1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Streptococcus suis pada babi merupakan bakteri Gram positif berbentuk
coccus, bersifat fakultatif anaerob yang menimbulkan penyakit zoonosis pada
manusia (Gottschalk and Segura, 2000). Secara serologis, sampai saat ini
Streptococcus suis dibedakan menjadi 35 serotipe. Diantara 35 serotipe, hanya
sebagian serotipe yang menyebabkan infeksi pada babi yaitu serotipe 1-9 dan
serotipe 14.
Streptococcus suis serotipe 2 merupakan yang paling banyak
prevalensinya dalam menimbulkan penyakit pada babi dan manusia (Salasia dan
Lammler, 1994; Wisselink et al, 2000). Serotipe 2 mempunyai patogenesitas
tertinggi dalam menginfeksi babi dan manusia, dan merupakan satu-satunya
serotipe yang umum ditemukan pada infeksi manusia (Gottschalk et al., 2007).
Infeksi S. suis dapat menyebabkan septisemia, meningitis, artritis dan kematian
terutama pada babi muda. Infeksi juga dapat terjadi pada saluran pernafasan
sehingga dapat menyebabkan bronkopneumonia (Wisselink et al., 2000).
Infeksi S. suis sebenarnya telah dikenal secara luas di Eropa, Amerika,
Hong Kong dan akhir-akhir ini ternyata diketahui sudah menyebar di Asia
Tenggara (Gottschalk et al,. 2007; Wertheim et al., 2009). Pada tahun 1998
hingga 2006 terjadi outbreak streptococcosis pada babi di China yang disebabkan
oleh S. suis dengan penanda virulensi MRP+, EF+, dan Sly+ (Jiang et al., 2009).
Outbreak tersebut juga menyerang manusia di wilayah propinsi Jiangsu China
1
pada tahun 1998 menyebabkan 14 orang meninggal dunia dari 25 kasus. Outbreak
di Sichuan pada tahun 2005 menyebabkan 38 orang meninggal dari total 215
kasus (Yu et al., 2007). Pada bulan April 2001-April 2002 dan Juli 2005-Juli 2007
di Thailand Utara terjadi 43 kasus pasien terinfeksi S. suis, 16 orang diantaranya
mengalami meningitis dan 8 orang yang sembuh dari meningitis mengalami
ketulian (Fongcom et al., 2009). Berdasarkan data yang dilaporkan pada tahun
2009 terdapat 700 kasus infeksi S. suis pada manusia, sebagian besar terjadi di
Asia Tenggara (Werthein et al., 2009). Selama ini tidak ada laporan adanya
infeksi dari manusia ke manusia (Yu et al., 2006).
Meskipun gejala klinis dan karakter epidemiologi tampak secara spesifik,
akan tetapi penyakit ini masih belum dikenal dan tidak terdiagnosis, bahkan di
kalangan human medicine kasus ini tidak tercatat (Mai et al., 2008). Melihat fakta
di lapangan, beberapa peneliti menyatakan bahwa S. suis meningitis pada manusia
kemungkinan tidak terdiagnosa (underdiagnosed) karena masyarakat dan dokter
kurang menyadari adanya resiko penyakit ini, dan diagnosis biasanya tidak
diarahkan pada kuman ini (Kerdsin et al., 2009).
Di Indonesia telah dilaporkan adanya infeksi S. suis yang diisolasi dari
cairan persendian babi pada tahun 2008 di Timika Papua (Salasia et al., 2011).
Temuan ini merupakan indikasi kuat keberadaan S. suis di Indonesia yang
kemungkinan keberadaannya underdiagnosed dan dikelirukan dengan bakterial
meningitis yang lain, sehingga diperlukan riset yang mendalam terhadap S. suis
meningitis. Di Indonesia belum berkembang perangkat diagnostik untuk deteksi S.
2
suis meningitis. Banyaknya kasus meningitis maupun ketulian di Indonesia
kemungkinan karena adanya underdiagnosed S. suis meningitis.
Kontrol penyakit sulit dilakukan karena vaksin kurang efektif dan efisien,
serta kurangnya perangkat diagnostik yang sensitif. PCR assay dikembangkan
untuk mendeteksi serotipe 1, 2, 7 dan 9 (Wisselink et al., 2000). Deteksi cepat dan
akurat keberadaan S. suis sangat penting untuk penentuan diagnosis dan
pengobatan
infeksi,
membantu
mengontrol
terjadinya
epidemik,
dan
meningkatkan kesembuhan pasien. Metode kultur bakteri membutuhkan waktu
yang lama, sehingga menyebabkan kondisi pasien yang terinfeksi semakin
memburuk. Oleh karena itu diperlukan suatu perangkat diagnostik yang dapat
mendeteksi S. suis secara cepat dan akurat (Holden et al., 2009).
Untuk deteksi penyakit di lapangan diperlukan metode yang cepat dan
akurat untuk mencegah penyebaran infeksi S. suis. Muramidase released protein
(MRP) merupakan salah satu faktor virulensi potensial pada S. suis yang dapat
dikembangkan menjadi sarana deteksi infeksi S. suis di Indonesia. Pada tahun
2011 Supriyati telah melakukan kloning gen penyandi muramidase released
protein S. suis. Kloning gen mrp dari S. suis merupakan langkah awal untuk
pengembangan alat deteksi yang mudah dan praktis untuk mendeteksi infeksi S.
suis pada skala peternakan maupun industri (jangka pendek) dan untuk
pengembangan kandidat vaksin dari imunogen MRP yang berasal dari S. suis
(jangka panjang) (Supriyati, 2015).
Salah satu cara deteksi S. suis adalah secara serologis berdasarkan antigen
dan antibodi anti MRP 864 rekombinan menggunakan metode antigen capture
3
ELISA. Metode ini dipilih karena dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
infeksi awal S. suis dengan kadar antigen yang rendah dengan tingkat sensitifitas
dan spesifisitas yang baik. Latex agglutination berbasis antibodi anti MRP 864
juga dapat digunakan untuk deteksi cepat infeksi S. suis di lapangan, karena
metode ini sangat praktis, murah, cepat dan akurat. Kedua metode ini dipilih agar
infeksi S.suis di lapangan dapat diketahui secara cepat, sehingga dapat
meminimalisir penyebaran infeksi S.suis yang bersifat zoonosis.
B. Permasalahan
1. Apakah antigen protein hasil ekspresi dari plasmid rekombinan yang
mengandung gen mrp 864 (protein MRP) dapat menginduksi terbentuknya
antibodi pada mencit?
2. Apakah antibodi anti MRP 864 dapat digunakan untuk mendeteksi
keberadaan S. suis pada babi yang terinfeksi dengan metode ELISA dan
latex agglutination?
C. Tujuan
1. Mengembangkan prototype diagnostik berbasis antibodi terhadap antigen
MRP 864 rekombinan Streptococcus suis.
2. Mendeteksi keberadaan S. suis secara serologis pada babi di lapangan
dengan menggunakan ELISA dan latex agglutination.
D. Manfaat
Menghasilkan perangkat diagnostik berbasis antibodi poliklonal anti
MRP 864 rekombinan S. suis yang dapat digunakan sebagai sarana deteksi
4
infeksi S. suis di lapangan berdasarkan reaksi antigen dan antibodi yang dapat
diaplikasikan secara cepat, akurat dan ekonomis.
E. Keaslian Penelitian
Ruch and Smith (1982) melakukan penelitian tentang aplikasi antibodi
monoklonal terhadap karbohidrat Streptococcus grup B pada latex
agglutination dan immunoprecipitin assay. Penelitian tentang pemisahan Mlike protein pada Streptococcus Group C (Streptococcus equi subsp.
zooepidemicus) dengan metode sodium dodecyl sulphate-poliacrylamide gel
electrophoresis (SDS-PAGE), produksi antibodi dan teknologi hibridoma
telah dilakukan oleh Purwantoro (2005). Artdita (2011) melakukan penelitian
tentang pengembangan deteksi serologis terhadap infeksi S. suis di Indonesia
berdasarkan marker virulen muramidase released protein. Pada tahun 2013
Salasia et al. melakukan penelitian tentang pengembangan deteksi cepat
Staphylococcus aureus pada sapi perah dengan latex agglutination berbasis
clumping factor. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat
diagnostik untuk infeksi S. suis di Indonesia berdasarkan marker muramidase
released protein hasil rekombinan yang diaplikasikan pada metode antigen
capture ELISA dan latex agglutination.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Streptococcus suis
1. Klasifikasi dan sifat
Killper-Bälz dan Schleifer (1987) mengklasifikasikan S. suis dalam
Kingdom
Bacteria,
Phylum
Firmicutes,
Class
Bacili,
Order
Lactobacillales, Family Streptococcaceae, Genus Streptococcus, Species
Streptococcus suis. Streptococcus suis merupakan bakteri Gram positif,
bersifat anaerob fakultatif dan berdasarkan klasifikasi Lancefield`s,
mempunyai
struktur dinding sel
yang masuk dalam
klasifikasi
Streptococcus group D (Salasia et al., 1995; Gottschalk dan Segura, 2000).
Streptococcus suis berbentuk sferik, tunggal, berpasangan maupun
tersusun dalam bentuk rantai panjang, koloni tumbuh seperti titik-titik
embun pada permukaan media kultur, tumbuh baik pada kondisi
mikroaerofilik atau fakultatif anaerob dan bersifat α-, β-, ataupun γhemolitik (Higgins dan Gottschalk, 1990 ; Salasia dan Lämmler, 1994b).
Streptococcus suis yang diklasifikasikan dalam strain serotipe 2
merupakan agen infeksi yang mempunyai virulensi tinggi dan sering
ditemukan pada hewan sakit (Higgins dan Gottschalk, 2000).
6
2. Infeksi Streptococcus suis pada Babi
Babi dewasa maupun babi muda dapat bertindak sebagai karier S.
suis pada hidung, tonsil dan nasofaring tanpa menunjukkan gejala sakit
(Arends et al., 1984; Mogollon et al., 1991; Prieto et al., 1994). Bakteri
S.suis berpredileksi pada saluran pernafasan bagian atas terutama bagian
cavum nasal dan tonsil, juga pada saluran pencernaan babi (Higgins dan
Gottschalk, 2006). Gejala klinis pada babi antara lain anoreksia, depresi,
kemerahan pada kulit, kepincangan, inkoordinasi dan demam, selanjutnya
diikuti gejala syaraf yang lebih nyata seperti paralisis, paddling movement,
opistotonus dan spasmus tetanik (Clifton dan Hadley, 1983).
