KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Eksistensi Gamelan Selonding di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali” untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana. Skripsi ini berangkat dari rasa ingin tahu penulis terhadap gamelan selonding yang boleh dikata sangat jarang dibahas dalam literatur kesenian Bali. Beberapa literatur hanya menyebut nama selonding, tanpa penjelasan yang lebih lanjut. Padahal selonding merupakan salah satu jenis kesenian Bali yang memiliki nilai sejarah yang panjang dan penting, tercermin dari beberapa prasasti pada masa Kerajaan Bali Kuna yang menyebutkan istilah selonding. Oleh karena masih jarangnya pembahasan mengenai selonding itulah, pada akhirnya penulis memutuskan untuk menjadikannya bahan kajian dalam skripsi ini. Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, atas jasa-jasanya untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana. 2. Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M. A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. 3. Drs. I Nyoman Suarsana, M.Si. selaku Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II . 4. Prof. Dr. A.A. Ngr. Anom Kumbara, M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi I. 5. Dr. Dra. Ni Made Wiasti, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik. 6. Drs. I Ketut Kaler, M.Hum., Drs. I Made Pantja, M.A., dan Dr. Drs. I Ketut Darmana, M.Hum. selaku dosen penguji skripsi. 7. Seluruh dosen Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pengetahuan yang telah diberikan selama ini. vii 8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai pelayanan yang telah diberikan. 9. Keluarga yang selalu memberikan dukungan dan fasilitas. 10. Bapak Komang Suarda, Kepala Desa Bungaya beserta keluarga yang bersedia memberi tempat tinggal kepada penulis selama penelitian. 11. Masyarakat Desa Bungaya, terima kasih atas informasi yang diberikan serta kerja samanya. 12. Sri Mpu Darmapala Vajravani dan Yayasan Selonding Bali atas kesediaannya menjadi informan di sela-sela kesibukan. 13. Bapak Vaughan Hatch, Ibu Evi Hatch, dan Sanggar Mekar Bhuana yang juga bersedia menjadi informan di sela-sela kesibukan. 14. Rekan-rekan seperjuangan di Prodi Antropologi angkatan 2012: Ulik, Emonk, Yanti, Arik, Hartawan, Nanda, Pandu, Caca, Yosua, Mustika, Angel, Fansi, Antara, Nia. 15. Kakak dan adik tingkat di Prodi Antropologi. 16. Teman-teman di Komunitas Sahaja yang selalu mendukung. 17. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberi semangat dan doa dalam penulisan skripsi ini dari awal sampai akhir. Penulisan skripsi ini tentu belum bersifat sempurna dan tentunya masih terdapat beberapa kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf dan dengan senang hati menerima masukan dari pembaca. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai mestinya. Denpasar, 2016 Penulis viii ABSTRAK Gamelan menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah upacara masyarakat Hindu Bali. Hal ini tidak lepas dari kehadiran gamelan sebagai bagian dari panca nada. Salah satu jenis gamelan Bali yang digunakan dalam kegiatan upacara keagamaan adalah gamelan selonding. Di beberapa wilayah, gamelan ini sangat disakralkan. Salah satu desa yang mengeramatkan gamelan selonding adalah Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Penelitian ini akan mengungkap sejarah perkembangan, fungsi, serta makna gamelan selonding yang ada di Desa Bungaya. Penelitian ini menggunakan teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh Robert K Merton dan interpretatif simbolik oleh Clifford Geertz. Teori fungsionalisme digunakan untuk mengungkap fungsi manifes dan fungsi laten gamelan selonding, sedangkan teori interpretatif simbolik digunakan untuk mengungkap makna-makna dalam gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode etnografi dengan teknik observasi partisipasi, wawancara mendalam, serta kepustakaan. Gamelan selonding Desa Bungaya terdiri dari sepuluh (10) komposisi. Selonding Bungaya merupakan salah satu perangkat selonding terbesar di Bali yaitu 92 buah bilah dengan ukuran bervariasi. Gamelan selonding Bungaya sangat jarang dibunyikan, hanya pada saat berlangsungnya usaba gede (usaba dangsil) yang dilaksanakan sepuluh tahun sekali. Akan tetapi, sejak tahun 1990-an, gamelan ini juga dibunyikan pada saat berlangsungnya upacara maligia di Puri Karangasem. Adanya perkembangan teknologi menyebabkan beberapa perubahan pandangan masyarakat Bungaya tentang gamelan selonding. Dulu, saking disakralkannya, masyarakat tidak diperbolehkan untuk merekam gamelan selonding dalam bentuk apa pun. Beberapa penglingsir masih mempertahankan aturan tersebut, namun di kalangan generasi muda saat ini tidak lagi menganggap upaya dokumentasi sebagai sesuatu yang salah, justru berdampak positif sebagai upaya pelestarian. Meskipun demikian, masyarakat Bungaya sepakat bahwa gamelan selonding yang ada di desa mereka adalah sakral, suci, dan keramat. Kata kunci: gamelan selonding, Ida Bhatara Bagus Selonding, sakral ix Abstract Gamelan becomes one important part in a ceremony of Balinese Hindu community. This is not out of the presence of gamelan as part of the "Panca Nada". One type of Balinese gamelan used in a religious ceremony is gamelan Selonding. In some regions, it is very sacred gamelan, one of them is Bungaya Village, District Bebandem, Karangasem, Bali. This study will reveal the history, function, and meaning of gamelan Selonding in the Bungaya village. This study uses the functionalism theory that proposed by Robert K Merton and theory of interpretative symbolic by Clifford Geertz. The functionalism theory used to uncover the manifest function and latent functions of gamelan Selonding, while the interpretive theory used to reveal the symbolic meanings in the gamelan Selonding for Bungaya Village community. The method used is the method of ethnographic techniques participatory observation, interview, and literature. Gamelan Selonding Bungaya village consisting of ten (10) compositions. Selonding Bungaya is one of the largest in Bali Selonding i.e. 92 pieces of blades with varying sizes. Gamelan Selonding Bungaya very rarely sounded, just in the Usaba Gede (Usaba dangsil) which held ten years. However, since the 1990s, the orchestra is also sounded at the time of the ceremony maligia in Puri Karangasem. Technology development leads to some changes in people's views about the gamelan Selonding Bungaya. In the past, was so sacred and people are not allowed to record gamelan Selonding in any form. Some penglingsir still retain the rule, but among young people today no longer considers the efforts of documentation as something wrong, it had a positive impact on conservation efforts. Nonetheless, the gamelan Selonding Bungaya agreed that in the village they are holy and sacred. Keywords: gamelan Selonding, Ida Bhatara Bagus Selonding, sacred x DAFTAR ISI JUDUL PERSYARATAN GELAR PERNYATAAN KEASLIAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR BAGAN DAN GRAFIK GLOSARIUM i ii iii iv v vi vii ix x xi xiii xiv xv xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum 1.3.2 Tujuan Khusus 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Teoritis 1.4.2 Manfaat Praktis 1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Teori Fungsionalisme Struktural 1.5.2 Teori Interpretatif Simbolik 1.6 Konsep 