komunikasi politik dan demokratisasi di indonesia

advertisement
RUANG KAJIAN
KOMUNIKASI POLITIK DAN DEMOKRATISASI DI
INDONESIA: DARI KONSOLIDASI MENUJU PEMATANGAN
Idham Holik
Abstract
The term ‘political communication’ and ‘democracy’ are two sides of a coin. The
freedom of political communication fosters democratization which there are
check and balances mechanism. A key instrument of political communication is
mass media. Media freedom should be guaranted by the law of Indonesia state.
Media is a determinant factor for political decisions, for the example, voter
turnout and a winner of the election is highly influenced by media. Media
democracy has created celebrity politicians. So, in the internet era, the
democracy is growing into electronic democracy which internet is a channel of
political communication. Thus, better political communication is a way of
empowering democracy consolidation and finally toward democracy maturation.
Kata Kunci: Komunikasi, Politik, Demokrasi
Latar Belakang Masalah
Pemerintahan demokratis merupakan pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi adalah sesuatu yang
berat, bahkan mungkin merupakan
bentuk pemerintahan yang paling
rumit dan sulit, serta banyak ketegangan dan pertentangan. Demokrasi dirancang demi pertanggungjawaban politik (political accountability) kepada rakyat.
Sekarang ini semua pihak, baik
nasional ataupun internasional, telah
mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara demokratis
yang besar. Bagi bangsa Indonesia
sistem politik demokratis merupakan
sebuah keputusan final yang mesti
tetap dipertahankan, bukan hanya
saat ini tetapi juga untuk masa
mendatang. Hampir dapat dipastikan
hanya dengan sistem tersebutlah
Indonesia dapat mewujudkan per satuan dalam kebhinekaan bangsa ini
(Bhineka Tunggal Ika) dalam rangka
character building and nation building.
Implementasi sistem demokrasi
di negara Indonesia – sejak Orde
Lama, Orde Baru, dan kini Orde
Reformasi – telah mengalami pasang
surut. Di zaman Orde Lama, di bawah
kepemimpinan Presiden Soekarno,
Indonesia menganut sistem demokrasi terpimpin (guided democracy
system) dan hanya satu kali
melaksanakan pemilu yaitu di tahun
1955. Selanjutnya di zaman orde
Baru, selama 32 tahun di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto,
Indonesia menerapkan sistem demokrasi Pancasila, tetapi pada praktiknya lebih mengarah pada pemerintahan yang otoriter. Ini bisa
dibuktikan misalnya dengan pelak-
other bodies de jure” (Haris dalam
Maruto et al, 2002. p.5).
sanaan program depolitisasi pada
tahun 1972 dimana Pemerintah
melakukan fusi paksa 10 partai politik
– yang menjadi peserta Pemilu 19971
– menjadi 3 partai politik yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP),
Golongan Karya (Golkar), dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Ketiga
partai tersebut menjadi peserta
pemilu mulai Pemilu 1977 sampai
dengan Pemilu 1997. Selama itu pula
tidak ada kebebasan politik bagi
rakyat.
Kemudian sejak reformasi politik
tahun 1998, tepatnya 20 Mei 2008
dimana Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri, Indonesia
memasuki babak baru kehidupan
politik yaitu sistem demokrasi yang
sebenarnya – tanpa embel-embel
nama dibelakangnya, tapi banyak
juga kalangan yang menyatakan itu
sebagai demokrasi liberal.
Dalam pandangan Syamsudin
Haris, seorang peneliti LIPI, menyatakan bahwa demokrasi bergerak dari
pembusukan sebuah rezim otoriter,
melewati masa transisi, menuju
konsolidasi, dan akhirnya menuju
pematangan. Mengenai transisi, Juan
J. Linz dan Alfred Stepan menyatakan:
Mengenai hasil akhir dari transisi
demokrasi, Larry Diamond secara
kategoris membedakan munculnya
dua kecenderungan utama, yaitu
yang bermuara pada suatu konsolidasi demokrasi minimalis atau
demokrasi pemilihan (electoral democracy) di satu pihak, dan konsolidasi
demokrasi liberal (liberal democracy)
di pihak lain. Bagi Diamond, demokrasi benar-benar terkonsolidasi apa bila ia mengarah pada demokrasi
liberal. Lalu Diamond juga menegaskan bahwa konsolidasi demokrasi
ditandai dengan terbentuknya suatu
perilaku dan sikap, baik di tingkat elite
maupun massa, yang mencakup dan
bertolak dari metode dan prinsipprinsip demokrasi (Haris dalam
Maruto et al, 2002, p.6-7). Setelah
fase konsolidasi demokrasi dapat
dilalui, maka demokrasi selanjutnya
memasuki fase pematangan demokrasi (democracy maturation), yang
dicirikan dengan adanya keterbukaan
atau transparansi publik, keadaan
bebas dari kekerasan sewenangwenang, persamaan hak, keadilan,
kesadaran politik yang tinggi, serta
institusi-institusi demokrasi sudah
mahir mengelola setiap krisis yang
muncul akibat pertentangan politik
(lihat juga Chaniago dalam Maruto et
al, 2002, p.24).
Banyak kalangan yang menyatakan bahwa masa transisi demokrasi
di Indonesia itu telah dilalui, dimana
telah
sukses
terselenggaranya
Pemilu 1999 – pemilu demokratis
pertama pasca Orde Baru. Kemudian
bangsa Indonesia, setelah pemilu
tersebut mulai memasuki tahapan
konsolidasi demorasi, khusus dimulai
“A democratic transition is complete
when sufficient agreement has
been reached about political
procedures to produce an elected
government, when a government
comes to power that is the direct
result of a free and popular vote,
when this government de facto has
the authority to generate new
policies, and when the executive,
legislative and judicial power
generated by the new democracy
does not have to share power with
57
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
sejak menjelang Pemilu 2004 yang
lalu. Dan sebentar lagi Indonesia
akan menyongsong penyelenggaraan
Pemilu 2009, selanjutnya muncullah
pertanyaan apakah pada pemilu
tersebut nanti bangsa Indonesia
sudah
bisa
memasuki
masa
pematangan demokrasi. Pertanyaan
tersebut saat ini agak sulit untuk
dijawab karena jawaban tersebut
kembali kepada perilaku politik
bangsa ini.
Dalam pemerintahan demokratis,
menurut M. Alwi Dahlan (1999),
komunikasi adalah unsur esensial
bagi demokrasi, melekat pada konsep
demokrasi itu sendiri. Banyak ilmuwan politik ataupun komunikolog
yang menegaskan bahwa komunikasi
memiliki peran vital dalam sistem
politik demokrasi. Gabriel Almond
(1960) menyatakan “All of the
functions performed in the political
system – political socialization and
recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule
application, and rule adjudication –
are performed by means
of
communication” (Rauf, et al (Edts),
1993.p.22). Reed H. Blake dan Edwin
O. Haroldsen (1975) mendeskripsikan
“political communication is communication that has actual or potential
effects on the functioning of a political
state or other political entity” (p.4).
Bahkan Dan Nimmo (1978) menegaskan “....small wonder that
democracy – often called government
by public opinion...”(p.8).
