APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Hikmiyyah NIM: 1111043200020 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) JAKARTA 1437 H/2015 M ABSTRAK Hikmiyyah. NIM 1111043200020. APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA. Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015 M. xvii + 70 halaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa esensi dari kaidah fikih “ إذا ضاق ”األمر اتسعadalah menghilangkan kesulitan pada diri mukallaf ketika dalam keadaan masyaqqah (kesempitan hukum). KHI sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Indonesia yang murni berasal dari hukum Islam telah mengaplikasikan konsep kaidah fikih ini dalam pasal-pasalnya. Pasal-pasal tersebut pada hakikatnya menghendaki kemaslahatan umat Muslim Indonesia. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan teknik analisis data kualitatif. Pendekatan yang digunakan pendekatan yuridis hukum Islam. Penelitian ini bersifat deskriptif analistis. Sumber data yang digunakan adalah sumber bahan primer, sekunder dan tersier dengan menggunakan metode pengumpulan data penelitian kepustakaan. Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI. Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA Daftar Pustaka : Tahun 1968 s.d. Tahun 2013 v ميحرلا نمحرلا هللا بسم KATA PENGANTAR Pujian yang setinggi-tingginya dan rasa syukur yang tidak terhitung penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang menjadi tempat mengadu suka cita dan keluh-kesah bagi setiap hamba-hamba-Nya yang tunduk kepada-Nya. Tiada balasan lain yang dapat penulis berikan kehadirat Allah SWT selain rasa syukur tiada henti, yang telah memberikan kesempatan dan membuka jalan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan seluruh umat Muslim di dunia, Nabi Muhammad SAW, pembawa berita kebenaran agama Islam dan penyebar rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta. Bagaimanapun penulis merasa berat untuk menyelesaikan skrispsi ini, hal tersebut tentu tidak setara dengan pengorbanan Beliau dalam menyebarkan agama Islam dan kesabaran Beliau dalam menghadapi musuh-musuh yang selalu memandang dengan sebelah mata dan rasa benci. Selama dalam penulisan skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. vi 2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si beserta Ibu Hj. Siti Hanna, Lc, M.Ag selaku Ketua dan Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Seluruh dosen Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis selama masa perkuliahan. 6. Seluruh staf dan civitas akademika Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan administrasi dengan baik. 7. Seluruh staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah melayani dan memberikan fasilitas dengan baik. 8. Kedua orang tua yang sangat penulis sayangi dan hormati, Buya H. Mochammad Kamil Muslich dan Umik Hj. Siti Maidah Nafi’, terimakasih atas dukungan moriil, materil, kesabaran, perhatian, keikhlasan dan doa-doa kalian yang tidak pernah putus untuk adinda. Tiada hal yang lebih berarti di kehidupan adinda selain kebahagiaan kalian. Semoga Allah SWT vii memberikan kesempatan kepada adinda agar bisa membalas semua hal yang telah kalian berikan tanpa pamrih. 9. Adik-adik tercinta, Maziyah Kamil dan Muhammad Faruq Kamil yang telah memberikan dukungan semangat sekaligus menjadi motivator agar penulis bisa menjadi contoh yang baik bagi mereka. 10. Seluruh anggota keluarga yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terimakasih karena selalu berdoa untuk kebaikan penulis. 11. Al-Syaikh al-Mukarram, Prof. Dr. H. Ali Mustofa Yaqub, MA beserta Ibu Nyai Hj. Ulfah Uswatun Hasanah sebagai orang tua kedua penulis di Darus Sunnah. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan umur panjang dan menjaga kesehatan mereka agar penulis dapat menimba ilmu lebih banyak lagi dari mereka. 12. Seluruh dosen Darus Sunnah International Insitute of Hadith Sciences, terutama Ust. Dr. H. Sofin Sugito, Lc, MA yang telah memberikan judul bagi skripsi ini, serta Ust. Andi Rahman, Lc, MA yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini terlebih dahulu daripada tugas akhir Darus Sunnah. 13. Teman-teman terdekatku “The Four Success Women”, Lia Herawati, Ratu Solihat dan Titi Nur Indah Sari. Terimakasih atas kasih sayang, kepedulian, semangat dan segalanya yang telah mereka berikan kepada penulis di masa-masa persahabatan yang telah lalu. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah berakhir meskipun terpaut jarak dan waktu di antara kita. 14. Teman-teman seperjuangan di kelas PH 2011 yang telah banyak membagi ilmu dan pengalaman selama masa perkuliahan. 15. Sahabat-sahabat AL-AQSHA dan teman-teman seperjuangan di Darus Sunnah International Insitute of Hadith Sciences yang telah memberikan dukungan semangat dan motivasi yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. viii Penulis berharap semoga skrispi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis pribadi dan khalayak umum. Penulis juga mengharapkan berbagai masukan, baik berupa kritik atau saran yang bersifat membangun dalam menyempurnakan skripsi ini. Penulis juga mohon maaf apabila skripsi ini penuh dengan kekurangan dan jauh dari kata sempurna karena kemampuan yang dimilki oleh penulis sangatlah terbatas. Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT membalas segala bantuan yang telah mereka berikan dengan balasan yang lebih dan berlipat ganda. Sesungguhnya kebenaran datang dari Allah SWT dan kesalahan datang dari penulis pribadi. Wa Allâh Ta’âlâ A‘lam fî Kull Ḫâl. ix DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi DAFTAR ISI ....................................................................................................... x PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Permasalahan ......................................................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8 D. Kajian (Review) Terdahulu .................................................... 9 E. Metodologi Penelitian ........................................................... 12 F. Sistematika Penulisan ............................................................ 15 BAB II TINJAUAN TENTANG KAIDAH FIKIH “”إذا ضاق األمر اتسع A. Pengertian Kaidah Fikih Secara Umum ................................ 16 B. Definisi Kaidah Fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسع............................... 16 C. Penjelasan Ulama tentang Kaidah “ ”إذا ضاق األمر اتسع........... 18 D. Sebab-Sebab yang Memperbolehkan Penggunaan Kaidah “ ”إذا ضاق األمر اتسع.................................................................. 19 E. Aplikasi Kaidah “ ”إذا ضاق األمر اتسعdalam Kehidupan Sehari-Hari ............................................................................ 25 F. Korelasi antara Kaidah Fikih “”إذا ضاق األمر اتسع dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah ...............................................29 x BAB III POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA A. Definisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam Indonesia ......36 B. Pelembagaan Hukum Islam ke Dalam Hukum Keluarga Indonesia ..............................................................37 1. Hukum Islam pada Masa Pra Kemerdekaan ..................37 2. Hukum Islam Setelah Masa Kemerdekaan .....................41 C. KHI sebagai Sumber Hukum Materiil Keluarga Islam Indonesia .......................................................................43 1. Latar Belakang dan Proses Penyusunan KHI ..................44 2. Landasan Yuridis dan Kedudukan KHI ..........................49 3. KHI sebagai Legalformal Fikih Indonesia ......................50 BAB IV ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “”إذا ضاق األمر اتسع DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM DI INDONESIA A. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Pernikahan ....................53 B. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perwalian ......................59 C. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perceraian .....................62 D. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Kewarisan dan Wasiat ..64 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................66 B. Saran .......................................................................................67 xi DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................68 xii PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi adalah alih aksara dari tulisan Arab ke tulisan Latin. Adapun pedoman transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berdasarkan pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang disusun pada tahun 2012, dengan rincian sebagai berikut: a. Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin: Huruf Arab Huruf Latin Keterangan ا tidak dilambangkan ب b be خ t te ث ts te dan es ج j je ح ḫ ha dengan garis bawah خ kh ka dan ha د d de ذ dz de dan zet ر r er س z zet س s es ش sy es dan ye ص ṣ es dengan garis bawah xiii ض ḏ de dengan garis bawah ط ṯ te dengan garis bawah ظ ẕ zet dengan garis bawah ع „ koma terbalik di atas hadap kanan غ gh ge dan ha ف f ef ق q ki ك k ka ل l el م m em ن n en و w we ه h ha ء ‟ apostrop ي y ye b. Vokal Vokal terbagi menjadi dua, yaitu vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Ketentuan alih akasara vokal monoftong adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َ a fatḫah xiv َ i kasrah َ u ḏammah Misalnya: = حزجḫaraj = قياسqiyâs = كتةkutub Adapun untuk vokal diftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َي Ai a dan i َو Au a dan u Misalnya: = ريْةraib = خ ْىفkhauf c. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd) dalam Bahasa Arab dilambangakan dengan harakat dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ىا â a dengan topi di atas ىي î i dengan topi di atas ىى û u dengan topi di atas Misalnya: = اإلمامal-imâm = القاضيal-qâḏî xv = القان ْىنal-qânûn d. Kata Sandang Kata sandang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf ()ال, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau qamariyyah. Misalnya: = اإلجتهادal-ijtihâd = الزخصحal-rukhṣah, bukan ar-rukhṣah e. Syaddah Syaddah dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda Syaddah tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda Syaddah terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: = الشفعحal-syuf‘ah, bukan asy-syuf‘ah f. Ta’ Marbûṯah Jika Ta’ Marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh sifat atau na‘t (lihat contoh 2), maka huruf Ta’ Marbûṯah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf Ta’ Marbûṯah diikuti kata benda atau ism, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3). No Kata Arab Alih Aksara 1 شزيعح syarî„ah 2 الشزيعح اإلسالميح al-syarî„ah al-islâmiyyah 3 مقارنح المذاهة muqâranat al-madzâhib xvi g. Huruf kapital Walaupun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, transliterasi tetap menggunakan huruf kapital. Penggunaannya pun diseuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan, apabila nama orang didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama orang tersebut. Misalnya: = الثخاريal-Bukhârî, tidak ditulis Al-Bukhârî. Adapun untuk penulisan nama orang yang berasal dari Nusantara, maka disarankan untuk tidak ditransliterasi meskipun akar katanya berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn alRânîrî. h. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (ḫarf) harus ditulis secara terpisah. Misalnya: Kata Arab Transliterasi الضزورج تثيح المحظىراخ al-ḏarûrah tubîḫu al-maḫẕûrât اإلقتصاد اإلسالمي al-iqtiṣâd al-islâmî أصىل الفقه uṣul al-fiqh األصل في األشياء اإلتاحح al-aṣl fî al-asyyâ‟ al-ibâḫah المصلحح المزسلح al-maṣlaḫah al-mursalah xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menurunkan syariat Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Konsep hukum seperti inilah yang membedakan hukum Islam dengan konsep hukum lain yang hanya mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat (odening van het sociale leven). Dalam pandangan hukum di luar Islam, hukum merupakan hasil proses kehidupan manusia dalam bermasyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang sosiolog Barat, Cicero, ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat, di sana ada hukum). Dalam tata aturan hukum Islam, aturan yang mengatur kehidupan pribadi manusia tidak disebut hukum, melainkan disebut norma, moral, budi pekerti atau asusila.1 Pada dasarnya, hukum Islam hanya melarang perbuatan yang dapat merusak kehidupan manusia, misalnya pembunuhan, perzinaan, pencurian dan lain-lain. Islam adalah agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupan agar tercapai kebahagiaan rohani maupun jasmani. Secara umum, tujuan Allah SWT sebagai syâri‘ dalam menciptakan hukum adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan seluruh manusia di dunia dan di akhirat. 1 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 65 1 2 Hukum Islam merupakan perantara atau sarana untuk penegakan dan metode untuk realisasi Maqâṣid al-Syarî‘ah.2 Apabila kita memahami hukum Islam (syariah) dengan benar, maka kita akan sampai pada tujuan dari syariah tersebut. Dan untuk memahami hukum Islam secara benar, maka kita harus memahami perangkat-perangkat syariah, seperti ilmu fikih, ilmu usul fikih bahkan Qawâ‘id Fiqhiyyah. Pada masa Dinasti „Abbâsiyyah, istilah-istilah fikih yang menjadi ciri dari kekayaan bahasa fikih banyak bermunculan. Istilah ini diciptakan dengan berbagai bentuk sesuai dengan mazhab orang yang mencetuskannya. Teori-teori fikih pada masa ini berkembang sangat pesat sehingga fikih mampu membahas persoalanpersoalan yang belum terjadi. Pada saat ini pula, banyak Qawâ‘id Fiqhiyyah dan ḏawâbiṯ (batasan fikih)3 bermunculan.4 Qawâ‘id Fiqhiyyah adalah metodologi pelengkap yang berfungsi untuk mempermudah dalam pemahaman dan pendalaman hukum Islam. Qawâ‘id Fiqhiyyah adalah hukum umum (kullî)5 yang mencakup sebagian besar hukum 2 Abd al-„Azîz „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dâr al-Ḫadîts, 2005), h. 25 Ḏawâbiṯ ( )ضوابطadalah bentuk jamak dari ضابطyang menurut bahasa berarti „batasan‟, sedangkan menurut istilah fikih berarti sesuatu yang merangkum beberapa permasalahan fikih yang hampir serupa dalam satu tema bab fikih dari beberapa bab fikih, misalnya segala sesuatu yang dikeluarkan dari bumi, baik jumlahnya banyak atau sedikit, yang pertumbuhannya dibantu oleh air hujan atau mata air, maka kadar zakatnya adalah 1/10. (Lihat „Azzãm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 28) 4 Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, cet. II, (Tangerang Selatan: Adelina Bersaudara, 2008), h. 31 5 Hukum kullî adalah ketentuan yang bersifat garis besar yang berfungsi sebagai metodologi dalam memahami hukum yang lebih rinci. 