1.6.1 Eksistensi 1.6.2 Gamelan Selonding 1.6.3 Fungsi 1.6.4 Makna 1.7 Model Penelitian 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Lokasi Penelitian 1.8.2 Jenis dan Sumber Data 1.8.3 Teknik Penentuan Informan 1.8.4 Instrumen Penelitian 1.8.5 Teknik Pengumpulan Data 1.8.6 Analisis Data 1 1 7 7 7 8 8 8 9 9 10 14 18 18 18 20 21 22 25 25 26 26 27 28 30 BAB II GAMBARAN UMUM DESA BUNGAYA 2.1 Lokasi dan Lingkungan Alam 2.2 Kependudukan 2.3 Sejarah Desa 32 32 36 42 xi 2.4 2.5 2.6 Kesenian Organisasi Sosial Religi 46 52 60 BAB III EKSISTENSI GAMELAN SELONDING DI DESA BUNGAYA 3.1 Asal-Usul Penggunaan Gamelan Selonding 3.2 Gamelan Selonding di Desa Bungaya 3.3 Gamelan Selonding Bungaya di Tengah Modernisasi 67 67 77 89 BAB IV FUNGSI GAMELAN SELONDING 96 4.1 Gamelan Selonding sebagai Sarana Upacara 96 4.2 Gamelan Selonding sebagai Simbol Tuhan (Pratima) 108 4.3 Gamelan Selonding Bungaya Persembahan dalam Upacara Maligia Keluarga Puri Karangasem 116 BAB V MAKNA GAMELAN SELONDING DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA BUNGAYA 5.1 Makna Religius 5.2 Makna Sosial Budaya 5.2.1 Gamelan Selonding sebagai Media Komunikasi 5.2.2 Gamelan Selonding sebagai Sarana Persatuan dan Integrasi Sosial 5.3 Makna Pendidikan 5.3.1 Transfer of Knowledge antara Penanga dengan Pragina Selonding 5.3.2 Warisan Pengetahuan dalam Klan Pande Tusan 5.3.3 Gamelan Selonding sebagai Media Pendidikan Karakter 5.4 Makna Estetika 5.5 Makna Identitas 120 120 126 126 128 133 133 135 136 138 141 BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan 6.2 Saran 144 144 146 DAFTAR PUSTAKA 147 LAMPIRAN Lampiran 1 : Peta Provinsi Bali Lampiran 2 : Peta Kabupaten Karangasem Lampiran 3 : Peta Desa Bungaya Lampiran 4 : Pedoman Wawancara Lampiran 5 : Daftar Informan Lampiran 6 : Posisi Instrumen Selonding Bungaya Lampiran 7 : Surat Izin Penelitian 152 153 154 155 156 158 160 161 xii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tata Guna Lahan Desa Bungaya 34 Tabel 2.2 Data Penduduk Tiap-Tiap Banjar Dinas di Desa Bungaya Tahun 2015 37 Tabel 2.3 Data Penduduk Desa Bungaya Menurut Umur Tahun 2015 38 Tabel 2.4 Lima Komoditas Unggulan Desa Bungaya 41 Tabel 3.1 Perbandingan Selonding Bungaya dengan Selonding Tenganan Pegringsingan xiii 83 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Peta Lokasi Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem 33 Gambar 2.2 Busana Adat Truna (kiri) dan Daha (kanan) Desa Bungaya 48 Gambar 2.3 Posisi Masing-Masing Prajuru Desa dalam Balai Agung 59 Gambar 2.4 Pelaksanaan Usaba Dangsil Desa Adat Bungaya 62 Gambar 3.1 Seperangkat Gamelan Selonding di Pura Merajan Selonding, Besakih 68 Gambar 3.2 Bagian Gamelan Selonding Tampak Atas (kiri) dan Tampak Samping (kanan) 69 Gambar 3.3 Lontar Gending Selonding Bungaya 79 Gambar 3.4 Peralatan Pandai Besi yang Dimiliki oleh Pande Tusan 86 Gambar 3.5 Landesan Batu di Pura Puseh 87 Gambar 3.6 Masyarakat Menghaturkan Sesaji di Depan Balai Penyimpanan Bhatara Bagus Selonding pada Hari Purnama Gambar 4.1 Pengarakan Dangsil Saat Usaba Gede 89 99 Gambar 4.2 Ritual Melasti Saat Usaba Gede 104 Gambar 4.3 Gamelan Selonding Dibuyikan saat Usaba Gede 106 Gambar 4.4 Penglingsir Desa (kiri) membagikan Rumput Alang-Alang yang Digunakan Membersihkan Gamelan Selonding Sakral Gambar 5.1 Masyarakat Bungaya Saat Memohon Minyak Wangsuhan 110 122 Gambar 5.2 Kain Putih Dibentangkan sebagai Jalur Pemargi Ida Bhatara Bagus Selonding 124 Gambar 5.3 Para Truna Bertugas Membawa Gamelan Selonding ke Pura Penataran 129 Gambar 5.4 Pragina dan Truna sedang Merangkai Bilah Selonding pada Pelawah 130 xiv DAFTAR BAGAN DAN GRAFIK Bagan Bagan 1.1 Model Penelitian 22 Bagan 2.1 Struktur Desa Adat Bungaya 55 Grafik Grafik 2.1 Persentase Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Desa di Kecamatan Bebandem xv 40 GLOSARIUM anda nama tarian sakral di Desa Bungaya yang ditarikan dengan posisi melingkar. bhatara bagus selonding sebutan bagi selonding sakral di Desa Bungaya. cagak bagian gamelan selonding yang menjadi tumpuan antara bilah satu dengan lainnya agar tidak saling bersentuhan. daha pemudi. Anggota krama adat Desa Bungaya yang terdiri dari perempuan yang belum menikah. de kebayan jabatan dalam struktur adat Desa Adat Bungaya yang merupakan pucuk pimpinan dan pemimpin di setiap upacara adat. de manten mantan De Kebayan Wayan yang saat menjabat menghadapi usaba atau upacara di Pura Dalem. de salah mantan De Kebayan Wayan yang saat menjabat menghadapi usaba atau upacara di Pura Bale Agung. gambang gamelan yang terdiri dari bilah-bilah bambu, dipukul dengan dua buah panggul bercabang seperti bentuk Y. gamelan orkestra yang terdiri dari bermacam-macam instrumen yang terbuat dari batu, kayu, bambu, besi, perunggu, kulit, dawai, dan lain-lain dengan menggunakan laras pelog dan slendro. gending lagu atau nyanyian. kale nama gending selonding Bungaya untuk mengiringi tari anda gede. karawitan xvi musik tradisional Bali; dapat berupa suara instrumental (gamelan) atau berupa suara vokal (tembang atau sekar). krama desa anggota dari sebuah desa. Masyarakat desa. megat anda sanksi yang dikenakan bagi orang yang keluar-masuk dan merusak keutuhan tari anda. megat pemargi sanksi yang dikenakan bagi orang yang dengan sengaja ataupun tidak melintas di hadapan Bhatara Bagus Selonding saat beliau melewati jalan desa. palemahan desa lingkungan desa. panca nada lima macam bunyi yang menjadi sarana dalam persembahyangan umat Hindu, yaitu kulkul (kentongan), kidung (nyanyian suci), gamelan, genta (lonceng Pendeta), dan mantra (doa). pande tusan klan pande besi yang ditugaskan untuk memperbaiki gamelan selonding Bungaya bila terjadi kerusakan. panggul sejenis palu kayu yang digunakan untuk memukul bilah-bilah gamelan. pelawah bagian dasar dari sebuah gamelan selonding, berbentuk persegi panjang atau bisa juga trapesium. Pelawah terbuat dari bahan kayu. Fungsinya adalah sebagai resonator untuk membuat suara gamelan terdengar lebih jelas dan keras. pelinggih benda atau tempat yang diyakini sebagai stana dari dewa atau bhatara. pelog laras gamelan Bali (dan Jawa) di mana antara nada satu dengan nada lain memiliki jarak (interval) yang tidak sama. penanga orang yang bertugas sebagai pemangku Bhatara Bagus Selonding. Ia juga merupakan satu-satunya orang yang boleh memukul gamelan selonding sakral (unit penanga) yang merupakan pelinggih dari Ida Bhatara Bagus Selonding. pesaluk upacara serah-terima jabatan dalam organisasi adat Desa Adat Bungaya. xvii pragina selonding orang yang bertugas menabuh gamelan selonding di Desa Bungaya. prajuru desa organisasi kepemimpinan suatu desa adat. prakempa nama lontar yang memuat istilah-istilah dalam gamelan. pratima benda yang dijadikan simbol perwujudan jasmani para dewa. profan sesuatu yang bernilai biasa dan berhubungan dengan bidang kehidupan sehari-hari. sakral sesuatu yang bernilai sangat suci, transenden, dianggap memiliki kekuatan magis yang maha-dahsyat. saput karah nama kain tenun khas Desa Bungaya yang didominasi oleh warna merah dan kuning. selendro laras gamelan Bali (dan Jawa) di mana antara nada satu dengan nada lain memiliki jarak (interval) yang sama. selonding jenis gamelan yang bilahnya terbuat dari besi atau tembaga. Di beberapa tempat di Bali, selonding disakralkan. truna pemuda. Anggota krama adat Desa Bungaya yang terdiri dari laki-laki yang belum menikah. usaba sidang