TANGGUNG GUGAT DEBITOR TERHADAP HILANGNYA HAK

advertisement
TANGGUNG GUGAT DEBITOR TERHADAP HILANGNYA HAK ATAS
TANAH DALAM OBYEK JAMINAN HAK TANGGGUNGAN
Fani Martiawan Kumara Putra
Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma
[email protected]
Abstract
Security interest, provided by the debtor, is an implementation of prudential principle by the bank
as the creditor. Security interest is a right in rem, thus will give a priority to the creditor to enjoy
settlement from the property in which the security interest is laid down. However, Hak
Tanggungan over land right, will be extinct if the land right is extinct. The protection over the
creditor will be a main issue on the discussion. This article will discuss on the legal protection
over the creditor and the liability of the debtor if the land right, as the object of the Hak
Tanggungan, is extinct.
Keywords : security interest, right in rem, hak tanggungan.
Abstrak
Pengikatan suatu benda khusus sebagai suatu jaminan, merupakan wujud dari prinsip kehati-hatian
pihak kreditor dalam perjanjian hutang piutang, dan hal ini akan melahirkan hak kebendaan. Hak
kebendaan semacam ini tergolong hak kebendaan yang memberikan jaminan, dan mempunyai
beberapa keistimewaan tersendiri, antara lain preferensi kreditor, adanya prioritas, dan yang
terpenting adalah eksekusinya yang dapat terbilang lebih mudah dan pasti, yaitu dengan diaturnya
parate eksekusi. Hak tanggungan sebagai bentuk hak kebendaan ini bisa hapus karena beberapa
hal, antara lain karena hilangnya hak atas tanah yang sedang dijadikan obyek jaminan.
Perlindungan kreditor dan tanggung gugat debitor disini kerapkali menjadi masalah hingga proses
eksekusi. Dibahas dalam tulisan ini mengenai upaya yang dapat ditrempuh kreditor agar
mendapatkan perlindungan hukum, dan juga bentuk tanggung gugat debitor dalam hal hapusnya
hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Kata kunci : jaminan, hak kebendaan, hak tanggungan.
Pendahuluan
Manusia sebagai suatu sosok yang tidak dapat hidup sendiri dan kegiatan
hidupnya itu kerapkali penuh dengan perhitungan untung dan rugi, membawa
manusia itu saling mengikatkan diri dengan orang lain, yang mana peristiwa ini
dikenal dengan nama perikatan. Perikatan yang sering terjadi diantara masyarakat
itu kerapkali lahirnya didominasi oleh peristiwa perjanjian-perjanjian yang dibuat
oleh para pihak, selain perjanjian jual beli, perjanjian yang seringkali dibuat dan
disepakati para pihaknya adalah perjanjian hutang-piutang, yang mana sudah
barang tentu perjanjian hutang-piutang ini dilakukan untuk menopang kebutuhan
2
persediaan dana yang sangat besar. Pada prinsipnya dalam kehidupan seseorang
maupun perusahaan itu tidaklah terlepas dari transaksi hutang-piutang yang mana
di latarbelakangi untuk pemenuhan suatu kebutuhan.
Penyaluran kredit kepada masyarakat sebagai pelaku usaha, selaku kreditor,
penuh dengan resiko kemacetan dalam pelunasannya. Pemenuhan kebutuhan yang
dilatarbelakangi dengan hutang, karena membeli barang dengan cara mencicil,
sering dijumpai keadaan pembayarannya kurang atau tidak lancar (hutangnya
menjadi macet). Menyadari bahwa dana yang keluar dan masuk dalam kegiatan
perkreditan itu adalah dana yang sangat besar, dan didasari atas pentingnya dan
sungguh beresikonya kegiatan perkreditan itu, maka sudah semestinya kegiatan
perkreditan tersebut didampingi dengan kegiatan penjaminan, hal ini dikarenakan
perkembangan ekonomi
dan perdagangan itu
akan
pasti
diikuti oleh
perkembangan kebutuhan akan kredit, dan pemberian fasilitas kredit ini
memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. Maka sudah
sepantasnya jika pemberi dan penerima kredit, serta pihak lain yang terkait dalam
suatu kegiatan perkreditan itu mendapat perlindungan melalui suatu lembaga
jaminan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.
Sumber kredit yang diperoleh dari ikut sertanya lembaga bank dan
keuangan lainnya baik nasional maupun asing, sangat bergantung pada
tersedianya suatu sistem jaminan yang pasti. Pemberian fasilitas pinjaman atau
kredit dalam usaha pengadaan benda-benda yang membutuhkan dana sangat besar
itu selalu mensyaratkan tersedianya jaminan yang pasti bagi pihak pemberi kredit
maupun penjual demi keamanan modalnya dan kepastian hukum.
Dalam peraturan perundang-undangan, telah diberikan pengaman kepada
kreditor dalam menyalurkan kredit kepada pihak debitor, yakni dengan adanya
jaminan umum menurut yang mana diatur dalam Pasal 1131 jo. 1132 Burgerlijk
Wetboek (selanjutnya disebut BW), yang menentukan bahwa semua harta
kekayaan (kebendaan) debitor baik bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah
ada maupun yang akan ada menjadi jaminan atas seluruh perikatannya dengan
kreditor. Apabila terjadi wanprestasi maka seluruh harta benda debitor dijual
3
lelang dan dibagi-bagi rata menurut besar kecilnya piutang masing-masing
kreditor.
Perlindungan kreditor yang hanya mengandalkan adanya jaminan umum
tersebut dirasakan belum memberikan rasa aman bagi kreditor, sehingga dalam
praktiknya, penyaluran kredit baik itu berjumlah kecil maupun besar, pihak reditor
(biasanya dan terutama adalah bank) memandang perlu untuk meminta diikatnya
suatu jaminan khusus sebagai wujud dari prinsip kehati-hatiannya. Bilamana
pihak kreditor adalah bank, maka ketentuan ini tercermin dalam Pasal 8 UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan), yang mana
ditegaskan dalam pasal tersebut bahwa dalam menyalurkan kredit, bank wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan
kemampuan
serta
kesanggupan
debitor
mengembalikan
hutang
(kredit)
sebagaimana yang dijanjikan. Sedangkan bilamana kreditor itu adalah pihak nonbank, maka jaminan khusus ini tercermin hanya dari Pasal 1132 BW.
Jaminan kebendaan mempunyai posisi paling dominan dan dianggap
strategis dalam penyaluran kredit bank. Jaminan kebendaan yang paling banyak
diminta oleh bank adalah berupa tanah, karena secara ekonomis tanah mempunyai
prospek yang menguntungkan. Bilamana tanah akan dijadikan obyek jaminan,
maka aturannya bertumpu pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UU No. 5/1960) yang
mana kemudian atas amanah dari UU No. 5/1960 tersebut lahirlah UndangUndang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Selanjutnya disebut dengan UU No.
4/1996), Hak Tanggungan inilah yang kini dijadikan lembaga jaminan untuk
tanah, Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan untuk tanah ini juga dijabarkan
dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1996, yang mana mengatakan bahwa:
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain.
4
Berdasarkan definisi Hak Tanggungan yang dijabarkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU
No. 4/1996 tersebut, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lainnya. Yang dimaksud dengan kreditor tertentu adalah yang memperoleh atau
yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.
Ketentuan Angka 4 Penjelasan Umum UU No. 4/1996 dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya yaitu:
Bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak
menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan yang
diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi
piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Klausula Pasal 1 dan angka 4 penjelasan umum diatas ini menunjukkan salah satu
sifat hak kebendaan, yaitu sifat preferensi (droit de preference) lembaga jaminan
Hak Tanggunan, yaitu adanya sifat didahulukan pelunasan piutangnya daripada
kreditor lain (kreditor konkuren).
Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UU No. 4/1996 menegaskan bahwa Hak
Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi
obyek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman dan hasil karya
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan
hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang
dimaksudkan dalam UU No. 4/1996 sebagai benda-benda yang berkaitan dengan
tanah. Benda-benda yang berkaitan dengan tanah ini, yang dapat dibebani Hak
Tanggungan, tidak terbatas pada benda-benda yang merupakan milik pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan, namun juga termasuk yang bukan dimiliki oleh
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan tersebut, sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (5) UU No. 4/1996.
Berdasarkan beberapa ketentuan diatas, maka unsur-unsur pokok Hak
Tanggungan tersebut adalah:
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang
5
2. Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UU No. 5/1960
3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja,
tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan
satu-kesatuan dengan tanah itu.
4. Hutang yang dijamin haruslah suatu hutang tertentu.
5. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor lain.
