KATA PENGANTAR ­G¡+Ýo ¯2Ù{´ ¯2lµo Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada kebenaran hakiki. Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi. Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa lalu. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada : 1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai ii Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs. Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan. 2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis. Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan proposal skripsi ini. 3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing, yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan bimbingan ini. 4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu memberi masukan penulis mengenai penelitian ini. 5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi eksistensi pondok. 7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah iii membantu penulis dalam mengambil data lapangan (Mohon maaf banyak data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian). 8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis. Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin. Ciputat, 23 Juni 2010 Mohamad Romdoni iv ABSTRAK Sudah satu abad lebih pondok pesantren Nahdjussalam memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di masyarakat. Sifat ekslusif pesantren Nahdjussalam menjadikan pesantren tidak lepas dari pengaruh-pengaruh luar seperti dampak-dampak industrialisasi dalam arti yang seluas-luasnya. Keberadaan pesantren dan industrialisasi di wilayah Panyawungan tentu akan memberi bentuk baru masyarakat dalam orientasi makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan. Dari permasalahan dan asumsi di atas, menimbulkan pertanyaan; Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik masyarakat kampung panyawungan? Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren dan industrialisasi: dilihat dari aspek doktrin atau isi dan materi, dan dari apek generik seperti bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik seperti militan, utopis, terbuka, dan tertutup? Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dan menggunakan metode deskriftip kualitatif untuk menyajikan temuan-temuan yang ada di lapangan. Industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen, akhlak dan nilai-nilai luhur. Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, dan tafsiran kultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari interaksi intersubjektif dalam masyarakat. Masyarakat kampung Panyawungan tidak hanya turut pada ketentuan normatif semata, tapi mereka sudah mulai mempertimbangkan asas fungsional. Perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum elit” baik dalam posisi sebagai subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya juga berimplikasi pada proses transformasi “bawah” masyarakat dan lingkungannya. i KATA PENGANTAR ­G¡+Ýo ¯2Ù{´ ¯2lµo Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada kebenaran hakiki. Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi. Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa lalu. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada : 1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai ii Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs. Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan. 2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis. Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan proposal skripsi ini. 3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing, yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan bimbingan ini. 4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu memberi masukan penulis mengenai penelitian ini. 5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi eksistensi pondok. 7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah iii membantu penulis dalam mengambil data lapangan (Mohon maaf banyak data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian). 8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis. Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin. Ciputat, 23 Juni 2010 Mohamad Romdoni iv DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ ABSTRAKSI ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................... v DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 6 D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8 E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9 F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 10 BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian dan Sejarah Pesantren .............................................................. 12 A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12 A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren .............................................. 15 A.3. Sistem Nilai Pesantren ................................................................ 17 B. Pengertian Industrialisasi .......................................................................... 18 B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18 B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ............................................... 20 B.3. Industri Mempengaruhi Politik .................................................... 23 C. Agama Dan Politik ........................................................................................... 26 v D. Pengertian Budaya Politik ......................................................................... 28 D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28 D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31 1. Berdasarkan Pola Otoritas ........................................................ 31 2. Berdasarkan Orientasi ................................................................ 33 3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34 D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36 E. Kerangka Konseptual ................................................................................. 37 BAB III GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP. PANYAWUNGAN A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43 A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren .............................. 43 1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ............................................................................................. 46 2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual ... 49 3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik ............................................................................................................ 52 4. Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren ....... 53 A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ................................................. 54 2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54 2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58 A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60 A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ............................................ 62 A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65 B. Kondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 68 vi B.1. Sejarah Kampung Panyawungan ..................................................... 68 B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69 B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk ........................... 72 B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74 BAB IV PERUBAHAN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUGAN A. Artikulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76 B. Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Antara Pemberdayaan dan Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80 C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83 D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat Kampung Panyawungan ................................................................................... 86 D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86 D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan Pragmatis ............................................................................................... 90 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................................ 98 B. Rekomendasi .................................................................................................... 100 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................. vii Daftar Digram Diagram 1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 42 Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46 Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil ......................... 48 Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48 Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49 Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59 Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ............................ 89 Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ......................... 90 viii Daftar Tabel Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71 Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75 ix Daftar Gambar Gambar 1. Lokasi Komplek Pesantren................................................................... 45 Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63 Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68 Gambar 4. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung) ..... 77 Gambar 5. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 82 Gambar 6. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ...................... 93 Gambar 7. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta ......................... 97 x DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ ABSTRAKSI ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................... v DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ viii DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 6 D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8 E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9 F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 11 BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian dan Sejarah Pesantren .............................................................. 12 A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12 A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren .............................................. 15 A.3. Sistem Nilai Pesantren ................................................................ 17 B. Pengertian Industrialisasi .......................................................................... 18 B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18 B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ............................................... 20 B.3. Industri Mempengaruhi Politik .................................................... 23 v C. Agama Dan Politik ........................................................................................... 26 D. Pengertian Budaya Politik ......................................................................... 28 D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28 D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31 1. Berdasarkan Pola Otoritas ........................................................ 31 2. Berdasarkan Orientasi ................................................................ 33 3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34 D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36 E. Kerangka Konseptual ................................................................................. 37 BAB III GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP. PANYAWUNGAN A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43 A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren .............................. 43 1.1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ........................................................................................ 46 1.2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual ...................................................................................................... 49 1.3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik ........................................................................................... 52 1.4. Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren .. 53 A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ................................................. 54 2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54 2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58 A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60 A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ............................................ 62 A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65 B. Kondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 67 vi B.1. Sejarah Kampung Panyawungan ..................................................... 67 B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69 B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk ........................... 72 B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74 BAB IV PENGARUH INDUSTRIALISASI PADA KAMPUNG PANYAWUNGAN A. Artikulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76 B. Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren : Antara Pemberdayaan dan Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80 C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83 D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat Kampung Panyawungan ................................................................................... 86 D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul : Aliansi Kepentingan Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86 D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna : Tarik Menarik Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan Pragmatis ............................................................................................... 90 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................................ 99 B. Rekomendasi .................................................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................. vii Daftar Tabel Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71 Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75 ix Daftar Gambar Gambar 1. Lokasi Komplek Pesantren................................................................... 45 Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63 Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68 Gambar 4. Peta Kampung Panyawungan ................................................................... 69 Gambar 5. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung) ..... 78 Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 83 Gambar 7. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ...................... 93 Gambar 8. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta ......................... 97 x Daftar Digram Diagram 1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 42 Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46 Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil ......................... 48 Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48 Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49 Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59 Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ..........................89 Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul .......................90 viii 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam Nusantara telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and character building. Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial dan politik Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat mensah-kan pentasbihan. 1 Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah Indonesia itu sendiri. 2 Pesantren selain pengemban misi pewaris para Nabi dan penterjemah wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki pengaruh terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari institusi sosial, keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur dalam arti merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun pesantren mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal itu bukan Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta : Pustaka Jaya) 1983, h. 33 Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda Al-Khairiyah se Indonesia, Serang 1992, h. 2 1 2 2 berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sebab pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya. 3 Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan keberlangsunganya pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran masyarakat. Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren dahulunya kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung ayam, adu domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah pesantren dengan latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat umum. Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren mejadikan pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan saling memberi pengaruh satu sama lain. Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur. Pondok pesantren Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung Panyawungan 3 H.M Yacub., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung : Angkasa, 1985). 3 menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh masyarakat sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu karena luasnya jejaring pesantren tersebut. Pengaruh pondok pesantren yang masuk kedalam sendi-sendi norma, budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga membawa pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat kampung Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang menjadikan kyai serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Namun, kini pesantren Nahdjussalam mendapatkan tantangan dalam membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring dengan gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di kawasan lingkar Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat signifikan, seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian, percepatan pembangunan, dan lain-lain. Namun industrialisasi yang berada di kawasan lingkar Panyawungan juga membawa sisi negatif yang berimbas pada kehidupan masyarakat, seperti urbanisasi yang tidak terkontrol, pencemaran lingkungan oleh limbah industri, dan lain-lain. Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar terhadap sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas tidak terbantahkan karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal yang sangat cepat sehingga membawa perubahan dan memunculkan budaya baru dalam 4 masyarakat. Selain itu perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis juga berimbas pada perubahan sistem kemasyarakatan yang bersandarkankan pada orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional, heterogen, dan pemuasan kebutuhan. Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda dengan masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan otoritasnya adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah kepercayaan atau “legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar kompetisi. Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individuindividu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga sebuah tradisi. 4 Dari permasalahan tersebut penelitian ini menjadi penting karena memungkinkan banyaknya permasalahan yang unik. Misalnya, sebagai apakah pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong oleh industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar budaya (cultural broker) yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai berperan sebagai alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya, menularkan apa yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan Hiroko Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan sosial. Bukan karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan 4 h. 213 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, (Jakarta: Kanisius, 1994), 5 justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya. 5 Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis hal itu cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai dalam sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga tidak terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi yang dipimpinya, seperti aturan tertulis (tanbih), struktur kepengurusan, rentang generasi keluarga, dan lain-lain. Maka dengan alasan itu penulis lebih tertarik untuk meneliti keseluruhan institusi pesantren. Selain kemungkinan permasalahan di atas, penelitian ini juga menjadi penting untuk melihat bentuk baru dari budaya politik masyarakat kampung Panyawungan yang dipengaruhi oleh budaya industrialisasi dan budaya tradisional. Pengaruh mana yang lebih dominan dan apakah bentuk baru tersebut membawa kemajuan atau kemunduran berdasarkan konsep masyarakat madani. B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH Mengingat luasnya dampak perubahan yang di bawa oleh industrialisasi, sesuai dengan judul penulis hanya membatasi penelitian ini pada budaya politik masyrakat Panyawungan yang didasarkan pada perubahan orientasi makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan 6 . 5 Abdurahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam Hiroko Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. XVii 6 Mary Grisez Kweit, Konsep dan Metode Analisa Politik Penerjemah Ratnawati, (Jakarta; Bina Aksara, 1986). 6 Kajian budaya politik sama sekali berbeda dengan politik praktis. Dalam kajian budaya poltik ditelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk, operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak menopangnya, dan seterusnya. 7 Sedangkan untuk perumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik masyarakat kampung Panyawungan ? 2. Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren (tradisional) dan industri (modern); dilihat dari aspek doktrin (isi atau materi) dan dari aspek generik (bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup) ? C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN C.1. Tujuan 1. Untuk mengetahui perubahan pandangan politik yang ada di masyarakat kampung Panyawungan. 2. Untuk mengetahui eksistensi pengaruh pondok pesantren dalam perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri. 7 Amalinda Safirani, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November 1999 7 3. Sebagai bakti anak daerah dalam mengenal fenomena daerahnya serta menyumbangkan data eksistensi pesantren di kampung Panyawungan kepada pengguna dan pihak terkait, dalam hal ini pemerintah, pihak industri, maupun masyarakat umum untuk menjadikan pesantren sebagai mitra dalam program pembangunan dan pembrdayaan yang memberikan kontribusi besar pada masyarakat. C.2. Kegunaan 1. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam rangka menghimpun dan memperluas informasi tentang eksistensi dan dinamika pesantren yang tetap memberikan warna dalam ranah kehidupan. 2. Hasil penelitian ini juga bermanfaat terutama bagi kalangan pesantren dalam menyikapi diri lebih terbuka pada perubahan dan menyiapkan diri agar tetap menjadi simpul jaringan bagi kebutuhan dan pemberdayaan masyarakat. 3. Menjadi kajian pustaka bagi penelitian lainnya mengenai etos pesantren. 4. Mengembangkan penelitian bagi sarjana strata satu. Dan memberikan sumbangsi pada kajian pranata sosial, budaya politik dan komunikasi antar budaya. 8 D. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian sosial keagamaan dengan menggunakan pendekatan sosio - historis. Adapun metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu setting kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode penelitian ini untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselididki (M. Nazir, 1988 : 63). Sedangkan teknik pengumpulan dan analisa data dilakukan dengan cara; pengamatan dan wawancara untuk mendapatkan data primer. Pertama, Observasi (pengamatan). Pengamatan dilakukan untuk melihat fenomena dan gejala sosial yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya di lingkungan pesantren, yang meliputi kyai, santri dan di lingkungan masyarakat sekitar. Adapun waktu pegamatan sebenarnya telah terjadi begitu lama yaitu semenjak pemulis tinggal di lingkungan pesantren semasa sekolah SMA dan belajar mengaji di pesantren yang bersangkutan. Kedua, wawancara terencana-terbuka yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan yang lebih lengkap untuk menyempurnakan hasil pengamatan. Adapun sasarannya adalah kyai dan keluarga pesantren sebagai sumber untuk mendapatkan data primer. Dalam perjalananya, hasil wawancara yang cukup signifikan untuk dimuat dalam skripsi ini hanya dari orang-orang tertentu seperti sesepuh pondok yaitu KH. Athoillah, dan Ustadz Tb. Bibin Sarbini. Selain itu, data signifikan juga 9 banyak diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat seperti bapak Iin Zaenal Muttaqin selaku Ketua RW, dan bapak Iwan Miftahul Fallah selaku Mantan Kepala Desa Cileunyi Wetan. Wawancara dengan pelaku industri dijadikan sebagai data sekunder (pendukung) yang bisa digunakan untuk menjadi data pendukung dan pelengkap. Selain itu, data sekunder juga didapat dari Panitia Hari Besar Islam (PHBI) kampung Panyawungan, Karang Taruna, dan lembaga pemerintah setempat, seperti desa dan kecamatan. E. TINJAUAN PUSTAKA Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan maksud memeriksa apakah fokus penelitian yang akan dikaji telah ada orang terdahulu yang melakukannya. Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan fokus yang sama persis dengan fokus penelitian yang akan dikaji. Namun ada penelitian yang ditemukan sedikit mirip dengan fokus penulis. Aim Salim dari jurusan Penyiaran dan Penerangan Agama IAIN Sunan Gunung Djati (sekarang UIN) dalam penelitiannya “Relasi Antara Umara dan Ulama Di Desa Sukasari Kec. Tanjung Sari Kab. Sumedang (2001)” menemukan pengaruh seorang kyai yang sangat dominan dalam penentuan seorang kepala desa. Seorang calon kandidat kepala desa tidak akan diangkat sebelum mendapatkan izin dan restu dari kyai. Dalam kesimpulan penelitiannya kyai juga berperan penting dalam pembuatan kebijakan-kebijakan daerah tersebut, dan seperti menjadi dewan penasihat dalam lembaga-lembaga resmi dengan legitimasi total dari masyarakat. 10 Dra. Umdatul Hasanah dalam penelitian yang berjudul “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon (2008)”, menemukan bahwa pondok pesantren memberikan sumbangsih yang besar terhadap pembangunan masyarakat Cilegon. Namun sumbangsi yang diberikan pesantren dalam penelitiannya hanya menyentuh aspek-aspek religius masyarakat dan seolah pesantren tidak mempunyai andil dalam pembangunan yang sifatnya real. Namun menurut penulis hal itu wajar saja karena setiap pesantren mempunyai corak tersendiri yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, sejarah, lingkungan, dan psikologi pesantren dan masyarakatnya. Penelitian tentang pesantren telah banyak dilakukan oleh para ahli, Clifford Gerertz misalnya telah memasukan kelompok pesantren (santri) menjadi salah satu kelas masyarakat, di samping priyayi dan abangan pada masyarakat Jawa. Tentu saja dengan setting masyarakat pesantren pada awal dasawarsa 1950an, sudah lebih dari 30 tahun penelitian itu berlalu, tentu potret masa itu tidak bisa disamakan dengan potret pesantren masa kini. Pesantren bukan lagi lembaga yang tertutup, esoteris dan ekslusif. Bahkan Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai. 8 8 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES), 1985, h. 5 11 F. SISTEMATIKA PENULISAN Demi mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan berdasarkan kesamaan dan kesesuaian yang ada di dalam skripsi ini. Skripsi ini terdiri dari lima BAB. BAB I. Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodelogi penelitian yang berisi penjelasan metode yang akan digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, serta sistematika penulisan. BAB II. Kajian teori yang menjabarkan pengertian pesantren, pengertian industrialisasi, hubungan agama dan politik, pengetian budaya politik, serta kerangka konseptual yang dijadikan pedoman dalam penulisan skripsi ini. BAB III. Gambaran umum mengenai Pondok Pesantren Nahdjussalam dan kampung Panyawungan yang mencakup lokasi dan demografi. BAB IV. Temuan data lapangan yang berkaitan dengan perubahan budaya politik masyarakat kampung Panyawungan. BAB V. penutup yang mengemukakan hasil kesimpulan dari penelitian dan rekomendasi-rekomendasi baik bagi penelitian maupun tindakan. 12 BAB II KERANGKA TEORI A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PESANTREN A.1. Sejarah Pesantren Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India “shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di luar pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti “surau” di Sumatra Barat, “dayah” di Aceh, dan “pondok” di beberapa daerah lain. 1 Menurut Nurcholis Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sansakerta yaitu kata “sastri” yang artinya melek huruf. Dapat dikatan bahwa kaum santri adalah kaum yang melek huruf, oleh karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab. Atau paling tidak seorang santri dapat membaca al-Qur’an. Pendapat kedua menyatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik”, artinya seorang yang menngabdi kepada guru. Cantrik selalu berada di mana gurunya tinggal, dengan tujuan dapat belajar darinya tentang suatu keahlian. Pola hubungan guru-cantrik melalui proses evolusi berubah menjadi guru-santri. Kata guru diganti dengan kata kyai dengan tujuan lebih mengkeramatkan, 1 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve), 2003, Jilid 4 13 mensakralkan, dan memberi kharisma. Pada perkembangan selanjutnya di kenal dengan kyai-santri. 2 Sedangkan tentang asal-usul dan munculnya pesantren di Indonesia terdapat beberapa versi. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren berasal dari tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Sebab Rasulullah sebelum melakukan dakwah secara terang-terangan, beliau membentuk kelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman al-Arqam Ibn Abi al-Arqam. Barangkali tempat perteuam pertama untuk bermusyawarah mengenai masalah-masalah agama dalam Islam. Kediaman al-Arqam ini kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan halaqahhalaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi tasawuf. Pendapat pertama ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang melaksanakan amalan amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini disebut kiyai yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah bimbingan kiyai. Untuk keperluan suluk ini kiyai menyediakan ruangan-ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di sekitar masjid. Di samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan 2 Nurcholish Madjid, , Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta : Paramadina) 1997, hal 19 - 20 14 kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengretahuan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh para pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.3 Kedua, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil-alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan murid kepada guru yang pola hubungan antar keduanya tidak didasarkan kepada hal-hal yang sifatnya materi juga bersumber dari tradisi Hindu. Fakta lain yang menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara Islam lainnya. Sementara lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam masyarakat Hindu dan Budha seperti di India, Myanmar dan Thailand. 4 Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang asal-muasal pesantren, Wali Songo dipandang sebagai pemrakarsa berdirinya pesantren di Indonesia, dalam menyebarkan Islam dan mendirikan Ribath dan Halaqah-halaqah sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Sebagaimana tersurat dalam sejarah Indonesia, Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam 3 Ensiklopedi Islam , Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve) 2003, jilid 4 4 Ensiklopedi Islam , jilid 4 15 yang berhasil merekrut murid untuk kemudian menjalankan dakwah di setiap penjuru negeri. 5 A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren Dilihat dari tipelogi dan klasifikasi pesanteren, dalam peraturan yang dikeluarkan oleh menteri agama nomor 3 tahun 1979, mengklasifikasikan pondok pesantren sebagai berikut : 1. Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau sorogan); 2. Pondok pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pelajaran secara klasikal dan pengajaran oleh kiyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu, santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren; 3. Tipe C, yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kiyai hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut; 4. Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah. 6 Dari sekian tipe pondok pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi para santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan 5 Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, (Jakarta : Dharma Bhakti), 1979, hal. 19 - 21 6 H. Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung : Humaniora), 2006, h. 43-44 16 dalam dua tipelogi. Pertama, tipe salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pendidikan dan pengetahuan keislaman, al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya yang merujuk pada kitab-kitab kalsik (kuning) dengan menggunakan cara-cara sebagaimana awal pertumbuhannya. Kedua, Tipe Khalafiyah, yaitu pondok pesantren di samping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepesantrenan pada umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau madrasah). Sedangkan dilihat dari unsurnya, Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai. 7 Namun Saat ini pesantren dari sisi kelembagaan telah mengalami perkembangan dari yang sederhana sampai yang paling maju, sebagaimana yang dikemukakan Soedjoko Prasojo et al, ia menyebut setidaknya adanya lima macam pola pesantren. Pola 1 ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah kiyai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola 3 terdiri atas masjid, rumah kiyai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri atas masjid. Rumah kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola 5 terdiri atas masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, gedung pertemuan, sarana olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang terakhir inilah yang sering disebut “pesantren moderen”, yang di samping itu juga memiliki fasilitas-fasilitas penunjang lainya. 7 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES), 1985, hal. 5 17 A.3. Sistem Nilai Pesantren Sistem nilai yang digunakan oleh kalangan pesantren adalah yang berakar dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dari agama dipakai oleh mereka. Kalangan pesantren sendiri menamakan sistem nilai yang dipakainya itu dengan ungkapan “Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah”. 8 Menurut Nurcholish Madjid, Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah sendiri mengacu terutama pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab Sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al- Asy’ari, dan kemudian banyak dipopulerkan melalui karya-kaarya Imam Ghazali. Mempelajari dan menghafal rumusan tentang dua puluh sifat Tuhan adalah salah satu inti dari teologi Asy’ari yang diamalkan oleh para santri. Dalam hal fiqh, kaum santri mengikuti dan mewajibkan mengikuti salahsatu dari sekurang-kurangnya empat imam madzha fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam Syafi’i. Taqlid adalah ciri utama dari madzhab ini dan beroposisi dengan faham yang menganjurkan ijtihad. 9 Dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrenya di desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u ‘l-Najah, sedangkan dalam hal keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfiq. 10 Persoalan lain yang membedakan kaum santri dan kaum lainya ialah hal yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa atau lokal. Kaum santri 8 Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina), 1997, hal. 31 9 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, hal. 33 10 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, h. 33 18 menolak banyak sekali unsur-unsur adat lokal, tetapi mempertahankan sebagian lain dan kemudian diberi warna Islam. Salah satu adat yang masih dipertahankan kaum santri adalah sekitar selamatan. Yang dimaksud selamatan di sini adalah mendoakan orang yang telah meninggal dan bisaanya diakhiri oleh jamuan makan-makan oleh keluarga berkabung baik pada saat meninggalnya maupun setelahnya seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan haul. Dalam ritual itu bisaanya dibacakan tahlil, suatu ritus dalam bahasa Arab yang intinya membaca kalimat “La ilah-a illa ‘l-Lah”, dengan maksud berdoa untuk kebahagian orang yang telah meninggal. Dalam hal kesenian, sejalan dengan kearaban yang ada dalam kitab-kitab yang dipelajari, maka kaum santri juga menerima dengan antusias berbagai kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah qasidahqasidah mengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba’i dan Barzanji. Segi lain yang membedakan kaum santri dengan kaum lainya adalah dalam hal berpakaian. Songkok atau tutup kepala secara umum dianggap sebagai pakaian kaum santri. Sarung juga merupakan pakaian yang dianggap sebagi simbol kaum santri sehingga tidak jarang kaum santri disebut sebagai “kaum sarungan”. 