atau dalam hal ini festival dalam hal ini para Dewa dan manifestasinya dimohon untuk berstana di Bale Agung atau tempat suci lainnya dan umat melaksanakan persembahyangan pada tempat tersebut. xviii usaba gede disebut juga usaba dangsil atau usaba aya. Merupakan upacara terbesar di Desa Bungaya yang dilaksanakan paling cepat sepuluh (10) tahun sekali. Usaba ini juga melibatkan 13 desa yang bertetangga dengan Desa Bungaya. winten (mawinten) upacara penyucian diri xix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang memiliki pikiran dan perasaan, oleh karenanya ia dapat mencipta, merasa, dan menghargai keindahan. Dilihat dari sudut pandang antropologis, sifat manusia untuk mencari dan mengagumi keindahan adalah hal yang universal. Kata ‘indah’ bagi setiap orang memiliki standar yang berbeda karena terdapat unsur subjektivitas pada diri setiap individu dalam membuat suatu penilaian. Hal ini menimbulkan munculnya bentuk-bentuk keindahan yang beragam. Harsojo (1977:231) menyatakan bahwa bentuk keindahan yang sangat beraneka ragam itu timbul dari permainan imajinasi yang kreatif dan memberikan kepuasan batin yang sedalam-dalamnya bagi manusia. Seni merupakan ungkapan dari rasa keindahan. Ungkapan rasa tersebut kemudian dituangkan dalam media-media berupa seni rupa, seni musik, seni drama, atau seni sastra. Haviland (1988) mengungkapkan bahwa seni merupakan penggunaan kreatif imajinasi manusia untuk menerangkan, memahami, dan menikmati kehidupan. Sementara itu Soeriadiredja (2003) mengartikan kesenian sebagai suatu bentuk ekspresi, sebagai perwujudan atau simbolisasi dari perasaan dan pikiran manusia, tercakup pula pandangan-pandangan atau nilai-nilai yang dianutnya. Pengertian kesenian yang diungkapkan oleh dua antropolog ini pada dasarnya sepakat akan satu hal, yaitu seni merupakan media untuk mengomunikasikan perasaan. 1 2 Ilmu antropologi mengenal kesenian sebagai salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal. Oleh karenanya maka tidak ada kebudayaan manusia yang tidak memiliki suatu bentuk kesenian, meskipun kesenian itu boleh jadi melulu diciptakan untuk keperluan praktis yang bermanfaat (Haviland, 1988). Dalam Harsojo (1977:233) dikemukakan bahwa kesenian merupakan bagian yang vital dari kebudayaan. Kesenian merupakan faktor yang amat esensial untuk integrasi, dan kreativitas kultural sosial maupun individual. Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang terkenal akan ragam keseniannya. Salah satu jenis kesenian Bali yang berkembang adalah seni musik. Musik tradisional Bali dinamakan karawitan (Bandem, 2013). Istilah karawitan berasal dari kata ‘rawit’ yang artinya halus (indah), kemudian mendapat awalan ka- dan akhiran -an. Karawitan ada yang berupa suara instrumental (gamelan), ada pula yang berupa suara vokal (tembang atau sekar). Gamelan adalah sebuah orkestra yang terdiri dari bermacam-macam instrumen yang terbuat dari batu, kayu, bambu, besi, perunggu, kulit, dawai, dan lain-lain dengan menggunakan laras pelog dan slendro. Istilah gamelan dipakai juga untuk menyebutkan musik (lagu-lagu) yang dihasilkan oleh permainan instrumen di atas. Dewasa ini ditemukan lebih dari tiga puluh (30) jenis perangkat gamelan Bali yang tersebar di seluruh kabupaten se-Bali dan masing-masing perangkat itu memiliki fungsi, instrumentasi, orkestrasi, dan teknik permainan yang berbeda-beda (Bandem, 2013:1). Berkembangnya seni gamelan dalam kehidupan masyarakat Bali utamanya disebabkan oleh terjadinya persatuan antara jiwa seni dengan jiwa religi. Sumaryo (dalam Arsini, 1994: 16-17) mengungkapkan bahwa munculnya gamelan bermula 3 dari ritual dalam sebuah sistem kepercayaan yang bersifat magis. Manusia primitif yang mempunyai kepercayaan bersifat magis berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu dari makhluk yang didewa-dewakan dengan jalan membunyikan gamelan tersebut. Hingga saat ini, gamelan masih menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah upacara masyarakat Hindu Bali. Hal ini tidak lepas dari kehadiran gamelan sebagai bagian dari panca nada, yaitu lima macam bunyi yang menjadi sarana dalam persembahyangan umat Hindu. Bagian-bagian dari panca nada adalah kulkul (kentongan), kidung (nyanyian suci), gamelan, genta (lonceng Pendeta), dan mantra (doa). I Nyoman Rembang (dalam Bandem, 2013) mengklasifikasikan gamelan Bali dalam tiga golongan menurut historisnya yaitu Gamelan Golongan Tua, Golongan Madya, dan Golongan Baru. Seiring perkembangan jaman, maka anggota klasifikasi ini ditambahkan satu jenis lagi yang disebut sebagai Gamelan Kontemporer. Selonding termasuk dalam gamelan golongan tua. Seorang profesor etnomusikologi, Michael Tenzer (1991) menyebutkan bahwa gamelan selonding merupakan salah satu jenis gamelan yang paling tua di Pulau Bali, mendahului gamelan gambuh. Selonding diperkirakan telah ada pada masa kebudayaan PraMajapahit. Tidak semua desa di Bali memiliki instrumen selonding. Di masa awal perkembangan gamelan ini, hanya beberapa desa yang termasuk golongan desa kuno yang memiliki instrumen ini. Desa-desa tersebut tersebar di Kabupaten Karangasem, Bangli, Singaraja, Gianyar, dan Tabanan. Kabupaten Karangasem merupakan kabupaten yang paling banyak ditemukan instrumen selonding, yaitu terdapat di Desa Asak, Bungaya, Bugbug, Ngis, Selat, Kayubihi, Tenganan, dan 4 beberapa desa lainnya. Saat ini, gamelan selonding telah tersebar di sembilan kabupaten di Bali. Phillip McKean, seorang antropolog, pada tahun 1973 mengemukakan bahwa kebudayaan Bali dalam keseluruhannya menggambarkan ciri-ciri yang dapat disifatkan sebagai tradisi kecil, tradisi besar, dan tradisi modern. Unsurunsur tradisi kecil merupakan unsur-unsur kebudayaan Bali sebelum tersentuh pengaruh Hindu Majapahit. Unsur-unsur tersebut kini masih tampak bertahan mewarnai kehidupan masyarakat di beberapa desa kuna di Bali pegunungan (Bali Aga), seperti desa Sembiran, Pedawa, Tigawasa, Sidatapa, Tenganan, dan Trunyan. Tradisi besar mencakup unsur-unsur kehidupan yang berkembang berkenaan dengan kedatangan pengaruh Hindu dari Majapahit ke Bali. Tradisi modern mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman penjajahan dan kemerdekaan (dalam Pujaastawa, 2014). Gamelan selonding merupakan bagian dari tradisi kecil. Jika dilihat, maka aspek-aspek kebudayaan yang termasuk dalam tradisi kecil ini saat ini terdesak oleh keberadaan kebudayaan tradisi besar dan tradisi modern. Kendati demikian, bukan berarti tradisi kecil tersebut ditinggalkan oleh masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa di era globalisasi seperti saat ini, gamelan selonding masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat, utamanya di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Kebertahanan gamelan selonding dalam rentangan abad tentunya berkaitan dengan fungsinya yang sentral dalam kegiatan ritual agama, utamanya bagi masyarakat Bali Kuno. Keberadaan gamelan selonding sangat disakralkan. Hampir di setiap desa kuno di Bali memiliki tempat pemujaan tersendiri bagi Bathara Bagus Selonding 5 (Dewa Gamelan Selonding) yang disebut Pura Merajan Selonding. Tempat pemujaan ini juga terdapat di pura-pura besar seperti Pura Besakih dan Pura Batur. Sifat sakral ini membuat masyarakat memberikan perlakuan khusus terhadap gamelan selonding. Pada masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Karangasem, tidak sembarang