BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Senyawa pentagamavunon-0 (2,5-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksi)-benzilidinsiklopentanon) dikenal sebagai PGV-0 2, merupakan analog atau senyawa yang serupa dengan kurkumin (1,7-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,5dion) 1 yang telah banyak diteliti aktivitasnya. Berdasarkan penelitian ilmiah telah banyak dilaporkan mengenai aktivitas PGV-0 2, di antaranya sebagai antioksidan (Sardjiman et al., 2003; Reksohadiprodjo et al., 2004), antiinflamasi (Sardjiman et al., 2003; Reksohadiprodjo et al., 2004), antibakteri (Sardjiman et al., 2003; Reksohadiprodjo et al., 2004), penghambatan enzim COX-1 (Sardjiman, 2000), penghambatan enzim COX-2 (Septisetyani et al., 2008), antigonadotropik (Nurcahyo et al., 2006), dan antikanker (Meiyanto et al., 2007; Septisetyani et al., 2008). 1 Aktivitas penghambatan turunan dibenzilidinsiklopentanon terhadap peroksidasi lipid mikrosom secara in vitro ditentukan melalui tes TBA menggunakan mikrosom hati tikus sebagai sumber asam lemak tidak jenuh. Senyawa yang mengandung gugus hidroksi dalam cincin aromatik pada kedudukan para secara relatif aktif sebagai penghambat peroksidasi lipid. Efek antiinflamasi ditentukan berdasarkan pada penghambatan pembengkakan telapak kaki tikus yang disebabkan oleh karagenin. Hampir semua senyawa turunan dibenzilidinsiklopentanon mempunyai penghambatan yang baik sekali. Gugus pemberi elektron pada cincin aromatik akan menaikkan daya antiinflamasinya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa delapan dari sebelas senyawa yang diuji, aktif sebagai penghambat siklooksigenase, termasuk PGV-0 2 dengan IC50 sebesar 0,91 µM. (Sardjiman, 2000) Pada penelitian yang lain dijelaskan bahwa PGV-0 2 mampu menginduksi apoptosis dengan cara menekan ekspresi COX-2. Mekanisme induksi apoptosis ini melibatkan regulasi pro-protein Bax. (Septisetyani et al., 2008) Aktivitas antigonadotropik dari PGV-0 2 dapat terjadi pada beberapa situs seperti menghambat pengikatan FSH atau LH pada reseptornya atau menaikkan degradasi cAMP. (Nurcahyo et al., 2006) Robinson et al. (2003) membagi molekul kurkumin 1 menjadi tiga bagian farmakofor yaitu bagian A dari cincin aromatis, bagian B yaitu ikatan dien-dion, dan bagian C suatu cincin aromatis pula. Dua cincin aromatis baik simetris atau tidak simetris menentukan potensi ikatan antara senyawa obat dengan reseptor, sehingga salah satu upaya modifikasi molekul kurkumin 1 dilakukan pada bagian 2 B (gambar 1). PGV-0 2 diperoleh melalui modifikasi struktur kurkumin 1 pada ikatan dien-dion tersebut. B A HO C O 1 HO H3C O H3C O O O 2 OH O CH3 O CH3 OH Gambar 1. Pembagian farmakofor pada kurkumin 1 dan analog PGV-0 2 (Da’i et al., 2006) Sintesis PGV-0 1 telah berhasil dilakukan oleh Da’i et al (2006) dengan mereaksikan antara siklopentanon dan vanillin melalui reaksi kondensasi Cleissen-Schmidt dengan menggunakan katalis asam. Senyawa turunan kurkumin 1 disebut kurkuminoid, yang hanya terdapat dua macam, yaitu desmetoksikurkumin dan bis-desmetoksikurkumin, sedangkan in vivo, kurkumin 1 akan berubah menjadi senyawa metabolit berupa dihidrokurkumin atau tetrahidrokurkumin sebelum kemudian dikonversi menjadi senyawa konjugasi monoglukoronida. (Aggarwal dan Shishodia, 2006) Dengan analogi bahwa kurkumin 1 dapat diturunkan menjadi tetrahidrokurkumin, hal yang sama pada PGV-0 2 sebagai senyawa analog kurkumin 1 juga dapat diturunkan menjadi senyawa baru yaitu tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) 3. Sintesis THPGV-0 3 telah berhasil dilakukan oleh Ritmaleni dan Ari Simbara (2010) melalui reaksi reduksi PGV-0 2 dengan gas H2 dan katalis palladium/karbon dalam pelarut yang sesuai. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ritmaleni dan Ari Simbara 3 (2010), diketahui sintesis THPGV-0 3 dengan pelarut metanol dan katalis palladium/karbon menghasilkan rendemen sebesar 25%. Rendemen sebesar 25% tersebut masih sedikit, sehingga untuk memperoleh hasil yang lebih optimal perlu dicari metode sintesis terbaik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan variasi katalis untuk memperoleh rendemen yang lebih banyak. Katalis yang digunakan adalah palladium/karbon (Pd/C), besi (III) klorida (FeCl3), aluminium klorida (AlCl3), dan seng klorida (ZnCl2). Pemilihan katalis tersebut selain karena faktor harga katalis yang biasanya sangat mahal (seperti Pd, Pt, dan Ni) juga berdasarkan kemampuan logam dalam mengadsorpsi hidrogen pada permukaannya membentuk ikatan logam-H sehingga mempercepat jalannya reaksi. Jika dalam penelitian sebelumnya THPGV-0 3 berhasil disintesis menggunakan katalis Pd/C, maka diharapkan juga dapat disintesis menggunakan katalis logam yang lain. B. Rumusan Masalah Apakah penggunaan palladium/karbon (Pd/C), besi (III) klorida (FeCl3), aluminium klorida (AlCl3), dan seng klorida (ZnCl2) sebagai katalis pada proses sintesis THPGV-0 3 mempengaruhi rendemen yang diperoleh? C. Tujuan Penelitian Mengetahui pengaruh penggunaan palladium/karbon (Pd/C), besi (III) klorida (FeCl3), aluminium klorida (AlCl3), dan seng klorida (ZnCl2) sebagai katalis pada sintesis THPGV-0 3 dan menentukan katalis yang memberikan 4 rendemen paling banyak. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis dan Kalangan Peneliti a. Dapat digunakan sebagai landasan ilmiah untuk penelitian berikutnya mengenai sintesis senyawa THPGV-0 3. b. Sebagai pertimbangan memilih metode sintesis senyawa THPGV-0 3 yang baik. 2. Bagi Masyarakat secara umum Memberikan alternatif obat analog kurkumin 1 yang lain. E. Tinjauan Pustaka 1. Pentagamavunon-0 (PGV-0) 2 PGV-0 2 merupakan analog kurkumin 1 yang disintesis dengan mengubah bagian asetil aseton pada kurkumin 1 menjadi siklopentanon. (Sardjiman, 1993) Senyawa ini diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologi antara lain sebagai penghambat pertumbuhan sel kanker payudara T47D (Meiyanto et al., 2006), antioksidan, antiinflamasi , antibakteri (Sardjiman et al., 2003; Reksohadiprodjo et al., 2004), dan penghambatan enzim siklooksigenase (Sardjiman, 2000). O H3C O HO O 2 CH3 OH Gambar 2. Struktur kimia PGV-0 2 5 2. Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) 3 Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) atau 2,5-bis(4'-hidroksi-3'- metoksibenzil) siklopentanon 3 merupakan senyawa turunan PGV-0 2 yang telah berhasil disintesis melalui reaksi reduksi dengan gas H2 dan katalis palladium/karbon menggunakan pelarut metanol. THPGV-0 3 yang dihasilkan mempunyai rendemen sebesar 25%. (Ritmaleni dan Simbara, 2010) THPGV-0 3 memiliki efek farmakologi sebagai antialergi (Nugroho et al., 2010), antibakteri (Mintariyanti, 2010), antifungi (Agustina, 2010), dan antioksidan (Simbara, 2009). THPGV-0 3 mempunyai aktivitas antioksidan dan daya reduktif (FRAP) lebih baik daripada PGV-0 2. (Simbara, 2009) Ha Hb O Ha Hb H3C O O HO CH3 OH 3 Gambar 3. Struktur kimia THPGV-0 3 3. Hidrogenasi Hidrogenasi merupakan reaksi kimia reduksi yang menghasilkan penambahan hidrogen (H2), biasanya untuk senyawa organik tak jenuh. Proses ini berupa penambahan atom hidrogen ke dalam ikatan rangkap dari suatu molekul menggunakan katalis. Hidrogen juga menghidrogenasi pada ikatan rangkap tiga. (Hudlicky, 1996) Contoh sederhana adalah reaksi hidrogenasi asam maleat 4 menjadi asam suksinat 5 seperti tampak pada gambar berikut. 