BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sasak Adi1 yang dikenal sebagai kota seribu masjid memiliki tipikal historis yang sangat hirarkhis dan agamis tentang praktik keagamaan dalam kehidupan masyarakat Sasak di Lombok Timur. Dalam menjalankan praktik keagamaan tersebut, masyarakat Sasak bukan berorientasi pada nilai seperti yang terdapat pada masyarakat egaliter pada umumnya. Akan tetapi orientasi mereka adalah hirarkhis yang berbasis pada kehidupan patron yaitu Tuan Guru (Kyai). Pola praktik keagamaan tersebut dapat mengakibatkan kuatnya pengagungan terhadap simbol personal Tuan Guru sebagai public figure. Jika terjadi penentangan terhadap simbol personal tersebut berarti sebagai penentangan terhadap kelompok agama. Sebaliknya dengan munculnya fanatisme terhadap figur Tuan Guru telah mengkonstruksi posisi agama Islam menjadi prioritas dalam kehidupan masyarakat Sasak. Masyarakat Sasak selalu “ngiring” Tuan guru melalui pengajian dan kegitan1 Sasak Adi sebutan untuk masyarakat Sasak di Lombok Timur dan masyarakat Lombok Barat dikenal dengan sebutan Lombok Mirah. Pembagian dua wilayah ini muncul ketika kerajaan Madjapahit menguasai pulau Lombok yang ketika itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Lombok Mirah Sasak Adi. Lombok Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakertagama (Desawarnana), sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahan kerajaan Madjapahit. Kata “Lombok” dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, “Mirah” berarti permata, “Sasak” berarti kenyataan dan “Adi” berarti yang baik (utama). Hal ini berarti bahwa Lombok Mirah Sasak Adi berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik. Sedangkan nama Sasak dan Lombok terkait secara makna filosofis Sasak berarti bambu yang dijadikan sebuah rakit dan Lombok berarti lurus dan konsisten. Makna filosofis ini sebagai kearipan lokal harus dijaga dan dilestarikan oleh keturunannya. Lihat; Muhammad Harfin Zuhdi dkk. 2011. Lombok Mirah Sasak Adi. Penyunting Daud Gerung . (Jakarta: Imsak Press), p.4 dan 52. Sedangkan istilah kota seribu masjid merupakan sebutan yang digunakan pemerintahan Orde Baru dalam menjalankan strategi politiknya di NTB khususnya di pulau Lombok. Sebutan ini seperti halnya sebutan Tapel Kuda untuk menyebut kota Jawa Timur. 1 2 kegiatan keagamaan lainnya baik di madrasah maupun masjid di lingkungan pondok pesantren. Praktik keagamaan tersebut telah termanifestasi dalam kehidupan seharihari. Hampir di setiap desa terdapat masjid yang bertingkat dengan sejumlah pondok pesantren dari berbagai ormas Islam. Ormas itu antara lain; organisasi Marakittaklimat, Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama) dan NW (Nahdatul Wathan). Dari sejumlah ormas-ormas Islam yang berkembang di Lombok Timur adalah organisasi NW yang berpusat di Pancor, bahkan ormas NW ini merupakan ormas Islam terbesar di wilayah Propensi NTB. Fenomena praktik keagamaan tersebut mengambarkan bahwa hubungan ormas Islam (terutama organisasi NW) dengan masyarakat Sasak bersifat integral atau tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian membahas orientasi keagamaan masyarakat Sasak berarti membahas orientasi keagamaan warga NW karena orientasi mereka sebagian besar berbasis pada organisasi NW. Sedangkan praktik keagamaan di pondok pesantren organisasi NW telah menjadi kekuatan dan keunggulan sebagian etnis tersbesar masyarakat Sasak. Dalam dinamikanya, kekuatan keagamaan tersebut telah dijadikan sebagai peluang politik dan sumber legitimasi oleh elite politik lokal.2 2 Beberapa alasan elite politik yang menempatkan agama sebagai sumber legitimasi. Pertama, agama adalah energy yang dahsyat untuk menopang kehendak kuasa dan agama dapat mensakralkan dunia propan. Menurut Berger; agama adalah payung suci (the sacred canopy) yang dijadikan instrument mencari legitimasi dalam memperkokoh kekuasaan. Kedua, menurut Bellah bahwa agama merupakan keprihatinan manusia paling dasar (the ultimate concern) yang menyebabkan semua tindakan manusia menjadi suci. Ketiga, patron keagamaan mempunyai daya tarik yang kuat di mata masyarakat mistis dan posisi patron sangat menentukan. Keempat, agama begitu menyebar di dalam kehidupan masyarakat, sehingga agama menjadi sumber daya politik yang efektif. Zainuddin 3 Di era pemerintahan Orde Baru terutama Reformasi, praktik keagaman itu terkonstruksi dalam berbagai bentuk ritual, properti dan representasi lambang ke dalam arena kekuasaan. Pemerintahan Reformasi melakukan konsolidasi dengan tokoh personal Tuan Guru yang menjadi pendiri dan pengasuh pondok pesantren, terutama dalam merekonstruksi Perda (Peraturan Daerah) sebagai kebijakan publik. Perda tersebut berhasil menumbuhkan kesadaran masyarakat dan menjadi instrumen solutif untuk pembangunan ekonomi yang efektif dan berkelanjutan. Pada tahun 2003 muncullah implementasi Perda Zakat Profesi No. 9 Tahun 2002 (selanjutnya disebut Perda Zakat Profesi) sebagai memorandum Bupati sebelumnya pada tahun 2002. Praktik keagamaan Perda Zakat Profesi tersebut terkait dengan pemotongan Gaji guru/PNS secara merata dan otomatis sebesar 2,5 % sebagai kometmen bersama antara Pemerintah Daerah dengan para Guru/PNS. Mobilitas persoalan Perda Zakat Profesi sangat riskan karena berada dalam persimpangan jalan. Satu sisi merupakan upaya struktural yang berada dalam ruang administrasi pemerintahan publik sebagai modal sosial (instrumen kemanusiaan) dalam membangun masyarakat Sasak. Di sisi lain berada dalam kondisi masyarakat terbelah akibat konflik genealogis antar elite NW yang saling bertaring memperebutkan posisi kekuasaan. Mobilisasi praktik keagamaan Perda Zakat Profesi dalam periode pertama tahun 2003-2005 (periode pembebabasan kemiskinan) sangat berhasil. Mobilitas keagamaan tersebut yang semula bergerak di Kabupaten sebagai “pilot proyek” telah Maliki “ Taklik Elite Pemburu Kuasa” dalam Basis. No.03-04, Tahun Ke 53, Maret-April 2004 ( Yogyakarta: Kanisius),p. 35. 4 meluas ke pedesaan dan terbentuklah Bazdes (Bandan Amil Zakat Desa). Dalam periode ini telah dapat dikumpulkan dana yang cukup fantastis untuk ukuran zakat di tingkat Kabupaten karena distribusi dana Perda Zakat Profesi dapat menimalisir persoalan kemiskinan. Implikasinya persoalan Perda Zakat profesi menjadi “icon” yang fenomenal dan under coever, sehingga mobolitas persoalan Perda Zakat Profesi sebagai percontohan nasional. Proses mobilisasi Perda Zakat Profesi yang fenomenal tersebut berkembang menjadi arena pertarungan perebutan posisi antar elite NW. Posisinya menjadi sesuatu yang debatable karena telah terjadi gesekan politik antar elite NW, sehingga dapat mengkonstruksi munculnya polarisasi kelompok elite NW antara pendukung dan penolak penerapan Perda Zakat Profesi. Penolakan masyarakat Sasak tersebut menjadi persoalan yang sangat fenomenal karena terjadi perubahan eksistensi Perda Zakat Profesi. Dari upaya struktural yang berada dalam ruang administrasi publik telah menjadi persoalan kelompok elite NW. Eksistensi penolakan terhadap penerapan Perda Zakat Profesi ini menjadi persoalan yang sangat penting. Penolakan tersebut bukan bersifat liner, tetapi bersifat dialektik jika dikaitkan dengan pemahaman upaya struktural yang dapat mempengaruhi proses perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat Sasak. Hal ini menimbulkan distingsi strategi politik kelompok elite NW dalam melakukan proses dominasi kelompok elite terhadap penolakan Perda Zakat Profesi. Implikasinya, dapat mengakibatkan munculnya hostile behavior antar kelompok kekuatan sosial. 5 Berdasarkan eksistensi persoalan penolakan terhadap Perda Zakat Profesi tersebut, terdapat beberapa ketertarikan penulis. Pertama, berkaitan dengan aspek sosiopolitik terhadap munculnya drama kekuasaan yang dimainkan para elite NW di balik penolakan penerapan Perda Zakat Profesi itu. Persoalan ini menjadi urgen dalam rangka menganalisis kepentingan politik yang menjadi faktor kekuatan devide society akibat konflik genealogis antar elite di tubuh organisasi NW. Kedua, berkaitan dengan strukturisasi yaitu munculnya dualisme kepemimpinan di tubuh NW yang memiliki kekuatan dan budaya yang sama, tetapi mereka memiliki persepsi kepentingan yang berbeda dengan peran yang antagonis. Konteks persoalan ini sangat spesifik. Walaupun secara makro merupakan konteks nasional, tetapi persoalan tersebut merupakan sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan khususnya sosiologi. Hal ini disebabkan oleh munculnya kekuatan sosial yang berada di luar struktur dapat mempengaruhi struktur yang mengendalikan penerapan Perda Zakat Profesi itu. Kemudian hal tersebut berkembang ke persoalan pristise sosial devide society secara sustainable akibat dari munculnya konflik genealogis antar elite yang terjadi di tubuh organisasi NW. Dalam kondisi ini, posisi masyarakat Sasak yang sebagian besar warga organisasi NW hanya bersifat taken granted (menerima). Mereka gampang digerakkan oleh kekuatan kelompok elite NW yang saling bertarung memperebutkan posisi pimpinan NW dan hal ini menjadi persoalan yang menarik untuk dijadikan topik penelitian.3 3 Saifuddin Azwar menegaskan bahwa cirri-ciri topik yang baik adalah urgen untuk diteliti, membuahkan sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan dan 6 1.2. Permasalahan Penelitian Pembahasan tentang pokok permasalahan lebih menyoroti uraian tentang perebutan posisi antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi yang memiliki tipikal yang khas dan latar historis. Berdasarkan uraian pembahasan dalam latar belakang di atas, dapat dikemukakan pertanyaan penelitian4 yang dijadikan persoalan dasar dalam penelitian; Mengapa terjadi reproduksi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi No. 9 Tahun 2002 di Lombok Timur ? Pertanyaan dasar penelitian ini sebagai strategi analisis dalam penelitian. Hal ini penting dalam rangka mengungkap akar persoalan dalam memahami realitas makna yang tersembunyi (the hidden transcrift of reality) di balik persoalan akar konflik Perda Zakat Profesi yang menjadi kajian studi ini. Pertanyaan dasar penelitian tersebut sangat umum. Dengan demikian sulit untuk dioperasionalkan dalam mencari jawaban yang berkaitan dengan persoalan akar konflik massa tentang Perda Zakat Profesi tersebut. Dalam rangka mempertajam analisis uraian dalam menjelaskan persoalan akar konflik Perda Zakat Profesi tersebut diperlukan pertanyaan teknis. Pertanyaan teknis tersebut lebih bersifat operasional dalam memberikan jawaban penelitian. bermanfaat untuk masyarakat dan aktual. Lihat; Saifuddin Azwar. 2013. Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 13. 4 Permasalahan penelitian merupakan problematik penelitian yang berisi tentang pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dijadikan kerangka untuk mencari jawaban atas problemaproblema penelitian. Lihat; A.F. Chalmers. 1983. Apa itu yang Dinamakan Ilmu: Suatu Penilaian tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya . Terjemahan Verhaaa S.J. (Jakarta: Hasta Mitra).p, 47. 7 Kemudian untuk mensistematiskan dan mempertajam pemahaman dalam menjelaskan persoalan pokok (utama) tersebut dapat dikemukakan beberapa pertanyaan teknis sebagai berikut.5 a. Mengapa terjadi reproduksi konflik genealogis antar elite dalam perebutan posisi pimpinan di tubuh organisasi NW ? b. Bagaimana tranformasi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi yang berkembang di Lombok Timur ? c. Bagaimana dinamika dan implikasi reproduksi konflik genealogis dalam arena konflik Perda Zakat Profesi terhadap perebutan posisi antar elite di tubuh NW ? 1.3 . Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut; a. Mengetahui dinamika proses reproduksi konflik genealogis antar kelompok elite yang saling memperebutkan posisi pimpinan NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi di Lombok Timur. b. Menelaah tentang akar-akar relasi kuasa yang mengakibatkan meluasnya persoalan reproduksi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. c. Menganalisis strategi kekuatan politik antar elite NW dalam perebutan posisi kekuasaan dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. 