Infeksi Streptococcus suis serotipe 2 pada manusia dapat
menyebabkan
septisemia dan meningitis yang sering kali diperparah
dengan endophthalmitis, dan cochleitis (Arends dan Zanen, 1988). Infeksi
ini seringkali disebabkan oleh serotipe 2 dan sedikit oleh serotipe 4 dan 14
(Higgins and Gottschalk, 1990; Trottier et al., 1991). Streptococcus suis
kemungkinan masuk melalui luka kecil atau melalui pernafasan (Arends
dan Zanen, 1988). Streptococcus suis berperan sebagai agen zoonotik
berbagai penyakit berbahaya pada manusia, terutama pada manusia yang
pekerjaannya terekspos babi atau produk olahan babi (Lun et al., 2007;
Wertheim et al., 2009).
3. Faktor Virulensi
Streptococcus suis dilaporkan mempunyai berbagai macam
determinan virulensi, antara lain:
7
a. Capsular Polysaccharide (CPS)
Capsular
Polysaccharide
(CPS)
dilaporkan
berfungsi
sebagai
antifagositik. CPS S. suis serotipe 2 mempunyai berat molekul (BM)
sekitar 100 kDa dan tersusun dari rhamnosa (N-acetylgalactosamine),
galaktosa, glukosa, N-acetylglucosamine, dan asam sialat. Asam sialat
adalah yang paling utama dan merupakan faktor virulensi penentu
patogenesitas suatu serotipe S. suis. (Smith et al., 1999; Gottschalk dan
Segura, 2000).
b. Adesin
Adesin merupakan senyawa kimia dengan BM 36 kDa. Adesin
memiliki struktur peptida yang mengikat dissacharidesgalactosyl (alpha14)-galactose (Galα-4gal). Molekul Galα 1-4 adalah bagian dari
trihexosylceramide (GbO3) yang terdapat pada membran sel hospes.
Senyawa GbO3 merupakan glikolipid yang ada di eritrosit, sehingga adesin
bertanggung jawab atas kemampuan dalam mengaglutinasi eritrosit
(Gottschalk dan Segura, 2000).
c. Muramidase Released Protein (MRP) dan extracellular factor (EF)
Muramidase release protein (MRP) dan extracellular factor (EF)
merupakan 2 faktor virulensi yang penting pada S. suis. berat molekul
MRP 136 kDa dan EF 110 kDa (Jacobs et al., 1994 ; Salasia dan Lämmler,
1994b). Keberadaan protein EF selalu berkorelasi dengan MRP, namun
fungsi protein EF secara pasti belum diketahui dengan jelas (Timoney,
2004). Berdasarkan korelasi protein MRP dan EF, terdapat 3 macam
8
fenotipe dari S. suis yaitu MRP+EF+ sebagai faktor virulen yang biasanya
diisolasi dari babi sakit, fenotipe MRP-EF- yang biasanya diisolasi dari
babi sehat, serta fenotipe MRP+EF- yang dapat diisolasi dari dari manusia
sakit akibat infeksi S. suis (Vecht et al., 1992; Salasia et al., 1995; Galina
et al., 1996; Vecht et al., 1996).
d. Haemolysin/Suilysin (Sly)
Suilysin mempunyai berat molekul 54 kDa (Jacobs et al., 1994;
Timoney, 2004). Karakterisasi strain pathogen S. suis serotipe 2 selalu
berasosiasi dengan adanya suilysin (Smith et al., 1997). Keberadaan
suilysin juga berkorelasi dengan protein MRP dan EF. Kejadian babi sakit
terinfeksi S. suis dengan virulensi tinggi umumnya terekspresi MRP +, EF
+, Sly + (Staats et al., 1999; Gottschalk et al., 2007), sedangkan pada babi
sehat terekspresi MRP-, EF-, Sly- (Allgaire et al., 2001).
4. Patogenesis Streptococcus suis
Anak babi merupakan hospes penting dalam penyebaran agen
infeksi ke babi lain dalam suatu populasi peternakan. Mekanisme
penularan pada anak babi biasanya melalui transmisi vertikal. Beberapa
hewan terkadang menunjukkan kondisi sehat tetapi bersifat carrier yang
berbahaya bagi populasi babi lainnya. Babi yang bersifat carrier tidak
menunjukkan gejala klinis dan dalam waktu cepat atau lambat akan
berkembang menjadi bakteremia, terkadang septikemia dan meningitis
(Gottschalk dan Segura, 2000).
9
Mekanisme pathogenesis infeksi S. suis seperti teori Trojan-horse
style yang memperlihatkan kemampuan S. suis untuk bertahan dalam sel
mononuklear. Bakteri yang bertahan dalam sel mononuklear mampu
menyebar dan menyebabkan lesi meningitis yang patognomonik, ditandai
dengan tidak ditemukannya lesi pada sel endotel jaringan mikrovaskular
otak (Gottschalk dan Segura, 2000; Timoney, 2004).
Streptococcus suis menggunakan wilayah tonsil sebagai jalan
untuk masuk ke host, kemudian masuk ke leukosit mononuklear dan
menuju cairan cerebrospinal (CSF) melalui choroid plexus. Stimulasi
produksi sitokin oleh makrofag yang terinfeksi, diduga menyebabkan
peradangan yang menembus dari darah ke CSF. (Williams, 1990; Chanter
et al., 1993). Peningkatan sel pada CSF memblok area fluid efflux,
meningkatkan tekanan intrakranial dan dapat membahayakan sistem saraf
(Williams and Blakemore, 1990).
B. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan reaksi enzimatik untuk
melipatgandakan suatu sekuen nukleotida tertentu secara eksponensial dengan
cara
in
vitro.
Kelebihan
deoxyribonucleicacid
(DNA)
metode
dapat
ini
adalah
dilakukan
pelipatgandaan
secara
cepat
fragmen
dan
dapat
menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit (Sambrook et al., 1989;
Yuwono, 2006).
10
Empat komponen utama proses PCR yaitu DNA template (fragmen DNA
yang akan dilipatgandakan), primer (suatu sekuen oligonukleotida pendek yang
terdiri atas 15-25 basa nukleotida yang digunakan unuk mengawali sintesis rantai
DNA, deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari deoxyadenosine
(dATP), deoxycytidine (dCTP),
deoxyguanine (dGTP), dan deoxythymidine
(dTTP), enzim DNA polymerase, dan komponen tambahan yaitu buffer.
(Sambrook et al., 1989).
Dengan ditemukannya teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain
seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya
di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular
(Handoyo dan Rudiretna, 2000). Keunggulan PCR dikatakan sangat tinggi. Hal ini
didasarkan atas spesifitas, efisiensi dan keakuratannya. Spesifitas PCR terletak
pada kemampuannya mengamplifikasi sehingga menghasilkan produk melalui
sejumlah siklus. Keakuratan yang tinggi karena DNA polymerase mampu
menghindari kesalahan pada amplifikasi produk. Masalah yang berkenaan dengan
PCR yaitu biaya PCR yang masih tergolong tinggi. Selain itu kelebihan lain
metode PCR dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5x10-9
mol) sebesar 200.00 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit.
Reaksi ini dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah sangat
sedikit, DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 µg, oligonukleotida yang
diperlukan hanya sekitar 1 mM dari reaksi ini biasa dilakukan dalam volume 50100 µl. DNA template yang digunakan juga tidak perlu dimurnikan terlebih
dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu
11
sekuen DNA dalam genom bakteri hanya dengan mencampukan kultur bakteri di
dalam tabung PCR (Yusuf, 2010).
Elektroforesis gel agarosa umumnya digunakan untuk separasi DNA.
Pemisahan molekul-molekul ini didapat dari molekul asam nukleat (DNA) yang
bermuatan negatif (katoda) bergerak melalui gel agarosa ke muatan positif
(anoda) pada medan elektrik. Molekul yang ukurannya lebih kecil akan bermigrasi
lebih cepat dibanding molekul yang ukurannya lebih besar. Keuntungan
elektroforesis gel agarosa yaitu mudah diperoleh dan tidak mendenaturasi sampel
yang diuji, sedangkan kerugiannya adalah gel dapat meleleh dan buffer dapat
habis selama elektroforesis berlangsung, selain itu material genetik yang tidak
diharapkan bisa berada di tempat yang tidak diharapkan (Yuwono,2006).
C. Sodium Dodecyl Sulphate - Polyacrylamide Gel Electrophoresis
Dasar metode Sodium Dodecyl Suplhate - Polyacrylamide Gel
Electrophoresis
(SDS PAGE) adalah elektroforesis. Elektroforesis adalah
perpindahan molekul dalam larutan sebagi respon kepada sebuah medan.
Kecepatan perpindahan ini tergantung kekuatan medan, muatan medan, besar dan
bentuk molekul dan juga kekuatan ion, viskositas serta suhu medium dimana
molekul tersebut berpindah (Rybicki dan Purves, 2007).
Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) terbentuk dari polimerisasi
antara acrylamide sebagai monomer dengan N, N’-methylene-bis(acrylamide)
(sebagai
cross-linker)
disertai
dengan
penambahan
katalis
yaitu
12
tetramethylethylene-diamine (TEMED) serta inisiator (amonium persulfate)
(Richards dan Lecanidou, 1974).
Muatan ion atau kelompok ion akan berpindah jika berada pada suatu
medan listrik (Pommerannz dan Meloan, 1978). Protein merupakan komponen
amphoteric, muatannya tergantung pada pH medium dimana protein tersebut
tersuspensi. Pada larutan dengan pH dibawah titik iso elektrisnya, protein
memiliki muatan negatif dan berpindah menuju anoda pada medan listrik (Rybicki
dan Purves, 2007). Sodium Dodecyl Sulphate (juga dikenal dengan Lauryl Sulfat)
merupakan senyawa anion, artinya ketika dalam larutan, molekul—molekulnya
memiliki muatan negatif tanpa memperhatikan kisaran pH. Muatan negatif SDS
merusak kebanyakan struktur kompleks protein dan memperkuat tarikan menuju
anoda (kutub positif) pada medan listrik (Capprete, 1996).
Beta merkaptoetanol (tiol) digunakan untuk mereduksi semua ikatan
disulfida yang ada pada protein. SDS merupakan detergen lemah yang akan
mengikat protein dan memutuskan ikatan diantara subunit penyusun. Sistem gel
SDS merupakan alat kualitatif yang berguna. Preparat dapat segera dianalisa sifat
homogenitasnya. Protein homogen menghasilkan satu pita. Berat molekul protein
dapat ditetapkan dengan mempergunakan protein baku yang telah diketahui berat
molekulnya dan memperbandingkan nilai Rf (mobilitas relatif) yang diperoleh.
