pelarian kepada filsafat

advertisement
PELARIAN KEPADA
FILSAFAT
Gerakan renaissance di Eropa lahir karena dorongan semangat yang berkobar-kobar dari kelompok
kaum seniman, intelektual, dan politisi yang memelopori kebebasan berfikir dan berbuat tanpa
pembatasan apapun. Gerakan mereka didorong oleh kenyataan yang mereka saksikan sehari-hari
betapa ajaran dan pengaruh Gereja cuma kekangan-kekangan yang membelenggu kemerdekaan
berfikir. Mereka memandang Agama di Eropa (Kristen) dengan penilaian penuh ejekan, Agama
dipandangan mereka tak lebih cuma seperangkat rangkaian dogma-dogma yang disusun bagaikan
bunga rampai yang indah dipandang, akan tetapi menghanyutkan orang banyak menjadi lalai dan
beku, pasrah terhadap apa yang hendak terjadi. Bahkan kalangan mereka yang ekstrim memandang
Agama dalam praktek sehari-hari di kalangan rakyat sebagai hasil meninabobokan atas nama
“kerajaan di langit”, menjadi alat orang-orang kaya, tuan-tuan tanah serta kaum feodal yang
memerintah secara absolut.
Akan tetapi, para penganjur renaissance itu juga menyadari, bahwa kebebasan berfikir itu
haruslah dilandasi oleh nilai “kekayaan batin” untuk tujuan idealisme. Kebebasan berfikir tanpa
idealisme adalah sia-sia. Mereka mendambakan nilai “rohani”, akan tetapi bukan Agama. Sebagai
contoh, mereka mencita-citakan suatu keadilan, persamaan dan perdamaian yang mereka
kategorikan sebagai idealisme. Namun idealisme itu sendiri tidak mungkin bisa dijawab oleh hasilhasil pemikiran semata sekalipun sebagaimana bebasnya kemerdekaan berfikir itu. Sebab itu mereka
memerlukan motivasi yang bernilai “rohani”, akan tetapi, sekali lagi, bukanlah Agama.
Sebab itu mereka mencari pelarian kepada filsafat!
Tentang filsafat yang mana ?
Mereka menampilan suatu kriteria, bahwa filsafat yang hendak mereka jadikan tempat
pelarian itu mereka beri nama “Modern Philosophy” atau “Filsafat Baru”. Mereka jadikan “filsafat
baru”-nya itu sebagai tonggak kelahiran renaissance itu sendiri. Mereka bagi-bagi periode filsafat
menjadi beberapa periode yang dimulai dengan apa yang mereka namakan “Humanistic Period”
yang berlangsung antara tahun 1453 hingga tahun kematian Bruno pada tahun 1600 1 . Dengan lain
perkataan, bahwa “Filsafat Baru” adalah “Periode Kemanusiaan” sebagai landasan gerakan
kebebasan berfikir.
Filsafat atau falsafah, kadang disebut falsafat atau falsafah, adalah terjemahan dari
philosophy atau philosophia. Bermacam orang menyebutnya dan beragam pula orang
mengartikannya, namun tidak diketemukan definisinya yang seragam. Dalam uraian yang terbatas
ini tentu tidak mungkin dijelaskan apa sebenarnya filsafat itu dengan berbagai definisinya yang
berbeda-beda. Akan tetapi sekedar pengertian pokoknya sebagai berikut :
Berpangkal dari kata “philosophia” dalam bahasa Yunani, maka artinya, cinta akan
kebijaksanaan, atau arti yang lain, ilmu pengetahuan secara umum yang tiada batas.
Berhubungan dengan tingkat pengalaman manusia semakin bertambah, padahal pengalaman
adalah asal diketemukan ilmu pengetahuan, maka dengan pengalaman-pengalaman yang
beraneka macam itu menggiring pengelompokan ilmu pengetahuan ke dalam berbagai kelompok
ilmu, sehingga tiap bidang melahirkan cabang ilmu pengetahuan tersendiri.
Dengan timbulnya berbagai cabang ilmu pengetahuan itu, dengan sendirinya semakin
menjadi sempitlah batas definisi filsafat. Lama kelamaan filsafat mengambil peran sebagai
pengetahuan yang menelaah masalah-masalah khusus yang tidak dapat diselesaikan pemecahannya
oleh sesuatu ilmu pengetahuan. Misalnya mengenai penelaahan terhadap logika (ilmu pengetahuan
mengenai hukum-hukum dan metode-metode berpikir yang bisa diterjemahkan ke dalam bentuk
1
William K. Wright – “A Histroy of Modern Philosophy” – The MacMillan Company, New York 1962, cetakan ke-17.
1
kata-kata, atau lazim pula disebut: manthiq), terhadap metafisika (metaphysica, artinya: ilmu
pengetahuan tentang sesuatu yang berada di luar alam semesta yang tidak terjangkau oleh
pengalaman manusia atau dalam istilah filsafah disebut transenden), terhadap etika (ilmu tentang
bagaimana sepantasnya perilaku seseorang dalam pergaulan ummat manusia, atau tingkah laku yang
dipandang baik dan buruk), terhadap estetika (ilmu tentang kecantikan yang terdapat dalam sesuatu
keindahan dalam seni dan seniman, dengan ukuran bahwa belum tentu yang kita sebut bagus itu
cantik dan indah, bahkan menurut Dostojewski (1821-1881), sesuatu yang indah menyedihkan itu
justru letaknya “keindahan”), terhadap psikologi (ilmu tentang kejiwaan), terhadap fisika (physica,
ilmu tentang alam semesta), terhadap hukum, sejarah, dan masih banyak lagi pengelompokan ilmu
pengetahuan yang menjadi penelaahan dunia filsafat. Yang tidak kurang-kurang pentingnya ialah
penelaahan filsafat tentang apa hidup itu dan bagaimana pula cara sebaiknya menetapkan sikap
terhadap hidup itu sendiri.
Sikap pokok dari pada alam filsafat ialah, bahwa para filosof atau filsuf dalam
membentangkan fikiran bebasnya mempunyai kemerdekaan yang mutlak, baik mengenai alam
semesta (makro-kosmos) maupun alam manusia (mikro-kosmos). Tetapi mengenai alam metafisika,
seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) pemikiran mengenai hal tersebut adalah
spekulasi, karena manusia hanya dapat mengetahui apa yang dialaminya. Hakikat dari sesuatu benda
mengatasi pengalaman manusia, karena itu metafisika adalah suatu pengetahuan yang mustahil
karena kesanggupan akal manusia cuma meliputi alam kenyataan. Berhubungan dengan itu maka
menurut Immanuel Kant, Tuhan hanyalah suatu ide atau pikiran yang bersifat inteligibel (hanya
dapat difahami dengan akal), artinya, pengertian Tuhan tidak berdasarkan realitas 2 .
Oleh karena itu filsafat bersumber pada pemikiran bebas, maka kita akan menjumpai
berbeda-beda definisi yang akibatnya masing-masing fihak memanjang-manjangkan uraiannya
mengenai filsafat. Dengan demikian, maka semakin diketemukan hal-hal baru yang masih gelap,
dan yang gelap itu mengundang pemikiran lebih lanjut dan menemukan hal-hal yang baru pula,
hingga pernah dikatakan oleh seorang ahli filsafat sendiri, semakin diselami dengan akal pikiran
sedalam-dalamnya semakin banyak yang belum diketahui ...!
Dimulai dengan pemikiran tentang What can I do? What ought I to do? What my I hope?
(Apa yang bisa saya ketahui, apa yang seharusnya saya kerjakan, apa yang boleh saya harapkan),
maka filsafat memulai pembahasannya tentang perkembangan pemikiran ummat manusia sejak
sejarah mengenal pemikiran-pemikiran zaman purba sejak zaman Babylonia (2400 tahun sebelum
Nabi ‘Isa), zaman Assyria (700 tahun sebelum Nabi ‘Isa), lalu disusul zaman Thales Anaximander
(600 tahun sebelum Nabi ‘Isa), Heraclitus-Parmenides-Zeno (500 tahun sebelum Nabi ‘Isa),
Socrates – Plato – Aristoteles (425-350 tahun sebelum Nabi ‘Isa), dalam nama dunia filsafat
menemukan bentuknya sebagai asas berfikir secara bebas, yang oleh mereka dirumuskan sebagai
Berfikir bebas demi kecintaan kepada menemukan kebenaran dan kebijaksanaan 3 .
Akan tetapi, apakah itu kebenaran dan kebijaksanaan?
Di situlah dunia filsafat menghadapi batas jangkauan pemikirannya tatkala memasuki dunia
metafisika yang hanya bisa dijawab oleh Agama. Karena filsafat bersumber pada hari pemikiran,
sedang hasil pemikiran adalah hasil dari pengalaman, maka pengalaman manusia tentang kebenaran
dan kebijaksanaan itu terbentur pada kaidah-kaidah yang tak dijangkau oleh kesanggupan otak
manusia. Walaupun pada akhirnya lahir ahli-ahli filsafat di abad-pertengahan hingga mutakhir
seperti :
Francis Bacon(1561-1626), Galileo Galilei (1564-1642), Rene Descartes (1596-1650),
Baruch Spinoza (1632-1677), Isaac Newton (1642-1727), John Locke (1632-1704), George
2
Ensiklopedia Indonesia (F-M) – Penerbitan W. Van Hoeve – Bandung- ‘s-Gravenhage. (tak disebut tahun
penerbitannya)
3
Albert E. Avey – “Handbook in the history of Philosophy” – Barnes & Noble, Inc. New York 1965. Cetakan ke-10
2
Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Baron de La Brede et de Montesquieu (17891755), Adam Smith (1723-1790), Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Immanuel Kant (1724-1804),
G.W.F Hegel (1770-1831), Sir William Hamilton (1788-1856), Auguste Comte (1798-1857),
Charles R. Darwin (1809-1882), Herbert Spencer (1820-1903), Karl Marx (1818-1883), Friedrich
Wilhelm Nietzsche (1844-1900), Bertrand A.W. Russel (1872), dan lain-lain termasuk pula seorang
yang banyak dikagumi dalam abad 20 ialah Albert Einstein (1879-1955) yang oleh Albert E. Avey
dikatakan: He supported the Zionist plan for a homeland for Jews 4 . (Penyokong rencana gerakan
Zionis untuk sebuah tanah air bagi Yahudi).