5 John W. Creswell (1994), Research Design: Qualitative & Quantitatif Approaches (Thousand Oaks, California: SAGE Publication),p. 71 & 145. 8 Analisis kajian studi sosiopolitik dalam uraian ini diharapkan dapat mengkonstruksi sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan. Hal ini karena kajian tersebut mengungkap makna drama kekuasaan yang dimainkan para elite NW dibalik proses dinamika konflik Perda Zakat Profesi. Kajian sosio-politik tentang konflik Perda Zakat Profesi belum pernah ada dibahas sebelumnya baik kajian akademik maupun non akademik. Hasil penelitian sebelumnya hanya bersifat parsial (lihat Tinjauan Pustaka). Dalam bahasan hasil penelitian sebelumnya kajian sosiopolitik belum pernah dilakukan. Hasil penelitian sebelumnya, tidak menyentuh ke akar konflik yang menjadi persoalan konflik Perda Zakat Profesi. Di samping itu makna proses dibalik terjadinya reproduksi konflik genealogis antar elite yang saling memperebutkan posisi dalam arena konflik Perda Zakat Profesi belum pernah diungkap secara konprehensip. Sedangkan hal ini sangat penting untuk menemukan the hidden transcrift of reality yang berkaitan dengan akar-akar persoalan konflik Perda Zakat Profesi tersebut. Secara akademik, penelitian ini dapat bermanfaat dalam mengembangkan kajian komprehensip tentang aspek sosio-politik yang ikut mewarnai dalam proses pertarungan antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi tersebut. Dalam dinamikanya, masing-masing elite yang memiliki distingsi strategi politik saling membawa massa dan saling mendominasi dengan prilaku yang saling bermusuhan (hostile behavior). Hostile behavior dapat mempertebal penguatan kelompok solidaritas antar elite NW yang saling bertarung dalam perebutan posisi pimpinan 9 NW. Melalui kajian studi ini akan mampu mempertajam khasanah pengetahuan akademik, khususnya sosiologi konflik mengenai proses dinamika pertarungan perebutan posisi yang terjadi dibalik munculnya persoalan konflik Perda Zakat Profesi. Sedangkan pengembangan makna reproduksi konflik genealogis antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi menjadi gambaran kebijakan Pemerintah Daerah dalam merekonstruksi Perda sebagai kebijakan publik (public policy). Selain itu juga Pemerintah Daerah dapat merekonstruksi keseimbangan human security dalam kerangka reproduksi konflik elite yang terjadi di daerah lainya. 1.4. Tinjauan Pustaka (Review Studi Terdahulu) Studi-studi kajian terdahulu yang berkaiatan dengan penelitian reproduksi konflik belum banyak dilakukan oleh peneliti, baik nasional maupun lokal. Studi kajian tentang reproduksi konflik genealogis antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi merupakan kajian studi elite (salah satu varian studi konflik).6 Hasil studi terdahulu yang berkaitan dengan reproduksi konflik belum pernah dilakukan dan hasil penelitian studi terdahulu hanya berkaitan dengan persoalan studi konflik antara lain; Robert Van Niel (1960) meneliti tentang Munculnya elite modern di Indonesia, Heather Sutherland (1979) tentang Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. 6 Studi elite= merupakan bidang studi yang menarik. Lihat; Suzanne Keller.1995. Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern. Terjemahan Zahara D. Noer (Jakarta: Raja Grapindo Persada), p. 5 dan 24. T.B. Bottomore. 2006. Elite dan Masyarakat. Terjemahan Abdul Haris dan Sayid Umar (Jakarta: Akbar Tanjung Institute),p. 115 dan Mohtar Mas’eod,Colin Mac Andrews. 2000. Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),p. 77. Lihat pula; W.F. Werheim.2009. Elite vs Massa (Yogyakarta: LIBRA),p.1. 10 Donal K. Emmerson (1976) tentang Corak dan Tradisi Elite Tradisional dan Sartono Kartodirdjo (1981) tentang Elite dalam Perspektif Sejarah. Studi-studi terdahulu tersebut di atas, tidak memfokuskan kajiannya pada persoalan konflik secara spesifik, sehingga kajian studinya tidak membongkar peranan massa yang menjadi kekuatan elite yang saling mendominasi dalam pertarungan perebutkan posisi kekuasaan. Kemudian penelitian studi-studi terdahulu tersebut diikut oleh peneliti lokal lainnya yang meneliti studi konflik secara spesifik yang meneliti studi konflik secara spesifik, baik di aras nasional maupun lokal. Penelitian konflik di aras lokal semakin meningkat sejak bergulirlnya sistem pemerintahan Reformaasi tahun 1999 di daerah Indonesia. Studi-studi terdahulu yang berkaitan dengasn penelitian konflik lokal di wilayah Propensi Nusa Tenggara Barat (NTB) dapat dilihat dalam penelitian Badrun AM (2004 )7 dan Safruddin (2005)8. Sedangkan hasil penelitian yang berkaitan dengan persoalan reproduksi konflik di NTB adalah hasil penelitian Saiful Hamdi (2011)9. Hasil kedua penelitian konflik antara Badrun AM dengan Safruddin menggunakan pendekatan kajian penelitian yang berbeda. 7 Badrun AM meneliti tentang Akar-Akar konflik di Bumi Sasak . Penelitian Badrun AM tersebut melihat konflik di masyarakat Sasak dalam analisis historikal sinkronik. Kemudian meletakkan dimensi sejarah sebagai kausa prima terhadap masa kini. Beragam konflik sosial yang muncul belakangan sebagai efek dari background sejarah (memiliki hubungan kausalitas didaktik terhadap cara pandang masyarakat masa kini). Badrun AM.2004. Garis Tepi Masyarakat NTB Membongkar Nalar Sosial, Budaya dan Pembangunan di NTB (Mataram, inSKRIP), P. 68. 8 Penelitian Safruddin memfokuskan pada konflik yang terjadi di tubuh organisasi NW. Penelitian Safruddin tersebut berupa tesis S 2 Sosiologi UGM tahun 2005 yang belum dipublikasikan. 9 Penelitian Saiful Hamdi tentang reproduksi konflik dan kekuasaan berupa desertasi program Perbandingan Agama UGM. Akan tetapi desertasi tersebut belum dipublikasikan. 11 Safruddin mengkaji konflik yang terjadi di tubuh NW secara parsial (tidak konprehensip) dan lepas dari persoalan konflik masyarakat Sasak yang terjadi tempo dulu. Hasil penelitian Safruddin tidak bersentuhan dengan konsep reproduksi konflik. Sedangkan Badrun AM mengkaji konsep konflik yang terjadi di dalam masyarakat Sasak di pulau Lombok secara imparsial (konprehensip). Badrun AM menegaskan bahwa konflik yang terjadi di pulau Lombok bersifat kausalitas. Konflik yang terjadi di suatu daerah tidak bisa dipisahkan dengan konflik yang terjadi di daerah lainnya. Seperti anatara laian; konflik 171, konflik Pamswakarsa, konflik NW dan konflik antar kampung bersifat dialektis yang memiliki hubungan sebab akibat (kausalitas). Dalam bahasannya, kedua peneliti konflik di atas belum bersentuhan dengan konsep reproduksi konflik. Kedua peneliti tersebut memfokuskan pada peran massa dan mengabaikan tentang peran elite, terutama peran elite di pusat-pusat pemerintahan. Hal ini dapat mengakibatkan fakta konflik yang telah dibahasnya tidak bisa terungkap secara imparsial (konprehensip). Akan tetapi jika dikaitkan dengan fakta konflik pada masyarakat Sasak terdapat hubungan yang integral antara fakta konflik tempo dulu dan fakta konflik masa kini. Kedua fakta konflik tersebut harus diletakkan sejajar atau sebagai simpul analisis untuk menemukan karakter yang segaris, sehingga ditemukan bentuk khas konflik di bumi Sasak. Begitu juga tentang dinamika konflik yang terjadi, rentetan konflik tempo dulu dapat mengkonstruksi beragam konflik masa kini. Dengan demikian harus dibedah untuk menemukan kecendrungan lain dari peta konflik tersebut misalnya munculnya penelitian reproduksi konflik dalam kehidupan 12 masyarakat Sasak di pulau Lombok. Sehubungan dengan munculnya penelitian reproduksi konflik tersebut berawal dari munculnya penelitian Pierre Bourdieu tentang reproduksi kelas di masyarakat Prancis pada tahun 1979. 10 Melalui teori reproduksi kelas, Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa satu generasi dari suatu kelas memastikan dapat mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak isimewanya kepada generasi berikutnya. Berbeda dengan peneliti konflik Badrun AM dan Safruddin tersebut di atas, Saiful Hamdi (2011) telah melakukan penelitian tentang reproduksi konflik.11 Hasil penelitian Saiful Hamdi tersebut membahas uraian hubungan persoalan reproduksi konflik dengan kekuasaan. Penelitian Saiful Hamdi membahas tentang peran elite yang menempatkan organisasi NW sebagai arena perebutan kekuasaan antar elite. Akan tetapi penelitian Saiful Hamdi tersebut bersifat internal, sehingga hanya menyelidiki tentang peran elite dalam menopang aktivitas program dakwah di organisasi NW. Studi-studi kajian terdahulu tersebut terkesan secara liner dalam analisisnya. Dalam analisisnya tidak ada hubungan interaktif antar elite di lembaga-lembaga lain. Studi kajian terdahulu tidak ada yang menyelidi secara detail narasi dari kelompokkelompok solidaritas yang saling mendominasi dalam mendukung salah satu elite dalam melakukan pertarungan perebutan posisi pimpinan NW. Studi terdahulu telah 10 Hasil Penelitian Pierre Bourdeu dalam masyarakat Perancis telah dipublikasikan dalam buku karyanya yang paling terkenal dengan judul La Distinction Critique Sociale du Jugement (1979). Kemudian karya Pierre Bourdeu tersebut diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan judul Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste (1984). 11 Hasil penelitian Saiful Hamdi berupa naskah desertasi di Perbandingan Agama Universitas Gadjah Mada dan belum dibukukan. 13 mengabaikan peran elite di pusat- pusat pemerintahan yang menjadi pertarungan perebutan kekuasaan. Hal ini menyebabkan kajiannya tidak berhubungan dengan persoalan Perda (Peraturan Daerah) yang menjadi kebijakan publik (public policy). Begitu juga dengan studi kajian Saiful Hamdi (2011) tentang reproduksi konflik dan kekuasaan NW di Lombok Timur. Penelitian Saiful Hamdi tersebut memfokuskan pada peran elite dalam persoalan konflik dan mengabaikan peran massa. Penelitian Saiful Hamdi tersebut tidak melihat hubungan elite dan massa secara dialektik yang memiliki hubungan prilaku yang bermusuhan (hostile behavior) dalam membela salah satu elite yang saling memperebutkan kekuasaan. Oleh karena itu analisisnya tidak megungkapkan tentang distingsi dominasi massa di arena permaian sosial. Hasil studi-studi penelitian terdahulu tersebut di atas, tidak melihat aspeks sosio-politik yang sangat kental dalam mewarnai dinamika politik masyarakat Sasak di Lombok Timur. Dalam analisisnya studi terdahulu tidak membahas tentang peran elite yang dapat menjangkau pusat-pusat pemerintahan. Analisisnya tidak bersinggungan dengan persoalan distingsi dominasi antar elite di pusat-pusat Pemerintahan. Hal ini menyebabkan bahasannya tidak bersinggungan dengan persoalan politik Pemerintah Daerah Lombok Timur, terutama yang berkaitan dengan persoalan penerapan Perda (Peraturan Daerah) yang menjadi kebijakan publik (public policy). Studi-studi penelitian terdahulu secara makro tidak bersinggungan dengan persoalan konflik Perda Zakat Profesi yang dapat membawa Lombok Timur menjadi 14 under couver. Hasil penelitian tentang Reproduksi konflik Genealogis Antar Elite Dalam Arena Konflik Perda Zakat Profesi ini dapat mempertajam analisis studi konflik sebelumnya yang menggunakan perspektif teoritik sebagai alat analisis. Melalui penjelasan perspektif teoritik ini diharapkan dapat menjelaskan realitas makna yang tersembunyi dibalik munculnya persoalan pokok reproduksi konflik dalam arena konflik Perda Zakat Profesi sebagai fakta empiris. 1.5. Perspektif Teori Perspektif teoritik ini tidak bisa dipisahkan dengan penelitian karena terdapat hubungan yang integral antara teori dengan penelitian. Di samping itu hubungan keduanya tidak bersifat kursif (paksaan). Fakta tidak bisa memaksa teori dan teori tidak bisa memaksa fakta. Hubungan keduanya telah ditegaskan oleh Pierre Bourdieu bahwa theory without empirical research is empty, empirical research without theori is blind (teori tanpa penelitian empiris adalah hampa, penelitian empiris tanpa teori adalah kosong).12 Dalam mengabstraksi perspektif teori konflik yang digunakan sebagai landaaan terori, penulis melakukan uji teoritik,13 baik sebagai teori utama maupun sebagai back up teory. Penulis juga menolak argumen yang menjadi perspektif teori 12 Pierre Bourdieu dalam Arizal Mutahir. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi ( Bantul, Yogyakarta: Kreasi Wacana),p. 192. Bandingkan dengan Donal K. Emmerson,”Kesimpulan Pedoman Pengelolaan Aspek Manusia dalam Penelian Masyarakat” dalam Koentjaraningrat dan Donal K. Emmerson (Ed.) 1985. Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia), p. 286. 13 Ada beberapa alasan; metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif biasanya mengekplorasi berbagai teori untuk didialogkan dengan berbagai fakta lapangan, sehingga bisa dilihat kepekaan teoritik antara keduanya. 15 tersebut dengan mengetengahkan penjelasan berasarkan realitas empiris melalui uraian-uraian penjelasan dalam analisis teoritis di bab selanjutnya. 1.5.1. Pendekatan Perspektif Teori Konflik Perspektif teori konflik muncul sebagai antithesis terhadap analisis teori fungsional. Teori konflik menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Berbeda dengan teri fungsional yang menekankan pada fungsi dari elemen-elemen pembentuk struktur. Teori konflik melihat bahwa setiap struktur memiliki berbagai elemen yang berbeda dan elemen-elemen itu memiliki motif, maksud, kepentingan atau tujuan yang berbebeda pula. Perbedaan tersebut memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan konflik. Konflik ada dimana-mana dan setiap struktur terbangun di dasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.14 Perspektif teori konflik berakar dari pemikiran Karl Marx yang memandang masyarakat terdiri dari dua bagian, kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai. Berkaitan dengan hal ini, persoalan intensitas reproduksi konflik genealogis antar elite dalam arena Perda Zakat Profesi cukup relevan jika dipahami melalui pendekatan konflik (conflict approach) dengan menggunakan perspektif teori konflik.15 Hal ini berkaitan dengan `intensitas reproduksi konflik tersebut yang mengalami beberapa tahapan periodesasi; Pertama, konflik Perda Zakat Profesi berawal dari perbedaan pendapat. Kedua, 14 unjuk rasa atau demonstrasi tanpa Damsar dan Indrayani. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group),p. 55. 15 Pendekatan konflik merupakan pendekatan struktural yang meliputi teori Structuralist Marxist teori Structuralist Non Marxist. Lihat; Nurhadiantomo.2004. Konflik-Konflik Sosial PRI Non PRI & Hukum Keadilan Sosial (Surakarta: Muhammadiyah University Press),p.27 16 kekerasan (a protest demonstration) dan ketiga, kerusuhan (riot) yaitu demontransi yang diwarnai dengan kekerasan. Pendekatan konflik termasuk ruang lingkup tataran tradisi makro (seperti pendekatan struktural fungsinal) yang lebih banyak melihat struktur dan kultur, sehingga berkembang ke dua arah yaitu teori struktural fungsional (memandang masyrakat selalu stabil dan statis) dan teori struktural konflik (memandang masyarakat tidak stabil dan selalu berubah).16 Pendekatan teori konflik memiliki dua sudut pandang. Kelompok teoritik pertama memandang bahwa konflik merupakan kawasan yang bisa dihindari melalui kajian resolusi konflik dengan problem solving dan kelompok tradisi kedua memandang bahwa konflik sebagai kawasan yang hanya bisa dikelola dan senantiasa muncul dalam kehidupan masyarakat.17 1.5.2. Penjelasan Perspektif Teori Konflik Penjelasan teori konflik yang digunakan dalam hal ini merupakan antithesis dari perspektif teori struktural fungsional memandang bahwa konflik tersebut sebagai kawasan yang harus dikelola. Penjelasan teori konflik ini dipusatkan pada persolanpersoalan yang diabaikan oleh perspektif teori struktural fungsional yang meliputi antara lain; Pertama, berkaitan dengan konflik dan kontradiksi yang bersifat internal yang menjadi sumber perubahan sosial. Kedua, reaksi dari suatu system social 16 Ada dua tradisi pikir dalam Sosiologi yang memiliki dasar asumsi dalam menelaah suatu fenomena sosial berbeda yaitu tradisi makro (lebih melihat struktur dan kultur) dan tradisi mikro seperti teori interaksionalisme simbolik (lebih banyak melihat interaksi yang terjadi dalam individu dengan lingkungan sosialnya). Lihat; Sunyoto Usman. 1996. Sosiologi Lingkungan Pembahasan Tentang Lingkungan dan Prilaku Sosial (belum diterbitkan),p. 63 dan 68. Lihat pula, Sunyoto Usman. 2012. Sosiologi Sejarah, Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 54-56. 17 Muryanti Damar Dwi Nugroho I Rokhiman. 2013. Teori Konflik & Konflik Agraria Di Pedesaan (Yoyakarta: Kreasi Wacana),p. 5. 17 terhadap perubahan yang dating dari luar. Ketiga, suatu sistim sosial di dalam waktu yang panjang dapat mengalami konflik-konflik social yang bersifat visious circle. Keempat, perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian yang lunak dan terjadi secara revolusioner.18 Munculnya perspektif teori konflik karena memandang bahwa perspektif teori struktural fungsional sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner, sehingga dianggap tidak memberi tempat dan kurang mampu manganalisis terhadap masalahmasalah di atas. Kondisi ini dapat mengakibatkan bagian-bagian tertentu dari sistem sosial tersebut menjadi disfungsional, suatu hal yang mengakibatkan timbulnya ketegangan sosial. Apa bila faktor luar tersebut cukup kuat untuk mempengaruhi bagian di atas tanpa diikuti oleh penyesuaian dari bagian lain, maka disfungsi dan ketegangan tersebut akan berlangsung secara kumulatif serta mengundang terjadinya perubahan social yang bersifat revolusioner. Penjelasan perspektif teori konflik pecah menjadi dua yaitu struktural marxis dan struktural non marxis,19 dari sisi kemudian berkembang varian-varian teori konflik salah satunya adalah teori elite. Roderick Martin mengungkapkan bahwa teori elite sebagai varian teori konflik, tidak berkembang ke satu arah, tetapi pecah ke beberapa arah; Pertama, perspektif yang mengikuti pemikiran teori klas Karl Marx yang dikenal dengan varian teori demokrasi elitis. Kedua, perspektif yang mengikuti analisis teori elite pluralis klasik Laswell, Truman, Dahl, terutama gaya Pareto dan 18 19 Nasikun. 2013. Sistem Sosial Indonesia (Yogyakarta: Ombak),p. 17. Ibid.,p. 18. 18 Mosca yang dikenal dengan teori sirkulasi elite. Ketiga, varian teori elite yang mengikuti perspektif teori elite neo pluralis Charles Wright Mills dan G. William Domhoff yang dikenal dengan varian teori oligarki elite.20 Dalam rangka menganalisis konflik Perda Zakat Profesi yang menjadi kajian studi digunakan penjelasan teori elite dan teori reproduksi kelas. Dalam hal ini teori elite Vilfredo Pareto ditempatkan sebagai teori utama. Sedangkan sebagai back up teory digunakan teori reproduksi kelas Pierre Boudeu dan teori ini digunakan untuk melengkapi analisis teori utama. Walaupun satu rumpun, kedua teori tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, tetapi memiliki hubungan dialektis dalam menganalisis fakta yang dijadikan fokus persoalan. Teori Vilfredo Pareto tersebut memfokuskan analisisnya pada persoalan yang berkaitan dengan perputaran elite (the circulation of the elite) yang bersumber dari munculnya proses dekay (pembusukan). Penjelasan analisisnya ini berbasis pada pendekatan ide dasarnya bahwa struktur dapat mempengaruhi individu. Sedangkan pendekatan teoritik Pierre Bourdieu tersebut memfokuskan analisisnya pada perebutan posisi kekuasaan yang menempatkan kontestasi budaya sebagai arena pertarungan. Berdasarkan ide dasarnya bahwa struktur dapat mempengaruhi individu dan individu dapat mempengaruhi struktur. Analisis penjelasan Vilfredo Pareto melalui teori sirkulasi elite memfokuskan pada peran elite sebagai pengendali 20 Untuk mengetahui varian teori konflik, lihat; Roderick Martin. 1990. Sosiologi Kekuasaan. Terjemahan Herry Joediono (Jakarta: Rajawali), p. 278. Bandingkan dengan: Richard T. Schaeper. 2003. Sosiology (America: Mc Graw-Hill),p. 439-440. 19 konflik21 dengan pendekatan mekanis dan ahistoies. Berbeda dengan analisis Pierre Bourdieu yang menggunakan pendekatan non mekanis dan ahistories sangat simplitis (sederhana).22 Penjelasan abstraksi dan eksplorasi tentang perspektif kedua teori tersebut terutama berkaitan dengan persoalan dialektika dari aspek reproduksi konflik yaitu the circulation of the elite dan perebutan posisi kekuasaan. 1.5.2.1. Penjelasan Perspetif Teori Elite Pareto Tentang The Circulation of Elite Berdasarkan konsep dasarnya, teori elite (salah satu varian teori konflik) mengungkapkan bahwa negara sebagai aspek kekuasaan elite, sehingga struktur dapat mempengaruhi individu. Fokus analisis kajian teori elite berkaitan dengan kelompok elite yang dapat menjangkau pusat kekuasaan. Bertitik tolak dari hal tersebut analisis teori elite memandang bahwa munculnya proses the circulation of elite (pergantian elite) bermuara dari munculnya proses dekay (pembusukan) dalam kehidupan. Proses the circulation of elite itu dapat mengkonstruksi tumbuhnya pertarungan perebutan posisi kekuasaan anatar elite karena tidak ada elite pemegang kekuasaan itu menyerahkan kekuasaannya pada para elite lain. Analisis teori sirkulasi elite tersebut menerangkan bahwa distribusi kekuasaan berada di tangan elite (minoritas). Dalam pergantian elite sangat dipengaruhi oleh situasi yang berkembang. Situasi dan sistem korup, memungkinkan figure unskilled (moyoritas) menaiki jenjang elite berkuasa (the governing elite) yang 21 Pengendali konflik = Vilfredo Pareto menyebutnya dengan istilah “elite”. Sedangkan Pirre Bourdeu menyebutnya dengan istilah “agent”. 22 K.J. Veeger.1993. Op.cit., p. 85. 20 memegang kekuasaan dan berdampat politik.23 Analisis teori tentang sirkulasi elite sebagai kritikan terhadap teori Karl Marx yang mengungkapkan bahwa distribusi kekuasaan merata (pluralis). Di samping itu teori elite menolak pandangan tentang kedaulatan rakyat dan mereka sepakat bahwa negara dan masyarakat sipil ditandai oleh pembagian kekuasaan.24 Kajian perspektif teori elite tentang the circulation of the elite tersebut selalu berbasis pada pokok persoalan kelompok elite yang dapat menjangkau pusat kekuasaan. Hal ini muncul karena rakyat tidak mempunyai akses dalam formulasi dan implementasi kebijakan publik. Analisis kajian ini bertumpu pada konsep dasar analisis teori elite bahwa di dalam kelompok penguasa terdapat elite penguasa dan tandingan.25 Kelompok elite berposisi sebagai penguasa (yang memerintah) yang dapat mengendalikan massa di tataran grassroot (yang diperintah). Hubungan keduanya sangat kompleks, sehingga posisi teori elite terpecah-pecah menjadi banyak varian.26 Banyak jebakan dalam menganalisisnya, sehingga perlu ditentukan tentang relevansi teori. 23 Vilfredo Pareto dalam Zainuddin Maliki. 2010. Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada Univeriity Press), p. 98 dan 102. 24 Ibid.p. 64-65. 25 Teori elite berbeda dengan teori lainnya dalam memandang tentang motif penyebab konflik. Pertama, teori hubungan masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Kedua, teori negoisasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan aktor-aktor yang mengalami konflik. 26 Ilmu Sosiologi yang seharusnya mempelajari masyarakat telah sibuk mempertahankan eksistensinya dan sibuk membuat bermacam-macam teori. Teori dibuat silih berganti antara satu teori dan teori lain yang bersifat parsial (lepas). Masing-masing teori tidak pernah dikembangkan secara mendalam dan menganalisis masyarakat dari tampak samping. Lihat; Munir Fuady. 2011. Teori-Teori dalam Sosiologi Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group),p. 22-23. 21 Analisis teori elite tentang the circulation of the elite tersebut dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang berkembang pada suatu era tertentu. Hal inilah yang menyebabkan munculnya varian yang beragam dalam analisis kajian teori elite.27 Dalam analisisnya, masing-masing tokoh teori elite menggunakan unit analisis, menyusun proporsi dan pendekatan yang berbeda. Dengan menggunakan dua pendekatan analisis teori elite pada prakteknya sulit dilakukan. Untuk peristiwa tertentu didekati dengan cara tertentu pula. Berdasarkan relevansi teori tersebut, terdapat tiga pendekatan dalam analisis teori yaitu systems theory, group theory, fungsional process theory, institutionalism theory dan elite theory. Akan tetapi dari sekian analisis teori yang paling relevan dengan persoalan fenomena konflik Perda Zakat Profesi adalah elite theory.28 Relevansi teori elite dalam menjelaskan proses the circulation of the elite bertautan dengan analisis kajian teori elite yang dibangun di atas persepsi keberadaan 27 Analisis kajian teori marxis lebih memfokuskan kepada analisa klas dan peninjauan ulang peran negara. Sedangkan analisis teori elite lebih melihat kehidupan politik dari kacamata komunitas nasional dan menaruh perhatian pada pengaruh bebas institusi politik dengan sistem pemerintahannya. Lihat;Zainuddin Maliki. 