BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Hakekat Belajar

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hakekat Belajar
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, belajar merupakan faktor yang
sangat berperan penting. Setiap saat dalam kehidupan terjadi suatu proses belajar
mengajar, baik disengaja maupun tidak disengaja, disadari atau tidak disadari. Belajar
merupakan aktivitas yangmenghasilkan perubahan bagi siswa. Perubahan tersebut
berupa pengetahuan dan kecakapan baru maupun penyempurnaan dari hasil belajar
sebelumnya.
Slameto (2003: 2) mengemukakan “Belajar ialah suatu proses yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan,
sebagai
hasil
pengalamannya
sendiri
dalam
interaksi
dengan
lingkungannya”.
Idri Shaffat (2009: 5) mengidentifikasi ciri-ciri tentang kegiatan belajar sebagai
berikut:
1) Belajar adalah peristiwa pengalaman berbuat dan bertingkah laku, dengan kata lain
pelajaran tidak dapat dicapai dengan sikap yang pasif.
2) Belajar yang dilakukan tanpa tujuan tidak akan membawa hasil; tujuan tanpa
perhitungan tidak memberi jaminan akan adanya perubahan (kematangan) ilmiah
yang berlaku dalam masyarakat beradab.
3) Tidak ada sesuatu yang dipelajari tanpa rintangan.
4) Tidak dapat dituntut adanya keseragaman metode belajar dari setiap orang.
5) Cara belajar yang baik adalah senantiasa menilai, mengukur dan menetapkan taraf
pencapaian tujuan atau maksud seseorang untuk belajar.
6) Proses belajar akan berlangsung secara efisien jika peserta didik berada dalam stuasi
yuang merangsang perkembangan, tanpa kekuasaan atau paksaan.
Hal-hal pokok dalam belajar dikemukakan Sumadi Suryabrata (2006: 232)
sebagai berikut:
a. Bahwa belajar itu membawa perubahan.
b. Bahwa perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru.
c. Bahwa perubahan itu terjadi karena usaha.
11
12
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar
adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman dan latihan dalam interaksi
dengan lingkungannya. Perubahan dalam diri seseorang setelah belajar dapat ditunjukan
dengan adanya perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku serta
semua aspek yang ada pada individu berkat pengalaman dan latihan.
2. Teori Belajar Konstruktivisme
Piaget dalam Sutrisno (2006: 22) menyatakan bahwa “Pengetahuan bukan
merupakan sebuah copy dari sebuah objek, untuk mengetahui sebuah gejala atau kejadian,
bukan sekedar membuat suatu “mental copy” atau bayangan tentang sebuah objek.
Mengetahui adalah memodifikasi objek, mentransformasi objek dan mengerti proses
transformasinya. Sebuah operasi adalah inti dari pengetahuan; operasi adalah aksi dalam
pikiran yang memodifikasi obyek pengetahuan”. Sedangkan Bruner masih dikutip dalam
Sutrisno mengemukakan bahwa belajar adalah proses mencari pengetahuan atau yang
disebutnya dengan “inquiry or discovery learning”.
Dengan adanya pandangan yang berbeda dari pandangan umum tersebut di atas,
maka muncul pandangan baru mengenai belajar yang disebut dengan teori belajar
konstruktivisme. Dalam pandangan konstruktivisme pengetahuan yang dimiliki oleh setiap
individu adalah hasil konstruksi secara aktif dari individu itu sendiri. Individu tidak hanya
sekedar meniru (imitasi) dan membentuk bayangan dari apa yang diamatinya atau diajarkan
oleh gurunya, tetapi secara aktif individu itu menyaring, memberi arti dan menguji
kebenaran atas informasi yang diterimanya. Menurut Sutrisno (2006: 23) karakteristik
pembelajaran konstruktivisme dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Siswa tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang pasif, melainkan sebagai individu yang
yang aktif, memiliki tujuan serta dapat merespon situasi pembelajaran berdasarkan
konsepsi awal yang dimilikinya.
b) Guru harus melibatkan siswa menjadi aktif di dalam pembelajaran sehingga
memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuannya.
c) Pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang hanya langsung datang dari
luar, melainkan melalui seleksi dan asimilasi secara individual.
13
Pendapat serupa dikemukakan oleh Paul Suparno (2013: 30) yang menyatakan
bahwa pengetahuan dibentuk (dikonstruksi) oleh siswa sendiri dalam kontak dengan
lingkungan, tantangan, dan bahan yang dipelajari. Dalam pengertian konstruktivis,
pengetahuan itu tidak sekali jadi tetapi merupakan suatu proses terus-menerus yang
semakin sempurna.
Teori belajar konstruktivisme menekankan bahwa siswa adalah individu yang
secara aktif dapat mengkonstruksi pengetahuan melalui penyaringan, pemberian arti
serta melakukan uji kebenaran atas informasi yang diterimanya melalui suatu proses
yang terus menerus.
3. Belajar Konsep
Menurut Jerome Bruner yang dikutip oleh Sutrisno (2006: 21) mengemukakan
bahwa model pembelajaran pembentukan konsep terdiri atas tiga fase, yaitu:
a) Fase 1: penyajian data dan identifikasi konsep.
Pada proses ini guru menyajikan contoh-contoh konsep, sedangkan siswa
membandingkan
atribut
dalam
contoh
positif
dan
negatif.
Siswa
menggeneralisasikan dan menguji hipotesis. Selanjutnya, siswa menyatakan suatu
definisi menurut atribut-atribut esensial yang dikemukakannya.
b) Fase 2: pengumpulan data untuk verifikasi.
Siswa mengidentifikasi konsep dengan menambahkan contoh-contoh yang dilabeli “ya”
dan “tidak”. Guru mengkonfirmasikan hipotesis siswa, nama konsep, dan pernyataan
definisi menurut atribut esensial. Siswa menemukan contoh-contoh konsep.
c) Fase 3: pengumpulan data untuk eksperimen.
Siswa menjelaskan apa yang difikirkannya. Siswa mendiskusikan peran hipotesis,
atribut, jenis dan jumlah hipotesis.
Pendapat lain dikemukakan Posner dkk dalam Paul Suparno (2013: 87) yang
menyatakan bahwa dalam pembelajaran terdapat dua proses yang analog dengan dua fase
perubahan konsep, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam asimilasi, siswa menggunakan
konsep-konsep yang telah ada untuk menghadapi gejala baru dengan suatu perubahan kecil
yang berupa penyesuaian. Sedangkan dalam akomodasi, siswa harus mengganti atau
mengubah konsep-konsep pokok mereka yang lama karena tidak cocok lagi dengan
persoalan yang baru. Di sini terdapat perubahan secara drastis dan siswa sungguh-sungguh
14
mengubah konsep yang telah mereka miliki. Hal ini biasanya terjadi pada siswa yang
memiliki konsep menyimpang dari konsep ilmiah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar konsep atau
pembelajaran pembentukan konsep adalah pembelajaran sebagai proses untuk pembentukan
kemampuan berfikir induktif, juga untuk mengembangkan konsep dan analisis.
4. Miskonsepsi
a. Miskonsepsi dan Penyebabnya
David Hammer (1996: 1318) mendefinisikan miskonsepsi sebagai “Strongly
held cognitive structures that are different from the accepted understanding in a field
and that are presumed to interfere with the acquisition of new knowledge,” yang berarti
bahwa miskonsepsi dapat dipandang sebagai suatu konsepsi atau struktur kognitif yang
melekat dengan kuat dan stabil di benak siswa yang sebenarnya menyimpang dari
konsepsi yang dikemukakan para ahli, yang dapat menyesatkan para siswa dalam
memahami fenomena alamiah dan melakukan eksplanasi ilmiah.
Menurut Alan K, Griffith, Kevin Thomey, Bren Cooke, dan Glen Normore
dalam
Russel
H.
Yeang,
JR
(1988:
709)
mendiskripsikan
miskonsepsi
sebagai:“Misconception are defined misunderstanding which have probably accured
during or as a result of recent instruction in contrast to alternative conception which
are more likely to have been held or developed over a long period of time”.
Miskonsepsi didefinisikan sebagai kesalahan pemahaman yang terjadi selama atau
sebagai hasil dari pengajaran yang baru saja diberikan, berkembang dalam waktu yang
lama.
Paul Suparno (2013: 4) menyatakan bahwa “Miskonsepsi atau salah konsep
menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian yang diterima para
pakar dalam bidang itu”.
