etika berbusana - EJOURNAL | Universitas Narotama Surabaya

advertisement
ETIKA BERBUSANA
(Studi Kasus Terhadap Pola Berbusana Mahasiswi IAIN
Walisongo Semarang)
TESIS
Diajukan Sebagai Persyaratan
Untuk Memperoleh Gelar Magister
Dalam Ilmu Agama Islam
Oleh:
HATIM BADU PAKUNA
NIM 5202020
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2005
HALAMAN PENGESAHAN
2
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa tesis ini
tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga tesis ini tidak berisi pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi
yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 2 Juni 2005
Deklarator
HATIM BADU PAKUNA
NIM 5202020
3
ABSTRAKSI
Etika Islam merupakan aturan baik dan buruk perbuatan manusia yang
disandarkan pada ajaran-ajaran Islam. Etika Islam mencakup cara bergaul, duduk,
berjalan, makan-minum, tidur, dan pola berbusana. Artinya, ada patokan-patokan
yang harus diikuti. Seperti dalam pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad
Al-Jamal dalam bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam
berbusana hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain
yang bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan, tidak ketat, tidak tipis
menerawang, tidak menyerupai pakaian lelaki, dan tidak berwarna menyolok.
Namun patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat
ini masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan,
sebagai penutup aurat rambut dan leher, atau hanya sebatas identitas wanita
muslimah. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama
yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan
hanya pada momen-momen kerohanian; shalat, pengajian, berkabung, bahkan saat
menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tidak dipakai pada berbagai aktivitas
kesehariannya. Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka
itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan
dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai,
jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi
untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual dan eksploitasi
agama.
Begitu pula mahasiswi IAIN Walisongo Semarang yang notabene
memakai jilbab sebagai salah satu simbol identitas perguruan tinggi yang berbasis
ilmu-ilmu keislaman. Setelah dilakukan penelitian terhadap mahasiswi yang
tergabung dengan KAMMI, HMI, IMM, PMII, UKM Music, Teater dan
Mawapala, ternyata banyak keragaman pola berbusana yang mereka dipakai,
seberagaman corak pemahaman keagamaan mereka. Mahasiswi yang bergabung
dengan KAMMI memahami bahwa pola busana yang dipakai oleh seorang
muslimah (termasuk mahasiswi) seharusnya yang longgar sehingga dapat
menutup aurat rapat-rapat, tidak boleh transparan/ketat, sebab dengan pola
berbusana seperti itu diharapkan membawa pemakainya pada perilaku yang
mencerminkan etika Islam. Mahasiswa yang bergabung dengan HMI, IMM dan
PMII memahami bahwa pola berbusana muslimah yang penting dapat menutup
aurat, bentuknya tidak harus longgar, yang penting masih kelihatan sopan.
Sebaliknya, mahasiswi yang bergabung dengan UKM Music, Teater dan
Mawapala, lebih memahami bahwa busana yang seharusnya dipakai mahasiswi
harus mengikuti mode, sehingga mengesankan mahasiswi IAIN tidak ketinggalan
zaman dalam berbusana. Merekapun merefleksikan pemahamannya tentang pola
berbusana dengan berbusana yang mereka pakai. Selanjutnya, manakah
pemahaman keagamaan dan pola berbusana mahasiswi IAIN yang sesuai dengan
etika Islam, inilah yang dikaji dalam tesis ini.
4
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, berkat ketekunan dan
usaha maksimal penulis, penyusunan tesis yang berjudul “ETIKA BERBUSANA
(Studi Kasus Terhadap Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo Semarang)”
dapat terselesaikan.
Penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai
pihak yang kepadanya patut diucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Prof. Dr. Abdurrahman Mas’ud, M.A., selaku Direktur Program Pascasarjana
IAIN Walisongo.
3. Dr. Abdul Muhayya, M.A., selaku dosen pembimbing yang banyak
memberikan arahan dan koreksi hingga terselesaikannya tesis ini.
4. Dr. Ahmad Gunaryo, M.Soc.Sc. dan Drs. Darori Amin, M.A., selaku Asisten
Direktur I dan Asisten Direktur II Program Pascarjana IAIN Walisongo.
5. Segenap dosen Pascasarjana IAIN Walisongo yang telah memberikan bekal
pengetahuan kepada penulis dalam menyelesaikan jejang studi S-2.
6. Segenap pegawai administrasi dan karyawan Pascasarjana yang telah banyak
memberikan layanan akademik selama study di Pascasarjana.
7. Segenap pegawai Perpustakaan IAIN, Perpustakaan Pascasarjana, dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan layanan dalam
peminjaman buku-buku referensi.
5
8. Segenap keluarga penulis yang banyak memberikan dorongan baik materiil
maupun moriil dalam menempuh studi.
9. Teman-teman penulis yang ikut memberikan dorongan dan membantu dalam
menyelesaikan tesis ini, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satupersatu.
Semoga Allah S.W.T. membalas semua amal kebaikan mereka dengan
balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis. Penulis menyadari
bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari aspek materi, metodologi dan
analisisnya. Karenanya, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan untuk karya yang lebih baik di masa mendatang. Akhirnya hanya
kepada Allah S.W.T. penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya, dan bagi pembaca umumnya.
Semarang, 2 Juni 2005
Penulis,
HATIM BADU PAKUNA
NIM 5202020
6
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin
‫ا‬
a
‫ض‬
dl
‫ب‬
b
‫ط‬
th
‫ت‬
t
‫ظ‬
zh
‫ث‬
ts
‫ع‬
‘
‫ج‬
j
‫غ‬
gh
‫ح‬
h
‫ف‬
f
‫خ‬
kh
‫ق‬
q
‫د‬
d
‫ك‬
k
‫ذ‬
dz
‫ل‬
l
‫ر‬
r
‫م‬
m
‫ز‬
z
‫ن‬
n
‫س‬
s
‫و‬
w
‫ش‬
sy
‫ﻩ‬
h
‫ص‬
sh
‫ء‬
’
‫ي‬
y
7
Untuk Mâd dan Diftong
â
= a panjang
î
= i panjang
û
= u panjang
‫او‬
= aw
‫او‬
= uw
‫اي‬
= ay
‫اي‬
= iy
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah atau qamariyah, yakni
‘al’ ditulis sama. Contoh:
‫اﻟﻘﺮان‬
= al-Qur’ân
‫اﻟﺴﻴﺪة‬
= al-Sayidah
‫اﻟﻌﻮام‬
= al-‘Awâm
‫ = اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ‬al-Syarî’ah
8
DAFTAR SINGKATAN
S.W.T.
S.a.w.
R.a.
H.R.
H.
M.
Q.S.
NU
PMII
HMI
IMM
KAMMI
MAWAPALA
UKM
PKS
Ibid.
Op.cit.
Loc.cit.
Hlm.
T.th.
Dkk.
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Suhanahu Wa Ta’ala
Shalalllahu ‘alaihi wasalam
Radiyalllahu anhu
Hadits Riwayat
Hijriyah
Masehi
Al-Qur’ân Surat
Nahdlatul Ulama
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Himpunan Mahasiswa Islam
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
Mahasiswa Walisongo Pecinta Alam
Unit Kegiatan Mahasiswa
Partai Keadilan Sejahtera
Ibidem (pada tempat yang sama)
Opere cicato (dalam karangan yang telah disebut)
Loco cicato (pada tempat yang telah dikutip)
Halaman
Tanpa tahun
Dan kawan-kawan
9
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
“Siapa yang memakai pakaian (yang bertujuan mengundang)
popularitas, maka Allah akan mengenakan untuknya pakaian
kehinaan pada hari kemudian, lalu dikobarkan pada pakaiannya
itu api”. (H.R. Abu Daud).
Tesis Ini Penulis Persembahkan Kepada:
-
Mama “Monira Datau” dan Papa “Badu Pakuna”
-
Kakak-kakaku tersayang; “Kak Wahid, Kak Amran, Tata Rama,
Aci Hasna dan Daci Wati”.
- Teman-temanku terkasih terutama “Mamang” thanks for everything
10
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ........................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
iii
HALAMAN DEKLARASI .......................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAKSI ........................................................................
v
HALAMAN KATA PENGANTAR ..........................................................
vi
HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI ...........................................
viii
HALAMAN DAFTAR SINGKATAN ........................................................
x
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................
xi
HALAMAN DAFTAR ISI .........................................................................
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
B. Rumusan Masalah ............................................................
10
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian .................................
10
D. Tinjauan Pustaka .............................................................
11
E. Metode Penelitian ...........................................................
15
F. Sistematika Penulisan .....................................................
18
DISKURSUS-DISKURSUS ETIKA
A. Istilah Etika ......................................................................
20
B. Norma Dasar Etika ..........................................................
24
C. Etika Islam dan Norma-normanya ...................................
27
D. Etika Berbusana ..............................................................
34
E. Etika Berbusana; Tinjauan Fungsi ..................................
38
F. Kontroversi Jilbab ...........................................................
54
11
BAB III
ETIKA BERBUSANA MAHASISWI IAIN WALISONGO
SEMARANG
A. Dinamika dan Ragam Corak Pemikiran Keagamaan
Mahasiswa IAIN Walisongo ...................................................
61
B. Pemahaman Keagamaan dan Pola Berbusana Mahasiswi
IAIN Walisongo .......................................................................
C. Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Pola
Berbusana
Mahasiswi IAIN Walisongo ....................................................
BAB IV
ANALISIS
TERHADAP
ETIKA
73
79
BERBUSANA
MAHASISWI IAIN WALISONGO SEMARANG
A. Analisis
Terhadap
Pemahaman
Mahasiswi
IAIN
Walisongo tentang Pola Berbusana dan Implikasinya .....
84
B. Analisis terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola
Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo .......................... 100
C. Pola Ideal Etika Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo . 108
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 113
B. Saran-saran ...................................................................... 116
C. Kata Penutup ................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA
12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Etika merupakan problem asasi yang dihadapi setiap manusia baik
secara inidividu maupun kolektif. Batasan etika sendiri menurut para pakar,
termasuk pakar pendidikan sulit dicari parameternya, sehingga memunculkan
ragam perspektif. Perpedaan persepsi inilah yang semestinya dipandang
sebagai aset yang perlu dihargai dan didiskusikan. Jika suatu etika telah
tertanam, maka problem selanjutnya yaitu pemeliharaannya yang jauh lebih
sulit dibanding mengumpulkan informasinya. Sebab erat kaitannya dengan
suasana batin (naluri batin manusia).
Naluri manusia sendiri masih menjadi sumber vital bagi setiap
aktivitas hidup. Idealnya naluri bisa ditundukkan di bawah kendali akal. Jika
sampai menyimpang dari kendali akal, dapat menghalangi cara pandang
manusia. Kemudian membatasi pengaruhnya supaya orang yang tidak
berpikir dipaksa untuk mengikuti kecenderungan-kecenderungan yang
bertentangan
dengan
logikanya.
Di
sinilah
disadari
peran
penting
menyelaraskan komponen naluri dan akal sehingga diperoleh pola kehidupan
yang beretika yang didasari prinsip-prinsip moral.1
Praktek prinsip-prinsip moral atau etika akan melibatkan sejumlah
kesulitan dan tidak jarang melahirkan kontradiksi. Oleh karena itu,
1
Lihat Sayid Mujtaba Musawi Lari, Ethics and Spiritual Growth, terj. M. Hasyim Assagaf
”Etika dan Pertumbuhan Spiritual”, Jakarta: Lentera Basritama, 2001, hlm. xi.
13
pendidikan dan pelatihan yang tidak berbasis spiritualitas tidak dapat menolak
naluri yang melemahkan. Orang yang tidak mempunyai pengamanan
spiritualitas akan segera terpengaruh oleh hawa nafsu. Karena, pendidikan
semacam itu tidak memiliki kekuatan untuk melawan dominasi hawa nafsu.
Akibatnya, etikanya pun menyimpang dari prinsip-prinsip moral.
Oleh karena itu, keyakinan religius merupakan jaminan yang cukup
penting bagi pelaksanaan prinsip-prinsip manusiawi dan sebagai dukungan
yang paling besar bagi nilai-nilai etika dalam melawan hawa nafsu. Manusia
dapat membebaskan dirinya dari cengkraman dorongan-dorongan dan motifmotif yang merugikan melalui keimanan kepada Sang Pencipta, adanya hari
balasan, pahala dan dosa.
Tujuan para Nabi, terutama Nabi Muhammad s.a.w. ialah mendidik
etika manusia untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi, dan
membersihkan pikiran mereka dari pencemaran dan kotoran. Penyebaran
etika Islam, yang dilancarkan oleh Nabi merupakan gerakan unik, tanpa
tandingan, dari sisi pandang etos tentang kedalaman dan keasliannya yang
konstruktif. Etika Islam menjadi unik dalam pengertian bahwa ia meliputi
semua kehalusan rohani manusia dan perhatian khusus kepada setiap gerak
pikiran dan yang berasal dari batin. Dampak
yang belum pernah ada
sebelumnya yang dilakukan pada jiwa manusia dan realitas dari kehidupan
ialah mengangkat suatu umat yang rusak menuju ketinggian martabat.2
2
Ketika masyarakat yang bobrok itu diberi keimanan dan bimbingan, ia meletakkan fondasi
dari tatanan baru di dunia dan maju sehingga ia menjadi suatu model moralitas dan keutamaan
manusia, suatu model yang sepertinya belum pernah dilihat sejarah. Bahkan sekarang, ketika
kekosongan ruhani menandai watak dan ruh Barat abad ke-20, ketika orang-orang yang dibesarkan
14
Abad modern3, yang ditandai dengan perkembangan berbagai
bidang seperti ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, juga bisa
meninggalkan problem serius. Sekadar contoh, dengan semakin majunya
teknologi informasi, orang bukan saja dapat menikmati beberapa stasiun
televisi di dalam negeri, tetapi juga bisa menikmati siaran lain dari luar
negeri. Apa yang diperbuat dan dilakukan oleh bangsa-bangsa yang
berbudaya dan berperadaban lain, bisa ditonton. Mereka yang silau oleh
kemajuan peradaban bangsa lain, berusaha menirunya tanpa selektif. Dengan
peniruan yang tidak mempertimbangkan apakah hal itu sesuai dengan normanorma agama serta adat istiadat yang berlaku di tempatnya dan apa pula
akibatnya bagi dirinya dan generasi sesudahnya, akhirnya patokan-patokan
moral yang tadinya diagungkan mulai memudar. Nilai-nilai lama yang sakral,
dengan sendirinya terkikis oleh nilai-nilai baru.
Kalau dahulu kaum wanita merasa malu karena terlihat betis
kakinya,
sekarang
justru
sebagian
dari
mereka
bangga
untuk
mempertontonkan semua bagian tubuhnya kepada siapa saja. Pembicaraan
tentang seks, yang dahulu merupakan suatu hal yang tabu, sekarang menjadi
pembicaraan di mana saja dengan tidak rasa pekewuh sedikitpun. Bahkan
dengan alasan untuk seni, orang tidak malu mempertunjukkan gerakan apa
dalam lingkungannya datang berlindung di tangan Islam, terjadi suatu perubahan total dalam
rohani dan etosnya. Para ilmuwan Amerika telah mengakui bahwa ketika orang-orang AmerikaAfrika masuk Islam, semua aspek kehidupan mereka mengalami perubahan mendalam. Lihat
Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al-Akhlak fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1963, hlm. 45
3
Biasa disebut era globalisasi. Disebut demikian, karena perkembangan informasi maju
dengan sedemikian pesatnya, sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan dunia, bisa
diikuti dan disaksikan di tempat lain pada waktu yang sama. Dunia seakan menjadi semakin
sempit tanpa batas-batas teritorial.
15
saja, termasuk gerakan yang paling pribadi kepada khalayak umum.4 Kasus
goyang “ngebor” yang dipertontonkan Inul Daratista beberapa waktu yang
lalu sebagai salah satu contohnya. Di samping masih banyak lagi contoh yang
lebih seronok, yang menunjukkan betapa patokan-patokan etika telah
mengalami pergeseran. Yang jelas, budaya malu, yang menjadi benteng
pertahanan manusia dari perbuatan-perbuatan amoral, sekarang telah runtuh.
Otoritas moral yang berupa adat kebiasaan, kode moral, pernyataan
tentang suatu kaidah, lembaga-lembaga keagamaan, karya sastra yang
disakralkan, hukum alam, kekuasaan negara yang dianggap mempunyai
pengaruh dalam menegakkan moral, sekarang sudah ditinggalkan dan
dianggapnya sebagai masa lalu. Anggapannya, suatu kemajuan hanya bisa
dicapai dengan cara memberontak terhadap nilai-nilai yang sudah mapan.
Sesudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap otoritas moral yang
sudah mapan, timbulah relatifisme yang memandang benar atau salah itu
berbeda-beda menurut tempat dan waktu. Suatu hal yang dianggap benar,
pada suatu tempat dan waktu, belum tentu benar menurut tempat yang sama,
tetapi waktunya berlainan. Apalagi pada tempat dan waktu yang berbeda.
Benar dan salah adalah relatif.
Ada pula yang memandang bahwa moral itu subyektif, juga relatif.
Moral itu berubah dan berkembang sesuai dengan situasi yang ada. Para
penganjur etika ini menghormati kaidah-kaidah etika dan kebijaksanaan yang
telah ada. Tetapi, kaidah dan kebijaksanaan itu dianggap sebagai pedoman
4
Lihat M. Darori Amin, “Norma-norma Etika Islam”, dalam Teologia, Volume 12, Nomor
3, Oktober, 2001, hlm. 319.
16
yang dapat dikesampingkan jika situasinya demikian. Joseph Fletcher
mengatakan bahwa segala tindakan atau perbuatan apa saja adalah benar atau
salah tergantung kepada situasi yang ada.5 Perbedaan sandaran moralitas ini
membuahkan persepsi etika yang berbeda-beda. Pada akhirnya, perbuatan
baik dan buruk, patokannya berbeda-beda, tergantung dari perspektif mana ia
dipandang.
Islam sendiri telah memberikan sandaran etika. Bahkan, etika islam
dipandang bisa memberikan kepastian dan kemantapan dalam menentukan
baik buruknya suatu perbuatan, karena bersumber dari wahyu yang mutlak
dan obyektif. Meski mutlak dan obyektif, etika Islam itu juga mengakui
adanya kemubahan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi,
sepanjang tidak bertentangan dengan wahyu itu sendiri. Salah satu kaidah
dalam ushul fiqh mengatakan bahwa hukum berjalan sesuai dengan illat yang
menyertainya.6
Bagi umat Islam, permasalahan etika tidak dapat dipisahkan dari
keyakinan kaum muslimin terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, mutlak
dan transenden, serta syari’ahnya yang kokoh, sebagaimana hal itu juga
terdapat pada agama lain.7 Tuhan, menurut keyakinan mereka tidak hanya
5
Lihat Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984,
hlm. 141-162.
6
Lihat misalnya Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr,
1986, hlm. 755.
7
Pada dasarnya, fitrah manusia sebagai mahluk yang memiliki hati nurani, adalah religius.
Seorang bayi mungil akan diam sejenak ketika mendengar suara adzan dari masjid maupun
televisi, karena gelombang getaran suara adzan menyambung dengan getaran hati nurani sang
bayi. Hati nurani adalah 'danau religiusitas' tempat suara-suara religiusitas bersemayam, dan sering
hanya dapat didengar kalau seseorang bisa merenung dalam sepi dan sendiri. Karena itulah, Nabi
perlu menyepi di Gua Hira, melepaskan diri dari kegalauan peradaban jahiliyah, untuk dapat
17
sebagai pencipta (al-Khaliq) tetapi juga sebagai pembimbing atau petunjuk
bagi perjalanan sejarah dan pengatur segala bentuk keteraturan alam semesta.
Atau Tuhan juga sebagai al-Mudabbir (pengatur) dan al-Rabb (pembimbing,
pendidik) bagi seluruh alam.
Teori etika merupakan gambaran rasional mengenai hakikat dan
dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang
menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral
diperintahkan atau dilarang. Oleh karena itu bahasan etika selalu
menempatkan tekanan khusus terhadap definisi konsep-konsep etika,
justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan
antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk. Sistem etika harus
berkaitan secara memadai dengan aspek-aspek moral yang bermakna dan
koheren.8
mendengarkan suara hati nuraninya dan menerima kabar kebenaran sejati. Umat lain pun
melakukan metode serupa untuk mendengar bisikan nurani dan menerima bersitan cahaya Tuhan.
Lihat Ahmadun Yosi Herfanda, “Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius” dalam
Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus, 2004.
8
Al-Qur'an melibatkan pembahasan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan sosial
muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku sekalipun ia membentuk keseluruhan
ethos Islam. Jadi bagaimana cara mengeluarkan ethos ini menjadi sangat penting dalam studi etika
Islam. Ada tiga hal yang menjanjikan arah di mana penelitian tentang etika dapat membuahkan
hasil, yang kesemuanya itu kembali kepada teks al-Qur'an itu sendiri; tafsir, fiqh dan kalam. Para
sufi dan filosof, yang sering menggali otoritas al-Qur'an untuk mendukung pernyataan teoritis dan
etika mereka tidak dapat dikatakan telah membangun pandangan Islam yang menyeluruh
mengenai alam dan manusia. Mereka telah berhutang budi kepada pengaruh-pengaruh luar seperti
India, Yunani, Kristen dan lainnya telah membentuk pemikiran mereka. Oleh karena itu, teoriteori etika mereka ditandai dengan kompleksitas yang tinggi yang menyusunnya sebagian berasal
dari teori-teori umum yang berakar dari al-Qur'an dan sunnah. Teori-teori tersebut mungkin
dibentuk sebagai teori skriptual atau teologis yang bergantung kepada keluasan mereka bertumpu
kepada teks kitab suci atau kesepakatan terhadap teks yang dapat diterima ketika menghadapi nilai
atau intepretasi secara dialektik. Lihat Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin
Baidhawi “Etika dalam Islam”, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996, hlm. xv-xvi.
18
Selanjutnya etika menjadi suatu ilmu yang normatif,9 dengan
sendirinya berisi norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Titik berat penilaian etika ialah perbuatan baik atau
jahat, susila atau tidak susila. Manusia dalam semua perbuatannya,
bagaimanapun juga mengejar sesuatu yang baik. Berbuat baik merupakan
tanggung jawab moral bagi semua manusia, dan pelaksanaan dari tanggung
jawab ini sebagai pencerminan dari jiwa yang berpribadi. Bertanggung jawab
berarti pula memfungsionalkan sifat-sifat manusia untuk mempertahankan
nilai-nilai pribadi yang luhur, serta dapat mendudukkan nilai harga diri
manusia sebagai manusia. Kemudian manusia selalu memikirkan prinsipprinsip tentang masalah mana yang benar dan mana yang salah. Persoalannya,
ukuran norma baik-buruk berbeda antara yang satu dengan yang lainnya,
sebagaimana dalam pandangan relatifisme di atas. Suatu hal yang baik dan
benar di suatu tempat, mungkin akan dianggap salah atau jahat di tempat yang
lain.
Pola hubungan dan perbuatan apapun sangat diperhatikan oleh
Islam. Karena Islam memperhatikan etika, dikenalah apa yang disebut “etika
Islami” seperti cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur, pola
berbusana, dll. Artinya, ada patokan-patokan yang harus diikuti. Seperti
dalam pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal dalam
9
Karena dikatakan sebagai ilmu, maka penjelasan makna baik, buruk, hak dan kewajiban
moral tidak dapat dipisahkan dari proses aktivitas rasional (akal manusia). Artinya, etika bukanlah
sebagai ajaran/doktrin yang harus diikuti begitu saja (taklid buta) oleh manusia, tetapi ia
merupakan “metode” atau “filsafat moral” untuk memahami benar atau salahnya suatu
doktrin/ajaran moral itu sendiri. Lihat Burhanuddin Salam, Etika Individual; Pola dasar Filsafat
Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 3.
19
bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana
hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang
bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ketat sehingga
masih menampakkan bentuk tubuh yang ditutupinya. Tidak tipis menerawang
sehingga warna kulit masih bisa terlihat. Tidak menyerupai pakaian lelaki
Tidak berwarna menyolok sehingga menarik perhatian orang.10
Patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat ini
masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan
atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Jika jilbab dianggap sebagai
pola busana muslimah, maka perlu ditelusuri lebih dalam. Jilbab sendiri masih
sarat makna. Jilbab tidak hanya dipakai oleh orang tua, tapi juga para remaja,
pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para
pelacur sekalipun. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah
santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana
yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian; shalat,
pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya
tidak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya. Jilbab lebih dari sekadar
kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri)
dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim). Kalangan selebritis
sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan
Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan
maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun
10
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002, hlm. 130
20
dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk
meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual. Begitu pula para
pelacur
di
Nangroe
Aceh
Darusalam
(NAD)
misalnya.
Mereka
menyembunyikan identitasnya dengan memakai jilbab.11 Mengingat posisinya
sebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan
moralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan
memakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dan
dihormati
di
tengah-tengah
masyarakat.
Jadi,
tidaklah
layak
jika
menggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti suci, sopan, dan saleh.
Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab dicitrakan sebagai
perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama.
Proporsi di atas menjadi menarik jika dikaitkan dengan pola
berbusana mahasiswi IAIN Walisongo, yang memiliki simbol identitas
tersendiri seakan menunjukkan sebagai perguruan tinggi yang berbasis
ilmu-ilmu keislaman dan difokuskan mengakaji ilmu-ilmu keislaman
pula. Kemudian apakah pola berbusana demikian, utamanya memakai
jilbab bagi mahasiswi IAIN Walisongo hanya sebatas simbol kultural
yang membedakan dengan perguruan tinggi umum, atau memang
sebagai etika religius berbusana yang dijunjung tinggi? Jika benar, lalu
bagaimana femonema banyaknya busana yang dipakai mahasiswi IAIN
yang masih kelihatan seronok, misalnya walaupun memakai jilbab, tapi
dipadukan dengan baju, celana yang super ketat, tansparan, sehingga
kelihatan lekuk-lekuk tubuhnya. Hal inilah yang menarik untuk
dilakukan penelitian.
11
Lihat Sri Rahayu Arman, “Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi”, dalam
Http://www.islamlib.com. Tgl. 19 Januari 2003.
21
B.
Rumuan Masalah
Berdasarkan deskripsi di atas maka permasalahan yang akan diteliti dan dicari
jawabannya adalah:
1. Bagaimanakah pemahaman mahasiswi IAIN Walisongo dalam hal etika
berbusana?
2. Bagaimanakah implikasi dari pemahaman etika berbusana mahasiswi
IAIN Walisongo tersebut?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola berbusana mahasiswi
IAIN Walisongo?
C.
Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang diangkat pula, maka
penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Untuk mendeskripsikan pemahaman mahasiswi IAIN Walisongo dalam
hal etika berbusana.
2. Untuk mengevaluasi implikasi dari pemahaman etika berbusana
mahasiswi IAIN Walisongo.
3. Untuk mengungkap faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola
berbusana mahasiswi IAIN Walisongo.
Setelah dikemukakannya tujuan penelitian di atas, maka penelitian
ini mempunyai signifikansi yang jelas dan dapat dijadikan rujukan. Minimal
dijadikan bahan diskusi bagi civitas akademika IAIN Walisongo pada
khususnya dan praktisi pendidikan keagamaan pada umumnya, agar dapat
22
membimbing, mengarahkan dan memberikan stressing tertentu terhadap
mahasiswi, agar etika religius berbusana terarah pada kondisi yang
diharapkan.
D.
Tinjauan Pustaka
Kajian tentang masalah etika banyak ditemukan dalam buku-buku
maupun dalam bentuk penelitian-penelitian lapangan. Selanjutnya untuk
membahas persoalan-persoalan di atas, berikut penulis ilustrasikan beberapa
buku yang dipandang terkait.
Fadwa El Guindi dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia; Jilbab; Antara Kesalehan, Kesopanan dan
Penawaran mengemukakan bahwa berjilbab lebih merupakan identitas serta
kerahasiaan pribadi dari sisi ruang dan tubuh. Wacana publik tentang jilbab
seringkali berputar-putar pada pertanyaan: apakah ia sebuah ekspresi kultural
Arab ataukah substansi ajaran agama; apakah ia sebuah simbol kesalehan dan
ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan
pengukuhan
identitas
memandangnya
seseorang?
sebagai
sebuah
Banyak
bias
feminis
kultur
“beraliran”
patriarkhi
serta
Barat
tanda
keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Pada titik
ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi—sebuah permainan
makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan
agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma
(tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan
23
(ruang gerak, persamaan dll). Dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi
simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut Crawley, misalnya,
pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai
tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial,
dan individu dalam komunitasnya.12
Majid Fakhry dalam bukunya Etika dalam Islam, melakukan kajian
yang intens mengenai akhlak, dengan melakukan teoritisasi etika dalam
Islam. Sehingga norma-norma akhlak Islam yang diformulasikan dalam teoriteori itu, kemudian dapat dijabarkan dalam langkah-langkah nyata yang lebih
konstektual serta menyentuh persoalan umat, namun tetap di atas prinsipprinsip Islam, yang bersumber pada al-Qur'an dan sunnah. Fakhry rupanya
banyak menggunakan metode horizontal dalam kajiannya yang semata-mata
mengikuti garis perkembangan kronologis, dan metode analitis atau skematis
yang berkaitan dengan tema-tema besar etika yang vertikal. Tipologi resultan
teori-teori besar etika di dalam kerangka definisi yang jelas, di mana tipe
skriptual dan tipe filosofis adalah dua hal yang bertentangan. Selanjutnya,
buku ini mengemukakan tentang moralitas skriptual, etika teologis, etika
filosofis dan moralitas religius.13
W. Poespoprodjo dalam bukunya Filsafat Moral; Kesusilaan dalam
Teori dan Praktek, berargumen bahwa moral itu adalah sesuatu yang benarbenar ada dan tidak dapat dipungkiri. Adanya keyakinan tentang moral dan
12
Fadwa El Guindi, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman “Jilbab:
Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawanan”, Jakarta: Serambi, 2003.