2010. Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),p.xii 28 Analisis teori sistem (systems theory) bersifat umum dan kurang fokus pada bagaimana keputusan dibuat dan dikembangkan. Sedangkan kebijakan publik merupakan aksi reaksi dari system politik. Analisis teori group (goup theory,) mengungkapkan bahwa kebijkan publik sebagai perjuangan kelompok yang merupakan kenyataan dalam kehidupan politik. Teori ini memusatkan perhatian pada salah satu unsur penggerak utama dalam pembentukan kebijakan. Fungsional process theory memusatkan perhatian pada bermacam aktivitas proses fungsionsl yang terjadi dalam proses kebjakan.Teori kelembagaan (Institutionalsm theory) sering diidentikkan dengan kajian ilmu politik yang tertua. Dalam analisisnya memusatkan pada kelembagaan (eksekutif, legislative, yudikatif dan partai politik). Elite theory memandang bahwa kebijakan publik dianggap sebagai nilai dan pilihan elite Pemerintah tidak ditentukan oleh massa melalui permintaan dan tindakan mereka. Akan tetapi ditentukan oleh elite yang mengatur dan dipengaruhi oleh instansi dari pejabat. 22 elite di pusat-pusat kekuasaan.29 Peranan elite tidak dapat dielakkan dari aspek kehidupan politik yang serba kompleks dalam mengendalikan kebijakan publik. Dalam konteks ini, teori elite sangat relevan jika dihubungkan dengan persoalan konflik yang berkembang di daerah Indonesia, terutama Lombok Timur. Hal ini karena sistem politik Presidentil di Indonesia merupakan lahan subur bagi studi dan analisis teori elite. Penjelasan teori elite tentang the circulation of the elite tersebut selalu berkaitan dengan peran elite. Hal ini tidak bisa lepas dari peran massa dalam mengendalikan kebijakan publik karena elite yang mengendalikan konflik memerlukan legitimasi massa sebagai kekuatan modal. Tanpa legitimasi massa, para elite politik lokal tidak akan memperoleh kerjasa dan dukungan. Para elite tersebut akan termarjinalisasi (terpinggirkan). Massa akan mengalihkan dukungannya pada elite yang lain dan kegagalan memperoleh legitimasi massa berarti berakhirnya peranan sebagai elite yang sedang berkuasa. Sehubungan dengan hal tersebut Berghe mengungkapkan bahwa analisa teori elite berkaitan dengan kondisi-kondisi yang tengah berkembang pada masayarakat majemuk. Dengan demikian bahwa pendekatan paling relevan adalah pendekatan konflik dengan tidak menafikkan kerangka acuan lain yang relevan untuk 29 Salah satu parameter terkonstruksinya sebuah teori selalu dipengaruhi oleh latar belakang pribadi dan sosial sang teoretisi terhadap teori sosial yang dikemukakannya. Teori yang diajukan oleh seseorang teoretisi juga tidak terlepas dari latar belakang pribadi dan sosial sang teoretisi. Lihat; Ramlan Surbakti dalam Bagong Suyanto, M Khusna Amal (Ed.). 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial (Malang: Aditya Media Publishing),p. xvi 23 melengkapi kekurangan pendekatan teori konflik. Munculnya peristiwa konflik tidak bisa lepas dari pengaruh unsur-unsur sosial budaya.30 Analisis teori elite tersebut relevan sejauh masih berhubungan dengan distribusi kekuasaan dan konsep kepentingan.31 Dalam analisis teori elite terdapat berbagai varian teori. Setiap varian teori memiliki unit analisis dengan berbagai pendekatan tersendiri yang spesifik sebagai entry point dalam menjelaskan fenomena sosial. Masing-masing variannya memiliki kelemahan dan superioritas yang spesifik (lihat uraian dalam theorical discourses). Analisis varian teori elite yang dijadikan bahan rujukan penjelasan tentang the circulation of the elite dalam fenomena konflik yang dijadikan kajian studi digunakan teori sirkulasi elite Vilfredo Pareto. Dalam menjelaskan persoalan the circulation of the elite, terdapat persamaan dan perbedaan analisis teori sirkulasi elite dalam menjelaskan tentang peran elite dan struktur kekuasaan. Persamaan pandangan Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto berkaitan dengan konsep munculnya sirkulasi elite. Mereka menolak pandangan tentang kedaulatan rakyat yang diungkapkan oleh teori demokrasi elitis. Sedangkan keduanya berbeda pandangan tentang basis untuk kekuasaan elite.32 30 P.J. Bouman. 1982. Sosiologi Fundamental (Jakarta: Djambatan),p. 48-49. Roderick Martin.1990. Sosiologi Kekuasaan.Terjemahan Herry Joediono (Jakarta: Rajawali),p.278. R.A. Wallace and A. Wolf. 1990. Contemporary Sociological Theory (Engledwood Cliffs: Prentice Hall),p. 81-82 dan T.B Bottomore, 2006. Op.cit, p.vi. Lihat pula; Vilfredo Pareto dalam K.J. Veeger. 1993. Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta; Gramedia),p. 241. 32 Mosca menyangkal bahwa kaum elite pasti memiliki keunggulan (superiority). Sedangkan Pareto lebih militant tentang superiority kaum elite dari karakter psikologis dan pribadi yang sesuai dengan pemerintahan. Lihat; Keith Faulks. 2010. Sosiologi Politik Pengantar Kritis. Terjemahan: Helmi Mahadi dan Shohifullah (Bandung: Nusa Media),p.65. 31 24 Analisis Mosca tidak setajam Vilfredo Pareto dalam membahas idealisme dan humanisme serta pandangan terhadap masalah-masalah penggunaan kekuatan. Penjelasan Mosca lebih menekankan pada persoalan the ruling class dan Vilfredo Pareto lebih terkonsentrasi pada penjelasan tentang persoalan the circulation of the elite. Analisis teori Vilfredo Pareto menggunakan pendekatan sosio-psikologi yang berbasis pada masyarakat yang berkeseimbangan. Dalam analisisnya tersebut, Vilfredo Pareto menggunakan konsep residues dan derivation dengan menampilkan tipologi the foxes dan lion.33 Analisis Vilfredo Pareto menolak pandangan teori marxis dan liberalis tentang hubungan negara dengan masyarakat sipil. Menurut para teoretisi elite, kedua teori tersebut mengandung ancaman logika egalitarian (semua orang sederajat) yang mengabaikan realitas sejarah.34 Teori elite memandang bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua katagori. Elite yang memerintah (governing elite) dan massa (non elite) yang diperintah. Kajian teori elite menyodorkan argumen bahwa sebagian besar rakyat bersifat apatis dan buta informasi tentang kebijakan publik. Dalam analisis 33 Dalam analisis politik, khususnya mengenai persoalan elite dan struktur kekuasaan, antara lain dapat dikaji melalui pendekatan teori elitis dan teori pluralis. Terdapat berbagai pandangan tentang kehadiran dan keberadaan elite. Pareto dan Mosca: karena both necessary and desirable. Robert Michels: karena kompleksitas organisasi social yang tumbuh dalam masyarakat. C.Wright Mills: sebagai sesuatu yang ikut melestarikan penindasan dan memperlebar kesenjangan sosial. Pandangan teori elite bertentangan dengan pandangan teori pluralis.Teori pluralis menolak anggapan bahwa kekuasaan berkonsentrasi pada kelompok elite. Sebaliknya lebih percaya bahwa kekuasaan tersebar merata ke berbagai macam kelompok dalam masyarakat. Lihat: Sunyoto Usman.1996. Sosiologi Lingkungan: Pembahasan Tentang Lingkungan dan Prilaku Sosial. p.78. 34 Keith Faukls. 2010. Sosio Politik Pengantar Kritis. Terjemahan Helmi Mahadi dan Shohifullah (Bandung: Nusa Media), p.64. 25 kajian teori elite, posisi rakyat tidak diperhitungkan. Segala bentuk kebijakan hanya untuk mengokohkan status golongan elite. Vilfredo Pareto berpandangan bahwa dalam menganalisis dikotomi masyarakat sebagai akibat objektif dari hukum, meliputi beberapa kategori; Pertama, memadang masyarakat yang terdiri dari individu-individu berbeda-beda (tidak sama kemampuannya). Kedua. memadang bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas (lapisan) yaitu lapisan minoritas atau elite (yang memerintah) dan lapisan mayoritas atau massa (yang diperintah). Kelas minoritas mendominasi mayoritas dan menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu. Kelas mayoritas diatur dan dikendalikan kelas minoritas. Secara ideologis minoritas (elite) sebagai pembela konservatif dari tertib politik yang sudah mapan. Analisis perspektif teori tentang the circulation of the elite tersebut, baik Mosca maupun Pareto sama-sama konsentrasi pada peran elite dan struktur kekuasaan. Analisis keduanya telah mengabaikan peran massa. Sedangkan Mosca dalam menjelaskan formulasi politik lebih tertarik pada representasi (perwakilan) sebagai versi khusus dan mekanisme stabilitas sosial.35 Menurut pandangan analisis teori elite politik, baik analisis Vilfredo Pareto maupun Gaetano Mosca dianggap telah gagal dalam menjelaskan bagaimana dan mengapa elite baru bisa memperoleh sumber daya kekuasaan yang dibutuhkan untuk memerintah.36 Pandangan analisis 35 36 Ibid. p. 67. Ibid. 68. 26 teori tentang the circulation of the elite yang berkembang di Eropa tersebut telah mendapat kritikan dari teori oligarki elite (teori elite politik) yang dipelopori oleh Charles Wright Mills di Amerika. Sebaliknya, analisis teori sirkulasi elite gaya Mosca kurang relevan untuk menjelaskan persoalan the circulation of the elite. Hal ini karena analisis Gaetano Mosca terlalu fokus pada aspeks perjuangan klas (the ruling class). 1.5.2.2. Penjelasan Perspetif Teori Reproduksi Kelas Bourdieu Tentang Perebutan posisi Kekuasaan Penjelasan perspektif teori reproduksi kelas Pierre Bourdieu digunakan untuk menganalisis realitas sosial yang berkaiatan dengan pertarungan perebutan posisi kekuasaan. Gagasan dasar Pierre Bourdieu untuk menyenbatani antara teori dan tindakan yang mengkristal dalam beberapa konsep utama yaitu habitus, kapital, arena, distinction, kekuasaan simbolik dan kekerasan smbolik.37 Analisis teori reproduksi kelas Pierre Bourdieu berbasis pada ide dasarnya bahwa struktur dapat mempengaruhi individu dan individu dapat mempengaruhi struktur. Hal ini yang menempatkan teori reproduksi kelas yang dikembangkan Pierre Bourdieu diklasifikasikan dalam rumpun teori strukritasi. Teori strukturisasi ini membahas tentang kondisi yang mengharapkan kontinyuitas atau perubahan struktur dengan menjadi reproduksi di dalam sistem sosial. 37 Konsep habitus berkaitan dengan konsep arena perjuangan (champ). Konsep arena perjuangan sangat menentukan karena dalam semua masyarakat ada yang menguasai dan dikuasai. Lihat; Haryatmoko. 2014. “Pierre Bourdeu Teori dan Penerapannya” dalam Seminar Sehari di Gedung Pasca Sarjana Universitas Gdjah Mada pada tanggal 29 Januari 2014,p. 1 dan 6. 27 Dalam penjelasannya tentang pertarungan perebutan posisi, Pierre Bourdieu mengaitkan dengan konsep struktur modal. Dunia sosial digambarkan dalam bentuk ruang dengan beberapa dimensi yang berdasarkan pada prinsip diferensi dan distribusi. Setiap pelaku ditempatkan pada suatu posisi atau kelas tertentu yang terdekat dan para pelaku menempati posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi: Pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki. Kedua, sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka. Diantara berbagai macam modal tersebut, modal ekonomi dan budaya memiliki relevansi dalam menentukan pemberian kriteria diferensiasi bagi lingkup masyarakat yang sudah maju.38 Selanjutnya Pierre Bourdieu mengaitkan dengan konsep tipologi kelas sosial. Pierre Bourdieu menyusun masyarakat melalui beberapa kriteria: Pertama dalam dimensi vertikal; dalam hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku, antara pemilik modal besar, ekonomi dan budaya. Kedua dalam susunan masyarakat menurut struktur modal. Dalam konteks ini dipertentangkan antara mereka yang memiliki modal ekonomi lebih besar dengan mereka yang memiliki modal budaya lebih besar. Berdasarkan dua pembedaan tersebut dapat dijelaskan kehasan masingmasing kelas sosial yang terkait dengan kategori sosio professional. Pendekatan Pierre Bourdieu tentang pertarungan perebutan posisi kekuasaan menolak konsepsi pengelompokan masyarakat yang dibagi dalam kelas sosial antagonis atas dasar kriteria ekonomi (Karl Marx). Pierre Bourdieu tidak mengikuti 38 Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu” dalam Basis No.11-12, Tahun Ke 52, NopemberDesember.p.