orang yang boleh memainkan instrumen selonding ini. Selonding hanya boleh dimainkan oleh orang yang berstatus sebagai penanga (pemangku khusus gamelan selonding) dan pragina selonding. Kesakralan gamelan selonding membuat masyarakat pendukungnya memberikan perlakuan khusus terhadapnya. Di Desa Bungaya, pada saat gamelan selonding tersebut dibawa melewati jalan desa, masyarakat harus berjongkok di pinggir jalan agar tidak menghalangi (lihat Schaareman, 1991). Kendati disakralkan, saat ini ada pula jenis gamelan selonding yang digunakan untuk kepentingan profan (dalam arti sebagai bagian dalam aktivitas penciptaan musik kreasi baru bahkan kontemporer). Gamelan selonding yang digunakan untuk pertunjukan berbeda dengan peralatan gamelan yang digunakan untuk kepentingan ritual. Di Tenganan Pegringsingan misalnya, memiliki jenis gamelan selonding yang khusus digunakan untuk kepentingan pertunjukan kesenian. Beberapa sanggar karawitan juga mengajarkan selonding pada anak didiknya dengan tujuan pelestarian budaya. Desa Bungaya merupakan salah satu desa yang sangat mensakralkan selonding, bahkan Pande Wayan Tusan (2002) menyebutkan bahwa krama (masyarakat adat) Desa Bungaya tidak berani secara vulgar menyebut “selonding” demi penghormatan, mereka hanya akan menyebutnya “Bhatara Bagus” saja. Di tengah pergulatan dengan pandangan yang mengijinkan selonding sebagai seni 6 profan, masyarakat Desa Bungaya memilih untuk tetap menjaga kesakralan selonding. Hal ini disebabkan oleh masyarakat Desa Bungaya memiliki cara pandang tersendiri dalam memaknai gamelan selonding. Pada bagian awal telah disebutkan bahwa kesenian merupakan media komunikasi. Tidak terkecuali gamelan selonding, maka setiap kesenian sarat akan simbol-simbol komunikasi. Setiap simbol mengandung makna. Makna inilah yang menyebabkan masyarakat memiliki cara tersendiri dalam memperlakukan sebuah objek. Kajian mengenai gamelan selonding saat ini masih terhitung sedikit dibandingkan dengan kajian mengenai gamelan gambang (yang sama-sama merupakan gamelan tua atau wayah) ataupun seni karawitan lainnya. Beberapa pakar seni karawitan dan etnomusikolog tercatat pernah melakukan penelitian terhadap gamelan selonding. Danker Schaareman (1991) misalnya, seorang etnomusikolog asal Jerman yang pernah meneliti mengenai fungsi gamelan selonding dalam upacara Ngusaba Sumbu yang terdapat di Desa Tatulingga, Karangasem. Tahun 2002, seorang seniman bernama Pande Wayan Tusan menerbitkan buku yang berjudul Selonding: Gamelan Bali Kuna Abad X-XIV. Buku tersebut merupakan suatu kajian terhadap gamelan selonding di beberapa Desa Bali Aga (termasuk salah satunya Desa Bungaya), dilihat dari data prasasti, karya sastra, dan artefak. Selain itu tercatat juga nama-nama seperti Ernst Schlager, Theo Meier, Hans Oesch, Colin Mc Phee, I Made Bandem, Urs Ramseyer, dan Kiyoshi Nakamura sebagai peneliti yang pernah menulis mengenai gamelan selonding (lihat Tusan, 2002: 2-5). Kendati demikian, kajian yang khusus membahas mengenai eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya belum pernah penulis temukan. 7 1.2 Rumusan Masalah Paparan di atas pada intinya memberikan gambaran mengenai gamelan selonding yang hingga saat ini masih eksis di tengah masyarakat. Gamelan ini memiliki nilai sakral, terutama bagi masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Hal ini disebabkan oleh masyarakat Desa Bungaya memiliki cara pandang dalam memfungsikan dan memaknai gamelan selonding. Berdasarkan uraian tersebut, maka masalah penelitian yang hendak dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1) Bagaimanakah sejarah perkembangan gamelan selonding di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem? 2) Mengapa gamelan selonding di Desa Bungaya masih eksis hingga saat ini? 3) Apakah makna yang terkandung dalam gamelan selonding di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Mengkaji eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. 2) Menambah khazanah keilmuan di bidang kebudayaan, utamanya kebudayaan yang berkembang di Kabupaten Karangasem, Bali. 8 3) Sebagai bahan informasi mengenai budaya dan kesenian yang terdapat di daerah Kabupaten Karangasem, Bali, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan pendidikan, promosi pariwisata, dan pembangunan di berbagai bidang. 1.3.2 Tujuan Khusus Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Mengetahui dan memahami sejarah perkembangan gamelan selonding di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. 2) Mengetahui dan memahami alasan gamelan selonding di Desa Bungaya masih eksis hingga saat ini. 3) Mengetahui dan memahami makna yang terkandung dalam gamelan selonding di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan wawasan keilmuan. 2) Hasil akhir tulisan ini juga diharapkan memiliki manfaat dalam memperkaya perbendaharaan pustaka yang telah ada dan berfungsi 9 sebagai sumber informasi, khususnya dalam rangka menunjang penelitian dengan tema terkait kesenian Bali, utamanya gamelan selonding. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan inventarisasi mengenai salah satu bentuk kesenian yang ada di Bali. 2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif dalam pemecahanan masalah pembangunan, khususnya di bidang seni karawitan. 1.5 Kerangka Teori Penelitian ini menggunakan beberapa teori untuk mengkaji berbagai fenomena terkait eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya. Ada tiga pertanyaan penelitian yang harus dijawab dalam penelitian ini, yaitu terkait sejarah perkembangan, fungsi, serta makna gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya. Mengacu pertanyaan penelitian tersebut, maka teori fungsionalisme struktural yang dicetuskan oleh Robert K Merton digunakan sebagai teori utama untuk mengkaji permasalahan secara umum. Selain itu, untuk mengungkap makna gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya, digunakan teori interpretatif simbolik dari Clifford Geertz. 10 1.5.1 Teori Fungsionalisme Struktural Teori fungsionalisme struktural merupakan salah satu teori yang digunakan oleh antropolog dalam mengkaji unsur-unsur kebudayaan. Penganut fungsionalisme struktural menyatakan bahwa kebudayaan merupakan proses keterkaitan pengaruh satu subsistem atas subsistem lainnya. Sumbangan terpenting teori ini dalam studi kebudayaan adalah pada temuan konseptualnya mengenai peranan kebudayaan di dalam kehidupan manusia, baik masyarakat tradisional maupun modern. Teori fungsionalisme struktural bukan hal yang baru lagi di dalam dunia sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara meluas dan merata. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain (Ritzer, 2015). Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Robert K. Merton merupakan salah satu tokoh pendukung teori fungsional-struktural. Gaya teori Merton memiliki kemiripan dengan teori Talcott Parsons yang bersifat abstrak dan agak muluk (grandiose). Hal ini disebabkan konteks sosial yang terjadi pada masa kedua tokoh tersebut bisa dikatakan sebanding. Parsons juga merupakan guru dari Merton. Merton (dalam Ritzer, 2015) memulai analisa fungsionalnya dengan menunjukkan beberapa hal yang tidak tepat serta beberapa asumsi atau postulat 11 kabur yang terkandung dalam teori fungsionalisme. Postulat tersebut kemudian disempurnakannya satu demi satu. Postulat yang dimaksud adalah sebagai berikut. Postulat pertama terkait kesatuan fungsional masyarakat. Dikatakan bahwa seluruh sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkatan yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan. Contoh beberapa kebiasaan masyarakat fungsional bagi suatu kelompok, tapi disfungsional bagi kelompok lain. Atas postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain. Postulat kedua mengenai fungsionalisme universal, dikatakan bahwa seluruh bentuk sistem-sistem sosial dan budaya yang sudah baku memiliki fungsifungsi positif. Merton memperkenalkan konsep disfungsi dan fungsi positif mengenai sistem sosial. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya di samping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan ke dalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian, dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan. Postulat ketiga dikatakan bahwa dalam setiap peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materiil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Ini disebut postulat indispensability. Menurut Merton, postulat yang ketiga ini masih kabur (dalam artian tidak memiliki kejelasan), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan. Di dalam menyatakan keberatannya terhadap ketiga postulat itu, 12 Merton menyatakan bahwa (1) kita tidak mungkin mengharapkan terjadinya integrasi masyarakat yang benar-benar tuntas; (2) kita harus mengakui baik disfungsi maupun konsekuensi fungsional yang positif dari suatu elemen kultural; (3) kemungkinan alternatif fungsional harus diperhitungkan dalam setiap analisa fungsional. Dalam membangun teorinya, Merton tertarik terhadap keadaan struktur sosial dan fungsi sosial sebagaimana organisme kehidupan, yang dia amati di dalam kehidupan sosial di sekelilingnya (Wirawan, 2012: 29). Robert K. Merton berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti: peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan sebagainya. Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi, disfungsi, fungsi manifes, fungsi laten, dan keseimbangan (equilibrium). Fungsi manifes dan fungsi laten merupakan dua konsep fungsional yang dikembangkannya. Fungsi manifes merupakan fungsi yang diharapkan (disadari, nyata), sedangkan fungsi laten merupakan fungsi yang tidak diharapkan (tidak disadari, tersembunyi). Fungsi manifes adalah konsekuensi-konsekuensi objektif yang menyumbang pada penyesuaian terhadap sistem itu yang dimaksudkan dan diketahui (recognized) oleh partisipan dalam sistem itu; fungsi laten adalah hal yang tidak dimaksudkan atau diketahui (Wirawan, 2012: 35). Merton (dalam Ritzer, 2015: 137) menjelaskan bahwa akibat yang tak diharapkan tak sama dengan fungsi yang tersembunyi. Fungsi tersembunyi adalah satu jenis dari akibat yang tidak diharapkan, satu jenis yang fungsional untuk sistem tertentu. 13 Selain pendekatan fungsi, Merton juga nampaknya tertarik dengan konsepkonsep struktur sosial dan perubahan kultural. Hal ini disampaikan dalam autobiografinya yang ditulisnya pada tahun 1981 sebagai berikut: “Saya ingin dan masih ingin memajukan teori sosiologi dari struktur sosial dan perubahan kultural yang akan membantu kita memahami bagaimana institusi sosial dan karakter kehidupan dalam masyarakat bisa muncul sebagaimana terlihat sekarang (dimuat dalam Ritzer, 2012: 134-135).” Dalam hal ini, Merton mendefinisikan struktur sosial sebagai “seperangkat hubungan sosial yang terorganisasi, yang dengan berbagai cara melibatkan anggota masyarakat atau anggota kelompok”; sedangkan kultur adalah “seperangkat nilai normatif yang terorganisasi, yang menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok”. Struktur memiliki kaitan erat dengan berjalannya suatu fungsi, tetapi Merton berpendapat bahwa tidak semua struktur diperlukan untuk berfungsinya sistem sosial. Penelitian ini adalah sebuah kajian mengenai gamelan selonding yang merupakan salah satu hasil kebudayaan di Desa Bungaya. Hingga saat ini, gamelan selonding masih eksis dalam kehidupan masyarakat Desa Bungaya, terutama dalam pelaksanaan upacara adat seperti Usaba Gede/ Usaba Aya/ Usaba Dangsil. Mengacu pada teori yang dikemukakan Merton, maka penelitian ini menitikberatkan pada analisis fungsional dalam gamelan selonding, baik fungsi manifes maupun fungsi laten. Dan sebagaimana yang dikemukakan Merton mengenai pentingnya perubahan kultural, maka teori ini juga digunakan untuk mengkaji dinamika gamelan selonding di Bali, khususnya di Desa Bungaya, guna memahami fenomena gamelan selonding yang terjadi di masa sekarang. 14 1.5.2 Teori Interpretatif Simbolik Pendekatan interpretatif memusatkan kembali perhatian pada berbagai wujud konkret dari makna kebudayaan, dalam teksturnya yang khusus dan kompleks, namun tanpa terjerumus ke dalam perangkap historisisme atau relativisme kebudayaan dalam bentuknya yang klasik (Saifuddin, 2006: 286). Interpretasi dimulai dari postulat bahwa jaringan makna menunjukkan eksistensi manusia hingga batas tertentu yang tidak akan pernah dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang didefinisikan terlebih dahulu. Dalam mendefinisikan kebudayaan, penganut teori interpretatif simbolik melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia (Syam, 2007: 90). Clifford Geertz, sebagai penganut teori ini, dalam kumpulan esainya yang berjudul Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture menjelaskan bahwa istilah ‘budaya’ bagi antropolog cenderung memiliki berbagai arti namun ciri kunci dari kata itu adalah ide tentang ‘makna’ atau ‘signifikasi’. Adapun definisi budaya menurut Clifford Geertz (dalam Saifuddin, 2006: 288) adalah: (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola-pola makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap dalam kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; 15 dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan digambarkan oleh Geertz sebagai sebuah pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan, dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbolsimbol itu (Pals, 2001). Kebudayaan sebagai simbol berlaku lebih dari sekadar mengartikulasikan dunia; melainkan memberikan pedoman bagi tindakan. Dalam Religion as a Cultural System (1966), Cifford Geertz melakukan sintesis simbol dan struktur sosial dan memberikan makna substantif suatu ranah kajian mengenai agama dalam pendekatan antropologi. Untuk kepentingan metodologi antropologi yang berorientasi pada realitas empirik, Geertz (dalam Saifuddin, 2015: 205) mengembangkan suatu definisi agama mengenai suatu sistem simbol yang: (a) merepresentasikan pikiran, aktualitas, kelakuan, konteks, dan histori; (b) memberi aura yang menyelimuti aktualitas, sehingga yang tidak nyata menjadi seolah-olah nyata; (c) sehingga membangun suatu keseluruhan yang idealistik, intens, memenuhi suasana jiwa. Menurut Geertz, jika ingin memahami aktivitas kebudayaan, maka seorang peneliti tidak punya pilihan lain kecuali menemukan metode-metode yang tepat, karena dalam membicarakan manusia, yang hidup dalam sistem makna yang kompleks yang disebut kebudayaan, pendekatan sekadar ‘menjelaskan’ perilaku mereka seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan alam dalam menyelidiki sekawanan ikan atau serangga, tidaklah memadai. Pendekatan yang ditawarkan Geertz untuk menyelidiki kebudayaan adalah apa yang disebut oleh filsuf Inggris 16 Gilbert Ryle dengan “thick