3 3 khusus (juz’î)6, yang mana dengan mengetahui hukum umum ini, akan diketahui pula hukum-hukum khususnya. Qawâ‘id Fiqhiyyah merupakan generalisasi dari hukum-hukum fikih yang telah dirumuskan sebelumnya dan dirumuskan melalui metode induktif. Oleh karena itu, Qawâ‘id Fiqhiyyah menjadi sangat berfariasi sesuai dengan hukum-hukum fikih yang telah dirumuskan oleh para fuqahâ’.7 Keberadaan fikih, usul fikih dan Qawâ‘id Fiqhiyyah memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya merupakan senjata utama yang harus digunakan untuk memahami syariat Islam agar dapat dijadikan pedoman oleh manusia sebagai pelaku syariah dalam melakukan hubungan dengan Tuhannya sebagai syâri‘ (pembuat hukum), sesama manusia lainnya maupun lingkungan sekitar.8 Dengan batuan Qawâ‘id Fiqhiyyah, semua permasalahan hukum baru yang tumbuh di tengah masyarakat menjadi semakin tampak jelas dapat ditampung oleh syariah Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.9 Pada hakikatnya, Qawâ‘id Fiqhiyyah yang telah dirumuskan oleh para ulama berjumlah sangat banyak sekali dan berbeda-beda tergantung pada mazhab orang yang mencetuskannya. Akan tetapi, ada lima Qawâ‘id Fiqhiyyah atau panca kaidah pokok yang menjadi dasar dari Qawâ‘id Fiqhiyyah yang lain dan telah Hukum juz’î adalah hukum yang bersifat rinci atau khusus dan berdasarkan pada ketentuan hukum kullî. 7 Abudin Nata, Masail Al-Fiqhiyah, cet II, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 38 8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 4 9 Imam Musbikin, Qawa‘id al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 13 6 4 disepakati oleh para ulama dari berbagai aliran dan mazhab serta, yaitu sebagai berikut: األمور بمقاصدها .1 انضرر يزال .2 انعادة محكمة .3 انيقين ال يزال بانشك .4 انمشقة تجهب انتيسير .5 Segala urusan tergantung pada niat Kesulitan harus dihilangkan Adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan Kesulitan menghendaki kemudahan10 Kehidupan masyarakat semakin berkembang dari zaman ke zaman karena dipengaruhi oleh kemajuan peradaban dan teknologi. Keadaan yang dihadapi oleh masyarakat pada masa sekarang ini, sangat berbeda kontras dengan keadaan yang dihadapi oleh masyarakat „Abbâsiyyah, Umayyah, apalagi masa sebelum kedua dinasti ini sampai pada masa Rasulullah SAW. Meskipun Rasulullah SAW telah memerintahkan kita untuk senantiasa berpegang teguh pada dua sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah, bukan berarti permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat langsung dapat ditemukan dan disampaikan secara eksplisit dalam kedua sumber tersebut. Oleh karena itu, agar masyarakat tidak 10 Kelima kaidah pokok tersebut adalah kaidah-kaidah yang dikumpulkan oleh Abû Ṯâhir al-Dabbâs, seorang ulama fikih yang hidup pada abad IV H. Lihat Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, h. 14 5 salah melangkah dan senantiasa taat pada Allah SWT dan Rasul-Nya, masyarakat dituntut untuk berijtihad menggali hukum untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Apabila ternyata tidak semua masyarakat memiliki kemampuan untuk berijtihad, maka mereka harus berusaha untuk bertanya dan meminta petunjuk pada orang yang ahli agar mereka tidak tersesat pada jalan yang salah. Pada era yang semakin modern inilah, peran Qawâ‘id Fiqhiyyah sebagai alat bantu ijtihad masih sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahanpermaslahan baru yang tidak diatur oleh naṣ secara eksplisit. Usaha untuk menggali hukum yang benar adalah tidak lain untuk mewujudkan Maqâṣid alSyarî‘ah yang menjadi tujuan utama dari pensyariatan hukum Islam oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Keberadaan Qawâ‘id Fiqhiyyah sebagai salah satu perangkat ijtihad sangat berperan dalam proses penetapan hukum, baik bagi individu perorangan maupun pihak-pihak yang memiliki wewenang, seperti muftî, hakim, bahkan Pemerintah. Salah satu kaidah turunan dari Qawâ‘id Fiqhiyyah lima yang telah disebutkan sebelumnya adalah kaidah “( ”إذا ضاق األمر اتسعapabila suatu kondisi yang dihadapi menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi lebih leluasa). Kaidah ini merupakan salah satu kaidah turunan dari kaidah pokok “”انمشقة تجهب انتيسير.11 Sesuai dengan kaidah pokoknya, kaidah ini dapat dipakai ketika seseorang sedang berada dalam keadaan masyaqqah (kesulitan) atau kepepet. Keadaan masyaqqah pasti pernah dialami oleh setiap orang. Namun demikian, yang menjadi permaslahan di sini adalah bahwasanya orang-orang awam belum benar-benar 11 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 121 6 memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan keadaan masyaqqah dalam kaidah hukum Islam. Mereka cenderung menganggap bahwa setiap keadaan sulit yang menyebabkan aturan syariat tidak dapat dilaksanakan adalah masyaqqah, misalnya menjamak salat karena macet. Jika fenomena seperti ini dibiarkan saja, maka akan terjadi pergeseran makna masyaqqah dan menyebabkan hukum Islam terlalu diremehkan oleh orang-orang awam yang tidak benar-benar memahamai kaidah “ ”إذا ضاق األمر اتسعini. Salah satu contoh yang diungkapkan oleh para ulama untuk kaidah ini adalah apabila ada seorang wanita dalam keadaan berpergian jauh tanpa wali maka ketika ia hendak menikah, posisi walinya boleh digantikan oleh laki-laki lain,12 misalnya wali hakim. Ketentuan fikih ini juga telah diadopsi oleh salah satu peraturan perundang-perundangan di Indonesia, yaitu sebagaimana yang dapat kita temukan dalam Pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berbunyi: Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Contoh tersebut telah benar-benar terjadi di kehidupan kita. Akan tetapi, selain contoh tersebut, sebenarnya masih banyak lagi situasi-situasi atau kejadiankejadian yang menempatkan manusia pada keadaan sulit, sehingga tidak bisa menjalankan aturan syariat dengan sempurna atau dengan benar sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Kesulitan yang menyebabkan aturan syariat tidak Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh alSyâfi‘î, (Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah li al-Turâts, 2009), h. 115 12 7 terlaksana maka secara tidak langsung hal ini menyebabkan Maqâṣid al-Syarî‘ah tidak dapat tercapai. Dari permasalahan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA”. B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang terkait dengan aplikasi kaidah fikih dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut: 1. Apa pengertian kaidah fikih secara umum? 2. Apa yang dimaksud dengan kaidah fikih “?”إذا ضاق األمر اتسع 3. Apa saja sebab-sebab yang memperbolehkan penggunaan kaidah “ إذا ضاق ?”األمر اتسع 4. Bagaimana aplikasi kaidah “ ”إذا ضاق األمر اتسعdalam kehidupan seharihari? 5. Apakah ada korelasi antara kaidah “ ”إذا ضاق األمر اتسعdengan Maqâṣid alSyarî‘ah? 6. Bagaimana aplikasi kaidah “ ”إذا ضاق األمر اتسعdalam sumber hukum materiil keluarga Islam Indonesia? 8 2. Pembatasan Masalah Dikarenakan oleh identifikasi masalah yang begitu banyak dan luas dan juga agar penelitian ini menjadi terarah, maka penulis membatasi permasalahan pembahasan skripsi ini hanya pada maksud kaidah fikih “ إذا ”ضاق األمر اتسعdan aplikasinya dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia yang penulis khususkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). 3. Pemumusan Masalah Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada pembatasan masalah sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan konsep kaidah fikih “?”إذا ضاق األمر اتسع 2. Bagaimana aplikasi kaidah fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعdalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan: a. Untuk mengetahui maksud kaidah fikih “”إذا ضاق األمر اتسع b. Untuk mengetahui aplikasi kaidah fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعdalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, khususnyan KHI 2. Manfaat Penelitian 9 Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendalam agar dapat diperoleh manfaat dari penelitian tersebut. Maka dari itu manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Secara Akademik Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hal yang baru dalam pengembangan ilmu hukum Islam khususnya terkait dalam bidang ilmu fikih dan usul fikih. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan di bidang hukum terkait kaidah fikih dan aplikasinya dalam sistem hukum Indonesia. b. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan hasil pemikiran tentang perkembangan hukum Islam dalam hal yang berkaitan dengan kaidah fikih dan pelembagaannya dalam sistem hukum Indonesia. D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Pada kajian terdahulu penulis menemukan beberapa judul skripsi yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan, antara lain: 1. Skripsi yang berjudul “Kaidah Fikih Al-Yaqîn Lâ Yuzâlu bi al-Syakk Menurut Abdul Hamid Hakim”, ditulis oleh Mudhofar, Program Studi Al-Ahwal alSyakhshiyah, Fakultas Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga tahun 2010. Penulis menemukan bahwa menurut Abdul Hamid Hakim, kaidah fikih Al-Yaqîn Lâ Yuzâlu bi al-Syakk adalah salah satu dari lima 10 kaidah fikih pokok. Kaidah fikih ini dapat dikembangkan menjadi sebelas kaidah fikih turunan. Kaidah fikih ini adalah termasuk kaidah yang mencakup seluruh permasalahan yang timbul dalam fikih, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun muamalah. Kaidah fikih ini dapat diterapkan dalam segala bidang fikih, misalnya dalam bidang perkawinan yang didasarkan pada kaidah turunan dari kaidah fikih tersebut yaitu kaidah fikih “ األصم في اإلبضاع ”انتحريم. Selain itu, penulis juga mengungkapkan bahwa kaidah fikih "انيقين ال " يزال بانشكdapat juga diterapkan dalam perundang-undangan di Indonesia, di antaranya adalah Undang-Undang Perakwinan dan Undang-Undang Wakaf. Undang-Undang yang diadopsi dari hukum Islam tentu juga didasarkan pada kaidah fikih tersebut baik secara langsung maupun melalui kaidah turunannya. Persamaan skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas tentang satu pembahasan kaidah fikih. Perbedaannya adalah bahwa skripsi tersebut membahas tentang kaidah fikih “"انيقين ال يزال بانشك, sedangkan skripsi ini membahas tentang kaidah fikih “”إذا ضاق األمر اتسع. 2. Skripsi yang berjudul “Penerapan Maslahah Mursalah dalam KHI dan Pengaruhnya terhadap Putusan Hakim; Studi Kasus Putusan Cerai Gugat Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007”, ditulis oleh Taufikurrohman, Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Penulis menyatakan bahwa prosedur poligami yang begitu ketat sebagaimana yang diatur dalam KHI 11 adalah bagian dari Maslahah Mursalah. Selama prosedur-prosedur tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan Maqâṣid al-Syarî’ah, maka prosedur poligami yang ditetapkan dalam KHI adalah sah-sah saja. Penulis juga memaparkan bahwa penerapan Maslahah Mursalah dalam KHI terhadap putusan hakim dalam kasus penceraian karena poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Tolak ukur penulis dalam pernyataan tersebut adalah pemikiran mayoritas hakim ketika memutus perkara dengan keyakinan bahwa perceraian karena poligami adalah maslahah dan juga telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Pernyataan penulis dibuktikan dengan adanya empat kasus gugat cerai yang ditandatangani pada tahun 2007 lalu dikabulkan oleh Majelis Hakim karena tergugat menyalahi prosedur poligami yang merupakan bagian dari penerapan maslahah mursalah. Persamaan skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas tentang aplikasi perangkat fikih dalam KHI. Perbedaannya adalah bahwa skripsi tersebut membahas tentang aplikasi salah satu sumber hukum Islam yaitu Maslaḫah Mursalah dalam KHI, sedangkan skrispsi ini membahas tentang aplikasi salah satu kaidah fikih yaitu “”إذا ضاق األمر اتسع. Berdasarkan uraian dua skripsi di atas, penulis menganggap bahwa penelitian yang dilakukan ini tidak akan tumpang tindih dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang lalu adalah dikarenakan penulis akan meneliti penerapan kaidah fikih yang berbeda dalam KHI, yaitu kaidah “”إذا ضاق األمر اتسع. 12 Selain itu, penulis juga menambahkan pembahasan tentang bagaimana korelasi kaidah fikih tersebut dengan konsep Maqâṣid al-Syarî‘ah. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan menggunakan studi pustaka sebagai acuannya. Sedangkan terkait dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis hukum Islam. Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, artinya penulis mendeskripsikan konsep kaidah fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعsecara rinci kemudian menganalisis satu-persatu pasal-pasal yang terdapat dalam KHI sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia. Dari hasil analisis tersebut, penulis berharap dapat mengetahui pasal-pasal berapa sajakah yang menggunakan konsep kaidah fikih “”إذا ضاق األمر اتسع. 2. Sumber data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data hukum yang terdiri dari: a. Data Primer Yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber yang asli. Dalam penelitian ini, data primer yang akan digunakan adalah berupa kitab-kitab 13 fikih dan peraturan perundang-undangan berupa KHI yang merupakan objek utama dalam penelitian ini. b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, kitab-kitab turâts, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian lainnya yang berbentuk laporan, skripsi, tesis atau disertasi. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang dapat memberikan penjelasan tentang data primer. c. Data Tersier Yaitu data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang data primer dan sekunder, yang terdiri dari artikel, jurnal, ensiklopedia dan internet. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian. 4. Teknik Analisis Data Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian deskriptif analistis, analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif 14 terhadap data primer dan data sekunder, yaitu dengan metode analisis isi kualitatif degan cara menguraikan data melalui kategorisasi-kategorisasi serta pencarian sebab akibat dengan menggunakan teknik analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil sebuah kesimpulan). Penulis mengumpulkan data-data terkait kaidah fikih “ إذا ضاق ”األمر اتسعdan hukum materiil keluarga Islam di Indonesia. Setelah penulis mengumpulkan dan memahami data-data terkait kaidah fikih “ إذا ضاق األمر ”اتسع, maka penulis kemudian menganalisis pasal-pasal dalam KHI, apakah ada yang menggunakan konsep kaidah fikih ini. F. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan, penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan manfaat, kajian (review) terdahulu , metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN TENTANG KAIDAH FIKIH “”إذا ضاق األمر اتسع Bab ini berisikan pengertian kaidah fikih secara umum, definisi kaidah fikih “”إذا ضاق األمر اتسع, penjelasan ulama tentang kaidah tersebut, sebab-sebab yang memperbolehkan penggunaan kaidah 15 tersebut, aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dan korelasinya dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah. BAB III : POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA Bab ini berisikan definisi dan cakupan hukum keluarga Islam Indonesia, pelembagaan hukum Islam ke dalam hukum keluarga Indonesia dan KHI sebagai sumber hukum materiil keluarga Islam Indonesia. BAB IV : ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “”إذا ضاق األمر اتسع DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM DI INDONESIA Bab ini berisikan aplikasi kaidah fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعdalam KHI sebagai sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia yang kemuadian diperinci dalam bidang pernikahan, perwalian, perceraian, wasiat dan kewarisan. BAB V : PENUTUP Bab ini merupakan bab akhir dari penelitian ini yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan beberapa saran yang dianggap perlu dan berkaitan dengan penelitian ini. BAB II KONSEP KAIDAH FIKIH “”إذا ضاق األمر اتسع A. Pengertian Kaidah Fikih Secara Umum Kaidah merupakan kata serapan yang berasal dari Bahasa Arab yaitu Qâ„idah ()قاعذة. Kata Qâ„idah dari segi bahasa, merupakan bentuk singular dari kata Qawâ„id, bentuk ism fâ„il dari kata dasar “”قعذ, yang berarti „asal‟ atau „pokok‟.1 Adapun pengertian kaidah fikih secara terminologi adalah hukum umum (kullî) yang mencakup sebagian besar hukum khusus (juz‟î), yang mana dengan mengetahui hukum umum tersebut, akan diketahui pula hukum-hukum khususnya.2 Adapun keterkaitan antara hukum kullî dan juz‟î tersebut adakalanya diketahui dari hubungan yang nampak nyata dan pasti di antara keduanya dan adakalanya juga diketahui dari hubungan yang besifat dugaan. 3 Hukum umum tersebut adalah hukum yang dikaitkan dengan asas hukum yang dibangun oleh Syâri„ serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya bagi mukallaf.4 B. Definisi Kaidah Fikih “”إذا ضاق األمر اتسع Kaidah ini adalah salah satu cabang dari lima kaidah fikih dasar yaitu kaidah “”المشقت تجلب التيسير. Maksud dari kaidah ini adalah apabila suatu kondisi yang dihadapi oleh mukallaf menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi 1 Ibn Manẕûr, Lisân al-„Arab, (Saudi Arabia: Dâr „Âlim al-Kutub, 2003), Juz II, h. 362 2 Tâj al-Dîn al-Subkî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al„Ilmiyyah, 1991), Juz I, h. 23 3 „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 11 4 Imam Musbikin, Qawa„id al-Fiqhiyah, h. 7 16 17 lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam menjalankan suatu aturan hukum, maka menurut kaidah ini dalam keadaan tersebut, ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya. 5 Kaidah ini adalah salah satu kaidah yang dicetuskan oleh Imam Al-Syâfi„î (w. 204 H).6 Dasar hukum dari kaidah ini adalah firman Allah SWT dan Hadis Rasulullah SAW,7 yaitu: Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185) 8 ولن يشاد الذين أحذ إال غلبه:عن أبي هريرة عن النبي ملسو هيلع هللا ىلص قال Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan olehnya(semakin berat dan sulit).” (HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î) Adapun makna kondisi sempit yang dimaksud oleh kaidah ini adalah kemungkinan kecil untuk menjalankan aturan hukum. Ketika suatu aturan hukum syariat yang berlaku menjadi alasan pembebanan atau pemberat bagi mukallaf untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia berhak mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini tidak lain bertujuan „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115 7 Al-Fadani, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 243 8 Al-Bukhârî, Ṣaḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 16 5 6 18 agar mukallaf tidak merasa terbebani oleh syariat dan memperoleh kemudahan dalam memenuhi kebutuhannya.9 Allah SWT menghendaki makhluk-Nya untuk beribadah kepada-Nya dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya adalah tidak lain bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan di antara mereka. Allah SWT membentuk syariat Islam dengan asas mempermudah dan menyingkirkan pembebanan bagi mukallaf. Oleh karena itu, ketika mukallaf tidak mungkin menjalankan suatu syariat kecuali dengan disertai kesusahan dan kepayahan (masyaqqah), maka Allah SWT akan memberikan kemudahan baginya dan menerapkan syariat yang sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapinya sehingga ia dapat terhindar dari kesempitan hukum dan tidak merasa terbebani.10 C. Penjelasan Ulama tentang Kaidah Fikih “”إذا ضاق األمر اتسع Pada sub pembahasan sebelumnya, penulis telah memaparkan bahwa kaidah ini memberikan peluang keringanan dan keluasan hukum bagi mukallaf ketika dalam keadaan-keadaan tertentu. Meskipun demikian, mukallaf tidak dapat mengaplikasikan kaidah ini begitu saja di setiap kondisi dan keadaan sukar yang sedang dialami. Oleh karena itu, beberapa ulama memberikan keterangan lebih lanjut tentang pembatasan penerapan kaidah ini, seperti Ibn Abî Hurairah (w. 345 H). Beliau menyatakan bahwa ketika memutuskan setiap langkah hukum maka beliau menggunakan pertimbangan kaidah ini. Apabila kondisi yang dihadapi mukallaf menjadi sukar maka hukum yang mengaturnya dapat diperluas. Namun „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121 „Abd al-Raḫmân Ibn Ṣâliḫ al-„Abd al-Laṯîf, Al-Qawâ„id wa al-Dlawâbiṯ alFiqhiyyah al-Mutadlamminah li al-Taysîr, (Madinah: Lembaga Penelitian Keilmuwan Universitas Islam Madinah, 2003), Juz I, h. 118 9 10 19 sebaliknya, apabila kondisi yang dihadapi sangat leluasa maka aturan hukumnya harus dipersempit sehingga mukallaf tidak dapat meremehkannya.11 Al-Ghazâlî (w. 505 H) kemudian menambahkan bahwa segala sesuatu yang melampaui batas maka ketentuan hukum yang berlaku harus dikembalikan pada hukum asalnya.12 Dari stetmen dua ulama di atas, kita dapat memahami bahwa fleksibilitas syariat bukanlah tanpa batasan. Keadaan dan kondisi yang sedang dihadapi oleh mukallaf adalah tolak ukur dari pembebanan hukum yang diberikan oleh syariat. D. Sebab-Sebab Yang Memperbolehkan Penggunaan Kaidah Fikih “ إذا ضاق األمر ”اتسع Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya, kaidah ini adalah salah satu kaidah cabang dari kaidah fikih “”المشقت تجلب التيسير. Tolak ukur utama yang menjadi prioritas dalam kaidah ini adalah unsur masyaqqah yang dirasakan oleh mukallaf. Dar segi bahasa, masyaqqah berarti ( الجهذkesulitan), التعب (keletihan), ( الشذةkesukaran) dan ( العناءkepayahan).13 Secara garis besar, kaidah ini berarti kesukaran yang dialami oleh mukallaf menghendaki kemudahan hukum. Apabila mukallaf berada pada kondisi kesulitan dalam menjalankan suatu aturan Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115 Al-Ghazâlî, Iḫyâ‟ „Ulûm al-Dîn, (Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah, 2010), Juz II, h. 131 13 Ibn Manẕûr, Lisân al-„Arab, Juz VI, h. 51 11 12 20 hukum yang berlaku, maka kesulitan tersebut menjadi penyebab yang dibenarkan untuk memperoleh kemudahan, keringanan dan penghapusan aturan hukum.14 Pada dasarnya, masyaqqah sendiri bersifat individual karena mungkin saja suatu kondisi merupakan masyaqqah bagi seseorang tapi tidak bagi orang lain. Meskipun demikian, syariah memilki standar umum yang sesungguhnya bukan termasuk masyaqqah dan tidak dapat dijadikan sebagai penyebab keringanan hukum misalnya perasaan berat untuk berwudlu pada musim dingin, perasaan berat untuk berpuasa pada musim panas atau perasaan berat bagi terpidana untuk menjalankan hukuman. Keadaan-keadaan tersebut tidak dapat dianggap sebagai masyaqqah dalam tataran hukum Islam.15 Adapun untuk membedakan masyaqqah yang dapat berpengaruh dalam tataran hukum, Al-Syâṯibî (w. 790 H) memberikan sebuah batasan bahwa jika pekerjaan tersebut dilakukan terus menerus justru akan menyebabkannya ditinggalkan secara total atau hanya dikerjakan sebagian sehingga menjadi tidak sempurna. Kesulitan dalam sebuah perbuatan yang berdampak terhadap hal-hal tersebut adalah termasuk kategori masyaqqah yang „keluar dari kebiasaan‟, dalam artian bahwa kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum yang dihasilkan. Apabila kondisi yang dihadaip mukallaf tidak sampai pada taraf yang demikian maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.16 Naṣr Fârid Muḫammad Wâṣil dan „Abd al-„Azîz Muḫammad „Azzam, Qawaid Fiqhiyyah, Penerjemah Wahyu Setiawan, cet. III, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 58 15 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 57 16 Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât, (Kementrian Agama Saudi Arabia, 1424 H), Juz II, h. 121 14 21 Masyaqqah juga terbagi menjadi beberapa karakter yang berbeda-beda. Masing-masing dari karakter masyaqqah ini menyebabkan konsekuensi hukum yang berbeda-beda pula. Al-Suyûṯî (w. 911 H) membagi karakteristik kesulitan (masyaqqah) secara umum menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:17 1. Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah), misalnya rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji tidak dapat menggugurkan kewajiban ibadah haji. Masyaqqah semacam ini sudah merupakan tabiat dasar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan. Artinya, kewajiban seperti haji hanya dapat terlaksana jika mukallaf telah melewati kesulitan-kesulitan berupa rasa lelah, capek dan sebagainya. Oleh karena itu, keringanan hukum tidak dapat diterapkan pada masyaqqah jenis ini. 2. Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis ini terbagi lagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit untuk ditanggung (AlMasyaqqah al-A„lâ), seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta, keturunan, organ tubuh dan hal-hal yang mendasar lainnya. Pada taraf ini, syariat memberlakukan keringanan hukum dikarenakan pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban syariat harus lebih diutamakan daripada tidak melaksankannya sama sekali. Artinya, jika umat Islam masih „dipaksa‟ melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan maka akan bearkibat fatal 17 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 106 22 pada keselamatan jiwa ataupun raganya. Hal ini tentu akan menyebabkan kewajiban itu sendiri menjadi terbengkalai. Dengan pemberlakuan keringanan hukum, maka kewajiban tersebut tetap dapat terlaksana. b. Masyaqqah yang sangat ringan (Al-Masyaqqah al-Adnâ), seperti pegalpegal, pusing, pilek dan lain sebagainya. Pada taraf ini, syariat tidak dapat memberlakukan keringanan hukum dikarenakan kemaslahatan ibadah masih lebih penting daripada menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari masyaqqah jenis ini. Artinya, mafsadah yang akan timbul dari hal-hal seperti ini masih sangat minim sehingga kemaslahatan ibadah harus lebih diutamakan. c. Masyaqqah pertengahan yang berada di antara dua bagian sebelumnya (Al-Masyaqqah al-Mutawassiṯah). Masyaqqah jenis ini bisa mendapatkan keringanan hukum jika kadar kesulitannya telah mendekati Al-Masyaqqah al-A„lâ. Sebaliknya, jika kadar kesulitannya lebih dekat pada Al-Masyaqqah al-Adnâ maka tidak bisa mendapatkan keringanan hukum. Keringanan hukum dalam terminologi fikih disebut dengan rukhṣah. Adapun sebab-sebab yang memperbolehkan rukhṣah ada tujuh macam,18 yaitu: 1. Al-Safar (perjalanan), misalnya kebolehan jama„ dan qaṣr salat, berbuka puasa dan meninggalkan salat Jumat.19 18 19 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, h. 55 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 107 23 2. Al-Maradl (sakit), misalnya kebolehan tayammum ketika tidak diperbolehkan menggunakan air, salat fardl sambil duduk, tidak berpuasa Ramadan dengan kewajiban qadlâ‟ puasa pada hari lain, mencukur rambut sebelum menyelesaikan ibadah iḫrâm disebabkan oleh penyakit yang ada di kepala, berobat