KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa

advertisement
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Eksistensi Gamelan Selonding di Desa
Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali” untuk memenuhi
persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana.
Skripsi ini berangkat dari rasa ingin tahu penulis terhadap gamelan
selonding yang boleh dikata sangat jarang dibahas dalam literatur kesenian Bali.
Beberapa literatur hanya menyebut nama selonding, tanpa penjelasan yang lebih
lanjut. Padahal selonding merupakan salah satu jenis kesenian Bali yang memiliki
nilai sejarah yang panjang dan penting, tercermin dari beberapa prasasti pada masa
Kerajaan Bali Kuna yang menyebutkan istilah selonding. Oleh karena masih
jarangnya pembahasan mengenai selonding itulah, pada akhirnya penulis
memutuskan untuk menjadikannya bahan kajian dalam skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak,
atas jasa-jasanya untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas
Udayana.
2. Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M. A., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Udayana.
3. Drs. I Nyoman Suarsana, M.Si. selaku Ketua Program Studi Antropologi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, sekaligus sebagai Dosen
Pembimbing Skripsi II .
4. Prof. Dr. A.A. Ngr. Anom Kumbara, M.A. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi I.
5. Dr. Dra. Ni Made Wiasti, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6. Drs. I Ketut Kaler, M.Hum., Drs. I Made Pantja, M.A., dan Dr. Drs. I
Ketut Darmana, M.Hum. selaku dosen penguji skripsi.
7. Seluruh dosen Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana atas berbagai pengetahuan yang telah diberikan
selama ini.
vii
8. Segenap staf Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana atas berbagai
pelayanan yang telah diberikan.
9. Keluarga yang selalu memberikan dukungan dan fasilitas.
10. Bapak Komang Suarda, Kepala Desa Bungaya beserta keluarga yang
bersedia memberi tempat tinggal kepada penulis selama penelitian.
11. Masyarakat Desa Bungaya, terima kasih atas informasi yang diberikan serta
kerja samanya.
12. Sri Mpu Darmapala Vajravani dan Yayasan Selonding Bali atas
kesediaannya menjadi informan di sela-sela kesibukan.
13. Bapak Vaughan Hatch, Ibu Evi Hatch, dan Sanggar Mekar Bhuana yang
juga bersedia menjadi informan di sela-sela kesibukan.
14. Rekan-rekan seperjuangan di Prodi Antropologi angkatan 2012: Ulik,
Emonk, Yanti, Arik, Hartawan, Nanda, Pandu, Caca, Yosua, Mustika,
Angel, Fansi, Antara, Nia.
15. Kakak dan adik tingkat di Prodi Antropologi.
16. Teman-teman di Komunitas Sahaja yang selalu mendukung.
17. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah
memberi semangat dan doa dalam penulisan skripsi ini dari awal sampai
akhir.
Penulisan skripsi ini tentu belum bersifat sempurna dan tentunya masih
terdapat beberapa kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf dan dengan senang
hati menerima masukan dari pembaca. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan
dapat digunakan sebagai mestinya.
Denpasar, 2016
Penulis
viii
ABSTRAK
Gamelan menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah upacara
masyarakat Hindu Bali. Hal ini tidak lepas dari kehadiran gamelan sebagai bagian
dari panca nada. Salah satu jenis gamelan Bali yang digunakan dalam kegiatan
upacara keagamaan adalah gamelan selonding. Di beberapa wilayah, gamelan ini
sangat disakralkan. Salah satu desa yang mengeramatkan gamelan selonding adalah
Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Penelitian ini
akan mengungkap sejarah perkembangan, fungsi, serta makna gamelan selonding
yang ada di Desa Bungaya.
Penelitian ini menggunakan teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh
Robert K Merton dan interpretatif simbolik oleh Clifford Geertz. Teori
fungsionalisme digunakan untuk mengungkap fungsi manifes dan fungsi laten
gamelan selonding, sedangkan teori interpretatif simbolik digunakan untuk
mengungkap makna-makna dalam gamelan selonding bagi masyarakat Desa
Bungaya. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode etnografi dengan teknik
observasi partisipasi, wawancara mendalam, serta kepustakaan.
Gamelan selonding Desa Bungaya terdiri dari sepuluh (10) komposisi.
Selonding Bungaya merupakan salah satu perangkat selonding terbesar di Bali yaitu
92 buah bilah dengan ukuran bervariasi. Gamelan selonding Bungaya sangat jarang
dibunyikan, hanya pada saat berlangsungnya usaba gede (usaba dangsil) yang
dilaksanakan sepuluh tahun sekali. Akan tetapi, sejak tahun 1990-an, gamelan ini
juga dibunyikan pada saat berlangsungnya upacara maligia di Puri Karangasem.
Adanya perkembangan teknologi menyebabkan beberapa perubahan
pandangan masyarakat Bungaya tentang gamelan selonding. Dulu, saking
disakralkannya, masyarakat tidak diperbolehkan untuk merekam gamelan
selonding dalam bentuk apa pun. Beberapa penglingsir masih mempertahankan
aturan tersebut, namun di kalangan generasi muda saat ini tidak lagi menganggap
upaya dokumentasi sebagai sesuatu yang salah, justru berdampak positif sebagai
upaya pelestarian. Meskipun demikian, masyarakat Bungaya sepakat bahwa
gamelan selonding yang ada di desa mereka adalah sakral, suci, dan keramat.
Kata kunci: gamelan selonding, Ida Bhatara Bagus Selonding, sakral
ix
Abstract
Gamelan becomes one important part in a ceremony of Balinese Hindu
community. This is not out of the presence of gamelan as part of the "Panca Nada".
One type of Balinese gamelan used in a religious ceremony is gamelan Selonding.
In some regions, it is very sacred gamelan, one of them is Bungaya Village, District
Bebandem, Karangasem, Bali. This study will reveal the history, function, and
meaning of gamelan Selonding in the Bungaya village.
This study uses the functionalism theory that proposed by Robert K Merton
and theory of interpretative symbolic by Clifford Geertz. The functionalism theory
used to uncover the manifest function and latent functions of gamelan Selonding,
while the interpretive theory used to reveal the symbolic meanings in the gamelan
Selonding for Bungaya Village community. The method used is the method of
ethnographic techniques participatory observation, interview, and literature.
Gamelan Selonding Bungaya village consisting of ten (10) compositions.
Selonding Bungaya is one of the largest in Bali Selonding i.e. 92 pieces of blades
with varying sizes. Gamelan Selonding Bungaya very rarely sounded, just in the
Usaba Gede (Usaba dangsil) which held ten years. However, since the 1990s, the
orchestra is also sounded at the time of the ceremony maligia in Puri Karangasem.
Technology development leads to some changes in people's views about the
gamelan Selonding Bungaya. In the past, was so sacred and people are not allowed
to record gamelan Selonding in any form. Some penglingsir still retain the rule, but
among young people today no longer considers the efforts of documentation as
something wrong, it had a positive impact on conservation efforts. Nonetheless, the
gamelan Selonding Bungaya agreed that in the village they are holy and sacred.