description” (deskripsi/ pelukisan mendalam). Istilah ini dikaitkan dengan kegiatan La Paenseur (sang pemikir) yang sedang melakukan kegiatan ‘memikirkan dan merefleksikan’ dan ‘memikirkan pikiranpikiran’. Melalui cara ini, biasanya penelitian dilakukan dengan mengambil suatu obyek yang terbatas, sehingga pelukisan terhadap suatu kebudayaan menghasilkan suatu paparan yang bersifat mikroskopis, deskripsi tentang makna dan sistem simbol dalam masyarakat. Maka menurut Geertz, etnografi dan juga antropologi secara umum, harus selalu melibatkan ‘pelukisan mendalam’ ini, sebagai kebalikan dari ‘pelukisan dangkal’ (thin description). Tugas etnografer atau antropolog tersebut, bukan hanya sebatas mendeskripsikan struktur suku-suku atau ritual-ritual masyarakat yang ditelitinya saja, tetapi juga mencari makna, menemukan apa yang sesungguhnya berada di balik perbuatan mereka, atau makna yang ada di balik seluruh kehidupan dan pemikiran ritual, struktur, dan kepercayaan mereka. Lebih lanjut mengenai makna, Geertz berpendapat bahwa makna dalam kebudayaan bersifat publik, dan kembali kepada konteks masyarakat pendukungnya, karena mereka saling berbagi konteks makna dalam kebudayaan tersebut. Sehingga menurutnya, secara sosial kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna dalam terma-terma berupa sekumpulan tanda yang dengannya masyarakat melakukan suatu tindakan, mereka dapat hidup di dalamnya, ataupun menerima celaan atas makna tersebut dan kemudian menghilangkannya. Dengan demikian, kebudayaan menemukan artikulasinya melalui alur tingkah laku, atau melalui tindakan sosial. Menurut Geertz (dalam Saiffudin, 2006: 298-299) makna dalam masyarakat harus berasal dari “native point of view” atau sudut pandang 17 masyarakat setempat, namun untuk menemukan makna yang didasarkan pada pandangan native sesungguhnya relativistik. Yang dimaksud Geertz dalam hal ini adalah suatu pandangan yang mencerminkan proses pengetahuan diri sendiri, persepsi diri sendiri dan pemahaman diri sendiri bagi pengetahuan orang lain, persepsi orang lain, dan pemahaman orang lain yang mengidentifikasi dan memilah siapa pengamat dan siapa orang-orang yang diamati. Dalam penelitian ini, teori interpretatif simbolik yang diungkapkan oleh Geertz digunakan untuk mengkaji makna-makna yang terdapat dalam gamelan selonding. Sesuai dengan anggapan Geertz, maka setiap kebudayaan merupakan suatu simbol. Gamelan selonding dalam kehidupan masyarakat Desa Bungaya merupakan suatu simbol, yang di dalamnya terkandung makna-makna yang perlu diinterpretasi. Eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya hingga saat ini juga tidak bisa dipisahkan dari peran agama Hindu sebagai dasar kegiatan-kegiatan ritual yang secara rutin masih dilakukan di Desa Bungaya. Oleh karena itu, simbol-simbol agama Hindu yang terkait dengan gamelan selonding juga perlu untuk dibahas. Adapun simbol yang dimaksud dapat berupa simbol konkret (yang bisa dilihat), mitos, filosofi, ungkapan, dan sebagainya. Simbol tidak hanya dilihat secara abstrak melainkan dalam konteks sosial, di mana suatu sistem simbol dijadikan makna oleh masyarakat, yang kemudian membentuk praktik kehidupan dan bermasyarakat (Arif, 2010: 211). Dengan menggunakan teori ini, peneliti dapat menginterpretasikan setiap simbol yang terkandung dalam gamelan selonding di Desa Bungaya, sehingga diperoleh alasan mengenai mengapa gamelan selonding masih eksis dan sangat disakralkan di desa tersebut. 18 1.6 Konsep Konsep merupakan definisi singkat mengenai sekelompok fakta atau gejala yang menjadi pokok perhatian dalam penelitian yang bersangkutan. Konsep-konsep yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah eksistensi, gamelan selonding, fungsi, dan makna. 1.6.1 Eksistensi Eksistensi berasal dari kata exist dalam bahasa Inggris yang artinya ‘ada’. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa eksistensi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yang diartikan sebagai keberadaan yang menunjukkan akan suatu hal. Menurut Abidin Zaenal (2007: 16) eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya. 1.6.2 Gamelan Selonding Gamelan (dalam Bandem, 2013: 271) merupakan sebuah ansambel atau orkestra yang sebesar instrumennya berupa alat perkusi seperti gangsa, kendang, gong, kempur, kajar, kempli, reyong, trompong, dan kendang yang menggunakan laras pelog dan slendro. Dalam gamelan umumnya terdapat sejumlah alat tiup dan gesek seperti suling dan rebab. Munculnya istilah gamelan sebagai salah satu penyebutan seni musik tradisional sampai sekarang belum bisa diketahui secara 19 pasti. Kata gamelan berasal dari bahasa Jawa Kuna, yaitu gamel yang berarti “memegang” atau “memetik”. Gamel sebagai salah satu istilah bentuk instrumen baru muncul sekitar abad XII dalam kitab Bharatayudha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada masa Kerajaan Kediri (Wirjosuparto dalam Arsini, 1994: 13). Selonding adalah jenis gamelan sakral yang terbuat dari besi. Kata selonding diduga berasal dari kata salon yang artinya “tempat” dan ning berarti “suci”, jadi gamelan selonding adalah yang disucikan dan dikeramatkan (Bandem, 1983:53). Dalam Tusan (2002: 16) juga disebutkan bahwa seorang berkebangsaan Swiss bernama Meier juga pernah menafsirkan kata selonding dengan “SalonNing” yang berarti tempat suci. Tusan juga menyebutkan bahwa asal-muasal kosa kata “selonding “ itu bermula dari kata “salunding”. Mardiwarsito (1985: 495) menyebutkan bahwa salunding itu adalah alat bunyi-bunyian atau gamelan semacam sarun (lihat juga Tusan, 2002: 14). Gamelan selonding merupakan seperangkat alat musik pukul, memiliki laras pelog saih pitu, dan umumnya terdapat di desa-desa Bali Aga, seperti Desa Bungaya, Tenganan Pegringsingan, dan Timbrah, Kabupaten Karangasem (Bandem, 2013). Gamelan ini terdiri dari bilah-bilah yang lebar dan berbahan dasar besi yang diletakkan di atas wadah gema berbentuk bak yang terbuat dari kayu. Gamelan ini dipukul dengan panggul (seperti palu dari bahan kayu). Permainan selonding menggunakan teknik dua tangan. Gamelan ini merupakan salah satu jenis gamelan sakral. Di Desa Bungaya, gamelan ini hanya boleh dimainkan oleh orang yang berstatus penanga (pemangku gamelan selonding) dan pragina selonding. Di beberapa masyarakat, 20 gamelan ini disebut Bhatara Bagus Selonding. Gamelan selonding menggunakan laras pelog saih pitu, yaitu lima nada pokok dan dua nada pemero. Kendati pun demikian, semua nada bisa digunakan sebagai tonika, tergantung dari lagu-lagu yang dimainkan. Di samping gamelan ini untuk memainkan lagu-lagu sakral, juga dapat digunakan untuk mengiringi tari sakral seperti Rejang dan saat upacara usaba. 1.6.3 Fungsi Fungsi (dalam Fuadi, 2013) adalah suatu proses yang di dalamnya terdapat beberapa komponen-komponen yang saling mempengaruhi dan bertujuan untuk menghasilkan suatu tujuan tertentu. Menurut Kartasapoetra dan Hartini (dalam Fitrianto, 2013), fungsi atau function dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) kegunaan; (2) golongan dari berbagai aktivitas organisatoris; (3) kontribusi unsur tertentu pada seluruh kegiatan; (4) suatu tipe aksi di mana bisa dilaksanakan secara khas oleh suatu struktur tertentu. R. Stryker (dalam Ritzer, 2015) menyebutkan bahwa suatu fungsi (function) adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Menurut Robert K Merton, fungsi adalah konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu. Merton (dalam Ritzer, 2015:136) memperkenalkan konsep fungsi nyata (manifes) dan fungsi tersembunyi (laten). Fungsi manifes yaitu konsensus objektif yang membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem dan itu disadari oleh partisipan atau anggota sistem, sedangkan fungsi laten yaitu fungsi yang tidak dimaksudkan atau tidak disadari. 