3 II. TINJA AUAN PU USTAKA 2 Gurame 2.1 ( 1) merupakan salah satu Ikan gurame (Ossphronemuss gouramy) (Gambar i ikan air taw war yang berrnilai ekonoomis tinggi di d Indonesiaa khususnyaa di daerah J Jawa Barat.. Taksonom mi ikan gurrame menurrut Saanin (1984) ( adalaah sebagai b berikut: K Kelas : Pisces S Kelas : Sub Teleosteii O Ordo Labyrintthici : S Ordo : Sub Anabanto oidae F Famili : Anabantiidae G Genus : Osphroneemus S Species : Osphroneemus gouram my (Laceped de) Gambaar 1. Ikan Gu urame Ikkan Guramee muda mem miliki 8 – 100 garis tegakk berwarna hitam h pada k kedua sisi badannya, gaaris tersebut biasanya hilang setelahh dewasa. Ikaan Gurame b berkepala laancip kedepaan, berdahi nnormal dan rata, r sirip duuburnya terddapat bintik g gelap yang dilingkari warna kuninng keperakaan, sirip daadanya terdaapat bintik h hitam. Pada perut terdappat sepasangg sirip perut. Jari jari sirrip ikan ini mengalami m p perubahan m menjadi sepaasang benanng panjang yang y berfunggsi sebagai alat a peraba s setelah ikan dewasa (Saaanin, 1984). obot tubuh ikan guram me konsum msi sangat bergantung b Panjaang dan bo t terhadap lam manya waktuu pembesaraan. Pemanen nan hasil pem mbesaran ikkan gurame m minimal meencapai um mur dua tahhun. Ikan guurame yangg berumur dua tahun 4 memiliki panjang dan bobot tubuh yaitu 25 cm dan 0,3 kg/ekor, umur tiga tahun memiliki panjang dan bobot tubuh yaitu 35 cm dan 0,7 kg/ekor, empat tahun mencapai panjang dan bobot tubuh yaitu 40 cm dan 1,5 kg/ekor. Pertumbuhan yang lambat ini merupakan salah satu masalah besar dalam usaha pembesaran gurame, 2.2 Sperma Ikan Menurut Kime et al. (2001) sperma dari kebanyakan ikan teleostei memiliki perbedaan yang khas dibanding sperma mamalia, seperti sperma langsung motil setelah dikeluarkan dari tubuh, motil setelah berhubungan dengan air, terus motil selama kurang dari 2 menit dan tidak memiliki akrosom. Beberapa ikan bertulang rawan memiliki akrosom seperti yang ditemukan pada mamalia. Pada ikan teleostei sperma diproduksi dalam testis. Didalam tubuh sperma disimpan dalam seminal plasma yang isotonik dengan tubuh sehingga sperma tidak aktif. Sperma baru aktif setelah dikeluarkan dari tubuh dan mengalami kontak dengan media yang memiliki tekanan osmotik berbeda baik itu hipersomotik maupun hyposmotik. Secara spesefik, perubahan konsentrasi ion seperti Ca2+, K+, Na+ dan Cl- akan merangsang membran sperma dan memberikan signal sperma untuk motil (Yanagimachi, 2001). Sperma ikan hanya bisa bertahan selama beberapa menit setelah dikeluarkan dari tubuh dikarenakan adanya fenomena cedera osmotik dan terbatasnya jumlah energi yang dapat digunakan. Menurut Billard (1987), Cedera osmotik adalah kerusakan yang terjadi pada sel akibat goncangan tekanan osmotik (Billard, 1978). Sedangkan menurut Hidayaturrahmah (2007) sperma sama seperti sel lain dalam tubuh yang juga memerlukan energi. Sperma dapat memperoleh energi dengan memanfaatkan cadangan energi dalam tubuhnya atau memanfaatkan sumber energi dari luar. Menurut Soehartojo (1995) Fluktosa dapat dimanfaatkan oleh sperma menggunakan bantuan dari enzim fluktolisin yang akan mengubah fluktosa menjadi asam laktat dan energi. Sperma pada ikan tidak memiliki akrosom karena sperma ikan tidak perlu mendobrak lapisan telur untuk melakukan pembuahan. Sperma ikan harus menemukan satu lubang yang disebut mikrofil pada salah satu permukaan telur. 