kajian sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan

advertisement
KAJIAN SANITASI DI TEMPAT PENDARATAN DAN
PELELANGAN IKAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN
MUARA ANGKE SERTA PENGARUHNYA TERHADAP
KUALITAS IKAN DIDARATKAN
VARENNA FAUBIANY
SKRIPSI
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
KAJIAN SANITASI DI TEMPAT PENDARATAN DAN PELELANGAN IKAN
PANGKALAN
PENDARATAN
IKAN
MUARA
ANGKE
SERTA
PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS IKAN DIDARATKAN
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan arahan dari dosen pembimbing
serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2008
Varenna Faubiany
C54104026
ABSTRAK
VARENNA FAUBIANY. C54104026. Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan
dan Pelelangan Ikan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke serta
Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan Didaratkan. Dibimbing oleh ERNANI
LUBIS dan TRI WIJI NURANI.
Sanitasi di suatu pelabuhan perikanan merupakan suatu hal yang sangat penting
pengaruhnya terhadap kualitas ikan yang didaratkan. Ikan merupakan produk yang
cepat dan mudah membusuk, sehingga membutuhkan penanganan yang cepat, bersih,
cermat dan dingin. Kualitas ikan di suatu pelabuhan perikanan akan menentukan
harga di pasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi aktivitas yang
memberikan dampak terhadap sanitasi dan pengaruhnya terhadap kualitas ikan serta
upaya pengelolaan yang telah dilakukan.
Prosentase jumlah ikan yang tidak layak konsumsi, berhubungan dengan
proporsi jumlah ikan tidak layak konsumsi yang didaratkan. Diagram sebab akibat
digunakan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab kualitas ikan yang didaratkan
tidak layak konsumsi. Analisis deskriptif dan tabulasi digunakan untuk mengkaji
masalah sanitasi di kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan tempat pelelangan ikan.
Kondisi buruknya sanitasi di PPI Muara Angke berdampak terhadap penurunan
kualitas ikan. Hal ini diindikasikan dengan peningkatan prosentase ikan tidak layak
konsumsi, yaitu dari 10-45% saat setelah pembongkaran menjadi sekitar 15-100%
saat sebelum pengangkutan dari TPI. Faktor-faktor yang mempengaruhi prosentase
ikan tidak layak konsumsi adalah perilaku pelaku, proses pelelangan, penanganan
ikan, sanitasi dan fasilitas PPI. Akar penyebab masalah kualitas ikan tidak layak
konsumsi yang berasal dari pelaku adalah para kuli angkut yang tidak
memperlakukan ikan dengan baik, sedangkan yang berasal dari sanitasi PPI adalah
pelelangan ikan yang menghasilkan limbah padat dan limbah cair, yang berasal dari
penanganan ikan adalah cara pengawetan ikan dengan tidak memberikan es, dari
proses pelelangan adalah jumlah peserta lelang yang terlalu banyak dan akar
penyebab fasilitas PPI adalah dermaga bongkar yang tidak menggunakan kanopi.
Pihak UPT PPI Muara Angke telah berusaha melakukan berbagai macam upaya
pengelolaan sanitasi, antara lain melakukan pembersihan kolam pelabuhan setiap
pagi, menyapu dan menyemprot lantai dermaga bongkar dan TPI setiap kali selesai
proses pembongkaran dan pelelangan ikan. Namun, upaya yang belum dilakukan
adalah penggunaan oil catcher, penambahan jumlah petugas pengawas sanitasi dan
kebersihan serta pemberian penyuluhan kepada para pelaku di pelabuhan, pembuatan
aturan yang terkait dengan sanitasi dan sanksi yang diberikan.
Kata kunci: sanitasi, kualitas ikan, PPI Muara Angke
KAJIAN SANITASI DI TEMPAT PENDARATAN DAN
PELELANGAN IKAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN
MUARA ANGKE SERTA PENGARUHNYA TERHADAP
KUALITAS IKAN DIDARATKAN
VARENNA FAUBIANY
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Skripsi
: Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan dan Pelelangan Ikan
Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke serta
Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan Didaratkan
Nama Mahasiswa
: Varenna Faubiany
NRP
: C54104026
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA.
Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si
NIP. 131123999
NIP. 131841725
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc
NIP. 131578799
Tanggal Lulus: 22 Juli 2008
KATA PENGANTAR
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dengan judul “Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan dan Pelelangan Ikan
Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan
yang Didaratkan” ini disusun berdasarkan penelitian di PPI Muara Angke, Jakarta
Utara pada bulan Maret 2008.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang berbagai
aktivitas yang menimbulkan dampak sanitasi di PPI Muara Angke, menentukan
dampak sanitasi dari berbagai aktivitas terhadap kualitas ikan yang didaratkan di PPI
Muara Angke dan menentukan upaya pengelolaan sanitasi yang baik di PPI Muara
Angke.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini
dan diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan terutama bagi
pengembangan pelabuhan perikanan di Indonesia.
Bogor, Juli 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah berperan langsung maupun tidak langsung dalam
penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:
1) Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA. dan Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si selaku dosen
pembimbing atas bimbingannya selama penyelesaian skripsi ini;
2) Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc dan Iin Solihin, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji
tamu, serta kepada Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc selaku ketua
departemen dan Ir. Ronny Irawan Wahyu, M.Phil selaku komisi pendidikan atas
kritikan, saran dan masukannya yang sangat membangun demi kesempurnaan
skripsi ini;
3) Bapak Komar, Bapak Idris, Ibu Ria, Bapak Sumarsono, Mas Arief dan segenap
staff UPT PPI Muara Angke yang telah banyak membantu selama penulis
melaksanakan kegiatan penelitian dan sebagai pembimbing di lapangan;
4) Mama tercinta (Sosiati Gunawan), Papa tercinta (Tonny Sartono Hadie), Eyang
Putri terkasih (Saida Gatoet Gunawan), Eyang Kakung terkasih (Gatoet
Gunawan), Tante terkasih (Noesje Soesilowati) dan Adik-adikku yang tersayang
(Clarissa Amelia Hadie dan Harits Abdillah Hadie) atas kasih sayang, dukungan
semangat, doa, bimbingan dan segala usaha yang telah diberikan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini;
5) Rekan-rekan PSP terutama PSP 41 yang akan selalu di hati atas doa dan
semangatnya kepada penulis selama menempuh pendidikan di IPB dan rekanrekan TBF (Dhani, Anggun, Arie, Angga, Wino, Adni, Idcham, Amy dan Prima)
yang terus memompa semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; dan
6) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bimbingan dan bantuan yang telah
diberikan. Amien.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 03 Mei 1987. Penulis
adalah putri dari pasangan Bapak Tonny Sartono Hadie dan Ibu
Sosiati Gunawan. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1991 di TK Sentosa. Kemudian
pada tahun 1992-1998 melanjutkan pendidikan di SD Tunas Jaka Sampurna. Pada
tahun 1998-2001 masuk ke SLTP-IT IQRO dan pada tahun 2001-2004 menamatkan
pendidikan formal di SMU Negeri 6 Bekasi. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana
di Institut Pertanian Bogor dan tercatat sebagai mahasiswa di Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP) pada tanggal 21 Juni 2004 melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi dan kegiatan
yang ada di lingkungan IPB. Penulis pernah menjabat sebagai anggota Departemen
Penelitian, Pengembangan dan Keprofesian HIMAFARIN-PSP-IPB pada periode
2004-2005, sebagai Bendahara II HIMAFARIN-PSP-IPB periode 2007-2008 dan
anggota Divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) Masyarakat PASIR periode
2006-2007.
Penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Pelabuhan Perikanan pada
tahun 2007-2008 dan mata kuliah Teknik Perencanaan Pembangunan dan
Pemanfaatan Pelabuhan Perikanan pada tahun 2008. Dalam rangka menyelesaikan
tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Kajian
Sanitasi di Tempat Pendaratan dan Pelelangan Ikan Pangkalan Pendaratan Ikan
Muara Angke serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan Didaratkan”.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Halaman
xii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang……………………………………………………....
1
Tujuan Penelitian……………………………………………………
3
Manfaat Penelitian…………………………………………………..
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelabuhan Perikanan………………………………………………...
4
2.1.1 Pengertian pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan
ikan…………………………………………………………….
2.1.2 Fungsi pelabuhan perikanan…………………………………...
2.1.3 Fasilitas pelabuhan perikanan…………………………………
4
6
8
2.2 Sanitasi Pelabuhan Perikanan.............................................................
13
2.2.1 Pengertian sanitasi......................................................................
2.2.2 Penerapan sanitasi dan sumber-sumber pencemaran di
pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan.......................
2.2.3 Pengelolaan dan pemeliharaan sanitasi di pelabuhan
perikanan....................................................................................
13
2.3 Kualitas Ikan.......................................................................................
18
2.3.1 Pengertian kualitas ikan.............................................................
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas ikan.......................
2.3.3 Cara mempertahankan kualitas ikan..........................................
2.3.4 Standarisasi peningkatan kualitas ikan......................................
2.3.5 Peta kendali................................................................................
2.3.6 Diagram sebab akibat.................................................................
18
21
23
27
30
31
14
16
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.............................................................
33
3.2 Materi Penelitian.................................................................................
33
3.3 Metode Pengambilan Data..................................................................
33
3.4 Analisis Data.......................................................................................
35
ix
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Umum Kota Jakarta Utara....................................................
41
4.1.1 Letak geografis dan topografi Jakarta Utara..............................
4.1.2 Penduduk Kota Jakarta Utara.....................................................
4.1.3 Kondisi perikanan tangkap Kota Jakarta Utara..........................
41
4.2 Keadaan Umum PPI Muara Angke.....................................................
4.2.1 Letak geografis dan topografi PPI Muara Angke......................
4.2.2 Pengelolaan PPI Muara Angke..................................................
4.2.3 Kondisi perikanan tangkap.........................................................
4.2.4 Fasilitas PPI Muara Angke........................................................
42
43
50
50
51
55
63
5. AKTIVITAS DI TEMPAT PENDARATAN DAN PELELANGAN
IKAN PPI MUARA ANGKE
5.1 Pendaratan Hasil Tangkapan...............................................................
5.2 Pengangkutan Hasil Tangkapan..........................................................
5.3 Pelelangan Hasil Tangkapan...............................................................
5.4 Penyortiran dan Penanganan Hasil Tangkapan...................................
75
80
82
88
6. DAMPAK AKTIVITAS PENDARATAN DAN PELELANGAN
IKAN TERHADAP SANITASI DI PPI MUARA ANGKE
6.1 Kondisi Sanitasi di Kolam Pelabuhan, Dermaga Bongkar dan
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke.....................................
6.1.1 Faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi sanitasi pada
Berbagai aktivitas dari pendaratan sampai pelelangan ikan......
6.1.2 Jenis limbah fisik yang dihasilkan aktivitas pendaratan dan
pelelangan ikan..........................................................................
6.1.3 Limbah dari aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan..............
6.2 Dampak Sanitasi dari Aktivitas Pendaratan dan Pelelangan Ikan......
92
94
96
98
104
7. KONDISI KUALITAS HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI
PPI MUARA ANGKE
7.1 Kualitas Ikan Saat Setelah Pembongkaran di Atas Kapal dan
Dermaga Bongkar...............................................................................
109
7.2 Kualitas Ikan Saat Sebelum Pelelangan di Tempat Pelelangan
Ikan......................................................................................................
112
7.3 Kualitas Ikan Saat Sebelum Pengangkutan dari Tempat Pelelangan
Ikan (TPI)............................................................................................
113
x
7.4 Diagram Sebab Akibat Kualitas Ikan Buruk Setelah Pembongkaran
Sampai Sebelum Pengangkutan ke Perusahaan atau Pedagang..........
116
8. UPAYA PENGELOLAAN DAMPAK SANITASI TERHADAP
KUALITAS IKAN DI PPI MUARA ANGKE
8.1 Dampak Sanitasi terhadap Kualitas Ikan............................................
8.2 Upaya Pengelolaan Sanitasi yang Dilakukan Pihak UPT PPI
Muara Angke.......................................................................................
122
123
9. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan.........................................................................................
9.2 Saran....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
LAMPIRAN.......................................................................................................
129
130
131
134
xi
DAFTAR TABEL
1. Kriteria mutu ikan segar...........................................................................
Halaman
21
2. Faktor yang mempengaruhi kualitas ikan dalam proses penanganan.......
23
3. Data yang dikumpulkan saat penelitian....................................................
34
4. Contoh tabel analisis data.........................................................................
36
5. Contoh tabel analisis peta kendali.............................................................
38
6. Contoh tabel analisis upaya pengelolaan dampak sanitasi........................
40
7. Jumlah armada penangkapan Jakarta Utara, 2003-2007...........................
44
8. Jumlah nelayan Jakarta Utara, 2003-2007................................................
45
9. Jumlah hasil tangkapan nelayan Jakarta Utara, 2007................................
47
10. Jumlah produksi perikanan Jakarta Utara, 2003-2007..............................
48
11. Daftar instansi/kelembagaan lain di PPI Muara Angke, 2006..................
55
12. Jenis kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke, 2004-2007.....
56
13. Jumlah alat tangkap yang dioperasikan nelayan di PPI Muara Angke,
2003-2006.................................................................................................
57
14. Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas bongkar dan sandar di PPI
Muara Angke, 2001-2003.........................................................................
59
15. Jumlah produksi, nilai produksi dan retribusi ikan lokal yang
didaratkan di PPI Muara Angke, 2003-2006............................................
61
16. Fasilitas-fasilitas PPI Muara Angke, 2006................................................
63
17. Penanganan hasil tangkapan selama di kapal............................................
89
18. Faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi di kolam pelabuhan,
dermaga bongkar dan TPI PPI Muara Angke...........................................
95
19. Jenis limbah/sampah akibat proses pendaratan dan pelelangan hasil
Tangkapan di PPI Muara Angke...............................................................
96
20. Permasalahan pengguna pelabuhan dan dampaknya terhadap sanitasi
fasilitas dan kualitas ikan..........................................................................
106
21. Kualitas ikan setelah pembongkaran pada keranjang 1............................
109
22. Kualitas ikan setelah pembongkaran pada keranjang 2............................
111
23. Kualitas ikan sebelum pelelangan pada keranjang 1.................................
112
24. Kualitas ikan sebelum pelelangan pada keranjang 2.................................
113
xii
25. Kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 1.............
114
26. Kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 2.............
115
27. Upaya pengelolaan sanitasi di PPI Muara Angke, berdasarkan dampak
yang ditimbulkan menurut aktivitas dan pelaku.......................................
126
xiii
DAFTAR GAMBAR
1. Diagram sebab akibat................................................................................
Halaman
40
2. Jumlah armada penangkapan Jakarta Utara, 2003-2007...........................
44
3. Jumlah nelayan Jakarta Utara, 2003-2007................................................
46
4. Produksi ikan Jakarta Utara, 2003-2007...................................................
49
5. Struktur organisasi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta...............
54
6. Jumlah kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke,
2004-2007.................................................................................................
56
7. Jumlah alat tangkap di PPI Muara Angke, 2003-2006.............................
58
8. Jumlah nelayan di PPI Muara Angke Jakarta Utara,
2001-2003.................................................................................................
60
9. Produksi hasil tangkapan di PPI Muara Angke, 2003-2006.....................
61
10. Kolam pelabuhan PPI Muara Angke Jakarta Utara..................................
64
11. Dermaga bongkar PPI Muara Angke Jakarta Utara..................................
65
12. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) PPI Muara Angke Jakarta Utara..............
66
13. Stasiun pengisian bahan bakar umum dwi fungsi PPI Muara Angke ......
68
14. Pasar pengecer ikan di PPI Muara Angke ................................................
69
15. Tangki air bersih di PPI Muara Angke Jakarta Utara...............................
71
16. Kantor UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara.........................
73
17. Saat penyortiran hasil tangkapan di atas dek kapal...................................
77
18. Keranjang yang digunakan pada saat pembongkaran ikan.......................
78
19. ABK yang memasukkan kaki ke dalam keranjang ikan...........................
79
20. Beberapa ABK yang tidak menggunakan sarung tangan saat
pembongkaran hasil tangkapan................................................................
79
21. Mekanisme pelelangan ikan di PPI Muara Angke Jakarta Utara.............
84
22. Ikan-ikan dalam keranjang yang siap untuk dilelang...............................
85
23. Suasana pelelangan ”opouw” di PPI Muara Angke.................................
86
24. Pembagian retribusi pelelangan ikan PPI Muara Angke..........................
87
25. Pencucian keranjang ikan setelah pelelangan selesai...............................
90
26. Kondisi kolam pelabuhan PPI Muara Angke............................................
98
xiv
27. Kondisi sanitasi di dermaga bongkar PPI Muara Angke..........................
99
28. Kondisi peletakan ikan di dermaga bongkar PPI Muara Angke..............
100
29. Kondisi sanitasi di lantai TPI PPI Muara Angke......................................
102
30. Diagram sebab akibat kualitas ikan buruk setelah pembongkaran
hingga sebelum pengangkutan ke perusahaan atau pedagang ................
121
31. Kapal kebersihan khusus kawasan Pantai Utara Jakarta..........................
124
32. Kapal kebersihan khusus kawasan PPI Muara Angke..............................
125
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta lokasi penelitian................................................................................
Halaman
135
2. Layout PPI Muara Angke.........................................................................
136
3. Tabel spesifikasi dan nilai organoleptik ikan segar..................................
137
4. Contoh perhitungan...................................................................................
139
5. Data kualitas ikan setelah pembongkaran.................................................
141
6. Data kualitas ikan sebelum pelelangan.....................................................
143
7. Data kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau
pedagang...................................................................................................
145
xvi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produk perikanan merupakan suatu produk yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan gizi terutama yang berasal dari protein
hewani. Ikan sebagai komoditas yang mudah dan cepat membusuk (high perishable
food), memerlukan penanganan yang cepat, bersih, cermat dan dingin (quick, clean,
careful and cool) sehingga mutu ikan dapat tetap dipertahankan sejak ikan diangkat
dari laut hingga ikan didistribusikan atau dipasarkan ke konsumen. Salah satu
mekanisme penanganan ikan dilakukan melalui penerapan sistem rantai dingin (cool
chain system) (Wibowo, 2006).
Ikan merupakan komoditi utama di suatu pelabuhan perikanan. Oleh karena itu,
kualitas ikan di suatu pelabuhan perikanan sangatlah penting untuk dijaga. Kualitas
ikan akan menentukan harga di pasaran. Semakin bagus kualitas ikan, maka harganya
akan semakin tinggi (Hanafiah dan Saefudin, 1983 diacu dalam Murdaniel, 2007).
Pengendalian kualitas ikan sangat diperlukan agar kesegaran ikan dapat
dipertahankan. Pentingnya menjaga kualitas ikan di suatu pelabuhan perikanan
berkaitan dengan salah satu fungsinya sebagai tempat pembinaan mutu hasil
perikanan. Apabila kualitas ikan yang ada di suatu pelabuhan perikanan baik, akan
menunjukkan bahwa pelabuhan perikanan dari segi fungsi pembinaan mutu hasil
perikanan sudah berjalan dengan optimal.
Dalam pengelolaan pelabuhan perikanan, seringkali masalah sanitasi dan
pengelolaan limbah menjadi terlupakan. Buruknya penanganan sanitasi dan
kurangnya sanitasi fasilitas memungkinkan terjadinya kerugian dalam perdagangan
ikan. Selain itu, buruknya sanitasi dapat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
Hal ini disebabkan karena banyaknya binatang seperti lalat dan tikus yang berkeliaran
di sekitar tempat tersebut. Menurut Lubis (2006) bahwa permasalahan sanitasi seperti
banyaknya sampah dan limbah sisa atau buangan dari aktivitas-aktivitas di pelabuhan
perikanan dan para pengguna akan dapat menimbulkan pencemaran. Permasalahan
2
sanitasi banyak terjadi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan karena di kedua
tempat ini terjadi pemusatan kegiatan pendaratan dan pemasaran ikan.
Pemilihan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke sebagai lokasi
penelitian karena PPI Muara Angke merupakan salah satu pelabuhan perikanan tipe D
yang mempunyai potensi produksi dan pemasaran hasil tangkapan yang cukup besar
dan strategis di Jakarta Utara. PPI Muara Angke juga merupakan basis armada
penangkapan ikan karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Teluk Jakarta
(Malik, 2006). Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke memiliki keunggulan
dibandingkan dengan PPI lain yang berada di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke pada tahun 2007 yaitu
17.111.209 kg, lebih besar dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan yang
didaratkan di PPI Pasar Ikan, yaitu 722.305 kg (Anonymous, 2007). Namun, Ikanikan yang didaratkan di PPI Muara Angke, terkadang masih memiliki kualitas yang
buruk. Ikan-ikan dengan kualitas yang buruk berasal dari kapal-kapal yang
melakukan operasi penangkapan lebih dari satu bulan. Selain potensi perikanan yang
cukup besar, PPI Muara Angke juga memiliki potensi pemasaran yang cukup baik,
dilihat dari letak yang sangat strategis, yang terletak di DKI Jakarta dengan jumlah
penduduk yang sangat banyak, aksesibilitas ke tempat ini sangat baik, kondisi jalan
beraspal, sarana transportasi yang mudah untuk menuju lokasi ini dan didukung
dengan sarana yang memadai (Malik, 2006).
Sanitasi di tempat pendaratan ikan yaitu di dermaga bongkar maasih kurang
terjaga. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ikan dan potongan-potongan ikan yang
berjatuhan di dermaga tersebut. Begitu pula dengan sanitasi di Tempat Pelelangan
Ikan (TPI), yaitu banyaknya limbah dari aktivitas pelelangan ikan seperti ikan utuh
dan potongan-potongan ikan yang berserakan di sekitar TPI, banyaknya genangan air,
puntung rokok dan orang yang meludah di sembarang tempat, menyebabkan sanitasi
di TPI menjadi kurang terjaga dengan baik. Sanitasi yang kurang baik berdampak
terhadap kualitas ikan yang didaratkan. Kualitas ikan yang didaratkan di PPI Muara
Angke, memiliki kualitas yang kurang baik. Hal ini terlihat dari ada beberapa kapal
yang mendaratkan ikan tidak layak konsumsi, atau memiliki nilai organoleptik < 6.
3
Mengingat pentingnya sanitasi di suatu pelabuhan perikanan, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Kajian Sanitasi di Tempat Pendaratan
dan Pelelangan Ikan serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan di PPI Muara Angke.
1.2 Tujuan
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah:
(1) Mendapatkan informasi tentang berbagai aktivitas yang menimbulkan dampak
sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan PPI Muara Angke;
(2) Menentukan kualitas ikan yang didaratkan akibat dampak sanitasi di PPI Muara
Angke;
(3) Merumuskan upaya pengelolaan sanitasi yang baik di tempat pendaratan dan
pelelangan ikan PPI Muara Angke.
1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
mengenai pentingnya penanganan ikan dengan menjaga sanitasi dan pengelolaannya
untuk mempertahankan kualitas. Selain itu, sebagai bahan pertimbangan bagi Pemda
DKI Jakarta untuk meningkatkan sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan
PPI Muara Angke.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelabuhan Perikanan
2.1.1 Pengertian pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan
Pemanfaatan potensi perikanan secara optimal perlu didukung oleh adanya
perencanaan penangkapan yang tepat dan terarah, tersedianya sarana dan prasarana
yang memadai dan dapat menunjang pemanfaatan potensi perikanan (Mahendra,
2001). Pelabuhan perikanan merupakan pusat perekonomian perikanan, dimana
segala usaha perikanan berpusat di tempat ini. Pelabuhan perikanan merupakan salah
satu prasarana perikanan, yaitu sebagai pusat kegiatan perikanan, yang mengatur
segala macam kepentingan yang berhubungan dengan pengembangan perikanan
tangkap di wilayah tersebut. Keberadaan pelabuhan perikanan, selain mendukung
kegiatan perikanan tangkap, juga sebagai salah satu upaya dalam mempertahankan
kualitas hasil tangkapan dan meningkatkan harga jual (Lubis, 2000).
Departemen Perhubungan menggolongkan pelabuhan perikanan termasuk ke
dalam pelabuhan khusus. Menurut Lubis (2006), pelabuhan perikanan adalah suatu
wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai
pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sejak
ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan.
Menurut Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pelabuhan
perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya sebagai
tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang
dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan atau bongkar
muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan
penunjang perikanan. Definisi yang sama disebutkan dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No.16 tahun 2006 yang diberi batasan untuk wilayah daratan
dan perairan di sekitarnya.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pelabuhan perikanan merupakan pusat
pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan dan
5
pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional. Menurut Direktorat
Jenderal Perikanan (1994), aspek-aspek tersebut secara terperinci adalah:
(1) Produksi: pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk melakukan
kegiatan produksi, mulai dari memenuhi kebutuhan perbekalan untuk menangkap
ikan di laut sampai membongkar hasil tangkapan;
(2) Pengolahan: pelabuhan perikanan menyediakan sarana yang dibutuhkan untuk
mengolah hasil tangkapan; dan
(3) Pemasaran: pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan tempat awal
pemasaran hasil tangkapan.
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) dalam Lubis (2006), kriteria
pangkalan pendaratan ikan adalah sebagai berikut:
(1) Tersedianya lahan seluas 10 ha;
(2) Diperuntukkan bagi kapal-kapal perikanan < 30 GT;
(3) Melayani kapal-kapal perikanan 15 unit/hari;
(4) Jumlah ikan yang didaratkan ≥ 10 ton/hari;
(5) Tersedianya fasilitas pembinaan mutu, sarana pemasaran dan lahan kawasan
industri perikanan; dan
(6) Dekat dengan pemukiman nelayan.
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/Men/2006 Bab
VII tentang klasifikasi pelabuhan perikanan pasal 20, pangkalan pendaratan ikan
ditetapkan berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut:
(1) Melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan
pedalaman dan perairan kepulauan;
(2) Memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurangkurangnya 3 GT;
(3) Panjang dermaga sekurang-kurangnya 50 meter, dengan kedalaman kolam
pelabuhan sekurang-kurangnya minus 2 meter;
(4) Mampu menampung sekurang-kurangnya 20 kapal perikanan atau jumlah
keseluruhan sekurang-kurangnya 60 GT kapal perikanan sekaligus.
6
Pelabuhan perikanan tipe D dikatakan pula dengan istilah Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI). Dilihat dari segi konstruksi bangunannya, sebagian besar PPI termasuk ke
dalam pelabuhan alam dan atau semi alam. Artinya tipe pelabuhan ini umumnya
terdapat di muara atau tepi sungai, di daerah yang menjorok ke dalam atau terletak di
suatu teluk bukan bentukan manusia atau sebagian hasil bentukan manusia. Pada
umumnya, PPI ini ditujukan untuk tempat berlabuh atau bertambatnya perahu-perahu
penangkapan ikan tradisional yang berukuran lebih kecil dari 5 GT atau untuk
perahu-perahu layar tanpa motor. Hasil tangkapan yang didaratkan kurang atau sama
dengan 20 ton per hari dan ditujukan terutama untuk pemasaran lokal (Lubis, 2006).
2.1.2 Fungsi pelabuhan perikanan
Bila ditinjau dari fungsinya, pelabuhan perikanan tentunya berbeda dengan jenis
pelabuhan lainnya dimana pelabuhan perikanan dikhususkan untuk aktivitas di
bidang perikanan tangkap. Menurut Lubis (2006) fungsi pelabuhan perikanan adalah:
(1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran
Pelabuhan perikanan sebagai pusat sarana dan kegiatan pendaratan serta
pembongkaran hasil tangkapan di laut.
(2) Fungsi pengolahan
Pelabuhan perikanan sebagai tempat untuk membina peningkatan mutu dan
pengendalian mutu ikan dalam menghindari kerugian dari pasca tangkap.
(3) Fungsi pemasaran
Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme
pasar yang menguntungkan baik bagi nelayan maupun bagi pedagang.
(4) Fungsi pembinaan terhadap masyarakat nelayan
Pelabuhan perikanan dapat dijadikan sebagai lapangan kerja bagi penduduk di
sekitarnya dan sebagai tempat pembinaan masyarakat perikanan seperti nelayan,
pedagang, pengolah dan buruh angkut agar dapat menjalankan aktivitasnya
dengan baik.
7
Berdasarkan pasal 41 UU No. 31 Tahun 2004, dalam rangka pengembangan
pelabuhan perikanan, pemerintah membangun dan membina pelabuhan perikanan
yang berfungsi antara lain sebagai:
(1) Tempat tambat labuh kapal perikanan;
(2) Tempat pendaratan ikan;
(3) Tempat pemasaran dan distribusi ikan;
(4) Tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan;
(5) Tempat pengumpulan data perikanan;
(6) Tempat penyelenggaraan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan;
dan
(7) Tempat untuk memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan.
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/Men/2006 Bab
IV tentang fungsi pelabuhan perikanan pasal 4 menyebutkan bahwa fungsi pelabuhan
perikanan adalah:
(1)
Pelabuhan
perikanan
mempunyai
fungsi
mendukung
kegiatan
yang
berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan
lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasarannya.
(2)
Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a) Pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan;
b) Pelayanan bongkar muat;
c) Pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan;
d) Pemasaran dan distribusi ikan;
e) Pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;
f) Pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan;
g) Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan;
h) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan;
i) Pelaksanaan kesyahbandaran;
8
j) Pelaksanaan fungsi karantina ikan;
k) Publikasi hasil riset kelautan dan perikanan
l) Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari; dan
m) Pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan, ketertiban, kebakaran dan
pencemaran).
Pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan, ketertiban, kebakaran, dan
pencemaran) merupakan salah satu fungsi pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan
oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang cukup penting dalam
permasalahan penanganan sanitasi di pelabuhan perikanan. Target fungsi pelabuhan
perikanan, kiranya terlalu luas dan akan lebih sulit dicapai, mengingat terbatasnya
kemampuan sumberdaya manusia pengelola dan kapasitas, jenis serta rendahnya
kelengkapan dan mekanisasi fasilitas yang ada. Terlaksana atau tidaknya fungsifungsi pelabuhan perikanan secara optimal, akan dapat mengindikasikan tingkat
keberhasilan pengelolaan suatu pelabuhan perikanan (Lubis, 2006).
Pengadaan laboratorium pengawasan mutu hasil perikanan sebagai salah satu
kriteria teknis memegang peranan yang cukup besar terutama untuk menjaga agar
hasil tangkapan yang sampai ke tangan konsumen tidak mengandung unsur kimia
karsinogenik.
2.1.3 Fasilitas Pelabuhan Perikanan
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per. 16/Men/2006 Bab
VIII tentang fasilitas pelabuhan perikanan pasal 22 menyebutkan bahwa:
(1) Fasilitas pada pelabuhan perikanan meliputi:
a) Fasilitas pokok;
b) Fasilitas fungsional; dan
c) Fasilitas penunjang;
(2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sekurang-kurangnya
meliputi:
a) Pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin;
b) Tambat seperti dermaga dan jetty;
9
c) Perairan seperti kolam dan alur pelayaran;
d) Penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong, jembatan; dan
e) Lahan pelabuhan perikanan
(3) Fasilitas fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sekurangkurangnya meliputi:
a) Pemasaran hasil perikanan seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI);
b) Navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, ramburambu, lampu suar dan menara pengawas;
c) Suplai air bersih, es dan listrik;
d) Pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel
dan tempat perbaikan jaring;
e) Penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan
laboratorium pembinaan mutu;
f) Perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan;
g) Transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan es; dan
h) Pengolahan limbah seperti IPAL.
(4) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, sekurangkurangnya meliputi:
a) Pembinaan nelayan seperti balai pertemuan nelayan;
b) Pengelola pelabuhan seperti mess operator, pos jaga dan pos pelayanan
terpadu;
c) Sosial dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK;
d) Kios IPTEK; dan
e) Penyelenggaraan fungsi pemerintahan
(5) Fasilitas penyelenggaraan fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf e, sekurang-kurangnya meliputi:
a) Keselamatan pelayaran;
b) Kebersihan, keamanan dan ketertiban;
c) Bea dan cukai;
d) Keimigrasian;
10
e) Pengawas perikanan;
f) Kesehatan masyarakat; dan
g) Karantina ikan
Pasal 23 menyebutkan bahwa fasilitas yang wajib ada pada pelabuhan perikanan
untuk operasional sekurang-kurangnya meliputi:
(1) Fasilitas pokok, antara lain dermaga, kolam perairan, dan alur perairan;
(2) Fasilitas fungsional, antara lain kantor, air bersih, listrik serta fasilitas penanganan
ikan; dan
(3) Fasilitas penunjang, antara lain pos jaga dan MCK
1) Tempat pendaratan ikan
Proses pendaratan hasil tangkapan di suatu pelabuhan perikanan akan berjalan
dengan baik apabila didukung dengan pengadaan peralatan serta fasilitas terkait yang
memadai, terutama untuk produksi hasil tangkapan yang besar agar proses
pembongkaran dapat dilakukan secara cepat dan efisien. Pendaratan hasil tangkapan
merupakan pembongkaran hasil tangkapan dari dalam palkah ke atas dek kapal.
Setelah dilakukan penyortiran, ikan kemudian diturunkan ke dermaga untuk
selanjutnya diangkut menuju TPI (Mulyadi, 2007).
Selanjutnya dikatakan bahwa pendaratan hasil tangkapan di tempat-tempat
pendaratan ikan harus selalu memperhatikan karakteristik sumberdaya hayati ikan itu
sendiri yang mudah rusak yaitu pembongkaran harus dilakukan dalam waktu yang
cepat tanpa merusak atau menurunkan mutu hasil tangkapan. Oleh karena itu, untuk
melakukan pendaratan hasil tangkapan yang cepat dan higienis, maka suatu tempat
pendaratan ikan harus mempunyai dermaga yang cukup panjang, hasil tangkapan
terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung dan didukung oleh penyediaan alatalat pembongkaran seperti kereta dorong, keranjang atau basket, pompa air bersih dan
derek.
11
2) Tempat pelelangan ikan
Fungsi tempat pelelangan ikan adalah untuk melelang ikan, dimana terjadi
pertemuan antara penjual (nelayan atau pemilik kapal) dengan pembeli (pedagang
atau agen perusahaan perikanan). Letak dan pembagian ruang di gedung pelelangan
harus direncanakan supaya aliran produk (flow of product) berjalan dengan cepat
(Lubis, 2006). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa produk perikanan
merupakan produk yang cepat mengalami penurunan mutu, sehingga apabila aliran
produk ini terganggu akan menyebabkan terjadinya penurunan mutu ikan.