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan, dalam UU No. 4/1996 diatur dalam Pasal
18, dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 4/1996 diatur mengenai hapusnya Hak
Tanggungan bila:
a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf (d) diatas, diatur mengenai hapusnya Hak
Tanggungan bilamana hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu hapus.
Tanah sebagai obyek jaminan Hak Tanggungan yang mana merupakan benda
terdaftar, diatasnya dapat dibebani tidak hanya Hak Milik karena sifatnya yang
bisa dibebani lebih dari satu macam hak, dan karenanya itu dinamakan hak atas
tanah. Dalam pasal ayat (1), (2) dan (3) UU No. 4/1996 disebutkan bahwa hak
atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
Hak Milik
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai atas Tanah Negara
Hak Pakai dan Hak Milik (diatur dalam PP)
Maka berdasarkan ketentuan diatas, bilamana salah satu hak tersebut hilang pada
saat masih berlakunya Hak Tanggungan, maka Hak Tanggungan menjadi hapus.
Hilangnya atau hapusnya hak atas tanah bisa disebabkan karena beberapa
hal, baik itu wujud tanahnya yang hilang seperti tanah tersebut tertimbun total
oleh tanah lain sebagai akibat bencana letusan gunung berapi atau tertutup air bah
atau tsunami, atau bahkan hilang karena perbuatan yang disengaja seperti
6
penutupan desa untuk pembuatan waduk. Hilangnya tanah seperti ini sudah jarang
terajdi dan walaupun terjadi maka antisipasi para pihak yang berkepentingan yaitu
diwujudkan dalam bentuk diasuransikannya tanah tersebut.
Hapusnya hak atas tanah kerapkali terjadi karena lewatnya waktu untuk
mana hak itu diberikan. Hak-hak atas tanah yang mana ada jangka waktunya,
selain Hak Milik, yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai
tentu saja ada jangka waktu berlakunya walaupun wujud tanah itu masih ada.
Dengan berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah itu
kembali kepada yang bersangkutan baik itu pemiliknya, atau kembali pada
kekuasaan Negara. Apabila hak atas tanah itu hapus, maka tentu saja posisi
kreditor disini menjadi dirugikan, karena sudah barang tentu bila hak atas tanah
itu hapus, maka hapuslah Hak Tanggungan, dan bila Hak Tanggungan hapus,
kedudukan kreditor Hak Tanggungan akan menjadi kreditor konkuren.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan tersebut diatas, permasalahan yang
dikaji dalam penulisan ini adalah perlindungan kreditor dan tanggung gugat
debitor Hak Tanggungan dalam hal hapusnya hak atas tanah yang sedang
dijaminkan.
Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Hak Kebendaan
Ketentuan hukum kebendaan atau hukum benda didalam BW, dapat
dijumpai dalam Buku II BW yang mengatur mengenai hukum kebendaan. Hal-hal
yang diatur dalam Buku II BW itu bila dirinci adalah sebagai berikut:1
1.
2.
3.
4.
5.
Tentang kebendaan dan cara-cara membedakan benda
Tentang hak kebendaan yang memberikan kenikmatan
Tentang kewarisan
Tentang piutang-piutang yang diistimewakan
Tentang hak kebendaan yang memberikan jaminan
Dalam Buku II BW tersebut diatur mengenai pengertian, cara membedakan benda
dan hak-hak kebendaan, baik hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atau
memberikan jaminan.
1
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta:Sinar Grafika, 2008, h. 30.
7
Konstruksi hukum akan adanya hak kebendaan, dapat secara singkat
dijelaskan sebagai berikut. Lahirnya perjanjian kredit antara debitor dan kreditor
yang mana merupakan perjanjian obligatoir dan hak yang lahir adalah hak pribadi
serta tunduk pada Buku III BW. Lalu terhadap perjanjian hutang-piutang tersebut
dikuatkanlah posisis krediotrnya dengan disepakatinya perjanjian jaminan,
perjanjian jaminan ini adalah perjanjian jaminan kebendaan karena adanya satu
benda tertentu yang diikat untuk pelunasan hutang, karena dalam hal ini obyeknya
adalah tanah, maka sebagai benda tidak bergerak perjanjian jaminannya jatuh
pada perjanjian jaminan Hak Tanggungan, perjanjian jaminan Hak Tanggungan
ini merupakan perjanjian kebendaan, dan karena itu tunduk pada Buku II BW, dan
kemudian lahirlah hak kebendaan (Zaakelijkerecht).
Pada dasarnya seluruh harta seseorang itu dijadikan jaminan bagi para
kreditornya (Pasal 1131 BW), dan pelunasannya akan dilakukan dengan
pembagian secara adil menurut besar kecilnya hutang. Dalam Pasal 1133 BW
diadakan pengecualian bagi kondisi diatas, bahwa bilamana ada diantara si
berpiutang itu yang mempunyai alasan-alasan yang sah untuk didahulukan, maka
pembayarannya akan didahulukan. Alasan-alasan yang sah untuk didahulukan
inilah yang mana didalamnya ada jaminan hak kebendaan, yang mana merubah
kedudukan kreditor yang awalnya konkuren, menjadi kreditor yang diutamakan
yaitu kreditor preferen.
Pada dasarnya, perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu
perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok adalah perjanjianperjanjian yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri (welke zdftanding
een redden van bestaan recht). Keberadaan jaminan kebendaan ini merupakan
perjanjian tambahan (accessoir), yang mana merupakan pendukung perjanjian
pendahulunya (perjanjian pokoknya) yang telah disepakati para pihak yang berupa
perjanjian hutang piutang, dengan demikian sifat perjanjian tambahan ini yaitu
mengikuti atau bergantung pada perjanjian pokoknya. Dikemukakan oleh Sri
Soedewi bahwa:2
2
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia : Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta:Liberty, 1980, h. 37.
8
Jaminan dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat asesoir yaitu
senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok,
dan mengabdi pada perjanjian pokok.
Dikemukakan hal serupa oleh Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut:3
Sifat asesoir sesuai sifat yang melekat pada hukum jaminan. Gadai dan
Hipotek. Lahir dan berakhirnya penyerahan Hak Milik bergantung pada
hutang pokok.
Hal ini berdasar bahwa pada umumnya diakui bahwa segala sesuatu yang
memperoleh dukungan akan menjadi lebih kokoh ketimbang saat sebelumnya
ketika
tidak
ada
pendukungnya,
maksudnya
perjanjian
utang
piutang
kedudukannya akan semakin kokoh manakala didukung oleh perjanjian jaminan
teutama adanya perjanjian kebendaan. Begitu pula bilamana perjanjian obligatoir
termasuk perjanjian kredit yang bermula sekedar memiliki sifat relatif sehingga
kreditornya hanya bersifat kreditor konkuren, bilamana kemudian didukung oleh
perjanjian jaminan yang memiliki sifat kebendaan, mengakibatkan kreditor yang
bersangkutan berubah posisi menjadi kreditor preferen dengan hak-hak yang lebih
istimewa.
Jaminan hak tangungan ini termasuk dalam jaminan kebendaan, hal ini
karena jaminan Hak Tanggungan lahir dari perjanjian yang bersifat accessoir,
sebagaimana ditegaskan pula oleh Sutan Remy, bahwa:4
Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri
sendiri. Keberadaannnya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut
perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah
perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin, dengan
kata lain perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian accesoir, dan
merupakan perjanjian jaminan kebendaan.
Dalam butir 8 Penjelasan Umum UU No. 4/1996 ditegaskan bahwa:
Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau
accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian
utang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya
ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.
3
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai, Fidusia,
Bandung:Alumni, 1987, h. 95-96.
4
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan – Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan Masalah
Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Bandung:Alumni, 1999, h. 29.
9
Sifat accesoir dari perjanjian Hak Tanggungan juga ditegaskan dalam Pasal 10
ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UU No. 4/1996 yang menyebutkan bahwa:
1. Pasal 10 ayat (1) UU No. 4/1996 menentukan bahwa perjanjian untuk
memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari
perjanjian utang piutang yang bersangkutan.
2. Pasal 18 ayat (1) huruf (a) menentukan Hak Tanggungan hapus karena
hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.
Dengan demikian, maka bilamana para pihak membuat perjanjian gadai, maka
lahirlah hak gadai bagi kreditornya, bilamana para pihak membuat perjanjian
Hipotek maka lahirlah hak Hipotek, begitu juga bila para pihak membuat
perjanjian jaminan Hak Tanggungan, maka lahirlah Hak Tanggungan. Hak
semacam ini bersifat sebagai kebendaan, karena lahir bukan dari perjanjian
obligatoir Buku II BW, tetapi lahir dari perjanjian kebendaan. Karena Hak
Tanggungan lahir dari perjanjian dan berkedudukan sebagai hak kebendaan, maka
melekat juga sifat-sifat istimewa yang umumnya ada pada hak kebendaan. Sifatsifat istimewa tersebut sekaligus menjadi penanda atau pembeda untuk hak
kebendaan terhadap hak perorangan, sifat-sifat istimewa yang pada umumnya ada
dalam hak kebendaan itu antara lain yaitu absolut/mutlak, adanya droit de
preference, adanya droit de suite, adanya asas spesialitas dan juga publisitas.
