Tema : Subtema :

advertisement
Tema :
Menggagas Indonesia Hijau
Deskripsi :
Dari dulu Indonesia sudah terkenal dengan sumber daya alamnya yang indah dan kaya,
namun sumber daya alam ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Maksud dimanfaatkan dengan
baik adalah sesuai UUD pasal 33 ayat 3 yang berbunyi "Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat". Saat ini sumber daya alam dikuasai oleh pengusaha pemilik modal, baik itu
swasta nasional maupun asing. Kita ini bukannya tidak kaya melainkan miskin dalam hal
manajemen. Penguasaan lahan oleh kapital ini dilakukan lebih merusak lingkungan. Pembakaran
hutan dan lahan, reklamasi, pembangunan bandara, pembangunan pabrik semen dan lain-lain,
semua itu merusak keseimbangan lingkungan.
Menggagas indonesia berarti mengembalikan lagi pengelolaan SDA sesuai dengan
amanat UUD, menjaga lingkungan dan mengawal pembangunan indonesia yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan
Subtema :
1. Penegakkan peraturan dalam pengambilan dan pengelolaan hasil hutan
2. Optimalisasi dan proteksi sumber daya air
3. Inovasi teknologi Industri ramah lingkungan
4. Rehabilitasi degradasi lahan
5. Tata Ruang Hijau Perkotaan
6. Reklamasi
Penjelasan Subtema :
1. Penegakkan peraturan dalam pengambilan dan pengelolaan hasil hutan
Deskripsi :
Sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensial yang sangat besar untuk
dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan.Potensi yang sangat besar tersebut,
dilandasi suatu fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki hutan tropis
dataran rendah terluas ke-3 di dunia setelah Saire dan Brasil.Hutan Indonesia memiliki
ekosistem yang beragam mulai hutan tropis dataran rendah dan dataran tinggi, sampai
dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar, dan hutan bakau (mangrove).Indonesia juga
merupakan salah satu dari 10 negara pemilik hutan terluas di dunia.
Berbagai ketentuan perundang-undangan telah dilahirkan untuk mewujudkan harapan
perlindungan dan pengelolaan hutan berkelanjutan, misalnya dalam lingkup yang lebih luas,
telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang di dalamnya mengatur materi perlindungan dan pengelolaan sumber
daya alam hutan. Demikian juga ketika berbicara pada tataran lebih khusus bidang kehutanan
sendiri, telah dikeluarkan serangkaian kebijakan terkait hal itu, antara lain Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 2004 tentang Kehutanan, dan beberapa ketentuan lainnya terkait dengan bidang
kehutanan.
Upaya pelembagaan kebijakan yang bersifat integral serta berkelanjutan atas
perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam hutan juga berimbas pada tingkatan
daerah.Pemerintah daerah melalui desentralisasi kewenangan, dipacu melahirkan prakarsa
dan kreatifitas untuk mengatasi semua masalah sehubungan bidang kehutanan di daerahnya.
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang menegaskan bahwa “dalam rangka penyelenggaraan kehutanan,
pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.”Pelimpahan
wewenang tersebut dilakukan dengan harapan pemerintah daerah dapat melakukan
pengawasan yang di dalamnya meliputi tindakan mencermati, menelusuri, dan menilai
pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan
sekaligus merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melakukan perbaikan dan
penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.Meskipun pelimpahan wewenang kepada
pemerintah daerah telah dituangkan dalam kebijakan kehutanan nasional, akan tetapi pada
tataran operasional, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, konsep ini tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Berbagai kebijakan dibuat oleh pemerintah antara lain dengan menetapkan
kawasankawasan tertentu yang dapat dijadikan sebagai kawasan yang dapat dieksplotasi, dan
kawasan-kawasan yang harus dilindungi. Namun bukan berarti kawasan-kawasan tertentu
yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang dapat dieksploitasi, baik eksploitasi sumber daya
alam hutan, tambang, minyak dan gas, ataupun sumber daya laut, dapat dieksploitasi dengan
semena-mena dan melupakan perhatian aspek daya dukung lingkungan, kerusakan lahan,
maupun upaya-upaya rehabilitasi. Sementara itu dalam rangka perlindungan, berbagai
kawasan kemudian ditetapkan sebagai kawasan lindung ataupun kawasan konservasi seperti
hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan
sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam
(termasuk, cagar alam), kawasan suaka alam laut dan lainnya, mangrove, taman nasional,
taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, kawasan
rawan bencana alam. Kawasan-kawasan tersebut tidak hanya terdapat di wilayah daratan
dengan luas 16,2 juta hektar akan tetapi juga meliputi wilayah pesisir pantai dan laut yang
mencapai luas 3,2 juta hektar1
Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi
maka tekanan terhadap sumber daya alam menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan
dan kepentingan terhadap sumber daya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai kenyataan betapa pembukaan hutan, kegiatan pertambangan dan eksploitasi
sumber daya alam lainnya dari tahun ke tahun bukannya menurun, akan tetapi semakin besar.
Dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam.
Perencanaan Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 1996/1997
Biro
habis,
sementara suksesi sumber daya alam yang dapat diperbaharui -- yang telah dieksploitasi -membutuhkan waktu lama untuk dapat diperbaharui kembali. Ancaman tidak hanya muncul
terhadap kawasan-kawasan yang dianggap sebagai kawasan yang telah ditetapkan sebagai
kawasan eksploitasi saja, akan tetapi juga tertuju kepada kawasan-kawasan yang ditetapkan
dan ditunjuk sebagai kawasan lindung ataupun kawasan konservasi. Ancaman tersebut,
disamping disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, juga disebabkan oleh perusakan
langsung, konversi lahan, penangkapan secara berlebihan spesies tertentu ataupun
pengenalan spesies eksotik. Untuk kawasan konservasi di Indonesia, ancaman yang juga besar
adalah kebakaran hutan yang terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 1997-1998 misalnya
kebakaran hutan telah menyebabkan 627.280 hektar lahan terbakar musnah oleh api. Pada
tahun 1983, kebakaran tersebut bahkan pernah mencapai 3,6 juta hektar hutan yang 496.000
hektar diantaranya adalah kawasan lindung atau kawasan konservasi2
Banyak kritik yang muncul terhadap keseriusan pemerintah selama ini dalam
mengelolakawasan konservasi. Hal ini disebabkan karena berbagai kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang ada justru memberi legitimasi eksploitasi sumber daya alam secara
besar-besaran, sementara upaya perlindungan dan konservasi bukanlah merupakan prioritas
yang setara. Ada kesan bahwa kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan
kawasan konservasi seolah aturan pelengkap, dan bukan memainkan peran sebagaimana misi
sebenarnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah inovatif dalam upaya pelembagaan dan
penegakan hukum dalam melindungi sumber daya hutan.
2. Optimalisasi dan Proteksi Sumber Daya Air
Deskripsi :
Kegiatan pembangunan bidang sumber daya air yang meliputi perencanaan umum,
teknis, pelaksanaan fisik, operasi dan pemeliharaan maupun kegiatan dalam penelitian,
pengkajian, dan pengembangannya berjalan kurang seimbang dengan berubahnya keadaan
yang sangat cepat baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun global. Sumber daya air
memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan sumber air terbatas
jumlahnya, akan tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan
pembangunan akan berdampak pada peningkatan jumlah kebutuhan air. Oleh karena
itu,diperlukan suatu upaya untuk menjaga keseimbangan antara ketersediaan sumber air dan
pemanfaatan air melalui pengembangan serta pelestarian, perbaikan dan perlindungan.
Sementara itu, masyarakat masih beranggapan bahwa air bersih masih tersedia dalam
jumlah yang tidak terbatas. Masyarakat belum paham terhadap fakta bahwa saat ini air bersih
merupakan salah satu sumber daya yang mengalami kelangkaan, dan oleh karenya memiliki
nilai ekonomi yang sangat tinggi. Hal ini tercermin dari ketidakefisienan dalam penggunaan air
serta tingginya tingkat polusi air yang diakibatkan kegiatan rumah tangga dan industri.
Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat ini antara lain juga disebabkan tidak adanya
sanksi yang tegas dan jelas bagi para pelaku pencemaran air.
