1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Senyawa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Senyawa pentagamavunon-0 (2,5-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksi)-benzilidinsiklopentanon) dikenal sebagai PGV-0 2, merupakan analog atau senyawa yang
serupa dengan kurkumin (1,7-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,5dion) 1 yang telah banyak diteliti aktivitasnya. Berdasarkan penelitian ilmiah telah
banyak dilaporkan mengenai aktivitas PGV-0 2, di antaranya sebagai antioksidan
(Sardjiman et al., 2003; Reksohadiprodjo et al., 2004), antiinflamasi (Sardjiman et
al., 2003; Reksohadiprodjo et al., 2004), antibakteri (Sardjiman et al., 2003;
Reksohadiprodjo et al., 2004), penghambatan enzim COX-1 (Sardjiman, 2000),
penghambatan enzim COX-2 (Septisetyani et al., 2008), antigonadotropik
(Nurcahyo et al., 2006), dan antikanker (Meiyanto et al., 2007; Septisetyani et al.,
2008).
1
Aktivitas penghambatan turunan dibenzilidinsiklopentanon terhadap
peroksidasi lipid mikrosom secara in vitro ditentukan melalui tes TBA
menggunakan mikrosom hati tikus sebagai sumber asam lemak tidak jenuh.
Senyawa yang mengandung gugus hidroksi dalam cincin aromatik pada
kedudukan para secara relatif aktif sebagai penghambat peroksidasi lipid. Efek
antiinflamasi ditentukan berdasarkan pada penghambatan pembengkakan telapak
kaki tikus yang disebabkan oleh karagenin. Hampir semua senyawa turunan
dibenzilidinsiklopentanon mempunyai penghambatan yang baik sekali. Gugus
pemberi elektron pada cincin aromatik akan menaikkan daya antiinflamasinya.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa delapan dari sebelas senyawa yang
diuji, aktif sebagai penghambat siklooksigenase, termasuk PGV-0 2 dengan IC50
sebesar 0,91 µM. (Sardjiman, 2000)
Pada penelitian yang lain dijelaskan bahwa PGV-0 2 mampu menginduksi
apoptosis dengan cara menekan ekspresi COX-2. Mekanisme induksi apoptosis
ini melibatkan regulasi pro-protein Bax. (Septisetyani et al., 2008) Aktivitas
antigonadotropik dari PGV-0 2 dapat terjadi pada beberapa situs seperti
menghambat pengikatan FSH atau LH pada reseptornya atau menaikkan degradasi
cAMP. (Nurcahyo et al., 2006)
Robinson et al. (2003) membagi molekul kurkumin 1 menjadi tiga bagian
farmakofor yaitu bagian A dari cincin aromatis, bagian B yaitu ikatan dien-dion,
dan bagian C suatu cincin aromatis pula. Dua cincin aromatis baik simetris atau
tidak simetris menentukan potensi ikatan antara senyawa obat dengan reseptor,
sehingga salah satu upaya modifikasi molekul kurkumin 1 dilakukan pada bagian
2
B (gambar 1). PGV-0 2 diperoleh melalui modifikasi struktur kurkumin 1 pada
ikatan dien-dion tersebut.
B
A
HO
C
O
1
HO
H3C
O
H3C
O
O
O
2
OH
O
CH3
O
CH3
OH
Gambar 1. Pembagian farmakofor pada kurkumin 1 dan analog PGV-0 2 (Da’i et al., 2006)
Sintesis PGV-0 1 telah berhasil dilakukan oleh Da’i et al (2006) dengan
mereaksikan antara siklopentanon dan vanillin melalui reaksi kondensasi
Cleissen-Schmidt dengan menggunakan katalis asam.
Senyawa turunan kurkumin 1 disebut kurkuminoid, yang hanya terdapat
dua macam, yaitu desmetoksikurkumin dan bis-desmetoksikurkumin, sedangkan
in vivo, kurkumin 1 akan berubah menjadi senyawa metabolit berupa
dihidrokurkumin atau tetrahidrokurkumin sebelum kemudian dikonversi menjadi
senyawa konjugasi monoglukoronida. (Aggarwal dan Shishodia, 2006) Dengan
analogi bahwa kurkumin 1 dapat diturunkan menjadi tetrahidrokurkumin, hal
yang sama pada PGV-0 2 sebagai senyawa analog kurkumin 1 juga dapat
diturunkan menjadi senyawa baru yaitu tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0)
3. Sintesis THPGV-0 3 telah berhasil dilakukan oleh Ritmaleni dan Ari Simbara
(2010) melalui reaksi reduksi PGV-0 2 dengan gas H2 dan katalis
palladium/karbon dalam pelarut yang sesuai.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ritmaleni dan Ari Simbara
3
(2010), diketahui sintesis THPGV-0 3 dengan pelarut metanol dan katalis
palladium/karbon menghasilkan rendemen sebesar 25%. Rendemen sebesar 25%
tersebut masih sedikit, sehingga untuk memperoleh hasil yang lebih optimal perlu
dicari metode sintesis terbaik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
melakukan variasi katalis untuk memperoleh rendemen yang lebih banyak. Katalis
yang digunakan adalah palladium/karbon (Pd/C), besi (III) klorida (FeCl3),
aluminium klorida (AlCl3), dan seng klorida (ZnCl2). Pemilihan katalis tersebut
selain karena faktor harga katalis yang biasanya sangat mahal (seperti Pd, Pt, dan
Ni) juga berdasarkan kemampuan logam dalam mengadsorpsi hidrogen pada
permukaannya membentuk ikatan logam-H sehingga mempercepat jalannya
reaksi. Jika dalam penelitian sebelumnya THPGV-0 3 berhasil disintesis
menggunakan katalis Pd/C, maka diharapkan juga dapat disintesis menggunakan
katalis logam yang lain.