`12 28 analisis sosial dalam kerangka strata sosial yang berdasarkan pada kekuasaan, prestise dan kekayaan (Max Weber). Pierre Bourdieu mengusulkan pendekatan dalam kerangka lingkup sosial dan medan perjuangan sosial (champ).39 Kemudian ia menegaskan bahwa dalam semua masyarakat selalu ada hubungan dominasi yang menguasai dan dikuasai. Hubungan dominasi tergantung pada situasi, kapital dan strategi pelaku yang muncul melalui strategi dominasi yang sangat beragam. Sedangkan posisi pelaku di dalam lingkup kelas sosial tergantung pada kepemilikan jumlah besarnya dan dan struktur mereka. 40 Sehubungan dengan penjelasan pertarungan perebutan posisi kekuasaan, Pierre Bourdieu mengusulkan suatu visi pemetaan hubungan kekuasaan dalam masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi dan kepemilkan kapital. Pemetaaan hubungan kekuasaan di dasarkan atas kepemilikan kapital-kapital dan komposisi kapital tersebut. Dalam menjelaskannya menggunakan konsep drama perebutan posisi kekuasaan dengan pendekatan struktural genetik. Pertama, dalam unit analisis Pierre Bourdieu telah memusatkan perhatiannya pada praktik kekuasaan. Kedua, menggunakan logika permainan sosial dalam menjelaskan praktik dominasi kekekuasaan melalui kajian drama perebutan kekuasaan.41 39 Medan perjuangan merupakan hasil dari proses otonomisasi yang lama dan dipahami sebagai medan kekuatan. Ia menjadi tempat perjuangan antar individu dan antar kelompok. Ibid.p. 14. 40 Ibid.p. 6 dan10. 41 Permainan Sosial merupakan mekanisme reproduksi hubungan dominasi antar individuindividu dan kelompok-kelompok. Sistem dominasi berekspresi di semua praktik kultural. Hubungan kekuasaan yang tidak setara diterima sebagai sesuatu yang syah. Lihat; Pierre Bourdieu, dalam Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa” dalam Basis, Nomor 11-12, Tahun Ke 52, Nopember-Desember, p.5 dan Randal Johnson (Ed.) “Pengantar Pierre Bourdieu Tentang Seni, 29 Pendekatan teoritis Pierre Bourdieu sebagian besar adalah upaya menggambarkan bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan orang pada dasarnya adalah sesuatu yang lain daripada sekadar refleksi dari apa yang terjadi di benak mereka (sekedar produk struktur sosial dan struktur material).42 Melalui analisis pendekatan struktural genetik, Pierre Bourdieu mengkritisi politik pencitraan terhadap fenomena penguasaan dan kekerasan simbolik yang berlangsung di setiap rejim yang berkuasa. Kemudian ia merintis kerangka investigatif dan terminologi dengan mengungkapkan peran modal ekonomi, budaya, sosial dan simbolik serta konsep habitus dan ranah. Tujuannya untuk mengungkapkan proses dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial. Pierre Bourdeu menawarkan suatu teori mengenai kelas yang mereproduksi kebudayaan dan kebudayaan yang mereproduksi kelas. Pierre Bourdeu memposisikan semua praktik kebudayaan pada konteks hubungan kekuasaan dan konflik social.43 Pierre Bourdieu mengkonseptualisasikan keseimbangan struktural antara kekuasaan dan praktik para pemain. Kemudian dimafestasikan ke dalam tiga konsep yaitu habitus, kapital dan ranah (lapangan sosial). Pierre Bourdieu menempatkan konsep Sastra dan Budaya” dalam Pierre Bourdieu . 2010. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Terjemahan: Yudi Santoso ( Bantul Yogyakarta: Kreasi Wacana), p. vii dan ix 42 Lihat; Peter Jackson “Pierre Bourdieu” dalam Jenny Edkins-Nick Vaaughan Williams(Ed.). 2010. Teori-Teori Kritis Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. Terjemahan: Teguh Wahyu Utomo (Yogyakarta: Baca),p. 139. 43 Ibid. p.xii. Praktek bagi Pierre Bourdieu sebagai hasil hubungan dialektik antara struktur dan agen yang dapat dijelaskan dengan menggunakan rumus struktural generatif; (Habitus x Modal) + Ranah=Praktek. Konsep habitus ini menjadi batu pijakan, apresiasi dan aksi tentang pikiran. Dalam hubungannya dengan strategi energi, habitus tersebut merupakan basis generatif dan kunci reproduksi agen (elite) dalam menciptakan arena. Lihat; Pierre Bourdieu dalam Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa”, Basis, Nomer 11-12, Tahun ke 52, p. 8-9 dan 11 30 habitus dan ranah dijadikan konsep kunci dan konsep modal dijadikan sebagai perluasan kajiannya.44 Berdasarkan hal tersebut Pierre Bourdieu menegaskan bahwa masyarakat bukan sesuatu yang memiliki status dengan hubungan yang serba teratur dan harmonis, tetapi sesuatu yang dinamis. Masyarakat merupakan cerminan dari medan pertarungan antar agen untuk memperkuat posisi masing-masing. Aktor yang sudah kuat akan berupaya mempertahankan posisinya. Aktor yang berada di pinggiran akan berusaha untuk merebutnya. Pertarungan antar agen dalam suatu ranah tidak bisa menimbulkan kekacauan yang dapat menghancurkan tatanan sosial. Pertarungan antar aktor untuk memperebutkan posisi dalam suatau ranah merupakan kontestasi wacana dan gaya hidup dari para aktor. Setiap tindakan sosial selalu terkait “kepentingan” (interested) yang tidak semata-mata materi, bahkan individu-individu tertentu tidak sadar akan kepentingan mereka sendiri, sehingga imbalan atas tindakan tersebut justru bukan pendapatan materiil. Dalam segmen masyarakat tertentu masih berkembang pola hubungan “ekonomi pertukaran hadiah” yang secara tipikal masih mengakar dalam relasi sosial yang luas. Analisis teori mengenai formasi kelas yang digagas Pierre Bourdieu memusatkan perhatian pada relasi kuasa. Analisis teori ini digunakan sebagai alat analisis untuk membahas interaksi sosial dalam komunitas pesantren organisasi. 44 Konsep dasar analisis Pierre Bourdieu sebagai kritikan terhadap teori strukturalis dan teori konflik yaitu berkaitan dengan “permainan sosial” yang difokuskan pada relasi sosial yang meliputi formasi kelas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan oposisi agensi versus struktur telah tidak memadai dalam menjelaskan realitas sosial. Lihat; Achmad Fedyani Saifuddin “Membaca Teori Pierre Bourdeu: Suatu Catatan Pengantar” dalam Fauzi Fashri. 2007. Penyimpangan Kuasa Simbol Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdeu (Yogyakarta: Juxtapose), p. xi-xii 31 terutama yang berhubungan dengan pertarungan perebutan posisi kekuasaan. Analisis Pierre Bourdieu sangat signifikan dalam upaya memahami dan menganalisis kesenjangan sosial budaya, ekonomi dan politik yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Analisis teorinya sangat bermanfaat dalam melihat secara kritis tentang terjadinya represi dan kekerasan simbolik dan kekesan simbolik dilakukan oleh rejim dan kelompok yang berkuasa terhadap masyarakat kelas bawah. Sedangkan kelas dominan terus mempereproduksi struktur yang menguntungkan posisinya. Dalam analisis teori kelasnya Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa pertarungan perebutan posisi kekuasaan dapat mengkonstruksi relasi kuasa. Pierre Bourdieu membangun konsep kelas tidak dikaitkan dengan kepemilikan alat produsi (properti). Akan tetapi lebih terkait dengan masalah habitus, ranah dan selera. Disamping itu juga pengelompokan kelas berdasarkan kesamaan posisi dan selera. Hal inilah berkaitan dengan munculnya solidaritas bangsawan ketika terjadi konflik genealogis antar elite NW. Solidaritas bangsawan ini mendukung Raihanun yang mempunyai suami dari keluarga bangsawan. Sedangkan lingkungan kelas sosial memiliki pengaruh besar terhadap kemampuan seseorang untuk memainkan permainan; kelas sosial dominan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mempertahankan selera mereka dan menentang selera orang yang berada pada kelas yang lebih rendah. Berkaitan dengan hal tersebut Pierre Boudieu mengusulkan pendekatan dalam kerangka lingkup sosial dan medan perjuangan sosial (champ). Analisis konsep ruang seperti ini memungkinkan untuk dapat menganalisis posisi kelompok- 32 kelompok elite. Pelaku yang memiliki modal lebih mampu dan intensif mendominasi medan perjuangan.45 Dalam hubungannya dengan konsep reproduksi. Analisis Pierre Bourdieu menghubungkan dengan konsep keluarga. Ia menganalisis bahwa keluarga menjadi basis strategi pokok dan subjek utama strategi reproduksi. Sedangkan reproduksi sosial merupakan mekanisme reproduksi hubungan dominasi antar individu dan kelompok. Beragamnya strategi reproduksi sosial akan memicu perubahan struktur-struktur sosial. Pierre Bourdieu menjelaskan tentang pertarungan perebutan kekuasaan berhubungan dengan fenomena konflik yang dikaitkan dengan aktor konflik. Pelaku konflik berusaha mempertahankan atau menambah jenis dan besarnya modal. Strategi pelaku konflik diarahkan untuk mempertahankan dan memperbaiki posisi social dan keluarga menjadi tempat bagi akumulasi modal dan tempat pewarisan antar generasi.46 Analisis teori Pierre Bourdieu tentang peran keluarga menjadi elemen penting jika dikaitkan penanaman doktrin secara generasi antar kelompok keluarga elite NW yang saling mendominasi dalam perebutan posisi di arena konflik Perda Zakat Profesi. Pierre Bourdeu menegaskan bahwa posisi dominan melestarikan status quo dan posisi yang didominasi mengubah distribusi, aturan main dan posisinya. Analisis penjelasan Pierre Bourdieu tersebut sebagai alat analisis dalam mengungkap aspeks sosio-politik yang ikut mewarnai dalam proses dinamika 45 Pierre Bourdieu, dalam Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa” dalam Basis, Nomor 11-12, Tahun Ke 52, Nopember-Desember, p. 15. 46 Strategi Investasi Ekonomi= upaya untuk mempertahankan dan menambah modal. Sedangkan strategi investasi simbolik=upaya untuk meningkatkan pengakuan sosial. Tujuannya untuk mereproduksi persepsi dan penilaian yang mendukung kekhasannya. Ibid. 33 pertarungan perebutan posisi kekuasaan. Hal ini diharapkan dapat mengungkap tentang drama kekuasaan yang dimainkan oleh kelompok elite dan realitas makna yang tersembunyi dibalik pertarungan perebutan posisi diungkap secara dialektis. Pertama, masalah makna dan tindakan kelompok elite yang terlibat dalam pertarungan perebutan posisi tersebut. Kedua, gejala kontestasi kekuasaan dalam reproduksi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Ketiga, posisi elite yang menjadi agent dan aktor dalam persoalan reproduksi konflik genealogis antar elite tersebut sebagai kelompok dominan. Kelompok elite tersebut dapat mendominasi dalam praktek kekuasaan yang beroperasi dalam konflik yang dijadikan arena pertarungan perebutan posisi. 1.5.3. Aplikasi Analisis Teori Pareto dan Bourdieu. Aplikasi anlisis teori Vilfredo Pareto dan Pierre Bourdieu berkaitan dengan konsep yang ditawarkan oleh Pareto dan Bourdeu. Konsep Pareto meliputi konsep; dekaying prosess, equilibrium, logis dan non logis, residu aktif (produktif) dan residu konservatif dan konformistis (the persistence of aggregates) dan konsep the foxes, the lion. Sedangkan konsep yang ditawarkan Bourdeu meliputi empat konsep yaitu habitus, modal, arena dan distingsi (membedakan) dalam makanan, selera dan budaya. Aplikasi analisis teori Pareto tentang the circulation of the elite bersumber dari munculnya konsep dekaying process (proses pembusukan). Dalam aplikasinya, Pareto menggunakan pendekatan sosio-psikologi terhadap persoalan the circulation 34 of the elite, tetapi Pareto telah mengabaikan aseks-aspeks event politic di balik pergantian elite yang kemudian menimbulkan fenomena konflik. Dalam realitasnya bahwa konflik bersifat kompleks, sehingga fenomena konflik tidak bisa lepas dari peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Aplikasi teori Pareto dalam menyoroti tentang ekuilibrium (keseimbangan) terlalu sederhana. Melalui pendekatan mikanik ahistori Pareto menjelaskan bahwa masyarakat dengan asumsi bahwa pada dasarnya masyarakat bersifat conservative. Tindakan masyarakat mengarah pada keseimbangan dan tidak ada hubungannya dengan kesadaran. Dalam analisisnya bahwa tindakan resistensi bersifat irrasional. Kemudian muncul dari proses mekanis (otomatis), sehingga konflik yang terjadi, hanya bersifat sementara (masa peralihan saja). Pada hal konflik itu bukan sederhana seperti yang diungkapkan Pareto, tetapi muncul dengan multi faktor yaitu dominant factor dan tigering factor. Dalam menganalisis konsep logis (rasional) dan non logis (irrasional) dalam tindakan individu dan kolektif, Pareto terlalu mekanis dan liner dalam melihat tindakan tersebut dan sebagian besar tindakan manusia bersifat non logis, pada hal tindakan manusia sangat dialektis. Selanjutnya Pareto mengungkapkan bahwa tindakan manusia non logis tersebut muncul dari residu-residu (endapan). Akan tetapi pandangan Pareto ini telah mengabaikan events (kejadian-kejadian) di sekitarnya. Seperti yang iungkapkan oleh Agus Comte bahwa kejian sosiologis tidak bisa berdiri sendiri, tetapi selalu dipengaruhi oleh kejadian lainnya. 