BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Streptococcus suis pada babi merupakan bakteri Gram positif berbentuk coccus, bersifat fakultatif anaerob yang menimbulkan penyakit zoonosis pada manusia (Gottschalk and Segura, 2000). Secara serologis, sampai saat ini Streptococcus suis dibedakan menjadi 35 serotipe. Diantara 35 serotipe, hanya sebagian serotipe yang menyebabkan infeksi pada babi yaitu serotipe 1-9 dan serotipe 14. Streptococcus suis serotipe 2 merupakan yang paling banyak prevalensinya dalam menimbulkan penyakit pada babi dan manusia (Salasia dan Lammler, 1994; Wisselink et al, 2000). Serotipe 2 mempunyai patogenesitas tertinggi dalam menginfeksi babi dan manusia, dan merupakan satu-satunya serotipe yang umum ditemukan pada infeksi manusia (Gottschalk et al., 2007). Infeksi S. suis dapat menyebabkan septisemia, meningitis, artritis dan kematian terutama pada babi muda. Infeksi juga dapat terjadi pada saluran pernafasan sehingga dapat menyebabkan bronkopneumonia (Wisselink et al., 2000). Infeksi S. suis sebenarnya telah dikenal secara luas di Eropa, Amerika, Hong Kong dan akhir-akhir ini ternyata diketahui sudah menyebar di Asia Tenggara (Gottschalk et al,. 2007; Wertheim et al., 2009). Pada tahun 1998 hingga 2006 terjadi outbreak streptococcosis pada babi di China yang disebabkan oleh S. suis dengan penanda virulensi MRP+, EF+, dan Sly+ (Jiang et al., 2009). Outbreak tersebut juga menyerang manusia di wilayah propinsi Jiangsu China 1 pada tahun 1998 menyebabkan 14 orang meninggal dunia dari 25 kasus. Outbreak di Sichuan pada tahun 2005 menyebabkan 38 orang meninggal dari total 215 kasus (Yu et al., 2007). Pada bulan April 2001-April 2002 dan Juli 2005-Juli 2007 di Thailand Utara terjadi 43 kasus pasien terinfeksi S. suis, 16 orang diantaranya mengalami meningitis dan 8 orang yang sembuh dari meningitis mengalami ketulian (Fongcom et al., 2009). Berdasarkan data yang dilaporkan pada tahun 2009 terdapat 700 kasus infeksi S. suis pada manusia, sebagian besar terjadi di Asia Tenggara (Werthein et al., 2009). Selama ini tidak ada laporan adanya infeksi dari manusia ke manusia (Yu et al., 2006). Meskipun gejala klinis dan karakter epidemiologi tampak secara spesifik, akan tetapi penyakit ini masih belum dikenal dan tidak terdiagnosis, bahkan di kalangan human medicine kasus ini tidak tercatat (Mai et al., 2008). Melihat fakta di lapangan, beberapa peneliti menyatakan bahwa S. suis meningitis pada manusia kemungkinan tidak terdiagnosa (underdiagnosed) karena masyarakat dan dokter kurang menyadari adanya resiko penyakit ini, dan diagnosis biasanya tidak diarahkan pada kuman ini (Kerdsin et al., 2009). Di Indonesia telah dilaporkan adanya infeksi S. suis yang diisolasi dari cairan persendian babi pada tahun 2008 di Timika Papua (Salasia et al., 2011). Temuan ini merupakan indikasi kuat keberadaan S. suis di Indonesia yang kemungkinan keberadaannya underdiagnosed dan dikelirukan dengan bakterial meningitis yang lain, sehingga diperlukan riset yang mendalam terhadap S. suis meningitis. Di Indonesia belum berkembang perangkat diagnostik untuk deteksi S. 2 suis meningitis. Banyaknya kasus meningitis maupun ketulian di Indonesia kemungkinan karena adanya underdiagnosed S. suis meningitis. Kontrol penyakit sulit dilakukan karena vaksin kurang efektif dan efisien, serta kurangnya perangkat diagnostik yang sensitif. PCR assay dikembangkan untuk mendeteksi serotipe 1, 2, 7 dan 9 (Wisselink et al., 2000). Deteksi cepat dan akurat keberadaan S. suis sangat penting untuk penentuan diagnosis dan pengobatan infeksi, membantu mengontrol terjadinya epidemik, dan meningkatkan kesembuhan pasien. Metode kultur bakteri membutuhkan waktu yang lama, sehingga menyebabkan kondisi pasien yang terinfeksi semakin memburuk. Oleh karena itu diperlukan suatu perangkat diagnostik yang dapat mendeteksi S. suis secara cepat dan akurat (Holden et al., 2009). Untuk deteksi penyakit di lapangan diperlukan metode yang cepat dan akurat untuk mencegah penyebaran infeksi S. suis. Muramidase released protein (MRP) merupakan salah satu faktor virulensi potensial pada S. suis yang dapat dikembangkan menjadi sarana deteksi infeksi S. suis di Indonesia. Pada tahun 2011 Supriyati telah melakukan kloning gen penyandi muramidase released protein S. suis. Kloning gen mrp dari S. suis merupakan langkah awal untuk pengembangan alat deteksi yang mudah dan praktis untuk mendeteksi infeksi S. suis pada skala peternakan maupun industri (jangka pendek) dan untuk pengembangan kandidat vaksin dari imunogen MRP yang berasal dari S. suis (jangka panjang) (Supriyati, 2015). Salah satu cara deteksi S. suis adalah secara serologis berdasarkan antigen dan antibodi anti MRP 864 rekombinan menggunakan metode antigen capture 3 ELISA. Metode ini dipilih karena dapat digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi awal S. suis dengan kadar antigen yang rendah dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang baik. Latex agglutination berbasis antibodi anti MRP 864 juga dapat digunakan untuk deteksi cepat infeksi S. suis di lapangan, karena metode ini sangat praktis, murah, cepat dan akurat. Kedua metode ini dipilih agar infeksi S.suis di lapangan dapat diketahui secara cepat, sehingga dapat meminimalisir penyebaran infeksi S.suis yang bersifat zoonosis. B. Permasalahan 1. Apakah antigen protein hasil ekspresi dari plasmid rekombinan yang mengandung gen mrp 864 (protein MRP) dapat menginduksi terbentuknya antibodi pada mencit? 2. Apakah antibodi anti MRP 864 dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan S. suis pada babi yang terinfeksi dengan metode ELISA dan latex agglutination? C. Tujuan 1. Mengembangkan prototype diagnostik berbasis antibodi terhadap antigen MRP 864 rekombinan Streptococcus suis. 2. Mendeteksi keberadaan S. suis secara serologis pada babi di lapangan dengan menggunakan ELISA dan latex agglutination. D. Manfaat Menghasilkan perangkat diagnostik berbasis antibodi poliklonal anti MRP 864 rekombinan S. suis yang dapat digunakan sebagai sarana deteksi 4 infeksi S. suis di lapangan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi yang dapat diaplikasikan secara cepat, akurat dan ekonomis. E. Keaslian Penelitian Ruch and Smith (1982) melakukan penelitian tentang aplikasi antibodi monoklonal terhadap karbohidrat Streptococcus grup B pada latex agglutination dan immunoprecipitin assay. Penelitian tentang pemisahan Mlike protein pada Streptococcus Group C (Streptococcus equi subsp. zooepidemicus) dengan metode sodium dodecyl sulphate-poliacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE), produksi antibodi dan teknologi hibridoma telah dilakukan oleh Purwantoro (2005). Artdita (2011) melakukan penelitian tentang pengembangan deteksi serologis terhadap infeksi S. suis di Indonesia berdasarkan marker virulen muramidase released protein. Pada tahun 2013 Salasia et al. melakukan penelitian tentang pengembangan deteksi cepat Staphylococcus aureus pada sapi perah dengan latex agglutination berbasis clumping factor. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat diagnostik untuk infeksi S. suis di Indonesia berdasarkan marker muramidase released protein hasil rekombinan yang diaplikasikan pada metode antigen capture ELISA dan latex agglutination. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Streptococcus suis 1. Klasifikasi dan sifat Killper-Bälz dan Schleifer (1987) mengklasifikasikan S. suis dalam Kingdom Bacteria, Phylum Firmicutes, Class Bacili, Order Lactobacillales, Family Streptococcaceae, Genus Streptococcus, Species Streptococcus suis. Streptococcus suis merupakan bakteri Gram positif, bersifat anaerob fakultatif dan berdasarkan klasifikasi Lancefield`s, mempunyai struktur dinding sel yang masuk dalam klasifikasi Streptococcus group D (Salasia et al., 1995; Gottschalk dan Segura, 2000). Streptococcus suis berbentuk sferik, tunggal, berpasangan maupun tersusun dalam bentuk rantai panjang, koloni tumbuh seperti titik-titik embun pada permukaan media kultur, tumbuh baik pada kondisi mikroaerofilik atau fakultatif anaerob dan bersifat α-, β-, ataupun γhemolitik (Higgins dan Gottschalk, 1990 ; Salasia dan Lämmler, 1994b). Streptococcus suis yang diklasifikasikan dalam strain serotipe 2 merupakan agen infeksi yang mempunyai virulensi tinggi dan sering ditemukan pada hewan sakit (Higgins dan Gottschalk, 2000). 