilan memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya serta mencoba
memperbaiki kekurangan yang dialaminya.
Ketiga, tujuan pengembangan model ini
adalah menawarkan sebuah model penguatan
manajemen PKBM bagi pengelola, dalam
meningkatkan mutu layanan pendidikan kepada
masyarakat, yang diorientasikan pada penguatan
kompetensi perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi program.
Keempat, komponen model berkaitan
dengan prinsip pengelolaan yang dikembangkan
dengan mempertimbangkan: (1) sasaran, (2)
bahan belajar, dan (3) sumber belajar. Untuk
mengembangkan model dirancang seperangkat
instrumen yang melengkapi model, yakni: (1)
instrumen proses eksploratif dalam mengidentifikasi
kebutuhan konstruksi model sebagai landasan
pokok merumuskan rancangan model, (2) instrumen
proses implementatif model. Sedangkan unsur
program model terdiri dari: (1) perencanaan,
(2) pengorganisasian, (3) pelaksanaan, dan (4)
penilaian.
Kelima, indikator model antaralian: (1)
Tumbuhya kesadaran bagi pengelola PKBM
(2) Adanya keterlibatan aktif antar pengelola
program pendidikan, pendidik dan peserta didik
(warga belajar) yang secara bersama-sama
merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan
dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran sesuai
permasalahan dan kebutuhan belajarnya, (3)
Meningkatnya mutu layanan pendidikan pada
70
satuan PKBM sesuai standar nasional pendidikan.
Keenam, prosedur implementasi model
penguatan manajemen PKBM ditempuh melalui
empat tahap kegiatan, yakni perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan penilaian
(evaluasi).
2. Validasi Model Penguatan Manajemen PKBM di
Wilayah Bandung Raya
Dalam upaya menghasilkan model penguatan
manajemen PKBM yang efektif, dilakukan pengujian
kelayakan model yang telah dikonseptualisasikan
(model hipotetik) sebelum diimplementasikan.
Kegiatan uji kelayakan model dilakukan melalui dua
tahap yakni tahap analisis kualitas model dan tahap
penilaian para ahli (expert judgement).
Pertama, tahap analisis model dilakukan
dengan cara mengkaji terhadap isi (content) dan
keterkaitan dari setiap aspek model. Analisis
terhadap model dilakukan oleh peneliti dan
didiskusikan dengan teman sejawat. Kegiatan
analisis model ini dilakukan secara sistematik, untuk
melihat kelayakan model penguatan manajemen
PKBM sebagai suatu kesatuan yang utuh, saling
berhubungan satu aspek dengan aspek lainnya.
Tujuan akhir pada tahap ini adalah selain untuk
melihat apakah isi model telah memadai, juga
apakah hubungan antar aspek yang dikembangkan
telah tepat.
Kedua, tahap penilaian para ahli (expert
judgement) dilakukan dengan cara konsultasi
dengan para ahli kurikulum pendidikan, ahli
komunikasi, dan praktisi PKBM. Para ahli yang
dilibatkan dalam penilaian model adalah yang
memiliki latar belakang pendidikan yang relevan
dengan kebutuhan pengembangan model
penguatan manajemen PKBM. Proses penilaian
para ahli dilakukan dengan menggunakan teknik
respon terinci, dimana peneliti menyampaikan
konsep model penguatan manajemen PKBM disertai
instrumen yang terintegrasi dalam suatu format
kepada para ahli yang telah ditetapkan. Para ahli
tinggal mengisi pendapatnya pada kolom yang telah
disediakan pada format isian.
3. Implementasi Model Penguatan Manajemen
PKBM di Wilayah Bandung Raya
Implementasi model dideskripsikan dalam
kegiatan pembelajaran di PKBM. Langkah-langkah
pembelajaran sebagai komponen model adalah
(a) proses perencanaan, (b) pengorganisasian, (c)
pelaksanaan, dan (d) penilaian dalam pembelajaran.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penguatan Manajemen Pusat ...
Pertama, tahap perencanaan merupakan
kegiatan awal yang dilakukan oleh pengelola sebelum
melaksanakan seluruh kegiatan pembelajaran.
Oleh karena itu, pada tahap ini pengelola PKBM
selayaknya melakukan perencanaan pembelajaran
secara matang dan sistematik. Perencanaan
pembelajaran dalam pelaksanaan melibatkan
bnayak pihak, teruatama yang terkait dengan
kebutuhan dan dampak dari penerapan model
ini. Kegiatan perencanan dilakukan melalui
empat kegiatan, yakni: (a) identifikasi umum
kebutuhan belajar, (b) menetapkan kebutuhan
belajar berdasarkan porsi terbanyak, (c) identifikasi
sumber belajar, dan (d) identifikasi mitra kerjasama. Kegiatan identifikasi kebutuhan belajar (learning
needs) dilakukan terhadap informan awal yang
dipandang memiliki kapabilitas dan kredibilitas
dalam memberikan informasi untuk mendapatkan
gambaran umum tentang kebutuhan belajar.
Kedua, tahap pengorganisasian diarahkan
untuk merumuskan perencanaan pembelajaran
berkenaan dengan: (a) tujuan pembelajaran yang
disesuaikan dengan tujuan umum yaitu peningkatan
kemampuan pengetahuan dan keterampilan warga
masyarakat dalam meningkatkan kemampuan diri;
(b) materi pembelajaran yang diarahkan pada materimateri yang dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam meningkatkan kemampuan
diri warga masyarakat; (c) metode dan teknik
pembelajaran yang disesuaikan dengan jenis materi
yang dipelajari, apakah menunutut teknik ceramah,
diskusi, penugasan atau simulasi; serta (d) media/
alat pembelajaran yang disesuaikan dengan materi
yang akan dipelajari.
Ketiga, tahap pelaksanaan merupakan
kegiatan pembelajaran diarahkan dalam suasana
atau iklim kegiatan yang interaktif, demokratis
dan partisipatif. Sumber belajar yang memiliki
kesempatan luas untuk menjadi manager sehingga
terjadinya transfer pengetahuan dan keterampilan
dari dirinya atau pihak lain kepada warga masyarakat
sebagai peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
Baik secara sendiri atau melibatkan pihak lain,
pendamping atau sumber belajar melakukan kegiatan
yang diarahkan untuk membantu atau mendampingi
terjadinya proses belajar warga masyarakat. Sumber
belajar diupayakan untuk meningkatkan kemampuan
pengetahuan dan keterampilan warga masayarakat
dalam meningkatkan kemampauan diri sesuai
kebutuhannya.
Tahap evaluasi dilakukan untuk mengobservasi
atau pengamatan terhadap beberapa aspek yang
menjadi ukuran dari hasil beajar yang dilakukan oleh
warga masyrakat sebagai warga belajar atau peserta
didik. Hasil yang diperoleh menunjukan peningkatan
nilai skor rata-rata pretest dan post test peserta
didik. Selain itu, evaluasi terhadap pengelola relatif
menunjukkan respon dan penilaian yang baik dari
peserta didik.
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan hasil penelitian adalah
sebagai berikut. Pertama, model konseptual
yang dikembangkan terdiri atas, rasionalisasi,
asumsi, tujuan, komponen, indikator, dan prosedur
model. Kedua, validasi model dilakukan dengan
menggunakan dua cara yakni diskusi dengan
teman sejawat (peer group) dan penilaian para ahli
(expert judgement). Ketiga, implementasi model
dideskripsikan dalam kegiatan pembelajaran di
PKBM. Langkah-langkah pembelajaran sebagai
komponen model adalah proses perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan penilaian dalam
pembelajaran.
Kesimpulan model yang dikembangkan
menunjukkan hasil yang efektif, dengan indikator: (a)
adanya keterlibatan aktif dan tanggapan positif warga
masyarakat terhadap kegiatan pembelajaran, dan (b)
hasil belajar warga msyarakat menunjukkan terdapat
peningkatan kemampuan pengetahuan, sikap dan
keterampilan
Saran
Saran untuk pengelola yaitu: Pertama,
pengelola PKBM disarankan untuk mengidentifikasi
dan memanfaatkan potensi lingkungan di sekitar PKBM
untuk meningkatkan kualitas layanan pembelajaran.
Kedua, meningkatkan jalinan kemitraan dengan
perusahaan (user) yang ada di wilayah PKBM,
terutama untuk kepentingan: (a) penyempurnakan
kurikulum PKBM yang sesuai dengan kebutuhan
perusahaan sehingga lulusan PKBM dapat diserap
sebagai tenaga kerja pada perusahaan yang
berada di lingkungan PKBM, (b) koordinasi dengan
pemerintah setempat, membahas tentang pengajuan
dana corporate social responsibility (CSR) kepada
perusahaan untuk digunakan seoptimal mungkin bagi
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
71
Penguatan Manajemen Pusat ...
pengembangan PKBM.
Saran untuk Dinas Pendidikan Kabupaten dan
Kota yaitu: (a) melakukan pembinaan yang intensif,
sehingga masalah yang dihadapi oleh pengelola
PKBM dapat segera diatasi, terutama dalam hal
kesulitan informasi pengajuan dana bantuan,
pengadaan media belajar, dan pengadaan sarana
pembelajaran; (b) mendorong dan memfasilitasi
pengelola PKBM dalam mengajukan akreditasi
lembaga sehingga produktifitas dan kinerja PKBM
semakin baik; serta (c) memfasilitasi pembentukan
Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) yang
bermanfaat bagi peserta didik yang akan mengajukan
uji kompetensi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwas, O. M. (2011). Strategi pemanfaatan
media pembelajaran dalam meningkatkan
kompetensi penyuluh pertanian. Jurnal
Teknodik, Vol. XV No. 2, Desember 2011.
Jakarta: Pustekom Kemdikbud.
Ardiwinata, J. S. (2014). Peran forum PKBM dalam
meningkatkan mutu pengelolaan program
paudni di provinsi Jawa Tengah dan DIY.
Jurnal Pedagogia, Vol. 1 No. 2, Desember
2014. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia,
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian suatu
pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Jalal, F.,& Supriadi, D. (2001). Pengembangan
CBE dalam lapangan pendidikan. Jakarta:
Depdiknas.
Hikmat, H. (2001). Strategi pemberdayaan
masyarakat. Bandung: Humaniora Utama.
Hayati, L. (2011). Penerapan pendekatan pemecahan
masalah melalui belajar dalam kelompok kecil
untuk meningkatkan prestasi belajar pada
mata kuliah teori peluang. Jurnal Teknodik,
Vol. XVI. No. 2 Juni 2012. Jakarta: Pustekom
Kemdikbud
Saepudin, A. (2015). Efektifitas pelatihan dan
efikasi diri dalam meningkatkan perilaku
72
berwirausaha pada masyarakat transisi.
Jurnal Mimbar (Sosial dan Pembangunan),
Vol. 31 No. 1. Juni 2015. Bandung: P2U LPPM
UNISBA
Sudjana, D. (2001). Pendidikan nonformal,
wawasan, sejarah perkembangan, falsafah,
teori pendukung, azas. Bandung : Falah
Production.
Sugiyono. (2012). Metode penelitian kombinasi
(mixed methode). Bandung : Alfabeta.
Sihombing.,& Gutama (2000). PKBM dalam
perspektif pendidikan luar sekolah. Jakarta:
Depdiknas.
Sihombing. (1999). Pendidikan luar sekolah. Jakarta:
depdiknas.
Kemendikbud. Standar & prosedur penyelenggaraan
PKBM tahun 2015. Jakarta: Kementerian
pendidikan dan kebudayan.
Kemendikbud. Peraturan pemerintah No.73 Tahun
1991 tentang pendidikan luar sekolah
Kemendikbud. Peraturan pemetintah No.19 Tahun
2005 tentang standar nasional pendidikan.
Undang-undang no. 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional.
UNESCO. (2005). International eksploratif paper.
Jakarta: Depdiknas
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK KASAR MELALUI
PERMAINAN TRADISIONAL “SIKODOKA” BAGI ANAK USIA DINI
BERLATAR BELAKANG TUNA GRAHITA
Mientje Ratoe Oedjoe & Beatriks Novianti Bunga
e-mail:[email protected]
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto Penfui, Nusa Tenggara Timur
Abstrak: Perkembangan fisik pada sebagian anak tunagrahita mengalami keterhambatan. Keterhambatan
fisik ini mengakibatkan masalah pada keterampilan geraknya. Karenanya membutuhkan praktik-praktik
yang dapat mengembangkan kemampuan fisik motorik kasar anak usia dini tunagrahita. Metode penelitian
menggunakan penelitian tindakan kelas yang dilalui dalam dua siklus dengan empat kali pertemuan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 di SLBN Kelapa Lima Kota Kupang. Partisipan
penelitian sebanyak tiga orang yang berusia dini yaitu tujuh sampai dengan sembilan tahun. Teknik
pengumpulan data menggunakan observasi serta tes. Indikator peningkatan kemampuan fisik motorik
dilihat berdasarkan kemampuan melompat satu kaki, melompat dua kaki, menjaga keseimbangan tubuh
saat memungut “era”, melempar “era” tepat dalam kotak, serta kemampuan menggenggam “era” dengan
baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan fisik motorik kasar anak usia
tuna grahita dengan peningkatan rerata dari pra siklus 38% meningkat 23 % menjadi 61% di siklus 1.
Dari siklus I ke siklus 2 meningkat lagi 43% sehingga kondisi setelah pelaksanaan siklus 2 adalah 95%.
Berdasarkan hasil evaluasi maka direkomendasikan kepada guru agar peka terhadap kondisi anak yang
mudah terbagi konsentrasi, menggunakan sistem hadiah untuk menarik perhatian anak, harus lebih sering
memuji, membuat variasi tepukan untuk mengembalikan konsentrasi anak, mengurangi aktivitas-aktivitas
yang memicu perilaku ramai muncul, menggunakan bahasa yang sederhana, pemenggalan kalimat yang
jelas dan tidak panjang, mengulang-ulang permainan karena anak tunagrahita mudah lupa.
Kata Kunci: tunagrahita, permainan tradisional Sikodoka, motorik kasar, anak usia dini
IMPROVING GROSS MOTOR SKILLS THROUGH TRADITIONAL GAME
“SIKODOKA” IN EARLY CHILDHOOD WITH INTELLECTUAL DISABILITY
Abstract: Physical development in some children with intellectual disability could be delayed. This physical
delays can trouble their movement skills. Therefore these children need practices that could improve
their gross motoric skills. This research aimed to try out Sikodoka game in order to improve gross motor
skills in young children with intellectual disability. Method used was class action research conducted in
two cycles and four meetings. Research participants were three young children aged seven to nine years
old. The research was conducted in August 2016 taking palce in Kelapa Lima Special Needs School,
Kupang. Data collection techniques used were observation and test. Gross motor skills indicators were
jumping with one foot skill, jumping with both feet, keeping body balance while collecting “era”, tossing
“era” correctly inside the square, and grasping “era” skillfully. Results showed that there was improvement
in gross motor skills with mean improvement from pre-cycle 38% increased 23% to 61% in cycle 1. From
cycle 1 to cycle 2 improved again 43% making the condition after cycle 2 was 95%. According to the
evaluation, recommendations to teachers are to be sensitive to children’s condition that are easy to be
divided in their focus, using reward system to attract children’s attention, need to compliment more, uses
clapping variations to recover children’s focus, reducing activities that could trigger loud activities, using
simple languages, dividing sentences that are clear and not long, and reprating games because children
with intellectual disability are easy to forget.
Keywords: intellectual disability, Sikodoka traditional game, gross motor, young children
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
73
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
PENDAHULUAN
Perkembangan fisik pada sebagian
anak tunagrahita mengalami keterhambatan.
Keterhambatan fisik ini mengakibatkan masalah
pada keterampilan geraknya (Utari & Indahwati,
2015). Menurut Delphie (2007), anak tunagrahita
pada umumnya mempunyai kelemahan pada
segi keterampilan gerak, fisik yang kurang sehat,
koordinasi gerak, kurangnya perasaan dirinya
terhadap situasi dan keadaan sekelilingnya,
dan kurang keterampilan gross motor (motorik
kasar) dan fine motor (motorik halus). Anak usia
dini tunagrahita ringan mengalami kesulitan
dalam melakukan aktivitas jasmani/gerak dasar
seperti berlari, melompat, meloncat dan juga
kurang dapat atau masih kesulitan melakukan
gerakan manipulasi sebuah benda (melempar,
menangkap). Mereka dapat mengikuti aktivitas
bermain tetapi dengan arahan yang sederhana
(Auxter, Pyfer, Huettig, dalam Ardiyanto & Sukoco,
2014). Karenanya membutuhkan praktik-praktik
yang dapat mengembangkan kemampuan fisik
motorik. Bermain merupakan salah satu cara yang
ideal terkait praktik tersebut.
Bermain, sama halnya dengan belajar,
adalah hidup dan pekerjaan anak (Samuelsson &
Clarsson, 2008). Terlepas apakah anak tersebut
bermasalah atau tidak, normal ataupun kebutuhan
khusus. Bermain memiliki fungsi sebagai jendela
ke dalam jiwa anak dan merupakan aktivitas favorit
anak dan dianggap sebagai kendaraan terbaik untuk
memfasilitasi perkembangan anak. Bermain sebagai
tempat ekspresi diri, komunikasi, perkembangan
hubungan dengan orang lain dan perkembangan
kapasitas diri baik untuk anak pada umumnya
maupun pada anak berkebutuhan khusus (Luby,
2006). Kajian Odom dan Wolery (2003) menyebutkan
bahwa anak usia dini dengan disabilitas termasuk
tunagrahita akan belajar banyak melalui bermain dan
mengobservasi lingkungan mereka.
Sudah banyak penelitian-penelitian yang
menjelaskan mengenai manfaat media permainan
dalam proses pembelajaran bagi anak berkebutuhan
khusus tunagrahita. Penelitian yang dilakukan oleh
Sekarwati dan Riyanto (2015) yakni penelitian
tindakan kelas (PTK) untuk melihat kemampuan
motorik halus anak tunagrahita dan apakah dapat
berkembang ketika anak diberi permainan maze
matching sebagai tindakannya. Hasil peneltian
74
menunjukkan bahwa ada perubahan anak ketika
menggenggam, memindahkan barang, menjumput
benda dengan jarinya. Penelitian lain berjudul media
pembelajaran interaktif keterampilan membatik
untuk anak tunagrahita ringan pada sekolah luar
biasa di semarang yang dilakukan oleh Fitriana
(2013). Hasil penelitian memperlihatkan membatik
adalah media yang menyenangkan dan mudah serta
dapat diterapkan sebagai media pembelajaran bagi
anak tunagrahita dan juga dapat mengembangkan
kemampuan fisik motorik anak tunagrahita.
Salah satu permainan yang perlu dieksplorasi
adalah permainan tradisional. Permainan tradisional
juga merupakan media yang tidak kalah fungsinya
dengan permainan edukatif lainnya. Ardiyanto dan
Sukoco (2014) dalam penelitiannya menggunakan
delapan permainan tradisional sebagai model
yang dikembangkan yaitu permainan, yaitu (1)
balap sarung, (2) lempar karet, (3) dorong ban,
(4) engkling, (5) pukul balon, (6) layang-layang,
(7) lompat tali, dan (8) pesawat terbang. Delapan
permainan ini telah diujicoba dan dianggap layak
untuk diijadikan model pengembangan motorik kasar
bagi anak tunagrahita. Uji coba skala kecil model
dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunas Kasih
Turi dan uji coba skala besar di SLB Tunas Kasih
Donoharjo.
Permainan engklek (Asih, 2014) dilakukan
untuk melihat bagaimana manfaatnya bagi
perkembangan motorik kasar anak tunagrahita.
Hasil menunjukkan bahwa permainan engklek
dapat bermanfaat bagi perkembangan melompat
anak tunagrahita. Penelitian terbaru tahun 2015
mengenai engklek dilakukan oleh Sari (2015)
tentang peningkatan kemampuan pengenalan
bilangan bagi anak tunagrahita sedang di SLB
Payahkumbuh, kelas DIII menemukan bahwa ketika
kotak-kotak dalam engklek tersebut diberi angka,
maka terjadi peningkatan pengenalan angka bagi
anak tunagrahita sedang. Penelitian lain dari Alfiza
dkk. (2014) membahas permainan lompat tali dan
mencoba melakukan PTK untuk mencari tahu
apakah ada peningkatan kemampuan motorik kasar
anak tuna grahita dalam hal ini melompat bagi anak
kelas II (umur 11 tahun) dengan tunagrahita ringan
di Painan. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan
bermain lompat tali dapat melatih kemampuan
melompat anak tuna grahita menjadi lebih baik.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
Penelitian-penelitian yang dipaparkan di
atas menunjukkan bahwa bermain memiliki peran
yang penting dalam mengembangkan kemampuan
anak tunagrahita, termasuk di dalammnya adalah
permainan tradisional. Permainan-permainan ini juga
memberi kontribusi besar terutama pengembangan
motorik kasar anak usia dini tunagrahita. Sayangnya
karena beberapa keterbatasan, penggunaan
media bermain ini sering terlupakan, apalagi dalam
pembelajaran bagi anak usia dini dengan kebutuhan
khusus tunagrahita.
Hasil penelitian Ratoe Oedjoe & Bunga
(2015) menemukan minimnya penggunaan media
pembelajaran di SLB di Kota Kupang. Mereka
cenderung menerapkan pendekatan secara
individual yang menekankan kepada pendampingan
secara personal untuk meningkatkan kemampuan
anak usia dini tunagrahita. Penggunaan media
dalam proses pembelajaran pun kurang variatif
hanya media klasik seperti kartu angka dan kartu
huruf. Jika ada media dari alam, itu terbatas untuk
membantu guru di dalam kelas. Media itu seperti
batu, kelereng, daun, dan lidi. Pemanfaatan
permainan kurang dilaksanakan walaupun secara
teoretis paham akan pentingnya bermain yang
bervariasi bagi pengembangan kemampuan anak,
terutama anak tunagrahita. Anak-anak cenderung
dibiarkan bermain sendiri tanpa pengawasan dan
itu hanya dilakukan saat istirahat. Permainan anak
sendiri pun hanya berupa bermain kejar-kejaran di
lapangan sekolah. Tidak ada permainan tradisional
yang dipakai dalam pembelajaran.
Sebenarnya ada banyak jenis permainan
tradisional yang ada di Kupang atau Nusa Tenggara
Timur secara umum. Permainan Sikodoka adalah
salah satunya. Sikodoka (dalam bahasa Jawa
engklek) adalah permainan tradisional yang cara
bermainnya dengan melompati kotak-kotak yang
digambar di tanah. Ada tiga jenis Sikodoka yang
sering dimainkan anak, yaitu Sikodoka kotak,
Sikodoka salib dan Sikodoka dua kaki. Permainan
ini menggunakan alat bantu batu ceper yang
disebut “era”. Anak harus memilih era yang tepat,
yang ceper dan bulat dan tidak licin karena era
akan dibuang ke dalam kotak-kotak. Kemudian
anak harus melompati semua kotak-kotak tersebut
dan kemudian mengambil era yang dibuang tadi.
Permainan dilakukan paling sedikit dua orang.
Permainan ini memiliki banyak manfaat. Mulai
dari pemilihan era saja sudah mengajar anak untuk
mengenal perbedaan bentuk batu, menggambar
kotak-kotak, dan melompat. Berdasarkan hasil
riset, permainan ini teruji mampu meningkatkan
kemampuan akademis di bidang matematika
-pengenalan angka dan motorik kasar- yaitu
melompat. Permainan ini dapat dimodifikasi lebih
sederhana agar sesuai dengan karakteristik
perkembangan anak tunagrahita ringan seperti
kotak-kotaknya akan ditulisi angka 1-10, kotakkotaknya dibatasi jumlahnya paling banyak 10 dapat
pula lebih sedikit, dan aturannya dapat dibuat lebih
sederhana seperti apabila jatuh, harus berganti
dengan lawan. Agar anak tunagrahita senang dan
belajar, guru dapat memberinya penguatan berupa
pujian ataupun sepotong kue.
Permainan Sikodoka sangat sederhana
dimainkan. Untuk bisa bermain, setiap anak harus
menyiapkan “era”. Era ini bisa berupa batu ceper,
pecahan keramik atau genteng. Anak cukup
melompat menggunakan satu kaki di setiap kotakkotak yang telah digambarkan sebelumnya di tanah.
Era dilempar ke salah satu kotak yang tergambar di
tanah, kotak yang ada eranya tidak boleh diinjak/
ditempati oleh setiap pemain, jadi para pemain
harus melompat ke kotak berikutnya dengan satu
kaki mengelilingi kotak-kotak yang ada. Saat
melemparkannya tidak boleh melebihi kotak yang
telah disediakan jika melebihi maka dinyatakan
gugur dan diganti dengan pemain selanjutnya.
Pemain yang menyelesaikan satu putaran terlebih
dahulu melemparkan era dengan cara membelakangi
engkleknya, jika pas pada petak yang dikehendaki
maka petak itu akan menjadi “rumah”nya, artinya
dikotak tersebut pemain yang bersangkutan
dapat menginjak kotak tersebut dengan dua kaki,
sementara pemain lain tidak boleh menginjak
kotak itu selama permainan. Peserta yang memiliki
“rumah” paling banyak adalah pemenangnya.
Pemainan ini sangat seru karena biasanya
paling sering kesalahan yang dilakukan adalah
saat melempar era tapi tidak pas dikotaknya atau
meleset dari tempatnya. Manfaat yang diperoleh dari
permainan Sikodoka ini antara lain (a) kemampuan
fisik anak menjadi kuat karena dalam permainan
engklek ini anak diharuskan untuk melompat-lompat,
(b) mengasah kemampuan bersosialisasi dengan
orang lain dan mengajarkan kebersamaan, dan (c)
dapat mentaati aturan-aturan permainan yang telah.
Berdasar latar belakang tersebut maka
peneliti melakukan perbaikan pembelajaran dengan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
75
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
menggunakan tindakan permainan tradisional
untuk memperbaiki pembelajaran anak usia dini
tunagrahita di SLB. Tindakan permainan tradisional
yang akan diberi adalah permainan Sikodoka.
Permainan tradisional Sikodoka diharapkan mampu
membantu meningkatkan kemampuan fisik anak
terutama motorik kasar. Penelitian ini diharapkan
mampu mendorong guru untuk menerapkan praktikpraktik yang teruji secara ilmiah untuk membantu
perkembangan anak didiknya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
kuantitatif dengan pendekatan Penelitian Tindakan
Kelas. Kelas yang menjadi sasaran penelitian adalah
kelas 1 Sekolah Dasar karena tidak ada kelas PAUD
untuk anak berkebutuhan khusus. Selain itu juga
kelas 1 SD terdapat murid yang masih dikategorikan
usia dini yaitu 7-9 tahun. Partisipan penelitian
adalah anak kelas 1 SD berjumlah tiga orang, dua
orang perempuan (E berumur 9 tahun, W berumur
6 tahun) dan 1 orang laki-laki (R berusia 8 tahun).
Tempat penelitian dilakukan di SLBN Kelapa Lima
Kota Kupang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Agustus 2016.
Teknik pengumpulan data menggunakan
observasi dan tes. Observasi dilakukan terhadap
proses pembelajaran, juga perilaku yang muncul saat
pembelajaran sedangkan tes dilakukan di akhir setiap
siklus. Instrumen penilaian tes adalah kemampuan
fisik motorik kasarnya, yaitu melompat dua kaki,
melompat menggunakan 1 kaki, melempar “era”
masuk dalam kotak sambil menjaga keseimbangan
tubuh dan kemampuan menggenggam “era”.
Penelitian ini dilalui dalam dua siklus dengan
jumlah pertemuan sebanyak empat pertemuan.
Siklus pertama, hari pertama dilakukan permainan
dan hari kedua dilakukan tes. Begitu juga dengan
siklus dua. Setiap siklus dilalui dalam empat tahapan
yaitu: (1) persiapan: menyiapkan RPPH, diskusi
dengan guru, menyiapkan alat dan bahan bermain
Sikodoka; (2) pelaksanaan: guru menerapkan
tahapan bermain Sikodoka; (3) observasi: observasi
dilakukan terhadap pelaksanaan kegiatan, perilaku
yang muncul saat bermain serta observasi terhadap
peningkatan kemampuan motorik halus. Penilaian
terhadap kemampuan ini dilakukan melalui tes; dan
(4) refleksi: refleksi ini dilakukan untuk memberikan
motivasi untuk terus bersemangat mengikuti
pembelajaran yang menyenangkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Pra Siklus
Proses pengambilan data penelitian dimulai
dengan proses pra siklus. Pada pra siklus ini akan
dilihat sejauh mana kemampuan fisik motorik kasar
anak usia dini tunagrahita. Dalam pra siklus ini
peneliti melakukan simulasi motorik kasar dengan
bermain gerak dan lagu “Jalan-jalan”. Dalam
lagu ini, anak harus melakukan aktivitas motorik
seperti berjalan, melompat satu kaki, melompat
dua kaki, gerakan melempar, menggenggam, dan
keseimbangan tubuh. Simulasi ini dilakukan agar
peneliti mendapat gambaran mengenai kondisi fisik
motorik anak.
Berdasarkan hasil simulasi diperoleh tingkat
kemampuan fisik motorik anak usia dini tunagrahita
masih rendah dengan nilai rerata kemampuan anak
sebesar 0,38 (38%). Untuk aktivitas mengajar dan
pemanfaatan metode, didasarkan kepada hasil
penelitian terdahulu peneliti bahwa pemanfaatan
media dalam pembelajaran sangat minim termasuk
pemanfaatan permainan tradisional. Simulasi
ini dilakukan oleh guru kelas dan peneliti hanya
76
mengobservasi. Untuk lebih jelasnya, hasil tes pra
siklus tersaji pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Tes Pra Siklus
E
A
B
C
D
E
Total
2
1
1
1
2
7
R
3
1
2
1
3
10
W
1
1
1
1
2
6
Jumlah Total
23
Rerata
0.38
Siklus I
Pada pertemuan pertama, guru kelas
memperkenalkan tim peneliti kepada anak-anak
lalu mengabsen dan mengajak untuk berdoa.
Selanjutnya, guru menyerahkan sepenuhnya
pembelajaran kepada tim. Guru bertindak sebagai
observer untuk melihat keberlangsungan proses.
Kemudian dilakukan perkenalan bersama anakanak. Untuk perkenalan, guru melakukan pendekatan
dengan gerak dan lagu. Gerak dan lagu “jalan-jalan”
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
diulang kembali dan lagu “kalau kau suka hati”.
Gerak dan lagu ini dilakukan untuk mencairkan
suasana karena pada pertemuan pertama, anak
masih menunjukkan perilaku malu-malu dan diam
pasif, enggan mengikuti perintah serta gerak dari
lagu yang dinyanyikan. Ini dikarenakan, anak baru
pertama kali bertemu dengan tim peneliti.
Setelah terlihat perilaku aktif, maka peneliti
melanjutkan ke kegiatan inti yaitu perkenalan
permainan Sikodoka kepada anak. Dimulai dengan
membuat pola yang sudah disiapkan di atas karpet
dan menjelaskan tentang aturan lalu memberi contoh
bagaimana memainkannya. Kemudian, mengajak
anak untuk melakukan aktivitas seperti melompat.
Pada aktivitas inti juga anak masih terlihat pasif dan
mudah berganti konsentrasi, mereka tertarik dengan
hal lain di dalam kelas, menolak bermain, serta
berlari-lari dalam kelas. Guru sendiri mengalami
kesulitan dalam mengajak anak untuk memainkan
permainan Sikodoka. Hal ini disebabkan karena
beberapa hal yaitu anak masih belum kenal dan
akrab dengan tim, bahasa yang digunakan tim untuk
menerangkan tahapan bermain masih kompleks
dan sulit dipahami anak, peneliti masih bingung
mengatasi perilaku anak yang mudah berganti
fokus. Untuk memotivasi anak agar terlibat dan
menikmati pembelajaran, peneliti mengajarkan
tepukan motivasi yaitu Tepuk Bisa. Setelah ketiga
anak berhasil mencontoh permainan Sikodoka,
peneliti mengakhirinya dengan Tepuk Hore dan
pemberian bros bintang lalu di akhiri dengan berdoa.
Berdasarkan hasil catatan pengamat ada beberapa
catatan perbaikan untuk pertemuan kedua yaitu
guru harus membagi perhatian kepada semua anak,
harus memuji sesering mungkin, serta menggunakan
bahasa yang sederhana dan singkat.
Pertemuan kedua dilakukan pada keesokan
harinya. Guru langsung menyerahkan proses
pembelajaran kepada tim peneliti. Hari kedua
dimulai dengan doa dan menyanyi untuk mencairkan
suasana. Lalu tim melakukan sedikit tanya jawab
untuk mengetahui apakah mereka mengingat
aktivitas pada pertemuan pertama. Anak yang
berani menjawab akan diberi bros bintang. Anak
terlihat bingung saat dilakukan tanya jawab. Peneliti
harus memberi contoh dan menunjukkan gambar
sebagai kisi-kisi aktivitas pada pertemuan pertama.
Anak mampu mengingat kembali walaupun tidak
tepat. Setelah tanya jawab, anak diajak bermain
Sikodoka. Tetapi kali ini anak harus memainkan
sendiri. Siapa yang berhasil melompat mengelilingi
kotak-kotak seperti yang dicontohkan, akan diberi
sebuah bintang. Setiap anak diberi kesempatan dua
kali bermain.
Berdasarkan hasil catatan observasi terhadap
proses pembelajaran, perilaku malu-malu anak
berkurang, justru anak semakin ramai, berteriakberteriak, melompat-lompat kegirangan, masih
berlari-lari jika bukan giliran bermainnya, dan mudah
berganti fokus. Peneliti sendiri menyederhanakan
bahasa yang dipakai dan juga lebih sering
memuji anak, lebih banyak menggunakan variasi
tepukan untuk mengembalikan fokus anak. Di
akhir sesi dilakukan tes untuk melihat apakah ada
peningkatan kemampuan anak dalam hal melompat
satu kaki, melompat dua kaki, serta menjaga
keseimbangan tubuh saat memungut, melempar
dan menggenggam. Berdasarkan hasil tes diperoleh
diperoleh rerata kemampuan fisik motorik anak usia
dini tunagrahita sebesar 0.61 atau 61%. Angka ini
belum memenuhi kriteria ketuntasan pembelajaran.
Untuk itu pelaksanaan siklus dilanjutkan ke siklus
kedua.
Berdasarkan hasil catatan observasi maka
dilakukan perbaikan pembelajaran melompat
satu kaki, menjaga keseimbangan tubuh dan
melempar karena ketiga indikator ini yang tidak
mengalami banyak peningkatan. Perbaikan lain
adalah menyempurnakan RPP berdasarkan
masukan pada pelaksanaan siklus I, mempersiapkan
hadiah, kali ini diganti berupa makanan biskuit
gandum, dan memindahkan permainan keluar kelas
yang sepi. Untuk lebih jelasnya, hasil tes siklus 1
tersaji pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Tes Siklus I
E
A
B
C
D
E
Total
3
3
2
3
3
14
R
3
3
2
2
3
13
W
2
2
2
2
2
10
Jumlah Total
37
Rerata
0.61
Siklus II
Siklus II dilakukan seminggu setelah siklus I
dengan jumlah pertemuan sebanyak dua kali. Pada
siklus II akan difokuskan pada latihan keseimbangan
dan melempar. Permainan dilakukan di luar kelas
di sebuah lapangan yang tidak banyak dilalui anak-
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
77
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
anak lain. Pada pertemuan pertama, kegiatan
dimulai dengan doa dan mencairkan suasana
dengan menyanyi. Awalnya anak masih malumalu, tetapi setelah menyanyi, anak mulai akrab
kembali dengan tim peneliti. Kegiatan inti dimulai
dengan penjelasan aturan bermain yaitu siapa yang
mampu menyelesaikan satu putaran permainan
tanpa diulang akan diberi hadiah berupa biskuit
gandum dan siapa yang paling banyak mendapatkan
“rumah” adalah pemenangnya. Kemudian anakanak kembali diperkenalkan alat bermain berupa
era dan bentuk Sikodoka juga cara bermain. Hal ini
dilakukan agar anak usia dini tunagrahita mengingat
kembali permainan Sikodoka. Setelah itu, permainan
dilakukan. Saat bermain, anak tampak kegirangan
senang dan beberapa kali melompat-lompat dan
juga berlari-lari. Anak kelihatan sudah mengetahui
permainan Sikodoka tetapi masih belum memahami
aturan bermain. Siklus diakhiri dengan pemberian
hadiah biskuit bagi yang berhasil dan doa selesai.
Berdasarkan hasil catatan observasi proses
kegiatan, terdapat beberapa hal untuk diperbaiki
pada pertemuan kedua yaitu mengurangi kegiatankegiatan yang menstimulus perilaku senang
berlebihan seperti variasi tepukan “hore” atau
memberi motivasi dengan tepuk tangan karena anak
terpicu untuk kegirangan berlebihan dengan tepuk
tangan yang ramai.
Pertemuan kedua diawali dengan doa dan
dilakukan tes. Tes ini untuk melihat peningkatan
kemampuan fisik motorik kasar anak usia dini
tunagrahita setelah dilakukan siklus II. Tes yang
dilakukan berupa tes kemampuan melompat satu
kaki, melompat dua kaki, melempar, menggenggam,
dan menjaga keseimbangan tubuh. Hasil tes
menunjukkan rerata nilai tes pada siklus dua 0.95
atau 95%. Ini berarti ada terjadi peningkatan sebesar
0.34 atau 34% dari siklus I. Untuk lebih jelasnya,
hasil tes siklus 1 tersaji pada tabel 3.
Tabel 2. Hasil Tes Siklus II
A
B
C
D
E
Total
E
4
3
3
3
4
17
R
4
3
3
2
4
16
W
3
3
2
2
4
14
Jumlah Total
57
Rerata
0.95
Berdasarkan hasil pelaksanaan siklus maka
78
dapat dilihat dinamika peningkatan kemampuan fisik
motorik kasar anak usia dini dengan tunagrahita
ringan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik peningkatan kemampuan
motorik kasar AUD dengan tunagrahita ringan
Hasil penilaian terhadap fisik motorik
kasar anak tunagrahita dilihat dari beberapa lima
indikator yaitu kemampuan melompat dua kaki,
kemampuan melompat satu kaki, kemampuan
menjaga keseimbangan, kemampuan melempar,
dan kemampuan menggenggam. Hasil simulasi yang
dilakukan pada pra siklus untuk melihat kemampuan
awal anak usia dini tunagrahita menunjukkan tingkat
kemampuan fisik motorik kasar anak masih rendah,
dengan rerata nilai 0.38. Dengan pelaksanaan
tindakan permainan tradisional Sikidoka maka terjadi
peningkatan rerata menjadi 0.61. Karena belum
mencapai 75 % maka berdasarkan hasil evaluasi
maka tindakan diulangi lagi pada siklus II. Terjadi
peningkatan kemampuan setelah pelaksanaan
tindakan diulangi lagi pada siklus II. Rerata capaian
kemampuan fisik motorik kasar anak meningkat
menjadi 0.95. Angka ini menunjukkan bahwa
kemampuan ketiga anak usia dini tunagrahita sudah
memenuhi standar kompetensi yang diharapkan yaitu
75%. Artinya, juga bahwa kemampuan melompat
dengan dua kaki, kemampuan dengan menggunakan
satu kaki, kemampuan menjaga keseimbangan,
kemampuan melempar dan menggenggam anak
sudah sesuai tahapan perkembangan. Peningkatan
kemampuan fisik motorik kasar anak ini dapat
dicapai karena pelaksanaan tindakan permainan
tradisional Sikidoka yang dimainkan sesuai kondisi
kebutuhan khusus anak, seperti aturan main yang
disederhanakan, perintah pelaksanaan permainan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
yang singkat dan jelas, serta pemberian motivasi
seperti pujian terus menerus, durasi waktu bermain
yang tidak panjang,
Hasil penelitian di atas mempertegas hasilhasil penelitian sebelumnya. Penelitian serupa
tentang pemanfaatan permainan tradisional
untuk meningkatkan kemampuan lokomotor anak
tunagrahita. Kemampuan gerak lokomotor anak
tunagrahita meningkat secara signifikan setelah
diberi permainan tradisional memindahkan barang
dan engkleng gunung (Utari & Nanik, 2015).
Permainan sikidoka ternyata juga mempengaruhi
perkembangan lain selain perkembangan motorik
maupun gerak lokomotor anak usia dini tuna grahita.
Penelitian Sari (2015) menunjukkan peningkatan
kemampuan mengenal bilangan yang signifikan pada
anak tunagrahita ketika menggunakan permainan
engklek atau sikodoka ini. Permainan ini dimodifikasi
dengan memberi angka di tiap kotak yang ada. Dari
hasil-hasil penelitian di atas dan hasil penelitian ini
terungkap juga bahwa peningkatan kemampuan anak
tunagrahita dapat terjadi dikarenakan beberapa hal
yaitu penyederhanaan permainan tradisional yang
ingin dimainkan, penggunaan bahasa sederhana dan
singkat, mengulang-ngulang permainan beberapa
kali dan selalu memberi motivasi pada saat anak
malu-malu dan tak mampu, serta memberi reward
saat anak berhasil.
Selain memperkuat hasil penelitian
sebelumnya, penelitian ini memberikan eviden baru
mengenai penerapan permainan tradisional untuk
meningkatkan kemampuan motorik kasar anak usia
dini tunagrahita. Kebutuhan perkembangan anak
usia dini yang berbeda dengan anak yang lebih
tua diharapkan dapat difasilitasi dengan permainan
tradisional Sikodoka seperti sudah dibuktikan
di penelitian ini. Langkah selanjutnya adalah
mentransfer pengetahuan ini untuk diterapkan
di kegiatan sekolah maupun di rumah untuk
memaksimalkan aplikasi ilmu.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa permainan tradisional Sikodoka efektif dalam
meningkatkan kemampuan motorik kasar anak
usia dini tunagrahita. Eviden baru dalam konteks
anak usia dini tunagrahita ini bisa bermanfaat untuk
kegiatan sekolah maupun di rumah demi menunjang
perkembangan anak. Eviden ini juga seharusnya
bisa meyakinkan para praktisi perkembangan dan
pendidikan anak untuk beralih dari metode-metode
konvensional dalam belajar dan memanfaatkan
permainan tradisional untuk anak usia dini. Diseminasi
hasil lebih lanjut serta sosialisasi dibutuhkan untuk
mewujudkan hal tersebut.
Saran
Adapun beberapa hal yang direkomendasikan
antara lain adalah bagi guru merencanakan permainan
tradisional sebagai media dalam pembelajaran anak
tunagrahita apalagi anak usia dini. Selain itu orangtua
juga perlu mempertimbangkan untuk mendorong
anak bermain tradisional di kehidupan bermain
sehari-hari anak. Permainan Sikodoka dapat menjadi
salah satu alternatif aktivitas anak untuk menstimulus
kemampuan motorik kasar anak. Agar permainan
dapat berjalan dengan baik, perlu disesuaikan
dengan tahapan perkembangan anak tunagrahita.
Guru dan orangtua perlu memperhatikan aturan
mainnya, harus dibuat lebih mudah dan singkat agar
dapat dipahami anak usia dini tunagrahita. Guru
dan orangtua juga harus menggunakan bahasa
yang sederhana dan jelas serta perlu menyiapkan
hadiah baik berupa pujian, tos ataupun sepotong
biskuit (biskuit gandum). Diseminasi yang konsisten
mengenai hasil penelitian ini dan hasil penelitian
serupa diperlukan untuk mendukung perubahan di
perilaku masyarakat dan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiza, Y., Martias, Z., Fatmawati. (2014).
Meningkatkan keterampilan melompat melalui
permainan tradisional lompat tali bagi anak
tunagrahita ringan kelas II di SDLB 35 Painan.
E-JUPEKhu, 3 (1), 299-307.
Ardiyanto, A & Sukoco, P. (2014). Pengembangan
Model Pembelajaran Berbasis Permainan
Tradisional Untuk Meningkatkan Kemampuan
Motorik Kasar Anak Tunagrahita Ringan.
Jurnal Keolahragaan, (2) 2. 119-129.
Asih L.S. (2014). Pengaruh Permainan Tradisional
Engklek Terhadap Kemampuan Motorik Kasar
Melompat Anak Tunagrahita Ringan (Single
Subject Research (SSR). Pada Siswa Slb
Bina Sejahtera ). Skripsi. Tidak diterbitkan.
Bandung: PPS UPI Http://Repository.Upi.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
79
Meningkatkan Kemampuan Motorik ...
Edu/12357/1/S_Plb_1004924_Title.Pdf
Delphie, B. (2006). Pembelajaran anak tunagrahita.
Bandung: Refika Aditama.
Fitriana S.S.E. (2013). Media pembelajaran interaktif
ketrampilan membatik untuk anak tunagrahita
ringan pada SLBN Semarang. Diakses dari
Eprints.Dinus.Ac.Id/12475/1/Jurnal_12486.
Pdf.
Luby, J. L. (2006). Handbook of preschool mental
health. New York: The Guilford Press.
Odom, S. L., & Wolery, M. (2003). A unified theory of
practice in early intervention/early childhood
special education: Evidence based practices.
The Journal of Special Education. (37) 3,
164-173.
Ratoe Oedjoe, M & Bunga, N.B. (2015). Model of
East Nusa Tenggara traditional games as a
learning mediafor young children with mental
retardation. 6th International Conference on
Teaching, Education and Learning (ICTEL)
Singapore. Nov 15-16. 69-70.
Sari, S. (2015). Efektivitas permainan engklek untuk
mengenal bilangan bagi anak tunagrahita
sedang X DIII C1 SLB C Payakumbuh.
E-JUPEKhu. (4) 1. 162-173. Diakses dari
Http://Ejournal.Unp.Ac.Id/Index.Php/Jupekhu/
Article/Download/4632/3671.
Samuelsson, I.P & Carlsson M.A., (2008). The
80
playing learning child : Towards a pedagogy
of early childhood, Scandinavian Journal of
Education Research. (52) 6, 623-641. doi:
10.1080/00313830802497265.
Sekarwati, D. A., & Riyanto, E. (2015). Permainan
maze matching board untuk mengembangkan
kemampuan motorik halus anak tunagrahita.
Artikel. Diambil dari www. ejournal.unesa.
ac.id/article/6069/15/article.pdf
Permatasari F.D. (2014). Peningkatan kemampuan
konsentrasi pada pembelajaran seni tari untuk
anak tunagrahita di SLB Negeri 1 Sleman
berbasis permainan tradisional. Skripsi. Tidak
diterbitkan. Yogyakarta: UNY.
Utari, U.Y & Indahwati, N. (2015). Upaya meningkatkan
gerak dasar lokomotor anak tunagrahita
ringan melalui permainan tradisional. Jurnal
Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. (03) 2,
279 – 282. Diambil dari http://ejournal.unesa.
ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-jasmani/
issue/archive
Utari, Y. I & Nanik I. (2015). Upaya meningkatkan
gerak dasar lokomotor anak tunagrahita
ringan melalui permainan tradisional. Jurnal
Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. (03) 02,
279 – 282. Diambil dari Http://Ejournal.Unesa.
Ac.Id/Index.Php/Jurnal-Pendidikan-Jasmani/
Issue/Archive
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
DAMPAK PELATIHAN KETERAMPILAN HIDUP (LIFE SKILLS)
MONTIR OTOMOTIF TERHADAP KESEMPATAN KERJA
DAN PENDAPATAN WARGA BELAJAR
Dayat Hidayat
e-mail : [email protected]
Pendidikan Luar Sekolah, FKIP Universitas Singaperbangsa Karawang
Jalan HS. Ronggowaluyo, Telukjambe Timur, Karawang – Jawa Barat, 41362
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan pelatihan keterampilan hidup
(life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat, yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan
dan penilaian untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar. Pendekatan yang
digunakan adalah kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret
sampai dengan Juni tahun 2013 di PKBM Cepat Tepat Karawang. Teknik pengumpulan data melalui
observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Subjek yang diteliti yaitu enam orang yang terdiri dari empat
orang warga belajar, satu orang pengurus, dan satu orang sumber belajar atau pelatih. Analisis data
menggunakan model interaktif, melalui tahapan: (a) koleksi data (data collection), (b) reduksi data (data
reductionaI), (c) penyajian data (data display), dan (d) penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion/verifying).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan pelatihan life skills montir otomotif dimulai dengan
analisis kebutuhan belajar calon warga belajar dan daya dukung yang tersedia di PKBM. Pelaksanaan
pelatihan berlangsung dengan baik dengan melibatkan seluruh komponen pelatihan keterampilan hidup
(life skills) montir otomotif. Hasil pelatihan juga menunjukkan peningkatan keterampilan di bidang otomotif
dan sikap kewirausahaan warga belajar secara mandiri. Dampak program pelatihan life skills menunjukkan
peningkatan perolehan kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar untuk membuka bengkel sendiri
atau di bengkel-bengkel otomotif dan perusahaan industri di Kabupaten Karawang.