Pada artikel ini penulis berusaha
mendeskripsikan secara ringkas (brief
description) dari luasnya kajian peran
komunikasi politik dalam proses
demokratisasi di Indonesia – fase
transisi, konsolidasi, dan pematangan. Artikel dibagi ke dalam tiga sub
tema yaitu Media Massa dan Sistem
Politik Demokratis, Komunikasi Politik
dan Pemilu Demokratis, dan Demokrasi Elektronik.
Media Massa dan Sistem Politik
Demokratis
1.
Peran Media Massa (Media
Power)
Komunikasi politik di dalam
negara yang menganut sistem politik
demokratis lebih menekankan pada
peran media dalam setiap aktivitas
politik. Bahkan para ahli komunikasi
menyatakan bahwa media massa
merupakan sebagai fourth estate,
setelah eksekutif, legislatif, dan
yudikatif –dalam pemikiran politik
Trias Politika. Hal ini juga ditegaskan
oleh Thomas Carlyle (1907) yaitu
“The press is a power, a branch of
government with an inalienable
weight in law-making, derived from
the will of the people”.
James Curren (2002), dalam
buku Media and Power, menyatakan
ada tiga peran media dalam sistem
politik demokratis yaitu, pertama,
watchdog
role;
media
harus
memonitor semua aktivitas negara,
dan
berani
mengungkap
penyalahgunaan kekuasaan. Agar
peran ini optimal, maka dibutuhkan
adannya
free
market
dan
deregulation untuk media. Kedua,
information & debate; media mesti
mampu
memberikan
saluran
komunikasi antara pemerintah dan
rakyat. Untuk hal itu, media harus
membuat forum dialog (a forum of
debate)
dimana
rakyat
dapat
mengidentifikasi
masalah,
mengajukan
solusi,
membuat
kesepakatan dan memandu arah
masyarakat (to guide the public
58
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
direction of society). Dan ketiga,
voice of the people; media
mengantarkan kepentingan rakyat
kepada pemerintah, ini adalah
kulminasi dari misi media. Media
berbicara
untuk
rakyat,
dan
merepresentasikan pandangan dan
kepentingan mereka dalam wilayah
publik (the public domain) (p.217227).
Media
merupakan
sarana
masyarakat,
pemerintah,
partai
politik, lembaga non-pemerintah,
pressure group, dan lain sebagainya
untuk saling berhubungan (atau
menurut pemikiran Brian McNair
(1995) berikut.
Selain peran penting media
seperti yang telah dideskripsikan
tersebut di atas, menurut Donald
Shaw & Maxwell McComb bahwa
media memiliki kemampuan mengarahkan agenda kebijakan suatu
pemerintahan. Hal ini tergambar
dalam fungsi agenda-setting media.
Fungsi tersebut merupakan sebuah
proses linear dari tiga bagian (a
three-part linear process) yaitu
pertama, media agenda merupakan
prioritas isu-isu yang ditampilkan
Bagan 1: Hubungan Tiga Elemen Komunikasi Politik
- Govenment
- Political party
Political
Organization - Public organization
Reportage
Editorials
Commentary
Anlaysis
Media
- Pressure group
- Terrorist group
Appeal
Programmes
Advertising
Public Relations
Opinon Polls
Letters
Reportage
Editorials
Commentary
Analysis
Audience/Citizen
Sumber : Harsono Suwardi (2003), Modul Mata Kuliah Komunikasi Politik, Jakarta: FISIP Program S-2
Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, tak diterbitkan.
berkomunikasi) satu sama lain, yang
akhirnya mampu menciptakan kondisi
demokrasi yang lebih baik. Untuk
melihat posisi media dalam proses
komunikasi
politik,
penulis
menggunakan
bagan
hubungan
elemen-elemen komunikasi politik
media mesti di-set; kedua, media
agenda berpengaruh atau berinteraksi dengan apa yang publik
pikirkan, atau ini disebut public
agenda; dan ketiga, public agenda
berpengaruh atau berinteraksi dengan apa yang dianggap penting oleh
59
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
media” (p.502). Jadi kualitas public
sphere kembali pada media itu
sendiri, sedangkan tidak lepas dari
media
owner’s
interest.
Inilah
tantangan media di tengah arus
demokratisasi, mampukah media
menampilkan jati dirinya sebagai
watchdog role and voice of the
people.
Ade Armando (2002) menyatakan bahwa public sphere merupakan
wilayah vital bagi demokrasi yang
mengasumsikan bahwa setiap warga
negara terlibat aktif dalam proses
pengambilan keputusan menyangkut
kehidupan bersama, dan untuk itu
warga negara membutuhkan informasi yang memadai. Jadi public
sphere merupakan representasi dari
partisipasi politik rakyat (the people’s
political partisipation) dalam rangka
mekanisme check and balances.
Untuk mendukung konsep public
sphere tersebut mesti adanya
kebebasan media atau pers (media
freedom). Kebebasan media menjadi
indikator yang paling lazim untuk
mengukur berlangsung tidaknya perlindungan hak-hak asasi manusia
atau demokratis tidaknya sistem
politik di sebuah negara. Tidak ada
negara demokratis, tanpa kebebasan
media.
Kebebasan media di negara
demokrasi, seperti Indonesia, sangat
membantu proses perkembangan
konsolidasi demokrasi menuju pematangan demokrasi. Dengan adanya kebebasan media telah mendatangkan manfaat publik yang besar
seperti yang diungkapkan oleh Denis
McQuail (2000) yaitu:
pembuatan kebijakan atau ini disebut
policy agenda (Littlejohn, 2002.
p.319-320). Rangkaian proses tersebut digambarkan sebagai berikut.
Bagan 2: Fungsi Agenda-Setting Media
Media Agenda → Public Agenda →
Policy Agenda
Di Indonesia dengan jelas bisa
kita lihat aplikasi fungsi agenda
setting tersebut dimana misalnya
media massa Indonesia senantiasa
mengawal pelaksanaan kebijakan
pemerintah tentang pemberantasan
korupsi – dengan cara terus meliput
peristiwa kejahatan korupsi dan
melakukan investigative report tentang hal tersebut seperti pada akhir
Maret media memberitakan kasus
aliran dana dari Bank Indonesia
kepada anggota DPR sebesar Rp 2,5
milyar dan US$ 145 ribu.
2.
Public Sphere dan Kebebasan
Media (Pers)
Menurut Edward S. Herman dan
Robert W. McChensey (1997), public
sphere ialah segenap tempat dan
forum dimana segala isu yang
memiliki makna penting bagi komunitas politik didiskusikan dan
diperdebatkan, dan dimana arus
informasi yang esensial bagi partisipasi warga dalam kehidupan
kemasyarakatan disajikan (Armando,
2002, p. 215). Dalam sistem politik
demokrasi, media massa memainkan
peran yang sangat penting sebagai
instrumen public sphere. Denis
McQuail (2000) menegaskan “....The
media are now probably the key
institution of the public sphere, and its
‘quality’ will depend on the quality of
“Main public benefits of media
freedom are systematic and
independent public scrutiny of
60
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
those in power and an adequate
supply of reliable information
about their activities (this refer to
the ‘watchdog’ or critical role of
the press); stimulation of an
active and informed democratic
system and social life; the
change to express ideas, beliefs
and views about the world;
continued renewal and change of
culture
and
society;
and
increase in the amount and
variety of freedom available”
(p.168).
kemerdekaan pers, pers nasional
mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi (Pasal 4 ayat 3);
dan keempat, “dalam melaksanakan
profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum” (Pasal 8).