6 2. Infeksi Streptococcus suis pada Babi Babi dewasa maupun babi muda dapat bertindak sebagai karier S. suis pada hidung, tonsil dan nasofaring tanpa menunjukkan gejala sakit (Arends et al., 1984; Mogollon et al., 1991; Prieto et al., 1994). Bakteri S.suis berpredileksi pada saluran pernafasan bagian atas terutama bagian cavum nasal dan tonsil, juga pada saluran pencernaan babi (Higgins dan Gottschalk, 2006). Gejala klinis pada babi antara lain anoreksia, depresi, kemerahan pada kulit, kepincangan, inkoordinasi dan demam, selanjutnya diikuti gejala syaraf yang lebih nyata seperti paralisis, paddling movement, opistotonus dan spasmus tetanik (Clifton dan Hadley, 1983). Infeksi Streptococcus suis serotipe 2 pada manusia dapat menyebabkan septisemia dan meningitis yang sering kali diperparah dengan endophthalmitis, dan cochleitis (Arends dan Zanen, 1988). Infeksi ini seringkali disebabkan oleh serotipe 2 dan sedikit oleh serotipe 4 dan 14 (Higgins and Gottschalk, 1990; Trottier et al., 1991). Streptococcus suis kemungkinan masuk melalui luka kecil atau melalui pernafasan (Arends dan Zanen, 1988). Streptococcus suis berperan sebagai agen zoonotik berbagai penyakit berbahaya pada manusia, terutama pada manusia yang pekerjaannya terekspos babi atau produk olahan babi (Lun et al., 2007; Wertheim et al., 2009). 3. Faktor Virulensi Streptococcus suis dilaporkan mempunyai berbagai macam determinan virulensi, antara lain: 7 a. Capsular Polysaccharide (CPS) Capsular Polysaccharide (CPS) dilaporkan berfungsi sebagai antifagositik. CPS S. suis serotipe 2 mempunyai berat molekul (BM) sekitar 100 kDa dan tersusun dari rhamnosa (N-acetylgalactosamine), galaktosa, glukosa, N-acetylglucosamine, dan asam sialat. Asam sialat adalah yang paling utama dan merupakan faktor virulensi penentu patogenesitas suatu serotipe S. suis. (Smith et al., 1999; Gottschalk dan Segura, 2000). b. Adesin Adesin merupakan senyawa kimia dengan BM 36 kDa. Adesin memiliki struktur peptida yang mengikat dissacharidesgalactosyl (alpha14)-galactose (Galα-4gal). Molekul Galα 1-4 adalah bagian dari trihexosylceramide (GbO3) yang terdapat pada membran sel hospes. Senyawa GbO3 merupakan glikolipid yang ada di eritrosit, sehingga adesin bertanggung jawab atas kemampuan dalam mengaglutinasi eritrosit (Gottschalk dan Segura, 2000). c. Muramidase Released Protein (MRP) dan extracellular factor (EF) Muramidase release protein (MRP) dan extracellular factor (EF) merupakan 2 faktor virulensi yang penting pada S. suis. berat molekul MRP 136 kDa dan EF 110 kDa (Jacobs et al., 1994 ; Salasia dan Lämmler, 1994b). Keberadaan protein EF selalu berkorelasi dengan MRP, namun fungsi protein EF secara pasti belum diketahui dengan jelas (Timoney, 2004). Berdasarkan korelasi protein MRP dan EF, terdapat 3 macam 8 fenotipe dari S. suis yaitu MRP+EF+ sebagai faktor virulen yang biasanya diisolasi dari babi sakit, fenotipe MRP-EF- yang biasanya diisolasi dari babi sehat, serta fenotipe MRP+EF- yang dapat diisolasi dari dari manusia sakit akibat infeksi S. suis (Vecht et al., 1992; Salasia et al., 1995; Galina et al., 1996; Vecht et al., 1996). d. Haemolysin/Suilysin (Sly) Suilysin mempunyai berat molekul 54 kDa (Jacobs et al., 1994; Timoney, 2004). Karakterisasi strain pathogen S. suis serotipe 2 selalu berasosiasi dengan adanya suilysin (Smith et al., 1997). Keberadaan suilysin juga berkorelasi dengan protein MRP dan EF. Kejadian babi sakit terinfeksi S. suis dengan virulensi tinggi umumnya terekspresi MRP +, EF +, Sly + (Staats et al., 1999; Gottschalk et al., 2007), sedangkan pada babi sehat terekspresi MRP-, EF-, Sly- (Allgaire et al., 2001). 4. Patogenesis Streptococcus suis Anak babi merupakan hospes penting dalam penyebaran agen infeksi ke babi lain dalam suatu populasi peternakan. Mekanisme penularan pada anak babi biasanya melalui transmisi vertikal. Beberapa hewan terkadang menunjukkan kondisi sehat tetapi bersifat carrier yang berbahaya bagi populasi babi lainnya. Babi yang bersifat carrier tidak menunjukkan gejala klinis dan dalam waktu cepat atau lambat akan berkembang menjadi bakteremia, terkadang septikemia dan meningitis (Gottschalk dan Segura, 2000). 9 Mekanisme pathogenesis infeksi S. suis seperti teori Trojan-horse style yang memperlihatkan kemampuan S. suis untuk bertahan dalam sel mononuklear. Bakteri yang bertahan dalam sel mononuklear mampu menyebar dan menyebabkan lesi meningitis yang patognomonik, ditandai dengan tidak ditemukannya lesi pada sel endotel jaringan mikrovaskular otak (Gottschalk dan Segura, 2000; Timoney, 2004). Streptococcus suis menggunakan wilayah tonsil sebagai jalan untuk masuk ke host, kemudian masuk ke leukosit mononuklear dan menuju cairan cerebrospinal (CSF) melalui choroid plexus. Stimulasi produksi sitokin oleh makrofag yang terinfeksi, diduga menyebabkan peradangan yang menembus dari darah ke CSF. (Williams, 1990; Chanter et al., 1993). Peningkatan sel pada CSF memblok area fluid efflux, meningkatkan tekanan intrakranial dan dapat membahayakan sistem saraf (Williams and Blakemore, 1990). B. Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase chain reaction (PCR) merupakan reaksi enzimatik untuk melipatgandakan suatu sekuen nukleotida tertentu secara eksponensial dengan cara in vitro. Kelebihan deoxyribonucleicacid (DNA) metode dapat ini adalah dilakukan pelipatgandaan secara cepat fragmen dan dapat menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit (Sambrook et al., 1989; Yuwono, 2006). 10 Empat komponen utama proses PCR yaitu DNA template (fragmen DNA yang akan dilipatgandakan), primer (suatu sekuen oligonukleotida pendek yang terdiri atas 15-25 basa nukleotida yang digunakan unuk mengawali sintesis rantai DNA, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari deoxyadenosine (dATP), deoxycytidine (dCTP), deoxyguanine (dGTP), dan deoxythymidine (dTTP), enzim DNA polymerase, dan komponen tambahan yaitu buffer. (Sambrook et al., 1989). Dengan ditemukannya teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular (Handoyo dan Rudiretna, 2000). Keunggulan PCR dikatakan sangat tinggi. Hal ini didasarkan atas spesifitas, efisiensi dan keakuratannya. Spesifitas PCR terletak pada kemampuannya mengamplifikasi sehingga menghasilkan produk melalui sejumlah siklus. Keakuratan yang tinggi karena DNA polymerase mampu menghindari kesalahan pada amplifikasi produk. Masalah yang berkenaan dengan PCR yaitu biaya PCR yang masih tergolong tinggi. Selain itu kelebihan lain metode PCR dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5x10-9 mol) sebesar 200.00 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit. Reaksi ini dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit, DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 µg, oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM dari reaksi ini biasa dilakukan dalam volume 50100 µl. DNA template yang digunakan juga tidak perlu dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu 11 sekuen DNA dalam genom bakteri hanya dengan mencampukan kultur bakteri di dalam tabung PCR (Yusuf, 2010). Elektroforesis gel agarosa umumnya digunakan untuk separasi DNA. Pemisahan molekul-molekul ini didapat dari molekul asam nukleat (DNA) yang bermuatan negatif (katoda) bergerak melalui gel agarosa ke muatan positif (anoda) pada medan elektrik. Molekul yang ukurannya lebih kecil akan bermigrasi lebih cepat dibanding molekul yang ukurannya lebih besar. Keuntungan elektroforesis gel agarosa yaitu mudah diperoleh dan tidak mendenaturasi sampel yang diuji, sedangkan kerugiannya adalah gel dapat meleleh dan buffer dapat habis selama elektroforesis berlangsung, selain itu material genetik yang tidak diharapkan bisa berada di tempat yang tidak diharapkan (Yuwono,2006). C. Sodium Dodecyl Sulphate - Polyacrylamide Gel Electrophoresis Dasar metode Sodium Dodecyl Suplhate - Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE) adalah elektroforesis. Elektroforesis adalah perpindahan molekul dalam larutan sebagi respon kepada sebuah medan. Kecepatan perpindahan ini tergantung kekuatan medan, muatan medan, besar dan bentuk molekul dan juga kekuatan ion, viskositas serta suhu medium dimana molekul tersebut berpindah (Rybicki dan Purves, 2007). Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) terbentuk dari polimerisasi antara acrylamide sebagai monomer dengan N, N’-methylene-bis(acrylamide) (sebagai cross-linker) disertai dengan penambahan katalis yaitu 12 tetramethylethylene-diamine (TEMED) serta inisiator (amonium persulfate) (Richards dan Lecanidou, 1974). Muatan ion atau kelompok ion akan berpindah jika berada pada suatu medan listrik (Pommerannz dan Meloan, 1978). Protein merupakan komponen amphoteric, muatannya tergantung pada pH medium dimana protein tersebut tersuspensi. Pada larutan dengan pH dibawah titik iso elektrisnya, protein memiliki muatan negatif dan berpindah menuju anoda pada medan listrik (Rybicki dan Purves, 2007). Sodium Dodecyl Sulphate (juga dikenal dengan Lauryl Sulfat) merupakan senyawa anion, artinya ketika dalam larutan, molekul—molekulnya memiliki muatan negatif tanpa memperhatikan kisaran pH. Muatan negatif SDS merusak kebanyakan struktur kompleks protein dan memperkuat tarikan menuju anoda (kutub positif) pada medan listrik (Capprete, 1996). Beta merkaptoetanol (tiol) digunakan untuk mereduksi semua ikatan disulfida yang ada pada protein. SDS merupakan detergen lemah yang akan mengikat protein dan memutuskan ikatan diantara subunit penyusun. Sistem gel SDS merupakan alat kualitatif yang berguna. Preparat dapat segera dianalisa sifat homogenitasnya. Protein homogen menghasilkan satu pita. Berat molekul protein dapat ditetapkan dengan mempergunakan protein baku yang telah diketahui berat molekulnya dan memperbandingkan nilai Rf (mobilitas relatif) yang diperoleh. Pita berwarna atau “band“ dapat diketahui dengan suatu reaksi pewarnaan seperti pewarnaan dengan Coomasie blue. Elektrogram yang dihasilkan oleh metode elektroforesis dapat segera dikuantitatifkan dengan alat densitometer (Suhartono, 1989). 