APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL

advertisement
APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM
SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Hikmiyyah
NIM: 1111043200020
KONSENTRASI
PERBANDINGAN
HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
JAKARTA
1437 H/2015 M
ABSTRAK
Hikmiyyah. NIM 1111043200020. APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ
ḎÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL
KELUARGA ISLAM INDONESIA. Program Studi Perbandingan Mazhab,
Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015 M. xvii + 70 halaman.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa esensi dari kaidah fikih “ ‫إذا ضاق‬
‫ ”األمر اتسع‬adalah menghilangkan kesulitan pada diri mukallaf ketika dalam
keadaan masyaqqah (kesempitan hukum). KHI sebagai satu-satunya sumber
hukum materiil keluarga Indonesia yang murni berasal dari hukum Islam telah
mengaplikasikan konsep kaidah fikih ini dalam pasal-pasalnya. Pasal-pasal
tersebut pada hakikatnya menghendaki kemaslahatan umat Muslim Indonesia.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan teknik analisis
data kualitatif. Pendekatan yang digunakan pendekatan yuridis hukum Islam.
Penelitian ini bersifat deskriptif analistis. Sumber data yang digunakan adalah
sumber bahan primer, sekunder dan tersier dengan menggunakan metode
pengumpulan data penelitian kepustakaan.
Kata kunci
: Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI.
Pembimbing
: Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA
Daftar Pustaka
: Tahun 1968 s.d. Tahun 2013
v
‫ميحرلا نمحرلا هللا‬
‫بسم‬
KATA PENGANTAR
Pujian yang setinggi-tingginya dan rasa syukur yang tidak terhitung
penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang menjadi tempat mengadu suka
cita dan keluh-kesah bagi setiap hamba-hamba-Nya yang tunduk kepada-Nya.
Tiada balasan lain yang dapat penulis berikan kehadirat Allah SWT selain rasa
syukur tiada henti, yang telah memberikan kesempatan dan membuka jalan bagi
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan seluruh
umat Muslim di dunia, Nabi Muhammad SAW, pembawa berita kebenaran agama
Islam dan penyebar rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta. Bagaimanapun
penulis merasa berat untuk menyelesaikan skrispsi ini, hal tersebut tentu tidak
setara dengan pengorbanan Beliau dalam menyebarkan agama Islam dan
kesabaran Beliau dalam menghadapi musuh-musuh yang selalu memandang
dengan sebelah mata dan rasa benci.
Selama dalam penulisan skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak
bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril maupun
materiil. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakutas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si beserta Ibu Hj. Siti Hanna, Lc,
M.Ag selaku
Ketua dan Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab Fakutas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA selaku dosen pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dengan
penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis
selama masa perkuliahan.
6. Seluruh staf dan civitas akademika Fakutas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan
administrasi dengan baik.
7. Seluruh staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah melayani dan memberikan fasilitas
dengan baik.
8. Kedua orang tua yang sangat penulis sayangi dan hormati, Buya H.
Mochammad Kamil Muslich dan Umik Hj. Siti Maidah Nafi’, terimakasih
atas dukungan moriil, materil, kesabaran, perhatian, keikhlasan dan doa-doa
kalian yang tidak pernah putus untuk adinda. Tiada hal yang lebih berarti di
kehidupan adinda selain kebahagiaan kalian. Semoga Allah SWT
vii
memberikan kesempatan kepada adinda agar bisa membalas semua hal yang
telah kalian berikan tanpa pamrih.
9. Adik-adik tercinta, Maziyah Kamil dan Muhammad Faruq Kamil yang telah
memberikan dukungan semangat sekaligus menjadi motivator agar penulis bisa
menjadi contoh yang baik bagi mereka.
10. Seluruh anggota keluarga yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terimakasih
karena selalu berdoa untuk kebaikan penulis.
11. Al-Syaikh al-Mukarram, Prof. Dr. H. Ali Mustofa Yaqub, MA beserta Ibu Nyai Hj.
Ulfah Uswatun Hasanah sebagai orang tua kedua penulis di Darus Sunnah. Semoga
Allah SWT senantiasa memberikan umur panjang dan menjaga kesehatan mereka
agar penulis dapat menimba ilmu lebih banyak lagi dari mereka.
12. Seluruh dosen Darus Sunnah International Insitute of Hadith Sciences, terutama Ust.
Dr. H. Sofin Sugito, Lc, MA yang telah memberikan judul bagi skripsi ini, serta Ust.
Andi Rahman, Lc, MA yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini terlebih dahulu daripada tugas akhir Darus Sunnah.
13. Teman-teman terdekatku “The Four Success Women”, Lia Herawati, Ratu Solihat
dan Titi Nur Indah Sari. Terimakasih atas kasih sayang, kepedulian, semangat dan
segalanya yang telah mereka berikan kepada penulis di masa-masa persahabatan
yang telah lalu. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah berakhir meskipun
terpaut jarak dan waktu di antara kita.
14. Teman-teman seperjuangan di kelas PH 2011 yang telah banyak membagi ilmu dan
pengalaman selama masa perkuliahan.
15. Sahabat-sahabat AL-AQSHA dan teman-teman seperjuangan di Darus Sunnah
International Insitute of Hadith Sciences yang telah memberikan dukungan semangat
dan motivasi yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
viii
Penulis berharap semoga skrispi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis
pribadi dan khalayak umum. Penulis juga mengharapkan berbagai masukan, baik
berupa kritik atau saran yang bersifat membangun dalam menyempurnakan
skripsi ini. Penulis juga mohon maaf apabila skripsi ini penuh dengan kekurangan
dan jauh dari kata sempurna karena kemampuan yang dimilki oleh penulis
sangatlah terbatas.
Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak-pihak yang
telah membantu penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga Allah SWT membalas segala bantuan yang telah mereka berikan dengan balasan
yang lebih dan berlipat ganda. Sesungguhnya kebenaran datang dari Allah SWT dan
kesalahan datang dari penulis pribadi. Wa Allâh Ta’âlâ A‘lam fî Kull Ḫâl.
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Permasalahan ......................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8
D. Kajian (Review) Terdahulu .................................................... 9
E. Metodologi Penelitian ........................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 15
BAB II
TINJAUAN TENTANG KAIDAH FIKIH “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬
A. Pengertian Kaidah Fikih Secara Umum ................................ 16
B. Definisi Kaidah Fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬............................... 16
C. Penjelasan Ulama tentang Kaidah “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬........... 18
D. Sebab-Sebab yang Memperbolehkan Penggunaan Kaidah
“‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬.................................................................. 19
E. Aplikasi Kaidah “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dalam
Kehidupan
Sehari-Hari ............................................................................ 25
F. Korelasi
antara
Kaidah
Fikih
“‫”إذا ضاق األمر اتسع‬
dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah ...............................................29
x
BAB III
POTRET
HUKUM
MATERIIL
KELUARGA
ISLAM
INDONESIA
A. Definisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam Indonesia ......36
B. Pelembagaan
Hukum
Islam
ke
Dalam
Hukum
Keluarga Indonesia ..............................................................37
1. Hukum Islam pada Masa Pra Kemerdekaan ..................37
2. Hukum Islam Setelah Masa Kemerdekaan .....................41
C. KHI
sebagai
Sumber
Hukum
Materiil
Keluarga
Islam Indonesia .......................................................................43
1. Latar Belakang dan Proses Penyusunan KHI ..................44
2. Landasan Yuridis dan Kedudukan KHI ..........................49
3. KHI sebagai Legalformal Fikih Indonesia ......................50
BAB IV
ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬
DALAM
SUMBER
HUKUM
MATERIIL
KELUARGA
ISLAM DI INDONESIA
A. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Pernikahan ....................53
B. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perwalian ......................59
C. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perceraian .....................62
D. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Kewarisan dan Wasiat ..64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................66
B. Saran .......................................................................................67
xi
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................68
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi adalah alih aksara dari tulisan Arab ke tulisan Latin. Adapun
pedoman transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
berdasarkan pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang disusun pada tahun
2012, dengan rincian sebagai berikut:
a. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
‫ا‬
tidak dilambangkan
‫ب‬
b
be
‫خ‬
t
te
‫ث‬
ts
te dan es
‫ج‬
j
je
‫ح‬
ḫ
ha dengan garis bawah
‫خ‬
kh
ka dan ha
‫د‬
d
de
‫ذ‬
dz
de dan zet
‫ر‬
r
er
‫س‬
z
zet
‫س‬
s
es
‫ش‬
sy
es dan ye
‫ص‬
ṣ
es dengan garis bawah
xiii
‫ض‬
ḏ
de dengan garis bawah
‫ط‬
ṯ
te dengan garis bawah
‫ظ‬
ẕ
zet dengan garis bawah
‫ع‬
„
koma terbalik di atas hadap kanan
‫غ‬
gh
ge dan ha
‫ف‬
f
ef
‫ق‬
q
ki
‫ك‬
k
ka
‫ل‬
l
el
‫م‬
m
em
‫ن‬
n
en
‫و‬
w
we
‫ه‬
h
ha
‫ء‬
‟
apostrop
‫ي‬
y
ye
b. Vokal
Vokal terbagi menjadi dua, yaitu vokal tunggal atau monoftong dan vokal
rangkap atau diftong. Ketentuan alih akasara vokal monoftong adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
a
fatḫah
xiv
َ
i
kasrah
َ
u
ḏammah
Misalnya: ‫ = حزج‬ḫaraj
‫ = قياس‬qiyâs
‫ = كتة‬kutub
Adapun untuk vokal diftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫َي‬
Ai
a dan i
‫َو‬
Au
a dan u
Misalnya: ‫ = ريْة‬raib
‫ = خ ْىف‬khauf
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd) dalam Bahasa Arab
dilambangakan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫ىا‬
â
a dengan topi di atas
‫ىي‬
î
i dengan topi di atas
‫ىى‬
û
u dengan topi di atas
Misalnya: ‫ = اإلمام‬al-imâm
‫ = القاضي‬al-qâḏî
xv
‫ = القان ْىن‬al-qânûn
d. Kata Sandang
Kata sandang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf (‫)ال‬,
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau
qamariyyah. Misalnya:
‫ = اإلجتهاد‬al-ijtihâd
‫ = الزخصح‬al-rukhṣah, bukan ar-rukhṣah
e. Syaddah
Syaddah dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
yang diberi tanda Syaddah tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika
huruf yang menerima tanda Syaddah terletak setelah kata sandang yang
diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
‫ = الشفعح‬al-syuf‘ah, bukan asy-syuf‘ah
f. Ta’ Marbûṯah
Jika Ta’ Marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)
atau diikuti oleh sifat atau na‘t (lihat contoh 2), maka huruf Ta’ Marbûṯah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf Ta’ Marbûṯah
diikuti kata benda atau ism, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No
Kata Arab
Alih Aksara
1
‫شزيعح‬
syarî„ah
2
‫الشزيعح اإلسالميح‬
al-syarî„ah al-islâmiyyah
3
‫مقارنح المذاهة‬
muqâranat al-madzâhib
xvi
g. Huruf kapital
Walaupun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, transliterasi tetap
menggunakan huruf kapital. Penggunaannya pun diseuaikan dengan
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu
diperhatikan, apabila nama orang didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama orang tersebut.
Misalnya: ‫ = الثخاري‬al-Bukhârî, tidak ditulis Al-Bukhârî.
Adapun untuk penulisan nama orang yang berasal dari Nusantara, maka
disarankan untuk tidak ditransliterasi meskipun akar katanya berasal dari
Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn alRânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (ḫarf) harus
ditulis secara terpisah. Misalnya:
Kata Arab
Transliterasi
‫الضزورج تثيح المحظىراخ‬
al-ḏarûrah tubîḫu al-maḫẕûrât
‫اإلقتصاد اإلسالمي‬
al-iqtiṣâd al-islâmî
‫أصىل الفقه‬
uṣul al-fiqh
‫األصل في األشياء اإلتاحح‬
al-aṣl fî al-asyyâ‟ al-ibâḫah
‫المصلحح المزسلح‬
al-maṣlaḫah al-mursalah
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menurunkan syariat Islam untuk mengatur kehidupan manusia,
baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Konsep hukum seperti
inilah yang membedakan hukum Islam dengan konsep hukum lain yang hanya
mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat (odening van het
sociale leven). Dalam pandangan hukum di luar Islam, hukum merupakan hasil
proses kehidupan manusia dalam bermasyarakat, sebagaimana yang diungkapkan
oleh seorang sosiolog Barat, Cicero, ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat,
di sana ada hukum). Dalam tata aturan hukum Islam, aturan yang mengatur
kehidupan pribadi manusia tidak disebut hukum, melainkan disebut norma, moral,
budi pekerti atau asusila.1
Pada dasarnya, hukum Islam hanya melarang perbuatan yang dapat merusak
kehidupan manusia, misalnya pembunuhan, perzinaan, pencurian dan lain-lain.
Islam adalah agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia secara
menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupan agar tercapai kebahagiaan rohani
maupun jasmani. Secara umum, tujuan Allah SWT sebagai syâri‘ dalam
menciptakan hukum adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta
kebahagiaan seluruh manusia di dunia dan di akhirat.
1
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 65
1
2
Hukum Islam merupakan perantara atau sarana untuk penegakan dan metode
untuk realisasi Maqâṣid al-Syarî‘ah.2 Apabila kita memahami hukum Islam
(syariah) dengan benar, maka kita akan sampai pada tujuan dari syariah tersebut.
Dan untuk memahami hukum Islam secara benar, maka kita harus memahami
perangkat-perangkat syariah, seperti ilmu fikih, ilmu usul fikih bahkan Qawâ‘id
Fiqhiyyah.
Pada masa Dinasti „Abbâsiyyah, istilah-istilah fikih yang menjadi ciri dari
kekayaan bahasa fikih banyak bermunculan. Istilah ini diciptakan dengan berbagai
bentuk sesuai dengan mazhab orang yang mencetuskannya. Teori-teori fikih pada
masa ini berkembang sangat pesat sehingga fikih mampu membahas persoalanpersoalan yang belum terjadi. Pada saat ini pula, banyak Qawâ‘id Fiqhiyyah dan
ḏawâbiṯ (batasan fikih)3 bermunculan.4
Qawâ‘id Fiqhiyyah adalah metodologi pelengkap yang berfungsi untuk
mempermudah dalam pemahaman dan pendalaman hukum Islam. Qawâ‘id
Fiqhiyyah adalah hukum umum (kullî)5 yang mencakup sebagian besar hukum
2
Abd al-„Azîz „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dâr al-Ḫadîts, 2005), h.