Tetapi pada perkembangan selanjutnya, mulai tahun 2002, kebebasan pers di Indonesia mulai
terancam yaitu pertama, dengan UU
Penyiaran No. 32 tahun 2002, dimana
dalam
beberapa
pasal
mengakomodasi politik hukum yang lebih
kejam. Isi siaran televisi – termasuk
karya jurnalistik – bermuatan fitnah,
hasutan, menyesatkan, dan bohong
diancam dengan pidana penjara
bukan hanya sampai lima tahun, juga
dapat ditambah dengan denda paling
banyak 10 milyar rupiah. Kedua, pada
tanggal 25 Maret 2008, RUU
Informasi dan Transaksi Elektronik
telah ditetapkan. Pasal 27 ayat 3 dan
Pasal 45 ayat 1 UU Informasi
Transaksi Eletronik tersebut dapat
dibaca bahwa pers yang mendistribusikan karya jurnalistik memuat
penghinaan dan pencemaran nama
baik dalam wujud informasi elektronik
diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun dan/atau
denda sampai satu milyar rupiah.
Ketiga, pada tanggal 3 April 2008,
RUU Keterbukaan dan Informasi
Publik telah ditetapkan. Pasal 51 UU
KIP menyatakan, “Setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum
dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 tahun dan/atau pidana
denda paling banyak 5 juta rupiah.
Judulnya keterbukaan, isinya ancaman penjara. UU tersebut mengatur
informasi rahasia dan informasi
publik. Informasi publik mestinya
Kebebasan media (pers) bisa
terwujud setidak-tidaknya dengan
tidak adanya pensensoran berita dan
opini media massa yang dilakukan
oleh pemerintah dan adanya kebebasan bagi warga negara dalam
mengakses berita media massa.
Negara Indonesia termasuk negara
yang menganut a social responsibility
paradigm dimana kebebasan yang
dimiliki pers tetap saja mengedepankan pertanggungjawaban sosial
atas isi pemberitaannya. Selanjutnya,
hal yang terpenting dalam prinsip
kebebasan pers adalah dimana
negara menjamin secara hukum
kebebasan pers tersebut.
Di Indonesia, praktik kebebasan
media (pers) di awal reformasi
dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers, yang tidak lagi
menganut politik hukum kriminalisasi
pers. UU tersebut menyatakan bahwa
pertama, “kemerdekaan pers dijamin
sebagai hak asasi warga negara”
(Pasal 4 ayat 1); kedua, “untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers
nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi” (Pasal 4
ayat 2); ketiga, “untuk menjamin
61
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
terbuka untuk publik, tetapi masih
dengan ancaman. Pasal dalam UU
tersebut dimaksudkan untuk menghambat efektivitas jurnalisme investigasi untuk menggunakan informasi
publik dalam mengungkap kebobrokan birokrasi dan BUMN. Dan terakhir,
keempat, Menteri hukum dan HAM
Kabinet SBY-JK telah mempersiapkan RUU KUHP, yang lebih
kejam dari KUHP buatan pemerintah
kolonial Belanda (1917). KUHP –
berisi 37 pasal yang telah mengirim
orang-orang pergerakan dan pers ke
penjara Digul – selama 63 tahun ini
masih digunakan untuk memenjarakan wartawan. Kini, RUU KUHP
bukannya disesuaikan dengan konsep good governance justru berisi 61
pasal yang dapat memenjarakan
wartawan.
Di Indonesia sejak pasca reformasi hingga kini telah terjadi banyak
kasus kriminalisasi terhadap media
atau pers di Indonesia misalnya pada
tanggal 28 Agustus 2007 Majelis
Hakim Mahkamah Agung memvonis
Majalah Time Asia membayar ganti
rugi satu trilyun rupiah kepada
mantan Presiden Soeharto. Ini disebabkan atas laporan investigasi
Time edisi 24 Mei 1999 tentang
bagaimana mantan Presiden Soeharto membangun kekayaan keluarga
dinilai mencemarkan nama baik
Soeharto. Sedangkan, menurut Leo
Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers
Indonesia), berdasarkan UU pers,
pemberitaan Time itu adalah karya
jurnalistik dan kalaupun divonis mencemarkan nama baik, hukumannya
maksimum lima ratus juta rupiah.
Kebijakan pemerintah yang semakin kurang berpihak pada kebebasan pers tersebut akan membahayakan proses demokratisasi dan
dikhawatirkan akan mengarah pada
pemerintahan yang tak demokratis.
Kini sudah saat ini Pemerintah coba
melihat kembali kepada esensi tujuan
reformasi di Indonesia, yaitu memberikan kebasan politik bagi rakyat
dan media massa.
3.
Jurnalisme Publik
Jurnalisme bukan persoalan
praksis pemberitaan saja, tetapi juga
merupakan manifestasi komunikasi
politik. Kovach & Rosentiel (2001)
menyatakan bahwa salah satu prinsip
jurnalisme yaitu jurnalisme harus
menghadirkan sebuah forum untuk
kritik dan komentar publik. Selanjutnya juga mereka menegaskan bahwa
jurnalisme ada untuk membangun
kewargaan (citizenship) dimana hakhak warga negara terpenuhi. Jadi,
jurnalisme ada untuk demokrasi.
Dewasa ini kajian jurnalisme
sudah berkembang menjadi jurnalisme publik. Dengan adanya penambahan kata publik pada jurnalisme
diharapkan dapat lebih memfokuskan
konsep bahwa aktivitas jurnalisme
adalah milik publik, bukan hanya milik
industri media (jurnalisme berbasis
pasar), pemerintah, bahkan bukan
milik profesi jurnalis itu sendiri.
Arthur Charity (1995) membedakan antara jurnalisme konvensional
dengan jurnalisme publik sebagai
berikut:
62
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
T ab e l 1 : P erb ed a a n a ntara Jurn a lism e P u blik d eng an Ju rn alism e K o nven sion a l
P u b lic jo u rn alists b elieve
C o n ve n tio n a l jo u n a lists b e lieve
S o m e th in g b a s ic h a s to c h a n g e , b e c a u s e
jo u n a lis m is n ’t w o rk in g n o w .
In s u c h a c lim a te , e x p re m e n ta tio n a n d c re a tiv ity
a re im p e ra tiv e : o ld h a b its , h o w e v e r “s a c re d ” m a y
h a v e to g o ...th o u g h c h a n g e m u s t a lw a ys b e
g u id e d
by
e th ic a l
c o re
v a lu e s
and
an
u n d e rs ta n d in g o f h o w d e m o c ra c y w o rk s .
C itiz e n s m a y w e ll w a n t to p a rtic ip a te m o re
in te llig e n tly in p u b lic life , b u t th e y fin d to o m a n y
h u rd le s in th e ir w a y.
C itiz e n s d e s e rve a b ig g e r p la c e in th e n e w s p a p e r
its e lf. P a p e rs s h o u ld n e v e r “d u m b d o w n ”, b u t
m us t re o rie n t th e m s e lv e s
a ro u n d
c itize n s ’
c o n c e rn s .
T h e tra d itio n s o f jo u rn a lis m a re fin e ; if a n yth in g
n e e d s to im p ro v e . It’s th e p ra c tic e .