13 Pada gel dengan densitas yang seragam, jarak perpindahan relatif pada protein (Rf) adalah berbanding terbalik dengan log massanya. Jika protein yang telah diketahui massanya bergerak secara simultan dengan protein yang belum diketahui massanya, hubungan antara Rf dan massa dapat diplotkan, kemudian massa dari protein yang belum diketahui dapat dihitung (Capprete, 1996). D. Antibodi Spesifik Antibodi dihasilkan oleh sel plasma yang merupakan fase akhir perkembangan sel B. berbeda dengan sel T, sel B dapat mengenali antigen dalam bentuk aslinya (native). Sel B mengenali antigen melalui antibodi yang terdapat pada permukaan sel, menjadi aktif dan mengalami peralihan produksi immunoglobulin (Ig) kelas IgM menjadi IgG (class switch), meningkatkan spesifisitas dan afinitas immunoglobulin yang dihasilkan dan mengalami diferensiasi menjadi sel plasma atau sel memori dan terus mengalami pembelahan selama masih ada sitokin (Palladino et al., 1995). Produksi antibodi poliklonal diperoleh secara langsung dari sampel serum hewan yang diimunisasi menggunakan antigen tertentu. Produk ini berasal dari banyak klon limfosit dari tubuh hospes yang diimunisasi serta mampu memberikan respon (Burgess, 1995). Respon antibodi terhadap antigen umumnya merupakan kombinasi sejumlah besar antibodi monoklonal. Untuk menjawab berbagai permasalahan diagnostik, sudah cukup jika digunakan antibodi poliklonal, karena antiserum ini memiliki berbagai antibodi yang dapat berikatan 14 dengan berbagai epitop pada suatu antigen sehingga reaksi yang multiple ini tetap dapat menimbulkan kompleks antigen-antibodi. Antibodi monoklonal dapat digunakan untuk kepentingan deteksi atau diagnosis dan produksi skala besar karena lebih spesifik dibandingkan antibodi poliklonal (Burgess, 1995; Hau dan Hoosier, 2002; Mikkelsen dan Corton, 2004). Antibodi poliklonal lebih sensitif daripada antibodi monoklonal tetapi tidak spesifik. Sisi sensitif ini dilihat berdasarkan sifatnya yang heterogen sehingga antibodi poliklonal mempunyai area selektivitas dan afinitas yang lebih luas (Burgess, 1995; Mikkelsen dan Corton, 2004). Prinsip produksi antibodi poliklonal dengan cara mengimunisasi hewan dengan antigen yang memiliki banyak epitop, sehingga antibodi yang dihasilkan banyak jenisnya tergantung bagian epitop yang dikenalinya (Janeway et al., 2001). Waktu produksi antibodi poliklonal pada umumnya 4 hingga 8 minggu (Burgess, 1995; Hau dan Hoosier, 2002). E. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan metode yang sering digunakan untuk mengetahui adanya reaksi antigen-antibodi, serta untuk pemeriksaan respon imun humoral. Metode ELISA sangat sensitif dan mampu mendeteksi konsentrasi antigen maupun antibodi dalam konsentrasi yang rendah (dalam piko atau nano gram). Ciri utama metode ini adalah penggunaan indikator enzim dalam reaksi imunologisnya (Janeway, et al., 2001). 15 Beberapa teknik ELISA diantaranya adalah langsung (direct), tidak langsung (indirect), sandwich/antigen capture dan kompetitif. Teknik ELISA langsung (direct) merupakan deteksi yang paling sederhana diantara metode ELISA yang lain. Teknik ELISA tidak langsung (indirect) merupkan teknik ELISA paling sederhana untuk pengukuran titer antibodi (Wang, 2006). Teknik antigen capture (sandwich) ELISA atau penangkapan antigen menggunakan antibodi yang terikat pada dasar microplate untuk menangkap antigen secara spesifik. Teknik ini lebih sensitif namun kurang spesifik (Campbell dan Landry, 2006). Pada teknik ELISA kompetitif antibodi yang dikenal dengan yang tidak dikenal akan bersaing mendapatkan tempat untuk berikatan dengan antigen. Dibandingkan dengan metode langsung dan non-kompetitif, teknik ini lebih cepat dan spesifik tapi kurang sensitif (Campbell dan Landry, 2006). Antigen capture (sandwich) ELISA merupakan salah satu uji diagnostik untuk mendeteksi adanya antigen dengan menggunakan antibodi poliklonal maupun antibodi monoklonal (Estuningsih, 2006). Ikatan spesifik antara antigen dan antibodi adalah faktor yang paling penting dalam keberhasilan antigen capture ELISA. Spesifisitas uji dimodifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal dari single strain atau multiple strain. Antibodi monoklonal akan mengenali epitop tunggal sehingga dapat mendeteksi dan mengkuantifikasi antigen yang spesifik. Akan tetapi, antibodi poliklonal biasanya dipilih untuk meningkatkan sensitifitas. Kelebihan dari metode antigen capture ELISA adalah sampel yang digunakan tidak harus dipurifikasi sebelum analisis dan uji ini sangat sensitif, 2 hingga 5 kali lebih sensitif dibandingkan direct atau indirect ELISA 16 (Mei et al., 2012). Uji ini spesifik karena dua antibodi digunakan untuk menangkap dan mendeteksi antigen. Selain itu uji ini memiliki fleksibilitas dan sensitifitas yang tinggi. F. Latex Agglutination Latex agglutination merupakan metode untuk mendeteksi adanya ikatan antigen-antigen melalui sensitisasi partikel latex (Gella et al., 1991). Dalam stabilitas latex aglutinasi, partikel latex disensitisasi untuk mempertahankan sensitivitas aglutinasi setelah penyimpanan pada suhu 4 o C selama minimal 4 bulan (Xu Xiaojuan et al., 2005). Uji aglutinasi latex telah banyak dipakai di laboratorium klinik untuk mendeteksi berbagai penyakit infeksius (Natalia, 2001; Gella et al., 1991; Amrita Lab., 2014). Singer dan Plotz (1956) pertama kali mempelajari uji aglutinasi latex (LATs) dengan menggunakan polystyrene monodisperse (PS) dan partikel polyvinyltoluene polymere yang mendukung adsorbsi biomolekuler. Tahun 1957 uji aglutinasi latex mulai dipakai untuk tes kehamilan, dan setelah itu digunakan untuk mendeteksi lebih dari 1000 penyakit infeksius (Bangs Lab., 2013). Sejak saat itu banyak perusahaan di seluruh dunia mengembangkan dan memasarkan uji latex aglutinasi untuk mendeteksi antigen atau antibodi baik bakteri, cendawan, parasit, virus, maupun rickettsia dan juga digunakan untuk mendeteksi hormon, obat-obatan, penyakit autoimun dan protein serum (Natalia, 2001; Gella et al., 1991). Uji ini tidak memerlukan biaya yang tinggi, sederhana, dan cepat. Waktu yang dibutuhkan tidak lebih dari tiga menit, sudah cukup untuk mencapai hasil 17 dengan sensitivitas dan spesifitas yang dapat dibandingkan dengan uji aglutinasi lain. Keuntungan tambahan adalah bahwa uji ini tidak memerlukan pengenceran serum, tidak memerlukan peralatan untuk pembacaan hasil, tidak membutuhkan waktu inkubasi yang panjang dan tidak memerlukan peralatan khusus sehingga dapat diaplikasikan dalam kondisi lapangan (Natalia, 2001; Ramos et al., 2014; Bangs Lab., 2013). Teknik ini didasarkan pada reaksi imunoaglutinasi antara antibodi atau antigen yang diikatkan pada partikel latex (Natalia, 2001). Reaksi antara partikel antigen dan antibodi dalam gumpalan yang terlihat disebut aglutinat. Antibodi yang menghasilkan reaksi tersebut dikenal sebagai agglutinin. Prinsip reaksi aglutinasi mirip dengan reaksi presipitasi, yang bergantung pada antigen polivalen silang. Pada konsentrasi antigen-antibodi yang optimal, ikatan antigen-antibodi kompleks akan membentuk aglutinasi (Amrita Lab., 2014). Uji ini dapat digunakan untuk mendeteksi suatu antigen maupun antibodi. Adanya ikatan antigen-antibodi spesifik akan terdeteksi melalui partikel latex yang sudah dilapisi antigen maupun antibodi yang tersuspensi. Jika serum yang mengandung antibodi spesifik ditambahkan ke dalam campuran, maka akan terbentuk ikatan antigen-antibodi komplex, dan terjadi aglutinasi. Aglutinasi akan mengubah suspensi latex yang semula halus menjadi gumpalan, karena partikel latex yang saling berikatan. Namun jika tidak terdapat antibodi spesifik dalam serum tersebut, maka campuran latex dan serum tetap tersebar merata. Uji ini dilakukan dengan meneteskan antigen maupun antibodi yang akan dideteksi dan 18 suspensi latex dengan jumlah yang sama pada gelas objek, kemudian mencampur keduanya hingga homogen (Hendrix and Sirois, 2002). Menurut Bolivar dan Gonzales (2005) reaksi aglutinasi dapat digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibody dengan beberapa model yang berbeda, dan memiliki keterbatasan masing-masing dalam aplikasinya. Beberapa reaksi aglutinasi yang sering digunakan diantaraanya adalah : a. Direct latex agglutination Metode ini digunakan untuk mendeteksi adanya antigen atau hapten pada sampel. Antibodi yang telah berikatan dengan partikel latex dicampur