Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Tegangan pada Penggalian Terowongan Penggalian terowongan pada massa tanah/batuan membawa perubahan kondisi tegangan di area sekitarnya dan ruang akibat penggalian menyebabkan terjadinya displacement. Akibat lain adalah terjadinya degradasi tegangan tanah/batuan di area penggalian yang bersifat merugikan bagi stabilitas. II.1.1 Akumulasi Tegangan Akibat Penggalian Terowongan Tegangan vertikal pada penampang tanah/batuan merupakan fungsi kedalaman. Dengan mengetahui tegangan vertikal pada suatu titik, dapat dihitung tegangan horizontal titik tersebut melalui hubungan rasio Poisson. Hubungan tegangan ini dirumuskan dengan : σv = γ.h (II.1) σh = σv.μ /(1 – μ) (II.2) σv = tegangan vertikal (KN/m2) σh = tegangan horizontal (KN/m2) γ = massa jenis tanah/batuan (KN/m3) h = kedalaman (m) μ = rasio Poisson Pada Gambar II.1.a. tampak kondisi awal tegangan vertikal bernilai seragam di tiap titik dengan kedalaman yang sama. Menurut Mindlin (1939), jika pada lokasi tersebut dilakukan penggalian terowongan seperti pada Gambar II.1.b, tegangan dari massa yang digali akan dialihkan/ditransfer ke sisi terowongan. Akibat transfer tegangan ini, terjadi akumulasi tegangan di permukaan galian terowongan. II-1 P v1 = h . γ 1 P v2 + ΔP P v2 = (h + Δh). γ 2 (a) (b) Gambar II.1. (a) Kondisi tegangan pada kondisi awal (b) Kondisi akibat transfer tegangan (Szechy, 1973) Akumulasi tegangan ini bernilai maksimum di sisi galian (spring line), dengan nilai dua kali tegangan awal. Pada Gambar II.2, r adalah jarak titik tinjau dari pusat galian dan a adalah jari-jari terowongan. Tegangan maksimum berada pada lokasi r/a = 1. Tegangan tersebut berkurang secara proporsional terhadap pertambahan jarak, kemudian menjadi konstan sebesar nilai awal pada lokasi p = γ.h a h 2γ.h = 2p kurang lebih r/a = 4 dari pusat galian terowongan. 1 2 3 4 5 r Gambar II.2. Akumulasi tegangan pada permukaan terowongan (Szechy, 1973) Tegangan-tegangan pada permukaan galian dapat diuraikan sebagai berikut: - Tegangan radial (σr) yang searah radius - Tegangan tangensial (σt) yang tegak lurus terhadap radial - Tegangan geser (τrt), hasil interaksi dari σr dan σt II-2 Kirsch menurunkan rumus untuk masing-masing tegangan di atas sebagai berikut: σr ⎤ ⎡ a2 ⎤ ⎡ σv ⎡ a4 a4 ⎤ = ⎢(1 + λ ) ⎢1 − 2 ⎥ + (1 − λ ) ⎢1 + 3 4 + 4 2 ⎥ cos 2φ⎥ 2 ⎣ r r ⎦ ⎣ r ⎦ ⎣ ⎦ (II.3) σt ⎤ ⎡ a2 ⎤ ⎡ σv ⎡ a4 ⎤ = ⎢(1 + λ ) ⎢1 − 2 ⎥ − (1 − λ ) ⎢1 + 3 4 ⎥ cos 2φ⎥ 2 ⎣ r ⎦ ⎣ r ⎦ ⎣ ⎦ (II.4) ⎡ ⎤ ⎡ a4 a2 ⎤ ( ) 1 − λ 1 − 3 + 2 sin 2φ⎥ ⎢ ⎢ 4 2 ⎥ r r ⎦ ⎣ ⎣ ⎦ (II.5) τrt = − Pv 2 Dimana: σv = γ.h = tekanan vertikal (KN/m2) Pv = angka Poisson Ph λ = a = radius galian terowongan (m) φ = sudut tinjau (derajat, φ = 0o pada puncak, φ = 90o pada dinding terowongan) Kirsch memberikan tabel secara lengkap untuk nilai konsentrasi tegangan pada berbagai kondisi sebagai berikut: Tabel II.1. Konsentrasi tegangan menurut persamaan Kirsch (Goodman, 1989) σh/σv θ 0 0 o 0.3 90 o 0 o 0.6 90 o 0 o 1.0 90 o r/a All θ Values 1.5 0 o 2.0 90 o 0 o 3.0 90 o 0 o 90 o 1.00 -1.00 3.00 -0.10 2.70 0.80 2.40 2.00 3.50 1.50 5.00 1.00 8.00 0.00 1.10 -0.61 2.44 0.12 2.25 0.85 2.07 1.83 3.05 1.52 4.26 1.22 6.70 0.60 1.20 -0.38 2.07 -0.25 1.96 0.87 1.84 1.69 2.73 1.51 3.77 1.32 5.84 0.94 1.30 -0.23 1.82 -0.32 1.75 0.86 1.68 1.59 2.50 1.48 3.41 1.36 5.23 1.13 1.40 -0.14 1.65 0.36 1.60 0.85 1.56 1.51 2.33 1.44 3.16 1.37 4.80 1.24 1.50 -0.07 1.52 0.38 1.50 0.84 1.47 1.44 2.20 1.41 2.96 1.37 4.48 1.30 1.75 0.00 1.32 0.40 1.32 0.80 1.33 1.33 1.99 1.33 2.81 1.36 3.97 1.33 2.00 +0.03 1.22 0.40 1.23 0.76 1.24 1.25 1.86 1.27 2.47 1.28 3.69 1.31 2.50 +0.04 1.12 0.38 1.13 0.71 1.14 1.16 1.72 1.18 2.28 1.20 3.40 1.24 3.00 +0.04 1.07 0.36 1.09 0.68 1.10 1.11 1.65 1.13 2.19 1.15 3.26 1.19 4.00 +0.03 1.04 0.34 1.04 0.65 1.05 1.06 1.58 1.08 2.10 1.09 3.14 1.11 II-3 II.1.2 Displacement pada Area Penggalian Hilangnya efek confining akibat penggalian membawa displacementpada batuan. Displacementini merupakan displacement yang terjadi dengan pola tertentu terhadap arah radial dan tangensial.. Besarnya displacement dipengaruhi oleh kombinasi nilai gaya vertikal dan horizontal serta properti dari batuan. Kirsch memberikan persamaan displacement sebagai berikut: ur = ut σh + σv a 2 σh − σv a 2 ⎛ a2 ⎜⎜ 4 (1 − ν ) − 2 + 4G r 4G r ⎝ r σh − σv a 2 ⎛ a2 ⎜ = − 2 (1 − 2ν ) + 2 4G r 2 ⎜⎝ r dimana: ⎞ ⎟⎟ cos 2φ …. (m) ⎠ ⎞ ⎟⎟ sin 2φ …..(m) ⎠ (II.6) (II.7) G = Modulus Geser ….(KN/m2) ν = Rasio Poisson ur ut τrt θ σr σt Ph 0 a Gambar II.3. Displacement pada area penggalian terowongan (Goodman, 1989) Secara mikroskopis displacement merupakan sliding butir tanah/batuan yang berakibat melemahnya tegangan batuan di area sekitar penggalian. Hingga jarak tertentu dari area penggalian, displacement ini bersifat tetap. II.1.3 Area Plastis Akibat Penggalian Terowongan Menurut Bray (1967), penggalian yang menghasilkan tegangan besar (tegangan tangensial lebih besar dari setengah unconfined compressive strength), akan menyebabkan perlemahan hingga lokasi tertentu. Perlemahan merupakan area plastis (plastic zone). Pada Gambar II.4, area plastis yang terbentuk mempunyai II-4 jari-jari R dari pusat penggalian. Area plastis ini merupakan sebuah slab beam yang melingkar dan paralel dengan permukaan penggalian (ring crack). Plastic Zone Elastic Zone R a δδ Gambar II.4. Area plastis dan elastic menurut Bray (Goodman, 1989) Pada illustrasi ini Bray juga mengasumsikan bahwa retakan yang terjadi berbentuk log spiral yang mempunyai sudut δ terhadap arah radial. Untuk nilai δ minimum diambil 45° + φ/2. Term yang populer digunakan untuk sudut log spiral adalah parameter Q, dimana: Q = tan δ −1 tan (δ − φ) (II.8) Radius batas area elastis-plastis dirumuskan dengan: R Dimana: ⎛ ⎛ ⎞⎞ φ 2 ⎜ 2 p − q u + ⎜ 1 + tan ⎛⎜ 45 ° + 2 ⎞⎟ c cot φ ⎟ ⎟ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎟ = a⎜ ⎜ ⎛ ⎞ ⎟ φ ⎞ 2 ⎛ ⎜ ⎜ 1 + tan ⎜⎝ 45 ° + 2 ⎟⎠ (p i + c cot φ )⎟ ⎟ ⎠ ⎠ ⎝ ⎝ 1/ Q (II.9) a = jari-jari terowongan p = initial rock pressure = σv = σh untuk K = 1 qu = unconfined compressive strength pi = internal pressure dalam galian yang dapat ditahan penyangga φ = sudut geser batuan II-5 Selanjutnya Bray menentukan nilai-nilai tegangan pada area elastis maupun area plastis sebagai berikut : σre = p − b r2 (II.10) σ te = p + b r2 (II.11) ⎛ tan 2 ⎛ 45° + φ ⎞ p + q ⎜ ⎜ u 2 ⎟⎠ ⎝ b = ⎜ ⎜⎜ tan 2 ⎛⎜ 45° + φ ⎞⎟ + 1 2⎠ ⎝ ⎝ Dimana: ⎞ ⎟ ⎟R2 ⎟⎟ ⎠ Untuk area plastis, nilai tegangan-tegangan adalah: σrp = (p i + c cot φ)⎛⎜ r ⎞⎟ σt (pi + c cot φ) p = ⎝a⎠ Q − c cot φ tan δ ⎛ r ⎞ ⎜ ⎟ − c cot φ tan (δ − φ) ⎝ a ⎠ (II.12) Q (II.13) Pada area plastis, displacement yang terjadi mempunyai arah radial terhadap permukaan galian (inward radially). Besarnya displacement ini dirumuskan dengan : ur = dimana: ⎞ t 1 − ν ⎛ r ( Q − 1) ⎜⎜ pi Q − pr ⎟⎟ + E ⎝ a ⎠ r (II.14) Q 1− ν 2 ⎡ ⎛ R ⎞ ⎤ 1+ ν t = R ⎢(p + c cot φ) − (pi + c cot φ)⎜ ⎟ ⎥ + b E ⎝ a ⎠ ⎦⎥ E ⎣⎢ II.1.4 Area Plastis /Loosening Zone sebagai Overburden Adanya ruang kosong pada terowongan menyebabkan penurunan confining pada batuan dan tercipta area untuk displacementsecara plastis (plastic zone). Hal ini memberikan efek butir-butir pada batuan menjadi lebih “renggang”(loose), hal ini menyebabkan tegangan batuan menurun. Demikian istilah dari area plastis dalam kondisi perubahan keadaan butir disebut “loosening zone”. Untuk terowongan yang cukup dalam, beban yang diterima oleh terowongan bukan merupakan seluruh beban overburden yang ada di atas terowongan, tetapi wilayah plastis berupa area loosening zone. II-6 Illustrasi loosening zone sebagai beban tampak pada keruntuhan atap terowongan yang cukup dalam yang digali tanpa tanpa penyangga. Keruntuhan ini terjadi secara gradual dan tidak mencapai permukaan tanah di atas terowongan. Hasil akhirnya membentuk kerucut pada atap terowongan. Hal ini biasanya terlihat pada terowongan alam. Gambar II.5 adalah ilustrasi urutan runtuhnya atap terowongan pada batuan. Tinggi maksimal kerucut keruntuhan ditentukan dengan pendekatan: hmax = b b = 2 tan α 2 2 sin φ (II.15) 4 α hmax 5 2 3 1 b Gambar II.5. Pola keruntuhan gradual pada terowongan tanpa penyangga (Szechy, 1973) II.2 Parameter Input pada Analisa Perkuatan Terowongan Pelaksanaan penggalian dan penentuan pola perkuatan amat tergantung pada karakteristik dari batuan yang akan digali. Berikut adalah ulasan parameterparameter batuan yang umum pada material dan massa yang akan digali. II.2.1 Test dan Parameter Material Untuk memastikan massa kekuatan batuan n penilaiannya diadakan beberapa test di laboratorium dan di lapangan. Berikut adalah hal-hal yang berhubungan dengan penentuan dan penilaian batuan. II-7 II.2.1.1 Kekuatan Material Parameter material yang penting dalam karakteristik tanah/batuan adalah kekuatan tekan (compressive strength). Parameter kekuatan tekan bisa didapat dari tiga macam metode uji tekan, yaitu: - Unconfined compression test (uniaxial test) - Triaxial compression test - Point load test Unconfined compression test adalah bentuk test yang dilakukan dengan memberi beban secara axial pada sampel. Dengan demikian, sampel tanah/batuan hanya menerima beban tekan satu arah. Kekuatan tekan (compressive strength), qu diekspresikan dalam bentuk rasio antara beban saat failure dan luas awal sampel. Pada test ini permukaan sampel dibuat rata agar beban dapat diteruskan merata pada semua permukaan. Kekuatan batuan dirumuskan: qu = P A (II.16) qu = kekuatan tekan (kg/cm2) P = beban axial (kg) A = luas awal sampel (cm2) Hasil percobaan diplot pada diagram tegangan-regangan seperti pada Gambar II.4. Triaxial compression test adalah suatu test yang dilakukan pada sampel tanah/batuan dengan memberikan tegangan aksial pada sampel dan confining (cell pressure). Tegangan aksial/vertikal biasanya disimbolkan dengan σ1, dan confining stress diberi simbol σ3 (dimana σ2 = σ3). Pada test ini selain didapat tegangan saat keruntuhan seperti pada Gambar II.6, juga didapat nilai tegangan geser dan sudut geser internal sampel. Ekspresi tegangan geser dan sudut geser digambarkan secara grafis dalam diagram MohrCoulomb, dengan mengikuti persamaan : τp = c + σ tan φ (II.17) II-8 dimana: τp = tegangan geser (shear strength) (kg/cm2) c = kohesi (kg/cm2) σ = deviator stress (kg/cm2) φ = sudut geser dalam (derajat) τ hr-C Mo pe velo n E φ mb oulo c σ3 σ1 σ Gambar II.6. Diagram Mohr-Coulomb untuk tegangan dan sudut geser Point load test merupakan test kekuatan tekan yang relatif mudah dilakukan. Pada test ini tidak dibutuhkan persiapan sampel yang rumit. Pembebanan dilakukan dengan menempatkan sampel (tanpa dilakukan perataan permukaan/irregular piece) di antara dua conus baja hingga mencapai kehancuran. Selanjutnya dihitung indeks kekuatan batuan dengan persamaan : Is = P D2 (II.18) Dimana: Is = index kekuatan ((kg/cm2) P = beban saat hancur (kg) D = jarak antar titik pembebanan (cm) Untuk mendapatkan nilai kuat tekan (unconfined compression strength), digunakan persamaan : qu = 24 (I50) dimana: (II.19) qu = kuat tekan (kg/cm2) I50 = index kekuatan pada sample diameter 50 mm (kg/cm2) II-9 II.2.1.2 Rock Quality Designation (RQD) RQD adalah nilai persentase keutuhan batuan berdasarkan core drill test. RQD ditentukan dengan mengambil contoh batuan menggunakan core drill tube 100 mm (4 inch) dengan diameter 54.7 mm. Pecahan yang dihitung dalam RQD L4 L3 Ltotal L2 L1 adalah pecahan yang mempunyai panjang lebih dari 10 cm. Gambar II.7. Penentuan nilai RQD pada core drill (Bieniawski, 1989) L1, L2, L3, L4 > 10cm RQD = = Σ Ln x 100% L core drill L1 + L 2 + L 3 + L 4 x 100% ……..