Lolos dari Jebakan Fragile Five Oleh Budi Sulistyo, Pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terkait perkembangan ekonomi Indonesia dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 pada Rabu (20/02) pekan lalu, Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembagunan Nasional (Bappenas) membahas beberapa hal, antara lain outlook perekonomian, melesetnya asumsi makro dalam APBN 2014, dan kesenjangan ekonomi yang dilihat dari stagnannya gini ratio pada level 0,41. Dalam pembukaan rapat tersebut, Menteri Keuangan menjelaskan tentang masih masuknya Indonesia dalam kategori lima negara dengan ekonomi paling rentan di dunia (fragile five) bersama dengan negara berkembang lainnya yaitu Brazil, Afrika Selatan, Turki, dan India. Secara awam, masuknya Indonesia sebagai negara yang rentan bisa jadi menyebabkan investor mudah untuk menarik dananya di Indonesia. Hal ini mengingat ancaman di pasar keuangan nasional maupun global yang dapat menyerang kapan saja. Terlebih, Indonesia masih memiliki sejumlah persoalan, antara lain penurunan neraca transaksi berjalan, inflasi, dan merosotnya nilai tukar mata uang. Kemunculan Fragile Five Mengapa Indonesia dikategorikan sebagai salah satu negara yang rentan (fragile)? Istilah fragile five sendiri dimunculkan oleh lembaga riset Morgan Stanley pada Agustus 2013. Morgan Stanley mendefinisikan fragile five sebagai negara dengan situasi ekonomi yang memiliki ketergantungan besar pada investor asing dalam pendanaan pertumbuhan ekonominya. Menurut Morgan Stanley, munculnya fragile five diawali dari rencana bank sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk mengurangi stimulus moneter, atau rencana pengurangan pembelian obligasi (tapering off) pasca kebijakan Quantitative Easing (QE). Pengurangan stimulus yang dilakukan The Fed ini bertujuan untuk memulihkan kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS) dari krisis, yang mana dengan adanya kebijakan ini, tingkat pengangguran di AS turun menjadi 6,7 persen pada tahun 2014. Adanya perbaikan ekonomi AS merupakan indikasi ekonomi global telah pulih. Namun demikian, kebijakan tapering berisiko menurunkan perekonomian negara berkembang. Risiko tapering bagi negara emerging market adalah risiko capital outflow karena investor asing rentan memindahkan investasinya dari negara emerging market. Investor asing pada beberapa emerging market disebutkan akan lebih memilih melarikan dananya dari negara yang memberikan prospek bunga tinggi, berbalik kembali ke AS yang memberikan tingkat return yang lebih tinggi. Wacana tapering juga melemahkan beberapa mata uang di negara emerging market, antara lain mata uang lira (Turki), real (Brazil), dan rand (Afrika Selatan). Menurut Morgan Stanley, pelemahan mata uang fragile five akan berlanjut pada neraca pembayaran dalam jangka menengah berdasarkan data sepuluh tahun terakhir. Parameter lain yang digunakan adalah berdasarkan angka inflasi, defisit neraca berjalan, rentannya pengalihan modal, dan rendahnya pertumbuhan. Pergerakan Mata Uang Negara Fragile Five terhadap USD Januari 2013 – Januari 2014 Sumber : Factset Selain isu capital flight dan pelemahan nilai tukar, lima negara fragile five juga disebutkan akan meningkat risiko politiknya, karena pada tahun ini empat dari lima negara tersebut menghadapi Pemilu. Isu-isu tersebut semakin melebar, karena diberitakan di media-media berbasis ekonomi di Eropa dan AS sampai saat ini. Melawan Ancaman Tapering Menghadapi “ancaman” tapering, negara-negara fragile five membuat kebijakan yang bertujuan agar investor asing tetap menanamkan modalnya. Bank Sentral Turki, India, dan Afrika Selatan, misalnya, menaikkan tingkat suku bunganya untuk menahan laju nilai tukar. Sebelumnya, otoritas moneter Turki tidak menaikkan tingkat suku bunga karena dikhawatirkan akan mengganggu tingkat pertumbuhan. Namun demikian, ketika mata uang Turki (lira) merosot hingga 17 persen terhadap dolar AS, bank sentral Turki menaikkan suku bunga dari 4,5 persen menjadi 10 persen. Kebijakan penaikan suku bunga tersebut memberikan sinyal positif bagi lira yang kemudian menguat kembali. Sementara itu, Brazil menghadapi tapering dengan menaikkan suku bunga secara bertahap. Suku bunga dinaikkan 3,25 persen dalam sembilan bulan. Terakhir, suku bunga di Brazil tercatat sebesar 10,50 persen. Namun demikian, prospek ekonomi Brazil diturunkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF), mengingat adanya tekanan politik akibat pemilihan presiden dan protes warganya yang tidak setuju Brazil menjadi tuan rumah piala dunia, karena perhelatan tersebut dianggap membuang-buang uang. Seperti Turki dan Brazil, India