KAJIAN SANITASI DI TEMPAT PENDARATAN DAN PELELANGAN IKAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS IKAN DIDARATKAN VARENNA FAUBIANY SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: KAJIAN SANITASI DI TEMPAT PENDARATAN DAN PELELANGAN IKAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS IKAN DIDARATKAN adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan arahan dari dosen pembimbing serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2008 Varenna Faubiany C54104026 ABSTRAK VARENNA FAUBIANY. C54104026. Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan dan Pelelangan Ikan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan Didaratkan. Dibimbing oleh ERNANI LUBIS dan TRI WIJI NURANI. Sanitasi di suatu pelabuhan perikanan merupakan suatu hal yang sangat penting pengaruhnya terhadap kualitas ikan yang didaratkan. Ikan merupakan produk yang cepat dan mudah membusuk, sehingga membutuhkan penanganan yang cepat, bersih, cermat dan dingin. Kualitas ikan di suatu pelabuhan perikanan akan menentukan harga di pasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi aktivitas yang memberikan dampak terhadap sanitasi dan pengaruhnya terhadap kualitas ikan serta upaya pengelolaan yang telah dilakukan. Prosentase jumlah ikan yang tidak layak konsumsi, berhubungan dengan proporsi jumlah ikan tidak layak konsumsi yang didaratkan. Diagram sebab akibat digunakan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab kualitas ikan yang didaratkan tidak layak konsumsi. Analisis deskriptif dan tabulasi digunakan untuk mengkaji masalah sanitasi di kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan tempat pelelangan ikan. Kondisi buruknya sanitasi di PPI Muara Angke berdampak terhadap penurunan kualitas ikan. Hal ini diindikasikan dengan peningkatan prosentase ikan tidak layak konsumsi, yaitu dari 10-45% saat setelah pembongkaran menjadi sekitar 15-100% saat sebelum pengangkutan dari TPI. Faktor-faktor yang mempengaruhi prosentase ikan tidak layak konsumsi adalah perilaku pelaku, proses pelelangan, penanganan ikan, sanitasi dan fasilitas PPI. Akar penyebab masalah kualitas ikan tidak layak konsumsi yang berasal dari pelaku adalah para kuli angkut yang tidak memperlakukan ikan dengan baik, sedangkan yang berasal dari sanitasi PPI adalah pelelangan ikan yang menghasilkan limbah padat dan limbah cair, yang berasal dari penanganan ikan adalah cara pengawetan ikan dengan tidak memberikan es, dari proses pelelangan adalah jumlah peserta lelang yang terlalu banyak dan akar penyebab fasilitas PPI adalah dermaga bongkar yang tidak menggunakan kanopi. Pihak UPT PPI Muara Angke telah berusaha melakukan berbagai macam upaya pengelolaan sanitasi, antara lain melakukan pembersihan kolam pelabuhan setiap pagi, menyapu dan menyemprot lantai dermaga bongkar dan TPI setiap kali selesai proses pembongkaran dan pelelangan ikan. Namun, upaya yang belum dilakukan adalah penggunaan oil catcher, penambahan jumlah petugas pengawas sanitasi dan kebersihan serta pemberian penyuluhan kepada para pelaku di pelabuhan, pembuatan aturan yang terkait dengan sanitasi dan sanksi yang diberikan. Kata kunci: sanitasi, kualitas ikan, PPI Muara Angke KAJIAN SANITASI DI TEMPAT PENDARATAN DAN PELELANGAN IKAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS IKAN DIDARATKAN VARENNA FAUBIANY Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Judul Skripsi : Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan dan Pelelangan Ikan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan Didaratkan Nama Mahasiswa : Varenna Faubiany NRP : C54104026 Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA. Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si NIP. 131123999 NIP. 131841725 Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131578799 Tanggal Lulus: 22 Juli 2008 KATA PENGANTAR Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dengan judul “Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan dan Pelelangan Ikan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan yang Didaratkan” ini disusun berdasarkan penelitian di PPI Muara Angke, Jakarta Utara pada bulan Maret 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang berbagai aktivitas yang menimbulkan dampak sanitasi di PPI Muara Angke, menentukan dampak sanitasi dari berbagai aktivitas terhadap kualitas ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke dan menentukan upaya pengelolaan sanitasi yang baik di PPI Muara Angke. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini dan diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan terutama bagi pengembangan pelabuhan perikanan di Indonesia. Bogor, Juli 2008 Penulis UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berperan langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada: 1) Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA. dan Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si selaku dosen pembimbing atas bimbingannya selama penyelesaian skripsi ini; 2) Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc dan Iin Solihin, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji tamu, serta kepada Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc selaku ketua departemen dan Ir. Ronny Irawan Wahyu, M.Phil selaku komisi pendidikan atas kritikan, saran dan masukannya yang sangat membangun demi kesempurnaan skripsi ini; 3) Bapak Komar, Bapak Idris, Ibu Ria, Bapak Sumarsono, Mas Arief dan segenap staff UPT PPI Muara Angke yang telah banyak membantu selama penulis melaksanakan kegiatan penelitian dan sebagai pembimbing di lapangan; 4) Mama tercinta (Sosiati Gunawan), Papa tercinta (Tonny Sartono Hadie), Eyang Putri terkasih (Saida Gatoet Gunawan), Eyang Kakung terkasih (Gatoet Gunawan), Tante terkasih (Noesje Soesilowati) dan Adik-adikku yang tersayang (Clarissa Amelia Hadie dan Harits Abdillah Hadie) atas kasih sayang, dukungan semangat, doa, bimbingan dan segala usaha yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; 5) Rekan-rekan PSP terutama PSP 41 yang akan selalu di hati atas doa dan semangatnya kepada penulis selama menempuh pendidikan di IPB dan rekanrekan TBF (Dhani, Anggun, Arie, Angga, Wino, Adni, Idcham, Amy dan Prima) yang terus memompa semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; dan 6) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bimbingan dan bantuan yang telah diberikan. Amien. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 03 Mei 1987. Penulis adalah putri dari pasangan Bapak Tonny Sartono Hadie dan Ibu Sosiati Gunawan. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1991 di TK Sentosa. Kemudian pada tahun 1992-1998 melanjutkan pendidikan di SD Tunas Jaka Sampurna. Pada tahun 1998-2001 masuk ke SLTP-IT IQRO dan pada tahun 2001-2004 menamatkan pendidikan formal di SMU Negeri 6 Bekasi. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor dan tercatat sebagai mahasiswa di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP) pada tanggal 21 Juni 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi dan kegiatan yang ada di lingkungan IPB. Penulis pernah menjabat sebagai anggota Departemen Penelitian, Pengembangan dan Keprofesian HIMAFARIN-PSP-IPB pada periode 2004-2005, sebagai Bendahara II HIMAFARIN-PSP-IPB periode 2007-2008 dan anggota Divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) Masyarakat PASIR periode 2006-2007. Penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Pelabuhan Perikanan pada tahun 2007-2008 dan mata kuliah Teknik Perencanaan Pembangunan dan Pemanfaatan Pelabuhan Perikanan pada tahun 2008. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan dan Pelelangan Ikan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan Didaratkan”. DAFTAR ISI DAFTAR TABEL Halaman xii DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR LAMPIRAN xvi 1. PENDAHULUAN Latar Belakang…………………………………………………….... 1 Tujuan Penelitian…………………………………………………… 3 Manfaat Penelitian………………………………………………….. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan………………………………………………... 4 2.1.1 Pengertian pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan……………………………………………………………. 2.1.2 Fungsi pelabuhan perikanan…………………………………... 2.1.3 Fasilitas pelabuhan perikanan………………………………… 4 6 8 2.2 Sanitasi Pelabuhan Perikanan............................................................. 13 2.2.1 Pengertian sanitasi...................................................................... 2.2.2 Penerapan sanitasi dan sumber-sumber pencemaran di pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan....................... 2.2.3 Pengelolaan dan pemeliharaan sanitasi di pelabuhan perikanan.................................................................................... 13 2.3 Kualitas Ikan....................................................................................... 18 2.3.1 Pengertian kualitas ikan............................................................. 2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas ikan....................... 2.3.3 Cara mempertahankan kualitas ikan.......................................... 2.3.4 Standarisasi peningkatan kualitas ikan...................................... 2.3.5 Peta kendali................................................................................ 2.3.6 Diagram sebab akibat................................................................. 18 21 23 27 30 31 14 16 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian............................................................. 33 3.2 Materi Penelitian................................................................................. 33 3.3 Metode Pengambilan Data.................................................................. 33 3.4 Analisis Data....................................................................................... 35 ix 4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kota Jakarta Utara.................................................... 41 4.1.1 Letak geografis dan topografi Jakarta Utara.............................. 4.1.2 Penduduk Kota Jakarta Utara..................................................... 4.1.3 Kondisi perikanan tangkap Kota Jakarta Utara.......................... 41 4.2 Keadaan Umum PPI Muara Angke..................................................... 4.2.1 Letak geografis dan topografi PPI Muara Angke...................... 4.2.2 Pengelolaan PPI Muara Angke.................................................. 4.2.3 Kondisi perikanan tangkap......................................................... 4.2.4 Fasilitas PPI Muara Angke........................................................ 42 43 50 50 51 55 63 5. AKTIVITAS DI TEMPAT PENDARATAN DAN PELELANGAN IKAN PPI MUARA ANGKE 5.1 Pendaratan Hasil Tangkapan............................................................... 5.2 Pengangkutan Hasil Tangkapan.......................................................... 5.3 Pelelangan Hasil Tangkapan............................................................... 5.4 Penyortiran dan Penanganan Hasil Tangkapan................................... 75 80 82 88 6. DAMPAK AKTIVITAS PENDARATAN DAN PELELANGAN IKAN TERHADAP SANITASI DI PPI MUARA ANGKE 6.1 Kondisi Sanitasi di Kolam Pelabuhan, Dermaga Bongkar dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke..................................... 6.1.1 Faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi sanitasi pada Berbagai aktivitas dari pendaratan sampai pelelangan ikan...... 6.1.2 Jenis limbah fisik yang dihasilkan aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan.......................................................................... 6.1.3 Limbah dari aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan.............. 6.2 Dampak Sanitasi dari Aktivitas Pendaratan dan Pelelangan Ikan...... 92 94 96 98 104 7. KONDISI KUALITAS HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PPI MUARA ANGKE 7.1 Kualitas Ikan Saat Setelah Pembongkaran di Atas Kapal dan Dermaga Bongkar............................................................................... 109 7.2 Kualitas Ikan Saat Sebelum Pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan...................................................................................................... 112 7.3 Kualitas Ikan Saat Sebelum Pengangkutan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI)............................................................................................ 113 x 7.4 Diagram Sebab Akibat Kualitas Ikan Buruk Setelah Pembongkaran Sampai Sebelum Pengangkutan ke Perusahaan atau Pedagang.......... 116 8. UPAYA PENGELOLAAN DAMPAK SANITASI TERHADAP KUALITAS IKAN DI PPI MUARA ANGKE 8.1 Dampak Sanitasi terhadap Kualitas Ikan............................................ 8.2 Upaya Pengelolaan Sanitasi yang Dilakukan Pihak UPT PPI Muara Angke....................................................................................... 122 123 9. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan......................................................................................... 9.2 Saran.................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... LAMPIRAN....................................................................................................... 129 130 131 134 xi DAFTAR TABEL 1. Kriteria mutu ikan segar........................................................................... Halaman 21 2. Faktor yang mempengaruhi kualitas ikan dalam proses penanganan....... 23 3. Data yang dikumpulkan saat penelitian.................................................... 34 4. Contoh tabel analisis data......................................................................... 36 5. Contoh tabel analisis peta kendali............................................................. 38 6. Contoh tabel analisis upaya pengelolaan dampak sanitasi........................ 40 7. Jumlah armada penangkapan Jakarta Utara, 2003-2007........................... 44 8. Jumlah nelayan Jakarta Utara, 2003-2007................................................ 45 9. Jumlah hasil tangkapan nelayan Jakarta Utara, 2007................................ 47 10. Jumlah produksi perikanan Jakarta Utara, 2003-2007.............................. 48 11. Daftar instansi/kelembagaan lain di PPI Muara Angke, 2006.................. 55 12. Jenis kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke, 2004-2007..... 56 13. Jumlah alat tangkap yang dioperasikan nelayan di PPI Muara Angke, 2003-2006................................................................................................. 57 14. Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas bongkar dan sandar di PPI Muara Angke, 2001-2003......................................................................... 59 15. Jumlah produksi, nilai produksi dan retribusi ikan lokal yang didaratkan di PPI Muara Angke, 2003-2006............................................ 61 16. Fasilitas-fasilitas PPI Muara Angke, 2006................................................ 63 17. Penanganan hasil tangkapan selama di kapal............................................ 89 18. Faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi di kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI PPI Muara Angke........................................... 95 19. Jenis limbah/sampah akibat proses pendaratan dan pelelangan hasil Tangkapan di PPI Muara Angke............................................................... 96 20. Permasalahan pengguna pelabuhan dan dampaknya terhadap sanitasi fasilitas dan kualitas ikan.......................................................................... 106 21. Kualitas ikan setelah pembongkaran pada keranjang 1............................ 109 22. Kualitas ikan setelah pembongkaran pada keranjang 2............................ 111 23. Kualitas ikan sebelum pelelangan pada keranjang 1................................. 112 24. Kualitas ikan sebelum pelelangan pada keranjang 2................................. 113 xii 25. Kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 1............. 114 26. Kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 2............. 115 27. Upaya pengelolaan sanitasi di PPI Muara Angke, berdasarkan dampak yang ditimbulkan menurut aktivitas dan pelaku....................................... 126 xiii DAFTAR GAMBAR 1. Diagram sebab akibat................................................................................ Halaman 40 2. Jumlah armada penangkapan Jakarta Utara, 2003-2007........................... 44 3. Jumlah nelayan Jakarta Utara, 2003-2007................................................ 46 4. Produksi ikan Jakarta Utara, 2003-2007................................................... 49 5. Struktur organisasi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta............... 54 6. Jumlah kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke, 2004-2007................................................................................................. 56 7. Jumlah alat tangkap di PPI Muara Angke, 2003-2006............................. 58 8. Jumlah nelayan di PPI Muara Angke Jakarta Utara, 2001-2003................................................................................................. 60 9. Produksi hasil tangkapan di PPI Muara Angke, 2003-2006..................... 61 10. Kolam pelabuhan PPI Muara Angke Jakarta Utara.................................. 64 11. Dermaga bongkar PPI Muara Angke Jakarta Utara.................................. 65 12. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) PPI Muara Angke Jakarta Utara.............. 66 13. Stasiun pengisian bahan bakar umum dwi fungsi PPI Muara Angke ...... 68 14. Pasar pengecer ikan di PPI Muara Angke ................................................ 69 15. Tangki air bersih di PPI Muara Angke Jakarta Utara............................... 71 16. Kantor UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara......................... 73 17. Saat penyortiran hasil tangkapan di atas dek kapal................................... 77 18. Keranjang yang digunakan pada saat pembongkaran ikan....................... 78 19. ABK yang memasukkan kaki ke dalam keranjang ikan........................... 79 20. Beberapa ABK yang tidak menggunakan sarung tangan saat pembongkaran hasil tangkapan................................................................ 79 21. Mekanisme pelelangan ikan di PPI Muara Angke Jakarta Utara............. 84 22. Ikan-ikan dalam keranjang yang siap untuk dilelang............................... 85 23. Suasana pelelangan ”opouw” di PPI Muara Angke................................. 86 24. Pembagian retribusi pelelangan ikan PPI Muara Angke.......................... 87 25. Pencucian keranjang ikan setelah pelelangan selesai............................... 90 26. Kondisi kolam pelabuhan PPI Muara Angke............................................ 98 xiv 27. Kondisi sanitasi di dermaga bongkar PPI Muara Angke.......................... 99 28. Kondisi peletakan ikan di dermaga bongkar PPI Muara Angke.............. 100 29. Kondisi sanitasi di lantai TPI PPI Muara Angke...................................... 102 30. Diagram sebab akibat kualitas ikan buruk setelah pembongkaran hingga sebelum pengangkutan ke perusahaan atau pedagang ................ 121 31. Kapal kebersihan khusus kawasan Pantai Utara Jakarta.......................... 124 32. Kapal kebersihan khusus kawasan PPI Muara Angke.............................. 125 xv DAFTAR LAMPIRAN 1. Peta lokasi penelitian................................................................................ Halaman 135 2. Layout PPI Muara Angke......................................................................... 136 3. Tabel spesifikasi dan nilai organoleptik ikan segar.................................. 137 4. Contoh perhitungan................................................................................... 139 5. Data kualitas ikan setelah pembongkaran................................................. 141 6. Data kualitas ikan sebelum pelelangan..................................................... 143 7. Data kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang................................................................................................... 145 xvi 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produk perikanan merupakan suatu produk yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi terutama yang berasal dari protein hewani. Ikan sebagai komoditas yang mudah dan cepat membusuk (high perishable food), memerlukan penanganan yang cepat, bersih, cermat dan dingin (quick, clean, careful and cool) sehingga mutu ikan dapat tetap dipertahankan sejak ikan diangkat dari laut hingga ikan didistribusikan atau dipasarkan ke konsumen. Salah satu mekanisme penanganan ikan dilakukan melalui penerapan sistem rantai dingin (cool chain system) (Wibowo, 2006). Ikan merupakan komoditi utama di suatu pelabuhan perikanan. Oleh karena itu, kualitas ikan di suatu pelabuhan perikanan sangatlah penting untuk dijaga. Kualitas ikan akan menentukan harga di pasaran. Semakin bagus kualitas ikan, maka harganya akan semakin tinggi (Hanafiah dan Saefudin, 1983 diacu dalam Murdaniel, 2007). Pengendalian kualitas ikan sangat diperlukan agar kesegaran ikan dapat dipertahankan. Pentingnya menjaga kualitas ikan di suatu pelabuhan perikanan berkaitan dengan salah satu fungsinya sebagai tempat pembinaan mutu hasil perikanan. Apabila kualitas ikan yang ada di suatu pelabuhan perikanan baik, akan menunjukkan bahwa pelabuhan perikanan dari segi fungsi pembinaan mutu hasil perikanan sudah berjalan dengan optimal. Dalam pengelolaan pelabuhan perikanan, seringkali masalah sanitasi dan pengelolaan limbah menjadi terlupakan. Buruknya penanganan sanitasi dan kurangnya sanitasi fasilitas memungkinkan terjadinya kerugian dalam perdagangan ikan. Selain itu, buruknya sanitasi dapat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan karena banyaknya binatang seperti lalat dan tikus yang berkeliaran di sekitar tempat tersebut. Menurut Lubis (2006) bahwa permasalahan sanitasi seperti banyaknya sampah dan limbah sisa atau buangan dari aktivitas-aktivitas di pelabuhan perikanan dan para pengguna akan dapat menimbulkan pencemaran. Permasalahan 2 sanitasi banyak terjadi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan karena di kedua tempat ini terjadi pemusatan kegiatan pendaratan dan pemasaran ikan. Pemilihan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke sebagai lokasi penelitian karena PPI Muara Angke merupakan salah satu pelabuhan perikanan tipe D yang mempunyai potensi produksi dan pemasaran hasil tangkapan yang cukup besar dan strategis di Jakarta Utara. PPI Muara Angke juga merupakan basis armada penangkapan ikan karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Teluk Jakarta (Malik, 2006). Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke memiliki keunggulan dibandingkan dengan PPI lain yang berada di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke pada tahun 2007 yaitu 17.111.209 kg, lebih besar dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Pasar Ikan, yaitu 722.305 kg (Anonymous, 2007). Namun, Ikanikan yang didaratkan di PPI Muara Angke, terkadang masih memiliki kualitas yang buruk. Ikan-ikan dengan kualitas yang buruk berasal dari kapal-kapal yang melakukan operasi penangkapan lebih dari satu bulan. Selain potensi perikanan yang cukup besar, PPI Muara Angke juga memiliki potensi pemasaran yang cukup baik, dilihat dari letak yang sangat strategis, yang terletak di DKI Jakarta dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, aksesibilitas ke tempat ini sangat baik, kondisi jalan beraspal, sarana transportasi yang mudah untuk menuju lokasi ini dan didukung dengan sarana yang memadai (Malik, 2006). Sanitasi di tempat pendaratan ikan yaitu di dermaga bongkar maasih kurang terjaga. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ikan dan potongan-potongan ikan yang berjatuhan di dermaga tersebut. Begitu pula dengan sanitasi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), yaitu banyaknya limbah dari aktivitas pelelangan ikan seperti ikan utuh dan potongan-potongan ikan yang berserakan di sekitar TPI, banyaknya genangan air, puntung rokok dan orang yang meludah di sembarang tempat, menyebabkan sanitasi di TPI menjadi kurang terjaga dengan baik. Sanitasi yang kurang baik berdampak terhadap kualitas ikan yang didaratkan. Kualitas ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke, memiliki kualitas yang kurang baik. Hal ini terlihat dari ada beberapa kapal yang mendaratkan ikan tidak layak konsumsi, atau memiliki nilai organoleptik < 6. 3 Mengingat pentingnya sanitasi di suatu pelabuhan perikanan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan dan Pelelangan Ikan serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan di PPI Muara Angke. 1.2 Tujuan Tujuan diadakannya penelitian ini adalah: (1) Mendapatkan informasi tentang berbagai aktivitas yang menimbulkan dampak sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan PPI Muara Angke; (2) Menentukan kualitas ikan yang didaratkan akibat dampak sanitasi di PPI Muara Angke; (3) Merumuskan upaya pengelolaan sanitasi yang baik di tempat pendaratan dan pelelangan ikan PPI Muara Angke. 1.3 Manfaat Manfaat yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pentingnya penanganan ikan dengan menjaga sanitasi dan pengelolaannya untuk mempertahankan kualitas. Selain itu, sebagai bahan pertimbangan bagi Pemda DKI Jakarta untuk meningkatkan sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan PPI Muara Angke. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan 2.1.1 Pengertian pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan Pemanfaatan potensi perikanan secara optimal perlu didukung oleh adanya perencanaan penangkapan yang tepat dan terarah, tersedianya sarana dan prasarana yang memadai dan dapat menunjang pemanfaatan potensi perikanan (Mahendra, 2001). Pelabuhan perikanan merupakan pusat perekonomian perikanan, dimana segala usaha perikanan berpusat di tempat ini. Pelabuhan perikanan merupakan salah satu prasarana perikanan, yaitu sebagai pusat kegiatan perikanan, yang mengatur segala macam kepentingan yang berhubungan dengan pengembangan perikanan tangkap di wilayah tersebut. Keberadaan pelabuhan perikanan, selain mendukung kegiatan perikanan tangkap, juga sebagai salah satu upaya dalam mempertahankan kualitas hasil tangkapan dan meningkatkan harga jual (Lubis, 2000). Departemen Perhubungan menggolongkan pelabuhan perikanan termasuk ke dalam pelabuhan khusus. Menurut Lubis (2006), pelabuhan perikanan adalah suatu wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Menurut Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Definisi yang sama disebutkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.16 tahun 2006 yang diberi batasan untuk wilayah daratan dan perairan di sekitarnya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pelabuhan perikanan merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan 5 pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994), aspek-aspek tersebut secara terperinci adalah: (1) Produksi: pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk melakukan kegiatan produksi, mulai dari memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil tangkapan; (2) Pengolahan: pelabuhan perikanan menyediakan sarana yang dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapan; dan (3) Pemasaran: pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan tempat awal pemasaran hasil tangkapan. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) dalam Lubis (2006), kriteria pangkalan pendaratan ikan adalah sebagai berikut: (1) Tersedianya lahan seluas 10 ha; (2) Diperuntukkan bagi kapal-kapal perikanan < 30 GT; (3) Melayani kapal-kapal perikanan 15 unit/hari; (4) Jumlah ikan yang didaratkan ≥ 10 ton/hari; (5) Tersedianya fasilitas pembinaan mutu, sarana pemasaran dan lahan kawasan industri perikanan; dan (6) Dekat dengan pemukiman nelayan. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/Men/2006 Bab VII tentang klasifikasi pelabuhan perikanan pasal 20, pangkalan pendaratan ikan ditetapkan berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut: (1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pedalaman dan perairan kepulauan; (2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurangkurangnya 3 GT; (3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 meter, dengan kedalaman kolam pelabuhan sekurang-kurangnya minus 2 meter; (4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 60 GT kapal perikanan sekaligus. 6 Pelabuhan perikanan tipe D dikatakan pula dengan istilah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Dilihat dari segi konstruksi bangunannya, sebagian besar PPI termasuk ke dalam pelabuhan alam dan atau semi alam. Artinya tipe pelabuhan ini umumnya terdapat di muara atau tepi sungai, di daerah yang menjorok ke dalam atau terletak di suatu teluk bukan bentukan manusia atau sebagian hasil bentukan manusia. Pada umumnya, PPI ini ditujukan untuk tempat berlabuh atau bertambatnya perahu-perahu penangkapan ikan tradisional yang berukuran lebih kecil dari 5 GT atau untuk perahu-perahu layar tanpa motor. Hasil tangkapan yang didaratkan kurang atau sama dengan 20 ton per hari dan ditujukan terutama untuk pemasaran lokal (Lubis, 2006). 2.1.2 Fungsi pelabuhan perikanan Bila ditinjau dari fungsinya, pelabuhan perikanan tentunya berbeda dengan jenis pelabuhan lainnya dimana pelabuhan perikanan dikhususkan untuk aktivitas di bidang perikanan tangkap. Menurut Lubis (2006) fungsi pelabuhan perikanan adalah: (1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran Pelabuhan perikanan sebagai pusat sarana dan kegiatan pendaratan serta pembongkaran hasil tangkapan di laut. (2) Fungsi pengolahan Pelabuhan perikanan sebagai tempat untuk membina peningkatan mutu dan pengendalian mutu ikan dalam menghindari kerugian dari pasca tangkap. (3) Fungsi pemasaran Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan baik bagi nelayan maupun bagi pedagang. (4) Fungsi pembinaan terhadap masyarakat nelayan Pelabuhan perikanan dapat dijadikan sebagai lapangan kerja bagi penduduk di sekitarnya dan sebagai tempat pembinaan masyarakat perikanan seperti nelayan, pedagang, pengolah dan buruh angkut agar dapat menjalankan aktivitasnya dengan baik. 7 Berdasarkan pasal 41 UU No. 31 Tahun 2004, dalam rangka pengembangan pelabuhan perikanan, pemerintah membangun dan membina pelabuhan perikanan yang berfungsi antara lain sebagai: (1) Tempat tambat labuh kapal perikanan; (2) Tempat pendaratan ikan; (3) Tempat pemasaran dan distribusi ikan; (4) Tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan; (5) Tempat pengumpulan data perikanan; (6) Tempat penyelenggaraan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; dan (7) Tempat untuk memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/Men/2006 Bab IV tentang fungsi pelabuhan perikanan pasal 4 menyebutkan bahwa fungsi pelabuhan perikanan adalah: (1) Pelabuhan perikanan mempunyai fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasarannya. (2) Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a) Pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan; b) Pelayanan bongkar muat; c) Pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; d) Pemasaran dan distribusi ikan; e) Pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan; f) Pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; g) Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan; h) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan; i) Pelaksanaan kesyahbandaran; 8 j) Pelaksanaan fungsi karantina ikan; k) Publikasi hasil riset kelautan dan perikanan l) Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari; dan m) Pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan, ketertiban, kebakaran dan pencemaran). Pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan, ketertiban, kebakaran, dan pencemaran) merupakan salah satu fungsi pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang cukup penting dalam permasalahan penanganan sanitasi di pelabuhan perikanan. Target fungsi pelabuhan perikanan, kiranya terlalu luas dan akan lebih sulit dicapai, mengingat terbatasnya kemampuan sumberdaya manusia pengelola dan kapasitas, jenis serta rendahnya kelengkapan dan mekanisasi fasilitas yang ada. Terlaksana atau tidaknya fungsifungsi pelabuhan perikanan secara optimal, akan dapat mengindikasikan tingkat keberhasilan pengelolaan suatu pelabuhan perikanan (Lubis, 2006). Pengadaan laboratorium pengawasan mutu hasil perikanan sebagai salah satu kriteria teknis memegang peranan yang cukup besar terutama untuk menjaga agar hasil tangkapan yang sampai ke tangan konsumen tidak mengandung unsur kimia karsinogenik. 