dengan suspensi sampel. Antigen yang terdapat dalam sampel akan bereaksi dengan antibody dan akan membentuk agregat. Jika sampel tidak mengandung antigen, maka agregat tidak akan terbentuk. Metode ini digunakan untuk mendeteksi antigen polivalen misalnya protein dan mikroorganisme. b. Indirect latex agglutination Metode ini digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi pada sampel. Antigen yang telah berikatan dengan partikel latex dicampur dengan suspensi sampel. Antibodi yang terdapat dalam sampel akan bereaksi dengan antigen dan akan membentuk agregat. Jika sampel tidak mengandung antibodi, maka agregat tidak akan terbentuk. Metode ini 19 digunakan untuk monovalent dan polivalen antigen seperti obat, hormon steroid dan protein. Latex aglutinasi merupakan metode yang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi berbagai macam antigen bakteri dari cairan tubuh pasien yang mengalami infeksi sistemik, salah satunya meningitis. Dibandingkan dengan immunoelektoforesis, latex aglutinasi tidak membutuhkan peralatan yang rumit dan personil terlatih untuk aplikasinya. Metode ini lebih cepat dan lebih sensitif jika dibandingkan dengan immunoelektoforesis untuk mendeteksi antigen polisakarida yang terlarut dalam cairan tubuh (Webb and Baker, 1980). Salah satu kelemahan dari metode latex aglutinasi adalah keterbatasan ketersediaannya. Latex tes kit komersial telah dikembangkan untuk pengelompokkan secara serologis Streptococcus grup A, B, C, D, F dan G dari media padat dan cair (Webb and Baker, 1980). G. Landasan Teori Streptococcus suis merupakan agen zoonotik yang berbahaya pada babi dan manusia. Patogenesis infeksi S. suis biasanya berhubungan dengan faktor virulensi. Salah satu faktor virulensi yang penting pada S. suis adalah muramidase released protein (MRP). Protein MRP dapat diisolasi dari babi dan manusia yang terinfeksi S. suis dan dapat berperan sebagai antigen yang menginduksi munculnya antibodi anti MRP 864 pada hewan coba yang diimunisasi. Adanya interaksi antara antigen dan antibodi dapat dimanfaatkan sebagai sarana diagnosis suatu penyakit. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan 20 metode yang sering digunakan untuk mengetahui adanya reaksi antigen-antibodi. Metode ini sangat sensitif karena mampu mendeteksi antigen dan antibodi dalam konsentrasi yang rendah. Prinsip kerja latex agglutination adalah terjadinya aglutinasi yang disebabkan adanya ikatan antara partikel latex yang telah disensitisasi serum yang mengandung antibodi dengan antigen tertentu. Metode antigen capture ELISA dan latex agglutination dapat digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi penyakit secara serologis karena adanya ikatan antara antigen dan antibodi. H. Hipotesis Antibodi anti MRP 864 rekombinan S. suis dapat diproduksi pada mencit yang diimunisasi dengan antigen protein hasil ekspresi dari plasmid rekombinan yang disisipi gen mrp 864 (protein MRP 864). Selanjutnya, antigen protein MRP 864 dan antibodi anti MRP 864 dapat digunakan sebagai detektor spesifik untuk deteksi cepat adanya infeksi S. suis pada babi di lapangan dengan metode antigen capture ELISA dan latex agglutination. 21 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan dan Laboratorium Biokimia, Program Studi Bioteknologi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. B. Bahan Penelitian Isolat E. coli BL-21(Invitrogen) yang ditransformasi dengan plasmid rekombinan pET SUMO™ Protein Expression System (Invitrogen, USA) yang disisipi gen mrp 864 dan isolat Streptococcus suis R 225 koleksi Prof. Dr. drh. Siti Isrina Oktavia Salasia, Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada digunakan dalam penelitian ini. Sejumlah 40 sampel serum babi carrier dan sakit berdasarkan gejala klinis diperoleh dari Wamena, Wouma, Napua, dan Sigim Papua. Mencit Balb/c 10 ekor dari Unit Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP) UGM. Bahan yang diperlukan untuk media pertumbuhan transforman E. coli yang mengandung gen mrp 864 S. suis adalah tryptone, yeast extract, yeast extract agar, NaCl, NaOH, aquabidestilata, kanamycin. Untuk isolasi plasmid rekombinan diperlukan reagen kit GeneJet™ Plasmid Miniprep Kit : Resuspension solution, Lysis solution, Neutralization solution, Wash Solution, RNase A, Elution Buffer (Fermentas, Canada). Untuk PCR diperlukan primer forward dan reverse, PCR master mix, PCR water, dan sampel DNA plasmid. 22 Untuk mengetahui ukuran DNA digunakan marker DNA dengan ukuran 1 Kb (Bioline). Untuk Ekspresi protein diperlukan IPTG. Untuk Purifikasi protein digunakan kit Protino® Ni-TED 2000 Packed Columns (Macherey Nagel). Untuk SDS-PAGE diperlukan bahan acrylamide (Sigma, USA), bis-acrylamide (Sigma, USA), TEMED / N,N,N,N-tetramethyletylene diamine (Biorad, USA), ammonium persulphate / APS (Merck, Jerman), SDS / Sodium Dedocyl Sulphate (Merck, Jerman), tris / hydroymethyl amino methane (Merck, Jerman) Methanol (Merck, Jerman), Ethanol (Merck, Jerman), coomassive brilliant blue. Untuk mengetahui ukuran protein digunakan protein ladder (1st Base). Untuk uji ELISA diperlukan buffer pelapis/ coating buffer, buffer inkubasi, buffer pencuci, larutan untuk blocking, buffer substrat, substrat NPP, serta Bovine Serum Albumine (BSA). Untuk uji latex aglutinasi diperlukan partikel latex (Difco, Jerman), NaCl fisiologis, glicyn saline buffer, sodium azide. C. Alat Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mastercycler PCR (Eppendorf, Jerman), ultra violet transiluminator (Hoefer, USA), mikrosentrifus (Eppendorf, Jerman), shaker incubator (Athena, Taipei), imunowasher (Biorad, USA), ELISA reader (Biorad, USA), inkubator (Memmert, Jerman), unit elektroforesis (Eppendorf, Jerman), unit SDS PAGE (Eppendorf, Jerman), waterbath (Memmert, Jerman), spektrofotometer (Beckman, USA), laminar air flow (Esco, China), vortex (Heidolph, Jerman), power supply (Uniquip, Jerman) freezer -20ºC (LG, Jepang), autoclave (All America, Amerika). 23 Peralatan penunjang yang digunakan berupa mikropipet 10 µl, 200 µl, dan 1000 µl (Nichipet, Jepang), tabung mikro 1,5 ml, tabung konikel 15 ml dan 50 ml (LP, Itali), plat mikro flat bottom 96 sumuran, disposable syringe 1 ml dan 3 ml, white/yellow/blue tips (LP, Itali), tabung reaksi (Pyrex, Jepang), cawan petri (Pyrex, Jepang), tabung Erlenmeyer (Pyrex, Jepang), ose. D. Cara Kerja 1. Isolasi DNA Plasmid Rekombinan Sebanyak 100 μl transforman dikultur dalam Luria Bertani (LB) medium yang dalam setiap 100 ml mengandung kanamycin 50 μg/ml, tryptone 1 gram, yeast extract 0,5 gram, NaCl 1 gram, dan yeast extract agar 1,5 gram. Kemudian diinkubasi pada suhu 37o C selama 48 jam. Koloni yang tumbuh diambil lalu ditanam ke LB medium cair. Kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam. Bakteri yang tumbuh pada LB cair kemudian diisolasi plasmidnya dengan menggunakan GeneJET™ Plasmid Miniprep Kits (Fermentas). Media LB cair disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm dengan suhu 25ºC selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet disuspensikan dengan menggunakan larutan resuspensi sebanyak 250 µL. Larutan ditambahkan lysis solution sebanyak 250 µL kemudian diresuspensi. Larutan ditambahkan neuralizaton solution 250 µL kemudian diresuspensi sehingga larutan menjadi bening kembali. Larutan disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm dengan suhu 25ºC selama 10 menit. Supernatan dari hasil sentrifus dipindahkan ke dalam GeneJET™ spin columns lalu disentrifus dengan kecepatan 8000 rpm dengan suhu 25ºC selama 2 menit, ditambahkan 500 µL washing solution yang sudah dicampur dengan ethanol, disentrifus kembali 24 dengan kecepatan 8000 rpm dengan suhu 25ºC selama 2 menit. Tabung GeneJET™ spin columns bagian atas dipindahkan ke dalam tabung baru, ditambahkan 30-50 µL elution buffer lalu disentrifus dengan kecepatan 8000 rpm dengan suhu 25ºC selama 5 menit. Cairan dalam tabung diambil dan disimpan pada suhu -20 ºC (Invitrogen, 2010). 2. Amplifikasi gen mrp 864 Hasil isolasi plasmid rekombinan diamplifikasi dengan metode PCR. Komposisi larutan untuk proses amplifikasi gen mrp 864 bp dengan volume reaksi 25 µL terdiri dari Buffer PCR Mix Qiagen (12,5 µL), Primer Forward (2 µL ), Primer Reverse (2 µL), DNA ( 2µL), dan dH2O (6,5 µL). Proses amplifikasi dilakukan dengan kondisi sebagai berikut : denaturasi awal dengan suhu 94ºC selama 2 menit, denaturasi dengan suhu 94ºC selama 1 menit, annealing dengan suhu 58ºC selama 1 menit, extension dengan suhu 72ºC selama 1,5 menit, final extension dengan suhu 72ºC selama 2 menit dan hold dengan suhu 4ºC. Amplifikasi dilakukan sebanyak 30 siklus. Hasil amplifikasi dielektroforesis menggunakan gel agarose 2% selama 30 menit dan hasilnya diamati dengan uvtransilluminator. Tabel 1. Urutan oligonukleotida primer untuk identifikasi molekuler S. suis dengan PCR Primer Target Primer sekuen 5’ -3’ Panjang gen produk mrp MRP GTAACATCAGAATCACCACTTTTGGCTGGTC 864 bp 864 F CAAACTATTGCAGGACAGGTAGTTACTCCATCT mrp 864 R 25 3. Isolasi Protein MRP 864 Rekombinan Sebanyak 500 µl kultur bakteri rekombinan diinokulasikan ke dalam 500 ml LB cair yang mengandung kanamycin 50 µg/ ml, kemudian tumbuhkan pada suhu 37 ºC selama 24 jam dalam shaker incubator, disentrifus pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit, supernatan dibuang. Pelet ditambahkan 2-5 mL buffer LEW, diresuspensi, dan ditambahkan 0,5 ml lysozyme 1 mg/ml, suspensi dicampur, didiamkan dalam es selama 30 menit. Suspensi bakteri disonikasi sebanyak 10 x 15 detik dengan jeda 15 detik. Suspensi bakteri disentrifus dengan kecepatan 10.000 g pada suhu 4ºC selama 30 menit. Supernatan diambil dan dimasukkan dalam tabung konikel bersih. 