Selama sepuluh tahun terakhir, prinsip ekonomi dalam penyediaan air bersih semakin
mendapat pengakuan. Namun, upaya konservasi serta alokasi air bersih secara lebih efisien
masih belum disadari kepentingannya, dan karenanya belum dilaksanakan secara nyata.
Mayoritas masyarakat Indonesia berlaku seolah-olah air tersedia dalam jumlah yang tidak
terbatas. Di sisi lain, ketersediaan air bersih semakin berkurang oleh karena ledakan penduduk
dan kegiatan perkotaan tanpa prasarana sanitasi yang memadai serta laju industrialisasi yang
tidak terkendali.
Kesalahan dalam manajemen sumber daya air akan menempatkan kesehatan
masyarakat dan keberlanjutan pembangunan dalam bahaya. Pengenalan dan penerapan
model manajemen yang tepat di tengah meningkatnya kelangkaan sumber daya air dan
tekanan sosial, termasuk hambatan finansial pemerintah dalam penyediaan air bersih,
merupakan kunci bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan. Oleh sebab itu, diperlukan
usaha inovatif dan terintegrasi dalam pemanfaatan sumber daya air secara berkelanjutan.
3. Inovasi teknologi Industri ramah lingkungan
Deskripsi :
Pertumbuhan industri saat ini yang kian maju juga turut menyita perhatian masyarakat
atas efek yang ditimbulkan sejalan dengan perkembangan industi modern saat ini. Salah satu
isu yang muncul di era 90-an hingga saat ini adalah masalah sumber daya dan lingkungan
sebagai dampak dari pesatnya industri. Menurut data yang dimiliki Direktur The Earth Institute
Columbia University, Sachs (2013), perubahan iklim global dipengaruhi oleh aktivitas industri
yang tidak sadar lingkungan. Dalam UN (2007), tantangan global utama di abad 21 adalah
bagaimana untuk mengatasi perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Menurut
Klassen dan Whybark (1999) kinerja lingkungan dianggap sebagai dampak dari aktivitas
perusahaan pada lingkungan alam. Pertumubuhan ekonomi global dihadapkan pada ancaman
yang ekstrim yaitu penggunaan bahan bakar fosil, kekurangan energi, kandungan gas
berbahaya yang tinggi (contoh: gas karbon dioksida, gas karbon monoksida), dan harga listrik,
oleh karena itu, hemat energi dan pengelolaan kinerja lingkungan telah menjadi prioritas
utama di seluruh dunia (Du dan Liu, 2011). Seiring dengan masalah tersebut, Sitorus (2012)
menjelaskan jika pesatnya industri saat ini, dipengaruhi oleh tindakan penyesuaian dalam
memenuhi permintaan produk yang dibutuhkan oleh manusia, yang pada akhirnya seringkali
mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup. Terlepas dari keberhasilan sebuah industri
dalam memenuhi kebutuhan manusia, peningkatan jumlah industri akan menimbulkan
dampak yaitu terjadinya peningkatan pencemaran yang dihasilkan dari proses industri.
lnteraksi antara bisnis dan lingkungan adalah dalam penggunaan sumberdaya alam pada
setiap tahapan aktivitas seperti, produksi, distribusi, pemasaran, dan konsumsi akhir dari
barang dan jasa. Interaksi ini dapat dilihat sebagai simbiosa yang akan memberikan
keuntungan bagi kedua belah pihak apabila dilakukan aktivitas positif, yaitu tidak hanya
lingkungan yang menjadi sumber eksploitasi tetapi juga bagaimana mengelola dampak
lingkungan yang terbentuk akibat aktivitas bisnis.
Lingkungan merupakan suatu tantangan bagi dunia bisnis, dimana bank, asuransi atau
investor dapat diyakinkan apabila perusahaan telah mempunyai surat keterangan yang
menyatakan tentang resiko lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh suatu aktivitas
bisnisnya. Untuk mencapai keunggulan bersaing, maka dunia bisnis harus mempertimbangkan
faktor lingkungan disamping faktor ekonomi dan sosial. Eksploitasi yang berlebihan dari
sumber daya alam akan mengakibatkan terganggunya rantai penyediaan bahan baku suatu
aktivitas bisnis yang selanjutnya akan menghambat pembangunan berkelanjutan.