11 B. PENGERTIAN INDUSTRIALISASI B.1. Pengertian Industrialisasi Menurut Henry Fratt sebagimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh 11 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina), h. 37 19 penggunaan ilmu pengetahuan terapan. Ditandai dengan ekspansi besar-besaran dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang luas dari barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh urbanisasi yang meningkat. 12 Tekanan yang akan digambarkan sebagai acuan untuk penelitian ini adalah industri yang mempunyai tekanan pada proses perubahan sosial, yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu sistem pra-industrial (agraris, misalnya) ke sistem sosial industrial. Masyarakat industrial menuntut dan melahirkan nilainilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Dikehendaki atau tidak industrialisasi pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh masyarakat non-industrial. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang mendasari masyarakat industrial. 1) Kesenangan yang tertunda; 2) Perencanaan kerja atau tindakan masa mendatang; 3) Tunduk terhadap aturan-aturan birokratis; 4) Kepastian, pengawasan yang banyak terhadap kedetailan, dan sedikit terhadap pengarahan; 5) Rutin dan dapat diramalkan; 6) Sikap instrumental terhadap kerja, dan 7) Kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan. 13 12 Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan), 1987, hal. 140 13 Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, h. 128 20 Nilai-nilai di atas adalah adalah nilai yang berlaku pada waktu kerja yang diakui sah oleh masyarakat dan setiap orang diharuskan bertindakdengan mengikuti ketentuan-ketentuannya. Namun nilai-nilai tersebut menjadikan manusia menjadi layaknya mesin atau dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah penderitaan sekalipun sifatnya immaterial. Maka dalam masyarakat industrial selu ada kecenderungan untuk dapat bebas dari kondisi tersebut. Penyaluran keinginan tersebut secara resmi seperti hari libur, cuti, atau waktu senggang. Jadi ada dua nilai yang dianut oleh seseorang dalam masyarakat industrial, yang resmi selama waktu kerja dan tidak resmi selama waktu senggang. Dapat pula dikatakan norma-norma resmi adalah publik life dan nilai-nilai waktu senggang adalah norma dalam private life. Atau ringkasnya, orang taat kepada aturan publik life untuk dapat menikmati nilai-nilai private life. Adapun perubahan nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja digambarkan secara sederhana oleh Herbert Marcuse sebagai berikut: dari (nilai waktu senggang) Ke (nilai waktu kerja) kepuasan yang segera di dapat Kepuasan yang tertunda kenikmatan Pengekangan kenikmatan kesenangan Garapan atau kerja sikap reseptif Sikap produktif tidak ada tekanan Ketertiban dan keamanan B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat Industri dalam arti luas, industri yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengaruh yang diberikan tersebut dapat berupa nilai-nilai dan pengaruh fisik terhadap 21 masyarakat. Berbicara industri adalah berbicara masalah proses mekanisasi yang berdampak pada skala luas produksi besar-besaran, spesialisasi dan pembagian kerja dengan merambah berbagai bidang seperti pertanian, energi, komunikasi, transportasi, dan lain-lain. Menyertai perubahan di bidang ekonomi terjadi pula perubahan yang komplek dalam kelompok sosial dan proses sosial. Pada tahap proses indusstrialisasi bisaanya bergandengan dengan urbanisasi dan peningkatan mobilitas penduduk. Terdapat pula perubahan yang penting dalam adat kebisaaan dan moral masyarakat yang mempengaruhi penggolongan primer maupun sekunder, dimana penggolongan sekunder memainkan peranan yang sangat besar.yang sangat menonjol adalah pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh status pekerjaan, keahlian-keahlian para pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan kedudukan wanita, terhadap tradisi-tradisi dan terhadap konsumsi barang. 14 Industri member input terhadap masyarakat sehingga membentuk sikap dan tingkahlaku yang tercermin dalam sikap bekerja. Weber mengatakan bahwa dengan adanya teknologi baru, diperlukan suatu nilai yang akan mengembangkan masyarakat menjadi masyarakat kapitalis tradisional; demikian juga jika hendak membangun masyarakat kapitalis modern diperlukan nilai-nilai tertenu. Masyarakat pada umumnya harus menerima posisi mereka baik dalam struktur industri maupun struktur sosial yang lebih luas lagi. Karena tingkat produksi tergantung pada tingkat konsumsi , masyarakat harus dibujuk untuk membeli berbagai jenis barang dan jasa yang diproduksi oleh pihak industri. 15 Mereka 14 Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, hal. 140 S.R Parker, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah G. Kartasapoetra (ttp : Bina Aksara, 1985),) hal. 93 15 22 memiliki fungsi untuk memproduksi berbagai jenis barang dan jasa sekaligus meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa hasil produksi. Usaha dalam meningkatkan produksi dan konsumsi melibatkan nilai-nilai dalam tingkat “masyarakat makro”. Jika ada perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, walaupun hal itu bersifat lokal ia akan melahirkan perubahan dalam industri. Seperti contoh di kampung Panyawungan, dengan merebaknya industri textile di kampung tersebut, biaya hidup di kampung tersbut menjadi sangat tinggi, dan hal itu menyebabkan permintaan kenaikan gaji oleh buruh atau penambahan jam kerja sebagai alternatif. Selain itu industri juga memiliki dampak pada perubahan fisik dalam masyarakat. Akibat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya industri bisa dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini seperti terjadi di wilayah kampung Panyawungan Kedatangan industri menjadikan kampung ini bukan lagi kampung yang hanya mengantungkan hidupnya dari bertani yang sifatnya subtantif tapi telah berevolusi menjadi masyarakat yang mempunyai banyak wilayah lapangan kerja, seperti menjadi buruh industri, penyedia jasa bagi pihak industri maupun buruh industri, dan lain-lain. Industri juga telah menjadikan harga tanah di wilayah ini menjadi sangat mahal. Kampung Panyawungan juga menjadi kampung sebagai penampung tenga kerja yang jumlahnya sangat fantastis, maka tidak heran apabila interaksi dengan berbagai macam budaya yang berbeda menjadikan masyarakat kampung Panyawungan kini tidak lagi bisa disamakan dengan keadaan masyarakat 30 tahun yang lalu. 23 B.3. Industri mempengaruhi Politik Salah satu persoalan kekuasaan yang sangat relevan untuk masyarakat modern adalah hubungan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuasaan politis. Di dalam sebuah masyarakat yang menjadi modern, perkembangan ilmu pengetahuan, teknolgi dan juga industri tidak terjadi dalam lingkungan yang terbatas melainkan meluas kedalam kehidupan yang luas. Merujuk pada pemikiran Habermas, dalam tanggapan kritisnya terhadap Aldous Huxley, Habermas setuju bahwa hubungan antara dunia ilmu pengaetahuan dan dunia kehidupan sosial itu terdapat dalam identitas ilmu pengetahuan dengan kekuasaan, tetapi Habermas berpendapat bahwa hubungan kedua dunia itu tidak langsung. Kita tidak dapat begitu saja mempengaruhi dunia kehidupan sosial dengan membawa hipotesa-hipotesa atau teori-teori ilmiah. Hal itu karena perbedaan kedua dunia tersebut. Dunia ilmu pengetahuan adalah sturuktur-struktur hasil rekontruksi yang halus, dunia yang serba teratur dan dapat di kuantifikasi, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat di uji secara intersubjektif. Sedangkan dunia pengalaman sehari-hari atau disebut “dunia kehidupan sosial” adalah dunia pengalaman pribadi, dunia tempat manusia lahir, hidup, mati, dunia tempat mausia mencintai, membenci, kalah, menang, harapan dan putus asa. Dunia ilmu pengetahuan itu dingin, tenang penuh abstraksiabttraksi halus, padat dengan klaim-klaim universal. Sedangkan dunia kehidupan sosial itu bergoalak, konkrit, padat dengan pengalaman-pengalaman unik. 16 16 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123 24 Untuk menyatukan kedua kehidupan berbeda tersebut, menurut Habermas dibutuhkan sebuah medium, yaitu penrapan teknisnya (teknologi). Ketika pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuan teknolgis, menurut Habermas, sifat kekuasaan dari ilmu pengetahuan menjadi efektif dalam dunia kehidupan. Dalam hal ini informasi-imformasi ilmiah ini dipakai untuk memperluas control teknis kita. Jadi pengetahuan tentang fisika atom, misalnya, tanpa penerapanya menjadi teknologi atom, tidak memiliki konsekwensi bagi penafsiran atas dunia kehidupan kita. Dalam masyarakat industri dewasa ini pengetahuan teknis yang dihasilkan lewat penerapan ilmu pengetahuan menjadi teknologi telah merasuki apa yang disebut Habermas sebagai “kesadaran praktis” kita. Yang diacu oleh istilah ini adalah adalah kesadaran yang muncul melalui interaksi intersubjektif dalam masyarakat, seperti: nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, tafsiran kultural, dan seterusnya. Pengetahuan teknis bukan lagi soal teknik-teknik pertukangan tradisional, melainkan sudah memperoleh bentuk informasi ilmiah yang dapat dipakai untuk teknologi. Habermas melihat bahwa dalam kemajuan teknis macam ini, tradisitradisi kebudayaan yang semula mengontrol tingkah laku sosial tidak lagi bisa begitu saja mendifinisikan pemahaman-diri masyarakat modern. 17 Seperti dikatakan di atas, bahwa industri erat kaitanya dengan ekonomi, dan seiring kemajuannya juga tidak lepas dari proses sosial. Berbeda dengan Habermas yang menilik kontelasi antara industri dan politik dari sisi ilmu terapan, 17 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123 25 Kuntowijoyo melihat konstelasi antara industri dengan politik dengan menggunakan analisa ekonomi politik. Dalam bukunya “Paradigma Islam: interpretasi untuk aksi (2001)”, Kuntowijoyo menggambarkan tentang kuatnya modal swasta timur asing (khususnya Cina) dalam proses industrialisasi kontek Indonesia sangat menonjol. Bahkan sebagian dari usaha mereka dapat menyaingi usaha pemerintah. Akibatnya kaum menengah pribumi tergeser posisinya dalam usaha yang membutuhkan modal besar dan organisasi besar. Organisasi Sarekat Islam adalah organisasi yang berorientasi ekonomi politik dan mencoba melawan dominasi swasta asing. Pasca 1965, pembangunan industri pada khususnya dan ekonomi pada umumnya, masih juga ditangani oleh pemerintah bersama modal swasta. Namun terdapat pendatang baru yang memasuki sektor usaha padat modal ini dari kalangan birokrat dan militer. Tentu saja hal itu disambut baik oleh pihak swasta dengan harapan mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan sosial macam PKI atau radikalisme Islam. 18 Sebaliknya, pihak pemerintah membutuhkan dana untuk melakukan kegiatan politik-politiknya yang didukung oleh pihak pemilik modal. Singkatnya kancah maupun perjalanan politik bangsa kita juga tidak bisa lepas dari pengaruh industri. Pandangan Habermas dan Kuntowijoyo di atas, sengaja penulis kemukakan karena menurut penulis hal ini cukup relevan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis. Industri sebagai konsekuensi kemajuan dari terapan ilmiah dan industri juga berkaitan langsung dengan hukum ekonomi, 18 hal. 176 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan), 1991, 26 dengan sendirinya akan membentuk kesadaran interaksi intersubjektif dalam masyarakat. Masyarakat baik segi-segi nilai maupun fisik, dalam segi nilai, industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen, akhlak dan nilai-nilai luhur. 19 Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, dan tafsiran cultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari interaksi intersubjektif dalam masyarakat. C. AGAMA DAN POLITIK Agama sebagai pengatur hubungan antar manusia dan juga hubungannya dengan Tuhan, pada dasarnya sudah berbekas pada individu, bagaimanapun dalam masyarakat yang sudah mapan atau belum, agama merupakan salah satu struktur institusional mempunyai nilai dan norma penting ang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Agama yang menyangkut kepercayaan beserta ritual-ritualnya yang menjadi pengalaman dalam masyarakat sehingga menimbulkan pengalaman tersendiri Penelaahaan terhadap agama merupakan hal yang mesti dilakukan, karena pemahaman bagi pemeluknya sangat beragam dan bermacam-macam, menurut Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Imam dan Tobroni, agama merupakan landasan terbentuknya suatu masyarakat yang kognitif. Artinya, agama 19 Ibid, h.2 27 merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama. 20 untuk itu dapat dikatakan bahwa pada umumnya orang percaya pada agama yang bersifat holistik sebagai alat untuk mencerna kehidupan. Bahwa agama memberi panduan, nilai, moral, dan etika perilaku dalam bentuknya yang universal. Apa yang diungkapakan dalam definsi prilaku, bahwasanya perilaku tidaklah akan tetap, dan pada suatu saat dapat mengalami pergerakan atau perubahan akan terlihat seiring dengan sosio-kulturalnya dan perkembangan seseorang tersebut. Ada beerapa unsur pokok tujuan politik untuk mendapatkan kekuasaan yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia ataupun antara kelompok yaitu adanya unsur takut. adanya unsur rasa cinta, adanya unsur pemujaan dan adanya unsur kepercayaan. 21 Jadi prilaku politik adalah tingkah laku terorganisir dalam upaya mencapai tujuan politik dengan unsur-unsur yang sistematis, bagi David Easton, perilaku politik pertama terdri dari alokasi nilai-nilai yang kemudian pengapikasianya tersebut bersifat mengikat terhadap masarakat secara keseluruhan. Identifikasi prilaku politik yang menyangkut proses penentuan tujuantujuan adalah sebagai berikut: 20 Imam Suprayogo dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, (bandung: PT. Remaja Rosda Karya), h. 16 21 Uswah, “Agama dan Politik : Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (Dpp)Partai Amanat Nasioanl”, ( Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta , 2007), h. 30 28 1. Pengambilan keputusan; 2. Skala prioritas dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum; dan 3. Pengaturan dan pembagian sumber alokasi yang ada. Dari ketiga tipe di atas untuk melaksanakanya memerlukan kekuasaan (power) dan kewenagnan (authority), untuk membina kerjasama maupun untuk melaksanakan konflik yang mungkin dalam proses itu akan terjadi. Banyak cara yang dilakukan seseorang dalam menyampaikan tujuannya seperti persuasi dan paksaan. Bagaimanapun agama selalu membayang-bayangi proses kehidupan seseorang. Namun yang menjadi sorotan penting adalah gejala-gejala yang timbul dalam penguasaan sekelompok orang yang berkuasa terhadap berbagai kelompok rakyat banyak yang dipandang sebagai usaha penataan umat. D. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK D.1 Pengertian Umum Budaya Politik Ada banyak ahli politik yang mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat banyak konsep tentang budaya politik salah satu sarjana yang berpengaruh dan banyak memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan budaya politik adalah Gabriel A. Almond. Dalam karyanya yang ditulis bersama Sidney Verba berjudul The Civic Culture, Ia menyatakan, Istilah budaya politik terutama mnegacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagianbagianya yang lain serta sikap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Adpun beberapa ahli lain menyatakan sebagai berikut: 29 1. Kay Lawson (1989) menyatakan: a political culture, that is, there is a set of overtly political values, which defines the situation in which political action takes place (suatu budaya politik, yaitu terdapatnya satu perangkat yang meliputi seluruh nilai-nilai politik, yang terdapat di seluruh bangsa). 2. Sidney Verba (1995) menyatakan: political culture is the sistem of empirical beliefs, eksvressive simbol, and values, which define the situation in political action takes place (budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol eskpresif, dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan). 3. Alan R. Ball (1971) menyatakan: a political culture is composed of the attitudes, beliefs, emotions and values society that relate to the political sistem and to political issus (budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik). 22 Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan cirri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Kegiatan politik juga saling memasuki dan mempengaruhi dengan dunia keagamaan, kegiatan ekonmi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. 22 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php 30 Gabriel A. Almond berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik besumber pada penalaranpenalaran yang sadar. Konsep budaya politik terdiri atas sikap, keyakinan, nilainilai dan keterampilan yang sedang berlaku pada seluruh anggota masyarakat termasuk pada kebisaaan yang hidup pada masyarakat. Yang telah dipaparkan di atas adalah konsep dari budaya politik sedangkan untuk definisinya adalah sebagai berikut: 1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat-istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menerima atau menolak nilai-nilai dan norma lain. 2. Budaya politik dapat diihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, dan nasionalisme. Yang kedua apek generik menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militant, utopis, terbuka, dan tertutup. 3. Hakikat dari ciri budaya olitik adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan. 4. Bentuk budaya politk menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo 31 atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik). 