BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Masalah Diare akut maupun kronik masih menjadi masalah kesehatan utama di negara berkembang, termasuk Indonesia (Markum dkk., 1991). Penyakit tersebut sering timbul dalam bentuk kejadian luar biasa dan disertai kematian yang tinggi. Hal ini diperkuat dengan data riset kesehatan dasar Tahun 2007 oleh Kemenkes RI bahwa diare merupakan penyebab kematian ke-13 pada semua umur (3,5%) dan penyebab kematian pertama pada bayi usia 29 hari-11 bulan (31,4%) maupun sejumlah 25,2% pada anak balita usia 12-59 bulan (Anonim, 2011). Kasus diare dapat diakibatkan oleh bakteri patogen, salah satunya adalah Shigella spp. Markum dkk. (1991), menyebut 10-20 % kasus diare tersebut sebagai sigelosis. Penelitian epidemiologis di beberapa negara menunjukkan bahwa Shigella spp. menyebabkan ± 60% diare dengan tinja berdarah atau disentri (Sunoto dkk, 1990). Dalam satu tahun, jumlah kasus sigelosis di dunia diperkirakan sebanyak 164,7 juta. Sejumlah 163,2 juta kasus di antaranya terjadi di negara berkembang dengan jumlah kematian 1,1 juta diakibatkan oleh infeksi Shigella flexneri (Kotloff dkk., 1999). Menurut Sunoto dkk. (1990),Shigella flexneri merupakan kelompok serologis yang paling sering ditemukan di negara berkembang seperti Indonesia. Hasil penelitian sejak Juni 1998-November 1999 pada anak dan orang dewasa terjangkit diare sigelosis di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, 1 2 Jakarta, Pulau Jawa, Bali, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan menunjukkan hasil isolat Shigella flexneri, Shigella sonnei, Shigella dysenteriae berturut-turut sebesar 80%, 12% dan 8% (Subekti dkk., 2001). Infeksi akibat bakteri secara umum dapat diobati dengan antibiotika (Kar, 2008). Resistensi akibat dosis berlebih, kurangnya masa terapi, faktor mekanik, kesalahan dalam menetapkan etiologi, faktor farmakokinetik, dan kurang tepatnya pemilihan antibiotika mengakibatkan kegagalan terapi (Gan & Setiabudy, 1995). Selama 50 tahun terakhir, Shigella menunjukkan kemampuan resisten terhadap obat antibakteri pada terapi lini pertama (Kotloff dkk., 1999). Oleh karena itu diperlukan adanya pengaturan penggunaan antibakteri selektif, diikuti penemuan dan pengujian agen antibakteri baru yang lebih efektif, murah, aman bagi tubuh, dan tersedia dalam jumlah besar. Penggunaan senyawa dalam tanaman sebagai antibakteri dapat dipilih sebagai alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Perkembangan obat herbal dewasa ini terjadi karena tanaman obat merupakan sumber bahan aktif dengan beragam aktivitas biologis. Menurut Agoes (2007), bahan aktif dari tanaman belum atau tidak dapat dibuat secara sintesis sehingga produk sintesis berharga sangat mahal.Oleh karena itu, pemilihan tanaman sebagai bahan obat harus mempertimbangkan ketersediaan populasi tanaman obat dan juga syarat harga terjangkau (Agoes, 2007). Pengobatan dengan tanaman telah dipelajari manusia berabad-abad lalu menggunakan bahan segar untuk mengobati infeksi diare yang kini diasumsikan efektif karena keberadaan zat antibiotika di dalamnya (Beale & Block, 2011). 3 Tanaman yang dapat digunakan sebagai antibakteri salah satunya adalah temu putih atau Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe. Rimpang temu putih telah lama digunakan untuk membantu pengobatan pada sakit perut, darah tersumbat, hepatoproteksi, diare, penyakit kulit, reumatik, dan haid tidak lancar (Tholkappiyavathi dkk., 2013). Pemanfaatan temu putih sebagai obat diare sebelumnya telah dilaporkan Depkes RI dalam SP. No.383/12.01/1999 (Syukur, 2004) dan telah dibuktikan oleh Shahriar (2010) terhadap beberapa bakteri patogen penyebab diare seperti Escherichia coli, Shigella boydii, Shigella dysenteriae, dan Shigella sonei. Hal ini didukung oleh keberadaan golongan senyawa fenolik seperti flavonoid dan fenilpropanoid dalam rimpang temu putih secara kemotaksonomi (Hegnauer, 1963). Menurut Cowan (1999), golongan senyawa tersebut bertanggung jawab dalam aktivitas antibakterinya terhadap berbagai jenisbakteri dengan mekanisme beragam. Tingginya kejadian diare dan minimnya publikasi penelitian mengenai aktivitas rimpang temu putih terhadap Shigella flexneri melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji aktivitas antibakteri rimpang temu putih terhadap Shigella flexneri dengan berbagai macam metode, yaitu difusi padat sebagai skrining awal untuk mengetahui adanya aktivitas antibakteri rimpang temu putih terhadap Shigella flexneri, dilusi cair untuk mengetahui kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM), dan bioautografi disertai uji kualitatif pada kromatogram lapis tipisnya untuk mengetahui 4 keberadaan golongan senyawa fenolik yang diduga bertanggung jawab terhadap aktivitas antibakteri tersebut. B. Rumusan Masalah 1. Apakah ekstrak etanolik rimpang temu putih yang mengandung golongan senyawa fenolik memiliki aktivitas antibakteri terhadap Shigella flexneri ATCC 12022? 2. Berapakah nilai KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum) ekstrak etanolik rimpang temu putih yang mengandung golongan senyawa fenolik terhadap Shigella flexneri ATCC 12022? 3. Apakah ekstrak etanolik rimpang temu putih mengandung golongan senyawa fenolik yang diduga bertanggung jawab dalam aktivitas antibakterinya terhadap Shigella flexneri ATCC 12022? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui adanya aktivitas antibakteri ekstrak etanolik rimpang temu putih yang mengandung golongan senyawa fenolik terhadap Shigella flexneri ATCC 12022. 2. Mengetahui nilai KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum) ekstrak etanolik rimpang temu putih yang mengandung golongan senyawa fenolik terhadap Shigella flexneri ATCC 12022. 5 3. Mengetahui kandungan golongan senyawa fenolik yang diduga bertanggung jawab dalam aktivitas antibakteri ekstrak etanolik rimpang temu putih terhadap Shigella flexneri ATCC 12022. D. Pentingnya Penelitian Berdasarkan penelitian, uji aktivitas antibakteri rimpang temu putih terhadap bakteri patogen diare paling banyak dilakukan pada Escherichia coli, Shigella boydii, Shigella dysenteriae, dan Shigella sonei. Penelitian serupa terhadap Shigella flexneri masih terbatas sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan lebih luas mengenai penggunaan berbagai jenis tanaman obat di Indonesia yang melimpah diikuti pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang kesehatan. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi prototype bagi penggunaan tanaman obat sebagai agen antibakteri, yaitu rimpang temu putih terhadap bakteri Shigella flexneri ATCC 12022 sehingga dapat menjadi solusi alternatif masalah tingginya resistensi strain bakteri tertentu terhadap beberapa jenis antibiotika konvensional. 6 E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian temu putih b a c Gambar 1. Rimpangtemu putih Keterangan: a. Rimpang temu putih Desa Tuksono b. Rimpang temu putih Kecamatan Karanganyar c. Rimpang temu putih Kecamatan Kalibawang a. Kedudukan dalam kategori taksa Divisi : Spermatophyta Anak Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Curcuma Jenis : Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe (Backer & Brink, 1965; Tjitrosoepomo, 2010) b. Nama daerah Konéng bodas (Heyne, 1950) atau koneng tegal (Padua dkk., 1999). c. Morfologi tanaman Temu putih merupakan tumbuhan berhabitus terna menahun, tingginya dapat mencapai lebih dari 2 m, tumbuh menggerombol dengan batang semu 7 tumbuh dari rimpangnya. Batang sesungguhnya berupa rimpang yang berkembang dengan baik, bercabang- cabang kuat di bawah tanah, bagian luar berwarna kuning, cokelat muda atau cokelat tua, jika diiris bagian dalam rimpang berwarna putih kekuningan atau putih kebiruan, berserat halus, rasa pahit, memiliki umbi bulat, dan berbau aromatik. Daun tunggal, berjumlah 2-9 helai, bentuk helai daun memanjang sampai lanset, ujung runcing atau meruncing, berambut jarang, tepi daun rata, berwarna hijau atau hijau cerah dengan bercak cokelat sampai ungu di ibu tulang daun, panjang daun 40-80 cm atau lebih dan lebar 10-18 cm, dengan panjang tangkai daun 43-80 cm, pelepah daun membentuk batang semu, berwarna hijau cokelat tua. Bunga majemuk bulir, tangkai bunga berambut, muncul di ketiak empu rimpang. Daun pelindung banyak berupa seludang bunga dan daundaun pelindung, ukuran daun-daun pelindung panjang 3-8 cm lebar 1,5-3,5 cm. Kelopak 3 helai, putih atau putih kekuningan, bagian tengah merah atau cokelat kemerahan, 3-4 cm. Mahkota 3 helai, berwarna putih kemerahan, tinggi 4-5 cm. Mahkota terdiri atas 2 bibir, bentuk bulat telur terbalik, berwarna kuning atau putih, tengah kuning atau kuning jeruk, panjang 14-18 mm, lebar 14-20 mm. Benang sari 1 helai, tidak sempurna, bulat telur terbalik, kuning terang, panjang 12-16mm, lebar 10-115 mm, tangkai sari panjang 3-5 mm, lebar 2-4 mm, kepala sari putih, 6 mm. Buah berambut, panjang 2 cm (Backer & Brink, 1965; Heyne, 1950). 8 d. Temu putih dan rimpang lain yang mirip Penamaan temu putih di masyarakat masih sering ditemukan kerancuan dengan spesies kerabatnya seperti temu manga (Curcuma manga) dan kunir putih (Kaempferia rotunda). Ketiga rimpang tersebut sebenarnya secara morfologis dapat dibedakan dengan ciri rimpang temu mangga berwarna lebih kuning seperti jeruk limau dibandingkan temu putih dan aroma khas mangga, sedangkan rimpang kunir putih berbentuk lebih bulat dengan perakaran bergerombol seperti kacang tanah (Gambar 2). b a c Gambar 2. Temu putih dan rimpang lain yang mirip Keterangan : a. Rimpang temu putih b. Rimpang temu mangga c. Rimpang kunir putih e. Tempat tumbuh Temu putih berasal dari India bagian timur laut, terdistribusi melalui budidaya hingga ke AsiaTenggara dan Asia Selatan termasuk Malaysia, China juga Taiwan (Padua dkk., 1999). Temu putih banyak ditemukan di bawah naungan atau tempat yang teduh dan daerah lembab pada berbagai jenis tanah seperti di hutan kayu jati (Jawa Timur) dan buangan rumput dengan ketinggian 5-1000 mdpl. Temu putih tumbuh lebih baik pada daerah berbatu 9 atau tanah kering berpasir seperti di Sumatra (Gunung Dempo). Tanaman ini tumbuh secara umum di Jawa Barat khususnya banyak dibudidaya di Bogor dan berbunga di bulan Agustus hingga Mei (Backer & Brink, 1968; Heyne, 1950). f. Kegunaan Rimpang temu putih telah lama digunakan untuk memperbaiki kesehatan otot-otot organ reproduksi bagian dalam setelah proses melahirkan di Kesultanan Madura (Mangestuti dkk., 2007). Menurut Tholkappiyavathi dkk. (2013), temu putih digunakan untuk membantu pengobatan sakit perut (flatulen), darah tersumbat, hepatoproteksi, penyakit kulit (leukoderma), rematik, dan pelancar datang bulan. Padua dkk. (1999) melaporkan temu putih sebagai stimulan, karminatif, diuretik, anti-diare, anti-emetik, dan