Pita berwarna atau “band“ dapat diketahui dengan suatu reaksi pewarnaan seperti
pewarnaan dengan Coomasie blue. Elektrogram yang dihasilkan oleh metode
elektroforesis dapat segera dikuantitatifkan dengan alat densitometer (Suhartono,
1989).
13
Pada gel dengan densitas yang seragam, jarak perpindahan relatif pada
protein (Rf) adalah berbanding terbalik dengan log massanya. Jika protein yang
telah diketahui massanya bergerak secara simultan dengan protein yang belum
diketahui massanya, hubungan antara Rf dan massa dapat diplotkan, kemudian
massa dari protein yang belum diketahui dapat dihitung (Capprete, 1996).
D. Antibodi Spesifik
Antibodi dihasilkan oleh sel plasma yang merupakan fase akhir
perkembangan sel B. berbeda dengan sel T, sel B dapat mengenali antigen dalam
bentuk aslinya (native). Sel B mengenali antigen melalui antibodi yang terdapat
pada permukaan sel, menjadi aktif dan mengalami peralihan produksi
immunoglobulin (Ig) kelas IgM menjadi IgG (class switch), meningkatkan
spesifisitas dan afinitas immunoglobulin yang dihasilkan dan mengalami
diferensiasi menjadi sel plasma atau sel memori dan terus mengalami pembelahan
selama masih ada sitokin (Palladino et al., 1995).
Produksi antibodi poliklonal diperoleh secara langsung dari sampel serum
hewan yang diimunisasi menggunakan antigen tertentu. Produk ini berasal dari
banyak klon limfosit dari tubuh hospes yang diimunisasi serta mampu
memberikan respon (Burgess, 1995). Respon antibodi terhadap antigen umumnya
merupakan kombinasi sejumlah besar antibodi monoklonal. Untuk menjawab
berbagai permasalahan diagnostik, sudah cukup jika digunakan antibodi
poliklonal, karena antiserum ini memiliki berbagai antibodi yang dapat berikatan
14
dengan berbagai epitop pada suatu antigen sehingga reaksi yang multiple ini tetap
dapat menimbulkan kompleks antigen-antibodi. Antibodi monoklonal dapat
digunakan untuk kepentingan deteksi atau diagnosis dan produksi skala besar
karena lebih spesifik dibandingkan antibodi poliklonal (Burgess, 1995; Hau dan
Hoosier, 2002; Mikkelsen dan Corton, 2004). Antibodi poliklonal lebih sensitif
daripada antibodi monoklonal tetapi tidak spesifik. Sisi sensitif ini dilihat
berdasarkan sifatnya yang heterogen sehingga antibodi poliklonal mempunyai
area selektivitas dan afinitas yang lebih luas (Burgess, 1995; Mikkelsen dan
Corton, 2004).
Prinsip produksi antibodi poliklonal dengan cara mengimunisasi hewan
dengan antigen yang memiliki banyak epitop, sehingga antibodi yang dihasilkan
banyak jenisnya tergantung bagian epitop yang dikenalinya (Janeway et al.,
2001). Waktu produksi antibodi poliklonal pada umumnya 4 hingga 8 minggu
(Burgess, 1995; Hau dan Hoosier, 2002).
E. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan metode yang
sering digunakan untuk mengetahui adanya reaksi antigen-antibodi, serta untuk
pemeriksaan respon imun humoral. Metode ELISA sangat sensitif dan mampu
mendeteksi konsentrasi antigen maupun antibodi dalam konsentrasi yang rendah
(dalam piko atau nano gram). Ciri utama metode ini adalah penggunaan indikator
enzim dalam reaksi imunologisnya (Janeway, et al., 2001).
15
Beberapa teknik ELISA diantaranya adalah langsung (direct), tidak
langsung (indirect), sandwich/antigen capture dan kompetitif. Teknik ELISA
langsung (direct) merupakan deteksi yang paling sederhana diantara metode
ELISA yang lain. Teknik ELISA tidak langsung (indirect) merupkan teknik
ELISA paling sederhana untuk pengukuran titer antibodi (Wang, 2006). Teknik
antigen capture (sandwich) ELISA atau penangkapan antigen menggunakan
antibodi yang terikat pada dasar microplate untuk menangkap antigen secara
spesifik. Teknik ini lebih sensitif namun kurang spesifik (Campbell dan Landry,
2006). Pada teknik ELISA kompetitif antibodi yang dikenal dengan yang tidak
dikenal akan bersaing mendapatkan tempat untuk berikatan dengan antigen.
Dibandingkan dengan metode langsung dan non-kompetitif, teknik ini lebih cepat
dan spesifik tapi kurang sensitif (Campbell dan Landry, 2006).
Antigen capture (sandwich) ELISA merupakan salah satu uji diagnostik
untuk mendeteksi adanya antigen dengan menggunakan antibodi poliklonal
maupun antibodi monoklonal (Estuningsih, 2006). Ikatan spesifik antara antigen
dan antibodi adalah faktor yang paling penting dalam keberhasilan antigen
capture ELISA. Spesifisitas uji dimodifikasi dengan menggunakan antibodi
monoklonal dari single strain atau multiple strain. Antibodi monoklonal akan
mengenali epitop tunggal sehingga dapat mendeteksi dan mengkuantifikasi
antigen yang spesifik. Akan tetapi, antibodi poliklonal biasanya dipilih untuk
meningkatkan sensitifitas. Kelebihan dari metode antigen capture ELISA adalah
sampel yang digunakan tidak harus dipurifikasi sebelum analisis dan uji ini sangat
sensitif, 2 hingga 5 kali lebih sensitif dibandingkan direct atau indirect ELISA
16
(Mei et al., 2012). Uji ini spesifik karena dua antibodi digunakan untuk
menangkap dan mendeteksi antigen. Selain itu uji ini memiliki fleksibilitas dan
sensitifitas yang tinggi.
F. Latex Agglutination
Latex agglutination merupakan metode untuk mendeteksi adanya ikatan
antigen-antigen melalui sensitisasi partikel latex (Gella et al., 1991). Dalam
stabilitas latex aglutinasi, partikel latex disensitisasi untuk mempertahankan
sensitivitas aglutinasi setelah penyimpanan pada suhu 4 o C selama minimal 4
bulan (Xu Xiaojuan et al., 2005). Uji aglutinasi latex telah banyak dipakai di
laboratorium klinik untuk mendeteksi berbagai penyakit infeksius (Natalia, 2001;
Gella et al., 1991; Amrita Lab., 2014). Singer dan Plotz (1956) pertama kali
mempelajari uji aglutinasi latex (LATs) dengan menggunakan polystyrene
monodisperse (PS) dan partikel polyvinyltoluene polymere yang mendukung
adsorbsi biomolekuler. Tahun 1957 uji aglutinasi latex mulai dipakai untuk tes
kehamilan, dan setelah itu digunakan untuk mendeteksi lebih dari 1000 penyakit
infeksius (Bangs Lab., 2013). Sejak saat itu banyak perusahaan di seluruh dunia
mengembangkan dan memasarkan uji latex aglutinasi untuk mendeteksi antigen
atau antibodi baik bakteri, cendawan, parasit, virus, maupun rickettsia dan juga
digunakan untuk mendeteksi hormon, obat-obatan, penyakit autoimun dan protein
serum (Natalia, 2001; Gella et al., 1991).
Uji ini tidak memerlukan biaya yang tinggi, sederhana, dan cepat. Waktu
yang dibutuhkan tidak lebih dari tiga menit, sudah cukup untuk mencapai hasil
17
dengan sensitivitas dan spesifitas yang dapat dibandingkan dengan uji aglutinasi
lain. Keuntungan tambahan adalah bahwa uji ini tidak memerlukan pengenceran
serum, tidak memerlukan peralatan untuk pembacaan hasil, tidak membutuhkan
waktu inkubasi yang panjang dan tidak memerlukan peralatan khusus sehingga
dapat diaplikasikan dalam kondisi lapangan (Natalia, 2001; Ramos et al., 2014;
Bangs Lab., 2013).
Teknik ini didasarkan pada reaksi imunoaglutinasi antara antibodi atau
antigen yang diikatkan pada partikel latex (Natalia, 2001). Reaksi antara partikel
antigen dan antibodi dalam gumpalan yang terlihat disebut aglutinat. Antibodi
yang menghasilkan reaksi tersebut dikenal sebagai agglutinin. Prinsip reaksi
aglutinasi mirip dengan reaksi presipitasi, yang bergantung pada antigen polivalen
silang. Pada konsentrasi antigen-antibodi yang optimal, ikatan antigen-antibodi
kompleks akan membentuk aglutinasi (Amrita Lab., 2014).
Uji ini dapat digunakan untuk mendeteksi suatu antigen maupun antibodi.
Adanya ikatan antigen-antibodi spesifik akan terdeteksi melalui partikel latex
yang sudah dilapisi antigen maupun antibodi yang tersuspensi. Jika serum yang
mengandung antibodi spesifik ditambahkan ke dalam campuran, maka akan
terbentuk ikatan antigen-antibodi komplex, dan terjadi aglutinasi. Aglutinasi akan
mengubah suspensi latex yang semula halus menjadi gumpalan, karena partikel
latex yang saling berikatan. Namun jika tidak terdapat antibodi spesifik dalam
serum tersebut, maka campuran latex dan serum tetap tersebar merata. Uji ini
dilakukan dengan meneteskan antigen maupun antibodi yang akan dideteksi dan
18
suspensi latex dengan jumlah yang sama pada gelas objek, kemudian mencampur
keduanya hingga homogen (Hendrix and Sirois, 2002).
Menurut Bolivar dan Gonzales (2005) reaksi aglutinasi dapat digunakan
untuk mendeteksi antigen dan antibody dengan beberapa model yang berbeda, dan
memiliki keterbatasan masing-masing dalam aplikasinya. Beberapa reaksi
aglutinasi yang sering digunakan diantaraanya adalah :
a. Direct latex agglutination
Metode ini digunakan untuk mendeteksi adanya antigen atau hapten
pada sampel. Antibodi yang telah berikatan dengan partikel latex
dicampur dengan suspensi sampel. Antigen yang terdapat dalam
sampel akan bereaksi dengan antibody dan akan membentuk agregat.
Jika sampel tidak mengandung antigen, maka agregat tidak akan
terbentuk. Metode ini digunakan untuk mendeteksi antigen polivalen
misalnya protein dan mikroorganisme.
b. Indirect latex agglutination
Metode ini digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi pada sampel.