dengan sesuatu yang diharamkan seperti khamr atau sesuatu yang najis dan kebolehan dokter melihat aurat lawan jenis dengan tujuan pengobatan.20 3. Al-Ikrâh (keterpaksaan), misalnya kebolehan menyatakan diri sebagai kafir dan meminum khamr dalam tekanan pihak lain yang dapat membahayakan diri mukallaf. Sebab keterpaksaan tidak dapat diberlakukan dalam kasus pembunuhan dan perzinaan.21 4. Al-Nisyân (lupa), misalnya makan, minum atau melakukan hubungan suami istri ketika dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadan. Perbuatan tersebut tidak mengakibatkan dosa dan tidak membatalkan puasa serta tidak mengharuskan pembayaran kafarah jika benar-benar dilakukan dalam keadaan lupa, bukan berpura-pura lupa.22 5. Al-Jahl (ketidaktahuan), misalnya orang yang baru masuk Islam memakan makanan yang diharamkan disebabkan ketidaktahuannya tentang hukum yang berlaku dalam agama Islam.23 6. Al-„Usr (kesulitan) dan „Umûm al-Balwâ (kesulitan yang umum terjadi dan sulit untuk dihindari), misalnya salat disertai najis yang ma„fû, Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 108 Al-Fâdânî, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 229 22 Al-Fadani, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 229 23 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, h. 56 20 21 24 ketidakwajiban qadla‟ salat bagi wanita yang haid, kebolehan melihat perempuan yang akan dipinang pada saat khiṯbah, pengguguran dosa bagi orang yang salah dalam berijtihad dan legalitas beberapa akad dan transaksi yang diatur dalam fikih mu„âmalah seperti khiyâr, ḫiwâlah (pemindahan hutang), iqâlah (pembatalan persetujuan), gadai dan lain-lain.24 7. Al-Naqṣ (kekurangmampuan bertindak hukum), misalnya ketiadaan pembebanan hukum (taklîf) bagi anak kecil, orang gila dan orang mabuk dan ketidakwajiban salat Jumat dan jihad bagi perempuan.25 Kaidah fikih “ ”إرا ضاق األمر اتسعbisa kita terapkan ketika kita menghadapi ketujuh macam kondisi yang memperbolehkan rukhṣah di atas. Pada dasarnya cara pengaplikasian kaidah ini tidaklah berbeda dengan cara pengaplikasian kaidah pokoknya yaitu kaidah “”المشقت تجلب التيسير. Keluasan hukum yang dikehendaki oleh kaidah ini juga memiliki pembatasan sehingga mukallaf tidak bisa seenaknya sendiri mempermainkan aturan hukum syariat. Oleh karena itu, para ulama ahli fikih juga membuat kaidah aksioma dari kaidah ini yaitu “ إرا اتسع ”االمر ضاق.26 Kaidah aksioma ini berarti bahwa keadaan lapang yang dimilki oleh mukallaf akan membuat hukum menjadi sempit dan terbatas. Salah satu contoh dari kaidah ini adalah ketika melaksanakan salat, kita tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Akan tetapi, jika gerakan yang kita lakukan adalah 24 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 108- 25 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 111 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115 109 26 25 disebabkan oleh suatu alasan tertentu yang sangat mendesak seperti menghindari serangan binatang berbisa, maka gerakan tersebut diperbolehkan. Dengan kata lain, salat yang kita laksanakan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang ()اتسع, sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas ()ضاق, yakni tidak diperbolehkan melakukan gerakan yang berlebihan.27 E. Aplikasi Kaidah Fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعdalam Kehidupan Sehari-Hari Eksistensi kaidah fikih memberikan pengaruh yang sangat positif bagi kehidupan manusia. Dengan bantuan kaidah fikih, kita akan mampu memecahkan permasalahan yang tidak diatur secara inplisit oleh Al-Quran, Al-Sunnah, Ijmâ„, Qiyâs maupun sumber-sumber hukum Islam yang lain. Hal tersebut tidak lain dikarenakan oleh kaidah fikih merupakan refleksi dari sumber-sumber hukum Islam yang menempati kedudukan lebih tinggi di atasnya. Dalam kitab-kitab karya ulama yang membahas tentang kaidah fikih, kita dapat menemukan bahwa dalam menjelaskan kaidah-kaidah fikih yang ada, mereka juga mencantumkan beberapa cabang permasalahan (furû„) yang dapat diselesaikan dengan kaidah-kaidah yang sedang dibahas. Demikian juga dengan kaidah “”إرا ضاق األمر اتسع, penulis menemukan beberapa furû„ kaidah yang merupakan bentuk aplikasi dari kaidah ini sendiri, yaitu di antaranya: 27 Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, cet. V, (Surabaya: Khalista, 2009), Jilid I, h. 205 26 1. Keringanan berupa qaṣr salat dan perubahan gerakan salat dalam salat khauf (salat dalam keadaan mencekam atau perang).28 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqaṣr salat jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.” (QS. Al-Nisâ‟: 101) Kemudian apabila keadaan telah menjadi aman dan tidak mencekam, maka wajib bagi kaum Muslim untuk melaksanakan salat sesuai dengan tatacara yang asli, sebagaimana firman Allah SWT: Artinya: “Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisâ‟: 103) 2. Sikap toleransi kreditur terhadap debiturnya dan pengertiannya untuk memberikan keluasan waktu dalam pembayaran hutang.29 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: 28 29 „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121 „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121 27 Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguhan waktu sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) adalah hal yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280) 3. Kebolehan mengangkat wali nikah selain wali mahram bagi seorang wanita yang hendak menikah sedangkan ia dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mendatangkan wali mahramnya, misalnya ketika ia sedang belajar di luar negeri.30 4. Kebolehan menjatuhkan hukuman mati bagi pencuri dan pembegal jika memang hukuman tersebut dipandang dapat menghilangkan keresahan dan kekahawtiran yang terjadi di masyarakat.31 Penulis berpendapat bahwa hukuman ini juga bisa dijatuhkan pada koruptor di Indonesia karena korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak hanya menimbulkan keresahan di masyarakat, namun juga dapat merugikan negara. 5. Ketidakwajiban membelot dari pemimpin yang zalim jika memang pembelotan tersebut malah akan menimbulkan kemafsadatan yang lebih besar baik bagi diri sendiri maupun masyarakat luas.32 6. Melakukan banyak gerakan dalam salat jika gerakan yang kita lakukan adalah disebabkan oleh suatu alasan tertentu yang sangat mendesak seperti menghindari serangan binatang berbisa, maka gerakan tersebut diperbolehkan.33 7. Najis yang ada di kaki lalat yang hinggap di tubuh, pakaian, makanan atau tempat sekitar kita dianggap sebagai najis yang ma„fû. Kita boleh memakan Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115 „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 122 32 „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 122 33 „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 122 30 31 28 makanan tersebut dan juga salat dengan menggunakan pakaian di tempattempat tersebut. Hal ini disebabkan oleh ketidakmungkinan kita untuk menghindari dan mengetahui apakah lalat-lalat yang berterbangan di sekitar kita membawa najis atau tidak.34 8. Fenomena yang terjadi di daerah-daerah yang banyak terdapat anjing berkeliaran seperti daerah pegunungan dan pesisir pantai. Jika anjing-anjing tersebut tidak sengaja bersentuhan dengan tubuh kita, maka menurut sebagian ulama Bani Jam„ân najis tersebut di ma„fû dan salat yang kita laksanakan tetap sah. Dalam kondisi seperti ini, hukum persentuhan dengan anjing tersebut adalah sebagaimana hukum persentuhan dengan hewan-hewan lain yang tidak najis. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya anjing yang berkeliaran sehingga sulit untuk menghindari persentuhan tersebut.35 Beberapa contoh aplikasi kaidah fikih “ ”إرا ضاق األمر اتسعyang telah disebutkan di atas adalah bersumber dari furû„-furû„ kaidah yang penulis temukan dari beberapa kitab yang membahas tentang kaidah ini yang mana penulis menilai bahwa furû„-furû„ tersebut masih relavan dengan kondisi yang dihadapi oleh umat Muslim pada saat ini. Adapun selain contoh-contoh di atas, pada dasarnya kita masih mungkin menghadapi permasalahan-permasalahan lain yang memperbolehkan kita untuk mengaplikasikan kaidah “ ”إرا ضاق األمر اتسعini karena dalam kehidupan kita pasti tidak akan luput dari masyaqqah. Oleh karena itu, syariat memberikan keringanan dan keluesan aturan hukum dalam bentuk rukhṣah bagi tiap-tiap mukallaf. Meskipun demikian, mukallaf tidak diperbolehkan untuk 34 35 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115 Al-Fadani, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 244 29 menyalahgunakan fleksibilitas hukum tersebut seenakanya sendiri, karena hal tersebut secara tidak langsung dapat menghilangkan esensi ibadah dan mu„âmalah kita kepada Allah SWT. Kita harus senantiasa mengingat bahwa kita diciptakan oleh Allah SWT sebagai hamba tidak lain hanyalah untuk menyembah-Nya, sebagaimana firman-Nya: Artinya: “Dan Aku (Allah SWT) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Allah SWT).” (QS. Al-Dzâriyaat: 56) I. Korelasi antara Kaidah Fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعdengan Maqâṣid al-Syarî‘ah Islam adalah agama yang memberikan pedoman kehidupan kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya menuju pencapaian kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan induvidu maupun bermasyarakat. Secara umum, tujuan Syâri„ dalam mentapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta seluruh kebahagiaan manusia, baik kebahagiaan dunia yang sementara maupun kebahagiaan di akhirat yang kekal. Tujuan hukum Islam ini dapat kita ketahui dari firman-firman Allah SWT sebagai berikut:36 36 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 66 30 Artinya: “Dan tiadalah Kami (Allah SWT) mengutus kamu (Nabi Muhammad SAW) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyâ‟: 107) Artinya: “Dan di antara mereka ada orang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". Mereka adalah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah SWT sangatlah cepat perhitungan-Nya.” (QS. AlBaqarah: 201-202) Tujuan hukum Islam dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut AlMaqâṣid al-Khamsah atau Al-Kulliyyah al-Khamsah. Kelima tujuan tersebut adalah Ḫifẕ al-Dîn (menjaga agama), Ḫifẕ al-Nafs (menjaga jiwa), Ḫifẕ al-„Aql (menjaga akal), Ḫifẕ al-Nasl (menjaga keturunan) dan Ḫifẕ al-Mâl (menjaga harta). Al-Syaukânî (w. 1250 H) kemudian menambahkan satu term lagi yaitu Ḫifẕ al-„Irdl (menjaga kehormatan) sebagai bagian dari tujuan hukum Islam sehingga menjadi enam macam.37 Keseluruhan bagian dari Maqâṣid al-Syarî„ah di atas adalah bersumber dari sumber premier hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Kedua sumber hukum Islam ini telah memberikan pedoman bagi manusia untuk mewujudkan Maqâṣid al-Syarî„ah. Adapun dalam segi praktek, Maqâṣid al-Syarî„ah tidak harus dilaksanakan secara berurutan dari Ḫifẕ al-Dîn sebagai bagian yang pertama sampai Ḫifẕ al-„Irdl sebagai bagian yang terakhir. Akan tetapi, prioritas pelaksanaan Maqâṣid al-Syarî„ah di atas adalah berdasarkan pada tingkat 37 Al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuḫûl, (Riyad: Dâr al-Fadlîlah, 2000), Juz II, h. 901 31 kebutuhan manusia, apakah berada dalam taraf Dlarûriyyah (primer), Ḫâjjiyyah (sekunder) atau Taḫsiniyyah (tersier).38 Sendi dan asas syariat Islam adalah kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam sepenuhnya mengandung keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan. Setiap persoalan yang mengandung kezaliman, kejahatan, kerusakan dan kesia-siaan bukanlah termasuk syariat Islam. Syariat Islam merupakan wujud dari keadilan Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya serta kasih sayang-Nya untuk makhluk-makhluk-Nya.39 Dengan demikian, maka telah nampak jelas bahwa tujuan pembentukan syariat Islam adalah untuk kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Manusia yang melaksanakan ajaran agama dengan benar akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Sebaliknya, apabila manusia tidak melaksanakan petunjuk Allah SWT sebagaimana yang terdapat dalam wahyu-Nya, maka ia tidak akan merasakan kebahagiaan.40 Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan dan kebaikan yang menyebabkannya menjadi hukum yang paling kaya, memenuhi segala kebutuhan masyarakat serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Apabila keistimewaan dan kebaikan tersebut dipraktekkan bersama-sama dengan ajaran- 38 Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât, Juz II, h. 17 Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, I„lâm al-Muwaqqi„in, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhâriyyah, 1968), Juz III, h. 3 40 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 68-69 39 32 ajaran Islam yang lain maka akan dapat menciptakan suatu umat yang ideal dan kehidupan yang adil.41 Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah bersifat mempermudah (taysîr). Dalil-dalil naṣ yang menujukkan hal ini berjumlah sangat banyak, di antaranya yang berasal dari Al-Quran dan Hadis: Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagi kalian semua dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian semua.” (QS. Al-Baqarah: 185) 42 بعثت بالحنيفيت السمحت: قال رسىل هللا ملسو هيلع هللا ىلص،عن أبي أمامت Artinya: Dari Abû Umâmah, Rasulullah SAW bersabda: “Aku diutus dengan membawa ketauhidan yang longgar (mudah).” (HR. Aḫmad) 43 ولن يشاد الذين أحذ إال غلبه:عن أبي هريرة عن النبي ملسو هيلع هللا ىلص قال Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan olehnya (semakin berat dan sulit).” (HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î) Untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, Islam tidak membebani para mukallaf terkecuali dengan hal-hal yang sanggup mereka kerjakan secara terus-menerus. Oleh karena itu, Allah SWT menghilangkan masyaqqah agar mukallaf dapat terus-menerus mengerjakan sagala sesuatu yang telah diatur oleh Allah SWT bagi mereka. Syariat Islam 41 menghendaki mukallaf untuk T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 119 42 Ibn Ḫanbal, Musnad Aḫmad, (Kairo: Muassasah Qurṯubah, Tth ), Juz V, h. 266 43 Al-Bukhârî, Ṣaḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 16 33 mengerjakan hal yang mudah dan menjauhi hal yang sukar,44 sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: 45 ما خير بين أمرين إال اختار أيسرهما ما لم يكن إثما:عن عائشت قالت Artinya: Dari „Âisyah, ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah dibingungkan oleh dua perkara kecuali beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya selama hal tersebut tidak mengandung dosa.” (HR. Abû Ya„lâ) Dalam pandangan penulis, konsep taysîr tersebut sangatlah relevan dengan prinsip „Adam al-Ḫarj (meniadakan kesusahan) dan prinsip Taqlîl al-Takâlîf (meminimalisir pembebanan) yang sangat dipegang teguh oleh syariat Islam. Prinsip „Adam al-Ḫarj berarti bahwa syariat Islam sama sekali tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya dalam menjalankannya.46 Sedangkan prinsip Taqlîl alTakâlîf berarti bahwa syariat Islam merupakan syariat yang mudah untuk dijalankan dan tidak terlalu membebani mukallaf sebagai subjeknya.47 Ketika syariat Islam telah terlaksana dan memberikan mafaat bagi kehidupan mukallaf, maka hal ini telah mengindikasikan bahwa Maqâṣid al-Syarî„ah telah terwujud. Taysîr merupakan metode yang digunakan oleh Al-Quran dan para rasul. Rasulullah SAW telah mengajarkan para sahabat agar berlaku mudah. 