Dari beberapa pendapat mengenai miskonsepsi di atas, dapat disimpulkan bahwa
miskonsepsi atau kesalahan pemahaman merupakan pertentangan antara konsep baru
yang diterima dengan konsep lama yang telah dimiliki oleh orang lain atau siswa
sebagai peserta didik, dimana konsep lama melekat kuat dan stabil dan merupakan
konsep yang menyimpang.
15
Banyak hal yang dapat menyebabkan miskonsepsi. Secara umum dapat
disebabkan oleh siswa sendiri, guru yang mengajar, konteks pembelajaran, cara
mengajar, dan buku teks.
Paul Suparno (2013: 53) menyebutkan penyebab miskonsepsi pada siswa seperti
terlihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Penyebab miskonsepsi siswa
Sebab Utama
Siswa
Guru/pengajar
Buku Teks
Konteks
Cara Mengajar
Sebab Khusus

































Prakonsepsi
Pemikiran asosiatif
Pemikiran humanistic
Reasoning yang tidak lengkap/salah
Intuisi yang salah
Tahap perkembangan kognitif siswa
Kemampuan siswa
Minat belajar siswa
Tidak menguasai bahan, tidak kompeten
Bukan lulusan dari bidang ilmu fisika
Tidak membiarkan siswa
Penjelasan keliru
Salah tulis, terutama dalam rumus
Tingkat kesulitan penulisan buku terlalu tinggi bagi siswa
Siswa tidak tahu membaca buku teks
Buku fiksi sains kadang-kadang konsepnya menyimpang
demi menarik pembaca
Kartun sering membuat miskonsepsi
Pengalaman siswa
Bahasa sehari-hari berbeda
Teman diskusi yang salah
Keyakinan dan agama
Penjelasan orang tua/orang lain yang keliru
Konteks hidup siswa (TV, radio, film yang keliru)
Perasaan senang/tidak senang; bebas atau tertekan
Hanya berisi ceramah dan menulis
Langsung ke dalam bentuk matematika
Tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa
Tidak mengoreksi PR yang salah
Model analogi
Model praktikum
Model diskusi
Model demonstrasi yang sempit
Non-multiple intelligences
16
Sifat miskonsepsi yang terjadi pada siswa adalah melekat kuat dan stabil serta
sulit untuk dibenahi. Hal ini didukung pendapat Paul Suparno (2013: 7) yang
menyatakan bahwa “Miskonsepsi sulit dibenahi atau dibetulkan, terlebih bila
miskonsepsi itu dapat membantu memecahkan persoalan tertentu”.
Berdasarkan literatur yang telah dikumpulkan van den Berg (1991: 17), ciri-ciri
miskonsepsi adalah sebagai berikut:
1. Miskonsepsi sulit sekali untuk diperbaiki
2. Seringkali siswa mengalami miskonsepsi terus-menerus. Soal-soal yang sederhana
dapat dikerjakan, tetapi dengan soal yang sedikit lebih sulit miskonsepsi akan
muncul kembali.
3. Sering terjadi regresi, yaitu siswa yang yang sudah mengatasi miskonsepsi beberapa
bulan kemudian salah lagi.
4. Dengan ceramah yang bagus, miskonsepsi tidak dapat dihilangkan atau dihindari.
5. Siswa, mahasiswa, guru, dosen maupun peneliti dapat terkena miskonsepsi.
6. Siswa yang pandai dan yang lemah keduanya dapat terkena miskonsepsi.
b. Identifikasi Miskonsepsi
Identifikasi
miskonsepsi
adalah
suatu
cara
yang
dilakukan
untuk
mengidentifikasi belajar siswa yang diperkirakan mengalami kesalahan dalam
memahami konsep. Dalam hal ini, konsep yang dimiliki siswa berbeda dengan konsep
yang diutarakan para ahli.
Ada berbagai cara untuk mendeteksi miskonsepsi siswa. Beberapa cara yang
biasa digunakan peneliti antara lain dengan wawancara, peta konsep, tes diagnostik,
diskusi di kelas dan praktikum dengan tanya jawab. Hal terpenting adalah siswa diberi
kesempatan untuk mengungkapkan gagasan mereka sehingga dapat dimengerti
miskonsepsi yang dipunyai.
Cara yang paling sering digunakan dalam penelitian untuk mengidentifikasi ada
tidaknya miskonsepsi pada seseorang atau siswa yaitu menggunakan tes diagnostik.
Asep Jihad dan Abdul Haris (1996: 70) menyatakan bahwa “Tes diagnostik
berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik, termasuk
kesalahan pemahaman konsep”. Hasil tes diagnostik menunjukkan pada tingkat
pemahaman siswa. Hasil ini dapat ditindaklanjuti dengan memberikan bimbingan secara
khusus bagi siswa dengan tingkat pemahaman rendah.
Materi yang diangkat dalam tes diagnostik pada umumnya ditekankan pada
bahan tertentu yang biasanya atau menurut pengalaman sulit dipahami dan terjadi
17
miskonsepsi. Soal-soal tentunya harus disusun sedemikian rupa sehingga jenis
miskonsepsi yang dialami siswa dapat ditemukan.
5. Tes Diagnostik
Mendiagnostik kesulitan belajar sangat penting dilakukan dengan tujuan untuk
membantu siswa dalam menghadapi kesulitan belajar yang dihadapi yang selanjutnya
dianalisis dan dirumuskan pemecahannya.
Menurut Depdiknas (2007: 2) “Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk
mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga hasil tersebut dapat digunakan
sebagai dasar untuk memberikan tindak lanjut berupa perlakuan yang tepat dan sesuai
dengan kelemahan yang dimiliki siswa”. Jadi, tes diagnostik adalah suatu instrumen
yang digunakan untuk mengetahui kelemahan siswa dimana hasil tes tersebut digunakan
untuk memberikan tindak lanjut untuk mengatasi kelemahan siswa.
Tujuan tes diagnostik adalah untuk mengetahui permasalahan-permasalahan
yang dialami siswa, maka guru sebagai pendidik dapat melakukan tes diagnostik ini
pada beberapa waktu. Pemberian tes diagnostik pada siswa dapat dilakukan pada
berbagai kesempatan, secara skema dapat dilihat pada gambar 2.1.
1
2
3
4
Output
Input
Proses pembelajaran
Gambar 2.1. Skema berbagai kesempatan pemberian tes diagnostik
pada proses pembelajaran
a. Tes diagnostik ke-1, dilakukan pada waktu penyaringan siswa baru, sering disebut
tes prasyarat (pre-requisite). Tes ini dilakukan untuk mengukur dan mengetahui
tingkat penguasaan pengetahuan siswa, apakah sudah menguasai pengetahuan dasar
(bahan prasyarat) sehingga dapat menerima pengetahuan lanjutan.
b. Tes diagnostik ke-2, dilakukan pada calon siswa yang akan mulai mengikuti
progam, yang berfungsi sebagai tes penempatan (placement test). Hasil tes ini
18
digunakan sebagi informasi untuk menempatkan siswa pada tempat yang sesuai atau
mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuannya dalam menerima pelajaran.
c. Tes diagnostik ke-3, dilakukan selama pelajaran berlangsung. Tes ini digunakan
untuk mengetahui atau mendeteksi kemampuan dan kesulitan yang dialami siswa
saat mempelajari bahan pelajaran dalam suatu program kegiatan instruksional. Guru
dapat memberikan bantuan yang diperlukan dan menentukan cara yang khusus
untuk mengatasi atau memberikan bimbingan.
d. Tes diagnostik ke-4, yang berfungsi sebagai informasi untuk mengetahui tingkat
penguasaan siswa terhadap bahan pelajaran yang dipelajari pada akhir program
kegiatan instruksional.
6. Animasi Simulasi Komputer
Iqbal (2012) menyatakan bahwa “Animasi adalah menciptakan suatu ilusi
kehidupann menggunakan trik komputer. Animasi memiliki dua peran, yaitu peran
penceritaan (character animation) dan pendukung penceritaan (visual effect)”.
Animasi merupakan suatu teknik menampilkan gambar secara berurutan dengan
pemberian efek gerakan (motion tween), warna serta posisi dengan menggunakan
software, sehingga seorang penonton dapat merasakan adanya perubahan pada suatu
gambar yang telah diurutkan tersebut secara visual.
Ike Octafiyani (2012) menjelaskan beberapa pengertian simulasi:
1. Simulasi adalah program (software) komputer yang berfungsi untuk menirukan
perilaku sistem nyata yang memanipulasi sebuah model sedemikian rupa sehingga
model tersebut bekerja dalam ruang dan waktu.