B. Rumusan Masalah
Apakah penggunaan palladium/karbon (Pd/C), besi (III) klorida (FeCl3),
aluminium klorida (AlCl3), dan seng klorida (ZnCl2) sebagai katalis pada proses
sintesis THPGV-0 3 mempengaruhi rendemen yang diperoleh?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh penggunaan palladium/karbon (Pd/C), besi (III)
klorida (FeCl3), aluminium klorida (AlCl3), dan seng klorida (ZnCl2) sebagai
katalis pada sintesis THPGV-0 3 dan menentukan katalis yang memberikan
4
rendemen paling banyak.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis dan Kalangan Peneliti
a. Dapat digunakan sebagai landasan ilmiah untuk penelitian berikutnya
mengenai sintesis senyawa THPGV-0 3.
b. Sebagai pertimbangan memilih metode sintesis senyawa THPGV-0 3 yang
baik.
2. Bagi Masyarakat secara umum
Memberikan alternatif obat analog kurkumin 1 yang lain.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pentagamavunon-0 (PGV-0) 2
PGV-0 2 merupakan analog kurkumin 1 yang disintesis dengan mengubah
bagian asetil aseton pada kurkumin 1 menjadi siklopentanon. (Sardjiman, 1993)
Senyawa ini diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologi antara lain sebagai
penghambat pertumbuhan sel kanker payudara T47D (Meiyanto et al., 2006),
antioksidan, antiinflamasi , antibakteri (Sardjiman et al., 2003; Reksohadiprodjo
et al., 2004), dan penghambatan enzim siklooksigenase (Sardjiman, 2000).
O
H3C
O
HO
O
2
CH3
OH
Gambar 2. Struktur kimia PGV-0 2
5
2. Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) 3
Tetrahidropentagamavunon-0
(THPGV-0)
atau
2,5-bis(4'-hidroksi-3'-
metoksibenzil) siklopentanon 3 merupakan senyawa turunan PGV-0 2 yang telah
berhasil disintesis melalui reaksi reduksi dengan gas H2 dan katalis
palladium/karbon menggunakan pelarut metanol. THPGV-0 3 yang dihasilkan
mempunyai rendemen sebesar 25%. (Ritmaleni dan Simbara, 2010) THPGV-0 3
memiliki efek farmakologi sebagai antialergi (Nugroho et al., 2010), antibakteri
(Mintariyanti, 2010), antifungi (Agustina, 2010), dan antioksidan (Simbara,
2009). THPGV-0 3 mempunyai aktivitas antioksidan dan daya reduktif (FRAP)
lebih baik daripada PGV-0 2. (Simbara, 2009)
Ha Hb O Ha Hb
H3C
O
O
HO
CH3
OH
3
Gambar 3. Struktur kimia THPGV-0 3
3. Hidrogenasi
Hidrogenasi
merupakan
reaksi
kimia
reduksi
yang
menghasilkan
penambahan hidrogen (H2), biasanya untuk senyawa organik tak jenuh. Proses ini
berupa penambahan atom hidrogen ke dalam ikatan rangkap dari suatu molekul
menggunakan katalis. Hidrogen juga menghidrogenasi pada ikatan rangkap tiga.
(Hudlicky, 1996)
Contoh sederhana adalah reaksi hidrogenasi asam maleat 4 menjadi asam
suksinat 5 seperti tampak pada gambar berikut.
6
O
O O
HO
OH
H
HH
3 atm H2
Pd2+
H
HO
OH
HH
O 5
4
Gambar 4. Reaksi hidrogenasi asam maleat 4 menjadi asam suksinat 5 (Amoa, 2007)
Katalis logam palladium akan memisahkan gas hidrogen menjadi atomatomnya. Atom-atom ini distabilisasi dalam bentuk radikalnya, sehingga terbentuk
campuran H2 dan hidrogen radikal. Atom hidrogen yang telah teraktivasi bersifat
sangat reaktif dan akan mencoba untuk menuju kestabilan yang baru dengan
orbital s penuh dengan dua elektron.