25
Ḏawâbiṯ (‫ )ضوابط‬adalah bentuk jamak dari ‫ ضابط‬yang menurut bahasa berarti
„batasan‟, sedangkan menurut istilah fikih berarti sesuatu yang merangkum beberapa
permasalahan fikih yang hampir serupa dalam satu tema bab fikih dari beberapa bab
fikih, misalnya segala sesuatu yang dikeluarkan dari bumi, baik jumlahnya banyak atau
sedikit, yang pertumbuhannya dibantu oleh air hujan atau mata air, maka kadar zakatnya
adalah 1/10. (Lihat „Azzãm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 28)
4
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, cet. II, (Tangerang Selatan:
Adelina Bersaudara, 2008), h. 31
5
Hukum kullî adalah ketentuan yang bersifat garis besar yang berfungsi sebagai
metodologi dalam memahami hukum yang lebih rinci.
3
3
khusus (juz’î)6, yang mana dengan mengetahui hukum umum ini, akan diketahui
pula hukum-hukum khususnya. Qawâ‘id Fiqhiyyah merupakan generalisasi dari
hukum-hukum fikih yang telah dirumuskan sebelumnya dan dirumuskan melalui
metode induktif. Oleh karena itu, Qawâ‘id Fiqhiyyah menjadi sangat berfariasi
sesuai dengan hukum-hukum fikih yang telah dirumuskan oleh para fuqahâ’.7
Keberadaan fikih, usul fikih dan Qawâ‘id Fiqhiyyah memiliki hubungan yang
sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya merupakan
senjata utama yang harus digunakan untuk memahami syariat Islam agar dapat
dijadikan pedoman oleh manusia sebagai pelaku syariah dalam melakukan
hubungan dengan Tuhannya sebagai syâri‘ (pembuat hukum), sesama manusia
lainnya maupun lingkungan sekitar.8 Dengan batuan Qawâ‘id Fiqhiyyah, semua
permasalahan hukum baru yang tumbuh di tengah masyarakat menjadi semakin
tampak jelas dapat ditampung oleh syariah Islam dan dengan mudah serta cepat
dapat dipecahkan permasalahannya.9
Pada hakikatnya, Qawâ‘id Fiqhiyyah yang telah dirumuskan oleh para ulama
berjumlah sangat banyak sekali dan berbeda-beda tergantung pada mazhab orang
yang mencetuskannya. Akan tetapi, ada lima Qawâ‘id Fiqhiyyah atau panca
kaidah pokok yang menjadi dasar dari Qawâ‘id Fiqhiyyah yang lain dan telah
Hukum juz’î adalah hukum yang bersifat rinci atau khusus dan berdasarkan pada
ketentuan hukum kullî.
7
Abudin Nata, Masail Al-Fiqhiyah, cet II, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 38
8
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), h. 4
9
Imam Musbikin, Qawa‘id al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h.
13
6
4
disepakati oleh para ulama dari berbagai aliran dan mazhab serta, yaitu sebagai
berikut:
‫األمور بمقاصدها‬
.1
‫انضرر يزال‬
.2
‫انعادة محكمة‬
.3
‫انيقين ال يزال بانشك‬
.4
‫انمشقة تجهب انتيسير‬
.5
Segala urusan tergantung pada niat
Kesulitan harus dihilangkan
Adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum
Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
Kesulitan menghendaki kemudahan10
Kehidupan masyarakat semakin berkembang dari zaman ke zaman karena
dipengaruhi oleh kemajuan peradaban dan teknologi. Keadaan yang dihadapi oleh
masyarakat pada masa sekarang ini, sangat berbeda kontras dengan keadaan yang
dihadapi oleh masyarakat „Abbâsiyyah, Umayyah, apalagi masa sebelum kedua
dinasti ini sampai pada masa Rasulullah SAW. Meskipun Rasulullah SAW telah
memerintahkan kita untuk senantiasa berpegang teguh pada dua sumber utama
hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah, bukan berarti permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat langsung dapat ditemukan dan disampaikan secara
eksplisit dalam kedua sumber tersebut. Oleh karena itu, agar masyarakat tidak
10
Kelima kaidah pokok tersebut adalah kaidah-kaidah yang dikumpulkan oleh Abû
Ṯâhir al-Dabbâs, seorang ulama fikih yang hidup pada abad IV H. Lihat Sudirman
Abbas, Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, h. 14
5
salah melangkah dan senantiasa taat pada Allah SWT dan Rasul-Nya, masyarakat
dituntut untuk berijtihad menggali hukum untuk mengatasi permasalahan yang
sedang dihadapi. Apabila ternyata tidak semua masyarakat memiliki kemampuan
untuk berijtihad, maka mereka harus berusaha untuk bertanya dan meminta
petunjuk pada orang yang ahli agar mereka tidak tersesat pada jalan yang salah.
Pada era yang semakin modern inilah, peran Qawâ‘id Fiqhiyyah sebagai alat
bantu ijtihad masih sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahanpermaslahan baru yang tidak diatur oleh naṣ secara eksplisit. Usaha untuk
menggali hukum yang benar adalah tidak lain untuk mewujudkan Maqâṣid alSyarî‘ah yang menjadi tujuan utama dari pensyariatan hukum Islam oleh Allah
SWT dan Rasul-Nya. Keberadaan Qawâ‘id Fiqhiyyah sebagai salah satu
perangkat ijtihad sangat berperan dalam proses penetapan hukum, baik bagi
individu perorangan maupun pihak-pihak yang memiliki wewenang, seperti muftî,
hakim, bahkan Pemerintah.
Salah satu kaidah turunan dari Qawâ‘id Fiqhiyyah lima yang telah disebutkan
sebelumnya adalah kaidah “‫( ”إذا ضاق األمر اتسع‬apabila suatu kondisi yang dihadapi
menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi lebih leluasa). Kaidah ini
merupakan salah satu kaidah turunan dari kaidah pokok “‫”انمشقة تجهب انتيسير‬.11
Sesuai dengan kaidah pokoknya, kaidah ini dapat dipakai ketika seseorang sedang
berada dalam keadaan masyaqqah (kesulitan) atau kepepet. Keadaan masyaqqah
pasti pernah dialami oleh setiap orang. Namun demikian, yang menjadi
permaslahan di sini adalah bahwasanya orang-orang awam belum benar-benar
11
„Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 121
6
memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan keadaan masyaqqah dalam
kaidah hukum Islam. Mereka cenderung menganggap bahwa setiap keadaan sulit
yang menyebabkan aturan syariat tidak dapat dilaksanakan adalah masyaqqah,
misalnya menjamak salat karena macet. Jika fenomena seperti ini dibiarkan saja,
maka akan terjadi pergeseran makna masyaqqah dan menyebabkan hukum Islam
terlalu diremehkan oleh orang-orang awam yang tidak benar-benar memahamai
kaidah “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬ini.
Salah satu contoh yang diungkapkan oleh para ulama untuk kaidah ini adalah
apabila ada seorang wanita dalam keadaan berpergian jauh tanpa wali maka ketika
ia hendak menikah, posisi walinya boleh digantikan oleh laki-laki lain,12 misalnya
wali hakim. Ketentuan fikih ini juga telah diadopsi oleh salah satu peraturan
perundang-perundangan di Indonesia, yaitu sebagaimana yang dapat kita temukan
dalam Pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berbunyi:
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
Contoh tersebut telah benar-benar terjadi di kehidupan kita. Akan tetapi,
selain contoh tersebut, sebenarnya masih banyak lagi situasi-situasi atau kejadiankejadian yang menempatkan manusia pada keadaan sulit, sehingga tidak bisa
menjalankan aturan syariat dengan sempurna atau dengan benar sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan. Kesulitan yang menyebabkan aturan syariat tidak
Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh alSyâfi‘î, (Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah li al-Turâts, 2009), h. 115
12
7
terlaksana maka secara tidak langsung hal ini menyebabkan Maqâṣid al-Syarî‘ah
tidak dapat tercapai.
Dari permasalahan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian dengan
judul “APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM
SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA”.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang terkait dengan aplikasi
kaidah fikih dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, yaitu
sebagai berikut:
1. Apa pengertian kaidah fikih secara umum?
2. Apa yang dimaksud dengan kaidah fikih “‫?”إذا ضاق األمر اتسع‬
3. Apa saja sebab-sebab yang memperbolehkan penggunaan kaidah “ ‫إذا ضاق‬
‫?”األمر اتسع‬
4. Bagaimana aplikasi kaidah “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dalam kehidupan seharihari?
5. Apakah ada korelasi antara kaidah “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dengan Maqâṣid alSyarî‘ah?
6. Bagaimana aplikasi kaidah “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dalam sumber hukum
materiil keluarga Islam Indonesia?
8
2.
Pembatasan Masalah
Dikarenakan oleh identifikasi masalah yang begitu banyak dan luas dan
juga agar penelitian ini menjadi terarah, maka penulis membatasi
permasalahan pembahasan skripsi ini hanya pada maksud kaidah fikih “ ‫إذا‬
‫ ”ضاق األمر اتسع‬dan aplikasinya dalam sumber hukum materiil keluarga Islam
di Indonesia yang penulis khususkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
3.
Pemumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada pembatasan masalah
sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan konsep kaidah fikih “‫?”إذا ضاق األمر اتسع‬
2. Bagaimana aplikasi kaidah fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dalam sumber hukum
materiil keluarga Islam di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui maksud kaidah fikih “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬
b. Untuk mengetahui aplikasi kaidah fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dalam sumber
hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, khususnyan KHI
2. Manfaat Penelitian
9
Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendalam
agar dapat diperoleh manfaat dari penelitian tersebut. Maka dari itu manfaat
yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hal yang baru dalam
pengembangan ilmu hukum Islam khususnya terkait dalam bidang ilmu
fikih dan usul fikih.
Secara
teoritis,
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
pengetahuan dan wawasan di bidang hukum terkait kaidah fikih dan
aplikasinya dalam sistem hukum Indonesia.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan hasil pemikiran
tentang perkembangan hukum Islam dalam hal yang berkaitan dengan
kaidah fikih dan pelembagaannya dalam sistem hukum Indonesia.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Pada kajian terdahulu penulis menemukan beberapa judul skripsi yang
berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan, antara lain:
1. Skripsi yang berjudul “Kaidah Fikih Al-Yaqîn Lâ Yuzâlu bi al-Syakk Menurut
Abdul Hamid Hakim”, ditulis oleh Mudhofar, Program Studi Al-Ahwal alSyakhshiyah, Fakultas Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga
tahun 2010.
Penulis menemukan bahwa menurut Abdul Hamid Hakim,
kaidah fikih Al-Yaqîn Lâ Yuzâlu bi al-Syakk adalah salah satu dari lima
10
kaidah fikih pokok. Kaidah fikih ini dapat dikembangkan menjadi sebelas
kaidah fikih turunan. Kaidah fikih ini adalah termasuk kaidah yang mencakup
seluruh permasalahan yang timbul dalam fikih, baik yang berhubungan
dengan ibadah maupun muamalah. Kaidah fikih ini dapat diterapkan dalam
segala bidang fikih, misalnya dalam bidang perkawinan yang didasarkan pada
kaidah turunan dari kaidah fikih tersebut yaitu kaidah fikih “ ‫األصم في اإلبضاع‬
‫”انتحريم‬. Selain itu, penulis juga mengungkapkan bahwa kaidah fikih ‫"انيقين ال‬
"‫ يزال بانشك‬dapat juga diterapkan dalam perundang-undangan di Indonesia, di
antaranya adalah Undang-Undang Perakwinan dan Undang-Undang Wakaf.
Undang-Undang yang diadopsi dari hukum Islam tentu juga didasarkan pada
kaidah fikih tersebut baik secara langsung maupun melalui kaidah
turunannya.
Persamaan skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas
tentang satu pembahasan kaidah fikih. Perbedaannya adalah bahwa skripsi
tersebut membahas tentang kaidah fikih “‫"انيقين ال يزال بانشك‬, sedangkan skripsi
ini membahas tentang kaidah fikih “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬.
2. Skripsi yang berjudul “Penerapan Maslahah Mursalah dalam KHI dan
Pengaruhnya terhadap Putusan Hakim; Studi Kasus Putusan Cerai Gugat
Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007”,
ditulis oleh Taufikurrohman, Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi
Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Penulis menyatakan bahwa
prosedur poligami yang begitu ketat sebagaimana yang diatur dalam KHI
11
adalah bagian dari Maslahah Mursalah. Selama prosedur-prosedur tersebut
tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan Maqâṣid al-Syarî’ah, maka
prosedur poligami yang ditetapkan dalam KHI adalah sah-sah saja. Penulis
juga memaparkan bahwa penerapan Maslahah Mursalah dalam KHI terhadap
putusan hakim dalam kasus penceraian karena poligami di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Tolak ukur penulis
dalam pernyataan tersebut adalah pemikiran mayoritas hakim ketika memutus
perkara dengan keyakinan bahwa perceraian karena poligami adalah
maslahah dan juga telah diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Pernyataan penulis dibuktikan dengan adanya empat kasus gugat cerai yang
ditandatangani pada tahun 2007 lalu dikabulkan oleh Majelis Hakim karena
tergugat menyalahi prosedur poligami yang merupakan bagian dari penerapan
maslahah mursalah.
Persamaan skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas
tentang aplikasi perangkat fikih dalam KHI. Perbedaannya adalah bahwa
skripsi tersebut membahas tentang aplikasi salah satu sumber hukum Islam
yaitu Maslaḫah Mursalah dalam KHI, sedangkan skrispsi ini membahas
tentang aplikasi salah satu kaidah fikih yaitu “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬.
Berdasarkan uraian dua skripsi di atas, penulis menganggap bahwa penelitian
yang dilakukan ini tidak akan tumpang tindih dengan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Adapun hal yang membedakan penelitian ini dengan
penelitian-penelitian yang lalu adalah dikarenakan penulis akan meneliti
penerapan kaidah fikih yang berbeda dalam KHI, yaitu kaidah “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬.
12
Selain itu, penulis juga menambahkan pembahasan tentang bagaimana korelasi
kaidah fikih tersebut dengan konsep Maqâṣid al-Syarî‘ah.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan menggunakan
studi pustaka sebagai acuannya. Sedangkan terkait dengan pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis hukum Islam.
Penelitian
ini
bersifat
deskriptif
analistis,
artinya
penulis
mendeskripsikan konsep kaidah fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬secara rinci
kemudian menganalisis satu-persatu pasal-pasal yang terdapat dalam KHI
sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia.
Dari hasil analisis tersebut, penulis berharap dapat mengetahui pasal-pasal
berapa sajakah yang menggunakan konsep kaidah fikih “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬.
2. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data
hukum yang terdiri dari:
a. Data Primer
Yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber yang asli. Dalam
penelitian ini, data primer yang akan digunakan adalah berupa kitab-kitab
13
fikih dan peraturan perundang-undangan berupa KHI yang merupakan
objek utama dalam penelitian ini.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, kitab-kitab
turâts, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil
penelitian lainnya yang berbentuk laporan, skripsi, tesis atau disertasi.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang
dapat memberikan penjelasan tentang data primer.
c. Data Tersier
Yaitu data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang
data primer dan sekunder, yang terdiri dari artikel, jurnal, ensiklopedia
dan internet.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,
buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian
deskriptif analistis, analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif
14
terhadap data primer dan data sekunder, yaitu dengan metode analisis isi
kualitatif degan cara menguraikan data melalui kategorisasi-kategorisasi serta
pencarian sebab akibat dengan menggunakan teknik analisis induktif (usaha
penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil sebuah
kesimpulan). Penulis mengumpulkan data-data terkait kaidah fikih “ ‫إذا ضاق‬
‫ ”األمر اتسع‬dan hukum materiil keluarga Islam di Indonesia. Setelah penulis
mengumpulkan dan memahami data-data terkait kaidah fikih “ ‫إذا ضاق األمر‬
‫”اتسع‬, maka penulis kemudian menganalisis pasal-pasal dalam KHI, apakah
ada yang menggunakan konsep kaidah fikih ini.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan, penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan
sistematika sebagai berikut:
BAB I :
PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan
manfaat, kajian (review) terdahulu , metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II :
TINJAUAN TENTANG KAIDAH FIKIH “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬
Bab ini berisikan pengertian kaidah fikih secara umum, definisi
kaidah fikih “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬, penjelasan ulama tentang kaidah
tersebut, sebab-sebab yang memperbolehkan penggunaan kaidah
15
tersebut, aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dan korelasinya
dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah.
BAB III :
POTRET
HUKUM
MATERIIL
KELUARGA
ISLAM
INDONESIA
Bab ini berisikan definisi dan cakupan hukum keluarga Islam
Indonesia, pelembagaan hukum Islam ke dalam hukum keluarga
Indonesia dan KHI sebagai sumber hukum materiil keluarga Islam
Indonesia.
BAB IV :
ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬
DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM
DI INDONESIA
Bab ini berisikan aplikasi kaidah fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dalam
KHI sebagai sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia
yang kemuadian diperinci dalam bidang pernikahan, perwalian,
perceraian, wasiat dan kewarisan.
BAB V :
PENUTUP
Bab ini merupakan bab akhir dari penelitian ini yang berisikan
kesimpulan dari hasil penelitian dan beberapa saran yang dianggap
perlu dan berkaitan dengan penelitian ini.
BAB II
KONSEP KAIDAH FIKIH “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬
A. Pengertian Kaidah Fikih Secara Umum
Kaidah merupakan kata serapan yang berasal dari Bahasa Arab yaitu
Qâ„idah (‫)قاعذة‬. Kata Qâ„idah dari segi bahasa, merupakan bentuk singular dari
kata Qawâ„id, bentuk ism fâ„il dari kata dasar “‫”قعذ‬, yang berarti „asal‟ atau
„pokok‟.1
Adapun pengertian kaidah fikih secara terminologi adalah hukum umum
(kullî) yang mencakup sebagian besar hukum khusus (juz‟î), yang mana dengan
mengetahui hukum umum tersebut, akan diketahui pula hukum-hukum
khususnya.2 Adapun keterkaitan antara hukum kullî dan juz‟î tersebut adakalanya
diketahui dari hubungan yang nampak nyata dan pasti di antara keduanya dan
adakalanya juga diketahui dari hubungan yang besifat dugaan. 3 Hukum umum
tersebut adalah hukum yang dikaitkan dengan asas hukum yang dibangun oleh
Syâri„ serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya bagi mukallaf.4
B. Definisi Kaidah Fikih “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬
Kaidah ini adalah salah satu cabang dari lima kaidah fikih dasar yaitu
kaidah “‫”المشقت تجلب التيسير‬. Maksud dari kaidah ini adalah apabila suatu kondisi
yang dihadapi oleh mukallaf menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi
1
Ibn Manẕûr, Lisân al-„Arab, (Saudi Arabia: Dâr „Âlim al-Kutub, 2003), Juz II, h.
362
2
Tâj al-Dîn al-Subkî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al„Ilmiyyah, 1991), Juz I, h. 23
3
„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 11
4
Imam Musbikin, Qawa„id al-Fiqhiyah, h. 7
16
17
lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam
menjalankan suatu aturan hukum, maka menurut kaidah ini dalam keadaan
tersebut, ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keringanan dan
kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya. 5
Kaidah ini adalah salah satu kaidah yang dicetuskan oleh Imam Al-Syâfi„î
(w. 204 H).6 Dasar hukum dari kaidah ini adalah firman Allah SWT dan Hadis
Rasulullah SAW,7 yaitu:
        
Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
8
‫ ولن يشاد الذين أحذ إال غلبه‬:‫عن أبي هريرة عن النبي ملسو هيلع هللا ىلص قال‬
Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan
tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan
olehnya(semakin berat dan sulit).” (HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î)
Adapun makna kondisi sempit yang dimaksud oleh kaidah ini adalah
kemungkinan kecil untuk menjalankan aturan hukum. Ketika suatu aturan hukum
syariat yang berlaku menjadi alasan pembebanan atau pemberat bagi mukallaf
untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia berhak mendapatkan keringanan dan
kelonggaran hukum dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini tidak lain bertujuan
„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121
Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115
7
Al-Fadani, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 243
8
Al-Bukhârî, Ṣaḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 16
5
6
18
agar mukallaf tidak merasa terbebani oleh syariat dan memperoleh kemudahan
dalam memenuhi kebutuhannya.9
Allah SWT menghendaki makhluk-Nya untuk beribadah kepada-Nya
dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya adalah tidak
lain bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan di antara mereka. Allah SWT
membentuk syariat Islam dengan asas mempermudah dan menyingkirkan
pembebanan bagi mukallaf. Oleh karena itu, ketika mukallaf tidak mungkin
menjalankan suatu syariat kecuali dengan disertai kesusahan dan kepayahan
(masyaqqah), maka Allah SWT akan memberikan kemudahan baginya dan
menerapkan syariat yang sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapinya
sehingga ia dapat terhindar dari kesempitan hukum dan tidak merasa terbebani.10
C. Penjelasan Ulama tentang Kaidah Fikih “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬
Pada sub pembahasan sebelumnya, penulis telah memaparkan bahwa kaidah
ini memberikan peluang keringanan dan keluasan hukum bagi mukallaf ketika
dalam keadaan-keadaan tertentu. Meskipun demikian, mukallaf tidak dapat
mengaplikasikan kaidah ini begitu saja di setiap kondisi dan keadaan sukar yang
sedang dialami. Oleh karena itu, beberapa ulama memberikan keterangan lebih
lanjut tentang pembatasan penerapan kaidah ini, seperti Ibn Abî Hurairah (w. 345
H). Beliau menyatakan bahwa ketika memutuskan setiap langkah hukum maka
beliau menggunakan pertimbangan kaidah ini. Apabila kondisi yang dihadapi
mukallaf menjadi sukar maka hukum yang mengaturnya dapat diperluas. Namun
„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121
„Abd al-Raḫmân Ibn Ṣâliḫ al-„Abd al-Laṯîf, Al-Qawâ„id wa al-Dlawâbiṯ alFiqhiyyah al-Mutadlamminah li al-Taysîr, (Madinah: Lembaga Penelitian Keilmuwan
Universitas Islam Madinah, 2003), Juz I, h. 118
9
10
19
sebaliknya, apabila kondisi yang dihadapi sangat leluasa maka aturan hukumnya
harus dipersempit sehingga mukallaf tidak dapat meremehkannya.11
Al-Ghazâlî (w. 505 H) kemudian menambahkan bahwa segala sesuatu yang
melampaui batas maka ketentuan hukum yang berlaku harus dikembalikan pada
hukum asalnya.12 Dari stetmen dua ulama di atas, kita dapat memahami bahwa
fleksibilitas syariat bukanlah tanpa batasan. Keadaan dan kondisi yang sedang
dihadapi oleh mukallaf adalah tolak ukur dari pembebanan hukum yang diberikan
oleh syariat.
D. Sebab-Sebab Yang Memperbolehkan Penggunaan Kaidah Fikih “ ‫إذا ضاق األمر‬
‫”اتسع‬
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya, kaidah ini adalah
salah satu kaidah cabang dari kaidah fikih “‫”المشقت تجلب التيسير‬. Tolak ukur utama
yang menjadi prioritas dalam kaidah ini adalah unsur masyaqqah yang dirasakan
oleh mukallaf. Dar segi bahasa, masyaqqah berarti ‫( الجهذ‬kesulitan), ‫التعب‬
(keletihan), ‫( الشذة‬kesukaran) dan ‫( العناء‬kepayahan).13 Secara garis besar, kaidah ini
berarti kesukaran yang dialami oleh mukallaf menghendaki kemudahan hukum.
Apabila mukallaf berada pada kondisi kesulitan dalam menjalankan suatu aturan
Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115
Al-Ghazâlî, Iḫyâ‟ „Ulûm al-Dîn, (Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah,
2010), Juz II, h. 131
13
Ibn Manẕûr, Lisân al-„Arab, Juz VI, h. 51
11
12
20
hukum yang berlaku, maka kesulitan tersebut menjadi penyebab yang dibenarkan
untuk memperoleh kemudahan, keringanan dan penghapusan aturan hukum.14
Pada dasarnya, masyaqqah sendiri bersifat individual karena mungkin saja
suatu kondisi merupakan masyaqqah bagi seseorang tapi tidak bagi orang lain.
Meskipun demikian, syariah memilki standar umum yang sesungguhnya bukan
termasuk masyaqqah dan tidak dapat dijadikan sebagai penyebab keringanan
hukum misalnya perasaan berat untuk berwudlu pada musim dingin, perasaan
berat untuk berpuasa pada musim panas atau perasaan berat bagi terpidana untuk
menjalankan hukuman. Keadaan-keadaan tersebut tidak dapat dianggap sebagai
masyaqqah dalam tataran hukum Islam.15
Adapun untuk membedakan masyaqqah yang dapat berpengaruh dalam
tataran hukum, Al-Syâṯibî (w. 790 H) memberikan sebuah batasan bahwa jika
pekerjaan tersebut dilakukan terus menerus justru akan menyebabkannya
ditinggalkan secara total atau hanya dikerjakan sebagian sehingga menjadi tidak
sempurna. Kesulitan dalam sebuah perbuatan yang berdampak terhadap hal-hal
tersebut adalah termasuk kategori masyaqqah yang „keluar dari kebiasaan‟, dalam
artian bahwa kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum
yang dihasilkan. Apabila kondisi yang dihadaip mukallaf tidak sampai pada taraf
yang demikian maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.16
Naṣr Fârid Muḫammad Wâṣil dan „Abd al-„Azîz Muḫammad „Azzam, Qawaid
Fiqhiyyah, Penerjemah Wahyu Setiawan, cet. III, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 58
15
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 57
16
Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât, (Kementrian Agama Saudi Arabia, 1424 H), Juz II, h.
121
14
21
Masyaqqah juga terbagi menjadi beberapa karakter yang berbeda-beda.
Masing-masing dari karakter masyaqqah ini menyebabkan konsekuensi hukum
yang berbeda-beda pula. Al-Suyûṯî (w. 911 H) membagi karakteristik kesulitan
(masyaqqah) secara umum menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:17
1. Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah), misalnya
rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji tidak dapat menggugurkan
kewajiban ibadah haji. Masyaqqah semacam ini sudah merupakan tabiat
dasar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan.
Artinya, kewajiban seperti haji hanya dapat terlaksana jika mukallaf telah
melewati kesulitan-kesulitan berupa rasa lelah, capek dan sebagainya. Oleh
karena itu, keringanan hukum tidak dapat diterapkan pada masyaqqah jenis
ini.
2. Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis ini
terbagi lagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit untuk ditanggung (AlMasyaqqah al-A„lâ), seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta,
keturunan, organ tubuh dan hal-hal yang mendasar lainnya. Pada taraf
ini,
syariat
memberlakukan
keringanan
hukum
dikarenakan
pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban syariat harus
lebih diutamakan daripada tidak melaksankannya sama sekali. Artinya,
jika umat Islam masih „dipaksa‟ melaksanakan kewajiban yang
sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan maka akan bearkibat fatal
17
Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 106
22
pada keselamatan jiwa ataupun raganya. Hal ini tentu akan
menyebabkan kewajiban itu sendiri menjadi terbengkalai. Dengan
pemberlakuan keringanan hukum, maka kewajiban tersebut tetap dapat
terlaksana.
b. Masyaqqah yang sangat ringan (Al-Masyaqqah al-Adnâ), seperti pegalpegal, pusing, pilek dan lain sebagainya. Pada taraf ini, syariat tidak
dapat memberlakukan keringanan hukum dikarenakan kemaslahatan
ibadah masih lebih penting daripada menghindari mafsadah (kerusakan)
yang timbul dari masyaqqah jenis ini. Artinya, mafsadah yang akan
timbul dari hal-hal seperti ini masih sangat minim sehingga
kemaslahatan ibadah harus lebih diutamakan.
c. Masyaqqah pertengahan yang berada di antara dua bagian sebelumnya
(Al-Masyaqqah
al-Mutawassiṯah).
Masyaqqah
jenis
ini
bisa
mendapatkan keringanan hukum jika kadar kesulitannya telah
mendekati Al-Masyaqqah al-A„lâ. Sebaliknya, jika kadar kesulitannya
lebih dekat pada Al-Masyaqqah al-Adnâ maka tidak bisa mendapatkan
keringanan hukum.
Keringanan hukum dalam terminologi fikih disebut dengan rukhṣah.
