MENYOAL KONGLOMERASI MEDIA JELANG PEMILU 2014 Halimatusa’diah Program Studi Kehumasan Akom BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No.2, Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur [email protected] Abtract The fight political discourse in various media is a media phenomenon which occurs in the Democratic Party for 2014. Ownership of multiple television stations by the leadership of a political party that would compete in the upcoming elections into an interesting issue to be discussed. This research uses critical paradigm as a research perspective. The theory used in this research is the theory of political economy of the media is social critique approach and focuses on the relationship between economic structures, dynamics of the industry media and ideological content media. The results showed that the mass media in Indonesia currently is dominated by a lot of people who are affiliated with political parties or institutions have other political interests. Consequently the current media as it does not have a neutral stance and brought. Key words: mass media, media conglomeration, media neutrality Abstraksi Pertarungan wacana politik di berbagai media merupakan fenomena media yang terjadi dalam pesta demokrasi 2014. Kepemilikan beberapa stasiun televisi oleh unsur pimpinan partai politik yang akan bertanding di pemilu mendatang menjadi sebuah permasalahan yang menarik untuk dibahas. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis sebagai perspektif penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ekonomi politik media yang merupakan pendekatan kritik sosial dan berfokus pada hubungan antara struktur ekonomi, dinamika industri media dan konten ideologis media. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa media massa di Indonesia saat ini memang banyak dikuasai oleh orang-orang yang berafiliasi dengan partai politik atau lembaga yang memiliki kepentingan politik lainnya.akibatnya saat ini media seperti sudah tidak memiliki obyektivitas dan sikap netral. Kata kunci: media massa, konglomerasi media, netralitas media I.PENDAHULUAN Kebebasan pers ditandai dengan keluarnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Dua UU ini berhasil mendorong demokratisasi informasi sekaligus membuka pasar media yang luas. Pers bebas ditandai dengan lepasnya kontrol pemerintah terhadap kehidupan pers (self regulatory system) dan menguatnya organisasi jurnalis dan perusahaan media independen. Kebebasan pers dan media mendorong pers sebagai pilar ke-4 demokrasi sekaligus menjadi lembaga penyebar informasi dan penyalur aspirasi publik yang efektif. Namun kebebasan media juga memunculkan masalah pemusatan kepemilikan perusahaan media (konglomerasi), yang mengubah wajah kebebasan media dan kebutuhan informasi publik menjadi kebebasan menguasai pasar media. Konglomerasi kepemilikan media tersebut membawa potensi bahaya yang tidak bisa diremehkan. Pertama, arus informasi ke publik menjadi monolitik. Terpusatnya kepemilikan media tidak memenuhi kaidah keragaman kepemilikan (diversity of ownership) yang berakibat pada sedikitnya keberagaman isi (diversity of content). Kedua, terabaikannya agenda publik. Apa yang ditampilkan dalam media disesuaikan dengan alur kepentingannya pemilik modal. Ketiga, terjadi migrasi peran warga negara yang direduksi semata-mata menjadi konsumen. Sebagai konsumen, masyarakat tidak memiliki hak berpartisipasi dalam menentukan informasi yang diberitakan di media. Keempat, merosotnya mutu jurnalisme yang dipraktekan media. Sorotan terhadap dampak konglomerasi media massa kembali mengemuka menjelang Pemil 113 Peranan media massa (baik cetak maupun elektronik) yang strategis dalam sosialisasi dan pencitraan politik membuat semua kekuatan politik berupaya memanfaatkan dan menguasai media massa. Persoalannya, tidak semua partai politik memiliki tokoh yang menguasai media massa terutama private ownership media, sehingga dikhawatirkan masuknya para pemilik media massa ke kancah politik akan menimbulkan situasi yang tidak fair dan menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi akibat monopoli media massa untuk kepentingan politik partai atau tokoh tertentu. Fenomena ini tidak lepas dari terjunnya sejumlah pebisnis media dalam politik kepartaian seperti Hary Tanoesoedibyo pemilik MNC Group (RCTI, MNC TV, Global TV) yang bergabung ke partai Hanura, Aburizal Bakrie pemilik TVOne dan ANTV yang sekaligus menjabat posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar, maupun Surya Paloh sang pemilik Media Group (Metro TV dan Media Indonesia) yang kini juga sebagai Ketua Umum Partai Nasdem. In-konsistensi pemberitaan media televisi, bisa saja terjadi ketika terjadi tekanan dan intervensi baik secara internal maupun eksternal terhadap awak redaksi. Sebagian besar awak redaksi mengalami kesulitan untuk tidak menjalankan ideology media atas tekanan