Dari mereka itu lahirlah aliran-aliran yang beraneka ragam dalam filsafat. Menjadi
kenyataan bahwa filsafat bahwa satu macam dan satu definisi akan tetapi bermacam-macam
mengenai baik alirannya maupun pengaruhnya.
Sebagaimana filsafat purba mempunyai perbedaan menganalisa sesuatu dan dengan
sendirinya menghasilkan kongklusi yang berbeda pula mengenai asal kejadian alam. Sebagian ahli
filsafat mengatakan bahwa udaralah asal kejadian alam, sebagian lagi mengatakan api dan yang lain
berpendapat air. Demikian pulalah tentang proses kejadian itu sendiri maka dalam dunia filsafat
berlaku suatu hukum kaidah bahwa tak ada yang diam dan tenang karena segalanya diproses oleh
gerak dan hukum harakat. Segala yang bernama permulaan adalah awal dari suatu akhir, karena tiap
kelahiran telah mengandung proses kematian. Hukum demikian berlaku bagi makro-kosmos
maupun mikro-kosmos.
Akan tetapi ada filsafat lain yang mengatakan sebaliknya. Bahwa segalanya adalah berhenti
sampaipun apa saja yang dikatakan bergerak sekalipun, pada hakikatnya cumalah berhenti. Sebagai
contoh diambil sebuah misal, bahwa sebuah anak panah yang dilepaskan dari busurnya itu
sebenarnya tidaklah bergerak, akan tetapi berhenti atau diam. Sebab menurut analisa filsafat, pada
setiap saat biarpun seper-seribu detik sekalipun, anak panah yang dilepaskan dari busurnya itu
berada pada satu tempat. Berada pada satu tempat itu hakekatnya adalah berhenti atau diam. Itulah
aliran dialektika dalam filsafat, suatu aliran ilmu logat dan logika untuk berfikir sejauh-jauhnya
dengan menemukan tiap pengertian mengandung perlawanan, dan tiap keseimpulan mengandung
kebalikannya pula.
Dari filsafat di atas diketemukan suatu hukum kaidah, bahwa segala yang ada itu senantiasa
mengalami proses bersatu dan bercampur untuk berpisah. Bercampur sesama jenisnya dan berpisah
untuk membentuk jenis-jenis lain yang pada akhirnya juga menjadi lenyap lalu timbul untuk pada
akhirnya lenyap kembali. Mengapa demikian? Karena ditentukan oleh “kodrat”-nya sendiri. Dari
mana “hukum kodrat” itu? “Kodrat” itu menurut filsafat tersebut telah ada atau hinggap di dalam
bentuk itu sendiri yang menghendaki bersatu dan berpisah. Atau dengan lain perkataan bendalah
yang menciptakan dirinya sendiri, lalu bercampur dan berpisah karena “kodrat”nya sendiri. Sebab
itu alam ini cuma terdiri dari benda-benda atau materi-materi, yang semuanya berasal dari benda
yang amat terkecil hingga tak bisa dibagi. Benda itu bernama “atom”, berasal dari perkataan “a”
yang artinya “tidak” dan “tom” artinya “terbagi”.
Demikianlah maka timbul aliran filsafat Heraclitus (533-475 sebelum Nabi ‘Isa) yang
mengajarkan bahwa hakikat segala-galanya adalah perubahan. Segala-galanya berubah, perubahan
itu disebabkan karena berdasarkan hukum perlawanan yang senantiasa ada dalam setiap benda atau
sesuatu kejadian. Seorang bayi yang baru lahir di dalamnya telah mengandung kematian.
Perkembangan filsafat tersebut diperjelas oleh Hegel (1770-1831) yang melahirkan hukum thesisanti thesis-synthentis sebagai suatu metode berfikir dan berbuat, yang berasas pada “kesatuan
perlawanan” dan bersumber pada akal semata-mata. Bagi filsafat tersebut akal adalah merupakan
segala-galanya, baik mengenai perkembangan pengertian maupun perkembangan sesuatu kejadian.
4
Albert E. Avey – “Handbook in the history of Philosophy” – Barnes & Noble, Inc. New York 1965, cetakan ke-10.
3
Tiap sesuatu telah membentuk perlawanannya. Dari filsafat tersebut melahirkan filsafat
“dialektika-materialisme” yang dalam perkembangan selanjutnya menetapkan suatu hukum, bahwa:
Dunia adalah medan pertarungan. Pertarungan terus menerus antara dua aliran yang bertentangan,
bertarung untuk membentuk yang baru, tetapi yang barupun menimbulkan perlawanannya yang
bertarung hingga bertarung itu tak akan ada habisnya. Pertarungan adalah raja dari segala-galanya.
Dari pertarungan terpenuhilah prinsip bertemu untuk berpisah, bersatu dan bertarung, karena yang
satu harus dibikin tammat riwayatnya. Mengapa demikian? Jawab filsafat: karena “kodrat” itu
dibentuk oleh apa dan siapa? Dan akhirnya apa dan siapa itu darimana? Jika dikejar terus oleh
“filsafat” lain tentulah akan melahirkan pertanyaan berikutnya : Darimana itu apa, mengapa dan
siapa???
Pertanyaan demi pertanyaan memperoleh penjelajahan alam pemikiran untuk mencari
jawaban berdasar penemuan pemikiran pula, dan jawaban demi jawabanpun menimbulkan
pertanyaan pula yang memerlukan penjelajahan lebih lanjut, demikianlah berlangsung tanpa ada
kesudahannya. Hal itu tidaklah mengherankan, disebabkan karena dunia filsafat hanyalah meliputi
sekeliling pemikiran otak manusia, dengan sendirinya penelaahannya dan penjelajahannya terbatas
pada alam nyata yang hanya bisa dicapai oleh kesanggupan pemikiran manusia. Tiap masalah serta
kemusykilan yang menjadi problem harus memperoleh jawabannya menurut daya kemampuan
fikiran manusia. Dari kalangan mereka sendiri terdapat satu kelompok yang berpendirian bahwa
filsafat tidak boleh menjangkau pemikiran tentang hal-hal ghaib yang menjadi lingkungan alam
metafisika misalnya tentang Agama, tentang Akherat, tentang Tuhan, dan sebagainya dari alam di
luar manusia, karena kemusykilan manusia hanya dipecahkan oleh manusia sendiri tanpa “ikut
campur Tuhan”, kata mereka.
Memang benarlah orang yang mengatakan bahwa filsafat lahir karena subjek dan objek
ketakjuban manusia. Artinya, ketakjuban atau kekaguman manusia akan rahasia-rahasia alam
semesta yang begitu kaya-raya, pelik dan penuh teka-teki yang belum terjawab. Manusialah satusatunya makhluk yang bisa merasakan ketakjuban tersebut. Manusia sebagai makhluk yang takjub,
dia menjadi subjek. Rahasia alam sebagai kejadian yang ditakjubi, maka alam itu menjadi objek.
Dalam filsafat diajarkan bahwa ketakjuban melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang terucap
dalam kata-kata maupun yang masih tersimpan dalam hati sanubari. Dengan dorongan pertanyaanpertanyaan maka manusia merasa harus melakukan penyelidikan, penelaahan serta penjelajahan,
membongkar segala rahasia ketakjuban mereka untuk memperoleh jawabannya. Untuk menemukan
jawaban tersebut, manusia menggunakan daya kemampuan otaknya untuk menggali serta
membongkar rahasia-rahasia. Adapun hasil penemuan jawaban mereka tergantung pada kecuali
batas kesanggupan daya-pikir mereka juga pengalaman mereka. Tetapi kepuasan tidak pernah
dijumpai, karena tiap menemukan jawaban, justru jawaban itu menimbulkan pertanyaan baru yang
meminta jawaban pula, demikianlah tidak pernah ada kesudahannya kecuali bahwa kian digali kian
menemukan teka-teki baru yang masih gelap, hingga saatnya habis dimakan umur masih belum
menemukan jawaban yang diperlukan.
Seorang filsuf adalah seorang monolog (monologue), orang yang berbicara atau bertanya
kepada dirinya sendiri. Dia yang berbicara atau bertanya dan dia sendiri pula yang menjawab.
Pertanyaan tentang What can I know? (apa yang bisa saya ketahui) What ought I to do? (apa yang
seharusnya saya kerjakan) What may I hope? (apa yang boleh saya harapkan). Pertanyaanpertanyaan mengenai apa saja yang sanggup dicetuskan oleh daya kemampuan-pikirannya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pokok persoalan yang dalam dunia filsafat disebut problem.
Manusia melahirkan problem-problem karena itulah haknya. Haknya sebagai makhluk yang
mempunyai otak yang membedakannya dari binatang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengalir
dengan bebas tak boleh dihambat-hambat dan harus menemukan jawaban-jawabannya menurut
kesanggupan daya-pikirnya dengan bebas pula. Bertanya dan menjawab problem 1000 macam
harus terus berlangsung tidak boleh menemukan titik akhir apalagi titik kejelasan. Sebab jawaban
4
yang merupakan titik akhir atau yang merupakan kejelasan terakhir berarti tammatnya dunia
filsafat, hal itu tidak boleh terjadi. Filsafat tidak boleh selesai, dan sang failasuf tidak boleh
kematian problem. Jawaban-jawaban yang mendatangkan kejelasan kematian filsafat, karena itu
jawaban-jawaban tidak boleh selesai. Tammatnya suatu jawaban berakhirnya dunia filsafat, berarti
pula habisnya pertanyaan-pertanyaan, sama artinya dengan mandeknya alam berfikir, hal itu
bertentang dengan fungsi manusia sebagai “makhluk berfikir”, demikian menurut bahasa filsafat.
Dalam dunia filsafat tidak boleh ada persoalan yang abstrak dan samar, segalanya harus
nyata dan pasti menurut penemuan pemikiran. Karena itu filsafat menjelajahi serta menelaah segala
kejadian alam semesta untuk melahirkan ilmu yang bernama ilmu alam dengan segala hukumhukumnya yang bisa dirumuskan. Menurut dunia filsafat, alam semester merupakan susunan hukum
yang selamanya obyektif serta masuk akal, yang oleh kalangan filsafat dipandang sebagai “kodrat
alam”. Dengan demikian, maka menurut mereka, segala peristiwa yang akan datang akan bisa
diketahui serta diramalkan sebelumnya, bahkan bisa direncanakan. Segala peristiwa mengenai
sejarah, mengenai ekonomi, mengenai tingkatan kemajuan, ya bahkan mengenai damai dan perang,
segalanya bisa direncanakan, bisa “diatur”. Bagi dunia filsafat, berfikir tentang manusia, termasuk
hidup dan matinya sekalipun, baik secara perorangan maupun secara berkelompok, tidak ada
bedanya dengan berfikir tentang benda dengan susunan yang rasional dari alam semesta karena
manusia adalah bagian mutlak dari alam, padahal filsafat mengatakan bahwa alam adalah suatu
kenyataan yang besar yang meliputi segala-galanya, sumber kehidupan dan kematian dan karena itu
alam menjadi sumber pemikiran.