“Greening business management” adalah strategi pengelolaan lingkungan yang terpadu
yang meliputi pengembangan struktur organisasi, sistem dan budidaya dalam suatu
kompetensi hijau dengan cara menerapkan dan mentaati seluruh peraturan tentang
pengelolaan lingkungan, termasuk pengelolaan bahan baku, pengolahan limbah, penggunaan
sumberdaya alam yang efektif, penggunaan teknologi produksi yang menghasilkan limbah
minimal serta menerapkan komitmen kesadaran lingkungan bagi seluruh karyawan dalam
organisasinya. Berdasarkan pengalaman dari beberapa industri, maka ada 4 alasan yang
menjadi penyebab industri harus meletakan masalah lingkungan sebagai aspek yang penting
dalam usahanya, yaitu:
1. Lingkungan dan efisiensi
Dengan adanya kesadaran bahwa sumber daya alam (materi dan energi) sangat
terbatas, maka apapun juga harus dilakukan untuk mengurangi penggunaannya. Oleh
sebab itu industri harus mengupayakan daur ulang dan melakukan efisiensi dalam
penggunaan setiap material dan energi dalam proses produksinya, yang mana hal
tersebut mempunyai implikasi pada pengurangan biaya produksi. Program “produksi
bersih” harus segera dicanangkan, sehingga jumlah limbah yang dihasilkan seminimal
mungkin, dan jika dimungkinkan “zero emission”. Hal lain yang cukup efektif adalah
dengan menempelkan slogan-slogan yang mengingatkan hubungan antara efisiensi
dengan lingkungan seperti SMART(Save Money And Reduce Toxic), WOW (Wipe Out
Waste).
2.
“Image” lingkungan
Mempunyai sikap positif terhadap lingkungan merupakan suatu hal yang baik untuk
dapat menumbuhkan “image” yang selanjutnya untuk memperbesar “market share”.
Memperluas pasar dengan “greening image” akan tercapai apabila konsumen telah
bernuansa “hijau” pula . Hal ini dapat dimulai dengan meng”hijau”kan karyawan dari
perusahaan itu sendiri, sehingga muncul image “perusahaan hijau”, kemudian
mensosialisasikan kepada masyarakat dengan memasarkan “produk hijau”.
3.
Lingkungan dan peluang pasar
Dengan adanya tuntutan pasar terhadap pelaku Bisnis dan dunia usaha dalam hal
sistem menajemen lingkungan (sml), yang selanjutnya dikembangkan menjadi
pemberian sertifikasi ISO 14001, maka hal ini memberikan dampak positif pada dunia
usaha. Bisnis dalam bidang instalasi pengolahan limbah, peralatan pengendalian
pencemaran udara, teknologi daur ulang, desain “containers” kemasan merupakan
suatu peluang pada masa transisi pengelolaan lingkungan dari strategi “end-off pipe
treatment’ menjadi “waste reduction at source”.
4.
Ketaatan terhadap peraturan lingkungan
Meskipun “law enforcement” pemerintah masih lemah, namun demikian apabila
terjadi pelanggaran dalam pengelolaan lingkungan ataupun adanya pengaduan
masyarakat akibat dampak dari suatu aktivitas industri, maka akan berdampak
negatif terhadap reputasi industri tersebut.Selain itu organisasi lingkungan lokal dan
internasional akan bereaksi keras apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan. Hal ini terjadi pada kasus PT, Freeport Indonesia, PT. Newmont, dan lainlain. Oleh sebab itu ketaatan terhadap setiap peraturan lingkungan secara proaktif
sangat dianjurkan agar peluang untuk memperluas pasar dan sasaran dari bidang
usaha tidak terganggu. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa bisnis hijau adalah
“trend” saat ini, yang mana untuk mencapai hal tersebut harus ada interaksi antara
ekonomi dan ekologi , hal ini disebabkan karena adanya dampak terhadap sumber
daya alam dan sumber daya manusia dari setiap aspek dari suatu aktivitas
perusahaan industri. Untuk mencapai tujuannya, maka suatu perusahaan harus
menciptakan sistem input, proses dan output yang terintegrasi sehingga
memungkinkan tercapainya suatu perusahaan hijau secara komprehensif.
4.