13
Majid Fakhry, loc.cit.
24
keharusannya itu bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari, walaupun hal-hal
itu kadang kurang nampak dan kurang jelas. Pelanggaran moral bukanlah
kesalahan biasa, seperti salah pukul dalam badminton atau salah tendang
dalam sepak bola, melainkan sesuatu yang menyangkut manusia sampai
sedalam-dalamnya. Jika demikian, maka yang sebaiknya jugalah yang benar,
yakni bahwa perbuatan yang baik secara moral itu berupa kebaikan yang
sedalam-dalamnya pula. Seperti pelanggaran moral dipandang sebagai sesuatu
yang anti perikemanusiaan, demikian juga penataan terhadap moral dilihat
sebagai sesuatu yang sesuai sepenuhnya dengan perikemanusiaan yang sejati.
Hal inilah yang termuat dalam bahasa dan gagasan sehari-hari. Hampir tidak
ada orang yang mau disebut binatang meskipun kelakuannya melebihi
binatang.14
Ahmad Amin dalam bukunya, al-Akhlak menyajikan berbagai
persoalan etika, mulai dari definisi, aspek-aspek kejiwaan sebagai dasar
perilaku (behavior), teori etika dan sejarahnya, dan etika praktis. Ahmad
Amin menyebutkan dasar-dasar perilaku secara luas yang meliputi instink,
adat kebiasaan, turunan dan lingkungan, kehendak, motif, akhlak, suara hati
dan cita-cita. Sayangnya, perilaku yang menjiwai perjuangan Rasulullah dan
Khulafa’ al-Rasyidun tidak banyak dikaji, sehingga dasar perilaku hakiki
yang menjiwai semangat mereka tidak terlihat.15
14
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Pustaka Grafika, 1999.
15
Ahmad Amin, Al-Akhlak, Bandung: Al-Ma’arif, 1996.
25
Sayid
Mujtaba
Musawi
Lari
dalam
bukunya
Etika
dan
Pertumbuhan Spiritual, banyak mengemukakan bahwa etika erat kaitannya
dengan pertumbuhan spiritual. Sebab manusia berbeda dengan binatang,
manusia dituntut untuk hidup sesuai dengan asas perilaku yang disepakati
secara umum dan harus tahu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta
tentang hak dan kewajiban moral, sedangkan binatang tidak. Jika manusia
mampu menjalaninya, maka itulah yang disebut manusia yang beretika. Jika
tidak, maka jangan heran jika manusia akan bertingkah laku seperti binatang.
Banyak fakta membuktikan bahwa dunia ini sudah begitu ramai dengan
tingkah-polah
binatang
berwujud
manusia.
Mereka
tidak
memberi
kesempatan benih spiritualisme untuk tumbuh dan berkembang, karena yang
mereka sirami justru benih-benih hasrat hewaniah yang membunuh
spiritualisme dan kemanusiaan.16
Adapun penelitian yang ada kaitannya dengan karakteristik
mahasiswa IAIN Waslingo, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Shodiq
Abdullah, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo”.
Dalam penelitiannya, Shoqid menyimpulkan bahwa sistem pendidikan di
IAIN Walisongo agaknya belum mampu membentuk dan menciptakan pribadi
mahasiswa yang cenderung berpikir realistik secara maksimal; yaitu pola
berpikir yang bersifat faktual, real, logis atau rasional sebagai suatu pendapat
yang dapat diterima atau diyakini kebenarannya. Kebanyakan mahasiswa
masih berpikir secara autistik, artinya, ersifat mistis atau fatalistik sebagai
16
Sayid Mujtaba Musawi Lari, loc.cit.
26
suatu yang dapat diterima atau diyakini keabsahannya. Padahal IAIN
merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang diharapkan bukan saja
mampu mengembangkan diri sebagai lembaga keagamaan tetapi juga mampu
memfungsikan diri sebagai lembaga keilmuan. Perbedaan kurikulum di
masing-masing fakultas agaknya sangat mempengaruhi corak pemikiran
keagamaan mahasiswa.17
Berdasarkan ilustrasi di atas, maka topik yang penulis angkat
berbeda
dengan
lainnya,
yang
bersifat
kasuistik.
Oleh
karenanya,
permasalahan yang penulis angkat mengenai etika religius berbusana
mahasiswi layak untuk diangkat. Tanpa sikap a priori, penulis berkesimpulan
belum ada penelitian yang secara khusus membahas topik ini.
E.
Metode Penelitian
Penulis akan menitikberatkan pada pengolahan data secara kualitatif.
Teknik ini penulis gunakan dengan pertimbangan; pertama, menyesuaikan
metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda.
Kedua, metode ini mendekatkan secara langsung hakikat hubungan antara
peneliti dengan responden. Ketiga, kualitatif lebih peka dan dapat
menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap
pola-pola nilai yag dihadapi.18 Sehinga pola ini lebih tepat dalam penelitian
17
Shodiq Abdullah, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang”
dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Volume I Nomor 2 Nopember 2003.
18
Lexy J. Muleong, Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995,
hlm. 5.
27
ini, karena untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian jika diharapkan pada
persoalan-persoalan tersebut.
Secara metodologis, langkah-langkah yang akan penulis tempuh
adalah:
1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yaitu pencarian dan pengumpulan
data yang dipergunakan untuk membahas masalah atau problematika
dalam penelitiani ini. Dalam pengumpulan data ini menggunakan penulis
terjun langsung ke obyek yang akan diteliti. Jenis penelitian semacam ini
lazim disebut field research (penelitian lapangan).19 Obyek penelitian ini
adalah mahasiswi IAIN Walisongo secara umum, yang kemudian dengan
pertimbangan efesiensi, penulis akan melakukan pengacakan pada
mahasiswi atau diambil sampelnya saja. Adapun sampel yang diambil
adalah mahasiswi yang aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan baik
di ekstra maupun intra kampus. Berdasarkan tiga pokok permasalahan
yang penulis angkat, maka sampel mahasiswi yang diambil ialah mereka
yang aktif di organisasi ekstra seperti KAMMI, IMM, HMI dan PMII dan
organisasi intra kampus seperti UKM Mawapala, UKM Musik dan UKM
Teater.
Langkah-langkah yang ditempuh melalui; pertama, observasi,
yaitu pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-
19
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983,
hlm. 22.
28
fenomena yang diselidiki,20 dalam hal ini mahasiswi IAIN Walisongo
seperti yang disebutkan di atas. Kedua, wawancara atau interview.
Wawancara adalah mencakup cara yang diperlukan seseorang untuk suatu
tugas tertentu untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang
responden dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.21
Metode ini digunakan dalam bentuk pertanyaan kepada responden yang
bersangkutan. Ketiga, metode angket terskturktur, yaitu sejumlah
pertanyaan tertulis yang pilihan jawabannya telah disediakan.22 Metode
angket ini sebagai data pendukung saja untuk membantu responden dalam
memberikan jawaban.
2. Metode Analisis Data
Analisa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif. Dalam mendeskripsikan juga mencakup upaya klarifikasi
kriteria-kriteria tertentu untuk mengetahui makna yang terkandung dalam
data yang telah terkumpul. Kemudian penulis kembangkan untuk
membuat prediksi.23
Langkah terakhir dalam penelitian, dalam upaya untuk
memperoleh suatu kesimpulan yang akurat, penulis akan menggunakan
dua alur pemikiran yaitu induktif dan reflektif. Induktif adalah suatu pola
20
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 1997, hlm. 234.
21
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm.
129.
22
Suharsimi Arikunto, op.cit., hlm. 236.
23
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989, hlm.
68-69.
29
pemahaman yang dimulai dengan mangambil kaidah-kaidah yang bersifat
khusus untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan
reflektif adalah suatu proses berfikir yang mondar-mandir dari data yang
satu ke data yang lain.24
F.
Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang utuh dan terpadu atas hasil
penelitian ini, maka sistematika penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab.
Adapun rinciannya sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar
belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian yang sekaligus berfungsi
sebagai argumentasi. Selain itu dikemukakan kajian pustaka, kerangka
teoritik, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua akan memaparkan kajian-kajian mengenai diskursusdiskursus etika sebagai landasan teori. Pada bab ini memuat; istilah etika,
norma dasar etika, etika Islam dan norma-normanya, etika berbusana, etika
berbusana dilhat dari fungsinya dan seputar kontroversi jilbab.
Bab ketiga akan menyajikan etika religius berbusana mahasiswi
IAIN Walisongo. Bab ini memuat; potret mahasiswa IAIN Walisongo dan
corak keagamaannya, pemahaman etika religius berbusana mahasiswi,
sekaligus faktor-faktor apa yang mempengaruhi.
24
Ibid., hlm. 92-93.
30
Bab keempat merupakan analisis. Point-point yang akan dianalisis
adalah; analisis terhadap pemahaman etika religius berbusana mahasiswi,
analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi etika religius berbusana
dan pola ideal etika berbusana mahasiswi IAIN Walisongo.
Bab kelima adalah penutup. Hasil pembahasan dalam penelitian ini
akan dipaparkan dalam bagian kesimpulan yang merupakan penegasan
jawaban pokok problematika yang diangkat dan asumsi-asumsi yang pernah
diutarakan sebelumnya.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Shodiq, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo
Semarang” dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Volume I Nomor 2
Nopember 2003.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002.
Al-Zuhaily, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1986.
Amin, Ahmad, Al-Akhlak, Bandung: Al-Ma’arif, 1996.
Amin, M. Darori, “Norma-norma Etika Islam”, dalam Teologia, Volume 12,
Nomor 3, Oktober, 2001.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Arman, Sri Rahayu, “Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi”, dalam
Http://www.islamlib.com. Tgl. 19 Januari 2003.
El Guindi, Fadwa, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman
“Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawanan”, Jakarta: Serambi,
2003.
Fakhry, Majid, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi “Etika dalam
Islam”, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996.
Herfanda, Ahmadun Yosi, “Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius” dalam
Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus, 2004.
Koenjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia,
1983.
Lari, Sayid Mujtaba Musawi, Ethics and Spiritual Growth, terj. M. Hasyim
Assagaf ”Etika dan Pertumbuhan Spiritual”, Jakarta: Lentera Basritama,
2001.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
1989.
Muleong, Lexy J., Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1995.
32
Musa, Muhammad Yusuf, Filsafat al-Akhlak fi al-Islam, Cairo: Maktabah alKhanji, 1963.
Poespoprodjo, W., Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Pustaka Grafika, 1999.
Salam, Burhanuddin, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta:
Rineka Cipta, 2000.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1983.
Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang,
1984.
33
BAB II
DISKURSUS-DISKURSUS ETIKA
A.
Istilah Etika
Secara etimologi, kata etika berasal dari bahasa Latin ethic yang
dalam terjemahan bahasa Inggris kata ethic diartikan dengan “tata susila”.25
Sedangkan secara terminologi, istilah etika menurut Ahmad Amin adalah
yang dalam bahasa Gerik disebut ethikos; yaitu a body of moral principles or
values, atau kebiasaan, habitat, custom.26 Dengan demikian, dalam pengertian
aslinya apa yang disebutkan baik itu ialah yang sesuai dengan kebiasaan
masyarakat (dewasa itu). Lambat laun pengertian etika itu berubah, seperti
pengertian sekarang. Etika ialah pengertian yang membicarakan masalah
perbuatan atau tingkah laku manusia, seperti mana yang dapat dinilai baik dan
mana yang jahat.27 Kronologis penggunaan istilah etika itu dimulai oleh
Montaigne (1533-1592), seorang penyair Perancis dalam syair-syairnya yang
terkenal pada tahun 1580.28
Istilah lain yang berdekatan etika ialah moral, dan akhlak yang samasama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia, bahkan
terkadang ketiganya berjalan seiring. Menurut Yunahar Ilyas, perbedaan etika,
25
Lihat Markus Willy, dkk., Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris,
Surabaya: Arloka, 1997, hlm. 172.
26
Lihat Ahmad Amin, Al-Akhlak, terj. Farid Ma’ruf, “Etika”, Bandung: Bulan Bintang,
1975, hlm. 1-3.
27
Lihat Burhanuddin Salam, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka
Cipta, 2000, hlm. 3.
28
Lihat Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,
Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 5.
34
akhlak dan moral terletak pada standar masing-masing. Etika standarnya
pertimbangan akal dan pikiran; akhlak standarnya al-Qur’ân dan sunnah, dan
moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.29
Sedangkan menurut Harold Titus, dkk., perbedaanya hanya dari sudut bahasa,
moral berasal dari kata Latin “moralis”, etika berasal dari kata “ethos”, dan
akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, jamak dari khuluq yang berarti budi
pekerti. Ketiganya berarti “kebiasaan” atau “cara hidup”.30
Etika sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi
norma (aturan) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan seharihari. Dari segi inilah didapati pemakaian dengan nilai-nilainya yang filosofis.
Sementara ilmu yang mempelajari pelaksanaan atau realisasi etika dalam
praktek
kehidupan
sehar-hari
itu
disebut
casuistic;
orang
yang
mempelajarinya disebut casuist.31
Titik tekan penilaian etika sebagai suatu ilmu ialah pada perbuatan
baik atau jahat, susila atau tidak susila. Perbuatan atau kelakuan seseorang
yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang
disebut akhlak atau budi-pekerti. Budi sendiri tumbuhnya dalam jiwa. Apabila
telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti.32 Jadi suatu budi
29
Lihat Yunayar Ilyas, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam (LPII), 2004, hlm. 3.
30
Lihat Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984,
hlm. 141.
31
Lihat Somon Blackburn, Being Good; Pengantar Etika Praktis, terj. Hari Kusharyono,
Yogyakarta: Jendela, 2004, hlm. 7. Lihat pula Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat,
Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, hlm. 16.
32
Lihat Frans Magnis Suseno, op.cit., hlm. 7. Lihat pula M. Amin Abdullah, Filsafat Etika
Islam; Antara al-Ghazâlî dan Kant, Bandung: Mizan, 2002, hlm. 67.
35
pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa, semasih menjadi angan,
imajinasi, cita, niat hati, sampai ia lahir ke luar berupa perbuatan nyata.
Sebenarnya, setiap perbuatan dapat dinilai pada tiga tingkat. Tingkat
pertama, semasih belum lahir jadi perbuatan atau masih berupa rencana dalam
kata hati, niat. Tingkat kedua, sesudahnya, yaitu sudah berupa perbuatan nyata
atau pekerti. Tingkat ketiga, akibat atau hasil dari perbuatan itu; baik atau tidak
baik.33
Apa yang masih berupa kata hati atau niat itu, dalam bahasa filsafat
ataupun psikologi, biasa disebut karsa atau kehendak, kemauan, will. Isi dari
karsa atau kemauan itulah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Langkahlangkah yang ditempuh oleh perbuatan itulah yang dinilai, karenanya dapat
digunakan
empat
variabel;
Pertama,
tujuannya
baik,
tetapi
cara
pencapaiannya tidak baik. Cara pertama ini menggambarkan adanya sesuatu
kekerasan. Masalah tujuan tidak perlu dibicarakan lagi, karena sudah jelas
baik, yang dinilai sekarang ialah cara mencapainya.34 Kedua, tujuannya tidak
baik, tetapi cara mencapainya (kelihatannya) baik, atau tujuannya jahat, tetapi
memperolehnya kelihatan baik. Ini menggambarkan bahwa cara yang
ditempuh itu tidak fair, tidak sehat tetapi licik, diliputi oleh kepalsuan,
penipuan. Cara kerja seperti ini terkenal dalam sejarah sebagai suatu sistem
kerja/taktik yang pernah dipakai oleh orang komunis yang menghalalkan
33
Lihat Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 4-5.
34
Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan; misalnya seorang pedagang, untuk menyekolahkan
anaknya, supaya anak tersebut dapat diterima, ia telah betindak menyuap beberapa orang panitia
penguji. Menyekolahkan anak, adalah suatu perbuatan baik. Tetapi jalan yang ditempuhnya itu
tidak terpuji. Yang tidak terpuji di sini tentulah kedua belah pihak; yang memberi suap dan yang
menerima suap. Lihat Ibid., hlm. 5-6.
36
berbagai cara.35 Ketiga, tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak
baik. Ini menggambarkan bahwa untuk memcapai tujuan yang jahat dan dapat
merugikan orang lain, cara apapun ditempuh, misalnya harus menipu,
memperdaya atau bahkan sampai membunuh.36 Keempat, tujuannya baik, cara
mencapainya juga baik. Cara inilah yang diajarkan oleh etika. Suatu tujuan
baik, hendaknya diusahakan pula cara yang baik untuk mencapainya.37
Semenjak zaman Yunani kuno hingga kini, manusia selalu memikirkan
prinsip-prinsip tentang masalah mana yang benar dan mana yang salah. Mereka
mempunyai ukuran-ukuran dan norma-norma yang berbeda. Suatu tindakan
mungkin akan dianggap terpuji di sauatu tempat, akan tetapi di tempat lain
dianggap salah atau jahat. Begitu pula suatu perbuatan mungkin dianggap baik di
suatu waktu, tetapi dengan berubahnya zaman, perbuatan yang dianggap baik
pada masa lampau dianggap jelek pada masa kini. Sebaliknya, suatu perbuatan
jahat dan jelek mungkin dianggap baik dan benar pada tempat dan waktu yang
berbeda. Hubungan badani sebelum menikah akan dianggap wajar oleh bangsabangsa Barat. Tetapi, bagi orang-orang Timur, khususnya muslim, hal tersebut
merupakan perbuatan tercela. Dahulu seorang wanita berpantang keluar dan
35
Sebagai contoh misalnya strategi untuk dapat merebut pemerintahan, mula-mula
ditempuhnya taktik kerjasama dengan semua pihak, kelihatannya fair, simpatik. Tetapi suatu saat
ia telah merasa dirinya kuat, semua kawan sekerjanya tadi yang tidak seasas dengannya, diterkam.
Kasus seperti ini dari segi politik komunis hukumnya biasanya, wajar, tetapi dari segi etiks
hukumnya jahat. Lihat Ibid., hlm. 7.
36
Dapat dicontohkan misalnya seorang penjahat, untuk mendapatkan yang tersimpan di
bank atau yang merupakan harta kekayaan seseorang, sang perampok tadi tidak akan sayang
membunuh jiwa bebrapa orang yang tidak berdosa, yang menghalangi jalannya. Ibid., hlm. 8.
37
Inilah yang ideal, misalnya mau lulus ujian syaratnya harus; belajar bersungguh-sungguh,
teliti, disiplin diri, jadi bukan dengan jalan menyogok. Mau membantu mahasiswa untuk lulus,
syaratnya ialah memberikan bimbingan secara intensif, aktifkan belajar dengan sungguh hati. Jadi
tidak dengan cara menerima sogokan. Itu berarti meracuni jiwa seseorang dan memberikan contoh
yang sungguh tidak terpuji bagi seorang pendidik. Ibid.
37
bekerja pada malam hari. Tetapi pada masa industrialisasi sekarang ini, untuk
sebagian orang hal tersebut sudah dianggap sebagai hal yang lumrah.38
Dengan demikian dapat ditegaskan lagi bahwa etika ialah suatu yang
menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Etika sering pula
disinonimkan dengan akhlak dan moral. Perbedaannya terletak pada standar
masing-masing, namun maksudnya sama, yaitu menentukan nilai baik dan buruk
perbuatan manusia.
B.
Norma Dasar Etika
Norma-norma etika dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
norma ekstern dan norma intern. Norma ekstern terdiri atas beberapa paham;
pertama, paham pragmatisme. Paham ini menimbang kebaikan dan keburukan
suatu perbuatan dari manfaat yang dapat dihasilkan, baik ditinjau dari segi rohani
maupun materi dan individu maupun kelompok. Dengan demikian perbuatan yang
dianggap baik adalah yang bermanfaat. Semakin besar manfaat suatu perbuatan,
semakin tinggi pula nilai kebenarannya.39
Kedua, paham yang mengambil jalan tengah antara dua perbuatan jelek.
Norma ini dicetuskan oleh Aristoteles. Menurut paham ini, perbuatan baik adalah
yang menjadi jalan tengah antara dua perbuatan yang jelek. Sebagai contoh
38
Lihat Ahmad Mahmud Shubhi, Al-Falsafah al-Akhlaqiyyah fi al-Fikr al-Islami; al‘Aqliyyun wa al-Dzauqiyyun aw al-Nadzar wa al-Amal, Beirut: Dâr al-Nahdhah al-Arabiyah,
1992, hlm. 34. Lihat pula Majid Fakhri, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi
“Etika dalam Islam”, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996, hlm. 24.
39
Lihat M. Darori Amin, “Norma-norma Etika Islam”, dalam Jurnal Teologia, Volume 12,
Nomor 3, Oktober 2001, hlm. 321.
38
kedermawanan adalah baik, karena merupakan jalan tengah antara kikir dan
boros. Kesabaran adalah terpuji, karena jalan tengah antara kekerasan dan
kelemahan.40
Ketiga, paham yang mengikuti kesesuaian dengan lingkungan. Bagi
paham ini, suatu perbuatan diangap baik apabila sesuai dengan lingkungannya.
Kesesuaian dengan lingkungan menghasilkan kenikmatan dan kegembiraan,
sedengkan ketidak-sesuaian dengan lingkungan menyebabkan penyakit dan
kesengsaraan.41
Keempat, paham yang memandang kepada kenyataan dan percobaan.
Norma akhlak bagi paham ini merupakan percobaan, yang dengannya akan
diketahui baik buruknya suatu perbuatan. Apabila dalam percobaan tersebut dapat
dipetik manfaat material maupun spiritual, perbuatan tersebut dapat dikatakan
baik. Tetapi apabila tidak, perbuatan itu jelek atau buruk.42
Sedangkan norma intern, dapat didefinisikan sebagai suatu daya yang
berasal dari manusia sendiri, yang dengannya manusia bisa membedakan antara
perbuatan yang baik dan buruk. Para pengikut paham ini bersepakat tentang
adanya kekuatan bathiniyah di dalam diri manusia untuk membedakan antara
yang benar dan yang salah. Daya tersebut dinamakan concience atau dhamir (hati
nurani), yang merupakan cermin bagi perbuatan manusia. Dari padanya akan
40
Akan tetapi setelah dilakukan penelitian, banyak yang menganggap bahwa norma ini
mengandung kelemahan, karena banyak perbuatan jelek yang tidak ada jalan tengahnya, seperti
pree sex, berbohong, menciri dan sebagainya. Lihat Ibid.
41
Lihat Ibid.
42
Lihat Ibid., hlm. 322.
39
terpantul apakah perbuatan tersebut baik atau buruk. Suara hati, bukan saja
memberikan informasi tentang baik atau buruknya suatu perbuatan, tetapi
memberikan ganjaran kegembiraan bagi yang melakukan baik, dan penyesalan
bagi yang melakukan perbuatan jahat.43
Menurut paham rasionalisme, rasio merupakan satu-satunya daya yang
dimiliki manusia untuk mengetahui antara yang baik dan yang buruk. Pencetus
pendapat ini adalah Socrates dan Plato, yang kemudian dilanjutkan dengan paham
Mu’tazilah dalam Islam, dan selanjutnya oleh Imanuel Kant dari Jerman. Paham
ini telah menggAbûngkan antara akal dan kehendak baik. Perbuatan baik
merupakan perbuatan yang keluar dari kehendak yang baik. Untuk itu, paham ini
membuat tiga prinsip bagi seseorang dalam melakukan perbuatan,: pertama,
prinisip umum. Jika seseorang akan melakukan suatu perbuatan, hendaknya
melakukan yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang bisa diterima publik dan telah
menjadi undang-undang. Kedua, prinsip penghormatan kepada kemanusiaan dan
tidak menjadikannya sebagai alat. Jika seseorang akan melakukan suatu tindakan,
hendaknya ia dapat memperlakukan dengan baik kemanusiaan yang ada pada
dirinya dan orang lain. Ketiga, kebebasan betindak dari interes dan hasil-hasil dari
perbuatan tadi, serta tidak akan tunduk kecuali kepada akal.44
Dari ilustrasi di atas dapat ditegaskan bahwa norma-norma etika dapat
dikelompokkan pada norma ekstern dan norma intern. Norma ekstern dibagi pada
paham pragmatisme, paham jalan tengah antara dua perbuatan baik dan jelek,
43
Lihat Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1986,
hlm. 90.
44
Ibid., hlm. 93.
40
paham yang mengikuti kesesuaian dengan lingkungan dan paham yang
memandang kepada kenyataan dan percobaan. Sedangkan norma intern ialah
suatu daya yang berasal dari manusia sendiri yang menggunakan beberapa
prinsip; prinsip umum, prinsip penghormatan kepada kemanusiaan dan prinsip
kebebasan betindak.
C.
Etika Islam dan Norma-normanya
Kalau di atas telah disebutkan pengertian etika secara umum, perlu pula
disebutkan di sini pengertian etika Islam. Pengertian etika Islam ialah; “prinsipprinsip serta kaidah-kaidah yang disusun untuk perbuatan-perbuatan manusia
yang telah digariskan oleh wahyu, untuk mengatur kehidupan mereka dan
mencapai tujuan dari keberadaan mereka di dunia ini dengan cara yang sebaikbaiknya”.45 Artinya, prinsip-prinsip atau aturan yang mengaturan perbuatan baik
dan buruk yang menurut Toshihiko Izutzu disebut oleh al-Qur’ân dengan shalih
dan tidak shalih, dalam bahasa Inggrisnya disebut righteous (sepantasnya). Kata
shalih ini selalu berdekatan penyebutannya dengan kata iman, karenanya
memiliki hubungan semantik yang mengikat.46
Perbedaan pokok etika Islam dan etika yang lainnya terletak pada
sumber. Sumber utama dari etika secara umum ialah penilaian manusia,
karenanya bersifat relatif. Sedangkan sumber utama dari etika Islam adalah wahyu
45
Lihat Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al-Akhlaq fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji,
1963, hlm. 54.
46
Lihat Toshihiko Izutzu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, terj. Agus Fahri Husein
“ Konsep Etika Religius dalam al-Qur’ân, Yogyakarta: Tiara Wacana, 3003, hlm. 246.
41
yang datang dari Allah S.W.T. dan Nabi Muhamamd s.a.w. Karena sumbernya
wahyu, maka sumber etika Islam bersifat mutlak.
Wahyu merupakan sumber utama etika Islam. Sumber utama ini
kemudian dikembangkan menjadi tiga; al-Qur’ân dan al-Sunnah, kemauan yang
baik dan tujuan, akal dan hati nurani. Kesemuanya saling melengkapi dan terkait,
sebagaimana dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Al-Qur’ân dan al-Sunnah
Al-Qur’ân yang diturunkan kepada umat manusia antara lain
untuk dijadikan petunjuk dan pembeda antara yang baik dan yang salah.
Dalam al-Qur’ân dijumpai petunjuk-petunjuk bagaimana seorang muslim
itu harus berhubungan dengan sesama manusia serta bagaimana pula caracara mereka memperlakukan alam ini dan manfaatnya.
Ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk selalu mengikuti
petunjuk-petunjuk al-Qur’ân antara lain terdapat dalam surat al-Nisâ’ ayat
59 yang berbunyi:
‫ن‬
ْ ‫ل َوأُوﻟِﻲ ا ْﻟ َﺄ ْﻣ ِﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻓِﺈ‬
َ ‫ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا َأﻃِﻴﻌُﻮا اﻟﱠﻠ َﻪ َوَأﻃِﻴﻌُﻮا اﻟ ﱠﺮﺳُﻮ‬
َ ‫ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ن ﺑِﺎﻟﱠﻠ ِﻪ وَا ْﻟ َﻴ ْﻮ ِم‬
َ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
ْ ‫ل ِإ‬
ِ ‫ﻲ ٍء َﻓ ُﺮدﱡو ُﻩ ِإﻟَﻰ اﻟﱠﻠ ِﻪ وَاﻟ ﱠﺮﺳُﻮ‬
ْ ‫ﺷ‬
َ ‫ﻋ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻲ‬
ْ ‫َﺗﻨَﺎ َز‬
.‫َﺗ ْﺄوِﻳﻠًﺎ‬
‫ﻦ‬
ُ‫ﺴ‬
َ‫ﺣ‬
ْ ‫ﺧ ْﻴ ٌﺮ َوَأ‬
َ ‫ﻚ‬
َ ‫ﺧ ِﺮ َذِﻟ‬
ِ ‫اﻟْﺂ‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
42
berlainan pendapat tentnag sesuatu, maka kembalilah ia
kepada Allah (al-Qur’ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(Q.S. al-Nisâ’ (4): 59).47
Kemudian pada ayat 105 disebutkan:
‫ن‬
َ ‫ن َآﻤَﺎ َﺗ ْﺄَﻟﻤُﻮ‬
َ ‫ن َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻬ ْﻢ َﻳ ْﺄَﻟﻤُﻮ‬
َ ‫ن َﺗﻜُﻮﻧُﻮا َﺗ ْﺄَﻟﻤُﻮ‬
ْ ‫َوﻟَﺎ َﺗ ِﻬﻨُﻮا ﻓِﻲ ا ْﺑ ِﺘﻐَﺎ ِء ا ْﻟ َﻘ ْﻮ ِم ِإ‬
.‫ﺣﻜِﻴﻤًﺎ‬
َ ‫ﻋﻠِﻴﻤًﺎ‬
َ ‫ن اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ ‫ن َوآَﺎ‬
َ ‫ﻦ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻣَﺎ ﻟَﺎ َﻳ ْﺮﺟُﻮ‬
َ ‫ن ِﻣ‬
َ ‫َو َﺗ ْﺮﺟُﻮ‬
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,
dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang kianat”.
(Q.S. al-Nisâ’ (4): 105). 48
Surat al-Isra’ ayat 9 menyebutkan:
47
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, al-Qur’ân dan Terjemahnya, Madinah:
Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at Mushaf al-Syarif, 1418 H., hlm. 128.
48
Ibid., hlm. 139.
43
‫ﺧﺒِﻴﺮًا‬
َ ‫ﻋﺒَﺎ ِد ِﻩ‬
ِ ‫ب‬
ِ ‫ﻚ ِﺑ ُﺬﻧُﻮ‬
َ ‫ح َو َآﻔَﻰ ِﺑ َﺮ ﱢﺑ‬
ٍ ‫ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ﻧُﻮ‬
ْ ‫ن ِﻣ‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻘﺮُو‬
َ ‫َو َآ ْﻢ َأ ْهَﻠ ْﻜﻨَﺎ ِﻣ‬
‫َﺑﺼِﻴﺮًا‬
Artinya : “Sesunguhnya al-Qur’ân itu memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira keapda orangorang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar”. (Q.S. al-Isra’ (17): 9)49.
Sedangkan perintah untuk mengikuti al-Sunnah, karena salah satu
misi diutusnya Nabi Muhammad s.a.w. adalah untuk menyempurnakan
akhlak manusia. Sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk
menyermpurnakan akhlak” (hadîts diriwayatkan oleh Imam Malik).50
Akhlak Nabi sendiri merupakan aktualisasi dari akhlak al-Qur’ân. Aisyah
r.a. berkata: “Akhlak Nabi adalah al-Qur’ân”. (H.R. Muslim).51 Oleh
karenanya, Nabi Muhammad itu menjadi teladan dan panutan bagi semua
muslim.
Secara umum, akhlak yang digariskan al-Qur’ân dapat dirinci
menjadi: iman kepada Allah, ikhlas, kejujuran, melaksanakan amanat dan
menepati janji, memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran.
49
Ibid., hlm. 425-426.
50
Lihat Muhammad al-Ghazâlî, Khuluq al-Muslim, Cairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsash, 1974,
hlm. 7.
51
Muslim ibn Hajaj, Shahîh Muslim, Juz I, Beirut: Dâr al-Ilm, t.th., hlm. 47.
44
Kemudian berusaha mencapai hal yang baik dan mulia, tolong-menolong
dalam kebaikan, tekun dalam melakukan sesuatu, lurus dan moderat,
mengikuti perbuatan-perbuatan baik dan menghindarkan diri dari
perbuatan-perbuatan jahat dan sebaginya.52
Ibadat-ibadat yang disyari’atkan dalam Islam, bukan hanya
peribadatan-peribadatan yang tidak bisa dipahami, tetapi menjadi ikatan
antara manusia dengan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahuinya. Selain
itu berfungsi sebagai latihan dalam membiasakan manusia untuk hidup
secara rasional, konsisten dalam setiap kondisi.53
2.
Kemauan Baik dan Tujuan
Sebetulnya norma ini sudah tercakup dalam norma al-Qur’ân dan
al-Sunnah, yakni semua perbuatan itu haruslah didasarkan pada
keikhlasan, yaitu hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. Tetapi
karena pentingnya norma ini, maka perlu ada bahasan tersendiri.
Kemauan seseorang dapat menentukan baik buruknya suatu
perbuatan. Kalau wujud perbuatan itu jelak tetapi niatnya baik,
dianggaplah suatu perbuatan yang baik. Tetapi sebaliknya, apabila niatnya
tidak baik, perbuatan itu dianggap jelek. Begitu pula dalam etika Islam.
52
Lihat Muhammad al-Ghazâlî, op.cit., hlm. 90. Lihat pula Toshihiko Izutsu, EthicoReligious Concepts in the Qur’an, terj. Mansuruddin Djoely “Etika Beragama dalam Qur’an”,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 26, dst.
53
Lihat Miqdad Yalchan, al-Ittijah al-Akhlaqi fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji, 1973,
hlm. 273-277.
45
Islam tidak sekadar melihat baik buruknya wujud suatu perbuatan, tetapi
juga melihat dari niat yang menyebabkan timbulnya perbuatan itu. Rasul
bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh-tubuh, dan bentukbentukmu, tetapi kepada hatimu” (H.R. Bukhari).54 Di dalam hadîts yang
lain Rasûlullâh bersabda: “Mata manusia itu ibarat petunjuk, telinga dan
lidahnya penerjemah, kedua tangannya sayap, kedua kakinya utusan dan
hatinya adalah raja. Apabila raja itu baik, tentara-tentaranya baik. Kalau
demikian peranan hati, wajib diawasi untuk dicuci dari hal-hal yang
mengotorinya” (H.R. Muslim).55
Karena persoalan niat, Allah mencela orang yang melakukan
shalat tetapi disertai riya, yakni orang yang berniat dalam shalatnya itu
agar dilihat orang lain (Q.S. al-Ma’un (107): 4-6).56 Begitu pula
Rasûlullâh pernah mengecam orang yang hijrah ke Yatsrib, karena
hijrahnya bukan memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, tetapi karena
melaksanakan permintaan calon isteri yang akan dinikahinya. Walaupun
hijrah merupakan perbuatan yang mulia dan baik, tetapi karena niatnya
yang
salah,
rasul
mengecam
hijrah
tersebut
dengan
sabdanya:
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan
sesungguhya setiap orang akan mendapat balasan sesuai niatnya”. (H.R.
Bukhari).57
54
Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Shahîh Bukhari, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 67.
55
Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 14.
56
Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 1108.
57
Lihat al-Bukhâri, op.cit., Juz I, hlm. 57.
46
Bagi orang muslim, sebelum melakukan perbuatan diperintahkan
untuk membaca basmalah. Perintah ini bukan berarti perintah untuk
meminta berkah dan pertolongan melalui bacaan ini, tetapi merupakan
perintah dan petunjuk bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah karena
Allah S.W.T. dan hanya diperuntukkan kepada-Nya. Setelah perbuatan
tersebut didasari dengan niat yang baik, sebagai pengabdian kepada Allah
S.W.T., maka perbuatan orang tersebut mempunyai tujuan utama, meraih
kebahagiaan ukhrawi.58
3.
Hati Nurani
Norma ini merupakan daya asli manusia yang membuat seseorang
itu merasa lega apabila melakukan perbuatan baik, dan menyesal apabila
melakukan perbuatan jahat. Oleh karenanya, Islam mengakui norma ini,
dan menetapkannya sebagai salah satu norma-norma etika Islam. Di dalam
jiwa manusia itu terdapat dua kekuatan yang saling tarik menarik dalam
berbuat. Yang menarik kebaikan adalah hati nurani, dan yang menarik
kepada kejahatan adalah hawa nafsu.
Terkait dengan persoalan hati nurani, Allah S.W.T. berfirman:
58
Abû Hamid al-Ghazâlî, al-Munqidh min al-Dhalal, Istambul: Hakikat Kitabevi, 1984,
hlm. 9.
47
‫ َو َﻗ ْﺪ‬,‫ﻦ َزآﱠﺎهَﺎ‬
ْ ‫ﺢ َﻣ‬
َ ‫ َﻗ ْﺪ َأ ْﻓَﻠ‬,‫ َﻓَﺄ ْﻟ َﻬ َﻤﻬَﺎ ُﻓﺠُﻮ َرهَﺎ َو َﺗ ْﻘﻮَاهَﺎ‬,‫ﺳﻮﱠاهَﺎ‬
َ ‫ﺲ َوﻣَﺎ‬
ٍ ‫ َو َﻧ ْﻔ‬...
… ‫ﻦ َدﺳﱠﺎهَﺎ‬
ْ ‫ب َﻣ‬
َ ‫ﺧَﺎ‬
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya” (Q.S. al-Syams: (91): 7-10).59
Karenanya, hati nurani menepati posisi penting dalam etika Islam.
Rasûlullâh s.a.w. bersabda dalam mempertegas posisi hati nurani:
“Kebaikan itu ialah yang memberikan ketenangan kepada jiwa dan
hatimu, dan kejahatan itu adalah yang terbetik di dalam hatimu dan yang
menimbulkan gejolak di dalamnya, walaupun banyak orang yang
memberitahuan kepadamu” (H.R. Muslim).60 Sabdanya pula: “Tinggalah
apa yang meragukanmu dan ambillah apa yang tidak merugikanmu” (H.R.
Abû Dawud).61
Hati nurani ini ada pada setiap manusia, baik tua, muda, dewasa
atau anak terpelajar sampai anak yang kurang ajar sekalipun. Apabila ada
59
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 1064.
60
Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 89.
61
Abû Dawud, Sunan Abû Dawud, Juz III, Beirut Libanon: Dâr al-Ilmiah, t.th., hlm. 16.
48
anak kecil berbuat suatu kesalahan, ia akan merasa malu, gelisah dan
perasaan-persaaan tidak enak lainnya. Perasaan ini ada pada setiap orang
dan berjenjang menurut pendidikannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, semakin tinggi pula tingkat suara hatinya. Oleh karenanya
suara ini perlu dididik dengan pendidikan moral yang baik.62
Karena hidup manusia sangat tergantung dan selalu dipengeruhi
oleh ruang dan waktu, tidaklah aneh bahwa suara hati masing-masing
pribadi kadang-kadang berbeda antara satu pribadi dengan lainnya.
Perbedaan itu pula saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Oleh
karena diperlukan kekokohan nurani yang tidak mudah terpengaruh oleh
suasana lingkungan.63
Dari ilustrasi di atas dapat ditegaskan lagi bahwa yang dimaksud etika
Islam ialah prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah yang disusun untuk perbuatanperbuatan manusia yang telah digariskan oleh wahyu. Perbedaan etika Islam
dengan etika lainnya ialah terletak pada sumber yang digunakan. Jika etika secara
umum sumbernya penilaian manusia sendiri, maka etika Islam bersumber dari
wahyu atau al-Qur’ân dan hadîts.
D.
Etika Berbusana
62
Miqdad Yalchan menandaskan bahwa dengan pendidikan moral yang baik, akan tercipta
pribadi-pribadi muslim yang baik, kalau tercipa pribadi-pribadi muslim yang baik, maka akan
tercipta masyarakat muslim yang baik, dan dengan demikian akan tercipta kebudayaan Islam yang
baik pula. Lihat Miqdad Yalchan, op.cit., hlm. 43.
63
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Pustaka Grafika, 1999, hlm. 153, dst.
49
Sebelumnya perlu dikemukanan terlebih dahulu apa yang dimaksud
busana. Kata busana biasa disinonimkan dengan kata pakaian, yaitu sesuatu
yang dipakai untuk menutup tubuh.64 Fungsi busana ialah tergantung si
pemakainya, karenanya ada yang cukup menggunakan busana atau pakaian
untuk menutup badannya, ada pula yang memerlukan pelengkap seperti tas,
topi, kaos kaki, selendang, dan masih banyak lagi yang menambah keindahan
dalam berbusana.65
Menurut kamus bahasa Arab, busana atau pakaian mempunyai
banyak muradlif (sinonim) seperti libas bentuk jamak dari lubs yang berasal
dari fi’il madhi: labisa-yalbasu yang artinya memakai, atau tsiyabûn jamak
dari tsaub yang artinya pakaian, juga disebut sirbalun yang jamaknya
saraabiil, artinya juga baju atau pakaian.66 Saraabiil dapat pula diartikan
gamis atau baju kurung (jubah).67
Di atas telah disebutkan bahwa Islam memberikan sandaran etika
kepada wahyu, karenanya permasalahan etika tidak dapat dipisahkan dari
keyakinan kaum muslimin terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa, yang
mutlak dan transenden, serta syari’ahnya yang kokoh, sebagaimana hal itu
juga terdapat pada agama lain.68 Tuhan, menurut keyakinan mereka tidak
64
Lihat Tim Penyusun Kamus Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jaakarta: Balai
Pustaka, 1990, hlm. 637.
65
Lihat Lisyani Affandi, Tata Busana 3, Bandung: Ganeka Exact, 1996, hlm. 69.
66
Lihat Ibn Mandhur, Lisan al-Arab, Mesir: Dâr al-Ma’arif, t.th., hlm. 1983.
67
Lihat Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, Yogyakarta:
Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak, 1984, hlm. 665.
68
Pada dasarnya, fitrah manusia sebagai mahluk yang memiliki hati nurani, adalah religius.
Seorang bayi mungil akan diam sejenak ketika mendengar suara adzan dari masjid maupun
50
hanya sebagai pencipta (al-Khaliq) tetapi juga sebagai pembimbing atau
petunjuk bagi perjalanan sejarah dan pengatur segala bentuk keteraturan alam
semesta. Atau Tuhan juga sebagai al-Mudabbir (pengatur) dan al-Rabb
(pembimbing, pendidik) bagi seluruh alam.
Karena tekanan etika perbuatan manusia, etika Islam juga
memperhatikan pola hubungan dan perbuatan. Dikenalah apa yang disebut
“etika Islami”. Seperti cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur,
dan pola berbusana. Artinya, ada patokan-patokan yang harus diikuti. Seperti
dalam pola berbusana, menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal dalam
bukunya, Fiqh Wanita, mengatakan; seorang muslimah dalam berbusana
hendaknya memperhatikan patokan; menutupi seluruh tubuh selain yang
bukan aurat yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ketat sehingga
masih menampakkan bentuk tubuh yang ditutupinya. Tidak tipis menerawang
sehingga warna kulit masih bisa terlihat. Tidak menyerupai pakaian lelaki
Tidak berwarna menyolok sehingga menarik perhatian orang.69
Patokan-patokan pola berbusana muslimah tersebut sampai saat ini
masih menjadi perdebatan, utamanya jilbab. Apakah ia mencirikan kesalehan
televisi, karena gelombang getaran suara adzan menyambung dengan getaran hati nurani sang
bayi. Hati nurani adalah 'danau religiusitas' tempat suara-suara religiusitas bersemayam, dan sering
hanya dapat didengar kalau seseorang bisa merenung dalam sepi dan sendiri. Karena itulah, Nabi
perlu menyepi di Gua Hira, melepaskan diri dari kegalauan peradaban jahiliyah, untuk dapat
mendengarkan suara hati nuraninya dan menerima kabar kebenaran sejati. Umat lain pun
melakukan metode serupa untuk mendengar bisikan nurani dan menerima bersitan cahaya Tuhan.
Lihat Ahmadun Yosi Herfanda, “Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius” dalam
Http://www.republika.co.id. Tgl. 1 Agustus, 2004.
69
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002, hlm. 130
51
atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Jika jilbab dianggap sebagai
pola busana muslimah, maka perlu ditelusuri lebih dalam dan bahasan khusus.
Menurut M. Quraisy Shihab, al-Qur’ân sendiri sebagai sandaran etika
Islam, paling tidak menggunakan tiga istilah untuk busana (pakaian), yaitu
libas, tsiyab, dan sarabil. Libas pada mulanya berarti penutup-apa pun yang
ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, tidak harus berarti
“menutup aurat”, karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas,
dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya. Kata libas
digunakan oleh al-Qur’ân untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin,
sedangkan kata tsyiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini
terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada
keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
pertamanya. 70 Selain kata tersebut ada istilah lain yang lebih mendekati pada
makna pakaian muslimah yaitu jilbab dan hijab. Kebanyakan para ulama
memilih jilbab untuk istilah busana muslimah, dan sedikit yang menggunakan
istilah hijab.71
Ungkapan yang menyatakan bahwa ide dan akhirnya adalah
kenyataan, mungkin dapat membantu memahami pengertian kebehasaan
tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal,
karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal. Ide dasar tentang pakaian
70
Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,
sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat. Lihat M. Quraish Shihab,
Wawasan al-Qur’ân, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 155-156..
71
Ahmad al-Hajji al-Kurdi, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqh Islam, Surabaya: Dimas,
t.th., hlm. 163-164.
52
menurut al-Raghib al-Isfahani menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau
tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika
bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada
hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya.72
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karena etika Islam
mencakup segala perbuatan dan tingkah laku manusia, maka diatur pula pola
berbusana. Karenanya, ada patokan-patokan yang harus diikuti dalam
memakai busana menutupi, yaitu menutup aurat, tidak ketat, tidak tipis dan
menerawang.
E.
Etika Berbusana; Tinjauan Fungsi
Mengenai fungsi busana (pakaian), menurut M. Quraisy Shihab
setidaknya ada empat fungsi jika merujuk pada al-Qur’ân, yaitu sebagai
penutup aurat, sebagai perhiasan, sebagai perlindungan atau ketakwaan, dan
sebagai identitas. Misalnya yang disebutkan dalam surat al-A’raf (7): ayat 26:
‫ﺧ ْﻴ ٌﺮ‬
َ ‫ﻚ‬
َ ‫س اﻟ ﱠﺘ ْﻘﻮَى َذِﻟ‬
ُ ‫ﺳﻮْﺁ ِﺗ ُﻜ ْﻢ َورِﻳﺸًﺎ َوِﻟﺒَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻟﺒَﺎﺳًﺎ ُﻳﻮَارِي‬
َ ‫ﻳَﺎ َﺑﻨِﻲ ءَا َد َم َﻗ ْﺪ َأ ْﻧ َﺰ ْﻟﻨَﺎ‬
‫ن‬
َ ‫ت اﻟﱠﻠ ِﻪ َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻬ ْﻢ َﻳ ﱠﺬ ﱠآﺮُو‬
ِ ‫ﻦ ءَا َﻳﺎ‬
ْ ‫ﻚ ِﻣ‬
َ ‫َذِﻟ‬
Artinya : “Wahai
putra-putri
Adam,
sesungguhnya
Kami
telah
menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan
72
Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam al-Mufradat Alfadz al-Qur’ân, disunting oleh Nadim
Mars’ashli, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 70.
53
juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian
takwa itulah yang paling baik” (Q.S. al-A’raf (7): 26).73
Menurut M. Quraisy Shihab ayat ini setidaknya menjelaskan dua
fungsi pakaian, yaitu penutup aurat dan perhiasan. Sebagian ulama bahkan
menyatakan bahwa ayat di atas berbicara tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu
fungsi takwa dalam arti pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus
ke dalam bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.74
Ada pula ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga pakaian, yakni
pemelihara dari sengatan panas dan dingin. Di dalam al-Qur’ân disebutkan:
… ‫ل َأ ْآﻨَﺎﻧًﺎ‬
ِ ‫ﺠﺒَﺎ‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ﻞ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬
َ ‫ﺟ َﻌ‬
َ ‫ﻇﻠَﺎﻟًﺎ َو‬
ِ ‫ﻖ‬
َ ‫ﺧَﻠ‬
َ ‫ﻞ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣﻤﱠﺎ‬
َ ‫ﺟ َﻌ‬
َ ‫وَاﻟﱠﻠ ُﻪ‬
Artinya : “Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang memelihara
kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta pakaian (baju besi)
yang memelihara kamu dalam peperangan …” (Q.S. al-Nahl
(16): 81).75
Fungsi pakaian selanjutnya diisyaratkan oleh al-Qur’ân surat alAhzâb (33) 59 yang menugaskan Nabi s.a.w. agar menyampaikan kepada
73
Tim Penyelnggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 224.
74
Lihat M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 160.
75
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 414.
54
isteri-isterinya, anak-anak perempuannya serta wanita-wanita mukmin agar
mereka mengulurkan jilbab mereka:
‫ﻦ‬
‫ﺟﻠَﺎﺑِﻴ ِﺒ ِﻬ ﱠ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻦ ِﻣ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ﱠ‬
َ ‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ ُﻳ ْﺪﻧِﻴ‬
َ ‫ﻚ َو ِﻧﺴَﺎ ِء ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴ‬
َ ‫ﻚ َو َﺑﻨَﺎ ِﺗ‬
َ‫ﺟ‬
ِ ‫ﻞ ِﻟَﺄ ْزوَا‬
ْ ‫ﻲ ُﻗ‬
‫ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
... ‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ َﻓﻠَﺎ ُﻳ ْﺆ َذ ْﻳ‬
َ ‫ن ُﻳ ْﻌ َﺮ ْﻓ‬
ْ ‫ﻚ َأ ْدﻧَﻰ َأ‬
َ ‫َذِﻟ‬
Artinya : “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin; “hendaklah
mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka”.
Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal,
sehingga mereka tidak diganggu (oleh lidah/tangan usil)” (Q.S.
al-Ahzâb (33): 59).76
Untuk memahami kembali fungsi-fungsi busana, dapat diperjelas lagi
ilustrasi berikut:
1. Busana Sebagai Penutup Aurat
Aurat dalam al-Qur’ân disebut sau’at yang terambil dari kata
sa’a, yasu’u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama
maknanya dengan aurat yang terambil dari kata ar yang berarti onar, aib,
tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang
pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang
76
Ibid., hlm. 678.
55
mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk
karena semuanya baik dan bermanfaat termasuk aurat. Tetapi bila dilihat
orang, maka “keterlihatan” itulah yang buruk.77
Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang
dapat menilai. Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang
dianggapnya aurat atau sau’at. Dalam fungsinya sebagai penutup,
tentunya pakaian dapat menutupi segala yang enggan diperlihatkan oleh
pemakai, sekalipun seluruh badanya. Tetapi dalam konteks pembicaraan
tuntunan atau hukum agama, aurat dipahami sebagai anggota badan
tertentu yang tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.78
Bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya, Islam tidak
“senang” bila aurat, khususnya aurat besar (kemaluan) dilihat oleh
siapapun, seperti yang telah disebutkan bahwa ide dasar aurat adalah
“tertutup atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri”.79
Dalam sebuah hadîts disebutkan: “Hindarilah telanjang, karena ada
(malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah terpisah
denganmu kecuali ketika ke kamar belakang dan ketika seseorang
berhubungan seks dengan isterinya. Maka malulah kepada mereka dan
hormatilah mereka”. (H. R. al-Turmudzî).80 Dalam sebuah hadîts yang
diriwayatkan oleh Ibn Majah disebutkan: “Apabila seseorang di antara
77
Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa
Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 35, dst.
78
Lihat M. Qurasih Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 163.
79
Al-Raghib al-Isfahani, loc.cit.
80
Al-Turmudzî, Sunan al-Turmudzî, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 57.
56
kamu berhubungan seks dengan pasangannya, jangan sekali-kali keduanya
telanjang bagaikan telanjangnya binatang”. (H.R. Ibn Majah).81
Tampak jelas bahwa yang dikemukakan di atas merupakan
tuntutan moral. Sedangkan tuntutan hukumnya tentunya lebih longgar.
Dari segi hukum, tidak terlarang bagi seseorang bila sendirian atau
bersama isterinya untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban
menutup auratnya, baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat kecil, selama
diduga akan ada seseorang selain pasangannya yang mungkin melihat.
Ulama sepakat menyangkut kewajiban berpakaian sehingga aurat tertutup,
hanya saja mereka berbeda pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana
dari tubuh manusia yang harus selalu ditutup.
Imam Malik, Syafi’î, dan Abû Hanifah berpendapat bahwa lelaki
wajib menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya, meskipun ada
juga yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki
hanya yang terdapat antara pusat dan lutut yaitu alat kelamin dan pantat.
Sedangkan mengenai aurat wanita, terjadi perbedaan pendapat. Menurut
ulama klasik sendiri, secara garis besar pendapatnya mengenai aurat
wanita terbagi pada dua kelompok besar. Yang pertama menyatakan
bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sehingga harus
diutupi. Kelompok kedua mengecualikan wajiah dan tepapak tangan. Ada
81
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, Beirut: Dâr al-Firk, t.th., hlm. 69.
57
juga yang menambahkan dengan sedikit longgar, seperti Abû Hanifah
yang menambahkan kaki wanita juga boleh terbuka.82
Adapun pandangan ulama kontemporer dalam menyikapi aurat
wanita, sudah beragam. Ada yang masih berpadangan seperti ulama klasik
bahwa busana wanita harus menutup seluruh badan karena seluruh badan
wanita adalah aurat, atau ada yang mengecualikan muka dan telapak kaki.
Kemudian pandangan yang mengatakan bahwa tidak ada satu ketetapan
agama (syari’at) yang mengatur batas-batas aurat wanita. Qasim Amin
adalah salah satu cendikiawan kontemporer yang berpendapat demikian.
Menurut, wanita tidak perlu memakai pakaian khusus seperti jilbab.
Kemudian Muhammad Shahrur yang berpendapat bahwa “pakaian tertutup
yang kini dinamai jilbab (hijab) bukanlah kewajiban agama tetapi ia
adalah satu bentuk pakaian yang dituntut oleh kehidupan bermasyarakat
dan lingkungan serta dapat berubah dengan perubahan masyarkat. Sebab,
pada zaman Nabi dan sesudahnya, pola berbusana muslimah juga sangat
beragam. Pola berbusana wanita merdeka seperti Khadijah, isteri Nabi
berbeda dengan lainnya. Atau pakaian para wanita yang menjadi budak
juga beragam. Status sosial juga sangat mempengaruhi pola berbusana
wanita ketika itu. 83
82
Salah satu sebab perbedaan pendapat ini adalah perbedaan penafsiran terhadap maksud
firman Allah dalam surat al-Nûr (24) yang artinya: “Dan janganlah mereka menampakan
perhiasannya kecuali yang tampak darinya”. Lihat Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala
Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 60. Lihat pula M. Quraish Shihab, Jilbab …
op.cit., hlm. 52.
83
Lihat Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Yogyakarta: Elsaq,
2004, hlm. 485-487.
58
Karena fungsinya sebagai penutup aurat, maka dalam berbusana
menurut M. Quraish Shihab ada yang harus diperhatikan agar pola
berbusana tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai etika ajaran Islam.
Pertama, tidak boleh tabarruj. Maksudnya, tidak boleh menampakkan
“perhiasan” dalam pengertian yang umum yang biasanya tidak
dinampakkan oleh wanita baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak
wajar dipakai. Seperti ber-make up secara berlebihan, berbicara secara
tidak sopan atau berjalan dengan berlenggak-lenggok dan segala macam
sikap yang mengundang perhatian laki-laki. Menampakkan sesuatu yang
biasanya tidak dinampakkan kecuali kepada suami dapat mengundang
decak kagum laki-laki lain yang dapa gilirannya dapat menimbulkan
rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil.84 Di dalam alQur’ân disebutkan:
...‫ﻇ َﻬ َﺮ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ‬
َ ‫ﻦ ِإﻟﱠﺎ ﻣَﺎ‬
‫ﻦ زِﻳ َﻨ َﺘ ُﻬ ﱠ‬
َ ‫ َوﻟَﺎ ُﻳ ْﺒﺪِﻳ‬...
Artinya : “ … Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali
apa yang nampak darinya …” (Q.S. al-Nûr (24) : 31).85
Kedua, tidak boleh mengundang perhatian laki-laki. Segala
bentuk pakaian, gerak-gerik dan ucapan, serta aroma yang bertujuan atau
dapat mengundang rangsangan birahi serta perhatian berlebihan adalah
terlarang. Ada sebuah hadîts yan menyebutkan: “Siapa yang memakai
84
M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 167.
85
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 548.
59
pakaian (yang bertujuan mengundang) popularitas, maka Allah akan
mengenakan untuknya pakaian kehinaan pada hari kemudian, lalu
dikobarkan pada pakainnya itu api”. (H.R. Abû Daud).86 Yang dimaksud
di sini adalah bila tujuan memakainya mengundang perhatian dari laki-laki
dan bertujuan memperoleh popularitas. Pemilihan mode busana tertentu
juga tercakup di sini, akan tetapi bukan berarti seseorang dilarang
memakai pakaian yang indah dan bersih, karena itu itulah justru yang
dianjurkan.87
Ketiga, tidak boleh memakai pakaian yang transparan atau ketat.
