KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah

advertisement
KATA PENGANTAR
­G¡‹+݉ƒo  ¯2Ù{´
¯2lµƒo
Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI
DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA
POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk
artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta
salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda
besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada
kebenaran hakiki.
Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik
bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua
dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga
si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka
yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika
skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa
lalu.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak
terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1.
Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai
ii Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai
Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs.
Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2.
Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam
memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis.
Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik
KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan
proposal skripsi ini.
3.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing,
yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi
masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian
skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan
bimbingan ini.
4.
Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu
memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.
5.
Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
6.
Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif
seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi
eksistensi pondok.
7.
Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul
Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak
Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang
Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah
iii membantu penulis dalam mengambil data lapangan (Mohon maaf banyak
data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian).
8.
Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika
bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga
terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis.
Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT
yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.
Ciputat, 23 Juni 2010
Mohamad Romdoni
iv ABSTRAK
Sudah satu abad lebih pondok pesantren Nahdjussalam memberikan
pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di
masyarakat. Sifat ekslusif pesantren Nahdjussalam menjadikan pesantren tidak
lepas dari pengaruh-pengaruh luar seperti dampak-dampak industrialisasi dalam
arti yang seluas-luasnya. Keberadaan pesantren dan industrialisasi di wilayah
Panyawungan tentu akan memberi bentuk baru masyarakat dalam orientasi
makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan.
Dari permasalahan dan asumsi di atas, menimbulkan pertanyaan;
Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik masyarakat
kampung panyawungan? Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi
oleh pesantren dan industrialisasi: dilihat dari aspek doktrin atau isi dan materi,
dan dari apek generik seperti bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik seperti
militan, utopis, terbuka, dan tertutup?
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dan menggunakan
metode deskriftip kualitatif untuk menyajikan temuan-temuan yang ada di
lapangan.
Industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis,
hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita
ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi
nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,
akhlak dan nilai-nilai luhur. Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,
pemahaman-diri, dan tafsiran kultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari
interaksi intersubjektif dalam masyarakat.
Masyarakat kampung Panyawungan tidak hanya turut pada ketentuan
normatif semata, tapi mereka sudah mulai mempertimbangkan asas fungsional.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum elit” baik dalam posisi sebagai
subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya juga berimplikasi pada proses
transformasi “bawah” masyarakat dan lingkungannya.
i
KATA PENGANTAR
­G¡‹+݉ƒo  ¯2Ù{´
¯2lµƒo
Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI
DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA
POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk
artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta
salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda
besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada
kebenaran hakiki.
Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik
bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua
dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga
si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka
yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika
skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa
lalu.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak
terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1.
Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai
Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai
ii
Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs.
Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2.
Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam
memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis.
Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik
KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan
proposal skripsi ini.
3.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing,
yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi
masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian
skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan
bimbingan ini.
4.
Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu
memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.
5.
Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
6.
Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif
seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi
eksistensi pondok.
7.
Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul
Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak
Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang
Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah
iii
membantu penulis dalam mengambil data lapangan (Mohon maaf banyak
data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian).
8.
Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika
bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga
terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis.
Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT
yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.
Ciputat, 23 Juni 2010
Mohamad Romdoni
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ ABSTRAKSI ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................... v DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 6
D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 10
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian dan Sejarah Pesantren .............................................................. 12
A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12
A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren .............................................. 15 A.3. Sistem Nilai Pesantren ................................................................ 17
B. Pengertian Industrialisasi .......................................................................... 18
B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18
B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ............................................... 20 B.3. Industri Mempengaruhi Politik .................................................... 23
C. Agama Dan Politik ........................................................................................... 26
v
D. Pengertian Budaya Politik ......................................................................... 28
D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28
D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31
1.
Berdasarkan Pola Otoritas ........................................................ 31
2.
Berdasarkan Orientasi ................................................................ 33
3.
Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34
D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36 E. Kerangka Konseptual ................................................................................. 37
BAB III
GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP.
PANYAWUNGAN
A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43
A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren .............................. 43
1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan
Jaringan ............................................................................................. 46
2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual ... 49
3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik
............................................................................................................ 52
4. Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren ....... 53
A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ................................................. 54
2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54
2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58
A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60
A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ............................................ 62
A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65
B. Kondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 68
vi
B.1. Sejarah Kampung Panyawungan ..................................................... 68
B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69
B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk ........................... 72
B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74 BAB IV
PERUBAHAN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG
PANYAWUGAN
A. Artikulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76
B. Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Antara Pemberdayaan
dan Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80
C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83
D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat
Kampung Panyawungan ................................................................................... 86
D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan
Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86
D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik
Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan
Pragmatis ............................................................................................... 90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 98
B. Rekomendasi .................................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................. vii
Daftar Digram
Diagram 1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 42
Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46 Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil ......................... 48 Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48 Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49 Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59
Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ............................ 89
Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ......................... 90
viii
Daftar Tabel
Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71
Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75 ix
Daftar Gambar
Gambar 1. Lokasi Komplek Pesantren................................................................... 45
Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63 Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68 Gambar 4. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung) ..... 77
Gambar 5. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 82 Gambar 6. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ...................... 93
Gambar 7. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta ......................... 97
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ ABSTRAKSI ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................... v DAFTAR DIAGRAM ........................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................. 6
D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 11
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian dan Sejarah Pesantren .............................................................. 12
A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12
A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren .............................................. 15 A.3. Sistem Nilai Pesantren ................................................................ 17
B. Pengertian Industrialisasi .......................................................................... 18
B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18
B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ............................................... 20 B.3. Industri Mempengaruhi Politik .................................................... 23
v C. Agama Dan Politik ........................................................................................... 26
D. Pengertian Budaya Politik ......................................................................... 28
D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28
D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31
1.
Berdasarkan Pola Otoritas ........................................................ 31
2.
Berdasarkan Orientasi ................................................................ 33
3.
Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34
D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36 E. Kerangka Konseptual ................................................................................. 37
BAB III
GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP.
PANYAWUNGAN
A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43
A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren .............................. 43
1.1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan
Jaringan ........................................................................................ 46
1.2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual
...................................................................................................... 49
1.3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan
Politik ........................................................................................... 52
1.4. Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren .. 53
A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ................................................. 54
2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54
2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58
A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60
A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ............................................ 62
A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65
B. Kondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 67
vi B.1. Sejarah Kampung Panyawungan ..................................................... 67
B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69
B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk ........................... 72
B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74 BAB IV
PENGARUH INDUSTRIALISASI PADA KAMPUNG PANYAWUNGAN A. Artikulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76
B. Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren : Antara Pemberdayaan
dan Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80
C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83
D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat
Kampung Panyawungan ................................................................................... 86
D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul : Aliansi Kepentingan
Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86
D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna : Tarik Menarik
Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan
Pragmatis ............................................................................................... 90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 99
B. Rekomendasi .................................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................. vii Daftar Tabel
Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71
Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75 ix Daftar Gambar
Gambar 1. Lokasi Komplek Pesantren................................................................... 45
Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63 Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68
Gambar 4. Peta Kampung Panyawungan ................................................................... 69
Gambar 5. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung) ..... 78
Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 83 Gambar 7. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ...................... 93
Gambar 8. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta ......................... 97
x Daftar Digram
Diagram 1. Kerangka Konseptual .......................................................................... 42
Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46 Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil ......................... 48 Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48 Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49 Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59
Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ..........................89
Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul .......................90
viii 1 BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam Nusantara
telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya
menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and character building.
Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan
peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial dan politik
Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan
bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat mensah-kan pentasbihan. 1 Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan
dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah Indonesia itu
sendiri. 2
Pesantren selain pengemban misi pewaris para Nabi dan penterjemah
wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki pengaruh
terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari institusi sosial,
keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur dalam arti
merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun pesantren
mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal itu bukan
Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta : Pustaka Jaya) 1983, h. 33 Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di
Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda Al-Khairiyah se Indonesia, Serang
1992, h. 2
1
2
2 berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sebab
pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri
dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya. 3
Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan keberlangsunganya
pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran masyarakat.
Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren dahulunya
kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung ayam, adu
domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah pesantren dengan
latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang
mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil
‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau
donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang
adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail
fuqoro atau dukungan masyarakat umum.
Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren mejadikan
pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan saling memberi
pengaruh satu sama lain.
Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih memberikan
pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di
masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan, kebersamaan,
tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur. Pondok pesantren
Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung Panyawungan
3
H.M Yacub., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung :
Angkasa, 1985). 3 menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh masyarakat
sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu karena luasnya
jejaring pesantren tersebut.
Pengaruh pondok pesantren yang masuk kedalam sendi-sendi norma,
budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga membawa
pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat kampung
Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang menjadikan kyai
serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan, dan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat.
Namun, kini pesantren Nahdjussalam mendapatkan tantangan dalam
membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring dengan
gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di kawasan lingkar
Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat signifikan,
seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian, percepatan
pembangunan, dan lain-lain.
Namun industrialisasi yang berada di kawasan lingkar Panyawungan juga
membawa sisi negatif yang berimbas pada kehidupan masyarakat, seperti
urbanisasi yang tidak terkontrol, pencemaran lingkungan oleh limbah industri, dan
lain-lain.
Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar terhadap
sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas tidak terbantahkan
karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal yang sangat
cepat sehingga membawa perubahan dan memunculkan budaya baru dalam
4 masyarakat. Selain itu perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis
juga berimbas pada perubahan sistem kemasyarakatan yang bersandarkankan pada
orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional,
heterogen, dan pemuasan kebutuhan.
Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda dengan
masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan otoritasnya
adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah kepercayaan atau
“legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan
aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar kompetisi.
Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individuindividu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai
penjaga-penjaga sebuah tradisi. 4
Dari permasalahan tersebut penelitian ini menjadi penting karena
memungkinkan banyaknya permasalahan yang unik. Misalnya, sebagai apakah
pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong oleh
industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar budaya (cultural
broker) yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai berperan sebagai
alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya, menularkan apa
yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi
mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan Hiroko
Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan sosial. Bukan
karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan
4
h. 213 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, (Jakarta: Kanisius, 1994),
5 justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan
melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan
yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya. 5
Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis hal itu
cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai dalam
sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga tidak
terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi yang
dipimpinya, seperti aturan tertulis (tanbih), struktur kepengurusan, rentang
generasi keluarga, dan lain-lain. Maka dengan alasan itu penulis lebih tertarik
untuk meneliti keseluruhan institusi pesantren.
Selain kemungkinan permasalahan di atas, penelitian ini juga menjadi
penting untuk melihat bentuk baru dari budaya politik masyarakat kampung
Panyawungan yang dipengaruhi oleh budaya industrialisasi dan budaya
tradisional. Pengaruh mana yang lebih dominan dan apakah bentuk baru tersebut
membawa kemajuan atau kemunduran berdasarkan konsep masyarakat madani.
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Mengingat luasnya dampak perubahan yang di bawa oleh industrialisasi,
sesuai dengan judul penulis hanya membatasi penelitian ini pada budaya politik
masyrakat Panyawungan yang didasarkan pada perubahan orientasi makna, nilai
dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan 6 .
5
Abdurahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam Hiroko
Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. XVii 6
Mary Grisez Kweit, Konsep dan Metode Analisa Politik Penerjemah Ratnawati, (Jakarta;
Bina Aksara, 1986). 6 Kajian budaya politik sama sekali berbeda dengan politik praktis. Dalam
kajian budaya poltik ditelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk,
operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia
berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam
proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak
menopangnya, dan seterusnya. 7
Sedangkan untuk perumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik
masyarakat kampung Panyawungan ?
2. Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren
(tradisional) dan industri (modern); dilihat dari aspek doktrin (isi atau
materi) dan dari aspek generik (bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya
politik, seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup) ?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
C.1. Tujuan
1. Untuk mengetahui perubahan pandangan politik yang ada di
masyarakat kampung Panyawungan.
2. Untuk mengetahui eksistensi pengaruh pondok pesantren dalam
perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri.
7
Amalinda Safirani, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu
Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November 1999 7 3. Sebagai bakti anak daerah dalam mengenal fenomena daerahnya serta
menyumbangkan data eksistensi pesantren di kampung Panyawungan
kepada pengguna dan pihak terkait, dalam hal ini pemerintah, pihak
industri, maupun masyarakat umum untuk menjadikan pesantren
sebagai mitra dalam program pembangunan dan pembrdayaan yang
memberikan kontribusi besar pada masyarakat.
C.2. Kegunaan
1. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam rangka menghimpun dan
memperluas informasi tentang eksistensi dan dinamika pesantren
yang tetap memberikan warna dalam ranah kehidupan.
2. Hasil penelitian ini juga bermanfaat terutama bagi kalangan pesantren
dalam menyikapi diri lebih terbuka pada perubahan dan menyiapkan
diri agar tetap menjadi simpul jaringan bagi kebutuhan dan
pemberdayaan masyarakat.
3. Menjadi kajian pustaka bagi penelitian lainnya mengenai etos
pesantren.
4. Mengembangkan penelitian bagi sarjana strata satu. Dan memberikan
sumbangsi pada kajian pranata sosial, budaya politik dan komunikasi
antar budaya.
8 D. METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
sosial
keagamaan
dengan
menggunakan pendekatan sosio - historis. Adapun metode yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok
manusia, suatu obyek, suatu setting kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode penelitian ini untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselididki
(M. Nazir, 1988 : 63).
Sedangkan teknik pengumpulan dan analisa data dilakukan dengan cara;
pengamatan dan wawancara untuk mendapatkan data primer. Pertama, Observasi
(pengamatan). Pengamatan dilakukan untuk melihat fenomena dan gejala sosial
yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya di lingkungan
pesantren, yang meliputi kyai, santri dan di lingkungan masyarakat sekitar.
Adapun waktu pegamatan sebenarnya telah terjadi begitu lama yaitu semenjak
pemulis tinggal di lingkungan pesantren semasa sekolah SMA dan belajar mengaji
di pesantren yang bersangkutan. Kedua, wawancara terencana-terbuka yang
bertujuan
untuk
mengumpulkan
keterangan
yang
lebih
lengkap
untuk
menyempurnakan hasil pengamatan. Adapun sasarannya adalah kyai dan keluarga
pesantren sebagai sumber untuk mendapatkan data primer.
Dalam perjalananya, hasil wawancara yang cukup signifikan untuk dimuat
dalam skripsi ini hanya dari orang-orang tertentu seperti sesepuh pondok yaitu
KH. Athoillah, dan Ustadz Tb. Bibin Sarbini. Selain itu, data signifikan juga
9 banyak diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat seperti bapak Iin Zaenal Muttaqin
selaku Ketua RW, dan bapak Iwan Miftahul Fallah selaku Mantan Kepala Desa
Cileunyi Wetan.
Wawancara dengan pelaku industri dijadikan sebagai data sekunder
(pendukung) yang bisa digunakan untuk menjadi data pendukung dan pelengkap.
Selain itu, data sekunder juga didapat dari Panitia Hari Besar Islam (PHBI)
kampung Panyawungan, Karang Taruna, dan lembaga pemerintah setempat,
seperti desa dan kecamatan.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan maksud memeriksa apakah
fokus penelitian yang akan dikaji telah ada orang terdahulu yang melakukannya.
Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan fokus yang sama persis dengan
fokus penelitian yang akan dikaji. Namun ada penelitian yang ditemukan sedikit
mirip dengan fokus penulis.
Aim Salim dari jurusan Penyiaran dan Penerangan Agama IAIN Sunan
Gunung Djati (sekarang UIN) dalam penelitiannya “Relasi Antara Umara dan
Ulama Di Desa Sukasari Kec. Tanjung Sari Kab. Sumedang (2001)” menemukan
pengaruh seorang kyai yang sangat dominan dalam penentuan seorang kepala
desa. Seorang calon kandidat kepala desa tidak akan diangkat sebelum
mendapatkan izin dan restu dari kyai. Dalam kesimpulan penelitiannya kyai juga
berperan penting dalam pembuatan kebijakan-kebijakan daerah tersebut, dan
seperti menjadi dewan penasihat dalam lembaga-lembaga resmi dengan legitimasi
total dari masyarakat.
10 Dra. Umdatul Hasanah dalam penelitian yang berjudul “Eksistensi dan
Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri
Cilegon (2008)”, menemukan bahwa pondok pesantren memberikan sumbangsih
yang besar terhadap pembangunan masyarakat Cilegon. Namun sumbangsi yang
diberikan pesantren dalam penelitiannya hanya menyentuh aspek-aspek religius
masyarakat dan seolah pesantren tidak mempunyai andil dalam pembangunan
yang sifatnya real. Namun menurut penulis hal itu wajar saja karena setiap
pesantren mempunyai corak tersendiri yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti, sejarah, lingkungan, dan psikologi pesantren dan masyarakatnya.
Penelitian tentang pesantren telah banyak dilakukan oleh para ahli,
Clifford Gerertz misalnya telah memasukan kelompok pesantren (santri) menjadi
salah satu kelas masyarakat, di samping priyayi dan abangan pada masyarakat
Jawa. Tentu saja dengan setting masyarakat pesantren pada awal dasawarsa 1950an, sudah lebih dari 30 tahun penelitian itu berlalu, tentu potret masa itu tidak bisa
disamakan dengan potret pesantren masa kini. Pesantren bukan lagi lembaga yang
tertutup, esoteris dan ekslusif. Bahkan Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya
terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia
menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid,
pengajian kitab klasik, santri dan kiyai. 8
8
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta :
LP3ES),
1985, h. 5 11 F. SISTEMATIKA PENULISAN
Demi mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan berdasarkan kesamaan dan kesesuaian yang ada di dalam
skripsi ini. Skripsi ini terdiri dari lima BAB.
BAB I.
Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metodelogi penelitian yang berisi penjelasan metode yang akan
digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, serta sistematika
penulisan.
BAB II. Kajian teori yang menjabarkan pengertian pesantren, pengertian
industrialisasi, hubungan agama dan politik, pengetian budaya
politik, serta kerangka konseptual yang dijadikan pedoman
dalam penulisan skripsi ini.
BAB III. Gambaran umum mengenai Pondok Pesantren Nahdjussalam dan
kampung Panyawungan yang mencakup lokasi dan demografi.
BAB IV. Temuan data lapangan yang berkaitan dengan perubahan budaya
politik masyarakat kampung Panyawungan.
BAB V. penutup yang mengemukakan hasil kesimpulan dari penelitian
dan rekomendasi-rekomendasi baik bagi penelitian maupun
tindakan.
12 BAB II
KERANGKA TEORI
A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PESANTREN
A.1. Sejarah Pesantren
Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru
mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India
“shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku
agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”.
Di luar pulau Jawa
lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti “surau” di Sumatra
Barat, “dayah” di Aceh, dan “pondok” di beberapa daerah lain. 1
Menurut Nurcholis Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai
acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama adalah pendapat yang
menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sansakerta yaitu kata “sastri”
yang artinya melek huruf. Dapat dikatan bahwa kaum santri adalah kaum yang
melek huruf, oleh karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab.
Atau paling tidak seorang santri dapat membaca al-Qur’an.