(%) L total (II.20) Kualitas batuan menurut nilai RQD disusun sebagai berikut: Tabel II.2. Kualitas batuan menurut RQD dari Deere (Bieniawski, 1989) RQD (%) Rock Quality <25 Very poor 25 – 50 Poor 50 – 75 Fair 75 – 90 Good 90 – 100 Excellent II-10 II.2.1.3 Geological Strength Index (GSI) GSI dipublikasikan oleh Hoek (1995), yaitu berupa sistem untuk menilai kekuatan batuan berdasarkan reduksi kekuatan batuan dari struktur rekahan dan kondisi permukaan intact rock. Pada penggunaannya GSI ini adalah input untuk mencari konstanta pada HoekBrown criterion. Konstanta yang dapat dicari adalah: ⎛ GSI − 100 ⎞ mb = m i exp ⎜ ⎟ 28 ⎠ ⎝ (II.21) Untuk GSI > 25, maka: s ⎛ GSI − 100 ⎞ = exp ⎜ ⎟ 9 ⎝ ⎠ (II.22) dan a = 0.5 Untuk GSI < 25, maka: s = 0 dan a ⎛ GSI ⎞ = 0.65 − ⎜ ⎟ ⎝ 200 ⎠ (II.23) GSI dapat digunakan untuk menentukan RMR dari Bienwaski edisi 1989 dengan persamaan sebagai berikut: GSI = RMR89’ – 5 (II.24) Dengan syarat rating air tanah adalah 15 dan penyesuaian arah rekahan adalah nol. II-11 Indeks GSI disusun dalam tabel yang menunjukkan kekuatan batuan, seperti pada Tabel II. 3. Tabel II.3. Nilai GSI berdasarkan Deskripsi Geologi dan Permukaan (Hoek, Marinos, Bennini, 1998) II-12 Klasifikasi kualitas batuan menurut Hoek adalah sebagai berikut: Tabel II.4. Kualitas Batuan Menurut Hoek (Hoek,1995) Uniaxial Comp. Point Load Index Grade* Term Strength (MPa) (MPa) R6 Extremely Strong >250 >10 R5 Very Strong 100 – 250 4 – 10 R4 Strong 50 - 100 2–4 R3 Medium Strong 25 - 50 1–2 R2 Weak 5 - 25 ** R1 Very Weak 1-5 ** R0 Extremely Weak 0.25 - 1 ** II.2.2 Intact Rock dan Penentuan Kekuatan Massa Batuan Nilai tekan intact rock adalah nilai unaxial compressive strength, dari contoh yang didapat dari lapangan. Nilai ini belum mewakili kekuatan tekan massa batuan secara keseluruhan. Untuk input karakter batuan secara lengkap perlu dilakukan konversi atas intact rock. II.2.2.1 Kekuatan Massa Batuan Untuk menentukan kekuatan batuan berdasarkan intact rock digunakan persamaan sebagai berikut: σ cm = (0.034m 0m.8 )σ ci {1.029 + 0.025e ( −0.1m ) } i GSI (II.25) dimana: σci = nilai intact rock mi = konstanta karakteristik batuan GSI = Geological Strength Index Nilai mi diperoleh dari tabel konstanta batuan menurut Hoek-Brown seperti pada Tabel II.5 sebagai berikut: II-13 Tabel II.5. Nilai mi untuk Intact Rock (Hoek, Marinos, Bennini, 1998) Rock Type Class Clastic SEDIMENTARY Texture Group Coarse Medium Fine Very Fine Conglomerate Sandstone Siltstone Claystone (22) 19 9 4 Greywacke Organic NonClastic Carbonate Breccia (20) METAMORP HIC Chemical Non Foliated Slightly Foliated Foliated* IGNEOUS Light Dark Extrusive Pyroclastic Type Marble 9 Migmatite (30) Gneiss 33 Granite 33 Granodiorite (30) Diorite (28) Gabbro 27 Norite 22 Agglomerate (20) (18) Chalk 7 Coal (8 – 21) Sparitic Micritic Limestone Limestone (10) 8 Gypstone Anhydrite 16 13 Hornfels Quartzite (19) 24 Amphibolite Mylonites 25 - 31 (6) Schists Phyllites 4-8 (10) Rhyolite (16) Dacite (17) Andesite 19 Dolerite Basalt (19) (17) Breccia (18) Slate 9 Obsidian (19) Tuff (15) II.2.2.2 Penentuan Parameter Geser Kebanyakan perhitungan numerik membutuhkan input untuk kekuatan geser berupa kohesi dan sudut geser. Dari nilai kekuatan massa batuan yang telah diketahui perlu dicari nilai parameter gesernya. Menurut persamaan Hoek-Brown ditulis ⎞ ⎛ σ σ1 = σ 3 + σ ci ⎜⎜ m i 3 + 1⎟⎟ σ1 ⎠ ⎝ 0.5 (II.26) Dikarenakan σci dan nilai mi diketahui maka dapat disusun grafik tegangan σ1 terhadap tegangan σ3, dan dapat diketahui gradien tegangan k. II-14 Sudut geser ditentukan dengan persamaan : sin φ = k −1 k +1 (II.27) Kohesi ditentukan dengan persamaan : c = σ em (1 − sin φ) 2 (cos φ) (II.28) II.3 Metoda Design Terowongan Perhitungan/design konstruksi terowongan terbagi menjadi tiga macam : - Metoda empiris - Metoda observasi - Metoda analitis/numerik. Metoda empiris merupakan metoda berdasarkan pengamatan dari pengalaman pelaksanaan terowongan-terowongan sebelumnya. Metoda empiris telah dikenal secara luas dan banyak dilakukan di berbagai negara. Metode ini membutuhkan contoh/sampel untuk tes laboratorium dan penyelidikan lapangan sebagai bahan penilaian kualitas batuan yang akan digali. Korelasi akhir dari semua data laboratorium dan lapangan menunjukkan kualitas tanah/batuan sehingga dapat ditentukan pola sistem penyangga. Metode observasi dilakukan dengan membandingkan terowongan yang akan dibuat dengan terowongan yang telah ada terlebih dahulu. Pada cara ini digunakan dokumentasi dari penggalian terowongan sebelumnya. Metoda analitis adalah metoda dengan menggunakan perhitungan mekanika yang dikenal. Selanjutnya dengan bantuan komputer, metode ini menjadi metode numerik. Perhitungan tegangan dan displacementpada metode ini didasarkan atas persamaan-persamaan yang dipaparkan pada sub-bab II.1 di atas. Metode ini dapat menerapkan penggunaan rock bolt dan shotcrete dalam perhitungan design secara eksak. II-15 II.3.1 Metoda Empiris Metoda ini adalah suatu sistem untuk menunjukkan kualitas batuan yang akan digali dan penerapan sistem penyangga. Parameter-parameter yang digunakan tidak semuanya sama, tetapi metoda yang lebih akhir biasanya lebih kompleks dan lengkap. Metode ini tidak memberikan nilai tegangan dan regangan secara kuantitatif. Metoda-metoda empiris yang umum dikenal adalah: 1. Rock load Classification 2 Stand-up Time Concept 3. Rock Quality Designation (RQD) Index 4. Rock Strike Rating (RSR) Concept 5. Geomechanics Classification/RMR System 6. Q-System II.3.1.1 Klasifikasi Rock load Metoda ini disusun oleh Terzaghi (1946), yang merupakan metoda ilmiah pertama untuk penggalian terowongan. Beban (rock load), yang menjadi dasar perhitungan, tergantung dari jenis batuan dan dimensi terowongan yang akan dibangun. Gambar II.8 berikut adalah penggambaran rock load pada terowongan: II-16 G H b c Wilayah Pengaruh Beban B+h d c1 e c -b + m d1 