6 O O O HO OH H HH 3 atm H2 Pd2+ H HO OH HH O 5 4 Gambar 4. Reaksi hidrogenasi asam maleat 4 menjadi asam suksinat 5 (Amoa, 2007) Katalis logam palladium akan memisahkan gas hidrogen menjadi atomatomnya. Atom-atom ini distabilisasi dalam bentuk radikalnya, sehingga terbentuk campuran H2 dan hidrogen radikal. Atom hidrogen yang telah teraktivasi bersifat sangat reaktif dan akan mencoba untuk menuju kestabilan yang baru dengan orbital s penuh dengan dua elektron. Ikatan rangkap pada asam maleat 4 juga akan dipecah oleh katalis logam dan mengikatnya pada permukaan katalis. Atom hidrogen akan menarik elektron dari asam maleat 4, memecah ikatan rangkap antar atom karbon, kemudian menggantinya dengan ikatan baru, sehingga terbentuklah asam suksinat 5. (Hudlicky, 1996) Reaksi hidrogenasi bersifat eksotermis, tetapi reaksi ini tidak berjalan secara spontan karena energi pengaktifannya sangat tinggi. Pemanasan tidak dapat mensuplai energi yang cukup untuk membawa molekul itu ke keadaan transisi, namun reaksi akan berjalan dengan lancar apabila ditambah suatu katalis. (Fessenden dan Fessenden, 1991) Pada reaksi hidrogenasi diasumsikan molekul alkena teradsorpsi secara horizontal ke bidang reaksi diikuti terbentuknya kompleks π dengan situs aktif, atau putusnya ikatan π diikuti terbentuknya dua ikatan σ dengan situs aktif. Atomatom hidrogen teradsorpsi kemudian menyerang naik dari permukaan ke sisi teradsorpsi dari ikatan rangkap. (Smith, 1999) 7 Tingkat kemampatan pada ikatan rangkap berpengaruh terhadap adsorpsi alkena pada permukaan katalis. Oleh karena itu, berpengaruh pula terhadap jalannya adisi hidrogen. Sedikit kekacauan struktural kadang-kadang menentukan terjadi atau tidaknya proses hidrogenasi. Menariknya, kemampuan ikatan rangkap untuk mendatar pada permukaan katalis tidak selalu dapat digunakan sebagai prediksi terjadi atau tidaknya proses hidrogenasi. Sebagai contoh, alkena disubstitusi pada trans-2-(1-pentadecenyl)benzene1,3-dicarbonitrile tidak terhidrogenasi menggunakan katalis Pd/C 10% dalam pelarut THF-etanol (1:1) pada tekanan 1 atm. Sedangkan pada trans-2,6bis(hydroxymethyl)-1-(1-pentadecenyl)benzene dapat terjadi hidrogenasi. Ikatan rangkap C=C hampir tegak lurus terhadap cincin benzen pada kedua molekul. Ketidakmampuan dinitril untuk menghidrogenasi dihubungkan dengan efek penarikan elektron. Namun, penjelasan lain yang mungkin adalah cincin benzen tersubstitusi itu teradsorpsi dengan kuat pada permukaan katalis sehingga ikatan rangkap C=C tidak dapat berotasi pada posisi dimana hidrogen dapat ditambahkan. Oksigen dari gugus dihidroksimetil kemungkinan teradsorpsi dan menaikkan benzen dari permukaan sehingga ikatan rangkap C=C bisa berotasi pada posisi dimana atom hidrogen dapat menyerang. (Smith, 1999) 4. Katalis Dalam suatu proses produksi, selalu dikehendaki untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Reaksi katalitik atau reaksi terkatalisis berarti reaksi mengalami perubahan laju yang disebabkan oleh aksi katalis, suatu zat yang tidak mengalami perubahan kimia 8 selama dan setelah reaksi berlangsung. Katalis dapat menyebabkan reaksi bertambah cepat (katalis positif) atau menjadi lambat (katalis negatif). Secara umum katalis adalah zat yang mempercepat laju reaksi, sedangkan inhibitor adalah zat yang menghambat laju reaksi. Katalis hanya mempercepat reaksi, tidak memulai reaksi yang secara termodinamika tidak dapat berlangsung. (Triyono, 2002) Bentuk katalis dapat berupa logam murni, oksida-oksida dan garam-garam, dapat berupa katalis tunggal ataupun campuran, dengan supporter atau tidak, dan dengan promotor atau tidak. (Sukardjo, 1985) Supporter atau pendukung katalis dapat mempengaruhi struktur permukaan dari fase aktif katalis yang berperan dalam proses katalitik, sehingga pemilihan pendukung katalis yang tepat merupakan langkah penting dalam desain katalis. Contoh pendukung katalis diantaranya adalah SiO2, Al2O3, ZnO2, dan karbon aktif. (Yoshinaga et al., 2002) Promotor katalis merupakan bahan yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas katalis dengan menjaga dispersi fasa aktif dan meningkatkan stabilitas termal dari pendukung. Promotor yang sering digunakan adalah Cu, Sn, In, dan Zn. (Prusse at al., 2000; Pintar et al., 2004) Karena banyaknya macam katalis dan beragamnya sistem reaksi, maka katalis diklasifikasikan menjadi katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen adalah katalis yang fasanya sama dengan fasa sistem reaksi. Agar terjadi interaksi yang baik antar molekul reaktan dan antara molekul reaktan dengan katalis maka antar molekul reaktan dan antara molekul reaktan dengan katalis sebaiknya terdistribusi merata di seluruh bagian sistem reaksi. 