Prinsip Absolut/Mutlak Hak Tanggungan
Mengenai sifat absolut dari hak kebendaan, Sri Soedewi menyatakan
bahwa:
Dimaksud hak kebendaan (zakelijkrecht), yaitu hak mutlak atas sesuatu
benda, dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda,
dan dapat dipertahankan kepada siapapun juga. Hak kebendaan adalah
absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang.
Pemegang hak itu berhak menuntut setiap orang yang mengganggu hak nya
itu. 5
Berkenaan dengan Hak Tanggungan ini, dalam UU No. 4/1996 sifat hak
kebendaan secara implisit disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1996, yang
mana menyebutkan bahwa:
5
Sri Soedewi Machsoen Sofwan, Hukum Benda, Yogyakarta:Liberty, 1981, h. 24.
10
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.
5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
tuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain.
Dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 4/1996 tersebut tidak secara jelas disebutkan
bahwa Hak Tangungan merupakan Hak Kebendaan dan mempunyai sifat absolut,
oleh karena itu Sudargo Gautama mengungkapkan bahwa:
Sifat hak kebendaan itu ada karena pemilik hak-hak tersebut memiliki
wewenang untuk mengalihkan atau mengasingkan obyek nya.6
Senada dengan pendapat Sudargo Gautama, Mariam Darus Badrulzaman
menambahkan bahwa:
UU No. 5/1960 mengenal hak kebendaan bukan hanya pemilik mempunyai
wewenang untuk mengalihkan atau mengasingkan, tetapi juga karena hakhak itu tunduk pada pendaftaran. Lembaga pendaftaran inilah yang menjadi
ukuran bagi lahirnya hak kebendaan. Pendaftaran tanah dalam UU No.
5/1960 menunjukkan sifat kebendaan itu merupakan bawaan lahir dari UU
No. 5/1960 dan bukan merupakan sifat yang diberikan. Hal ini berdasarkan
Pasal 528 BW, karena itulah Hak Tanggungan dapat dikatakan mempunyai
sifat hak kebendaan, karena ciri-ciri / sifat hak kebendaan pada Hak
Tanggungan memang sengaja diberikan oleh pembentuk UU No. 4/1996.
Oleh karenanya UU No. 4/1996 merupakan Hak kebendaan, maka
mempunyai sifat yang absolut.7
Untuk itulah maka dalam lembaga penjaminan Hak Tanggungan ini melekat sifat
absolut/mutlak yang mana merupakan sifat dari hak kebendaan.
Prinsip Droit de Suite Hak Tanggungan
Droit de suite atau zaaksgevolg merupakan sifat hak kebendaan, namun
dalam UU No. 5/1960 sebagai landasan lahirnya UU No. 4/1996 tidak secara
tegas menyebutkan adanya hak kebendaan. Dalam hak kebendaan ini berarti
bahwa hak kebendaan itu bersifat hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun
6
Sudargo Gautama (Gauw Giok Siong), Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,
Jakarta:Keng Po, 1963, h. 27.
7
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Hypotheek, Bandung:Citra Aditya Bakti,
1991, h. 19.
11
juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada. Hak ini terus saja mengikuti
orang yang mempunyainya.8 Dalam Hak Tanggungan, hal ini diatur jelas dalam
UU No. 4/1996 yang mana tampak jelas pada Pasal 7 UU No. 4/1996 yang
menyatakan bahwa Hak Tanggungan itu tetap mengikuti obyeknya dalam tangan
siapapun obyek tersebut berada.
Oleh karena itu, walaupun obyek Hak Tanggungan itu sudah berpindah
tangan dan menjadi Hak Milik orang lain, namun Hak Tanggungan itu selalu
mengikuti di dalam tangan siapapun obyek Hak Tanggungan berpindah, yang
berarti prinsip droit de suite tersebut terdapat dalam UU No. 4/1996.9
Prinsip Droit de Preference Hak Tanggungan
Dalam BW, bentuk perlindungan istimewa kian diberikan kepada
pemegang jaminan hak kebendaan, pemberian ini berdasar pada Pasal 1133 BW,
yang menyatakan bahwa hak untuk didahulukan diantara para kreditor itu timbul
dari Hak Istimewa, Gadai dan Hipotek. Dalam perkembangan hukum di
Indonesia, perlindungan istimewa itu juga berlaku bagi Hak Tanggungan (UU No.
4/1996) dan Fidusia (UU No. 42/1999).10
Dalam UU No. 4/1996 tentang kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain, semula ditentukan pada Pasal 1
ayat (1) UU No. 4/1996, yang mana menyebutkan bahwa "Hak Tanggungan
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang memberikan
kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lainnya."
Penjabaran lebih lanjut terdapat dalam Penjelasan Umum Angka (4) Alinea (2)
UU No. 4/1996 yang menjelaskan bahwa:
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji,
kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan
umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan
8
Sri Soedewi Machsoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta:Liberty,
1974, h. 25.
9
Herowati Poesoko, Dinamika Hukum Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan,
Yogyakarta:Aswaja Pressindo, 2012, h. 72.
10
Ibid.
12
perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada
kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang
tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Adanya prinsip droit de preference dalam UU No. 4/1996 ini sudah barang tentu
sangatlah menguntungkan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan dalam hak
pelunasan hutang.
Prinsip Spesialitas Hak Tangungan
Prinsip spesialitas ini menentukan bahwa pembebanan suatu obyek jaminan
itu haruslah ditentukan secara spesifik obyeknya. Dalam Hak Tanggungan, asas
ini tercermin dari Pasal 1174 BW yang mengatur asas spesialitas untuk lembaga
jaminan Hipotek, hal ini dikarenakan Hak Tanggungan merupakan transformasi
dari lembaga jaminan Hipotek. Dalam ketentuan UU No. 4/1996, asas ini jelas
ditentukan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf (e) UU No. 4/1996, yang mana
menentukan bahwa "di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib
dicantumkan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan". Kata-kata
uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf
(e) tersebut menunjukkan bahwa obyek Hak Tanggungan harus secara spesifik
dapat ditunjukkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Dan oleh karenanya, dalam Hak Tanggungan ini berarti juga terdapat sifat hak
kebendaan pada umumnya yaitu adanya asas spesialitas. Hal adanya asas
spesialitas dalam Hak Tanggungan ini juga dimaksudkan agar pada saat adanya
eksekusi nantinya, pelaksanaan eksekusi oleh eksekutor itu tidaklah pada obyek
jaminan yang salah.
Prinsip Publisitas Hak Tanggungan
Seperti halnya asas spesialitas dalam Hak Tanggungan, asas publisitas ini
pun juga merupakan asas dalam lembaga jaminan Hipotek pada awal mulanya,
asas ini juga diberlakukan pada Hak Tanggungan karena Hak Tanggungan
merupakan transformasi dari lembaga jaminan Hipotek yang pada awal mulanya
13
merupakan lembaga jaminan untuk obyek tanah. Asas ini berada dalam Pasal
1179 BW yang mana menurut Pasal tersebut, pembukuan Hipotek harus
dilakukan dalam regiter-register umum yang memang khusus disediakan untuk
itu. Jika pembukuan demikian tidak dilakukan maka Hipotek yang bersangkutan
tidak mempunyai kekuatan apapun, bahka. Pula terhadap orang-orang yang
berpiutang yang tidak mempunyai kekuatan Hipotek.11
Dari pasal diatas, menentukan bahwa hak jaminan baru lahir ketika
dilakukan pendaftaran dakam register umum, yang mana sebenarnya saat
pendaftaran itu dilakukan, itu juga mengikat pihak ketiga yang tidak memiliki
hubungan apa-apa dengan jaminan Hipotek yang bersangkutan, agar menghormati
jaminan Hipotek tersebut dan waspada bila ingin mengadakan suatu perbuatan
hukum terhadap obyek jaminan tersebut. Dengan demikian wujud dari asas
publisitas ini adalah melalui pendaftaran.