Filsafat melahirkan ilmu pengetahuan. Segala persoalan manusia selamanya dilayani,
dijelaskan dan diselesaikan oleh ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, ilmu adalah “maha kuasa”. Dari
kalangan filsafat yang radikal mengatakan bahwa ilmu eksakta telah sanggup menyusun pekerjaanpekerjaan dengan instrumen atau alat-alat yang rasional hingga tidak memerlukan bantuan apapun.
Kalau Agama, - demikian kata mereka – cuma berbicara tentang rembulan dan bintang-bintang,
maka ilmu eksakta telah mengantarkan manusia datang sendiri ke rembulan dan bintang. Dengan
demikian, maka Agama tidak perlu ada, karena kedudukannya telah digantikan oleh ilmu
pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, maka watak manusia dan kebudayaannya bisa dibentuk
melalui alat-alat dan sarana-sarana yang diciptakan oleh ilmu pengetahuan, masyarakat akan bisa
disusun dan ditemukan nasibnya dalam hidup berdasarkan hasil-hasil yang diciptakan oleh ilmu
pengetahuan.
Filsafat yang radikal-ekstrim seperti di atas dapat dipelajari melalui filsafat Feuerbachyang
diajarkan oleh ahli filsafat bangsa Jerman bernama Ludwiq Feuerbach (1804-1872). Filsafat
Feuerbach sangat berpengaruh bagi Karl Marx (1818-1883) dan Fredrich Engels (1820-1895), dua
orang mula pertama yang membangun faham Marxisme yang melahirkan komunisme.
Secara ringkas filsafat Feuerbach itu mengajarkan: Agama itu ciptaan manusia sendiri. Apa
yang disembah-sembah orang sebagai Tuhan sebenarnya ialah perwujudan dari cita-cita manusia
sendiri. Setiap manusia insyaf akan kekurangan-kekurangan sendiri: ia tidak adil, ia tidak baik,
cintanya terhadap sesama manusia tidak sebagaimana mestinya, dan sebagainya. Berulang-ulang
ia mengecewakan hatinya sendiuri karena kekurangan-kekurangan tersebut. Dengan demikian
timbullah dakam sanubarinya keinginan-keinginan akan sesuatu yang sempurna dalam segalagalanya. Demikianlah lahirlah Tuhan dalam hatinya. Begitu pula timbulnya pengertian sorga
(dunia baqa), Dunia tempat manusia hidup sehari-hari tidak pernah memuaskan hatinya secara
absolut. Demikian ajaran Feuerbach, bahwa manusia hendaknya segera menggantikan
kepercayaannya akan Tuhan dan Dunia-baqa itu dengan kemauan, yakni kemauan yang ditujukan
semata-mata kepada manusia dan dunianya yang sekarang ini, jelasnya, kemauan untuk menaikkan
5
martabat manusia dan kemauan untuk memperbaiki keadaan dalam hidupnya 5 . Secara “bahasa
filsafat” yang ilmiah, maka filsafat Feuerbach itu antara lain mengajarkan: Religion therefore is
nothing else than the consciousness of the infinity of the consciousness – Karena itu Agama tak lain
daripada kesadaran dari keadaan ingat yang tak terhingga. Mengenai Tuhan, filsafat tersebut
mengatakan: Thus, God is so to speak the outward projection of man’s inward nature – Begitulah,
Tuhan itu sekadar proyeksi atau rencana yang keluar dari pembawaan bathin manusia 6 . Secara
jenaka, ada yang mengatakan bahwa makna dan pengertian tentang filsafat adalah beraneka ragam,
akan tetapi mereka sepakat untuk menetapkan kesamaan pendapat, bahwa di antara mereka tidak
ada kesepakatan tentang definisi dan tujuan filsafat. Ketidak sepakatan mereka itu disebabkan
karena perbedaan tempat berpijak sehingga masing-masing mengarah kepada tujuannya sendirisendiri. Oleh sebab itu, dalam dunia filsafat memiliki banyak sekali aliran serta corak yang masingmasing membentuk identitas sendiri-sendiri.
Dr. Mohammad Hatta mengatakan sebuah contoh tentang aliran Sofisme. Sofisme asalnya
dari kata “sophos” yang artinya cerdik pandai. Bermula gelaran Sofis ditujukan kepada segala orang
pandai sebagai ahli bahasa, ahli filsafat, ahli politik dan lain-lainnya. Orang tersebut karena
pengetahuannya dan kebijaksanaannya dimana Sofis. Tetapi lama kelamaan kata itu berubah artinya.
Sofis menjadi gelaran bagi tiap-tiap orang yang pandai memutar lidah, pandai bermain dan bersilat
dengan kata-kata 7 .
Pada umumnya filsafat mengarahkan pembahasan serta penyelidikan ilmiahnya kepada alam
jagat raya atau cosmos, dengan lahirnya aliran sofisme maka filsafat dibelokkan pengarahannya
kepada alam manusiawi, kepada kemauan, kepada cita-cita, kepada perasaan, dan kepada
pengetahuan yang semestinya dimiliki tiap-tiap manusia. Dengan demikian maka dalam dunia
filsafat lahir aliran tentang ethic kesusilaan.
Dr. Mohammad Hatta menilai secara kritis aliran sofisme, sungguhpun kaum sofis selalu
mempersoalkan sikap hidup namun mereka tak sanggup menetapkan dasar apa yang harus menjadi
pimpinan hidup. Mereka tidak dapat menemukan dasar umum yang harus berlaku bagi setiap orang,
disebabkan karena tiap-tiap guru sofisme mengajarkan ukuran atau normanya sendiri-sendiri.
Masing-masing mengemukakan pahamnya sendiri dengan tiada mau menimbang paham orang lain.
Kecuali kalau tidak hendak membantah. Pahamnya sendiri tidak pula tetap, berubah-ubah dari
waktu ke waktu. Tak ada yang tetap, kata mereka, semuanya dalam perubahan senantiasa. Sebab itu
sikap manusia perlu pula berubah-ubah ... Dengan pendirian semacam itu tiap-tiap perubahan
pikiran tentang sesuatunya dapat dipertahankan dengan mengatakan bahwa keadaan telah berubah.
Semua berubah, dan kita mengikuti.
Kaum sofis tidak ada yang sama pendiriannya tentang sesuatu masalah. Mereka hanya
sependirian dalam hal meniadakan, dalam pendirian yang negatif. Pokok ajarannya ialah, bahwa
“kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”. Tiap-tiap guru sofis mengemukakan ini sebagai
pokok pendirian. Oleh karena kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai, maka tiap-tiap
pendirian boleh benar dan boleh salah menurut pandangan manusia. Tiap guru sofis mengajar orang
menaruh syak akan buah pikiran orang lain. Sebaliknya pula ia mengajar orang mempertahankan
tiap-tiap pendirian. Apa yang dipertahankan kemarin, sekarang boleh dibatalkan. Kebenaran hanya
sementara. Oleh sebab “kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai”, maka tiap-tiap pendirian
boleh dibenarkan. Buat sementara ia benar. Sebab itu pula tidak ada ukuran yang tetap tentang benar
dan tidak benar, tentang baik dan buruk. Sebagai kelanjutan pendapat ini, hilanglah perbedaan
antara benar dan salah, antara baik dan jahat 8 .
5
Ensiklopedia Indonesia (F-M) – Penerbit N. V. W. Van Hoeve Bandung – ‘s-Gravenhage (Tanpa disebut tahun
penerbitannya).
6
Encyclopaedia Britannica, volume 9 – Cetakan Amerika tahun 1965 halaman 222.
7
Dr. Mohammad Hatta – “Alam Pikiran Yunani” – II – Penerbit Tintamas Jakarta 1964, cetakan ke-5.
8
Ibid.
6
Dengan ajaran sofisme dalam filsafat seperti dilukiskan begitu jelas oleh Dr. Mohammad
Hatta, maka timbullah faham falam filsafat yang disebut: teori tentang relativisme. Segalanya
bersifat sementara, segalanya bersifat relatif. Sifat kesementaraan itu dengan sendirinya melahirkan
apa yang dinamakan teori tentang skeptisme, teori tentang menaruh syak wasangka akan segala
pendirian orang lain, mungkin akan pendiriannya sendiri. Memandan tiap faham atau pendirian
orang lain dengan sikap skeptis, sikap purbasangka.
Di negeri asal kelahirannya sendiri yaitu Yunani, tidak dikenal sebutan “filsafat”, akan tetapi
“philosophia” atau “philosophy”. Adapun maknya ada yang mengatakan: “cinta akan
kebijaksanaan”, adapula yang mengartikan: “Cinta akan pengertian”.
Adapun sebutan “filsafat”, diketemukan melalui ucapan bahasa Arab yang menyebutkan
dengan “falasifah” atau “falsafah” atau “filsafah”, lalu di Indonesiakan menjadi “falsafat” atau
“filsafat”
Mengapa melalui ucapan bangsa Arab?
Dalam sejarahnya, bangsa Yunani purba yang melahirkan “philosophia” itu pernah
mengalami perpecahan di antara mereka berhubung mereka tidak tersusun dalam suatu negara.
Mayarakat mereka terpecah-pecah berkeping-keping mengikuti kondisi tanahnya yang terdiri dari
ratusan pulau-pulau serta kota-kota kecil yang terpisah satu dengan lainnya oleh lautan, gununggunung dan lurah atau jurang. Tiap kota merupakan “negara-negara” sendiri dan saling bermusuhan
hampir tak ada hentinya. Dan yang lebih parah lagi disebabkan karena serangan-serangan bangsa
Parsi yang berulang-ulang.
Diceritakan, bahwa dalam jangka waktu yang lama sekali, filsafat hilang dari Yunani
terlepas dari bangsa yang melahirkannya selama beratus-ratus tahun. Selama jangka waktu yang
lama sekali itu, filsafat dipelihara oleh orang-orang Islam bangsa Arab.