Adapun sebab-sebab yang memperbolehkan rukhṣah ada tujuh macam,18 yaitu:
1. Al-Safar (perjalanan), misalnya kebolehan jama„ dan qaṣr salat, berbuka
puasa dan meninggalkan salat Jumat.19
18
19
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, h. 55
Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 107
23
2. Al-Maradl (sakit), misalnya kebolehan tayammum ketika tidak diperbolehkan
menggunakan air, salat fardl sambil duduk, tidak berpuasa Ramadan dengan
kewajiban qadlâ‟ puasa pada hari lain, mencukur rambut sebelum
menyelesaikan ibadah iḫrâm disebabkan oleh penyakit yang ada di kepala,
berobat dengan sesuatu yang diharamkan seperti khamr atau sesuatu yang
najis dan kebolehan dokter melihat aurat lawan jenis dengan tujuan
pengobatan.20
3. Al-Ikrâh (keterpaksaan), misalnya kebolehan menyatakan diri sebagai kafir
dan meminum khamr dalam tekanan pihak lain yang dapat membahayakan
diri mukallaf. Sebab keterpaksaan tidak dapat diberlakukan dalam kasus
pembunuhan dan perzinaan.21
4. Al-Nisyân (lupa), misalnya makan, minum atau melakukan hubungan suami
istri ketika dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadan. Perbuatan tersebut
tidak mengakibatkan dosa dan tidak membatalkan puasa serta tidak
mengharuskan pembayaran kafarah jika benar-benar dilakukan dalam
keadaan lupa, bukan berpura-pura lupa.22
5. Al-Jahl (ketidaktahuan), misalnya orang yang baru masuk Islam memakan
makanan yang diharamkan disebabkan ketidaktahuannya tentang hukum yang
berlaku dalam agama Islam.23
6. Al-„Usr (kesulitan) dan „Umûm al-Balwâ (kesulitan yang umum terjadi dan
sulit
untuk
dihindari),
misalnya
salat
disertai
najis
yang
ma„fû,
Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 108
Al-Fâdânî, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 229
22
Al-Fadani, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 229
23
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, h. 56
20
21
24
ketidakwajiban qadla‟ salat bagi wanita yang haid, kebolehan melihat
perempuan yang akan dipinang pada saat khiṯbah, pengguguran dosa bagi
orang yang salah dalam berijtihad dan legalitas beberapa akad dan transaksi
yang diatur dalam fikih mu„âmalah seperti khiyâr, ḫiwâlah (pemindahan
hutang), iqâlah (pembatalan persetujuan), gadai dan lain-lain.24
7. Al-Naqṣ
(kekurangmampuan
bertindak
hukum),
misalnya
ketiadaan
pembebanan hukum (taklîf) bagi anak kecil, orang gila dan orang mabuk dan
ketidakwajiban salat Jumat dan jihad bagi perempuan.25
Kaidah fikih “‫ ”إرا ضاق األمر اتسع‬bisa kita terapkan ketika kita menghadapi
ketujuh macam kondisi yang memperbolehkan rukhṣah di atas. Pada dasarnya
cara pengaplikasian kaidah ini tidaklah berbeda dengan cara pengaplikasian
kaidah pokoknya yaitu kaidah “‫”المشقت تجلب التيسير‬. Keluasan hukum yang
dikehendaki oleh kaidah ini juga memiliki pembatasan sehingga mukallaf tidak
bisa seenaknya sendiri mempermainkan aturan hukum syariat. Oleh karena itu,
para ulama ahli fikih juga membuat kaidah aksioma dari kaidah ini yaitu “ ‫إرا اتسع‬
‫”االمر ضاق‬.26
Kaidah aksioma ini berarti bahwa keadaan lapang yang dimilki oleh
mukallaf akan membuat hukum menjadi sempit dan terbatas. Salah satu contoh
dari kaidah ini adalah ketika melaksanakan salat, kita tidak diperbolehkan
melakukan gerakan. Akan tetapi, jika gerakan yang kita lakukan adalah
24
Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 108-
25
Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 111
Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115
109
26
25
disebabkan oleh suatu alasan tertentu yang sangat mendesak seperti menghindari
serangan binatang berbisa, maka gerakan tersebut diperbolehkan. Dengan kata
lain, salat yang kita laksanakan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan
lapang (‫)اتسع‬, sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas (‫)ضاق‬, yakni tidak
diperbolehkan melakukan gerakan yang berlebihan.27
E. Aplikasi Kaidah Fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dalam Kehidupan Sehari-Hari
Eksistensi kaidah fikih memberikan pengaruh yang sangat positif bagi
kehidupan manusia. Dengan bantuan kaidah fikih, kita akan mampu memecahkan
permasalahan yang tidak diatur secara inplisit oleh Al-Quran, Al-Sunnah, Ijmâ„,
Qiyâs maupun sumber-sumber hukum Islam yang lain. Hal tersebut tidak lain
dikarenakan oleh kaidah fikih merupakan refleksi dari sumber-sumber hukum
Islam yang menempati kedudukan lebih tinggi di atasnya.
Dalam kitab-kitab karya ulama yang membahas tentang kaidah fikih, kita
dapat menemukan bahwa dalam menjelaskan kaidah-kaidah fikih yang ada,
mereka juga mencantumkan beberapa cabang permasalahan (furû„) yang dapat
diselesaikan dengan kaidah-kaidah yang sedang dibahas. Demikian juga dengan
kaidah “‫”إرا ضاق األمر اتسع‬, penulis menemukan beberapa furû„ kaidah yang
merupakan bentuk aplikasi dari kaidah ini sendiri, yaitu di antaranya:
27
Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, cet. V,
(Surabaya: Khalista, 2009), Jilid I, h. 205
26
1. Keringanan berupa qaṣr salat dan perubahan gerakan salat dalam salat khauf
(salat dalam keadaan mencekam atau perang).28 Hal ini berdasarkan firman
Allah SWT:
  
         
    
  
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu mengqaṣr salat jika kamu takut diserang oleh orang-orang
kafir.” (QS. Al-Nisâ‟: 101)
Kemudian apabila keadaan telah menjadi aman dan tidak mencekam, maka
wajib bagi kaum Muslim untuk melaksanakan salat sesuai dengan tatacara
yang asli, sebagaimana firman Allah SWT:
         
   
  
Artinya: “Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat adalah kewajiban yang telah
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisâ‟: 103)
2. Sikap toleransi kreditur terhadap debiturnya dan pengertiannya untuk
memberikan keluasan waktu dalam pembayaran hutang.29 Hal ini berdasarkan
firman Allah SWT:
                
28
29
„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121
„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121
27
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguhan waktu sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) adalah hal yang lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)
3. Kebolehan mengangkat wali nikah selain wali mahram bagi seorang wanita
yang hendak menikah sedangkan ia dalam keadaan yang tidak memungkinkan
untuk mendatangkan wali mahramnya, misalnya ketika ia sedang belajar di
luar negeri.30
4. Kebolehan menjatuhkan hukuman mati bagi pencuri dan pembegal jika
memang hukuman tersebut dipandang dapat menghilangkan keresahan dan
kekahawtiran yang terjadi di masyarakat.31 Penulis berpendapat bahwa
hukuman ini juga bisa dijatuhkan pada koruptor di Indonesia karena korupsi
merupakan salah satu tindak pidana yang tidak hanya menimbulkan keresahan
di masyarakat, namun juga dapat merugikan negara.
5. Ketidakwajiban membelot dari pemimpin yang zalim jika memang
pembelotan tersebut malah akan menimbulkan kemafsadatan yang lebih besar
baik bagi diri sendiri maupun masyarakat luas.32
6. Melakukan banyak gerakan dalam salat jika gerakan yang kita lakukan adalah
disebabkan oleh suatu alasan tertentu yang sangat mendesak seperti
menghindari
serangan
binatang
berbisa,
maka
gerakan
tersebut
diperbolehkan.33
7. Najis yang ada di kaki lalat yang hinggap di tubuh, pakaian, makanan atau
tempat sekitar kita dianggap sebagai najis yang ma„fû. Kita boleh memakan
Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115
„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 122
32
„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 122
33
„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 122
30
31
28
makanan tersebut dan juga salat dengan menggunakan pakaian di tempattempat tersebut. Hal ini disebabkan oleh ketidakmungkinan kita untuk
menghindari dan mengetahui apakah lalat-lalat yang berterbangan di sekitar
kita membawa najis atau tidak.34
8. Fenomena yang terjadi di daerah-daerah yang banyak terdapat anjing
berkeliaran seperti daerah pegunungan dan pesisir pantai. Jika anjing-anjing
tersebut tidak sengaja bersentuhan dengan tubuh kita, maka menurut sebagian
ulama Bani Jam„ân najis tersebut di ma„fû dan salat yang kita laksanakan tetap
sah. Dalam kondisi seperti ini, hukum persentuhan dengan anjing tersebut
adalah sebagaimana hukum persentuhan dengan hewan-hewan lain yang tidak
najis. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya anjing yang berkeliaran sehingga
sulit untuk menghindari persentuhan tersebut.35
Beberapa contoh aplikasi kaidah fikih “‫ ”إرا ضاق األمر اتسع‬yang telah
disebutkan di atas adalah bersumber dari furû„-furû„ kaidah yang penulis temukan
dari beberapa kitab yang membahas tentang kaidah ini yang mana penulis menilai
bahwa furû„-furû„ tersebut masih relavan dengan kondisi yang dihadapi oleh umat
Muslim pada saat ini. Adapun selain contoh-contoh di atas, pada dasarnya kita
masih
mungkin
menghadapi
permasalahan-permasalahan
lain
yang
memperbolehkan kita untuk mengaplikasikan kaidah “‫ ”إرا ضاق األمر اتسع‬ini karena
dalam kehidupan kita pasti tidak akan luput dari masyaqqah. Oleh karena itu,
syariat memberikan keringanan dan keluesan aturan hukum dalam bentuk rukhṣah
bagi tiap-tiap mukallaf. Meskipun demikian, mukallaf tidak diperbolehkan untuk
34
35
Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115
Al-Fadani, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 244
29
menyalahgunakan fleksibilitas hukum tersebut seenakanya sendiri, karena hal
tersebut secara tidak langsung dapat menghilangkan esensi ibadah dan mu„âmalah
kita kepada Allah SWT. Kita harus senantiasa mengingat bahwa kita diciptakan
oleh Allah SWT sebagai hamba tidak lain hanyalah untuk menyembah-Nya,
sebagaimana firman-Nya:
       
Artinya: “Dan Aku (Allah SWT) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Allah SWT).” (QS. Al-Dzâriyaat: 56)
I. Korelasi antara Kaidah Fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah
Islam adalah agama yang memberikan pedoman kehidupan kepada manusia
secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya menuju pencapaian
kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan induvidu maupun
bermasyarakat. Secara umum, tujuan Syâri„ dalam mentapkan hukum-hukumnya
adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta seluruh kebahagiaan manusia,
baik kebahagiaan dunia yang sementara maupun kebahagiaan di akhirat yang
kekal. Tujuan hukum Islam ini dapat kita ketahui dari firman-firman Allah SWT
sebagai berikut:36
  
    
36
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, h. 66
30
Artinya: “Dan tiadalah Kami (Allah SWT) mengutus kamu (Nabi Muhammad
SAW) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyâ‟:
107)
                 
          
Artinya: “Dan di antara mereka ada orang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
neraka". Mereka adalah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang
mereka usahakan. Dan Allah SWT sangatlah cepat perhitungan-Nya.” (QS. AlBaqarah: 201-202)
Tujuan hukum Islam dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut AlMaqâṣid al-Khamsah atau Al-Kulliyyah al-Khamsah. Kelima tujuan tersebut
adalah Ḫifẕ al-Dîn (menjaga agama), Ḫifẕ al-Nafs (menjaga jiwa), Ḫifẕ al-„Aql
(menjaga akal), Ḫifẕ al-Nasl (menjaga keturunan) dan Ḫifẕ al-Mâl (menjaga
harta). Al-Syaukânî (w. 1250 H) kemudian menambahkan satu term lagi yaitu
Ḫifẕ al-„Irdl (menjaga kehormatan) sebagai bagian dari tujuan hukum Islam
sehingga menjadi enam macam.37
Keseluruhan bagian dari Maqâṣid al-Syarî„ah di atas adalah bersumber dari
sumber premier hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Kedua sumber hukum
Islam ini telah memberikan pedoman bagi manusia untuk mewujudkan Maqâṣid
al-Syarî„ah. Adapun
dalam
segi praktek, Maqâṣid al-Syarî„ah tidak harus
dilaksanakan secara berurutan dari Ḫifẕ al-Dîn sebagai bagian yang pertama
sampai Ḫifẕ al-„Irdl sebagai bagian yang terakhir. Akan tetapi, prioritas
pelaksanaan Maqâṣid al-Syarî„ah di atas adalah berdasarkan pada tingkat
37
Al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuḫûl, (Riyad: Dâr al-Fadlîlah, 2000), Juz II, h. 901
31
kebutuhan manusia, apakah berada dalam taraf Dlarûriyyah (primer), Ḫâjjiyyah
(sekunder) atau Taḫsiniyyah (tersier).38
Sendi dan asas syariat Islam adalah kemaslahatan manusia, baik di dunia
maupun di akhirat. Syariat Islam sepenuhnya mengandung keadilan, rahmat
(kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan. Setiap persoalan yang
mengandung kezaliman, kejahatan, kerusakan dan kesia-siaan bukanlah termasuk
syariat Islam. Syariat Islam merupakan wujud dari keadilan Allah SWT bagi
hamba-hamba-Nya serta kasih sayang-Nya untuk makhluk-makhluk-Nya.39
Dengan demikian, maka telah nampak jelas bahwa tujuan pembentukan
syariat Islam adalah untuk kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan
keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Manusia yang melaksanakan
ajaran agama dengan benar akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.
Sebaliknya, apabila manusia tidak melaksanakan petunjuk Allah SWT
sebagaimana yang terdapat dalam wahyu-Nya, maka ia tidak akan merasakan
kebahagiaan.40
Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan dan kebaikan yang
menyebabkannya menjadi hukum yang paling kaya, memenuhi segala kebutuhan
masyarakat serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Apabila
keistimewaan dan kebaikan tersebut dipraktekkan bersama-sama dengan ajaran-
38
Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât, Juz II, h. 17
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, I„lâm al-Muwaqqi„in, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât
al-Azhâriyyah, 1968), Juz III, h. 3
40
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, h. 68-69
39
32
ajaran Islam yang lain maka akan dapat menciptakan suatu umat yang ideal dan
kehidupan yang adil.41 Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah bersifat
mempermudah (taysîr). Dalil-dalil naṣ yang menujukkan hal ini berjumlah sangat
banyak, di antaranya yang berasal dari Al-Quran dan Hadis:
       
Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagi kalian semua dan tidak
menghendaki kesukaran bagi kalian semua.” (QS. Al-Baqarah: 185)
42
‫ بعثت بالحنيفيت السمحت‬:‫ قال رسىل هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬،‫عن أبي أمامت‬
Artinya: Dari Abû Umâmah, Rasulullah SAW bersabda: “Aku diutus dengan
membawa ketauhidan yang longgar (mudah).” (HR. Aḫmad)
43
‫ ولن يشاد الذين أحذ إال غلبه‬:‫عن أبي هريرة عن النبي ملسو هيلع هللا ىلص قال‬
Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan
tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan olehnya
(semakin berat dan sulit).” (HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î)
Untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, Islam tidak membebani
para mukallaf terkecuali dengan hal-hal yang sanggup mereka kerjakan secara
terus-menerus. Oleh karena itu, Allah SWT menghilangkan masyaqqah agar
mukallaf dapat terus-menerus mengerjakan sagala sesuatu yang telah diatur oleh
Allah SWT bagi mereka. Syariat Islam
41
menghendaki mukallaf untuk
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), h. 119
42
Ibn Ḫanbal, Musnad Aḫmad, (Kairo: Muassasah Qurṯubah, Tth ), Juz V, h. 266
43
Al-Bukhârî, Ṣaḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 16
33
mengerjakan hal yang mudah dan menjauhi hal yang sukar,44 sebagaimana hadis
Rasulullah SAW yang berbunyi:
45
‫ ما خير بين أمرين إال اختار أيسرهما ما لم يكن إثما‬:‫عن عائشت قالت‬
Artinya: Dari „Âisyah, ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah dibingungkan
oleh dua perkara kecuali beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya
selama hal tersebut tidak mengandung dosa.” (HR. Abû Ya„lâ)
Dalam pandangan penulis, konsep taysîr tersebut sangatlah relevan dengan
prinsip „Adam al-Ḫarj (meniadakan kesusahan) dan prinsip Taqlîl al-Takâlîf
(meminimalisir pembebanan) yang sangat dipegang teguh oleh syariat Islam.