5 Menurut Kime et al. (2001) sejauh ini belum diketahui dengan jelas bagaimana caranya sperma menemukan mikrofil dengan waktu hidup yang sangat singkat. Diduga ada semacam reaksi kimia yang menjadi penunjuk arah pergerakan sperma menuju mikrofil. Gambar 2. Morfologi Sperma Secara morfologi sperma dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu kepala, bagian tengah dan ekor. Pada bagian kepala terdapat nukleus yang dilindungi oleh membran sel. Pada nukleus inilah terdapat informasi genetika yang akan ditransmisikan kepada generasi berikutnya. Seperti pada umumnya set gamet, jumlah kromosom pada sperma adalah 1 N atau setengah dari jumlah kromosom pada sel tubuh lain. Bagian tengah spermatozoa merupakan bagian yang menghubungkan ekor dengan kepala. Pada bagian tengah disusun oleh mikrotubulkus yang mengandung substansi fiber yang disusun oleh protein dinein. Protein dinein ini sangat penting karena mempunyai aktivitas ATP-ase yang berfungsi menyediakan energi bagi sperma. Bagian terakhir dari sperma adalah ekor yang berfungsi sebagai alat gerak sperma untuk berenang menuju telur. Kerusakan pada bagian ekor akan menyebabkan abnormalitas gerakan pada sperma sehingga peluang untuk berhasil membuahi telur mengecil. 2.3 Kualitas Sperma Kime et al. (2001) mengemukakan bahwa parameter yang paling sering digunakan untuk mengukur kualitas sperma adalah motilitas (pergerakan progresif) dan viabilitas. Rough (2003) mengutarakan bahwa ada dua jenis gerakan sperma yaitu motil dan tidak motil. Gerakan motil sendiri dibagi menjadi dua yaitu sperma yang bergerak progresive dan sperma yang bergerak tidak progresif. 6 Motil Kualitas Sperma Motilitas Tidak Motil Motil Progresif Motil Tidak Progresif Progresif Cepat Progresif Lambat Viabilitas Gambar 3. Kualitas Sperma Menurut Kime et al. (2001) dan Hidayaturrahmah (2001) dan Rough (2003) Pergerakan progresif sperma dibagi menjadi pergerakan progresif cepat dimana sperma bergerak maju ke depan dengan kecepatan tinggi dan pergerakan progresif lambat dimana sperma bergerak maju kedepan dengan pergerakan lambat (Hidayaturrahmah, 2007). Rough (2003) mengutarakan bahwa sperma disebut motil tidak progresif saat sperma itu bergerak tetapi tidak maju. Gerakan yang ditimbulkan sperma motil tidak progresif bisa bermacam-macam, misalnya gerakan berputar-putar ditempat. Masing - masing spesies memiliki standar persentase sperma motil progresif yang berbeda - beda. Contohnya, standar minimum persentase sperma progresif pada sapi adalah 30%, kuda adalah 60%, anjing adalah 70% dan pada manusia adalah 50% (Rough, 2003). Viabilitas merupakan durasi dari pergerakan progresif yang diukur dengan satuan waktu (detik). Viabilitas ditentukan oleh daya hidup spermatozoa dan akan memberikan efek yang sangat signifikan terhadap kemampuan sperma membuahi telur. Menurut Hidayaturrahmah (2007), viabilitas dapat diukur dengan mencacat waktu mulai dari sperma bergerak, bergerak lamban bergerak berputar di tempat (reservoir), berdenyut lemah sampai dengan tidak berdenyut lagi atau mati. Viabilitas sangat penting karena tidak seperti sperma mamalia yang harus 7 mendobrak untuk masuk ke dalam telur, Sperma ikan harus menemukan satu pintu di permukaan telur untuk masuk yang disebut mikrofil. Sedangkan menurut Marques (2004), viabilitas diukur dengan mencatat waktu pergerakan sperma mulai dari diaktifasi sampai pergerakannya turun pada batas 30%. Berbagai macam metode telah dikembangkan dalam mengukur kualitas sperma ikan. Guest et al. (1976) menggunakan sistem skor 1 – 5. Skor 5 berarti semua sperma bergerak secara progresif dan menunjukan pergerakan flagel yang cepat. Skor 3 berarti sebagian besar bergerak progresif dan sebagian hanya bergetar. Skor 1 berarti sebagian besar hanya bergetar dan sebagian kecil bergerak progresif. Skor 0,5 berarti sebagian besar tidak bergerak dan hanya sedikit yang bergetar. Skor 0 berarti semua sperma berhenti bergerak. Kime (2001) berpendapat bahwa kelemahan terbesar dari metode ini adalah subyektifitas yang sangat tinggi dalam mengartikan istilah ”sebagan besar” atau ”sebagian kecil”. McMaster (1992) menyempurnakan metode yang digunakan Guest et al. (1976) dengan menggunakan presentase sebagai acuan yang akan mengurangi subyektifitas dalam pemberian skor. Rentang skor yang diberikan adalah mulai dari 5 yang berarti 80-100% sperma bergerak progresif, sampai dengan 1 yang berarti hanya 0 – 20% sperma bergerak progresif. Kelemahan metode ini adalah sangat sulit memberikan penilaian yang obyektif dalam rentang waktu pengamatan motilitas yang sangat singkat. Untuk itu Kime (2001) menyarankan menggunakan perekam video yang disambungkan ke mikroskop guna merekam pergerakan sperma. Hasil video yang diperoleh kemudian diputar berulang untuk membantu memberikan penilaian yang lebih obyektif. Metode yang lebih maju telah dikembangkan oleh Kime (2001) dengan menggunakan Computer-Assisted Sperm Analysis (CASA). Metode ini menggunakan bantuan komputer untuk melakukan pengukuran terhadap motilitas sperma sehingga menghasilkan luaran hasil yang akurat. Kelemahan dari teknologi ini adalah mahalnya biaya analis dan terbatasnya akses untuk menggunakan teknologi ini. 2. 