6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permasalahan Unsur Hara Pada

advertisement
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Permasalahan Unsur Hara Pada Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas
tanaman perkebunan yang berkembang cukup pesat akhir-akhir ini. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik, luas perkebunan kelapa sawit berkembang sekitar
1.400.000 hektar dalam kurun waktu 5 tahun, dari yang semula sekitar 3.594.300
hektar pada tahun 2005 menjadi 5.032.800 hektar pada tahun 2010. Data terbaru
yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian
Republik Indonesia, luas areal lahan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2011
mencapai 8.908.000 hektar sedangkan di tahun 2012, angka sementara
menunjukkan luasannya mencapai 9.271.000 hektar, meningkat hingga 363.000
hektar (Dunia industri, 2012).
Semakin luasnya areal penanaman kelapa sawit memberikan konsekuensi
beragamnya kondisi areal yang juga berpengaruh terhadap beragamnya kondisi
pertumbuhan dan kandungan unsur hara yang ada pada tanaman kelapa sawit
tersebut. Menurut Goh dan Teo (2008), tanaman kelapa sawit merupakan tanaman
yang memiliki tingkat produksi bobot kering tertinggi karena mampu mengubah
energi matahari menjadi bahan kering dan minyak lebih baik dibanding tanaman
C3 yang lain, proses ini membutuhkan hara dalam jumlah besar yang harus
disediakan melalui tanah dan pupuk yang diberikan ke tanaman. Oleh karena itu
seringkali ditemukan gejala defisiensi hara pada tanaman kelapa sawit di lapangan
akibat suplai hara yang berasal dari tanah dan pupuk yang tidak mencukupi
kebutuhan tanaman.
6
7
Analisis daun secara kimia sudah sejak lama digunakan sebagai alat untuk
mengetahui status hara daun tanaman kelapa sawit. Walaupun demikian metode
ini tergolong cukup mahal dan membutuhkan waktu. Di sisi lain, metode alternatif
terkait hal tersebut belum banyak digunakan. Lelong et al. (2007), dalam
penelitiannya mencoba menggunakan prinsip reflektansi cahaya pada daun kelapa
sawit untuk mendeteksi gejala defisiensi hara. Penelitian tersebut didasarkan pada
adanya hubungan antara reflektansi cahaya infra merah dekat dan tampak pada
daun dengan kandungan pigmen serta mineral dalam daun tersebut. Akan tetapi
hasil penelitian tersebut belum dapat direkomendasikan untuk menduga status
hara daun kelapa sawit lebih lanjut di lapangan.
2.2. Diagnosis Kandungan Hara Tanaman Kelapa Sawit
Gejala defisiensi masing-masing unsur hara dapat berbeda antara satu hara
dengan hara yang lain, begitupula pada tanaman kelapa sawit. Gejala defisiensi
secara visual di daun sangat jelas terlihat pada kondisi tingkat gejala yang akut
dan menurunnya pertumbuhan tanaman. Untuk unsur hara makro (N, P, K, Mg
dan Ca) umumnya gejala defisiensi muncul pada pelepah daun tua sedangkan
untuk unsur hara mikro (B, Cu, Zn, Fe) muncul pada pelepah daun yang lebih
muda, hal ini disebabkan karena unsur hara makro lebih mudah ditranslokasi dari
daun tua ke daun muda. Maschner (1995) menjelaskan bahwa gejala defisiensi
biasanya muncul pada daun muda ataupun daun tua bergantung pada dimana hara
tersebut ditranslokasi kembali. Pola distribusi gejala mungkin juga dimodifikasi
oleh metode yang digunakan untuk menimbulkan terjadinya defisiensi yakni
8
ketidakcukupan suplai hara secara permanen atau terjadinya gangguan secara tibatiba pada saat tanaman menerima suplai hara dalam jumlah besar.
Metode penentuan status hara secara visual sangat terbatas, hanya bisa diamati
pada saat tanaman mengalami gejala kekurangan yang jelas dan biasanya
memunculkan kerancuan karena adanya gejala yang hampir mirip dari beberapa
unsur hara tertentu, dan secara umum gejala yang muncul di daun berupa
terjadinya klorosis atau perubahan warna daun. Untuk mengetahui kondisi status
hara di dalam jaringan tanaman secara pasti digunakan analisis jaringan tanaman
dengan mengambil bagian tanaman, seperti daun, batang atau akar tanaman
sebagai sampel untuk selanjutnya di analisis di laboratorium dengan metode
analisis yang berbeda bergantung pada jenis hara yang ingin diketahui kadarnya.