Keywords: gamelan Selonding, Ida Bhatara Bagus Selonding, sacred
x
DAFTAR ISI
JUDUL
PERSYARATAN GELAR
PERNYATAAN KEASLIAN
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
LEMBAR PENGESAHAN
PANITIA PENGUJI
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR BAGAN DAN GRAFIK
GLOSARIUM
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
x
xi
xiii
xiv
xv
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1.3.2 Tujuan Khusus
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
1.4.2 Manfaat Praktis
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Teori Fungsionalisme Struktural
1.5.2 Teori Interpretatif Simbolik
1.6 Konsep
1.6.1 Eksistensi
1.6.2 Gamelan Selonding
1.6.3 Fungsi
1.6.4 Makna
1.7 Model Penelitian
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Lokasi Penelitian
1.8.2 Jenis dan Sumber Data
1.8.3 Teknik Penentuan Informan
1.8.4 Instrumen Penelitian
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
1.8.6 Analisis Data
1
1
7
7
7
8
8
8
9
9
10
14
18
18
18
20
21
22
25
25
26
26
27
28
30
BAB II GAMBARAN UMUM DESA BUNGAYA
2.1 Lokasi dan Lingkungan Alam
2.2 Kependudukan
2.3 Sejarah Desa
32
32
36
42
xi
2.4
2.5
2.6
Kesenian
Organisasi Sosial
Religi
46
52
60
BAB III EKSISTENSI GAMELAN SELONDING
DI DESA BUNGAYA
3.1 Asal-Usul Penggunaan Gamelan Selonding
3.2 Gamelan Selonding di Desa Bungaya
3.3 Gamelan Selonding Bungaya di Tengah Modernisasi
67
67
77
89
BAB IV FUNGSI GAMELAN SELONDING
96
4.1 Gamelan Selonding sebagai Sarana Upacara
96
4.2 Gamelan Selonding sebagai Simbol Tuhan (Pratima)
108
4.3 Gamelan Selonding Bungaya Persembahan dalam Upacara Maligia
Keluarga Puri Karangasem
116
BAB V MAKNA GAMELAN SELONDING DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT DESA BUNGAYA
5.1 Makna Religius
5.2 Makna Sosial Budaya
5.2.1 Gamelan Selonding sebagai Media Komunikasi
5.2.2 Gamelan Selonding sebagai Sarana Persatuan dan
Integrasi Sosial
5.3 Makna Pendidikan
5.3.1 Transfer of Knowledge antara Penanga dengan Pragina Selonding
5.3.2 Warisan Pengetahuan dalam Klan Pande Tusan
5.3.3 Gamelan Selonding sebagai Media Pendidikan Karakter
5.4 Makna Estetika
5.5 Makna Identitas
120
120
126
126
128
133
133
135
136
138
141
BAB VI PENUTUP
6.1 Simpulan
6.2 Saran
144
144
146
DAFTAR PUSTAKA
147
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Peta Provinsi Bali
Lampiran 2 : Peta Kabupaten Karangasem
Lampiran 3 : Peta Desa Bungaya
Lampiran 4 : Pedoman Wawancara
Lampiran 5 : Daftar Informan
Lampiran 6 : Posisi Instrumen Selonding Bungaya
Lampiran 7 : Surat Izin Penelitian
152
153
154
155
156
158
160
161
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tata Guna Lahan Desa Bungaya
34
Tabel 2.2 Data Penduduk Tiap-Tiap Banjar Dinas di Desa Bungaya
Tahun 2015
37
Tabel 2.3 Data Penduduk Desa Bungaya Menurut Umur Tahun 2015
38
Tabel 2.4 Lima Komoditas Unggulan Desa Bungaya
41
Tabel 3.1 Perbandingan Selonding Bungaya dengan
Selonding Tenganan Pegringsingan
xiii
83
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Lokasi Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten
Karangasem
33
Gambar 2.2 Busana Adat Truna (kiri) dan Daha (kanan) Desa Bungaya
48
Gambar 2.3 Posisi Masing-Masing Prajuru Desa dalam Balai Agung
59
Gambar 2.4 Pelaksanaan Usaba Dangsil Desa Adat Bungaya
62
Gambar 3.1 Seperangkat Gamelan Selonding di Pura Merajan Selonding,
Besakih
68
Gambar 3.2 Bagian Gamelan Selonding Tampak Atas (kiri)
dan Tampak Samping (kanan)
69
Gambar 3.3 Lontar Gending Selonding Bungaya
79
Gambar 3.4 Peralatan Pandai Besi yang Dimiliki oleh Pande Tusan
86
Gambar 3.5 Landesan Batu di Pura Puseh
87
Gambar 3.6 Masyarakat Menghaturkan Sesaji di Depan Balai Penyimpanan
Bhatara Bagus Selonding pada Hari Purnama
Gambar 4.1 Pengarakan Dangsil Saat Usaba Gede
89
99
Gambar 4.2 Ritual Melasti Saat Usaba Gede
104
Gambar 4.3 Gamelan Selonding Dibuyikan saat Usaba Gede
106
Gambar 4.4 Penglingsir Desa (kiri) membagikan Rumput Alang-Alang yang
Digunakan Membersihkan Gamelan Selonding Sakral
Gambar 5.1 Masyarakat Bungaya Saat Memohon Minyak Wangsuhan
110
122
Gambar 5.2 Kain Putih Dibentangkan sebagai Jalur Pemargi
Ida Bhatara Bagus Selonding
124
Gambar 5.3 Para Truna Bertugas Membawa Gamelan Selonding
ke Pura Penataran
129
Gambar 5.4 Pragina dan Truna sedang Merangkai Bilah Selonding
pada Pelawah
130
xiv
DAFTAR BAGAN DAN GRAFIK
Bagan
Bagan 1.1 Model Penelitian
22
Bagan 2.1 Struktur Desa Adat Bungaya
55
Grafik
Grafik 2.1 Persentase Rumah Tangga Usaha Pertanian
Menurut Desa di Kecamatan Bebandem
xv
40
GLOSARIUM
anda
nama tarian sakral di Desa Bungaya yang ditarikan dengan posisi melingkar.
bhatara bagus selonding
sebutan bagi selonding sakral di Desa Bungaya.
cagak
bagian gamelan selonding yang menjadi tumpuan antara bilah satu dengan lainnya
agar tidak saling bersentuhan.
daha
pemudi. Anggota krama adat Desa Bungaya yang terdiri dari perempuan yang
belum menikah.
de kebayan
jabatan dalam struktur adat Desa Adat Bungaya yang merupakan pucuk pimpinan
dan pemimpin di setiap upacara adat.
de manten
mantan De Kebayan Wayan yang saat menjabat menghadapi usaba atau upacara di
Pura Dalem.
de salah
mantan De Kebayan Wayan yang saat menjabat menghadapi usaba atau upacara di
Pura Bale Agung.
gambang
gamelan yang terdiri dari bilah-bilah bambu, dipukul dengan dua buah panggul
bercabang seperti bentuk Y.
gamelan
orkestra yang terdiri dari bermacam-macam instrumen yang terbuat dari batu, kayu,
bambu, besi, perunggu, kulit, dawai, dan lain-lain dengan menggunakan laras pelog
dan slendro.
gending
lagu atau nyanyian.
kale
nama gending selonding Bungaya untuk mengiringi tari anda gede.
karawitan
xvi
musik tradisional Bali; dapat berupa suara instrumental (gamelan) atau berupa suara
vokal (tembang atau sekar).
krama desa
anggota dari sebuah desa. Masyarakat desa.
megat anda
sanksi yang dikenakan bagi orang yang keluar-masuk dan merusak keutuhan tari
anda.
megat pemargi
sanksi yang dikenakan bagi orang yang dengan sengaja ataupun tidak melintas di
hadapan Bhatara Bagus Selonding saat beliau melewati jalan desa.
palemahan desa
lingkungan desa.
panca nada
lima macam bunyi yang menjadi sarana dalam persembahyangan umat Hindu, yaitu
kulkul (kentongan), kidung (nyanyian suci), gamelan, genta (lonceng Pendeta), dan
mantra (doa).
pande tusan
klan pande besi yang ditugaskan untuk memperbaiki gamelan selonding Bungaya
bila terjadi kerusakan.
panggul
sejenis palu kayu yang digunakan untuk memukul bilah-bilah gamelan.
pelawah
bagian dasar dari sebuah gamelan selonding, berbentuk persegi panjang atau bisa
juga trapesium. Pelawah terbuat dari bahan kayu. Fungsinya adalah sebagai
resonator untuk membuat suara gamelan terdengar lebih jelas dan keras.
pelinggih
benda atau tempat yang diyakini sebagai stana dari dewa atau bhatara.
pelog
laras gamelan Bali (dan Jawa) di mana antara nada satu dengan nada lain memiliki
jarak (interval) yang tidak sama.
penanga
orang yang bertugas sebagai pemangku Bhatara Bagus Selonding. Ia juga
merupakan satu-satunya orang yang boleh memukul gamelan selonding sakral (unit
penanga) yang merupakan pelinggih dari Ida Bhatara Bagus Selonding.
pesaluk
upacara serah-terima jabatan dalam organisasi adat Desa Adat Bungaya.
xvii
pragina selonding
orang yang bertugas menabuh gamelan selonding di Desa Bungaya.
prajuru desa
organisasi kepemimpinan suatu desa adat.
prakempa
nama lontar yang memuat istilah-istilah dalam gamelan.
pratima
benda yang dijadikan simbol perwujudan jasmani para dewa.
profan
sesuatu yang bernilai biasa dan berhubungan dengan bidang kehidupan sehari-hari.
