BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal Sistem muskuloskeletal merupakan sistem otot rangka atau otot yang melekat pada tulang yang terdiri atas otot-otot serat lintang yang sifat gerakannya dapat diatur (volunter) yang secara umum berfungsi sebagai berikut: (1) menyelenggarakan pergerakan bagian-bagian tubuh atau berjalan; (2) mempertahankan sikap tertentu karena adanya kontraksi otot secara lokal yang memungkinkan kita mengambil sikap berdiri, duduk, jongkok, dan sikap lainnya; (3) menghasilkan panas karena proses-proses kimia dalam otot yang dapat digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh. Otot skeletal secara volunter dikendalikan oleh saraf pusat dan perifer (Guyton & Hall, 2008). Otot skeletal atau otot lurik berperan dalam gerakan tubuh dan produksi panas. Otot dihubungkan oleh tendon ke tulang, jaringan ikat, dan kulit. Otot tubuh tersusun oleh kelompok sel otot yang terbungkus dalam jaringan fibrus dinamakan epimisium. Semakin banyak fasikuli yang terdapat dalam otot semakin rinci gerakan yang ditimbulkan. Kelompok otot skeletal, berdasarkan lokasinya terdiri dari kelompok otot leher, punggung, dada, bahu lengan atas, lengan bawah, pantat, dasar panggul, paha atas, betis, dan kaki (Smeltzer, 2011). Kontraksi otot skelet diakibatkan oleh kontraksi masing-masing sarkomer. Kontraksi sarkomer disebabkan oleh interaksi antara miosin pada filamen tebal dan aktin dalam filamen tipis dibantu dengan adanya kalsium. Ketika kadar kalsium dalam sarkomer menurun maka filamen miosin dan aktin berhenti 9 10 berinteraksi dan sarkomer kembali ke panjang awal atau relaksasi. Terdapat komunikasi antara sel saraf dan sel otot pada motor end plete. Neuron yang mengatur aktivitas sel otot skelet disebut dengan lower motor neuron. Neuron ini berasal dari kornu anterior korda spinalis (Smeltzer, 2011). Ketika istirahat, ATP terikat pada sisi ATPase pada kepala miosin, dengan kekuatan hidrolisis yang lambat. Miosin membutuhkan aktin sebagai kofaktor untuk memecah ATP dengan cepat dan melepaskan energi. Otot yang sedang beristirahat miosin tidak dapat berhubungan dengan aktin karena tempat pengikatan kepala miosin pada molekul aktin ditutupi oleh troponin-tropomiosin. Apabila terdapat ion kaslium yang cukup tinggi, ion kalsium akan terikat pada subunit TnC dari troponin. Konfigurasi sebagian dari ketiga subunit ini membawa molekul tropomyosin lebih jauh kedalam untaian ganda aktin, sehingga aktin bebas berinteraksi dengan miosin. Pengikatan ion kalsium berhubungan dengan ATP-miosin diubah menjadi kompleks yang aktif. ATP dipecah menjadi ADP, Pi, dan energi yang dilepas. Karena aktin berikatan dengan miosin, pergerakan kepala miosin akan menarik aktin melewati filamen miosin sehingga filamen tipis akan tertarik jauh (Diantini, 2010). Kelelahan otot merupakan ketidakmampuan otot mempertahankan tenaga yang diperlukan tubuh. Kelelahan otot dihubungkan dengan mekanisme kontraktil dari otot tersebut, beberapa di antaranya adalah: 1. Penumpukan Asam Laktat Terjadinya kelelahan otot disebabkan oleh penumpukan asam laktat. Apabila rasio asam laktat pada otot meningkat, puncak tegangan otot akan menurun. 11 Asam laktat dapat menghalangi fungsi otot. Asam laktat juga akan mempengaruhi proses eksitasi yang berdampak pada pH intraseluler dan konsentrasi ion Hidrogen. Peningkatan asam laktat, konsentrasi H meningkat dan pH akan menurun. Peningkatan Hidrogen akan menurunkan eksitasi oleh karena menurunnya sejumlah Ca yang dikeluarkan oleh retikulum sarkoplasma dan gangguan kapasitas. 2. Pengosongan Penyimpanan ATP dan PC ATP merupakan sumber energi langsung untuk kontraksi otot, dan PC dipergunakan untuk resistensi ATP secepatnya, pengosongan fosfagen intraseluler mengakibatkan kelelahan. 3. Pengosongan Penyimpanan Glikogen Otot Rendahnya level glukosa darah menyebabkan pengosongan cadangan glikogen hati. Kelelahan otot lokal disebabkan oleh karena pengosongan cadangan glikogen otot (Guyton & Hall, 2008). Kelelahan otot yang berlanjut akan menimbulkan nyeri atau sinyal sensorik yang akan dijalarkan dari otot ke medulla spinalis, yang selanjutnya menimbulkan reflek umpan balik kontraksi otot. Kontraksi ini akan merangsang reseptor sensorik yang sama lebih hebat lagi dan menyebabkan medulla spinalis meningkatkan intensitas kontraksinya. Timbul mekanisme umpan balik positif sehingga sedikit saja iritasi menimbulkan kontraksi yang terus menerus akhirnya menimbulkan terjadinya kram otot (Guyton & Hall, 2008). 