Analisis daun merupakan salah satu indikator dalam mengetahui apakah suatu
unsur dalam keadaan optimal atau tidak. Penggunaan analisa kimiawi terhadap
material tanaman untuk keperluan diagnosis didasarkan pada asumsi bahwa
terdapat hubungan antara tingkat pertumbuhan tanaman dan kandungan berat
kering atau berat basah atau dengan kata lain konsentrasi hara di dalam jaringan
tanaman. Kandungan hara di daun terbukti lebih baik dalam merefleksikan status
hara tanaman dibandingkan organ tanaman yang lain (Marschner, 1995).
Pada tanaman kelapa sawit, diagnosis kandungan hara secara umum dilakukan
dengan metode analisis jaringan daun. Metode ini merupakan metode yang paling
banyak digunakan untuk menentukan apakah tanaman mengalami defisiensi dan
lebih jauh lagi konsentrasi hara yang terkandung di dalam daun (Corley dan
Tinker, 2003), walaupun untuk hara P dan K analisis rachis lebih dapat diandalkan
akurasinya dibanding analisis daun (pinnae) (Foster dan Prabowo, 2002).
9
Kelemahan dari metode analisis daun adalah kurang praktis, membutuhkan waktu
yang lama dan biaya yang besar (Lelong et al., 2007), sehingga untuk melakukan
deteksi secara langsung terhadap gejala defisiensi pada tanaman di lapangan harus
menunggu hasil analisis jaringan tersebut terlebih dahulu. Solusi alternatif
diagnosis gejala defisiensi hara dengan memanfaatkan metode reflektansi cahaya
infra merah pernah dilakukan oleh Lelong et al. (2007) namun hasil penelitian
tersebut belum memuaskan dan belum dapat dimanfaatkan di lapangan.
2.3. Klorofil dan Fluoresensi Klorofil
Klorofil merupakan pigmen daun yang sangat berperan dalam proses
fotosintesis tanaman yang memungkinkan tanaman dapat menyerap energi dari
cahaya matahari. Klorofil pada tanaman terdiri atas dua jenis yakni klorofil a dan
klorofil b. Klorofil a memiliki rumus molekul C55H72O5N4Mg, sedangkan klorofil
b memiliki rumus molekul C55H70O6N4Mg. Perbedaan struktur klorofil b
dibandingkan klorofil a adalah pada ikatan metil yang digantikan oleh gugus
formil (Gambar 1). Rasio klorofil a dan b pada tanaman adalah tiga berbanding
satu. Hanya klorofil a yang merupakan penyusun utama pusat reaksi fotosintesis
dan juga dapat dikatakan merupakan pusat pigmen fotosintesis. Energi cahaya
yang diserap oleh klorofil b dapat ditransfer dengan sangat efisien ke klorofil a,
sehingga dengan cara ini klorofil b dapat memacu efisiensi tanaman untuk
menggunakan energi cahaya matahari (Heldt dan Piechulla, 2011).
10
Gambar 1. Struktur kimia klorofil (Heldt dan Piechulla, 2011)
Energi dari cahaya matahari yang diserap oleh klorofil dalam prosesnya
mengalami tiga proses yakni energi cahaya tersebut digunakan untuk langsung
menjalankan proses fotosintesis, kelebihan energi dari cahaya tersebut dilepaskan
sebagai panas dan peristiwa yang ketiga adalah energi cahaya tersebut
dipancarkan kembali (re-emisi) sebagai cahaya. Peristiwa yang terakhir tersebut
dikenal sebagai Fluoresensi Klorofil. Ketiga peristiwa tersebut menurut Maxwell
dan Jhonson (2000) saling berkompetisi, peningkatan efisiensi dari satu proses
akan menyebabkan penurunan hasil dua proses yang lain. Dengan mengukur
fluoresensi klorofil, informasi terkait perubahan dalam efisiensi fotokimia dan
pelepasan panas dapat diperoleh. Metode fluoresensi klorofil ini dapat digunakan
sebagai indikator dalam mengetahui kandungan klorofil di daun karena menurut
Gitelson et al. (1999), rasio fluoresensi klorofil pada 735 nm dan 700 nm sangat
linier dengan kandungan klorofil.
Beberapa parameter klorofil yang umum digunakan adalah F0, Fm, Fv dan
Fv/Fm. Nilai F0 merupakan nilai fluoresensi minimal yang menunjukkan tingkat
fluoresensi awal pada saat daun mengalami fase penggelapan, pada kondisi ini
11
kompleks pigmen yang berhubungan dengan pigmen diasumsikan akan membuka.