Ruangan yang ada pada gedung pelelangan adalah:
(1) Ruang surtir, yaitu tempat membersihkan, menyortir, dan memasukkan ikan ke
dalam peti atau keranjang;
(2) Ruang pelelangan, yaitu tempat menimbang, memperagakan dan melelang ikan;
(3) Ruang pengepakan, yaitu tempat memindahkan ikan ke dalam peti lain dengan
diberi es, garam, dan lain-lain selanjutnya siap untuk dikirim; dan
(4) Ruang administrasi pelelangan, terdiri dari loket-loket, gudang peralatan lelang,
ruang duduk untuk peserta lelang, toilet dan ruang cuci umum
Luas gedung pelelangan ikan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) Jumlah produksi yang harus ditampung oleh gedung pelelangan;
(2) Jenis ikan yang ditangkap; dan
(3) Cara penempatan ikan untuk diperagakan
Fungsi lain dari tempat pelelangan ikan adalah sebagai pusat pendaratan ikan,
pusat pembinaan mutu hasil tangkapan, pusat pengumpulan data dan pusat kegiatan
para nelayan di bidang pemasaran. Proses pelelangan ikan yang terjadi di dalam
gedung TPI bertujuan untuk menarik sejumlah pembeli yang potensial, menjual
dengan penawaran tinggi, menerima harga sebaik mungkin dan menjual sejumlah
besar ikan dalam waktu yang sesingkat mungkin (Biro Pusat Statistik, 1990 diacu
dalam Desiwardani, 2007)
12
Mahyuddin (2007) menyebutkan bahwa, menurut Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan No. KEP. 01/MEN/2007 tanggal 05 Januari 2007, tentang Persyaratan
Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan
Distribusi, bahwa persyaratan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) adalah:
(1) Terlindung dan mempunyai dinding yang mudah untuk dibersihkan;
(2) Mempunyai lantai yang kedap air yang mudah dibersihkan dan disanitasi,
dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan mempunyai sistem pembuangan
limbah cair yang higienis;
(3) Dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan toilet dalam
jumlah yang mencukupi. Tempat cuci tangan harus dilengkapi dengan bahan
pencuci tangan dan pengering sekali pakai;
(4) Mempunyai penerangan yang cukup untuk memudahkan dalam pengawasan hasil
perikanan;
(5) Kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat mempengaruhi
mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada dalam TPI;
(6) Dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan, wadah harus
dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air laut bersih;
(7) Dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan dan
minum dan diletakkan di tempat yang mudah dilihat dengan jelas;
(8) Mempunyai pasokan air bersih dan atau air laut bersih yang cukup; dan
(9) Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk menampung
hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan.
Satu hal yang perlu diperhatikan yaitu lantai tempat pelelangan harus miring ke
arah saluran pembuangan sekitar 2°. Hal ini dimaksudkan agar air dari penyemprotan
kotoran sisa-sisa ikan setelah selesai aktivitas pelelangan dapat mengalir ke saluran
pembuangan dengan mudah sehingga kebersihan tempat pelelangan senantiasa
terpelihara (Lubis, 2006).
13
2.2 Sanitasi di Pelabuhan Perikanan
2.2.1 Pengertian sanitasi
Sanitasi adalah suatu usaha untuk mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik
yang berpengaruh kepada manusia, terutama terhadap hal-hal yang mempunyai efek
merusak perkembangan fisik, kesehatan dan kelangsungan hidup. Sanitasi juga
membantu mempertahankan lingkungan biologi sehingga polusi berkurang dan
membantu melestarikan hubungan ekologi yang seimbang (Jenie, 1988 diacu dalam
Rusmali, 2004). Higiene secara umum menurut Johns (1991), adalah dasar dari suatu
proses kebersihan. Kebersihan penting karena dapat mencegah bakteri yang timbul
dari kondisi yang kotor.
Sanitasi yang baik dalam industri tidak hanya terletak pada kebersihan bahan
baku, peralatan, ruangan dan pekerja tetapi juga dalam penanganan dan pembuangan
limbah. Meskipun suatu industri menghasilkan produk bermutu tinggi tetapi jika cara
pembuangan limbah di sekitar industri tersebut tidak ditangani dengan benar, maka
akan dapat mengganggu dan merusak lingkungan hidup di sekitarnya. Begitu juga
dengan pelabuhan perikanan (Liswati, 2000).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sanitasi mencakup berbagai aspek
antara lain kesehatan, kebersihan dan keseimbangan lingkungan serta manajemen
atau pengelolaannya. Sanitasi bertujuan untuk mencegah berbagai faktor yang
menyebabkan timbulnya pencemaran bagi produk dan lingkungan.
Dalam pengembangan industri perikanan, pelabuhan perikanan merupakan
bagian dari rantai produksi yang harus memenuhi persyaratan kelayakan dasar
sanitasi dan higienis yang meliputi (Departemen Pertanian, 2002 diacu dalam
Rusmali, 2004):
(1) Lokasi dan lingkungan;
(2) Konstruksi bangunan;
(3) Dinding, penerangan dan ventilasi;
(4) Saluran pembuangan;
(5) Pasokan air dan bahan bakar;
(6) Es;
14
(7) Penanganan limbah;
(8) Toilet;
(9) Konstruksi dan pemeliharaan alat;
(10) Peralatan untuk penanganan awal;
(11) Pembersihan dan sanitasi; dan
(12) Kontrol sanitasi.
Selanjutnya dikatakan bahwa hasil yang diharapkan dengan dijalankannya
program sanitasi di pelabuhan perikanan antara lain terciptanya lingkungan kerja
yang bersih, mutu ikan yang tetap terjaga dan kebersihan para pelaku di pelabuhan
perikanan. Seluruh kelayakan dasar sanitasi di pelabuhan perikanan harus dapat
dipenuhi untuk memperbaiki kinerja dan operasional pelabuhan, apalagi bila
pelabuhan tersebut memiliki wilayah distribusi yang luas dan kapasitasnya besar.
2.2.2 Penerapan sanitasi dan sumber-sumber pencemaran di pelabuhan
perikanan atau pangkalan pendaratan ikan
Pedoman umum yang digunakan dalam perencanaan pembangunan dan
pengoperasian Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) di pelabuhan
perikanan atau pangkalan pendaratan ikan adalah sebagai berikut (Menai, 2007):
1) Lokasi, konstruksi dan tata ruang
a) Bangunan tidak berada di tempat yang merupakan daerah pembuangan
sampah, pemukiman padat penduduk atau daerah lain yang dapat
menimbulkan pencemaran;
b) Bebas dari timbunan barang bekas yang tidak teratur;
c) Bebas dari timbunan barang sisa atau sampah;
d) Bebas dari tempat persembunyian atau perkembangbiakan serangga, binatang
pengerat dan binatang pengganggu lainnya;
e) Sistem saluran pembuangan air (drainase) dalam keadaan baik;
f) Permukaan lantai rata, kedap air, tahan bahan kimia, tidak licin dan mudah
dibersihkan; dan
g) Pertemuan antara lantai dengan dinding melengkung dan kedap air.
15
2) Kebersihan dan sanitasi
a) Lantai, wadah peralatan dan sebagainya dibersihkan dan dicuci sebelum dan
sesudah dipakai dengan menggunakan air yang mengandung chlorine;
b) Peralatan kebersihan (sikat, sapu, alat semprot dan lain-lain) tersedia setiap
saat bila diperlukan dan jumlahnya mencukupi;
c) Tempat pendaratan dan penyimpanan ikan terpelihara kebersihannya;
d) Tempat sampah terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tahan karat, tidak
bocor, jumlahnya cukup, mempunyai tutup dan ditempatkan pada tempat yang
sesuai;
e) Setiap orang yang memasuki TPI harus mencuci tangan dan kaki (sepatu)
dengan mencelupkannya ke dalam bak berisi air yang mengandung chlorine;
dan
f) Tidak semua orang kecuali yang berkepentingan dapat masuk ke dalam TPI.
Sumber pencemar (polutan) dapat berasal dari suatu lokasi tertentu (point
source) atau tak tentu/tersebar (non-point/diffuse source). Pencemar yang berasal dari
point source bersifat lokal. Efek yang ditimbulkan dapat ditentukan berdasarkan
karakteristik spasial kualitas air. Volume pencemar dari point source biasanya tetap.
Sumber pencemar non-point source dapat berupa point source dalam jumlah yang
banyak, misalnya limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan
pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik) dan daerah perkotaan (Effendi,
2003).
Menurut Effendi (2003), bahan pencemar (polutan) adalah bahan-bahan yang
bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki
tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut. Berdasarkan
cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi dua, yaitu
polutan alamiah dan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang memasuki
suatu lingkungan secara alami. Adapun polutan antropogenik adalah polutan yang
masuk ke badan air akibat aktivitas manusia.
Sumber-sumber pencemaran di pelabuhan perikanan pada umumnya berasal
dari aktivitas manusia, seperti sampah sisa pembongkaran dan pelelangan ikan serta
16
limbah dari industri pengolahan dan kapal-kapal yang berlabuh yang mencemari
saluran drainase dan kolam pelabuhan. Ravikumar (1993) diacu dalam Rusmali
(2004), menyebutkan bahwa sampah merupakan benda yang tidak terpakai, tidak
diinginkan dan dibuang, sedangkan limbah adalah sampah yang sudah mencemari.
Berdasarkan bentuk dan cara penanganannya, sampah dibagi menjadi:
(1) Sampah padat;
(2) Sampah cair/air buangan;
(3) Sampah gas dan partikel di udara;
(4) Kotoran manusia;
(5) Kotoran hewan; dan
(6) Sampah berbahaya.
Berdasarkan komposisi kimia, sifat mengurai dan mudah tidaknya terbakar, sampah
dibedakan menjadi sampah organik dan anorganik; degradable dan non-degradable
serta combustible dan non-combustible.
Limbah adalah campuran yang kompleks, terdiri atas mineral dan bahan-bahan
organik dalam berbagai bentuk, besar maupun kecil yang terapung dalam bentuk
suspensi atau larutan. Limbah selalu terjadi selama proses panen dan pengolahan
serta saat pemasaran. Air limbah (waste water) adalah kotoran dari masyarakat dan
rumah tangga dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta air
buangan lainnya. Air limbah ini merupakan hal yang bersifat kotoran umum
(Sugiharto, 2005). Penentuan derajat kekotoran air limbah sangat dipengaruhi oleh
adanya sifat fisik yang mudah terlihat. Sifat fisik yang penting ialah kandungan zat
padat sebagai estetika yaitu kejernihan, bau dan warna serta temperatur (Widodo,
2001).
2.2.3 Pengelolaan dan pemeliharaan sanitasi pelabuhan perikanan
Pengelolaan sanitasi di pelabuhan perikanan dipusatkan pada pengontrolan
lingkungan, sanitasi dan higienitas produk perikanan serta pengawasan sanitasi secara
berkala. Pengontrolan dan penanganan pencemaran dibedakan berdasarkan bentuk
dan jenis pencemar.
17
Penanganan polusi di pelabuhan perikanan secara berkala harus segera
ditangani dengan cara pengelolaan limbah yang sesuai dan tepat, peraturan yang
mendukung dan pendidikan para pengguna. Penerapan penanganan kebersihan dan
sanitasi di lingkungan pelabuhan perikanan, menurut Departemen Pertanian (2002)
diacu dalam Rusmali (2004), dibagi dalam dua bagian, yaitu:
(1) Penerapan kegiatan pembuatan perangkat lunak yang terdiri atas aspek hukum
dan peraturan, aspek pengelolaan kebersihan, sanitasi dan aspek peran serta
masyarakat; dan
(2) Pengadaan sarana dan prasarana air cuci atau penanganan ikan, air bersih/air
tawar, penanganan pengolahan air limbah, drainase, dan persampahan serta
kegiatan lainnya yang dilakukan bersama-sama dengan bidang perawatan.
Pembuatan perangkat lunak perlu diterapkan untuk menciptakan lingkungan
pelabuhan perikanan yang bersih, indah dan nyaman. Upaya tersebut antara lain
berupa pemberian sanksi hukum bagi yang melanggar ketentuan, membuat slogan
atau spanduk yang mendukung terciptanya kebersihan dan melakukan kegiatan yang
melibatkan masyarakat, seperti gotong royong membersihkan lingkungan pelabuhan
dan pemberian penghargaan bagi masyarakat yang ikut berjasa menjaga dan
menciptakan lingkungan pelabuhan perikanan yang bersih dan nyaman. Kegiatan
rehabilitasi sarana dan prasarana harus tetap berjalan seiring dan dapat diperbaharui
selalu untuk kemajuan pemeliharaan sanitasi dan kebersihan serta pengembangan
pelabuhan perikanan (Departemen Pertanian, 2002 diacu dalam Rusmali, 2004)
Rusmali (2004) menginformasikan bahwa pengelolaan dan pemeliharaan
sanitasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) berada dibawah
pengawasan UPT PPSJ dan berkoordinasi dengan Koperasi Pegawai Negeri (KPN)
PPSJ. Tugas koperasi adalah melakukan pekerjaan kebersihan kawasan di lapangan
dan petugas UPT mengawasi pelaksanaannya. Petugas UPT melaporkan hasil
pengawasannya kepada Kepala Pelabuhan.
Selanjutnya dikatakan bahwa pemeliharaan sanitasi di pelabuhan perikanan,
juga perlu dilakukan, seperti yang telah dilakukan di PPSJ, misalnya metode
penanganan limbah dibedakan menjadi dua, sesuai dengan jenis limbah yang ada,
18
yaitu penanganan untuk limbah padat dan cair. Jenis limbah padat seperti bungkusan
plastik, kertas dan potongan kayu masih diproses secara konvensional dan sederhana.
Limbah padat yang ada di lingkungan pelabuhan dikumpulkan oleh tenaga kebersihan
di lapangan, lalu ditampung di Tempat Penampungan Sementara (TPS) di PPSJ.
Setelah itu, limbah padat tersebut diangkut menggunakan truk ke luar Jakarta yaitu
Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi, sedangkan limbah padat yang bersifat organik
seperti kertas dan sisa-sisa potongan kayu dibakar di dalam kawasan PPSJ. Jenis
limbah cair dari sisa pengolahan dan pencucian ikan, dilakukan proses pengolahan
limbah secara biologis dan kimiawi di Unit Pengolah Limbah (UPL) PPSJ agar
limbah tersebut dapat dikembalikan ke laut tanpa mencemari lingkungan.
Pengolahan dan pemeliharaan sanitasi di PPSJ ini akan dijadikan acuan
pengelolaan yang baik. Hal ini dilakukan karena PPSJ merupakan pelabuhan
perikanan bertaraf internasional dan sudah memiliki pengelolaan limbah dan sanitasi
yang cukup baik.
2.3 Kualitas Ikan
2.3.1 Pengertian kualitas ikan
Istilah kualitas telah didefinisikan dalam beberapa pengertian, diantaranya yaitu
(Nurani, 2007):
(1) Kesesuaian dengan spesifikasi pelanggan;
(2) Sesuatu yang mencirikan tingkat dimana produk atau jasa mampu memenuhi
keinginan konsumen; dan
(3) Totalitas keistimewaan dan karakteristik suatu produk atau jasa yang
berhubungan dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan
tertentu.
Menurut Crosby (1979) diacu dalam Aryadi (2007), kualitas adalah sesuatu
yang memenuhi atau sama dengan persyaratan (conformance to requirements).
Komoditas ikan unggulan yang kurang sedikit saja dari persyaratan, maka dapat
dikatakan tidak berkualitas dan dapat ditolak oleh perusahaan yang menjadi tujuan
19
distribusi. Persyaratan itu sendiri dapat berubah sesuai dengan keinginan pelanggan
dan kebutuhan sebuah perusahaan.
Kualitas biasanya tidak ditentukan oleh satu atribut atau dimensi tunggal,
melainkan oleh beberapa atribut atau dimensi yang menyatakan kualitas. Dimensi
kualitas produk, menurut Garvin diacu dalam Nurani (2007) adalah:
(1) Kinerja (performance) merupakan karakteristik operasi utama dari produk yaitu
seberapa baik suatu produk melakukan apa yang seharusnya dilakukan;
(2) Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features) merupakan karakteristik sekunder
atau pelengkap, berupa pernak-pernik yang melengkapi atau meningkatkan fungsi
dasar produk;
(3) Kehandalan (relability) yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau
gagal dipakai;
(4) Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specification) yaitu seberapa baik
karakteristik desain dan operasi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
sebelumnya;
(5) Daya tahan (durability) berkaitan dengan berapa lama produk dapat terus
digunakan;
(6) Kemudahan perbaikan (service ability) meliputi kecepatan, kenyamanan,
kompetensi, mudah direparasi dan penanganan keluhan yang memuaskan;
(7) Keindahan (aesthetics) yaitu daya tarik produk terhadap panca indera; dan
(8) Persepsi terhadap kualitas (perceived quality) tidak didasarkan pada produk tetapi
pada citra atau reputasi.
Pengertian kualitas ikan secara sederhana dapat diidentikkan dengan tingkat
kesegaran. Ikan segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan
hidup baik rupa, bau, rasa, maupun teksturnya. Dengan kata lain ikan segar adalah
ikan yang baru saja ditangkap, belum mengalami pengolahan lebih lanjut dan belum
mengalami perubahan fisik maupun kimia atau yang masih mempunyai sifat sama
ketika ditangkap (Anita, 2003).
Kualitas ikan lebih menunjukkan pada penampilan estetika dan kesegaran atau
derajat pembusukan sampai dimana telah berlangsung, termasuk juga aspek
20
keamanan seperti bebas dari bakteri, parasit atau bahan kimia. Kualitas kesegaran
ikan dapat dievaluasi dengan metode sensori maupun instrumen. Kualitas ikan yang
baik adalah ikan yang telah ditangkap dengan cara yang baik, diolah dan ditangani
secara benar di pabrik serta mempunyai karakteristik tertentu, bentuk, ukuran,
penampakan, warna, bau, komposisi dan tekstur yang dimiliki ikan (Hardjito, 2006).
Peningkatan kualitas tidak dapat dipisahkan dari usaha peningkatan
produktivitas. Usaha yang berlebihan untuk mendorong produktivitas bisa
mengorbankan kualitas dari output yang dihasilkan.
Sebaliknya, fokus yang
berlebihan pada peningkatan kualitas bisa mengurangi perhatian untuk memperbaiki
produktivitas, bahkan mungkin akan mengorbankan produktivitas demi mengejar
kualitas yang tinggi. Keduanya saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama
lain. Bila kualitas dari produktivitas dihubungkan dengan sungguh–sungguh maka
akan menghasilkan laba yang besar (Nasution, 2004).
Secara organoleptik, ikan segar mempunyai kriteria sebagai berikut (Sudarma,
2006):
Tabel 1 Kriteria mutu ikan segar
No.
1.
Parameter
Penampakan fisik
2.
3
Mata
Insang
4.
5.
Bau
Lendir
6.
Tekstur dan daging
Sumber: FAO diacu dalam Sudarma, 2006
Tanda-tanda
Ikan cemerlang mengkilap sesuai jenisnya, badan ikan utuh,
tidak patah, tidak rusak fisik, bagian perut masih utuh dan liat
serta lubang anus tertutup.
Cerah (terang), selaput mata jernih, pupil hitam dan menonjol.
Insang berwarna merah, cemerlang atau sedikit kecoklatan, tidak
ada atau sedikit lendir.
Bau segar spesifik jenis atau sedikit bau amis yang lembut.
Selaput lendir di permukaan tubuh tipis, encer, bening,
mengkilap cerah, tidak lengket, berbau sedikit amis dan tidak
berbau busuk.
Ikan kaku atau masih lemas dengan daging elastis, jika ditekan
dengan jari akan cepat kembali, sisik tidak mudah lepas, jika
disayat tampak jaringan antar daging masih kuat dan kompak,
sayatan cemerlang dengan menampilkan warna daging asli.
21
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas ikan
Baik atau buruknya kualitas ikan ditentukan oleh kesempurnaan penanganan
ikan. Penanganan yang buruk dapat mengakibatkan ikan tersebut lebih cepat rusak
atau busuk, sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi. Menurut Moeljanto (1982) diacu
dalam Aryadi (2007), penanganan ikan segar bertujuan agar kesegaran ikan dapat
tetap terjaga dan dapat dipertahankan selama atau setidaknya hingga ikan sampai ke
tangan konsumen.
Kualitas ikan yang tertangkap dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
disebabkan oleh faktor yang bersifat alamiah dan biologis serta faktor cara
penanganan sejak ikan ditangkap sampai pada konsumen. Kemunduran kualitas ikan
disebabkan oleh perubahan enzimatis, biokimia, mikrobiologis, dan fisik. Struktur
ikan dan senyawa kimia yang menyusunnya mudah mengalami perubahan yang dapat
disebabkan oleh suatu katalisator yang disebut enzim. Setiap perubahan senyawa
biologis yang disebabkan oleh aktivitas enzim disebut perubahan enzimatis
(Sudarma, 2006).
Selanjutnya dikatakan, daging ikan sangat mudah turun kesegarannya
dibandingkan dengan daging hewan lainnya karena daging ikan terdiri dari asamasam lemak tak jenuh, sehingga mudah teroksidasi menjadi tengik, jika dibandingkan
dengan minyak tumbuhan dan hewan lainnya. Ikan segar yang baru ditangkap
mengandung jutaan mikroba yang setelah ikan mati akan meningkat aktivitas
pembiakkannya. Kegiatan mikroba mengakibatkan perubahan kemunduran kualitas
ikan yang disebut sebagai perubahan mikrobiologis.
Selain proses-proses tersebut, faktor fisik juga dapat mempercepat kemunduran
kualitas ikan, antara lain suhu yang tinggi mempercepat proses enzimatis, biokimia,
dan mikrobiologis, kerusakan fisik saat ikan ditangkap dan penanganan yang kasar.
Faktor fisik yang mempercepat kemunduran ikan meliputi:
(1) Pengaruh mikrobiologis terhadap kualitas ikan
Ikan menjadi busuk disebabkan oleh pertumbuhan bakteri. Oleh karena itu, faktor
alamiah harus ditekan sekecil mungkin untuk menghambat aktivitas bakteri.
22
Bakteri yang mengkontaminasi ikan hasil tangkapan dapat berupa bakteri yang
berasal dari air, kapal, dan pabrik pengolahan;
(2) Pengaruh cara penangkapan terhadap kualitas ikan
Metode dan alat tangkap mempengaruhi kualitas ikan yang ditangkap sehingga
perlu penyesuaian antara cara dan jenis alat tangkap dengan jenis ikan yang
ditangkap.
(a) Cara kematian: membunuh ikan dengan segera adalah lebih baik daripada
membiarkan ikan mati secara perlahan atau mengadakan perlawanan, karena
rigor mortis akan datang lebih lambat dan lebih lama berlangsungnya;
(b) Lamanya ikan pada alat tangkap: jika jangka waktu antara ikan tertangkap dan
diangkat dari air terlalu lama, maka ikan akan mati sebelum sampai di geladak
dan proses kemunduran mutu sudah mulai terjadi;
(c) Temperatur air: jika ikan mati pada alat penangkap sebelum diangkat dari air,
maka temperatur air merupakan faktor penting;
(d) Selektivitas alat tangkap: ikan yang berukuran kecil dari satu spesies
cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu dibandingkan dengan
ikan yang lebih besar. Hal ini dapat dihindari dengan memakai mata jaring
yang besar sehingga ikan yang kecil tidak turut tertangkap; dan
(e) Faktor biologis: ikan yang tertangkap waktu perutnya penuh makanan akan
mengalami kemunduran mutu yang lebih cepat daripada ikan yang lapar
karena enzim sedang giat bekerja. Ikan yang sedang dalam masa bertelur juga
menunjukkan penurunan mutu yang relatif lebih cepat. Berdasarkan faktor
biologis ini dapat diciptakan alat tangkap yang selektif atau disesuaikan waktu
serta daerah penangkapannya.
(3) Pengaruh penanganan terhadap kualitas ikan
(a) Penanganan di kapal
Ada 3 faktor penting yang harus diperhatikan dalam penanganan ikan di kapal
yaitu suhu, waktu dan kebersihan dalam bekerja; dan
23
(b) Penanganan di darat
Perubahan suhu yang terjadi selama pembongkaran ikan ke darat, dalam
pelelangan, pengepakkan selama transportasi ke pusat distribusi atau ke
pabrik pengolahan sangat berpengaruh terhadap kesegaran ikan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas ikan dalam proses penanganan
(Hardjito, 2006):
Tabel 2 Faktor yang mempengaruhi kualitas ikan dalam proses penanganan
Mata Rantai Penanganan
Nelayan
Operasi penangkapan
-
Kapal penangkap
-
Di darat termasuk pedagang
atau pengecer
-
Berbagai Faktor yang Mempengaruhi
Pengetahuan, perlakuan (kebersihan dan kehati-hatian).
Tipe alat tangkap, metode operasi yang digunakan, metode
penarikan pada kapal.
Penanganan di kapal, kebersihan, desain tempat penyimpanan
ikan dan pengoperasiannya.
Penanganan di darat, kebersihan, desain tempat penyimpanan
ikan dan pengoperasiannya serta praktek pendistribusian;
Pengetahuan penanganan ikan, desain tempat penyimpanan
untuk penjualan/pengeceran, dan kebersihan.
Sumber: FAO diacu dalam Hardjito, 2006
2.3.3 Cara mempertahankan kualitas ikan
Penanganan ikan segar bertujuan untuk mempertahankan kesegaran ikan selama
mungkin atau setidaknya kondisi ikan masih segar ketika sampai di konsumen. Ikan
harus ditangani dengan baik, secepat mungkin sejak ikan tertangkap dan diangkut
oleh kapal hingga ikan disimpan atau diolah. Penanganan ikan segar diusahakan agar
suhu selalu rendah dan mendekati 0ºC. Sebaiknya suhu jangan sampai naik, misalnya
terkena sinar matahari langsung atau kekurangan es selama proses distribusi. Semakin
tinggi suhu, maka proses pembusukan juga semakin cepat. Penanganan ikan yang
harus dilakukan yaitu ketika di kapal, pedagang dan saat pendistribusian (Moeljanto,
1982 diacu dalam Aryadi, 2007). Prinsip serta aplikasi metode penanganan ikan
dijelaskan sebagai berikut:
24
(1) Prinsip penanganan ikan (Sudarma, 2006)
(a) Menghindari kondisi yang mempercepat proses pembusukan
Proses pembusukan berakumulasi dan cepat. Kegagalan mendinginkan ikan
secara cepat setelah ikan tertangkap akan berpengaruh pada rantai
penanganan/distribusi berikutnya.
(b) Menurunkan kecepatan pembusukan dari kecepatan normalnya
Bakteri berkembang dan tumbuh bergantung dari suhu, demikian pula dengan
enzim dalam mencernakan daging ikan. Dengan menurunkan suhu, kecepatan
pembusukan berkurang sehingga memperpanjang fase log pertumbuhan
bakteri yang menunda kecepatan perkembangan dan reproduksi.
(c) Meminimalkan kontaminasi
Dilakukan dengan menyimpan atau menyeleksi ikan berdasarkan waktu
penangkapan, ukuran, keadaan perut, tidak meletakkan ikan di lantai,
khlorinasi air untuk mencuci ikan dan mencuci bersih setiap peralatan yang
bersentuhan dengan ikan selesai digunakan.
(2) Aplikasi metode penanganan ikan
(a) Penanganan di kapal
Tergantung pada kelengkapan sarana penanganan ikan di kapal, kesadaran
dan pengetahuan nelayan tentang cara penanganan dan jumlah es yang cukup
saat berangkat melaut.
(b) Penanganan di tempat pendaratan
Ikan yang dikeluarkan dari palkah ke dek, pengangkutan ikan dari dek ke
dermaga, pengangkutan ikan dari dermaga ke TPI atau tempat penyimpanan
sementara, serta pengawasan kondisi ikan selama pelelangan. Tahapan
penanganannya dengan mempertahankan pendinginan ikan, kecepatan bekerja
dan kebersihan, serta tidak meletakkan ikan di lantai tanpa es.
(c) Penanganan dalam distribusi
Menggunakan alat pengangkut yang tertutup dan wadah yang sedang agar
ikan tidak tergencet, penggunaan es dalam jumlah yang cukup sesuai jarak
pengangkutan dan menghindari tekanan fisik yang kuat terhadap ikan,
25
termasuk goncangan keras selama pengangkutan serta penggunaan truk box
berinsulasi atau dengan cool box.
(d) Penanganan dalam penjualan ikan di pasar
Menggunakan meja khusus agar ikan selalu dalam keadaan dingin dan dapat
dilihat langsung oleh calon pembeli, pemotongan dan penyiangan dilakukan
di meja khusus yang permukaannya halus seperti dari stainless steel dan
tersedianya wadah tertutup untuk limbah hasil penyiangan.
Penanganan ikan juga dapat dilakukan dengan cara pendinginan ikan.
Pendinginan ikan ini bertujuan untuk menghambat kegiatan mikroorganisme yang
dapat mempengaruhi kualitas ikan. Beberapa cara pendinginan ikan, yaitu
(Moeljanto, 1992 diacu dalam Aryadi, 2007):
(1) Pendinginan dengan es
Es yang digunakan harus dibuat dari air bersih dan disimpan di tempat yang
bersih. Untuk mencegah rusaknya ikan, sebaiknya digunakan es hancur. Kontak
langsung antara es dengan permukaan ikan menjadi lebih baik, apabila
menggunakan es hancur. Hal ini dapat menyebabkan penurunan suhu menjadi
lebih cepat.
(2) Pendinginan dengan air laut dan es
Ikan yang didinginkan dengan air laut ditambahkan es dapat mencapai suhu
hingga -1,7ºC. Penggunaan air laut dengan es ini lebih baik bila dibandingkan
dengan menggunakan es saja karena suhunya yang lebih rendah sehingga
pertumbuhan bakteri pembusuk lebih dapat dihambat lagi. Penggunaan cara ini
masih banyak kekurangannya terutama bila tidak ada sirkulasi dingin, akibatnya
suhu dalam wadah tidak merata karena es terapung di permukaan dan suhu air
laut di bagian bawah lebih tinggi. Penyebaran suhu yang tidak merata
menyebabkan kualitas ikan tidak seragam.
(3) Penyimpanan dalam air laut yang didinginkan secara mekanis
Pendinginan ini dilakukan dengan pemakaian air laut yang didinginkan oleh unit
pendingin, dan sekaligus dilengkapi pompa sirkulasi air. Cara pendinginan ini
mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya penanganan yang lebih mudah dan
26
praktis (luka-luka karena butiran es dapat dihindari), kehilangan berat,
kontaminasi bakteri karena adanya garam NaCl dapat dikurangi dan kemungkinan
tergencetnya ikan oleh butiran es dapat dicegah. Kelemahan cara pendinginan ini
adalah ikan akan lebih banyak menyerap garam bila terlalu lama disimpan,
membutuhkan pengawasan yang lebih teliti terhadap sirkulasi air, memerlukan
tangki yang kedap air dan air perlu diganti secara reguler agar jumlah bakteri
berkurang.
Cara
pendinginan
ini
hendaknya
memperhitungkan
adanya
keseimbangan antara jangka waktu penyimpanan, kualitas ikan, besarnya kapal
atau tangki penyimpanan dan biaya yang diperlukan.
(4) Pemberian es dengan air garam
Pemberian es dengan air garam merupakan salah satu cara untuk pendinginan
ikan pada suhu mendekati titik beku ikan. Pemakaian es dengan garam yang
terbuat dari larutan NaCl 3% akan menghasilkan ikan dengan suhu sekitar -1,2ºC.
Kelemahan dengan menggunakan cara pendinginan ini disebabkan oleh sifat es
dengan air garam yang cepat mencair sehingga es yang diperlukan sangat banyak
dan menyebabkan badan ikan menjadi lengket karena adanya garam tersebut.
Menurut Afrianto (1989) diacu dalam Aryadi (2007), pendinginan ikan paling
baik yaitu dengan menggunakan media pendingin berupa es batu. Es batu dapat
menurunkan suhu tubuh ikan dengan cepat tanpa mengubah kualitas ikan dan biaya
yang diperlukan relatif lebih rendah dibandingkan dengan media pendingin lain.
Dalam proses pendinginan dengan menggunakan es batu, terjadi perpindahan panas
dari tubuh ikan ke kristal es batu. Ikan dengan suhu tubuh yang relatif lebih tinggi
akan melepas sejumlah energi panas yang kemudian akan diserap oleh kristal es batu.
Dengan demikian, suhu tubuh ikan akan menurun dan sebaliknya kristal es batu akan
meleleh karena terjadi peningkatan suhu. Proses pemindahan panas ini akan terhenti
apabila suhu tubuh ikan telah mencapai 0ºC yaitu sama dengan suhu es batu.
Selanjutnya dikatakan, teknik pendinginan ikan dengan menggunakan es dalam
suatu wadah yang baik adalah mengusahakan agar semua permukaan tubuh ikan yang
diberi perlakuan dapat mengalami kontak dengan es. Hal ini bertujuan untuk
memaksimalkan penyerapan panas dari tubuh ikan. Semakin luas permukaan tubuh
27
ikan yang dapat melakukan kontak dengan es, maka penurunan suhu tubuh ikan akan
semakin cepat.
2.3.4 Standarisasi peningkatan kualitas ikan
Ketentuan Uni Eropa tentang penerapan standarisasi mutu di pelabuhan
perikanan (Direktur Standarisasi dan Akreditasi DKP, 2005 dalam Mahyuddin, 2007)
menyebutkan:
(1) Peralatan yang digunakan selama pembongkaran dan pendaratan harus
dikonstruksi dengan bahan yang mudah dibersihkan, dicuci dengan menggunakan
disinfektan dan diletakkan di tempat yang bersih.
(2) Selama pembongkaran dan pendaratan, harus dihindarkan produk perikanan
tersebut dari kontaminasi dan ditangani secara khusus, antara lain seperti: operasi
pembongkaran dan pendaratan dilakukan secara cepat; produk perikanan harus
ditempatkan tanpa mengalami penundaan dan dilindungi dari lingkungan suhu
yang tinggi dan selalu menggunakan es selama transportasi; kemudian disimpan
dalam cold storage; tidak diijinkan menggunakan peralatan dan cara penanganan
yang dapat menyebabkan rusaknya nilai gizi dari produk-produk perikanan.
(3) TPI harus dilengkapi dengan atap dan dindingnya mudah dibersihkan; lantainya
harus tahan air dan mudah dibersihkan; mempunyai fasilitas drainase dan sistem
pembuangan air kotor; peralatan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi, antara
lain untuk pencucian dan kamar mandi/wc terbuat dari bahan yang mudah
dibersihkan; pembersihan harus dilakukan secara teratur baik sebelum maupun
sesudah pelelangan, lantai TPI dibersihkan baik bagian luar maupun bagian dalam
dengan menggunakan air laut/air minum dan harus dengan disinfektan; tidak
diperkenankan merokok, makan dan minum di area penjajaan ikan; mempunyai
suplai air bersih; khusus untuk ikan-ikan harus ditempatkan pada alat yang tidak
berkarat; produk perikanan setelah pendaratan harus aman, selama transportasi
tidak mengalami penundaan; jika produk perikanan tersebut mengalami
penundaan pendistribusian, maka harus disimpan di ruangan dingin/cool room
dalam kondisi yang baik dan pada suhu yang sesuai dengan suhu pelelehan
28
es/mendekati suhu pelelehan es; untuk pedagang besar produk-produk perikanan
harus dijajakan pada kondisi yang bersih.