Dalam ketentuan Hak Tanggungan, dalam UU No. 4/1996, asas publisitas
ini ditentukan dalam Pasal 13 UUHT yang menyatakan bahwa "Pemberian Hak
Tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan". Dalam Penjelasan Pasal
13 ayat (1) UU No. 4/1996 disebutkan bahwa "Pendaftaran pemberian Hak
Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan
mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga". Terkait dengan asas
publisitas Hak Tanggungan ini, Herowati Poesoko menjabarkan bahwa:
Tidak adil bagi pihak ketiga untuk terkait dengan pembebanan suatu Hak
Tanggungan atas suatu obyek Hak Tanggungan apabila pihak ketiga tidak
dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu.
Hanya dengan cara pencatatan atau pendaftaran yang terbuka untuk umum
lah yang memungkinkan pihak ketiga dalat mengetahui tentang adanya
pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah.12
Dari kelima sifat umum hak kebendaan tersebut, semakin menunjukkan bahwa
Hak Tanggungan merupakan jaminan hak kebendaan yang lahir dari perjanjian,
dan memberikan perlindungan yang cukup komprehensif kepada krediturnya
dalam hal pelunasan hutang.
11
Ibid, h. 80.
Ibid.
12
14
Hilangnya Hak Atas Tanah Yang Dijadikan Jaminan
Obyek Jaminan Hak Tanggungan
Untuk suatu hak atas tanah dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak
Tanggungan, menurut Boedi Harsono, suatu benda itu haruslah memenuhi syarat
yang tersirat juga tersurat dalam UU No. 4/1996, yaitu:13
1. Dapat dinilau dengan yabf, karena hutang yang dijamin berupa uang;
2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus
memenuhi syarat publisitas;
3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitor
cidera janji benda yang dijadikan jaminan itu akan dijual dimuka
umum; dan
4. Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU No. 4/1996, hak atas tanah yang dapat dibebani
Hak Tanggungan Dalam UU No. 4/1996, hak atas tanah yang dapat dibebani
dengan Hak Tanggungan dan sesuai ketentuan Pasal 51 UU No. 4/1996, yaitu :
1. Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan
3. Hak Guna Usaha
Lebih lanjut lagi, dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 4/1996 memberikan kesempatan
kepada Hak Pakai sebagai obyek Hak Tanggungan, yang mana disebutkan bahwa
:
Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai
atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku itu wajib didaftar
dan menurut sifatnya itu dapat dipindahtangankan, dapat juga dibebani Hak
Tanggungan.
Ditunjuknya Hak Pakai sebagai salah satu obyek Hak Tanggungan sebenarnya
menyimpang dari ketentuan UU No. 5/1960 yang mana menjadi dasar dari UU
No. 4/1996. Dalam UU No. 5/1960 hanya disebutkan 3 (tiga) macam hak atas
tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan, yaitu Hak Milik, Hak Guna
Boedi Harsono, “Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan”,
Seminar UUHT, UNPAD, h. 10.
13
15
Bangunan dan Hak Guna Usaha. Hal ini kemudian ditegaskan dalam Penjelasan
Umum angka (5) alinea II dan III UU No. 4/1996 sebagai berikut:
Hak Pakai dalam UU No. 5/1960 tidak ditunjuk sebagai obyek Hak
Tanggungan, karena pada waktu itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang
wajib didaftar dan karenanya tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk
dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun
harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara.
Sebagian dari Hak Pakai yang didaftar itu, menurut sifat dan kenyataannya
dapat dipindahtangankan, yaitu yang diberikan kepada orang perseorangan
dan badan-badan hukum perdata.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Hak
Pakai yang dimaksudkan itu dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
fidusia. Dalam Undang-Undang ini Hak Pakai tersebut ditunjuk sebagai
obyek Hak Tanggungan. Sehubungan dengan itu, maka untuk selanjutnya,
Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah,
dan dengan demikian menjadi tuntaslah unifikasi Hukum Tanah Nasional,
yang merupakan salah satu tujuan utama Undang-Undang Pokok Agraria.
Pernyataan bahwa Hak Pakai tersebut dapat dijadikan obyek Hak
Tanggungan merupakan penyesuaian ketentuan Undang-Undang Pokok
Agraria dengan perkembangan Hak Pakai itu sendiri serta kebutuhan
masyarakat.
Selain mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional, yang tidak kurang
pentingnya adalah, bahwa dengan ditunjuknya Hak Pakai tersebut sebagai
obyek Hak Tanggungan, bagi para pemegang haknya, yang sebagian
terbesar terdiri atas golongan ekonomii lemah yang tidak berkemampuan
untuk mempunyai tanah dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan,
menjadi terbuka kemungkinannya untuk memperoleh kredit yang
diperlukannya, dengan menggunakan tanah yang dipunyainya sebagai
jaminan.
Untuk Hak Pakai atas tanah Negara dengan peruntukan tertentu, meskipun
terdaftar, karena sifatnya yang tidak dapat dipindahtangankan, maka Hak Pakai
tersebut tidak dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan. Sedangkan untuk Hak
Pakai yangn diberikan oleh pemilik tanah berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3)
UU No. 4/1996 dan Penjelasan Umum diatas, di kemudian hari dapat menjadi
obyek Hak Tanggungan (lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah).
Sedasar dengan penjabaran diatas, maka obyek Hak Tanggungan adalah:
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
16
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak
Pakai
atas
tanah
Negara
yang
menurut
sifatnya
dapat
dipindahtangankan;
5. Hak Pakai atas tanah Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah).
Mengenai obyek Hak Tanggungan ini, berlaku asas pemisahan horizontal
dalam UU No. 4/1996, sedikit berbeda dengan BW yang menganut asas
perlekatan, hal ini dikarenakan UU No. 4/1996 lahir dari UU No. 5/1960 yang
menganut asas pemisahan horizontal dalam hukum adat. Dalam BW, asas
perlekatan ini tersurat dalam Pasal 1165 BW yang mana menentukan bahwa:
Setiap Hipotek meliputi segala perbaikan di kemudian hari pada benda yang
dibebani, juga segala apa yang menjadi satu kesatuan dengan benda itu
karena pertumbuhan atau pembangunan.
Dari Pasal 1165 BW ini dapat diambil makna bahwa tanpa diperjanjikan terlebih
dahulu pun, segala benda yang berkaitan dengan tanah yang sedang dibebani
Hipotek, baik benda itu sudah ada atau yang dikemudian hari itu baru akan ada
dan berkaitan dengan tanah itu, maka demi hukum juga termasuk obyek Hipotek.
Berbeda dengan UU No. 4/1996 yang mana berdasar pada UU No. 5/1960, UUPA
berdasar dari hukum adat Indonesia, sedangkan hukum adat itu menganut asas
pemisahan horizontal, oleh karena itu segala benda yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu tidak dengan sendirinya
terbebani pula dengan Hak Tanggungan yang mana sudah dibebankan kepada
tanah tersebut. Penjelasan Umum angka (6) alinea (1) UU No. 4/1996
menjelaskan bahwa:
Sebagai-mana diketahui Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum
adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Sehubungan dengan
itu, maka dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya
tersebut, Hukum Tanah Nasional menggunakan juga asas pemisahan
horizontal. Dalam rangka asas pemisahan horizontal, benda-benda yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan
bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan
hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi
benda-benda tersebut.
17
Berdasarkan ketentuan diatas, maka dapat diketahui bahwa UU No.4/1996
menganut asas pemisahan horizontal dalam pembebanan Hak Tanggungan.
Namun sebenarnya asas tersebut tidaklah mutlak, perkembangan kebutuhan
praktik menuntut agar diberikannya jalan kepada obyek yang melekat pada tanah
tersebut juga dapat terbebani Hak Tanggungan, hal in kemudian dapat dilakukan
dengan membuat kesepakatan antara debitor dan kreditor didalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT). Ketentuan ini dalam UU No.
4/1996 ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (4) sebagai berikut:
Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik
pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Dijelaskan pula dalam Penjelasan Umum angka (6) alinea (2) UU No. 4/1996
sebagai berikut:
Namun demikian penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak,
melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan
kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapi-nya. Atas dasar
kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal
tersebut, dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa pembebanan Hak
Tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula meliputi benda-benda
sebagaimana dimaksud di atas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan
oleh hukum dalam praktek, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu
kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaannya dijadikan
jaminan, dengan tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungannya. Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ikut
dijadikan jaminan itu tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak
atas tanah yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki
pihak lain. Sedangkan bangunan yang menggunakan ruang bawah tanah,
yang secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang ada di atas
permukaan bumi di atasnya, tidak termasuk dalam pengaturan ketentuan
mengenai Hak Tanggungan menurut Undang-undang ini.
