BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedaulatan merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedaulatan merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari
sudut ilmu bahasa kedaulatan dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan tertinggi
atas pemeritahan negara, daerah, dan sebagainya. Dalam konteks ilmu tata negara,
Parthiana menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang
tertinggi yang mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu
tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Namun demikian dalam proses
perkembangan lebih lanjut, telah terjadi perubahan makna kedaulatan negara.1
Kedaulatan suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi
pada batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur
melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
kedaulatan negara bersifat relatif (Relative Sovereignty of State). Dalam konteks
hukum internasional, negara yang berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan
menghormati hukum internasional, maupun kedaulatan dan integritas wilayah
negara lain.2
Berkaitan dengan arti dan makna kedaulatan, Jean Bodin menyatakan
bahwa kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus dari suatu negara. Tanpa
adanya kedaulatan, maka tidak akan ada yang dinamakan negara.3
Ia juga
1
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional,
Graha Ilmu, Yogyakarta 2011 hal 8
2
Ibid.
3
Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta, Bandung 1996 hal 89
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa kedaulatan tersebut mengandung satu-satunya kekuasaan
sebagai :
1. Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain;
2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat
membatasi kekuasaannya
3. Bersifat abadi atau kekal;
4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja;
5. Tidak dapat dipindahtangankan atau diserahkan kepada pihak lain.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu
sifat atau ciri hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi
mempunyai batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini
dibatasi oleh batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut
tidak lagi memiliki kekuasaan demikian.4 Berkenaan dengan hal tersebut,
kedaulatan tidak dipandang sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam
batas-batas tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa
hukum internasional maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan
demikian suatu negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional
serta tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan
negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang
ditetapkan melalui hukum internasional.
4
Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina
Cipta, Jakarta.2010. hal 7
Universitas Sumatera Utara
Melihat dari kenyataan di lapangan, akhir-akhir ini banyak pesawat asing
yang melintas di wilayah udara negara Indonesia. Pesawat-pesawat asing melintas
tanpa seizin menara pengawas yang ada di darat. Biasanya kebanyakan pesawat
yang melintas tanpa izin adalah pesawat-pesawat militer negara asing. Masalah ini
sudah sering terjadi dan dirundingkan bersama dengan negara yang pesawatnya
melintas di wilayah udara negara Indonesia.
Masalah pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan sangat terkait
erat dengan konsepsi dasar tentang negara sebagai entitas yang memiliki
kedaulatan, penduduk, dan wilayah serta tafsir atau persepsi atas ancaman yang
dihadapi. Dengan demikian, pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan dapat
disimpulkan sebagai segala upaya untuk mewujudkan eksistensi suatu negara
yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk dan wilayah dari
pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini merupakan bagian dari satu pemahaman
totalitas mengenai konsep ‘keamanan nasional’ yang intinya adalah “kemampuan
negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values),
dimana pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-menerus, dengan
menggunakan segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi
semua aspek kehidupan.5
Sesuai Konvensi Chicago 1944, dalam Pasal I dinyatakan bahwa setiap
negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive
sovereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari pasal tersebut
memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh
5
Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara
Republik Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, tanpa tahun. hal 89
Universitas Sumatera Utara
atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah: (1). Setiap negara berhak
mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara
nasionalnya (2). Tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa
mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu
perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun
multilateral.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam
Perspektif Hukum Internasional”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengemukakan
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana yuridiksi wilayah udara suatu Negara?
2. Bagaimana prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di dunia
(internasional)?
3. Bagaimana Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum
Internasional?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah
a. Untuk mengetahui yuridiksi wilayah udara suatu Negara
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk mengetahui prinsip hukum udara yang dianut bangsa-bangsa di
dunia (internasional)
c. Untuk mengetahui Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam
Perspektif Hukum Internasional.
2. Manfaat Penelitian
Mmanfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis
Untuk pengembangan studi ilmu hukum selanjutnya, khususnya di bidang
Hukum Internasional yaitu Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Serta
penulis berharap agar hasil penulisan skripsi ini dapat menambah khasanah
kepustakaan Hukum Udara dan Ruang Angkasa.
b. Secara praktis
Sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di
bidang kedirgantaraan dan keantariksaan, penelitian ilmu pengetahuan dan
pencarian sumber-sumber alam baru.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi mengenai Yuridiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam
Perspektif
Hukum Internasional
menurut
sumber
dari
jurusan
Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang
mengangkat dan mambahasnya.