sakral
sesuatu yang bernilai sangat suci, transenden, dianggap memiliki kekuatan magis
yang maha-dahsyat.
saput karah
nama kain tenun khas Desa Bungaya yang didominasi oleh warna merah dan
kuning.
selendro
laras gamelan Bali (dan Jawa) di mana antara nada satu dengan nada lain memiliki
jarak (interval) yang sama.
selonding
jenis gamelan yang bilahnya terbuat dari besi atau tembaga. Di beberapa tempat di
Bali, selonding disakralkan.
truna
pemuda. Anggota krama adat Desa Bungaya yang terdiri dari laki-laki yang belum
menikah.
usaba
sidang atau dalam hal ini festival dalam hal ini para Dewa dan manifestasinya
dimohon untuk berstana di Bale Agung atau tempat suci lainnya dan umat
melaksanakan persembahyangan pada tempat tersebut.
xviii
usaba gede
disebut juga usaba dangsil atau usaba aya. Merupakan upacara terbesar di Desa
Bungaya yang dilaksanakan paling cepat sepuluh (10) tahun sekali. Usaba ini juga
melibatkan 13 desa yang bertetangga dengan Desa Bungaya.
winten (mawinten)
upacara penyucian diri
xix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang memiliki pikiran dan perasaan, oleh
karenanya ia dapat mencipta, merasa, dan menghargai keindahan. Dilihat dari
sudut pandang antropologis, sifat manusia untuk mencari dan mengagumi
keindahan adalah hal yang universal. Kata ‘indah’ bagi setiap orang memiliki
standar yang berbeda karena terdapat unsur subjektivitas pada diri setiap individu
dalam membuat suatu penilaian. Hal ini menimbulkan munculnya bentuk-bentuk
keindahan yang beragam. Harsojo (1977:231) menyatakan bahwa bentuk
keindahan yang sangat beraneka ragam itu timbul dari permainan imajinasi yang
kreatif dan memberikan kepuasan batin yang sedalam-dalamnya bagi manusia.
Seni merupakan ungkapan dari rasa keindahan. Ungkapan rasa tersebut
kemudian dituangkan dalam media-media berupa seni rupa, seni musik, seni
drama, atau seni sastra. Haviland (1988) mengungkapkan bahwa seni merupakan
penggunaan kreatif imajinasi manusia untuk menerangkan, memahami, dan
menikmati kehidupan. Sementara itu Soeriadiredja (2003) mengartikan kesenian
sebagai suatu bentuk ekspresi, sebagai perwujudan atau simbolisasi dari perasaan
dan pikiran manusia, tercakup pula pandangan-pandangan atau nilai-nilai yang
dianutnya. Pengertian kesenian yang diungkapkan oleh dua antropolog ini pada
dasarnya sepakat akan satu hal, yaitu seni merupakan media untuk
mengomunikasikan perasaan.
1
2
Ilmu antropologi mengenal kesenian sebagai salah satu dari tujuh unsur
kebudayaan universal. Oleh karenanya maka tidak ada kebudayaan manusia yang
tidak memiliki suatu bentuk kesenian, meskipun kesenian itu boleh jadi melulu
diciptakan untuk keperluan praktis yang bermanfaat (Haviland, 1988). Dalam
Harsojo (1977:233) dikemukakan bahwa kesenian merupakan bagian yang vital
dari kebudayaan. Kesenian merupakan faktor yang amat esensial untuk integrasi,
dan kreativitas kultural sosial maupun individual.
Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang terkenal akan ragam
keseniannya. Salah satu jenis kesenian Bali yang berkembang adalah seni musik.
Musik tradisional Bali dinamakan karawitan (Bandem, 2013). Istilah karawitan
berasal dari kata ‘rawit’ yang artinya halus (indah), kemudian mendapat awalan
ka- dan akhiran -an. Karawitan ada yang berupa suara instrumental (gamelan),
ada pula yang berupa suara vokal (tembang atau sekar). Gamelan adalah sebuah
orkestra yang terdiri dari bermacam-macam instrumen yang terbuat dari batu,
kayu, bambu, besi, perunggu, kulit, dawai, dan lain-lain dengan menggunakan
laras pelog dan slendro. Istilah gamelan dipakai juga untuk menyebutkan musik
(lagu-lagu) yang dihasilkan oleh permainan instrumen di atas. Dewasa ini
ditemukan lebih dari tiga puluh (30) jenis perangkat gamelan Bali yang tersebar di
seluruh kabupaten se-Bali dan masing-masing perangkat itu memiliki fungsi,
instrumentasi, orkestrasi, dan teknik permainan yang berbeda-beda (Bandem,
2013:1).
Berkembangnya seni gamelan dalam kehidupan masyarakat Bali utamanya
disebabkan oleh terjadinya persatuan antara jiwa seni dengan jiwa religi. Sumaryo
(dalam Arsini, 1994: 16-17) mengungkapkan bahwa munculnya gamelan bermula
3
dari ritual dalam sebuah sistem kepercayaan yang bersifat magis. Manusia primitif
yang mempunyai kepercayaan bersifat magis berkeinginan untuk mendapatkan
sesuatu dari makhluk yang didewa-dewakan dengan jalan membunyikan gamelan
tersebut. Hingga saat ini, gamelan masih menjadi salah satu bagian penting dalam
sebuah upacara masyarakat Hindu Bali. Hal ini tidak lepas dari kehadiran gamelan
sebagai bagian dari panca nada, yaitu lima macam bunyi yang menjadi sarana
dalam persembahyangan umat Hindu. Bagian-bagian dari panca nada adalah
kulkul (kentongan), kidung (nyanyian suci), gamelan, genta (lonceng Pendeta),
dan mantra (doa).
I Nyoman Rembang (dalam Bandem, 2013) mengklasifikasikan gamelan
Bali dalam tiga golongan menurut historisnya yaitu Gamelan Golongan Tua,
Golongan Madya, dan Golongan Baru. Seiring perkembangan jaman, maka
anggota klasifikasi ini ditambahkan satu jenis lagi yang disebut sebagai Gamelan
Kontemporer. Selonding termasuk dalam gamelan golongan tua. Seorang profesor
etnomusikologi, Michael Tenzer (1991) menyebutkan bahwa gamelan selonding
merupakan salah satu jenis gamelan yang paling tua di Pulau Bali, mendahului
gamelan gambuh. Selonding diperkirakan telah ada pada masa kebudayaan PraMajapahit.
Tidak semua desa di Bali memiliki instrumen selonding. Di masa awal
perkembangan gamelan ini, hanya beberapa desa yang termasuk golongan desa
kuno yang memiliki instrumen ini. Desa-desa tersebut tersebar di Kabupaten
Karangasem, Bangli, Singaraja, Gianyar, dan Tabanan. Kabupaten Karangasem
merupakan kabupaten yang paling banyak ditemukan instrumen selonding, yaitu
terdapat di Desa Asak, Bungaya, Bugbug, Ngis, Selat, Kayubihi, Tenganan, dan
4
beberapa desa lainnya. Saat ini, gamelan selonding telah tersebar di sembilan
kabupaten di Bali.
Phillip McKean, seorang antropolog, pada tahun 1973 mengemukakan
bahwa kebudayaan Bali dalam keseluruhannya menggambarkan ciri-ciri yang
dapat disifatkan sebagai tradisi kecil, tradisi besar, dan tradisi modern. Unsurunsur tradisi kecil merupakan unsur-unsur kebudayaan Bali sebelum tersentuh
pengaruh Hindu Majapahit. Unsur-unsur tersebut kini masih tampak bertahan
mewarnai kehidupan masyarakat di beberapa desa kuna di Bali pegunungan (Bali
Aga), seperti desa Sembiran, Pedawa, Tigawasa, Sidatapa, Tenganan, dan
Trunyan. Tradisi besar mencakup unsur-unsur kehidupan yang berkembang
berkenaan dengan kedatangan pengaruh Hindu dari Majapahit ke Bali. Tradisi
modern mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman penjajahan dan
kemerdekaan (dalam Pujaastawa, 2014).