2. Simulasi adalah model dari suatu sistem, dimana sistem tersebut dimodelkan dengan
sebuah software, dan ukuran numerik performansi diturunkan dari output.
3. Simulasi adalah suatu proses perancangan model dari suatu sistem nyata dan
pelaksanaan eksperimen-eksperimen untuk memahami tingkah laku sistem.
4. Simulasi adalah suatu program komputer yang ditulis dalam bahasa pemrograman
(general purpose atau dedicated) dan memerlukan runtime yang terkadang besar.
Dari penjelasan di atas, simulasi dapat diartikan suatu teknik pembuatan atau
menirukan suatu kejadian yang terdapat di alam yang dimodelkan dalam sebuah
software dan digunakan untuk mempelajari sistem, dapat juga berfungsi sebagai sarana
pelatihan maupun hiburan. Simulasi biasanya digunakan ketika menemui model sangat
rumit dengan banyak variabel dan komponen yang saling berinteraksi.
19
Ada berbagai macam software yang dapat digunakan suntuk membuat suatu
animasi, misal Macromedia Flash, AnimPixels, Easy GIF Animator 5 Pro, Adobe After
Effect CS, Ulead GIF Animator 5, Corner-A Art Studio dan lain sebagainya. Dalam
penelitian ini, digunakan Macromedia Flash 8 sebagai software untuk membuat animasi
simulasi dinamika.
Macromedia Flash 8 adalah software yang dipakai luas oleh para animatoranimator profesional karena kemampuannya yang mengagumkan dalam menampilkan
multimedia, gabungan antara grafis, animasi, suara, serta interaktivitas bagi pengguna
internet. Software ini berbasis animasi vektor yang dapat digunakan untuk
menghasilkan animasi web, presentasi, game dan bahkan film. Macromedia Flash 8
memiliki fiture yang menyediakan keperluan untuk membuat animasi dan menyajikan
animasi yang dinamis dan komunikatif. Macromedia Flash juga merupakan salah satu
solusi untuk pembelajaran interaktif. Dengan menggunakan Macromedia Flah 8 dapat
ditampilkan suatu animasi yang dapat menarik minat siswa dalam mengikuti proses
kegiatan belajar mengajar. Selain itu diharapkan dengan program ini dapat
mempermudah pemahaman siswa tentang konsep dari suatu materi ajar fisika.
Paul Suparno (2013: 105) menyatakan bahwa “Banyak penelitian menemukan
bahwa simulasi komputer dapat membantu siswa untuk menghilangkan miskonsepsi
yang mereka dapatkan”.
Penggunaan simulasi komputer sangat menguntungkan, karena siswa dapat
melakukan pembelajaran sendiri berkali-kali tanpa harus didampingi guru. Oleh karena
siswa dapat mengulanginya sendiri di luar pembelajaran di kelas, maka mereka akan
lebih cepat mengubah gagasan mereka yang tidak benar. Dengan kata lain, mereka lebih
cepat memahami konsep yang sedang dipelajari secara tepat.
7. Metode Demonstrasi
Menurut Winarno Surakhmad (2004: 131), “Metode adalah cara yang di dalam
fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan”. Metode mengajar dapat
diartikan sebagai suatu cara efektif yang digunakan dalam proses belajar mengajar
untuk mencapai tujuan.
Metode demonstrasi diartikan sebagai cara penyajian pelajaran dengan
memperagakan dan mempertunjukkan kepada peserta didik suatu proses, situasi, atau
20
benda tertentu yang sedang dipelajari, baik dalam bentuk sederhana maupun dalam
bentuk tiruan yang dipertunjukkan oleh guru atau sumber belajar lain yang memahami
atau ahli dalam topik bahasan yang harus didemonstrasikan. Metode ini biasanya
digunakan oleh guru untuk menjelaskan suatu materi yang tidak dapat dijelaskan hanya
dengan lisan saja. Tujuan dari metode ini adalah untuk mengajarkan suatu proses atau
prosedur yang harus dimiliki siswa atau dikuasai siswa. Mengkonkritkan informasi atau
penjelasan kepada peserta didik, dan mengembangkan kemampuan pengamatan
pandangan dan penglihatan para peserta didik secara bersama-sama. Menurut Mulyani
Sumantri dan Johar Permana (2001: 132-134) metode ini mempunyai kelebihan dan
kelemahan.
Kelebihan dari metode ini adalah:
a. Membuat pelajaran menjadi lebih jelas dan lebih konkret;
b. Memudahkan peserta didik memahami pelajaran;
c. Proses pengajaran akan lebih menarik;
d. Merangsang peserta didik untuk lebih aktif mengamati dan mencobanya
sendiri;
e. Dapat disajikan bahan pelajaran yang tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan metode lain.
Adapun kelemahannya adalah:
a. Memerlukan keterampilan guru secara khusus;
b. Keterbatasan dalam sumber belajar, alat pelajaran, situasi yang harus
dikondisikan dan waktu untuk mendemonstrasikan sesuatu;
c. Memerlukan kematangan dalam perancangan suatu persiapan.
8. Certainty of Response Index (CRI)
Untuk mengidentifikasi terjadinya miskonsepsi pada siswa sekaligus dapat
membedakannya dengan tidak tahu konsep, Bagayoko dkk (1999) mengembangkan
suatu metode identifikasi yang dikenal dengan istilah CRI (Certainty of Response
Index), yang merupakan suatu ukuran tingkat keyakinan/kepastian responden dalam
menjawab setiap soal yang diberikan. CRI biasanya didasarkan pada suatu skala dan
diberikan bersamaan dengan setiap jawaban suatu soal. Tingkat kepastian jawaban
tercermin dalam skala CRI yang diberikan, CRI yang rendah menandakan
ketidakyakinan konsep pada diri responden dalam menjawab suatu pertanyaan, dalam
hal ini jawaban biasanya ditentukan atas dasar tebakan semata. Sebaliknya, CRI yang
tinggi mencerminkan keyakinan dan kepastian konsep yang tinggi pada diri responden
dalam menjawab pertanyaan, dalam hal ini unsur tebakan sangat kecil. Seorang
21
responden mengalami miskonsepsi atau tidak tahu konsep dapat dibedakan secara
sederhana dengan cara membandingkan benar tidaknya jawaban suatu soal dengan
tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban (CRI) yang diberikannya untuk soal
tersebut.
Certainty of Response Index (CRI) didasarkan pada suatu skala, sebagai
contoh, skala enam (0 – 5) seperti pada tabel 2.2 (Bagayoko dkk: 1999: 297).
Tabel 2.2. CRI dan kriterianya
Skala CRI
Kriteria
0
Totally guessed answer / keseluruhan hanya menerka / asal tebak
1
Almost a guess / hampir menerka
2
Not sure / tidak yakin
3
Sure / yakin
4
Almost certain / hampir pasti
5
Certain / pasti
Jika derajat kepastiannya rendah (CRI 0 - 2), maka hal ini menggambarkan
bahwa proses penebakan (guesswork) berperan secara signifikan dalam menentukan
jawaban. Tanpa memandang jawaban benar atau salah, nilai CRI yang rendah
menunjukkan adanya unsur penebakan, yang secara tidak langsung mencerminkan
ketidaktahuan konsep yang mendasari penentuan jawaban. Jika derajat kepastiannya
tinggi (CRI 3 - 5), maka responden memiliki tingkat tingkat kepercayaan diri
(confidence) yang tinggi dalam memilih aturan-aturan dan metode-metode yang
digunakan untuk sampai pada jawaban. Dalam keadaan CRI tinggi, jika responden
menjawab dengan benar, hal ini menunjukkan bahwa tingkat keyakinan yang tinggi
akan kebenaran konsepsi telah dapat teruji (justified) dengan baik. Akan tetapi, jika
jawaban yang diperoleh salah, hal ini menunjukkan adanya kekeliruan konsepsi dalam
pengetahuan mengenai suatu materi subjek yang dimilikinya, dan dapat menjadi suatu
indikator terjadinya miskonsepsi.