Universitas Sumatera Utara
Adapun beberapa skripsi mempunyai profil yang sama dengan judul
skripsi ini berbeda dengan skripsi laun yang topiknya sama/ hampir sama antara
lain :
Tarulina Debora Saragih (2010) dengan judul Pengaruh Asean Charter
(Piagam Asean) Terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya permasalahan dalam
penelitian ini adalah; Proses Ratifikasi Piagam ASEAN, B. Pemberlakuan Piagam
ASEAN terhadap Negara Anggotanya dan analisa Pengaruh Pemberlakuan
Piagam ASEAN terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya.
Fachrizal
Lubis
(2010)
Penerapan
Yurisdiksi
Unversal
Melalui
Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts
Humanity) permasalahan dalam penelitian ini adalah: Penerapan Yurisdiksi
Universal, B. Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya, C. Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)dan Penerapan Yurisdiksi
Universal Melalui Mekanisme Ekstradisi Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) Oleh Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court) Berdasarkan Yurisdiksi Universal.
E. Tinjauan Pustaka
1. Berdirinya Suatu Negara.
Sebagaimana diketahui dalam literatur-literatur ketatanegaraan khususnya
yang membahas tentang ilmu negara menyebutkan bahwa syarat-syarat berdirinya
suatu negara itu harus memenuhi tiga unsur pokok negara, yaitu adanya suatu
wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat. Ketiga unsur tersebut sudah
Universitas Sumatera Utara
dipenuhi oleh negara-negara yang sudah berdiri dan ada pada saat ini. Dengan
kata lain, tidak ada satu pun negara yang ada di dunia sekarang ini yang tidak memenuhi ketiga unsur tersebut.
Unsur wilayah di sini tidak terbatas pada wilayah daratan saja, namun
termasuk juga wilayah laut dan udara. Di dunia ini ada negara yang tidak memiliki
wilayah laut namun tidak satu pun negara yang tidak memiliki ruang udara.
Dalam hukum Romawi, ada suatu adagium yang menyebutkan, bahwa "Cujus est
soluni, ejus est usque ad coelum". Artinya, “barang siapa yang memiliki sebidang
tanah maka ia juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah
tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah”.
Menurut dalil tersebut, apabila suatu negara memiliki tanah maka dengan
sendirinya negara itu akan memiliki ruang udara di atasnya. Ternyata, dalil
tersebut masih bersifat umum dan ada ketentuan lain yang bersifat lebih khusus
sebagai ketentuan pengecualiannya. Ketentuan pengecualian itu menyatakan
bahwa udara sebagai unsur "res communis". Kata "aerrescommunis" dijumpai
dalam kalimat "corpus juris civilis"6
2. Teori Kepemilikan ruang udara.
Pada tahun 1913 muncul dua teori yaitu :
a. The Air Freedom Theory menyatakan bahwa udara dapat menjadi bebas
karena sifat yang dimilikinya (by its nature is free dan dapat dikelompokkan
menjadi:7
6
7
Priyatna, 1972:49
Ibid. hal 54
Universitas Sumatera Utara
1)
Kebebasan ruang udara tanpa batas.
2)
Kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara
kolong.
3)
Kebebasan ruang udara tetapi diadakan semacam wilayah teritorial di
daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan.
b. The Air Sovereignty Theory dapat dikelompokkan menjadi:
1) Negara kolong berdaulat penuh hanya terhadap suatu ketinggian
tertentu di ruang udara
2) Negara kolong berdaulat penuh tetapi dibatasi oleh hak lintas damai bagi
navigasi pesawat-pesawat udara asing.
3) Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas.
Teori kedua merupakan kebalikan dari teori pertama yang menyatakan
bahwa udara itu tidak bebas sehingga negara berdaulat terhadap ruang udara di
atas wilayah negaranya. Dalam Teori kedua tampaknya sudah ada pembatasan
negara atas wilayah udara, yaitu adanya hak lintas damai (innocent passage)
bagi pesawat udara asing. Dengan demikian, apabila ada pesawat udara asing
yang terbang di ruang udara suatu negara maka akan mempunyai risiko yang
berbeda sesuai teori mana yang dianutnya, apakah teori udara bebas atau teori
udara tidak bebas.