Berdasarkan penjabaran diatas maka diketahui bahwa Hak Tanggungan sebagai
hak kebendaan yang mempunyai juga sifat-sifat istimewa hak kebendaan,
obyeknya adalah berupa hak atas tanah (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai atas Hak Milik, Hak Pakai atas Tanah Negara), dan tidaklah
serta-merta membuat apa yang melekat diatas tanah itu juga membuatnya menjadi
18
obyek Hak Tanggungan seperti halnya pada Hipotek yang mana pada awal
mulanya mengeatur tentang jaminan obyek tanah, namun obyek yang melekat
pada hak atas tanah yang dijaminkan itu dapat juga menjadi obyek jaminan Hak
Tanggungan bilamana disepakati dalam APHT nya.
Akibat Dari Hilangnya Hak Atas Tanah Yang Sedang Dijaminkan
Hak Tanggungan yang dijadikan obyek utama adalah hak atas tanah,
walaupun dalam praktiknya, sebagaimana Penjelasan Umum UU No. 4/1996
angka (6) ditentukan bahwa dalam kenyataannya seringkali terdapat benda-benda
berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu
kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Menurut Muhammad
Djumhana,
Hak Tanggungan
mempunyai
karakteristik dengan
ciri-ciri
diantaranya yaitu:14
1. Tidak dapat dibagi-bagi kecuali diperjanjikan lain. Maksudnya bahwa
Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan
setiap bagian darinya, artinya dengan telah dilunasinya sebagian dari
hutang yang dijamin itu tidak berarti terbebasnya sebagian obyek Hak
Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan
itu tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan untuk sisa hutang
yang belum dilunasi. (Pasal 2 ayat (1) UU No. 4/1996), namun
demikian dapat disimpangi artinya Hak Tanggungan itu dapat hanya
membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa hutang
yang belum dilunasi apabila diperjanjikan lain (Pasal 2 ayat (2) UU No.
4/1996);
2. Tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut
berada (droit de suite), maksudnya walaupun obyek Hak Tanggungan
sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih
tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi jika debitor
wanprestasi (Pasal 7 UU No. 4/1996);
3. Accesoir, artinya merupakan ikutan dari perjanjian pokok, maksudnya
bahwa perjanjian Hak Tanggungan tersebut ada apabila telah ada
perjanjian pokoknya yang berupa perjanjian yang ditimbulkan
hubungan hukum hutang piutang, sehingga akan hapus dengan
hapusnya perjanjian pokoknya (Pasal 10 ayat (1) UU No. 4/1996).
4. Asas spesialitas, yaitu bahwa unsur-unsur Hak Tanggungan tersebut
wajib ada untuk sahnya APHT, misalnya mengenai obyek hutang yang
dijamin (Pasal 11 ayat (1) UU No. 4/1996), dan apabila tidak
14
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, ,
2000, h. 411-412.
19
dicantumkan maka mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi
hukum;
5. Asas publisitas, yaitu perlunya perbuatan yang berkaitan dengan Hak
Tanggungan ini diketahui pula oleh pihak ketiga, dan salah satu
realisasinya yaitu dengan didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan
tersebut, hal ini merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak
Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak
ketiga (Pasal 13 ayat (1) UU No. 4/1996).
Berkaitan dengan hilangnya hak atas tanah, maka berkaitan pula dengan
hapusnya Hak Tanggungan. Hapusnya hak tangungan diatur dalam Pasal 18 UU
No. 4/1996, ayat (1) dari pasal tersebut menegaskan bahwa:
Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
1. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri;
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Terlihat dari Pasal 18 ayat (1) angka (4) UU No. 4/1996 tersebut, bahwa Hak
Tanggungan juga menjadi hapus bilamana hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan itu juga hapus, hal ini cukup dapat dimengerti karena berdasarkan
uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan adalah hak
kebendaan, bilamana obyek hak kebendaan itu hilang maka jaminan hak
kebendaan itupun tidak ada artinya lagi. Hapusnya hak atas tanah kerapkali terjadi
karena lewatnya waktu, untuk mana hak itu diberikan. Hak-hak yang lebih rendah
tingkatannya daripada Hak Milik seperti Hak Guna Bangunan atau Hak Guna
Usaha dan Hak Pakai, tentu saja terbatas masa waktu berlakunya, sekalipun fisik
tanah tersebut masih nyata ada. Dengan berakhirnya hak atas tanah yang
bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan itu kembali kepada
pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh Negara maka tanah tersbeut
kembali kepada kekuasaan Negara.
Hapusnya pembebanan hak atas tanah meskipun seripikat Hak Tanggungan
diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) sebagai
badan atau pejabat Tata Usaha Negara, jika sertifikat hak atas tanah itu dibatalkan
atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, sertifikat Hak Tanggungan tidak
20
perlu dimohonkan pembatalan, melainkan akan batal dengan sendirinya. Hal ini
berarti bahwa dengan dibatalkannya sertifikat hak atas tanah, maka sertifikat Hak
Tanggungan menjadi batal dengan sendirinya, dengan kata lain tidak perlu pula
dimohonkan pasa Pengadilan Tata Usaha Negara, melainkan batal dengan
sendirinya atau cukup dimohonkan pembatalan pada BPN. Dalam Penjelasan
Pasal 18 UUHT alinea (1) dan (2) ditegaskan bahwa:
Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, adanya Hak
Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya.
Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan
sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga.
Selain itu, pemegang Hak Tanggungan dapat melepaskan Hak
Tanggungannya dan hak atas tanah dapat hapus yang mengakibatkan
hapusnya Hak Tanggungan.
Berdasarkan uraian ini, meskipun Hak Tanggungan memiliki sifat-sifat istimewa
hak kebendaan yang telah disebutkan sebelumnya, bilamana hak atas tanah itu
hapus, maka berakhirlah Hak Tanggungan yang akan diikuti berubahnya status
kreditor preferen menjadi kreditor konkuren. Hal ini membawa kreditor pada
posisi yang rawan akan perlindungan yang komprehensif. Keadaan yang dapat
membawa kreditor dalam keadaan yang cukup rawan ini ternyata difasilitas oleh
pembentuk Undang-Undang juga, awal mula fasilitas perlindungan kreditor atas
hilangnya hak atas tanah ini terlihat dalam Penjelasan Pasal 18 UU No. 4/1996
alinea (3) yang menegaskan bahwa:
Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut
dalam Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau peraturan
perundang-undangan lainnya. Dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, atau Hak Pakai yang dijadikan obyek Hak Tanggungan berakhir
jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang
diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Tanggungan
dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.
Ketentuan diatas memberikan jalan bagi kreditor untuk dapat melakukan upaya
hukum penangkal resiko agar hak atas tanah tersebut tidak hilang sehingga tetap
melekat sebagai obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Untuk itu kreditor
perlu melakukan upaya hukum sebagai perwujudan nyata dari kesempatan yang
21
diberikan oleh Penjelasan Pasal 18 UU No. 4/1996 tersebut guna melindungi
posisinya dan hak nya dalam hal pelunasan hutang. Perihal upaya perlindungan
kreditor ini akan dibahas lebih lanjut dalam sub-bab berikutnya.
Batas Waktu Hak Atas Tanah
Berdasarkan uraian sebelumnya, telah disebutkan bahwa dalam praktik
yang sering terjadi hilangnya hak atas tanah adalah karena lewatnya waktu, cukup
jarang terjadi hapusnya hak atas tanah yang dikarenakan hilangnya fisik tanah
yang bersangkutan karena bencana alam, oleh karenanya berbagai hak atas tanah
yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan perlu untuk dijelaskan secara
singkat pula karakter akan batas waktunya.
Batas Waktu Hak Milik
Hak milik atas tanah dapat dipunyai oleh perseorangan Warga Negara
Indonesia dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah15. Karena
belum ada Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai Hak Milik,
maka ketentuan mengenai Hak Milik masih bersumber pada UU No. 5/1960, yaitu
pada Pasal 16 ayat (1) huruf (a) UU No. 5/1960, dan secara khusus diatur dalam
Pasal 20 sampai dengan 27 UU No. 5/1960. Berdasarkan Pasal 20 UU No. 5/1960
disebutkan bahwa “Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh
yang dapat dipunyai seseorang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam
Pasal 6 UU No. 5/1960”. Dalam Penjelasan Pasal 20 UU No. 5/1960 tersebut
ditegaskan bahwa Hak Milik tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah
dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus dan dapat
memberikan kewenangan paling luas pada pemiliknya dibanding hak atas tanah
yang lain.
Batas Waktu Hak Guna Usaha
15
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
22
Pada dasarnya ketentuan mengenai Hak Guna Usaha (HGU) ini disebutkan
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (b) UU No. 5/1960, khususnya dalam Pasal 28
sampai dengan Pasal 34 UU No. 5/1960. Peraturan lebih lanjut sesuai amanah
Pasal 50 ayat (2) UU No. 5/1960 yaitu Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah (PP No.