Suatu ketika, para penguasa Yunani memusuhi ahli-ahli filsafat. Itu dapat dibuktikan oleh
perlakuan mereka terhadap failasuf-failasuf terbesar Yunani seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan
sebagainya yang diperlakukan sebagai musuh para penguasa. Keadaan demikian berlangsung
berabad-abad.
Sejak tahun 528 Masehi nasib para failasuf lebih menyedihkan lagi. Seorang Kaisar Yunani,
Justinian, 9 melakukan pengejaran serta menangkap failasuf-failasuf untuk dibunuh, adapun yang
dapat lolos dari penangkapan, mereka melarikan diri keluar negeri misalnya ke Parsi dan kemudian
ke Baghdad yang ketika itu ibukota Daulan Bani ‘Abbas.
Bangsa Arab sendiri telah mempunyai perbendaharaan-kata yang maknya sama dengan
filsafat, ialah “Al-Hikmah” yang artinya “Al-Kalamul muwafiqul haqqa”atau “Shawabul amri wa
sadaduhu” yang artinya “Perkataan yang menyepakati kebenaran” atau “Kebenaran sesuatu yag
sebenar-benarnya”. “Al-Hikmah” sama benar maknya dengan “Falsafah” 10 . Kita dapat
mencocokkan arti kata “Al-Hikmah” dengan “Wisdom” atau “Philosophy” dalam “Al Qamus al‘Ishry” (Modern Dictionary Arabic-English by Elias A. Elias & Ed. E. Elias, Ninth Edition, Cairo
1962),
Jelas sekali, seperti halnya dengan bangsa Yunani memiliki “philosophia”, maka bangsa
Arab memiliki “Al-Hikmah”, yang makna serta pembidangnya adalah sama. “Philosophia” menjadi
“falsafah” menurut lidah Arab.
Zaman Daulah ‘Abbasiyah yang berpusat di Baghdad amat terkenal sebagai zaman
keemasan ilmu pengetahuan, zaman lahirnya pujangga-pujangga, ‘Ulama-‘Ulama, para penyair dan
ahli ilmu pengetahuan yang besar-besar. Terutama di zaman Khalifah-Khalifah Abu Ja’far Al
Mansur (714-775 M), Harun Al Rasyid (766-809 M), dan Al Ma’mun atau ‘Abdullah Al Ma’mun
(786-833 M), perbendaharaan ilmu pengetahuan Islam itu diperkaya dengan begitu banyaknya usaha
9
Dr. Oemar Amin Hoesin – “Filsafat Islam” – Penerbit “Bulan Bintang” Jakarta 1964.
“Al Munjid” – Penerbitan Beirut cetakan ke-18 – Percetakan Katholik 1965.
10
7
menyalin buku-buku maupun manuskrip yang berasal dari Yunani, Parsi, India, Tiongkok dan lainlain. Beratus-ratus buku-buku tentang filsafat dalam bahasa Yunani disalin ke dalam bahasa Arab.
Memang, zaman Daulah Bani ‘Abbas – seperti kita uraikan di muka – terkenal dalam sejarah
sebagai “’Ishrul ‘ulum wat taqaddum”, abad ilmu pengetahuan serta kemajuan, abad yang
melahirkan Ulama-Ulama, pengarang-pengaran, penyair-penyair, serta para penyalin dari buku-buku
bahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dan, buku-buku filsafat dari Yunani memperoleh prioritas
utama untuk disalin. Usaha penyalinan itu dipelopori sendiri oleh Khalifah-khalifah yang terkenal
pengagum ilmu itu sehingga istana Khalifah penuh dengan para pengarang, penyair serta penyalin
yang memperoleh honorarium sangat tinggi.
Baghdad menjadi ibukota pusat perkembang ilmu pengetahuan, filsafat serta kebudayaan.
Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah serta Ulama-Ulama besar lainnya pernah menetap di Baghdad,
demikian pula pujangga Ibnu Al-Muqaffa’ dengan karyanya menyalin “Hikayah Kalilah wa
Dimnah” yang terkenal, juga menetap di Baghdad. Khalifah Al Ma’mun mendirikan “Lembaga Ilmu
Pengetahuan” di Baghdad dengan sebuah institut Filsafat yang diberi nama “Baitul Hikmah”, dalam
mana para pujangga dan ahli-ahli filsafat berkumpul, berdiskusi dan membuat karya-karyanya yang
besar. Institut tersebut dipimpin oleh Hunain Ibnu Ishaq.
Khalifah Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Mutawakkil adalah sahabat karib dari Ya’qub bin
Ishaq bin As Shabah atau yang terkenal dengan nama Al Kindi, seorang ahli-fikir dan pengarang
terbesar di zaman Bani ‘Abbas. Bersama pujangga-pujangga lain yang mempelajari serta
menterjemah karya-karya Aflatun (Plato) dan Aristhu (Aristoteles atau Aristotle) ke dalam bahasa
Arab, maka Al Kindi sendiri telah merampungkan karya-karyanya sejumlah 231 buku karangan dan
salinan 11 .
Itu baru karya Al Kindi yang hidup pada permulaan abad ke-9 Masehi atau 185 Hijriah.
Belum karya-karya Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, Ibnu Bajah (orang Barat
menyebutnya Avempace), Ibnu Thufail, dan lain-lain yang kecuali mereka itu menulis karyakaryanya tentang filsafat, juga tentang ilmu-ilmu Islam seperti Fiqih, Tafsir, Hadits, dan sebagainya.
George Zaidan, pengarang bangsa Arab beragama Kristen itu mengemukakan selusin namanama pengarang Islam yang sekaligus juga penterjemah karya-karya bangsa asing terutama filsafat
Yunani, dan mereka itu menulis karya-karyanya diberbagai bidang ilmu pengetahuan terutama
mengenai filsafat:
Misalnya nama-nama: Ibnu Ishaq, Yahya bin ‘Adi, Hunain bin Ibnu Ishaq, Ibnu Na’imah,
Abu Basyar, Ibrahim bin Abdillah, Abu Ruh As Shabi, Ibnu Yunus, Al Hajjaj bin Mathar,
Muhammad bin Musa, Ahmad bin Musa, Isthafani Ibnu Shalih, Jibillah bin Salim, Abdullah Ibnul
Muqaffa’, Ibnu Dahn, dan masih banyak lagi. Hunain bin Ishaq tidak kurang dari 32 buah buku
karyanya dalam filsafat Yunani.
Mereka itu kecuali menulis atau mengarang, juga menyalin buku-buku karangan Plato
tentang politik, etika, logika, alam, dan karya-karya Aristoteles serta lain-lain failasuf Yunani
tentang sajak, musik, psikologi, tentang watak manusia, tentang air dan udara, kedokteran,
tatanegara, hubungan antara manusia, tentang keindahan wanita, tentang kejantanan orang-orang
lelaki, tentang diskusi, tentang obat-obatan, tentang ilmu bangunan (arsitektur), tentang
matematikam tentang nyanyian, dan lain-lain sebagainya 12 . Dari kata “philosophia” orang Arab
menyebutnya “falsafah”.
***
Abu Ja’far Al Mansur boleh dibilang penegak Dinasti Bani ‘Abbas sekalipun abangnya,
Abdul ‘Abbas As Safah-lah yang memproklamirkan dinasti yang terbesar dalam sejarah Islam,
11
George Zaidan – “Tarikh Tamaddunil Islami” jilid III – Penerbit: “Darul-Hilal” Cairo (tidak disebut tahun
penerbitannya, akan tetapi diperkirakan sekita tahun 1910).
12
Ibid.
8
dialah pembangun dinasti pengganti Bani Umayyah yang hampir 90 tahun berkuasa. Akan tetapi
karen Abul’ Abbas As Safah hanya pendek masa-jabatannya sebagai Khalifah pertama dinasti Bani
Abbas, maka adiknyalah, Abu Ja’fa Al Mansur memberi isi dinasti yang masih baru itu dengan
meletakkan dasar-dasar pembangunan negara yang besar.
Mengawali masa jabatannya antara tahun 136 – 158 Hijriah, Abu Ja’far Al Mansur
membangun ibukota baru, Baghdad, sekalipun ia sangat sibuk dengan penaklukan-penaklukan serta
memadamkan gerakan-gerakan pemberontak dari berbagai kelompok di dalam negeri. Sungguhpun
ia mengagumi serta mendalami ilmu Fiqih, namun ia amat menyintai ilmu pengetahuan. Suatu hal
yang amat logis, karena di dalam Fiqih mengandung dorongan orang mempelajari di samping Al
Qur’an, As Sunnah, ‘Aqaid dan Tashawwuf, juga ilmu ektetika (keindahan), geography (ilmu bumi),
astronomi (ilmu falak), ilmu ekonomi, sosial, etika (tata krama) seni baca, dan lain-lain sebagainya
termasuk ilmu kesehatan dan ilmu hitung.
Orang Islam sepanjang tahun mengerjakan sembahyang, puasa, zakat, haji. Itu saja
mendorong dalam Fiqihnya mempelajari ilmu bumi, falak, ilmu hitung, ilmu kesehatan, etika, seni
baca, dan ilmu pergaulan dengan bangsa-bangsa (Haji). Orang Islam wajib beriman, karena itu
mestilah memahami Aqaid, dan di dalamnya mengandung metafisika, logika, fisika, psikologi,
retorika, etika dan sebagainya.
Dari urainan pendek ini saja dapat dimengerti, mengapa Khalifah-khalifah Bani ‘Abbas
memelopori gerakan pengembangan ilmu pengetahuan baik yang bersifat eksakta maupun sosial,
metafisika dan politik, karena konsekwensi yang logis berhubung semakin luasnya wilayah
kekuasaan Islam dan berhubung dengan semakin berkembangnya jumlah pemeluk-pemeluk Islam di
hampir seperempat penduduk dunia banyaknya. Para Khalifah dan ulama-ulama sangat
mendambakan pemeluk-pemeluk Islam itu sebagai Muslimin-muslimat yang berkwalitas, itu hanya
bisa dicapai jikalau mereka menjadi orang-orang yang sadar serta konsekwen menjalankan Syari’at
Islam. Adapun kunci utamanya ialah ilmu.