35 Selanjutnya aplikasi analisis teori Pareto tentang kehidupan politik the foxes dan the lion. Bagi Pareto konsep the lion digunakan untuk menyebut kaum elite yang merebut kekuasaan dengan memakai kekuatan pisik. Kelompok the lion (kuat) ini beroperasi dalam situasi dan kondisi negara tidak stabil. Sedangkan kelompok the foxes (cerdik) biasanya beroperasi dalam kondisi negara sedang stabil dan kelompok the lion bisa berubah menjadi kelompok the foxes tergantung pada situasi. Pareto menjelaskan persoalan kehidupan politik dengan liner pada hal persoalan kehidupan politik tersebut sangat dialektis. Berbeda dengan aplikasi analisis teori Pierre Bourdieu yang menggunakan analisis pendekatan structural genetic melalui kajian non micanic ahistory. Dalam analisisnya Pierre Bourdeu menggunakan empat konsep yaitu habitus, modal, arena dan strategi reproduksi. Bagi Bourdeu untuk merubah kehidupan berorganisasi harus ada perubahan struktur dengan menggunakan simpel-simpel habitus karena habitus dapat mengatasi dikotomi kehidupan sosial. Dalam menjelaskan konsep habitus tersebut Bourdeu menggunakan analisis yang sangat realistis dan simple, pada hal kehidupan sosial itu sangat kompleks. Aplikasi analisis teori Bourdeu tentang penempatan modal di arena. Bourdeu menegaskan bahwa manusia hidup dalam berbagai arena. Bagi Bourdeu modal budaya menjadi modal yang menentukan di arena, tidak seperti analisis Karl Marx yang menempatkan modal ekonomi menjadi prioritas utama untuk menguasai arena. Akan tetapi analisis Bourdeu tentang strategi penempatan modal terlalu simpel, sehingga mengabaikan modal ekonomi dan sosial yang bergerak dalam arena. 36 Kendati kedua teori Pareto dan Bourdieu memiliki kelemahan dan keunggulan, tetapi kedua teori ini serumpun dan menyori tentang peran elte (istilah Pareto: elite dan istilah Bourdieu: Agen) dalam fenomena konflik. Kedua teori tersebut terjalin hubungan simbiotis yaitu saling melengkapi dalam menjelaskan kajian studi. Analisis kajian diarahkan untuk mengungkap realitas makna yang tersembunyi dalam konflik massa tentang Perda Zakat Profesi sebagai representasi dari konflik genealogis NW. Penjelasan kedua teori ini belum komprehensif dalam menganalisi persoalan pokok yaitu perebutan posisi pimpinan NW. 1.5.4. Integrasi Perspektif Teori Pareto Dengan Teori Bourdeu Teori Pareto dan teori Bourdieu merupakan teori elite yang memusatkan perhatian pada peran penguasa atau elite (Pareto) dan agen (Bourdieu). Munculnya kedua teori elite ini berada dalam periode yang berbeda dengan fokus analisis yang berbeda pula. Fokus analisis Pareto menggunakan pendekatan sosio-psycologi dan fokus analisis Bourdieu menggunakan pendekatan sosio-kultural. Walaupun demikian kedua teori tersebut memiliki titik temu dalam menganalisis resistensi terhadap persoalan konflik yang dikendalikan oleh penguasa. Dalam analisisnya Pareto lebih terfokus pada peran elite dalam konflik. Konflik bersifat sementara dan hanya pengulangan saja sedangkan munculnya resistensi hanya dipandang sebagai perjuangan untuk mengembalikan keseimbangan. Pandangan Bourdieu lebih memfokuskan pada peran agen dan massa sedangkan 37 resistensi sebagai upaya strategi penempatan kapital untuk memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan di arena kontestasi. Kedua analisis perspektif teori itu menggunakan konsep strukturisasi yang berbasis pada realitas (fakta sosial) yaitu struktur dapat membentuk individu dan individu dapat membentuk struktur. Kedua teori sama-sama memandang bahwa munculnya proses strukturisasi tidak bergerak dalam ruang hampa. Pareto berpandangan bahwa struktur masyarakat (sistem sosial) yang ditegakkkan oleh individu-individu senantiasa mengarah kepada keseimbangan yaitu pemeliharaan keseimbangan atau pemulihan keseimbangan setelah terjadi pergolakan (konflik).47 Bagi Pierre Bourdieu bahwa pembentukan sosial distrukturkan melalui serangkaian arena yang terorganisasi secara hirarkhis dan strukturnya ditentukan oleh relasi-relasi diantara posisi-posisi yang ditempati oleh agen di arena.48 Kedua analisis aplikasi teori, baik Vilfredo Pareto maupun Pierre Bourdieu memiliki kelemahan dalam menjelaskan persoalan reproduksi konflik genealogis dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Untuk melengkapi aplikasi analisis teori sirkulasi elite Pareto dan teori reproduksi kelas yang dikembangkan oleh Pierre Bourdeu perlu diketengahkan analisis penjelasan fakta berdasarkan realitas empiris. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Bourdeu sebelumnya bahwa teori tanpa penelitian empiris adalah kosong dan penelitian empiris tanpa teori adalah hampa. 47 KJ. Veeger.1993. Realitas Sosial atas hubungan individu-Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Gramedia Pustaka Utama), 73. 48 Randal Johnson (Ed.) 2010. Pierre Bourdieu Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Terjemahan Yudi Santoso (Yogyakarta: Kreasi Wacana),p. xix-xx. 38 1.5.5. Penjelasan Konflik Perda Zakat Profesi Berdasarkan Realitas Empiris Penjelasan konflik Perda Zakat Profesi berdasarkan realitas empiris dimaksudkan untuk mempertajam dan melengkapi kelemahan penjelasan analisis teori sirkulasi elite Vilfredo Pareto dan teori yang dikembangkan oleh Pierre Bourdeu. Penjelasan teori elite oleh Vilfredo Pareto hanya menyoroti motif-motif konflik secara mikanis dan ahistoris dengan pendekatan sosiopsikologi sebagai entry point dan mengoperasionalkan melalui konsep residu dan sentimen. Akan tetapi analisis teori Pareto tidak menjelaskan tentang reproduksi konflik karena konflik bersifat sementara dan hanya bersifat pengulangan dari hal yang sama. Pandangan Pierre Bourdieu merupakan antithesis dari pandangan Vilfredo Pareto. Pierre Bourdieu dengan pendekatan struktural genetik menjelaskan tentang arena sebagai medan pertempuran para prilaku sosial. Oleh karena itu melalui pendekatan sosiokultural dan kajian historis, Pierre Bourdeu mengungkapkan bahwa konflik hanyalah permainan sosial. Bagi Pierre Bourdieu persoalan konflik sangat dialektik, sehingga berlangsung lama dan dipengaruhi oleh aspeks budaya dan hal ini mengakibatkan terjadi reproduksi budaya. Bertitik tolak dari pandangan kedua teori tersebut dapat diungkapkan bahwa persoalan konflik muncul dengan multi faktor, sehingga konflik bersifat imparsial. Persoalan munculnya konflik tidak bisa berdiri sendiri karena selalu dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang lain. Oleh karena itu intensitas konflik sangat tergantung 39 dari kekuatan sosil yang ikut mewarnainya. Hal inilah yang menyebabkan munculnya proses dinamika konflik melalui tahapan-tahapan. Dalam rangka melengkapi penjelasan teori Vilfredo Pareto dan teori Pierre Pellix Bourdieu tersebut tentang hidden transcrift of reality dalam fenomena konflik tersebut digunakan penjelasan realitas empiris. Penjelasan realitas empiris merupakan teori-teori kecil untuk melengkapi dan menyempurnakan penjelasan teori Vilfredo Pareto dan Pierre Bourdieu. Penjelasan realitas empiris seperti yang diuraikan dibawah ini melalui empat tahapan. Pertama, keunggulan dan kekuatan sebuah organisasi merupakan sumber energi modal dari organisasi. Keunggulan dan kekuatan berubah menjadi potensi konflik ketika muncul sistem dualisme dalam kepemimpinan. Kedua, ketika muncul potensi konflik, masing-masing kelompok elite berupaya memperkuat modal. Mereka masuk ke ranah publik untuk mengkonstruksi jaringan politik, sehingga terjadi konflik genealogis NW. Walaupun konflik tersebut bersifat potensial (laten), tetapi sudah terdapat benih yang membawa konflik ke arah manifes. Ketiga, ketika objek yang diperebutkan semakin nyata (ada benda yang diperebutkan dan upaya dukungan publik) maka konflik laten berubah menjadi konflik manifes. Pada tingkat ini masingmasing jaringan sosial sudah memperebutkan objek konflik. Keempat, mencari arena konflik baru dan kemudian konflik berkembang ke arah reproduksi konflik. Melalui penjelasan teoritik kedua pemikir yaitu Pareto dan Bourdieu, realitas empiris yang terjadi bahwa konflik Perda Zakat Profesi bersumber pada konflik genealogis antar elite yang berada dalam organisasi NW sebagai organisasi 40 keagamaan terbesar di NTB. Relatitas konflik genealogis antar elite NW berbentuk struktur genealogis yang berlangsung secara turun temurun dan selalu tereproduksi dalam soal apapun yang menyangkut kepentingan antara dua kelompok elite yang memiliki kekuatan kapital yang sama untuk untuk menggalang masa politik. 1.6. Metode Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberi penjelasan, penafsiran dan pemahaman tentang perebutan posisi kekuasaan antar elite NW yang menjadi sumber reproduksi konflik genealogis antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Melalui kajian metode penelitian dapat menemukan bahan informasi yang berguna untuk menjelaskan makna dibalik munculnya persoalan konflik Perda Zakat Profesi yang menjadi kajian studi. Secara metodologis penulis mencoba menggali informasi dengan memahami dari dalam (from within) dengan cara menjadikan diri sebagai bagian dari subjek sekaligus objek penelitian. Hal ini diarahkan untuk memperkaya bahan informasi yang berkaitan dengan munculnya persoalan pokok konflik Perda Zakat Profesi. 1.6.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan menempati posisi penting dalam penelitian karena penelitian sangat dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan oleh peneliti dan baik tidaknya sebuah penelitian tergantung pada pendekatan yang digunakannya. Pendekatan dalam penelitian ini tidak bisa lepas dari persoalan yang berkaitan dengan analisis fokus penelitian. Analisis fokus penelitian ini lebih diarahkan untuk menyoroti pertarungan 41 perebutan posisi antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Pertarungan tersebut berbasis pada persoalan ekonomi dan masuk pada arena politik.49 Penjelasan pertarungan perebitan posisi tersebut, peneliti menggunakan kajian studi sosiopolitik dan dianalisis berdasarkan metode penelitian kualitatif (qualitative research).50 Agar tidak terjebak dalam persoalan parsial dalam menjelaskannya, metode ini menyiratkan penekanan pada proses dan makna yang dikaji.51 Metode penelitian kualitatif merupakan kegiatan yang tersusun atas sejumlah wawasan, disiplin, dan wasasan filosofis sejalan dengan kompleksitas pokok permasalahan yang diteliti. Penggunaan metode penelitian kualitatif tersebut didasari atas beberapa alasan; Pertama, yang dikaji dalam penelitian ini adalah makna dari suatu tindakan atau apa yang ada dibalik tindakan seseorang, sehingga the hidden transcrift of reality di balik perebutan posisi yang menjadi fokus kajian studi dapat terungkap secara obyektif. Kedua, metode penelitian kualitatif memberikan peluang bagi pengkajian mendalam terhadap suatu fenomena. Hal ini karena setiap tindakan sosial (social action) terdapat makna dan motif tindakan, sehingga dalam mengkajinya melalui 49 Karl Marx berpandangan bahwa pergulatan manusia yang paling utama dan pertama adalah pergulatan untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Pergulatan tersebut membawa manusia dengan alam sebagai pemenuhan kebutuhan. Manusia melakukan transformasi alam dengan kegiatan produksi. Hubungan sosial yang terkonstruksi didalamnya adalah hubungan antara dua kelompok kelas social yaitu kelas yang penguasai dan kelas yang tidak menguasai alat-alat produksi. Lihat; Faruk. 