2.1.3 Fasilitas Pelabuhan Perikanan Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per. 16/Men/2006 Bab VIII tentang fasilitas pelabuhan perikanan pasal 22 menyebutkan bahwa: (1) Fasilitas pada pelabuhan perikanan meliputi: a) Fasilitas pokok; b) Fasilitas fungsional; dan c) Fasilitas penunjang; (2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sekurang-kurangnya meliputi: a) Pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin; b) Tambat seperti dermaga dan jetty; 9 c) Perairan seperti kolam dan alur pelayaran; d) Penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong, jembatan; dan e) Lahan pelabuhan perikanan (3) Fasilitas fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sekurangkurangnya meliputi: a) Pemasaran hasil perikanan seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI); b) Navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, ramburambu, lampu suar dan menara pengawas; c) Suplai air bersih, es dan listrik; d) Pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring; e) Penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan mutu; f) Perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan; g) Transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; dan h) Pengolahan limbah seperti IPAL. (4) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, sekurangkurangnya meliputi: a) Pembinaan nelayan seperti balai pertemuan nelayan; b) Pengelola pelabuhan seperti mess operator, pos jaga dan pos pelayanan terpadu; c) Sosial dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK; d) Kios IPTEK; dan e) Penyelenggaraan fungsi pemerintahan (5) Fasilitas penyelenggaraan fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e, sekurang-kurangnya meliputi: a) Keselamatan pelayaran; b) Kebersihan, keamanan dan ketertiban; c) Bea dan cukai; d) Keimigrasian; 10 e) Pengawas perikanan; f) Kesehatan masyarakat; dan g) Karantina ikan Pasal 23 menyebutkan bahwa fasilitas yang wajib ada pada pelabuhan perikanan untuk operasional sekurang-kurangnya meliputi: (1) Fasilitas pokok, antara lain dermaga, kolam perairan, dan alur perairan; (2) Fasilitas fungsional, antara lain kantor, air bersih, listrik serta fasilitas penanganan ikan; dan (3) Fasilitas penunjang, antara lain pos jaga dan MCK 1) Tempat pendaratan ikan Proses pendaratan hasil tangkapan di suatu pelabuhan perikanan akan berjalan dengan baik apabila didukung dengan pengadaan peralatan serta fasilitas terkait yang memadai, terutama untuk produksi hasil tangkapan yang besar agar proses pembongkaran dapat dilakukan secara cepat dan efisien. Pendaratan hasil tangkapan merupakan pembongkaran hasil tangkapan dari dalam palkah ke atas dek kapal. Setelah dilakukan penyortiran, ikan kemudian diturunkan ke dermaga untuk selanjutnya diangkut menuju TPI (Mulyadi, 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa pendaratan hasil tangkapan di tempat-tempat pendaratan ikan harus selalu memperhatikan karakteristik sumberdaya hayati ikan itu sendiri yang mudah rusak yaitu pembongkaran harus dilakukan dalam waktu yang cepat tanpa merusak atau menurunkan mutu hasil tangkapan. Oleh karena itu, untuk melakukan pendaratan hasil tangkapan yang cepat dan higienis, maka suatu tempat pendaratan ikan harus mempunyai dermaga yang cukup panjang, hasil tangkapan terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung dan didukung oleh penyediaan alatalat pembongkaran seperti kereta dorong, keranjang atau basket, pompa air bersih dan derek. 11 2) Tempat pelelangan ikan Fungsi tempat pelelangan ikan adalah untuk melelang ikan, dimana terjadi pertemuan antara penjual (nelayan atau pemilik kapal) dengan pembeli (pedagang atau agen perusahaan perikanan). Letak dan pembagian ruang di gedung pelelangan harus direncanakan supaya aliran produk (flow of product) berjalan dengan cepat (Lubis, 2006). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa produk perikanan merupakan produk yang cepat mengalami penurunan mutu, sehingga apabila aliran produk ini terganggu akan menyebabkan terjadinya penurunan mutu ikan. Ruangan yang ada pada gedung pelelangan adalah: (1) Ruang surtir, yaitu tempat membersihkan, menyortir, dan memasukkan ikan ke dalam peti atau keranjang; (2) Ruang pelelangan, yaitu tempat menimbang, memperagakan dan melelang ikan; (3) Ruang pengepakan, yaitu tempat memindahkan ikan ke dalam peti lain dengan diberi es, garam, dan lain-lain selanjutnya siap untuk dikirim; dan (4) Ruang administrasi pelelangan, terdiri dari loket-loket, gudang peralatan lelang, ruang duduk untuk peserta lelang, toilet dan ruang cuci umum Luas gedung pelelangan ikan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Jumlah produksi yang harus ditampung oleh gedung pelelangan; (2) Jenis ikan yang ditangkap; dan (3) Cara penempatan ikan untuk diperagakan Fungsi lain dari tempat pelelangan ikan adalah sebagai pusat pendaratan ikan, pusat pembinaan mutu hasil tangkapan, pusat pengumpulan data dan pusat kegiatan para nelayan di bidang pemasaran. Proses pelelangan ikan yang terjadi di dalam gedung TPI bertujuan untuk menarik sejumlah pembeli yang potensial, menjual dengan penawaran tinggi, menerima harga sebaik mungkin dan menjual sejumlah besar ikan dalam waktu yang sesingkat mungkin (Biro Pusat Statistik, 1990 diacu dalam Desiwardani, 2007) 12 Mahyuddin (2007) menyebutkan bahwa, menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP. 01/MEN/2007 tanggal 05 Januari 2007, tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi, bahwa persyaratan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) adalah: (1) Terlindung dan mempunyai dinding yang mudah untuk dibersihkan; (2) Mempunyai lantai yang kedap air yang mudah dibersihkan dan disanitasi, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan mempunyai sistem pembuangan limbah cair yang higienis; (3) Dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan toilet dalam jumlah yang mencukupi. Tempat cuci tangan harus dilengkapi dengan bahan pencuci tangan dan pengering sekali pakai; (4) Mempunyai penerangan yang cukup untuk memudahkan dalam pengawasan hasil perikanan; (5) Kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada dalam TPI; (6) Dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan, wadah harus dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air laut bersih; (7) Dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan dan minum dan diletakkan di tempat yang mudah dilihat dengan jelas; (8) Mempunyai pasokan air bersih dan atau air laut bersih yang cukup; dan (9) Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan. Satu hal yang perlu diperhatikan yaitu lantai tempat pelelangan harus miring ke arah saluran pembuangan sekitar 2°. Hal ini dimaksudkan agar air dari penyemprotan kotoran sisa-sisa ikan setelah selesai aktivitas pelelangan dapat mengalir ke saluran pembuangan dengan mudah sehingga kebersihan tempat pelelangan senantiasa terpelihara (Lubis, 2006). 13 2.2 Sanitasi di Pelabuhan Perikanan 2.2.1 Pengertian sanitasi Sanitasi adalah suatu usaha untuk mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh kepada manusia, terutama terhadap hal-hal yang mempunyai efek merusak perkembangan fisik, kesehatan dan kelangsungan hidup. Sanitasi juga membantu mempertahankan lingkungan biologi sehingga polusi berkurang dan membantu melestarikan hubungan ekologi yang seimbang (Jenie, 1988 diacu dalam Rusmali, 2004). Higiene secara umum menurut Johns (1991), adalah dasar dari suatu proses kebersihan. Kebersihan penting karena dapat mencegah bakteri yang timbul dari kondisi yang kotor. Sanitasi yang baik dalam industri tidak hanya terletak pada kebersihan bahan baku, peralatan, ruangan dan pekerja tetapi juga dalam penanganan dan pembuangan limbah. Meskipun suatu industri menghasilkan produk bermutu tinggi tetapi jika cara pembuangan limbah di sekitar industri tersebut tidak ditangani dengan benar, maka akan dapat mengganggu dan merusak lingkungan hidup di sekitarnya. Begitu juga dengan pelabuhan perikanan (Liswati, 2000). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sanitasi mencakup berbagai aspek antara lain kesehatan, kebersihan dan keseimbangan lingkungan serta manajemen atau pengelolaannya. Sanitasi bertujuan untuk mencegah berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya pencemaran bagi produk dan lingkungan. Dalam pengembangan industri perikanan, pelabuhan perikanan merupakan bagian dari rantai produksi yang harus memenuhi persyaratan kelayakan dasar sanitasi dan higienis yang meliputi (Departemen Pertanian, 2002 diacu dalam Rusmali, 2004): (1) Lokasi dan lingkungan; (2) Konstruksi bangunan; (3) Dinding, penerangan dan ventilasi; (4) Saluran pembuangan; (5) Pasokan air dan bahan bakar; (6) Es; 14 (7) Penanganan limbah; (8) Toilet; (9) Konstruksi dan pemeliharaan alat; (10) Peralatan untuk penanganan awal; (11) Pembersihan dan sanitasi; dan (12) Kontrol sanitasi. Selanjutnya dikatakan bahwa hasil yang diharapkan dengan dijalankannya program sanitasi di pelabuhan perikanan antara lain terciptanya lingkungan kerja yang bersih, mutu ikan yang tetap terjaga dan kebersihan para pelaku di pelabuhan perikanan. Seluruh kelayakan dasar sanitasi di pelabuhan perikanan harus dapat dipenuhi untuk memperbaiki kinerja dan operasional pelabuhan, apalagi bila pelabuhan tersebut memiliki wilayah distribusi yang luas dan kapasitasnya besar. 2.2.2 Penerapan sanitasi dan sumber-sumber pencemaran di pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan Pedoman umum yang digunakan dalam perencanaan pembangunan dan pengoperasian Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) di pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan adalah sebagai berikut (Menai, 2007): 1) Lokasi, konstruksi dan tata ruang a) Bangunan tidak berada di tempat yang merupakan daerah pembuangan sampah, pemukiman padat penduduk atau daerah lain yang dapat menimbulkan pencemaran; b) Bebas dari timbunan barang bekas yang tidak teratur; c) Bebas dari timbunan barang sisa atau sampah; d) Bebas dari tempat persembunyian atau perkembangbiakan serangga, binatang pengerat dan binatang pengganggu lainnya; e) Sistem saluran pembuangan air (drainase) dalam keadaan baik; f) Permukaan lantai rata, kedap air, tahan bahan kimia, tidak licin dan mudah dibersihkan; dan g) Pertemuan antara lantai dengan dinding melengkung dan kedap air. 15 2) Kebersihan dan sanitasi a) Lantai, wadah peralatan dan sebagainya dibersihkan dan dicuci sebelum dan sesudah dipakai dengan menggunakan air yang mengandung chlorine; b) Peralatan kebersihan (sikat, sapu, alat semprot dan lain-lain) tersedia setiap saat bila diperlukan dan jumlahnya mencukupi; c) Tempat pendaratan dan penyimpanan ikan terpelihara kebersihannya; d) Tempat sampah terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tahan karat, tidak bocor, jumlahnya cukup, mempunyai tutup dan ditempatkan pada tempat yang sesuai; e) Setiap orang yang memasuki TPI harus mencuci tangan dan kaki (sepatu) dengan mencelupkannya ke dalam bak berisi air yang mengandung chlorine; dan f) Tidak semua orang kecuali yang berkepentingan dapat masuk ke dalam TPI. Sumber pencemar (polutan) dapat berasal dari suatu lokasi tertentu (point source) atau tak tentu/tersebar (non-point/diffuse source). Pencemar yang berasal dari point source bersifat lokal. Efek yang ditimbulkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Volume pencemar dari point source biasanya tetap. Sumber pencemar non-point source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak, misalnya limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik) dan daerah perkotaan (Effendi, 2003). Menurut Effendi (2003), bahan pencemar (polutan) adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut. Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi dua, yaitu polutan alamiah dan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang memasuki suatu lingkungan secara alami. Adapun polutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke badan air akibat aktivitas manusia. Sumber-sumber pencemaran di pelabuhan perikanan pada umumnya berasal dari aktivitas manusia, seperti sampah sisa pembongkaran dan pelelangan ikan serta 16 limbah dari industri pengolahan dan kapal-kapal yang berlabuh yang mencemari saluran drainase dan kolam pelabuhan. Ravikumar (1993) diacu dalam Rusmali (2004), menyebutkan bahwa sampah merupakan benda yang tidak terpakai, tidak diinginkan dan dibuang, sedangkan limbah adalah sampah yang sudah mencemari. Berdasarkan bentuk dan cara penanganannya, sampah dibagi menjadi: (1) Sampah padat; (2) Sampah cair/air buangan; (3) Sampah gas dan partikel di udara; (4) Kotoran manusia; (5) Kotoran hewan; dan (6) Sampah berbahaya. Berdasarkan komposisi kimia, sifat mengurai dan mudah tidaknya terbakar, sampah dibedakan menjadi sampah organik dan anorganik; degradable dan non-degradable serta combustible dan non-combustible. Limbah adalah campuran yang kompleks, terdiri atas mineral dan bahan-bahan organik dalam berbagai bentuk, besar maupun kecil yang terapung dalam bentuk suspensi atau larutan. Limbah selalu terjadi selama proses panen dan pengolahan serta saat pemasaran. Air limbah (waste water) adalah kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta air buangan lainnya. Air limbah ini merupakan hal yang bersifat kotoran umum (Sugiharto, 2005). Penentuan derajat kekotoran air limbah sangat dipengaruhi oleh adanya sifat fisik yang mudah terlihat. Sifat fisik yang penting ialah kandungan zat padat sebagai estetika yaitu kejernihan, bau dan warna serta temperatur (Widodo, 2001). 2.2.3 Pengelolaan dan pemeliharaan sanitasi pelabuhan perikanan Pengelolaan sanitasi di pelabuhan perikanan dipusatkan pada pengontrolan lingkungan, sanitasi dan higienitas produk perikanan serta pengawasan sanitasi secara berkala. Pengontrolan dan penanganan pencemaran dibedakan berdasarkan bentuk dan jenis pencemar. 17 Penanganan polusi di pelabuhan perikanan secara berkala harus segera ditangani dengan cara pengelolaan limbah yang sesuai dan tepat, peraturan yang mendukung dan pendidikan para pengguna. Penerapan penanganan kebersihan dan sanitasi di lingkungan pelabuhan perikanan, menurut Departemen Pertanian (2002) diacu dalam Rusmali (2004), dibagi dalam dua bagian, yaitu: (1) Penerapan kegiatan pembuatan perangkat lunak yang terdiri atas aspek hukum dan peraturan, aspek pengelolaan kebersihan, sanitasi dan aspek peran serta masyarakat; dan (2) Pengadaan sarana dan prasarana air cuci atau penanganan ikan, air bersih/air tawar, penanganan pengolahan air limbah, drainase, dan persampahan serta kegiatan lainnya yang dilakukan bersama-sama dengan bidang perawatan. Pembuatan perangkat lunak perlu diterapkan untuk menciptakan lingkungan pelabuhan perikanan yang bersih, indah dan nyaman. Upaya tersebut antara lain berupa pemberian sanksi hukum bagi yang melanggar ketentuan, membuat slogan atau spanduk yang mendukung terciptanya kebersihan dan melakukan kegiatan yang melibatkan masyarakat, seperti gotong royong membersihkan lingkungan pelabuhan dan pemberian penghargaan bagi masyarakat yang ikut berjasa menjaga dan menciptakan lingkungan pelabuhan perikanan yang bersih dan nyaman. Kegiatan rehabilitasi sarana dan prasarana harus tetap berjalan seiring dan dapat diperbaharui selalu untuk kemajuan pemeliharaan sanitasi dan kebersihan serta pengembangan pelabuhan perikanan (Departemen Pertanian, 2002 diacu dalam Rusmali, 2004) Rusmali (2004) menginformasikan bahwa pengelolaan dan pemeliharaan sanitasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) berada dibawah pengawasan UPT PPSJ dan berkoordinasi dengan Koperasi Pegawai Negeri (KPN) PPSJ. Tugas koperasi adalah melakukan pekerjaan kebersihan kawasan di lapangan dan petugas UPT mengawasi pelaksanaannya. Petugas UPT melaporkan hasil pengawasannya kepada Kepala Pelabuhan. Selanjutnya dikatakan bahwa pemeliharaan sanitasi di pelabuhan perikanan, juga perlu dilakukan, seperti yang telah dilakukan di PPSJ, misalnya metode penanganan limbah dibedakan menjadi dua, sesuai dengan jenis limbah yang ada, 18 yaitu penanganan untuk limbah padat dan cair. Jenis limbah padat seperti bungkusan plastik, kertas dan potongan kayu masih diproses secara konvensional dan sederhana. Limbah padat yang ada di lingkungan pelabuhan dikumpulkan oleh tenaga kebersihan di lapangan, lalu ditampung di Tempat Penampungan Sementara (TPS) di PPSJ. Setelah itu, limbah padat tersebut diangkut menggunakan truk ke luar Jakarta yaitu Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi, sedangkan limbah padat yang bersifat organik seperti kertas dan sisa-sisa potongan kayu dibakar di dalam kawasan PPSJ. Jenis limbah cair dari sisa pengolahan dan pencucian ikan, dilakukan proses pengolahan limbah secara biologis dan kimiawi di Unit Pengolah Limbah (UPL) PPSJ agar limbah tersebut dapat dikembalikan ke laut tanpa mencemari lingkungan. Pengolahan dan pemeliharaan sanitasi di PPSJ ini akan dijadikan acuan pengelolaan yang baik. Hal ini dilakukan karena PPSJ merupakan pelabuhan perikanan bertaraf internasional dan sudah memiliki pengelolaan limbah dan sanitasi yang cukup baik. 2.3 Kualitas Ikan 2.3.1 Pengertian kualitas ikan Istilah kualitas telah didefinisikan dalam beberapa pengertian, diantaranya yaitu (Nurani, 2007): (1) Kesesuaian dengan spesifikasi pelanggan; (2) Sesuatu yang mencirikan tingkat dimana produk atau jasa mampu memenuhi keinginan konsumen; dan (3) Totalitas keistimewaan dan karakteristik suatu produk atau jasa yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan tertentu. Menurut Crosby (1979) diacu dalam Aryadi (2007), kualitas adalah sesuatu yang memenuhi atau sama dengan persyaratan (conformance to requirements). Komoditas ikan unggulan yang kurang sedikit saja dari persyaratan, maka dapat dikatakan tidak berkualitas dan dapat ditolak oleh perusahaan yang menjadi tujuan 19 distribusi. Persyaratan itu sendiri dapat berubah sesuai dengan keinginan pelanggan dan kebutuhan sebuah perusahaan. Kualitas biasanya tidak ditentukan oleh satu atribut atau dimensi tunggal, melainkan oleh beberapa atribut atau dimensi yang menyatakan kualitas. Dimensi kualitas produk, menurut Garvin diacu dalam Nurani (2007) adalah: (1) Kinerja (performance) merupakan karakteristik operasi utama dari produk yaitu seberapa baik suatu produk melakukan apa yang seharusnya dilakukan; (2) Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features) merupakan karakteristik sekunder atau pelengkap, berupa pernak-pernik yang melengkapi atau meningkatkan fungsi dasar produk; (3) Kehandalan (relability) yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal dipakai; (4) Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specification) yaitu seberapa baik karakteristik desain dan operasi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya; (5) Daya tahan (durability) berkaitan dengan berapa lama produk dapat terus digunakan; (6) Kemudahan perbaikan (service ability) meliputi kecepatan, kenyamanan, kompetensi, mudah direparasi dan penanganan keluhan yang memuaskan; (7) Keindahan (aesthetics) yaitu daya tarik produk terhadap panca indera; dan (8) Persepsi terhadap kualitas (perceived quality) tidak didasarkan pada produk tetapi pada citra atau reputasi. Pengertian kualitas ikan secara sederhana dapat diidentikkan dengan tingkat kesegaran. Ikan segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup baik rupa, bau, rasa, maupun teksturnya. Dengan kata lain ikan segar adalah ikan yang baru saja ditangkap, belum mengalami pengolahan lebih lanjut dan belum mengalami perubahan fisik maupun kimia atau yang masih mempunyai sifat sama ketika ditangkap (Anita, 2003). Kualitas ikan lebih menunjukkan pada penampilan estetika dan kesegaran atau derajat pembusukan sampai dimana telah berlangsung, termasuk juga aspek 20 keamanan seperti bebas dari bakteri, parasit atau bahan kimia. Kualitas kesegaran ikan dapat dievaluasi dengan metode sensori maupun instrumen. Kualitas ikan yang baik adalah ikan yang telah ditangkap dengan cara yang baik, diolah dan ditangani secara benar di pabrik serta mempunyai karakteristik tertentu, bentuk, ukuran, penampakan, warna, bau, komposisi dan tekstur yang dimiliki ikan (Hardjito, 2006). Peningkatan kualitas tidak dapat dipisahkan dari usaha peningkatan produktivitas. Usaha yang berlebihan untuk mendorong produktivitas bisa mengorbankan kualitas dari output yang dihasilkan. Sebaliknya, fokus yang berlebihan pada peningkatan kualitas bisa mengurangi perhatian untuk memperbaiki produktivitas, bahkan mungkin akan mengorbankan produktivitas demi mengejar kualitas yang tinggi. Keduanya saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain. Bila kualitas dari produktivitas dihubungkan dengan sungguh–sungguh maka akan menghasilkan laba yang besar (Nasution, 2004). Secara organoleptik, ikan segar mempunyai kriteria sebagai berikut (Sudarma, 2006): Tabel 1 Kriteria mutu ikan segar No. 1. Parameter Penampakan fisik 2. 3 Mata Insang 4. 5. Bau Lendir 6. Tekstur dan daging Sumber: FAO diacu dalam Sudarma, 2006 Tanda-tanda Ikan cemerlang mengkilap sesuai jenisnya, badan ikan utuh, tidak patah, tidak rusak fisik, bagian perut masih utuh dan liat serta lubang anus tertutup. Cerah (terang), selaput mata jernih, pupil hitam dan menonjol. Insang berwarna merah, cemerlang atau sedikit kecoklatan, tidak ada atau sedikit lendir. Bau segar spesifik jenis atau sedikit bau amis yang lembut. Selaput lendir di permukaan tubuh tipis, encer, bening, mengkilap cerah, tidak lengket, berbau sedikit amis dan tidak berbau busuk. Ikan kaku atau masih lemas dengan daging elastis, jika ditekan dengan jari akan cepat kembali, sisik tidak mudah lepas, jika disayat tampak jaringan antar daging masih kuat dan kompak, sayatan cemerlang dengan menampilkan warna daging asli. 21 2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas ikan Baik atau buruknya kualitas ikan ditentukan oleh kesempurnaan penanganan ikan. Penanganan yang buruk dapat mengakibatkan ikan tersebut lebih cepat rusak atau busuk, sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi. Menurut Moeljanto (1982) diacu dalam Aryadi (2007), penanganan ikan segar bertujuan agar kesegaran ikan dapat tetap terjaga dan dapat dipertahankan selama atau setidaknya hingga ikan sampai ke tangan konsumen. Kualitas ikan yang tertangkap dipengaruhi oleh berbagai faktor yang disebabkan oleh faktor yang bersifat alamiah dan biologis serta faktor cara penanganan sejak ikan ditangkap sampai pada konsumen. Kemunduran kualitas ikan disebabkan oleh perubahan enzimatis, biokimia, mikrobiologis, dan fisik. Struktur ikan dan senyawa kimia yang menyusunnya mudah mengalami perubahan yang dapat disebabkan oleh suatu katalisator yang disebut enzim. Setiap perubahan senyawa biologis yang disebabkan oleh aktivitas enzim disebut perubahan enzimatis (Sudarma, 2006). Selanjutnya dikatakan, daging ikan sangat mudah turun kesegarannya dibandingkan dengan daging hewan lainnya karena daging ikan terdiri dari asamasam lemak tak jenuh, sehingga mudah teroksidasi menjadi tengik, jika dibandingkan dengan minyak tumbuhan dan hewan lainnya. Ikan segar yang baru ditangkap mengandung jutaan mikroba yang setelah ikan mati akan meningkat aktivitas pembiakkannya. Kegiatan mikroba mengakibatkan perubahan kemunduran kualitas ikan yang disebut sebagai perubahan mikrobiologis. Selain proses-proses tersebut, faktor fisik juga dapat mempercepat kemunduran kualitas ikan, antara lain suhu yang tinggi mempercepat proses enzimatis, biokimia, dan mikrobiologis, kerusakan fisik saat ikan ditangkap dan penanganan yang kasar. Faktor fisik yang mempercepat kemunduran ikan meliputi: (1) Pengaruh mikrobiologis terhadap kualitas ikan Ikan menjadi busuk disebabkan oleh pertumbuhan bakteri. Oleh karena itu, faktor alamiah harus ditekan sekecil mungkin untuk menghambat aktivitas bakteri. 22 Bakteri yang mengkontaminasi ikan hasil tangkapan dapat berupa bakteri yang berasal dari air, kapal, dan pabrik pengolahan; (2) Pengaruh cara penangkapan terhadap kualitas ikan Metode dan alat tangkap mempengaruhi kualitas ikan yang ditangkap sehingga perlu penyesuaian antara cara dan jenis alat tangkap dengan jenis ikan yang ditangkap. (a) Cara kematian: membunuh ikan dengan segera adalah lebih baik daripada membiarkan ikan mati secara perlahan atau mengadakan perlawanan, karena rigor mortis akan datang lebih lambat dan lebih lama berlangsungnya; (b) Lamanya ikan pada alat tangkap: jika jangka waktu antara ikan tertangkap dan diangkat dari air terlalu lama, maka ikan akan mati sebelum sampai di geladak dan proses kemunduran mutu sudah mulai terjadi; (c) Temperatur air: jika ikan mati pada alat penangkap sebelum diangkat dari air, maka temperatur air merupakan faktor penting; (d) Selektivitas alat tangkap: ikan yang berukuran kecil dari satu spesies cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibandingkan dengan ikan yang lebih besar. Hal ini dapat dihindari dengan memakai mata jaring yang besar sehingga ikan yang kecil tidak turut tertangkap; dan (e) Faktor biologis: ikan yang tertangkap waktu perutnya penuh makanan akan mengalami kemunduran mutu yang lebih cepat daripada ikan yang lapar karena enzim sedang giat bekerja. Ikan yang sedang dalam masa bertelur juga menunjukkan penurunan mutu yang relatif lebih cepat. Berdasarkan faktor biologis ini dapat diciptakan alat tangkap yang selektif atau disesuaikan waktu serta daerah penangkapannya. (3) Pengaruh penanganan terhadap kualitas ikan (a) Penanganan di kapal Ada 3 faktor penting yang harus diperhatikan dalam penanganan ikan di kapal yaitu suhu, waktu dan kebersihan dalam bekerja; dan 23 (b) Penanganan di darat Perubahan suhu yang terjadi selama pembongkaran ikan ke darat, dalam pelelangan, pengepakkan selama transportasi ke pusat distribusi atau ke pabrik pengolahan sangat berpengaruh terhadap kesegaran ikan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas ikan dalam proses penanganan (Hardjito, 2006): Tabel 2 Faktor yang mempengaruhi kualitas ikan dalam proses penanganan Mata Rantai Penanganan Nelayan Operasi penangkapan - Kapal penangkap - Di darat termasuk pedagang atau pengecer - Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan, perlakuan (kebersihan dan kehati-hatian). Tipe alat tangkap, metode operasi yang digunakan, metode penarikan pada kapal. Penanganan di kapal, kebersihan, desain tempat penyimpanan ikan dan pengoperasiannya. Penanganan di darat, kebersihan, desain tempat penyimpanan ikan dan pengoperasiannya serta praktek pendistribusian; Pengetahuan penanganan ikan, desain tempat penyimpanan untuk penjualan/pengeceran, dan kebersihan. Sumber: FAO diacu dalam Hardjito, 2006 2.3.3 Cara mempertahankan kualitas ikan Penanganan ikan segar bertujuan untuk mempertahankan kesegaran ikan selama mungkin atau setidaknya kondisi ikan masih segar ketika sampai di konsumen. Ikan harus ditangani dengan baik, secepat mungkin sejak ikan tertangkap dan diangkut oleh kapal hingga ikan disimpan atau diolah. Penanganan ikan segar diusahakan agar suhu selalu rendah dan mendekati 0ºC. Sebaiknya suhu jangan sampai naik, misalnya terkena sinar matahari langsung atau kekurangan es selama proses distribusi. Semakin tinggi suhu, maka proses pembusukan juga semakin cepat. Penanganan ikan yang harus dilakukan yaitu ketika di kapal, pedagang dan saat pendistribusian (Moeljanto, 1982 diacu dalam Aryadi, 2007). Prinsip serta aplikasi metode penanganan ikan dijelaskan sebagai berikut: 24 (1) Prinsip penanganan ikan (Sudarma, 2006) (a) Menghindari kondisi yang mempercepat proses pembusukan Proses pembusukan berakumulasi dan cepat. Kegagalan mendinginkan ikan secara cepat setelah ikan tertangkap akan berpengaruh pada rantai penanganan/distribusi berikutnya. (b) Menurunkan kecepatan pembusukan dari kecepatan normalnya Bakteri berkembang dan tumbuh bergantung dari suhu, demikian pula dengan enzim dalam mencernakan daging ikan. Dengan menurunkan suhu, kecepatan pembusukan berkurang sehingga memperpanjang fase log pertumbuhan bakteri yang menunda kecepatan perkembangan dan reproduksi. (c) Meminimalkan kontaminasi Dilakukan dengan menyimpan atau menyeleksi ikan berdasarkan waktu penangkapan, ukuran, keadaan perut, tidak meletakkan ikan di lantai, khlorinasi air untuk mencuci ikan dan mencuci bersih setiap peralatan yang bersentuhan dengan ikan selesai digunakan. (2) Aplikasi metode penanganan ikan (a) Penanganan di kapal Tergantung pada kelengkapan sarana penanganan ikan di kapal, kesadaran dan pengetahuan nelayan tentang cara penanganan dan jumlah es yang cukup saat berangkat melaut. (b) Penanganan di tempat pendaratan Ikan yang dikeluarkan dari palkah ke dek, pengangkutan ikan dari dek ke dermaga, pengangkutan ikan dari dermaga ke TPI atau tempat penyimpanan sementara, serta pengawasan kondisi ikan selama pelelangan. Tahapan penanganannya dengan mempertahankan pendinginan ikan, kecepatan bekerja dan kebersihan, serta tidak meletakkan ikan di lantai tanpa es. (c) Penanganan dalam distribusi Menggunakan alat pengangkut yang tertutup dan wadah yang sedang agar ikan tidak tergencet, penggunaan es dalam jumlah yang cukup sesuai jarak pengangkutan dan menghindari tekanan fisik yang kuat terhadap ikan, 25 termasuk goncangan keras selama pengangkutan serta penggunaan truk box berinsulasi atau dengan cool box. (d) Penanganan dalam penjualan ikan di pasar Menggunakan meja khusus agar ikan selalu dalam keadaan dingin dan dapat dilihat langsung oleh calon pembeli, pemotongan dan penyiangan dilakukan di meja khusus yang permukaannya halus seperti dari stainless steel dan tersedianya wadah tertutup untuk limbah hasil penyiangan. Penanganan ikan juga dapat dilakukan dengan cara pendinginan ikan. Pendinginan ikan ini bertujuan untuk menghambat kegiatan mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kualitas ikan. Beberapa cara pendinginan ikan, yaitu (Moeljanto, 1992 diacu dalam Aryadi, 2007): (1) Pendinginan dengan es Es yang digunakan harus dibuat dari air bersih dan disimpan di tempat yang bersih. Untuk mencegah rusaknya ikan, sebaiknya digunakan es hancur. Kontak langsung antara es dengan permukaan ikan menjadi lebih baik, apabila menggunakan es hancur. Hal ini dapat menyebabkan penurunan suhu menjadi lebih cepat. (2) Pendinginan dengan air laut dan es Ikan yang didinginkan dengan air laut ditambahkan es dapat mencapai suhu hingga -1,7ºC. Penggunaan air laut dengan es ini lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan es saja karena suhunya yang lebih rendah sehingga pertumbuhan bakteri pembusuk lebih dapat dihambat lagi. Penggunaan cara ini masih banyak kekurangannya terutama bila tidak ada sirkulasi dingin, akibatnya suhu dalam wadah tidak merata karena es terapung di permukaan dan suhu air laut di bagian bawah lebih tinggi. Penyebaran suhu yang tidak merata menyebabkan kualitas ikan tidak seragam. (3) Penyimpanan dalam air laut yang didinginkan secara mekanis Pendinginan ini dilakukan dengan pemakaian air laut yang didinginkan oleh unit pendingin, dan sekaligus dilengkapi pompa sirkulasi air. Cara pendinginan ini mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya penanganan yang lebih mudah dan 26 praktis (luka-luka karena butiran es dapat dihindari), kehilangan berat, kontaminasi bakteri karena adanya garam NaCl dapat dikurangi dan kemungkinan tergencetnya ikan oleh butiran es dapat dicegah. Kelemahan cara pendinginan ini adalah ikan akan lebih banyak menyerap garam bila terlalu lama disimpan, membutuhkan pengawasan yang lebih teliti terhadap sirkulasi air, memerlukan tangki yang kedap air dan air perlu diganti secara reguler agar jumlah bakteri berkurang. Cara pendinginan ini hendaknya memperhitungkan adanya keseimbangan antara jangka waktu penyimpanan, kualitas ikan, besarnya kapal atau tangki penyimpanan dan biaya yang diperlukan. (4) Pemberian es dengan air garam Pemberian es dengan air garam merupakan salah satu cara untuk pendinginan ikan pada suhu mendekati titik beku ikan. Pemakaian es dengan garam yang terbuat dari larutan NaCl 3% akan menghasilkan ikan dengan suhu sekitar -1,2ºC. Kelemahan dengan menggunakan cara pendinginan ini disebabkan oleh sifat es dengan air garam yang cepat mencair sehingga es yang diperlukan sangat banyak dan menyebabkan badan ikan menjadi lengket karena adanya garam tersebut. Menurut Afrianto (1989) diacu dalam Aryadi (2007), pendinginan ikan paling baik yaitu dengan menggunakan media pendingin berupa es batu. Es batu dapat menurunkan suhu tubuh ikan dengan cepat tanpa mengubah kualitas ikan dan biaya yang diperlukan relatif lebih rendah dibandingkan dengan media pendingin lain. Dalam proses pendinginan dengan menggunakan es batu, terjadi perpindahan panas dari tubuh ikan ke kristal es batu. Ikan dengan suhu tubuh yang relatif lebih tinggi akan melepas sejumlah energi panas yang kemudian akan diserap oleh kristal es batu. Dengan demikian, suhu tubuh ikan akan menurun dan sebaliknya kristal es batu akan meleleh karena terjadi peningkatan suhu. Proses pemindahan panas ini akan terhenti apabila suhu tubuh ikan telah mencapai 0ºC yaitu sama dengan suhu es batu. Selanjutnya dikatakan, teknik pendinginan ikan dengan menggunakan es dalam suatu wadah yang baik adalah mengusahakan agar semua permukaan tubuh ikan yang diberi perlakuan dapat mengalami kontak dengan es. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan penyerapan panas dari tubuh ikan. Semakin luas permukaan tubuh 27 ikan yang dapat melakukan kontak dengan es, maka penurunan suhu tubuh ikan akan semakin cepat. 2.3.4 Standarisasi peningkatan kualitas ikan Ketentuan Uni Eropa tentang penerapan standarisasi mutu di pelabuhan perikanan (Direktur Standarisasi dan Akreditasi DKP, 2005 dalam Mahyuddin, 2007) menyebutkan: (1) Peralatan yang digunakan selama pembongkaran dan pendaratan harus dikonstruksi dengan bahan yang mudah dibersihkan, dicuci dengan menggunakan disinfektan dan diletakkan di tempat yang bersih. (2) Selama pembongkaran dan pendaratan, harus dihindarkan produk perikanan tersebut dari kontaminasi dan ditangani secara khusus, antara lain seperti: operasi pembongkaran dan pendaratan dilakukan secara cepat; produk perikanan harus ditempatkan tanpa mengalami penundaan dan dilindungi dari lingkungan suhu yang tinggi dan selalu menggunakan es selama transportasi; kemudian disimpan dalam cold storage; tidak diijinkan menggunakan peralatan dan cara penanganan yang dapat menyebabkan rusaknya nilai gizi dari produk-produk perikanan. (3) TPI harus dilengkapi dengan atap dan dindingnya mudah dibersihkan; lantainya harus tahan air dan mudah dibersihkan; mempunyai fasilitas drainase dan sistem pembuangan air kotor; peralatan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi, antara lain untuk pencucian dan kamar mandi/wc terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan; pembersihan harus dilakukan secara teratur baik sebelum maupun sesudah pelelangan, lantai TPI dibersihkan baik bagian luar maupun bagian dalam dengan menggunakan air laut/air minum dan harus dengan disinfektan; tidak diperkenankan merokok, makan dan minum di area penjajaan ikan; mempunyai suplai air bersih; khusus untuk ikan-ikan harus ditempatkan pada alat yang tidak berkarat; produk perikanan setelah pendaratan harus aman, selama transportasi tidak mengalami penundaan; jika produk perikanan tersebut mengalami penundaan pendistribusian, maka harus disimpan di ruangan dingin/cool room dalam kondisi yang baik dan pada suhu yang sesuai dengan suhu pelelehan 28 es/mendekati suhu pelelehan es; untuk pedagang besar produk-produk perikanan harus dijajakan pada kondisi yang bersih. (4) Persyaratan pelabuhan perikanan untuk mencapai standar sanitasi dan higienis, yaitu: bangunan, fasilitas dan lingkungan harus sesuai dengan persyaratan pelabuhan perikanan yang higienis dan berstandar sanitasi. Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) adalah prosedur pelaksanaan standar sanitasi dan higienitas yang harus dipenuhi oleh pelabuhan untuk mencegah terjadinya kontaminasi terhadap produk yang ditangani. Setiap pelabuhan memiliki rencana SSOP yang tertulis dan spesifik sesuai dengan lokasi, peralatan dan jenis penanganan serta diterapkan secara konsisten. (5) Penanganan mutu ikan: pengembangan fasilitas penanganan ikan-ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan seperti penyediaan laboratorium mutu hasil perikanan, penyediaan air bersih, penyediaan es dan garam, kebersihan TPI dan alat angkut ikan, penerangan (instalasi listrik), penyuluhan mengenai penanganan ikan, penyediaan petugas pengolahan ikan, penyediaan data statistik penanganan ikan, keranjang ikan, WC umum, drainase TPI yang baik, pengaturan lalu lintas orang di TPI, penyediaan keamanan, ketertiban dan keindahan pelabuhan serta pengaturan petugas pelayanan penanganan ikan yang dilengkapi dengan Standard Operational Procedure (SOP) yang jelas serta pengawasan pelaksanaannya dilakukan oleh manajemen pelabuhan. Hal ini dilakukan dengan maksud agar semua ikan yang akan didistribusikan hingga ke tangan konsumen telah memperoleh jaminan mutu. Peraturan Uni Eropa yang berkaitan dengan penanganan ikan juga telah dikemukakan oleh Le Ry (2005) dalam Lubis (2006), menyebutkan bahwa sejak 22 Juli 1991 diatur tentang peraturan-peraturan higienitas untuk nelayan di kapal, kondisi penanganan ikan di kapal, kondisi penanganan pada saat pembongkaran ikan dan kondisi processing dan pengepakan ikan. Selanjutnya pada tanggal 01 Januari 2007 dikeluarkan peraturan baru tentang UU pangan yang mengatur tentang traceability, informasi mengenai pelanggan dan tanggung jawab dari commercial operator. 29 Standar kualitas ikan untuk komoditas ekspor adalah kriteria-kriteria dalam suatu produk yang harus dipenuhi agar dapat diterima oleh negara penerima produk tersebut. Standar kualitas ekspor produk perikanan pada setiap negara tidak sama. Berikut merupakan standar kualitas ekspor perikanan ke negara-negara yang bersangkutan menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (Nasution, 2004): (1) Uni Eropa Uni Eropa menentukan bahwa standar kualitas produk perikanan yang dapat memasuki pasar Uni Eropa adalah yang memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dengan nilai A. Nilai A di sini adalah Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang bersangkutan tidak boleh memiliki penyimpangan serius dan penyimpangan kritis, penyimpangan minor kurang dari 6, dan penyimpangan mayor tidak lebih dari 5. Nilai SKP ini akan diberikan setelah dilakukan peninjauan ke unit pengolahan ikan oleh pihak Departemen Kelautan dan Perikanan dengan menugaskan inspektor. (2) Korea Korea menentukan bahwa standar kualitas produk perikanan yang dapat memasuki pasar Korea adalah yang memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dengan nilai minimal B. Nilai B adalah Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang bersangkutan tidak boleh memiliki penyimpangan kritis, penyimpangan serius tidak lebih dari 2, penyimpangan minor kurang dari 7, dan penyimpangan mayor tidak lebih dari 10, serta jumlah antara penyimpangan mayor dan penyimpangan serius tidak lebih dari 10. Nilai SKP ini akan diberikan setelah dilakukan peninjauan ke unit pengolahan ikan oleh pihak Departemen Kelautan dan Perikanan dengan menugaskan inspektor. (3) Negara importir ikan selain Uni Eropa dan Korea Selain Uni Eropa dan Korea, negara importir ikan yang lain tidak mengharuskan dimilikinya SKP dengan nilai A atau B, melainkan hanya persyaratan Good Manufacturing Practices (GMP) dan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP). 30 Selanjutnya dikatakan bahwa penyimpangan kritis adalah penyimpangan yang bila tidak dilakukan tindakan koreksi akan segera mempengaruhi keamanan pangan. Penyimpangan serius adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi dapat mempengaruhi keamanan pangan. Penyimpangan mayor adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi mempunyai potensi dapat mempengaruhi keamanan pangan. Penyimpangan minor adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi atau dibiarkan secara terus-menerus akan berpotensi mempengaruhi mutu pangan. 2.3.5 Peta kendali Peta kendali digunakan untuk mengetahui sejauh mana proses produksi dan distribusi berada dalam pengendalian, apabila ada penyimpangan pada proses produksi akan lebih mudah diketahui sehingga dapat diambil langkah-langkah perbaikan dan sebagainya. Banyak karakteristik kualitas yang tidak dapat dinyatakan secara numerik atau disebut sebagai data atribut. Kriterianya dapat digolongkan memenuhi spesifikasi karakteristik kualitas dan tidak memenuhi spesifikasi karakteristik kualitas dan tidak memenuhi spesifikasi kualitas. Terminologi ”cacat” atau ”tidak cacat”, digunakan untuk mengidentifikasi dua penggolongan produk itu (Ishikawa, 1989). Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa teknik yang digunakan dalam membuat peta kendali untuk data atribut, yaitu: (1) Peta Kendali p Peta kendali p adalah satu peta yang menunjukkan cacat pecahan (p) berkaitan dengan proporsi dari produk yang tidak memenuhi syarat. Peta p ini digunakan bila ukuran subgrup tidak konstan. (2) Peta Kendali pn Peta kendali pn adalah satu peta yang menunjukkan jumlah cacat (pn). Pada dasarnya penggunaan peta kendali p dan pn adalah sama kecuali peta kendali pn digunakan bila ukuran subgrup (n) adalah konstan. 31 Tujuan menggambarkan peta kendali adalah untuk menetapkan apakah setiap titik pada grafik normal atau tidak normal sehingga dapat mengetahui proses penyimpangan produksi produk yang dihasilkan. 2.3.6 Diagram sebab akibat Diagram sebab akibat adalah suatu pendekatan terstruktur yang memungkinkan dilakukan suatu analisis lebih terperinci dalam menemukan penyebab-penyebab suatu masalah, ketidaksesuaian dan kesenjangan yang terjadi. Ishikawa (1989) menyebutkan bahwa analisis diagram sebab akibat dilakukan untuk menemukan penyebab timbulnya suatu persoalan. Selanjutnya dikatakan bahwa manfaat diagram ini adalah dapat memisahkan penyebab dari gejala, memfokuskan perhatian terhadap hal-hal yang relevan serta dapat diterapkan pada setiap masalah. Diagram sebab akibat berguna untuk membantu dalam memilih penyebab penyebaran dan mengorganisasikan hubungannya untuk mengilustrasikan pada sebuah diagram hubungan antara sebab dan akibat. Hal ini harus digambarkan sebagai berikut: akibat adalah karakteristik kualitas dan sebab adalah faktor. Dalam prakteknya, faktor harus dianalisis lebih rinci untuk membuat diagram menjadi bermanfaat. Terdapat tiga metode untuk membuat diagram sebab akibat, yaitu (Ishikawa, 1989): (1) Tipe analisis dispersi Tipe analisis dispersi merupakan metode pembuatan diagram sebab akibat dengan cara membuat dispersi-dispersi yang selalu menetapkan karakteristik utama sebagai bahan pertanyaan. (2) Tipe klasifikasi proses produksi Tipe klasifikasi produksi merupakan metode dengan cara membuat garis utama diagram mengikuti proses produksi dan semua hal yang dapat mempengaruhi kualitas dapat ditambahkan ke dalam tahapan proses. 32 (3) Tipe perhitungan penyebab Tipe perhitungan penyebab dilakukan dengan cara mendaftar semua penyebab yang mempengaruhi kualitas secara sederhana. Penyebab dalam kualitas harus diorganisasikan sesuai dengan kualitas produk yang menunjukkan hubungan antara sebab akibat. 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan sejak tanggal 03 hingga 21 Maret 2008 di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, Jakarta Utara, DKI Jakarta. 3.2 Materi Penelitian Materi penelitian ini adalah melihat pengaruh sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan terhadap kualitas ikan yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, Jakarta Utara, DKI Jakarta. 3.3 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kasus. Aspek yang diteliti adalah pengaruh sanitasi terhadap kualitas ikan yang didaratkan di tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Penelitian aspek sanitasi dibatasi terhadap fasilitas kolam pelabuhan dan dermaga bongkar sebagai tempat pendaratan ikan dan gedung TPI sebagai tempat pelelangan ikan. Hal ini disebabkan di ketiga fasilitas inilah sering terjadi dampak negatif. Data yang dikumpulkan adalah data primer melalui pengamatan langsung terhadap (1) kondisi sanitasi di tempat pendaratan ikan (kolam pelabuhan dan dermaga bongkar) dan di tempat pelelangan ikan (lantai TPI), (2) penyebab terjadinya pengaruh sanitasi tersebut, (3) aktivitas dan dampak yang ditimbulkan di tempat pendaratan (dermaga bongkar) dan di tempat pelelangan ikan, (4) kualitas ikan saat didaratkan dan ketika berada di tempat pendaratan dan pelelangan ikan serta (5) upaya pengelolaan sanitasi yang telah dilakukan oleh pihak UPT PPI Muara Angke. Kondisi sanitasi yang diamati adalah jenis limbah fisik di kolam pelabuhan, lantai dermaga bongkar, lantai TPI dan saluran pembuangan di sekeliling TPI yaitu potongan bagian-bagian ikan yang tercecer, sampah lainnya yang menurut jenis: 34 plastik, kertas, puntung rokok dan ada tidaknya genangan lendir, darah ikan, dan air sisa cucian ikan. Data yang akan dikumpulkan pada penelitian ini secara rinci terlihat pada Tabel 3 berikut: Tabel 3 Data yang dikumpulkan saat penelitian Kelompok Data 1. Data Primer Data yang akan dikumpulkan a) Kondisi sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan - Kondisi kebersihan, bau di tempat pendaratan ikan (kolam pelabuhan dan dermaga bongkar) - Kondisi kebersihan, bau di tempat pelelangan ikan (lantai TPI) - Penanganan/pengelolaan sanitasi dan para pelakunya b) Penyebab terjadinya pengaruh sanitasi - Pola aliran limbah, panjang dan lebar saluran pembuangan - Jumlah potongan ikan yang tercecer per satuan waktu, satuan luas dermaga bongkar dan gedung TPI - Frekuensi pencucian TPI - Jenis buangan/limbah dari proses pendaratan dan pelelangan ikan c) Aktivitas dan dampak yang ditimbulkan di tempat pendaratan dan pelelangan ikan - Jumlah kapal bongkar dan tambat setiap hari - Jumlah ikan yang didaratkan dan dilelang setiap hari - Waktu pelelangan - Jumlah orang di dermaga bongkar dan TPI d) Kondisi kualitas ikan yang didaratkan di tempat pendaratan dan pelelangan ikan - Kondisi ikan saat pembongkaran di atas kapal - Kondisi ikan pada saat didaratkan di dermaga bongkar - Kondisi ikan pada saat di gedung TPI e) Upaya pengelolaan sanitasi yang baik - Upaya yang dilakukan oleh pihak PPI Muara Angke dalam mengelola sanitasi - Ketersediaan fasilitas sanitasi/fasilitas pembuangan limbah Cara pengambilan data Pengamatan Pengamatan Wawancara Pengamatan, wawancara Pengamatan Wawancara Pengamatan, wawancara Pengamatan Pengamatan, Wawancara Wawancara Pengamatan Pengamatan, pengambilan sampel Pengamatan, wawancara Pengamatan Wawancara Pengamatan, Wawancara 35 Tabel 3 (Lanjutan) 2. Data Sekunder 1. 2. 3. 3. Data Tambahan 1. 2. 3. Aktivitas pendaratan - Produksi ikan yang didaratkan per hari/bulan/tahun - Jenis dan jumlah fasilitas pendaratan Aktivitas pelelangan - Jumlah/berat ikan yang dilelang per hari/bulan/tahun - Harga tiap jenis ikan pada saat pelelangan - Jenis dan jumlah fasilitas pelelangan Kondisi sanitasi - Volume limbah padat dan cair per hari/bulan/tahun - Jumlah dan kapasitas fasilitas sanitasi Potensi perikanan daerah Muara Angke Keadaan umum daerah penelitian berupa letak geografis lokasi penelitian dan kependudukan Data dan nilai produksi ikan di PPI Muara Angke UPT PPI, TPI UPT PPI UPT PPI, TPI UPT PPI, TPI UPT PPI UPT PPI UPT PPI Dinas Perikanan Dinas Perikanan Dinas Perikanan 3.4 Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif melalui penyajian tabel, grafik, foto dan peta kendali untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu: (1) Perolehan informasi tentang dampak sanitasi di PPI Muara Angke dilakukan dengan mentabulasi antara fasilitas pelabuhan perikanan, aktivitas kepelabuhanan serta dampak yang ditimbulkan. Selanjutnya, dilakukan analisis secara deskriptif dengan penyajian foto. Komponen yang akan dianalisis adalah: (a) Kolam pelabuhan • Banyak kapal yang melakukan pendaratan ikan; dan • Penanganan ikan di atas kapal. (b) Lantai dermaga bongkar • Banyak ikan yang didaratkan (ikan segar dan ikan busuk); • Penempatan ikan di lantai dermaga bongkar; • Keranjang yang digunakan; dan • Penanganan ikan di lantai dermaga bongkar. 36 (c) Lantai gedung TPI, dengan kriteria-kriteria apakah: • Dinding mudah dibersihkan; • Lantai kedap air, mudah dibersihkan dan di sanitasi, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan mempunyai sistem pembuangan limbah cair yang higienis; • Fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan toilet dengan jumlah yang mencukupi; • Penerangan yang cukup untuk memudahkan dalam pengawasan perikanan; • Kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada dalam TPI; • Dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan, wadah harus dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air laut bersih; • Dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan dan minum serta diletakkan di tempat yang mudah dilihat dengan jelas; • Mempunyai pasokan air bersih dan atau air laut yang bersih; dan • Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan. Tabel 4 Contoh tabel analisis data Fasilitas Permasalahan Indikator Dampak yang Ditimbulkan 1. Kolam Pelabuhan 2. Dermaga Bongkar 3. TPI (2) Analisis penentuan sanitasi dari berbagai aktivitas terhadap kualitas ikan dilakukan dengan menggunakan penentuan prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi dan diagram sebab akibat untuk mengetahui kemunduran kualitas ikan 37 yang terjadi. Analisis penentuan prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi digunakan untuk mengetahui apakah ikan-ikan yang didaratkan layak untuk dikonsumsi. Diagram sebab akibat dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab ikan-ikan tidak layak dikonsumsi. 1) Prosentase Jumlah Ikan yang Tidak Layak Konsumsi Penentuan prosentase kualitas ikan yang tidak layak konsumsi, didasarkan pada pembuatan peta kendali pn menurut Ishikawa (1989). Namun, dalam penelitian ini tidak dibuat peta kendali, melainkan hanya sampai penentuan prosentase ikan cacat (dalam hal ini adalah ikan tidak layak konsumsi atau ikan yang memiliki nilai organoleptik <6). Hal ini dikarenakan sampel yang diambil, berasal dari beberapa jenis kapal. Fungsi dibuatnya proporsi yaitu untuk mengetahui banyaknya jumlah ikan cacat yang didaratkan dari total jumlah ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke. Proporsi ikan yang cacat didefinisikan sebagai rasio banyaknya ikan sampel yang tidak memenuhi syarat spesifikasi kualitas. Ishikawa (1989) menyebutkan bahwa langkah-langkah dalam pembuatan penentuan prosentase ikan tidak layak konsumsi adalah sebagai berikut: (1) Mengumpulkan dan mencatat data yang menggambarkan jumlah yang akan diteliti (n) dan jumlah produk cacat (pn). Sekurang-kurangnya dibutuhkan 20 kali pengambilan sampel. (2) Membagi data ke dalam subgrup. (3) Menghitung bagian tidak layak konsumsi untuk setiap subgrup dan memasukkan data ke dalam lembaran data. Pencarian bagian tidak layak konsumsi, menggunakan rumus sebagai berikut: p = jumlah ikan tidak layak konsumsi = pn ukuran subgrup n Untuk menunjukkan persentase, dikalikan dengan 100 38 (4) Mencari rata-rata bagian tidak layak konsumsi, dengan menggunakan rumus: p = ∑ total ikan tidak layak konsumsi = ∑ pn ∑ total ikan yang diteliti ∑n Dalam penentuan prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi ini, dilakukan pengamatan organoleptik. Sampel ikan yang diambil, berasal dari 18 kapal yang melakukan kegiatan bongkar selama penelitian berlangsung. Kapal-kapal tersebut terdiri atas 11 kapal purse seine, 6 kapal bubu dan 1 kapal gillnet. Dari masingmasing kapal diambil 2 buah keranjang. Satu keranjang untuk ikan-ikan yang berada di bagian atas palkah. Satu keranjang lagi untuk ikan-ikan yang berada di bagian bawah palkah. Kedua keranjang ini akan terus diamati, dari proses bongkar diatas kapal, masuk ke TPI, proses pelelangan sampai ikan siap untuk diangkut ke perusahaan atau pedagang. Pada saat akan diangkut, dilakukan proses yang sama seperti di atas untuk penilaian organoleptik ikan. Prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi ini digunakan untuk melihat apakah terjadi penurunan kualitas ikan di PPI Muara Angke. Penurunan kualitas ikan mulai diamati sejak ikan selesai dibongkar, sebelum dilelang dan sebelum ikan diangkut ke perusahaan atau pedagang. Tabel 5 Contoh tabel analisis peta kendali Aktivitas Pembongkaran dan Pendaratan Ikan Pelelangan Ikan Kualitas Ikan Proporsi Ikan yang Cacat Saat pembongkaran di atas kapal Saat sebelum lelang di TPI dan sebelum diangkut ke perusahaan atau pedagang 2) Diagram Sebab Akibat Diagram Ishikawa (Ishikawa, 1989), digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis penurunan kualitas ikan dari saat bongkar sampai ikan diangkut dari TPI ke perusahaan atau pedagang, yaitu selama ikan berada di pelabuhan perikanan, sebagai pengaruh dari kondisi sanitasi di pelabuhan perikanan. Diagram sebab akibat 39 merupakan diagram yang digunakan untuk menemukan penyebab timbulnya persoalan serta akibatnya. Diagram ini penting untuk mengidentifikasi secara tepat hal-hal penyebab, timbulnya permasalahan kemudian mencoba menanggulangi. Langkah-langkah dalam pembuatan diagram sebab akibat adalah sebagai berikut: Langkah 1 : Menentukan karakteristik kualitas. Karakteristik yang diketahui adalah kualitas ikan di PPI Muara Angke yang buruk. Karakteristik ini merupakan permasalahan utama yang ingin dicari penyebabnya. Langkah 2 : Menulis karakteristik utama pada sisi kanan diikuti panah besar dari sisi kiri ke sisi kanan.. Ikan yang Tidak Layak Konsumsi Langkah 3 : Menulis faktor utama yang menyebabkan kualitas ikan buruk Fasilitas PP Pelaku Ikan yang Tidak Layak Konsumsi Sanitasi PP Langkah 4 Penanganan Ikan : Pada setiap penyebab utama, dituliskan faktor rinci yang dianggap sebagai penyebab utama yang menyerupai ranting. Pada setiap 40 ranting, dituliskan faktor lebih rinci untuk membuat cabang yang lebih kecil atau dapat disebut sebagai faktor penyebab akar dari kualitas ikan yang buruk. Bila tidak ditulis, maka tidak dapat membantu untuk menemukan penyebab permasalahan tersebut. Fasilitas PP Pelaku Ikan yang Tidak Layak Konsumsi Sanitasi PP Penanganan Ikan Gambar 1 Diagram sebab akibat. Langkah 5 : Memeriksa kembali semua item yang menjadi permasalahan kualitas ikan yang buruk di PPI Muara Angke dan telah masuk diagram. (3) Analisis deskriptif terhadap upaya pengelolaan sanitasi yang dilakukan pihak pelabuhan dalam mengatasi permasalahan sanitasi yang ada dan membuat tabulasi tentang upaya pengelolaan sanitasi yang telah dilakukan untuk mengatasi dampak sanitasi dari aktivitas kepelabuhanan. Selanjutnya dilakukan studi literatur terhadap contoh pengelolaan sanitasi di pelabuhan perikanan luar negeri. Tabel 6 Contoh tabel analisis data upaya pengelolaan dampak sanitasi No. Aktivitas Dampak yang ditimbulkan Upaya pengelolaan 4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kota Jakarta Utara 4.1.1 Letak geografis dan topografi Jakarta Utara Wilayah Jakarta Utara yang merupakan bagian dari pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ternyata pada abad ke 5 justru merupakan pusat pertumbuhan pemerintah Kota Jakarta yang tepatnya terletak di Muara Sungai Ciliwung di daerah Angke. Saat itu Muara Sungai Ciliwung merupakan Bandar Pelabuhan Kerajaan Tarumanegara dibawah pimpinan Raja Purnawarman. Betapa penting wilayah Jakarta Utara pada saat itu dapat dilihat dari perebutan silih berganti antara berbagai pihak, yang peninggalannya sampai kini dapat ditemukan di beberapa tempat di Jakarta Utara, seperti Kelurahan Tugu, Pasar Ikan dan lain sebagainya (Anonymous, 2007). Wilayah DKI Jakarta terbagi menjadi lima kota, yaitu Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Timur. Posisi Jakarta Utara terletak pada 6° 25’ LS dan 106° 5’ BT (Malik, 2006). Kota Jakarta Utara memiliki daerah seluas 7.133,51 km² yang terdiri dari lautan seluas 6.979,4 km² dan daratan seluas 154,11 km². Daratan Jakarta Utara membentang dari barat ke timur sepanjang kurang lebih 35 km, menjorok ke darat antara 4 sampai 10 km, dengan kurang lebih 110 pulau di Kepulauan Seribu. Ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai dengan 20 meter, dari tempat tertentu ada yang di bawah permukaan laut dan sebagian besar terdiri dari rawa-rawa atau empang air payau. Wilayah Jakarta Utara beriklim panas, dengan suhu rata-rata 27° C, curah hujan setiap tahun rata-rata 142,54 mm dengan maksimal curah hujan pada bulan September. Kondisi wilayah yang merupakan daerah pantai dan tempat bermuaranya sembilan sungai, yaitu Sungai Ciliwung, Sungai Cisadane, Kali Pesanggrahan, Kali Angke, Kali Grogol, Kali Sunter, Kali Cakung, Kali Cipinang dan Kali Krukut serta dua banjir kanal, menyebabkan wilayah Jakarta Utara merupakan wilayah yang rawan banjir, baik banjir kiriman maupun banjir karena air pasang laut (Anonymous, 2007). 42 Wilayah Jakarta Utara berbatasan wilayah dengan: Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Selatan : Kab. DATI II Tangerang, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur Sebelah Barat : Kab. DATI II Tangerang dan Jakarta Pusat Sebelah Timur : Kab. DATI II Bekasi Tanah daratan di Kota Jakarta Utara seluas 154,11 km² dirinci berdasarkan penggunaannya yaitu: 47,58% untuk perumahan; 15,87% untuk areal industri; 8,89% digunakan sebagai perkantoran dan pergudangan sedangkan sisanya merupakan lahan pertanian, lahan kosong, dan sebagainya. Sementara luas lahan berdasarkan status kepemilikan dapat dirinci sebagai berikut: status hak milik sebanyak 13,28%, Hak Guna Bangunan (HGB) sebanyak 29,04% sedangkan yang lainnya masih berstatus hak pakai, hak pengelolaan dan non sertifikat (Anonymous, 2007). Kondisi daratan yang datar akan sangat mudah bagi pemerintah dalam melakukan pembangunan, baik pembangunan perumahan, gedung-gedung atau jalanjalan. Dengan demikian, bentuk topografi berbentuk daratan akan mempermudah dalam pembangunan prasarana jalan yang berperan penting dalam proses pendistribusian hasil tangkapan (Malik, 2006). 4.1.2 Penduduk Kota Jakarta Utara Jumlah penduduk Jakarta Utara pada tahun 2006 adalah sebanyak 1.180.967 jiwa yang terdiri dari 51,21% laki-laki dan 48,79% perempuan. Berdasarkan data yang ada, diketahui bahwa jumlah nelayan Jakarta Utara pada tahun 2007 adalah 19.234 orang yang tersebar di beberapa wilayah. Nelayan tersebut tersebar di wilayah pesisir Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Pluit, Kelurahan Pademangan, Kelurahan Tanjung Priok, Kelurahan Lagoa, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Cilincing dan Kelurahan Marunda. Selain nelayan, juga terdapat pengolah, pedagang ikan, pembudidaya ikan hias, konsumsi maupun pelaku ekonomi di sektor perikanan banyak terdapat di Jakarta Utara. Selanjutnya disebutkan bahwa penduduk di Jakarta Utara juga bergerak di sektor peternakan. Para penduduk banyak berprofesi sebagai 43 pembudidaya ternak seperti itik, ayam buras, burung puyuh, perkutut serta olahan hasil ternak (Anonymous, 2007). Berdasarkan data Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 2007, jumlah penduduk Jakarta Utara sebanyak 1.180.967 orang, berada di tempat kedua terbanyak setelah Jakarta Timur dengan jumlah penduduk sebanyak 2.166.390 orang. Padatnya penduduk menimbulkan berbagai masalah di Jakarta Utara seperti perkelahian warga atau masalah ketenagakerjaan. Jumlah penduduk yang begitu banyak menyebabkan semakin tingginya angka pencari kerja, sedangkan lapangan kerja yang tersedia terbatas. Hal ini akan mengakibatkan tertekannya subsektor perikanan, yaitu banyaknya tenaga kerja yang masuk kedalam subsektor ini, dengan dibekali keahlian seadanya. Tenaga kerja yang masuk kedalam subsektor perikanan biasanya banyak yang menjadi buruh. Buruh tidak memerlukan keahlian khusus, karena hanya dengan mengandalkan tenaga dan kekuatan pun sudah dapat menjadi buruh. Hal inilah yang menyebabkan subsektor perikanan menjadi kurang maju. 4.1.3 Kondisi perikanan tangkap Kota Jakarta Utara 1) Unit Penangkapan Ikan (1) Armada Penangkapan dan Alat Tangkap Kegiatan usaha penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat Jakarta Utara menggunakan berbagai macam alat tangkap seperti jaring payang, purse seine, jaring rampus, gillnet, bagan, bubu dan pancing. Alat tangkap jaring payang, purse seine, jaring rampus, gillnet, bubu dan pancing banyak dioperasikan oleh nelayan Muara Angke. Alat tangkap jaring rampus, payang, jaring kejer, bubu, dogol dan trawl banyak dioperasikan oleh nelayan Cilincing. Alat tangkap jaring kejer, payang, bagan dan sero banyak dioperasikan oleh nelayan di Kamal Muara. Alat tangkap gillnet dan pancing tuna longline banyak dioperasikan nelayan Muara Baru. Armada penangkapan ikan yang digunakan nelayan Jakarta Utara yaitu perahu tanpa motor, perahu dengan motor dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan yang terbanyak terdapat di Kecamatan Penjaringan, kemudian disusul oleh Kecamatan Cilincing dan Kecamatan Koja serta Kecamatan Pademangan. 