pemiliknya. Misalnya seperti contoh peristiwa berikut, Kasus yang dipertontonkan Metro TV ketika menyiarkan secara langsung dan berulang ulang tentang pendeklarasian Organisasi Sosial Nasional Demokrat, menjadi “Partai Politik Nasional Demokrat” (Nasdem) pada tanggal 26-27 Jula 2011 di Jakarta. Pada hal sebelumnya Surya Paloh selalu mengatakan bahwa Nasdem organisasi social, yang menuntut perubahan bagi Bangsa Indonesia kedepan, dan tidak akan menjadi organisasi politik. Ucapan Surya Paloh itu, disiarkan langsung berulang ulang oleh Metro TV. Sedangkan pasca pendeklarasian Nasdem menjadi partai politik praktis pemberitaan Metro TV begitu antosiasnya memberikan dukungan. Dalam konteks ini Metro TV telah melakukan pembohongan public, melalui jurnalistik penyiarannya, dan dapat dikatagorikan in-konsistensi terhadap dunia penyiaran di Indonesia . Keberpihakan pemberitaan TV One, terhadap kepentingan ekonomi dan politik dalam kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Opini di media yang muncul ketika itu terbelah menjadi dua opsi, yakni, (a). karena kecelakaan teknis dan PT Minarak Lapindo Group Bakrie yang harus bertanggung jawab sepenuhnya, karena tim ahli dari ITS, UGM dan ITB memberikan rekomendasi bahwa telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran gas tersebut. (b) Disebabkan karena bencana alam setelah terjadi perjanjian 114 antara Pemerintah dan Bakrie Group yang dikuatkan konsultan yang disewa dari luar negeri. Pada awalnya media televisi termasuk TV One begitu gencar mendukung obsi yang pertama. Tetapi setelah ada statemen dari pemilik TV One yang juga Group Lapindo, pemberitaan TV One berbalik 180 derajat. Bahkan pihak TV One jarang mengangkat kasus Lumpur Lapindo meski terjadi demo besar besaran di depan Istana Presiden. TV One ikutan menggunakan kata “Lumpur Sidoarjo” bukan Lumpur Lapindo seperti sebelumnya. Hal ini tampak jelas terdapat kepentingan penguasa (pemilik TV One) terhadap content media yang bertendensi peristiwa ekonomi dan proses politik. Terakhir adalah deklarasi Partai Hanura dalam mengusung Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo, pejabat eksekutif tinggi (CEO) Grup MNC, ditayangkan secara langsung oleh stasiun televisi swasta milik grup tersebut. Dan juga publik sering dipertontonkan aktivitas politik Partai NasDem di stasiun televisi swasta milik Ketua Umum Surya Paloh serta Partai Golkar di televisi milik Ketua Umum Aburizal Bakrie. Media saat ini memang mempunyai peran yang begitu besar dalam perubahan sosial di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia. Namun di luar itu, media juga digunakan untuk kampanye politik, iklan maupun propaganda. Pemanfaatan media di Indonesia sebagai ajang kampanye politik makin kentara lantaran para pemilik media di Indonesia juga menjadi tokoh partai tertentu. Menilik kepemilikan media di Indonesia yang dikuasai oleh para tokoh politik tentu ada kencenderungan pemberitaan di media ada nuansa ideologi dari para pemilik medianya. Pemnfaatan media televisi dalam pencitraan partai politik memang menjadi bahan kajian menarik, terutama dalam setiap penyelengaraan pemilihan, termasuk pada tahapan awal pemilu tahun 2014. Televisi masih dianggap sebagai media massa yang paling efektif dalam menyampaikan pesan, tidak terkecuali pesan politik yang selalu disampaikan oleh partai politik, terutama dalam kapasitas mereka sebagai konstentan pemilihan umum. Meski demikian, untuk bisa masuk dalam isi pemberitaan atau menjadi bagian dalam agenda setting redaksi pemberitaan stasiun televisi, tentu tidak mudah bagi setiap partai politik. Apalagi, jika menginginkan isu pemberitaan yang diangkat memberikan kontribusi positif dalam pencitraan partai politik yang bersangkutan. Perlu strategi tersendiri dan kreatifitas yang tinggi dari setiap partai politik untuk dapat mewujudkan hal tersebut. Namun, fenomena yang terjadi dalam pesta demokrasi 2014 adalah masalah kepemilikan beberapa stasiun stasiun televisi oleh unsur pimpinan partai politik yang akan bertanding di pemilu mendatang. Penguasaan media oleh politisi sudah menjadi strategi lain yang dilakukan dalam pencitraan partai politik dewasa ini. Pencitraan partai politik melalui media televisi pada tahapan lanjutan pemilu tahun 2014, tentu akan semakin marak dan beragam. Bukan tidak mungkin, kegiatan tersebut akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau konflik di antara partai politik peserta pemilu. Selain itu, persaingan tersebut bukan tidak mungkin juga akan me-rugikan masyarakat atau penonton, terutama dalam kenyamanan mereka mendapatkan informasi dan hiburan dari televisi. Saat ini saja, sudah ada tudingan dan kecaman karena tidak berimbangnya pemberitaan yang dilakukan TV One dalam pemberitaannya tentang Partai Golkar dan pencalonan Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie sebagai presiden di pemilu mendatang yang juga pemilik Group