3. Teori-teori lain
International
Air
Transport
Agreement. Pada
Pasal
1
ayat
(1)
International Air Transport Agreement 1944 menyatakan:
"Each contracting State grants to the other contracting State the
Following freedoms of the air in respect of scheduled international air services :
Universitas Sumatera Utara
1) The privilege to fly across its territory with out landing.
2) The privilege to land for non traffic purposes
3) The privilege to put down passengers, mail and cargo taken on in territory
of the state whose nationality the aircraft possesses.
4) The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the
territory of the state whose nationality the aircraft possesses.
5) The privilege to take on passengers, mail and cargo destined for the
territory
of
any
other
contracting
state
and
the
privilege to put down passengers, mail and cargo coming from any such
territory...",
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan International Air Transport Agreement
tersebut dikenal juga dengan The Five Freedom Agreement. Selain itu, dalam
Pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944 diatur tentang Non Scheduled Flight dan
Scheduled Flight. Dengan demikian, akan timbul beberapa masalah antara
teori-teori yang ada dengan ketentuan-ketentuan mengenai penerbangan
pesawat udara, khususnya penerbangan pesawat udara asing.
Permasalahan yang dapat timbul antara lain bagaimanakah kaitan
antara kedaulatan suatu negara atas ruang udara di atasnya dengan kebebasan
melintas yang dimiliki oleh pesawat asing sesuai perjanjian-perjanjian yang
mengaturnya; bagaimana pula kaitannya dengan ketentuan mengenai non
scheduled flight dan scheduled flight
4. Konvensi Chicago 1944.
Pada Bagian 1 Air Navigation bab 1 General Principles and Application of
the Convention, Article 1 Sovereignty. “The contracting States recognize that
every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its
territory”, berarti bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang penuh dan
mutlak atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya. Yang berarti bahwa diruang
Universitas Sumatera Utara
udara tidak dikenal “hak lintas damai” (innocent Passage). Hal ini akan sangat
bertentangan dengan prinsip yang dituangkan dalam Unclos tahun 1982 yang
mengenal adanya hak lintas damai bagi semua pesawat udara yang akan melintas.
Sehingga dengan adanya pertentangan tersebut haruslah diambil jalan keluar agar
antara satu aturan dapat disesuaikan dengan aturan-aturan yang ada lainnya.
Konvensi Chicago 1944 pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi
kedaulatan negara, termasuk atas wilayah udaranya. Akan tetapi, untuk
kepentingan bersama masyarakat internasional, konvensi itu dengan panjang lebar
mengatur sangat rinci aturan-aturan yang terkait dengan penerbangan dan lalu
lintas penerbangan di dunia, khususnya penerbangan sipil, tetapi dalam
lampirannya diatur juga mengenai koordinasi penerbangan militer.
Pada Article 5, non-scheduled flight “ Each contracting State agrees that
all aircraft of the other contracting States, being aircraft not engaged in
scheduled international air services shall have the right, subject to the observance
of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop across
its territory and to make stops for non-traffic purposes without the necessity of
obtaining prior permission, and subject to the right of the State flown over to
require landing. Each contracting State nevertheless reserves the right, for
reasons of safety of flight, to require aircraft desiring to proceed over regions
which are inaccessible or without adequate air navigation facilities to follow
prescribed routes, or to obtain special permission for such flights. Such aircraft, if
engaged in the carriage of passengers, cargo, or mail for remuneration or hire on
other than scheduled international air services, shall also, subject to the
provisions of Article 7, have the privilege of taking on or discharging passengers,
cargo, or mail, subject to the right of any State where such embarkation or
discharge takes place to impose such regulations, conditions or limitations as it
may consider desirable”.
Dalam Pasal 5 di atas dijelaskan tentang Penerbangan tidak berjadwal
(Non schedule Flight) sebagai berikut :
a. Bagi sesama anggota Konvensi, dapat terbang tanpa berhenti, dan atau
mendarat bukan untuk kepentingan komersial (for non traffic purposes)
Universitas Sumatera Utara
dengan tanpa ijin terlebih dahulu, namun Negara yang dilewati berhak
meminta untuk mendarat.
b. Dapat mendarat tanpa maksud tujuan komersial dengan tanpa ijin terlebih
dahulu, karena alasan keselamatan penerbangan (for reason of safety of
flight) dan Negara anggota memberikan hak kepada pesawat itu untuk
melanjutkan terbang kembali.
c. Bagi pesawat tidak berjadwal yang bersifat komersial, setiap negara
berhak menetapkan aturan-aturan atau persyaratan-persyaratan yang
dipandang perlu.