E x p re m e n ta tio n th re a te n s to c ro s s th e lin e in to
u n e th ic a l b e h a v io r, b ia s , a n d c a re le s s n e s s a b o u t
s ta n d a rd s . B e s id e s , e x p re m e n ta tio n is u s u a lly a
s yn o n ym fo r fa d .
P u b lic life s h o u ld w o rk , a n d jo u rn a lis m h a s a ro le
in m a k in g it w o rk .
T h e m e d ia a n d p o litic a l life p ro vid e a m p le
o p p o rtu n ity to p a rtic ip a te ; if p e o p le s ta y o u t o r
m e re ly c o m p la in , it’s th e ir o w n c h o ic e .
News
is
a
p ro fe s s io n ;
jo u rn a lis ts
w rite
n e w s p a p e rs , re a d e rs d o n ’t. In v itin g c itiz e n s to
ju d g e w h a t’s n e w s , m a k in g th e m th e s u b je c t o f
c o v e ra g e a n d th e lik e a re in h e re n tly d u m b in g
d o w n – a fo rm o f p a n d e rin g .
It w o u ld b e n ic e if p u b lic life w o rk e d , b u t it’s
b e yo n d o u r ro le to m a k e it w o rk a n d it’s
d a n g e ro u s to th in k w e c a n .
S um b er: A rth ur C h ari ty (19 95 ). D oin g P u blic J ou rna lism . N e w Y o rk: G u ilfo rd P res s, p.1 0. d a lam W is nu M a rth a A d ipu tra (2 00 6 ).
M e ny o al K o m u n ik asi M e m b e rd a ya ka n M asya rak at. Y o gya ka rta: P e ne rbit F is ip o l U G M , C etak an P e rtam a, p.9 8.
Jurnalisme publik bersumber dari
publik untuk publik. Ini memiliki peran
yang sangat signifikan dalam politik.
Peran tersebut yaitu jurnalisme publik
mampu meningkatkan proses demokratisasi seperti yang diungkapkan
oleh Charity (1995.p.6-7) sebagai
berikut “reducing issues to choices,
plumbing to core values, spelling out
the costs and consequences of each
choice, bridging the expert-public
gap, facilitating deliberation, and
promoting civility” (dalam Adiputra
2006.p.99).
John Dewey menyatakan tujuan
sejati demokrasi yaitu kebebasan
manusia dimana
memungkinkan
orang mengembangkan potensi mereka sepenuhnya (Kovach & Rosentiel, 2001.p.24). Ini sangat compatible
dengan konsep jurnalisme publik
Dengan dukungan kemajuan ICT
atau kamera digital yang canggih dan
massif, dewasa ini konsep jurnalisme
publik semakin diberikan ruang luas
oleh industri media di Indonesia, baik
media siaran ataupun cetak. Misalnya
sudah lama banyak stasiun radio
siaran memberikan ruang bagi publik
untuk menyampaikan reportasenya
tentang suatu peristiwa, misalnya
radio FM Elshinta. Selanjutnya juga
saat ini stasiun televisi Metro TV
tahun mulai Maret 2008 menayangkan program i-Witness, dimana publik indonesia dapat mengirimkan news strory ke program
tersebut untuk ditayangkan.
Komunikasi
Demokratis
Politik
dan
Pemilu
1.
Pemilu sebagai Bentuk Kedaulatan Rakyat
Dalam sistem politik demokratis,
pemilihan umum (election) merupakan prasyarat utama. Dalam konstitusi Indonesia dinyatakan bahwa
pemilu secara langsung oleh rakyat
merupakan kedaulatan rakyat guna
menghasikan pemerintahan negara
yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya
Josep Schumpeter, seorang ahli ilmu
politik, menyatakan:
63
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
“Democracy is not just a system
in which elites acquire the power
to rule through a competitive
struggle for the people’s vote. It
is also a political system in which
government must be held
accountable to the people, and in
which mechanisms must exist for
making it responsive to their
passions,
preference,
and
interests”
(dalam
Chaniago,
2002,p.33).
dapat memilih langsung calon angota
legislatif (DPR dan DPD) saja, tetapi
juga calon presiden. Pemilu legislatif
ini diikuti oleh 24 partai politik peserta
pemilu dengan sistem proporsional
daftar calon terbuka (untuk DPR) dan
sistem milih langsung (untuk DPD).
Selanjutnya untuk pemilu presiden
diikuti oleh 5 pasang calon presiden.
Menurut Ignas Kleden (2004), pemilu
tersebut dianggap amat penting dan
mungkin lebih penting daripada
pemilu-pemilu sebelumnya, karena
pertama kalinya diadakan pemilu
secara langsung pada berbagai
tingkatan pemilihan, mulai dari pemilu
legislatif 5 April 2004 sampai pemilu
presiden putaran I 5 Juli 2004 dan
putaran II 20 September 2004.
Diawali pada Pemilu 2004 yang
lalu, berdasarkan UU No. 30 tahun
2003 tentang Partai Politik dan UU
No.12 tahun 2004 tentang Pemilu,
Indonesia mulai menerapkan affirmative action yaitu dimana kepengurusan
partai
politik
atau
komposisi calon legislatif minimal
sekurang-kurangnya terdiri dari 30
persen perempuan. Terobosan baru
keadilan gender dalam politik tersebut, sayangnya, tidak diiringi kemampuan persuasi politik partai
politik dan calon legislatif perempuan,
sehingga tidak mendapat dukungan
dari kalangan pemilih perempuan –
terbukti dengan sedikitnya caleg
perempuan terpilih, padahal prosentase perempuan Indonesia lebih dari
51 persen. Ini membuktikan pada kita
bahwa komunikasi politik di Indonesia
masih bias gender dan didominasi
budaya patriarki.
Selama ini di Indonesia, dalam
praktik demokrasi, belum ada partai
politik yang memposisikan dirinya
sebagai partai oposisi pemerintah,
Jadi dalam konteks komunikasi
politik, pemilu merupakan bentuk
komunikasi dua arah antara partai
dan kandidat politik dengan rakyat
(pemilih). Kedua entitas tersebut
mempersuasi para calon pemilih
dengan cara menawarkan program
politik bahwa mereka sangat layak
dipilih untuk memimpin pemerintahan
ke depan.
Pasca Reformasi 1998, p emilu di
Indonesia menggunakan sistem multipartai. Pemilu demokratis tersebut
diselenggarakan pada tahun 1999
dan 2004. Pasca pemilu nasional
2004 tersebut, pada tahun 2005,
Indonesia mulai melaksanakan pemilihan kepada daerah dan wakil
kepala daerah (Pilkada) untuk
gubernur dan wakil gubernur dan
bupati dan wakil bupati serta walikota
dan wakil walikota. Sebentar lagi
tahun 2009 Indonesia akan menyelenggarakan pemilu yang ketiga
kalinya.
Pemilu yang pertama, tahun
1999, diikuti sebanyak 48 partai
politik peserta pemilu dan diselenggarakan dengan sistem proporsional daftar calon tertutup. Selanjutnya pada pemilu kedua, tahun
2004, telah terjadi perubahan yang
sangat signifikan yaitu, bukan hanya
64
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
2.