(4) Persyaratan pelabuhan perikanan untuk mencapai standar sanitasi dan higienis,
yaitu: bangunan, fasilitas dan lingkungan harus sesuai dengan persyaratan
pelabuhan perikanan yang higienis dan berstandar sanitasi. Sanitation Standard
Operating Procedure (SSOP) adalah prosedur pelaksanaan standar sanitasi dan
higienitas yang harus dipenuhi oleh pelabuhan untuk mencegah terjadinya
kontaminasi terhadap produk yang ditangani. Setiap pelabuhan memiliki rencana
SSOP yang tertulis dan spesifik sesuai dengan lokasi, peralatan dan jenis
penanganan serta diterapkan secara konsisten.
(5) Penanganan mutu ikan: pengembangan fasilitas penanganan ikan-ikan yang
didaratkan di pelabuhan perikanan seperti penyediaan laboratorium mutu hasil
perikanan, penyediaan air bersih, penyediaan es dan garam, kebersihan TPI dan
alat angkut ikan, penerangan (instalasi listrik), penyuluhan mengenai penanganan
ikan, penyediaan petugas pengolahan ikan, penyediaan data statistik penanganan
ikan, keranjang ikan, WC umum, drainase TPI yang baik, pengaturan lalu lintas
orang di TPI, penyediaan keamanan, ketertiban dan keindahan pelabuhan serta
pengaturan petugas pelayanan penanganan ikan yang dilengkapi dengan Standard
Operational Procedure (SOP) yang jelas serta pengawasan pelaksanaannya
dilakukan oleh manajemen pelabuhan. Hal ini dilakukan dengan maksud agar
semua ikan yang akan didistribusikan hingga ke tangan konsumen telah
memperoleh jaminan mutu.
Peraturan Uni Eropa yang berkaitan dengan penanganan ikan juga telah
dikemukakan oleh Le Ry (2005) dalam Lubis (2006), menyebutkan bahwa sejak 22
Juli 1991 diatur tentang peraturan-peraturan higienitas untuk nelayan di kapal,
kondisi penanganan ikan di kapal, kondisi penanganan pada saat pembongkaran ikan
dan kondisi processing dan pengepakan ikan. Selanjutnya pada tanggal 01 Januari
2007 dikeluarkan peraturan baru tentang UU pangan yang mengatur tentang
traceability, informasi mengenai pelanggan dan tanggung jawab dari commercial
operator.
29
Standar kualitas ikan untuk komoditas ekspor adalah kriteria-kriteria dalam
suatu produk yang harus dipenuhi agar dapat diterima oleh negara penerima produk
tersebut. Standar kualitas ekspor produk perikanan pada setiap negara tidak sama.
Berikut merupakan standar kualitas ekspor perikanan ke negara-negara yang
bersangkutan menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (Nasution, 2004):
(1) Uni Eropa
Uni Eropa menentukan bahwa standar kualitas produk perikanan yang dapat
memasuki pasar Uni Eropa adalah yang memiliki Sertifikat Kelayakan
Pengolahan (SKP) dengan nilai A. Nilai A di sini adalah Unit Pengolahan Ikan
(UPI) yang bersangkutan tidak boleh memiliki penyimpangan serius dan
penyimpangan kritis, penyimpangan minor kurang dari 6, dan penyimpangan
mayor tidak lebih dari 5.
Nilai SKP ini akan diberikan setelah dilakukan
peninjauan ke unit pengolahan ikan oleh pihak Departemen Kelautan dan
Perikanan dengan menugaskan inspektor.
(2) Korea
Korea menentukan bahwa standar kualitas produk perikanan yang dapat
memasuki pasar Korea adalah yang memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan
(SKP) dengan nilai minimal B. Nilai B adalah Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang
bersangkutan tidak boleh memiliki penyimpangan kritis, penyimpangan serius
tidak lebih dari 2, penyimpangan minor kurang dari 7, dan penyimpangan mayor
tidak lebih dari 10, serta jumlah antara penyimpangan mayor dan penyimpangan
serius tidak lebih dari 10.
Nilai SKP ini akan diberikan setelah dilakukan
peninjauan ke unit pengolahan ikan oleh pihak Departemen Kelautan dan
Perikanan dengan menugaskan inspektor.
(3) Negara importir ikan selain Uni Eropa dan Korea
Selain Uni Eropa dan Korea, negara importir ikan yang lain tidak mengharuskan
dimilikinya SKP dengan nilai A atau B, melainkan hanya persyaratan Good
Manufacturing Practices (GMP) dan Standard Sanitation Operating Procedure
(SSOP).
30
Selanjutnya dikatakan bahwa penyimpangan kritis adalah penyimpangan yang
bila tidak dilakukan tindakan koreksi akan segera mempengaruhi keamanan pangan.
Penyimpangan serius adalah penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan
koreksi dapat mempengaruhi keamanan pangan. Penyimpangan mayor adalah
penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi mempunyai potensi
dapat mempengaruhi keamanan pangan. Penyimpangan minor adalah penyimpangan
yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi atau dibiarkan secara terus-menerus
akan berpotensi mempengaruhi mutu pangan.
2.3.5 Peta kendali
Peta kendali digunakan untuk mengetahui sejauh mana proses produksi dan
distribusi berada dalam pengendalian, apabila ada penyimpangan pada proses
produksi akan lebih mudah diketahui sehingga dapat diambil langkah-langkah
perbaikan dan sebagainya. Banyak karakteristik kualitas yang tidak dapat dinyatakan
secara numerik atau disebut sebagai data atribut. Kriterianya dapat digolongkan
memenuhi spesifikasi karakteristik kualitas dan tidak memenuhi spesifikasi
karakteristik kualitas dan tidak memenuhi spesifikasi kualitas. Terminologi ”cacat”
atau ”tidak cacat”, digunakan untuk mengidentifikasi dua penggolongan produk itu
(Ishikawa, 1989).
Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa teknik yang digunakan dalam
membuat peta kendali untuk data atribut, yaitu:
(1) Peta Kendali p
Peta kendali p adalah satu peta yang menunjukkan cacat pecahan (p) berkaitan
dengan proporsi dari produk yang tidak memenuhi syarat. Peta p ini digunakan
bila ukuran subgrup tidak konstan.
(2) Peta Kendali pn
Peta kendali pn adalah satu peta yang menunjukkan jumlah cacat (pn). Pada
dasarnya penggunaan peta kendali p dan pn adalah sama kecuali peta kendali pn
digunakan bila ukuran subgrup (n) adalah konstan.
31
Tujuan menggambarkan peta kendali adalah untuk menetapkan apakah setiap
titik pada grafik normal atau tidak normal sehingga dapat mengetahui proses
penyimpangan produksi produk yang dihasilkan.
2.3.6 Diagram sebab akibat
Diagram sebab akibat adalah suatu pendekatan terstruktur yang memungkinkan
dilakukan suatu analisis lebih terperinci dalam menemukan penyebab-penyebab suatu
masalah,
ketidaksesuaian
dan
kesenjangan
yang
terjadi.
Ishikawa
(1989)
menyebutkan bahwa analisis diagram sebab akibat dilakukan untuk menemukan
penyebab timbulnya suatu persoalan.
Selanjutnya dikatakan bahwa manfaat diagram ini adalah dapat memisahkan
penyebab dari gejala, memfokuskan perhatian terhadap hal-hal yang relevan serta
dapat diterapkan pada setiap masalah. Diagram sebab akibat berguna untuk
membantu
dalam
memilih
penyebab
penyebaran
dan
mengorganisasikan
hubungannya untuk mengilustrasikan pada sebuah diagram hubungan antara sebab
dan akibat. Hal ini harus digambarkan sebagai berikut: akibat adalah karakteristik
kualitas dan sebab adalah faktor. Dalam prakteknya, faktor harus dianalisis lebih rinci
untuk membuat diagram menjadi bermanfaat.
Terdapat tiga metode untuk membuat diagram sebab akibat, yaitu (Ishikawa,
1989):
(1) Tipe analisis dispersi
Tipe analisis dispersi merupakan metode pembuatan diagram sebab akibat dengan
cara membuat dispersi-dispersi yang selalu menetapkan karakteristik utama
sebagai bahan pertanyaan.
(2) Tipe klasifikasi proses produksi
Tipe klasifikasi produksi merupakan metode dengan cara membuat garis utama
diagram mengikuti proses produksi dan semua hal yang dapat mempengaruhi
kualitas dapat ditambahkan ke dalam tahapan proses.
32
(3) Tipe perhitungan penyebab
Tipe perhitungan penyebab dilakukan dengan cara mendaftar semua penyebab
yang mempengaruhi kualitas secara sederhana. Penyebab dalam kualitas harus
diorganisasikan sesuai dengan kualitas produk yang menunjukkan hubungan
antara sebab akibat.
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan sejak tanggal 03 hingga 21 Maret 2008 di Pangkalan
Pendaratan Ikan Muara Angke, Jakarta Utara, DKI Jakarta.
3.2 Materi Penelitian
Materi penelitian ini adalah melihat pengaruh sanitasi di tempat pendaratan dan
pelelangan ikan terhadap kualitas ikan yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan
Muara Angke, Jakarta Utara, DKI Jakarta.
3.3 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kasus.
Aspek yang diteliti adalah pengaruh sanitasi terhadap kualitas ikan yang didaratkan di
tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Penelitian aspek sanitasi dibatasi terhadap
fasilitas kolam pelabuhan dan dermaga bongkar sebagai tempat pendaratan ikan dan
gedung TPI sebagai tempat pelelangan ikan. Hal ini disebabkan di ketiga fasilitas
inilah sering terjadi dampak negatif.
Data yang dikumpulkan adalah data primer melalui pengamatan langsung
terhadap (1) kondisi sanitasi di tempat pendaratan ikan (kolam pelabuhan dan
dermaga bongkar) dan di tempat pelelangan ikan (lantai TPI), (2) penyebab terjadinya
pengaruh sanitasi tersebut, (3) aktivitas dan dampak yang ditimbulkan di tempat
pendaratan (dermaga bongkar) dan di tempat pelelangan ikan, (4) kualitas ikan saat
didaratkan dan ketika berada di tempat pendaratan dan pelelangan ikan serta
(5) upaya pengelolaan sanitasi yang telah dilakukan oleh pihak UPT PPI Muara
Angke.
Kondisi sanitasi yang diamati adalah jenis limbah fisik di kolam pelabuhan,
lantai dermaga bongkar, lantai TPI dan saluran pembuangan di sekeliling TPI yaitu
potongan bagian-bagian ikan yang tercecer, sampah lainnya yang menurut jenis:
34
plastik, kertas, puntung rokok dan ada tidaknya genangan lendir, darah ikan, dan air
sisa cucian ikan.
Data yang akan dikumpulkan pada penelitian ini secara rinci terlihat pada Tabel
3 berikut:
Tabel 3 Data yang dikumpulkan saat penelitian
Kelompok
Data
1. Data Primer
Data yang akan dikumpulkan
a)
Kondisi sanitasi di tempat pendaratan dan
pelelangan ikan
- Kondisi kebersihan, bau di tempat
pendaratan ikan (kolam pelabuhan dan
dermaga bongkar)
- Kondisi kebersihan, bau di tempat
pelelangan ikan (lantai TPI)
- Penanganan/pengelolaan sanitasi dan para
pelakunya
b) Penyebab terjadinya pengaruh sanitasi
- Pola aliran limbah, panjang dan lebar saluran
pembuangan
- Jumlah potongan ikan yang tercecer per
satuan waktu, satuan luas dermaga bongkar
dan gedung TPI
- Frekuensi pencucian TPI
- Jenis buangan/limbah dari proses pendaratan
dan pelelangan ikan
c)
Aktivitas dan dampak yang ditimbulkan di
tempat pendaratan dan pelelangan ikan
- Jumlah kapal bongkar dan tambat setiap hari
- Jumlah ikan yang didaratkan dan dilelang
setiap hari
- Waktu pelelangan
- Jumlah orang di dermaga bongkar dan TPI
d) Kondisi kualitas ikan yang didaratkan di tempat
pendaratan dan pelelangan ikan
- Kondisi ikan saat pembongkaran di atas
kapal
- Kondisi ikan pada saat didaratkan di
dermaga bongkar
- Kondisi ikan pada saat di gedung TPI
e)
Upaya pengelolaan sanitasi yang baik
- Upaya yang dilakukan oleh pihak PPI Muara
Angke dalam mengelola sanitasi
- Ketersediaan fasilitas sanitasi/fasilitas
pembuangan limbah
Cara pengambilan
data
Pengamatan
Pengamatan
Wawancara
Pengamatan,
wawancara
Pengamatan
Wawancara
Pengamatan,
wawancara
Pengamatan
Pengamatan,
Wawancara
Wawancara
Pengamatan
Pengamatan,
pengambilan sampel
Pengamatan,
wawancara
Pengamatan
Wawancara
Pengamatan,
Wawancara
35
Tabel 3 (Lanjutan)
2. Data Sekunder
1.
2.
3.
3. Data Tambahan
1.
2.
3.
Aktivitas pendaratan
- Produksi ikan yang didaratkan per
hari/bulan/tahun
- Jenis dan jumlah fasilitas pendaratan
Aktivitas pelelangan
- Jumlah/berat ikan yang dilelang per
hari/bulan/tahun
- Harga tiap jenis ikan pada saat pelelangan
- Jenis dan jumlah fasilitas pelelangan
Kondisi sanitasi
- Volume limbah padat dan cair per
hari/bulan/tahun
- Jumlah dan kapasitas fasilitas sanitasi
Potensi perikanan daerah Muara Angke
Keadaan umum daerah penelitian berupa letak
geografis lokasi penelitian dan kependudukan
Data dan nilai produksi ikan di PPI Muara
Angke
UPT PPI, TPI
UPT PPI
UPT PPI, TPI
UPT PPI, TPI
UPT PPI
UPT PPI
UPT PPI
Dinas Perikanan
Dinas Perikanan
Dinas Perikanan
3.4 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif melalui penyajian tabel, grafik, foto
dan peta kendali untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu:
(1) Perolehan informasi tentang dampak sanitasi di PPI Muara Angke dilakukan
dengan mentabulasi antara fasilitas pelabuhan perikanan, aktivitas kepelabuhanan
serta dampak yang ditimbulkan. Selanjutnya, dilakukan analisis secara deskriptif
dengan penyajian foto. Komponen yang akan dianalisis adalah:
(a) Kolam pelabuhan
• Banyak kapal yang melakukan pendaratan ikan; dan
• Penanganan ikan di atas kapal.
(b) Lantai dermaga bongkar
• Banyak ikan yang didaratkan (ikan segar dan ikan busuk);
• Penempatan ikan di lantai dermaga bongkar;
• Keranjang yang digunakan; dan
• Penanganan ikan di lantai dermaga bongkar.
36
(c) Lantai gedung TPI, dengan kriteria-kriteria apakah:
•
Dinding mudah dibersihkan;
•
Lantai kedap air, mudah dibersihkan dan di sanitasi, dilengkapi dengan
saluran pembuangan air dan mempunyai sistem pembuangan limbah cair
yang higienis;
•
Fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan toilet dengan jumlah yang
mencukupi;
•
Penerangan yang cukup untuk memudahkan dalam pengawasan
perikanan;
•
Kendaraan
yang
mengeluarkan
asap
dan
binatang
yang
dapat
mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada dalam
TPI;
•
Dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan, wadah harus
dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air laut bersih;
•
Dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan
dan minum serta diletakkan di tempat yang mudah dilihat dengan jelas;
•
Mempunyai pasokan air bersih dan atau air laut yang bersih; dan
•
Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk
menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan.
Tabel 4 Contoh tabel analisis data
Fasilitas
Permasalahan
Indikator
Dampak yang
Ditimbulkan
1. Kolam Pelabuhan
2. Dermaga Bongkar
3. TPI
(2) Analisis penentuan sanitasi dari berbagai aktivitas terhadap kualitas ikan
dilakukan dengan menggunakan penentuan prosentase jumlah ikan tidak layak
konsumsi dan diagram sebab akibat untuk mengetahui kemunduran kualitas ikan
37
yang terjadi. Analisis penentuan prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi
digunakan untuk mengetahui apakah ikan-ikan yang didaratkan layak untuk
dikonsumsi. Diagram sebab akibat dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab ikan-ikan tidak layak dikonsumsi.
1) Prosentase Jumlah Ikan yang Tidak Layak Konsumsi
Penentuan prosentase kualitas ikan yang tidak layak konsumsi, didasarkan pada
pembuatan peta kendali pn menurut Ishikawa (1989). Namun, dalam penelitian ini
tidak dibuat peta kendali, melainkan hanya sampai penentuan prosentase ikan cacat
(dalam hal ini adalah ikan tidak layak konsumsi atau ikan yang memiliki nilai
organoleptik <6). Hal ini dikarenakan sampel yang diambil, berasal dari beberapa
jenis kapal.
Fungsi dibuatnya proporsi yaitu untuk mengetahui banyaknya jumlah ikan cacat
yang didaratkan dari total jumlah ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke. Proporsi
ikan yang cacat didefinisikan sebagai rasio banyaknya ikan sampel yang tidak
memenuhi syarat spesifikasi kualitas.
Ishikawa (1989) menyebutkan bahwa langkah-langkah dalam pembuatan
penentuan prosentase ikan tidak layak konsumsi adalah sebagai berikut:
(1) Mengumpulkan dan mencatat data yang menggambarkan jumlah yang akan
diteliti (n) dan jumlah produk cacat (pn). Sekurang-kurangnya dibutuhkan 20 kali
pengambilan sampel.
(2) Membagi data ke dalam subgrup.
(3) Menghitung bagian tidak layak konsumsi untuk setiap subgrup dan memasukkan
data ke dalam lembaran data. Pencarian bagian tidak layak konsumsi,
menggunakan rumus sebagai berikut:
p = jumlah ikan tidak layak konsumsi = pn
ukuran subgrup
n
Untuk menunjukkan persentase, dikalikan dengan 100
38
(4) Mencari rata-rata bagian tidak layak konsumsi, dengan menggunakan rumus:
p = ∑ total ikan tidak layak konsumsi = ∑ pn
∑ total ikan yang diteliti
∑n
Dalam penentuan prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi ini, dilakukan
pengamatan organoleptik. Sampel ikan yang diambil, berasal dari 18 kapal yang
melakukan kegiatan bongkar selama penelitian berlangsung. Kapal-kapal tersebut
terdiri atas 11 kapal purse seine, 6 kapal bubu dan 1 kapal gillnet. Dari masingmasing kapal diambil 2 buah keranjang. Satu keranjang untuk ikan-ikan yang berada
di bagian atas palkah. Satu keranjang lagi untuk ikan-ikan yang berada di bagian
bawah palkah. Kedua keranjang ini akan terus diamati, dari proses bongkar diatas
kapal, masuk ke TPI, proses pelelangan sampai ikan siap untuk diangkut ke
perusahaan atau pedagang. Pada saat akan diangkut, dilakukan proses yang sama
seperti di atas untuk penilaian organoleptik ikan.
Prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi ini digunakan untuk melihat
apakah terjadi penurunan kualitas ikan di PPI Muara Angke. Penurunan kualitas ikan
mulai diamati sejak ikan selesai dibongkar, sebelum dilelang dan sebelum ikan
diangkut ke perusahaan atau pedagang.
Tabel 5 Contoh tabel analisis peta kendali
Aktivitas
Pembongkaran dan
Pendaratan Ikan
Pelelangan Ikan
Kualitas Ikan
Proporsi Ikan yang
Cacat
Saat pembongkaran di atas kapal
Saat sebelum lelang di TPI dan sebelum
diangkut ke perusahaan atau pedagang
2) Diagram Sebab Akibat
Diagram Ishikawa (Ishikawa, 1989), digunakan untuk mengidentifikasi dan
menganalisis penurunan kualitas ikan dari saat bongkar sampai ikan diangkut dari
TPI ke perusahaan atau pedagang, yaitu selama ikan berada di pelabuhan perikanan,
sebagai pengaruh dari kondisi sanitasi di pelabuhan perikanan. Diagram sebab akibat
39
merupakan diagram yang digunakan untuk menemukan penyebab timbulnya
persoalan serta akibatnya. Diagram ini penting untuk mengidentifikasi secara tepat
hal-hal penyebab, timbulnya permasalahan kemudian mencoba menanggulangi.
Langkah-langkah dalam pembuatan diagram sebab akibat adalah sebagai
berikut:
Langkah 1 : Menentukan karakteristik kualitas. Karakteristik yang diketahui adalah
kualitas ikan di PPI Muara Angke yang buruk. Karakteristik ini
merupakan permasalahan utama yang ingin dicari penyebabnya.
Langkah 2 : Menulis karakteristik utama pada sisi kanan diikuti panah besar dari sisi
kiri ke sisi kanan..
Ikan yang Tidak
Layak Konsumsi
Langkah 3
: Menulis faktor utama yang menyebabkan kualitas ikan buruk
Fasilitas PP
Pelaku
Ikan yang Tidak
Layak Konsumsi
Sanitasi PP
Langkah 4
Penanganan Ikan
: Pada setiap penyebab utama, dituliskan faktor rinci yang dianggap
sebagai penyebab utama yang menyerupai ranting. Pada setiap
40
ranting, dituliskan faktor lebih rinci untuk membuat cabang yang
lebih kecil atau dapat disebut sebagai faktor penyebab akar dari
kualitas ikan yang buruk. Bila tidak ditulis, maka tidak dapat
membantu untuk menemukan penyebab permasalahan tersebut.
Fasilitas PP
Pelaku
Ikan yang Tidak
Layak Konsumsi
Sanitasi PP
Penanganan Ikan
Gambar 1 Diagram sebab akibat.
Langkah 5
:
Memeriksa kembali semua item yang menjadi permasalahan kualitas
ikan yang buruk di PPI Muara Angke dan telah masuk diagram.
(3) Analisis deskriptif terhadap upaya pengelolaan sanitasi yang dilakukan pihak
pelabuhan dalam mengatasi permasalahan sanitasi yang ada dan membuat tabulasi
tentang upaya pengelolaan sanitasi yang telah dilakukan untuk mengatasi dampak
sanitasi dari aktivitas kepelabuhanan. Selanjutnya dilakukan studi literatur
terhadap contoh pengelolaan sanitasi di pelabuhan perikanan luar negeri.
Tabel 6 Contoh tabel analisis data upaya pengelolaan dampak sanitasi
No.
Aktivitas
Dampak yang ditimbulkan
Upaya pengelolaan
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Umum Kota Jakarta Utara
4.1.1 Letak geografis dan topografi Jakarta Utara
Wilayah Jakarta Utara yang merupakan bagian dari pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, ternyata pada abad ke 5 justru merupakan pusat pertumbuhan
pemerintah Kota Jakarta yang tepatnya terletak di Muara Sungai Ciliwung di daerah
Angke. Saat itu Muara Sungai Ciliwung merupakan Bandar Pelabuhan Kerajaan
Tarumanegara dibawah pimpinan Raja Purnawarman. Betapa penting wilayah Jakarta
Utara pada saat itu dapat dilihat dari perebutan silih berganti antara berbagai pihak,
yang peninggalannya sampai kini dapat ditemukan di beberapa tempat di Jakarta
Utara, seperti Kelurahan Tugu, Pasar Ikan dan lain sebagainya (Anonymous, 2007).
Wilayah DKI Jakarta terbagi menjadi lima kota, yaitu Jakarta Utara, Jakarta
Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Timur. Posisi Jakarta Utara terletak
pada 6° 25’ LS dan 106° 5’ BT (Malik, 2006). Kota Jakarta Utara memiliki daerah
seluas 7.133,51 km² yang terdiri dari lautan seluas 6.979,4 km² dan daratan seluas
154,11 km².
Daratan Jakarta Utara membentang dari barat ke timur sepanjang kurang lebih
35 km, menjorok ke darat antara 4 sampai 10 km, dengan kurang lebih 110 pulau di
Kepulauan Seribu. Ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai dengan 20 meter,
dari tempat tertentu ada yang di bawah permukaan laut dan sebagian besar terdiri dari
rawa-rawa atau empang air payau.
Wilayah Jakarta Utara beriklim panas, dengan suhu rata-rata 27° C, curah
hujan setiap tahun rata-rata 142,54 mm dengan maksimal curah hujan pada bulan
September. Kondisi wilayah yang merupakan daerah pantai dan tempat bermuaranya
sembilan sungai, yaitu Sungai Ciliwung, Sungai Cisadane, Kali Pesanggrahan, Kali
Angke, Kali Grogol, Kali Sunter, Kali Cakung, Kali Cipinang dan Kali Krukut serta
dua banjir kanal, menyebabkan wilayah Jakarta Utara merupakan wilayah yang rawan
banjir, baik banjir kiriman maupun banjir karena air pasang laut (Anonymous, 2007).
42
Wilayah Jakarta Utara berbatasan wilayah dengan:
Sebelah Utara
: Laut Jawa
Sebelah Selatan
: Kab. DATI II Tangerang, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur
Sebelah Barat
: Kab. DATI II Tangerang dan Jakarta Pusat
Sebelah Timur
: Kab. DATI II Bekasi
Tanah daratan di Kota Jakarta Utara seluas 154,11 km² dirinci berdasarkan
penggunaannya yaitu: 47,58% untuk perumahan; 15,87% untuk areal industri; 8,89%
digunakan sebagai perkantoran dan pergudangan sedangkan sisanya merupakan lahan
pertanian, lahan kosong, dan sebagainya. Sementara luas lahan berdasarkan status
kepemilikan dapat dirinci sebagai berikut: status hak milik sebanyak 13,28%, Hak
Guna Bangunan (HGB) sebanyak 29,04% sedangkan yang lainnya masih berstatus
hak pakai, hak pengelolaan dan non sertifikat (Anonymous, 2007).
Kondisi daratan yang datar akan sangat mudah bagi pemerintah dalam
melakukan pembangunan, baik pembangunan perumahan, gedung-gedung atau jalanjalan. Dengan demikian, bentuk topografi berbentuk daratan akan mempermudah
dalam pembangunan prasarana jalan yang berperan penting dalam proses
pendistribusian hasil tangkapan (Malik, 2006).
4.1.2 Penduduk Kota Jakarta Utara
Jumlah penduduk Jakarta Utara pada tahun 2006 adalah sebanyak 1.180.967
jiwa yang terdiri dari 51,21% laki-laki dan 48,79% perempuan. Berdasarkan data
yang ada, diketahui bahwa jumlah nelayan Jakarta Utara pada tahun 2007 adalah
19.234 orang yang tersebar di beberapa wilayah. Nelayan tersebut tersebar di wilayah
pesisir Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Pluit, Kelurahan Pademangan, Kelurahan
Tanjung Priok, Kelurahan Lagoa, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Cilincing dan
Kelurahan Marunda. Selain nelayan, juga terdapat pengolah, pedagang ikan,
pembudidaya ikan hias, konsumsi maupun pelaku ekonomi di sektor perikanan
banyak terdapat di Jakarta Utara. Selanjutnya disebutkan bahwa penduduk di Jakarta
Utara juga bergerak di sektor peternakan. Para penduduk banyak berprofesi sebagai
43
pembudidaya ternak seperti itik, ayam buras, burung puyuh, perkutut serta olahan
hasil ternak (Anonymous, 2007).
Berdasarkan data Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 2007, jumlah
penduduk Jakarta Utara sebanyak 1.180.967 orang, berada di tempat kedua terbanyak
setelah Jakarta Timur dengan jumlah penduduk sebanyak 2.166.390 orang. Padatnya
penduduk menimbulkan berbagai masalah di Jakarta Utara seperti perkelahian warga
atau masalah ketenagakerjaan. Jumlah penduduk yang begitu banyak menyebabkan
semakin tingginya angka pencari kerja, sedangkan lapangan kerja yang tersedia
terbatas. Hal ini akan mengakibatkan tertekannya subsektor perikanan, yaitu
banyaknya tenaga kerja yang masuk kedalam subsektor ini, dengan dibekali keahlian
seadanya. Tenaga kerja yang masuk kedalam subsektor perikanan biasanya banyak
yang menjadi buruh. Buruh tidak memerlukan keahlian khusus, karena hanya dengan
mengandalkan tenaga dan kekuatan pun sudah dapat menjadi buruh. Hal inilah yang
menyebabkan subsektor perikanan menjadi kurang maju.
4.1.3 Kondisi perikanan tangkap Kota Jakarta Utara
1) Unit Penangkapan Ikan
(1) Armada Penangkapan dan Alat Tangkap
Kegiatan usaha penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat Jakarta Utara
menggunakan berbagai macam alat tangkap seperti jaring payang, purse seine, jaring
rampus, gillnet, bagan, bubu dan pancing. Alat tangkap jaring payang, purse seine,
jaring rampus, gillnet, bubu dan pancing banyak dioperasikan oleh nelayan Muara
Angke. Alat tangkap jaring rampus, payang, jaring kejer, bubu, dogol dan trawl
banyak dioperasikan oleh nelayan Cilincing. Alat tangkap jaring kejer, payang, bagan
dan sero banyak dioperasikan oleh nelayan di Kamal Muara. Alat tangkap gillnet dan
pancing tuna longline banyak dioperasikan nelayan Muara Baru.
Armada penangkapan ikan yang digunakan nelayan Jakarta Utara yaitu perahu
tanpa motor, perahu dengan motor dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan
ikan yang terbanyak terdapat di Kecamatan Penjaringan, kemudian disusul oleh
Kecamatan Cilincing dan Kecamatan Koja serta Kecamatan Pademangan.
44
Tabel 7 Jumlah armada penangkapan Jakarta Utara, 2003-2007
Jenis Armada
Motor Tempel
(Unit)
Perahu Tanpa
Motor
(Unit)
0-5 GT
5-10 GT
Kapal Motor
10-20 GT
(Unit)
20-30 GT
30-50 GT
>50 GT
Jumlah
Jumlah Armada
(Unit)
2003
2004
Tahun
2005
2006
2007
958
909
810
729
765
562
685
617
554
431
439
1.481
679
462
57
823
3.941
502
1.492
683
467
49
795
3.988
451
1.343
615
421
45
726
3.601
406
1.209
554
379
39
653
3.240
430
1.276
659
354
34
760
3.413
5.461
5.582
5.028
4.523
4.609
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
Berdasarkan Tabel 7 di atas, terlihat bahwa jumlah armada penangkapan Jakarta
Utara sejak tahun 2003 hingga tahun 2007 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004
jumlahnya mengalami kenaikan, kemudian menurun kembali pada tahun 2005. Pada
tahun 2007, jumlahnya kembali meningkat.
4500
4000
Jumlah Armada
3500
3000
Perahu
2500
Motor Tempel
2000
Kapal Motor
1500
1000
500
0
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
Gambar 2 Jumlah armada penangkapan Jakarta Utara, 2003-2007.
Berdasarkan Gambar 2 di atas, dapat diketahui bahwa jumlah armada terbanyak
terjadi pada tahun 2004 yaitu 5.582 unit yang terdiri atas 3.988 unit kapal motor, 685
45
unit perahu tanpa motor dan 909 motor tempel. Jumlah armada terendah adalah pada
tahun 2006 yaitu 4.523 unit yang terdiri atas 3.240 unit kapal motor, 554 unit perahu
tanpa motor dan 729 unit motor tempel (Anonymous, 2007).
(2) Nelayan
Usaha penangkapan ikan tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila tidak
dilengkapi dengan unit penangkapan ikan yang terdiri dari nelayan, alat tangkap dan
kapal perikanan. Oleh karena itu, nelayan merupakan salah satu komponen yang
berperan penting dalam suatu operasi penangkapan ikan. Nelayan merupakan salah
satu unsur yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penangkapan ikan.
Jumlah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan di wilayah Jakarta
Utara pada tahun 2007 tercatat sebanyak 19.234 jiwa. Jumlah tersebut dapat ditinjau
dari status kependudukan maupun status kepemilikannya. Jika ditinjau dari status
kependudukannya, nelayan terbagi atas 12.027 jiwa nelayan setempat dan 7.207
nelayan pendatang. Apabila ditinjau dari status kepemilikan usaha, maka nelayan
terbagi atas 4.103 orang nelayan pemilik dan 15.131 orang nelayan pekerja
(Anonymous, 2007). Perkembangan jumlah nelayan dari tahun 2003 hingga 2007
ditunjukkan pada Tabel 8:
Tabel 8 Jumlah nelayan Jakarta Utara, 2003-2007
Tahun
Status Nelayan
2003
15.724
2004
16.426
2005
15.017
2006
13.516
2007
12.027
Pemilik
Pekerja
3.335
12.389
10.877
3.473
12.953
9.873
3.140
11.877
8.903
2.826
10.690
8.018
2.441
9.586
7.207
Pemilik
Pekerja
2.335
8.542
26.601
2.241
7.632
26.299
2.028
6.875
23.920
1.827
6.191
21.534
1.662
5.545
19.234
Pemilik
Pekerja
5.670
20.931
5.714
20.585
5.168
18.752
4.653
16.881
4.103
15.131
Nelayan penetap
(orang)
Nelayan pendatang
(orang)
Jumlah nelayan
(orang)
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
46
Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa, sejak tahun 2003 hingga 2007
jumlah nelayan di Jakarta Utara mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari jumlah
nelayan yang terus menurun setiap tahunnya. Walaupun demikian, jumlah nelayan
penetap mengalami peningkatan pada tahun 2004, tetapi kemudian mengalami
penurunan kembali pada tahun 2005, sedangkan jumlah nelayan pendatang setiap
tahunnya terus mengalami penurunan.
25000
Jumlah Nelayan
20000
15000
Nelayan Pemilik
Nelayan Pekerja
10000
5000
0
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
Gambar 3 Jumlah nelayan Jakarta Utara, 2003-2007.
Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa jumlah nelayan terbanyak adalah pada
tahun 2003, yaitu sebanyak 26.601 orang, sedangkan jumlah nelayan terendah adalah
pada tahun 2007, yaitu 19.234 orang. Dari gambar diatas dapat terlihat bahwa dari
tahun ke tahun, jumlah nelayan di Jakarta Utara mengalami penurunan.