Gamelan selonding merupakan bagian dari tradisi kecil. Jika dilihat, maka
aspek-aspek kebudayaan yang termasuk dalam tradisi kecil ini saat ini terdesak
oleh keberadaan kebudayaan tradisi besar dan tradisi modern. Kendati demikian,
bukan berarti tradisi kecil tersebut ditinggalkan oleh masyarakatnya. Hal ini dapat
dilihat dari kenyataan bahwa di era globalisasi seperti saat ini, gamelan selonding
masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat, utamanya di Desa Bungaya,
Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Kebertahanan gamelan
selonding dalam rentangan abad tentunya berkaitan dengan fungsinya yang sentral
dalam kegiatan ritual agama, utamanya bagi masyarakat Bali Kuno.
Keberadaan gamelan selonding sangat disakralkan. Hampir di setiap desa
kuno di Bali memiliki tempat pemujaan tersendiri bagi Bathara Bagus Selonding
5
(Dewa Gamelan Selonding) yang disebut Pura Merajan Selonding. Tempat
pemujaan ini juga terdapat di pura-pura besar seperti Pura Besakih dan Pura
Batur. Sifat sakral ini membuat masyarakat memberikan perlakuan khusus
terhadap gamelan selonding. Pada masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan
Bebandem, Karangasem, tidak sembarang orang yang boleh memainkan
instrumen selonding ini. Selonding hanya boleh dimainkan oleh orang yang
berstatus sebagai penanga (pemangku khusus gamelan selonding) dan pragina
selonding. Kesakralan gamelan selonding membuat masyarakat pendukungnya
memberikan perlakuan khusus terhadapnya. Di Desa Bungaya, pada saat gamelan
selonding tersebut dibawa melewati jalan desa, masyarakat harus berjongkok di
pinggir jalan agar tidak menghalangi (lihat Schaareman, 1991).
Kendati disakralkan, saat ini ada pula jenis gamelan selonding yang
digunakan untuk kepentingan profan (dalam arti sebagai bagian dalam aktivitas
penciptaan musik kreasi baru bahkan kontemporer). Gamelan selonding yang
digunakan untuk pertunjukan berbeda dengan peralatan gamelan yang digunakan
untuk kepentingan ritual. Di Tenganan Pegringsingan misalnya, memiliki jenis
gamelan selonding yang khusus digunakan untuk kepentingan pertunjukan
kesenian. Beberapa sanggar karawitan juga mengajarkan selonding pada anak
didiknya dengan tujuan pelestarian budaya.
Desa Bungaya merupakan salah satu desa yang sangat mensakralkan
selonding, bahkan Pande Wayan Tusan (2002) menyebutkan bahwa krama
(masyarakat adat) Desa Bungaya tidak berani secara vulgar menyebut “selonding”
demi penghormatan, mereka hanya akan menyebutnya “Bhatara Bagus” saja. Di
tengah pergulatan dengan pandangan yang mengijinkan selonding sebagai seni
6
profan, masyarakat Desa Bungaya memilih untuk tetap menjaga kesakralan
selonding. Hal ini disebabkan oleh masyarakat Desa Bungaya memiliki cara
pandang tersendiri dalam memaknai gamelan selonding. Pada bagian awal telah
disebutkan bahwa kesenian merupakan media komunikasi. Tidak terkecuali
gamelan selonding, maka setiap kesenian sarat akan simbol-simbol komunikasi.
Setiap simbol mengandung makna. Makna inilah yang menyebabkan masyarakat
memiliki cara tersendiri dalam memperlakukan sebuah objek.
Kajian mengenai gamelan selonding saat ini masih terhitung sedikit
dibandingkan dengan kajian mengenai gamelan gambang (yang sama-sama
merupakan gamelan tua atau wayah) ataupun seni karawitan lainnya. Beberapa
pakar seni karawitan dan etnomusikolog tercatat pernah melakukan penelitian
terhadap gamelan selonding. Danker Schaareman (1991) misalnya, seorang
etnomusikolog asal Jerman yang pernah meneliti mengenai fungsi gamelan
selonding dalam upacara Ngusaba Sumbu yang terdapat di Desa Tatulingga,
Karangasem. Tahun 2002, seorang seniman bernama Pande Wayan Tusan
menerbitkan buku yang berjudul Selonding: Gamelan Bali Kuna Abad X-XIV.
Buku tersebut merupakan suatu kajian terhadap gamelan selonding di beberapa
Desa Bali Aga (termasuk salah satunya Desa Bungaya), dilihat dari data prasasti,
karya sastra, dan artefak.
Selain itu tercatat juga nama-nama seperti Ernst
Schlager, Theo Meier, Hans Oesch, Colin Mc Phee, I Made Bandem, Urs
Ramseyer, dan Kiyoshi Nakamura sebagai peneliti yang pernah menulis mengenai
gamelan selonding (lihat Tusan, 2002: 2-5). Kendati demikian, kajian yang
khusus membahas mengenai eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya
belum pernah penulis temukan.
7
1.2
Rumusan Masalah
Paparan di atas pada intinya memberikan gambaran mengenai gamelan
selonding yang hingga saat ini masih eksis di tengah masyarakat. Gamelan ini
memiliki nilai sakral, terutama bagi masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan
Bebandem, Kabupaten Karangasem. Hal ini disebabkan oleh masyarakat Desa
Bungaya memiliki cara pandang dalam memfungsikan dan memaknai gamelan
selonding. Berdasarkan uraian tersebut, maka masalah penelitian yang hendak
dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian
sebagai berikut.
1) Bagaimanakah sejarah perkembangan gamelan selonding di Desa
Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem?
2) Mengapa gamelan selonding di Desa Bungaya masih eksis hingga saat
ini?
3) Apakah makna yang terkandung dalam gamelan selonding di Desa
Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem?
1.3
Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1) Mengkaji eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya, Kecamatan
Bebandem, Kabupaten Karangasem.
2) Menambah khazanah keilmuan di bidang kebudayaan, utamanya
kebudayaan yang berkembang di Kabupaten Karangasem, Bali.
8
3) Sebagai bahan informasi mengenai budaya dan kesenian yang terdapat
di daerah Kabupaten Karangasem, Bali, sehingga dapat digunakan
untuk kepentingan pendidikan, promosi pariwisata, dan pembangunan
di berbagai bidang.
1.3.2
Tujuan Khusus
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan khusus yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Mengetahui dan memahami sejarah perkembangan gamelan selonding
di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem.
2) Mengetahui dan memahami alasan gamelan selonding di Desa
Bungaya masih eksis hingga saat ini.
3) Mengetahui dan memahami makna yang terkandung dalam gamelan
selonding di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten
Karangasem.
1.4
Manfaat
1.4.1
Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan
sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan wawasan
keilmuan.
2) Hasil akhir tulisan ini juga diharapkan memiliki manfaat dalam
memperkaya perbendaharaan pustaka yang telah ada dan berfungsi
9
sebagai sumber informasi, khususnya dalam rangka menunjang
penelitian dengan tema terkait kesenian Bali, utamanya gamelan
selonding.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
inventarisasi mengenai salah satu bentuk kesenian yang ada di Bali.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif
dalam pemecahanan masalah pembangunan, khususnya di bidang seni
karawitan.
1.5
Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan beberapa teori untuk mengkaji berbagai
fenomena terkait eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya. Ada tiga
pertanyaan penelitian yang harus dijawab dalam penelitian ini, yaitu terkait
sejarah perkembangan, fungsi, serta makna gamelan selonding bagi masyarakat
Desa
Bungaya.
Mengacu
pertanyaan
penelitian
tersebut,
maka
teori
fungsionalisme struktural yang dicetuskan oleh Robert K Merton digunakan
sebagai teori utama untuk mengkaji permasalahan secara umum. Selain itu, untuk
mengungkap makna gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya,
digunakan teori interpretatif simbolik dari Clifford Geertz.
10
1.5.1
Teori Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme struktural merupakan salah satu teori yang
digunakan oleh antropolog dalam mengkaji unsur-unsur kebudayaan. Penganut
fungsionalisme struktural menyatakan bahwa kebudayaan merupakan proses
keterkaitan pengaruh satu subsistem atas subsistem lainnya. Sumbangan
terpenting teori ini dalam studi kebudayaan adalah pada temuan konseptualnya
mengenai peranan kebudayaan di dalam kehidupan manusia, baik masyarakat
tradisional maupun modern.
Teori fungsionalisme struktural bukan hal yang baru lagi di dalam dunia
sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara meluas dan merata.
Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas
bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa
perubahan pula terhadap bagian yang lain (Ritzer, 2015). Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain.
Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan
hilang dengan sendirinya.