Pendapat kedua
menyatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik”, artinya
seorang yang menngabdi kepada guru. Cantrik selalu berada di mana gurunya
tinggal, dengan tujuan dapat belajar darinya tentang suatu keahlian. Pola
hubungan guru-cantrik melalui proses evolusi berubah menjadi guru-santri. Kata
guru diganti dengan kata kyai dengan tujuan lebih mengkeramatkan,
1
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve), 2003, Jilid 4 13 mensakralkan, dan memberi kharisma. Pada perkembangan selanjutnya di kenal
dengan kyai-santri. 2
Sedangkan tentang asal-usul dan munculnya pesantren di Indonesia
terdapat beberapa versi. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren
berasal dari tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki
kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Sebab
Rasulullah sebelum melakukan dakwah secara terang-terangan, beliau membentuk
kelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman al-Arqam
Ibn Abi al-Arqam. Barangkali tempat perteuam pertama untuk bermusyawarah
mengenai masalah-masalah agama dalam Islam. Kediaman al-Arqam ini
kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan halaqahhalaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi tasawuf.
Pendapat pertama ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di
Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang
melaksanakan amalan amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini
disebut kiyai yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk
selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama
anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah
bimbingan kiyai.
Untuk keperluan suluk ini kiyai menyediakan ruangan-ruangan khusus
untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di sekitar masjid. Di
samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan
2
Nurcholish Madjid, , Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta :
Paramadina) 1997, hal 19 - 20 14 kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengretahuan agama Islam.
Aktifitas yang dilakukan oleh para pengikut tarekat ini kemudian dinamakan
pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan
berkembang menjadi lembaga pesantren.3
Kedua, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan
pengambil-alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di
Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum datangnya Islam ke
Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada
masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu
dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan murid
kepada guru yang pola hubungan antar keduanya tidak didasarkan kepada hal-hal
yang sifatnya materi juga bersumber dari tradisi Hindu. Fakta lain yang
menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak
ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara Islam lainnya. Sementara
lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam masyarakat
Hindu dan Budha seperti di India, Myanmar dan Thailand. 4
Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang asal-muasal
pesantren, Wali Songo dipandang sebagai pemrakarsa berdirinya pesantren di
Indonesia, dalam menyebarkan Islam dan mendirikan Ribath dan Halaqah-halaqah
sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Sebagaimana tersurat
dalam sejarah Indonesia, Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam
3
Ensiklopedi Islam , Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve) 2003, jilid 4 4
Ensiklopedi Islam , jilid 4 15 yang berhasil merekrut murid untuk kemudian menjalankan dakwah di setiap
penjuru negeri. 5
A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren
Dilihat dari tipelogi dan klasifikasi pesanteren, dalam peraturan yang
dikeluarkan oleh menteri agama nomor 3 tahun 1979, mengklasifikasikan pondok
pesantren sebagai berikut :
1. Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan
bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan
pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau
sorogan);
2. Pondok pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pelajaran
secara klasikal dan pengajaran oleh kiyai bersifat aplikasi, diberikan
pada waktu-waktu tertentu, santri tinggal di asrama lingkungan pondok
pesantren;
3. Tipe C, yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama, sedangkan
para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kiyai
hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut;
4. Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok
pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah. 6
Dari sekian tipe pondok pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan
dan pengajaran bagi para santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan
5
Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, (Jakarta : Dharma
Bhakti), 1979, hal. 19 - 21 6
H. Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung : Humaniora), 2006, h. 43-44 16 dalam dua tipelogi. Pertama, tipe salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan
pendidikan dan pengetahuan keislaman, al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya
yang merujuk pada kitab-kitab kalsik (kuning) dengan menggunakan cara-cara
sebagaimana awal pertumbuhannya. Kedua, Tipe Khalafiyah, yaitu pondok
pesantren di samping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepesantrenan pada
umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau
madrasah).
Sedangkan
dilihat
dari
unsurnya,
Zamkhsari
Dhofier
dalam
pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling
tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu
pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai. 7
Namun Saat ini pesantren dari sisi kelembagaan telah mengalami
perkembangan dari yang sederhana sampai yang paling maju, sebagaimana yang
dikemukakan Soedjoko Prasojo et al, ia menyebut setidaknya adanya lima macam
pola pesantren. Pola 1 ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah
kiyai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola 3 terdiri atas
masjid, rumah kiyai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri atas masjid. Rumah
kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola 5 terdiri atas masjid,
rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, gedung pertemuan, sarana
olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang terakhir inilah yang sering disebut
“pesantren moderen”, yang di samping itu juga memiliki fasilitas-fasilitas
penunjang lainya.
7
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta
: LP3ES), 1985, hal. 5 17 A.3. Sistem Nilai Pesantren
Sistem nilai yang digunakan oleh kalangan pesantren adalah yang berakar
dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dari agama dipakai oleh
mereka. Kalangan pesantren sendiri menamakan sistem nilai yang dipakainya itu
dengan ungkapan “Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah”. 8
Menurut Nurcholish Madjid, Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah sendiri
mengacu terutama pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu
ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab Sunni, sebagaimana dirumuskan oleh
Abu Hassan al- Asy’ari, dan kemudian banyak dipopulerkan melalui karya-kaarya
Imam Ghazali. Mempelajari dan menghafal rumusan tentang dua puluh sifat
Tuhan adalah salah satu inti dari teologi Asy’ari yang diamalkan oleh para santri.
Dalam hal fiqh, kaum santri mengikuti dan mewajibkan mengikuti salahsatu dari sekurang-kurangnya empat imam madzha fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i,
Hanafi, dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam
Syafi’i. Taqlid adalah ciri utama dari madzhab ini dan beroposisi dengan faham
yang menganjurkan ijtihad. 9
Dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrenya di
desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u ‘l-Najah, sedangkan dalam hal
keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfiq. 10
Persoalan lain yang membedakan kaum santri dan kaum lainya ialah hal
yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa atau lokal. Kaum santri
8
Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina), 1997, hal. 31 9
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, hal. 33 10
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, h. 33 18 menolak banyak sekali unsur-unsur adat lokal, tetapi mempertahankan sebagian
lain dan kemudian diberi warna Islam. Salah satu adat yang masih dipertahankan
kaum santri adalah sekitar selamatan. Yang dimaksud selamatan di sini adalah
mendoakan orang yang telah meninggal dan bisaanya diakhiri oleh jamuan
makan-makan oleh keluarga berkabung baik pada saat meninggalnya maupun
setelahnya seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari,
dan haul. Dalam ritual itu bisaanya dibacakan tahlil, suatu ritus dalam bahasa
Arab yang intinya membaca kalimat “La ilah-a illa ‘l-Lah”, dengan maksud
berdoa untuk kebahagian orang yang telah meninggal.
Dalam hal kesenian, sejalan dengan kearaban yang ada dalam kitab-kitab
yang dipelajari, maka kaum santri juga menerima dengan antusias berbagai
kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah qasidahqasidah mengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba’i dan Barzanji.
Segi lain yang membedakan kaum santri dengan kaum lainya adalah
dalam hal berpakaian. Songkok atau tutup kepala secara umum dianggap sebagai
pakaian kaum santri. Sarung juga merupakan pakaian yang dianggap sebagi
simbol kaum santri sehingga tidak jarang kaum santri disebut sebagai “kaum
sarungan”. 11
B. PENGERTIAN INDUSTRIALISASI
B.1. Pengertian Industrialisasi
Menurut Henry Fratt sebagimana dikutip oleh Nurcholish Madjid,
industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh
11
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina), h. 37 19 penggunaan ilmu pengetahuan terapan. Ditandai dengan ekspansi besar-besaran
dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang luas dari
barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang
terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh urbanisasi
yang meningkat. 12
Tekanan yang akan digambarkan sebagai acuan untuk penelitian ini adalah
industri yang mempunyai tekanan pada proses perubahan sosial, yaitu perubahan
susunan kemasyarakatan dari suatu sistem pra-industrial (agraris, misalnya) ke
sistem sosial industrial. Masyarakat industrial menuntut dan melahirkan nilainilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Dikehendaki atau tidak
industrialisasi pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh
masyarakat non-industrial. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang
mendasari masyarakat industrial.
1) Kesenangan yang tertunda;
2) Perencanaan kerja atau tindakan masa mendatang;
3) Tunduk terhadap aturan-aturan birokratis;
4) Kepastian, pengawasan yang banyak terhadap kedetailan, dan
sedikit terhadap pengarahan;
5) Rutin dan dapat diramalkan;
6) Sikap instrumental terhadap kerja, dan
7) Kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan. 13
12
Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan), 1987,
hal. 140 13
Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, h. 128 20 Nilai-nilai di atas adalah adalah nilai yang berlaku pada waktu kerja yang
diakui sah oleh masyarakat dan setiap orang diharuskan bertindakdengan
mengikuti ketentuan-ketentuannya. Namun nilai-nilai tersebut menjadikan
manusia menjadi layaknya mesin atau dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah
penderitaan sekalipun sifatnya immaterial. Maka dalam masyarakat industrial selu
ada kecenderungan untuk dapat bebas dari kondisi tersebut. Penyaluran keinginan
tersebut secara resmi seperti hari libur, cuti, atau waktu senggang.
Jadi ada dua nilai yang dianut oleh seseorang dalam masyarakat industrial,
yang resmi selama waktu kerja dan tidak resmi selama waktu senggang. Dapat
pula dikatakan norma-norma resmi adalah publik life dan nilai-nilai waktu
senggang adalah norma dalam private life. Atau ringkasnya, orang taat kepada
aturan publik life untuk dapat menikmati nilai-nilai private life. Adapun perubahan
nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja digambarkan secara
sederhana oleh Herbert Marcuse sebagai berikut:
dari (nilai waktu senggang)
Ke (nilai waktu kerja)
kepuasan yang segera di dapat
Kepuasan yang tertunda
kenikmatan
Pengekangan kenikmatan
kesenangan
Garapan atau kerja
sikap reseptif
Sikap produktif
tidak ada tekanan
Ketertiban dan keamanan
B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat
Industri dalam arti luas, industri yang berkaitan dengan teknologi,
ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengaruh yang
diberikan tersebut dapat berupa nilai-nilai dan pengaruh fisik terhadap
21 masyarakat. Berbicara industri adalah berbicara masalah proses mekanisasi yang
berdampak pada skala luas produksi besar-besaran, spesialisasi dan pembagian
kerja dengan merambah berbagai bidang seperti pertanian, energi, komunikasi,
transportasi, dan lain-lain.
Menyertai perubahan di bidang ekonomi terjadi pula perubahan yang
komplek dalam kelompok sosial dan proses sosial. Pada tahap proses
indusstrialisasi bisaanya bergandengan dengan urbanisasi dan peningkatan
mobilitas penduduk. Terdapat pula perubahan yang penting dalam adat kebisaaan
dan moral masyarakat yang mempengaruhi penggolongan primer maupun
sekunder, dimana penggolongan sekunder memainkan peranan yang sangat
besar.yang sangat menonjol adalah pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh
status pekerjaan, keahlian-keahlian para pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan
kedudukan wanita, terhadap tradisi-tradisi dan terhadap konsumsi barang. 14
Industri member input terhadap masyarakat sehingga membentuk sikap
dan tingkahlaku yang tercermin dalam sikap bekerja. Weber mengatakan bahwa
dengan adanya teknologi baru, diperlukan suatu nilai yang akan mengembangkan
masyarakat menjadi masyarakat kapitalis tradisional; demikian juga jika hendak
membangun masyarakat kapitalis modern diperlukan nilai-nilai tertenu.
Masyarakat pada umumnya harus menerima posisi mereka baik dalam struktur
industri maupun struktur sosial yang lebih luas lagi. Karena tingkat produksi
tergantung pada tingkat konsumsi , masyarakat harus dibujuk untuk membeli
berbagai jenis barang dan jasa yang diproduksi oleh pihak industri. 15 Mereka
14
Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, hal. 140 S.R Parker, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah G. Kartasapoetra (ttp : Bina
Aksara, 1985),) hal. 93 15
22 memiliki fungsi untuk memproduksi berbagai jenis barang dan jasa sekaligus
meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa hasil produksi. Usaha dalam
meningkatkan produksi dan konsumsi melibatkan nilai-nilai dalam tingkat
“masyarakat makro”. Jika ada perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, walaupun
hal itu bersifat lokal ia akan melahirkan perubahan dalam industri. Seperti contoh
di kampung Panyawungan, dengan merebaknya industri textile di kampung
tersebut, biaya hidup di kampung tersbut menjadi sangat tinggi, dan hal itu
menyebabkan permintaan kenaikan gaji oleh buruh atau penambahan jam kerja
sebagai alternatif.
Selain itu industri juga memiliki dampak pada perubahan fisik dalam
masyarakat. Akibat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya industri bisa
dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini seperti terjadi di wilayah kampung
Panyawungan Kedatangan industri menjadikan kampung ini bukan lagi kampung
yang hanya mengantungkan hidupnya dari bertani yang sifatnya subtantif tapi
telah berevolusi menjadi masyarakat yang mempunyai banyak wilayah lapangan
kerja, seperti menjadi buruh industri, penyedia jasa bagi pihak industri maupun
buruh industri, dan lain-lain. Industri juga telah menjadikan harga tanah di
wilayah ini menjadi sangat mahal. Kampung Panyawungan juga menjadi
kampung sebagai penampung tenga kerja yang jumlahnya sangat fantastis, maka
tidak heran apabila interaksi dengan berbagai macam budaya yang berbeda
menjadikan masyarakat kampung Panyawungan kini tidak lagi bisa disamakan
dengan keadaan masyarakat 30 tahun yang lalu.
23 B.3. Industri mempengaruhi Politik
Salah satu persoalan kekuasaan yang sangat relevan untuk masyarakat
modern adalah hubungan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan kekuasaan politis. Di dalam sebuah masyarakat yang menjadi modern,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknolgi dan juga industri tidak terjadi dalam
lingkungan yang terbatas melainkan meluas kedalam kehidupan yang luas.
Merujuk pada pemikiran Habermas, dalam tanggapan kritisnya terhadap
Aldous Huxley, Habermas setuju bahwa hubungan antara dunia ilmu
pengaetahuan dan dunia kehidupan sosial itu terdapat dalam identitas ilmu
pengetahuan dengan kekuasaan, tetapi Habermas berpendapat bahwa hubungan
kedua dunia itu tidak langsung. Kita tidak dapat begitu saja mempengaruhi dunia
kehidupan sosial dengan membawa hipotesa-hipotesa atau teori-teori ilmiah. Hal
itu karena perbedaan kedua dunia tersebut. Dunia ilmu pengetahuan adalah
sturuktur-struktur hasil rekontruksi yang halus, dunia yang serba teratur dan dapat
di kuantifikasi, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat di uji secara
intersubjektif. Sedangkan dunia pengalaman sehari-hari atau disebut “dunia
kehidupan sosial” adalah dunia pengalaman pribadi, dunia tempat manusia lahir,
hidup, mati, dunia tempat mausia mencintai, membenci, kalah, menang, harapan
dan putus asa. Dunia ilmu pengetahuan itu dingin, tenang penuh abstraksiabttraksi halus, padat dengan klaim-klaim universal. Sedangkan dunia kehidupan
sosial itu bergoalak, konkrit, padat dengan pengalaman-pengalaman unik. 16
16
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123 24 Untuk menyatukan kedua kehidupan berbeda tersebut, menurut Habermas
dibutuhkan sebuah medium, yaitu penrapan teknisnya (teknologi). Ketika
pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuan teknolgis, menurut Habermas, sifat
kekuasaan dari ilmu pengetahuan menjadi efektif dalam dunia kehidupan. Dalam
hal ini informasi-imformasi ilmiah ini dipakai untuk memperluas control teknis
kita. Jadi pengetahuan tentang fisika atom, misalnya, tanpa penerapanya menjadi
teknologi atom, tidak memiliki konsekwensi bagi penafsiran atas dunia kehidupan
kita.
Dalam masyarakat industri dewasa ini pengetahuan teknis yang dihasilkan
lewat penerapan ilmu pengetahuan menjadi teknologi telah merasuki apa yang
disebut Habermas sebagai “kesadaran praktis” kita. Yang diacu oleh istilah ini
adalah adalah kesadaran yang muncul melalui interaksi intersubjektif dalam
masyarakat, seperti: nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, tafsiran kultural, dan
seterusnya.
Pengetahuan teknis bukan lagi soal teknik-teknik pertukangan tradisional,
melainkan sudah memperoleh bentuk informasi ilmiah yang dapat dipakai untuk
teknologi. Habermas melihat bahwa dalam kemajuan teknis macam ini, tradisitradisi kebudayaan yang semula mengontrol tingkah laku sosial tidak lagi bisa
begitu saja mendifinisikan pemahaman-diri masyarakat modern. 17
Seperti dikatakan di atas, bahwa industri erat kaitanya dengan ekonomi,
dan seiring kemajuannya juga tidak lepas dari proses sosial. Berbeda dengan
Habermas yang menilik kontelasi antara industri dan politik dari sisi ilmu terapan,
17
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123 25 Kuntowijoyo melihat konstelasi antara industri dengan politik dengan
menggunakan analisa ekonomi politik. Dalam bukunya “Paradigma Islam:
interpretasi untuk aksi (2001)”, Kuntowijoyo menggambarkan tentang kuatnya
modal swasta timur asing (khususnya Cina) dalam proses industrialisasi kontek
Indonesia sangat menonjol. Bahkan sebagian dari usaha mereka dapat menyaingi
usaha pemerintah. Akibatnya kaum menengah pribumi tergeser posisinya dalam
usaha yang membutuhkan modal besar dan organisasi besar. Organisasi Sarekat
Islam adalah organisasi yang berorientasi ekonomi politik dan mencoba melawan
dominasi swasta asing.
Pasca 1965, pembangunan industri pada khususnya dan ekonomi pada
umumnya, masih juga ditangani oleh pemerintah bersama modal swasta. Namun
terdapat pendatang baru yang memasuki sektor usaha padat modal ini dari
kalangan birokrat dan militer. Tentu saja hal itu disambut baik oleh pihak swasta
dengan harapan mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan sosial macam PKI
atau radikalisme Islam. 18 Sebaliknya, pihak pemerintah membutuhkan dana untuk
melakukan kegiatan politik-politiknya yang didukung oleh pihak pemilik modal.
Singkatnya kancah maupun perjalanan politik bangsa kita juga tidak bisa lepas
dari pengaruh industri.
Pandangan Habermas dan Kuntowijoyo di atas, sengaja penulis
kemukakan karena menurut penulis hal ini cukup relevan dengan permasalahan
yang akan diteliti oleh penulis. Industri sebagai konsekuensi kemajuan dari
terapan ilmiah dan industri juga berkaitan langsung dengan hukum ekonomi,
18
hal. 176 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan), 1991,
26 dengan sendirinya akan membentuk kesadaran interaksi intersubjektif dalam
masyarakat. Masyarakat baik segi-segi nilai maupun fisik, dalam segi nilai,
industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis,
hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita
ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi
nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,
akhlak dan nilai-nilai luhur. 19 Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,
pemahaman-diri, dan tafsiran cultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari
interaksi intersubjektif dalam masyarakat.
C. AGAMA DAN POLITIK
Agama sebagai pengatur hubungan antar manusia dan juga hubungannya
dengan Tuhan, pada dasarnya sudah berbekas pada individu, bagaimanapun dalam
masyarakat yang sudah mapan atau belum, agama merupakan salah satu struktur
institusional mempunyai nilai dan norma penting ang melengkapi keseluruhan
sistem sosial.