Kata-kata Kunci: pelatihan keterampilan hidup, kesempatan kerja, pendapatan warga belajar
THE IMPACT OF LIFE SKILL TRAINING FOR AUTOMOTIVE MECHANIC
IN EMPLOYMENT OPPORTUNITY AND LEARNERS’ INCOME
Abstract: The purpose of this study was to analyze the implementation of life skills for automotive mechanic
in CLC Cepat Tepat, which includes the steps of planning, implementation and assessment to improve
employment and learners income. The approach used in this study is qualitative case study method. The
data collection techniques through observation, interviews and documentation study. Subjects are six
people consisting of four learners, one of organizer, and one of learning resources or trainers. Analysis of
data used an interactive model, through the following steps: collection of data, reduction of data, display
of data, and conclusion or verification. The results showed that the implementation of life skills training for
automotive mechanic started by the analysis of learning needs of learners and carrying capacity which
available in the CLC. Life skill training program for automotive mechanic is going well by involving all
components of life skills. The results showed that the implementation of life skill training are skill enhancing
in the areas of automotive and entrepreneurial attitudes of learners independently. The impact of life skills
training program showed an increasing of getting chance to have job and learners’ income to open his
own workshop or others automotive ones and automotive industry companies in Karawang.
Keywords: life skills training, employment, learners’ income
PENDAHULUAN
Seorang pakar pendidikan nonformal Ivan
Illich menyarankan untuk mengadakan revolusi
belajar dalam masyarakat untuk mendorong
perubahan budaya. Ia menyatakan bahwa upaya
untuk mengadakan perubahan yang tambal sulam
terhadap komponen dan proses belajar dalam
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
81
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
pendidikan sekolah yang ada sekarang ini tidak akan
menjamin tumbuhnya masyarakat baru yang dapat
memecahkan dengan segera masalah-masalah
yang dihadapinya. Untuk mengadakan revolusi
belajar itu dianjurkan perubahan secara menyeluruh
dalam sistem pendidikan yang ada sekarang
dengan menyelenggarakan jaringan-jaringan belajar
(learning webs) di masyarakat. Program jaringan
belajar ini mencakup pertukaran keterampilan
dan keahlian, dan mempertemukan peserta didik
yang memiliki kebutuhan belajar dengan sumber
belajar yang tepat untuk melayaninya. Salah satu
program pendidikan nonformal yang diintegrasikan
dengan pendidikan formal atau secara utuh program
pendidikan nonformal saja yang saat ini sedang
dikembangkan adalah pendidikan keterampilan
hidup (life skills).
Bertitik tolak dari masalah tersebut di atas,
dilakukan konsolidasi agar pendidikan dapat
membekali peserta didik dengan keterampilan hidup
(life skills). Pendidikan keterampilan hidup (life
skills) lebih luas dari sekedar keterampilan bekerja,
apalagi sekedar keterampilan manual. Pendidikan
keterampilan hidup (life skills) merupakan konsep
pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan
peserta didik agar memiliki keberanian dan kemauan
menghadapi masalah hidup dan kehidupan
secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian
secara kreatif menemukan solusi serta mampu
mengatasinya. Artinya peserta didik yang telah
mengikuti pendidikan keterampilan hidup (life skills)
memiliki keterampilan tertentu yang dapat digunakan
sebagai keahlian untuk meningkatkan pendapatan
ekonomi kehidupannya sesuai dengan minat, bakat,
kemampuan, dan sumber daya yang tersedia di
lingkungannya. Pendidikan keterampilan hidup
(life skills) adalah program pendidikan yang dapat
mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi
kecakapan hidup, yang diperlukan seseorang, di
manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja,
apapun profesinya. Dengan bekal keterampilan
hidup tersebut diharapkan para lulusan akan mampu
memecahkan problema kehidupan yang dihadapi,
termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi
mereka yang tidak melanjutkan.
Untuk dapat mewujudkan pendidikan
keterampilan hidup (life skills), perlu diterapkan
prinsip pendidikan berbasis luas (broad based
education) yang tidak hanya berorientasi pada
bidang akademik semata atau vokasional semata,
82
tetapi juga memberikan bekal learning how to
learn sekaligus learning to unlearn, tidak hanya
belajar teori, tetapi juga mempraktikkannya untuk
memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, secara umum pendidikan
keterampilan hidup (life skills) bertujuan untuk
mengembalikan pendidikan pada fitrahnya, yaitu
mengembangkan potensi peserta didik untuk
menghadapi peranannya di masa datang. Secara
khusus, pendidikan keterampilan hidup (life
skills) bertujuan untuk: (a) mengaktualisasikan
potensi peserta didik sehingga dapat digunakan
untuk memecahkan masalah yang dihadapi,
(b) memberikan kesempatan kepada lembaga
pendidikan nonformal untuk mengembangkan
pelatihan yang fleksibel sesuai dengan prinsip
pendidikan berbasis luas (broad-based education),
dan (c) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
di lingkungan masyarakat, dengan memberi peluang
pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat,
sesuai dengan prinsip manajemen berbasis
masyarakat (community based management).
Pendidikan keterampilan hidup (life skills)
jalur pendidikan nonformal bertujuan meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap warga belajar
di bidang tertentu sesuai dengan bakat dan minatnya
sehingga memiliki bekal kemampuan untuk bekerja
yang dapat mendatangkan penghasilan yang layak
guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Program
pendidikan keterampilan hidup (life skills) bertujuan
untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik
agar (a) memiliki pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang dibutuhkan dalam memasuki dunia
kerja baik bekerja secara mandiri (wirausaha) dan/
atau bekerja pada suatu perusahaan produksi/
jasa dengan penghasilan yang semakin layak
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; (b) memiliki
motivasi dan etos kerja yang tinggi serta dapat
menghasilkan karya-karya yang unggul dan mampu
bersaing di pasar global; (c) memiliki kesadaran
yang tinggi tentang pentingnya pendidikan untuk
dirinya sendiri maupun anggota keluarganya; (d)
memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan dalam rangka mewujudkan keadilan
pendidikan di setiap lapisan masyarakat.
Pendidikan keterampilan hidup (life skills)
bermanfaat bagi peserta didik sebagai bekal dalam
menghadapi dan memecahkan problema hidup
dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri,
warga masyarakat dan warga negara. Jika hal itu
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
berhasil, maka faktor ketergantungan (dependency
factor) akibat banyaknya pengangguran dapat
diturunkan, yang berarti produktivitas nasional
akan meningkat. Sebagai suatu konsep, pendidikan
keterampilan hidup tentu terbuka dan memang akan
terus berkembang.
Rumusan tujuan pelatihan keterampilan hidup
(life skills) disusun sebagai pedoman utama dalam
merancang seluruh kegiatan pelatihan, memilih
dan menetapkan aktivitas pembelajaran dalam
pelatihan, menyeleksi calon peserta pelatihan,
dan menghindari hal-hal yang tidak realistis
serta berdampak negatif dalam pelatihan. Tujuan
pelatihan memiliki fungsi sebagai berikut : (a)
sebagai tolok ukur penilaian, dalam arti bahwa
pelatihan dinilai berhasil apabila tujuan yang telah
ditentukan dapat tercapai sebagaimana diharapkan,
(b) sebagai pemberi arah bagi semua unsur/
komponen pelatihan, khususnya pelatih dan peserta
pelatihan, (c) sebagai acuan tentang standar/kriteria
untuk merancang kurikulum pelatihan, dan (d)
sebagai media komunikasi bagi pelatih (Sudjana,
2007). Dengan demikian, dalam merumuskan tujuan
pelatihan, setiap pengurus atau pelaksana pelatihan
harus memahami fungsi tujuan pelatihan tersebut
sehingga pelatihan dapat dilaksanakan secara
efisien dan efektif. Tujuan pelatihan dapat dijadikan dasar
dalam menguraikan persyaratan pekerjaan,
memilih metode, media, dan sistem organisasi,
mengidentifikasi kebutuhan belajar peserta pelatihan
pada sat pelatihan berakhir, menumbuhkan
motivasi peserta pelatihan untuk terus belajar,
menggambarkan proses belajar yang lebih efisien
dan efektif, menyusun standar alat evaluasi hasil
belajar yang ajeg (valid) dan dapat dipercaya
(reliable). Tujuan pelatihan membantu penilai dan
pelatih dalam mengetahui hasil yang seharusnya
diperoleh dalam pelatihan, serta mengetahui
dampak pelatihan bagi para lulusan bagi kemajuan
dirinya, peningkatan kinerja pada lembaga dimana
lulusan bertugas, pembelajaran orang lain dan/atau
pengaruhnya bagi masyarakat yang menjadi layanan
lulusan program pelatihan. Dengan demikian,
tujuan pelatihan adalah gambaran perilaku yang
diharapkan dapat dicapai oleh peserta pelatihan
setelah mengkuti pelatihan. Tujuan ini dipandang
sebagai tolok ukur yang akurat pencapaian hasil
pelatihan.
Selain peningkatan keterampilan melalui
kegiatan pelatihan, faktor yang tidak kalah penting
adalah menumbuhkan sikap perilaku kewirausahaan
warga belajar sehingga dapat bekerja secara
mandiri. Kewirausahaan adalah applying creativity
and innovation to slove the problem and to
exploit opportunities that people face everyday.
Kewirausahaan adalah penerapan kreativitas dan
inovasi untuk memecahkan masalah dan upaya
memanfaatkan peluang yang dihadapi setiap
hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari
kreatifitas, inovasi dan keberanian menghadapi
risiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk
membentuk dan memelihara usaha baru. Kreativitas
diartikan sebagai kemampuan mengembangkan
ide-ide baru dan untuk menemukan cara baru
untuk memecahkan persoalan dan menghadapi
peluang (creativity is the ability to develop new ideas
and discover new ways of looking at problem and
opportunities) (Zimmerer, 1996).
Selanjutnya, Drucker (1994) berpendapat
bahwa kewirausahaan adalah suatu kemampuan
untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda
(ability to create the new and different thing).
Bahkan, enterpreneurship secara sederhana sering
juga diartikan sebagai prinsip atau kemampuan
wirausaha. Kewirausahaan adalah ability to create
the new and different, suatu kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.
Pada saat kondisi perekonomian negara kita
masih belum menentu dan daya beli masyarakat
sepertinya cenderung stagnan, karena pengaruh
dari krisis ekonomi dan bahkan krisis multidimensial
yang berkepanjangan, tetapi kenyataannya
keinginan masyarakat untuk memiliki kendaraan
bermotor tidak pernah surut, terbukti dengan
meningkatnya angka penjualan dari berbagai merk
motor dan mobil, bahkan sekarang ini telah muncul
puluhan merk-merk motor dan mobil baru yang
memperebutkan pasar otomotif di negara Indonesia.
Selain itu, kini di kabupaten Karawang, khususnya
di Karawang bagian selatan telah berdiri ratusan
perusahaan atau pabrik-pabrik yang bergerak di
berbagai sektor produksi dan tentunya industri
tersebut memerlukan teknisi-teknisi di bidang
otomotif yang handal dengan jumlah cukup banyak.
Dengan memperhatikan kondisi masyarakat
di Kabupaten Karawang yang telah berkembang
menjadi kawasan industri besar, tenaga-tenaga
kerja yang mempunyai keterampilan serta keahlian
di bidang otomotif keberadaanya sangat diperlukan.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
83
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
Dengan meningkatnya kendaraan otomotif di
kabupaten Karawang, perusahaan-perusahaan
yang bergerak dalam perbengkelan tumbuh dengan
pesat. Dampak dari berdirinya industri-industri
di Karawang, tentu saja memerlukan tenaga
kerja yang banyak pula. Tetapi permasalahannya
sekarang kesempatan kerja ini sulit didapatkan
oleh masyarakat Karawang sendiri, mereka kalah
bersaing dengan tenaga-tenaga kerja yang berasal
dari luar Karawang.
Untuk memenangkan persaingan dalam
memasuki pasar kerja di bidang industri yang ada di
Karawang, maka sumber daya manusia Karawang
sendiri perlu ditingkatkan. Mereka harus memiliki
keterampilan atau keahlian tertentu sebagaimana
yang dipersyaratkan oleh perusahaan-perusahaan
atau pasar kerja. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) Cepat Tepat Karawang yang memiliki salah
satu program unggulan di bidang pelatihan otomotif
merasa tergerak mempersiapkan calon tenaga kerja
di bidang otomotif agar diterima di perusahaan atau
membuka bengkel otomotif sendiri.
PKBM Cepat Tepat menyelenggarakan
pelatihan keterampilan montir otomotif yang
bertujuan untuk membekali pengetahuan, sikap dan
keterampilan warga belajar untuk meningkatkan
kualitas hidupnya melalui peningkatan taraf hidup
di bidang ekonomi. Pelatihan keterampilan montir
otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang selain
didukung oleh berbagai program pelayanan
pendidikan nonformal, di dalamnya menggunakan
pendekatan mastery learning (belajar tuntas)
dan sistem insentif dengan pengendalian dan
pembinaan yang sistematik. Pelatihan keterampilan
hidup (life skills) montir otomotif ini perlu dikaji dan
lebih dikaji secara cermat keunikannya sebagai
salah satu model PNF yang memiliki prospek yang
baik di masa yang akan datang.
Program pelatihan keterampilan hidup
(life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat
berusaha untuk menjembatani permasalahan yang
dihadapi antara sektor industri dan calon tenaga
kerja (masyarakat pencari kerja). Dimana saat ini
sektor industri mempunyai kebutuhan akan tenaga
kerja yang mempunyai keahlian khusus, sedangkan
di lain pihak masyarakat pencari kerja, sumber daya
manusianya belum sesuai dengan harapan sektor
industri. Program pelatihan keterampilan hidup (life
skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang
diselenggarakan untuk mendidik masyarakat usia
84
produktif, terutama warga Karawang yang tergolong
miskin dan tidak mempunyai pekerjaan, agar
mempunyai keterampilan dan keahlian di bidang
otomotif. Setelah selesai diharapkan dapat bekerja
di berbagai sektor industri atau bekerja secara
mandiri di bidang perbengkelan otomotif untuk
meningkatkan taraf hidupnya.
Tujuan pelatihan keterampilan montir otomotif
memberikan kerangka acuan dalam penyampaian
materi pelatihan baik teori, praktik maupun
implementasinya. Tujuan pelatihan disusun untuk
meningkatkan efektivitas, produktivitas dan efisiensi
proses pelatihan di lembaga pendidikan yang
melaksanakan pelatihan. Meningkatkan kualitas
hasil pelatihan ditandai oleh semakin banyaknya
pencapaian komponen tujuan pelatihan dan
semakin tingginya nilai pragmatis materi yang dapat
diimplementasikan oleh stakeholders, khususnya
peserta pelatihan.
Tujuan pelatihan keterampilan montir otomotif
merupakan dasar bagi penentuan langkah-langkah
kegiatan dalam mengembangkan komponen dan
proses pelatihan itu sendiri. Tujuan pelatihan
tersebut merupakan inti dalam sistem pelatihan.
Tujuan pelatihan keterampilan montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat yang dirancang dengan jelas
akan mempermudah kegiatan untuk mencapainya
karena pelatih dapat melakukan komunikasi yang
efektif terhadap peserta pelatihan sehingga terjadi
proses pelatihan dengan baik. Tujuan pelatihan yang
dirumuskan dengan baik akan memberikan arah
untuk menetapkan cara-cara praktis dan objektif
dalam menentukan fakta, prinsip, konsep, dan
kemampuan khusus sebagai bahan pembelajaran
dalam pelatihan termasuk penentuan jenis dan
jumlah bahan pembelajaran yang tepat sesuai
dengan kebutuhan tujuan pelatihan.
Mengacu kepada kondisi yang telah
dikemukakan di atas, pelatihan keterampilan
montir otomotif yang bertujuan untuk membekali
pengetahuan, sikap dan keterampilan warga
belajar untuk meningkatkan kualitas hidupnya
melalui peningkatan taraf hidup di bidang ekonomi.
Pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM
Cepat Tepat Karawang selain didukung oleh
berbagai program pelayanan pendidikan nonformal,
di dalamnya menggunakan pendekatan mastery
learning (belajar tuntas).
Terdapat 50 peserta pelatihan keterampilan
montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang,
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
setelah mengikuti pelatihan, sebanyak 60%
akan disalurkan untuk bekerja di sektor industri
dan bengkel-bengkel yang berada di Karawang
dan sekitarnya. Sebanyak 40% difasilitasi untuk
membuka usaha sendiri di bidang perbengkelan,
yaitu usaha bengkel mobil dan motor. Target
yang diharapkan setelah warga belajar mengikuti
pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM
Cepat Tepat Karawang adalah minimal mampu
memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil atau
besar yang dialami oleh mesin otomotif serta dapat
merangkai kembali garda yang terurai, merakit kabel
kabel kelistrikan yang ada pada mesin otomotif, dan
memasang lampu pada kendaraan otomotif serta
keterampilan las listrik dan las karbit.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana dampak pelatihan keterampilan hidup
(life skills) montir otomotif terhadap kesempatan
kerja dan pendapatan warga belajar di PKBM Cepat
Tepat Karawang? Penelitian ini bertujuan untuk
mengungkapkan dan menganalisis data tentang
perencanaan, pelaksanaan, penilaian, hasil dan
dampak pelatihan keterampilan hidup (life skills)
montir otomotif terhadap kesempatan kerja dan
pendapatan warga belajar di PKBM Cepat Tepat
Karawang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan menggunakan
pendekatan kualitatif. Tujuan penelitian ini ditulis
dengan istilah-istilah “teknis” penelitian yang
bersumber dari bahasa penelitian kualitatif
(Schwandt, 2007 dalam Cresswell, 2013). Alasan
penggunaan pendekatan kualitatif adalah karena
lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan,
dan menyajikan secara langsung hakikat hubungan
antara peneliti dengan responden, lebih peka
dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan
banyak penajaman pengaruh bersama terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2010).
Penelitian ini bertujuan menganalisis informasi
tentang fenomena utama yang dieksplorasi dalam
penelitian, partisipan, dan lokasi penelitian tentang
dampak pelatihan keterampilan hidup (life skills)
montir otomotif terhadap peningkatan kesempatan
kerja dan pendapatan warga belajar di PKBM Cepat
Tepat Karawang. Penelitian tentang pelatihan
keterampilan montir otomotif dilaksanakan pada
bulan Maret sampai dengan Juni tahun 2013 di
PKBM Cepat Tepat Karawang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kasus. Metode ini merupakan suatu
penelitian kualitatif yang berusaha menemukan
makna, menyelidiki proses, dan memperoleh
pengertian dan pemahaman yang mendalam
dari individu, kelompok dan situasi (Emzir, 2010).
Metode penelitian ini bertujuan memperoleh
gambaran kasus secara detail, analisis tema atau
pokok bahasan, dan interpretasi peneliti atau
penegasan kasus. Interpretasi ini dapat disebut
“pelajaran yang dipelajari” (Guba & Lincolin, 1989
dalam Milan J.M. & Schumacher, 1997). Dalam
penelitian ini, dianalisis tentang perencanaan,
pelaksanaan, penilaian, hasil dan dampak pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif
terhadap peningkatan kesempatan kerja dan
pendapatan warga belajar di PKBM Cepat Tepat
Karawang. Sebagai sumber informasi, subjek dalam
penelitian ini ditentukan secara purposive sampling
yang terdiri data dari satu orang pengelola, satu
orang tutor dan tiga orang warga belajar pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat Karawang.
Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah: (1) orientasi untuk mendapatkan informasi
tentang apa yang penting untuk ditemukan, (2)
eksplorasi untuk menentukan sesuatu secara
terfokus, dan (3) member check untuk mengecek
temuan menurut prosedur dan memperoleh laporan
akhir (Nasution, 1992). Data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang
ditunjang pula data kuantitatif. Instrumen yang
digunakan dalam mengumpulkan data adalah
observasi, wawancara mendalam, dan analisis
dokumentasi sebagai sumber data triangulasi yang
dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya.
Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk
melacak atau membuktikan kebenaran data yang
dikumpulkan untuk dianalisis pelatihan keterampilan
life skills montir otomotif terhadap peningkatan
kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar
di PKBM Cepat Tepat Karawang.
Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan model interaktif.
Tahap-tahap model ini yaitu: (a) koleksi data (data
collection), (b) reduksi data (data reductionaI), (c)
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
85
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
penyajian data (data display), dan (d) penarikan
kesimpulan/verifikasi (conclusion/verifying). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1 berikut
ini.
Gambar 1. Komponen analisis data model interaktif menurut Milles M. B. & Huberman A.M. (1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perencanaan Pelatihan Keterampilan Hidup (Life
Skills) Montir Otomotif
Berdasarkan hasil wawancara dan studi
dokumentasi yang diperoleh dari pengurus PKBM
Cepat Tepat diperoleh informasi bahwa pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif telah
dilaksanakan sesuai dengan pedoman pengurusan
program pendidikan keterampilan hidup (life skills)
program PNF. Perencanaan program pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat Karawang dimulai dengan
analisis kebutuhan belajar calon warga belajar
dan kondisi lingkungan yang disesuaikan dengan
daya dukung yang tersedia di PKBM Cepat Tepat
tersebut. Maksudnya alasan yang mendasari
ketua PKBM Cepat Tepat merencanakan untuk
menyelenggarakan program pelatihan keterampilan
hidup (life skills) montir otomotif disebabkan karena
sekarang ini di kabupaten Karawang, khususnya
di bagian selatan telah banyak berdiri ratusan
perusahaan atau pabrik-pabrik yang bergerak
di bidang industri. Berbagai perusahaan industri
tersebut memerlukan teknisi-teknisi di bidang
otomotif handal dengan jumlah yang cukup besar.
Memperhatikan kondisi tersebut, maka keberadaan
tenaga-tenaga kerja yang mempunyai keterampilan
dan keahlian di bidang otomotif sangat diperlukan.
Selain itu, meningkatnya kendaraan otomotif maka
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang
perbengkelan banyak didirikan.
Berasumsi pada kondisi tersebut di atas,
maka PKBM Cepat Tepat Karawang yang telah
berpengalaman di bidang otomotif tergerak untuk
mempersiapkan calon tenaga kerja di bidang otomotif
agar diterima di perusahaan yang bergerak di bidang
86
industri atau dapat membuka bengkel otomotif
secara mandiri yang sekarang ini keberadaannya
sangat dibutuhkan.
Proses perencanaan pelatihan keterampilan
hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat
Tepat dimulai dengan rekrutmen sumber belajar
atau instruktur yang memiliki kualifikasi atau
keahlian di bidang otomotif. Rekrutmen sumber
belajar ini dilakukan sesuai dengan petunjuk
pelaksanaan program life skills yang mensyaratkan
bahwa pengurus program life skills harus lebih dulu
memiliki tenaga pendidik/sumber belajar yang ahli di
bidangnya. Setelah itu, pengurus PKBM Cepat Tepat
melakukan rekrutmen warga belajar yang tergolong
ke dalam usia produktif (16 - 44 tahun), berasal dari
keluarga miskin dan sedang menganggur/belum
memiliki pekerjaan. Tingkat pendidikan calon warga
belajar mulai dari lulusan SD/MI sampai dengan DO
SLTA. Persyaratan calon warga belajar tersebut
sesuai dengan petunjuk pelaksanaan program
life skills, yaitu (a) belum memiliki keterampilan,
(b) menganggur atau tidak memiliki pekerjaan, (c)
berusia antara 16 – 44 tahun, (d) putus sekolah,
(e) pendidikan maksimal SLTA/Sederajat, dan (f)
sanggup mengikuti ketentuan pelatihan yang telah
ditetapkan oleh pengurus.
Pengurus PKBM Cepat Tepat Karawang
bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten
selanjutnya menyusun kurikulum pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif yang
meliputi (a) tujuan pelatihan, (b) materi pelatihan,
(c) pendekatan, metode dan teknik pelatihan yang
digunakan, (d) alokasi waktu, (e) evaluasi, dan (f)
kriteria keberhasilan yang akan dicapai.
Pada dasarnya, tujuan pelatihan keterampilan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat
Tepat Karawang seseuai dengan tujuan pengurusan
program PNF secara umum seperti yang
dikemukakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah
bab II pasal 2 ayat 2, bahwa “tujuan pendidikan
luar sekolah adalah membina warga belajar agar
memiliki pengetahuan keterampilan dan sikap yang
diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja
mencari nafkah, atau melanjutkan pendidikan ke
tingkat dan/atau jenjang yang lebih tinggi”.
Tujuan program pelatihan keterampilan
hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat
Tepat Karawang adalah membina warga belajar
agar memiliki pengetahuan dan keterampilan di
bidang otomotif dan sikap kewirausahaan yang
diperlukan untuk mengembangkan usaha, sehingga
menjadi sarana peningkatan kesempatan kerja dan
pendapatan warga belajar.
Pelatihan dapat didefinisikan sebagai
pengajaran atau pemberian pengalaman kepada
seseorang untuk mengembangkan tingkah laku
(pengetahuan, skill/keterampilan dan sikap) agar
mencapai sesuatu yang diinginkan (Robinson,
1981:12). Pelatihan merupakan bagian integral
dari proses penguatan kelembagaan dalam
mempersiapkan pelaku pembangunan (stakeholders)
agar mampu berpartisipasi dalam pengelolaan
program pembangunan. Kebutuhan suatu model
pelatihan yang memberikan suatu pandangan
menyeluruh tentang pelatihan menjadi sangat krusial
dalam rangka meningkatkan kapasitas lembaga
dan sumber daya manusia serta memberikan
definisi pelatihan yang ditekankan pada tempat
dilaksanakannya pelatihan. Mereka mendefinisikan
pelatihan sebagai usaha sistematis untuk menguasai
keterampilan, peraturan, konsep ataupun cara
berperilaku yang berdampak pada peningkatan
kinerja. Misalnya, untuk pelatihan jabatan kerja,
setting pelatihan diusahakan semirip mungkin
dengan lingkungan kerja yang sebenarnya
(Goldstein dan Gressner (1988) dalam Kamil,
2007). Sebagai bagian dari proses pendidikan,
pelatihan dilaksanakan melalui tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian.
Perencanaan merupakan suatu proses
yang terorganisir dan berkesinambungan dari
pengidentifikasian unsur-unsur dan aspek-aspek
suatu organisasi untuk penentuan keadaan sekarang
dari unsur-unsur dan aspek-aspek tersebut serta
interaksinya, memproyeksikan unsur-unsur dan
aspek-aspek tersebut untuk periode waktu tertentu,
serta perumusan dan pemrograman rangkaian
tindakan dan rencana untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Perencanaan adalah suatu kebijakan
untuk menggali dan memanfaatkan sumbersumber yang tersedia secara efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan-tujuan sosio-ekonomi atau
sosio-kultural tertentu. Karena itu, perencanaan
merupakan fungsi awal dari keseluruhan kegiatan
pengelolaan dan merupakan proses sistematis untuk
pengambilan keputusan tentang apa yang akan
dilaksanakan, mengapa dilaksanakan, tujuan yang
ingin dicapai, waktu yang dibutuhkan, bagaimana
proses pelaksanaannnya, daya dukung apa yang
tersedia, serta berbagai resiko dan kemungkinan
hambatan yang akan dihadapi.
Pada hakikatnya, perencanaan merupakan
usaha sadar, terorganisasi, dan terus menerus
dilakukan untuk memilih alternatif yang terbaik dari
sejumlah alternatif tindakan guna mencapai tujuan
(Waterson, 1965 dalam Sudjana. D. 2004: 61).
Selanjutnya, Schaffer (1970) dalam Sudjana (2004)
mengemukakan “Apabila perencanaan dibicarakan,
maka kegiatan ini tidak akan terlepas dari hal-hal yang
berkaitan dengan proses pengambilan keputusan.
Proses pengambilan keputusan tersebut dimulai
dari dengan perumusan tujuan, kebijaksanaan, dan
sasaran secara luas, yang kemudian berkembang
pada tahapan penerapan tujuan dan kebijaksanaan
itu dalam rencana yang lebih rinci berbentuk
program-program untuk dilaksanakan.”
Yehezkel Dror dalam Sudjana (2004)
mengemukakan ”Planning is process of prepraring
a set of dicision for action in the future directed at
achieving goals by preferable means”. Perencanaan
adalah proses untuk mempersiapkan seperangkat
keputusan tentang kegiatan-kegiatan pada
masa yang akan datang dengan diarahkan pada
pencapaian tujuan-tujuan melalui penggunaan
sarana yang tersedia.
Demikian pula Friedman dalam Sudjana, D.
(2004) mengemukakan ”Planning is a process by
which a scientific and technical knowledge is joined
to organized action”. Perencanaan adalah proses
menggabungkan pengetahuan ilmiah dan teknik ke
dalam kegiatan yang diorganisasi. Dengan demikian,
perencanaan merupakan kegiatan awal keseluruhan
proses kegiatan suatu organisasi atau lembaga.
Termasuk misalnya perencanaan proses pelatihan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
87
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
yang akan dilaksanakan oleh suatu lembaga
pendidikan.
Pada prinsipnya, perencanaan memiliki fungsi:
(a) untuk mengurangi adanya hambatan-hambatan
dan pemborosan sehingga semua yang tercakup
di dalamnya dapat dimanfaatkan sebaik mungkin,
(b) sebagai pelayanan yang berupa prosedur di
dalam proses pencapaian tujuan, dan (c) sebagai
penyeimbang daripada komponen-komponen yang
terlibat di dalamnya. Perencanaan merupakan bagian
awal dari manajemen. Perencanaan merupakan
faktor yang sangat mendasar dan menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan pelatihan. Tanpa
adanya perencanaan yang jelas dan terukur kita
tidak akan mengetahui dengan pasti, apakah proses
pelatihan yang dilaksanakan berhasil atau tidak.
Perencanaan pelatihan yang menyeluruh
mengandung efektivitas dan efisiensi sistem dan
proses, yang mencerminkan komponen-komponen
yang secara sistematis saling berhubungan dan
saling mempengaruhi. Komponen-komponen
tersebut meliputi: (a) alasan mengapa pelatihan
dilaksanakan, (b) tujuan pelatihan yang akan dicapai,
(c) tindakan yang akan dilaksanakan untuk mencapai
tujuan pelatihan tersebut, (d) daya dukung yang
tersedia, baik manusia maupun nonmanusia, (e)
bagaimana proses pelatihan tersebut dilaksanakan,
dan (f) waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan
pelatihan tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
perencanaan pelatihan merupakan suatu proses
yang sistematis dalam pengambilan keputusan
tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu
yang akan datang untuk mencapai tujuan pelatihan
yang telah ditetapkan. Disebut sistematis karena
perencanaan itu digunakan dengan menggunakan
prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut
mencakup proses pengambilan keputusan,
penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah,
serta tindakan atau kegiatan yang terorganisasi.
Pentingnya aspek perencanaan dalam
pelatihan keterampilan montir otomotif di PKBM
Cepat Tepat ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan Sutisna dan Trisnamansyah (2010) yang
menyatakan bahwa tahap perencanaan pelatihan,
dilakukan melalui identifikasi kebutuhan belajar.
Hasil identifikasi adalah berupa materi pelatihan
yang berdimensi. Pertama, yang pengetahuan
meliputi: (a) pemahaman karakteristik warga belajar,
(b) penguasaan konsep dan landasan pendidikan,
88
(c) pemahaman perencanaan pembelajaran, (d)
pelaksanaan pembelajaran beserta metode dan
teknik, dan (e) evaluasi dalam pembelajaran.
Kebutuhan materi dalam dimensi keterampilan,
meliputi: (a) penyusunan program pembelajaran
dan silabus, (b) penyusunan persiapan pelaksanaan
pembelajaran, (c) pelaksanaan pembelajaran,
dan (d) evaluasi pembelajaran. Kedua, identifikasi
peserta pelatihan. Ketiga, identifikasi sumber belajar
sebagai fasilitator. Keempat, identifikasi bahan ajar
yang digunakan, yaitu bahan ajar yang dikemas
sendiri oleh narasumber/peneliti dan bersifat praktis
dalam pelatihan.
Hasil penelitian ini menunjukkan kesamaan
bahwa perencanaan pelatihan keterampilan montir
otomotif di PKBM Cepat Tepat dilaksanakan melalui
tahapan identifikasi kebutuhan belajar, peserta
pelatihan, dan materi sesuai dengan perkembangan
bidang otomotif yang semakin pesat di Kabupaten
Karawang.
Pelaksanaan Pelatihan Keterampilan Hidup (Life
Skills) Montir Otomotif
Pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir
otomotif di PKBM Cepat Tepat dilakukan untuk
membangkitkan dan meningkatkan budaya belajar
sebagai bagian dari aktivitas belajar sendiri sehingga
tercipta warga belajar yang memiliki pengetahuan
dan keterampilan di bidang otomotif serta sikap
kewirausahaan yang mendukung pengembangan
usaha warga belajar yang berdampak pada
peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan
kehidupannya.
Untuk mencapai tujuan pelatihan keterampilan
hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat
diciptakan kondisi pelatihan yang memungkinkan
warga belajar dapat belajar secara optimal dan
instruktur bergairah untuk memberikan materi
pelatihan. Dalam pelatihan keterampilan hidup
(life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat
Karawang melibatkan beberapa komponen pelatihan
sebagai berikut.
Pertama, masukan sarana (instrumental input)
yang meliputi keseluruhan sumber dan fasilitas yang
memungkinan bagi seseorang atau kelompok dapat
melakukan kegiatan belajar. Masukan sarana yang
terlibat dalam proses pelatihan program life skills
montir otomotif di PKBM Cepat Tepat meliputi: (a)
kurikulum yang berisi materi pelatihan otomotif yang
bertujuan untuk memberi bekal pengetahuan dan
keterampilan di bidang motor bensin, suspensi,
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
kelistrikan, dan keselamatan kerja, dan memberi
kemampuan kewirausahaan seperti sikap percaya
diri, berorientasi pada tugas dan hasil, berani dan
mampu mengambil resiko, sikap kepepimpinan,
keorisinilan, serta berorientasi ke masa depan
untuk memasuki dunia kerja atau berusaha secara
mandiri membuka lapangan kerja; (b) pendekatan
yang digunakan adalah partisipatif. Pendekatan
ini bertujuan untuk memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada peserta didik untuk terlibat
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
pelatihan. Pada pendekatan ini, sumber belajar
berfungsi untuk memfasilitasi peserta didik dalam
melakukan kegiatan pelatihan montir otomotif; (c)
metode yang digunakan dalam pelatihan program
life skills montir otomotif ini adalah kelompok.
Warga belajar dibagi dalam kelompok besar (50
orang) ketika memperoleh materi teori otomotif
dan kewirausahaan dan kelompok kecil yang terdiri
dari 5 orang pada saat mempraktekkan materi
pelatihan yang diberikan sumber belajar, dan (d)
Teknik pelatihan yang digunakan dalam pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif, antara
lain ceramah, tanya jawab, demontrasi, penugasan
(drill), kerja kelompok, dan praktik lapangan. Media
yang digunakan adalah buku-buku sumber otomotif,
OHP, gambar dan alat peraga.
Kedua, masukan mentah (raw input), yaitu
peserta didik (warga belajar) dengan berbagai
karakteristik yang dimilikinya. Warga belajar program
pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir
otomotif di PKBM Cepat Tepat adalah 50 orang warga
belajar yang memiliki karateristik: (a) belum memiliki
pengetahuan dan keterampilan di bidang otomotif;
(b) menganggur atau tidak memiliki pekerjaan tetap
(miskin), lemah dalam investasi dan menabung; (c)
berusia antara 26 – 44 tahun; (d) putus sekolah (DO
SD/SLTP/SLTA); (e) berpendidikan maksimal SLTA;
dan (f) sanggup mengikuti ketentuan pelatihan yang
telah ditetapkan pengurus.
Ketiga, masukan lingkungan (environmental
input) yaitu faktor lingkungan yang menunjang atau
mendorong berjalannya proses pelatihan life skills
montir otomotif yang meliputi (a) kondisi lingkungan
keluarga yang mendorong warga belajar aktif
mengikuti proses pelatihan montir otomotif, dan (b)
kondisi lingkungan belajar seperti ruangan, media
belajar, dan iklim belajar yang mendukung proses
pelatihan montir otomotif.
Keempat, proses pelatihan yang menyangkut
interaksi antara masukan sarana, terutama pendidik
dengan masukan mentah, yaitu warga belajar
program pelatihan keterampilan hidup (life skills)
montir otomotif. Proses pelatihan keterampilan
hidup (life skills) montir otomotif ini terdiri atas:
(a) kegiatan belajar-membelajarkan, bimbingan
dan pelatihan yang dilakukan oleh sumber belajar
dengan melibatkan komponen masukan sarana,
masukan mentah, dan masukan lingkungan; serta
(b) penilaian pelatihan keterampilan hidup (life skills)
montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang
yang dilaksanakan masing-masing sumber belajar di
akhir pemberian materi pelatihan baik teori maupun
praktek. Penilaian secara menyeluruh proses
pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir
otomotif dilakukan oleh pihak pengurus yang bekerja
sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten dan
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten. Penilaian program
pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir
otomotif yang difokuskan pada proses pelatihan
selama kegiatan berlangsung, yang meliputi
kemampuan sumber belajar dalam menyampaikan
materi, kemampuan warga belajar menerima
pengetahuan otomotif, sikap kewirausahaan dan
keterampilan mempraktekkan materi. Dengan
demikian, aspek yang dievaluasi dalam pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif
di PKBM Cepat Tepat Karawang ini meliputi (a)
penilaian kognitif, (b) afektif, dan (c) psikomotor.
Kelima, keluaran (output) yaitu kuantitas
lulusan dan kualitas perubahan tingkah laku yang
didapat melalui proses pelatihan keterampilan hidup
(life skills) montir otomotif. Perubahan tingkah laku
ini mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor
yang sesuai dengan kebutuhan belajar yang mereka
perlukan. Standar kompetensi pengetahuan, sikap,
dan keterampilan yang harus dimiliki oleh warga
belajar program pelatihan keterampilan hidup (life
skills) montir otomotif tersebut yaitu: (a) warga
belajar minimal mampu memperbaiki kerusakankerusakan kecil atau besar yang dialami oleh
mesin otomotif serta dapat merangkai kembali
garda yang terurai, merakit kabel-kabel kelistrikan
yang ada pada mesin otomotif, dan memasang
lampu-lampu pada kendaraan otomotif serta
keterampilan las listrik juga las karbit; (b) dapat
melakukan pemeliharaan kendaraan harian secara
berkala; (c) dapat mengatasi dan memperbaiki
kerusakan secara sederhana; (d) dapat melakukan
bongkar pasang mesin mobil atau motor; (e) dapat
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
89
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
menggunakan alat-alat ukur yang diperlukan dalam
pekerjaan yang bersangkutan; (f) mengerti akan
persyaratan keselamatan kerja dalam melakukan
pekerjaan; dan (g) memiliki sikap kewirausahaan
dalam mengembangkan pekerjaannya.
Keenam, masukan lain (other input) adalah
daya dukung lain yang memungkinkan para peserta
didik dan lulusan dapat menggunakan kemampuan
yang telah dimiliki untuk kemajuan kehidupannya
setelah mengikuti proses pelatihan montir otomotif,
meliputi: (a) dana yang diberikan kepada pengurus
untuk menyelenggarakan program pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat, (b) kondisi lapangan kerja
yang mendukung lulusan setelah mengikuti proses
pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir
otomotif, dan (c) kemitraan yang mendukung lulusan
dapat segera bekerja setelah mengikuti proses
pelatihan montir otomotif.
Ketujuh, pengaruh atau dampak (impact)
yang menyangkut hasil yang telah dicapai oleh
warga belajar setelah mengikuti program pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif
di PKBM Cepat Tepat Karawang. Dampak yang
diharapkan setelah warga belajar mengikuti proses
pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir
otomotif di PKBM Cepat Tepat Tepat Karawang ini
adalah: (a) perubahan taraf hidup yang ditandai
dengan perolehan kesempatan pekerjaan atau
berwirausaha di bidang otomotif sebagai montir,
perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan,
dan penampilan diri, dan (b) kegiatan membelajarkan
orang lain atau mengikutsertakan orang lain dalam
memanfaatkan hasil yang telah dimiliki.
Sebagai proses, pelatihan merupakan suatu
kegiatan berlangsungnya kegiatan belajar. Kegiatan
belajar termasuk pelatihan, pertama-tama dimulai
dari diri seseorang sehingga orang itu melakukan
proses belajar. Belajar merupakan suatu kegiatan
yang bertujuan untuk mengembangkan diri melalui
proses penyesuaian tingkah laku. Penyesuaian
tingkah laku yang terwujud karena belajar, bukan
akibat langsung dari pertumbuhan orang yang
belajar itu. Ia melakukan kegiatan belajar dengan
menyesuaikan tingkah lakunya dalam upaya untuk
meningkatkan kualitas kehidupannya.
Secara etimologi, pelatihan merupakan
terjemahan dari kata “training” dalam bahasa Inggris.
Secara harfiah akar kata “training” adalah “train”,
yang berarti: (1) memberi pelajaran dan praktik (give
90
teaching and practice), (2) menjadikan berkembang
dalam arah yang dikehendaki (cause to grow in a
required direction), (3) persiapan (preparation), dan
(4) praktik (practice).
Noe, Hollenbeck, Gerhart and Wright
(2003:251) mengemukakan bahwa training is a
planned effort to facilitate the learning of job-related
knowledge, skills, and behavior by employe. Artinya,
pelatihan merupakan suatu usaha yang terencana
untuk memfasilitasi pembelajaran tentang pekerjaan
yang berkaitan dengan pengetahuan, keahlian
dan perilaku oleh pegawai. Pelatihan formal yang
direncanakan secara matang dan mempunyai
suatu format pelatihan yang terstruktur. Dalam
meningkatkan dan mengembangkan sumber daya
manusia, berbagai pelatihan banyak dilaksanakan
dalam masyarakat atau dalam dunia kerja untuk
mengisi kebutuhan-kebutuhan fungsional. Kegiatankegiatan pelatihan ini sangat populer dan mudah
dilakukan karena menggunakan prinsip-prinsip dan
metode-metode pendidikan dan pembelajaran pada
pendidikan luar sekolah. Meskipun demikian dalam
banyak kasus pula pelaksanaan pelatihan ini tidak
jarang dipadukan atau saling melengkapi dengan
pendidikan formal.
Ditinjau dari filsafat ilmunya, bahwa fenomena
kehadiran program pelatihan dapat memunculkan
tiga pertanyaan: (a) dari segi ontologis, apakah
yang dimaksud pelatihan, (b) dari segi axiologis,
apakah sesungguhnya manfaat pelatihan, dan (c)
dari segi epistimologis, bagaimana cara mengkaji
dan mengembangkan pelatihan?. Lebih khusus lagi,
dari sudut pandang pendidikan, berkembangnya
program pelatihan dapat mengundang beberapa
pertanyaan antara lain (a) apakah perbedaan
antara pendidikan dan pelatihan, (b) di manakah
posisi pelatihan dan pendidikan apabila keduanya
saling berkaitan (Sudjana, 2007). Secara ontologis,
pengertian pelatihan telah dirumuskan oleh para ahli,
yaitu “Training is a process used by organizations
to meet their goals. It is called into operation when
a discrepancy is perceived between the current
situation and a preferred state of affairs. The trainer’s
role is to facilitate trainee’s movement from the status
qou toward the ideal” (Friedman dan Yarbrough,
1985 dalam Sudjana, 2007).
Berkaitan dengan proses pelatihan, Sudjana
(2004) memberikan formula pembelajaran (termasuk
kegiatan pelatihan) yang dapat dirumuskan sebagai
berikut : Pb = f P (m S x y z). “Pembelajaran
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
adalah fungsi (f) untuk membelajarkan (m) peserta
didik (S) terhadap materi pelatihan (x) untuk
mencapai hasil belajar (y) yang menimbulkan
pengaruh belajar (z)”. Berdasarkan rumus formula
pembelajaran tersebut dapat diketahui bahwa fungsi
pembelajaran adalah untuk membantu, membimbing,
melatih, memelihara, merawat, menumbuhkan,
mendorong, membentuk, meluruskan, menilai,
dan mengembangkan kemampuan peserta didik,
baik pengetahuan, keterampilan serta sikap yang
menimbulkan pengaruh positif bagi hidup dan
penghidupan peserta didik.
Pelaksanaan suatu kegiatan pembelajaran,
termasuk pelatihan merupakan proses transformasi
pengetahuan, sikap dan keterampilan dari sumber
belajar kepada warga belajar. Pelaksanaan pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat Karawang tidak terlepas dari
kurikulum yang telah ditetapkan, yang meliputi
tujuan pelatihan yaitu memberikan pengetahuan
dan keterampilan di bidang otomotif serta sikap
kewirausahaan yang mendukung pengembangan
usaha warga belajar.
Secara epistimologis, kajian tentang pelatihan
dapat dilihat dalam pengembangan sistem, model
dan pengelolaan pelatihan. Dari segi sistem dapat
dipahami bahwa pada umumnya pelatihan memiliki
masukan (input), proses dan keluaran (output)
(Sudjana, 2007). Hasil penelitian di lapangan
menunjukkan bahwa pelaksanaan pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat Karawang merupakan proses
interaksi edukatif antara warga belajar dengan
komponen-komponen pembelajaran lainnya,
seperti masukan sarana, masukan lingkungan, dan
masukan lain. Oleh karena pelatihan merupakan
satuan pendidikan luar sekolah maka sesuai
dengan sistem pendidikannya, pelatihan memiliki
unsur-unsur yang terdiri atas komponen, proses,
dan tujuan.
Komponen pelatihan mencakup masukan
lingkungan (environmental input), masukan sarana
(instrumental input), masukan mentah, (raw input),
dan masukan lain (other input). Proses (processes)
pelatihan merupakan interaksi pembelajaran antara
masukan sarana, terutama pelatih, dengan masukan
mentah yaitu peserta pelatihan. Tujuan pelatihan
terdiri atas tujuan pembelajaran antara keluaran
(output), dan tujuan pembelajaran akhir yaitu
pengaruh (outcome). Pengaruh berkaitan dengan
menfaat atau kegunaan pelatihan yang telah diikuti
peserta pelatihan bagi dirinya, lembaga, masyarakat,
dan lain sebagainya. Singkatnya, program pelatihan
akan berhubungan erat dengan unsur-unsur
pelatihan yang disusun secara sistemik, yaitu
memuat komponen, proses dan tujuan pelatihan.
Proses pelatihan yang berlangsung melibatkan
tujuh komponen. Pertama, masukan sarana
(instrumental input) meliputi keseluruhan sumber
dan fasilitas yang memungkinan bagi seseorang atau
kelompok dapat melakukan kegiatan belajar. Kedua,
masukan mentah (raw input) yaitu peserta didik
(warga belajar) dengan berbagai karakteristiknya
yang dimilikinya. Ketiga, masukan lingkungan
(environmental input), yaitu faktor lingkungan yang
menunjang atau mendorong berjalannya program
pendidikan. Keempat, proses yang menyangkut
interaksi antara masukan sarana, terutama pendidik
dengan masukan mentah, yaitu peserta didik (warga
belajar). Kelima, keluaran (output), yaitu kuantitas
lulusan yang disertai dengan kualitas perubahan
tingkah laku yang didapat melalui kegiatan belajarmembelajarkan. Keenam, masukan lain (other input)
adalah daya dukung lain yang memungkinkan para
peserta didik dan lulusan dapat menggunakan
kemampuan yang telah dimiliki untuk kemajuan
kehidupannya. Ketujuh, pengaruh (impact) yang
menyangkut hasil yang telah dicapai oleh peserta
didik dan lulusan (Sudjana, 2004) .
Tujuan pelatihan lebih mengenalkan tingkah
laku baru atau mengubah tingkah laku yang ada
sehingga tercipta tingkah laku yang baru (Nadler,
1982). Pelatihan dirancang untuk memperbaiki
performa peserta didik. Pelatihan cenderung tertuju
pada tujuan-tujuan yang spesifik seperti menjalankan
mesin dan mengikuti aturan-aturan baru (Glaser,
1962) .
Pelatihan jenis apapun sebenarnya tertuju
pada dua sasaran, yaitu partisipasi dan organisasi.
Melalui pelatihan, diharapkan terjadi perbaikan
tingkah laku pada partisipan pelatihan yang
sebenarnya merupakan anggota suatu organisasi.