44 Tabel 7 Jumlah armada penangkapan Jakarta Utara, 2003-2007 Jenis Armada Motor Tempel (Unit) Perahu Tanpa Motor (Unit) 0-5 GT 5-10 GT Kapal Motor 10-20 GT (Unit) 20-30 GT 30-50 GT >50 GT Jumlah Jumlah Armada (Unit) 2003 2004 Tahun 2005 2006 2007 958 909 810 729 765 562 685 617 554 431 439 1.481 679 462 57 823 3.941 502 1.492 683 467 49 795 3.988 451 1.343 615 421 45 726 3.601 406 1.209 554 379 39 653 3.240 430 1.276 659 354 34 760 3.413 5.461 5.582 5.028 4.523 4.609 Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007 Berdasarkan Tabel 7 di atas, terlihat bahwa jumlah armada penangkapan Jakarta Utara sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004 jumlahnya mengalami kenaikan, kemudian menurun kembali pada tahun 2005. Pada tahun 2007, jumlahnya kembali meningkat. 4500 4000 Jumlah Armada 3500 3000 Perahu 2500 Motor Tempel 2000 Kapal Motor 1500 1000 500 0 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007 Gambar 2 Jumlah armada penangkapan Jakarta Utara, 2003-2007. Berdasarkan Gambar 2 di atas, dapat diketahui bahwa jumlah armada terbanyak terjadi pada tahun 2004 yaitu 5.582 unit yang terdiri atas 3.988 unit kapal motor, 685 45 unit perahu tanpa motor dan 909 motor tempel. Jumlah armada terendah adalah pada tahun 2006 yaitu 4.523 unit yang terdiri atas 3.240 unit kapal motor, 554 unit perahu tanpa motor dan 729 unit motor tempel (Anonymous, 2007). (2) Nelayan Usaha penangkapan ikan tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan unit penangkapan ikan yang terdiri dari nelayan, alat tangkap dan kapal perikanan. Oleh karena itu, nelayan merupakan salah satu komponen yang berperan penting dalam suatu operasi penangkapan ikan. Nelayan merupakan salah satu unsur yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penangkapan ikan. Jumlah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan di wilayah Jakarta Utara pada tahun 2007 tercatat sebanyak 19.234 jiwa. Jumlah tersebut dapat ditinjau dari status kependudukan maupun status kepemilikannya. Jika ditinjau dari status kependudukannya, nelayan terbagi atas 12.027 jiwa nelayan setempat dan 7.207 nelayan pendatang. Apabila ditinjau dari status kepemilikan usaha, maka nelayan terbagi atas 4.103 orang nelayan pemilik dan 15.131 orang nelayan pekerja (Anonymous, 2007). Perkembangan jumlah nelayan dari tahun 2003 hingga 2007 ditunjukkan pada Tabel 8: Tabel 8 Jumlah nelayan Jakarta Utara, 2003-2007 Tahun Status Nelayan 2003 15.724 2004 16.426 2005 15.017 2006 13.516 2007 12.027 Pemilik Pekerja 3.335 12.389 10.877 3.473 12.953 9.873 3.140 11.877 8.903 2.826 10.690 8.018 2.441 9.586 7.207 Pemilik Pekerja 2.335 8.542 26.601 2.241 7.632 26.299 2.028 6.875 23.920 1.827 6.191 21.534 1.662 5.545 19.234 Pemilik Pekerja 5.670 20.931 5.714 20.585 5.168 18.752 4.653 16.881 4.103 15.131 Nelayan penetap (orang) Nelayan pendatang (orang) Jumlah nelayan (orang) Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007 46 Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa, sejak tahun 2003 hingga 2007 jumlah nelayan di Jakarta Utara mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari jumlah nelayan yang terus menurun setiap tahunnya. Walaupun demikian, jumlah nelayan penetap mengalami peningkatan pada tahun 2004, tetapi kemudian mengalami penurunan kembali pada tahun 2005, sedangkan jumlah nelayan pendatang setiap tahunnya terus mengalami penurunan. 25000 Jumlah Nelayan 20000 15000 Nelayan Pemilik Nelayan Pekerja 10000 5000 0 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007 Gambar 3 Jumlah nelayan Jakarta Utara, 2003-2007. Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa jumlah nelayan terbanyak adalah pada tahun 2003, yaitu sebanyak 26.601 orang, sedangkan jumlah nelayan terendah adalah pada tahun 2007, yaitu 19.234 orang. Dari gambar diatas dapat terlihat bahwa dari tahun ke tahun, jumlah nelayan di Jakarta Utara mengalami penurunan. Perkembangan jumlah nelayan dan armada penangkapan dari tahun 2003 hingga tahun 2007 cenderung mengalami penurunan dikarenakan beberapa hal, yaitu: (1) Makin jauhnya daerah penangkapan ikan (fishing ground), menyebabkan biaya operasional lebih mahal sehingga sebagian nelayan tidak sanggup menanggung biaya tersebut; (2) Naiknya harga bahan bakar minyak menyebabkan biaya operasional lebih mahal sehingga sebagian nelayan beralih profesi seperti menjadi pedagang, sopir dan buruh pabrik serta tukang ojek; 47 (3) Mahalnya biaya perawatan kapal sehingga banyak kapal yang rusak tidak dapat beroperasi; (4) Semakin sulitnya hidup di Jakarta dan banyak tempat tinggal mereka yang ditertibkan sehingga sebagian nelayan kembali ke daerah asalnya masing-masing; dan (5) Beralihnya fungsi kapal ikan menjadi kapal transportasi umum seperti kapal barang dan kapal penumpang. 2) Produksi Hasil Tangkapan Jenis-jenis ikan hasil tangkapan nelayan Jakarta Utara pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 9 berikut (Anonymous, 2007): Tabel 9 Jenis hasil tangkapan nelayan Jakarta Utara, 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Jenis ikan Cucut Tenggiri Tongkol Tongkol Golot-golot Kembung Kuwe Layang Selar Tembang Teri Julung-julung Bawal Belanak Beloso Ekor Kuning Kakap Merah Kerapu Kuro Layur Manyung Pari Peperek Pisang-pisang Cunang Nama latin Sphyma sp. Scomberomorus commersoni Auxis thazard Euthynnus sp. Chirocesntrus spp. Rastrelliger sp. Caranx sp. Decapterus ruselli Selaroides sp. Sardinella gibbosa; S. Fimbriata Stelophorus indicus; S. Devisi Tylosorus crocodiles Formio niger; Pampus argentus Mugil sp. Saurida spp. Caeso erytrogaster; C.Cuning Lutjanus malabaricus Ephinephelus sp. Polynemus Trichiurus spp. Arius thalassinus Trigonidae Leiognathus spp. Casio chrysozomus Muraenesex (Congresox) spp. Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007 Kelompok Pelagis Besar Pelagis Besar Pelagis Besar Pelagis Besar Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pelagis Kecil Pelagis Kecil Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal Demersal 48 Jumlah produksi ikan di Jakarta Utara pada tahun 2007 sebanyak 31.763.259 kg. Jumlah ini merupakan produksi ikan yang didaratkan melalui darat dan laut. Ikan yang didaratkan di Jakarta Utara berasal dari enam pelabuhan, yaitu Muara Baru, Muara Angke, Pasar Ikan, Muara Kamal, Cilincing dan Kali Baru. Muara Angke merupakan penyumbang terbesar produksi perikanan Jakarta Utara sebesar 17.111.209 kg (53,87%); disusul dengan Muara Baru sebesar 12.617.266 kg (39,72%); Pasar Ikan, Muara Kamal, Cilincing dan Kali Baru masing-masing sebesar 722.305 kg (2,27%), 521.280 kg (1,64%), 263.959 kg (0,83%) dan 527.240 kg (1,66%). Jumlah produksi perikanan ikan di TPI dan PPI Kota Jakarta Utara, tahun 2003-2007 dapat dilihat pada Tabel 10: Tabel 10 Jumlah produksi perikanan Jakarta Utara, 2003-2007 Unit: Ton Tahun Lokasi 2003 2004 2005 2006 2007 12.209, 027 11.779,785 9.728,239 17.582,561 17.111,209 763,685 743,190 638,050 688,221 722,305 10.810,332 10.037,361 5.695,237 6.296,445 12.617,266 529,550 577,370 589,370 529,920 521,280 Cilincing 0 422,765 318,296 341,386 263,959 Kali Baru 240,575 326,715 326,801 424,144 527,240 24.553,169 23.887,186 17.295,993 25.862,677 31.763,259 Muara Angke PPI Pasar Ikan Muara Baru Kamal Muara TPI Jumlah Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007 Berdasarkan Tabel 10, produksi perikanan Jakarta Utara sejak tahun 2003 hingga 2007 mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 dan 2005, walaupun produksi perikanan sempat mengalami penurunan, tetapi kemudian meningkat kembali pada tahun 2006. Penurunan jumlah produksi hasil tangkapan ini disebabkan antara lain oleh penurunan jumlah armada penangkapan yang beroperasi sehingga jumlah ikan yang didaratkan pun menurun. 49 20000 18000 Jumlah Produksi 16000 TPI Muara Baru 14000 PPI Muara Angke 12000 PPI Pasar Ikan 10000 TPI Kamal Muara 8000 TPI Kali Baru 6000 TPI Cilincing 4000 2000 0 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007 Gambar 4 Produksi ikan Jakarta Utara, 2003-2007. Berdasarkan Gambar 4 dan Tabel 10 di atas, dapat diketahui bahwa produksi ikan terbesar adalah pada tahun 2007 dengan total produksi ikan 31.763.259 kg, sedangkan jumlah produksi ikan terendah terjadi pada tahun 2005 dengan total produksi hasil tangkapan sebesar 17.295.993 kg. 3) Daerah Penangkapan Ikan Daerah tujuan penangkapan ikan bagi nelayan-nelayan Jakarta Utara adalah: Bangka Belitung, Perairan Sumatera, Selat Karimata, Laut Jawa, Perairan Kalimantan Barat, Kepulauan Natuna, Teluk Jakarta, Perairan Karawang, Perairan Papua dan Perairan Karimun Jawa. Jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan Jakarta Utara dari berbagai daerah diantaranya adalah sotong, cumi-cumi, udang, pari, kembung, tongkol, tembang, tuna, cucut, manyung, tenggiri, kakap, kerapu, bawal dan lain-lain (Dinas Perikanan DKI Jakarta, 2004 diacu dalam Malik, 2006). Daerah tujuan penangkapan ikan yang jauh, tanpa penanganan ikan yang baik selama di atas kapal, akan mengakibatkan turunnya kualitas ikan hasil tangkapan. Hal 50 ini tentunya berakibat pada sanitasi pelabuhan perikanan, karena banyak hasil tangkapan yang rusak ketika didaratkan. 4) Unit-unit Pengolahan Ikan di Jakarta Utara Banyaknya hasil tangkapan yang didaratkan membutuhkan penanganan dan pengolahan lebih lanjut. Salah satu dari tujuan penanganan adalah untuk mempertahankan mutu dan meningkatkan nilai jual ikan. Berdasarkan jenis usaha yang dijalankan, pengolahan ikan dibedakan menjadi dua yaitu tradisional dan modern. Pengolahan secara tradisional meliputi pengeringan atau pengasinan, pengasapan, pengolahan pakan ternak dari ikan atau udang, pengolahan terasi dan pengawetan kulit ikan. Daerah-daerah konsentrasi pengolahan tradisional di Jakarta Utara adalah Muara Angke sebanyak 196 unit, Kali Baru sebanyak 80 unit dan Kamal Muara sebanyak 20 unit, sedangkan pengolahan secara modern adalah fillet, loin, tuna beku, ikan kaleng dan produk ikan lainnya. Sarana pengolahan modern ini barada di Muara Baru. 4.2 Keadaan Umum Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke 4.2.1 Letak geografis dan topografi PPI Muara Angke Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke dengan luas ± 65 ha, terletak di daerah Muara Angke. Secara administratif terletak di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara. Kawasan Muara Angke berbatasan dengan: Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Selatan : Kali Angke Sebelah Timur : Jalan Pluit Sebelah Barat : Kali Angke Lahan seluas 65 ha dimanfaatkan untuk perumahan nelayan (21,26 ha); tambak uji coba budidaya air payau (9,12 ha); bangunan pangkalan pendaratan ikan serta fasilitas penunjangnya (5 ha); hutan bakau (8 ha); tempat pengolahan ikan tradisional (5 ha); docking kapal (1,35 ha); lahan kosong (6,7 ha); pasar, bank dan bioskop (1 51 ha); terminal (2,57 ha) dan lapangan sepak bola (1 ha) (UPT PPI Muara Angke, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa kawasan Muara Angke mempunyai kontur permukaan tanah datar, dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai 1 meter. Geomorfologi kawasan pantainya lunak sehingga daya dukung tanah rendah dan proses intrusi air laut tinggi, sedimen dasar laut dominan oleh lumpur (lempung dan lanau). Pasang surut kawasan ini mempunyai sifat harian tunggal dan kisaran antara surut tertinggi dan terendah adalah 1,2 meter dan gerakan periodik ini walaupun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai kawasan ini. Arus laut pada musim barat berkecepatan 1,5 knot dengan ketinggian gelombang antara 0-1 meter dan jika terjadi angin kuat gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter. PPI Muara Angke merupakan hasil reklamasi pantai sehingga mempunyai tekstur tanah yang kurang stabil. Setiap tahun daerah tersebut mengalami penurunan tanah ± 10 cm oleh karena itu selalu digenangi air laut bila terjadi gelombang pasang (UPT PPI Muara Angke, 2003 diacu dalam Novri, 2006). Sejak tahun 1976 secara keseluruhan kawasan ini dipersiapkan untuk menampung kegiatan perikanan yang selama ini tersebar di beberapa lokasi. Untuk memudahkan sekaligus lebih mengintensifkan pembinaan kepada masyarakat nelayan dibuatlah sebuah desa nelayan dilengkapi dengan sarana penunjangnya. Rencana tersebut, dapat terwujud apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara bertahap terus melaksanakan pembangunan dengan memanfaatkan dana, baik yang bersumber dari APBD, APBN maupun melibatkan sektor swasta. Pada tahun 1977, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan kawasan ini sebagai Pangkalan Pendaratan Ikan dan Pusat Pembinaan Kegiatan Perikanan di DKI Jakarta (UPT PPI Muara Angke, 2006). 4.2.2 Pengelolaan PPI Muara Angke 1) Tugas UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Unit Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan 52 Provinsi DKI Jakarta di bidang pengelolaan kawasan pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan. Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 105 Tahun 2002 UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan mempunyai tugas sebagai berikut (UPT PPI Muara Angke, 2006): (1) Mengatur, mengelola dan memelihara fasilitas pelabuhan perikanan, pelelangan ikan dan pangkalan pendaratan ikan beserta sarana penunjangnya; (2) Mengelola pemukiman nelayan beserta fasilitas kelengkapannya; dan (3) Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban lingkungan kawasan pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan. 2) Fungsi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 105 Tahun 2002 UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan mempunyai fungsi sebagai berikut (UPT PPI Muara Angke, 2006): 1) Menyusun program dan rencana kegiatan operasional; 2) Perencanaan, pemeliharaan, pengembangan serta rehabilitasi dermaga dan pelabuhan; 3) Penertiban rekomendasi izin kapal perikanan yang masuk dan keluar pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan dari aspek kegiatan perikanan; 4) Pelayanan tambat labuh dan bongkar muat kapal ikan; 5) Penyediaan fasilitas penyelenggaraan pelelangan ikan dan penyewaan fasilitas penunjang lainnya; 6) Pengelolaan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan yang menunjang usaha perikanan; 7) Pengelolaan sarana fungsional, sarana penunjang serta pengusahaan barang dan atau pihak ketiga; 8) Pelayanan fasilitas sandar kapal, pasar grosir, pasar pengecer, pengolahan ikan, pengepakan ikan gudang hasil perikanan dan usaha olahan ikan; 53 9) Pengkoordinasian kegiatan operasional terkait yang melakukan aktivitas pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan; 10) Penyelenggaraan keamanan, ketertiban dan kebersihan di kawasan pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan; 11) Pengelolaan pemukiman nelayan beserta fasilitas kelengkapannya; dan 12) Pengelolaan urusan ketatausahaan. 3) Organisasi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Sesuai Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 105 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta, susunan organisasi UPT terdiri atas (UPT PPI Muara Angke, 2006): (1) Kepala Unit; (2) Subbagian Tata Usaha; (3) Subbagian Kepelabuhan Perikanan; (4) Seksi Pelelangan Ikan; (5) Seksi Fasilitas Usaha; (6) Seksi Pemukiman Nelayan, Keamanan dan Ketertiban; dan (7) Subkelompok Jabatan Fungsional. Dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsinya di UPT PKPP dan PPI Muara Angke tidak saja terdapat jabatan non struktural, tetapi juga jabatan fungsional yang keberadaannya ditetapkan oleh Dinas. Jabatan yang dimaksud yaitu: (1) Kepala TPI Muara Angke; (2) Kepala TPI Muara Baru; (3) Kepala Pasar Grosir Muara Angke; (4) Kepala Pasar Grosir Muara Baru; (5) Kepala Pasar Grosir Pasar Ikan; dan (6) Kepala Pengelolaan Hasil Perikanan Tradisional. 54 Struktur organisasi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara dapat dilihat pada Gambar 5. Kepala Unit Subbag. Tata Usaha Subbag. Kepelabuhanan Perikanan Seksi Fasilitas Kepala TPI Muara Angke Staff Seksi Pemukiman Nelayan, Keamanan dan Ketertiban Seksi Pelelangan Kepala TPI Muara Baru Staff Pasar Grosir Muara Angke Pasar Grosir Muara Baru Kepala Pasar Ikan Kepala PHPT Staff Staff Staff Staff Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006 Gambar 5 Struktur organisasi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta. 55 4) Instansi Lain yang terdapat di PPI Muara Angke Dalam memenuhi pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat di kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke, terdapat instansi pemerintah maupun kelembagaan yang meliputi: Tabel 11 Daftar instansi/kelembagaan di PPI Muara Angke Tahun 2006 No. Instansi/Kelembagaan 1. UPT Dinas Perhubungan Laut 2. Syahbandar dan KPLP (Dinas Perhubungan) 3. DPD, HNSI 4. Pos Polisi KP3 Muara Angke 5. Pos Kesehatan 6. Pos Pemadam Kebakaran 7. Koperasi Perikanan Mina Jaya Sumber: UPT PPI Muara Angke Jakarta Utara, 2006 4.2.3 Kondisi Perikanan Tangkap 1) Unit Penangkapan Ikan (1) Kapal Armada penangkapan ikan yang berbasis di PPI Muara Angke mencakup tiga jenis, yaitu perahu layar, motor tempel dan kapal motor. Perahu layar yang digunakan sebagai armada perikanan memiliki ukuran sedang sampai berukuran besar. Jumlah armada yang menggunakan perahu layar amat sedikit karena perahu layar merupakan armada perikanan tradisional. Perahu motor tempel banyak digunakan oleh nelayan kelas menengah. Jumlah yang paling banyak digunakan adalah kapal motor. Kapal motor digolongkan berdasarkan ukuran volume kapal menjadi 6 kelompok, yaitu masing-masing 5 GT, 10 GT, 20 GT, 30 GT, 50 GT dan diatas 50 GT (Novri, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa armada kapal perikanan yang terdapat di PPI Muara Angke didominasi oleh jenis kapal motor yang berukuran antara 30 GT sampai diatas 50 GT. Pada awalnya, perahu layar dan perahu motor tempel melakukan bongkar muat di PPI Muara Angke, tetapi sekarang ini perahu-perahu tersebut melakukan bongkar muat di daerah Kali Adem. 56 Kapal-kapal ikan yang berlabuh di PPI Muara Angke dan melakukan kegiatan bongkar muat antara lain: kapal gillnet, purse seine, trap (bubu) dan fish net. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di PPI Muara Angke adalah jaring cumi, purse seine, jaring rampus, gillnet, bubu dan pancing (Laporan Tahunan PPI Muara Angke, 2006). Saat ini, kapal perikanan yang beraktivitas di PPI Muara Angke ada dua jenis, yaitu kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut. Berikut disajikan tabel jenis kapal yang melakukan aktivitas tambat di PPI Muara Angke. Tabel 12 Jenis kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke, 2004-2007 Ukuran (GT) Jenis Kapal Tahun Jumlah < 30 > 30 Pengangkut Penangkap Ikan 2004 4.921 3.894 1.027 1.407 3.514 2005 5.209 3.873 1.336 1.468 3.741 2006 4.862 3.701 1.161 1.006 3.856 2007 4.300 3.662 636 1.008 3.292 Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2007 Berdasarkan Tabel 12 di atas, intensitas tambat kapal yang terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu 4.300 unit kapal. Kapal-kapal ini terdiri dari 1.008 unit kapal pengangkut dan 3.292 kapal penangkap ikan. Berdasarkan ukurannya, kapal-kapal ini terbagi menjadi dua, yaitu 3.662 unit berukuran < 30 GT dan 636 unit kapal berukuran > 30 GT. 4.500 Jumlah Kapal Tambat 4.000 3.500 3.000 Kapal < 30 GT 2.500 Kapal > 30 GT 2.000 Kapal Angkutan 1.500 Kapal Penangkap Ikan 1.000 500 0 2004 2005 2006 2007 Tahun Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2007 Gambar 6 Jumlah kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke, 2004-2007. 57 Jumlah kapal terbanyak yang melakukan kegiatan tambat di PPI Muara Angke adalah pada tahun 2005 yaitu 5.209 unit kapal. Kapal-kapal ini terdiri atas kapal pengangkut 1.468 unit kapal dan kapal penangkap ikan 3.741 unit kapal. Berdasarkan ukurannya, kapal-kapal ini terbagi menjadi dua jenis yaitu kapal dengan ukuran < 30 GT 3.873 unit kapal dan yang berukuran > 30 GT 1.336 unit kapal. Dari tahun 2004 hingga tahun 2007, jumlah kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke mengalami fluktuasi. Jumlah kapal mengalami kenaikan pada tahun 2005 dan menurun kembali pada tahun 2006. (2) Alat Tangkap Terdapat berbagai jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan di PPI Muara Angke. Jenis alat tangkap yang mendominasi antara lain: purse seine, bukoami, jaring cumi, bubu, cantrang dan gillnet, sedangkan alat tangkap lainnya adalah muroami, fishnet, jaring tangsi, jaring nilon, payang, lampara, pancing dan liongbun. Alat penangkap ikan yang dioperasikan di PPI Muara Angke, 2003-2006 dapat dilihat pada Tabel 13 berikut: Tabel 13 Jumlah alat tangkap yang dioperasikan nelayan PPI Muara Angke, 2003-2006 Alat Tangkap Tahun 2003 Purse seine 227 Bukoami 0 Jaring Cumi 0 Bubu 942 Cantrang 0 Gillnet 536 Lainnya 231 Jumlah 1936 2004 982 803 553 560 0 485 1.546 4929 2005 982 931 572 426 287 391 726 4315 2006 1.097 1.158 782 324 267 164 64 3856 Jumlah 3.288 2.892 1.907 2.252 554 1.576 2.567 - Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006 Berdasarkan Tabel 13 di atas, dapat diketahui bahwa selama 4 tahun terakhir yaitu sejak tahun 2003-2006 alat tangkap yang paling banyak dioperasikan oleh nelayan-nelayan di PPI Muara Angke adalah purse seine yaitu 3.288 unit, kemudian 58 alat tangkap bukoami menjadi alat tangkap yang terbanyak kedua yaitu 2.892 unit. Jenis alat tangkap lainnya berjumlah 2.567 unit. Jumlah alat tangkap yang ada di PPI Muara Angke mengalami kenaikan setiap tahunnya. 1800 Jum lah A lat Tangkap 1600 Purse Seine 1400 Bukoami 1200 Jaring Cumi 1000 Bubu 800 Cantrang 600 Gillnet 400 Lainnya 200 0 2003 2004 2005 2006 Tahun Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006 Gambar 7 Jumlah alat tangkap di PPI Muara Angke, 2003-2006. Dilihat dari Gambar 7 di atas, terlihat bahwa jumlah alat tangkap yang mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah alat tangkap Purse Seine, Bukoami dan Jaring Cumi. Alat tangkap Bubu, Cantrang dan Gillnet mengalami penurunan dari tahun ke tahun. (3) Nelayan Komponen yang dibutuhkan dalam kegiatan penangkapan ikan adalah nelayan, armada penangkapan dan alat tangkap. Nelayan merupakan salah satu pelaku (stake holder) yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan secara langsung. Nelayan yang berada di PPI Muara Angke meliputi nelayan penetap dan nelayan pendatang. Nelayan penetap merupakan nelayan yang berdomisili di wilayah Muara Angke, sedangkan nelayan pendatang merupakan nelayan yang berasal dari luar wilayah Muara Angke. Status nelayan penetap maupun nelayan pendatang terdiri 59 dari 2 jenis nelayan, yaitu nelayan pemilik dan nelayan pekerja. Nelayan pemilik merupakan nelayan yang memiliki modal berupa kapal maupun alat tangkap, sedangkan nelayan pekerja adalah nelayan buruh yang berperan aktif dalam kegiatan operasi penangkapan ikan (UPT PPI Muara Angke, 2003 diacu dalam Novri, 2006). Berdasarkan statusnya, nelayan yang memanfaatkan PPI Muara Angke sebagai tempat tambat labuh maupun bongkar muat terbagi atas nelayan penetap dan nelayan pendatang (Shanticka, 2008). Klasifikasi nelayan tersebut dapat terbagi lagi menjadi nelayan pekerja atau nelayan pemilik unit penangkapan ikan. Jumlah nelayan berdasarkan pembagian tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas bongkar dan sandar di PPI Muara Angke, 2001-2003 Status Nelayan Penetap Pemilik Pekerja Pendatang Pemilik Pekerja Jumlah Nelayan Pemilik Pekerja 2001 11.139 2.277 8.862 12.802 1.324 11.478 23.941 3.601 20.340 2002 14.628 2.979 11.703 11.671 1.813 9.858 26.353 4.792 21.561 2003 2.663 1.873 790 10.837 1.690 9.147 13.500 9.147 4.353 Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006 Berdasarkan Tabel 14 di atas, dapat terlihat bahwa jumlah nelayan PPI Muara Angke pada tahun 2001 hingga tahun 2003 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2002 mengalami kenaikan tetapi pada tahun 2003 mengalami penurunan yang sangat drastis. Penurunan ini disebabkan oleh makin jauhnya fishing ground atau daerah penangkapan ikan, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan mahalnya biaya perawatan kapal. Jumlah nelayan yang terbanyak adalah nelayan penetap pada tahun 2002 yaitu 14.628 orang dengan nelayan pemilik sebanyak 2.979 orang dan nelayan pekerja 11.703 orang. Jumlah nelayan paling sedikit adalah nelayan penetap, pada tahun 2003 berjumlah 2.663 orang yang terdiri dari nelayan pemilik 1.873 dan nelayan pekerja 790 orang. 60 25000 Jumlah Nelayan 20000 15000 Nelayan Pemilik Nelayan Pekerja 10000 5000 0 2001 2002 2003 Tahun Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006 Gambar 8 Jumlah nelayan di PPI Muara Angke Jakarta, 2001-2003. Berdasarkan Gambar 8 di atas, jumlah nelayan pemilik terus mengalami peningkatan dari tahun 2001 hingga 2003. Jumlah nelayan pekerja mengalami peningkatan pada tahun 2002 lalu menurun drastis pada tahun 2003. Perkembangan jumlah nelayan mulai tahun 2004 hingga 2007 tidak didapatkan datanya. Hal ini disebabkan mulai dari tahun 2004, pihak UPT PPI Muara Angke sudah tidak lagi melakukan rekapitulasi data nelayan. Rekapitulasi data nelayan dilakukan oleh pihak Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Muara Angke, sehingga pihak UPT PPI Muara Angke tidak lagi memiliki data nelayan yang melakukan tambat labuh di PPI Muara Angke. 2) Produksi dan Hasil Tangkapan Faktor lain yang merupakan indikator perkembangan perikanan di suatu daerah adalah jumlah dan nilai produksi perikanan. Jumlah produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke cukup banyak. Hal ini ditandai dengan jumlah produksi hasil tangkapan yang didaratkan, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke, 20032006 dapat dilihat pada Tabel 15 berikut ini: 61 Tabel 15 Jumlah produksi, nilai produksi dan retribusi ikan lokal yang didaratkan di PPI Muara Angke, 2003-2006 Tahun Produksi (Ton) Nilai (Rp) Retribusi (Rp) 2003 8.162,744 32.306.132.805 1.615.306.640 2004 8.189,192 33.311.092.549 1.659.825.565 2005 9.392,508 34.539.811.192 1.726.990.560 2006 10.675,824 35.768.529.845 1.788.426.492 Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006 Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui jumlah produksi perikanan PPI Muara Angke yang terbanyak yaitu pada tahun 2006 yaitu sebanyak 10.675,824 ton dengan nilai produksi Rp35.768.529.845,00. Besarnya retribusi yang diperoleh pihak pelabuhan dari produksi perikanan yang didaratkan di PPI Muara Angke pada tahun 2006 adalah sebesar Rp1.788.426.492,00. Dalam perkembangannya, jumlah produksi ikan di PPI Muara Angke mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan jumlah produksi berbanding lurus dengan peningkatan nilai produksi dan retribusi. 12.000,00 Produksi Ikan 10.000,00 8.000,00 6.000,00 4.000,00 2.000,00 0,00 2003 2004 2005 2006 Tahun Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006 Gambar 9 Produksi hasil tangkapan di PPI Muara Angke, 2003-2006. Berdasarkan Gambar 9, jumlah produksi perikanan PPI Muara Angke yang terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu 8.162,744 ton dengan nilai produksi sebesar 62 Rp32.30.132.805,00. Besarnya retribusi yang diterima oleh pelabuhan perikanan PPI Muara Angke adalah sebesar Rp1.615.306.640,00. Ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke merupakan ikan yang berasal dari laut dan darat. Pasokan ikan dari darat biasanya berasal dari berbagai macam daerah seperti: Tuban dengan hasil tangkapan sebanyak 1, 71%; Pekalongan 4,77%; Tegal 3,67%; Cilacap 0,59%; Labuan 1,18%; Bandung 6,73%; Bogor 0,59%; Lampung 2,08%; Indramayu 8,79%; Rengasdengklok 0,11%; Serang 0,14%; Ciasem 0,48%; Pemalang 0,42%; Surabaya 9,01%; Rembang 1,24%; Juwana 0,25%; Binuangeun 2,26%; Eretan 1,47% dan Losari 0,35% (UPT PPI Muara Angke, 2006). Hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke sangat beragam. Komposisi produksi hasil tangkapan yang banyak didaratkan pada tahun 2006 adalah ikan beloso, cakalang, cucut, cumi-cumi, baby tuna, kembung, pari, kambingkambing, lemuru, tembang, tenggiri dan tongkol (Laporan Tahunan PPI Muara Angke, 2006). 3) Daerah Penangkapan Ikan Para nelayan dengan armada penangkapan ikan yang berbasis di PPI Muara Angke melakukan operasi penangkapan ikan di daerah Perairan Bangka Belitung dengan hasil tangkapan 8,65%; Perairan Sumatera dengan hasil tangkapan 10,35%; Selat Karimata 13,41%; Laut Jawa sebanyak 11,60%; Perairan Kalimantan Barat 5,65%; Kepulauan Natuna 2,82%; Teluk Jakarta dan Karawang 0,75% dan di Karimun Jawa dengan hasil tangkapan 1,41% (UPT PPI Muara Angke, 2006). 4.2.4 Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke Pembangunan dan pengembangan sentra perikanan dan kelautan Muara Angke pada hakekatnya bertujuan untuk mendorong peningkatan kehidupan nelayan agar lebih layak dan bergairah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dampak ekonomis yang dirasakan adalah pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat perikanan di Muara Angke yang cukup pesat (UPT PPI Muara Angke, 2006). 63 Fasilitas yang telah dibangun di PPI Muara Angke terdiri atas fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Fasilitas pokok pelabuhan terdiri dari kolam pelabuhan, dermaga dan breakwater. Salah satu fasilitas fungsional adalah gedung TPI, pasar pengecer ikan dan cold storage. Fasilitas penunjang terdiri atas kantor pengawas pelabuhan, balai pertemuan nelayan dan MCK. Rincian fasilitas yang dimiliki oleh PPI Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Fasilitas-fasilitas PPI Muara Angke, 2006 No. I. 1. 2. 3. 4. II. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. III. 1. 