Bakrie yang menguasai saham TV One. Nuansa kompetisi pemunculan para tokoh politik mulai tercermin diberbagai pemberitaan media televisi. Pertarungan wacana politik di berbagai media televisi belakangan ini merupakan fenomena bahwa “arena pertarungan politik pencitraan politisi mulai bermunculan” di media dan yang terjadi dalam pesta demokrasi 2014 nanti adalah masalah kepemilikan beberapa stasiun televisi oleh unsur pimpinan partai politik yang akan bertanding di pemilu mendatang. Penguasaan media oleh politisi sudah menjadi strategi lain yang dilakukan dalam pencitraan partai politik dewasa ini. Jika demikian, permasalahan yang kemudian timbul adalah bagaimana netralitas dan keberpihakan media televisi komersial terhadap kepentingan public? Ketika media televisi digunakan sebagai ajang pertarungan politik, bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi kedua permasalahan tersebut? II. KAJIAN LITERATUR Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah media massa kaitannya dengan konglomerasi media dan pemanfaatannya dalam pencitraan politik. Media juga merupakan bagian dari industri budaya yang terikat dengan sistem komunikasi masyarakat yang dikelola sebagai sebuah organisasi industri yang memiliki kepentingan dan kecenderungan tersendiri. Kepentingan dan kecenderungan media ditentukan oleh sistem sosial, ekonomi, budaya dan politik lingkungan media tersebut menentukan konstruksi kerangka pikir, kerja dan prilaku mengelola media dan media massa. Media massa memang tidak mungkin melepaskan diri dari nilai, ideologi kepentingan dan sistem kehidupan yang ada dimana media tersebut tumbuh dan berkembang. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka media massa dalam pemahaman para ahli Marxist adalah suatu kekuatan yang mampu menentukan realitas berdasarkan realitas nilai, ideologi dan sistem yang ada (McQuail: 2011). Konsep yang juga penting dalam kajian ini adalah teori ekonomi politik yang merupakan pendekatan kritik sosial yang berfokus pada hubungan antara struktur ekonomi dan dinamika industri media dan konten ideologis media. Dari sudut pandang ini, lembaga media dianggap sebagai bagian dari sistem ekonomi dengan hubungan erat kepada sistem politik. Konsekuensinya, terlihat dalam berkurangnya sumber media yang independen, konsentrasi kepada khalayak yang lebih besar, menghindari resiko, dan mengurangi penanaman modal pada tugas media yang kurang menguntungkan. Kita juga menemukan pengabaian sektor khalayak potensial yang lebih kecil dan miskin, dan seringkali terdapat media berita yang tidak seimbang (McQuail: 2011). Murdock dan Golding memaparkan bahwa ekonomi politik media massa dimulai dengan kesadaran bahwa media merupakan “organisasi komersial dan industri utama yang menghasilkan dan mendistribusikan komoditas”. Untuk mempelajari mengenai media tidak bisa hanya dipelajari sebagai hal yang tersendiri, tetapi dihubungkan dengan kendali perusahaan dan aktivitas media yang bisa dimengerti dengan segi ekonomi, analisis media juga berkaitan dengan kerja ideologi media dan tidak hanya terfokus pada produksi dan distribusi komoditas, tetapi juga bertanggung jawab penuh dengan komoditas dan ideologi kerja yang mereka lakukan (Golding dan Murdock. :1997) Konsep lainnya yang juga sangat penting dalam makalah ini adalah mengenai konglomerasi media. peningkatan kepemilikan media oleh perusahaan perusahaan besar non media, ancamannya terlihat sangat jelas. Dalam hal ini, kritikus media Steven Brill mengemukakan: semakin besar ukuran konglomerasi ini, akan semakin kecil arti jurnalisme, dan semakin rapuh jurnalisme ini terhadap kepentingan konglomerasi.. oleh karena itu perusahaan besar ini menampakkan ancaman baru dan tidak pernah ada sebelumnya terhadap kebebasan berekspresi, jurnalisme independen, dan pasar ide-ide yang bebas dan bergairah. Besarnya ukuran perusahaan membuat perusahaan-perusahaan akan secara rutin memuat persoalan-persoalan yang terkait dengan salah satu divisi perusahaan atau beberapa pesaing dari perusahaannnya (Baran: 2012). Berdasarkan teori hegemoni Gramsci, media 115 massa adalah alat yang dipergunakan oleh kelompok elite untuk mengabadikan kekuasaan kesejahteraan dan status melalui penciptaan popularisasi filosofi, budaya dan moral mereka. Dengan kata lain media mampu menciptakan, memperkuat, mendukung atau bahkan meruntuhkan sebuah hegemoni berdasarkan kecenderungan institusi media yang juga memiliki ideologi sendiri (Barker :2004) . Disadari atau tidak, sebagian besar masyarakat di Indonesia masih menjadikan media sebagai salah satu jembatan informasi tentang berbagai hal yang terjadi dalam masyarakat, baik yang sedang menjadi perhatian maupun yang luput dari perhatian mereka. Kenyataan menunjukkan, keterlibatan media dalam membentuk suatu opini publik adalah sebuah kekuatan tersendiri yang dimilikinya dan itu sangat berpengaruh dalam tatanan kehidupan di