23 Berdasarkan dari definisi tersebut, maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik. Pertama, konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek nonperilaku actual seperti orientasi, sikap, nilainilai, dan kepercayaan-kepercayaan. Kedua, hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari perbicaraan kaum politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponenkomponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Ketiga, budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran massif bukan pada tataran individu. D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik 1. Berdasarkan Pola Otoritas Gagasan mengenai norma-norma atau tatanan yang legitim mengenai masyarakat, Weber membuat tiga garis besar untuk tiga tipe ideal tatanan atau otoritas yang legitim. Pertama, Otoritas tradisional. Otoritas yang didasarkan pada penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan tersebut telah lama ada dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah dengan aturan-aturan tersebut. Dalam tatanan tradisional individu merasakan loyalitas terhadap masa lalu dan mereka yang mewakili masa lalu itu, sebuah 23 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php 32 loyalitas yang asal-usulnya seringkali berasal dari sebuah kepercayaan akan kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu. Kedua, Otoritas kharismatis. Jenis tatanan ini dilegitimasikan dengan kualitas-kualitas pribadi terkemuka dari individu-individu yang luar bisaa yang kesuciannya, heroismenya atau keutamaannya memungkinkan mereka untuk memerintah sejumlah besar orang dalam hubungan-hubungan langsung. Kharisma dilukiskan sebagai kualitas-kualitas adimanusiawi yang seperti pada para nabi atau para pahlawan militer yang memungkinkan mereka untuk memaksakan gagasan-gagasan dan nilai-nilai mereka sendiri pada seluruh kelompok. Ketiga, otoritas rasional atau legal. Otoritas jenis ini didasarkan pada sebuah kepercayaan akan ‘legalitas’ aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu menurut aturan-aturan yang masih lebih dulu lagi yang mendasari dia sehingga memiliki hal untuk memerintah. Di dalam tatanan yang rasional memungkinkan individu mengetahui aturan-aturan mana yang secara formal betul dan telah dipaksakan dengan sebuah prosedur yang diterima. Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga tradisi. Distingsi-distingsi di atas dapat menjelaskan bahwa para penguasa dalam batas-batas tatanan mereka jika ingin mereka tidak ingin kehilangan kekuatannya untuk memerintah. Dalam otoritas tradisional misalnya, sang penguasa dituntut untuk mengikuti praktik-praktik yang lazim, seperti para pemimpin tradisi Watu Telu di Nusa Tenggara Timur yang melakukan puasa pada bulan tertentu; dalam kasus otoritas kharismatis seorang pemimpin harus menunjukan 33 adimanusiawinya, seperti kaisar Cina akan dipecat apabila di daerahnya terjadi banjir bandang yang akan mempermalukan dirinya; dalam otoritas legal pemimin harus mematuhi hukum apabila ia ingin tetap berkuasa. 24 2. Berdasarkan Orientasi Setelah melihat pola otoritas dari seorang pemimpin, maka untuk menggolongkan orientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan pemerintahanya berdasarkan dari sikap, nilai-nilai, informasi dan kecakapan politik. Orang yang melibatkan dirinya dalam kegiatan politik setidaknya dalam pemberian suara (voting) dan ketertarikan terhadap informasi politik dapat dinamakan sebagai budaya politik partisipan, sedangkan orang yang pasif dan hanya patuh terhadap pemerintah dengan ikut pemilu dinamakan politik subyek. Golongan ketiga adalah golongan yang sama sekali tidak menyadari adanya pemerintahan dan politik, disebut budaya politik parokhial. 25 Menurut Almond, terdapat tiga model dalam kebudayaan politik atau model orientasi terhadap pemerintahan dan politik. 1) Masyarakat demokratis industrial. Dalam sistem ini terdapat cukup banyak aktivis politik yang akan menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara yang besar selain itu juga terdapat banyak publik peminat politik yang selalu mendiskusikan secara kritis moral-moral kemasyarakatan dan 24 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial Terjemah F. Budi Hardiman (Jakarta: Kanisius, 1994), hal. 213-214 25 Trubus Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, (Jakarta: Trisakti, 2006), hal. 278 34 pemerintahan. Kelompok-kelompok yang selalu mengusulkan kebijaksanaan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka. 2) Sistem otoriter. Dalam model ini terdapat beberapa kelompok masyarakat yang memiliki sikap politik berbeda. Kelompok organisasi politik dan partisipan politik berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan persuasif atau protes yang agresif. 3) Sistem demokratis pra-industial. Dalam Negara dengan model seperti ini, hanya sedikit sekali partisipan yang terutama dari pofesional dan terpelajar. Kebanyakan dari warga Negara memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang sangat terbatas dalam kehidupan politik. 26 3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”toleransi”. a. Budaya Politik Militan Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat 26 278 Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, hal. 35 dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi. b. Budaya Politik Toleransi Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang. Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas : a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, 36 malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru. b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif Struktur mental yang bersifat akomodatif bisaanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini. Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna. D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur. 37 Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut. Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya. Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya. Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyekobyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. 27 E. KERANGKA KONSEPTUAL Masalah industrialisasi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah modernisasi karena industrialisasi merupakan bagian dari modernisasi. Transformasi industrial mempunyai konsekwensi yang amat luas, karena industrialisasi merupakan proses perubahan sosial yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari sistem sosial pra industri (agraris) ke sistem sosial 27 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php 38 industrial. Terkait dengan hal ini dalam pandangan teori “ pattern Variables” yang dikembangkan Parsons, Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri dan moderen juga berarti perubahan dari : a. Affectivity to affective neutrality, pengaruh langsung bagi perbahan ini bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan , juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat industrial yang bersifat contractual, impersonal dan calculating. b. Particularism to universalism, Industrialisasi cenderung mengikis keekslusivan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna kulit maupun keturunan. c. Ascriptions to achievement, dengan kata lain perubahan karena industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan prestise ke sistem penghargaan karena prestasi. d. Diffuseness to specivicity, ialah perubahan dari sistem sosial yang berlingkup luas dan membatasi hubungannya pada hubungan yang bersifat khusus 28 . Jadi Perubahan model pembangunan secara otomatis akan merubah berbagai aspek kehidupan dan sruktur masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya, institusi-institusi kemasyarakatan dan agama bahkan keluarga. Beberapa ahli telah memunculkan beberapa pendekatan dalam memotret dan menganalisis perubahan sosial dan pola hubungan masyarakat. Di antaranya yang 28 Talcot Parsons and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987, hal 141-142 39 penulis anggap cukup. relevan diterapkan dalam kajian ini, di antaranya teori struktural fungsional dan teori Interactions medium yang diperkenalkan oleh Talcott persons (1937). Dalam teori fungsional struktural memandang masyarakat secara makroskopis. Ada dua asumsi dasar dalam pendektan ini. Asumsi pertama adalah bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk dari sub strutur-sub struktur yang saling tergantung (interdependen) antara yang satu dengan yang lainnya sedemikian, sehingga perubahan pada satu bagian secara otomatis mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Upaya analisis sosiologis dengan demikan menemukan apa mempengaruhi apa. Asumsi kedua, adalah bahwa setiap struktur atau aktifitas yang mapan (established) memiliki fungsi untuk mempertahankan aktifitas-aktifitas atau struktur lain dalam suatu sistem sosial. Beberapa contoh struktur dalam hal ini , keluarga, ekonomi, pendidikan, politik, agama, keluarga dan sebagainya 29 . Pesantren dikenal sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indegenous). Sebagai lembaga indegenous , pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak bisa dipisahkan dengan komunitas lingkungannya. Kenyataan ini dapat dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian pesantren pada satu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi 29 Soerjono soekanto, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat ( Jakarta : Rajawali) 1983 40 pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, ibadah dan sebagainya. Sebaliknya pesantren pada umumnya melakukakan “membalas jasa” komunitas lingkungannya dengan bermacam cara, tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial, kultural, dan ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks inilah pesantren dan kiyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “ cultural brokers” dalam pengertian yang seluas-luasnya. 30 Perubahan sosial, ekonomi, politik secara otomatis turut memberikan warna dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan dinamika pesantren itu sendiri. Beberapa perubahan dalam internal pesantren dan hubungnnya dengan pengaruh luar adalah, perubahan menjadi sistem kelas. Namun demikian bukan berarti mendudukan pesantren sebagai obyek perubahan yang pasif, sebab pesantren juga merupakan institusi yang independen dan memiliki jati diri dan kekhasannya sendiri. Pada sisi lain pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial dipandang memiliki posisi yang strategis dalam melakukan perubahan dan pembangunan bagi masyarakat sekitarnya, hal itu telah terbukti selama beberapa abad keberadaan pesantren dengan komitemen meneguhkan sosial kepada masyarakatnya. Pesantren memiliki modal yang kuat dalam melakukan interaksi dengan masyarakatnya. Dalam pandangan teori “Interaksions medium” yang juga dikembangkan oleh Parsons yaitu model “media interaksi” (interactions medium). Media, 30 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka jaya), 1981 41 menurut Parsons adalah kapasitas perubahan sebuah masyarakat (kelompok) ketika berinteraksi dengan kelompok atau sektor masyarakat lain. Walaupun teori ini pada mulanya disusun berdasarkan analisis interaksi antara ego dan alter ego, namun kemudian juga digunakan untuk menganalisis pola interaksi lembaga, kelompok dan masyarakat. Oleh karenanya teori ini penulis pandang relevan untuk mengkaji pola hubungan antara pesantren tradisional dan sektor modern. Dalam hal ini ada empat media; pertama, Komitmen atau penyerapan nilai/gagasan dari luar yang benar dan relevan. Kedua, media Kekuasaan (power) Ketiga, media pemanfaatan (utility) dan terakhir media pengaruh 31 . Keempat media yang dikemukakan Parsons di atas setidaknya telah dimiliki pesantren dalam melakukan hubungan dan mengukuhkan pengaruhnya baik di kalangan internal pesantren maupun bagi masyarakat sekitarnya. Pada beberapa dasawarsa , kiyai yang umumnya pemilik dan pengelola pesantren memiliki power (kekuasaan) yang kadang melebihi kekuasaan pemerintah lokal. Bahkan dalam hal-hal tertentu pemerintah lokal seringkali meminta petunjuk dan restu pihak pesantren atau kiyai dalam melaksanakan tugas dan kebijakannya. 32 31 Talcott Parsons, On The Theori if Sosial Interactions Media, sebagaimana dikutip Ivan Alhadar, “Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban Industri “ dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Kacher (ed) Dinamika Pesantren, (Jakarta : P3M), 1987 32 Dra. Umdatul Hasanah, “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon” (Penelitian Block Grant IAIN Banten, 2008), h. 15 42 Diagram 1 Kerangka Konseptual kesederhanaan Materialis Budaya politik Kebersamaan Tradiisional Religius Homogen Akhlak dan nilainilai luhur Pesantren ? Hub. Fungsional Industrial Modern Kompetitif Rasional Heterogen 43 BAB III GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KAMPUNG PANYAWUNGAN A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren Sebelum berdirinya Pondok Pesantren, kampung Panyawungan merupakan sebuah perkampungan yang menjadi pusat arena judi. Judi yang paling dominan di kampung ini adalah judi sabung ayam. Masyarakat kampung Panyawungan pada saat itu merupakan masyarakat Jahiliyyah dalam arti bodoh atau buta terhadap agama. Namun begitu, di kampung Panyawungan terdapat dua orang kaya raya yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi yang mempunyai keprihatinan terhadap umat, untuk itu mereka meminta kepada KH. Kholil dari kampung Bojong Malati ( + 1,5 km dari kampung Panyawungan ) untuk mengajar masyarakat dan mendirikan pondok. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat umum. 1 Pada mulanya, KH. Kholil menempati rumah Hj. Syarifah yang merupakan kerabat KH. Syarif. Untuk kelancaran Dakwah Islamiah, KH. Syarif 1 Wawancara pribadi dengan ustadz Bibin, Bandung, 15 April 2010 44 mewaqafkan tanahnya seluas 8000 M. untuk lingkungan pesantren dan sawah yang dikelola oleh KH. Kholil. Selain waqaf dari KH. Syarif, pesantren juga menerima waqaf dari yang lainya seperti dari Hj. Omok. Pada kedatangan awalnya, KH. Kholil telah membawa sekitar lima belas santri. 2 Dengan dukungan empat elemen yang disebut di atas, perkembangan Pondok Pesantren Nahdjussalam berkembang pesat, hingga pada tahun 1917 pesantren tersebut telah memiliki elemen dasar pesantren seperti masjid, asrama, dan madrasah. Empat elemen di atas juga menjadikan Pondok Pesantren Nahdjussalam bersifat inklusif terhadap masyarakat. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Nahdjussalam selalu mempunyai delegasi di luar kyai sepuh dan kyai pondok yang didedikasikan untuk membina masyarakat. Dari awal hingga saat ini, pesantren tersebut telah empat kali berganti kyai. 2 Wawancara pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010 45 Gambar. 1: Lokasi Komplek Pesantren 46 1.1 KH. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan KH. Kholil lahir sekitar 1894 di Kampung Bojong Malati. Beliau merupakan anak pertama dari pasangan Eyang Husen dan Hj. St. Maemunah yang juga merupakan penyiar agama di kampung tersebut. Jika di kejar lebih jauh asal keluarganya, beliau merupakan keturunan ke enam dari Syeh Abdul MuhyiTasikmalaya (seorang penyebar Islam di Jawa Barat). Beliau belajar Islam semenjak dini dari orang tuanya yaitu Eyang Husen. Beranjak dewasa ia mengembara keberbagai pesantren di antaranya: Pesantren Kresek Garut, Pesantren Ciharashas, Pesantren Sukamiskin, dan Pesantren Banjar. Keberhasilan pondok pesantren Nahdjussalam yang terus eksis hingga saat ini tidak lepas dari peran sang pendiri. Setelah masa perintisan 1916 – 1917, KH. Kholil mempunyai kesadaran penuh akan pentingnya pembangunan jejaring pesantren di tingkat lokal. Untuk itu KH. Kholil membangun jejaring pesantren dengan cara menikahkan adik-adik beliau dengan para santri terpilih atau tokohtokoh setempat yang dianggap mempunyai pengaruh. Diagram. 2 Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil Kh. Husyen Nahrowi + Hj. Siti Maemunah Kh. Kholil Eye + H. . Khosim Siti + H. Kharis Ket: Dalam diagram tersebut tidak semua keluarga dimasukan Hj. Khuraisin + H. Daman H. Sya’diyah + H. Juhro 47 Tokoh-tokoh atau santri terpilih yang dinikahkan dengan adik-adik beliau, menjadi pembantu beliau dalam membina masyarakat dan mereka menempati posisi sebagai kyai langgar. Kyai Pondok Kyai Langgar 1. KH. Kholil 1.H.Daman(Kp. Panyawungan) 2. KH. Ahmad Tb. Dzajuli 2. H. Kharis (Kp. Galumpit) 3. H. Juhro (Kp. Kara) 4. H. Khosim (Kp Bojong Malati) 5. H. Fatah (Kp Panyawungan) Selain kesadaran akan pentingnya jaringan, KH. Kholil juga memakai cara perkawinan dengan pihak donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi. Selain untuk mengikat kekeluargaan hal itu juga dilakukan atas kesadaran pentingnya ekonomi dalam keberlangsungan pondok. Untuk kepentingan ekonomi, KH. Kholil juga terus memperluas tanah hingga tercatat lebih dari 2 hektar tanah yang ia miliki. Selain dari hasil pembelian secara pribadi, pihak keluarga pesantren juga banyak mendapatkan tanah dari imbalan mengatur pembagian waris. Seperti yang diterima oleh KH. Dzajuli dan KH. Syambas ketika membagikan waris keluarga KH. Afandi. 48 Diagram. 3 Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil Bani Affandi Bani Kholil 1 : Kyai Langgar : Lurah (kecuali yang ditandai “1” Drs. Iin Z.A merupakan pejabat RW sekarang.) Diagram. 4 Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil Bani Syarif Ket Bani Kholil : Tidak seluruh anggota keluarga disertakan dan tidak berdasar senioritas : Kyai Luar Dearah : M antan Anggota DPRD : Kyai Langgar Setelah jejaring di lokal sudah dirasa cukup kuat, KH. Kholil mencoba untuk membuka jejaring dengan luar daerah, baik dengan pesantren yang sudah berdiri maupun santri terpilih yang berpotensi mampu mendirikan pesantren. 49 Untuk merealisasikan hal itu, KH. Kholil masih memakai cara pernikahan. Hampir seluruh anak perempuan KH. Kholil dinikahkan dengan kerabat pesantren atau santri yang berpotensi dan mampu mendirikan pesantren. Seperti terlihat di bawah ini: Diagram. 5 Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren luar Hj. St. Rofi’ah+KH. Kholil + Hj. St. Hasanah Hj. Siti Sholihah KH. Abdul Kholil (al-Ihsan-Cianjur) Hj. St. Fatimah KH. Ahmad Falah (al-Falah-Sumedang) Hj. St. M aemunah KH. M och. M usa (Banajar) Hj. St. Hafsoh KH. M uhyidin (Benteng-Ciamis) Cat: Tidak seluruh keluarga dimasukan Dalam perjalanannya, pondok pesantren pernah mengalami masa kekosongan. Masa kekosongan ini diakibatkan oleh huru-hara Jawa Barat yang dikenal dengan perang segitiga antara TNI, DI (TII), dan Belanda pada tahun 1946. Sekitar satu bulan, seluruh keluarga pesantren dan sebagian santri diungsikan ke daerah Tanjung Laya di tempat KH. A. Basyari yang merupakan adik KH. Kholil. 1.2. KH. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual KH. Tb. Ahmad Dzajuli merupakan seorang ningrat dari Sukamiskin. Pada saat ia menjadi seorang santri, KH. Kholil menjadikanya sebagai tangan kanan untuk berbagai urusan pondok. Beliau dinikahkan dengan Nyimas H. Banasiah putri sulung KH. Kholil. Setelah KH. Kholil wafat beliau naik menjadi kyai sepuh pondok. 