Perbaikan organisasi itu sendiri agar menjadi lebih
efektif. Apabila pelatihan tertuju pada karyawan
perusahaan atau pabrik, tujuan pelatihan adalah
agar individu karyawan tersebut menjadi lebih
baik pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya,
selanjutnya perusahaan/pabrik menjadi lebih baik
pula, misalnya lebih produktif. Pada pelatihan
kader organisasi, misalnya, pelatihan bertujuan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
91
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
memperbaiki kecakapan kader dan selanjutnya
diharapkan organisasinya lebih efektif dalam
melaksanakan program-programnya dan mencapai
tujuannya. Untuk jelasnya, dapat dilihat diagram
pada gambar 2 berikut ini
Partisipasi
Training
Tingkah laku
partisipan
yang lebih
baik
Perbaikan
training
Feedback
Organisasi
Institusi
Organisasi
yang lebih
efektif
Perbaikan
organisasi
Gambar 2. Diagram proses pelatihan (Marzuki, 2009)
Pada Gambar 2, dikemukakan bahwa pelatihan
merupakan variabel antara untuk mengubah variabel
bebas partisipan dan organisasi menjadi sesuatu
yang lebih baik, yaitu kemampuan individu dan
keefektifan organisasi. Dale S. Beach (1975) dalam
Kamil, M. (2007:10) mengemukakan, “The objective
of training is to achieve a change inthe behavior
of those trained” (tujuan pelatihan adalah untuk
memperoleh perubahan dalam tingkah laku mereka
yang dilatih). Sementara itu dari pengertian pelatihan
yang dikemukakan Flippo, E.B. (1994) secara
lebih rinci tampak bahwa tujuan pelatihan adalah
untuk menigkatkan pengetahuan dan keterampilan
seseorang.
Keberhasilan suatu program pelatihan lebih
banyak dinilai dari segi sejauhmana perubahan
perilaku yang diharapkan terjadi pada peserta didik
atau lulusan pelatihan sebagai hasil dari proses
pelatihan. Keberhasilan pelatihan pada umumnya
dalam tujuan pelatihan itu sendiri. Tujuan pelatihan
tidak hanya utuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan saja, melainkan juga untuk
mengembangkan bakat.
Marzuki, S. (2009:12) mengemukakan ada
tiga tujuan pokok pelatihan, yaitu: (1) memenuhi
kebutuhan organisasi, (2) memperoleh pengertian
dan pemahaman yang lengkap tentang pekerjaan
dengan standar dan kecepatan yang telah ditetapkan
dan dalam keadaan yang normal serta aman, dan
92
(3) membantu para pemimpin organisasi dalam
melaksanakan tugasnya.
Selanjutnya Sudjana, D. (2007: 104)
mengemukakan bahwa tujuan pelatihan pada
dasarnya adalah suatu sebagai pernyataan yang
menguraikan suatu perubahan yang diusulkan akan
terjadi pada diri peserta pelatihan, yaitu perubahan
setelah peserta pelatihan menyelesaikan pengalaman
belajarnya dalam pelatihan. Lebih lengkap tujuan
pelatihan dapat diberi arti sebagai suatu rumusan
tentang hasil yaitu keluaran (output) dan dampak
(outcome) yang ingin dicapai oleh pelatihan. Mengacu
pada pengertian tersebut, maka dapat dikemukakan
bahwa tujuan pelatihan adalah gambaran tentang
perilaku yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta
pelatihan setelah mengkuti pelatihan. Tujuan ini
dipandang sebagai tolok ukur yang akurat untuk
pencapaian hasil suatu pelatihan. Tujuan dapat
berbentuk verbal (lisan) dan.atau nonverbal (tulisan).
Tujuan secara tertulis secara jelas lebih baik dan
mudah dipahami oleh peserta pelatihan dibandingkan
dengan tujuan lisan.
Hasil Pelatihan Keterampilan Hidup (Life skills)
Montir Otomotif
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara
dengan terhadap empat orang lulusan pelatihan
pendidikan keterampilan (life skills) montir otomotif
di PKBM Cepat Tepat Karawang diperoleh informasi
bahwa mereka telah memiliki pengetahuan di
bidang otomotif dan sikap kewirausahaan, serta
telah memiliki keterampilan untuk memperbaiki
kendaraan bermotor. Dalam kaitan dengan pelatihan
keterampilan montir otomotif di PKBM Cepat Tepat
Karawang, perubahan disposisi atau kemampuan
yang telah diperoleh warga belajar adalah perubahan
pengetahuan dan keterampilan di bidang otomotif dan
sikap kewirausahaan untuk mengembangkan usaha
di bidang otomotif.
Secara rinci hasil pelatihan yang telah diperoleh
warga belajar setelah mengikuti pelatihan keterampilan
hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat
Karawang, baik yang berkaitan dengan perubahan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan, gambaran dari
seorang responden yang mengemukakan:
Saya setelah mengikuti pelatihan keterampilan
hidup (life skills) montir otomotif di PKBM Cepat
Tepat Karawang telah memiliki pengetahuan
tentang motor bensin, suspensi yang meliputi seperti
chasis otomotif, badan otomotif, kerja bangku,
pemeliharaan dan perbaikan gangguan, ilmu bahan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
dan perkakas, serta gambar teknik, kelistrikan,
keselamatan kerja, dan ilmu kewirausahaan
yang berkaitan dengan kepercayaan diri, sikap
berorientasi pada tugas dan hasil, berani mengambil
risiko dalam mengembangkan usaha, sikap
kepemimpinan, dan sikap kreatif.
Saya percaya dapat mengembangkan usaha
di bidang perbengkelan. Saya yakin bahwa
keterampilan otomotif yang dimilikinya dapat
dijadikan mata pencaharian yang menjanjikan.
Sebagai seorang montir motor, saya kini sudah
berani membuka bengkel sendiri walaupun dalam
skala kecil. Saya selalu tekun, teliti, dan sabar
pada saat bekerja agar kendaraan bermotor yang
diperbaikinya tidak membahayakan konsumennya.
saya selalu berusaha untuk bersikap ramah
dan jujur kepada konsumennya. Saya selalu
bekerja dengan keras, inovatif dan kreatif dalam
mengembangkan keterampilannya di bidang
bengkel otomotif. Pekerjaan ini dijalani dengan rasa
senang, karena dia merasa yakin bahwa usaha
bengkelnya dapat berkembang karena berlokasi
di jalan protokol yang banyak dilalui kendaraan
bermotor jalur Karawang – Bekasi.
Saya sudah terampil menurunkan dan menaikan
mesin motor dari kendaraan, bongkar pasang
kepala silinder berbagai tipe motor, bongkar
pasang piston, bongkar pasang mekanisme katup,
bongkar pasang pada sistem pendingin, bongkar
pasang pompa bensin mekanik dan sistem listrik,
bongkar pasang karburator berbagai tipe motor,
melepas dan memasang kembali tangki bahan
bakar, bongkar pasang manipol atau exhaust,
bongkar pasang poros engkol, bongkar pasang
pompa minyak pelumas dan saringan kendaraan
motor. Selain itu, saya sudah terampil dalam
memeriksa baterai, bongkar pasang dinamo,
bongkar pasang motor stater, bongkar pasang
distributor, memeriksa dan memasang busi
motir, memasang sistem penerangan dan sistem
perlengkapan kendaraan motor.
Dari hasil analisis data menunjukkan hasil
pelatihan keterampilan hidup (life skills) montir
otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang berdasarkan
ranah kognitif, afektif, dan keterampilannya, dapat
diuraikan pada gambar 3 berikut.
Gambar 3. Perubahan hasil belajar sebelum dan setelah mengikuti pelatihan keterampilan montir otomotif
di PKBM Cepat Tepat Karawang (Sumber: Hasil Analisis Data)
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
93
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
Dari gambaran hasil penelitian yang telah
dikemukakan dapat diketahui bahwa pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat Karawang, telah memberikan
dampak terhadap perubahan kehidupan warga
belajar. Warga belajar mengalami peningkatan
pengetahuan dan keterampilan di bidang otomotif
dan mengalami perkembangan sikap kewirausahaan
yang bermanfaat dalam mengembangkan usaha di
bidang perbengkelan.
Hasil pelatihan merupakan kriteria
keberhasilan atau target yang telah dicapai dalam
suatu proses pembelajaran. Hasil pembelajaran
merupakan produk penyesuaian tingkah yang
diperoleh warga belajar. Travers, J. (1972)
dalam Sudjana, D. (2004) mengemukakan bahwa
belajar adalah suatu proses yang menghasilkan
penyesuaian tingkah laku. Belajar sebagai hasil
adalah akibat wajar dari proses, atau proses
menyebabkan hasil.
Seperti telah dikemukakan di atas tentang
pengertian pelatihan, Dearden (1984) dalam Kamil,
M. (2007:7), menyatakan pula bahwa pelatihan
pada dasarnya meliputi proses belajar mengajar
dan latihan bertujuan untuk mencapai tingkatan
kompetensi tertentu atau efisiensi kerja. Sebagai hasil
pelatihan, peserta diharapkan mampu merespon
dengan tepat dan sesuai situasi tertentu. Seringkali
pelatihan dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja
yang langsung berhubungan dengan situasinya.
Dearden lebih memilih menggunakan konsep
kompetensi (competences) dibandingkan kinerja
(performance). Dia membatasi konsep tersebut
untuk tujuan mempersiapkan peserta untuk
bertindak berdasarkan situasi-situasi yang biasanya
terjadi, serta menerapkannya pada saat melakukan
tanggung jawab pekerjaan, baik beban kerja yang
lebih kompleks maupun yang lebih sederhana.
Berkaitan dengan pelatihan sebagai hasil,
Bloom., B. (1965) dalam Sudjana, D. (2004:
99-102) menyusun klasifikasi tujuan pendidikan
(taxonomy of educational objectives) yang meliputi
tiga ketegori, yaitu: pertama, ranah kognitif yang
mencakup pengetahuan (knowledge), pengertian
(comprehension), penerapan (application), analisis,
sintesis, dan evaluasi. Kedua, ranah afektif yang
mencakup perubahan yang berhubungan minat,
sikap, nilai-nilai, penghargaan dan penyesuaian
diri. Ketiga, ranah keterampilan yang mencakup
keterampilan produktif (productive skills),
94
keterampilan teknik (technical skills), keterampilan
fisik (physical skills), keterampilan sosial (social
skills), keterampilan pengelolaan (managerial skills),
dan keterampilan intelek (intellectual skills).
Berkaitan dengan hasil proses pembelajaran,
termasuk kegiatan pelatihan yang memberi makna
pada diri warga belajar, Sudjana, D. (2004 : 102)
berpendapat sebagai sebagai berikut: “Belajar
sebagai hasil bermakna sebagai suatu kemampuan
yang dicapai seseorang setelah melalui kegiatan
belajar atau sesudah mengalami belajar sebagai
proses. Melalui kegiatan belajar sebagai proses,
seseorang dapat berpikir, merasakan dan bertindak
di dalam dan terhadap kehidupannya. Dengan
demikian, belajar sebagai hasil adalah perubahan
tingkah laku seseorang melalui proses belajar
dan yang harus dan dapat digunakan untuk
meningkatkan penampilan dirinya dalam hidup dan
kehidupannya.”
Dengan demikian, hasil pelatihan adalah
perubahan tingkah laku seseorang melalui proses
belajar dan yang harus dan dapat digunakan
untuk meningkatkan penampilan dirinya dalam
hidup dan kehidupannya. Secara umum, manfaat
pendidikan yang berorientasi pada keterampilan
hidup (life skills) montir otomotif bagi warga belajar
adalah memberikan bekal untuk menghadapi dan
memecahkan masalah hidup dan kehidupan, baik
sebagai pribadi, warga masyarakat dan warga
negara yang mandiri. Keberhasilan program life
skills diharapkan meningkatkan kesempatan
sehingga dapat mengurangi pengangguran, dan
meningkatkan produktivitas kerja warga belajar
untuk meningkatkan pendapatannya.
Berkaitan dengan hasil pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif
di PKBM Cepat Tepat Karawang, menunjukkan
sikap kewirausahaan yang mulai tumbuh dan
berkembang. Kewirausahaan, menurut Winarto
(2004:2-3) dikemukakan bahwa “Entrepreneurship
(kewirausahaan) adalah suatu proses melakukan
sesuatu yang baru dan berbeda dengan tujuan
menciptakan kemakmuran bagi individu dan
memberi nilai tambah pada masyarakat.” Adapun
Hisrich-Peters (1995:10) dalam Alma, B. (2007:26) mengemukakan bahwa “Enterpreneurship is the
process of creating something different with value
by devoting the necessary time and effort, assuming
the accompanying financial, psyhic, and social risk,
and receiving the resulting rewards of monetary and
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
personal satisfaction and independence”. Artinya,
kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu
yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan
disertai modal dan resiko serta menerima balas jasa
dan kepuasan serta kebebasan).
Selanjutnya, Suryana (2007:10) juga
mengemukakan bahwa kewirausahaan merupakan
terjemahan dari “entrepreneurship”, yang dapat
diartikan sebagai “the backbone of economy”, yaitu
syaraf pusat perekonomian atau sebagai ‘tailbone
of economy’, yaitu pengendali perekonomian
suatu bangsa. Secara etimologi kewirausahaan
merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai
suatu usaha (start-up phase) atau suatu proses
dalam mengerjakan suatu yang baru (creative) dan
sesuatu yang berbeda (innovative).
Pengembangan model pendidikan
kewirausahaan telah banyak dilaksanakan untuk
meningkatkan kemandirian usaha warga belajar.
Hasil penelitian pengembangan model pendidikan
kewirausahaan dari Usman, H., Prasaja, L.D. dan
Sunarta (2012) menyimpulkan bahwa (a) model
pendidikan kewirausahaan meliputi sistem, struktur
program pelatihan, komposisi antara teori dengan
praktik, modul pelatihan, kriteria peserta, pelatih,
metode, dan evaluasi pelatihan; (b) modul-modul
hasil pengembangan model layak digunakan
untuk pendidikan kewirausahaan guna mengurangi
kemiskinan dan pengangguran; dan (c) program
pendidikan kewirausaahaan terlaksana dengan
sukses.
Lebih lanjut, hasil penelitian Widodo, S. dan
Nugroho T.R.D.A. (2014) menyimpulkan bahwa
model pendidikan kewirausahaan bagi santri
dilakukan untuk menumbuhkan dan meningkatkan
karakteristik kewirausahaan santri. Model pendidikan
kewirausahaan disusun berdasarkan baseline
karakteristik jiwa kewirausahaan santri. Pendidikan
kewirausahaan ditujukan pada tiga aspek, yaitu
meningkatkan jiwa kewirausahaan, keahlian
keterampilan teknis, dan manajemen wirausaha.
Keterampilan teknis mengacu pada hasil studi
potensi yang ada di sekitar pondok pesantren. Pada
implementasinya, pendidikan kewirausahaan perlu
juga mengakomodasi perkembangan teknologi.
Salah satunya industri kreatif yang perkembangannya
dari tahun ke tahun semakin pesat.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
tentang pelatihan keterampilan montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat Karawang dalam meningkatkan
keterampilan warga belajar sesuai dengan
perkembangan industri otomotif yang semakin
pesat dari tahun ke tahun di Kabupaten Karawang.
Dampak Pelatihan Keterampilan Hidup (Life
Skills) Montir Otomotif
Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa
dampak yang diperoleh warga belajar setelah
mengikuti pelatihan keterampilan hidup (life skills)
montir otomotif di PKBM Cepat Karawang adalah
terbukanya kesempatan yang memberi pengaruh
terhadap peningkatan pendapatan warga belajar.
Warga belajar sebelum mengikuti pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif tidak
memiliki pekerjaan. Kini warga belajar sudah memiliki
pekerjaan yang sesuai dengan pengetahuan dan
keterampilannya di bidang otomotif. Dampak yang
telah dirasakan warga belajar setelah mengikuti
program pelatihan keterampilan hidup (life skills)
montir otomotif di PKBM Cepat Tepat.
Sebelum mengikuti program pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif,
warga belajar tidak memiliki penghasilan sehingga
dalam memenuhi kebutuhan keluarganya masih
dibantu oleh orangtua dan mertuanya. Setelah
mengikuti program pelatihan keterampilan hidup
(life skills) montir otomotif, kini warga belajar dapat
membuka bengkel sendiri walaupun belum terlalu
besar. Namun baginya, kondisi tersebut merupakan
kesempatan kerja yang sangat menjanjikan untuk
terus dikembangkan. Pada masa krisis ekonomi
di mana setiap orang sangat sulit memperoleh
pekerjaan, warga belajar merasa bangga dan
senang karena telah memiliki kesempatan kerja
yang cukup baik sebagai montir kendaraan bermotor
yang didirikannya sendiri. Kini warga belajar tidak
tidak lagi bergantung kepada orangtuanya untuk
menghidupi kebutuhan keluarganya. Warga belajar
memperoleh pendapatan dalam sehari biasanya
kurang lebih antara 100.000 sampai dengan
200.000 rupiah. Walaupun penghasilannya tidak
menentu, tetapi telah dapat memberi kesempatan
kerja dan memperoleh pendapatan. Dari
pendapatannya tersebut sebagian kecil ditabung
untuk mengembangkan usaha bengkelnya menjadi
lebih besar.
Secara keseluruhan dampak peningkatan
kesempatan kerja dan pendapatan warga belajar
setelah mengikuti pelatihan keterampilan hidup (life
skills) montir otomotif di PKBM Cepat Karawang
secara umum digambarkan dalam tabel berikut ini.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
95
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
Tabel 1. Analisis Data Kesempatan Kerja dan Peningkatan Pendapatan Warga Belajar Sebelum dan
Setelah Mengikuti Pelatihan Keterampilan (Life Skills) Montir Otomotif
No
Sebelum Mengikuti
Pelatihan
Setelah Mengikuti
Pelatihan
Jumlah Warga Belajar
(orang)
Persentase
(%)
1
Tidak bekerja dan tidak
memiliki pendapatan
Bekerja dan memiliki
pendapatan
38
76,00
2
Tidak bekerja dan tidak
memiliki pendapatan
Belum bekerja dan belum
memiliki pendapatan
12
24,00
50
100
Total
Sumber: Hasil Penelitian
Dari data pada Tabel 1 di atas dapat dilihat
bahwa warga belajar yang telah bekerja sebagai
montir otomotif setelah mengikuti pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat Karawang sebanyak 34 orang
atau sebesar 72%. Dari profesi sebagai montir
otomotif tersebut, mereka memperoleh pendapatan.
Sisanya sebanyak 12 orang atau sebesar 24% belum
bekerja dan belum memiliki pendapatan.
Dampak merupakan pengaruh kuat yang
mendatangkan akibat, baik negatif positif terhadap
kehidupan seseorang. Dampak positif yang
diharapkan warga belajar setelah memperoleh
pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang
otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang adalah
terbukanya kesempatan kerja sehingga dapat
meningkatkan pendapatan kehidupannya.
Sudjana (2004) mengemukakan bahwa
dampak adalah merupakan tingkat pencapaian
tujuan dan sasaran pelatihan. Tujuan umum
pelatihan pada dasarnya menjadi arahan utama
bagi pengurus program dan merupakan tolok ukur
keberhasilan program pelatihan itu. Tujuan tersebut
biasanya dirumuskan secara umum, menyeluruh,
abstrak dan menggunakan kata kerja intransitif.
Adapun tujuan khusus pada dasarnya dititikberatkan
pada perubahan tingkah laku warga belajar yang
menyangkut pengetahuan, keterampilan, sikap dan
nilai yang berkaitan dengan kompetensi yang harus
dimiliki oleh peserta selama dan setelah mengikuti
proses pelatihan. Tujuan khusus dinyatakan secara
rinci, konkret, perubahan tingkah lakunya dapat
diukur dan diobservasi, dan dirumuskan dengan
menggunakan kata kerja transitif.
Lebih lanjut, Sudjana (2004) mengemukakan
bahwa pengaruh (impact) yang menyangkut hasil
yang telah dicapai oleh peserta didik dan lulusan
setelah melakukan proses pelatihan. Pengaruh ini
meliputi: (1) perubahan taraf hidup yang ditandai
dengan perolehan pekerjaan, atau berwirausaha,
perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan,
dan penampilan diri; (2) kegiatan membelajarkan
orang lain atau mengikutsertakan orang lain dalam
memanfaatkan hasil yang telah ia miliki, dan (3)
peningkatan partisipasinya dalam kegiatan sosial
dan pembangunan masyarakat, baik partisipasi buah
pikiran, tenaga, harta benda, dan dana.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian
yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut.
Pertama, perencanaan pelatihan program
life skills montir otomotif diawali dengan analisis
kebutuhan lapangan pekerjaan calon warga belajar
yang dilakukan oleh ketua pengurus PKBM Cepat
Tepat. Langkah awal perencanaan pelatihan
program life skills montir otomotif adalah rekuritmen
sumber belajar yang ahli di bidang otomotif dan
calon warga belajar tidak memiliki keterampilan
dan belum bekerja (menganggur). Warga belajar
96
yang mengikuti pelatihan keterampilan hidup (life
skills) montir otomotif berasal dari latar pendidikan
yang berbeda. Dalam melakukan rekruitmen warga
belajar, ketua pengurus melakukan kerja dengan
beberapa instansi yang terkait seperti kepala desa/
lurah, ketua PKBM lainnya atau lulusan kursus
montir otomotif PKBM Cepat Tepat Karawang.
Selanjutnya, ketua PKBM dengan sumber belajar
menyusun kurikulum pelatihan otomotif sebagai
program utama dan kewirausahaan sebagai program
pendukung. Kurikulum pelatihan montir otomotif
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya di bidang otomotif serta memiliki
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
sikap kewirausahaan untuk mengembangkan
usahanya di bidang perbengkelan.
Kedua, pelaksanaan program pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat Karawang yang dilaksanakan
selama 4 bulan berlangsung sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan. Proses pelatihan yang
menggunakan pendekatan partisipatif, metode
individual dan kelompok, serta teknik yang bervariasi
dapat dilaksanakan dengan baik. Kondisi ini ditandai
dengan tingginya minat dan motivasi sumber belajar
dan warga belajar yang sangat kooperatif selama
proses pelatihan berlangsung. Untuk mengukur
tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan warga
belajar pengurus melakukan evaluasi, baik yang
dilakukan oleh sumber belajar maupun pihak lain
seperti Dinas Pendidikan Kabupaten dan Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Karawang.
Ketiga, program pelatihan keterampilan hidup
(life skills) montir otomotif di PKBM Cepat Tepat
telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Warga
belajar yang mengikuti pelatihan montir otomotif
menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan
dan keterampilan di bidang otomotif yang cukup
baik. Demikian pula dengan pengetahuan dan
sikap kewirausahaan yang diperoleh warga belajar
menunjukkan adanya peningkatan, terutama mereka
yang memiliki latar pendidikan SLTP dan SLTA.
Kondisi ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan
pengetahuan dan keterampilan warga belajar dalam
memperbaiki kendaraan bermotor dan menjaga
keselamatan pada saat bekerja. Warga belajar yang
telah bekerja, terutama di bengkel-bengkel otomotif
menunjukkan kinerja yang cukup baik. Warga belajar
lebih rajin, tekun, teliti, ulet, dan sabar menjalankan
pekerjaannya sebagai montir otomotif.
Keempat, dampak yang telah dirasakan oleh
warga belajar setalah mengikuti program pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif di
PKBM Cepat Tepat Karawang adalah meningkatkan
kesempatan kerja, baik di bengkel-bengkel otomotif
maupun di perusahaan-perusahaan industri.
Sebelumnya warga belajar yang tidak bekerja
(mengganggur), kini dapat bekerja sebagai montir
motor dan mobil di beberapa bengkel otomotif.
Meningkatkanya kesempatan kerja yang dimiliki
warga belajar setelah mengikuti program pelatihan
keterampilan hidup (life skills) montir otomotif
tersebut memberikan dampak terhadap peningkatan
pendapatan warga belajar yang sebelumnya
tidak memiliki penghasilan. Pendapatan tersebut
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Selain itu, sebagian dari pendapatan
yang telah diperoleh ditabung oleh mereka, baik
untuk bekal melanjutkan pendidikan maupun
mengembangkan usaha di bidang perbengkelan
otomotif.
Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian tentang
program pelatihan keterampilan hidup (life skills)
montir otomotif di PKBM Cepat Tepat Karawang,
berikut ini dikemukakan beberapa rekomendasi yang
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan
masukan bagi pihak pengurus PKBM. Rekomendasi
tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, dalam perencanaan pelatihan montir
otomotif perlu diperhatikan kemampuan keterampilan
awal warga belajar sehingga metode pelatihan yang
digunakan lebih menekankan pada individual.
Dengan metode individual ini, proses pelatihan montir
otomotif dapat lebih memperhatikan tahap-tahap
pencapaian peningkatan kemampuan pengetahuan,
sikap kewirausahaan dan keterampilam yang harus
dikuasai warga belajar.
Kedua, dalam pelaksanaan pelatihan montir
otomotif, penggunaan metode, penentuan waktu dan
tempat pelatihan disesuaikan dengan keragaman
kebutuhan kemampuan warga belajar dan lokasi
tempat tinggal warga belajar.
Ketiga, dalam penilaian pelatihan montir
otomotif, pengurus PKBM Cepat Tepat memberikan
kesempatan belajar bagi warga belajar untuk
menentukan sendiri peningkatan pengetahuan,
sikap kewirausahaan dan keterampilannya di bidang
otomotif sesuai dengan perkembangan teknologi
otomotif yang berkembangn semakin pesat.
Keempat, untuk memperoleh dampak
pelatihan montir otomotif yang lebih maksimal,
pengurus PKBM Cepat Tepat bekerjasama dengan
pihak-pihak lain seperti bengkel-bengkel otomotif,
perusahaan-perusahaan industri maupun instansi
pemerintah maupun swasta sehingga dapat
memperluas kesempatan kerja bagi lulusan yang
belum bekerja. Warga belajar dapat membentuk
kemitraan sebagai sarana perkumpulan untuk
mendiskusikan dan bertukar pikiran pengalaman
tentang perkembangan dan peningkatan
pengetahuan, sikap dan keterampilan yang mereka
miliki di bidang otomotif.
Kelima, selain itu, pengurus PKBM Cepat
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
97
Dampak Pelatihan Keterampilan ...
Tepat membantu memberikan akses fasilitas
permodalan bagi lulusan pelatihan montir otomotif
yang ingin membuka bengkel otomotif secara
mandiri. Dalam hal ini pengurus dapat memberikan
permodalan sendiri maupun menfasilitasi warga
belajar yang ingin memperoleh bantuan permodalan
dari pihak bank dengan jaminan dari pengurus
PKBM.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, B. (2007). Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta.
Cresswell, J.W. (2013). Research Design.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Drucker, P. F. (1994). Innovation and entrepreneurship,
practice and principle. New York: Harper
Business.
Emzir. (2010). Metodelogi penelitian kualitatif:
Analisis data. Jakarta: Raja Grasindo.
Flippo, E. B. (1994). Personal management. New
York: McGraw Hill Book Company Inc. Glaser, R. (1962). Training research and education,
(ed). Pittsbrugh: University of Pittsbrugh
Press.
Kamil, M. (2007). Model pendidikan dan pelatihan:
Konsep dan aplikasi. Bandung: Alfabeta.
Marzuki, S. (2009). Pendidikan dan pelatihan.
Bandung: Alfabeta.
Milles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Analisis
data kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Moleong, L. J. (2010). Metodologi penelitian
kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Milan, J. M., & Schumacher, S. (1997). Research
in education. New York: Addison Wesley
Longman. Inc.
Nasution, S. (1992). Metode penelitian naturalistik
kualitatif. Bandung: Tarsito.
Nadler, L. (1982). Designing training programs: The
critical events model. Philippines: AddisonWesley Publishing Company, Inc.
Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright, (2003). Human
resource management, international edition.
New York: The McGraw-hill Companies, Inc.
Robinson, K. P. (1981). A handbook of training
management. London: Kogan Page Ltd.
98
Sudjana, D. (2004). Pendidikan nonformal,
wawasan, sejarah perkembangan, falsafah,
teori pendukung, Azas. Bandung: Falah
Production.
Sudjana, D. (2004). Strategi kegiatan belajar
mengajar dalam pendidikan nonformal.
Bandung: Falah Production.
Sudjana, D. (2004). Manajemen program
pendidikan, untuk pendidikan nonformal,
dan pengembangan sumber daya manusia.
Bandung: Falah Production.
Sudjana, D. (2007). Sistem dan manajemen
pelatihan: Teori dan praktek. Bandung: Falah
Production.
Sutisna, A.,& Trisnamansyah, S. (2010). Model
pelatihan berbasis kinerja dalam meningkatkan
kompetensi tutor pendidikan kesetaraan.
Jurnal Cakrawala Pendidikan, 29 (3), 365-378.
Suryana. (2007). Kewirausahaan, pedoman praktis
kiat dan proses menuju sukses. Jakarta:
Salemba Empat.
Usman, H., Prasaja, L.D.,& Sunarta. (2012). Model
diklat kewirausahaan bagi remaja putus
sekolah. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 31
(1), 55-66.
Widodo, S.,& Nugroho. T.R.D.A. (2014). Model
pendidikan kewirausahaan bagi santri untuk
mengatasi pengangguran di pedesaan. Jurnal
Mimbar. 30 (2), 171-179.
Winarto, P. (2004). First step to be an entrepreneur.
Jakarta: Alex Media Komputindo.
Zimmerer, T.W.,& Scarborrough, N.M. (2008).
Kewirausahaan dan manajemen usaha kecil.
Jakarta : Salemba Empat.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pelatihan
PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK
MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL CIM-CIMAN
Fauzi
e-mail: [email protected]
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Purwokerto
Jl. Jend A. Yani No. 40A Purwokerto
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan merekonstruksi eksistensi permainan
anak tradisional cim-ciman, serta untuk menemukan peran substantif permainan anak tradisional cimciman dalam perkembangan dan pembentukan karakter anak usia dini. Penelitian dilakukan pada tahun
2012 di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Pengumpulan data menggunakan teknik observasi terlibat, dengan bantuan lembar observasi sebagai
acuan fokus pengamatan. Data dianalisis dengan teknik analisis kualitatif model Miles dan Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permainan Cim-ciman dapat dipergunakan untuk (a) melatih dan
menstimulasi perkembangan anak dalam beragam aspek secara holistik-integratif, baik aspek fisik motorik,
bahasa, kognitif, sosial emosional, dan moral; (b) untuk menanamkan dan membentuk nilai-nilai budaya
dan membangun karakter anak seperti jujur, disiplin, kreatif, mandiri, tanggungjawab, kepedulan sosial,
kerja keras, semangat, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, dan musyawarah.
Penelitian ini memberikan saran bahwa perlunya rekonstruksi dan revitalisasi permainan anak tradisional
(dolanan anak) yang tersebar di seluruh nusantara dengan segala kekhasan budayanya untuk selanjutnya
dijadikan sebagai menu pendidikan anak usia dini.
Kata kunci: permainan tradisional, anak usia dini, Cim-Ciman, nilai, budaya, karakter.
CHILD CHARACTER BUILDING
THROUGH TRADITIONAL GAME ‘CIM-CIMAN”
Abstract: This research aimed in describing and reconstructing the existence of Cim-ciman as traditional
child game, and also on founding the substance role of, in developing and constructing the character of
child in early age. This research conducted in the district of Banyumas in Central Java and used qualitative
research approach. Data collection used participation observation technique which is supported by
observation sheet as observation focus standard. The data was analysed through Miles and Huberman
model of qualitative analysis technique. The result showed that the game of Cim-ciman can be applied on
practicing and stimulating child development in various aspect as holistic and integrative point of view, either
motoric physical aspect, language, cognitive, social, emotional, and moral. Besides that, it can be used
in growing and forming cultural values and constructing child character, for example, honesty, discipline,
creativity, integrity, responsibility, social solidarity, hard work, spirit, achievement appreciation, friendship
or communication, peace keeping, and dialogue. In this case, the reconstruction and revitalization of child
traditional game (dolanan for child), that are spread in all parts of Indonesia with their cultural uniqueness,
are needed, and then to be made as early education menu.
Keywords: traditional game, early childhood, Cim-ciman, value, culture, character
PENDAHULUAN
Arus besar globalisasi telah membawa
pengaruh terjadinya pergeseran nilai hidup yang
dianut oleh “warga bangsa”. Dengan bantuan
media-media global, nilai-nilai dan budaya Barat
masuk dan menyatu dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Perlu disadari bahwa adopsi teori, nilai,
dan budaya Barat yang dikembangkan berbasiskan
pada akar budaya yang berbeda dengan yang
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
99
Pembentukan Karakter Anak ...
dimiliki oleh bangsa Indonesia berdampak pada
terjadinya krisis dan rusaknya karakter pada
manusia Indonesia.
Nilai-nilai yang berakar pada kepribadian
dan jatidiri yang menjadi karakter unggul bangsa
Indonesia semakin hilang. Praktek kehidupan
kebangsaan yang terjadi cenderung tidak sesuai
dengan budaya adiluhung yang telah tumbuh
dan berkembang di masyarakat. Karakter dan
budaya gotong royong, etos ketelatenan, keuletan,
kebersamaan, kesantunan, toleransi, dan kejujuran
mulai sirna dan menjadi barang langka yang
semakin sulit ditemukan. Justru yang tumbuh
subur budaya instan, individualisme, materialisme,
konsumerisme, hedonisme, dan sikap intoleran.
Kondisi krisis sebagaimana paparan di atas
sejatinya menjadi cerminan adanya problem yang
tengah melanda dunia pendidikan di Indonesia.
Saat ini pendidikan sedang mengalami disorientasi
sebagai akibat kuatnya hegemoni teori dan nilai
budaya global (“Barat”) dalam dunia pendidikan.
Watak dan wajah ke-Indonesia-an semakin sulit
ditemukan dalam praktek pendidikan nasional.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan, perlu ada
upaya serius untuk mengembalikan pendidikan
dengan semangat ke-Indonesiaan dengan segala
keragamannya, tentu saja dengan tetap bervisi
global (think globally, act locally).
Mohammed ‘Abed Al-Jabiri (2003), seorang
ilmuwan dari Maroko mengungkapkan bahwa
perubahan harus berangkat dari dalam, dari tradisi
sendiri, bukan dengan meminjam tradisi orang
lain. Tawaran Al-Jabiri sebagai tawaran yang
sangat menarik untuk direfleksikan dalam konteks
kehidupan kebangsaan, sebagai bangsa yang kaya
akan kebudayaan lokal dengan segala keunikan
dan keragamannya.
Tawaran Al-Jabiri di atas tidak bisa
dilepaskan dari sistem pendidikan pada suatu
bangsa yang melandasi praktik pendidikannya
untuk membangun sumber daya manusia (SDM).
Membangun SDM yang bermartabat tentunya
tidaklah harus menafikan keberadaan kearifan
lokal, karena pendidikan yang kuat berakar pada
pendidikan yang berangkat dari nilai kearifan
lokal dan menjadikan lokalitas sebagai sumber
pembangunan anak bangsa.
Kebudayaan akan menentukan bangunan
sosial suatu bangsa (Barker, 2004) sehingga
pembentukan karakter suatu bangsa harus
100
bersumber dari nilai budaya masyarakatnya.
Dengan demikian, pendidikan yang tidak dilandasi
oleh kearifan lokal dapat mengakibatkan peserta
didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini
terjadi, generasi anak bangsa tidak akan mengenal
budayanya dengan baik sehingga menjadi orang
“asing” dalam lingkungan budayanya. Selain
menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan
akan uncul generasi masa depan yang tidak
menyukai budayanya. Pengembangan pendidikan
dalam rangka melahirkan generasi baru yang
berbudaya ke-Indonesiaan dapat berhasil dengan
optimal jika dilakukan semenjak anak usia dini
dan dilakukan dengan cara yang sesuai dengan
karakteristik tumbuh kembang anak. Berbagai hasil
kajian terkini menyatakan bahwa pendidikan yang
diberikan pada anak semenjak usia dini sebagai
periode sensitif dan usia emas akan memberikan
dampak yang sangat signifikan bagi tumbuh dan
berkembangnya anak di kemudian hari (Montessori,
2008).
Pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), anak usia dini belajar dengan cara
bermain. Dengan bermain, anak belajar dan
dapat berkembang secara optimal seluruh aspek
perkembangannya (Jeffree., McConkey., Hewson.,
1995). Bermain menjadi sumber pendidikan yang
sangat strategis bagi perkembangan anak usia dini
(Sue and Flerr, 2003; Tedjasputra, 2001). Berbicara
tentang bermain atau permainan bagi anak, di
era globalisasi dewasa ini, dunia permainan anak
dibanjiri oleh permainan-permainan yang tidak
berakar pada budaya bangsa Indonesia.
Permainan-permainan berbasiskan mesin
elektronik menjadi permainan yang sangat akrab
bagi anak. Sementara permainan-permainan
yang asli tumbuh dan berkembang dari akar
kultural masyarakat Indonesia terpinggirkan oleh
permainan-permainan modern berbasis mesin dan
diimpor dari negara lain. Permainan anak tradisional
yang kaya akan nilai-nilai luhur budaya bangsa
semakin tidak dikenal oleh anak-anak saat ini. Anak
lebih akrab dan paham dengan game online, play
station, dan game elektronik lainnya dibandingkan
permainan gobagsodor, cublak-cublak suweng,
engklek, gandon, jamuran, cim-ciman, umpetan,
dan permainan anak tradisional lainnya.
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam
permainan anak tradisional menjadi tidak mampu
berperan dalam pembentukan anak bangsa yang
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pembentukan Karakter Anak ...
berbudaya dan berkarakter Indonesia sebagai
akibat tidak dilestarikannya permainan tradisional
pada anak. Diperlukan upaya revitalisasi dan
rekonstruksi permainan anak tradisional yang
tersebar di seluruh pelosok tanah air. Dunia
pendidikan berkewajiban mentransformasikan
nilai-nilai yang terkandung dalam permainan anak
tradisional melalui serangkaian aktivitas pendidikan.
Penelitian ini mengkaji salah satu jenis
permainan anak tradisional (dolanan anak) yang
berkembang di Jawa dengan corak khas budaya
Banyumas yaitu Cim-Ciman. Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bagian proses rekonstruksi dan
revitalisasi permainan anak tradisional yang
semakin tidak populer di tengah-tengah hegemoni
permainan-permainan anak modern berbasis
elektronik. Permainan anak tradisional merupakan
aset sosial-budaya bangsa yang harus dilestarikan
agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat
tetap lestari dan berkontribusi secara optimal bagi
terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten
Banyumas Jawa Tengah pada tahun 2012.
Penelitian ini memakai pendekatan penelitian
kualitatif. Jenis penelitiannya adalah studi kasus.
Kajiannya diupayakan mendalam, berorientasi
pada proses, studi di atas kasus tunggal, serta
didasarkan pada asumsi adanya realitas dinamik
(Moleong, 2000). Sumber data dalam penelitian ini
adalah aktivitas bermain cim-ciman yang dilakukan
komunitas anak-anak.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
melakukan pengamatan langsung (observasi
partisipan) terhadap aktivitas bermain komunitas
anak-anak yang usianya sebaya. Teknik observasi
dilakukan untuk mendapatkan data tentang
aktivitas anak dalam bermain cim-ciman serta
untuk memperoleh gambaran nyata tentang
perkembangan anak dalam keseluruhan aspek
perkembangan dan aktualisasi nilai karakter pada
anak-anak peserta permainan cim-ciman.
Untuk memperoleh data terkait dengan
dampak permainan bagi perkembangan dan
pembentukan karakter anak dilakukan assesmen
dengan teknik observasi terfokus dengan
menggunakan instrumen lembar atau pedoman
observasi. Dari empat peserta permainan, observasi
difokuskan pada tiga anak yang memiliki usia
hampir sama yaitu A (6 tahun), N (6 tahun), dan I
(6,5 tahun).
Kegiatan assesmen dengan teknik
observasi dengan lembar observasi ditujukan
terhadap dua sasaran. Pertama, diarahkan untuk
melihat perkembangan anak dalam beragam
aspek perkembangan yang meliputi aspek
perkembangan fisik-motorik, perkembangan
bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan
sosial emosional, dan perkembangan moral. Kedua,
untuk menilai tampilan sikap dan perilaku yang
mencerminkan nilai budaya dan karakter mulia
seperti jujur, disiplin, kreatif, mandiri, tanggung
jawab, kepedulan sosial, kerja keras, semangat,
menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta
damai, dan musyawarah.
Lembar observasi yang digunakan oleh
penulis sebagai instrumen asessemen berisi 29
indikator yang diamati yaitu: tidak berbuat curang,
menghargai pendapat teman, tertib terhadap
aturan bermain, mentaati aturan dan kesepakatan
permainan, sungguh-sungguh dalam bermain,
memunculkan ide dan cara baru dalam bermain,
tidak tergantung dengan teman, antusias dan tidak
mudah menyerah, mengakui keberhasilan teman,
mau berbicara dengan teman bermain, bekerjasama
dengan teman, tidak menimbulkan konflik,
membantu teman, melaksanakan tugas bermain
dengan sungguh-sungguh, mengikuti musyawarah
dengan tekun, dapat melakukan hompimpa dan
atau pingsut dengan benar, lincah dan tangkas
bergerak, berlari cepat dan terarah, dapat menata
genteng tanpa bantuan teman, dapat menemukan
tempat perembunyian pemain, dapat menembus
pertahanan penjaga dok dengan merobohkan dok
(tumpukan genteng), dapat menemukan tempat
yang tepat untuk bersembunyi, paham medan/area
lokasi permainan, menunjukkan sikap dan perasan
senang dan gembira, menggunakan ungkapan
bahasa yang tepat ketika bermain, dapat berhitung
dengan benar ketika menjadi penjaga dok, ketika
menjadi penjaga dok dapat menunjuk pemain
sambil mengucapkan cim kearah pemain dengan
tepat, mengajukan usul ketika terjadi musyawarah
atau diskusi membuat aturan dan kesepakatan,
terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah, konflik,
atau perbedaan pendapat ketika bermain. Adapun
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
101
Pembentukan Karakter Anak ...
kategori assesmennya meliputi SL= selalu, KK=
Kadang-Kadang; dan TP= Tidak Pernah.
Teknik analisis data yang digunakan meliputi
analisis data dengan analisis data secara kualitatif
dan analisis data dengan teknik statistik deskriptif
(Tim Program Pascasarjana, 2012). Analisis
secara kualitatif (deskriptif kualitatif) digunakan
untuk menganalisis data yang diperoleh dari
observasi lapangan terhadap aktivitas permainan
dan fenomena perkembangan dan aktualisasi nilai
karakter anak. Proses pengolahan dan analisis data
dilakukan dengan siklus interaktif sebagaimana yang
diajukan oleh Miles dan Huberman yakni memutar
dan berulang-ulang sehingga datanya jenuh. Adapun
aktivitasnya meliputi reduksi data, penyajian data,
dan kesimpulan/verifikasi (Sugiyono, 2009). Analisis
data dengan statistika deskriptif digunakan untuk
menganalisis data hasil assesmen dengan lembar
observasi dalam bentuk perhitungan persentase (%)
dan disajikan dalam bentuk tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Permainan Tradisional Cim-Ciman
Permainan Cim-Ciman ini merupakan salah
satu jenis permainan tradisional anak yang populer
di Banyumas. Kata Cim-Ciman merupakan padanan
kata dhep-dhepan dan chep-chepan. Dhep =
cim berarti adhu ngomong (berbicara berhadap
hadapan), ketemu (Tim Penyusun Balai Bahasa,
2001). Pada permainan Cim-ciman, antara pemain
dan penjaga dok bertemu dan pada saat bertemu
mengucapkan kata cim. Permainan ini biasanya
dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan
dengan usia 5 hingga 12 tahun.
Untuk setiap termin atau putaran permainan
membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit, namun
sangat tergantung kemampuan para pemain
untuk menyelesaikan. Sementara itu, jumlah
termin atau putaran sesuai kesepakatan bersama.
Biasanya permainan disudahi jika diantara pemain
ada yang sudah lelah, ada keperluan tiba-tiba,
atau karena waktu sudah sore atau karena ada
kegiatan lain yang harus dikerjakan, pada saat
itulah permainan akan disudahi. Lama permainan
ditetapkan berdasarkan kesepakatan seluruh
anggota permainan. Permainan Cim-Ciman dapat
dikategorikan sebagai permainan individu dan
beregu.
Pada kategori permainan individu masingmasing anak bermain secara mandiri untuk dirinya
tidak tergantung pada kelompok atau regunya.
Setiap anak bertanggungjawab terhadap dirinya
sendiri, sehingga kalau pada saat dia harus menjadi
yang pasang (penjaga dok) maka dia akan menjadi
pemasang secara sendirian. Kategori ini biasanya
dilakukan jika jumlah anak yang ikut bermain
jumlahnya tidak banyak (3-10 anak). Kemenangan
dan atau kekalahan bersifat individual.
Pada kategori permainan beregu setiap
anak bermain terikat dan bertanggungjawab
102
secara kolektif (terikat kelompok atau regunya).
Permainan ini dapat dimainkan secara beregu jika
jumlah pemain cukup banyak (misalnya 10 anak
ke atas). Jumlah anak yang ikut bermain dibagi ke
dalam beberapa regu sesuai kesepakatan sebelum
bermain, misalnya 15 anak dibagi menjadi 5 regu
sehingga setiap regu berjumlah 3 anak. Jadi setiap
termin permainan akan ada satu regu dengan
jumlah tiga anak yang akan menjadi penjaga
dok, 4 regu lainnya menjadi pemain yang akan
berkompetisi untuk merobohkan dok. Kemenangan
dan atau kekalahan bersifat kelompok atau regu.
Ada tiga tujuan bermain cim-ciman bagi anak.
Pertama, untuk mengisi kegiatan pada waktu luang
sehingga waktu yang dimiliki anak tidak terbuang
secara percuma. Kedua, memperoleh kesenangan.
Ketiga, dengan bermain anak belajar berbagai
nilai-nilai hidup dan nilai-nilai budaya serta belajar
mengembangkan seluruh aspek dalam dirinya.
Bermain Cim-Ciman bagi anak memiliki
banyak manfaat, yaitu anak akan terlatih untuk
berlaku jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, semangat, mau menghargai
prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai,
kepedulian sosial, tanggung jawab, musyawarah. Di
samping itu, permainan Cim-Ciman juga bermanfaat
bagi perkembangan anak. Dengan bermain CimCiman, anak akan terlatih motorik kasar-halusnya.
Dengan bergerak, ia akan memiliki otot-otot tubuh
yang terbentuk secara baik dan lebih sehat.
Anak juga terlatih sosial-emosionalnya
melalui aktivitas sosialisasi, anak merasa senang
karena ada teman bermainnya. Pada aspek kognisi
anak belajar mengenal atau punya pengalaman
mengenai objek-objek tertentu di lingkungannya
melalui bermain Cim-Ciman. Anak juga belajar
perbendaharaan kata, bahasa, dan berkomunikasi
timbal balik. Makin usia bertambah, anak pun
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pembentukan Karakter Anak ...
tertarik memperhatikan sesuatu, memusatkan
perhatian dan mengamati. Pada aspek moral, anak
terlatih untuk mentaati aturan dan kesepakatan.
Secara garis besar tahapan bermain CimCiman terbagi ke dalam tiga tahapan. Pertama,
tahap persiapan. Pada tahap persiapan diawali
dengan anak-anak berkumpul di suatu tempat yang
lapang, biasanya di halaman rumah salah seorang
anak peserta permainan atau di halaman sekolah.
Untuk mengumpulkan anak dilakukan dengan
dua cara, yaitu secara alamiah mereka datang
ke tempat biasa bermain, dan adakalanya saling
“nyamper” yaitu mendatangi anak-anak peserta
bermain ke rumahnya dan mengajaknya untuk ikut
bermain bersama. Kemudian anak-anak membuat
aturan atau kesepakatan-kesepakatan tentang
permainan yang akan dilakukan. Aturan yang
dibicarakan biasanya tentang: siapa yang boleh ikut
bermain, permainan secara individu atau beregu,
area bermain termasuk jangkauan lokasi yang boleh
untuk bersembunyi, dan lama permainan.
Setelah aturan dibuat, anak-anak menyiapkan
lokasi atau area bermain kemudian mencari atau
mengumpulkan bahan. Bahan-bahan dibutuhkan
antara lain pecahan genteng atau batu kecil untuk
digunakan sebagai tumpukan dok, dan mencari
kapur atau abu sisa pembakaran kayu di dapur.
Langkah selanjutnya anak-anak membuat lingkaran
di tengah halaman atau area permainan dengan
kapur atau abu sisa pembakaran kayu dan menaruh
pecahan genteng di tengah-tengah lingkaran.
Kedua, tahap kegiatan bermain. Pada tahap
kegiatan bermain Cim-Ciman, dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
1.P e r m a i n a n p u t a r a n p e r t a m a , l a n g k a h langkahnya yaitu:
a. Anak-anak peserta permainan melakukan
hompimpa dan pingsut. Hompimpa dan pingsut
dilakukan untuk menentukan siapa diantara
peserta permainan yang menjadi penjaga dok
I dan yang menjadi pemain yang bertugas
ngumpet atau bersembunyi dan menyerang dok.