masyarakat. Namun, seiring dengan kebebasan pers yang didengungkan dalam reformasi 1998 silam membuat sebagian media kebablasan menyikapi euforia kebebasan tersebut. Independensi dan kode etik kadang telah tertutupi oleh orientasi bisnis dan keuntungan, sehingga saat ini ¨dapur¨ media telah dimasuki pengaruh kekuasaan, finansial dan kepentingan politik. Media sangat memberi andil dan peran penting dalam memberikan informasi terhadap masyarakat, kecenderungan ini kadang membuat media dalam menyajikan informasinya bisa saja membuka peluang dramatisasi, manipulasi, spekulasi ataupun juga menyingkap kebenaran sesuai fakta sesungguhnya. Olehnya, segelintir masyarakat berusaha memanfaatkan media untuk suatu tujuan sesuai kepentingannya, hingga kemudian media menjadi sangat sulit memisahkan antara independensi dan keuntungan bisnis, dan terkadang dua kepentingan tersebut membuat media terperosok ke dalam penyajian informasi yang tidak berimbang dan cenderung berpihak pada golongan tertentu. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini, terutama yang menyangkut isi pemberitaan adalah teori agenda setting yang dikemukakan oleh Maxwell E. Combs dan Donald Shaw pada tahun 1972. Menurut keduanya, dalam agenda setting akan terlihat bahwa dalam memilih dan menampilkan berita, editor, staf dan penyiar memainkan peranan yang peting dalam membentuk realitas politik. Pembaca sebenarnya tidak hanya disodorkan tentang sebuah issu tertentu, tetapi pembaca juga diikat dalam issu-issu tersebut sesuai dengan yang diinginkan oleh media. Media massa menentukan issu mana yang penting, media mengatur agenda dan berita yang akan diberikan kepada pembaca atau penontonnya penting, media mengatur 116 agenda dan berita yang akan diberikan kepada pembaca atau penontonnya (Baran: 2012). Media massa memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap apa yang pemilih bicarakan mengenai kampanye politik tersebut, dan memberikan pengaruh besar terhadap isu-isu apa yang penting untuk dibicarakan. Asumsi utama dan pendapatpendapat inti agenda setting merupakan penciptaan kesadaran publik dan pemilihan isu-isu mana yang dianggap penting melalui sebuah berita. Dua asumsi mendasar lainnya dari teori ini adalah, (1) pers dan media tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya, melainkan mereka membentuk dan mengkonstruksi realitas tersebut. (2) media menyediakan beberapa isu dan memberikan penekanan lebih kepada isu tersebut yang selanjutnya memberikan kesempatan kepada publik untuk menentukan isu mana yang lebih penting dibandingkan dengan isu lainnya. Sedikit banyaknya media memberikan pengaruh kepada publik mengenai isu mana yang lebih penting dibandingkan dengan isu lainnya. Salah satu aspek yang paling penting dari konsep agenda setting ini adalah masalah waktu pembingkaian fenomena-fenomena tersebut dalam artian bahwa tiap-tiap media memiliki potensi-potensi agenda setting yang berbeda-beda satu sama lainnya. Pendekatan ini dapat membantu kita untuk menganalisa kecenderungankecenderungan suat media misalnya dalam hal komunikasi politik mereka. Media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Bila media massa selalu memuat nama seseorang, maka orang itu akan cenderung dianggap penting. Bila surat kabar memuat pernikahan seorang ratu, maka pernikahan itu akan menjadi bahan pembicaraan khalayak pula. Menurut teori agenda setting media massa memiliki kegiatan menyusun, memunculkan isu, dan menempatkan isu tersebut dengan tujuan untuk mempengaruhi apa yang dianggap penting oleh khalayak. Asumsinya adalah bahwa media menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, gatekeepers seperti bagain penyuntingan, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. Dengan kata lain media massa merupakan isi dari segala jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya. Hal ini sesuai dengan teori agenda setting bahwa setiap peristiwa atau isu diberi bobot tertentu dalam penyajiannya (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dengan menonjolkan (ukuran judul, letak pada surat kabar, frekuensi pemuatan, posisi dalam surat kabar) suatu permasalahan dan mengesampingkan yang lain. Wener J. dan James W. mengutip pendapat Kurt dan Gladys Engel tentang agenda setting bahwa media massa mengarahkan perhatian khalayak kepada isu-isu tertentu. Media massa secara teratur dan berkesinambungan mengarahkan dan mempengaruhi setiap individu pengkonsumsi media untuk berpikir, mengetahui, dan mempunyai perasaan tertentu terhadap suatu objek. Asumsi-asumsi ini menunjukkan bahwa ketika media memberikan penonjolan dan teknik-teknik tertentu terhadap pemberitaan tentang sesuatu objek, berarti media hendak membentuk persepsi khalayak bahwa isu tersebut merupakan hal yang penting. Sementara teori lainnya yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah teori pencitraan politik yang dikemukakan oleh Dan Nimmo pada tahun 2004. Dan menyatakan bahwa pencitraan politik itu seperti kapstok, yang sebenarnya bukan menyajikan realitas politik yang sebenarnya. Menurut Dan, realitas politik bukanlah sesuatu yang kita alami sekarang, karena apa yang kita alami sekarang sudah melalui kegiatan simbolik yang disampaikan melalui kegiatan simbolik. Apalagi, jika dikaitkan dengan media massa, maka kegiatan simbolik tersebut adalah sebenarnya hanya merupakan aktifitas yang tertangkap dan diangkat oleh media massa saja (Nimmo:1999). III. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan paradigma kritis sebagai perspektif untuk mengkaji dan menganalisis berbagai temuan penelitian. Asumsi yang mendasari penggunaan paradigma kritis dalam penelitian ini dikarenakan menekankan pada kajian cultural studies. Menurut Neuman dan Bacon (2000), penelitian kritis disebut sebagai critical social science (ilmu sosial kritis), nama lain dari pendekatan ini adalah materialisme dialektis, analisis kelas, dan strukturalisme. Penelitian kritis menggabungkan pendekatan yang bersifat nomothetic dan ideographic. Sebagai implikasi dari pilihan menggunakan paradigma kritis, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln penelitian kualitatif merupakan suatu studi yang menggunakan dan kumpulan berbagai bahan-bahan empiris seperti studi kasus, pengalaman personal, wawancara dan lain-lain yang menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi oleh kehidupan sehari-hari individu (Denzin dan Yvonna 2009) Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui pengamatan partisipatif (participatory observation). Dalam penelitian ini digunakan analisis dokumen yang mempelajari apa yang tertulis dan dilihat dari teks yang ada di media online seperti situs, blog serta semua hal yang diterima oleh semua panca indera peneliti dalam melakukan observasi partisipasipatif. Dari sisi goodness criteria, Patton , menyebutkan bahwa validitas, kegunaan (meaningfulness) dan insight penelitian kualitatif lebih terkait dengan kekayaan informasi dari kasus yang dipilih dan kemampuan analitis/observasi dari si peneliti daripada ukuran sampel (atau informan dalam konteks penelitian kualitatif. IV. PEMBAHASAN Sorotan terhadap dampak konglomerasi media massa kembali mengemuka menjelang Pemilu 2014. Peranan media massa baik cetak maupun elektronik yang strategis dalam sosialisasi dan pencitraan politik membuat semua kekuatan politik berupaya memanfaatkan dan menguasai media massa. Fenomena ini tidak lepas dari terjunnya sejumlah pebisnis media dalam politik kepartaian seperti Hary Tanoesoedibyo pemilik MNC Group (RCTI, MNC TV, Global TV) yang bergabung ke partai Hanura, Aburizal Bakrie pemilik TVOne dan ANTV yang sekaligus menjabat posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar, maupun Surya Paloh sang pemilik Media Group (Metro TV dan Media Indonesia) yang kini juga sebagai Ketua Umum Partai Nasdem. In-konsistensi pemberitaan media televisi, bisa saja terjadi ketika terjadi tekanan dan intervensi baik secara internal maupun eksternal terhadap awak redaksi. Sebagian besar awak redaksi mengalami kesulitan untuk tidak menjalankan ideology media atas tekanan pemiliknya. misalnya seperti contoh peristiwa berikut, ini : Ketika kasus NCD (Negotiable of Deposit) fiktif yang dilakukan Harry Tanoesoedibyo selaku pemilik Group MNC yang diduga merugikan Negara tahun 2006, dan mencuat di permukaan menjadi opini public, dianggap terjadi inkonsistensi netralitas pemberitaan. Realitas yang terjadi ketika itu semua pemberitaan Group MNC (RCTI,TPI/MNC, Radio Trijaya, Trust) justru membelanya. Bahkan RCTI menggelar Dialog Khusus, bertajuk “Kontroversi NCD Bodong” pada tanggal,20/2/2006 berupaya untuk menetralisir dan melakukan pembelaan kepada pemilik media tersebut. Pada hal pihak redaktur pemberitaan ketika itu Arif Suditomo mengatakan,: 117 “sebenarnya penonton sudah tidak tertarik pada isu ini, namun saya tertantang untuk menampilkannya. Banyak produser yang tidak mau menampilkannya karena tayangan tersebut ratingnya rendah . (http://pravdakino.multiply. com/journal/item/27/ konglomerasimedia-dalam-group-mnc-media). Kasus yang dipertontonkan Metro TV ketika menyiarkan secara langsung dan berulang ulang tentang pendeklarasian Organisasi Sosial Nasional Demokrat, menjadi “Partai Politik Nasional Demokrat” (Nasdem) pada tanggal 26-27 Jula 2011 di Jakarta. Pada hal sebelumnya Surya Paloh selalu mengatakan bahwa Nasdem organisasi sosial, yang menuntut perubahan bagi Bangsa Indonesia kedepan, dan tidak akan menjadi organisasi politik. Ucapan Surya Paloh itu, disiarkan langsung berulang ulang oleh Metro TV. Sedangkan pasca pendeklarasian Nasdem menjadi partai politik praktis pemberitaan Metro TV begitu antosiasnya memberikan dukungan. Dalam konteks ini Metro TV telah melakukan pembohongan public, melalui jurnalistik penyiarannya, dan dapat dikatagorikan in-konsistensi