40/1996). Pasal 8 jo Pasal 10 PP No. 40/1996 mengatur mengenai jangka waktu
HGU yaitu jangka waktu Hak Guna Usaha untuk pertama kalinya adalah 35 (tiga
puluh lima) tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu selama 25 (dua puluh
lima) tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima)
tahun, dan permohonan perpanjangannya paling lambat dua tahun sebelum jangka
waktu Hak Guna Usaha tersebut berakhir.
Batas Waktu Hak Guna Bangunan
Serupa dengan Hak Guna Usaha, sesuai amanah Pasal 50 UU No. 5/1960,
Hak Guna Bangunan diatur secara lebih khusus dalam PP No. 40/1996, dalam
Pasal 21 PP No. 40/1996 ini ditegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan Hak
Guna Bangunan adalah: (a). Tanah Negara; (b). Tanah Hak Pengelolaan; (c).
Tanah Hak Milik. Oleh karena ketentuan Pasal 21 PP No. 40/1996 tersebut, maka
jangka waktu di setiap jenis tanahnya pun relatif berbeda, yaitu pengaturannya ada
dalam Pasal 25 jo Pasal 29 PP No. 40/1996 yang menentukan bahwa jangka
waktu Hak Guna Bangunan berbeda pada Hak Guna Bangunan yang berada pada
tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara dan atas Tanah
Pengelolaan berjangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun, dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan dapat
diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun. Sedangkan atas Tanah
Hak Milik berjangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dan tidak ada perpanjangan, bila
ingin diperpanjang maka antara pemilik tanah dengan pemilik Hak Guna
Bangunan dapat dibuat kesepakatan dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru
dengan akta yang baru pula yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota
Setempat.
23
Terkait permohonan untuk pembaharuan atau perpanjangan Hak Guna
Bangunan, Pasal 27 PP No. 40/1996 mengatur bahwa permohonan perpanjangan
jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan selambatlambatnya dua tahun sebelum berakhir-nya jangka waktu Hak Guna Bangunan
tersebut atau perpanjangannya.
Batas Waktu Hak Pakai
Serupa dengan Hak Guna Usaha, sesuai amanah Pasal 50 UUPA, Hak
Pakai diatur secara lebih khusus dalam PP No. 40/1996, dalam Pasal 41 PP No.
40/1996 ini ditegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan Hak Pakai adalah: (a).
Tanah Negara; (b). Tanah Hak Pengelolaan; (c). Tanah Hak Milik. Berdasarkan
Pasal 41 ayat (1) UU No. 5/1960 definisi dari Hak Pakai adalah:
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Mengenai jangka waktu keberlakuan Hak Pakai, karena berbagai hak atas tanah
yang dapat dibebani Hak Pakai, maka pengaturannya pun berbeda, dalam Pasal 45
ayat (1) dan (2) jo Pasal 49 PP No. 40/1996 dapat ditarik kesimpulan bahwa Hak
Pakai atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu pertama
kali paling lama 25 (dua puluh lima) tahun, dapat diperpanjang dengan jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan dapat diperbaharui dengan jangka
waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun. Berbeda dengan Hak Pakai atas
Tanah Hak Milik yang mana diberikan pertama kali untuk jangka waktu 25 (dua
puluh lima) tahun namun tidak dapat diperpanjang, untuk memperpanjang yaitu
dengan membuat kesepakatan antara pemilik tanah dan pemegang Hak Pakai
dengan pembaharuan Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten / Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah.
24
Terkait permohonan untuk pembaharuan atau perpanjangan Hak Pakai,
Pasal 47 PP No. 40/1996 mengatur bahwa permohonan perpanjangan jangka
waktu Hak Pakai atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun
sebelum berakhir-nya jangka waktu Hak Pakai tersebut atau perpanjangannya.
Janji-Janji Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Berdasarkan UU No. 4/1996, proses pembebanan Hak Tanggungan
dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap kegiatan, yaitu:
a. Tahap pemberian Hak Tanggungan dengan dibuatnya Akta Pembebanan
Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah;
b. Tahap pendaftaran Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU No. 4/1996 menyebutkan bahwa pemberian
Hak Tanggungan wajib dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(selanjutnya disebut PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum angka (7) alinea (2) UUHT
dijelaskan bahwa:
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, PPAT adalah pejabat
umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta
lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya
ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai
tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. Dalam
kedudukan sebagai yang disebutkan di atas, maka akta-akta yang dibuat
oleh PPAT merupakan akta otentik.
Dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU No. 30/2004), mengenai akta
otentik, bahwa:
Notaris adalah pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
Undang-Undang.
25
Meskipun dalam UU No. 30/2004 tegas ditentukan bahwa notaris berwenang
membuat akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum sempurna, namun
demikian akta otentik tidak harus selalu dibuat oleh notaris, karena sesungguhnya
akta otentik merupakan suatu akta yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat
oleh pegawai-pegawai umum yang berkuasa atas itu ditempat mana akta
dibuatnya.16 Habib Adjie menyatakan bahwa,
Tulisan-tulisan otentik berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang
sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat di hadapan pejabat-pejabat
(pegawai umum) yang diberi wewenang dan di tempat dimana akta tersebut
dibuat. 17
Lebih lanjut lagi juga dijabarkan olehnya bahwasanya akta otentik tidak saja dapat
dibuat oleh notaris.18 Dengan ini jelas dimungkinkan bahwa akta yang dibuat oleh
pejabat selain notaris juga merupakan akta otentik. Lebih lengkapnya, C.A.
Kraan juga menyatakan pendapatnya mengenai akta otentik, bahwa akta otentik
mempunyai ciri sebagai berikut: 19
1. Suatu tulisan, dibuat dengan sengaja dibuat semata-mata untuk
dijadikan alat bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana
disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang
berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya
ditandatangani oleh pejabat bersangkutan saja.
2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat
yang berwenang.
3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan
tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya
memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta
suatu tulisan, nama dan kedudukan atau jabatan pejabat yang
membuatnya data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut).
4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan
pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk-independence) serta tidak
memihak (onpatijdigheid-impartiality) dalam menjalankan jabatannya.
5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah
hubungan hukum di bidang hukum privat.
16
Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (Staatsblad 1847 Nomor 23).
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Bandung:Refika Aditama, 2008, h. 120.
18
Ibid.
19
C.A. Kraan, De Authentieke Akte, Amhem:Gouda Quint BV, 1984, h. 143, 201,
sebagaimana mengutip Habib Adjie, Op. Cit., h. 27.
17
26
Berdasar penjabaran diatas, maka dapat diketahui bahwa APHT merupakan akta
otentik berdasarkan ketentuan dalam UU No. 4/1996 dan juga pemenuhan
karakteristiknya sebagai akta otentik, yang mana berfungsi sebagai salah satu
syarat sah lahirnya Hak Tanggungan dan juga dapat melindungi kreditor selama
proses berlangsungnya Hak Tanggungan. APHT sebagai akta otentik ini
mempunyai kekuatan hukum yang sempurna, dan tentu saja mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna pula sebagaimana dikemukakan oleh Jusuf Patrianto
Tjahjono yaitu:
Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik diatur dalam
Pasal 1870 BW jo. Pasal 285 RGB adalah sempurna (volledig bewijskracht)
dan mengikat (bidende bewijskracht); sehingga akta otentik dapat berdiri
sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain,
dengan kata lain akta otentik yang berdiri sendiri menurut hukum telah
memenuhi ketentuan batas minimal pembuktian.20
Dalam pembebanan Hak Tangungan, diatur jelas dalam Pasal 11 UU No.
4/1996 bahwa pembebanannya wajib didahului dengan APHT, dengan tidak
dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut dalam APHT, maka
mengakibatkan akta yang bersangkutan itu batal demi hukum. Dalam Pasal 11
ayat (1) jo. Penjelasa Pasal 11 ayat (1) UU No. 4/1996, dapat diketahui bahwa halhal yang wajib dicantumkan dalam APHT adalah:
a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan. Apabila
Hak Tanggungannya dibebankan pula pada benda-benda yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau
badan hukum lain daripada pemegang hak atas tanah, pemberi Hak
Tanggungan adalah pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilim
benda tersebut;
b. Domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, dan
apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia,
baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia,
dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor Pejabat
Pembuat Akta Tanah tempat pembuatan APHT dianggal sebagai
domisili yang dipilih;
c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan
identitas debitor yang bersangkutan.
20
Jusuf Patrianto Tjahjono, Kedudukan Akta Otentik Dalam Sistem Hukum Pembuktian,
2009, h.5.
27
d. Nilai tanggungan;
e. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan, yaitu meliputi
rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi
tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian
mengenai kepemilikan, letak, batas-batas dan luas tanahnya.
Selain hal-hal yang wajib dicantumkan diatas, dalam APHT dapat dicantumkan
janji-janji yang sifatnya fakultatif, dan tidak mempunyai pengaruh terhadap
sahnya APHT. Dengan dimuatnya janji-janji itu dalam APHT yang kemudian
didaftar pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut juga mempunyai
kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) jo.
Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU No. 4/1996, maka janji-janji yang dimaksud
adalah:21
a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau
mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka,
kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan;
b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
mengubah bentuk atau susunan obyek Hak Tanggungan kecuali dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan
Ketetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi
letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sunguh cidera
janji;
d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu
diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau hak untuk mencegah
menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak
Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan
undang-undang;
e. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor
cidera janji;
f. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa
obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
g. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya
atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari pemegang Hak Tanggungan;
21
Herowati Poesoko, Op. Cit., h. 79.
28
h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan
haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk
kepentingan umum.
i. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan
untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan
diasuransikan.
j. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak
Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
k. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan Hak Tanggungan tetap berada di tangan kreditor sampai
seluruh kewajiban debitor dipenuhi sebagaimana mestinya.
Pencantuman janji-janji dalam suatu hubungan kontraktual adalah wajar, hal ini
karena adanya asas kebebasan berkontrak yang berdasar pada Pasal 1338 BW,
dalam pembebanan jaminan Hak Tanggungan, diberikan satu batasan janji yang
dilarang, yaitu janji untuk memiliki barang, hal ini terlihat dari pengaturan Pasal
12 UU No. 4/1996 yang menegaskan:
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apa-bila debitor cidera janji, batal
demi hukum.
Penjelasan Pasal 12 UU No. 4/1996 mengemukakan alasan dibatasinya janji untuk
memiliki obyek jaminan, yaitu:
Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor dan
pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai obyek Hak
Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang Hak
Tanggungan dilarang untuk secara serta merta men-jadi pemilik obyek Hak
Tanggungan karena debitor cidera janji. Walaupun demikian tidaklah
dilarang bagi pemegang Hak Tang-gungan untuk menjadi pembeli obyek
Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20
UUHT.
Menurut Herowati Poesoko, larangan dalam UU No. 4/1996 ini tercermin dari
ketentuan Hipotek, karena dahulu pembebanan jaminan pada hak atas tanah
dikuasai oleh Hipotek. Dalam akta Hipotek dilarang memuat kalusula milik
beding seperti tersebut dalam Pasal 1178 ayat (1) BW, yang antara lain
menyatakan segala janji dengan mana kreditor dikuasakan memiliki benda yang
29
diberikan dalam Hipotek adalah batal.22 Juga janji-janji ini sifatnya adalah
mengikat dan tidak dapat ditarik kembali dan tidak akan berakhir oleh sebabsebab yang disebutkan dalam Pasal 1813 BW, kecuali hutang debitor telah
dilunasi.
Pemberian Kuasa Sebagai Upaya Perlindungan Kreditor
Pada bahasan sebelumnya diatas, telah disebutkan bahwa hilangnya hak
atas tanah itu sangat beresiko membawa kreditor kedalam posisi yang sangat
rawan bahkan merugikan, untuk itu perlu dilakukan upaya oleh kreditor agar
kreditor tetap mendapatkan perlindungan hukum yang optimal.
Upaya hukum yang dapat ditempuh kreditor dapat terfasilitasi dengan
adanya janji-janji yang sifatnya fakultatif yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (2)
UU No. 4/1996. Berkenaan dengan hilangnya hak atas tanah, maka upaya
perlindungan kreditor terlihat difasilitasi dengan janji fakultatif yang berupa janji
untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan dan juga janji untuk diterimanya
seluruh atau sebagian ganti rugi.
Kejadian tertentu terhadap obyek Hak Tanggungan, dapat membuat nilai
obyek Hak Tanggungan menurun hingga saat eksekusi nanti tidak dapat menutupi
semua hutang debitor, bahkan juga dapat berakibat hapusnya Hak Tanggungan.
Hal ini dapat terjadi apabila lewatnya batas waktu hak atas tanah yang dibebani
Hak Tanggungan tersebut, juga apabila pihak yang sedang menguasai obyek Hak
Tanggungan tersebut tidak mempunyai kepedulian atau kurang melakukan
tindakan-tindakan pencegahan atau penyelamatan, juga perawatan obyek Hak
Tanggungan, sehingga dapat membuat nilai obyek Hak Tanggungan turun.
Hal-hal tersebut diatas itu dapat diantisipasi dengan pemberian kuasa
kewenangan kepada kreditor (pemegang Hak Tanggungan) untuk melakukan
tindakan-tindakan penyelamatan obyek jaminan Hak Tanggungan dan juga
kewenangan untuk melakukan tindakan agar hak atas tanah tidak hilang
kepemilikannya dengan secara mandiri memperpanjang masa berlaku obyek hak
22
Ibid.
30
atas tanah yang sedang dibebani Hak Tanggungan itu. Inilah sebenarnya fungsi
dari janji untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan yang dapat dicantumkan
dalam APHT sebagai upaya perlindungan kreditor bilamana hak atas tanah itu
hilang dan mengakibatkan Hak Tanggungan berakhir. Bilamana hak atas tanah
yang sedang dibebani Hak Tanggungan itu sudah tidak mungkin diselamatkan lagi
dari dibatalkannya hak atas tanah itu, maka perlindungan hukum kreditor yaitu
dengan menerima ganti rugi, hal mana ini menjadi fungsi dari janji pemberian
ganti rugi yang tertera dalam APHT.
Kedua janji diatas merupakan suatu wujud perlindungan hukum bagi
kreditor berkaitan dengan rawannya hak atas tanah itu hilang, kedua janji itu
sifatnya fakultatif, bilamana para pihak tidak sepakat maka tidak akan mengurangi
keabsahan APHT. Kedua janji tersebut berlaku untu hak atas tanah berupa Hak
Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai, karena ketiga hak atas tanah
itulah yang memiliki batas masa berlakunya seperti telah dijabarkan pada bahasan
sebelumnya.
Memperpanjang
atau
memperbaharui
hak
atas
tanah
itu
mememrlukan biaya yang tidak sedikit, dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 4/1996
tidak disebutkan siapa yang harus menanggung biayanya, namun sepatutnya biaya
perpanjangan dan pembaharuan hak atas tanah itu ditanggung oleh pemberi Hak
Tanggungan (debitor) karena kewajiban pembayaran hak atas tanah pada asasya
menjadi tanggungan pemilik atau pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Tanggung Gugat Debitor
Berkaitan dengan hilangnya atau hapusnya hak atas tanah, maka bentuk
tanggung gugat debitor terhadap kreditor adalah dengan pemberian ganti rugi baik
itu seluruhnya, ataupun sebagian, bilamana hak atas tanah tersebut dicabut oleh
pemerintah dan pemilik hak atas tanah itu diberikan ganti rugi, maka ganti rugi
itulah yang dimaksud dalam janji-janji terseut yang kemudian untuk diberikan
kepada kreditor. Hal ini sesuai dengan janji-janji fakultatif yang dapat
dicantumkan dalam APHT, yaitu janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan
memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan
31
dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk
kepentingan umum.
Lain halnya bilamana wujud persil tanahnya yang hilang sehingga
mengakibatkan hilangnya hak atas tanah dan hilangnya pula Hak Tanggungan,
bilamana hal ini terjadi maka tanggung gugat debitor adalah berkaitan dengan
pembayaran asuransi, sebagaimana janji dalam APHT yaitu janji bahwa
pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang
asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya,
jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan. Berkaitan dengan asuransi ini,
kerapkali janji seperti tersebut diatas itu dirasa belum cukup melindungi pihak
kreditor, karena itu biasanya dalam APHT diikuti janji-janji lain yang berkaitan
dengan pengasuransian obyek Hak Tanggungan ini, beberapa janji tersebut antara
lain:
1. Janji pemberian ganti rugi asuransi langsung dari pihak asuransi kepada
kreditor. Hal ini dikarenakan janji yang telah dibuat sebelumnya itu
hanyalah memberikan kewenbangan pada kreditor untuk menerima ganti
rugi dari perusahaan asuransi, namun pada dasarnya itu tidak cukup,
karena pada prinsipnya ganti rugi dari perusahaan asuransi akan langsung
diberikan kepada pemilik obyek Hak Tanggungan, bilamana ini terjadi,
akan berkompeten untuk pelunasan hutang (pemberian ganti rugi asuransi
yang diterima pemilik debitor untuk diserahkan kepada kreditor) itu lebih
lama lagi, terutama bila kreditornya lebih dari satu, maka dengan
tambahan janji kewenangan diatas, kreditor dapat langsung menerima
santunan ganti rugi dari perusahaan asuransi, atau perusahaan asuransi
dapat diingatkan untuk memberikan uang ganti rugi kepada kreditor atas
dasar kewenangan kreditor yang telah diperjanjikan dengan debitor. Janji
ini termasuk pula bilamana ada kejadian yang menilbulkan kerugian oleh
pihak asuransi, maka uang ganti rugi tersebut akan diterima oleh kreditor.