21 Fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegunaan atau kontribusi dari budaya masyarakat, dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah gamelan selonding. Fungsi tersebut ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan masyarakat, yang dalam hal ini adalah masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Kebutuhan yang dimaksud utamanya merupakan kebutuhan rohani yang menyangkut masalah kepentingan upacara dan ritual keagamaan. 1.6.4 Makna Mead (dalam Ritzer, 2015: 275) mengungkapkan bahwa makna bukan berasal dari proses mental yang menyendiri, tetapi berasal dari interaksi. Makna dapat muncul dari hubungan atau interaksi manusia dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan transenden (niskala) dan lingkungan imanen (sekala). Makna merupakan arti dari suatu objek (Suarsana, 2008). Geertz berpendapat bahwa makna dalam kebudayaan bersifat publik dan kembali kepada konteks masyarakat pendukungnya, karena mereka saling berbagi konteks makna dalam kebudayaan tersebut. Secara sosial kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna dalam tema-tema berupa sekumpulan tanda yang dengannya masyarakat melakukan suatu tindakan, mereka dapat hidup di dalamnya, ataupun menerima celaan atas makna tersebut dan kemudian menghilangkannya. Dengan demikian, kebudayaan menemukan artikulasinya melalui alur tingkah laku, atau melalui tindakan sosial. 22 Dalam penelitian ini, makna yang dimaksud adalah hasil dari interpretasi simbol-simbol dan nilai-nilai yang melekat dalam gamelan selonding. Mengikuti pandangan Geertz bahwa makna dalam kebudayaan bersifat publik dan sesuai konteks masyarakat pendukungnya, maka dalam hal ini simbol dan nilai yang diinterpretasi merupakan simbol dan nilai yang melekat dalam konteks kehidupan masyarakat Desa Bungaya. 1.7 Model Penelitian Model penelitian dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut. Bagan 1.1 Model Penelitian GLOBALISASI MASYARAKAT DESA BUNGAYA EKSISTENSI GAMELAN SELONDING SEJARAH PERKEMBANGAN FUNGSI Keterangan garis : berpengaruh langsung : pengaruh bolak-balik MAKNA 23 Keterangan Bagan: Era globalisasi merupakan suatu era yang ditandai oleh bentuk pergaulan dan interaksi dengan berbagai bangsa dan negara yang dimungkinkan oleh perkembangan di bidang transportasi, media, dan pariwisata. Globalisasi juga memungkinkan setiap orang untuk mengakses informasi yang hampir tak terbatas. Globalisasi merasuki tiap-tiap tempat dan wilayah di seluruh dunia. Desa Bungaya yang terletak di Kecamatan Bebandem, Karangasem merupakan wilayah yang tidak luput dari isu globalisasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan masyarakatnya yang sudah akrab dengan teknologi dan media. Globalisasi memiliki dampak dalam perubahan suatu kebudayaan masyarakat. Dalam ilmu antropologi, kebudayaan memang dikatakan sebagai suatu yang bersifat dinamis, namun globalisasi seakan mempercepat proses perubahan tersebut. Perubahan ada yang bernilai positif, ada pula yang negatif. Salah satu dampak negatif globalisasi dalam kebudayaan nusantara adalah semakin tergesernya nilai-nilai kebudayaan nusantara oleh kebudayaankebudayaan pop (popular culture). Untuk mempertahankan kebudayaan nusantara tersebut, masyarakat harus memiliki suatu sistem yang kuat untuk menjaga nilainilai yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Masyarakat Desa Bungaya merupakan salah satu masyarakat yang masih mempertahankan keluhuran budaya mereka. Salah satu keluhuran budaya yang hingga kini masih bertahan di dalam kehidupan masyarakat Desa Bungaya adalah instrumen atau alat musik bernama gamelan selonding. Hingga saat ini, eksistensi gamelan selonding pada masyarakat Desa Bungaya masih tetap terjaga. Keberadaan gamelan selonding ini pun sangat disakralkan oleh masyarakat Desa 24 Bungaya. Kesakralan gamelan selonding tercermin dari cara masyarakat memperlakukan gamelan tersebut. Gamelan selonding di Desa Bungaya memiliki sejarah perkembangan yang cukup panjang karena termasuk jenis gamelan Golongan Tua (Wayah). Gamelan ini diperkirakan telah ada di Bali pada masa sebelum Kerajaan Majapahit, kemungkinan telah ada pada masa pemerintahan Raja Bali Kuna pertama yaitu Sri Kesari Warmadewa. Dalam proses kesejarahan yang panjang tersebut tentunya masyarakat pendukung kebudayaan selonding telah mengalami dinamika. Meskipun ragam dinamika terjadi dalam kehidupan masyarakat, gamelan ini terbukti masih bertahan dan masih ada yang sangat menjaga keutuhan gamelan ini. Alasan bertahannya gamelan selonding dalam kehidupan masyarakat, utamanya masyarakat Bali adalah karena memiliki fungsi yang sentral dalam kehidupan religi. Di Desa Bungaya, gamelan selonding digunakan dalam upacara besar, yaitu Usaba Gede/ Usaba Dangsil yang dilaksanakan sepuluh tahun sekali atau lebih. Dalam upacara tersebut, selonding merupakan salah satu unsur yang sangat penting. Selain fungsinya yang sentral dalam kegiatan upacara keagamaan, di dalam gamelan selonding juga mengandung nilai-nilai dan simbol-simbol yang perlu diinterpretasi. Nilai dan simbol itu terkait dengan fungsi dan sejarah gamelan selonding itu sendiri. Hasil dari proses interpretasi tersebut akan mengungkap makna yang terkandung dalam gamelan selonding di Desa Bungaya. Tentunya makna tersebut juga menjadi salah satu alasan mengapa gamelan selonding hingga kini masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat Desa Bungaya. 25 1.8. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan suatu kejadian atau fenomena yang terjadi oleh sebuah subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan suatu konteks yang alamiah (Moleong, 2012: 6). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan eksistensi gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Dengan demikian permasalahan yang diteliti dapat dikaji secara mendalam serta diuraikan secara sistematis dan faktual. Subyek penelitian (orang, tempat, atau benda yang diamati) adalah gamelan selonding yang terdapat di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Selain itu, masyarakat Desa Bungaya yang menjadi pendukung kebudayaan selonding ini juga menjadi subyek dalam penelitian ini. Adapun obyek penelitian (pokok persoalan yang hendak diteliti untuk mendapatkan data secara lebih terarah) adalah sejarah perkembangan gamelan selonding di Desa Bungaya, fungsi, serta makna gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya. 1.8.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Alasan dipilihnya Desa Bungaya sebagai lokasi penelitian adalah sebagai berikut: 1) Gamelan selonding di Desa Bungaya hingga saat ini masih eksis. 26 2) Sekaa (kelompok) selonding yang disebut sebagai pragina selonding di Desa Bungaya masih termasuk salah satu yang masih aktif. 3) Masyarakat Desa Bungaya hingga saat ini masih sangat mensakralkan gamelan selonding. 4) Desa Bungaya memiliki jenis gegendingan selonding yang tidak dimiliki oleh desa lainnya. 1.8.