12 2.2 Keluhan Muskuloskeletal 2.2.1 Definisi Keluhan Muskuloseletal Keluhan muskuloskeletal merupakan keluhan yang terdapat pada bagianbagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit (Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, 2004). Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan. 2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut. 2.2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Keluhan Muskuloskeletal Peter Vi (2000) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal. 1. Faktor Primer a. Peregangan Otot yang Berlebihan Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi 13 karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal. b. Aktivitas Berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkut, dan sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi. c. Sikap Kerja Tidak Alamiah Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntunan tugas, alat kerja, dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Manuaba, 2006). Diperkirakan sekitar 30% Back Injuries akibat cara mengangkat menuntut sikap kerja yang membungkuk dan memutar sehingga ikut berputarnya tulang belakang. Disamping itu alat bantu sering tidak tersedia, atau apabila 14 tersedia sering tidak digunakan karena alasan kurang praktis atau menghambat pekerja (Helander, 1995) dalam Hasan (2010). 2. Faktor Sekunder a. Tekanan Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap. b. Getaran Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot. c. Mikroklimat Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan, dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke 15 otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat, dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot. 3. Faktor Kombinasi Risiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat apabila dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam waktu yang bersamaan, misalnya tukang suun yang melakukan aktivitas mesuunan di bawah tekanan panas matahari. Disamping itu dipengaruhi oleh beban dan lamanya aktivitas yang dilakukan. Disamping ketiga faktor penyebab terjadinya keluhan otot tersebut di atas, beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik, dan ukuran tubuh juga dapat menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, 2004). 1. Umur Chaffin (1979) dan Gue, et al (1995) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat. Sebagai contoh Betti’e, et al (1989) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) telah melakukan studi tentang kekuatan statik otot untuk pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan di atas 60 tahun. 16 Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung, dan kaki. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 2029 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan otot menurun sampai 20%. Pada saat kekuatan otot mulai menurun maka risiko terjadinya keluhan otot akan meningkat. Riihimaki, et al (1989) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot, terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot. 2. Jenis Kelamin Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah daripada pria. Astrand & Rodahl (1997) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hasil penelitian Betti’e, et al (1989) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menunjukan bahwa rerata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Chiang, et 17 al (1993), Bernard, et al (1994), Hales, et al (1994), dan Johanson, et al (1994) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3. Dari uraian tersebut di atas, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas. 3. Kebiasaan Merokok Sama halnya dengan faktor jenis kelamin, pengaruh kebiasaan merokok terhadap risiko keluhan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli, namun demikian, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Boshuizen, et al (1994) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menemukan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot. 18 Penelitian yang dilakukan Arini (2009) pada tukang angkut barang di Stasiun Jatinegara Jakarta dan penelitian yang dilakukan Soleha (2009) pada operator Cant Plan PT X menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan keluhan muskuloskeletal. 