48 Hal ini terbukti dengan adanya sabda beliau yang berbunyi: 49 44 يسرا وال تعسرا وبشرا وال تنفرا وتطاوعا وال تختلفا: قال رسىل هللا ملسو هيلع هللا ىلص،عن عبذ هللا بن قيس Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 197 Abû Ya„lâ al-Mûṣilî, Musnad Abî Ya„lâ, (Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-Turâts, 1984), Juz VII, h. 345 46 Muḫammad Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri„ al-Islâmî, (Jakarta: Dâr al-Kutub alIslâmiyyah, 2007), h. 18 47 Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri„ al-Islâmî, h. 18 48 Yûsuf al-Qaradlâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâṣid al-Syarî„ah, cet. III, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2008), h. 151 45 34 Artinya: Dari „Abdullah bin Qais, Rasulullah SAW besabda: “Mudahkanlah (urusan) dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari (tidak tertarik) dan bekerja samalah kalian berdua dan jangan berselisih”. (HR. Al-Bukhârî dan Muslim) Dari konsep taysîr ini, para ulama ahli fikih kemudian merumuskan beberapa kaidah fikih. Kaidah fikih berperan membantu kita untuk memahami tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang ada di balik syariah.50 Menurut Hasbi ashShiddieqy, salah satu kaidah yang berhubungan dengan konsep taysîr dalam syariat Islam adalah kaidah “”إرا ضاق األمر اتسع.51 Adapun di antara hal yang menunjukkan bahwa konsep taysîr sebagai esensi dari kaidah ini adalah landasan hukum dari kaidah ini sendiri. Dalil-dalil yang menjadi landasan dari kaidah ini, baik dari Al-Quran maupun Hadis, merupakan dalil-dalil yang menjelaskan bahwa syariat tidak menghendaki kesusahan dan kesulitan bagi manusia. Selanjutnya, berdasarkan keterangan para ulama fikih terkait kaidah ini, kaidah ini adalah sebagai salah satu solusi bagi mukallaf yang sedang menghadapi suatu kondisi sempit atau sulit untuk menjalankan suatu aturan hukum yang berlaku. Kondisi sempit atau sulit dalam hal ini bisa disebut dengan masyaqqah. Pada taraf-taraf tertentu, masyaqqah yang dirasakan mukallaf menghendaki kemudahan hukum (rukhṣah).52 Sabda Rasululullah SAW tersebut adalah wasiatnya kepada Mu„âdz Ibn Jabal (w. 18 H) dan Abû Mûsâ al-Asy„ârî (w. 44 H) ketika mereka ditugaskan untuk menjadi kepala daerah di Yaman. Meskipun wasiat tersebut disampaikan kepada dua orang sahabat tersebut saja, wasiat tersebut sebenarnya ditujukan pada seluruh umat Islam. Lihat Al-Bukhârî, Ṣaḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 136 50 „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 68 51 Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 120 52 Naṣr Fârid Muḫammad Wâṣil, Qawaid Fiqhiyyah, h. 58 49 35 Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa terdapat korelasi antara kaidah fikih “ ”إرا ضاق األمر اتسعdengan Maqâṣid al-Syarî„ah. Esensi yang terkandung dalam kaidah ini adalah untuk menghindarkan manusia dari kesulitan dan kesusahan dalam menjalankan syariat. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan syariat yaitu menghilangkan kesulitan, kesusahan (ḫaraj) dan kesempitan serta memilih dan mengutamakan rukhṣah (keringanan) jika sedang dalam keadaan yang tidak memungkinkan.53 Kemaslahatan kehidupan manusia sebagai Maqâṣid al-Syarî„ah yang paling utama dapat terwujud ketika manusia telah merasakan ketenangan dan kebahagiaan hidup dengan tanpa merasa terbebani oleh tuntutan syariat. Peran kaidah fikih “ ”إرا ضاق األمر اتسعdalam hal ini adalah sebagai salah satu pertimbangan bagi manusia untuk mengatasi masyaqqah yang sedang dihadapinya. Dengan bantuan kaidah ini, manusia tidak akan lagi merasa terjebak dalam suatu aturan hukum yang kaku. Karena pada hakikatnya, syariat Islam adalah syariat yang lentur, fleksibel dan dapat disesuaikan dengan perubahan kondisi yang dihadapi manusia. Meskipun kaidah fikih “ ”إرا ضاق األمر اتسعini memberikan kesempatan bagi kita untuk mendapatkan keringanan hukum, keluasan hukum yang dikehendaki oleh kaidah ini bukanlah tanpa pembatasan. Bagaimanapun juga, syariat Islam yang telah dirumuskan oleh Syâri„ memiliki standarisasi tersendiri yang harus kita penuhi. Kita tidak diperbolehkan untuk terlalu menganggap mudah syariah Islam, apalagi sampai meremehkannya. 53 Nûr al-Dîn Al-Khâdamî, Al-Ijtihâd al-Maqâṣidî, (Qatar: Kitâb al-Ummah, 1998), Juz I, h. 50 BAB III POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA A. Definisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam Indonesia Hukum keluarga adalah “hukum atau undang-undang yang mengatur perihal hubungan internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan dengan ihwal kekeluargaan” atau “hukum yang mengatur perihal hubunganhubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan”.1 Dalam terminologi fikih, hukum keluarga Islam dikenal dengan berbagai istilah, seperti al-aḫwâl al-syakhṣiyyah (hal-hal yang berhubungan dengan persoalan pribadi), ḫuqûq al-usrah (hak-hak keluarga), ḫuqûq al-‘â’ilah (hak-hak keluarga), aḫkam al-usrah (aturan-aturan keluarga) dan qanûn al-usrah (undangundang keluarga). Sementara dalam literatur-literatur bahasa Inggris, kita menemukan istilah-istilah seperti personal statute, Islamic family law dan Moslem family law, untuk menunjuk hukum keluarga Islam.2 Wahbah Zuhailî (w. 1436 H) mendefinisikan al-aḫwâl al-syakhṣiyyah sebagai hukum-hukum yang mengatur hubungan keluarga sejak di masa-masa awal pembentukannya hingga di masa berakhirnya keluarga, berupa nikah, talak, nasab, nafkah dan kewarisan.3 Dengan kata lain, hukum keluarga Islam adalah seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal anggota 1 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 13-14 2 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 10 3 Wahbah Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 19 36 37 keluarga dalam konteksnya yang khusus/spesifik dalam hubungan hukum suatu keluarga Muslim.4 Agar tidak terjadi kerancuan dengan definisi hukum perdata biasa, kita harus mengetahui bahwa hukum keluarga bukanlah hukum yang mengatur hubungan antara keluarga dengan keluarga yang lain, dan bukan pula hukum yang mengatur hubungan di luar hal-hal yang telah menjadi bagian dari hukum keluarga, meskipun hubungan hukum itu melibatkan sesama anggota keluarga dan masih dalam satu keluarga. Hukum keluarga Islam adalah hukum yang mengatur hubungan internal anggota keluarga dalam satu keluarga Muslim yang berkenaan dengan masalah-masalah tertentu.5 Ruang lingkup hukum keluarga adalah mencakup perkawinan, perwalian, wasiat dan kewarisan.6 B. Pelembagaan Hukum Islam ke Dalam Hukum Keluarga Indonesia 1. Hukum Islam pada Masa Pra Kemerdekaan Di Indonesia, hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Pada masa kesultanan Islam, hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara, misalnya pada masa pemerintahan Sultan Agung di Aceh dan pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Hukum adat setempat dinilai sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam.7 4 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, h. 13 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 11 6 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, h. 30 7 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 12-13 5 38 Sejak awal kehadiran Islam pada abad VII Masehi, tata hukum Islam sudah diterapkan dan dikembangkan di lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Setelah Islam memperoleh kedudukan yang kokoh dalam masyarakat kota perdagangan pesisir pantai, terjadi peralihan peran dari kaum saudagar ke tangan para ulama. Para ulama bertindak sebagai fungsionaris dalam penyelesaian sengketa antara sesama pemeluk Islam. Pada masa ini, peradilan informal Tahkim lahir sebagai wadah dan sarana masyarakat kota dalam menyelesaikan persengketaan di bidang perkawinan, hibah, wakaf dan kewarisan yang berorientasi pada sistem mazhab fikih Syâfi„î.8 Pada masa-masa kesultanan Islam, rujukan hukum yang bersifat abstrak yang berorientasi pada mazhab Syâfi„î masih terus digunakan. Salah satu kitab fikih yang berotoritas luas pada masa itu adalah kitab Ṣirâṯ al-Mustaqîm yang ditulis oleh ulama besar Nuruddin al-Raniri pada abad XVII Masehi. Uraian dan syarah kitab tersebut diperluas dan dijakdikan sebagai standar bahan rujukan penyelesaian sengketa di beberapa daerah kesultanan Islam seperti Palembang, Banten, Demak, Jepara, Ngampel dan Mataram.9 Beberapa kesultanan Islam pada masa tersebut juga telah mendirikan Peradilan Agama secara formal. Di antara macam-macam peradilan yang ada adalah Pengadilan Penghulu di Jawa, Mahkamah Syar‟iyyah di kesultanan Sumatera (Deli, Langkat, Asahan dan Indragiri) dan Peradilan Qadli di Banjar M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 24 9 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 25 8 39 dan Pontianak. Para ulama memegang peran sebagai penasihat dan hakim di peradilan-peradilan tersebut. Namun, hal yang sangat disayangkan adalah peradilan-peradilan tersebut belum memiliki suatu buku hukum yang sistematis. Aturan hukum yang diterapkan masih berupa doktrin fikih yang abstrak sebagaimana masa-masa sebelumnya.10 Dalam menyikapi situasi tersebut, VOC yang sedang berkuasa saat itu mencoba menerapkan hukum Belanda pada masyarakat. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan kesadaran hukum yang hidup di masyarakat. Kecenderungan kesadaran hukum yang hidup di bidang perkawinan, wakaf dan kewarisan pada saat itu adalah hukum Islam.11 Kagagalan penerapan hukum Belanda menjadi faktor VOC mengeluarkan Statuta Batavia pada tahun 1642. Isi terpenting dari statuta tersebut adalah penegasan bahwa penyelesaian sengketa waris yang dihadapi oleh orang pribumi yang beragama Islam adalah menggunakan hukum Islam yang dipakai sehari-hari. Selanjutnya, kolonial VOC juga menyusun kitab hukum yang dikenal dengan Compendium Freijer pada tahun 1760. Buku ringkasan ini mengatur tentang hukum perkawinan dan kewarisan Islam. Setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, buku tersebut diberlakukan dan dijadikan rujukan hukum oleh pengadilan dalam M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 25-26 11 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 26 10 40 menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat Islam di daerah yang dikuasai oleh VOC.12 Penggunaan Compendium Freijer tidak berlangsung lama karena pada tahun 1800 VOC menyerahkan kekuasaan Indonesia kepada Hindia Belanda. Pada masa ini, secara sistematis penggunaan hukum Islam tidak diakui lagi. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengganti sistem hukum Islam yang berlaku menjadi hukum adat. Pemerintah Hindia Belanda memaksakan pemberlakuan dua sistem yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum adat yang diperuntukkan untuk golongan bumiputera dan hukum barat bagi golongan Eropa.13 Upaya paksaan untuk melenyapkan hukum Islam yang dilakukan oleh kolonial Belanda terakhir kali ditetapkan melalui Staatsblaad 1937 No. 116. Aturan ini merupakan hasil usaha komisi Ter Haar yang berisi sebagai berikut:14 a. Hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat b. Pencabutan wewenang Peradilan Agama (Raad) untuk mengadili perkara kewarisan dan dialihkan kepada Peradilan Negeri (Landraad) c. Peradilan Agama di Jawa dan Madura hanya berwenang memeriksa perkara perkawinan saja 12 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 13 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 26-27 14 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 18 13 41 Meskipun pelarangan tersebut di atas telah dipublikasikan secara terang-terangan, namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat Muslim yang mengajukan perkara kewarisan ke Peradilan Agama. Peradilan Agama terbukti menyelesaikan perkara dengan cara yang megesankan pada masa itu. Masyarakat Muslim menganggap bahwa hasil keputusan yang dikeluarkan oleh Peradilan Agama bersifat lebih islami dan sesuai dengan kesadaran hukum yang mereka yakini.15 2. Hukum Islam Setelah Masa Kemerdekaan Setelah kemerdekaan Indonesia, pelembagaan hukum Islam ke dalam hukum keluarga Islam dapat terbagi menjadi dua masa perkembangan, yakni masa orde lama dan orde baru. Pada masa orde lama, pelembagaan hukum Islam dimulai dengan pendirian Departemen Agama pada tanggal 3 Jnuari 1946. Dengan terbentuknya Depag, maka kewenangan Peradilan Islam telah dialihkan dari Menteri Hukum kepada Menteri Agama. Penataan hukum Islam, baik yang berkenaan dengan administrasi maupun kelembagaan hukum Islam yang mengatur perkawinan, rujuk, talak dan wakaf diberlakukan di bawah pengawasan Menteri Agama.16 Pada masa ini, legislatif merumuskan beberapa peraturan perundangundangan tentang kekeluargaan, di antaranya adalah UU No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah dan UU No. 