Pada Article 6 tentang Scheduled air services “ No scheduled international
air service may be operated over or into the territory of a contracting State,
except with the special permission or other authorization of that State, and in
accordance with the terms of such permission or authorization “.
Dalam Pasal 6 dijelaskan tentang penerbangan secara berjadwal yang
menyatakan bahwa tidak satupun penerbangan berjadwal beroperasi di atas atau
ke dalam wilayah territorial Negara sesama anggota konvensi, kecuali dengan
adanya special permission /perjanjian bilateral /multilateral (Perjanjian tersebut
dibuat dengan melibatkan antara Negara yang akan dilewati/ didarati dengan suatu
prinsip timbal balik).
Konvensi itu dihasilkan dari kesadaran risiko bahaya dari moda
transportasi udara, yang jauh lebih tinggi dari modatransportasi lainnya. Oleh
karena itulah, dalam dunia penerbangan diatur sangat rinci, antara lain, mengenai
jalur-jalur penerbangan yang harus dipatuhi semua pesawat sebagai diatur dalam
Universitas Sumatera Utara
Enroute Charts ICAO, serta siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan
mengatur lalu lintas penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight
information region (FIR).
Sejak konvensi itu dibuat hingga industri penerbangan sipil yang maju
semakin pesat sejak 1970-an, wilayah udara dunia telah diatur sedemikian rupa
oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) berdasarkan berbagai
faktor, antara lain ketersediaan berbagai fasilitas pendukung transportasi udara di
masing-masing wilayah. Oleh karena itu, pengaturan lalu lintas udara sejak awal
memang tidak sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara, tetapi
juga tidak lantas menghilangkan kedaulatan suatu negara atas wilayah udaranya.
Hal itulah yang membuat tidak seluruh wilayah kedaulatan RI, FIR-nya
diatur oleh Jakarta. Sebagian wilayah RI, khususnya di sekitar Kepulauan Riau,
FIR-nya diatur oleh Singapura. Bukan hanya Indonesia yang sebagian wilayahnya
masuk dalam FIR negara lain. Banyak negara lain di dunia pun mengalaminya,
bahkan Indonesia pun memegang FIR untuk Pulau Christmas milik Australia,
wilayah Papua Niugini dan Timor Leste yang belum lama merdeka. Artinya,
pesawat Australia yang akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas, misalnya,
melapornya harus ke Indonesia. Kenyataan tersebut menegaskan bahwa masalah
alur dan pengaturan penerbangan tidak bisa sepenuhnya dikaitkan dengan
kedaulatan negara.
Dalam Konvensi Chicago Pasal 9 ditetapkan, setiap negara (sebagai wujud
dari kedaulatannya) berhak menetapkan wilayah-wilayah yang dinyatakan
Universitas Sumatera Utara
terlarang untuk penerbangan, baik karena alasan kebutuhan militer maupun
keselamatan publik. Indonesia pun memiliki "wilayah terlarang" tersebut.
Terkait Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation
Agreement/DCA) RI-Singapura yang sudah ditandatangani di Bali tetapi belum
secara resmi berlaku, memang ada kekhawatiran bahwa ditetapkannya beberapa
wilayah RI sebagai tempat latihan untuk pesawat-pesawat militer Singapura akan
membuat akses penerbangan RI melalui wilayah itu ditutup. Terlebih lagi ada isu
bahwa frekuensi latihan pesawat-pesawat militer Singapura itu akan sangat sering
sehingga dikhawatirkan Indonesia kehilangan "kontrol" atas wilayah-wilayah
yang dipinjamkan kepada Singapura itu.