Amerikanisasi Kampanye dan
Selebritisasi Politik
Selama
pemerintahan
Orde
Lama dan Orde Baru, kampanye
politik di Indonesia dominan diisi oleh
bentuk-bentuk pengerahan massa
dan terbatasnya penggunaan media
massa sebagai alat kampanye. Tapi
dewasa ini, sistem politik demokrasi
telah merubah strategi kampanye
partai
politik
Indonesia
dalam
mengikuti pemilu yaitu menggunakan
konsultan komunikasi profesional dan
media massa. Inilah yang disebut
sebagai americanization of political
campaign.
Dedy N. Hidayat (2004) menyatakan bahwa the third wave of
democratization dimanfaatkan para
electioneer atau konsultan kampanye
profesional dari Amerika untuk
melakukan
ekspansi
global,
mengekspor jasa konsultasi strategi,
taktik, dan teknik pemenangan pemilu
ke berbagai negara demokrasi baru.
Di Indonesia, menjelang Pemilu
2004, mulai bermunculan industri
kampanye pemilu, atau bisnis the
selling of the president, dan sekarang
semakin pesat berkembang. Ratusan
mahasiswa
dan
sarjana
ilmu
komunikasi Indonesia telah direkrut
sebagai tenaga profesional nonpartisan dalam berbagai tim kampanye partai politik, calon presiden,
atau calon anggota legislatif, serta
sejumlah agen periklanan dan
kehumasan (domestik dan asing)
juga
telah
menerima
kontrak
pelaksanaan kampanye.
Fenomena amerikanisasi kampanye politik telah melahirkan beberapa kecenderungan, yaitu pertama,
peran media massa dalam kampanye
terus meningkat dan memainkan
peran kunci (key role). Peran ini
tetapi mulai tahun 2005, PDI Perjuangan dengan tegas memposisikan
dirinya sebagai partai oposisi. Ini
menunjukan bahwa komunikasi politik
di Indonesia semakin baik dalam
mekanisme check and balances,
dimana ada pihak yang mendukung
kebijakan pemerintah dan sebaliknya
juga
ada
pihak
yang
selalu
mengkritisi kebijakan tersebut. Konsep oposisi tersebut juga ditegaskan
oleh Megawati Soekarnoputri, yaitu
bertujuan menegakan kehidupan
demokrasi yang sehat, memperjuangkan terwujudnya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat dan sekaligus
juga memberikan solusi-solusi alternatif bagi kemajuan dan kemakmuran
bangsa Indonesia.
Untuk Pemilu 2009 nanti, banyak
kalangan memprediksi jumlah partai
politik peserta pemilu akan melebihi
Pemilu 2004, seperti misalnya M.
Alfan Alfian (2008), Direktur Akbar
Tanjung
Institute
memprediksi
jumlahnya bisa 30-an partai politik.
Pada pendaftaran peserta Pemilu
2009, sampai pada tanggal 12 April
2008, sudah 69 partai yang
mendaftar, diketahui 7 diantaranya
memiliki kepengurusan ganda. Bagi
Alfian
ini
merupakan
ekspresi
antipartai yang anomalik, yakni tatkala ketidaksukaan pada partai politik
justru direspon dengan pendirian
partai-partai tandingan.
Banyaknya partai politik, bagi
penulis, ini tidak menguntungkan bagi
proses demokrasi di Indonesia yang
sedang mau beranjak dari konsolidasi
menuju pematangan, karena berpotensi memunculkan fragmentasi politik. Partai semakin jauh dari kepentingan rakyat, hanya mengedepankan kepentingan elit-elit partai
untuk berkuasa.
65
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
menggantikan jenis kampanye pertemuan terbuka seperti apel akbar
atau
bentuk-bentuk
pengerahan
massa lainnya dan pertemuan
tertutup seperti dialog dengan para
pemilih. Keberhasilan kegiatan kampanye
sangat
ditentukan
oleh
rekayasa dan kemasan penampilan
partai atau kandidat di media massa
termasuk pendanaan kampanye yang
besar – sangat sulit bagi partai atau
kandidat yang minim permodalan
dapat
memenangkan
pemilu.
Kecenderungan kedua, peran konsultan profesional (professional electioneer) dari luar partai (Thurber dan
Nelson,
2000),
dan
semakin
menggeser peran para "amatir" dari
kalangan
kader
partai
sendiri
(Johnson, 2000). Kecenderungan
ketiga, kian terfokusnya kampanye
pada individu kandidat atau tokoh
wakil partai. Hal ini membuat pemilu
seolah kontes antarindividu, bukan
lagi antarpartai (Mughan, 2000).
Pada
hakikatnya
wacana
“amerikanisasi” tidak hanya berhubungan dengan kampanye saja
melainkan juga dengan perkembangan umum komunikasi politik yang
terkait dengan istilah “demokrasi
media”. Inti dari demokrasi media
adalah analisa bahwa seluruh
komunikasi politik sebuah negara
tunduk kepada aturan-aturan yang
ditetapkan media massa menyangkut
langkah-langkah penyeleksian dan
menarik perhatian pemirsa.
Praktik komunikasi politik berbasiskan media ini telah menciptakan
selebritisasi politik. John Street
(2004) ataupun West & Orman (2002)
pada umumnya menyatakan bahwa
selebritisasi politik bukan sekedar
mengarah pada artis yang masuk
bidang politik, melainkan politisi yang
diberi kesempatan banyak muncul di
media khususnya televisi (Gazali,
2008). Inilah yang disebut sebagai
politisi selebriti. Politisi ini biasanya
dibantu oleh spin doctor yang bekerja
dalam bidang rekaman (record
company) dan film, serta yang terpenting adalah tugasnya mengelola
citra politisi tersebut. Pada akhirnya,
politisi selebriti selalu berada dalam
wilayah popular culture.
Pemilu Presiden 2004 bisa kita
sebut sebagai awal politisi selibriti
dimana ditandai dengan kemenangan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
sebagai presiden. Kemudian dipertegas lagi dengan kemenangan Rano
Karno sebagai Wakil Bupati Tange rang
pada Pilkada
Kabupaten
Tangerang 2007 ataupun Dede Yusuf
sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat
dalam Pilkada Provinsi Jawa Barat.
3.
Partisipasi Pemiih
Partisipasi politik dalam pemilu
sangat menentukan kualitas demokrasi dan pemerintahan suatu negara
di masa mendatang. Perihal perilaku
memilih (voting behavior) seorang
individu itu sangatlah unik, karena
banyak variabel yang mempengaruhinya. Bisa dikatakan juga perilaku
memilih dipengaruhi oleh kelompok,
karena memilih merupakan bukan
hanya sebagai an individual activity
tetapi lebih pada sebagai a collective
activity (Evan, 2004).
Sekarang di Indonesia, kencen derungan perilaku pemilih itu dapat
dilihat dari hasil survei opini publik
(public opinion poll) dan survei pascamemilih (exit poll) yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga survei seperti
Lembaga Survei Indonesia, Danareksa, Lingkaran Survei Indonesia,
LP3ES, dll, dan bahkan hampir setiap
66
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
institusi media penerbitan/penyiaran
melakukan polling (real-time poll),
seperti misalnya Kompas Online,
Tempo Interaktif, dll.
M. Harrop dan W. Miller (1987),
dalam Elections and Voters: A
Comparative Introduction, menggambarkan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi
perilaku
pemilih
(Evan, 2004). Hal tersebut mereka
konseptualisasikan dalam bagan
berikut ini.