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Perumusan undang-undang ini merupakan solusi 15 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 96 16 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 22 42 bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pada saat itu. Langkah ini juga merupakan respon atas praktek-praktek negatif yang terjadi dalam perkawinan seperti pernikahan di bawah umur, praktek poligami tanpa tanggung jawab dan perceraian yang dilakukan semena-mena oleh pihak suami.17 Pada masa selanjutnya, yaitu masa orde baru, pemerintah melakukan langkah-langkah yang dipandang sebagai kebangkitan hukum keluarga Islam di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan dilegalkan sebagai respon positif dari tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya kepastian hukum keluarga khususnya bagi pegangan hukum untuk hakim di Pengadilan Agama.18 Peraturan perundang-undangan terkait perihal kekeluargaan yang lahir pada masa ini di antaranya adalah UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS dan Kompilasi Hukum Islam. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan diberlakukan bagi seluruh warga Indonesia dan bagi seluruh agama. UU ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menyatukan undang-undang yang berkaitan dengan undang-undang perkawinan itu sendiri di bidang-bidang lainnya yang sesuai dengan hukum adat dan hukum agama. UU Perkawinan ini juga merupakan upaya pemerintah dalam menanggapi tuntutan kaum perempuan di Indonesia Anif Rahmawati, “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”, artikel diakses pada 24 Oktober 2015 dari https://www.academia.edu/4836677/RESPONMASYARAKAT-TERHADAP-HUKUM-KELUARGA-ISLAM 18 Anif Rahmawati, “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam” 17 43 tentang kedudukan hukum mereka dalam beberapa peristiwa hukum, terutama poligami dan perceraian.19 Perumusan UU Perkawinan ini merupakan salah satu pencapaian besar dalam perkembangan kodifikasi hukum keluarga materiil Indonesia. Meskipun isi materi dari UU ini tidaklah bertentangan dengan hukum Islam, namun UU ini belum bisa dikategorikan sebagai sumber hukum keluarga Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan penyusunan UU ini tidak didasarkan pada ajaran Islam murni. Selain itu, objek pemberlakuan UU ini juga bersifat sangat umum yaitu bagi masyarakat Indonesia dari semua agama. Oleh karena itu, pada beberapa dekade selanjutnya, para ahli hukum memandang perlu untuk merumuskan sebuah buku hukum yang bisa dikhususkan berlaku bagi masyarkat Muslim Indonesia dengan komposisi yang lebih lengkap dari UU Pernikahan ini. Buku hukum tersebut kemudian kita kenal sebagai Kompilasi Hukum Islam (KHI). Objek pemberlakuan kompilasi ini adalah khusus bagi masyarakat Muslim Indonesia. selain itu, kompilasi ini mengandung komposisi yang lebih lengkap terkait hukum keluarga Islam Indonesia karena telah mencakup pembahasan tentang kewarisan di samping pembahasan tentang pernikahan. C. KHI sebagai Sumber Hukum Materiil Keluarga Islam Indonesia Pada awalnya, hukum materiil keluarga Islam Indonesia yang berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Agama adalah hukum Islam atau yang lebih dikenal 19 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 14 44 dengan fikih. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada sub pembahasan sebelumnya, hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab karya ulama salaf. Para ulama tersebut hidup dalam keadaan sosiokultural yang berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia. Para hakim Peradilan Agama sering kali membuat keputusan yang berbeda atas permaslahan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat Muslim pada masa itu. Oleh karena itu, hakim Peradilan Agama dinilai tidak konsisten dalam memutuskan perkara. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, badan legislatif menyusun sebuah kompilasi hukum Islam dengan tujuan untuk memberikan pedoman bagi para hakim Peradilan Agama dan menyatukan persepsi di kalangan mereka dalam memutuskan perkara. 1. Latar Belakang dan Proses Penyusunan KHI Ide kompilasi hukum muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Dalam pelaksanaan pembinaan tersebut, Mahkamah Agung merasakan beberapa permasalahan yang terjadi di lingkungan Peradilan Agama.20 Salah satu contoh permasalahan tersebut adalah implementasi hukum Islam yang terkadang menimbulkan perbedaan pemahaman bagi umat Muslim. Hukum Islam yang diterapkan di Pengadilan Agama Indonesia sebelum tahun 1991, cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pendapat di antara para ulama fikih dalam setiap persoalan. Di samping itu, kerancuan dalam memahami fikih yang dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan 20 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 98 45 bukan sekedar doktrin ulama terkadang masih menimbulkan kegalauan para hakim dalam memutuskan suatu perkara.21 Pada saat itu, para ahli hukum Islam Indonesia merasakan keperluan adanya keseragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam yang akan dijadikan pegangan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Keinginan untuk menyeragamkan hukum Islam tersebut menimbulkan gagasan terwujudnya KHI.22 Adapun tokoh penggagas perumusan KHI adalah Busthanul Arifin yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.23 Setelah gagasan Busthanul Arifin disepakati oleh Mahkamah Agung, Tim Pelaksana Proyek KHI dibentuk dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 07/KMA/1985 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung bersama Menteri Agama.24 Proses penyusunan KHI dilakukan secara partisipatif. Penyusunannya melibatkan pejabat pemerintahan, hakim dan para pemimpin masyarakat (ulama dan cendekiawan) yang representatif.25 Proyek penyusunan KHI dimulai sejak tahun 1985. Tim penyusun rancangan kompilasi ini berasal dari Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Proses 21 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 144-145 22 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 99 23 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 30 24 Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 31 25 Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 15 46 penghimpunan bahan kompilasi tersebut ditempuh melalui empat jalur, yaitu sebagai berikut:26 a. Pengumpulan data melalui telaah dan kajian kitab-kitab yang berkaitan dengan materi kompilasi. Tugas ini dijalankan oleh 7 IAIN dari seluruh Indonesia, yaitu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya, IAIN Ar Raniry Banda Aceh, IAIN Antasari Banjarmasin, IAIN Alaudin Makassar dan IAIN Imam Bonjol Padang. Kitab-kitab fikih yang dikaji tidak hanya yang bermazhab Syâfi„î, tetapi juga kitab-kitab yang bermazhab Ḫanbalî, Mâlikî dan Ḫanafî. Langkah kajian kitab ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami perbandingan pemikiran di antara keempat ajaran mazhab. Langkah ini sangat bermanfaat bagi perkembangan hukum Islam Indonesia yang sedang berhadapan dengan paradigma baru dan pluralisme masyarakat.27 b. Pengumpulan data melalui wawancara dengan para ulama yang dilakukan oleh beberapa Pengadilan Tinggi Agama. Langkah ini mempunyai peran penting karena anggapan dasar bahwa KHI ditujukam untuk mensistemasi dan menyusun aturan-aturan Islam untuk mengatur masalah-masalah keluarga yang selama ini diterapkan oleh umat Islam dan hakim Pengadilan Agama di Indonesia yang berdasarkan pada kitab fikih. Ulama yang dipandang memiliki 26 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 148 27 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 18 47 kredibilitas karena pengetahuan mereka tentang hukum Islam dipandang sangat akrab dengan aturan-aturan hukum yang telah diterapkan dalam masyarakat Muslim. Tujuan dari langkah ini adalah untuk mendapatkan aspirasi luas dari masyarakat yang nantinya akan menghadirkan hukumhukum yang mapan dan sesuai bagi masyarakat Muslim Indonesia.28 c. Penelitian terhadap yurisprudensi Pengadilan Agama dengan cara menganalisis keputusan-keputusan yudisial Pengadilan Agama sepanjang abad-abad sebelumnya yang telah terhimpun. Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan argumen paling kuat untuk mendukung penetapan hukum-hukum terkait masalahmasalah tertentu.29 d. Pengumpulan data melalui perbandingan dengan hukum-hukum yang berlaku di beberapa negara Islam seperti Maroko, Turki dan Mesir. Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk mengadakan studi banding dengan beberapa negara yang Islam yang telah berhasil melakukan kodifikasi hukum keluarga Islam. Studi ini dilakukan untuk melihat bagaimana hukum Islam diterapkan dan bagaimana prosedur yudisial dipersiapkan dalam praktek peradilan negara-negara tersebut. Beberapa informasi penting yang diperoleh dari langkah ini adalah tentang sistem peradilan, penyerapan syariah ke dalam hukum nasional dan sumber- 28 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 18-19 29 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 19-20 48 sumber yang menjadi hukum terapan dari permasalahan-permasalahan keluarga yang sedang berkembang di negara-negara tersebut.30 Setelah data-data tersebut dihimpun, tim penyusun kompilasi mengolahnya menjadi konsep KHI. Hasil konsep tersebut kemudian dibahas oleh para ulama dan cendekiawan Muslim melalui lokakarya yang diadakan pada tanggal 2-6 Februari 1988 di Jakarta. Hasil lokakarya tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Pada akhirnya, KHI secara resmi ditetapkan sebagai salah satu sumber hukum materiil untuk perkara-perkara yang diselesaikan di Pengadilan Agama melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun I991 yang diproklamirkan pada tanggal 10 Juni 1991.31 KHI adalah fikih Indonesia yang disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.32 Pasal-pasal yang dirumuskan dalam KHI adalah bersumber dari produk-produk fikih hasil pemikiran para ulama mazhab yang telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat Islam Indonesia. Di antara kitab-kitab fikih dan usul fikih yang menjadi sumber rujukan materi KHI adalah Al-Bâjûrî, Fatḫ al-Mu‘în, Qalyûbî, Fatḫ al-Wahhâb, Targhîb al-Musytâq, Bughyat al-Mustarsyidîn, Al- 30 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 20 31 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Komilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 37 32 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 101 49 Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, Mughnî al-Muḫtâj, Al-Muḫallâ, Bidâyat al-Mujtahid, Al-Umm, Al-Mughnî, Al-Muwaṯṯa’, Fiqh al-Sunnah, Al-Wajîz, I‘ânat al-Ṯâlibîn, Al-Qawânîn al-Syar‘iyyah, Fatḫ al-Qadîr dan lain-lain.33 2. Landasan Yuridis dan Kedudukan KHI Landasan atau dasar hukum keberadaan KHI di Indonesia terdiri dari tiga tahapan, yaitu: a. Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991. Instruksi Presiden tersebut ditujukan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang sudah disepakati oleh para ulama Indonesia dalam lokakarya yang diselenggarakan pada 5 Februari 1988.34 Konsideran Instruksi ini meyatakan bahwa KHI dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang-bidang tertentu yang diaturnya, yaitu perkawinan, kewarisan dan perwakafan.35 b. Keputusan Menteri Agama RI No. 154 tanggal 22 Juli 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.36 Keputusan Menteri Agama ini menyatakan bahwa KHI dapat digunakan untuk meyelesaikan permasalahan hukum di samping peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini menunjukkan adanya kesederajatan KHI dengan peraturan perundang-undangan lain yang sedang berlaku.37 33 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 52 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. III, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2001), h. 53 35 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 55 36 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 55 37 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 57 34 50 c. Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.38 Dari beberapa landasan hukum yang menjadi dasar KHI di atas, maka kita dapat meyimpulkan bahwa KHI memiliki kedudukan yang sederajat dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang juga mengatur tentang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Di samping itu, KHI juga bersifat mengikat bagi para pihak yang terkait permasalahan, yaitu pihak yang bersengketa dan para hakim. Kedua belah pihak ini terikat dan berkewajiban sepenuhnya untuk melaksanakan isi dari KHI. Meskipun demikian, kewajiban pelaksanaan KHI ini tidak menutup kemungkinan bagi para hakim Pengadilan Agama untuk melakukan penemuan Hukum.39 3. KHI sebagai Legalformal Fikih Indonesia Materi pokok yang diatur oleh KHI terdiri dari tiga bidang hukum, yaitu sebagai berikut:40 a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, terdiri atas 19 Bab meliputi 170 pasal (pasal 1 sampai dengan pasal 170) 38 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 57-58 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 62 40 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 49 39 51 b. Buku II tentang Hukum Kewarisan, terdiri atas 6 Bab meliputi 43 pasal (pasal 171 sampai dengan pasal 214) c. Buku III tentang Hukum Perwakafan, terdiri atas 5 Bab meliputi 12 pasal (pasal 215 sampai dengan pasal 228) Penyusunan KHI di Indonesia dapat kita pandang sebagai suatu proses transformasi hukum Islam dari bentuk yang tidak tertulis menjadi suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis.41 Keberhasilan bangsa Indonesia melahirkan KHI merupakan salah satu prestasi besar dalam upaya mewujudkan kesatuan hukum Islam dalam bentuk tertulis. Setelah KHI disahkan menjadi sebuah sumber hukum, semua hakim di lingkungan Peradilan Agama diarahkan kepada persepsi penegakan hukum yang sama. Para hakim Peradilan agama tidak lagi diperkenankan untuk menjatuhkan putusan-putusan hukum yang berdisparitas.42 Sebagai perangkat hukum, KHI telah menampung bagian dari kebutuhan masyarakat di bidang hukum yang digali dari (sumber) nilai-nilai hukum yang diyakini kebenarannya. KHI dapat memberikan perlindungan hukum dan ketentraman batin masyarakat, karena ia menawarkan simbolsimbol keagamaan yang dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sakral. KHI juga megakomodasi berbagai pandangan dan aliran pemikiran di bidang fikih yang secara sosiologis memiliki daya peran dan daya ikat di Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 8 42 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 150 41 52 dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, KHI layak untuk dilaksanakan oleh warga masyarakat yang memerlukannya.43 KHI disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa untuk mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak masing-masing pemeluk Islam, tetapi ditunjuk oleh seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas dan pelaksana penerapan KHI. Sejak KHI dirumuskan, derajat penerapan hukum Islam telah terangkat sebagai hukum perdata resmi yang bersifat publik yang penerapannya dapat dipaksakan oleh alat kekuasaan negara, terutama oleh Badan Peradilan Agama.44 Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 15 44 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, h. 34-35 43 BAB IV ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “ ”إذا ضاق األمر اتسعDALAM KHI SEBAGAI SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM DI INDONESIA Lingkup pembahasan hukum keluarga yang diatur dalam KHI terdiri dari pernikahan, perwalian, perceraian, wasiat dan kewarisan. KHI sebagai kitab fikih Indonesia yang telah dilegalformalkan juga menerapkan berbagai macam kaidah fikih dalam substansi materinya. Menurut penulis, salah satu kaidah fikih yang diaplikasikan dalam KHI adalah kaidah “”إذا ضاق األمر اتسع. Setelah melakukan pengamatan pada pasal demi pasal yang terdapat di KHI, penulis menemukan beberapa pasal yang menerapkan konsep kaidah ini, di antaranya sebagai berikut: A. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Pernikahan 1. Pengajuan isbat nikah bagi pernikahan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, maka pasangan suami istri yang bersangkutan dapat mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Pernikahan yang diakui oleh negara adalah pernikahan yang telah dicatatkan di Catatan Sipil Negara. Pencatatan nikah akan berakibat pada perlindungan hukum bagi para pihak yang ada dalam ikatan pernikahan. Dalam kondisi-kondisi tertentu, sebagian masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa pencatatan pernikahan adalah hal sangat penting di negara kita. Pasal ini menunjukkan fleksibilitas hukum bahwa pernikahan tanpa akta nikah bukan berarti legalitasnya tidak akan 53 54 diakui oleh negara untuk selamanya. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah kesempatan bagi sepasang suami istri untuk mengajukan isbat ke Pengadilan Agama agar pernikahan mereka mendapatkan perlindungan hukum dan legalitas dari negara. 2. Persetujuan menikah dengan menggunakan tulisan atau isyarat bagi orang yang tuna wicara atau tuna rungu Pasal 17 ayat (3) menyatakan bahwa calon mempelai yang hendak melaksanakan pernikahan sedangkan ia dalam kondisi tuna wicara atau tuna rungu, maka ia dapat menyatakan persetujuannya untuk menikah dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Persetujuan untuk menikah dari mempelai laki-laki dan perempuan adalah hal yang sangat penting. Pernikahan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari kedua belah pihak mempelai. Persetujuan yang dimaksud adalah dengan lisan. Namun apabila salah seorang dari mempelai adalah tuna wicara atau tuna rungu, maka pasal ini memberikan keluasan hukum dengan memperbolehkan persetujuan dengan menggunakan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. 3. Perwalian wali ab‘ad (yang lebih jauh hubungan nasabnya) dikarenakan uzur wali aqrab (yang lebih dekat hubungan nasabnya) Pasal 22 menyatakan bahwa apabila wali aqrab tidak memenuhi syarat sebagai wali, tuna wicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka hak perwaliannya bergeser pada wali nikah lain yang berada pada derajat nasab berikutnya. Dalam undang-undang pernikahan Islam Indonesia, wali adalah salah satu rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita. Oleh 55 karena itu, pernikahan tanpa wali dari pihak perempuan, maka pernikahan tersebut tidak sah. Wali nikah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu (1) kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas seperti ayah dan seterusnya; (2) kelompok kerabat saudara laki-laki dan keturunannya; (3) kelompok kerabat paman dan keturunannya; (4) kelompok saudara laki-laki kandung kakek dan keturunannya. Orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah orang yang memiliki hubungan nasab paling dekat dengan calon mempelai perempuan. Apabila wali aqrab tidak memenuhi syarat sebagai wali, tuna wicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka bukan berarti calon mempelai sudah tidak bisa melangsungkan pernikahan. Pasal ini memberikan keluasan hukum berupa kebolehan mengangkat wali nikah dari golongan ab‘ad (yang lebih dekat hubungan nasabnya) sehingga pernikahan tetap bisa dilaksanakan. 4. Penunjukan wali hakim disebabkan uzur wali nasab Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa wali hakim boleh bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin dihadirkan, tidak diketahui tempat tinggalnya (ghâ’ib) atau enggan untuk menikahkan (‘adlal). Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh perempuan yang tinggal jauh dari keluarganya. Ketika perempuan tersebut hendak menikah sedangkan ia tidak mungkin mendatangkan wali nasab untuk menikahkannya, maka pasal ini memberikan keluasan hukum berupa kebolehan menunjuk wali hakim untuk menikahkannya. 5. Perwakilan ucapan qabûl nikah oleh laki-laki lain atas kuasa dari mempelai pria 56 Pasal 29 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal-hal tertentu, ucapan qabûl nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan ia telah memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah tersebut adalah untuk mempelai pria. Apabila mempelai pria berhalangan hadir pada majelis akad nikahnya dikarenakan suatu sebab yang sangat mendesak, sedangkan majelis tersebut juga tidak memungkinkan untuk dirubah waktu pelaksanaannya, maka ia diperbolehkan mewakilkan ucapan qabûl nikahnya kepada orang lain yang dipercayainya. Kuasa tersebut harus berupa kuasa tertulis dan disertai saksi atas perwakilan tersebut. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah kebolehan bagi mempelai pria untuk mewakilkan ucapan qabûl nikahnya kepada laki-laki lain atas kuasa darinya sehingga majelis pernikahan tersebut dapat tetap dilangsungkan dengan tanpa perubahan waktu yang mungkin malah akan menimbulkan kesulitan bagi kedua belah pihak mempelai yang hendak menikah. 6. Penggantian mahar yang hilang dengan barang jenis lain ketika mahar belum diserahkan kepada mempelai wanita Pasal 36 menyatakan bahwa apabila mahar telah hilang sebelum diserahkan pada mempelai wanita, maka mahar tersebut dapat diganti dengan barang lain yang sama atau berbeda jenis yang harganya senilai dengan barang mahar asli yang telah hilang. Meskipun mahar bukan termasuk salah satu dari rukun pernikahan, pemberian mahar tetap harus dilakukan oleh mempelai pria, walaupun hanya berupa barang yang remeh dan kecil. Hal ini dikarenakan mahar merupakan simbol penghargaan bagi mempelai wanita untuk dimiliki 57 oleh laki-laki. Sebelum pernikahan dilangsungkan, biasanya kedua belah pihak telah berdiskusi untuk menentukan bentuk mahar yang akan diberikan. Apabila mahar yang telah disepakati hilang sebelum diserahkan kepada mempelai wanita, maka pasal ini memberikan keluasan hukum berupa kebolehan menggantikan mahar dengan barang lain yang sama atau berbeda jenis yang harganya senilai dengan barang mahar asli. 7. Ketidakperluan persetujuan istri untuk memberikan izin bagi suami yang hendak menikah lagi ketika istri berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk diminta persetujuan Pasal 58 ayat (3) menyatakan bahwa seorang suami tidak memerlukan persetujuan istrinya untuk menikah lagi ketika istrinya berada dalam keadaan yang tidak mungkin untuk diminta persetujuannya, tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak memberikan kabar minimal selama dua tahun atau karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim. Kerelaan pihak istri adalah salah satu syarat yang harus didapatkan oleh suami sebelum ia memutuskan untuk menikah lagi. Namun, adakalanya persetujuan dari istri untuk suami menjadi hal yang sulit untuk didapatkan dikarenakan sebabsebab tertentu, misalnya istri meninggalkan suami selama lebih dari dua tahun tanpa memberikan kabar sama sekali. Oleh karena itu, dalam kondisi ini, pasal ini memberikan keluasan hukum berupa kebolehan bagi suami untuk menikah lagi meskipun tanpa persetujuan dari istrinya. 8. Pengajuan pembatalan pernikahan dikarenakan adanya unsur perbuatan melanggar hukum dalam pernikahan 58 Perihal ini diatur dalam pasal 72. Ayat (1) pasal ini menyatakan bahwa salah satu pihak suami atau istri boleh mengajukan pembatalan pernikahan apabila pernikahan yang dilangsungkan berada di bawah ancaman yang melanggar hukum. Selanjutnya, ayat (2) pasal ini menyatakan bahwa pengajuan pembatalan pernikahan dapat dilakukan apabila pada saat pernikahan berlangsung, terdapat penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. Pasal ini memberikan keluasan hukum bagi salah satu pihak yang dirugikan, baik suami atau istri, untuk mengajukan pembatalan atas pernikahan yang mengandung unsur zalim. Apabila pernikahan tersebut tetap dilanjutkan maka malah akan meyebabkan kesengsaraan bagi pihak yang merasa dizalimi. Hal ini tentu tidak akan dapat mewujudkan tujuan pernikahan, yaitu untuk membina rumah tangga sâkinah yang di dalamnya terdapat mawaddah dan raḫmah sebagaimana yang diharapkan oleh pasal 3. 9. Pembebanan pembayaran hutang keluarga kepada harta pribadi suami atau istri Perihal ini diatur dalam pasal 93. Ayat (3) pasal ini menyatakan bahwa pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga bisa dibebankan kepada harta pribadi milik suami apabila harta bersama tidak mencukupi pembayaran hutang tersebut. Begitu juga dengan ayat (4) pasal ini, pertanggungjawaban bisa dibebankan kepada harta pribadi milik istri. Pada dasarnya, pertanggungjawaban hutang untuk kepentingan keluarga seharusnya dibebankan kepada harta bersama. Akan tetapi, apabila harta bersama yang dimiliki oleh suami dan istri tidak dapat mencukupi 59 pembayaran hutang tersebut, maka situasi ini menghendaki agar suami atau istri merelakan harta milik pribadinya untuk menutupi kekurangan pembayaran hutang. B. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perwalian 1. Penunjukan pengasuh anak dari kerabat ketika kedua orang tua tidak mampu melaksanakannya Pasal 98 ayat (3) menyatakan bahwa apabila orang tua kandung tidak mampu memelihara anaknya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang dari kerabat terdekat yang dipandang mampu untuk menggantikan peran orang tua kandung. Adapun tugas yang harus dilakukan oleh kerabat pengganti orang tua tersebut adalah mewakili anak tersebut di segala perbuatan hukumnya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pada dasarnya, pihak yang bertanggung jawab untuk memelihara anak adalah orang tua kandung anak itu sendiri. Namun, apabila orang tua kandungnya tidak mampu memelihara dan menjaganya dengan baik, maka kondisi ini tidak akan membahagiakan anak tersebut. Oleh karena itu, pasal ini memberikan keluasan hukum bagi anak agar pengadilan menunjuk salah seorang dari kerabat dekatnya untuk menggantikan peran orang tua kandungnya. 2. Penetapan asal-usul anak oleh pengadilan terhadap anak yang tidak memiliki akta kelahiran Pasal 103 ayat (2) menyatakan bahwa apabila bukti otentik kelahiran seorang anak tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan 60 tentang asal-usul anak tersebut setelah melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti yang sah. Asal-usul seorang anak adalah sesuatu yang harus diketahui. Secara tidak langsung, kejelasan asal-usul seorang anak akan berpengaruh pada pandangan masyarakat terhadapnya. Selain itu, asal-usul seorang anak juga berhubungan dengan kependudukan, kewarisan, kewalian dan permasalahan-permasahan sipil lainnya. Di Indonesia, kejelasan asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya seperti surat hasil tes DNA. Apabila seorang anak tidak memiliki bukti-bukti tersebut, maka pasal ini memberikan keluasan hukum bagi anak tersebut untuk mengajukan permohonan penetapan asal-usul atas dirinya. Setelah pengadilan melakukan pemeriksaan berdasarkan bukti-bukti sah yang diajukan oleh pihak pemohon, maka pengadilan akan mengeluarkan surat ketetapan asal-usul anak tersebut dan status anak tersebut menjadi jelas. 