Agama yang menyangkut kepercayaan beserta ritual-ritualnya yang
menjadi pengalaman dalam masyarakat sehingga menimbulkan pengalaman
tersendiri
Penelaahaan terhadap agama merupakan hal yang mesti dilakukan, karena
pemahaman bagi pemeluknya sangat beragam dan bermacam-macam, menurut
Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Imam dan Tobroni, agama merupakan
landasan terbentuknya suatu masyarakat yang kognitif. Artinya, agama
19
Ibid, h.2 27 merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang
diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan
berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama. 20 untuk itu dapat dikatakan
bahwa pada umumnya orang percaya pada agama yang bersifat holistik sebagai
alat untuk mencerna kehidupan. Bahwa agama memberi panduan, nilai, moral,
dan etika perilaku dalam bentuknya yang universal.
Apa yang diungkapakan dalam definsi prilaku, bahwasanya perilaku
tidaklah akan tetap, dan pada suatu saat dapat mengalami pergerakan atau
perubahan akan terlihat seiring dengan sosio-kulturalnya dan perkembangan
seseorang tersebut.
Ada beerapa unsur pokok tujuan politik untuk mendapatkan kekuasaan
yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia ataupun antara kelompok
yaitu adanya unsur takut. adanya unsur rasa cinta, adanya unsur pemujaan dan
adanya unsur kepercayaan. 21
Jadi prilaku politik adalah tingkah laku terorganisir dalam upaya mencapai
tujuan politik dengan unsur-unsur yang sistematis, bagi David Easton, perilaku
politik pertama terdri dari alokasi nilai-nilai yang kemudian pengapikasianya
tersebut bersifat mengikat terhadap masarakat secara keseluruhan.
Identifikasi prilaku politik yang menyangkut proses penentuan tujuantujuan adalah sebagai berikut:
20
Imam Suprayogo dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, (bandung: PT.
Remaja Rosda Karya), h. 16 21
Uswah, “Agama dan Politik : Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (Dpp)Partai
Amanat Nasioanl”, ( Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta ,
2007), h. 30 28 1. Pengambilan keputusan;
2. Skala prioritas dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum; dan
3. Pengaturan dan pembagian sumber alokasi yang ada.
Dari ketiga tipe di atas untuk melaksanakanya memerlukan kekuasaan
(power) dan kewenagnan (authority), untuk membina kerjasama maupun untuk
melaksanakan konflik yang mungkin dalam proses itu akan terjadi. Banyak cara
yang dilakukan seseorang dalam menyampaikan tujuannya seperti persuasi dan
paksaan.
Bagaimanapun agama selalu membayang-bayangi proses kehidupan
seseorang. Namun yang menjadi sorotan penting adalah gejala-gejala yang timbul
dalam penguasaan sekelompok orang yang berkuasa terhadap berbagai kelompok
rakyat banyak yang dipandang sebagai usaha penataan umat.
D. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
D.1 Pengertian Umum Budaya Politik
Ada banyak ahli politik yang mengkaji tema budaya politik, sehingga
terdapat banyak konsep tentang budaya politik salah satu sarjana yang
berpengaruh dan banyak memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan
budaya politik adalah Gabriel A. Almond. Dalam karyanya yang ditulis bersama
Sidney Verba berjudul The Civic Culture, Ia menyatakan, Istilah budaya politik
terutama mnegacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagianbagianya yang lain serta sikap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Adpun
beberapa ahli lain menyatakan sebagai berikut:
29 1. Kay Lawson (1989) menyatakan: a political culture, that is, there is a set
of overtly political values, which defines the situation in which political
action takes place (suatu budaya politik, yaitu terdapatnya satu perangkat
yang meliputi seluruh nilai-nilai politik, yang terdapat di seluruh bangsa).
2. Sidney Verba (1995) menyatakan: political culture is the sistem of
empirical beliefs, eksvressive simbol, and values, which define the
situation in political action takes place (budaya politik adalah suatu sistem
kepercayaan empirik, simbol-simbol eskpresif, dan nilai-nilai yang
menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan).
3. Alan R. Ball (1971) menyatakan: a political culture is composed of the
attitudes, beliefs, emotions and values society that relate to the political
sistem and to political issus (budaya politik adalah suatu susunan yang
terdiri atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang
berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik). 22
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan
cirri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik masalah legitimasi, pengaturan
kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai
politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang
memerintah. Kegiatan politik juga saling memasuki dan mempengaruhi dengan
dunia keagamaan, kegiatan ekonmi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara
luas.
22
Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php 30 Gabriel A. Almond berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi
psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik besumber pada penalaranpenalaran yang sadar. Konsep budaya politik terdiri atas sikap, keyakinan, nilainilai dan keterampilan yang sedang berlaku pada seluruh anggota masyarakat
termasuk pada kebisaaan yang hidup pada masyarakat.
Yang telah dipaparkan di atas adalah konsep dari budaya politik
sedangkan untuk definisinya adalah sebagai berikut:
1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas
pengetahuan, adat-istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan
diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut
memberikan rasional untuk menerima atau menolak nilai-nilai dan norma
lain.
2. Budaya politik dapat diihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang
pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi,
dan nasionalisme. Yang kedua apek generik menganalisis bentuk, peranan,
dan ciri-ciri budaya politik, seperti militant, utopis, terbuka, dan tertutup.
3. Hakikat dari ciri budaya olitik adalah prinsip dasar yang melandasi suatu
pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
4. Bentuk budaya politk menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka
dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam
pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong
inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo
31 atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau
politik). 23
Berdasarkan dari definisi tersebut, maka dapat ditarik beberapa batasan
konseptual tentang budaya politik. Pertama, konsep budaya politik lebih
mengedepankan aspek-aspek nonperilaku actual seperti orientasi, sikap, nilainilai, dan kepercayaan-kepercayaan. Kedua, hal-hal yang diorientasikan dalam
budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka
tidak akan lepas dari perbicaraan kaum politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam
sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponenkomponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Ketiga, budaya politik
merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen
budaya politik dalam tataran massif bukan pada tataran individu.
D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik
1. Berdasarkan Pola Otoritas
Gagasan mengenai norma-norma atau tatanan yang legitim mengenai
masyarakat, Weber membuat tiga garis besar untuk tiga tipe ideal tatanan atau
otoritas yang legitim. Pertama, Otoritas tradisional. Otoritas yang didasarkan pada
penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan tersebut telah lama ada
dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah
dengan aturan-aturan tersebut. Dalam tatanan tradisional individu merasakan
loyalitas terhadap masa lalu dan mereka yang mewakili masa lalu itu, sebuah
23
Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php
32 loyalitas yang asal-usulnya seringkali berasal dari sebuah kepercayaan akan
kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu.
Kedua, Otoritas kharismatis. Jenis tatanan ini dilegitimasikan dengan
kualitas-kualitas pribadi terkemuka dari individu-individu yang luar bisaa yang
kesuciannya, heroismenya atau keutamaannya memungkinkan mereka untuk
memerintah sejumlah besar orang dalam hubungan-hubungan langsung. Kharisma
dilukiskan sebagai kualitas-kualitas adimanusiawi yang seperti pada para nabi
atau para pahlawan militer yang memungkinkan mereka untuk memaksakan
gagasan-gagasan dan nilai-nilai mereka sendiri pada seluruh kelompok.
Ketiga, otoritas rasional atau legal. Otoritas jenis ini didasarkan pada
sebuah kepercayaan akan ‘legalitas’ aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa
mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu
menurut aturan-aturan yang masih lebih dulu lagi yang mendasari dia sehingga
memiliki hal untuk memerintah. Di dalam tatanan yang rasional memungkinkan
individu mengetahui aturan-aturan mana yang secara formal betul dan telah
dipaksakan dengan sebuah prosedur yang diterima. Sebuah tatanan impersonal
yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang menciptakan
aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga tradisi.
Distingsi-distingsi di atas dapat menjelaskan bahwa para penguasa dalam
batas-batas tatanan mereka jika ingin mereka tidak ingin kehilangan kekuatannya
untuk memerintah. Dalam otoritas tradisional misalnya, sang penguasa dituntut
untuk mengikuti praktik-praktik yang lazim, seperti para pemimpin tradisi Watu
Telu di Nusa Tenggara Timur yang melakukan puasa pada bulan tertentu; dalam
kasus
otoritas
kharismatis
seorang
pemimpin
harus
menunjukan
33 adimanusiawinya, seperti kaisar Cina akan dipecat apabila di daerahnya terjadi
banjir bandang yang akan mempermalukan dirinya; dalam otoritas legal pemimin
harus mematuhi hukum apabila ia ingin tetap berkuasa. 24
2. Berdasarkan Orientasi
Setelah melihat pola otoritas dari seorang pemimpin, maka untuk
menggolongkan orientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan
pemerintahanya berdasarkan dari sikap, nilai-nilai, informasi dan kecakapan
politik. Orang yang melibatkan dirinya dalam kegiatan politik setidaknya dalam
pemberian suara (voting) dan ketertarikan terhadap informasi politik dapat
dinamakan sebagai budaya politik partisipan, sedangkan orang yang pasif dan
hanya patuh terhadap pemerintah dengan ikut pemilu dinamakan politik subyek.
Golongan ketiga adalah golongan yang sama sekali tidak menyadari adanya
pemerintahan dan politik, disebut budaya politik parokhial. 25
Menurut Almond, terdapat tiga model dalam kebudayaan politik atau
model orientasi terhadap pemerintahan dan politik.
1) Masyarakat demokratis industrial.
Dalam sistem ini terdapat cukup banyak aktivis politik yang akan
menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi
suara yang besar selain itu juga terdapat banyak publik peminat politik
yang selalu mendiskusikan secara kritis moral-moral kemasyarakatan dan
24
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial Terjemah F. Budi Hardiman (Jakarta: Kanisius,
1994), hal. 213-214 25
Trubus Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan
Pendekatanya, (Jakarta: Trisakti, 2006), hal. 278 34 pemerintahan.
Kelompok-kelompok
yang
selalu
mengusulkan
kebijaksanaan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka.
2) Sistem otoriter.
Dalam model ini terdapat beberapa kelompok masyarakat yang memiliki
sikap politik berbeda. Kelompok organisasi politik dan partisipan politik
berusaha menentang dan mengubah sistem melalui tindakan persuasif atau
protes yang agresif.
3) Sistem demokratis pra-industial.
Dalam Negara dengan model seperti ini, hanya sedikit sekali partisipan
yang terutama dari pofesional dan terpelajar. Kebanyakan dari warga
Negara memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang sangat terbatas dalam
kehidupan politik. 26
3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks,
menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan.
Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada
kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau
sifat ”toleransi”.
a. Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha
mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat
26
278 Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, hal.
35 dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing
hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan
masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar
emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide
yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang
mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau
kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat
militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik.
Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan
jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap
tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut
memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu
sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah
intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian
hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan
mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau
yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut
bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi,
36 malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka,
tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan
keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak
memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif bisaanya terbuka dan
sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat
melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia
menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai
suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu
tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap
sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan
hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong
usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.,
bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik.
Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi
satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik
(dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai
suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur
psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
37 Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu
orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective
oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif
mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe
orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai
berikut.
Orientasi kognitif
: yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan
pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta
input dan outputnya.
Orientasi afektif
: yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya,
para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif
: yaitu keputusan dan pendapat tentang obyekobyek politik yang secara tipikal melibatkan standar
nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. 27
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Masalah industrialisasi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah
modernisasi
karena
industrialisasi
merupakan
bagian
dari
modernisasi.
Transformasi industrial mempunyai konsekwensi yang amat luas, karena
industrialisasi merupakan proses perubahan sosial yaitu perubahan susunan
kemasyarakatan dari sistem sosial
pra industri (agraris) ke sistem sosial
27
Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php
38 industrial. Terkait dengan hal ini dalam pandangan teori “ pattern Variables” yang
dikembangkan Parsons, Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
industri dan moderen juga berarti perubahan dari :
a. Affectivity to affective neutrality, pengaruh langsung bagi perbahan ini
bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan ,
juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat industrial
yang bersifat contractual, impersonal dan calculating.
b. Particularism to universalism, Industrialisasi cenderung mengikis
keekslusivan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna kulit
maupun keturunan.
c. Ascriptions to achievement, dengan kata lain perubahan karena
industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan prestise ke
sistem penghargaan karena prestasi.
d. Diffuseness to specivicity, ialah perubahan dari sistem sosial yang
berlingkup luas dan membatasi hubungannya pada hubungan yang
bersifat khusus 28 .
Jadi Perubahan model pembangunan secara otomatis akan merubah
berbagai aspek kehidupan dan sruktur masyarakat, baik dalam bidang ekonomi,
sosial budaya, institusi-institusi kemasyarakatan dan agama bahkan keluarga.
Beberapa ahli telah memunculkan beberapa pendekatan dalam memotret dan
menganalisis perubahan sosial dan pola hubungan masyarakat. Di antaranya yang
28
Talcot Parsons and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid, Islam
Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987, hal 141-142 39 penulis anggap cukup. relevan diterapkan dalam kajian ini, di antaranya teori
struktural fungsional dan teori Interactions medium yang diperkenalkan oleh
Talcott persons (1937).
Dalam teori fungsional struktural memandang masyarakat secara
makroskopis. Ada dua asumsi dasar dalam pendektan ini. Asumsi pertama adalah
bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk dari sub strutur-sub
struktur yang saling tergantung (interdependen) antara yang satu dengan yang
lainnya sedemikian, sehingga perubahan pada satu bagian secara otomatis
mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Upaya analisis sosiologis dengan demikan
menemukan apa mempengaruhi apa. Asumsi kedua, adalah bahwa setiap struktur
atau aktifitas yang mapan (established) memiliki fungsi untuk mempertahankan
aktifitas-aktifitas atau struktur lain dalam suatu sistem sosial. Beberapa contoh
struktur dalam hal ini , keluarga, ekonomi, pendidikan, politik, agama, keluarga
dan sebagainya 29 .
Pesantren dikenal sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan
makna
keislaman,
tetapi
juga
mengandung
makna
keaslian
Indonesia
(indegenous). Sebagai lembaga indegenous , pesantren muncul dan berkembang
dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain
pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak bisa dipisahkan dengan
komunitas lingkungannya.
Kenyataan ini dapat dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian
pesantren pada satu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi
29
Soerjono soekanto, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat ( Jakarta :
Rajawali) 1983 40 pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, ibadah dan sebagainya.
Sebaliknya pesantren pada umumnya melakukakan “membalas jasa” komunitas
lingkungannya dengan bermacam cara, tidak hanya dalam bentuk memberikan
pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial, kultural, dan
ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks inilah pesantren dan
kiyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “ cultural
brokers” dalam pengertian yang seluas-luasnya. 30
Perubahan sosial, ekonomi, politik secara otomatis turut memberikan
warna dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan dinamika pesantren itu sendiri.
Beberapa perubahan dalam internal pesantren dan hubungnnya dengan pengaruh
luar adalah, perubahan menjadi sistem kelas. Namun demikian bukan berarti
mendudukan pesantren sebagai obyek perubahan yang pasif, sebab pesantren juga
merupakan institusi yang independen dan memiliki jati diri dan kekhasannya
sendiri.
Pada sisi lain pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial dipandang
memiliki posisi yang strategis dalam melakukan perubahan dan pembangunan
bagi masyarakat sekitarnya, hal itu telah terbukti selama beberapa abad
keberadaan
pesantren
dengan
komitemen
meneguhkan
sosial
kepada
masyarakatnya. Pesantren memiliki modal yang kuat dalam melakukan interaksi
dengan masyarakatnya.
Dalam pandangan teori “Interaksions medium” yang juga dikembangkan
oleh Parsons yaitu model “media interaksi” (interactions medium). Media,
30
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka
jaya), 1981 41 menurut Parsons adalah kapasitas perubahan sebuah masyarakat (kelompok)
ketika berinteraksi dengan kelompok atau sektor masyarakat lain. Walaupun teori
ini pada mulanya disusun berdasarkan analisis interaksi antara ego dan alter ego,
namun kemudian juga digunakan untuk menganalisis pola interaksi lembaga,
kelompok dan masyarakat. Oleh karenanya teori ini penulis pandang relevan
untuk mengkaji pola hubungan antara pesantren tradisional dan sektor modern.
Dalam hal ini ada empat media; pertama, Komitmen atau penyerapan
nilai/gagasan dari luar yang benar dan relevan. Kedua, media Kekuasaan (power)
Ketiga, media pemanfaatan (utility) dan terakhir media pengaruh 31 .
Keempat media yang dikemukakan Parsons di atas setidaknya telah
dimiliki pesantren dalam melakukan hubungan dan mengukuhkan pengaruhnya
baik di kalangan internal pesantren maupun bagi masyarakat sekitarnya. Pada
beberapa dasawarsa , kiyai yang umumnya pemilik dan pengelola pesantren
memiliki power (kekuasaan) yang kadang melebihi kekuasaan pemerintah lokal.
Bahkan dalam hal-hal tertentu pemerintah lokal seringkali meminta petunjuk dan
restu pihak pesantren atau kiyai dalam melaksanakan tugas dan kebijakannya. 32
31
Talcott Parsons, On The Theori if Sosial Interactions Media, sebagaimana dikutip Ivan
Alhadar, “Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban Industri “ dalam Manfred Oepen dan
Wolfgang Kacher (ed) Dinamika Pesantren, (Jakarta : P3M), 1987 32
Dra. Umdatul Hasanah, “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam
Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon” (Penelitian Block Grant IAIN Banten, 2008), h. 15 42 Diagram 1
Kerangka Konseptual
kesederhanaan
Materialis
Budaya
politik
Kebersamaan
Tradiisional
Religius
Homogen
Akhlak dan nilainilai luhur
Pesantren
?
Hub. Fungsional
Industrial
Modern
Kompetitif
Rasional
Heterogen
43 BAB III
GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN
KAMPUNG PANYAWUNGAN
A. Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam
A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren
Sebelum
berdirinya
Pondok
Pesantren,
kampung
Panyawungan
merupakan sebuah perkampungan yang menjadi pusat arena judi. Judi yang paling
dominan di kampung ini adalah judi sabung ayam. Masyarakat kampung
Panyawungan pada saat itu merupakan masyarakat Jahiliyyah dalam arti bodoh
atau buta terhadap agama.
Namun begitu, di kampung Panyawungan terdapat dua orang kaya raya
yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi yang mempunyai keprihatinan terhadap umat,
untuk itu mereka meminta kepada KH. Kholil dari kampung Bojong Malati ( +
1,5 km dari kampung Panyawungan ) untuk mengajar masyarakat dan mendirikan
pondok.
Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang mulai dirintis pada tahun
1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil ‘ulama atau orang yang
berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau donatur yaitu KH. Syarif dan
KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang adil (dalam konteks ini adalah
lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail fuqoro atau dukungan masyarakat
umum. 1
Pada mulanya, KH. Kholil menempati rumah Hj. Syarifah yang
merupakan kerabat KH. Syarif. Untuk kelancaran Dakwah Islamiah, KH. Syarif
1
Wawancara pribadi dengan ustadz Bibin, Bandung, 15 April 2010 44 mewaqafkan tanahnya seluas 8000 M. untuk lingkungan pesantren dan sawah
yang dikelola oleh KH. Kholil. Selain waqaf dari KH. Syarif, pesantren juga
menerima waqaf dari yang lainya seperti dari Hj. Omok. Pada kedatangan
awalnya, KH. Kholil telah membawa sekitar lima belas santri. 2
Dengan dukungan empat elemen yang disebut di atas, perkembangan
Pondok Pesantren Nahdjussalam berkembang pesat, hingga pada tahun 1917
pesantren tersebut telah memiliki elemen dasar pesantren seperti masjid, asrama,
dan madrasah.