Perkembangan jumlah nelayan dan armada penangkapan dari tahun 2003
hingga tahun 2007 cenderung mengalami penurunan dikarenakan beberapa hal, yaitu:
(1) Makin jauhnya daerah penangkapan ikan (fishing ground), menyebabkan biaya
operasional lebih mahal sehingga sebagian nelayan tidak sanggup menanggung
biaya tersebut;
(2) Naiknya harga bahan bakar minyak menyebabkan biaya operasional lebih mahal
sehingga sebagian nelayan beralih profesi seperti menjadi pedagang, sopir dan
buruh pabrik serta tukang ojek;
47
(3) Mahalnya biaya perawatan kapal sehingga banyak kapal yang rusak tidak dapat
beroperasi;
(4) Semakin sulitnya hidup di Jakarta dan banyak tempat tinggal mereka yang
ditertibkan sehingga sebagian nelayan kembali ke daerah asalnya masing-masing;
dan
(5) Beralihnya fungsi kapal ikan menjadi kapal transportasi umum seperti kapal
barang dan kapal penumpang.
2) Produksi Hasil Tangkapan
Jenis-jenis ikan hasil tangkapan nelayan Jakarta Utara pada tahun 2007 dapat
dilihat pada Tabel 9 berikut (Anonymous, 2007):
Tabel 9 Jenis hasil tangkapan nelayan Jakarta Utara, 2007
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Jenis ikan
Cucut
Tenggiri
Tongkol
Tongkol
Golot-golot
Kembung
Kuwe
Layang
Selar
Tembang
Teri
Julung-julung
Bawal
Belanak
Beloso
Ekor Kuning
Kakap Merah
Kerapu
Kuro
Layur
Manyung
Pari
Peperek
Pisang-pisang
Cunang
Nama latin
Sphyma sp.
Scomberomorus commersoni
Auxis thazard
Euthynnus sp.
Chirocesntrus spp.
Rastrelliger sp.
Caranx sp.
Decapterus ruselli
Selaroides sp.
Sardinella gibbosa; S. Fimbriata
Stelophorus indicus; S. Devisi
Tylosorus crocodiles
Formio niger; Pampus argentus
Mugil sp.
Saurida spp.
Caeso erytrogaster; C.Cuning
Lutjanus malabaricus
Ephinephelus sp.
Polynemus
Trichiurus spp.
Arius thalassinus
Trigonidae
Leiognathus spp.
Casio chrysozomus
Muraenesex (Congresox) spp.
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
Kelompok
Pelagis Besar
Pelagis Besar
Pelagis Besar
Pelagis Besar
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Pelagis Kecil
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
Demersal
48
Jumlah produksi ikan di Jakarta Utara pada tahun 2007 sebanyak 31.763.259
kg. Jumlah ini merupakan produksi ikan yang didaratkan melalui darat dan laut. Ikan
yang didaratkan di Jakarta Utara berasal dari enam pelabuhan, yaitu Muara Baru,
Muara Angke, Pasar Ikan, Muara Kamal, Cilincing dan Kali Baru. Muara Angke
merupakan penyumbang terbesar produksi perikanan Jakarta Utara sebesar
17.111.209 kg (53,87%); disusul dengan Muara Baru sebesar 12.617.266 kg
(39,72%); Pasar Ikan, Muara Kamal, Cilincing dan Kali Baru masing-masing sebesar
722.305 kg (2,27%), 521.280 kg (1,64%), 263.959 kg (0,83%) dan 527.240 kg
(1,66%). Jumlah produksi perikanan ikan di TPI dan PPI Kota Jakarta Utara, tahun
2003-2007 dapat dilihat pada Tabel 10:
Tabel 10 Jumlah produksi perikanan Jakarta Utara, 2003-2007
Unit: Ton
Tahun
Lokasi
2003
2004
2005
2006
2007
12.209, 027
11.779,785
9.728,239
17.582,561
17.111,209
763,685
743,190
638,050
688,221
722,305
10.810,332
10.037,361
5.695,237
6.296,445
12.617,266
529,550
577,370
589,370
529,920
521,280
Cilincing
0
422,765
318,296
341,386
263,959
Kali Baru
240,575
326,715
326,801
424,144
527,240
24.553,169
23.887,186
17.295,993
25.862,677
31.763,259
Muara Angke
PPI
Pasar Ikan
Muara Baru
Kamal Muara
TPI
Jumlah
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
Berdasarkan Tabel 10, produksi perikanan Jakarta Utara sejak tahun 2003
hingga 2007 mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 dan 2005, walaupun produksi
perikanan sempat mengalami penurunan, tetapi kemudian meningkat kembali pada
tahun 2006. Penurunan jumlah produksi hasil tangkapan ini disebabkan antara lain
oleh penurunan jumlah armada penangkapan yang beroperasi sehingga jumlah ikan
yang didaratkan pun menurun.
49
20000
18000
Jumlah Produksi
16000
TPI Muara Baru
14000
PPI Muara Angke
12000
PPI Pasar Ikan
10000
TPI Kamal Muara
8000
TPI Kali Baru
6000
TPI Cilincing
4000
2000
0
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Sumber: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, 2007
Gambar 4 Produksi ikan Jakarta Utara, 2003-2007.
Berdasarkan Gambar 4 dan Tabel 10 di atas, dapat diketahui bahwa produksi
ikan terbesar adalah pada tahun 2007 dengan total produksi ikan 31.763.259 kg,
sedangkan jumlah produksi ikan terendah terjadi pada tahun 2005 dengan total
produksi hasil tangkapan sebesar 17.295.993 kg.
3) Daerah Penangkapan Ikan
Daerah tujuan penangkapan ikan bagi nelayan-nelayan Jakarta Utara adalah:
Bangka Belitung, Perairan Sumatera, Selat Karimata, Laut Jawa, Perairan Kalimantan
Barat, Kepulauan Natuna, Teluk Jakarta, Perairan Karawang, Perairan Papua dan
Perairan Karimun Jawa. Jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan Jakarta Utara
dari berbagai daerah diantaranya adalah sotong, cumi-cumi, udang, pari, kembung,
tongkol, tembang, tuna, cucut, manyung, tenggiri, kakap, kerapu, bawal dan lain-lain
(Dinas Perikanan DKI Jakarta, 2004 diacu dalam Malik, 2006).
Daerah tujuan penangkapan ikan yang jauh, tanpa penanganan ikan yang baik
selama di atas kapal, akan mengakibatkan turunnya kualitas ikan hasil tangkapan. Hal
50
ini tentunya berakibat pada sanitasi pelabuhan perikanan, karena banyak hasil
tangkapan yang rusak ketika didaratkan.
4) Unit-unit Pengolahan Ikan di Jakarta Utara
Banyaknya hasil tangkapan yang didaratkan membutuhkan penanganan dan
pengolahan lebih lanjut. Salah satu dari tujuan penanganan adalah untuk
mempertahankan mutu dan meningkatkan nilai jual ikan. Berdasarkan jenis usaha
yang dijalankan, pengolahan ikan dibedakan menjadi dua yaitu tradisional dan
modern.
Pengolahan secara tradisional meliputi pengeringan atau pengasinan,
pengasapan, pengolahan pakan ternak dari ikan atau udang, pengolahan terasi dan
pengawetan kulit ikan. Daerah-daerah konsentrasi pengolahan tradisional di Jakarta
Utara adalah Muara Angke sebanyak 196 unit, Kali Baru sebanyak 80 unit dan Kamal
Muara sebanyak 20 unit, sedangkan pengolahan secara modern adalah fillet, loin,
tuna beku, ikan kaleng dan produk ikan lainnya. Sarana pengolahan modern ini
barada di Muara Baru.
4.2 Keadaan Umum Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke
4.2.1 Letak geografis dan topografi PPI Muara Angke
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke dengan luas ± 65 ha, terletak di
daerah Muara Angke. Secara administratif terletak di Kelurahan Pluit, Kecamatan
Penjaringan, Kota Jakarta Utara. Kawasan Muara Angke berbatasan dengan:
Sebelah Utara
: Laut Jawa
Sebelah Selatan
: Kali Angke
Sebelah Timur
: Jalan Pluit
Sebelah Barat
: Kali Angke
Lahan seluas 65 ha dimanfaatkan untuk perumahan nelayan (21,26 ha); tambak
uji coba budidaya air payau (9,12 ha); bangunan pangkalan pendaratan ikan serta
fasilitas penunjangnya (5 ha); hutan bakau (8 ha); tempat pengolahan ikan tradisional
(5 ha); docking kapal (1,35 ha); lahan kosong (6,7 ha); pasar, bank dan bioskop (1
51
ha); terminal (2,57 ha) dan lapangan sepak bola (1 ha) (UPT PPI Muara Angke,
2006).
Selanjutnya dikatakan bahwa kawasan Muara Angke mempunyai kontur
permukaan tanah datar, dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai 1
meter. Geomorfologi kawasan pantainya lunak sehingga daya dukung tanah rendah
dan proses intrusi air laut tinggi, sedimen dasar laut dominan oleh lumpur (lempung
dan lanau). Pasang surut kawasan ini mempunyai sifat harian tunggal dan kisaran
antara surut tertinggi dan terendah adalah 1,2 meter dan gerakan periodik ini
walaupun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai kawasan ini. Arus laut pada
musim barat berkecepatan 1,5 knot dengan ketinggian gelombang antara 0-1 meter
dan jika terjadi angin kuat gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter.
PPI Muara Angke merupakan hasil reklamasi pantai sehingga mempunyai
tekstur tanah yang kurang stabil. Setiap tahun daerah tersebut mengalami penurunan
tanah ± 10 cm oleh karena itu selalu digenangi air laut bila terjadi gelombang pasang
(UPT PPI Muara Angke, 2003 diacu dalam Novri, 2006).
Sejak tahun 1976 secara keseluruhan kawasan ini dipersiapkan untuk
menampung kegiatan perikanan yang selama ini tersebar di beberapa lokasi. Untuk
memudahkan sekaligus lebih mengintensifkan pembinaan kepada masyarakat nelayan
dibuatlah sebuah desa nelayan dilengkapi dengan sarana penunjangnya. Rencana
tersebut, dapat terwujud apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara bertahap
terus melaksanakan pembangunan dengan memanfaatkan dana, baik yang bersumber
dari APBD, APBN maupun melibatkan sektor swasta. Pada tahun 1977, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta menetapkan kawasan ini sebagai Pangkalan Pendaratan Ikan
dan Pusat Pembinaan Kegiatan Perikanan di DKI Jakarta (UPT PPI Muara Angke,
2006).
4.2.2 Pengelolaan PPI Muara Angke
1) Tugas UPT, PKPP dan PPI Muara Angke
Unit Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan
merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan
52
Provinsi DKI Jakarta di bidang pengelolaan kawasan pelabuhan perikanan dan
pangkalan pendaratan ikan. Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta Nomor 105 Tahun 2002 UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan
Pangkalan Pendaratan Ikan mempunyai tugas sebagai berikut (UPT PPI Muara
Angke, 2006):
(1) Mengatur, mengelola dan memelihara fasilitas pelabuhan perikanan, pelelangan
ikan dan pangkalan pendaratan ikan beserta sarana penunjangnya;
(2) Mengelola pemukiman nelayan beserta fasilitas kelengkapannya; dan
(3) Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban lingkungan kawasan pelabuhan
perikanan dan pangkalan pendaratan ikan.
2) Fungsi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke
Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 105
Tahun 2002 UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan
Pendaratan Ikan mempunyai fungsi sebagai berikut (UPT PPI Muara Angke, 2006):
1) Menyusun program dan rencana kegiatan operasional;
2) Perencanaan, pemeliharaan, pengembangan serta rehabilitasi dermaga dan
pelabuhan;
3) Penertiban rekomendasi izin kapal perikanan yang masuk dan keluar
pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan dari aspek kegiatan
perikanan;
4) Pelayanan tambat labuh dan bongkar muat kapal ikan;
5) Penyediaan fasilitas penyelenggaraan pelelangan ikan dan penyewaan fasilitas
penunjang lainnya;
6) Pengelolaan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan yang menunjang usaha
perikanan;
7) Pengelolaan sarana fungsional, sarana penunjang serta pengusahaan barang
dan atau pihak ketiga;
8) Pelayanan fasilitas sandar kapal, pasar grosir, pasar pengecer, pengolahan
ikan, pengepakan ikan gudang hasil perikanan dan usaha olahan ikan;
53
9) Pengkoordinasian kegiatan operasional terkait yang melakukan aktivitas
pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan;
10) Penyelenggaraan keamanan, ketertiban dan kebersihan di kawasan pelabuhan
perikanan dan pangkalan pendaratan ikan;
11) Pengelolaan pemukiman nelayan beserta fasilitas kelengkapannya; dan
12) Pengelolaan urusan ketatausahaan.
3) Organisasi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke
Sesuai Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 105 Tahun 2002
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di
Lingkungan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta,
susunan organisasi UPT terdiri atas (UPT PPI Muara Angke, 2006):
(1) Kepala Unit;
(2) Subbagian Tata Usaha;
(3) Subbagian Kepelabuhan Perikanan;
(4) Seksi Pelelangan Ikan;
(5) Seksi Fasilitas Usaha;
(6) Seksi Pemukiman Nelayan, Keamanan dan Ketertiban; dan
(7) Subkelompok Jabatan Fungsional.
Dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsinya di UPT PKPP
dan PPI Muara Angke tidak saja terdapat jabatan non struktural, tetapi juga jabatan
fungsional yang keberadaannya ditetapkan oleh Dinas. Jabatan yang dimaksud yaitu:
(1) Kepala TPI Muara Angke;
(2) Kepala TPI Muara Baru;
(3) Kepala Pasar Grosir Muara Angke;
(4) Kepala Pasar Grosir Muara Baru;
(5) Kepala Pasar Grosir Pasar Ikan; dan
(6) Kepala Pengelolaan Hasil Perikanan Tradisional.
54
Struktur organisasi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara dapat
dilihat pada Gambar 5.
Kepala Unit
Subbag. Tata Usaha
Subbag. Kepelabuhanan
Perikanan
Seksi Fasilitas
Kepala
TPI
Muara
Angke
Staff
Seksi Pemukiman
Nelayan, Keamanan dan
Ketertiban
Seksi Pelelangan
Kepala
TPI
Muara
Baru
Staff
Pasar
Grosir
Muara
Angke
Pasar
Grosir
Muara
Baru
Kepala
Pasar
Ikan
Kepala
PHPT
Staff
Staff
Staff
Staff
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Gambar 5 Struktur organisasi UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta.
55
4) Instansi Lain yang terdapat di PPI Muara Angke
Dalam memenuhi pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat di kawasan
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke, terdapat instansi pemerintah maupun
kelembagaan yang meliputi:
Tabel 11 Daftar instansi/kelembagaan di PPI Muara Angke Tahun 2006
No.
Instansi/Kelembagaan
1.
UPT Dinas Perhubungan Laut
2.
Syahbandar dan KPLP (Dinas Perhubungan)
3.
DPD, HNSI
4.
Pos Polisi KP3 Muara Angke
5.
Pos Kesehatan
6.
Pos Pemadam Kebakaran
7.
Koperasi Perikanan Mina Jaya
Sumber: UPT PPI Muara Angke Jakarta Utara, 2006
4.2.3 Kondisi Perikanan Tangkap
1) Unit Penangkapan Ikan
(1) Kapal
Armada penangkapan ikan yang berbasis di PPI Muara Angke mencakup tiga
jenis, yaitu perahu layar, motor tempel dan kapal motor. Perahu layar yang digunakan
sebagai armada perikanan memiliki ukuran sedang sampai berukuran besar. Jumlah
armada yang menggunakan perahu layar amat sedikit karena perahu layar merupakan
armada perikanan tradisional. Perahu motor tempel banyak digunakan oleh nelayan
kelas menengah. Jumlah yang paling banyak digunakan adalah kapal motor. Kapal
motor digolongkan berdasarkan ukuran volume kapal menjadi 6 kelompok, yaitu
masing-masing 5 GT, 10 GT, 20 GT, 30 GT, 50 GT dan diatas 50 GT (Novri, 2006).
Selanjutnya dikatakan bahwa armada kapal perikanan yang terdapat di PPI Muara
Angke didominasi oleh jenis kapal motor yang berukuran antara 30 GT sampai diatas
50 GT. Pada awalnya, perahu layar dan perahu motor tempel melakukan bongkar
muat di PPI Muara Angke, tetapi sekarang ini perahu-perahu tersebut melakukan
bongkar muat di daerah Kali Adem.
56
Kapal-kapal ikan yang berlabuh di PPI Muara Angke dan melakukan kegiatan
bongkar muat antara lain: kapal gillnet, purse seine, trap (bubu) dan fish net. Alat
tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di PPI Muara Angke adalah jaring
cumi, purse seine, jaring rampus, gillnet, bubu dan pancing (Laporan Tahunan PPI
Muara Angke, 2006).
Saat ini, kapal perikanan yang beraktivitas di PPI Muara Angke ada dua jenis,
yaitu kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut. Berikut disajikan tabel jenis kapal
yang melakukan aktivitas tambat di PPI Muara Angke.
Tabel 12 Jenis kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke, 2004-2007
Ukuran (GT)
Jenis Kapal
Tahun
Jumlah
< 30
> 30
Pengangkut
Penangkap Ikan
2004
4.921
3.894
1.027
1.407
3.514
2005
5.209
3.873
1.336
1.468
3.741
2006
4.862
3.701
1.161
1.006
3.856
2007
4.300
3.662
636
1.008
3.292
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2007
Berdasarkan Tabel 12 di atas, intensitas tambat kapal yang terendah terjadi
pada tahun 2007 yaitu 4.300 unit kapal. Kapal-kapal ini terdiri dari 1.008 unit kapal
pengangkut dan 3.292 kapal penangkap ikan. Berdasarkan ukurannya, kapal-kapal ini
terbagi menjadi dua, yaitu 3.662 unit berukuran < 30 GT dan 636 unit kapal
berukuran > 30 GT.
4.500
Jumlah Kapal Tambat
4.000
3.500
3.000
Kapal < 30 GT
2.500
Kapal > 30 GT
2.000
Kapal Angkutan
1.500
Kapal Penangkap Ikan
1.000
500
0
2004
2005
2006
2007
Tahun
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2007
Gambar 6 Jumlah kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke, 2004-2007.
57
Jumlah kapal terbanyak yang melakukan kegiatan tambat di PPI Muara Angke
adalah pada tahun 2005 yaitu 5.209 unit kapal. Kapal-kapal ini terdiri atas kapal
pengangkut 1.468 unit kapal dan kapal penangkap ikan 3.741 unit kapal. Berdasarkan
ukurannya, kapal-kapal ini terbagi menjadi dua jenis yaitu kapal dengan ukuran < 30
GT 3.873 unit kapal dan yang berukuran > 30 GT 1.336 unit kapal. Dari tahun 2004
hingga tahun 2007, jumlah kapal yang melakukan tambat di PPI Muara Angke
mengalami fluktuasi. Jumlah kapal mengalami kenaikan pada tahun 2005 dan
menurun kembali pada tahun 2006.
(2) Alat Tangkap
Terdapat berbagai jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan di PPI
Muara Angke. Jenis alat tangkap yang mendominasi antara lain: purse seine,
bukoami, jaring cumi, bubu, cantrang dan gillnet, sedangkan alat tangkap lainnya
adalah muroami, fishnet, jaring tangsi, jaring nilon, payang, lampara, pancing dan
liongbun. Alat penangkap ikan yang dioperasikan di PPI Muara Angke, 2003-2006
dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:
Tabel 13 Jumlah alat tangkap yang dioperasikan nelayan PPI Muara Angke,
2003-2006
Alat Tangkap
Tahun
2003
Purse
seine
227
Bukoami
0
Jaring
Cumi
0
Bubu
942
Cantrang
0
Gillnet
536
Lainnya
231
Jumlah
1936
2004
982
803
553
560
0
485
1.546
4929
2005
982
931
572
426
287
391
726
4315
2006
1.097
1.158
782
324
267
164
64
3856
Jumlah
3.288
2.892
1.907
2.252
554
1.576
2.567
-
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Berdasarkan Tabel 13 di atas, dapat diketahui bahwa selama 4 tahun terakhir
yaitu sejak tahun 2003-2006 alat tangkap yang paling banyak dioperasikan oleh
nelayan-nelayan di PPI Muara Angke adalah purse seine yaitu 3.288 unit, kemudian
58
alat tangkap bukoami menjadi alat tangkap yang terbanyak kedua yaitu 2.892 unit.
Jenis alat tangkap lainnya berjumlah 2.567 unit. Jumlah alat tangkap yang ada di PPI
Muara Angke mengalami kenaikan setiap tahunnya.
1800
Jum lah A lat Tangkap
1600
Purse Seine
1400
Bukoami
1200
Jaring Cumi
1000
Bubu
800
Cantrang
600
Gillnet
400
Lainnya
200
0
2003
2004
2005
2006
Tahun
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Gambar 7 Jumlah alat tangkap di PPI Muara Angke, 2003-2006.
Dilihat dari Gambar 7 di atas, terlihat bahwa jumlah alat tangkap yang
mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah alat tangkap Purse Seine, Bukoami
dan Jaring Cumi. Alat tangkap Bubu, Cantrang dan Gillnet mengalami penurunan
dari tahun ke tahun.
(3) Nelayan
Komponen yang dibutuhkan dalam kegiatan penangkapan ikan adalah nelayan,
armada penangkapan dan alat tangkap. Nelayan merupakan salah satu pelaku (stake
holder) yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan secara langsung.
Nelayan yang berada di PPI Muara Angke meliputi nelayan penetap dan
nelayan pendatang. Nelayan penetap merupakan nelayan yang berdomisili di wilayah
Muara Angke, sedangkan nelayan pendatang merupakan nelayan yang berasal dari
luar wilayah Muara Angke. Status nelayan penetap maupun nelayan pendatang terdiri
59
dari 2 jenis nelayan, yaitu nelayan pemilik dan nelayan pekerja. Nelayan pemilik
merupakan nelayan yang memiliki modal berupa kapal maupun alat tangkap,
sedangkan nelayan pekerja adalah nelayan buruh yang berperan aktif dalam kegiatan
operasi penangkapan ikan (UPT PPI Muara Angke, 2003 diacu dalam Novri, 2006).
Berdasarkan statusnya, nelayan yang memanfaatkan PPI Muara Angke sebagai
tempat tambat labuh maupun bongkar muat terbagi atas nelayan penetap dan nelayan
pendatang (Shanticka, 2008). Klasifikasi nelayan tersebut dapat terbagi lagi menjadi
nelayan pekerja atau nelayan pemilik unit penangkapan ikan. Jumlah nelayan
berdasarkan pembagian tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas bongkar dan sandar di PPI
Muara Angke, 2001-2003
Status Nelayan
Penetap
Pemilik
Pekerja
Pendatang
Pemilik
Pekerja
Jumlah Nelayan
Pemilik
Pekerja
2001
11.139
2.277
8.862
12.802
1.324
11.478
23.941
3.601
20.340
2002
14.628
2.979
11.703
11.671
1.813
9.858
26.353
4.792
21.561
2003
2.663
1.873
790
10.837
1.690
9.147
13.500
9.147
4.353
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Berdasarkan Tabel 14 di atas, dapat terlihat bahwa jumlah nelayan PPI Muara
Angke pada tahun 2001 hingga tahun 2003 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2002
mengalami kenaikan tetapi pada tahun 2003 mengalami penurunan yang sangat
drastis. Penurunan ini disebabkan oleh makin jauhnya fishing ground atau daerah
penangkapan ikan, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan mahalnya biaya
perawatan kapal.
Jumlah nelayan yang terbanyak adalah nelayan penetap pada tahun 2002 yaitu
14.628 orang dengan nelayan pemilik sebanyak 2.979 orang dan nelayan pekerja
11.703 orang. Jumlah nelayan paling sedikit adalah nelayan penetap, pada tahun 2003
berjumlah 2.663 orang yang terdiri dari nelayan pemilik 1.873 dan nelayan pekerja
790 orang.
60
25000
Jumlah Nelayan
20000
15000
Nelayan Pemilik
Nelayan Pekerja
10000
5000
0
2001
2002
2003
Tahun
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Gambar 8 Jumlah nelayan di PPI Muara Angke Jakarta, 2001-2003.
Berdasarkan Gambar 8 di atas, jumlah nelayan pemilik terus mengalami
peningkatan dari tahun 2001 hingga 2003. Jumlah nelayan pekerja mengalami
peningkatan pada tahun 2002 lalu menurun drastis pada tahun 2003.
Perkembangan jumlah nelayan mulai tahun 2004 hingga 2007 tidak didapatkan
datanya. Hal ini disebabkan mulai dari tahun 2004, pihak UPT PPI Muara Angke
sudah tidak lagi melakukan rekapitulasi data nelayan. Rekapitulasi data nelayan
dilakukan oleh pihak Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Muara Angke,
sehingga pihak UPT PPI Muara Angke tidak lagi memiliki data nelayan yang
melakukan tambat labuh di PPI Muara Angke.
2) Produksi dan Hasil Tangkapan
Faktor lain yang merupakan indikator perkembangan perikanan di suatu daerah
adalah jumlah dan nilai produksi perikanan. Jumlah produksi hasil tangkapan yang
didaratkan di PPI Muara Angke cukup banyak. Hal ini ditandai dengan jumlah
produksi hasil tangkapan yang didaratkan, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke
tahun. Jumlah produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke, 20032006 dapat dilihat pada Tabel 15 berikut ini:
61
Tabel 15 Jumlah produksi, nilai produksi dan retribusi ikan lokal yang didaratkan
di PPI Muara Angke, 2003-2006
Tahun
Produksi (Ton)
Nilai (Rp)
Retribusi (Rp)
2003
8.162,744
32.306.132.805
1.615.306.640
2004
8.189,192
33.311.092.549
1.659.825.565
2005
9.392,508
34.539.811.192
1.726.990.560
2006
10.675,824
35.768.529.845
1.788.426.492
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui jumlah produksi perikanan PPI Muara
Angke yang terbanyak yaitu pada tahun 2006 yaitu sebanyak 10.675,824 ton dengan
nilai produksi Rp35.768.529.845,00. Besarnya retribusi yang diperoleh pihak
pelabuhan dari produksi perikanan yang didaratkan di PPI Muara Angke pada tahun
2006 adalah sebesar Rp1.788.426.492,00. Dalam perkembangannya, jumlah produksi
ikan di PPI Muara Angke mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan
jumlah produksi berbanding lurus dengan peningkatan nilai produksi dan retribusi.
12.000,00
Produksi Ikan
10.000,00
8.000,00
6.000,00
4.000,00
2.000,00
0,00
2003
2004
2005
2006
Tahun
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Gambar 9 Produksi hasil tangkapan di PPI Muara Angke, 2003-2006.
Berdasarkan Gambar 9, jumlah produksi perikanan PPI Muara Angke yang
terendah terjadi pada tahun 2003 yaitu 8.162,744 ton dengan nilai produksi sebesar
62
Rp32.30.132.805,00. Besarnya retribusi yang diterima oleh pelabuhan perikanan PPI
Muara Angke adalah sebesar Rp1.615.306.640,00.
Ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke merupakan ikan yang berasal dari
laut dan darat. Pasokan ikan dari darat biasanya berasal dari berbagai macam daerah
seperti: Tuban dengan hasil tangkapan sebanyak 1, 71%; Pekalongan 4,77%; Tegal
3,67%; Cilacap 0,59%; Labuan 1,18%; Bandung 6,73%; Bogor 0,59%; Lampung
2,08%; Indramayu 8,79%; Rengasdengklok 0,11%; Serang 0,14%; Ciasem 0,48%;
Pemalang 0,42%; Surabaya 9,01%; Rembang 1,24%; Juwana 0,25%; Binuangeun
2,26%; Eretan 1,47% dan Losari 0,35% (UPT PPI Muara Angke, 2006).
Hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke sangat beragam.
Komposisi produksi hasil tangkapan yang banyak didaratkan pada tahun 2006 adalah
ikan beloso, cakalang, cucut, cumi-cumi, baby tuna, kembung, pari, kambingkambing, lemuru, tembang, tenggiri dan tongkol (Laporan Tahunan PPI Muara
Angke, 2006).
3) Daerah Penangkapan Ikan
Para nelayan dengan armada penangkapan ikan yang berbasis di PPI Muara
Angke melakukan operasi penangkapan ikan di daerah Perairan Bangka Belitung
dengan hasil tangkapan 8,65%; Perairan Sumatera dengan hasil tangkapan 10,35%;
Selat Karimata 13,41%; Laut Jawa sebanyak 11,60%; Perairan Kalimantan Barat
5,65%; Kepulauan Natuna
2,82%; Teluk Jakarta dan Karawang
0,75% dan di
Karimun Jawa dengan hasil tangkapan 1,41% (UPT PPI Muara Angke, 2006).
4.2.4 Fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke
Pembangunan dan pengembangan sentra perikanan dan kelautan Muara Angke
pada hakekatnya bertujuan untuk mendorong peningkatan kehidupan nelayan agar
lebih layak dan bergairah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dampak ekonomis
yang dirasakan adalah pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat perikanan di Muara
Angke yang cukup pesat (UPT PPI Muara Angke, 2006).
63
Fasilitas yang telah dibangun di PPI Muara Angke terdiri atas fasilitas pokok,
fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Fasilitas pokok pelabuhan terdiri dari
kolam pelabuhan, dermaga dan breakwater. Salah satu fasilitas fungsional adalah
gedung TPI, pasar pengecer ikan dan cold storage. Fasilitas penunjang terdiri atas
kantor pengawas pelabuhan, balai pertemuan nelayan dan MCK. Rincian fasilitas
yang dimiliki oleh PPI Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Fasilitas-fasilitas PPI Muara Angke, 2006
No.
I.
1.
2.
3.
4.
II.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
III.
1.
2.
Jenis Fasilitas
Jumlah/Volume/Luas
Fasilitas Pokok
Lahan PPI
Dermaga
Tanggul Pemecah Gelombang
Kolam Pelabuhan
Fasilitas Fungsional
Kantor UPT, PKPP dan PPI
Tempat Pelelangan Ikan
Tempat Pengepakan Ikan
Kios Gudang Kantor
Pasar Grosir Ikan
Pasar Pengecer Ikan
Kios Ikan Bakar
Workshop
Gudang Alat-alat Perikanan
Waduk Penampungan
Kolam Limbah (IPAL)
Bengkel Alat Kapal Tradisional
Cold Storage
SPBU Dwifungsi
Pabrik Es
Dock Tradisional
Sarana Docking Kapal 30 GT
Tiang Pengikat Kapal/Bolard
Fender Kayu
Tug Boat (KM. Baracuda Jaya II)
Ponton Keruk (KM. Baracuda Jaya III)
Fasilitas Penunjang
Kantor Pengawas Kapal Perikanan (WASKI)
MCK
65 Ha
403 m²
1.700 m
63.993 m²
1 Unit
2.212 m²
30 Unit
40 Unit
870 Kios
150 Kios
24 Unit
8 Unit
12 Unit
1 Unit
1 Unit
5 Unit
2 Unit
1 Unit
1 Unit
5 Unit
4 Unit
122 Buah
450 m
1 Unit
1 Unit
1 Unit
3 Unit
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Pada kawasan tersebut, telah dibangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI), gedung
pasar grosir ikan, gedung pengecer ikan, kios, gudang, kantor yang dimanfaatkan oleh
para pengusaha perikanan, kios pujaseri, tempat pengepakan ikan dan berbagai
64
fasilitas penunjang lainnya. Fasilitas yang dibangun oleh pemerintah pada umumnya
dapat dimanfaatkan secara baik oleh para pengusaha dan memberikan manfaat luas
terhadap masyarakat perikanan, baik berupa penyediaan lapangan kerja maupun
keuntungan lainnya bagi masyarakat. Selain pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah, kepada sektor swasta juga diberikan kesempatan untuk bersama-sama
pemerintah melaksanakan pembangunan kawasan. Kesempatan yang ditawarkan
pemerintah tersebut ditanggapi positif oleh para pengusaha.
(1) Fasilitas Pokok
Fasilitas Pokok yang dimiliki oleh PPI Muara Angke adalah kolam pelabuhan,
dermaga bongkar dan tanggul pemecah gelombang (breakwater). Letak ketiga
fasilitas pokok ini saling berdekatan.
(a) Kolam Pelabuhan
Luas kolam pelabuhan PPI Muara Angke adalah 63,993 m². Kondisi kolam
pelabuhan saat ini dirasakan cukup sempit, apalagi pada saat bulan terang karena
kapal-kapal yang melakukan bongkar muat di PPI Muara Angke tidak terbatas pada
kapal yang berukuran 30 GT kebawah saja.
.
Gambar 10 Kolam pelabuhan PPI Muara Angke Jakarta Utara
Sebagian besar kapal yang berlabuh adalah kapal yang berbobot 50 GT keatas,
sehingga kapal-kapal kecil (< 5 GT) pindah ke Kali Adem karena sangat riskan untuk
65
terjepit. Selain itu, kondisi kolam pelabuhan juga mengalami pendangkalan yang
disebabkan sedimentasi dan sisa-sisa badan kapal yang rusak dan tidak diangkat
(Novri, 2006).
(b) Dermaga Bongkar
Dermaga PPI Muara Angke memiliki ukuran panjang 403 meter dan terbuat
dari beton. Dermaga masih berfungsi dengan cukup baik namun perlu dilakukan
rehabilitasi secara rutin mengingat banyaknya kapal yang melakukan pembongkaran
mencapai 15 kapal per hari (Novri, 2006).
Gambar 11 Dermaga bongkar PPI Muara Angke Jakarta Utara.
Fasilitas lain yang terdapat di dermaga adalah fender dan bolard. Fender dapat
berupa ban-ban yang digantungkan di dinding dermaga yang dimaksudkan untuk
menahan dan mencegah terjadinya benturan antara badan kapal dengan dinding
dermaga. Sedangkan bolard berfungsi sebagai tempat untuk mengikatkan tali saat
menambatkan kapal dan biasanya berupa tiang bulat. Di PPI Muara Angke terdapat
fender kayu sepanjang 450 m² dan bolard (tiang pengikat kapal) sebanyak 122 buah
(UPT PPI Muara Angke, 2006).
(c) Tanggul Pemecah Gelombang (Breakwater)
Tanggul pemecah gelombang (breakwater) yang berada di kawasan ini
memiliki ukuran panjang 1.700 meter. Fasilitas ini tidak dilengkapi dengan lampu-
66
lampu pelayaran dan terdapat kerusakan di beberapa bagian bangunan dan terdapat
bangunan yang sudah terputus (UPT PPI Muara Angke, 2006).
(2) Fasilitas Fungsional
Fasilitas fungsional yang dimiliki oleh PPI Muara Angke adalah TPI, Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum, Pasar Grosir Ikan, Pasar Pengecer Ikan, Cold
Storage, Tangki Air Bersih, Unit Pengepakan Ikan, Sarana Perbaikan Kapal dan
Docking serta Pabrik Es.