terhadap dunia penyiaran di Indonesia. Keberpihakan pemberitaan TV One, terhadap kepentingan ekonomi dan politik dalam kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Opini di media yang muncul ketika itu terbelah menjadi dua opsi, yakni, (a). karena kecelakaan teknis dan PT Minarak Lapindo Group Bakrie yang harus bertanggung jawab sepenuhnya, karena tim ahli dari ITS, UGM dan ITB memberikan rekomendasi bahwa telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran gas tersebut. (b) Disebabkan karena bencana alam setelah terjadi deal antara Pemerintah dan Bakrie Group yang dikuatkan konsultan yang disewa dari luar negeri. Pada awalnya media televisi termasuk TV One begitu gencar mendukung obsi yang pertama. Tetapi setelah ada statemen dari pemilik TV One yang juga Group Lapindo, pemberitaan TV One berbalik 180 derajat. Bahkan pihak TV One jarang mengangkat kasus Lumpur Lapindo meski terjadi demo besar besaran di depan Istana Presiden. TV One ikutan menggunakan kata “Lumpur Sidoarjo” bukan Lumpur Lapindo seperti sebelumnya. Hal ini tampak jelas terdapat kepentingan penguasa (pemilik TV One) terhadap content media yang bertendensi peristiwa ekonomi dan proses politik. Deklarasi Partai Hanura dalam mengusung Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo, pejabat eksekutif tinggi (CEO) Grup MNC ditayangkan secara langsung oleh stasiun televisi swasta milik grup tersebut. Dan juga publik sering dipertontonkan aktivitas politik Partai NasDem di stasiun televisi swasta milik 118 Ketua Umum Surya Paloh serta Partai Golkar di televisi milik Ketua Umum Aburizal Bakrie. Media saat ini mempunyai peran yang begitu besar dalam perubahan sosial di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun di luar itu, media juga digunakan untuk kampanye politik, iklan maupun propaganda. Pemanfaatan media di Indonesia sebagai ajang kampanye politik makin kentara lantaran para pemilik media di Indonesia juga menjadi tokoh partai tertentu. Menilik kepemilikan media di Indonesia dikuasai oleh para tokoh politik tentu ada kencenderungan pemberitaan di media ada nuansa ideologi dari para pemilik medianya. Pemberitaan media mengacu untuk kepentingan pemilik modal demi kelangsungan bisnis dan politiknya. Dalam kaitannya dengan pencitraan politik, terlihat bagaimana salah satu media yang dimiliki oleh ARB –Vivanews- secara terus menerus memberitakan tentang sosok ARB sebagai upaya pencitraan politiknya. Memperhatikan pemberitaan Partai Golkar di vivanews.com selama bulan Oktober 2012. Hingga tanggal 26 Oktober 2012 pukul 19.30 tercatat 43 berita tentang Partai Golkar. Dari 43 berita yang diunggah, 20 atau 46 persen diantarannya berita kegiatan Aburizal Bakrie, sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Dari 20 berita tentang Aburizal Bakrie, 15 ( 75 persen) berita dengan judul mencantumkan nama Aburizal Bakri atau Ical atau ARB. Dalam kasus Partai Golkar dan Aburizal Bakrie sangat jelas terlihat bila kita mengamati pemberitaan di vivanews.com selama bulan Oktober 2012 (Sumber: http://idmultimediajournalism.wordpress. com/2012/11/01/vivanews-golkar-arb/). Bagaimana vivanews.com secara terus-menerus memengaruhi khalayak pembaca lewat berita Partai Golkar dan Aburizal Bakri agar khalayak melupakan kesadaran sebelumnya posisi Partai Golkar yang ikut tenggelam bersama kehancuran rezim Orde Baru serta nama Aburizal Bakrie yang terkait dengan Kasus Lumpur Lapindo, terpidana korupsi Gayus Tambunan dan sisi negatif penetapan capres 2014 tanpa adanya konvensi. Pemberitaan vivanews.com selama bulan Oktober ini membangun kesadaran bahwa Partai Golkar adalah Partai pilihan rakyat. Bahkan pada tanggal 15 Oktober 2012 vivanews.com memberitakan hasil survey bahwa jika pemilu diadakan sekarang, maka Golkar anak menang. Dan ini dikuatkan dengan survey Lembaga Survey Stasiun Cuaca Politik (Political Weather Station) yang diunggal vivanews.com pada tanggal 21 Oktober dimana posisi Partai Golkar di urutan pertama pilihan responden. Vivanews.com juga membangun kesadaran baru terhadap Aburizal Bakrie bahwa ketua Partai Golkar layak diusung menjadi calon presiden 2014 meski ia dipilih tidak lewat konvensi seperti tradisi Golkar dalam pemilihan calon presiden setelah masa reformasi. Dalam berita tersebut dijelaskan bahwa meski tanpa konvensi bukan berarti (Aburizal Bakrie) otoriter. (Golkar: Capres Tanpa Konvensi, Bukan Berarti Otoriter) Aburizal Bakrie juga digambarkan sosok yang peduli pada pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM). Padahal sejak krisis ekonomi 1998 lalu, sektor ini memang tumbuh berkembang dengan sedirinya lantaran banyak karyawan yang di PHK. Bahkan saat ini sektor ini menjadi penyelamat ekonomi saat ini dengan makin tumbuhnya wara usaha mandiri tanpa bantuan dari pemerintah. Dari penjelasan dan lampiran data-data seperti dimuat dalam tabel tersebut, bisa memberi gambaran adanya upaya agenda setting media dan pencitraan politik ARB. Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut:Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi. Dengan demikian, dalam konteks ini, hegemoni media yang dilakukan vivanews.com dalam membangun kesadaran baru pada khalayak terhadap partai Golkar dan ketua umumnya Aburizal Bakrie yang ingin mencalonkan diri sebagai Presiden RI untuk masa 2014 – 2019 mendatang. Kondisi ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam kancah perpolitikan di Indonesia, namun akan lebih terlihat dengan dimilikinya beberapa stasiun televisi nasional oleh beberapa konglomerat yang juga adalah tokoh politik atau ketua umum partai politik tertentu. Dengan penguasaan media yang seperti itu, maka dijamin aktifitas yang dilakukan partai politik akan cukup terekspose di stasiun televisi yang dikuasainya. Lepas dari persoalan itu masuknya para pemilik media ke dunia politik praktis menjadi sangat menarik. Meski secara formal mereka tidak menggunakan media televisi sebagai sarana kampanye politik mereka secara terbuka, tetapi secara sembunyi tidak bisa di pungkiri, jika awak televisi yang mereka miliki tidak kuasa menolak keinginan sang pemilik untuk memaksakan kehendak politiknya. Pengaruh kekuasaan pemilik (modal/media) terhadap netralitas berita sangat kentara. Implikasinya content media televisi komersial dalam group terentu cenderung bersifat homogin. Homoginitas content mengakibatkan penonton media televisi mengalami kesulitan untuk mencari referensi. Kesulitan mencari referensi karena informasi bersumber dari media televisi group yang dimiliki orang yang sama. Para pemilik media televisi komersial itu adalah orang yang dekat dengan kekuasaan. Dalam perspektif Marxian media berpotensi menyebarkan ideology dominan. Ideologi dominan inilah yang di asumsikan mempunyai potensi untuk menguatkan hegemoni kekuasaan para pemilik media televisi komersial. Dimana tekanan pemilik media tidak jauh dari kepentingan ekonomi, politik dan ideology tersebut. Tekanan dari aspek ekonomi untuk mengembalikan investasinya. Tekanan yang datang dari aspek politik dan ideology untuk membangun kelanggengan kekuasaan. Semakin kuatnya tekanan dari pemilik media, semakin sulit politik keredaksian media televisi bersikap netral, untuk mempertahankan indepedensinya dihadapan khalayak pemirsanya. Kondisi tersebut hampir melanda televisi komersial di Indonesia. Pertanyaan berikutnya adalah manakala sebuah media dimiliki oleh politisi sehingga media massa tidak terjamin lagi netralitas pemberitaannya bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi kedua permasalahan tersebut? Terdapat dua jawaban yang saling bertentangan, sesuai dengan pandangan yang digunakan terkait dengan masyarakat itu sendiri; memandang masyarakat dalam kaca mata negatif dan memandangnya dari kaca mata positif. Jika jawaban yang diajukan berdasarkan pada pengabaian terhadap fakta empiris kedewasaan masyarakat berkaitan dengan media massa, bisa jadi kekhawatiran itu akan menjadi benar adanya. Dan bisa jadi harus ditumbuhkan secara terus menerus, sehingga bisa menjadi kesadaran masyarakat kebanyakan. Kekhawatiran ini berdasarkan pada argumentasi, dalam masyarakat yang belum dewasa, mereka akan mengunyah begitu saja informasi yang disajikan media massa. Bahkan pada tahap tertentu sangat menggusarkan, karena informasi media bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak. Dianut sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan-keputusan, terutama keputusan politik. Padahal informasi 119 yang tersajikan sudah penuh dan bahkan sarat dengan kepentingan politis pemiliknya. Tetapi jika melihat perkembangan masyarakat Indonesia saat-saat terakhir ini, kekhawatiran berlebihan terhadap media yang dimiliki politisi tampaknya menjadi tidak beralasan. Pertama, masyarakat sudah memasuki kesadaran yang lebih maju, kedewasaan yang semakin matang berkaitan dengan informasi yang disajikan media massa. Mereka sudah memiliki penyaringan yang lebih baik, sehingga mampu membedakan mana informasi yang tak layak dipercaya karena berbungabunga dan penuh pujian, dan mana informasi yang memang bisa dipercaya karena terasakan obyektivitasnya. Kedua, sumber informasi masyarakat sudah berlimpah tersedia, termasuk media-media yang tidak dimiliki oleh para politisi. Sehingga masyarakat dengan sendirinya, mampu melakukan komparasi-komparasi obyektif dalam menerima dan mengonsumsi informasi yang disajikan dalam media massa. Ketiga, berkembangnya tradisi jurnalis warga di Indonesia juga tidak bisa diabaikan kekuatannya sebagai penyeimbang media massa yang dikuasai politisi dan para pemilik modal. Radio komunitas, misalnya, jauh lebih dipercaya informasi yang disajikannya, ketimbang media-media komersial lainnya. Melihat fakta-fakta empiris ini, tampaknya tak perlu digusarkan benar adanya kepemilikan media massa oleh para politisi. Kekhawatiran