Antara RI dan Singapura sejak era 1980-an telah ada kesepakatan
mengenai penggunaan wilayah RI untuk tempat berlatih angkatan bersenjata
Singapura. Kerja sama terakhir kedua negara yang tertuang dalam Persetujuan
mengenai Latihan Militer (MTA) di Area 1 dan 2 yang ditandatangani Menteri
Pertahanan dan Keamanan RI Edi Sudrajat dan Wakil Perdana Menteri
merangkap Menteri Pertahanan Singapura Dr Tony Tan pada September 1995,
areanya tidak banyak berbeda dengan apa yang disebut Alpha 1 dan Alpha 2
dalam DCA RI-Singapura yang belum berlaku itu.
5. UU no 15 tahun Undang-Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 1992.
Menurut UU no 15 tahun Undang - Undang Republik Indonesia nomor
15 tahun 1992 Tentang Penerbangan pasal 4 bahwa “Negara Republik Indonesia
berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia” . Hal ini berarti
Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan
Universitas Sumatera Utara
utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi
Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam pasal ini
hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik
Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari
wilayah dirgantara Indonesia, sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah
Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.
Kemudian pada Pasal 5 dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan
kedaulatan negara atas wilayah udara Republik Indonesia, Pemerintah
melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk
kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan, dan ekonomi
nasional. Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan
perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus
dimanfaatkan bagi sebesar-besar kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
6. UNCLOS III 1982
Territorial sea and Continous Zone , Section 1. General Provision, Article 2
Legal Status of the territorial sea, of the air space over the territorial sea and of
its bed and subsoil.
1. The souvereignity of coastal state extends, beyond its territory and internal
waters and, in the case of an archipelagic state, its archipelagic waters, to an
adjaeent belt of sea, described as the territorial sea.
Universitas Sumatera Utara
2. This soverignity extends to the air space over the territorial sea as well as to
itsbed and subsoil.
Dalam Pasal 2 tentang Status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut
teritorial dan dasar laut serta tanah di bawahnya.
1. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan
pedalamannya
dan,
dalam
hal
suatu
Negara
Kepulauan,
perairan
kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya
dinamakan laut territorial.
2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut territorial serta dasar laut dan
tanah di bawahnya.
Dalam Pasal 49, dijelaskan lingkup kedaulatan suatu negara sebagai
berikut :
1. Kedaulatan suatu Negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis
pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47, disebut
sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya
dari pantai.
2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut
dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Namun di dalam negara yang berdaulat tersebut harus diberikan hak lintas
alur laut bagi kapal maupun rute penerbangan bagi pesawat udara negara lain. Hal
ini dinyatakan dalam Pasal 53 sebagai berikut : Hak Lintas alur laut kepulauan
(innocent Passage)
Universitas Sumatera Utara
1. Suatu Negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di
atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara yang
terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas
perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya.
2. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan
dalam alur laut dan rute penerbangan demikian.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Eksistensi rangkaian suatu metode penelitian dapat diawali dari penentuan
jenis penelitiannya, dimana jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan
hukum ini adalah Penelitian Normatif atau disebut juga sebagai penelitian
doktrinal. Penelitian normatif, adalah merupakan penelitian pustaka, sehingga
dalam pengumpulan data-data penulis tidak perlu mencari langsung ke lapangan
akan tetapi cukup dengan pengumpulan data sekunder yang kemudian
dikonstruksikan dalam satu rangkaian hasil penelitian.
Penelitian normatif sebagai studi pustaka, pada dasarnya adalah berfungsi
untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian.8Dalam penulisan
hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif (doktrin) yang bersifat
deskriptif, yaitu penelitian normatif yang dapat diartikan sebagai suatu prosedur
pemecahan masalah yang diteliti dengan mengambarkan atau melukiskan keadaan
8
Bambang Sunggono.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.1996.
hal 112
Universitas Sumatera Utara
objek atau subjek yang diteliti pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak
atau sebagaimana adanya.9
2. Jenis Data
Dalam penelitian hukum normatif ini jenis data digunakan adalah data
sekunder yaitu, data yang dikumpulkan oleh orang lain. Pada waktu penelitian
dimulai data telah tersedia, atau dapat disebut sebagai data given begitu adanya
karena tidak diketahui metode pengambilannya dan validitasnya.10
Dimana data sekunder yang dimaksud adalah data yang memberikan
informasi terkait mengenai yuridiksi wilayah udara suatu negara. Dalam
penelitian ini penulis memperoleh data dari studi kepustakaan, berupa literature,
majalah, koran, makalah, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen
resmi, korespondensi, dan semua bahan sekunder lainnya yang terkait dengan
penelitian ini.