4. Kesegaran Jasmani Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada seseorang yang dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat. Sebaliknya, bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan tenaga yang besar, di sisi lain tidak mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat, hampir dapat dipastikan akan terjadi keluhan otot. Tingkat keluhan otot juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kesegaran tubuh. Laporan NIOSH yang dikutip dari hasil penelitian Cady, et al (1979) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menyatakan bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh yang rendah, maka risiko terjadinya keluhan adalah 7,1%, tingkat kesegaran tubuh sedang adalah 3,2% dan tingkat kesegaran tubuh tinggi adalah 0,8%. Hal ini juga diperkuat dengan laporan Betti’e, et al (1989) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) yang menyatakan bahwa hasil penelitian terhadap para penerbang menunjukan bahwa kelompok penerbang dengan tingkat kesegaran tubuh yang tinggi mempunyai risiko yang sangat kecil terhadap risiko cedera otot. Dari uraian tersebut dapat digaris bawahi bahwa, tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan meningkat sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik. 19 5. Kekuatan Fisik Sama halnya dengan beberapa faktor lainnya, hubungan antara kekuatan fisik dengan risiko keluhan otot skeletal juga masih diperdebatkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan, namun penelitian lainnya menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kekuatan fisik dengan keluhan otot skeletal. Chaffin & Park (1973) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) yang dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan punggung yang tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja yang kekuatan ototnya rendah, risiko terjadinya keluhan tiga kali lipat dari yang mempunyai kekuatan tinggi. Sementara itu Betti’e, et al (1989) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menemukan bahwa pekerja yang sudah mempunyai keluhan pinggang mampu melakukan pekerjaan seperti pekerja lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang. Terlepas dari perbedaan kedua hasil penelitian tersebut di atas, secara fisiologi ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Dalam kondisi kekuatan yang berbeda ini, apabila harus melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, jelas yang mempunyai kekuatan rendah akan lebih rentan terhadap risiko cedera otot. Namun, untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan pengerahan tenaga, maka faktor kekuatan fisik kurang relevan terhadap risiko keluhan otot skeletal. 20 6. Ukuran Tubuh (antropometri) Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan, dan massa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal. Vessy, et al (1990) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai risiko dua kali lipat dibandingkan wanita kurus. Hal ini diperkuat oleh Werner, et al (1994) dalam Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, (2004) yang menyatakan bahwa bagi pasien yang gemuk (obesitas dengan Indeks Masa Tubuh/IMT > 25,0) mempunyai risiko 2,5% lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus (IMT < 18,5), khususnya untuk otot kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya sering menderita keluhan sakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu, dan pergelangan tangan. Tabel 1. Kategori Ambang Batas Indeks Masa Tubuh (IMT) untuk Indonesia. Keadaan Kurus Kategori Kekurangan berat badan tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat ringan Normal Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat IMT <17,0 