PERSEPSI KAUM LELAKI TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI OBYEK SEKSUAL DALAM TAYANGAN IKLAN DI TELEVISI Indah Prabawati, Arik Susanti, Eny Sulistyowati* Abstract Women’s exploitation in television advertisement is shown by showing the beauty aspects of a woman. Women are being hired as models of the television advertisement that display their physical beauty. Television advertisement doesn’t influence the social living of their audience. Men’s perception towards women’s value in television advertisement is related to the certain characteristics of a woman through the portrayal of women in terms of physical beauty and their role as housewives and career women. Key words: perception, women, sexual object, television advertisement A. Pendahuluan Iklan-iklan komersial adalah bentuk promosi suatu barang produksi atau jasa melalui media massa dalam bentuk tayangan gambar maupun bahasa yang diolah ,melalui film maupun media berita (Kuswandi, 1996:8). Ini sejalan dengan pendapat Liliweri (1992:23) yang menyatakan bahwa dalam aktivitas perpindahan informasi tentang suatu produk yang diiklankan kepada khalayak tentunya harus mengandung daya tarik sehingga mampu menggugah perasaan khlayak. Ini berarti, dari iklan, masyarakat diharapkan mempunyai ketertarikan, perasaan membutuhkan, dan keinginan untuk membeli barang dan jasa yang diiklankan. Menurut RUU Penyiaran, penayangan iklan harus berlatar belakang budaya Indonesia (Mulyana, 1999:155). Hal ini diperkuat pula dengan pernyataan Frith, bahwa iklan yang baik adalah yang mampu berkomunikasi dengan kebudayaan (dalam Puspita, 2001:4). Artinya dapat dikatakan bahwa iklan merupakan perpaduan yang menarik antara berkomunikasi dan kebudayaan. Selama ini media massa gencar menggunakan perempuan sebagai obyek atau simbol dalam penawaran barang dan jasa. Sehingga antara media massa dan perempuan adalah dua hal yang hampir selalu berkaitan. Pada umumnya penggambaran perempuan dalam media massa diwarnai oleh stereotype dan komoditisasi alias pelaris produk (Nur dalam Jurnal Perempuan, 2003, edisi 28:119). Hal tersebut dapat dicermati dari iklan yang banyak mengumbar sosok perempuan hanya dari aspek kecantikan, kemolekan dan keindahan tubuh saja. Sementara itu peran perempuan sendiri kelihatannya juga belum beranjak dari urusan-urusan domestik (tradisional) seperti mengasuh anak, mencuci, memasak, menyuapi anak dan melayani kebutuhan suami. Dengan kata lain, bahwa iklan masih tetap memposisikan perempuan berada dalam peran tradisional. Padahal dalam fenomena sosial yang berkembang di masyarakat, menghendaki adanya perubahan peran perempuan dari domestik ke publik atau dari tradisional ke egalitarian. Penonjolan aspek kecantikan, kemolekan dan keindahan tubuh tersebut berpengaruh pada keyakinan bahwa keunggulan perempuan tergantung pada aspek fisik (biologis dan kodrat) sedangkan laki-laki pada aspek akal dan rasio. Hal ini kemudian melahirkan dikotomi rasional-emosional, public-privat dan produktif-reproduktif. Sampai disini dapat dikatakan bahwa peran media massa yang semestinya menjadi sarana bagi pencerdasan publik (khalayak) dan emansipasi perempuan menjadi terabaikan atau sengaja diabaikan. Eksploitasi perempuan dalam iklan berkaitan erat dengan ideologi kapitalisme yang menempatkan perempuan sebagai salah satu alat produksi. Secara teoritis dan historis, kapitalisme memandang segala sesuatu bernilai sejauh ia mempunyai peran sebagai alat untuk mengakumulasikan kapital (Nur dalam Jurnal Perempuan, 2003, edisi 1 28:123). Atas dasar itu maka dapat dimengerti bahwa pertimbangan nilai, norma dan moral perempuan dipandang secara fisik belaka dan mengabaikan aspek-aspek kerohanian, menyangkut perasaan, pikiran dan spiritualitas. Disinilah akar-akar stereotipe dan komoditasi terhadap perempuan berkembang. Di televisi, perempuan muncul sebagai “wajah lain” dalam proses marginalisasi yang patriarki atau berbau kapitalis. Tubuh perempuan sering dimanfaatkan berbagai pihak yang ingin menjual fantasi, ilusi (khayalan), halusinasi, prestise (wibawa; berkaitan dengan kemampuan seseorang), kegairahan, hasrat, sensualitas dan ekstase lewat medianya. “Iklan yang menggunakan perempuan sebagai alat mampu menciptakan citra produk tertentu yang berasumsi bahwa tubuh perempuan memiliki fungsi sebagai latar dekoratif suatu produk yang bisa ditampilkan secara menyolok sebagai simbol suatu produk” (Busby dan Leichty, 1997 dalam Nurhayati, 2001:1) Pencitraan produk merupakan bagian terpenting dalam konstruksi iklan televisi. Ketika iklan televisi melakukan pencitraan terhadap suatu produk tertentu, nilai ekonomis sebuah iklan tentulah menjadi pertimbangan utama. Munculnya iklan diharapkan dapat menjadi alternatif perspektif gambaran yang dapat mendekonstruksi nilai gambaran tradisional. Hal tersebut, dapat dilakukan dengan melukiskan kaum laki-laki dalam iklan televisi yang juga melakukan pekerjaan domestik atau pekerjaan rumah tangga seperti halnya perempuan, misalnya merawat anak, mencuci pakaian, memasak di dapur guna menyiapkan hidangan bagi keluarganya, merawat kebersihan rumah, menyuapi anak dan sebagainya. Sebuah kemajuan berharga bagi biro periklanan apabila tayangan-tayangan iklan seperti itu turut mewarnai iklannya di televisi, misalnya iklan Molto Pure. Iklan ini mempersuasikan seorang ayah yang menidurkan buah hatinya hingga terlelap berkat keharuman dari Molto Pure. Fenomena sosial tentang citra laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender dalam iklan dapat memicu pro dan kontra dari berbagai kalangan baik laki-laki dan perempuan. Hal tersebut merupakan hal yang menarik untuk dicermati karena setiap masyarakat akan mempunyai pandangan yang berbeda terhadap iklan kecantikan yang ada dalam televisi. Dalam penelitian ini masyarakat diharapkan mempunyai sensitivitas dan kesadaran gender dan mampu berpikir kritis dan responsif terhadap fenomena disekitarnya. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah : (1) Apakah yang menjadi alasan pemilihan perempuan sebagai model iklan kecantikan ? (2) Apakah iklan televisi mempengaruhi kehidupan sosial budaya pemirsanya ? (3) Bagaimana persepsi lelaki terhadap citra perempuan dalam tayangan iklan di televisi? B. 1. Kajian Pustaka Persepsi Persepsi yakni proses internal dengan mana manusia memilih, mengevaluasi, mengorganisasikan dan menafsirkan rangsangan dari sekitarnya (Mulyana, 1999:49). Rangsangan tersebut bisa berbentuk lambang-lambang, tanda-tanda atau kejadiankejadian. Karena tidak ada dua manusia yang mempunyai pengalaman yang persis sama, maka tidak ada manusia yang mempunyai persepsi sama terhadap suatu rangsangan. Pandangan lain menyatakan bahwa persepsi adalah proses dengan mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan yang kita serap dan apa makna yang kita berikan kepada mereka ketika mereka mencapai kesadaran. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi 2 Bagaimana orang melakukan persepsi dan seberapa jauh orang mempersepsikan, banyak faktor yang mempengaruhi suatu rangsangan dan obyek yang sama bisa dipersepsikan berbeda oleh orang yang berbeda. Menurut Andersen (dalam Rahmat, 2000:52-58), beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi adalah: Pertama, perhatian (attention), adalah proses mental ketika stimuli lainnya melemah. Perhatian terjadi bila kita mengkonsentrasikan diri pada salah satu indera yang lain. Kedua, faktor-faktor fungsional yaitu faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli tetapi karakteristik satu orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Ketiga, faktor-faktor struktural adalah faktor yang berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa persepsi sangat dipengaruhi oleh unsur subyektif orang yang mempersepsi. Sehingga persepsi selalu mengarah pada fakta spesifikasi pribadi. Karena itu penerimaan terhadap obyek yang sama akan ditanggapi atau dipersepsi berbeda oleh kelompok yang satu dan lainnya atau orang yang satu dengan lainnya. Sedangkan Mowen menyebut tahap pemaparan, perhatian dan pemahanan sebagai persepsi. Tahap pertama dari proses pengolahan informasi adalah pemaparan. Pemaparan adalah kegiatan yang dilakukan yang dilakukan oleh para pemasar untuk menyampaikan stimulus kepada konsumen. Stimulus bisa berbentuk iklan, kemasan, merek hadiah. Stimulus akan dirasakan oleh satu atau lebih panca indera konsumen. Konsumen merasakan stimulus yang datang ke salah satu panca indera disebut sensasi (Sumarwan, 2004: 70) Tahap kedua adalah perhatian, bahwa tidak semua stimulus yang dipaparkan dan diterima konsumen akan memperoleh perhatian dan berlanjut dengan pengolahan stimulus tersebut. Karena konsumen memiliki keterbatasan sumber daya kognitif untuk mengolah semua informasi yang diterimanya (Sumarwan, 2004: 75) Tahap ketiga yaitu pemahaman, adalah usaha konsumen untuk mengartikan atau menginterpretasikan stimulus. Engel, Blackwell dan Miniard menyebut tahap ini sebagai tahap memberi makna kepada stimulus. Makna ini tergantung kepada bagaimana stimulus diklasifikasikan dan dielaborasi dalam kaitanna dengan pengetahuan konsumen (Sumarwan, 2004:83) 3. Iklan Televisi dan Perempuan Jumlah perempuan di seluruh dunia, juga Indonesia konon lebih besar daripada jumlah laki-laki. Tidak mengherankan bila kaum laki-lakilah yang mendefinisikan peran perempuan tidak hanya penyajian berita, feature (keistimewaan), opini, tetapi juga penyajian iklan (Mulyana, 1999:157). Sebagaimana dikemukakan oleh Siregar bahwa dalam iklan komersial pandangan hegemonic laki-laki secara otomatis akan menjadikan perempuan dalam daya tarik seksual mereka sebagai obyek (dalam Mulyana, 1999:157) Menurut RUU Penyiaran, penayangan iklan harus berlatar belakang budaya Indonesia. Kita tahu, banyak iklan televisi yang “berbohong”. Sering digambarkan misalnya seorang sakit yang minum obat, mendadak sakitnya sembuh. Iklan juga kerap menjadikan perempuan sebagai obyek yang terobsesi untuk menyenangkan laki-laki. Didalam iklan, tidak akan terlepas kaitannya dengan penampilan para modelnya/bintangnya iklan sebagai peraga agar semakin menarik minat konsumen untuk membelinya. Dan pada umumnya, pemasang iklan menempatkan atau memposisikan perempuan menjadi model di produknya tersebut hanya sebagai simbol. Simbol tersebut hanya merupakan alat yang mendeskripsikan teks iklan supaya makna yang terkandung dapat dimengerti oleh calon konsumen sehingga barang yang ditawarkan oleh pihak pemasang iklan dapat laku di pasaran. 