Rehabilitasi degradasi lahan
Deskripsi :
Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan. Hal
ini sehubungan dengan tingginya jumlah dan intensitas curah hujan, terutama di Indonesia
Bagian Barat. Bahkan di Indonesia Bagian Timur pun yang tergolong daerah beriklim kering,
masih banyak terjadi proses erosi yang cukup tinggi, yaitu di daerah-daerah yang memiliki
hujan dengan intensitas tinggi, walaupun jumlah hujan tahunan relatif rendah
(Abdurachman dan Sutono, 2002; Undang Kurnia et al., 2002). Faktor lereng juga merupakan
penyebab besarnya potensi bahaya erosi pada usaha tani lahan kering. Di Indonesia, usaha
tani tanaman pangan banyak dilakukan pada lahan kering berlereng. Hal ini sulit dihindari,
karena sebagian besar lahan kering di Indonesia mempunyai kemiringan lebih dari 3%
dengan bentuk wilayah berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung, yang meliputi
77,4% dari seluruh daratan (Hidayat dan Mulyani, 2002). Lahan yang tergolong datar seluas
42,6 juta ha atau 22,6% dari luas seluruh dataran (Abdurachman dan Sutono, 2002), biasanya
digunakan untuk persawahan, pemukiman dan fasilitas umum, atau tanah marginal yang
tidak produktif bila digunakan untuk pertanian. Tanah yang peka erosi dan praktek pertanian
yang tidak disertai upaya pengendalian erosi juga turut menentukan tingkat kerawanan
lahan-lahan pertanian terhadap erosi.
Tingkat erosi yang semakin meningkat dengan meningkatnya kegiatan penduduk
membuka tanah-tanah pertanian tanpa pengelolaan yang benar, telah ditunjukkan oleh hasil
penelitian van Dijk dan Vogelzang (1948 dalam Arsyad, 2000) di Sub Daerah Aliran Sungai
Cilutung (DAS Cimanuk). Dari hasil analisis perkiraan kandungan sedimen Sungai Cilutung
pada tahun 1911/1912 mereka mendapatkan besarnya erosi sekitar 13,2 t ha-1 tahun-1,
ekivalen dengan 0,9 mm lapisan tanah. Pengukuran yang dilakukan pada tahun 1934/1935
menunjukkan peningkatan erosi lebih dari dua kali laju erosi pada tahun 1911/1912 yakni
28,5 t ha-1 tahun-1 atau ekivalen dengan 1,9 mm lapisan tanah. Di dalam masa antara tahun
1948-1969 besarnya erosi telah meningkat menjadi 120 t ha-1 tahun-1 atau 8,0 mm tahun-
1. Dames (1955 dalam Abdurachman dan Sutono, 2002) juga melaporkan bahwa sekitar 1,6
juta ha tanah di bagian Timur Jawa Tengah (Yogyakarta, Surakarta, sebagian Karesidenan
Semarang dan Jepara-Rembang), telah mengalami erosi berat seluas 36,0%, erosi sedang
10,5%, erosi ringan 4,5% dan tidak tererosi 49,0%. Selanjutnya Partosedono (1977)
menunjukkan bahwa laju erosi di DAS Cimanuk, Jawa Barat, mencapai 5,2 mm tahun-1,
mencakup areal 332 ribu ha. Tingkat bahaya erosi lahan pertanian khususnya yang ditanami
tanaman semusim tanpa tindakan konservasi tanah ditunjukkan oleh beberapa hasil
penelitian skala petak. Hasil penelitian Suwardjo (1981) pada tana Oxisol Citayam, Jawa Barat
dengan lereng 14%, laju erosi mencapai 25 mm tahun-1. Hasil penelitian pada tanah Ultisol
Lampung menunjukkan laju erosi mencapai 3 mm-1 tahun-1, padahal kemiringan lahan
hanya 3,5%. Pada kemiringan lahan 9-10%, Abdurachman et al (1985) melaporkan bahwa
erosi pada tanah Alfisol di Putat, Jawa Tengah mencapai 15 mm tahun-1, dan pada Alfisol di
Punung, Jawa Timur mencapai 14 mm tahun-1.
roblem degradasi tanah dan lingkungan umumnya lebih parah di daerah-daerah tropis
daripada daerah temperate, di daerah kering daripada daerah basah, di daerah iklim panas
daripada daerah dingin. Diperkirakan diseluruh dunia tanah terdegradasi sekitar 2 milyar
hektar dan 75% berada di daerah tropis. Degradasi tanah dapat disebabkan oleh banyak
proses, termasuk erosi tanah yang dipercepat, salinasi, kerusakan karena pertambangan dan
aktivitas perkotan, serta pengembalaan berlebih dan komtaminasi dari polutn industri
(Widjaja, 2002).