Nilai Fm merupakan nilai fluoresensi maksimal setelah pigmen memperoleh
perlakuan cahaya, pada kondisi ini semua antena diasumsikan tertutup. Parameter
Fv dan Fv/Fm merupakan parameter hitung yang berpedoman pada nilai F0 dan
Fm. Fv merupakan selisih antara nilai Fm dan F0, sedangkan Fv/Fm merupakan
rasio antara nilai fluoresensi variabel (Fv) dan fluoresensi maksimal yang
digunakan untuk mengestimasi potensial efisiensi fotosistem II (PSII) atau
mengukur kuantum maksimal hasil fotosistem II. Nilai Fv/Fm dapat digunakan
sebagai indikator yang sensitif terhadap kondisi fotosintesis tanaman. Nilai yang
rendah dari parameter tersebut terjadi jika tanaman mengalami gangguan terlebih
gangguan yang terkait dengan fotoinhibisi (Maxwell dan Johnson, 2000). Menurut
Khalegi et al. (2012), rasio Fv/Fm akan menurun, nilai F0 cenderung meningkat
dan nilai Fm cenderung menurun pada tanaman Olea europaea yang mengalami
kekurangan air. Percival et al. (2008) juga memaparkan hal yang sama namun
pada kondisi gangguan yang berbeda yakni pada kondisi hara nitrogen yang
rendah. Pada kondisi hara nitrogen di bawah 1.5% berhubungan dengan
menurunnya rasio Fv/Fm di bawah 0.80. Lebih lanjut lagi dipaparkan oleh
Afrousheh et al. (2010), tanaman yang memperoleh unsur hara yang lengkap
tercatat memiliki nilai rasio Fv/Fm yang maksimal (0.87) dibanding tanaman yang
mengalami kekurangan hara nitrogen (N), magnesium (Mg), besi (Fe), Mangan
(Mn), Molibdenum (Mo) dan kombinasi kekurangan hara-hara tersebut. Maxwell
dan Johnson (2000) juga melaporkan bahwa terdapat hubungan yang langsung
antara fotosintesis dan rasio Fv/Fm.
12
Penggunaan fluoresensi klorofil untuk mengukur efisiensi fotokimia pada
fotosistem II (PSII) dan indikator performa tanaman pada saat mengalami
cekaman lingkungan menyebabkan meningkatnya pemanfaatan pengukuran
fluoresensi klorofil pada berbagai kondisi lingkungan. Pengukuran tersebut dapat
memberikan informasi terkait quenching (penghamburan) non fotokimia (NPQ),
laju transpor elektron, efisiensi kuantum dan fotoinhibisi sebagai respon terhadap
cahaya, suhu dan stress lingkungan yang lain (Maxwell dan Jhonson, 2000).
Fluoresensi klorofil tidak dapat diamati dengan mata telanjang, namun dapat
dideteksi dengan memanfaatkan teknologi yakni Plant Efficiency Analyser (PEA).
Melalui alat ini dapat dilihat seberapa besar energi cahaya yang dipancarkan
karena berlebihan untuk dapat digunakan dalam fotosintesis. Dalam New Ag
International (2009) dijelaskan bahwa teknologi ini memudahkan peneliti untuk
melakukan identifikasi masalah nutrisi di dalam tanaman karena pada dasarnya
stress nutrisi dapat meningkatkan jumlah energi cahaya yang dilepaskan oleh
tanaman yang terlihat dari indikator meningkatnya emisi fluoresensi.
Beberapa penelitian menggunakan indikator fluoresensi klorofil untuk
mengidentifikasi kemampuan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dan
cekaman akibat suhu tinggi. Longenberger et al. (2009) mengemukakan bahwa
protokol fluoresensi klorofil dimanfaatkan dalam pemuliaan tanaman kapas untuk
mendapatkan genotip tanaman kapas yang toleran terhadap kekeringan dari 20
genotip kapas yang ada di Amerika. Fluoresensi klorofil dapat memberikan
pengukuran secara cepat hasil kuantum efektif (ΔF/Fm') dari fotosistem II (PSII)
dibawah kondisi cahaya lingkungan. Tanaman yang sehat dapat menyerap cahaya
matahari dan secara langsung proporsi energi cahaya diserap ke dalam proses
13
fotosintesis. Secara umum, proporsi maksimal dari energi cahaya yang diserap
sekitar 83% setara dengan hasil kuantum 0.83. Pada saat tanaman stress
penurunan hasil kuantum fotosintesis membuktikan hal tersebut sehingga dapat
digunakan untuk screening secara cepat. Penurunan hasil kuantum tersebut terjadi
karena klorofil pada PSII menggunakan energi cahaya secara berlebihan akibat
kelebihan cahaya (Bieber, 2012; Maxwell dan Jhonson, 2000).