Pengidentifikasian terjadinya miskonsepsi maupun tidak tahu konsep pada
siswa, dapat dilakukan dengan metode CRI termodifikasi. Termodifikasi dikarenakan
untuk setiap pertanyaan yang diajukan, responden diminta menuliskan alasan yang
22
mendasari jawaban yang diutarakan. Aliefman Hakim, dkk (2012) mengungkapkan
bahwa CRI termodifikasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya
miskonsepsi pada siswa, sekaligus membedakannya dengan tidak tahu konsep. Tabel
2.3 menunjukkan hubungan jawaban dan alasan yang diberikan responden, serta derajat
kepastian dalam menjawab setiap pertanyaan. Terdapat delapan hubungan antara
jawaban, alasan dan nilai CRI yang mana masing-masing memiliki deskripsi berbeda.
Tabel 2.3. Hubungan CRI termodifikasi untuk masing-masing jawaban
Jawaban
Alasan
Nilai CRI
Deskripsi
Benar
Benar
> 2.5
Memahami konsep dengan baik
Benar
< 2.5
Memahami konsep tetapi tidak yakin dengan
jawaban yang diberikan
Salah
Salah
> 2.5
Miskonsepsi
Salah
< 2.5
Tidak tahu konsep
Benar
> 2.5
Miskonsepsi
Benar
< 2.5
Tidak tahu konsep
Salah
> 2.5
Miskonsepsi
Salah
< 2.5
Tidak tahu konsep
(Aliefman Hakim dkk, 2012: 549)
Tabel 2.3 menunjukkan delapan kemungkinan kombinasi dari jawaban (benar
atau salah), alasan (benar atau salah), dan nilai CRI (tinggi atau rendah) untuk setiap
responden secara individu. Untuk suatu pertanyaan yang diberikan, jawaban benar
dengan alasan benar dengan CRI tinggi (> 2.5) menandakan paham konsep. Untuk
jawaban benar dengan alasan benar tetapi CRI rendah (< 2.5) menandakan responden
paham konsep tetapi tidak yakin dengan jawaban yang diberikan. Miskonsepsi terjadi
jika responden menjawab benar dengan alasan salah dan CRI tinggi. Selain itu,
miskonsepsi terjadi jika responden memberikan jawaban salah dengan alasan benar dan
CRI tinggi. Jawaban dan alasan salah dengan CRI tinggi menandakan responden
mengalami miskonsepsi. Tidak tahu konsep terjadi jika responden menjawab benar
dengan alasan salah dan CRI rendah. Tidak tahu konsep juga terjadi jika responden
23
menjawab salah dengan alasan benar dan CRI rendah. Jawaban dan alasan salah dengan
CRI rendah menandakan responden tidak tahu konsep.
9. Hakekat Fisika dan Konsep Induksi Elektromagnetik
a. Hakekat Fisika
Collette dan Chiappetta dalam Sutrisno (2006: 1) menyatakan bahwa “Sains pada
hakekatnya merupakan sebuah kumpulan pengetahuan (“a body of knowledge”), cara atau
jalan berpikir (“a way of thinking”), dan cara untuk penyelidikan (“a way of
investigating”)”. Dengan mengacu kepada pernyataan ini ternyata bahwa, pandangan
kebanyakan orang, pandangan para ilmuwan, dan pandangan para ahli filsafat yang
dikemukakan di atas tidaklah salah, melainkan masing-masing hanya merupakan salah satu
dari tiga hakekat IPA dalam pernyataan itu.
Karena fisika merupakan bagian dari IPA atau sains, maka kita dapat menyamakan
persepsi bahwa hakekat fisika adalah sama dengan hakekat IPA atau sains, hakekat fisika
adalah sebagai produk (“a body of knowledge”), fisika sebagai sikap (“a way of thinking”),
dan fisika sebagai proses (“a way of investigating”).
FISIKA
Proses
Kemampuan
Produk
Pengetahuan
Sikap
Kemauan
Gambar 2.2. Hakekat fisika
Dalam wacana ilmiah, hasil-hasil penemuan dari berbagai kegiatan penyelidikan
yang kreatif dari para ilmuwan dinventarisir, dikumpulkan dan disusun secara sistematik
menjadi sebuah kumpulan pengetahuan yang kemudian disebut sebagai produk atau “a body
of knowledge”. Pengelompokkan hasil-hasil penemuan itu menurut bidang kajian yang
sejenis menghasilkan ilmu pengetahuan yang kemudian disebut sebagai fisika, kimia dan
24
biologi. Untuk fisika, kumpulan pengetahuan itu dapat berupa fakta, konsep, prinsip,
hukum, rumus, teori dan model.
Fisika sebagai proses atau juga disebut sebagai “a way of investigating”
memberikan gambaran mengenai bagaimana para ilmuwan bekerja melakukan penemuanpenemuan, jadi fisika sebagai proses memeberikan gambaran mengenai pendekatan yang
digunakan untuk menyusun pengetahuan. Dalam fisika dikenal banyak metode yang
menunjukkan usaha manusia untuk menyelesaikan masalah. Para ilmuwan bekerja
menyusun pengetahuan berdasarkan kepada observasi dan prediksi. Terdapat pula ilmuwan
yang menyusun pengetahuan berdasarkan kepada kegiatan laboratorium atau eksperimen
yang terfokus pada hubungan sebab akibat.
Untuk memahami fenomena alam dan hukum-hukum yang berlaku, perlu dipelajari
objek-objek dan kejadian-kejadian di alam itu. Objek-objek dan kejadian-kejadian alam itu
harus diselidiki dengan melakukan eksperimen dan observasi serta dicari penjelasannya
melalui proses pemikiran untuk mendapatkan alasan dan argumentasi yang tepat. Jadi
pemahaman fisika sebagai proses adalah pemahaman mengenai bagaimana informasi ilmiah
dalam fisika diperoleh, diuji, dan divalidasikan. Pemahaman fisika sebagai proses sangat
berkaitan
dengan
kata-kata
kunci
fenomena, dugaan,
pengamatan, pengukuran,
penyelidikan, dan publikasi.
Pemikiran-pemikiran para ilmuwan yang bergerak dalam bidang fisika itu
menggambarkan, rasa ingin tahu dan rasa penasaran mereka yang besar, diiringi dengan
rasa percaya, sikap objektif, jujur dan terbuka serta mau mendengarkan pendapat orang lain.
Sikap-sikap itulah yang kemudian memaknai hakekat fisika sebagai sikap atau “a way of
thinking”. Oleh para ahli psikologi kognitif, pekerjaaan dan pemikian para ilmuwan IPA
termasuk fisika di dalamnya, dipandang sebagai kegiatan kreatif, karena ide-ide dan
penjelasan-penjelasan dari suatu gejala alam disusun dalam fikiran. Oleh sebab itu,
pemikiran dan argumentasi para ilmuwan dalam bekerja menjadi rambu-rambu penting
dalam kaitannya dengan hakekat fisika sebagai sikap. Sikap ilmiah yang dikembangkan
dalam bidang fisika antara lain jujur, teliti, mau tahu, peduli, bertanggung jawab, terbuka
dan bekerja sama.
b. Konsep Induksi Elektromagnetik
Induksi elektromagnetik ialah gejala terjadinya arus listrik dalam suatu
penghantar akibat adanya perubahan medan magnet di sekitar kawat penghantar
tersebut. Arus listrik yang terjadi disebut arus induksi atau arus imbas.
25
1. Fluks Magnetik
Fluks magnetik berkaitan dengan jumlah garis medan magnet yang melewati
luasan yang diketahui. Sebuah elemen luas
pada permukaan sembarang seperti pada
gambar 2.3.
Gambar 2.3. Fluks magnetik B yang menembus elemen luas
Jika medan magnet pada elemen ini adalah
tersebut adalah
, di mana
besarnya sama dengan luas
, fluks magnetik yang menembus elemen
adalah vektor yang tegak lurus permukaan dan
. Oleh karena itu, fluks magnetik total
yang melewati
permukaan adalah
∫
Fluks magnetik untuk sebuah bidang dengan luas
yang membentuk sudut
dengan
(2.1)
dalam medan magnet homogen
adalah
(2.2)
Jika medan magnet sejajar bidang, seperti pada gambar 2.4a, maka
dan fluks
yang menembus bidang adalah nol. Jika medan magnet tegak lurus bidang, seperti pada
gambar 2.4b, maka
maksimum).
dan fluks yang menembus bidang adalah
(nilai
26
Gambar 2.4. Fluks magnetik menembus bidang yang terletak dalam medan
magnet. (a) Fluks magnetik besarnya nol ketika medan magnetnya
sejajar terhadap permukaan bidang. (b) Fluks magnetik besarnya
maksimum ketika medan magnetnya tegak lurus terhadap
permukaan bidang.
Satuan fluks magnetik adalah
, di mana didefinisikan dalam satuan weber (Wb);
.