4. Purifikasi Protein MRP 864 Rekombinan Supernatan hasil isolasi protein dimasukkan pada kolom Protino, dibiarkan menetes dengan gravitasi. Apabila supernatan sudah menetes semua, kolom Protino dicuci dengan buffer lysis equilibration washing (LEW) sebanyak dua kali. Selanjutnya dielusi dengan buffer elution sebanyak 3 kali masing-masing 3 ml, kemudian hasil elusi ditampung dengan tabung konikel steril. Profil protein dianalisis dengan SDS PAGE. 5. Perhitungan Konsentrasi Protein MRP 864 Rekombinan Konsentrasi protein MRP ditentukan menggunakan uji Biorad. Protein hasil elusi diambil masing-masing 2 µl kemudian ditambahkan 798 µl aquadest dan 200 µl larutan Biorad Protein Assay. Larutan dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 595 nm (Widayanti, 1999). 26 6. Induksi Antibodi pada Mencit Sebanyak 10 ekor mencit strain Balb/c jantan yang sehat secara klinis, berumur 6 minggu dengan berat sekitar 100 gram. Mencit tersebut diimunisasi dengan antigen berupa protein MRP 864 dengan dosis 25 µg per mencit (Baumgarten, 1992). Imunisasi pertama antigen diemulsikan dengan Complete Freund’s adjuvant (CFA) dengan perbandingan 1:1 hingga homogen, kemudian disuntikkan ke mencit secara intra-peritoneal. Imunisasi diulang dengan interval 10 hari selama 3 kali menggunakan Incomplete Freund’s adjuvant (IFA). Booster akhir disuntikkan antigen MRP secara intravena selama 3 hari berturut-turut. Satu ekor mencit digunakan sebagai kontrol (Vecht et al., 1991). Serum pada setiap mencit dipantau produksi antibodi terhadap MRP menggunakan metode ELISA (Salasia, 2000; Peter et al., 1985). 7. Pengukuran Titer Antibodi Mencit Pengukuran titer serum mencit yang telah diimunisasi dilakukan dengan metode indirect ELISA dengan membandingkan nilai absorbansi serum imunisasi dengan serum non imunisasi (Burgess, 1995). Setiap sumuran plat mikro dilapisi dengan 100 µl antigen (MRP) dalam buffer karbonat, diinkubasi semalam pada suhu 37o C, kemudian plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap sumuran sebanyak 3 kali. Sumuran di blocking dengan 1% BSA dalam buffer inkubasi masing-masing 200 µl selama 1 jam pada suhu 37 oC. Plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap sumuran sebanyak 3 kali. Sebanyak 100 µl serum mencit (antibodi) ditambahkan ke tiap sumuran dengan pengenceran 1/25, 1/50, 1/100, 1/200, 1/400. 1/800, 1/1600, 1/3200, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam. Plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap 27 sumuran sebanyak 3 kali. Tahap selanjutnya, konjugat (IgG antimouse alkaline phosphatase) yang telah diencerkan dengan buffer inkubasi dengan perbandingan 1:3000 ditambahkan ke dalam sumuran dan diinkubasi 37 oC selama 1 jam. selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan washing solution, 150 µl substrat 4-nitrophenyl-phosphate (1 mg/ml dalam buffer substrat) ditambahkan ke tiap sumuran dan diinkubasi 37oC. Setelah 30 menit inkubasi plat mikro dibaca pada ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Kontrol negatif diberi buffer inkubasi sebagai pengganti antibodi. Mencit yang menunjukkan antibodi cukup tinggi dilakukan pemanenan antibodi. Titer antibodi diperoleh dari hasil perbandingan antara nilai absorbansi mencit perlakuan (imunisasi) dengan mencit kontrol (non-imunisasi). Serum dengan titer > 1,000 dapat digunakan untuk deteksi sampel serum lapangan (Burgess, 1995), tetapi dalam penelitian ini, serum dengan titer tertinggi yang akan digunakan untuk deteksi serum lapangan. 8. Panen Antibodi Anti MRP 864 Rekombinan Darah mencit diambil dengan menggunakan microhematocrit tanpa koagulan melalui plexus retroorbitalis (cantus medial) sehingga didapatkan darah mencit. Darah tersebut dimasukkan inkubator 37oC selama 30 menit, selanjutnya dimasukkan lemari pendingin 4oC selama 10 menit, kemudian disentrifugasi 5 menit pada 10.000 rpm sehingga akan terlihat cairan bening terpisah dari gumpalan darah. Cairan bening (serum) diambil, dimasukkan dalam tabung steril dan disimpan pada suhu -20oC (Moore, 2000a; Moore, 2000b; Thomas, 2000). 28 9. Deteksi Serologis S. suis pada Babi Sebanyak 40 sampel serum babi dari Wamena, Wouma, Napua dan Sigim Papua dilakukan uji serologis dengan menggunakan antigen MRP 864 dan antibodi anti MRP 864 yang telah diproduksi dengan metode antigen capture ELISA. Antibodi anti MRP 864 yang digunakan adalah pengenceran 200x. Setiap sumuran plat mikro dilapisi dengan 100 µl serum sampel, diinkubasi semalam pada suhu 37oC. pada sumuran dilakukan washing sebanyak 3 kali, masing-masing 200 µl. sumuran di blocking dengan bovine serum albumin (BSA) dalam buffer inkubasi, masing-masing 200 µl selama 1 jam pada suhu 37oC. Pada sumuran dilakukan washing sebanyak 3 kali, masing-masing 200 µl. Inkubasi selanjutnya dengan 100 µl antigen (MRP) dalam buffer karbonat, selama 1 jam pada suhu 37oC, kemudian plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap sumuran sebanyak 3 kali. Sebanyak 100 µl serum mencit (antibodi poliklonal yang telah diproduksi di proses sebelumnya) ditambahkan ke tiap sumuran dengan pengenceran 1/200, kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam. Plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap sumuran sebanyak 3 kali. Tahap selanjutnya, konjugat (IgG antimouse alkaline phosphatase) yang telah diencerkan dengan buffer inkubasi dengan perbandingan 1:3000 ditambahkan ke dalam sumuran dan diinkubasi 37 oC selama 1 jam. Selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan washing solution, 150 µl substrat 4nitrophenyl-phosphate (1 mg/ml dalam buffer substrat) ditambahkan ke tiap sumuran dan diinkubasi 37oC. Setelah 30 menit inkubasi nilai absorbansi dibaca pada ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Kontrol negatif diberi 29 buffer dan serum mencit yang tidak diimunisasi (mencit kontrol). Babi dikatakan seropositif terinfeksi S. suis bila nilai absorbansi > 1,000. 10. Deteksi S. suis dengan Uji latex agglutination a. Preparasi serum Dalam penelitian ini digunakan serum mencit yang mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan. Darah mencit diambil melalui plexus retroorbitalis, selanjutnya darah yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung yang sudah tersedia. Darah disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Setelah disentrifugasi, supernatan diambil dengan mikropipet dan dipindahkan dalam tabung steril. b. Preparasi Coating latex-serum Partikel latex yang digunakan adalah suspensi latex (Difco, German) 0,8µ dilarutkan dengan perbandingan 1:8 glycine-saline buffer (pH 8,0). Suspensi latex yang sudah disediakan dicampur dengan serum yang mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan dengan jumlah yang sama, kemudian dilarutkan dengan glycine-saline buffer 1:1000, selanjutnya diinkubasi semalaman pada suhu 4oC. Partikel yang telah dicoating dicuci dengan NaCl fisiologis dan disuspensikan dengan phosphat-buffer saline (PH 7,4) yang berisi 0,02% sodium azide dan 0,05% serum yang mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan (Essers and Radebold, 1980). 30 c. Optimasi Konsentrasi S. suis Bakteri S. suis R 225 ditumbuhkan pada media Todd Hewitt Broth (THB) selama 24 jam pada suhu 37oC dalam keadaan anaerob. Suspensi bakteri kemudian disentrifuge untuk mendapatkan pelet. Pelet diresuspensikan kembali dengan PBS steril, kemudian diukur konsentrasi bakteri berdasarkan standar Mc. Farland. Konsentrasi bakteri diencerkan sehingga tersedia bakteri dengan konsentrasi 1010, 109, 108, 107, 106, 105 CFU/ml. Masing-masing konsentrasi bakteri tersebut diuji dengan latex agglutination dengan menggunakan glass slide dan kertas oxoid. Masingmasing posisi ditetesi reagen (coating latex-serum) dan masing-masing konsentrasi bakteri dengan perbandingan 1:1. Reaksi positif ditunjukkan dengan adanya aglutinasi. E. Analisis Hasil Hasil penelitian akan dianalisis secara deskriptif. 