I I . TINJAUAN P U S T A K A 2.1 Tanaman Lidah buaya dan Karakteristiknya Lidah buaya merupaican salah satu dari 10 jenis tanaman terlaris di dunia, yang mempunyai potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman obat, bahan baku industri, dan makanan. Di dunia terdapat 350 jenis lidah buaya yang termasuk kedalam Ordo Liliceae dan sebagian sudah disilangkan. Menurut Dowling (1985), jenis lidah buaya yang dibudidayakan secara komersial di dunia yaitu Curacao Aloe (Aloe vera barbadensis miller). Cape Aloe (Aloe ferox miller), Socotrine aloe (Aloe perryi baker). Dari segi fisiologis tanaman ini dapat digolongkan pada Craculance tanaman Asid Metabolisme (CAM) yang mempunyai kemampuan untuk mengikat CO2 pada malam hari dan melakukan fotosintesis pada siang hari, berdasarkan klasifikasi lidah buaya dapat digolongkan sebagai berikut: Diviso : Spermatophyte, Sub Devisio: Angiosspermae, Klas: Monokotyledoneae, Liliaceae, Famili: Liliales, Genus: Aloe, Species: Ordo: Aloe vera (Wahjono dan Koesnandar, 2002). Lidah buaya dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik di daerah tropis, lidah buaya memiliki daun berwarna hijau, berlapis lilin putih pada permukaan daun, berbentuk runcing dan tebal, bergerigi, dan sukulen. Pada permukaan daun terdapat bercak putih dan akan menghilang ketika tanaman dewasa. Lidah buaya memiliki perakaran yang dangkal, serabut, bersifat tumbuh ke bawah dan menyebar mengakibatkan tanaman mudah roboh. Lidah buaya memiliki panjang akar mencapai 30-40 cm, batang dikelilingi pelepah daun yang mengarah ke atas, 6 dengan tebal daun 2-3 cm, mengandung air (sukulen), getas dan lendir yang mendominasi daun. Lidah buaya memilki persyaratan tumbuh pada suhu 16 - 31 °C, menghendaki tanah subur, gembur dan memilki bahan organik, pH 5,5 -6,0 (Wahjono dan Koesnandar, 2005). Lidah buaya memilki bunga berwarna kuning, berkelamin ganda (bisexual) dengan panjang 2 - 3 cm, berbentuk seperti lonceng terletak di ujung tangkai atas dan tangkai bunga keluar dari ketiak dengan panjang tangkai 5 0 - 1 0 0 cm ke atas, bertekstur kokoh sehingga tidak mudah roboh (Furnawanthi, 2005). Pada varietas Aloe barbadensis dan Aloe sinensis mengalami penyerbukan yang tidak membentuk biji (germination) sehingga varietas ini diperbanyak dengan vegetatif. Sedangkan pada varietas Aloe ferox mengalami penyerbukan silang yang dapat membentuk biji sehingga dapat diperbanyak baik dengan generatif dan vegetatif (Wahjono dan Koesnandar, 2005). 2.2 Sifat dan Ciri Tanah Histosol Tanah Histosol terbentuk dari serasah organik yang terdekomposisi secara anaerabik, dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi dari laju dekomposisi. Menurut Nasrul et al., (2002), tanah Histosol terbentuk dari bahan induk berupa bahan organik yang terdapat daerah rawa dengan cekungan/depresi yang selalu tergenang air sehingga menyebabkan keadaan anaerob, keadaan tersebut menyebabkan kegiatan mikroorganisme terhambat lebih lanjut sehingga menghambat pelapukan bahan organik yang berasal dari vegetasi tumbuhan di tempat tersebut. Di dataran rendah dan daerah pantai mula-mula terbentuk gambut ombrogen, karena kondisi anaerobik dipertahankan oleh tingginya permukaan air sungai, penumpukan serasah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan 7 pembentukan hamparan gambut ombrogen. Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk oleh serasah vegetasi yang berlangsung seiama ribuan tahun dan memiliki kandungan hara rendah serta kaya akan bahan organik (Radjaguguk, 1990). Lahan gambut dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, biasanya dalam pengelolaan mengalami banyak kendala seperti sifat flsik dan kimia tanah. Menurut Soepardi (1979), secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang dihasilkan dari akumulasi sisa-sisa tanaman. Menurut Hakim et al., (1986), tingkat kematangan tanah gambut sangat di tentukan oleh dekomposisi bahan organik yang dikandungnya, proses dekomposisi dilakukan oleh jasad mikro sebagai bakteri yang aktif dalam bebagai reaksi kimia. Zulkifli (1993), menyatakan bahwa tingkat kematangan gambut dapat dibagi atas tiga yaitu fibrik (mempunyai tingkat kematangan bahan organik < 33%), hemik (mempunyai tingkat kematangan bahan organik antara 33-66 % ) , dan saprik (mempunyai tingkat kematangan bahan organik lebih dari 66%). Lahan percobaan Faperta Universitas Riau di Rimbo Panjang tergolong pada tanah Histosol dengan horizon histik yang ketebalannya bervariasi antara 40200 cm, dan mempunyai tingkat pelapukan saprik, pada kedalaman 100 cm dari permukaan tanah tidak dijumpai bahan sulfidik. Tanah Histosol tersebut termasuk pada kategori famili Typic Haplosaprik, Ferihumik, Dysik, Isohipertermik karena memiliki pH yang belum dikeringkan kurang dari 4,5 pada semua bahan organik dari horizon penentu, kandungan besi lebih dari 10 %, suhu rata-rata 26,3 °C dengan perbedaan suhu < 6 °C (Nasrul et al., 2002). Tanah ini memiliki kesuburan tanah rendah dimana K T K dan kejenuhan basa sangat rendah, bereaksi sangat 8 masam memiliki unsur yang bersifat toksit, pirit, sulfat potensial atau salinitas masih jauh dibawah kriteria yang dapat meracuni tanaman. Pengelolaan yang perlu diperhatikan pada tanah ini yaitu dalamnya saiuran dan jarak saluran draenase untuk mampertanahankan permukaan organik. 