Ikatan rangkap pada asam maleat 4 juga akan dipecah oleh katalis logam
dan mengikatnya pada permukaan katalis. Atom hidrogen akan menarik elektron
dari asam maleat 4, memecah ikatan rangkap antar atom karbon, kemudian
menggantinya dengan ikatan baru, sehingga terbentuklah asam suksinat 5.
(Hudlicky, 1996)
Reaksi hidrogenasi bersifat eksotermis, tetapi reaksi ini tidak berjalan secara
spontan karena energi pengaktifannya sangat tinggi. Pemanasan tidak dapat
mensuplai energi yang cukup untuk membawa molekul itu ke keadaan transisi,
namun reaksi akan berjalan dengan lancar apabila ditambah suatu katalis.
(Fessenden dan Fessenden, 1991)
Pada reaksi hidrogenasi diasumsikan molekul alkena teradsorpsi secara
horizontal ke bidang reaksi diikuti terbentuknya kompleks π dengan situs aktif,
atau putusnya ikatan π diikuti terbentuknya dua ikatan σ dengan situs aktif. Atomatom hidrogen teradsorpsi kemudian menyerang naik dari permukaan ke sisi
teradsorpsi dari ikatan rangkap. (Smith, 1999)
7
Tingkat kemampatan pada ikatan rangkap berpengaruh terhadap adsorpsi
alkena pada permukaan katalis. Oleh karena itu, berpengaruh pula terhadap
jalannya adisi hidrogen. Sedikit kekacauan struktural kadang-kadang menentukan
terjadi atau tidaknya proses hidrogenasi. Menariknya, kemampuan ikatan rangkap
untuk mendatar pada permukaan katalis tidak selalu dapat digunakan sebagai
prediksi terjadi atau tidaknya proses hidrogenasi.
Sebagai contoh, alkena disubstitusi pada trans-2-(1-pentadecenyl)benzene1,3-dicarbonitrile tidak terhidrogenasi menggunakan katalis Pd/C 10% dalam
pelarut THF-etanol (1:1) pada tekanan 1 atm. Sedangkan pada trans-2,6bis(hydroxymethyl)-1-(1-pentadecenyl)benzene dapat terjadi hidrogenasi. Ikatan
rangkap C=C hampir tegak lurus terhadap cincin benzen pada kedua molekul.
Ketidakmampuan dinitril untuk menghidrogenasi dihubungkan dengan efek
penarikan elektron. Namun, penjelasan lain yang mungkin adalah cincin benzen
tersubstitusi itu teradsorpsi dengan kuat pada permukaan katalis sehingga ikatan
rangkap C=C tidak dapat berotasi pada posisi dimana hidrogen dapat
ditambahkan. Oksigen dari gugus dihidroksimetil kemungkinan teradsorpsi dan
menaikkan benzen dari permukaan sehingga ikatan rangkap C=C bisa berotasi
pada posisi dimana atom hidrogen dapat menyerang. (Smith, 1999)
4. Katalis
Dalam suatu proses produksi, selalu dikehendaki untuk memperoleh hasil
yang sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Reaksi
katalitik atau reaksi terkatalisis berarti reaksi mengalami perubahan laju yang
disebabkan oleh aksi katalis, suatu zat yang tidak mengalami perubahan kimia
8
selama dan setelah reaksi berlangsung. Katalis dapat menyebabkan reaksi
bertambah cepat (katalis positif) atau menjadi lambat (katalis negatif). Secara
umum katalis adalah zat yang mempercepat laju reaksi, sedangkan inhibitor
adalah zat yang menghambat laju reaksi. Katalis hanya mempercepat reaksi, tidak
memulai reaksi yang secara termodinamika tidak dapat berlangsung. (Triyono,
2002)
Bentuk katalis dapat berupa logam murni, oksida-oksida dan garam-garam,
dapat berupa katalis tunggal ataupun campuran, dengan supporter atau tidak, dan
dengan promotor atau tidak. (Sukardjo, 1985) Supporter atau pendukung katalis
dapat mempengaruhi struktur permukaan dari fase aktif katalis yang berperan
dalam proses katalitik, sehingga pemilihan pendukung katalis yang tepat
merupakan langkah penting dalam desain katalis. Contoh pendukung katalis
diantaranya adalah SiO2, Al2O3, ZnO2, dan karbon aktif. (Yoshinaga et al., 2002)
Promotor katalis merupakan bahan yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas
katalis dengan menjaga dispersi fasa aktif dan meningkatkan stabilitas termal dari
pendukung. Promotor yang sering digunakan adalah Cu, Sn, In, dan Zn. (Prusse at
al., 2000; Pintar et al., 2004)
Karena banyaknya macam katalis dan beragamnya sistem reaksi, maka
katalis diklasifikasikan menjadi katalis homogen dan katalis heterogen.