Bagan tersebut menggambarkan
bahwa identifikasi partai politik (party
identification) yang dilakukan oleh
pemilih, itu bersumber pada keanggotaan kelompok (group membership) dan pengaruh keluarga (family
influence). Kemudian identifikasi partai tersebut akan mengarahkan pada
tiga jenis sikap yaitu, sikap terhadap
kebijakan partai (attitude to policies),
sikap terhadap manfaat kelompok
(attitude to group benefits); dan sikap
terhadapt kandidat (attitude to
candidates). Hasil identifikasi tersebutlah yang akan menentukan
pilihan politik seorang pemilih dalam
pemilu.
Banyak juga pemilih di Indonesia
melakukan split ticketing dalam
memilih. Perilaku memilih tersebut
dilakukan dengan cara membagi
pilihan politik untuk partai atau
kandidat yang berbeda. Misalnya
dalam pemilu legislatif, untuk DPR-RI
pilihan dijatuhkan pada partai politik
A, untuk DPR Provinsi pilihan
dijatuhkan pada partai politik B, dan
untuk
DPRD
Kab/Kota
pilihan
dijatuhkan pada partai politik C.
Selain itu juga banyak dari pemilih
Indonesia tergolong swinging voter,
yaitu berganti-ganti pilihan politik
pada saat pemilu yang berbeda, dan
ini sering juga dikenal sebagai protest
voter (pemilih protes) yaitu pemilih
yang tak puas dengan kebijakan
politik pemerintah sebelumnya. Misalnya kemenangan PDI Perjuangan
pada Pemilu 1999 dengan perolehan
suara 33,7 persen, yang selama Orde
Baru partai tersebut belum pernah
memenangkan pemilu, karena PDI
Perjuangan sebagai simbol perlawanan terhadap Orde Baru. Perilaku split
ticketing dan swinging voting ini
merepresentasikan
perilaku
dari
floating mass. Ini disebabkan rendahnya kualitas civic or poltical
education.
Partisipasi pemilih pada pemilu
pertama, tahun 1999, sebesar 93,3
persen. Ini merupakan prosentase
yang luar biasa, dimana animo politik
masyarakat
Indonesia
menaruh
Attitudes to
policies
Group
membership
Attitude to
group
benefits
Party
identification
Family
influence
VOTE
Attitudes to
candidates
67
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
harapan
yang
besar
terhadap
perubahan politik pasca Orde Baru
yang telah mengarah pada rezim
otoriter. Kemudian pada Pemilu
Legislatif 2004, partisipasi pemilih
turun menjadi 84,1 persen dan pemilu
dimenangkan oleh Partai Golkar
dengan perolehan suara 21,58
persen. Lalu untuk partisipasi Pemilu
Presiden (Pilpres) juga terus turun
yaitu pada Pilpres I sebesar 78,5
persen dan semakin turun pada
Pilpres II menjadi 76,7 persen.
Selanjutnya untuk Pilkada tahun
2005, partisipasi pemilih hanya 73,1
persen. Ini bersumber dari hasil riset
yang dilakukan Lingkaran Survei
Indonesia pada saat pemilihan Pilkada di 176 provinsi/kabupaten/kota.
Lalu berdasarkan pengamatan penulis, untuk tahun 2006-2008, partispasi pemilih pada pilkada berkisar
sekitar 60-an persen, semakin terus
merosot.
Rendahnya
partisipasi
atau
tingginya fenomena golput dalam
setiap pemilu di Indonesia seolah
menguatkan pertanyaan Anthony
Giddens, dalam Runaway World,
How Globalization is Reshaping Our
Lives (1999), haruskah kita menerima, lembaga-lembaga demokrasi
tersingkir pada titik di mana
demokrasi justru marak? Sebenarnya
fenomena
apatisme
masyarakat
terhadap pemilu bukan hanya khas
Indonesia. Di negara-negara yang
jauh lebih matang demokrasinya
terjadi penurunan antusiasme politik
yang
lebih
besar.
Giddens
menyebutnya
sebagai
paradoks
demokrasi.
Ketika
demokrasi
menyebar ke seluruh dunia, justru di
negara-negara yang demokrasinya
sudah maju timbul kekecewaan atas
proses
demokrasi.
Kepercayaan
terhadap politisi menurun. Orang
yang menggunakan hak pilih dalam
pemilu menyurut. Semakin banyak
orang yang tidak tertarik pada politik
parlemen, terutama dari kelompok
muda.
Untuk fenomena di Indonesia,
dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, menyatakan
apatisme masyarakat timbul akibat
kekecewaan karena tidak adanya
perubahan signifikan yang dirasakan
rakyat. Saat reformasi digulirkan,
harapan masyarakat luar biasa besar.
Namun, elite yang berkuasa tidak
membawa perubahan yang lebih
nyata
dan
bermanfaat
bagi
masyarakat. Masyarakat lalu kehilangan kepercayaan pada politisi
dan prosedur demokratik.
Partai politik sebagai salah satu
pemegang kunci untuk membangun
kepercayaan konstituennya harusnya
bisa menumbuhkan harapan perubahan. Namun, seperti yang diungkap Kacung, kepercayaan masyarakat pada partai atau pejabat politik
justru terus merosot. Mayoritas parpol
terbukti hanya menyentuh konstituennya di saat-saat menjelang
pemilu, dengan tujuan pragmatis
mengumpulkan suara. Setelah pesta
usai, peran parpol seperti hilang
begitu saja. Ini menujukkan pada kita
bahwa partai atau pejabat politik di
Indonesia
selalu
mengambaikan
permanent campign, yaitu tidak mau
atau mampu melaksanakan programprogram politik yang ditawarkan pada
saat kampanye. Misalnya Pemerintahan SBY-JK yang menjanjikan
perubahan pada saat kampanye
Pemilu 2004, tapi kenyataannya
rakyat hidupnya semakin sulit, karena
68
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
sebagai piranti (tools) untuk reformasi
demokrasi (Cf. Kruach 1972; Etzioni
et al. 1975). Hal itu telah merubah
karakter demokrasi hingga saat ini.
Menurut Thomas Zittel (2002),
sekarang ini demokrasi digunakan
sebagai sebuah konsep analitisempiris yang membawa asumsi
dalam media digital baru pada
umumnya dan jaringan komputer
pada khususnya dalam proses
perubahan
ranah
(the
nature)
komunikasi politik dan pemerintahan
demokratis.
Selanjutnya Zittel mengungkapkan “the term electronic democracy is
being associated with phenomena
such as party web sites, electronic
voting, sending e-mails to political
representatitves, political discussion
fora, and even with administrative
services provided over internet”.
pemerintah tak mampu memberikan
solusi yang tepat sasaran.
Jika perilaku partai dan penjabat
politik tak berubah, boleh jadi
apatisme masyarakat pada Pemilu
2009 akan meningkat lebih jauh,
terutama di kelompok pemilih muda.
Padahal, sebagai kelompok pemegang jumlah terbanyak, kelompok
muda ini merupakan sasaran paling
potensial untuk dibidik pada Pemilu
2009.
Demokrasi Elektronik
Konsep demokrasi elektronik
merupakan
perkembangan
ilmu
sosial dalam dekade terakhir ini.