Prinsip „Adam al-Ḫarj berarti bahwa syariat Islam sama sekali tidak menghendaki
kesulitan bagi umatnya dalam menjalankannya.46 Sedangkan prinsip Taqlîl alTakâlîf
berarti bahwa syariat Islam merupakan syariat yang mudah untuk
dijalankan dan tidak terlalu membebani mukallaf sebagai subjeknya.47 Ketika
syariat Islam telah terlaksana dan memberikan mafaat bagi kehidupan mukallaf,
maka hal ini telah mengindikasikan bahwa Maqâṣid al-Syarî„ah telah terwujud.
Taysîr merupakan metode yang digunakan oleh Al-Quran dan para rasul.
Rasulullah SAW telah mengajarkan para sahabat agar berlaku mudah. 48 Hal ini
terbukti dengan adanya sabda beliau yang berbunyi:
49
44
‫ يسرا وال تعسرا وبشرا وال تنفرا وتطاوعا وال تختلفا‬:‫ قال رسىل هللا ملسو هيلع هللا ىلص‬،‫عن عبذ هللا بن قيس‬
Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 197
Abû Ya„lâ al-Mûṣilî, Musnad Abî Ya„lâ, (Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-Turâts,
1984), Juz VII, h. 345
46
Muḫammad Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri„ al-Islâmî, (Jakarta: Dâr al-Kutub alIslâmiyyah, 2007), h. 18
47
Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri„ al-Islâmî, h. 18
48
Yûsuf al-Qaradlâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâṣid al-Syarî„ah, cet. III, (Kairo: Dâr
al-Syurûq, 2008), h. 151
45
34
Artinya: Dari „Abdullah bin Qais, Rasulullah SAW besabda: “Mudahkanlah
(urusan) dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat
orang lari (tidak tertarik) dan bekerja samalah kalian berdua dan jangan
berselisih”. (HR. Al-Bukhârî dan Muslim)
Dari konsep taysîr ini, para ulama ahli fikih kemudian merumuskan
beberapa kaidah fikih. Kaidah fikih berperan membantu kita untuk memahami
tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang ada di balik syariah.50 Menurut Hasbi ashShiddieqy, salah satu kaidah yang berhubungan dengan konsep taysîr dalam
syariat Islam adalah kaidah “‫”إرا ضاق األمر اتسع‬.51 Adapun di antara hal yang
menunjukkan bahwa konsep taysîr sebagai esensi dari kaidah ini adalah landasan
hukum dari kaidah ini sendiri. Dalil-dalil yang menjadi landasan dari kaidah ini,
baik dari Al-Quran maupun
Hadis, merupakan dalil-dalil yang menjelaskan
bahwa syariat tidak menghendaki kesusahan dan kesulitan bagi manusia.
Selanjutnya, berdasarkan keterangan para ulama fikih terkait kaidah ini,
kaidah ini adalah sebagai salah satu solusi bagi mukallaf yang sedang menghadapi
suatu kondisi sempit atau sulit untuk menjalankan suatu aturan hukum yang
berlaku. Kondisi sempit atau sulit dalam hal ini bisa disebut dengan masyaqqah.
Pada taraf-taraf tertentu, masyaqqah yang dirasakan mukallaf menghendaki
kemudahan hukum (rukhṣah).52
Sabda Rasululullah SAW tersebut adalah wasiatnya kepada Mu„âdz Ibn Jabal
(w. 18 H) dan Abû Mûsâ al-Asy„ârî (w. 44 H) ketika mereka ditugaskan untuk menjadi
kepala daerah di Yaman. Meskipun wasiat tersebut disampaikan kepada dua orang
sahabat tersebut saja, wasiat tersebut sebenarnya ditujukan pada seluruh umat Islam.
Lihat Al-Bukhârî, Ṣaḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 136
50
„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 68
51
Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 120
52
Naṣr Fârid Muḫammad Wâṣil, Qawaid Fiqhiyyah, h. 58
49
35
Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa terdapat korelasi antara kaidah
fikih “‫ ”إرا ضاق األمر اتسع‬dengan Maqâṣid al-Syarî„ah. Esensi yang terkandung
dalam kaidah ini adalah untuk menghindarkan manusia dari
kesulitan dan
kesusahan dalam menjalankan syariat. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan
syariat yaitu menghilangkan kesulitan, kesusahan (ḫaraj) dan kesempitan serta
memilih dan mengutamakan rukhṣah (keringanan) jika sedang dalam keadaan
yang tidak memungkinkan.53
Kemaslahatan kehidupan manusia sebagai Maqâṣid al-Syarî„ah yang paling
utama dapat terwujud ketika manusia telah merasakan ketenangan dan
kebahagiaan hidup dengan tanpa merasa terbebani oleh tuntutan syariat. Peran
kaidah fikih “‫ ”إرا ضاق األمر اتسع‬dalam hal ini adalah sebagai salah satu
pertimbangan bagi manusia untuk mengatasi
masyaqqah
yang sedang
dihadapinya. Dengan bantuan kaidah ini, manusia tidak akan lagi merasa terjebak
dalam suatu aturan hukum yang kaku. Karena pada hakikatnya, syariat Islam
adalah syariat yang lentur, fleksibel dan dapat disesuaikan dengan perubahan
kondisi yang dihadapi manusia.
Meskipun kaidah fikih “‫ ”إرا ضاق األمر اتسع‬ini memberikan kesempatan bagi
kita untuk mendapatkan keringanan hukum, keluasan hukum yang dikehendaki
oleh kaidah ini bukanlah tanpa pembatasan. Bagaimanapun juga, syariat Islam
yang telah dirumuskan oleh Syâri„ memiliki standarisasi tersendiri yang harus kita
penuhi. Kita tidak diperbolehkan untuk terlalu menganggap mudah syariah Islam,
apalagi sampai meremehkannya.
53
Nûr al-Dîn Al-Khâdamî, Al-Ijtihâd al-Maqâṣidî, (Qatar: Kitâb al-Ummah, 1998),
Juz I, h. 50
BAB III
POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA
A. Definisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam Indonesia
Hukum keluarga adalah “hukum atau undang-undang yang mengatur perihal
hubungan internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan
dengan ihwal kekeluargaan” atau “hukum yang mengatur perihal hubunganhubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan”.1
Dalam terminologi fikih, hukum keluarga Islam dikenal dengan berbagai
istilah, seperti al-aḫwâl al-syakhṣiyyah (hal-hal yang berhubungan dengan
persoalan pribadi), ḫuqûq al-usrah (hak-hak keluarga), ḫuqûq al-‘â’ilah (hak-hak
keluarga), aḫkam al-usrah (aturan-aturan keluarga) dan qanûn al-usrah (undangundang keluarga). Sementara dalam literatur-literatur bahasa Inggris, kita
menemukan istilah-istilah seperti personal statute, Islamic family law dan Moslem
family law, untuk menunjuk hukum keluarga Islam.2
Wahbah Zuhailî (w. 1436 H) mendefinisikan al-aḫwâl al-syakhṣiyyah
sebagai hukum-hukum yang mengatur hubungan keluarga sejak di masa-masa
awal pembentukannya hingga di masa berakhirnya keluarga, berupa nikah, talak,
nasab, nafkah dan kewarisan.3 Dengan kata lain, hukum keluarga Islam adalah
seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal anggota
1
M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 13-14
2
Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian
Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana,
2013), h. 10
3
Wahbah Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h.
19
36
37
keluarga dalam konteksnya yang khusus/spesifik dalam hubungan hukum suatu
keluarga Muslim.4
Agar tidak terjadi kerancuan dengan definisi hukum perdata biasa, kita
harus mengetahui bahwa hukum keluarga bukanlah hukum yang mengatur
hubungan antara keluarga dengan keluarga yang lain, dan bukan pula hukum yang
mengatur hubungan di luar hal-hal yang telah menjadi bagian dari hukum
keluarga, meskipun hubungan hukum itu melibatkan sesama anggota keluarga dan
masih dalam satu keluarga. Hukum keluarga Islam adalah hukum yang mengatur
hubungan internal anggota keluarga dalam satu keluarga Muslim yang berkenaan
dengan masalah-masalah tertentu.5 Ruang lingkup hukum keluarga adalah
mencakup perkawinan, perwalian, wasiat dan kewarisan.6
B. Pelembagaan Hukum Islam ke Dalam Hukum Keluarga Indonesia
1. Hukum Islam pada Masa Pra Kemerdekaan
Di Indonesia, hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Pada masa kesultanan Islam, hukum
Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara, misalnya pada
masa pemerintahan Sultan Agung di Aceh dan pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa di Banten. Hukum adat setempat dinilai sering menyesuaikan diri
dengan hukum Islam.7
4
M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, h. 13
Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian
Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 11
6
M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, h. 30
7
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 12-13
5
38
Sejak awal kehadiran Islam pada abad VII Masehi, tata hukum Islam
sudah diterapkan dan dikembangkan di lingkungan masyarakat Islam
Indonesia. Setelah Islam memperoleh kedudukan yang kokoh dalam
masyarakat kota perdagangan pesisir pantai, terjadi peralihan peran dari kaum
saudagar ke tangan para ulama. Para ulama bertindak sebagai fungsionaris
dalam penyelesaian sengketa antara sesama pemeluk Islam. Pada masa ini,
peradilan informal Tahkim lahir sebagai wadah dan sarana masyarakat kota
dalam menyelesaikan persengketaan di bidang perkawinan, hibah, wakaf dan
kewarisan yang berorientasi pada sistem mazhab fikih Syâfi„î.8
Pada masa-masa kesultanan Islam, rujukan hukum yang bersifat abstrak
yang berorientasi pada mazhab Syâfi„î masih terus digunakan. Salah satu
kitab fikih yang berotoritas luas pada masa itu adalah kitab Ṣirâṯ al-Mustaqîm
yang ditulis oleh ulama besar Nuruddin al-Raniri pada abad XVII Masehi.
Uraian dan syarah kitab tersebut diperluas dan dijakdikan sebagai standar
bahan rujukan penyelesaian sengketa di beberapa daerah kesultanan Islam
seperti Palembang, Banten, Demak, Jepara, Ngampel dan Mataram.9
Beberapa kesultanan Islam pada masa tersebut juga telah mendirikan
Peradilan Agama secara formal. Di antara macam-macam peradilan yang ada
adalah Pengadilan Penghulu di Jawa, Mahkamah Syar‟iyyah di kesultanan
Sumatera (Deli, Langkat, Asahan dan Indragiri) dan Peradilan Qadli di Banjar
M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 24
9
M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia, h. 25
8
39
dan Pontianak. Para ulama memegang peran sebagai penasihat dan hakim di
peradilan-peradilan tersebut. Namun, hal yang sangat disayangkan adalah
peradilan-peradilan tersebut belum memiliki suatu buku hukum yang
sistematis. Aturan hukum yang diterapkan masih berupa doktrin fikih yang
abstrak sebagaimana masa-masa sebelumnya.10
Dalam menyikapi situasi tersebut, VOC yang sedang berkuasa saat itu
mencoba menerapkan hukum Belanda pada masyarakat. Akan tetapi,
kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan
kesadaran hukum yang hidup di masyarakat. Kecenderungan kesadaran
hukum yang hidup di bidang perkawinan, wakaf dan kewarisan pada saat itu
adalah hukum Islam.11
Kagagalan
penerapan
hukum
Belanda
menjadi
faktor
VOC
mengeluarkan Statuta Batavia pada tahun 1642. Isi terpenting dari statuta
tersebut adalah penegasan bahwa penyelesaian sengketa waris yang dihadapi
oleh orang pribumi yang beragama Islam adalah menggunakan hukum Islam
yang dipakai sehari-hari. Selanjutnya, kolonial VOC juga menyusun kitab
hukum yang dikenal dengan Compendium Freijer pada tahun 1760. Buku
ringkasan ini mengatur tentang hukum perkawinan dan kewarisan Islam.
Setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, buku tersebut
diberlakukan dan dijadikan rujukan hukum oleh pengadilan dalam
M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia, h. 25-26
11
M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia, h. 26
10
40
menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat Islam di daerah
yang dikuasai oleh VOC.12
Penggunaan Compendium Freijer tidak berlangsung lama karena pada
tahun 1800 VOC menyerahkan kekuasaan Indonesia kepada Hindia Belanda.
Pada masa ini, secara sistematis penggunaan hukum Islam tidak diakui lagi.
Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengganti sistem hukum Islam yang
berlaku menjadi hukum adat. Pemerintah Hindia Belanda memaksakan
pemberlakuan dua sistem yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum adat yang
diperuntukkan untuk golongan bumiputera dan hukum barat bagi golongan
Eropa.13
Upaya paksaan untuk melenyapkan hukum Islam yang dilakukan oleh
kolonial Belanda terakhir kali ditetapkan melalui Staatsblaad 1937 No. 116.