2. Janji kewenangan untuk menutup asuransi. Janji ini dikarenakan janji
asuransi terkait Hak Tanggungan itu sebenarnya sudah ada dalam blangko
APHT, namun perbuatan debitor untuk mengasuransikan obyek Hak
32
Tanggungan itulah yang belum tentu ada, sekalipun dalam UU No.
4/1996 diwajibkan untuk mengasuransikan obyek Hak Tanggungan. Hal
ini untuk mengantisipasi kemungkinan kelalaian debitor serta sekaligus
memberikan kuasa kepada kreditor agar dapat atas nama pemberi jaminan
itu menutup perjanjian asuransi, untuk suatu jumlah dan pada perusahaan
asuransi yang dipandang baik oleh kreditor.
3. Janji kewenangan untuk memilih perusahaan asuransi yang dipandang
baik dan menentukan besaran uang yang dipandang perlu. Hal ini karena
tidak cukup bilamana debitor mengasuransikannya di tempat yang asal
murah dan tanpa memperhatikan bonadifitasnya. Maka dari itu atas nama
debitor, kreditor diberikan kewenangan untuk bertindak menentukan halhal diatas.
4. Janji pembayaran premi asuransi oleh debitor.
Berbeda halnya bila tidak berkaitan dengan hak atas tanah hilang, bilamana terkait
dengan wanprestasi dari debitor, maka bentuk tanggung gugat debitor adalah
eksekusi obyek jaminan.
Eksekusi Obyek Hak Tanggungan
Eksekusi obyek jaminan kebendaan merupakan salah satu langkah
pelunasan hutang, menurut Soedikno Mertokusumo eksekusi adalah:23
Eksekusi adalah sebagi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Obyek dari eksekusi adalah salinan
putusan dan grosse akta (salinan pertama dari akta otentik). Grosse akta
dapat dieksekusi karena memuat titel eksekutorial, sehingga grosse akta
dapat disamakan kekuatannya dengan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap24.
Ditambahkan oleh Soedikno Mertokusumo, bahwa terdapat beberapa jenis
pelaksanaan putusan (eksekusi) yaitu sebagai berikut:25
23
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:Liberty,1998, h.
24
Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta:BPHN, 1977, h. 128.
Soedikno Mertokusumo, Loc. Cit.
240.
25
33
1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar
sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 HIR (Pasal 208
RBg);
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu
perbuatan. Hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR (Pasal 259 RBg). Orang
tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa
perbuatan. Akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat minta kepada
hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya itu dinilai dengan
uang.
3. Eksekusi riil. Eksekusi ini merupakan pelaksanaan prestasi yang
dibebankan kepada debitor oleh putusan hakim secara langsung.
Eksekusi ini adalah pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil
yang sama seperti apabila dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang
bersangkutan. Dengan eksekusi riil, maka yang berhak lah yang
menerima prestasi. Prestasi yang terhutang seperti pembayaran
sejumlah uang, melakukan suatu perbuatan tertentum tidak berbuat, dan
menyerahkan benda. Maka dari itu ganti rugi dan uang paksa bukanlah
termasuk eksekusi riil. Eksekusi ini diatur sedikit dalam HIR (hanya
dalam penjualan lelang) Pasal 200 ayat 11, dan dalam RBg Pasal 218
ayat 2, selebihnya diatur dalam Pasal 1033 RV.
4. Eksekusi langsung. Disamping ketiga jenis eksekusi diatas, masih
dikenal apa yang dinamakan “parate executie” atau eksekusi langsung.
Parate executie terjadi apabila seorang kreditor menjual barang-barang
tertentu milik debitor tanpa mempunyai titel eksekutorial (Pasal 1155,
1175 ayat (2) BW).
Eksekusi obyek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 20 UU No. 4/1996, yang
ditegaskan dalam ayat (1):
Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak
Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan
piutang pemegang Hak Tang-gungan dengan hak mendahulu dari
pada kreditor-kreditor lainnya.
Dan dalam Pasal 20 ayat (2) UU No. 4/1996 dijelaskan:
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan
obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan
demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
semua pihak.
34
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 UU No. 4/1996 diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu:
1. Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kuasanya sendiri melali pelelangan umum, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 UU No. 4/1996. Hal mana dikenal juga sebagai
Parate Executie.
2. Eksekui berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat pada sertifikat Hak
Tanggungan.
Irah-irah
yang
dicantumkan
dalam
sertifikat
Hak
Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT,
yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA” berlaku sebagi titel eksekutorial dan menegaskan
adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan tersebut.
Sehingga bilamana debitor wanprestasi maka siap untuk di eksekusi
seperti halnya sudah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap26. Melalui titel ini juga obyek Hak Tanggungan dapat dijual
melalui pelelangan umum sesuai dengan Hukum Acara Perdata.27
3. Eksekusi dibawah tangan, yaitu penjualan obyek Hak Tanggungan yang
dilakukan oleh pemegang Hak Tanggungan, jika dengan cara ini
diharapkan akan diperoleh harga yang tertinggi.28
Berdasarkan penjabaran singkat diatas, maka dapat terlihat perbedaan bentuk
tangung gugat debitor bila hak atas tanah hilang (ganti rugi) dan juga bila debitor
wanprestasi (eksekusi : parate eksekusi, titel eksekutorial, atau dibawah tangan)
Kesimpulan
26
Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3632).
27
Pasal 20 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3632).
28
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3632).
35
Lembaga jaminan Hak Tanggungan merupakan salah satu lembaga jaminan
yang banyak diminati, salah satu alasannya adalah karena tanah merupakan benda
tidak bergerak dan merupakan benda modal yang dapat berkembang nilainya.
Dibalik keistimewaan itu ternyata posisi kreditor dapat menjadi sangat rawan, hal
ini karena Hak Tanggungan itu pembebanannya pada hak atas tanah (HGB, HGU,
Hak Pakai, Hak Milik) dan hak atas tanah itu sewaktu-waktu dapat hilang atau
hapus baik karena bencana alam atau karena ketentuan undang-undang.
Perlindungan kreditor dalam hal rawannya hak atas tanah hilang atau hapus ini
yaitu dengan memanfaatkan janji-janji kuasa dalam APHT sebagi penangkal
resiko bagi kreditor, sehingga kreditor memiliki kewenangan lebih dalam
bertindak pada obyek Hak Tanggunan yang bersangkutan. Sedangkan tanggung
gugat debitor bilamana hak atas tanah itu hapus karena ketentuan undang-undang,
yaitu dengan pemberian kepada kreditor uang ganti rugi yang diterima debitor dari
pemerintah, atau bilamana wujud tanah itu hilang karena bencana alam, maka
bentuk tanggung gugat debitor adalah dengan pemberian kepada kreditor uang
ganti rugi dari pihak asuransi. Berbeda halnya dengan bilamana debitor
wanprestasi, bilamana wanprestasi maka tanggung gugatnya adalah dalam bentuk
eksekusi obyek jaminan, dimana untuk Hak Tanggungan ini eksekusinya berupa 3
(tiga) macam, yaitu Parate Executie, titek eksekutorial dan penjualan dibawah
tangan.
36
Daftar Bacaan
Buku
Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, Bandung, Refika Aditama, 2008.
Badrulzaman, Mariam Darus, Bab-Bab Tentang Hypotheek, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 1991.
_______, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai, Fiducia, Bandung Alumni,
1987.
C.A. Kraan, De Authentieke Akte, Arnhem, Gouda Quint BV, 1984.
Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 2000.
Gautama, Sudargo (Gauw Giok Siong), Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,
Jakarta, Keng Po, 1963.
Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty,
1998.
Patrianto, Jusuf, T., Kedudukan Akta Otentik Dalam Sistem Hukum Pembuktian,
2009.
Poesoko, Herowati, Dinamika Hukum Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan,
Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2012.
Satrio J, Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, Bandung, Citra Aditya Bakti,
1996.
_______, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 2007.
Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan – Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan
Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Bandung, Alumni, 1999.
Sofwan, Sri Soedewi, Machsoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta, Liberty Offset,
1980.
________, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty Offset, 1981.
________, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, 1974.
37
Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta, BPHN, 1977.
Usman, Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.
Perundang-Undangan :
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah
Download