3 Kekuatan daya tarik public figure sejalan yang dilakukan riset yang dilakukan Handayani (Sumartono, 2002:91): “Bahwa iklan disertai penggunaan model dinilai sebagai iklan yang paling menarik dibandingkan dengan iklan tanpa model. Dengan bantuan public figure yang berperan memeragakan suatu produk, secara kondisional seorang peraga (model) iklan telah mewakili perusahaan dalam mengkomunikasikan barang tertentu kepada pemirsa dengan harapan bahwa apa yang diiklankan diterima baik oleh pemirsa. Penggunaan model iklan (public figure) merupakan cara yang efektif dalam mempengaruhi audien. Menurut Sudjono, salah satu iklan perusahaan yang paling berhasil adalah iklan yang menggunakan tokoh sebagai model ( Sumartono, 2002:56). Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Bandura dan Waltres yang menyatakan bahwa kalau seseorang melihat suatu rangsang dan ia melihat model bereaksi secara tertentu terhadap rangsang, maka khayalan (imagination) orang tersebut terjadi serangkaian simbol-simbol yang menggambarkan rangsang dari tingkah laku tersebut (Sumartono, 2002:56) Dalam memandang dan memperlakukan perempuan, iklan TV bersikap paradok (Mulyana, 1999:160). Di satu pihak, iklan televisi mempromosikan kemajuan-kemajuan dan prestasi perempuan, misalnya dengan memunculkan perempuan sebagai tokoh wanita karier dalam iklan (juga dalam program-program lainnya), namun pada saat yang sama iklan televisi juga melemparkan mereka kembali kepada keterbelakangan, dengan tetap menonjolkan keutamaan perempuan sebagai makhluk yang selalu ingin menarik perhatian lawan jenisnya. Perempuan bukan sekedar obyek untuk menyenangkan laki-laki, alangkah baiknya bila biro-biro iklan dan pengelola siaran televisi membuat lebih banyak iklan televisi yang estetik tanpa menjadikan perempuan sebagai obyek yang semata-mata mendongkrak penjualan berbagai produk yang ditawarkan tanpa ikut memikirkan akibat-akibatnya yang tidak menguntungkan perempuan. Hal ini dapat dilakukan dengan melukiskan kaum lakilaki dalam iklan televisi yang juga melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti ketika sedang mencuci pakaian di dalam kamar mandi (misalnya iklan deterjen) atau sedang memasak di dapur untuk kemudian menghidangkan masakannya kepada keluarganya dan sebagainya. Tayangan iklan seperti itu nantinya akan turut mengajarkan bahwa perempuan bukan sekedar “jongos/bawahan” suaminya, namun sebagai mitranya, yang juga diharapkan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti menyuapi anakanak, menidurkan mereka, mencuci, menyetrika, memasak dan sebagainya. Iklan adalah suatu unsur penting dalam budaya, karena ia merefleksikan dan berusaha mengubah gaya hidup kita. Iklan bukan hanya menawarkan barang, namun juga seksualitas, keindahan, kemudahan , kemodernan, kebahagiaan, kesuksesan, status dan kemewahan yang kesemuanya ini pada dasarnya sekedar harapan, mimpi atau khayalan ( Mulyana, 1999:161) 4. Iklan Televisi Iklan akan mempermudah produsen untuk menyampaikan pesan kepada konsumen. Iklan di media televisi lebih menarik bagi konsumen daripada melalui media lain, seperti radio, media cetak semacam surat kabar dan majalah atau media internet, karena iklan televisi mampu menciptakan kombinasi cahaya, suara gerakan dan peluang mendemonstrasikan atau memeragakan produk secara langsung. Demonstrasi secara langsung ini menyebabkan iklan televisi lebih mengena daripada media lain. Konsumen dapat melihat produk yang ditawarkan, demonstrasi pembuatan atau demonstrasi penggunaan. Sementara itu, secara umum iklan televisi dibagi dalam berbagai kelompok: a. Iklan spot 4 Materi iklan televisi secara jelas, langsung dan gamblang berisi informasi tentang produk dari suatu perusahaan, yang dilakukan untuk mencapai tingkat penjualan yang maksimal atas sesuatu produk. Iklan jenis ini bersifat komersial murni. b. Iklan tidak langsung Informasi tentang sesuatu produk atau pesan/misi tertentu dari suatu perusahaan dan atau lembaga pemerintah yang disampaikan secara tidak langsung ke dalam materi programan siaran lain (seperti variety show, tele drama, berita dan lain-lain) untuk mencapai tingkat pengetahuan pemirsa terhadap sesuatu produk atau misi tertentu yang disampaikan. Iklan jenis ini bersifat komersial tidak murni. c. Public Service Announcement Materi iklan TV yang berisi informasi tentang sesuatu kegiatan dan atau pesan-pesan sosial