Antigen yang telah berikatan dengan partikel latex dicampur dengan
suspensi sampel. Antibodi yang terdapat dalam sampel akan bereaksi
dengan antigen dan akan membentuk agregat. Jika sampel tidak
mengandung antibodi, maka agregat tidak akan terbentuk. Metode ini
19
digunakan untuk monovalent dan polivalen antigen seperti obat,
hormon steroid dan protein.
Latex aglutinasi merupakan metode yang sensitif dan spesifik untuk
mendeteksi berbagai macam antigen bakteri dari cairan tubuh pasien yang
mengalami infeksi sistemik, salah satunya meningitis. Dibandingkan dengan
immunoelektoforesis, latex aglutinasi tidak membutuhkan peralatan yang rumit
dan personil terlatih untuk aplikasinya. Metode ini lebih cepat dan lebih sensitif
jika dibandingkan dengan immunoelektoforesis untuk mendeteksi antigen
polisakarida yang terlarut dalam cairan tubuh (Webb and Baker, 1980).
Salah satu kelemahan dari metode latex aglutinasi adalah keterbatasan
ketersediaannya.
Latex
tes
kit
komersial
telah
dikembangkan
untuk
pengelompokkan secara serologis Streptococcus grup A, B, C, D, F dan G dari
media padat dan cair (Webb and Baker, 1980).
G. Landasan Teori
Streptococcus suis merupakan agen zoonotik yang berbahaya pada babi
dan manusia. Patogenesis infeksi S. suis biasanya berhubungan dengan faktor
virulensi. Salah satu faktor virulensi yang penting pada S. suis adalah muramidase
released protein (MRP). Protein MRP dapat diisolasi dari babi dan manusia yang
terinfeksi S. suis dan dapat berperan sebagai antigen yang menginduksi
munculnya antibodi anti MRP 864 pada hewan coba yang diimunisasi. Adanya
interaksi antara antigen dan antibodi dapat dimanfaatkan sebagai sarana diagnosis
suatu penyakit. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan
20
metode yang sering digunakan untuk mengetahui adanya reaksi antigen-antibodi.
Metode ini sangat sensitif karena mampu mendeteksi antigen dan antibodi dalam
konsentrasi yang rendah. Prinsip kerja latex agglutination adalah terjadinya
aglutinasi yang disebabkan adanya ikatan antara partikel latex yang telah
disensitisasi serum yang mengandung antibodi dengan antigen tertentu. Metode
antigen capture ELISA dan latex agglutination dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya infeksi penyakit secara serologis karena adanya ikatan antara antigen dan
antibodi.
H. Hipotesis
Antibodi anti MRP 864 rekombinan S. suis dapat diproduksi pada mencit
yang diimunisasi dengan antigen protein hasil ekspresi dari plasmid rekombinan
yang disisipi gen mrp 864 (protein MRP 864). Selanjutnya, antigen protein MRP
864 dan antibodi anti MRP 864 dapat digunakan sebagai detektor spesifik untuk
deteksi cepat adanya infeksi S. suis pada babi di lapangan dengan metode antigen
capture ELISA dan latex agglutination.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Fakultas
Kedokteran Hewan dan Laboratorium Biokimia, Program Studi Bioteknologi,
Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada.
B. Bahan Penelitian
Isolat E. coli BL-21(Invitrogen) yang ditransformasi dengan plasmid
rekombinan pET SUMO™ Protein Expression System (Invitrogen, USA) yang
disisipi gen mrp 864 dan isolat Streptococcus suis R 225 koleksi Prof. Dr. drh. Siti
Isrina Oktavia Salasia, Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Gadjah Mada digunakan dalam penelitian ini. Sejumlah 40 sampel
serum babi carrier dan sakit berdasarkan gejala klinis diperoleh dari Wamena,
Wouma, Napua, dan Sigim Papua. Mencit Balb/c 10 ekor dari Unit
Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP) UGM.
Bahan yang diperlukan untuk media pertumbuhan transforman E. coli
yang mengandung gen mrp 864 S. suis adalah tryptone, yeast extract, yeast
extract agar, NaCl, NaOH, aquabidestilata, kanamycin. Untuk isolasi plasmid
rekombinan diperlukan reagen kit GeneJet™ Plasmid Miniprep Kit :
Resuspension solution, Lysis solution, Neutralization solution, Wash Solution,
RNase A, Elution Buffer (Fermentas, Canada). Untuk PCR diperlukan primer
forward dan reverse, PCR master mix, PCR water, dan sampel DNA plasmid.
22
Untuk mengetahui ukuran DNA digunakan marker DNA dengan ukuran 1 Kb
(Bioline). Untuk Ekspresi protein diperlukan IPTG. Untuk Purifikasi protein
digunakan kit Protino® Ni-TED 2000 Packed Columns (Macherey Nagel). Untuk
SDS-PAGE diperlukan bahan acrylamide (Sigma, USA), bis-acrylamide (Sigma,
USA), TEMED / N,N,N,N-tetramethyletylene diamine (Biorad, USA), ammonium
persulphate / APS (Merck, Jerman), SDS / Sodium Dedocyl Sulphate (Merck,
Jerman), tris / hydroymethyl amino methane (Merck, Jerman) Methanol (Merck,
Jerman), Ethanol (Merck, Jerman), coomassive brilliant blue. Untuk mengetahui
ukuran protein digunakan protein ladder (1st Base). Untuk uji ELISA diperlukan
buffer pelapis/ coating buffer, buffer inkubasi, buffer pencuci, larutan untuk
blocking, buffer substrat, substrat NPP, serta Bovine Serum Albumine (BSA).
Untuk uji latex aglutinasi diperlukan partikel latex (Difco, Jerman), NaCl
fisiologis, glicyn saline buffer, sodium azide.
C. Alat
Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
mastercycler PCR (Eppendorf, Jerman), ultra violet transiluminator (Hoefer,
USA), mikrosentrifus (Eppendorf, Jerman), shaker incubator (Athena, Taipei),
imunowasher (Biorad, USA), ELISA reader (Biorad, USA), inkubator (Memmert,
Jerman), unit elektroforesis (Eppendorf, Jerman), unit SDS PAGE (Eppendorf,
Jerman), waterbath (Memmert, Jerman), spektrofotometer (Beckman, USA),
laminar air flow (Esco, China), vortex (Heidolph, Jerman), power supply
(Uniquip, Jerman) freezer -20ºC (LG, Jepang), autoclave (All America, Amerika).
23
Peralatan penunjang yang digunakan berupa mikropipet 10 µl, 200 µl, dan
1000 µl (Nichipet, Jepang), tabung mikro 1,5 ml, tabung konikel 15 ml dan 50 ml
(LP, Itali), plat mikro flat bottom 96 sumuran, disposable syringe 1 ml dan 3 ml,
white/yellow/blue tips (LP, Itali), tabung reaksi (Pyrex, Jepang), cawan petri
(Pyrex, Jepang), tabung Erlenmeyer (Pyrex, Jepang), ose.
D. Cara Kerja
1. Isolasi DNA Plasmid Rekombinan
Sebanyak 100 μl transforman dikultur dalam Luria Bertani (LB) medium
yang dalam setiap 100 ml mengandung kanamycin 50 μg/ml, tryptone 1 gram,
yeast extract 0,5 gram, NaCl 1 gram, dan yeast extract agar 1,5 gram. Kemudian
diinkubasi pada suhu 37o C selama 48 jam. Koloni yang tumbuh diambil lalu
ditanam ke LB medium cair. Kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24
jam. Bakteri yang tumbuh pada LB cair kemudian diisolasi plasmidnya dengan
menggunakan GeneJET™ Plasmid Miniprep Kits (Fermentas). Media LB cair
disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm dengan suhu 25ºC selama 10 menit.
Supernatan dibuang, pelet disuspensikan dengan menggunakan larutan resuspensi
sebanyak 250 µL. Larutan ditambahkan lysis solution sebanyak 250 µL kemudian
diresuspensi. Larutan ditambahkan neuralizaton solution 250 µL kemudian
diresuspensi sehingga larutan menjadi bening kembali. Larutan disentrifus dengan
kecepatan 5000 rpm dengan suhu 25ºC selama 10 menit. Supernatan dari hasil
sentrifus dipindahkan ke dalam GeneJET™ spin columns lalu disentrifus dengan
kecepatan 8000 rpm dengan suhu 25ºC selama 2 menit, ditambahkan 500 µL
washing solution yang sudah dicampur dengan ethanol, disentrifus kembali
24
dengan kecepatan 8000 rpm dengan suhu 25ºC
selama 2 menit. Tabung
GeneJET™ spin columns bagian atas dipindahkan ke dalam tabung baru,
ditambahkan 30-50 µL elution buffer lalu disentrifus dengan kecepatan 8000 rpm
dengan suhu 25ºC selama 5 menit. Cairan dalam tabung diambil dan disimpan
pada suhu -20 ºC (Invitrogen, 2010).
2. Amplifikasi gen mrp 864
Hasil isolasi plasmid rekombinan diamplifikasi dengan metode PCR.
Komposisi larutan untuk proses amplifikasi gen mrp 864 bp dengan volume reaksi
25 µL terdiri dari Buffer PCR Mix Qiagen (12,5 µL), Primer Forward (2 µL ),
Primer Reverse (2 µL), DNA ( 2µL), dan dH2O (6,5 µL). Proses amplifikasi
dilakukan dengan kondisi sebagai berikut : denaturasi awal dengan suhu 94ºC
selama 2 menit, denaturasi dengan suhu 94ºC selama 1 menit, annealing dengan
suhu 58ºC selama 1 menit, extension dengan suhu 72ºC selama 1,5 menit, final
extension dengan suhu 72ºC selama 2 menit dan hold dengan suhu 4ºC.
Amplifikasi dilakukan sebanyak 30 siklus. Hasil amplifikasi dielektroforesis
menggunakan gel agarose 2% selama 30 menit dan hasilnya diamati dengan uvtransilluminator.
Tabel 1. Urutan oligonukleotida primer untuk identifikasi molekuler S. suis
dengan PCR
Primer Target
Primer sekuen 5’ -3’
Panjang
gen
produk
mrp
MRP GTAACATCAGAATCACCACTTTTGGCTGGTC
864 bp
864 F
CAAACTATTGCAGGACAGGTAGTTACTCCATCT
mrp
864 R
25
3. Isolasi Protein MRP 864 Rekombinan
Sebanyak 500 µl kultur bakteri rekombinan diinokulasikan ke dalam 500
ml LB cair yang mengandung kanamycin 50 µg/ ml, kemudian tumbuhkan pada
suhu 37 ºC selama 24 jam dalam shaker incubator, disentrifus pada kecepatan
5000 rpm selama 5 menit, supernatan dibuang. Pelet ditambahkan 2-5 mL buffer
LEW, diresuspensi, dan ditambahkan 0,5 ml lysozyme 1 mg/ml, suspensi
dicampur, didiamkan dalam es selama 30 menit. Suspensi bakteri disonikasi
sebanyak 10 x 15 detik dengan jeda 15 detik. Suspensi bakteri disentrifus dengan
kecepatan 10.000 g pada suhu 4ºC selama 30 menit. Supernatan diambil dan
dimasukkan dalam tabung konikel bersih.