31 ALUR PENELITIAN Isolat transforman E. coli yang disisipi gen mrp 864 dari S. suis ditanam di LB medium PCR dan elektroforesis plasmid Isolasi plasmid rekombinan (+) gen mrp 864 (-) gen mrp 864 Isolasi Protein MRP 864 Purifikasi protein MRP 864 Imunisasi mencit dengan protein MRP 864 rekombinan Pengukuran titer antibodi mencit dengan indirect ELISA Panen antibodi anti MRP 864 Rekombinan Uji serum lapangan dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan dengan metode Antigen Capture ELISA Latex agglutination Optimasi konsentrasi bakteri Analisis hasil Gambar 1. Alur Penelitian 32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Transforman Bakteri E. coli BL-21 yang disimpan di gliserol ditumbuhkan kembali ke media Luria Bertani (LB) padat yang mengandung kanamycin. Sebanyak 100µl bakteri diambil dan ditanam dengan metode spreading. Media tersebut kemudian diinkubasi dalam inkubator suhu 37oC selama 24 jam. Bakteri E. coli BL-21 merupakan vektor ekspresi yang sudah disisipi plasmid pET SUMO yang mengandung gen mrp 864 Streptococcus suis. Setelah ditanam pada media LB padat tampak tumbuh koloni berwarna putih (Gambar 2). Bakteri E. coli BL-21 mampu tumbuh pada media yang mengandung kanamycin sebab plasmid pET SUMO mengandung gen yang resisten terhadap kanamycin. Gambar 2. Pertumbuhan E. coli BL-21 yang disisipi plasmid pET SUMO yang mengandung gen mrp 864 S. suis pada media LB padat yang mengandung kanamycin. 33 Berikut ini adalah peta plasmid pET SUMO yang digunakan untuk ligasi produk PCR mrp 864. Gen mrp 864 diinsersi ke dalam multiple cloning site yang terdapat di antara SUMO dan T7 terminator (Gambar 3). Plasmid pET SUMO memiliki tipe sticky end sehingga gen yang akan diinsersi akan lebih mudah diligasi. Gambar 3. Peta pET SUMO 5643 bp (Invitrogen, 2010) Bakteri E. coli BL-21 yang telah telah ditransformasi dengan plasmid pET SUMO akan dapat tumbuh pada media LB yang mengandung kanamycin karena pET SUMO memiliki gen resisten terhadap antibiotik kanamycin yang dijadikan sebagai selectable marker. B. Isolasi dan Amplifikasi Plasmid Rekombinan Bakteri E. coli BL-21 yang tumbuh pada media LB padat kemudian dipindahkan ke media LB cair diinkubasi 24 jam dalam shaker suhu 37oC. Pada saat optical density (OD) mencapai 2,451 bakteri diambil untuk selanjutnya 34 dilakukan isolasi plasmid rekombinan. Isolasi plasmid rekombinan menggunakan GeneJET™ Plasmid Miniprep Kits (Fermentas). Analisis untuk mengetahui keberadaan gen mrp 864 dilakukan dengan cara PCR. Plasmid MRP 864 rekombinan diskrining melalui amplifikasi sebanyak 30 siklus menggunakan sepasang primer. Primer mrp 864 Forward (5’GTAACATCAGAATCACCACTTTTGGCTGGTC 3’) dan mrp 864 Reverse (5’CAAACTATTGCAGGACAGGTAGTTACTCCATCT 3’). Primer sekuen oligonukleotida yang digunakan berdasarkan penelitian yang dilakukan Silva et al., (2006). Hasil PCR di elektroforesis pada gel agarose 2% selama 30 menit, divisualisasi dengan menggunakan UV transilluminator menghasilkan pita tunggal dengan ukuran ± 864 bp (Gambar 4). Gambar 4. Elektroforegram hasil PCR gen mrp 864 S. suis pada gel agarose 2% selama 30 menit. Isolat A, B, C2 dan D terdapat pita tunggal gen mrp 864, sedangkan pada isolat C1 tidak terdapat gen mrp 864. 35 Elektroforesis hasil PCR tampak adanya pita tunggal berukuran 864 bp pada isolat A, B, C2, dan D sedangkan isolat C1 tidak tampak adanya pita. Metode PCR dilakukan untuk mengkonfirmasi ada atau tidaknya gen mrp 864 di dalam bakteri E. coli BL-21 yang tumbuh. Pada isolat A, B, C2 dan D tampak adanya pita tunggal berukuran 864 bp. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bakteri E.coli BL-21 terdapat gen mrp 864, sedangkan pada isolat C1 tidak muncul adanya pita yang mengindikasikan bahwa di dalam bakteri tersebut tidak terdapat gen mrp 864. Sekuensing dilakukan untuk mengetahui urutan basa dan jumlah pasang basa. Analisis sekuen basa nukleotida dilakukan dengan menggunakan primer SUMO forward dan T7 terminator yang mengapit multiple cloning site (MCS) dimana gen insert berada. Hasil pembacaan basa nukleotida dari arah primer SUMO forward menghasilkan 961 bp dan pembacaan dari arah T7 terminator menghasilkan 262 bp. Hasil sekuensing kemudian disejajarkan secara antiparalel. Setelah disejajarkan didapatkan jumlah basa nukleotida yaitu 1118 bp (Supriyati, 2015). Hasil pengurutan sekuen gen dapat dilihat pada Tabel 2. 36 Tabel 2. Hasil pengurutan sekuen gen dengan primer SUMO forward dan T7 terminator (Supriyati, 2015). Sampel Urutan Basa Nukleotida 1 agattcttgtacgacggtattagaattcaagctgatcagacccctgaagatttggacatggaggataacgat attattgaggctcacagagaacagattggtggtgtaacatcagaatcaccacttttggctggtcttggtcaa aaagagttggctaaaactgaagatgcaactcttgcaaaagctatagaggatgctcaaacaaaacttgcag cagctaaggcaattttggctgactcagaagcaactgttgagcaagttgaagcgcaagtcgcagcggttaa agtagccaacgaggcgctagggaatgaattgcaaaaatacactgtagatggtctcttgacagcggctctt gatacagtagcacctgatacaactgcatcaacattgaaagttggtgatggcgaaggtacccttctagatag cactacaacagcaacgccttcaatggctgagccaaatggtgcagcaattgctccacatacacttcgaactc aagatggaattaaagcgacatcagagccaaattggtatacttttgaatcgtacgatttgtactcatataataa aaatatggctagctcaacttataaaggagctgaagttgatgcctacattcgttactctttggataatgattcgt caacaactgctgttttagcagagttggtaagtaggacaactggtgatgtgttagagaaatatacgattgaac cgggcgagagtgttacgttttcacatccgacaaaagttaatgctaataatagcaatataactgtgacttatga tacctcattagcttctgctaatactcctggagcattgaaattctctgctaatgatgatgtttattcaacaattattg tacctgcttatcagattaatacaactcgttacgtcactgaaagtggcaaagttttggcaacctatggtcttcaa actattgcaggacaggtagttactccatctagacaagcttaggtatttattcggcgcaaagtgcgtcgggtg atgctgccaacttagtcgagcaccaccaccaccaccactgagatccggctgctaacaaagcccgaaag gaagctgagttggctgctgccaccgctgagcaataacta Hasil sekuensing kemudian dilakukan pemotongan untuk menghilangkan sekuen vektor sehingga dapat diperoleh insert gen mrp 864 bp. Urutan nukleotida hasil pemotongan dianalisis homologinya dengan database gen bank dengan menggunakan program BLAST. Hasil program BLAST menunjukkan bahwa sekuen gen rekombinan mrp 864 hanya dimiliki oleh bakteri Streptococcus suis. C. Isolasi Protein MRP 864 Rekombinan Bakteri E. coli BL-21 ditumbuhkan pada LB cair yang mengandung kanamycin dan IPTG. Media LB cair di shaker selama 24 jam suhu 37o C. Untuk mendapatkan protein, biakan bakteri tersebut kemudian disonikasi lalu disentrifuge untuk memisahkan antara pelet dan supernatan. Supernatan yang 37 mengandung protein selanjutnya di SDS PAGE untuk melihat ekspresi dari protein. Bakteri E. coli BL-21 dikonstruksi khusus untuk mengekspresikan suatu protein. Vektor ekspresi pET membawa T7 promoter yang bersifat kuat dalam menginisiasi transkripsi mRNA. Bagian T7 promoter ini akan bekerja hanya apabila RNA polymerase T7 menempel pada lacO dan tidak mengenali RNA polymerase E. coli. Mekanisme ini dapat mengurangi resiko toksisitas protein terhadap kelangsungan hidup E. coli BL-21. Bakteri E. coli BL-21 berfungsi untuk memproduksi RNA polymerase T7 yang dibutuhkan oleh T7 promoter. Kromosom E. coli BL-21 membawa gen rne131 yang menyandi RNase E untuk meningkatkan stabilitas mRNA dalam memproduksi protein. Bakteri E. coli BL21 dan pET SUMO menggunakan sistem kerja operon laktosa. Operon laktosa akan aktif setelah diinduksi IPTG, yang akan mengikat repressor (lacI) sehingga transkripsi dapat berlangsung (Wu et al., 2009). Gambar 5 adalah hasil SDS PAGE ekspresi whole protein E. coli BL-21 rekombinan yang ditumbuhkan pada media LB cair yang mengandung IPTG 1 mg/ml dan kanamycin 50 µg/ml. Pada penelitian ini digunakan stacking gel dengan konsentrasi 2,5% dan resolving gel konsentrasi 12%, dirunning dengan tegangan listrik 300 volt dan kekuatan arus listrik 100 ampere dalam waktu 2 jam. 38 Gambar 5. Hasil SDS PAGE protein hasil ekspresi E. coli BL-21 rekombinan Baris 1-2: ekspresi protein E.coli BL-21 dengan waktu inkubasi 6 jam Baris 3-4: ekspresi protein E.coli BL-21 dengan waktu inkubasi 12 jam Baris 5-6: ekspresi protein E.coli BL-21 dengan waktu inkubasi 18 jam Baris 7-8: ekspresi protein E.coli BL-21 dengan waktu inkubasi 24 jam Hasil SDS PAGE protein hasil ekspresi E. coli BL-21 rekombinan dengan waktu inkubasi yang berbeda menunjukkan adanya peningkatan intensitas warna pada pita-pita yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu inkubasi maka konsentrasi protein yang dihasilkan akan semakin banyak. Nampak juga adanya penebalan pita seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi pada pita ukuran 57 kDa yang merupakan ekspresi dari protein MRP 864 rekombinan. 39 D. Purifikasi Protein MRP 864 Rekombinan Purifikasi protein menggunakan kolom kromatografi (Protino® Ni-TED 2000 Packed Columns). Vektor plasmid pET SUMO didesain mengandung HisTag untuk mempermudah proses purifikasi karena protein yang diproduksi akan berikatan dengan komponen Ni2+ sehingga dapat berikatan dengan ligan yang sesuai. His-tag akan berikatan dengan ion Ni 2+ yang terdapat pada kolom komatografi afinitas (Protino® Ni-TED 2000 Packed Columns). Pada saat dielusi dengan larutan yang mengandung afinitas lebih tinggi dari pada Ni 2+, maka protein MRP 864 yang mengandung His-tag akan terlepas dari kolom dan larut ke dalam cairan elusi. Hasil purifikasi protein dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Hasil purifikasi protein MRP 864 rekombinan S. suis dengan menggunakan Protino® Ni-TED 2000 packed columns. Nomor 1 dan 2 adalah ekspresi whole protein E. coli BL-21 rekombinan, nomor 3 adalah hasil purifikasi dari pelet, nomor 4 adalah hasil purifikasi dari supernatan. 