(a) Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Luas tempat pelelangan ikan di PPI Muara Angke adalah 2.212 m² (Gambar
12). TPI PPI Muara Angke ini berada tepat di sebelah barat dermaga, sehingga
memudahkan dalam melakukan proses bongkar hasil tangkapan dan proses
pemindahan ikan dari dermaga bongkar menuju TPI. Dekatnya letak TPI dan
dermaga bongkar juga akan mempengaruhi kualitas ikan yang didaratkan akibat
pengaruh sinar matahari.
Gambar 12 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) PPI Muara Angke Jakarta Utara.
67
Bangunan TPI secara fisik masih cukup baik, dengan saluran air yang masih
berfungsi. Gedung TPI memiliki fasilitas air bersih yang cukup dan baik, namun
kesadaran para pemilik ikan dan para pengguna TPI lainnya masih kurang dan jarang
memanfaatkan fasilitas yang disediakan sehingga kebersihan di sekitar TPI masih
terlihat kurang.
Tempat Pelelangan Ikan Muara Angke dianggap sudah memenuhi syarat TPI
yang baik. Hal ini didasarkan pada: bangunan TPI yang terlindung dan mempunyai
dinding yang mudah dibersihkan; dilengkapi dengan saluran pembuangan;
mempunyai penerangan yang cukup; tidak ada kendaraan yang mengeluarkan asap di
dalam TPI, dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai pelelangan; dilengkapi
dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah, makan dan minum serta
diletakkan di tempat yang mudah dilihat dan mempunyai pasokan air bersih yang
cukup. Meskipun ada beberapa syarat yang belum terpenuhi, dapat dikatakan bahwa
TPI Muara Angke sudah memperhatikan masalah sanitasi sesuai dengan Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP. 01/MEN/2007 tanggal 05 Januari 2007
tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Tempat pelelangan ikan mempunyai nilai strategis dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan nelayan. Di TPI tersebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan
pelayanan lelang, sehingga diharapkan harga yang terjadi dalam proses lelang
tersebut merupakan harga optimal yang dapat diperoleh nelayan.
Tempat pelelangan ikan ini dalam satu hari melayani sekitar 15 kapal dan ± 45
perahu yang membongkar hasil tangkapannya. Produksi hasil tangkapan nelayan
tergantung pada faktor cuaca, musim dan jumlah kapal yang membongkar hasil
tangkapannya di TPI (UPT PPI Muara Angke, 2006).
(b) Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Dwi Fungsi
Dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan bakar bagi para nelayan, pada tahun
1997 telah dibangun 1 unit SPBU dwifungsi pada lahan seluas 2.212 m². SPBU
tersebut melayani kebutuhan bahan bakar baik untuk kapal nelayan maupun
kendaraan umum.
68
Fasilitas fungsional yang sangat dibutuhkan oleh para nelayan untuk
operasional penangkapan adalah BBM (solar). Penyediaan bahan bakar ini dilayani
oleh SPBU dwifungsi yaitu selain melayani kebutuhan kapal nelayan juga melayani
kebutuhan masyarakat pengunjung kawasan Muara Angke yang menggunakan
kendaraan darat (Gambar 13).
Gambar 13 Stasiun pengisian bahan bakar umum dwi fungsi
PPI Muara Angke Jakarta Utara.
Dalam satu hari, SPBU ini melayani sekitar 10-25 kapal nelayan. Jumlah
pompa pelayanan sebanyak 14 buah, terdiri dari 10 pompa solar, 3 pompa premium
dan 1 pompa pertamax. Kapasitas tangki yang ada yaitu 180.000 liter untuk solar,
50.000 liter untuk premium dan 20.000 liter untuk pertamax. Penjualan bahan bakar
selama tahun 2004 adalah solar 45.81.978 liter, premium 4.680.879 liter dan
pertamax 245.219 liter.
(c) Pasar Grosir Ikan
Pasar grosir merupakan salah satu sarana mata rantai pemasaran hasil
perikanan. Di pasar grosir tersebut, tersedia 870 unit lapak yang menampung 275
pedagang grosir. Aktivitas pasar grosir ini rata-rata dilakukan pada malam hari. Ikan
yang diperdagangkan selain dari hasil lelang di Muara Angke dan Muara Baru juga
didatangkan dari luar daerah seperti: Tuban, Pekalongan, Tegal, Cilacap, Lampung
69
dan daerah lain. Dalam satu malam perputaran perdagangan ikan di pasar grosir ratarata mencapai 35 ton.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada pemakai fasilitas/pedagang ikan grosir
dan masyarakat pembeli ikan, maka telah dibangun penambahan atap grosir blok
Timur dan Barat melalui APBD tahun anggaran 2003, dan untuk memenuhi fasilitas
pasar grosir ikan pada tahun anggaran 2007-2008 akan dipindahkan ke sebelah Barat
pada lahan seluas 10.000 m². Pada lokasi pasar grosir lama nantinya akan dibangun
pasar ikan higienis.
(d) Pasar Pengecer Ikan
Dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan
ikan dalam jumlah kecil, di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke telah dibangun
fasilitas pedagang eceran. Luas pasar pengecer ikan ini 1.260 m² dengan jumlah 150
lapak (Gambar 14), sedangkan jumlah pedagang pengecer 148 orang. Letak pasar
pengecer ikan dari TPI berjarak sekitar 200 meter.
Gambar 14 Pasar pengecer ikan di PPI Muara Angke Jakarta Utara.
Renovasi pasar pengecer khususnya penataan lapak dilakukan untuk
menampung para pedagang yang berjualan di tepi jalan. Pada tahun 2006 telah
70
dilaksanakan rehabilitasi total terhadap bangunan pasar melalui anggaran APBN.
Pasar pengecer ini memenuhi kebutuhan konsumen dan para pengunjung yang akan
mengkonsumsi ikan bakar di Pujaseri. Kegiatan di pasar pengecer ikan dalam satu
minggu mencapai 500 kg/pedagang, yang puncak keramaiannya sering terjadi pada
hari Jum’at, Sabtu dan Minggu.
Semakin berkembangnya Muara Angke sebagai pusat pemasaran ikan di DKI
Jakarta, menyebabkan bertambahnya pedagang ikan, sehingga fasilitas lapak yang
ada di pasar pengecer tidak mampu menampung para pedagang ikan. Hal ini
menyebabkan banyak pedagang ikan yang berjualan di pinggir jalan, sehingga
membuat arus lalu lintas terganggu.
(e) Cold Storage
Ikan merupakan suatu produk yang cepat sekali mengalami pembusukan
apabila tidak ditangani secara baik. Kegiatan penanganan ikan semestinya dilakukan
sejak penangkapan, dengan cara pendinginan, pembekuan maupun penggaraman.
Pada tahun 2003 di kawasan Muara Angke dibangun 1 unit cold storage pada
lahan seluas 3.000 m² oleh investor asing (PT. AGB Tuna) dengan kapasitas 1.000
ton. Pembangunan cold storage ini dilakukan untuk penanganan setelah dilakukan
pembongkaran ikan. Pasokan ikan berasal dari nelayan Muara Angke, Palabuhanratu
dan Muncar.
Jenis ikan yang disimpan/didinginkan/dibekukan adalah ikan layur, bawal,
cumi dan tenggiri dengan besar biaya sewa penitipan Rp15,00/kg/hari. Mengingat
kapasitas cold storage tersebut masih belum dapat memenuhi kebutuhan, maka pada
tahun 2007 UPT, PKPP dan PPI merencanakan membangun lagi 1 unit cold storage
dengan kapasitas 1.000 ton.
(f) Unit Pengepakan Ikan
Untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri, Muara Angke menjadi salah
satu penyedia kebutuhan pasar ekspor hasil perikanan khususnya dalam bentuk ikan
segar dengan produksi rata-rata setiap bulan 75 ton. Negara tujuan ekspor adalah
71
Singapura, Malaysia dan Hongkong. Jenis ikan yang diekspor meliputi: udang, bawal,
ekor kuning, kakap merah, kerapu, tenggiri dan lain-lain. Bahan baku ekspor ikan ini
didapat dari 40% Tempat Pendaratan Ikan Muara Angke dan 60% didatangkan dari
daerah lain.
Fasilitas yang disediakan untuk pengepakan ikan ekspor ini terdiri dari gedung
pengepakan ikan sebanyak 30 unit dengan luas masing-masing 50-200 m², terdiri dari
bangunan satu lantai dan dua lantai. Kendala yang dihadapi para eksportir ikan Muara
Angke adalah kondisi gedung yang secara teknis tidak memenuhi syarat sanitasi dan
higienis yang disyaratkan Ditjen Perikanan dalam bentuk Sertifikat Kesempurnaan
Pengolahan serta kurangnya pasokan air bersih dan sering terjadi air pasang sehingga
sangat mengganggu aktivitas para pengepak/eksportir ikan.
(g) Tangki Air Bersih
Gambar 15 Tangki air bersih di PPI Muara Angke Jakarta Utara.
Tangki air bersih ada 2 unit dengan total volume 20 m³ yang terletak di
dermaga muat di pintu gerbang PPI. Air bersih ini, banyak digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pembersihan dermaga bongkar dan tempat pelelangan ikan.
72
(h) Sarana Perbaikan Kapal dan Docking
Sarana perbaikan kapal dan docking ini mempunyai luas 16.000 m² berupa
winch house, slipway dan bengkel kapal yang masing-masing berjumlah 4 unit.
Fasilitas ini dikelola oleh tiga perusahaan swasta dan sebuah koperasi karyawan
Dinas Perikanan DKI Jakarta. Fasilitas ini memiliki kapasitas perbaikan sebanyak 6090 kapal/bulan. Ukuran kapal yang mampu diperbaiki maksimal sampai 100 GT.
(i) Pabrik Es
Guna memenuhi kebutuhan nelayan, pada tahun 2004 telah dibangun 1 unit
pabrik es dengan kapasitas 100.000 ton oleh PT. AGB ICE. Fasilitas yang tersedia
untuk memenuhi kebutuhan es sangat lengkap, yaitu sebuah pabrik dengan 4 buah
bak dan mesin pembuat es yang dapat menghasilkan 4.700 balok es per harinya.
Berdasarkan kapasitas produksi per harinya yang sangat besar, maka tidak ada sistem
penjatahan es dari pihak penyedia, berapapun jumlah kebutuhan es nelayan akan
dipenuhi. Harga es di PPI Muara Angke, dianggap sangat memuaskan bagi nelayan,
karena dinilai masih terjangkau dan wajar bagi nelayan, yaitu seharga Rp14.000,00
per balok.
(3) Fasilitas Penunjang
Beberapa fasilitas penunjang yang dimiliki oleh PPI Muara Angke diantaranya
adalah Kantor Operasional Pangkalan Pendaratan Ikan, Fasilitas Pemukiman dan
Sarana Umum, Pujaseri Masmurni dan Pusat Jajanan Ikan “Mirasih”.
(a) Kantor Operasional Pangkalan Pendaratan Ikan
Sarana perkantoran berjumlah 12 unit yang tersebar di seluruh kompleks PPI
dengan ukuran rata-rata 4x6 meter per unit (Gambar 16). Kantor UPT, PKPP dan PPI
Muara Angke ini, terletak di dekat pasar pengecer ikan, hanya berjarak 50 meter.
Segala pusat administrasi PPI Muara Angke, terlaksana di kantor ini.
73
Gambar 16 Kantor UPT, PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara.
(b) Fasilitas Pemukiman dan Sarana Umum
PPI Muara Angke dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalokasikan
lahan seluas 21,26 ha untuk dipergunakan sebagai komplek perusahaan nelayan
dengan segala fasilitas pendukungnya seperti sekolah, mulai dari taman kanak-kanak
sampai SMP, sarana ibadah berupa mushola dan masjid, puskesmas, rumah sakit
paru-paru dan berbagai fasilitas kemasyarakatan lainnya. Rencananya ke depan akan
dibangun 2.500 unit rumah nelayan yang pelaksanaannya akan dilakukan secara
bertahap. Sistem pengelolaan rumah pada umumnya sama dengan BTN maupun
perumnas yakni dengan cara sewa-beli dengan jangka waktu antara 15-18 tahun.
Jarak antara perumahan nelayan dengan dermaga sekitar 500 meter, sehingga
nelayan tidak memerlukan transportasi untuk mendatangi pelabuhan pemberangkatan.
Demikian pula nelayan hanya memerlukan waktu singkat sekitar 10-15 menit untuk
pulang ke rumahnya setelah melakukan operasi penangkapan ikan.
(c) Pujaseri Masmurni
Dalam rangka merangsang minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan, di
Muara Angke dibangun Pusat Jajanan Serba Ikan (Pujaseri) Masmurni berupa
fasilitas kios ikan bakar yang menampung 24 pedagang pengolah masakan ikan
74
dengan ukuran 5x17 m². Pujaseri Masmurni ini dibangun pada tahun 1996 bertujuan
untuk menciptakan peluang pasar produk hasil perikanan khususnya jenis-jenis ikan
yang lazim dikonsumsi dalam bentuk bakar. Selain itu, diharapkan agar semakin
tumbuh kegemaran masyarakat untuk makan ikan dan menjadikan ikan sebagai
lauk/konsumsi sehari-hari. Sesuai dengan Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2006 setiap
pemakaian fasilitas Pujaseri dikenakan biaya sewa sebesar 10.000/bulan per meter
persegi.
(d) Pusat Jajanan Ikan “Mirasih”
Di Muara Angke terdapat penyedia ikan yang bersih, terjaga mutunya dan siap
saji (sudah disiangi) berikut kemasannya serta beberapa souvenir ikan. Hal ini
bertujuan untuk memperbaiki pelayanan kepada konsumen akhir serta memberikan
alternatif pilihan jajanan bagi masyarakat.
Fasilitas ini diberi nama Pujaseri Mirasih (Pusat Jajanan Serba Ikan
Menyediakan Ikan Segar, Murah dan Bersih). Fasilitas ini memberikan kemudahan
bagi konsumen dalam mengkonsumsi ikan. Para pengunjung biasanya memenuhi
tempat ini pada hari sabtu dan minggu.
5. AKTIVITAS PENDARATAN DAN PELELANGAN HASIL TANGKAPAN
DI PPI MUARA ANGKE
5.1 Pendaratan Hasil Tangkapan
Proses pendaratan hasil tangkapan dimulai ketika kapal merapat ke dermaga,
para awak kapal melakukan pembongkaran hasil tangkapan dan mendaratkannya.
Proses pembongkaran ikan dimaksudkan mengeluarkan ikan dari palkah kapal dan
memudahkan ikan dalam penjualan ikan atau pelelangan.
Kedatangan kapal-kapal penangkap ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Muara Angke terjadi pada pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB. Ada beberapa kapal
yang datang pada siang dan malam hari. Pembongkaran ikan dapat dilakukan
langsung setelah kapal merapat di dermaga ataupun keesokan harinya apabila kapal
merapat di dermaga pada malam hari. Hal ini bergantung kepada perintah
pembongkaran oleh para pemilik atau pengurus kapal.
Kapal yang masuk langsung melaporkan kedatangannya ke pihak pelabuhan
yaitu ke Bagian Pengawas Kapal Perikanan (WASKI) dan melaporkan kedatangan
kepada syahbandar setempat. Kapal melaporkan kedatangan ke syahbandar untuk
memperoleh Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal (STBLKK), serta
menyerahkan log book kapal yang memuat catatan kegiatan yang terjadi di atas kapal
selama kapal berlayar. Kapal-kapal berukuran besar di atas 20 GT melakukan
pembongkaran di dermaga bongkar di depan TPI Baru sedangkan kapal-kapal
berukuran kecil di bawah 20 GT melakukan pembongkaran di dermaga bongkar dekat
TPI Lama. Dalam penelitian ini, hanya difokuskan pada kapal-kapal yang melakukan
pembongkaran di dermaga bongkar di depan TPI Baru.
Proses pembongkaran ikan di PPI Muara Angke dapat dijelaskan sebagai
berikut (Malik,2006):
(1) Nelayan melaporkan kedatangan kapal kepada petugas pos pelayanan terpadu.
Pelaporan kedatangan kapal tersebut dilakukan dengan menyerahkan dokumendokumen kapal yaitu pas biru, surat izin usaha penangkapan, Surat Izin Pelayaran
76
dan Surat Kelayakan Kapal. Kemudian, petugas memeriksa dokumen-dokumen
tersebut dan mencatat identitas kapal ke dalam buku kedatangan kapal;
(2) Nelayan melakukan pembongkaran kapal. Pembongkaran hasil tangkapan
dilakukan bersamaan dengan penyortiran ikan berdasarkan jenis, ukuran kecil,
ukuran sedang dan ukuran besar. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terkadang
terlihat ikan berkualitas rendah dicampur dengan ikan yang mempunyai kualitas
baik; dan
(3) Penimbangan berat ikan dilakukan oleh nelayan dengan disaksikan oleh pihak
dari pelelangan dan dicatat hasilnya dengan disertakan data nama kapal, ukuran
kapal dan jenis, ukuran dan nama ikan. Catatan berupa slip disertakan pada
keranjang ikan agar diketahui oleh para peserta pelelangan. Pengangkutan
keranjang ikan dari penimbangan ke tempat pelelangan biasanya menggunakan
gerobak atau lori.
Sarana untuk pendaratan hasil tangkapan antara lain berupa: ember plastik,
keranjang (trays), gerobak dan timbangan. Tenaga kerja yang melakukan kegiatan
pendaratan disediakan oleh pihak TPI dan pengurus kapal dengan sistem gaji atau
upah harian atau banyaknya trays yang diangkut.
Lama pembongkaran dipengaruhi oleh jumlah ABK, jenis dan jumlah ikan
hasil tangkapan. Semakin banyak jumlah ABK yang ikut dalam proses
pembongkaran, maka akan semakin cepat proses pembongkaran tersebut. Jumlah
nelayan yang biasanya melakukan pembongkaran berjumlah 2-6 orang. Proses
pembongkaran dimulai dengan memindahkan ikan-ikan dari palkah dengan
menggunakan sekop, memasukkannya ke dalam ember sampai dilakukan
penimbangan. Penanganan ikan hasil tangkapan pada setiap pembongkaran, adalah
berbeda untuk setiap kapal, yaitu bisa dengan pendinginan, penggaraman, atau
dengan perendaman dalam tong (blong).
Oleh karena itu, proses pemindahan ikan-ikan tersebut membutuhkan tenaga
yang cukup banyak, terlebih bila waktu yang disediakan hanya sedikit. Begitu pula
dengan semakin banyak jumlah dan jenis hasil tangkapan yang terdapat dalam
palkah, maka proses pembongkaran ikan akan semakin lama.
77
Pembongkaran ikan dimulai setelah pemilik/pengurus kapal, buruh dan petugas
TPI telah datang untuk mengawasi jalannya pembongkaran hasil tangkapan.
Persiapan pembongkaran hasil tangkapan dilakukan pada saat kapal mulai merapat di
dermaga. Setelah ABK mempersiapkan terpal yang dbentangkan di atas palkah,
pembongkaran hasil tangkapan dimulai. Terpal dibentangkan di atas palkah bertujuan
untuk melindungi hasil tangkapan dari sinar matahari selama proses pembongkaran
dan penyortiran di atas kapal.
Setelah terpal terpasang, beberapa orang ABK mempersiapkan alat bantu seperti
ember, serok, trays dan keranjang serta membersihkan dan merapihkan lantai dek
kapal dari barang-barang yang mengganggu. Ikan diangkat ke atas dek kapal dari
dalam palkah dengan menggunakan bantuan serok panjang dan menggunakan tali.
Setelah serok terangkat, ikan kemudian diletakkan di atas dek untuk disortir ke dalam
masing-masing keranjang (Gambar 17). Penyortiran ikan dilakukan di atas dek dan
dilakukan kembali di dermaga. Penyortiran ikan ini dilakukan berdasarkan jenis,
ukuran dan mutu ikan. Selama penyortiran di atas dek, ikan tidak mengalami
pencucian. Jumlah ABK yang membongkar ikan di dalam palkah biasanya berjumlah
1-2 orang dan yang berada di atas dek sebanyak 5-7 orang. Ikan yang telah dibongkar
dari palkah dan telah tersusun di dalam keranjang, diturunkan ke dermaga dengan
bantuan para kuli angkut pelabuhan.
Gambar 17 Saat penyortiran hasil tangkapan di atas dek kapal.
78
Selama pengamatan di lapangan yaitu, pada saat dilakukan pembongkaran hasil
tangkapan ke atas dek kapal, para ABK masih belum terlalu memperhatikan masalah
sanitasi dan kebersihan kapal. Lantai dek dalam keadaan kurang bersih dan licin
akibat tumpahan dari lendir ikan yang bercampur dengan air dan bongkahanbongkahan es. Keranjang (trays) yang digunakan pun masih terlihat kotor (Gambar
18).
Gambar 18 Keranjang yang digunakan pada saat pembongkaran ikan.
Keranjang kotor yang digunakan untuk meletakkan hasil tangkapan dapat
berpengaruh terhadap kualitas ikan. Bekas darah dan lendir ikan yang masih tersisa di
sisi keranjang, akan menyebabkan perkembangan mikroorganisme dalam tubuh ikan
itu sendiri berkembang dengan cepat. Perkembangan mikroorganisme tersebut dapat
menyebabkan penurunan kualitas ikan.
Pada beberapa kapal dimana saat dilakukan pembongkaran ke atas dek, ada
ABK yang menginjak-injak ikan dan ada juga yang memasukkan kaki ke dalam
keranjang ikan (Gambar 19). Selain itu, pada saat penyortiran ikan, beberapa ABK
tidak menggunakan sarung tangan sebagai penutup untuk menghindari kontak
langsung antara tangan dan ikan (Gambar 20).
79
Gambar 19 ABK yang memasukkan kaki ke dalam keranjang ikan.
Perilaku para ABK tersebut dapat menurunkan mutu hasil tangkapan, karena
penanganan pada saat di atas kapal sangat penting dalam rangka mempertahankan
mutu ikan yang didaratkan. Apabila penanganan ikan di atas kapal tidak sesuai,
penurunan mutu ikan dapat terjadi lebih cepat. Penurunan mutu ikan yang
berlangsung di atas kapal menyebabkan mutu ikan terus menerus menurun lebih
cepat.
Gambar 20 Beberapa ABK yang tidak menggunakan sarung tangan saat
pembongkaran hasil tangkapan.
80
Menurut Malik (2006), bahwa nelayan di PPI Muara Angke, seringkali tidak
menyadari hal-hal yang tidak baik yang telah menjadi kebiasaan dalam membongkar
dan menangani hasil tangkapan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebiasaan itu seperti
penggunaan sekop untuk memindahkan ikan, pencucian ikan dengan menggunakan
air kolam pelabuhan yang kotor, ikan dan potongan-potongan ikan yang berserakan
dan beberapa ikan terinjak pada saat pengangkutan ke TPI, hal tersebut menyebabkan
penurunan mutu ikan.
Setelah ikan selesai dibongkar, ikan diturunkan ke dermaga sambil menunggu
untuk diangkut ke dalam Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Ikan diletakkan dalam
kondisi terbuka, sehingga terkena sinar matahari langsung, ikan juga tidak diberi es,
sehingga
sangat
memungkinkan
terjadinya
penurunan
mutu
ikan.
Proses
pembongkaran ikan di dermaga bongkar ini berlangsung sekitar 3-4 jam, tergantung
kepada jenis kapal dan banyaknya jumlah hasil tangkapan. Kapal purse seine
membutuhkan waktu yang agak lama untuk membongkar seluruh hasil tangkapannya,
biasanya memerlukan waktu sekitar 4 jam.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pembongkaran ikan dibedakan menurut
jenis dan kualitasnya. Ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis dan kualitas tinggi
seperti ikan kerapu, kakap, tenggiri, tongkol dan lain-lain. Biasanya setelah
dibongkar, ikan langsung dibawa ke perusahaan pengolahan yang dimiliki oleh
pemilik kapal. Ikan-ikan yang tidak memiliki nilai ekonomis tinggi dan kualitas yang
rendah seperti ikan semar, kembung, tembang dan lain-lain setelah dibongkar,
diangkut ke TPI untuk dilelang.
5.2 Pengangkutan Hasil Tangkapan
Setelah proses pembongkaran, ikan-ikan yang didaratkan kemudian diturunkan
ke dermaga lalu diangkut ke tempat tujuan yang berbeda. Ikan-ikan yang memiliki
nilai ekonomis dan kualitas tinggi, biasanya langsung dibawa ke perusahaan yang
dikelola oleh para pemilik kapal. Ikan-ikan ini biasanya merupakan ikan-ikan untuk
komoditi ekspor. Ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis dan kualitas rendah akan
dibawa ke TPI untuk dilelang.
81
Persiapan yang dilakukan setelah ikan diturunkan dari kapal adalah penyusunan
keranjang di lantai dermaga. Ikan-ikan dipisahkan sesuai tujuan pengangkutannya.
Saat di lantai dermaga, ikan dibiarkan begitu saja terkena sinar matahari langsung dan
tidak menggunakan es serta tidak dicuci terlebih dahulu.
Pengangkutan ikan hasil tangkapan, baik langsung menuju ke perusahaan
maupun ke TPI menggunakan bantuan gerobak dorong atau lori. Pengangkutan
dilakukan oleh para kuli angkut. Pengangkutan ke perusahaaan tidak dilakukan oleh
kuli angkut yang berseragam. Kuli angkut di PPI Muara Angke, menggunakan dua
jenis seragam. Seragam orange untuk kuli angkut yang melakukan pembongkaran
ikan di atas dek dan mengangkut keranjang ikan ke dermaga bongkar. Seragam merah
untuk yang mengangkut hasil tangkapan dari dermaga bongkar ke TPI. Gerobak
dorong dapat memuat 6 keranjang ikan untuk sekali angkut, sedangkan lori dapat
memuat 3 keranjang ikan sekali angkut.
Kapal bubu biasanya lebih banyak mengangkut ikan hasil tangkapan langsung
ke perusahaan, karena ikan-ikan hasil tangkapannya biasanya merupakan ikan-ikan
komoditi ekspor seperti ikan kerapu dan kakap. Kapal purse seine, jaring cumi dan
gillnet mengangkut hasil tangkapannya ke TPI, untuk kemudian masuk ke pasar
grosir atau pengecer ikan serta tempat pengasinan.
Selama proses pengangkutan, baik dengan menggunakan gerobak dorong
ataupun lori, ikan-ikan tidak tertutup sehingga terkena sinar matahari langsung dan
terkontaminasi langsung dengan udara luar. Jumlah buruh atau kuli angkut yang
mengangkut hasil tangkapan untuk setiap kapal adalah 5-7 orang, secara bergantian
baik untuk mengangkut ke perusahaan maupun ke TPI.
Departemen Pertanian (1997) diacu dalam Rusmali (2004) menyebutkan bahwa
selama proses pengangkutan ikan, sebaiknya ikan diangkut melalui tempat yang
teduh dan tertutupi agar terhindar dari sinar matahari langsung. Pengaruh sinar
matahari langsung dapat menyebabkan penurunan mutu ikan lebih cepat. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan dengan petugas dari TPI, dermaga bongkar tidak
dilengkapi dengan kanopi untuk melindungi ikan agar tidak terkena sinar matahari
langsung karena akan mengganggu saat kapal merapat di dermaga.
82
Ikan-ikan yang merupakan komoditi ekspor, langsung diangkut ke perusahaan
dan diolah menjadi produk olahan. Setelah itu, produk olahan tersebut langsung
dikirim ke negara yang memesan. Biasanya negara eksportir ikan dari PPI Muara
Angke adalah Singapura, Taiwan dan Hongkong. Ikan tujuan ekspor diangkut dengan
menggunakan truk kontainer yang berpendingin.
5.3 Pelelangan Hasil Tangkapan
Kegiatan pelelangan ikan merupakan mata rantai dari kegiatan usaha
penangkapan. Kegiatan pelelangan berhubungan atau berpengaruh terhadap hasil
pendapatan. Agar hasil pendapatan tetap baik dan menguntungkan, maka proses
pelelangan harus dilakukan dengan baik. Selain itu, tujuan dari pelelangan ikan
adalah:
(1) Perolehan harga ikan yang layak bagi nelayan secara tunai dan tidak
memberatkan pembeli;
(2) Terhindar dari ikatan-ikatan yang bersifat monopoli dan monopsoni terhadap
pemasaran ikan milik nelayan;
(3) Peningkatan PAD melalui pungutan retribusi lelang;
(4) Peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan; dan
(5) Pengembangan usaha koperasi.
Prosedur pelelangan ikan di PPI Muara Angke (UPT PPI Muara Angke, 2007)
adalah sebagai berikut:
(1) Kapal melaporkan kedatangannya ke pengawas perikanan (WASKI), dicatat
dokumen dan mendapatkan nomor urut lelang;
(2) Proses pembongkaran ikan dengan menyortir ikan berdasarkan jenis dan mutu
lalu ditempatkan di dalam keranjang (trays);
(3) Penimbangan hasil tangkapan di dermaga dan diawasi oleh juru timbang dari
koperasi Mina Jaya kemudian diberi label volume ikan dan nama kapal;
(4) Ikan disusun di lantai TPI berdasarkan nomor urut lelang yang didapatkan oleh
setiap kapal;
83
(5) Juru lelang mengumumkan dan memanggil peserta lelang untuk memulai proses
pelelangan;
(6) Ikan dilelang oleh juru lelang dimana jumlah peserta lelang sebanyak 70 orang
dan harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Penawaran yang dilakukan bersifat
meningkat sampai tercapai harga penawaran yang tertinggi;
(7) Seluruh hasil transaksi dicatat oleh juru bakul. Pencatatan hasil transaksi
pelelangan meliputi: jenis, ukuran, berat dan harga ikan, nama nelayan dan nama
pemenang lelang. Setelah proses pelelangan selesai, maka data diserahkan kepada
petugas operator pelelangan;
(8) Peserta pemenang lelang umumnya melakukan pencatatan hasil transaksi dan
pemenang lelang biasanya langsung mengemasi ikannya. Setelah mencatat hasil
transaksi ikan, pemilik kapal menerima uang dari petugas kasir;
(9) Proses pembayaran oleh pemenang lelang dan penerimaan hasil penjualan oleh
pemilik kapal dilakukan sebagai berikut:
(a) Setelah operator menerima seluruh hasil transaksi pelelangan dari juru bakul,
kemudian membuat faktur lelang dengan cara melengkapi data dan
menetapkan besarnya retribusi jasa pelelangan ikan. Retribusi jasa pelelangan
ikan yang dibebankan kepada nelayan pemilik kapal ditetapkan sebesar 3%
dari nilai lelang dan yang dibebankan kepada pemenang lelang sebesar 2%.
Setelah itu, faktur lelang tersebut diserahkan kepada petugas kasir;
(b) Selanjutnya petugas faktur lelang memanggil pemenang transaksi dengan
pengeras suara agar membayar nilai transaksi penjualan ikan ditambah biaya
jasa pelelangan ikan 2%, dan memanggil nelayan pemilik kapal untuk
mengambil hasil transaksi sebesar harga penawaran setelah dipotong biaya
jasa retribusi 3%;
(c) Setelah uang hasil retribusi diserahkan oleh kasir kepada bendaharawan
penerima UPT PKPI (Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pendaratan
Ikan) Muara Angke.
Para peserta lelang di PPI Muara Angke adalah para pedagang, baik pedagang
pengumpul maupun eceran, yang berada di lingkungan sekitar PPI Muara Angke.
84
Para peserta lelang harus memiliki karcis lelang dengan mendaftarkan diri terlebih
dahulu, dan menyimpan uang deposit di kasir lelang.
Hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke dipasarkan dengan sistem
lelang terbuka. Penyelenggara lelang ini adalah Koperasi Perikanan Mina Jaya
dibawah pengawasan langsung oleh kepala seksi pelelangan ikan UPT PPI Muara
Angke.
Lebih jelas, mekanisme pelelangan hasil tangkapan digambarkan pada Gambar
21 berikut:
Kapal Datang/masuk
pelabuhan
Proses Bongkar
Penimbangan
Dilelang oleh Juru Lelang,
Jumlah peserta 70 orang
Pencatatan Produksi
Proses Pengolahan Ekspor
(Rekomendasi tidak lelang
untuk jaga mutu, retribusi 5%)
Pemenang Lelang/Bakul
Luar Daerah Jabotabek
Pasar Muara Angke (Grosir,
Pengecer dan Unit Pengolah)
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Gambar 21 Mekanisme Pelelangan Ikan di PPI Muara Angke Jakarta Utara.
85
Proses pelelangan ikan di PPI Muara Angke dari sisi teknis pelaksanaan secara
umum sudah terselenggara dengan lancar. Dari hasil pengamatan selama penelitian,
pihak TPI masih kurang memperhatikan mutu atau kualitas ikan. Kondisi di
lapangan, ketika proses pelelangan berlangsung, pihak TPI tidak membatasi jumlah
orang yang boleh masuk ke area pelelangan ikan sehingga setiap orang boleh saja
memasuki area pelelangan. Pihak TPI juga tidak memperhatikan peletakan ikan yang
akan dilelang. Ikan dalam keranjang diletakkan secara berhimpitan, sehingga tidak
ada celah antar keranjang satu dengan keranjang yang lain. Pada saat lelang, juru
lelang akan berdiri di atas keranjang ikan untuk menentukan harga. Hal ini dapat
menyebabkan kemunduran mutu ikan, karena kotoran di sepatu juru lelang dapat
mencemari ikan.
Gambar 22 Ikan-ikan dalam keranjang yang siap untuk dilelang.
Jenis ikan yang diekspor dipasarkan langsung tanpa melalui pelelangan di TPI
tetapi melalui sistem lelang ”opouw”. Sistem lelang ini merupakan ”sistem lelang
sandiwara”. Pembeli ikan membeli ikan langsung kepada pemilik kapal dengan cara
tawar menawar seperti dalam pelelangan sampai mencapai harga yang disepakati
bahkan ikan yang dilelang akan dibeli kembali oleh pemilik kapal. Harga yang
berlaku untuk sistem lelang ini berbeda dengan sistem lelang murni yang sesuai
dengan yang telah ditetapkan oleh Pemda DKI Jakarta.
86
Transaksi penjualan dengan sistem ”opouw” tetap tercatat datanya di TPI
berdasarkan laporan pihak perusahaan sehingga TPI tetap memperoleh retribusi dari
nilai transaksi penjualan tersebut. Dalam pelaksanaannya, sistem lelang ini memiliki
kelemahan, seperti tidak adanya mekanisme kontrol terhadap data produksi ikan yang
dilelang. Transaksi penjualan yang diperoleh dari perusahaan dapat diragukan
keakuratannya, karena kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan tertentu
didalamnya seperti kepentingan perusahaan.
Gambar 23 Suasana pelelangan “opouw” di PPI Muara Angke.