Peserta yang kalah hompimpa dan pingsut akan
menjadi penjaga dok.
b. Penjaga dok menata pecahan genteng di
tengah-tengah lingkaran. Pecahan genteng di
tata secara bertumpuk ke atas sehingga akan
menghasilkan tumpukan pecahan genteng
yang disebut dok. Pada saat menata tumpukan
genteng pemain lainnya menyaksikan dan
berdiri melingkari penjaga dok.
c. Penjaga dog duduk berjongkok di samping
dok sambil menelungkupkan wajah/kepala ke
atas lutut dengan harapan tidak dapat melihat
ke sekitarnya sambil berhitung biasanya 1
sampai 10 dilanjutkan mengucap wis durung
(sudah belum), wis durung....diulang sampai
berkali-kali, dan para pemain menjawab
durung (belum) yang berarti para pemain
masih belum bersembunyi. Jika para pemain
sudah tidak ada jawaban, berarti para pemain
sudah bersembunyi dan penjaga dok sudah
boleh mulai mencari persembunyian para
pemain. Untuk lebih jelasnya, gambar 1 berikut
merupakan ilustrasi dari kegiatan tersebut.
Gambar 1. Penjaga dok sedang menutup wajah
agar tidak tahu ke mana pemain bersumbunyi
dan para pemain bersiap pergi ke tempat
persembunyiannya
d. Penjaga dok mencari pemain yang bersembunyi
dengan tetap waspada jangan sampai doknya
diserang atau dirobohkan oleh pemain dengan
cara ditendang.
e. Pemain yang bersembunyi berusaha mencari
kelengahan penjaga dok untuk dapat menembus
pertahanan penjaga dok. Pemain akan berusaha
agar tidak ketahuan penjaga dok untuk
meruntuhkan tumpukan genteng dengan cara
ditendang dengan mengucapkan cim.
f. Jika penjaga dok berhasil menemukan pemain di
persembunyiannya, si penjaga dok dengan jari
telunjuknya menunjuk kearah pemain tersebut
dengan menyebut nama pemain kemudian
berbalik arah lari kembali menuju dok untuk
melangkahi dok sambil mengucap cim dan harus
mendahului pemain yang juga lari ke arah dok
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
103
Pembentukan Karakter Anak ...
untuk merobohkan tumpukan genteng dengan
menendang. Jika berhasil maka pemain yang
telah ditemukan tadi kalah dan harus berganti
menjadi penjaga dok, sebaliknya jika pemain
yang mendahului merobohkan dok maka
penjaga dok yang kalah.
2. Permainan putaran kedua, langkah-langkahnya
yaitu:
a. Setelah ada pemain yang kalah, maka permainan
dilanjutkan ke putaran selanjutnya dengan
petugas penjaga dok ganti pemain yang kalah
tadi. Begitupun jika dok berhasil dirobohkan oleh
salah seorang pemain, maka penjaga dok harus
menjadi penjaga dok kembali dan permainan
dilanjutkan ke putaran kedua.
b. Untuk melanjutkan permainan ke putaran kedua,
seluruh pemain harus kumpul kembali di sekitar
dok untuk memulai permainan lagi dengan diawali
oleh penjaga dok pada putaran kedua menata
pecahan genteng dalam bentuk tumpukan
kemudian penjaga dog duduk berjongkok di
samping dok sambil menelungkupkan wajah/
kepala ke atas lutut sehingga tidak melihat ke
sekitarnya sambil berhitung biasanya 1 sampai
10 dilanjutkan mengucap wis durung (sudah
belum), wis durung,… dst dan para pemain
menjawab durung (belum) yang berarti para
pemain masih belum bersembunyi. Jika para
pemain sudah tidak ada jawaban, berarti para
pemain sudah bersembunyi dan penjaga dok
sudah boleh mulai mencari persembunyian para
pemain.
c. Penjaga dok mencari pemain yang bersembunyi
dengan tetap waspada jangan sampai doknya
dirobohkan oleh pemain dengan cara ditendang.
d. Pemain yang bersembunyi berusaha mencari
kelengahan penjaga dok untuk dapat menembus
pertahanan penjaga dok. Pemain akan
berusaha agar tidak ketahuan penjaga dok
untuk meruntuhkan tumpukan genteng dengan
cara ditendang dengan mengucapkan cim. Jika
penjaga dok berhasil menemukan pemain di
persembunyiannya, si penjaga dok dengan jari
telunjuknya menunjuk kearah pemain tersebut
dengan menyebut nama pemain kemudian
berbalik arah lari kembali menuju dok untuk
melangkahi dok sambil mengucap cim dan harus
mendahului pemain yang juga lari ke arah dok
untuk merobohkan tumpukan genteng dengan
104
menendang. jika berhasil maka pemain yang
telah ditemukan tadi kalah dan harus berganti
menjadi penjaga dok, sebaliknya jika pemain
yang mendahului merobohkan dok maka
penjaga dok yang kalah.
3. Permainan putaran ketiga dan seterusnya
yang dilakukan sebagaimana langkah atau alur
permainan termin kedua.
Ketiga, tahap akhir bermain. Tahap akhir
bermain terbagi menjadi dua bagian yaitu tahap
akhir pada setiap putaran permainan dan seluruh
rangkaian bermain.Tahap akhir pada setiap putaran
bermain berisi kegiatan: menetapkan penjaga dok
termin berikutnya yang ditetapkan apakah dari
pemain yang kalah atau penjaga dok lama yang
dikalahkan oleh pemain, menetapkan pemenang
dan menghitung jumlah point perolehan masingmasing pemain. Pemain yang menang adalah
pemain yang dapat meroboh dok, sedangkan
jumlah point kemenangan akan dihitung berapa
kali merobohkan dok dikurangi berapa kali menjadi
pengaja dok pada termin-termin yang telah dilalui.
Selanjutnya tahap akhir seluruh putaran
bermain berisi kegiatan: kesepakatan untuk
mengakhiri permainan dengan membuat
kesepakatan baru kapan akan bermain bersama
kembali, menghitung jumlah point kemenangan
masing-masing pemain dengan cara menghitung
berapa kali dapat merobohkan dok dikurangi berapa
kali menjadi penjaga dok dalam seluruh termin
permainan, dan terakhir menetapkan pemain yang
mendapat juara (sang pemenang) permainan.
Dalam permainan Cim-Ciman, orang tua
dapat berperan sebagai pengarah, pembimbing
bagi anak, sekaligus membantu menyediakan
peralatan yang dibutuhkan dalam permainan.
Orang tua juga dapat berperan sebagai wasit
atau penengah tatkala diantara pemain terjadi
perselisihan pendapat atau percekcokan. Selain
itu juga berperan sebagai pengawas ketika anak
bermain. Bahkan pada kondisi tertentu orang tua
dapat berperan sebagai teman bermain bagi anak.
Teman sebaya juga dapat berperan sebagai
partner bermain. Permainan ini dilakukan karena
ada anak-anak yang sebaya berkumpul dan
bersepakat untuk bermain Cim-Ciman bersama.
Di samping itu, teman sebaya juga dapat berperan
sebagai tutor sebaya (peer teaching) dengan cara
mentransformasikan pengalaman-pengalamannya
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pembentukan Karakter Anak ...
dalam bermain Cim-Ciman terutama bagi anak
yang baru ikut bermain Cim-Ciman (pendatang
baru). Biasanya pendatang baru adalah anak yang
usianya relatif paling muda diantara pemain atau
ada anak dari luar kampung/desa atau komunitas
anak tersebut yang kebetulan ikut bermain.
Aktualisasi Nilai-Nilai Karakter dalam Permainan
Tradisional Cim-Ciman
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa
permainan Cim-Ciman memiliki manfaat yang
beragam bagai perkembangan anak. Untuk
mengetahui pengaruh bermain bagi upaya
stimulasi perkembangan anak, diperlukan adanya
assesmen (penilaian) terhadap anak yang menjadi
peserta permainan. Berdasarkan hasil observasi
langsung pada saat anak-anak bermain Cim-Ciman,
perkembangan aspek fisik-motorik setidaknya
dapat dilihat melalui beberapa aktivitas anak mulai
dari dapat melaksanakan hompimpa dan pingsut,
bergerak dengan lincah dan tangkas ke sana dan
kemari, berlari dengan cepat, dan dapat menata
pecahan genteng menjadi tumpukan yang rapi.
Aspek perkembangan kognitif diantaranya
anak mampu memahami medan atau area permainan,
dapat menemukan tempat persembunyian pemain,
menunjuk nama pemain dengan tepat, dan dapat
menemukan tempat yang tepat untuk bersembunyi.
Untuk aspek bahasa terlihat ketika anak dapat
menggunakan ungkapan bahasa dengan tepat
untuk memanggil, menunjuk dan berkomunikasi
dengan teman, serta mengajukan usul pada saat
berunding untuk membuat aturan dan kesepakatan.
Pada aspek sosial emosional terlihat
anak menunjukan sikap dan perasaan senang
dan gembira, terlibat aktif dalam perdebatan
menyelesaikan konflik dan perbedaan pada saat
bermain. Adapun perkembangan aspek moral
ditunjukan oleh ketaatan anak-anak terhadap aturan
permainan, dan tidak melakukan kecurangan.
Selain perkembangan pada aspek-aspek di
atas, berkembang pula budaya dan karakter jujur
dengan tidak melakukan curang dalam bermain,
nilai toleransi dengan berkembangnya kemampuan
menghargai pendapat teman, budaya dan karakter
disiplin diwujudkan dengan tertib dan taat terhadap
aturan permainan, kerja keras diwujudkan dengan
kesungguhan dan tidak mudah menyerah dalam
bermain, berkembang pula kreativitasnya, mandiri
dengan tidak tergantung pada tema, berkembang
sikap semangat dan antusias dalam melakukan
sesuatu, bekerjasama dan komunikatif dengan
teman, dan tanggung jawab yang tinggi dalam
menyelesaikan tugas.
Hasil assesmen menggunakan lembar
observasi dengan 29 indikator disajikan dalam
tabel 1 berikut.
Tabel 1. Indikator Perkembangan Anak
Kategori
Nama
Selalu
Kadang-kadang
Tidak Pernah
f
%
f
%
f
%
A
20
69
7
24
2
7
N
22
76
7
24
0
0
I
24
83
5
17
0
0
Berdasarkan tabel 1 di atas, dari 29 item
indikator diperoleh data: (a) untuk A, selalu 20 item
(69%), kadang-kadang 7 item (24%) dan tidak pernah
2 (7%); (b) untuk N, selalu 22 item (76%), kadangkadang 7 item (24%) dan tidak pernah 0 (0%); dan
(c) untuk I, selalu 24 item (83%), kadang kadang
5 item (17%) dan tidak pernah 0 (0%). Dengan
demikian, diperoleh informasi bahwa baik A, N, dan
I selama permainan Cim-ciman selalu menampilkan
perilaku sebagaimana item-item indikator dalam
tingkat yang tinggi yaitu di atas 75% item indikator
selalu ditampilkan. Dengan kategorisasi: 0%-33%
kategori rendah, 34% - 66% kategori sedang, dan
67% - 100% kategori tinggi.
Hal ini mengandung makna bahwa permainan
Cim-ciman dapat dipergunakan untuk melatih
dan menstimulasi perkembangan anak dalam
beragam aspek yaitu fisik motorik, bahasa, kognitif,
sosial emosional, moral. Selain itu juga dapat
dipergunakan untuk menanamkan nilai-nilai budaya
dan membangun karakter seperti jujur, disiplin,
kreatif, mandiri, tanggung jawab, kepedulian sosial,
kerja keras, semangat, menghargai prestasi,
bersahabat atau komunikatif, cinta damai, dan
musyawarah.
Tabel 2 berikut adalah nilai-nilai karakter yang
diaktualisasikan melalui permainan tradisional CimCiman di Banyumas berdasarkan hasil observasi
peneliti.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
105
Pembentukan Karakter Anak ...
Tabel 2. Nilai Karakter dan Deskripsi Perilaku
yang Dilestarikan dengan Permainan Dolanan
Anak Cim-ciman
Nilai
Karakter
Deskripsi
Kejujuran
Perilaku anak yang berupaya menjadi
orang yang selalu dapat dipercaya dengan
mengakui kekeliruan.
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan pendapat di antara teman
bermain.
Disiplin
Perilaku tertib dan patuh pada berbagai
aturan dan kesepakatan dalam bermain
bersama.
Kerja Keras
Perilaku dan sikap sungguh-sungguh dalam
bermain agar menjadi pemenang.
Kreatif
Melakukan aktivitas bermain dengan teknik
kreatif agar dapat memperoleh point.
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mengandalkan
bantuan atau pertolongan teman.
Semangat
Sikap dan tindakan antusias, sungguhsungguh dalam bermain dan tidak mudah
menyerah.
Menghargai
Prestasi
Sikap dan tindakan anak mengakui dan
menghormati keberhasilan lawan main.
Bersahabat/
komuniktif
Tindakan yang memperlihatkan pendapat
teman, senang berbicara dengan teman
bermain, dan kesediaan bekerja sama
dengan teman.
Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang selalui
dapat membaut teman bermain merasa
senang, dan menghindari konflik meskipun
dalam suasana kompetisi.
Kepedulian
sosial
Sikap dan tindakan saling membantu dan
bekerjasama dalam bermain.
Tanggung
jawab
Sikap dan perilaku penuh kesungguhan
dalam melaksanakan keputusan sebagai
tugas dan kewajibannya dalam permainan.
Musyawarah
Tindakan dalam mengambil keputusan
dilakukan dengan cara bermusyawarah untuk
mencapai suatu kesepakatan bersama.
Karakter manusia akan terbangun dari proses
pembudayaan nilai-nilai mulia dalam kehidupan
(Lickona, 1992). Nilai-nilai tersebut sebagai
keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma,
dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan
masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma,
dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi
manusia dengan sesamanya dan lingkungan
alamnya. Teori konstruktivis sosial Piaget dan
Vigotsky menyatakan bahwa anak mengkonstruksi
106
dan membangun perilakunya sebagai hasil belajar
dari pengalaman dalam aktivitas interaksi sosial
(Morrison, 2012). Pengembangan pengetahuan dan
perilaku anak terjadi dalam konteks hubungan sosial
dengan orang dewasa dan teman sebaya. Melalui
permainan bersama teman sebaya akan terbentuk
sikap dan perilaku anak sebagai hasil konstruksi
atas pengalaman dan interaksi sosialnya.
Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan
keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia
dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi,
sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi,
seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk
sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai,
moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga
dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam
kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah
dihasilkannya.
Ketika kehidupan manusia terus berkembang,
maka yang berkembang sesungguhnya adalah
sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan,
ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan
upaya terencana dalam mengembangkan potensi
peserta didik, sehingga memiliki sistem berpikir,
nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan
masyarakatnya dan mengembangkan warisan
tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa
kini dan masa mendatang.
Melalui permainan Cim-ciman, anak
secara aktif mengembangkan potensi dirinya,
melakukan proses internalisasi, dan penghayatan
nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam
bergaul di masyarakat, mengembangkan
kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera,
serta mengembangkan kehidupan bangsa yang
bermartabat.
Bermain memiliki peran penting dalam
perkembangan anak pada hampir semua aspek
perkembangan secara holistik-integratif, baik aspek
fisik-motorik, bahasa, kognitif, sosial emosional, dan
moral. Dalam permainan Cim-ciman, seluruh aspek
perkembangan anak mendapatkan stimulasi melalui
serangkaian aktivitas bermain yang dilakukan anak.
Berikut adalah optimalisasi pada aspek-aspek
perkembangan anak melalui permainan tradisional
Cim-ciman.
1. Perkembangan Fisik Motorik
Bermain Cim-ciman dapat mengembangkan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pembentukan Karakter Anak ...
kemampuan fisik motorik anak. Dalam bermain
Cim-ciman, anak bergerak dan berlari secara bebas,
lincah, dan energik sehingga mampu menstimulasi
perkembangan fisik motoriknya, baik motorik kasar
maupun motorik halus. Dalam permainan ini, anak
dituntut untuk banyak bergerak dan berlari. Bergerak
dan berlari menjadi salah satu unsur pokok dalam
permainan ini.
2. Perkembangan Bahasa
Bermain Cim-ciman dapat mengembangkan
kemampuan anak dalam aspek bahasa.
Dalam permainan ini bahasa digunakan untuk
berkomunikasi dengan teman bermain atau sekedar
untuk menyatakan pikirannya. Bahasa digunakan
mulai dari awal bermain, dalam proses bermain
sampai saat mengakhiri permainan.
Pada awal permainan, bahasa digunakan
untuk proses hompimpa, diskusi membuat
kesepakatan dan aturan bermain. Sedangkan
dalam proses bermain, bahasa digunakan
pada saat penjaga dok (dok berupa tumpukan
pecahan genteng atau bisa menggunakan batubatu kecil) dapat menemukan pemain di tempat
persembunyiannya dengan menyebut nama sambil
menunjuk jari ke arah pemain yang ditemukan
serta mengucapkan cim dengan melompat di
atas tumpukan batu kecil atau pecahan genteng,
yang berarti pemain yang ditemukan tadi telah
kalah dalam sesi permainan saat itu. Bagi pemain,
bahasa dalam proses bermain digunakan pada
saat mengucapkan cim sambil kakinya mendorong
tumpukan pecahan genteng supaya roboh atau
menendang tumpukan pecahan genteng atau
tumpukan batu kerikil yang menandakan bahwa
pemain tersebut menang dan penjaga dok harus
kembali menata tumbukan genteng dan menjadi
pemasang kembagi.
Di samping itu, bahasa juga digunakan untuk
berembuk, diskusi menyelesaikan permasalahan
antar pemain dan pemain dengan penjaga dok ketika
di tengah permainan terjadi perselisihan. Pada akhir
permainan, bahasa digunakan untuk membuat
kesepakatan bersama bahwa permainan diakhiri
serta anak akan diskusi membuat kesepakan kapan
akan bermain bersama kembali dan tempat dimana
bermain akan dilaksanakan. Dengan proses seperti
ini, aspek perkembangan bahasa dapat distimulasi
perkembangannya.
3. Perkembangan Kognitif
Bermain mengembangkan kemampuan
kognitif. Bermain cim-ciman menyediakan
kesempatan kepada anak untuk berinteraksi
dengan objek.Anak memiliki kesempatan untuk
menggunakan inderanya, seperti melihat,
mendengarkan, menyentuh, menunjuk, menendang
atau medorong dengan kaki. Dari proses seperti
ini, anak memperoleh fakta-fakta, informasi dan
pengalaman yang akan menjadi dasar untuk berpikir
abstrak. Penelitian Hoorn (1993) menunjukkan
bahwa bermain memiliki peran yang sangat penting
dalam mengembangkan kemampuan berpikir logis,
imajinatif, dan kreativitas.
4. Perkembangan Moral
Permainan Cim-ciman dilaksanakan dengan
seperangkat aturan. Tanpa aturan maka permainan
tidak akan berjalan dengan baik. Di mana setiap
permainan memiliki aturan. Bermain Cim-ciman
akan melatih anak dalam menyadari adanya aturan
dan pentingnya mematuhi aturan. Hal ini merupakan
tahap awal dari perkembangan moral.
5. Perkembangan Sosial Emosional
Dalam bermain, anak berinteraksi dengan
anak lain. Interaksi tersebut mengajarkan anak
bagaimana merespon, memberi dan menerima,
menolak atau setuju ide dan perilaku anak yang
lain. Dengan demikian, akan mengurangi egoisme
anak dan mengembangkan kemampuan sosial.
Kemampuan interaksi dan komunikasi sosial anak
menjadi dengan dibarengi berkembangnya aspek
emosinya.
Agar permainan anak tradisional ini dapat
digunakan untuk mengoptimalkan perkembangan
dan karakter anak, penting diantisipasi kemungkinan
munculnya resiko atau dampak negatif yang
ditimbulkan dari permainan anak berikut ini.
1. Waktu anak dihabiskan untuk fokus pada satu
permainan
Terlalu banyak waktu yang digunakan anak
untuk bermain dan fokus pada satu permainan
membuatnya merasa bosan, dan kelelahan.
Dengan melakukan permainan yang berulang-ulang
kegembiraan dan kesenangan yang ditimbulkan
oleh bermain semakin lama semakin menghilang.
Kebosanan, kejenuhan dan kelelahan akan
membuat anak malas melakukan kegiatan lainnya
di luar permainan ini, dan menjadikan kinerja anak
menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, diperlukan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
107
Pembentukan Karakter Anak ...
ketanggapan para orang tua atau pengasuh anak
untuk secara aktif mendampingi dan memberikan
kontrol terhadap jumlah waktu yang digunakan
anak dalam bermain.
2. Ketidakseimbangan antara bermain untuk
sosialisasi dan bermain sendiri
Dengan bermain bersama teman sebaya,
anak dapat mengembangkan kemampuan
personal dan penyesuaian dirinya. Anak dapat
belajar bagaimana berinteraksi dengan anak lain.
Tetapi bila anak terpaku pada kegiatan bermain
bersama, dan kurang melibatkan diri pada
kegiatan bermain sendiri, anak akan mengalami
kesulitan untuk melakukannya bila memang
diperlukan. Pada bermain sendiri bisa juga
menyenangkan dan membawa dampak positif
bagi perkembangan personal dan emosi anak.
3. Alat permainan yang dapat membahayakan
keselamatan anak
Permainan ini menggunakan alat yaitu
pecahan genteng. Perlu dicermati bahwa sangat
dimungkinkan ada aspek yang berbahaya
dengan alat ini mengingat pecahan genteng
mengandung unsur ketajaman yang dapat melukai
kaki anak, karena untuk merobohkan dok yang
berupa tumbukan genteng dalam permainan ini
dilakukan dengan cara menendang dengan kaki
telanjang. Oleh karena itu, agar hasilnya tidak
membahayakan anak perlu dicarikan alternatif
alat atau media lain yang tidak berbahaya agar
bisa lebih optimal hasilnya.
4. Ketidakseimbangan perhatian dan bimbingan
orang tua atau orang dewasa
Ditemukan dua fenomena yang cenderung
kurang ideal terkait perhatian dan bimbingan
yang seharusnya diberikan oleh orang tua atau
orang dewasa lainnya terhadap anak yang
sedang bermain. Fenomena pertama, seringkali
orangtua atau orang dewasa lainnya menganggap
bahwa anak tahu secara langsung bagaimana
bermain sehingga mereka tidak memberitahu cara
memainkannya. Fenomena kedua, ada orangtua
yang berpandangan anak tidak akan senang
bermain bila tidak diajarkan bagaimana cara
memainkannya. Kedua fenomena ini sangatlah
merugikan anak, karena mempengaruhi rasa
senang yang diperolehnya melalui bermain
sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi
dampak positif bagi anak. Anak yang terlalu sedikit
atau tidak sama sekali mendapatkan bimbingan
tentang cara bermain akan cepat bosan karena
tidak paham cara bermain, sedangkan anak
yang terlalu banyak mendapatkan instruksi
akan menjadikan minim kreativitas, muncul sikap
ketergantungan terhadap bantuan dan bimbingan
orang lain.
PENUTUP
Kesimpulan
Permainan Cim-ciman dapat dipergunakan
untuk melatih dan menstimulasi perkembangan
anak dalam beragam aspek secara holistikintegratif; baik aspek fisik, motorik, bahasa,
kognitif, sosial emosional, dan moral. Selain itu
dapat dipergunakan untuk menanamkan dan
membentuk nilai-nilai budaya dan membangun
karakter anak seperti jujur, disiplin, kreatif, mandiri,
tanggungjawab, kepedulian sosial, kerja keras,
semangat, menghargai prestasi, bersahabat
atau komunikatif, cinta damai, dan musyawarah.
Oleh karena itu, orangtua dan para pendidik
pendidikan anak usia dini dapat mengoptimalkan
permainan tradisional khususnya Cim-ciman untuk
perkembangan dan pembentukan karakter anak.
Permainan ini dapat dipergunakan untuk evaluasi
perkembangan dan karakter anak, karena di dalam
kegiatan bermain ini, perilaku yang tampil lebih
murni, alami, dan apa adanya tanpa dibuat-buat.
108
Saran
Berdasarkan urgensi temuan penelitian
sebagaimana paparan di atas diperlukan kebijakan
nasional untuk rekonstruksi dan revitalisasi
permainan anak tradisional (dolanan anak) yang
tersebar di seluruh nusantara dengan segala
kekhasan budayanya, untuk selanjutnya dijadikan
sebagai menu kurikulum pendidikan anak usia dini
sebagai proses pewarisan dan pelestarian warisan
budaya bangsa. Kepada para orang tua yang
memiliki anak usia dini untuk mengenalkan beragam
permainan anak tradisional yang ada di daerahnya.
Kepada pendidik lembaga pendidikan anak usia dini
untuk secara aktif mengenalkan dan menjadikan
permainan anak tradisional sebagai prioritas jenis
permainan yang diajarkan dalam kegiatan belajar
mengajar. Kepada para peneliti untuk melakukan
kajian lanjutan terhadap permainan tradisional
yang tersebar diberbagai daerah dalam berbagai
perspektif dan ragam jenis penelitian.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pembentukan Karakter Anak ...
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, M. A. (2003). Kritik kontemporer atas filsafat
Arab-Islam. (Moch. Nur Ichwan, penterjemah).
Yogyakarta: Islamika.
Barker, C. (2004). Cultural studies teori & praktik.
(Nurhadi, penterjemah). Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Dockett, S., Flerr, M. (2003). Play and pedagogy in
early childhood bending rules. Cambridge:
Harvard University Press.
Hurlock, E. B. (2007). Perkembangan anak, jilid
1. (Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti,
penterjemah). Jakarta: Erlangga.
Jeffree, D. M., McConkey, R., Hewson, S. (1995).
Let me play. London: A Condor Book Souvenir
Press.
Keenan, T.,& Evans, S. (2009). An introduction to
child development. London: Sage Foundations
of Pasychology.
Lickona, T. (1992). Educating for character how our
schools can teach respect and responsibility.
New York: Bantam Books.
Mayles, J. R. (Ed.). (1995). The excellence of play.
Backingham-Philadelphia: Open University
Press.
Moleong, L. J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Montessori, M. (2008). The absorbent mind
pikiran yang mudah menyerap. (Dariyatno,
penterjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Morisson, G. S. (2012). Dasar-dasar pendidikan anak
usia dini. Suci Romadhona & Apri Widiastuti,
penterjemah). Jakarta: Indeks.
Sugiyono. (2009). Metode penelitian pendidikan
pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Tedjasputra, M. S. (2001). Bermain, mainan, dan
permainan. Jakarta: Grasindo.
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. (2001).
Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa).
Yogyakarta: Kanisius.
Tim Program Pascasarjana. (2012). Buku pedoman
penulisan tesis dan disertasi PPS UNJ.
Jakarta: PPs UNJ Press.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
109
Pembentukan Karakter Anak ...
110
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
REKONSTRUKSI KECAKAPAN SOSIAL GURU
DALAM PENGEMBANGAN BERBICARA ANAK USIA DINI
Gian Fitria Anggraini & Ari Sofia
e-mail: [email protected]
PG-PAUD, Jurusan IP FKIP Universitas Lampung
Jl. Prof. Dr. Soemantri Brojonegoro No. 1
Abstrak: Interaksi sosial merupakan pondasi awal bagi anak untuk belajar mengenal lingkungan di
sekitarnya. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji pengaruh serta kontribusi kecakapan sosial yang dilihat
melalui interaksi antara guru dan anak dalam pengembangan kemampuan bahasa, terutama berbicara
usia dini. Penelitian ini dilakukan dari September sampai Oktober 2015. Metode penelitian dilakukan
melalui pendekatan kuantitatif, dengan subjek penelitian 30 orang guru PAUD di Bandar Lampung.
Pengambilan subjek dilakukan dengan teknik purposive sampling. Data diambil melalui angket dan di
analisis dengan regresi linear sederhana. Hasil analisis menunjukkan koefisien regresi sebesar 0,511,
dengan nilai signifikansi 0,003. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara interaksi
sosial terhadap pengembangan kemampuan bicara anak usia dini. Meskipun demikian kontribusi yang
diberikan oleh interaksi sosial belum cukup memadai, dan hal ini menandakan perlunya suatu upaya
untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas interaksi antara guru dan anak.
Kata-kata Kunci: interaksi sosial, guru, kemampuan berbicara, literasi, anak usia dini.
TEACHER SOCIAL SKILLS RECONSTRUCTION
IN IMPROVING EARLY CHILDHOOD SPEAKING ABILITY
Abstract: Social interaction is an early foundation for children to learn recognizing their surrounding
environment. This study aimed to examine the relationship and contribution of teacher social skill in
interaction between children through language development, especially speaking in early ages. The
research was conducted I Bandar Lampung as from September through October 2015. The research
subjects were 30 early childhood teachers in Bandar Lampung, which was carried out through purposive
sampling technique. The research method was conducted with a quantitative approaches-regression
method. The data was collected through a questionnaire and was analyzed by using simple linear regression
analysis. The results showed a regression coefficient between variables for 0,511, with a significance value
of 0,003. Interaction performed deeply by teachers on children has a significant influence to the children’s
speak development. Although the contribution has not been adequate, it indicates that the quality and
quantity of interaction between teachers and children needs to be increased.
Keywords: teacher social interaction, oral language, literacy, early childhood education.
PENDAHULUAN
Melakukan interaksi dengan anak memiliki
tantangan tersendiri, terutama bagi para guru yang
belum mampu memahami perkembangan bahasa
terutama berbicara pada anak usia dini secara utuh.
Pembelajaran bahasa diawali dengan adanya proses
bahasa lisan (oral language) antara anak dengan
lingkungannya. Dimulai dengan membunyikan
huruf, membaca kata dan kalimat hingga akhirnya
dapat berbicara secara utuh. Hal ini sejalan dengan
pendapat Niklas & Schneider (2013) bahwa
perkembangan bahasa oral atau lisan merupakan
pondasi utama bagi perkembangan literasi dan
peningkatan kemampuan membaca anak yang
peningkatannya sangat ditentukan oleh pengaruh
lingkungan.
Perkembangan berbicara (oral language)
merupakan landasan bagi perkembangan literasi
dasar seperti bercakap - menyimak, membaca menulis, merasa - menggambarkan, dan berhitung
- memperhitungkan (Fauziah, 2008). Kecakapan ini
diperlukan untuk mempersiapkan anak-anak usia
dini menempuh jenjang pendidikan selanjutnya,
yang pada umumnya menuntut mereka untuk siap
membaca, menulis dan berhitung.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
111
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
Pentingnya pengembangan literasi sejak
dini ini perlu didukung oleh keterlibatan orang
dewasa di lingkungan sekitar anak, terutama
dalam kemampuan berbicara (oral language).
Anak membutuhkan suatu role model yang mampu
memberikan contoh baik dari segi pengenalan
maupun penggunaan huruf, bunyi, kata, angka, dan
sebagainya (Vygostky, 1986).
Kualitas membaca atau literasi anak-anak
Indonesia masih berada pada urutan ke 29 dari 31
negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Indonesia
masih termasuk kategori negara yang pencapaian
kegiatan literasinya di bawah 500, yaitu sebesar
428 atau 4,2 persen di bawah negara Saudi Arabia
(Campbell, Kelly, Mullis, Martin, dan Sainsbury,
2001; Mullis et al, 2011). Hal ini menjadi dasar
akan pentingnya penanaman serta pengembangan
literasi sejak usia dini. Berbagai informasi mengenai
pentingnya meningkatkan kemampuan berbahasa
atau literasi dasar anak usia dini menjadi polemik
tersendiri khususnya dalam pendidikan anak usia
dini, karena pada usia ini, anak-anak belum boleh
diajarkan membaca dan menulis secara formal.
Sementara di sisi lain anak tersebut diharapkan
sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung
setelah lulus dari PAUD atau TK. Hal ini didukung
oleh beberapa penelitian yang menyebutkan
bahwa anak-anak yang memasuki usia sekolah
dasar dengan penguasaan bahasa lisan serta
pengetahuan akan kosakata yang kurang, sering
mengalami kesulitan pada saat mereka belajar
membaca (Hart & Risley 2000; Cohrssen, Niklas,
& Tayler, 2016).
Kesulitan dalam berbicara merupakan salah
satu penghambat bagi penguasaan kosakata
(Rohman, 2015). Hambatan ini tentunya secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap kemampuan
anak dalam menguasai tingkat literasi dasar
selanjutnya, baik itu membaca maupun menulis.
Penelitian yang dilakukan oleh Scofield dan
Behrend (2011) mencoba untuk melihat bagaimana
kosakata atau bahasa anak dapat meningkat
lewat atensi bersama antara guru dan siswa.
Hasil penelitian menemukan bahwa strategi yang
disusun oleh guru secara matang serta melibatkan
proses interaksi sosial, dapat meningkatkan
pembelajaran kosakata (word) pada anak. Hal ini
sesuai dengan pendapat Cohrssen et al. (2016)
bahwa guru memiliki pengetahuan, dan anak akan
belajar tentang suatu pengetahuan tersebut melalui
112
interaksi dengan gurunya. Melalui pertukaran
informasi, pelibatan emosi serta atensi bersama
pada suatu objek tertentu, secara tidak langsung
akan mendorong anak untuk belajar suatu kata baru
atau pembelajaran bahasa, terutama berbicara (oral
language) secara keseluruhan.
Guru PAUD merupakan fasilitator yang baik
bagi anak untuk meningkatkan kemampuan bahasa
oral serta mengurangi hambatan-hambatan yang
ditemui oleh anak saat belajar berbahasa (Latif,
dkk, 2013). Ketika seorang anak memasuki TK atau
PAUD, biasanya mereka telah memperoleh banyak
struktur bahasa dari bahasa pertama orang tua
mereka masing-masing, di sinilah peran guru dalam
mengakomodasi seluruh kemampuan siswa yang
berbeda-beda sebagai upaya untuk meningkatkan
kemampuan bahasa anak-anak. Kuantitas dan
kualitas interaksi bahasa antara pendidik dan anakanak sangat mempengaruhi penguasaan kosakata
pada anak. Selain itu, berbagai penelitian lain juga
menyebutkan bahwa hubungan antara guru dan
anak termasuk kemampuan atau kecakapan sosial
guru dapat membantu meningkatkan kemampuan
berbahasa, kognitif serta keterampilan sosial pada
anak (Hart & Risley 2000; Denisenkova & Nisskaya,
2016).
Kemampuan guru dalam menyediakan
interaksi yang kaya, serta menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi pembelajaran bahasa anak,
menurut Bradley (2011) merupakan langkah yang
hendaknya dilakukan dalam manajemen kelas
seorang guru preschool atau PAUD. Tanpa adanya
kualitas guru yang memadai untuk membantu anak
meningkatkan bahasanya, maka pengembangan
kemampuan dasar bahasa anak tidak akan
optimal. Suryani (2013) dalam opininya terhadap
permasalahan PAUD di Indonesia, menyatakan
bahwa salah satu kendala yang ditemukan dalam
pembangunan PAUD saat ini adalah belum
terpenuhinya kualifikasi maupun kompetensi guru
secara menyeluruh. Secara akademik, berdasarkan
data dan statistik pendidikan Kemendikbud (2014),
menunjukkan bahwa persentase guru PAUD
yang memiliki ijazah kependidikan lebih tinggi
dari S1 adalah sebesar 3,51 persen, sedangkan
di bawah S1 sebesar 4,06 persen. Persentase ini
menggambarkan bahwa masih banyak guru PAUD
yang belum mencapai tingkat pendidikan S1.
Seorang guru dituntut untuk memiliki
seperangkat kemampuan yang dapat
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
mengantarkannnya kepada kualitas kinerja agar
mampu melaksanakan tugas serta tanggung
jawabnya dalam pengajaran maupun pendidikan
(Latif, dkk, 2013) Harapannya adalah guru dapat
menemukan cara atau strategi terbaik dalam
pembelajaran. Oleh sebab itu, guru pun diharapkan
untuk memiliki kompetensi yang sesuai dengan
kebutuhan pengajarannya di sekolah. Spencer &
Spencer (2011) menguraikan hakekat kompetensi
sebagai berikut: “Competency is underlying
characteristic of an individual that is causally related
to criterion-reference effective and/or superior
performance in a job or situation”. Kompetensi
yang dimiliki oleh seorang guru, tentunya akan
berbeda satu sama lain, tergantung pada karakter,
pengalaman, serta kondisi dan latar belakang
pendidikan masing-masing.
Kualifikasi serta kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru PAUD, tertuang dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru. Salah satu
kompetensi guru yang mencerminkan terjadinya
interaksi diantara guru dan anak didik adalah
kompetensi sosial. Kompetensi ini erat kaitannya
dengan kemampuan guru baik dalam melakukan
komunikasi sosial maupun individual (Latif, dkk,
2013).
Pembelajaran di kelas tidak hanya terjadi
melalui proses perencanaan, pelaksanaan dan
penilaian secara tersusun saja, namun juga melalui
interaksi sosial (Hamalik, 2009). Guru dapat
berkomunikasi secara langsung dengan anak didik.
Komunikasi secara langsung juga merupakan
suatu proses dimana didalamnya terdapat asimilasi
nilai-nilai budaya (Fauziah, 2008). Interaksi dapat
mendorong anak agar mau aktif berbicara, sehingga
secara tidak langsung melalui interaksi anak dapat
meningkatkan kemampuan berkomunikasinya. Hal
ini juga diperkuat oleh pendapat Surya (2011) yang
mengemukakan bahwa kompetensi sosial adalah
kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar
berhasil dalam berhubungan dengan orang lain serta
menjalin hubungan yang baik dengan anak didiknya.
Tugas guru untuk mengayomi, mendidik,
membimbing, sebagaimana tertuang dalam
kompetensi guru, baik secara profesional, sosial
maupun pedagogik, sangat berperan terhadap
perkembangan belajar anak. Berkaitan dengan tugas
guru, maka potensi keterampilan guru yang baik,
setidaknya juga dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan serta wawasan calon guru baik secara
formal maupun informal (Latif, dkk, 2013). Guru yang
teredukasi serta berwawasan, diharapkan memiliki
kompetensi yang lebih baik. Salah satu kompetensi
yang harus dimiliki oleh guru adalah kompetensi
sosial yang berkaitan dengan kemampuan melakukan
interaksi baik itu dalam kegiatan belajar mengajar,
maupun interaksi secara individu dan kelompok kecil.
Melalui interaksi yang kaya bahasa, guru diharapkan
memiliki kedekatan hubungan (closeness) yang
baik dengan anak (Vygotsky, 1986). Peran guru
dalam meningkatkan kemampuan bahasa anak juga
disebutkan oleh bukan hanya memberikan informasi
mengenai konten atau “isi”, namun juga memberikan
informasi tentang pembicara itu sendiri, bagaimana
pembicara memandang pendengar (atau orang
yang diajak berbicara) serta penggambaran atas
bentuk hubungan mereka (relationship), yang saat
ini kualitasnya masih jarang diperhatikan oleh guru
(Halliday, 1993; Fernandez et al, 2015).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
dalam peningkatan kemampuan literasi anak usia
dini akan sangat tergantung pada stimulus, salah
satunya melalui interaksi yang terjadi antara anak
dengan orang dewasa, salah satunya dengan
guru (Schunk, 2012). Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi
bagaimana pengaruh antara kecakapan sosial yang
dilihat melalui interaksi guru dan anak, berdasarkan
kompetensi sosial guru dalam meningkatkan
pengembangan kemampuan berbicara usia dini.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif, dengan metode regresi linear sederhana
untuk mencari pengaruh serta seberapa besar
kontribusi antara kecakapan sosial guru PAUD
dengan kemampuan pengembangan berbicara (oral
language) anak usia dini.
Subjek penelitian adalah guru PAUD di
Bandar Lampung yang berjumlah 30 orang guru.
Pengambilan subjek dilakukan melalui teknik
purposive sampling dengan karakteristik sebagai
berikut: (1) berpendidikan minimal SMA; dan (2)
Telah menjadi guru PAUD selama minimal 5 tahun.
Penelitian dilaksanakan dari 01 September 2015
sampai 30 Oktober 2015 di Bandar Lampung.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
113
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
Pengumpulan data dilakukan melalui instrumen
berupa kuesioner yang diukur menggunakan
skala likert. Kecakapan sosial dikembangkan
dari kompetensi sosial guru PAUD berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang kualifikasi
akademik dan kompetensi guru. Kompetensi
sosial terdiri dari empat sub kompetensi yaitu (1)
bersikap inklusif dan objektif, (2) berkomunikasi
secara efektif dan empatik, (3) beradaptasi
dalam keanekaragaman sosial budaya, dan (4)
membangun komunikasi profesi. Pengembangan
kemampuan berbicara (oral language) anak usia
dini menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari
pengembangan bahasa Hart dan Risley (2000),
yang meliputi: (i) Kualitas interaksi antara anak dan
yang membimbing. Kualitas ini berkaitan dengan
kemampuan guru dalam memberikan kedalaman
maupun penggalian komunikasi yang interaktif, dua
arah dengan anak didik; (ii) Kuantitas antara anak
dan yang membimbing. Hal ini berkaitan dengan
frekuensi komunikasi yang dilakukan oleh guru
dan anak didik; serta (iii) Perbedaan antara isi dan
struktur bahasa yang didengar. Unsur yang terakhir
berkaitan erat dengan kejelasan serta refleksi
yang dilakukan guru pada setiap interaksi yang
dilakukannya. Ketiga faktor ini akan berdampak
pada bagaimana seorang guru dapat mendengar
dan merespon, serta memotivasi anak untuk
berbicara dan melakukan interaksi secara aktif.
Instrumen kecakapan sosial guru dan
pengembangan kemampuan berbicara anak
usia dini masing-masing memiliki 48 dan 54 item
pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diberikan
lima alternatif jawaban, yaitu sangat sesuai (SS),
sesuai (S), Ragu-Ragu (R), Kurang Sesuai (KS),
dan Tidak Sesuai (TS). Skor untuk pertanyaan positif
adalah 1 untuk tidak sesuai (TS), 2 untuk kurang
sesuai (KS), 3 untuk ragu-ragu (R), 4 untuk sesuai
(S), dan 5 untuk sangat sesuai (SS). Sedangkan
untuk pertanyaan negatif jika jawaban guru adalah
sangat sesuai (SS) diberi skor 1, sesuai (S) diberi
skor 2, ragu-ragu (R) diberi skor 3, kurang sesuai
(KS) diberi skor 4, dan tidak sesuai (TS) diberi
skor 5. Setelah diperoleh data nilai kecakapan
sosial dan nilai pengembangan berbicara anak
kemudian dimasukkan ke dalam kategori. Adapun
kategorisasi ini dihitung berdasarkan kelas interval.
Instrumen kecakapan sosial guru dengan skor
178 ke atas dimasukkan ke dalam kategori tinggi
dan skor di bawah 112 masuk ke dalam kategori
rendah, sedangkan skor antara 113-177 masuk
dalam kategori sedang. Instrumen kecakapan sosial
guru telah reliabel dengan nilai Cronbach’s alpha
sebesar 0,929. Sementara itu, untuk instrumen
pengembangan berbicara anak usia dini dengan
skor di bawah 126 masuk ke dalam kategori rendah
dan skor antara 127-199 masuk dalam kategori
sedang, sedangkan skor di atas 200 masuk ke
dalam kategori tinggi. Instrumen ini telah reliabel
dengan nilai alpha cronbach sebesar 0.935.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu: (1) Analisis deskriptif. Analisis ini digunakan
untuk menjelaskan karakteristik kecapakan sosial
guru dan karakteristik pengembangan berbicara
anak usis dini. (2) Analisis regresi linear sederhana
untuk menganalisis pengaruh kecakapan sosial guru
terhadap pengembangan berbicara anak usia dini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecakapan Sosial Guru
Hasil capaian kecakapan sosial guru
menunjukkan rata-rata kemampuan mencapai angka
199 tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Sebaran Kategori Kecakapan Sosial Guru
PAUD
No
Kategori
Total
n
%
0
0
1
Rendah ( X<112)
2
Sedang (113-177)
2
6.45
3
Tinggi (X>178)
29
93.55
31
100.0
Total
Rata-rata SD
114
Berdasarkan kategori kecakapan sosial guru,
hampir sebagian besar (93.55%) guru memiliki
kecakapan sosial yang tinggi. Sementara itu, tidak
ada (0 %) guru yang memiliki kecakapan sosial yang
rendah. Namun demikian, masih ada sebagian kecil
(6.45%) guru yang memiiki tingkat kecakapan sosial
yang sedang.
Kemampuan Pengembangan Berbicara AUD
Kemampuan pengembangan berbicara anak
usia dini tersaji pada Tabel 2 yang menunjukkan
bahwa kemampuan pengembangan berbicara AUD
memilki rata-rata mencapai angka 216.74.
199.00 ± 16.205
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
Tabel 2. Sebaran Kategori Pengembangan
Kemampuan Berbicara (Oral Language) AUD.
No
Total
Kategori
n
%
1
Rendah ( X<126)
0
0
2
Sedang (127-199)
4
12.903
3
Tinggi
27
87.097
31
100.0
(X>200)
Total
Rata-rata ± SD
216.74 ± 19.993
Berdasarkan kategori kemampuan
pengembangan berbicara AUD, hampir sebagian
besar (87.1%) berada pada kategori tinggi. Sementara
itu, sebagian kecil (12.9%) guru berada pada kategori
sedang. Berdasarkan nilai presentase menunjukkan
bahwa pengembangan berbicara hanya memiliki
selisih kurang lebih 6 % dengan kecakapan sosial
guru pada kategori tinggi maupun sedang. Namun,
di antara kedua variabel sama-sama tidak ada (0%)
guru yang berada pada kategori rendah.
Hasil Uji Pengaruh Kecakapan Sosial Guru
dengan Pengembangan Kemampuan Berbicara
Hasil uji pengaruh kecakapan sosial guru
dengan pengembangan kemampuan berbicara
menunjukkan angka Adjusted R Square 0.236
yang berarti bahwa model tersebut menjelaskan
23.6 persen pengaruh kecakapan sosial guru
terhadap kemampuan pengembangan berbicara
anak usia dini, di mana kecakapan sosial guru
berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kualitas kemampuan pengembangan berbicara
anak usia dini. Hal ini menandakan bahwa apabila
terjadi peningkatan kualitas kecakapan sosial guru
maka akan menyebabkan peningkatan kualitas
kemampuan pengembangan berbicara anak usia
dini. Hasil uji pengaruh kecakapan sosial guru
dengan pengembangan kemampuan berbicara
secara lengkap tersaji pada Tabel 3.
Tabel 4. Koefisien Regresi Kecakapan Sosial
Guru, Pengembangan Kemampuan Berbicara
AUD
Koefisien β
Variabel
Kecakapan Sosial Guru
Tidak
terstandarisasi
0.631
Terstandarisasi
t
Sig
0.511
3.204
0.003
F
10.267***
R
0.551
Adjusted R square
0.236
Pembahasan
Penelitian ini mengangkat pentingnya
kecakapan sosial dimiliki oleh guru untuk
meningkatkan kualitas interaksi yang dilakukannya
terutama dalam pengembangan berbicara anak
usia dini. Menurut Bradley dan Reinking (2011),
seorang guru dapat mengembangkan hubungan
atau interaksi dengan muridnya dalam rangka
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
peningkatan pengembangan bahasa anak.
Proses pemahaman anak terhadap suatu
fenomena atau informasi baru dapat berjalan
secara alami, seperti melalui kegiatan observasi
atau eksperimen, eksplorasi dengan melihat,
merasakan, menyentuh, meraba, melakukan,
maupun kegiatan yang bersifat langsung lainnya
(Vygotsky, 1986; Fauziah, 2008). Tidak hanya
melalui pengalaman kegiatan yang dialaminya
sendiri, pemahaman yang dimiliki oleh seorang
anak juga muncul karena adanya proses belajar
atau pembelajaran yang sengaja dilakukan oleh
orang dewasa dilingkungannya (Fauziah, 2008).
Pembelajaran yang dilakukan dengan sengaja inilah
yang diharapkan mampu menambah wawasan
serta pengalaman anak pada tingkat yang lebih
tinggi lagi. Oleh sebab itu, meskipun anak telah
memiliki pemahaman awal atau dasar mengenai
suatu fenomena, namun proses pembinaan maupun
bimbingan tetap dibutuhkan untuk memperluas
jangkauan cakrawala berpikir anak. Pada setiap
titik perkembangan, anak-anak membutuhkan
bantuan orang dewasa untuk membantunya dalam
membentuk serta mengkonstruksi lingkungannya
sendiri (Vygotsky, 1986; Fauziah, 2008; Musthafa,
2008).
Pada tahap perkembangan kognitif anak
yang salah satunya dikemukakan oleh Vygotsky
(1986) disebutkan bahwa anak mengelola suatu
informasi melalui proses akomodasi dan asimilasi,
dimana kedua proses ini melibatkan suatu interaksi
sosial yang memperkuat pembangunan suatu
pengetahuan maupun pemahaman, yang disebut
sebagai proses scaffolding atau perambatan.