George Zaidan menceriterakan, bahwa Khalifah Al-Mansur (Abu Ja’far al Mansur) di tahun
148 Hijriah mendatangkan Jurjis bin Bakhtisyu As-Suryani, seorang dokter terbesar di zamannya
yang menjadi pemimpin dokter-dokter di Jandisapur, Persi. Selain seorang dokter paling terkemuka,
Jurjis bin Bakhtisyu As Suryani adalah seorang pujangga yang menguasai bahasa-bahasa Suryani,
Yunani, Persi dan Arab. Di Baghdad di bawah perlindungan serta fasilitas Khalifah Al Mansur, ia
mengarang serta menyalin buku-buku tentang ilmu kedokteran yang berasal dari bahasa Yunani dan
Persi ke dalam bahasa Arab. Orang-orang yang diperlakukan seperti Jurjis itu berpuluh-puluh
banyaknya, yang membangun semarak Baghdad dengan karya-karya ilmiah dalam bidang
astronomi, logika, fisika, fisiologi, matematika, sejarah dan filsafat.
Sekali lagi harus ditekankan di sini, walaupun Baghdad menjadi pusat kaum sarjana serta
pengarang dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, namun di zaman yang bersamaan Baghdad
juga menjadi pusat kegiatan Ulama-ulama ahli hadits dan Fiqih seperti Abu Hanifah An Nu’man
(yang terkenal dengan nama lain, Imam Hanafi) pembangun Madzab Hanafi. Oleh khalifah Al
Mansur beliau sengaja didatangkan dari Kufah untuk menetap di Baghdad. Berkerumunlah Ulamaulama lain mengelilingi Imam Hanafi, misalnya Muhammad bin Al Hasan, Abu Yusuf Al Qadli,
Zafar bin Hudzail, Al Hasan bin Ziyad, Ibnu Sama’ah, Abu Muthi’ Al Bulkhi, ‘Afiyah Al Qadli, dan
lain-lain, yang menyemarakkan Baghdad dengan kegiatan ilmiah mereka yang melahirkan kitabkitab karangan yang besar-besar. Ikut juga menetap di Baghdad dua orang Ulama terbesar di
zamannya, masing-masing Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Kkhalifah Amin, saudara Khalifah
Ma’mun (keduanya putra Harun Al Rasyid) belajar ilmu bahasa Arab kepada dua Ulama ahli bahasa
Arab dan Nahwu yang terbesar di zamannya, ialah masing-masing Al Kasai dan Imam Sibawaih.
Sebagai seorang Khalifah bangsa Arab, Khalifah Amin ingin menggunakan bahasa Arab dengan
baik, hal mana diikuti oleh Rakyat.
9
Dengan uraian di atas ini, kita dapat mengukur betapa hausnya zaman Daulah Bani ‘Abbas
akan ilmu pengetahuan, dan betapa dimuliakan kedudukan ilmu pengetahuan. Dengan demikian
pula tidaklah kita heran, mengapa filsafat memperoleh ruang gerak yang amat longgar sekalipun
Bani ‘Abbas sebagai negara dan masyarakat Islam (Arab) telah memiliki “Al Hikmah” sebagai
perbendaharaan ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan.
Mengapa filsafat memperoleh ruang gerak serta fasilitas dan prioritas dalam masyarakat
Islam? Walaupun Ummat Islam bangsa Arab telah memiliki sejak sebelumnya, yaitu “Al Hikmah?”
Tidak dapat disangkal, bahwa Islam satu-satunya Agama yang paling cepat berkembang,
belum pernah terjadi dalam sejarah, suatu Agama memekarkan daerah pengaruhnya demikian
meluas seperti halnya dengan Islam. Dimulai setelah Hijrah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam,
disambung zaman Khulafaur Rasyidin selama 30 tahun, zaman Bani ‘Abbas selama kurang lebih
500 tahun dengan Khalifah-khalifahnya yang lebih dari 50 orang banyaknya dimulai dari Abul
‘Abbas As Safah hingga Al Mu’tashim. Jikalau tidak terjadi “musibah Hulagu Khan” yang
menghancurkan Baghdad dengan seluruh kebudayaannya serta membunuh Khalifah dengan segenap
keluarganya barangkali dinasti Bani ‘Abbas masih akan berkuasa lebih lama lagi.
Pemeluk Islam yang kian bertambah-tambah itu memerlukan bimbingan serta pembinaan
karakter. Mereka harus menjadi orang Islam yang taat menjalankan Syariat Islam, beribadah
menurut Syariat Islam, berkepercayaan menurut aqidah Islam, dan bermasyarakat menurut normanorma yang ditetapkan oleh hukum-hukum Agamanya. Dan, sebagai warga dari suatu negara yang
sedang terus tumbuh dan mekar, serta sedang dalam kancah perjuangan dengan bangsa-bangsa lain,
orang-orang Islam itu harus menemukan pola-pola politik, ekonomi, sosial dan kultur, yang kecuali
dapat ditrapkan dalam tata kehidupan zamannya, juga tidak bertentangan dengan Syara’ Islam. Di
sanalah suatu perjuangan besar senantiasa harus diselesaikan sebaik-baiknya.
Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan memegang kedudukan serta peranan sangat penting. Tanpa
ilmu tidak akan diketemukan pola dan konsepsi, dan tanpa konsepsi maka perjuangan besar tidak
mungkin akan bisa diselesaikan dengan sukses.
Orang Islam memandang bahwa memahami Islam yang bersumber pada Wahyu Ilahi dan
Sunnah Nabi itu memerlukan alat keilmuan dalam Qiyas dan Ijma’ sebagai syarat mutlak yang mesti
ditempuh, dengan sendirinya memerlukan sarana membanding serta meneliti dan mengambil
kongklusi, yang semuanya mestilah mengundang peranan ilmu dan pengetahuan. Tidaklah
mengherankan mengapa Ilmu Kalam di dalam Ilmu Tauhid serta ‘Aqaid pada umumnya mempunyai
pengaruh sangat besar dalam Fiqih dan dalam Tashawwuf sebagai pokok-pokok inti dalam
mempraktekkan Islam baik dalam kehidupan pribadi-pribadi maupun dalam kehidupan bersama
sebagai bangsa dan warga dunia.
Akan tetapi orang memerlukan ilmu-ilmu yang lain, yakni: Ilmu-ilmu hasil pengetahuan dan
kecerdasan otak atau intelek, misalnya: ilmu alam, kedokteran, hitung, pergaulan, hukum, sejarah,
ilmu bumi, ilmu falak, retorika, ilmu keindahan, seni budaya, dan lain-lain. Dan, ilmu-ilmu tersebut
di muka itu banyak dijumpai di dalam bidang “Al Hikmah” dan tidak sedikit pula diketemukan di
dalam Filsafat.
Itu sebabnya mengapa Dunia Islam terutama di zaman Bani ‘Abbas, orang-orang Islam
menerima bidang filsafat dengan tangan terbuka. Menerima bukan untuk ditelan apa adanya, akan
tetapi diterima sebagai bahan perbandingan serta penelitian, untuk disaring yang mana dapat
diterima untuk dimanfaatkan dalam memahami kebenaran Islam, dan yang mana harus dibuang
karena membahayakan kebenaran Islam serta ketertiban masyarakat Muslimin.
Orang-orang Islam terutama para ‘Ulamanya juga menyadari, bahwa orang-orang yang
mendalami filsafat hampir seluruhnya bukan orang Islam, mereka beragama Nasrani, Yahudi,
Zarasustra, Hindum, dan bahkan tidak beragama seperti halnya orang-orang yang datang dari
Yunani. Justru dengan demikian memperlihatkan betapa toleransi yang dipraktekkan oleh orangorang Islam serta ‘Ulamanya. Selama keilmuannya itu bersifat hasil pemikiran serta pengalaman dan
10
tidak membahayakan aqidah Islam terutama dalam masalah-masalah Iman, maka Ilmu mereka dapat
diterima dan dimanfaatkan.
Banyak sekali, orang-orang bukan Islam yang didatangkan ke Baghdad pusat kegiatan serta
perkembangan ilmu, mereka itu menjadi guru-guru dalam filsafat, dalam berbagai cabang ilmu
kedokteran, ilmu falak, ilmu alam, ilmu politik, ilmu sejarah, ilmu logika, seni, musik, dan
sebagainya. Mereka juga menterjemah buku-buku filsafat dari bahasa Yunani atau Persi ke dalam
bahasa Arab. Dengan bantuan ahli-ahli bahasa Arab orang Islam, maka usaha penterjemah itu
berjalan dengan baik.
Di antara bukan orang Islam yang besar sumbangannya terhadap memperkenalkan filsafat
kepada orang Islam di zaman Bani ‘Abbas, ialah: Ibnu Al Patric, Qastha bin Lucas, Tiodores,
Hubaisy, Jurjis bin Bakhtisyu, Isa bin Syahala, dan lain-lain 13 .
Pergaulan antara kaum pengarang Islam dan bukan Islam terjalin sangat erat, dan dari
pergaulan itu mereka saling mempelajari kebudayaan serta bahasa masing-masing. Dengan
demikian maka banyak orang-orang asing yang akhirnya menguasai bahasa Arab sebagaimana
pengarang-pengarang bangsa Arab menguasai bahasa-bahasa Yunani, Persi, Ibrani, Suryani, dan
sebagainya.
Bersamaan dengan dibangunnya kota Baghdad sebagai ibukota Bani ‘Abbas, maka bangun
pula suatu kebudayaan baru, kebudayaan “modern” yang bernafas Islam, kebudayaan Arab-Yunani,
Arab-Persi dan berkembangnya ilmu pengetahuan seperti belum pernah terjadi dalam sejarah
sebelumnya. Dengan perkenalan orang-orang terhadap filsafat dan fikiran-fikiran Yunani dan Persi,
maka Baghdad dan Dunia Islam merupakan sebuah kota paling maju, paling makmur dan paling
cantik di seluruh dunia. Baghdad memperoleh gelar “ Ishrus ‘Ulum wat taqaddum ” Zaman
kemajuannya ilmu pengetahuan, bahkan di kalangan ahli-ahli sejarah diberi gelar “ Arusul Madain
wa Sayyidatul buqa “ Pengantin Benua Timur dan Ratu Buana.
Dengan kegiatan dunia ilmu pengetahuan itu, maka berdirilah di Baghdad dan di kota-kota
lain dalam Dunia Islam universitas-universitas, lembaga-lembaga studi, dan perpustakaanperpustakaan yang ketika itu dikenal dengan nama “Darul Hikmah”. Di sana para sarjana dan
mahasiswa memperdalam studi ilmiyahnya, mereka datang dari hampir seluruh penjuru dunia.