Katalis homogen adalah katalis yang fasanya sama dengan fasa sistem
reaksi. Agar terjadi interaksi yang baik antar molekul reaktan dan antara molekul
reaktan dengan katalis maka antar molekul reaktan dan antara molekul reaktan
dengan katalis sebaiknya terdistribusi merata di seluruh bagian sistem reaksi.
9
Kondisi ini mudah terpenuhi apabila reaktan dan katalis punya fasa yang sama
dan saling melarutkan sehingga luas bidang kontak semakin besar.
Pada katalis heterogen reaksi hanya terjadi pada bidang batas antar lapis
yakni pada bidang antarmuka sehingga semakin luas bidang antarmuka, reaksi
akan berlangsung semakin baik. Tahapan untuk terjadinya reaksi pada proses
katalisis heterogen adalah:
1). Transfer molekul-molekul reaktan ke permukaan katalis (difusi)
2). Adsorpsi molekul-molekul reaktan pada permukaan katalis
3). Reaksi molekul-molekul teradsorpsi pada permukaan katalis menghasilkan
produk
4). Desorpsi molekul-molekul produk reaksi dari permukaan katalis
5). Transfer produk reaksi ke fasa fluida
Sebagian besar katalis adalah selektif sehingga hanya beberapa spesies yang
cocok untuk reaksi tertentu. Pada prinsipnya pemilihan katalis didasarkan atas
kuat ikatan dari molekul reaktan yang akan diaktivasi. Bila dengan katalis saja
belum cukup untuk mengaktifkan ikatan maka perlu ditambahkan promoter untuk
memperkuat kinerja katalis. Untuk katalis hidrogenasi, ikatan yang akan diaktivasi
adalah ikatan rangkap, dapat digunakan logam-logam golongan VIII sedangkan
untuk promoter digunakan sulfida atau oksida logam dari golongan VI A.
(Triyono, 2002)
Katalis dalam reaksi hidrogenasi memudahkan jalannya reaksi hidrogenasi.
Bukti eksperimen mendukung teori bahwa mula-mula hidrogen diadsorpsi pada
permukaan logam, kemudian ikatan sigma H2 terputuskan dan terbentuk ikatan
10
logam-H. Molekul yang akan tereduksi (mengandung ikatan rangkap) juga
teradsorpsi pada permukaan logam, dengan ikatan π-nya berantaraksi dengan
orbital kosong dari logam itu. Molekul bergerak-gerak pada permukaan logam
sampai menabrak atom hidrogen yang terikat pada logam, menjalani reaksi dan
kemudian pergi sebagai produk hidrogenasi.
Efek keseluruhan katalis logam dalam hidrogenasi adalah menyediakan
suatu permukaan dimana reaksi dapat terjadi dan melemahkan ikatan-ikatan dalam
H2 dan dalam senyawa yang akan tereduksi. Akibatnya adalah penurunan energi
aktivasi untuk reaksi tersebut. Katalis tidak mengubah energi pereaksi maupun
produk tetapi hanya mengubah energi aktivasinya. (Fessenden dan Fessenden,
1994)
Hidrogenasi PGV-0 2 memungkinkan terjadinya ikatan antara logam
dengan alkena. Ikatan rangkap pada alkena berperan sebagai basa Lewis dengan
dua elektron pada ikatan π, ikatan logam-alkena ini disebut sebagai ikatan π
kompleks.
H
H
L
H
H
H
H
L
H
H
6
7
Gambar 5. Resonansi ikatan kompleks alkena-logam (Grossman, 1964)
H2 dapat menggunakan 2 elektron pada ikatan σ untuk membentuk ikatan
kompleks σ dengan logam. Jika logam minimal mempunyai dua elektron valensi,
dapat terjadi back bond menuju orbital σ* yang akibatnya ikatan H-H melemah,
sehingga terbentuk kompleks dihidra H-logam H.
11
H
H
L
L
H
H
9
8
Gambar 6. Resonansi ikatan kompleks dihidra H-logam H (Grossman, 1964)
Reaksi yang dikatalisis oleh logam biasanya digambarkan dalam bentuk
sirkuler untuk menunjukkan bagaimana logam tersebut dapat diregenerasi pada
setiap akhir siklus katalis.