Empat elemen di atas juga menjadikan Pondok Pesantren Nahdjussalam
bersifat inklusif terhadap masyarakat. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren
Nahdjussalam selalu mempunyai delegasi di luar kyai sepuh dan kyai pondok
yang didedikasikan untuk membina masyarakat. Dari awal hingga saat ini,
pesantren tersebut telah empat kali berganti kyai.
2
Wawancara pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010 45 Gambar. 1: Lokasi Komplek Pesantren
46 1.1 KH. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan
KH. Kholil lahir sekitar 1894 di Kampung Bojong Malati. Beliau
merupakan anak pertama dari pasangan Eyang Husen dan Hj. St. Maemunah yang
juga merupakan penyiar agama di kampung tersebut. Jika di kejar lebih jauh asal
keluarganya, beliau merupakan keturunan ke enam dari Syeh Abdul MuhyiTasikmalaya (seorang penyebar Islam di Jawa Barat). Beliau belajar Islam
semenjak dini dari orang tuanya yaitu Eyang Husen. Beranjak dewasa ia
mengembara keberbagai pesantren di antaranya: Pesantren Kresek Garut,
Pesantren Ciharashas, Pesantren Sukamiskin, dan Pesantren Banjar.
Keberhasilan pondok pesantren Nahdjussalam yang terus eksis hingga saat
ini tidak lepas dari peran sang pendiri. Setelah masa perintisan 1916 – 1917, KH.
Kholil mempunyai kesadaran penuh akan pentingnya pembangunan jejaring
pesantren di tingkat lokal. Untuk itu KH. Kholil membangun jejaring pesantren
dengan cara menikahkan adik-adik beliau dengan para santri terpilih atau tokohtokoh setempat yang dianggap mempunyai pengaruh.
Diagram. 2
Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil
Kh. Husyen Nahrowi + Hj. Siti Maemunah
Kh. Kholil
Eye
+
H. . Khosim
Siti
+
H. Kharis
Ket: Dalam diagram tersebut tidak semua keluarga dimasukan
Hj. Khuraisin
+
H. Daman
H. Sya’diyah
+
H. Juhro
47 Tokoh-tokoh atau santri terpilih yang dinikahkan dengan adik-adik beliau,
menjadi pembantu beliau dalam membina masyarakat dan mereka menempati
posisi sebagai kyai langgar.
Kyai Pondok
Kyai Langgar
1. KH. Kholil
1.H.Daman(Kp. Panyawungan)
2. KH. Ahmad Tb. Dzajuli
2. H. Kharis (Kp. Galumpit)
3. H. Juhro (Kp. Kara)
4. H. Khosim (Kp Bojong Malati)
5. H. Fatah (Kp Panyawungan)
Selain kesadaran akan pentingnya jaringan, KH. Kholil juga memakai cara
perkawinan dengan pihak donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi. Selain untuk
mengikat kekeluargaan hal itu juga dilakukan atas kesadaran pentingnya ekonomi
dalam keberlangsungan pondok. Untuk kepentingan ekonomi, KH. Kholil juga
terus memperluas tanah hingga tercatat lebih dari 2 hektar tanah yang ia miliki.
Selain dari hasil pembelian secara pribadi, pihak keluarga pesantren juga
banyak mendapatkan tanah dari imbalan mengatur pembagian waris. Seperti yang
diterima oleh KH. Dzajuli dan KH. Syambas ketika membagikan waris keluarga
KH. Afandi.
48 Diagram. 3
Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil
Bani Affandi
Bani Kholil
1
: Kyai Langgar
: Lurah (kecuali yang ditandai “1” Drs. Iin Z.A merupakan pejabat RW sekarang.)
Diagram. 4
Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil
Bani Syarif
Ket
Bani Kholil
: Tidak seluruh anggota keluarga disertakan dan tidak berdasar senioritas
: Kyai Luar Dearah
: M antan Anggota DPRD
: Kyai Langgar
Setelah jejaring di lokal sudah dirasa cukup kuat, KH. Kholil mencoba
untuk membuka jejaring dengan luar daerah, baik dengan pesantren yang sudah
berdiri maupun santri terpilih yang berpotensi mampu mendirikan pesantren.
49 Untuk merealisasikan hal itu, KH. Kholil masih memakai cara pernikahan.
Hampir seluruh anak perempuan KH. Kholil dinikahkan dengan kerabat pesantren
atau santri yang berpotensi dan mampu mendirikan pesantren. Seperti terlihat di
bawah ini:
Diagram. 5
Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren luar
Hj. St. Rofi’ah+KH. Kholil + Hj. St. Hasanah
Hj. Siti Sholihah
KH. Abdul Kholil
(al-Ihsan-Cianjur)
Hj. St. Fatimah
KH. Ahmad Falah
(al-Falah-Sumedang)
Hj. St. M aemunah
KH. M och. M usa
(Banajar)
Hj. St. Hafsoh
KH. M uhyidin
(Benteng-Ciamis)
Cat: Tidak seluruh keluarga dimasukan
Dalam perjalanannya, pondok pesantren pernah mengalami masa
kekosongan. Masa kekosongan ini diakibatkan oleh huru-hara Jawa Barat yang
dikenal dengan perang segitiga antara TNI, DI (TII), dan Belanda pada tahun
1946. Sekitar satu bulan, seluruh keluarga pesantren dan sebagian santri
diungsikan ke daerah Tanjung Laya di tempat KH. A. Basyari yang merupakan
adik KH. Kholil.
1.2. KH. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual
KH. Tb. Ahmad Dzajuli merupakan seorang ningrat dari Sukamiskin. Pada
saat ia menjadi seorang santri, KH. Kholil menjadikanya sebagai tangan kanan
untuk berbagai urusan pondok. Beliau dinikahkan dengan Nyimas H. Banasiah
putri sulung KH. Kholil. Setelah KH. Kholil wafat beliau naik menjadi kyai sepuh
pondok.
50 Beliau dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh sufistik yang penuh
kharisma. Banyak karomah dan kesalehan beliau yang disaksikan oleh masyarakat
dan menjadi cerita turun-temurun di masyarakat. Dalam masa kepemimpinannya
kondisi dan posisi pondok pesantren Nahdjussalam sudah cukup kokoh hingga
menjadikan beliau mengkonsentrasikan diri pada pembangunan spiritual. Jika
dilihat keberlangsungan pesantren pada masa KH. Kholil dan KH. Tb. Ahmad
Dzajuli, ini seperti strategi terbalik yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang
menguatkan spiritual masyarakat di Mekah pada masa awal Islam dan
membangun jejaring di Madinah.
Beliau berhasil mempersatukan masyarakat Panyawungan dengan
masyarakat sekitar seperti kampung Bojong Malati, kampung Kara, dan kampung
Galumpit dengan sebuah tradisi pawai obor (dibahas di bawah) yang dilaksanakan
pada Maulid dan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan
peninggalan beliau yang paling penting di antara yang lainnya.
Pada masa kepemimpinannya, seiring dengan semakin banyaknya kader
pesantren, pesantren mempunyai pola baru dalam membina masyarakat. Meski
pada masa KH. Kholil telah terbangun jejaring langgar, beliau meneruskan usaha
KH. Kholil dalam membina masyarkat dengan menerjunkan kader pesantren ke
masyarkat. Adapun untuk hal itu penulis mengistilahkannya dengan ‘kyai
delegasi”. Kyai delegasi selain berfungsi sebagai pendidik masyarakat, ia juga
menjadi jembatan antara masyarakat, kyai langgar, dan pesantren.
51 Kyai Pondok
1. KH. Ahmad Tb. Dzajuli
Kyai Delegasi
1. KH. Syambas
2. KH. Ma’sum Maki
3. KH. Endang Mahtum
Seperti dikatakan di atas, KH. Tb. Ahmad Dzajuli merupakan sosok ulama
sufistik, namun istri beliau pernah menemukan sertifikat penghargaan dari
Masyumi tertulis tahun 1960 yang diberikan kepada beliau. Ini menjadi sebuah
kontradiksi dimana kebanyakan tipe pesantren salafy lebih memilih memfusikan
dan mengartikulasikan politiknya dengan NU, Pesantren Nahdjussalam justru
lebih memilih tetap mengikuti Masyumi. Padahal kita tahu bahwa penyebab NU
keluar dari Masyumi karena salah-satu faktornya Masyumi terlalu di dominasi
oleh kaum modernis yang bersifat progresif.
Satu rekaman sejarah penulis ketika masih kecil yang masih diingat,
adalah saat istri beliau ditanya oleh seorang keponakan beliau yang menjadi
anggota DPRD Kab. Bandung. H. Ayi Nu’man Ma’sum bertanya, “mengapa dulu
uwa 3 lebih memilih Masyumi dari pada NU ?” H. Banasiah menjawab “saya dulu
pernah punya pertanyaan yang sama, namun beliau menjawab; “jika NU sedang
belajar merangkak, maka Masyumi sedang belajar berjalan”. 4 Ini juga
menunjukan, meskipun KH. Tb. Ahmad Dzajuli seorang tokoh sufi, namun beliau
juga mengikuti dan tidak tertutup dengan aliran yang sifatnya progresif, walau
hanya sebagai partisipan dan tidak terlibat aktif dalam kepartaian.
3
Panggilan untuk kakak dari orang tua Untuk memastikan kembali, penulis mewawancarai bapak Iim A. Karim yang pada saat
itu menemani H. Ayi Nu’man Ma’sum (alm). 4
52 1.3 Kyai Syambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik
KH. Syambas sudah mulai eksis sebagai kyai pondok maupun kyai
delegasi pada saat KH. Tb. Ahmad Dzajuli masih menjabat kyai sepuh. KH.
Syambas adalah satu-satunya kyai yang juga merupakan muballigh kondang Jawa
Barat. Semasa menjabat sebagai kyai delegasi, kyai Syambas sudah mulai aktif di
kepartai-an, beliau bergabung dengan Masyumi, Jabatan tertinggi yang pernah
beliau capai adalah sebagai Dewan Pembina Tingkat Kabupaten. Kemudian ketika
pada tahun 1960 keluar Kepres No. 200/1960 tentang pembekuan Masyumi, dan
orang-orang Masyumi mendirikan Parmusi, KH. Syambas pun masuk kedalam
partai baru tersebut dan masih menempati kedudukan yang sama seperti pada
masa Masyumi.
Dalam dunia perpolitikan KH. Syambas terus malang-melintang. Ketika
pada tahun 1973 pemerintah menyempitkan partai kedalam tiga wadah, dan PPP
adalah wadah yang berunsurkan Islam, maka KH. Syambas pun ikut bergelut di
dalamnya. Pada peiode ini KH. Syambas sudah mulai ditemani oleh adik beliau
yaitu KH. Athoillah dalam aktivitas ke-partaiannya.
Massa kepemimpinananya yang singkat karena meninggal di usia yang
relatif
muda,
menjadikan
tidak
terlalu
banyak
berpengaruh
terhadap
kepesantrenan. Ketika pada tahun 1948 Pemerintah menginstruksikan untuk
memberikan nama formal pada setiap lembaga pasantren, KH. Syambas memberi
nama Nahdjussalam pada institusinya. Sebelum diberi nama, pesantren ini dikenal
dengan sebutan “Pesantren Panyawungan” bahkan hingga saat ini baik di
kalangan santri maupun masyarakat lebih populer dengan nama itu.
53 Pada saat beliau menjabat sebagai kyai sepuh, beliau dibantu oleh :
Kyai Pondok
Kyai Delegasi
1. KH. Syambas
1. KH. Athoillah
2. KH. Embun N.
2. KH. Agus
3. KH. Endang Mahtum
1.4. KH. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren
Sepak terjang di masyarakat dan kemampuan berorganisasi menjadikan
KH. Athoillah mempunyai jejaring yang luas dengan pihak pemerintahan dan
kepartai-an. kyai Atho juga merupakan aktivis PPP. Karir tertingginya yang
pernah beliau raih adalah Dewan Pertimbangan tingkat Kabupaten. Kharisma
beliau dalam kepartai-an membuat banyak pihak dari PPP mendesak beliau untuk
mengkaderkan keluarga beliau untuk terjun sebagai politikus. Pada pemilu 1997
keponakan beliau H. Ayi Nu’man berhasil duduk sebagai anggota dewan tingkat
II.
Persentuhan pesantren dan politik sekaligus memberikan arah perpolitikan
masyarakat, dimana pesantren merapat maka di situ pula masyarakat memberi
suara. Namun persentuhan pesantren dengan politik vacum pasca reformasi.
Selain faktor usia KH. Athoillah, faktor tidak ada kaderisasi juga menjadi faktor
utama. Gempuran arus informasi dan rasionalisasi dengan dimediai oleh
industrialisasi, percaturan politik masyarakat Panyawungan pun tidak lagi
menyandarkan referensi pada pesantren. Hal tersebut terbukti dari perolehan suara
pada pemilu 2009 kemarin.
54 Selain vacum politik, pesantren ini juga mengalami kemunduran kuantitas
jumlah santri dari rentang waktu sepuluh tahun terakhir. Pada masa keemasannya,
sekitar tahun 1980 jumlah santri di pesantren ini menembus angka 700 santri. 5
Kini pesantren Nahdjussalam hanya memiliki 56 santri putra dan 13 santri putri.
Hal tersebut memang terjadi oleh beberapa faktor seperti merebaknya pendidikan
sekuler, minat masyarakat yang menaruh pada pesantren dan lain-lain. Sedangkan
untuk faktor internal pesantren sendiri dipengaruhi oleh semakin tuanya kyai
Athoillah, kyai pembantu pondok dan kyai delegasi yang meninggal mendahului
KH. Athoillah, dan rentang generasi yang terlampau jauh, serta konflik internal
keluarga seperti perebutan kekuasaan dan konflik lain yang disebabkan oleh
faktor ekonomi.
Kyai Pondok
Kyai Delegasi
1. KH. Athoillah
1. KH. Agus
2. KH. Tb. Enjang Tamim
2. Ustadz. Tb. Cecep
3. Ustadz. Tb. Bibin
3. Ustadz. Apep
A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren
2.1 Tradisi Pesantren
Seperti kebanyakan pesantren salafy, pesantren Nahdjussalam tergolong
sebagai pesantren yang menamakan dirinya sebagai golongan ah-lusunnah waljamaah. Kitab kuning adalah sumber referensi utama. Pesantren Nahdjussalam
5
Wawancara pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010 55 memfokuskan pengajaranya terhadap ilmu alat (nahwu dan sharaf) atau tata
bahasa Arab. Namun demikian pesantren ini juga tidak mengesampingkan ilmu
ke-islaman lain seperti
tauhid, fiqh, dan syariah. Untuk tauhid pesantren
Nahdjussalam mengikuti madzhab sunni, segaimana dirumuskan oleh Abu Hasan
al Asyari. Adapun kitab yang dikaji adalah Tijan dan Majalis; Untuk Fiqh,
pesantren ini banyak dibentuk oleh kitab Safinah, Taqrib,
dan I’anah; Dan
terakhir untuk syariah, pesantren ini banyak dibentuk Irsyad dan Riyadusholihin. 6
Pesantren ini hanya mentoleransi seni tarik suara dan kaligrafi. Selain dari
itu, apapun macamnya baik bersifat lokal maupun kearaban ditolak oleh pesantren
ini. untuk bermacam-macam kesenian seperti musik dan tarian baik sifatnya lokal
maupun ke-araban. Pesantren ini juga seperti kebanyakan pesantren lain
melaksanakan selamatan untuk bayi baru lahir yang di dalamnya ritualnya adalah
pembacaan doa-doa, pengajian al-Barjanji, dan shalawat kepada Nabi SAW.
Sedang untuk ritual mendoakan orang yang meninggalz mereka menyebutnya
dengan istilah “tahlilan”, dengan atau tanpa acara makan-makan yang terpenting
dalam acara ini adalah ritus pembacaan
dengan bahasa Arab yang intinya
menganggungkan Allah SWT.
Khoulan
Yang terpenting dari upacara semacam di atas untuk pesantren ini adalah
tradisi khoulan KH. Kholil. Khoulan adalah ritual tahunan yang disenggarakan
setiap tahun untuk mengingat orang yang telah meninggal. Khoulan KH. Kholil
adalah ritual terbesar yang diselenggarakan oleh pondok pesantren. Tidak jarang
6
2010 Wawancara dengan ustadz Bagja, ustadz Cecep, dan ustad z Deden, Bandung , 07 Mei
56 untuk pendanaan khoul ini memakan biaya lebih dari empat puluh juta rupiah dan
dalam penyelenggaraannya membutuhkan bentukan struktur organisasi yang
cukup lengkap. Sumber dana utama berasal dari usaha penyortiran limbah pabrik
milik keluarga pesantren.
Khoulan untuk pesanten Nahdjussalam telah melampaui batas-batas
definisi yang selama ini diberikan oleh para ahli. Khoulan untuk pesantren ini juga
memiliki fungsi sebagai medium pertemuan antara para alumni, keluarga
pesantren, para kyai psantren, para kyai langgar, dan masyarakat sekitar. Khoulan
juga menjadi ajang sensus bani Kholil, pada khoulan terakhir yaitu khoulan yang
ke-62, jumlah keluarga bani kholil mencapai 1048 jiwa, 7 ini merupakan angka
yang fantastis untuk keluarga yang baru menginjak empat generasi.
Pawai Obor
Pawai obor adalah salah satu icon pesantren dan masyarakat Dusun
Panyawungan yang melingkupi Kampung Panyawungan, Kampung Kara, dan
Kampung Bojong Malati. Sejarah pawai obor bermula pada masa KH. Djajuli.
Setiap bulan Rajab dan Maulud dulu KH. Djajuli selalu berputar mengelingi
kampung dengan membawa obor kecil untuk mengajak masyarakat melaksnakan
perayaan Isra Mi’raj dan Maulid Nabi Muhamad SAW di mesjid jami.
Masyarakat kemudian mengikuti di belakang beliau dengan membaca sholawat.
Semakin beliau jauh mengelilingi kampung maka semakin banyak pula orang
yang megikuti beliau sampai akhirnya menuju masjid jami.
7
Arsip ke-Pesantrenan 57 Setelah beliau wafat tradisi ini diteruskan oleh masyarakat dan tetap
berjalan sampai sekarang. Adapun ritual dalam upacara ini adalah pembacaan
sholawat mengelilingi kampung dengan dipimpin oleh seorang ustadz. Di setiap
penghujung kampung menurut arah mata angin, rombongan berhenti sejenak dan
membacakan ayat kursi dengan menghadap ke empat penjuru mata angin dan
diakhiri doa. Setelah selesai berkeliling kampung rombongan kembali ke mesjid
jami dan melaksanakan ritual Isra Mi’raj atau Maulidan sebagaimana lazimnya.
Dari acara ini penulis juga melihat stratifikasi kelas dan fungsi dalam hal
keagamaan. Setiap orang yang menduduki posisi dalam pelaksanaan acara adalah
simbol prestise yang dimiliki oleh masing-masing. Prestise tertinggi adalah orang
yang member tausiah yang bisaanya di isi oleh kyai sepuh pesantren atau kader
yang dipersiapkan untuk mengganti dirinya. Posisi kedua ditempati oleh pengisi
tahlilan dan pembacaan doa yang bisaa di isi oleh kyai delegasi dari pesantren.