Aturan ini merupakan hasil usaha komisi Ter Haar yang berisi sebagai
berikut:14
a. Hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat
b. Pencabutan wewenang Peradilan Agama (Raad) untuk mengadili perkara
kewarisan dan dialihkan kepada Peradilan Negeri (Landraad)
c. Peradilan Agama di Jawa dan Madura hanya berwenang memeriksa
perkara perkawinan saja
12
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 13
M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia, h. 26-27
14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 18
13
41
Meskipun pelarangan tersebut di atas telah dipublikasikan secara
terang-terangan, namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat
Muslim yang mengajukan perkara kewarisan ke Peradilan Agama. Peradilan
Agama terbukti menyelesaikan perkara dengan cara yang megesankan pada
masa itu. Masyarakat Muslim menganggap bahwa hasil keputusan yang
dikeluarkan oleh Peradilan Agama bersifat lebih islami dan sesuai dengan
kesadaran hukum yang mereka yakini.15
2. Hukum Islam Setelah Masa Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, pelembagaan hukum Islam ke dalam
hukum keluarga Islam dapat terbagi menjadi dua masa perkembangan, yakni
masa orde lama dan orde baru. Pada masa orde lama, pelembagaan hukum
Islam dimulai dengan pendirian Departemen Agama pada tanggal 3 Jnuari
1946. Dengan terbentuknya Depag, maka kewenangan Peradilan Islam telah
dialihkan dari Menteri Hukum kepada Menteri Agama. Penataan hukum
Islam, baik yang berkenaan dengan administrasi maupun kelembagaan
hukum Islam yang mengatur perkawinan, rujuk, talak dan wakaf diberlakukan
di bawah pengawasan Menteri Agama.16
Pada masa ini, legislatif merumuskan beberapa peraturan perundangundangan tentang kekeluargaan, di antaranya adalah UU No. 22 Tahun 1946
Tentang Pencatatan Nikah dan UU No. 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk. Perumusan undang-undang ini merupakan solusi
15
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, cet.
IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 96
16
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 22
42
bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pada saat itu. Langkah ini
juga merupakan respon atas praktek-praktek negatif yang terjadi dalam
perkawinan seperti pernikahan di bawah umur, praktek poligami tanpa
tanggung jawab dan perceraian yang dilakukan semena-mena oleh pihak
suami.17
Pada masa selanjutnya, yaitu masa orde baru, pemerintah melakukan
langkah-langkah yang dipandang sebagai kebangkitan hukum keluarga Islam
di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan dilegalkan sebagai
respon positif dari tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya kepastian
hukum keluarga khususnya bagi pegangan hukum untuk hakim di Pengadilan
Agama.18 Peraturan perundang-undangan terkait perihal kekeluargaan yang
lahir pada masa ini di antaranya adalah UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi PNS dan Kompilasi Hukum Islam.
UU No. 1/1974 tentang Perkawinan diberlakukan bagi seluruh warga
Indonesia dan bagi seluruh agama. UU ini mencerminkan upaya pemerintah
untuk menyatukan undang-undang yang berkaitan dengan undang-undang
perkawinan itu sendiri di bidang-bidang lainnya yang sesuai dengan hukum
adat dan hukum agama. UU Perkawinan ini juga merupakan upaya
pemerintah dalam menanggapi tuntutan kaum perempuan di Indonesia
Anif Rahmawati, “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”, artikel
diakses pada 24 Oktober 2015 dari https://www.academia.edu/4836677/RESPONMASYARAKAT-TERHADAP-HUKUM-KELUARGA-ISLAM
18
Anif Rahmawati, “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”
17
43
tentang kedudukan hukum mereka dalam beberapa peristiwa hukum, terutama
poligami dan perceraian.19
Perumusan UU Perkawinan ini merupakan salah satu pencapaian besar
dalam perkembangan kodifikasi hukum keluarga materiil Indonesia.
Meskipun isi materi dari UU ini tidaklah bertentangan dengan hukum Islam,
namun UU ini belum bisa dikategorikan sebagai sumber hukum keluarga
Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan penyusunan UU ini tidak didasarkan
pada ajaran Islam murni. Selain itu, objek pemberlakuan UU ini juga bersifat
sangat umum yaitu bagi masyarakat Indonesia dari semua agama. Oleh
karena itu, pada beberapa dekade selanjutnya, para ahli hukum memandang
perlu untuk merumuskan sebuah buku hukum yang bisa dikhususkan berlaku
bagi masyarkat Muslim Indonesia dengan komposisi yang lebih lengkap dari
UU Pernikahan ini.
Buku hukum tersebut kemudian kita kenal sebagai Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Objek pemberlakuan kompilasi ini adalah khusus bagi
masyarakat Muslim Indonesia. selain itu, kompilasi ini mengandung
komposisi yang lebih lengkap terkait hukum keluarga Islam Indonesia karena
telah mencakup pembahasan tentang kewarisan di samping pembahasan
tentang pernikahan.
C. KHI sebagai Sumber Hukum Materiil Keluarga Islam Indonesia
Pada awalnya, hukum materiil keluarga Islam Indonesia yang berada di
bawah yurisdiksi Pengadilan Agama adalah hukum Islam atau yang lebih dikenal
19
Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian
Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 14
44
dengan fikih. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada sub pembahasan
sebelumnya, hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan
hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab
karya ulama salaf. Para ulama tersebut hidup dalam keadaan sosiokultural yang
berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia. Para hakim Peradilan Agama
sering kali membuat keputusan yang berbeda atas permaslahan yang sama yang
dihadapi oleh masyarakat Muslim pada masa itu. Oleh karena itu, hakim Peradilan
Agama dinilai tidak konsisten dalam memutuskan perkara. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, badan legislatif menyusun sebuah kompilasi hukum Islam
dengan tujuan untuk memberikan pedoman bagi para hakim Peradilan Agama dan
menyatukan persepsi di kalangan mereka dalam memutuskan perkara.
1. Latar Belakang dan Proses Penyusunan KHI
Ide kompilasi hukum muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung
membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Dalam pelaksanaan
pembinaan tersebut, Mahkamah Agung merasakan beberapa permasalahan
yang terjadi di lingkungan Peradilan Agama.20 Salah satu contoh
permasalahan tersebut adalah implementasi hukum Islam yang terkadang
menimbulkan perbedaan pemahaman bagi umat Muslim. Hukum Islam yang
diterapkan di Pengadilan Agama Indonesia sebelum tahun 1991, cenderung
simpang siur disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pendapat di antara para
ulama fikih dalam setiap persoalan. Di samping itu, kerancuan dalam
memahami fikih yang dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan
20
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 98
45
bukan sekedar doktrin ulama terkadang masih menimbulkan kegalauan para
hakim dalam memutuskan suatu perkara.21
Pada saat itu, para ahli hukum Islam Indonesia merasakan keperluan
adanya keseragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam
yang akan dijadikan pegangan oleh para hakim di lingkungan Peradilan
Agama.
Keinginan
untuk
menyeragamkan
hukum
Islam
tersebut
menimbulkan gagasan terwujudnya KHI.22 Adapun tokoh penggagas
perumusan KHI adalah Busthanul Arifin yang pada saat itu menjabat sebagai
Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.23
Setelah gagasan Busthanul Arifin disepakati oleh Mahkamah Agung,
Tim Pelaksana Proyek KHI dibentuk dengan adanya Surat Keputusan
Bersama (SKB) No. 07/KMA/1985 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
bersama Menteri Agama.24 Proses penyusunan KHI dilakukan secara
partisipatif. Penyusunannya melibatkan pejabat pemerintahan, hakim dan para
pemimpin masyarakat (ulama dan cendekiawan) yang representatif.25 Proyek
penyusunan KHI dimulai sejak tahun 1985. Tim penyusun rancangan
kompilasi ini berasal dari Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Proses
21
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, h. 144-145
22
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 99
23
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI,
(Jakarta: Kencana, 2004), h. 30
24
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 31
25
Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”,
dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,
h. 15
46
penghimpunan bahan kompilasi tersebut ditempuh melalui empat jalur, yaitu
sebagai berikut:26
a. Pengumpulan data melalui telaah dan kajian kitab-kitab yang berkaitan
dengan materi kompilasi.
Tugas ini dijalankan oleh 7 IAIN dari seluruh Indonesia, yaitu IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, IAIN
Sunan Ampel Surabaya, IAIN Ar Raniry Banda Aceh, IAIN Antasari
Banjarmasin, IAIN Alaudin Makassar dan IAIN Imam Bonjol Padang.
Kitab-kitab fikih yang dikaji tidak hanya yang bermazhab Syâfi„î, tetapi
juga kitab-kitab yang bermazhab Ḫanbalî, Mâlikî dan Ḫanafî. Langkah
kajian kitab ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami perbandingan
pemikiran di antara keempat ajaran mazhab. Langkah ini sangat
bermanfaat bagi perkembangan hukum Islam Indonesia yang sedang
berhadapan dengan paradigma baru dan pluralisme masyarakat.27
b. Pengumpulan data melalui wawancara dengan para ulama yang
dilakukan oleh beberapa Pengadilan Tinggi Agama.
Langkah ini mempunyai peran penting karena anggapan dasar bahwa
KHI ditujukam untuk mensistemasi dan menyusun aturan-aturan Islam
untuk mengatur masalah-masalah keluarga yang selama ini diterapkan
oleh umat Islam dan hakim Pengadilan Agama di Indonesia yang
berdasarkan pada kitab fikih. Ulama yang dipandang memiliki
26
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, h. 148
27
Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian
Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 18
47
kredibilitas karena pengetahuan mereka tentang hukum Islam dipandang
sangat akrab dengan aturan-aturan hukum yang telah diterapkan dalam
masyarakat Muslim. Tujuan dari langkah ini adalah untuk mendapatkan
aspirasi luas dari masyarakat yang nantinya akan menghadirkan hukumhukum yang mapan dan sesuai bagi masyarakat Muslim Indonesia.28
c. Penelitian terhadap yurisprudensi Pengadilan Agama dengan cara
menganalisis keputusan-keputusan yudisial Pengadilan Agama sepanjang
abad-abad sebelumnya yang telah terhimpun.
Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan argumen paling
kuat untuk mendukung penetapan hukum-hukum terkait masalahmasalah tertentu.29
d. Pengumpulan data melalui perbandingan dengan hukum-hukum yang
berlaku di beberapa negara Islam seperti Maroko, Turki dan Mesir.
Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk mengadakan studi banding
dengan beberapa negara yang Islam yang telah berhasil melakukan
kodifikasi hukum keluarga Islam. Studi ini dilakukan untuk melihat
bagaimana hukum Islam diterapkan dan bagaimana prosedur yudisial
dipersiapkan dalam praktek peradilan negara-negara tersebut. Beberapa
informasi penting yang diperoleh dari langkah ini adalah tentang sistem
peradilan, penyerapan syariah ke dalam hukum nasional dan sumber-
28
Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian
Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 18-19
29
Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian
Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 19-20
48
sumber yang menjadi hukum terapan dari permasalahan-permasalahan
keluarga yang sedang berkembang di negara-negara tersebut.30
Setelah data-data tersebut dihimpun, tim penyusun kompilasi
mengolahnya menjadi konsep KHI. Hasil konsep tersebut kemudian dibahas
oleh para ulama dan cendekiawan Muslim melalui lokakarya yang diadakan
pada tanggal 2-6 Februari 1988 di Jakarta. Hasil lokakarya tersebut
kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk
memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Pada akhirnya, KHI
secara resmi ditetapkan sebagai salah satu sumber hukum materiil untuk
perkara-perkara yang diselesaikan di Pengadilan Agama melalui Instruksi
Presiden No. 1 Tahun I991 yang diproklamirkan pada tanggal 10 Juni
1991.31
KHI adalah fikih Indonesia yang disusun dengan memperhatikan
kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.32 Pasal-pasal yang
dirumuskan dalam KHI adalah bersumber dari produk-produk fikih hasil
pemikiran para ulama mazhab yang telah disesuaikan dengan kondisi
masyarakat Islam Indonesia. Di antara kitab-kitab fikih dan usul fikih yang
menjadi sumber rujukan materi KHI adalah Al-Bâjûrî, Fatḫ al-Mu‘în,
Qalyûbî, Fatḫ al-Wahhâb, Targhîb al-Musytâq, Bughyat al-Mustarsyidîn, Al-
30
Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian
Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 20
31
M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Komilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia, h. 37
32
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 101
49
Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, Mughnî al-Muḫtâj, Al-Muḫallâ, Bidâyat
al-Mujtahid, Al-Umm, Al-Mughnî, Al-Muwaṯṯa’, Fiqh al-Sunnah, Al-Wajîz,
I‘ânat al-Ṯâlibîn, Al-Qawânîn al-Syar‘iyyah, Fatḫ al-Qadîr dan lain-lain.33
2. Landasan Yuridis dan Kedudukan KHI
Landasan atau dasar hukum keberadaan KHI di Indonesia terdiri dari
tiga tahapan, yaitu:
a. Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991. Instruksi Presiden tersebut
ditujukan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang
sudah disepakati oleh para ulama Indonesia dalam lokakarya yang
diselenggarakan pada 5 Februari 1988.34 Konsideran Instruksi ini
meyatakan bahwa KHI dapat digunakan sebagai pedoman dalam
penyelesaian masalah-masalah di bidang-bidang tertentu yang diaturnya,
yaitu perkawinan, kewarisan dan perwakafan.35
b. Keputusan Menteri Agama RI No. 154 tanggal 22 Juli 1991 tentang
Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.36 Keputusan Menteri
Agama ini menyatakan bahwa KHI dapat digunakan untuk meyelesaikan
permasalahan hukum di samping peraturan perundang-undangan lainnya.
Hal ini menunjukkan adanya kesederajatan KHI dengan peraturan
perundang-undangan lain yang sedang berlaku.37
33
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 52
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. III, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 2001), h. 53
35
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 55
36
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 55
37
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 57
34
50
c. Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas
nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal
25 Juli 1991 No. 3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh
Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.38
Dari beberapa landasan hukum yang menjadi dasar KHI di atas, maka
kita dapat meyimpulkan bahwa KHI memiliki kedudukan yang sederajat
dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang juga mengatur tentang
perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Di samping itu, KHI juga bersifat
mengikat bagi para pihak yang terkait permasalahan, yaitu pihak yang
bersengketa dan para hakim. Kedua belah pihak ini terikat dan berkewajiban
sepenuhnya untuk melaksanakan isi dari KHI. Meskipun demikian, kewajiban
pelaksanaan KHI ini tidak menutup kemungkinan bagi para hakim
Pengadilan Agama untuk melakukan penemuan Hukum.39
3. KHI sebagai Legalformal Fikih Indonesia
Materi pokok yang diatur oleh KHI terdiri dari tiga bidang hukum,
yaitu sebagai berikut:40
a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, terdiri atas 19 Bab meliputi 170
pasal (pasal 1 sampai dengan pasal 170)
38
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 57-58
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 62
40
M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia, h. 49
39
51
b. Buku II tentang Hukum Kewarisan, terdiri atas 6 Bab meliputi 43 pasal
(pasal 171 sampai dengan pasal 214)
c. Buku III tentang Hukum Perwakafan, terdiri atas 5 Bab meliputi 12 pasal
(pasal 215 sampai dengan pasal 228)
Penyusunan KHI di Indonesia dapat kita pandang sebagai suatu proses
transformasi hukum Islam dari bentuk yang tidak tertulis menjadi suatu
peraturan perundang-undangan yang tertulis.41 Keberhasilan bangsa Indonesia
melahirkan KHI merupakan salah satu prestasi besar dalam upaya
mewujudkan kesatuan hukum Islam dalam bentuk tertulis. Setelah KHI
disahkan menjadi sebuah sumber hukum, semua hakim di lingkungan
Peradilan Agama diarahkan kepada persepsi penegakan hukum yang sama.