yang dilakukan untuk mencapai tingkat perhatian yang maksimal dari pemirsa untuk berpartisipasi dan atau bersimpati terhadap kegiatan atau masalah tertentu (Fahmi, 1997:144-145 dalam Sumartono, 2002:16-17) 5. Citra Iklan Karya sebuah televisi dianggap sempurna jika iklan itu sampai pada pencitraan produk. Pencitraan tersebut merupakan bagian terpenting dalam konstruksi iklan televisi. Pencitraan ini terkait dengan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Dalam iklan perempuan antara lain dicitrakan sebagai citra pigura yang digambarkan untuk tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis; citra pilar, dimana perempuan digambarkan sederajat dengan laki-laki namun berbeda kodratnya, sehingga mempunyai tanggung jawab terhadap persoalan domestik; citra peraduan, yang memperlakukan perempuan sebagai obyek pemuas laki-laki; dan citra pinggan, yang menggambarkan perempuan tidak lepas dari urusan masak-memasak atau dapur. Sedangkan laki-laki dicitrakan sebagai citra maskulin yang menggambarkan kejantanan, keperkasaan, kekuatan, keberanian, keuletan dan keteguhan laki-laki. Citra ini mempertegas stereotipe laki-laki dalam realitas media. Sedangkan untuk pencitraan iklan yang lainnya adalah citra kemewahan atau eksklusif (menggambarkan kemewahan), citra kelas sosial (yang menggambarkan kehidupan modern, bergengsi, serta identik dengan hura-hura), citra kenikmatan( yang menggambarkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap individu pasti mempunyai sesuatu yang didambakan tanpa memandang kelas sosial), citra manfaat ( yang menggambarkan bagaimana konsumen mempertimbangkan faktor manfaat sebagai hal utama dalam memutuskan perilaku pembelian), citra persahabatan (menunjukkan penampilan bersahabat dalam mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi masyarakat terutama remaja), dan citra seksisme atau seksualitas ( yang cenderung merendahkan gender tertentu) 6. Stereotipe Gender dalam Iklan Televisi Gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan ( dalam arti; memilik atau memisahkan antara laki-laki dan perempuan) (Sugiarti, 2001:4). Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan. Dari sini nantinya akan memunculkan pembagian kerja seksual, yakni pembagian kerja yang didasarkan atas jenis kelamin. Sebagian besar iklan televisi merupakan pengabdian atau reproduksi dan penstereotipan kaum laki-laki terhadap peran tradisional kaum perempuan (Mulyana, 1999:157). Penyajian iklan yang stereotipe berkaitan dengan segmen pasar yang dibidik yakni perempuan, karena pemirsa iklan televisi pada umumnya adalah perempuan dan barang-barang yang banyak diiklankan adalah barang-barang yang diperuntukkan atau 5 berhubungan dengan perempuan. Stereotipe dan segmen perempuan itulah yang memperkuat posisi perempuan dalam iklan televisi. Tubuh perempuan mampu menciptakan citra produk tertentu dan memiliki fungsi sebagai latar dekoratif suatu produk. Produk pemutih wajah, misalnya dimana konsumen terus-menerus diberi informasi bahwa putih itu indah sehingga membuat kenyataan sebenarnya tidak penting lagi (Busby dan Leichty, 1997 dalam Surya, 16 April 2001 halaman 42). Laki-laki dan perempuan digambarkan sebagai sesuatu yang mempunyai kegiatan yang berbeda dan memutuskan hal-hal yang berbeda pula. Kebanyakan dari para perempuan selalu digambarkan sebagai manusia yang selalu peduli dengan permasalahan rumah tangga dan fisik mereka, sedangkan kepedulian laki-laki adalah pekerjaan, bisnis, urusan publik dan sebagainya. Ketika tokoh laki-laki muncul dalam iklan, tokoh itu digambarkan dengan karakter agresif, pemberani, jantan, mandiri, kuat, tegar, berkuasa dan pintar. Namun ketika tokoh perempuan muncul, sosok perempuan itu lebih sering dianggap lemah, emosional, bodoh dan dikaitkan dalam hubungannya untuk menyenangkan laki-laki. Perempuan hanya dianggap sebagai obyek pemuas laki-laki, sebagai makhluk yang nilai-nilainya terletak pada fisiknya (Mulyana, 2002:158). UU Pers dan Kode Etik sebenarnya sudah mengatur beberapa hal yang relevan dengan hal ini, misalnya saja tentang pornografi. UU Pers no. 40/1999 tentang Pers pasal 13 menyebutkan :Perusahaan Pers dilarang membuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu bangsa dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat (Media Watch, 3 April 2003:6) Dalam konteks citra perempuan dalam iklan, iklan dibangun dengan memanipulasi tubuh perempuan sebagai tanda dari simbol tertentu yang melekat pada diri perempuan seperti: keanggunan, kelembutan, kelincahan dan lain sebagainya. Terlebih lagi bahwa mereka juga cantik, menarik, ramping dan berusia muda. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Rakhmat (Sumartono, 2002:3) yang menyatakan bahwa seseorang cenderung menyenangi orang-orang yang tampan dan cantik dalam memperagakan suatu produk dibandingkan dengan yang relatif dinilai kurang tampan/cantik. Iklan di media massa juga sering menggunakan tubuh perempuan sebagai alat untuk menciptakan citra tertentu pada suatu produk atau paling tidak tubuh perempuan menjadi latar dekoratif dari suatu produk. Eksploitasi tubuh tersebut tampak pada saat pihak pemasang iklan menggambarkan sosok perempuan sebagai pariwara sedemikian rupa sehingga terkesan perempuan tersebut tidak mempunyai daya upaya menentang keinginan pihak pemasang iklan. Tubuh perempuan seringkali ditampilkan secara seronok sebagai simbol kenikmatan pada produk minuman, kendaraan, produk furniture, sampai sensualitas produk parfum. Oleh karenanya perlu adanya upaya-upaya untuk menghapuskan terjadinya eksploitasi terhadap perempuan serta menunjang keberadaan posisi perempuan pada masyarakat. Pemberdayaan perempuan tersebut bisa melalui jalan peningkatan intelektual dan menguak informasi di berbagai bidang sehingga dapat memperpanjang langkah dan ruang gerak. 7. Konsep Nilai Perempuan Masalah-masalah perempuan memang seringkali menjadi bahan/sumber inspirasi sebuah karya. Banyak dijumpai beberapa iklan yang menampilkan gambar perempuan sebagai model. Dan kedudukan perempuan biasanya sebagai manusia yang dianggap lemah dan harus selalu patuh terhadap laki-laki. Beberapa sifat khas perempuan yang banyak disoroti ialah masalah keindahan, kelembutan, kerendahan hati, dan memelihara. Selanjutnya keempat sifat ini dapat disebut sebagai nilai-nilai perempuan, karena nilai-nilai perempuan adalah hal-hal yang berhubungan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang perempuan. Adapun nilainilai perempuan tersebut adalah : 1. Keindahan 6 Mengenai keindahan, bayak sudah diperbincangkan orang mengenai kriterianya. Misalnya saja dikemukakan pendapat-pendapat rasional mengenai kecantikan, kejelitaan, gratie (gaya solek, kemolekan), elegensi (gaya yang menarik) dan kehalusan tingkah laku. Kriteria kecantikan itu tidak hanya mengenai sifat-sifat badaniah saja, akan tetapi juga keindahan sifat-sifat rohaniahnya. Keindahan ciri-ciri rohaniah tersebut sangat menentukan kedudukan sosial seorang perempuan di tengah masyarakat dan di dalam keluarga. 2. Kelembutan Kelembutan mengandung unsur kehalusan, selalu menyebar iklim psikis yang menyenangkan. Disamping itu kelembutan juga diperlukan untuk “membantali” kekerasan, kesakitan dan kepedihan atau duka nestapa. 3. Kerendahan Hati Rendah hati artinya tidak angkuh, tidak mengungguli diri sendiri, tetapi selalu bersedia mengalah dan berusaha memahami kondisi pihak lain. 4. Memelihara Sifat memelihara ini bersumber pada cinta kasih tanpa pamrih, disertai pengorbanan (sering juga pengorbanan diri) dan penyerahan diri misalnya terdapat anak-anak yang tengah menderita kesengsaraan jasmaniah dan batiniah, dianggap oleh perempuan yang bersangkutan sebagai anaknya sendiri yang harus ditolongnya. Karena sifat-sifat inilah maka dapat disebutkan bahwa perempuan lebih sensitif terhadap duka-derita orang lain, disertai rasa iba dan belas kasih. Dan perhatiannya banyak terarah pada relasi-relasi dengan orang lain. Maka tepatlah jika orang menamakan perempuan itu merupakan asas dasar cinta kasih. (Kartono, 1992:16-19) 8. Kelas Sosial dan Budaya Menurut Sumarwan (2004:225), kelas sosial adalah bentuk lain dari pengelompokkan masyarakat ke dalam kelas atau kelompok yang berbeda. Kelas sosial akan mempengaruhi jenis produk, jenis jasa dan merek yang dikonsumsi konsumen. Kelas sosial juga mempengaruhi pemilihan toko, tempat pendidikan dan tempat berlibur seorang konsumen. Konsumen juga sering memiliki persepsi mengenai kaitan antara satu jenis produk atau sebuah merek dengan kelas sosial konsumen. Kelas sosial adalah pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas yang berbeda atau strata yang berbeda. Perbedaan kelas atau strata akan menggambarkan perbedaan pendidikan, pendapatan, pemilikan harta benda, gaya hidup dan nilai-nilai yang dianut. Perbedaan-perbedaan tersebut akan mempengaruhi perilaku konsumsi seseorang. Ada 9 (sembilan) yang menentukan status atau kelas sosial seseorang, ke sembilan variabel tersebut adalah pekerjaan, pendapatan, harta benda, prestis individu, asosiasi, sosialisasi, kekuasaan, kesadaran kelas dan mobilitas. Budaya menggambarkan nilai-nilai, kepercayaan, ide, sikap, dan tindakan dari suatu bangsa. Budaya yang ada dalam masyarakat bisa dibagi lagi ke dalam beberapa bagian yang lebih kecil. Inilah yang disebut sub budaya (sub culture). Sub budaya bisa tumbuh dari adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pengelompokkan masyarakat biasanya berdasarkan usia, jenis kelamin, lokasi tempat tinggal, pekerjaan dan sebagainya. Suatu budaya akan terdiri atas beberapa kelompok kecil lainnya, yang dicirikan oleh adanya perbedaan perilaku antar kelompok kecil tersebut. Perbedaan kelompok tersebut berdasarkan kepada perbedaan karakteristik sosial dan ekonomi konsumen. Beberapa karakteristik yang sangat penting untuk memahami konsumen adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, agama, suku bangsa, pendapatan, status pernikahan, lokasi geografi dan kelas sosial. (Sumarwan, 2004:224) Memahami usia konsumen merupakan masalah penting, karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merek. Dari sisi pemasaran 7 semua penduduk berapapun usianya adalah konsumen. Namun, perlu mengetahui dengan pasti, apakah usia dijadikan dasar untuk segmentasi pasar produknya.(Sumarwan, 2004: 198-199) Pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik konsumen yang saling berhubungan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seorang konsumen. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir, cara pandang bahkan persepsi seorang konsumen. Konsumen yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan sangat responsif terhadap informasi.Tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi konsumen dalam pemilihan produk maupun merek. Pendidikan yang berbeda akan menyebabkan selera konsumen yang berbeda. Pemasar harus memahami kebutuhan konsumen dengan tingkat pendidikan yang berbeda dan produk apa yang memenuhi kebutuhan tersebut.(Sumarwan, 2004: 199-201) Dimana seorang konsumen bertempat tinggal akan mempengaruhi pola konsumsinya.Orang yang tinggal di desa akan memiliki akses terbatas kepada beberapa produk dan jasa. Sebaliknya, konsumen yang tinggal di kota-kota besar lebih mudah memperoleh semua barang dan jasa yang dibutuhkan. (Sumarwan, 2004: 202-204) Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang dari pekerjaan yang dilakukannya. Pendapatan merupakan sumber daya material yang sangat penting karena dengan pendapatan konsumen bisa membiayai kegiatan konsumsinya. Jumlah pendapatan akan menggambarkan besarnya daya beli konsumen. Daya beli akan menggambarkan banyaknya produk dan jasa yang akan dibeli oleh seorang konsumen dan seluruh anggota keluarganya.(Sumarwan, 2004:204-205) C. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitaif. Subyek penelitian adalah 35 laki-laki yang bertempat tinggal di Kelurahan Pakis Kecamatan Sawahan, Kodya Surabaya dan biro iklan Artek N Partner. Instrumen yang digunakan adalah wawancara dan angket. D. 1. Pembahasan Alasan Biro Iklan Memilih Perempuan Sebagai Model Iklan Kecantikan. Berdasarkan hasil interview dengan tim creative director Artek N Partner diketahui bahwa: (1) Iklan yang ditayangkan tanpa peran model perempuan terasa hambar. Ini berarti bahwa perempuan selalu memberi warna dalam kehidupan para lelaki. Dengan adanya perempuan, lelaki menjadi lebih bersemangat dalam menjalani hidup Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Siregar bahwa dalam iklan komersial pandangan hegemonic laki-laki secara otomatis akan menjadikan perempuan dalam daya tarik seksual mereka sebagai obyek ( Mulyana, 1999:157) (2) Perempuan itu identik dengan kecantikan, keindahan dan keluwesan. Segala sesuatu yang ada dalam diri perempuan merupakan hal yang menarik, yaitu indah untuk dilihat, dan untuk diamati. Dalam konteks citra perempuan dalam iklan, iklan dibangun dengan memanipulasi tubuh perempuan sebagai tanda dari simbol tertentu yang melekat pada diri perempuan seperti: keanggunan, kelembutan, kelincahan dan lain sebagainya. Terlebih lagi bahwa mereka juga cantik, menarik, ramping dan berusia muda. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Rakhmat (Sumartono, 2002:3) yang menyatakan bahwa seseorang cenderung menyenangi orang-orang yang tampan dan cantik dalam memperagakan suatu produk dibandingkan dengan yang relatif dinilai kurang tampan/cantik. Model iklan perempuan dapat menunjukkan kelebihan yang dimiliki melalui kecantikannya. Bagi pangsa pasar produk kelas sosial menengah ke atas, model iklan kecantikan yang ditampilkan cenderung eksklusif dan tidak vulgar. Sebaliknya iklan yang ditujukan untuk pangsa pasar produk bagi kelas sosial menengah ke bawah, model 8 iklan perempuannya cenderung ditampilkan secara vulgar. Disinilah pembuat iklan seringkali kurang mengindahkan nilai, norma ataupun kode etik dalam periklanan. Padahal, para pembuat iklan dituntut untuk bertanggung jawab secara moral yang berkaitan dengan isi iklan. Hal tersebut dapat dilihat dari tayangan iklan yang mengeksploitasi keindahan tubuh wanita yang tentunya kurang sesuai dengan budaya timur bangsa Indonesia. Sehingga tanggung jawab moral dalam pembuatan iklan seringkali dikesampingkan karena alasan persaingan yang semakin ketat diantara para biro iklan untuk memperoleh klien dari produk yang akan diiklankan. Pada akhirnya biro iklan menuruti kemauan klien tentang materi iklan. Penampilan model iklan perempuan yang luwes, indah dan cantik mencerminkan brand dari produk tersebut dan diharapkan produk yang diiklankan mengalami peningkatan dari segi penjualan. (3) Perempuan yang menjadi model iklan tersebut dapat menjadi ikon kecantikan yang ada di masyarakat. Dengan menjadi ikon maka mereka akan merasa bangga karena apa yang mereka lakukan akan dijadikan contoh atau panutan masyarakat. Masyarakat akan meniru gaya mereka ketika mereka mengiklankan suatu produk tertentu. Dengan kata lain model tersebut akan menjadi pusat trend (trend-setter) bagi masyarakat khususnya perempuan. 