Yang ketiga adalah orang yang mengisi pembawa acara yang bisaanya di isi
pihak birokrasi. Dan yang terakhir adalah pemimpin pawai obor yang bisaanya
dipimpin oleh kyai langgar.
Setiap tahun acara ini selalu meriah dan besar hingga menelan dana lebih
dari dua puluh juta. 8 Acara ini ditangani oleh PHBI dusun Panyawugan dan setiap
kampung secara bergantian bertanggung jawab atas pengadaan logistik.
8
Data PHBI Tahun 2009 58 2.2. Sistem Nilai Pesantren
Pesantren Nahdjussalam mempunyai sebuah tata nilai tertulis yang berlaku
buat santri. Sistem nilai itu dinamakan “tanbih” dan memuat enam belas poin di
bawah ini:
1. Bergaul sopan santun dengan sesama santri;
2. Turut menjaga bangunan dan pekarangan pondok dan mesjid;
3. Sholat berjamaah pada tiap waktu sholat;
4. Kepada santri dewasa agar memberi sorogan pada santri yang lebih kecil
setiap bada magrib;
5. Ngaji balagan di waktu yang telah ditentukan;
6. Ngaji tazwid pada malam Kamis dan sholawat pada malam Jumat;
7. Membangunkan santri yang tidur pada waktu sholat; terutama waktu
subuh;
8. Menghafal materi yang telah dikaji;
9. Tidak diperbolehkan mandi, nyuci, sholat diluar lingkungan pondok;
10. Dilarang pergi keluar lingkungan pondok kecuali ada kepentingan;
11. Dilarang menerima tamu yang tidak dikenal;
12. Menerima hukuman diusir apabila ketahuan pergi nonton;
13. Seluruh santri yang akan pulang, wajib lapor pada rois pondok;
14. Tidak boleh meminta-minta terhadap tetangga pondok;
15. Dilarang saling tukar pakaian; dan
16. Memenuhi kewajiban keuangan pondok.
59 Selain dari pada peraturan yang tertulis di atas pondok pesantren juga
mempunyai tradisi oangtua terdahulu dengan menyadarkan pada sebuah
mahphudot “lestarikanlah nilai lama yang bagus dan carilah hal baru yang baik”.
Sistem pengajian di pondok pesantren ini bisa dikategorikan sebagai
sistem bandongan, yaitu sebuah transfer pengetahuan dari seorang kyai kepada
santri. Dalam pentransferan ilmu ini hanya kyai saja yang bersifat aktif sedang
untuk santri bersifat pasif. Namun sebagian dari ustadz pesantren meluangkan
waktu diluar pengajian untuk santri yang ingin menanyakan permasalahan dalam
pengajian.
Pesantren ini juga memiliki sebuah struktur organisasi seperti terlihat pada
diagram berikut ini:
Diagram 6.
Struktur Organisasi Pondok
Pengasuh
Kh.Athoillah
Putra
Rois
M. Arif
Sekertaris
Badru
Rois Am
Ustd. Bagja
Putri
Wakil
Yayang
Wakil
Mimar
Bendahara
Omay
Sek. Pendidikan
Sek. Logistik
Sek. Humas
Rois
Elis
Sek. Kebersihan
Sek. Kebersihan
Sek. Logistik
Sek. Pendidikan
Hal yang membedakan pesantren ini dengan pesantren lainya adalah
komunitas keluarga pesantren yang masih utuh. Keutuhan keluarga besar
60 mempunyai konsekuensi pada kentalnya seniortas terutama yang didasarkan pada
garis nasabiah.
Dalam menurunkan tahta kyai sepuh pesantren, pesantren ini tidak
mengenal penurunan mutlak (diturankan pada anak). Bisaanya seorang kyai sepuh
mengkaderkan seseorang yang merupakan keturunan dari KH. Kholil yang
mempunyai kapabilitas untuk menempati kedudukan sebagi kyai sepuh.
Meskipun kewibawaan kyai sepuh adalah sentral dari kekuatan simbolis
yang dimiliki oleh pesantren, namun tidak berarti keputusan yang dibuat kyai
sepuh bersifat mutlak. Keluarga pesantren mempunyai forum pertemuan sebulan
sekali yang dinamakan “syahriahan”. Forum tersebut terkadang menghasilkan
putusan yang harus dilaksanakan seluruh keluarga pesantren termasuk kyai sepuh
sendiri. Forum itu juga merupakan forum untuk membahas permasalahan yang
sedang dihadapi pesantren. Terkadang pertemuan bulanan tersebut hanya
membahas evaluasi dan introsfeksi kepesantrenan atau hanya sekedar silaturahmi
keluarga.
A.4. Ekonomi Pesantren
KH. Kholil selain merupakan ulama juga merupakan orang yang cerdik
dalam mensiasati materi seperti telah di uraikan di atas. Meskipun berasal dari
keluarga yang kurang mampu, namun KH. Kholil mampu menjadikan dirinya
sebagai seorang tuan tanah. Kepemilikan tanah pada masanya adalah sebagai
simbol kekuatan ekonomi dan tingkat status yang tinggi mengingat masyarakat
masih bersifat agraris. Ini juga merupakan faktor keberhasilan pesantren karena
selain mempunyai sumber kewibawaan seorang kyai atau kekuatan simbolis juga
61 kuat secara kapital terbukti dari banyaknya masyarakat sekitar yang menjadi
buruh tani pesantren atau petani dengan paro-paroan.
…sukur ayeuna urang bisa keneh nyieun imah, urang kudu
nganuhunkeun ka kolot anu merjuangkeun urang jang nancebkeun
pancuh, lamun kudu dibejakeun mah, baheula kolot urang teh
golongan fuqoro ngan anjeuna mah mikiran urang anak incuna.
Tah sabalikna, ayeuna urang rek kumaha mikiran anak incu urang
anu sakieu lobana. Sing jadi fikiran. 9
Pada rentang generasi anak kepemilkan tanah tidak lagi dibanggakan
karena terjadi pembagian terhadap anak-anak beliau yang jumlahnya cukup
banyak. Kepemilikan tanah terus-menerus terkikis karena banyak dari anak beliau
yang menjual tanahnya untuk dapat naik haji, faktor lain adalah banyaknya
keturunan yang mencapai 1048 jiwa pada saat sekarang dan tanpa mempunyai
kemampuan daya beli kembali. 10
Meskipun pada saat sekarang banyak sekali industri yang berdiri di lingkar
Panyawungan, namun hampir tidak ada keluarga pesantren yang menjadi buruh.
Jika pagi tiba, saat buruh-buruh pabrik lalu-lalang, keluarga pesantren justru lebih
asyik berkumpul dan menikmati kopi di pinggir kolam. Ada semacam kegoaan
dari pihak keluarga untuk menjadi buruh pabrik baik dengan alasan keagamaan
seperti susahnya mempertahankan diri dari gangguan dunia kerja untuk
mempertahankan atau menjalankan perintah agama atau karena alasan satatus.
Untuk mempertahankan ke-eksklusiva-nya maka pada tahun 1998 pondok
pesantren membuat koperasi kepesantrenan. Kopontren Nahdjussalam bergerak
9
2010 Diambil dari pidato KH. Athohillah pada suatu selamatan rumah baru. Bandung, 03 Mei
10
Sensus Bani Kholil Ke 62 Tahun 2009 62 dalam usaha simpan pinjam. Namun karena kurangnya SDM yang mumpuni,
koperasi tersebut dari mulai pendirianya tidak pernah berjalan lancar, bahkan
hanya menyisakan perselisihan keluarga dan hutang yang cukup besar. Setelah
dalam usaha simpan pinjam menemui jalan buntu, akhirnya usaha yang sifatnya
komunal tersebut beralih pada usaha pengelolaan limbah pabrik atau lebih dikenal
dengan istilah “majun”. Namun lagi-lagi usaha ini juga tidak membuahkan hasil
yang memuaskan meskipun sudah beberapa kali restrukturasi.
Dalam
perjalananya usaha ini juga tidak mampu menyerap tenaga kerja dari pihak
keluarga. Konstitusi yang disepakati dari hasil usaha ini adalah bertujuan untuk
membiayai Khoul KH. Kholil.
Kini nasib kopontren pun tidak jelas secara
institusi.
Secara perorangan, keluarga pesantren tidak mempunyai usaha dan kerja
tetap. Namun kebanyakan yang mereka geluti
adalah bertani, dagang,
pemanfaatan limbah pabrik, dan sebagaian kecil ternak. Namun yang paling
menyedihkan untuk kenyataan ekonomi keluarga pesantren adalah data dari
BAZIS Kampung Panyawungan yang menempatkan RT. 02 sebagai jumlah fakir
miskin tertinggi yakni 30 KK. Dari 64 KK, dan hanya 19 KK saja yang bukan
merupakan keluarga pesantren. 11
A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat Seperti disinggung terdahulu, bahwa Pesantren Nahdjussalam merupakan
bentuk pesantren yang sifatnya inklusif dengan masyarakat. Meskipun pesantren
mempunyai subkulturnya sendiri, ini bukan berarti pesantren bukanlah merupakan
bagian integral dari masyarakat. Bahkan dalam situasi dan momen tertentu
11
Data diambil dari LPJ BAZIS kampung Panyawungan tahun 2009 63 pesantren tidak segan mempersilahkan orang luar untuk ikut mengurus pesantren.
Seperti dalam pembangunan pelebaran mesjid yang baru-baru ini terjadi,
pesantren menunjuk Bapak Iin yang merupakan orang luar pesantren untuk
mengetuai pembangunan, selain beliau juga banyak unsur-unsur masyarakat lain
yang terlibat dalam struktur.
Gambar 2.
Antusiasme Warga Dalam Membangun Mesjid
Pesantren Nahdjussalam merupakan pesantren tertua di wilayah tersebut,
pesantren ini telah melahirkan banyak ulama-ulama ternama di Jawa Barat
maupun di luar Jawa Barat. Untuk lingkungan Cileunyi sendiri, hampir seluruh
pesantren di lingkungan tersebut merupakan alumni Pesantren Nahdjussalam.
Seperti dapat di lihat di bawah ini:
1. KH. Sudja’i, pendiri Pondok Pesantren al-Jawami kampung Al-Jawami;
2. KH. Azid, pendiri Pondok Pesantren Bustanul Wildan kampung Tanjakan
Sari;
3. KH. Endang, pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Muta’alimin kampung
Cikalang;
64 4. KH. Abdurahman, pendiri Pondok Pesantren al-Mubarak; dan
5. KH. Abdul Qadir, pendiri Pondok Pesantren al-Mardiyah kampung
Cibagbagan.
Selain menelurkan kyai-kyai yang berhasil mendirikan pondok, pesantren
ini juga banyak menelurkan kyai-kyai langgar. Hampir seluruh kyai langgar yang
ada di Kampung Panyawungan juga merupakan alumni pesantren, meski mereka
juga sempat mencari ilmu di tempat lain. Hubungan kyai pesantren dengan kyai
langgar di sekitar kampung Panyawungan, kampung Kara, kampung Bojong
Malati dan kampung Galumpit, hampir seluruhnya keturunan dari kyai langgar
yang menjabat pada masa KH. Kholil. Selain mempunyai hubungan keilmuan,
antara pesantren dan kyai langgar juga memiliki hubungan kekerabatan (lihat
diagram 4 dan 5).
Dalam mengayomi masyarakat, selain dengan membentuk kyai delegasi
yang disinggung di atas, pesantren ini juga mengadakan pengajian rutin yang
dilaksankan setiap hari rabu “reboan” yang bertempat di komplek pesantren.
Meskipun pengajian ini sifatnya umum, namun kebanyakan dari jemaat yang
hadir merupakan kyai langgar dan kyai dari pesantren lain. Selain “reboan”
pesantren ini juga mengadakan pengajian yang hanya diikuti oleh kyai langgar
yang bisaa disebut “kemisan’ pengajian ini terbatas untuk kyai langgar karena
bahasan dan kitab yang dikaji memang untuk mensuplai pengetahuan kyai langgar
yang berfungsi sebagai pengayom umat.
Sedangkan untuk menjaga hubungan dengan alumni selain event khoulan
yang menjadi medium silaturahmi, peantren juga mnegadakan pengajian khusus
65 di bulan puasa. Kalangan pesantren biasa memanggilnya dengan “pasaran”.
Pasaran adalah pengajian yang mengkaji satu atau dua kitab dan tamat selama
bulan puasa. Para alumni yang belum maupun telah berkeluarga sering memadati
pondok untuk pengajian pasaran ini.
A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa
Untuk melihat lebih terperinci hubungan pesantren dengan birokrasi desa
ada baiknya melihat lebih dulu daftar kepala desa cileunyi wetan di bawah ini:
1. Abah Ante 1809 – 1849;
2. Bapak Aspan 1809 – 1879;
3. Bapak Karta Praja 1879 – 1884;
4. Bapak H. Manan 1984 – 1914;
5. Rdn. Ahmad Djakarta 1914 – 1942 (masa pendirian pesantren);
6. Bapak H. Abdul Hamid 1942 – 1971 (adik KH. Kholil);
7. KH. Rhmat 1972 – 1983 (mantu dari KH. Sudja’i sesepuh pesantren al –
Jawami santri KH. Kholil);
8. Bapak H. E. Djaenudin 1983-1994 (menantu KH. Afandi _opular pondok
pesantren Nahdjussalam);
9. KH. Imang 1994-2002 (anak KH. Sudja’i santri KH. Kholil);
10. Bapak Iwan M. Fallah S. sos 2002-2007 (cucu KH. Afandi); dan
11. Bapak Zaky Salman Raliby 2007-sekarang (cucu KH. Sudja’i) 12
Seperti telah dikatakan terdahulu bahwa pendirian pondok pesantren
panyawungan tidak lepas dari dukungan pemerintah desa yang pada saat itu
12
Monografi Desa Cileunyi Wetan 2009 66 dijabat oleh Rdn. Atmadjadikarta, maka kajian pun di mulai pada saat beliau
menjabat. Dalam masa-masa awal pesantren berdiri, beliau adalah fasilitas untuk
berbagai akses yang berkaitan dengan pemerintahan, tentu jasa beliau besar sekali
mengingat kelembagaan pesantren mendapat pengawasan serius dari pihak
kolonial karena dianggap banyak melahirkan separatis perjuangan kemerdekaan.
KH. Kholil selain terus menjaga hubungan baik dengan Rdn.
Atmadjadikarta beliau juga mengkaderkan adiknya Bapak H. Abdul Hamid untuk
mempelajari dunia birokrasi. Setelah Rdn. Atmadjadikarta lengser, maka H.
Abdul Hamid naik menggantikan beliau. Hal ini menunjukan bahwa KH. Kholil
mempunyai kesadaran penuh bahwa berdiri dan eksisnya sebuah pesantren
membutuhkan penyangga-penyangga lain seperti ekonomi dan birokrasi. Masa
kepemimpinan bapak H. Abdul Hamid adalah masa yang dianggap oleh
masyarakat sebagai masa keemasan dimana pemerintah sebagai pelayan
masyarakat dan kebersamaan masyarakat benar-benar terasa. 13
Ada yang menarik dalam pergantian kepala desa Cileunyi wetan setelah
masa Rdn. Ahmad Djakarta. Seperti dapat kita lihat di atas, kepala desa selalu
datang dari dua kampung, yaitu kampung Panyawungan dan kampung Al-Jawami
─hingga telah menjadi mitos di masyarakat─. Dari kampung Al-Jawami kepala
desa selalu dating dari keluarga pesantren. Sedangkan untuk kampung
Panyawungan setelah . H. Abdul Hamid tidak ada lagi keluarga pesantren yang
menjadi kepala desa. Kepala desa justru selalu datang dari Bani Afandi yang
merupakan pendukung pesantren. Namun itu pun tidak terlepas dari peran dan
dukungan pesantren.
13
Wawancara pribadi dengan H.E. Djaenudin , Bandung , 03 Maret 2010 67 Dulu ketika ingin menaikan H. E. Djaenudin menjadi KADES, saya
dan kawan lain dari keluarga pesantren menjadi garda depan.
Dulu peran pesantren tidak hanya berada pada tata-taran simbo
atau dukungan,l tapi juga aksi. Bahkan kami rela menginap di
kecamatan selama berhari-hari … 14
Hal ini juga menunjukan bahwa pesantren memiliki empat media yang
dikemukakan Parson yaitu komitmen, kekuatan, pemanfaatan, dan pengaruh
dalam berinteraksi sehingga memberikan timbal-balik baik kedalam maupun
keluar pesantren.
B. KONDISI GEORAFIS DAN DEMOGRAFI KAMPUNG
PANYAWUNGAN
B.1. Sejarah Kampung Panyawungan
Ada dua versi yang beredar di masyarakat tentang penamaan kampung
Panyawungan. Versi pertama menyebutkan, penamaan “panyawungan” ini berasal
dari kata “panyambungan” yang artinya arena adu. Menurut masyarakat sekitar,
dahulu kampung tersebut merupakan tegal arena sabung ayam dan adu domba.
Namun berkat penyebaran ilmu agama oleh KH. Kholil, segala bentuk
kemaksiatan di kampung tersebut dapat diberantas. Oleh karena itu kemudian
masyarakat menamakan kampung tersebut dengan nama “panyawungan”.
Sedang versi kedua menyatakan, nama “panyawungan” di ambil dari kata
“panyaung” yang artinya tempat berteduh. Konon menurut masyarakat sekitar,
dahulu pernah ada penyebar Islam sekelas wali yang membuat gubuk untuk
berteduh di ujung barat kampung.
14
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. Dudung, mantan sekretaris pesantren, Bandung,
tanggal 01 Mei 2010 (sudah melalui proses transkrip) 68 Meskipun ada dua versi yang beredar, namun di masyarakat lebih populer
dengan versi yang pertama. Selain dari kedekatan bunyi, hal itu juga diperkuat
oleh data yang menytakan, bahwa sebelum dinamakan “Panyawungan”, telah ada
nama terdahulu yaitu “Tarik Kolot” kemudian menjadi “Lembur Panjang” sampai
akhirnya menjadi “Panyawungan” . 15
Gambar 3 : Peta Desa Cileunyi Wetan
15
Wawancara bersama beberapa tokoh masyarakat di rumah ustadz Dede Abdul Kholik,
Bandung , tanggal 03 Maret 2010 69 B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat
Kampung Panyawungan merupakan bagian administratif Desa Cileunyi
Wetan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung – Propinsi Jawa Barat. Atau
berada pada titik 6° 57’0.92” LS dan 107° 44’ 8.51”BT. Ketinggian kampung
Panyawungan berada pada 663 meter dpal. Kampung Panyawungan terletak di
bagian selatan desa dan masuk wilayah dusun satu bersama kampung Jajaway,
kampung Kara, kampung Bojong Malati, kampung Sindang Wargi, dan Perum
Abdi Negara. Letaknya sekitar 2 km dari pintu tol Cileunyi yang merupakan jalur
penting dalam perhubungan karena menjadi persimpangan arah Jakarta, Bandung,
Garut, dan Cirebon. Kampung Panyawungan memiliki luas wilayah ± 98 Ha, dan
terdiri dari 9 RT. Batas administratif di sebelah utara kampung Andir, di sebelah
timur berbatasan dengan Perumahan Abdi Negara, di sebelah barat berbatasan
dengan kampung Galumpit, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kampung
Kara. 16
16
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. Iin Zainal Abidin, Bandung ,18 April 2010 70 Gambar 4: Lokasi Kampung Panyawungan (dengan tanda merah) Dari
Google Maps
Jumlah penduduk kampung Panyawungan sebanyak 1820 jiwa yang terdiri
dari 521 KK. Sedangkan jumlah Keluarga Miskin (Gakin) 200 KK dengan
persentase 38,38% dari jumlah keluarga yang ada. 17
Secara ekologis kampung Panyawungan merupakan daerah pesawahan
yang landai. Gunung Manglayang di sebelah utara kampung menjadi sumber
pengairan pesawahan dan kolam di kampung tersebut.