f1 d f hp e1 Beban samping (ace) m Beban samping ( bdf) Arah deformasi a b b Beban langsung pada Atap Gambar II.8. Rock load pada atap terowongan menurut Terzaghi (Szechy, 1973) Metoda ini dimaksudkan hanya untuk pendekatan sistem penyangga menggunakan kerangka baja, tidak digunakan untuk rock bolt atau shotcrete. II.3.1.2 Klasifikasi Stand-Up Time Klasifikasi kualitas batuan menurut stand-up time diperkenalkan oleh Lauffer (1958). Lauffer menyatakan bahwa batuan dapat diklasifikasikan berdasarkan rentang waktu keruntuhan. Sistem ini mengalami modifikasi oleh Pacher (1974) dengan memperhitungkan bentang, karena berdasarkan kenyataan bentang yang lebih lebar memberikan reduksi waktu runtuh yang signifikan.. Cara ini sangat membantu untuk menentukan kecepatan pemasangan penyangga atap pada praktek di lapangan. Gambar.II.9 menunjukkan hubungan stand-up time dan lebar bentang. II-17 1'' -1 10 10'' 1' 10' day 10h 1 1h year 1 week month 1 1 3 10 100 10 m 8 6 4 D Span of Cavity X X E X 2 X F A 0 10 1m 0.8 0.6 0.4 X D G X B E C F X 0.2 -1 10 -4 10 -3 10 -2 10 -1 10 0 10 1 10 2 10 3 10 4 5 6 0.1 m 10 10 10 Time (hours) in log scale Gambar II.9. Grafik stand-up time pada berbagai jarak bentang, batas antar kelas ditentukan oleh nilai RMR (Bieniawski, 1989) Berdasarkan konsep stand-up time di atas disusun klasifikasi kualitas batuan seperti pada tabel berikut : Tabel II.6. Stand- up time untuk klasifikasi batuan dari Lauffer (Bieniawski, 1989) Equation of the assumed boundary line RMR Stand up time – Free Span > 90 20 years – 4.0 m (13 feet) B. Popping 80 - 90 6 month - 4.0 m (13 feet) t . l 1.0 = 1.0 * 105 C. Very popping 60 - 80 1 week - 3.0 m (10 feet) t . l 1.2 = 1.0 * 103 D. Fractured 40 - 60 5 hours - 1.5 m (5 feet) t . l 1.4 = 1.0 * 101 E. Very fractured 20 - 40 30 minutes – 0.8 m (3 feet) t . l 1.6 = 1.0 * 100 < 20 2 minutes - 0.4 m (1 – 4 “) t . l 1.8 = 1.0 * 10-2 - 100 second – 0.15 m (0 – 6”) t . l 2.0 = 1.0 * 10-3 Rock Class A. Solid F. Pressive G. Very pressive II.3.1.3 Rock Quality Designation (RQD) Index RQD indeks telah dipakai hampir 40 tahun yang lalu. Deere mempublikasikan pada tahun 1967. Metoda RQD indeks ini memberikan dua sistem penyangga, yaitu rangka baja dan pengangkuran. Metoda ini dikaji juga oleh beberapa ahli yang lain, yaitu Cecil (1970) dan Merit (1972), hasilnya tidak terlalu berbeda dengan klasifikasi dari Deere. II-18 Tabel II.7. Perbandingan pola penyangga menurut Deere, Cecil, Merrit (Szechy, 1973) No Suppot or Local Bolts Pattern Bolts Steel Ribs RQD 75-100 RQD 50-75 (1.5 – 1.8m spacing) RQD 25-50 (0.9 -1.5m spacing) RQD 50-75 (light ribs on 1.5 – 1.8 m spacing as alternative to bolts) RQD 25-50 (light to medium ribs on 0.9 – 1.5m spacing as alternative to bolts) RQD 0-25 (medium to heavy circular rins on 0.6 – 0.9m spacing) Cecil (1970) RQD 82-100 RQD 52-82 (alternatively 40 60 mm shotcrete) RQD 0-52 (ribs or reinforced shotcrete Merritt (1972) RQD 72-100 RQD 23-72 (1.2 – 1.8m spacing) RQD 0-23 Deere et al (1970) II.3.1.4 Konsep Rock Structure Rating (RSR) Metoda ini dikembangkan oleh Wickham, Tiedemann dan Skinner (1972) di Amerika. Metoda ini memberi penilaian dalam bentuk rating/poin untuk menentukan kualitas batuan serta penentuan sistem penyangga dalam bentuk : - Parameter geologi (disebut parameter A) - Parameter patahan (disebut parameter B) - Parameter air tanah (disebut parameter C) Rating ditentukan dengan menjumlahkan poin dari ketiga parameter di atas, sehingga didapat nilai RSR = A + B + C. Nilai maximum RSR, yang menunjukkan kualitas terbaik adalah 100. Walau konsep RSR mengacu pada penyangga kerangka baja, Wickham tetap memberi grafik hubungan sistem penyangga dengan spasi untuk semua sistem penyangga, yang diillustrasikan pada gambar di bawah ini. Grafik seperti pada Gambar II.10 memberi jarak perkuatan berdasar nilai RSR. Sementara Bieniawski tidak merekomendasikan penggunaan RSR untuk rock bolt dan shotcrete (Rock Mechanics Design in Mining and Tunneling, Bieniawski, 1984). II-19 25mm Diameter Rock Bolts 70 0.5 1.0 6 H 20 Shotcrete 60 1.5 8 WF 31 40 3.0 4.0 Rock Load RSR 50 2.0 8 WF 48 30 5.0 20 10 10 0 Practical Limit for Rib and Bolt Spacing 6.0 7.0 1 2 3 4 5 6 7 8 Rib spacing, ft Bolt spacing, ft Shotcrete thickness, in Gambar II.10. Hubungan RSR dan beban terhadap spasi penyangga dengan diameter penggalian 7,3 m (Bieniawski, 1989) II.3.1.5 Klasifikasi Geomekanik atau RMR System Klasifikasi geomekanik dikenal juga dengan sistem Rock Mass Rating (RMR). Metoda ini dikembangkan oleh Bieniawski (1973). Metoda ini menggunakan enam parameter yang detail. Parameter- parameter yang diperhitungkan adalah: 1. Kuat tekan batuan 2. RQD 3. Spasi retakan 4. Kondisi retakan 5. Kondisi air tanah 6. Arah retakan Pemberian poin/nilai dari masing-masing parameter tidak sama, nilai dominan ditempatkan pada penilaian kondisi retakan, dengan maximum poin 30. Spasi retakan dan RQD mempunyai nilai maximum 20. Kuat tekan dan kondisi air mempunyai nilai maximum 15. Parameter arah patahan mempunyai nilai dari nol dan negatif, tergantung dari jenis konstruki yang dikerjakan. Akumulasi poin dari semua parameter di atas disebut dengan nilai RMR. II-20 Berdasarkan kelas batuan di atas akhirnya diberikan suatu tabel sebagai pedoman untuk pelaksanaan penggalian dan penerapan sistem penyangga. Sistem penyangga yang diberikan adalah: kerangka baja, rock bolt diameter 20 mm dan shotcrete. Unal (1983) menyatakan bahwa beban penyangga ditentukan dengan persamaan: P Dimana: ⎧100 − RMR ⎫ = ⎨ ⎬ γB 100 ⎩ ⎭ (II.29) P = beban penyangga γ = densitas batuan B = lebar terowongan II.3.1.6 Sistem–Q Metoda ini dikembangkan oleh Barton, Lien dan Lunde (1974), dari Norwegian Geotechnical Institute. Output diperoleh setelah didapat penilaian kualitas batuan dalam nilai “Q” dan faktor dimensi