40 Pada Gambar 6 nomor 1 dan 2 merupakan whole protein dari E. coli BL21 rekombinan sebelum dilakukan purifikasi dengan Protino® Ni-TED 2000 Packed Columns. Nomor 3 merupakan hasil purifikasi protein dari pelet, sedangkan nomor 4 merupakan hasil purifikasi protein dari supernatan. Pada Gambar 6 terdapat 1 pita protein hasil purifikasi dari sampel supernatan dan tidak terdapat pita protein pada purifikasi dari sampel pelet. Hal ini menunjukkan bahwa protein MRP 864 rekombinan yang berikatan dengan Ni 2+ bersifat soluble protein. Terbentuknya pita tunggal berukuran sekitar 57 kDa pada hasil purifikasi protein menunjukkan adanya ekspresi protein MRP 864 yang berhasil dipurifikasi. E. Perhitungan Konsentrasi Protein MRP 864 Rekombinan Protein MRP 864 yang diperoleh selanjutnya diukur konsentrasinya menggunakan kurva standar Biorad Protein Assay. Hasil pengukuran konsentrasi protein MRP 864 yang dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 595 nm ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Konsentrasi protein MRP 864 rekombinan S. suis diukur dengan Biorad Protein Assay yang dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 595 nm Kode Transforman Konsentrasi protein E. coli BL-21 MRP 864 A 0,771 µg/ µL B 0,782 µg/ µL C2 0,567 µg/ µL D 0,878 µg/ µL 41 Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa konsentrasi protein yang dihasilkan oleh masing-masing bakteri berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan karena konsentrasi bakteri yang berbeda sehingga protein yang diekspresikan jumlahnya juga berbeda. Setelah konsentrasi protein MRP 864 diketahui, maka konsentrasi protein MRP 864 yang akan disuntikkan dapat dihitung sesuai dengan dosis yang ditentukan. Protein MRP 864 rekombinan diencerkan dengan aquades, kemudian diemulsikan dengan adjuvant sebelum disuntikkan ke mencit. F. Induksi Antibodi anti MRP 864 Rekombinan Protein MRP 864 hasil purifikasi digunakan untuk produksi antibodi poliklonal. Produksi antibodi dilakukan dengan imunisasi protein MRP 864 pada mencit Balb/c jantan berumur 6 minggu dengan dosis 25 µg/mencit secara intraperitoneal dengan menggunakan adjuvant. Lokasi imunisasi optimal pada mencit adalah pada cavum peritoneal karena penyuntikan intraperitoneal mudah dilakukan dan antigen dapat mencapai pembuluh darah secara cepat. Imunisasi secara intravena baik digunakan pada saat dilakukan booster untuk menstimulasi organ limfoid (limpa) dalam proses produksi antibodi (Baumgarten, 1992). Pada imunisasi pertama antigen diemulsikan dengan Complete Freund’s Adjuvant/CFA, sedangkan pada imunisasi selanjutnya antigen diemulsikan dengan Incomplte Freund’s Adjuvant/IFA. Tujuan penggunaan adjuvant adalah untuk meningkatkan respon imun. Karena pemberian adjuvant mengakibatkan perubahan struktur dan elektrostatik, sehingga antigen dibebaskan secara bertahap. Stimulasi terhadap sistem imun berlangsung dalam waktu yang lebih 42 lama sehingga merangsang produksi antibodi. Hal ini menyebabkan imunogenitas sistem kekebalan tubuh meningkat (Janeway et al., 2001). Setiap 10 hari pasca imunisasi dilakukan pengambilan darah (serum) mencit, kemudian dilakukan pengukuran titer antibodi mencit menggunakan metode indirect ELISA secara duplo. Penentuan titer antibodi dilakukan dengan membandingkan nilai absorbansi dari serum pasca imunisasi dengan serum kontrol positif yang telah diketahui titernya secara pengenceran bertingkat. Dengan cara ini didapatkan reprodusibilitas yang baik (Igarashi et al., 1981). Dalam penelitian ini tidak ada serum kontrol positif yang telah diketahui titernya, oleh karena itu perhitungan titer mengacu pada rasio P/N, yaitu rasio nilai absorbansi antara serum imunisasi dibandingkan dengan serum non-imunisasi (Burke and Nisalak, 1982). Hasil pengukuran titer antibodi mencit dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengukuran titer antibodi mencit pasca imunisasi dengan metode indirect ELISA pengenceran serum 100x dibaca dengan ELISA reader panjang gelombang 450 nm. Titer Antibodi Serum Serum Serum ke I ke II ke III A 1,065 1,232 1,258 B 1,348 2,064 2,437 C2 1,143 1,476 1,737 D 1,527 1,807 1,743 Keterangan : * : Titer tertingggi Kode mencit Serum ke IV 1,215 2,685* 2,072 2,152 Pengenceran 100 x 100 x 100 x 100 x Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa titer antibodi mengalami peningkatan secara bertahap. Titer tertinggi dicapai pasca penyuntikan terakhir 43 setelah dilakukan booster dengan injeksi intravena. Penyuntikan antigen secara intravena memacu peningkatan respon imun secara cepat. Titer tertinggi diperoleh pada mencit B dengan nilai 2,685. Pada penelitian ini tidak memungkinkan penggunaan kontrol positif dari babi sakit dikarenakan tidak tersedia laboratorium hewan coba yang diperuntukkan untuk babi. Selain itu S. suis serotipe 2 bersifat zoonosis sehingga dapat membahayakan peneliti dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu perhitungan didasarkan pada perbandingan nilai absorbansi dari mencit imunisasi dengan mencit kontrol (non-imunisasi). Antibodi dari mencit B dengan titer tertinggi digunakan sebagai bahan untuk deteksi infeksi S. suis di lapangan dengan pengenceran 200x. G. Hasil uji serologi infeksi S. suis pada babi dengan ELISA Sebanyak 40 sampel serum babi asal Papua diuji secara serologis dengan menggunakan ELISA. Pengujian ELISA merupakan pengujian kuantitatif berdasarkan nilai absorbansi (Grol dan Schulze, 1992). Pada penelitian ini digunakan metode antigen capture ELISA untuk mengetahui adanya antigen MRP S.suis pada serum babi. Hasil uji serologis infeksi S. suis pada babi di Wamena Papua dengan antigen dan antibodi anti MRP 864 rekombinan dapat dilihat pada Gambar 7. 44 Gambar 7. Hasil uji serologi sampel serum babi asal Wamena Papua dengan metode antigen capture ELISA. Baris 1-5 kolom A-D : hasil uji serologi 20 sampel serum babi asal Wamena. Baris 1-3 kolom E : kontrol positif dengan serum mencit yang diimunisasi. Baris 1 sampai 5 kolom A-D adalah hasil uji serologis 20 sampel serum babi asal Wamena dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan S. suis. Baris 1 kolom E adalah hasil uji serologis serum dari mencit yang diinjeksi S. suis R 225. Baris 2 dan 3 kolom E adalah kontrol positif dengan serum mencit yang diimunisasi antigen MRP 864 rekombinan. Dalam penelitian ini serum babi yang diduga terinfeksi S. suis direaksikan dengan antigen MRP 864 rekombinan dan antibodi poliklonal hasil imunisasi mencit. Teknik yang digunakan adalah metode antigen capture ELISA. Sebanyak 100 µl serum babi dimasukkan ke dalam sumuran, lalu diinkubasi semalaman pada suhu 37oC. Bagian Fc dari immunoglobulin (IgG) yang terdapat dalam serum babi akan menempel pada sumuran. Sedangkan bagian Fab akan berikatan 45 dengan antigen MRP 864 rekombinan. Bovine serum albumin (BSA) digunakan untuk melapisi bagian sumuran yang tidak ditempeli immunoglobulin. Sebanyak 100 µl antigen MRP 864 rekombinan dalam buffer carbonat ditambahkan ke dalam sumuran. Antigen ini akan diikat oleh bagian Fab dari IgG serum babi dan IgG serum mencit. Setelah dicuci, 150 µl konjugat antimouse alkaline phosphatase (ALP) dengan pengenceran 1:3000 ditambahkan pada sumuran. Bagian Fc dari IgG serum mencit akan berikatan dengan Fab dari konjugat ALP. Setelah dicuci ditambahkan 150 µl substrat NPP. Substrat ini akan menempel pada bagian Fc dari konjugat ALP. Reaksi enzimatis ini akan memunculkan warna kuning, hasil reaksi antara substrat NPP dengan konjugat ALP yang terikat antigen dan antibodi. Semakin banyak IgG dari serum babi yang terikat pada sumuran, semakin banyak antigen yang terikat dan bereaksi dengan IgG dari serum mencit, sehingga warna kuning yang dihasilkan akan semakin pekat. Sumuran dibaca pada ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm untuk mengetahui nilai absorbansi. Babi positif terinfeksi S. suis jika nilai absorbansi lebih dari 1,000. Hasil seropositif apabila nilai absorbansi > 1,000 sedangkan hasil seronegatif apabila nilai absorbansi < 1,000. Hasil pengukuran nilai absorbansi dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengujian 40 sampel serum babi asal Papua dapat dilihat pada Tabel 5. 46 Tabel 5. Hasil uji antigen capture ELISA pada serum babi terduga infeksi S. suis di beberapa wilayah Papua Wilayah Jumlah Sampel Wamena 20 Hasil Uji Seropositif Seronegatif (> 1,000) (< 1,000) 12 (60%) 8 (40%) Wauma 7 6 (87,7%) 1 (12,3%) Napua 6 5 (83,3%) 1 (16,7%) Sigim 7 3 (42,8%) 4 (57,2%) Total 40 26 (65%) 14 (35%) Berdasarkan hasil uji serologis dengan metode antigen capture ELISA diketahui bahwa serum babi asal Wamena seropositif terhadap MRP 864 rekombinan S. suis sebanyak 12 sampel (60%), sampel asal Wauma seropositif terhadap MRP 864 rekombinan S. suis sebanyak 6 sampel (85,7%), sampel asal Napua seropositif terhadap MRP 864 rekombinan S. suis sebanyak 5 sampel (83,3%), sampel asal Sigim seropositif terhadap MRP 864 rekombinan S. suis sebanyak 3 sampel (42,8%). Apabila ditotal secara keseluruhan dari 40 sampel S. suis 26 sampel (65%) seropositif terhadap MRP 864 rekombinan S. suis, sedangkan 14 sampel (35%) negatif. Berdasarkan uji serologis terhadap 40 sampel babi asal Papua, menunjukkan bahwa 65% babi positif terinfeksi S. suis. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan warna kuning pada plat mikro dan ketika diukur dengan ELISA reader menunjukkan nilai absorbansi lebih dari 1,000 yang berarti bahwa di dalam serum babi terdapat antigen S. suis yang bereaksi positif terhadap antibodi anti MRP 864 rekombinan. Hasil uji serologis ini memperkuat hasil 47 penelitian yang telah dilakukan oleh Salasia et al., (2011) yang menyebutkan bahwa Papua kemungkinan merupakan daerah endemik S. suis dengan telah berhasil diisolasi S. suis pada cairan persendian babi pada tahun 2008 di Timika, Papua. Metode ELISA cukup sensitif dan informatif untuk deteksi keberadaan infeksi S. suis secara serologis berdasar penanda MRP rekombinan. Sensitifitas ini dilihat berdasarkan ikatan antigen dan antibodi dibandingkan dengan kontrol mencit non imunisasi dikarenakan tidak adanya kontrol positif dari babi yang diinfeksi S. suis serotipe 2. Penggunaan antibodi poliklonal sebagai sarana deteksi memiliki keuntungan dapat mengenali berbagai macam epitop antigen, sehingga memiliki toleransi terhadap perubahan yang terjadi pada antigen. Namun kekurangannya adalah dapat terjadi reaksi silang atau mengenali epitop yang homolog dari spesies/strain yang berbeda (Lipman et al., 2005). Penggunaan perangkat diagnostik yang berdasarkan antigen protein MRP 864 dan antibodi anti MRP 864 mempunyai beberapa kelebihan diantaranya penggunaan antibodi poliklonal cukup sensitif karena adanya beberapa epitop, sehingga afinitasnya lebih luas. Akan tetapi penggunaan antibodi poliklonal memiliki kelemahan karena tidak spesifik bereaksi terhadap satu protein saja. Deteksi infeksi S. suis serotipe 2 dengan perangkat ini sudah dapat diaplikasikan di lapangan. Namun untuk peneguhan diagnosa diperlukan antibodi monoklonal yang sifatnya lebih spesifik terhadap suatu infeksi. 48 H. Latex Agglutination Prinsip uji latex agglutination adalah dengan cara melapisi partikel latex dengan serum yang mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan kemudian direaksikan dengan bakteri pada glass slide dan kertas oxoid. Reaksi positif ditunjukkan dengan adanya agregasi/aglutinasi pada glass slide dan kertas oxoid. Aglutinasi terjadi karena adanya reaksi antara partikel latex yang telah dilapisi serum yang mengandung antibodi dengan komponen permukaan dari bakteri tertentu. Dalam penelitian ini digunakan metode direct latex agglutination karena partikel latex akan dilapisi oleh antibodi anti MRP rekombinan dan akan direaksikan dengan bakteri S. suis R 225 sebagai antigen. Partikel latex juga direaksikan dengan bakteri Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Eschericia coli (E. coli) untuk melihat spesifisitas dari uji ini. Hasil uji latex aglutinasi dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Hasil uji latex aglutinasi pada kertas oxoid. Kolom A baris 1-3 : reaksi antara partikel latex dengan S. suis (+), kolom B baris 1: kontrol negatif (latex-aquades), kolom B baris 2: reaksi partikel latex dengan E. coli (-), kolom B baris 3: reaksi partikel latex dengan S. aureus (-). 49 Baris 1 adalah hasil uji latex dengan bakteri S. suis konsentrasi 1010 CFU/ml (A) dibandingan dengan kontrol negatif berupa aquadest (B), baris 2 adalah hasil uji latex dengan bakteri S. suis konsentrasi 109 CFU/ml (A) dibandingan dengan bakteri E. coli (B), baris 3 adalah hasil uji latex dengan bakteri S. suis konsentrasi 108 CFU/ml (A) dibandingan dengan bakteri S.aureus (B). Gambar 8 menunjukkan bahwa partikel latex yang telah disensitisasi dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan hanya bereaksi positif terhadap bakteri S. suis dan tidak bereaksi terhadap bakteri lain. Hal ini membuktikan bahwa uji latex aglutinasi dengan antibodi anti MRP 864 bersifat spesifik terhadap antigen S. suis. Hal ini disebabkan karena hanya bakteri S. suis saja yang memiliki protein MRP, sehingga dapat bereaksi dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan. Uji aglutinasi latex akan memvisualisasi adanya ikatan antigen-antibodi spesifik, dimana ukuran partikel latex lebih besar dari partikel antigen maupun antibodi, sehingga akan memperjelas aglutinasi yang terbentuk dan lebih mudah teramati oleh mata (Hendrix and Sirois, 2002; Natalia, 2001; Ratnasari, 2010). Pada uji ini permukaan partikel latex telah disensitisasi dengan serum mencit yang mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan, sehingga ketika ditambahkan antigen yang spesifik maka akan timbul reaksi aglutinasi. Agar visualisasi lebih jelas, maka dilakukan pengamatan hasil uji latex aglutinasi dengan menggunakan mikroskop perbesaran 100x. Hasil pengamatan uji latex aglutinasi di bawah mikroskop dapat dilihat pada Gambar 9. 50 Gambar 9. Visualisasi uji latex aglutinasi pada mikroskop perbesaran 100 kali. Kiri : Partikel latex sebelum direaksikan, Kanan : Reaksi aglutinasi partikel latex-bakteri S. suis R 225 dengan konsentrasi 1010 CFU/ml dengan pewarnaan safranin. Pada uji latex aglutinasi yang dilakukan dalam penelitian ini, latex dilapisi dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan yang terdapat dalam serum darah. Partikel latex bereaksi positif terhadap bakteri S. suis R 225 karena bakteri tersebut memiliki muramidase released protein (MRP) yang dapat berikatan dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan sehingga menimbulkan aglutinasi. Partikel latex tidak bereaksi dengan bakteri S.aureus dan E. coli karena bakteri tersebut tidak memiliki muramidase released protein, sehingga tidak dapat berikatan dengan latex yang dilapisi antibodi anti MRP 864 rekombinan. Hal ini menandakan bahwa uji latex aglutinasi spesifik terhadap antigen tertentu dan tidak terjadi reaksi silang dengan antigen dari bakteri lain. Untuk mengetahui sensitifitas uji latex aglutinasi dilakukan optimasi dengan mereaksikan partikel latex yang telah dilapisi dengan bakteri S. suis R 225 berbagai konsentrasi. Interpretasi hasil dinyatakan dalam +++, ++, + dan -, berdasarkan banyaknya aglutinat yang terbentuk sampai tidak terbentuk aglutinat 51 atau yang dinyatakan dalam hasil negatif (-). Positif tiga (+++) ditandai dengan aglutinat yang sangat besar, banyak aglutinat pada tepi suspensi, dan latar suspensi tidak terlihat jernih. Positif dua (++) ditandai dengan terbentuknya aglutinat yang besar yang hampir memenuhi latar suspensi yang diuji. Positif satu (+) ditandai dengan terbentuknya aglutinat kecil, latar tidak tampak jernih. Hasil negatif (-) ditandai dengan tidak terbentuknya aglutinat dan latar belakang bersih (Anonim, 2002). Hasil optimasi uji latex aglutinasi dengan bakteri S. suis R 225 berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil optimasi uji latex agglutination dengan bakteri S. suis R 225 berbagai konsentrasi Jumlah sel S. suis R 225 (CFU/ml) Sampel 1010 109 108 107 106 105 S. suis ++ ++ + Keterangan : ++ : terbentuk aglutinat besar yang hampir memenuhi latar suspensi. + : terbentuk aglutinat kecil, latar tidak tampak jernih. - : tidak terbentuk aglutinat Hasil penelitian menunjukkan bahwa latex aglutinasi bereaksi positif dengan suspensi bakteri dengan konsentrasi tertinggi 10 10 CFU/ml dan terendah pada konsentrasi 108 CFU/ml. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa uji latex dapat digunakan untuk mendeteksi S. suis dalam dengan konsentrasi minimal 108 CFU/ml. Keunggulan dari metode latex aglutinasi adalah metode ini praktis, tidak memerlukan biaya yang tinggi, sederhana, dan cepat. Kelemahan dari metode ini adalah stabilitas partikel latex yang tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Berdasarkan hasil penelitian ini, uji latex aglutinasi dapat digunakan untuk 52 mendeteksi serum yang mengandung bakteri dengan konsentrasi minimal 108 CFU/ml. Apabila konsentrasi bakteri kurang dari 108 CFU/ml kemungkinan akan terjadi negatif palsu, sehingga perlu dilakukan kultur bakteri ke media kultur sampai konsentrasi bakteri mencapai batas minimal 108 CFU/ml agar hasil uji latex aglutinasi yang didapatkan tidak terjadi bias. Menurut Martin et al. (1987) suatu uji dikatakan sensitif apabila uji tersebut mampu mendeteksi hasil yang positif bila penyakit tersebut benar-benar ada. Dengan kata lain dapat juga dinyatakan bahwa makin sensitif suatu uji maka ia mampu mendeteksi adanya suatu penyakit, sedangkan untuk dinyatakan spesifik apabila uji tersebut mampu mendeteksi hasil yang negatif bila penyakit yang diuji benar-benar tidak ada. 53