H3C
H
2PdII
2H2
10
H
H3C
CH3
11
CH3
(b)
(a)
H3C
CH3
H3C
CH3
PdII
0
2Pd
H3CH3C CH3
H3C
H
H
14
(d)
H
H3CH3C CH3
H3C II
Pd
H
H
13
12
H
(c)
Gambar 7. Siklus katalis Pd pada reaksi hidrogenasi (Grossman, 1964)
Keterangan: (a) adisi oksidatif
(b) koordinasi
(c) insersi
(d) eliminasi reduktif
Berdasarkan reaksi dari 2,3-dimetil-2-butena 11 dengan H2 menggunakan
katalis Pd/C, dua ikatan baru C-H terbentuk dan sebuah ikatan rangkap π C=C
terputus. Logam Pd memiliki bilangan oksidasi 0 (d10), maka dapat bereaksi
dengan H2 melalui adisi oksidatif, membentuk dua ikatan Pd-H 10. Pada keadaan
ini, Pd memiliki bilangan oksidasi II. Koordinasi dan insersi alkena ke dalam satu
12
ikatan Pd-H memberikan ikatan Pd-C dan C-H 13. Akhirnya, terjadi eliminasi
reduktif melepaskan produk 14 dan meregenerasi Pd0 yang akan menjalani siklus
katalitik baru. (Grossman, 1964)
Dalam penelitian ini digunakan empat macam katalis logam, yaitu:
a. Palladium/karbon
Palladium merupakan logam transisi golongan VIII B, mempunyai nomor
atom 46 dan nomor massa 106,4 g/mol. Palladium dapat didukung oleh suatu
padatan, misalnya karbon teraktivasi, silika, dan alumina. Katalis Pd/C yaitu
palladium yang diadsorpsikan pada karbon suatu pengemban inert dan tidak larut,
merupakan salah satu katalis heterogen yang sesuai untuk reduksi ikatan π pada
alkena. (Grossman, 1964)
Palladium memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap sampai 900 kali
volume hidrogen pada temperatur kamar. (Mitsui et al., 2003) Ketika palladium
menyerap hidrogen dalam jumlah besar, itu akan sedikit memperluas ukurannya.
(Gray, 2007)
Penggunaan katalis Pd/C tidak mengubah energi pereaksi maupun produk,
tetapi
menyebabkan
penurunan
energi
aktivasi
reaksi
sehingga
dapat
mempermudah terjadinya adisi hidrogen pada ikatan π (-CH=CH-) membentuk
ikatan tunggal (-CH2-CH2-). (Fessenden dan Fessenden, 1994)
b. Besi (III) klorida
Fe juga merupakan logam transisi golongan VIII B dengan nomor atom 26
dan nomor massa 55,847 g/mol. Besi (III) klorida adalah suatu senyawa kimia
yang merupakan komoditas skala industri dengan rumus kimia FeCl3. Anhidrat
13
dari besi (III) klorida adalah asam Lewis yang cukup kuat, dan digunakan sebagai
katalis dalam sintesis organik. (Holleman dan Wiberg, 2001)
Dalam sudut pandang industri, katalis hidrogenasi menggunakan besi sangat
menarik. Logam besi sangat berlimpah di bumi dan lebih murah dibandingkan
logam lain yang umum digunakan dalam hidrogenasi seperti Pd, Pt, Rh, dan Ir.
Selain itu, kompleks logam biasanya tidak beracun dan dapat ditangani dengan
mudah. Namun, di luar proses Fischer-Tropsch dan sintesis ammonia HaberBosch, penggunaan besi dalam hidrogenasi heterogen agak terbatas. Untuk
hidrogenasi ikatan C-C tak jenuh, hanya ada beberapa publikasi dimana
digunakan suhu dan tekanan tinggi. (Rangheard et al., 2010)
Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Rangheard et al. (2010)
memperlihatkan bahwa nanopartikel besi, yang diperoleh dari reduksi garam besi
dalam THF dengan alkil Grignards atau alkil litium adalah katalis yang bagus
untuk hidrogenasi alkena dan alkuna.
c. Aluminium klorida
Aluminium adalah logam golongan III A dengan nomor atom 13 dan nomor
massa 26,9815 g/mol. AlCl3 adalah Asam Lewis yang paling umum digunakan,
juga termasuk yang paling kuat. Aplikasinya sangat luas dalam industri kimia
sebagai katalis untuk reaksi alkilasi Friedel-Crafts dan asilasi. (Olah, 1963)
Aluminium klorida dikenal sebagai katalis untuk banyak reaksi organik,
termasuk hidrocracking. Akan tetapi tidak dikenal sebagai katalis hidrogenasi
yang efektif. Penelitian Kawa et al. (1968) menunjukkan bahwa aluminium
14
klorida dalam konsentrasi yang tinggi merupakan katalis yang efektif untuk
hidrogenasi batubara menjadi minyak.
Reaktivitas elektrofilik α,β-amida tak jenuh terhadap nukleofil lemah seperti
arena dan sikloheksana dapat diinisiasi oleh asam triflat (CH3SO3H) atau AlCl3
berlebih. Hidrogenasi ionik selektif ini berlangsung dalam pelarut sikloheksana
menghasilkan amida jenuh. (Koltunov et al., 2004)
d. Seng klorida
Seng adalah logam golongan II B dengan nomor atom 30 dan nomor massa
65,37 g/mol. Di dalam laboratorium, seng klorida digunakan secara luas, terutama
sebagai Asam Lewis kekuatan sedang. Hal ini dapat mengkatalisis sintesis Fischer
dan asilasi Friedel-Crafts melibatkan aktivasi cincin aromatik. (Dike et al., 1991)
Penelitian Matsuura et al. (1968) sebagai tindak lanjut dari penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa seng klorida dan klorida timah telah terbukti
menjadi katalis yang efektif untuk hidrogenasi batubara dalam reaktor shortresidence-time.
5. Analisis Hasil Sintesis
a. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
KLT merupakan metode pemisahan komponen-komponen berdasarkan
perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan fase gerak atau
eluen. Prinsip dari KLT adalah penggunaan fase diam datar yang kemudian
15
dikembangkan dengan fase gerak lalu dilakukan deteksi setelah hilangnya fase
gerak dari permukaan fase diam. Komponen campuran terelusi melewati fase
diam bersama dengan fase gerak. Pemisahan bergantung pada kecepatan migrasi
dari komponen dalam campuran tersebut. Fase gerak melewati fase diam dengan
gaya kapiler dan kadang karena gravitasi atau tekanan. Setiap komponen
mempunyai kecepatan migrasi yang berbeda. (Fried dan Sherma, 1994)
KLT adalah metode yang paling mudah, cepat dan sering digunakan untuk
memperkirakan tingkat kemurnian suatu senyawa. Hasil elusi sampel pada
berbagai fase gerak yang hanya menghasilkan satu bercak tunggal merupakan
indikator kemurnian yang baik. Sebagai tambahan, identifikasi senyawa yang
belum diketahui dapat dibantu dengan membandingkan posisi bercak senyawa
tersebut terhadap posisi bercak senyawa yang telah diketahui.
Secara umum, KLT merupakan bentuk kromatografi yang paling luas
penggunaannya serta sangat bermanfaat untuk analisis kualitatif secara cepat
terhadap suatu campuran, memonitor suatu reaksi serta menentukan parameter
operasional yang dibutuhkan dalam kromatografi kolom preparatif. (Sharp et
al.,1989)
Retardaction factor atau biasa disingkat Rf pada KLT analog dengan waktu
retensi pada GC atau HPLC yang menunjukkan ketahanan senyawa pada fasa
diam. Rf diperoleh dari perbandingan jarak tempuh spot senyawa terhadap jarak
tempuh eluen pada plat KLT. Rf masing-masing senyawa khas dan menjadi
identitas dari senyawa tersebut sehingga KLT dapat digunakan untuk analisis
kualitatif dengan cara membandingkan spot-spot yang dihasilkan terhadap spot
16
standar.
b. Pengukuran jarak lebur
Jarak lebur suatu senyawa padat merupakan kisaran temperatur dimana
senyawa padatan tersebut mulai berubah menjadi cairan di bawah tekanan satu
atmosfer. Peningkatan temperatur akan menyebabkan terjadinya penyerapan
energi oleh molekul senyawa padat dan bila energi yang diserap cukup besar akan
terjadi vibrasi dan rotasi dari molekul tersebut. Jika temperatur terus dinaikkan
maka molekul senyawa padat tersebut akan rusak dan berubah menjadi cairan.
Jarak lebur merupakan karakteristik yang penting untuk senyawa organik
padat. Jarak lebur dapat digunakan untuk identifikasi dan parameter kemurnian
suatu senyawa. Penggunaan untuk parameter kemurnian didasarkan pada fakta
bahwa suatu senyawa yang murni akan mempunyai jarak lebur yang pendek
ketika berubah sempurna dari padat ke cair. Jarak lebur maksimum untuk senyawa
murni adalah 1-2oC. Keberadaan senyawa lain akan mempengaruhi jarak lebur.
Bila suatu senyawa tidak murni akan menunjukkan fenomena antara lain memiliki
jarak lebur yang lebih lebar dan suhu lebur yang lebih rendah. (Sharp et al., 1989)
6. Elusidasi Struktur
a. Gass Chromatography-Mass Spektrometry (GC-MS)
Spektroskopi massa tidak didasarkan pada penyerapan energi oleh suatu
molekul seperti halnya yang terjadi pada kebanyakan teknik spektroskopi lainnya.
Spektrum massa menunjukkan rekaman massa fragmen-fragmen bermuatan
(biasanya positif) melawan konsentrasi relatifnya masing-masing. Kelimpahan ion
17
(abundance) ditunjukkan dengan intensitas puncak-puncak massa yang besar
kecilnya tergantung dari stabilitas ion tersebut. Puncak yang intensitasnya paling
tinggi disebut base peak dan dinyatakan dengan harga 100%. Intensitas puncakpuncak lain dinyatakan sebagai persentase dari base peak tersebut. Terkadang
base peak merupakan puncak ion molekul yaitu puncak dengan bilangan massa
terbesar kecuali jika terdapat puncak-puncak isotop. Ion molekul merupakan
radikal ion yang terjadi karena pengambilan satu elektron dari molekul suatu
senyawa. Massa ion molekul merupakan bobot molekul senyawanya. (Silverstein
dan Webster, 1997)
Interpretasi spektrum massa memberikan informasi puncak ion molekul
yang merupakan bobot molekul senyawa tersebut dan fragmentasi yang terjadi.