2.3 Pupuk N dan Efisiensinya Pemberian pupuk kandang maupun buatan dapat meningkatkan produktifitas tanaman di tanah gambut selain menambah hara mikro dan makro, pupuk kandang juga dapat merangsang kegiatan mikroorganisme dalam tanah (Limin 1993, dalam Abrahamsyah, 2000). Pemberian pupuk N dapat dilakukan dengan beberapa cara (1). Dengan menaburkan secara merata pada permukaan tanah, (2). Dengan membenamkan (tugal) di sekitar tanaman, (3). Menaburkan dengan system larikan diantara tanaman, (4.) Diberikan di sekeliling tanaman, dan (5). Diberikan melalui daun. Metoda yang lebih sesuai digunakan tergantung pada jenis tanaman dan tujuan penanaman (Sutedjo, 1994). Dalam aplikasi sifat pupuk perlu dipertimbangkan, pupuk yang bersifat mudah menguap (hidrokopis) sebaiknya dibenamkan (tugal) kedalam tanah (Osman, 1996). Pemberian pupuk N yang mudah larut dalam air akan lebih efisien bila pupuk tidak diberikan sekaligus, tetapi secara betahap sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kebutuhan N akan meningkat pada fase vegetatif dan fase primordia bunga atau menjelang keluamya bunga (Sarief, 1986). Nitrogen dalam bibit berfungsi dalam pembentukan protein yang merupakan bagian terpenting diam klorofil, berperan dalam pembentukan sel baru, proses fotosintesis menghasilkan karbohidrat dari C02dan H2O tidak bisa berlangsung tanpa adanya nitrogen dalam jumlah yang cukup. Tanaman yang 9 kekurangan pertumbuhan N dapat dilihat pada daun yang menguning, jaringan mati, lambat dan menghambat produksi protein dan bahan-bahan yangpenting lainnya dalam pembentukan sel baru. Kelebihan N pada tanaman akan terjadi fase vegetatif yang lama (Nyakpa dkk, 1986). Efisiensi adaiah tingginya penggunaan pupuk dalam peningkatan produksi untuk setiap satuan pupuk yang ditambahkan, sedangkan efisiensi ekonomis pemupukan menunjukan nilai tambahan produksi yang disebabkan oleh biaya yang dukeluarkan dalam pemupukan menyatakan nilai efisiensi penggunaan (Sudarman, 1990). Hunsigi, (1993) nitrogen dapat ditingkatkan dengan menyeleksi genotif yang cocok dan mengurangi kehilangan nitrat, kehilangan nitrat ( N H / ) dapat dikurangan dengan menyediakan sesuai dengan jumlah dan waktu yang dibutuhkan tanaman. laju serapan nitrogen berlangsung anrata 3-6 bulan setelah tanam yaitu saat pertumbuhan tunas dan perpanjangan batang hinggs masa vegetatif maksimum (Dillewijn, 1952 dalam Rusprasita dkk, 2001). Secara konvensional efisiensi penggunaan pupuk dapat dianalisa dengan menggunakan kontrol (tanpa pupuk) sebagai pembanding, yaitu selisih N totol yang diserap oleh perlakuan yang diberi pupuk N total diserap oleh perlakuan kontrol (Darwis, 1982). Sedangkan teknik analisa isotop dapat menghitung berapa jumlah N pupuk yang diserap tanaman dan berapa N yang tertinggal di dalam tanah atau yang hilang secara kuantitatif sehingga efisiensi pemanfaatan pupuk dapat dikalkulasi dengan tepat (Zapata, 1987). 2.4 Efisien Produksi Tanaman Produksi merupakan kemampuan tumbuhan untuk menghasilkan suatu produk yang dapat dimanfaatkan oleh mahluk hidup yang lainnya terutama 10 manusia. Efisiensi produksi dapat diartikan sebagai upaya penggunakaan input yuang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan output (produksi) yang sebesarbesamya. Produksi tanaman lidali buaya pada fesa vegetatif dapat diartikan sebagai kemampuan tanaman untuk menghasilkan banyaknya jel tanaman pada daun sehingga menghasilkan tebal, berat dan panjang daun untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupannya. Untuk mendapatkan nilai efisiensi produksi tanaman pada fase vegetatif maka di gunakan berat kering tanaman. Menerut Yahya (1988), untuk menduga nilai efisiensi produksi tanaman pada fase vegetatif dapat dilakukan dengan memperhitungkan berat kering tanaman yang dihasilkan oleh tanaman seiama proses pertumbuhan vegetatif Clak dalam Idwar, (1992) menjelaskan bahwa tanaman yang efisien dalam penggunaan hara adaiah tanaman yang tumbuh lebih baik dan menghasilkan banyak bahan tanaman dan menunjukan sedikit gejala defisiensi bila tanaman dalam konsentrasi hara yang rendah. Ada beberapa pengaruh yang memnyebabkan keuntungan pada petani tidak maksimal diantaranya adaiah (1). Petani tidak memahami prinsip hubungan antara output dan input, (2). Sering menghadapi resiko yang sangat tinggi, (3). Ketidak pastian harga dimasa yang akan datang, (4). Keterbatasan petani menyediakan input dan ketrampilan dalam berusaha tani.