2. Jenis Fasilitas Jumlah/Volume/Luas Fasilitas Pokok Lahan PPI Dermaga Tanggul Pemecah Gelombang Kolam Pelabuhan Fasilitas Fungsional Kantor UPT, PKPP dan PPI Tempat Pelelangan Ikan Tempat Pengepakan Ikan Kios Gudang Kantor Pasar Grosir Ikan Pasar Pengecer Ikan Kios Ikan Bakar Workshop Gudang Alat-alat Perikanan Waduk Penampungan Kolam Limbah (IPAL) Bengkel Alat Kapal Tradisional Cold Storage SPBU Dwifungsi Pabrik Es Dock Tradisional Sarana Docking Kapal 30 GT Tiang Pengikat Kapal/Bolard Fender Kayu Tug Boat (KM. Baracuda Jaya II) Ponton Keruk (KM. Baracuda Jaya III) Fasilitas Penunjang Kantor Pengawas Kapal Perikanan (WASKI) MCK 65 Ha 403 m² 1.700 m 63.993 m² 1 Unit 2.212 m² 30 Unit 40 Unit 870 Kios 150 Kios 24 Unit 8 Unit 12 Unit 1 Unit 1 Unit 5 Unit 2 Unit 1 Unit 1 Unit 5 Unit 4 Unit 122 Buah 450 m 1 Unit 1 Unit 1 Unit 3 Unit Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006 Pada kawasan tersebut, telah dibangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI), gedung pasar grosir ikan, gedung pengecer ikan, kios, gudang, kantor yang dimanfaatkan oleh para pengusaha perikanan, kios pujaseri, tempat pengepakan ikan dan berbagai 64 fasilitas penunjang lainnya. Fasilitas yang dibangun oleh pemerintah pada umumnya dapat dimanfaatkan secara baik oleh para pengusaha dan memberikan manfaat luas terhadap masyarakat perikanan, baik berupa penyediaan lapangan kerja maupun keuntungan lainnya bagi masyarakat. Selain pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, kepada sektor swasta juga diberikan kesempatan untuk bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan kawasan. Kesempatan yang ditawarkan pemerintah tersebut ditanggapi positif oleh para pengusaha. (1) Fasilitas Pokok Fasilitas Pokok yang dimiliki oleh PPI Muara Angke adalah kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan tanggul pemecah gelombang (breakwater). Letak ketiga fasilitas pokok ini saling berdekatan. (a) Kolam Pelabuhan Luas kolam pelabuhan PPI Muara Angke adalah 63,993 m². Kondisi kolam pelabuhan saat ini dirasakan cukup sempit, apalagi pada saat bulan terang karena kapal-kapal yang melakukan bongkar muat di PPI Muara Angke tidak terbatas pada kapal yang berukuran 30 GT kebawah saja. . Gambar 10 Kolam pelabuhan PPI Muara Angke Jakarta Utara Sebagian besar kapal yang berlabuh adalah kapal yang berbobot 50 GT keatas, sehingga kapal-kapal kecil (< 5 GT) pindah ke Kali Adem karena sangat riskan untuk 65 terjepit. Selain itu, kondisi kolam pelabuhan juga mengalami pendangkalan yang disebabkan sedimentasi dan sisa-sisa badan kapal yang rusak dan tidak diangkat (Novri, 2006). (b) Dermaga Bongkar Dermaga PPI Muara Angke memiliki ukuran panjang 403 meter dan terbuat dari beton. Dermaga masih berfungsi dengan cukup baik namun perlu dilakukan rehabilitasi secara rutin mengingat banyaknya kapal yang melakukan pembongkaran mencapai 15 kapal per hari (Novri, 2006). Gambar 11 Dermaga bongkar PPI Muara Angke Jakarta Utara. Fasilitas lain yang terdapat di dermaga adalah fender dan bolard. Fender dapat berupa ban-ban yang digantungkan di dinding dermaga yang dimaksudkan untuk menahan dan mencegah terjadinya benturan antara badan kapal dengan dinding dermaga. Sedangkan bolard berfungsi sebagai tempat untuk mengikatkan tali saat menambatkan kapal dan biasanya berupa tiang bulat. Di PPI Muara Angke terdapat fender kayu sepanjang 450 m² dan bolard (tiang pengikat kapal) sebanyak 122 buah (UPT PPI Muara Angke, 2006). (c) Tanggul Pemecah Gelombang (Breakwater) Tanggul pemecah gelombang (breakwater) yang berada di kawasan ini memiliki ukuran panjang 1.700 meter. Fasilitas ini tidak dilengkapi dengan lampu- 66 lampu pelayaran dan terdapat kerusakan di beberapa bagian bangunan dan terdapat bangunan yang sudah terputus (UPT PPI Muara Angke, 2006). (2) Fasilitas Fungsional Fasilitas fungsional yang dimiliki oleh PPI Muara Angke adalah TPI, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum, Pasar Grosir Ikan, Pasar Pengecer Ikan, Cold Storage, Tangki Air Bersih, Unit Pengepakan Ikan, Sarana Perbaikan Kapal dan Docking serta Pabrik Es. (a) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Luas tempat pelelangan ikan di PPI Muara Angke adalah 2.212 m² (Gambar 12). TPI PPI Muara Angke ini berada tepat di sebelah barat dermaga, sehingga memudahkan dalam melakukan proses bongkar hasil tangkapan dan proses pemindahan ikan dari dermaga bongkar menuju TPI. Dekatnya letak TPI dan dermaga bongkar juga akan mempengaruhi kualitas ikan yang didaratkan akibat pengaruh sinar matahari. Gambar 12 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) PPI Muara Angke Jakarta Utara. 67 Bangunan TPI secara fisik masih cukup baik, dengan saluran air yang masih berfungsi. Gedung TPI memiliki fasilitas air bersih yang cukup dan baik, namun kesadaran para pemilik ikan dan para pengguna TPI lainnya masih kurang dan jarang memanfaatkan fasilitas yang disediakan sehingga kebersihan di sekitar TPI masih terlihat kurang. Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke dianggap sudah memenuhi syarat TPI yang baik. Hal ini didasarkan pada: bangunan TPI yang terlindung dan mempunyai dinding yang mudah dibersihkan; dilengkapi dengan saluran pembuangan; mempunyai penerangan yang cukup; tidak ada kendaraan yang mengeluarkan asap di dalam TPI, dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai pelelangan; dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan dan minum serta diletakkan di tempat yang mudah dilihat dan mempunyai pasokan air bersih yang cukup. Meskipun ada beberapa syarat yang belum terpenuhi, dapat dikatakan bahwa TPI Muara Angke sudah memperhatikan masalah sanitasi sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP. 01/MEN/2007 tanggal 05 Januari 2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Tempat pelelangan ikan mempunyai nilai strategis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan. Di TPI tersebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan pelayanan lelang, sehingga diharapkan harga yang terjadi dalam proses lelang tersebut merupakan harga optimal yang dapat diperoleh nelayan. Tempat pelelangan ikan ini dalam satu hari melayani sekitar 15 kapal dan ± 45 perahu yang membongkar hasil tangkapannya. Produksi hasil tangkapan nelayan tergantung pada faktor cuaca, musim dan jumlah kapal yang membongkar hasil tangkapannya di TPI (UPT PPI Muara Angke, 2006). (b) Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Dwi Fungsi Dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan bakar bagi para nelayan, pada tahun 1997 telah dibangun 1 unit SPBU dwifungsi pada lahan seluas 2.212 m². SPBU tersebut melayani kebutuhan bahan bakar baik untuk kapal nelayan maupun kendaraan umum. 68 Fasilitas fungsional yang sangat dibutuhkan oleh para nelayan untuk operasional penangkapan adalah BBM (solar). Penyediaan bahan bakar ini dilayani oleh SPBU dwifungsi yaitu selain melayani kebutuhan kapal nelayan juga melayani kebutuhan masyarakat pengunjung kawasan Muara Angke yang menggunakan kendaraan darat (Gambar 13). Gambar 13 Stasiun pengisian bahan bakar umum dwi fungsi PPI Muara Angke Jakarta Utara. Dalam satu hari, SPBU ini melayani sekitar 10-25 kapal nelayan. Jumlah pompa pelayanan sebanyak 14 buah, terdiri dari 10 pompa solar, 3 pompa premium dan 1 pompa pertamax. Kapasitas tangki yang ada yaitu 180.000 liter untuk solar, 50.000 liter untuk premium dan 20.000 liter untuk pertamax. Penjualan bahan bakar selama tahun 2004 adalah solar 45.81.978 liter, premium 4.680.879 liter dan pertamax 245.219 liter. (c) Pasar Grosir Ikan Pasar grosir merupakan salah satu sarana mata rantai pemasaran hasil perikanan. Di pasar grosir tersebut, tersedia 870 unit lapak yang menampung 275 pedagang grosir. Aktivitas pasar grosir ini rata-rata dilakukan pada malam hari. Ikan yang diperdagangkan selain dari hasil lelang di Muara Angke dan Muara Baru juga didatangkan dari luar daerah seperti: Tuban, Pekalongan, Tegal, Cilacap, Lampung 69 dan daerah lain. Dalam satu malam perputaran perdagangan ikan di pasar grosir ratarata mencapai 35 ton. Untuk meningkatkan pelayanan kepada pemakai fasilitas/pedagang ikan grosir dan masyarakat pembeli ikan, maka telah dibangun penambahan atap grosir blok Timur dan Barat melalui APBD tahun anggaran 2003, dan untuk memenuhi fasilitas pasar grosir ikan pada tahun anggaran 2007-2008 akan dipindahkan ke sebelah Barat pada lahan seluas 10.000 m². Pada lokasi pasar grosir lama nantinya akan dibangun pasar ikan higienis. (d) Pasar Pengecer Ikan Dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan ikan dalam jumlah kecil, di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke telah dibangun fasilitas pedagang eceran. Luas pasar pengecer ikan ini 1.260 m² dengan jumlah 150 lapak (Gambar 14), sedangkan jumlah pedagang pengecer 148 orang. Letak pasar pengecer ikan dari TPI berjarak sekitar 200 meter. Gambar 14 Pasar pengecer ikan di PPI Muara Angke Jakarta Utara. Renovasi pasar pengecer khususnya penataan lapak dilakukan untuk menampung para pedagang yang berjualan di tepi jalan. Pada tahun 2006 telah 70 dilaksanakan rehabilitasi total terhadap bangunan pasar melalui anggaran APBN. Pasar pengecer ini memenuhi kebutuhan konsumen dan para pengunjung yang akan mengkonsumsi ikan bakar di Pujaseri. Kegiatan di pasar pengecer ikan dalam satu minggu mencapai 500 kg/pedagang, yang puncak keramaiannya sering terjadi pada hari Jum’at, Sabtu dan Minggu. Semakin berkembangnya Muara Angke sebagai pusat pemasaran ikan di DKI Jakarta, menyebabkan bertambahnya pedagang ikan, sehingga fasilitas lapak yang ada di pasar pengecer tidak mampu menampung para pedagang ikan. Hal ini menyebabkan banyak pedagang ikan yang berjualan di pinggir jalan, sehingga membuat arus lalu lintas terganggu. (e) Cold Storage Ikan merupakan suatu produk yang cepat sekali mengalami pembusukan apabila tidak ditangani secara baik. Kegiatan penanganan ikan semestinya dilakukan sejak penangkapan, dengan cara pendinginan, pembekuan maupun penggaraman. Pada tahun 2003 di kawasan Muara Angke dibangun 1 unit cold storage pada lahan seluas 3.000 m² oleh investor asing (PT. AGB Tuna) dengan kapasitas 1.000 ton. Pembangunan cold storage ini dilakukan untuk penanganan setelah dilakukan pembongkaran ikan. Pasokan ikan berasal dari nelayan Muara Angke, Palabuhanratu dan Muncar. Jenis ikan yang disimpan/didinginkan/dibekukan adalah ikan layur, bawal, cumi dan tenggiri dengan besar biaya sewa penitipan Rp15,00/kg/hari. Mengingat kapasitas cold storage tersebut masih belum dapat memenuhi kebutuhan, maka pada tahun 2007 UPT, PKPP dan PPI merencanakan membangun lagi 1 unit cold storage dengan kapasitas 1.000 ton. (f) Unit Pengepakan Ikan Untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri, Muara Angke menjadi salah satu penyedia kebutuhan pasar ekspor hasil perikanan khususnya dalam bentuk ikan segar dengan produksi rata-rata setiap bulan 75 ton. Negara tujuan ekspor adalah 71 Singapura, Malaysia dan Hongkong. Jenis ikan yang diekspor meliputi: udang, bawal, ekor kuning, kakap merah, kerapu, tenggiri dan lain-lain. Bahan baku ekspor ikan ini didapat dari 40% Tempat Pendaratan Ikan Muara Angke dan 60% didatangkan dari daerah lain. Fasilitas yang disediakan untuk pengepakan ikan ekspor ini terdiri dari gedung pengepakan ikan sebanyak 30 unit dengan luas masing-masing 50-200 m², terdiri dari bangunan satu lantai dan dua lantai. Kendala yang dihadapi para eksportir ikan Muara Angke adalah kondisi gedung yang secara teknis tidak memenuhi syarat sanitasi dan higienis yang disyaratkan Ditjen Perikanan dalam bentuk Sertifikat Kesempurnaan Pengolahan serta kurangnya pasokan air bersih dan sering terjadi air pasang sehingga sangat mengganggu aktivitas para pengepak/eksportir ikan. (g) Tangki Air Bersih Gambar 15 Tangki air bersih di PPI Muara Angke Jakarta Utara. Tangki air bersih ada 2 unit dengan total volume 20 m³ yang terletak di dermaga muat di pintu gerbang PPI. Air bersih ini, banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembersihan dermaga bongkar dan tempat pelelangan ikan. 72 (h) Sarana Perbaikan Kapal dan Docking Sarana perbaikan kapal dan docking ini mempunyai luas 16.000 m² berupa winch house, slipway dan bengkel kapal yang masing-masing berjumlah 4 unit. Fasilitas ini dikelola oleh tiga perusahaan swasta dan sebuah koperasi karyawan Dinas Perikanan DKI Jakarta. Fasilitas ini memiliki kapasitas perbaikan sebanyak 6090 kapal/bulan. Ukuran kapal yang mampu diperbaiki maksimal sampai 100 GT. (i) Pabrik Es Guna memenuhi kebutuhan nelayan, pada tahun 2004 telah dibangun 1 unit pabrik es dengan kapasitas 100.000 ton oleh PT. AGB ICE. Fasilitas yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan es sangat lengkap, yaitu sebuah pabrik dengan 4 buah bak dan mesin pembuat es yang dapat menghasilkan 4.700 balok es per harinya. Berdasarkan kapasitas produksi per harinya yang sangat besar, maka tidak ada sistem penjatahan es dari pihak penyedia, berapapun jumlah kebutuhan es nelayan akan dipenuhi. Harga es di PPI Muara Angke, dianggap sangat memuaskan bagi nelayan, karena dinilai masih terjangkau dan wajar bagi nelayan, yaitu seharga Rp14.000,00 per balok. (3) Fasilitas Penunjang Beberapa fasilitas penunjang yang dimiliki oleh PPI Muara Angke diantaranya adalah Kantor Operasional Pangkalan Pendaratan Ikan, Fasilitas Pemukiman dan Sarana Umum, Pujaseri Masmurni dan Pusat Jajanan Ikan “Mirasih”. (a) Kantor Operasional Pangkalan Pendaratan Ikan Sarana perkantoran berjumlah 12 unit yang tersebar di seluruh kompleks PPI dengan ukuran rata-rata 4x6 meter per unit (Gambar 16). Kantor UPT, PKPP dan PPI Muara Angke ini, terletak di dekat pasar pengecer ikan, hanya berjarak 50 meter. Segala pusat administrasi PPI Muara Angke, terlaksana di kantor ini. 73 Gambar 16 Kantor UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara. (b) Fasilitas Pemukiman dan Sarana Umum PPI Muara Angke dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalokasikan lahan seluas 21,26 ha untuk dipergunakan sebagai komplek perusahaan nelayan dengan segala fasilitas pendukungnya seperti sekolah, mulai dari taman kanak-kanak sampai SMP, sarana ibadah berupa mushola dan masjid, puskesmas, rumah sakit paru-paru dan berbagai fasilitas kemasyarakatan lainnya. Rencananya ke depan akan dibangun 2.500 unit rumah nelayan yang pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap. Sistem pengelolaan rumah pada umumnya sama dengan BTN maupun perumnas yakni dengan cara sewa-beli dengan jangka waktu antara 15-18 tahun. Jarak antara perumahan nelayan dengan dermaga sekitar 500 meter, sehingga nelayan tidak memerlukan transportasi untuk mendatangi pelabuhan pemberangkatan. Demikian pula nelayan hanya memerlukan waktu singkat sekitar 10-15 menit untuk pulang ke rumahnya setelah melakukan operasi penangkapan ikan. (c) Pujaseri Masmurni Dalam rangka merangsang minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan, di Muara Angke dibangun Pusat Jajanan Serba Ikan (Pujaseri) Masmurni berupa fasilitas kios ikan bakar yang menampung 24 pedagang pengolah masakan ikan 74 dengan ukuran 5x17 m². Pujaseri Masmurni ini dibangun pada tahun 1996 bertujuan untuk menciptakan peluang pasar produk hasil perikanan khususnya jenis-jenis ikan yang lazim dikonsumsi dalam bentuk bakar. Selain itu, diharapkan agar semakin tumbuh kegemaran masyarakat untuk makan ikan dan menjadikan ikan sebagai lauk/konsumsi sehari-hari. Sesuai dengan Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2006 setiap pemakaian fasilitas Pujaseri dikenakan biaya sewa sebesar 10.000/bulan per meter persegi. (d) Pusat Jajanan Ikan “Mirasih” Di Muara Angke terdapat penyedia ikan yang bersih, terjaga mutunya dan siap saji (sudah disiangi) berikut kemasannya serta beberapa souvenir ikan. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki pelayanan kepada konsumen akhir serta memberikan alternatif pilihan jajanan bagi masyarakat. Fasilitas ini diberi nama Pujaseri Mirasih (Pusat Jajanan Serba Ikan Menyediakan Ikan Segar, Murah dan Bersih). Fasilitas ini memberikan kemudahan bagi konsumen dalam mengkonsumsi ikan. Para pengunjung biasanya memenuhi tempat ini pada hari sabtu dan minggu. 5. AKTIVITAS PENDARATAN DAN PELELANGAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE 5.1 Pendaratan Hasil Tangkapan Proses pendaratan hasil tangkapan dimulai ketika kapal merapat ke dermaga, para awak kapal melakukan pembongkaran hasil tangkapan dan mendaratkannya. Proses pembongkaran ikan dimaksudkan mengeluarkan ikan dari palkah kapal dan memudahkan ikan dalam penjualan ikan atau pelelangan. Kedatangan kapal-kapal penangkap ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke terjadi pada pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB. Ada beberapa kapal yang datang pada siang dan malam hari. Pembongkaran ikan dapat dilakukan langsung setelah kapal merapat di dermaga ataupun keesokan harinya apabila kapal merapat di dermaga pada malam hari. Hal ini bergantung kepada perintah pembongkaran oleh para pemilik atau pengurus kapal. Kapal yang masuk langsung melaporkan kedatangannya ke pihak pelabuhan yaitu ke Bagian Pengawas Kapal Perikanan (WASKI) dan melaporkan kedatangan kepada syahbandar setempat. Kapal melaporkan kedatangan ke syahbandar untuk memperoleh Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal (STBLKK), serta menyerahkan log book kapal yang memuat catatan kegiatan yang terjadi di atas kapal selama kapal berlayar. Kapal-kapal berukuran besar di atas 20 GT melakukan pembongkaran di dermaga bongkar di depan TPI Baru sedangkan kapal-kapal berukuran kecil di bawah 20 GT melakukan pembongkaran di dermaga bongkar dekat TPI Lama. Dalam penelitian ini, hanya difokuskan pada kapal-kapal yang melakukan pembongkaran di dermaga bongkar di depan TPI Baru. Proses pembongkaran ikan di PPI Muara Angke dapat dijelaskan sebagai berikut (Malik,2006): (1) Nelayan melaporkan kedatangan kapal kepada petugas pos pelayanan terpadu. Pelaporan kedatangan kapal tersebut dilakukan dengan menyerahkan dokumendokumen kapal yaitu pas biru, surat izin usaha penangkapan, Surat Izin Pelayaran 76 dan Surat Kelayakan Kapal. Kemudian, petugas memeriksa dokumen-dokumen tersebut dan mencatat identitas kapal ke dalam buku kedatangan kapal; (2) Nelayan melakukan pembongkaran kapal. Pembongkaran hasil tangkapan dilakukan bersamaan dengan penyortiran ikan berdasarkan jenis, ukuran kecil, ukuran sedang dan ukuran besar. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terkadang terlihat ikan berkualitas rendah dicampur dengan ikan yang mempunyai kualitas baik; dan (3) Penimbangan berat ikan dilakukan oleh nelayan dengan disaksikan oleh pihak dari pelelangan dan dicatat hasilnya dengan disertakan data nama kapal, ukuran kapal dan jenis, ukuran dan nama ikan. Catatan berupa slip disertakan pada keranjang ikan agar diketahui oleh para peserta pelelangan. Pengangkutan keranjang ikan dari penimbangan ke tempat pelelangan biasanya menggunakan gerobak atau lori. Sarana untuk pendaratan hasil tangkapan antara lain berupa: ember plastik, keranjang (trays), gerobak dan timbangan. Tenaga kerja yang melakukan kegiatan pendaratan disediakan oleh pihak TPI dan pengurus kapal dengan sistem gaji atau upah harian atau banyaknya trays yang diangkut. Lama pembongkaran dipengaruhi oleh jumlah ABK, jenis dan jumlah ikan hasil tangkapan. Semakin banyak jumlah ABK yang ikut dalam proses pembongkaran, maka akan semakin cepat proses pembongkaran tersebut. Jumlah nelayan yang biasanya melakukan pembongkaran berjumlah 2-6 orang. Proses pembongkaran dimulai dengan memindahkan ikan-ikan dari palkah dengan menggunakan sekop, memasukkannya ke dalam ember sampai dilakukan penimbangan. Penanganan ikan hasil tangkapan pada setiap pembongkaran, adalah berbeda untuk setiap kapal, yaitu bisa dengan pendinginan, penggaraman, atau dengan perendaman dalam tong (blong). Oleh karena itu, proses pemindahan ikan-ikan tersebut membutuhkan tenaga yang cukup banyak, terlebih bila waktu yang disediakan hanya sedikit. Begitu pula dengan semakin banyak jumlah dan jenis hasil tangkapan yang terdapat dalam palkah, maka proses pembongkaran ikan akan semakin lama. 77 Pembongkaran ikan dimulai setelah pemilik/pengurus kapal, buruh dan petugas TPI telah datang untuk mengawasi jalannya pembongkaran hasil tangkapan. Persiapan pembongkaran hasil tangkapan dilakukan pada saat kapal mulai merapat di dermaga. Setelah ABK mempersiapkan terpal yang dbentangkan di atas palkah, pembongkaran hasil tangkapan dimulai. Terpal dibentangkan di atas palkah bertujuan untuk melindungi hasil tangkapan dari sinar matahari selama proses pembongkaran dan penyortiran di atas kapal. Setelah terpal terpasang, beberapa orang ABK mempersiapkan alat bantu seperti ember, serok, trays dan keranjang serta membersihkan dan merapihkan lantai dek kapal dari barang-barang yang mengganggu. Ikan diangkat ke atas dek kapal dari dalam palkah dengan menggunakan bantuan serok panjang dan menggunakan tali. Setelah serok terangkat, ikan kemudian diletakkan di atas dek untuk disortir ke dalam masing-masing keranjang (Gambar 17). Penyortiran ikan dilakukan di atas dek dan dilakukan kembali di dermaga. Penyortiran ikan ini dilakukan berdasarkan jenis, ukuran dan mutu ikan. Selama penyortiran di atas dek, ikan tidak mengalami pencucian. Jumlah ABK yang membongkar ikan di dalam palkah biasanya berjumlah 1-2 orang dan yang berada di atas dek sebanyak 5-7 orang. Ikan yang telah dibongkar dari palkah dan telah tersusun di dalam keranjang, diturunkan ke dermaga dengan bantuan para kuli angkut pelabuhan. Gambar 17 Saat penyortiran hasil tangkapan di atas dek kapal. 78 Selama pengamatan di lapangan yaitu, pada saat dilakukan pembongkaran hasil tangkapan ke atas dek kapal, para ABK masih belum terlalu memperhatikan masalah sanitasi dan kebersihan kapal. Lantai dek dalam keadaan kurang bersih dan licin akibat tumpahan dari lendir ikan yang bercampur dengan air dan bongkahanbongkahan es. Keranjang (trays) yang digunakan pun masih terlihat kotor (Gambar 18). Gambar 18 Keranjang yang digunakan pada saat pembongkaran ikan. Keranjang kotor yang digunakan untuk meletakkan hasil tangkapan dapat berpengaruh terhadap kualitas ikan. Bekas darah dan lendir ikan yang masih tersisa di sisi keranjang, akan menyebabkan perkembangan mikroorganisme dalam tubuh ikan itu sendiri berkembang dengan cepat. Perkembangan mikroorganisme tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas ikan. Pada beberapa kapal dimana saat dilakukan pembongkaran ke atas dek, ada ABK yang menginjak-injak ikan dan ada juga yang memasukkan kaki ke dalam keranjang ikan (Gambar 19). Selain itu, pada saat penyortiran ikan, beberapa ABK tidak menggunakan sarung tangan sebagai penutup untuk menghindari kontak langsung antara tangan dan ikan (Gambar 20). 79 Gambar 19 ABK yang memasukkan kaki ke dalam keranjang ikan. Perilaku para ABK tersebut dapat menurunkan mutu hasil tangkapan, karena penanganan pada saat di atas kapal sangat penting dalam rangka mempertahankan mutu ikan yang didaratkan. Apabila penanganan ikan di atas kapal tidak sesuai, penurunan mutu ikan dapat terjadi lebih cepat. Penurunan mutu ikan yang berlangsung di atas kapal menyebabkan mutu ikan terus menerus menurun lebih cepat. Gambar 20 Beberapa ABK yang tidak menggunakan sarung tangan saat pembongkaran hasil tangkapan. 80 Menurut Malik (2006), bahwa nelayan di PPI Muara Angke, seringkali tidak menyadari hal-hal yang tidak baik yang telah menjadi kebiasaan dalam membongkar dan menangani hasil tangkapan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebiasaan itu seperti penggunaan sekop untuk memindahkan ikan, pencucian ikan dengan menggunakan air kolam pelabuhan yang kotor, ikan dan potongan-potongan ikan yang berserakan dan beberapa ikan terinjak pada saat pengangkutan ke TPI, hal tersebut menyebabkan penurunan mutu ikan. Setelah ikan selesai dibongkar, ikan diturunkan ke dermaga sambil menunggu untuk diangkut ke dalam Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Ikan diletakkan dalam kondisi terbuka, sehingga terkena sinar matahari langsung, ikan juga tidak diberi es, sehingga sangat memungkinkan terjadinya penurunan mutu ikan. Proses pembongkaran ikan di dermaga bongkar ini berlangsung sekitar 3-4 jam, tergantung kepada jenis kapal dan banyaknya jumlah hasil tangkapan. Kapal purse seine membutuhkan waktu yang agak lama untuk membongkar seluruh hasil tangkapannya, biasanya memerlukan waktu sekitar 4 jam. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pembongkaran ikan dibedakan menurut jenis dan kualitasnya. Ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis dan kualitas tinggi seperti ikan kerapu, kakap, tenggiri, tongkol dan lain-lain. Biasanya setelah dibongkar, ikan langsung dibawa ke perusahaan pengolahan yang dimiliki oleh pemilik kapal. Ikan-ikan yang tidak memiliki nilai ekonomis tinggi dan kualitas yang rendah seperti ikan semar, kembung, tembang dan lain-lain setelah dibongkar, diangkut ke TPI untuk dilelang. 5.2 Pengangkutan Hasil Tangkapan Setelah proses pembongkaran, ikan-ikan yang didaratkan kemudian diturunkan ke dermaga lalu diangkut ke tempat tujuan yang berbeda. Ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis dan kualitas tinggi, biasanya langsung dibawa ke perusahaan yang dikelola oleh para pemilik kapal. Ikan-ikan ini biasanya merupakan ikan-ikan untuk komoditi ekspor. Ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis dan kualitas rendah akan dibawa ke TPI untuk dilelang. 81 Persiapan yang dilakukan setelah ikan diturunkan dari kapal adalah penyusunan keranjang di lantai dermaga. Ikan-ikan dipisahkan sesuai tujuan pengangkutannya. Saat di lantai dermaga, ikan dibiarkan begitu saja terkena sinar matahari langsung dan tidak menggunakan es serta tidak dicuci terlebih dahulu. Pengangkutan ikan hasil tangkapan, baik langsung menuju ke perusahaan maupun ke TPI menggunakan bantuan gerobak dorong atau lori. Pengangkutan dilakukan oleh para kuli angkut. Pengangkutan ke perusahaaan tidak dilakukan oleh kuli angkut yang berseragam. Kuli angkut di PPI Muara Angke, menggunakan dua jenis seragam. Seragam orange untuk kuli angkut yang melakukan pembongkaran ikan di atas dek dan mengangkut keranjang ikan ke dermaga bongkar. Seragam merah untuk yang mengangkut hasil tangkapan dari dermaga bongkar ke TPI. Gerobak dorong dapat memuat 6 keranjang ikan untuk sekali angkut, sedangkan lori dapat memuat 3 keranjang ikan sekali angkut. Kapal bubu biasanya lebih banyak mengangkut ikan hasil tangkapan langsung ke perusahaan, karena ikan-ikan hasil tangkapannya biasanya merupakan ikan-ikan komoditi ekspor seperti ikan kerapu dan kakap. Kapal purse seine, jaring cumi dan gillnet mengangkut hasil tangkapannya ke TPI, untuk kemudian masuk ke pasar grosir atau pengecer ikan serta tempat pengasinan. Selama proses pengangkutan, baik dengan menggunakan gerobak dorong ataupun lori, ikan-ikan tidak tertutup sehingga terkena sinar matahari langsung dan terkontaminasi langsung dengan udara luar. Jumlah buruh atau kuli angkut yang mengangkut hasil tangkapan untuk setiap kapal adalah 5-7 orang, secara bergantian baik untuk mengangkut ke perusahaan maupun ke TPI. Departemen Pertanian (1997) diacu dalam Rusmali (2004) menyebutkan bahwa selama proses pengangkutan ikan, sebaiknya ikan diangkut melalui tempat yang teduh dan tertutupi agar terhindar dari sinar matahari langsung. Pengaruh sinar matahari langsung dapat menyebabkan penurunan mutu ikan lebih cepat. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan petugas dari TPI, dermaga bongkar tidak dilengkapi dengan kanopi untuk melindungi ikan agar tidak terkena sinar matahari langsung karena akan mengganggu saat kapal merapat di dermaga. 82 Ikan-ikan yang merupakan komoditi ekspor, langsung diangkut ke perusahaan dan diolah menjadi produk olahan. Setelah itu, produk olahan tersebut langsung dikirim ke negara yang memesan. Biasanya negara eksportir ikan dari PPI Muara Angke adalah Singapura, Taiwan dan Hongkong. Ikan tujuan ekspor diangkut dengan menggunakan truk kontainer yang berpendingin. 5.3 Pelelangan Hasil Tangkapan Kegiatan pelelangan ikan merupakan mata rantai dari kegiatan usaha penangkapan. Kegiatan pelelangan berhubungan atau berpengaruh terhadap hasil pendapatan. Agar hasil pendapatan tetap baik dan menguntungkan, maka proses pelelangan harus dilakukan dengan baik. Selain itu, tujuan dari pelelangan ikan adalah: (1) Perolehan harga ikan yang layak bagi nelayan secara tunai dan tidak memberatkan pembeli; (2) Terhindar dari ikatan-ikatan yang bersifat monopoli dan monopsoni terhadap pemasaran ikan milik nelayan; (3) Peningkatan PAD melalui pungutan retribusi lelang; (4) Peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan; dan (5) Pengembangan usaha koperasi. Prosedur pelelangan ikan di PPI Muara Angke (UPT PPI Muara Angke, 2007) adalah sebagai berikut: (1) Kapal melaporkan kedatangannya ke pengawas perikanan (WASKI), dicatat dokumen dan mendapatkan nomor urut lelang; (2) Proses pembongkaran ikan dengan menyortir ikan berdasarkan jenis dan mutu lalu ditempatkan di dalam keranjang (trays); (3) Penimbangan hasil tangkapan di dermaga dan diawasi oleh juru timbang dari koperasi Mina Jaya kemudian diberi label volume ikan dan nama kapal; (4) Ikan disusun di lantai TPI berdasarkan nomor urut lelang yang didapatkan oleh setiap kapal; 83 (5) Juru lelang mengumumkan dan memanggil peserta lelang untuk memulai proses pelelangan; (6) Ikan dilelang oleh juru lelang dimana jumlah peserta lelang sebanyak 70 orang dan harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Penawaran yang dilakukan bersifat meningkat sampai tercapai harga penawaran yang tertinggi; (7) Seluruh hasil transaksi dicatat oleh juru bakul. Pencatatan hasil transaksi pelelangan meliputi: jenis, ukuran, berat dan harga ikan, nama nelayan dan nama pemenang lelang. Setelah proses pelelangan selesai, maka data diserahkan kepada petugas operator pelelangan; (8) Peserta pemenang lelang umumnya melakukan pencatatan hasil transaksi dan pemenang lelang biasanya langsung mengemasi ikannya. Setelah mencatat hasil transaksi ikan, pemilik kapal menerima uang dari petugas kasir; (9) Proses pembayaran oleh pemenang lelang dan penerimaan hasil penjualan oleh pemilik kapal dilakukan sebagai berikut: (a) Setelah operator menerima seluruh hasil transaksi pelelangan dari juru bakul, kemudian membuat faktur lelang dengan cara melengkapi data dan menetapkan besarnya retribusi jasa pelelangan ikan. Retribusi jasa pelelangan ikan yang dibebankan kepada nelayan pemilik kapal ditetapkan sebesar 3% dari nilai lelang dan yang dibebankan kepada pemenang lelang sebesar 2%. Setelah itu, faktur lelang tersebut diserahkan kepada petugas kasir; (b) Selanjutnya petugas faktur lelang memanggil pemenang transaksi dengan pengeras suara agar membayar nilai transaksi penjualan ikan ditambah biaya jasa pelelangan ikan 2%, dan memanggil nelayan pemilik kapal untuk mengambil hasil transaksi sebesar harga penawaran setelah dipotong biaya jasa retribusi 3%; (c) Setelah uang hasil retribusi diserahkan oleh kasir kepada bendaharawan penerima UPT PKPI (Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pendaratan Ikan) Muara Angke. Para peserta lelang di PPI Muara Angke adalah para pedagang, baik pedagang pengumpul maupun eceran, yang berada di lingkungan sekitar PPI Muara Angke. 84 Para peserta lelang harus memiliki karcis lelang dengan mendaftarkan diri terlebih dahulu, dan menyimpan uang deposit di kasir lelang. Hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke dipasarkan dengan sistem lelang terbuka. Penyelenggara lelang ini adalah Koperasi Perikanan Mina Jaya dibawah pengawasan langsung oleh kepala seksi pelelangan ikan UPT PPI Muara Angke. Lebih jelas, mekanisme pelelangan hasil tangkapan digambarkan pada Gambar 21 berikut: Kapal Datang/masuk pelabuhan Proses Bongkar Penimbangan Dilelang oleh Juru Lelang, Jumlah peserta 70 orang Pencatatan Produksi Proses Pengolahan Ekspor (Rekomendasi tidak lelang untuk jaga mutu, retribusi 5%) Pemenang Lelang/Bakul Luar Daerah Jabotabek Pasar Muara Angke (Grosir, Pengecer dan Unit Pengolah) Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006 Gambar 21 Mekanisme Pelelangan Ikan di PPI Muara Angke Jakarta Utara. 