2. Hukum Induksi Faraday
Untuk melihat bagaimana suatu ggl dapat diinduksikan oleh sebuah medan
magnet yang berubah, bayangkan sebuah loop kawat yang terhubung dengan sebuah
ammeter sensitif, seperti diilustrasikan pada gambar 2.5. Ketika sebuah magnet
digerakkan mendekati loop, jarum galvanometer akan bergerak ke suatu arah,
ditunjukkan ke kanan pada gambar 2.5a. Ketika magnet tersebut didiamkan relatif
terhadap loop (gambar 2.5b), tidak ada pergerakan jarum jam yang teramati. Ketika
magnet digerakkan menjauh dari loop, jarum akan mengarah ke arah yang berlawanan,
seperti diperlihatkan pada gambar 2.5c. Terakhir, jika magnet didiamkan dan loop
digerakkan mendekat atau menjauh, jarum akan bergerak. Dari pengamatan ini, dapat
disimpulkan bahwa loop tersebut mendeteksi pergerakan magnet relatif terhadapnya dan
kita kaitkan deteksi ini dengan perubahan dalam medan magnet. Dengan demikian,
terlihat bahwa terdapat hubungan antara arus dan medan magnet yang berubah.
27
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.5. (a) Sebuah magnet digerakkan mendekati loop yang terhubung
dengan ammeter, ammeter bergerak menandakan bahwa sebuah
arus diinduksikan dalam loop. (b) Magnet didiamkan, tidak ada arus
yang terinduksi dalam loop, bahkan ketika magnet berada di dalam
loop. (c) Magnet dijauhkan dari loop, ammeter bergerak pada arah
yang berlawanan.
(Sumber: J. D. Wilson & A. J. Buffa)
Eksperimen yang dilakukan oleh Faraday diilustrasikan pada gambar 2.6.
Sebuah kumparan primer dihubungkan dengan sebuah sakelar dan baterai. Kumparan
tersebut dililitkan pada sebuah cincin besi, dan arus pada kumparan dihasilkan oleh
sebuah medan magnet ketika sakelar ditutup. Sebuah kumparan sekunder juga dililitkan
pada cincin dan dihubungkan dengan sebuah ammeter sensitif. Tidak ada baterai pada
rangkaian sekunder, dan kumparan sekunder tidak terhubung secara elektrik dengan
kumparan primer. Arus apapun yang terdeteksi di rangkaian sekunder pastilah diinduksi
oleh penyebab eksternal.
28
Gambar 2.6. Eksperimen Faraday
Ketika sakelar ditutup, jarum galvanometer mengarah ke salah satu arah dan
segera kembali ke nol. Ketika sakelar dibuka, jarum tersebut mengarah ke arah yang
berlawanan dan kemudian juga segera kembali ke nol. Terakhir, galvanometer
menunjukkan nilai nol ketika terdapat arus tunak atau tidak ada arus di rangkaian
primer.
Sebagai hasil dari pengamatan ini, Faraday menyimpulkan bahwa sebuah arus
listrik dapat diinduksikan dalam suatu rangkaian oleh suatu medan magnet yang
berubah-ubah. Arus induksi muncul hanya untuk waktu yang singkat ketika medan
magnet yang menembus kumparan sekunder berubah. Ketika medan magnetnya
mencapai nilai yang tetap, arus dalam kumparan sekunder menghilang. Efeknya,
rangkaian sekunder berperilaku seperti ketika sebuah sumber ggl dihubungkan untuk
waktu yang singkat.
Eksperimen yang ditunjukkan pada gambar 2.5 dan 2.6 memiliki satu
persamaan. Pada masing-masing kasus, suatu ggl diinduksikan pada rangkaian ketika
fluks magnetik yang menembus rangkaian berubah terhadap waktu. Secara umum,
Ggl induksi pada suatu rangkaian sebanding dengan laju perubahan fluks magnetik yang
menembus rangkaian.
Pernyataan ini, dikenal sebagai hukum induksi Faraday, dapat dituliskan dalam suatu
persamaan matematis
29
(2.3)
Di mana
∫
adalah fluks magnetik yang menembus rangkaian.
Jika rangkaiannya merupakan sebuah kumparan yang terdiri atas N loop dengan
luas yang sama dan jika
adalah fluks magnetik yang menembus satu loop, maka
suatu ggl diinduksikan di setiap loop. Loop-loop tersebut terangkai seri sehingga gglnya dijumlahkan. Jadi, ggl induksi total diberikan oleh persamaan
(2.4)
Misalkan sebuah loop melingkupi luas A yang terletak pada medan magnet
homogen B, seperti pada gambar 2.7. Jika fluks magnetik yang menembus loop sama
dengan
, maka ggl induksinya dapat dinyatakan sebagai
(
)
(2.5)
Loop dengan
luas A
Gambar 2.7. Sebuah loop konduktor melingkupi luas A
pada medan magnet homogen B.
Dari persamaan ini, kita lihat bahwa suatu ggl dapat diinduksikan pada rangkaian
dengan beberapa cara:

Besar B dapat diubah terhadap waktu.

Luas daerah yang dilingkupi loop dapat diubah terhadap waktu.

Sudut

Semua gabungan dari cara-cara di atas juga dapat menimbulkan ggl.
antara B dan garis normal loop dapat diubah terhadap waktu.
3. Gaya Gerak Listrik Gerak
Gaya gerak listrik (ggl) gerak merupakan ggl yang terinduksi pada sebuah
konduktor yang bergerak menembus suatu medan magnet konstan. Konduktor lurus
dengan panjang yang ditunjukkan pada gambar 2.8 bergerak menembus sebuah medan
magnet homogen yang mengarah ke dalam bidang kertas.
30
v
Gambar 2.8. Sebuah konduktor listrik lurus dengan panjang bergerak dengan
kecepatan v menembus sebuah medan magnet homogen B yang
mengarah tegak lurus v.
Asumsikan bahwa konduktor tersebut bergerak pada arah yang tegak lurus
medan dengan kecepatan konstan di bawah pengaruh suatu penyebab eksternal.
Elektron dalam konduktor mengalami gaya
yang arahnya sepanjang ,
tegak lurus v dan B. Di bawah pengaruh gaya ini, elektron bergerak ke arah ujung
bawah konduktor dan berkumpul di ujung bawah konduktor, menyebabkan
terkumpulnya muatan positif pada ujung atas konduktor. Sebagai akibat pemisahan
muatan ini, sebuah medan listrik E dihasilkan di dalam konduktor. Muatan berkumpul
di kedua ujung hingga gaya magnetik ke bawah
di konduktor diimbangi oleh gaya listrik ke atas
pada muatan-muatan yang tersisa
. Pada keadaan ini, elektron
hanya melakukan gerakan termal acak. Kondisi keseimbangan mensyaratkan
atau
(2.6)
Medan listrik yang dihasilkan pada konduktor dihubungkan dengan beda potensial di
sepanjang
ujung
konduktor
oleh
persamaan
.
Jadi,
untuk
kondisi
kesetimbangan
(2.7)
di mana ujung atas konduktor pada gambar 2.8 berada pada potensial listrik yang lebih
tinggi dibandingkan dengan ujung bawahnya. Dengan demikian, suatu beda potensial
tetap berada di antara ujung konduktor selama konduktor tersebut terus
bergerak menembus medan magnet homogen. Jika arah geraknya dibalikkan, maka
polaritas beda potensialnya juga dibalikkan.
31
4. Hukum Lenz
Hukum Faraday menandakan bahwa ggl induksi dan perubahan fluks mamiliki
tanda aljabar yang berlawanan. Hal ini merupakan interpretasi fisika yang sangat nyata,
yang dikenal sebagai hukum Lenz:
“Arus induksi pada loop muncul dengan arah yang menghasilkan sebuah medan magnet
yang melawan perubahan fluks magnetik yang menembus daerah yang dilingkupi oleh
loop”.
Artinya, arus induksi cenderung mencegah perubahan fluks magnetik awal yang
menembus rangkaian.