Maksudnya, pakain yang masih menampakkan kulit, atau pakaian ketat
yang masih memperlihatkan lekuk-lekuk badan. Sebab, model pakaian
semacam itu, pasti akan mengundang perhatian dan rangsangan. Ada
sebuah hadîts yang menyebutkan: “Dua kelompok dari penghuni nereka
yang merupakan umatku, belum saya lihat keduanya. Wanita-wanita yang
berbusana (tetapi) telanjang serta berlenggak-lenggok dan melanggaklenggokkan (orang lain) di atas kepala mereka (sesuatu) seperti punukpunuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak juga menghirup
aromanya. Dan (yang kedua adalah) laki-laki yang memiliki cemeti-cemti
seperti seekor sapi. Dengannya mereka menyiksa hamba-hamba Allah”.
(H.R. Muslim).88 Berbusana tetapi telanjang, dapat dipahami sebagai
memakai pakaian tembus pandang, atau memakai pakaian yang demikian
86
Abû Daud, op.cit., Juz III, hlm. 64.
87
M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 168.
88
Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 102.
60
ketat, sehingga nampak dengan jelas lekuk-lekuk badannya. Sedang
berlenggak-lenggok dan melenggak-lenggokkan dalam arti gerak-geriknya
berlenggak-lenggok antara lain dengan menari atau dalam arti jiwanya
mirik tidak lurus atau dan memiringkan pula hati atau melenggaklenggokan pula badan orang lain. Adapun yang diamaksud punuk-punuk
unta itu adalah sanggul-sanggul mereka yang dibuat sedemikian rupa
sehingga menonjol ke atas bagaikan punuk unta.89
Keempat, tidak boleh memakai pakaian yang meyerupai pakaian
laki-laki. Nabi s.a.w. telah bersabda: “Allah mengutuk lelaki yang
memakai pakaian perempuan dan mengutuk perempuan yang memakai
pakaian lelaki”. (H.R. al-Hakim melalui Abû Hurairah).90 Yang perlu
diperhatikan, bahwa peranan adat kebiasaan dan niat sangat menentukan.
Karena, boleh jadi ada model pakaian yang dalam suatu masyarakat dinilai
sebagai pakaian pria sedang dalam masyarakat lain ia menyerupai pakaian
wanita. Seperti halnya model pakaian Jallabiyah di Mesir dan Arab Saudi
Arabia yang digunakan oleh pria dan wanita, sedang model pakaian ini
mirip dengan long dress yang dipakai wanita di bagian dunia lain. Bisa
jadi juga satu model pakaian tadinya dinilai sebagai menyerupai pakaian
laki-laki, lalu karena perkembangan masa, ia menjadi pakaian perempuan.
Ketiak yang memakainya tidak disentuh oleh ancaman ini, lebih-lebih jika
tujuan pemakaiannya bukan untuk meniru lawan jenisnya.91
89
M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 170.
90
Al-Turmudzî, op.cit., Juz I, hlm. 70.
91
M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 171.
61
2. Fungsi Busana sebagai Perhiasan
Perhiasan merupakan sesuatu yang dipakai untuk memperelok
(memperindah). Tentunya pemakaiannya sendiri harus lebih dahulu
menganggap bahwa perhiasan92 tersebut indah, kendati orang lain tidak
menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah. Al-Qur’ân tidak
menjelaskan apalagi merinci apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu
yang “elok”. Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah
yang menghasilkan kebebasan dan keserasian.
Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan
membatasi kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah sentuhan
yang memberi kebebasan memegang sehingga tidak ada duri atau
kekasaran yang mengganggu tangan. Suara yang elok adalah suara yang
keluar dari tenggorokan tanpa paksaan atau dihadang oleh serak dan
92
Berbicara tentang perhiasan, salah satu yang diperselisihkan para ulama adalah emas dan
sutera sebagai pakaian laki-laki. Dalam al-Qur’ân persoalan ini tidak disinggung, tetapi sekian
banyak hadîts Nabi s.a.w. menegaskan bahwa keduanya haram dipakai oleh kaum lelaki. Misalnya
hadîts: “Ali bin Abi Thalib berkata: “saya melihat Rasûlullâh s.a.w. mengambil sutera lalu beliau
meletakkan di sebelah kanannya dan emas diletakkan di sebelah kirinya, kemudian Nabi bersabda:
“Kedua hal ini haram bagi lelaki umatku”. (H.R. Abû Dawud dan Nasa’I). Pendapat ulama
berbeda-beda tentang diharamkannya kedua hal tersebut bagi kaum lelaki. Antara lain bahwa
keduanya menjadi simbol kemewahan dan perhiasan yang berlebihan, sehingga menimbulkan
ketidakwajaran kecuali bagi kaum wanita. Selain itu ia dapat mengundang sikap angkuh, atau
karena menyerupai pakaian pakaian kaum musyrik. Menurut Muhammad bin Asyur, seorang
ulama besar kontemporer serta mufti Tunisia yang telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam;
menulis dalam bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah, bahwa ucapakan dan sikap
Rasûlullâh s.a.w. tidak selalu harus dipahami sebagai ketetapan hukum. Ada dua belas macam
tujuan ucapan dan sikap Rasûlullâh walaupun diakuinya bahwa yang terpenting dan terbanyak
adalah dalam bidang syari’at hukum. Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu
wa al-irsyad (tuntunan dan petunjuk). Menurutnya, boleh jadi Nabi Muhammad s.a.w. memerintah
atau melarang, tetapi tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan tujuannya adalah
tuntunan ke jalan-jalan yang baik. Lihat Muhammad bin Asyur, Maqashid al-Syri’ah al-Islamiyah,
Kairo: Dâr al-Katib, 1967, hlm. 32.
62
semacamnya. Ide yang indah adalah ide yang tidak dipaksa atau dihambat
oleh ketidaktahuan, takhayul, dan semacamnya. Sedangkan pakaian yang
elok adalah yang memberi kebebasan kepada pemakaianya untuk
bergerak. 93
Kebebasan haruslah disertai tanggung jawab, karena keindahan
harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab. Tentu saja
pendapat tersebut dapat diterima atau ditolak sekalipun keindahan
merupakan dambaan manusia. Namun harus diingat pula bahwa keindahan
sangat relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai.
Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa al-Qur’ân tidak
menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.94
Wahyu kedua yang dinilai oleh ulama sebagai ayat-ayat yang
mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai
Rasul antara lain menuntunnya agar menjaga dan terus-menerus
meningkatkan kebersihan pakaiannya (Q.S. al-Mudatsir (74): 4).95
Memang salah satu unsur multak keindahan adalah kerbersihan. Itulah
sebabnya mengapa Nabi Muhammad S.a.w. senang memakai pakaian
putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arab
yang panas, melainkan juga karena warna putih segera menampakkan
93
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 166.
94
Ibid., hlm. 167.
95
Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 988.
63
kotoran, sehinga pemakaiannya akan segera terdorong untuk mengenakan
pakaian lain yang bersih.96
Al-Qur’ân setelah memerintahkan agar memakai busana yang
indah
ketika
berkunjung
ke
masjid,
mengecam
mereka
yang
mengharamkan perhiasan yang telah diciptakan Allah S.W.T. untuk
manusia. Firman-Nya:
... ‫ج ِﻟ ِﻌﺒَﺎ ِد ِﻩ‬
َ ‫ﺧ َﺮ‬
ْ ‫ﺣ ﱠﺮ َم زِﻳ َﻨ َﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ اﱠﻟﺘِﻲ َأ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻞ َﻣ‬
ْ ‫ُﻗ‬
Artinya : “Katakanlah!” Siapakah yang mengharamkan perhiasan
yang telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya …”
(Q.S. al-A’raf (7): 32).97
Karena berhias merupakan naluri manusi, maka ada sebuah hadîts
yang mengisahkan seorang sahabat bertanya dalam kasus ini. “Seseorang
yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (Apakah termasuk
keangkuhan?) Nabi menjawab: “Sesunggunya Allah indah, senang kepada
keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan menghina orang
lain” (H.R. Turmudzî).98
Terdapat sekian hadîts yang menginformasikan bahwa Rasûlullâh
s.a.w. menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan diperindah. Isteri
Nabi s.a.w. Aisyah, meriwayatkan sebuah hadîts bahwa: “Seseorang
96
M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 168.
97
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 225.
98
Al-Turmudzî, op.cit., Juz I, hlm. 89.
64
wanita menyodorkan dengan tangannya sepucuk surat kepada Nabi dari
belakang tirai, Nabi berhenti sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda:
“Saya tidak tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki atau
perempuan. Aisyah berkata: “tangan perempuan”. Nabi kemudian berkata
kepada wanita itu: “Seandainya Anda wanita, niscaya Anda akan
memelihara kuku Anda (mewarnainya dengan pacar) (H.R. Bukhari).”99
Demikian Nabi menganjurkan agar wanita berhias. Al-Qur’ân memang
tidak merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan pakaian yang baik
digunakan.
Perlu diperhatikan, bahwa salah satu yang harus dihindari dalam
berhias adalah timbulnya rangsangan birahi dari yang melihatnya (kecuali
suami isteri) dan atau sikap tidak sopan dari siapapun. Hal-hal tersebut
dapat muncul dari cara berpakaian, berhias, berjalan, berucap, dan
sebagainya.100
Berhias tidak dilarang oleh ajaran Islam, karena ia adalah naluri
manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-hailiyah, salah satu istilah
yang digunakan al-Qur’ân (surat al-Ahzâb (33): 33)101 mencakup segala
macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan birahi kepada selain
suami
isteri.
Termasuk
dalam
cakupan
maksud
kata
tabarruj
menggunakan wang-wangian yang baunya menusuk hidung. Dalam
sebuah hadîts Rasûlullâh s.a.w. bersabda: “Wanita yang memapakai
99
Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, op.cit., Juz I, hlm. 79.
100
Muhammad Shahrur, op.cit., hlm. 515.
101
Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 672.
65
farfum (yang merangsang) dan lewat di satu majelis (kelompok pria),
maka sesungguhnya dia “begini” (yakni bezina)”. (H.R. al-Turmudzî).102
Al-Qur’ân mempersilahkan perempuan berjalan di hadapan lelaki,
tetapi diingatkannya agar cara berjalannya jangan sampai mengundang
perhatian. Al-Qur’ân juga tidak melarang seseorang berbicara dengan
lawan jenisnya, tetapi jangan sampai sikap dan isi pembicaraan
mengundang rangsangan dan godaan.
3. Fungsi Perlindungan atau Ketakwaan
Telah disebutkan bahwa pakaian tebal dapat melindungi
seseorang dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari sengatan
panas. Hal ini bukanlah hal yang perlu dibuktika, karena yang demikian
ini adalah perlindungan secara fisik. Di sisi lain, pakaian memberi
pengaruh psikologis bagi pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara
mengubah pakaian militernya, setelah mengalami kekalahan militer.
Bahkan Kamal Ataturk di Turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis
penutup kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya
dengan topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi sikap
bangsanya serta merupakan lambangan keterbelakangan.103
Pengaruh psikologis dari pakaian dapat dirasakan dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya jika pergi ke pesta, apabila mengenakan
pakaian buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka pemakainya akan
102
Al-Turmudzî, op.cit., Juz I, hlm. 85.
103
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 169.
66
merasa rikuh, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri, sebaliknya pun
demikian. Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar
dapat menghasikan pengaruh positif dalam jiwa mereka.104
Harus diakui bahwa memang pakaian tidak menciptakan
muslimah, tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku
sebagai muslimah yang baik, atau sebaliknya, tergantung dari cara dan
model pakaiannya. Pakaian terhormat, mengundang seseorang untuk
berperilaku
serta
mendatangi
tempat-tempat
terhormat,
sekaligus
mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak senonoh. Ini salah satu yang
dimaksud al-Qur’ân dengan memerintahkan wanita-wanita memakai
jilbab.105
Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk
pakaian ruhani. Libats al-taqwa. Setiap orang dituntut untuk merajut
sendiri pakaian ini. Benang atau serat-seratnya adalah tobat, sabar, syukur,
qana’ah, ridha, dan sebagainya. Sebuah hadîts menyebutkan: “Iman itu
telanjang, pakaiannya adalah takwa” (H.R. Muslim).106
4.
Fungsi Penunjuk Identitas
Identitas/kepribadian sesuatu adalah yang menggambarkan
eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi atau
keberadaan seseorang ada yang bersifat material dan ada juga yang
104
Ibid., hlm. 170.
105
Ibid., hlm. 171.
106
Muslim Ibn Hajaj, op.cit., Juz I, hlm. 65.
67
imateral. Hal-hal yang bersifat material antara lain tergambar dalam
pakaian yang dikenakannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân:
... ‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ َﻓﻠَﺎ ُﻳ ْﺆ َذ ْﻳ‬
َ ‫ن ُﻳ ْﻌ َﺮ ْﻓ‬
ْ ‫ﻚ َأ ْدﻧَﻰ َأ‬
َ ‫ َذِﻟ‬...
Artinya : “… Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk
dikenal …”. (Q.S. al-Ahzâb (33): 59).107
Dapat dibedakan antara murid SD, SMP atau SMA. Bisa juga
dibedakan antara Tentara Angkatan Laut, Angkatan Darat, Kopral atau
Jenderal dengan melihat apa yang dipakainya. Tidak dapat disangkal
bahwa pakaian antara lain berfungsi menunjukkan identitas serta
membedakan seseorang dari lainnya. Bahkan tidak jarang ia membedakan
status sosial seseorang.
Rasûlullâh s.a.w. sendiri sangat menekankan pentingnya identitas
muslim, antara lain melalui busana. Karenanya, Rasûlullâh s.a.w.
melarang laki-laki yang yang memakai pakaian perempuan dan
perempuan yang memakai pakaian laki-laki (H.R. Abû Dawud).108
Kepribadian umat juga harus ada. Ketika Rasûlullâh s.a.w. membicarakan
bagaimana cara yang paling tepat untuk menyampaikan/mengundang
kaum muslimin melaksanakan shalat, maka ada di antara sahabatnya yang
mengusulkan menancapkan tanda sehingga yang melihatnya segera
107
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 678.
108
Lihat Abû Dawud, op.cit., Juz III, hlm. 52.
68
datang. Beliau tidak setuju. Ada lagi yang mengusulkan untuk
menggunakan terompet, dan komentar Nabi: “Itu cara Yahudi”. Ada juga
yang mengusulkan membunyikan lonceng. Nabi berkata: “Itu cara
Nasrani”. Sabda Nabi selanjutnya. Akhirnya yang disetujui Nabi adalah
adzan yang deperti yang dikenal sekarang setelah Abdullah bin Zaid alAnshari dan Umar bin Khatab bermimpi tentang cara tersebut. Demikian
diriwayatkan oleh Abû Dawud. Yang penting untuk digarisbawahi adalah
bahwa
Rasul
menekankan
pentingnya
menampilkan
kepribadian
tersendiri, yang berbeda dengan yang lain. Dari sini dapat dimengerti dari
sabdanya: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk kelompok
kaum itu” (H.R. Bukhari).109
Mengenai kepribadian ruhani (immateri) bahkan ditekankan oleh
al-Qur’ân melalui surat al-Hadid (57): 16 yang berbunyi:
‫ﻖ َوﻟَﺎ‬
‫ﺤﱢ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ل ِﻣ‬
َ ‫ﺸ َﻊ ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ ِﻟ ِﺬ ْآ ِﺮ اﻟﱠﻠ ِﻪ َوﻣَﺎ َﻧ َﺰ‬
َ‫ﺨ‬
ْ ‫ن َﺗ‬
ْ ‫ﻦ ءَا َﻣﻨُﻮا َأ‬
َ ‫ن ِﻟﱠﻠﺬِﻳ‬
ِ ‫َأَﻟ ْﻢ َﻳ ْﺄ‬
‫ﺖ ُﻗﻠُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ َو َآﺜِﻴ ٌﺮ‬
ْ ‫ﺴ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ُﻢ ا ْﻟَﺄ َﻣ ُﺪ َﻓ َﻘ‬
َ ‫ل‬
َ ‫ﻞ َﻓﻄَﺎ‬
ُ ‫ﻦ َﻗ ْﺒ‬
ْ ‫ب ِﻣ‬
َ ‫ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
َ ‫َﻳﻜُﻮﻧُﻮا آَﺎﱠﻟﺬِﻳ‬
‫ن‬
َ ‫ﺳﻘُﻮ‬
ِ ‫ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ﻓَﺎ‬
Artinya : “Belumlah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman
untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka seperti
orang-orang sebelumnya yang telah diberikan al-Kitab
(orang Yahudi dan Nasrani). Berlalulah masa yang panjang
bagi
109
mereka
sehingga
hati
mereka
Lihat Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, op.cit., Juz I, hlm. 80.
69
menjadi
keras.
Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik”.
(Q.S. al-Hadid (57): 16).110
Seorang muslim diharapkan mengenakan pakaian ruhani dan
jasmani yang menggambarkan identitasnya.111 Disadari sepenuhnya bahwa
Islam tidak datang menentukan mode pakaian tertentu, sehingga setiap
masyarakat dan periode, bisa saja menentukan mode yang sesuai dengan
seleranya. Namun demikian, agaknya tidak berlebihan jika diharapkan
agar dalam berpakaian tercermin identitas itu.112
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ditnjau dari fungsinya, maka busana memiliki empat fungsi, yaitu
fungsi busana sebagai sebagai penutup aurat, fungsi busana sebagai perhiasan, fungsi busana sebagai perlindungan dan
ketakwaan, dan fungsi busana sebagai identitas. Terkait fungsi busana sebagai penutup aurat, maka ada patokanpatokan yang harus diperhatikan dalam berbusana.
F.
Kontroversi Jilbab
Di atas digambaran bahwa salah satu fungsi pakaian adalah sebagai
penunjuk identitas, dan dapat pula sebagai penutup aurat. Karenanya, maka
tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi seorang wanita merupakan gambaran
identitas seorang muslimah, di samping sebagai penutup aurat, yaitu rambut
dan leher wanita. Namun persoalan jilbab ini kemudian terjadi debatable
mengingat batasan aurat wanita yang harus ditutupi beragam pendapat. Jilbab
bisa difungsikan sebagai penutup aurat yaitu rambut dan leher yang
menganggap bahwa keduanya merupakan aurat wanita yang harus ditutupi.
110
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, op.cit., hlm. 902.
111
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan … op.cit., hlm. 171.
112
M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 67.
70
Sebaliknya, hannya sebagai penampakkan identitas muslihmah saja bagi yang
menganggap bahwa rambut dan leher wanita bukan aurat, karenanya tidak
harus ditutupi dengan jilbab. Bahkan jilbab juga bisa hanya sebatas asesoris
(pelengkap), dan dipakai pada moment-moment tertentu seperti waktu shalat,
pengajian, berkAbûng dan menghadiri pernikahan, bahkan dipakai musiman
sebagaimana yang dilakukan oleh para artis ketika bulan Ramadhan.
Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada
pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran
agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap
otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas
seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah
bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan
terhadap perempuan. Fatima Mernissi, misalnya, menggugat bahwa jilbab
hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang
publik. Tapi di sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang
negosiasi perempuan.113
Menurut penelitian Stern Nabi Muhammad tidak memperkenalkan
kebiasaan berjilbab.” Hansen juga berpendapat “pemingitan dan jilbab
merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tak diketahui pada
masa Nabi.” Asal-usul jilbab dibahas oleh banyak orang pada tahun 1970-an
dan 1980-an. Jilbab telah umum diakui keberadaannya di wilayah
113
Fatima Marnisi, Pemberontakan Wanita, terj. Yogyakarta: LKiS, 1996, hlm. 56. Pada
titik ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi—sebuah permainan makna dan tafsir.
Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal;
antara atas nama kepentingan norma (tAbû, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan
perempuan (ruang gerak, persamaan dll).
71
Mesopotamia/Mediterania.114
Al-Zarkasyi
juga
telah
mengemukakan
sebagaimana dikutip Sri Rahayu Arman; bukti bahwa beberapa kota penting
di zaman Romawi dan Yunani sudah menggunakan kostum yang menutupi
seluruh anggota badan, kecuali satu bola mata untuk melihat.115
Pandangan yang lebih moderat lahir dari seorang penulis Iran,
Navabakhsh: “Semula al-Qur’ân sendiri tak menetapkan kapan wanita harus
dihijab dari lingkungan laki-laki. Tidak dikenal sebagai suatu fenomena sosial
historis pada masa Nabi. Hijab ketika itu lebih sering diasosiasikan dengan
gaya hidup kelas atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang, yang
merupakan tradisi pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang
Yahudi, Kristen, dan Sasania”.116
Kewajiban berjilbab biasanya didasarkan Q.S al-Nûr (24): 31 dan alAhzâb (33): 59).117 Kedua ayat itu melegitimasi kesucian para pemakai jilbab
di ruang privat maupun publik. Sayangnya, jarang sekali diungkap konteks
sosial dibalik turunnya ayat-ayat tersebut. Bagi para mufasir, kedua ayat itu
turun setelah peristiwa fitnah keji terhadap Aisyah. Fitnah perselingkuhan
Aisyah ini sangat menghebohkan umat Islam di Madinah. Fitnah keji itu
berakhir setelah turun ayat Q.S al-Nûr: 31, khusus untuk membersihkan nama
Aisyah.118
114
Fadwa el-Gundi, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman “Jilbab:
Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawanan”, Jakarta: Serambi, 2003, hlm. 79-89.
115
Lihat Sri Rahayu Arman, “Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi”, dalam
Http://www.Islamlib.com. Tgl. 19 Januari 2003.
116
Ibid.
117
Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, loc.cit.
118
Lihat Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, loc.cit.
72
Sejak peristiwa itu turun ayat lain yang cenderung membatasi ruang
gerak keluarga Nabi, khususnya dalam Q.S al-Nûr dan al-Ahzâb di mana ayatayat jilbab itu ditemukan. Dilihat dari konteks ayat-ayat jilbab, hijab dan
kecenderungan pembatasan perempuan, khususnya kepada keluarga Nabi,
seolah merupakan refleksi dari suatu situasi khusus yang terjadi di Madinah
ketika itu.
Riwayat lain mengukuhkan bahwa suasana masyarakat Madinah
ketika itu tak tentram, dalam situasi perang berkepanjangan. Apalagi, umat
Islam saat itu baru saja mengalami kekalahan dalam perang Uhud, yang
membengkakkan populasi janda dan anak yatim. Janda dan anak-yatimperempuan ketika itu sering kali menjadi objek pelecehan seksual dari lakilaki nakal. Hanya kaum perempuan bangsawanlah yang terhindar dari
pelecehan itu karena mereka mengunakan jilbab. Maka, seruan untuk berjilbab
pada saat itu adalah salah satu srategi budaya atau tindakan preventif atas
terjadinya pelecehan terhadap perempuan.119
Jilbab juga menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan pada konteks kekinian. Menurut Crawley, misalnya,
pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga
jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya. Di Afrika Utara, jilbab menjadi
pembungkam perempuan dalam wilayah publik secara umum. Namun, kadangkala juga kerap digunakan oleh
perempuan pedesaan bepergian di luar wilayah mereka. Di Yaman, jilbab sebagai simbol status yang terstratifikasi.
Bagi perempuan bangsawan memakai syarsyaf, jenis jilbab yang terbuat dari sutera. Sementara perempuan dari status
ekonomi yang lebih rendah cenderung memakai sitara.120 Menurut Makhlouf sebagainya dikutip Sri Rahayu Arman
menyatakan bahwa “jilbab, walaupun jelas-jelas merupakan pembatasan komunikasi … [dia juga merupakan sebuah
simbol] alat komunikasi … [dan] berjilbab tentunya menciptakan suatu perintang bagi ekspresi bebas wanita sebagai
seorang pribadi … [tapi jilbab juga meningkatkan] ekspresi diri dan femininitas”.121
Lebih dari itu, jilbab juga menjadi simbol pembebasan dan resistensi.
Sebagai gerakan resistensi, ia tak hanya berhenti pada masyarakat Timur
119
Sri Rahayu Arman, loc.cit.
120
Lihat Fadwa al-Gundi, op.cit., hlm. 117.
121
Sri Rahayu Arman, loc.cit.
73
Tengah, melainkan terejawantah dalam masyarakat muslim modern di
berbagai belahan dunia. Resistensi adalah sebuah perlawanan atau strategi
untuk mengukuhkan eksistensi seseorang atau suatu komunitas.122 Di Aljazair,
misalnya, jilbab mempunyai peran penting dalam proses kemerdekaan negara
ini. Kolonial Perancis tidak hanya mengontrol hukum Islam—perkara-perkara
pidana tapi juga menghancurkan kebudayaan mereka— memberangus adat
setempat, dan melarang warga mempelajari bahasa mereka sendiri. Para
pendatang Perancis mendominasi wilayah Aljazair dan memegang posisiposisi fungsionaris publik, dan mengontrol pos-pos subordinat di bawahnya.
Strategi lainnya adalah mem-Perancis-kan wanita Aljazair dengan mencAbût
akar budayanya. Jilbab menjadi target kolonial untuk mengontrol dan
melepaskan—untuk
mempengaruhi
wanita
Aljazair
agar
melepaskan
jilbabnya dengan alasan untuk memodernisir Aljazair. Namun, budaya
tradisional Arab–Aljazair memandang keluarga adalah pusat di mana dunia
sosial moral itu berada; wanita adalah pusat identitas sakral keluarga dan
penjaga harga diri dan reputasi keluarga Arab. Keibuan dipandang sakral.
Maka, menyerang wanita Muslim, berarti mendestabilisasikan inti sistem
sosial-spiritual dan memperkosa secara literal maupun figuratif akar budaya
mereka. Dan salah satu bentuk perlawanan Aljazair terhadap apa yang
122
Cudjoe dan Harlow mendefinisikan resistensi sebagai sebuah tindakan yang dirancang
untuk membebaskan masyarakat dari penindasnya, dan ia sepenuhnya memasukkan pengalaman
hidup dibawah penindasan itu, yang kemudian menjadi prinsip estetik yang otonom. Ibid.
74
dilakukan oleh Perancis itu adalah memperkuat jilbab sebagai bagian dari
simbol nasional dan kultural perjuangan wanita Aljazair.123
Di Indonesia, jilbab tidak hanya dipakai orang tua, tapi juga para
remaja, pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan
para pelacur sekalipun. Tentu, ia pun sarat makna. Di satu sisi, jilbab menjadi
simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi
lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen
kerohanian—shalat, pengajian, berkAbûng, bahkan saat menghadiri pesta
pernikahan; sebaliknya tak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya.
Akhir 1980-an ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri
jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang
melarang jilbab di sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan
identitas kemuslimahannya dengan mentradisikan berjilbab. Jilbab lebih dari
sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka
(santri) dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim).124
Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan.
Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu
usai, jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan
material dengan penampakan spiritual.
Begitu pula para pelacur. Di Nangroe Aceh Darussalam, mereka
menyembunyikan identitasnya dengan memakai jilbab. Mengingat posisinya
sebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan
moralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan
memakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dan
123
Fadwa al-Gundi, op.cit., hlm. 233.
124
Sri Rahayu Arman, loc.cit.
75
dihormati di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, tidaklah layak jika
kita menggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti suci, sopan, dan
saleh. Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab dicitrakan sebagai
perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama.125
Dari paparan di atas dapat ditegaskan lagi bahwa jilbab sebagai salah satu busana yang biasa dipakai seorang
muslimah, masih terjadi pro-kontra terkait dengan fungsi jilbab sendiri; apakah sebagai penutup aurat rambut dan
leher, sebagai asesoris atau sebagai penampakan identitas. Hal ini terkait dengan batasan aurat perempuan sendiri yang
masih terus diperdebatan.
125
Ibid.
76
BAB III
ETIKA BERBUSANA MAHASISWI IAIN WALISONGO
SEMARANG
A.
Dinamika dan Ragam Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiswa IAIN Walisongo
Mahasiswa IAIN Walisongo, tidak jauh berbeda dengan mahasiswa
pada umumnya yang dilekati berbagai label, seperti sebagai insan akademik,
kaum intelektual, dan calon cendikiawan. Apalagi IAIN Walisongo sendiri
sebagai perguruan tinggi berlabel Islam yang tentu saja sebagai konsekuensi
logis, label-label Islam pun dilekatkan pula pada mahasiswanya.
Secara makro, mahasiswa sering diidentikan sebagai kelompok sosial
strategis. Kepadanya dilekatkan berbagai atribut sosial seperti agen perubahan
sosial (agent of social change), agen kontrol sosial (agent of social control)
dan agen demokrasi (agent of democratization). Atribut-atribut semacam ini
sesungguhnya merefleksikan harapan sekaligus tanggung jawab yang harus
diemban oleh mahasiswa. Ada kepercayaan di tengah masyarakat bahwa
karena kondisinya yang relatif masih terjaga dari vested interest politik, maka
mahasiswa menjadi sandaran bagi proses-proses perubahan sosial politik dan
demokratisasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Posisinya sebagai
cendekiawan muda menjadikan mahasiswa berada dalam kendali idealisme
untuk mewujudkan keinginan akan perubahan-perubahan dan pecarian
bentuk-bentuk ideal dari kehidupan sosial politik dan kebudayaan.