Masjid-masjid dengan arsitektur yang indah bermunculan di sana-sini, demikian pula rumah sakitrumah sakit serta lembaga-lembaga penyelidikan alam sebagai pelengkap lembaga studi, universitas
dan perpustakaan.
Tentu saja ekses-ekses selamanya selalu ada. Ekses lazimnya dilahirkan oleh sikap mental
yang berlebihan, mabuk kepayang lantaran over-acting, kelengahan, dan serba kepalang. Filsafat
sebagai barang “baru” dan bersifat “luar negeri” membuat sebagian orang menjadi silau, padahal
mereka sendiri telah mempunyai Islam ditambah “Al Hikmah” yang keduanya merupakan semacam
“filter” dan “refinery” sebagai alat penyaring dan alat pembersih segala yang datang dari luar.
Terutama bidang filsafat yang menyangkut masalah metafisika, logika serta kebebasan berfikir.
Tentu saja hal itu mencemaskan para Ulama yang karena penguasaannya terhadap Ilmu Syariat,
mereka menjadi sadar untuk mencegah “keterlanjuran” atas nama “kemerdekaan berfikir” dalam
Islam.
Dalam Islam memang ada kemerdekaan berfikir, dalam arti, selama masalahnya tidak
hendak menabrak apalagi menghancurkan Wahyu dan Syariat. Dalam Islam ada faktor Iman sebagai
sikap keikhlasan untuk menyerahkan diri berdasarkan kepercayaan batin. Itu sebabnya mengapa
Islam juga berarti sikap penyerahan diri kepada Allah. Sikap demikian adalah sikap mengabdikan
diri (ibadah) dan sikap demikian tidak semata-mata hasil pekerjaan otak. Islam mestilah dilandasi
oleh Iman sebagai pekerjaan batin dan rohani yang memimpin pekerjaan akal fikiran manusia yang
13
George Zaidan – “The Tamadduni Islami III – Penerbit “Darul Hilal” Cairo.
11
mengatur gerak perbuatan sehari-hari dalam mengabdi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di
dalam mengabdikan diri kepada umat manusia.
Maka, filsafat yang kering dari Iman, itu akan membentuk ruang terlampau lebar bagi
kemerdekaan berfikir tanpa batas bahkan mengalahkan peranan hati sebagai sumber Iman.
Janganlah dilupan, bahwa salah satu sifat dan pada filsafat ialah memberikan kebebasan
yang sebebas-bebasnya kepada peranan otak dalam berfikir. Pekerjaan berfikir itu semata-mata
karena hendak mengetahui kepastian sesuatu persoalan. Apakah setelah itu ia diharuskan percaya
atau tidak, hal itu perkara lain. Misalnya dalam menjelajahi alam metafisika menurut filsafat.
Apakah alam ghaib itu ada atau tidak, itulah tugas otak untuk berfikir sedalam-dalamnya dan
sepanjang mungkin. Setelah diketemukan kongklusinya, maka apakah seorang filosuf harus
mempercayainya atau tidak, itu adalah urusan lain. Dengan demikian, maka filsafat selamanya
mendudukkan dirinya sebagai “penonton” yang berada di luar garis. Ambillah contoh suatu aliran
dalam filsafat mengenai Tuha. Otak manusia digerakkan untuk berfikir dan berfikir, untuk
mendakan penyelidikan serta penjelajahan sampai pada satu kesimpulan diketemukan apa itu Tuhan.
Kesimpulan dari tugas otak dan fikiran tentang Tuhan, filsafat tidak mau berhenti hingga di situ.
Keadaannya menjadi sangat berbahaya, jikalau akhirnya bukan orang harus tunduk serta menyerah
kepada otak manusia.
Ambillah contoh lain tentang pragmatisme dalam filsafat.
Pragmatisme pada asasnya hanyalah sekedar satu metode berfikir. Sejak lahirnya filsafat
pragmatisme yang masih klasik maupun yang mutakhir menurut teori William James (1842-1910)
maupun teori John Dewey (1859-1952) – keduanya ahli filsafat bangsa Amerika – bahwa menurut
filsafat pragmatisme, benar dan tidaknya suatu teori dan dalil semata-mata tergantung kepada
berfaedah atau tidaknya bagi kehidupan manusia. Suatu hal apakah dinilai benar atau tidaknya
tergantung apakah hal tersebut berguna bagi manusia.
Dari kedudukannya sekadar metode berfikir, pragmatisme lambat laun memasuki – di
samping – alam pemikiran, juga memasuki alam kepercayaan dan keyakinan. Dari sekedar metode
berfikir, pragmatisme hendak mengatur alam keyakinan hidup, alam metafisika, agama dan alam
ghaib. Dengan pragmatisme orang hendak bersikap “praktis” dalam beragama, sampai pada satu
kesimpulan yang sederhana, bahwa beragama ataupun tidak ditentukan oleh penilaian keuntungan
meteriil yang kongkrit. Tegasnya, kalau beragama itu merugikan kemajuan, maka Agama harus
disingkirkan. Kalau menjalankan ibadah itu mengurangi jam kerja dan mempengaruhi produksi,
maka ibadah harus ditiadakan. Segalanya harus untuk sekarang – misalnya kemakmuran dan
modernisasi – tidak boleh dikalahkan untuk kebutuhan nanti yang “belum pasti” (yaitu alam
sorga) .... !
Islam melerai pertentangan antara otak dan hati, antara intelek dan keyakinan. Sebagai
Agama, Islam memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pemikiran otak dengan catatan, bahwa
otak haruslah “tahu diri” bahwa kekuasaannya terbatas sekali. Sepandai-pandai seorang intelektual
ia pasti tidak bakal tahu kapan datangnya saat lengah atau rasa kantuk kepada dirinya. Dan lengah
atau kantuk yang hanya beberapa detik itu akan mematikan seluruh kemampuan berfikir. Belum lagi
masalah mati dan kapan datangnya kematian. Seperti juga sepandai-pandai orang tak mungkin tahu
persis apa yang bakal terjadi satu dua menit di mukanya, maka iapun tidak tahu persis kapan
datangnya kematian, caranya dan di mana.
Sebab itu Islam memberi landasan bagi kecenderungan otak yang berupa sebuah ruang
keyakinan atau Iman di dalam dadanya. Itu sebabnya maka Agama Islam datang dengan perantaraan
Wahyu sebagai Kasih Sayang Tuhan untuk menolong manusia memberikan landasan kokoh bagi
kegiatan otak dalam berfikir.
Pragmatisme sebagai ciptaan manusia tidak akan mungkin dapat menandingi, apalagi
mengalahkan Agama sebagai Wahyu Ilahi. Kebijaksanaan manusia serta terbatas, dan kemampuan
berfikirnyapun terbatas pula. Sedangkan menurut filsafat sendiri bahwa segalanya berubah,
12
termasuk juga pekerjaan otak senantiasa mengalami perubahan-perubahan, betapa pula dapat
disejajarkan (apalagi menandingi) Ke-Maha Bijaksanaan Allah yang selamanya tangguh tidak
tergoyahkan oleh kekuatan manapun. Filsafat, baru lahir sejak masa seorang manusia Yunani
bernama Thales dan Anaximandros lahir ke dunia 600 tahun sebelum Nabi ‘Isa. Padahal Agama
berdasarkan Wahyu Ilahi telah diturunkan bagi ummat manusia sejak manusia-pertama mendiami
bumi, ialah Nabi Adam dan Ibu Hawa, berpuluh ribu tahun sebelum kelahiran Thales dan
Anaximandros.
Dalam sejarah Eropa abad pertengahan memberi petunjuk kepada kita, bahwa kekacaubalauan dalam dunia Kristen pada hakikatnya yang meng”hamiltua”kan lahirnya kebebasan berpikir.
Demikian bebasnya kemerdekaan berfikir hingga orang seperti Copernicus dan Giordano Bruno –
seperti yang telah teruraikan di muka – berani menentang hukuman dibakar hidup-hidup yang
dijatuhkan oleh keputusan Gereja. Akan tetapi seorang intelektual lain, Galileo Galilei (1564-1642)
yang mempunyai penemuan ilmiah berdasarkan kebebasan berfikirnya, terpaksa mencabut atau
menarik penemuan ilmiahnya berhubung tidak berani menghadapi ancaman hukuman Gereja.
Galileo menjadi gentar dan takut. Sudah tentu gentar dan takut bahkan bukanlah produk
otak, akan tetapi hasil pekerjaan hati dan perasaan. Galileo menambah pelajaran bagi kita, bahwa
kemerdekaan berfikir mempunyai batas terakhir manakala berhadapan dengan kekuasaan hati, lepas
dari penilaian kita terhadap sikap dan pendirian sarjana ahli fisika dan bintang bangsa Itali itu, ialah
bahwa supremasi otak yang dibanggakan itu memanglah terbatas. Ada sesuatu yang dapat
mengalahkannya. Sesuatu itu, tak lain tak bukan adalah hati dan jiwa.
*
* *
Ekses lain yang ditimbulkan oleh ajaran filsafat ialah pengaruh ajarannya yang bisa merusak
Aqidah Ummat Islam, jika filsafat itu menggantikan kedudukan Iman. Filsafat yang berasal dari
Yunani itu telah banyak disalin ke dalam bahasa Arab. Dalam keadaan ummat Islam sedang amat
menggandrungi ilmu pengetahuan, jika mereka tidak waspada atau karena tipis iman, maka ajaran
filsafat yang ditelan apa adanya akan sangat membahayakan.
Terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan secara aniaya membangkitkan emosi yang
memuncak ke pihak Muawiyah untuk menuntuk bela. Ibukota Madinah yang dilanda
pemberontakan itu sehingga menewaskan jiwa Khalifah memerlukan pemerintahan yang kuat.
Huru-hara dan chaos itu tidak boleh berlarut-larut. Berhubungan dengan itu maka pemimpinpemimpin yang bertanggung jawab dan yang mendapat dukungan mayoritas warga negara
melangsungkan pemilihan kepala negara. Terpilihnya Sayyidinia Ali sebagai Khalifah ke-4.
Hal tersebut menimbulkan salah-faham di fihak Muawiyah yang didukung kelompok yang
keras menuntut bela kematian Utsman mereka menuduh Sayyidina Ali tidak mengambil initiatif
untuk menindak kaum pemberontak, bahkan jarum adu domba membuat provokasi seolah-olah
Sayyidina Ali berdiri di belakang kaum pemberontak karena ambisinya menjadi Khalifah.
Walaupun pihak Sayyidina Ali membersihkan diri untuk menolak tuduhan tersebut disertai alasan
kuat yang logis, bagaimana dapat menindak huru-hara jikalau ibukota mengalami kekosongan
kekuasaan? Maka jalan yang paling masuk akal untuk ditempuh ialah mendirikan kekuasaan
(pemerintahan) yang bertugas mengembalikan ketertiban serta menindak kaum anarkis. Akan tetapi
sentimen dan emosi yang menguasai segala-galanya, pertimbangan dan pikiran-sehat tidak
memperoleh tanggapan secara wajar. Terjadilah perang-saudara antara Muawiyah dan Sayyidina Ali
dalam kancah pertempuran yang dikenal sejarah sebagai “Perang Shiffin”. Manakala pihak
Muawiyah terdesak dan berada dalam posisi yang payah, mereka mengajak damai. Sayyidina Ali
menerima ajakan damai tersebut karena tujuannya sejak semua memang hendak mengembalikan
ketertiban dan persatuan ummat.
Segolongan dari pendukung Sayydina Ali menentang kebijaksanaan perdamaian itu, bahkan
menuduh bahwa Sayyidina Ali telah bertindak salah, dan politik kompromi tersebut merugikan
13
Islam. Golongan paling ekstrim dari mereka mengecap Sayyidina Ali sebagai telah “kafir”, dan
mereka memisahkan diri serta keluar dari barisan Sayyidina Ali. Mereka menamakan dirinya
“Golongan Yang Keluar Memisahkan Diri” atau dalam istilah mereka, “Golongan Khawarij”. Tiap
tindakan ekstrim tentu akan menimbulkan sikap radikal di pihak lain, oleh sebab itu di kalangan
pendukung Sayyidina Ali yang fanatik menamakan dirinya “Golongan Syi’ah”.
Dimulai dari persoalan pertentangan politik, menjalar memasuki persoalan Aqidah, siapakah
yang lebih berhak memangku jabatan Khalifah menurut hukum Islam. Bahkan lebih jauh lagi
jangkauannya, pertentangan itu menjadi kian melebar menyangkut masalah dosa dan tidak dosa, dan
masalah kafir dan tidak kafir.
Demikianlah berlangsung pertentangan yang berlarut-larut bertahun-tahun hingga datang
masanya zaman Bani Umayyah berkuasa dan memindahkan ibukota dari Madinah ke Damaskus.
Muncullah pada suatu ketika golongan “netralis” yang menamakan dirinya “Mu’tazilah”,
yang menempatkan dirinya menduduki posisi di antara dua kelompok yang bersengketa, atau dalam
bahasa Arab disebut “Al Manzilah bainal Manzilatain”. Meskipun lahir pula kelompok-kelompok
kecil seperti “Rafidlah”, “Murji’ah”, dan lain-lain, namun “Syi’ah” – “Khawarij” – “Mu’tazilah”
merupakan golongan yang paling menonjol berkampanye merebut simpati ummat Islam dari tahun
ke tahun. Mereka melakukan kampanye baik secara sembunyi-sembunyi maupu nsecara terbuka di
mana ada kesempatan.
Jikalau “Khawarij” lebih menitikberatkan gerakannya di bidang politik, tetapi lambat-laun
menjadi semakin kendor berhubung dengan sikap kepencilannya yang ekstrim hingga menghadapi
banyak musuh, maka “Syi’ah” dan “Mu’tazilah” lebih menitik beratkan kegiatannya di bidang
Aqidah terutama teologi, walaupun “Syi’ah” pada saat dipandang tepat melakukan kampanye juga
di bidang politik.
“Mu’tazilah” lebih banyak kegiatannya di bidang konstruksi berpikir dalam Aqidah dan
dalam teologi beraliran kebebasan berpikir. Karena kedudukannya sebagai “kaum intelektual salon”
maka orang-orang “Mu’tazilah” senantiasa berusaha mendekati golongan yang sedang berkuasa
untuk mempengaruhi kebijaksanaan dalam pemerintahan serta untuk memperkembang doktrindoktrin mereka melalui segala fasilitas istana. Usaha mereka sekalipun tidak selamanya berhasil,
namun tidak pernah mengalami jalan buntu. Mereka giat, ulet dan penuh kesabaran. Demikianlah
berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya, sampai pada suatu ketika di zaman Bani ‘Abbas mereka
sering memperoleh angin. Konon, Khalifah Ma’mun yang terkenal itu menjadi salah satu pengikut
“Mu’tazilah” hingga dengan dekrit Khalifah menetapkan bahwa “Mu’tazilah” merupakan madzhab
negara.
“Mu’tazilah” adalah sebuah gerakan berpikiran bebas, condong menganut pikiran liberal
terutama dalam bidang Aqidah dan Teologi Islam. Salah satu buah ajarannya melahirkan suatu
aliran yang bernama “Qadariyah” yang di kalangan Barat kemudian terkenal sebagai sebagai “freewill, free-act”, artinya Manusia bebas mempunyai kehendak atau keinginan, karena itu bebas pula
bertindak dan berbuat.
Salah satu faham yang dikampanyekan dan yang paling menggemparkan Dunai Islam, ialah
Bahwa Al Qur’an itu bukanlah Qadim, akan tetapi Hadits. Artinya, bahwa Al Qur’an itu bukanlah
sebagai Kalamullah atau Firman Allah itu bukanglah sesuatu yang tak bermula atau kekal, akan
tetapi sesuatu yang baru, dus Al Qur’an sebagai Firman Allah tetaplan makhluk.
Gerakan Mu’tazilah yang dilindungi oleh Khalifah Ma’mun semakin memperoleh ruang
bernafas dengan banyaknya buku-buku filsafat dari Yunani yang disaling ke dalam bahasa Arab.
“Mu’tazilah” dan filsafat sama-sama berasaskan kebebasan berpikir dan oleh sebab itu dengan
fasilitas pihak yang berkuasa maka fikiran-fikiran liberal mengalami zaman emas.
Dengan dalih membangun modernisasi dalam konstruksi berpikir secara rasional, sesuai
dengan karakter Islam yang memberikan kemerdekaan berpikir, maka para Ulama ahli-ahli fiqih,
aqoid, hadits, dan lain-lainnya menjadi sasaran serangan mereka sebagai golongan jumud (beku),
14
konservatif, dan kaum terbelakang. Tentulah hal tersebut menimbulan kegemparan di kalangan
Dunia Islam.
Seorang Ulama besar Ahmad bin Hanbal atau lebih terkenal dengan nama Imam Hanbali
(pendiri Madzhab Hanbali dan murid kebanggan Imam Syafi’i) tampil ke depan mempelopori
gerakan menentang “Mu’tazilah”. Para Ulama berdiri di belakang Imam Hanbali. Oleh karena
“Mu’tazilah” dilindungi serta didukung oleh pihak Istana Khalifah, dengan sendirinya hubungan
antara Imam Hanbali dan para Ulama di satu fihak dengan pihak penguasa di pihak lain, amat
tegang. Imam Hanbali dipenjarakan dan Ulama lain ditangkapi.
Keadaan menjadi anek sekali. Khalifah bersama-sama kaum “Mu’tazilah” dan kaum sarjana
filsafat bangsa asing berdiri dalam satu barisan menghadapi para Ulama dan Ummat Islam di pihak
yang lain. Seluruh Dunia Islam berada dalam ketegangan-ketegangan yang menggoyahkan potensi
ummat Islam pada umumnya.
Akan tetapi syukur alhamdulillah, keadaan demikian yang berlangsung selama kurang lebih
20 tahun itu segera berakhir. Tatkala Khalifah Al Mutawakkil memegang kekuasaan, Khalifah yang
bijak itu mengakhiri masa ketegangan. Dekrit Khalifah Ma’mun yang menetapkan “Mu’tazilah”
sebagai madzhab negara, dicabut. Gerakan “Mu’tazilah” dilarang. Pemimpin-pemimpin
“Mu’tazilah” seperti Wasil bin ‘Atha’, An Nazzham, ‘Amr bin Ubaid, dan Abu Hudhail menghadapi
banyak sekali tantangan dan dengan susah payah memelihara keselamatan jiwanya.
Sebelum seorang Ulama besar bernama Imam Abul Hasan Al Asy’ari memproklamirkan diri
keluar dari “Mu’tazilah”. Beliau menyadari akan kesalahan-kesalahan pahjak “Mu’tazilah” dalam
mengetrapkan kemerdekaan berfikir dalam Islam sehingga menimbulkan faham Aqidah yang
merusak itu. Ajarannya di bidang ‘Aqaid atau At Tauhid terkenal dengan nama “Al Asy’ariyah”.
Sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun sekitar 944 Masehi di Samarkand tampir seorang
Ulama besar bernama Imam Abu Mansur Al Ma’turidi memperkuat paham yang diajarkan
Mu’tazilah. Ajarannya terkenal dengan nama “Al Ma’tudiriyah”. Kedua ajaran “Al Asy’ariyah” dan
“Al Ma’tudirinyah” itulah yang dalam bidang ‘Aqaid atau Ushuluddin dikenal oleh Dunia Islam
sebagai ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dipeluk oleh mayoritas terbesar Ummat Islam
seluruh dunia.
Filsafat menghadapi tantangan yang berat. Dunia Islam sangat kritsi terhadap faham-faham
yang terkandung di dalamnya, bahkan ajarannya tentang metafisika dan ilmu alam yang tidak
mengakui ke Maha Kekuasaan Allah dalam mencipta serta mengatur perjalanan semesta alam,
dinyatakan sesat dan menyesatkan, sedang siapa yang mengikutinya dinyatakan zindiq (kafir-zindiq)
artinya keluar dari Islam.
Imam Ghazali (1058-1111 Masehi) di kalangan Dunia Islam sebagai seorang Ulama yang
sangat luas ilmu di berbagai bidang. Ilmunya bukan semata-mata hasil dari penyelidikan akal yang
diperlengkap dengan argumentasi retorika sebagaimana halnya dengan orang-orang ahli filsafat,
akan tetapi ilmu-ilmu Imam Ghazali memancar dari hati sanubarinya bagaikan mata-air yang bening
jernih. Beliau seorang mahaguru Tashawwuf yang mengeritik orang-orang Tashawwuf yang
mengabaikan upacara-upacara ibadah menurut ilmu fiqih. Dalam pada itu Imam Ghazali pun
mengeritik orang-orang yang menjalankan upacara-upacara ibadah akan tetapi tidak meresapi arti
maknanya yang lezat lantaran jiwanya tidak bersih, karena meninggalkan Tashawwuf. Dengan lain
perkataan, maka Imam Ghazali merupakan tokoh yang mempersatukan gerakan-gerakan zhahiriyah
(fiqih) yang diperlengkapi dengan pengetahuan yang mantap (ilmu) serta dihayati oleh kelezatan
berbakti (tashawwuf).