Konsep ini berawal pada tahun 1970an
ketika
teoritisi
demokrasi
menggunakan media digital baru
seperti telepon dan jaringan komputer
Tabel 2 : Peta Konseptual Demokrasi Elektronik
Jurisdictional
Dimension
Constitutional
Level
Institutional
Level
Behavioral
Level
Informal and formalized
opportunities for
horizontal,
decentralized, and
interactive
communication and
participation within
established political
association using the
internet.
Individual uses of new
opportunities
to
communicate and to
participate
within
established
associatons. Individual
uses of the internet to
establish new types of
organizations.
Representational
Dimension
Electronic Voting
Decisional
Dimension
Electronic Referenda
Informal and formalized
opportunities for direct,
decentralized, and
interactive vertical
communication and
participation between
parliaments and citizen
using the internet.
Institutionalized
opportunities to
participate using the
internet in the
parliamentary process.
Individual uses of new
opportunities
to
communicate
with
representative and to
participate
in
parliamentary process.
Informal and
fomalized
opportunities to
receive information
related to e-referenda
and to engage in
comprehensive
horizontal and vertical
debates on this
information.
Individual uses of new
opportunities to learn
about the issues, to
deliberate, and to
participate in ereferenda.
69
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Dalam pandangan Zittel ada tiga
dimensi teoritis dari demokrasi untuk
mendefiniskan demokrasi elektronik
yaitu jurisdictional dimension, decisional dimension, dan representational
dimension. Ketiga dimensi tersebut
digambarkan dalam Tabel 2.
Sejak akhir era tahun 1990-an,
lembaga pemerintahan di Indonesia,
baik tingkat nasional ataupun daerah,
mulai mengimplementasikan konsep
e-government dengan memiliki web
site. Sebenarnya bukan hanya lembaga pemerintah saja, tetapi juga
partai politik dan lembaga non
pemerintah (NGO/LSM) sudah memiliki website.
Implementasi e-government oleh
pemerintahan di Indonesia masih
terkesan sebagai media sosialisasi
saja,
tetapi
belum
digunakan
sepenuhnya untuk public services,
mungkin baru hanya Pemda Kab.
Sragen Jawa Tengah yang sudah
menerapkan one gate service.
Selanjutnya juga untuk e-party itu pun
sama, masih sedikit sekali anggota
partai politik berinteraksi dengan para
politisi
partainya
menggunakan
internet. Lalu dalam konteks pemilu,
mulai Pemilu 2004, Komisi Pemilihan
Umum menggunakan Situng TI
(Sistem Penghitungan Teknologi
Informasi) yang online dari kantor
Panitia Pemilihan Kecamatan seIndonesia, tetapi cukup disayangkan
hasil tersebut tidak bisa dipakai
sebagai landasan hukum penetapan
suara, bahkan dalam prosesnya
sempat di-hacking oleh para hacker
yang tak bertanggung jawab.
Deskripsi tersebut di atas
menegaskan pada akan pentingnya
program
baik
yang
dilakukan
pemerintah ataupun lembaga nonpemerintah
untuk
mendorong
penggunaan internet sebagai saluran
komunikasi politik tanpa batas.
Indonesia adalah salah satu
negara yang pertumbuhan penggunaan internetnya sangat pesat. Ini bisa
kita lihat berdasarkan data dari
Asosiasi Penyedia Jasa Internet
Indonesia, pada tahun 1998 baru ada
512.000 orang pengguna internet,
tahun 2005 meningkat tajam menjadi
8.400.000 orang dan yang lebih
fantastis lagi peningkatannya yaitu
pada tahun 2007 menjadi 25.000.000
orang. Perkembangan tersebut diakibatkan karena semakin massifnya
penjualan personal computer (PC)
dan notebook serta semakin murahnya biaya atau tarif akses internet,
apalagi
sekarang
Pemerintah
Indonesia punya program internet
masuk kampung.
Ini menjadi modal yang sangat
besar bagi bangsa Indonesia untuk
memasuki era demokrasi elektronik,
dimana sudah tak ada batasan lagi
untuk rakyat berkomunikasi dengan
pemerintah, (kandidat) pejabat publik,
partai politik dan stakeholder lainnya.
Jadi demokrasi elektronik mempermudah mekanisme checks and
balances pemerintahan, sehingga
cepat terwujud good and clean
governance.
Kesimpulan
Reformasi politik Indonesia tahun
1998 telah melahirkan kebebasan
komunikasi politik dan demokratisasi.
Komunikasi politik dan demokrasi
adalah dua sisi uang yang tak bisa
dipisahkan. Tidak ada demokrasi,
tanpa kebebasan komunikasi politik.
Media massa merupakan instrumen atau saluran utama dalam
proses komunikasi politik dimana
70
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
media telah menciptakan public
sphere. Tanpa adanya kebebasan
media (media freedom) yang dijamin
oleh hukum atau konstitusi, maka
sangat sulit terwujud public sphere
bagi bangsa Indonesia. Dewasa ini
kebebasan media semakin terancam
dengan banyaknya regulasi yang
dikeluarkan untuk mengatur media
media itu, atau sering disebut
ancaman kriminalisasi media, misalnya seperti UU Keterbukaan dan
Informasi Publik. Judulnya keterbukaan, tetapi isinya adalah ancaman,
sangat ironis.
Selanjutnya di negara demokratis, media massa harus mampu
memfasilitasi jurnalisme publik, dimana publik memungkinkan membuat news story untuk ditayangkan di
media. Sekarang di Indonesia, jurnalisme publik sudah mulai menjadi
trend pemberitaan di media massa.
Dalam konteks pemilu, komunikasi politik Indonesia sudah banyak
perubahan. Ini terbukti dengan adanya mekanisme memilih langsung
para kandidat politik, di zaman Orde
Baru hal ini tidak pernah terjadi.
Bahkan komunikasi politik pemilu,
khususnya kampanye politik, mengalami revolusi yaitu yang dahulu
memakai cara-cara konvensional
dalam mempersuasi pemilih, kini
menggunakan konsep amerikanisasi
kampanye politik, yang pada akhirnya
menciptakan politisi selibiriti. Sangat
disayangkan
kemajuan
tersebut
ternyata tidak diiringi dengan kegiatan
kampanye permanen oleh para
kandidat politik terpilih atau partai
politik, dimana belum terbuktinya
janji-janji kampanye yang akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat
dan bahkan rakyat dibiarkan sendiri
menghadapi
kesulitan
ekonomi,
karena pejabat terpilih tidak berdaya
terhadap mekanisme pasar (internasional). Inilah menjadi penyebab
utama yang mengakibatkan semakin
rendahnya partisipasi politik pemilih
(rakyat). Jadi bisa disimpulkan bahwa
di Indonesia demokrasi hanya
sebatas prosedur saja.
Pertumbuhan pengguna internet
di Indonesia sangatlah pesat, ini
merupakan modal besar bagi bangsa
Indonesia memasuki era demokrasi
elektronik, dimana diharapkan sudah
tidak ada batasan komunikasi antara
pejabat publik dengan rakyatnya dan
proses pengambilan keputusan politik
menggunakan internet.