Lima proses utama yang terjadi akibat timbulnya tanah yang terdegradasi, yaitu:
menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya
struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Firmansyah,
2003). Khusus untuk tanah-tanah tropika basa terdapat tiga proses penting yang
menyebabkan terjadinya degradasi tanah, yaitu: 1) degradasi fisik yang berhubungan dengan
memburuknya struktur tanah sehingga memicu pergerakan, pemadatan, aliran banjir
berlebihan, dan erosi dipercepat, 2) degradasi kimia yang berhubungan dengan
terganggunya siklus C, N, P, S dan unsur-unsur lainnya, dan 3) degradasi biologi yang
berhubungan dengan menurunya kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, aktivitas biotik
dan keragaman spesies fauna tanah yang juga menurun ikut menurun (Lal, 2000).
Dalam rangka rehabilitasi lahan-lahan kritis yang luasnya semakin besar di Indonesia
serta meningkatnya produktivitas untuk keperluan pertanian, perkebunan, kehutanan dan
pelestarian alam, maka perlu dilakuakan upaya-upaya yang dapat yang dapat memodifikasi
lingkungan tersebut (Subiksa, 2002). Degradasi tanah berpengaruh terhadap penurunan
produktivitas tanah. Kehilanagn produktivitas dicirikan dengan terjadinya erosi akibat tanah
terdegradasi diperkirakan 272 juta Mg pangan dunia hilang berdasarkan tingkat produksi
tahun 1996 (Lal, 2000).
Tanah yang mengalami kerusakan baik kerusakan karena sifat fisik, kimia dan maupun
biologi memiliki pengaruh terhadap penurunan produksi padi mencapai sekitar 22% pada
lahan semi kitis, 32 % pada lahan kritis, dan diperkirakan sekitar 38% pada lahan sangat kritis.
Sedangkan untuk kacang tanah mengalami penurunan sekitar 9%, 46%, 58% masing-masing
pada tanah semi kritis, kritis dan tanah yang sangat kritis. Sifat tanah yang berkorelasi nyata
terhadap produksi padi adalah kedalaman solum, kandungan bahan organik (Sudirman dan
Vadari, 2000).
5.
Tata Ruang Hijau Perkotaan
Deskripsi :
Berdasarkan Undang – undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dan
peraturan menteri PU No.5/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan
ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan disebutkan bahwa pengertin ruang terbuka hijau
(RTH) adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya
lebihbersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman , baik yang tumbuh tanaman secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam. Dalam UU No. 26 Tahun 2007, secara khusus
mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau , yang proporsi
luasannya ditetapkan paling sedikit 30 (tiga puluh ) persen dari luas wilayah kota.
Ruang terbuka hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) berdasarkan Peraturan menteri dalam
negeri Nomor 1 tahun 2007 tentang ruang terbuka hijau kawasan perkotaan adalah bagian
dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna
mendukung manfaat ekologi, social , budaya , ekonomi , dan estetika.
Pada kenyataannya di perkotaan Indonesia masih kurang dalam mengadakan ruang
terbuka hijau , baru beberapa saja kota kota yang mengadakan ruang terbuka hijau seperti
aceh, Balikpapan, dan Surabaya
Tujuan
pembentukan
RTH
di
wilayah
perkotaan
adalah
:
1.Meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai sarana pengamanan
lingkungan perkotaan.
2.Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi
kepentingan masyarakat.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam Pengelolaan RTH adalah :
1.Fisik (dasar eksistensi lingkungan), bentuknya bisa memanjang, bulat maupun persegi
empat atau panjang atau bentuk-bentuk geografis lain sesuai geo-topografinya.
2.Sosial, RTH merupakan ruang untuk manusia agar bisa bersosialisasi.