Robert K. Merton merupakan salah satu tokoh pendukung teori
fungsional-struktural. Gaya teori Merton memiliki kemiripan dengan teori Talcott
Parsons yang bersifat abstrak dan agak muluk (grandiose). Hal ini disebabkan
konteks sosial yang terjadi pada masa kedua tokoh tersebut bisa dikatakan
sebanding. Parsons juga merupakan guru dari Merton.
Merton (dalam Ritzer, 2015)
memulai analisa fungsionalnya dengan
menunjukkan beberapa hal yang tidak tepat serta beberapa asumsi atau postulat
11
kabur yang terkandung dalam teori fungsionalisme. Postulat tersebut kemudian
disempurnakannya satu demi satu. Postulat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Postulat pertama terkait kesatuan fungsional masyarakat. Dikatakan bahwa
seluruh sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkatan yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik berkepanjangan. Contoh beberapa kebiasaan masyarakat
fungsional bagi suatu kelompok, tapi disfungsional bagi kelompok lain. Atas
postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang
sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini
disebabkan karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi
satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.
Postulat kedua mengenai fungsionalisme universal, dikatakan bahwa
seluruh bentuk sistem-sistem sosial dan budaya yang sudah baku memiliki fungsifungsi positif. Merton memperkenalkan konsep disfungsi dan fungsi positif
mengenai sistem sosial. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya di
samping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa
perilaku sosial dapat dikategorikan ke dalam bentuk atau sifat disfungsi ini.
Dengan demikian, dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.
Postulat ketiga dikatakan bahwa dalam setiap peradaban, setiap kebiasaan,
ide, objek materiil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki
sejumlah tugas yang harus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak
dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Ini disebut postulat
indispensability. Menurut Merton, postulat yang ketiga ini masih kabur (dalam
artian tidak memiliki kejelasan), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan
keharusan. Di dalam menyatakan keberatannya terhadap ketiga postulat itu,
12
Merton menyatakan bahwa (1) kita tidak mungkin mengharapkan terjadinya
integrasi masyarakat yang benar-benar tuntas; (2) kita harus mengakui baik
disfungsi maupun konsekuensi fungsional yang positif dari suatu elemen kultural;
(3) kemungkinan alternatif fungsional harus diperhitungkan dalam setiap analisa
fungsional.
Dalam membangun teorinya, Merton tertarik terhadap keadaan struktur
sosial dan fungsi sosial sebagaimana organisme kehidupan, yang dia amati di
dalam kehidupan sosial di sekelilingnya (Wirawan, 2012: 29). Robert K. Merton
berpendapat bahwa obyek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti: peranan
sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian
sosial dan sebagainya. Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi, disfungsi, fungsi
manifes, fungsi laten, dan keseimbangan (equilibrium).
Fungsi manifes dan fungsi laten merupakan dua konsep fungsional yang
dikembangkannya. Fungsi manifes merupakan fungsi yang diharapkan (disadari,
nyata), sedangkan fungsi laten merupakan fungsi yang tidak diharapkan (tidak
disadari, tersembunyi). Fungsi manifes adalah konsekuensi-konsekuensi objektif
yang menyumbang pada penyesuaian terhadap sistem itu yang dimaksudkan dan
diketahui (recognized) oleh partisipan dalam sistem itu; fungsi laten adalah hal
yang tidak dimaksudkan atau diketahui (Wirawan, 2012: 35). Merton (dalam
Ritzer, 2015: 137) menjelaskan bahwa akibat yang tak diharapkan tak sama
dengan fungsi yang tersembunyi. Fungsi tersembunyi adalah satu jenis dari akibat
yang tidak diharapkan, satu jenis yang fungsional untuk sistem tertentu.
13
Selain pendekatan fungsi, Merton juga nampaknya tertarik dengan konsepkonsep struktur sosial dan perubahan kultural. Hal ini disampaikan dalam
autobiografinya yang ditulisnya pada tahun 1981 sebagai berikut:
“Saya ingin dan masih ingin memajukan teori sosiologi dari struktur sosial
dan perubahan kultural yang akan membantu kita memahami bagaimana
institusi sosial dan karakter kehidupan dalam masyarakat bisa muncul
sebagaimana terlihat sekarang (dimuat dalam Ritzer, 2012: 134-135).”
Dalam hal ini, Merton mendefinisikan struktur sosial sebagai “seperangkat
hubungan sosial yang terorganisasi, yang dengan berbagai cara melibatkan
anggota masyarakat atau anggota kelompok”; sedangkan kultur adalah
“seperangkat nilai normatif yang terorganisasi, yang menentukan perilaku
bersama anggota masyarakat atau anggota kelompok”. Struktur memiliki kaitan
erat dengan berjalannya suatu fungsi, tetapi Merton berpendapat bahwa tidak
semua struktur diperlukan untuk berfungsinya sistem sosial.
Penelitian ini adalah sebuah kajian mengenai gamelan selonding yang
merupakan salah satu hasil kebudayaan di Desa Bungaya. Hingga saat ini,
gamelan selonding masih eksis dalam kehidupan masyarakat Desa Bungaya,
terutama dalam pelaksanaan upacara adat seperti Usaba Gede/ Usaba Aya/ Usaba
Dangsil. Mengacu pada teori yang dikemukakan Merton, maka penelitian ini
menitikberatkan pada analisis fungsional dalam gamelan selonding, baik fungsi
manifes maupun fungsi laten. Dan sebagaimana yang dikemukakan Merton
mengenai pentingnya perubahan kultural, maka teori ini juga digunakan untuk
mengkaji dinamika gamelan selonding di Bali, khususnya di Desa Bungaya, guna
memahami fenomena gamelan selonding yang terjadi di masa sekarang.
14
1.5.2
Teori Interpretatif Simbolik
Pendekatan interpretatif memusatkan kembali perhatian pada berbagai
wujud konkret dari makna kebudayaan, dalam teksturnya yang khusus dan
kompleks, namun tanpa terjerumus ke dalam perangkap historisisme atau
relativisme kebudayaan dalam bentuknya yang klasik (Saifuddin, 2006: 286).
Interpretasi dimulai dari postulat bahwa jaringan makna menunjukkan eksistensi
manusia hingga batas tertentu yang tidak akan pernah dapat direduksi menjadi
unsur-unsur yang didefinisikan terlebih dahulu.
Dalam mendefinisikan kebudayaan, penganut teori interpretatif simbolik
melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia yang dijadikan
sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia (Syam,
2007: 90). Clifford Geertz, sebagai penganut teori ini, dalam kumpulan esainya
yang berjudul Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture
menjelaskan bahwa istilah ‘budaya’ bagi antropolog cenderung memiliki berbagai
arti namun ciri kunci dari kata itu adalah ide tentang ‘makna’ atau ‘signifikasi’.
Adapun definisi budaya menurut Clifford Geertz (dalam Saifuddin, 2006:
288) adalah: (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol yang
dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia
mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian
mereka; (2) suatu pola-pola makna yang ditransmisikan secara historis yang
terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik
tersebut
manusia
berkomunikasi,
memantapkan,
dan
mengembangkan
pengetahuan mereka mengenai dan bersikap dalam kehidupan; (3) suatu peralatan
simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi;
15
dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses
kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Dari uraian
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan digambarkan oleh Geertz
sebagai sebuah pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang termuat
dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka
tentang kehidupan, dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbolsimbol itu (Pals, 2001). Kebudayaan sebagai simbol berlaku lebih dari sekadar
mengartikulasikan dunia; melainkan memberikan pedoman bagi tindakan.
Dalam Religion as a Cultural System (1966), Cifford Geertz melakukan
sintesis simbol dan struktur sosial dan memberikan makna substantif suatu ranah
kajian mengenai agama dalam pendekatan antropologi. Untuk kepentingan
metodologi antropologi yang berorientasi pada realitas empirik, Geertz (dalam
Saifuddin, 2015: 205) mengembangkan suatu definisi agama mengenai suatu
sistem simbol yang: (a) merepresentasikan pikiran, aktualitas, kelakuan, konteks,
dan histori; (b) memberi aura yang menyelimuti aktualitas, sehingga yang tidak
nyata menjadi seolah-olah nyata; (c) sehingga membangun suatu keseluruhan
yang idealistik, intens, memenuhi suasana jiwa.