anti-piretik. Tushar dkk. (2010), menambahkan bahwa temu putih berguna sebagai antisepik pada batuk, pencernaan tidak sempurna, sakit gigi serta Stanly dkk. (2010), melaporkan temu putih sebagai bahan anti-alergi. g. Aktivitas biologis Ekstrak rimpang temu putih diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang luas terhadap beberapa jenis mikroba, antara lain terhadap Bacillus subtilis (NCIM 2603), Micrococcus luteus (NCIM 2103), Proteus mirabilis (NCIM 2300), Klebsiella pneumonia (NCIM 2957), Candida albicans (NCIM 3102), Aspergillus nigger (NCIM 596), Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, Escherichia coli, Shigella boydii, 10 Shigella dysenteriae, Shigella sonei, Proteus vulgaris (ATCC 29905), Staphylococcus epidermidis (ATCC 33400), Streptococcus mutans (ATCC 25175), Enterococcus faecalis (ATCC 19433), Salmonella enterica (BCRC 12042), Mycobacterium phlei (ATCC 11758), Bacillus cereus (DMST 5040), Listeria monocytogenes (DMST 11256), Salmonella Rissen (DMST 7097), Pseudomonas fluorescens (TISTR 358), Staphylococcus aureus (TISTR 118), Candida lipolytica (TISTR 5655), Hanseniaspora uvarum (TISTR 515), Pichia membranaefaciens (TISTR 5093), Rhodotorula glutinis (TISTR 5159), Schizosaccharomyces pombe (TISTR 509), Zygosaccharomyces rouxii (TISTR 5044), Aspergillus flavus (TISTR 3041), Aspergillus ochraceus (TISTR 3557), Aspergillus parasiticus (TISTR 3276), Fusarium moniliforme (TISTR 3175), dan Propionibacterium acnes(Wilson dkk., 2005; Shahriar, 2010; Israr dkk., 2012; Chen dkk., 2008; Wungsintaweekul dkk., 2010; Nanasombat &Wimuttigosol, 2011; Parhusip dkk., 2009). h. Kandungan kimia Curcuma zedoaria termasuk dalam suku zingiberaceae yang secara kemotaksonomi mengandung golongan minyak atsiri terdiri dari terpenoid dan fenilpropanoid, yaitu α-pinene, camphen, cineol, borneol, campher, beberapa sesquiterpen, dan sesquiterpen alcohol (Hegnauer, 1963). Selain itu, menurut Hegnauer (1963), temu putih juga mengandung golongan senyawa fenolik dan polifenolik seperti flavonoid. Shiobara dkk. (1985), melaporkan adanya senyawa sesquiterpen kurkumenon, curcumanolide-A dan 11 curcumanolide-B dalam rimpang temu putih. Sesquiterpen lain ditemukan dalam rimpang temu putih, yaitu furanodiene, zedoarone, zedoarol, 13-hydroxygermacrone, curzerenone, curzeone, dehydrocurdione, curcumenone, zedoaronediol, curcuzederone, zedoalactone A dan B, 4epicurcumenol, neocurcumenol, gajutsulactones A dan B, zedoarolides A dan B sertazedoarofuran (Shiobara dkk., 1986; Makabe dkk., 2006; Eun dkk., 2010; Takano dkk., 1995; Matsuda dkk., 2001). 2. Penyarian a. Penyarian secara umum Penyarian adalah kegiatan penarikan zat dari suatu bahan, misalnya simplisia. Perbedaan struktur kimiadari kandungan dalam suatu bahan akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitasnya terhadap pemanasan, logam berat, udara, cahaya, dan derajat keasaman sehingga pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang tepat harus didasarkan pada kandungan zat aktif dalam simplisia. Simplisia lunak seperti rimpang, daun dan akar kelembak mudah ditembus oleh cairan penyari sehingga tidak perlu diserbuk sampai halus pada proses penyarian (Anonim, 1986). Agoes (2007), menjelaskan pembuatan ekstrak untuk keperluan farmasi harus memperhatikan: 1) Jumlah simplisia sebagai dasar perhitungan dosis obat. 2) Derajat kehalusan simplisia terkait luas permukaan kontak dengan cairan penyari agar penarikan zat aktif dapat berlangsung maksimal. 12 3) Jenis pelarut yang digunakan untuk keperluan farmasi sangat terbatas dari segi keamanan. Selain itu, pelarut merupakan faktor penentu efisiensi proses penarikan zat berkhasiat dari tanaman obat. 4) Suhu penyari akan menentukan jumlah kecepatan penyarian. 5) Lama waktu penyarian menentukan jumlah bahan yang tersari. 6) Proses penyarian karena beberapa proses penyarian harus terlindung dari cahaya untuk menghindari kemungkinan akan ada komponen ekstrak yang peka terhadap cahaya. b. Cairan Penyari Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor seperti murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif atau hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, serta diperbolehkan oleh peraturan. Bahan penyari tersebut menurut Farmakope Indonesia adalah air, etanol, etanol-air atau eter (Anonim, 1986). Etanol sering digunakan sebagai bahan penyari karena kapang dan bakteri sulit tumbuh dalam etanol ≥20%. Selain itu, etanol bersifat netral, absorbsinya baik, dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak atsiri, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil, sedangkan lemak, malam, tanin, dan saponin hanya larut sedikit (Anonim, 1986). 13 c. Metode Penyarian Penyarian dapat dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya maserasi. Maserasi merupakan cara penyarian sederhana dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel, masuk ke dalam rongga sel dan melarutkan zat aktif di dalamnya akibat adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel sehingga larutan terpekat akan didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986). Penyarian menggunakan metode maserasi memiliki kelebihan pada cara pengerjaan dan peralatan yang sederhana dan mudah diusahakan, sedangkan kerugiannya adalah lama waktu pengerjaan dan penyarian dapat kurang sempurna (Anonim, 1986). Penyarian dengan cara maserasi memerlukan pengadukan agar tetap ada derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel, sementara itu hasil penyarian perlu dibiarkan selama waktu tertentu unutk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari seperti malam dan lain-lain (Anonim, 1986).Modifikasi maserasi untuk mengoptimalkan penyarian salah satunya adalah maserasi berulang. Maserasi berulang dilakukan dengan cara membagi dua cairan penyari, kemudian seluruh serbuk simplisia dimaserasi dengan cairan penyari pertama. Ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari yang keduasetelah dienaptuangkan dan diperas (Anonim, 1986). 14 d. Ekstrak Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh melalui cara penyarian obat dengan ukuran partikel dan larutan penyari tertentu (Agoes, 2007). Terdapat berbagai macam jenis ekstrak berdasarkan konsistensinya, yaitu ekstrak cair, ekstrak cair, ekstrak kental, dan ekstrak kering. Ekstrak kental merupakan hasil pemekatan dengan cara penyulingan atau penguapan pada tekanan rendah dan suhu 50oC sehingga ekstrak tidak berbentuk cair pada suhu kamar dan berupa cairan kental apabila dihangatkan dengan kadar air tidak lebih dari 30% (Agoes, 2007; Anonim, 1986; Voight, 1984). 3. Uraian mikrobiologi a. Bakteri patogen Bakteri merupakan organisme bersel tunggal,hidup bebas tanpa klorofil dan memiliki DNA juga RNA. Bakterimampu memperlihatkan ciriciri yang dimiliki makhluk hidup seperti tumbuh, metabolisme dan berkembang biak (Gupte, 1990).Menurut Suharto (1994), penggolongan bakteri dapat didasarkan pada virulensi, yaitu derajat patogenitas dan dinyatakan dengan jumlah mikroorganisme atau mikrogram toksin untuk membunuh binatang percobaan dengan syarat-syarat tertentu, sedangkan patogenitas adalah kemampuan bakteri untuk dapat menyebabkan penyakit pada host atau inang. Patogenitas dipengaruhi oleh daya invasi dan toksigenitas (eksotoksin dan endotoksin). 15 Penggolongan lain yang berhubungan dengan patogenitas adalah penggolongan berdasarkan hasil pewarnaan Gram, yaitu Gram positif dan Gram negatif (Tabel I). Selain itu, penggolongan bakteri sering pula dilakukan berdasarkan bentuk bakteri, yaitu silinder (batang) dan sferis (kokus). Bentuk batangkemudian dibagi lagi menjadi vibrio dan spirochaetes, sedangkan bentuk kokus dibagi lagi menjadi diflokokus, sarsina, stafilokokus, dan streptokokus sesuai dengan bentuk agregatnya (Hugo & Russel, 1998). Tabel I. Perbedaan bakteri Gram positif dan negatif Dinding sel: Lapisan peptidoglikan Kadar lipid Variasi asam amino Asam amino aromatik dan mengandung belerang Asam teikoat Toksin yang dibentuk Resistensi terhadap tellurit Sifat tahan asam Gram positif 15-23 nm 2-4% Sedikit Gram negatif 10-15 nm 15-20% Beberapa Tidak ada Ada Ada Eksotoksin Lebih tahan Lebih tahan asam Tidak ada Endotoksin Lebih peka Kurang tahan asam (Assani, 1994; Gupte, 1990) b. Fase pertumbuhan bakteri Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah sel bakteri dan peningkatan ukuran sel bakteri. Penghitungan jumlah bakteri pada saat-saat tertentu akan menunjukkan suatu grafik yang disebut kurva pertumbuhan. Menurut Gupte (1990), kurva tersebut terdiri atas beberapa fase, antara lain fase lag, fase log, fase stasioner (menetap), fase penurunan, dan fase survival. Fase lag ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel, kegiatan metabolisme sebagai bentuk 16 penyesuaian terhadap lingkungan baru dan pembentukan berbagai enzim juga metabolit antara untuk berlangsungnya perkembangbiakkan. Fase log menunjukkan pembelahan sel dan jumlahnya meningkat secara logaritmik sesuai dengan pertambahan waktu. Perbandingan nilai logaritma dari jumlah bakteri hidup dengan waktu pada grafik akan menghasilkansuatu garis lurus. Selama fase log, kegiatan metabolism bakteri sangat tinggi dan menjadi lebih peka terhadap zat-zat asing seperti antibiotika. Fase stasioner (menetap) memperlihatkan suatu keadaan seimbang antara jumlah bertambahnya bakteri baru dan matinya bakteri. Hal ini mungkin disebabkan oleh berkurangnya nutrisi di dalam media perbenihan maupun menumpuknya produk-produk beracun karena pada fase ini dapat terbentuk spora, kemudian populasi bakteriakan menurun akibat matinya sel-sel bakteri pada fase penurunan. Faktor-faktor seperti habisnya zat-zat nutrisi, menumpuknya zat-zat beracun dan enzim-enzim otolitik berpengaruh dalam fase penurunan, sedangkan fase survival terjadi jika sebagian besar bakteri telah mati dan hanya sedikit yang tetap hidup selama beberapa bulan atau tahun. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Pertumbuhan bakteri meliputi sintesisdari komponen-komponen bahan nutrisi dalam lingkungannya. Bakteri mampu melaksanakan proses-proses metabolisme dengan memanfaatkan segala macam sumber bahan nutrisi seperti substrat anorganik hingga bahan organikkompleks. Hal ini merupakan bukti kemampuan bakteri untuk beradaptasi dan menanggapi rangsangan 17 asing. Menurut Suharto & Chatim (1994), secara umum terdapat bahan-bahan gizi yang dibutuhkan oleh setiap bakteri, antara lain air, garam-garam anorganik, mineral (sulfur, fosfor-fosfat, Mg, Fe, K, dan Ca), sumber nitrogen, CO2, O2, potensial oksidasi-reduksi, pH, suhu, kekuatan ion, dan tekanan osmotik. Berdasarkan jenis keperluaan sumber karbon, bakteri dibagi dalam 2 golongan,ototrof dan heterotrof. Bakteri ototrof hanya memerlukan