Proses scaffolding ini tentunya dapat terjadi
dalam kegiatan pembelajaran di sekolah melalui
peran guru (Musthafa, 2008). Berdasarkan
pemahaman ini dapat kita simpulkan bahwa
proses Scaffolding yang didalamnya termuat
interaksi sosial, merupakan salah satu hal penting
dalam mendukung kemampuan anak membangun
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
115
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
konstruksi atau landasan berpikir. Dengan kata lain,
interaksi sosial yang dilakukan dalam pembelajaran
berkontribusi terhadap proses pembentukan
pemahaman anak. Vygotsky (1986) menyebutkan
pentingnya pembelajaran yang berbasis budaya
serta interaksi sosial, karena melalui interaksi inilah
anak belajar mempersepsikan serta mengkonstruksi
lingkungannya. Semakin sering anak diajak
berinteraksi, maka intelektualitasnya akan semakin
berkembang, dan inilah yang akan menjadi dasar
berkembangnya keterampilan lain, seperti sosial
dan juga bahasa (Johnston, 2004; Fauziah, 2008).
Artinya, peran scaffolding atau interaksi sosial,
tidak hanya dalam fungsi rekonstruksi kognitif
saja, namun juga sebagai dasar berkembangnya
keterampilan lain.
Bradley dan Reinking (2011) menemukan
bahwa pembelajaran literacy (keaksaraan) yang
dilakukan melalui kegiatan pengayaan bahasa serta
dengan melibatkan anak pada suatu lingkungan
yang kaya bahasa akan membantu mereka
meningkatkan perkembangan bahasanya, terutama
menjelang usia lima tahun, karena masa usia ini
adalah yang paling baik untuk mempersiapkan anak
sebelum mereka belajar membaca. Salah satu peran
guru yang tentunya dapat mendukung kemajuan
belajar anak adalah dengan memberikannya
suatu pengalaman belajar yang kaya dan sesuai
dengan kebutuhan, oleh sebab itu guru pendidikan
anak usia dini memiliki posisi yang baik dalam
meningkatkan keterampilan berbahasa (Schwartz
1996; Hamre, Hatfield, Pianta, & Jamil, 2014).
Pentingnya peran guru dalam meningkatkan
kemampuan berbahasa anak banyak disebutkan
dalam beberapa literatur, salah satu literatur
menyebutkan bahwa bahasa tidak hanya
mengandung konten atau “isi”, namun juga
memberikan informasi tentang pembicara atau
penyampai pesan itu sendiri, bagaimana pembicara
memandang pendengar (atau orang yang diajak
berbicara) serta penggambaran atas bentuk
hubungan mereka (relationship) yang disebut
sebagai dimensi ideasional dan internalisional
(Halliday, 1993; Fernandez et al, 2015). Hal ini
menunjukkan bahwa apa yang dikatakan, baik itu
respon maupun ucapan verbal guru pada anak,
secara tidak langsung dapat menggambarkan
kualitas hubungan guru dan anak, serta secara
signifikan akan memberi dampak pada kualitas
percakapan mereka.
116
Kesinambungan antara peran guru dalam
mendorong terciptanya lingkungan pembelajaran
yang kaya akan interaksi, baik secara sosial maupun
budaya serta keahlian yang dimiliki seorang guru
dalam menciptakan kegiatan belajar yang interaktif,
kaya akan sumber literasi, serta memahami
perbedaan yang dimiliki oleh seorang anak, tentunya
akan sangat membantu anak dalam memahami dan
mengenal lingkungannya sendiri, serta mengenal
bahasa lingkungannya (Fauziah, 2008; Musthafa,
2008). Hal ini juga ditekankan dalam penelitian
Longobardi et al (2015) bahwa interaksi antara guru
dan anak memiliki potensi dalam mengembangkan
kemampuan berbahasa anak usia dini.
Penelitian Scofield dan Bahrain (2011) juga
menemukan hal yang sama, bahwa saat guru
memiliki pengetahuan, maka anak akan belajar
tentang suatu pengetahuan tersebut melalui interaksi
dengan gurunya. Adanya pertukaran informasi
melalui atensi bersama pada suatu objek tertentu,
secara tidak langsung akan mendorong anak untuk
belajar suatu kata baru atau pembelajaran bahasa
secara keseluruhan (Scofield dan Behrend, 2011).
Peran interaksi sosial guru tentunya tidak dapat
dipisahkan, terutama dalam membangun dan
menciptakan lingkungan belajar yang komunikatif,
atraktif, dan merangsang anak untuk selalu ikut aktif
dalam aktifitas yang dilakukan bersama.
Berdasarkan hasil juga ditemukan bahwa,
meskipun performa interaksi serta pengembangan
kemampuan berbicara tergolong tinggi, namun
tidak terlalu banyak kontribusi yang dapat diberikan
oleh interaksi sosial guru terhadap pengembangan
berbicara anak usia dini. Hal ini bisa menjadi
indikator belum optimalnya peran guru terutama
dalam mengembangkan kemampuan berbicara
anak. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
kualitas interaksi sosial guru, salah satunya adalah
pengalaman guru dalam melakukan interaksi
yang berkualitas maupun yang mendalam pada
aktifitas pembelajaran yang dilakukannya (Bradley
dan Reinking, 2011). Kurangnya pengalaman ini
tentunya selain karena faktor internal juga dapat
disebabkan oleh terbatasnya faktor eksternal
seperti penunjang yang dapat membantu guru
dalam meningkatkan keterampilan sosial, misalnya
pelatihan maupun pendidikan (Mulyasa, 2012).
Latar belakang guru yang belum memadai secara
akademik maupun profesional, juga sedikitnya
mempengaruhi penguasaan kompetensi-kompetensi
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
yang sejatinya dimiliki oleh guru, dan salah satunya
adalah kompetensi sosial.
Kualitas interaksi sosial akan berdampak
pada proses pengalaman dan juga penukaran
informasi yang terjadi dalam interaksi tersebut.
Longobardi (2015) dalam penelitiannya juga
mengemukakan bahwa kualitas sosial, baik itu
cara berkomunikasi maupun pendekatan interaksi
yang dilakukan oleh seorang guru, akan sangat
mempengaruhi kualitas pengalaman belajar bahasa
yang akan dialami oleh seorang anak. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Greenstock, Louise, dan
Wright (2011) mengemukakan bahwa konflik yang
sering terjadi diantara guru mengenai penggunaan
strategi pembelajaran bahasa adalah akibat adanya
perbedaan pemikiran, kepercayaan serta motif para
guru dan jika tidak terjadi kolaborasi yang seimbang
antara para guru ini, secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap proses pembelajaran bahasa
anak. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas interaksi
sosial dalam diri seorang guru juga akan ditentukan
oleh persepsi, kualitas pribadi serta keaktifannya
untuk bekerja sama dan saling memberikan refleksi
serta penguatan dalam pengembangan bahasa anak
(Barrat dan Rohl, 2000; Scott-Little et al., 2011).
Kecakapan sosial yang dimiliki oleh guru
berperan dalam kemampuannya mengembangkan
potensi anak, baik itu dari segi pembelajaran maupun
manajemen kelas, dan salah satunya adalah
pengembangan kemampuan berbicara (Hamre,
Hatfield, Pianta, & Jamil, 2014). Pengembangan
kemampuan berbicara memiliki indikator sebagai
berikut: (i) kualitas Interaksi antara anak didik dan
guru; (ii) kuantitas Interaksi antara anak didik dan
guru; (iii) perbedaan antara isi serta struktur bahasa
yang didengar oleh anak (Hart dan Risley 2000).
Kualitas interaksi akan saling mempengaruhi satu
sama lain dengan kuantitas interaksi. Semakin
sering seorang guru melakukan interaksi yang
mendalam dengan anak, maka secara tidak
langsung hal ini akan meningkatkan kualitas dan
kuantitas kemampuan berbicara anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Oates et.al
(2011), mengungkapkan bahwa saat anak belajar
untuk ikut serta dalam aktifitas kelas dan juga saat
guru mencoba untuk mengatur perilakunya dalam
kelas secara tidak langsung akan memunculkan
kemampuan literacy pada anak secara bertahap.
Artinya semakin sering guru dan anak terlibat dalam
aktivitas atau kegiatan literasi maka kemampuan
literasi anak akan semakin berkembang. Kualitas
interaksi ini juga tentunya akan mempengaruhi
konten atau isi dalam pembelajaran literasi, semakin
tinggi kelihaian atau keterampilan serta pengalaman
literasi dalam suatu kelas, maka kualitas bahan
materi literasi yang terjadi pun akan semakin kaya
(Whitebread, 2003). Salah satu pengayaan bahan
materi literasi yang dapat mengayakan pengalaman
literasi diungkapkan dalam penelitian Kim et al
(2011) yang menyatakan bahwa joint book reading
dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk
mendiskusikan apa yang telah mereka baca dan
merangkumnya lewat retelling. Kegiatan retelling
(menceritakan kembali), secara tidak langsung
dapat menambah wawasan dan pengalaman kelas
dalam mendukung situasi literasi yang kaya akan
makna. Hal ini membuktikan bahwa antara kualitas,
kuantitas dan konten materi pengembangan bahasa
anak usia dini saling berpengaruh dan berkaitan
satu sama lain.
Secara garis besar, dapat kita simpulkan
bahwa, proses interaksi akan mempengaruhi
proses pembentukan pengetahuan atau konstruksi
lingkungan pada anak. Interaksi yang dilakukan
oleh orang dewasa tentunya sangat berpengaruh
terhadap pemaknaan bahasa lingkungan yang
dibentuk anak. Semakin sering interaksi ini terjadi,
maka akan tercipta kualitas, baik itu dari segi
pendekatan secara sosial, maupun seacara konten,
yang dapat mempengaruhi kualitas pengembangan
bahasa anak. Kualitas interaksi tentunya juga
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti latar
belakang budaya, sosial, sejarah, nilai-nilai, dan
sebagainya (Fauziah, 2008). Pengalaman sosial
pribadi guru akan mempengaruhi kualitas interaksi
yang dilakukannya dengan anak usia dini. Oleh
sebab itu, diperlukan pembinaan pada diri guru
untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi
atau kecapakan sosial sehingga kemampuan
interaksi ini dapat digunakan secara maksimal
dalam pengembangan bahasa ekspresif anak usia
dini.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa, terdapat pengaruh yang
signifikan dengan nilai R sebesar 0.511, antara
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
117
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
kecakapan sosial guru dengan pengembangan
kemampuan berbicara (oral language) anak usia
dini. Sementara itu gambaran umum kecakapan
sosial dan pengembangan kemampuan berbicara
anak mengarah pada kategori tinggi, meskipun
demikian kontribusi kecakapan sosial guru terhadap
pengembangan kemampuan berbicara anak
usia dini hanya sebesar 23,6 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa pengalaman guru untuk
melakukan interaksi dengan anak, terutama dalam
mengembangkan kemampuan berbicara belum
cukup memadai.
Kualitas interaksi akan dipengaruhi oleh
kuantitas interaksi. Semakin sering guru melakukan
interaksi mendalam dengan anak, maka kualitas
interaksi akan tercipta dengan maksimal (Vygostky,
1986). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak
pengalaman guru dalam melakukan interaksi
dengan anak, maka secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kualitas interaksi itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian dapat kita tekankan
bahwa kualitas interaksi sosial tentunya akan
berdampak jika bukan hanya sekedar dipahami dan
dimiliki saja oleh guru namun benar-benar dapat
mempengaruhi proses pengembangan kemampuan
berbicara anak usia dini secara utuh.
Sementara itu, hasil penelitian ini masih
memerlukan pendukung lain yang dapat dilakukan
melalui pendekatan penelitian yang lebih mendalam
untuk mengkaji dan menggambarkan interaksi
sosial guru secara keseluruhan terutama dalam
pengembangan bahasa. Selain itu latar belakang
pendidikan responden serta usia juga menjadi salah
satu perhatian dalam penelitian, karena setidaknya
hal itu juga dapat mempengaruhi kontribusi
kecakapan sosial terhadap pengembangan
kemampuan berbicara anak usia dini. Penelitian
ini setidaknya dapat memberikan gambaran secara
umum bahwa kecakapan sosial yang dimiliki oleh
guru dapat berpengaruh terhadap pola interaksi,
yang nantinya akan sangat membantu dalam
pengembangan potensi dan keterampilan anak
usia dini.
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pada
guru PAUD terkait kecakapan sosial dalam
melalukan interaksi dengan anak diantaranya
adalah: (i) Guru dapat meluangkan waktu untuk
terus melakukan interaksi dengan anak dalam
berbagai kesempatan; (ii) Guru dapat memulai
untuk melakukan interaksi yang lebih mendalam
dengan anak didik; (iii) Guru dapat memulai untuk
lebih peka dan merespon setiap apa yang anak
katakan, dan menjadikannya sebagai anak tangga
bagi penguasaan keterampilan anak yang lebih
tinggi; (iv) Guru dapat mulai untuk menghargai setiap
perbedaan yang ada pada diri anak; (v) Guru terus
melakukan evaluasi secara berkesinambungan
untuk melihat grafik perkembangan bahasa anak,
serta untuk mengevaluasi kualitas dan konten
pengembangan bahasa terutama keterampilan
berbicara setiap anak.
Bagi lembaga pendidikan anak usia dini,
saran yang bisa diberikan adalah sebagai berikut: (i)
pihak lembaga dapat membantu dengan melakukan
observasi penilaian kinerja maupun kompetensi
sosial guru PAUD terutama dalam melakukan
interaksi sosial di setiap pembelajaran; (ii) pihak
lembaga dapat membantu dengan memberikan
masukan, melalui kegiatan yang hampir mirip
dengan “lesson study” dimana setiap guru memiliki
kesempatan untuk diberikan feedback terutama
dalam keterampilannya melakukan interaksi
mendalam dengan anak usia dini; (iii) pihak
lembaga dapat membantu dengan memberikan
pelatihan atau pengembangan diri yang berkaitan
dengan peningkatan kompetensi sosial guru
PAUD agar secara tidak langsung pemahaman,
wawasan, pengalaman, serta keterampilannya lebih
berkembang dan tentunya dapat mendukung proses
pembelajaran terutama pengembangan kemampuan
berbicara (oral language) anak usia dini.
DAFTAR PUSTAKA
Barratt., & Rohl. (2000). Literacy learning in the early
years. Australia: Allen & Unwin.
Bradley, B. A. M & Reinking, D. (2011). A formative
experiment to enhance teacher-child language
interactions in a preschool classroom. Journal
of Early Childhood Literacy, 2011 11:362. doi:
10.1177/1468798411410802.
118
Campbell, Kelly, Mullis, Martin, & Sainsbury. (2001).
Framework and spesifications for PIRLS
assesment. USA: International Association
for the Evaluation of Educational Achievement
(IEA).
Denisenkova, N. S., & Nisskaya, A. K. (2016). The
role of teacher-child interaction in promoting
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
peer communication. Psychology in Russia:
State of the Art, 9(3), 173–187. https://doi.
org/10.11621/pir.2016.0312.
Fauziah, D. U. (2008). Keindahan belajar dalam
perspektif pedagogi. Jakarta: Cindy Grafika.
Fernandez. (2015). Teacher-child interaction training:
A pilot study with random assignment.
Behaviour Therapy, 46, 463-477.
Greenstock, L., & Wright, J. (2011). Collaborative
implementation working together when using
graphic symbols. Journal Child Language
Teaching and Therapy. 2011 27: 331. doi:
10.1177/0265659010396778
Halliday, M. A. K. (1993). Towards a language-based
theory of learning. USA: Linguistics and
Education Press.
Hamalik. (2009). Strategi belajar mengajar
berdasarkan CBSA. Bandung: Sinar Baru
Albisnindo.
Hamre, B., Hatfield, B., Pianta, R., & Jamil,
F. (2014). Evidence for general and
domain-specific elements of teacher-child
interactions: associations with preschool
children’s development. Child Development,
85(3), 1257–1274. https://doi.org/10.1111/
cdev.12184.
Hart, B & Risley, T. (1995). Meaningful differences in
the everyday experiences of young american
children. Baltimore, MD: Paul H. Brookes.
Johnston. (2004). Choice words: How our language
affects children learning. US: Stanehouse
Publisher.
Kemendikbud. (2014). Statistik pendidikan anak usia
dini. Jakarta: Setjen, Kemdikbud.
Kim et al. (2011). The relationship between
children’s spontaneous utterance during joint
book reading and their feelings. Journal of
Early Childhood Literacy, 2011 11: 402. doi:
10.1177/1468798411409301
Latif, dkk. (2013). Orientasi baru pendidikan anak
usia dini: Teori dan aplikasi. Jakarta: Kencana.
Levitt & Owl. (2013). Effects of literacy environmens on
the reading attitudes, behaviours, and values
of veteran teacher. Learning Environment Res
Journal. New York: Spinger.
Longobardi. (2015). Language and social competence
in typically developing children and late talkers
between 18 and 35 months aged. Early
Child Development and Care Journal. doi:
10.1080/03004430.2015.1039529.
Mullis et al. (2011). PIRLS 2011 international result
in reading. USA: TIMSS and PIRLS.
Mulyasa. (2012). Manajemen PAUD. Bandung:
Rosdakarya.
Musthafa. (2008). Dari literasi dini ke literasi
teknologi. Jakarta: New Concept English
Education C.
Oates et al. (2011). Effective behavior management
in preschool classrooms and children’s task
orientation: enhancing emergent literacy
and language development. Journal of Early
Childhood Research Quarterly. doi: 10.1016/j.
ecresq.2011.02.003.
Rohman. (2015). Perkembangan bahasa pada anak
usia dini. Refika: Bandung.
Schwartz et al. (1996). Examining the use of
recommended language intervention practices
in early childhood special education.Topics in
Early Childhood Special Education 16(2):
251–273.
Schunk. (2012). Learning theories: An educational
perspective. Teori-teori pembelajaran:
Perspektif pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Scofield, J & Behrend, D.A (2011). Clarifying
the role of joint attention in early word
learning. Journal of First Language. doi:
10.1177/0142723710395423.
Scott-Little, C., La Paro, K. M., Thomason, A. C.,
Pianta, R. C., Hamre, B., Downer, J., Howes,
C. (2011). Implementation of a course focused
on language and literacy within teacher–
child interactions: Instructor and student
perspectives across three institutions of
higher education. Journal of Early Childhood
Teacher Education, 32(3), 200–224. https://
doi.org/10.1080/10901027.2011.594489.
Spencer, L.M & Spencer. (2011). Competence at
work: Models for superior performance. USA:
John Wiley & Sons. Inc.
Surya, M. (2011). Psikologi pembelajaran dan
pengajaran. Bandung: Yayasan Bhakti
Winaya.
Suryani. (2013). Pakar pendidikan usia dini UNJ
seminar di Jombang. Diakses dari http://
www.lensaindonesia.com/2013/06/22/pakarpendidikan-usia-dini-unj-seminar-di-jombang.
html pada tanggal 12 Maret 2016.
Vygotsky, L. (1986). Thought and language.
Cambridge, MA: MIT Press.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
119
Rekonstruksi Kecakapan Sosial ...
Whitebread, D. (2003). Teaching and learning in the
early years. New York: Routledge.
120
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
EFEKTIVITAS KONSELING KOGNITIF-PERILAKU DENGAN TEKNIK
LATIHAN ASERTIF UNTUK MENGATASI TINDAKAN
KEKERASAN PADA ANAK
Mubiar Agustin, Ipah Saripah,& Asep Deni Gustiana
Email : [email protected]
PGPAUD Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 40154 Jawa Barat
Abstrak: Penelitian ini beranjak dari masalah yang paling fundamental dalam kegiatan pendidikan anak
usia dini khususnya di Taman Kanak-kanak (TK) yaitu masih banyaknya kesalahan perlakuan yang
dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran yang menjurus pada tindakan kekerasan. Penelitian
bertujuan untuk menghasilkan konseling kognitif-perilaku dengan teknik pelatihan asertif yang tepat,
teruji dan komprehensif untuk menangani tindakan kekerasan pada anak. Penelitian ini dilakukan pada
tahun pelajaran 2015-2016 dengan menggunakan metode eksperimen quasi. Subjek dalam penelitian
ini adalah anak kelompok B dari TK Al Muqoddasah Kab. Bandung. Hasil penelitian menunjukkan: (1)
tindakan kekerasan di TK terjadi dalam berbagai bentuk mulai dari fisik, verbal, hingga relasional; (2)
program konseling kognitif perilaku dengan teknik latihan asertif untuk mengatasi tindakan kekerasan
dipandang layak untuk diujicobakan menurut para pakar; dan (3) terdapat pengaruh yang signifikan dari
kegiatan konseling kognitif-perilaku dalam mengeliminir tindak kekerasan pada anak.
Kata-kata Kunci: konseling kognitif-perilaku, teknik pelatihan asertif, tindakan kekerasan pada anak
THE EFFECTIVITY OF COGNITIVE-BEHAVIOR COUNSELLING WITH
ASSERTIVE TECHNIQUE TO ADDRESS CHILD ABUSE
Abstract: This research is based on the most fundamental problem in teaching young learners, especially
in preschool, which is the tendency of the children’s behavior within each other in the learning process
that leads to abuse. One of the offered solutions to address abuse is to provide preventive act through
Cognitive-Behavior Counselling activities with Assertive Training Technique. The aim of this research is
to conduct cognitive-behavior counselling activities with assertive training technique in way that is correct,
tested and comprehensive to address child abuse. The research was conducted by applying quasi
experimental method in the year of. 2015 – 2016 in Bandung District. The subject of the research was
group B students of Al Muqoddasah Preschool Bandung District. The result shows that: (1) the forms of
child abuse consist of physical, verbal and relational abuse; (2) cognitive-behavior counselling activities
with assertive training technique to address abuse are considered appropriate to implement by experts;
and (3) there is a significant impact of cognitive-behavior counselling activities in minimize child abuse.
Keywords: cognitive-behavior counselling, assertive training technique, child abuse
PENDAHULUAN
Dunia anak adalah dunia bermain. Bermain
memberikan kesempatan kepada anak untuk
mengespresikan diri secara bebas dengan diri, teman
dan lingkungannya. Maka, tidak salah jika seorang
penyair berkebangsaan Lebanon bernama Khalil
Gibran menggambarkan anak seperti kupu-kupu
yang bebas terbang ke sana ke mari tanpa ada yang
menghalangi. Sayangnya, dunia anak yang penuh
keceriaan tersebut terancam dengan maraknya aksi
kekerasan. Anak-anak selalu menjadi korbannya.
Sudah tidak terhitung jumlah korban kekerasan
pada anak ini. Berita yang dilansir dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan
angka peningkatan tindakan kekerasan pada anak
dari tahun ke tahun.
Sebenarnya jika menggunakan kacamata
psikologi, fenomena kekerasan ini sudah disampaikan
oleh ahli psikologi, filsafat dan sosiologi kelahiran
Frankfurt Main Jerman bernama Erich Fromm.
Fromm menyebut istilah kekerasan dan anarkis
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
121
Efektivitas Konseling Kognitif ...
ini dengan sebutan nekrophilia (necrophilious
character type), yaitu tipe orang yang tertarik dan
berpenampilan pada segala bentuk kematian.
Mereka senang berbicara penyiksaan, kematian
dan penguburan. Lebih jauh, mereka sangat terikat
dengan kekuatan dan kekuasaan. Mereka percaya
pada satu cara menyelesaikan permasalahan, yaitu
dengan kekerasan. Mereka umumnya rasialis, teroris,
penghasut, tukang “jagal orang”, dan penyiksa orang
yang tak berdosa. Nekrophilia merupakan perilaku
yang berbahaya. Nekrophilia memperlihatkan
perilaku destruktif dengan mengeksploitasi dan
merusak orang lain atau benda-benda serta alam
lingkungan (Budiraharjo.ed, 2001).
Sangat dapat dimaklumi jika anak selalu
menjadi korban kekerasan. Setidaknya ada dua faktor
penyebab. Pertama, anak mudah dirayu, sehingga
mudah diperdaya. Banyak anak-anak yang menjadi
korban kekerasan karena mudah terperdaya dengan
rayuan berupa pemberian makanan, uang ataupun
diajak jalan-jalan. Kedua, anak adalah pribadi yang
lemah sehingga selalu menjadi objek penderita tindak
kekerasan. Banyak kasus kekerasan yang dialami
anak disebabkan kelemahan ini, sehingga tidak
sedikit anak yang mengalami kekerasan berakhir
dengan tragis, kematian dan atau trauma akut.
Berdasarkan hasil monitor dan evaluasi
terhadap 1.026 responden anak di sembilan daerah
di Indonesia, KPAI juga menemukan bahwa 87,6%
anak pernah mengalami kekerasan di sekolah dalam
berbagai bentuk. Kekerasan yang paling banyak
dilakukan oleh teman sekelas (42%), guru (29,9%),
dan teman lain kelas (28%).
Hasil monitor dan evaluasi KPAI tersebut
sejalan dengan hasil studi pendahuluan yang
dilakukan Saripah (2006) terhadap 18 orang guru di
5 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat. Berdasarkan
hasil wawancara, sebanyak 13 orang guru (72,22%)
melihat adanya bullying di kelas dan sisanya
sebanyak 5 orang guru (27,78%) mengaku tidak
pernah melihat adanya bullying di kelas mereka.
Sementara itu, guru yang menganggap bullying
yang terjadi pada masa anak-anak sebagai hal yang
wajar dan yang menganggap sebagai hal yang harus
dihindari berjumlah sama yakni masing-masing 9
orang (50%).
Tindakan kekerasan yang menjurus pada
tindakan anarkis sekaligus kriminal khususnya pada
anak tentu membutuhkan penanganan dan solusi
yang tepat. Sebab bagi anak tindakan kekerasan
122
yang mereka alami mengakibatkan berbagai dampak
negatif (di luar dampak yang paling parah, yaitu
kematian). Dampak tersebut dapat berupa dampak
jangka pendek, yaitu dampak yang muncul seketika
itu juga ketika anak mengalami kekerasan. Seperti
munculnya rasa takut yang berlebihan, menarik
diri dari kehidupan sosial, bila kekerasan berupa
kekerasan emosional, maka akan muncul rasa
ketidaknyamanan (merasa tertekan batin), stres
bahkan frustrasi dan bila kekerasan berupa fisik,
maka anak akan merasa kesakitan. Dampak jangka
panjang yaitu kondisi yang muncul dalam jangka
waktu yang cukup lama setelah kejadian kekerasan
atau bahkan dapat melekat selama hidupnya.
Dampak jangka panjang ini dapat berupa: trauma
terhadap hal-hal yang dirasakan berhubungan
dengan kekerasan yang pernah dialaminya, perasaan
curiga yang berlebihan (paranoid) pada orang-orang
disekitarnya, antisosial, hilangnya kepercayaan diri,
stres berat sampai dengan depresi, dan kecacatan
fisik permanen, bila kekerasan dilakukan berlebihan
(Cavanagh & Levitov, 2002).
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk
mengatasi permasalahan yang berkembang di atas
adalah dengan menerapkan program konseling
kogntitif-perilaku dengan teknik latihan asertif. Latihan
asertif sangat penting pada kasus tindakan kekerasan.
Anak-anak yang mengalami tindakan kekerasan
umumnya tidak mampu untuk asertif sehingga sangat
wajar apabila mereka menjadi korban tindakan
kekerasan. Kasandra (2003) menandaskan bahwa
Konseling Kognitif-Perilaku dengan teknik Latihan
Asertif cukup dapat dihandalkan dalam mengatasi
permasalahan psikologi seseorang termasuk
didalamnya permasalahan traumatik korban tindakan
kekerasan. Manfaat program pelatihan asertif ini akan
membantu anak untuk lebih terampil dan tegas dalam
mengatasi bahaya tindakan kekerasan yang mungkin
akan menimpa mereka.
Konseling kognitif-perilaku didasarkan pada
konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif yang
sangat mempengaruhi emosi. Melalui konseling
kognitif-perilaku, mahasiswa terlibat aktivitas dan
berpartisipasi dalam latihan untuk diri mereka dengan
cara membuat keputusan, penguatan diri dan strategi
lain yang mengacu pada self-regulation (Matson &
Ollendick, 1988).
Teori kognitif-perilaku (Oemarjoedi, 2003)
pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia
terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Efektivitas Konseling Kognitif ...
(SKR), yang saling berkaitan dan membentuk
semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di
mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam
menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa
dan bertindak.
Tujuan konseling kognitif-perilaku (Oemarjoedi,
2003) yaitu mengajak individu untuk menentang
pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan
bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan
mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor
diharapkan mampu menolong siswa untuk mencari
keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri siswa
dan secara kuat mencoba menguranginya.
Dalam proses terapi, beberapa ahli konseling
kognitif perilaku berasumsi bahwa masa lalu tidak
perlu menjadi fokus penting dalam konseling.
Oleh sebab itu, konseling kognitif-perilaku dalam
pelaksanaannya lebih menekankan kepada masa
kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti
mengabaikan masa lalu. Konseling kognitif-perilaku
tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari
hidup siswa dan mencoba membuat siswa menerima
masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan
pada pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan
di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT lebih
banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk
dirubah dari status kognitif negatif menjadi status
kognitif positif (Oemarjoedi, 2003)
Metode perlakuan dalam konseling kognitifperilaku sering disebut dengan istilah teknik, prosedur,
dan strategi. Konseling kognitif-perilaku memiliki
banyak teknik yang diambil dari pendekatan perilaku
dan kognitif yang diterapkan secara kombinatif.
Menurut Laidlaw et al. (2003) beberapa teknik
konseling kognitif-perilaku adalah latihan asertif,
pemodelan, gladi perilaku, meditasi dan relaksasi,
latihan praktik, kontrak perilaku, desentisisasi
sistematik, pengelolaan diri, pemecahanan masalah,
penghentian pikiran, restrukturisasi kognitif, dan
pengelolaan stres.
Rose and LeCroy (2004) menjelaskan bahwa
strategi pokok intervensi perilaku kognitif adalah
assertion training, cognitive restructuring, modeling,
dan operant procedures. Selanjutnya, Mahoney
& Arnkoff (2003) membagi teknik kongseling
kognitif-perilaku ke dalam tiga kategori, yaitu: (a)
restrukturisasi kognitif, mencakup terapi emotifrasional, pengajaran diri, dan terapi kognitif; (b) terapi
keterampilan menangani situasi, meliputi pemodelan,
tertutup, latihan pengelolaan kecemasan, dan
suntikan stres; dan (c) terapi pemecahan masalah;
meliputi pemecahan masalah behavioral dan science
personal.
Matson & Ollendick (1988) prosedur CBT
yang umum digunakan adalah ‘coping skills
therapies, cognitive restructuring therapies, rational
emotive therapies, problem-solving therapies, selfinctructional training, dan self-control procedure’.
Semua prosedur ini memiliki perbedaan dalam tiga
hal yaitu; aspek pengalaman kognitif (misalnya
belief, expectations, coping self-statement, images,
problem-solving cognitions), muatan intervensi
(kognitif, afektif, perilaku, konsekuensi), dan strategi
intervensi.
Tindak kekerasan pada anak adalah perilaku
salah baik dari orang tua, pengasuh, ataupun
orang lain di sekitarnya dalam bentuk perlakuan
kekerasan terhadap fisik dan mental yang termasuk
di dalamnya adalah penganiayaan, penelantaran
dan eksploitasi, mengancam, serta hal buruk lainnya
yang berpengaruh terhadap fisik dan mental anak
(Tower, 2003).
Dalam konteks dunia pendidikan, khususnya
persekolahan, tindak kekerasan yang dilakukan oleh
teman sebaya dikenal dengan sebutan bullying. Istilah
bullying merujuk pada perilaku agresif yang dilakukan
berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa
yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa atau siswi
lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti
orang tersebut (Olweus, 2005; Coloroso, 2006).
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa perilaku bullying sebenarnya telah sangat
meluas di dunia pendidikan tanpa terlalu disadari
bentuk dan akibatnya. Telah sejak lama dunia
pendidikan mengenal istilah perpeloncoan, gencetgencetan, pemalakan, penindasan, intimidasi, dan
sebagainya. Persentase terbesar kejadian bullying
berada pada lingkungan sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama (Gunawan, 2006). Olweus
(2005) bahkan mengungkapkan: “Bullying behavior
is evident even in preschool and the problem peaks
in middle school.” Pernyataan ini didukung oleh fakta
bahwa akhir-akhir ini perilaku bullying telah menjadi
trend dan mulai ditiru oleh anak-anak yang lebih
muda, seperti SMP, SD, maupun TK.
Hasil studi Saripah (2006) terhadap 526 orang
siswa SD di 5 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat
menunjukkan bahwa bullying menjadi masalah
terbesar yang dihadapi siswa SD dalam bidang
sosial, yakni sebesar 42,59%. Sebanyak 224 orang
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
123
Efektivitas Konseling Kognitif ...
siswa mengaku sering diganggu, diejek, dimintai
uang dan dikucilkan oleh teman atau kakak kelasnya
di sekolah. Sementara itu, siswa yang membentuk
kelompok atau gang di sekolah mencapai 130 orang
atau 24,71%.
Tindak kekerasan pada anak dapat terjadi
dalam berbagai bentuk dan terentang dari yang
terlihat secara fisik hingga ke bentuk perlakuan yang
secara tidak disadari sebagai kekerasan. Secara
umum, tindak kekerasan dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yakni (a) kekerasan fisik, (b) verbal,
dan (c) emosional atau yang dikenal juga dengan
psychological maltreatment.
Pertama, tindak kekerasan fisik. Termasuk
jenis ini ialah mencubit, menjewer, menyentuh,
meraba-raba atau memegang (dengan maksud
pelecehan seksual), memukuli, mencekik, menyikut,
meninju, menendang, menggigit, mencakar,
serta meludahi anak yang ditindas, mendesak
hingga ke posisi yang menyakitkan, merusak serta
menghancurkan, atau merebut barang-barang milik
anak yang tertindas.
Kedua, tindak kekerasan verbal. Tindakan ini
berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam,
penghinaan (baik yang bersifat pribadi, kelompok
maupun rasial), pernyataan-pernyataan bernuansa
pelecehan seksual, teror, surat, e-mail atapun sms
yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak
benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip dan
lain-lain.
Ketiga, tindak kekerasan emosional
(pengabaian). Termasuk ke dalam tindakan ini adalah
mengasingkan atau menolak seorang teman atau
bahkan untuk merusak hubungan persahabatan.
Tindak kekerasan emosional merupakan pelemahan
harga diri si korban secara sistematis melalui
pengabaian, pengucilan, pengecualian atau
penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup sikapsikap yang tersembunyi seperti pandangan yang
agresif (melotot), lirikan mata, gerakan alis, anggukan
kepala ke atas, helaan nafas, bahu yang bergidik,
cibiran, tawa mengejek dan bahasa tubuh yang kasar.
Tindakan kekerasan yang menjurus pada
tindakan anarkis sekaligus kriminal khususnya pada
anak tentu membutuhkan penanganan dan solusi
yang tepat. Sebab bagi anak tindakan kekerasan
yang mereka alami mengakibatkan berbagai dampak
negatif (di luar dampak yang paling parah yaitu
kematian). Dampak tersebut dapat berupa dampak
jangka pendek, yaitu dampak yang muncul seketika
124
itu juga ketika anak mengalami kekerasan. Seperti
munculnya rasa takut yang berlebihan, menarik
diri dari kehidupan sosial, bila kekerasan berupa
kekerasan emosional, maka akan muncul rasa
ketidaknyamanan (merasa tertekan batin), stres
bahkan frustrasi dan bila kekerasan berupa fisik,
maka anak akan merasa kesakitan. Dampak jangka
panjang yaitu kondisi yang muncul dalam jangka
waktu yang cukup lama setelah kejadian kekerasan
atau bahkan dapat melekat selama hidupnya.
Dampak jangka panjang ini dapat berupa: trauma
terhadap hal-hal yang dirasakan berhubungan
dengan kekerasan yang pernah dialaminya, perasaan
curiga yang berlebihan (paranoid) pada orang-orang
di sekitarnya, antisosial, hilangnya kepercayaan diri,
stres berat sampai dengan depresi, dan kecacatan
fisik permanen, bila kekerasan dilakukan berlebihan
(Cavanagh & Levitov, 2002).
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk
mengatasi permasalahan yang berkembang di atas
adalah dengan menerapkan program konseling
kogntitif-perilaku dengan teknik latihan asertif.
Latihan asertif sangat penting pada kasus tindakan
kekerasan. Anak-anak yang mengalami tindakan
kekerasan umumnya tidak mampu untuk asertif
sehingga sangat wajar apabila mereka menjadi
korban tindakan kekerasan. Oemarjoedi (2003)
menandaskan bahwa Konseling Kognitif-Perilaku
dengan teknik Latihan Asertif cukup dapat diandalkan
dalam mengatasi permasalahan psikologi seseorang
termasuk didalamnya permasalahan traumatik
korban tindakan kekerasan. Manfaat program
pelatihan asertif ini akan membantu anak untuk lebih
terampil dan tegas dalam mengatasi bahaya tindakan
kekerasan yang mungkin akan menimpa mereka.
Teori kognitif-perilaku (Oemarjoedi, 2003)
pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia
terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon
(SKR), yang saling berkaitan dan membentuk
semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di
mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam
menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa
dan bertindak. Tujuan konseling kognitif-perilaku
(Oemarjoedi, 2003) adalah mengajak individu untuk
menentang pikiran dan emosi yang salah dengan
menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan
keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi.
Konselor diharapkan mampu menolong siswa untuk
mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri
siswa dan secara kuat mencoba menguranginya.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Efektivitas Konseling Kognitif ...
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan
metode kuasi eksperimen. Kelompok kontrol dan
eksperimen adalah anak-anak kelompok B pada
TK Al Muqoddasah Kabupaten Bandung. Pengujian
efektivitas konseling ini menggunakan Nonequivalent
Control Groups Design, di mana tidak melakukan
random dalam menentukan kelompok eksperimen
dan kontrol. Tabel 1 berikut adalah desain penelitian
uji keefektifan konseling kognitif-perilaku dengan
teknik latihan asertif untuk menangani tindakan
kekerasan pada kelompok eksperimen dan kontrol
(nonequivalent control groups design)
Tabel 1. Desain Penelitian
Kelompok
Pretest
Perlakuan
Eksperimen
O1
X
Kontrol
O2
Postest
O3
O4
Keterangan :
O1 : pretes kelas eksperimen
O2 : pretes kelas kontrol
O3 : postes kelas eksperimen
O4 : postes kelas kontrol
X : pembelajaran kontekstual
Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia
Taman Kanak-kanak pada kelompok B pada TK AlMuqoddasah I dan II Kab. Bandung Tahun Pelajaran
2015-2016 yang berjumlah 36 anak.
Sesuai dengan tahap penelitian sebagaimana
dikemukakan sebelumnya yang meliputi: (a) survei
lapangan terhadap kondisi awal gejala dan jenis
kekerasan yang cenderung dialami oleh anak
Taman Kanak-kanak. Pada kegiatan ini instrumen
yang digunakan adalah angket tentang area bentuk
kekerasan; (b) uji coba pengembangan konseling
kognitif-perilaku dengan teknik latihan asertif di
Taman Kanak-kanak. Pada sesi ini instrumen yang
digunakan adalah angket tentang rancangbangun
konseling kognitif perilaku dengan teknik latihan
asertid yang bersifat hipotetik yang mencakup (1)
rasional, (2) tujuan, (3) asumsi, (4) langkah-langkah
kegiatan, (5) kompetensi guru, dan (6) evaluasi; dan
(c) uji validasi program konseling kognitif perilaku
dengan teknik hasil pengembangan. Instrumen yang
digunakan pada tahap ini adalah angket tentang
kecerdasan jamak anak dengan menggunakan
metode eksperimen quasi saat menerapkan pre
dan post test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
a. Gambaran Umum
Berdasarkan hasil angket terbimbing yang
diberikan kepada anak usia Taman Kanak-kanak
pada kelompok B pada TK Al-Muqoddasah I dan II
Kab. Bandung Tahun Pelajaran 2015-2016 diperoleh
dambaran umum tindak kekerasan sebagaimana
digambarkan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Gambaran Umum Tindakan Kekerasan pada Anak di TK Al-Muqoddasah Kab. Bandung
NO
1
2
3
DIMENSI
Tindak Kekerasan Fisik
Tindak Kekerasan Verbal
Tindak Kekerasan Emosional
INDIKATOR
PERSENTASE (%)
Dicubit pada bagian anggota tubuh
12
Dipukul pada bagian anggota tubuh
31
Dicakar pada bagian muka
2
Ditendang pada bagian anggota tubuh
1
Diludahi dengan sengaja
0
Barang/mainan direbut
54
Dijuluki oleh anak lain
63
Dicela oleh anak lain
30
Dimarahi tanpa alasan yang jelas
5
Dituduh oleh anak lain
2
Dipelototi oleh anak lain
3
Diketawakan (diejek) oleh anak lain
78
Diabaikan saat berbicara
2
Diacuhkan saat bermain
13
Didorong oleh anak lain
4
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
125
Efektivitas Konseling Kognitif ...
b. Program Konseling Kogntif Perilaku dengan
Teknik Latihan Asertif untuk Mengatasi Tindakan
Kekerasan pada Anak di TK Al-Muqoddasah Kab.
Bandung
Berdasarkan hasil uji validasi kepada dua
orang pakar Bimbingan dan Konseling Anak, program
Konseling Kogntif Perilaku dengan teknik latihan
asertif untuk mengatasi tindakan kekerasan pada
anak di TK Al-Muqoddasah Kab. Bandung dipandang
layak untuk diujicobakan. Lebih lanjut, hasil uji
validitas program disajikan pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Hasil Uji Validasi Program
NO
ASPEK
KETERANGAN
1
Rasional
Memadai
2
Tujuan
Memadai
3
Asumsi
Memadai
4
Lamgkah-langkah
Memadai
5
Kompetensi Guru
Memadai
6
Evaluasi
Memadai
c. Efektivitas Program Konseling kogntif Perilaku
dengan Teknik Latihan Asertif untuk Mengatasi
Tindakan Kekerasan pada Anak di TK AlMuqoddasah Kab. Bandung
Hasil uji efektivitas Program Konseling kogntif
Perilaku dengan Teknik Latihan Asertif untuk
Mengatasi Tindakan Kekerasan pada Anak di TK
Al-Muqoddasah Kab. Bandung diperoleh dengan
membandingkan antara pretes dan postes, sebagai
berikut.
a. Pretest
Hasil U-Test untuk data pretest dapat dilihat
pada tabel 2 di bawah ini.
SPSS. 17.0 dengan tujuan untuk melihat ada tidaknya
perbedaan antara kelompok eksperimen dan kontrol
pada saat pretes. Seperti yang telah dipaparkan di
metode penelitian, bahwa teknik analisis data yang
digunakan adalah U-Test atau Mann Whitney Test.
Hipotesis Penelitian:
Ho: μ_1 ≤ μ_2, Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan tindak kekerasan anak antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol sebelum perlakuan.
Ha: μ_1 ≥ μ_2, Terdapat perbedaan yang signifikan
tindak kekerasan anak antara kelas eksperimen
dan kontrol sebelum perlakuan.
Pengujian signifikansi perbedaan yaitu
membandingkan antara sig. dengan (α = 0,05).
Kriteria pengujiannya adalah:
Terima Hipotesis nol jika sig. ≥ α (0.05)
Tolak Hipotesis nol jika sig. ≤ α (0.05)
Berdasarkan tabel 2 di atas, diketahui nilai
sig. 0,886 > α (0.05) maka Ho diterima, artinya tidak
terdapat perbedaan yang signifikan tindak kekerasan
anak antara kelompok eksperimen dan kontrol pada
saat pretest.
b. Postest
Setelah subjek diberikan perlakuan, maka
dilakukan pengamatan kembali untuk memperoleh
data hasil postest. Selanjutnya data hasil postest di
olah menggunakan U-Test. Adapun hasil pengujian
data postest dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Hasil Uji Beda Kelompok Eksperimen dan
Kontrol Pada Saat Postest
Test Statisticsb
POSTES
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Tabel 2. Hasil Uji Beda Kelompok Eksperimen dan
Kontrol Pada Saat Pretest
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Test Statistics
b
PRETEST
Mann-Whitney U
157.500
Wilcoxon W
328.500
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
-.143
.886
.888a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: TINDAK KEKERASAN
Data hasil pengamatan sebelum diberikan
perlakuan selanjutnya diolah dengan menggunakan
126
Z
67.000
238.000
-3.022
.003
.002a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: KEKERASAN ANAK
Hipotesis Penelitian:
Ho: μ_1 ≤ μ_2, Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan tindak kekerasan anak antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol setelah perlakuan.
Ha: μ_1 ≥ μ_2, Terdapat perbedaan yang signifikan
tindak kekerasan anak antara kelas eksperimen
dan kontrol setelah perlakuan.
Pengujian signifikansi perbedaan yaitu
membandingkan antara sig. dengan (α = 0,05).
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Efektivitas Konseling Kognitif ...
Kriteria pengujiannya adalah:
Terima Hipotesis nol jika sig. ≥ α (0.05)
Tolak Hipotesis nol jika sig. ≤ α (0.05)
Berdasarkan tabel 3 di atas, diketahui nilai sig.
0,003 < α (0.05) maka Ho ditolak, artinya terdapat
perbedaan yang signifikan tindak kekerasan anak
antara kelompok eksperimen dan kontrol pada
saat postes atau setelah diberikan perlakuan.
Selanjutnya untuk menentukan kelompok mana
yang lebih efektif menerima perlakuan dalam
mengeliminir tindak kekerasan yang dialami anak
yakni dengan membandingkan nilai mean rank
kelompok eksperimen dan kontrol. Perlakuan
dikatakan lebih efektif apabila nilai mean rank-nya
lebih besar. Adapun nilai mean rank hasil uji beda
postes pada tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Nilai Mean Rank Kelompok Eksperimen
dan Kontrol Pada Saat Postest
POSTEST
Kekerasan Anak
N
Mean
Rank
Sum of Ranks
Kel Eksperimen
18
23.78
428.00
Kel Kontrol
18
13.22
238.00
Total
36
Berdasarkan tabel 4 di atas, diketahui nilai
mean rank kelompok eksperimen (23,78) > kontrol
(13,22) artinya perlakuan yang diterima kelompok
eksperimen lebih efektif dalam hal ini konseling
kognitif-perilaku. Adapun gain tindak kekerasan anak
antara kelompok eksperimen dan kontrol dapat dilihat
pada gambar 1.
Gambar 1. Gain tindak kekerasan anak antara
kelompok eksperimen dan kontrol
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan, tindakan
kekerasan dalam berbagai bentuk telah terjadi di
tingkat Taman Kanak-kanak. Fakta ini semakin
mendukung pernyataan bahwa akhir-akhir ini perilaku
bullying telah menjadi trend dan mulai ditiru oleh anakanak yang lebih muda, seperti SMP, SD, maupun TK.
Olweus (2005) bahkan mengungkapkan: “Bullying
behavior is evident even in preschool and the problem
peaks in middle school.”
Pada dimensi fisik, tampak bahwa tindakan
kekerasan yang paling sering dialami oleh anak TK
yaitu berupa barang/mainan direbut (54%) yang diikuti
dengan dipukul pada bagian anggota tubuh (31%).
Berebut barang/mainan seringkali dianggap
sebagai kejadian yang biasa terjadi dan dilakukan
oleh anak-anak dalam situasi yang normal. Peristiwa
tersebut akan berubah menjadi tindakan kekerasan
ketika salah seorang anak merasa menjadi tidak
berdaya, lemah, teraniaya dan pada gilirannya dia
akan menjadi korban. Coloroso (2006) menyatakan
bahwa bullying merupakan perspektif korban yang
melibatkan tindakan yang disengaja, berulang-ulang,
serta ada ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku
dengan korban.
Memukul merupakan bentuk agresif lain yang
juga paling sering dilakukan oleh anak-anak terutama
yang berusia dini. Dari sisi fisik, tindakan memukul
ini paling mudah terlihat bentuk dan dampaknya.
Selain berhubungan dengan ego, alasan anak untuk
cenderung memukul temannya bisa disebabkan
tidak adanya pilihan aktivitas lain yang terarah. Hal
ini sejalan dengan ungkapan Evans (1989, dalam
Tattum, 1997) sebagai berikut: “Children with little
to do during their playtime may resort to seeking
adventure through various forms of illicit play – for
example, fighting, teasing, and annoying other
children.”
Selanjutnya, pada dimensi tindak kekerasan
verbal, anak TK paling sering dijuluki oleh anak
lain (63%) dan dicela oleh anak lain (30%). Kedua
bentuk perilaku ini merupakan bentuk penindasan
yang paling umum digunakan baik oleh anak
perempuan maupun anak laki-laki. Coloroso (2006)
bahkan melaporkan bahwa kekerasan verbal ini
persentasenya mencapai 70% dari seluruh kasus
penindasan. Dari ketiga bentuk tindak kekerasan,
kekerasan verbal merupakan salah satu jenis
penindasan yang paling mudah dilakukan dan kerap
merupakan pintu masuk menuju ke kedua bentuk
penindasan lainnya.