B
Gambar 2.9. Sebuah batang bergeser ke arah kanan pada dua rel
konduktor yang diam
Sebuah batang bergerak ke kanan pada dua rel sejajar di dalam medan magnet
homogen (medan magnet eksternal, gambar 2.9). Ketika batang bergerak ke kanan,
fluks magnetik yang menembus daerah yang dilingkupi oleh rangkaian, meningkat
terhadap waktu karena luasnya bertambah. Hukum Lenz menyatakan bahwa arus
induksi harus berarah sedemikian hingga medan magnet yang dihasilkannya melawan
perubahan fluks magnetik eksternal. Oleh karena fluks magnetik akibat medan eksternal
yang diarahkan ke dalam bidang kertas bertambah besar, maka arus terinduksi. Jika
ingin melawan perubahan ini, maka harus menghasilkan medan magnet yang arahnya
keluar bidang kertas. Dan berlaku sebaliknya jika batang bergerak ke kiri.
32
5. Ggl Induksi dan Medan Listrik
Telah diketahui bahwa perubahan fluks magnetik dapat menginduksikan suatu
ggl dan suatu arus pada loop konduktor. Kita dapat memperoleh suatu pernyataan
berdasarkan analogi pada konsep kelistrikan bahwa sebuah medan listrik dapat
diciptakan pada konduktor sebagai akibat dari fluks magnetik yang berubah.
Medan listrik yang terinduksi ini bersifat non-konservatif, tidak seperti medan
elektrostatik yang dihasilkan oleh muatan stasioner. Kita dapat mengilustrasikan hal ini
dengan membayangkan sebuah loop konduktor dengan jari-jari r yang diletakkan dalam
medan magnet homogen yang tegak lurus bidang loop, seperti pada gambar 2.10.
B
Gambar 2.10. Sebuah loop konduktor dengan jari-jari r dalam
medan magnet homogen yang tegak lurus bidang
loop.
Jika medan magnet berubah terhadap waktu, maka menurut hukum Faraday,
suatu ggl
⁄
akan diinduksikan dalam loop. Induksi sebuah arus pada loop
menandakan keberadaan sebuah medan listrik terinduksi E yang harus tangensial
terhadap loop karena ini adalah arah di mana muatan-muatan dalam kawat bergerak
dalam rangka merespons gaya listriknya. Usaha yang dilakukan oleh medan listrik
untuk menggerakkan sebuah muatan uji q sebanyak satu kali mengelilingi loop sama
dengan
. Oleh karena gaya listrik yang bekerja pada muatan adalah qE, maka usaha
yang dilakukan oleh medan listrik untuk menggerakkan muatan satu kali di sekeliling
loop adalah qE(2πr), di mana 2πr adalah keliling loop. Kedua persamaan untuk usaha
ini harus setara sehingga kita dapatka
(
)
(2.8)
33
(2.9)
Menggunakan persamaan ini dengan persamaan hukun Faraday dan fakta bahwa
untuk sebuah loop lingkaran, kita dapatkan bahwa medan listrik
yang terinduksi dapat ditulis sebagai
(2.10)
Gaya gerak listrik (ggl) untuk sembarang lintasan tertutup dapat dituliskan
sebagai integral garis
sepanjang lintasan
∮
. Dalam kasus yang lebih
umum, E boleh tidak konstan dan lintasannya boleh tidak lingkaran. Jadi, hukum
⁄ , dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut.
induksi Faraday,
∮
(2.11)
Medan listrik yang terinduksi E adalah medan nonkonservatif yang dihasilkan
oleh medan magnet yang berubah. Medan E yang memenuhi persamaan 2.11 tidak
mungkin berupa medan elektrostatik karena jika medannya elektrostatik dan
konservatif, maka integral garis
sepanjang loop tertutup akan nol.
Hal ini
bertentangan dengan persamaan 2.11.
6. Generator dan Motor
Generator listrik menerima energi dalam bentuk usaha dan menyalurkannya
keluar melalui transmisi listrik. Generator arus bolak-balik (AC) diilustrasikan pada
gambar 2.11a. Dalam bentuknya yang paling sederhana, generator terdiri atas sebuah
loop kawat yang dirotasikan oleh suatu cara eksternal dalam sebuah medan magnet.
Gambar 2.11. (a) Diagram skema sebuah generator AC. (b) Grafik ggl bolak-balik
fungsi waktu.
34
Pada pembangkit listrik komersial, energi yang dibutuhkan untuk merotasikan
loop dapat diperoleh dari berbagai sumber. Contohnya, pada pembangkit listrik tenaga
air, air terjun diarahkan pada ujung turbin untuk menghasilkan gerak rotasi. Pada
pembangkit listrik tenaga batu bara, energi yang dilepaskan pada pembakaran batu bara
digunakan untuk mengubah air menjadi uap, dan uap ini diarahkan ke bilah-bilah turbin.
Ketika loop berotasi dalam medan magnet, fluks magnetik yang menembus luas yang
dilingkupi oleh loop berubah terhadap waktu. Hal ini menginduksikan suatu ggl dan
sebuah arus pada loop berdasarkan hukum Faraday. Ujung loop dihubungkan pada
cincin-cincin slip yang berotasi bersama loop. Hubungan dari cincin-cincin slip yang
berfungsi sebagai terminal-terminal keluarandari generator ke rangkaian eksternal
diberikan oleh sikat-sikat stasioner yang bersentuhan dengan cincin-cincin slip ini.
Gambar 2.12. Sebuah loop yang melingkupi luas A dan memiliki N
lilitan berotasi dengan kelajuan sudut konstan
dalam
medan magnet.
Misalkan untuk satu lilitan loop memiliki N lilitan, semua dengan luas A yang
sama dan berotasi dalam medan magnet dengan kecepatan sudut konstan
. Jika
adalah sudut antara medan magnet dan bidang normal loop, seperti gambar 2.12, maka
fluks magnetik yang menembus loop pada sembarang waktu t adalah
(2.12)
Dengan demikian, ggl induksi pada kumparan adalah
(
)
(2.13)
35
Hasil ini menunjukkan bahwa ggl tersebut berubah secara sinusoidal terhadap waktu,
seperti grafik yang digambarkan pada gambar 2.11b. Dari persamaan 2.13 maka ggl
maksimum memiliki nilai
(2.14)
yang terjadi ketika
atau
. Dengan kata lain,
ketika medan
magnet berada di dalam bidang kumparan dan laju perubahan fluksnya maksimum.
Selain itu, gglnya nol ketika
atau
, yaitu ketika B tegak lurus bidang
kumparan dan laju perubahan fluksnya adalah nol.
Generator arus searah (DC) diilustrasikan pada gambar 2.13a. Generator DC
ini digunakan, misal dalam mobil-mobil lama untuk mengisi aki. Komponen generator
DC pda dasarnya sama dengan generator AC, kecuali yang bersentuhan dengan loop
yang berotasi dibuat menggunakan sebuah cincin split yang disebut komutator.
Gambar 2.13. (a) Diagram skema sebuah generator DC. (b) Grafik ggl
fungsi waktu.
Tegangan keluarannya selalu memiliki polaritas yang sama dan berbentuk pulsa
yang berubah seiring waktu, seperti ditunjukkan pada gambar 2.13b. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa bagian yang bersentuhan dengan cincin split membalikkan fungsinya
setiap setengah siklus. Pada waktu yang sama, polaritas ggl induksi juga terbalik
sehingga polaritas cincin split tetap sama.
Arus DC yang berbentuk pulsa ini tidak cocok untuk sebagian besar peralatan
listrik. Untuk mendapatkan arus DC yang lebih stabil, generator DC komersial
menggunakan banyak kumparan dan komutator yang terdistribusi sedemikian hingga
36
pulsa sinusoidal dari berbagai kumparan saling berbeda fase. Ketika pulsa-pulsa ini
digabungkan seluruhnya, keluaran DC-nya nyaris tidak berfluktuasi.
Motor adalah peralatan yang menerima energi dalam bentuk transmisi listrik
dan menyalurkan energi dalam bentuk usaha. Motor listrik adalah kebalikan dari
generator. Motor menghasilkan arus dengan merotasikan suatu kumparan, suatu arus
diberikan pada kumparan oleh baterai dan torsi yang bekerja pada kumparan yang
berarus menyebabkan berotasi.
Usaha mekanis yang bermanfaat dapat dilakukan dengan cara menempelkan
kumparan yang berputar ini pada suatu alat eksternal. Akan tetapi, ketika kumparan
berotasi dalam medan magnet, fluks magnetik yang berubah menginduksikan suatu ggl
pada kumparan. Ggl induksi ini selalu bekerja sedemikian hingga ia mengurangi arus
pada kumparan. Jika tidak demikian, maka bertentangan dengan hukum Lenz. Besar ggl
balik meningkat ketika laju rotasi kumparan meningkat (Istilah ggl balik digunakan
untuk menandakan suatu ggl yang cenderung mengurangi arus yang diberikan). Oleh
karena tegangan yang ada untuk memberikan arus sama dengan selisih antara tegangan
yang diberikan dan ggl balik, maka arus pada kumparan yang berotasi dibatasi oleh ggl
balik.
Ketika sebuah motor dinyalakan, tidak ada ggl balik sehingga arusnya sangat
besar karena hanya dibatasi oleh hambatan kumparan. Ketika kumparan mulai berotasi,
ggl balik yang diinduksikan melawan tegangan yang diberikan dan arus pada kumparan
berkurang. Jika beban mekanis bertambah, maka motor akan melambat. Hal ini
menyebabkan ggl baliknya berkurang. Berkurangnya ggl balik ini akan meningkatkan
arus pada kumparan dan juga meningkatkan daya yang dibutuhkan dari sumber
tegangan eksternal. Oleh karena alasan ini, daya yang dibutuhkan untuk menyalakan
motor dan menjalankannya lebih besar untuk beban yang berat dibandingkan untuk
beban yang ringan. Jika motornya dibuat untuk bekerja tanpa beban mekanis, maka ggl
balik akan mengurangi arus hingga nilai nilai yang cukup besar untuk mengatasi rugirugi energi akibat energi dalam dan gesekan.
7. Transformator
Transformator adalah suatu perangkat yang dapat mengubah tegangan dan arus
bolak-balik tanpa membuat daya yang disalurkan berubah secara signifikan.
37
Transformator tidak dapat digunakan pada tegangan listrik searah. Dalam bentuknya
yang paling sederhana, sebuah trafo AC terdiri atas N lilitan kawat primer dan N lilitan
kawat sekunder pada inti besi yang sama, seperti pada gambar 2.14. Kumparan di
sebelah kiri, yang terhubung dengan tegangan masukan bolak balik dan jumlah lilitan
, disebut lilitan primer. Lilitan di sebelah kanan, yang jumlah lilitannya
dan
terhubung ke resistor beban R, disebut lilitan sekunder. Tujuan penggunaan inti besi
lunak adalah untuk meningkatkan fluks magnetik yang melewati lilitan dan untuk
memberikan suatu medium di mana hampir seluruh garis medan magnet pada lilitan
yang satu dapat melewati lilitan yang lainnya.
Primer
(input)
Sekunder
(output)
Gambar 2.14. Sebuah transformator ideal terdiri N lilitan primer,
N lilitan sekunder pada inti besi yang sama.
(Sumber: Serway & Jewett)
Jika diasumsikan hambatan primernya dapat diabaikan jika dibandingkan
dengan reaktansi induktifnya, maka rangkaian primernya sama dengan rangkaian
sederhana yang terdiri atas induktor yang dihubungkan ke sumber AC. Oleh karena
arusnya berbeda fase
dengan tegangan, maka faktor daya
adalah nol sehingga
daya rata-rata yang dialirkan dari sumber tegangan ke rangkaian primer sama dengan
nol. Hukum Faraday menyatakan bahwa tegangan
pada lilitan primer adalah
(2.15)
di mana
adalah fluks magnetik yang melewati setiap lilitan. Jika diasumsikan bahwa
semua garis medan magnetnya tetap berada di dalam inti besi, maka aliran yang
melewati setiap lilitan dari lilitan primer sama dengan aliran yang melewati masingmasing lilitan sekundernya. Jadi, tegangan yang melewati lilitan sekundernya adalah
(2.16)
38
Menggunakan persamaan 2.15 untuk mendapatkan
dan menyubstitusikan hasilnya
ke dalam persamaan 2.16, maka akan kita temukan bahwa
(2.17)
Ketika
>
, tegangan keluaran
melebihi tegangan masukan
adalah kondisi untuk trafo penaik (step-up). Ketika
<
. Kondisi ini
, tegangan keluaranmenjadi
lebih kecil dari tegangan masukan dan trafo jenis ini adalah trafo penurun (step-down).
Ketika sakelar rangkaian ditutup, arus
akan terinduksi pada lilitan sekunder.
Jika beban pada rangkaian sekunder adalah hambatan murni, maka arus induksinya akan
sefase dengan tegangan induksinya. Daya yang diberikan kepada rangkaian kedua
haruslah berasal dari sumber AC yang dihubungkan dengan rangkaian primer, seperti
pada gambar 2.15. Dalam trafo ideal di mana tidak ada kehilangan daya, daya
yang diberikan oleh sumber sama dengan daya
pada rangkaian sekunder. Artinya,
(2.18)
Gambar 2.15. Diagram rangkaian sebuah transformator.
Nilai hambatan beban
menentukan nilai arus sekunder karena
Selanjutnya, arus di lilitan primer adalah
( )
.
di mana
(2.19)
Adalah hambatan yang ekuivalen dengan hambatan beban ketika dilihat dari sisi lilitan
primer.
39
Sesuai dengan data penulis dari wawancara dan studi literatur, pokok bahasan ini
(induksi elektromagnetik) menimbulkan salah konsep, miskonsepsi, bahkan tidak tahu
konsep. Sebagai contoh, banyak siswa di SMAK Ign Slamet Riyadi yang bingung dalam
penggunaan kaidah tangan kanan untuk menentukan arah medan magnet, penentuan
arah arus induksi pada kumparan yang didekati maupun dijauhi magnet, menentukan
ggl induksi pada kumparan yang bergerak melewati medan magnet. Hal ini pun sejalan
dengan penelitian Wai Meng Thong dan Richard Gunstone (2008) menyebutkan bahwa
terdapat beberapa konsepsi alternatif mengenai induksi elektromagnetik setelah
dilakukan wawancara terhadap siswa. Ternyata di tahun 2001, penelitian Albe dkk
mengungkapkan hal yang sama bahwa mahasiswa mengalami kesulitan dalam
menggunakan hubungan dan model dalam fenomena kemagnetan dan ditemukan bahwa
banyak siswa bermasalah dalam mengasosiasikan persamaan matematik (vektor,
integral kalkulus) dengan deskripsi fisika mengenai medan magnet dan fluks.
B. Penelitian yang Relevan
1.
Penelitian yang telah dilakukan terkait dengan miskonsepsi pernah dilakukan oleh
Ping-Kee Tao dan Richard F. Funstone. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
pada tahun 1999 ini dapat disimpulkan bahwa “Pengalaman pembelajaran
menggunakan simulasi komputer diterima dengan baik oleh siswa dan dapat
digunakan
sebagai
strategi
pembelajaran
perubahan
konsep
yang dapat
mendemonstrasikan pertentangan dengan konsepsi siswa yang ada”. Penelitian ini
hanya terbatas pada pokok bahasan gaya dan gerak. Oleh karena itu perlu
dikembangkan simulasi komputer pada pokok bahasan yang lain.
2.
Albe, dkk (2001) memfokuskan penelitian mengenai penggunaan matematika
dalam pembelajaran elektromagnetik dalam topik medan magnet dan fluks.
Penelitian ini menemukan bahwa banyak siswa yang tidak memahami aspek-aspek
penting dalam situasi fisika. Siswa mengalami kesulitan dalam menggunakan
hubungan dan model dalam fenomena kemagnetan (membangun hubungan antara
konsep dan matematika). Lebih jauh lagi, ditemukan bahwa banyak siswa
bermasalah dalam mengasosiasikan persamaan matematik (vektor, integral
kalkulus) dengan deskripsi fisika mengenai medan magnet dan fluks. Siswa juga
40
mengalami kesulitan dalam penggunaan persamaan dalam situasi dasar. Pemecahan
masalah bagaimana membuat siswa memahami konsep-konsep medan magnet dan
fluks perlu dikembangkan, salah satunya dengan media animasi simulasi komputer
yang disertai demonstrasi.
3.
Wai Meng Thong dan Richard Gunstone (2008) dalam penelitiannya menemukan
konsepsi alternatif mengenai induksi elektromagnetik berdasarkan wawancara
terhadap siswa. Konsepsi alternatif tersebut antara lain: 1) perubahan arus induksi
sebanding dengan arus dalam solenoida, 2) keharusan adanya kontak antara fluks
magnetik dan kumparan luar agar menimbulkan ggl induksi, 3) perbedaan potensial
Coulomb atau elektrostatik dalam medan listrik induksi. Konsepsi alternatif yang
telah ditemukan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam
pembuatan media pembelajaran yang layak dan dapat mereduksi miskonsepsi
siswa.
4.
David S. Richards (2010) memaparkan kesulitan siswa memahami konsep-konsep
dalam induksi elektromagnetik dalam penelitiannya, antara lain:
1) dalam
mempelajari mata pelajaran fisika konsep hukum Faraday pada induksi
elektromagnetik, siswa membutuhkan waktu yang lebih karena dianggap sulit; 2)
konsep medan magnet, fluks, dan induksi elektromagnetik dianggap sebagai
penyebab potensial kesulitan siswa. Alasan untuk kesulitan ini disebabkan
ketidakmampuan siswa untuk berpikir secara kualitatif maupun kuantitatif tentang
konsep. Siswa berjuang untuk membedakan setiap elemen yang terlibat dalam
induksi elektromagnetik dan tidak dapat menghubungkan setiap hubungan kausal
antar komponen. Kesulitan-kesulitan siswa yang ditemukan dalam penelitian ini
dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pembuatan media pembelajaran yang layak
dan dapat mereduksi miskonsepsi siswa.
5.
Ümit Turgut, dkk (2011) dalam penelitiannya mengenai miskonsepsi pada arus
listrik, didapatkan kesimpulan bahwa banyak siswa mengalami miskonsepsi
mengenai konsep arus listrik. Miskonsepsi ini terjadi karena pengalaman keseharian
siswa. Ditambahkan, buku teks dan bahasa keseharian siswa juga menjadi salah
satu penyebab miskonsepsi. Penelitian ini hanya terbatas pada pengungkapan
miskonsepsi pada konsep arus listrik. Sebagai implikasinya, strategi pembelajaran
41
dalam mengatasi miskonsepsi harus didesain dengan benar dan penggunaan bahasa
lisan maupun tulisan harus sesuai dan tidak menimbulkan miskonsepsi pada siswa.
6.
A. Jimoyiannis dan V. Komis (2001) dengan penelitian yang senada, menemukan
bahwa pembelajaran berdasarkan pada simulasi komputer dapat membantu siswa
dalam mengatasi kendala kognitif dan konsepsi alternatif mengenai gerak parabola.
Dalam penelitian ini dijelaskan pula bahwa simulasi komputer dapat digunakan
sebagai media pembelajaran alternatif sebagai sarana untuk memfasilitasi
pemahaman siswa. Penelitian ini memperkuat dugaan bahwa simulasi komputer
dapat digunakan untuk mereduksi konsepsi alternatif siswa mengenai konsepkonsep dalam induksi elektromagnetik.
7.
Sofia L. Tudor (2013) meneliti penggunaan multimedia dalam proses pembelajaran.
Disimpulkan bahwa penggunaan multimedia dalam pembelajaran lebih efisien
dibandingkan pembelajaran tanpa multimedia (konvensional). Pembelajaran
menggunakan multimedia mampu meningkatkan pemahaman siswa, baik dari segi
pengetahuan baru yang mereka dapat, kapasitas pemahaman siswa, maupun dalam
interpretasi mereka.
8.
Ali Kolomuc, dkk (2012) melakukan suatu penelitian mengenai efek penggunaan
animasi dalam pembelajaran untuk mengatasi konsepsi alternatif siswa pada pokok
bahasan perubahan fisika dan kimia. Penelitian quasi-eksperimen ini melibatkan 80
siswa kelas 9. Hasil penelitian mengungkapkan beberapa konsep alternatif siswa
berkaitan dengan perubahan fisika dan kimia. Dari hasil pretes dan postes yang
dilakukan, penggunaan animasi dalam pembelajaran mampu mengurangi konsepsi
alternatif siswa. Kesimpulan lain didapatkan bahwa penggunaan animasi lebih
efektif dalam pembelajaran konsep perubahan fisika dan kimia dibandingkan
pembelajaran konvensional.
9.
Yu-Lung Chen, dkk (2013) meneliti mengenai perbaikan miskonsepsi pada
elektronik menggunakan simulasi dengan model perubahan konsep pada siswa.
Penelitian ini menghasilkan suatu kesimpulan bahwa “Pembelajaran perubahan
konsep dapat memperbaiki miskonsepsi siswa secara efektif. Miskonsepsi pada
dioda dan karakteristik semikonduktor dapat diperbaiki lebih dari 80% kasus.
Sebaliknya, hambatan dalam memperbaiki miskonsepsi siswa berkaitan dengan
definisi dasar tegangan, analisis rangkaian, atau interaksi antara konsep dioda yang
42
berbeda”. Penelitian ini terbatas pada miskonsepsi pokok bahasan dioda serta
karakteristik semikonduktor. Diharapkan animasi simulasi dapat diterapkan untuk
mereduksi miskonsepsi siswa pada konsep induksi elektromagnetik.
10. Mursalin (2013) dalam penelitiannya, “Model Remediasi Miskonsepsi Materi
Rangkaian Listrik dengan Pendekatan Simulasi PhET”, mendapatkan bahwa model
simulasi PhET berbantuan lembar kerja dapat digunakan untuk meremediasi dan
meminimalkan miskonsepsi mahasiswa calon guru fisika.
11. Diane Noviandini (2013) dalam penelitiannya mengenai “Remidiasi Miskonsepsi
Kinematika dengan Umpan Balik Cepat Menggunakan Simulasi Komputer dan
Demonstrasi”, menyimpulkan bahwa penggunaan metode umpan balik cepat
berbantuan simulasi komputer dan demonstrasi efektif dalam meningkatkan
pemahaman konsep dan mereduksi miskonsepsi kinematika.
C. Kerangka Pemikiran
Penelitian yang telah banyak dilakukan saat ini menunjukkan bahwa
miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik dapat bersifat resisten dan tanpa batas
budaya. Konsep-konsep yang salah atau miskonsepsi tersebut akan mengakibatkan
peserta didik mengalami kesalahan juga untuk konsep pada tingkat berikutnya atau
ketidakmampuan menghubungkan antar konsep. Hal ini mengakibatkan terjadinya
rantai kesalahan konsep yang tidak terputus karena konsep awal yang telah dimiliki
akan dijadikan sebagai dasar belajar konsep selanjutnya.
Miskonsepsi yang tidak tepat ini harus dibongkar dari otak siswa dan diganti dengan
konsepsi yang benar. Prinsip dasar yang umumnya disepakati untuk mereduksi miskonsepsi
antara lain sebagai berikut: (1) Sebelum mempelajari suatu konsep secara formal, siswa
sudah memiliki pengetahuan atau pengalaman dengan topik itu, oleh karena itu yang baru
dengan yang lama harus terangkai secara benar dalam otak siswa. (2) Pengetahuan dan
pengalaman sudah menghasilkan struktur pengetahuan di dalam otak, tetapi belum tentu
struktur ini benar. Seringkali pra-konsepsi yang ada ini harus dibongkar. Guru harus sadar
bahwa terkadang perlu membongkar sesuatu dahulu sebelum membangun lagi. (3) Agar
terjadi proses belajar, siswa harus aktif.
SMA Katolik Ign Slamet Riyadi Bojonegoro merupakan salah satu sekolah yang
memiliki siswa dengan latar belakang yang beragam. Ketertarikan sebagian besar siswa
43
SMAK Ign Slamet Riyadi dalam bidang sains terutama fisika rendah disebabkan
anggapan mereka bahwa fisika adalah mata pelajaran sulit yang berisi persamaan fisika
dan hitungan matematis saja. Guru juga memegang peranan penting untuk keberhasilan
siswa dalam mempelajari fisika. Kemampuan guru mengelola kegiatan belajar mengajar
akan mempengaruhi tingkat keberhasilan siswa dalam penguasaan konsep fisika.
Penggunakan metode ceramah dan latihan soal tanpa disertai praktikum dan media
pembelajaran yang tepat dapat menjadi penyebab miskonsepsi pada siswa.
Pembelajaran menggunakan animasi simulasi komputer dan demonstrasi
diharapkan dapat meminimalkan miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Penggunaan
animasi simulasi komputer sangat menguntungkan karena siswa dapat mengulangi
pembelajaran secara mandiri dan berulang-ulang tanpa harus didampingi guru, sehingga
mereka lebih cepat memahami konsep secara tepat. Pembelajaran menggunakan metode
demonstrasi mampu membantu mengubah miskonsepsi siswa. Hal ini dikarenakan
siswa dihadapkan pada suatu fenomena yang berlawanan dengan konsepnya sehingga
mengakibatkan konflik kognitif. Melalui konflik kognitif siswa diharapkan menyadari
bahwa konsep yang dimiliki adalah salah, dan akan mengkonstruksi ulang konsepnya.
Download