air, garam inorganik dan CO2 sebagai sumber karbon bagi pertumbuhannya, kemudian mensintesis sebagian besar metabolit organiknya dari CO2, sedangkan bakteri heterotrof berisi semua jenis bakteri patogen bagi manusia dengan glukosa sebagai sumber karbon sering digunakan dalam perbenihan di laboratorium.Sebagian besar bakteri heterotrof tidak dapat tumbuh tanpa adanya faktor-faktor pertumbuhan dalam bentuk ekstrak ragi, darah, asam amino, purin, pirimidin, dan vitamin B-kompleks sebagai katalisator pada reaksi-reaksi di dalam sel. Penggolongan bakteri berdasarkan kebutuhannya terhadap O2, antara lain bakteri obligat anaerob, aerotoleran aaerob,fakultatif anaerob, obligat aerob, dan mikroaerofilik. Bakteri fakultatif anaerob adalah bakteri yang mampu tumbuh baik dalam suasana dengan atau tanpa O2. Faktor lain seperti disebutkan di atas yaitu, suhu dan pH lingkungan tempat tumbuh. Setiap bakteri mempunyai suhu optimal dengan pertumbuhan sebaik-baiknya dari bakteri tersebut dan batas-batas suhu di mana pertumbuhan dapat terjadi. Hal ini terutama terkait pembelahan sel yang sangat peka terhadap kerusakan 18 akibat suhu tinggi sehingga terlihat bentuk-bentuk besar dan ganjil pada biakan-biakan dengan suhu lebih tinggi daripada suhu optimal, sedangkan nilai pH optimal kebanyakan bakteri patogen berkisar antara 7,2-7,6. Faktor pH perlu diperhatikan terutama pada bakteri-bakteri bersifat fermentatifdan menghasilkan asam-asam organik dalam jumlah besar sehingga dapat merubah pH sekaligus bersifat menghambat pertumbuhannya sendiri. 4. Shigella flexneri a. Klasifikasi Kingdom : Procaryotae Divisio : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Subordo : Eubacteriineae Familia : Enterobacteriaceae Tribus : Salmonelleae Genus : Shigella Spesies : Shigella flexneri (Salle, 1954) Gambar 3. Shigella flexneri (Brinkmann dkk., 2010) 19 b. Morfologi Shigella flexneri berbentuk batang, ukuran 0,5-0,7 µm x 2-3 µm, bersifat Gram negatif, tidak berflagel, heterotrof (Karsinah dkk., 1994), terdapat tunggal, mungkin berkapsul, dan tidak membentuk spora (Pelczar & Chan, 1981). S. flexneri merupakan anggota serogrup B berdasarkan dinding selnya dan memiliki 8 serotipe berdasarkan antigennya (Warren, 2003). Menurut Karsinah dkk. (1994), S. flexneri memiliki sifat pertumbuhan aerob dan fakultatif anaerob, pH pertumbuhan 6,4-7,8 dan suhu pertumbuhan optimal 37oC. Sifat biokimia yang khas dari S. flexneri adalah negatif pada reaksi fermentasi adonitol, tidak membentuk gas pada fermentasi glukosa, membentuk H2S, negatif terhadap sitrat, DNAse, lisin, fenilalanin, sukrosa, urease, manito, laktosa, manitol, xylose, dan negatif pada tes motilitas. Sifat koloni bakteri kecil, konveks, halus (transparan dengan pinggir-pinggir utuh), bulat, dan mencapai diameter ±2 mm dalam 24 jam. Shigella dapat beradaptasi dalam 0,5% fenol selama 5 jam, dalam 1% fenol 0,5 jam, dalam es selama 2 bulan, dan dalam laut selama 2-5 bulan. Selain itu, Shigella juga toleran terhadap suhu rendah dengan kelembaban cukup serta akan mati pada suhu 55oC (Karsinah dkk., 1994). Penyebaran dan inang Shigella terbatas pada manusia walaupun Shigella dapat pula menginfeksi primate (Pelczar & Chan, 1981). 20 c. Sigelosis Sigelosis merupakan infeksi akut oleh satu dari empat spesies Shigella pada tractus. Spektrum penyakit berkisar dari diare ringan seperti air sampai disentri parah disertai lendir dan sel darah putih (leukosit) yang ditandai dengan nyeri abdomen, kram, tenesmus, demam, dan tanda toksisitassistemik selama beberapa hari sampai dua minggu (Braunwald dkk., 1987; Sunoto dkk., 1990). Menurut Subekti (2001), Shigella flexneri secara umum mengakibatkan sigelosis yang lebih berat, lebih lama dan adanya darah dalam feses dibandingkan spesies Shigella lain. Sigelosis tersebar luas di dunia baik Amerika Serikat, Asia Timur dan Amerika Tengah, sementara di Indonesia penyakit ini berjangkit sebagai endemi (Pelczar & Chan, 1981).Dosis infeksiusnya rendah (10-100 organisme) sehingga penyakit ini mudah menular melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah tertelan, Shigella akan menembus sel epitel, berkembang biak secara intrasel dalam usus halus bagian atas dan menyebar ke lateral sehingga menyebabkan kematian sel, ditandai dengan timbulnya mikroulkus dan peradangan super superfisialis. Banyak faktor yang bertanggung jawab terhadap virulensi Shigella, salah satunya adalah eksotoksin dengan sifat sitotoksik, enterotoksik dan neurotoksik. Peranan aktivitas enterotoksin dalam menyebabkan sekresi, aktivitas sitotoksin dalam 21 menyebabkan kerusakan sel serta aktivitas neurotoksin dalam menimbulkan manifestasi neurologi sigelosis telah dilaporkan (Braunwald dkk., 1987). Resistensi antibiotikapada infeksi Shigellatelah terjadi di beberapa negara. Resistensi terjadi akibat kekebalaan plasmid Shigella yang sebagian diduga berhubungan dengan penggunaan antibiotika berlebih seperti sulfonamide, streptomisin, tetrasiklin, ampisilin, kloramfenikol, dan bahkan trimetropim-sulfametoksasol (Sunoto dkk., 1990). Jamal dkk. (2010), melaporkan bahwa Shigella spp.menunjukkan resistensi cukup tinggi terhadap antibiotika lini pertama tetapi masih susceptible terhadap golongan carbapenems, cephalosporins, fluorokuinolon, dan tigesiklin. 