Terakhir, pada dimensi tindak kekerasan
relasional, anak TK melaporkan sering diketawakan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
127
Efektivitas Konseling Kognitif ...
(diejek) oleh anak lain (78%) serta diacuhkan
saat bermain (13%). Tindak kekerasan relasional
merupakan jenis yang paling sulit dideteksi dari luar.
Penindasan relasional adalah pelemahan harga
diri korban secara sistematis melalui pengabaian,
pengecualian, pengucilan, atau penghindaran
(Coloroso, 2006).
Ketiga dimensi tindak kekerasan tersebut pada
umumnya terjadi di tempat bermain dan cenderung
tanpa pengawasan guru. Berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa tempat bermain dan lapangan
sekolah merupakan tempat yang paling banyak
menjadi lokasi terjadinya tindak kekerasan di sekolah
(Coloroso, 2006; Tattum, 1997).
Perilaku di taman bermain sendiri dapat
ditinjau dari dua sudut pandang. Blatchford, 1993;
Opies, 1969; Sluckin, 1981 (dalam Tattum, 1997)
menyatakan dua sudut pandang tersebut sebagai
perilaku “romantis” dan “bermasalah”. Perilaku
romantis terjadi ketika anak-anak belajar sesuatu
yang positif dan menikmati bermain di tempat
bermain. Adapun perilaku bermasalah muncul
ketika anak memperoleh hal yang menyakitkan dan
memerlukan penanganan guru untuk mengatasinya.
Tindak kekerasan termasuk ke dalam bentuk
perilaku bermasalah yang muncul pada saat anak
sedang bermain sehingga memerlukan penanganan
yang salah satunya berupa latihan asertif. Hal ini
sejalan dengan haasil penelitian Saripah (2010)
yang menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban
bullying (tindak kekerasan) perlu mendapatkan
bantuan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan
kemampuan asertif.
Perilaku asertif sendiri, kendatipun merupakan
sesuatu yang alamiah namun perlu diajarkan dan
dikembangkan terlebih pada anak usia dini (Farida,
2003). Perilaku asertif menurut Stefan (2006)
merupakan ketegasan dan keberanian menyampaikan
pendapat yang meliputi tiga komponen dasar,
yaitu: (1) kemampuan mengungkapkan perasaan,
misalnya: untuk menerima dan mengungkapkan
perasaan marah, hangat, seksual; (2) kemampuan
mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara
terbuka, misalnya: mampu menyuarakan pendapat,
menyatakan ketidaksetujuan dan bersikap teags,
meskipun secara emosional sulit melakukan ini
bahkan sekalipun kita harus mengorbankan sesuatu;
(3) kemampuan untuk mempertahankan hak-hak
pribadi, tidak membiarkan orang lain mengganggu
dan memanfaatkan kita. Orang yang asertif bukan
orang yang suka terlalu menahan diri dan juga bukan
pemalu, mereka bisa mengungkapkan perasaannya
secara langsung tanpa bertindak agresif atau
melecehkan.
Dalam penelitian ini, perilaku asertif pada anak
usia dini dilatihkan melalui model konseling kognitif
perilaku dengan teknik latihan asertif untuk mengatasi
tindakan kekerasan pada anak di TK Al-Muqoddasah
Kab. Bandung.
Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui
bahwa model konseling kognitif-perilaku dengan teknik
latihan asertif dapat mengurangi atau mengeliminasi
tindak kekerasan pada anak. Hal ini terjadi karena
anak yang biasa mengalami tindak kekerasan,
setelah diberikan konseling kognitif-perilaku dengan
teknik latihan asertif, berani mengutarakan kejadian
yang diterimanya dan menanyakan alasan perbuatan
tersebut kepada pelaku. Dengan demikian, dalam
hal ini korban mencoba mengubah atau modifikasi
fungsi berfikir, merasa, dan bertindak dengan
menekankan peran otak dalam menganalisis,
memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan
kembali. Dengan mengubah status pikiran dan
perasaannya, pelaku diharapkan dapat mengubah
tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Proses
tersebut sejalan dengan tujuan konseling kognitifperilaku (Oemarjoedi, 2003) adalah mengajak individu
untuk menentang pikiran dan emosi yang salah
dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan
dengan keyakinan mereka tentang masalah yang
dihadapi.
Pada anak usia TK, proses perubahan pola pikir
sangat perlu difasilitasi oleh guru. Dengan demikian,
guru dituntut untuk menciptakan peluang yang
memungkinkan siswa dapat terbuka menyampaikan
segala perasaannya tanpa merasa takut ataupun
malu. Guru diharapkan mampu menolong siswa untuk
mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri
siswa dan secara kuat mencoba menguranginya.
Melalui fasilitasi dari guru maka anak akan dapat
berkembang menjadi anak yang memiliki kemampuan
asertif dan bukan pasif ataupun agresif.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
128
kesimpulan sebagai berikut. Pertama, tindak
kekerasan pada anak TK terjadi dalam berbagai
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Efektivitas Konseling Kognitif ...
bentuk, baik berupa fisik, verbail, maupun relasional.
Pada dimensi fisik, anak TK mengalami barang/
mainannya direbut oleh teman dan dipukul pada
bagian anggota tubuh. Pada dimensi verbal, tindak
kekerasan yang sering terjadi adalah dijuluki
dan dicela oleh anak lain. Adapun pada dimensi
relasional, anak TK sering diketawakan (diejek) oleh
anak lain dan diacuhkan saat bermain.
Kedua, berdasarkan hasil uji validasi, program
konseling kognitif perilaku dengan teknik latihan
asertif untuk mengatasi tindak kekerasan pada
anak TK dipandang memadai dan layak untuk
diujicobakan. Komponen program terdiri dari
rasional, tujuan, asumsi, langkah-langkah kegiatan,
kompetensi guru, dan evaluasi.
Ketiga, program konseling kognitif perilaku
dengan teknik latihan asertif untuk mengatasi tindak
kekerasan pada anak TK terbukti efektif. Secara
kuantitatif, hal tersebut tampak dari hasil pretes dan
postes yang menunjukkan perubahan signifikan.
Adapun secara kualitatif tampak dari kemampuan
anak untuk berani menyatakan keinginannya,
menolak teman dengan cara-cara yang tepat serta
mengekspresikan perasaan secara positif.
Saran
Rekomendasi penelitian ditujukan kepada
pihak-pihak sebagai berikut. Pertama, bagi praktisi
PAUD, yaitu berdasarkan hasil penelitian, diharapkan
dapat dirumuskan model pembelajaran ataupun
pedoman pembelajaran yang dapat mereduksi
tindakan kekerasan pada anak. Kedua, bagi
universitas diharapkan dapat mengembangkan
berbagai pelatihan ataupun workshop dalam
membantu lembaga persekolahan ataupun
pemerintahan untuk mencegah dan mengatasi
permasalahan tindakan kekerasan pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo, P (ed). (1996). Mengenal teori kepribadian
mutakhir. Kanisius. Yogyakarta.
Cavanagh & Levitov. (2002). The counseling
experience, a theoretical and practical
approach. Waveland. Long Grove. Illinois.
Coloroso, B. (2006). Penindas, tertindas, dan
penonton: Resep memutus rantai kekerasan
anak dari prasekolah hingga SMU. Jakarta:
Serambi Ilmu Pustaka.
Farida. (2006). Efektivitas pelatihan asertivitas
untuk peningkatan kemampuan pemecahan
masalah pada siswa. Yogyakarta: Psikologi
UGM.
Komite Perlindungan Anak Indonesia. (2015).
Pelaku kekerasan anak tiap tahun meningkat.
(Online). Tersedia: http://www.kpai.go.id. (3
Maret 2016).
Oemarjoedi, K.A. (2003). Pendekatan cognitive
behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Penerbit
Creative Media.
Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know
and what we can do. Malde, MA: Blackwell
Punlishers.
Saripah, I. (2010). Model konseling kognitif perilaku
untuk memanggulangi bullying siswa.
Disertasi. Bandung: Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia. (tidak
diterbitkan).
Stefan, S. (2006). Menanamkan sikap asertif di
sekolah (Online). http://www.indomedia.com/
poskup/2006/10/14/edisi14/opini.htm http://
groups.yahoo.com/group/pakguruonline/
message/2400.
Tattum, D., et. al. (1997). Understanding and
managing bullying. Oxford: Heinemann
Educational Books.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
129
Efektivitas Konseling Kognitif ...
130
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
PEMEROLEHAN BAHASA ANAK:
KAJIAN ASPEK FONOLOGI PADA ANAK USIA 2 - 2,5 TAHUN
Prima Gusti Yanti
[email protected]
FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta
Jl. Tanah Merdeka, Kp. Rambutan, Ciracas, Jakarta Timur
Abstrak: Penelitian ini bertujuan memaparkan pemerolehan bahasa anak usia 2--2.5 tahun dari aspek
fonologi yang meliputi pemerolehan vokal, pemerolehan konsonan, dan faktor yang mempengaruhi
pemerolehan fonologi tersebut. Penelitian dilakukan di Jakarta pada bulan Agustus-Februari 2012. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sumber data
diperoleh dari seorang anak yang bernama TPM. Data artikel ini dikumpulkan melalui observasi, catatan
harian, dan wawancara. Temuan dalam artikel ini memperlihatkan bahwa TPM telah menguasai fonem [a],
[i], [u], [e], [o], [∂], [є], dan [Ο]. Fonem vokal itu dikuasainya pada usia 2 tahun 1 bulan. Vokal pertama yang
dikuasainya adalah vokal [a], [i], dan [u], kemudian vokal depan [i], [e], [ε], lalu vokal belakang [u], [o], [‫]כ‬,
dan vokal tengah [∂],[a]. Bunyi vokal rangkap yang tidak bersifat diftong juga telah dikuasai pada usia 2
tahun 3 bulan, misalnya [au], [ai] dan [ue]. Akan tetapi, diftong asli [au] dan [ai] baru dikuasainya pada usia 2
tahun 6 bulan. Sementara itu, konsonan [p], [b], [t], [d], [s], [h], [c], [j], [m], [n], [ŋ], [l], [w], dan [y] dikuasainya
dengan baik. Konsonan [t], [s], [c], [j], dan [ŋ] sudah muncul, tetapi masih berfluktuasi dengan bunyi lain.
Bunyi hambat velar [g], [k] belum diucapkan secara tepat. Bunyi [k] baru dikuasai jika terletak pada tengah
dan akhir kata. Bunyi frikatif [f] dan [v] dan bunyi getar [r] belum muncul dan dikuasainya. TPM melakukan
pola substitusi untuk mengucapkan fonem-fonem yang belum dikuasainya, seperti fonem [f], [v], [z], dan
[x]. Munculnya berbagai variasi dalam pemerolehan fonologi TPM sebagian besar disebabkan oleh belum
sempurnanya alat ucap TPM. Penelitian masih terbuka untuk penelitian pemerolehan fonologi lebih lanjut
karena pemerolehan bahasa TPM belum mencapai puncak. Namun dapat juga meneliti pemerolehan
bahasa pada aspek bahasa lainnya.
Kata-kata Kunci: pemerolehan bahasa, aspek fonologi, vocal, konsonan
CHILD LANGUAGE ACQUISITION : THE PHONOLOGICAL STUDY OF
2-2.5 YEARS OLD CHILDREN
Abstrak: This article aims to explain child language acquisition 2--2.5 years of age phonological aspects
which include the acquisition of vowels, consonants, and factors affecting the phonological acquisition.
The research was conducted in Jakarta from August 2011 through February 2012 .The method used in
this research was qualitative method with case study approach. Sources of data were obtained from TPM
and these data were collected during six months of observation, diaries, and interviews. The findings in this
article shows that TPM has mastered the phoneme [a], [i], [u], [e], [o], [∂], [є], and [Ο]. Vowel phonemes
was mastered at the age of 2 years and 1 month. The first vowel that it controls is a vowel [a], [i] and [u],
then the front vowel [i], [e], [ε], and then back vowel [u], [o], [‫]כ‬, and vowel [∂], [a]. Double vowel sound that
is not a diphthong also been mastered by the age of 2 years and 3 months, for example, [au], [ai] and [ue].
However, the original diphthong [au] and [ai] recently mastered at age 2 years and 6 months. Meanwhile,
the consonant [p], [b], [t], [d], [s], [h], [c], [j], [m], [n], [ŋ], [l ], [w] and [y] mastered well. Consonant [t], [s], [c],
[j] and [ŋ] has appeared, but still fluctuates with another sound. The sound resistor velar [g] and [k] are not
pronounced properly. The sound [k] is mastered if located in the middle and end of words. Sound fricative
[f] and [v] and trill [r] has not yet emerged and mastered. TPM perform substitution pattern to pronounce
phonemes had not conquered, such as phonemes [f], [v], [z], and [x]. The appearance of a wide range of
variation in her phonological acquisition largely is caused by the incomplete of her speech organ. Research
is still open for further research the acquisition of phonology because language acquisition TPM has yet to
reach the Summit. But it can also examine language acquisition on aspects of other languages
Keywords: language acquisition, phonological aspects, vocal, consonants
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
131
Pemerolehan Bahasa Anak ...
PENDAHULUAN
Pemerolehan bahasa (language acquisition)
termasuk ke dalam ranah (domain) psikolinguistik,
yaitu ilmu bahasa yang objeknya adalah pengetahuan
bahasa, pemakaian bahasa, perubahan bahasa,
dan hal lain yang ada hubungannnya dengan aspekaspek tersebut. Pengetahuan bahasa bersangkut
paut dengan masalah kognitif karena unsur bahasa
yang diketahui dan dipahami sebenarnya berproses
dalam otak. Pemakaian bahasa berkaitan dengan
praktik pengetahuan bahasa, yaitu apa yang kita
ketahui kita kemukakan dalam bentuk pemakaian
bahasa.
Sebagai bidang yang termasuk ke dalam ranah
psikolinguistik, pemerolehan bahasa akhir-akhir ini
berkembang secara cepat. Hal ini disebabkan oleh
adanya perubahan pendangan tentang pengajaran
dan pembelajaran bahasa, serta makin gencarnya
konsep universal dalam pemerolehan bahasa.
Pengajaran dan pembelajaran bahasa tidak hanya
bertumpu pada pandangan bahwa bahasa itu adalah
seperangkat kebiasaan sehingga penguasaannya
harus melalui pembentukan kebiasaan tersebut,
tetapi juga pada pandangan yang mengatakan
bahwa bahasa itu diperoleh melalui pembentukan
hipotesis berdasarkan masukan yang diterima
pembelajar.
Pemerolehan bahasa dapat berupa
pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan
bahasa kedua atau ketiga. Pemerolehan bahasa
pertama terjadi apabila kanak-kanak yang sejak
semula tanpa bahasa kemudian memperoleh
bahasa. Pemerolehan bahasa kedua terjadi
apabila kanak-kanak atau orang dewasa yang
telah menguasai bahasa pertama (bahasa ibunya),
kemudian belajar bahasa kedua secara formal dan
terencana. Pemerolehan bahasa pertama memiliki
ciri kesinambungan dalam wujud suatu rangkaian
kesatuan yang bergerak dari ucapan satu kata
sederhana menuju gabungan kata yang rumit.
Kemampuan kanak-kanak untuk menerima bahasa
sejalan dengan perkembangan biologis tubuhnya,
khususnya yang berkaitan dengan bagian-bagian
pengucapan. Itulah sebabnya perkembangan
bahasa kanak-kanak yang satu dengan yang
lainnya juga berbeda walaupun usianya sama. Hal
yang manarik dalam perkembangan pemerolehan
bahasa pada kanak-kanak adalah kecepatan
pemerolehannya tidak sama, tetapi tahap-
132
tahapannya berlaku secara umum.
Kajian tentang pemerolehan bahasa
mencakupi antara lain pemerolehan fonologi,
morfologi, sistaksis, dan semantik. Sebagai salah
satu kajian pemerolehan bahasa, pemerolehan
fonologi merupakan ranah penelitian yang penting
karena dapat menentukan atau mempengaruhi
teori-teoiri linguistik. Kajian-kajian fonologi yang
membahas kerumitan, keteraturan, dan keterbatasan
sistem bunyi umumnya dapat menjadi penyokong
dan penentu teori-teori linguistik yang dihasilkan oleh
pakarnya. Hal lain yang menjadikan ranah fonologi
ini menarik untuk dikaji dalam pemerolehan bahasa
kanak-kanak adalah karena pemunculan bunyi ini
bersifat genetik. Dengan kata lain, munculnya suatu
bunyi tidak dapat diukur dengan tahun atau bulan
kalender karena perkembangan biologi manusia
tidak sama. Dengan demikian pemerolehan bahasa
setiap anak pasti memiliki variasi. Berdasarkan
uraian di atas tampaknya penelitian tentang
pemerolehan bahasa perlu dilakukan lebih banyak
dan lebih mendalam.
Penelitian bahasa anak cukup banyak
dilakukan peneliti lainnya, seperti penelitian
pemerolehan bahasa anak yang dilakukan oleh
Arfian Hikkmat Ramdan dari Pascasarjana Linguistik
Universitas Pendidikan Indonesia. Penelitiannya
terkait dengan pemerolehan aspek fonologis anak
umur 3 tahun yang berinisial RA.Hasilnya bunyi
frikatif [s] dan bunyi afrikat [c], bunyi afrikat berat
[j], bunyi nasal alveopalatal [n], dan bunyi getar [r]
belum dapat diucapkan sempurna. Bunyi diftong
[a-u] dan [a-i] belum munculnya (https://www.
academia.edu/8894228/).
Selain itu, penelitian Kurniawan dari
Universitas Mataram terhadap seorang anak
berumur 2 tahun yang berinisial M diakses dari
http://jlt-polinema.org/?p=843. Hasil penelitiannya
menyatakan banyak bunyi bahasa M yang dilesapkan
dan diubah. Selanjutnya penelitian Hakim Usman
yang meneliti putrinya berinisial ZR berumur 4
tahun, tetapi yang dikaji adalah aspek sintaksis
anak. Hasilnya bahwa dalam bertutur ZR sudah
mengenal dialog, perkembangan fonologinya sudah
berakhir, dan kalimat yang diujarkan ZR banyak
berbentuk deklaratif (http://jlt-polinema.org/?p=848).
Artikel ini membahas khususnya aspek
fonologi TPM, anak penulis sendiri, pada usia
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pemerolehan Bahasa Anak ...
2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan yang
mencakupi pemerolehan vokal dan konsonan. Usia
tersebut berada pada masa periode kritis (critical
period) yang sangat penting dalam pemerolehan
bahasa, juga karena pada usia tersebut TPM sangat
aktif berbicara dan selalu ingin tahu tentang sesuatu
hal.
Berdasarkan uraian di atas, artikel ini
mendeskripsikan pemerolehan bahasa anak dilihat
dari aspek fonologi atau sistem bunyi bahasa
Indonesia. Masalah tersebut dibatasi pada hal-hal
berikut: (a) bagaimana pemerolehan vokal pada
anak usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan?
(2) bagaimana pemerolehan konsonan pada anak
usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6 bulan?
(3) faktor apa yang mempengaruhi pemerolehan
fonologi anak pada usia tersebut?
Istilah pemerolehan (acquisition) berbeda
dengan pembelajaran (learning). Krashen (1983:
1-2) mengatakan bahwa pemerolehan adalah
proses ambang sadar yang identik dengan proses
yang dilalui anak dalam memperoleh bahasa ibunya,
pemeroleh bahasa biasanya tidak sadar bahwa ia
tengah memperoleh bahasa, tetapi ia hanya sadar
bahwa ia tengah menggunakan bahasa untuk
komunikasi; sedangkan pembelajaran adalah
proses sadar yang menghasilkan pengetahuan
tentang bahasa. Pendapat yang hampir sama
disampaikan Dardjowidjojo (2012: 225) yang
mengatakan bahwa pemerolehan adalah proses
penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak
secara natural pada waktu dia belajar bahasa
ibunya (native language), sedangkan pembelajaran
merupakan proses dari orang yang belajar di dalam
kelas dan diajar oleh seorang guru.
S e m e n t a r a i t u , G a l i n k o ff ( 1 9 8 3 : 2 2 )
mengatakan bahwa ada dua pengertian yang perlu
dipahami tentang pemerolehan bahasa. Pengertian
pertama mengatakan bahwa pemerolehan bahasa
mempunyai suatu permulaan yang tiba-tiba
dan mendadak, sedangkan pengertian kedua
mengatakan bahwa pemerolehan bahasa memiliki
suatu permulaan yang gradual yang muncul dari
prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif
pralinguistik. Pandangan yang tidak jauh berbeda
juga disampaikan Ellis (1985) yang mengatakan
bahwa pemerolehan bahasa itu dilandasi oleh
asumsi mengenai penguasaan bahasa yang bersifat
bertahap (gradable) dan terkait unsur mengetahui
(knowing).
Pandangan pakar di atas memperlihatkan
bahwa pemerolehan bahasa merupakan proses
yang berlangsung di dalam otak seseorang,
terutama kanak-kanak, ketika dia memperolah
bahasa pertamanya atau bahasa ibunya; sedangkan
pembelajaran bahasa berkaitan dengan prosesproses yang terjadi pada waktu seseorang
mempelajari bahasa kedua di lingkungan formal
yang telah terencana.
Pemerolehan bahasa pertama merupakan
pemerolehan bahasa yang terjadi apabila anak yang
belum pernah belajar bahasa apapun sekarang
baru mulai belajar bahasa untuk pertama kali
(Klein, 1984: 6). Ada dua proses yang terjadi ketika
seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa
pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses
performasi. Proses kompetensi merupakan proses
penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara
alamiah atau tanpa disadari. Proses kompetensi
ini menjadi syarat terjadinya proses performansi
yang terdiri atas proses pemahaman dan proses
penghasilan. Proses pemahaman melibatkan
kemampuan mengamati atau mempersepsi katakata atau kalimat yang didengar, sedangkan proses
penghasilan melibatkan kemampuan mengeluarkan
atau mengahasilkan kata-kata atau kalimat.
Sementara itu, Mukalel ( 2003) menyebutkan
bahwa pemerolehan bahasa pertama adalah
sekumpulan bahasa yang diperoleh anak sebelum
usia sekolah. Pemerolehan bahasa pertama bersifat
spontan, jarang dirancang dan direncanakan
(Brown, 2007). Pemerolehan bahasa pertama terjadi
secara alamiah. Ia menganggap bahwa biasanya
pemerolehan bahasa pertama dikondisikan dengan
memperkokoh hal yang bersifat primer seperti
kebutuhan untuk mengkomunikasikan keinginan
dan untuk membina hubungan afektif dengan orang
tua. Jika dikaitkan dengan urutan pemerolehan,
pengenalan anak dengan bahasa dapat terjadi
melalui interaksi dengan orang tua, anggota
keluarga lainnya, teman-teman sebaya di rumah
atau di sekolah. Ketiga interaksi yang terjadi di
dalam pemerolehan bahasa pertama itu kebanyakan
terjadi secara alamiah
Dalam proses pemerolehan dan pembelajaran
bahasa pertama pada anak, Hamied (1989: 24-30),
diilhami oleh Ellis, mengatakan bahwa usia, seks,
kelas sosial, dan identitas etnis merupakan faktor
sosial yang sangat berpengaruh. Lebih jauh ia
menganggap bahwa faktor yang berpengaruh dalam
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
133
Pemerolehan Bahasa Anak ...
proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa
pertama selain faktor eksternal juga faktor internal.
Faktor eksternal meliputi faktor sosial dan faktor
masukan atau interaksi; sedangkan faktor internal
mancakupi faktor transfer, unsur kognitif, dan faktor
semesta.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
pemerolehan bahasa pertama adalah suatu
proses bagaimana anak memperoleh kemampuan
bahasa ibunya secara alamiah sesuai dengan
perkembangan kognitif, interaksi sosial, dan
perkembangan linguistik anak itu sendiri.
Pemerolehan fonologi merupakan salah satu
bagian dari pemerolehan bahasa. Oleh karena itu,
penelitian tentang pemerolehan fonologi tidak dapat
dipisahkan dari kajian-kajian tentang pemerolehan
bahasa yang lain (pemerolehan morfologi, sistaksis,
dan semantik). Dale (1976:7) mengatakan bahwa
ada dua faktor yang dapat diikuti jika kita ingin
memahami perkembangan fonologi kanak-kanak.
Pertama, kita dapat memusatkan perhatian pada
sekumpulan bunyi-bunyi yang dipakai dan pada
perkembangan perlahan-lahan dari kumpulan bunyibunyi. Kedua, kita dapat meneliti hubungan antara
produksi ucapan si anak (representasi fonetiknya)
dengan kata yang coba diucapkan si anak. Untuk
kepentingan itulah, kita dapat merekam apa yang
diucapkan si anak. Data yang diperoleh dari hasil
rekaman ditranskripsikan, kemudian diamati dan
dianalisis secara empiris. Lebih jauh Dale (1976:9)
mengatakan bahwa jika seorang anak telah
mengucapkan suatu kata dalam situasi komunikasi
tertentu dan dapat dipahami oleh lingkungannya,
maka disimpulkan bahwa anak tersebut telah
menguasai bunyi bahasa tersebut.
Sementara itu, Jakobson (1971: 8-20,
dan dalam Dardjowidjojo, 2012) mengatakan
bahwa pemerolehan bahasa pada anak sejalan
dengan konsep universal pemerolehan fonologi.
Pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat
bunyi itu sendiri dan diperoleh anak melalui suatu
cara yang konsisten. Bunyi pertama yang dikuasai
anak adalah kontras bunyi vokal dan konsonan.
Dalam hal bunyi vokal terdapat tiga vokal utama
yang muncul terlebih dahulu, yaitu [i], [u], dan [a].
Sistem kontras seperti itu disebut sistem vokal
minimal (minimal vokalic system) dan terdapat
dalam semua bahasa. Artinya, dalam bahasa mana
pun ketiga bunyi vokal tersebut pasti ada. Dalam
hal bunyi konsonan kontras pertama yang muncul
134
adalah antara bunyi oral dengan bunyi nasal ([p-b],
[m-n]) dan kemudian disusul oleh kontras antara
bunyi bilabial dengan bunyi dental ([p], [t]). Sistem
kontras seperti ini dinamakan sistem konsonantal
minimal (minimal consonantal system). Lebih jauh
Jacobson mengatakan bahwa hubungan antara
bunyi yang satu dengan bunyi yang lain bersifat
universal.
Dengan demikian tampak bahwa pemerolehan
bunyi-bunyi bahasa itu berlangsung secara
berurutan. Vokal minimal akan diperoleh lebih
awal daripada vokal-vokal lainnya; sedangkan
konsonan hambat akan diperoleh lebih awal
daripada konsonan frikatif, dan konsonan frikatif
akan diperoleh lebih awal daripada afrikatif. Anak
tidak mungkin dapat menguasai frikatif atau afrikat
sebelum mereka menguasai konsonan hambat.
Kontras antara bilabial [b] dengan dental [d] dikuasai
lebih dahulu daripada antara bilabial [b] dengan
velar [g] atau dental [d] dengan velar [g]. Kontras
antara bilabial-dental [b-d] dikuasai sebelum frikatif
[v-s]; bunyi hambat dan frikatif [b-d-v-s] dikuasai
sebelum alveo-falatal [ts-dэ]. Hal itu sejalan
dengan apa yang disampaikan Ingram (1999)
yang menyatakan bahwa konsonan pertama yang
dikuasai anak adalah [p], [t], [m], [n].
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa pemerolehan bunyi bahasa pada kanakkanak berlangsung secara berurutan, yakni dari
bunyi yang mudah ke bunyi yang sukar. Dalam
pemerolehan fonologi, khususnya pemerolehan
bunyi-bunyi, kanak-kanak mengikuti Kaidah
Usaha Minimal (the Law of Least Efforts). Untuk
mengetahui mudah atau sukarnya suatu bunyi,
dasar yang digunakan adalah cara artikulasinya
dan jumlah fitur distingtif yang ada pada masingmasing bunyi. Jika makin sukar artikulasi dan makin
banyak fitur distingtifnya, makin belakangan bunyi
itu dikuasai.
Kent dan Miolo (dalam Dardjowidjono,
2012:268) mengatakan bahwa melalui saluran
intrauterine anak telah terekspos pada bahasa ketika
dia masih janin. Kata-kata ibunya yang dia dengar
masuk ke janin secara biologis. Kata-kata tersebut
mulai tertanam dan melekat pada anak sebelum
dia dilahirkan. Itulah sebabnya ada anggapan
bahwa anak lebih dekat kepada ibunya darapada
kepada ayahnya. Perkembangan bahasa anak yang
dimulai sebelum dia dilahirkan itu sejalan dengan
perkembangan pikiran, perasaan, sosial, dan lain-
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pemerolehan Bahasa Anak ...
lain. Oleh karena itu, bahasa anak pun telah memiliki
fungsi komunikasi sebagaimana bahasa orang
dewasa. Meskipun demikian, fungsi-sungsi bahasa
itu masih sangat terbatas karena perkembangannya
sangat bergantung pada kemampuan kognitif, usia,
dan lingkungan.
Bahasa anak memiliki beberapa tahapan.
Bahasa anak pada tahap maraban pertama
(pralinguistik I) ditandai dengan mendekur, menangis,
atau menjerit. Tahap maraban kedua ditandai
dengan letupan pola suku kata; tahap holofrastik
(linguistik I) ditandai dengan ucapan-ucapan yang
merupakan frasa atau kata-kata tertentu (biasanya
pada anak usia 2 tahun). Tahap linguistik II ditandai
dengan ucapan-ucapan dua kata. Tahapan linguistik
III ditandai dengan perkembangan tata bahasa.
Tahap liguistik IV ditandai dengan tata bahasa yang
lebih rumit (menjelang dewasa). Sedangkan tahap
kompetensi lengkap yang merupakan tahap akhir
masa-masa kanak-kanak ditandai dengan struktur
sintaksis yang mendekati bahasa ibunya (Tarigan,
1985:263-268).
Sementara itu, Mackey (dalam Fishman,
1972) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa
pertama itu terjadi selama periode kritis (critical
period), yaitu pada usia 2—12 tahun. Sehubungan
dengan itu, ia menyusun kronologis perkembangan
bahasa kanak-kanak. Pada usia 3 bulan, anak
mulai mengenal suara manusia, ingatan sederhana
mungkin sudah muncul, dan anak mulai tersenyum
dan membuat suar-suar yang belum teratur. Pada
usia 6 bulan anak sudah mulai bisa membedakan
antara nada yang halus dan nada yang kasar, dan
sudah mulai membuat vokal a...a...a. Pada usia 9
bulan, anak mulai bereaksi terhadap isyarat dan
mulai mengucapkan bermacam-macam suara. Pada
usia 12 bulan, anak bereaksi terhadap perintah dan
gemar sekali membuat suara-suara. Pada usia 18
bulan, anak sudak mulai bisa mengikuti petunjuk,
kosakatanya sudah mencapai dua puluhan, dan
komunikasi dengan menggunakan bahasa sudah
mulai tampak.
Berdasarkan tahapan-tahapan pemerolehan
bahasa tersebut tampaknya anak usia 2 tahun
sampai dengan 2 tahun 6 bulan yang menjadi subjek
penelitian ini berada pada tahap keempat, yaitu
tahap linguistik II.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan
studi kasus. Melalui metode kualitatif ini akan
dideskripsikan pemerolehan dan perkembangan
fonologi TPM pada usia 2 tahun sampai dengan 2
tahun 6 bulan. Desain penelitian yang digunakan
adalah longitudinal, yaitu dengan cara mengikuti
perkembangan bahasa TPM dari suatu titik tertentu
(2 tahun) sampai ke titik waktu yang lain (2 tahun
6 bulan).
Sumber data utama penelitian ini adalah
TPM pada usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6
bulan dan sumber data pendukung adalah orang
tua TPM. Data ini dikumpulkan selama enam bulan
melalui observasi, catatan harian, dan wawancara
antara TPM dengan ayah dan bundanya, Bibi,
Uni, dan Om. Hasil observasi dan wawancara
itu dicatat dan direkam. Data tersebut kemudian
ditranskripsikan, lalu diamati dan dianalisis secara
empiris. Selanjutnya data yang sudah diperoleh,
diklasifikasikan sesuai dengan masalah yang
menjadi fokus penelitian.
Jika si anak telah mengucapkan suatu kata
dalam situasi komunikasi tertentu dan dipahami
maknanya oleh lawan bicaranya, disimpulkan
bahwa si anak telah menguasai bunyi bahasa
tersebut. Selanjutnya data yang sudah diperoleh,
diklasifikasikan berdasarkan kelompok pemerolehan
fonologi dan dikaitkan dengan pandangan para ahli
yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa
mengikuti proses yang bertolak dari sesuatu yang
mudah menuju ke yang lebih sukar, sehingga setiap
anak pada dasarnya memperoleh elemen-elemen
bahasa dengan mengikuti gradasi kesukaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun 6
bulan ini TPM tumbuh menjadi gadis cilik yang sehat,
baik fisik maupun mental. Dalam kesehariannya
selain berkomunikasi dengan orang tuanya, dia
juga telah dapat berkomunikasi dengan orang lain,
seperti keluarga dari pihak ayahnya atau ibunya,
tetangga, dan teman-teman seusianya. Selain
itu, anak ini juga sering diajak ke tempat keluarga
jika ada acara keluarga dan ke tempat bundanya
mengajar, sehingga masukan perkembangan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
135
Pemerolehan Bahasa Anak ...
pemerolehan bahasanya cukup bervariasi.
Pemerolehan Vokal
Bunyi-bunyi vokal yang muncul berdasarkan
pengamatan data yang diperoleh selama 6 bulan
adalah sebagai berikut.
Bunyi vokal [a] merupakan bunyi huruf
pertama yang dikuasai TPM secara utuh. Bunyi
tersebut muncul dan dilafalkan dengan jelas, baik
yang terletak pada awal, tengah, maupun pada
akhir kata. Bunyi vokal [a] di awal kata muncul
seperti pada kata berikut.
[a] [ada] ‘ada’ dan [Ayah] ‘Ayah’
Bunyi vokal [a] di tengah kata muncul seperti pada
kata berikut.
[a] [mana] ‘mana’ dan [Tatak] ‘Kakak’
Bunyi vokal [a] di akhir muncul pada kata berikut.
[a] [apa]
‘apa’ dan [tsuka] ‘suka’
Bunyi vokal [i] muncul dan dilafalkan dengan jelas,
baik yang terletak pada awal, tengah, maupun akhir
kata. Bunyi vokal [i] di awal kata muncul seperti
pada kata berikut.
[i]
[itu] ‘itu’ dan [indomalet] ‘indomaret’
Bunyi vokal [i] di tengah kata muncul seperti pada
kata berikut.
[i]
[bibi] ‘Bibi’ dan [sendili] ‘sendiri’
Bunyi vokal [i] di akhir kata muncul seperti pada
kata berikut.
[i]
[beli] ‘beli’ dan [pelgi] ‘pergi’
Bunyi vokal [u] muncul dan dilafalkan dengan jelas,
baik yang terletak pada awal, tengah, maupun akhir
kata. Bunyi vokal [u] di awal kata muncul seperti
pada kata berikut.
[u] [uni] ‘uni’
Bunyi vokal [u] di tengah kata muncul seperti pada
kata berikut.
[u]
[butan] ‘bukan’ dan [buta] ‘buka’
Bunyi vokal [u] di akhir muncul seperti pada
kata berikut.
[u]
[itu] ‘itu’ dan [mau]
‘mau’
Bunyi vokal [e] muncul dan dilafalkan dengan jelas,
baik yang terletak pada awal, tengah, maupun akhir
kata. Bunyi vokal [e] di awal kata muncul seperti
pada kata berikut.
[e] [enam] ‘enam’ dan [emang]
‘memang’
Bunyi vokal [e] di tengah kata muncul seperti pada
kata berikut.
[e] [boneka] ‘boneka’ dan [dedek] ‘dedek/
adik’
Bunyi vokal [e] di akhir kata muncul seperti pada
136
kata berikut.
[e] [e-e] ‘he-he’
Bunyi vokal [o] muncul dan dilafalkan dengan
jelas, baik yang terletak pada awal, tengah,
maupun akhir kata. Bunyi vokal [o] di awal muncul
pada kata berikut.
[o] [om] ‘Om’ dan [oraη] ‘orang’
Bunyi vokal [o] di tengah kata muncul seperti pada
kata berikut.
[o] [bobok] ‘tidur’ dan [boneka] ‘boneka’
Bunyi vokal [o] di akhir muncul pada kata berikut.
[o] [kado]
‘kado’
Bunyi vokal [∂ ] muncul dan dilafalkan dengan baik.
Data yang diperoleh hanya pada suku pertama,
seperti
[∂ ]
[b∂lum]
‘belum’
Bunyi vokal [ε] muncul dan dilafalkan dengan baik.
Data yang diperoleh hanya pada suku terakhir,
seperti
[ε]
[monεt] ‘monyet’
Bunyi vokal [‫ ]כ‬muncul dan dilafalkan dengan baik.
Data yang diperoleh hanya pada suku terakhir,
seperti
[‫]כ‬
[ijο]
‘hijau’
Bunyi vokal rangkap yang muncul adalah [au], [ai],
[ue], dan [ua]. Bunyi vokal rangkap [au] muncul
seperti pada kata berikut.
[au]
[tau] ‘tau’ dan [mau] ‘mau
Bunyi vokal rangkap [ai] muncul seperti pada kata
berikut. [ai]
[naik] ‘naik’ dan [baik] ‘baik’
Bunyi vokal rangkap [ue] muncul seperti pada kata
berikut. [ue] [kue]‘kue’
Bunyi vokal rangkap [ue] muncul seperti pada kata
berikut.
[ua]
[uaη] ‘uang’
Bunyi diftong yang muncul dilafalkan dengan vokal
adalah [au] dan [ai]. Bunyi diftong [au] muncul
seperti pada kata berikut. [au] [piso] ‘pisau’
Bunyi diftong [ai] muncul seperti pada kata
berikut. [ai]
[pake]‘pake’
Berdasarkan uraian dan contoh data di atas
dapat dikatakan bahwa TPM sudah menguasai
semua vonem vokal bahasa Indonesia. Vokal [a],
[i], [u], [e], dan [o] dilafalkan dengan baik meskipun
terletak pada awal, tengah, atau akhir kata.
Variasi alofonik untuk masing-masing bunyi sudah
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pemerolehan Bahasa Anak ...
ada, kecuali untuk [o] dan [e] yang merupakan
wujud diftong [au] dan [ai]. Semua vokal bahasa
Indonesia tersebut sudah dikuasai TPM pada saat
berumur 2 tahun 1 bulan. Vokal pertama yang
dikuasainya adalah vokal minimal, yaitu [a], [i],
dan [u] sesuai yang dijabarkan oleh Dardjowidjojo,
kemudian berkembang menguasai vokal depan
[i], [e], [ε], vokal belakang [u], [o], [‫]כ‬, dan vokal
tengah [∂],[a]. Tampaknya variasi alofonik yang
tidak begitu kentara dalam Bahasa Indonesia tidak
menimbulkan masalah bagi TPM dalam melafalkan
bunyi-bunyi vokal. Pada usia 2 tahun 3 bulan TPM
telah mengusai urutan vokal yang tidak bersifat
diftong seperti [a-i] pada baik. Deretan vokal [a-u]
seperti pada bau, [e-a] seperti pada kecapaian, [i-a]
seperti pada sialan, dan [i-i] seperti pada diikat juga
dikuasainya pada usia tersebut. Akan tetapi, diftong
asli [au] dan [ai] seperti pada kalau dan sungai baru
dikuasai TPM pada usia 2 tahun 6 bulan; sedangkan
diftong asli [‫כ‬i] yang jarang kita temukan belum
muncul dalam pelafalan TPM.
Pemerolehan Konsonan
Pemerolehan bunyi kosonan TPM pada usia
2 tahun 5 bulan ini tidak semudah dia memahami
pemerolehan bunyi vokal.
Bunyi letupan bilabial [p] dan [b] dilafalkan
dengan jelas, baik yang terdapat di awal, di tengah,
maupun di akhir kata seperti pada data berikut.
[p] [peldi] ‘pergi’ dan [dapat] ‘dapat’
[b] [Bunda] ‘Bunda’ dan [bilu] ‘biru’
Bunyi nasal bilabial [m] dan lamino-alviolar
[n] dilafalkan dengan jelas, baik yang terdapat di
awal, di tengah, maupun di akhir kata seperti pada
data berikut.
[m] [mana] ‘ke mana’ dan [mau]‘mau’,
[lumah] ‘rumah’
[n] [boneta] ‘boneka’ dan [Bunda] ‘Bunda’
Bunyi hampiran bilabial [w] dan lamino palatal [y]
dilafalkan dengan jelas, baik yang terdapat di awal,
di tengah, maupun di akhir kata seperti pada data
berikut.
[w] [walna] ‘warna’ dan [awas]
‘awas’
[y] [Ayah] ‘Ayah’
Bunyi letupan lamino-alveolar [t] dan [d] dilafalkan
dengan jelas, baik yang terdapat di awal, di tengah,
maupun di akhir kata seperti pada data berikut.
[t] [telus] ‘terus’ dan [nanti] ‘nanti’
[Adit] ‘Adit’
[d] [Dedek] ‘Dedek’ dan [Saudara]
‘Saudara’
Bunyi letupan dorso-velar [g] yang terletak di tengah
dilafalkan dengan bunyi lamino-alviolar [d], tetapi
jika bunyi terletak di awal dan akhir kata dilafalkan
dengan baik seperti pada data berikut.
[d] [om Adus] ‘om Agus’ dan [badus]
‘bagus’
[g] [gajah]
‘gajah’
Bunyi letupan dorso-velar [k] yang berposisi
di awal atau di tengah kata dilafalkan dengan bunyi
lamino-alveolar [t], tapi jika bunyi tersebut terletak
di akhir kata dilafalkan [k] seperti pada data berikut.
[t] [temali] ‘kemari’ dan [tuda] ‘kuda’
[tue] ‘kue’ [buta] ‘buka’
[matan] ‘makan’ dan [belataη]
‘belakang’
[k] [Tatak] ‘Kakak’
Pada usia 2 tahun 5 bulan bunyi [k] yang terletak
di tengah sudah dilafalkan dengan benar, misalnya
kakak dilafatkan [takak].
Bunyi afrikat palatal [c] jika terletak di awal
kata dilafalkan dengan tepat, tetapi jika bunyi
tersebut terletak di tengah dilafalkan dengan [t]
seperti data berikut.
[t] [cutup] ‘cukup’ dan [celita] ‘cerita’
[c] [kuting]
‘kucing’
Bunyi afrikat palatal [j] kadang-kadang dilafalkan
dengan baik dan kadang-kadang dilafalkan hambat
labiodental [d] seperti pada data berikut.
[j] [juda]
‘juga’ dan [ijo]‘hijau’
[d] [daηan]
‘jangan’
Bunyi frikatif lamino-alviolar [s] kadang-kadang
dilafalkan dengan jelas dan kadang-kadang
dilafalkan menjadi hambat labiodental [t], dan bunyi
frikatif [z] dilafalkan [j] seperti pada data berikut.
[s] [masih] ‘masih’ dan [tampus] ‘kampus’
[t] [tsuka] ‘suka’ dan [tekolah]
‘sekolah’
[j] [Jali] ‘Rozali’
Bunyi frikatif glotal [h] muncul jika pada akhir kata
seperti pada data berikut.
[h] [udah] ‘sudah’ dan [lumah]‘rumah’
[melah] ‘merah’ dan [tuh] ‘tuh/itu’
[nih] ‘nih/ini’
Bunyi frikatif glotal [h] tidak muncul jika pada awal
kata seperti pada data berikut.
[itam] ‘hitam dan [ampil] ‘hampir’
[abis] ‘habis’
Bunyi nasal lamino-palatal [n?] dilafalkan menjadi
nasal lamino-alveolar [n] seperti pada data berikut.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
137
Pemerolehan Bahasa Anak ...
[puna] ‘punya’ dan [nani] ‘nyanyi’
Bunyi nasal dorso-velar [ŋ] pada suku kata akhir
diucapkan dengan jelas seperti pada data berikut.
[ŋ] [waluŋ] ‘warung’ dan [kuniŋ] ‘kuning’
Bunyi getar [r] belum muncul. Oleh karena itu, bunyi
tersebut dilafalkan dengan bunyi sampingan atau
lateral [l] seperti pada data berikut.
[balu]
‘baru’ dan [bilu] ‘biru’
[lumah]‘rumah’
Pada usia 2 tahun sampai dengan 2 tahun
6 bulan ini tampaknya ada konsonan yang telah
dikuasai TPM dengan baik dan dilafalkan dengan
jelas; ada pula konsonan yang telah dikuasai tetapi
masih berfluktuasi dengan bunyi lain dan bahkan
ada bunyi yang sama sekali belum dikuasainya.
Meskipun demikian, dalam mengucapkan fonemfonem tertentu hasil observasi memperlihatkan
bahwa TPM sering melakukan pola substitusi. Pola
substitusi yang muncul adalah sebagai berikut.
Getar menjadi lateral, misalnya
[rumah] →
[lumah]
[lari]
→
[lali]
Alveopalatal nasal menjadi dental nasal, misalnya
[ñañi ] →
[nani]
[ñapu] →
[napu]
Velar hambat berat menjadi bilabial hambat,
misalnya
[bagus] →
[badus]
[gatal] →
[datal]
Velar nasal pada awal dan tengah suku kata
menjadi dental nasal, misalnya
[buŋa] →
[bunga]
[ŋumpet] →
[numpet]
Labiodental frikatif ringan pada awal suku kata
menjadi bilabial hambat ringan, misalnya
[fanta] →
[panta]
Dental frikatif ringan pada awal suku kata menjadi
dental stop ringan atau dental frikatif ringan,
misalnya
[sekolah]
→
[tetolah]
[susu] →
[tsutsu]
Berdasarkan uraian dan contoh data di atas
tampaknya TPM sudah menguasai bunyi konsonan
[p], [b], [t], [d], [h], [m], [n], [l], [w], [y], [k], [s], [η]
pada umur 2 tahun 1 bulan. Bunyi [k], [s], [η]
hanya dikuasai TPM jika terletak pada akhir kata.
Pada usia tersebut TPM belum menguasai bunyi
velar hambat ringan (voiceless velar stop), [k], jika
terletak pada tengah dan akhir kata. Bunyi tersebut
baru dikuasai TPM setelah berusia 2 tahun 5 bulan.
138
Bunyi velar hambat berat (voice velar stop), [g],
masih sering diucapkan dengan [d], terutama jika
muncul pada tengah seperti Adus ‘Om Agus’, tetapi
jika terletak di awal dilafalkan dengan [g] seperti
gatal. Bunyi frikatif [s] pada awal kata masih sering
diucapkan sebagai [t] atau [ts], tetapi pada akhir
kata dilafalkan dengan frikatif [s]. Pada usia 2 tahun
6 bulan bunyi afrikatif ringan [c] telah dilafalkan
dengan baik seperti pada coba, dan menjelang usia
2 tahun 6 bulan bunyi-bunyi tersebut semakin jelas
dan dilafalkan dengan baik. Sampai usia 2 tahun 6
bulan ini tampaknya TPM belum dapat melafalkan
gugus konsonan, kecuali [mb] dan [ηg] pada
kata mbak dan nggak. Gugus konsonan tersebut
semuanya dilafalkan dengan konsonan tunggal.
Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan
Fonologi
Hasil observasi memperlihatkan munculnya
berbagai variasi dalam pemerolehan fonologi
sebagian besar disebabkan oleh belum
sempurnanya alat ucap TPM. Meskipun penulis
telah mencoba memancing (reatrive) konsonan
yang belum muncul dalam pelafalannya, TPM tetap
tidak mampu mengucapkan konsonan tersebut. Hal
itu tampaknya sejalan dengan pendapat Lenneberg
yang menyatakan bahwa perkembangan bahasa
anak mengikuti perkembangan biologis yang tidak
dapat ditawar-tawar. Seorang anak tidak dapat
dipaksa atau dipacu untuk mengujarkan sesuatu
bila kemampuan biologisnya belum memungkinkan.
Sebaliknya, bila seorang anak secara biologis dapat
mengujarkan sesuatu, dia tidak dapat pula dicegah
untuk tidak melafalkannya.