Menurut Geertz, jika ingin memahami aktivitas kebudayaan, maka seorang
peneliti tidak punya pilihan lain kecuali menemukan metode-metode yang tepat,
karena dalam membicarakan manusia, yang hidup dalam sistem makna yang
kompleks yang disebut kebudayaan, pendekatan sekadar ‘menjelaskan’ perilaku
mereka seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan alam dalam menyelidiki
sekawanan ikan atau serangga, tidaklah memadai. Pendekatan yang ditawarkan
Geertz untuk menyelidiki kebudayaan adalah apa yang disebut oleh filsuf Inggris
16
Gilbert Ryle dengan “thick description” (deskripsi/ pelukisan mendalam). Istilah
ini dikaitkan dengan kegiatan La Paenseur (sang pemikir) yang sedang
melakukan kegiatan ‘memikirkan dan merefleksikan’ dan ‘memikirkan pikiranpikiran’. Melalui cara ini, biasanya penelitian dilakukan dengan mengambil suatu
obyek yang terbatas, sehingga pelukisan terhadap suatu kebudayaan menghasilkan
suatu paparan yang bersifat mikroskopis, deskripsi tentang makna dan sistem
simbol dalam masyarakat.
Maka menurut Geertz, etnografi dan juga antropologi secara umum, harus
selalu melibatkan ‘pelukisan mendalam’ ini, sebagai kebalikan dari ‘pelukisan
dangkal’ (thin description). Tugas etnografer atau antropolog tersebut, bukan
hanya sebatas mendeskripsikan struktur suku-suku atau ritual-ritual masyarakat
yang ditelitinya saja, tetapi juga mencari makna, menemukan apa yang
sesungguhnya berada di balik perbuatan mereka, atau makna yang ada di balik
seluruh kehidupan dan pemikiran ritual, struktur, dan kepercayaan mereka. Lebih
lanjut mengenai makna, Geertz berpendapat bahwa makna dalam kebudayaan
bersifat publik, dan kembali kepada konteks masyarakat pendukungnya, karena
mereka saling berbagi konteks makna dalam kebudayaan tersebut. Sehingga
menurutnya, secara sosial kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna dalam
terma-terma berupa sekumpulan tanda yang dengannya masyarakat melakukan
suatu tindakan, mereka dapat hidup di dalamnya, ataupun menerima celaan atas
makna tersebut dan kemudian menghilangkannya. Dengan demikian, kebudayaan
menemukan artikulasinya melalui alur tingkah laku, atau melalui tindakan sosial.
Menurut Geertz (dalam Saiffudin, 2006: 298-299) makna dalam
masyarakat harus berasal dari “native point of view” atau sudut pandang
17
masyarakat setempat, namun untuk menemukan makna yang didasarkan pada
pandangan native sesungguhnya relativistik. Yang dimaksud Geertz dalam hal ini
adalah suatu pandangan yang mencerminkan proses pengetahuan diri sendiri,
persepsi diri sendiri dan pemahaman diri sendiri bagi pengetahuan orang lain,
persepsi orang lain, dan pemahaman orang lain yang mengidentifikasi dan
memilah siapa pengamat dan siapa orang-orang yang diamati.
Dalam penelitian ini, teori interpretatif simbolik yang diungkapkan oleh
Geertz digunakan untuk mengkaji makna-makna yang terdapat dalam gamelan
selonding. Sesuai dengan anggapan Geertz, maka setiap kebudayaan merupakan
suatu simbol. Gamelan selonding dalam kehidupan masyarakat Desa Bungaya
merupakan suatu simbol, yang di dalamnya terkandung makna-makna yang perlu
diinterpretasi. Eksistensi gamelan selonding di Desa Bungaya hingga saat ini juga
tidak bisa dipisahkan dari peran agama Hindu sebagai dasar kegiatan-kegiatan
ritual yang secara rutin masih dilakukan di Desa Bungaya. Oleh karena itu,
simbol-simbol agama Hindu yang terkait dengan gamelan selonding juga perlu
untuk dibahas. Adapun simbol yang dimaksud dapat berupa simbol konkret (yang
bisa dilihat), mitos, filosofi, ungkapan, dan sebagainya. Simbol tidak hanya dilihat
secara abstrak melainkan dalam konteks sosial, di mana suatu sistem simbol
dijadikan makna oleh masyarakat, yang kemudian membentuk praktik kehidupan
dan bermasyarakat (Arif, 2010: 211). Dengan menggunakan teori ini, peneliti
dapat menginterpretasikan setiap simbol yang terkandung dalam gamelan
selonding di Desa Bungaya, sehingga diperoleh alasan mengenai mengapa
gamelan selonding masih eksis dan sangat disakralkan di desa tersebut.
18
1.6
Konsep
Konsep merupakan definisi singkat mengenai sekelompok fakta atau
gejala yang menjadi pokok perhatian dalam penelitian yang bersangkutan.
Konsep-konsep yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah eksistensi,
gamelan selonding, fungsi, dan makna.
1.6.1
Eksistensi
Eksistensi berasal dari kata exist dalam bahasa Inggris yang artinya ‘ada’.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa eksistensi merupakan kata
serapan dari bahasa Inggris yang diartikan sebagai keberadaan yang menunjukkan
akan suatu hal. Menurut Abidin Zaenal (2007: 16) eksistensi adalah suatu proses
yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi
itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi.
Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan
mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada
kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya.
1.6.2
Gamelan Selonding
Gamelan (dalam Bandem, 2013: 271) merupakan sebuah ansambel atau
orkestra yang sebesar instrumennya berupa alat perkusi seperti gangsa, kendang,
gong, kempur, kajar, kempli, reyong, trompong, dan kendang yang menggunakan
laras pelog dan slendro. Dalam gamelan umumnya terdapat sejumlah alat tiup dan
gesek seperti suling dan rebab. Munculnya istilah gamelan sebagai salah satu
penyebutan seni musik tradisional sampai sekarang belum bisa diketahui secara
19
pasti. Kata gamelan berasal dari bahasa Jawa Kuna, yaitu gamel yang berarti
“memegang” atau “memetik”. Gamel sebagai salah satu istilah bentuk instrumen
baru muncul sekitar abad XII dalam kitab Bharatayudha yang digubah oleh Mpu
Sedah dan Mpu Panuluh pada masa Kerajaan Kediri (Wirjosuparto dalam Arsini,
1994: 13).
Selonding adalah jenis gamelan sakral yang terbuat dari besi. Kata
selonding diduga berasal dari kata salon yang artinya “tempat” dan ning berarti
“suci”, jadi gamelan selonding adalah yang disucikan dan dikeramatkan (Bandem,
1983:53). Dalam Tusan (2002: 16) juga disebutkan bahwa seorang berkebangsaan
Swiss bernama Meier juga pernah menafsirkan kata selonding dengan “SalonNing” yang berarti tempat suci. Tusan juga menyebutkan bahwa asal-muasal kosa
kata “selonding “ itu bermula dari kata “salunding”. Mardiwarsito (1985: 495)
menyebutkan bahwa salunding itu adalah alat bunyi-bunyian atau gamelan
semacam sarun (lihat juga Tusan, 2002: 14).
Gamelan selonding merupakan seperangkat alat musik pukul, memiliki
laras pelog saih pitu, dan umumnya terdapat di desa-desa Bali Aga, seperti Desa
Bungaya, Tenganan Pegringsingan, dan Timbrah, Kabupaten Karangasem
(Bandem, 2013). Gamelan ini terdiri dari bilah-bilah yang lebar dan berbahan
dasar besi yang diletakkan di atas wadah gema berbentuk bak yang terbuat dari
kayu. Gamelan ini dipukul dengan panggul (seperti palu dari bahan kayu).
Permainan selonding menggunakan teknik dua tangan.
Gamelan ini merupakan salah satu jenis gamelan sakral. Di Desa Bungaya,
gamelan ini hanya boleh dimainkan oleh orang yang berstatus penanga
(pemangku gamelan selonding) dan pragina selonding. Di beberapa masyarakat,
20
gamelan ini disebut Bhatara Bagus Selonding. Gamelan selonding menggunakan
laras pelog saih pitu, yaitu lima nada pokok dan dua nada pemero. Kendati pun
demikian, semua nada bisa digunakan sebagai tonika, tergantung dari lagu-lagu
yang dimainkan. Di samping gamelan ini untuk memainkan lagu-lagu sakral, juga
dapat digunakan untuk mengiringi tari sakral seperti Rejang dan saat upacara
usaba.
1.6.3
Fungsi
Fungsi (dalam Fuadi, 2013) adalah suatu proses yang di dalamnya terdapat
beberapa komponen-komponen yang saling mempengaruhi dan bertujuan untuk
menghasilkan suatu tujuan tertentu. Menurut Kartasapoetra dan Hartini (dalam
Fitrianto, 2013), fungsi atau function dapat didefinisikan sebagai berikut: (1)
kegunaan; (2) golongan dari berbagai aktivitas organisatoris; (3) kontribusi unsur
tertentu pada seluruh kegiatan; (4) suatu tipe aksi di mana bisa dilaksanakan
secara khas oleh suatu struktur tertentu. R. Stryker (dalam Ritzer, 2015)
menyebutkan bahwa suatu fungsi (function) adalah kumpulan kegiatan yang
ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem.
Menurut Robert K Merton, fungsi adalah konsekuensi-konsekuensi yang
dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu.
Merton (dalam Ritzer, 2015:136) memperkenalkan konsep fungsi nyata (manifes)
dan fungsi tersembunyi (laten). Fungsi manifes yaitu konsensus objektif yang
membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem dan itu disadari oleh partisipan
atau anggota sistem, sedangkan fungsi laten yaitu fungsi yang tidak dimaksudkan
atau tidak disadari.
21
Fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegunaan atau
kontribusi dari budaya masyarakat, dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah
gamelan selonding. Fungsi tersebut ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan
masyarakat, yang dalam hal ini adalah masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan
Bebandem, Karangasem. Kebutuhan yang dimaksud utamanya merupakan
kebutuhan rohani yang menyangkut masalah kepentingan upacara dan ritual
keagamaan.
1.6.4
Makna
Mead (dalam Ritzer, 2015: 275) mengungkapkan bahwa makna bukan
berasal dari proses mental yang menyendiri, tetapi berasal dari interaksi. Makna
dapat muncul dari hubungan atau interaksi manusia dengan lingkungan.
Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan transenden (niskala) dan
lingkungan imanen (sekala). Makna merupakan arti dari suatu objek (Suarsana,
2008).
Geertz berpendapat bahwa makna dalam kebudayaan bersifat publik dan
kembali kepada konteks masyarakat pendukungnya, karena mereka saling berbagi
konteks makna dalam kebudayaan tersebut. Secara sosial kebudayaan terdiri dari
struktur-struktur makna dalam tema-tema berupa sekumpulan tanda yang
dengannya masyarakat melakukan suatu tindakan, mereka dapat hidup di
dalamnya, ataupun menerima celaan atas makna tersebut dan kemudian
menghilangkannya. Dengan demikian, kebudayaan menemukan artikulasinya
melalui alur tingkah laku, atau melalui tindakan sosial.
22
Dalam penelitian ini, makna yang dimaksud adalah hasil dari interpretasi
simbol-simbol dan nilai-nilai yang melekat dalam gamelan selonding. Mengikuti
pandangan Geertz bahwa makna dalam kebudayaan bersifat publik dan sesuai
konteks masyarakat pendukungnya, maka dalam hal ini simbol dan nilai yang
diinterpretasi merupakan simbol dan nilai yang melekat dalam konteks kehidupan
masyarakat Desa Bungaya.
1.7
Model Penelitian
Model penelitian dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut.
Bagan 1.1
Model Penelitian
GLOBALISASI
MASYARAKAT DESA
BUNGAYA
EKSISTENSI GAMELAN
SELONDING
SEJARAH
PERKEMBANGAN
FUNGSI
Keterangan garis
: berpengaruh langsung
: pengaruh bolak-balik
MAKNA
23
Keterangan Bagan:
Era globalisasi merupakan suatu era yang ditandai oleh bentuk pergaulan
dan interaksi dengan berbagai bangsa dan negara yang dimungkinkan oleh
perkembangan di bidang transportasi, media, dan pariwisata. Globalisasi juga
memungkinkan setiap orang untuk mengakses informasi yang hampir tak terbatas.
Globalisasi merasuki tiap-tiap tempat dan wilayah di seluruh dunia. Desa Bungaya
yang terletak di Kecamatan Bebandem, Karangasem merupakan wilayah yang
tidak luput dari isu globalisasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan
masyarakatnya yang sudah akrab dengan teknologi dan media.
Globalisasi memiliki dampak dalam perubahan suatu kebudayaan
masyarakat. Dalam ilmu antropologi, kebudayaan memang dikatakan sebagai
suatu yang bersifat dinamis, namun globalisasi seakan mempercepat proses
perubahan tersebut. Perubahan ada yang bernilai positif, ada pula yang negatif.
Salah satu dampak negatif globalisasi dalam kebudayaan nusantara adalah
semakin tergesernya nilai-nilai kebudayaan nusantara oleh kebudayaankebudayaan pop (popular culture). Untuk mempertahankan kebudayaan nusantara
tersebut, masyarakat harus memiliki suatu sistem yang kuat untuk menjaga nilainilai yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.
Masyarakat Desa Bungaya merupakan salah satu masyarakat yang masih
mempertahankan keluhuran budaya mereka. Salah satu keluhuran budaya yang
hingga kini masih bertahan di dalam kehidupan masyarakat Desa Bungaya adalah
instrumen atau alat musik bernama gamelan selonding. Hingga saat ini, eksistensi
gamelan selonding pada masyarakat Desa Bungaya masih tetap terjaga.
Keberadaan gamelan selonding ini pun sangat disakralkan oleh masyarakat Desa
24
Bungaya. Kesakralan gamelan selonding tercermin dari cara masyarakat
memperlakukan gamelan tersebut.
Gamelan selonding di Desa Bungaya memiliki sejarah perkembangan
yang cukup panjang karena termasuk jenis gamelan Golongan Tua (Wayah).
Gamelan ini diperkirakan telah ada di Bali pada masa sebelum Kerajaan
Majapahit, kemungkinan telah ada pada masa pemerintahan Raja Bali Kuna
pertama yaitu Sri Kesari Warmadewa. Dalam proses kesejarahan yang panjang
tersebut tentunya masyarakat pendukung kebudayaan selonding telah mengalami
dinamika. Meskipun ragam dinamika terjadi dalam kehidupan masyarakat,
gamelan ini terbukti masih bertahan dan masih ada yang sangat menjaga keutuhan
gamelan ini. Alasan bertahannya gamelan selonding dalam kehidupan masyarakat,
utamanya masyarakat Bali adalah karena memiliki fungsi yang sentral dalam
kehidupan religi. Di Desa Bungaya, gamelan selonding digunakan dalam upacara
besar, yaitu Usaba Gede/ Usaba Dangsil yang dilaksanakan sepuluh tahun sekali
atau lebih. Dalam upacara tersebut, selonding merupakan salah satu unsur yang
sangat penting.
Selain fungsinya yang sentral dalam kegiatan upacara keagamaan, di
dalam gamelan selonding juga mengandung nilai-nilai dan simbol-simbol yang
perlu diinterpretasi. Nilai dan simbol itu terkait dengan fungsi dan sejarah
gamelan selonding itu sendiri. Hasil dari proses interpretasi tersebut akan
mengungkap makna yang terkandung dalam gamelan selonding di Desa Bungaya.
Tentunya makna tersebut juga menjadi salah satu alasan mengapa gamelan
selonding hingga kini masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat Desa
Bungaya.
25
1.8.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang digunakan
untuk menggambarkan suatu kejadian atau fenomena yang terjadi oleh sebuah
subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan
dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan suatu konteks
yang alamiah (Moleong, 2012: 6). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan
eksistensi gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya, Kecamatan
Bebandem, Kabupaten Karangasem. Dengan demikian permasalahan yang diteliti
dapat dikaji secara mendalam serta diuraikan secara sistematis dan faktual.
Subyek penelitian (orang, tempat, atau benda yang diamati) adalah
gamelan selonding yang terdapat di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem,
Kabupaten Karangasem. Selain itu, masyarakat Desa Bungaya yang menjadi
pendukung kebudayaan selonding ini juga menjadi subyek dalam penelitian ini.
Adapun obyek penelitian (pokok persoalan yang hendak diteliti untuk
mendapatkan data secara lebih terarah) adalah sejarah perkembangan gamelan
selonding di Desa Bungaya, fungsi, serta makna gamelan selonding bagi
masyarakat Desa Bungaya.
1.8.1
Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem,
Kabupaten Karangasem, Bali. Alasan dipilihnya Desa Bungaya sebagai lokasi
penelitian adalah sebagai berikut:
1) Gamelan selonding di Desa Bungaya hingga saat ini masih eksis.
26
2) Sekaa (kelompok) selonding yang disebut sebagai pragina selonding
di Desa Bungaya masih termasuk salah satu yang masih aktif.
3) Masyarakat Desa Bungaya hingga saat ini masih sangat mensakralkan
gamelan selonding.
4) Desa Bungaya memiliki jenis gegendingan selonding yang tidak
dimiliki oleh desa lainnya.
1.8.2
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dan dipakai dalam penelitian ini meliputi
data kualitatif berupa kata, kalimat, ungkapan, mitos. Selain itu dalam menangkap
simbol-simbol yang ada dalam sebuah gamelan selonding juga perlu
memperhatikan gesture tubuh dan perilaku masyarakat dalam memperlakukan
gamelan selonding.
Dilihat dari sumbernya, data tersebut akan digali dari sumber data primer
dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam hal ini adalah sumber data
yang datanya itu digali sendiri oleh peneliti, baik melalui pengamatan maupun
wawancara, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data telah ada dalam
dokumentasi, berupa buku atau karya-karya ilmiah lainnya yang ada relevansinya
dengan penelitian ini.
1.8.3
Teknik Penentuan Informan
Penetapan informan dilakukan menggunakan teknik snow-ball. Adapun
yang dimaksud dengan teknik snow-ball adalah penentuan informan dengan mulamula menetapkan kelompok kecil orang sebagai informan, kemudian berdasarkan
27
rekomendasi informan sebelumnya, akan dicari informan-informan lain yang
dianggap dapat melengkapi data yang dicari. Pencarian informan dan data
dilakukan secara terus-menerus hingga data dianggap jenuh atau informasi sudah
dianggap memadai.
Berdasarkan jenisnya, informan dapat dibedakan menjadi informan kunci
dan informan biasa. Informan kunci merupakan informan yang dianggap sangat
memahami seluk-beluk permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Dalam
penelitian mengenai “Eksistensi Gamelan Selonding di Desa Bungaya, Kecamatan
Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali” ini yang berfungsi sebagai informan
kunci adalah Kelihan Adat Desa Bungaya, De Penanga, pragina selonding, serta
peneliti gamelan selonding. Informan biasa merupakan informan yang bisa
memberikan informasi, namun pengetahuannya akan permasalahan tidak sedalam
informan kunci, misalnya Kepala Desa Bungaya dan masyarakat Desa Bungaya.
1.8.4 Instrumen Penelitian
Mengingat penelitian ini bersifat kualitatif, maka dengan mengacu pada
apa yang diungkapkan oleh Moleong (2012: 9), instrumen utama (primer)
penelitian ini adalah peneliti sendiri. Akan tetapi, mengingat keterbatasan
kemampuan peneliti sendiri, maka digunakan pula instrumen tambahan, yaitu
pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera, dan alat tulis.
28
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengkaji permasalahan
adalah
pengamatan
(observasi),
wawancara,
dan
penggunaan
dokumen
(kepustakaan). Adapun teknik-teknik tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.
1.8.5.1 Pengamatan (Observasi)
Pengamatan (observasi) adalah suatu upaya mencermati kenyataan dalam
berbagai kegiatan yang terkait dengan permasalahan dan tujuan penelitian, yang
dalam hal ini adalah makna gamelan selonding bagi masyarakat Desa Bungaya,
Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Hal yang perlu diamati yaitu
kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat saat ini dalam memperlakukan
gamelan selonding.
Dalam penelitian ini, jenis observasi yang akan dilakukan adalah observasi
partisipasi. Observasi partisipasi yang dimaksud dalam hal ini adalah peneliti turut
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh informan, seperti
membantu kegiatan kerja bakti dan membantu kegiatan ngayah dalam upacaraupacara yang berlangsung di desa. Hal ini diperlukan untuk memudahkan peneliti
dalam berbaur, sehingga proses mendapatkan data menjadi lebih mudah
dilakukan. Membangun hubungan yang baik dengan informan juga dapat
meningkatkan kualitas data yang diperoleh.
1.8.5.2 Wawancara
Wawancara adalah teknik yang dimaksudkan guna menggali informasi
dari para informan. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara
29
mendalam. Pertanyaan diajukan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah
disiapkan sebelumnya, namun tidak menutup kemungkinan untuk menanyakan
hal-hal yang berada di luar pedoman wawancara. Hal ini dilakukan agar
narasumber dapat bersikap terbuka dan fleksibel.
Menurut Spradley (2006:68), untuk menemukan informan yang baik,
setidaknya ada lima syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) enkulturasi penuh, (2)
keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, (4) waktu yang
cukup, dan (5) non-analitis. Enkulturasi penuh yang dimaksud dalam hal ini
adalah informan harus mengetahui budaya mereka dengan begitu baik, tanpa
harus memikirkannya. Informan yang baik juga merupakan orang yang terlibat
langsung dalam suasana budaya. Informan juga sebaiknya memiliki waktu luang
yang cukup.
Beberapa informan menggunakan bahasa mereka untuk menggambarkan
berbagai kejadian dan tindakan dengan cara yang hampir tanpa analisis mengenai
arti atau signifikasi dari kejadian dan tindakan, namun ada juga informan yang
memberikan analisis dan interpretasi dengan penuh pengertian mengenai berbagai
kejadian itu dari perspektif “teori penduduk asli”. Kedua jenis informan itu dapat
menjadi informan yang baik (Spradley, 2006:76).
Berdasarkan kriteria yang disampaikan oleh Spradley, maka dalam
penelitian ini informan yang hendak digali informasinya adalah krama Desa Adat
Bungaya yang dituakan (tokoh adat) dan sekaa gamelan selonding (penanga dan
pragina selonding) sebagai informan kunci, sedangkan sebagai informan biasa
yaitu beberapa krama Desa Adat Bungaya. Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan wawancara dengan pakar gamelan di Bali sebagai
30
perbandingan. Pemilihan informan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa
merekalah yang mengetahui informasi perihal permasalahan yang hendak dikaji.
1.8.5.3 Penggunaan Dokumen (Kepustakaan)
Penggunaan dokumen (kepustakaan) dalam penelitian ini digunakan untuk
memperoleh data dan keterangan yang ada dalam dokumen yang terkait dengan
permasalahan penelitian ini, seperti profil Desa Bungaya, hasil-hasil penelitian
mengenai Desa Bungaya dan gamelan selonding, foto-foto yang berkaitan dengan
gamelan selonding, serta dokumen lain yang dapat menunjang penelitian.
1.8.6
Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Hal ini dikarenakan sifat data
yang dikumpulkan adalah dalam bentuk tanda dan simbol, sehingga tidak dapat
disusun ke dalam suatu struktur klasifikatoris. Adapun seperti yang dijelaskan
oleh Miles dan Huberman (2014), prosedur analisis data dapat dilakukan dengan
tahapan, yakni reduksi data, penyajian data sementara, penafsiran data, dan
menarik simpulan.
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus
selama proyek yang berorientasi penelitian kualitatif berlangsung (Miles &
Huberman,
2014:16).
Reduksi
data
meliputi
berbagai
kegiatan,
yakni
penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, pengkodean, penggolongan, pembuatan
31
pola, foto dokumentasi untuk situasi atau kondisi yang memiliki makna subyektif,
kutipan wawancara yang memiliki makna subyektif, dan catatan reflektif.
Penyajian dan penafsiran data berkaitan dengan penyusunan teks naratif dalam
kesatuan bentuk, keteraturan, pola, penjelasan, konfigurasi, alur sebab-akibat, dan
proposisi. Sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi antara lain mencakup
hal yang hakiki, makna subyektif, temuan konsep, dan proses universal. Tahapantahapan tersebut tentunya tidak bisa terlepas dari masalah yang dikaji.
Analisis seperti ini dapat dilakukan secara terus-menerus. Rangkaian ini
bukan dilakukan dalam satu kali tahapan, melainkan terus berulang tahap demi
tahap untuk mencapai dan menjawab rumusan masalah yang dikaji dalam
penelitian ini.
Download