penyunting jurnal dilema.pmd

advertisement
Jurnal Sosiologi D I L E M A
PERKEMBANGAN CIVIL SOCIETY
DI INDONESIA
Ahmad Zuber
Dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 57126
Abstract
This article describes little bite about the civil society, and also tries to
explain the development of civil society in Indonesia. As Larry Diamond in
“Developing Democracy toward Consolidation” says that Civil society is
the realm of organized social life that is open, voluntary, self generating, at
least partially self supporting, autonomous from the state, and bound by a
legal order or set of shared rules. It is distinct from “society” in general in
that it involves citizens acting collectively in public sphere to express their
interest, passions, preferences, and ideas, to exchange information, to
achieve collective goals, to make demands on the state, to improve the
structure and functioning of the state, and to hold state officials accountable (Diamond, 1999, p.221). In Indonesia, since the Soekarno era until
the Soharto’s rezim, the state could not create a good social and political
sphere for constructing civil society. The state always tries to look for the
way for getting the loyalty from the society through the political jargons
which seem rational. In Soekarno era, a jargon of “Kontra Revolusioner”
was created. While in Soeharto era, a jargon of “Anti Pembangunan and
anti Pancasila” was created. Those two political jargons were given to
them who were critical and who opposed the government. Therefore the
development of civil society in Indonesia is still far from ideal.
Kata Kunci : Civil Society
Sampai saat ini, negara sangat
dirasakan sebagai sebuah organisasi yang
memiliki kewenangan penuh untuk mengatur
dan menundukkan rakyatnya melalui sebuah
alat negara (terutama birokrasi dan
Militer). Di sisi lain Rakyat dipahami oleh
52
negara sebagai sesuatu yang sangat lemah,
tidak berdaya, tidak kreatif, sehingga negara
perlu membe-rikan perlindungan, tuntunan,
dan pengarahan, bahkan paksaan.
Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 17 No. 1 Th 2004
A. Pengertian Civil Society
Ketika kita berbicara tentang civil
society, maka kita harus berbicara tentang
negara. Artinya pembicaraan tentang civil
society tidak bisa dilepaskan dari
pembicaraan tentang negara. Meskipun antara
civil society dan negara memiliki batas-batas
sendiri. Namun diantara keduanya tidak perlu
dijadikan lawan persaingan di dalam
memperebutkan kepentingan/tujuannya
masing-masing. Keduanya baik civil society
maupun negara dapat saling menghargai
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Abdul Gafar
Karim, M.A dapat memberikan gambaran
yang cukup baik tentang perkembangan
pemikiran makna civil society. Menurut
Abdul Gafar Karim (2002, hal.1) dengan
mendasarkan referensi Neera Chandoke
(1995), Jean l. Cohen dan Andrew Arato
(1992), Ernest Gelner (1995) dan Amalinda
Savirani (2000), perkembangan pemikiran
tentang civil society dapat dilacak dari tokoh
pemikir Aristoteles (384-322 SM), Hobbes
(1588-1679), John Locke (1632-1704),
Montesquieu (1689-1755), Fergison di abad
ke-18, Flegel (1770-1831), dan Tocqueville
(1805-1883). Dalam pemikiran Aristoteles,
civil society dapat ditemukan dalam suatu
pemikiran politik koinonia (latin: societas
civilis), suatu komunitas etis-politis yang
terdiri dari warga negara yang bebas dan
sejajar, dibawah suatu sistem hukum. Namun
dalam pemikiran Aristotelis tersebut masih
belum dibedakan antara negara dan
masyarakat, juga antara masyarakat dan
komunitas. Ide civil society dalam pemikiran
Hobbes dapat ditemukan dalam pemikiran
kontrak sosial yang produknya kekuasaan
yang berdaulat akan memberi ikatan sosial
bagi individu-individu yang betapapun
rasionalnya mereka, secara natural asosial.
Kontrak sosial melahirkan negara bukan
masyarakat. Civil society dalam pemikiran
Locke dapat dilacak dari pemikirannya
Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
tentang kontrak sosial yang produknya adalah
societas civilis dan societas politicus. Di sini
Locke sudah membedakan secara tegas antara
pemerintah dan masyarakat, sekaligus
membedakan secara tegas antara kontrak
sosial dan kontrak pemerintah. Pemikiran
Montisquiue tentang civil society dapat
dilacak dari penggabungan tradisi pemikiran
tentang kontrak sosial dan kontrak
pemerintahan dengan pembagian hukum
Romawi atas civil law (mengatur hubungan
antara warga) dan public atau political law
(mengatur hubungan antara pemerintah dan
masyarakat). Pemerintah: l’etat politique, dan
masyarakat: l’etat civile. Kemudian Locke
dan
Montesquiue
bersama-sama
mengembangkan pemikiran tentang
masyarakat yang dibedakan dari negara
secara pesat. Pemikiran Ferguson tentang civil
society dapat dilacak dari pemikirannya
tentang civil society itu sendiri yang diartikan
sebagai masyarakat yang memiliki lembagalembaga yang otonom yang mampu
mengimbangi negara. Ferguson adalah orang
pertama yang menggunakan istilah civil society yang kemudian dianut hingga saat ini.
Pemikiran Hegel tentang civil society dapat
dilacak dari pemikirannya tentang: (1)
penggabungan tradisi natural law dengan ide
Kant tentang universalitas individu sebagai
pengusung hak dan sekaligus kesadaran
moral. (2) Generalisir pembedaan negara dan
masyarakat yang dikembangkan pada era
pertengahan. (3) mengambil ide-ide Ferguson,
serta suatu disiplin baru politik ekonomi yang
melihat civil society sebagai lokus bagi
peradaban materil. Pemikiran Tocqueville
tentang pemikiran civil society dapat dilacak
dari gagasannya tentang civil society itu
sendiri yang secara sosiologis sebagai
kehadiran asosiasi-asosiasi dalam masyarakat
awal di New England (Amerika Utara).
Formasi negara di Amerika memang diawali
oleh kemunculan asosiasi, negara lahir
belakangan. Tocqueville percaya bahwa
53
Jurnal Sosiologi D I L E M A
kekuatan demokrasi di Amerika adalah
adanya kehadiran asosiasi-asosiasi di tengah
masyarakat.
Apakah makna civil society dan
bagaimanakah civil society dapat eksis di
dalam masyarakat politik, tulisan Neera
Chandoke dalam “State and Civil Society”
(1995), dan Larry diamond dalam “Developing Democracy toward consolidation” (1999)
memberikan pemahaman yang cukup baik.
Menurut Neera Chandoke:
“Civil society can be defined as the site at
which society enters into relationship with the
state. And the values of civil society are those
of political participation, state accountability and publicity of politics. The institution
of civil society are associational and representative forums, a free press and social associations (1995, p.9)”.
Dalam kaitannya dengan peran
negara, ia mengemukakan:
“The civil society argument advocates the self
management of this sphere, through the conscious creation of dense networks of association, self help bodies and social movement.
Social movement in civil society simply reject
the right of the state to intervene in their
projects, and they oppose all effort of the state
to control social life. So the goals of civil society are self limiting, the aim at the construction from below of highly articulated, organized
autonomous and mobilizable civil society”
(1995,p.30-32)
Selain hal yang disebutkan di atas,
masih terdapat pemikiran yang sangat
penting, menurut Chandoke, berkaitan
dengan civil society, yaitu the civility of civil
society: artinya dalam civil society
mengembangkan dan menghargai tata tertib
masyarakat. Dalam hal ini civil society
mengembangkan nilai kerjasama dengan
yang lain, dan tidak harus melawan negara
yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, dan hukum (1995, p.34-37).
Pendapat Diamond tentang civil so-
54
ciety tidak jauh berbeda dengan pemikiran
Chandoke, meskipun di dalam pemikiran Diamond ada hal-hal yang belum disinggung oleh
Chandoke. Untuk itu dalam paper ini perlu
saya kemukakan pemikiran diamond untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap.
Diamond dalam sub pokok bahasan “what civil
society is and is not” mengemukakan:
Civil society is the realm of organized social life
that is open, voluntary, self generating, at least
partially self supporting, autonomous from the state,
and bound by a legal order or set of shared rules. It
is distinct from “society” in general in that it involves citizens acting collectively in public sphere
to express their interest, passions, preferences, and
ideas, to exchange information, to achieve collective goals, to make demands on the state, to improve the structure and functioning of the state, and
to hold state officials accountable (Diamond, 1999,
p.221).
Oleh karena itu, menurut Diamond,
civil society tidak harus membatasi kekuasaan
negara tetapi justru memberikan legitimasi
kewenangan negara ketika kewenangan negara
didasarkan atas aturan hukum.
Sedangkan berkaitan dengan
karakteristik civil society yang demokratik,
Diamond memberikan lima gambaran:
The first, feature concerns how (indeed whether)
an organization formally governs its own internal
affairs. The second feature concerns the goals and
methods of groups in civil society, especially organized association. The chances to develop stable
democracy significantly improve if a society’s array of organizations and movements does not contain maximalist, uncompromising interest group
with undemocratic goals and methods. The third
feature of civil society is its level of organization
institutionalization. As with political parties, institutionalized interest groups contribute to the stability, predictability, and governability of a democratic regime. The fourth feature of civil society
is pluralism. Of course, some degree of pluralism
is necessary by definition for civil society: no organization that is civil society can claim to represent all the interests of its members. The fifth and
final feature is density. Civil society serves democracy best when it is dense in the sheer number of
associations (Diamond, 1999, p.230).
Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 17 No. 1 Th 2004
B. Civil Society di Indonesia
Sebuah tulisan Ketut Suwondo yang
berjudul “Negara dan Civil Society” dalam
majalah Kritis, sangat menarik untuk disimak
jika kita ingin berbicara perjalanan kehidupan
civil society di Indonesia. Dalam tulisan
tersebut Suwondo menjelaskan bahwa sejak
pemerintahan Orde Lama hingga Orde Baru,
civil society tidak dapat berkembang di Indonesia, karena negara Indonesia yang terlalu
dominan terhadap masyarakat dengan
menggunakan pendekatan stabilitas
keamanan (security stability approach).
Pendekatan tersebut mematikan kreatifitas
dan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat
terlalu takut dan cemas untuk bekreatifitas
dan ingin memberdayakan dirinya, karena
harus berhadapan dengan kegarangan negara.
Untuk menggambarkan bagaimana civil society tidak berkembang secara kondusif di
Indonesia, Suwondo menjelaskan dalam
tulisannya terutama berkaitan dengan konsep
hegemoni negara dan perkembangan
kedaulatan rakyat (dalam Kritis, no 3-4, th
IX hal 80-90).
Suwondo dengan mengutip pendapat
Budiman (1990) dan Chandoke (1995)
mengemukakan bahwa pada mulanya konsep
negara belum dikenal, yang dikenal adalah
konsep “Natural Society”, yaitu suatu konsep
tentang masyarakat yang hidup secara
alamiah dan mendasarkan diri pada hukum
alam, siapa yang kuat dialah yang berkuasa.
Untuk mengatasi adanya pertentangan antar
kelompok atau antar individu, kemudian
masyarakat menyerahkan hak kekuasaannya
kepada suatu badan yang disebut negara.
Kekuatan dan hukum alam, kemudian
digantikan oleh kekuatan dan hukum politik
yang kemudian dikenal sebagai ‘political society’.
Menurut Suwondo, konsep negara
kemudian mendapatkan banyak protes ketika
negara bertindak secara absolut dan menindas
masyarakat. Kritik Luther tahun 1517, yang
Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
menentang kekuasaan negara geraja, sebagai
salah satu penentang konsep di atas. Begitu
juga dengan John Locke (1632-1704), seperti
dikutip Suwondo bahwa manusia mempunyai
suatu hak asasi yang tidak dapat diserahkan
maupun dirampas oleh negara. Negara
sebenarnya didirikan bukan untuk merempas
kemerdekaan manusia, tetapi justru untuk
melindungi kemerdekaan manusia.
Di Indonesia, sejak pemerintahan
Soekarno hingga Soehatro, negara tidak
menciptakan iklim sosial politik yang baik
dalam rangka untuk membentuk civil society. Negara selalu mencari-cari alat untuk
mendapatkan kesetiaan dari masyarakat
melalui jargon-jargon yang seakan-akan
rasional. Di jaman Soekarno, diciptakan jargon politik ‘kontra revolosioner’ sebuah
sebutan untuk mereka yang kritis dan tidak
sehaluan dengan presiden saat itu, yaitu
Soekarno. Sedangkan di jaman Soeharto
diciptakan jargon politik “anti pembangunan
dan anti Pancasila” untuk memberi predikat
bagi mereka yang kritis terhadap negara dan
penguasa. Semua cara-cara tersebut di atas
digunakan dalam rangka mencari legitimasi
masyarakat dan juga sebagi contoh
pembentukan sistem ideologi yang hegemonic. Suwondo dengan mengutip pendapat
Gramsci, hegemonic lebih diartikan sebagai
dominasi kelas tertentu terhadap klas lain
lewat kekuatan yang dipunyai lewat
pemeliharaan kesetiaan. Kesetiaan itu
diperoleh melalui serangkaian usaha
reformasi dan kompromi ide-ide yang berasal
dari group yang berbeda dan melalui suatu
usaha. Untuk mempengaruhi pikiran atau
ideologi massa. Dengan kata lain, bahwa
konsep hegemoni yang dikonstruksi oleh
negara Indonesia melalui usaha pembuatan
jargon politik untuk mengelabui masyarakat,
berpengaruh besar tehadap kerdilnya
perkembangan civil society di Indonesia.
Dalam kajian pendekatan birokrasi
otorier, adanya keberhasilan di bidang
55
Jurnal Sosiologi D I L E M A
pembangunan ekonomi di Amerika Latin
(seperti Brasil, Chile, Argentina, Equador)
dan bahkan di negara Asia (seperti Filipina
(1986), Taiwan (1987), Pakistan (1988) dan
Thailand) nampaknya dijadikan acuan atas
pemikiran pendekatan birokrasi militer
namun berhasil di bidang pembangunan
ekonomi dan kemudian mampu menciptakan
kelas menengah yang semakin kuat dan
mampu melakukan bargaining power
terhadap negara (Suwondo, 1998).
Namun Arif Budiman (1991), seperti
yang dikutip Suwondo, mengemukakan
bahwa walaupun Indonesia dan Korea Selatan
sama-sama merupakan negara birokrasi
otoriter yang berhasil membangun
ekonominya, namun proses demokratisasi di
Indonesia tidak secepat di Korea Selatan.
Sampai tahun 1996, Orde Baru masih
merupakan regim yang terlalu kuat sedangkan
masyarakat dapat dikatakan terlalu lemah.
Salah satu faktor yang menyebabkan
lemahnya masyarakat adalah tidak
munculnya kaum borjuis dan kelas menengah
yang mandiri. Untuk memperjelas pendapat
Budiman ini, Suwondo mengutip pendapat
Richard Robinson yang menyatakan bahwa
borjuis dan kelas menengan Indonesia sejak
tahun 1978 sampai yang terakhir tahun 1996
sudah cukup mampu menghimpun kapital
dalam jumlah besar, namun mereka itu tetap
tidak mampu merubah kemampuan sosialekonominya untuk menjadi independen dari
negara dan mampu menegakkan accountability terhadap negara. Hal ini disebabkan karena
negara tetap menjadi sumber kekuatan sosial
ekonomi utama, sehingga keberhasilan kelas
menengah dan borjuis Indonesia sangat
tergantung dari akses mereka terhadap
sumber kekuatan sosial ekonomi negara
seperti pekerjaan, kontrak, monopoli, dan
lisensi.
Dampak dari usaha untuk
memperkuat korporatisasi negara melalui
pendekatan birokrasi militer seperti di atas
56
dapat menyebabkan: (1) pada akhirnya massa
lapisan bawah tidak dapat terus ditekan, (2)
adanya penyempitan partisipasi yang akan
melahirkan krisis lagitimasi negara dan (3)
munculnya keresahan sosial politik, dimana
demokratisasi menjadi tema sentral untuk
dikritik (Suwondo, 1998).
Dari gambaran di atas, tampak bahwa
kekuasaan negara sangat besar sedangkan
kekuatan rakyat sangatlah lemah, sehingga
ada kesenjangan yang tajam antara kekuatan
negara dan kekuatan masyarakat. Dengan
demikan pemerintah (negara) dapat
menentukan dan melaksanakan kegiatannya
dengan semena-mena tanpa ada pertanggungjawaban kepada masyarakat. Hal tersebut
disebabkan karena hanya dengan adanya
kedaulatan rakyat yang seimbang dengan
kekuasaan
negara
sajalah
maka
pertanggungjawaban pemerintah (negara) di
dalam melaksanakan kegiatannya dapat
diminta oleh masyarakat (Suwondo, 1998).
Sedangkan salah satu faktor yang dapat
memberdayakan kedaulatan rakyat sampai
mencapai posisi yang seimbang dengan
kekuasaan negara adalah melalui
pelembagaan dari kedaulatan rakyat.
Secara teoritis pelembagaan
kedalatan rakyat dapat dilakukan dengan tiga
jalan, yaitu: Jalan yang digunakan oleh Plato.
Sebagai filsuf Plato tidak mempersoalkan
pelembagaan, tetapi baginya yang penting
adalah bahwa pemimpin negara yang dipilih
haruslah orang yang bijaksana sehingga akan
dapat memimpin dengan baik dan benar.
1. Jalan yang digunakan oleh kaum pluralis.
Kelompok ini mementingkan adanya
Pemilu untuk menjunjung kedaulatan
rakyat. Menurut kelompok ini, Pemilu dapat
dipakai untuk mengoreksi jalannya
pemerintahan.
2. Jalan yang dianut Montesquieu (19891755), yang memberi penekanan pada
pembedaan kewenangan legislatif,
yudikatif, dan eksekutif (yang dikenal
Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
ISSN : 0215 - 9635, Vol. 17 No. 1 Th 2004
sebagai teori Trias Politica) (Hikam, dalam
Suwondo 1998)
Di Indonesia jalan pertama seakanakan telah ditempuh, yaitu dengan dipilihnya
berulangkali pemimpin di jaman
pemerintahan Soekarno dan Soeharto
menunjukkan bahwa kepemimpinan mereka
adalah cermin dari orang baik dan bijaksana.
Namun dalam kenyataannya, masih sering
dipertanyakan oleh masyarakat tentang
bagaimana pandangan keanggotaan MPR/
DPR tersebut dalam memilih pemimpinpemimpinya. Jalan kedua juga telah
dilakukan di Indonesia yaitu adanya
pemilihan umum tiap lima tahun, namun
dalam kenyataannya cara dan hasil perolehan
wakil rakyat yang kemudian memilih para
pemimpinnya masih sering dipertanyakan
oleh masyarakat. Cara ketigapun seakan-akan
telah dijalankan di Indonesia, namun kesan
terlalu dominannya lembaga eksekutif di atas
lembaga tinggi negara yang lain, membuat
masyarakat selalu bertanya-tanya tentang
konsep trias politika di Indonesia. Di Indonesia, kesan yang muncul di mata masyarakat
bahwa semua proses politik yang dilakukan
oleh negara terutama di era orde baru hanya
semata-mata untuk mendapatkan legitimasi
masyarakat, bukan untuk mengabdikan dan
mewujudkan keberadaan civil society dan
demokrasi itu sendiri.
Kemudian bagaimanakan perkembangan civil society di tahun 2002? Saat ini
civil society di Indonesia belum mampu
dikatakan baik jika tidak mau dikatakan mati.
Pertama, sebagaimana yang dikatakan Hegel,
civil society adalah ruang bebas dari suatu
kehidupan etis yang mempertemukan antara
negara dengan individu atau keluarga dari
suatu masyarakat. Atau sebagaimana yang
dikatakan Diamond, civil society adalah
kenyataan dari kehidupan sosial yang
terorganisir dan bersifat sukarela swadaya dan
terbebas dari tekanan negara, yang terikat
oleh hukum yang berlaku. Kondisi
Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
masyarakat di Indonesia saat ini masih jauh
dari apa yang dikemukakan oleh Hegel dan
Diamond seperti tergambar di atas.
Kedua, civil society yang mampu
menunjang dan membangun kehidupan yang
demokratis, sebagaimana yang digambarkan
oleh Diamond juga masih jauh dari kenyataan
sosial dan politik yang terjadi di Indonesia.
Konsep Diamond, tentang “How civil society
promotes democratic development and consolidation”, di Indonesia masih jauh dari
kenyataan. Diamond (1999) mengemukakan
bahwa civil society yang kuat dapat
membentuk demokrasi kearah perkembangan
yang mendalam dan juga konsolidasi
demokrasi dalam dua belas cara:
The first and most basic democratic function of civil society is to provide “the basis for the
limitation of state power, and the control of the
state by society. The second is to supplement the
role of political parties in stimulating political participation, increasing the political efficacy and skill
of democratic citizens, and promoting an appreciation of the obligations as well as rights of democratic citizenship. The third, education for democracy has become explicit project in new democracies and also an international cause. The fourth is
by structuring multiple channels, beyond the political party such as women and racial or ethnic
minority, for articulating, aggregating, and representing interests. The fifth is by effecting a “transition from clientelism to citizenship” at the local
level. The Sixth, a rich and pluralistic civil society,
particularly in a relatively developed economy,
tends to generate a wide range of interest that may
cross-cut, and so mitigate, the principle polarities
of political conflict. The seventh is recruiting and
training new political leaders. Training emphasizes
not only technical and administrative skills but also
normative standards of public accountability and
transparency. The Eight is by constructing explicitly democracy-building purpose. The ninth is by
disseminating information and so empowering citizens in the collective pursuit and defense of their
interests and values.
The tenth is by playing that mobilization of
new information and understanding are essential
to the achievement of economic reform in a democracy. The eleventh, a growing number of civil society organizations (emanating especially from the
religious and human rights communities) are de-
57
Jurnal Sosiologi D I L E M A
veloping techniques for conflict mediation and
resolution and offering these services. The twelfth,
a vigorous civil society can strengthen the social
foundations of democracy even when its activities
focus on community development and have no
explicit connection to or concern with political
democracy per se.
Menurut saya, dua belas cara yang
bisa dimainkan oleh civil society di atas untuk
membentuk pemerintahan yang demokratis
belum nampak di Indonesia, karena memang
perjalanan civil society di Indonesia masih
dalam taraf mencari bentuk. Dalam praktek
politik, di Indonesia hubungan kepercayaan
yang kuat tidak terletak pada akar horizontal
yang merupakan fondasi bangunan
terbentuknya civil society, tetapi pada akar
vertikal antara pejabat dengan client yang
saling tergantung membentuk budaya patron
client yang ujung-ujungnya sebagai jaringan
kolusi, korupsi dan juga nepotisme. Nampak
sekali dari grass root society, middle class society dan borjuis kota di Indonesia sangat
lemah sekali dihadapan negara. Mengingat
betapa berat resiko perlawanan seperti apa
yang digamarkan oleh Diamond (1994) untuk
memperjuangkan terbentuknya civil cociety
dan juga demokrasi. Kasus yang menimpa
Dele Giwa, insan pers Nigeria, tercobak cabik
tubuhnya oleh bom yang ditaruh pada kotak
bingkisan untuknya, Guilermo Cano terbunuh
pada bulan Desember 1986, Silvia Ducan
pada bulan Februari 1990 keduanya dari
Kolumbia. Evelio B. Javier dari Philipina
tertembak mati dengan 24 butir peluru
tersarang di tubuhnya dan kasusnya tidak
pernah diajukan ke pengadilan, dan juga
kasus Udin di Indonesia. Mereka adalah para
suahada dan pahlawan demokrat dan civil
society dunia.
58
Gambaran di atas bukan mengajak
kita untuk berhenti menegakkan konsep civil
society dan demokrasi, akan tetapi
memberikan pelajaran yang amat penting
pada kita yang tertarik untuk bergerak
menegakkan civil society dan demokrasi
untuk bersikap dan berbuat ekstra hati-hati
dengan dilandasi strategi dan taktik yang
sebaik mungkin untuk melawan kegarangan
maupun kebodohan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Chandoke, Neera. State and Civil Society:
Explanation in Political Theory. New
Delhi: Sage Publication, 1995.
Diamond, Larry. Developing Democracy to
Ward Consolidation. London: The
John Hopkins University Press, 1999.
_____________. Pendahuluan, dalam Larry
Diamond (ed), Revolusi Demokrasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1994.
Karim, Abdul G. Perkembangan Pemikiran
tentang Civil Society, Working paper
di sampaikan dalam acara
perkuliahan Program Magister
Sosiologi FISIPOL Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta: Oktober
2002.
Suwondo, Ketut. Negara dan Civil Society,
dalam “Kritis” Jurnal Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga, No.
3-4, th. IX, Januari – Juni 1998.
Ahmad Zuber “Perkembangan Civil Society di Indonesia”
Download