2. Pengaruh Iklan Televisi Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Pemirsanya Berdasarkan karakteristik responden, mayoritas adalah berusia 25-29 tahun sebanyak 28,6%, sudah menikah sebanyak 62,9 %, pekerjaan karyawan swasta sebanyak 51,4%, tingkat pendidikan Strata 1 sebanyak 42,9 % , tingkat pendapatan Rp 1.000.001,sampai dengan Rp 1.500.000,- sebanyak 28,6%, dan suku Jawa sebanyak 88,6%. Apabila data ini dihubungkan dengan hasil analisis data tentang pengaruh iklan televisi terhadap pembelian produk yang diperankan oleh model iklan perempuan favorit dan pengaruh iklan televisi terhadap perekomendasian untuk membeli produk maka tidak ada pengaruh dari kehidupan sosial budaya dengan (1) alasan membeli produk yang diperankan oleh model iklan perempuan favorit karena cocok untuk keluarga; (2) alasan merekomendasikan produk yang diperankan oleh model iklan perempuan favorit kepada orang lain adalah cocok untuk keluarga; (3) bahan pertimbangan utama bagi pemirsa yang membeli dan merekomendasikan adalah kualitas produk. Salah satu faktor sosial budaya yang berkenaan dengan hal tersebut adalah tempat tinggal responden . Konsumen yang bertempat tinggal di kota mempunyai pola konsumsi yang berbeda dengan yang tinggal di desa dan orang yang tinggal di kota memiliki akses yang tidak terbatas (Sumarwan, 2004:224). Semua responden bertempat tinggal di Surabaya sehingga memiliki kemudahan untuk memperoleh produk yang diiklankan dengan banyaknya toko maupun pusat perbelanjaan yang ada. 3. Persepsi Lelaki Terhadap Citra Perempuan Dalam Tayangan Iklan di Televisi Untuk merebut hati para pemirsanya atau konsumen, produsen harus berupaya membuat kemasan iklan yang menarik. Untuk itu mereka banyak memanipulasi gambar serta gaya bahasa untuk mempengaruhi pemirsanya. Salah satu cara yang dipakai produsen untuk membuat iklan adalah dengan menggunakan selebriti sebagai bintang iklan. Tujuannya supaya menarik perhatian konsumen. Dari hasil angket yang telah terkumpul, dapat diketahui bahwa iklan sabun mandi dengan merek Lux merupakan iklan yang paling menarik perhatian respoden. Adapun alasan mereka memilih sabun mandi Lux sebagai iklan yang paling menarik karena mereka berpendapat bahwa model yang digunakan sabun tersebut tidak hanya cantik tetapi juga smart (pintar). Model iklan sabun lux merupakan model iklan yang tampil secara eksklusif dan tidak vulgar. Hal ini senada dengan hasil angket yang menyatakan bahwa model iklan wanita yang yang paling favorit adalah Tamara Bleszinsky (sebanyak 45,7%), dilanjutkan Dian Sastro ( 17,1%) dan Luna Maya (14,3%). Pada umumnya rata-rata model yang menjadi favorit para lelaki adalah model iklan dari sabun Lux. 9 Ketika ditanya lebih mendetail lagi apa yang menjadi alasan mereka memilih model iklan dari sabun Lux, mereka menjawab bahwa model yang ditampilkan dalam sabun tersebut cantik (sebanyak 77 %), profesional (14,3%), keindahan (2,9%) dan berkepribadian baik (2,9%). Selain itu cantik tidak lagi identik dengan mempertontonkan bagian-bagian tubuh yang sensual, seperti paha ataupun payudara. Kalau secara fisik model wanita tersebut seksi dan cantik tetapi tidak smart, mereka beranggapan bahwa wanita itu tidak menarik lagi (menurut pandangan mereka). Sebagai contoh, Sarah Azhari. Semua orang kenal dan tahu dia. Dia merupakan model iklan yang cantik dan seksi. Tetapi mayoritas responden tidak memilih Sarah Azhari dalam kategori cantik dan menarik karena hanya 1 orang yang menganggap Sarah Azhari merupakan model yang menarik Mayoritas responden beranggapan bahwa Sarah Azhari hanya memperlihatkan bagian-bagian yang menonjol dan vulgar sehingga dapat merangsang hasrat seksual mereka. Bahkan ada beberapa responden yang merasa malu dan jijik ketika melihat iklan Sarah Azhari. Mereka lebih senang melihat iklan yang ditampilkan oleh wanita cantik tetapi mempunyai inner beauty. Dengan kecantikan dan inner beauty yang dimiliki dari model wanita tersebut, mereka dapat mengiklankan sebuah produk yang akan tetap menjunjung tinggi kaidah-kaidah kesopanan dan budaya bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa persepsi lelaki terhadap perempuan sudah mengalami pergeseran paradigma. Kalau menurut Mulyana (2002:158) perempuan hanya dianggap sebagai obyek pemuas laki-laki, sebagai makhluk yang nilainilainya terletak pada fisiknya. Perempuan lebih sering dianggap sebagai makhluk yang lemah, emosional, bodoh dan dikaitkan dalam hubungannya untuk menyenangkan lakilaki. Tetapi, berdasarkan hasil angket dan wawancara, dapat diketahui bahwa lelaki sekarang ini lebih menyukai wanita yang cantik dan eksklusif. Mereka juga menyukai perempuan yang dapat menjunjung tinggi kaidah kesopanan. Dengan modal tersebut perempuan yang menjadi model iklan tersebut dapat menjadi ikon kecantikan yang ada