50 Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh sufistik yang penuh kharisma. Banyak karomah dan kesalehan beliau yang disaksikan oleh masyarakat dan menjadi cerita turun-temurun di masyarakat. Dalam masa kepemimpinannya kondisi dan posisi pondok pesantren Nahdjussalam sudah cukup kokoh hingga menjadikan beliau mengkonsentrasikan diri pada pembangunan spiritual. Jika dilihat keberlangsungan pesantren pada masa KH. Kholil dan KH. Tb. Ahmad Dzajuli, ini seperti strategi terbalik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang menguatkan spiritual masyarakat di Mekah pada masa awal Islam dan membangun jejaring di Madinah. Beliau berhasil mempersatukan masyarakat Panyawungan dengan masyarakat sekitar seperti kampung Bojong Malati, kampung Kara, dan kampung Galumpit dengan sebuah tradisi pawai obor (dibahas di bawah) yang dilaksanakan pada Maulid dan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan peninggalan beliau yang paling penting di antara yang lainnya. Pada masa kepemimpinannya, seiring dengan semakin banyaknya kader pesantren, pesantren mempunyai pola baru dalam membina masyarakat. Meski pada masa KH. Kholil telah terbangun jejaring langgar, beliau meneruskan usaha KH. Kholil dalam membina masyarkat dengan menerjunkan kader pesantren ke masyarkat. Adapun untuk hal itu penulis mengistilahkannya dengan ‘kyai delegasi”. Kyai delegasi selain berfungsi sebagai pendidik masyarakat, ia juga menjadi jembatan antara masyarakat, kyai langgar, dan pesantren. 51 Kyai Pondok 1. KH. Ahmad Tb. Dzajuli Kyai Delegasi 1. KH. Syambas 2. KH. Ma’sum Maki 3. KH. Endang Mahtum Seperti dikatakan di atas, KH. Tb. Ahmad Dzajuli merupakan sosok ulama sufistik, namun istri beliau pernah menemukan sertifikat penghargaan dari Masyumi tertulis tahun 1960 yang diberikan kepada beliau. Ini menjadi sebuah kontradiksi dimana kebanyakan tipe pesantren salafy lebih memilih memfusikan dan mengartikulasikan politiknya dengan NU, Pesantren Nahdjussalam justru lebih memilih tetap mengikuti Masyumi. Padahal kita tahu bahwa penyebab NU keluar dari Masyumi karena salah-satu faktornya Masyumi terlalu di dominasi oleh kaum modernis yang bersifat progresif. Satu rekaman sejarah penulis ketika masih kecil yang masih diingat, adalah saat istri beliau ditanya oleh seorang keponakan beliau yang menjadi anggota DPRD Kab. Bandung. H. Ayi Nu’man Ma’sum bertanya, “mengapa dulu uwa 3 lebih memilih Masyumi dari pada NU ?” H. Banasiah menjawab “saya dulu pernah punya pertanyaan yang sama, namun beliau menjawab; “jika NU sedang belajar merangkak, maka Masyumi sedang belajar berjalan”. 4 Ini juga menunjukan, meskipun KH. Tb. Ahmad Dzajuli seorang tokoh sufi, namun beliau juga mengikuti dan tidak tertutup dengan aliran yang sifatnya progresif, walau hanya sebagai partisipan dan tidak terlibat aktif dalam kepartaian. 3 Panggilan untuk kakak dari orang tua Untuk memastikan kembali, penulis mewawancarai bapak Iim A. Karim yang pada saat itu menemani H. Ayi Nu’man Ma’sum (alm). 4 52 1.3 Kyai Syambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik KH. Syambas sudah mulai eksis sebagai kyai pondok maupun kyai delegasi pada saat KH. Tb. Ahmad Dzajuli masih menjabat kyai sepuh. KH. Syambas adalah satu-satunya kyai yang juga merupakan muballigh kondang Jawa Barat. Semasa menjabat sebagai kyai delegasi, kyai Syambas sudah mulai aktif di kepartai-an, beliau bergabung dengan Masyumi, Jabatan tertinggi yang pernah beliau capai adalah sebagai Dewan Pembina Tingkat Kabupaten. Kemudian ketika pada tahun 1960 keluar Kepres No. 200/1960 tentang pembekuan Masyumi, dan orang-orang Masyumi mendirikan Parmusi, KH. Syambas pun masuk kedalam partai baru tersebut dan masih menempati kedudukan yang sama seperti pada masa Masyumi. Dalam dunia perpolitikan KH. Syambas terus malang-melintang. Ketika pada tahun 1973 pemerintah menyempitkan partai kedalam tiga wadah, dan PPP adalah wadah yang berunsurkan Islam, maka KH. Syambas pun ikut bergelut di dalamnya. Pada peiode ini KH. Syambas sudah mulai ditemani oleh adik beliau yaitu KH. Athoillah dalam aktivitas ke-partaiannya. Massa kepemimpinananya yang singkat karena meninggal di usia yang relatif muda, menjadikan tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap kepesantrenan. Ketika pada tahun 1948 Pemerintah menginstruksikan untuk memberikan nama formal pada setiap lembaga pasantren, KH. Syambas memberi nama Nahdjussalam pada institusinya. Sebelum diberi nama, pesantren ini dikenal dengan sebutan “Pesantren Panyawungan” bahkan hingga saat ini baik di kalangan santri maupun masyarakat lebih populer dengan nama itu. 53 Pada saat beliau menjabat sebagai kyai sepuh, beliau dibantu oleh : Kyai Pondok Kyai Delegasi 1. KH. Syambas 1. KH. Athoillah 2. KH. Embun N. 2. KH. Agus 3. KH. Endang Mahtum 1.4. KH. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren Sepak terjang di masyarakat dan kemampuan berorganisasi menjadikan KH. Athoillah mempunyai jejaring yang luas dengan pihak pemerintahan dan kepartai-an. kyai Atho juga merupakan aktivis PPP. Karir tertingginya yang pernah beliau raih adalah Dewan Pertimbangan tingkat Kabupaten. Kharisma beliau dalam kepartai-an membuat banyak pihak dari PPP mendesak beliau untuk mengkaderkan keluarga beliau untuk terjun sebagai politikus. Pada pemilu 1997 keponakan beliau H. Ayi Nu’man berhasil duduk sebagai anggota dewan tingkat II. Persentuhan pesantren dan politik sekaligus memberikan arah perpolitikan masyarakat, dimana pesantren merapat maka di situ pula masyarakat memberi suara. Namun persentuhan pesantren dengan politik vacum pasca reformasi. Selain faktor usia KH. Athoillah, faktor tidak ada kaderisasi juga menjadi faktor utama. Gempuran arus informasi dan rasionalisasi dengan dimediai oleh industrialisasi, percaturan politik masyarakat Panyawungan pun tidak lagi menyandarkan referensi pada pesantren. Hal tersebut terbukti dari perolehan suara pada pemilu 2009 kemarin. 54 Selain vacum politik, pesantren ini juga mengalami kemunduran kuantitas jumlah santri dari rentang waktu sepuluh tahun terakhir. Pada masa keemasannya, sekitar tahun 1980 jumlah santri di pesantren ini menembus angka 700 santri. 5 Kini pesantren Nahdjussalam hanya memiliki 56 santri putra dan 13 santri putri. Hal tersebut memang terjadi oleh beberapa faktor seperti merebaknya pendidikan sekuler, minat masyarakat yang menaruh pada pesantren dan lain-lain. Sedangkan untuk faktor internal pesantren sendiri dipengaruhi oleh semakin tuanya kyai Athoillah, kyai pembantu pondok dan kyai delegasi yang meninggal mendahului KH. Athoillah, dan rentang generasi yang terlampau jauh, serta konflik internal keluarga seperti perebutan kekuasaan dan konflik lain yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Kyai Pondok Kyai Delegasi 1. KH. Athoillah 1. KH. Agus 2. KH. Tb. Enjang Tamim 2. Ustadz. Tb. Cecep 3. Ustadz. Tb. Bibin 3. Ustadz. Apep A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren 2.1 Tradisi Pesantren Seperti kebanyakan pesantren salafy, pesantren Nahdjussalam tergolong sebagai pesantren yang menamakan dirinya sebagai golongan ah-lusunnah waljamaah. Kitab kuning adalah sumber referensi utama. Pesantren Nahdjussalam 5 Wawancara pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010 55 memfokuskan pengajaranya terhadap ilmu alat (nahwu dan sharaf) atau tata bahasa Arab. Namun demikian pesantren ini juga tidak mengesampingkan ilmu ke-islaman lain seperti tauhid, fiqh, dan syariah. Untuk tauhid pesantren Nahdjussalam mengikuti madzhab sunni, segaimana dirumuskan oleh Abu Hasan al Asyari. Adapun kitab yang dikaji adalah Tijan dan Majalis; Untuk Fiqh, pesantren ini banyak dibentuk oleh kitab Safinah, Taqrib, dan I’anah; Dan terakhir untuk syariah, pesantren ini banyak dibentuk Irsyad dan Riyadusholihin. 6 Pesantren ini hanya mentoleransi seni tarik suara dan kaligrafi. Selain dari itu, apapun macamnya baik bersifat lokal maupun kearaban ditolak oleh pesantren ini. untuk bermacam-macam kesenian seperti musik dan tarian baik sifatnya lokal maupun ke-araban. Pesantren ini juga seperti kebanyakan pesantren lain melaksanakan selamatan untuk bayi baru lahir yang di dalamnya ritualnya adalah pembacaan doa-doa, pengajian al-Barjanji, dan shalawat kepada Nabi SAW. Sedang untuk ritual mendoakan orang yang meninggalz mereka menyebutnya dengan istilah “tahlilan”, dengan atau tanpa acara makan-makan yang terpenting dalam acara ini adalah ritus pembacaan dengan bahasa Arab yang intinya menganggungkan Allah SWT. Khoulan Yang terpenting dari upacara semacam di atas untuk pesantren ini adalah tradisi khoulan KH. Kholil. Khoulan adalah ritual tahunan yang disenggarakan setiap tahun untuk mengingat orang yang telah meninggal. Khoulan KH. Kholil adalah ritual terbesar yang diselenggarakan oleh pondok pesantren. Tidak jarang 6 2010 Wawancara dengan ustadz Bagja, ustadz Cecep, dan ustad z Deden, Bandung , 07 Mei 56 untuk pendanaan khoul ini memakan biaya lebih dari empat puluh juta rupiah dan dalam penyelenggaraannya membutuhkan bentukan struktur organisasi yang cukup lengkap. Sumber dana utama berasal dari usaha penyortiran limbah pabrik milik keluarga pesantren. Khoulan untuk pesanten Nahdjussalam telah melampaui batas-batas definisi yang selama ini diberikan oleh para ahli. Khoulan untuk pesantren ini juga memiliki fungsi sebagai medium pertemuan antara para alumni, keluarga pesantren, para kyai psantren, para kyai langgar, dan masyarakat sekitar. Khoulan juga menjadi ajang sensus bani Kholil, pada khoulan terakhir yaitu khoulan yang ke-62, jumlah keluarga bani kholil mencapai 1048 jiwa, 7 ini merupakan angka yang fantastis untuk keluarga yang baru menginjak empat generasi. Pawai Obor Pawai obor adalah salah satu icon pesantren dan masyarakat Dusun Panyawungan yang melingkupi Kampung Panyawungan, Kampung Kara, dan Kampung Bojong Malati. Sejarah pawai obor bermula pada masa KH. Djajuli. Setiap bulan Rajab dan Maulud dulu KH. Djajuli selalu berputar mengelingi kampung dengan membawa obor kecil untuk mengajak masyarakat melaksnakan perayaan Isra Mi’raj dan Maulid Nabi Muhamad SAW di mesjid jami. Masyarakat kemudian mengikuti di belakang beliau dengan membaca sholawat. Semakin beliau jauh mengelilingi kampung maka semakin banyak pula orang yang megikuti beliau sampai akhirnya menuju masjid jami. 7 Arsip ke-Pesantrenan 57 Setelah beliau wafat tradisi ini diteruskan oleh masyarakat dan tetap berjalan sampai sekarang. Adapun ritual dalam upacara ini adalah pembacaan sholawat mengelilingi kampung dengan dipimpin oleh seorang ustadz. Di setiap penghujung kampung menurut arah mata angin, rombongan berhenti sejenak dan membacakan ayat kursi dengan menghadap ke empat penjuru mata angin dan diakhiri doa. Setelah selesai berkeliling kampung rombongan kembali ke mesjid jami dan melaksanakan ritual Isra Mi’raj atau Maulidan sebagaimana lazimnya. Dari acara ini penulis juga melihat stratifikasi kelas dan fungsi dalam hal keagamaan. Setiap orang yang menduduki posisi dalam pelaksanaan acara adalah simbol prestise yang dimiliki oleh masing-masing. Prestise tertinggi adalah orang yang member tausiah yang bisaanya di isi oleh kyai sepuh pesantren atau kader yang dipersiapkan untuk mengganti dirinya. Posisi kedua ditempati oleh pengisi tahlilan dan pembacaan doa yang bisaa di isi oleh kyai delegasi dari pesantren. Yang ketiga adalah orang yang mengisi pembawa acara yang bisaanya di isi pihak birokrasi. Dan yang terakhir adalah pemimpin pawai obor yang bisaanya dipimpin oleh kyai langgar. Setiap tahun acara ini selalu meriah dan besar hingga menelan dana lebih dari dua puluh juta. 8 Acara ini ditangani oleh PHBI dusun Panyawugan dan setiap kampung secara bergantian bertanggung jawab atas pengadaan logistik. 8 Data PHBI Tahun 2009 58 2.2. Sistem Nilai Pesantren Pesantren Nahdjussalam mempunyai sebuah tata nilai tertulis yang berlaku buat santri. Sistem nilai itu dinamakan “tanbih” dan memuat enam belas poin di bawah ini: 1. Bergaul sopan santun dengan sesama santri; 2. Turut menjaga bangunan dan pekarangan pondok dan mesjid; 3. Sholat berjamaah pada tiap waktu sholat; 4. Kepada santri dewasa agar memberi sorogan pada santri yang lebih kecil setiap bada magrib; 5. Ngaji balagan di waktu yang telah ditentukan; 6. Ngaji tazwid pada malam Kamis dan sholawat pada malam Jumat; 7. Membangunkan santri yang tidur pada waktu sholat; terutama waktu subuh; 8. Menghafal materi yang telah dikaji; 9. Tidak diperbolehkan mandi, nyuci, sholat diluar lingkungan pondok; 10. Dilarang pergi keluar lingkungan pondok kecuali ada kepentingan; 11. Dilarang menerima tamu yang tidak dikenal; 12. Menerima hukuman diusir apabila ketahuan pergi nonton; 13. Seluruh santri yang akan pulang, wajib lapor pada rois pondok; 14. Tidak boleh meminta-minta terhadap tetangga pondok; 15. Dilarang saling tukar pakaian; dan 16. Memenuhi kewajiban keuangan pondok. 59 Selain dari pada peraturan yang tertulis di atas pondok pesantren juga mempunyai tradisi oangtua terdahulu dengan menyadarkan pada sebuah mahphudot “lestarikanlah nilai lama yang bagus dan carilah hal baru yang baik”. Sistem pengajian di pondok pesantren ini bisa dikategorikan sebagai sistem bandongan, yaitu sebuah transfer pengetahuan dari seorang kyai kepada santri. Dalam pentransferan ilmu ini hanya kyai saja yang bersifat aktif sedang untuk santri bersifat pasif. Namun sebagian dari ustadz pesantren meluangkan waktu diluar pengajian untuk santri yang ingin menanyakan permasalahan dalam pengajian. Pesantren ini juga memiliki sebuah struktur organisasi seperti terlihat pada diagram berikut ini: Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok Pengasuh Kh.Athoillah Putra Rois M. Arif Sekertaris Badru Rois Am Ustd. Bagja Putri Wakil Yayang Wakil Mimar Bendahara Omay Sek. Pendidikan Sek. Logistik Sek. Humas Rois Elis Sek. Kebersihan Sek. Kebersihan Sek. Logistik Sek. Pendidikan Hal yang membedakan pesantren ini dengan pesantren lainya adalah komunitas keluarga pesantren yang masih utuh. Keutuhan keluarga besar 60 mempunyai konsekuensi pada kentalnya seniortas terutama yang didasarkan pada garis nasabiah. Dalam menurunkan tahta kyai sepuh pesantren, pesantren ini tidak mengenal penurunan mutlak (diturankan pada anak). Bisaanya seorang kyai sepuh mengkaderkan seseorang yang merupakan keturunan dari KH. Kholil yang mempunyai kapabilitas untuk menempati kedudukan sebagi kyai sepuh. Meskipun kewibawaan kyai sepuh adalah sentral dari kekuatan simbolis yang dimiliki oleh pesantren, namun tidak berarti keputusan yang dibuat kyai sepuh bersifat mutlak. Keluarga pesantren mempunyai forum pertemuan sebulan sekali yang dinamakan “syahriahan”. Forum tersebut terkadang menghasilkan putusan yang harus dilaksanakan seluruh keluarga pesantren termasuk kyai sepuh sendiri. Forum itu juga merupakan forum untuk membahas permasalahan yang sedang dihadapi pesantren. Terkadang pertemuan bulanan tersebut hanya membahas evaluasi dan introsfeksi kepesantrenan atau hanya sekedar silaturahmi keluarga. A.4. Ekonomi Pesantren KH. Kholil selain merupakan ulama juga merupakan orang yang cerdik dalam mensiasati materi seperti telah di uraikan di atas. Meskipun berasal dari keluarga yang kurang mampu, namun KH. Kholil mampu menjadikan dirinya sebagai seorang tuan tanah. Kepemilikan tanah pada masanya adalah sebagai simbol kekuatan ekonomi dan tingkat status yang tinggi mengingat masyarakat masih bersifat agraris. Ini juga merupakan faktor keberhasilan pesantren karena selain mempunyai sumber kewibawaan seorang kyai atau kekuatan simbolis juga 61 kuat secara kapital terbukti dari banyaknya masyarakat sekitar yang menjadi buruh tani pesantren atau petani dengan paro-paroan. …sukur ayeuna urang bisa keneh nyieun imah, urang kudu nganuhunkeun ka kolot anu merjuangkeun urang jang nancebkeun pancuh, lamun kudu dibejakeun mah, baheula kolot urang teh golongan fuqoro ngan anjeuna mah mikiran urang anak incuna. Tah sabalikna, ayeuna urang rek kumaha mikiran anak incu urang anu sakieu lobana. Sing jadi fikiran. 9 Pada rentang generasi anak kepemilkan tanah tidak lagi dibanggakan karena terjadi pembagian terhadap anak-anak beliau yang jumlahnya cukup banyak. Kepemilikan tanah terus-menerus terkikis karena banyak dari anak beliau yang menjual tanahnya untuk dapat naik haji, faktor lain adalah banyaknya keturunan yang mencapai 1048 jiwa pada saat sekarang dan tanpa mempunyai kemampuan daya beli kembali. 10 Meskipun pada saat sekarang banyak sekali industri yang berdiri di lingkar Panyawungan, namun hampir tidak ada keluarga pesantren yang menjadi buruh. Jika pagi tiba, saat buruh-buruh pabrik lalu-lalang, keluarga pesantren justru lebih asyik berkumpul dan menikmati kopi di pinggir kolam. Ada semacam kegoaan dari pihak keluarga untuk menjadi buruh pabrik baik dengan alasan keagamaan seperti susahnya mempertahankan diri dari gangguan dunia kerja untuk mempertahankan atau menjalankan perintah agama atau karena alasan satatus. Untuk mempertahankan ke-eksklusiva-nya maka pada tahun 1998 pondok pesantren membuat koperasi kepesantrenan. Kopontren Nahdjussalam bergerak 9 2010 Diambil dari pidato KH. Athohillah pada suatu selamatan rumah baru. Bandung, 03 Mei 10 Sensus Bani Kholil Ke 62 Tahun 2009 62 dalam usaha simpan pinjam. Namun karena kurangnya SDM yang mumpuni, koperasi tersebut dari mulai pendirianya tidak pernah berjalan lancar, bahkan hanya menyisakan perselisihan keluarga dan hutang yang cukup besar. Setelah dalam usaha simpan pinjam menemui jalan buntu, akhirnya usaha yang sifatnya komunal tersebut beralih pada usaha pengelolaan limbah pabrik atau lebih dikenal dengan istilah “majun”. Namun lagi-lagi usaha ini juga tidak membuahkan hasil yang memuaskan meskipun sudah beberapa kali restrukturasi. Dalam perjalananya usaha ini juga tidak mampu menyerap tenaga kerja dari pihak keluarga. Konstitusi yang disepakati dari hasil usaha ini adalah bertujuan untuk membiayai Khoul KH. Kholil. Kini nasib kopontren pun tidak jelas secara institusi. Secara perorangan, keluarga pesantren tidak mempunyai usaha dan kerja tetap. Namun kebanyakan yang mereka geluti adalah bertani, dagang, pemanfaatan limbah pabrik, dan sebagaian kecil ternak. Namun yang paling menyedihkan untuk kenyataan ekonomi keluarga pesantren adalah data dari BAZIS Kampung Panyawungan yang menempatkan RT. 02 sebagai jumlah fakir miskin tertinggi yakni 30 KK. Dari 64 KK, dan hanya 19 KK saja yang bukan merupakan keluarga pesantren. 11 A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat Seperti disinggung terdahulu, bahwa Pesantren Nahdjussalam merupakan bentuk pesantren yang sifatnya inklusif dengan masyarakat. Meskipun pesantren mempunyai subkulturnya sendiri, ini bukan berarti pesantren bukanlah merupakan bagian integral dari masyarakat. Bahkan dalam situasi dan momen tertentu 11 Data diambil dari LPJ BAZIS kampung Panyawungan tahun 2009 63 pesantren tidak segan mempersilahkan orang luar untuk ikut mengurus pesantren. Seperti dalam pembangunan pelebaran mesjid yang baru-baru ini terjadi, pesantren menunjuk Bapak Iin yang merupakan orang luar pesantren untuk mengetuai pembangunan, selain beliau juga banyak unsur-unsur masyarakat lain yang terlibat dalam struktur. Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Mesjid Pesantren Nahdjussalam merupakan pesantren tertua di wilayah tersebut, pesantren ini telah melahirkan banyak ulama-ulama ternama di Jawa Barat maupun di luar Jawa Barat. Untuk lingkungan Cileunyi sendiri, hampir seluruh pesantren di lingkungan tersebut merupakan alumni Pesantren Nahdjussalam. Seperti dapat di lihat di bawah ini: 1. KH. Sudja’i, pendiri Pondok Pesantren al-Jawami kampung Al-Jawami; 2. KH. Azid, pendiri Pondok Pesantren Bustanul Wildan kampung Tanjakan Sari; 3. KH. Endang, pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Muta’alimin kampung Cikalang; 64 4. KH. Abdurahman, pendiri Pondok Pesantren al-Mubarak; dan 5. KH. Abdul Qadir, pendiri Pondok Pesantren al-Mardiyah kampung Cibagbagan. Selain menelurkan kyai-kyai yang berhasil mendirikan pondok, pesantren ini juga banyak menelurkan kyai-kyai langgar. Hampir seluruh kyai langgar yang ada di Kampung Panyawungan juga merupakan alumni pesantren, meski mereka juga sempat mencari ilmu di tempat lain. Hubungan kyai pesantren dengan kyai langgar di sekitar kampung Panyawungan, kampung Kara, kampung Bojong Malati dan kampung Galumpit, hampir seluruhnya keturunan dari kyai langgar yang menjabat pada masa KH. Kholil. Selain mempunyai hubungan keilmuan, antara pesantren dan kyai langgar juga memiliki hubungan kekerabatan (lihat diagram 4 dan 5). Dalam mengayomi masyarakat, selain dengan membentuk kyai delegasi yang disinggung di atas, pesantren ini juga mengadakan pengajian rutin yang dilaksankan setiap hari rabu “reboan” yang bertempat di komplek pesantren. Meskipun pengajian ini sifatnya umum, namun kebanyakan dari jemaat yang hadir merupakan kyai langgar dan kyai dari pesantren lain. Selain “reboan” pesantren ini juga mengadakan pengajian yang hanya diikuti oleh kyai langgar yang bisaa disebut “kemisan’ pengajian ini terbatas untuk kyai langgar karena bahasan dan kitab yang dikaji memang untuk mensuplai pengetahuan kyai langgar yang berfungsi sebagai pengayom umat. Sedangkan untuk menjaga hubungan dengan alumni selain event khoulan yang menjadi medium silaturahmi, peantren juga mnegadakan pengajian khusus 65 di bulan puasa. Kalangan pesantren biasa memanggilnya dengan “pasaran”. Pasaran adalah pengajian yang mengkaji satu atau dua kitab dan tamat selama bulan puasa. Para alumni yang belum maupun telah berkeluarga sering memadati pondok untuk pengajian pasaran ini. A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa Untuk melihat lebih terperinci hubungan pesantren dengan birokrasi desa ada baiknya melihat lebih dulu daftar kepala desa cileunyi wetan di bawah ini: 1. Abah Ante 1809 – 1849; 2. Bapak Aspan 1809 – 1879; 3. Bapak Karta Praja 1879 – 1884; 4. Bapak H. Manan 1984 – 1914; 5. Rdn. Ahmad Djakarta 1914 – 1942 (masa pendirian pesantren); 6. Bapak H. Abdul Hamid 1942 – 1971 (adik KH. Kholil); 7. KH. Rhmat 1972 – 1983 (mantu dari KH. Sudja’i sesepuh pesantren al – Jawami santri KH. Kholil); 8. Bapak H. E. Djaenudin 1983-1994 (menantu KH. Afandi _opular pondok pesantren Nahdjussalam); 9. KH. Imang 1994-2002 (anak KH. Sudja’i santri KH. Kholil); 10. Bapak Iwan M. Fallah S. sos 2002-2007 (cucu KH. Afandi); dan 11. Bapak Zaky Salman Raliby 2007-sekarang (cucu KH. Sudja’i) 12 Seperti telah dikatakan terdahulu bahwa pendirian pondok pesantren panyawungan tidak lepas dari dukungan pemerintah desa yang pada saat itu 12 Monografi Desa Cileunyi Wetan 2009 66 dijabat oleh Rdn. Atmadjadikarta, maka kajian pun di mulai pada saat beliau menjabat. Dalam masa-masa awal pesantren berdiri, beliau adalah fasilitas untuk berbagai akses yang berkaitan dengan pemerintahan, tentu jasa beliau besar sekali mengingat kelembagaan pesantren mendapat pengawasan serius dari pihak kolonial karena dianggap banyak melahirkan separatis perjuangan kemerdekaan. KH. Kholil selain terus menjaga hubungan baik dengan Rdn. Atmadjadikarta beliau juga mengkaderkan adiknya Bapak H. Abdul Hamid untuk mempelajari dunia birokrasi. Setelah Rdn. Atmadjadikarta lengser, maka H. Abdul Hamid naik menggantikan beliau. Hal ini menunjukan bahwa KH. Kholil mempunyai kesadaran penuh bahwa berdiri dan eksisnya sebuah pesantren membutuhkan penyangga-penyangga lain seperti ekonomi dan birokrasi. Masa kepemimpinan bapak H. Abdul Hamid adalah masa yang dianggap oleh masyarakat sebagai masa keemasan dimana pemerintah sebagai pelayan masyarakat dan kebersamaan masyarakat benar-benar terasa. 13 Ada yang menarik dalam pergantian kepala desa Cileunyi wetan setelah masa Rdn. Ahmad Djakarta. Seperti dapat kita lihat di atas, kepala desa selalu datang dari dua kampung, yaitu kampung Panyawungan dan kampung Al-Jawami ─hingga telah menjadi mitos di masyarakat─. Dari kampung Al-Jawami kepala desa selalu dating dari keluarga pesantren. Sedangkan untuk kampung Panyawungan setelah . H. Abdul Hamid tidak ada lagi keluarga pesantren yang menjadi kepala desa. Kepala desa justru selalu datang dari Bani Afandi yang merupakan pendukung pesantren. Namun itu pun tidak terlepas dari peran dan dukungan pesantren. 13 Wawancara pribadi dengan H.E. Djaenudin , Bandung , 03 Maret 2010 67 Dulu ketika ingin menaikan H. E. Djaenudin menjadi KADES, saya dan kawan lain dari keluarga pesantren menjadi garda depan. Dulu peran pesantren tidak hanya berada pada tata-taran simbo atau dukungan,l tapi juga aksi. Bahkan kami rela menginap di kecamatan selama berhari-hari … 14 Hal ini juga menunjukan bahwa pesantren memiliki empat media yang dikemukakan Parson yaitu komitmen, kekuatan, pemanfaatan, dan pengaruh dalam berinteraksi sehingga memberikan timbal-balik baik kedalam maupun keluar pesantren. B. KONDISI GEORAFIS DAN DEMOGRAFI KAMPUNG PANYAWUNGAN B.1. Sejarah Kampung Panyawungan Ada dua versi yang beredar di masyarakat tentang penamaan kampung Panyawungan. Versi pertama menyebutkan, penamaan “panyawungan” ini berasal dari kata “panyambungan” yang artinya arena adu. Menurut masyarakat sekitar, dahulu kampung tersebut merupakan tegal arena sabung ayam dan adu domba. Namun berkat penyebaran ilmu agama oleh KH. Kholil, segala bentuk kemaksiatan di kampung tersebut dapat diberantas. Oleh karena itu kemudian masyarakat menamakan kampung tersebut dengan nama “panyawungan”. Sedang versi kedua menyatakan, nama “panyawungan” di ambil dari kata “panyaung” yang artinya tempat berteduh. Konon menurut masyarakat sekitar, dahulu pernah ada penyebar Islam sekelas wali yang membuat gubuk untuk berteduh di ujung barat kampung. 14 Wawancara pribadi dengan bapak Drs. Dudung, mantan sekretaris pesantren, Bandung, tanggal 01 Mei 2010 (sudah melalui proses transkrip) 68 Meskipun ada dua versi yang beredar, namun di masyarakat lebih populer dengan versi yang pertama. Selain dari kedekatan bunyi, hal itu juga diperkuat oleh data yang menytakan, bahwa sebelum dinamakan “Panyawungan”, telah ada nama terdahulu yaitu “Tarik Kolot” kemudian menjadi “Lembur Panjang” sampai akhirnya menjadi “Panyawungan” . 15 Gambar 3 : Peta Desa Cileunyi Wetan 15 Wawancara bersama beberapa tokoh masyarakat di rumah ustadz Dede Abdul Kholik, Bandung , tanggal 03 Maret 2010 69 B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat Kampung Panyawungan merupakan bagian administratif Desa Cileunyi Wetan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung – Propinsi Jawa Barat. Atau berada pada titik 6° 57’0.92” LS dan 107° 44’ 8.51”BT. Ketinggian kampung Panyawungan berada pada 663 meter dpal. Kampung Panyawungan terletak di bagian selatan desa dan masuk wilayah dusun satu bersama kampung Jajaway, kampung Kara, kampung Bojong Malati, kampung Sindang Wargi, dan Perum Abdi Negara. Letaknya sekitar 2 km dari pintu tol Cileunyi yang merupakan jalur penting dalam perhubungan karena menjadi persimpangan arah Jakarta, Bandung, Garut, dan Cirebon. Kampung Panyawungan memiliki luas wilayah ± 98 Ha, dan terdiri dari 9 RT. Batas administratif di sebelah utara kampung Andir, di sebelah timur berbatasan dengan Perumahan Abdi Negara, di sebelah barat berbatasan dengan kampung Galumpit, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kampung Kara. 16 16 Wawancara pribadi dengan bapak Drs. Iin Zainal Abidin, Bandung ,18 April 2010 70 Gambar 4: Lokasi Kampung Panyawungan (dengan tanda merah) Dari Google Maps Jumlah penduduk kampung Panyawungan sebanyak 1820 jiwa yang terdiri dari 521 KK. Sedangkan jumlah Keluarga Miskin (Gakin) 200 KK dengan persentase 38,38% dari jumlah keluarga yang ada. 17 Secara ekologis kampung Panyawungan merupakan daerah pesawahan yang landai. Gunung Manglayang di sebelah utara kampung menjadi sumber pengairan pesawahan dan kolam di kampung tersebut. Pembukaan jalur tol Cileunyi memudahkan akses perhubungan lintas kabupaten dan propinsi. Pembukaan jalur ini pula yang mengawali pembangunan industri di daerah panyawungan. Daerahnya yang landai dan ketersedian tanah pesawahan yang mudah untuk dirubah menjadi kapling, menjadikan kampung ini pilihan tepat untuk mendirikan bangunan besar semacam industri. Seperti dapat kita lihat pada gambar, kampung Panyawungan ditunjukan oleh angka tiga. Dalam gambar di atas, kampung Panyawungan menjadi sentral relokasi industri besar. Pembangunan industri di kampung tersebut hampir memakan seluruh areal pesawahan dan bahkan ada industri ─sedang dalam proses─ didirikan di tengah padat penduduk. Kini tercatat ada 13 industri yang berdiri di atas tanah kampung tersebut. 1. PT. Catur Kartika Jaya, bergerak di bidang textile; 2. PUSLITBANG Pemukiman, institusi pemerintah yang bergerak dalam konstruksi. 17 Buku Cacah Jiwa Kampung Panyawungan 2008-2009 71 3. PT. Shinko Toyobo Gistex, bergerak di bidang textile; 4. PT. Agro, bergerak di bidang agronomi; 5. PT. Gistex, bergerak di bidang textile; 6. PT. Derma International, bergerak di bidang textile; 7. PT. Dutalfa, bergerak di bidang pengolahan plastik; 8. PT. Polyfilatex, bergerak di bidang textile; 9. PT. Ikafood, bergerak di bidang konsumsi pangan; 10. PT. Sayap Mas Utama, gudang produk Wings; 11. CV. Sariwangi, bergerak di bidang pangan; 12. Unilever, gudang distribusi; dan 13. PT. GAS, bergerak di bidang agronomi (tahap pembangunan). Dengan banyaknya pembangunan industri di kampung tersebut tentu saja berdampak pada tingkat urbanisasi. Tingkat urbanisasi di wilayah kampung Panyawungan juga dipengruhi oleh jaraknya yang dekat ± 4 km dengan kota pendidikan Jatinangor Kabupaten Sumedang yang telah bermetamorfosis menjadi kota modern dengan segala infrastruktur publik yang memadai. Tabel.1 Daftar Nama Pemilik Kontrakan Di Kampung Panyawungan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Nama Pemilik Ny. Eneng Bapak Iin Bapak Aton Bapak Ending Ibu Dedeh Bapak Herman Hj. Onah Hj. Sobroh Hj. Edod Bapak Didin Bapak Ending Lokasi RT Jumlah Pintu 01 01 01 01 01 02 02 02 02 03 03 5 Pintu 7 Pintu 25 Pintu 15 Pintu 3 Pintu 5 Pintu 3 Pintu 20 Pintu 3 Pintu 5 Pintu 6 Pintu 72 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Bapak Nasihin Bapak Ubed H. Dadan Ibu Nyai Bapak Useng Bapak Ayi Bapak Saprudin Bapak Sobur H. Aceng H. Oping Bapak Darmin 04 04 04 04 05 05 06 07 07 08 08 3 Pintu 6 Pintu 5 Pintu 5 Pintu 4 Pintu 3 Pintu 5 Pintu 4 Pintu 7 Pintu 20 Pintu 9 Pintu Secara infrastruktur kampung Panyawungan dapat disejajarkan dengan kampung atau perumahan yang telah maju. Infrastruktur publik yang ada di kampung ini antara lain: Poliklinik : 1 Buah Futsal : 1 Buah Posyandu : 1 Buah Warnet : 3 Buah TK : 1 Buah Wisma SD : 1 Buah Yayasan : 3 Buah SLTP : 1 Buah LBH : 1 Buah : 1 Buah B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk Meskipun di kampung Panyawungan banyak berdiri industri, namun ternyata tidak lebih dari 10 % saja penduduk yang bekerja sebagai buruh industri. Mayoritas penduduk bekerja sebagai pedangang 30%, petani 30%, buruh kasar 20%, PNS 5% dan sebagaian kecil berprofesi sebagai tukang ojek, penjahit, dan professional. Ironis lagi, kampung Panyawungan mempunyai angkapengangguran yang tinggi yaitu 131 orang di hitung dari jumlah penduduk usia produktif. 18 18 Buku Cacah Jiwa Kampung Panyawungan 2008-2009 73 Kehidupan ekonomi penduduk kampung Panyawungan bisa dikategorikan sebagai penduduk dengan kemampuan ekonomi lemah. Selain jumlah keluarga miskin di sebutkan di atas, hal ini diperkuat oleh data Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang mengacu pada kemampuan konsumsi penduduk, Banyak penduduk yang tidak sanggup memenuhi konsumsi sayur dan buah. Namun begitu, menurut pengamatan penulis sebagian kecil penduduk mempunyai kekayaan di atas rata-rata di lihat dari kemampuan membangun rumah yang tergolong megah dan akumulasi harta kekayaan yang dimiliki. Terbatasnya penduduk setempat yang menjadi buruh pabrik, selain disebabkan oleh tingginya tingkat urbanisasi, juga disebakan oleh rendahnya tingkat pendidikan penduduk sehingga tidak mempunyai kualifikasi untuk masuk industri. Meski demikian, hal menggembirakan adalah semakin meningkatnya pendidikan penduduk. Jika pada data cacah jiwa 2004 didominasi oleh lulusan SD, pada cacah jiwa tahun 2008 sudah didominasi oleh SLTP. Tabel. 2 Tipologi Pendidikan Pendidik Jenjang Pendidikan Jumlah Orang 1. SD 26,1% 2. SLTP 50,5% 3. SLTA 17,7% 4. D3 1,6% 5. S1 3,8% Kondisi kesenjangan antara penduduk lokal dan pendatang seringkali menjadi pemicu hubungan disharmonis antara penduduk asli, pendatang, dan 74 pelaku industri. Fakta tentang hal tersebut, misalnya demontrasi terhadap PT. Shinko Toyobo Gistex (1997) yang dilatarbelakangi oleh kecemburuan masyarakat sekitar terhadap pendatang yang lebih banyak mendominasi lapangan pekerjaan, kesurupan masal yang terjadi di PT. Derma Internasional dan PT. Gistek (2003) bisa jadi merupakan bentuk provokasi masyarakat yang mempunyai stigma negatif terhadap industri, terakhir konflik antara penduduk kampung Panyawungan dan penduduk Bumi Cipacing Permai (2006) dilatarbelakangi oleh perebutan lahan industri. 19 B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk Setelah sekitar dua kilometer dari gerbang tol Cileunyi menyusuri industriindustri yang berjejer di kiri-kanan jalan menuju kampung Panyawungan, barulah kita dapat melihat perkampungan besar dengan penduduk yang sangat padat. Suasana perkampungan atau komunitas muslim lebih terasa kental di waktu menjelang senja. Tua-muda; laki-laki dengan sarung dan kopiah, sementara perempuan dengan rok dan jilbabnya. Setelah adzan maghrib pengajian kecil (langgar di Jawa) dipenuhi dengan muda dan mudi. Suara talaran dari salah satu kitab Nahwu nyaring terdengar dari puluhan santri di masjid Jami’ yang terletak di kompleks pesantren. Meskipun di kampung Panyawungan terdapat Pondok Pesantren, namun pengajian langgar terdapat di setiap Rukun Tetangga (RT). Selain mengajar anakanak dan remaja, sebagian langgar juga menyelenggarakan pengajian rutin 19 Wawancara pribadi dengan bapak Drs. Iin Zainal Abidin, Bandung, 18 April 2010 75 mingguan buat para orang tua seperti “seninan” di langgar ustadz. Aceng dan “kemisan” di langgar ustadz Uki. Uniknya lagi di kampung ini terdapat kekerabatan yang kuat antara kyai langgar dan kyai pondok (diagram 2 dan 3). Ini tentu sebuah hal yang menguntungkan dalam membina umat. Tabel. 3 Daftar Langgar Langgar Pimpinan RT Pengajian Rutin 1. KH. Uun Fanhur 01 “Seninan” (khusus ibu-ibu) 2. Ustadz. Aceng 02 “Juamatan” (pengajian umum) 3. Ustadz. Apep 04 “kemisan” (Karang Taruna) 4. Ustadz. Ma’mun 05 5. Ustadz. Aseng 06 6. Ustadz. Uki 07 ─ 7. Ustadz. Adin 07 ─ 8. Ustadz. Dede 08 ─ 9. KH. Ukho 09 ─ ─ “kemisan” (khusus bapak-bapak) 10. Ustadz. Endang Meskipun arus industrialisasi dan pembangunan sektor modern membayangi perjalanan kampung ini, namun bagi masyarakat kampung Panyawungan agama tidak saja merupakan ranah personal sesorang, masyarakat juga mengangkat kegamaaan ke dalam ranah publik. Adanya kepanitian seperti 76 Panitia Hari Besar Islam (PHBI) adalah salah satu contohnya, bahkan beberapa tahun silam pernah terjadi pengusiran warga non-muslim yang tinggal di kampung ini. 76 BAB IV PERUBAHAN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUGAN A. Artikulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi Jika mengaitkan keberadaan Pesanten Nahdujussalam dengan pendirinya yaitu KH. Kholil, maka keberadaannya di kampung Panyawungan merupakan pendatang. Mula-mula KH. Kholil hanya berinteraksi dengan para santrinya dan sebagian kecil masyarakat. Namun interaksinya dengan masyarakat yang terjalin baik dan mampu menjaring para tokoh masyarakat yang berpengaruh seperti KH. Syarif dan KH. Afandi menjadikan KH. Kholil sebagai tokoh kharismatik di wilayah Cileunyi. Kemudian setelah jejaring lokal kuat, KH. Kholil juga mampu memperluas jaringannya dengan pihak pesantren luar. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan bagi eksistensi pesantren. Peralihan dari pemimpin pondok menjadi pemimpin sosial baru terlihat pada saat kepemimpinan KH. Dzajuli dimana keturunan KH. Kholil mempunyai peranan sosial yang sangat besar di masyarakat. Bahkan seperti disinggung di atas, pada saat ini lah pesantren mempunyai pola kyai delegasi. Besarnya peran sosial yang dimiliki oleh keturunan KH. Kholil, menjadikan para praktisi politik tertarik untuk menjalin hubungan dengan pesantren. Ini dibuktikan oleh penghargaan yang diberikan oleh Masyumi kepada KH. Dzajuli pada tahun 1960. Tentu itu dilalakukan dengan kesadaran bahwa ulama adalah sosok yang mampu memobilisasi massa. Persentuhan pesantren dan 77 politik beerlanjut denngan aktifnnya KH. Syambas S dii Masyumi. Di sini peran p pesantren mempunyaai peran gaanda, yaitu sebagai peemimpin sosial dan seebagai pemimpinn kelompok.. Gam mbar 5. KH. Athhoillah dan Bapak B Dediing Ishak (C Calon Bupatti Bandung)) Beertolak belaakang denggan pandang gan Kuntow wijoyo yanng menyebu utkan, ketika ulaama masuk dalam poliitik, maka ia i akan meengalami peenyusutan peran, p dari pemim mpin sosial ke pemimppin kelompo ok. Hal itu tidak t berlakku bagi Pesaantren Nahdjussaalam. Meskki KH. Syyambas aktiif di Masyyumi, namuun beliau dapat memisahkkan peran sosial s keagaamaan deng gan peran politik. Haal itu dibuk ktikan dengan keeaktifan beeliau mengaajar di majjelis-majeliss ta’lim kaampung Jajjaway yang mayyoritas pennduduknya merupakaan simpatissan PKI. 1 Hal itu dapat dimengertti pula denggan posisi kyai k dalam partai p yang banyak meenempati seebagai posisi peenasihat (pposisi yanng gamang g untuk tidak t mennyebutkan tidak berpengarruh). 1 Lih, Kuntowijooyo, Muslim Tanpa T Mesjid, h. 37 78 Persentuhan pesantren dengan politik terus berlangsung. Ketika pada tahun 1960 keluar Kepres No. 200/1960 tentang pembekuan Masyumi, dan orang-orang Masyumi mendirikan Parmusi, KH. Syambas pun masuk ke dalam partai baru tersebut. 