Para hakim Peradilan agama tidak lagi diperkenankan untuk menjatuhkan
putusan-putusan hukum yang berdisparitas.42
Sebagai perangkat hukum, KHI telah menampung bagian dari
kebutuhan masyarakat di bidang hukum yang digali dari (sumber) nilai-nilai
hukum yang diyakini kebenarannya. KHI dapat memberikan perlindungan
hukum dan ketentraman batin masyarakat, karena ia menawarkan simbolsimbol keagamaan yang dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang
sakral. KHI juga megakomodasi berbagai pandangan dan aliran pemikiran di
bidang fikih yang secara sosiologis memiliki daya peran dan daya ikat di
Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”,
dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,
h. 8
42
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, h. 150
41
52
dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, KHI layak untuk dilaksanakan
oleh warga masyarakat yang memerlukannya.43
KHI disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum
Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam
dipaksa untuk mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi
diserahkan atas kehendak masing-masing pemeluk Islam, tetapi ditunjuk oleh
seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas
dan pelaksana penerapan KHI. Sejak KHI dirumuskan, derajat penerapan
hukum Islam telah terangkat sebagai hukum perdata resmi yang bersifat
publik yang penerapannya dapat dipaksakan oleh alat kekuasaan negara,
terutama oleh Badan Peradilan Agama.44
Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”,
dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,
h. 15
44
M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan
Peradilan Agama di Indonesia, h. 34-35
43
BAB IV
ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬DALAM KHI
SEBAGAI SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM DI
INDONESIA
Lingkup pembahasan hukum keluarga yang diatur dalam KHI terdiri dari
pernikahan, perwalian, perceraian, wasiat dan kewarisan. KHI sebagai kitab fikih
Indonesia yang telah dilegalformalkan juga menerapkan berbagai macam kaidah
fikih dalam substansi materinya. Menurut penulis, salah satu kaidah fikih yang
diaplikasikan dalam KHI adalah kaidah “‫”إذا ضاق األمر اتسع‬. Setelah melakukan
pengamatan pada pasal demi pasal yang terdapat di KHI, penulis menemukan
beberapa pasal yang menerapkan konsep kaidah ini, di antaranya sebagai berikut:
A. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Pernikahan
1. Pengajuan isbat nikah bagi pernikahan yang tidak dapat dibuktikan dengan
akta nikah
Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dapat dibuktikan
dengan akta nikah, maka pasangan suami istri yang bersangkutan dapat
mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Pernikahan yang diakui oleh
negara adalah pernikahan yang telah dicatatkan di Catatan Sipil Negara.
Pencatatan nikah akan berakibat pada perlindungan hukum bagi para pihak
yang ada dalam ikatan pernikahan. Dalam kondisi-kondisi tertentu, sebagian
masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa pencatatan pernikahan adalah
hal sangat penting di negara kita. Pasal ini menunjukkan fleksibilitas hukum
bahwa pernikahan tanpa akta nikah bukan berarti legalitasnya tidak akan
53
54
diakui oleh negara untuk selamanya. Keluasan hukum yang diberikan oleh
pasal ini adalah kesempatan bagi sepasang suami istri untuk mengajukan isbat
ke Pengadilan Agama agar pernikahan mereka mendapatkan perlindungan
hukum dan legalitas dari negara.
2. Persetujuan menikah dengan menggunakan tulisan atau isyarat bagi orang
yang tuna wicara atau tuna rungu
Pasal 17 ayat (3) menyatakan bahwa calon mempelai yang hendak
melaksanakan pernikahan sedangkan ia dalam kondisi tuna wicara atau tuna
rungu, maka ia dapat menyatakan persetujuannya untuk menikah dengan
tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Persetujuan untuk menikah dari
mempelai laki-laki dan perempuan adalah hal yang sangat penting.
Pernikahan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari kedua belah
pihak mempelai. Persetujuan yang dimaksud adalah dengan lisan. Namun
apabila salah seorang dari mempelai adalah tuna wicara atau tuna rungu,
maka pasal ini memberikan keluasan hukum dengan memperbolehkan
persetujuan dengan menggunakan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
3. Perwalian wali ab‘ad (yang lebih jauh hubungan nasabnya) dikarenakan uzur
wali aqrab (yang lebih dekat hubungan nasabnya)
Pasal 22 menyatakan bahwa apabila wali aqrab tidak memenuhi syarat
sebagai wali, tuna wicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka hak
perwaliannya bergeser pada wali nikah lain yang berada pada derajat nasab
berikutnya. Dalam undang-undang pernikahan Islam Indonesia, wali adalah
salah satu rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita. Oleh
55
karena itu, pernikahan tanpa wali dari pihak perempuan, maka pernikahan
tersebut tidak sah. Wali nikah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu (1)
kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas seperti ayah dan seterusnya; (2)
kelompok kerabat saudara laki-laki dan keturunannya; (3) kelompok kerabat
paman dan keturunannya; (4) kelompok saudara laki-laki kandung kakek dan
keturunannya. Orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah orang
yang memiliki hubungan nasab paling dekat dengan calon mempelai
perempuan. Apabila wali aqrab tidak memenuhi syarat sebagai wali, tuna
wicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka bukan berarti calon mempelai
sudah tidak bisa melangsungkan pernikahan. Pasal ini memberikan keluasan
hukum berupa kebolehan mengangkat wali nikah dari golongan ab‘ad (yang
lebih dekat hubungan nasabnya) sehingga pernikahan tetap bisa dilaksanakan.
4. Penunjukan wali hakim disebabkan uzur wali nasab
Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa wali hakim boleh bertindak sebagai wali
nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin dihadirkan, tidak diketahui
tempat tinggalnya (ghâ’ib) atau enggan untuk menikahkan (‘adlal). Kondisi
seperti ini biasanya dialami oleh perempuan yang tinggal jauh dari
keluarganya. Ketika perempuan tersebut hendak menikah sedangkan ia tidak
mungkin mendatangkan wali nasab untuk menikahkannya, maka pasal ini
memberikan keluasan hukum berupa kebolehan menunjuk wali hakim untuk
menikahkannya.
5. Perwakilan ucapan qabûl nikah oleh laki-laki lain atas kuasa dari mempelai
pria
56
Pasal 29 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal-hal tertentu, ucapan qabûl
nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan ia telah memberi
kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah
tersebut adalah untuk mempelai pria. Apabila mempelai pria berhalangan
hadir pada majelis akad nikahnya dikarenakan suatu sebab yang sangat
mendesak, sedangkan majelis tersebut juga tidak memungkinkan untuk
dirubah waktu pelaksanaannya, maka ia diperbolehkan mewakilkan ucapan
qabûl nikahnya kepada orang lain yang dipercayainya. Kuasa tersebut harus
berupa kuasa tertulis dan disertai saksi atas perwakilan tersebut. Keluasan
hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah kebolehan bagi mempelai pria
untuk mewakilkan ucapan qabûl nikahnya kepada laki-laki lain atas kuasa
darinya sehingga majelis pernikahan tersebut dapat tetap dilangsungkan
dengan tanpa perubahan waktu yang mungkin malah akan menimbulkan
kesulitan bagi kedua belah pihak mempelai yang hendak menikah.
6. Penggantian mahar yang hilang dengan barang jenis lain ketika mahar belum
diserahkan kepada mempelai wanita
Pasal 36 menyatakan bahwa apabila mahar telah hilang sebelum diserahkan
pada mempelai wanita, maka mahar tersebut dapat diganti dengan barang lain
yang sama atau berbeda jenis yang harganya senilai dengan barang mahar asli
yang telah hilang. Meskipun mahar bukan termasuk salah satu dari rukun
pernikahan, pemberian mahar tetap harus dilakukan oleh mempelai pria,
walaupun hanya berupa barang yang remeh dan kecil. Hal ini dikarenakan
mahar merupakan simbol penghargaan bagi mempelai wanita untuk dimiliki
57
oleh laki-laki. Sebelum pernikahan dilangsungkan, biasanya kedua belah
pihak telah berdiskusi untuk menentukan bentuk mahar yang akan diberikan.
Apabila mahar yang telah disepakati hilang sebelum diserahkan kepada
mempelai wanita, maka pasal ini memberikan keluasan hukum berupa
kebolehan menggantikan mahar dengan barang lain yang sama atau berbeda
jenis yang harganya senilai dengan barang mahar asli.
7. Ketidakperluan persetujuan istri untuk memberikan izin bagi suami yang
hendak menikah lagi ketika istri berada dalam keadaan yang tidak
memungkinkan untuk diminta persetujuan
Pasal 58 ayat (3) menyatakan bahwa seorang suami tidak memerlukan
persetujuan istrinya untuk menikah lagi ketika istrinya berada dalam keadaan
yang tidak mungkin untuk diminta persetujuannya, tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, tidak memberikan kabar minimal selama dua tahun atau
karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim. Kerelaan
pihak istri adalah salah satu syarat yang harus didapatkan oleh suami sebelum
ia memutuskan untuk menikah lagi. Namun, adakalanya persetujuan dari istri
untuk suami menjadi hal yang sulit untuk didapatkan dikarenakan sebabsebab tertentu, misalnya istri meninggalkan suami selama lebih dari dua
tahun tanpa memberikan kabar sama sekali. Oleh karena itu, dalam kondisi
ini, pasal ini memberikan keluasan hukum berupa kebolehan bagi suami
untuk menikah lagi meskipun tanpa persetujuan dari istrinya.
8. Pengajuan pembatalan pernikahan dikarenakan adanya unsur perbuatan
melanggar hukum dalam pernikahan
58
Perihal ini diatur dalam pasal 72. Ayat (1) pasal ini menyatakan bahwa salah
satu pihak suami atau istri boleh mengajukan pembatalan pernikahan apabila
pernikahan yang dilangsungkan berada di bawah ancaman yang melanggar
hukum. Selanjutnya, ayat (2) pasal ini menyatakan bahwa pengajuan
pembatalan pernikahan dapat dilakukan apabila pada saat pernikahan
berlangsung, terdapat penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau
istri. Pasal ini memberikan keluasan hukum bagi salah satu pihak yang
dirugikan, baik suami atau istri, untuk mengajukan pembatalan atas
pernikahan yang mengandung unsur zalim. Apabila pernikahan tersebut tetap
dilanjutkan maka malah akan meyebabkan kesengsaraan bagi pihak yang
merasa dizalimi. Hal ini tentu tidak akan dapat mewujudkan tujuan
pernikahan, yaitu untuk membina rumah tangga sâkinah yang di dalamnya
terdapat mawaddah dan raḫmah sebagaimana yang diharapkan oleh pasal 3.
9. Pembebanan pembayaran hutang keluarga kepada harta pribadi suami atau
istri
Perihal ini diatur dalam pasal 93. Ayat (3) pasal ini menyatakan bahwa
pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan
keluarga bisa dibebankan kepada harta pribadi milik suami apabila harta
bersama tidak mencukupi pembayaran hutang tersebut. Begitu juga dengan
ayat (4) pasal ini, pertanggungjawaban bisa dibebankan kepada harta pribadi
milik istri. Pada dasarnya, pertanggungjawaban hutang untuk kepentingan
keluarga seharusnya dibebankan kepada harta bersama. Akan tetapi, apabila
harta bersama yang dimiliki oleh suami dan istri tidak dapat mencukupi
59
pembayaran hutang tersebut, maka situasi ini menghendaki agar suami atau
istri merelakan harta milik pribadinya untuk menutupi kekurangan
pembayaran hutang.
B. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perwalian
1. Penunjukan pengasuh anak dari kerabat ketika kedua orang tua tidak mampu
melaksanakannya
Pasal 98 ayat (3) menyatakan bahwa apabila orang tua kandung tidak mampu
memelihara anaknya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang
dari kerabat terdekat yang dipandang mampu untuk menggantikan peran
orang tua kandung. Adapun tugas yang harus dilakukan oleh kerabat
pengganti orang tua tersebut adalah mewakili anak tersebut di segala
perbuatan hukumnya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pada
dasarnya, pihak yang bertanggung jawab untuk memelihara anak adalah
orang tua kandung anak itu sendiri. Namun, apabila orang tua kandungnya
tidak mampu memelihara dan menjaganya dengan baik, maka kondisi ini
tidak akan membahagiakan anak tersebut. Oleh karena itu, pasal ini
memberikan keluasan hukum bagi anak agar pengadilan menunjuk salah
seorang dari kerabat dekatnya untuk menggantikan peran orang tua
kandungnya.
2. Penetapan asal-usul anak oleh pengadilan terhadap anak yang tidak memiliki
akta kelahiran
Pasal 103 ayat (2) menyatakan bahwa apabila bukti otentik kelahiran seorang
anak tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan
60
tentang asal-usul anak tersebut setelah melakukan pemeriksaan terhadap alat
bukti yang sah. Asal-usul seorang anak adalah sesuatu yang harus diketahui.
Secara tidak langsung, kejelasan asal-usul seorang anak akan berpengaruh
pada pandangan masyarakat terhadapnya. Selain itu, asal-usul seorang anak
juga
berhubungan dengan
kependudukan,
kewarisan,
kewalian
dan
permasalahan-permasahan sipil lainnya. Di Indonesia, kejelasan asal-usul
seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti
lainnya seperti surat hasil tes DNA. Apabila seorang anak tidak memiliki
bukti-bukti tersebut, maka pasal ini memberikan keluasan hukum bagi anak
tersebut untuk mengajukan permohonan penetapan asal-usul atas dirinya.
Setelah pengadilan melakukan pemeriksaan berdasarkan bukti-bukti sah yang
diajukan oleh pihak pemohon, maka pengadilan akan mengeluarkan surat
ketetapan asal-usul anak tersebut dan status anak tersebut menjadi jelas.
3. Pengalihan fungsi harta anak di bawah umur oleh orang tua demi kepentingan
dan keselamatan anak
Pasal 106 ayat (1) menyatakan bahwa orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikan harta anaknya yang masih di bawah umur
kecuali hal tersebut dilakukan untuk keperluan mendesak yang tidak dapat
dihindari atau berhubungan dengan keselamatan anak. Pada dasarnya,
kewajiban orang tua terhadap harta anaknya yang berusia di bawah umur
hanya merawat dan mengembangkan harta tersebut dan tidak diperbolehkan
untuk mengalihfungsikannya. Akan tetapi, apabila suatu kenyataan terjadi
dikarenakan oleh suatu sebab yang tidak dapat dihindari, misalnya yang
61
berhubungan dengan keselamatan anaknya, maka pasal ini memberikan
keluasan hukum bagi orang tua untuk mengalihfungsikan harta tersebut.