9 Kondisi ini mudah terpenuhi apabila reaktan dan katalis punya fasa yang sama dan saling melarutkan sehingga luas bidang kontak semakin besar. Pada katalis heterogen reaksi hanya terjadi pada bidang batas antar lapis yakni pada bidang antarmuka sehingga semakin luas bidang antarmuka, reaksi akan berlangsung semakin baik. Tahapan untuk terjadinya reaksi pada proses katalisis heterogen adalah: 1). Transfer molekul-molekul reaktan ke permukaan katalis (difusi) 2). Adsorpsi molekul-molekul reaktan pada permukaan katalis 3). Reaksi molekul-molekul teradsorpsi pada permukaan katalis menghasilkan produk 4). Desorpsi molekul-molekul produk reaksi dari permukaan katalis 5). Transfer produk reaksi ke fasa fluida Sebagian besar katalis adalah selektif sehingga hanya beberapa spesies yang cocok untuk reaksi tertentu. Pada prinsipnya pemilihan katalis didasarkan atas kuat ikatan dari molekul reaktan yang akan diaktivasi. Bila dengan katalis saja belum cukup untuk mengaktifkan ikatan maka perlu ditambahkan promoter untuk memperkuat kinerja katalis. Untuk katalis hidrogenasi, ikatan yang akan diaktivasi adalah ikatan rangkap, dapat digunakan logam-logam golongan VIII sedangkan untuk promoter digunakan sulfida atau oksida logam dari golongan VI A. (Triyono, 2002) Katalis dalam reaksi hidrogenasi memudahkan jalannya reaksi hidrogenasi. Bukti eksperimen mendukung teori bahwa mula-mula hidrogen diadsorpsi pada permukaan logam, kemudian ikatan sigma H2 terputuskan dan terbentuk ikatan 10 logam-H. Molekul yang akan tereduksi (mengandung ikatan rangkap) juga teradsorpsi pada permukaan logam, dengan ikatan π-nya berantaraksi dengan orbital kosong dari logam itu. Molekul bergerak-gerak pada permukaan logam sampai menabrak atom hidrogen yang terikat pada logam, menjalani reaksi dan kemudian pergi sebagai produk hidrogenasi. Efek keseluruhan katalis logam dalam hidrogenasi adalah menyediakan suatu permukaan dimana reaksi dapat terjadi dan melemahkan ikatan-ikatan dalam H2 dan dalam senyawa yang akan tereduksi. Akibatnya adalah penurunan energi aktivasi untuk reaksi tersebut. Katalis tidak mengubah energi pereaksi maupun produk tetapi hanya mengubah energi aktivasinya. (Fessenden dan Fessenden, 1994) Hidrogenasi PGV-0 2 memungkinkan terjadinya ikatan antara logam dengan alkena. Ikatan rangkap pada alkena berperan sebagai basa Lewis dengan dua elektron pada ikatan π, ikatan logam-alkena ini disebut sebagai ikatan π kompleks. H H L H H H H L H H 6 7 Gambar 5. Resonansi ikatan kompleks alkena-logam (Grossman, 1964) H2 dapat menggunakan 2 elektron pada ikatan σ untuk membentuk ikatan kompleks σ dengan logam. Jika logam minimal mempunyai dua elektron valensi, dapat terjadi back bond menuju orbital σ* yang akibatnya ikatan H-H melemah, sehingga terbentuk kompleks dihidra H-logam H. 11 H H L L H H 9 8 Gambar 6. Resonansi ikatan kompleks dihidra H-logam H (Grossman, 1964) Reaksi yang dikatalisis oleh logam biasanya digambarkan dalam bentuk sirkuler untuk menunjukkan bagaimana logam tersebut dapat diregenerasi pada setiap akhir siklus katalis. H3C H 2PdII 2H2 10 H H3C CH3 11 CH3 (b) (a) H3C CH3 H3C CH3 PdII 0 2Pd H3CH3C CH3 H3C H H 14 (d) H H3CH3C CH3 H3C II Pd H H 13 12 H (c) Gambar 7. Siklus katalis Pd pada reaksi hidrogenasi (Grossman, 1964) Keterangan: (a) adisi oksidatif (b) koordinasi (c) insersi (d) eliminasi