4 Pengenceran Sperma Hidayaturrahmah (2007) mengutarakan bahwa kurangnya ketesediaan cairan sperma pada waktu pembuahan buatan merupakan salah satu faktor 8 penyebab kegagalan dalam fertilisasi. Volume larutan sperma sendiri dapat ditingkatkan dengan rangsangan hormonal dan dengan menambahkan larutan fisiologis. Effendy (1997) dan Billard (1978) menyatakan bahwa kemampuan normal spermatozoa untuk hidup setelah keluar dari testis dan terpapar air tawar adalah hanya berkisar antara 1 – 2 menit. Sedangkan, Rustidja (1985) mengemukakan bahwa penggunaan larutan fisiologis yang mengandung NaCl dan urea dapat mempertahankan daya hidup sperma sampai dengan antara 20 – 25 menit. Sedangkan menurut Billard (1978) viabilitas sperma dapat diperpanjang sampai dengan 5 menit dengan melarutkan sperma pada larutan fisiologis yang isotonik terhadap tubuh ikan. Hal ini dikuatkan dengan pengamatan bahwa beberapa sperma ikan air tawar seperti Trout dan Pike menunjukan terjadinya peningkatan viabilitas dan kemampuan membuahi saat diencerkan pada larutan bersalinitas 7 ppt. Menurut Billard (1978) motilitas spermatozoa ikan air tawar terjadi dalam hitungan detik dan menit akibat adanya cedera osmotik. Cedera osmotik adalah kerusakan sel akibat goncangan tekanan osmotik. Cedera osmotik pada sperma ikan dapat diamati setelah spermatozoa dilepaskan ke dalam media pemijahan alami yang tidak isotonik terhadap tubuh ikan. Gambar 4. Sperma yang baru saja dikeluarkan dari tubuh (Billard, 1978) Sebuah pengamatan dilakukan oleh Billard (1978) guna mempelajari perubahan morfologi sperma pada ikan Trout setelah dikeluarkan dari tubuh menggunakan mikroskop elektron. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui proses yang terjadi sehingga sperma dapat mengalami cedera osmotik secara lebih mendalam. 9 Gambar 4 menunjukkan sperma murni ikan Trout sesaat setelah dikeluarkan dari tubuh sebelum diencerkan dengan air tawar. Terlihat pada gambar 4, sperma memiliki kepala dengan lapisan membran yang utuh. Gambar 5. Sperma setelah 30 detik dikeluarkan dari tubuh (Billard, 1978) Gambar 5. adalah gambar dari sperma ikan trout setelah 30 detik diencerkan dengan air tawar. Gambar 5 menunjukan bahwa terjadi perubahan morfologi pada sperma ditandai dengan mengelupasnya plasma membran di sekitar bagian kepala. Selanjutnya membran akan terlepas dan air akan masuk ke dalam lapisan kepala. Menurut Billard (1978) kerusakan akan terlihat lebih jelas setelah 1 menit diencerkan dalam air tawar. Gambar 6. Sperma setelah 5 menit dikeluarkan dari tubuh 10 Gambar 6 menunjukan perubahan morfologi sperma ikan Trout yang telah dipaparkan ke air tawar selama 5 menit. Pada gambar terlihat bahwa kepala sperma membengkak, hal ini disebabkan oleh luruhnya membran sehingga air menerobos masuk ke dalam kepala sperma. Menurut Billard (1978) dalam beberapa kasus terlihat bahwa bagian tengah sperma menjadi rapuh sehingga bagian ekor terlepas dari sperma. Pada tingkat kerusakan ini sperma sudah tidak dapat lagi bergerak dan tidak dapat lagi melakukan pembuahan. Sesuai pendapat Billard (1978) yang mengutarakan air tawar dan air laut bukanlah media terbaik untuk menyimpan atau mengencerkan sperma dan disarankan menggunakan pengencer yang spesifik untuk pemijahan buatan. Hal ini mendorong diperlukannya penelitian lebih lanjut untuk meneliti media terbaik untuk menyempurnakan pemijahan buatan pada masing-masing species.