Ion molekul biasanya terletak di sebelah paling kanan pada spektra massa. Puncak
ion molekul ini selain menunjukkan bobot molekul, intensitas puncak juga dapat
menunjukkan jenis atau tipe senyawa. Jenis fragmentasi yang akan terjadi dari
suatu molekul dapat diramalkan dan fragmen yang terjadi dapat digunakan untuk
merujuk molekul asal. Untuk mempermudah dalam mencari fragmen yang
biasanya lepas dapat digunakan tabel pada pustaka. (Silverstein dan Webster,
1997)
b. Spektroskopi Infra Red (IR)
Penggunaan spektrum inframerah untuk penentuan struktur senyawa
organik biasanya antara 650-4000 cm-1 (15,4 nm-2,5μm). Daerah di bawah
frekuensi 650 cm-1 disebut inframerah jauh dan daerah di atas 4000 cm-1 disebut
inframerah dekat. Absorpsi energi radian pada daerah ini menyebabkan terjadinya
18
transisi vibrasional pada molekul senyawa organik dan anorganik sehingga
menghasilkan spektrum absorpsi.
Vibrasi dibagi menjadi dua macam, yaitu ulur (stretching) dan tekuk
(bending). Vibrasi ulur terjadi apabila perubahan jarak antara dua atom yang
berubah terus menerus itu selalu sepanjang sumbu kedua atom tersebut. Pada
vibrasi tekuk, perubahan jarak disertai dengan perubahan sudut antara kedua
ikatan atom tersebut.
Spektra IR pada dasarnya merupakan gambaran pita serapan yang spesifik
dari
gugus-gugus
fungsional.
Interaksi
gugus
ini
dengan
atom
yang
mengelilinginya dapat menandai spektra untuk tiap senyawa. Untuk analisis
kualitatif, ada tidaknya serapan pada frekuensi tertentu merupakan penanda ada
tidaknya gugus fungsional tertentu. (Sastrohamidjojo, 2001)
Secara sederhana, spektroskopi IR merupakan pengukuran serapan pada
berbagai frekuensi berbeda yang terjadi apabila suatu senyawa diposisikan
terhadap radiasi infra merah yang meliputi suatu daerah dari spektra
elektromagnetik dengan frekuensi sekitar 13.000 sampai 10 cm-1 atau dari panjang
gelombang 0,78 sampai 1000μm. (Hsu, 1997)
Analisis
spektra IR biasanya digunakan untuk menentukan gugus
fungsional dalam senyawa unknown, mengidentifikasi komponen dengan
mencocokkan spektra yang belum diketahui dengan spektra reference. Untuk
menginterpretasi spektrum IR senyawa unknown, perhatian utama adalah
menentukan ada atau tidak adanya beberapa gugus fungsional utama. Puncak
19
C=O, O-H, N-H, C-O, C=C, C=N, dan puncak NO2 sangat menonjol dan jika ada
akan memberi keterangan adanya gugus fungsi tersebut pada struktur molekulnya.