reduktif Berdasarkan reaksi dari 2,3-dimetil-2-butena 11 dengan H2 menggunakan katalis Pd/C, dua ikatan baru C-H terbentuk dan sebuah ikatan rangkap π C=C terputus. Logam Pd memiliki bilangan oksidasi 0 (d10), maka dapat bereaksi dengan H2 melalui adisi oksidatif, membentuk dua ikatan Pd-H 10. Pada keadaan ini, Pd memiliki bilangan oksidasi II. Koordinasi dan insersi alkena ke dalam satu 12 ikatan Pd-H memberikan ikatan Pd-C dan C-H 13. Akhirnya, terjadi eliminasi reduktif melepaskan produk 14 dan meregenerasi Pd0 yang akan menjalani siklus katalitik baru. (Grossman, 1964) Dalam penelitian ini digunakan empat macam katalis logam, yaitu: a. Palladium/karbon Palladium merupakan logam transisi golongan VIII B, mempunyai nomor atom 46 dan nomor massa 106,4 g/mol. Palladium dapat didukung oleh suatu padatan, misalnya karbon teraktivasi, silika, dan alumina. Katalis Pd/C yaitu palladium yang diadsorpsikan pada karbon suatu pengemban inert dan tidak larut, merupakan salah satu katalis heterogen yang sesuai untuk reduksi ikatan π pada alkena. (Grossman, 1964) Palladium memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap sampai 900 kali volume hidrogen pada temperatur kamar. (Mitsui et al., 2003) Ketika palladium menyerap hidrogen dalam jumlah besar, itu akan sedikit memperluas ukurannya. (Gray, 2007) Penggunaan katalis Pd/C tidak mengubah energi pereaksi maupun produk, tetapi menyebabkan penurunan energi aktivasi reaksi sehingga dapat mempermudah terjadinya adisi hidrogen pada ikatan π (-CH=CH-) membentuk ikatan tunggal (-CH2-CH2-). (Fessenden dan Fessenden, 1994) b. Besi (III) klorida Fe juga merupakan logam transisi golongan VIII B dengan nomor atom 26 dan nomor massa 55,847 g/mol. Besi (III) klorida adalah suatu senyawa kimia yang merupakan komoditas skala industri dengan rumus kimia FeCl3. Anhidrat 13 dari besi (III) klorida adalah asam Lewis yang cukup kuat, dan digunakan sebagai katalis dalam sintesis organik. (Holleman dan Wiberg, 2001) Dalam sudut pandang industri, katalis hidrogenasi menggunakan besi sangat menarik. Logam besi sangat berlimpah di bumi dan lebih murah dibandingkan logam lain yang umum digunakan dalam hidrogenasi seperti Pd, Pt, Rh, dan Ir. Selain itu, kompleks logam biasanya tidak beracun dan dapat ditangani dengan mudah. Namun, di luar proses Fischer-Tropsch dan sintesis ammonia HaberBosch, penggunaan besi dalam hidrogenasi heterogen agak terbatas. Untuk hidrogenasi ikatan C-C tak jenuh, hanya ada beberapa publikasi dimana digunakan suhu dan tekanan tinggi. (Rangheard et al., 2010) Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Rangheard et al. (2010) memperlihatkan bahwa nanopartikel besi, yang diperoleh dari reduksi garam besi dalam THF dengan alkil Grignards atau alkil litium adalah katalis yang bagus untuk hidrogenasi alkena dan alkuna. c. Aluminium klorida Aluminium adalah logam golongan III A dengan nomor atom 13 dan nomor massa 26,9815 g/mol. AlCl3 adalah Asam Lewis yang paling umum digunakan, juga termasuk yang paling kuat. Aplikasinya sangat luas dalam industri kimia sebagai katalis untuk reaksi alkilasi Friedel-Crafts dan asilasi. (Olah, 1963) Aluminium klorida dikenal sebagai katalis untuk banyak reaksi organik, termasuk hidrocracking. Akan tetapi tidak dikenal sebagai katalis hidrogenasi yang efektif. Penelitian Kawa et al. (1968) menunjukkan bahwa aluminium 14 klorida dalam konsentrasi yang tinggi merupakan katalis yang efektif untuk hidrogenasi batubara menjadi minyak. Reaktivitas elektrofilik α,β-amida tak jenuh terhadap nukleofil lemah seperti arena dan sikloheksana dapat diinisiasi oleh asam triflat (CH3SO3H) atau AlCl3 berlebih. Hidrogenasi ionik selektif ini berlangsung dalam pelarut sikloheksana menghasilkan amida jenuh. (Koltunov et al., 2004) d. Seng klorida Seng adalah logam golongan II B dengan nomor atom 30 dan nomor massa 65,37 g/mol. Di dalam laboratorium, seng klorida digunakan secara luas, terutama sebagai Asam Lewis kekuatan sedang. Hal ini dapat mengkatalisis sintesis Fischer dan asilasi Friedel-Crafts melibatkan aktivasi cincin aromatik. (Dike et al., 1991) Penelitian Matsuura et al. (1968) sebagai tindak lanjut dari penelitian sebelumnya menyatakan bahwa seng klorida dan klorida timah telah terbukti menjadi katalis yang efektif untuk hidrogenasi batubara dalam reaktor shortresidence-time. 5. Analisis Hasil Sintesis a. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) KLT merupakan metode pemisahan komponen-komponen berdasarkan perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan fase gerak atau eluen. Prinsip dari KLT adalah penggunaan fase diam datar yang kemudian 15 dikembangkan dengan fase gerak lalu dilakukan deteksi setelah hilangnya fase gerak dari permukaan fase diam. Komponen campuran terelusi melewati fase diam bersama dengan fase gerak. Pemisahan bergantung pada kecepatan migrasi dari komponen dalam campuran tersebut. Fase gerak melewati fase diam dengan gaya kapiler dan kadang karena gravitasi atau tekanan. Setiap komponen mempunyai kecepatan migrasi yang berbeda. (Fried dan Sherma, 1994) KLT adalah metode yang paling mudah, cepat dan sering digunakan untuk memperkirakan tingkat kemurnian suatu senyawa. Hasil elusi sampel pada berbagai fase gerak yang hanya menghasilkan satu bercak tunggal merupakan indikator kemurnian yang baik. Sebagai tambahan, identifikasi senyawa yang belum diketahui dapat dibantu dengan membandingkan posisi bercak senyawa tersebut terhadap posisi bercak senyawa yang telah diketahui. Secara umum, KLT merupakan bentuk kromatografi yang paling luas penggunaannya serta sangat bermanfaat untuk analisis kualitatif secara cepat terhadap suatu campuran, memonitor suatu reaksi serta menentukan parameter operasional yang dibutuhkan dalam kromatografi kolom preparatif. (Sharp et al.,1989) Retardaction factor atau biasa disingkat Rf pada KLT analog dengan waktu retensi pada GC atau HPLC yang menunjukkan ketahanan senyawa pada fasa diam. Rf diperoleh dari perbandingan jarak tempuh spot senyawa terhadap jarak tempuh eluen pada plat KLT. Rf masing-masing senyawa khas dan menjadi identitas dari senyawa tersebut sehingga KLT dapat digunakan untuk analisis kualitatif dengan cara membandingkan spot-spot yang dihasilkan terhadap spot 16 standar. b. Pengukuran jarak lebur Jarak lebur suatu senyawa padat merupakan kisaran temperatur dimana senyawa padatan tersebut mulai berubah menjadi cairan di bawah tekanan satu atmosfer. Peningkatan temperatur akan menyebabkan terjadinya penyerapan energi oleh molekul senyawa padat dan bila energi yang diserap cukup besar akan terjadi vibrasi dan rotasi dari molekul tersebut. Jika temperatur terus dinaikkan maka molekul senyawa padat tersebut akan rusak dan berubah menjadi cairan. Jarak lebur merupakan karakteristik yang penting untuk senyawa organik padat. Jarak lebur dapat digunakan untuk identifikasi dan parameter kemurnian suatu senyawa. Penggunaan untuk parameter kemurnian didasarkan pada fakta bahwa suatu senyawa yang murni akan mempunyai jarak lebur yang pendek ketika berubah sempurna dari padat ke cair. Jarak lebur maksimum untuk senyawa murni adalah 1-2oC. Keberadaan senyawa lain akan mempengaruhi jarak lebur. Bila suatu senyawa tidak murni akan menunjukkan fenomena antara lain memiliki jarak lebur yang lebih lebar dan suhu lebur yang lebih rendah. (Sharp et al., 1989) 6. Elusidasi Struktur a. Gass Chromatography-Mass Spektrometry (GC-MS) Spektroskopi massa tidak didasarkan pada penyerapan energi oleh suatu molekul seperti halnya yang terjadi pada kebanyakan teknik spektroskopi lainnya. Spektrum massa menunjukkan rekaman massa fragmen-fragmen bermuatan (biasanya positif) melawan konsentrasi relatifnya masing-masing. Kelimpahan ion 17 (abundance) ditunjukkan dengan intensitas puncak-puncak massa yang besar kecilnya tergantung dari stabilitas ion tersebut. Puncak yang intensitasnya paling tinggi disebut base peak dan dinyatakan dengan harga 100%. Intensitas puncakpuncak lain dinyatakan sebagai persentase dari base peak tersebut. Terkadang base peak merupakan puncak ion molekul yaitu puncak dengan bilangan massa terbesar kecuali jika terdapat puncak-puncak isotop. Ion molekul merupakan radikal ion yang terjadi karena pengambilan satu elektron dari molekul suatu senyawa. Massa ion molekul merupakan bobot molekul senyawanya. (Silverstein dan Webster, 1997) Interpretasi spektrum massa memberikan informasi puncak ion molekul yang merupakan bobot molekul senyawa tersebut dan fragmentasi yang terjadi. Ion molekul biasanya terletak di sebelah paling kanan pada spektra massa. Puncak ion molekul ini selain menunjukkan bobot molekul, intensitas puncak juga dapat menunjukkan jenis atau tipe senyawa. Jenis fragmentasi yang akan terjadi dari suatu molekul dapat diramalkan dan fragmen yang terjadi dapat digunakan untuk merujuk molekul asal. Untuk mempermudah dalam mencari fragmen yang biasanya lepas dapat digunakan tabel pada pustaka. (Silverstein dan Webster, 1997) b. Spektroskopi Infra Red (IR) Penggunaan spektrum inframerah untuk penentuan struktur senyawa organik biasanya antara 650-4000 cm-1 (15,4 nm-2,5μm). Daerah di bawah frekuensi 650 cm-1 disebut inframerah jauh dan daerah di atas 4000 cm-1 disebut inframerah dekat. Absorpsi energi radian pada daerah ini menyebabkan terjadinya 18 transisi vibrasional pada molekul senyawa organik dan anorganik sehingga menghasilkan spektrum absorpsi. Vibrasi dibagi menjadi dua macam, yaitu ulur (stretching) dan tekuk (bending). Vibrasi ulur terjadi apabila perubahan jarak antara dua atom yang berubah terus menerus itu selalu sepanjang sumbu kedua atom tersebut. Pada vibrasi tekuk, perubahan jarak disertai dengan perubahan sudut antara kedua ikatan atom tersebut. Spektra IR pada dasarnya merupakan gambaran pita serapan yang spesifik dari gugus-gugus fungsional. Interaksi gugus ini dengan atom yang mengelilinginya dapat menandai spektra untuk tiap senyawa. Untuk analisis kualitatif, ada tidaknya serapan pada frekuensi tertentu merupakan penanda ada tidaknya gugus fungsional tertentu. (Sastrohamidjojo, 2001) Secara sederhana, spektroskopi IR merupakan pengukuran serapan pada berbagai frekuensi berbeda yang terjadi apabila suatu senyawa diposisikan terhadap radiasi infra merah yang meliputi suatu daerah dari spektra elektromagnetik dengan frekuensi sekitar 13.000 sampai 10 cm-1 atau dari panjang gelombang 0,78 sampai 1000μm. (Hsu, 1997) Analisis spektra IR biasanya digunakan untuk menentukan gugus fungsional dalam senyawa unknown, mengidentifikasi komponen dengan mencocokkan spektra yang belum diketahui dengan spektra reference. Untuk menginterpretasi spektrum IR senyawa unknown, perhatian utama adalah menentukan ada atau tidak adanya beberapa gugus fungsional utama. Puncak 19 C=O, O-H, N-H, C-O, C=C, C=N, dan puncak NO2 sangat menonjol dan jika ada akan memberi keterangan adanya gugus fungsi tersebut pada struktur molekulnya. c. Spektroskopi Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan gelombang elektromagnetik oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik, apabila molekul ini berada dalam medan magnet yang kuat. Inti atom suatu unsur dapat dikelompokkan sebagai mempunyai spin atau tidak mempunyai spin. Suatu inti berspin seperti hidrogen dapat menimbulkan medan magnet kecil yang disebut sebagai suatu momen magnetik nuklir. Inti-inti yang berspin ini dapat dimanfaatkan dalam spektroskopi NMR karena menyerap energi tidak pada frekuensi gelombang elektromagnetik yang sama. (Fessenden dan Fessenden, 1994) Spektra 1H-NMR memberikan informasi tentang jumlah setiap tipe atom hidrogen (proton) yang ada dalam struktur suatu senyawa serta memberikan gambaran mengenai sifat lingkungan dari setiap tipe atom hidrogen (proton) tersebut. Umumnya spektra ini digambarkan sebagai kurva yang menghubungkan frekuensi serapan dengan intensitasnya. (Sastrohamidjojo, 2001) Kebanyakan spektrometer NMR juga dilengkapi dengan integrator yang memberi isyarat mengenai luas relatif di bawah puncak suatu spektra. Integrasi muncul sebagai deretan anak tangga yang digambar bertumpuk dengan spektrum NMR-nya. Tinggi anak tangga dalam tiap puncak berbanding lurus dengan luas area di bawah puncak itu dan sebanding dengan banyaknya proton yang menimbulkan puncak tersebut. (Fessenden dan Fessenden, 1994) 20 Satu-satunya parameter yang dapat diturunkan dari spektra 13 C adalah geseran kimianya. Integral tidak dapat dipercaya dan tidak menunjukkan jumlah relatif dari atom karbon yang menghasilkan sinyal tersebut. Interaksi spin-spin antara karbon-karbon yang berdekatan sangat jarang, karena dengan kelimpahannya yang sangat rendah kemungkinan untuk mendapatkan dua atom 13 13 C yang bersebelahan sangat kecil. Atom karbon C menjalani interaksi spin- spin dengan atom hidrogen yang diikatnya. (Kemp, 1975) F. Landasan Teori Berbagai penelitian mengenai hidrogenasi telah dilakukan untuk mereduksi ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal dengan bantuan katalis logam. Salah satunya adalah hidrogenasi dalam sintesis senyawa bibenzil 16 dari bahan awal vanilin. Dalam prosesnya, senyawa stilbena 15 hasil reaksi sulfon dengan CF2Br2 dihidrogenasi menggunakan katalis 10% Pd/C dalam etil asetat – MeOH (3:1) menghasilkan senyawa bibenzil 16. H3C H3C O HO H2, Pd/C O O HO O CH3 OH stilbena tersubstitusi 15 CH3 OH bibenzil 16 Gambar 8. Reaksi hidrogenasi dalam sintesis senyawa bibenzil 16 (Budimarwanti, 2007) Pada penelitian yang dilakukan oleh Kadarohman et al. (2009), hidrogenasi ikatan rangkap (C=C) pada eugenol 17 dan isoeugenol 18 menjadi 21 ikatan tunggal (C-C) 2- metoksi- 4 – propilfenol 19 dilakukan dengan menggunakan logam Pt, Pd, dan Ni yang diimpregnasikan pada zeolit. CH3 OH O eugenol 17 CH3 OH O CH2 H2 Pt, Pd, Ni / Zeolit CH3 OH O CH3 2 - metoksi - 4 - propilfenol isoeugenol 18 19 CH3 Gambar 9. Konversi eugenol 17 dan isoeugenol 18 menjadi 2 – metoksi – 4 – propilfenol 19 melalui reaksi hidrogenasi Menurut Nakazawa dan Itazaki (2011), hidrogenasi α,β-unsaturated keton 20 menghasilkan campuran senyawa alkohol tak jenuh 21 dan jenuh 22 dapat dilakukan dengan menggunakan kompleks logam besi sebagai katalisnya. O Ph OH 2 mol % katalis Fe 20 3 atm H2 toluen, 25oC Ph 21 42% OH + Ph 22 56% Gambar 10. Hidrogenasi α,β-unsaturated keton 20 menggunakan katalis logam Fe THPGV-0 3 telah berhasil disintesis oleh Ritmaleni (2007) melalui proses hidrogenasi PGV-0 2 menggunakan katalis logam Pd/C dalam pelarut yang sesuai pada suhu ruangan, dan terbukti THPGV-0 3 memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik daripada PGV-0 2. Jika PGV-0 2 dapat dihidrogenasi menggunakan katalis logam Pd/C menghasilkan THPGV-0 3 maka diharapkan THPGV-0 3 22 tersebut juga dapat disintesis menggunakan katalis logam yang lain seperti besi (III) klorida, aluminium klorida, dan seng klorida melalui proses yang sama. H H + Pd2+ H Pd H Ha Hb O Ha O H3C O HO O H3C CH3 HO OH 2 O 3 Hb O CH3 OH Gambar 11. Reaksi pembentukkan THPGV-0 3 G. Hipotesis Palladium/karbon, besi (III) klorida, aluminium klorida, dan seng klorida dapat digunakan sebagai katalis pada sintesis THPGV-0 3 melalui proses hidrogenasi pada suhu kamar yang akan menghasilkan rendemen berbeda sebagai penentu katalis mana yang lebih optimal. O H3C O O HO a/b/c/d 1 atm, H2 H3C O HO OH 2 Ha CH3 Hb O Ha Hb 3 O CH3 OH Gambar 12. Hidrogenasi PGV-0 2 dengan variasi katalis Pd/C, FeCl3, AlCl3, dan ZnCl2 Keterangan: a = Pd/C b = FeCl3 c = AlCl3 d = ZnCl2 23