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dan dipakai dalam penelitian ini meliputi data kualitatif berupa kata, kalimat, ungkapan, mitos. Selain itu dalam menangkap simbol-simbol yang ada dalam sebuah gamelan selonding juga perlu memperhatikan gesture tubuh dan perilaku masyarakat dalam memperlakukan gamelan selonding. Dilihat dari sumbernya, data tersebut akan digali dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam hal ini adalah sumber data yang datanya itu digali sendiri oleh peneliti, baik melalui pengamatan maupun wawancara, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data telah ada dalam dokumentasi, berupa buku atau karya-karya ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan penelitian ini. 1.8.3 Teknik Penentuan Informan Penetapan informan dilakukan menggunakan teknik snow-ball. Adapun yang dimaksud dengan teknik snow-ball adalah penentuan informan dengan mulamula menetapkan kelompok kecil orang sebagai informan, kemudian berdasarkan 27 rekomendasi informan sebelumnya, akan dicari informan-informan lain yang dianggap dapat melengkapi data yang dicari. Pencarian informan dan data dilakukan secara terus-menerus hingga data dianggap jenuh atau informasi sudah dianggap memadai. Berdasarkan jenisnya, informan dapat dibedakan menjadi informan kunci dan informan biasa. Informan kunci merupakan informan yang dianggap sangat memahami seluk-beluk permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Dalam penelitian mengenai “Eksistensi Gamelan Selonding di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali” ini yang berfungsi sebagai informan kunci adalah Kelihan Adat Desa Bungaya, De Penanga, pragina selonding, serta peneliti gamelan selonding. Informan biasa merupakan informan yang bisa memberikan informasi, namun pengetahuannya akan permasalahan tidak sedalam informan kunci, misalnya Kepala Desa Bungaya dan masyarakat Desa Bungaya. 1.8.4 Instrumen Penelitian Mengingat penelitian ini bersifat kualitatif, maka dengan mengacu pada apa yang diungkapkan oleh Moleong (2012: 9), instrumen utama (primer) penelitian ini adalah peneliti sendiri. Akan tetapi, mengingat keterbatasan kemampuan peneliti sendiri, maka digunakan pula instrumen tambahan, yaitu pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera, dan alat tulis. 28 1.8.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengkaji permasalahan adalah pengamatan (observasi), wawancara, dan penggunaan dokumen (kepustakaan). Adapun teknik-teknik tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. 1.8.5.1 Pengamatan (Observasi) Pengamatan (observasi) adalah suatu upaya mencermati kenyataan dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan permasalahan dan tujuan penelitian, yang dalam hal ini adalah makna gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Hal yang perlu diamati yaitu kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat saat ini dalam memperlakukan gamelan selonding. Dalam penelitian ini, jenis observasi yang akan dilakukan adalah observasi partisipasi. Observasi partisipasi yang dimaksud dalam hal ini adalah peneliti turut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh informan, seperti membantu kegiatan kerja bakti dan membantu kegiatan ngayah dalam upacaraupacara yang berlangsung di desa. Hal ini diperlukan untuk memudahkan peneliti dalam berbaur, sehingga proses mendapatkan data menjadi lebih mudah dilakukan. Membangun hubungan yang baik dengan informan juga dapat meningkatkan kualitas data yang diperoleh. 1.8.5.2 Wawancara Wawancara adalah teknik yang dimaksudkan guna menggali informasi dari para informan. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara 29 mendalam. Pertanyaan diajukan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya, namun tidak menutup kemungkinan untuk menanyakan hal-hal yang berada di luar pedoman wawancara. Hal ini dilakukan agar narasumber dapat bersikap terbuka dan fleksibel. Menurut Spradley (2006:68), untuk menemukan informan yang baik, setidaknya ada lima syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) enkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang cukup, dan (5) non-analitis. Enkulturasi penuh yang dimaksud dalam hal ini adalah informan harus mengetahui budaya mereka dengan begitu baik, tanpa harus memikirkannya. Informan yang baik juga merupakan orang yang terlibat langsung dalam suasana budaya. Informan juga sebaiknya memiliki waktu luang yang cukup. Beberapa informan menggunakan bahasa mereka untuk menggambarkan berbagai kejadian dan tindakan dengan cara yang hampir tanpa analisis mengenai arti atau signifikasi dari kejadian dan tindakan, namun ada juga informan yang memberikan analisis dan interpretasi dengan penuh pengertian mengenai berbagai kejadian itu dari perspektif “teori penduduk asli”. Kedua jenis informan itu dapat menjadi informan yang baik (Spradley, 2006:76). Berdasarkan kriteria yang disampaikan oleh Spradley, maka dalam penelitian ini informan yang hendak digali informasinya adalah krama Desa Adat Bungaya yang dituakan (tokoh adat) dan sekaa gamelan selonding (penanga dan pragina selonding) sebagai informan kunci, sedangkan sebagai informan biasa yaitu beberapa krama Desa Adat Bungaya. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk melakukan wawancara dengan pakar gamelan di Bali sebagai 30 perbandingan. Pemilihan informan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa merekalah yang mengetahui informasi perihal permasalahan yang hendak dikaji. 1.8.5.3 Penggunaan Dokumen (Kepustakaan) Penggunaan dokumen (kepustakaan) dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data dan keterangan yang ada dalam dokumen yang terkait dengan permasalahan penelitian ini, seperti profil Desa Bungaya, hasil-hasil penelitian mengenai Desa Bungaya dan gamelan selonding, foto-foto yang berkaitan dengan gamelan selonding, serta dokumen lain yang dapat menunjang penelitian. 1.8.6 Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Hal ini dikarenakan sifat data yang dikumpulkan adalah dalam bentuk tanda dan simbol, sehingga tidak dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikatoris. Adapun seperti yang dijelaskan oleh Miles dan Huberman (2014), prosedur analisis data dapat dilakukan dengan tahapan, yakni reduksi data, penyajian data sementara, penafsiran data, dan menarik simpulan. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus selama proyek yang berorientasi penelitian kualitatif berlangsung (Miles & Huberman, 2014:16). Reduksi data meliputi berbagai kegiatan, yakni penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, pengkodean, penggolongan, pembuatan 31 pola, foto dokumentasi untuk situasi atau kondisi yang memiliki makna subyektif, kutipan wawancara yang memiliki makna subyektif, dan catatan reflektif. Penyajian dan penafsiran data berkaitan dengan penyusunan teks naratif dalam kesatuan bentuk, keteraturan, pola, penjelasan, konfigurasi, alur sebab-akibat, dan proposisi. Sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi antara lain mencakup hal yang hakiki, makna subyektif, temuan konsep, dan proses universal. Tahapantahapan tersebut tentunya tidak bisa terlepas dari masalah yang dikaji. Analisis seperti ini dapat dilakukan secara terus-menerus. Rangkaian ini bukan dilakukan dalam satu kali tahapan, melainkan terus berulang tahap demi tahap untuk mencapai dan menjawab rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini.