PB 10Daniel intro.indd

advertisement
Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia
Menyediakan Pelayanan
Pendidikan Dasar
Berkualitas Tinggi
Daniel Suryadarma
Publikasi Ikhtisar Kebijakan Singkat ini merupakan hasil dari
Aktivitas ‘Kebijakan Ekonomi di Indonesia’ yang dilakukan oleh Centre
for Strategic and International Studies (CSIS) dan Economic Research
Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Kegiatan ini merupakan
kontribusi pemikiran dari komunitas penelitian/riset, yang diharapkan
dapat membantu meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah.
Dalam kegiatan ini, CSIS bersama dengan ERIA mengundang 16 ahli
ekonomi dari berbagai institusi penelitian terkemuka yang kompeten
pada bidang keahlian yang spesifik, untuk berdiskusi mengenai tujuh
permasalahan strategis ekonomi Indonesia (pembangunan infrastruktur,
kebijakan daya saing, iklim investasi, kebijakan pangan, kebijakan
sektor jasa, kebijakan fiskal, dan kebijakan perlindungan sosial),
yang kemudian dikumpulkan dalam rangkaian ikhtisar kebijakan singkat
(policy brief) untuk masing-masing topik.
Diseminasi hasil temuan dan rekomendasi yang dihasilkan
kegiatan ini dilakukan melalui berbagai jalur. Kegiatan ini berusaha
untuk melibatkan pejabat pemerintah yang terkait melalui sejumlah
Focus Group Discussion (FGD) dan Audiensi dengan pengambil kebijakan
strategis, yang terkait dengan masing-masing topik di atas. Sementara itu,
diseminasi kepada publik secara luas juga dilakukan melalui sejumlah
Seminar Publik mengenai masing-masing topik, serta melalui publikasi
Ikhtisar Kebijakan Singkat dan sejumlah multimedia pendukung yang
dapat diakses secara online melalui www.paradigmaekonomi.org.
1
Pesan Utama
• Guru-guru memiliki peran penting dalam meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia
• Untuk meningkatkan kinerjanya, guru-guru perlu diberikan
dorongan secara positif untuk berfokus pada pembelajaran murid.
• Studi percontohan di Jawa Tengah dan Yogyakarta menunjukkan
bahwa komunitas masyarakat dapat diperlengkapi untuk
memberikan dorongan positif tersebut.
• Peranan potensial yang dimiliki komunitas masyarakat bergantung
pada konteks spesifik dan kemampuan dari komunitas tersebut.
Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
merumuskan cara-cara yang tepat, yang melaluinya komunitas
masyarakat dapat secara positif memengaruhi penyediaan
jasa pendidikan.
Pendahuluan
Setelah lebih dari 10 tahun mereformasi sistem pendidikan dan secara
signifikan meningkatkan investasi publik di sektor tersebut, Indonesia telah
menikmati manfaat yang besar. Tobias et al (2014) menjelaskan sejumlah
pencapaian utama, antara lain: partisipasi universal dari pendidikan tingkat
dasar (SD), peningkatan signifikan pada tingkat keberlanjutan (continuation rate)
pendidikan dari SD ke SMP, serta berkurangnya jarak pencapaian (attainment
gap) berdasarkan status sosial-ekonomi dan jenis kelamin. Hasil tes PISA
(Program for International Student Assessment) juga mengindikasikan bahwa
kemampuan membaca murid di Indonesia telah meningkat secara signifikan
dari tahun 2000 ke 2012.
Namun demikian, masih terdapat beberapa tantangan dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Meskipun telah membelanjakan 4% dari PDB
untuk sektor pendidikan dan telah melipat-gandakan upah guru (Al-Samarrai
dan Cerdan-Infantes, 2013), namun kinerja murid/pelajar Indonesia masih
merupakan salah satu yang terburuk dalam perbandingan internasional. Kinerja
di bidang matematika dan ilmu pengetahuan tidak menunjukkan perubahan
signifikan dari tahun 2000. Dalam 15 tahun terakhir, tidak ditemukan bukti
meyakinkan yang menunjukkan penyempitan gap kemampuan matematika
dan ilmu pengetahuan antara pelajar kaya dan miskin, maupun antara
pelajar dari daerah perkotaan dan pedesaan (Tobias et al, 2014). Selain itu,
tingkat partisipasi pendidikan menengah di bagian timur Indonesia masih
sangat rendah.
Guru memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Secara konsep, ada tiga jalur di mana guru dapat memengaruhi kualitas
pendidikan, yakni: (1) pengetahuan konten; (2) pengetahuan pedagogi,
dan; (3) motivasi. Pengetahuan konten ditentukan terutama oleh pendidikan
formal yang dimiliki guru tersebut. Kualifikasi yang dibutuhkan umumnya
tergantung dari jenis pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut dan pada
tingkat pendidikan di mana guru tersebut mengajar. Apabila guru tersebut telah
2
memenuhi kualifikasi pendidikan formal yang disyaratkan, maka guru tersebut
diasumsikan telah memiliki pengetahuan konten yang memadai. Bank Dunia
(2016) menemukan bahwa pengetahuan yang dimiliki guru mengenai bahan
ajar dapat menjelaskan setengah dari variasi pada hasil pembelajaran siswa
tingkat pendidikan dasar.
Cara kedua, yakni pengetahuan pedagogi, berkaitan dengan kemampuan
guru dalam menilai tingkat pembelajaran murid-muridnya, serta seberapa guru
tersebut mengetahui metode yang paling tepat dan efektif untuk memfasilitasi
proses pembelajaran bagi murid-muridnya. Kebanyakan pengetahuan pedagogi
yang dimiliki oleh guru bisa didapatkan dari pelatihan sebelum terjun mengajar,
dan terus dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan pelatihan yang diadakan
sepanjang karier guru tersebut.
Aspek ketiga, motivasi, adalah hal yang mendorong seorang guru untuk
memberikan usaha (effort) yang mencukupi untuk mengimplementasikan
pengetahuan konten dan pedagogi yang dimilikinya di ruang kelas. Guru yang
memiliki motivasi tinggi akan mengajar dengan pengetahuan terbaik yang
dimilikinya. Sebaliknya, guru yang kurang termotivasi tidak akan menunjukkan
kinerja yang baik, meskipun mungkin saja memiliki pengetahuan konten dan
pedagogi yang mencukupi. Oleh karena itu, motivasi mengubah pengetahuan
menjadi praktik, dan pada akhirnya menentukan kualitas pembelajaran yang
didapatkan oleh para murid.
Kebijakan pendidikan akhir-akhir ini telah memberikan perhatian pada ketiga
aspek di atas. Kebijakan yang mewajibkan guru untuk memiliki setidaknya gelar
S1 jelas merupakan langkah untuk memastikan guru memiliki pengetahuan
konten yang memadai. Program sertifikasi guru umumnya mewajibkan guruguru untuk mengikuti pelatihan lebih lanjut dalam hal pedagogi sebelum
dapat menerima sertifikat mengajar. Selain itu, program sertifikasi tersebut juga
ditujukan untuk meningkatkan motivasi guru dengan menyediakan tunjangan
besar, yang setara dengan melipat-gandakan gaji guru. Tunjangan tambahan
juga diberikan untuk guru-guru yang bertugas di daerah terpencil.
Sayangnya, kebijakan-kebijakan ini tidak terbukti efektif. Bank Dunia
(2016) menemukan bahwa pengaruh dari kebijakan persyaratan bagi guru
untuk memiliki gelar S1 terhadap pembelajaran oleh siswa sangat kecil. Dalam
studi lain, de Ree et al (2016) menemukan bahwa meskipun pelipat-gandaan
upah guru yang tersertifikasi telah memperbaiki situasi keuangan guru,
namun kebijakan tersebut tidak memiliki dampak yang terukur terhadap hasil
pembelajaran siswa.
Ikhtisar kebijakan singkat ini akan menggunakan konsep-konsep ekonomi
untuk menjelaskan fenomena kurang memuaskan yang dijabarkan dalam
paragraf-paragraf sebelumnya, serta memberikan pemikiran dan saran untuk
memotivasi para guru dalam meningkatkan kinerja pembelajaran siswa.
Bagian selanjutnya memberikan penjelasan singkat mengenai insentif bagi
guru. Bagian ketiga menjabarkan hasil studi percontohan di Jawa Tengah yang
telah berhasil untuk meningkatkan motivasi guru. Bagian terakhir membahas
sejumlah catatan penting yang perlu diperhatikan dalam analisis ini.
Motivasi Guru: Perspektif Ekonomi
Teori ekonomi mengenai pengambilan keputusan individu menjelaskan
bahwa setiap individu selalu memaksimalkan tingkat utilitasnya dan mengambil
keputusan berdasarkan preferensi dan batasan (constraint) yang dihadapinya.
3
Dengan kata lain, dengan sejumlah batasan yang dihadapi, setiap individu
akan berlaku sedemikian sehingga kepuasan/utilitasnya dapat dimaksimalkan
berdasarkan preferensi-preferensi yang dimilikinya. Cara lain untuk menjelaskan
perilaku individu tersebut adalah dengan penjelasan minimalisasi biaya.
Untuk mencapai suatu tingkat utilitas tertentu, seseorang akan berusaha untuk
meminimalisasi biaya yang diperlukan untuk mencapai tingkat utilitas tersebut.
Konsep ini dapat diterapkan pada program sertifikasi guru. Dua aspek utama
dari program ini adalah bahwa: (1) Sertifikasi bersifat permanen: seorang guru
tidak dapat kehilangan status sertifikasinya, dan; (2) Sertifikasi ini didasarkan
pada kualifikasi akademis, di mana pegawai negeri sipil dengan gelar S1 dan
guru tetap di sekolah swasta dengan gelar S1 dapat secara otomatis tersertifikasi.
Guru senior (peringkat IV, dengan usia di atas 50 dan memiliki pengalaman
mengajar lebih dari 20 tahun) diberikan pengecualian dari kewajiban gelar
S1, dan secara langsung tersertifikasi. Perlu diperhatikan sejumlah hal penting
lainnya yang tidak dipertimbangkan dalam program sertifikasi, seperti:
praktik guru tersebut (persiapan, pengajaran di kelas, dan penilaian) dan hasil
pembelajaran siswa. Dengan sejumlah karakteristik kebijakan yang dijelaskan
di atas, tidaklah mengherankan dari sudut pandang ekonomi jika kebijakan
tersebut tidak memiliki dampak pada hasil pembelajaran siswa.
Secara singkat, untuk memahami permasalahan rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia, cara berpikir ekonomi menunjukkan bahwa batasan
(constraint) dan insentif yang dihadapi oleh para guru harus diperhitungkan.
Menurut Bjork (2005), kinerja guru tidak dinilai dari hasil pembelajaran
siswa, melainkan dari bagaimana mereka dapat memenuhi tuntutan kepala
sekolah dan dinas pendidikan setempat. Terlebih, pada masa Orde Baru, guru
merupakan bagian dari aparat negara yang tugas utamanya adalah untuk
memastikan siswa mengerti konsep kebangsaan Indonesia. Studi terbaru dari
Rosser (2015) juga menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Bjork.
Studi tersebut menunjukkan bahwa “guru telah terinkorporasi pada suatu
jaringan patronase politik, di mana guru diposisikan sebagai klien, penggerak
suara politik (vote mobilisers), dan agen kontrol politik, ketimbang sebagai
agen/penggerak dari pendidikan dan keadilan.” Studi ini juga menunjukkan
bahwa sejumlah pembaharuan (reforms) yang dilakukan sejak 1998 masih
belum mencukupi untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Oleh karena itu, perlu dilakukan reorientasi pada sistem yang ada agar guru
mendapatkan insentif yang lebih besar untuk memastikan murid-muridnya
mampu untuk belajar dan meningkatkan keahlian mereka. Terkait dengan hal
tersebut, sebuah studi percontohan di Jawa Tengah dan beberapa negara lain
menunjukkan bahwa keterlibatan komunitas masyarakat dapat lebih efektif
dalam memotivasi guru. Bagian berikut ini akan membahas hal tersebut secara
lebih terperinci.
Memotivasi Guru Melalui Penguatan Partisipasi Komunitas
Masyarakat
Sebagai pemangku kepentingan utama dalam jasa pendidikan, para orang
tua dan pemimpin masyarakat memiliki harapan agar anak-anak mereka dapat
benar-benar mempelajari sesuatu yang bermanfaat di sekolah. Komunitas
masyarakat, dengan fasilitas yang memadai, dapat secara aktif ikut serta dalam
usaha perbaikan pelayanan pendidikan dengan cara memodifikasi struktur
insentif yang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah.
4
Di Indonesia, partisipasi komunitas masyarakat pada pendidikan diakui
secara formal. Sejumlah regulasi telah menetapkan bahwa, “masyarakat dapat
ikut ambil bagian dalam perbaikan kualitas pelayanan pendidikan, yang meliputi
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi dari program pendidikan (Bandur dan
Gamage, 2014).” Partisipasi masyarakat secara spesifik dapat dilakukan misalnya
melalui komite sekolah, yang terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, dan
perwakilan masyarakat. Anggota komite tersebut seharusnya ditentukan melalui
pemilihan yang terbuka.
Meskipun konsep partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan telah ada
sejak 1950 (Bandur dan Gamage, 2014), hal tersebut masih dianggap lemah
dan kurang efektif. Pradhan et al (2014) menemukan bahwa fungsi utama
dari masyarakat selama ini adalah penyediaan uang/dana, yang kemudian
didistribusikan melalui kepala sekolah. Namun demikian, kondisi sekolahsekolah yang dideskripsikan oleh Bjork (2005) memang tidak mendukung
terjadinya akuntabilitas dalam penggunaan dana tersebut.
Di antara tahun 2007 dan 2010, peneliti dari berbagai universitas yang
bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan
aktivitas percontohan untuk memperkuat komite sekolah. Aktivitas percontohan
ini melibatkan 520 sekolah dasar negeri di 6 kabupaten di Jawa Tengah dan
Yogyakarta (Pradhan et al, 2014).
Penelitian ini melakukan dua jenis intervensi pada usaha penguatan
komite sekolah. Intervensi pertama melakukan penguatan yang lebih bersifat
tradisional, seperti pemberian dana hibah dan pelatihan. Komite sekolah
diberikan dana hibah yang cukup besar serta mendapatkan pengarahan dalam
mengalokasikan serta mengawasi penggunaan dana hibah tersebut. Selain itu,
komite sekolah juga diberikan pelatihan selama dua hari mengenai perencanaan,
penyusunan anggaran, dan cara-cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Sementara itu, intervensi kedua dilakukan melalui sejumlah reformasi institusi
dengan pendekatan berbeda, yang ditujukan untuk memperbaiki modal sosial
(social capital) dari komite sekolah, secara spesifik melalui peningkatan dalam
kepercayaan (trustworthiness) serta hubungan dengan masyarakat. Intervensi
ini juga memfasilitasi pemilihan anggota komite sekolah secara demokratis,
serta menghubungkan komite sekolah dengan dewan kelurahan/desa dengan
mengadakan rapat perencanaan bersama.
Hasil dari studi percontohan ini menunjukkan bahwa intervensi penguatan
komite sekolah yang bersifat tradisional tidak memiliki dampak yang signifikan
terhadap guru, manajemen sekolah, masukan masyarakat pada pendidikan,
maupun hasil pembelajaran siswa. Sebaliknya, penguatan komite sekolah
dengan pendekatan berbeda, yang lebih menekankan pada peningkatan modal
sosial, secara signifikan meningkatkan jam kerja guru serta masukan masyarakat
pada pendidikan. Selain itu, kepala sekolah umumnya menyatakan tingkat
kepuasan yang lebih tinggi dengan komite sekolah dan dengan partisipasi
masyarakat. Hasil pembelajaran siswa pun meningkat secara signifikan.
Percontohan ini menunjukkan bahwa masyarakat memilikan potensi untuk
memegang peranan penting dalam memotivasi guru dan kepala sekolah
agar kualitas pendidikan dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan struktur partisipasi masyarakat yang telah ada, seperti komite
sekolah. Meningkatkan kepercayaan dan reputasi komite sekolah di mata
masyarakat adalah faktor kunci bagi komite sekolah untuk mendapatkan
legitimasi yang dibutuhkannya agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Namun demikian, hasil studi percontohan tersebut perlu diletakkan dalam
konteksnya. Studi tersebut dilakukan di daerah yang secara relatif lebih
5
maju dalam hal infrastruktur, standar sosio-ekonomi, dan tingkat pendidikan
masyarakat. Sekolah-sekolah yang berpartisipasi pada studi percontohan
tersebut memiliki infrastruktur dan fasilitas pengajaran yang lengkap, dan guruguru yang ada sudah memenuhi persyaratan pendidikan minimum. Belum dapat
dipastikan bahwa hasil yang sama dapat dicapai di daerah-daerah yang lebih
miskin dan terpencil. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan jenis
partisipasi masyarakat yang paling tepat untuk lingkungan masyarakat dengan
karakteristik atau kapasitas yang berbeda dengan kelompok masyarakat dalam
studi percontohan.
Terlepas dari partisipasi masyarakat yang spesifik, prinsip yang paling
penting untuk diperhatikan adalah “dorongan positif” (positive pressure).
Konsep yang dipelopori oleh Fullan (2010) tersebut mencakup: urgensi terfokus,
kemitraan dan kebersamaan, transparansi data, akuntabilitas tanpa hukuman,
serta sinergi. Dorongan negatif sangat perlu dihindari karena dapat menghasilkan
semangat juang (morale) yang rendah, pengajaran hanya untuk ujian,
serta perilaku yang tidak semestinya –hal-hal yang seringkali ditemukan
pada guru di seluruh Indonesia. Segala bentuk intervensi potensial yang
ditujukan untuk meningkatkan motivasi guru harus dirancang berdasarkan
kriteria-kriteria tersebut.
Penutup
Sektor pendidikan di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Ulasan
kebijakan ini hanya membahas salah satu isu, yaitu motivasi guru. Ulasan kebijakan
ini juga mengajukan sebuah rekomendasi, yaitu menekankan pentingnya peranan
masyarakat dalam memberikan dorongan positif kepada sekolah, agar guru dapat
lebih termotivasi untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran dari para siswa.
Ada banyak isu lain yang tidak dibahas oleh ulasan ini namun secara umum
diketahui oleh para pembuat kebijakan. Hal tersebut meliputi rendahnya tingkat
pendaftaran sekolah di Indonesia bagian Timur (Tobias et al, 2014); kurikulum;
kebutuhan bagi guru tetap untuk terus meningkatkan keahlian pedagogi dan
mata ajar mereka; isu-isu korupsi (Suryadarma, 2012); politisasi pada tenaga
pendidik (Bjork, 2005); dan pentingnya kualitas pelatihan pengajaran sebelum
terjun ke lapangan. Melalui ulasan kebijakan ini diharapkan para pengambil
kebijakan dan pemangku kepentingan dapat menyadari bahwa pengkajian
ulang isu-isu pendidikan menggunakan perspektif eknomi dapat menghasilkan
usulan kebijakan baru yang dapat memberikan angin segar dalam usaha
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
6
Daftar Pustaka
ACDP. 2015. Study on Teacher Absenteeism in Indonesia. Jakarta: Analytical
and Capacity Development Partnership.
Al-Samarrai, Samer and Pedro Cerdan-Infantes. 2013. “Where did all the
money go? Financing basic education in Indonesia.” in D. Suryadarma
& G.W. Jones (eds.) Education in Indonesia. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies.
Bandur, Agustinus and David T. Gamage. 2014. “How did School Councils
in Indonesia Improve Teaching and Learning Environments and Student
Achievements?” Journal of Applied Research in Education, 18: 15-28.
Bjork, Christopher. 2005. Indonesian Education: Teachers, Schools, and
Central Bureaucracy. London and New York: Routledge.
de Ree, Joppe, Karthik Muralidharan, Menno Pradhan and Halsey Rogers.
2015. Double for Nothing? Experimental Evidence on the Impact of
an Unconditional Teacher Salary Increase on Student Performance in
Indonesia. Working Draft.
Fullan, Michael. 2010. “Positive Pressure.” in A. Hargreaves et al (eds.) Second
International Handbook of Educational Change. Berlin: Springer.
Pradhan, Menno, Daniel Suryadarma, Amanda Beatty, Maisy Wong, Arya
Gaduh, Armida Alisjahbana and Rima Prama Artha. 2014. “Improving
Educational Quality through Enhancing Community Participation:
Results from a Randomized Field Experiment in Indonesia.” American
Economic Journal: Applied Economics, 6(2): 105-126.
Rosser, Andrew. 2015. The Political Economy of Teacher Management in
Decentralised Indonesia. Mimeograph.
Suryadarma, Daniel. 2012. “How Corruption Diminishes the Effectiveness
of Public Spending on Education in Indonesia.” Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 48(1): 85-100.
Tobias, Julia, Joseph Wales, Ekki Syamsulhakim and Suharti. 2014. Towards
Better Education Quality: Indonesia’s Promising Path. London: Overseas
Development Institute.
7
Download