5. Antibakteri Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia. Menurut Gan & Setiabudy (1995), jika mikroba termaksud adalah bakteri maka obat pembasmi tersebut disebut antibakteri. Antibakteri merupakan zat-zat yang dapat membunuh atau menghambat suatu bakteri, tetapi dalam kadar terapi hanya sedikit atau tidak toksis terhadap jaringan. Zat-zat kemoterapi ini mempunyai struktur kimiawi beraneka ragam. Gupte (1990), membagi antibakteri dalam dua golongan besar: a. Senyawaan relatif sederhana diperoleh dari sintesis di laboratorium. b. Antibiotika, merupakan zat-zat dibuat oleh organisme hidup dan aktif terhadap organisme hidup lainnya. Sebagian besar dibuat oleh actinomycetes 22 tanah, tetapi menurut Gan & Setiabudy (1995), antimikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamide dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai antibiotika dalam praktik sehari-hari. Gupte (1990) menambahkan pembagian zat-zat antibakteri berdasarkan jenis daya kerjanya, yaitu: a. Obat-obat bakteriostatik, yaitu obat-obatan dalam konsentrasi yang dapat diterima oleh tubuh, hanya menghambat pertumbuhan bakteri b. Obat-obatan bakterisidal, yaitu obat-obatan dapat membunuh bakteri karena daya kerjanya cepat dan mematikan akan tetapi antibakteri tertentu aktivitanya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisidal bila kadarnya ditingkatkan melebihi KHM (Gan & Setiabudy, 1995). Menurut Chatim &Suharto (1994), senyawa antibakteri idealnya memiliki sifat menghambat atau membunuh patogen spesifik tanpa merusak inang, bakterisidal dan bukan bakteriostatik, tidak menyebabkan resistensi pada bakteri atau berkembangnya bentuk-bentuk resisten parasit, berspektrum luas, tidak alergenik atau menimbulkan efek samping pada inang bila dipergunakan dalam jangka waktu lama, tidak menghilangkan flora normal pada inang, dapat diberikan melalui mulut tanpa diinaktifkan oleh asam lambung atau melalui suntikan (parenteral) tanpa terjadi pengikatan dengan protein darah, larut di dalam air (zat alir tubuh) serta stabil, bactericidal level di dalam tubuh cepat dicapai serta bertahan untuk waktu lama. Oleh karena itu, dalam penggunaannya 23 dibutuhkan kajian mengenai aspek-aspek baik dari antibakteri terpilih maupun bakteri sasaran (Pelczar & Chan, 1981). 6. Uji antibakteri Hal-hal terkait uji antibakteri antara lain meliputi sterilisasi, teknik aseptis, media kultur, dan metode uji antibakteri itu sendiri. a. Sterilisasi dan teknik aseptis Sterilisasi berarti membunuh atau menjauhkan bentuk hidup mikroorganisme pada bahan, sediaan dan barang. Bahan sediaan atau barang dinyatakan steril jika telah bebas dari bentuk hidup mikroorganisme dan dibuktikan melalui pengujian sterilitas dalam kondisi pembiakan tertentu. Sterilisasi penting dilakukan untuk meminimalkan kontaminasi pada hasil uji antibakteri. Hal ini sama pentingnya dengan melakukan uji secara aseptis, yaitu mencegah pertumbuhan atau aktivitas mikroorganisme baik dengan cara menghambat atau membunuh sebagai upaya kompleks untuk mencegah masuknya bakteri selama proses pengujian (Voight, 1984). b. Media kultur Media kultur adalah bahan nutrisi untuk pertumbuhan mikroorganisme di skala laboratorium. Pengetahuan tentang habitat normal mikroorganisme sangat membantu dalam pemilihan media yang cocok untuk pertumbuhan mikrorganisme di laboratorium. Media dikelompokkan menjadi dua macam berdasarkan konsistensinya, yaitu media cair dan media padat. Media cair dengan ekstrak kompleks material biologis disebut rich media atau broth, 24 sedangkan media padat adalah media cair yang telah ditambahkan bahan pembeku (solidifying agent), misalnya agar. Agar sering digunakan sebagai bahan pembeku dan cukup ideal karena tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme (Pratiwi, 2008). c. Metode uji antibakteri Beberapa metode uji antibakteri antara lain: 1) Turbidimetri Pengamatan aktivitas antimikroba pada metode ini didasarkan atas kekeruhan di dalam media perbenihan. Pertumbuhan bakteri juga dapat ditentukan dari perubahan pada sebelum dan sesudah inkubasi yang dilakukan dengan mengukur serapannya secara spektrofotometri. Adanya pertumbuhan bakteri ditandai dengan peningkatan jumlah sel bakteri yang mengakibatkan meningkatnya kekeruhan. Kekeruhan umumnya berbanding lurus dengan serapannya sehingga semakin banyak jumlah sel, maka akan terlihat semakin keruh dan serapannya akan semakin besar (Amsterdam, 2005). 2) Difusi Metode difusi terdiri atas berbagai macam, salah satunya adalah disc diffusion (tes Kirby & Bauer). Disc diffusion termasuk paling mudah dilakukan untuk menentukan aktivitas agen antibakteri dengan pinsip kertas cakram berisi agen antibakteri diletakkan pada media padat yang telah ditanami mikroorganisme dan akan berdifusi pada media 25 padattersebut. Area jernih pada permukaan media padat di sekitar kertas cakram mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan bakteri oleh agen antibakteri (Pratiwi, 2008). Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik, kimia dan faktor antara obat dan organisme, misalnya sifat media, kemampuan difusi, ukuran molekular, dan stabilitas obat. Meskipun demikian, standardisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan untuk melakukan ujidengan baik. Daerah hambatan sekitar kertas cakram berisi sejumlah tertentu antibakteri belum tentu mencerminkan kepekaan pada obat dengan konsentrasi sama per-milimeter media lain, darah atau urin (Jawetz dkk., 2001). 3) Dilusi Menurut Pratiwi (2008), metode dilusi dibedakan menjadi dua, yaitu dilusi cair (broth dilution) dan dilusi padat (solid dilution). Metode dilusi cair digunakan untuk mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration) atau KBM (Kadar Bunuh Minimum). Caranya adalah dengan membuat seri pengenceran agen antibakteri pada media cair dan ditambahkan bakteri uji. Larutan uji agen antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih secara visual tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media padat tanpa penambahan bakteri uji ataupun agen antibakteri dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair 26 dengan konsenstrasi agen bakteri yang tidak menunjukkan terbentuknya koloni bakteri pada kultur ulang media padat setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008). 4) Bioautografi Bioautografi adalah suatu metode untuk menentukan suatu senyawa antibakteri yang belum teridentifikasi dengan cara melokalisir aktivitas antibakteri tersebut pada suatu kromatogram baik senyawa aktif tersebut terdapat dalam bentuk senyawa kompleks maupun hasil isolasi langsung dari komponen aktif. Metode ini memggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Hasil inkubasi pada waktu dan suhu tertentu akan terlihat zona hambatan berupa zona jernih di sekeliling bercak dari KLT yang telah ditempelkan pada media padat. Zona hambatan ditampakkan oleh aktivitas senyawa aktif dalam bahan uji terhadap pertumbuhan bakteri uji (Djide dkk., 2005). Menurut Djide dkk. (2005), bioautografi dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu bioautografi langsung, bioautografi kontak dan bioutografi pencelupan. Bioautografi kontak yaitu senyawa antibakteri dipindahkan dari lempeng KLT ke media agar dengan inokulasibakteri uji peka dan merata untuk melakukan kontak langsung. Metode bioautografi kontak ini didasarkan atas difusi dari senyawa hasil pemisahan menggunakan KLT. Lempeng kromatografi tersebut ditempatkan di atas permukaan media padat. Media telah diinokulasikan dengan 27 mikroorganisme yang peka terhadap senyawa antibakteri uji. Setelah 1530 menit, lempeng kromatografi tersebut dipindahkan, diangkat dari permukaan media dan dinkubasi pada waktu serta suhu tepat sampai bercaksebagai penghambat pertumbuhan mikroorganisme uji tampak pada permukaan membentuk zona jernih dan untuk memperjelasnya digunakan indikator aktivitas dehidrogenase. 7. Golongan senyawa fenolik Senyawa fenolik merupakan senyawa yang memiliki cincin aromatik tersusbstitusi satu atau lebih gugus hidroksi. Senyawa fenolik meliputi fenol bebas dan asam fenolik, fenilpropanoid, flavonoid, antosianin, tannin, dan pigmen kuinon (Harborne, 1984). Secara umum mekanisme toksisitas fenol terhadap mikroorganisme kemungkinan lewat reaksi dengan gugus sulfihidril (-SH) atau interaksi tidak spesifik dengan protein (Mason & Wasserman, 1987). Reaksi ini menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein hingga koagulasi protein sel dan lisis sel membran (Siswandono & Soekardjo, 1995). Fenilpropanoid memiliki cincin aromatik dengan rantai samping tiga karbon. Menurut Harborne (1984), fenilpropanoid secara biosintesis berasal dari asam amino aromatik fenilalanin yang mengandung satu atau lebih residu C6- C3. Keberadaan hidrokarbon siklik pada fenilpropanoid membuatnya cenderung bersifat lipofilik dan dapat masuk dengan cepat ke dalam lipid bilayer membran sel dengan cara memisahkan lipid dari membran sel dan mitokondria bakteri, juga mengubah strukturnya untuk meningkatkan penetrasi dari membran sel (Sikkema, 28 1995). Selain itu, menurut Burt (2004), adanya fenol pada fenilrpopanoid diduga dapat mengikat protein dan mencegah aksi enzim pada bakteri. a b Gambar 4. Struktur dengan kerangka dasar fenilpropanoid Keterangan: a. Eugenol b. Sinamaldehida (Wagner & Bladt, 1996) Golongan senyawa lain yang termasuk dalam senyawa fenolik adalah flavonoid dengan struktur dasar 2-fenil-benzo[α]pyrane atau ini flavan, terdiri dari dua cincin benzena (A dan B) dan dihubungkan melalui suatu cincin pyreneheterosiklik (C) (Cushnie & Lamb, 2005). Menurut Cushnie & Lamb (2005), flavonoid memiliki aktivitas antibakteri dengan mekanisme secara umum, yaitu penghambatan sintesis asam nukleat, fungsi membran sitoplasma dan metabolisme energi. Gambar 5. Struktur dengan kerangka dasar flavonoid (3,3’,4’-trihidroksi flavonol) (Mabry, 1970) 29 8. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode pemisahan fisikokimia dan metode ini sering dilakukan di laboratorium farmasi. Perlengkapan analisis digunakan tidak banyak, waktu relatif singkat, cuplikan sampel sangat sedikit, kebutuhan ruangan minimum, dan penanganannya sederhana. Metode KLT melibatkan dua hal penting, yaitu fase diam dan fase gerak. Lapisan pemisah terdiri atas fase diam dan ditempatkan pada penyangga berupa lempeng gelas, logam, atau lapisan cocok lain. Fase diam umumnya berupa bahan penjerap seperti silika gel, alumina dan selulosa. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan dalam bentuk bercak atau pita pada fase diam. Fase gerak untuk KLT terdiri atas satu atau lebih pelarut, bergerak karena adanya gaya kapiler seperti air, metanol, kloroform, dan toluen. Pemilihan pelarut berdasarkan sifat kelarutannya terhadap senyawa-senyawa pada fase diam. Pemisahan senyawa terjadi melalui perambatan kapiler (pengembangan) setelah lempeng diletakkan dalam bejana tertutup rapat, berisi larutan pengembang (fase gerak) sesuai. Senyawa atau sampel tidak berwarna dideteksi dengan penampak bercak spesifik terhadap golongan senyawa tertentu baik di bawah sinar UV, pereaksi semprot, pemanasan maupun deteksi biologi (Stahl, 1973). Deteksi di bawah sinar UV menunjukkan adanya fluorosensi dengan warna beragam karena terikatnya gugus auksokrom pada gugus kromofor sehingga terjadi pergeseran pita absorbansi menuju ke panjang gelombang lebih besar. Gugus kromofor, yaitu 30 gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar UV dan sinar tampak seperti ikatan rangkap terkonjugasi, sedangkan gugus auksokrom, yaitu gugus fungsional dengan elektron bebas seperti OH, -O, -NH2, dan –OCH3. Gugus fungsional ini dapat mengakibatkan transisi π ο π* (Gandjar & Rohman, 2007). Salah satu luaran dari pemisahan KLT adalah Retardation factor (Rf), yaitu perbandingan antara jarak tempuh larutan sampel dengan jarak tempuh fase gerak. Nilai maksimal Rf adalah 1, berarti larutan sampel bermigrasi dengan kecepatan sama dengan fase gerak, sedangkan nilai minimum Rf adalah 0 berarti larutan sampel tertahan di titik awal pada fase diam (Gandjar & Rohman, 2007). Nilai Rf yang tidak bulat ini (0-1) sering dikonversi menjadi hRf agar mudah terlihat lebih sederhana dalam pembacaannya dengan cara mengalikan nilai Rf dengan 100 (Mulja& Suharman, 1995). Rf = π½ππππ ππππππ‘ π πππ¦ππ€π ππππ π‘πππ‘π ππ€ππ π½ππππ ππππππππππππ (Stahl, 1973) Gerakan bercak dalam KLT dipengaruhi oleh beberapa faktor dan akan mempengaruhi harga Rf-nya. Faktor-faktor tersebut menurut Sastrohamidjojo (1991), antara lain struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penjerap dan derajat aktivitasnya, tebal dan kerataan lapisan penjerap, pelarut dan derajat kemurnian fase ferak, derajat kejenuhan uap dalam bejana elusi, teknik percobaan, jumlah cuplikan dalam totolan, suhu, dan kesetimbangan. 31 F. Landasan Teori Rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) telah lama digunakan di masyarakat untuk membantu pengobatan gangguan saluran cerna seperti diare (Tholkappiyavathi dkk., 2013). Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri patogen, salah satunya Shigella flexneri (Markum dkk., 1991). Ditinjau dari aspek kekerabatan golongan kandungan kimia (kemotaksonomi), rimpang temu putih mengandung golongan senyawa fenolik dan terpenoid (Hegnauer, 1963). Menurut Cowan (1999), golongan senyawa fenolik berperan penting dalam memberikan efek sebagai antibakteri suatu tanaman, sedangkan golongan senyawa terpenoid berpotensi meningkatkan aktivitas antibakteri tersebut. Hal ini sesuai hasil penelitian Nambisan dkk. (2012) bahwa sifat antibakteri rimpang temu putih dikaitkan dengan tingginya keberadaan senyawa fenolik. Hal serupa juga dilaporkan oleh Kim dkk. (2011), bahwa aktivitas antibakteri ekstrak etanolik rimpang temu putih dikarenakan adanya golongan senyawa fenolik flavonoid, flavonol, dan terpenoid. Golongan senyawa fenolik memiliki peran penting dalam aktivitas suatu agen antibakteri dari tanaman. Hal ini ditunjukkanoleh golongan senyawa fenolik pada Lawsonia inermis terhadap Staphylococcus aureus (Cowan, 1999) melalui penghambatan enzim oleh senyawa teroksidasi, melalui reaksi dengan kelompok sulfhidril atau melalui interaksi yang lebih spesifik dengan protein (Mason & Wasserman, 1987), sementara itu kemampuan golongan flavonoid untuk membentuk kompleks dengan protein terlarut ekstraseluler dan kompleks dengan dinding sel 32 bakteri (Tsuchiya dkk., 1996) dilaporkan menjadi mekanisme antibakteri flavonoid dalam Camellia sinensis terhadap Shigella (Vijaya dkk., 1995), Vibrio (Toda dkk., 1992), dan Streptococcus mutans (Ooshima dkk., 1993). Golongan senyawa fenilpropanoid dalam Clove syzygium juga dilaporkan bertanggung jawab sebagai agen antibakteri melalui mekanisme gangguan membrane dibantu dengan keberadaan golongan senyawa terpenoid (Cowan, 1999). Pemilihan etanol 70% pada proses penyarian rimpang temu putih didasarkan pada kelarutan golongan senyawa fenolik dan golongan senyawa terpenoidyang diduga bertanggung jawab terhadap aktivitas antibakterinya (Anonim, 1986). Rimpang temu putih sendiri telah banyak diteliti aktivitas antibakterinya terhadap spektrum bakteri luas, begitu juga dengan ekstrak etanoliknya. Ekstrak etanolik rimpang temu putih memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri patogen penyebab diare yaitu, Enterococcus faecalis (ATCC 19433), Staphylococcus aureus (ATCC 6538), Escherichia coli (ATCC 8739), dan Bacillus cereus (Bugno dkk., 2007; Israr dkk., 2012; Parhusip dkk., 2009). Selain itu, rimpang temu putih juga telah diteliti aktivitas antibakterinya terhadap spesies dari genus Shigella, yaitu Shigella boydii, Shigella dysenteriae dan Shigella sonei dengan proses penyarian menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat dan metanol (Shahriar, 2010). Oleh karena itu dapat diduga bahwa ekstrak etanolik rimpang temu putih yang mengandung golongan senyawa fenolik memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri patogen penyebab diare lain, yaitu Shigella flexneri ATCC 12022. 33 G. Hipotesis Ekstrak etanolik rimpang temu putih atau Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe yang mengandung golongan senyawa fenolik memiliki aktivitas antibakteri terhadap Shigella flexneri ATCC 12022.