Pembukaan jalur tol Cileunyi memudahkan akses perhubungan lintas
kabupaten dan propinsi. Pembukaan jalur ini pula yang mengawali pembangunan
industri di daerah panyawungan. Daerahnya yang landai dan ketersedian tanah
pesawahan yang mudah untuk dirubah menjadi kapling, menjadikan kampung ini
pilihan tepat untuk mendirikan bangunan besar semacam industri.
Seperti dapat kita lihat pada gambar, kampung Panyawungan ditunjukan
oleh angka tiga. Dalam gambar di atas, kampung Panyawungan menjadi sentral
relokasi industri besar. Pembangunan industri di kampung tersebut hampir
memakan seluruh areal pesawahan dan bahkan ada industri ─sedang dalam
proses─ didirikan di tengah padat penduduk. Kini tercatat ada 13 industri yang
berdiri di atas tanah kampung tersebut.
1. PT. Catur Kartika Jaya, bergerak di bidang textile;
2. PUSLITBANG Pemukiman, institusi pemerintah yang bergerak dalam
konstruksi.
17
Buku Cacah Jiwa Kampung Panyawungan 2008-2009 71 3. PT. Shinko Toyobo Gistex, bergerak di bidang textile;
4. PT. Agro, bergerak di bidang agronomi;
5. PT. Gistex, bergerak di bidang textile;
6. PT. Derma International, bergerak di bidang textile;
7. PT. Dutalfa, bergerak di bidang pengolahan plastik;
8. PT. Polyfilatex, bergerak di bidang textile;
9. PT. Ikafood, bergerak di bidang konsumsi pangan;
10. PT. Sayap Mas Utama, gudang produk Wings;
11. CV. Sariwangi, bergerak di bidang pangan;
12. Unilever, gudang distribusi; dan
13. PT. GAS, bergerak di bidang agronomi (tahap pembangunan).
Dengan banyaknya pembangunan industri di kampung tersebut tentu saja
berdampak pada tingkat urbanisasi. Tingkat urbanisasi di wilayah kampung
Panyawungan juga dipengruhi oleh jaraknya yang dekat ± 4 km dengan kota
pendidikan Jatinangor Kabupaten Sumedang yang telah bermetamorfosis menjadi
kota modern dengan segala infrastruktur publik yang memadai.
Tabel.1
Daftar Nama Pemilik Kontrakan Di Kampung Panyawungan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Nama Pemilik
Ny. Eneng
Bapak Iin
Bapak Aton
Bapak Ending
Ibu Dedeh
Bapak Herman
Hj. Onah
Hj. Sobroh
Hj. Edod
Bapak Didin
Bapak Ending
Lokasi RT
Jumlah Pintu
01
01
01
01
01
02
02
02
02
03
03
5 Pintu
7 Pintu
25 Pintu
15 Pintu
3 Pintu
5 Pintu
3 Pintu
20 Pintu
3 Pintu
5 Pintu
6 Pintu
72 12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Bapak Nasihin
Bapak Ubed
H. Dadan
Ibu Nyai
Bapak Useng
Bapak Ayi
Bapak Saprudin
Bapak Sobur
H. Aceng
H. Oping
Bapak Darmin
04
04
04
04
05
05
06
07
07
08
08
3 Pintu
6 Pintu
5 Pintu
5 Pintu
4 Pintu
3 Pintu
5 Pintu
4 Pintu
7 Pintu
20 Pintu
9 Pintu
Secara infrastruktur kampung Panyawungan dapat disejajarkan dengan
kampung atau perumahan yang telah maju. Infrastruktur publik yang ada di
kampung ini antara lain:
Poliklinik
: 1 Buah
Futsal
: 1 Buah
Posyandu
: 1 Buah
Warnet : 3 Buah
TK
: 1 Buah
Wisma
SD
: 1 Buah
Yayasan : 3 Buah
SLTP
: 1 Buah
LBH
: 1 Buah
: 1 Buah
B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk
Meskipun di kampung Panyawungan banyak berdiri industri, namun
ternyata tidak lebih dari 10 % saja penduduk yang bekerja sebagai buruh industri.
Mayoritas penduduk bekerja sebagai pedangang 30%, petani 30%, buruh kasar
20%, PNS 5% dan sebagaian kecil berprofesi sebagai tukang ojek, penjahit, dan
professional. Ironis lagi, kampung Panyawungan mempunyai angkapengangguran
yang tinggi yaitu 131 orang di hitung dari jumlah penduduk usia produktif. 18
18
Buku Cacah Jiwa Kampung Panyawungan 2008-2009 73 Kehidupan ekonomi penduduk kampung Panyawungan bisa dikategorikan
sebagai penduduk dengan kemampuan ekonomi lemah. Selain jumlah keluarga
miskin di sebutkan di atas, hal ini diperkuat oleh data Prilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) yang mengacu pada kemampuan konsumsi penduduk, Banyak
penduduk yang tidak sanggup memenuhi konsumsi sayur dan buah. Namun
begitu, menurut pengamatan penulis sebagian kecil penduduk mempunyai
kekayaan di atas rata-rata di lihat dari kemampuan membangun rumah yang
tergolong megah dan akumulasi harta kekayaan yang dimiliki.
Terbatasnya penduduk setempat yang menjadi buruh pabrik, selain
disebabkan oleh tingginya tingkat urbanisasi, juga disebakan oleh rendahnya
tingkat pendidikan penduduk sehingga tidak mempunyai kualifikasi untuk masuk
industri. Meski demikian, hal menggembirakan adalah semakin meningkatnya
pendidikan penduduk. Jika pada data cacah jiwa 2004 didominasi oleh lulusan
SD, pada cacah jiwa tahun 2008 sudah didominasi oleh SLTP.
Tabel. 2
Tipologi Pendidikan Pendidik
Jenjang Pendidikan
Jumlah Orang
1. SD
26,1%
2. SLTP
50,5%
3. SLTA
17,7%
4. D3
1,6%
5. S1
3,8%
Kondisi kesenjangan antara penduduk lokal dan pendatang seringkali
menjadi pemicu hubungan disharmonis antara penduduk asli, pendatang, dan
74 pelaku industri. Fakta tentang hal tersebut, misalnya demontrasi terhadap PT.
Shinko Toyobo Gistex (1997) yang dilatarbelakangi oleh kecemburuan
masyarakat sekitar terhadap pendatang yang lebih banyak mendominasi lapangan
pekerjaan, kesurupan masal yang terjadi di PT. Derma Internasional dan PT.
Gistek (2003) bisa jadi merupakan bentuk provokasi masyarakat yang mempunyai
stigma negatif terhadap industri, terakhir konflik antara penduduk kampung
Panyawungan dan penduduk Bumi Cipacing Permai (2006) dilatarbelakangi oleh
perebutan lahan industri. 19
B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk
Setelah sekitar dua kilometer dari gerbang tol Cileunyi menyusuri industriindustri yang berjejer di kiri-kanan jalan menuju kampung Panyawungan, barulah
kita dapat melihat perkampungan besar dengan penduduk yang sangat padat.
Suasana perkampungan atau komunitas muslim lebih terasa kental di waktu
menjelang senja. Tua-muda; laki-laki dengan sarung dan kopiah, sementara
perempuan dengan rok dan jilbabnya. Setelah adzan maghrib pengajian kecil
(langgar di Jawa) dipenuhi dengan muda dan mudi. Suara talaran dari salah satu
kitab Nahwu nyaring terdengar dari puluhan santri di masjid Jami’ yang terletak di
kompleks pesantren.
Meskipun di kampung Panyawungan terdapat Pondok Pesantren, namun
pengajian langgar terdapat di setiap Rukun Tetangga (RT). Selain mengajar anakanak dan remaja, sebagian langgar juga menyelenggarakan pengajian rutin
19
Wawancara pribadi dengan bapak Drs. Iin Zainal Abidin, Bandung, 18 April 2010 75 mingguan buat para orang tua seperti “seninan” di langgar ustadz. Aceng dan
“kemisan” di langgar ustadz Uki.
Uniknya lagi di kampung ini terdapat kekerabatan yang kuat antara kyai
langgar dan kyai pondok (diagram 2 dan 3). Ini tentu sebuah hal yang
menguntungkan dalam membina umat.
Tabel. 3
Daftar Langgar
Langgar Pimpinan
RT
Pengajian Rutin
1. KH. Uun Fanhur
01
“Seninan” (khusus ibu-ibu)
2. Ustadz. Aceng
02
“Juamatan” (pengajian umum)
3. Ustadz. Apep
04
“kemisan” (Karang Taruna)
4. Ustadz. Ma’mun
05
5. Ustadz. Aseng
06
6. Ustadz. Uki
07
─
7. Ustadz. Adin
07
─
8. Ustadz. Dede
08
─
9. KH. Ukho
09
─
─
“kemisan” (khusus bapak-bapak)
10. Ustadz. Endang
Meskipun
arus
industrialisasi
dan
pembangunan
sektor
modern
membayangi perjalanan kampung ini, namun bagi masyarakat kampung
Panyawungan agama tidak saja merupakan ranah personal sesorang, masyarakat
juga mengangkat kegamaaan ke dalam ranah publik. Adanya kepanitian seperti
76 Panitia Hari Besar Islam (PHBI) adalah salah satu contohnya, bahkan beberapa
tahun silam pernah terjadi pengusiran warga non-muslim yang tinggal di kampung
ini.
76 BAB IV
PERUBAHAN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG
PANYAWUGAN
A. Artikulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi
Jika mengaitkan keberadaan Pesanten Nahdujussalam dengan pendirinya
yaitu KH. Kholil, maka keberadaannya di kampung Panyawungan merupakan
pendatang. Mula-mula KH. Kholil hanya berinteraksi dengan para santrinya dan
sebagian kecil masyarakat. Namun interaksinya dengan masyarakat yang terjalin
baik dan mampu menjaring para tokoh masyarakat yang berpengaruh seperti KH.
Syarif dan KH. Afandi menjadikan KH. Kholil sebagai tokoh kharismatik di
wilayah Cileunyi.
Kemudian setelah jejaring lokal kuat, KH. Kholil juga mampu
memperluas jaringannya dengan pihak pesantren luar. Hal ini tentu saja sangat
menguntungkan bagi eksistensi pesantren. Peralihan dari pemimpin pondok
menjadi pemimpin sosial baru terlihat pada saat kepemimpinan KH. Dzajuli
dimana keturunan KH. Kholil mempunyai peranan sosial yang sangat besar di
masyarakat. Bahkan seperti disinggung di atas, pada saat ini lah pesantren
mempunyai pola kyai delegasi.
Besarnya peran sosial yang dimiliki oleh keturunan KH. Kholil,
menjadikan para praktisi politik tertarik untuk menjalin hubungan dengan
pesantren. Ini dibuktikan oleh penghargaan yang diberikan oleh Masyumi kepada
KH. Dzajuli pada tahun 1960. Tentu itu dilalakukan dengan kesadaran bahwa
ulama adalah sosok yang mampu memobilisasi massa. Persentuhan pesantren dan
77 politik beerlanjut denngan aktifnnya KH. Syambas
S
dii Masyumi. Di sini peran
p
pesantren mempunyaai peran gaanda, yaitu sebagai peemimpin sosial dan seebagai
pemimpinn kelompok..
Gam
mbar 5.
KH. Athhoillah dan Bapak
B
Dediing Ishak (C
Calon Bupatti Bandung))
Beertolak belaakang denggan pandang
gan Kuntow
wijoyo yanng menyebu
utkan,
ketika ulaama masuk dalam poliitik, maka ia
i akan meengalami peenyusutan peran,
p
dari pemim
mpin sosial ke pemimppin kelompo
ok. Hal itu tidak
t
berlakku bagi Pesaantren
Nahdjussaalam. Meskki KH. Syyambas aktiif di Masyyumi, namuun beliau dapat
memisahkkan peran sosial
s
keagaamaan deng
gan peran politik. Haal itu dibuk
ktikan
dengan keeaktifan beeliau mengaajar di majjelis-majeliss ta’lim kaampung Jajjaway
yang mayyoritas pennduduknya merupakaan simpatissan PKI. 1 Hal itu dapat
dimengertti pula denggan posisi kyai
k
dalam partai
p
yang banyak meenempati seebagai
posisi peenasihat (pposisi yanng gamang
g untuk tidak
t
mennyebutkan tidak
berpengarruh).
1
Lih, Kuntowijooyo, Muslim Tanpa
T
Mesjid, h. 37
78 Persentuhan pesantren dengan politik terus berlangsung. Ketika pada tahun
1960 keluar Kepres No. 200/1960 tentang pembekuan Masyumi, dan orang-orang
Masyumi mendirikan Parmusi, KH. Syambas pun masuk ke dalam partai baru
tersebut. 2 Kemudian ketika pada tahun 1973 pemerintah menyempitkan partai
kedalam tiga wadah, dan PPP adalah wadah yang berunsurkan Islam, maka KH.
Syambas dan KH. Athoillah pun ikut bergelut di dalamnya.
Persentuhan pesantren dengan politik mengalami penurunan setelah Era
Reformasi. KH. Athoillah melepaskan dirinya dari segala urusan kepartaian. Ini
berpengaruh besar pada warna perpolitikan masyarakat kampung Panyawungan.
Namun begitu, pada pemilu 1999, PPP masih mendominasi suara pemilih. Tetapi
sudah mulai muncul warna lain dalam memilih meskipun masih dalam warna
partai bernuansa Islam seperti PAN, PBB, dan PKB. 3
Lamanya persentuhan pesantren dengan politik ─terutama dengan PPP─
mengakibatkan melekatnya citra bahwa Pesantren Nahdjussalam tetap merupakan
simpatisan partai berlogo Ka’bah. Hingga pada pemilu 2004 pesantren menjadi
pendukung utama Hj. Adjeng Ratna Suminar M. Sc calon anggota DPR yang
diusung oleh PPP. Namun meski pesantren menjadi pendukung utama
pensuksesan calon disebut, KH. Athoillah tidak turut aktif dalam usaha
pendulangan suara. Yang banyak berperan aktif dalam pendualangan suara adalah
keponakan beliau yaitu ustadz Tubagus Nihayatujen dan bapak Ateng. 4
2
Ibid, h. 53
Wawancara dengan bapak Iin yang saat itu menjabat sebagai ketua TPS kampung
Panyawungan
4
Pada saat euporia Pemilu 2004, penulis berada dilingkungan pesantren dan berstatus
sebagai santri
3
79 Dukungan pesantren terhadap calon perempuan menuai pro dan kontra di
masyarakat. Ini dapat dimengerti karena pesantren mempunyai pandangan sendiri
mengenai kepemimpinan perempuan. Namun begitu, dengan segala aktifitas
pendulangan suara yang dilakukan oleh ustadz Tubagus Nihayatujen dan bapak
Ateng dengan menyandarkan diri pada pesantren, Hj. Adjeng Ratna Suminar M.
Sc mendapat suara mutlak di kampung Panyawungan. 5
Pada pemilu 2009, Pesantren Nahdjussalam hanya mendudukan posisinya
sebagai pemilih. Pesantren tidak lagi berpihak pada satu partai dan satu calon pun.
Padahal banyak calon yang berusaha mendekati pesantren untuk memanfaatkan
kekuatan yang dimilikinya dalam rangka memobilisasi massa.
…Politik kiwari geus jauh beda jeung politik 30 taun ka tukang. Matak
aringgis mun nenjo politik kiwari. Geus ayeuna mah urang balik deui kana
guna urang sebagai pesantren. 6
(…Politik sekarang sudah berbeda dengan politik 30 tahun yang lalu.
Melihat politik sekarang membuat kita takut. Sudahlah, orang pesantren
kembali pada jalur pesantren sebagimana mestinya).
Pengunduran pesantren dari dunia perpolitikan juga didasari oleh
kesadaran bahwa masyarakat telah dewasa dalam menentukan pilihanya dengan
adanya dukungan sarana informasi abad sekarang yang tidak ada pada jaman
dahulu. Seperti tergambar dalam kutipan di bawah ini.
Masyarakat ayeuna geus beda jeung masyarakat baheula. Radio, TV,
koran, jeung sajabana geus mere kanyaho kana politik. 7
(Masyarakat sekarang sudah berbeda dengan masa lalu. Radio, TV, koran,
dan lain-lain sudah member informasi tentang politik).
5
Wawancara dengan bapak. Iin yang saat itu menjabat sebagai ketua TPS kampung
Panyawungan, Bandung 02 Mei 2010
6
Petikan tausiah KH. Athoillah pada acara selamatan kelahiran cucu beliau, Bandung 04
Mei 2009
7
Wawancara dengan KH. Athoillah 15 April 2010
80 Vacumnya pesantren dari perpolitikan bukan saja berpengaruh pada
variasi masyarakat dalam memilih, tetapi juga memunculkan aktor-aktor politik di
luar pesantren, seperti kemunculan ustadz Dede Abdul Kholik dan bapak Iwan M.
Fallah. Perpolitikan kampung Panyawungan tidak lagi seragam. Hal ini
dibuktikan oleh hasil perolehan suara dimana partai-partai bernuansa Islam harus
membagi suara dengan partai-partai berhaluan lain, bahkan ada warga seperti
bapak Amas yang bergabung dengan Gerindra. 8
B. Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren:
Pemberdayaan dan Jaminan Keberlangsungan Industri.
Antara
Pondok pesantren Nahdjussalam, selalu dijadikan panutan dalam
berprilaku oleh masyarakat. Pondok ini dengan segala kekuatan yang dimilikinya
bahkan mampu meredam konflik berdarah antara penduduk kampung
Panyawungan dan Bumi Cipacing Permai pada pertengahan 2006. Kasus terbaru
adalah konflik sengketa tanah Perumahan Mutiara Cileunyi yang melibatakan
tindakan pengerahan massa hingga berujung pada konflik antara masyarakat
kampung Panyawungan dan kampung Galumpit. Peran pesantren dalam
mendudukan masalah tersebut justru lebih kuat daripada peran polisi dan pejabat
desa sekalipun.
Dalam kasus yang saat ini masih berlangsung, yaitu pendirian PT. Global
Agro Semesta. Pemilik perusahaan yang di mediatori oleh Yayasan Lingkar Santri
Nusantara (YALISAN) dan Yayasan Madani lebih memiih mendatangi pesantren
8
Kesulitan mendapatkan akses data akurat menyebabkan penulis hanya mengandalakan
wawancara dari para mantan ketua TPS yang ada di kampung Panyawungan. Wawancara
dilakuakan dengan bapak. Iin, ustadz Cecep, dan bapak. Dudung, Bandung, 01-02 Mei 2010.
81 dalam berkonsultasi pendirian pabriknya yang berlokasi di tengah padat penduduk
dan tepat di muka gerbang pesantren (lihat h. 92).