2013. Pengantar Sosiologi Sastra Dari Strukturalisme Genetik Sampai Post Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 25-26. 50 Qualitative research = menghadirkan realita bukan fakta karena fakta bukanlah realita. Dalam operasionalnya qualitative research menganalisis sesuatu yang kecil tetapi mendalam. Berbeda dengan Quantitative research yang dalam operasionalnya menganalisis fakta yang dangkal dan melebar ke samping. Sedangkan hubungan antar fakta berdasarkan hubungan kausalitas . 51 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Han book of Qualitative Research. Terj. Dariyatno dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 6. 42 analisis pemahaman (imperative understanding). Ketiga, penelitian tentang prilaku di dalam masyarakat sangat memungkinkan menggunakan penelitian kualitatif karena yang dikaji berkaitan dengan fenomena yang tidak bersifat eksternal, tetapi berada dalam diri masing-masing individu yang menjadi subyek penelitian. Keempat, proses tindakan yang di dalamnya terkait makna subyektif harus dipahami dalam kerangka “ungkapan”, sehingga perlu dipahami dari kerangka metode penelitian kualitatif dan salah satu pendekatannya adalah case study. Berdasarkan keempat alasan tersebut penelitian ini menggunakan pendekatan case study (studi kasus). Melalui pendekatan case study, penelitian ini akan menjawab pertanyaan “how” dan “wy” sebagai upaya penting dalam strategi penelitian untuk mendapatkan realitas makna yang tersembunyi. 52 Oleh karena melalui pendekatan Case study ini dapat diberikan gambaran descriptive analitict secara komprehensif, intens, rinci dan mendalam tentang pokok-pokok permasalahan yang bersifat kontemporer.53 Analisis diarahkan untuk menjelaskan persoalan pertarungan perebutan posisi yang menjadi fokus studi. Analisis tersebut mengungkap persoalan yang berhubungan dengan motif tindakan (akar konflik) melalui metode pemahaman interpretatif. Seperti antara lain dalam bentuk empati yaitu usaha peneliti untuk menghayati pengalaman subyek- 52 Robert K .Yin. Studi Kasus Desain dan Metode (Jakarta: Rawali Press ), p.13-14. Lihat pula: Cesar M. Mercado.1977. How to Conduct Social Science Research: A guide in Preparing Research Proposals and Thesis Manuscripts (Manila: PI GAMMA MU University of the Philippines),p. 12-13 dan Bungin.2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosifis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada),p. 21. 53 Burhan Bungin.2003. Op.cit. p. 20. 43 subyek yang diteliti yang berkaiatan dengan persoalan konflik sebagai fakta sosial.54 Hal ini karena persoalan konflik Perda Zakat Profesi muncul dari hasil akomulasi sosiopolitik devide society akibat konflik genealogis antar elite NW. Dalam menganalisisnya, pembahasan diawali dari munculnya the circulation of elite sampai reproduksi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat. 1.6.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini di lakukan di dua tempat yaitu Pancor dan Anjani, Selong Kabupaten Lombok Timur Propensi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kedua tempat tersebut merupakan pusat PBNW (Pengurus Besar Nahdlatul Wathan). Dalam realitasnya, kedua tempat tersebut merupakan pusat aktivitas organisasi NW dalam melakukan dakwah, baik aktivitas dahwah dalam aspek kultural keagamaan maupun struktural politik sekaligus keduanya menjadi tempat pengumpulan data penelitian. Seperti yang terlihat dalam gambar 1 dibawah ini. Gambar; 1 Peta Pusat Lokasi Penelitian 54 Weber dalam Faruk.2013. Loc.cit.,p. 20 44 Munculnya perpecahan PBNW tersebut berlangsung sejak Muktamar NW tahun 1998 di Praya Lombok Tengah. Hal ini telah menjadi sumber munculnya reproduksi konflik genealogis antar elite yang saling bertarung memperebutkan posisi dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Persoalan konflik ini tidak muncul dari faktor tunggal, tetapi multi faktor dengan dialektika sosiopolitik yang sangat komplek, sehingga dalam proses pengumpulan data-data, dilakukan dengan tahapan penelitian. 1.6.3. Tahap-Tahap Penelitian Tahapan penelitian dilakukan dengan teknik kolaborasi (kombinasi). Penulis beranjak dari aktivitas observasi terlibat (participant observation), sesuai dengan pendekatan case study dalam metode penelitian kualitaif yang penulis gunakan. Untuk mengkroscek keabsahan data observasi tersebut, dilakukan langkah-langkah penyatuan (incorporation) melalui metode wawancara mendalam (indepth interview) dengan informan. Dalam rangka melengkapi data primer (hasil observasi dan wawancara), penulis menggunakan data-data dokumentasi (studi pustaka). Penggunaan teknik dokumentasi ini sebagai pilihan metodologis yang dapat memberikan akses lebih maksimal dengan hasil yang optimal. Teknik penelitian ini agak fleksibel, sesuai dengan corak analisis metode penelitian kualitatif melalui pendekatan case study (ex post facto).55 55 Studi yang bersifat retrospektif (ex post facto), bekerja mundur, mempergunakan data yang telah di catat. Lihat; Abdul Aziz S.R., “Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus” dalam Burhan Bungin. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta; Raja Grafindo Persada),p. 20. 45 Sesuai dengan tahapan-tahapan penelitian tersebut, dalam teknik kolaborasi penulis menggabungkan metode penelitian lapangan dan perpustakaan. Penelitian lapangan dilakukan melalui teknik observasi partisiapasi dan wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data-data primer. Penelitian perpustakaan dilakukan dengan teknik dokumentasi dan catatan personal yang ada relevansinya dengan pokok-pokok permasalahan. Data yang diperoleh dari hasil library research tersebut sebagian besar berupa buku-buku dan dokumentasi. Sedangkan data dokumentasi telah dimasukkan dalam daftar lampiran. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data-data skender (pelengkap). Teknik kolaborasi tersebut digunakan untuk keabsahan data agar lebih objektif dalam mengalisis data yang diperoleh dari field research dan library research. Data yang diperoleh dari hasil library research untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil field research. Tahap pertama, dilakukan dengan teknik observasi partisipan melalui observasi sistematis dan intensif. Hal ini sebagai suatu metode riset yang dikarekterisasikan oleh sebuah interaksi sosial intensif antara peneliti dengan actor yang terlibat dalam sebuah milieu sosial tertentu. Teknik observasi tersebut menjadi teknik utama karena ilmu dikonstruksi melalui metode obsrvasi yang diharapakan dapat mencapai ke suatu teori empirisis yang dapat menjelaskan permasalahan. Melalui observasi partisipan dapat dikumpulkan dalam suatu cara yang sistematis. Tahapan kedua, dilakukan teknik Indepth interviewing (wawancara mendalam) yang dilakukan melalui pelacakan (probing) untuk mendapatkan data lebih dalam, utuh dan rinci. Sedangkan pengungkapannya disesuaikan dengan 46 konteks yang ada melalui informan dan penentuan informan dalam depth interview merupakan aspek penting. Wawancara dilakukan dengan sistem classter yang digunakan untuk memudahkan pemahaman informasi untuk mengkroscek data. Penentuan informan berdasarkan orang yang sudah dikenal dan ada keterlibatan langsung dalam reproduksi konflik genealogis dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Penentuan informan dapat diklasifikasi menjadi tiga klaster sesuai dengan dukungan politiknya terhadap elite NW yang berkonflik. Pertama, informan yang pro Rauhun (R1) yang melolak penerapan Perda Zakat Profesi. Kedua, informan pro Raihanun (R2) yang menjadi pendukung setianya. Ketiga, informan yang menempati posisi netral. Posisi dan statusnya informan dilakukan klasifikasi secara konprehensif yaitu dari kelompok toga (tokoh agama), toma (tokoh masyarakat), birokrat dan guru-guru masyarakat grassroad yang terlibat langsung dalam konflik (lihat daftar informan). Pada tahapan ketiga, dipergunakan teknik penelitian perpustakaan. Penelitian perputakaan tersebut dilakukan untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara berupa dokumentasi yang meliputi; buku, majalah, jurnal dan koran. Personal documents (dokumen perorangan) merupakan materi-materi yang dicatat dengan ungkapannya sendiri. Seperti antara lain; catatan harian, surat pribadi, otobiografi. Dari dokumen perorangan memungkinkan dikaji segi-segi masyarakat, peristiwa dan keadaan yang teramati secara langsung. Dokumen-dokumen personal akan mengungkapkan bagaimana seseorang individu telah mengalami keberhasilan ataupun kegagalan dan bagaimana 47 pengalaman tersebut mempengaruhi tindakannya. Observasi partisipan telah memungkinkan peneliti untuk mengobservasi pandangan (features) subyektif yang beraneka ragam dalam kehidupan seseorang seperti emosi, motif dan makna. Dengan demikian peneliti dapat mengobservasi bagaimana aktivitas-aktivitas harian seorang individu yang dipengaruhi faktor dari luar dapat mempengaruhi kehidupan sosial. 1.6.4. Analisis Data Analisis data dilaksanakan terus menerus sejak awal sampai akhir penelitian. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan temuan penjelasan empiris untuk melengkapi penjelasan teori yang digunakan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pola penalaran deduktif. Agar lebih sistematis dan mendalam dalam menjelaskannya digunakan langkah penelitian sebagai berikut. Pertama, peneliti berupaya menemukan tema “tentatif” yang muncul dari topik-topik pembicaraan dengan informan. Kedua, Informan kunci tidak diikat oleh suatu konsep tertentu. Peneliti menggunakan konsep yang efektif berdasarkan batasan research setting. Sedangkan teknis analisis data dilakukan secara bertahap, seperti yang tertera dalam skema 2 di bawah ini; Skema; 2 Teknis Analisis Data Pengumpulan Data Display Data Reduksi data Penarikan Kesimpulan/ verifikasi 48 Dalam skema 2 tersebut dijelaskan bahwa dalam analisis pengumpulan data terhadap setiap informasi dilakukan langkah-langkah kroscek data. Langkah kroscek ini dilakukan melalui komentar responden yang berbeda untuk mengggali validitas informasi. Kemudian kroscek data dikategorisasikan berdasarkan kepentingan penelitian. Dalam kroscek data, setiap kategori data dikaji dan dimintakan dari responden kemudian diuji silang dengan responden lain. Kroscek dilakukan untuk memperkecil subjektifitas dan meningkatkan objektivitas permasalahan. Di samping itu hasil kroscek data yang telah didapatkan perlu direduksi dan dimasukkan dalam pola, kategori, fokus sesuai dengan permasalahan. Hasil reduksi data tersebut perlu di display secara tertentu. Hal ini dilakukan agar masing-masing pola, kategori, fokus atau tema yang hendak dipahami tentang duduk persoalannya dapat disimpulkan dengan pemahaman yang baik. Melalui proses kroscek siklus inilah konstruksi kesimpulan penelitian dapat dibuat. Tujuannya untuk memperkokoh dan memperluas bukti yang dijadikan landasan pengambilan kesimpulan tersebut. Di dalam kroscek pengujian data dilakukan terhadap interpretasi atas penjelasan sebelumnya dalam uraian logis dan kasusal. Hal ini bertujuan untuk memproleh bukti penguat kesimpulan dari berbagai sumber. Adapun mekanisme penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, reduksi data. Peneliti melakukan penyederhanaan, pengabstrakkan dan transformasi data kasar yang muncul dalam field note. Hal ini dilakukan sebelum mengumpulkan bahan empirik. Peneliti mereduksi bahan yang didapat dari informan, 49 sehingga dapat diperoleh kategori-kategori tematik melalui simbol.56 Tujuannya agar diperoleh temuan-temuan tematik yang lebih rinci dan dianalisis secara komponensial. Kedua, display (sajian) data. Setelah data direduksi kemudian disajikan (material empiric display) dalam bentuk bahan dapat terorganisir. Kemudian peneliti membuat bentuk ringkasan yang terstruktur. Hal ini dilakukan dengan menjelaskan masing-masing komponensial pada setiap domain. Dengan demikian memudahkan proses analisis dalam mengangkat makna yang tersembunyi dibalik realitas. Agar memudahkan pemahaman, analisis dilakukan dengan mengacu pada perumusan masalah. Analisis data ini dilakukan dengan mendepkripsikan data dalam bentuk narasi yang disusun secara logis dan sistematis. Tujuannya untuk menjawab setiap permasalahan. Kemudian dirumuskan temuan konsep dan makna dari reproduksi konflik elite di Lombok Timur itu. Ketiga, verifikasi data. Peneliti melakukan penafsiran terhadap makna dari sajian bahan empirik (material empiric display). Dalam verifikasi, peneliti mencatat keteraturan, pola-pola dan penjelasan archetype (contoh yang sempurna) yang diperoleh dari subjek penelitian. Verifikasi dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya proses pengumpulan bahan empirik. Kemudian dikonfirmasikan dengan informan tentang catatan yang ada (informasi baru) melalui diskusi dan 56 Simbol=alat untuk memperluas penglihatan dan memperdalam pemahaman yang berfungsi daya merangsang imajinasi dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan relasi. Sebuah simbol pada mulanya adalah sebuah benda, tanda atau sebuah kata yang digunakan untuk saling mengenali dan “arti” yang sudah dipahami. Lihat; F.W. Dillistone . 