4. Purifikasi Protein MRP 864 Rekombinan
Supernatan hasil isolasi protein dimasukkan pada kolom Protino, dibiarkan
menetes dengan gravitasi. Apabila supernatan sudah menetes semua, kolom
Protino dicuci dengan buffer lysis equilibration washing (LEW) sebanyak dua
kali. Selanjutnya dielusi dengan buffer elution sebanyak 3 kali masing-masing 3
ml, kemudian hasil elusi ditampung dengan tabung konikel steril. Profil protein
dianalisis dengan SDS PAGE.
5. Perhitungan Konsentrasi Protein MRP 864 Rekombinan
Konsentrasi protein MRP ditentukan menggunakan uji Biorad. Protein
hasil elusi diambil masing-masing 2 µl kemudian ditambahkan 798 µl aquadest
dan 200 µl larutan Biorad Protein Assay. Larutan dibaca dengan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 595 nm (Widayanti, 1999).
26
6. Induksi Antibodi pada Mencit
Sebanyak 10 ekor mencit strain Balb/c jantan yang sehat secara klinis,
berumur 6 minggu dengan berat sekitar 100 gram. Mencit tersebut diimunisasi
dengan antigen berupa protein MRP 864 dengan dosis 25 µg per mencit
(Baumgarten, 1992). Imunisasi pertama antigen diemulsikan dengan Complete
Freund’s adjuvant (CFA) dengan perbandingan 1:1 hingga homogen, kemudian
disuntikkan ke mencit secara intra-peritoneal. Imunisasi diulang dengan interval
10 hari selama 3 kali menggunakan Incomplete Freund’s adjuvant (IFA). Booster
akhir disuntikkan antigen MRP secara intravena selama 3 hari berturut-turut. Satu
ekor mencit digunakan sebagai kontrol (Vecht et al., 1991). Serum pada setiap
mencit dipantau produksi antibodi terhadap MRP menggunakan metode ELISA
(Salasia, 2000; Peter et al., 1985).
7. Pengukuran Titer Antibodi Mencit
Pengukuran titer serum mencit yang telah diimunisasi dilakukan dengan
metode indirect ELISA dengan membandingkan nilai absorbansi serum imunisasi
dengan serum non imunisasi (Burgess, 1995). Setiap sumuran plat mikro dilapisi
dengan 100 µl antigen (MRP) dalam buffer karbonat, diinkubasi semalam pada
suhu 37o C, kemudian plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap
sumuran sebanyak 3 kali. Sumuran di blocking dengan 1% BSA dalam buffer
inkubasi masing-masing 200 µl selama 1 jam pada suhu 37 oC. Plat mikro dicuci
dengan washing solution 200 µl tiap sumuran sebanyak 3 kali. Sebanyak 100 µl
serum mencit (antibodi) ditambahkan ke tiap sumuran dengan pengenceran 1/25,
1/50, 1/100, 1/200, 1/400. 1/800, 1/1600, 1/3200, kemudian diinkubasi pada suhu
37oC selama 1 jam. Plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap
27
sumuran sebanyak 3 kali. Tahap selanjutnya, konjugat (IgG antimouse alkaline
phosphatase) yang telah diencerkan dengan buffer inkubasi dengan perbandingan
1:3000 ditambahkan ke dalam sumuran dan diinkubasi 37 oC selama 1 jam.
selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan washing solution, 150 µl
substrat 4-nitrophenyl-phosphate (1 mg/ml dalam buffer substrat) ditambahkan ke
tiap sumuran dan diinkubasi 37oC. Setelah 30 menit inkubasi plat mikro dibaca
pada ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Kontrol negatif diberi
buffer inkubasi sebagai pengganti antibodi. Mencit yang menunjukkan antibodi
cukup tinggi dilakukan pemanenan antibodi. Titer antibodi diperoleh dari hasil
perbandingan antara nilai absorbansi mencit perlakuan (imunisasi) dengan mencit
kontrol (non-imunisasi). Serum dengan titer > 1,000 dapat digunakan untuk
deteksi sampel serum lapangan (Burgess, 1995), tetapi dalam penelitian ini, serum
dengan titer tertinggi yang akan digunakan untuk deteksi serum lapangan.
8. Panen Antibodi Anti MRP 864 Rekombinan
Darah mencit diambil dengan menggunakan microhematocrit tanpa
koagulan melalui plexus retroorbitalis (cantus medial) sehingga didapatkan darah
mencit. Darah tersebut dimasukkan inkubator 37oC selama 30 menit, selanjutnya
dimasukkan lemari pendingin 4oC selama 10 menit, kemudian disentrifugasi 5
menit pada 10.000 rpm sehingga akan terlihat cairan bening terpisah dari
gumpalan darah. Cairan bening (serum) diambil, dimasukkan dalam tabung steril
dan disimpan pada suhu -20oC (Moore, 2000a; Moore, 2000b; Thomas, 2000).
28
9. Deteksi Serologis S. suis pada Babi
Sebanyak 40 sampel serum babi dari Wamena, Wouma, Napua dan Sigim
Papua dilakukan uji serologis dengan menggunakan antigen MRP 864 dan
antibodi anti MRP 864 yang telah diproduksi dengan metode antigen capture
ELISA. Antibodi anti MRP 864 yang digunakan adalah pengenceran 200x.
Setiap sumuran plat mikro dilapisi dengan 100 µl serum sampel,
diinkubasi semalam pada suhu 37oC. pada sumuran dilakukan washing sebanyak 3
kali, masing-masing 200 µl. sumuran di blocking dengan bovine serum albumin
(BSA) dalam buffer inkubasi, masing-masing 200 µl selama 1 jam pada suhu
37oC. Pada sumuran dilakukan washing sebanyak 3 kali, masing-masing 200 µl.
Inkubasi selanjutnya dengan 100 µl antigen (MRP) dalam buffer karbonat, selama
1 jam pada suhu 37oC, kemudian plat mikro dicuci dengan washing solution 200
µl tiap sumuran sebanyak 3 kali. Sebanyak 100 µl serum mencit (antibodi
poliklonal yang telah diproduksi di proses sebelumnya) ditambahkan ke tiap
sumuran dengan pengenceran 1/200, kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama
1 jam. Plat mikro dicuci dengan washing solution 200 µl tiap sumuran sebanyak 3
kali. Tahap selanjutnya, konjugat (IgG antimouse alkaline phosphatase) yang
telah diencerkan dengan
buffer inkubasi
dengan perbandingan 1:3000
ditambahkan ke dalam sumuran dan diinkubasi 37 oC selama 1 jam. Selanjutnya
dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan washing solution, 150 µl substrat 4nitrophenyl-phosphate (1 mg/ml dalam buffer substrat) ditambahkan ke tiap
sumuran dan diinkubasi 37oC. Setelah 30 menit inkubasi nilai absorbansi dibaca
pada ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Kontrol negatif diberi
29
buffer dan serum mencit yang tidak diimunisasi (mencit kontrol). Babi dikatakan
seropositif terinfeksi S. suis bila nilai absorbansi > 1,000.
10. Deteksi S. suis dengan Uji latex agglutination
a. Preparasi serum
Dalam penelitian ini digunakan serum mencit yang mengandung antibodi
anti MRP 864 rekombinan. Darah mencit diambil melalui plexus
retroorbitalis, selanjutnya darah yang diperoleh dimasukkan ke dalam
tabung yang sudah tersedia. Darah disentrifugasi dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit. Setelah disentrifugasi, supernatan diambil dengan
mikropipet dan dipindahkan dalam tabung steril.
b. Preparasi Coating latex-serum
Partikel latex yang digunakan adalah suspensi latex (Difco, German) 0,8µ
dilarutkan dengan perbandingan 1:8 glycine-saline buffer (pH 8,0).
Suspensi latex yang sudah disediakan dicampur dengan serum yang
mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan dengan jumlah yang
sama, kemudian dilarutkan dengan glycine-saline buffer 1:1000,
selanjutnya diinkubasi semalaman pada suhu 4oC. Partikel yang telah dicoating dicuci dengan NaCl fisiologis dan disuspensikan dengan
phosphat-buffer saline (PH 7,4) yang berisi 0,02% sodium azide dan
0,05% serum yang mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan
(Essers and Radebold, 1980).
30
c. Optimasi Konsentrasi S. suis
Bakteri S. suis R 225 ditumbuhkan pada media Todd Hewitt Broth (THB)
selama 24 jam pada suhu 37oC dalam keadaan anaerob. Suspensi bakteri
kemudian disentrifuge untuk mendapatkan pelet. Pelet diresuspensikan
kembali dengan PBS steril, kemudian diukur konsentrasi bakteri
berdasarkan standar Mc. Farland. Konsentrasi bakteri diencerkan sehingga
tersedia bakteri dengan konsentrasi 1010, 109, 108, 107, 106, 105 CFU/ml.
Masing-masing
konsentrasi
bakteri
tersebut
diuji
dengan
latex
agglutination dengan menggunakan glass slide dan kertas oxoid. Masingmasing posisi ditetesi reagen (coating latex-serum) dan masing-masing
konsentrasi bakteri dengan perbandingan 1:1. Reaksi positif ditunjukkan
dengan adanya aglutinasi.
E. Analisis Hasil
Hasil penelitian akan dianalisis secara deskriptif.