77
Lewis Coser menggambarkan mahasiswa sebagai komunitas yang
kelihatannya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya.
Mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu saat, dalam
hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas. Menurut
Edwar Shils, kaum cendikiawan merupakan orang-orang yang mencari
“kebenaran”.
Sementara
Julien
Benda
dalam
bahasanya
mengenai
pengkhianatan cendikiawan abad ke-20, menyebutkan bahwa cendikiawan
idealnya
orang-orang
yang
bukan
mengejar
tujuan-tujuan
praktis.
Cendikiawan merupakan orang-orang yang mencari kepuasan dalam bidang
iptek, budaya, teka-teki metafisika. Singkatnya dalam hal-hal yang tidak
menghasilkan keuntungan kebendaan. Sedangkan Manheim mengemukakan
pandangan yang serupa terutama ketika mengatakan bahwa cendikiawan
sebagai suatu kelompok semacam lapisan yang terapung bebas dalam
masyarakat, tanpa pertalian dengan suatu kelas tertentu.126
Pandangan-pandangan
idealistik
tentang
mahasiswa
sebagai
cendikiawan tersebut meletakkan mahasiswa sebagai komunitas yang seolah
berada di luar jangkauan pengaruh lingkungan sosial politik. Karena watak
kecendikiawanannya mahasiswa dianggap kebal (imune) dari pergulatan sosial
politik lingkungan sosialnya.127
126
Komaruddin Hidayat dan Hendro Presetyo, Problem dan Prospek IAIN, Antologi
Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam-Dirjen
Bimbaga Islam DRPAG RI, 2000, hlm. 14-20.
127
Lihat Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Pembaruan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos,
2002, hlm. 32.
78
Berbeda dengan itu, bahwa mahasiswa sebenarnya juga bisa dilihat
sebagaimana komunitas sosial lainnya. Intelektualisme dan perilaku yang
diekspresikannya merupakan produk dari lingkungan sejarah sosial politik
tertentu. Dengan demikian peran-peran intelektual dan politik yang
dimainkannya juga berhubungan erat dengan pribadi, tokoh, maupun aliran
tertentu yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Apalagi jika dilihat dari
kenyataan bahwa kampus merupakan lingkungan strategis bagi proses
kaderisasi pemimpin masa depan. Karenanya, setiap kelompok sosial dan
politik di manapun pasti sangat berkepentingan untuk menjadikan kampus
sebagai salah satu basis kekuatan dan dukungan politik.128
Berangkat dari idealitas di atas, pasang surut dinamika intelektual dan
sosial politik kampus berjalan seiring dengan dinamika sosial politik bangsa
secara umum. Hubungan kampus dan realitas politik juga yang telah
mendorong munculnya organisasi-organisasi kemahasiswaan. Dorongan untuk
berkiprah dalam percaturan kebangsaan, serta kepentingan partai-partai politik
untuk melakukan persemaian kader terdidik telah mendorong berdirinya
ormas-ormas kemahasiswaan. Ada Himpinan Mahasiswa Islam (HMI),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI), Persekutuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia
(PMKRI), Gerakan
Mahasiswa
Nasional
Indonesia
(GMNI),
Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
128
Fachry Ali, “Kontiuitas dan Pencerahan: Catatan Sejarah Sosial Budaya Alumi IAIN”
dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN, Antologi
Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam-Dirjen
Bimbaga Islam DRPAG RI, 2000, hlm. iv.
79
Indonesia (KAMMI) dengan polarisasi dan ideologi masing-masing sehinga
menampakkan karakteristik dan nalar akademis serta gerakannya.
Dinamika mahasiswa IAIN Walisongo sendiri tidak lepas adanya
kecenderungan-kecendrungan umum yang diwarnai dengan polarisasi
ideologi, nalar akademik, nalar keagamaan serta pilihan aksi, yang
mencerminkan
kompleksitas
mahasiswa.
Sekalipun
pada
umumnya
mahasiswa IAIN Walisongo secara sosiologis berasal dari masyarakat
pesantren yang hidup di kawasan pedesaan, akan tetapi melalui interaksi yang
simultan merubah nalar mereka secara fantastik, apalagi yang terlibat dalam
gerakan-gerakan mahasiswa. Sehingga tidak heran, jika organisasi-organisasi
kemahasiswaan seperti HMI, PMII, IMM dan KAMMI juga berkembang
subur di IAIN.
Sebagai lembaga akademik yang menekankan obyektifitas kritisisme,
secara internal IAIN Walisongo sebagaimana IAIN pada umumnya telah
memperkenalkan aneka ragam kecendrungan pemikiran dan gerakan
keislaman. Proses-proses sosialisasi mahasiswa IAIN dengan berbagai
kecenderungan pemikiran keagamaan maupun gerakan keislaman itu telah
ikut serta membentuk pluralitas pemikiran keagamaan, ideologi dan gerakan
mahasiswa IAIN Walisongo di pentas publik.129
Untuk memupuk nalar kritisisme dan memperkaya khazahan
pemikiran, selain berkembangnya oerganisasi-organisasi kemahasiswaan
ekstra, seperti HMI, PMII, IMM dan KAMMI, di internal kampus IAIN
129
Lihat Musahadi, dkk., IAIN Walisongo; Mengeja Tradisi Merajut Masa Depan,
Semarang: Puslit IAIN Walisongo Bekerja Sama dengan CV. Putakindo Pratama, 2003, hlm. 200.
80
Walisongo berdiri lembaga-lembaga kajian yang dibentuk sebagai unit
kegiatan kemahasiswaan di berbagai fakultas, seperti LPO Fakultas Tarbiyah,
Lembaga Studi Paradigma Fakultas Dakwah, Forum Sajian Ilmiah Fakultas
Syari’ah dan LSAF Fakultas Ushûluddin, di samping ada Kelompok Studi
Mahasiswa Walisongo (KSMW) di tingkat Institut. Kemudian penerbitan
mahasiswa seperti Edukasi (LPM Fakultas Tarbiyah), IDEA (LPM Fakultas
Ushûluddin), MISSI (LPM Fakultas Dakwah) dan Justisia (LPM Fakultas
Syari’ah), juga SKM Amanat. Ataupun lembaga pengembangan bakat seni
seperti UKM Teater, Music, Mawapala, dll.130
Semuanya menambahkan khazanah dan kecenderungan pemikiran
mahasiswa. Sebab, gejala yang tampaknya apolitis itu pada proses selanjutnya
justru menjadi medium proses penyadaran sekaligus wadah bagi pembentukan
creatif minority mahasiswa IAIN Walisongo. Melalui lembaga kajian dan
penerbitan inilah mahasiswa berkumpul dan mendiskusikan persoalanpersoalan teoritik maupun isu-isu sosial politik.
Hasil yang tampak dari proses tersebut antara lain pada tata peraturan
bagi sivitas akademika khususnya mahasiswa, merupakan hasil rumusan di
kalangan mahasiswa sendiri. Misalnya, Tri Etika Kampus IAIN Walisongo
Semarang yang terdiri atas etika diniyah, etika ilmiah dan etika ukhwah yang
rumusannya ditetapkan melalui SK Rektro No. 13 tahun 1994 merupakan
hasil diskusi di KSMW. Rumusan tersebut pada tahun 1999 dijabarkan lagi
130
Ibid., hlm. 2001.
81
sebagai tata tertib mahasiswa dan ditetapkan melalui SK Rektor No. 4 tahun
1999 yang sebagian tim perumusnya adalah mahasiswa.131
Proses pematangan ideologi intelektual tersebut juga membuahkan
maraknya lembaga-lembaga studi mahasiswa dan penerbitan-penerbitan
mahasiswa di luar unit kegiatan mahasiswa yang resmi di IAIN Walisongo.
Banyak lembaga swadaya mahasiswa dibentuk yang tidak langsung sebagai
lembaga kajian oleh mahasiswa sendiri. Misalnya LIPPI, FPPI, Formasal, ISC
(Islamic Studie Center), HUMANIKA, KM-IAIN, Kosma IAIN, dan CDIS.
Pematangan intelektual melalui lembaga-lembaga kajian, atau
organisasi-organisasi pergerakan ikut mengarahkan pola kecenderungan
pemikiran keagamaan mahasiswa IAIN Walisongo yang beragam. Misalnya,
mahasiswa yang ikut lembaga kajian tertentu atau organisasi ekstra tertentu
akan memiliki kecenderungan nalar intelektual keagamaan tersendiri. Begitu
pula sebaliknya, mahasiswa yang tidak terlibat aktif pada salah satu lembaga
kajian atau organisasi ekstra, akan memiliki pola pemikiran yang berbeda.
Pola pemikiran keagamaan tersebut sedikit banyak akan terefleksi pada
aktivitas keberagamaan mereka.
Pemikiran keagamaan132 (relligious thinking) sendiri,
merupakan suatu bentuk berpikir yang khas, setidaknya dari segi
pendekatan yang digunakannya. Kekhasannya terletak pada adanya
pengaruh kepercayaan dan doktrin agama dalam proses mengenali
dan memahami suatu obyek. Karenanya, pemikiran keagamaan
131
Ibid., hlm. 2002.
132
Istilah pemikiran keagamaan dapat diartikan sebagai pengungkapan atau ekspresi
intelektual orang-orang beragama dalam memandang dunia, baik yang konkrit maupun abstrak,
yang berkaitan dengan semua aspek kehidupan manusia. Lihat Djamhjari, Agama dalam
Perspektif Sosiologis, Bandung: Alfabeta, 1993, hlm. 34.
82
berkaitan dengan sifat berpikir yang dilandasi penalaran yang khas
sebagai seorang pemeluk agama.133
Secara prosedural, pemikiran keagamaan tidak berbeda dari
teknik berpikir lainnya. Hanya saja dibatasi dan dibimbing oleh nilainilai dan norma agama. Karenanya, pemikiran keagamaan tetap
menggunakan rasio sebagai alat berpikir untuk melakukan analisa,
sintesa, evaluasi dan generalisasi.134
Lebih dari itu, menurut pendekatan psikologi, terdapat suatu
keunikan dalam pemikiran keagamaan, yaitu kemampuan
memadukan hal-hal yang menurut logika bertentangan. Apa yang
dipandang kontradiktif oleh rasio terkadang dapat diterima secara
bersamaan jika menggunakan corak berpikir keagamaan. Sehingga
Robert W. Crapps memandang bahwa idealnya pemikiran
keagamaan tersusun dengan koherensi, konsitensi dan kejelasan yang
sempurna, walaupun harapan itu terlalu idealistis dan utopian.
Sebaliknya, sistem konseptual orang kerap mencakup gagasangagasan yang menurut logika saling berlawanan.135
Ragam pemikiran keagamaan cenderung berjalan bersama
atau mengikuti kondisi sosial yang selalu berubah. Karenanya,
pemikiran keagamaan merupakan fenomena sosial yang bersifat
dinamis, dan berkembang mengikuti gerakan dan dinamika
masyarakat dan mengikuti perkembangan yang terjadi di sekitarnya.
Sebab, tidak ada paham, persepsi dan pemikiran yang senantiasa
terus bertahan dalam proses regenerasi. Secara gradual di dalamnya
pasti terjadi pergeseran-pergeseran, baik dalam sistem makna
ataupun dalam pemikirannya.136
Bertolak dari asumsi di atas, maka seseorang atau kelompok
masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan akan memiliki corak
pemikiran keagamaan yang berbeda dengan seseorang atau
kelompok masyarakat yang tinggal atau berasal dari pedesaan.
Mahasiswa IAIN Walisongo merupakan kelompok masyarakat yang
mayoritas tinggal di wilayah perkotaan, atau pinggiran perkotaan
(Semarang) yang pada kenyataannya lebih dekat dengan sumber
informasi, kehidupan sosialnya heterogen dan lebih dinamis.
Seseorang atau kelompok yang mengikuti dan terlibat dalam
satu organisasi atau komunitas tertentu, akan memiliki corak
pemikiran keagamaan yang berbeda satu sama lain yang pada tahap
selanjutnya, hasil pemikiran tersebut diaktualisasikan dengan pilihan
133
Ibid., hlm. 40.
134
Lihat Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press, 1988,
hlm. 102.
135
Lihat Robert W. Crapps (Ed.), An Introduction to Psycology of Religion, terj. Agus M.
Hardjana “ Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 40.
136
Lihat Dhavamony, Phenomenology of Religion, terj. Sudiarja, dkk., Yogyakarta:
Kanisius, 1995, hlm. 23-28.
83
perilakunya. Begitu pula mahasiswa IAIN Walisongo yang terlibat
dan aktif pada organisasi kemahasiswaan tertentu dengan polarisasi
idiologi gerakan tertentu, akan memiliki corak pemikiran keagamaan
yang berbeda pula, dan pada tahapan selanjutnya perbedaan itu bisa
diplikasikan dengan aktivitas keagamaan kesehariannya, misalnya
tata-cara shalat, ataupun ritual lainnya.
Tidak dapat diragukan, bahwa mahasiwa yang aktif atau bergabung
dengan HMI, atau IMM, akan memiliki corak pemikiran keagamaan yang
lebih modernis137 dan dalam beribadah pun mengikuti pola yang ditradisikan
kaum modernis tersebut, karena HMI memang memiliki akar sejarah
kedekatan dengan partai-partai Islam seperti Masyumi (Majelis Syura
Muslimin Indonesia). Minimal HMI memiliki kepentingan idiologis sebagai
elemen gerakan pembaharuan Islam. Begitu juga IMM yang secara struktural
maupun emosional merupakan bagian dari Ormas Islam, yaitu
Muhammadiyah. Mahasiwa yang bergabung dengan PMII akan memiliki
corak pemikiran keagamaan yang tradisionalis138 (walaupun para aktifisnya
137
Yaitu corak pemikiran keagamaan yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan
menolak cara pandang mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis. Menurut kelompok ini, tradisi
masa lalu sudah tidak relevan dengan tuntutan zaman sehingga ia harus dibuang dan ditinggalkan.
Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal-soal kemasyarakatan dan
keagamaan, penolakan terhadap sikap jumud (kebekuan berpikir) dan taqlid. Turâs dalam
pandangan kelompok ini adalah suatu bentuk tradisi yang harus dilampaui. Masyarakat Islam tidak
akan maju selama cara berpikir dan orientasi mereka masih ke masa lalu. Karena itu, ia menolak
pendekatan yang dilakukan kaum tradisionalis dan juga sekuler. Menurutnya, kaum tradisional
telah bersalah dengan menempatkan tradisi pada posisi yang sakral dan salih li kulli zaman wa
makan. Padahal kenyataannya, masa kini jelas berbeda dengan masa lalu. Sementara itu, kaum
sekuler bersalah telah berlaku eklektis dengan memilih unsur-unsur tertentu dari Barat.
Tradisionalis ingin menjadikan masa lalu sebagai model kemajuan. Kelompok sekular, ingin
menjadikan orang lain (Barat) sebagai model kemajuan dirinya. Keduanya sama-sama ahistoris,
tidak kreatif dan tidak akan berhasil membangun perdaban Islam. Lebih lanjut, kelompok ini
menganjurkan untuk menganalisis tradisi-tradisi Islam (termasuk sunnah Rasul s.a.w.) lewat
kajian historis. Tradisi-tradisi termasuk sunnah Rasul yang tidak bisa dibuktikan otentisitasnya
lewat analisis historis berarti dusta dan harus ditolak. Lihat Abdullah Arwi, al-‘Arab wa al-Fikr
al-Tarikhi, Beirut: Markaz Tsaqafi al-Arabi, 1973, hlm. 77-79.
138
Yaitu corak pemikiran keagamaan yang memegang pemikiran ulama Islam masa lalu dan
berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi yang telah mapan. Bagi kelompok ini, seluruh
persoalan umat telah dibicarakan secara tuntas oleh para ulama pendahulu, sehingga sekarang
hanya menyatakan kembali apa yang pernah dikerjakan mereka, atau paling banter
menganalogikan pada pendapat-pendapatnya. Secara umum mereka menganggap bahwa pintu
ijtihad telah ditutup. Ajaran Islam harus diikuti melalui madzhab yang telah ada. Pemikiran tokohtokoh seperti al-Syafi’î dan al-Ghazâlî, yang hidup abad pertengahan, dianggap telah
menyelesaikan berbagai persoalan umat sampai akhir zaman. Sedemikian, sehingga pada
gilirannya, orang yang mendalami dan menguasai tradisi ikut mendapat berkah, dianggap sebagai
tokoh yang harus dijadikan panutan dan mampu untuk menyelesaikan segala persoalan duniawi
maupun ukhrawi. Menurut Hassan Hanafi, kecenderungan tradisionalisme pada saatnya
melahirkan konsekuensi-konsekuensi tertentu seperti; (1) Eksklusifisme. Karena adanya
penokohan, bahkan pensakralan individu, sikap tradisionalistik menggiring terbentuknya sikapsikap ekslufisme yang hanya menghargai dan mengakui kebenaran kelompoknya sendiri dan
menolak keberadaan pihak lain. (2) Subjektifisme. Sebagai akibat lanjut dari ekslusifisme,
kelompok ini menjadi kehilangan sikap objektif dalam menilai sebuah persoalan. Benar dan salah
tidak lagi didasarkan atas persoalannya, tetapi lebih pada asalnya, dan dari/oleh kelompok mana
84
sering mengidentifikasi dengan post-tradisionalis139) karena PMII merupakan
kepanjangan tangan dari Nahdlatul Ulama (NU), Ormas Islam yang sangat
ketat dalam hal pemeliharaan terhadap tradisi yang telah mapan dan nilai
lokal. Sedangkan yang bergabung dengan KAMMI akan memiliki corak
keagamaan puritan atau cenderung fundamentalis140, bahkan mereka
berafiliasi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sangat getol
memperjuangkan syari’at dan moralitas Islam.
Sistem pendidikan di IAIN Walisongo juga mempengaruhi dalam
membentuk pemikiran keagamaan mahasiswa. Sistem pendidikan IAIN yang
khas Islam jelas memiliki spesifikasi tersendiri dan memberi pengaruh yang
atau tokoh siapa. (3) Determinisme. Sebagai akibat lebih lanjut dari dua konsekuensi di atas, di
mana masyarakat telah tersubordinasi dan terkurung dalam satu warna, mereka menjadi terbiasa
menerima “sabda” sang panutan dan menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan tanpa ada
keinginan untuk mengubah, apalagi menolak. Lihat M. Arkoun, al-Islam al-Akhlaq wa al-Siyasah,
Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1990, hlm. 171. Lihat pula Hasan Hanafi, al-Turâs wa alTajdid Mauqifuna min al-Turâs al-Qadim, Beirut: Al-Mu’assasah al-Jami’ah li al-Dirasat wa alNasyr wa al-Tauzi, 1992, hlm. 27-29.
139
Yaitu corak pemikiran keagamaan yang berusaha mendekonstruksi warisan-warisan
budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Kelompok ini, pada satu segi, tidak berbeda
dengan kelompok tradisionalistik, yaitu keduanya sama-sama mengakui bahwa warisan tradisi
Islam sendiri tetap relevan untuk era modern selama ia dibaca, diintepretasi dan dipahami sesuai
standar modernitas. Namun, bagi postradisionalistik, relevansi tradisi Islam tersebut tidak cukup
dengan interpretasi baru lewat pendekatan rekonstruktif, tetapi harus lebih dari itu, yakni
dekonstruktif. Inilah perbedaan di antara keduanya. Seluruh bangunan pemikiran Islam klasik
(turâst), harus dirombak dan dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisis
terhadapnya. Tujuannya, agar segala yang dianggap absolut berubah menjadi relatif dan yang
ahistoris menjadi historis. Mereka berusaha membongkar otoritas teks. Teks suci dan apa yang
disebut turâst, tidak lepas dari sejarah, tetapi sebaliknya, justru sepenuhnya terbentuk dan
terbakukan dalam sejarah. Karena itu, ia harus dibaca lewat kerangka sejarah, di mana historisisme
berarti masa lalu harus dilihat berdasarkan strata historikalnya dan harus dibatasi menurut runtutan
kronologis dan fakta-fakta nyata. Dengan metode ini, relevansi antara teks dengan konteks
menjadi terhapuskan sehingga yang dibutuhkan adalah makna-makna baru yang secara potensial
bersemayam dalam teks. Lihat M. Arkoun Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabi al-Islami, Beirut: Markaz
al-Inma’ al-Qaumi, 1990, hlm. 14. Lihat pula Mukti Ali, op.cit., hlm. 258.
140
Yaitu pemikiran keagamaan yang sepenuhnya percaya kepada doktrin Islam sebagai
satu-satunya alternatif bagi kebangkitan umat manusia. Mereka sangat commited dengan aspek
reiligius budaya Islam dengan mengaggap bahwa Islam telah sempurna, mencakup tatanan sosial,
politik dan ekonomi sehingga tidak butuh metode maupun teori-teori Barat. Garapan utamanya
adalah menghidupkan Islam sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan
kembali kepada sumber asli (al-Qur’ân dan al-sunnah) dan mempraktikkan ajaran Islam
sebagaimana yang dicontohkan Rasul dan al-khlafa’ al-rasyidun. Sunnah-sunnah Rasul harus
dihidupkan dalam kehidupan modern. Itulah inti dari kebangkitan Islam. Menurut Luthfi
Assyaukanie, kecenderungan kelompok ini secara jelas menyatakan perang terhadap ideologi dan
pandangan-pandangan asing. Hanya ada dua istilah yang dikenal dalam kamus intelektualnya, (1)
Islam (jund Allah dan ashab al-Rasul), (2) Jahiliyah (kuffar dan tagut). Jahiliyah adalah kondisi
psikologis yang menolak petunjuk Tuhan. Pada masa lampau, jahiliyah diwakili kaum musyrik
Makkah dan Yahudi Madinah. Pada masa modern termanifestasikan pada jahiliyah modern, yakni
Barat dan para pemimpin tagut negeri-negeri muslim yang mengadopsi sistem Barat. Lihat Luthfi
Assyaukanie,
Tipologi
dan
Wacana
Pemikiran
Arab
Kontemporer,
dalam
http://www.Islamlibral.com. Tgl. 20 Septmber 2001.
85
cukup kuat dalam pembentukan pemikiran keagamaan. Sistem ataupun
lembaga pendidikan keagamaan yang memilih kurikulum dan sistem
pengajaran yang menekankan pada pemahaman agama semata secara tekstual,
secara teoritis akan melahirkan out put yang memiliki pemahaman dan
wawasan berpikir sempit dan cenderung mistis. Sebaliknya, sistem ataupun
lembaga pendidikan keagamaan yang di samping memberikan pelajaran
agama, juga menekankan pengembangan penalaran, akan melahirkan out put
yang memiliki pemikiran yang tidak saja agamis tetapi juga berwawasan luas
dan cenderung rasional.141
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh M. Shadiq Abdullah,
bahwa secara umum ada dua kecenderungan yang mewarnai ragam pemikiran
keagamaan
mahasiswa.
Shadiq
memetakan
pada
dua
arus
besar;
kecenderungan autistik (mistis)142 dan kecendrungan realistik (logis).143
Kecenderungan autistik menurut Shadiq, banyak terdapat pada mahasiswa
Fakultas Dakwah dan Tarbiyah. Sementara Fakultas Uhsuluddin dan Syari’ah,
banyak kecenderungan ke berpikir realistik. Menurut Shadiq, bahwa
perbedaan fakultas dengan kurikulm yang berbeda, akan membentuk corak
pemikiran keagamaan mahasiswa. Mahasiwa yang banyak menekuni
kurikulum yang menekankan pemikiran logis rasional dan filosofis akan
mengarahkan dan membentuk pribadi yang cenderung berpikir realistik.
Sebaliknya, mahasiswa yang banyak menekuni materi ataupun mata kuliah
141
Menurut Peter McKellar memandang bahwa pemikiran keagamaan dipandang sebagai
keadaan yang terus mengalami perubahan, yang bergerak mengikuti garis kontinu mulai dari
berpikir autistik sampai ke berpikir realistik. Lihat Djamhari, op.cit., hlm. 47.
142
Yang termasuk dalam corak berpikir autistik adalah mereka yang memiliki pendapat
bahwa pernyataan, proposisi, informasi atau pandangan yang bersifat mistis atau fataliitik sebagai
suatu yang dapat diterima atau diyakini keabsahannya.
143
Yang termasuk dalam corak berpikir realistik adalah mereka yang memiliki pendapat
bahwa pernyataan, proposisi, informasi atau pandangan yang bersifat faktual, real, logis atau
rasional sebagai suatu yang dapat diterima atau diyakini kebenarannya.
86
yang kurang menekankan pemikiran kritis, empiris, rasional dan filosofis akan
mengarahkan dan membentuk pribadi yang cenderung berpikir autistik.144
Dengan demikian, dapat dipertegas lagi bahwa terdapat keragaman
pemikiran keagamaan di kalangan mahasiswa IAIN Walisongo. Keragaman
tersebut karena beberapa faktor, seperti pematangan intelektual melalui
lembaga-lembaga kajian dan organisasi extra-universiter seperti HMI, PMII,
IMM dan KAMMI, di samping karena sistem pendidikan IAIN sendiri. Pada
tahapan selanjutnya, perbedaan tersebut mereka aktualisasikan dengan
aktivitas rirual mereka. Keragaman pemikiran keagamaan itu juga akan
membedakan persepsi dan pola berbusana mahasiswi yang akan penulis bahas
lebih lanjut.
B. Pemahaman Keagamaan dan Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap etika berbusana
mahasiswi IAIN Walisongo, diketahui bahwa para mahasiswi memiliki persepsi
yang beragam tentang busana muslimah, se-beragam corak pemahaman
keagamaannya. Mereka merfleksikan pemahamannya tentang pola berbusana
dengan yang mereka pakai sebagaimana yang penulis amati.
144
Shodiq Abdullah, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiwa IAIN Walisongo Semarang”
dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Volume XI, Nomor 2 Nopember, 2003, hlm. 281, dst. Adanya
kecenderungan autistik, mengindikasikan bahwa sistem pendidikan yang dikembangkan IAIN
Walisongo agaknya belum mampu membentuk dan menciptakan pribadi mahasiswa yang dapat
berpikir realistik secara maksimal. Padahal IAIN Wasliongo merupakan lembaga pendidikan
tinggi Islam yang diharapkan bukan saja mampu mengembangkan diri sebagai lembaga
keagamaan tetapi juga mampu memfungsikan diri sebagai lembaga keilmuan. Sebagai lembaga
keilmuan, IAIN dituntut untuk mampu mengembangkan ilmu-ilmu keIslaman dan mampu
merespon perkembangan masyarakat terutama dinamika sains dan teknologi modern yang
dikembangkan dan bertumpu pada pemikiran empiris dan rasional merupakan ciri berpikir
realistik.
87
Secara umum, anggapan yang mengatakan bahwa busana mahasiswi
IAIN Walisongo itu kurang modis (kudis) mulai terkikis. Sebab, di Perguruan
Tinggi berlabel Islam ini sebagian mahasiswinya sudah bisa tampil keren,
seakan-akan tidak mau ketinggalan zaman. Pola berbusana yang dipakai
mahasiswi pun terlihat campur aduk (beragam). Ada sebagian mahasiswi yang
enjoy memakai busana ketat, ada pula yang berbaju longgar, bahkan ada pula
yang memakai jubah. Apakah trend ini juga berpengaruh pada moral
mahasiswa, hal ini memerlukan penelitian tersendiri.
Beragamanya pola berbusana mahasiswi, beragam pula persepsi
tentang pola berbusana yang seharusnya dipakai seorang muslimah. Setelah
penulis melakukan observasi, untuk menggali informasi lebih lanjut, penulis
melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswi. Sebelumnya, penulis
mengklasifikasi mereka terutama yang aktif atau bergabung dengan salah satu
organisasi kemahasiswaan ekstra seperti HMI, IMM, PMII, dan KAMMI,
juga mereka aktif di organisasi intra seperti UKM Music, Teater dan
MAWAPALA. Pertimbangannya, karena visi misi organisasi tersebut dapat
mengarahkan kecenderungan pemikiran keagamaan yang berbeda, sehingga
mengasumsikan pemahaman tentang pola berbusana muslimah yang berbeda
pula. Indikatornya, bahwa busana yang dipakai oleh mahasiswi yang
bergabung dengan KAMMI berbeda dengan busana yang dipakai mahasiswi
yang bergabung dengan HMI, IMM, PMII, apalagi mahasiswi yang aktif di
UKM Music, Teater, dan Mawapala.
88
Wawancara penulis dengan beberapa aktivis mahasiswi yang
bergabung dengan KAMMI, dapat penulis paparkan; bahwa busana yang
seharusnya dipakai oleh mahasiswi IAIN adalah longgar dan dapat menutup
aurat rapat-rapat. Seperti yang disampaikan oleh Arista Anggraihani dan
Sarah Nur Afni, Tri Yudiasih, Ning Diah K., Da’watul Bararah, Yuli
Rahmawati, dan Lia Qatifah. Mereka dan rekan-rekan se-organisasinya
memakai busana seperti yang mereka pahami, walaupun tidak aturan yang
secara resmi mengenai pola busana yang harus dipakai di organisasinya.