85 Proses pelelangan ikan di PPI Muara Angke dari sisi teknis pelaksanaan secara umum sudah terselenggara dengan lancar. Dari hasil pengamatan selama penelitian, pihak TPI masih kurang memperhatikan mutu atau kualitas ikan. Kondisi di lapangan, ketika proses pelelangan berlangsung, pihak TPI tidak membatasi jumlah orang yang boleh masuk ke area pelelangan ikan sehingga setiap orang boleh saja memasuki area pelelangan. Pihak TPI juga tidak memperhatikan peletakan ikan yang akan dilelang. Ikan dalam keranjang diletakkan secara berhimpitan, sehingga tidak ada celah antar keranjang satu dengan keranjang yang lain. Pada saat lelang, juru lelang akan berdiri di atas keranjang ikan untuk menentukan harga. Hal ini dapat menyebabkan kemunduran mutu ikan, karena kotoran di sepatu juru lelang dapat mencemari ikan. Gambar 22 Ikan-ikan dalam keranjang yang siap untuk dilelang. Jenis ikan yang diekspor dipasarkan langsung tanpa melalui pelelangan di TPI tetapi melalui sistem lelang ”opouw”. Sistem lelang ini merupakan ”sistem lelang sandiwara”. Pembeli ikan membeli ikan langsung kepada pemilik kapal dengan cara tawar menawar seperti dalam pelelangan sampai mencapai harga yang disepakati bahkan ikan yang dilelang akan dibeli kembali oleh pemilik kapal. Harga yang berlaku untuk sistem lelang ini berbeda dengan sistem lelang murni yang sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Pemda DKI Jakarta. 86 Transaksi penjualan dengan sistem ”opouw” tetap tercatat datanya di TPI berdasarkan laporan pihak perusahaan sehingga TPI tetap memperoleh retribusi dari nilai transaksi penjualan tersebut. Dalam pelaksanaannya, sistem lelang ini memiliki kelemahan, seperti tidak adanya mekanisme kontrol terhadap data produksi ikan yang dilelang. Transaksi penjualan yang diperoleh dari perusahaan dapat diragukan keakuratannya, karena kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan tertentu didalamnya seperti kepentingan perusahaan. Gambar 23 Suasana pelelangan “opouw” di PPI Muara Angke. Retribusi yang dikenakan kepada pemilik kapal yang menggunakan sistem lelang ”opouw” adalah 5%. Wistati (1997) diacu dalam Rusmali (2004) mengemukakan bahwa pelelangan ikan dengan sistem ”opouw” akan merugikan pembeli (pedagang ikan), karena mereka tidak dapat bersaing untuk memperoleh harga ikan yang sesuai seperti pada sistem lelang murni. Pungutan retribusi di tempat pelelangan ikan Muara Angke diambil berdasarkan aturan dari: (1) Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1999; (2) SK. Gubernur KDKI Jakarta No. 2074 Tahun 2000 mengenai pembagian presentasi; dan 87 (3) SK. Gubernur KDKI Jakarta N0. 993 Tahun 2002 mengenai penunjukkan koperasi perikanan sebagai penyelenggara pelelangan ikan. Pembagian retribusi pelelangan ikan yang terjadi di PPI Muara Angke dijelaskan pada Gambar 24: Nelayan (Pemilik Kapal) 3% Bakul Ikan (Pemenang Lelang) 2% TPI 5% Kas Daerah Koperasi Penyelenggara 40% Biaya Penyelenggaraan Pelelangan a. Biaya lelang (42,5%) b.Keamanan&Ketertiban (5%) c.Pembinaan (7,5%) Pemda 60% Dana Sosial a. Asuransi (7,5%) b.Dana Paceklik (7,5 %) c. Tab Nelayan dan Bakul (10%) Biaya Administrasi Kantor a. Biaya Kantor (7,5%) b. TAL (2,5%) c. Pemeliharaan (10%) Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006 Gambar 24 Pembagian retribusi pelelangan ikan PPI Muara Angke. Ikan yang akan dilelang, dicatat oleh petugas pencatat TPI berdasarkan jenis ikan, pemilik/nama kapal dan berat ikan per keranjang. Setelah ditentukan pemenang 88 lelang, ikan diberi label yang berisi data mutu, berat dan pemenang/pemilik ikan per keranjang. Lamanya proses pelelangan sekitar 3-4 jam sesuai dengan banyaknya jumlah ikan yang dilelang. Ikan-ikan yang akan dilelang diletakkan begitu saja di dalam keranjang tanpa ada penambahan es. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas mutu ikan seiring dengan bertambahnya waktu. Sehingga hal ini memerlukan perhatian yang lebih baik untuk kedepannya oleh pihak TPI PPI Muara Angke. Setelah selesai pelelangan, para pemilik ikan menyuruh para kuli angkut untuk memindahkan ikan-ikan dari keranjang TPI ke keranjang masing-masing. Setelah dipindahkan, ikan dibawa keluar TPI untuk kemudian diangkut menuju tempat masing-masing pemilik ikan ataupun ke tempat pengasinan. 5.4 Penyortiran dan Penanganan Hasil Tangkapan Penanganan hasil tangkapan di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke dimulai sejak ikan didaratkan, pengangkutan ke TPI atau perusahaan, ikan dilelang sampai ikan siap untuk didistribusikan. Penanganan ikan dibutuhkan untuk mempertahankan kualitas (mutu) ikan yang didaratkan hingga sampai ke tangan konsumen. Penyortiran ikan yang didaratkan dimulai dari ikan yang dibongkar dan diangkat ke atas dek kapal. Ikan kemudian disortir berdasarkan jenisnya dan dimasukkan ke dalam keranjang yang telah disediakan. Setelah itu ikan diturunkan di dermaga bongkar. Di atas lantai dermaga bongkar, ikan disortir kembali berdasarkan ukuran dan mutu ikan. Penentuan ukuran sortir oleh ABK dan staf perusahaan atau pemilik kapal dilihat berdasarkan keseragaman ukuran ikan tanpa memperhitungkan ukuran panjang dan berat yang pasti. Penentuan ukuran ini dibagi ke dalam ukuran ikan besar, sedang dan kecil. Penyortiran juga dilakukan menurut kondisi ikan yaitu dari kerusakan ikan, banyaknya lendir dan kejernihan mata ikan. Ikan yang dibongkar pertama kali sejak didaratkan memiliki mutu yang lebih baik, karena letaknya berada paling atas dibandingkan dengan ikan yang terakhir 89 dibongkar. Hal ini disebabkan karena ikan yang pertama dibongkar merupakan ikan yang paling akhir diperoleh dalam satu kali operasi penangkapan. Penanganan ikan yang dilakukan oleh nelayan adalah dengan menggunakan es balok, es balok yang dicampur dengan air laut dan dengan menggunakan freezer atau pendingin. Pada Tabel 17 dapat dilihat penanganan yang dilakukan oleh nelayan selama di atas kapal. Data diambil berdasarkan 20 kapal sampel yang diamati selama penelitian berlangsung. Tabel 17 Penanganan hasil tangkapan selama di kapal No. Jenis Pengawetan Jumlah Kapal yang Menggunakan 1. Hanya menggunakan es balok 11 unit 2. Menggunakan es balok+air laut 2 unit 3. Menggunakan freezer/pendingin 7 unit Sumber: Data Primer Penelitian, 2008 Jenis kapal yang menggunakan freezer/pendingin untuk mengawetkan ikan adalah kapal bubu. Hal ini dilakukan karena ikan hasil tangkapan bubu merupakan ikan-ikan komoditi ekspor yang sangat mementingkan kualitas. Penggunaan es balok ditambah air laut merupakan cara pengawetan ikan yang dilakukan oleh nelayan purse seine yang operasi penangkapannya selama 5 hingga 14 hari. Penyusunan ikan di dalam palkah dilakukan secara berlapis dimana ikan diapit es di sisi atas dan bawah, begitu seterusnya sampai hasil tangkapan terakhir. Hal ini terlihat pada saat pembongkaran hasil tangkapan, dimana masih terdapat bongkahanbongkahan es yang ikut terangkat. Namun, setelah didaratkan ikan tidak diberi penanganan yang baik seperti penambahan es yang baru atau pencucian tubuh ikan dengan menggunakan air bersih. Setelah ikan diturunkan dari kapal dan disusun di dermaga, ikan yang telah disortir diberi label berupa secarik kertas yang berisi catatan nama kapal/pemilik dan berat ikan dalam satu keranjang oleh juru timbang dari Koperasi Perikanan Mina Jaya. Hal ini dilakukan untuk kepentingan perusahaan dan memudahkan juru lelang 90 pada saat melelang ikan-ikan tersebut. Kemudian ikan langsung diangkut menuju TPI atau perusahaan. Selama pengangkutan ke TPI dan selama berada di dalam TPI untuk menunggu proses pelelangan ikan, ikan tidak diberikan penanganan yang baik dalam upaya untuk mempertahankan mutu ikan seperti penggunaan es batu dan pencucian dengan air bersih. Lantai TPI pun kotor dengan ceceran darah, lendir, potongan ikan dan genangan air yang dapat mempercepat penurunan mutu ikan, terlebih ikan berada di dalam TPI untuk waktu yang cukup lama. Menurut Departemen Pertanian (1997) diacu dalam Rusmali (2004) menyebutkan bahwa selama dalam proses pelelangan, ikan harus ditempatkan pada keranjang yang bersih dan harus tetap dipertahankan pada suhu dingin. Wadah yang berisi ikan saat dipindahkan sebaiknya diangkat dan tidak diseret di lantai. Berdasarkan pengamatan, di TPI Muara Angke masih banyak terdapat potongan ikan, ceceran darah dan lendir serta genangan air di sekeliling keranjang ikan. Keranjang yang digunakan saat proses pendaratan, pengangkutan, pelelangan dan pendistribusian tidak dicuci dengan bersih. Pada permukaan dan sudut-sudut keranjang masih tampak sisa-sisa darah dan lendir ikan yang menempel dan mengering. Selain itu, sebagian keranjang yang sudah rusak dan belum diperbaiki masih tetap dipergunakan. Kondisi ini dapat merusak kulit dan daging ikan yang didaratkan dan pada akhirnya akan menurunkan mutu ikan itu sendiri. Gambar 25 Proses pencucian keranjang ikan setelah pelelangan selesai. 91 Pemindahan ikan masih dilakukan dengan cara menyeret keranjang di lantai TPI. Bahkan terkadang sering terjadi keranjang ikan yang dibanting ketika diturunkan dari gerobak dorong ke lantai TPI. Saat pemindahan ikan dari keranjang TPI ke keranjang pemenang lelang, untuk meratakan ikan di dalam keranjang, para kuli angkut meratakannya dengan menggunakan kaki dan menginjak-injak ikan. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh ikan dan menurunkan mutu ikan tersebut. Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan ikan yang dilakukan di PPI Muara Angke masih rendah tanpa atau masih belum memperhitungkan masalah sanitasi. Penanganan ikan yang belum memperhatikan sanitasi menyebabkan ikan-ikan yang berada di PPI Muara Angke mengalami penurunan mutu dan memiliki kualitas yang buruk. 6. DAMPAK AKTIVITAS PENDARATAN DAN PELELANGAN HASIL TANGKAPAN TERHADAP SANITASI DI PPI MUARA ANGKE 6.1 Analisis Kondisi Sanitasi di Kolam Pelabuhan, Dermaga Bongkar dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Secara fisik, kondisi fasilitas di PPI Muara Angke yang terkait dengan proses pendaratan dan pelelangan ikan seperti kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI umumnya dalam kondisi baik. Konstruksi bangunan TPI sudah memenuhi standar dalam pembangunannya. Lantai TPI memiliki kemiringan 2º ke arah saluran pembuangan. Hal ini bertujuan agar pada saat pembersihan TPI, air dapat langsung mengalir masuk ke dalam saluran pembuangan. Gedung TPI juga sudah memiliki atap dan dikelilingi pagar dan tembok untuk mencegah masuknya sinar matahari langsung ke dalam ruangan. Menurut Rusmali (2004), beberapa hal yang harus dipenuhi dalam persyaratan sanitasi dan higienitas pelabuhan perikanan yaitu: lingkungan harus bersih dan tidak terdapat debu berlebihan serta tidak memungkinkan masuknya binatang/hewan liar atau peliharaan. Penerangan harus cukup dan saluran pembuangan harus baik, sehingga tidak memungkinkan terjadinya genangan air. Menurut Menai (2007), kebersihan dan sanitasi yang mengacu pada SSOP adalah: lantai, wadah peralatan dibersihkan dan dicuci sebelum dan sesudah dipakai dengan menggunakan air yang mengandung chlorine; peralatan kebersihan (sikat, sapu, alat semprot dan lain-lain) tersedia setiap saat bila diperlukan, dan jumlahnya mencukupi; tempat pendaratan dan penyimpanan ikan terpelihara kebersihannya; tempat sampah terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tahan karat, tidak bocor, jumlahnya cukup, mempunyai tutup dan ditempatkan di tempat yang sesuai; tidak semua orang kecuali yang berkepentingan masuk ke TPI dan sebelum masuk TPI harus mencuci tangan dan kaki di dalam bak berisi air yang mengandung chlorine. Berdasarkan pengamatan selama penelitian berlangsung, masih terdapat beberapa kekurangan dalam pelaksanaan sanitasi dan kebersihan di kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI. Sampah-sampah dan limbah yang berada di kolam pelabuhan berasal dari aktivitas tambat labuh kapal-kapal perikanan. Dengan adanya 93 aktivitas tambat labuh ini, banyak ceceran oli dan minyak kapal yang menggenangi dan mencemari perairan kolam pelabuhan. Dalam proses pendaratan hasil tangkapan, keranjang (trays) yang digunakan tidak dicuci bersih sehingga sisa-sisa darah dan lendir masih menempel dan mengering. Di dermaga bongkar masih sering terlihat banyak potongan-potongan ikan, sisik ikan, ceceran darah dan lendir ikan, bongkahan-bongkahan es serta genangan air. Gerobak dorong dan lori yang digunakan juga tidak dicuci bersih. Masih banyak sisik-sisik ikan yang menempel dan bekas ceceran darah dan lendir ikan yang mengering. Di lingkungan TPI terutama di dalam ruangan pelelangan ikan, sanitasi dan kebersihannya juga masih kurang baik. Ruang pelelangan ini terlihat masih kotor pada saat proses pelelangan akan berlangsung. Banyak ceceran darah dan lendir yang menggenangi lantai TPI, potongan-potongan ikan yang berceceran, asap rokok yang mengepul dalam ruangan dan orang-orang yang meludah sembarangan di dalam ruangan. Saat proses pelelangan berlangsung, kerap kali terjadi polusi udara berupa bau yang tidak sedap di dalam ruangan. Berdasarkan wawancara dengan petugas TPI, ketersediaan air bersih untuk membersihkan dermaga bongkar dan TPI dinilai cukup. Frekuensi pencucian setiap harinya hanya dilakukan satu kali pada saat aktivitas pembongkaran dan pelelangan hasil tangkapan selesai. Saluran pembuangan yang berada di sekitar TPI cukup lancar dan tidak terjadi penyumbatan tetapi tetap masih ada sampah seperti bungkus dan puntung rokok, plastik dan potongan-potongan ikan yang menggenang di dalamnya. Kondisi sanitasi dan kebersihan yang kurang terjaga ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat nelayan, para pelaku di TPI dan sekitarnya untuk menjaga sanitasi dan kebersihan, baik ruangan, fasilitas dan juga ikan hasil tangkapan yang didaratkan. Pencucian dermaga bongkar dan TPI seharusnya tidak hanya menggunakan air bersih saja, melainkan menambahkan disinfektan untuk mencegah terjadinya kontaminasi dengan bakteri dan untuk mengurangi bau tak sedap, seperti yang terdapat di pelabuhan-pelabuhan perikanan Perancis (Lubis, 2007). 94 Dengan demikian, persiapan dan penanganan ikan di dalam ruangan TPI haruslah ditangani dengan baik dan hati-hati untuk mencegah kerusakan fisik, daging ikan harus dijaga kebersihannya. Oleh karena itu, peralatan yang digunakan harus bersih dan terbuat dari bahan yang mudah untuk dibersihkan. Kondisi fisik fasilitas kepelabuhanan yang memadai yang dimiliki oleh PPI Muara Angke kiranya masih belum cukup untuk mengatasi permasalahan sanitasi dan kebersihannya. Pemanfaatan fasilitas tersebut hendaknya disertai pengawasan yang rutin terhadap seluruh fasilitas yang terkait dengan sanitasi dan kebersihan ini. Pengawasan dan pemeliharaan yang baik dapat berupa pengawasan secara rutin terhadap pasokan air bersih yang akan digunakan untuk mencuci kapal, hasil tangkapan, lantai dermaga bongkar dan lantai TPI. Hal ini bertujuan menghindari terganggunya distribusi air bersih untuk kebersihan dan sanitasi. Selanjutnya, tata letak fasilitas yang terkait dengan sanitasi harusnya diatur menurut kapasitas dan kepadatan aktivitas yang menghasilkan limbah. Permasalahan sanitasi dan kebersihan ini dalam penanganannya tidak dapat dilakukan dengan baik apabila tidak diketahui sumber pencemarnya. Sumber-sumber pencemar di tempat pendaratan dan pelelangan ikan PPI Muara Angke adalah adanya aktivitas-aktivtas pendaratan dan pelelangan ikan, baik di kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan gedung TPI. Pemilihan kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI sebagai tempat penelitian karena ketiga tempat ini merupakan pusat terjadinya proses pendaratan dan pelelangan yang banyak menimbulkan dampak. 6.1.1 Faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi sanitasi pada berbagai aktivitas dari pendaratan sampai pelelangan ikan Menurut Wardhana (1995) diacu dalam Rusmali (2004) dampak langsung akibat aktivitas industri dan teknologi dapat dilihat dari adanya pencemaran udara, pencemaran perairan dan pencemaran daratan. Ketiga macam pencemaran tersebut akan mempengaruhi daya dukung alam dan pada akhirnya akan mengganggu kelestarian lingkungan. Pencemaran tersebut dapat terjadi secara alamiah dan akibat perbuatan manusia. 95 Pencemaran lingkungan pelabuhan perikanan banyak disebabkan oleh aktivitas manusia. Sebagai contoh, aktivitas pendaratan dan pelelangan hasil tangkapan menimbulkan pencemaran, baik pencemaran air, darat maupun udara yang menimbulkan dampak sanitasi dan kebersihan lingkungan pelabuhan. Aktivitas pendaratan hasil tangkapan berkaitan erat dengan kondisi kebersihan di kolam pelabuhan dan dermaga bongkar. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya jumlah kapal yang melakukan pendaratan hasil tangkapan, jumlah hasil tangkapan yang didaratkan dalam kondisi rusak, cara penurunan yang tidak benar dan kesadaran para pelaku yang melakukan pendaratan untuk tetap menjaga sanitasi dan kebersihan di kolam pelabuhan dan dermaga bongkar. Begitu pula pada aktivitas pengangkutan, pelelangan dan distribusi ikan, menunjukkan bahwa kesadaran para pelaku akan pentingnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pelabuhan masih rendah. Faktorfaktor yang mempengaruhi sanitasi dapat dilihat pada Tabel 18 berikut: Tabel 18 Faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi di kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI PPI Muara Angke Aktivitas Kepelabuhanan 1. Pendaratan kapal 2. Pembongkaran dan penyortiran ikan 3. Pengangkutan ikan 4. Pelelangan ikan Sumber: Data Primer Penelitian 2008 Faktor yang berpotensi mempengaruhi sanitasi a. Banyaknya ceceran oli dan minyak yang menggenangi kolam pelabuhan; b. Para ABK yang membuang sampah langsung ke dalam kolam pelabuhan saat istirahat. a. Banyaknya ikan yang didaratkan dalam kondisi rusak; b. Cara penurunan ikan ke dermaga yang belum benar; c. Ikan hasil tangkapan sampingan langsung dibuang ke kolam pelabuhan; d. Bongkahan es yang dibuang ke kolam pelabuhan dan dermaga bongkar; e. Kesadaran ABK dan kuli angkut akan kebersihan masih rendah. a. Cara pengangkutan yang belum benar; b. Kesadaran para kuli angkut yang masih rendah dalam menjaga sanitasi. a. Cara penempatan ikan yang tidak benar; b. Banyaknya orang yang mengikuti pelelangan; c. Banyak orang yang meludah sembarangan; d. Jumlah hasil tangkapan yang dilelang; e. Pemindahan ikan setelah pelelangan selesai; f. Cara pendistribusian yang belum benar; g. Keranjang yang digunakan rusak dan belum diperbaiki; h. Kesadaran para pemenang lelang dan kuli angkut tentang sanitasi masih rendah. 96 6.1.2 Jenis limbah fisik yang dihasilkan aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan di PPI Muara Angke Menurut Departemen Pertanian (2002) diacu dalam Rusmali (2004), sumber air limbah di suatu pelabuhan perikanan dapat berupa air limbah domestik (limbah kakus dan uranil), limbah akibat aktivitas perikanan dan air limbah dari perkantoran (limbah dapur dan kamar mandi). Limbah fisik akibat pencemaran yang dihasilkan aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan di PPI Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini. Tabel 19 Jenis limbah/sampah akibat proses pendaratan dan pelelangan hasil tangkapan di PPI Muara Angke Aktivitas Lokasi Jenis limbah Dampak terhadap lingkungan Kotor dan mengganggu alur pelayaran apabila menumpuk Dampak terhadap kualitas ikan - Kolam Pelabuhan Potongan tubuh ikan, ceceran oli dan minyak, plastikplastik, potongan kayu 2. Pendaratan dan penyortiran ikan Dermaga Bongkar Potongan tubuh ikan, genangan lendir dan darah tercecer, bongkahan es sisa pengawetan di palkah Kotor, bau, lantai licin Penurunan kualitas ikan 3. Pengangkutan ikan Dermaga Bongkar Potongan tubuh ikan, genangan lendir dan darah tercecer Kotor, bau 4. Pelelangan ikan TPI Potongan tubuh ikan, genangan lendir dan darah tercecer, ludah manusia, genangan air Kotor, bau, lantai licin Penurunan Kualitas Ikan 5. Pengangkutan ikan dari TPI ke perusahaan dan pedagang TPI Potongan tubuh ikan, genangan lendir dan darah tercecer, bungkus plastik, bungkus rokok, botol plastik, dan lain-lain Kotor, bau, serta mengganggu kenyamanan dan keindahan Penurunan Kualitas Ikan 1. Pendaratan kapal Sumber: Data Primer Penelitian, 2008 - 97 Berdasarkan jenis aktivitas yang berlangsung di kawasan PPI Muara Angke, limbah dihasilkan oleh berbagai aktivitas seperti: aktivitas keluar masuk kapal menghasilkan limbah sisa buangan dari kapal, misal oli dan sisa perbekalan yang mencemari kolam pelabuhan; aktivitas pendaratan ikan di dermaga dan TPI menghasilkan potongan ikan yang tercecer, lendir, darah ikan dan sampah bungkus plastik/kertas; kawasan industri menghasilkan limbah cair sisa pencucian dan pengolahan ikan; aktivitas perkantoran menghasilkan sampah plastik, kertas dan limbah manusia. Berdasarkan pengamatan di lapangan, aktivitas pendaratan di kolam pelabuhan dan dermaga bongkar; pengangkutan ke TPI atau perusahaan; pelelangan dan pengangkutan ikan di gedung TPI telah menimbulkan dampak terhadap kondisi sanitasi dan kebersihan di wilayah kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI. Aktivitas pendaratan yang mencakup kapal merapat, pembongkaran ikan dari kapal dan penurunan ikan ke dermaga oleh ABK dan kuli angkut pelabuhan telah menghasilkan limbah fisik dan memberikan dampak terhadap kebersihan dan kenyamanan. Aktivitas pengangkutan ikan ke TPI atau perusahaan juga menghasilkan limbah fisik yang sama dan berdampak kepada kebersihan dermaga. Aktivitas pelelangan ikan menghasilkan limbah fisik berupa potongan ikan, genangan lendir dan darah tercecer sama halnya yang terjadi dengan aktivitas pendaratan, pembongkaran dan pengangkutan ikan. Aktivitas turunan seperti penjualan non ikan dan pedagang asongan menghasilkan limbah plastik, bungkus rokok dan limbah padat lainnya menghasilkan dampak pencemaran daratan kepada kebersihan, kenyamanan dan keindahan lingkungan pelabuhan. Hal ini seperti yang telah dikatakan oleh Menai (2007), SSOP yang harus diterapkan di lokasi, konstruksi dan tata ruang suatu pelabuhan perikanan, lokasi pelabuhan perikanan harus terbebas dari timbunan barang bekas yang tidak teratur dan timbunan barang sisa atau sampah. Di PPI Muara Angke kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPInya tidak terbebas dari timbunan barang sisa atau sampah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sanitasi di ketiga tempat tersebut masih belum memenuhi standarisasi yang telah ditetapkan. 98 6.1.3 Limbah dari aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan di kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI Berdasarkan aktivitas yang berlangsung dan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi sanitasi pada Tabel 18, penyebab rinci dampak dari aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan terhadap sanitasi di kolam pelabuhan, dermaga bongkar, TPI dan lingkungan sekitarnya diuraikan sebagai berikut: (1) Kolam Pelabuhan Limbah yang terdapat di kolam pelabuhan berupa limbah padat dan limbah cair. Limbah padat terdiri dari potongan tubuh ikan, potongan kayu, sampah plastik, botolbotol plastik, dan sebagainya. Limbah cair yang terdapat di kolam pelabuhan berupa ceceran oli dan minyak dari kapal, air sisa pencucian ikan, air sisa pencucian kapal dan sebagainya. Gambar 26 Kondisi kolam pelabuhan PPI Muara Angke. Limbah-limbah ini berasal dari aktivitas-aktivitas para ABK, pada saat kapal merapat di dermaga sambil menunggu pendaratan dan pembongkaran ikan, atau setelah pembongkaran ikan selesai. Banyaknya limbah padat dan cair yang masuk ke dalam kolam pelabuhan, bergantung kepada banyaknya kapal yang merapat di dermaga. Berdasarkan hasil wawancara dengan para ABK dan nahkoda, frekuensi pencucian kapal adalah satu kali setiap proses pembongkaran hasil tangkapan selesai. Pada saat pencucian kapal, ABK membuang limbah dan memasukannya ke dalam 99 kolam pelabuhan tanpa diolah terlebih dahulu, sehingga mencemari perairan kolam pelabuhan. (2) Dermaga Bongkar Limbah yang terdapat di dermaga bongkar berupa limbah padat dan limbah cair. Limbah padat terdiri dari potongan tubuh ikan yang tercecer, sampah plastik, kertas, botol air mineral bekas puntung rokok dan sebagainya. Limbah cair yang dihasilkan di dermaga bongkar berupa ceceran darah dan lendir ikan, genangan air sisa pencucian ikan dan bongkahan es sisa pengawetan ikan selama di palkah. (a) Sisa bongkahan es yang tersisa (b) genangan air, darah dan lendir ikan Gambar 27 Kondisi sanitasi di dermaga bongkar PPI Muara Angke. Banyaknya jumlah limbah padat dan limbah cair yang terdapat di dermaga bongkar dipengaruhi oleh banyaknya jumlah kapal yang mendaratkan ikan dan jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan setiap harinya. Pada saat penelitian, rata-rata ikan yang didaratkan setiap kapal per harinya adalah sebanyak 3 ton. Banyaknya limbah padat yang terdapat di dermaga terjadi karena penurunan ikan ke dermaga bongkar dan pada saat akan diangkut dengan gerobak dorong atau lori, tidak dilakukan dengan benar. Bahkan terjadi bantingan-bantingan ketika keranjang ikan sampai di dermaga bongkar atau di atas gerobak dorong. Akibat dari bantingan keranjang tersebut, ikan yang berada dalam keranjang berjatuhan ke dermaga bongkar terutama untuk keranjang ikan yang penuh. 100 Banyaknya jumlah limbah juga dipengaruhi oleh peletakan ikan berukuran besar, seperti ikan layaran yang tidak cukup untuk ditempatkan di keranjang, sehingga langsung diletakkan di atas lantai dermaga. Peletakan ikan langsung di lantai dermaga mengakibatkan lendir dan darah ikan mengotori lantai dermaga. Selain itu, banyak ikan yang didaratkan dalam kondisi rusak dan tidak mendapatkan penanganan yang baik. Hasil tangkapan yang rusak sangat mudah hancur saat pendaratan dan pengangkutan di dermaga sebagai akibat dari cara penanganan, pendaratan dan pengangkutan hasil tangkapan yang belum benar dan tidak hati-hati. (a) Peletakan ikan di lantai dermaga (b) Peletakan ikan dalam keranjang Gambar 28 Kondisi peletakan ikan di dermaga bongkar PPI Muara Angke. Penyortiran ikan dilakukan dengan cara memilih ikan berdasarkan jenis, ukuran dan mutu ikan. Selanjutnya, ikan yang telah disortir dilemparkan satu persatu ke masing-masing keranjang yang telah tersedia baik di atas dek maupun di dermaga. Cara ini selain dapat menyebabkan kerusakan fisik tubuh ikan juga menyebabkan ikan tercecer di lantai dek dan dermaga. Ceceran potongan ikan di luar keranjang terjadi akibat penyortiran karena dilempar dan dilakukan dengan tergesa-gesa dan cepat. Rata-rata per keranjang ikan yang disortir, terdapat satu sampai tiga ikan yang jatuh dan tercecer di luar keranjang. Kecerobohan dalam penyortiran ikan ini, menimbulkan limbah padat dan cair berupa potongan tubuh ikan, genangan darah dan lendir ikan. Selain itu, para ABK 101 yang menyortir ikan tidak menggunakan sarung tangan. Hal ini dapat menyebabkan ikan yang didaratkan mudah terkontaminasi zat asing atau mikroorganisme, yang dapat menurunkan mutu ikan dan membahayakan bagi kesehatan orang yang mengkonsumsinya. Limbah non ikan seperti sampah bungkus plastik makanan, puntung rokok, botol air mineral bekas, kertas dan air ludah juga ikut mengotori dermaga. Limbah non ikan ini akibat banyaknya orang yang lalu lalang di dermaga baik para pekerja maupun para pengunjung yang kurang memperhatikan masalah sanitasi dan kebersihan lingkungan dengan membuang sampah sembarangan dan tidak pada tempatnya. Banyaknya pengunjung yang keluar masuk dermaga bongkar mengakibatkan aktivitas di dermaga bongkar dan pengawasan mutu ikan yang didaratkan tidak terawasi dengan benar. Fasilitas tempat sampah di sekitar dermaga masih kurang. Penempatan tempat sampah hanya berpusat di dermaga yang dekat dengan pelataran TPI, sehingga pada dermaga di sisi kanan TPI menjadi kurang bersih karena tidak ada tempat sampah di sekitarnya. Biarpun sudah tersedia tempat sampah yang cukup banyak di pelataran TPI, masih banyak pekerja dan pengunjung yang membuang sampah dan ludah tidak pada tempatnya. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya masih kurang. (3) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Limbah yang terdapat di TPI sama seperti halnya yang terdapat di dermaga bongkar yaitu potongan tubuh ikan, genangan darah dan lendir ikan serta limbah non ikan seperti sampah plastik, puntung rokok dan air ludah. Limbah-limbah ini berasal dari proses pengangkutan ikan dari dermaga bongkar ke TPI dan proses pelelangan ikan. Penanganan ikan di TPI yang tidak benar, mengakibatkan ikan mudah rusak dan menurun kualitasnya. Keranjang ikan dipindahkan dari atas gerobak dorong atau lori dengan sedikit bantingan. Bantingan ini menyebabkan ikan-ikan berjatuhan, terutama dari keranjang-keranjang yang terisi penuh. Setelah itu, keranjang ikan diatur di lantai 102 TPI, dengan cara diseret menggunakan pengait oleh para pekerja dan kuli angkut. Cara ini dapat mengakibatkan selain rusaknya keranjang juga dapat merusak lantai TPI. Penarikan keranjang menghasilkan limbah potongan tubuh ikan, darah dan lendir ikan yang tercecer. Limbah ikan ini dihasilkan karena kerja buruh angkut yang ceroboh dan terburu-buru, sehingga sebagian kecil ikan dan potongan tubuh ikan ada yang tercecer. Darah dan lendir ikan yang dihasilkan terjadi karena selama ikan berada di TPI tidak dilakukan pencucian. Demikian halnya pada pengangkutan, keranjang ikan diseret yang mengakibatkan ceceran lendir dan darah ikan menyebar ke berbagai tempat di lantai TPI. Pencucian dengan air bersih tidak dilakukan sehingga lantai yang dilumuri genangan lendir dan darah ikan menjadi licin serta menyebabkan bau amis. (a) Genangan darah dan lendir ikan (b) Potongan ikan yang berserakan Gambar 29 Kondisi sanitasi di lantai TPI PPI Muara Angke. Sebelum pelelangan dimulai, para peserta lelang bebas keluar masuk TPI dengan alasan ingin melihat-lihat terlebih dahulu ikan yang akan dibeli. Saat mereka masuk dan melihat-lihat di dalam gedung TPI tidak jarang ada yang meludah dan membuang puntung rokok sembarangan di lantai TPI. Peraturan tentang dilarang merokok dan meludah sembarangan sudah ditempel di sekeliling pagar/tembok TPI. Meskipun sudah tertempel dengan baik, masih banyak para peserta atau pengunjung yang tidak menghiraukan. Tidak adanya pengawasan yang baik tentang hal ini menyebabkan kejadian ini masih saja terus berulang setiap kali proses pelelangan berlangsung. 103 Dalam penerapan SSOP di pelabuhan perikanan, orang yang tidak berkepentingan, dilarang masuk ke TPI. Selain itu, sebelum masuk ke TPI, diharuskan untuk mencuci tangan dan kaki (sepatu) ke dalam bak berisi air yang mengandung chlorine. Alangkah lebih baiknya, apabila orang-orang yang masuk ke TPI mengganti sepatunya dengan sepatu boot khusus yang disediakan oleh pihak TPI, untuk mencegah masuknya kuman atau bakteri yang terdapat di sepatu. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan kualitas ikan agar tidak terkontaminasi oleh bakteri dan penyakit (Menai, 2007). Saat pelelangan berlangsung, juru lelang akan berkeliling dekat dengan keranjang ikan yang akan dilelang. Pengurus kapal yang mengawasi proses pelelangan berdiri di atas keranjang ikan yang akan dilelang. Tidak jarang ada ikanikan yang ikut terinjak saat pengurus kapal tersebut berpindah dari satu keranjang ke keranjang yang lain. Keranjang-keranjang ikan yang telah dilelang, akan dipisahkan ke tempat masing-masing, sesuai kesepakatan antara kuli angkut dengan pemenang lelang. Pemindahan keranjang dilakukan dengan cara diseret kembali. Setelah itu, ikan-ikan dalam keranjang TPI dipindahkan ke dalam keranjang-keranjang yang dibawa oleh masing-masing pemenang lelang. Saat ikan-ikan dipindahkan, banyak ikan yang berjatuhan karena kecerobohan kuli angkut yang terburu-buru. Ukuran keranjang TPI dan keranjang pemenang lelang tidak selalu sama. Oleh karena itu, pada saat keranjang ikan pemenang sudah penuh maka kuli angkut akan meratakannya dengan menggunakan kaki. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan ikan yang dilakukan masih kurang baik. Persiapan ikan sebelum didistribusikan juga masih kurang baik. Hal ini terlihat dari saat ikan menunggu untuk diangkut dari TPI ke perusahaan atau pedagang, ikan tidak ditutup dan tidak diberikan es untuk tetap mempertahankan mutu ikan. Kondisi ini dapat mempercepat kemunduran mutu ikan dan mempercepat proses pembusukan ikan. Meskipun jarak dari TPI ke perusahaan atau pedagang (pasar grosir atau pasar pengecer ikan) hanya berjarak sekitar 200 meter, keranjang ikan seharusnya ditutupi dan diberi es agar kualitas ikan tetap terjaga. 104 (4) Lingkungan Sekitar Dermaga dan TPI Limbah yang terdapat di lingkungan sekitar dermaga dan TPI seperti di saluran- saluran pembuangan adalah berupa potongan tubuh dan sisik ikan, sampah plastik serta bungkus rokok. Penyebab terjadinya limbah di lingkungan sekitar TPI dan dermaga dipengaruhi oleh aktivitas pengangkutan dan distribusi ikan. Saluran pembuangan di sekitar TPI digunakan untuk menampung air sisa pencucian lantai TPI dan air sisa pencucian keranjang (trays), gerobak dorong dan lori. Tetapi banyak juga ditemukan sampah-sampah plastik, potongan ikan dan bungkus serta puntung rokok didalamnya. Meskipun demikian, saluran pembuangan ini tidak tersumbat sehingga tidak menimbulkan bau yang tidak sedap. 6.2 Dampak Sanitasi dari Aktivitas Pendaratan dan Pelelangan Ikan Berdasarkan pengamatan di lapangan, dampak dari kurang baiknya kondisi sanitasi dan kebersihan akibat aktivitas yang berlangsung di pelabuhan khususnya aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan, akan dapat mempengaruhi kualitas lingkungan, kesehatan, mutu dan harga ikan. Dampak langsung yang dapat dilihat dari aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan adalah pencemaran lingkungan pelabuhan baik pencemaran perairan, udara maupun daratan. Pencemaran daratan berasal dari buangan limbah-limbah padat dan cair yang mengotori dermaga bongkar serta gedung TPI dan lingkungan sekitarnya. Pencemaran ini menyebabkan lingkungan di sekitar tempat pendaratan dan pelelangan tidak bersih dan mengganggu aktivitas secara tidak langsung. Pencemaran daratan dapat menyebabkan terganggunya aktivitas pelabuhan dan produktivitas pelabuhan menjadi kurang optimal, misalkan dengan adanya pencemaran daratan karena adanya bongkahan es yang berserakan di dermaga bongkar dapat mengganggu aktivitas pengangkutan ikan. Pencemaran daratan yang terjadi akibat buangan bahan pencemar berdampak kepada daya dukung lahan yang menurun, sumber terjadinya penyakit, menurunkan nilai estetika/keindahan karena lingkungan yang kotor dan mengganggu kenyamanan. 105 Pencemaran perairan berasal dari buangan limbah padat dan cair yang mengotori kolam pelabuhan. Pencemaran perairan dapat menyebabkan terganggunya aktivitas pelabuhan dan produktivitas pelabuhan menjadi kurang optimal, misal dengan adanya pencemaran perairan dapat mengganggu kapal saat ingin masuk kolam pelabuhan karena banyaknya sampah yang tergenang. Pencemaran air akibat buangan bahan pencemar yang terakumulasi akan berdampak air menjadi sumber terjadinya penyakit dan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Menurut Wardhana (1995) diacu dalam Rusmali (2004) mengatakan dampak pencemaran udara terjadi akibat aktivitas yang mengakibatkan timbulnya bau, penurunan kualitas udara dan kebisingan. Pencemaran udara berasal dari bau yang tidak sedap yang timbul akibat kurangnya perhatian para pelaku aktivitas tersebut terhadap sanitasi dan kebersihan. Dampak kondisi sanitasi dan kebersihan yang tidak ditangani dengan baik di PPI Muara Angke adalah: menimbulkan bau yang tidak sedap, mengganggu kenyamanan dalam beraktivitas dan mengurangi nilai estetika/keindahan. Potongan limbah ikan yang tercecer menyebabkan datangnya binatang dan serangga seperti anjing, kucing, lalat dan tikus ke lokasi pendaratan dan pelelangan ikan baik di dermaga maupun di TPI. Kehadiran binatang-binatang tersebut dapat mengganggu kenyamanan beraktivitas dan dapat mencemari ikan yang didaratkan apabila terjadi kontak langsung. Pencemaran ini dapat berupa masuknya bakteri merugikan melalui binatang dan serangga tersebut sehingga dapat mempercepat proses pembusukan ikan. Dampak buruknya sanitasi di pelabuhan perikanan, secara tidak langsung juga mempengaruhi harga ikan yang didaratkan. Buruknya sanitasi, mempengaruhi kualitas ikan. Kualitas ikan yang buruk akan menyebabkan harganya menurun. Oleh karena itu, sanitasi di suatu pelabuhan perikanan sangatlah penting untuk dijaga dan dipelihara. 106 Permasalahan dari para pengguna pelabuhan dan dampaknya terhadap sanitasi fasilitas dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini. Tabel 20 Permasalahan pengguna pelabuhan dan dampaknya terhadap sanitasi fasilitas dan kualitas ikan Fasilitas 1. Kolam pelabuhan Permasalahan a. Nelayan dengan pengetahuan yang minim akan kebersihan; b. Nelayan yang membuang sampah sembarangan ke dalam kolam pelabuhan; c. Periode tambat kapal setelah selesai bongkar agak lama. 2. Dermaga bongkar a. Pengetahuan nelayan dan kuli angkut yang minim tentang kebersihan; b. Banyaknya orang yang berada di dermaga saat proses pembongkaran, penyortiran dan pengangkutan ikan; c. Gerobak dorong dan lori yang digunakan tidak dibersihkan dengan baik; d. Keranjang yang digunakan tidak dibersihkan dengan baik; e. Waktu pembongkaran cukup lama. 3. TPI a. Peserta lelang kurang menjaga kebersihan; b. Banyaknya orang yang berada dalam ruangan saat lelang; c. Tidak digunakan disinfektan dalam pencucian lantai TPI. Indikator a. Sampah yang tergenang di kolam pelabuhan cukup banyak; b. Ceceran minyak dan oli yang tergenang di kolam pelabuhan. a. Banyak terdapat potongan tubuh ikan yang tercecer; b. Banyak terdapat genangan darah dan lendir ikan; c. Banyak terdapat sisik-sisik ikan yang tertinggal; d. Banyak ikan yang rusak terlindas gerobak dorong atau lori di lantai dermaga. a. Banyak ikan yang tercecer di lantai; b. Banyak genangan darah dan lendir ikan; c. Bau tidak sedap. Dampak a. Kolam pelabuhan menjadi kotor; b. Pencemaran perairan kolam pelabuhan yang mengancam kehidupan organisme perairan tersebut. a. Lantai dermaga menjadi licin dan becek; b. Lantai dermaga menjadi lebih kotor dan berbau amis; c. Mengganggu kenyamanan dan kebersihan lingkungan. a. Kebersihan TPI masih kurang terjaga; b. Pencemaran udara akibat bau tak sedap. c. Penurunan kualitas ikan Sumber: Data Primer Penelitian, 2008 Berdasarkan Tabel 20, dapat disimpulkan bahwa para pengguna pelabuhan menyebabkan terjadinya dampak sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Sanitasi di pelabuhan perikanan, masih sulit untuk dikontrol karena banyaknya orang yang keluar masuk pelabuhan perikanan tanpa melalui pengawasan kebersihan terlebih dahulu. 107 Sanitasi juga mempengaruhi kualitas lingkungan di sekitar pelabuhan. Kualitas lingkungan sangat berpengaruh terhadap kesehatan orang-orang yang berada di lingkungan tersebut. Lingkungan yang kotor dan tidak terjaga akan mempermudah bersarangnya penyakit, sehingga resiko penyebaran penyakit akan semakin tinggi. Pengelolaan dan penanganan limbah yang tidak baik juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Limbah potongan ikan dan non ikan yang tercecer, serta limbah penanganan ikan dapat menjadi sumber penyakit akibat pembusukan dari berbagai mikroorganisme yang terkandung didalamnya. Selain itu, apabila mikroorganisme tersebut mencemari ikan yang didaratkan maka akan berbahaya bagi kesehatan konsumennya. Pengawasan dan perhatian yang serius dari pihak pelabuhan perlu lebih ditingkatkan untuk mencegah vektor yang menjadi sarana penyebar penyakit. 7. PENENTUAN KUALITAS HASIL TANGKAPAN YANG DIDARATKAN AKIBAT DAMPAK SANITASI DI PPI MUARA ANGKE Sanitasi di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke, selanjutnya akan mempengaruhi kualitas ikan didaratkan, yang dilihat berdasarkan perubahan prosentase ikan tidak layak konsumsi, dengan menggunakan skala organoleptik. Perubahan prosentase kualitas telah diamati sejak proses pembongkaran, sebelum pelelangan dan sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang. Secara organoleptik, ikan segar yang layak untuk dikonsumsi adalah ikan-ikan yang memiliki skala organoleptik > 6. Ikan-ikan segar dengan nilai organoleptik ≤ 6 di Indonesia masih layak untuk dikonsumsi tetapi harus dengan melalui tahap pengolahan terlebih dahulu. Tahap pengolahan yang dimaksud adalah pengeringan, pengasinan, pengasapan dan lain-lain. Kriteria ikan dengan skala organoleptik 9 adalah bola mata cerah dan menonjol dengan kornea mata jernih; insang berwarna merah cemerlang tanpa lendir; lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah dan belum ada perubahan warna; sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perut dagingnya utuh, bau isi perut segar; berbau segar masih berbau rumput laut dan berbau spesifik menurut jenis dan tubuhnya padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang (SNI 01-2729-1992 diacu dalam Wibowo, 2006). Kriteria ikan dengan skala organoleptik 8 adalah bola mata cerah dan rata dengan kornea jernih; insang berwarna merah kurang cemerlang tanpa lendir; sayatan daging cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perutnya utuh, bau isi perut netral; bau segar, bau rumput laut mulai menghilang dan tubuh padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang, kadang-kadang agak lunak sesuai jenisnya. Ikan dengan skala organoleptik 7 memiliki kriteria bola mata agak cerah dan rata, pupil agak keabu-abuan dan kornea agak keruh; insang berwarna merah agak kusam tanpa lendir; lapisan lendir di permukaan mulai keruh, agak putih susu, warna 109 terangnya mulai suram; sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut agak lembek, ginjal mulai merah pudar, dinding perut dagingnya utuh, bau netral; tidak berbau netral dan tubuh agak lunak, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. 7.1 Kualitas Ikan Saat Setelah Pembongkaran di Atas Kapal dan Dermaga Bongkar Pengambilan sampel untuk melihat prosentase kualitas ikan yang tidak layak konsumsi, dilakukan pada saat ikan selesai dibongkar dari atas kapal, hingga didaratkan di dermaga bongkar. Pada saat penelitian berlangsung, terdapat 2 kapal gillnet yang memiliki jumlah ikan tidak layak konsumsi sebanyak 20 ikan (100%) sejak ikan didaratkan, atau dapat dikatakan bahwa ikan-ikan sudah rusak sejak ikan masih berada di atas kapal, sehingga tidak dapat dilihat pengaruh sanitasi terhadap kualitas ikan di 2 kapal tersebut. Dalam bab ini hanya akan dibahas 18 kapal saja. Kualitas ikan setelah pembongkaran pada keranjang 1 dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Kualitas ikan saat setelah pembongkaran pada keranjang 1 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Jenis Kapal Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Gillnet Jumlah Ukuran Subgrup (n) 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 360 Sumber: Data Primer Penelitian, 2008 Jumlah Cacat (pn) 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 9 0 9 0 0 0 0 20 Proporsi Cacat (%) 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 45 0 45 0 0 0 0 - 110 Keranjang 1 adalah keranjang yang berisi ikan-ikan yang berada di bagian atas palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan hasil tangkapan yang paling akhir pada suatu operasi penangkapan. Keranjang 1 merupakan keranjang yang diturunkan pada awal proses pembongkaran. Berdasarkan Tabel 21 di atas, dapat dilihat bahwa dari 11 sampel kapal purse seine, terdapat satu kapal yang memiliki jumlah ikan tidak layak konsumsi sebanyak dua ekor ikan (20%). Terdapat dua buah kapal bubu yang memiliki jumlah ikan tidak layak konsumsi yaitu sembilan ekor ikan (45%) untuk masing-masing kapal tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berbeda dan penanganan yang dilakukan untuk setiap jenis kapal. Kapal purse seine melakukan operasi penangkapan relatif singkat dibandingkan dengan kedua jenis kapal yang lain. Biasanya, kapal ini hanya melaut selama 5 hingga 14 hari, sedangkan kapal bubu melaut selama 14 hingga 20 hari. Waktu penangkapan juga berpengaruh terhadap proses penanganan ikan yang dilakukan selama berada di atas kapal. Penanganan ikan yang dilakukan pada kapal purse seine adalah dengan menggunakan es dan terkadang mencampurnya dengan air laut. Kapal bubu menggunakan freezer/pendingin untuk mengawetkan ikan. Kapal gillnet hanya menggunakan es untuk mengawetkan ikan. Jumlah es yang dibawa pada saat operasi penangkapan akan mempengaruhi tingkat kesegaran ikan. Semakin lama operasi penangkapan, es yang digunakan pun harus semakin banyak. Penggunaan es di dalam palkah selama operasi penangkapan berlangsung akan mempengaruhi tingkat kesegaran ikan. Penggunaan es harus sebanding dengan jumlah hasil tangkapan. Tetapi, masih banyak nelayan yang tidak memperhatikan masalah tersebut. Nelayan masih menggunakan perbandingan 2:1 untuk jumlah es dan hasil tangkapan. Artinya, untuk pengawetan 2 kg ikan, hanya diberikan 1 kg es. Hal inilah yang dapat menyebabkan tingkat kesegaran ikan berkurang. Keranjang 2 dari masing-masing kapal merupakan keranjang yang berisi ikanikan yang berada di bagian bawah palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang 111 terlebih dahulu tertangkap pada saat operasi penangkapan berlangsung. Kualitas ikan setelah pembongkaran pada keranjang 2 dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Kualitas ikan saat setelah pembongkaran pada keranjang 2 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Jenis Kapal Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Gillnet Jumlah Ukuran Subgrup (n) 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 360 Jumlah Cacat (pn) 0 0 0 0 3 0 5 0 0 0 0 8 3 3 0 0 0 0 22 Proporsi Cacat (%) 0 0 0 0 15 0 25 0 0 0 0 40 15 15 0 0 0 0 - Sumber: Data Primer Penelitian, 2008 Berdasarkan Tabel 22, dapat dilihat bahwa jumlah ikan tidak layak konsumsi yang terbanyak terdapat di kapal bubu, yaitu 8 ekor ikan (40%). Waktu operasi penangkapan dan penanganan ikan yang dilakukan, mempengaruhi tingkat kesegaran ikan tersebut. Pemberian es yang dilakukan juga tidak sesuai dengan jumlah hasil tangkapan. Meskipun kapal bubu dalam pengoperasiannya menggunakan freezer sebagai pendingin, tetapi masih terdapat ikan yang tidak layak konsumsi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya tubuh ikan karena lengket dengan dinding freezer. Selain itu, cara penyortyiran yang kasar juga dapat mempengaruhi kualitas ikan. Berdasarkan Tabel 21 dan 22, baik untuk keranjang 1 maupun keranjang 2 memiliki kisaran prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi antara 10-45%. Dimana pada keranjang 1 hanya terdapat 3 kapal yang memiliki jumlah ikan tidak layak konsumsi, sedangkan pada keranjang 2 hanya 5 kapal. 112 7.2 Kualitas Ikan Saat Sebelum Pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pengambilan sampel untuk melihat prosentase kualitas ikan yang tidak layak konsumsi, dilakukan pada saat ikan telah diangkut ke TPI, menunggu proses pelelangan dimulai. Kualitas ikan sebelum pelelangan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Kualitas ikan saat sebelum pelelangan pada keranjang 1 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Jenis Kapal Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Gillnet Jumlah Ukuran Subgrup (n) 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 360 Jumlah Cacat (pn) 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 9 0 9 0 0 0 0 20 Proporsi Cacat (%) 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 45 0 45 0 0 0 0 - Sumber: Data Primer Penelitian, 2008 Berdasarkan Tabel 23, tidak terjadi penurunan mutu ikan sejak saat setelah pembongkaran, terlihat dari jumlah ikan tidak layak konsumsi pada keranjang 1 yang tidak mengalami penambahan jumlah ikan tidak layak konsumsi pada saat sebelum pelelangan. Hal ini dipengaruhi oleh waktu yang dibutuhkan setelah pembongkaran, hingga ikan diangkut ke dalam TPI. Waktu yang dibutuhkan relatif singkat, sekitar 10 hingga 15 menit. Setelah pembongkaran, ikan dikumpulkan terlebih dahulu di dermaga bongkar selama 10 hingga 15 menit, setelah itu ikan diangkut ke TPI. Keranjang 2 dari masing-masing kapal, merupakan keranjang yang berisi ikanikan yang berada di bagian bawah palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang terlebih dahulu tertangkap pada saat operasi penangkapan berlangsung. Kualitas ikan sebelum pelelangan pada keranjang 2 dapat dilihat pada Tabel 24. 113 Tabel 24 Kualitas ikan saat sebelum pelelangan pada keranjang 2 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Jenis Kapal Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Gillnet Jumlah Ukuran Subgrup (n) 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 360 Jumlah Cacat (pn) 0 0 0 0 3 0 5 0 0 0 0 8 3 3 0 0 0 0 22 Proporsi Cacat (%) 0 0 0 0 15 0 25 0 0 0 0 40 15 15 0 0 0 0 - Sumber: Data Primer Penelitian, 2008 Berdasarkan Tabel 24, diketahui bahwa ikan di keranjang 2 pada saat sebelum pelelangan pun tidak mengalami perubahan kualitas. Tingkat kesegaran ikan masih sama dengan pada saat setelah pembongkaran selesai. Hal ini dipengaruhi oleh selang waktu yang relatif singkat, yaitu antara 10 hingga 15 menit, sejak proses pembongkaran hingga ikan diangkut ke TPI. 7.3 Kualitas Ikan Saat Sebelum Pengangkutan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pengambilan sampel untuk melihat prosentase kualitas ikan yang tidak layak konsumsi, dilakukan pada saat ikan telah selesai dilelang, menunggu diangkut keluar TPI, menuju perusahaan atau pedagang. Kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI dapat dilihat pada Tabel 25. 114 Tabel 25 Kualitas ikan saat sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 1 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Jenis Kapal Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Gillnet Jumlah Ukuran Subgrup (n) 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 360 Jumlah Cacat (pn) 5 3 5 0 12 3 11 18 9 8 0 14 10 13 3 0 0 6 120 Proporsi Cacat (%) 25 15 25 0 60 15 55 90 45 40 0 70 50 65 15 0 0 30 - Sumber: Data Primer Penelitian, 2008 Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa terjadi penambahan jumlah ikan tidak layak konsumsi, baik pada kapal purse seine, bubu maupun gillnet. Penambahan jumlah ikan tidak layak konsumsi terbanyak terjadi pada kapal purse seine. Hal ini dipengaruhi oleh waktu pelelangan yang cukup lama, selama 4 jam. Seperti telah dikatakan sebelumnya, pelelangan terjadi dalam waktu yang lama, diakibatkan oleh banyaknya jumlah ikan yang dilelang. Selama proses pelelangan terjadi, terdapat banyak hal yang dapat menyebabkan turunnya kualitas ikan. Semakin lama waktu pelelangan, maka akan semakin lama ikan dibiarkan berada dalam keadaan terbuka. Hal ini dapat menyebabkan ikan terkontaminasi dengan udara luar. Selain itu, semakin lama proses pelelangan, maka akan semakin lama ikan berada di antara genangan lendir dan darah ikan yang tercecer di lantai TPI. Keranjang 2 dari masing-masing kapal merupakan keranjang yang berisi ikanikan yang berada di bagian bawah palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang terlebih dahulu tertangkap pada saat operasi penangkapan berlangsung. Kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 2 dapat dilihat pada Tabel 26. 115 Tabel 26 Kualitas ikan saat sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 2 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Jenis Kapal Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Purse seine Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Bubu Gillnet Jumlah Ukuran Subgrup (n) 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 360 Jumlah Cacat (pn) 9 13 15 0 4 6 20 20 13 7 5 20 17 7 0 4 5 11 176 Proporsi Cacat (%) 45 65 75 0 20 30 100 100 65 35 25 100 85 35 0 20 25 55 - Sumber: Data Primer Penelitian, 2008 Berdasarkan Tabel 26, ikan yang berada di keranjang 2 pun mengalami penurunan kualitas, sehingga terjadi penambahan jumlah ikan tidak layak konsumsi. Hal ini pun dipengaruhi oleh waktu pelelangan yang cukup lama, selama 4 jam, seperti halnya penurunan kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI, pada keranjang 1. Selain itu, penurunan kualitas juga disebabkan beberapa faktor lain, seperti fasilitas dan sanitasi PPI, proses penanganan dan para pelaku aktivitas, yang akan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan diagram sebab akibat. Berdasarkan Tabel 25 dan 26, baik di keranjang 1 maupun keranjang 2, memiliki kisaran prosentase ikan tidak layak konsumsi sekitar 15-100%. Salah satu contohnya adalah pada saat setelah pembongkaran, kapal purse seine ke-7 pada keranjang 2 memiliki jumlah ikan tidak layak konsumsi sebanyak 5 ikan, sedangkan pada saat sebelum pengangkutan jumlahnya menjadi 20 ikan. Dapat terlihat bahwa terjadi penurunan kualitas yang cukup jauh, apabila dibandingkan dengan kualitas ikan saat setelah pembongkaran. Saat sebelum pengangkutan dari TPI, hampir semua kapal memiliki ikan tidak layak konsumsi. 116 7.4 Diagram Sebab Akibat Kualitas Ikan Buruk Setelah Pembongkaran sampai Sebelum Pengangkutan ke Perusahaan atau Pedagang Hasil tangkapan yang didaratkan, setelah dibongkar sebelum didistribusikan, terlebih dahulu mengalami proses pelelangan. Setelah pelelangan selesai, ikan-ikan yang telah dilelang akan didistribusikan baik ke perusahaan, pengasinan maupun langsung ke pedagang-pedagang pengecer atau grosir untuk dijual kembali ke konsumen. Oleh karena itu, usaha untuk mempertahankan kualitas ikan sangat penting. Kualitas ikan yang baik sangat berpengaruh terhadap harga ikan yang akan dijual. Pada saat pengamatan, ikan-ikan di TPI yang akan diangkut menuju perusahaan atau pedagang mengalami penurunan kualitas, karena disebabkan oleh berbagai faktor. Oleh karena itu, diperlukan analisis dengan menggunakan diagram sebab akibat untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dari permasalahan kualitas ikan tidak layak konsumsi, sejak setelah pembongkaran hingga sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang. Faktor penyebab utama ikan tidak layak konsumsi, sejak setelah pembongkaran hingga sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang, adalah pelaku, sanitasi PPI, fasilitas PPI, proses pelelangan dan penanganan ikan. Faktor penyebab utama kualitas ikan tidak layak konsumsi, pada saat setelah pembongkaran sampai sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang, mulai dianalisis sejak ikan didaratkan di dermaga bongkar, masuk ke dalam TPI untuk pelelangan, hingga ikan siap untuk diangkut dari gedung TPI menuju perusahaan atau pedagang. Setiap faktor penyebab utama dibuat akar permasalahan lebih rinci disebut sebagai faktor penyebab akar dari karakteristik kualitas (Murdaniel, 2007). (1) Pelaku Salah satu faktor penyebab utama kualitas ikan buruk saat sebelum pendistribusian adalah pelaku. Akar permasalahan dari faktor utama dibagi menjadi tiga. Pertama, kuli angkut yang bertugas untuk mengangkut hasil tangkapan sejak ikan dibongkar sampai ikan siap untuk diangkut dari TPI ke perusahaan atau pedagang, memiliki pengetahuan tentang penanganan ikan yang masih rendah dan 117 perlakuan terhadap ikan yang kurang baik. Sebagai contoh, ketika akan memindahkan ikan dari keranjang TPI ke dalam keranjang pemenang lelang, yaitu meratakan ikan dengan cara menginjak-injak ikan sampai rata, sehingga ikan dapat mengalami kerusakan fisik. Kedua, pemilik kapal yang selalu berdiri di atas keranjang ikan pada saat pelelangan berlangsung menyebabkan air dan kotoran yang menempel di dasar sepatu dapat mengotori badan ikan. Air dan kotoran tersebut dapat mempercepat terjadinya proses pembusukan ikan. Ketiga, peserta lelang yang tidak menjaga kebersihan pada saat mengikuti proses pelelangan. Peserta lelang yang merokok dan meludah sembarangan, dapat mencemari tempat pelelangan ikan, sehingga mengembangkan bakteri dan dapat mempercepat proses pembusukan. Hal ini dapat terjadi karena terjadi kontaminasi antara ikan dengan lingkungan yang kotor. Sesuai dengan standar yang ada, seharusnya orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk ke dalam TPI. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebelum masuk ke dalam TPI, hendaknya orang-orang tersebut mencuci tangan dan kaki di dalam bak air yang berisi chlor. Alangkah lebih baik apabila para pelaku juga mengganti sepatu yang digunakan dengan sepatu boot khusus, seperti halnya di pelabuhan perikanan Perancis (Lubis, 2006). Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi ikan oleh bakteri dan kuman penyakit yang terbawa dari luar. Penerapan hukum dan aturan yang jelas dapat menjadi salah satu upaya pengelolaan untuk masalah pelaku ini. Penegakan hukum dan aturan yang baik dapat mengurangi resiko ikan tidak layak konsumsi yang diakibatkan oleh pelaku. (2) Fasilitas PPI Akar permasalahan dari segi fasilitas PPI adalah: dermaga bongkar yang tidak dilengkapi dengan kanopi, sehingga ikan dapat terkena sinar matahari langsung. Sebelum diangkut ke TPI, ikan-ikan dibiarkan di dermaga bongkar. Hal ini dapat menyebabkan penurunan mutu ikan. Tempat yang terbatas di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) juga menjadi salah satu akar permasalahan dari segi fasilitas PPI. Pada saat musim puncak, banyak ikan yang tidak tertampung di dalam gedung TPI, sehingga 118 terpaksa dilelang di luar gedung TPI. Hal ini mengakibatkan bakteri yang ada akan berkembang dengan cepat, karena pengaruh kontaminasi dengan udara luar dan sinar matahari langsung yang dapat mempercepat proses pembusukan. Akar permasalahan yang lain adalah penggunaan keranjang yang tidak dicuci dengan benar. Hal ini dapat terlihat dari sisa bekas darah dan lendir yang masih menempel dan mengering di dalam keranjang tersebut. Tangki air bersih yang berada di sekitar area TPI, masih belum dapat memenuhi kebutuhan air bersih untuk pencucian ikan. Pada saat pengamatan, terlihat masih banyak nelayan yang menggunakan air kolam pelabuhan untuk mencuci ikan. Pasokan air bersih yang cukup akan mengurangi salah satu resiko ikan tidak layak konsumsi akibat masalah fasilitas PPI. (3) Proses Pelelangan Ikan Proses pelelangan ikan dimulai sejak pukul 08.00. Proses pelelangan ikan ini dapat berakhir pada pukul 10.00, apabila sedang tidak banyak ikan dan pada pukul 12.00, ketika sedang musim puncak. Proses pelelangan ikan membutuhkan waktu yang lama, terutama pada saat musim puncak, dimana jumlah ikan yang dilelang sangat banyak bahkan terkadang sampai keluar gedung TPI. Waktu pelelangan yang terlalu lama menyebabkan ikan mengalami penurunan kualitas, karena dibiarkan terbuka dan tidak mendapatkan penanganan yang layak seperti tidak diberi es. Jumlah peserta lelang yang terlalu banyak, juga dapat mempengaruhi kualitas ikan. Semakin banyak jumlah orang yang ikut dalam pelelangan, maka akan semakin banyak kuman yang ikut masuk dan mencemari ikan. Jumlah orang yang terlalu banyak di dalam gedung TPI diakibatkan setiap peserta lelang membawa sekitar 2-3 orang lain untuk menjaga ikan setelah ikan dimenangkan. Selain itu, para kuli angkut juga banyak berkerumun di dalam gedung TPI. Sebaiknya dilakukan penertiban orang-orang yang masuk ke dalam gedung TPI. Pembuatan peraturan seperti SSOP yang dilakukan di pabrik pengolahan ikan penting dilakukan dalam rangka menjaga kualitas ikan. 119 (4) Sanitasi PPI Akar permasalahan dari segi sanitasi PPI terutama di TPI adalah saat proses pembongkaran dan pelelangan ikan. Proses pembongkaran dan pelelangan ikan ini menimbulkan limbah, baik limbah padat maupun cair. Limbah padat dan cair dapat mencemari lantai dermaga bongkar dan TPI. Genangan darah dan lendir ikan serta ceceran air sisa pencucian ikan dapat mencemari ikan dan menyebabkan ikan mengalami penurunan kualitas. Sanitasi yang kurang terjaga di lingkungan sekitar dermaga bongkar dan TPI, menyebabkan hadirnya binatang-binatang liar, seperti tikus, anjing, kucing dan lalat. Kehadiran binatang-binatang liar tersebut dapat mengganggu kenyamanan beraktivitas, serta dapat mencemari ikan yang didaratkan apabila terjadi kontak secara langsung. Hal ini dapat menyebabkan resiko masuknya bakteri ke dalam tubuh ikan, sehingga dapat mempercepat proses pembusukan ikan. Penyapuan dan penyemprotan lantai dermaga bongkar dan TPI harus dilakukan setiap kali proses pembongkaran dan pelelangan ikan selesai. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi resiko penurunan kualitas ikan akibat sanitasi PPI. (5) Penanganan Ikan Penanganan ikan terkadang sering dilakukan dengan kurang cermat. Pencucian ikan dilakukan dengan menggunakan air kolam pelabuhan. Air kolam pelabuhan yang kotor dan mengandung limbah, baik limbah padat maupun limbah cair, dapat mencemari ikan. Ikan-ikan yang akan dilelang tidak diberikan es sebagai pengawet, hanya beberapa ikan saja yang diberikan es. Ikan-ikan yang diberikan es adalah ikan-ikan yang memiliki kualitas ekspor, misalnya ikan kakap, ikan kerapu dan ikan tenggiri. Hal ini mengakibatkan saat setelah selesai pelelangan dan akan didistribusikan, ikan telah mengalami pemunduran kualitas yang cukup jauh, jika dibandingkan dengan kualitas ikan pada saat setelah pembongkaran. Hal ini diindikasikan dengan jumlah ikan tidak layak konsumsi yang mengalami peningkatan. Pemberian es merupakan 120 cara yang efektif dalam rangka mempertahankan kualitas ikan. Pemutusan rantai dingin dalam penanganan ikan ini menyebabkan tingkat kesegaran ikan bervariasi. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), kelayakan ikan sebagai sumber makanan sangat dipengaruhi oleh mutu ikan itu sendiri. Ikan busuk mengandung senyawa yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia dan sebaiknya tidak dimakan, diawetkan ataupun diolah lebih lanjut menjadi produk lain. Selanjutnya disebutkan bahwa, pengawetan atau pengolahan ikan busuk akan menghasilkan produk yang berkualitas rendah bahkan tidak bermanfaat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, secara umum ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke, terutama dari tiga jenis kapal yaitu purse seine, bubu dan gillnet, masih dalam kondisi yang kurang baik. Dilihat dari nilai organoleptik ikan yang masih banyak dibawah angka 6. Ikan-ikan tersebut sudah tidak layak dikonsumsi dalam keadaan segar. Akan tetapi, berdasarkan hasil wawancara, di PPI Muara Angke, ikan-ikan yang memiliki nilai organoleptik dibawah angka 6 tersebut, masih dapat dikonsumsi tetapi harus diolah terlebih dahulu. Pengolahan ikan yang dimaksud adalah pengeringan, pengasinan, pengasapan dan pemindangan. Dalam kenyataannya, ikan-ikan yang memiliki nilai organoleptik dibawah 6 sudah tidak layak konsumsi, baik dalam keadaan segar maupun mengalami pengolahan terlebih dahulu. Hal ini akan menimbulkan rasa hambar dan gatal pada saat dikonsumsi. Alangkah lebih baik, apabila ikan-ikan yang mengalami proses pengolahan, juga merupakan ikan-ikan yang masih layak konsumsi, atau ikan-ikan yang memiliki nilai organoleptik diatas 6. Dapat disimpulkan bahwa, di PPI Muara Angke masih terdapat penyimpangan ikan-ikan yang menjadi bahan baku usaha pengolahan, terutama usaha pengasinan ikan. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka produk-produk olahan ini dapat berbahaya bagi kesehatan manusia. Fasilitas PPI TPI Penanganan Ikan Pencucian Ikan di Kapal dan Dermaga Keranjang Tempat Terbatas Proses Pelelangan Penggunaan Air Kolam Pelabuhan Tidak Dicuci Bersih Dermaga Bongkar Tidak Menggunakan Kanopi Jumlah Peserta Lelang Tangki Air Bersih Kurangnya Pasokan Kurang Pengetahuan Peserta Lelang Tidak Menjaga Kebersihan Perilaku Pelaku Terlalu Banyak Kuli Angkut Memperlakukan Ikan Tidak Baik Terlalu Lama Jumlah Ikan yang Dilelang Terlalu Banyak Pengawetan Ikan Tidak Diberikan Es Ikan yang Tidak Layak Konsumsi Limbah Padat Limbah Padat Pelelangan Ikan Memperlakukan Ikan Tidak Baik Pemilik Kapal Waktu Pelelangan Pembongkaran Ikan Limbah Cair Limbah Cair Sanitasi PPI Gambar 30 Diagram sebab akibat kualitas ikan tidak layak konsumsi setelah pembongkaran hingga pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang. 121 8. UPAYA PENGELOLAAN DAMPAK SANITASI TERHADAP KUALITAS IKAN DI PPI MUARA ANGKE 8.1 Dampak Sanitasi terhadap Kualitas Ikan Kondisi sanitasi dan kebersihan yang kurang baik, khususnya pada saat aktivitas pendaratan, pengangkutan dan pelelangan ikan akan mempengaruhi kualitas ikan. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran kualitas ikan menggunakan skala organoleptik, yang diamati pada saat setelah pembongkaran di dermaga bongkar dan sebelum pelelangan serta di TPI saat sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan dan pedagang. Dampak lain dari kondisi sanitasi dan kebersihan yang tidak ditangani dengan baik di kolam pelabuhan, akan mempengaruhi kualitas ikan yang didaratkan. Air kolam pelabuhan yang kotor dan mengandung limbah, baik limbah padat maupun cair, seringkali digunakan oleh nelayan untuk mencuci ikan. Penggunaan air kolam pelabuhan untuk mencuci ikan, dapat menyebabkan berkembangnya mikroorganisme yang akan mempercepat proses pembusukan. Dampak kondisi sanitasi dan kebersihan terhadap kualitas ikan adalah: kualitas ikan mengalami penurunan yang cukup jauh, setelah berada di TPI dalam waktu yang cukup lama, selama ± 4 jam. Hal ini disebabkan terkontaminasi dengan ceceran potongan tubuh ikan, genangan darah dan lendir ikan, serta udara sekitar yang mencemari ikan-ikan tersebut. Potongan tubuh ikan yang tercecer di sekitar keranjang ikan yang dilelang, menyebabkan timbulnya bakteri yang juga dapat mencemari ikan. Ceceran darah dan lendir ikan yang menggenangi lantai TPI, dapat mempercepat proses pembusukan ikan. Proses pelelangan yang terjadi di PPI Muara Angke, biasanya berlangsung sekitar ± 4 jam pada saat musim puncak dan 2 jam pada saat musim paceklik. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas ikan yang menurun pada saat sebelum pendistribusian. Lamanya proses pelelangan, menyebabkan kondisi ikan yang berada pada tumpukan paling bawah di keranjang, menjadi terendam genangan darah dan lendir yang terdapat di lantai TPI. Penurunan mutu ikan yang didaratkan juga terjadi, apabila limbah tidak dikelola dan ditangani dengan baik. Limbah padat yang dibiarkan berceceran dan membusuk 123 di dermaga bongkar dan TPI, akan menimbulkan berbagai mikroorganisme yang tidak diinginkan. Jika mikroorganisme tersebut mengkontaminasi produk ikan yang didaratkan, maka yang terjadi adalah proses pembusukan ikan berlangsung lebih cepat. Semakin cepat proses pembusukan berlangsung, maka akan semakin cepat pula penurunan mutu ikan. Hal ini akan langsung berakibat terhadap menurunnya nilai jual ikan dan menyebabkan kerugian ekonomi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Penggunaan keranjang ikan selama proses pembongkaran, pengangkutan dan pelelangan ikan juga dapat mempengaruhi kualitas ikan. Keranjang ikan yang tidak dicuci dengan bersih, dapat menimbulkan sisa darah dan lendir yang mengering di sisi keranjang. Hal ini menimbulkan bakteri dan mikroorganisme masih tersisa dalam keranjang dan dapat mempercepat pembusukan ikan. Pencucian keranjang di PPI Muara Angke, dilakukan setelah proses pelelangan selesai. Keranjang ikan dicuci secara manual. Keranjang dicuci di sebuah tempat yang berbentuk cekungan dan diisi dengan air. Para pekerja yang mencuci keranjang, hanya menggunakan alat penggosok tanpa menggunakan sabun ataupun disinfektan. Dalam Lubis (2006), di beberapa pelabuhan perikanan di Perancis, pencucian keranjang ikan tidak dilakukan secara manual. Keranjang-keranjang ikan bekas pakai, dimasukkan ke dalam mesin pencuci keranjang. Setelah masuk ke dalam mesin, keranjang-keranjang tersebut akan tercuci secara otomatis, sehingga pada saat keluar dari mesin, sudah dalam keadaan bersih. Dengan membandingkan kondisi di atas, dapat dinyatakan bahwa kualitas cara pencucian keranjang di PPI Muara Angke masih belum memenuhi standar sanitasi, sehingga menjadi salah satu alasan terjadinya pembusukan lebih cepat dan menurunnya kualitas ikan. 8.2 Upaya Pengelolaan Sanitasi yang Dilakukan Pihak UPT PPI Muara Angke Penanganan dan pemeliharaan sanitasi dan kebersihan berada di bawah pengawasan langsung UPT PPI Muara Angke dan berkoordinasi dengan Seksi Pelelangan Ikan. Kepala pelabuhan menugaskan kepada Kepala Seksi Pelelangan Ikan untuk mengawasi kebersihan kawasan pendaratan dan pelelangan ikan. 124 Metode penanganan limbah di PPI Muara Angke dibedakan menjadi dua, sesuai dengan jenis limbah yang ada, yaitu penanganan untuk limbah padat dan penanganan untuk limbah cair. Jenis limbah padat seperti bungkusan plastik, kertas dan potonganpotongan kayu. Limbah padat yang ada di lingkungan pelabuhan dikumpulkan oleh tenaga kebersihan di lapangan lalu ditampung di Tempat Penampungan Sementara (TPS) PPI Muara Angke. Limbah padat yang berada di dalam kolam pelabuhan dibersihkan secara rutin setiap hari. Terdapat 3 buah kapal kebersihan yang disediakan oleh Dinas Kebersihan Pemda DKI Jakarta (Gambar 31 dan Gambar 32), yaitu 2 buah kapal yang khusus membersihkan kawasan kolam pelabuhan dan satu kapal yang bertugas untuk membersihkan seluruh kawasan Pantai Utara Jakarta mulai dari daerah Kamal Muara hingga Cilincing termasuk Muara Angke. Gambar 31 Kapal kebersihan kawasan Pantai Utara Jakarta Pada pagi hari kapal kebersihan mulai beroperasi keliling kolam pelabuhan, sampah-sampah diambil dengan menggunakan bantuan serok. Selanjutnya, limbah padat dimasukkan ke dalam karung-karung dan dikumpulkan di atas kapal kebersihan 125 yang bertugas untuk membersihkan seluruh kawasan Pantai Utara Jakarta yang berukuran lebih besar. Gambar 32 Kapal kebersihan khusus kawasan PPI Muara Angke. Limbah padat di kawasan dermaga dan TPI PPI Muara Angke dibersihkan secara rutin setiap hari, baik setelah proses pembongkaran maupun pelelangan ikan selesai dilakukan. Pembersihan dilakukan oleh petugas kebersihan pelabuhan khusus dermaga bongkar dan TPI. Sampah-sampah yang ada dikumpulkan di dalam gerobak sampah yang disediakan. Pihak pelabuhan menyediakan beberapa buah tempat sampah di sekitar dermaga bongkar dan TPI untuk lebih menjaga kebersihan. Selanjutnya, sampah-sampah dan limbah padat tersebut diangkut menggunakan truk sampah ke luar Jakarta. Sampah-sampah ini diangkut menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi. PPI Muara Angke masih belum dilengkapi oleh sistem IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah), sehingga limbah-limbah cair yang berasal dari sisa pencucian ikan, lantai dermaga bongkar dan TPI hanya langsung dialirkan ke dalam saluran pembuangan dan selanjutnya masuk ke dalam waduk penampungan tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Limbah cair yang berasal dari sisa pencucian kapal langsung masuk ke dalam kolam pelabuhan tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. 126 Pada Tabel 27 disajikan upaya pengelolaan dampak sanitasi yang seharusnya dilakukan oleh pihak PPI Muara Angke, dalam rangka mengatasi dampak sanitasi akibat aktivitas kepelabuhanan. Tabel 27 Upaya pengelolaan sanitasi di PPI Muara Angke, berdasarkan dampak yang ditimbulkan menurut aktivitas dan pelaku No 1. 2. 3. 4. Aktivitas PPI Dampak yang Ditimbulkan Upaya Pengelolaan Tambat kapal • Kolam pelabuhan menjadi kotor karena nelayan • Pengoperasian kapalkapal pembersih dan dan ABK membuang sampah ke dalam kolam; pengangkut sampah • Banyak ceceran minyak dan oli yang berasal dari di sekitar pelabuhan; kapal menggenangi perairan pelabuhan. • Penerapan teknologi oil catcher sehingga minyak dan oli tidak langsung mengotori kolam pelabuhan. Pendaratan, • Banyak ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang • Pembersihan dan penyortiran penyemprotan lantai langsung dibuang ke dalam kolam pelabuhan; serta dermaga setiap • Lantai dermaga bongkar yang becek dan licin pembongkaran karena ceceran bekas es dan air yang ikut terbawa pembongkaran hasil selesai; di dalam keranjang; tangkapan dari • Sisa es yang digunakan langsung dibuang ke • Pengambilan sisa es kapal ke oleh kuli angkut dermaga dan berserakan; dermaga • Banyak potongan ikan, ceceran lendir dan darah • Penyapuan dan bongkar penyemprotan ikan yang berceceran dan menggenangi dermaga; dermaga bongkar • Penurunan kualitas ikan. selesai bongkar. Pelelangan • Penyemprotan dan • Bau yang kurang sedap di sekitar TPI; ikan di pencucian lantai TPI • Lantai yang becek karena genangan darah dan Tempat setiap selesai proses lendir ikan; Pelelangan lelang meskipun • Lantai yang kotor karena potongan ikan yang Ikan tanpa disinfektan; berceceran saat pengangkutan ikan dan • Kemiringan lantai pemindahan ikan ke keranjang pemenang lelang; sudah dibuat 2º. • Peningkatan prosentase ikan tidak layak konsumsi. Pelaku (ABK, • Banyak sampah plastik yang terdapat di • Pemberian Kuli angkut, penyuluhan tentang lingkungan dermaga dan TPI; pemilik kapal • Banyak ikan yang jatuh tercecer di lantai dermaga pentingnya menjaga dan peserta sanitasi dan dan TPI; lelang) kebersihan; • Banyak sampah plastik dan potongan ikan yang • Peningkatan tergenang di kolam pelabuhan; frekuensi • Banyak terdapat puntung rokok berserakan; pengawasan; • Banyak ludah yang berceceran di lantai dermaga • Petugas pengawas bongkar dan TPI. sanitasi dan kebersihan, siaga setiap saat. Sumber: Data Primer Penelitian, 2008 127 Penanganan pencemaran udara, seperti untuk mengurangi bau busuk atau bau yang tidak sedap, dapat dilakukan dengan mengadakan program penanaman pohonpohon berdaun lebat di sekitar lingkungan dermaga bongkar dan TPI (Anonymous, 1993). Lingkungan sekitar dermaga bongkar dan TPI tidak memiliki lahan untuk penanaman pohon. Oleh karena itu, PPI Muara Angke berusaha melakukan upaya penanaman pohon dengan meletakkan pepohonan di dalam pot yang terbuat dari drum bekas, di sekitar areal parkir TPI PPI Muara Angke. Dilihat dari Tabel 27 di atas, upaya pengelolaan yang telah dilakukan oleh pihak TPI PPI Muara Angke sudah baik. Pembersihan kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI sudah dilakukan secara rutin. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan pihak TPI, meskipun sanitasi dan kebersihan masih kurang terjaga, pihak UPT dan TPI PPI Muara Angke telah berusaha melakukan berbagai macam upaya pengelolaan sanitasi dan kebersihan. Pembersihan kolam pelabuhan dilakukan dengan menggunakan kapal pembersih dan kapal pengangkut sampah. Para petugas menggunakan serok untuk mengambil sampah-sampah yang ada di dalam kolam pelabuhan. Setelah sampah dikumpulkan di kapal sampah, sampah kemudian dipindahkan ke dalam truk sampah untuk kemudian diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi. Limbah padat di kolam pelabuhan dapat ditangani dengan baik, misalnya penyaringan limbah padat dengan menggunakan kapal pembersihan secara rutin setiap pagi. Limbah cair yang sudah masuk ke dalam kolam pelabuhan sulit untuk ditangani. Meskipun dapat ditangani tetapi harus melalui proses yang sangat rumit dan membutuhkan biaya yang banyak. Dalam rangka mencegah terjadinya ceceran oli dan minyak yang berasal dari kapal masuk ke dalam kolam pelabuhan, lebih baik apabila setiap kapal perikanan dilengkapi oleh oil catcher. Hal ini bertujuan untuk mengurangi jumlah minyak dan oli yang berasal dari kapal-kapal tersebut. Dengan adanya teknologi ini, diharapkan minyak dan oli yang berasal dari kapal dapat tersaring lebih dulu sebelum masuk ke dalam kolam pelabuhan. 128 Pembersihan dermaga bongkar dilakukan setiap kali proses pembongkaran dan pengangkutan ikan selesai dilakukan. Pembersihan dermaga bongkar dilakukan dengan cara penyemprotan dan penyapuan dermaga bongkar oleh para petugas dari TPI. Limbah padat yang ada setelah penyapuan dermaga, dikumpulkan di tempat penampungan sementara. Setelah itu, limbah padat tersebut akan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi. Setiap kali proses pelelangan selesai, para petugas TPI mulai menyemprot lantai hingga bersih. Penyemprotan dilakukan secara menyeluruh di setiap bagian TPI. Kemiringan lantai TPI dibuat hingga 2º agar memudahkan dalam pembersihan lantai TPI. Dengan kemiringan 2º tersebut, air sisa pembersihan lantai TPI akan mengalir secara langsung ke dalam saluran pembuangan. Limbah cair tersebut masuk ke dalam waduk tempat penampungan dan dikelola lebih lanjut sebelum masuk kembali ke laut. Upaya pengelolaan sanitasi sampai saat ini masih menghadapi beberapa kendala. Kendala yang dimaksud adalah perilaku nelayan, kuli angkut, pedagang dan peserta lelang yang kurang memberi perhatian serta kesadaran akan pentingnya sanitasi dan kebersihan di lingkungan tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Apabila dibandingkan dengan pengelolaan dan pemeliharaan sanitasi dan kebersihan yang telah dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ), pengelolaan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh pihak UPT PPI Muara Angke sudah cukup baik. Upaya pengelolaan limbah padat di PPI Muara Angke sudah sesuai dengan yang dilakukan di PPSJ, tetapi untuk limbah cair, pengelolaan yang dilakukan di PPI Muara Angke masih belum sesuai dengan standar. 9. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan 1) Aktivitas yang memberi dampak terhadap sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan adalah proses pembongkaran, pengangkutan dan pelelangan ikan. Ketiga aktivitas tersebut, menghasilkan jenis limbah fisik yang sama sehingga menimbulkan kurangnya sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Limbah fisik tersebut antara lain potongan tubuh, genangan darah dan lendir ikan, sisa bongkahan es untuk mengawetkan ikan, serta air sisa pencucian ikan. 2) Dampak dari sanitasi aktivitas pembongkaran, pengangkutan dan pelelangan ikan yang kurang terjaga, menyebabkan penurunan kualitas ikan. Hasil analisis prosentase ikan tidak layak konsumsi, berdasarkan data dua puluh kapal yang melakukan pembongkaran di PPI Muara Angke, menunjukkan bahwa kualitas ikan yang didaratkan tidak layak konsumsi. Pada saat pembongkaran, baik untuk keranjang 1 maupun keranjang 2, kisaran prosentase ikan tidak layak konsumsi adalah sekitar 10-45%. Pada saat pelelangan, prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi tidak mengalami peningkatan, untuk dua keranjang. Rata-rata ikan tidak layak konsumsi pada saat setelah pembongkaran adalah 1 ekor ikan untuk masing-masing keranjang. Pada saat sebelum pengangkutan dari TPI, terjadi penurunan kualitas. Kisaran prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi adalah 15-100%. Rata-rata ikan tidak layak konsumsi pada saat sebelum pengangkutan dari TPI adalah 7 ekor ikan untuk keranjang 1, sedangkan 9 ekor ikan untuk keranjang 2. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sanitasi dan penanganan ikan di pelabuhan perikanan, mempengaruhi penurunan kualitas ikan. 3) Upaya pengelolaan yang telah dilakukan dalam menangani limbah padat adalah dengan melakukan penyapuan dan pengumpulan limbah padat, minimal setiap kali setelah proses pembongkaran dan pelelangan ikan selesai dilakukan. PPI Muara Angke masih belum dilengkapi dengan sistem IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah), sehingga limbah cair tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu, melainkan dialirkan langsung ke dalam saluran pembuangan, kemudian masuk ke 130 dalam waduk penampungan. Penanganan pencemaran udara dapat dilakukan dengan penanaman pepohonan di lingkungan sekitar dermaga bongkar dan TPI untuk mengurangi bau tidak sedap. Upaya yang belum dilakukan adalah penggunaan oil catcher untuk mengurangi jumlah buangan minyak dan oli dari kapal, jumlah petugas pengawas sanitasi dan kebersihan yang masih kurang, pemberian penyuluhan kepada para pelaku di pelabuhan, pembuatan aturan-aturan terkait dengan sanitasi serta sanksi yang belum diberikan kepada para pelanggar aturan. 9.2 Saran 1) Perlu upaya pengurangan dampak dengan mengoptimalkan pengelolaan sanitasi di kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI melalui pengadaan penyuluhan, meningkatkan frekuensi pembersihan dan pemberian sanksi terhadap para pelanggar aturan serta peningkatan pengawasan di seluruh kawasan PPI Muara Angke. 2) Peningkatan mutu pada usaha perikanan, masih perlu terus diupayakan. Peningkatan mutu terkait dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) melalui pembinaan dan penyuluhan secara rutin, perbaikan sarana dan prasarana, serta perlu adanya sistem pengendalian kualitas ikan yang didaratkan. 3) Hal yang terpenting dalam melakukan upaya pengelolaan sanitasi dan kebersihan adalah pasokan air bersih. Penyediaan air bersih yang mencukupi, akan dapat meminimalisasi pencucian ikan dengan menggunakan air kolam pelabuhan. Selain itu, penyemprotan lantai dermaga bongkar dan TPI serta pencucian keranjang ikan dapat dilakukan dengan lebih baik. 4) Dalam rangka meningkatkan kualitas sanitasi, sebaiknya pihak PPI Muara Angke melakukan upaya-upaya, antara lain meningkatkan frekuensi pembersihan tempat pendaratan dan pelelangan ikan, tidak terbatas hanya setelah proses pembongkaran dan pelelangan selesai, serta melakukan kajian lebih lanjut terhadap sanitasi dan kebersihan di lingkungan PPI Muara Angke, agar dapat melakukan penerapan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius. Anita. 2003. Pengendalian Mutu Produksi Layur (Trichiurus. sp.) di PPN Palabuhanratu untuk Tujuan Ekspor [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Anonymous, 1993. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu. Kerjasama Fakultas Perikanan IPB dengan PT. Andhika Angkayasa Konsultan. Jakarta: Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan. Anonymous, 2006. Potensi Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke. Jakarta: UPT PPI Muara Angke. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. Anonymous, 2007. Data Potensi Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara. Jakarta: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kotamadya Jakarta Utara. Aryadi, O. 2007. Pengendalian Kualitas Ikan pada Distribusi Hasil Tangkapan di PPP Cilauteureun Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Desiwardani, S. 2007. Pengaruh Hasil Tangkapan dan Kondisi Kesejahteraan Nelayan di Desa Sungaibuntu Karawang Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air (Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan). Yogyakarta: Kanisius. Hardjito, L. 2006. Diktat Kuliah Pengantar Teknologi Hasil Perikanan. Bogor: Departemen Teknologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ishikawa, K. 1989. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu. Terjemahan Nawolo Widodo. Jakarta: PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Johns, N. 1991. Managing Food Hygiene. London. Macmillan. Liswati, C. 2000. Tinjauan Teknik Sanitasi dan Higiene pada Unit Pengalengan Ikan Lemuru (Sardinella longiceps) di PT. Maya Food Industries Pekalongan Jawa Tengah [Laporan Magang]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 132 Lubis. E. 2000. Buku I: Pengantar Pelabuhan Perikanan. Bahan Kuliah Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lubis, E. 2006. Buku I: Pengantar Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lubis, E. 2007. Bahan Kuliah Tekhnik Perencanaan Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Mahendra, R. 2001. Studi Persaingan Hasil Tangkapan dan Aktivitas Kepelabuhanan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Bajomulyo [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Mahyuddin, B. 2007. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Malik, JS. 2006. Kajian Distribusi Hasil Tangkapan Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke, Jakarta Utara [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Menai, ES. 2007. Tinjauan Penanganan Hasil Perikanan Tangkap dan Analisis Prospek Penerapan Program HACCP pada Pangkalan Pendaratan Ikan Manokwari Papua [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Mulyadi, MD. 2007. Analisis Pendaratan dan Penanganan Hasil Tangkapan serta Fasilitas Terkait di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Murdaniel, RPS. 2007. Pengendalian Kualitas Ikan Tuna untuk Tujuan Ekspor di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nasution, MN. 2004. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Control). Bogor: Ghalia Indonesia. Novri, F. 2006. Analisis Hasil Tangkapan dan Pola Musim Penangkapan Ikan Tenggiri (Scomberomerus spp.) di Perairan Laut Jawa Bagian Barat Berdasarkan Hasil Tangkapan yang Didaratkan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 133 Nurani, TW. 2007. Manajemen Mutu. Laboratorium Sistem dan Optimasi Perikanan Tangkap. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rusmali, K. 2004. Analisis Aktivitas Pendaratan dan Pemasaran Hasil Tangkapan dan Dampaknya terhadap Sanitasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta, Muara Baru DKI Jakarta [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sudarma, D. 2006. Diktat Kuliah Penanganan Hasil Perikanan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sugiharto. 2005. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Wibowo. 2001. Aspek Sanitasi dan Higiene pada Pengalengan Ikan Lemuru (Sardinella longiceps) di PT. Maya Food Industries Pekalongan Jawa Tengah [Laporan Magang]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Wibowo, H. 2006. Pengaruh Penggunaan Coolbox Diatas Kapal Penangkap Ikan terhadap Mutu Kesegaran Ikan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian PPI Muara Angke Sumber : Microsoft Encarta, 2001 135 Lampiran 2. Layout PPI Muara Angke Sumber: UPT, PKPP & PPI MUARA ANGKE, 2005 (data diolah kembali) 136 137 Lampiran 3. Tabel spesifikasi dan nilai organoleptik ikan segar Spesifikasi 1. Mata Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih Cerah, bola mata rata, kornea jernih Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi putih susu, kornea keruh Bola mata cekung, pupil putih susu, kornea keruh Bola mata tenggelam, ditutupi lendIr kuning yang tebal 2. Insang Warna merah cemerlang, tanpa lendir Warna merah kurang cemerlang, tanpa lendir Warna merah agak kusam, tanpa lendir Merah agak kusam, sedikit lender Mulai ada diskolorasi merah muda, merah coklat, sedikit lendir Mulai ada diskolorasi, sedikit lendir Warna merah coklat, lendir tebal Warna merah coklat atau kelabu, lendir tebal Warna putih kelabu, lendir tebal sekali 3. Lendir Permukaan Badan Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna Nilai 9 8 7 6 5 4 3 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 9 Lapisan lendir di permukaan mulai keruh, agak putih susu, warna terangnya mulai suram 7 Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna Lendir tebal, menggumpal dan berwarna kuning Lendir berwarna kekuningan sampai coklat dan tebal, warna cerah hilang, pemutihan nyata, menjadi pengeringan lendir kena udara 4. Daging dan Perut Sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perut dagingnya utuh, bau isi perut segar Sayatan daging cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perutnya utuh, bau isi perut netral Aayatan daging Sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut agak lembek, ginjal mulai merah pudar, dinding perut dagingnya utuh, bau netral Sayatan daging masih cemerlang, didua perut agak lembek, agak kemerahan pada tulang belakang, perut agak lembek, sedikit bau susu Sayatan daging mulai pudar, didua perut lembek, banyak pemerahan pada tulang belakang, rusuk mulai lembek, bau perut sedikit asam Sayatan daging tidak cemerlang, didua perut lunak, pemerahan sepanjang tulang belakang, rusuk mulai lembek, bau perut sedikit asam Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali pada sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak sekali, bau asam amoniak Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sepanjang tulang belakang, dinding perut membubar, bau busuk 5. Bau Segar, bau rumput laut, bau spesifik menurut jenis Bau segar, bau rumput laut mulai menghilang Tidak berbau netral 5 3 1 9 8 7 6 5 4 2 1 9 8 7 138 Bau susu, belum ada bau asam, ada bau ikan asin/bau cold storage Bau susu asam, bau susu kental Bau asam asetat, bau rumput atau bau sabun Bau amoniak mulai tercium Bau amoniak kuat, ada bau H2S Bau busuk, bau indol 6. Konsistensi atau Tekstur Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang, kadangkadang agak lunak sesuai jenisnya Agak lunak, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek dari tulang belakang Agak lunak, belum ada bekas jari bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan tapi cepat hilang, mudah menyobek dari tulang belakang Lunak, bekas jari terlihat lama bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang Lunak, bekas jari terlihat lama apabila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang Sangat lunak, bekas jari tidak mau hilang ditekan, mudah sekali menyobek dari tulang belakang Sumber : SNI 01-2729-1992 diacu dalam Wibowo, 2006 6 5 4 3 2 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 139 Lampiran 4. Contoh perhitungan 1) Proporsi ikan tidak layak konsumsi (p) saat setelah pembongkaran dan sebelum pelelangan a) Keranjang 1 p = ∑ ikan tidak layak konsumsi = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6 ukuran subgrup ∑ sampel ikan yang diambil p = 9 = 0,45 atau 45% 20 b) Keranjang 2 p = ∑ ikan tidak layak konsumsi = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6 ukuran subgrup ∑ sampel ikan yang diambil p = 8 = 0,40 atau 40% 20 2) Proporsi ikan tidak layak konsumsi (p) saat sebelum pengangkutan dari TPI a) Keranjang 1 p = ∑ ikan tidak layak konsumsi = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6 ukuran subgrup ∑ sampel ikan yang diambil p = 13 = 0,65 atau 65% 20 b) Keranjang 2 p = ∑ ikan tidak layak konsumsi = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6 ukuran subgrup ∑ sampel ikan yang diambil p = 17 = 0,85 atau 85% 20 140 3) Rata-rata proporsi ikan tidak layak konsumsi saat setelah pembongkaran dan sebelum pelelangan a) Keranjang 1 p = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6 ∑ total ikan sampel p = 20 = 0,05 x 100% = 5% 360 b) Keranjang 2 p = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6 ∑ total ikan sampel p = 22 = 0,061 x 100% = 6,1% 360 4) Rata-rata proporsi ikan tidak layak konsumsi saat sebelum pengangkutan dari TPI a) Keranjang 1 p = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6 ∑ total ikan sampel p = 120 = 0,33 x 100% = 33% 360 b) Keranjang 2 p = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6 ∑ total ikan sampel p = 176 = 0,48 x 100% = 48% 360 Lampiran 5 Data kualitas ikan setelah pembongkaran a) Keranjang 1 pada Kapal 19 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jenis Ikan Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Bawal Mata 8 8 7 7 7 6 7 6 6 7 7 7 7 8 7 6 6 7 7 7 Insang 8 8 7 7 7 7 7 6 6 7 7 7 7 8 7 6 6 7 7 7 Lendir 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 Bau 8 8 8 8 8 7 8 7 7 8 8 8 8 8 8 7 7 8 8 8 Daging&Perut 8 8 7 7 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 7 6 6 7 7 7 Konsistensi 8 8 8 8 8 7 8 7 7 8 8 8 8 8 8 7 7 8 8 8 Rata-rata 8 8 8 8 8 7 8 7 7 8 8 8 8 8 8 7 7 8 8 8 141 b) Keranjang 2 pada Kapal 19 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jenis Ikan Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Tenggiri Mata 8 8 8 8 8 7 8 7 7 8 7 7 7 8 8 8 8 8 8 8 Insang 9 9 9 9 8 7 8 8 8 8 8 7 8 9 9 9 9 8 8 8 Lendir 9 9 9 9 9 7 9 9 9 9 9 7 9 9 9 9 9 9 9 9 Bau 8 8 8 8 8 7 8 8 7 8 8 7 8 8 8 8 8 8 8 8 Daging&Perut 8 8 8 8 8 7 8 8 8 8 8 7 8 8 8 8 8 8 8 8 Konsistensi 8 8 8 8 8 7 8 8 8 8 8 7 8 8 8 8 8 8 8 8 Rata-rata 8 8 8 8 8 7 8 8 8 8 8 7 8 8 8 8 8 8 8 8 142 Lampiran 6 Data kualitas ikan sebelum pelelangan a) Keranjang 1 pada Kapal 11 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jenis Ikan Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Bilis Mata 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 Insang 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 Lendir 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 Bau 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 Daging&Perut 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 Konsistensi 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 5 5 5 5 4 Rata-rata 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 143 b) Keranjang 2 pada Kapal 11 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jenis Ikan Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Biji Nangka Mata 2 2 2 1 1 2 1 1 2 2 2 1 1 1 2 2 2 1 2 2 Insang 3 3 3 2 2 3 2 2 3 3 3 2 2 2 3 3 3 2 3 3 Lendir 5 5 5 3 3 5 3 3 5 5 5 3 3 3 5 5 5 3 5 5 Bau 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 Daging&Perut 4 4 4 3 3 4 3 3 4 4 4 3 3 3 4 4 4 3 4 4 Konsistensi 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Rata-rata 4 4 4 3 3 4 3 3 4 4 4 3 3 3 4 4 4 3 4 4 144 Lampiran 7 Data kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang a) Keranjang 1 pada Kapal 13 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jenis Ikan Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Semar Mata 6 6 6 7 7 7 8 8 6 6 6 7 7 6 6 7 6 6 6 6 Insang 6 6 6 6 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 Lendir 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 Bau 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 Daging&Perut 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 5 6 6 6 6 6 Konsistensi 4 4 4 6 6 6 6 6 4 4 4 6 6 4 4 6 4 4 4 4 Rata-rata 6 6 6 6 6 6 7 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 145 b) Keranjang 2 pada Kapal 13 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jenis Ikan Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Japuh Mata 5 5 5 5 5 6 6 6 6 6 5 5 5 4 4 4 5 5 5 5 Insang 6 6 6 6 5 6 5 6 6 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 Lendir 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 Bau 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 Daging&Perut 5 5 5 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 Konsistensi 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 Rata-rata 6 6 6 5 5 6 6 6 6 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 146