3. Sumber Data
Penelitian hukum normatif berdasarkan ketentuan jenis data yang
digunakan adalah data sekunder meliputi 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu
sebagai berikut:
1). Bahan Hukum Primer,
Berupa bahan hukum yang bersifat mengikat karena dikeluarkan oleh
pemerintah yang dapat berupa, norma dasar atau kaidah dasar, peraturan dasar,
peraturan
perundang-undangan,
bahan
hukum
yang
tidak
dikodifikasi,
9
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1984. hal 43
Bambang Sunggono, Op.Cit, hal 37
10
Universitas Sumatera Utara
yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman kolonial belanda yang masih
berlaku.11
2). Bahan Hukum Sekunder,
Bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, dimana
dalam penelitian ini sumber bahan sekunder berasal dari buku-buku ilmiah, hasil
penelitian terdahulu, makalah-makalah ilmiah, korespondensi, dan dokumendokumen yang terkait dengan penelitian ini.
Dalam penelitian ini dokumen-dokumen, makalah, atau karya tulis
daripenulis terdahulu, adalah berasal dari arsip yang dimiliki oleh Departemen
Luar Negeri RI, dan Departemen Dalam Negeri RI, yang memberikan informasi
mengenai yuridiksi wilayah udara suatu negara
3). Bahan Hukum Tersier,
Bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan
Hukum Primer dan Sekunder yang berupa Ensiklopedia, Kamus Bahasa Inggris,
Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan Bibliografi.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian ada banyak macamnya
tergantung pada masalah yang dipilih serta metode penelitian yang digunakan.12
Sesuai dengan yang telah ditegaskan sebelumnya bahwa jenis penelitian ini adalah
penelitian hukum Normatif, sehingga data-data yang digunakan adalah data
sekunder diperoleh dari membaca, mengkaji, dan menelaah data yang berasal dari
buku-buku, literature, makalah, dokumen-dokumen, Koran, majalah, karya tulis
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Rajawali.1985. hal 14-15
12
Bambang Sunggono, Op.Cit., hal 53
Universitas Sumatera Utara
ilmiah, serta berbagai sumber kajian yang mengulas mengenai penentuan dan
penetapan garis batas landas kontinen oleh penulis dikaitkan dengan ketentuan
yang diaplikasikan pada yuridiksi wilayah udara suatu negara dalam perspektif
hukum internasional
5. Analisis Data
Pada penelitian Hukum Normatif yang menelaah data sekunder, penulis
disini menggunakan teknik analisis logis, sistematis, dan yuridis, untuk mengolah
data-data yang telah dikumpulkan, dianalisis, dan disimpulkan, guna mencapai
tujuan dari penelitian yaitu untuk mencari jawaban dari rumusan masalah yang
diteliti, agar hasil dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
G. Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini membahas tentang Latar Belakang, Perumusan
Masalah,
Tujuan
Penelitian,
Manfaat
Penelitian,
Keaslian
Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan
BAB II
YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA
Pada bab ini akan membahas tentang Pengertian Kedaulatan
Negara, Pengertian Yurisdiksi, Yurisdiksi Negara dalam Hukum
Internasional, Macam-Macam Yurisdiksi Negara dan Kedaulatan
dan Yurisdiksi di Wilayah Perairan dan Udara
Universitas Sumatera Utara
BAB III
PRINSIP HUKUM UDARA YANG DIANUT BANGSABANGSA DI DUNIA (INTERNASIONAL).
Pada bab ini akan membahas tentang Sejarah Munculnya Hukum
Udara Internasional, Prinsip-prinsip Hukum Udara Internasional,
Pembatasan Yurisdiksi Negara berdasarkan Piagam Organisasi
Internasional dan Sukhoi TNI-AU Cegat Cessna Milik Amerika
BAB IV
YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
Pada bab ini akan membahas Pengertian Perbatasan Negara,
Klasifikasi Perbatasan Negara Penetapan Perbatasan Negara dan
Prinsip dan Konsepsi Hukum Internasional dalam Penetapan
Perbatasan Negara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan membahas kesimpulan merupakan intisari dari
pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi
ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapat menambah
pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pihakpihak yang terlibat dalam yuridiksi wilayah udara suatu negara
Universitas Sumatera Utara
Download