mengenai pemanfaatan media sebagai alat pencitraan politisi pemiliknya, pada akhirnya hanya akan menjadi konsumsi elit, hanya merupakan wacana intelektual, karena masyarakat tak akan terkena pengaruhnya. Tetapi, jika tetap saja khawatir, yang bisa dilakukan adalah melakukan penguatan masyarakat dalam melakukan pembacaan terhadap informasi yang disajikan media massa. Gerakan literasi media dalam dimensi politik perlu dikembangkan secara terus meneruskan, sehingga akan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan penyaringan informasi. Belajar dari gerakan literasi media yang dilakukan Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta, misalnya, mereka telah berhasil melakukan pendidikan literasi media di kalangan perempuan ibu rumah tangga di Yogyakarta dalam melakukan penyaringan program televisi. Perempuan-perempuan ini tidak saja mampu melakukan memilah tayangan televisi untuk diri mereka sendiri, tetapi juga mendampingi anak-anak mereka ketika mengonsumsi tayangan tak mendidik yang disajikan televisi. Model ini tentu saja bisa dikembangkan untuk melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat dalam mengonsumsi informasi politik 120 yang disajikan media massa. Sehingga gerakan literasi media, juga sekaligus sebagai pendidikan politik masyarakat yang selama ini memang terabaikan oleh hampir semua partai politik di Indonesia. Sebagaimana dipahami bersama, jika partai politik melakukan pendidikan politik, lebih pada pendidikan kader, dan itu pun untuk kepentingan mobilisasi suara, bukan untuk menjadi warga bangsa yang kuat, sehingga mampu melakukan kontrol atas kekuasaan yang sedang berjalan. IV. PENUTUP Media massa saat ini memang banyak dikuasai oleh orang-orang yang berafiliasi dengan partai politik atau lembaga yang memiliki kepentingan politik lainnya. Namun disisi lain kita mengharapkan kalau kepemilikan media itu seharusnya tidak dimiliki oleh orang yang memiliki keterkaitan langsung dengan partai politik. Dengan kepemilikan oleh orang partai politik, akibatnya saat ini media seperti sudah tidak memiliki obyektivitas dan sikap netral. Terlebih lagi jika media dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkaitan langsung dengan partai politik untuk mensosialisasikan kepentingan partai politiknya maupun digunakan untuk memojokkan lawan dari partai politik lain lewat pemberitaan di media miliknya. Hal tersebut dinilai dapat mengubah obyektivitas pemberitaan yang ada selama ini. Saat ini media massa Indonesia lebih banyak berfungsi pragmatis untuk kepentingan pemilik media yang kebetulan juga merupakan kekuatan ekonomi dan politik. Jika pun tidak, kekuatan tersebut datang dari luar media itu karena faktor finansial yang melibatkan konglomerasi dan bisnis. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah melakukan penguatan masyarakat dalam melakukan pembacaan terhadap informasi yang disajikan media massa. Gerakan literasi media dalam dimensi politik perlu dikembangkan secara terus meneruskan, sehingga akan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan penyaringan informasi. Model ini tentu saja bisa dikembangkan untuk melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat dalam mengonsumsi informasi politik yang disajikan media massa. Sehingga gerakan literasi media, juga sekaligus sebagai pendidikan politik masyarakat yang selama ini memang terabaikan oleh hampir semua partai politik di Indonesia. Sebagaimana dipahami bersama, jika partai politik melakukan pendidikan politik, lebih pada pendidikan kader, dan itu pun untuk kepentingan mobilisasi suara bukan untuk menjadi warga bangsa yang kuat, sehingga mampu melakukan kontrol atas kekuasaan yang sedang berjalan. DAFTAR PUSTAKA Baran, J. Stanley. 2012. Pengantar Komunikasi Massa: Melek Media dan Budaya. Jakarta: Erlangga. Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana Denzin, Norman K, Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. USA: Sage Publications Inc. Golding, Peter and Graham Murdock. 1997. The Political Economy of The Media. US: Edward Elgar Publishing Limited. http://pravdakino.multiply. com/journal/item/27/ konglomerasimedia-dalam-group-mnc-media –nusantara-citra, diakses 26/5/2010 pukul 21.30 WIB. http://idmultimediajournalism.wordpress. com/2012/11/01/vivanews-golkar-arb/ diakses pada 19 November 2013, pukul 23.30 WIB. McQuail, Dennis. 2011. Teori Komunikasi Massa McQuail. Jakarta. Salemba Humanika. Neuman, Laurence, W. dan Bacon, Allyn. 2000. Social Research Methode:Qualitative and Quantitative Approaches, New York. Bacon Nimmo, Dan. 1999. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Bandung, Remaja Karya Patton, M. Q. 2002. Qualitative Research & Evaluation Methode (3rd ed.): Sage Publication, New York. Saverin, S.Werner, dan Tankard Jr. W. James. 2011. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode dan terapan di Media Massa. Jakarta: Kencana. 121