Retribusi yang dikenakan kepada pemilik kapal yang menggunakan sistem
lelang ”opouw” adalah 5%. Wistati (1997) diacu dalam Rusmali (2004)
mengemukakan bahwa pelelangan ikan dengan sistem ”opouw” akan merugikan
pembeli (pedagang ikan), karena mereka tidak dapat bersaing untuk memperoleh
harga ikan yang sesuai seperti pada sistem lelang murni.
Pungutan retribusi di tempat pelelangan ikan Muara Angke diambil berdasarkan
aturan dari:
(1) Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1999;
(2) SK. Gubernur KDKI Jakarta No. 2074 Tahun 2000 mengenai pembagian
presentasi; dan
87
(3) SK. Gubernur KDKI Jakarta N0. 993 Tahun 2002 mengenai penunjukkan
koperasi perikanan sebagai penyelenggara pelelangan ikan.
Pembagian retribusi pelelangan ikan yang terjadi di PPI Muara Angke
dijelaskan pada Gambar 24:
Nelayan (Pemilik Kapal)
3%
Bakul Ikan (Pemenang Lelang)
2%
TPI
5%
Kas Daerah
Koperasi Penyelenggara
40%
Biaya Penyelenggaraan
Pelelangan
a. Biaya lelang (42,5%)
b.Keamanan&Ketertiban
(5%)
c.Pembinaan (7,5%)
Pemda
60%
Dana Sosial
a. Asuransi (7,5%)
b.Dana Paceklik
(7,5 %)
c. Tab Nelayan
dan Bakul (10%)
Biaya Administrasi
Kantor
a. Biaya Kantor (7,5%)
b. TAL (2,5%)
c. Pemeliharaan (10%)
Sumber: UPT PPI Muara Angke, 2006
Gambar 24 Pembagian retribusi pelelangan ikan PPI Muara Angke.
Ikan yang akan dilelang, dicatat oleh petugas pencatat TPI berdasarkan jenis
ikan, pemilik/nama kapal dan berat ikan per keranjang. Setelah ditentukan pemenang
88
lelang, ikan diberi label yang berisi data mutu, berat dan pemenang/pemilik ikan per
keranjang. Lamanya proses pelelangan sekitar 3-4 jam sesuai dengan banyaknya
jumlah ikan yang dilelang.
Ikan-ikan yang akan dilelang diletakkan begitu saja di dalam keranjang tanpa
ada penambahan es. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas mutu ikan
seiring dengan bertambahnya waktu. Sehingga hal ini memerlukan perhatian yang
lebih baik untuk kedepannya oleh pihak TPI PPI Muara Angke.
Setelah selesai pelelangan, para pemilik ikan menyuruh para kuli angkut untuk
memindahkan ikan-ikan dari keranjang TPI ke keranjang masing-masing. Setelah
dipindahkan, ikan dibawa keluar TPI untuk kemudian diangkut menuju tempat
masing-masing pemilik ikan ataupun ke tempat pengasinan.
5.4 Penyortiran dan Penanganan Hasil Tangkapan
Penanganan hasil tangkapan di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke
dimulai sejak ikan didaratkan, pengangkutan ke TPI atau perusahaan, ikan dilelang
sampai ikan siap untuk didistribusikan. Penanganan ikan dibutuhkan untuk
mempertahankan kualitas (mutu) ikan yang didaratkan hingga sampai ke tangan
konsumen.
Penyortiran ikan yang didaratkan dimulai dari ikan yang dibongkar dan
diangkat ke atas dek kapal. Ikan kemudian disortir berdasarkan jenisnya dan
dimasukkan ke dalam keranjang yang telah disediakan. Setelah itu ikan diturunkan di
dermaga bongkar. Di atas lantai dermaga bongkar, ikan disortir kembali berdasarkan
ukuran dan mutu ikan. Penentuan ukuran sortir oleh ABK dan staf perusahaan atau
pemilik kapal dilihat berdasarkan keseragaman ukuran ikan tanpa memperhitungkan
ukuran panjang dan berat yang pasti. Penentuan ukuran ini dibagi ke dalam ukuran
ikan besar, sedang dan kecil. Penyortiran juga dilakukan menurut kondisi ikan yaitu
dari kerusakan ikan, banyaknya lendir dan kejernihan mata ikan.
Ikan yang dibongkar pertama kali sejak didaratkan memiliki mutu yang lebih
baik, karena letaknya berada paling atas dibandingkan dengan ikan yang terakhir
89
dibongkar. Hal ini disebabkan karena ikan yang pertama dibongkar merupakan ikan
yang paling akhir diperoleh dalam satu kali operasi penangkapan.
Penanganan ikan yang dilakukan oleh nelayan adalah dengan menggunakan es
balok, es balok yang dicampur dengan air laut dan dengan menggunakan freezer atau
pendingin. Pada Tabel 17 dapat dilihat penanganan yang dilakukan oleh nelayan
selama di atas kapal. Data diambil berdasarkan 20 kapal sampel yang diamati selama
penelitian berlangsung.
Tabel 17 Penanganan hasil tangkapan selama di kapal
No.
Jenis Pengawetan
Jumlah Kapal yang Menggunakan
1.
Hanya menggunakan es balok
11 unit
2.
Menggunakan es balok+air laut
2 unit
3.
Menggunakan freezer/pendingin
7 unit
Sumber: Data Primer Penelitian, 2008
Jenis kapal yang menggunakan freezer/pendingin untuk mengawetkan ikan
adalah kapal bubu. Hal ini dilakukan karena ikan hasil tangkapan bubu merupakan
ikan-ikan komoditi ekspor yang sangat mementingkan kualitas. Penggunaan es balok
ditambah air laut merupakan cara pengawetan ikan yang dilakukan oleh nelayan
purse seine yang operasi penangkapannya selama 5 hingga 14 hari.
Penyusunan ikan di dalam palkah dilakukan secara berlapis dimana ikan diapit
es di sisi atas dan bawah, begitu seterusnya sampai hasil tangkapan terakhir. Hal ini
terlihat pada saat pembongkaran hasil tangkapan, dimana masih terdapat bongkahanbongkahan es yang ikut terangkat. Namun, setelah didaratkan ikan tidak diberi
penanganan yang baik seperti penambahan es yang baru atau pencucian tubuh ikan
dengan menggunakan air bersih.
Setelah ikan diturunkan dari kapal dan disusun di dermaga, ikan yang telah
disortir diberi label berupa secarik kertas yang berisi catatan nama kapal/pemilik dan
berat ikan dalam satu keranjang oleh juru timbang dari Koperasi Perikanan Mina
Jaya. Hal ini dilakukan untuk kepentingan perusahaan dan memudahkan juru lelang
90
pada saat melelang ikan-ikan tersebut. Kemudian ikan langsung diangkut menuju TPI
atau perusahaan.
Selama pengangkutan ke TPI dan selama berada di dalam TPI untuk menunggu
proses pelelangan ikan, ikan tidak diberikan penanganan yang baik dalam upaya
untuk mempertahankan mutu ikan seperti penggunaan es batu dan pencucian dengan
air bersih. Lantai TPI pun kotor dengan ceceran darah, lendir, potongan ikan dan
genangan air yang dapat mempercepat penurunan mutu ikan, terlebih ikan berada di
dalam TPI untuk waktu yang cukup lama.
Menurut Departemen Pertanian (1997) diacu dalam Rusmali (2004)
menyebutkan bahwa selama dalam proses pelelangan, ikan harus ditempatkan pada
keranjang yang bersih dan harus tetap dipertahankan pada suhu dingin. Wadah yang
berisi ikan saat dipindahkan sebaiknya diangkat dan tidak diseret di lantai.
Berdasarkan pengamatan, di TPI Muara Angke masih banyak terdapat potongan
ikan, ceceran darah dan lendir serta genangan air di sekeliling keranjang ikan.
Keranjang yang digunakan saat proses pendaratan, pengangkutan, pelelangan dan
pendistribusian tidak dicuci dengan bersih. Pada permukaan dan sudut-sudut
keranjang masih tampak sisa-sisa darah dan lendir ikan yang menempel dan
mengering. Selain itu, sebagian keranjang yang sudah rusak dan belum diperbaiki
masih tetap dipergunakan. Kondisi ini dapat merusak kulit dan daging ikan yang
didaratkan dan pada akhirnya akan menurunkan mutu ikan itu sendiri.
Gambar 25 Proses pencucian keranjang ikan setelah pelelangan selesai.
91
Pemindahan ikan masih dilakukan dengan cara menyeret keranjang di lantai
TPI. Bahkan terkadang sering terjadi keranjang ikan yang dibanting ketika diturunkan
dari gerobak dorong ke lantai TPI. Saat pemindahan ikan dari keranjang TPI ke
keranjang pemenang lelang, untuk meratakan ikan di dalam keranjang, para kuli
angkut meratakannya dengan menggunakan kaki dan menginjak-injak ikan. Hal ini
dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh ikan dan menurunkan mutu ikan tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan ikan
yang dilakukan di PPI Muara Angke masih rendah tanpa atau masih belum
memperhitungkan masalah sanitasi. Penanganan ikan yang belum memperhatikan
sanitasi menyebabkan ikan-ikan yang berada di PPI Muara Angke mengalami
penurunan mutu dan memiliki kualitas yang buruk.
6. DAMPAK AKTIVITAS PENDARATAN DAN PELELANGAN HASIL
TANGKAPAN TERHADAP SANITASI DI PPI MUARA ANGKE
6.1
Analisis Kondisi Sanitasi di Kolam Pelabuhan, Dermaga Bongkar dan
Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Secara fisik, kondisi fasilitas di PPI Muara Angke yang terkait dengan proses
pendaratan dan pelelangan ikan seperti kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI
umumnya dalam kondisi baik. Konstruksi bangunan TPI sudah memenuhi standar
dalam pembangunannya. Lantai TPI memiliki kemiringan 2º ke arah saluran
pembuangan. Hal ini bertujuan agar pada saat pembersihan TPI, air dapat langsung
mengalir masuk ke dalam saluran pembuangan. Gedung TPI juga sudah memiliki
atap dan dikelilingi pagar dan tembok untuk mencegah masuknya sinar matahari
langsung ke dalam ruangan.
Menurut Rusmali (2004), beberapa hal yang harus dipenuhi dalam persyaratan
sanitasi dan higienitas pelabuhan perikanan yaitu: lingkungan harus bersih dan tidak
terdapat debu berlebihan serta tidak memungkinkan masuknya binatang/hewan liar
atau peliharaan. Penerangan harus cukup dan saluran pembuangan harus baik,
sehingga tidak memungkinkan terjadinya genangan air. Menurut Menai (2007),
kebersihan dan sanitasi yang mengacu pada SSOP adalah: lantai, wadah peralatan
dibersihkan dan dicuci sebelum dan sesudah dipakai dengan menggunakan air yang
mengandung chlorine; peralatan kebersihan (sikat, sapu, alat semprot dan lain-lain)
tersedia setiap saat bila diperlukan, dan jumlahnya mencukupi; tempat pendaratan dan
penyimpanan ikan terpelihara kebersihannya; tempat sampah terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan, tahan karat, tidak bocor, jumlahnya cukup, mempunyai tutup dan
ditempatkan di tempat yang sesuai; tidak semua orang kecuali yang berkepentingan
masuk ke TPI dan sebelum masuk TPI harus mencuci tangan dan kaki di dalam bak
berisi air yang mengandung chlorine.
Berdasarkan pengamatan selama penelitian berlangsung, masih terdapat
beberapa kekurangan dalam pelaksanaan sanitasi dan kebersihan di kolam pelabuhan,
dermaga bongkar dan TPI. Sampah-sampah dan limbah yang berada di kolam
pelabuhan berasal dari aktivitas tambat labuh kapal-kapal perikanan. Dengan adanya
93
aktivitas tambat labuh ini, banyak ceceran oli dan minyak kapal yang menggenangi
dan mencemari perairan kolam pelabuhan.
Dalam proses pendaratan hasil tangkapan, keranjang (trays) yang digunakan
tidak dicuci bersih sehingga sisa-sisa darah dan lendir masih menempel dan
mengering. Di dermaga bongkar masih sering terlihat banyak potongan-potongan
ikan, sisik ikan, ceceran darah dan lendir ikan, bongkahan-bongkahan es serta
genangan air. Gerobak dorong dan lori yang digunakan juga tidak dicuci bersih.
Masih banyak sisik-sisik ikan yang menempel dan bekas ceceran darah dan lendir
ikan yang mengering.
Di lingkungan TPI terutama di dalam ruangan pelelangan ikan, sanitasi dan
kebersihannya juga masih kurang baik. Ruang pelelangan ini terlihat masih kotor
pada saat proses pelelangan akan berlangsung. Banyak ceceran darah dan lendir yang
menggenangi lantai TPI, potongan-potongan ikan yang berceceran, asap rokok yang
mengepul dalam ruangan dan orang-orang yang meludah sembarangan di dalam
ruangan. Saat proses pelelangan berlangsung, kerap kali terjadi polusi udara berupa
bau yang tidak sedap di dalam ruangan.
Berdasarkan wawancara dengan petugas TPI, ketersediaan air bersih untuk
membersihkan dermaga bongkar dan TPI dinilai cukup. Frekuensi pencucian setiap
harinya hanya dilakukan satu kali pada saat aktivitas pembongkaran dan pelelangan
hasil tangkapan selesai. Saluran pembuangan yang berada di sekitar TPI cukup lancar
dan tidak terjadi penyumbatan tetapi tetap masih ada sampah seperti bungkus dan
puntung rokok, plastik dan potongan-potongan ikan yang menggenang di dalamnya.
Kondisi sanitasi dan kebersihan yang kurang terjaga ini disebabkan oleh
kurangnya kesadaran masyarakat nelayan, para pelaku di TPI dan sekitarnya untuk
menjaga sanitasi dan kebersihan, baik ruangan, fasilitas dan juga ikan hasil tangkapan
yang didaratkan. Pencucian dermaga bongkar dan TPI seharusnya tidak hanya
menggunakan air bersih saja, melainkan menambahkan disinfektan untuk mencegah
terjadinya kontaminasi dengan bakteri dan untuk mengurangi bau tak sedap, seperti
yang terdapat di pelabuhan-pelabuhan perikanan Perancis (Lubis, 2007).
94
Dengan demikian, persiapan dan penanganan ikan di dalam ruangan TPI
haruslah ditangani dengan baik dan hati-hati untuk mencegah kerusakan fisik, daging
ikan harus dijaga kebersihannya. Oleh karena itu, peralatan yang digunakan harus
bersih dan terbuat dari bahan yang mudah untuk dibersihkan.
Kondisi fisik fasilitas kepelabuhanan yang memadai yang dimiliki oleh PPI
Muara Angke kiranya masih belum cukup untuk mengatasi permasalahan sanitasi dan
kebersihannya. Pemanfaatan fasilitas tersebut hendaknya disertai pengawasan yang
rutin terhadap seluruh fasilitas yang terkait dengan sanitasi dan kebersihan ini.
Pengawasan dan pemeliharaan yang baik dapat berupa pengawasan secara rutin
terhadap pasokan air bersih yang akan digunakan untuk mencuci kapal, hasil
tangkapan, lantai dermaga bongkar dan lantai TPI. Hal ini bertujuan menghindari
terganggunya distribusi air bersih untuk kebersihan dan sanitasi. Selanjutnya, tata
letak fasilitas yang terkait dengan sanitasi harusnya diatur menurut kapasitas dan
kepadatan aktivitas yang menghasilkan limbah.
Permasalahan sanitasi dan kebersihan ini dalam penanganannya tidak dapat
dilakukan dengan baik apabila tidak diketahui sumber pencemarnya. Sumber-sumber
pencemar di tempat pendaratan dan pelelangan ikan PPI Muara Angke adalah adanya
aktivitas-aktivtas pendaratan dan pelelangan ikan, baik di kolam pelabuhan, dermaga
bongkar dan gedung TPI. Pemilihan kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI
sebagai tempat penelitian karena ketiga tempat ini merupakan pusat terjadinya proses
pendaratan dan pelelangan yang banyak menimbulkan dampak.
6.1.1
Faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi sanitasi pada berbagai
aktivitas dari pendaratan sampai pelelangan ikan
Menurut Wardhana (1995) diacu dalam Rusmali (2004) dampak langsung
akibat aktivitas industri dan teknologi dapat dilihat dari adanya pencemaran udara,
pencemaran perairan dan pencemaran daratan. Ketiga macam pencemaran tersebut
akan mempengaruhi daya dukung alam dan pada akhirnya akan mengganggu
kelestarian lingkungan. Pencemaran tersebut dapat terjadi secara alamiah dan akibat
perbuatan manusia.
95
Pencemaran lingkungan pelabuhan perikanan banyak disebabkan oleh aktivitas
manusia. Sebagai contoh, aktivitas pendaratan dan pelelangan hasil tangkapan
menimbulkan pencemaran, baik pencemaran air, darat maupun udara yang
menimbulkan dampak sanitasi dan kebersihan lingkungan pelabuhan.
Aktivitas pendaratan hasil tangkapan berkaitan erat dengan kondisi kebersihan
di kolam pelabuhan dan dermaga bongkar. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya
jumlah kapal yang melakukan pendaratan hasil tangkapan, jumlah hasil tangkapan
yang didaratkan dalam kondisi rusak, cara penurunan yang tidak benar dan kesadaran
para pelaku yang melakukan pendaratan untuk tetap menjaga sanitasi dan kebersihan
di kolam pelabuhan dan dermaga bongkar. Begitu pula pada aktivitas pengangkutan,
pelelangan dan distribusi ikan, menunjukkan bahwa kesadaran para pelaku akan
pentingnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pelabuhan masih rendah. Faktorfaktor yang mempengaruhi sanitasi dapat dilihat pada Tabel 18 berikut:
Tabel 18 Faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi di kolam pelabuhan, dermaga
bongkar dan TPI PPI Muara Angke
Aktivitas Kepelabuhanan
1. Pendaratan kapal
2. Pembongkaran dan penyortiran ikan
3. Pengangkutan ikan
4. Pelelangan ikan
Sumber: Data Primer Penelitian 2008
Faktor yang berpotensi mempengaruhi sanitasi
a. Banyaknya ceceran oli dan minyak yang menggenangi
kolam pelabuhan;
b. Para ABK yang membuang sampah langsung ke dalam
kolam pelabuhan saat istirahat.
a. Banyaknya ikan yang didaratkan dalam kondisi rusak;
b. Cara penurunan ikan ke dermaga yang belum benar;
c. Ikan hasil tangkapan sampingan langsung dibuang ke
kolam pelabuhan;
d. Bongkahan es yang dibuang ke kolam pelabuhan dan
dermaga bongkar;
e. Kesadaran ABK dan kuli angkut akan kebersihan masih
rendah.
a. Cara pengangkutan yang belum benar;
b. Kesadaran para kuli angkut yang masih rendah dalam
menjaga sanitasi.
a. Cara penempatan ikan yang tidak benar;
b. Banyaknya orang yang mengikuti pelelangan;
c. Banyak orang yang meludah sembarangan;
d. Jumlah hasil tangkapan yang dilelang;
e. Pemindahan ikan setelah pelelangan selesai;
f. Cara pendistribusian yang belum benar;
g. Keranjang yang digunakan rusak dan belum diperbaiki;
h. Kesadaran para pemenang lelang dan kuli angkut
tentang sanitasi masih rendah.
96
6.1.2
Jenis limbah fisik yang dihasilkan aktivitas pendaratan dan pelelangan
ikan di PPI Muara Angke
Menurut Departemen Pertanian (2002) diacu dalam Rusmali (2004), sumber air
limbah di suatu pelabuhan perikanan dapat berupa air limbah domestik (limbah kakus
dan uranil), limbah akibat aktivitas perikanan dan air limbah dari perkantoran (limbah
dapur dan kamar mandi). Limbah fisik akibat pencemaran yang dihasilkan aktivitas
pendaratan dan pelelangan ikan di PPI Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 19
berikut ini.
Tabel 19 Jenis limbah/sampah akibat proses pendaratan dan pelelangan hasil
tangkapan di PPI Muara Angke
Aktivitas
Lokasi
Jenis limbah
Dampak
terhadap
lingkungan
Kotor dan
mengganggu alur
pelayaran
apabila
menumpuk
Dampak
terhadap
kualitas ikan
-
Kolam Pelabuhan
Potongan tubuh ikan,
ceceran oli dan
minyak, plastikplastik, potongan
kayu
2. Pendaratan dan
penyortiran
ikan
Dermaga
Bongkar
Potongan tubuh ikan,
genangan lendir dan
darah tercecer,
bongkahan es sisa
pengawetan di palkah
Kotor, bau, lantai
licin
Penurunan
kualitas ikan
3. Pengangkutan
ikan
Dermaga
Bongkar
Potongan tubuh ikan,
genangan lendir dan
darah tercecer
Kotor, bau
4. Pelelangan
ikan
TPI
Potongan tubuh ikan,
genangan lendir dan
darah tercecer, ludah
manusia, genangan
air
Kotor, bau, lantai
licin
Penurunan
Kualitas Ikan
5. Pengangkutan
ikan dari TPI
ke perusahaan
dan pedagang
TPI
Potongan tubuh ikan,
genangan lendir dan
darah tercecer,
bungkus plastik,
bungkus rokok, botol
plastik, dan lain-lain
Kotor, bau, serta
mengganggu
kenyamanan dan
keindahan
Penurunan
Kualitas Ikan
1. Pendaratan
kapal
Sumber: Data Primer Penelitian, 2008
-
97
Berdasarkan jenis aktivitas yang berlangsung di kawasan PPI Muara Angke,
limbah dihasilkan oleh berbagai aktivitas seperti: aktivitas keluar masuk kapal
menghasilkan limbah sisa buangan dari kapal, misal oli dan sisa perbekalan yang
mencemari kolam pelabuhan; aktivitas pendaratan ikan di dermaga dan TPI
menghasilkan potongan ikan yang tercecer, lendir, darah ikan dan sampah bungkus
plastik/kertas; kawasan industri menghasilkan limbah cair sisa pencucian dan
pengolahan ikan; aktivitas perkantoran menghasilkan sampah plastik, kertas dan
limbah manusia.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, aktivitas pendaratan di kolam pelabuhan
dan dermaga bongkar; pengangkutan ke TPI atau perusahaan; pelelangan dan
pengangkutan ikan di gedung TPI telah menimbulkan dampak terhadap kondisi
sanitasi dan kebersihan di wilayah kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI.
Aktivitas pendaratan yang mencakup kapal merapat, pembongkaran ikan dari kapal
dan penurunan ikan ke dermaga oleh ABK dan kuli angkut pelabuhan telah
menghasilkan limbah fisik dan memberikan dampak terhadap kebersihan dan
kenyamanan. Aktivitas pengangkutan ikan ke TPI atau perusahaan juga menghasilkan
limbah fisik yang sama dan berdampak kepada kebersihan dermaga. Aktivitas
pelelangan ikan menghasilkan limbah fisik berupa potongan ikan, genangan lendir
dan darah tercecer sama halnya yang terjadi dengan aktivitas pendaratan,
pembongkaran dan pengangkutan ikan. Aktivitas turunan seperti penjualan non ikan
dan pedagang asongan menghasilkan limbah plastik, bungkus rokok dan limbah padat
lainnya menghasilkan dampak pencemaran daratan kepada kebersihan, kenyamanan
dan keindahan lingkungan pelabuhan. Hal ini seperti yang telah dikatakan oleh Menai
(2007), SSOP yang harus diterapkan di lokasi, konstruksi dan tata ruang suatu
pelabuhan perikanan, lokasi pelabuhan perikanan harus terbebas dari timbunan
barang bekas yang tidak teratur dan timbunan barang sisa atau sampah.
Di PPI Muara Angke kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPInya tidak
terbebas dari timbunan barang sisa atau sampah. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa sanitasi di ketiga tempat tersebut masih belum memenuhi standarisasi yang
telah ditetapkan.
98
6.1.3
Limbah dari aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan di kolam
pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI
Berdasarkan aktivitas yang berlangsung dan faktor-faktor yang berpotensi
mempengaruhi sanitasi pada Tabel 18, penyebab rinci dampak dari aktivitas
pendaratan dan pelelangan ikan terhadap sanitasi di kolam pelabuhan, dermaga
bongkar, TPI dan lingkungan sekitarnya diuraikan sebagai berikut:
(1) Kolam Pelabuhan
Limbah yang terdapat di kolam pelabuhan berupa limbah padat dan limbah cair.
Limbah padat terdiri dari potongan tubuh ikan, potongan kayu, sampah plastik, botolbotol plastik, dan sebagainya. Limbah cair yang terdapat di kolam pelabuhan berupa
ceceran oli dan minyak dari kapal, air sisa pencucian ikan, air sisa pencucian kapal
dan sebagainya.
Gambar 26 Kondisi kolam pelabuhan PPI Muara Angke.
Limbah-limbah ini berasal dari aktivitas-aktivitas para ABK, pada saat kapal
merapat di dermaga sambil menunggu pendaratan dan pembongkaran ikan, atau
setelah pembongkaran ikan selesai. Banyaknya limbah padat dan cair yang masuk ke
dalam kolam pelabuhan, bergantung kepada banyaknya kapal yang merapat di
dermaga.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para ABK dan nahkoda, frekuensi
pencucian kapal adalah satu kali setiap proses pembongkaran hasil tangkapan selesai.
Pada saat pencucian kapal, ABK membuang limbah dan memasukannya ke dalam
99
kolam pelabuhan tanpa diolah terlebih dahulu, sehingga mencemari perairan kolam
pelabuhan.
(2) Dermaga Bongkar
Limbah yang terdapat di dermaga bongkar berupa limbah padat dan limbah cair.
Limbah padat terdiri dari potongan tubuh ikan yang tercecer, sampah plastik, kertas,
botol air mineral bekas puntung rokok dan sebagainya. Limbah cair yang dihasilkan
di dermaga bongkar berupa ceceran darah dan lendir ikan, genangan air sisa
pencucian ikan dan bongkahan es sisa pengawetan ikan selama di palkah.
(a) Sisa bongkahan es yang tersisa
(b) genangan air, darah dan lendir ikan
Gambar 27 Kondisi sanitasi di dermaga bongkar PPI Muara Angke.
Banyaknya jumlah limbah padat dan limbah cair yang terdapat di dermaga
bongkar dipengaruhi oleh banyaknya jumlah kapal yang mendaratkan ikan dan
jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan setiap harinya. Pada saat penelitian,
rata-rata ikan yang didaratkan setiap kapal per harinya adalah sebanyak 3 ton.
Banyaknya limbah padat yang terdapat di dermaga terjadi karena penurunan ikan ke
dermaga bongkar dan pada saat akan diangkut dengan gerobak dorong atau lori, tidak
dilakukan dengan benar. Bahkan terjadi bantingan-bantingan ketika keranjang ikan
sampai di dermaga bongkar atau di atas gerobak dorong. Akibat dari bantingan
keranjang tersebut, ikan yang berada dalam keranjang berjatuhan ke dermaga bongkar
terutama untuk keranjang ikan yang penuh.
100
Banyaknya jumlah limbah juga dipengaruhi oleh peletakan ikan berukuran
besar, seperti ikan layaran yang tidak cukup untuk ditempatkan di keranjang,
sehingga langsung diletakkan di atas lantai dermaga. Peletakan ikan langsung di
lantai dermaga mengakibatkan lendir dan darah ikan mengotori lantai dermaga.
Selain itu, banyak ikan yang didaratkan dalam kondisi rusak dan tidak mendapatkan
penanganan yang baik. Hasil tangkapan yang rusak sangat mudah hancur saat
pendaratan dan pengangkutan di dermaga sebagai akibat dari cara penanganan,
pendaratan dan pengangkutan hasil tangkapan yang belum benar dan tidak hati-hati.
(a) Peletakan ikan di lantai dermaga
(b) Peletakan ikan dalam keranjang
Gambar 28 Kondisi peletakan ikan di dermaga bongkar PPI Muara Angke.
Penyortiran ikan dilakukan dengan cara memilih ikan berdasarkan jenis, ukuran
dan mutu ikan. Selanjutnya, ikan yang telah disortir dilemparkan satu persatu ke
masing-masing keranjang yang telah tersedia baik di atas dek maupun di dermaga.
Cara ini selain dapat menyebabkan kerusakan fisik tubuh ikan juga menyebabkan
ikan tercecer di lantai dek dan dermaga. Ceceran potongan ikan di luar keranjang
terjadi akibat penyortiran karena dilempar dan dilakukan dengan tergesa-gesa dan
cepat. Rata-rata per keranjang ikan yang disortir, terdapat satu sampai tiga ikan yang
jatuh dan tercecer di luar keranjang.
Kecerobohan dalam penyortiran ikan ini, menimbulkan limbah padat dan cair
berupa potongan tubuh ikan, genangan darah dan lendir ikan. Selain itu, para ABK
101
yang menyortir ikan tidak menggunakan sarung tangan. Hal ini dapat menyebabkan
ikan yang didaratkan mudah terkontaminasi zat asing atau mikroorganisme, yang
dapat menurunkan mutu ikan dan membahayakan bagi kesehatan orang yang
mengkonsumsinya.
Limbah non ikan seperti sampah bungkus plastik makanan, puntung rokok,
botol air mineral bekas, kertas dan air ludah juga ikut mengotori dermaga. Limbah
non ikan ini akibat banyaknya orang yang lalu lalang di dermaga baik para pekerja
maupun para pengunjung yang kurang memperhatikan masalah sanitasi dan
kebersihan lingkungan dengan membuang sampah sembarangan dan tidak pada
tempatnya.
Banyaknya
pengunjung
yang
keluar
masuk
dermaga
bongkar
mengakibatkan aktivitas di dermaga bongkar dan pengawasan mutu ikan yang
didaratkan tidak terawasi dengan benar.
Fasilitas tempat sampah di sekitar dermaga masih kurang. Penempatan tempat
sampah hanya berpusat di dermaga yang dekat dengan pelataran TPI, sehingga pada
dermaga di sisi kanan TPI menjadi kurang bersih karena tidak ada tempat sampah di
sekitarnya. Biarpun sudah tersedia tempat sampah yang cukup banyak di pelataran
TPI, masih banyak pekerja dan pengunjung yang membuang sampah dan ludah tidak
pada tempatnya. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan dan
membuang sampah pada tempatnya masih kurang.
(3)
Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Limbah yang terdapat di TPI sama seperti halnya yang terdapat di dermaga
bongkar yaitu potongan tubuh ikan, genangan darah dan lendir ikan serta limbah non
ikan seperti sampah plastik, puntung rokok dan air ludah. Limbah-limbah ini berasal
dari proses pengangkutan ikan dari dermaga bongkar ke TPI dan proses pelelangan
ikan.
Penanganan ikan di TPI yang tidak benar, mengakibatkan ikan mudah rusak dan
menurun kualitasnya. Keranjang ikan dipindahkan dari atas gerobak dorong atau lori
dengan sedikit bantingan. Bantingan ini menyebabkan ikan-ikan berjatuhan, terutama
dari keranjang-keranjang yang terisi penuh. Setelah itu, keranjang ikan diatur di lantai
102
TPI, dengan cara diseret menggunakan pengait oleh para pekerja dan kuli angkut.
Cara ini dapat mengakibatkan selain rusaknya keranjang juga dapat merusak lantai
TPI.
Penarikan keranjang menghasilkan limbah potongan tubuh ikan, darah dan
lendir ikan yang tercecer. Limbah ikan ini dihasilkan karena kerja buruh angkut yang
ceroboh dan terburu-buru, sehingga sebagian kecil ikan dan potongan tubuh ikan ada
yang tercecer. Darah dan lendir ikan yang dihasilkan terjadi karena selama ikan
berada di TPI tidak dilakukan pencucian.
Demikian
halnya
pada
pengangkutan,
keranjang
ikan
diseret
yang
mengakibatkan ceceran lendir dan darah ikan menyebar ke berbagai tempat di lantai
TPI. Pencucian dengan air bersih tidak dilakukan sehingga lantai yang dilumuri
genangan lendir dan darah ikan menjadi licin serta menyebabkan bau amis.
(a) Genangan darah dan lendir ikan
(b) Potongan ikan yang berserakan
Gambar 29 Kondisi sanitasi di lantai TPI PPI Muara Angke.
Sebelum pelelangan dimulai, para peserta lelang bebas keluar masuk TPI
dengan alasan ingin melihat-lihat terlebih dahulu ikan yang akan dibeli. Saat mereka
masuk dan melihat-lihat di dalam gedung TPI tidak jarang ada yang meludah dan
membuang puntung rokok sembarangan di lantai TPI. Peraturan tentang dilarang
merokok dan meludah sembarangan sudah ditempel di sekeliling pagar/tembok TPI.
Meskipun sudah tertempel dengan baik, masih banyak para peserta atau pengunjung
yang tidak menghiraukan. Tidak adanya pengawasan yang baik tentang hal ini
menyebabkan kejadian ini masih saja terus berulang setiap kali proses pelelangan
berlangsung.
103
Dalam penerapan SSOP di pelabuhan perikanan, orang yang tidak
berkepentingan, dilarang masuk ke TPI. Selain itu, sebelum masuk ke TPI,
diharuskan untuk mencuci tangan dan kaki (sepatu) ke dalam bak berisi air yang
mengandung chlorine. Alangkah lebih baiknya, apabila orang-orang yang masuk ke
TPI mengganti sepatunya dengan sepatu boot khusus yang disediakan oleh pihak TPI,
untuk mencegah masuknya kuman atau bakteri yang terdapat di sepatu. Hal ini
dilakukan dalam rangka mempertahankan kualitas ikan agar tidak terkontaminasi oleh
bakteri dan penyakit (Menai, 2007).
Saat pelelangan berlangsung, juru lelang akan berkeliling dekat dengan
keranjang ikan yang akan dilelang. Pengurus kapal yang mengawasi proses
pelelangan berdiri di atas keranjang ikan yang akan dilelang. Tidak jarang ada ikanikan yang ikut terinjak saat pengurus kapal tersebut berpindah dari satu keranjang ke
keranjang yang lain.
Keranjang-keranjang ikan yang telah dilelang, akan dipisahkan ke tempat
masing-masing, sesuai kesepakatan antara kuli angkut dengan pemenang lelang.
Pemindahan keranjang dilakukan dengan cara diseret kembali. Setelah itu, ikan-ikan
dalam keranjang TPI dipindahkan ke dalam keranjang-keranjang yang dibawa oleh
masing-masing pemenang lelang. Saat ikan-ikan dipindahkan, banyak ikan yang
berjatuhan karena kecerobohan kuli angkut yang terburu-buru. Ukuran keranjang TPI
dan keranjang pemenang lelang tidak selalu sama. Oleh karena itu, pada saat
keranjang ikan pemenang sudah penuh maka kuli angkut akan meratakannya dengan
menggunakan kaki. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan ikan yang dilakukan
masih kurang baik.