di masyarakat. Dengan menjadi ikon maka mereka akan merasa bangga karena apa yang mereka lakukan akan dijadikan contoh atau panutan masyarakat. Masyarakat akan meniru gaya mereka ketika mereka mengiklankan suatu produk tertentu. Dengan begitu, pandangan masyarakat tentang perempuan wanita sebagai kanca wingking (teman belakang) bagi laki-laki sedikit demi sedikit akan mengalami pergeseran. Seperti kita ketahui, bahwa model iklan perempuan yang dinilai masyarakat tidak hanya dari penampilan fisik saja, seperti cantik. Tetapi masyarakat juga menilai fungsi atau peran perempuan tersebut yang dihubungan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Menurut Sukri(2002:189), kebanyakan dari para perempuan selalu digambarkan sebagai manusia yang selalu peduli dengan permasalahan rumah tangga dan fisik mereka, sedangkan kepedulian laki-laki adalah pekerjaan, bisnis, urusan publik dan sebagainya. Berdasarkan hasil angket diperoleh hasil sebagai berikut: mayoritas responden mengatakan peran ideal perempuan dalam iklan di televisi adalah sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir, yang memilih demikian sebanyak 22 orang (62,9%). Dengan alasan karena mencerminkan perempuan yang berpendidikan, mandiri cantik, dapat berperan sebagai ibu dan istri. Dari deskripsi diatas didapat hasil bahwa peran model iklan perempuan yang ideal adalah sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil temuan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pernyataan Sukri (2002:189) yang berbunyi kebanyakan dari para perempuan selalu digambarkan sebagai manusia yang selalu peduli dengan permasalahan rumah tangga dan fisik mereka, tidak terbukti karena dari jawaban responden mayoritas mencitrakan peran model iklan perempuan sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga. E. Penutup Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa alasan biro iklan dalam memilih model iklan perempuan pada produk kecantikan adalah cantik, indah dan luwes sehingga cocok digunakan sebagai ikon kecantikan. Iklan 10 kecantikan yang diperankan model perempuan tidak berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Responden mencitrakan peran model iklan perempuan sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga. Bagi biro iklan disarankan membuat iklan televisi yang estetik tanpa menjadikan perempuan sebagai obyek untuk meningkatkan penjualan produknya. Disisi lain, pemerintah sebagai pembuat regulasi supaya menyempurnakan kode etik tentang periklanan. terutama yang berhubungan dengan model iklan perempuan. Daftar Pustaka Bungin, Burhan (ed) 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta, PT Grafindo Persada Dharma, Surya (ed), 2002, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang, Universitas Muhammadiyah Malang Press Devito, Josepph A, 1997, Komunikasi Antar Media, Jakarta, Profesional Books Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989, Jakarta, PT Cipta Adi Pustaka Jurnal Perempuan, 2003, Perempuan dan Media (edisi 28), Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan Handayani dan Sugiarti, 2001, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Malang, PusatStudi Wanita dan Kemasyarakatan Universitas Muhammadiyah Malang Kartono, Kartini, 1992, Psikologi Wanita Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, Bandung, Mandar Maju Kuswandi, Wawan, 1996, Komunikasi Massa (Sebuah Analisis Isi Media ), Jakarta, PT Rineka Cipta Liliweri, Alo, 1992, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Bandung, Citra Aditya Bhakti Moleong, Lexy J, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung ,PT Remaja Rosdakarya , 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya Muhadjir, Noeng, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin Mulyana, Dedy, 1999, Nuansa-Nuansa Komunikasi (Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer), Bandung, PT. Remaja Rosdakarya Nawawi, Hadari, 2003, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press Puspita, Dyah, 2001, Analisis Hubungan dan Komparasi Penggunaan Jasa Model Perempuan dan Latar Dekoratif Produk Terhadap Citra Perempuan Dalam 11 Media Periklanan, Skripsi Mahasiswa yang tidak dipublikasikan, Surabaya, Universitas Kristen Petra Rakhmat, Jalaludin, 1996, Psikologi Komunikasi, Bandung, PT Remaja Rosdakarya Sudjana, 1990, Teknik Analisis Data Kualitatif, Bandung, Tarsito Sukri, Sri Suhandjati (ed), 2002, Bias Jender Dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta, Gama Media Sumartono, 2002, Terperangkap Dalam Iklan, Bandung, Alfabeta Sumarwan, Ujang, 2004, Perilaku Konsumen Teori Dan Penerapannya Dalam Pemasaran, Bogor, Ghalia Indonesia Surya, 16 April 2001, halaman 42 Widyatama, Rendra, 2006, Bias Gender Dalam Iklan Televisi, Yogyakarta, Media Pressindo Yulia, Mastuti, 2001, Sikap Mahasiswa FIS Unesa Terhadap Citra Wanita dalam Iklan di Media Massa, Skripsi Mahasiswa yang tidak dipublikasikan, Surabaya, Universitas Negeri Surabaya 12