3. Pengalihan fungsi harta anak di bawah umur oleh orang tua demi kepentingan dan keselamatan anak Pasal 106 ayat (1) menyatakan bahwa orang tua tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan harta anaknya yang masih di bawah umur kecuali hal tersebut dilakukan untuk keperluan mendesak yang tidak dapat dihindari atau berhubungan dengan keselamatan anak. Pada dasarnya, kewajiban orang tua terhadap harta anaknya yang berusia di bawah umur hanya merawat dan mengembangkan harta tersebut dan tidak diperbolehkan untuk mengalihfungsikannya. Akan tetapi, apabila suatu kenyataan terjadi dikarenakan oleh suatu sebab yang tidak dapat dihindari, misalnya yang 61 berhubungan dengan keselamatan anaknya, maka pasal ini memberikan keluasan hukum bagi orang tua untuk mengalihfungsikan harta tersebut. 4. Permohonan kerabat untuk menjadi wali bagi seorang anak ketika walinya telah lalai dalam melaksanakan tugas Pasal 107 ayat (3) menyatakan bahwa apabila seorang wali tidak mampu atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat anak tersebut untuk bertindak sebagai wali atas permohonan dari pihak kerabat. Perwalian yang dimaksud dalam pasal ini adalah perwalian terhadap diri dan harta anak. Pada dasarnya, anggota keluarga yang paling berhak menjadi wali dalam hal ini adalah orang tua anak. Namun apabila wali tersebut tidak mampu atau lalai dalam melaksanakan tugas perwaliannya, maka pasal ini memberikan keluasan hukum berupa penetapan wali dari kerabat anak oleh pengadilan. Hal ini tidak lain ditujukan untuk kemaslahatan anak. 5. Pencabutan hak sebagai wali bagi pihak yang tidak mampu, lalai atau bertabiat buruk Pasal 109 menyatakan bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum yang tidak mampu, lalai atau bertabiat buruk dan memindahkan hak tersebut kepada orang lain atas permohonan kerabat anak demi melindungi kepentingan anak yang berada di bawah perwalian. Perwalian semacam ini biasanya didapatkan oleh anak setelah orang tuanya meninggal dunia. Orang tua anak mewasiatkan perwalian anak kepada orang atau badan hukum tertentu. Apabila orang atau badan hukum 62 yang mendapatkan hak perwalian atas anak tersebut tidak mampu, lalai atau bertabiat buruk, maka keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah kebolehan bagi kerabat anak untuk mengajukan permohonan pencabutan dan pemindahan hak perwalian dari pihak penerima wasiat perwalian. Hal ini juga ditujukan untuk melindungi kepentingan anak yang berada di bawah perwalian. 6. Pemindahan hak ḫadlânah Pasal 156 huruf (c) menyatakan bahwa Pengadilan Agama dapat memindahkan hak ḫadlânah kepada kerabat lain atas permintaan kerabat anak apabila pemegang ḫadlânah yang sebenarnya tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan ḫadlânah tercukupi. Ibu kandung dari anak adalah orang yang paling berhak atas ḫadlânah. Apabila ibu telah meninggal maka kedudukannya digantikan oleh ayah atau wanita-wanita yang memiliki hubungan kerabat dekat dengan ibu atau ayahnya. Pada dasarnya, hal yang paling diutamakan dalam ḫadlânah adalah keselamatan jasmani dan rohani anak, bukan kecukupan biaya nafkah dan ḫadlânah. Oleh karena itu, pasal ini memberikan keluasan hukum berupa kebolehan pengajuan permohonan untuk memindahkan hak hadlânah pada pihak kerabat lain yang lebih dapat dipercaya menjaga kemaslahatan anak. C. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perceraian 1. Permintaan dan permohonan salinan akta cerai yang hilang Perihal ini diatur dalam pasal 9. Ayat (1) pasal ini menyatakan bahwa akta cerai yang hilang dapat dapat dimintakan salinannya ke Pengadilan Agama. 63 Selanjutnya, ayat (2) pasal ini menyatakan jika pengadilan tidak memberikan salinan akta cerai yang diminta, maka pihak mantan suami atau istri dapat mengajukan permohonan ke pengadilan. Akta cerai adalah sama pentingnya dengan akta nikah karena akta cerai adalah bukti otentik bahwa seseorang tidak berada dalam suatu ikatan pernikahan dengan orang lain. Apabila seseorang yang telah bercerai dari mantan pasangannya dengan perceraian yang sah atau legal, kehilangan akta cerainya, sedangkan ia membutuhkannya untuk menikah lagi misalnya, maka ia bisa meminta salinan akta tersebut ke Pengadilan Agama. Apabila pengadilan tidak mau memberikan salinan akta tersebut, maka ia bisa menggunakan cara lain yaitu dengan mengajukan permohonan ke pengadilan. Pasal ini memberikan solusi keluasan hukum berupa pemberian salinan akta bagi seseorang yang kehilangan akta asli. 2. Penerimaaan gugatan cerai oleh pengadilan tanpa kehadiran tergugat Pasal 138 ayat (4) menyatakan bahwa pengadilan dapat menerima gugatan cerai yang diajukan oleh istri kepada suami atau kuasanya yang tidak pernah hadir ke pengadilan dan tidak diketahui tempat tinggalnya serta telah diumumkan oleh pihak pengadilan melalui surat kabar sebanyak dua kali dalam jangka waktu dua bulan. Gugatan cerai jenis ini mungkin saja terjadi dikarenakan suami telah pergi meninggalkan istri tanpa kabar dalam waktu yang lama. Alasan ini memperbolehkan istri untuk menggugat cerai suaminya. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah penerimaan gugatan cerai oleh pengadilan. Apabila gugatan telah diterima oleh pengadilan maka proses perceraian dapat segera dilaksanakan. Dalam kondisi 64 ini, hal yang diutamakan adalah kejelasan status wanita tersebut dan kesejahteraan hidupnya ketika suaminya pergi meninggalkannya. Apabila pengadilan telah memutuskan hubungan di antara keduanya sebagai suami istri, maka mantan istri telah mendapatkan kejelasan atas status hukumnya dan diperbolehkan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain. 3. Permintaan salinan akta rujuk yang hilang atau rusak Pasal 166 menyatakan bahwa akta rujuk yang hilang atau rusak sehingga tidak dapat dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan salinannya kepada instansi semula yang mengeluarkan akta tersebut. Akta rujuk adalah salah satu berkas penting yang akan digunakan untuk mengambil Kutipan Akta Nikah di Pengadilan Agama tempat pasangan suami istri melangsungkan perceraian sebelumnya. Pasangan rujuk yang belum mengambil Kutipan Akta Nikah maka pasangan ini belum diakui oleh hukum sebagai pasangan rujuk yang legal. Oleh karena itu, pasal ini memberikan solusi keluasan hukum berupa pemberian kesempatan bagi pasangan yang kehilangan akta untuk meminta salinannya. D. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Kewarisan dan Wasiat 1. Pengalihan bentuk harta warisan Pasal 189 ayat (2) menyatakan bahwa harta warisan yang pada awalnya berupa lahan dapat dialihkan menjadi uang jika memang ada salah satu ahli waris yang memerlukan uang tersebut. Pasal ini merupakan bentuk keluasan hukum dari pasal sebelumnya, yaitu pasal 189 ayat (1) yang menyatakan bahwa harta warisan yang berupa lahan agar tetap dipertahankan kesatuan 65 bentuknya sebagaimana semula dan dimanfaatkan tuntuk kepentingan bersama. Pasal ini juga mengandung asas tolong-menolong antar sesama Muslim, terutama antar saudara sesama penerima harta waris. 2. Menyampaikan wasiat di hadapan selain pejabat Pasal 206 menyatakan bahwa orang yang hendak berwasiat sedangkan ia berada dalam perjalanan laut, maka wasiatnya dapat disampaikan pada nahkoda kapal atau orang yang menggantikannya dengan disertai dua orang saksi. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah bahwa wasiat tidak selalu harus disampaikan kepada pejabat berwenang seperti Notaris. Kondisi orang yang hendak berwasiat yang sedang berada dalam perjalanan laut, belum tentu ia dapat menemukan pejabat Notaris di kapal yang ditumpanginya tersebut. Oleh karena itu, sebagai solusi yang diberikan oleh pasal ini, ia diperkenankan untuk menyampaikan wasiatnya kepada nahkoda kapal atau orang yang menggantikannya dengan dua orang saksi yang dapat dipercaya akan menyampaikan wasiatnya kelak. Setelah penulis menyebutkan dan menjelaskan satu-persatu pasal KHI yang dipandang sebagai aplikasi dari kaidah kaidah fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعdi atas, penulis menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pasal-pasal tersebut menghendaki kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim Indonesia. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis memaparkan konsep kaidah fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعdan menganalisis pengaplikasiannya dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep kaidah fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعadalah apabila suatu kondisi yang dihadapi oleh mukallaf menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam menjalankan suatu aturan hukum, maka menurut kaidah ini dalam kedaan tersebut, ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya. Ketika suatu aturan hukum syariat yang berlaku menjadi alasan pembebanan atau pemberat bagi mukallaf untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia berhak mendapatkan keringanan dan kelonggaran hukum (rukhṣah) dengan alasan-alasan tertentu. 2. KHI sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Indonesia yang murni berasal dari hukum Islam telah mengaplikasikan konsep kaidah fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعdalam pasal-pasalnya. Keseluruhan dari peraturan yang disampaikan oleh pasal-pasal tersebut pada hakikatnya menghendaki kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim Indonesia. 66 67 B. Saran Dari kesimpulan yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka penulis juga ingin memberikan saran-saran terkait dengan pengaplikasian kaidah fikih “ إذا ”ضاق األمر اتسع, yaitu sebagai berikut: 1. Sebagai subjek hukum, kita harus selalu mengingat bahwa fleksibilitas hukum, baik hukum Islam maupun konvensional bukanlah tanpa batasan. Keluasan hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh kaidah ini juga memiliki pembatasan tertentu sehingga kita tidak diperbolehkan seenaknya sendiri mempermainkan aturan syariat atau hukum yang berlaku. 2. Sebenarnya, pengaplikasian kaidah fikih “ ”إذا ضاق األمر اتسعtidak hanya terbatas ada pada pasal-pasal KHI. Majelis hakim sebagai pembuat keputusan atas permaslahan-permasalahan yang dialami oleh masyarakat hendaknya berpegang teguh pada kaidah ini. Karena dengan pertimbangan kaidah ini, hakim diarahkan untuk mengambil keputusan berdasarkan berbagai sisi keadaan yang sedang dihadapi oleh penuntut keadilan. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran „Azzâm, Abd al-„Azîz. Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah. Kairo: Dâr al-Ḫadîts. 2005. Abbas, Ahmad Sudirman. Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, cet. II. Selatan: Adelina Bersaudara. 2008. Tangerang Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. III. Jakarta: Akademika Pressindo. 2001. Ali, Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, cet. IV. Jakarta: Sinar Grafika. 2013. Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975. Al-Baihaqî. Al-Sunan al-Kubrâ. Makkah: Maktabah Dâr al-Bâz. 1994. Bek, Muḫammad Kudlarî. Târîkh Tasyri‘ al-Islâmî. Jakarta: Dâr al-Kutub alIslâmiyyah. 2007. Bisri, Cik Hasan, Ed. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999. Al-Bukhârî. Ṣaḫîḫ al-Bukhârî. Damaskus: Dâr Ṯauq al-Najâh. 1422 H. Djazuli, Ahmad. Kaidah-Kaidah Fikih, cet. II. Jakarta: Kencana. 2007. Al-Fadani, Yasin. Al-Fawâ’id al-Janiyyah. Beirut: Dâr al-Maḫajjah al-Baiḏâ‟. 2008. Al-Ghazâlî. Iḫyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah. 2010. Haq, Abdul dkk. Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, cet. V. Surabaya: Khalista. 2009. Ibn Ḫanbal, Aḫmad. Musnad Aḫmad. Kairo: Muassasah Qurṯubah. Tth. Ibn Mâjah. Sunan Ibn Mâjah. Kairo: Dâr al-Ḫadîts. 2010. Ibn Manẕûr. Lisân al-‘Arab. Saudi Arabia: Dâr „Âlim al-Kutub. 2003. Jahar, Asep Saepudin dkk. Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional. Jakarta: Kencana. 2013. 68 69 Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I‘lâm al-Muwaqqi‘in. Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhâriyyah. 1968. Al-Juwainî. Al-Burhân fî Uṣûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah. 1997. Al-Khâdamî, Nûr al-Dîn. Al-Ijtihâd al-Maqâṣidî. Qatar: Kitâb al-Ummah. 1998. Al-Laṯîf, „Abd al-Raḫmân Ibn Ṣâliḫ al-„Abd. Al-Qawâ‘id wa al-Dlawâbiṯ alFiqhiyyah al-Mutadlamminah li al-Taysîr. Madinah: Lembaga Penelitian Keilmuwan Universitas Islam Madinah. 2003. Musbikin, Imam. Qawa‘id al-Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001. Al-Mûṣilî, Abû Ya„lâ. Musnad Abî Ya‘lâ. Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-Turâts, 1984. Nata, Abudin. Masail Al-Fiqhiyah, cet. II. Jakarta: Kencana. 2006. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana. 2004. Al-Qaradlâwî, Yûsuf. Dirâsah fî Fiqh Maqâṣid al-Syarî‘ah, cet. III. Kairo: Dâr al-Syurûq. 2008. Al-Qarâfî. Al-Furûq. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah. 1998. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet. VI. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003. Al-Sijistânî, Abû Dâwud. Sunan Abî Dâwud. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabî. Tth. Suma, M. Amin. Hukum Keluarga Islam di dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004. Al-Subkî, Tâj al-Dîn. Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir. Beirut: Dâr al-Kutub al„Ilmiyyah. 1991. Al-Suyûṯî, Jalâl al-Dîn. Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh alSyâfi‘î. Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah li al-Turâts. 2009. Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât. Kementrian Agama Saudi Arabia. 1424 H. Al-Syaukânî. Irsyâd al-Fuḫûl. Riyad: Dâr al-Fadlîlah. 2000. Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002. 70 Wâṣil, Naṣr Fârid Muḫammad dan „Abd al-„Azîz Muḫammad „Azzam. Qawaid Fiqhiyyah. Penerjemah Wahyu Setiawan. Jakarta: Amzah. 2013. Zuhailî, Wahbah. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Beirut: Dâr al-Fikr. 1989. Rahmawati, Anif. “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”. Artikel diakses pada 24 Oktober 2015 dari https: //www.academia.edu/4836677/RESPON-MASYARAKAT- TERHADAPHUKUM-KELUARGA-ISLAM.