Persiapan ikan sebelum didistribusikan juga masih kurang baik. Hal ini terlihat
dari saat ikan menunggu untuk diangkut dari TPI ke perusahaan atau pedagang, ikan
tidak ditutup dan tidak diberikan es untuk tetap mempertahankan mutu ikan. Kondisi
ini dapat mempercepat kemunduran mutu ikan dan mempercepat proses pembusukan
ikan. Meskipun jarak dari TPI ke perusahaan atau pedagang (pasar grosir atau pasar
pengecer ikan) hanya berjarak sekitar 200 meter, keranjang ikan seharusnya ditutupi
dan diberi es agar kualitas ikan tetap terjaga.
104
(4)
Lingkungan Sekitar Dermaga dan TPI
Limbah yang terdapat di lingkungan sekitar dermaga dan TPI seperti di saluran-
saluran pembuangan adalah berupa potongan tubuh dan sisik ikan, sampah plastik
serta bungkus rokok. Penyebab terjadinya limbah di lingkungan sekitar TPI dan
dermaga dipengaruhi oleh aktivitas pengangkutan dan distribusi ikan.
Saluran pembuangan di sekitar TPI digunakan untuk menampung air sisa
pencucian lantai TPI dan air sisa pencucian keranjang (trays), gerobak dorong dan
lori. Tetapi banyak juga ditemukan sampah-sampah plastik, potongan ikan dan
bungkus serta puntung rokok didalamnya. Meskipun demikian, saluran pembuangan
ini tidak tersumbat sehingga tidak menimbulkan bau yang tidak sedap.
6.2 Dampak Sanitasi dari Aktivitas Pendaratan dan Pelelangan Ikan
Berdasarkan pengamatan di lapangan, dampak dari kurang baiknya kondisi
sanitasi dan kebersihan akibat aktivitas yang berlangsung di pelabuhan khususnya
aktivitas pendaratan dan pelelangan ikan, akan dapat mempengaruhi kualitas
lingkungan, kesehatan, mutu dan harga ikan.
Dampak langsung yang dapat dilihat dari aktivitas pendaratan dan pelelangan
ikan adalah pencemaran lingkungan pelabuhan baik pencemaran perairan, udara
maupun daratan. Pencemaran daratan berasal dari buangan limbah-limbah padat dan
cair yang mengotori dermaga bongkar serta gedung TPI dan lingkungan sekitarnya.
Pencemaran ini menyebabkan lingkungan di sekitar tempat pendaratan dan
pelelangan tidak bersih dan mengganggu aktivitas secara tidak langsung. Pencemaran
daratan dapat menyebabkan terganggunya aktivitas pelabuhan dan produktivitas
pelabuhan menjadi kurang optimal, misalkan dengan adanya pencemaran daratan
karena adanya bongkahan es yang berserakan di dermaga bongkar dapat mengganggu
aktivitas pengangkutan ikan. Pencemaran daratan yang terjadi akibat buangan bahan
pencemar berdampak kepada daya dukung lahan yang menurun, sumber terjadinya
penyakit, menurunkan nilai estetika/keindahan karena lingkungan yang kotor dan
mengganggu kenyamanan.
105
Pencemaran perairan berasal dari buangan limbah padat dan cair yang
mengotori kolam pelabuhan. Pencemaran perairan dapat menyebabkan terganggunya
aktivitas pelabuhan dan produktivitas pelabuhan menjadi kurang optimal, misal
dengan adanya pencemaran perairan dapat mengganggu kapal saat ingin masuk
kolam pelabuhan karena banyaknya sampah yang tergenang. Pencemaran air akibat
buangan bahan pencemar yang terakumulasi akan berdampak air menjadi sumber
terjadinya penyakit dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Menurut Wardhana (1995) diacu dalam Rusmali (2004) mengatakan dampak
pencemaran udara terjadi akibat aktivitas yang mengakibatkan timbulnya bau,
penurunan kualitas udara dan kebisingan. Pencemaran udara berasal dari bau yang
tidak sedap yang timbul akibat kurangnya perhatian para pelaku aktivitas tersebut
terhadap sanitasi dan kebersihan.
Dampak kondisi sanitasi dan kebersihan yang tidak ditangani dengan baik di
PPI Muara Angke adalah: menimbulkan bau yang tidak sedap, mengganggu
kenyamanan dalam beraktivitas dan mengurangi nilai estetika/keindahan. Potongan
limbah ikan yang tercecer menyebabkan datangnya binatang dan serangga seperti
anjing, kucing, lalat dan tikus ke lokasi pendaratan dan pelelangan ikan baik di
dermaga maupun di TPI. Kehadiran binatang-binatang tersebut dapat mengganggu
kenyamanan beraktivitas dan dapat mencemari ikan yang didaratkan apabila terjadi
kontak langsung. Pencemaran ini dapat berupa masuknya bakteri merugikan melalui
binatang dan serangga tersebut sehingga dapat mempercepat proses pembusukan
ikan.
Dampak buruknya sanitasi di pelabuhan perikanan, secara tidak langsung juga
mempengaruhi harga ikan yang didaratkan. Buruknya sanitasi, mempengaruhi
kualitas ikan. Kualitas ikan yang buruk akan menyebabkan harganya menurun. Oleh
karena itu, sanitasi di suatu pelabuhan perikanan sangatlah penting untuk dijaga dan
dipelihara.
106
Permasalahan dari para pengguna pelabuhan dan dampaknya terhadap sanitasi
fasilitas dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini.
Tabel 20 Permasalahan pengguna pelabuhan dan dampaknya terhadap sanitasi
fasilitas dan kualitas ikan
Fasilitas
1. Kolam
pelabuhan
Permasalahan
a. Nelayan dengan pengetahuan
yang minim akan kebersihan;
b. Nelayan yang membuang sampah
sembarangan ke dalam kolam
pelabuhan;
c. Periode tambat kapal setelah
selesai bongkar agak lama.
2. Dermaga
bongkar
a. Pengetahuan nelayan dan kuli
angkut yang minim tentang
kebersihan;
b. Banyaknya orang yang berada di
dermaga saat proses
pembongkaran, penyortiran dan
pengangkutan ikan;
c. Gerobak dorong dan lori yang
digunakan tidak dibersihkan
dengan baik;
d. Keranjang yang digunakan tidak
dibersihkan dengan baik;
e. Waktu pembongkaran cukup
lama.
3. TPI
a. Peserta lelang kurang menjaga
kebersihan;
b. Banyaknya orang yang berada
dalam ruangan saat lelang;
c. Tidak digunakan disinfektan
dalam pencucian lantai TPI.
Indikator
a. Sampah yang
tergenang di
kolam
pelabuhan
cukup banyak;
b. Ceceran minyak
dan oli yang
tergenang di
kolam
pelabuhan.
a. Banyak terdapat
potongan tubuh
ikan yang
tercecer;
b. Banyak terdapat
genangan darah
dan lendir ikan;
c. Banyak terdapat
sisik-sisik ikan
yang tertinggal;
d. Banyak ikan
yang rusak
terlindas
gerobak dorong
atau lori di
lantai dermaga.
a. Banyak ikan
yang tercecer di
lantai;
b. Banyak
genangan darah
dan lendir ikan;
c. Bau tidak sedap.
Dampak
a. Kolam pelabuhan
menjadi kotor;
b. Pencemaran
perairan kolam
pelabuhan yang
mengancam
kehidupan
organisme
perairan tersebut.
a. Lantai dermaga
menjadi licin dan
becek;
b. Lantai dermaga
menjadi lebih
kotor dan berbau
amis;
c. Mengganggu
kenyamanan dan
kebersihan
lingkungan.
a. Kebersihan TPI
masih kurang
terjaga;
b. Pencemaran udara
akibat bau tak
sedap.
c. Penurunan
kualitas ikan
Sumber: Data Primer Penelitian, 2008
Berdasarkan Tabel 20, dapat disimpulkan bahwa para pengguna pelabuhan
menyebabkan terjadinya dampak sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan.
Sanitasi di pelabuhan perikanan, masih sulit untuk dikontrol karena banyaknya orang
yang keluar masuk pelabuhan perikanan tanpa melalui pengawasan kebersihan
terlebih dahulu.
107
Sanitasi juga mempengaruhi kualitas lingkungan di sekitar pelabuhan. Kualitas
lingkungan sangat berpengaruh terhadap kesehatan orang-orang yang berada di
lingkungan tersebut. Lingkungan yang kotor dan tidak terjaga akan mempermudah
bersarangnya penyakit, sehingga resiko penyebaran penyakit akan semakin tinggi.
Pengelolaan dan penanganan limbah yang tidak baik juga dapat menimbulkan
gangguan kesehatan. Limbah potongan ikan dan non ikan yang tercecer, serta limbah
penanganan ikan dapat menjadi sumber penyakit akibat pembusukan dari berbagai
mikroorganisme yang terkandung didalamnya. Selain itu, apabila mikroorganisme
tersebut mencemari ikan yang didaratkan maka akan berbahaya bagi kesehatan
konsumennya. Pengawasan dan perhatian yang serius dari pihak pelabuhan perlu
lebih ditingkatkan untuk mencegah vektor yang menjadi sarana penyebar penyakit.
7. PENENTUAN KUALITAS HASIL TANGKAPAN YANG DIDARATKAN
AKIBAT DAMPAK SANITASI DI PPI MUARA ANGKE
Sanitasi di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke, selanjutnya akan
mempengaruhi kualitas ikan didaratkan, yang dilihat berdasarkan perubahan
prosentase ikan tidak layak konsumsi, dengan menggunakan skala organoleptik.
Perubahan prosentase kualitas telah diamati sejak proses pembongkaran, sebelum
pelelangan dan sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang.
Secara organoleptik, ikan segar yang layak untuk dikonsumsi adalah ikan-ikan
yang memiliki skala organoleptik > 6. Ikan-ikan segar dengan nilai organoleptik ≤ 6
di Indonesia masih layak untuk dikonsumsi tetapi harus dengan melalui tahap
pengolahan terlebih dahulu. Tahap pengolahan yang dimaksud adalah pengeringan,
pengasinan, pengasapan dan lain-lain.
Kriteria ikan dengan skala organoleptik 9 adalah bola mata cerah dan menonjol
dengan kornea mata jernih; insang berwarna merah cemerlang tanpa lendir; lapisan
lendir jernih, transparan, mengkilat cerah dan belum ada perubahan warna; sayatan
daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang
belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perut dagingnya utuh, bau isi perut
segar; berbau segar masih berbau rumput laut dan berbau spesifik menurut jenis dan
tubuhnya padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang
belakang (SNI 01-2729-1992 diacu dalam Wibowo, 2006).
Kriteria ikan dengan skala organoleptik 8 adalah bola mata cerah dan rata
dengan kornea jernih; insang berwarna merah kurang cemerlang tanpa lendir; sayatan
daging cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang,
perut utuh, ginjal merah terang, dinding perutnya utuh, bau isi perut netral; bau segar,
bau rumput laut mulai menghilang dan tubuh padat, elastis bila ditekan dengan jari,
sulit menyobek daging dari tulang belakang, kadang-kadang agak lunak sesuai
jenisnya.
Ikan dengan skala organoleptik 7 memiliki kriteria bola mata agak cerah dan
rata, pupil agak keabu-abuan dan kornea agak keruh; insang berwarna merah agak
kusam tanpa lendir; lapisan lendir di permukaan mulai keruh, agak putih susu, warna
109
terangnya mulai suram; sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada
pemerahan sepanjang tulang belakang, perut agak lembek, ginjal mulai merah pudar,
dinding perut dagingnya utuh, bau netral; tidak berbau netral dan tubuh agak lunak,
elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang.
7.1 Kualitas Ikan Saat Setelah Pembongkaran di Atas Kapal dan Dermaga
Bongkar
Pengambilan sampel untuk melihat prosentase kualitas ikan yang tidak layak
konsumsi, dilakukan pada saat ikan selesai dibongkar dari atas kapal, hingga
didaratkan di dermaga bongkar. Pada saat penelitian berlangsung, terdapat 2 kapal
gillnet yang memiliki jumlah ikan tidak layak konsumsi sebanyak 20 ikan (100%)
sejak ikan didaratkan, atau dapat dikatakan bahwa ikan-ikan sudah rusak sejak ikan
masih berada di atas kapal, sehingga tidak dapat dilihat pengaruh sanitasi terhadap
kualitas ikan di 2 kapal tersebut. Dalam bab ini hanya akan dibahas 18 kapal saja.
Kualitas ikan setelah pembongkaran pada keranjang 1 dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Kualitas ikan saat setelah pembongkaran pada keranjang 1
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
Ukuran Subgrup (n)
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
360
Sumber: Data Primer Penelitian, 2008
Jumlah Cacat (pn)
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
9
0
9
0
0
0
0
20
Proporsi Cacat (%)
0
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
45
0
45
0
0
0
0
-
110
Keranjang 1 adalah keranjang yang berisi ikan-ikan yang berada di bagian atas
palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan hasil tangkapan yang paling akhir pada suatu
operasi penangkapan. Keranjang 1 merupakan keranjang yang diturunkan pada awal
proses pembongkaran.
Berdasarkan Tabel 21 di atas, dapat dilihat bahwa dari 11 sampel kapal purse
seine, terdapat satu kapal yang memiliki jumlah ikan tidak layak konsumsi sebanyak
dua ekor ikan (20%). Terdapat dua buah kapal bubu yang memiliki jumlah ikan tidak
layak konsumsi yaitu sembilan ekor ikan (45%) untuk masing-masing kapal tersebut.
Hal ini dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berbeda dan penanganan yang
dilakukan untuk setiap jenis kapal.
Kapal purse seine melakukan operasi penangkapan relatif singkat dibandingkan
dengan kedua jenis kapal yang lain. Biasanya, kapal ini hanya melaut selama 5
hingga 14 hari, sedangkan kapal bubu melaut selama 14 hingga 20 hari. Waktu
penangkapan juga berpengaruh terhadap proses penanganan ikan yang dilakukan
selama berada di atas kapal.
Penanganan ikan yang dilakukan pada kapal purse seine adalah dengan
menggunakan es dan terkadang mencampurnya dengan air laut. Kapal bubu
menggunakan freezer/pendingin untuk mengawetkan ikan. Kapal gillnet hanya
menggunakan es untuk mengawetkan ikan. Jumlah es yang dibawa pada saat operasi
penangkapan akan mempengaruhi tingkat kesegaran ikan. Semakin lama operasi
penangkapan, es yang digunakan pun harus semakin banyak.
Penggunaan es di dalam palkah selama operasi penangkapan berlangsung akan
mempengaruhi tingkat kesegaran ikan. Penggunaan es harus sebanding dengan
jumlah hasil tangkapan. Tetapi, masih banyak nelayan yang tidak memperhatikan
masalah tersebut. Nelayan masih menggunakan perbandingan 2:1 untuk jumlah es
dan hasil tangkapan. Artinya, untuk pengawetan 2 kg ikan, hanya diberikan 1 kg es.
Hal inilah yang dapat menyebabkan tingkat kesegaran ikan berkurang.
Keranjang 2 dari masing-masing kapal merupakan keranjang yang berisi ikanikan yang berada di bagian bawah palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang
111
terlebih dahulu tertangkap pada saat operasi penangkapan berlangsung. Kualitas ikan
setelah pembongkaran pada keranjang 2 dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Kualitas ikan saat setelah pembongkaran pada keranjang 2
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
Ukuran Subgrup (n)
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
360
Jumlah Cacat (pn)
0
0
0
0
3
0
5
0
0
0
0
8
3
3
0
0
0
0
22
Proporsi Cacat (%)
0
0
0
0
15
0
25
0
0
0
0
40
15
15
0
0
0
0
-
Sumber: Data Primer Penelitian, 2008
Berdasarkan Tabel 22, dapat dilihat bahwa jumlah ikan tidak layak konsumsi
yang terbanyak terdapat di kapal bubu, yaitu 8 ekor ikan (40%). Waktu operasi
penangkapan dan penanganan ikan yang dilakukan, mempengaruhi tingkat kesegaran
ikan tersebut. Pemberian es yang dilakukan juga tidak sesuai dengan jumlah hasil
tangkapan. Meskipun kapal bubu dalam pengoperasiannya menggunakan freezer
sebagai pendingin, tetapi masih terdapat ikan yang tidak layak konsumsi. Hal ini
disebabkan oleh rusaknya tubuh ikan karena lengket dengan dinding freezer. Selain
itu, cara penyortyiran yang kasar juga dapat mempengaruhi kualitas ikan.
Berdasarkan Tabel 21 dan 22, baik untuk keranjang 1 maupun keranjang 2
memiliki kisaran prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi antara 10-45%.
Dimana pada keranjang 1 hanya terdapat 3 kapal yang memiliki jumlah ikan tidak
layak konsumsi, sedangkan pada keranjang 2 hanya 5 kapal.
112
7.2 Kualitas Ikan Saat Sebelum Pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Pengambilan sampel untuk melihat prosentase kualitas ikan yang tidak layak
konsumsi, dilakukan pada saat ikan telah diangkut ke TPI, menunggu proses
pelelangan dimulai. Kualitas ikan sebelum pelelangan dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23 Kualitas ikan saat sebelum pelelangan pada keranjang 1
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
Ukuran Subgrup (n)
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
360
Jumlah Cacat (pn)
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
9
0
9
0
0
0
0
20
Proporsi Cacat (%)
0
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
45
0
45
0
0
0
0
-
Sumber: Data Primer Penelitian, 2008
Berdasarkan Tabel 23, tidak terjadi penurunan mutu ikan sejak saat setelah
pembongkaran, terlihat dari jumlah ikan tidak layak konsumsi pada keranjang 1 yang
tidak mengalami penambahan jumlah ikan tidak layak konsumsi pada saat sebelum
pelelangan. Hal ini dipengaruhi oleh waktu yang dibutuhkan setelah pembongkaran,
hingga ikan diangkut ke dalam TPI. Waktu yang dibutuhkan relatif singkat, sekitar 10
hingga 15 menit. Setelah pembongkaran, ikan dikumpulkan terlebih dahulu di
dermaga bongkar selama 10 hingga 15 menit, setelah itu ikan diangkut ke TPI.
Keranjang 2 dari masing-masing kapal, merupakan keranjang yang berisi ikanikan yang berada di bagian bawah palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang
terlebih dahulu tertangkap pada saat operasi penangkapan berlangsung. Kualitas ikan
sebelum pelelangan pada keranjang 2 dapat dilihat pada Tabel 24.
113
Tabel 24 Kualitas ikan saat sebelum pelelangan pada keranjang 2
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
Ukuran Subgrup (n)
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
360
Jumlah Cacat (pn)
0
0
0
0
3
0
5
0
0
0
0
8
3
3
0
0
0
0
22
Proporsi Cacat (%)
0
0
0
0
15
0
25
0
0
0
0
40
15
15
0
0
0
0
-
Sumber: Data Primer Penelitian, 2008
Berdasarkan Tabel 24, diketahui bahwa ikan di keranjang 2 pada saat sebelum
pelelangan pun tidak mengalami perubahan kualitas. Tingkat kesegaran ikan masih
sama dengan pada saat setelah pembongkaran selesai. Hal ini dipengaruhi oleh selang
waktu yang relatif singkat, yaitu antara 10 hingga 15 menit, sejak proses
pembongkaran hingga ikan diangkut ke TPI.
7.3 Kualitas Ikan Saat Sebelum Pengangkutan dari Tempat Pelelangan Ikan
(TPI)
Pengambilan sampel untuk melihat prosentase kualitas ikan yang tidak layak
konsumsi, dilakukan pada saat ikan telah selesai dilelang, menunggu diangkut keluar
TPI, menuju perusahaan atau pedagang. Kualitas ikan sebelum pengangkutan dari
TPI dapat dilihat pada Tabel 25.
114
Tabel 25 Kualitas ikan saat sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 1
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
Ukuran Subgrup (n)
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
360
Jumlah Cacat (pn)
5
3
5
0
12
3
11
18
9
8
0
14
10
13
3
0
0
6
120
Proporsi Cacat (%)
25
15
25
0
60
15
55
90
45
40
0
70
50
65
15
0
0
30
-
Sumber: Data Primer Penelitian, 2008
Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa terjadi penambahan jumlah ikan tidak
layak konsumsi, baik pada kapal purse seine, bubu maupun gillnet. Penambahan
jumlah ikan tidak layak konsumsi terbanyak terjadi pada kapal purse seine. Hal ini
dipengaruhi oleh waktu pelelangan yang cukup lama, selama 4 jam. Seperti telah
dikatakan sebelumnya, pelelangan terjadi dalam waktu yang lama, diakibatkan oleh
banyaknya jumlah ikan yang dilelang. Selama proses pelelangan terjadi, terdapat
banyak hal yang dapat menyebabkan turunnya kualitas ikan. Semakin lama waktu
pelelangan, maka akan semakin lama ikan dibiarkan berada dalam keadaan terbuka.
Hal ini dapat menyebabkan ikan terkontaminasi dengan udara luar. Selain itu,
semakin lama proses pelelangan, maka akan semakin lama ikan berada di antara
genangan lendir dan darah ikan yang tercecer di lantai TPI.
Keranjang 2 dari masing-masing kapal merupakan keranjang yang berisi ikanikan yang berada di bagian bawah palkah. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang
terlebih dahulu tertangkap pada saat operasi penangkapan berlangsung. Kualitas ikan
sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 2 dapat dilihat pada Tabel 26.
115
Tabel 26 Kualitas ikan saat sebelum pengangkutan dari TPI pada keranjang 2
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Jenis Kapal
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Purse seine
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Bubu
Gillnet
Jumlah
Ukuran Subgrup (n)
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
360
Jumlah Cacat (pn)
9
13
15
0
4
6
20
20
13
7
5
20
17
7
0
4
5
11
176
Proporsi Cacat (%)
45
65
75
0
20
30
100
100
65
35
25
100
85
35
0
20
25
55
-
Sumber: Data Primer Penelitian, 2008
Berdasarkan Tabel 26, ikan yang berada di keranjang 2 pun mengalami
penurunan kualitas, sehingga terjadi penambahan jumlah ikan tidak layak konsumsi.
Hal ini pun dipengaruhi oleh waktu pelelangan yang cukup lama, selama 4 jam,
seperti halnya penurunan kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI, pada
keranjang 1. Selain itu, penurunan kualitas juga disebabkan beberapa faktor lain,
seperti fasilitas dan sanitasi PPI, proses penanganan dan para pelaku aktivitas, yang
akan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan diagram sebab akibat.
Berdasarkan Tabel 25 dan 26, baik di keranjang 1 maupun keranjang 2,
memiliki kisaran prosentase ikan tidak layak konsumsi sekitar 15-100%. Salah satu
contohnya adalah pada saat setelah pembongkaran, kapal purse seine ke-7 pada
keranjang 2 memiliki jumlah ikan tidak layak konsumsi sebanyak 5 ikan, sedangkan
pada saat sebelum pengangkutan jumlahnya menjadi 20 ikan. Dapat terlihat bahwa
terjadi penurunan kualitas yang cukup jauh, apabila dibandingkan dengan kualitas
ikan saat setelah pembongkaran. Saat sebelum pengangkutan dari TPI, hampir semua
kapal memiliki ikan tidak layak konsumsi.
116
7.4 Diagram Sebab Akibat Kualitas Ikan Buruk Setelah Pembongkaran sampai
Sebelum Pengangkutan ke Perusahaan atau Pedagang
Hasil tangkapan yang didaratkan, setelah dibongkar sebelum didistribusikan,
terlebih dahulu mengalami proses pelelangan. Setelah pelelangan selesai, ikan-ikan
yang telah dilelang akan didistribusikan baik ke perusahaan, pengasinan maupun
langsung ke pedagang-pedagang pengecer atau grosir untuk dijual kembali ke
konsumen. Oleh karena itu, usaha untuk mempertahankan kualitas ikan sangat
penting. Kualitas ikan yang baik sangat berpengaruh terhadap harga ikan yang akan
dijual.
Pada saat pengamatan, ikan-ikan di TPI yang akan diangkut menuju perusahaan
atau pedagang mengalami penurunan kualitas, karena disebabkan oleh berbagai
faktor. Oleh karena itu, diperlukan analisis dengan menggunakan diagram sebab
akibat untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dari permasalahan kualitas ikan tidak
layak konsumsi, sejak setelah pembongkaran hingga sebelum pengangkutan dari TPI
ke perusahaan atau pedagang.
Faktor penyebab utama ikan tidak layak konsumsi, sejak setelah pembongkaran
hingga sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang, adalah pelaku,
sanitasi PPI, fasilitas PPI, proses pelelangan dan penanganan ikan. Faktor penyebab
utama kualitas ikan tidak layak konsumsi, pada saat setelah pembongkaran sampai
sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang, mulai dianalisis sejak
ikan didaratkan di dermaga bongkar, masuk ke dalam TPI untuk pelelangan, hingga
ikan siap untuk diangkut dari gedung TPI menuju perusahaan atau pedagang. Setiap
faktor penyebab utama dibuat akar permasalahan lebih rinci disebut sebagai faktor
penyebab akar dari karakteristik kualitas (Murdaniel, 2007).
(1) Pelaku
Salah satu faktor penyebab utama kualitas ikan buruk saat sebelum
pendistribusian adalah pelaku. Akar permasalahan dari faktor utama dibagi menjadi
tiga. Pertama, kuli angkut yang bertugas untuk mengangkut hasil tangkapan sejak
ikan dibongkar sampai ikan siap untuk diangkut dari TPI ke perusahaan atau
pedagang, memiliki pengetahuan tentang penanganan ikan yang masih rendah dan
117
perlakuan terhadap ikan yang kurang baik. Sebagai contoh, ketika akan memindahkan
ikan dari keranjang TPI ke dalam keranjang pemenang lelang, yaitu meratakan ikan
dengan cara menginjak-injak ikan sampai rata, sehingga ikan dapat mengalami
kerusakan fisik.
Kedua, pemilik kapal yang selalu berdiri di atas keranjang ikan pada saat
pelelangan berlangsung menyebabkan air dan kotoran yang menempel di dasar sepatu
dapat mengotori badan ikan. Air dan kotoran tersebut dapat mempercepat terjadinya
proses pembusukan ikan. Ketiga, peserta lelang yang tidak menjaga kebersihan pada
saat mengikuti proses pelelangan. Peserta lelang yang merokok dan meludah
sembarangan, dapat mencemari tempat pelelangan ikan, sehingga mengembangkan
bakteri dan dapat mempercepat proses pembusukan. Hal ini dapat terjadi karena
terjadi kontaminasi antara ikan dengan lingkungan yang kotor.
Sesuai dengan standar yang ada, seharusnya orang yang tidak berkepentingan
dilarang masuk ke dalam TPI. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebelum
masuk ke dalam TPI, hendaknya orang-orang tersebut mencuci tangan dan kaki di
dalam bak air yang berisi chlor. Alangkah lebih baik apabila para pelaku juga
mengganti sepatu yang digunakan dengan sepatu boot khusus, seperti halnya di
pelabuhan perikanan Perancis (Lubis, 2006). Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya kontaminasi ikan oleh bakteri dan kuman penyakit yang terbawa dari luar.
Penerapan hukum dan aturan yang jelas dapat menjadi salah satu upaya
pengelolaan untuk masalah pelaku ini. Penegakan hukum dan aturan yang baik dapat
mengurangi resiko ikan tidak layak konsumsi yang diakibatkan oleh pelaku.
(2) Fasilitas PPI
Akar permasalahan dari segi fasilitas PPI adalah: dermaga bongkar yang tidak
dilengkapi dengan kanopi, sehingga ikan dapat terkena sinar matahari langsung.
Sebelum diangkut ke TPI, ikan-ikan dibiarkan di dermaga bongkar. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan mutu ikan. Tempat yang terbatas di Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) juga menjadi salah satu akar permasalahan dari segi fasilitas PPI. Pada saat
musim puncak, banyak ikan yang tidak tertampung di dalam gedung TPI, sehingga
118
terpaksa dilelang di luar gedung TPI. Hal ini mengakibatkan bakteri yang ada akan
berkembang dengan cepat, karena pengaruh kontaminasi dengan udara luar dan sinar
matahari langsung yang dapat mempercepat proses pembusukan.
Akar permasalahan yang lain adalah penggunaan keranjang yang tidak dicuci
dengan benar. Hal ini dapat terlihat dari sisa bekas darah dan lendir yang masih
menempel dan mengering di dalam keranjang tersebut. Tangki air bersih yang berada
di sekitar area TPI, masih belum dapat memenuhi kebutuhan air bersih untuk
pencucian ikan. Pada saat pengamatan, terlihat masih banyak nelayan yang
menggunakan air kolam pelabuhan untuk mencuci ikan. Pasokan air bersih yang
cukup akan mengurangi salah satu resiko ikan tidak layak konsumsi akibat masalah
fasilitas PPI.
(3) Proses Pelelangan Ikan
Proses pelelangan ikan dimulai sejak pukul 08.00. Proses pelelangan ikan ini
dapat berakhir pada pukul 10.00, apabila sedang tidak banyak ikan dan pada pukul
12.00, ketika sedang musim puncak. Proses pelelangan ikan membutuhkan waktu
yang lama, terutama pada saat musim puncak, dimana jumlah ikan yang dilelang
sangat banyak bahkan terkadang sampai keluar gedung TPI. Waktu pelelangan yang
terlalu lama menyebabkan ikan mengalami penurunan kualitas, karena dibiarkan
terbuka dan tidak mendapatkan penanganan yang layak seperti tidak diberi es. Jumlah
peserta lelang yang terlalu banyak, juga dapat mempengaruhi kualitas ikan. Semakin
banyak jumlah orang yang ikut dalam pelelangan, maka akan semakin banyak kuman
yang ikut masuk dan mencemari ikan.
Jumlah orang yang terlalu banyak di dalam gedung TPI diakibatkan setiap
peserta lelang membawa sekitar 2-3 orang lain untuk menjaga ikan setelah ikan
dimenangkan. Selain itu, para kuli angkut juga banyak berkerumun di dalam gedung
TPI. Sebaiknya dilakukan penertiban orang-orang yang masuk ke dalam gedung TPI.
Pembuatan peraturan seperti SSOP yang dilakukan di pabrik pengolahan ikan penting
dilakukan dalam rangka menjaga kualitas ikan.
119
(4) Sanitasi PPI
Akar permasalahan dari segi sanitasi PPI terutama di TPI adalah saat proses
pembongkaran dan pelelangan ikan. Proses pembongkaran dan pelelangan ikan ini
menimbulkan limbah, baik limbah padat maupun cair. Limbah padat dan cair dapat
mencemari lantai dermaga bongkar dan TPI. Genangan darah dan lendir ikan serta
ceceran air sisa pencucian ikan dapat mencemari ikan dan menyebabkan ikan
mengalami penurunan kualitas.
Sanitasi yang kurang terjaga di lingkungan sekitar dermaga bongkar dan TPI,
menyebabkan hadirnya binatang-binatang liar, seperti tikus, anjing, kucing dan lalat.
Kehadiran
binatang-binatang
liar
tersebut
dapat
mengganggu
kenyamanan
beraktivitas, serta dapat mencemari ikan yang didaratkan apabila terjadi kontak secara
langsung. Hal ini dapat menyebabkan resiko masuknya bakteri ke dalam tubuh ikan,
sehingga dapat mempercepat proses pembusukan ikan. Penyapuan dan penyemprotan
lantai dermaga bongkar dan TPI harus dilakukan setiap kali proses pembongkaran
dan pelelangan ikan selesai. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi resiko
penurunan kualitas ikan akibat sanitasi PPI.
(5) Penanganan Ikan
Penanganan ikan terkadang sering dilakukan dengan kurang cermat. Pencucian
ikan dilakukan dengan menggunakan air kolam pelabuhan. Air kolam pelabuhan yang
kotor dan mengandung limbah, baik limbah padat maupun limbah cair, dapat
mencemari ikan.
Ikan-ikan yang akan dilelang tidak diberikan es sebagai pengawet, hanya
beberapa ikan saja yang diberikan es. Ikan-ikan yang diberikan es adalah ikan-ikan
yang memiliki kualitas ekspor, misalnya ikan kakap, ikan kerapu dan ikan tenggiri.
Hal ini mengakibatkan saat setelah selesai pelelangan dan akan didistribusikan, ikan
telah mengalami pemunduran kualitas yang cukup jauh, jika dibandingkan dengan
kualitas ikan pada saat setelah pembongkaran. Hal ini diindikasikan dengan jumlah
ikan tidak layak konsumsi yang mengalami peningkatan. Pemberian es merupakan
120
cara yang efektif dalam rangka mempertahankan kualitas ikan. Pemutusan rantai
dingin dalam penanganan ikan ini menyebabkan tingkat kesegaran ikan bervariasi.
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989), kelayakan ikan sebagai sumber
makanan sangat dipengaruhi oleh mutu ikan itu sendiri. Ikan busuk mengandung
senyawa yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia dan sebaiknya tidak dimakan,
diawetkan ataupun diolah lebih lanjut menjadi produk lain. Selanjutnya disebutkan
bahwa, pengawetan atau pengolahan ikan busuk akan menghasilkan produk yang
berkualitas rendah bahkan tidak bermanfaat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, secara umum ikan yang
didaratkan di PPI Muara Angke, terutama dari tiga jenis kapal yaitu purse seine, bubu
dan gillnet, masih dalam kondisi yang kurang baik. Dilihat dari nilai organoleptik
ikan yang masih banyak dibawah angka 6. Ikan-ikan tersebut sudah tidak layak
dikonsumsi dalam keadaan segar. Akan tetapi, berdasarkan hasil wawancara, di PPI
Muara Angke, ikan-ikan yang memiliki nilai organoleptik dibawah angka 6 tersebut,
masih dapat dikonsumsi tetapi harus diolah terlebih dahulu.
Pengolahan ikan yang dimaksud adalah pengeringan, pengasinan, pengasapan
dan pemindangan. Dalam kenyataannya, ikan-ikan yang memiliki nilai organoleptik
dibawah 6 sudah tidak layak konsumsi, baik dalam keadaan segar maupun mengalami
pengolahan terlebih dahulu. Hal ini akan menimbulkan rasa hambar dan gatal pada
saat dikonsumsi. Alangkah lebih baik, apabila ikan-ikan yang mengalami proses
pengolahan, juga merupakan ikan-ikan yang masih layak konsumsi, atau ikan-ikan
yang memiliki nilai organoleptik diatas 6.
Dapat disimpulkan bahwa, di PPI Muara Angke masih terdapat penyimpangan
ikan-ikan yang menjadi bahan baku usaha pengolahan, terutama usaha pengasinan
ikan. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka produk-produk olahan ini dapat
berbahaya bagi kesehatan manusia.