31
ALUR PENELITIAN
Isolat transforman E. coli yang disisipi gen
mrp 864 dari S. suis ditanam di LB medium
PCR dan elektroforesis plasmid
Isolasi plasmid rekombinan
(+) gen mrp 864
(-) gen mrp 864
Isolasi Protein MRP 864
Purifikasi protein MRP 864
Imunisasi mencit dengan protein MRP 864 rekombinan
Pengukuran titer antibodi mencit
dengan indirect ELISA
Panen antibodi anti MRP 864 Rekombinan
Uji serum lapangan dengan antibodi anti
MRP 864 rekombinan dengan metode
Antigen Capture ELISA
Latex
agglutination
Optimasi
konsentrasi bakteri
Analisis hasil
Gambar 1. Alur Penelitian
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Transforman
Bakteri E. coli BL-21 yang disimpan di gliserol ditumbuhkan kembali ke
media Luria Bertani (LB) padat yang mengandung kanamycin. Sebanyak 100µl
bakteri diambil dan ditanam dengan metode spreading. Media tersebut kemudian
diinkubasi dalam inkubator suhu 37oC selama 24 jam. Bakteri E. coli BL-21
merupakan vektor ekspresi yang sudah disisipi plasmid pET SUMO yang
mengandung gen mrp 864 Streptococcus suis. Setelah ditanam pada media LB
padat tampak tumbuh koloni berwarna putih (Gambar 2). Bakteri E. coli BL-21
mampu tumbuh pada media yang mengandung kanamycin sebab plasmid pET
SUMO mengandung gen yang resisten terhadap kanamycin.
Gambar 2. Pertumbuhan E. coli BL-21 yang disisipi plasmid pET SUMO
yang mengandung gen mrp 864 S. suis pada media LB padat
yang mengandung kanamycin.
33
Berikut ini adalah peta plasmid pET SUMO yang digunakan untuk ligasi
produk PCR mrp 864. Gen mrp 864 diinsersi ke dalam multiple cloning site yang
terdapat di antara SUMO dan T7 terminator (Gambar 3). Plasmid pET SUMO
memiliki tipe sticky end sehingga gen yang akan diinsersi akan lebih mudah
diligasi.
Gambar 3. Peta pET SUMO 5643 bp (Invitrogen, 2010)
Bakteri E. coli BL-21 yang telah telah ditransformasi dengan plasmid pET
SUMO akan dapat tumbuh pada media LB yang mengandung kanamycin karena
pET SUMO memiliki gen resisten terhadap antibiotik kanamycin yang dijadikan
sebagai selectable marker.
B. Isolasi dan Amplifikasi Plasmid Rekombinan
Bakteri E. coli BL-21 yang tumbuh pada media LB padat kemudian
dipindahkan ke media LB cair diinkubasi 24 jam dalam shaker suhu 37oC. Pada
saat optical density (OD) mencapai 2,451 bakteri diambil untuk selanjutnya
34
dilakukan isolasi plasmid rekombinan. Isolasi plasmid rekombinan menggunakan
GeneJET™ Plasmid Miniprep Kits (Fermentas). Analisis untuk mengetahui
keberadaan gen mrp 864 dilakukan dengan cara PCR.
Plasmid MRP 864 rekombinan diskrining melalui amplifikasi sebanyak 30
siklus
menggunakan
sepasang
primer.
Primer
mrp
864
Forward
(5’GTAACATCAGAATCACCACTTTTGGCTGGTC 3’) dan mrp 864 Reverse
(5’CAAACTATTGCAGGACAGGTAGTTACTCCATCT 3’). Primer sekuen
oligonukleotida yang digunakan berdasarkan penelitian yang dilakukan Silva et
al., (2006). Hasil PCR di elektroforesis pada gel agarose 2% selama 30 menit,
divisualisasi dengan menggunakan UV transilluminator menghasilkan pita
tunggal dengan ukuran ± 864 bp (Gambar 4).
Gambar 4. Elektroforegram hasil PCR gen mrp 864 S. suis pada gel agarose 2%
selama 30 menit. Isolat A, B, C2 dan D terdapat pita tunggal gen mrp
864, sedangkan pada isolat C1 tidak terdapat gen mrp 864.
35
Elektroforesis hasil PCR tampak adanya pita tunggal berukuran 864 bp
pada isolat A, B, C2, dan D sedangkan isolat C1 tidak tampak adanya pita.
Metode PCR dilakukan untuk mengkonfirmasi ada atau tidaknya gen mrp 864 di
dalam bakteri E. coli BL-21 yang tumbuh. Pada isolat A, B, C2 dan D tampak
adanya pita tunggal berukuran 864 bp. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam
bakteri E.coli BL-21 terdapat gen mrp 864, sedangkan pada isolat C1 tidak
muncul adanya pita yang mengindikasikan bahwa di dalam bakteri tersebut tidak
terdapat gen mrp 864.
Sekuensing dilakukan untuk mengetahui urutan basa dan jumlah pasang
basa. Analisis sekuen basa nukleotida dilakukan dengan menggunakan primer
SUMO forward dan T7 terminator yang mengapit multiple cloning site (MCS)
dimana gen insert berada. Hasil pembacaan basa nukleotida dari arah primer
SUMO forward menghasilkan 961 bp dan pembacaan dari arah T7 terminator
menghasilkan 262 bp. Hasil sekuensing kemudian disejajarkan secara antiparalel.
Setelah disejajarkan didapatkan jumlah basa nukleotida yaitu 1118 bp (Supriyati,
2015). Hasil pengurutan sekuen gen dapat dilihat pada Tabel 2.
36
Tabel 2. Hasil pengurutan sekuen gen dengan primer SUMO forward dan T7
terminator (Supriyati, 2015).
Sampel
Urutan Basa Nukleotida
1
agattcttgtacgacggtattagaattcaagctgatcagacccctgaagatttggacatggaggataacgat
attattgaggctcacagagaacagattggtggtgtaacatcagaatcaccacttttggctggtcttggtcaa
aaagagttggctaaaactgaagatgcaactcttgcaaaagctatagaggatgctcaaacaaaacttgcag
cagctaaggcaattttggctgactcagaagcaactgttgagcaagttgaagcgcaagtcgcagcggttaa
agtagccaacgaggcgctagggaatgaattgcaaaaatacactgtagatggtctcttgacagcggctctt
gatacagtagcacctgatacaactgcatcaacattgaaagttggtgatggcgaaggtacccttctagatag
cactacaacagcaacgccttcaatggctgagccaaatggtgcagcaattgctccacatacacttcgaactc
aagatggaattaaagcgacatcagagccaaattggtatacttttgaatcgtacgatttgtactcatataataa
aaatatggctagctcaacttataaaggagctgaagttgatgcctacattcgttactctttggataatgattcgt
caacaactgctgttttagcagagttggtaagtaggacaactggtgatgtgttagagaaatatacgattgaac
cgggcgagagtgttacgttttcacatccgacaaaagttaatgctaataatagcaatataactgtgacttatga
tacctcattagcttctgctaatactcctggagcattgaaattctctgctaatgatgatgtttattcaacaattattg
tacctgcttatcagattaatacaactcgttacgtcactgaaagtggcaaagttttggcaacctatggtcttcaa
actattgcaggacaggtagttactccatctagacaagcttaggtatttattcggcgcaaagtgcgtcgggtg
atgctgccaacttagtcgagcaccaccaccaccaccactgagatccggctgctaacaaagcccgaaag
gaagctgagttggctgctgccaccgctgagcaataacta
Hasil sekuensing kemudian dilakukan pemotongan untuk menghilangkan
sekuen vektor sehingga dapat diperoleh insert gen mrp 864 bp. Urutan nukleotida
hasil pemotongan dianalisis homologinya dengan database gen bank dengan
menggunakan program BLAST. Hasil program BLAST menunjukkan bahwa
sekuen gen rekombinan mrp 864 hanya dimiliki oleh bakteri Streptococcus suis.
C. Isolasi Protein MRP 864 Rekombinan
Bakteri E. coli BL-21 ditumbuhkan pada LB cair yang mengandung
kanamycin dan IPTG. Media LB cair di shaker selama 24 jam suhu 37o C. Untuk
mendapatkan protein, biakan bakteri tersebut kemudian disonikasi lalu
disentrifuge untuk memisahkan antara pelet dan supernatan. Supernatan yang
37
mengandung protein selanjutnya di SDS PAGE untuk melihat ekspresi dari
protein.
Bakteri E. coli BL-21 dikonstruksi khusus untuk mengekspresikan suatu
protein. Vektor ekspresi pET membawa T7 promoter yang bersifat kuat dalam
menginisiasi transkripsi mRNA. Bagian T7 promoter ini akan bekerja hanya
apabila RNA polymerase T7 menempel pada lacO dan tidak mengenali RNA
polymerase E. coli. Mekanisme ini dapat mengurangi resiko toksisitas protein
terhadap kelangsungan hidup E. coli BL-21. Bakteri E. coli BL-21 berfungsi
untuk memproduksi RNA polymerase T7 yang dibutuhkan oleh T7 promoter.
Kromosom E. coli BL-21 membawa gen rne131 yang menyandi RNase E untuk
meningkatkan stabilitas mRNA dalam memproduksi protein. Bakteri E. coli BL21 dan pET SUMO menggunakan sistem kerja operon laktosa. Operon laktosa
akan aktif setelah diinduksi IPTG, yang akan mengikat repressor (lacI) sehingga
transkripsi dapat berlangsung (Wu et al., 2009).
Gambar 5 adalah hasil SDS PAGE ekspresi whole protein E. coli BL-21
rekombinan yang ditumbuhkan pada media LB cair yang mengandung IPTG 1
mg/ml dan kanamycin 50 µg/ml. Pada penelitian ini digunakan stacking gel
dengan konsentrasi 2,5% dan resolving gel konsentrasi 12%, dirunning dengan
tegangan listrik 300 volt dan kekuatan arus listrik 100 ampere dalam waktu 2 jam.
38
Gambar 5. Hasil SDS PAGE protein hasil ekspresi E. coli BL-21 rekombinan
Baris 1-2: ekspresi protein E.coli BL-21 dengan waktu inkubasi 6 jam
Baris 3-4: ekspresi protein E.coli BL-21 dengan waktu inkubasi 12 jam
Baris 5-6: ekspresi protein E.coli BL-21 dengan waktu inkubasi 18 jam
Baris 7-8: ekspresi protein E.coli BL-21 dengan waktu inkubasi 24 jam
Hasil SDS PAGE protein hasil ekspresi E. coli BL-21 rekombinan dengan
waktu inkubasi yang berbeda menunjukkan adanya peningkatan intensitas warna
pada pita-pita yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu
inkubasi maka konsentrasi protein yang dihasilkan akan semakin banyak. Nampak
juga adanya penebalan pita seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi pada
pita ukuran 57 kDa yang merupakan ekspresi dari protein MRP 864 rekombinan.