Besarnya pengaruh pesantren tersebut menjadikan pihak industri selalu
menjalin hubungan baik dengan pihak pesantren. Selain dari bantuan yang
sifatnya pembangunan, industri juga memberi beberapa keistimewaan yang
diberikan pada pesantren. Bagi pihak industri tentu hal itu dilakukan sebagai
jaminan sosial untuk keberlangsungan produksi mereka.
Beberapa keistimewaan yang diberikan pihak industri terhadap pesantren
di antaranya: kewenangan untuk mengelola limbah textile dari PT. STG dan PT.
Poliyfilatex. Penyedia bahan baku bagi PT. Ika Food dan PT. Global Agro
Semesta. Namun tidak semua usaha tersebut dapat dikelola dengan baik oleh
pesantren. Saat ini hanya pengelolaan limbah dari PT. STG saja yang masih
berjalan. Banyaknya fasilitas yang diberikan terhadap pesantren berupa hak usaha
tersebut berdampak ke dalam maupun ke luar pesantren.
Dampak positif yang dirasakan oleh pesantren terbukanya sumber
keuangan, terbukanya lapangan pekerjaan, peningkatan kesejahteraan keluarga
pesantren dan pemasukan kas pesantren. Namun selain dampak positif
sebagaimana disebut, usaha komunal yang dijalani oleh keluarga pesantren ini
juga berdampak pada perpecahan keluarga pesantren akibat adanya ketimpangan
ekonomi antara keluarga. Selain itu juga banyak kyai-kyai pondok yang terjebak
82 dalam rutinitas bisnis yang tidak jarang meninggalkan tugasnya sebagai tenaga
pengajar di pondok. 9
Kesemberawutan manajemen pondok yang belum siap dalam mengelola
usaha, menjadikan usaha yang sifatnya komunal ini telah beberapakali berganti
pimpinan, namun dalam perjalannnya tidak ada satu pimpinan pun yang berhasil
membawa usaha ini pada kemajuan.
Gambar 6.
Aktivitas Di Penyortiran Limbah
Sedangkan dampak yang dirasakan dari luar adalah adanya sentimen dari
sebagian masyarakat yang menganggap pesantren memonopoli sumber daya yang
seharusnya dikelola oleh masyarakat. Sentimen masyarakat semacam itu bahkan
pernah membuat jalinan pesantren dan masyarakat kurang harmonis.
Beberapa pertemuan yang membahas tentang hak pengolahan limbah
industri berhasil memisahkan antara masyarakat yang pro terhadap pesantren dan
9
Menurut hasil observasi, penulis melihat ada pem-blok-an antara keluarga pesantren
yaitu blok utara yang merupakan keturunan Hj. Khotimah dan blok selatan yang merupakan
keturunan dari KH. Athoillah dan KH. E. Najmudin. Sedangkan sisanya bersifat netral.
83 masyarakat yang pro terhadap Karang Taruna yang pada waktu itu dipimpin oleh
bapak Ade Zakaria. Kondisi masyarakat yang terpecah hampir saja membuat
marah para preman yang mendukung pesantren, kemarahan para preman tersebut
dapat diredam oleh musyawarah keluarga pesantren yang dilaksanakan pada
tanggal 21 Januari yang bertempat di komplek pesantren. 10
Akhirnya pada pertemuan yang mempertemukan antara pesantren dan
Karang Taruna yang yang dilaksanakan pada tanggal 6 Februari 2005 di rumah
bapak Emuh, pesantren melepaskan hak pengelolaan limbah PT. Polyfilatex
kepada masyarakat.
C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa
Bagi penduduk desa, jabatan kepala desa merupakan jabatan terhormat,
memiliki banyak kekuasaan, dan dapat mendatangkan kekayaan. Itu mengapa
jabatan ini selalu menarik untuk diperebutkan oleh para elit dan para
pendukungnya yang ingin mendapatkan keuntungan tertentu dari calon yang
dijagokannya kelak jika menang.
Peran pemimpin sosial pesantren yang besar seperti disinggung di atas,
dengan sendirinya mempunyai kekuatan untuk konsensus penduduk seperti dalam
momentum pemilihan kepala desa. Hal itu dibuktikan oleh para kepala desa paska
Raden Atmajadikarta yang datang dari elit pesantren al-Jawami dan elit
Panyawungan yang mempunyai hubungan kekerabatan dan emosional dengan
pesantren Nahdjussalam.
10
Selain pada waktu itu penulis mengikuti sendiri pertemuan tersebut, data juga didapat
dari wawancara dengan ustadz. Cecep yang pada saat itu merupakan Ketua KOPONTREN
Nahdjussalam
84 Sulit diketahui penyebabnya, entah itu semacam bargaining politik atau
semata hanya untuk menjaga keharmonisan antara pesantren al-Jawami dan
pesantren Nahdjussalam, setiap kali Panyawungan mempunyai calon, maka alJawami tidak memiliki calon, begitu pula sebaliknya. 11
Namun dalam kancah perebutan kepala desa, ternyata ada unsur lain yang
mampu memobilisasi massa di luar pesantren. unsur tersebut tidak lain adalah
modal yang harus dikeluarkan oleh calon kepala desa untuk membiayai masa
kampanye. Modal yang yang harus dikeluarkan dalam kampanye angkanya
mencapai puluhan juta rupiah. 12
Masuknya peran modal dalam pemilihan kepala desa, menjadikan siapa
saja calon yang ingin menang untuk mendekati baik individu maupun intitusi
untuk mendukungnya atau setidaknya tidak memberikan modal pada lawan
politiknya.
Semenjak pembangunan industri di wilayah Panyawungan pada tahun
1984-an, industri sebagai institusi yang memiliki modal dan kepentingan masuk
mewarnai politik desa. Masuknya industri dalam perpolitikan desa memang
mudah dimengerti menimbang banyak kepentingan industri yang harus melewati
kewenangan kepala desa. 13
11
Sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat Desa Cileunyi Wetan
Wawancara dengan bapak Iwan M. Fallah (mantan Kades 2002-2007),
Ia
menghabiskan dana sampai 40 jt Rupiah untuk kelancaran kampanyenya.
13
Kepala desa banyak menikmati aset yang ada di daeranhya, seperti carik yaitu bagian
keuntungan dari hasil jual-beli tanah, jual beli ternak besar, besarnya persentase tergantung dari
kesepakatan masyarakat sebelum pemilihan diadakan. Sedangkan untuk pemungutan pajak,
pemerintah desa mendapatkan insentif sebesar 2,5% dari jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan
dari penduduknya. Itu hanya yang diketahuinya saja, belum lagi hal-hal seperti perijinan-perijinan,
terutama perijinan usaha. (Iwan M. Fallah).
12
85 Pengaruh modal tersebut terbukti pada pemilihan kepala desa tahun 2002
dimana bapak Iwan Miftahul Fallah menang tipis dari pesaing terdekatnya yaitu
H. Martin yang dikabarkan dekat dengan pihak Industri. Walau tidak ada data
yang dapat ditelusuri namun menurut ingatan bapak Iwan, ia hanya lebih 31 suara
dari lawannya. 14
Industri yang menyebabkan urbanisasi juga berperan dalam pemecahan
suara mengingat banyaknya pendatang yang mempunyai hak untuk memilih.
Perilaku dan orientasi pendatang tentu berbeda dengan penduduk asli yang masih
terikat seperti oleh rasa primordial, adat-istiadat, dan pemakaian terhadap
pesantren sebagai pemimpin sosial. Bagi mereka, pemimpin dipilih berdasarkan
kualitas individu yang bersifat sporadis dan bukan lagi berdasar pada geneologis
dan segmental. 15
Industri juga mempengaruhi perjalanan roda pemerintahan desa. Masih
menurut bapak Iwan, aparatur pemerintah desa tidak bisa bertindak apa-apa ketika
masyarakat mengeluhkan limbah industri yang mencemari perairan dan
lingkungan masyarakat.
Jika kita menekan industri dan mengadukannya secara hukum, maka siapa
yang akan menanggung akibatnya. Siapa yang akan bertanggung jawab
dengan pengangguran. Sedang untuk STG saja terserap lebih dari 5000
tenaga kerja. 16
Bukan itu saja, ketika masyarakat mengeluhkan jalanan desa yang rusak
akibat lalu-lalangnya mobil berat industri. Pihak industri melimpahkan
14
Wawancara dengan bapak Iwan Miftahul Fallah, Bandung 03 Maret 2010
Menurut bapak Iwan, pecahnya suara beliau di Kp. Panyawungan dan Perum Abdi
Negara kemungkinan berasal dari suara pendatang yang displit oleh peran bapak Ending yang
merupakan makelar tanah dan tangan kanan H. Martin
16
Wawancara dengan Karang Taruna, Bandung 05 Juni 2010
15
86 permasalahannya tersebut pada pemerintah desa dengan dalih mereka membayar
pajak yang sangat besar. Dan desa tidak mampu berbuat apa-apa untuk
memperbaiki jalanannya sendiri. 17
D. ARENA KERJA SAMA DAN KONFLIK YANG SEDANG TERJADI
DI MASYARAKAT KP. PANYAWUNGAN
D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan Antar
Elit yang Sudah Mapan
Berangkat dari analisis terhadap latar belakang geneologis para anggota
Komite Pembentukan Cileunyi Kidul, hampir seluruh elit anggota berasal dari
keturunan KH. Afandi dan elit lain yang mempunyai kekerabatan dengan rumpun
KH. Afandi. Dalam perjalananya, selain menjadi orang-orang kaya di kampung
Panyawungan, keluarga besar KH. Afandi juga lama terlibat dan berkecimbung
dalam persaingan memperebutkan posisi dan kekuatan politik desa. Yang menarik
di Desa Cileunyi Wetan.
Banyaknya keturunan KH. Afandi yang menjadi elit baik di tingkat RW,
desa, dan kabupaten; dapat dipastikan dalam keluarga KH. Afandi melekat unsurunsur kuat yang mempengaruhi politik. Unsur-unsur kuat yang melekat pada
keluarga KH. Afandi yang penulis temukan di antaranya unsur kekuasaan, status
sosial, dan kekayaan. Sedang untuk kekuatan simbolis, para elit dari rumpun KH.
Afandi menyandarkan dirinya pada pondok pesantren. Kuatnya hubungan
emosional antara rumpun KH. Afandi dan pesantren selain terjalin dari hubungan
kekerabatan dan donatur, juga terbangun dari timbal-balik hubungan sosial antar
keduanya.
17
Walau tidak ada bukti kuat, tulisan itu penulis ambil dari pernyataan bapak Iin yang
menuduh aparatur desa banyak memakan uang cincai dari industri hingga tidak mampu berbuat
apa-apa. 87 Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul pertama kali digagas pada
pertengahan 2009 oleh beberapa tokoh masyarakat kampung Panyawungan, di
antaranya: Drs. Iin Zainal Abidin (ketua RW. 03 kampung Panyawungan), Iwan
Miftahul Fallah S. sos (mantan Kepala Desa), dan Dede Abdul Kholik (ketua
Karang Taruna dan ketua Yayasan Lingkar Santri Nusantara).
Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul dilatarbelakangi oleh luasnya
wilayah administratif Desa Cileunyi Wetan. Menurut bapak Iin, jika merujuk pada
luas wilayah dan jumlah kepadatan penduduk, maka sudah sepantasnya Desa
Cileunyi Wetan diadakan pemekaran.
Pemekaran Desa Cileunyi Kidul ini sudah sepantasnya dilakukan. Jika
melihat pada sejarah pemekaran Desa Cileunyi yang terbagi menjadi
Desa Cileunyi Wetan dan Desa Cileunyi Kulon pada tahun 1978,
pemekaran menjadi Desa Cileunyi Kidul lebih pantas melihat dari luas
wilayah, jumlah penduduk, dan kemandirian peduduk 18
Namun
selain
alasan
di
atas,
ternyata
ada
alasan
lain
yang
melatarbelakangi Pembentukan Komite Desa Cileunyi Kidul. Seperti dalam
kutipan di bawah ini.
Aset terbesar untuk pemasukan Desa Cileunyi Wetan didapat dari
wilayah Kp. Panyawungan dengan adanya industri-industri yang berdiri
di wilayah kita. Sedang apa yang kita terima, jalanan desa yang rusak
menuju daerah kita akibat mobil-mobil berat industri. Desa tidak berani
mendesak pihak industri. Ini dapat dimengerti menimbang besarnya
pemasukan yang mereka terima dari pihak industri. Bayangkan jika kita
bisa menerima Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang jumlahnya
mencapai ratusan juta yang diterima oleh Yayasan Saepul Ulum (elit alJawami), padahal seyogyanya itu merupakan hak kita yang merasakan
langsung pahit-manisnya industri. 19
18
Kutipan dari bapak Iin pada sebuah dialog dengan bapak Ruly (Keua RW. 23 Perum
Abdi Negara), Bandung, 19 Desember 2009, sebagaimana dituturkan oleh bapak Deni sekertaris
Karang Taruna
19
Kutipan wawancara mendalam dengan ustadz Dede Abdul Kholik, Bandung, 20 Mei
2010
88 Para penggagas disebut di atas, terus menyebarkan gagasannya kepada
para tokoh masyarakat di lingkungan kampung Panyawungan. Setelah gagasannya
mendapatkan respon positif dari masyarakat kampung Panyawungan, barulah
mereka menyebarkan gagasan ke wilayah sekitar yang direncanakan masuk dalam
wilayah Desa Cileunyi Kidul. Adapun wilayah yang direncanakan adalah sebagai
berikut:
•
RW. 01 kampung Jajaway;
•
RW. 02 kampung Kara;
•
RW. 03 kampung Panyawungan;
•
RW. 04 kampung Pasir Tukul;
•
RW. 16 kampung Andir;
•
RW. 17 kampung Bojong Malati;
•
RW. 18 kampung Sindang Wargi; dan
•
RW. 23 PERUM Abdi Negara.
Gagasan tersebut cepat menyebar setelah mendapatkan respon positif dari
Karang Taruna dan pesantren. Karang Taruna mempunyai peranan untuk persuasi
masyarakat bawah, sedang untuk persuasi masyarakat atas serta industri,
merupakan tugas para penggagas yang memang mempunyai jejaring luas.
Bargaining dengan industri menempati posisi yang sangat penting menimbang
posisinya yang sanggup memberi pengaruh dalam permasalahan dana. 20
20
wawancara mendalam dengan ustadz Dede Abdul Kholik, Bandung, 20 Mei 2010
89 Setelah melakukan persuasi yang cukup panjang akhirnya gagasan tersebut
berbentuk menjadi komite setelah pertemuan di rumah bapak Ruly pada tanggal
20 Desember 2009 dengan pembentukan struktur sebagai berikut:
Diagram 7.
Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul
Pe na siha t
K H. Uun fa nhur
K e tua
Drs. Iin Z . Abidin
Se kre ta ris
Bpk. Ruly
D e de A . Kholik
wa kil
Iwa n M . Fa lla h
Hum as
Bpk. Om an
Bpk. Aw o
Anggota
Bpk. Sobirin
Bpk. D e de
Bpk. Am a d
D e rin
Bpk. A m a s
kembali pada landasan analisis yang telah disinggung di atas, hubungan
kekerabatan yang terlihat dalam struktur di atas dapat ditelusuri dalam diagram di
bawah ini.
90 Diagram 8.
Hubungan Kekerabatan Elit Komite Cileunyi Kidul
Ket:
1. KH. Kholil
2. Bpk. H. Abdul Hamid (mantan Kades)
3. KH. Athoillah
4. Bpk. Oman, Prn.
5. KH. Afandi
6. KH. Uun Fanhur
7. Drs, Iin Zainal A. (RW)
8. Bpk. Awo (ketua Yayasan Madani)
9. Bpk. Iwan (mantan Kades)
10. Bpk. E. Djaenudin (mantan Kades)
11. Bpk. Dede (ketua YAPEMPA)
12. Ustd. Dede A. Kholik (ketua Karang Taruna)
Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul dalam perjalanannya menemui
kebuntuaan. Kebuntuan tersebut selain disebabkan oleh kebersikukuhan aparatur
Desa Cileunyi Wetan yang tidak mau melepas wilayahnya, juga disebabkan oleh
konflik internal komite yang akan dibahas di bawah ini.
D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik
Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan
Pragmatis.
Karang Taruna kampung Panyawungan yang vacum sekitar tahun 2005
sampai dengan 2008 kembali aktif pada awal tahun 2009 di bawah kepemimpinan
ustadz Dede Abdul Kholik. Walau di usianya yang masih dini, peran karang
taruna dalam pemberdayaan dan pengembangan generasi muda dapat dikatakan
berhasil . Di bawah kepemimpinan kharismatis ustadz Dede, anak muda tidak
hanya digiring ke arah berdaya cipta tetapi juga mampu digiring ke arah
91 keagamaan. Dari keberhasilannya, organisasi tersebut mendapat sambutan hangat
baik dari pihak ke-RW-an maupun dari masyarakat luas.
Banyak agenda-agenda publik yang diselesaikan dari hasil kerjasama
antara ke-RW-an dan karang taruna. Kemesraan ke-RW-an dan karang taruna
terjalin terutama pada saat bekerja untuk Komite Pembentukan Cileunyi Kidul
seperti telah disinggung di atas. Namun seiring perjalanannya, peran Karang
Taruna semakin jauh menembus pemberdayaan tenaga kerja, bargaining usaha
dan lain-lain. Kepopuleran Karang Taruna bahkan mampu melangkahi
kepupuleran ke-RW-an yang merupakan mitra masyarakat dalam bernegara.
Benih-benih konflik antara Karang Taruna dan ke-RW-an mulai tampak
ketika kasus sengketa tanah yang menimpa Perum Mutiara Cileunyi yang menjadi
bagian RT kampung Panyawungan. Ke-Rw-an bersikukuh ingin mengambil jalur
hukum untuk menggugat bapak Idris yang telah memenangkan gugatannya
terhadap pihak develover, sedangkan Karang Taruna mengajak jalur dialog
dengan bapak Idris yang sudah berkali-kali diputus menang oleh pengadilan untuk
meringankan beban debitor perumahan. Dalam permasalahan tersebut ternyata
opini dan ajakan Karang Taruna lah yang diikuti oleh masyarakat Perum Mutiara
Cileunyi (RT. 09).
Perpecahan atau konflik antar ke-RW-an dan Karang Taruna semakin
memanas ketika datangnya PT. Global Agro Semesta yang ingin mendirikan
pabrik pengembangan mikroba untuk keperluan agro bisnis. Rencananya, PT.
GAS akan mendirikan pabriknya di wilayah RT. 01 yang merupakan areal padat
92 penduduk. Lahan yang rencananya akan digunakan adalah lahan bekas pabrik
kerupuk atas hak milik Hj. Maskanah yang merupakan anak KH. Affandi.
Pada saat itu, pemilik PT. GAS yaitu bapak Roky meminta kepada Ustadz
Dede Abdul Kholik yang merupakan ketua Yayasan Lingkar Santri Nusantara dan
ketua Karang Taruna untuk mensukseskan programnya.
Kemudian ustadz Dede Abdul Kholik meminta kepada Karang Taruna dan
Yayasan Madani di bawah pimpinan Bapak Awo untuk turut serta dalam
memediatori PT. GAS dan masyarakat. Kesadaran akan pentingnya posisi
pesantren di masyarakat, maka pada tanggal 12 Februari 2010, jajaran direksi PT.
GAS yang ditemani oleh karang taruna bersilaturahmi ke pesantren. Pada saat
mereka bersilaturahmi, sesepuh pesantren yaitu KH. Athoillah sedang berada di
luar kota. Kemudian rombongan memutuskan untuk berziarah ke makam KH.