4. Permohonan kerabat untuk menjadi wali bagi seorang anak ketika walinya
telah lalai dalam melaksanakan tugas
Pasal 107 ayat (3) menyatakan bahwa apabila seorang wali tidak mampu atau
lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat
menunjuk salah seorang kerabat anak tersebut untuk bertindak sebagai wali
atas permohonan dari pihak kerabat. Perwalian yang dimaksud dalam pasal
ini adalah perwalian terhadap diri dan harta anak. Pada dasarnya, anggota
keluarga yang paling berhak menjadi wali dalam hal ini adalah orang tua
anak. Namun apabila wali tersebut tidak mampu atau lalai dalam
melaksanakan tugas perwaliannya, maka pasal ini memberikan keluasan
hukum berupa penetapan wali dari kerabat anak oleh pengadilan. Hal ini tidak
lain ditujukan untuk kemaslahatan anak.
5. Pencabutan hak sebagai wali bagi pihak yang tidak mampu, lalai atau
bertabiat buruk
Pasal 109 menyatakan bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak
perwalian seseorang atau badan hukum yang tidak mampu, lalai atau bertabiat
buruk dan memindahkan hak tersebut kepada orang lain atas permohonan
kerabat anak demi melindungi kepentingan anak yang berada di bawah
perwalian. Perwalian semacam ini biasanya didapatkan oleh anak setelah
orang tuanya meninggal dunia. Orang tua anak mewasiatkan perwalian anak
kepada orang atau badan hukum tertentu. Apabila orang atau badan hukum
62
yang mendapatkan hak perwalian atas anak tersebut tidak mampu, lalai atau
bertabiat buruk, maka keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah
kebolehan bagi kerabat anak untuk mengajukan permohonan pencabutan dan
pemindahan hak perwalian dari pihak penerima wasiat perwalian. Hal ini juga
ditujukan untuk melindungi kepentingan anak yang berada di bawah
perwalian.
6. Pemindahan hak ḫadlânah
Pasal 156 huruf (c) menyatakan bahwa Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak ḫadlânah kepada kerabat lain atas permintaan kerabat anak
apabila pemegang ḫadlânah yang sebenarnya tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan ḫadlânah
tercukupi. Ibu kandung dari anak adalah orang yang paling berhak atas
ḫadlânah. Apabila ibu telah meninggal maka kedudukannya digantikan oleh
ayah atau wanita-wanita yang memiliki hubungan kerabat dekat dengan ibu
atau ayahnya. Pada dasarnya, hal yang paling diutamakan dalam ḫadlânah
adalah keselamatan jasmani dan rohani anak, bukan kecukupan biaya nafkah
dan ḫadlânah. Oleh karena itu, pasal ini memberikan keluasan hukum berupa
kebolehan pengajuan permohonan untuk memindahkan hak hadlânah pada
pihak kerabat lain yang lebih dapat dipercaya menjaga kemaslahatan anak.
C. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perceraian
1. Permintaan dan permohonan salinan akta cerai yang hilang
Perihal ini diatur dalam pasal 9. Ayat (1) pasal ini menyatakan bahwa akta
cerai yang hilang dapat dapat dimintakan salinannya ke Pengadilan Agama.
63
Selanjutnya, ayat (2) pasal ini menyatakan jika pengadilan tidak memberikan
salinan akta cerai yang diminta, maka pihak mantan suami atau istri dapat
mengajukan permohonan ke pengadilan. Akta cerai adalah sama pentingnya
dengan akta nikah karena akta cerai adalah bukti otentik bahwa seseorang
tidak berada dalam suatu ikatan pernikahan dengan orang lain. Apabila
seseorang yang telah bercerai dari mantan pasangannya dengan perceraian
yang sah atau legal, kehilangan akta cerainya, sedangkan ia membutuhkannya
untuk menikah lagi misalnya, maka ia bisa meminta salinan akta tersebut ke
Pengadilan Agama. Apabila pengadilan tidak mau memberikan salinan akta
tersebut, maka ia bisa menggunakan cara lain yaitu dengan mengajukan
permohonan ke pengadilan. Pasal ini memberikan solusi keluasan hukum
berupa pemberian salinan akta bagi seseorang yang kehilangan akta asli.
2. Penerimaaan gugatan cerai oleh pengadilan tanpa kehadiran tergugat
Pasal 138 ayat (4) menyatakan bahwa pengadilan dapat menerima gugatan
cerai yang diajukan oleh istri kepada suami atau kuasanya yang tidak pernah
hadir ke pengadilan dan tidak diketahui tempat tinggalnya serta telah
diumumkan oleh pihak pengadilan melalui surat kabar sebanyak dua kali
dalam jangka waktu dua bulan. Gugatan cerai jenis ini mungkin saja terjadi
dikarenakan suami telah pergi meninggalkan istri tanpa kabar dalam waktu
yang lama. Alasan ini memperbolehkan istri untuk menggugat cerai
suaminya. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah penerimaan
gugatan cerai oleh pengadilan. Apabila gugatan telah diterima oleh
pengadilan maka proses perceraian dapat segera dilaksanakan. Dalam kondisi
64
ini, hal yang diutamakan adalah kejelasan status wanita tersebut dan
kesejahteraan hidupnya ketika suaminya pergi meninggalkannya. Apabila
pengadilan telah memutuskan hubungan di antara keduanya sebagai suami
istri, maka mantan istri telah mendapatkan kejelasan atas status hukumnya
dan diperbolehkan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain.
3. Permintaan salinan akta rujuk yang hilang atau rusak
Pasal 166 menyatakan bahwa akta rujuk yang hilang atau rusak sehingga
tidak dapat dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan salinannya kepada
instansi semula yang mengeluarkan akta tersebut. Akta rujuk adalah salah
satu berkas penting yang akan digunakan untuk mengambil Kutipan Akta
Nikah di Pengadilan Agama tempat pasangan suami istri melangsungkan
perceraian sebelumnya. Pasangan rujuk yang belum mengambil Kutipan Akta
Nikah maka pasangan ini belum diakui oleh hukum sebagai pasangan rujuk
yang legal. Oleh karena itu, pasal ini memberikan solusi keluasan hukum
berupa pemberian kesempatan bagi pasangan yang kehilangan akta untuk
meminta salinannya.
D. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Kewarisan dan Wasiat
1. Pengalihan bentuk harta warisan
Pasal 189 ayat (2) menyatakan bahwa harta warisan yang pada awalnya
berupa lahan dapat dialihkan menjadi uang jika memang ada salah satu ahli
waris yang memerlukan uang tersebut. Pasal ini merupakan bentuk keluasan
hukum dari pasal sebelumnya, yaitu pasal 189 ayat (1) yang menyatakan
bahwa harta warisan yang berupa lahan agar tetap dipertahankan kesatuan
65
bentuknya sebagaimana semula dan dimanfaatkan tuntuk kepentingan
bersama. Pasal ini juga mengandung asas tolong-menolong antar sesama
Muslim, terutama antar saudara sesama penerima harta waris.
2. Menyampaikan wasiat di hadapan selain pejabat
Pasal 206 menyatakan bahwa orang yang hendak berwasiat sedangkan ia
berada dalam perjalanan laut, maka wasiatnya dapat disampaikan pada
nahkoda kapal atau orang yang menggantikannya dengan disertai dua orang
saksi. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah bahwa wasiat
tidak selalu harus disampaikan kepada pejabat berwenang seperti Notaris.
Kondisi orang yang hendak berwasiat yang sedang berada dalam perjalanan
laut, belum tentu ia dapat menemukan pejabat Notaris di kapal yang
ditumpanginya tersebut. Oleh karena itu, sebagai solusi yang diberikan oleh
pasal ini, ia diperkenankan untuk menyampaikan wasiatnya kepada nahkoda
kapal atau orang yang menggantikannya dengan dua orang saksi yang dapat
dipercaya akan menyampaikan wasiatnya kelak.
Setelah penulis menyebutkan dan menjelaskan satu-persatu pasal KHI yang
dipandang sebagai aplikasi dari kaidah kaidah fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬di atas,
penulis menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pasal-pasal tersebut menghendaki
kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim Indonesia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis memaparkan konsep kaidah fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dan
menganalisis pengaplikasiannya dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di
Indonesia, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep kaidah fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬adalah apabila suatu kondisi yang
dihadapi oleh mukallaf menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi
lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam
menjalankan suatu aturan hukum, maka menurut kaidah ini dalam kedaan
tersebut, ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keringanan dan
kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya. Ketika suatu
aturan hukum syariat yang berlaku menjadi alasan pembebanan atau pemberat
bagi mukallaf untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia berhak mendapatkan
keringanan dan kelonggaran hukum (rukhṣah) dengan alasan-alasan tertentu.
2. KHI sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Indonesia yang
murni berasal dari hukum Islam telah mengaplikasikan konsep kaidah fikih
“‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬dalam pasal-pasalnya. Keseluruhan dari peraturan yang
disampaikan oleh pasal-pasal tersebut pada hakikatnya menghendaki
kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim Indonesia.
66
67
B. Saran
Dari kesimpulan yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka penulis
juga ingin memberikan saran-saran terkait dengan pengaplikasian kaidah fikih “ ‫إذا‬
‫”ضاق األمر اتسع‬, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai subjek hukum, kita harus selalu mengingat bahwa fleksibilitas
hukum, baik hukum Islam maupun konvensional bukanlah tanpa batasan.
Keluasan hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh kaidah ini juga
memiliki pembatasan tertentu sehingga kita tidak diperbolehkan seenaknya
sendiri mempermainkan aturan syariat atau hukum yang berlaku.
2. Sebenarnya, pengaplikasian kaidah fikih “‫ ”إذا ضاق األمر اتسع‬tidak hanya
terbatas ada pada pasal-pasal KHI. Majelis hakim sebagai pembuat keputusan
atas permaslahan-permasalahan yang dialami oleh masyarakat hendaknya
berpegang teguh pada kaidah ini. Karena dengan pertimbangan kaidah ini,
hakim diarahkan untuk mengambil keputusan berdasarkan berbagai sisi
keadaan yang sedang dihadapi oleh penuntut keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
„Azzâm, Abd al-„Azîz. Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah. Kairo: Dâr al-Ḫadîts. 2005.
Abbas, Ahmad Sudirman. Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, cet. II.
Selatan: Adelina Bersaudara. 2008.
Tangerang
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. III. Jakarta: Akademika
Pressindo. 2001.
Ali, Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, cet. IV.
Jakarta: Sinar Grafika. 2013.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
1975.
Al-Baihaqî. Al-Sunan al-Kubrâ. Makkah: Maktabah Dâr al-Bâz. 1994.
Bek, Muḫammad Kudlarî. Târîkh Tasyri‘ al-Islâmî. Jakarta: Dâr al-Kutub alIslâmiyyah. 2007.
Bisri, Cik Hasan, Ed. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Al-Bukhârî. Ṣaḫîḫ al-Bukhârî. Damaskus: Dâr Ṯauq al-Najâh. 1422 H.
Djazuli, Ahmad. Kaidah-Kaidah Fikih, cet. II. Jakarta: Kencana. 2007.
Al-Fadani, Yasin. Al-Fawâ’id al-Janiyyah. Beirut: Dâr al-Maḫajjah al-Baiḏâ‟.
2008.
Al-Ghazâlî. Iḫyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah. 2010.
Haq, Abdul dkk. Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, cet. V.
Surabaya: Khalista. 2009.
Ibn Ḫanbal, Aḫmad. Musnad Aḫmad. Kairo: Muassasah Qurṯubah. Tth.
Ibn Mâjah. Sunan Ibn Mâjah. Kairo: Dâr al-Ḫadîts. 2010.
Ibn Manẕûr. Lisân al-‘Arab. Saudi Arabia: Dâr „Âlim al-Kutub. 2003.
Jahar, Asep Saepudin dkk. Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian
Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional. Jakarta:
Kencana. 2013.
68
69
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I‘lâm al-Muwaqqi‘in. Kairo: Maktabah al-Kulliyyât
al-Azhâriyyah. 1968.
Al-Juwainî. Al-Burhân fî Uṣûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah. 1997.
Al-Khâdamî, Nûr al-Dîn. Al-Ijtihâd al-Maqâṣidî. Qatar: Kitâb al-Ummah. 1998.
Al-Laṯîf, „Abd al-Raḫmân Ibn Ṣâliḫ al-„Abd. Al-Qawâ‘id wa al-Dlawâbiṯ alFiqhiyyah al-Mutadlamminah li al-Taysîr. Madinah: Lembaga Penelitian
Keilmuwan Universitas Islam Madinah. 2003.
Musbikin, Imam. Qawa‘id al-Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001.
Al-Mûṣilî, Abû Ya„lâ. Musnad Abî Ya‘lâ. Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-Turâts,
1984.
Nata, Abudin. Masail Al-Fiqhiyah, cet. II. Jakarta: Kencana. 2006.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai
KHI. Jakarta: Kencana. 2004.
Al-Qaradlâwî, Yûsuf. Dirâsah fî Fiqh Maqâṣid al-Syarî‘ah, cet. III. Kairo: Dâr
al-Syurûq. 2008.
Al-Qarâfî. Al-Furûq. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah. 1998.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet. VI. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2003.
Al-Sijistânî, Abû Dâwud. Sunan Abî Dâwud. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabî. Tth.
Suma, M. Amin. Hukum Keluarga Islam di dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2004.
Al-Subkî, Tâj al-Dîn. Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir. Beirut: Dâr al-Kutub al„Ilmiyyah. 1991.
Al-Suyûṯî, Jalâl al-Dîn. Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh alSyâfi‘î. Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah li al-Turâts. 2009.
Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât. Kementrian Agama Saudi Arabia. 1424 H.
Al-Syaukânî. Irsyâd al-Fuḫûl. Riyad: Dâr al-Fadlîlah. 2000.
Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002.
70
Wâṣil, Naṣr Fârid Muḫammad dan „Abd al-„Azîz Muḫammad „Azzam. Qawaid
Fiqhiyyah. Penerjemah Wahyu Setiawan. Jakarta: Amzah. 2013.
Zuhailî, Wahbah. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Beirut: Dâr al-Fikr. 1989.
Rahmawati, Anif. “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”. Artikel
diakses
pada
24
Oktober
2015
dari
https:
//www.academia.edu/4836677/RESPON-MASYARAKAT- TERHADAPHUKUM-KELUARGA-ISLAM.
Download