39
D. Purifikasi Protein MRP 864 Rekombinan
Purifikasi protein menggunakan kolom kromatografi (Protino® Ni-TED
2000 Packed Columns). Vektor plasmid pET SUMO didesain mengandung HisTag untuk mempermudah proses purifikasi karena protein yang diproduksi akan
berikatan dengan komponen Ni2+ sehingga dapat berikatan dengan ligan yang
sesuai. His-tag akan berikatan dengan ion Ni 2+ yang terdapat pada kolom
komatografi afinitas (Protino® Ni-TED 2000 Packed Columns). Pada saat dielusi
dengan larutan yang mengandung afinitas lebih tinggi dari pada Ni 2+, maka
protein MRP 864 yang mengandung His-tag akan terlepas dari kolom dan larut ke
dalam cairan elusi. Hasil purifikasi protein dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Hasil purifikasi protein MRP 864 rekombinan S. suis dengan
menggunakan Protino® Ni-TED 2000 packed columns.
Nomor 1 dan 2 adalah ekspresi whole protein E. coli BL-21
rekombinan, nomor 3 adalah hasil purifikasi dari pelet, nomor
4 adalah hasil purifikasi dari supernatan.
40
Pada Gambar 6 nomor 1 dan 2 merupakan whole protein dari E. coli BL21 rekombinan sebelum dilakukan purifikasi dengan Protino® Ni-TED 2000
Packed Columns. Nomor 3 merupakan hasil purifikasi protein dari pelet,
sedangkan nomor 4 merupakan hasil purifikasi protein dari supernatan. Pada
Gambar 6 terdapat 1 pita protein hasil purifikasi dari sampel supernatan dan tidak
terdapat pita protein pada purifikasi dari sampel pelet. Hal ini menunjukkan
bahwa protein MRP 864 rekombinan yang berikatan dengan Ni 2+ bersifat soluble
protein. Terbentuknya pita tunggal berukuran sekitar 57 kDa pada hasil purifikasi
protein
menunjukkan adanya ekspresi protein MRP 864 yang berhasil
dipurifikasi.
E. Perhitungan Konsentrasi Protein MRP 864 Rekombinan
Protein MRP 864 yang diperoleh selanjutnya diukur konsentrasinya
menggunakan kurva standar Biorad Protein Assay. Hasil pengukuran konsentrasi
protein MRP 864 yang dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 595 nm ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Konsentrasi protein MRP 864 rekombinan S. suis diukur dengan Biorad
Protein Assay yang dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 595 nm
Kode Transforman
Konsentrasi protein
E. coli BL-21
MRP 864
A
0,771 µg/ µL
B
0,782 µg/ µL
C2
0,567 µg/ µL
D
0,878 µg/ µL
41
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa konsentrasi protein yang
dihasilkan oleh masing-masing bakteri berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan
karena konsentrasi bakteri yang berbeda sehingga protein yang diekspresikan
jumlahnya juga berbeda. Setelah konsentrasi protein MRP 864 diketahui, maka
konsentrasi protein MRP 864 yang akan disuntikkan dapat dihitung sesuai dengan
dosis yang ditentukan. Protein MRP 864 rekombinan diencerkan dengan aquades,
kemudian diemulsikan dengan adjuvant sebelum disuntikkan ke mencit.
F. Induksi Antibodi anti MRP 864 Rekombinan
Protein MRP 864 hasil purifikasi digunakan untuk produksi antibodi
poliklonal. Produksi antibodi dilakukan dengan imunisasi protein MRP 864 pada
mencit Balb/c jantan berumur 6 minggu dengan dosis 25 µg/mencit secara
intraperitoneal dengan menggunakan adjuvant. Lokasi imunisasi optimal pada
mencit adalah pada cavum peritoneal karena penyuntikan intraperitoneal mudah
dilakukan dan antigen dapat mencapai pembuluh darah secara cepat. Imunisasi
secara intravena baik digunakan pada saat dilakukan booster untuk menstimulasi
organ limfoid (limpa) dalam proses produksi antibodi (Baumgarten, 1992).
Pada imunisasi pertama antigen diemulsikan dengan Complete Freund’s
Adjuvant/CFA, sedangkan pada imunisasi selanjutnya antigen diemulsikan dengan
Incomplte Freund’s Adjuvant/IFA. Tujuan penggunaan adjuvant adalah untuk
meningkatkan respon imun. Karena pemberian adjuvant mengakibatkan
perubahan struktur dan elektrostatik, sehingga antigen dibebaskan secara
bertahap. Stimulasi terhadap sistem imun berlangsung dalam waktu yang lebih
42
lama sehingga merangsang produksi antibodi. Hal ini menyebabkan imunogenitas
sistem kekebalan tubuh meningkat (Janeway et al., 2001).
Setiap 10 hari pasca imunisasi dilakukan pengambilan darah (serum) mencit,
kemudian dilakukan pengukuran titer antibodi mencit menggunakan metode
indirect ELISA secara duplo. Penentuan titer antibodi dilakukan dengan
membandingkan nilai absorbansi dari serum pasca imunisasi dengan serum
kontrol positif yang telah diketahui titernya secara pengenceran bertingkat.
Dengan cara ini didapatkan reprodusibilitas yang baik (Igarashi et al., 1981).
Dalam penelitian ini tidak ada serum kontrol positif yang telah diketahui titernya,
oleh karena itu perhitungan titer mengacu pada rasio P/N, yaitu rasio nilai
absorbansi antara serum imunisasi dibandingkan dengan serum non-imunisasi
(Burke and Nisalak, 1982). Hasil pengukuran titer antibodi mencit dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengukuran titer antibodi mencit pasca imunisasi dengan metode
indirect ELISA pengenceran serum 100x dibaca dengan ELISA reader
panjang gelombang 450 nm.
Titer Antibodi
Serum
Serum
Serum
ke I
ke II
ke III
A
1,065
1,232
1,258
B
1,348
2,064
2,437
C2
1,143
1,476
1,737
D
1,527
1,807
1,743
Keterangan : * : Titer tertingggi
Kode
mencit
Serum
ke IV
1,215
2,685*
2,072
2,152
Pengenceran
100 x
100 x
100 x
100 x
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa titer antibodi mengalami
peningkatan secara bertahap. Titer tertinggi dicapai pasca penyuntikan terakhir
43
setelah dilakukan booster dengan injeksi intravena. Penyuntikan antigen secara
intravena memacu peningkatan respon imun secara cepat. Titer tertinggi diperoleh
pada mencit B dengan nilai 2,685. Pada penelitian ini tidak memungkinkan
penggunaan kontrol positif dari babi sakit dikarenakan tidak tersedia laboratorium
hewan coba yang diperuntukkan untuk babi. Selain itu S. suis serotipe 2 bersifat
zoonosis sehingga dapat membahayakan peneliti dan lingkungan sekitar. Oleh
karena itu perhitungan didasarkan pada perbandingan nilai absorbansi dari mencit
imunisasi dengan mencit kontrol (non-imunisasi). Antibodi dari mencit B dengan
titer tertinggi digunakan sebagai bahan untuk deteksi infeksi S. suis di lapangan
dengan pengenceran 200x.
G. Hasil uji serologi infeksi S. suis pada babi dengan ELISA
Sebanyak 40 sampel serum babi asal Papua diuji secara serologis dengan
menggunakan ELISA. Pengujian ELISA merupakan pengujian kuantitatif
berdasarkan nilai absorbansi (Grol dan Schulze, 1992). Pada penelitian ini
digunakan metode antigen capture ELISA untuk mengetahui adanya antigen MRP
S.suis pada serum babi. Hasil uji serologis infeksi S. suis pada babi di Wamena
Papua dengan antigen dan antibodi anti MRP 864 rekombinan dapat dilihat pada
Gambar 7.
44
Gambar 7. Hasil uji serologi sampel serum babi asal Wamena Papua dengan
metode antigen capture ELISA. Baris 1-5 kolom A-D : hasil uji
serologi 20 sampel serum babi asal Wamena. Baris 1-3 kolom E :
kontrol positif dengan serum mencit yang diimunisasi.
Baris 1 sampai 5 kolom A-D adalah hasil uji serologis 20 sampel serum
babi asal Wamena dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan S. suis. Baris 1
kolom E adalah hasil uji serologis serum dari mencit yang diinjeksi S. suis R 225.
Baris 2 dan 3 kolom E adalah kontrol positif dengan serum mencit yang
diimunisasi antigen MRP 864 rekombinan.
Dalam penelitian ini serum babi yang diduga terinfeksi S. suis direaksikan
dengan antigen MRP 864 rekombinan dan antibodi poliklonal hasil imunisasi
mencit. Teknik yang digunakan adalah metode antigen capture ELISA. Sebanyak
100 µl serum babi dimasukkan ke dalam sumuran, lalu diinkubasi semalaman
pada suhu 37oC. Bagian Fc dari immunoglobulin (IgG) yang terdapat dalam
serum babi akan menempel pada sumuran. Sedangkan bagian Fab akan berikatan
45
dengan antigen MRP 864 rekombinan. Bovine serum albumin (BSA) digunakan
untuk melapisi bagian sumuran yang tidak ditempeli immunoglobulin. Sebanyak
100 µl antigen MRP 864 rekombinan dalam buffer carbonat ditambahkan ke
dalam sumuran. Antigen ini akan diikat oleh bagian Fab dari IgG serum babi dan
IgG serum mencit. Setelah dicuci, 150 µl konjugat antimouse alkaline
phosphatase (ALP) dengan pengenceran 1:3000 ditambahkan pada sumuran.
Bagian Fc dari IgG serum mencit akan berikatan dengan Fab dari konjugat ALP.
Setelah dicuci ditambahkan 150 µl substrat NPP. Substrat ini akan menempel
pada bagian Fc dari konjugat ALP. Reaksi enzimatis ini akan memunculkan
warna kuning, hasil reaksi antara substrat NPP dengan konjugat ALP yang terikat
antigen dan antibodi. Semakin banyak IgG dari serum babi yang terikat pada
sumuran, semakin banyak antigen yang terikat dan bereaksi dengan IgG dari
serum mencit, sehingga warna kuning yang dihasilkan akan semakin pekat.
Sumuran dibaca pada ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm untuk
mengetahui nilai absorbansi. Babi positif terinfeksi S. suis jika nilai absorbansi
lebih dari 1,000. Hasil seropositif apabila nilai absorbansi > 1,000 sedangkan hasil
seronegatif apabila nilai absorbansi < 1,000. Hasil pengukuran nilai absorbansi
dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengujian 40 sampel serum babi asal Papua
dapat dilihat pada Tabel 5.