c. Spektroskopi Nuclear Magnetic Resonance (NMR)
Spektroskopi
NMR
didasarkan
pada
penyerapan
gelombang
elektromagnetik oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik, apabila molekul ini
berada dalam medan magnet yang kuat. Inti atom suatu unsur dapat
dikelompokkan sebagai mempunyai spin atau tidak mempunyai spin. Suatu inti
berspin seperti hidrogen dapat menimbulkan medan magnet kecil yang disebut
sebagai suatu momen magnetik nuklir. Inti-inti yang berspin ini dapat
dimanfaatkan dalam spektroskopi NMR karena menyerap energi tidak pada
frekuensi gelombang elektromagnetik yang sama. (Fessenden dan Fessenden,
1994)
Spektra 1H-NMR memberikan informasi tentang jumlah setiap tipe atom
hidrogen (proton) yang ada dalam struktur suatu senyawa serta memberikan
gambaran mengenai sifat lingkungan dari setiap tipe atom hidrogen (proton)
tersebut. Umumnya spektra ini digambarkan sebagai kurva yang menghubungkan
frekuensi serapan dengan intensitasnya. (Sastrohamidjojo, 2001)
Kebanyakan spektrometer NMR juga dilengkapi dengan integrator yang
memberi isyarat mengenai luas relatif di bawah puncak suatu spektra. Integrasi
muncul sebagai deretan anak tangga yang digambar bertumpuk dengan spektrum
NMR-nya. Tinggi anak tangga dalam tiap puncak berbanding lurus dengan luas
area di bawah puncak itu dan sebanding dengan banyaknya proton yang
menimbulkan puncak tersebut. (Fessenden dan Fessenden, 1994)
20
Satu-satunya parameter yang dapat diturunkan dari spektra
13
C adalah
geseran kimianya. Integral tidak dapat dipercaya dan tidak menunjukkan jumlah
relatif dari atom karbon yang menghasilkan sinyal tersebut. Interaksi spin-spin
antara
karbon-karbon
yang
berdekatan
sangat
jarang,
karena
dengan
kelimpahannya yang sangat rendah kemungkinan untuk mendapatkan dua atom
13
13
C yang bersebelahan sangat kecil. Atom karbon
C menjalani interaksi spin-
spin dengan atom hidrogen yang diikatnya. (Kemp, 1975)
F. Landasan Teori
Berbagai penelitian mengenai hidrogenasi telah dilakukan untuk mereduksi
ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal dengan bantuan katalis logam. Salah
satunya adalah hidrogenasi dalam sintesis senyawa bibenzil 16 dari bahan awal
vanilin. Dalam prosesnya, senyawa stilbena 15 hasil reaksi sulfon dengan CF2Br2
dihidrogenasi menggunakan katalis 10% Pd/C dalam etil asetat – MeOH (3:1)
menghasilkan senyawa bibenzil 16.
H3C
H3C
O
HO
H2, Pd/C
O
O
HO
O
CH3
OH
stilbena tersubstitusi
15
CH3
OH
bibenzil
16
Gambar 8. Reaksi hidrogenasi dalam sintesis senyawa bibenzil 16 (Budimarwanti, 2007)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kadarohman et al. (2009),
hidrogenasi ikatan rangkap (C=C) pada eugenol 17 dan isoeugenol 18 menjadi
21
ikatan tunggal (C-C) 2- metoksi- 4 – propilfenol 19 dilakukan dengan
menggunakan logam Pt, Pd, dan Ni yang diimpregnasikan pada zeolit.
CH3 OH
O
eugenol
17
CH3 OH
O
CH2
H2
Pt, Pd, Ni / Zeolit
CH3 OH
O
CH3
2 - metoksi - 4 - propilfenol
isoeugenol
18
19
CH3
Gambar 9. Konversi eugenol 17 dan isoeugenol 18 menjadi 2 – metoksi – 4 – propilfenol 19
melalui reaksi hidrogenasi
Menurut Nakazawa dan Itazaki (2011), hidrogenasi α,β-unsaturated keton
20 menghasilkan campuran senyawa alkohol tak jenuh 21 dan jenuh 22 dapat
dilakukan dengan menggunakan kompleks logam besi sebagai katalisnya.
O
Ph
OH
2 mol % katalis Fe
20
3 atm H2
toluen, 25oC
Ph
21
42%
OH
+
Ph
22
56%
Gambar 10. Hidrogenasi α,β-unsaturated keton 20 menggunakan katalis logam Fe
THPGV-0 3 telah berhasil disintesis oleh Ritmaleni (2007) melalui proses
hidrogenasi PGV-0 2 menggunakan katalis logam Pd/C dalam pelarut yang sesuai
pada suhu ruangan, dan terbukti THPGV-0 3 memiliki aktivitas antioksidan yang
lebih baik daripada PGV-0 2. Jika PGV-0 2 dapat dihidrogenasi menggunakan
katalis logam Pd/C menghasilkan THPGV-0 3 maka diharapkan THPGV-0 3
22
tersebut juga dapat disintesis menggunakan katalis logam yang lain seperti besi
(III) klorida, aluminium klorida, dan seng klorida melalui proses yang sama.
H H + Pd2+
H Pd H
Ha Hb O Ha
O
H3C
O
HO
O
H3C
CH3
HO
OH
2
O
3
Hb
O
CH3
OH
Gambar 11. Reaksi pembentukkan THPGV-0 3
G. Hipotesis
Palladium/karbon, besi (III) klorida, aluminium klorida, dan seng klorida
dapat digunakan sebagai katalis pada sintesis THPGV-0 3 melalui proses
hidrogenasi pada suhu kamar yang akan menghasilkan rendemen berbeda sebagai
penentu katalis mana yang lebih optimal.
O
H3C
O
O
HO
a/b/c/d
1 atm, H2
H3C
O
HO
OH
2
Ha
CH3
Hb O Ha Hb
3
O
CH3
OH
Gambar 12. Hidrogenasi PGV-0 2 dengan variasi katalis Pd/C, FeCl3, AlCl3, dan ZnCl2
Keterangan: a = Pd/C
b = FeCl3
c = AlCl3
d = ZnCl2
23
Download