Kholil.
Entah bagaimana kebenarannya, konon pada saat berziarah kubur, bapak
Roky yang dikabarkan mu’alaf oleh masyarakat mengalami semacam ektase.
Beliau meminta kepada ustadz Dede Abdul Kholik untuk mengantarkanya ke
sebelah utara dari perkomplekan pondok yang merupakan tempat pembuangan
sampah dengan keadaan yang sangat kumuh. Ia menyayangkan keberadaan TPS
tersebut yang mengganggu keasrian infrastruktur pondok.
Esok harinya, rombongan kembali datang ke pesantren dan bertemu
dengan sesepuh pondok. Selain untuk meminta ijin mendirikan pabrik, bapak
Roky juga menawarkan banyak sekali bantuan dan kerjasama dengan pihak
pesantren. Salah-satu bantuan yang akan diberikan terhadap pesantren adalah
93 kesiapan bapak
b
Rokyy untuk mem
mbangun TPS
T segera setelah
s
banggunan pabriknya
selesai.
Deewek mah teu
t bisa nggijinan, da anu kararitumah urussan pamareentah.
Nggan lamun jaang kaalusaan mah sok dido’akeunn… 21
(saaya tidak mempunyai
m
kewenangaan untuk memberikan
m
n ijin, itu adalah
a
uruusan pemeriintah, namuun bila itu un
ntuk kebaikkan saya turrut mendoak
kan).
Perrnyataan KH.
K Athoillaah tersebut segera mennjadi kekuaatan bagi Karang
Taruna unntuk dapat mensukseska
m
an program
mnya.
Gam
mbar 7.
Bapak Roky (T
Tengah) Bersama Tokohh Ulama Seetempat
Roombongan PT. GAS dan Karaang Tarunaa serta bappak Awo yang
merupakann pimpinann yayasan Madani sekaligus
s
a
adik
kanduung bapak RW,
mendatanggi bapak Iinn untuk menngurus perijinan pembaangunan pabbrik. Namun
n lain
hal-nya dengan pesaantren, pihaak RW beserta jajarannya menolaak pembang
gunan
pabrik PT
T. GAS denngan alasan pabrik terssebut berdirri di atas liingkungan padat
penduduk serta berdeekatan dengan pesantren.
21
U
Ucapan
KH. Athoillah
A
yang dikutip oleh
h ustadz Dedee pada sebuahh pertemuan Karang
K
Taruna dan keluarga pesaantren. Observvasi di Bumi Seuweu
S
Putu, Bandung 02 M
Mei 2010
94 Beberapa kali Karang Taruna dan yayasan madani mencoba melobi pihak
ke-RW-an untuk memberikan ijin mendirikan pabrik. Salah-satu usaha yang
dilakukan adalah dengan mencoba mendudukan permasalahan secara bersamasama yang diadakan di rumah makan Sukahati pada tanggal 20 Februari. Dalam
pertemuan rencananya akan dihadiri oleh pihak PT. GAS, Karang Taruna, Aparat
Desa, ke-RW-an, pihak Pesantren, dan tokoh masyarakat.
Namun pertemuan itu pun mengalami jalan buntu akibat pihak ke-RW-an
tidak mendatangi pertemuan tersebut dan itu adalah tanda bahwa pihak ke-RW-an
bersikukuh dengan pendiriannya. Namun setelah pertemuan tersebut, dengan
sepengetahuan dari desa, bangunan pabrik pun mulai didirikan.
Karang Taruna melanjutkan aksi penggalangan dukungan dari masyarakat
dengan cara meminta tandatangan dari masyarkat sebagai bentuk dukungan untuk
didirikannya pabrik, penggalangan tanda tangan ini dilakukan oleh ustadz Aim
Salim yang merupakan kerabat pesantren. Sementara Karang Taruna giat
mengadakan penggalangan dukungan, pihak ke-RW-an menguatkan barisannya
dan mendekati orang-orang yang memiliki pengaruh seperti ustadz-ustadz langgar
yang ada di kampung Panyawungan. Pihak ke-RW-an pun merapatkan diri dengan
para muhibbin atau simpatisan pesantren yang khawatir aktivitas pesantren akan
terganggu dengan hadirnya pabrik tersebut.
Persaingan galangan masa antara Karang Taruna dan RW terus bergulir
hingga pada tataran perang propaganda untuk membentuk opini publik. Untuk
menguatkan propagandanya masing-masing kubu selalu mengaitkan atau
95 mengklaim nama pesantren. Masyarakat terbelah menjadi kubu Karang Taruna ,
kubu RW, dan sebagian kecil bersikap netral.
Mengetahui bahwa jabatan RW telah habis dan telah ada dua surat
himbauan untuk segera mengadakan pemilihan RW dari pihak desa pada akhir
Desember 2009 dan akhir Januari 2010. Karang Taruna maju setingkat ke arah
aksi provokasi dengan membuat panitia pemilihan RW. Panitia pemilihan RW
baru semakin gencar diketengahkan pada masyakarakat terlebih setelah
mengetahui telah ada surat himbauan untuk yang ketiga kalinya. Namun dengan
kronologis seperti itu, pihak RW justru menuduh bahwa Karang Taruna dan PT.
GAS me-interpensi pihak desa untuk menjatuhkan dirinya. 22 Bagi pendukung RW
tindakan Karang Taruna adalah tindakan mengkudeta bapak Iin.
Konflik tersebut terus meningkat hingga pada kontak fisik antara
pendukung Karang Taruna dan pendukung ke-RW-an. Bapak Ayi yang
merupakan pendukung Karang Taruna dan ketua panitia pemilihan RW bentukan
Karang Taruna di pukul oleh ustadz Ma’mun yang merupakan pendukung keRW-an. Sebaliknya, Karang Taruna memukuli bapak Asep yang di tuduh
menyebarkan isu bahwa ustadz Dede mendapatkan uang suap dari bapak Idris
sebesar 200 juta Rupiah.
Konflik yang tidak terkontrol mengakibatkan keresahan pada masyarakat
dan menuntut peran pesantren sebagai pemimpin sosial untuk dapat meredam
22
Bapak Iin Zainal Abidin telah 30 tahun menjabat sebagai ketua RW.03 kampung
Panyawungan. Jabatanya diterima setelah KH. Athoillah mengundurkan diri dari Ketua RW pada
tahun 1979. Jabatan RW pernah diserahkan pada bapak Aceng pada tahun 1994 namun entah
bagaima, setelah beberapa bulan jabatan itu kembali diambil oleh bapak Iin. Pengalihan jabatan
juga terjadi pada tahun 2008 pada bapak Ade Zakaria, namun kembali diambil alih oleh bapak Iin.
Sebelum kasus konfllik antara ke-RW-an dan karang taruna mencuat, sebenarnya bapak Iin sudah
mengkaderkan ustadz Cecep untuk menggantikan jabatannya.
96 konflik yang terus memanas. Rupanya konflik ini pun membuat khawatir baik dari
pihak Karang Taruna dan pihak ke-RW-an, namun keduanya masih bersikukuh
untuk terus bertahan dengan pendiriannya masing-masing.
Pada tanggal 25 Mei 2010, pihak ke-RW-an mendatangi KH. Athoillah
untuk meminta dukungan moril dan membahas tentang konflik yang sedang
terjadi di masyarakat. Bapak Iin siap untuk mengundurkan diri apabila ia di minta
oleh KH. Athoillah untuk mundur, hal itu tentu tidak akan dilakukan oleh KH.
Athoillah menimbang posisinya dan konflik yang akan pesantren terima jika KH.
Athoillah melakukan hal itu. Permintaan bapak Iin yang meminta KH. Athoillah
untuk bersuara dalam penolakan pendirian pabrik juga tidak mungkin dilakukan
oleh KH. Athoillah mengingat dana besar yang telah dikeluarkan oleh PT. GAS.
Pihak pesantren yang semula terlihat agak condong terhadap pihak Karang
Taruna, menarik dan mengganti statmennya.
Bagi pihak pesantren jika pabrik itu harus ada dan maslahat bagi umat,
maka kami bersukur. Dan jika pabrik itu tidak ada untuk kemaslahatan
umat, bagi kami tidak mengapa 23
Pihak ke-RW-an beserta masyarakat yang pro merencakan demo pada
tanggal 27 Mei 2010 bertepatan dengan hari peresmian PT. GAS. Namun demo
itu tidak jadi dilaksanakan mengingat KH. Athoillah menghadiri peresmian
tersebut dan banyak ulama ternama dari daerah Jawa Barat yang menghadiri
peresmian tersebut. Rencana demo ternyata bukan hanya dimiliki oleh pihak keRW-an, pihak Karang Taruna juga hendak melaksanakan demo terhadap bapak Iin
23
Statmen KH. Athoillah pada saat pihak ke-RW-an datang untuk meminta dukungan,
observasi rumah KH. Athoillah, Bandung 25 Mei 2010
97 yang mereka nilai otoriter, pihak Karang Taruna menganggap apa saja yang tidak
berkenaan dengan RW selalu dilabeli oknum.
Gambar 8.
Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta
Untuk mengakhiri konflik tersebut akhirnya pihak desa turun tangan. Desa
memfasilitasi pertemuan antara ke-RW-an dan Karang Taruna. Dalam pertemuan
itu diputuskan bahwa PT. GAS berada di bawah pengawasan pihak ke-RW-an.
Selain itu masyarakat juga telah mulai menyadari bahwa konflik antara keRW-an dan Karang Taruna adalah konflik keluarga yang dibawa ke arena
masyarakat. Hingga penulis meninggalkan tempat penelitian konflik ini belum
menemui akhir.
99 BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN
Pusat perhatian dalam studi ini adalah keadaan budaya politik masyarakat
kampung Panyawungan (daerah yang bisa dikatakan sub-urban) yang dipengaruhi
oleh tatanan yang telah mapan yaitu kepemimpinan pesantren dan industrialisasi
atau sektor modern yang masuk ke wilayah tersebut.
Keberadaan pesantren Nahdjussalam ternyata tidak sesederhana seperti
yang banyak peneliti temukan. Pesantren Nahdjussalam mempunyai hubungan
fungsional dengan masyarakat sekitarnya seperti dalam pendidikan agama,
kegiatan sosial, kegiatan ekonomi, hingga kegiatan politik.
Masyarakat kampung Panyawungan masih loyal terhadap ikatan
primordial dan kekeluargaan. Masyarakat juga menjadikan pesantren sebagai
lembaga kharismatis yang petunjuknya masih dipakai oleh sebagian besar
masyarakat.
Industri dengan sektor modernya telah mengubah masyarakat kampung
Panyawungan seperti dari masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada
pertanian menjadi buruh industri, mobilisasi masyarakat, interaksi dengan
masyarakat pendatang, dan kuantitas informasi. Elemen-elemen disebut
berpengaruh pada struktur dan fungsi sosial masyarakat.
Pesantren yang telah mempunyai peran sebagai pemimpin kelompok atau
politik justru melepaskan perannya dan lebih memilih mengambil peran sosial.
100 Kesadaran pesantren akan perubahan yang terjadi di masyarakat menjadikan
pesantren harus menerima apa yang menurutnya berharga, walau itu harus dibayar
oleh harga mahal seperti pelepasan tradisi dan kekuasaan. Namun begitu,
keberadaan pesantren yang tidak lagi absolut masih dijadikan simbol pemersatu
oleh masyarakat.
Keberadaan ustadz Dede dan bapak Iin menunjukan perubahan dari tipe
rekrutmen geneologis menjadi segmental. Namun jika melihat peran ustad Dede
sebagai pemimpin keagamaan, itu sudah menunjukan adanya pola sporadis dalam
kemunculan seorang pemimpin, dalam arti pemimpin keagamaan tidak lagi datang
dari keturunan pesantren saja, tetapi pemimpin keagamaan sudah mulai dilihat
dari kualitas intelektual individu.
Konflik antara ke-RW-an dan Karang Taruna seperti telah digambarkan,
menunjukan adanya perubahan orientasi masyarakat dari romantis ke pragmatis.
Konflik tersebut juga menggambarkan melemahnya ikatan primordial oleh
kepentingan tujuan.
Masyarakat kampung Panyawungan sudah bukan lagi masyarakat yang
hanya turut pada ketentuan normatif semata, tapi mereka sudah mulai
mempertimbangkan asas fungsional. Adanya konflik dan terbaginya masyarakat
ke dalam kubu yang berlawanan adalah indikasi untuk hal itu. Walupun konflik
dan persekongkolan yang terjadi dimotori oleh aktor-aktor yang melibatkan
massa, namun itu menunjukan perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum
elit” baik dalam posisi sebagai subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya
101 juga
berimplikasi
pada
proses
transformasi
“bawah”
masyarakat
dan
lingkungannya.
Setelah mencoba merumuskan masyarakat Panyawungan dengan teoriteori yang telah ada, maka penulis mempunyai kesimpulan bahwa masyarakat
Panyawungan mempunyai kompleksitas tertentu untuk dimasukan kedalam
kategori masyarakat pra-industri, masyarakat semi-industri, dan masyarakat
industri. Dengan tidak bermaksud mereduksi tingkah-laku manusia maka penulis
menyebut masyarakat Panyawungan adalah masyarakat “peralihan” mengingat
semua ciri-ciri tipe masyarakat disebut berlaku pada masyarakat Panyawungan.
B. REKOMENDASI
1.
Untuk masyarakat pesantren yang telah berani membuka diri, bukan berarti
berhenti dalam menginterpretasi dan aksi untuk terus eksis dalam aktivitas
Dakwah Islamiyah untuk keharmonisan umat. Seba jika tidak, maka
pesantren dikemudian hari hanya akan menjadi objek dari perubahan.
2.
Untuk masyarakat Panyawungan, sebenarnya telah mempunyai modal adat,
tradisi, nilai-nilai yang unik dan ditambah dengan kesadaran akan suatu
perubahan, tentu dapat dijadikan modal untuk mengarahkan masyarakat
kedalam bentuk yang lebih baik yang mengacu pada konsep masyarakat
madani dengan bangunan sistem-sitem yang berlaku dan telah diterima oleh
masyarakat.
3.
Untuk penelitian lanjutan khususnya bagi jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam (KPI) dapat merumuskan penelitian untuk melihat lebih spesifik pada
bentuk komunikasi pesantren.
102 4.
Bagi para peneliti, banyak sekali fenomena yang dapat kita temukan di
lingkungan masyarakat sub-urban semisal Panyawungan. Salah satu yang
penulis temukan adalah permasalahan tenaga kerja yang kebanyakan
meyedot tenaga perempuan hingga penulis melihat semacam adanya
pertukaran peran dalam keluarga. Ini tentu akan berimplikasi pada kehidupan
keluarga dan perilaku masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ambari, Hasan Muarif, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial
di Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda AlKhairiyah se Indonesia , Serang 1992.
Benda, Harry J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1983.
Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, Jakarta :
Kanisius, 1994.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai,
Jakarta : LP3ES, 1985.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, Jakarta :
Pustaka jaya, 1981
Hardiman, F. Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik
dan Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta : Kanisius,
1993.
Hasanah, Umdatul, “Eksistensi dan Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam
Pembangunan Masyarakat Industri Cilegon” (Penelitian Block Grant
IAIN Banten, 2008).
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: interpretasi untuk aksi, Bandung : Mizan, 1991.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid, Bandung: Mizan, 2001
Kweit, Mary Grisez, Konsep dan Metode Analisa Politik Penerjemah Ratnawati,
Jakarta; Bina Aksara, 1986.
Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta :
Paramadina, 1997.
Madjid, Nurkholis, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, Bandung : Mizan,
1987.
Noor, Mahpuddin, Potret Dunia Pesantren, Bandung : Humaniora, 2006.
Parker, S.R, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah G. Kartasapoetra ttp :
Bina Aksara, 1985.
Parsons, Talcot and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid,
Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987.
Parsons, Talcot, On The Theori if Sosial Interactions Media, sebagaimana dikutip
Ivan Alhadar, “Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban Industri “ dalam
Manfred Oepen dan Wolfgang Kacher (ed) Dinamika Pesantren, (Jakarta :
P3M), 1987
Rahardia, Trubus, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan
Pendekatanya, Jakarta: Trisakti, 2006.
Safirani, Amalinda, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam
Ilmu Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November 1999
Saridjo, Marwan, dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta : Dharma
Bhakti, 1979.
Soekanto, Soerjono, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat,
Jakarta : Rajawali, 1983.
Suprayogo, Imam dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, jilid 4.
Uswah, “Agama dan Politik : Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (DPP)
Partai Amanat Nasioanal”, Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat,
Universitas Islam Negri Jakarta , 2007.
Wahid, Abdurahman, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam
Hiroko Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, Jakarta: P3M, 1987.
Yacub, H.M, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, Bandung :
Angkasa, 1985.
WEBSITE
Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal
17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php
WAWANCARA
Wawancara Pribadi dengan Ustadz. Bibin, Bandung, 15 April 2010
Wawancara Pribadi dengan KH. Athoillah, Bandung, 15 April 2010
Wawancara bapak Iim A. Karim
Wawancara dengan Ustadz Bagja, Ustadz Cecep, dan Ustadz Deden, Bandung, 07
Mei 2010
Wawancara dengan Bapak Iin yang saat itu menjabat sebagai ketua TPS kampung
Panyawungan, Bandung 02 Mei 2010
Wawancara Pribadi dengan H.E. Djaenudin, Bandung, 03 Maret 2010
Wawancara Pribadi dengan Drs. Dudung, Bandung, 01 Mei 2010.
Wawancara Bersama Beberapa Tokoh Masyarakat Di Rumah Ustadz Dede Abdul
Kholik, Bandung, 03 Maret 2010
Wawancara Pribadi dengan bapak Drs. Iin Zainal Abidin, Bandung, 18 April 2010
Wawancara dengan bapak Iwan Miftahul Fallah, Bandung, 03 Maret 2010
Wawancara dengan Karang Taruna, Bandung 05 Juni 2010
Wawancara dengan Ustadz. Dede Abdul Kholik, Bandung, 20 Mei 2010 Wawancara dilakuakan dengan Bapak. Iin, Ustadz Cecep, dan Bapak. Dudung,
Bandung, 01-02 Mei 2010.
Kesibukan Jalan Panyawungan Pagi Hari
Dua Petak Sawah Di Antara
Industri-Industri
Mesjid Dan Halaman Pondok Pesantren Nahdjussalam
LAMPIRAN FOTO-FOTO
Jalanan menuju kampung Panyawungan
Penulis saat mengumpulkan data bersama warga
Peresmian PT. Global Agro Semesta
Ustadz Dede Abdul Kholik (kanan) dan
Anggota Karang tarauna
gdf
Bapak Drs. Iin Zaiinal Abdin (Ketua
(
RW
P
Saat Khhoul
Desakkan Warga Pada
Waw
wancara denngan KH. Atthoillah dann para
k langgar
kyai
Pengajian Para
P Kyai Laanggar Di KH
H.
Athoilllah
Syahriyahan Keluarga
K
Peesantren
Ke-RW-aan Sesaat Seebelum Berteemu
KH. Athoilllah
Penggajian Anak--Anak Di Laaggar
Penngajian Santrri Di Pondokk
Pondok Putri
Halaman Pesantren
Anggota Karang Taruna dan Keluarga
Pesantren
Pengajian Ibu-Ibu oleh Kyai Delegasi
Perumahan Mutiara Cileunyi RT. 09
Kumpulan Keluarga Pesantren dengan Para
Ustadz Langgar
Download