46
Tabel 5. Hasil uji antigen capture ELISA pada serum babi terduga infeksi S. suis
di beberapa wilayah Papua
Wilayah
Jumlah Sampel
Wamena
20
Hasil Uji
Seropositif
Seronegatif
(> 1,000)
(< 1,000)
12 (60%)
8 (40%)
Wauma
7
6 (87,7%)
1 (12,3%)
Napua
6
5 (83,3%)
1 (16,7%)
Sigim
7
3 (42,8%)
4 (57,2%)
Total
40
26 (65%)
14 (35%)
Berdasarkan hasil uji serologis dengan metode antigen capture ELISA
diketahui bahwa serum babi asal Wamena seropositif terhadap MRP 864
rekombinan S. suis sebanyak 12 sampel (60%), sampel asal Wauma seropositif
terhadap MRP 864 rekombinan S. suis sebanyak 6 sampel (85,7%), sampel asal
Napua seropositif terhadap MRP 864 rekombinan S. suis sebanyak 5 sampel
(83,3%), sampel asal Sigim seropositif terhadap MRP 864 rekombinan S. suis
sebanyak 3 sampel (42,8%). Apabila ditotal secara keseluruhan dari 40 sampel S.
suis 26 sampel (65%) seropositif terhadap MRP 864 rekombinan S. suis,
sedangkan 14 sampel (35%) negatif.
Berdasarkan uji serologis terhadap 40 sampel babi asal Papua,
menunjukkan bahwa 65% babi positif terinfeksi S. suis. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya perubahan warna kuning pada plat mikro dan ketika diukur dengan
ELISA reader menunjukkan nilai absorbansi lebih dari 1,000 yang berarti bahwa
di dalam serum babi terdapat antigen S. suis yang bereaksi positif terhadap
antibodi anti MRP 864 rekombinan. Hasil uji serologis ini memperkuat hasil
47
penelitian yang telah dilakukan oleh Salasia et al., (2011) yang menyebutkan
bahwa Papua kemungkinan merupakan daerah endemik S. suis dengan telah
berhasil diisolasi S. suis pada cairan persendian babi pada tahun 2008 di Timika,
Papua.
Metode ELISA cukup sensitif dan informatif untuk deteksi keberadaan
infeksi S. suis secara serologis berdasar penanda MRP rekombinan. Sensitifitas ini
dilihat berdasarkan ikatan antigen dan antibodi dibandingkan dengan kontrol
mencit non imunisasi dikarenakan tidak adanya kontrol positif dari babi yang
diinfeksi S. suis serotipe 2. Penggunaan antibodi poliklonal sebagai sarana deteksi
memiliki keuntungan dapat mengenali berbagai macam epitop antigen, sehingga
memiliki toleransi terhadap perubahan yang terjadi pada antigen. Namun
kekurangannya adalah dapat terjadi reaksi silang atau mengenali epitop yang
homolog dari spesies/strain yang berbeda (Lipman et al., 2005).
Penggunaan perangkat diagnostik yang berdasarkan antigen protein MRP
864 dan antibodi anti MRP 864 mempunyai beberapa kelebihan diantaranya
penggunaan antibodi poliklonal cukup sensitif karena adanya beberapa epitop,
sehingga afinitasnya lebih luas. Akan tetapi penggunaan antibodi poliklonal
memiliki kelemahan karena tidak spesifik bereaksi terhadap satu protein saja.
Deteksi infeksi S. suis serotipe 2 dengan perangkat ini sudah dapat diaplikasikan
di lapangan. Namun untuk peneguhan diagnosa diperlukan antibodi monoklonal
yang sifatnya lebih spesifik terhadap suatu infeksi.
48
H. Latex Agglutination
Prinsip uji latex agglutination adalah dengan cara melapisi partikel latex
dengan serum yang mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan kemudian
direaksikan dengan bakteri pada glass slide dan kertas oxoid. Reaksi positif
ditunjukkan dengan adanya agregasi/aglutinasi pada glass slide dan kertas oxoid.
Aglutinasi terjadi karena adanya reaksi antara partikel latex yang telah dilapisi
serum yang mengandung antibodi dengan komponen permukaan dari bakteri
tertentu.
Dalam penelitian ini digunakan metode direct latex agglutination karena
partikel latex akan dilapisi oleh antibodi anti MRP rekombinan dan akan
direaksikan dengan bakteri S. suis R 225 sebagai antigen. Partikel latex juga
direaksikan dengan bakteri Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Eschericia coli
(E. coli) untuk melihat spesifisitas dari uji ini. Hasil uji latex aglutinasi dapat
dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Hasil uji latex aglutinasi pada kertas oxoid. Kolom A baris 1-3 : reaksi
antara partikel latex dengan S. suis (+), kolom B baris 1: kontrol
negatif (latex-aquades), kolom B baris 2: reaksi partikel latex dengan
E. coli (-), kolom B baris 3: reaksi partikel latex dengan S. aureus (-).
49
Baris 1 adalah hasil uji latex dengan bakteri S. suis konsentrasi 1010
CFU/ml (A) dibandingan dengan kontrol negatif berupa aquadest (B), baris 2
adalah hasil uji latex dengan bakteri S. suis konsentrasi 109 CFU/ml (A)
dibandingan dengan bakteri E. coli (B), baris 3 adalah hasil uji latex dengan
bakteri S. suis konsentrasi 108 CFU/ml (A) dibandingan dengan bakteri S.aureus
(B). Gambar 8 menunjukkan bahwa partikel latex yang telah disensitisasi dengan
antibodi anti MRP 864 rekombinan hanya bereaksi positif terhadap bakteri S. suis
dan tidak bereaksi terhadap bakteri lain. Hal ini membuktikan bahwa uji latex
aglutinasi dengan antibodi anti MRP 864 bersifat spesifik terhadap antigen S. suis.
Hal ini disebabkan karena hanya bakteri S. suis saja yang memiliki protein MRP,
sehingga dapat bereaksi dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan.
Uji aglutinasi latex akan memvisualisasi adanya ikatan antigen-antibodi
spesifik, dimana ukuran partikel latex lebih besar dari partikel antigen maupun
antibodi, sehingga akan memperjelas aglutinasi yang terbentuk dan lebih mudah
teramati oleh mata (Hendrix and Sirois, 2002; Natalia, 2001; Ratnasari, 2010).
Pada uji ini permukaan partikel latex telah disensitisasi dengan serum mencit yang
mengandung antibodi anti MRP 864 rekombinan, sehingga ketika ditambahkan
antigen yang spesifik maka akan timbul reaksi aglutinasi.
Agar visualisasi lebih jelas, maka dilakukan pengamatan hasil uji latex
aglutinasi dengan menggunakan mikroskop perbesaran 100x. Hasil pengamatan
uji latex aglutinasi di bawah mikroskop dapat dilihat pada Gambar 9.
50
Gambar 9. Visualisasi uji latex aglutinasi pada mikroskop perbesaran 100 kali.
Kiri : Partikel latex sebelum direaksikan, Kanan : Reaksi aglutinasi
partikel latex-bakteri S. suis R 225 dengan konsentrasi 1010 CFU/ml
dengan pewarnaan safranin.
Pada uji latex aglutinasi yang dilakukan dalam penelitian ini, latex dilapisi
dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan yang terdapat dalam serum darah.
Partikel latex bereaksi positif terhadap bakteri S. suis R 225 karena bakteri
tersebut memiliki muramidase released protein (MRP) yang dapat berikatan
dengan antibodi anti MRP 864 rekombinan sehingga menimbulkan aglutinasi.
Partikel latex tidak bereaksi dengan bakteri S.aureus dan E. coli karena bakteri
tersebut tidak memiliki muramidase released protein, sehingga tidak dapat
berikatan dengan latex yang dilapisi antibodi anti MRP 864 rekombinan. Hal ini
menandakan bahwa uji latex aglutinasi spesifik terhadap antigen tertentu dan tidak
terjadi reaksi silang dengan antigen dari bakteri lain.
Untuk mengetahui sensitifitas uji latex aglutinasi dilakukan optimasi
dengan mereaksikan partikel latex yang telah dilapisi dengan bakteri S. suis R 225
berbagai konsentrasi. Interpretasi hasil dinyatakan dalam +++, ++, + dan -,
berdasarkan banyaknya aglutinat yang terbentuk sampai tidak terbentuk aglutinat
51
atau yang dinyatakan dalam hasil negatif (-). Positif tiga (+++) ditandai dengan
aglutinat yang sangat besar, banyak aglutinat pada tepi suspensi, dan latar
suspensi tidak terlihat jernih. Positif dua (++) ditandai dengan terbentuknya
aglutinat yang besar yang hampir memenuhi latar suspensi yang diuji. Positif satu
(+) ditandai dengan terbentuknya aglutinat kecil, latar tidak tampak jernih. Hasil
negatif (-) ditandai dengan tidak terbentuknya aglutinat dan latar belakang bersih
(Anonim, 2002). Hasil optimasi uji latex aglutinasi dengan bakteri S. suis R 225
berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil optimasi uji latex agglutination dengan bakteri S. suis R 225
berbagai konsentrasi
Jumlah sel S. suis R 225 (CFU/ml)
Sampel
1010
109
108
107
106
105
S. suis
++
++
+
Keterangan : ++ : terbentuk aglutinat besar yang hampir memenuhi latar suspensi.
+ : terbentuk aglutinat kecil, latar tidak tampak jernih.
- : tidak terbentuk aglutinat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa latex aglutinasi bereaksi positif
dengan suspensi bakteri dengan konsentrasi tertinggi 10 10 CFU/ml dan terendah
pada konsentrasi 108 CFU/ml. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa uji
latex dapat digunakan untuk mendeteksi S. suis dalam dengan konsentrasi
minimal 108 CFU/ml.
Keunggulan dari metode latex aglutinasi adalah metode ini praktis, tidak
memerlukan biaya yang tinggi, sederhana, dan cepat. Kelemahan dari metode ini
adalah stabilitas partikel latex yang tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang
lama. Berdasarkan hasil penelitian ini, uji latex aglutinasi dapat digunakan untuk
52
mendeteksi serum yang mengandung bakteri dengan konsentrasi minimal 108
CFU/ml. Apabila konsentrasi bakteri kurang dari 108 CFU/ml kemungkinan akan
terjadi negatif palsu, sehingga perlu dilakukan kultur bakteri ke media kultur
sampai konsentrasi bakteri mencapai batas minimal 108 CFU/ml agar hasil uji
latex aglutinasi yang didapatkan tidak terjadi bias.
Menurut Martin et al. (1987) suatu uji dikatakan sensitif apabila uji tersebut
mampu mendeteksi hasil yang positif bila penyakit tersebut benar-benar ada.
Dengan kata lain dapat juga dinyatakan bahwa makin sensitif suatu uji maka ia
mampu mendeteksi adanya suatu penyakit, sedangkan untuk dinyatakan spesifik
apabila uji tersebut mampu mendeteksi hasil yang negatif bila penyakit yang diuji
benar-benar tidak ada.
53
Download