Fasilitas PPI
TPI
Penanganan Ikan
Pencucian Ikan di Kapal
dan Dermaga
Keranjang
Tempat Terbatas
Proses Pelelangan
Penggunaan Air
Kolam Pelabuhan
Tidak Dicuci
Bersih
Dermaga Bongkar
Tidak Menggunakan
Kanopi
Jumlah Peserta Lelang
Tangki Air Bersih
Kurangnya Pasokan
Kurang Pengetahuan
Peserta Lelang
Tidak Menjaga
Kebersihan
Perilaku Pelaku
Terlalu Banyak
Kuli Angkut
Memperlakukan Ikan Tidak
Baik
Terlalu Lama
Jumlah Ikan yang
Dilelang
Terlalu Banyak
Pengawetan Ikan
Tidak Diberikan
Es
Ikan yang Tidak
Layak Konsumsi
Limbah Padat
Limbah Padat
Pelelangan Ikan
Memperlakukan Ikan Tidak
Baik
Pemilik Kapal
Waktu Pelelangan
Pembongkaran Ikan
Limbah Cair
Limbah Cair
Sanitasi PPI
Gambar 30 Diagram sebab akibat kualitas ikan tidak layak konsumsi setelah pembongkaran hingga pengangkutan dari TPI
ke perusahaan atau pedagang.
121
8. UPAYA PENGELOLAAN DAMPAK SANITASI TERHADAP KUALITAS
IKAN DI PPI MUARA ANGKE
8.1 Dampak Sanitasi terhadap Kualitas Ikan
Kondisi sanitasi dan kebersihan yang kurang baik, khususnya pada saat aktivitas
pendaratan, pengangkutan dan pelelangan ikan akan mempengaruhi kualitas ikan. Hal
ini terlihat dari hasil pengukuran kualitas ikan menggunakan skala organoleptik, yang
diamati pada saat setelah pembongkaran di dermaga bongkar dan sebelum pelelangan
serta di TPI saat sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan dan pedagang.
Dampak lain dari kondisi sanitasi dan kebersihan yang tidak ditangani dengan
baik di kolam pelabuhan, akan mempengaruhi kualitas ikan yang didaratkan. Air
kolam pelabuhan yang kotor dan mengandung limbah, baik limbah padat maupun
cair, seringkali digunakan oleh nelayan untuk mencuci ikan. Penggunaan air kolam
pelabuhan untuk mencuci ikan, dapat menyebabkan berkembangnya mikroorganisme
yang akan mempercepat proses pembusukan.
Dampak kondisi sanitasi dan kebersihan terhadap kualitas ikan adalah: kualitas
ikan mengalami penurunan yang cukup jauh, setelah berada di TPI dalam waktu yang
cukup lama, selama ± 4 jam. Hal ini disebabkan terkontaminasi dengan ceceran
potongan tubuh ikan, genangan darah dan lendir ikan, serta udara sekitar yang
mencemari ikan-ikan tersebut. Potongan tubuh ikan yang tercecer di sekitar keranjang
ikan yang dilelang, menyebabkan timbulnya bakteri yang juga dapat mencemari ikan.
Ceceran darah dan lendir ikan yang menggenangi lantai TPI, dapat mempercepat
proses pembusukan ikan.
Proses pelelangan yang terjadi di PPI Muara Angke, biasanya berlangsung
sekitar ± 4 jam pada saat musim puncak dan 2 jam pada saat musim paceklik. Hal ini
sangat berpengaruh terhadap kualitas ikan yang menurun pada saat sebelum
pendistribusian. Lamanya proses pelelangan, menyebabkan kondisi ikan yang berada
pada tumpukan paling bawah di keranjang, menjadi terendam genangan darah dan
lendir yang terdapat di lantai TPI.
Penurunan mutu ikan yang didaratkan juga terjadi, apabila limbah tidak dikelola
dan ditangani dengan baik. Limbah padat yang dibiarkan berceceran dan membusuk
123
di dermaga bongkar dan TPI, akan menimbulkan berbagai mikroorganisme yang
tidak diinginkan. Jika mikroorganisme tersebut mengkontaminasi produk ikan yang
didaratkan, maka yang terjadi adalah proses pembusukan ikan berlangsung lebih
cepat. Semakin cepat proses pembusukan berlangsung, maka akan semakin cepat pula
penurunan mutu ikan. Hal ini akan langsung berakibat terhadap menurunnya nilai jual
ikan dan menyebabkan kerugian ekonomi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Penggunaan keranjang ikan selama proses pembongkaran, pengangkutan dan
pelelangan ikan juga dapat mempengaruhi kualitas ikan. Keranjang ikan yang tidak
dicuci dengan bersih, dapat menimbulkan sisa darah dan lendir yang mengering di
sisi keranjang. Hal ini menimbulkan bakteri dan mikroorganisme masih tersisa dalam
keranjang dan dapat mempercepat pembusukan ikan. Pencucian keranjang di PPI
Muara Angke, dilakukan setelah proses pelelangan selesai. Keranjang ikan dicuci
secara manual. Keranjang dicuci di sebuah tempat yang berbentuk cekungan dan diisi
dengan air. Para pekerja yang mencuci keranjang, hanya menggunakan alat
penggosok tanpa menggunakan sabun ataupun disinfektan.
Dalam Lubis (2006), di beberapa pelabuhan perikanan di Perancis, pencucian
keranjang ikan tidak dilakukan secara manual. Keranjang-keranjang ikan bekas pakai,
dimasukkan ke dalam mesin pencuci keranjang. Setelah masuk ke dalam mesin,
keranjang-keranjang tersebut akan tercuci secara otomatis, sehingga pada saat keluar
dari mesin, sudah dalam keadaan bersih. Dengan membandingkan kondisi di atas,
dapat dinyatakan bahwa kualitas cara pencucian keranjang di PPI Muara Angke
masih belum memenuhi standar sanitasi, sehingga menjadi salah satu alasan
terjadinya pembusukan lebih cepat dan menurunnya kualitas ikan.
8.2 Upaya Pengelolaan Sanitasi yang Dilakukan Pihak UPT PPI Muara Angke
Penanganan dan pemeliharaan sanitasi dan kebersihan berada di bawah
pengawasan langsung UPT PPI Muara Angke dan berkoordinasi dengan Seksi
Pelelangan Ikan. Kepala pelabuhan menugaskan kepada Kepala Seksi Pelelangan
Ikan untuk mengawasi kebersihan kawasan pendaratan dan pelelangan ikan.
124
Metode penanganan limbah di PPI Muara Angke dibedakan menjadi dua, sesuai
dengan jenis limbah yang ada, yaitu penanganan untuk limbah padat dan penanganan
untuk limbah cair. Jenis limbah padat seperti bungkusan plastik, kertas dan potonganpotongan kayu. Limbah padat yang ada di lingkungan pelabuhan dikumpulkan oleh
tenaga kebersihan di lapangan lalu ditampung di Tempat Penampungan Sementara
(TPS) PPI Muara Angke.
Limbah padat yang berada di dalam kolam pelabuhan dibersihkan secara rutin
setiap hari. Terdapat 3 buah kapal kebersihan yang disediakan oleh Dinas Kebersihan
Pemda DKI Jakarta (Gambar 31 dan Gambar 32), yaitu 2 buah kapal yang khusus
membersihkan kawasan kolam pelabuhan dan satu kapal yang bertugas untuk
membersihkan seluruh kawasan Pantai Utara Jakarta mulai dari daerah Kamal Muara
hingga Cilincing termasuk Muara Angke.
Gambar 31 Kapal kebersihan kawasan Pantai Utara Jakarta
Pada pagi hari kapal kebersihan mulai beroperasi keliling kolam pelabuhan,
sampah-sampah diambil dengan menggunakan bantuan serok. Selanjutnya, limbah
padat dimasukkan ke dalam karung-karung dan dikumpulkan di atas kapal kebersihan
125
yang bertugas untuk membersihkan seluruh kawasan Pantai Utara Jakarta yang
berukuran lebih besar.
Gambar 32 Kapal kebersihan khusus kawasan PPI Muara Angke.
Limbah padat di kawasan dermaga dan TPI PPI Muara Angke dibersihkan
secara rutin setiap hari, baik setelah proses pembongkaran maupun pelelangan ikan
selesai dilakukan. Pembersihan dilakukan oleh petugas kebersihan pelabuhan khusus
dermaga bongkar dan TPI. Sampah-sampah yang ada dikumpulkan di dalam gerobak
sampah yang disediakan. Pihak pelabuhan menyediakan beberapa buah tempat
sampah di sekitar dermaga bongkar dan TPI untuk lebih menjaga kebersihan.
Selanjutnya, sampah-sampah dan limbah padat tersebut diangkut menggunakan truk
sampah ke luar Jakarta. Sampah-sampah ini diangkut menuju Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi.
PPI Muara Angke masih belum dilengkapi oleh sistem IPAL (Instalasi
Pengolahan Air Limbah), sehingga limbah-limbah cair yang berasal dari sisa
pencucian ikan, lantai dermaga bongkar dan TPI hanya langsung dialirkan ke dalam
saluran pembuangan dan selanjutnya masuk ke dalam waduk penampungan tanpa
mengalami pengolahan terlebih dahulu. Limbah cair yang berasal dari sisa pencucian
kapal langsung masuk ke dalam kolam pelabuhan tanpa mengalami pengolahan
terlebih dahulu.
126
Pada Tabel 27 disajikan upaya pengelolaan dampak sanitasi yang seharusnya
dilakukan oleh pihak PPI Muara Angke, dalam rangka mengatasi dampak sanitasi
akibat aktivitas kepelabuhanan.
Tabel 27 Upaya pengelolaan sanitasi di PPI Muara Angke, berdasarkan dampak yang
ditimbulkan menurut aktivitas dan pelaku
No
1.
2.
3.
4.
Aktivitas PPI
Dampak yang Ditimbulkan
Upaya Pengelolaan
Tambat kapal • Kolam pelabuhan menjadi kotor karena nelayan • Pengoperasian kapalkapal pembersih dan
dan ABK membuang sampah ke dalam kolam;
pengangkut sampah
• Banyak ceceran minyak dan oli yang berasal dari
di sekitar pelabuhan;
kapal menggenangi perairan pelabuhan.
• Penerapan teknologi
oil catcher sehingga
minyak dan oli tidak
langsung mengotori
kolam pelabuhan.
Pendaratan,
• Banyak ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang • Pembersihan dan
penyortiran
penyemprotan lantai
langsung dibuang ke dalam kolam pelabuhan;
serta
dermaga setiap
• Lantai dermaga bongkar yang becek dan licin
pembongkaran karena ceceran bekas es dan air yang ikut terbawa
pembongkaran
hasil
selesai;
di dalam keranjang;
tangkapan dari • Sisa es yang digunakan langsung dibuang ke • Pengambilan sisa es
kapal ke
oleh kuli angkut
dermaga dan berserakan;
dermaga
• Banyak potongan ikan, ceceran lendir dan darah • Penyapuan dan
bongkar
penyemprotan
ikan yang berceceran dan menggenangi dermaga;
dermaga bongkar
• Penurunan kualitas ikan.
selesai bongkar.
Pelelangan
• Penyemprotan dan
• Bau yang kurang sedap di sekitar TPI;
ikan di
pencucian lantai TPI
• Lantai yang becek karena genangan darah dan
Tempat
setiap selesai proses
lendir ikan;
Pelelangan
lelang meskipun
• Lantai yang kotor karena potongan ikan yang
Ikan
tanpa disinfektan;
berceceran saat pengangkutan ikan dan
• Kemiringan lantai
pemindahan ikan ke keranjang pemenang lelang;
sudah dibuat 2º.
• Peningkatan prosentase ikan tidak layak konsumsi.
Pelaku (ABK, • Banyak sampah plastik yang terdapat di
• Pemberian
Kuli angkut,
penyuluhan tentang
lingkungan dermaga dan TPI;
pemilik kapal • Banyak ikan yang jatuh tercecer di lantai dermaga
pentingnya menjaga
dan peserta
sanitasi dan
dan TPI;
lelang)
kebersihan;
• Banyak sampah plastik dan potongan ikan yang
• Peningkatan
tergenang di kolam pelabuhan;
frekuensi
• Banyak terdapat puntung rokok berserakan;
pengawasan;
• Banyak ludah yang berceceran di lantai dermaga
• Petugas pengawas
bongkar dan TPI.
sanitasi dan
kebersihan, siaga
setiap saat.
Sumber: Data Primer Penelitian, 2008
127
Penanganan pencemaran udara, seperti untuk mengurangi bau busuk atau bau
yang tidak sedap, dapat dilakukan dengan mengadakan program penanaman pohonpohon berdaun lebat di sekitar lingkungan dermaga bongkar dan TPI (Anonymous,
1993). Lingkungan sekitar dermaga bongkar dan TPI tidak memiliki lahan untuk
penanaman pohon. Oleh karena itu, PPI Muara Angke berusaha melakukan upaya
penanaman pohon dengan meletakkan pepohonan di dalam pot yang terbuat dari
drum bekas, di sekitar areal parkir TPI PPI Muara Angke.
Dilihat dari Tabel 27 di atas, upaya pengelolaan yang telah dilakukan oleh pihak
TPI PPI Muara Angke sudah baik. Pembersihan kolam pelabuhan, dermaga bongkar
dan TPI sudah dilakukan secara rutin. Berdasarkan pengamatan dan wawancara
dengan pihak TPI, meskipun sanitasi dan kebersihan masih kurang terjaga, pihak
UPT dan TPI PPI Muara Angke telah berusaha melakukan berbagai macam upaya
pengelolaan sanitasi dan kebersihan.
Pembersihan kolam pelabuhan dilakukan dengan menggunakan kapal
pembersih dan kapal pengangkut sampah. Para petugas menggunakan serok untuk
mengambil sampah-sampah yang ada di dalam kolam pelabuhan. Setelah sampah
dikumpulkan di kapal sampah, sampah kemudian dipindahkan ke dalam truk sampah
untuk kemudian diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang,
Kabupaten Bekasi.
Limbah padat di kolam pelabuhan dapat ditangani dengan baik, misalnya
penyaringan limbah padat dengan menggunakan kapal pembersihan secara rutin
setiap pagi. Limbah cair yang sudah masuk ke dalam kolam pelabuhan sulit untuk
ditangani. Meskipun dapat ditangani tetapi harus melalui proses yang sangat rumit
dan membutuhkan biaya yang banyak. Dalam rangka mencegah terjadinya ceceran oli
dan minyak yang berasal dari kapal masuk ke dalam kolam pelabuhan, lebih baik
apabila setiap kapal perikanan dilengkapi oleh oil catcher. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi jumlah minyak dan oli yang berasal dari kapal-kapal tersebut. Dengan
adanya teknologi ini, diharapkan minyak dan oli yang berasal dari kapal dapat
tersaring lebih dulu sebelum masuk ke dalam kolam pelabuhan.
128
Pembersihan dermaga bongkar dilakukan setiap kali proses pembongkaran dan
pengangkutan ikan selesai dilakukan. Pembersihan dermaga bongkar dilakukan
dengan cara penyemprotan dan penyapuan dermaga bongkar oleh para petugas dari
TPI. Limbah padat yang ada setelah penyapuan dermaga, dikumpulkan di tempat
penampungan sementara. Setelah itu, limbah padat tersebut akan dibuang ke Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Kabupaten Bekasi.
Setiap kali proses pelelangan selesai, para petugas TPI mulai menyemprot
lantai hingga bersih. Penyemprotan dilakukan secara menyeluruh di setiap bagian
TPI. Kemiringan lantai TPI dibuat hingga 2º agar memudahkan dalam pembersihan
lantai TPI. Dengan kemiringan 2º tersebut, air sisa pembersihan lantai TPI akan
mengalir secara langsung ke dalam saluran pembuangan. Limbah cair tersebut masuk
ke dalam waduk tempat penampungan dan dikelola lebih lanjut sebelum masuk
kembali ke laut.
Upaya pengelolaan sanitasi sampai saat ini masih menghadapi beberapa
kendala. Kendala yang dimaksud adalah perilaku nelayan, kuli angkut, pedagang dan
peserta lelang yang kurang memberi perhatian serta kesadaran akan pentingnya
sanitasi dan kebersihan di lingkungan tempat pendaratan dan pelelangan ikan.
Apabila dibandingkan dengan pengelolaan dan pemeliharaan sanitasi dan
kebersihan yang telah dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ),
pengelolaan dan pemeliharaan yang dilakukan oleh pihak UPT PPI Muara Angke
sudah cukup baik. Upaya pengelolaan limbah padat di PPI Muara Angke sudah sesuai
dengan yang dilakukan di PPSJ, tetapi untuk limbah cair, pengelolaan yang dilakukan
di PPI Muara Angke masih belum sesuai dengan standar.
9. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
1) Aktivitas yang memberi dampak terhadap sanitasi di tempat pendaratan dan
pelelangan ikan adalah proses pembongkaran, pengangkutan dan pelelangan ikan.
Ketiga aktivitas tersebut, menghasilkan jenis limbah fisik yang sama sehingga
menimbulkan kurangnya sanitasi di tempat pendaratan dan pelelangan ikan.
Limbah fisik tersebut antara lain potongan tubuh, genangan darah dan lendir ikan,
sisa bongkahan es untuk mengawetkan ikan, serta air sisa pencucian ikan.
2) Dampak dari sanitasi aktivitas pembongkaran, pengangkutan dan pelelangan ikan
yang kurang terjaga, menyebabkan penurunan kualitas ikan. Hasil analisis
prosentase ikan tidak layak konsumsi, berdasarkan data dua puluh kapal yang
melakukan pembongkaran di PPI Muara Angke, menunjukkan bahwa kualitas
ikan yang didaratkan tidak layak konsumsi. Pada saat pembongkaran, baik untuk
keranjang 1 maupun keranjang 2, kisaran prosentase ikan tidak layak konsumsi
adalah sekitar 10-45%. Pada saat pelelangan, prosentase jumlah ikan tidak layak
konsumsi tidak mengalami peningkatan, untuk dua keranjang. Rata-rata ikan
tidak layak konsumsi pada saat setelah pembongkaran adalah 1 ekor ikan untuk
masing-masing keranjang. Pada saat sebelum pengangkutan dari TPI, terjadi
penurunan kualitas. Kisaran prosentase jumlah ikan tidak layak konsumsi adalah
15-100%. Rata-rata ikan tidak layak konsumsi pada saat sebelum pengangkutan
dari TPI adalah 7 ekor ikan untuk keranjang 1, sedangkan 9 ekor ikan untuk
keranjang 2. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi sanitasi dan penanganan ikan di
pelabuhan perikanan, mempengaruhi penurunan kualitas ikan.
3) Upaya pengelolaan yang telah dilakukan dalam menangani limbah padat adalah
dengan melakukan penyapuan dan pengumpulan limbah padat, minimal setiap
kali setelah proses pembongkaran dan pelelangan ikan selesai dilakukan. PPI
Muara Angke masih belum dilengkapi dengan sistem IPAL (Instalasi Pengolahan
Air Limbah), sehingga limbah cair tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu,
melainkan dialirkan langsung ke dalam saluran pembuangan, kemudian masuk ke
130
dalam waduk penampungan. Penanganan pencemaran udara dapat dilakukan
dengan penanaman pepohonan di lingkungan sekitar dermaga bongkar dan TPI
untuk mengurangi bau tidak sedap. Upaya yang belum dilakukan adalah
penggunaan oil catcher untuk mengurangi jumlah buangan minyak dan oli dari
kapal, jumlah petugas pengawas sanitasi dan kebersihan yang masih kurang,
pemberian penyuluhan kepada para pelaku di pelabuhan, pembuatan aturan-aturan
terkait dengan sanitasi serta sanksi yang belum diberikan kepada para pelanggar
aturan.
9.2 Saran
1) Perlu upaya pengurangan dampak dengan mengoptimalkan pengelolaan sanitasi
di kolam pelabuhan, dermaga bongkar dan TPI melalui pengadaan penyuluhan,
meningkatkan frekuensi pembersihan dan pemberian sanksi terhadap para
pelanggar aturan serta peningkatan pengawasan di seluruh kawasan PPI Muara
Angke.
2) Peningkatan mutu pada usaha perikanan, masih perlu terus diupayakan.
Peningkatan mutu terkait dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia
(SDM) melalui pembinaan dan penyuluhan secara rutin, perbaikan sarana dan
prasarana, serta perlu adanya sistem pengendalian kualitas ikan yang didaratkan.
3) Hal yang terpenting dalam melakukan upaya pengelolaan sanitasi dan kebersihan
adalah pasokan air bersih. Penyediaan air bersih yang mencukupi, akan dapat
meminimalisasi pencucian ikan dengan menggunakan air kolam pelabuhan.
Selain itu, penyemprotan lantai dermaga bongkar dan TPI serta pencucian
keranjang ikan dapat dilakukan dengan lebih baik.
4) Dalam rangka meningkatkan kualitas sanitasi, sebaiknya pihak PPI Muara Angke
melakukan upaya-upaya, antara lain meningkatkan frekuensi pembersihan tempat
pendaratan
dan
pelelangan
ikan,
tidak
terbatas
hanya
setelah
proses
pembongkaran dan pelelangan selesai, serta melakukan kajian lebih lanjut
terhadap sanitasi dan kebersihan di lingkungan PPI Muara Angke, agar dapat
melakukan penerapan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Anita. 2003. Pengendalian Mutu Produksi Layur (Trichiurus. sp.) di PPN
Palabuhanratu untuk Tujuan Ekspor [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Anonymous, 1993. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) Pelabuhan Perikanan
Palabuhanratu. Kerjasama Fakultas Perikanan IPB dengan PT. Andhika
Angkayasa Konsultan. Jakarta: Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal
Perikanan.
Anonymous, 2006. Potensi Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan
Ikan Muara Angke. Jakarta: UPT PPI Muara Angke. Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta.
Anonymous, 2007. Data Potensi Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara.
Jakarta: Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kotamadya Jakarta
Utara.
Aryadi, O. 2007. Pengendalian Kualitas Ikan pada Distribusi Hasil Tangkapan di PPP
Cilauteureun Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut [Skripsi]. Bogor:
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Desiwardani, S. 2007. Pengaruh Hasil Tangkapan dan Kondisi Kesejahteraan
Nelayan di Desa Sungaibuntu Karawang Jawa Barat [Skripsi]. Bogor:
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air (Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan). Yogyakarta: Kanisius.
Hardjito, L. 2006. Diktat Kuliah Pengantar Teknologi Hasil Perikanan. Bogor:
Departemen Teknologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Ishikawa, K. 1989. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu. Terjemahan Nawolo
Widodo. Jakarta: PT. Mediyatama Sarana Perkasa.
Johns, N. 1991. Managing Food Hygiene. London. Macmillan.
Liswati, C. 2000. Tinjauan Teknik Sanitasi dan Higiene pada Unit Pengalengan Ikan
Lemuru (Sardinella longiceps) di PT. Maya Food Industries Pekalongan Jawa
Tengah [Laporan Magang]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
132
Lubis. E. 2000. Buku I: Pengantar Pelabuhan Perikanan. Bahan Kuliah Pelabuhan
Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan, Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Lubis, E. 2006. Buku I: Pengantar Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium
Pelabuhan Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Lubis, E. 2007. Bahan Kuliah Tekhnik Perencanaan Pelabuhan Perikanan. Bogor:
Laboratorium Pelabuhan Perikanan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Mahendra, R. 2001. Studi Persaingan Hasil Tangkapan dan Aktivitas Kepelabuhanan
di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan dan Pangkalan Pendaratan Ikan
Bajomulyo [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Mahyuddin, B. 2007. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep
Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu
[Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Malik, JS. 2006. Kajian Distribusi Hasil Tangkapan Ikan di Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI) Muara Angke, Jakarta Utara [Skripsi]. Bogor: Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Menai, ES. 2007. Tinjauan Penanganan Hasil Perikanan Tangkap dan Analisis
Prospek Penerapan Program HACCP pada Pangkalan Pendaratan Ikan
Manokwari Papua [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Mulyadi, MD. 2007. Analisis Pendaratan dan Penanganan Hasil Tangkapan serta
Fasilitas Terkait di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan [Skripsi].
Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Murdaniel, RPS. 2007. Pengendalian Kualitas Ikan Tuna untuk Tujuan Ekspor di
Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta [Skripsi]. Bogor:
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nasution, MN. 2004. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Control). Bogor:
Ghalia Indonesia.
Novri, F. 2006. Analisis Hasil Tangkapan dan Pola Musim Penangkapan Ikan
Tenggiri (Scomberomerus spp.) di Perairan Laut Jawa Bagian Barat
Berdasarkan Hasil Tangkapan yang Didaratkan di PPI Muara Angke, Jakarta
Utara [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
133
Nurani, TW. 2007. Manajemen Mutu. Laboratorium Sistem dan Optimasi Perikanan
Tangkap. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Rusmali, K. 2004. Analisis Aktivitas Pendaratan dan Pemasaran Hasil Tangkapan
dan Dampaknya terhadap Sanitasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta,
Muara Baru DKI Jakarta [Skripsi]. Bogor: Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Sudarma, D. 2006. Diktat Kuliah Penanganan Hasil Perikanan. Bogor: Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Sugiharto. 2005. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Wibowo. 2001. Aspek Sanitasi dan Higiene pada Pengalengan Ikan Lemuru
(Sardinella longiceps) di PT. Maya Food Industries Pekalongan Jawa Tengah
[Laporan Magang]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Wibowo, H. 2006. Pengaruh Penggunaan Coolbox Diatas Kapal Penangkap Ikan
terhadap Mutu Kesegaran Ikan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
PPI Muara Angke
Sumber : Microsoft Encarta, 2001
135
Lampiran 2. Layout PPI Muara Angke
Sumber: UPT, PKPP & PPI MUARA ANGKE, 2005 (data diolah kembali)
136
137
Lampiran 3. Tabel spesifikasi dan nilai organoleptik ikan segar
Spesifikasi
1. Mata
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih
Cerah, bola mata rata, kornea jernih
Agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh
Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh
Bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh
Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi putih susu, kornea keruh
Bola mata cekung, pupil putih susu, kornea keruh
Bola mata tenggelam, ditutupi lendIr kuning yang tebal
2. Insang
Warna merah cemerlang, tanpa lendir
Warna merah kurang cemerlang, tanpa lendir
Warna merah agak kusam, tanpa lendir
Merah agak kusam, sedikit lender
Mulai ada diskolorasi merah muda, merah coklat, sedikit lendir
Mulai ada diskolorasi, sedikit lendir
Warna merah coklat, lendir tebal
Warna merah coklat atau kelabu, lendir tebal
Warna putih kelabu, lendir tebal sekali
3. Lendir Permukaan Badan
Lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, belum ada perubahan warna
Nilai
9
8
7
6
5
4
3
1
9
8
7
6
5
4
3
2
1
9
Lapisan lendir di permukaan mulai keruh, agak putih susu, warna terangnya mulai suram
7
Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna
Lendir tebal, menggumpal dan berwarna kuning
Lendir berwarna kekuningan sampai coklat dan tebal, warna cerah hilang, pemutihan nyata,
menjadi pengeringan lendir kena udara
4. Daging dan Perut
Sayatan daging sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang
belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding perut dagingnya utuh, bau isi perut segar
Sayatan daging cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang,
perut utuh, ginjal merah terang, dinding perutnya utuh, bau isi perut netral
Aayatan daging Sangat cemerlang, berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang
belakang, perut agak lembek, ginjal mulai merah pudar, dinding perut dagingnya utuh, bau
netral
Sayatan daging masih cemerlang, didua perut agak lembek, agak kemerahan pada tulang
belakang, perut agak lembek, sedikit bau susu
Sayatan daging mulai pudar, didua perut lembek, banyak pemerahan pada tulang belakang,
rusuk mulai lembek, bau perut sedikit asam
Sayatan daging tidak cemerlang, didua perut lunak, pemerahan sepanjang tulang belakang,
rusuk mulai lembek, bau perut sedikit asam
Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali pada sepanjang tulang belakang, dinding perut
lunak sekali, bau asam amoniak
Sayatan daging kusam sekali, warna merah jelas sepanjang tulang belakang, dinding perut
membubar, bau busuk
5. Bau
Segar, bau rumput laut, bau spesifik menurut jenis
Bau segar, bau rumput laut mulai menghilang
Tidak berbau netral
5
3
1
9
8
7
6
5
4
2
1
9
8
7
138
Bau susu, belum ada bau asam, ada bau ikan asin/bau cold storage
Bau susu asam, bau susu kental
Bau asam asetat, bau rumput atau bau sabun
Bau amoniak mulai tercium
Bau amoniak kuat, ada bau H2S
Bau busuk, bau indol
6. Konsistensi atau Tekstur
Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang
Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang, kadangkadang agak lunak sesuai jenisnya
Agak lunak, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang
Agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, agak mudah menyobek dari tulang belakang
Agak lunak, belum ada bekas jari bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang
Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan tapi cepat hilang, mudah menyobek dari tulang belakang
Lunak, bekas jari terlihat lama bila ditekan, mudah menyobek daging dari tulang belakang
Lunak, bekas jari terlihat lama apabila ditekan, mudah sekali menyobek daging dari tulang
belakang
Sangat lunak, bekas jari tidak mau hilang ditekan, mudah sekali menyobek dari tulang belakang
Sumber : SNI 01-2729-1992 diacu dalam Wibowo, 2006
6
5
4
3
2
1
9
8
7
6
5
4
3
2
1
139
Lampiran 4. Contoh perhitungan
1) Proporsi ikan tidak layak konsumsi (p) saat setelah pembongkaran dan sebelum
pelelangan
a) Keranjang 1
p = ∑ ikan tidak layak konsumsi = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6
ukuran subgrup
∑ sampel ikan yang diambil
p = 9 = 0,45 atau 45%
20
b) Keranjang 2
p = ∑ ikan tidak layak konsumsi = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6
ukuran subgrup
∑ sampel ikan yang diambil
p = 8 = 0,40 atau 40%
20
2) Proporsi ikan tidak layak konsumsi (p) saat sebelum pengangkutan dari TPI
a) Keranjang 1
p = ∑ ikan tidak layak konsumsi = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6
ukuran subgrup
∑ sampel ikan yang diambil
p = 13 = 0,65 atau 65%
20
b) Keranjang 2
p = ∑ ikan tidak layak konsumsi = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6
ukuran subgrup
∑ sampel ikan yang diambil
p = 17 = 0,85 atau 85%
20
140
3) Rata-rata proporsi ikan tidak layak konsumsi saat setelah pembongkaran dan
sebelum pelelangan
a) Keranjang 1
p = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6
∑ total ikan sampel
p = 20 = 0,05 x 100% = 5%
360
b) Keranjang 2
p = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6
∑ total ikan sampel
p = 22 = 0,061 x 100% = 6,1%
360
4) Rata-rata proporsi ikan tidak layak konsumsi saat sebelum pengangkutan dari TPI
a) Keranjang 1
p = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6
∑ total ikan sampel
p = 120 = 0,33 x 100% = 33%
360
b) Keranjang 2
p = ∑ ikan dengan nilai organoleptik < 6
∑ total ikan sampel
p = 176 = 0,48 x 100% = 48%
360
Lampiran 5 Data kualitas ikan setelah pembongkaran
a) Keranjang 1 pada Kapal 19
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Jenis Ikan
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Bawal
Mata
8
8
7
7
7
6
7
6
6
7
7
7
7
8
7
6
6
7
7
7
Insang
8
8
7
7
7
7
7
6
6
7
7
7
7
8
7
6
6
7
7
7
Lendir
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
Bau
8
8
8
8
8
7
8
7
7
8
8
8
8
8
8
7
7
8
8
8
Daging&Perut
8
8
7
7
7
7
7
7
7
8
8
8
8
8
7
6
6
7
7
7
Konsistensi
8
8
8
8
8
7
8
7
7
8
8
8
8
8
8
7
7
8
8
8
Rata-rata
8
8
8
8
8
7
8
7
7
8
8
8
8
8
8
7
7
8
8
8
141
b) Keranjang 2 pada Kapal 19
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Jenis Ikan
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Tenggiri
Mata
8
8
8
8
8
7
8
7
7
8
7
7
7
8
8
8
8
8
8
8
Insang
9
9
9
9
8
7
8
8
8
8
8
7
8
9
9
9
9
8
8
8
Lendir
9
9
9
9
9
7
9
9
9
9
9
7
9
9
9
9
9
9
9
9
Bau
8
8
8
8
8
7
8
8
7
8
8
7
8
8
8
8
8
8
8
8
Daging&Perut
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
8
8
8
Konsistensi
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
8
8
8
Rata-rata
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
7
8
8
8
8
8
8
8
8
142
Lampiran 6 Data kualitas ikan sebelum pelelangan
a) Keranjang 1 pada Kapal 11
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Jenis Ikan
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Bilis
Mata
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
Insang
3
3
3
3
3
3
2
2
3
3
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
Lendir
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
Bau
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Daging&Perut
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
Konsistensi
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
4
4
5
5
5
5
5
5
5
4
Rata-rata
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
4
4
5
5
5
5
5
5
5
5
143
b) Keranjang 2 pada Kapal 11
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Jenis Ikan
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Biji Nangka
Mata
2
2
2
1
1
2
1
1
2
2
2
1
1
1
2
2
2
1
2
2
Insang
3
3
3
2
2
3
2
2
3
3
3
2
2
2
3
3
3
2
3
3
Lendir
5
5
5
3
3
5
3
3
5
5
5
3
3
3
5
5
5
3
5
5
Bau
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Daging&Perut
4
4
4
3
3
4
3
3
4
4
4
3
3
3
4
4
4
3
4
4
Konsistensi
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Rata-rata
4
4
4
3
3
4
3
3
4
4
4
3
3
3
4
4
4
3
4
4
144
Lampiran 7 Data kualitas ikan sebelum pengangkutan dari TPI ke perusahaan atau pedagang
a) Keranjang 1 pada Kapal 13
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Jenis Ikan
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Semar
Mata
6
6
6
7
7
7
8
8
6
6
6
7
7
6
6
7
6
6
6
6
Insang
6
6
6
6
5
5
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Lendir
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
Bau
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Daging&Perut
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
5
5
6
6
6
6
6
Konsistensi
4
4
4
6
6
6
6
6
4
4
4
6
6
4
4
6
4
4
4
4
Rata-rata
6
6
6
6
6
6
7
7
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
145
b) Keranjang 2 pada Kapal 13
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Jenis Ikan
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Japuh
Mata
5
5
5
5
5
6
6
6
6
6
5
5
5
4
4
4
5
5
5
5
Insang
6
6
6
6
5
6
5
6
6
6
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Lendir
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
7
Bau
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
Daging&Perut
5
5
5
4
4
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Konsistensi
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Rata-rata
6
6
6
5
5
6
6
6
6
6
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
146
Download