3.Ekonomi, RTH merupakan sumber produk yang bisa dijual
4.Budaya, ruang untuk mengekspresikan seni budaya masyarakat
5.Kebutuhan akan terlayaninya hak-hak manusia (penduduk) untuk mendapatkan
lingkungan yang aman, nyaman, indah dan lestari
6. Reklamasi
Deskripsi:
Reklamasi adalah pekerjaan atau usaha dalam pemanfaatan suatu kawasan atau lahan
yang tidak berguna dan berair untuk dijadikan lahan yang berguna dengan cara dikeringkan.
Tempat-tempat yang biasa dijadikan sebagai tempat untuk melakukan reklamasi seperti
kawasan pantai, lepas pantai atau offshore, danau, rawa-rawa ataupun sungai yang begitu
lebar.
Tujuan dari reklamasi sendiri yaitu menjadikan kawasan yang tidak berguna atau tidak
bermanfaat menjadi kawasan yang mempunyai manfaat. Kawasan yang sudah direklamasi
tersebut biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pertanian, pemukiman, perindustrian,
pertokoan/bisnis maupun objek wisata. Pekerjaan reklamasi juga bertujuan untuk memacu
pembangunan sarana dan prasarana pedukung lainnya. Dalam membangun suatu
pelabuhan ataupun terminal pelabuhan yang berada pada perairan maka dapat dilakukan
pekerjaan reklamasi.
Syarat Untuk Lokasi Yang Akan Dilakukan Reklamasi antara Lain telah memenuhi
ketentuan rencana kota yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan
atau Kota/Kabupaten dan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Reklamasi, dan dituangkan
ke dalam Peta Lokasi laut yang akan direklamasi. Selain itu juga perlu ditetapkan dengan
Surat Keputusan Gubernur dan atau Walikota/Bupati (tergantung posisi strategis dari
kawasan reklamasi) yang berdasarkan pada tatanan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
dan atau Kota/Kabupaten serta Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Reklamasi. Daerah
tersebut juga sudah harus ada studi kelayakan tentang pengembangan kawasan reklamasi
pantai atau kajian/kelayakan properti, berada di luar kawasan hutan bakau yang merupakan
bagian dari kawasan lindung atau taman nasional, cagar alam, dan suaka margasatwa, Bukan
merupakan kawasan yang berbatasan atau dijadikan acuan batas wilayah dengan
daerah/negara lain, memenuhi ketentuan pemanfaatan sebagai kawasan dengan ijin
bersyarat, dan dituangkan di dalam Peta Situasi rencana lokasi dan Rencana Teknis
Pelaksanaan Reklamasi dan mendapat persetujuan dari instansi terkait (Samin, 2012)
Persyaratan dalam memenuhi ketentuan pemanfaatan kawasan reklamasi yaitu
penyusunan dokumen ANDAL, penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan (UPL), penyusunan Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALIN), dan
mengenakan biaya dampak pembangunan (development impact fee), dan atau aturan
disinsentif lainnya.
Namun terdapat berbagai dampak reklamasi daerah pesisir pantai yang banyak
dilakukan pada negara atau kota maju dalam rangka memperluas daratan sehingga bisa
digunakan untuk area bisnis, perumahan, wisata rekreasi dan keperluan lainya. Selalu ada
dampak positif dan negatif dalam setiap kegiatan termasuk dalam hal pengurugan tepi laut
ini, bisa jadi yang melakukan kegiatan hanya mendapat keuntunganya saja sementara
kerugian harus ditanggung oleh pihak yang tidak mengerti apa-apa, tanpa disadari banyak
daerah pesisir pantai terpencil yang hilang karena aktifitas reklamasi ini. Namun setelah
melihat kelebihan dan kekurangan reklamasi yang terjadi sekarang ini nampaknya tetap
lebih banyak dilakukan karena dampak negatif lingkungan justru ditanggung daerah lain yang
terkadang tidak tahu apa-apa tentang adanya reklamasi pantai yang letaknya jauh dari
tempat tinggal. Oleh sebab itu, diperlukan usaha inovatif dan terintegrasi dalam pelaksanaan
reklamasi secara berkelanjutan untuk meminimalisir dampak negatif dan memaksimalisasi
dampak positif.
Download