2 Kemudian ketika pada tahun 1973 pemerintah menyempitkan partai kedalam tiga wadah, dan PPP adalah wadah yang berunsurkan Islam, maka KH. Syambas dan KH. Athoillah pun ikut bergelut di dalamnya. Persentuhan pesantren dengan politik mengalami penurunan setelah Era Reformasi. KH. Athoillah melepaskan dirinya dari segala urusan kepartaian. Ini berpengaruh besar pada warna perpolitikan masyarakat kampung Panyawungan. Namun begitu, pada pemilu 1999, PPP masih mendominasi suara pemilih. Tetapi sudah mulai muncul warna lain dalam memilih meskipun masih dalam warna partai bernuansa Islam seperti PAN, PBB, dan PKB. 3 Lamanya persentuhan pesantren dengan politik ─terutama dengan PPP─ mengakibatkan melekatnya citra bahwa Pesantren Nahdjussalam tetap merupakan simpatisan partai berlogo Ka’bah. Hingga pada pemilu 2004 pesantren menjadi pendukung utama Hj. Adjeng Ratna Suminar M. Sc calon anggota DPR yang diusung oleh PPP. Namun meski pesantren menjadi pendukung utama pensuksesan calon disebut, KH. Athoillah tidak turut aktif dalam usaha pendulangan suara. Yang banyak berperan aktif dalam pendualangan suara adalah keponakan beliau yaitu ustadz Tubagus Nihayatujen dan bapak Ateng. 4 2 Ibid, h. 53 Wawancara dengan bapak Iin yang saat itu menjabat sebagai ketua TPS kampung Panyawungan 4 Pada saat euporia Pemilu 2004, penulis berada dilingkungan pesantren dan berstatus sebagai santri 3 79 Dukungan pesantren terhadap calon perempuan menuai pro dan kontra di masyarakat. Ini dapat dimengerti karena pesantren mempunyai pandangan sendiri mengenai kepemimpinan perempuan. Namun begitu, dengan segala aktifitas pendulangan suara yang dilakukan oleh ustadz Tubagus Nihayatujen dan bapak Ateng dengan menyandarkan diri pada pesantren, Hj. Adjeng Ratna Suminar M. Sc mendapat suara mutlak di kampung Panyawungan. 5 Pada pemilu 2009, Pesantren Nahdjussalam hanya mendudukan posisinya sebagai pemilih. Pesantren tidak lagi berpihak pada satu partai dan satu calon pun. Padahal banyak calon yang berusaha mendekati pesantren untuk memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya dalam rangka memobilisasi massa. …Politik kiwari geus jauh beda jeung politik 30 taun ka tukang. Matak aringgis mun nenjo politik kiwari. Geus ayeuna mah urang balik deui kana guna urang sebagai pesantren. 6 (…Politik sekarang sudah berbeda dengan politik 30 tahun yang lalu. Melihat politik sekarang membuat kita takut. Sudahlah, orang pesantren kembali pada jalur pesantren sebagimana mestinya). Pengunduran pesantren dari dunia perpolitikan juga didasari oleh kesadaran bahwa masyarakat telah dewasa dalam menentukan pilihanya dengan adanya dukungan sarana informasi abad sekarang yang tidak ada pada jaman dahulu. Seperti tergambar dalam kutipan di bawah ini. Masyarakat ayeuna geus beda jeung masyarakat baheula. Radio, TV, koran, jeung sajabana geus mere kanyaho kana politik. 7 (Masyarakat sekarang sudah berbeda dengan masa lalu. Radio, TV, koran, dan lain-lain sudah member informasi tentang politik). 5 Wawancara dengan bapak. Iin yang saat itu menjabat sebagai ketua TPS kampung Panyawungan, Bandung 02 Mei 2010 6 Petikan tausiah KH. Athoillah pada acara selamatan kelahiran cucu beliau, Bandung 04 Mei 2009 7 Wawancara dengan KH. Athoillah 15 April 2010 80 Vacumnya pesantren dari perpolitikan bukan saja berpengaruh pada variasi masyarakat dalam memilih, tetapi juga memunculkan aktor-aktor politik di luar pesantren, seperti kemunculan ustadz Dede Abdul Kholik dan bapak Iwan M. Fallah. Perpolitikan kampung Panyawungan tidak lagi seragam. Hal ini dibuktikan oleh hasil perolehan suara dimana partai-partai bernuansa Islam harus membagi suara dengan partai-partai berhaluan lain, bahkan ada warga seperti bapak Amas yang bergabung dengan Gerindra. 8 B. Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Pemberdayaan dan Jaminan Keberlangsungan Industri. Antara Pondok pesantren Nahdjussalam, selalu dijadikan panutan dalam berprilaku oleh masyarakat. Pondok ini dengan segala kekuatan yang dimilikinya bahkan mampu meredam konflik berdarah antara penduduk kampung Panyawungan dan Bumi Cipacing Permai pada pertengahan 2006. Kasus terbaru adalah konflik sengketa tanah Perumahan Mutiara Cileunyi yang melibatakan tindakan pengerahan massa hingga berujung pada konflik antara masyarakat kampung Panyawungan dan kampung Galumpit. Peran pesantren dalam mendudukan masalah tersebut justru lebih kuat daripada peran polisi dan pejabat desa sekalipun. Dalam kasus yang saat ini masih berlangsung, yaitu pendirian PT. Global Agro Semesta. Pemilik perusahaan yang di mediatori oleh Yayasan Lingkar Santri Nusantara (YALISAN) dan Yayasan Madani lebih memiih mendatangi pesantren 8 Kesulitan mendapatkan akses data akurat menyebabkan penulis hanya mengandalakan wawancara dari para mantan ketua TPS yang ada di kampung Panyawungan. Wawancara dilakuakan dengan bapak. Iin, ustadz Cecep, dan bapak. Dudung, Bandung, 01-02 Mei 2010. 81 dalam berkonsultasi pendirian pabriknya yang berlokasi di tengah padat penduduk dan tepat di muka gerbang pesantren (lihat h. 92). Besarnya pengaruh pesantren tersebut menjadikan pihak industri selalu menjalin hubungan baik dengan pihak pesantren. Selain dari bantuan yang sifatnya pembangunan, industri juga memberi beberapa keistimewaan yang diberikan pada pesantren. Bagi pihak industri tentu hal itu dilakukan sebagai jaminan sosial untuk keberlangsungan produksi mereka. Beberapa keistimewaan yang diberikan pihak industri terhadap pesantren di antaranya: kewenangan untuk mengelola limbah textile dari PT. STG dan PT. Poliyfilatex. Penyedia bahan baku bagi PT. Ika Food dan PT. Global Agro Semesta. Namun tidak semua usaha tersebut dapat dikelola dengan baik oleh pesantren. Saat ini hanya pengelolaan limbah dari PT. STG saja yang masih berjalan. Banyaknya fasilitas yang diberikan terhadap pesantren berupa hak usaha tersebut berdampak ke dalam maupun ke luar pesantren. Dampak positif yang dirasakan oleh pesantren terbukanya sumber keuangan, terbukanya lapangan pekerjaan, peningkatan kesejahteraan keluarga pesantren dan pemasukan kas pesantren. Namun selain dampak positif sebagaimana disebut, usaha komunal yang dijalani oleh keluarga pesantren ini juga berdampak pada perpecahan keluarga pesantren akibat adanya ketimpangan ekonomi antara keluarga. Selain itu juga banyak kyai-kyai pondok yang terjebak 82 dalam rutinitas bisnis yang tidak jarang meninggalkan tugasnya sebagai tenaga pengajar di pondok. 9 Kesemberawutan manajemen pondok yang belum siap dalam mengelola usaha, menjadikan usaha yang sifatnya komunal ini telah beberapakali berganti pimpinan, namun dalam perjalannnya tidak ada satu pimpinan pun yang berhasil membawa usaha ini pada kemajuan. Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran Limbah Sedangkan dampak yang dirasakan dari luar adalah adanya sentimen dari sebagian masyarakat yang menganggap pesantren memonopoli sumber daya yang seharusnya dikelola oleh masyarakat. Sentimen masyarakat semacam itu bahkan pernah membuat jalinan pesantren dan masyarakat kurang harmonis. Beberapa pertemuan yang membahas tentang hak pengolahan limbah industri berhasil memisahkan antara masyarakat yang pro terhadap pesantren dan 9 Menurut hasil observasi, penulis melihat ada pem-blok-an antara keluarga pesantren yaitu blok utara yang merupakan keturunan Hj. Khotimah dan blok selatan yang merupakan keturunan dari KH. Athoillah dan KH. E. Najmudin. Sedangkan sisanya bersifat netral. 83 masyarakat yang pro terhadap Karang Taruna yang pada waktu itu dipimpin oleh bapak Ade Zakaria. Kondisi masyarakat yang terpecah hampir saja membuat marah para preman yang mendukung pesantren, kemarahan para preman tersebut dapat diredam oleh musyawarah keluarga pesantren yang dilaksanakan pada tanggal 21 Januari yang bertempat di komplek pesantren. 10 Akhirnya pada pertemuan yang mempertemukan antara pesantren dan Karang Taruna yang yang dilaksanakan pada tanggal 6 Februari 2005 di rumah bapak Emuh, pesantren melepaskan hak pengelolaan limbah PT. Polyfilatex kepada masyarakat. C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa Bagi penduduk desa, jabatan kepala desa merupakan jabatan terhormat, memiliki banyak kekuasaan, dan dapat mendatangkan kekayaan. Itu mengapa jabatan ini selalu menarik untuk diperebutkan oleh para elit dan para pendukungnya yang ingin mendapatkan keuntungan tertentu dari calon yang dijagokannya kelak jika menang. Peran pemimpin sosial pesantren yang besar seperti disinggung di atas, dengan sendirinya mempunyai kekuatan untuk konsensus penduduk seperti dalam momentum pemilihan kepala desa. Hal itu dibuktikan oleh para kepala desa paska Raden Atmajadikarta yang datang dari elit pesantren al-Jawami dan elit Panyawungan yang mempunyai hubungan kekerabatan dan emosional dengan pesantren Nahdjussalam. 10 Selain pada waktu itu penulis mengikuti sendiri pertemuan tersebut, data juga didapat dari wawancara dengan ustadz. Cecep yang pada saat itu merupakan Ketua KOPONTREN Nahdjussalam 84 Sulit diketahui penyebabnya, entah itu semacam bargaining politik atau semata hanya untuk menjaga keharmonisan antara pesantren al-Jawami dan pesantren Nahdjussalam, setiap kali Panyawungan mempunyai calon, maka alJawami tidak memiliki calon, begitu pula sebaliknya. 11 Namun dalam kancah perebutan kepala desa, ternyata ada unsur lain yang mampu memobilisasi massa di luar pesantren. unsur tersebut tidak lain adalah modal yang harus dikeluarkan oleh calon kepala desa untuk membiayai masa kampanye. Modal yang yang harus dikeluarkan dalam kampanye angkanya mencapai puluhan juta rupiah. 12 Masuknya peran modal dalam pemilihan kepala desa, menjadikan siapa saja calon yang ingin menang untuk mendekati baik individu maupun intitusi untuk mendukungnya atau setidaknya tidak memberikan modal pada lawan politiknya. Semenjak pembangunan industri di wilayah Panyawungan pada tahun 1984-an, industri sebagai institusi yang memiliki modal dan kepentingan masuk mewarnai politik desa. Masuknya industri dalam perpolitikan desa memang mudah dimengerti menimbang banyak kepentingan industri yang harus melewati kewenangan kepala desa. 13 11 Sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat Desa Cileunyi Wetan Wawancara dengan bapak Iwan M. Fallah (mantan Kades 2002-2007), Ia menghabiskan dana sampai 40 jt Rupiah untuk kelancaran kampanyenya. 13 Kepala desa banyak menikmati aset yang ada di daeranhya, seperti carik yaitu bagian keuntungan dari hasil jual-beli tanah, jual beli ternak besar, besarnya persentase tergantung dari kesepakatan masyarakat sebelum pemilihan diadakan. Sedangkan untuk pemungutan pajak, pemerintah desa mendapatkan insentif sebesar 2,5% dari jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan dari penduduknya. Itu hanya yang diketahuinya saja, belum lagi hal-hal seperti perijinan-perijinan, terutama perijinan usaha. (Iwan M. Fallah). 12 85 Pengaruh modal tersebut terbukti pada pemilihan kepala desa tahun 2002 dimana bapak Iwan Miftahul Fallah menang tipis dari pesaing terdekatnya yaitu H. Martin yang dikabarkan dekat dengan pihak Industri. Walau tidak ada data yang dapat ditelusuri namun menurut ingatan bapak Iwan, ia hanya lebih 31 suara dari lawannya. 14 Industri yang menyebabkan urbanisasi juga berperan dalam pemecahan suara mengingat banyaknya pendatang yang mempunyai hak untuk memilih. Perilaku dan orientasi pendatang tentu berbeda dengan penduduk asli yang masih terikat seperti oleh rasa primordial, adat-istiadat, dan pemakaian terhadap pesantren sebagai pemimpin sosial. Bagi mereka, pemimpin dipilih berdasarkan kualitas individu yang bersifat sporadis dan bukan lagi berdasar pada geneologis dan segmental. 15 Industri juga mempengaruhi perjalanan roda pemerintahan desa. Masih menurut bapak Iwan, aparatur pemerintah desa tidak bisa bertindak apa-apa ketika masyarakat mengeluhkan limbah industri yang mencemari perairan dan lingkungan masyarakat. Jika kita menekan industri dan mengadukannya secara hukum, maka siapa yang akan menanggung akibatnya. Siapa yang akan bertanggung jawab dengan pengangguran. Sedang untuk STG saja terserap lebih dari 5000 tenaga kerja. 16 Bukan itu saja, ketika masyarakat mengeluhkan jalanan desa yang rusak akibat lalu-lalangnya mobil berat industri. Pihak industri melimpahkan 14 Wawancara dengan bapak Iwan Miftahul Fallah, Bandung 03 Maret 2010 Menurut bapak Iwan, pecahnya suara beliau di Kp. Panyawungan dan Perum Abdi Negara kemungkinan berasal dari suara pendatang yang displit oleh peran bapak Ending yang merupakan makelar tanah dan tangan kanan H. Martin 16 Wawancara dengan Karang Taruna, Bandung 05 Juni 2010 15 86 permasalahannya tersebut pada pemerintah desa dengan dalih mereka membayar pajak yang sangat besar. Dan desa tidak mampu berbuat apa-apa untuk memperbaiki jalanannya sendiri. 17 D. ARENA KERJA SAMA DAN KONFLIK YANG SEDANG TERJADI DI MASYARAKAT KP. PANYAWUNGAN D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan Antar Elit yang Sudah Mapan Berangkat dari analisis terhadap latar belakang geneologis para anggota Komite Pembentukan Cileunyi Kidul, hampir seluruh elit anggota berasal dari keturunan KH. Afandi dan elit lain yang mempunyai kekerabatan dengan rumpun KH. Afandi. Dalam perjalananya, selain menjadi orang-orang kaya di kampung Panyawungan, keluarga besar KH. Afandi juga lama terlibat dan berkecimbung dalam persaingan memperebutkan posisi dan kekuatan politik desa. Yang menarik di Desa Cileunyi Wetan. Banyaknya keturunan KH. Afandi yang menjadi elit baik di tingkat RW, desa, dan kabupaten; dapat dipastikan dalam keluarga KH. Afandi melekat unsurunsur kuat yang mempengaruhi politik. Unsur-unsur kuat yang melekat pada keluarga KH. Afandi yang penulis temukan di antaranya unsur kekuasaan, status sosial, dan kekayaan. Sedang untuk kekuatan simbolis, para elit dari rumpun KH. Afandi menyandarkan dirinya pada pondok pesantren. Kuatnya hubungan emosional antara rumpun KH. Afandi dan pesantren selain terjalin dari hubungan kekerabatan dan donatur, juga terbangun dari timbal-balik hubungan sosial antar keduanya. 17 Walau tidak ada bukti kuat, tulisan itu penulis ambil dari pernyataan bapak Iin yang menuduh aparatur desa banyak memakan uang cincai dari industri hingga tidak mampu berbuat apa-apa. 87 Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul pertama kali digagas pada pertengahan 2009 oleh beberapa tokoh masyarakat kampung Panyawungan, di antaranya: Drs. Iin Zainal Abidin (ketua RW. 03 kampung Panyawungan), Iwan Miftahul Fallah S. sos (mantan Kepala Desa), dan Dede Abdul Kholik (ketua Karang Taruna dan ketua Yayasan Lingkar Santri Nusantara). Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul dilatarbelakangi oleh luasnya wilayah administratif Desa Cileunyi Wetan. Menurut bapak Iin, jika merujuk pada luas wilayah dan jumlah kepadatan penduduk, maka sudah sepantasnya Desa Cileunyi Wetan diadakan pemekaran. Pemekaran Desa Cileunyi Kidul ini sudah sepantasnya dilakukan. Jika melihat pada sejarah pemekaran Desa Cileunyi yang terbagi menjadi Desa Cileunyi Wetan dan Desa Cileunyi Kulon pada tahun 1978, pemekaran menjadi Desa Cileunyi Kidul lebih pantas melihat dari luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemandirian peduduk 18 Namun selain alasan di atas, ternyata ada alasan lain yang melatarbelakangi Pembentukan Komite Desa Cileunyi Kidul. Seperti dalam kutipan di bawah ini. Aset terbesar untuk pemasukan Desa Cileunyi Wetan didapat dari wilayah Kp. Panyawungan dengan adanya industri-industri yang berdiri di wilayah kita. Sedang apa yang kita terima, jalanan desa yang rusak menuju daerah kita akibat mobil-mobil berat industri. Desa tidak berani mendesak pihak industri. Ini dapat dimengerti menimbang besarnya pemasukan yang mereka terima dari pihak industri. Bayangkan jika kita bisa menerima Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang jumlahnya mencapai ratusan juta yang diterima oleh Yayasan Saepul Ulum (elit alJawami), padahal seyogyanya itu merupakan hak kita yang merasakan langsung pahit-manisnya industri. 19 18 Kutipan dari bapak Iin pada sebuah dialog dengan bapak Ruly (Keua RW. 23 Perum Abdi Negara), Bandung, 19 Desember 2009, sebagaimana dituturkan oleh bapak Deni sekertaris Karang Taruna 19 Kutipan wawancara mendalam dengan ustadz Dede Abdul Kholik, Bandung, 20 Mei 2010 88 Para penggagas disebut di atas, terus menyebarkan gagasannya kepada para tokoh masyarakat di lingkungan kampung Panyawungan. Setelah gagasannya mendapatkan respon positif dari masyarakat kampung Panyawungan, barulah mereka menyebarkan gagasan ke wilayah sekitar yang direncanakan masuk dalam wilayah Desa Cileunyi Kidul. Adapun wilayah yang direncanakan adalah sebagai berikut: • RW. 01 kampung Jajaway; • RW. 02 kampung Kara; • RW. 03 kampung Panyawungan; • RW. 04 kampung Pasir Tukul; • RW. 16 kampung Andir; • RW. 17 kampung Bojong Malati; • RW. 18 kampung Sindang Wargi; dan • RW. 23 PERUM Abdi Negara. Gagasan tersebut cepat menyebar setelah mendapatkan respon positif dari Karang Taruna dan pesantren. Karang Taruna mempunyai peranan untuk persuasi masyarakat bawah, sedang untuk persuasi masyarakat atas serta industri, merupakan tugas para penggagas yang memang mempunyai jejaring luas. Bargaining dengan industri menempati posisi yang sangat penting menimbang posisinya yang sanggup memberi pengaruh dalam permasalahan dana. 20 20 wawancara mendalam dengan ustadz Dede Abdul Kholik, Bandung, 20 Mei 2010 89 Setelah melakukan persuasi yang cukup panjang akhirnya gagasan tersebut berbentuk menjadi komite setelah pertemuan di rumah bapak Ruly pada tanggal 20 Desember 2009 dengan pembentukan struktur sebagai berikut: Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul Pe na siha t K H. Uun fa nhur K e tua Drs. Iin Z . Abidin Se kre ta ris Bpk. Ruly D e de A . Kholik wa kil Iwa n M . Fa lla h Hum as Bpk. Om an Bpk. Aw o Anggota Bpk. Sobirin Bpk. D e de Bpk. Am a d D e rin Bpk. A m a s kembali pada landasan analisis yang telah disinggung di atas, hubungan kekerabatan yang terlihat dalam struktur di atas dapat ditelusuri dalam diagram di bawah ini. 90 Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elit Komite Cileunyi Kidul Ket: 1. KH. Kholil 2. Bpk. H. Abdul Hamid (mantan Kades) 3. KH. Athoillah 4. Bpk. Oman, Prn. 5. KH. Afandi 6. KH. Uun Fanhur 7. Drs, Iin Zainal A. (RW) 8. Bpk. Awo (ketua Yayasan Madani) 9. Bpk. Iwan (mantan Kades) 10. Bpk. E. Djaenudin (mantan Kades) 11. Bpk. Dede (ketua YAPEMPA) 12. Ustd. Dede A. Kholik (ketua Karang Taruna) Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul dalam perjalanannya menemui kebuntuaan. Kebuntuan tersebut selain disebabkan oleh kebersikukuhan aparatur Desa Cileunyi Wetan yang tidak mau melepas wilayahnya, juga disebabkan oleh konflik internal komite yang akan dibahas di bawah ini. D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan Pragmatis. Karang Taruna kampung Panyawungan yang vacum sekitar tahun 2005 sampai dengan 2008 kembali aktif pada awal tahun 2009 di bawah kepemimpinan ustadz Dede Abdul Kholik. Walau di usianya yang masih dini, peran karang taruna dalam pemberdayaan dan pengembangan generasi muda dapat dikatakan berhasil . Di bawah kepemimpinan kharismatis ustadz Dede, anak muda tidak hanya digiring ke arah berdaya cipta tetapi juga mampu digiring ke arah 91 keagamaan. Dari keberhasilannya, organisasi tersebut mendapat sambutan hangat baik dari pihak ke-RW-an maupun dari masyarakat luas. Banyak agenda-agenda publik yang diselesaikan dari