Faktor lain yang berpengaruh dalam
pemerolehan fonologi TPM adalah stimulus dari
keluarga atau lingkungan sekitarnya. Beberapa
data yang berhasil penulis peroleh memperlihatkan
bunyi-bunyi tertentu muncul melalui peniruan
(immitative speech), seperti pelafalan diftong [au]
dan [ai] pada kata kata kalau, kerbau, dan pakai
yang belum muncul dilafalkan TPM dengan [kebo],
[kalo], dan [pake]. Tidak atau belum munculnya
diftong-diftong ini tampaknya tidak saja disebabkan
oleh kesulitan artikulasi, tetapi juga karena
masukan yang diterima TPM memang sering
berupa monoftong. Penutur disekitar TPM dalam
kesehariannya memang melafalkan bunyi-bunyi
tersebut sebagai monoftong ([kebo], [kalo], dan
[pake]) sehingga dapat dipahami jika TPM juga
melafalkannya dengan bunyi-bunyi monoftong pula.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pemerolehan Bahasa Anak ...
Penguasaan bunyi-bunyi vokal dan konsonan
yang telah dicapai TPM pada usia 2 tahun sampai
dengan 2 tahun 6 bulan dapat dilihat pada bagan
vokal dan konsonan berikut. Fonem yang telah
dikuasai ditulis dengan huruf biasa, yang masih
berfluktuasi ditulis dengan huruf miring, dan yang
belum dikuasai ditulis di dalam tanda kurung.
Gambar 1 berikut adalah bagan vokal.
Tabel 1. Penguasaan Bunyi Konsonan TPK
Cara
Artikulasi
Hambat
LabioDental
P
b
t
d
(f)
(v)
Alveolar
AlveoPalatal
s
(z)
Afrikatif
Velar
Glotal
(k)
(g)
?
(x)
H
c
j
M
N
(ñ)
Lateral
L
Getar
(r)
Semi Vokal
Bagan pada gambar 1 di atas memperlihatkan
bahwa TPM telah menguasai fonem [a], [i], [u], [e],
[o], [∂], [є], dan [ο]. Semua fonem vokal Bahasa
Indonesia itu dikuasai TPM pada usia 2 tahun 1
bulan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
anak tersebut telah menguasai fonem vokal
dengan baik. Artinya, orang tidak akan kesukaran
memahami vokal mana yang dimaksud TPM. Vokal
pertama yang dikuasainya adalah vokal minimal,
yaitu [a], [i], dan [u], kemudian berkembang
menguasai vokal depan [i], [e], [ε], vokal belakang
[u], [o], [‫]כ‬, dan vokal tengah [∂], [a]. Bunyi vokal
rangkap yang tidak bersifat diftong juga telah
dikuasai pada usia 2 tahun 3 bulan, misalnya [au]
pada [tau] ‘tau’ dan [ai] pada [baik] ‘baik’; [ue]
pada [kue] ‘kue’. Akan tetapi, diftong asli [au] dan
[ai] baru dikuasai TPM pada usia 2 tahun 6 bulan;
sedangkan diftong asli [‫כ‬i] yang jarang kita temukan
belum muncul dalam pelafalan TPM sehingga
dilafalkan dengan [e], misalnya [ai] pada ‘pakai’
dilafalkan [pake].
Penguasaan bunyi konsonan TPM tampaknya
tidak semudah penguasaan bunyi vokal. Ada bunyi
konsonan yang telah dikuasainya; ada yang masih
berfluktuasi dengan bunyi lain; dan bahkan ada
bunyi (bunyi [r]) yang belum pernah dapat dia
ucapkan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan Tabel
1 berikut.
Bilabial
Frikatif
Nasal
Gambar 1. Bagan vokal
Daerah Artikulasi
W
y
Bagan konsonan di atas memperlihatkan
bahwa fonem yang sudah dikuasai TPM dengan
baik adalah [p], [b], [t], [d], [s], [h], [c], [j], [m], [n],
[ŋ], [l], [w], dan [y]. Bunyi letupan bilabial [p] dan [b],
bunyi nasal bilabial [m] dan lamino-alviolar [n], bunyi
hampiran bilabial [w] dan lamino palatal [y], dan
bunyi letupan lamino-alveolar [t] dan [d] dilafalkan
dengan jelas.
Konsonan yang sudah muncul tetapi masih
berfluktuasi dengan bunyi lain adalah [t], [s], [c], [j],
dan [ŋ]. Jika bunyi frikatif lamino-alviolar [s] terletak
pada akhir kata, diucapkan TPM dengan jelas.
Akan tetapi, jika bunyi tersebut terletak pada awal
suku kata, sering diucapkan [t] atau [ts], misalnya
[abis] pada [habis] ‘habis. Bunyi afrikatif berat [j]
ada juga yang dilafalkan sebagai [d], misalnya
[daηan] pada [jangan] ‘jangan’. Bunyi hambat velar
[g] masih diucapkan sebagai hambat labiodental
[d], dan hambat velar [k] dilafalkan dengan hambat
labiodental [t], misalnya [badus] pada [bagus]
‘bagus’, [tamal] pada [kamar] ‘kamar’. Bunyi velar
hambat ringan (voiceless velar stop), [k] baru
dikuasai jika terletak pada tengah dan akhir kata
pada berusia 2 tahun 5 bulan. Pada usia 2 tahun
5 bulan bunyi afrikatif ringan [c] telah dilafalkan
dengan baik seperti pada coba, dan menjelang
usia 2 tahun 6 bulan bunyi-bunyi tersebut semakin
jelas dan dilafalkan dengan baik. Bunyi frikatif [f]
dan [v] belum muncul dan dikuasai TPM dengan
baik sehingga dilafalkan dengan [p] seperti [panta]
pada [fanta] ‘fanta’ dan [pas] pada [vas] ‘vas bunga’.
Bunyi frikatif [x] tidak ditemukan di dalam data
sehingga dinggap belum muncul. Bunyi getar [r]
yang belum muncul dilafalkan dengan bunyi lateral
[l], misalnya [bilu] pada [biru] ‘biru’. Kemampuan
TPM melafalkan fonem [f], [v], [z], dan [x] belum
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
139
Pemerolehan Bahasa Anak ...
kelihatan karena karena frekuensi penggunaannya
dalam bahasa Indonesia sangat terbatas. TPM
melakukan pola substitusi untuk mengucapkan
fonem-fonem tertentu. Penggantian pola yang
muncul mengukiti pola kedekatan fonetik (phonetic
proximile), yaitu suatu bunyi diganti oleh bunyi lain
yang secara fobetis berdekatan. Misalnya, bunyi
getar menjadi lateral seperti [rumah] menjadi
[lumah].
PENUTUP
Kesimpulan
Secara umum pemerolehan fonologi TPM
mengikuti urutan yang sifatnya universal sesuai
dengan teori pemerolehan bahasa. Konsep
universal Jakobson (dalam Dardjowijojo, 2012:
238) ditemukan dalam pemerolehan fonologi
TPM, baik dalam pemerolehan vokal maupun
konsonan. Dalam hal bunyi vokal terdapat tiga
vokal utama yang muncul terlebih dahulu, yaitu
[i], [u], dan [a]. Sistem kontras seperti ini disebut
sistem vokal minimal dan terdapat dalam semua
bahasa. Dalam hal konsonan, hambat dikuasai
sebelum frikatif, dan frikatif dikuasai sebelum
afrikat. Bunyi nasal dimulai dari nasal bilabial [m],
kemudian diikuti nasal velar [n]. Pemerolehan
konsonan hambat dimulai dari bilabial ke
alveolar, kemudian ke velar. Bunyi lateral [l]
sudah dikuasai, sedangkan bunyi getar [r] belum.
Bunyi likuid yang berupa lateral [l] muncul terlebih
dahulu setelah bunyi hambat ringan, sedangkan
bunyi [r] belum muncul karena diduga lebih
sulit mengucapkannya. Hal itu memperlihatkan
bahwa dalam pemerolehan fonologi juga
mengikuti gradasi kesukaran fonologis.
Pemerolehan fonologi TPM sangat dipengaruhi
(sejalan dengan) perkembangan biologisnya.
Misalnya, karena kondisi alat ucap atau posisi
lidahnya masih terbatas (belum lengkap) sehingga
ia belum menguasai bunyi getar [r]. Selain itu,
pemerolehan fonologi juga dipengaruhi oleh stimulus
dari keluarga atau lingkungan. Misalnya disftong [au]
dan [ai] pada kata [kalau] dan [pakai] dilafalkan TPM
dengan [kalo] dan [pake].
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, terdapat
beberapa saran. Pertama, pemerolehan bahasa anak
selain factor fisik juga ditentukan oleh stimulus dari
keluarga dan lingkungan. Oleh sebab itu, bagi orang
tua yang ingin pemerolehan bahasa anaknya sesuai
dengan perkembangan fisik, bahkan melampaui
harus selalu diberi stimulus oleh orang tua dan
lingkungan. Dengan demikian, pengaruh faktor
eksternal berperan penting.
Kedua, penelitian ini masih terbuka luas
dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya, karena
pemerolehan bahasa setiap anak memiliki keunikan
masing-masing. Selain itu, aspek penelitian
pemerolehan bahasa anak juga beragam, yaitu dari
aspek fonologi, sintaksis, morfologis, semantic, dan
lain-lain
DAFTAR PUSTAKA
Bomerman, Melissa.,& Lavinson, S. C. (2001).
Language acquisition and conceptual
development. New York: Cambridge University
Prass.
Brown, D.( 2007). Principles of learning and teaching.
New Jersey: Printice Hand Reagent.
Dale, P.S. (1976). Language development: Structure
and fuction. New York. Holt, Rinehart, and
Watson.
Dardjowidjojo, S. (2012). Psikolinguistik: Pengantar
pemahaman bahasa manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Ellis, R. (1985). Understanding second language
acquisition. London: Axford University Press.
140
Flecher, Paul.,& Garmen, M. (1997). Language
acquisition. New York: Cambridge University
Press.
Galinkoff, R. M. (1983). The transition from
prelinguistik to linguistic communication.
Millsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum
Association Publishers.
Hamied, F. A. (1989). Keterpelajar(i)an dalam
konteks pemerolehan bahasa. Dalam PELLBA
2. Jakarta: Penerbit Kanisius.
Ingram. (1999). Phonological acquistion in
the development (ed.) United Kongdom:
Psycology Press.
Jacobson, R. (1971). Studies on child language and
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pemerolehan Bahasa Anak ...
aphasia. The Hauge: Mouton Publishers.
Kent, R.D.,& Miolo, G. (1995). Phonetic abilities in
the first year of life. Dalam Fletcher dan Mac
Whinney 1995.
Klein. (1984). Learning to stress. Journal of Child
Language 11: 375-93/191. Indiana University.
Kurniawan. Studi kasus pemerolehan bahasa anak
usia 2 tahun hasil pernikahan pasangan beda
daerah: Kajian fonologi (Fonetik Artikulatoris).
Diakses tanggal 14 Okteber 2016. http://jltpolinema.org/?p=843
Krashen, S.,& T. Terrell, (1983). The natural approuch:
Language acquistion in the classroom. Oxford:
Pergemon.
Mukalel, J. C.( 2003). Psychology of language
learning. New Delhi: Discovery Publishing
House
Pinker, S. (2004). Language acquisition. http://www.
scs.soton.ac.uk/-harnad/Papers/Py104/Pinke.
langaca.html.
Ramdan, A. H. Pemerolehan fonologi umur 3 tahun.
Diakses 14 Oktober 2016. https://www.
academia.edu/8894228/
Tarigan, H. G. (1988). Pengajaran pemerolehan
bahasa. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Usman, H. (2016). Studi pemerolehan bahasa anak
usia 4 tahun. Diakses 14 Oktober 2016. http://
jlt-polinema.org/?p=848
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
141
Pemerolehan Bahasa Anak ...
142
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Penelitian
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN KESETARAAN
Sutjipto
e-mail: [email protected]
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Litbang, Kemdikbud
Jl. Gunung Sahari Raya, Nomor 4A, Jakarta Pusat
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengungkap bagaimana pembuat kebijakan dan
pengembang kurikulum mendesain kurikulum pendidikan kesetaraan. Jenis penelitian yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif. Data utama dikumpulkan dengan kuesioner dan diskusi kelompok terpumpun.
Teknik analisis data menggunakan statistika deskriptif, yaitu penggambaran data dengan pola deskripsi.
Penelitian dilakukan pada bulan November 2015 sampai dengan Juni 2016, dengan sampel pendidik dan
tenaga kependidikan dari tiga pusat kegiatan belajar masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan: Pertama,
pembuat kebijakan dan pengembang masih menempatkan bahwa mendesain dan mewujudkan kurikulum
pendidikan kesetaraan belum menjadikan prioritas utama, tetapi menunggu pendidikan formal terlebih
dahulu. Kedua, pembuat kebijakan dan pengembang belum menghadirkan penanda kebijakan konkret
berkait aspek fundamental kompleksitas dan konteks realitas yang merepresentasikan kepentingan
bersama warga bangsa yang terejawantahkan dalam kurikulum sebagai alat menapaki kehidupan.
Ketiga, rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan belum membekali pengetahuan dan kompetensi
sebagai prasyarat bekerja dan juga belum kuat mendorong sikap integritas, kerja keras, disiplin, gotong
royong, kemandirian, nasionalisme serta keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah kehidupan.
Keempat, rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan belum menggambarkan instrumen menghadapi
masalah putus sekolah dan memecahkan masalah sosial-ekonomi yang diorientasikan pada kecakapan
hidup guna memasuki kehidupan.
Kata-kata kunci: kurikulum, kesetaraan, pengembangan
EQUALITY EDUCATION CURRICULUM DEVELOPMENT
Abstract: The purpose of this research is to reveal how policy-makers and curriculum developers to
design educational curriculum equality. This type of research is qualitative descriptive. The main data
were collected by questionnaires and group discussions terpumpun. Data were analyzed using descriptive
statistics, namely the depiction of the data with the pattern description. The study was conducted in
November 2015 until June 2016, with a sample of teachers and education staff of three learning centers.
The results showed. First, policy makers and developers are still putting that designing and realizing equality
education curriculum has not made a top priority, but are waiting for formal education first. Second, policy
makers and developers have not presenting concrete policy markers related complexity and context of
the fundamental aspects of reality which represents the common interests of citizens of the nation that
terejawantahkan in the curriculum as a tool tread life. Third, the design of educational curricula equality
has not equip knowledge and competence as a prerequisite to work and also not strong attitudes toward
integrity, hard work, discipline, mutual cooperation, independence, nationalism and specialized skills to
solve the problem of life. Fourth, equal education curriculum design not describe the instruments to face
the problem of dropouts and solve socio-economic problems oriented towards life skills in order to enter
the life.
Keywords: curriculum, equality, development
PENDAHULUAN
Pada pertengahan tahun 2016 lalu memberi
penguatan kegelisahan penulis selama ini, berkaitan
dengan kebijakan pengembangan kurikulum antara
pendidikan formal dan pendidikan nonformal,
khususnya untuk pendidikan kesetaraan yang
masih terdapat perbedaan perlakuan, ditinjau dari
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
143
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
prosesnya. Terdapat tiga rentetan peristiwa yang
menjadi rujukannya. Pertama, pada tahun 1999
seiring dengan telah tersusunnya potret Kurikulum
1994-hasil studi- dilakukanlah kajian dan analisis
berbagai dokumen kurikulum (pendidikan formal)
manca negara, kajian literatur, analisis regulasi, studi
banding ke berbagai negara, dan diskusi dengan
para ahli serta seminar digelar. Hasilnya, tersusunlah
seperangkat kurikulum yang populer disebut
kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dalam proses
penyusunannya, mulai tahun 2000/2001 KBK telah
diimplementasikan secara terbatas melalui piloting
(masyarakat menyebutnya “uji coba”). Bagaimana
dengan pengembangan kurikulum untuk pendidikan
kesetaraan ? Baru awal tahun 2003-an (empat tahun
kemudian) pemikiran dan proses pengembangan
kurikulum untuk pendidikan kesetaraan dimulai.
Kedua, pada saat KBK ditata ulang, dan tahun
2005 keluar Peraturan Pemerintah tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) (PP No. 19 Tahun 2005)
maka konfigurasi kurikulum juga berubah. Dalam
peraturan perundang-undangan tersebut secara jelas
dan tegas dinyatakan bahwa Pemerintah tidak akan
mengeluarkan “kurikulum”, namun yang dikeluarkan
adalah standarisasi. Sedangkan “kurikulum” akan
diserahkan ke tingkat satuan pendidikan (sekolah),
yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Kemudian, pada tanggal 23
Juni tahun 2006 ditetapkanlah dua standar dan
pelaksanaannya, yaitu: 1) Standar Isi (SI) untuk
pendidikan formal (Permendiknas No. 22/2006), 2)
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) (Permendiknas
No. 23/2006), dan 3) pelaksanaan Permendiknas
No. 22 dan No. 23 (Permendiknas No. 24/2006 dan
No. 6/2007 ). Setelah itu, pada tanggal 18 April 2007
(satu tahun kemudian) standar isi untuk program
paket A, B, dan C diundangkan (Permendiknas No.
14/2007).
Ketiga, pengembangan Kurikulum 2013
yang dimulai sekitar akhir tahun 2010-an dan telah
diimplementasikan secara terbatas pada tahun 2013,
bahkan pada akhir tahun 2014 hingga 2015 ini telah
memasuki masa perubahan dan pemutakhiran.
Kemudian, hasil pemutakhiran kurikulum tersebut
telah diimplementasikan pula pada tahun ajaran
2016/2017. Sementara itu, pengembangan
kurikulum untuk pendidikan kesetaraan dengan
ide, perancangan, dan pendekatan yang sama
hingga bulan Agustus 2016 belum ada kepastian.
Dari tiga siklus pengembangan kurikulum pendidikan
144
tersebut dapat dimaknai bahwa terdapat beda
perlakuan penggarapan oleh pembuat kebijakan
antara pendidikan formal dan pendidikan nonformal.
Pertanyaannya, apa mesti seperti itu perlakuan
terhadap kepentingan peserta didik yang memiliki
misi yang sama, yaitu untuk membangun peradaban
bangsa?.
Disadari sepenuhnya oleh penulis bahwa
dalam waktu bersamaan, dan dengan sumber
daya yang terbatas akan sulit mengerjakan suatu
pekerjaan pengembangan kurikulum yang mencakup
semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. Kondisi
seperti ini terkadang masih ditambah kerumitan
oleh adanya “kemauan” pembuat kebijakan yang
cenderung mendorong pengerjaaan pengembangan
kurikulum untuk pendidikan formal dikerjakan terlebih
dahulu daripada yang lainnya. Dengan demikian,
pengembangan kurikulum untuk pendidikan
lainnya, seperti nonformal cenderung dikerjakan
berikutnya. Fenomena seperti itu akan semakin sulit
diterobos manakala personal pembuat kebijakan
juga memiliki kepekaan yang kurang terhadap
modus pengembangan kurikulum jalur pendidikan
nonformal, seperti layaknya kurikulum pendidikan
kesetaraan. Berkait dengan itu, Chin, et al. (2014)
dalam kajiannya tentang bagaimana secara psikologi
sosial dan dinamika kelompok membantu dalam
pengembangan kurikulum memberi gambaran,
bahwa dinamika interpersonal pengembang di
departemen pengembangan merupakan orangorang pertama yang menjadikan hambatan, dan
biasanya paling sulit untuk diatasi. Hasil kajian
ini memberi gambaran bahwa masalah prioritas
kebijakan pengembangan kurikulum memang
multikompleks, dan posisi latar belakang seseorang
sangat mempengaruhi pengambilan sebuah
keputusan.
Padahal, ketika pengembangan kurikulum
pendidikan kesetaraan untuk program paket (A,
B, dan C) dijadikan sebuah strategi dalam ranah
pengembangan dan pembangunan sumber daya
manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya,
maka pekerjaan tersebut menjadi sarat makna.
Sarat makna karena pengembangan kurikulum
pendidikan kesetaraan akan membawa misi, di
antaranya harus meluas (broad) sehingga peserta
didik memungkinkan memperoleh kesempatan
yang luas untuk mengembangkan pengalaman
dalam pembelajaran tentang beragam kompetensi
yang mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap,
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
dan nilai yang berkaitan dengan kehidupan seperti
membangun akhlak mulia, budi pekerti luhur, etika,
estetika, kinestetika, logika, mandiri, kreatif, tanggung
jawab, demokratis, sehat, dan cakap. Dalam
kerangka pikir pengembangan kurikulum pendidikan
kesetaraan seperti itu, ijazah atau setifikat sejatinya
bukanlah hal yang penting. Keluaran dari pendidikan
kesetaraan adalah dimilikinya sikap/kepribadian,
wawasan, keterampilan dan/atau kompetensi untuk
bisa melaksanakan tugas kehidupan sebagaimana
diharapkan oleh orangtua/keluarga, masyarakat,
negara, dan agama.
Satu sisi, pengembangan kurikulum
sebagaimana diungkap di atas yang masih
sarat ketimpangan, pada sisi yang lain berkait
dengan sosialisasi, persebaran, pendidikan dan
pelatihan bagi guru/pendidik/tutor, pendampingan
implementasi, maupun monitoring dan evaluasi
juga tidak kalah senjangnya. Berikut gambaran
dinamikanya. Pertama, pada era KBK, sekitar awal
tahun 2000-an hingga tahun 2002 di mana KBK
telah ditemukan ide, rancangan, struktur kurikulum,
pendekatan pembelajaran, dan hasil belajar untuk
jalur pendidikan formal, maka pada saat itu dapat
dikatakan bahwa di seantero Nusantara saban hari
tiada kegiatan lain selain sosialisasi KBK. Bentuk
sosialisasi ada yang terstruktur oleh unit utama,
ada dari dinas pendidikan provinsi, ada dari penerbit
buku, ada dari organisasi profesi, bahkan ada pula
dari perguruan tinggi.
Kedua, setelah diundangkannya SI untuk
pendidikan formal (sekolah) tidak sampai hitungan
bulan, kegiatan sosialisasi, kegiatan penyebarluasan
konsep, rancangan, dan implementasi standar
tersebut tidak kalah hebohnya dengan KBK.
Bahkan, Mendiknas Bambang Sudibyo (kala itu)
sampai membentuk tim khusus untuk merancang
standar materi sosialisasi secara nasional agar tidak
terjadi bias informasi kebijakan. Penyebarluasan
kurikulum pendidikan formal itu sangat masif,
bergelombang, mencakup semua lini institusi,
bahkan berlangsung hingga akhir tahun 2010-an.
Bagaimana dengan hasil kurikulum pendidikan
kesetaraan untuk program paket? Apakah terdapat
kegiatan seperti itu? Misalnya, untuk sosialisasi,
persebaran Permendiknas Nomor 14 Tahun 2007
tentang Standar Isi untuk Program Paket A, B,
dan C. Jawabannya adalah ada, tetapi seadanya.
Bahkan, dalam berbagai pertemuan dengan
komunitas tutor (dalam bentuk sosialisasi), penulis
sering memperoleh pertanyaan, mengapa sosialisasi
kurikulum untuk pendidikan kesetaraan sepertinya
tidak ada? Mengapa dalam kegiatan sosialisasi di ibu
kota provinsi hanya sekitar 4 orang yang diundang
mewakili kabupaten/kota? Bagaimana pelaksana di
lapangan menyikapi apa, mengapa, dan bagaimana
konteks perancangan kurikulum untuk pendidikan
kesetaraan?
Ketiga, memasuki era Kurikulum 2013, bukan
sekadar sosialisasi yang diluncurkan, tetapi lebih
dari itu, bahkan pendidikan dan pelatihan bagi
guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah yang
akan mengimplementasikan merupakan keharusan.
Agenda pelatihan dirancang secara khusus, yaitu
72 jam pelajaran untuk tenaga kependidikan,
dan 52 jam pelajaran untuk guru. Pelaksana
pelatihan ditangani secara khusus, oleh unit utama,
dan dilaksanakan secara berjenjang/bertingkat,
menyasar sekolah sasaran, menyasar semua
pemangku kepentingan pelaksana kurikulum, dan
berlaku secara nasional dengan orang-orang yang
terlibat sebagai instruktur dipilih secara nasional. Hal
itu dilakukan karena pembuat kebijakan memberi
penekanan bahwa guru dan kepala sekolah tidak
boleh mengimplementasikan Kurikulum 2013 apabila
belum mendapat pelatihan tentang ruh kurikulum
tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa begitu “gegap gempitanya” persiapan
pengimplementasian kurikulum tersebut.
Dampaknya, di lapangan tak kalah hebohnya.
Karena muncul beragam predikat, seperti kabupaten/
kota sasaran, sekolah sasaran, narasumber
nasional, guru inti, guru sasaran, kabupaten/kota
mandiri, dan sekolah mandiri. Belum lagi urusan
dengan buku teks pelajaran. Begitu pula perlakuan
terhadap hasil pemutakhiran Kurikulum 2013,
yang diimplementasikan mulai tahun 2016, pola
pelatihannya pun kepada guru juga dirancang
lebih kurang sama, ada narasumber nasional,
instruktur nasional, instrukur provinsi, instruktur
kabupaten/kota, dan guru sasaran. Kebijakan yang
menyertainya juga sama, yaitu guru dan kepala
sekolah harus dilatih terlebih dahulu sebelum
mengimplementasikan Kurikulum 2013, agar mereka
paham. Pemahaman terhadap desain kurikulum oleh
guru, diibaratkan bagai bayangan cermin dari praktik
mengajar yang berkualitas (Hollins, 2011).
Sementara itu, bagaimana perlakuan pembuat
kebijakan kurikulum pendidikan kesetaraan untuk
program paket A, B, dan C yang draft perancangannya
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
145
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
juga berlabel Kurikulum 2013, tampaknya sepi dan
senyap, bahkan nyaris tak terdengar. Dari tahun
ke tahun (sejak 2013) tercermin sepinya agenda
kegiatan, apakah itu proses pengembangan atau
penyusunan konten mata pelajaran maupun
kegiatan sosialisasi kebijakan, baik yang dirancang
dan dilakukan oleh pusat maupun daerah. Padahal
keberhasilan perancangan dan penyebarluasan
kurikulum, merujuk hasil penelitian Bindler, et
al. (2012) komponen penting dari keberhasilan
pengembangan, implementasi, dan evaluasi
program kurikulum, intervensi siswa sekolah
menengah di Teen Makan dan Aktivitas Mentoring
adalah menggunakan pendekatan interdisipliner,
menerapkan kurikulum yang memenuhi karakteristik
kontekstual, dan keterlibatan semua pemangku
kepentingan dalam perencanaan, evaluasi, dan
memperbaiki program. Hasil studi ini memberi makna
bahwa suatu kebijakan kurikulum manakala kurang
dilakukan sosialisasi dan pelatihan kepada pengguna
akan berdampak pada kurang dipahaminya ide, dan
desain kurikulum secara menyeluruh. Berkait dengan
itu, simpulan kajian Sutjipto (2016) lebih kurang juga
sama, yaitu bahwa pelatihan pengimplementasian
Kurikulum 2013 bagi guru merupakan perhelatan
seni mengolah berbagai tujuan untuk menyelaraskan
kebijakan yang diprogramkan melalui ajang berbagi
guna mewujudkan pemahaman bersama yang ideal
terhadap ide, rancangan, dan pengimplementasian
kurikulum. Dua temuan ini menguatkan bahwa
pengimplementasian kurikulum akan diragukan
keberhasilannya manakala tidak didahului dengan
kegiatan sosialisasi dan pelatihan bagi calon
penggunanya.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1)
bagaimana sebaiknya sikap pembuat kebijakan
pengembangan kurikulum untuk program paket A,
B, dan C bekerja dalam rangka mengembangkan
rancangan sebagai wadah program-program
yang terpadu dengan kehidupan dan kebutuhan
masyarakat, dan 2) bagaimana sebaiknya
gambaran perancangan kurikulum pendidikan
kesetaraan. Dengan permasalahan seperti itu,
penulis mengungkapkan gagasan untuk mendorong
pembuat kebijakan pengembangan kurikulum
pendidikan kesetaraan dengan tujuan menjadikan
semangat yang dapat menumbuhkembangkan
pengembang kurikulum menjadi ingin berkarya
dengan pendekatan kesetaraan. Karya yang dapat
diwujudkan karena ada panggilan dan manfaat
tertentu bagi sebagian masyarakat sehingga
pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum
memiliki kesempatan memberikan kontribusi
terbaik kepada mereka. Dalam arti, mampu
mengembangkan kurikulum sesuai konteksnya,
sekaligus memenuhi tanggung jawab sosial serta
mampu membudayakan bukan hanya keteraturan
nilai-nilai kerja untuk mengembangkan head
knowledge tetapi praktik yang positif.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini mengadopsi
pendapat dari Creswell (2014), yaitu penyelidikan
yang mengeksplorasi masalah sosial atau manusia.
Sampel penelitian didasarkan atas purposive
sampling dengan penetapan sampel secara
nonprobability sampel. Populasi dari penelitian
adalah tutor/guru/pendidik Program Paket A, B, dan
C di Kota Tangerang Selatan.
Ada tiga lembaga pendidikan yang dijadikan
sampel, yaitu: (1) PKBM Penerus Bangsa, Jl.
Suka Mulya, Ciputat, Tangsel; (2) PKBM Ki Hajar
Dewantara, Jl. Pendidikan, Ciputat, Tangsel; dan
(3) PKBM Insan Karya, JL. Haji Saleh, Pamulang,
Tangsel. Dengan demikian, tutor/guru/pendidik
yang ada pada ketiga lembaga pendidikan tersebut
dijadikan sebagai responden.
Data dikumpulkan menggunakan dua cara,
yaitu: (1) kuesioner, dan (2) diskusi kelompok
terpumpun. Penelitian dilakukan pada bulan
November 2015 sampai dengan Juni 2016.
Sedangkan teknik analisis data menggunakan
statistika deskriptif, yaitu penggambaran data
dengan pola deskripsi atau telaah atau simpulan
agar mudah dibaca dan bermakna.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dari dua permasalahan yang diungkap pada
pendahuluan, hal itu sekaligus juga menandakan
146
ada dua dimensi pengembangan kurikulum program
paket A, B, dan C yang diteliti. Oleh karena itu, hasil
dan pembahasan penelitian difokuskan pada dua
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
dimensi tersebut.
a. Seperti Apa Sebaiknya Sikap Pembuat Kebijakan
Pengembangan Kurikulum
Data yang dihimpun, baik melalui kuesioner
maupun diskusi kelompok terpumpun menunjukkan
bahwa sebagian besar responden serta berbagai
pemangku kepentingan di Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) menghendaki agar pembuat
kebijakan pengembangan kurikulum memiliki
kearifan berpikir yang dibingkai bukan saja
pendekatan “setara” tetapi juga berkelindan dengan
pendidikan formal. Wujud rancangan kurikulum
program paket A, B, dan C dimaksud tentunya yang
mampu mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan
akademik, sikap, dan keterampilan kejuruan yang
bukan hanya setara, melainkan yang fungsional.
Ranah kebijakan seperti itu, menurut sebagian
besar responden hendaknya jangan hanya sebatas
diwacanakan, tetapi direalisasikan, digerakkan.
Artinya, ada semangat get things done yang disertai
dengan kebijakan yang konkret, sementara dalam
langkah kerjanya diperlukan adanya kemauan.
Premis proses pengembangan kurikulum
untuk pendidikan kesetaraan sebagaimana diungkap
di atas, menurut sebagian besar responden
karena selama ini dirasakan belum setara dengan
pendidikan formal, bahkan cenderung mengekor.
Hal tersebut menandakan bahwa sikap pembuat
kebijakan dan pengembang kurikulum terhadap
program paket A, B, dan C masih lemah. Lemahnya
kebijakan dalam menghasilkan dokumen kurikulum
dapat merujuk contoh Kurikulum 2013. Hingga kini,
proses pengembangan kurikulum untuk pendidikan
formal tersebut apabila dihitung durasi waktunya,
telah melewati masa empat tahun, sementara
hingga saat ini (Oktober 2016) dokumen kurikulum
pendidikan kesetaraan belum ada titik terang. Untuk
itu, sebagian besar responden mengungkapkan,
kemauan pembuat kebijakan dan pengembang
kurikulum menjadi hal paling mendesak diperbaiki.
Dokumen kurikulum pendidikan kesetaraan yang
belum berwujud menyebabkan pelaksana di
satuan pendidikan PKBM menjadi kurang yakin
dengan pembuat kebijakan. Dibutuhkan komitmen
dan kerja sama dan peran serta dari semua
pemangku kepentingan pembuat kebijakan, baik
unsur manajerial kementerian maupun lembaga
pengembang kurikulum, untuk menata pola
pengembangan kurikulum ke depan.
Fakta yang terungkap ini tidak berlebihan,
karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Anies Baswedan (waktu itu) saat
mengunjungi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) Ar-Ridho, Kenteng, Surakarta, Jawa Tengah,
Kamis (26/02/2015) menyatakan bahwa pendidikan
formal, nonformal dan informal harus mendapatkan
perlakuan yang sama, dan tidak dibeda-bedakan
(http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/3869).
Ungkapan Mendikbud ini dapat dimaknai bahwa
strategi pengembangan kurikulum untuk pendidikan
kesetaraan mestinya tidak mendapat perlakuan
diskriminasi, dan senjang, walau ada keterbatasan
sumber daya dan kapasitas pemerintah dalam
proses pengembangannya. Kehadiran pembuat
kebijakan dan pengembang kurikulum yang loyal
pada kepentingan kurikulum pendidikan kesetaraan
merupakan dambaan seluruh responden.
Ke depan, menurut sebagian besar
responden, bagaimana kesenjangan kebijakan
pengembangan kurikulum pendidian kesetaraan
selama ini bisa diminimalisasikan, bisa disetarakan
dengan pendidikan formal, dan bisa dinomorsatukan
sehingga dapat mendorong menjadi kebijakan
strategis yang penting dan harus dilakukan pada
proses pengembangan kurikulum untuk semua jalur
pendidikan. Pandangan dan harapan responden
seperti itu, paling tidak ada dua rasionalitas yang
dapat disarikan. Pertama, bagaimana pemahaman
terhadap kompleksitas pengembangan kurikulum
pendidikan kesetaraan beserta komponenkomponen yang menyertainya dan multiplikasi
identitas kebijakan dan relasi-relasi sosial kekuasaan
di dalamnya perlu dimiliki masing-masing pembuat
kebijakan dan pengembang kurikulum.
Kedua, bagaimana pembuat kebijakan dan
pengembang kurikulum menghadirkan penanda
kebijakan yang mampu menjalin dan mengikat realitas
konteks pengembangan kurikulum pendidikan
kesetaraan dalam sebuah konsepsi yang bersifat
multidimesi perlu dibiasakan dalam menyusun
strategi kebijakan. Targetnya, pengembangan
kurikulum pendidikan kesetaraan jangan selalu
terpinggirkan. Dengan demikian, jargon seperti
“Menjadikan kurikulum pendidikan kesetaraan
sebagai bagian terpenting dari sistem pendidikan
nasional” bukan sekadar slogan tetapi dibumikan.
Untuk itulah, sebagian besar responden meminta
agar pengembang kurikulum pendidikan kesetaraan
memandang bukan masalah kesetaraan yang
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
147
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
diinginkan, tetapi aspek fundamental proses
pengembangan kurikulum yang dijadikan domain
utamanya.
Penanda kebijakan di sini menurut sebagian
besar responden harulah penanda besar yang
perlu dihadirkan untuk menjalin kepentingan
bersama di antara bekerjanya pemangku
kepentingan pengembang kurikulum pendidikan
kesetaraan yang bernas untuk kepentingan publik.
Kemampuan menghadirkan penanda besar, seperti
pemberdayaan, kemandirian, kepentingan publik,
literasi, kecakapan fungsional, vokasi, kompetensi
abad 21, produktif, dan sejenisnya sehingga mampu
menangkap dan merepresentasikan kepentingan
bersama warga bangsa guna menggapai keahlian
dan keterampilan yang menjadikan peserta didik
sebagai bagian dari kehidupan publik yang sesuai
alam mereka. Pola pemberdayaan yang mampu
mengungkit sumber daya masyarakat pelaku
pendidikan kesetaraan seperti itu, sejalan dengan
hasil kajian Maitra dan Shama (2009) yang telah
mengembangkan model kurikulum nonformal
untuk peserta didik di pedesaan. Model yang telah
dikembangkan bertujuan memungkinkan peserta
didik dapat mengeksplorasi dan memahami
sepenuhnya lingkungan alam mereka. Dengan
demikian, maka peserta didik tidak tercerabut dari
akar budayanya karena mereka akan belajar dan
bekerja sebagai bagian dari masyarakat desa
mereka.
Strategi itulah yang menurut sebagian
besar responden, yang perlu terus dikembangkan
dan dilaksanakan oleh pembuat kebijakan
dan pengembang kurikulum dalam membantu
menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang
karena berbagai hal tidak terlayani oleh pendidikan
formal. Temuan penyerta lain umumnya juga
menunjukkan, agar pemahaman pentingnya
kurikulum pendidikan kesetaraan harus dimiliki bukan
hanya oleh praktisi tetapi juga terkoordinasinya
gagasan pemangku kepentingan pendidikan di
semua lini, termasuk pengembang kurikulum baik
di pusat maupun di daerah serta di PKBM terkait.
Selain itu, penataan pola pengembangan kurikulum
pendidikan kesetaraan juga harus dilakukan oleh
pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum
dengan arah yang mampu dan bermanfaat untuk
mengembangkan kualitas manusia Indonesia,
yang berbudaya keindonesiaan. Di mana menurut
sebagian besar responden, umumnya menyebut
148
sebagai manusia Pancasilais.
Konteks koordinasi dan kolaborasi gagasan
antarinstitusi pengembangan kurikulum menurut
sebagian besar resonden amat penting. Penting,
karena pengalaman sebagian besar responden
menyatakan bahwa yang terjadi selama ini
spirit itu antara ada dan tiada. Ada pada tataran
slogan tetapi sepi pada ranah ekskusi aksi.
Salah satu model koordinasi dan kolaborasi
berbagai pemangku kepentingan sebagai pengelola,
pembuat, dan memutuskan kebijakan, ditanggapi
oleh sebagian besar responden adalah agar yang
menggambarkan wujud peta semua ikatan yang
relevan serta optimalisasi sumber daya yang tersedia
secara terbuka menjadi koridor semangatnya.
Pengelolaan sumber daya yang efisien menjadi
penting, yang menurut kajian Amaya et al. (2016)
merekomendasikan model optimasi integer, yaitu
menemukan pasokan yang optimal dengan pola
terbuka dan tertutup untuk memecahkan masalah
sumber daya dalam pendidikan publik di Chili. Model
ini dapat dimaknai dengan berbagai keterbatasan
yang ada sumber daya didayagunakan secara
efisiensi dan efektif untuk mencapai pengembangan
kurikulum dengan pola keterbukaan dan memikirkan
bagimana keberlangsungan penggaliannya dilakukan
secara tertutup. Karena keberadaan sumber daya
pendidikan bukan koridor pemikiran masyarakat
pengggunanya.
Dalam konteks belajar, seluruh responden
umumnya menyatakan bahwa bagi masyarakat yang
tidak bisa sekolah, yang karena tidak mampu, apa
yang mereka pikirkan melalui pendidikan di PKBM
adalah bagaimana dapat bekal kemampuan untuk
hidup hari ini. Responden umumnya tidak begitu
perhatian terhadap proses pengembangan kurikulum.
Mereka tidak peduli apakah pengembangan
kurikulum menghabiskan biaya banyak atau sedikit.
Yang penting kurikulumnya segera ada dan bisa
memberi bekal untuk kehidupan anak didiknya.
Oleh karena itu, seluruh responden mengharap agar
arah dan pendekatan pengembangan kurikulum
pendidikan kesetaraan menuju pada mereka
(warga belajar) belajar untuk kehidupan; mereka
tidak mau belajar hanya sekadar untuk belajar.
Pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum
perlu senantiasa mentransformasikan diri untuk
mengembangkannya melalui pendekatan dan
penerapan model-model pembelajaran yang dapat
meningkatkan jiwa kewirausahaan bagi peserta
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
didik. Pendekatan perancangan kurikulum seperti
itu, dapat merujuk hasil kajian Bull (2013) terhadap
model Transformatif Belajar dengan melakukan
Penanaman Pohon di Kenya Barat sebagai wujud
pembelajaran berbasis pembangunan pendidikan
berkelanjutan (ESD) menunjukkan, bahwa
pengaturan pembelajaran secara nonformal dengan
pendekatan mengintegrasikan kepala, tangan dan
hati (HHH) efektif untuk menumbuhkembangkan
ESD.
Sejalan dengan fakta di atas, dua lembaga
pendidikan nonformal, yakni Sanggar Anak Akar,
Jakarta Timur, dan Sekolah Master, Depok bisa
dijadikan rujukan bagaimana sejatinya kurikulum
yang tepat bagi peserta didik yang mengikuti
program pendidikan paket kesetaraan di PKBM.
Manajemen Sanggar Anak Akar mendeskripsikan
bahwa kurikulum untuk pendidikan yang dikelolanya
sebagai pendidikan berbasis pengalaman. Begitu
pula kurikulum pada Sekolah Master, memiliki
karakteristik yang tak jauh berbeda dengan Sanggar
Anak Akar, yaitu menerapkan kurikulum yang
mereka sebut KBK (Kurikulum Berbasis Kebutuhan)
(Kompas, 15/9/2016). Pengalaman dari dua lembaga
pendidikan nonformal yang menginspirasi tersebut
dapat dimaknai bahwa pembuat kebijakan dan
pengembang kurikulum pendidikan kesetaraan di
Indonesia mesti memiliki kepekaan rasa bahwa
kurikulum yang dihasilkan merupakan bagian dari
solusi pembangunan identitas lokal mereka.
Terkait dengan keselarasan konten kurikulum,
hasil studi perbandingan terhadap Kurikulum
Pendidikan Sosial di Hong Kong dan Singapura
yang dilakukan oleh Tin-Yau Lo (2010) menunjukkan
bahwa dalam menghadapi tantangan globalisasi,
negara bangsa mencoba untuk menghidupkan
kembali nilai-nilai tradisional atau nasional mereka
dan identitas lokal sebagai semacam penyeimbang
pengaruh dari globalisasi. Hasil penelitian ini dapat
dimaknai bahwa kearifan lokal yang sarat dengan
potensi sumber daya perlu diprogramkan secara
sistematis oleh pembuat kebijakan dalam kurikulum
PKBM. Program yang dirancang sistematis sekaligus
menggambarkan pula bahwa kurikulum yang
dihasilkan akan sarat makna, yang menurut
Mukhadis (2013) adanya kebermanfaatan dan
adanya tindak lanjut persebarannya.
Sisi kemauan pembuat kebijakan dan
pengembang kurikulum untuk program paket A, B,
dan C juga ditanggapi oleh seluruh responden secara
serius. Menilik perjalanan waktu pengembangan
kurikulum, seluruh responden berdasarkan
pengalaman sepakat bahwa proses pengembangan
kurikulum untuk pendidikan kesetaraan ini selalu
“mengekor” dengan pendidikan formal. Belum ada
kemauan yang kuat untuk mengembangkan sendiri.
Buktinya, menurut seluruh responden, selama ini
belum pernah terjadi pengembangan kurikulum
untuk PKBM (maksudnya program paket A, B, dan
C) dikerjakan terlebih dahulu tanpa harus menunggu
pendidikan formal selesai. Padahal, sebagai
dokumen yang memuat jantungnya pendidikan,
proses pengembangan kurikulum pendidikan
kesetaraan menurut seluruh responden, dapat
dilakukan bersama-sama atau malahan lebih dahulu.
Dari itu semua menurut Solitander et al. (2012)
yang penting bagaimana mereka dapat mengatasi
hambatan strategis, struktural, dan kultural.
Pembuat kebijakan perlu menyikapi hal itu,
karena karakteristik peserta didik di PKBM di samping
ingin memperadabkan dengan pewarisan sistem nilai,
norma-norma, adat-istiadat dan kepercayaan melalui
kurikulum sebagai proses enkulturasi dan sosialisasi
sekaligus juga memberikan kecakapan hidup
dalam bidang tertentu atau untuk menumbuhkan
kemampuan memasuki dunia kerja. Oleh karena
itu, ke depan seluruh responden berharap agar
pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum
PKBM mau merespon secara arif dan bijaksana
pandangan dan harapan mereka dalam lintas
nasional maupun internasional. Harapan seperti
itu, sejalan dengan temuan Crisp (2015) bahwa
pendidikan pekerjaan sosial mesti menggabungkan
perspektif internasional dalam mempersiapkan
lulusan untuk bekerja dalam konteks lintas-nasional.
Untuk itu, direkomendasikan agar sekolah pekerja
sosial di berbagai negara harus mengedepankan
berkolaborasi dalam pengembangan kurikulum.
Di samping beberapa temuan di atas,
pendekatan kurikulum yang sarat dengan strategi
pemberdayaan menurut semua respoden menjadi
syaratnya, yaitu: 1) berfungsi untuk pembentukan
identitas diri; 2) memiliki implikasi terhadap
masalah yang dihadapi, seperti masalah diskolasi
karena putus sekolah, putus harapan karena
keterbatasan akses, dan pengembangan diri
di luar lembaga pendidikan atau pembentukan
komunitas publik. Dalam pengertian ini, pembuat
kebijakan kurikulum pendidikan kesetaraan perlu
merumuskan secara khusus pada penguasaan dan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
149
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
kapasitas mengenali perbedaan, menghadirkan
diri, membangun relasi, menjalankan kelompok
dan berorganisasi, dan memiliki tanggung jawab
publik, yang semua itu kemudian dirumuskan dalam
pengembangan kurikulum dan praktik pengajaran
serta penyelenggaraan pendidikan di PKBM.
Pelibatan pelaksana kurikulum di PKBM,
menjadi harapan seluruh responden dalam
keterlibatan mereka turut mengembangkan kurikulum.
Menyusun kurikulum bagi tutor/guru/pendidik bisa
memberikan manfaat ganda. Pertama, menyusun
kurikulum mendorong guru/tutor memahami hakikat
kurikulum ditinjau dari berbagai sudut pandang yang
selama ini mereka kurang memahaminya. Dengan
terlibat dalam penyusunan kurikulum pendidikan
kesetaraan, mereka juga belajar merumuskan
gagasan secara sistematis dalam bentuk desain
kurikulum argumentatif, menerapkan sikap rasional
dan objektif yang akan berguna bagi pebentukan
sikap perancangan pembelajaran. Dengan begitu,
guru/tutor akan berusaha mendalami ide, desain,
dokumen, dan implementasi kurikulum.
Kedua, sebagai pelaksana kurikulum, tutor/
guru/pendidik memiliki pengalaman dalam merancang
sebuah rencana pelaksanaan pembelajaran yang
merupakan bentuk dari kurikulum. Tutor/guru/
pendidik tidak sekadar bisa menentukan kompetensi
indikator, tujuan dan materi pembelajaran yang akan
disampaikan, tetapi bahkan dapat menentukan
pendekatan dan strategi apa yang tepat yang
harus dikembangkan dan bagaimana mengukur
keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum
tutor/guru/pendidik sepenuhnya dapat menyusun
kurikulum sesuai dengan karakteristik, misi dan visi
pendidikan kesetaraan, serta kebutuhan peserta
didik. Dengan demikian, kurikulum yang disusunnya
lebih bermakna, baik bermakna bagi peserta didik
sendiri ataupun bagi tutor/guru.
b. Seperti Apa Sebaiknya Gambaran Perancangan
Kurikulum Pendidikan Kesetaraan
Dalam berbagai kesempatan pada saat
diskusi kelompok terpumpun terungkap bahwa, telah
menjadi kesepakatan seluruh responden adanya
dua pilar penyangga pengembangan kurikulum
pendidikan kesetaraan bagi warga negara-bangsa
Indonesia. Bahkan, mereka telah bertekad untuk
berpegang teguh pada filosofi dan tujuan pendidikan
nasional pada pengembangan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP). Dua pilar dimaksud
hendaknya juga dimanfaatkan sebagai landasan
150
bergeraknya ide dalam mengembangkan kurikulum
dan dalam melaksanakan penerapannya. Pilar yang
dimaksud adalah Pancasila dan tujuan pendidikan
nasional. Di samping itu, dua pilar hendaknya juga
menjadi jiwa kurikulum, menjadi ruh kurikulum.
Bukan sekadar untaian kata, terlebih dalam
menghadapi era globalisasi yang penuh dengan
kompetisi. Karena itu, yang diperlukan pembuat
kebijakan dan pengembang kurikulum adalah
landasan riil dan konkret sebagai misi yang dapat
menghantarkan peserta didik dalam kompetisi
menghadapi globalisasi.
Pancasila dan tujuan pendidikan nasional,
menurut seluruh responden memiliki peran sangat
sentral dan menentukan bagi perjalanan bangsa.
Kokohnya suatu bangsa selama ini, menurut
responden karena bangsa Indonesia memiliki ikatan
dasar sebagai penyangga bangunan pendidikan.
Namun, menurut sebagian besar responden hal
tersebut belum diwujudkan dalam kenyataan.
Misalnya, pembuat kebijakan dan pengembang
kurikulum selama ini senantiasa menggaungkan
perlunya melakukan perubahan yang mendasar
tentang kurikulum pendidikan kesetaraan. Akan
tetapi, fakta yang ditemukan bertolak belakang
dengan yang diharapkan. Karena hanya terus
diwacanakan, akibatnya perubahan besar kurikulum
pendidikan kesetaraan itu tidak pernah ada.
Bahkan, yang lebih menyedihkan menurut sebagian
besar responden, akibat terlalu besarnya harapan
untuk melakukan penataan kurikulum pendidikan
kesetaraan, penataan kecil pun belum dilakukan,
seperti kelengkapan buku untuk peserta didik.
Dalam arti lain, rancangan kurikulum untuk
pendidikan kesetaraan haruslah menghasilkan
manusia Indonesia yang berkarakter, yang
pancasilais, dan yang berbudaya Indonesia. Asumsi
dasarnya, menurut seluruh responden adalah satuan
pendidikan PKBM merupakan institusi yang cukup
strategis guna menginternalisasi nilai-nilai Pancasila
sebagai pemandu perilaku paling mendasar yang
merupakan orientasi nilai (value orientation) bagi
seluruh komunitas satuan pendidikan dalam
kehidupan, baik di dalam maupun di luar satuan
pendidikan. Nilai luhur tersebut sekaligus dijadikan
acuan seluruh komunitas satuan pendidikan untuk
berpikir dan bertindak dalam rangka menapaki
kehidupan, baik secara perorangan maupun kolektif.
Nilai-nilai pendidikan karakter, pada frasa
pendidikan mengarah pada pembentukan budaya
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
satuan pendidikan PKBM, yaitu nilai-nilai yang
melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian,
dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua
komunitas satuan pendidikan tersebut, dan
masyarakat sekitar. Budaya satuan pendidikan
PKBM yang terbentuk merupakan citra yang
menggambarkan ciri khas, karakter atau watak dari
komunitas satuan pendidikan di mata masyarakat.
Nilai-nilai yang khas-baik, seperti tahu nilai kebaikan,
mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik,
dan berdampak baik terhadap lingkungan, yang
terpateri dalam diri dan terejawantahkan pada
perilaku. Karakter yang dikehendaki secara koheren
memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah
raga, serta olah rasa dan karsa komunitas atau
sekelompok orang pada satuan pendidikan dan
sekitarnya.
Dalam hal misi kurikulum, semua responden
sepakat bahwa tidak ada bangsa maju, beradab,
berbudaya, dan berdaya saing tinggi tanpa
didukung pendidikan yang baik dan kurikulum yang
visioner serta pengajaran dan pembelajaran sesuai
kebutuhan masyarakat yang plural. Dengan begitu,
semua responden mengharapkan ada tekanan
agar rancangan kurikulum PKBM memberi bekal
pengetahuan, sikap, keterampilan dan keahlian
agar peserta didik mampu menjalankan kepentingan
bersama di tengah lingkungan penuh kompetisi.
Strategi seperti itu, menurut semua responden
sekaligus dijadikan landasan yang kuat bagi praktik
pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan
sehingga peserta didik mampu mengatasi masalah
pendidikan dan masalah sosial-ekonomi. Mengingat
berbagai latar belakang yang dimiliki peserta didik
yang mengenyam pendidikan di PKBM, yang
umumnya dari kelompok masyarakat yang kurang
mampu secara ekonomi.
Kurikulum pendidikan kesetaraan menurut
sebagian besar responden memiliki misi dan orientasi
khusus, yaitu: (1) menjadikan peserta didik memiliki
kualitas kehidupan saat memasuki masyarakat, (2)
berdaya dalam pengembangan diri dan lingkungan
sekitar, dan (3) memiliki keterampilan khusus untuk
memecahkan masalah hidup untuk memasuki
kehidupan. Dengan demikian, kurikulum pendidikan
kesetaraan yang dirancang selain berorientasi
pada pemberdayaan peserta didik hendaknya pula
sekaligus menjadi orientasi dan tujuan utama dari
pendidikan kesetaraan itu sendiri. Jadi, rancangan
kurikulum pendidikan kesetaraan hendaknya
diorientasikan pada penumbuhan kapasitas peserta
didik untuk mengembangkan diri dan mengatasi
masalah-masalah hidup yang dihadapi. Mengingat
orientasi yang demikian itu, kurikulum pendidikan
kesetaraan yang disusun diharapkan memiliki
kepekaaan terhadap kebutuhan peserta didik
karena memiliki ragam masalah ekonomi dan sosial.
Perancangan kurikulum pendidikan kesetaraan
di sini, perlu dikontekstualisasikan pada potensi
sumber daya yang ada dan secara praksis bisa
diharapkan mengatasi masalah. Terutama sebagai
bekal dasar di masyarakat, maka kurikulum tersebut
bisa disusun dengan pendekatan keluwesan, dalam
arti bervariasi sesuai konteks, sesuai kebutuhan, dan
sesuai potensi sumber daya yang ada.
Masalah-masalah umum yang dihadapi
peserta didik di PKBM, menurut sebagian besar
responden umumnya adalah masalah layanan,
putus harapan, dan pencarian alternatif pendidikan
di luar sekolah Hal ini, menurut sebagian besar
responden membutuhkan pemecahan khusus dari
kurikulum pendidikan kesetaraan yang hendak
dikembangkan. Menghadapi ketiga permasalahan
tersebut, maka rancangan kurikulum pendidikan
kesetaraan di samping memiliki asas fungsional
juga mampu menggarap proses mental yang
berupa cerapan indra, emosi, pemikiran sebagai
fungsi dari organisme biologis yang berkelainan
dalam penyesuaiannya terhadap lingkungan serta
pengendalian lingkungannya yang pada gilirannya
memberikan deskripsi terhadap kesadaran. Dengan
kurikulum pendidikan kesetaraan seperti itu,
fungsi mengembangkan diri kemampuan peserta
didik di tengah masyarakat, dengan bekal sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang dimiliki mereka
mampu memecahkan masalah di tengah lingkungan
yang terus berubah dan penuh kompetisi.
Dari temuan kerangka pikir di atas, sebagian
besar responden mengungkapkan bahwa konteks
perancangan pengembangan kurikulum PKBM,
paling tidak ada empat fokus yang perlu disiapkan
oleh pembuat dan perancang kurikulum, yaitu:
(1) sebagai landasan yang kuat bagi praktik
pendidikan kesetaraan berdasar pada berbagai
bidang kehidupan, sehingga peserta didik secara
mandiri mampu mengatasi masalah dirinya secara
sosial-ekonomi, (2) sebagai wadah bagi peserta
didik karena menghadapi masalah putus sekolah
dan kemampuannya memecahkan masalah sosialekonomi, (3) yang mampu memberikan wadah dan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
151
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
harapan baru bagi peserta didik karena masalah
keterbatasan akses atau ketidaktercapainya
memasuki pendidikan formal, dan 4) yang
diorientasikan pada penciptaan untuk menumbuhkan
kecakapan hidup untuk memasuki kehidupan.
Pembahasan
Dari temuan di atas bahwa Pancasila dan
tujuan pendidikan nasional menjadi penyangga utama
rancangan kurikulum pendidikan kesetaraan adalah
sangat tepat. Tepat mengingat pilar penyangga suatu
bangunan kurikulum pendidikan harus memenuhi
syarat, yakni di samping kokoh dan kuat, juga harus
sesuai dengan misi pendidikan yang disangganya.
Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang harus
dijadikan orientasi pengembangan kurikulum,
seperti keimanan, ketakwaan, kedamaian, keadilan,
kesetaraan, keselarasan, keberadaban, kesatuan
dan persatuan, mufakat, kebijaksanaan, dan
kesejahteraan. Orientasi itu diharapkan tidak pudar
walau keberadaan kurikulum pendidikan kesetaraan
tersendat.
Pancasila dinilai bukan saja memenuhi
syarat sebagai pilar bagi negara-bangsa Indonesia
yang pluralistik dan cukup luas dan besar ini,
tetapi juga relevan sebagai penggerak gagasan
kurikulum. Pancasila mampu mengakomodasi
keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan
satuan pendidikan PKBM di seluruh Indonesia. Sila
pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa,
mengandung konsep dasar yang terdapat pada
segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau
dianut oleh rakyat Indonesia, merupakan common
denominator dari berbagai agama, sehingga
peserta didik dapat menerima semua agama dan
keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan
penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Peserta didik didudukkan sesuai dengan harkat dan
martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara
adil dan beradab. Pancasila menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat, namun dalam implementasinya
dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Sedang kehidupan berbangsa dan bernegara ini
adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kesejahteraan
perorangan atau golongan.
Nampak bahwa Pancasila sangat tepat
sebagai pilar bagi kurikulum pendidikan kesetaraan
dalam negara-bangsa yang pluralistik. Filosofi
152
tersebut menjadi sesuatu nilai yang selalu diterapkan
dalam kehidupan sehingga manusia Indonesia
yang dikembangkan melalui kurikulum pendidikan
kesetaraan haruslah: 1) manusia yang beragama
dan menghormati agama orang lain; 2) cinta bangsa,
tanah air, dan negara; 3) memiliki kepedulian untuk
mengembangkan kehidupan kebangsaan, sosial
dan ekonomi yang berkeadilan; 4) demokratis
yang mampu menghargai pluralisme sosial dan
budaya; 5) mampu berkontribusi untuk mewujudkan
kehidupan umat manusia yang bermartabat dan
saling menghargai; dan 6) membangun masyarakat
yang berkeadilan sosial (Sutjipto, 2016).
Sementara itu, praksis pendidikan kesetaraan
mengharuskan secara konsisten berpijak pada
tujuan pendidikan nasional, yakni “...berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”. Dengan demikian, ukuran
mutu kurikulum pendidikan kesetaraan bukan hanya
hal-hal berkait manusia Pancasilais sejati, melainkan
dan terutama terwadahinya: (1) menjadikan manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia; (2) berkembangnya
kemampuan peserta didik dan warga belajar; (3)
meningkatnya mutu kehidupan warga negara
yang terdidik; dan (4) meningkatnya martabat
manusia Indonesia yang berpendidikan. Keempat
fungsi tersebut saling terkait satu sama lainnya.
Dengan menjadi manusia yang agamis, dan diiringi
berkembangnya kemampuan secara potensial
akan meningkatkan mutu kehidupan seseorang.
Meningkatnya mutu kehidupan seseoraang dengan
sendirinya akan meningkat pula harkat dan martabat
seseorang.
Sementara itu, pada aspek kontekstualisasi,
menurut sebagian besar responden jika kurikulum
pendidikan kesetaraan ingin menjadi bagian strategi
yang melayani, yang dicintai, dan yang dicari
masyarakat, maka baik pembuat kebijakan maupun
pengembang kurikulum harus berani meniru apa
yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat
(PKBM) dan kemudian diperkaya dengan sentuhansentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi terkini sebagai kunci yang kemudian
disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya.
Tentu tak ada yang keliru dengan keinginan itu.
Hanya saja menjadi kurang tepat kalau hal tersebut
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
menjadi satu-satunya jawaban untuk menyelesaikan
persoalan kurikulum pendidikan kesetaraan secara
keseluruhan. Padahal, banyak hal lain yang segera
bisa dilakukan, misalnya hasil kajian Astin et al.
(2015) yang mengungkapkan bahwa sebuah
kurikulum inti untuk pengembangan profesional
berkelanjutan dari perawat harus memilki fungsi
sebagai “peta” yang mengidentifikasi tema kunci, dan
sebagai “alat” untuk menginformasikan ketentuan
pendidikan yang menjembatani kesenjangan antara
pendidikan perawat awal dan praktik spesialis.
Fungsi ‘peta’ kurikulum dan ‘alat’ kurikulum
dengan delapan tema kunci dari ciri kurikulum inti
yang disajikan bersama-sama dengan perlakuan
sebagai proses pembangunan dalam pembelajaran.
Kemudian, kedua koridor tersebut diperkaya dengan
sentuhan iptek, baik skala lokal, nasional maupun
global. Persentuhan sekaligus memberikan dasar
pijakan kuat bagi peningkatan kesadaran dan
pengakuan pembuat kebijakan kurikulum atas harga
diri, martabat dan eksistensi, serta identitas diri
peserta didik sebagai warga negara. Dengan segala
kebebasan dan kesetaraan yang dimiliki peserta
didik yang diwarnai eksklusi dan marginalisasi
pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum
seyogyanya berpikiran arif bahwa pengembangan
kurikulum yang sungguh-sungguh saat ini menjadi
kebutuhan dan tuntutan zaman yang sulit dihindari.
Terlebih di tengah ketidakberdayaan yang mereka
hadapi baik di luar PKBM maupun di lingkungan
PKBM karena tidak semua warga belajar Indonesia
cocok dengan pola kurikulum di sekolah formal.
Hanya dengan pengembangan kurikulum
yang sesuai tuntutan zaman dan kebutuhan
masyarakat masa depan pembangunan sumber
daya manusia yang cakap, cerdas, kreatif, dan
kompeten seperti itu, yang harus disiapkan. Keempat
fokus perancangan kurikulum pendidikan kesetaraan
tersebut senyampang dengan hasil penelitian
Doabler et al. (2015) mampu mengungkap bukti
awal bahwa dalam hal pengembangan kurikulum dan
evaluasi matematika harus terkait dengan kelayakan,
kegunaan, dan janji untuk meningkatkan prestasi
siswa. Untuk itu, perbaikan dan pengembangan
kurikulum pendidikan kesetaraan beserta dokumen
pendukungnya, menurut sebagian besar responden,
ke depan mesti dilakukan secara baik, terarah, dan
sungguh-sungguh dengan sasaran empat fokus
utama pada peningkatan mutu bekal kemampuan
peserta didik. Dari uraian itu dapat disarikan,
konsep, isu, maupun agenda pengembangan
kurikulum pendidikan kesetaraan patut dijawab
secara multidimensional. Pemahaman menyeluruh
oleh pembuat kebijakan terhadap konsep segala
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dipelajari
peserta didik di satuan pendidikan penyelenggara
program paket A, B, dan C adalah sebagai wahana
berkembangnya segala potensi kemampuan yang
dimilikinya menjadi pekerjaan utamanya.
Ketiga alinea di atas sejalan dengan hasil
penelitian Bat dan Fasoli (2013) memberi contoh rinci
tentang bagaimana teori penelitian tindakan dapat
meramu pendekatan inovatif untuk pendidikan dan
pelatihan para pekerja Adat (pendidikan nonformal)
anak usia dini di Northern Territory, Australia dalam
mendesain perangkat kurikulum melalui pendekatan
iteratif dan reflektif dengan pola pemberdayaan dan
penentuan nasib sendiri sehingga menghasilkan
cara yang baik terhadap persoalan pendidikan
anak adat. Cara yang baik, menurut hasil penelitian
tersebut dapat dimaknai sebagai sistem nilai yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat adat. Oleh
karena itu, sistem nilai, seperti nilai keagamaan,
nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai politis
perlu dipelihara dan diintegrasikan dalam kurikulum
pendidikan kesetaraan.
Pengembangan kurikulum pendidikan
kesetaraan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan mulai dari birokrat pembuat kebijakan,
praktisi, pengguna lulusan, ahli, hingga pemerhati
pendidikan. Ketika pendidikan kesetaraan dijadikan
sebagai sebuah strategi dalam pengembangan
pembangunan sumber daya manusia, maka
kurikulum pendidikan tersebut tampil sebagai wadah
program-program yang handal dan terpadu dengan
kehidupan dan kebutuhan masyarakat. Dengan
pemikiran seperti itu, maka pelibatan berbagai
komponen masyarakat diharapkan menghasilkan
kurikulum pendidikan kesetaraan yang futuristik.
Hanya dengan pengembangan kurikulum yang
sesuai tuntutan zaman (tuntutan abad 21) dan
kebutuhan masyarakat masa depan pembangunan
sumber daya manusia yang cakap, cerdas, kreatif,
dan kompeten yang harus disiapkan. Pemikiran
semacam itu sejalan dengan hasil penelitian Spence
dan McDonald (2015) mendukung anggapan,
bahwa experiential learning (EL) kurikulum yang
dikembangkan dengan komponen lateral secara
baik (yang disebut akuisisi pengetahuan dan
memperdalam kompetensi persepsi kinerja sebagai
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
153
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
subjek khusus) dan karier peserta didik dapat
membantu memperkuat kesiapan mereka guna
menjawab tantangan yang berhubungan dengan
pekerjaan yang kompleks.
Saat jenis pekerjaan yang ada sangat
beragam, dan menuntut kompetensi yang beragam
pula, seperti komunikasi, kolaborasi, kreativitas,
inovatif, dan berpikir kritis diperlukan rancangan
yang tegas. Untuk itu, pendidikan kesetaraan
membutuhkan rancangan kurikulum yang menandai
capaian tujuan tersebut. Hal ini amat dibutuhkan
agar peserta didik tidak hanya memiliki kualitas
pengetahuan dan kompetensi sebagai prasyarat
bekerja tetapi lebih dari itu, seperti memiliki sikap
integritas, kerja keras, disiplin, gotong royong,
mandiri, nasionalisme, dan keterampilan khusus
untuk menyelesaikan masalah kehidupan dan
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan
serta masalah sosial lainnya. Dengan kerangka pikir
ke arah pembentukan budi pekerti, kompetensi,
etika, estetika, kinestetika, dan karakter maka
peserta didik tamatan dari program paket akan dapat
mengatasi dan mengawal berbagai keragaman
sosial secara holistik dan juga meningkatkan mereka
dengan nilai-nilai universal ke tingkat yang lebih baik.
Kurikulum pendidikan kesetaraan yang
dikembangkan juga harus mampu mengintervensi
dan bersesuaian dengan penyiapan peserta didik
untuk meningkatkan mutu kehidupan secara
bertanggung jawab. Terhadap hal itu, Konantambigi,
Meghani and Modi (2008) dalam penelitiannya
mengungkapkan, bahwa intervensi dalam pendidikan
nonformal, terutama bagi masyarakat yang kurang
beruntung, dimulai dengan memobilisasi warga
suku di distrik Betul, Madhya Pradesh guna
memperjuangkan hak untuk hidup yang bermartabat
dan memiliki kesempatan yang lebih luas pada
kebutuhan pendidikan anak-anak mereka agar
memiliki bukan hanya literasi dan belajar berhitung
semata melainkan keterampilan yang lebih baik.
Intervensi itu direncanakan melalui kurikulum dengan
pendekatan partisipatif, humanistik dan mengubah
pembelajaran ke konstruktivis yang dilakukan
dengan pendekatan kontekstual dan berpusat pada
peserta didik.
Hasil dari penelaahan Konantambigi, Meghani
and Modi tersebut mengindikasikan bahwa dalam
pengembangan kurikulum pendidikan kesetaraan
seyogianya pengembang memiliki kepekaan
dan kemampuan mengidentifikasi dan mencatat
154
kebutuhan masyarakat, variasi minat mereka
sehingga dapat memobilisasi sumber daya yang
dapat berguna untuk dijadikan dasar pengembangan
berbagai aktivitas pembangunan kehidupan
masyarakat itu sendiri yang sesuai dengan kebutuhan
konteks lokal. Untuk itu, pengembangan kurikulum
pendidikan kesetaraan mesti dilakukan dengan peta
jalan yang baik, terarah, dan sungguh-sungguh
dengan fokus utama pada daya guna dan hasil
guna sehingga pada gilirannya akan berdampak
pada peningkatan mutu peserta didik. Oleh karena
itu, pada sisi yang lain, perlu juga mewadahi sistem
nilai, seperti nilai Pancasila, nilai keagamaan, nilai
keindonesiaaan, nilai gotong-royong, nilai moral, nilai
sosial, nilai budaya, nilai kinerja, nilai kemandirian,
dan nilai politis yang perlu dipelihara dan dikuatkan
dalam kurikulum.
Sebuah kurikulum dengan pembentukan nilai
moral dan kinerja, akan dapat mengatasi berbagai
problem sosial dan juga meningkatkan masyarakat
dengan kesiapan kerja yang lebih tinggi. Jadi,
tujuan utama dari kurikulum penddikan kesetaraan
selain pembentukan budi pekerti, kompetensi, etika,
estetika, kinestetika, dan karakter adalah untuk
memberikan bekal kepada peserta didik agar mampu
menjalani kehidupan sehingga tidak menjadi beban
orang lain. Oleh karena itu, arah dan pendekatan
kurikulum pendidikan kesetaraan yang dirancang
hendaknya menuju untuk kehidupan. Dengan begitu,
peserta didik yang karena memiliki keterbatasan
sehingga tidak bisa mengikuti pendidikan formal
dapat didorong sekuat tenaga dan daya agar
mereka menjadi bagian dari bangsa yang maju
dan berkapasitas tinggi. Kapasitas peserta didik
ditentukan bukan oleh kemampuan diri peserta didik
semata, tetapi sebagai hasil dari kemampuan dalam
mengubah keadaan atau lingkungan sekitar yang
menghambat tumbuhkembang dirinya.
Kemampuan peserta didik mengenali
hambatan struktural dan fungsional dapat diatasinya
melalui sistem kurikulum pendidikan kesetaraan
berbasis kinerja dengan pembelajaran yang
memberdayakan sehingga mereka menjadi lebih
berdaya dalam menghadapi masalah dan menjawab
tantangan hidup ketika masalah sosial-ekonomi
menderanya saat memasuki arena masyarakat.
Narasi itu, sejalan dengan kajian Zeichner (2012)
terhadap pengembangan sistem pendidikan guru
menuju praktik baik yang berbasis kinerja, dan
juga yang tidak mengabaikan aspek penting dari
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
pembelajaran yang juga baik. Pandangan ini
dapat dimaknai bahwa dengan bekal kemampuan
kejuruan, peserta didik yang mengikuti program
paket kesetaraan menjadi lebih kreatif dan produktif.
Bekal kompetensi kejuruan (vokasi) seperti itu,
sekaligus dapat menguatkan harga diri, martabat
dan eksistensi, dan identitas diri peserta didik
sebagai warga negara dengan segala kebebasan
dan kekurangan yang dimiliki di tengah kompetisi
yang mereka hadapi.
Di samping itu, kurikulum pendidikan
kesetaraan yang dikembangkan hendaknya
memberikan dasar pijakan bagi peningkatan
kesadaran dan pengakuan atas budaya literasi,
seperti baca tulis hitung, informasi, sains, ekonomi,
teknologi, keuangan, dan lain sebagainya. Rancangan
kurikulum yang berorientasi pada pemecahan
masalah ini, selanjutnya dikontektualisasikan pada
lingkungan sekitar dan kebutuhan khusus yang
dihadapi peserta didik. Dengan demikian, maka
kurikulum tersebut dapat dijadikan sandaran dan
memberikan bekal kepada peserta didik untuk
menghadapi ketidakliteratenya dan melakukan
pemberdayaan diri sesuai potensi sumber daya
yang ada dan kapasitas yang dimilikinya. Karenanya,
assesmen kebutuhan dan potensi sumber daya yang
ada perlu dirumuskan sebagai pijakan dasar sehingga
praktik pembelajaran yang mengetengahkan literasi
dapat dijalankan sesuai kebutuhan dan tepat
sasaran.
Kurikulum adalah jantungnya pendidikan,
contoh kasus: Pada tanggal 21 April 2008 (delapan
tahun lalu) di Jakarta, penulis menghadiri pertemuan
“Forum Kebijakan Selatan-Selatan tentang Belajar
Sepanjang Hayat sebagai Kunci bagi Pendidikan
untuk Pembangunan Berkelanjutan” (South-South
Policy Forum on Lifelong Learning as the Key to
Education for Sustainable Development), yang
berlangsung tanggal 21 sampai dengan 23 April.
Hadir dalam pertemuan sekitar 60 ahli pendidikan,
perwakilan pemerintah serta lembaga masyarakat
dari 18 negara di Asia dan Afrika. Tujuan utama
pertemuan adalah untuk me-review konsep
kurikulum dan pembelajaran sepanjang hayat
pada pendidikan formal, nonformal, dan informal
yang ada di masyarakat. Pertemuan tersebut
merekomendasikan bahwa satu sisi pembahasan
kurikulum menduduki kajian utama, namun pada sisi
yang lain pembelajaran yang mengantarkan peserta
didik menjadi berbudaya tak kalah pentingnya.
Bahkan terhadap hal itu, Kajian Borredon et al.
(2011) untuk meningkatkan praktik pengajaran dan
pembelajaran reflektif pada sekolah manajemen di
Perancis merekomendasikan model pembelajaran
lintas budaya.
Begitu pula kemandirian peserta didik
hendaknya juga dijadikan filosofi perancangan
kurikulum. Kurikulum pendidikan kesetaraan
hendaknya disusun karena berbagai sebab agar
peserta didik menjadi lebih mandiri dalam memasuki
kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum
tersebut hendaknya disusun dengan memiliki
karakteristik khusus yang diorientasikan pada
upaya memecahkan masalah-masalah khusus
yang dihadapi peserta didik agar menjadi manusia
yang mandiri. Selain itu, kurikulum tersebut juga
diperlukan untuk mengatasi masalah keterbatasan
akses, atau ketidakbisaan memasuki sekolah formal/
reguler karena adanya berbagai keterbatasan yang
dimiliki oleh peserta didik. Lebih dari itu, perancangan
kurikulum pendidikan kesetaraan juga diperlukan
sebagai upaya penciptaan ruang kreatif, atau
arena sosial atau publik sebagai kompetensi pilihan
untuk menumbuhkan kemandirian, kreativitas,
kewirausahaan, keterampilan khusus, kecakapan
hidup khusus dan kemampuan memasuki dunia
kerja.
Kurikulum pendidikan kesetaraan apabila
masih sebatas sesuai tuntutan dan kebutuhan
zaman, memandirikan, vokasi, literasi, sesuai
konteks lokal, dan bekal untuk menjalani kehidupan
sebagaimana diungkap di atas, dianggap belum
komplit. Kurikulum tersebut akan semakin bermakna
apabila sekaligus menjadi orientasi dan tujuan
utama dari pendidikan kesetaraan itu sendiri.
Perancangan kurikulum pendidikan kesetaraan
hendaknya diorientasikan pada penumbuhan
kapasitas peserta didik untuk mengembangkan
diri dan mengatasi masalah-masalah hidup yang
dihadapi. Mengingat orientasi yang demikian itu,
kurikulum pendidikan kesetaraan yang disusun
diharapkan memiliki kepekaaan terhadap kebutuhan
peserta didik karena memiliki ragam masalah
ekonomi dan sosial, dan konteks lingkungan sekitar.
Perancangan kurikulum pendidikan kesetaraan di
sini perlu dikontekstualisasikan pada potensi sumber
daya yang ada dan secara praksis bisa diharapkan
mengatasi masalah. Terutama sebagai bekal dasar
di masyarakat.
Demikian pula, mengingat begitu bervariasi
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
155
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
konteks permasalahan yang dimiliki peserta didik
dan lingkungan yang ada, maka kurikulum tersebut
bisa disusun dengan pendekatan keluwesan, dalam
arti bervariasi sesuai konteks, sesuai kebutuhan, dan
potensi sumber daya yang ada. Dengan demikian,
kurikulum didesain bukan hanya berdasarkan how
to survive dan menyesuaikan diri pada lingkungan,
melainkan untuk belajar berpikir sedemikian rupa
sehingga mampu menemukan hal-hal yang baru.
Adanya penemuan baru, akan menguatkan citra
bahwa ternyata tamatan PKBM bisa mencipta,
itu yang sangat diharapkan. Dengan terungkitnya
potensi secara optimal melalui pembelajaran, maka
ada pembenaran bahwa pedagogis mendasarkan
pada premis bahwa manusia memiliki kemampuan
tidak terbatas untuk belajar (limitless capacity to
learn), sehingga memiliki kemampuan luar biasa
untuk menciptakan hal-hal yang bersifat baru
(Semiawan, 1999).
Untuk menjaga agar pengembangan kurikulum
pendidikan kesetaraan berkualitas, terarah, dan tepat
guna maksimal, kementerian hendaknya menyusun
Rencana Induk Pengembangan Kurikulum 20202030. Peta jalan itu diharapkan diacu lembaga
pengembang kurikulum, seperti Puskurbuk
terkait program pengembangan kurikulum masa
depan. Konsistensi pelaksanaan peta jalan itu
didasarkan atas analisis konteks permasalahan yang
komprehensip. Hal ini diperlukan agar kurikulum
pendidikan kesetaraan mampu menginspirasi dalam
mengatasi permasalahan peserta didik. Program
kurikulum pendidikan yang bermakna manakala
berhasil mengentaskan setengah dari masalah
mereka. Pemikiran semacaam itu, sejalan dengan
hasil penelitian Kember, dkk. (2013) menemukan
fakta bahwa masa transisi peserta didik agar
berhasil masuk universitas harus melewati dua
strategi pengalaman belajar. Pertama, mereka harus
terkena masalah atau masalah dengan berbagai
ragam posisi. Kedua, perlu ada keterlibatan secara
aktif melalui kegiatan belajar dengan masalah
atau isu yang dihadapinya. Dari temuan studi ini
mengindikasikan bahwa kurikulum perlu dirancang
berbasis masalah bagi peserta didik PKBM di
mana pun mereka berada. Dengan demikian, asas
keluwesan dari kurikulum pendidikan kesetaraan
juga perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan dan
pengembang kurikulum.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas
berhasil mengungkap beberapa simpulan penting.
Pertama, pembuat kebijakan dan pengembang
masih menempatkan bahwa mendesain dan
mewujudkan kurikulum pendidikan kesetaraan
belum menjadikan prioritas utama, tetapi menunggu
pendidikan formal terlebih dahulu.
Kedua, pembuat kebijakan dan pengembang
belum menghadirkan penanda kebijakan konkret
berkait aspek fundamental kompleksitas dan konteks
realitas yang merepresentasikan kepentingan
bersama warga bangsa yang terejawantahkan dalam
kurikulum sebagai alat menapaki kehidupan.
Ketiga, rancangan kurikulum pendidikan
kesetaraan belum membekali pengetahuan dan
kompetensi sebagai prasyarat bekerja dan juga
belum kuat mendorong sikap integritas, kerja keras,
disiplin, gotong royong, kemandirian, nasionalisme
serta keterampilan khusus untuk menyelesaikan
masalah kehidupan.
Keempat, rancangan kurikulum pendidikan
kesetaraan belum menggambarkan instrumen
menghadapi masalah putus sekolah dan memecahkan
156
masalah sosial-ekonomi yang diorientasikan pada
kecakapan hidup guna memasuki kehidupan.
Saran
Berdasarkan simpulan penelitian yang
diungkapkan, berikut beberapa saran. Pertama,
para pembuat kebijakan dan pengembang kurikulum
hendaknya menganut paradigma bahwa kompetensi
lulusan program pendidikan kesetaraan tidak hanya
sekadar sama derajatnya dengan kompetensi
lulusan pendidikan formal sehingga kurikulumnya
tinggal menyesuaiakan dari pendidikan formal,
melainkan lebih dari itu, yaitu untuk kehidupan.
Kedua, para pembuat kebijakan dan
pengembang kurikulum hendaknya menganut
prinsip bahwa pengembangan kurikulum pendidikan
kesetaraan secara tersendiri merupakan kerja yang
menyuarakan masa depan warga bangsa.
Ketiga, rancangan kurikulum pendidikan
kesetaraan hendaknya tidak hanya memiliki
kualitas sikap, pengetahuan, dan kompetensi,
tetapi juga menumbuhkan kemandirian, kreativitas,
kewirausahaan, dan kecakapan hidup khusus
sebagai bekal memasuki kehidupan.
Keempat, kurikulum pendidikan kesetaraan
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
yang dikembangkan hendaknya sarat muatan nilai
karakter moral, nilai karakter kinerja, dan bekal
kecakapan abad-21 agar peserta didik mampu
mengatasi berbagai problem kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
Amaya, J., Peeters, D., Uribe, P. dan Valenzuela, J.
P. 2016. Optimization modeling for resource
allocation in the chilean public education
system. International Regional Science
Review. April 2016; vol. 39, 2: pp. 155-176.,
first published on February 24, 2015.
Astin, F., Carroll, D. L., Ruppar, T., Uchmanowicz,
I., Hinterbuchner, L., Kletsiou, E., Serafin, A.
dan Ketchell, A. 2015. A core curriculum for
the continuing professional development of
nurses: developed by the education committee
on behalf of the council on cardiovascular
nursing and allied professions of the ESC.
European Journal of Cardiovascular Nursing,
June 2015; vol. 14, 3: pp. 190-197., first
published on February 23, 2015.
Bat, M. dan Fasoli, L. 2013. Action research
as a both-ways curriculum development
approach: Supporting self-determination in
the remote Indigenous child care workforce
in the Northern Territory of Australia. Action
Research, March 2013; vol. 11, 1: pp. 52-72.,
first published on February 4, 2013.
Bindler, R. C., Goetz, S., Butkus, S. N., Power,
Thomas G., Ullrich-French, S., dan Steele, M.
2012. The process of curriculum development
and implementation for an adolescent health
project in middle schools. The Journal of
School Nursing, February 2012; vol. 28, 1: pp.
13-23., first published on October 12, 2011.
Borredon, L., Deffayet, S., Baker, A. C. dan Kolb,
D. 2011. Enhancing deep learning: lessons
from the introduction of learning teams in
management education in France. Journal of
Management Education, June 2011; vol. 35, 3:
pp. 324-350., first published on April 21, 2010.
Bull, M. 2013. Transformative Sustainability
Learning: Cultivating a Tree-Planting Ethos
in Western Kenya, Journal of Education for
Sustainable Development, March 2013; vol.
7, 1: pp. 5-21.
Chin, J., May, M., Sullivan-Chin, H., dan Woodrick, K.
2014. How Can Social Psychology and Group
Dynamics Assist in Curriculum Development?.
Teaching Sociology, April 2014; vol. 42, 2: pp.
86-94., first published on February 6, 2014.
Creswell, John W. 2014. Research Design:
Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches, 4th Edition. Thousand Oaks,
California: SAGE Publications, Inc.
Crisp, B. R. 2015. The challenges in developing crossnational social work curricula, International
Social Work, 0020872815574135, first
published on May 6, 2015.
Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP). Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL.
Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2007 tentang Standar Isi (SI) untuk Program
Paket A, Program Paket B, dan Program
Paket C. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: Depdiknas.
Doabler, C. T., Clarke, B., Fien, H., Baker, S. K.,
Kosty, D. B. dan Cary, M. S. 2015. The
science behind curriculum development and
evaluation: Taking a design science approach
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
157
Pengembangan Kurikulum Pendidikan ...
in the production of a tier 2 mathematics
curriculum. Learning Disability Quarterly, May
2015; vol. 38, 2: pp. 97-111., first published on
February 7, 2014.
Harian Kompas. 15 September 2016. Pendidikan: Di
Sekolah Nonformal, Akbar Merajut Cita-cita.
15 September 2016. Hal. 1.
Hollins, E. R. (2011) Teacher preparation for quality
teaching. Journal of Teacher Education
September/October 2011 62: 395-407,
doi:10.1177/0022487111409415.
http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/3869.
Diunduh 4 Agustus 2015, pukul 10.30.
Kember, D., Hong, C., dan Ho, Amaly. (2013). From
model answers to multiple perspectives:
Adapting study approaches to suit university
study. Active Learning in Higher Education,
March 2013; vol. 14, 1: pp. 23-35., first
published on December 18, 2012.
Konantambigi, R. M., Meghani, S., dan Modi A.
(2008). Non-formal education in a tribal
setting: Strategies for qualitative changes in
children. Psychology & Developing Societies,
January 2008; vol. 20, 1: pp. 65-98.
Maitra, Krishna. dan Shama, Jyoti. (2009). Nonformal curriculum for out-of-school advanced
learners. Gifted Education International,
January 2009; vol. 25, 1: pp. 75-80.
Mukhadis, A. (2013). Evaluasi program pembelajaran
bidang teknologi: Terminologi, prosedur
158
pengembangan program dan instrumen.
Malang: Bayumedia Publishing.
Semiawan, C. R. (1999). Peningkatan kemampuan
manusia sepanjang hayat seoptimal mungkin,
cetakan pertama. Jakarta: Ditjen. Pendidikan
Tinggi.
Spence, K. K. dan McDonald, M. A. (2015). Assessing
Vertical Development in Experiential Learning
Curriculum, Journal of Experiential Education,
September 2015; vol. 38, 3: pp. 296-312., first
published on March 24, 2015.
Solitander, N., Fougère, M., Sobczak, A. dan
Herlin, H. (2012). We are the champions:
organizational learning and change for
responsible management education, Journal
of Management Education, June 2012; vol. 36,
3: pp. 337-363., first published on December
28, 2011.
Sutjipto. (2016). Pentingnya pelatihan kurikulum
2013 bagi guru. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Vol. 1 Nomor 2, Agutus 2016.
Tin-Yau Lo, J.(2010). The primary social education
curricula in Hong Kong and Singapore: A
comparative study. Research in Comparative
and International Education, June 2010; vol.
5, 2: pp. 144-155.
Zeichner, K. (2012). The turn once again toward
practice-based teacher education , Journal
of Teacher Education, November/December
2012; vol. 63, 5: pp. 376-382.
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
INDEKS PENULIS
JURNAL VISI VOLUME 11 TAHUN 2016
Agustin, Mubiar, 121
Anggraini, Gian Fitri, 111
Bunga, Beatriks Novianti, 73, 41
Fauzi, 99
Gustiana, Asep Deni, 121
Handayani, Meni, 57
Hapidin, 13
Herlina 29
Hidayat, Dayat, 81
Kiling, Indra Yohanes, 41
Oedjoe, Mientje Ratoe, 73
Oktiwanti, Lesi, 49
Putra, Mansyur Romadon, 22
Rahma, Siti, 13
Rahmah 36
Sadikin, Ade, 65
Saepudin, Asep, 65
Saripah, Iip, 65
Saripah, Ipah, 121
Sofia, Ari, 111
Subijanto, 1
Sutjipto
Utami, Ade Dwi, 13
Yanti, Prima Gusti, 131
Jurnal Ilmiah VISI PPTK PAUDNI - Vol. 11, No. 2, Desember 2016
159
INDEKS SUBJEK
JURNAL VISI VOLUME 11 TAHUN 2016
Afeksi paternal 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47
Anak usia dini 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 13, 14, 22,
23, 24, 26, 27, 28, 37, 38, 41, 42, 43, 45, 46,
47, 57, 58, 61, 63, 66, 73, 74, 75, 76, 77, 78,
79, 99, 100, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 116,
117,118, 121, 128,
Anak 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20,
21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 31, 37, 38, 39,
42, 43, 44, 45, 46, 47, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 64
Budaya 2, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 46, 57, 60, 63,
64, 81, 88, 99, 100, 101, 102, 105, 106, 108,
113, 114, 116, 117,
Cim-Ciman 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106,
107, 108
Karakter 27, 42, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 64, 99, 100,
101, 102, 105, 106, 107, 108, 113, 114
Karakter anak usia dini 27, 28, 57, 58
Keberdayaan 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56
Kelompok tani 49, 50, 51, 53
Kemampuan guru dalam bercerita 36, 37, 38, 39, 40
Kemandirian 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 50
Kesempatan kerja 81, 84, 85, 87, 88, 95, 96, 97
Keterampilan 18, 27, 29, 30, 31, 34, 36, 37, 43, 49,
50, 51, 52, 53, 54, 55
Keterampilan membaca 29, 30, 31, 34
Keterlibatan ayah 41, 42, 43, 45, 46
Komunikasi antarpribadi 57, 58, 59, 61, 62, 64
Kualitas pendidikan 1, 2
Lembaga PAUD 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 10
Lingkungan pemulung 13, 14, 16, 17, 19, 20
Lingkungan perumahan 1, 2, 9, 10
Motorik kasar 73, 74, 75, 76, 78, 79, 102, 107
Mutu Layanan 65, 69, 70
Nilai 25, 68, 71, 76, 78, 84, 85, 94, 95, 96, 99, 100,
101, 102, 105, 106, 108, 111, 114, 115, 126,
127
Pelatihan bercerita 36, 37, 38, 39, 40,
Pelatihan keterampilan hidup 81, 83, 84, 85, 86, 87,
88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97
Peluang 3, 49, 51, 52, 53, 54, 55
Pemahaman Bahasa Inggris 29
Pemerataan layanan pendidikan 1
Pendapatan warga belajar 81, 85, 87, 95, 96, 97
Pendidikan karakter 57, 60, 63
Pendidikan nonformal 2, 50, 65, 66, 67, 81, 82, 84
Pengasuhan 4, 5, 16, 26, 27, 41, 42, 43, 44, 45, 46,
47, 62
Pengetahuan 6, 9, 13, 26, 31, 34, 36, 38, 49, 50,
51, 52, 53, 54, 55, 62, 106, 112, 115, 116, 117
Penguatan manajemen 65, 67, 69, 70
Perilaku sosial 22, 24, 25, 26, 27, 28, 57
Perluasan akses 1, 2, 5, 6, 9
Permainan tradisional 73, 74, 75, 76, 78, 79, 99, 101,
102, 105, 106, 108
Permainan tradisional Sikodoka 73, 76, 79
PKBM 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 81, 84, 85, 86,
87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98
SQ4R 29, 30, 31, 32, 33, 34
Sumber daya 5, 7, 37, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 59,
68, 82
Taman kanak-kanak 2, 9, 36, 37, 38, 39, 121, 125, 127
Tuna grahita 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79
PETUNJUK PENULISAN
1.Persyaratan Naskah
Naskah yang dikirimkan kepada editor dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang merupakan
gagasan/karya tulis asli, belum pernah diterbitkan, tidak sedang dipertimbangkan untuk dimuat di
media, jurnal, atau majalah lain baik nasional maupun internasional, dan belum pernah dikirim ke media
cetak lain. Penulis menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak mengandung unsur plagiarisme atau
pelanggaran etika akademik lainnya. Setiap pelanggaran sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
2. Ragam Naskah
Naskah dapat berupa hasil hasil penelitian, kajian kepustakaan/literatur, kajian empiris, studi kasus,
evaluasi, kajian kebijakan, isu-isu mutakhir pendidikan, atau resensi buku. Naskah dapat berupa
pengembangan dari skripsi, tesis, disertasi, atau penelitian lain.
3. Stuktur Naskah
a.Judul: Menggambarkan isi naskah yang disajikan secara singkat dan padat, tidak terlalu spesifik/
sempit, tetapi juga tidak terlalu umum, dengan panjang paling banyak 14 kata.
b. Identitas Penulis: Nama penulis ditulis secara lengkap, tanpa gelar, alamat e-mail, serta nama dan
institusi/ lembaga. Apabila penulis naskah lebih dari satu orang, alamat email yang dicantumkan
adalah alamat penulis utama yang disebutkan pada urutan terdepan nama penulis.
c.Abstrak: bersifat informatif berisi latar belakang, masalah, tujuan, metode, tempat dan waktu penelitian,
hasil dan saran. Abstrak ditulis secara singkat tanpa memuat rumus/ perhitungan statistik, dengan
panjang antara 150-250 kata dan disusun dalam satu paragraf, serta dilengkapi dengan paling sedikit
tiga kata kunci yang merupakan konsep penting dalam naskah. Judul dan abstrak ditulis dalam versi
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
d.Pendahuluan: berisi latar belakang dan rumusan masalah, manfaat penelitian, serta kajian pustaka/
teori tanpa menggunakan subjudul. Isi pendahuluan tidak melebihi 20% dari keseluruhan tulisan.
e. Metode Penelitian: berisi jenis, tempat dan waktu, serta prosedur penelitian (sumber data, teknik
pengumpulan data, dan teknik analisis data).
f. Hasil dan Pembahasan: mencakup hasil/ data kualitatif dan/atau kuantitatif yang diikuti dengan
pembahasan serta implikasi.
g.Penutup: terdiri atas (a) kesimpulan temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan
penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan, dan (b) saran. Kesimpulan dan saran disajikan
dalam bentuk paragraf.
i. Perujukan dan Pengutipan: menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir, tahun). Contoh:
(Sitepu, 2014)
h. Daftar Pustaka: hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk, dan semua sumber yang dirujuk harus
tercantum dalam daftar rujukan. Sumber rujukan minimal 80% berupa pustaka terbitan 10 tahun
terakhir. Jumlah pustaka yang diacu untuk hasil penelitian paling sedikit 10 pustaka dan untuk hasil
kajian paling sedikit 25 pustaka. Contoh penulisan daftar pustaka disusun dengan tata cara seperti
contoh berikut ini, diurutkan secara alfabetis dan kronologis:
Buku:
Januszewski, A.,& Molenda, M. (2008). Educational technology: A definition with commentary. New
York: Routledge.
Newby, T. J., et.al. (2010). Educational technology for teaching and learning (4th ed). London: Pearson
Buku elektronik:
Niemann, S., Greenstein, D., & David, D. (2004). Helping children who are deaf: Family and
community support for children who do not hear well. Diakses dari http://www.hesperian.org/
publications_download_deaf.php
Buku kumpulan artikel:
Saukah, A. & Waseso, M.G. (Eds.). (2002). Menulis artikel untuk jurnal ilmiah (edisi ke-4, cetakan
ke-1). Malang: UM Press.
Artikel dalam buku kumpulan artikel:
Russel, T. (1998). An alternative conception: representing representation. Dalam P.J. Black & A. Lucas
(Eds.), Children’s Informal Ideas in Science (hlm. 62-84). London: Routledge.
Artikel dalam jurnal atau majalah:
Sadid, A. (2014). Model desa terpadu PAUDNI mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
Jurnal VISI PPTK-PAUDNI, 9 (1), 56-67.
Artikel dalam koran elektronik:
Maruli, A. (November, 2013). Pemerintah alokasikan Rp 2,40 triliun untuk paud nonformal dan
informal. Antaranews.com. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/405210/pemerintahalokasikan-rp-240-triliun-untuk-paud-nonformal-dan-informal pada tanggal 10 Desember 2013.
Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang):
Wanita kelas bawah lebih mandiri. (2010, 22 April). Kompas, p. 3
Dokumen resmi:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1978). Pedoman penulisan laporan penelitian.
Jakarta: Depdikbud.
Undang-undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003). Jakarta: PT Armas Duta Jaya.
Buku terjemahan:
Zainu, M. (2010). Solusi pendidikan anak masa kini. (Syarif Hade, penterjemah). Jakarta: Mustaqiim
Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian:
Septiani, M. (2015). Pengalaman pusat kegiatan belajar masyarakat dalam memfasilitasi masyarakat
Jakarta Utara belajar sepanjang hayat: Sebuah studi fenomenologi di Jakarta Utara. Tesis tidak
diterbitkan. Jakarta: PPS UNJ.
Internet (artikel dalam jurnal online):
Johns, E., & Mewhort, D. (2009). Test sequence priming in recognition memory. Journal of Experimental
Psychology: Learning, Memory and Cognition, 35, 1162-1174. doi: 10.1037/a0016372
4. Fisik Naskah
Naskah diketik dengan format A4, menggunakan jenis huruf Arial ukuran 10 point dengan spasi 1,5.
Panjang naskah berkisar antara 4000-10.000 kata yang diserahkan kepada editor dalam bentuk soft
copy (CD) dan hard copy/ print out. Tabel diberi nomor secara berurut dan diberikan judul secara singkat,
diletakan di atas tabel dan diketik menggunakan huruf kapital pada setiap awal kata. Gambar, termasuk
grafik, bagan, diagram, peta, foto, atau sketsa diberikan nomor secara berurut dengan penjelasan dan
diletakan di bawah gambar. Berikut ini adalah contoh penulisan tabel dan gambar.
Tabel 1. Persentase Mahasiswa Yang Memiliki
Peralatan TIK
No
Peralatan TIK
Persen (%)
1
Komputer pribadi (PC)
11.8
2
Laptop
32.2
3
Tablet
7.5
4
iPod touch
1.5
5
Telepon
10.3
6
Handphone
36.7
Gambar 1. Persentase mahasiswa yang memiliki
peralatan TIK
5. Penyerahan Naskah.
Naskah dalam bentuk hard copy dan compact disk (CD) dikirim ke Redaksi Jurnal VISI PPTK PAUDNI
UNJ, Kampus A UNJ Gd. Daksinapati, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta Timur, 13220. Soft copy naskah
dapat dikirim ke E-mail: [email protected]. Editor hanya menerima dan mempertimbangkan
naskah yang memenuhi syarat seperti yang tertera di atas. Penulis tidak dikenakan biaya submisi dan
Redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan kepada penulis naskah yang tidak dimuat.
6. Telaahan Naskah
Naskah yang dinyatakan lolos dari seleksi pendahuluan dikirimkan kepada satu atau dua orang blind
reviewer (penelaah tidak tahu nama penulis dan sebaliknya) untuk ditelaah kemungkinan penerbitannya.
Penulis berkewajiban memperbaiki (bila perlu) naskah sesuai dengan saran penelaah sebagai syarat
untuk penerbitan sebuah artikel.
Download