Pemandangan busana longgar dan jilbab besar tampak banyak di Fakultas
Tarbiyah, karena memang basis KAMII di IAIN Walisongo adalah di Fakultas
Tarbiyah.145
Pemahaman yang agak berbeda dari para mahasiswi yang bergabung
dengan HMI dan IMM. Mereka menganggap bahwa busana yang cocok untuk
mahasiswi IAIN itu tidak harus gombroh, atau longgar, tetapi cukup memakai
busana muslimah yang kasual dan sopan. Dengan model kasual, bisa padanan
antara celana kulot atau jeans untuk bawahan dan kemeja sebagai atasannya,
sebagaimana dikemudkan oleh Ridha Umami, Niklah, Nuriyatul Adlkhiyyah,
Neli Afriha, Alfi Rahma Farida, Yuyun Eva Nauli dan Nur Fatimatuz Zahra.
Mereka adalah mahasiswi-mahasiswi yang aktif di Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI).146 Pemahaman yang sama juga disampaikan oleh Erlina
145
Wawancara dilakukan dengan beberapa mahasiswi aktivis KAMMI IAIN Walisongo
pada tanggal 5-10 Desember 2004.
146
Wawancara dilakukan dengan beberapa mahasiswi aktivis HMI IAIN Walisongo pada
tanggal 11-15 Desember 2004.
89
Rahmawati, Reksa Nila Anityaloka dan Lailatul Maroh. Keduanya bergabung
dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).147
Persepsi lain menurut mahasiswi yang kebutulan aktif di Pergerakan
Mahasiswi Islam Indonesia (PMII) seperti Samiasih, Siti Maftuhah, Lu’lu’ul
Fu’ad, Eny Yuliati, Nurul Aini Khasaningsih, Eva Mushanifah, Ade Herawati,
Musharafah, dan Umi Salamah. Mereka memahami bahwa busana muslimah,
yang penting menutup aurat, tidak harus gombrong. Memakai busana ketat
juga boleh, asal masih kelihatan sopan. Menurut mereka, bahwa orang itu
yang penting pribadinya, bukan dilihat dari pakaiannya, meskipun mereka
sendiri tidak suka memakai busana ketat dan transparan. Menurut mereka,
aturan organisasi yang mereka ikuti tidak mengatur model busana tertentu,
atau larangan memakai busana yang ketat/transparan, sehingga rekanrekannya pun ada yang memakai baju ketat.148
Sebaliknya, ada sebagian mahasiswi yang memahami bahwa busana
mahasiswi IAIN itu seharusnya yang mengikuti trend mode, supaya tidak
dikatakan kurang modis (kudis). Sesuai pemahamannya, mereka pun enjoy
memakai model baju yang dikenal dengan istilah “baju adik”. Model busana
ini adalah baju ketat (press body), celana ketat, meskipun tetap berjilbab. Di
dunia kampus, tren semacam ini bisa dikatakan sebagai model terkini. Di
antara mereka yang memahami dan memakai model baju adalah Kisbiyah, Siti
147
Wawancara dilakukan dengan beberapa mahasiswi aktivis IMM IAIN Walisongo pada
tanggal 16-18 Desember 2004.
148
Wawancara dilakukan dengan beberapa mahasiswi aktivis PMII IAIN Walisongo pada
tanggal 19-24 Desember 2004.
90
Maftuhah, Eva Nur Amalia, Nurul Hidayah, Arina Fatkhatun ‘Arifah,
Rifzahara, sebagian mereka adalah adalah aktivis UKM Music dan Teater.149
Model terakhir inilah yang ternyata banyak digemari mahasiswi IAIN
Walisongo, tidak hanya mahasiswi yang aktif di UKM Music atau Teaater.
Model stelan street dengan padanan celana body cut yang ketat, selalu
menjadi fashion idola mereka. Bahkan tidak cukup itu saja, sebagian dari
mereka biasanya melengkapi dandanannya dengan goresan make up yang
tebal, eyesido, alis yang dikerok, lalu ditebali dengan pensil alis. Belum
sempurna, bibir pun lalu dihias dengan lipstik warna-warni, badan disemprot
parfum yang aromanya sangat lembut. Dadanan menor-lah yang ditampilkan,
dan menampakkan trend ala selibritis.
Hasil wawancara dengan Arina misalnya, bahwa dia merasa tidak
percaya diri jika tidak memakai “baju adik” (ketat). Dia berprinsip, biarlah
mau dibilang ikutan trend, yang jelas enjoy dan gaul.150 Begitu pula menurut
Kisbiyah. Menurutnya, sah-sah saja seseorang memakai busana ketat apalagi
mengikut trend, kalau hal itu dirasa lebih tepat dan dapat menyesuaikan mode,
yang penting masih menutup aurat. Kisbiyah mencotohkan diperbolehkannya
mahasiswi memakai celana panjang ketika naik kendaraan; “pakaian celana
itu lebih efektif, karena kalau pakai rok akan lebih kelihatan”.151
149
Wawancara dilakukan pada tanggal 24-28 Nopember 2004, setelah sebelumnya
mengadakan observasi yang cukup lama.
150
Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Nopember 2004.
151
Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Nopember 2004.
91
Sedangkan Nurul Hidayah, pemakai baju ketat lainnya, juga
mengungkapkan alasan yang sama. Dengan jujur mengatakan enjoy-nya
memakai baju ketat. Menurutnya, pakaian itu tergantung pada pribadinya
masing-masing. Selain enyoy, kebiasaannya memakai baju ketat ini
dikarenakan faktor cuaca. Menurutnya, karena di Semarang cuacanya panas,
kalau pakai baju yang ombrong malah sumuk (cepat keluar keringat).152
Eny Yulianti juga mengungkapkan bahwa kebiasaan ia memakai baju
ketat sudah sejak SMA, selain sebagai pakaian sehari-hari di rumah.
Prinsipnya, yang penting memakai jilbab, dan yang penting dalam berbusana,
harus mengikuti mode, dan tampil trendi. Sebab, tampil trendi dan mengikuti
mode merupakan dambaan setiap perempuan.153
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa banyak keragaman
pemahaman dan pola berbusana di kalangan mahasiswi IAIN Walisongo.
Sesuai pemahaman dan pola berbusana dipakai, mereka pun menanggapi
model busana ketat yang ternyata dominan di IAIN Walisongo. Adalah Arista
Anggraheni dan Sarah Nur Afni yang mengomentari sinis model busana ketat.
Menurutnya, trend busana semacam itu tidak wajar dan sangat disayangkan
digemari sebagian mahasiswi IAIN yang notabene mahasiswi perguruan
tinggi dengan label Islam, apalagi rata-rata hanya ikut-ikutan trend saja.
Jika para pemakai baju ketat beralasan untuk lebih efektif dalam
beraktivitas, para aktivis KAMII dan yang kebetulan aktif juga di Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) ini justru mempertanyakan, sebeparapa jauh efektif
152
Wawancara dilakukan pada tanggal 26 Nopember 2004.
153
Wawancara dilakukan pada tanggal 26 Nopember 2004.
92
dan manfaat mengikuti mode memakai baju ketat. Mode itu hanya menuruti
hawa nafsu belaka. Sudah jelas bahwa menutup aurat itu perintah agama
dengan tujuan supaya tidak mengundang syahwat. Jika memakai busana yang
lekuk-lekuk tubuhnya kelihatan, itu sama saja masih telanjang. Padahal sudah
jelas bahwa banyak ayat al-Qur’ân maupun hadîts yang memerintahkan
menutup dan menjaga aurat, termasuk untuk tidak memakai busana yang tidak
transparan dan ketat. Mereka juga mencontohkan bahwa organisasinya
(KAMMI) walaupun tidak ada aturan mengenai pola busana tertentu, tetapi
mengharuskan memakai busana yang longgar karena merupakan perintah
agama. Menurut mereka, berbaju longgar tidak sampai mengganggu aktivitas
mereka, seperti kuliah, kegiatan organisasi, kegiatan-kegiatan sosial, bahkan
demonstrasi sekalipun.154
Persepsi yang agak berbeda dikemukakan oleh Ridha Umami dan
Alfi Rahma Farida yang juga aktivis HMI. Kemudian Samiasih dan Lu’lu’
yang aktivis PMII. Menurut mereka, mengikuti mode merupakan suatu yang
wajar, karena mode memang boleh diikuti. Menurut Islam sendiri tidak ada
larangan yang tegas mengikuti mode, akan tetapi norma-norma Islami harus
tetap dipegang. Bagaimana
mahasiwi kelihatan
modis
tetapi
tidak
mengorbankan ajaran Islam itu sendiri. Kerana budaya juga sebagai cipta, rasa
dan karsa, wajib bagi orang Islam selalu membawa misi Islam. Trend ini
bersifat populer atau cepat berubah. Di dalam menghadapi modenya,
mahasiswi dituntut harus bisa menyesuaikan dengan budaya Indonesia dan
154
Wawancara dilakukan pada tanggal 7 Desember 2004.
93
norma agama. Apabila tidak cermat, bisa-bisa hanya menjadi korban mode itu
sendiri.155
Itulah persepsi sebagian mahasiswi IAIN Walisongo tentang pola
berbusana yang beragam yang kemudian terefleksikan dengan pola busana
yang mereka pakai. Fenomena campur-aduknya model busana yang dipakai,
merefleksikan pemahaman dan tolok ukur yang mereka gunakan yang sangat
dipengaruhi dengan kultur, komunitas dan aktivitas keseharian mereka.
C.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo
Ragamnya pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo, tidak lepas
dari beberapa faktor yang mendorongnya. Pertama, perbedaan organisasi.
Pematangan intelektual melalui organisasi-organisasi pergerakan yang
membentuk polarisasi gerakan dan corak pemikiran keagamaan, ikut
mempengaruhi pemahaman dan pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo.
Mahasiswi yang ikut organisasi KAMMI, karena memiliki kecenderungan
nalar intelektual keagamaan yang berbeda dengan yang ikut di PMII, HMI,
IMM, apalagi yang ikut UKM Music atau Teater, ataupun mahasiswa yang
hanya menghabiskan kesehariaannya untuk kuliah oriented dan di kost saja,
jelas berbeda pula persepsinya tentang busana muslimah.156
Kedua, pemahaman keagamaan. Mahasiswi yang yang berbusana
gombrong kebanyakan yang bergabung dengan KAMMI. Mereka memang
155
Wawancara dilakukan pada tanggal 12 Desember dengan beberapa aktivis HMI IAIN
dan aktivis PMII IAIN pada tanggal 20 Desember 2004.
156
Bisa dilihat dari beberapa selebaran, famlet atau buku panduan dan rujukan ataupun
AD/ART organisasi masing-masing.
94
dikenal sebagai kelompok yang intens menyuarakan tentang perlunya penerapan
nilai-nilai keislaman, termasuk di Kampus IAIN Walisongo. Di dalam berbusana
pun mereka berpegang teguh pada ajaran Islam bahwa menutup aurat rapat-rapat,
tidak memakai busana transparan atau ketat merupakan perintah dalam al-Qur’ân
maupun hadîts. Di samping itu, sebagai tuntutan moral Islam, yang akan
membawa pemakainya akan lebih hati-hati terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilarang agama.157 Begitu juga pemahaman mahasiswi yang ikut HMI, IMM
ataupun PMII. Mereka umumnya lebih longgar dalam memahami ajaran Islam
dan menekankan bagaimana substansi ajaran Islam itu bisa hidup di kampus IAIN
Walisongo. Di alam berbusana pun yang terpenting memenuhi standar kesopanan
dan menutup aurat dan tidak harus gombrong.158 Sebaliknya, mereka berbusana
ketat, kebanyakan tidak begitu memperdulikan apakah itu larangan atau
dibolehkan oleh agama, apakah itu sebagai tuntutan moral Islam atau tidak.159
Ketiga, penampakan identitas. Busana muslimah yang longgar, ataupun
jilbab, juga sebagai identitas wanita muslimah. Menurut Aristra Anggraihani,
bahwa seorang muslimah dianjurkan untuk menampakkan identitas sebagai
wanita yang shalihah, salah satunya dengan pola berbusana. Dengan berbusana
yang menutup rapat aurat, berjilbab lebar disertai kehati-hatian dalam berperilaku,
jelas akan menjadi suri tauladan perempuan. Secara psikologi pun, busana akan
157
Wawancara dengan Arista Anggraihani, pada tanggal 7 Desember 2004.
158
Hasil rumusan wawancara dengan beberapa aktivis HMI pada tanggal 12 Desember,
dengan beberapa aktivis IMM pada tanggal 15 Desember dan aktivis PMII pada tanggal 20
Desember 2004.
159
Hasil rumusan wawancara dengan beberapa aktivis UKM Music dan Teater pada tanggal
25 Nopember 2004.
95
mempengaruhi perilaku seseorang. Misalnya, dengan memakai busana yang
gombrong dan jilbab lebar, maka akan merasa sangat tidak etis apabila
berbincang-bincang yang tidak penting dengan lawan jenisnya yang bukan
muhrim, apalagi lagi sampai berpacaran. Itulah sebabnya dalam organisasi
KAMMI, tidak memperbolehkan pacaran.160 Begitu pula bagi mahasiswi yang
lebih suka berbusana ketat, bagi mereka yang terpenting bagaimana bisa tampil
trendi, dan tidak dikatakan ketinggalan zaman.161
Keampat, faktor kebiasaan. Kebiasaan terkait dengan lingkungan
seperti kost, latar belakang pendidikan sebelumnya dan keluarga. Mahasiswi
yang terbiasa dengan pola berbusana ketat, maka akan merasa kerempotan jika
harus beradaptasi dengan berganti model busananya.162 Kebiasaan juga akibat
kuatnya patron client yang dipegang mahasiswi. Berbusana tentu saja
dipengaruhi oleh teman-teman satu kost, kakak-kakak, ataupun saudarasaudaranya yang lain yang secara otomatis mereka pun akan menirunya.
Kelima, faktor budaya konsumerisme. Inilah yang tampaknya merambah
mahasiswi termasuk mahasiswi IAIN Walisongo yang berbusana ketat dengan
prinsip mengikuti mode.163 Karena budaya konsumerisme banyak mahasiswi
IAIN yang tanpa pikir panjang langsung mengikuti mode busana-busana artis.
Akibat tindakan asal-asalan dan kurang selektif ini, mereka tidak bisa
160
161
Wawancara dengan Arista Anggraihani, pada tanggal 7 Desember 2004.
Wawancara dengan Eni Yulianti pada tanggal 26 Nopember 2004.
162
Wawancara dengan Eni Yulianti pada tanggal 26 Nopember 2004.
163
Wawancara dengan Siti Maftuhah pada tanggal 25 Nopember 2004.
96
mengidentifikasi bentuk tubuhnya, sehingga seringkali busana-busana yang
mereka pakai tidak pas.
Keenam, tidak adanya sanksi pelanggaran busana di IAIN Walisongo.
Memang berbagai aturan mulai dari aturan Institut, maupun Fakultas seperti di
Fakultas Dakwah, dengan menempel SK aturan berbusana, dan di Fakultas
Sayri’ah dengan menempel ungkapan bijak “Ajiningin Diri Ana Ing Ati,
Ajining Raga Ana Ing Busana”. Namun banyak di antara mahasiswi yang
jangankan membaca, menengok saja tidak. Termasuk SK Rektor Nomor 04
Tahun 1999 tentang Tata Tertib Mahasiswa IAIN Walisongo yang tidak boleh
memakai pakaian transaparan yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya.164
Namun karena tidak adanya sanksi aturan itu tidak diperhatikan mahasiswi.
Itulah faktor-faktor yang memepengaruhi pemahaman dan pola
berbusana mahasiswi IAIN Walisongo, yaitu karena faktor perbedaan
organisasi, faktor pemahaman keagamaan, faktor penampakan identitas, faktor
kebiasaan, faktor budaya konsumerisme dan faktor tidak adanya sanksi
pelanggaran busana di IAIN Walisongo.
164
Lebih jelas tentang aturan busana ini tertera dalam ayat (1) dan (2) pasal 7. Pada ayat (1)
disebutkan: selama mengikuti perkuliahan dan memasuki kantor, mahasiswa dilarang memakai
sandal dan kaos tidak berkerah. Ayat (2): bagi mahasiswi harus memakai jilbab dan tidak
diperbolehkan berpakaian ketat atau transparan.
97
BAB IV
ANALISIS ETIKA BERBUSANA MAHASISWI IAIN WALISONGO
SEMARANG
A. Analisis terhadap Pemahaman Mahasiswi IAIN Walisongo tentang Etika
Berbusana dan Implikasinya
Busana merupakan salah satu kebutuhan manusia, sampai kapanpun dan
di manapun, baik manusia yang berbudaya maju atau masih terbelakang.
Kelompok nudis pun yang menganjurkan menanggalkan busana, merasa
membutuhkannya, minimal ketika mereka merasakan udara sangat dingin.
Masyarakat Tuareg di Gurun Sahara, Afrika Utara, menutupi seluruh tubuh
mereka dengan busana, agar terlindungi dari panas matahari dan pasir yang biasa
berterbangan di gurun terbuka itu. Masyarakat yang hidup di kutub mengenakan
busana tebal yang terbuat dari kulit agar menghangatkan badan mereka.165
Pemakaian busana juga dapat memberikan keindahan. Misalnya,
seseorang yang berada di pedalaman Papua, ketika memakai koteka ratusan tahun
yang lalu, pastilah merasa ada unsur keindahan yang ditampilkannya.
Sebagaimana halnya seorang diplomat sebuah negara yang mengenakan jas dan
back tie pada acara-acara khusus. Seorang wanita Afrika yang menusuk bibirnya,
wanita India yang melubangi hidungnya, kesemuanya berupaya menampilkan
keindahan melalui apa yang dilakukan dan dipakainya. Bahkan seorang yang
memiliki aib pada bagian tubuhnya, akan berusaha mengenakan busana tertentu
165
Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa
Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 29.
98
untuk menutupinya. Jika di lengan seseorang ada bekas luka yang menonjol, maka
ia pun akan mengenakan baju berlengan panjang untuk menutupinya. Seorang
yang merasa kebotakan adalah keburukan, akan tampil menutupinya dengan wig
atau kopiah, sedang jika ia menilainya pertanda kecerdasan, maka boleh jadi ia
tidak akan berupaya menutupinya. Wanita Indonesia yang perutnya gendut, tidak
akan nyaman memakai busana Sari ala India, karena merasa itu tidak indah, atau
dapat menonjolkan keburukannya. Sebaliknya, banyak gadis-gadis di seluruh
pelosok kota besar berlomba menampakkan perutnya antara lain guna
menampilkan apa yang mereka anggap sebagai keindahan.166
Namun demikian, ukuran keindahan itu berubah-ubah. Dahulu gemuk
merupakan pertanda kesejahteraan hidup dan digemari oleh banyak perempuan.
Kini banyak di antara mereka yang di-eat dan rela menahan diri tidak makan dan
tidak minum, serta berolah raga yang melelahkan, agar nampak ramping dan
kurus. Demikianlah, ukuran keindahan berubah-ubah serta berbeda-beda antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Busana sangat berkaitan dengan budaya dan perkembangan masyarakat.
Di Jepang, wanita memakai kimono. Kini tersebar di seluruh dunia busana jas
buat pria. Walau jas pada mulanya dipakai oleh buruh pabrik untuk menunjukkan
rasa tidak senang kepada bangsawan yang berbusana mewah. Kini terjadi
sebaliknya, justru orang-orang kaya dan berkedudukan sosial tinggi yang banyak
memakai jas. Dengan demikian, persepsi orang terhadap pola berbusana berubah-
166
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 163-165.
99
rubah dan beragam. Begitu pula pemakaiannya, selalu ada perubahan dan
keragaman.167
Begitu pula pemahaman pola berbusana yang berkembang di kalangan
mahasiswi IAIN Walisongo, sangat beragam. Mahasiswi yang bergabung dengan
KAMMI memiliki persepsi bahwa pola berbusana yang seharusnya dipakai
seorang muslimah (termasuk mahasiswi IAIN Walisongo) harus longgar agar
dapat menutup aurat secara rapat, karena menutup aurat merupakan perintah
agama.168 Kemudian mahasiswi yang bergabung dengan HMI, IMM ataupun
PMII memiliki persepsi bahwa pola berbusana mahasiswi tidak harus longgar,
yang penting bisa menutup aurat dan terlihat sopan.169 Sebaliknya, mahasiswi
yang bergabung dengan UKM Music, Teater dan MAWAPALA kebanyakan
memiliki persepsi bahwa busana yang seharusnya dipakai mahasiswi adalah yang
trendy, mengikuti mode dan tidak ketinggalan zaman.170
Mereka merefleksikan pemahamannya dengan model busana yang
dipakai. Mahasiswi yang bergabung dengan KAMMI mengenakan busana yang
gombrong, jilbab besar dan menutup seluruh tubuh selain wajah dan telapak
tangan, kakinya pun dibungkus dengan kaos kaki. Mahasiswi yang bergabung
dengan HMI, IMM dan PMII juga merefleksikan pemahamannya dengan
mengenakan busana yang tidak terlalu longgar, sehingga terkesan biasa-biasa saja.
167
Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 30.
168
Wawancara dengan Ning Diah K., aktivis KAMMI IAIN Walisongo tanggal 7 Desember
2004.
169
Hasil rumusan wawancara dengan beberapa aktivis HMI, IMM dan PMII, tanggal 11-24
Desember 2004.
170
Wawancara dengan Nurul Hidayah, aktivis UKM Musik, tanggal 26 Nopember 2004.
100
Sebaliknya, mahasiswi yang memahami bahwa pola berbusana yang seharusnya
dipakai mahasiswi IAIN harus yang trendy dan mengikuti mode, mereka
refleksikan dengan memilih mengenakan busana yang ketat, pras body, sehingga
memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya, sebab model demikianlah termasuk model
busana terkini. Karenanya, dandanan menorlah yang tampak.
Ada sedikit persamaan prinsip mengenai pemahaman fungsional
busana yaitu “dapat menutup aurat” antara mahasiswi yang ikut KAMMI
dengan yang ikut HMI, IMM dan PMII. Walaupun batasan aurat sendiri masih
ada kesamaran, dan mereka pun memahaminya berbeda-beda. Memang,
persoalan aurat ini sepanjang sejarahnya selalu debatable, baik di kalangan
pemikir Islam klasik maupun kontemporer.
Ulama klasik sendiri dalam mendiskusikan batas aurat wanita yang
harus ditutupi, secara garis besar dapat dikelompokkan pada dua arus besar.
Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa
kecuali adalah aurat, sehingga harus ditutup rapat-rapat. Sehingga busana
yang harus dipakai seorang muslimah pun harus menutup seluruh aurat
tersebut. Kedua, kelompok yang mengecualikan wajah dan telapak tangan.
Ada pula yang menambah beberapa pengecualian, seperti kaki sebagaimana
yang kemukakan oleh Abû Hanifah. Rujukan dan pertimbangan yang
digunakan kelompok pertama banyak pada teks-teks al-Qur’ân dan hadîts.
Sedangkan kelompok kedua, di samping teks-teks al-Qur’ân dan hadîts, juga
pertimbangan logika dan adat istiadat serta prinsip umum agama.171
171
Lihat misalanya M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 52, dst.
101
Bahan diskusi dalam menentukan batas aurat perempuan baik oleh kelompok
pertama maupun kelompok kedua, berangkat dari ayat al-Qur’ân
surat al-Ahzâb ayat 33 yang berbunyi:
‫ﻦ‬
‫ﺟﻠَﺎﺑِﻴ ِﺒ ِﻬ ﱠ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻦ ِﻣ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ﱠ‬
َ ‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ ُﻳ ْﺪﻧِﻴ‬
َ ‫ﻚ َو ِﻧﺴَﺎ ِء ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴ‬
َ ‫ﻚ َو َﺑﻨَﺎ ِﺗ‬
َ‫ﺟ‬
ِ ‫ﻞ ِﻟَﺄ ْزوَا‬
ْ ‫ﻲ ُﻗ‬
‫ﻳَﺎَأ ﱡﻳﻬَﺎ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
.‫ﻏﻔُﻮرًا َرﺣِﻴﻤًﺎ‬
َ ‫ن اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ ‫ﻦ َوآَﺎ‬
َ ‫ﻦ َﻓﻠَﺎ ُﻳ ْﺆ َذ ْﻳ‬
َ ‫ن ُﻳ ْﻌ َﺮ ْﻓ‬
ْ ‫ﻚ َأ ْدﻧَﻰ َأ‬
َ ‫َذِﻟ‬
Artinya : “Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, dan anak-anak
perempuanmu dan wanita-wanita orang-orang mukmin, agar
mereka mengeluarkan atas diri merea jilbab mereka. Itu
menjadikan mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak
diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(Q.S. al-Ahzâb (33) : 59).172
Asbâb al-nuzul turunnya ayat tersebut menurut sebagian mufasir
bahwa ketika itu cara berbusana wanita merdeka dan budak, wanita baik-baik
dan wanita yang kurang sopan hampir sama. Karenanya, lelaki nakal
seringkali mengganggunya, khususnya budak-budak itu. Untuk menghindari
gangguan tersebut, serta menampakkan keterhormatan wanita muslimah, ayat
itu diturunkan.173
Fokus perdabatan dan argumentasinya baik yang digunakan oleh
kelompok yang memahami seluruh tubuh wanita aurat, atau kelompok yang
mengecualikan telapak tangan dan wajah, terletak pada kalimat “yudnina
‘alaihina min jalabibihina (agar mereka mengeluarkan atas diri merea jilbab
mereka)”. Kata jalabib merupakan bentuk jamak dari kata jilbab. Kata ini
kemudian diperselisihkan maknanya oleh para ahli bahasa Arab.
172
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, al-Qur’ân dan Terjemahnya, Madinah:
Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at Mushaf al-Syarif, 1418 H., hlm. 678.
173
M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 63.
102
Menurut kelompok yang memahami bahwa seluruh tubuh wanita
adalah aurat, memaknai kata jilbab berarti busana yang menutupi baju dan
kerudung yang sedang dipakai, sehingga modelnya seperti selimut. Ibn Jarir
(w. 923 M.) meriwayatkan bahwa Muhammad Ibn Sirin bertanya kepada
‘Abidah al-Salamani tentang maksud penggalan ayat itu, lalu ‘Abidah
mengangkat semacam selendang yang dipakainya dan memakainya sambil
menutup seluruh kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan menutupi
wajahnya dan membuka mata kirinya untuk melihat dari arah sebelah
kirinya.174 Sementara al-Baqi (1406-1480 M.) menyebut beberapa pendapat
tentang makna jilbab. Antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup
kepala wanita, atau busana wanita, atau busana yang menutupi baju dan
kerudung yang dipakainya, atau semua busana yang menutupi badan
wanita.175
Menurut kelompok yang mengecualikan telapak tangan dan wajah
menyatakan bahwa tidak sepenuhnya benar maksud makna kata tersebut. Jika
yang dimaksud dengan jilbab adalah baju, maka ia adalah busana yang
menutupi tangan dan kakinya; kalau kerudung maka perintah mengulurkannya
adalah menutup wajah dan lehernya. Jika maknanya busana yang menutupi
baju, maka perintah mengulurkannya adalalah membuatnya longgar sehingga
menutupi semua badan dan pakain. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa
ketentuan itu hanya berlaku pada zaman Nabi s.a.w. di mana ketika itu ada
174
Lihat Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid XXII, Cairo: al-Muniriyyah, 1985, hlm. 89.
175
Lihat Ibrahim ibn Umar al-Baqi, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Jilid
V, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995, hlm. 135.
103
perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita
merdeka, serta bertujuan menghindarkan gangguan lelaki nakal. Menurut
penganut paham terakhir ini, jika tujuan tersebut telah dapat dicapai dengan
satu dan lain cara, maka ketika itu busana yang dikenakan telah sejalan
dengan tuntutan agama.176
Adapun hadîts yang dijadikan rujukan oleh kelompok yang
memahami bahwa seluruh tubuh wanita sebagai aurat sehingga harus ditutupi
rapat-rapat antara lain hadîts yang diriwayatkan oleh al-Turmidzi: “Dari Ibn
Mas’ud bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “wanita adalah aurat, maka apabila dia
keluar (rumah), maka setan tampil membelakakkan matanya dan bermaksud
buruk terhadapnya”. (H.R. al-Turmudzî).177 Al-Turmudzî sebagai perawi
hadîts menilai bahwa hadîts tersebut berkualitas Hasan dalam arti perawinya
memiliki sedikit kelemahan yaitu ingatannya dan gharib, yakni tidak
diriwayatkan kecuali melalui seorang demi seorang.
Menurut M. Quraish Shihab, bahwa kalaupun kualitas hadîts tersebut
dinilai Shahîh, tidaklah menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah
aurat. Karena kata “wanita adalah aurat”, dapat berarti bagian-bagian tertentu
dari badan atau gerakannya yang rawan menimbulkan rangsangan. Hadîts ini
juga tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang wanita keluar rumah; paling
tinggi, dia hanyalah merupakan peringatan agar wanita menutup auratnya
dengan baik dan bersikap sopan sesuai dengan tuntutan agama, lebih-lebih
176
Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 64-65.
177
Al-Turmudzî, Sunan al-Turmudzî, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 16.
104
apabila dia keluar rumah, agar tidak merangsang kehadiran dan gangguan
setan, baik setan manusia maupun setan jin.178
Hadîts lainnya adalah yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri: “Dari Ibn
Umar r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak (dibenarkan) wanita yang
sedang berihram memakai cadar (penutup wajah) dan tidak juga memakai
kaus tangan’. (H.R. Bukhâri).179 Di samping al-Bukhâri, hadîts tersebut juga
diriwayatkan oleh Nasa’i dan Ahmad.
Menurut kelompok pertama, hadîts tersebut menunjukkan bahwa
ketika itu wanita-wanita muslimah memakai cadar dalam kesehariannya.
Argumen ini ditolak oleh kelompok kedua dengan menyatakan bahwa dalam
teks hadîts tidak ada yang menunjukkan semua wanita ketika itu bercadar. Ini
dapat dibuktikan dengan banyaknya hadîts-hadîts lain yang dapat dijadikan
dasar bahwa banyak wanita ketika itu tidak memakai cadar. Kalaupun mereka
bercadar, maka itu bisa saja dilakukan bukan atas dasar kewajiban agama,
tetapi kehendak mereka sendiri, karena memang tidak ada salahnya wanita
bercadar.180
Adapun hadîts-hadîts yang dijadikan rujukan oleh kelompok ulama
yang mengecualikan telapak tangan dan wajah di antaranya hadîts yang
diriwayatkan oleh Abû Daud: “Aisyah r.a. berkata bahwa Asma putri Abû
Bakar r.a. datang menemui Rasûlullâh s.a.w. dengan mengenakan busana tipis
178
Banyak hadîts-hadîts lain yang menunjukkan wanita pada zaman Nabi keluar rumah
untuk melakukan kegiatan positif. Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 87.
179
Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Shahîh Bukhâri, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., hlm. 64.
180
Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 88-89.
105
(transparan), maka Rasûlullâh s.a.w. berpaing enggan melihatnya dan
bersabda: “Hai Asma, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi
wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini (sambil beiau menunjuk ke wajah dan
kedua telapak tangan beliau” (H.R. Abû Daud).181 Di samping Abû Dawud,
hadîts tersebut juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi.
Hadîts di atas memiliki rentetan perawi yang menjadi bahasan
panjang, serta penerimaan dan penolakan ulama-ulama. Akan tetapi, hadîts
itulah yang dijadikan oleh kelompok yang menganggap telapak tangan dan
wajah wanita bukan aurat, sehingga tidak harus ditutupi. Misalnya yang
dikemukakan oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani.182 Begitu juga menurut
Abû A’la al-Maududi, yang menyatakan bahwa walaupun hadîts di atas terjadi
perdebatan, akan tetapi hadîts tersebut dapat diamalkan. Hanya saja, alMaududi memberikan catatan, bahwa wanita diperbolehkan menampakkan
wajah dan telapak tangannya adalah menurut kebiasaan, bahkan bisa saja
menampakkan seluruh tangan karena kebutuhan tertentu.183
Hadîts lain yang dijadikan rujukan adalah yang diriwayatkan oleh
Bukhâri: Muslim dan Abû Daud: “Rasûlullâh s.a.w. membonceng al-Fadh
putra al-‘Abbas pada hari al-Nahr (lebaran haji) di belakang kendaraan (unta)
181
Lihat Abû Dawud, Sunan Abû Dawud, Juz III, Beirut: Dar al-Ihya al-Sunnah alNabawiyah, t.th., Hadîts No. 4104. hlm. 103.
182
Nashiruddin al-Albani, Ilbab al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitab wa al-Sunnah,
Yordania: Al-Maktabah al-Islamiyah, 1413 H., hlm. 44.
183
Lihat Abû A’la al-Maududi, al-Hijab, Beirut: Dâr al-Firk, t.th., hlm. 24, dst. Alasan alMaududi tersebut sebanarnya ditolak oleh al-Albani, karena adanya ketidakjelasan. Atas dasar apa
al-Maududi mengklasifikasi bahwa “Ini untuk kebiasaan dan itu untuk kebutuhan”? Mengapa
misalnya tidak dikatakan “Yang ini adalah terbaik dan itu dapat ditoleransi”?. Lihat Nashiruddin
al-Albani, op.cit., hlm. 46.
106
beliau. Al-Fadh adalah seorang pria yang berseri (gagah). Nabi s.a.w. berdiri
memberi fatwa pada khalayak. Lalu datang seorang perempuan dari suku
Khats’am, berseri (cantik) dan bertanya kepada Rasûlullâh s.a.w. Al-Fadh
(terus-menerus) memandangnya dan kecantikan wanita itu menakjbukannya,
maka Nabi menoleh sedang al-Fadh melihat kepadanya (wanita itu), lalu Nabi
s.a.w. memalingkan dengan tangan beliau dagu al-Fahdl, maka beliau
memalingkan wajah al-Fadh dari pandangan kepada wanita itu. Lalu wanita
itu berkata: “sesungguhnya kewajiban yang ditetapkan Allah atas hambahamba-Nya adalah haji (tetapi) saya mendapatkan ayah saya dalam keadaan
tua tidak mampu duduk di atas kendaraan, maka apakah boleh saya
menghajikan untuknya? Nabi menjawab: “Ya”. (H.R. Bukhâri).184 Di samping
al-Bukhâri, hadîts tersebut juga diriwayatkan oleh Abûd Daud, Muslim, dll.
Menurut kelompok kedua, hadîts di atas menunjukkan bahwa telapak
tangan wanita dan wajah bukanlah aurat, sehingga tidak harus ditutup.185 Di
samping itu, masih banyak hadîts-hadîts lain yang dijadikan argumen, baik
oleh kelompok yang memahami bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat
ataupun kelompok yang mengecualikan telapak tangan dan wajah.
Adapuan pandangan ulama kontemporer, walaupun masih banyak
yang memegangi pendapat ulama terdahulu, nampaknya sudah cukup
beragam. Misalnya pandangan yang disampaikan oleh Qasim Amin (18031908 M.) bahwa tidak ada satu ketetapan agama (nash dari syari’at) yang
mewajibkan busana tertentu bagi perempuan, misalnya seperti jilbab
184
Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, op.cit., Juz I, hlm. 69.
185
Lihat M. Quraish Shihahb, Jilbab … op.cit., hlm. 96-97.
107
sebagaimana yang dikenal selama ini dalam masyarakat Islam.186 Busana
tersebut merupakan adat kebiasaan yang lahir akibat pergaulan masyarakat
Islam dengan bangsa-bangsa lain yang mereka anggap baik. Kemudian
mereka menirunya dan menilainya sebagai tuntutan agama. Menurutnya, alQur’ân juga membolehkan perempuan menampakkan sebagian dari tubuhnya
di hadapan orang-orang yang bukan mahramnya, akan tetapi al-Qur’ân tidak
menentukan bagian-bagian dari anggota tubuh itu yang boleh terbuka.187
Gagasan seperti ini mendapat dukungan dari pemikir muslim lainnya
seperti Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan muridnya, Rasyid Ridha
(1865-1935 M.). Bahkan Rasyid Ridha dalam majalah al-Manar menyatakan
bahwa gagasan tersebut sebagai salah satu pemikiran terpenting pada masa
tersebut.188
Secara garis besar, pandangan ulama kontemporer mengenai busana
muslimah juga dapat dikelompokkan pada dua arus besar walaupun tidak
terpaut
dengan
pendapat
ulama
klasik.
Pertama,
kelompok
yang
186
Qasim Amin menilai tentang cadar, misalnya cadar dipakai oleh kalangan wanita-wanita
maju dan kaya serta menengah hingga akhir abad XX di Mesir. Benih perubahan baru terjadi
setelah sekian banyak cendekiawan Mesir yang berkunjung dan belajar di Eropa, khususnya
Perancis, lalu mereka kembali membawa angin perubahan serta pandangan-pandangan baru yang
selama ini belum dikenal oleh negeri-negeri Islam, seperti Mesir. Memang sebelumnya sudah ada
sementara perempuan yang menanggalkan busana tertutup akibat bergaulan mereka dengan
wanita-wanita Barat, khususnya Perancis yang datang ke Mesir di bawah pimpinan Napoleon
(1798-1801 M.), tetapi ketika itu belum ada ajakan sistematis atas nama ajaran Islam. Mereka
yang menanggalkan busana tertutup itu adalah perempuan-perempuan yang dinilai kerabat-kerabat
atau bahkan yang telah melanggar budaya dan ajaran agama. Ajakan sistematis dan secara terangterangan baru dimulai sekembalinya sekian banyak cendikiawan Mesir setelah selesainya studi
mereka di Perancis. Lihat Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Mesir: Percetakan Muhammad Zakiy
al-Din, 1347 H., hlm. 54-56.
187
Ibid., hlm. 57-58.
188
Lihat Muhammad Fuad al-Barazi, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah, Jilid II, Riyadh:
Adhwa al-Salaf, 1999, hlm. 473.
108
mengemukakan pendangannya tanpa dalil keagamaan. Kalaupun ada itu
sangat lemah dan tidak sejalan dengan kaidah dan disiplin ilmu agama. Seperti
pendapat bahwa bahwa busana tertutup (penutup aurat) merupakan salah satu
bentuk perbudakan dan lahir ketika laki-laki menguasai dan memperbudak
wanita. Ada pula yang menyatakan bahwa busana tertutup seperti jilbab telah
menutup keterlibatan perempuan dalam kehidupan politik, agama, akhlak dan
lain-lain. Ada pula yang dengan tegas berkata bahwa pada dasarnya wanita
berbusana tertutup atau telanjang, keduanya menjadikan wanita sebagai jasad
semata. Ketika menutup badan mengandung arti bahwa wanita adalah fitnah
(penggoda/perayu) dan wanita akan merayu laki-laki bila membuka busana.189
Pendapat semacam ini sangat subjektif dan tidak disertai dalil
sedikitpun. Kalaupun menggunakan dalil, mereka menafsirkannya tidak
sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab karena kedangkalan pengetahuan
agama, tidak dapat memahami konteks ayat, asbâb al-nuzul atau bahkan
hanya mengambil sepotong-sepotong ayat atau hadîts dengan mengabaikan
lanjutannya.
Kedua, pandangan yang merujuk kepada kaidah-kaidah keagamaan
yang juga diakui oleh para ulama terdahulu, hanya saja dalam penerapannya
tidak sepaham dengan ulama terdahulu. Misalnya pemahaman bahwa
perempuan selain boleh tidak menutup wajah dan telapak tangan juga boleh
tidak menutup kaki, seperti yang dikemukakan oleh Abû Hanifah. Jika kaki
juga harus ditutup, maka akan menimbulkan kesulitan dalam beraktivitas.
189
Lihat Nawal al-Sa’dawi dan Hibah Ra’uf Izzat dalam al-Mar’ah, Wa al-Din wa alAkhlak, Mesir: Dâr al-Fikr al-Mu’ashir, 2000, hlm. 28-30.
109
Pertimbangannya didasarkan pada kaidah fiqh; “ketika sesuatu telah
menyempit yakni sulit, maka segera lahir kelapangan, yakni kemudahan (idza
dhaqa al-syai’ ittasa’). Oleh karena itu, para cendikiawan kontemporer
memperluas bagian-bagian tubuh wanita yang tidak lagi dinilai sebagai aurat
antara lain karena lahirnya profesi-profesi baru yang mereka nilai menyulitkan
untuk
melakukannya
jika
pelakunya
menutup
bagian-bagian
tubuh
dimaksud.190
Karena al-Qur’ân tidak menentukan secara jelas dan rinci batas-batas
aurat atau bagian badan yang tidak boleh kelihatan karena rawan rangsangan,
maka memunculkan pemahaman yang beragam. Seandainya ada ketentuan
yang pasti dan batas yang jelas, dapat dipastikan bahwa kaum muslimin
termasuk ulama-ulamanya sejak dahulu hingga kini tidak akan berbeda
pemahaman.
Secara umum, baik pandangan klasik maupun kontemporer dalam
mencoba mencari batas-batas aurat yang harus ditutupi melalui penelahaan
terhadap al-Qur’ân, hadîts, maupun pertimbangan logika, adat istiadat,
kerawanan
rangsangan
syahwat,
maupun
pertimbangan
moral/etika.
Perbedaan interpretasi pun kerap muncul, karena sudut pandang yang berbeda.
Efek panjang dari perbedaan pemahaman terhadap batas aurat yang harus
ditutupi tersebut tereflesikan dari beragamnya pola busana muslimah yang ada
saat ini, seperti yang terdapat di kalangan mahasiswi IAIN Walisongo.
190
Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 127-128.
110
Mereka pun memiliki pemahaman tentang pola berbusana yang seharusnya
dipakai oleh seorang muslimah dengan perspektif masing-masing.
Untuk mengukur, manakah pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo yang
sesuai dengan etika Islam, atau sebaliknya mana yang menyimpang,
apakah pola berbusana ala KAMMI, ataukah ala HMI, IMM dan
PMII, atau sebaliknya pola busana ketat ala mahasiswi UKM Music,
Teater dan MWAPALA? Perlu kiranya melihat prinsip-prinsip etika
yang dibangun Islam.
Etika Islam sendiri merupakan nilai-nilai, norma-norma yang dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang penekanannya pada suatu
tindakan baik buruk, susila-asusila yang bersumber dari wahyu Tuhan, yaitu
al-Qur’ân atau hadîts. Artinya, semua tindakan harus mengikuti patokanpatokan tersebut, termasuk pola berbusana. Pilihan seseorang terhadap pola
busana, tentunya juga mengejar sesuatu yang baik, karena kebaikan
merupakan tanggung jawab moral bagi semua manusia, dan pelaksanaan dari
tanggung jawab ini sebagai pencerminan dari jiwa yang beretika. Berarti,
dalam berbusana harus bisa memfungsionalkan sifat-sifat manusia untuk
mempertahankan nilai-nilai pribadi yang luhur, serta dapat mendudukkan nilai
harga diri sebagai manusia yang luhur.
Karenanya, pola busana yang sesuai dengan prinsip etika Islam,
tentunya yang memenuhi kreteria itu. Dengan prinsip menutup aurat dan tidak
memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh atau transparan yang dapat memancing
shahwat yang melihatnya, serta dengan batasan masih kelihat sopan sekiranya
111
pemahaman dan pola berbusana mahasiswi IAIN yang bergabung dengan
HMI, IMM dan PMII, masih dalam bingkai etika berbusana yang sesuai
dengan etika Islam. Sebab, menurut mereka menurut mereka bahwa dalam
berbusana yang terpenting memenuhi standar kesopanan dan menutup aurat.
Apalagi pola busana seperti yang dipahami dan dipakai oleh
mahasiswi yang tergabung dengan KAMMI, bahwa berbusana haruslah
menutup aurat rapat-rapat. Mereka berpegang teguh pada ajaran Islam bahwa
menutup aurat rapat-rapat, tidak memakai busana transparan atau ketat
merupakan perintah dalam al-Qur’ân maupun hadîts. Di samping itu, sebagai
tuntutan moral Islam, yang akan membawa pemakainya akan lebih hati-hati
terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang agama. Dengan berbusana yang
menutup rapat aurat, berjilbab lebar disertai kehati-hatian dalam berperilaku,
jelas akan menjadi suri tauladan perempuan. Secara psikologi busana akan
mempengaruhi perilaku seseorang. Misalnya, dengan memakai busana yang
gombrong dan jilbab lebar, maka akan merasa sangat tidak etis apabila
berbincang-bincang yang tidak penting dengan lawan jenisnya yang bukan
muhrim.
Sebaliknya, mahasiswi yang memiliki persepsi bahwa pola berbusana
mahasiswi IAIN haruslah mengikuti mode, dan mereka lebih suka memilih
busana yang ketat, seperti mahasiswi yang aktif di UKM Music, UKM Teater,
UKM Mawapala, kebanyakan tidak begitu memperdulikan apakah itu
larangan atau dibolehkan oleh agama, apakah itu sebagai tuntutan etika Islam
atau tidak. Karenanya, pola berbusana ketat yang mereka pakai yang
112
memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya bertentangan dengan etika Islam,
apalagi prinsip mereka hanya mengikut trend mode.
Penilaian ini tentunya dengan mengacu patokan-patokan berbusana
yang sesuai dengan etika Islam. Patokan-patokan tersebut seperti tidak boleh
tabarruj atau menampakkan “perhiasan” dalam pengertian yang umum yang
biasanya tidak dinampakkan oleh wanita baik-baik, atau memakai sesuatu
yang tidak wajar dipakai, seperti ber-make up secara berlebihan, berlenggaklenggok dan segala macam sikap yang mengundang perhatian laki-laki.
Kemudian tidak boleh berbusana yang transparan atau ketat, sebab akan
mengundang perhatian dan rangsangan. Selanjutnya tidak boleh memakai
busana yang meyerupai busana laki-laki.
Dengan demikian, dapat ditegaskan lagi bahwa pemahaman dan pola
berbusana mahasiswi yang harus menutup rapat aurat seperti yang
dipersepsikan dan dipakai oleh mahasiswi yang tergabung dengan KAMMI,
sesuai dengan etika Islam. Begitu juga persepsi dan pola berbusana dengan
prinsip menutup aurat, tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh dan tidak
transparan seperti yang dipahami dan dipakai oleh mahasiswi yang tergabung
dengan HMI, IMM, dan PMII juga sudah sesuai dengan prinsip etika Islam.
Sedangkan pemahaman dan pola berbusana ketat, menampakkan lekuk-lekuk
tubuh dan transparan sebagaimana yang dipersepsikan dan dipakai oleh
mahasiswi yang tergabung dengan UKM Music, UKM Teater dan UKM
Mawapala tidak sesuai dengan etika Islam.
113
B.
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo
Pada bab terdahulu telah diilustrasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemahaman dan pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo, yaitu karena
perbedaan organisasi, pemahaman keagamaan, penampakan identitas, kebiasaa,
karena budaya konsumerisme, dan tidak adanya sanksi pelanggaran busana. Pada
prinsipnya, faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan pada faktor internal dan
eksternal.
1.
Faktor Internal
Faktor-faktor yang dapat dikelompokkan sebagai faktor internal
pemahaman dan pola berbusana mahasiswi IAIN Walisongo seperti
perbedaan organisasi dan pemahaman keagamaan. Polarasisasi organisasi
kemahasiswan seperti KAMMI, HMII, IMM, PMII maupun yang ikut
UKM Music, Teater dan Mawapala, akan membentuk nalar intelektual dan
cara pandang dalam menilai suatu persoalan. Perbedaan persepsi itu sangat
didukung oleh organisasi-organisasi yang memberikan larangan terhadap
pemakaian pola berbusana tertentu, ataupun yang memberikan kebebasan.
Karenanya, akan memunculkan pola berbusana ala mahasiswi KAMMI
dengan pola busana longgar, jilbab lebar, begitu pula pola berbusana lain
yang beragam.
Kemudian pemahaman keagamaan. Jika detemukan bahwa
mahasiswi yang memakai busana gombrong (longgar) yang menutup
seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan kebanyakan mahasiswi
yang tergabung dengan KAMMI, sangat dipengaruhi oleh sudut pandang
114
keagamaan. KAMMI memang dikenal organisasi kemahasiswaan yang
sangat comite dan intens dalam menyuarakan tentang perlunya penerapan
nilai-nilai ke-Islaman, termasuk di Kampus IAIN Walisongo. Mereka
memandang, bahwa pola berbusana yang mereka kenakan, dan pola
pergaulan yang mereka tekankan, sebagai tuntutan Islam karena didukung
oleh sumber al-Qur’ân, hadîts maupun ulama yang punya otoritas di
dalamnya. Itulah salah satu perintah agama, bahwa seorang muslimah
diwajibkan menutup seluruh auratnya. Dengan menutup aurat rapat-rapat,
diharapkan akan membawa seseorang lebih berhati-hati terhadap perilaku
yang dilarang agama.191
Begitu pula mahasiswi yang memandang bahwa pola berbusana
muslimah tidak harus longgar, yang penting dapat menutup aurat.
Mahasiswa dengan type pemahaman seperti ini, umumnya lebih longgar
dalam memahami ajaran Islam. Bagi mereka, yang terpenting bagaimana
substansi dari ajaran Islam itu. Di dalam berbusana pun yang terpenting
memenuhi standar kesopanan dan menutup aurat. Sebab al-Qur’ân sendiri
sebagai rujukan utama ajaran Islam, tidak menentukan pola berbusana
standar yang harus dipakai muslimah. Batasan aurat sendiri masih belum
jelas. Kalaupun ada dalil, itu pun multi-interpretasi.192 Sebaliknya,
mahasiswi yang dengan bangganya memahami dan memakai busana ketat,
191
Hasil rumusan wawancara dengan beberapa aktivis KAMMI IAIN Walisongo pada
tanggal 5-10 Desember 2004.
192
Hasil rumusan wawancara dengan beberapa aktivis HMI, IMM dan PMII, pada tanggal
11-14, Desember 2004.
115
kebanyakan tidak begitu memperdulikan apakah itu larangan atau
dibolehkan oleh agama, apakah itu sebagai tuntutan moral Islam atau
tidak, apakah itu menutup aurat atau justru menunjukkan aurat, yang
penting pemakainya merasa nyaman.193
Menurut Sarlito Wirawan, secara psikologi mengapa aurat harus
ditutupi (tidak boleh ditampakkan), sebenarnya ada dua pihak yang
terkena dampaknya, yaitu yang bersangkutan sendiri dan yang melihatnya.
Bagi yang bersangkutan menimbulkan rasa malu. Sedangkan yang
menyaksikannya bisa timbul seperti terangsang, bangkit shahwatnya, atau
risi, malu dan sebagainya. Walaupun perasaan-perasaan yang ditimbulkan
ini, subjektif sifatnya, tergantung pada kondisi orang-orang yang
bersangkutan dan sistem nilai yang dianutnya.194
Apa yang dikemukakan oleh Sarlito di atas dikemukakan juga
oleh sementara cendikiawan, bahkan di antara mereka ada yang merujuk
kepada ayat al-Qur’ân untuk mendukungnya. Menurut mereka, al-Qur’ân
memberi
kelonggaran
kepada
perempuan
untuk
menanggalkan
“hiasannya” kepada sekian banyak orang yang diduga tidak akan
tersangsang apabila ada bagian-bagian tertentu dari wanita itu yang
193
Hasil rumusan wawancara dengan beberapa aktivis UKM Music, Teater dan Mawapala
pada tanggal 24-28 Nopember 2004.
194
Sebagai contoh, wanita Jawa yang masih berbusana tradisional, menganggap biasa untuk
memperlihatkan dadan bagian atas yang terbuka. Ataupun baju renang, yang dipakai dalam
pertandingan renang oleh atlt-atlit putri, pada umumnya tidak menimbulkan masalah apa-apa. Di
masyarakat yang masih terbelakang seperti di Bali pada masa lalu, atau di suku-suku Irian Jaya,
payudara wanita dibiarkan terbuka saja dan hubungan seks berlangsung tetap sebagaimana yang
diatur adat istiadat setempat (justru lebih sopan daripada dalam masyarakat yang lebih beradab).
Lihat Sarlito Wirawan, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, Jakarta: Lembaga
Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah 1988, hlm. 249.
116
terbuka dan terlihat. Mereka yang diduga tidak terangsang seperti orang
impotent, orang yang sudah sangat tua, atau pada suatu aktivitas yang
memang memaksa untuk melihat aurat seperti untuk pelayanan
pengobatan.195
Atas dasar inilah ulama-ulama terdahulu menetapkan adanya
perbedaan antara aurat wanita merdeka dan hamba sahaya. Dengan dasar
itu pula sementara cendikiawan kontemporer mengembalikan persoalan
apa yang dinilai aurat kepada kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat, di
mana dapat terjadi perbedaan dalam penilaian tentang bagian-bagian
badan yang rawan dan yang tidak rawan, yang menimbulkan rangsangan
birahi dan yang tidak menimbulkannya.196
Meskipun demikian, bukan berarti Islam melepaskan kendali
kepada adat-kebiasaan, tanpa kontrol dari prinsip-prinsip ajaran agama
serta norma-norma etika. Manusia dan masyarakat memiliki potensi
negatif yang memungkinkan timbulnya kebiasaan buruk dan tidak sejalan
dengan nilai-nilai agama. Bukankah kini sudah menjadi pemandangan
sehari-hari
banyak
terlihat
perempuan
berbusana
yang
masih
memperlihatkan hampir sekujur paha dan dadanya? Menjadikan adat
kebiasaan sebagai dasar pertimbangan dalam menilai sesuatu tanpa kontrol
nilai-nilai agama dan dalam koridornya, mengakibatkan runtuhnya nilainilai agama. Sedang salah satu tujuan pokok kehadiran agama adalah
195
196
Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab … op.cit., hlm. 134-135.
Ibid., hlm. 136.
117
memelihara
kelangsungan
nilai-nilainya.
Karenanya,
betapapun
longgarnya seorang ulama atau cendikiawan muslim dalam hal aurat,
masing-masing mereka tetap menegaskan adanya bagian-bagian tubuh
baik pria maupun wanita yang selalu dapat menimbulkan rangsangan
sehingga harus tetap tertutup, kendati bagian badan itu telah terbiasa
terlihat.
2.
Faktor Eksternal
Faktor-faktor yang dapat dikelompokkan sebagai faktor eksternal
yang mempengaruhi pemahaman dan pola berbusana mahasiswi IAIN
Walisong seperti penampakan identitas. Memang, busana di samping akan
menampakkan identitas sesorang yang berbudaya, juga memberi dampak
psikologis bagi pemakainya ataupun yang melihatnya. Misalnya pergi ke
pesta dengan mengenakan busana sehari-hari, pasti akan merasa rikuh,
sebaliknya, akan lebih percaya diri jika memakai busana istimewa. Karena
itu, sementara negara mengganti busana militernya dengan warna dan
bentuk lain, setelah kekalahan mereka, agar sisa-sisa pengaruh negatif dari
kekalahan dapat terkikis. Di Mesir pada masa pemerintahan Muhammad
Ali yang berasal dari Turki (1805-1849 M) hinga akhir masa Raja Faruq
(Juli 1952 M) kaum pria mengenakan penutup kepala tharbusy yang
berasal dari Turki, tetapi begitu terjadi revolusi di bawah pimpinan Nasser,
tharbusy ditanggalkan guna menghidupkan rasa nasionalisme dan
mengikis habis pengaruh Turki. Dampak psikologi bagi yang melihatnya,
118
bisa dicontohnya misalnya para hakim di beberapa negara memakai wig
(rambut palsu penutup kepala) antara lain guna memberi kesan wibawa di
hadapan yang hadir di persidangan. Di Indonesia misalnya, ada orang
yang sengaja memakai serban agar memberi kesan kesalehan atau
ketekunan beragama. Ada juga anak-anak muda yang sengaja merobek
jeansnya, atau memakai kalung di lehernya untuk mengesankan-paling
tidak di hadapan teman sebayanya-bahwa ia adalah anak muda yang
“funky” dan mengikuti trend. Karenanya, busana akan memberi dampak
bagi pemakai dan yang melihatnya.
Suatu negara juga menetapkan busana-busana tertentu dengan
model dan warna tertentu bagi angkatan-angkatan perangnya, untuk
membedakannya dengan angkatan perang negara lain, karena busana dapat
menjadi pembeda antara seorang bahkan masyarakat dengan yang lain.
Bahkan ada lambang-lambang dan tanda-tanda khusus dalam angkatan
bersenjata, untuk membedakan status dan pangkat seseorang. Begitulah
fungsi busana sebagai pembeda atau pengenal.
Agama memperkenalkan pula busana-busana khusus, baik untuk
beribadah maupun tidak. Menurut ajaran Islam, ketika melaksnaakan
ibdah haji atau umrah ada busana-busana khusus buat pria yakni yang
tidak berjahit, sedangkan wanita tidak diperkenankan menutup wajahnya.
Di Mesir, ada kelompok dari para biarawan Kristen Ortodoks memakai
busana bahkan alas kaki yang berwarna hitam. Mereka membiarkan
jenggot dan rambut mereka yang hitam terurai tanpa dicukur. Mereka
119
merasa bahwa dalam busana serta hitam meraka menemukan kedamaian.
Warna hitam itu mereka pertahankan hingga mereka masuk ke liang lahad.
Agama Budha juga menetapkan busana dan warna tertentu. Di Iran,
ayatullah-ayatullah/agamawan ada yang memakai serban putih dan ada
juga serban hitam. Itu untuk membedakan keduanya dari segi garis
keturunan.
Busana muslimah yang longgar, ataupun jilbab seperti yang
dipakai mahasiswi KAMMI, menurut mereka juga sebagai identitas wanita
muslimah. Seorang muslimah dianjurkan untuk menampakkan identitas
sebagai wanita yang shalihah, salah satunya dengan pola berbusana.
Dengan berbusana yang menutup rapat aurat, berjilbab lebar disertai
kehati-hatian dalam berperilaku, jelas akan menjadi suri tauladan
perempuan. Secara psikologi pun, busana akan mempengaruhi perilaku
seseorang. Misalnya, dengan memakai busana yang longgar (gombrong)
dan jilbab lebar, maka akan merasa sangat tidak etis apabila bercengkrama
dengan lawan jenisnya yang bukan muhrim.197 Begitu pula mahasiswi
yang
berbusana
ketat.
Mereka
dengan
percaya
diri
berusaha
mensosialisasikan dirinya sebagai seorang yang dapat terlihat gaul, bisa
tampil keren dan tidak ketinggalan zaman.198
197
Hasil rumusan wawancara dengan beberapa aktivis HMI, IMM dan PMII, tanggal 11-24
Desember 2004.
198
Hasil rumusan wawancara dengan beberapa aktivis UKM Music, Teater dan Mawapala
pada tanggal 24-28 Nopember 2004.
120
Kemudian karena kebiasaan yang terkait dengan lingkungan,
seperti kost, latar belakang pendidikan sebelumnya maupun keluarga.
Mahasiswi yang terbiasa dengan pola berbusana ketat gombrong, tentu
akan merasa risih jika harus memakai busana ketat. Sebaliknya, mahasiswi
yang sudah terbiasa dengan busana ketat, tentu akan merasa kerepotan jika
harus beradaptasi dengan berganti model. Kuatnya patron client yang
dipegang mahasiswi, juga akan membiasakan mahasiswi akan meniru pola
berbusana teman-teman atau seniornya.
Selain itu, faktor konsumerisme yang merambah mahasiswi
termasuk mahasiswi IAIN Walisongo juga sebagai faktor eksternal yang
mempengaruhi pola berbusana mahasiswi, terutama yang berbusana ketat.
Tanpa pikir panjang, mahasiswi langsung mengikuti mode busana-busana
artis yang ingin tampil ala selibritis. Sehingga terkadang mereka tidak bisa
mengidentifikasi bentuk tubuhnya dengan busana-busana yang mereka
pakai. Kemudian karena tidak adanya sanksi pelanggaran busana di IAIN
Walisongo. Walaupun telah diatur oleh IAIN tentang pola busana
mahasiswa, namun karena tidak adanya sangsi bagi yang melanggar,
kecuali teguran dari beberapa dosen, membuat mahasiswa tidak
mengindahkan aturan itu.
Dengan demikian, dapat ditegaskan lagi bahwa faktor-faktor yang
menpengaruhi pemahaman dan pola berbusana mahasiswi IAIN dapat
dikelompokkan pada faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti
pemahaman keagamaan dan perbedaan organisasi. Sedangkan faktor eksternalnya
121
seperti ingin menampakkan identitas, budaya konsumerisme, kebiasaan dan tidak
adanya sanksi pelanggaran busana di IAIN.
C.
Pola Ideal Etika Berbusana
Mahasiswi IAIN Walisongo
Busana dapat dikatakan sebagai produk budaya, sekaligus tuntutan
moral agama. Dari sini lahir apa yang dinamai busana tradisional, daerah dan
nasional, juga busana resmi untuk perayaan tertentu, dan apakain tertentu
untuk profesi tertentu, serta busana untuk ibadah. Namun perlu dicatat bahwa
sebagian dari tuntutan agama pun lahir dari budaya masyarakat, karena agama
sangat mempertimbangkan kondisi masyarakat, sehingga mentolelir adatistiadat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Tidak mustahil
menurut sementara pakar-bahwa bentuk busana yang ditetapkan atau
dianjurkan oleh suatu agama, justru lahir dari budaya yang berkembang ketika
itu. Namun yang jelas, moral, cita rasa keindahan, dan sejarah ikut serta
menciptakan ikatan-ikatan khusus bagi anggota masyarakat yang antara lain
melahirkan bentuk busana dan warna-warni favorit. Memang, unsur
keindahan dan moral pada busana tidak dapat dilepaskan, tetapi ada
masyarakat yang menekankan pada unsur keindahannya dan menomorduakankalau enggan berkata mengabaikan-sisi moralitasnya dan ada pula sebaliknya.
Unsur keindahan sendiri dapat berubah-ubah. Sekadar contoh, kalau
dahulu di negara Cina keindahan wanita antara lain dilihat pada kakinya yang
kecil, sehingga untuk menampilkannya sejak kecil mereka memakai terompah
122
besi, maka kini hal itu tidak lagi demikian. Dahulu boleh jadi rambut belum
lagi dikenal sebagai faktor keindahan, tetapi kini sementara wanita
menjadikannya faktor yang sangat penting. Demikian tolok ukur keindahan
pun mengalami perubahan dan perkembangan. Di dunia Barat unsur
keindahan
dinomorsatukan,
dan
unsur
moral
seandainya
mereka
pertimbangkan maka tidak jarang telah mengalami perubahan yang sangat
jauh dari tuntutan moral agama. Pengaruh Barat ke dunia Timur tidak sedikit,
sehingga ada pula masyarakat Timur yang mengikuti mode busana Barat
walau bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya masyarakatnya.
Sementara itu ada pula kelompok masyarakat Timur, lebih-lebih yang
beragama Islam yang menempuh arah yang sepenuhnya berlawanan dengan
arah dunia Barat itu. Mereka mengedepankan unsur moral dan nilai-nilai
agama, dan menomorduakan unsur keindahan, bahkan boleh jadi ada di antara
mereka yang mengabaikannya sama sekali, baik ditinjau dari segi
perkembangan masyarakat menyangkut rasa kecantikan, maupun ditinjau dari
izin yang diberikan agama.
Jilbab sebagai busana muslimah yang, juga merupakan salah mode
busana dari sekian model-model sebagaimana disebutkan di atas. Pemakai
jilbab dalam arti busana yang menutup seluruh tubuh wanita atau kecuali
wajah dan tangannya yang pernah mengendor dalam banyak masyarakat Islam
sejak akhir abad XIX, kembali marak sekitar dua puluh tahun terakhir ini dan
kelihatannya dari hari ke hari semakin banyak peminatnya. Persoalan tersebut
menjadi semakin marak dan terangkat ke dunia internasional setelah
123
Pemerintah Perancis merencanakan bahkan kini telah menetapkan larangan
penggunaan simbol-simbol agama di sekolah-sekolah, dan yang salah satu di
antaranya yang mereka nilai sebagai simbol agama adalah jilbab.
Pro dan kontra tentang kebijakan itu lahir bukan saja di Perancis,
tetapi banyak di belahan dunia. Di Mesir, Pemimpin Tinggi al-Azhar, Sayyid
Muhammad Thanthawi dikecam oleh banyak kalangan muslimin akibat
pandangannya
yang
menyatakan
bahwa
Pemerintah
Perancis
bebas
mengambil kebijakan sesuai dengan apa yang dianggapnya baik, kendati
berjilbab adalah kewajiban bagi kaum muslimat. Di sisi lain, yang mengecam
Pemerintah Perancis berkaitan dengan kebijakan itu, bukan saja kaum
muslimin yang berpendapat bahwa jilbab adalah kewajiban agama, tetapi juga
mereka yang tidak menilainya wajib, bahkan dari kalangan non muslim,
antara lain dengan alasan bahwa kebijakan itu melanggar Hak-hak Asasi
Manusia. Di Indonesia sendiri, gelombang demonstrasi menentang kebijakan
itu datang dari organisasi-organisasi yang comite dan intens menyuarakan
perlunya penerapan syari’at Islam, seperti Hizb Tahrir Indonesia, Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Front Pembela Islam (FPI) dan Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Banyak analisis tentang faktor-faktor yang mendukung tersebarnya
fenomena berjilbab di kalangan kaum muslimat. Tidak dapat disangkal bahwa
mengentalnya kesadaran beragama merupakan salah satu faktor utamanya.
Namun, agaknya tidak dapat menyatakan bahwa itulah satu-satunya faktor.
Karena, diakui atau tidak, ada wanita-wanita yang memakai jilbab tetapi apa
124
yang dipakainya itu, atau gerak-gerik yang diperagakannya, tidak sejalan
dengan tuntutan agama dan budaya masyarakat Islam. Di sini jilbab sebagai
salah atu mode berbusana yang merambah ke mana-mana.
Salah satu faktor yang juga diduga sebagai pendorong maraknya
pemakaian jilbab adalah faktor ekonomi. Mahalnya salon-salon kecantikan
serta tuntutan gerak cepat dan praktis, menjadikan sementara perempuan
memilih jalan pintas dengan mengenakan jilbab. Demikian pandangan
sementara para pakar. Bisa jadi juga maraknya berjilbab itu adalah sebagai
sikap pertentangan terhadap dunia Barat yang seringkali menggunakan standar
ganda sambil melecehkan umat Islam dan agamanya.199
Ada juga yang menduga bahwa pemakaian jilbab adalah simbol
pandangan politik yang pada mulanya diwajibkan oleh kelompok-kelompok
Islam politik guna membedakan sementara wanita yang berada di bawah
panji-panji kelompok-kelompok itu dengan wanita-wanita muslimah yang lain
atau yang non muslimah. Lalu kelompok-kelompok itu berpegang teguh
dengannya sebagai simbol mereka dan memberinya corak keagamaan,
sebagaimana dilakukan oleh sementara pria yang memakai busana longgar
dan panjang (ala Mesir atau Saudi Arabiya) atau ala India dan Pakistan dan
menduga bahwa itu adalah busana Islami.
199
Memang, sikap demikian bisa lahir dari siapa pun yang tersinggung kehormatannya.
Mantan Pemimpin Tertinggi al-Azhar, Syaikh Abdul Halim Mahmud yang merupakan alumni
Universitas al-Azhar dan meraih gelar doktor dalam bidang filsafat di Sorbon University, Perancis,
pada mulanya mengenakan busana ala Barat. Tetapi, begitu ia mendengar ucapan yang
melecehkan al-Azhar dari Jamal Abdu Nasser yang ketika itu adalah Presiden Mesir, Syaikh
Abdul Hallim menampakkan kemarahannya dan menanggalkan busana ala Barat sambil
mengenakan dan menganjurkan semua civitas Akademika al-Azhar agar memakai busana resmi
al-Azhar, yakni jubah dengan penutup kepala berwarna merah putih. Lihat Ra’uf Syalabi, Syeikh
al-Islam Abdul Halim Mahmud, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1982, hlm. 633-634.
125
Itulah gambaran makro tentang beragamnya pola busana dan masih
sarat akan makna. Begitu juga busana mahasiswi IAIN Walisongo. Lantas
kriteria pola berbusana ideal bagi mahasiswi IAIN Walisongo semacam apa?
Apakah model busana gombrong dan berjilbab lebar yang menutupi seluruh
tubuh kecuali muka dan tangan, ataukah yang berbusana ketat? Bagaimana
pula agar dapat tampil modis, akan tetapi dapat mencerminkan pribadi yang
luhur dan sesuai tuntunan syari’at, seperti label yang dilekatkan pada IAIN,
yaitu perguruan tinggi dengan basis ke-Islaman?
Betapa idealnya jika mahasiswi IAIN Walisongo memakai busana
dengan mode tertentu tidak sebatas penampakan identitas, akan tetapi sebagai
alat untuk menjaga kehormatan sebagai mahasiswi perguruan tinggal dengan
label Islam dengan memperhatikan etika dan estetika. Dengan demikian akan
mengesankan pribadi yang mandiri, cerdas, religius, praktis tetapi tetap
trendy.
Trend apapun yang akan diikuti mahasiswi IAIN, sangatlah
bergantung pada diri mahasiswi sendiri. Kecerdasan mereka memilih mode
busana adalah langkah tepat, sebelum mereka menjadi tampak rendah
moralnya. Inilah kiranya yang perlu diperhatikan oleh mahasiswi IAIN
Walisongo, terutama yang lebih suka berbusana ketat dengan ingin tampil
keran dan mengikuti mode.
Tampaknya, ketegasan aturan dan pemberian sanksi terhadap
pelanggaran busana juga perlu diterapkan di IAIN. Karena sebagai institusi
pendidikan Islam yang diharapkan mencetak intelektual yang memiliki
126
kapasitas ilmu Islaman, tentunya juga dapat menjunjung tinggi etika, termasuk
dalam berbusana.
127
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan dan analisa secara menyeluruh dalam bab-bab
sebelumnya, dengan memperhatikan asumsi-asumsi sebelumnya
tentang Etika Religius Berbusana Mahasiswi IAIN Walisongo
Semarang, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemahaman mahasiswi IAIN Walisongo Semarang terhadap etika
berbusana cukup beragam. Mahasiswi yang bergabung dengan Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) memahami bahwa pola
busana yang dipakai oleh seorang muslimah (termasuk mahasiswi)
seharusnya yang longgar sehingga dapat menutup aurat rapat-rapat, tidak
boleh transparan/ketat, sebab dengan pola berbusana seperti itu diharapkan
membawa pemakainya pada perilaku yang mencerminkan etika Islam.
Mahasiswa yang bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) memahami bahwa pola berbusana muslimah yang
penting dapat menutup aurat, bentuknya tidak harus longgar, yang penting
masih kelihatan sopan. Sebaliknya, mahasiswi yang bergabung dengan
UKM Music, Teater dan Mawapala, lebih memahami bahwa busana yang
seharusnya
dipakai
mahasiswi
harus
mengikuti
mode,
sehingga
mengesankan mahasiswi IAIN tidak ketinggalan zaman dalam berbusana.
2. Implikasi dari pemahaman tersebut mereka ekspresikan dengan pola
busana yang mereka kenakan. Karenanya, akan nampak mahasiswi yang
128
bergabung dengan KAMMI dengan pola berbusana yang gombrong
(longgar), jilbab besar yang dapat menutup rapat aurat, termasuk
membungkus kaki dengan kaos kaki. Pilihan terhadap pola busana yang
mereka kenakan didasari dengan pemahaman keagamaan yang sangat
ketat dan tidak begitu menghiraukan mode busana yang sedang menjadi
trandy, sebab yang terpenting adalah bagaimana berbusana yang sesuai
dengan norma-norma agama, dan menjauhi yang keluar dari norma agama
tersebut. Pemahaman dan pola berbusana semacam ini sangat sesuai
dengan etika Islam. Mahasiswi yang bergabung dengan HMI, IMM dan
PMII yang memahami pola busana dengan lebih longgar, mereka
ekspresikan dengan pilihan pola busana yang tidak terlalu longgar, namun
dapat menurut aurat. Pilihan mereka terhadap pola busana seperti yang
mereka kenakan juga didasari oleh pemahaman keagamaan yang moderat,
sebab di dalam berbusana, di samping harus memperhatikan norma-norma
agama, juga perlu memperhatikan mode busana yang sedang menjadi
trand agar tidak ketinggalan zaman. Artinya, bagaimana bisa tampil
trandy tetapi juga religius. Dengan prinsip dapat menutup aurat dan tidak
memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh, dan tidak transparan, maka pamaham
keagamaan dan pola berbusana mahasiswi yang tergabung dengan HMI,
IMM dan PMII juga tidak keluar dari etika Islam. Sedangkan mahasiswi
yang memahami bahwa busana mahasiswi seharusnya yang mengikuti
mode dan trandy, mereka ekspresikan dengan lebih memilih pola
berbusana yang ketat/transparan, sebab bagi mereka tampil trendy dan
129
mengikuti mode-lah yang diutamakan. Maka yang nampak adalah pola
berbusana yang ketat, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh, transparan dan
menor. Pemahaman dan pola berbusana dengan mengesampingkan apakah
itu larangan atau dibolehkan oleh agama, apakah sebagai tuntutan etika
Islam atau tidak, didasari oleh pemahaman keagamaan yang liberal, dan
ini sangat bertentangan dengan etika Islam.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman keagamaan dan pola
berbusana mahasiswi IAIN Walisongo yang mereka ekspresikan dengan
model busana yang dikenakan adalah; pertama, faktor organisasi yang
mereka ikuti, di antaranya yang melarang memakai busana ketat dan
transparan, atau sebaliknya tidak ada larangan. Kedua, faktor pemahaman
keagamaan, seperti pemahaman mahasiswi KAMMI yang sangat ketat,
pamahaman mahasiswi yang bergabung dengan HMI, IMM dan PMII
yang relatif lebih longgar, dan pemahaman mahasiswi yang bergabung
dengan UKM Music, Teater dan Mawapala yang kurang memperhatikan
busana yang ditekankan oleh etika Islam. Ketiga, faktor penampakkan
identitas yang bisa dilihat dengan model tampilan mahasiswi yang
bergabung dengan KAMMI dengan busana longgar sebagai cermin dari
pribadi yang berbudi pekerti luhur, shalihah, ataupun mahasiswi yang
mengenakan busana ketat yang mengesankan sebagai mahasiswi yang
dapat tampil trendy dan gaul. Keempat, faktor kebiasaan, misalnya karena
terbiasa memakai busana longgar, tidak terlalu longgar, ataupun memakai
busana ketat, ditambah karena patron cliant dari senior-seniornya, ataupun
130
teman satu kost. Kelima, faktor tidak adanya sangsi pelanggaran busana
oleh pihak IAIN, sehingga mahasiswi kurang memperhatikan etika
berbusana yang dikehendaki oleh IAIN.
B.
Saran-saran
Berdasarkan penelitian penulis terhadap Etika Berbusana Mahasiwi IAIN
Walisongo Semarang, disarankan kepada:
1. Mahasiswi yang memahami dan memilih pola berbusana tertentu,
seharusnya tidak sebatas penampakan identitas, akan tetapi benar-benar
sebagai salah satu penjaga kehormatan mahasiswi perguruan tinggai
dengan label Islam dengan memperhatikan etika dan estetika. Dengan
demikian akan mengesankan pribadi mahasiswi yang mandiri, cerdas,
religius, tetapi tetap trendy, tidak hanya mengitu mode saja yang ingin
tampil trendy.
2. Pihak IAIN sudah saatnya melakukan perbaikan-perbaikan aturan etika
berbusana mahasiswa yang diikuti pelaksanaan dan pemeberian sanksi
pelanggaran berbusana, sehingga IAIN benar-benar bisa mencitrakan etika
Islam, di samping melakukan himbauan-himbauan moral oleh seluruh
sivitas akademika IAIN.
3. Pihak-pihak
yang
intens
dengan
pendidikan
Islam,
hendaknya
memperhatikan banyak aspek sebagai garapan pendidikan Islam termasuk
dalam etika berbusana, sehingga akan mengesankan bahwa pendidikan
131
Islam benar-benar mencitrakan anak didiknya sebagai pribadi yang luhur
dan beretika.
C.
Kata Penutup
Alhamdulillah, berkat petunjuk dan pertolongan Allah S.W.T.
penulisan tesis ini dapat selesai walaupun banyak menemui berbagai
kesulitan. Karena tesis ini masih cukup sederhana dan jauh dari sempurna,
maka dengan rendah hati penulis mengharap kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya hanya
kepada Allah penulis memohon rahmat dan hidayah-Nya, semoga tesis ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya.
132
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Filsafat Etika Islam; Antara Al-Syathibî dan Kant, Bandung:
Mizan, 2002.
Abdullah, Shodiq, “Corak Pemikiran Keagamaan Mahasiwa IAIN Walisongo
Semarang” dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Volume XI, Nomor 2
Nopember, 2003.
Affandi, Lisyani, Tata Busana 3, Bandung: Ganeka Exact, 1996.
Al-Albani, Nashiruddin, Jlbab al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitâb wa al-Sunnah,
Yordania: Al-Maktabah al-Islamiyah, 1413 H.
Al-Alusi, Mahmud, Ruh al-Ma’ani, Jilid XXII, Cairo: al-Muniriyyah, 1985.
Al-Baqi, Ibrahim ibn Umar, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar,
Jilid V, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995.
Al-Barazi, Muhammad Fuad, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah, Jilid II, Riyadh:
Adhwa al-Salaf, 1999.
Al-Bukhâri, Muhammad bin Ismail, Shahîh Bukhâri, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Al-Ghazâlî, Abû Hamid, al-Munqidh min al-Dhalal, Istambul: Hakikat Kitabevi,
1984.
, Khulûq al-Muslim, Cairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsash, 1974.
Ali, Fachry, “Kontiuitas dan Pencerahan: Catatan Sejarah Sosial Budaya Alumi
IAIN” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem
dan Prospek IAIN, Antologi Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam-Dirjen Bimbaga Islam
DRPAG RI, 2000.
Ali, Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press,
1988.
Al-Isfahani, al-Raghib, Mu’jam al-Mufradat Alfadz al-Qur’ân, disunting oleh
Nadim Mars’ashli, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh Wanita,Bandung: Gema Insani Press, 2002.
133
Al-Jaziri, Abd al-Rahman, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dâr alFikr, t.th.
Al-Kurdi, Ahmad al-Hajji, Hukum-hukum Wanita dalam Fiqh Islam, Surabaya:
Dimas, t.th.
Al-Maududi, Abû A’la, al-Hijab, Beirut: Dâr al-Firk, t.th. Amin, Qasim, Tahrir
al-Mar’ah, Mesir: Percetakan Muhammad Zakiy al-Din, 1347 H.
Al-Sa’dawi, Nawal, dan Hibah Ra’uf Izzat dalam al-Mar’ah, Wa al-Din wa alAkhlak, Mesir: Dâr al-Fikr al-Mu’ashir, 2000.
Al-Turmudzî, Sunan al-Turmudzî, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Al-Zuhaily, Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islami, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1986.
Amin, Ahmad, Al-AKhlak, terj. Farid Ma’ruf, “Etika”, Bandung: Bulan Bintang,
1975.
Amin, M. Darori, “Norma-norma Etika Islam”, dalam Jurnal Teologia, Volume
12, Nomor 3, Oktober 2001.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Arkoun, Mohammad, al-Islam al-Akhlaq wa al-Siyasah, Beirut: Markaz al-Inma’
al-Qaumi, 1990.
, Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabi al-Islami, Beirut: Markaz al-Inma’ alQaumi, 1990.
Arman, Sri Rahayu, “Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi”, dalam
Http://www.Islamlib.com.
Arwi, Abdullah, al-‘Arab wa al-Fikr al-Tarikhi, Beirut: Markaz Tsaqafi al-Arabi,
1973.
Assyaukanie, Luthfi, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, dalam
http://www.Islamlibral.com.
Asyur, Muhammad, Maqashid al-Syri’ah al-Islamiyah, Kairo: Dâr al-Katib, 1967.
Blackburn, Somon, Being Good; Pengantar Etika Praktis, terj. Hari Kusharyono,
Yogyakarta: Jendela, 2004.
Crapps, Robert W., (Ed.), An Introduction to Psycology of Religion, terj. Agus
M. Hardjana “ Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
134
Dawud, Abû, Sunan Abû Dawud, Beirut: Dâr al-Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah,
t.th.
Dhavamony, Phenomenology of Religion, terj. Sudiarja, dkk., Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Djamhari, Agama dalam Perspektif Sosiologis, Bandung: Alfabeta, 1993.
El-Gundi, Fadwa, Veil: Modesty, Privacy dan Resistance, terj. Mujiburohman
“Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Penawanan”, Jakarta: Serambi,
2003.
Fakhri, Majid, Ethical Theories in Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi “Etika dalam
Islam”, Jakarta: Pustak Pelajar, 1996.
Hajaj, Muslim ibn, Shahîh Muslim, Beirut: Dâr al-Ilm, t.th.
Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1986.
Hanafi, Hasan, al-Turâs wa al-Tajdid Mauqifuna min al-Turâs al-Qadim, Beirut:
Al-Mu’assasah al-Jami’ah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1992.
Herfanda, Ahmadun Yosi, “Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius” dalam
Http://www.republika.co.id.
Hidayat, Komaruddin, dan Hendro Presetyo, Problem dan Prospek IAIN, Antologi
Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam-Dirjen Bimbaga Islam DRPAG RI, 2000.
Ilyas, Yunayar,
Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LPII), 2004.
Izutzu, Toshihiko, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, terj. Agus Fahri
Husein “ Konsep Etika Religius dalam al-Qur’ân, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 3003.
Jabali, Fuad, dan Jamhari, IAIN dan Pembaruan Islam di Indonesia, Jakarta:
Logos, 2002.
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia,
1983.
Lari, Sayid Mujtaba Musawi, Ethics and Spiritual Growth, terj. M. Hasyim
Assagaf ”Etika dan Pertumbuhan Spiritual”, Jakarta: Lentera Basritama,
2001.
Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dâr al-Firk, t.th.
135
Mandhur, Ibn, Lisan al-Arab, Mesir: Dâr al-Ma’arif, t.th.
Mernisi, Fatima, Pemberontakan Wanita, terj. Yogyakarta: LKiS, 1996.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
1989.
Muleong, Lexy J., Metodelogi Penelitian kualitatif, Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1995.
Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, Yogyakarta:
Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak, 1984.
Musa, Muhammad Yusuf, Filsafat al-Akhlak fi al-Islam, Cairo: Maktabah alKhanji, 1963
Musahadi, dkk., IAIN Walisongo; Mengeja Tradisi Merajut Masa Depan,
Semarang: Puslit IAIN Walisongo Bekerja Sama dengan CV. Putakindo
Pratama, 2003.
Poespoprodjo, W., Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Pustaka Grafika, 1999.
Salam, Burhanuddin, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta:
Rineka Cipta, 2000.
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Yogyakarta:
Elsaq, 2004.
Shihab, M. Quraish, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; Pandangan Ulama Masa
Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, Jakarta: Penerbit Lentera Hati,
2004.
, Wawasan al-Qur’ân, Bandung: Mizan, 1998.
Shubhi, Ahmad Mahmud, Al-Falsafah al-Akhlaqiyyah fi al-Fikr al-Islami; al‘Aqliyyun wa al-Dzauqiyyun aw al-Nadzar wa al-Amal, Beirut: Dâr alNahdhah al-Arabiyah, 1992.
Suhartono, Suparlan, Dasar-dasar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1983.
Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,
Yogyakarta: Kanisius, 1987.
136
Syalabi, Ra’uf, Syeikh al-Islam Abdul Halim Mahmud, Kuwait: Dâr al-Qalam,
1982.
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur’ân, al-Qur’ân dan Terjemahnya,
Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at Mushaf al-Syarif, 1418 H.
Tim Penyusun Kamus Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jaakarta:
Balai Pustaka, 1990.
Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang,
1984.
Willy, Markus, dkk., Kamus Lengkap Bahasa Inggris-Indonesia, IndonesiaInggris, Surabaya: Arloka, 1997.
Wirawan, Sarlito, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah Kontemporer, Jakarta:
Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah 1988.
Yalchan, Miqdad, al-Ittijah al-Akhlaqi fi al-Islam, Cairo: Maktabah al-Khanji,
1973.
137
ANGKET PENELITIAN
Petunjuk Pengisian
1. Pilihlah jawaban sesuai pemahaman Saudara
2. Semua jawaban tidak ada yang salah
3. Penelitian ini untuk kepentingan akademik
Identitas Responden
Nama
Tempat & Tgl. Lahir
Fakultas
Angkatan
Organisasi Kemahasiswaan
:
:
:
:
:
...............................................................................
...............................................................................
...............................................................................
...............................................................................
...............................................................................
(Misalnya PMII, HMI, KAMMI, IMM, atau
organisasi intra, tulis salah satu saja)
PERTANYAAN-PERTANYAAN
Pemahaman tentang Busana
1. Apa yang Anda pahami tentang busana muslimah?
a. Harus menutup seluruh aurat kecuali muka dan telapak tangan
b. Harus yang longgar dan tidak boleh sampai menampakkan lekuk-lekuk
tubuh atau ketat
c. Boleh ketat yang penting menutup aurat
d. Bebas sesukanya yang penting mengikuti mode (trend) atau asal kelihatan
gaul
2. Apa yang Anda pahami tentang memakai jilbab?
a. Wajib menurut agama
b. Sunnah menurut agama
c. Identitas muslimah
d. Etika muslimah dalam berbusana
3. Menurut Anda apabila seorang muslimah tidak memakai jilbab, apakah
termasuk tidak beretika?
a. Beretika
b. Tidak beretika
c. Biasa-biasa saja
Implikasi dari Pemahaman tentang Busana
1. Apakah Anda memakai busana sesuai yang Anda pahamai?
a. Memakai
b. Tidak memakai
c. Kadang-kadang memakai
138
2. Apakah Anda memakai jilbab?
a. Memakai
b. Tidak memakai
c. Kadang-kadang memakai
3. Bagaimana perasaan Anda jika di luar jam kuliah, misalnya jalan-jalan tidak
memakai jilbab?
a. Merasa tidak percaya diri
b. Merasa tidak beretika
c. Tidak tahu, karena selalu memakai jilbab walaupun di luar kuliah kecuali
di rumah (kost)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Berbusana Mahasiswi IAIN
1. Apa yang mempengaruhi Anda memakai busana seperti yang Anda pahami?
a. Karena perintah agama untuk menutup aurat
b. Karena ikut mode (trend) atau ikut-ikutan
c. Karena aturan organisasi yang saya ikuti
d. Karena peraturan di IAIN
2.
Apa yang mempengaruhi Anda memakai jilbab seperti yang Anda pahami
dan Anda pakai (misalnya jilbab yang Anda pakai ukurannya lebar, kecil, atau
wajar-wajar saja)
a.
b.
c.
d.
Karena perintah agama
Karena aturan organisasi
Karena ikut mode (trend)
Karena tidak percaya diri jika tidak memakai seperti yang saya pakai
139
Download