juga menaikkan tingkat suku bunganya pada tingkat 8 persen untuk menjaga tingkat harga dan menguatkan nilai mata uangnya. Namun demikian, rupee tetap turun pada saat The Fed memutuskan tapering pada awal Januari 2014. Sementara itu, penurunan tajam mata uang Afrika Selatan (rand) memicu kenaikan 0,5 persen pada suku bunganya, yaitu menjadi 5,5 persen. Selain terhadap investor asing, mata uang rand juga rentan terhadap pemogokan pekerja tambang yang menuntut kenaikan gajinya. Seperti diketahui, tambang platinum sangat penting bagi sumber devisa Afrika Selatan. Di Indonesia sendiri, untuk menghadapi wacana tapering, Bank Indonesia (BI) melakukan berbagai kebijakan seperti pengetatan moneter dengan kenaikan suku bunga acuan BI rate hingga 175 basis points (bps). Selain itu, BI juga melakukan pengetatan makroprudensial dengan kebijakan Giro Wajib Minimum, Loan To Deposit Ratio dan ketentuan Loan To Value Ratio untuk kendaraan bermotor dan kredit perumahan. Untuk pasar uang, pada Agustus 2013 BI justru menghindari kebijakan intervensi di pasar uang. Hal ini mengakibatkan kurs rupiah mengambang dan meningkatkan depresiasi rupiah hingga sebesar 14 persen sejak Mei 2013 hingga saat ini. Pelemahan kurs rupiah ini menyebabkan harga barang di Indonesia lebih murah dibanding harga di luar negeri. Hal ini mendorong turunnya defisit neraca perdagangan menjadi 4 miliar dolar AS pada 2013. Selain kebijakan moneter, Pemerintah juga telah meluncurkan beberapa paket kebijakan untuk memudahkan investor melakukan kegiatan bisnis di Indonesia, antara lain melalui kebijakan promosi ekspor, peningkatan ekspor, dan pengurangan impor dalam kaitan Pajak Penghasilan (PPh). Langkah lain yang ditempuh adalah melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Dalam forum tersebut, BI, Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan berkoordinasi untuk memitigasi gejolak yang timbul akibat tapering off. FKSSK sendiri telah melakukan beberapa kali simulasi menghadapi tapering dan protokol manajeman krisis. Lolos dari Fragile Five Langkah BI dan Kementerian Keuangan untuk keluar dari fragile five melalui kebijakan moneter-fiskal cukup berhasil. Bahkan, menurut majalah ekonomi internasional, The Economist, Indonesia dianggap paling tahan banting dibandingkan empat negara fragile five lainnya. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2013 yang menunjukkan perbaikan, yaitu sebesar 5,8 persen. Selain itu, pada Januari 2014, BI tidak menaikkan suku bunga acuannya, karena laju inflasi 2013 tidak melebihi 9 persen. Indikator lain perbaikan ekonomi Indonesia adalah turunnya defisit transaksi berjalan, yang mengalami penyusutan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Neraca perdagangan pun tercatat mengalami penguatan sejak Oktober 2013, dengan nilai surplus mencapai 24 juta dolar AS. Adanya perbaikan neraca perdagangan otomatis memperkecil defisit transaksi berjalan Indonesia, dari defisit sebesar 9,9 miliar dolar AS pada Bulan November 2013, menyusut menjadi 4 miliar dolar AS pada kuartal IV-2013. Perbaikan defisit transaksi berjalan merupakan indikator perbaikan yang sangat penting, karena salah satu kategori fragile five menurut Morgan Stanley adalah besaran defisit transaksi berjalan. Selain itu, minat pemodal asing ke Indonesia menunjukkan prospek Indonesia yang semakin membaik. Hal ini terlihat dari banyaknya investor asing yang membeli global bond Indonesia dengan tenor jangka panjang yang menggunakan strategi penjualan di muka (front loading). Dalam penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi dolar AS (seri RI0124 dan RI0144) pada Januari 2014, permintaan asing mengalami oversubscribed. Permintaan obligasi valas yang melonjak 4,4 kali, mencapai 17,5 miliar dolar AS tersebut menunjukkan kepercayaan investor asing kepada Indonesia. Untuk prediksi 2014, Menteri Keuangan yakin ekonomi Indonesia akan tumbuh hingga 6 persen. Hal ini diperkuat dengan terus menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang awal tahun ini. Penguatan IHSG pada awal Januari hingga pertengahan Februari 2014 mencatatkan level tertinggi pada 4.555,37, dan terendah 4.175,81. Penguatan juga dialami mata uang rupiah. Nilai tukar rupiah menguat dari yang sebelumnya selalu di atas Rp12.000 per dolar AS, pekan ini berkisar pada angka Rp11.785. Nilai tukar ini mengalami apresiasi sebesar 3,33 persen dibanding tahun lalu. Meskipun banyak pihak yang menyatakan penguatan rupiah ini bersifat temporer dan harus diwaspadai, berbagai perbaikan faktor ekonomi di atas telah mengindikasikan Indonesia lolos dari jebakan fragile five. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja