KUHAP

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 1981 Nomor 76) sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, sebagai pedoman
umum dalam penanganan perkara tindak pidana secara garis besar telah mengatur
mengenai tugas dan kewajiban aparat penegak hukum serta hak-hak bagi warga negara
yang terlibat masalah hukum pidana, dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) diatur mengenai tahapan penanganan perkara yang dibagi dalam
tahap Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Persidangan, Upaya Hukum dan tahap
Eksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas
pada setiap tahap penanganan perkara.
Pembagian tugas aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan
wewenang dibagi secara tegas dalam KUHAP, antara lain Penyidik diberi wewenang
untuk melakukan penyidikan, Jaksa/Penuntut Umum diberi wewenang untuk melakukan
pra penuntutan dan penuntutan, melaksanakan penetapan serta melaksanakan putusan
pengadilan, Hakim diberi wewenang untuk mengadili/ memeriksa dan memutus
perkara, sedangkan Lembaga Pemasyarakatan diberi wewenang melakukan pembinaan
terhadap para nara pidana. Kemudian dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun
2003 tentang Advokat (Lembaran Negara tahun 2003 Nomor 49), selain adanya aparat
penegak hukum seperti tersebut dalam KUHAP maka berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 “Avokat berstatus sebagai penegak hukum bebas dan
… “ sehinga lembaga penegak hukum bertambah satu lagi yaitu Advokat/Penasehat
Hukum yang mempunyai tugas dan wewenang memberi bantuan hukum terhadap
tersangka/terdakwa.
1
Tujuan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah untuk
memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia yang merupakan peninggalan
pemerintah kolonial menjadi sistem peradilan yang berjiwa dan bersumber kepada
sendi-sendi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengkodifikasi hukum
acara pidana yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan. Bahwa hukum acara
pidana yang berlaku sebelum disahkanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 adalah
hukum acara pidana
peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda
Indlandsch Reglement
(HIR)
yang diadopsi
yaitu Herzien
berdasarkan asas konkordansi
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
19451, kemudian ditetapkan berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1946. Dalam hukum acara pidana peninggalan pemerintah kolonial tersebut
walaupun telah dilakukan perubahan-perubahan secara parsial, namun pengaturan hakhak tersangka/ tertuduh belum mendapat tempat yang layak, karena prinsip dari HIR
adalah menempatkan tertuduh sebagai obyek pemeriksaan dan mengejar pengakuan
atas kejahatan yang dituduhkan, sehingga aparat penyidik dapat berlaku dengan
sewenang-wenang untuk mendapat pengakuan atas kesalahan yang dilakukan oleh
tertuduh sehingga upaya paksa, seperti penyiksaan, penekan fisik maupun fisikis seolaholah adalah tindakan yang legal untuk memperoleh pengakuan tertuduh. Dalam HIR
pengakuan dan perlindungan tehadap-hak-hak tertuduh
terutama dalam tahap
pemeriksaan permulaan hampir tidak ada.
Penanggulangan tindak pidana (kejahatan) dengan Sistem Peradilan Pidana yang
bertumpu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). sebagai
pengganti HIR yang telah membagi tugas dan wewenang aparatur penegak hukum
secara tegas, namun dalam menjalankan fungsi tugasnya masing-masing aparat pengak
hukum tetap melakukan koordinasi (kerja sama) yang berkelanjutan,
sebagai satu
kesatuan sistem peradilan . Adapun tujuan utama penanggulangan kejahatan dengan
Sistem Peradilan Pidana adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
1
Dimyati, Khudzaifah, 2004,, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum
di Indonesia 1945-1990, Muhamadyah University Pers, Surakarta, hal. 4
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi kejahatan 2.
Dilihat dari tata cara (hukum formil) penanganan pekara tindak pidana
dalam
praktek dibedakan atas :
1. Perkara Tindak Pidana umum, yaitu jenis perkara tindak pidana yang proses
pemeriksaanya semata-mata berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Perkara Tindak Pidana Khusus, yaitu jenis perkara tindak pidana yang dalam
perundang-undangannya didsamping mengatur ketentuan hukum materiil juga
mengatur hukum acara pidana
secara khusus disamping juga secara umum tetap
berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti
penanganan perkara tindak pidana korupsi, penanganan perkara tindak pidana HAM
berat, tindak pidana perikanan dan lain-lain.
Pelaksanaan penanggulangan kejahatan yang berlandaskan kepada Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu tidak boleh mengabaikan perlindungan
dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya bagi warga negara yang
terlibat masalah hukum pidana, secara garis besar Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) telah mengatur mengenai perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 74 KUHAP. yang
pada pokoknya menentukan : hak-hak tersangka seperti hak segera diperiksa (diambil
keterangan) oleh penyidik, hak mengetahui atas tindak pidana yang disangkakan kepada
dirinya, hak memberikan keterangan secara bebas, hak mendapat bantuan hukum, hak
mendapat bantuan juru bahasa,hak
menghubungi penasehat hukum, menerima
kunjungan dokter, hak menerima kunjungan keluarga, hak mengirim dan menerima
surat dari penasehat hukum dan keluarga, hak menerima kunjungan rohaniwan, hak
mengajukan saksi – ahli yang menguntungkan, hak menuntut ganti rugi, hak dihubungi
oleh penasehat hukum dan pendampingan ,
hak mendapat turunan berita acara
pemeriksaan .
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai karya besar
Bangsa Indonesia yang merupakan pedoman umum dalam penanganan perkara tindak
pidana
2
secara teori maupun praktek ternyata masih banyak terdapat kekurangan dan
Ibid, hal 74-75
kelemahan, baik karena rumusan pasal yang kurang jelas, terjadinya tumpang tindih
ketentuan maupun
adanya kekosongan norma, sehingga memerlukan berbagai
penafsiran dalam pelaksanaanya baik oleh kaum praktisi, akademisi serta kalangan
penegak hukum. Keadaan yang demikian itu memberi peluang kepada aparat penegak
hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat bertindak sewenang-wenang,
dan masyarakat mulai merasa tidak puas atas jalannya penegakan hukum di negeri kita
yang dipandang tidak memberi kepastian hukum, rasa keadilan,
serta manfaat yang
optimal.
Mhd.Shiddiq Tgk Armia menyatakan “ memang akhir-akhir ini banyak komentar
dari pakar, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan juga para birokrat, bertalian dengan
kondisi bagian-bagian dari sistem peradilan pidana. bahkan juga semakin gencar dan
tajam suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum dewasa ini sudah sampai pada
titik terendah”3. Pernyataan pesimistis masyarakat pada dasarnya menghendaki segera
dilakukannya perbaikan / penyempurnaan dari pada sistem peradilan pidana termasuk
substansi hukumnya disamping juga masalah struktur hukumnya4.
perkembangan
kehidupan
masyarakat
yang
moder
dan
Sejalan dengan
komplek,
mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin mutakhir dan tuntutan
akan pemajuan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia dalam bidang
hukum, sosial maupun ekonomi, sangat mudah diucapkan dan sulit untuk dilaksanakan
yang disebabkan ketidaksempurnaan dari hukum acara pidana dan sikap mental dari
aparatur penegak hukum itu sendiri.
Aparatur penegakan hukum dalam praktek sampai saat ini masih menunjukan
sikap arogansi dan fragmentaris atas kewenangan yang dimiliki masing-masing, dalam
tahap penyidikan perkara sering terjadi tarik menarik antara kewenangan penyidik Polri
dengan penyidik PPNS yang pada ujungnya menjadi korban adalah masyarakat pencari
keadilan termasuk di dalamnya tersangka. Keadaan prilaku aparat penegak hukum
tersebut disoroti oleh Ronald D. Dworkin, yang menyatakan:
…ada sejumlah besar fenomena, maka hati kecil kita, apakah itu hati kecil
penyidik, hati kecil jaksa atau hati kecil pengacara, sulit mengakui bahwa sejak
sejumlah tahun terakhir ini yang namanya proses penegakan hukum telah
3
Armia, Mhd. Sidiq Tgk., Op.Cit, hal. 85
4
Sujata, Antonoius, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, hal.39.
kehilangan fondasinya yaitu prinsip moral, sehingga sah kiranya, apabila
disimpulkan bahwa sejak sejumlah tahun terakhir ini profesi hukum dan proses
penegakan hukum dilanda demoralisasi. Dalam proses demoralisasi itu, maka
tidak heran bilamana pepatah kuno China yang berbunyi “It’s better to enter the
mounth of tiger then a court of law” kian lama kian dirasakan kebenaranya5
Penyidikan suatu perkara dihitung sejak mulai penyidik memberitahukan tindakan
penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum banyak yang belum/tidak ditindak lanjuti
dengan pengiriman berkas perkara tahap pertama dalam waktu lebih dari 6 (enam) bulan
bahkan 1(satu) tahun, penyelesaian perkara tidak berdasarkan urutan masuknya laporan
/pengaduan atau kejadian, marak terjadi mafia peradilan.
Atas tindakan penyidik
tersebut masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja penyidik melakukan upayaupaya seperti membuat laporan/pengaduan kepada atasan penyidik, kepada Komisi
Kepolisian Nasional ( Kompolnas) mengenai kinerja penyidik dalam penanganan
perkara. Keadaan tersebut juga bisa memicu masyarakat ingin menyelesaikan kasus
dengan cara-cara diluar hukum (main hakim sendiri) bila menjadi korban atau menemui
suatu tindak pidana, karena ketidak percayaanya tehadap kinerja aparat penyidik.
Diwilayah hukum Kejaksaan Tinggi Bali ditemukan permasalahan penanganan
perkara pada tahap penyidikan yang berlarut-larut dan berakibat tidak memberikan
kepastian hukum, rasa keadilan sehingga pihak-pihak terkait dalam perkara tersebut
merasa tidak puas atas kinerja penyidik, seperti :
1. SURYATIN LIJAYA, SH selaku kuasa dari H MADRAIS dkk berdasarkan surat
pengaduan Nomor 04/SL/XI/2013 tanggal 25 Nopember 2013 telah melaporkan
kinerja aparat penegak hukum dalam penangan perkara dugaan tindak pidana
penggelapan dan penipuan atas nama tersangka Putu Surya Jaya, dkk.
bahwa
laporan tentang dugaan tindak pidana penipuan tersebut sudah dilaporkan sejak
tahun 2012 ke penyidik Polda Bali, namun sampai tahun 2014 penyidikan perkara
tersebut belum selesai. (SPDP) Nomor :B/41/II/2012/Dit. Reskrimum tangal 21
Pebruari 2012
atas nama tersangka Putu Surya Jaya, dkk. diterima di Kejati Bali
tanggal 30 Oktober 2012
2. JACOB ANTOLIS, SH. MH.MM adalah kuasa dari RITA KISHORE KUMAR
PRIDHANI, melaporkan mengenai penanganan perkara pada tahap penyidikan yaitu
5
D.Dworkin, Ronald, dalam Buletin KHN, 2002, Demokrrasi dan Rekruitmen serta Pembinaan
Profesi Hukum, Edisi Juni, Jakarta, hal. 14
klien pelapor telah melaporkan permasalah hukum tersebut ke pihak Kepolisian
Polda Bali sejak tanggal 25 Juni 2011 yang diterima di Polda Bali tanggal 25 Juni
2011
sesuai
Bukti
Surat
Laporan
Polisi
Nomor
:
Pol.
LP/233/VI/2011/Bali/Dit.Reskrim tanggal 25 Juni 2011, namun sampai tahun 2014
belum ada tindak lanjut penyelesaian kasusnya. SPDP perkara tersebut telah dikirim
oleh Penyidik Polda Bali sesuai surat Nomor B/242/XII/2011/Dit.Reskrimum
tanggal 15 Desember 2011.
H.R.Abdussalam (mantan penyidik) menyajikan data penyelesaian penanganan
beberapa perkara sebagai berikut :
a. Perkara pencurian kendaraan bermotor penyelesaian melalui proses hukum
sampai memperoleh kekuatan hukum tetap hanya mencapai 5(lima) persen,
sedangkan selebihnya banyak yang dilaporkan oleh masyarakat namun
penyelesaianya tidak ada kepastian.
b. Kasus tindak pidana penggelapan penyelesaian perkara dalam proses hukum
hanya mencapai 30% (tiga puluh) persen sedangkan sisanya ada yang
dihentikan dan ada juga yang berlarut-larut tanpa kepastian hukum6.
Penanganan penyidikan perkara tindak pidana umum diawal tahun 2015 kembali
memperlihatkan ketidak pastianya, antara lain dalam penyidikan perkara:
1. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka B.W. .(Wakil Ketua
KPK non aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 242 KUHP, BW telah ditetapkan sebagai tersangka oleh
penyidik sejak bulan Januari 2015, setelah proses penyidikan berlangsung kurang
lebih 2 bulan, pihak penyidik menyatakan penyidikan kasus tersebut ditunda
penanganannya sampai waktu yang tidak ditentukan.
2. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka A.S.(Ketua KPK non
aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 263 KUHP, A.S. ditetapkan sebagai tersangka sejak bulan Pebruari
2015 setelah penyidikan berlangsung kurang lebih satu bulan penyidik menyatakan
penyidikan perkara tersebut ditunda sampai bataas waktu yang tidak ditentukan
Bahwa penundaan proses penyidikan perkara atas nama tersangka B.W. maupun
tersangka A.S.
tidak ditentukan batas waktunya oleh penyidik dan tidak pernah
disampaikan alasan penundaan perkara tersebut apakah kurang alat bukti atau karena
sebab lain.
6
Ibid. hal 684-685
Penetapan B.W. maupun A.S. sebagai tersangka oleh penyidik telah menimbulkan
perampasan sejumlah hak dari tersangka, diantaranya menduduki jabatan tertentu
(mencari pekerjaan). Selanjutnya dengan dilakukan penundaan proses penyidikan yang
tidak dibatasi waktu tersebut sudah dipastikan juga merampas sejumlah hak-hak
tersangka seperti, hak untuk segera diajukan ke penuntut umum, untuk selanjutnya oleh
penuntut umum segera diajukan ke persidangan, hak melakukan pembelaan. Dengan
status tersangka yang disandang oleh B.W. maupun A.S. maka hak yang bersangkutan
untuk maju ke panggung politik juga terampas.
Terjadinya penanganan perkara pidana (umum) yang berlarut-larut khususnya
pada tahap penyidikan disebabkan karena dalam ketentuan hukum acara pidana (
KUHAP) terjadi kekosongan hukum ( vacuum of law) yaitu tidak adanya ketentuan
batas waktu berapa lama proses penyidikan perkara tindak pidana (umum) harus
diselesaikan dan oleh karena itu KUHAP harus segera direvisi atau diperbaharui dan
dalam hukum acara pidana yang akan datang ( Ius Constituendum) diatur secara tegas
mengenai batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum serta lebih
memperhatikan masalah perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi tersangka, saksi
korban maupun saksi-saksi pada umumnya.
Memperhatikan
berbagai permasalahan hukum yang terjadi dalam proses
penanganan perkara tindak pidana pada tahap penyidikan, cukup menarik perhatian
penulis untuk mengangkat judul
PENYIDIKAN TINDAK
CONSTITUTUM
TERKAIT
tesis, “ KETENTUAN BATAS WAKTU
PIDANA
DENGAN
UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS
PERLINDUNGAN
HAK
ASASI
TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA (IUS
CONSTITUENDUM) ”
1.2. Rumusan masalah
Dari
uraian latar belakang masalah seperti tersebut diatas penulis dapat
merumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan
perlindungan hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)?
b. Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum
dalam hukum acara pidana yang akan datang ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam setiap penulisan tesis diperlukan adanya suatu ketegasan tentang materi
yang diuraikan, hal ini dimaksudkan untuk membatasi agar materi yang dibahas tidak
menyimpang dari pokok permasalahan, maka ruang lingkup yang akan dibahas dalam
penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Dalam hubungannya dengan permasalahan pertama, dibahas mengenai
batas waktu penyidikan
pengaturan
tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi
tersangka dalam KUHAP; Sedangkan dalam permasalahan kedua, membahas mengenai
bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam
hukum acara pidana yang akan datang.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan umum (het doel van onderhoek) berupa upaya peneliti untuk
pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma “ science as a process”
ilmu
sebagai proses. Adapun tujuan umum dari tulisan ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan
perlindungan hak asasi tersangka dalam KUHAP maupun dalam pembaharuan hukum
acara pidana .
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah
untuk meneliti dan menganalisa
ketentuan waktu penyidikan perkara tindak pidana umum dalam KUHAP serta
kaitannya dengan perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi tersangka, serta
bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum
dalam hukum acara pidana yang akan datang .
1.5. Manfaat Penelitian
Bahwa dalam setiap penelitian ilmiah sudah pasti ada hal-hal yang bermanfaat
yang ingin dicapai baik oleh peneliti sendiri maupun bagi masyarakat umum, khususnya
yang bersinggungan dengan hal-hal yang diteliti, adapun manfaat penelitian meliputi :
1.5.1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum
penyempurnaan
perundang-undangan
hukum
pidana
pidana, berkaitan dengan
formil
sehingga
lebih
mencerminkan kepasian hukum dan penghargaan terhadap hak-hak asasi tersangka
termasuk saksi (korban).
1.5.2. Manfaat praktis.
Manfaat praktis dari tulisan ini adalah dalam rangka memberi masukan kepada
pihak-pihak terkait
(lembaga legislatif) dalam rangka penyempurnaan ketentuan
undang-undang hukum acara pidana yang berlaku saat ini, karena dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum ada ketentuan yang membatasi waktu
penyidikan sehingga penanganan perkara pada tahap penyidikan banyak berlarut-larut
sehingga tidak mencerminkan asas penanganan perkara secara cepat sederhana dan
biaya ringan.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Keasilian
tulisan sebagai salah satu persyaratan dalam
tulisan ilmiah ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penjiplakan (plagiatism) karya tulis orang
lain, karena setiap karya tulis dilindungi oleh undang-undang. Penulis yakin bahwa
tulisan ini benar-benar asli/original, karena penulis telah melakukan penelitian terhadap
beberapa karya tulis ilmiah khususnya tesis
dan ternyata tidak ada karya tulis ilmiah
(tesis) yang membahas mengenai “kekosongan hukum (norma) dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ” khususnya masalah tidak adanya batas waktu
penyidikan tindak pidana (umum).
Setelah penulis melakukan perbandingan dengan karya tulis lain, penulis tidak
menemukan adanya karya tulis ilmiah (tesis) yang mirip dengan karya tulis ini yang
memadai untuk dijadikan perbandingan.
Dengan demikian maka tulisan ini dapat disebutkan sebagai tulisan asli /orisinal
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
Teori hukum senantiasa tidak dapat dilepaskan dari kontek zamanya karena sarat
dengan penjelasan-penjelasan hukum secara dialektis, sebagai hasil dari konstruksi
sosial. Teori hukum juga sering dijadikan sebagai landasan teori untuk mencari suatu
jawaban
terhadap permasalahan hukum yang dominan pada suatu jaman. Dalam
landasan teoritis diuraikan mengenai segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai
suatu sistem aneka “theorema “ atau ajaran7. Dalam landasan teoritis diuraikan secara
singkat mengenai asas hukum, konsep hukum, dan teori-teori hukum .
Landasan hukum pembangunan nasional dibidang hukum adalah Pancasila yang
memberikan landasan filosopi, landasan sosiologi, sedangkan landasan konstitusional
adalah Undang-Undang Dsasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945
beserta peraturan perundang-undangan terkait lainnya, salah satu diantaranya adalah
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 206) telah merumuskan visi
dan misi pembangunan
bidang hukum yang berbunyi “Terwujudnya sistem hukum
nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia
7
Soerjono Soekanto , Sri Mamudji, 2003,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan ke enam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.
berlandaskan keadilan dan kebenaran”8.
Berlandaskan pada misi tersebut,
pembangunan bidang hukum dan hak asasi manusia mendapat perhatian yang serius
dari pemerintah, berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan
segera dilakukan perubahan/ revisi baik yang bersifat menyeluruh maupun bersifat
parsial, agar ketentuan hukum yang berlaku benar-benar mencerminkan nilai filosifis
Pancasila, kaedah-kaedah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
1.7.1. Asas Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Tindakan Penyidikan Dalam
Tindak Pidana
Menurut C.W. Paton, dalam bukunya A Textbook of Jurisprudence ; A principles
is the broad reason, wich lies at the base of a rule of law, diterjemahkan menjadi “ asas
adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu
norma hukum9. Asas hukum yang dianut dalam suatu undang-undang ada yang bersifat
universal serta ada asas yang bersifat nasional .
Bellefroid menyatakan bahwa “asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan
dari hukum posistif dan yang oleh hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan
yang lebih umum 10“
Roeslan Saleh menyatakan “ asas hukum adalah aturan hukum tertinggi yang
berfungsi sebagai ratio legis dari aturan perundang-undangan yang ada
11
”, bliau juga
menyatakan bahwa terdapat tiga ciri asas-asas hukum, yakni :
1. Asas hukum adalah fundamen dari sistem hukum, oleh karena itu dia adalah
pikiran-pikiran dasar dari sistem-sistem hukum;
8
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Kebijakan Reformasi Hukum (suatu
Rekomendasi), Partnership Government Reform in Indoensia, Jakarta, hal.2.
9
Arrasjid, Chainur, 2000, Op. Cit. hal. 36.
10
Ali Zaidan., M, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 49
11
Ibid, hal. 53
2. Asas-asas hukum bersifat lebih umum dari pada ketentuan undang-undang
dan keputusan-keputusan hukum oleh karena ketentuan undang-undang dan
keputusan-keputusan hukum adalah penjabaran asas-asas hukum;
3. Akhirnya difinisi ini menunjukan bahwa beberapa asas hukum berada sebagai
dasar dari sistem hukum; beberapa lagi dibelakangnya, jadi di luar sistem
hukum itu sendiri, sungguhpun demikian mempunyai pengaruh terhadap
sistem hukum tersebut12
Asas hukum adalah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif,
merupakan kelengkapan vital dalam legislasi, asas hukum merupakan bagian integral
dari suatu undang-undang dan sistem hukum keseluruhan. Setiap undang-undang yang
dibentuk dalam suatu negara selalu memiliki asas-asas hukum yang kuat sehingga
undang-undang tersebut dapat bertahan dalam waktu yang lama, demikian halnya Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan hukum positif
dalam bidang penegakan hukum pidana, menganut asas-asas hukum antara lain :
1. Asas legalitas, memberi pedoman bahwa tidak seorangpun dapat dihukum atas suatu
kejahatan jika tidak ada peraturan yang mengatur mengenai kejahatan tersebut
sebelum kejahatan dilakukan ” tidak ada perbuatan yang boleh dihukum selain atas
kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang diadakan pada waktu sebelum
perbuatan itu terjadi “, Pasal 1 KUHP (SV) Nederland berbunyi “ Strafvordering
helf alleen plaats op de wijze bij de wett voozien” ( acara pidana dijalankan hanya
menurut cara yang diatur oleh undang-undang) 13 . Proses penyidikan tidak akan
dilakukan jika penyidik tidak/belum menemukan peraturan perundang-undangan
yang diduga dilanggar oleh terlapor.
2. Prinsip /Asas keseimbangan antara perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat14.
3. Prinsip /Asas praduga tidak bersalah, bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap
sebagai orang yang tidak bersalah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang
12
13
Loc. Cit
Sunarso Siswanto H., 2012, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta
hal. 131
14
Harahap, M. Yahya, 2004, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, Edisi 2, Cetakan ke-6, Sinar Grafika Jakarta, hal. 38
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa terdakwa adalah orang yang
bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya. Diharapkan
semua pihak mengesampingkan asas praduga bersalah (presumtion of guil), karena
dalam proses pembuktian tidak menutup kemungkinan hakim akan memutus bahwa
terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan
oleh penuntut umum baik putusan bebas (vrijspraak) maupun pelepasan dari segala
tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) 15.
4. Prinsip /Asas Akusator, dimana dalam setiap perkara tersangka harus diajukan ke
muka pengadilan dengan tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka
memperoleh haknya secara penuh untuk mengajukan pembelaan .
5. Prinsip / deferensiasi fungsional, yaitu setiap badan atau sub sistem telah ditetapkan
fungsi dan wewenangnya masing-masing tetapi saling ketergantungan antara
subsistem penyidik, penuntut umum, hakim, lembaga pemasyarakatan, serta
advokat/penasehat hukum.
6. Prinsip /Asas peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan serta
bebas, jujur dan tidak memihak; dimana dengan adanya batas waktu yang pasti
pada setiap tahap penangan perkara tidak ada lagi orang-orang (tersangka/terdakwa)
menyandang status tersangka dalam waktu yang lama/ berlarut-larut tanpa adanya
kepastian hukum.
Proses penanganan perkara tidak ribet dalam arti tidak lagi terjadi proses pra
penuntutan yang memakan waktu lama karena petunjuk penuntut umum (peneliti)
tidak bisa dipenuhi oleh penyidik, atau penyidik sengaja berlama-lama tidak
mengirimkan kembali berkas perkara kepada penuntut umum (Kejaksaan).
Tidak ada lagi laporan masyarakat dalam waktu yang lama tidak ada kejelasanya.
Tidak ada lagi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dalam waktu
lama tidak ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap I (pertama).
Tidak ada lagi berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap oleh penuntut umum
tidak ditindak lanjuti dengan penyerahan perkara tahap
kedua / penyerahan
tanggung jawab tersangka dan barang bukti oleh penyidik kepada penuntut umum.
15
Hamzah Andi, 2007, Terminologi Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan pertama, Sinar Grafika
Offset, Jakarta hal. 126
Tidak ada lagi penanganan perkara pada tahap penuntutan dan upaya hukum yang
memakan waktu cukup lama, bertahun-tahun (upaya hukum).
Bagi warga negara yang tersangkut suatu tindak pidana tidak lagi mengeluarkan
biaya yang banyak untuk keperluan mengurus perkara, tidak ada mafia hukum yang
menguras uang para pesakitan dan mereka cukup mengeluarkan biaya untuk
membayar ongkos/biaya perkara .
Tindakan penyidik yang tidak kunjung mengirimkan berkas perkara kepada
penuntut umum dan/atau hasil penyidikan yang sering kali
penuntut umum
dikembalikan oleh
kepada penyidik untuk dilengkapi akan berpengaruh
kepada
kepercayaan masyarakat kepada instansi penyidik16 .
7. Prinsip /Asas perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa.
Aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum (law
inforcement) baik disengaja maupun tidak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak
tersangka / terdakwa baik
mendapat
pemeriksaan
hak didampingi penasehat hukum, hak diam, hak
yang
cepat,
hak
mengajukan
saksi/ahli
yang
menguntungkan, hak mendapat bentuan juru bahasa dan lain sebagainya.
Memberikan perlindungan terhadap para saksi / korban. Memberikan penghargaan
bagi warga yang berjasa mengungkap suatu peristiwa pidana.
8. Prinsip /Asas pemeriksan dipersidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk
umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang
1.7.2. Teori Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang didasarkan kepada Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sebagai landasan bertindak bagi aparat
penegak hukum, merupakan satu kesatuan sistem, karena pelaksanaan pidana tersebut
tidak terlepas dari sub-subsistem yang saling mendukung antara subsistem struktur
hukum, subsistem substansi hukum maupun subsistem kultur hukum. Adapun ciri
pendekatan sistem dalam hukum acara pidana menurut Romli Atmasasmita adalah :
16
Yahya Harahap, M. Op.Cit. hal 357
a.
Titik berat pada kondisi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
(kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga Pemasyarakatan).
b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana
c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara
d. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memanfaatkan “The
administration of justice”17
Pendekaan dalam sistem peradilan pidana indonesia adalah pendekatan yang
menggunakan segenap unsur (struktur hukum) yang terlibat didalamnya sebagai satu
kesatuan dan saling berhubungan, saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan18. Dalam
sistem
peradilan pidana dikenal ada dua model pendekatan dikotomi, yaitu pendekatan Crime
Control Model (CCM) dan pendekatan Due Process Model (DPM);19, pendekatan
Crime Control Model
mengutamakan pemberantasan kejahatan dengan tindakan
represif terhadap suatu kriminal dan efisiensi dengan penekanan efektivitas kecepatan
dan kepastian. Sedangkan
pendekatan Due Process Model menekankan proses
peradilan yang mengutamakan prosedur formal yang sudah ditetapkan dalam undangundang, setiap prosedur adalah penting dan harus dilaksanakan secara ketat
Sistem Peradilan Pidana secara umum bertujuan untuk melaksanakan proses
hukum yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (due process model), dalam
proses hukum yang baik memiliki persyaratan antara lain: adanya ketentuan hukum
yang jelas, tiap-tiap komponen penegak hukum memiliki tugas dan fungsi yang jelas,
memiliki koordinasi dan kerjasama secara berkelanjutan, dan adanya pengawasan
internal maupun eksternal dalam pelaksanaan tugas masing-masing.
Konsep due process model sangat menjunjung tinggi adanya supremasi hukum.
Penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus sesuai dengan
17
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem peradilan Pidana Persefektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Cetakan 2, Putra Abardin, Bandung, hal. 9-10
18
Fachmi,2011, Kepastian hukum mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Perddilan
Pidana Indonesia, PT. Ghalia Indonesia Publishing, Jakarta, hal.123
19
Packer,Herbert L.. 1968, The Limits of The Criminal Santion, West Publishing, New York
London, hal.24.
persyaratan konstitusionil dan harus mentaati hukum, serta menghormati hal sebagai
berikut :
a. The right of self incrimination, tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi
yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana.
b. Dilarang mencabut, menghilangkan hak hidup, kemerdekaan atau harta benda
tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara.
c. Setiap orang harus “terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas
pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan”.
d. Hak konfrontasi dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang
menuduh atau melaporkan.
e. Hak memperoleh pemeriksaan yang cepat.
f. Hak perlindungan yang sama dan perlakuan yang sama dalam hukum.
g. Hak mendapat bantuan penasehat hukum20 .
Sistem Peradilan Pidana dapat diuraikan pengertianya kata demi kata sebagai
berikut:
sistem berarti suatu susunan ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat
komponen-komponen yang merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian
menyatu membentuk sistem, hubungan antara beberapa unsur yang satu
tergantung pada unsur yang lain. Peradilan merupakan derivasi dari kata adil,
yang diartikan sebagai tidak memihak, tidak berat sebelah ataupun keseimbangan
dan secara keseluruhan, peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu
proses, yaitu proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan dan kata
Pidana yang dalam ilmu hukum pidana (criminal scientific by law) diartikan
sebagai hukuman, sanksi, dan ataupun penderitaan yang diberikan yang dapat
mengganggu keberadaan fisik maupun fsikis dari orang yang terkena pidana itu21.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia menggunakan pendekatan Due Process Model
yaitu melaksanakan proses peradilan pidana sesuai prosedur hukum yang telah diatur
dan ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
prosesnya dimulai dari tahap penyidikan, pra penuntutan, tahap penuntutan, tahap
pemeriksaan dipersidangan termasuk upaya hukum dan
berakhir pada pelaksanaan
putusan pengadilan.
Pemahaman mengenai sistem peradilan pidana di Indonesia diperkenalkan oleh
ahli hukum Mardjono Reksodiputro, yang memberikan batasan tentang Sistem Perailan
Pidana adalah “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah
kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada
20
Harahap, M. Yahya, Op.Cit. hal 95-96
21
Fachmi. Op.Cit. hal 49-50
dalam batas toleransi masyarakat22”. Disadari atau tidak bahwa kejahatan itu ada seiring
dengan berkembangnya peradaban hidup manusia, oleh karena itu adanya kejahatan
harus ditekan seminimal mungkin.
Pendapat ahli hukum Remington dan Ohlin mengenai
Sistem Peradilan Pidana
adalah sebagai berikut :
Sistem Peradilan Pidana (Criminal justice system) dapat diartikan sebagai
pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana.
Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil
tertentu dengan segala keterbatasannya 23
Melalui Sistem Peradilan Pidana ini akan diperoleh cara penyelesaian perkara atau
penanggulangan kejahatan yang baik dan adil (doe process of law) .
Muladi menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan
kerja (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,
baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana24.
Reformasi dibidang hukum
idealnya harus dilakukan melalui pendekatan sistem
hukum25. Pendekatan sistem yang dimaksud adalah adanya hubungan kerjasama/
koordinasi antara unsur-unsur aparat hukum yang terkait satu dengan yang lain. Sudikno
Mertokusumo mengartikan sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari
unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai
tujuan kesatuan tersebut26 . Tujuan yang ingin dicapai dalam sistem hukum adalah
terpenuhinya rasa keadilan masyarakat, adanya kepastian hukum dalam rangka
kesejahteraan masyarakat .
22
Reksodiputro, Mardjono, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peranan penegak Hukum
Melawan Kejahatan, FHUI, Jakarta, hal. 84-85
23
Susanto, Anton F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang penyimpangan,
Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,PT. Refika Aditama, Bandung, hal.74
24
Ibid, hal 76.
25
Basrief Arief, 2013, Menata Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Kumpulan Makalah Jaksa
Agung Republik Indonesia Tahun 2012, Gaung Persada Press, Jakarta, hal 2.
26
Lok.Cit.
Proses penanggulangan kejahatan,
diimplementasikan
dalam hukum acara pidana Indonesia
dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integreted Criminal
Justice System). Keterpaduan sistem peradilan pidana tersebut memiliki ciri tersendiri
dibanding dengan sistem pradilan pidana di negara lain, dimana tiap-tiap aparat penegak
hukum memiliki wadah/lembaga tersendiri namun dalam pelaksanaan tugas mereka
tetap melakukan kerja sama dan saling membantu demi kelancaran penanganan perkara.
Pengertian dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) menurut Muladi
dinyatakan :
Sinkronisasi/keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan, pertama
Sinkronisasi Struktural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam kerangka
hubungan antara lembaga penegak hukum, kedua Sinkronisasi Substansial yaitu
keserempakan dalam keselarasan yang sifatnya fertikal dan hirisontal dalam
kaitannya dengan hukum positif, dan ketiga Sinkronisasi Kultural yaitu
keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikapsikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan
Pidana27
Antara aparat penyidik dengan penuntut umum senantiasa ada koordinasi dalam
tahap prapenuntutan, penyidik penuntut umum dengan pengadilan terjadi koordinasi
dalam pertanggung jawaban hasil penyidikan, penuntut umum dengan Pemasyarakatan
terjadi koordinasi dalam hal penitipan penahanan serta pelaksanaan putusan pengadilan
dan lain sebagainya .
Tujuan akhir dari sistem peradilan pidana dalam jangka panjang, yakni
mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan kebijakan sosial, dalam
jangka pendek yakni mengurangi
terjadinya kejahatan dan residivisme28, pada
prinsipnya sistem peradilan pidana merupakan sarana untuk mencegah sekaligus
menanggulangi kejahatan .
1.7.3. Teori Pembentukan Hukum (Perundang- undangan).
27
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,
28
Ali Zaidan.,M. 2015, Op. Cit, hal .116
hal.4
Sebagai Negara hukum yang mengedepankan asas legalitas formal, maka hukum
yang diberlakukan cenderung dalam bentuknya yang tertulis, namun masih tetap
memberi peluang berlakunya hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Hukum dalam bentuk tertulis perwujudannya berupa peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pejabat/lembaga yang berwenang untuk itu. Dalam
pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan)
tidak bisa terlepas dari asas
hukum, teori hukum maupun doktrin hukum. Salah satu teori hukum yang dikenal
dengan teori penjenjangan yang dikebangkan oleh Hans Nawiasky
menerangkan
bahwa “suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni mulai
dari norma yang paling bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih
tinggi dan seterusnya sampai pada norma tertinggi yang disebut norma dasar
29”
yang
merupakan pengembangan teori penjenjangan dari Hans Kelsen. Dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, disamping harus memperhatikan penjenjangan hukum,
maka menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 82) harus juga berpedoman pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Kejelasan tujuan
Kelembagaan atau pembentuk yang tepat
Kesesuain atara jenis, hirarki dan materi muatan
Dapat dilaksanakan
Kedayagunaan dan kehasilgunaan
Kejelasan rumusan, dan
keterbukaan
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
menyatakan materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
29
pengayoman,
kemanusiaan,
kebangsaan,
kekeluargaan,
kenusantaraan,
bhineka tunggal ika,
Rais
Rozali,
2013
Teori
Pembenttukan
perundang-Undangan,
birohukum.pu.go.id/component/content/article/101.html diunggah tanggal 23 September 2013
g.
h.
i.
j.
keadilan,
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan ,
ketertiban dan kepastian hukum, dan /atau,
keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Dan ayat (2) memberi peluang dalam penerapan asas-asas lain sesuai kebutuhan
perundang-undangan yang bersangkutan .
Reformasi menghendaki terjadinya perubahan hukum kearah yang lebih baik,
mewujudkan tujuan hukum
seperti keadilan, kepastian hukum, ketentraman dan
kesejahteraan masyarakat, masyarakat membutuhkan ketertiban serta keteraturan
sehingga membutuhkan hukum, hukum sudah ada di negeri ini sehingga cara-cara
untuk “mengadilkan, membenarkan, meluruskan serta membumikan” hukum menjadi
pekerjaan yang tidak dapat ditawar-tawar30 untuk segera dilakukan, perubahan maupun
pembentukan peraturan perundang-undangan baru saat ini mengarah kepada tipe hukum
responsif.
Mochtar Kusumaatmadja, mengajarkan konsep pembangunan bidang hukum
Indonesia yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sebagai
sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum31 , hukum dipandang sebagai
sarana pembangunan sosial dalam rangka mewujudkan kesejahteraan kehidupan dalam
masyarakat. Salah satu konsep dasar yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja
yang memandang hukum sebagai “alat pembaharuan masyarakat”, yang diilhami oleh
pemikiran Rosco Pound yang mengintroduksikan bahwa “ law as a tool of social
engineering”32, hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat serta
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Upaya membuat peraturan perundang-undangan yang baik, maka dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan nilai-nilai filosofis,
sosiologis, ekonomis dan yuridis, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,
30
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Prograsip sebuah sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising,
Materam , hal.123.
31
Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan pertama, Muhamadyah University Press, Surakarta, hal 29
32
Ibid, hal. 175- 176.
pembuatan peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan secara serta merta
mengadopsi hukum-hukum yang berkembang dari negara lain.
Proses pembaharuan hukum acara pidana yang saat ini masih dalam proses
pembahasan tingkat legislatif bersama eksekutif terhadap Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) secara konseptual telah mengikuti tata
cara pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam teori
pembentukan hukum, sehingga bila RUU-KUHAP tersebut nantinya disahkan menjadi
undang-undang mudah diterapkan, ditaati oleh masyarakat serta mampu bertahan untuk
waktu yang lama.
1.7.4. Teori Penemuan Hukum .
Reformasi pembangunan bidang hukum, meliputi reformasi struktur hukum,
substansi hukum serta kultur hukum, reformasi struktur hukum
dilakukan dengan
memperbaiki dan mengontrol sistem penegakan hukum (law enforcement) perbaikan
serta kontrol tersebut dilakukan baik secara internal maupun eksternal yang ditandai
dengan dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Yudiasial, Komisi Kejaksaan,
Komisi Ombusman, Komisi Pemberantasan Korupsi dan lain sebagainya, dibentuknya
berbagai komisi tersebut dilatar belakangi kurang efektifnya kinerja serta pengawasan
internal lembaga-lembaga penegak hukum. Sedangkan reformasi substansi hukum
dilakukan dengan penciptaan/pembuatan peraturan perundang-undangan (hukum) baru
serta
perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada yang
dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman khususnya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang berkembang secara dinamis. Reformasi budaya hukum dilakukan
dengan cara menanamkan nilai-nilai moral serta ketaatan terhadap norma-norma yang
berlaku serta memberi teladan yang baik dan benar kepada masyarakat, meningkatkan
peran serta masyarakat dalam mengawasi kinerja aparatur penegak hukum.
Reformasi bidang hukum menghendaki terjadinya perubahan perilaku aparat
penegak hukum serta perilaku masyarakat
yang semakin sadar dan taat hukum,
mewujudkan kepastian hukum, keadilan, ketentraman dan keteraturan. Hukum sudah
ada di negeri ini tinggal bagaimana cara-cara untuk “mengadilkan, membenarkan,
meluruskan serta membumikan” hukum menjadi pekerjaan yang tidak dapat ditawartawar33 untuk segera dilakukan, perubahan maupun pembentukan peraturan perundangundangan yang baru mengarah kepada tipe hukum responsif.
Tipe hukum responsif dipandang cocok untuk dikembangkan saat ini dengan
pertimbangan:
Pertama, proses pembuatannya bersifat “ partisipatif”, yakni mengundang
sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial
dan individu di dalam masyarakat.
Kedua, dilihat dari fungsinga maka, hukum yang bersifat responsif lebih
“aspiratif”.
Ketiga , dilihat dari segi ‘penafsiran’ maka hukum yang berkarakter responsif
biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran
sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan, dan peluang yang sempit itupun
hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat teknis34.
Konsep dasar penciptaan / penemuan hukum yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja salah satunya memandang hukum sebagai “alat pembaharuan
masyarakat”, yang diilhami oleh pemikiran Rosco Pound yang mengintroduksikan
bahwa “ law as a tool of social engineering”35, hukum harus peka terhadap
perkembangan masyarakat serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Upaya penemuan hukum oleh hakim dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menentukan, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Rumusan pasal ini
diilhami oleh asas “ hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan alasan
tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya “, setiap perkara yang
masuk ke lembaga pengadilan wajib diperiksa, diadili dan diputus. Jika suatu perkara
yang diterima hakim belum/tidak ada undang-undang yang mengaturnya maka hakim
diwajibkan menggali hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, karena
hukum yang demikian akan lebih mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat
33
Satjipto Rahardjo, Hukum Prograsip Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising, Mataram
2009, hal.123.
34
Khudzaifah Dimyati,Op Cit hal 107
35
Ibid hal. 175- 176.
setempat, untuk selanjutnya dapat diikuti dan ditaati oleh masyarakat, tindakan seperti
inilah yang disebut penemuan hukum .
Pandapat ahli (doktrin) hukum mengenai difinis dari penemuan hukum
(rechtvinding), diantaranya diungkapkan oleh Paul Scholten
yang menyatakan
“penemuan hukum adalah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan pada
peristiwanya36”. Penemuan hukum semacam ini dilakukan oleh hakim, dalam
penanganan suatu perkara.
D.H.M. Meuwissen
mengatakan “penemuan hukum adalah proses kegiatan
pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi
situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan
sebagainya)37, Meuwissen melihat hukum sebagai suatu kenyataan aktivitas yang
menimbulkan akibat hukum .
Secara garis besar dikenal ada dua metode penemuan hukum, yakni :
(1) Metode interpretasi, yaitu penemuan yang dilakukan dengan cara melakukan
penafsiran terhadap teks undang-undang yang sudah ada, masih tetap berpegang
pada bunyi teks itu,
sistematis,
teleologis,
metode interprestasi ini terdiri dari gramatikal, historis,
komparatif,
futuristic,
restriktif,
ekstensif,
autentik,
interdisipliner.
(2) Metode konstruksi, dalam metode ini hakim menggunakan penalaran logisnya untuk
mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, Hakim dalam melakukan
penemuan hukum tidak lagi berpegang pada bunyi teks peraturan perundangundangan, tapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.
Jenis metode ini terdiri dari : analogi (Argumentum Per Analogiam), Argumentum a
Contrario, Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning), Fiksi hukum .
Di Indonesia penemuan hukum banyak dilakukan oleh hakim pada Mahkamah
Konstitusi (MK) seperti diantaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUUXII/2014 tanggal 28 April 2015 yang menetapkan bahwa “penetapan sebagai tersangka
36
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009,
halaman 37.
37
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, halaman
106-107
dan … adalah merupakan obyek dari Gugatan Pra peradilan” padahal dalam Pasal 77
huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ditetapkan yang menjai obyek
praperadilan adalah
mengenai
“ sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dst. ..”
namun oleh Hakim
Mahkamah Konstitusi tindakan “penetapan sebagai tersangka “telah ditetapkan untuk
dijadikan obyek gugatan Pra peradilan dan hal tersebut telah diterapkan oleh beberapa
hakim pengadilan negeri di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ketentuan
batas waktu penyidikan dapat dijadikan temuan hakim dalam rangka mengissi
kekosongan hukum ( judge made law) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
Pengisian kekosongan hukum juga dapat dilakukan lembaga legislatif bersamasama lembaga eksekutif atau lembaga eksekutif sendiri, sesuai kewenangan yang
dimiliki masing-masing, sebagaimana diatur alam konstitusi Negara R.I. UUDNRI 1945
) Pasal 5 dan Pasal 20, 21 dan 22 . Bentuk pengisian kekosongan hukum dapat berupa
perubahan atau penambahan pasal atau ayat baru dalam peraturan perundang-undangan
yang sudah ada, atau penemuan peraturan yang baru.
1.7.5. Teori Hak Asasi Manusia (HAM) Bidang Hukum
Pengakuan, perlindungan serta pemenuhan terhadap hak-hak asasi manusia di
Negara Indonesia secara konstitusi telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun
1945 beserta perubahan (amandemen) baik hak asasi bidang sosial, politik, hukum
maupun budaya, kemudian
secara substansial juga telah diatur
dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang bersifat organik. Namun demikian awal mula
pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia secara formil oleh
negara pada mulanya berkembang di negara-negara eropah, salah satu contoh dalam
sistem hukum eropah yang mengatur mengenai perlindugan terhadap hak-hak asasi
pelaku kejahatan dapat dilihat dalam ketentuan European Convention on Human Rights
(ECHR), dimana pada Pasal 6 (3) (e) dari ECHR tersebut menyatakan “Everyone
charge with a criminal offence [….] “has the rights to free assistance of an interpreter
if he cannot understand or speak the language used court, terjemahan bebasnya Setiap
orang yang dituduh melakukan kejahatan [……] punya hak mendapatkan bantuan
dalam bentuk penerjemah gratis jika orang itu tidak bisa mengerti atau tidak bisa bahasa
yang digunakan di pengadilan.38”, (ECHR) berkembang jauh sebelum lahirnya
Decleration of Human Rights, hal ini menandakan bahwa pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak tersangka telah diatur dalam konvensi (Convention) di Eropah.
C de Rover memberi pengertian hak asasi manusia adalah hak hukum yang
dimiliki setiap orang sebagai manusia. Sedangkan John Locke menyatakan hak asasi
adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati.
Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sejak tahun 1948 mulai
mendapat perhatian secara internasional yang ditandai dengan dideklarasikannya
Piagam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal HakHak Asasi Manusia 1948, yang diikuti dengan deklarasi hak-hak asasi manusia bidang
sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun
1966, deklarasi tersebut mewajibkan tiap-tiap negara anggota Perserikatan BangsaBangsa untuk memberi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia
bidang sipil dan politik dalam keadaan apapun.
Ciri-cii khusus dari hak asasi manusia antara lain : ham tidak dpat dilaksanakan
secara mutlah karena dapat merugikannhak orang lain; tidak dapat dicabut artinya tidak
dapat dihilangkan atau diserahkan kepada pihak lain; dan tidak dapqt dibagi aartinya
semua orang berhak mendaptkan semua haknya.
Perkembangan konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga mewarnai
perkembangan hukum baik dalam tataran internasional dan domestik, HAM dapat
dijadikan sebagai acuan bagi hukum pidana di masing-masing negara untuk menerapkan
konsepsi humanisasi dan sivilisasi agar sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang
berkaitan dengan perbuatan dan pertanggung jawaban pidana39
Pengaturan hak-hak asasi manusia bidang hukum dalam konstitusi negara R.I.
dapat di temukan dalam rumusan Pasal 27 UUDNRI Tahun 1945 yang mengatur
mengenai persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
38
sedangkan dalam
Ida Elisabeth Koch, 2009, Human Rights as Indivisible Rights, The Protection of SocioEconomic Demands under the European Convention on Human Rights, Martinus Nijhoff Publishers,
Leiden.Boston, Page 7 Capter 1.
39
Ali Zaidan.M. Op. Cit.hal 123
Pasal 28
D ayat (1) menyatakan “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum“.
Konsep perlindungan hak asasi manusia khususnya bagi mereka yang terlibat
masalah hukum (tersangka), adalah setiap orang harus diperlakukan sama dan sederajat
dihadapan hukum, mereka memiliki hak-hak sipil maupun politik.
Upaya
pemerintah mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain
dalam
pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia bagi warga negara
(bidang sipil dan politik) dilakukan dengan turut meratifikasi Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik tahun 1966 (International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR)) melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional Hak Sipil Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 119), dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 point 3.
Pokok-pokok isi kovenan internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, antara lain
menyebutkan:
Pasal 1, bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri
dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang
bertanggung jawab atas Pemerintahan Wilayah yang tidak berpemerintahan
sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut . dst.
Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 pada pokoknya menetapkan bahwa setiap
manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungan oleh hukum, dan
bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang ,
tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, tidak seorangpun boleh
diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa
tidak seorangpun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau
kerja wajib, tidak seorangpun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenangwenang, tidak seorangpun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidak
mampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya.
Orang yang didudukan sebagai tersangka memiliki hak Previleges
berupa
perlindungan dari stigmatisasi praduga bersalah artinya setiap orang yang disangka
telah melakukan suatu tindak pidana tidak boleh divonis atau dicap atau dilabelisasi
sebagai pelakunya, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menerapkan asas “ praduga tidak bersalah “, maka sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan bahwa benar terdakwa tersebut sebagai pelaku tindak
pidana dan putusan tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka
tersangka harus tetap dianggap sebagai orang yang tidak bersalah .
Merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan perlindungan,
pemenuhan serta penegakan hak asasi manusia, sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia
dinyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah “.
Perwujudan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia
dibidang hukum pidana dapat dilihat dalam KUHAP yang telah mengatur sejumlah hakhak tersangka dan pemenuhannya bersifat wajib. Menurut Sofyan Lubis, dalam sistem
peradilan pidana di negara kita, terutama yang ada di dalam KUHAP, pada prakteknya
terjadi sangat banyak pelanggaran terhadap hak-hak tersangka terutama ditingkat
penyidikan, dan setiap pelanggaran terhadap KUHAP ternyata tidak ada aturan yang
dengan jelas memberikan sanksi bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran
tersebut40, sehingga aparat secara leluasa dapat menyalahgunakan kewenangan yang
berakibat terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka .
1.7.6. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) .
Kata Policy (kebijakan) dalam “Blacks Law Dictionary” disebut, “The general
principles by which a gounernment is guided in the managemen of public affairs”.
Sedangkan menurut G. Pringgodigdo kata “kebijakan” bukanlah terjemahan dari Policy,
tetapi terjemahan dari “ wisdom”. Policy diartikan dengan kebijaksanaan, sedangkan
“wisdom” diartikan sebagai “kebijakan” 41.
40
41
Sofyan Lubis, Op. Cit, hal. 10
Nuraeny,Henny 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijaksan Hukum Pidana dan
Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hal 43-44
G. Peter Hoefnagels memberikan beberapa rumusan politik kriminal sebagai : The
science of responses", the science of crime prevention", "a policy of detignating human
behavior as crime " dan " a rational total of the respond to crime42.
Menurut Marc Ancel, poltitik hukum pidana (penal policy) adalah suatu seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, yang tidak saja kepada
pembuat undang-undang, tetapi juga kepada aparat pelaksana undang-undang43.
Politik hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan yang luas, yang meliputi
bidang hukum pidana yang tidak dapat dilepaskan dari pembaharuan hukum pidana .
Politik Hukum Pidana berintikan tiga tahap, yakni tahap formulasi, tahap aplikasi dan
tahap eksekusi. Tahap formulasi merupakan tahap perumusan undang-undang yang
diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal dan penjelasanya. Tahap aplikasi dan eksekusi
adalah tahap penerapan suatu undang-undang, yang berkaitan erat dengan proses
peradilan44 Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut :
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai
apa yang dicita-citakan45 .
Hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia mengalami perkembangan, bahwa
hukum itu berubah dari waktu ke waktu46(dinamis). Dengan pesatnya perkembangan
peradaban hidup manusia
diikuti dengan perkembangan dunia politik, ilmu
pengetahuan dan teknogi, maka sifat
dinamis yang dimiliki hukum mengharuskan ia
42
Hoefnagels,G. Peter. 1986. The Other Side of Criminology, Holland : Kluwer-Deventer Holland,
halaman 57.
43
Nawawi Arief,
Jakarta, hal. 1
Barda, 1992,Politik Hukum Pidana, Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
44
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi ( P3DI) Sekretarriat Jendral Dewan
Perwakilan Rakyat Repub lik Indonesia, 2012, Op.Cit. hal.82.
45
Sudarto, dan Hamdan,M. 1997, Hukum dan Hukum Pidana, sebagaimana dikutip dalam
Politik Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 161.
46
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, hal. 213
senantiasa mengikuti perubahan dan perkembangan tersebut.
menyatakan bahwa perkembangan hukum
Ada adigium yang
selalu terbelakang dibanding dengan
perkembangan pemikiran manusia terutama yang mengarah kepada kejahatan, baik
dalam bidang hukum pidana, perdata, hukum tata negara dan lain sebagainya .
Barda Nawawi Arief,
menyatakan politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan
pidana yang baik47. Sementara itu menurut beliau pembaharuan hukum pidana tidak
hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai
nilai yang ada, beliau menyatakan bahwa :
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia
yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia. 48.
Barda Nawawi Arief dalam sebuah seminar di Semarang, menyatakan kebijakan
pengembangan/ peningkatan kualitas peradilan tentunya terkait dengan berbagai aspek
yang mempengaruhi kualitas peradilan / penegakan hukum, berbagai aspek itu dapat
mencakup kualitas individual (SDM), kualitas institusional / kelembagaan, kualitas
mekanisme tata kerja/menajemen, kualitas sarana dan prasarana, kualitas substansi
hukum/ perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik,
budaya, termasuk budaya hukum masyarakat)49, penomena hukum yang terjadi dewasa
ini adalah penanganan perkara pidana berlangsung lama, berbelit-belit,
dan tidak
sederhana. Keadaan semacam ini yang menimbulkan krisis kepercayaan terhadap
hukum, masyarakat menjadi skeptis dan pesimis untuk memperoleh rasa keadilan dan
kepastian hukum .
Berbagai permasalah yang terjadi dalam proses penegakan/penerapan hukum tidak
terlepas dari permasalah substansi hukum yang sudah usang, baik ketentuan hukum
materiil maupun ketentuan hukum formilnya. Kurangnya pembinaan mental, integritas
47
Ali Zaidan.,M. Op.Cit. hal 63
Nawawi Arief, Barda, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal .28
48
49
Susanto,Antonius F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan,
Mekanisme Kontrol Dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 5
dan profesionalisme aparat pelaksana hukum, rendahnya sumber daya manusia serta
kurangnya dukungan sarana dan prasarana di bidang masing-masing juga merupakan
faktor yang utama penyebab kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan
hukum .
Kebijakan pemerintah dalam rangka mengatasi permasalahan substansi hukum
adalah dengan membuat agenda perubahan hukum
baik materiil maupun formil.
Perubahan dalam arti luas yaitu melakukan revisi/penyempurnaan undang-undang yang
sudah ada maupum membuat ketentuan perundang-undangan yang baru.
Mengingat
bahwa hukum acara pidana yang berlaku saat ini usianya sudah cukup tua serta dalam
rumusan undang-undang terdapat banyak kelemahan-kelemahan, maka pemerintah
berniat melakukan perubahan terhadap hukum acara pidana (formil) yang berlaku saat
ini, hal tersebut diwujudkan dengan pengajuan Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kepada lembaga legislatif untuk dilakukan
pembahasan, RUU KUHAP pembahasanya sudah berlangsung sejak beberapa tahun,
namun sampai saat ini belum berhasil ditetapkan menjadi undang-undang. Pada intinya
pembaharuan hukum pidana (formil mapun materiil) harus mencerminkan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga memiliki
ciri tersendiri diantara hukum pidana negara-negara lain.
1.7.7. Teori Kepastian Hukum .
Tujuan dari pada hukum adalah menciptakan kepastian hukum dan keadilan, yaitu
ketegasan penerapan hukum itu sendiri dimana hukum tersebut berlaku terhadap semua
orang tanpa pandang bulu. Kepastian hukum merupakan syarat mutlak untuk
terlaksananya supremasi hukum di dalam suatu negara hukum50, Kepastian hukum
adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan51. Yang dimaksud kepastian
50
51
Fachmi, Op.Cit. hal 33
Sudikno, Mertokusumo, Op.Cit hal. 160.
hukum disini adalah pelaksanaan peraturan sesuai dengan apa yang tersurat dalam
peraturan perundang-undangan/ putusan pengadilan, tidak disimpangi .
Mewujudkan
kehidupan
masyarakat yang
tertib dan teratur dibutuhkan
ketertiban dan kepastian pelaksanaan penegakan hukum, prinsip persamaan kedudukan
dalam hukum (equality befor the law) harus benar-benar diterapkan. Teori
positif
mengajarkan
bahwa
hukum
positif
hukum
adalah hukum yang berlaku
pada suatu negara pada saat itu, teori hukum positif mengedepankan hukum sebagai
peraturan perundang-undangan yang tertulis.
Peraturan perundang-undangan sebagai ketentuan hukum tertulis senantiasa
mengandung perintah, larangan serta sanksi yang pasti,
karena bentuknya yang
sedemikian itu maka ketentuan hukum positif dianggap memiliki nilai kepastian yang
jauh lebih permanen dari pada ketentuan hukum kebiasaan yang tidak tertulis, karena
ketentuan hukum yang tidak tertulis sewaktu-waktu dapat berubah mengikuti
perkembangan situasi dan kondisi setempat .
Bagir Manan menyatakan pengertian kepastian hukum tidak hanya terbatas pada
keberadaan kaidah hukum atau peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum
mencakup juga kepastian proses dan kepastian penerapan atau pelaksanaan, atau
eksekusi52,
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan oleh Jan M. Otto, yaitu bahwa
kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan:
1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu
menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum; dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. 53
52
Manan, Bagir, 2000, Bundel makalah II Tertib Peraturan Perundang-Undangan Menurut
Ketetapan MPR RI. Nomor III/MPR/2000, tanpa penerbit, Jakarta, hal 3.
53
Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, hal. 85
Kepastian hukum sebagai doktrin dalam sistem hukum (legal system) mengajarkan
kepada setiap aparat penegak/pelaksana hukum untuk mendayagunakan hukum yang
sama untuk kasus yang sama. Doktrin kaum positivis yang dikenal pula sebagai doktrin
the supreme state of (national) law yang mengajarkan dan meyakini adanya status
hukum yang mengatasi kekuasaan dan otoritas lain, semisal otoritas politik
kaum positivis inilah yang
54.
Ajaran
menerapkan asas equality befor the law yaitu yang
mengedepankan persamaan perlakuan hukum, hukum diterapkan baik terhadap
masyarakat maupun aparatur pemerintah termasuk didalamnya aparat penegak hukum,
sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penerapan peraturan perundangundangan .
Hukum yang ditegakkan oleh instansi penegak hukum yang diserahi tugas untuk
itu harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan keadilan dalam
kehidupan masyarakat
55.
Ketidak pastian penegakan hukum akan menimbulkan
kekacauan dan ketidak harmonisan dalam kehidupan masyarakat, pelaku kejahatan akan
sesuka hati melakukan tindakan yang merugikan orang lain sementara masyarakat
sebagai korban terus merasakan ketidak adilan .
Kepastian hukum menghendaki adanya konsistensi dalam perumusan peraturan
perundang-undangan, baik antara peraturan satu dengan yang lain maupun antara pasal
satu dengan yang lain, tidak terjadi tumpang tindih yang dapat menimbulkan konflik
dalam pelaksanaannya (konflik norma), tidak mudah menimbulkan pemahanan yang
gamang sehingga mudah ditafsirkan berbeda sesuai kebutuhan pihak tertentu (norma
kabur) serta tidak ada tindakan atau peristiwa hukum yang tidak diatur dalam suatu
perundang-undangan (kekosongan norma ) .
Hakekat Kepastian hukum nenurut Daniel S. Lev dalam Soerjono Soekanto adalah
:
suatu kepastian tentang bagaimana setiap warga negara atau golongan-golongan
masyarakat menyelesaikan masalah masalah hukum, kemudian bagaimana
peranan dan kegunaan lembaga-lembaga hukum bagi masyarakat, apakah hakWignyosoebroto, Soetandyo, 2006, Sebuah Risalah Ringkas, rujukan untuk ceramah dan diskusi “
Kreteria dan Pengertian Hakim Dalam Perspektif Filosofis, Sosiologis dan Yuridis “ dalam Seminas
Nasional bertema “ Problema Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia “ diselenggarakan oleh
Komisi Yudisial dan PBNU-LPBHNU, Jakarta, hal .1
54
55
Yahya Harahap, Op Cit. hal 76
hak dan kewajiban-kewajiban bagi para warga masyarakat dan seterusnya. Jadi
kepastian hukum buklanlah berarti bahwa wujudnya semata-mata didalam
peraturan tertulis belaka56.
Demi kepastian hukum setiap perubahan hukum dimungkinkan untuk memenuhi
harapan masyarakat untuk menghadapi apa yang dinamakan ketidak berdayaan hukum
dalam penerapannya dalam penyerasian nilai-nilai yang ada .
Terhadap ketidak sempurnaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
(KUHAP) Roeslan Saleh menyatakan bahwa “tidak dapat undang-undang merevolusi
dirinya sendiri57 “, namun kewajiban mewujudkan kepastian hukum dan keadilan tetap
menjadi tanggung jawab penegak hukum
1.7.8. Kerangka Berpikir :
KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA UMUM
DALAM
PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI
TERSANGKA
DALAM
PEMBAHARUAN
HUKUM
ACARA
PIDANA
(IUS
CONSTITUENDUM)
56
S.Lev. Daniel dalam Soekanto Soerjono, 1970, Judicial Sistem and Culture in Indonesia,
CV.Rajawali, Jakarta, hal. 32-33
57
Saleh Roeslan, Op.Cit. hal. 24
Latar Belakang Masalah:
Kepercayaan
masyarakat
terhadap kinerja aparat penegak
hukum
akhir-akhir
ini
mengalami kemerosotan .
Hal tersebut disebab banyak
terjadi penanganan perkara yang
tidak memberi kepastian hukum,
rasa keadilan serta penghormatan
terhadap hak asasi tersangka.
Bantyak
terjadi
laporan
/pengaduan disampaikan oleh
masyarakat
bahwa
telah
terjadinya suatu tindak pidana
yang diterima oleh penyidik
dalam waktu yang lama tidak ada
ujung penyelesaiannya
Masyarakat / pelapor berpra
sangka ada pihak-pihak yang
telah bermain dengan aparat
sehingga perkara tidak kunjung
selesai, perkara di peties-kan,
ada mapia peradilan dan lain
sebagainya. Penyelesaian perkara
yang
demikian
telah
menimbulkan terabaikan banyak
hak asasi tersangka. Keadaan
tersebut disebabkan adanya
kekosongan norma hukum dalam
KUHAP yang tidak mengatur
mengenai batas waktu tindakan
penyidikan suatu perkara pidana
(umum), serta tiak ada sanksi
bagi penyidik atas ketidak
jelasan
penyelesaian
suatu
perkara .
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana pengaturan batas waktu penyidikan
tindak pidana umum terkait dengan perlindungan
hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang
hukum Acara Pidana ?
2. Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu
penyidikan tindak pidana umum
dalam hukum
acara pidana yang akan datang ?
Metode Penelitian
1. Jenis penelitian yuridis normatif
2. Sumber Bahan hukum Primer ,
Sekunder dan
tersier (peraturan perundang-undangan, buku-buku,
jurnal, laporan, internet )
Landasan Teoritis :
1. Asas-asas hukum, konsep hukum
2.Teori yang digunakan :, Teori Sistem Peradilan
Pidana,Teori Pembentukan hukum, Teori
Penemuan Hukum, Teori Kebijakan Hukum
Pidana, Teori HAM, Teori Kepastian Hukun, .
Tujuan umum
dari tulisan ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisis urgensi batas waktu
penyidikan tindak pidana umum dengan
perlindungan hak asasi tersangka.
Tujuan khususnya
adalah untuk meneliti dan
menganalisa ketentuan waktu penyidikan perkara
tindak pidana umum dalam KUHAP serta kaitannya
dengan perlindungan dan penegakan hak asasi
tersangka, serta bagaimana sebaiknya pengaturan
batas waktu penyidikan perkaa tindak pidana umum
dalam hukum acara pidana yang akan datang
Jenis Pendekatan adalah : Pendekatan PerundangUndangan, Pendekatan Konsep, dan Pendekatan
Sejarah
Hasil yang ingin dicapai adalah segera dilakukan perubahan
terhadap KUHAP, dan dalam hukum acara pidana yang baru
memuat ketentuan batas waktu penyidikan secara tegas.
1.8. Metode Penelitian
Untuk memperoleh, mengumpulkan, serta menganalisa setiap data maupun
informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan metode agar karya tulis ilmiah mempunyai
susunan yang sistematis dan konsisten. Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dan penelitian
hukum sosiologis atau non doktrinal bersifat kuantitatif (bentuk angka)58.
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif 59, bahan
dasar penelitian adalah dokumen meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, bukubuku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah
60
.
Metode penelitian empiris/sosiologis atau non doktrinal adalah suatu prosedur
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
materiil berdasarkan penelitian
lapangan atas suatu permasalahan pada lembaga atau masyarakat.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif atau
doktrinal.
1.8.1. Jenis Penelitian
Dalam Penelitian ini
penulis melakukan penelitian secara yuridis normatif,
dimana permasalahan yang ditemukan
yaitu adanya kekosongan hukum dalam
perundang-undangan hukum acara pidana, kemudian dikaji dengan melakukan
penenelitian dampak yuridis
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat ini terkait dengan tindakan aparat penegak hukum khususnya dalam rangka
penyidikan tindak pidana . Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian yang
lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan ilmu hukum yang di negara-negara
barat biasa disebut dogmatik hukum (Rechtsdogmatiek) 61.
58
Supranoto J.,2003, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Cetakan Pertama, PT. Rineka
Cipta, Jakarta,hal.2.
59
Ibrahim Johny, 2006, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi,
Bayumedia Publishing, Surabaya, hal.57.
60
Soekanto, Suryono & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 24
61
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, 2001, Editor Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan
Refleksi, Yayasa Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal. 142
1.8.2. Jenis Pendekatan (Approach)
Penggunaan pendekatan (approach) dalam suatu penelitian hukun yuridis normatif
akan sangat menentukan hasil dari penelitian yang dilakukan, dalam
hukum
penelitian
yuridis normatif dikenal beberapa cara pendekatan yang lazim digunakan
antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan konsep (conceptual approach)
Pendekaan analitis (analitical approach)
Pendekatan perbandingan (comparative approach)
Pendekatan Historis ( histirical approach)
Pendekatan Filsafat (philosophical approach)
Pendekaan Kasus (case approach) 62.
Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian dengan mengggunakan pendekatan :
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); cara ini digunakan karena
dalam penelitian yuridis normatif sudah dipastikan yang dijadikan bahan hukum
utama adalah peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan
obyek penelitian .
b. Pendekatan Konsep (conceptual approach); Pendekatan ini beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
c. Pendekatan Sejarah (historical approach) ; dengan pendekatan sejarah hukum
diharapkan peneliti dapat memahami hukum (perundang-undangan) secara lebih
mendalam tentang suatu sistem hukum, sejarah sistem penyidikan sejak awal hingga
berlakunya saat ini.
d. Sedangkan pendekatan Perbandingan (comparative approach) yaitu untuk
melakukan studi perbandingan mengenai sistem penyidikan yang ada di dalam
KUHAP dengan yang ada di dalam Konsep KUHAP (Baru) dan juga perbandingan
Sistem penyidikan negara lain.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
62
Ibrahim Johnny, 2005,Op.Cit., hal . 300
Dalam metode penelitian hukum dikenal ada beberapa jenis sumber data, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder. Dalam tulisan ini penulis melakukan
penelitian secara normatif, sehingga bahan yang dibutuhkan adalah data sekunder, yaitu
penelitian perpustakaan (Library Research). Data hukum sekunder berdasarkan
kekuatan pengikatnya, dapat dibedakan:
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa peraturan
perundang-undangan antara lain UUD NRI 1945, UU No. 8 tahun 1981 tenang
KUHAP, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU. No. 2 tahun
2002 tentang Kepolisian R.I. UU No. 14 tahun 1970, jo UU No. 4 tahun 2004 jo
UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 18 tahun 2003
tentang Advokat; UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan R I.; UU No. 16
tahun 2011 tenang bantuan Hukum; UU No, 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi
IICPR; PP No. 27 tahun 1983 jo pp No. 58 tahun 2010 tentang Pelaksanaan
KUHAP, dan lain-lain .
2. Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku tentang ilmu hukum yang
berkaitan dengan penulisan tesis ini, karya-karya ilmiah, Rancangan UndangUndang, dan juga hasil dari suatu penelitian.
3. Bahan hukum tersier, misalnya artikel-artikel, majalah-majalah, surat kabar,
internet, kamus, dan ensiklopedia 63.
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan Teknik Studi Dokumentasi (teknik kartu).
Teknik Studi
Dokumentasi dilakukan atas bahan-bahan hukum, laporan-laporan yang relevan dengan
permasalahan penelitian.
1.8.5. Tehnik Analisis
63
Supranoto J., Op. Cit hal 2.
Pengolahan dan Analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan
Analisis Kualitatif dimana bahan hukum
yang diperoleh tersebut diolah menjadi
rangkaian kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus tidak disusun
kedalam struktur klasifikasi sehingga sampel lebih kepada non probabilitas. Bahan
hukum primer dan skunder disusun secara sistematis, bahan-bahan tersebut selanjutnya
dianalisis dengan tehnik-tehnik :
a. Deskriptif, yaitu uraian-uaian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu kondisi atau
posisi dari proposisi hukum atau non hukum.
b. Interpretatif, yaitu dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam ilmu
hukum yang ada baik sekarang maupun diberlakukan dimasa yang akan datang.
c. Evaluatif, melakukan penilaian terhadap sesuatu pandangan, pernyataan rumusan
norma dalam bahan hukum primair maupun sekunder.
d. Argumentatif,
yaitu penilaian yang didasari pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum.
Sehingga menghasilkan sebuah penelitian yang akurat sesuai kebutusan untuk
mendukung karya tulis/tulisan ilmiah .
Download