Kondisi hara yang kurang pada tanaman juga dapat menyebabkan terjadinya
cekaman/stress sehingga proses metabolisme tanaman menjadi terganggu, terlebih
terhadap proses fotosintesis yang didalamnya terdapat keterlibatan klorofil. Energi
cahaya yang digunakan oleh klorofil untuk menjalankan fotosintesis tidak
diimbangi dengan suplai hara yang cukup akibatnya selain terjadi stress hara juga
terjadi stress sekunder yang berupa stress kelebihan cahaya. Fotosistem II (PSII)
merupakan organ fotosintesis yang paling rentan mengalami kerusakan akibat
cahaya, sehingga kerusakan PSII sering merupakan manifestasi cekaman/stress
pada daun. Perubahan dalam parameter fluoresensi akibat pengaruh unsur hara
diungkapkan oleh Zhou et al. (2011) pada tanaman mentimun dan padi. Nilai
kuantum maksimal pada fotokimia fotosistem II (Fv/Fm) mengalami perubahan
pada perlakuan dua bentuk nitrogen yang berbeda yakni dari 0.82 pada tanaman
yang mendapat perlakuan NO3- menjadi 0.75 pada tanaman yang mendapat NH4+,
hal ini menggambarkan terjadinya fotoinhibisi yang terjadi pada tanaman yang
mendapat perlakuan NH4+. Pola fluoresensi pada tanaman yang mengalami
defisiensi hara juga cenderung berbeda dan menurun dibanding tanaman yang
normal (Gambar 2). Temuan ini diungkapkan oleh para peneliti di Prancis pada
tanaman anggur yang mengalami defisiensi besi, dimana nilai fluoresensi
14
maksimalnya jauh lebih rendah dibandingkan tanaman tidak mengalami defisiensi
(New Ag International, 2009).
(Unit)
Gambar 2. Kurva fluoresensi klorofil pada tanaman anggur yang mengalami
defisiensi Fe dan yang tidak mengalami defisiensi Fe (New Ag
International, 2009).
2.4. Hubungan Fluoresensi Klorofil dan Kandungan Hara Daun
2.4.1. Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman
kelapa sawit. Defisiensi nitrogen mempengaruhi fungsi dan perkembangan
kloroplas, perubahan warna daun menjadi agak pucat yang disebabkan oleh
terjadinya hidrolisis protein untuk menghasilkan asam amino yang didistribusikan
kembali ke daun yang lebih muda, sehingga pelepah daun yang lebih tua menjadi
15
pucat atau berwarna kuning terang serta mengalami klorosis yang kemudian pada
tingkat yang lebih parah akan mengalami nekrosis (Goh dan Hardter, 2003).
Pola hubungan antara nitrogen dan klorofil secara langsung pada tanaman
kelapa sawit belum begitu banyak dipelajari, namun hasil penelitian Sun et al.
(2011) memberikan gambaran bahwa penurunan kandungan hara nitrogen diikuti
dengan penurunan kandungan klorofil di daun. Tanaman kelapa sawit yang
mengalami perlakuan stress nutrisi dan air menunjukkan kandungan klorofil a/b
yang lebih rendah demikian pula dengan status hara nitrogennya dibandingkan
tanaman kelapa sawit yang mendapatkan pengairan dan pemupukan yang cukup.
Hubungan antara klorofil dan kandungan hara nitrogen pada beberapa
tanaman menunjukkan korelasi yang cukup erat. Bojovic dan Marcovic (2009)
menerangkan bahwa terdapat korelasi yang sangat erat antara kandungan klorofil
dan status nitrogen pada tanaman gandum, hal ini dapat dimengerti karena
nitrogen merupakan unsur penyusun molekul klorofil sehingga kandungan
nitrogen sangat mempengaruhi pembentukan kloroplas. Analisis korelasi antara
indeks kandungan klorofil dan nitrogen pada daun Sugar Mapel mengindikasikan
64% variasi pada kandungan nitrogen di daun dapat diperkirakan menggunakan
indeks kandungan klorofil, nilai tersebut diperkirakan dapat meningkat dengan
mengukur berat daun spesifik atau mempertimbangkan kandungan nitrogen
berdasarkan luasan daun dibanding berdasarkan bobot keringnya (van den Berg
dan Perkins, 2004). Nilai korelasi yang lebih tinggi antara kandungan nitrogen
daun dan kandungan klorofil berdasarkan metode klorofil meter terlihat pada hasil
penelitian Shaahan et al. (1999) pada tanaman mangga, jeruk mandarin, jambu
dan anggur dengan nilai korelasi antara 92% hingga 95%, yang berarti korelasinya
16
sangat erat. Perbedaan nilai korelasi yang ditunjukkan pada tanaman yang berbeda
tersebut dipengaruhi oleh ketebalan daun dan pola distribusi di antara daun itu
sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Chang dan Robinson (2003) dalam Liu et
al. (2012), yang menyebutkan bahwa pola hubungan yang kurang erat antara
klorofil dan kandungan nitrogen disebabkan oleh tingkat heterogenitas ketebalan
daun dan distribusi antar daun di dalam suatu tanaman.