Dari deskripsi tiga sub tema
tersebut di atas – Media Massa dan
Sistem Politik Demokratis, Komunikasi Politik dan Pemilu Demokratis,
dan Demokrasi Elektronik – memberikan catatan pada kita bahwa saat ini
bangsa Indonesia masih sulit untuk
beranjak dari fase konsolidasi menuju
fase pematangan demokrasi, dikarenakan hampir terancamnya kebebasan media (pers) dan semakin rendahnya partisipasi politik rakyat
dalam proses pemilu akibat tidak
adanya kampanye permanen atau
sudah tidak percaya lagi pada partai
atau kandidat politik. Akhirnya dapat
disimpulkan saat ini bangsa Indonesia tetap saja mesti memperkuat
kembali fase konsolidasi demokrasi.
Komitmen penguatan kembali tersebut akan mempermudah bagi
bangsa Indonesia untuk mewujudkan
impiannya, yaitu good and clean
governance. Hal ini juga diperkuat
dengan adanya jurnalisme publik,
demokrasi elektronik, dan politik
oposisi di Indonesia. Akhir kata dari
penulis, “Go ahead my country for the
people’s welfare”.
71
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Daftar Pustaka
Kendala dan Peluang Menuju
Demokrasi. Jakarta: Penerbit
LP3ES
Buku
Adiputra, Wisnu Martha (2006).
Menyoal Komunikasi Memberdayakan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM,
Cetakan Pertama.
Kavanagh, Dennis (1995). Election
Campaigning,
The
New
Marketing of Politics. Oxford, UK:
Blackwell Publishers, Ltd.
Armando, Ade (2002). Independensi
Media, Public Sphere, dan
Demokrasi di Indonesia. dalam
Maruto MD & Anwari WMK (Ed.).
Reformasi Politik dan Kekuatan
Masyarakat,
Kendala
dan
Peluang Menuju Demokrasi.
Jakarta: Penerbit LP3ES
Kovach,
Bill
&Tom
Rosenstiel
(2001).The
Elements
of
Journalism, What Newspeople
Should Know and the Public
Should Expect. terjemahan Yusi
A. Pareanom (2003). Elemenelemen Jurnalisme, Apa yang
Seharusnya Diketahui Wartawan
dan yang Diharapkan Publik.
Jakarta: Institute Studi Arus
Informasi & Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Jakarta.
Chaniago, Andrinof A. (2002).
Rintangan-rintangan Demokratisasi di Indonesia. dalam Maruto
MD & Anwari WMK (Ed.).
Reformasi Politik dan Kekuatan
Masyarakat,
Kendala
dan
Peluang Menuju Demokrasi.
Jakarta: Penerbit LP3ES
McQuail, Denis (2000). McQuail’s
Mass Communication Theory.
Fourth Edition. London: SAGE
Publication, Ltd.
Clack, George, et al (2001),
Demokrasi, USA: Office of
International
Information
Program, U.S. Departement of
State, http://usinfo.state.gov
Nimmo,
Dan
(1978).
Political
Communication
and
Public
Opinion in America. California:
Goodyear Publishing Company.
Rauf, Maswadi (1993). Komunikasi
Politik: Masalah Sebuah Bidang
Kajian dalam Ilmu Politik. dalam
Maswadi Rauf dan Mappa
Nasrun (Ed.). Indonesia dan
Komunikasi Politik. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Curran, James (2002). Media Power.
London: Routledge.
Evans, Jocelyn A.J. (2004). Voters &
Voting: Introduction. London:
SAGE Publications.
Haris, Syamsudin (2002). Konflik Elite
Sipil dan Dilema Konsolidasi
Demokrasi Pasca Orde Baru.
dalam Maruto MD & Anwari
WMK (Ed.). Reformasi Politik
dan
Kekuatan
Masyarakat,
Rogers, Everett M. (2004). Theoritical
Diversity
in
Political
Communication. in Lynda Lee
Kain (Ed.). Handbook of Political
Communication Research. New
72
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Jersey:
Lawrence
Associates
Erlbaum
2008,. Jakarta: PT. Gramedia,
p.6.
Sabirin,
Tabrani,
M.A.
(2000).
Mengantar
Bangsa
Menuju
Demokrasi, Peran & Sumbangsih
KPU
dalam
Proses
Demokratisasi
di
Indonesia.
Jakarta: KPU-LPSI, cetakan ke-1
Gazali, Effendi (2008). Mengapa
Hade Syampurno?. dalam Surat
Kabar KOMPAS, Senin, 18 April
2008,. Jakarta: PT. Gramedia,
p.6.
Street, John (2003). The Celebrity
Politician: Political Style and
Popular Culture. in John Corner
& Dick Pels (Edts.). Media and
The
Restyling
of
Politics:
Consumerism, Celebrity and
Cynicism.
London:
SAGE
Publications.
Kleden, Ignas (2004). Partai Politik
dan Politik Partai. dalam Majalah
Berita Mingguan TEMPO. 2004:
Ketika
Presiden
Dipilih
Langsung. Edisi 29 Desember
2003 – 04 Januari 2004 (Edisi
Khusus Akhir Tahun). Jakarta:
PT. Tempo Inti media, Tbk.
p.68-69.
Suwardi, Harsono (2003). Modul Mata
Kuliah
Komunikasi
Politik.
Jakarta: FISIP Program S-2 Ilmu
Komunikasi Universitas Indonesia, makalah tak diterbitkan.
Sudibyo, Agus (2008), Transparansi
Sepenuh Hati?. dalam Surat
Kabar KOMPAS, Senin, 7 April
2008,. Jakarta: PT. Gramedia,
p.6.
Zittel, Thomas (2004). Political
Communication and Electronic
Democracy,
American
Exceptionalism or Global Trend?.
In Frank Esser & Barbara
Pfetsch. Comparing Political
Communication. UK: Cambridge
University Press.
Wicaksono,
Bayu
(2008),
Implementasi UU Informasi dan
Transaksi
Electronik.
dalam
Surat Kabar KORAN TEMPO.
Jumat, 4 April 2008. Jakarta: PT.
Tempo Inti Media Harian, p.
A10.
Sumber Web Site
Hidayat,
Dedy
N
(2004).
Amerikanisasi Industri Kampanye
Pemilu. Opini Kompas Rabu, 11
Februari
2004
dalam
http://64.203.71.11/kompascetak/0402/11/opini/848378.htm
Surat Kabar/Majalah
Alfian, M. Alfan (2008). Anomali
Antipartai di Indonesia. dalam
Surat Kabar KORAN TEMPO.
Selasa, 1 April 2008. Jakarta:
PT. Tempo Inti Media Harian, p.
A10.
Politisi,
Forum.
Amerikanisasi”
Komunikasi
Politik?.
dalam
http://forumpolitisi.org/pusat_data/umum/arti
cle.php?id=12&title=%E2%80%9
Batubara (2008). UU ITE Ancaman
Kebebasan Pers. dalam Surat
Kabar KOMPAS, Senin, 7 April
73
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
CAmerikanisasi%E2%80%9D%2
0Komunikasi%20Politik?
Suwardiman (2007). Menakar Potensi
Pemilih
2009.
dalam
http://www.kompas.com/kompascetak/0609/19/Politikhukum/2965
666.htm
Tribun Jabar, Koran. Golput Pilkada
Rata-rata 27,8 Persen. dalam
http://www.tribunjabar.co.id/artike
l_view.php?id=77&kategori=13
74
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Download