17,0 – 18,5 >18,5 – 25,0 >25,0 – 27,0 >27,0 Sumber: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2003 Apabila dicermati, keluhan otot skeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya. Sebagai contoh, tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekan dan 21 rentan terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, Bakri, & Sudiajeng, 2004). Keluhan muskuloskeletal dapat diukur dengan kuesioner Nordic Body Map. Kuesioner ini sudah cukup terstandarisasi dan tersusun rapi. Kuesioner ini dikembangkan oleh Kuorinka pada tahun 1987 dan dimodifikasi oleh Dickinson tahun 1992. Kuesioner ini terdiri dari 2 bagian yaitu bagian umum dan terperinci. Bagian umum merupakan gambar dari tubuh dilihat dari belakang yang dibagi menjadi 9 bagian. Responden yang mengisi kuesioner diminta untuk memberikan tanda ada tidaknya gangguan pada area tersebut. Suatu bagian yang spesifik dalam daftar pertanyaan Nordic Body Map terpusat pada area tubuh dimana gangguan bagian area tubuh tersebut paling umum dijumpai seperti leher dan punggung (Kroemer, 2009). 2.3 Mesuunan Kata mesuunan memiliki arti yang sama dengan menjunjung dalam bahasa Indonesia yaitu membawa di atas kepala. Wanita di Bali rata-rata mulai melakukan kegiatan mesuunan sejak masa anak-anak atau remaja dikarenakan faktor budaya, dimana wanita Bali diharuskan bisa nyuun banten atau sesaji dan disuun ke pura untuk persembahyangan. Melalui kebudayaan mereka mulai bisa mesuunan tanpa menjatuhkan bendanya, pusat keseimbangan terletak pada kepala dan leher. Namun, bagi para wanita yang baru belajar ataupun mesuunan dengan beban yang sangat berat maka mereka akan mesuunan sembari memegang benda 22 tersebut dengan dua ataupun satu tangan di bagian sampingnya sebagai pengatur keseimbangan. Selain ke pura aktivitas mesuunan paling sering dilakukan di pasar tradisional, aktivitas mesuunan di pasar dilakukan oleh tukang suun (buruh angkat-angkut). Wanita Bali membawa objeknya hampir selalu disuun. Di Bali, benda yang disuun dengan cara seperti itu adalah segala jenis benda atau material. Menjunjung objek di atas kepala, biasa dilakukan oleh wanita di negara Asia Tenggara, India, Bangladesh, Pakistan, dan kawasan Asia lainnya. Cara itu mungkin paling baik. Hal itu dilandasi tinjauan biomekanik; karena berat benda yang diangkut dibagi rata ke bawah melalui tulang kepala lalu ke tulang leher. Akan berbeda bila menggendong objek, apalagi terlalu ke bawah, maka berat benda akan berada di luar titik pusat gravitasi tubuh. Demikian pula kalau objek di samping tubuh maka titik berat objek di luar titik pusat gravitasi tubuh. Untuk itu akan dibutuhkan tenaga yang lebih besar untuk mengangkutnya. Dalam suatu studi di India oleh Atreya dan Ray (1997) dalam Ramdhayani (2010), pada wanita India yang mengangkut air dengan gentong di atas kepala paling efesien bila dibandingkan dengan di punggung ataupun di samping tubuh. Teknik mesuunan yang salah dapat menyebabkan keluhan muskuloskeletal. Mesuunan dalam jangka waktu lama dapat menekan otot leher, sirkulasi darah, dan saraf. Penurunan sirkulasi darah meningkatkan terjadinya metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob ini meningkatkan karbondioksida dan penimbunan asam laktat, sehingga terjadi kelelahan otot dan menimbulkan keluhan muskuloskeletal seperti nyeri dan kram otot. 23 Beban berlebih saat mesuunan dapat menimbulkan cedera pada leher, punggung dan kaki. Pada studi pendahuluan di Pasar Badung terdapat sepuluh tukang suun menunjukan beban rata-rata yang disuun bervariasi dari 50 kg sampai dengan 70 kg. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2005) batasan angkat maksimum untuk wanita dewasa apabila dilakukan dengan cara menjunjung beban adalah 15 sampai 20 kg atau tidak lebih dari 30% sampai 40% berat badan. Dengan beban mesuunan yang melebihi batas angkat maksimum rata-rata tukang suun mengeluhkan nyeri pada leher, pundak, punggung, lutut, dan kaki. Batasan angkat yang dipakai sebagai batasan angkat secara legal menurut Komisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Inggris (Hutagalung, 2009). Tabel 2. Batasan Angkat Menurut ILO (Dalam Kilogram) Usia (Tahun) 14-16 16-18 18-20 20-35 35-50 >50 Pria 14,3 18,1 22,2 24,0 20,2 15,3 Wanita 9,6 11,5 13,4 14,3 12,5 9,6 Sumber: Hutagalung, 2009 Faktor kontribusi terjadinya keluhan muskuloskeletal pada aktivitas mesuunan antara lain: (1) berat beban mesuunan yang berlebih; (2) distribusi beban/isi dari keranjang suunan yang tidak rata; (3) mesuunan dalam waktu yang lama dan sering; (4) mengangkat keranjang suunan dengan teknik yang salah. Menurut Hutagalung (2009), desain keranjang tukang suun yang ergonomis dipertimbangkan dengan data antropometri, berat, volume, bentuk, 24 perhitungan batasan angkat, dan bahan keranjang. Dari semua aspek tersebut, maka diperoleh data perhitungan ukuran keranjang ergonomis, tinggi 32 cm, diameter 32 cm, berat 1,01 kg, dan volume 25.722.88cm3. Dengan ukuran volume ini, keranjang hanya mampu memuat beban angkat maksimum sebesar 28 kg. Hal ini disesuaikan dengan perhitungan biomekanika, bahwa beban angkat maksimum sebesar 30,25 kg atau tidak lebih dari 60% berat badan. 2.4 Tukang suun Perbedaan pencaharian masyarakat perkotaan, sistem hidup antara pedesaan terlihat mata dengan di desa masyarakat hidup dari pertanian sedangkan di perkotaan masyarakat Gambar 1. Tukang Suun Melakukan Aktivitas Mesuunan (Sumber: Sara, 2011) hidup dari sektor industri dan jasa. Fenomena yang terjadi bahwa masyarakat di kota hanya sebagian kecil saja yang terserap pada bidang industri seperti bekerja di perusahaan sektor modern sebagai pekerja formal. Namun, bagi sebagian besar masyarakat lainnya melangsungkan kehidupannya pada sektor informal (Purawati, 2011). Menurut Hart sektor informal merupakan bagian angkatan kerja di kota yang berada di luar pasar tenaga kerja yang terorganisasi. Dalam kegiatannya, sektor informal mempunyai ciri padat karya, tingkat produktivitas rendah, tingkat pendidikan rendah, pekerja keluarga, mudah keluar masuk usaha dan merupakan 25 usaha sendiri. Pekerja dalam sektor informal kebanyakan berasal dari lapisan masyarakat bawah dan mereka hidup di kota. Mereka dipandang sebagai pekerja marginal seperti perempuan sebagai tukang suun di Pasar Badung (Purawati, 2011). Tukang suun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu jenis pekerjaan dalam sektor informal yang banyak dilakukan oleh perempuan yang memiliki karakteristik tingkat pendidikan rendah, merupakan usaha sendiri sebagai pekerja keluarga serta mudah keluar masuk usaha dengan melakukan aktivitas berupa menjual jasa kepada orang lain, dengan membawa barang orang lain dengan menjunjung (nyuun) (Purawati, 2011). 2.5 Hubungan Beban dan Lama Mesuunan dengan Keluhan Muskuloskeletal Semakin berat beban mesuunan otot leher dan punggung akan menerima beban statis. Beban yang statis akan menekan aliran darah dan persyarafan yang melayani otot leher dan punggung. Apabila hal tersebut berlangsung dalam waktu beberapa menit suplai oksigen ke jaringan otot semakin berkurang. Berkurangnya suplai oksigen akan meningkatkan metabolisme anaerob. Metabolisme ini menghasilkan asam laktat dan penumpukan karbondioksida. Kompensasi tubuh akan melakukan gerakan-gerakan kecil untuk mengurangi penekanan. Penimbunan asam laktat dan karbondioksida meningkatkan kadar asam di dalam tubuh. Apabila hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama akan terjadi kelelahan otot. Kelelahan otot mengakibatkan menurunnya kinerja otot, sebagai manifestasi akhir berupa keluhan muskuloskeletal (Guyton & Hall, 2008). 26 Beban statis oleh karena kontraksi otot yang konstan menyebabkan otot tidak mendapatkan waktu istirahat yang penuh seperti pada beban kerja dinamis. Program tugas khusus yang meningkatkan kelelahan akan meningkatkan beban kerja statis. Kelelahan otot merupakan melambatnya kontraksi dan relaksasi otot, berhubungan dengan peningkatan waktu puncak ketegangan dan sebagian waktu relaksasi yang meningkat secara dramatis. Perubahan tersebut akan memaksa otot untuk menghasilkan gaya yang lebih besar dengan frekuensi yang rendah untuk memelihara gaya yang tetap. Mekanisme timbal balik diatur oleh CNS yang mengendalikan dan mengatur kecepatan otot dengan meningkatkan frekuensi rangsang (Sanders, 2004).