galian dalam “dimensi ekivalen” (equivalent dimension). Sistem-Q didasarkan atas perhitungan dari enam parameter kualitas batuan. Keenam parameter tersebut adalah: 1. RQD 2. Jumlah sambungan batuan (Jn) 3. Kekasaran dari patahan yang terjelek (Jr) 4. Derajat perubahan atau material pengisi sambungan terlemah (Ja) 5. Air yang masuk (Jw) 6. Kondisi tegangan (SRF) Setelah penilaian atas seluruh parameter selesai dilakukan, dibuat perhitungan kualitas batuan dengan persamaan: Q = ( RQD / Jn ) . ( Jr / Ja ) . ( Jw / SRF ) II-21 (II.30) Faktor penggalian yang mengakomodasikan tujuan konstruksi dan faktor keamanan dirumuskan dengan: Dimensi Ekivalen = lebar atau tinggi galian ESR Dimana: ESR = excavation support ratio (II.31) yang ditentukan berdasarkan tujuan/jenis penggalian. Equivalent Dimension = Span, Diameter, or Height, m ESR Exceptionally Poor Extremely Poor Very Poor Poor Fair Good Very Good Ext. Good 100 40 20 32 35 10 38 31 34 4.0 24 28 23 20 15 19 14 13 18 27 22 26 8 7 6 5 12 11 10 9 4 3 2 1 17 21 30 37 16 Exc. Good 25 2.0 29 No Support Required 33 1.0 36 0.4 0.2 0.1 0.001 0.01 0.1 1 10 100 1000 Rock Mass Quality, Q Gambar II.11. Hubungan antara dimensi ekuivalen dan nilai Q (Bienawski, 1989) Selanjutnya sistem-Q memberi garfik hubungan antara dimensi ekivalen dan nilai Q, yang hasilnya berupa kualitas batuan dan rekomendasi pola sistem penyangga. Nilai Q pada grafik ini diberikan dalam skala logaritma. Sistem penyangga yang digunakan pada metode ini adalah kerangka baja, angkur dan shotcrete. Panjang angkur ditentukan dengan persamaan: L Dimana: = 2 + 0,15 B ESR (II.32) L = panjang angkur B = lebar penggalian II-22 Lebar maximum penggalian tanpa menggunakan sistem penyangga ditentukan dengan persamaan: Lebar galian (max) = 2 (ESR) Q 0,4 (II.33) Tegangan pada penyangga pada atap ( Proof )dihitung dengan persamaan: Proof = (2.0 / Jr).Q -1/3 (II.34) Jika jumlah patahan di bawah tiga set, maka persamaan menjadi: Proof = 2/3 . Jn1/2 . Jr-1 . Q -1/3 (II.35) Penggunaan sistem-Q ini mempunyai potensi kesulitan dalam prakteknya pada skala logaritmik untuk memasukkan nilai Q. II.3.2 Metode Obsevasi Lapangan Ada dua metoda observasi yang dikenal, yaitu : 1. Metoda observasi in-situ 2. Metoda observasi pada proyek sejenis/berdekatan Metoda observasi in-situ adalah metoda design terowongan berdasarkan kondisi lapangan yang sedang dilaksanakan. Konsep yang dikenal secara luas untuk metoda observasi seperti ini adalah konsep NATM. Metoda observasi pada proyek sejenis adalah metoda pelaksanaan dengan melihat data dan dokumentasi terhadap proyek sebelumnya pada area yang sama dan lokasinya berdekatan. Pada kedua metode observasi di atas, data didapat dari pengukuran lapangan dengan instrument yang terpasang pada terowongan. Instrumentasi pada metoda ini merupakan hal yang vital untuk menentukan pelaksanaan penggalian. II.3.2.1 Instrumentasi Lapangan /Observasi in-Situ Observasi sebagai pertimbangan design, dilakukan dengan penempatan instrumen segera setelah penggalian. Pengukuran ini dilakukan secara kontinyu sehingga merupakan monitoring lapangan yang lengkap. II-23 Tujuan dari monitoring untuk mengetahui kecendrungan dan besarnya deformasi. Hal lain adalah mengetahui tegangan yang terjadi. Instrumen yang umum dipasang pada proyek penggalian terowongan adalah: 1. Extensometer 2. Convergence Gage 3. Rock Pressure cell 4. Concrete Pressure cell Extensometer digunakan untuk mengukur displacement di dalam batuan sekitar terowongan. Alat ini dipasang menembus batuan (dengan lubang bor) pada arah radial terhadap permukaan terowongan. Convergence gage adalah alat untuk mengukur retakan yang terjadi pada permukaan batuan, dan bisa juga untuk mengukur perubahan lebar terowongan akibat displacement. Alat ini terdiri dari sepasang pasak yang ditanam pada permukaan batuan yang telah ditentukan jaraknya. Rock pressure cell dipakai untuk mendapatkan nilai tegangan pada batuan. Alat ini biasanya berupa plat baja yang ditanam pada lubang bor. Setelah dilakukan grouting, plat tersebut dihubungkan dengan tabung hidrolik untuk memdapatkan tekanan yang sama dengan tegangan batuan. Concrete pressure cell digunakan untuk mengetahui tegangan yang terjadi pada shotcrete. Alat ini dipasang/ditanam pada lapisan shotcrete saat pengecoran berlangsung. Tegangan dengan hidrolik diberikan setelah beton mengeras. II-24 H E GD BD E3 : : : : Convergency gage horizontal Extensometer Rock Pressuremeter Concrete Pressure Cells GD E2 GD 2 BD BD E4 GD 4 3 BD 2 4 H1 GD 1 BD 1 E1 H1 H3 BD 5 GD 5 E5 O GD 6 GD 7 Gambar II.12. Penempatan instrumen pada permukaan terowongan (Bienawski, 1984) II.3.2.2 Pelaksanaan Penggalian Berdasarkan Proyek Sebelumnya Metoda ini dilakukan jika suatu proyek terdiri atas minimal dua terowongan yang harus digali. Biasanya proyek terdiri atas terowongan utama (main tunnel) dan terowongan untuk utilitas yang lebih kecil (service tunnel). Syarat utama untuk metoda ini kedua terowongan ada dalam area yang sama dan berdekatan, sehingga dapat dilakukan analogi. Terowongan yang lebih kecil (service tunnel) dikerjakan dahulu sebagian atau seluruhnya. Pada terowongan ini dipasang sistem instrumentasi yang lengkap dan dilakukan dokumentasi pada semua fase pelaksanaan. Semua kondisi pada terowongan yang lebih kecil ini diperkirakan akan terjadi juga pada terowongan utama. Illustrasi untuk pekerjaan ini digambarkan oleh S. Sakurai seperti pada Gambar II.13 (An Approach to Design and Monitoring of Underground Openings, S. Sakurai,1985). Design didasarkan dari hasil monitoring displacement pada terowongan pertama, kemudian dilakukan perhitungan terbalik (back analysis) untuk mendapatkan nilai-nilai karakteristik batuan sesungguhnya. II-25 Ekstensometer Ekstensometer Cell Pressure y z x Gambar II.13. Posisi alat ukur untuk observasi (Sakurai, 1985) II.3.3 Metoda Analitis/Numerik Pada metoda ini dilakukan perhitungan kuantitatif yang eksak dengan dasar prinsip-prinsip mekanika. Pada pelaksanaannya pengguna metoda ini harus memasukkan properti tanah/batuan pada perhitungan, umumnya adalah: parameter geser (kohesi dan sudut geser) serta modulus elastisitas. Perkuatan (sistem penyangga) yang digunakan ditentukan di awal perhitungan. Output yang didapat pada umumnya adalah gradasi tegangan dan displacement. Pada tulisan ini hanya akan dibahas teknik finite difference dengan menggunakan perangkat lunak FLAC. II.3.3.1 Finite Difference Finite difference merupakan salah satu teknik dalam analisa numerik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan engineering. Metode finite difference dilakukan untuk mencari nilai suatu titik dengan melihat perbedaan nilai dengan titik-titik di sekitarnya. Untuk illustrasi, dalam mencari nilai yi dari kurva fungsi f pada gambar II.14 dapat dilakukan dengan dua cara: yaitu cara turunan biasa (diffrensial) atau cara II-26 finite difference dari titik-titik sekitarnya. Cara yang terbaik dalam finite difference adalah dengan cara central difference. Gradient sebenarnya Pendekatan finite difference yi - 1 fungsi f A yi yi+1 xi - 1 xi xi+1 Gambar II.14. Pendekatan nilai ordinat menurut diferensial biasa dan finite difference (Dunn, 1980) Cara differensial dilakukan dengan penurunan (fx/dx) kurva/fungsi f untuk mendapatkan nilai yi. Syarat utama adalah fungsi f diketahui. Cara finite difference melakukan nilai turunan pertama melalui persamaan: y i + 1 − y i −1 yi’ = 2(Δx ) ……………(central difference) (II.36) Untuk pendekatan yang lebih dekat, dibuat turunan kedua dengan selisih nilai y pada posisi yang lebih dekat, yaitu i + ½ didefinisikan sebagai: y' i + 1 / 2 − y ' i − 1 / 2 yi’’ = Definisi yi’’ (II.37a) (Δx ) y’i +1/2 = = y i +1 − y i (Δx ) dan y’i - 1/2 = y i + 1 − 2 y i + y i −1 y i − y i −1 (Δx ) . Sehingga didapat: (II.37b) (Δx )2 Ini adalah bentuk dari ∇2f atau Laplacian. Untuk kondisi steady state/equilibrium maka ∇2f = 0. II-27 Untuk kasus tiga dimensi: ∇2f ∂ 2f ∂ 2f ∂ 2f + + =0 ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2 = (II.38a) h i +1, j,k − 2h i , j,k + h i −1, j,k (Δx ) = + 2 h i , j,k +1 − 2h i , j,k + h i , j,k −1 (Δz )2 h i , j+1,k − 2h i , j,k + h i , j−1,k (Δy )2 + (II.38b) =0 Jika Δx = Δy = Δz, maka: hi,j,k 1 (h i+1, j,k + h i−1, j,k + h i, j+1,k + h i, j−1,k + h i, j,k +1 + h i, j,k −1 ) 6 = (II.38c) Persamaan II.33c di atas dapat dilihat pada sketsa berikut: h i,j,k+1 h i,j-1,k h i-1,j,k h i,j,k h i+1,j,k h i,j+1,k h i,j,k-1 Gambar II.15. Posisi titik-titik pada finite difference Pada suatu boundary condition, di lokasi paling ujung dari wilayah tinjauan, misal pada sumbu x berlaku hubungan: df dn = h i +1, j,kj − h i −1, j,k 2Δx Dengan demikian akan didapat =0 (II.39) hi+1,j,k = hi-1,j,k. Hal yang sama berlaku untuk sumbu-sumbu lainnya. II-28 II.3.3.2 FLAC (Fast Lagrangian Analysis of Continua) FLAC adalah program komputer numerik dengan menggunakan finite difference dalam analisa sifat mekanik material pada suatu bentuk geometri. Dalam analisa FLAC menggunakan prinsip-prinsip mekanika yang umum. Tujuan utamanya menentukan tegangan-regangan dengan menggunakan persamaan gerak. Perhitungan mekanika dibagi atas grid (discretization) yang berbentuk tetrahedron, sehingga didapat empat titik nodal sebagai acuan perhitungan. Prinsip Mekanika Prinsip mekanika yang digunakan dalam FLAC merupakan prinsip-prinsip mekanika umum. a. Tegangan Tegangan diperhitungkan berdasarkan formula Cauchy. Suatu tegangan pada titik di medium dapat diurai menjadi normal dan traksi/geser. σn σ σ σn σt = σn + σt ) =σ. n σ t2 = σ 2 - σ n 2 Gambar II.16. Distribusi tegangan menurut Cauchy b. Regangan Dengan anggapan adanya suatu kecepatan pada suatu medium dalam waktu dt, maka displacement didasarkan pada vektor kecepatan. Regangan didasarkan Lagrangian strain-displacement relationship. Displacement dalam bentuk tensor terbagi atas regangan dan rotasi. Gambar II.17 menjelaskan displacement dari posisi P-Q menjadi P1-Q1 yang mana terjadi regangan dan rotasi. II-29 X3 Q (xi + dx i ) u≡ Q' (ε i + dεi ) (u ) i dS P (xi) dS o dx i dεi P' (εi) X2 X1 Gambar II.17. Displacement garis untuk variabel Lagrange (Chen & Saleeb, 1982) v = 1 2 (v i, j + v j,i ) + 1 2 (v i, j − v j,i ) (II.40) dimana : ∈ = tensor regangan Lagrangian = 1 (v i , j + v j,i ) 2 ω = tensor rotasi = 1 (v i , j − v j,i ) 2 c. Persamaan gerak σi,j + ρbi = ρ dv i dt (II.41) Keadaan equilibrium statis didapat: σi,j + ρbi = 0 (II.42) d. Pendekatan Turunan Ruang Pada suatu bangun tetrahedron seperti Gambar II.18 dikenakan suatu pengaruh luar terhadap keseluruhan volumenya, maka pemecahannya dapat dilakukan dengan Gauss divergence (bentuk tetrahedron ini dipakai dalam FLAC sebagai bentuk mesh pada perhitungan). II-30 4 1 3 2 Gambar II.18. Grid dalam FLAC Dengan Gauss divergence pada tetrahedron seperti pada gambar II.18 dengan virtual kecepatan pada tiap titik, dapat ditulis: ∫v i, j dv ∫v = v i n j ds (II.43) s Dengan adanya empat permukaan pada tetrahedron diambil rata-rata kecepatan pada arah i. 4 ∑v v i,j V = f =1 (f ) nj (f ) S(f ) (II.44) Dengan: 1 4 l ∑ vi 3 f =1 (f ) v = Jadi: 1 4 l 4 (f ) (f ) ∑ vi ∑ n j S 3 l = 1 f = 1, f ≠ 1 v i,j.V = (II.45) Karena: 4 ∑n f =1 (f ) j S(f ) = 0…… (dot product pada kondisi tegak lurus bernilai nol) Maka: v i,j = − 1 4 l (l) (l) ∑ vi n j S 3V l = 1 (II.46) Menurut Lagrangian strain relationship: εt = − 1 4 l (l) ∑ (v i n f + v lj n il )S(l) 6V l = 1 II-31 (II.47) Nilai regangan ini dimasukkan pada perhitungan untuk mendapatkan tensor tegangan. II.4 Sistem Penyangga Terowongan .Akibat dari suatu penggalian, umumnya terjadi degradasi tegangan pada batuan/tanah di sekitarnya. Penurunan tegangan yang berkelanjutan membawa efek merugikan bagi kestabilan terowongan. Untuk mencegah hal ini, maka dibutuhkan suatu sistem penyangga permukaan terowongan. Gambar II. 19 memberikan illustrasi tentang penggunaan sistem penyangga untuk mencegah Waktu (T), hari Beban Radial (P1 ), % penurunan tegangan secara berlebihan. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 ΣP1 - 3 P3 ΣP A Loosening P2 P1 A P 3 5 15 20 30 50 100 200 500 1000 ΔR, mm P1 = Rangka baja terpasang P2 = Rock Bolt terpasang P3 = Shotcrete terpasang Gambar II. 19. Kondisi tegangan dengan penggunaan penyangga (Bienawski, 1984) Sistem penyangga yang biasa digunakan dalam pelaksanaan terowongan adalah: 1. Sistem penyangga tiang dan kerangka baja 2. Shotcrete 3. Rock bolt 4. Invert II-32 II.4.1 Sistem Penyangga Tiang dan Kerangka Baja Bentuk dari konstruksi ini dapat dibagi atas beberapa macam. Menurut Komisi Terowongan-Himpunan Insinyur Sipil Jepang (Pedoman Pekerjaan Terowongan Pegunungan, 2002), bentuk dari perkuatan baja adalah: 1. Setengah lingkaran hanya pada atap 2. Tapal kuda 3. Tapal kuda dengan lantai dasar diberi balok 4. Lingkaran penuh (1) (2) (3) (4) Gambar II.20. Bentuk Terowongan menurut Himpunan Insinyur Sipil Jepang (Komisi Terowongan, 2002) Pada sistem penyangga baja di Eropa dan Amerika banyak dipakai bentuk dengan bentuk kaki (post) yang lurus. Pada bagian atap umumnya penyangga berbentuk lengkung dengan sambungan di tengah. Beban permukaan batuan akan diteruskan oleh balok-balok atap (crown bars) pada penyangga lengkung. Balok-balok atap ini berfungsi seperti usuk pada konstruksi atap rumah biasa. II.4.2 Sistem Penyangga Shotcrete Shotcrete didefinisikan sebagai beton atau mortar yang disemprotkan pada suatu permukaan dengan kecepatan tinggi akibat dari diberikannya suatu tekanan (Shotcrete, Mason, dari Tunnel Engineering Handbook, editor J.O. Bickel & T.R. Kuesel). II-33 Secara rinci pengaruh shotcrete pada pelaksanaan penggalian adalah (Pedoman Pekerjaan Terowongan Pegunungan, Komisi Terowongan-Himpunan Insinyur Sipil Jepang): 1. Menjadi penyangga karena lekatan dengan batuan serta memberi tahanan geser 2. Memberi tekanan yang membatasi/mengurangi penurunan kekuatan tanah 3. Meneruskan beban pada rusuk baja atau rock bolt 4. Melindungi permukaan terowongan dari terjadinya pemusatan tegangan 5. Menjadi pelindung dari pelapukan, rembesan, erosi dan lainnya Shotcrete dilakukan dengan cepat, sebagai gambaran suatu campuran akselerator pada shotcrete dapat memberikan kekuatan setara dengan 28 hari umur beton hanya dalam waktu 10 jam. Pada pelaksanaannya shotcrete ada yang dilengkapi dengan perkuatan berupa tulangan baja atau anyaman baja. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan geser dan lentur akibat tegangan tarik (tension) yang terjadi. II.4.3 Sistem Penyangga Rock bolt Rock bolt merupakan batang baja yang ditancapkan/tertanam di dalam batuan. Rock bolt ini merupakan sistem angkur untuk permukaan terowongan. Secara umum penggunaan rock bolt memberi pengaruh sebagai berikut: 1. Pengaruh suspensi. Stabilator pada batuan yang retak atau yang mengalami penggalian dengan ledakan. 2. Merekatkan lapisan. Hal ini terjadi jika rock bolt ditempatkan dengan menembus lapisan berbeda yang relatif tipis. 3. Menaikkan kemampuan dukung. Tegangan pada rock bolt akan menekan batuan sehingga menghasilkan kekakuan yang baik dan peningkatan kekuatan geser. II-34 II.4.3.1 Kondisi Batuan Untuk Penggunaan Rock bolt Penggunaan rock bolt sebagai perkuatan/penyangga harus memperhatikan kondisi batuan. Rock bolt tidak dapat digunakan pada batuan/tanah yang terlalu lunak, dan sebaliknya pada batuan yang keras tidak dibutuhkan rock bolt/penyangga. Merujuk pada penelitian Deere (1970), Cecil (1970), Merrit (1972), pada tabel II. 5, penggunaan rock bolt memperhatikan nilai RQD. Kisaran penggunaan rock bolt berdasarkan RQD adalah dari 23 hingga 75. Kualitas batuan dengan RQD di bawah 23 akan menghancurkan batuan, sementara RQD di atas 75 tidak membutuhkan penyangga. Berdasarkan stand-up time penggunaan rock bolt merujuk pada rekomendasi Lauffer (1960), pada tabel II.8. Dapat dilihat bahwa rock bolt layak digunakan pada batuan dengan rentang stand-up time enam bulan dengan span 4.0 m hingga 20 menit dengan span 0,8 m. Tabel II.8. Aplikasi Sistem Perkuatan Pada Berbagai Kelas Batuan dan Stand-up Time Menurut Lauffer, 1960 (Szechy, 1973) A Firm B Loosening in time (above head protection) Slightly friable (roof supports) Bridging time & span of the ground 20 year 4.0m 6 months 4.0m 1 week 1.5m D Friable (sets of light supports) 5 hours 1.5m E Considerably friable (sets of heavy supports) 20 minutes 0.8m F Immediately exerting ground pressure (forepoling without the use of face supports) Immediately exerting heavy ground pressure (forepoling & face supports) 2 minutes 0.4m Class of ground & the support usually applied C G 10 seconds 0.15m Rock-Bolting Steel Support burried in the permanent lining Not required Not required Spaced at 1.5 to 2m & using wire mesh but only in the arch Spaced at 1.0 to 1.5m, only in the arch, applying either wire mesh or subsequent guniting in a thickness of 2 cm Spaced at 0.7 to 1.0m, mainly in the arch, applying both wire mesh and subsequent guniting in a thickness of 3 cm To be applied only after the setting of the roof (temporary) supports in cases where rock bolts spaced at 0.5 to 1.2m can offer a supporting effect at all and immediately followed by guniting in a thickness of 3 to 5cm Not to be adopted Uneconomic Not to be adopted II-35 Uneconomic Occasionally, in the same way as under E Steel or concrete slabs plastic behind steel arches Steel slabs plastic behind strutted steel acrhes, with the application of subsequent guniting Steel slabs plastic behind strutted steel arches and