Gejala kekurangan hara nitrogen pada tanaman juga menyebabkan terjadinya
penurunan proses fotosintesis yang ditandai dengan turunnya efisiensi
fotosintesis. Kondisi ini terlihat dengan nilai fluoresensi yang rendah pada kondisi
kandungan hara nitrogen yang juga rendah. Menurut Peterson et al. (1993) dalam
Percival et al. (2008), rendahnya efisiensi fotosintesis disebabkan oleh rendahnya
kandungan N daun dapat diantisipasi karena umumnya N daun terkandung di
dalam molekul klorofil yang berperan sebagai sel utama aktivitas fotosintesis pada
tanaman tingkat tinggi. Perbedaan bentuk molekul hara nitrogen yang diserap
tanaman juga memiliki nilai fluoresensi (Fv/Fm) yang berbeda. Perubahan atau
pola fluoresensi pada tanaman yang mengalami kekurangan hara nitrogen sangat
jelas terlihat, sehingga memberikan informasi penting terkait pengaruh yang
muncul pada tanaman akibat stress lingkungan. Nesterenko et al. (2001) dan
Neves et al. (2005) dalam Afrousheh et al. (2010) melaporkan bahwa daun
tanaman yang sehat dengan kandungan klorofil yang tinggi memiliki nilai
fluoresensi (Fv/Fm) yang maksimal.
17
2.4.2. Magnesium
Magnesium seperti halnya nitrogen juga berperan penting dalam metabolisme
tanaman kelapa sawit. Magnesium merupakan unsur pokok penyusun klorofil dan
berperan penting dalam proses fotosintesis. Sekitar 10-35% kandungan
magnesium total pada tanaman kelapa sawit terkandung di dalam klorofil
bergantung pada ketersediaan magnesium pada tanaman kelapa sawit itu sendiri.
Pada kondisi kekurangan magnesium dan intensitas cahaya yang rendah, proporsi
magnesium di dalam klorofil mungkin kurang 50% dari total magnesium dalam
tanaman. Magnesium juga merupakan komponen penting dalam enzim yang
mengkatalis pembentukan klorofil dan berperan sebagai unsur penghubung antara
subunit ribosom dalam sintesis protein (Goh dan Hardter, 2003).
Menurut Mohamad (2003), kandungan klorofil pada bibit kelapa sawit yang
mengalami defisiensi magnesium mengalami penurunan yang cukup nyata
berdasarkan pengukuran dengan klorofil meter yakni 22.90 (dibawah nilai kritis
42.78). Konsentrasi magnesium memiliki korelasi yang positif terhadap
kandungan klorofil, kekurangan magnesium mempengaruhi kandungan klorofil
seperti yang terungkap pada hasil penelitian Shaahan et al. (1999) pada tanaman
buah-buahn dan Afrousheh et al. (2010) pada tanaman Pistachio. Menurut
Shaahan et al. (1999), konsentrasi magnesium di daun mempengaruhi terjadinya
klorosis, gejala defisiensi magnesium ditandai dengan gejala klorosis diantara
tulang-tulang daun (interveinal chlorosis) pada daun yang lebih tua.
Penelitian terkait pengaruh magnesium terhadap fluoresensi klorofil tidak
sebanyak penelitian terhadap fluoresensi klorofil akibat pengaruh nitrogen. Akan
tetapi magnesium sebagai unsur inti penyusun klorofil sudah pasti sangat
18
berpengaruh terhadap nilai fluoresensinya, seperti hasil penelitian Afrousheh et al.
(2010) pada tanaman Pistachio yang menunjukkan secara jelas bahwa nilai
fluoresensi daun tanaman yang mengalami kekurangan magnesium lebih rendah
dibandingkan tanaman yang sehat.
Download