hasil kerjasama antara ke-RW-an dan karang taruna. Kemesraan ke-RW-an dan karang taruna terjalin terutama pada saat bekerja untuk Komite Pembentukan Cileunyi Kidul seperti telah disinggung di atas. Namun seiring perjalanannya, peran Karang Taruna semakin jauh menembus pemberdayaan tenaga kerja, bargaining usaha dan lain-lain. Kepopuleran Karang Taruna bahkan mampu melangkahi kepupuleran ke-RW-an yang merupakan mitra masyarakat dalam bernegara. Benih-benih konflik antara Karang Taruna dan ke-RW-an mulai tampak ketika kasus sengketa tanah yang menimpa Perum Mutiara Cileunyi yang menjadi bagian RT kampung Panyawungan. Ke-Rw-an bersikukuh ingin mengambil jalur hukum untuk menggugat bapak Idris yang telah memenangkan gugatannya terhadap pihak develover, sedangkan Karang Taruna mengajak jalur dialog dengan bapak Idris yang sudah berkali-kali diputus menang oleh pengadilan untuk meringankan beban debitor perumahan. Dalam permasalahan tersebut ternyata opini dan ajakan Karang Taruna lah yang diikuti oleh masyarakat Perum Mutiara Cileunyi (RT. 09). Perpecahan atau konflik antar ke-RW-an dan Karang Taruna semakin memanas ketika datangnya PT. Global Agro Semesta yang ingin mendirikan pabrik pengembangan mikroba untuk keperluan agro bisnis. Rencananya, PT. GAS akan mendirikan pabriknya di wilayah RT. 01 yang merupakan areal padat 92 penduduk. Lahan yang rencananya akan digunakan adalah lahan bekas pabrik kerupuk atas hak milik Hj. Maskanah yang merupakan anak KH. Affandi. Pada saat itu, pemilik PT. GAS yaitu bapak Roky meminta kepada Ustadz Dede Abdul Kholik yang merupakan ketua Yayasan Lingkar Santri Nusantara dan ketua Karang Taruna untuk mensukseskan programnya. Kemudian ustadz Dede Abdul Kholik meminta kepada Karang Taruna dan Yayasan Madani di bawah pimpinan Bapak Awo untuk turut serta dalam memediatori PT. GAS dan masyarakat. Kesadaran akan pentingnya posisi pesantren di masyarakat, maka pada tanggal 12 Februari 2010, jajaran direksi PT. GAS yang ditemani oleh karang taruna bersilaturahmi ke pesantren. Pada saat mereka bersilaturahmi, sesepuh pesantren yaitu KH. Athoillah sedang berada di luar kota. Kemudian rombongan memutuskan untuk berziarah ke makam KH. Kholil. Entah bagaimana kebenarannya, konon pada saat berziarah kubur, bapak Roky yang dikabarkan mu’alaf oleh masyarakat mengalami semacam ektase. Beliau meminta kepada ustadz Dede Abdul Kholik untuk mengantarkanya ke sebelah utara dari perkomplekan pondok yang merupakan tempat pembuangan sampah dengan keadaan yang sangat kumuh. Ia menyayangkan keberadaan TPS tersebut yang mengganggu keasrian infrastruktur pondok. Esok harinya, rombongan kembali datang ke pesantren dan bertemu dengan sesepuh pondok. Selain untuk meminta ijin mendirikan pabrik, bapak Roky juga menawarkan banyak sekali bantuan dan kerjasama dengan pihak pesantren. Salah-satu bantuan yang akan diberikan terhadap pesantren adalah 93 kesiapan bapak b Rokyy untuk mem mbangun TPS T segera setelah s banggunan pabriknya selesai. Deewek mah teu t bisa nggijinan, da anu kararitumah urussan pamareentah. Nggan lamun jaang kaalusaan mah sok dido’akeunn… 21 (saaya tidak mempunyai m kewenangaan untuk memberikan m n ijin, itu adalah a uruusan pemeriintah, namuun bila itu un ntuk kebaikkan saya turrut mendoak kan). Perrnyataan KH. K Athoillaah tersebut segera mennjadi kekuaatan bagi Karang Taruna unntuk dapat mensukseska m an program mnya. Gam mbar 7. Bapak Roky (T Tengah) Bersama Tokohh Ulama Seetempat Roombongan PT. GAS dan Karaang Tarunaa serta bappak Awo yang merupakann pimpinann yayasan Madani sekaligus s a adik kanduung bapak RW, mendatanggi bapak Iinn untuk menngurus perijinan pembaangunan pabbrik. Namun n lain hal-nya dengan pesaantren, pihaak RW beserta jajarannya menolaak pembang gunan pabrik PT T. GAS denngan alasan pabrik terssebut berdirri di atas liingkungan padat penduduk serta berdeekatan dengan pesantren. 21 U Ucapan KH. Athoillah A yang dikutip oleh h ustadz Dedee pada sebuahh pertemuan Karang K Taruna dan keluarga pesaantren. Observvasi di Bumi Seuweu S Putu, Bandung 02 M Mei 2010 94 Beberapa kali Karang Taruna dan yayasan madani mencoba melobi pihak ke-RW-an untuk memberikan ijin mendirikan pabrik. Salah-satu usaha yang dilakukan adalah dengan mencoba mendudukan permasalahan secara bersamasama yang diadakan di rumah makan Sukahati pada tanggal 20 Februari. Dalam pertemuan rencananya akan dihadiri oleh pihak PT. GAS, Karang Taruna, Aparat Desa, ke-RW-an, pihak Pesantren, dan tokoh masyarakat. Namun pertemuan itu pun mengalami jalan buntu akibat pihak ke-RW-an tidak mendatangi pertemuan tersebut dan itu adalah tanda bahwa pihak ke-RW-an bersikukuh dengan pendiriannya. Namun setelah pertemuan tersebut, dengan sepengetahuan dari desa, bangunan pabrik pun mulai didirikan. Karang Taruna melanjutkan aksi penggalangan dukungan dari masyarakat dengan cara meminta tandatangan dari masyarkat sebagai bentuk dukungan untuk didirikannya pabrik, penggalangan tanda tangan ini dilakukan oleh ustadz Aim Salim yang merupakan kerabat pesantren. Sementara Karang Taruna giat mengadakan penggalangan dukungan, pihak ke-RW-an menguatkan barisannya dan mendekati orang-orang yang memiliki pengaruh seperti ustadz-ustadz langgar yang ada di kampung Panyawungan. Pihak ke-RW-an pun merapatkan diri dengan para muhibbin atau simpatisan pesantren yang khawatir aktivitas pesantren akan terganggu dengan hadirnya pabrik tersebut. Persaingan galangan masa antara Karang Taruna dan RW terus bergulir hingga pada tataran perang propaganda untuk membentuk opini publik. Untuk menguatkan propagandanya masing-masing kubu selalu mengaitkan atau 95 mengklaim nama pesantren. Masyarakat terbelah menjadi kubu Karang Taruna , kubu RW, dan sebagian kecil bersikap netral. Mengetahui bahwa jabatan RW telah habis dan telah ada dua surat himbauan untuk segera mengadakan pemilihan RW dari pihak desa pada akhir Desember 2009 dan akhir Januari 2010. Karang Taruna maju setingkat ke arah aksi provokasi dengan membuat panitia pemilihan RW. Panitia pemilihan RW baru semakin gencar diketengahkan pada masyakarakat terlebih setelah mengetahui telah ada surat himbauan untuk yang ketiga kalinya. Namun dengan kronologis seperti itu, pihak RW justru menuduh bahwa Karang Taruna dan PT. GAS me-interpensi pihak desa untuk menjatuhkan dirinya. 22 Bagi pendukung RW tindakan Karang Taruna adalah tindakan mengkudeta bapak Iin. Konflik tersebut terus meningkat hingga pada kontak fisik antara pendukung Karang Taruna dan pendukung ke-RW-an. Bapak Ayi yang merupakan pendukung Karang Taruna dan ketua panitia pemilihan RW bentukan Karang Taruna di pukul oleh ustadz Ma’mun yang merupakan pendukung keRW-an. Sebaliknya, Karang Taruna memukuli bapak Asep yang di tuduh menyebarkan isu bahwa ustadz Dede mendapatkan uang suap dari bapak Idris sebesar 200 juta Rupiah. Konflik yang tidak terkontrol mengakibatkan keresahan pada masyarakat dan menuntut peran pesantren sebagai pemimpin sosial untuk dapat meredam 22 Bapak Iin Zainal Abidin telah 30 tahun menjabat sebagai ketua RW.03 kampung Panyawungan. Jabatanya diterima setelah KH. Athoillah mengundurkan diri dari Ketua RW pada tahun 1979. Jabatan RW pernah diserahkan pada bapak Aceng pada tahun 1994 namun entah bagaima, setelah beberapa bulan jabatan itu kembali diambil oleh bapak Iin. Pengalihan jabatan juga terjadi pada tahun 2008 pada bapak Ade Zakaria, namun kembali diambil alih oleh bapak Iin. Sebelum kasus konfllik antara ke-RW-an dan karang taruna mencuat, sebenarnya bapak Iin sudah mengkaderkan ustadz Cecep untuk menggantikan jabatannya. 96 konflik yang terus memanas. Rupanya konflik ini pun membuat khawatir baik dari pihak Karang Taruna dan pihak ke-RW-an, namun keduanya masih bersikukuh untuk terus bertahan dengan pendiriannya masing-masing. Pada tanggal 25 Mei 2010, pihak ke-RW-an mendatangi KH. Athoillah untuk meminta dukungan moril dan membahas tentang konflik yang sedang terjadi di masyarakat. Bapak Iin siap untuk mengundurkan diri apabila ia di minta oleh KH. Athoillah untuk mundur, hal itu tentu tidak akan dilakukan oleh KH. Athoillah menimbang posisinya dan konflik yang akan pesantren terima jika KH. Athoillah melakukan hal itu. Permintaan bapak Iin yang meminta KH. Athoillah untuk bersuara dalam penolakan pendirian pabrik juga tidak mungkin dilakukan oleh KH. Athoillah mengingat dana besar yang telah dikeluarkan oleh PT. GAS. Pihak pesantren yang semula terlihat agak condong terhadap pihak Karang Taruna, menarik dan mengganti statmennya. Bagi pihak pesantren jika pabrik itu harus ada dan maslahat bagi umat, maka kami bersukur. Dan jika pabrik itu tidak ada untuk kemaslahatan umat, bagi kami tidak mengapa 23 Pihak ke-RW-an beserta masyarakat yang pro merencakan demo pada tanggal 27 Mei 2010 bertepatan dengan hari peresmian PT. GAS. Namun demo itu tidak jadi dilaksanakan mengingat KH. Athoillah menghadiri peresmian tersebut dan banyak ulama ternama dari daerah Jawa Barat yang menghadiri peresmian tersebut. Rencana demo ternyata bukan hanya dimiliki oleh pihak keRW-an, pihak Karang Taruna juga hendak melaksanakan demo terhadap bapak Iin 23 Statmen KH. Athoillah pada saat pihak ke-RW-an datang untuk meminta dukungan, observasi rumah KH. Athoillah, Bandung 25 Mei 2010 97 yang mereka nilai otoriter, pihak Karang Taruna menganggap apa saja yang tidak berkenaan dengan RW selalu dilabeli oknum. Gambar 8. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta Untuk mengakhiri konflik tersebut akhirnya pihak desa turun tangan. Desa memfasilitasi pertemuan antara ke-RW-an dan Karang Taruna. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa PT. GAS berada di bawah pengawasan pihak ke-RW-an. Selain itu masyarakat juga telah mulai menyadari bahwa konflik antara keRW-an dan Karang Taruna adalah konflik keluarga yang dibawa ke arena masyarakat. Hingga penulis meninggalkan tempat penelitian konflik ini belum menemui akhir. 99 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Pusat perhatian dalam studi ini adalah keadaan budaya politik masyarakat kampung Panyawungan (daerah yang bisa dikatakan sub-urban) yang dipengaruhi oleh tatanan yang telah mapan yaitu kepemimpinan pesantren dan industrialisasi atau sektor modern yang masuk ke wilayah tersebut. Keberadaan pesantren Nahdjussalam ternyata tidak sesederhana seperti yang banyak peneliti temukan. Pesantren Nahdjussalam mempunyai hubungan fungsional dengan masyarakat sekitarnya seperti dalam pendidikan agama, kegiatan sosial, kegiatan ekonomi, hingga kegiatan politik. Masyarakat kampung Panyawungan masih loyal terhadap ikatan primordial dan kekeluargaan. Masyarakat juga menjadikan pesantren sebagai lembaga kharismatis yang petunjuknya masih dipakai oleh sebagian besar masyarakat. Industri dengan sektor modernya telah mengubah masyarakat kampung Panyawungan seperti dari masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pertanian menjadi buruh industri, mobilisasi masyarakat, interaksi dengan masyarakat pendatang, dan kuantitas informasi. Elemen-elemen disebut berpengaruh pada struktur dan fungsi sosial masyarakat. Pesantren yang telah mempunyai peran sebagai pemimpin kelompok atau politik justru melepaskan perannya dan lebih memilih mengambil peran sosial. 100 Kesadaran pesantren akan perubahan yang terjadi di masyarakat menjadikan pesantren harus menerima apa yang menurutnya berharga, walau itu harus dibayar oleh harga mahal seperti pelepasan tradisi dan kekuasaan. Namun begitu, keberadaan pesantren yang tidak lagi absolut masih dijadikan simbol pemersatu oleh masyarakat. Keberadaan ustadz Dede dan bapak Iin menunjukan perubahan dari tipe rekrutmen geneologis menjadi segmental. Namun jika melihat peran ustad Dede sebagai pemimpin keagamaan, itu sudah menunjukan adanya pola sporadis dalam kemunculan seorang pemimpin, dalam arti pemimpin keagamaan tidak lagi datang dari keturunan pesantren saja, tetapi pemimpin keagamaan sudah mulai dilihat dari kualitas intelektual individu. Konflik antara ke-RW-an dan Karang Taruna seperti telah digambarkan, menunjukan adanya perubahan orientasi masyarakat dari romantis ke pragmatis. Konflik tersebut juga menggambarkan melemahnya ikatan primordial oleh kepentingan tujuan. Masyarakat kampung Panyawungan sudah bukan lagi masyarakat yang hanya turut pada ketentuan normatif semata, tapi mereka sudah mulai mempertimbangkan asas fungsional. Adanya konflik dan terbaginya masyarakat ke dalam kubu yang berlawanan adalah indikasi untuk hal itu. Walupun konflik dan persekongkolan yang terjadi dimotori oleh aktor-aktor yang melibatkan massa, namun itu menunjukan perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum elit” baik dalam posisi sebagai subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya 101 juga berimplikasi pada proses transformasi “bawah” masyarakat dan lingkungannya. Setelah mencoba merumuskan masyarakat Panyawungan dengan teoriteori yang telah ada, maka penulis mempunyai kesimpulan bahwa masyarakat Panyawungan mempunyai kompleksitas tertentu untuk dimasukan kedalam kategori masyarakat pra-industri, masyarakat semi-industri, dan masyarakat industri. Dengan tidak bermaksud mereduksi tingkah-laku manusia maka penulis menyebut masyarakat Panyawungan adalah masyarakat “peralihan” mengingat semua ciri-ciri tipe masyarakat disebut berlaku pada masyarakat Panyawungan. B. REKOMENDASI 1. Untuk masyarakat pesantren yang telah berani membuka diri, bukan berarti berhenti dalam menginterpretasi dan aksi untuk terus eksis dalam aktivitas Dakwah Islamiyah untuk keharmonisan umat. Seba jika tidak, maka pesantren dikemudian hari hanya akan menjadi objek dari perubahan. 2. Untuk masyarakat Panyawungan, sebenarnya telah mempunyai modal adat, tradisi, nilai-nilai yang unik dan ditambah dengan kesadaran akan suatu perubahan, tentu dapat dijadikan modal untuk mengarahkan masyarakat kedalam bentuk yang lebih baik yang mengacu pada konsep masyarakat madani dengan bangunan sistem-sitem yang berlaku dan telah diterima oleh masyarakat. 3. Untuk penelitian lanjutan khususnya bagi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) dapat merumuskan penelitian untuk melihat lebih spesifik pada bentuk komunikasi pesantren. 102 4. Bagi para peneliti, banyak sekali fenomena yang dapat kita temukan di lingkungan masyarakat sub-urban semisal Panyawungan. Salah satu yang penulis temukan adalah permasalahan tenaga kerja yang kebanyakan meyedot tenaga perempuan hingga penulis melihat semacam adanya pertukaran peran dalam keluarga. Ini tentu akan berimplikasi pada kehidupan keluarga dan perilaku masyarakat. DAFTAR PUSTAKA BUKU Ambari, Hasan Muarif, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda AlKhairiyah se Indonesia , Serang 1992. Benda, Harry J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1983. Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, Jakarta : Kanisius, 1994. Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta : LP3ES, 1985. Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, Jakarta : Pustaka jaya, 1981 Hardiman, F. Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta : Kanisius, 1993. Hasanah, Umdatul, “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon” (Penelitian Block Grant IAIN Banten, 2008). Kuntowijoyo, Paradigma Islam: interpretasi untuk aksi, Bandung : Mizan, 1991. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid, Bandung: Mizan, 2001 Kweit, Mary Grisez, Konsep dan Metode Analisa Politik Penerjemah Ratnawati, Jakarta; Bina Aksara, 1986. Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997. Madjid, Nurkholis, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, Bandung : Mizan, 1987. Noor, Mahpuddin, Potret Dunia Pesantren, Bandung : Humaniora, 2006. Parker, S.R, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah G. Kartasapoetra ttp : Bina Aksara, 1985. Parsons, Talcot and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987. Parsons, Talcot, On The Theori if Sosial Interactions Media, sebagaimana dikutip Ivan Alhadar, “Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban Industri “ dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Kacher (ed) Dinamika Pesantren, (Jakarta : P3M), 1987 Rahardia, Trubus, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, Jakarta: Trisakti, 2006. Safirani, Amalinda, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November 1999 Saridjo, Marwan, dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta : Dharma Bhakti, 1979. Soekanto, Soerjono, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat, Jakarta : Rajawali, 1983. Suprayogo, Imam dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, jilid 4. Uswah, “Agama dan Politik : Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasioanal”, Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta , 2007. Wahid, Abdurahman, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam Hiroko Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, Jakarta: P3M, 1987. Yacub, H.M, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, Bandung : Angkasa, 1985. WEBSITE Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php WAWANCARA Wawancara Pribadi dengan Ustadz. Bibin, Bandung, 15 April 2010 Wawancara Pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010 Wawancara bapak Iim A. Karim Wawancara dengan Ustadz Bagja, Ustadz Cecep, dan Ustadz Deden, Bandung, 07 Mei 2010 Wawancara dengan Bapak Iin yang saat itu menjabat sebagai ketua TPS kampung Panyawungan, Bandung 02 Mei 2010 Wawancara Pribadi dengan H.E. Djaenudin, Bandung, 03 Maret 2010 Wawancara Pribadi dengan Drs. Dudung, Bandung, 01 Mei 2010. Wawancara Bersama Beberapa Tokoh Masyarakat Di Rumah Ustadz Dede Abdul Kholik, Bandung, 03 Maret 2010 Wawancara Pribadi dengan bapak Drs. Iin Zainal Abidin, Bandung, 18 April 2010 Wawancara dengan bapak Iwan Miftahul Fallah, Bandung, 03 Maret 2010 Wawancara dengan Karang Taruna, Bandung 05 Juni 2010 Wawancara dengan Ustadz. Dede Abdul Kholik, Bandung, 20 Mei 2010 Wawancara dilakuakan dengan Bapak. Iin, Ustadz Cecep, dan Bapak. Dudung, Bandung, 01-02 Mei 2010. Kesibukan Jalan Panyawungan Pagi Hari Dua Petak Sawah Di Antara Industri-Industri Mesjid Dan Halaman Pondok Pesantren Nahdjussalam LAMPIRAN FOTO-FOTO Jalanan menuju kampung Panyawungan Penulis saat mengumpulkan data bersama warga Peresmian PT. Global Agro Semesta Ustadz Dede Abdul Kholik (kanan) dan Anggota Karang tarauna gdf Bapak Drs. Iin Zaiinal Abdin (Ketua ( RW P Saat Khhoul Desakkan Warga Pada Waw wancara denngan KH. Atthoillah dann para k langgar kyai Pengajian Para P Kyai Laanggar Di KH H. Athoilllah Syahriyahan Keluarga K Peesantren Ke-RW-aan Sesaat Seebelum Berteemu KH. Athoilllah Penggajian Anak--Anak Di Laaggar Penngajian Santrri Di Pondokk Pondok Putri Halaman Pesantren Anggota Karang Taruna dan Keluarga Pesantren Pengajian Ibu-Ibu oleh Kyai Delegasi Perumahan Mutiara Cileunyi RT. 09 Kumpulan Keluarga Pesantren dengan Para Ustadz Langgar