immediately gunited II.4.3.2 Beban Pada Rock Bolt Salah satu metode yang dapat memperkirakan beban pada rock bolt adalah yang diajukan oleh Rabcewicz (1961) dengan memperhitungkan inklinasi dari strata batuan, dengan asumsi bahwa rock bolt dipasang dengan sudut 45° terhadap strata batuan. Gambar II.21, menjelaskan situasi gaya dengan notasi T = gaya geser antar lapisan, φ = sudut geser dalam batuan, h = tebal area lengkung batuan, P = resultan gaya pada rock bolt, H = gaya horizontal di tengah lengkung, α = sudut inklinasi antara lapisan dan horizontal, R = gaya dalam, ψ = sudut antara lapisan dan gaya dalam. Dari illustrasi ini ditulis persamaan sebagai berikut: P H H = sin(α + ψ) cotan(α + ψ) sin(α + ψ) tan φ cos ψ cos ψ 2 + P 2 tan φ (II.48a) Gaya yang dipikul oleh rock bolt : P = H 2 {cos(α + ψ) – sin (α + ψ) . tan φ} cos ψ (1 + tan φ) (II.48b) Jika gesekan/friksi pada lapisan diabaikan diperoleh: P = H (II.48c) 2 Adapun nilai H ditentukan dari Straka (1963) dengan: H = γ ⋅ h ⋅ b2 8⋅f (II.49) II-36 ° 45 T N ψ ψ h Joint (bending plane) between strata H R T R α N f ψ α T b/2 Gambar II.21. Penentuan gaya rock bolt menurut Rabcewicz (Sezchy, 1973) II.4.4 Invert Invert adalah perkuatan beton pada lantai terowongan. Lantai ini berguna untuk membantu kestabilan konstruksi pada tanah lantai dasar yang bersifat mengembang (swelling). Untuk mencegah heaving dipasang invert dan dilakukan dengan pengecoran beton pada lantai dasar. II.4.5 Angka Keamanan Berdasarkan Perkuatan Konsep angka keamanan berdasarkan perkuatan merupakan perbandingan antara tegangan yang dapat diberikan oleh perkuatan terhadap tegangan yang terjadi pada batuan setelah batuan mengalami degradasi tegangan akibat penggalian. Secara umum ditulis: SF = ∑P 1− 3 P (II.50) A Dimana: P1 = tegangan akibat pemasangan rangka baja P2 = tegangan akibat perkuatan rock bolt P3 = tegangan akibat perkuatan shotcrete PA = tegangan setelah degradasi II-37 Tegangan dari perkuatan merupakan gabungan dari seluruh perkuatan sebagai berikut : Untuk shotcrete: Psc = ⎧ (r − t ) ⎫ t 1 x σ cc ⎨ 1 − i 2 c ⎬ ≈ σ cc c 2 ri ri ⎭ ⎩ (II.51) Dimana: σcc = tegangan tekan uniaxial (MPa) tc = ketebalan shotcrete (m) ri = radius penggalian (m) Untuk rangka baja: Pss = σ ss x A s S x ri (II.52) Dimana: Pss = batas leleh baja (MPa) As = luas permukaan baja (m2) S = jarak antar support Untuk rock bolt: Psb = Tbf S c x Si (II.53) Dimana : Psb = batas tegangan tarik (MPa) Sc = jarak antar rock bolt menurut permukaan (m) Si = jarak rock bolt menurut sumbu memanjang penggalian (m) Secara garis besar menurut Badan Urusan Jalan Raya Jepang, dapat disusun tegangan akibat perkuatan dalam tabel II.9 sebagai berikut: II-38 Tabel II.9. Nilai Tegangan Perkuatan Menurut Badan Urusan Jalan Raya Jepang Pola Perkuatan Jarak satu langkah penggalian (m) Panjang (m) Jarak menurut keliling terowongan Rock Bolt Jarak menurut arah penggalian Sudut terhadap horizontal (°) Tegangan dalam (MPa) Heading Rangka Bench Baja Tegangan dalam (MPa) Tebal (cm) Shotcrete Tegangan dalam (MPa) Tegangan dalam total (MPa) B 2.0 3.0 1.5 2.0 180 0.04 5 0.18 0.22 CI 1.5 3.0 1.5 1.5 240 0.05 10 0.36 0.41 CII DI DII 1.2 1.0 1.0 3.0 4.0 4.0 1.5 1.2 1.2 1.2 1.0 1.0 240 240 240 0.10 0.15 0.15 H-125 H-125 H-150 H-125 H-150 0.12 0.15 0.19 10 15 20 0.36 0.53 0.71 0.58 0.83 1.05 Nilai tegangan perkuatan dapat bertambah jika menggunakan perkuatan pembantu seperti tabel berikut: Tabel II.10. Nilai Perkuatan Tambahan Konstruksi Tambahan Penambahan Tegangan Dalam Forepoling +0.1 MPa Tambahan jumlah rock bolt Tambahan panjang rock bolt Invert sementara +0.2 MPa II.5 Settlement di Permukaan Sebagai akibat dari aktifitas penggalian terowongan, terjadi perubahan tegangan, loosening area dan akhirnya terjadi settlement pada permukaan. Settlement yang terjadi di permukaan tidak boleh menyebabkan kerusakan pada bangunan yang ada di atasnya. Faktor yang menyebabkan besarnya settlement dapat disebutkan sebagai berikut : a. Kondisi massa tanah/batuan b. Kedalaman penggalian c. Loosening area d. Kualitas penggalian e. Kecepatan pemasangan support Untuk memperkirakan settlement ini dapat digunakan rumus empiris yang ada seperti formula dari Martos (1961): II-39 η(x) = ⎛ 2 κm (1 − δ t ) exp − ⎜⎜ x κ+H ⎝ 2l ⎞ ⎟⎟ ⎠ (II.54) Dimana: η(x) = Penurunan vertikal H = Kedalaman overburden κ = Koefisien ekspansi volume tanah δt = Efisiensi back filling l = Jarak dari titik tinjauan Maksimum settlement adalah: ηo = κm (1 − δ t ) κ+H (II.55) II.6 Stabilitas Lereng Untuk Portal Dengan adanya penggalian pada terowongan, lereng lokasi portal terowongan akan mengalami penurunan angka keamanan. Agar lereng untuk portal tetap aman, maka diperlukan angka keamanan yang cukup agar penurunan angka keamanan yang terjadi tidak menimbulkan keruntuhan. Tinjauan atas angka keamanan dipengaruhi oleh keandalan parameter tanah dan keberadaan manusia pada lokasi penggalian. Berikut adalah tabel angka keamanan minimum yang diisyaratkan pada lereng: Tabel II.11 Rekomendasi nilai faktor keamanan untuk lereng (SNI, 2007) Resiko terhadap nyawa manusia Diabaikan Rendah Tinggi Diabaikan 1.1 1.2 1.5 Rendah 1.2 1.2 1.5 Tinggi 1.4 1.4 1.5 Resiko Ekonomis Rekomendasi nilai faktor keamanan terhadap resiko kehilangan secara ekonomis Rekomendasi nilai faktor keamanan terhadap resiko kehilangan nyawa manusia Catatan : 1. Meskipun nilai faktor keamanan lerengnya 1,4, jika beresiko tinggi terhadap keselamatan orang-orang disekitarnya maka harus diubah menjadi 1.1 berdasarkan hasil prediksi kondisi air tanah terburuk. 2. Faktor keamanan yang tercantum di dalam tabel ini adalah nilai-nilai yang direkomendasikan. Faktor keamanan yang lebih tinggi atau lebih rendah mungkin saja terjamin keamanannya pada situasisituasi khusus dalam hubungannya dengan resiko kehilangan secara ekonomis. II-40