Mengenai filsafat, Imam Ghazali tidak apriori menentang tetapi juga tidak menelan begitu
saja. Dalam keadaan tertentu orang boleh berfilsafat, akan tetapi di mana tidak memerlukan filsafat,
maka filsafat ditinggalkan. Oleh sebab itu menurut Imam Ghazali, ada bagian-bagian dalam filsafat
yang bisa diterima oleh Islam, akan tetapi juga ada bagian-bagian lain yang sangat ditentang oleh
Islam. Ilmu pasti atau matematika tidak dilarang oleh Islam, akan tetapi jika mengenai Ke-Tuhanan
15
orang juga hendak memahami Tuhan secara matematik – yang tidak mungkin akan dapat dijumpai –
maka demikian itu tentulah terlarang. Dengan mempelajari ilmu alam maka orang menjadi semakin
ber-Iman terhadap Ke-Maha Kekuasaan Allah.
Orang yang mempelajari karya-karya Imam Ghazali tentulah akan menjumpai betapa
cermatnya memperinci fungsi serta peranan pengetahuan. Misalnya tentang teori logika dalam
filsafat. Logika lain tidak hanyalah kupasan tentang bagaimana membuat dalil-dalil atau alasan,
mengemukakan pembuktian dan syarat-syarat pembuktian atau burhan, menyusun ta’rif atau definisi
disertai qias dan silogisme serta sinonim, semuanya itu untuk menyusun argumentasi atau hujjah
yang bertujuan untuk membuktikan suatu kebenaran yang haq.
Akan tetapi mengenai metafisika dalam filsafat yang membahas perkara ghaib terutama KeTuhanan, Imam Ghazali menentang keras, disebabkan filsafat yang demikian itu amat sesat dan
menyesatkan. Pendirian Imam Ghazali adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Dua buku karangan Imam Ghazali, masing-masing: “Tahafutul Falasifah” (Keblingernya
Filsafat) dan “Al Muqidz minadl-dlalal” (Penyelamat dari kesesatan), merupakan kritik terbuka
terhadap sarjana-sarjana Muslimin yang hanyut dalam dunia filsafat karena sangat mendewakan
ratio dan hendak meliberalkan Iman. Dua buku tersebut amat menggemparkan mereka yang merasa
terkena oleh kritik Imam Ghazali. Salah seorang sarjana Islam, Ibnu Rusyd, di kalangan Barat
terkenal dengan nama Averroes, mereka kritik Imam Ghazali ditujukan kepadanya. Ia mengangkat
pena dan menerbitkan bukunya berjudul “Tahafutut Tahafut” (Keblingernya orang yang keblinger),
tentulah buku tersebut ditujukan kepada Imam Ghazali, berisi pembelaan terhadap fahamnya tentang
filsafat.
Bagaimanapun, Dunia Islam menjadi sangat hati-hati terhadap filsafat. Filsafat hanya bisa
diambil seperlunya sebagai pelengkap argumentasi tentang kebenaran Islam, akan tetapi dalam hal
yang Islam telah sangat jelas dengan ajaran-ajarannya, maka orang tidak memerlukan filsafat.
Bahkan bagian-bagian filsafat yang hendak membongkar atau melenyapkan kebenaran Islam,
misalnya tentang “kodrat” makhluk dan faham metafisika yang menyalahi Ahlus Sunnah wal
Jama’ah haruslah ditentang.
Kritik Imam Ghazali terhadap filsafat merupakan canang yang memperingatkan Ummat
Islam agar tidak gegabah dalam menerima ajaran filsafat atas nama kebebasan berfikir. Dari filsafat
memang bisa diambil manfaatnya, misalnya mengenai penemuan-penemuan ilmu eksakta, atau
tentang metode berfikir, menganalisa, dan menguraikan argumentasi. Akan tetapi bahayanyapun
sangat besar bilamana filsafat menggantikan kedudukan kepercayaan dan keyakinan mengenai
ketidak terbatasan dari alam sebagai benda yang “maha kuasa”. Mendewakan materi sepanjang
logika semata-mata atas nama kebebasan berfikir, maka mudah sekali menjerumuskan seseorang
menjadi atheis yang tidak percaya akan Tuhan atau percaya bahwa Tuhan tidak ada. Kepandaian
retorika ala filsafatpun bisa membuat kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Akan tetapi “Tuhan” yang
berselubung di balik uraian yang tersusun begitu bagus untuk menyembunyikan kongklusi yang
sebenarnya bahwa “Tuhan” cumalah benda juga atau sekadar angan-angan yang menurut rumus
filsafat adalah “the outward projection of man’s inward nature” (proyeksi yang keluar dari batin
pembawaan manusia). “Tuhan” bagi mereka bisa matahari, bisa atom, bisa kekuasaan atau uang, dan
sebagainya.
Di dalam kitabnya yang terkenal “Ihya’ ‘Ulumuddin” misalnya, Imam Ghazali mengupas
panjang lebar tentang pentingnya fungsi dan peranan ilmu, anjuran kepada Ummat Islam untuk
menuntut sebanyak-banyaknya ilmu diberikan motivasi pahala akhirat dan manfaat duniawi dengan
mengemukakan begitu banyak Hadits Nabi Besar Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dijelaskan tentang tingkatan-tingkatan ilmu yang harus dituntut atau dipelajari. Dimulai dengan
ilmu-ilmu yang wajib dipelajari bagi tiap-tiap Muslim (fardlu ‘ain) misalnya tentang ilmu
Ushuluddin dan ilmu Syari’at. Setelah itu anjuran untuk mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi syarat
tegaknya suatu masyarakat misalnya ilmu politik, ekonomi dan sosial. Dan akhirnya Imam Ghazali
16
menganjurkan agar orang Islam mempelajari ilmu-ilmu matematika, alam, kedokteran, falak,
perindustrian, pertanian, tekstil, perikanan, perniagaan, dan lain-lain sebagainya.
Dengan demikian, maka Imam Ghazali memperinci filsafat menjadi cabang ilmu
pengetahuan yang positif dan negatif. Dan bagaimanapun juga orang mestilah mendalami arti berAgama Islam terlebih dahulu sebelum mempelajari filsafat dengan sikap kritis dan penuh
kewaspadaan.
Begitu banyaknya buku-buku filsafat Yunani yang disalin ke dalam bahasa Arab di zaman
Bani ‘Abbas seperti yang telah kita uraikan di muka, menyebabkan begitu banykanya orang-orang
asing terutama dari Barat yang menyinggahi Baghdad dan negeri-negeri Islam. Mereka datang untuk
mempelajari filsafat yang telah hilang dalam jangka waktu berabad-abad dari negeri asalnya yaitu
Yunani. Buku-buku tersebut mereka salin ke dalam bahasa Latin yaitu bahasa kaum terpelajar di
Eropa pada waktu itu. Dari bahasa Latin akhirnya mereka salin ke dalam bahasa mereka masingmasing (Inggris, Perancis, Spanyol, Jerman, Italia), dan sebagainya. Maka benarlah peribahasa yang
mengatakan: “Kalau tidak karena Baghdad, dunia tidak akan mengenai Yunani”, dan peribahasa
lain: “Kalau tidak lantaran Baghdad, Eropa tetap dalam kegelapan”.
Baghdad tentu bukan satu-satunya kota peradaban dan ilmu pengetahuan. Di samping
Baghdad juga Cordova dan Granada di Spanyol, Kairo di Mesir, Bukhara dan Samarkand di Asia
Tengah, dan Istambul di Turki.
Orang-orang Eropa mengunjungi negeri-negeri Islam itu bukan semata-mata mempelajari
filsafat, tetapi juga metafisika, ilmu alam, falak, dan mempelajari ilmu-ilmu Islam. Bukan untuk
menjadi orang Islam, akan tetapi mempelajari Islam sebagai pengetahuan, Islam sebagai
“Islamology”. Karena orang-orang Islam ketika itu merupakan faktor kemenangan dan peradaban,
maka orang-orang Barat tertarik untuk mempelajari Islam untuk pengetahuan semata-mata. Itulah
asal mula lahirnya suatu kelompok orang Barat yang dikenal sebagai “Orientalist”, ahli ketimuran.
Dengan munculnya kelompok “Orientalist” maka sekalipun mereka cuma sekadar ingin
tahu tentang seluk-beluk Islam sebagai “pengetahuan” (dikemudian hari amat penting manfaatnya
bagi politik kolonialisme mereka), namun, bagaimanapun Islam dan perbendaharaan ilmiyahnya
menjadi tersebar ke seluruh dunia. Jangan lupa, kelompok “Orientalist” itu terdiri dari berbagai
bangsa di Eropa, dan mereka menulis buku-buku tentang Islam dalam bahasa-bahasa penting di
Eropa.
Sebaliknya, dengan sikap kritis dan kewaspadaan para ‘Ulama terhadap filsafat, maka orangorang Islam mempelajari filsafat disertai pembatasan-pembatasan. Artinya mengambil filsafat
sekadar yang perlu dan meninggalkan yang bertentangan dengan sendi-sendi kepercayaan Islam.
Apa yang dikatakan oleh guru filsafat terkemuka Aristoteles yang banyak dikutip orang-orang Islam
dipegang teguh. Aristoteles pernah mengatakan: “Marilah kita berfilsafat manakala keadaan
menghendaki kita berfilsafat. Kalau keadaan tidak memerlukan berfilsafat, maka kita harus
berfilsafat pula untuk membuktikan bahwa berfilsafat itu tidak perlu” 14 .
Dengan memegang teguh ajaran guru filsafat sendiri, maka sarjana-sarjana Islam dalam
“berfilsafat” menggunakan teori konstruksi berfikir melalui metode yang sistematis menurut filsafat,
untuk menguatkan argumentasi mereka tentang kebenaran-kebenaran Islam. Merekalah yang
terkenal dalam sejarah dan kebudayaan Islam sebagai “Failasuf Islam”.
14
A. Hanafi, M.A. – “Pengantar Filsafat Islam” – Penerbit “Bintang Bulan” – Jakarta 1969.
17
Download