2002. The Power of Symbols.Terjemahan: A. Widyamartaya.(Yogyakarta: Kanisius),p. 20-21, 127 dan 197. 50 seminar sesuai dengan perkembangan di lapangan. Tujuannya sebagai bahan crossceck melalui penelusuran data. Proses verifikasi ini memperkecil kekuarangan peneliti dengan memberikan pembatasan dan memverifikasi bahan empirik yang ada. 1.6.5. Kendala Penelitian Ken teknik pengumpulan data ini berkaitan dengan persoalan kesulitan yang muncul selama dalam penelitian tentang reproduksi konflik genealogis antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Sehubungan dengan hal tersebut pada sementara orang, istilah penelitian dan peneliti digambarkan terlampau “angker”. Gambaran ini tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Dengan adanya penemuan dan pemahaman fakta-fakta penelitian, sedikit banyak mengurangi hal-hal gelap yang tidak diketahui sebelumnya.57 Proses memahami fakta penelitian selalu melibatkan penafsiran berdasarkan pengalaman manusia (the interpretative perspective of human experience).58 Proses pemahaman fakta-fakta tersebut, terdapat beberapa kesulitan yang penulis temukan. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya keterbatasan dalam pengumpulan data baik dalam penelitian lapangan (observasi dan wawancara) maupun dalam penelitian perpustakaan (dokumtasi). Keterbatasan pengumpulan data dalam observasi berkaitan dengan karakteristik (hirarkhis, sensitif, normatif, dan isolatif) yang berkembang dalam komunitas pesantren. Walaupun sudah terdapat surat ijin penelitian, tetapi banyak 57 John W.Best.Op.cit.,p. 33-34. Fakta = berbeda dengan kenyataan. Fakta berada dalam pikiran, lebih mengacu pada sesuatu (terbentuk dari kesadaran seiiring dengan pengalaman) daripada kenyataan exact. Sesuatu yang tergambar dalam pikiran secara langsung memiliki hubungan timbal balik dengan kenyataan. Kenyataan mengacu pada fakta. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan (Malang: Bumi aksara(,p. 1-3. 58 51 dilakukan secara privasi tanpa diketahui sebelumnya jika hal tersebut berkaitan dengan aspeks prilaku. Persoalan semakin komplek jika melakukan observasi yang berkaitan dengan persoalan prilaku konflik. Observasi yang berkaitan dengan persoalan konflik dalam kehidupan pondok pesantren, khususnya pondok pesantren NW merupakan sesuatu yang sensitif, isolatif (tertutup) dan hampir tidak terungkap, bahkan sengaja dibumieskan. Hal ini karena persoalan konflik tersebut merupakan sesuatu yang sangat “tabu”. Persoalan konflik yang terjadi dalam pondok pesantren NW bertautan dengan “aib”. Hal ini berarti bahwa jika membongkar sesuatu konflik berarti telah membongkar aib pondok pesantren NW. Jika ada yang membeberkan konflik tersebut berarti tidak mengerti “unggah ungguh” dan dianggap sembrono serta akan kuwalat. Oleh karena itu sebagai “otokritik” ketika peneliti melakukan observasi, persoalan kesemapatan dan penempatan diri selalu menjadi nafas dan persoalan penting untuk menemukan dan memahami data yang dibutuhkan. Dalam melakukan wawancara yang berkaitan dengan komunitas pesantren bukanlah isu sensitif dan mereka sangat terbuka. Ketika wawancara itu berbenturan dengan dengan persoalan prilaku, terutama tentang prilaku konflik, kebanyakan wawancara dengan informan menjadi sedikit tertutup atau hanya memberikan jawaban yang sifatnya normatif. Wawancara ini terutama ketika dilakukan oleh informan yang menempati posisi-posisi yang bersentuhan langsung dan berada dalam dilingkaran komunitas pesantren. Hal ini telah menyulitkan peneliti untuk memperoleh data yang mendalam. 52 Berbeda ketika melakukan wawancara dengan informan dalam kelompok akademisi, aktivis santri dan beberapa aktor-aktor konflik (komunitas pesantren dan non pesantren) tetap terbuka dalam memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti. Data yang didapatkan ini mengandung bias cendekiawan, hal ini menyulitkan bagin peneliti untuk melakukan verifikasi data. Untuk memvalidasi data peneliti terus berusaha untuk menguranginya melalui tindakan kroscek (cek silang) dengan beberapa informan lain. Keterbatasan dalam teknik pengumpulan data berikutnya berkaitan dengan persoalan peneliti dalam melakukan teknik dokumentasi dan catatan personal. Untuk mendapat data yang berasal dari dokumentasi memang peneliti cukp hati-hati, apalagi peneliti berasal dari luar komunitas pesantren yang selalu dicurigai. Dokumen lama yang di cari sulit ditemukan, sehingga menyulitkan bagi peneliti. Oleh karena itu peneliti sering menggunakan “media permaianan” untuk mendapatkan data, baik data wawancara dengan informan maupun data dokumentasi. Dalam rangka mengatasi keterbatasan teknik pengumpulan data, peneliti menyiapkan berbagai teknik dan instrumen yang digunakan sebagai media komunikasi dengan informan, terutama informan kunci. Beberapa teknik yang dilakukan peneliti berikut ini; Pertama, memanfaatkan momen informan. Misalnya perayaan agama Islam seperti salah satunya momen bulan maulud dan hari lebaran untuk bertemu dengan informan kunci. Kedua, memanfaatkan keluarga dan melalui keluarga informan peneliti menyelinap dalam keperluan yang dimunculkan oleh keluarga informan. Ketiga, peneliti menggunakan media catur. 53 Ketika informan itu adalah para pejabat (Bupati dan wakil Bupati), peneliti menghadap dengan menyiapkan program panitia catur kemudian menyiapkan pertanyaan yang berhubungan denga konflik Perda Zaka Profesi. Hal ini dilakukan untuk mengindari munculnya kesan adanya interogasi dan kecurigaan, sehingga peneliti tidak terancam dan tujuan penelitian dapat berjalan dengan mulus tanpa menimbulkan persoalan baru dalam penelitian ini. Agar uraian hasil penelitian ini lebih terperinci, komprehensif (imparsial) dan tidak terjebak dalam persoalan keterbatasan tersebut uraian dirangkai melalui sistematika penulisan. 1.7. Sistematika Penulisan Dalam rangka mensistematiskan bentuk penulisan, penulis menganalisis berdasarkan uraian dalam bab per bab yang dirangkai menjadi enam bab. Proses uraian penulisan diawali dengan bab I sebagai bab pendahuluan dan diakhiri dengan bab VI sebagai bab penutup. Bab pendahuluan digunakan sebagai entry point dalam membuka pengetahuan tentang pentingnya persoalan penelitian dan posisi kebaruan yang dikaji dengan kajian studi terdahulu. Bab pendahuluan tersebut berisi uraian tentang latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka (review studi terdahulu), perspektif teori dan metode penelitian. Uraian tentang Bab II membahas tentang persoalan kekuatan ekonomi, politik, kultural keagamaan dan potensi konflik di tubuh organisasi NW. Kekuatan dan keunggulan NW tersebut merupakan kekuatan daerah Lombok Timur sebagai kota “seribu masjid”. Hal ini telah ikut mewarnai dan mempengaruhi persoalan pertarungan perebutan posisi pimpinan NW dalam arena konflik Perda Zakat Propesi 54 yang menjadi focus kajian studi. Kekuatan dan keunggulan organisasi NW tersebut telah dapat memberikan kontribusi terhadap eksistensi organisasi NW. Akan tetapi ketika muncul dualisme kepemimpinan (dua PBNW) di tubuh organisasi NW dapat mengakibatkan munculnya devide society. Hal ini menyebabkan kekuatan dan keunggulan NW tersebut menjadi potensi konflik sekaligus sebagai akhir uraian di bab II. Kemudian untuk menjawab pertanyan penelitian, penulis uraikan dalam bab III, IV, dan babV. Bab III menguraikan tentang terjadinya reproduksi konflik genealogis antar elite yang saling bertarung memperebutkan posisi pimpinan di tubuh NW. Dalam hal ini uraian berawal dari munculnya konflik genealogis dalam keluarga NW kemudian hal tersebut meluas ke organisasi NW. Akan tetapi intensitas konflik genealogis NW hanya terjadi dalam internal organisasi NW dan ketika itu intensitas konflik tersebut belum meluas ke masyarakat Sasak. Sedangkan status PBNW (Pengurus Besar Nahdlatul Wathan) masih bersifat tunggal dan orientasi keagamaan warga NW masih menggunakan paradigma sami‟naa wa atha‟naa (kami mendengar dan kami patuh). Adapun uraian di bab III di akhiri dengan pembahasan mengenai munculnya eliteelite politik lokal yang memanfaatkan konflik genealogis tersebut sebagai politic opportunity. Mereka saling menanam benih-benih kepentingan politiknya untuk mereproduksi kekuasaan dan sejak itu NW telah menjadi instrumen dan arena eliteelite politik lokal. Bab IV menguraikan tentang tranformasi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Uraian bab IV tersebut berawal dari 55 munculnya dualisme kepemimpinan PBNW di tubuh organisasi NW di awal pemerintahan Reformasi bergulir di Lombok Timur. Sejak itu organisasi NW telah terbelah dan memiliki dua pusat aktivitas dakwah yaitu di Pancor (dikuasai oleh Rauhun) dan di Anjani (dikuasai oleh Raihanun). Begitu pula warga NW, birokrasi dan masyarakat Sasak di Lombok Timur berada dalam devide society. Rangkaian uraian di bab IV diakhiri dengan uraian perubahan arena pertarungan perebutan posisi pimpinan antar kelompok elite NW. Dari arena organisasi NW ke arena konflik Perda Zakat Profesi. Dalm proses peralihan arena tersebut, masing-masing kelompok elite NW saling mendominasi dengan hostile behavior. Hal ini menyebabkan persoalan reproduksi konflik genealogis tersebut semakin kompleks dalam konflik Perda Zakat Profesi yang menjadi arena pertarungan. Bab V menguraikan tentang bagaimana dinamika dan implikasi reproduksi konflik genealogis dalam arena konflik Perda Zakat Profesi terhadap perebutan posisi antar elite di tubuh NW. Analisis uraian tersebut berbasis pada persoalan kekuatan elite NW (diluar struktur) di dalam struktur kebijakan public (public policy). Kekuatan elite di luar struktur tersebut dapat mengendalikan konflik Perda Zakat Profesi yang berkembang di Lombpok Timur. Uraian selanjutnya adalah implikasi terhadap posisi kelompok kekuatan politik antar kedua elite NW untuk melakukan dominasi kekuasaan dalam konflik Perda Zakat Profesi yang dijadikan arena pertarungan. Sehubungan dengan persoalan implikasi tersebut dapat diungkapkan dua pokok persoalan yang berkaitan dengan rivalitas dan loyalitas warga NW yang saling mendominasi kekuasaan. Hal ini dapat mengkonstruksi munculnya dua kelompok 56 solidaritas antar elite NW dengan prilaku yang saling bermusuhan (hostile behavior) yaitu saling bela bantel (saling bela kelompok). Bab VI sebagai bab penutup yang membahas tentang kesimpulan yang berisi uraian tentang realita bukan fakta sebagai jawaban penelitian. Analisis uraian dalam bab VI ini lebih menyoroti tentang the hidden transcrift of reality dibalik munculnya persoalan reproduksi konflik genealogis dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Kemudian pembahasan di bab VI ini juga dirangkai dengan uraian tentang rekomendasi akademik. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap uraian tentang berbagai pendekan dan saran tindak yang berkaitan dengan persolan resolusi konflik genealogis antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi.