Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban

advertisement
Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban
Michael H.B. Raditya
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM
Jln. Teknika Utara, Pogung, Sleman, Yogyakarta 55281
Telp. +628568780707, E-mail: [email protected]
Volume 13 Nomor 1,
April 2013: 1-14
ABSTRAK
Dangdut, merupakan jenis musik yang mengalami dan menemani perubahan
yang terjadi di Indonesia. Eksistensinya menandakan dangdut merupakan jenis
musik yang paling bertahan selama beberapa dekade. Konsistensinya yang tidak
kunjung memudar memutuskan bahwa dangdut merupakan jenis musik yang
dapat mewakili rakyat Indonesia. Eksistensi dan konsistensi dangdut diwujudkan
dengan adanya proses hibriditas yang dilakukan. Dangdut tidak semata-mata
bersikeras menjunjung nilai keaslian dangdut, tetapi dangdut selalu mengikuti
ke mana arah perkembangan zaman. Hibriditas menjadi kekuataan dangdut,
dan membedakan jenis musik ini dengan yang lain. Dangdut menerima segala
perbedaan, bahkan dangdut memadupadankan seluruh elemen yang ada. Dalam
melihat proses hibriditas yang terjadi, habitus musikal menjadi poin terpenting
dalam keberadaannya. Habitus yang ada membentuk hibriditas dalam arena-arena
yang ada. Memadupadankan konsep habitus dan hibriditas merupakan mediasi
dalam memecahkan proses eksistensi dangdut. Etnografi, metode penelitian seni
dan pembacaan sejarah menjadi metode yang digunakan dalam menafsirkan
fenomena yang ada. Hasil yang didapat dalam penelitian ini, bahwasanya dangdut
sebagai musik hibrid tidak dapat mengacu pada satu gaya saja. Habitus menjadi
poin terpenting, terlebih bila halnya terjadi di urban area. Habitus dalam arenaarena tertentu berbaur dan membentuk habitus baru, dan seterusnya. Habitus
sebagai unsur dalam hibriditasi itu tidak mengarah pada keglobalan semata, tetapi
juga kelokalan yang ada.
Kata kunci: dangdut, hibriditas, habitus, urban, eksistensi
ABSTRACT
The Hybridity of Dangdut Music in Urban Society. Dangdut is a type of music that
endures and witnesses the transformation which has existed in Indonesia. Its existence
indicates that dangdut is the most durable type of music that has been sustained for some
decades. The consistency of dangdut which is not faded over time, has made dangdut
to be a type of music that is able to represent Indonesian people. The existence and
consistency of dangdut can be realized by the hybridity process. Dangdut has adjusted
its nature to the respective era instead of maintaining its original nature. The hybridity
is the strength of dangdut that is able to differentiate dangdut with other types of music.
Dangdut embraces all differences and is even able to matchmake with all other existing
elements. In looking at how the hybridity process exists, the musical habitus has been
the most important element. The habitus has shaped the hybridity in the existing arena.
Matchmaking the concept of habitus and the hybridity is the mediation in solving the
existence process of dangdut. The ethnography is the method of art research and history
that have been employed in interpreting the existing phenomena. The finding of this
study contends dangdut, as the hybrid music, that cannot refer to only one style. The
1
Michael H.B. Raditya, Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban
habitus plays as the most important point, in particular in the urban area. In certain arenas, the
habitus mingles and forms the new habitus and etc. The habitus as an element in the hybridity does
not only merely aim at the globalization, but also at the localization.
Keywords: dangdut, hybridity, habitus, urban, existence
Pendahuluan
On Saturday evenings near Jakarta’s National Monument, thousands of youths gather at an entertainment
center to listen as dangdut bands pump out their special
sounds and to dance far into the night. Some singers
ZHDUVSDQJOHGRXWÀWVDQGFDUU\WKHODWHVWHOHFWURQLFJHDU
while others get by more modestly with blue jeans and
second-hand instruments; the crowd, too, ranges from the
expensive, sheen-shirted types to kampung kids in rubber
thong sandals or bare feet. Similar scenes are recreated in
countless lesser cities and towns, and in villages as well.
William H. Frederick
Pengamatan Frederick terhadap perhelatan
dangdut mengindikasikan bahwa alunan musik dan
joged menjadi kekuatan pada jenis musik ini. Telaah
lebih lanjut menyatakan bahwa perhelatan ini tidak
hanya tercipta dan menjadi tontonan masyarakat
kota, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang tinggal
di desa. Hal ini juga dialami secara empirik oleh
peneliti ketika berada di panggung hiburan Dusun
Klindon, Petungkriyono, Pekalongan. Perhelatan
dilakukan dalam merayakan hari panen, dengan
maksud sebagai persembahan dan ucap syukur
kepada sang pencipta. Selain sebagai rasa ucap
syukur, perhelatan dilakukan sebagai “acara
puncak”, ketika para masyarakat bisa berkumpul
dan bersilahturahmi satu sama lain.
Berjarak beberapa kilometer dari pekalongan,
Jakarta, perhelatan dangdut juga sangat marak,
terlebih ketika pemilu raya akan dilangsungkan.
Weintraub (2012:3) menyatakan bahwa “Sejak
1970-an, para politisi telah menggunakan dangdut,
sebentuk ‘musik rakyat’ untuk menggalang massa
dalam kampanye”. Dangdut semakin marak
dalam perhelatannya, setiap acara dengan tajuk
apa pun menghelat dangdut sebagai ‘pesta rakyat’
dan ‘puncak acara’. Senada dengan pernyataan
2
tersebut, Sumardjo (2010:30) menekankan bahwa
“Seni adalah puncak budaya karena seni berkaitan
erat dengan religi suku atau masyarakat. Seni
menghadirkan yang halus, tak nampak menjadi
nampak dan berwujud”. Tidak hanya berkaitan erat
dengan religi, suku, dan masyarakat, seni diciptakan
oleh masyarakat. Masyarakat membentuk tatanan,
baik seni yang bersifat tradisi, modern, dan
kontemporer.
Hauser (1982:94) menekankan bahwasanya
“seni adalah produk masyarakat”. Produk dari
masyarakat dalam artian yang lebih mendalam
mengindikasikan
bahwa
seni
terbentuk
berdasarkan proses penciptaan. Pada proses
penciptaan kemurnian dan hibriditas menjadi hal
yang mendasar, terlibat akulturasi atau asimilasi
kebudayaan. Kayam (1981:90-93) mengatakan
bahwa terjadi komunikasi seni antara pencipta dan
pendukung amat didasari oleh rasa keakraban, yang
berarti kemampuan kedua belah pihak untuk saling
menangkap dan memberi makna dari penciptaan
seni. Seni yang muncul dari dalam masyarakatnya
adalah seni yang mendapat dukungan, yang akrab
dengan lingkungan. Hal ini menekankan bahwa
sebuah kesenian merupakan sebuah sistem yang
di dalamnya terbentang unsur-unsur yang saling
berhubungan. Setiap unsur saling menopang dan
berpadu menjadi sebuah hal yang baru.
Produksi seni yang bersifat kolektif, atau dirasa
dan dicipta oleh masyarakat, akan mengutamakan
nilai-nilai yang menubuh, mengedepankan etnisitas
lokal, dan penuh dengan intepretasi. Dilematis
menjadi persoalan utama dalam terjadinya
proses tersebut, “kemurnian” dan “hibriditas”
menjadi gesekan persoalan. Beberapa dari praktisi
mengatakan bahwasanya seni adalah murni, tetapi
beberapa dari akademisi mengatakan bahwasanya
seni bersifat hybrid dalam tataran sekecil apapun,
terlebih ketika masyarakat berinteraksi. Sumardjan
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
(1980:21) menekankan bahwa kesenian akan ikut
selalu berubah dan berkembang bila kebudayaannya
juga selalu bersikap terbuka terhadap perubahan dan
inovasi. Kebudayaan dalam keberlangsungannya
tidaklah bersifat statis, budaya selalu bersifat
dinamis. Selalu terjadi perubahan dan menciptakan
keberlangsungan, dan disesuaikan dengan kondisi
yang terjadi dalam pembentukannya.
Telaah Bourdieu—dalam pemahaman Jenkins—menekankan bahwa habitus dan modal
mempunyai nilai penting dalam arena (2013:124).
Arena —menurut Bourdieu—dalam hal ini dikaitkan dengan pembentukan seni oleh masyarakat.
Arena tidak terlepas dari arena itu sendiri, arena
bernaung pada arena-arena dalam scope yang lebih
besar. Tataran seni kolektif merupakan pembauran antarhabitus individu dalam arena tertentu,
dikaitkan dengan arena pembentukan seni. Habitus
individu membentuk habitus kolektif, dan kolektivitas merupakan arena dalam mempertemukan
banyak habitus, bahkan membentuk habitus baru.
Dalam arena kolektif akan ditemui arena yang
lebih besar ketika bertemu dengan arena kolektif
lain. Arena akan terus-menerus terbentuk, dan
habitus terus-menerus berbaur dan mencipta
habitus baru dalam pembentukan seni. Sudut
pandang Bourdieu, bahwasannya pembauran
habitus pada arena membentuk pertemuan
habitus yang dapat menghasilkan percampuran
baru. Hibriditas, merupakan telaah yang pas
dalam melihat pembauran tersebut. Proses
hibriditas menjadi semakin menarik terlebih seni
yang tercipta dibentuk di masyarakat urban. Seni
yang dicipta masyarakat urban menuju pada seni
popular, tetapi tidak menutup kemungkinan itu
semua berangkat dari masyarakat rural. Habitus,
penubuhan, intepretasi individu yang tergabung
dalam masyarakat menjadi proses pembentukan
yang menarik.
Pada tataran ini, dangdut menjadi studi
mendalam dalam melihat persoalan kemajemukan
nilai-nilai pada proses pembentukan seni itu
sendiri. Pengarahan tulisan akan ditujukan kepada
pemahaman atas pembentukan seni, dan melihat
korelasi yang terjadi antara nilai-nilai hibriditas
pada budaya urban. Dangdut merupakan jenis
musik yang mengalami percampuran, pembauran,
dan intepretasi ulang atas sebuah kebudayaan.
Hibriditas dangdut menjadi hakiki, terlebih bila
melihat esksistensi dan konsistensinya kini. Poin
yang menarik di sini adalah ketika hibriditas terjadi
pada dangdut, perkembangannya begitu masif
sehingga membuat pembaruan pada dangdut itu
sendiri. Ya, dangdut koplo, arah dangdut yang
menjadi permintaan terbesar dari masyarakat.
Majemuk dan masifnya perkembangan dangdut,
membuat jenis musik ini menjadi menarik.
Penulis akan memadupadankan konsep habitus
dan hibriditas dalam menjelaskan musik dalam
tataran masyarakat urban.
Dangdut koplo menjadi sedemikian menarik
dengan kemajemukannya, terlebih eksistensinya
yang terus terekspos dan menjadi konsumsi publik
masyarakat Indonesia beberapa tahun belakangan
ini. Dalam menguak permasalahan yang ada,
penelitian dilakukan dengan menggunakan metode
penelitian etnografi, metode penelitian sejarah, dan
metode penelitian seni dalam mengintepretasikan
proses hibriditas dangdut. Spreadley (2007:xxi)
berpendapat bahwa etnografi merupakan metode
yang menemukan dan menggambarkan organisasi
pikiran dari manusia yang di dalamnya terdapat
kebudayaan. Lebih mudahnya, pembacaan lebih
mendalam atas permasalahan dapat dilakukan
dengan metode ini. Teknik pengumpulan data
kualitatif menjadi pilihan yang tepat dalam
mengumpulkan data. Pembacaan sejarah atas
kejadian-kejadian yang terjadi juga merupakan
data yang valid dalam melihat keberadaan dangdut.
Pembacaan seni yang dikhususkan pada korelasi
notasi dianggap bisa menjawab secara eksplisit atas
seni tersebut. Hasil temuan akan menjadi refleksi
dalam melihat hibriditas urban dalam melihat seni
sebagai sebuah manifesto kebudayaan.
Urban dan Populer
Urban, merupakan sebuah tajuk yang
diimpikan oleh setiap daerah yang melakukan
pembangunan. Dapat dilihat pembangunan
di daerah-daerah yang dilakukan secara masif.
Kemajuan dan konsep perkotaan menjadi sebuah
impian masyarakat, dan nilai atas itu telah menjadi
stigma tersendiri. Masyarakat mengidam-idamkan
3
Michael H.B. Raditya, Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban
sebuah konsep urban, yaitu terjadi keambangan
atas nilai dalam masyarakat. Clark (2003:4)
mengatakan bahwa:
“Seeing urban areas as spaces that have
been conceptualised, and more importantly,
signified in particular ways towards particular
ends, can provide insight into the manner in
which old, new and fluid cultural identities
emerge, are negotiated or contested within and
between these urban spaces“.
Ruang urban menjadi sebuah tempat
negosiasi dalam pembentukan identitas
yang lama, baru, dan yang muncul, adanya
pembauran dan percampuran, atau kita
sebut hibriditas. Perkotaan atau urban
menjadi tataran arena dalam terjadinya
hibriditas tersebut. Bila kita menilik konsep
perkotaan dahulu, Wertheim (1964:170)
menyatakan bahwa “Sebelumnya kotakota adalah pusat kerajaan, pusat kegiatan
keagamaan atau pelabuhan”. Secara
implisit, ditegaskan bahwa kota merupakan
tempat bernaungnya sebuah kekuasaan
atas sebuah hal, seperti halnya kerajaan
adanya kekuasaan raja, keagamaan adanya
kekuasaan Tuhan, dan pelabuhan adanya
kekuasaan perdagangan. Ada nilai yang
diacu, mengontrol dan timbulnya konsep
baru, berbeda dengan pedesaan pada
umumnya.
Telaah lebih lanjut dalam melihat perbedaan
rural dan urban terdapat pada nilai kesenian.
Ada perbedaan yang signifikan antara urban
dan rural yang terjadi pada pola-pola kesenian.
Koentjaraningrat (1994:211-212) dalam Kebudayaan Jawa memperlihatkan adanya perbedaan pola
antara kesenian rural dan urban, pada kesenian
rural, yakni:
Bulan-bulan setelah akhir panen merupakan waktu bersuka-ria. Dalam saat-saat
sepertii itulah para dalang dan penari
wanita (lédhék) sibuk melayani permintaan
untuk mengadakan pertunjukan di
berbagai perayaan, misalnya pesta sunatan,
perkawinan dan sebagainya. Pesta-pesta
dengan mendatangkan seorang dalang
untuk pertunjukan wayang kulit dan
4
rombongan penari ledhek itu sebenarnya
hanya dapat dilakukan oleh para petani
yang kaya saja. 56% dari penduduk komunitas desa yang miskin dapat menikmati
semua pertunjukan itu dari halaman
rumah dimana suatu pertunjukan sedang
berlangsung.
Kesenian dalam tataran ini dilakukan sebagai
acara di penghujung musim panen. Para seniman
dibanjiri dengan panggilan pertunjukan dari desadesa. Setiap desa akan berlomba “menanggap”
sebuah kesenian untuk dirayakan. Ada moment
spesial dalam perhelatan sebuah pertunjukan
yang tidak bisa diterapkan di sembarang hari.
Berbeda dengan masyarakat rural yang menikmati
pertunjukan sebagai sebuah “pesta rakyat”, dan
dirayakan di penghujung musim panen. Pada
kesenian yang dihelat di perkotaan atau kaum
urban, Koentjaraningrat (1994:286) mengatakan
bahwa “dalam masyarakat kota ada berbagai macam
jenis rekreasi baru, dibandingkan dengan di desa.
Pasar malam yang dari waktu ke waktu diadakan
di berbagai kota, merupakan tempat pertunjukan
seperti wayang orang, kethoprak, ludruk”. Pada
tataran urban terjadi permintaan yang lebih besar,
perhelatan yang lebih banyak dalam kuantitas, dan
berbaurnya kesenian-kesenian menjadi satu.
Kesenian urban yang mempunyai kuantitas
lebih banyak daripada kesenian rural, membentuk
sebuah pertunjukan mengalami eksistensi yang
kuat. Kuantitas dengan frekuensi yang tinggi
menciptakan nilai-nilai kepopuleran tersendiri.
Shuker (1994:4) menyatakan bahwa:
“Their popularity is indicated by ratings
surveys, box office returns, and sales figures. To
a degree, this definition of ‘popularity’ reifies
popular cultural texts, reducing them to the
status of objects to be brought and sold in the
market place, and the social nature of their
consumption must always be kept in mind.
That said, this study equates the ‘popular’ with
commercial, cultural forms of entertainment,
and regards markets as an inescapable feature
of popular culture.”
Permintaan pasar dan sebagai hiburan menjadi
poin utama bagi sebuah kesenian telah bersifat
populer atau sebaliknya. Hal ini juga dipertegas
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
Turner (1984:4) menyatakan bahwa:
“Popularity is central to popular culture, as its
various products and figures (stars, auteurs)
attain general social acceptance and approval.
In a sense, a circular argument holds here:
the popular are mass, the mass are popular.
As Turner puts it: ‘popular culture and
mass media have a symbiotic relationship:
each depends on the other in an intimate
collaboration.”
Penekanan Turner mengindikasikan bahwa
kebudayaan populer merupakan ranah memproduksi, dan terjadi negosiasi atas persetujuan dari
masyarakat banyak. Bahkan Turner mengindikaskan
bahwa populer adalah massa, dan massa adalah
populer. Populer mempunyai kekuatan yang besar
pada permintaan masyarakat. Lynch (2005:19)
menekankan bahwa “I have suggested that it may
be most constructive to see the term “popular culture”
as a term that points us towards the study of the
environment, practices, and resources of everyday life”.
Hal populer berangkat dari sesuatu yang dibiasakan
dan menubuh, baik secara sadar atau sebaliknya.
Pemahaman populer sebuah kebudayaan,
diungkap sebagai permintaan massa, keinginan
massa terbesar dalam menegosiasikan sosial dan
kebudayaan. Terjadi banyak konsep kolaborasi
dalam penerapannya, yang dapat disimpulkan
sebagai upaya hibriditas. Pada ranah kesenian,
Hauser (1982:580) menyatakan bahwa “yang
mendasari lahirnya seni populer adalah kebosanan
(boredom), dan kebosanan ini memunculkan
kegelisahan (restlessness)”. Adanya kebosanan atas
kesenian sebelumnya memicu selera masyarakat
berpaling kepada seni populer, bahkan mengusung
sebuah kesenian baru yang berasal dari lingkup
regional atau global. Adapun pengkategorisasian
sebuah kesenian dikatakan dalam musik populer.
Usman (2000:154) menyatakan bahwa ditinjau
dari segi sosial, setidaknya ada tiga faktor penting
yang memengaruhi apresiasi waga masyarakat
terhadap musik populer, yakni: (1) Derajat
Pengenalan, adalah persentuhan orang dengan suatu
produk musik populer tertentu, (2) Pembiasaan,
lebih merupakan frekuensi persentuhannya sendiri,
(3) Intensitas Pergaulannya dengan Musik Populer.
Pengetahuan yang lebih mendasar mengenai aspek-
aspeknya serta keterlibatan dalam kegiatan yang
mempergunakan musik populer sebagai salah satu
sarana pokoknya. Pernyataan Usman menguatkan
bahwasanya populer atau tidaknya sebuah
kesenian didasarkan kepada pengenalan, frekuensi
persentuhan, dan pergaulannya. Bila diaplikasikan
pada dangdut, popularitas dangdut sudah menjadi
barang tentu. Dangdut dapat diartikan sebagai
massa atau rakyat, sudah menjadi jaminan ketika
sebuah acara dengan ‘menanggap’ dangdut akan
ramai dengan penonton. Weintraub (2010:82)
menyatakan bahwa: Dangdut has been constructed
as a natural reflection of the “rakyat”, as opposed to
pop Indonesia, rock, jazz or other forms in which
musical elements are largely imported from Europe or
the United States.” Dangdut tercipta sebagai refleksi
natural dari rakyat atas perlawanan terhadap jenis
musik yang berasal dari luar. Terdapat counter yang
diciptakan masyarakat terhadap kebudayaan baru
yang muncul. Masyarakat berintepretasi dengan
memadu-padankan keseluruhan budaya yang
berkembang.
Selain itu, Weintraub (2012:93) menegaskan
bahwa kepopularitasan dangdut didasarkan pada:
“akar historis dangdut dalam melodi, irama,
dan gaya vokal musik populer Melayu, lirik
menggunakan bahasa Indonesia, gaya tarian yang
relatif sederhana, liriknya yang lugas dan mudah
dipahami, dan teks lagunya yang berkenaan dengan
realitas sehari-hari”. Hal inilah yang menjadikan
dangdut semakin larut dan hidup bersama rakyat
Indonesia. Wangi Indriya (2006:190) menyatakan
bahwa “orang Indonesia sekarang suka sekali
dengan dangdut. Bahkan di daerah pelosok
sekalipun dangdut disukai masyarakat, belum
ada apa-apa, penonton sudah minta dangdut”.
Dangdut merupakan refleksi dari masyarakat dan
menjadi hal yang lumrah, hal tersebut menjadikan
posisinya sangat penting di masyarakat. Simatupang
(1996:67) yang mengamati fenomena ini pada
tahun 1990-an menyatakan bahwa:
Dangdut menjadi program acara utama
hiburan di TVRI, sekitar 40-60% dari
55 menit acara hiburan musik yang
ditayangkan TVRI diisi oleh musik
dangdut. Dangdut dikemas lewat program
acara Aneka Ria Safari Nusantara, Album
5
Michael H.B. Raditya, Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban
Minggu, Kamera Ria, Musik Malam
Minggu, dan sebagainya.
Musik dangdut pada tahun 1990-an sudah
mempunyai porsi yang besar dalam perhelatannya.
Hal tersebut juga dapat dilihat dari perkembangan
dangdut kini, setiap acara televisi menggunakan
dangdut sebagai tema besar dari acara, dan dapat
dikatakan tahun 2012 hingga kini merupakan
tahun keemasan dangdut setelah masa Inul
Daratista.
Habitus dalam Hibriditas
Habitus dan hibriditas, memang merupakan
dua konsep yang tidak menyatu, oleh karena itu
memadu-padankan habitus dan hibriditas menjadi
hal yang menarik, mengingat masing-masing
konsep berdiri sendiri dan telah menjadi teori. Pada
dasarnya hibriditas menurut Bhaba (2007:124-126)
adalah sebuah proses penciptaan identitas kultural
menjadi jelas. Hibriditas lebih mengarah kepada
perubahan identitas yang berujung pada perubahan
subjektif. Maksud Bhaba dalam ranah ini adalah
penggambaran atas bergabungnya dua bentuk
budaya yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari
tiap bentuknya, dan menjadi sifat yang dimiliki
keduanya. Young (1995:9) menekankan bahwa:
The use of the term ‘hybridity’ to describe
the offspring of humans of different races
implied, by contrast, that the different races
were different species: if the hybrid issue was
successful through several generations, then
it was taken to prove that humans were all
one species, with the different races merely
subgroups or varieties—which meant that
technically it was no longer hybridity at all.
Pernyataan Young secara eksplisit menggambarkan adanya perbedaan ras yang menyatu dengan
proses. Perpaduan antara satu unsur dengan unsur
lain menjadi kunci dalam penerapan hibriditas.
Tidak terlepas pada hibriditas, adapun
langkah-langkah yang diterapkan dalam proses
penerapan perpaduan (baca:hibriditas) tersebut.
Mimikri menjadi proses dalam penerapan hibriditas. Bhabha (2007:126) menyatakan bahwa
mimikri adalah proses peniruan yang terjadi
antara dua identitas berbeda dan juga tanda dari
6
yang tidak teraproproasi, dan mimikri merupakan
suatu tindakan yang sengaja atau tanpa sadar
dilakukan pada interaksi atau hubungan sosial
dalam pertahankan dominasi. Adanya proses
imitasi yang terjadi pada percampurannya. Mimikri
teraplikasikan dengan dua cara, yakni: tanpa sadar
dan disengaja. Dalam artian lebih luas, bahwa
mimikri dapat terjadi dengan secara tidak sengaja
ketika ‘penubuhan’ atas sebuah budaya sudah
terjadi. Proses imitasi akan berbaur dengan adanya
intepretasi, terlebih ketika akan dipadu-padankan
dengan kebudayaan lainnya.
Hibriditas yang diwujudkan dengan proses
mimikri dipertajam dengan konsep habitus milik
Pierre Bourdieu. Habitus menurut Bourdieu
(1990:53) merupakan hasil keterampilan yang
menjadi tindakan praktis yang tidak harus selalu
disadari, yang kemudian menjadi sumber penggerak
dalam lingkungan sosial tertentu. Keterampilan
tersebut terjadi tidak semata-mata begitu saja,
tetapi terjadi pengulangan secara terus menerus.
Menurut Bourdieu (1977:78):
The habitus, the durably installed generative
principle of regulated improvisations,
produces practices which tend to reproduce
the regularities immanent in the objective
conditions of the production of their generative
principle.
Bourdieu menekankan bahwa habitus
merupakan sebuah keteraturan terbentuk karena
adanya pembiasaan yang berulang. Pembiasaan
yang berulang terjadi karena adanya latihan yang
terus-menerus hingga membentuk keteraturan yang
bersifat immanent. Habitus merupakan struktur
yang menstruktur seorang individu dalam disposisi
sehingga menubuh di luar kesadaran si individu.
Pada dasarnya Habitus merupakan kebiasaan yang
ada pada tubuh sehingga semuanya seperti bersifat
otomatis atau bekerja diluar kesadaran. Habitus
terjadi jika terkonstruk di kepala individu, terbiasa
dengan praktik dan lingkungan, dan toksonomi
praktis (Jenkins, 1990:4).
Terkait dengan hal tersebut, Richter (2012:85)
juga menyatakan bahwa:
Habitus is therefore a way to explain how
people’s senses of reality and perceptions of life
chances are conditioned by mental structures
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
they have developed through experience.
By shifting the emphasis somewhat, I want
to suggest that a person’s involvement in a
variety of experiences can broaden their
scope of imaginable and realizable positions.
In this light, the idea of habitus ‘plasticity’
helps to focus attention on the fact that deeply
embedded, habitual behaviour, or what
Bourdieu (1977:78) calls ‘history turned
into nature’, is at the same time influenced
by the physical and mental agility for ‘playing
the game’ that interaction in differing social
settings enables.
Hal ini mengidikasikan bahwa dalam individu sudah terbentuk struktur mental yang
dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman
dan membentuk pengalaman kolektif. Pengalaman
tersebut juga membentuk manifestasi perilaku dan
pengetahuan baru yang memperkuat struktur di
kepala mereka yang terkadang membuat sebuah hal
makin tidak disadari. Terjadi pembiasaan dengan
intepretasi dan kreativitas atas sebuah kondisional
konteks yang berubah-ubah tetapi dalam satu
lingkup yang sama.
Dari hal tersebut pembiasaan terjadi karena
adanya latihan yang berulang, latihan yang
berulang dapat tercipta berdasarkan apa yang
menjadi habitus itu sendiri, seperti halnya budaya,
keluarga, lingkungan, sekolah, dan banyak lagi.
Terkait dengan hal tersebut Bourdieu (1994:1)
menjelaskan bahwa:
culture as a gift of nature, scientific observation
shows that cultural needs are the product of
upbringing and education: surveys establish
that all cultural practices (museum visits,
concert-going, reading etc.) , and preferences
in literature, painting or music, are closely
linked to educational level (measured by
qualifications or length of schooling) and
secondarily to social origin.
Hal tersebut menjelaskan bahwa seluruh praktik kultural seperti halnya musik sangat berkaitan
dengan tingkat pendidikan dan lingkungan sosial.
Tingkat praktik kultural membuat peluangpeluang dalam mengonstruksi masyarakat di bawah
sadar mereka. Bourdieu memercayai bahwa asal
usul sosial memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap pengetahuan seseorang.
Pada dasarnya Habitus merupakan kebiasaan
yang ada pada tubuh sehingga semuanya seperti
bersifat otomatis atau bekerja di luar kesadaran.
Habitus-habitus yang terbentuk menjadi kekayaan
modal yang teraplikasikan oleh praktik. Modal
terjadi ketika kebiasaan tumbuh, menjadi investasi
dalam penubuhan. Dalam penelitiannya tentang
praktik, Bourdieu berpendapat bahwa seluruh
kehidupan sosial pada dasarnya bersifat praktik,
karena berada dalam ruang dan waktu, serta tidak
secara sadar diatur dan digerakan. Bourdieu dalam
Jenkins (1992:42): “The practical mastery of the logic
or of the imminent necessity of a game—a mastery
acquired by experience of the game, and one which
works outside conscious control and discourse (in the
way that, for instance, techniques of the body do”.
Praktik tidak terjadi pada ruang yang kosong,
praktik berkerja pada field. Praktik merupakan sebagai gabungan dari habitus dan modal yang dibuktikan di field. Jenkins (1992:52) menyatakan
bahwa habitus, modal dan praktik teraplikasikan
pada arena atau field. Field merupakan suatu arena
sosial yang di dalamnya ada perjuangan atau maneuver untuk memperebutkan sumber atau akses
yang terbatas. Praktik berada dalam field, yang
merupakan hasil dari capital yang terjadi karena
habitus. Ketika seseorang dengan praktiknya melawan orang lain disebut sebagai field of struggle, dan
perjuangan untuk mencapai eksistensi. Habitus,
modal, dan praktik dalam arena mengonstruksi
segala sesuatu menjadi satu keterkaitan.
Bourdieu menjelaskan bahwa seluruh praktik kultural seperti halnya lukisan atau musik
sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan
dan lingkungan sosial. Tingkat praktik kultural
membuat peluang-peluang dalam mengonstruksi
masyarakat di bawah sadar mereka. Bourdieu
mempercayai bahwa asal usul sosial memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap pengetahuan
seseorang. Dalam hal ini budaya-budaya yang
menghibrid mempunyai habitus tersendiri.
Hibriditas pada habitus terjadi pada arena-arena
yang ada dan mengonstruksi sebuah hal yang baru.
Penerapan habitus dan hibriditas pada dangdut,
dapat diterapkan dari awal munculnya musik
dangdut itu sendiri.
7
Michael H.B. Raditya, Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban
Dangdut Sang Hybrid
Dangdut merupakan jenis musik yang eksistensi dan konsistensinya terus terjaga, bahkan
dangdut terus berkembang dalam ranah musikalitas. Dangdut tidak seperti jenis musik lain,
yang terkadang menjaga nilai keasilannya. Dangdut
terus berpadu-padan dengan jenis musik lain.
Dalam bukunya, Lockard (1998:95) mengatakan
bahwa dangdut sebagai:
“Emerged from the cultural melting pot of
Jakarta, a city sometimes compared to the
spicy Indonesian Salad gado-gado because of
its assimilation and intermingling of peoples
and ideas arriving from outside. Hence like
kroncong, Dangdut, resulted from the fertile
cultural exchange characteristic of thus vibrant
city with its distinctive environment”.
Pembauran dangdut dengan jenis musik dan
budaya lain menjadikan dangdut semakin variatif.
Pembauran itu menjadi kekhasan tersendiri dalam
dangdut. Hal ini sudah terjadi sejak Dangdut itu
berdiri, tidak terlepas dari kondisional yang ada
dalam terbentuknya dangdut. Dangdut dalam
perkembangannya mengalami rentetan proses
yang panjang.
Periode pertama ini merupakan periode
yang menjadi akar dari perkembangan dangdut
sekarang ini. Pada dasarnya irama Melayu juga
diartikan sebagai irama melayu Deli, Sumatra
Utara. Penyebutan tersebut dimaksudkan karena
jenis musik yang berakar pada musik tradisional
milik Deli. Perkembangan musik tradisional Deli
pada saat itu menjadi basis musik dan memberikan
stimulan terhadap munculnya musik dangdut.
Tan Sooi Beng (1993: 20-24) menyatakan bahwa
perkembangan Melayu Deli dibarengi dengan
teater lokal pada saat itu. Ketika sebuah kesenian
menjadi satu kesatuan dalam kesenian, posisi
kesenian tersebut akan lebih dalam. Kemunculan
orkes gambus juga dipercaya mendapatkan
perkembangan dari syair melayu. Bentuk nyata
dari pengaruh Melayu terdapat pada instrumen
musik yang masih digunakan pada musik dangdut
kini, seperti halnya kemung dan rebana. Irama
yang dimainkan pada pertunjukan dangdut
8
juga mengacu pada irama melayu. Banyaknya
kesamaan yang ada, membuat dangdut pada
saat itu disebut sebagai irama Malaya atau irama
Deli. Pada cengkok yang menjadi pakem dangdut
juga merupakan perkembangan dari rentak Mak
Inang, sebuah irama sekitar 100 ketukan per-menit
(Takari, 2001:1).
Pada periode selanjutnya, pengaruh musik
India pada dangdut terjadi sangat kuat. Konteks
yang terjadi mendukung dan menguatkan India
sebagai jenis musik acuan pada saat itu. Konteks
politik yang terjadi juga menjadikan India
menjadi basis acuan masyarakat. Pada tahun
1950 hingga 1960, musik dan film dari Amerika
dan Eropa tidak diperkenankan masuk secara
legal di Indonesia. Sebagai alternatif, Soekarno
memasok film dan musik dari India dan Timur
Tengah yang berlangsung sejak tahun 1950-1964
(Weintraub, 2012:64). Keberlangsungan tersebut
membuat pengaruh India menjadi sangat besar
pada kebudayaan Indonesia secara kesenian. Orkesorkes Melayu mulai menggarap lagu-lagu India.
Seorang penyanyi bernama Ellya Khadam
muncul dengan sebuah lagu yang berjudul “Boneka
dari India”, lagu tersebut sangat terkenal pada saat
itu. Meledaknya lagu tersebut membuat pengaruh
dalam pertunjukan musik Melayu. Orkes Melayu
mulai rajin membawakan lagu India, menggunakan
kostum India, dengan tari-tariannya. Intepretasi
masyarakat yang mengartikan musik India dan
kebudayaannya menjadi basis perkembangan musik
dangdut selanjutnya. Beberapa tahun selanjutnya
muncul bintang-bintang dengan gaya India seperti
halnya Ida Lela dan A. Rafiq. Film-film India yang
bergenre film musikal membuat pengaruh India
semakin kuat pada musik Melayu. Musik India tidak
menggeser musik Melayu, tetapi memengaruhi
dalam beberapa unsur yang menjadikannya kini
sebagai genre musik “Ddngdut”.
Pada periode setelah kemasyuran India,
masuknya variasi-variasi dangdut pada periode ini
dikarenakan adanya kudeta politik yang dilakukan
Suharto. Naiknya Suharto menjadi pemimpin
tertinggi bangsa ini membuat pergantian sistem dari
sebelumnya. Suharto mengusung kekuasaannya
sebagai Orde Baru, dengan mencanangkan
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
kebijakan-kebijakan baru, salah satunya adalah
restrukturisasi ekonomi. Dalam mewujudkannya,
dia membuka kembali investasi modal untuk
Indonesia. Berkenaan dengan itu, Barat (Amerika
dan Eropa) kembali hadir di atmosfer kehidupan
Indonesia. Kejayaan musik Barat kembali
dilanjutkan, seperti halnya, dalam kancah musik,
The Beatles, Rolling Stones atau The Bee Gees kembali
menjadi idola para remaja. Semua genre yang pada
saat itu sedang hits di Barat seakan juga menjadi
hits di kalangan anak muda Indonesia.
Pengaruh tersebut menjadi tahapan pada
perkembangan terpenting dangdut kini. Pengaruh yang dibawa tidak hanya pada musik, tetapi
pada semua instrumen yang dimainkan oleh Barat.
Sebenarnya alat musik Barat sudah masuk sejak
dahulu, tetapi untuk kalangan Orkes Melayu,
hal tersebut sangat jarang terjadi. Penggunaan instrumen elektrik menjadi sesuatu yang
konvensional pada saat itu sehingga semua pemusik
berlomba untuk ikut menggunakannya. Menurut
Sasongko (2006:20) pada akhirnya pada tahun
1970-an, Orkes Melayu menggunakan instrumen
elektrik dalam permainannya, dari gitar, bass,
drum, keyboard, dan sebagainya. Pada saat itu
genre yang mendominasi arus deras musik barat
berkiblat pada rock. Masyarakat dengan hegemoni
tersendiri menuju rock secara berjamaah. Dalam hal
ini rock dan varian musik Barat mewarnai blantika
musik Indonesia, dan ikut memengaruhi dangdut
dalam permainannya. Elemen musik rock mulai
dimainkan dalam dangdut, seperti halnya yang
dibawakan oleh Rhoma Irama (Oma).
Kegemilangan karier Oma sebenarnya ketika
keberhasilannya mempertahankan eksistensi dan
meleburnya dangdut dengan varian musik yang
ada pada saat itu, yakni rock. Rhoma merupakan
sebuah pembaruan dalam musik dangdut dan
keberlangsungan perjalanan OM. Lockard
(1998:95) menyatakan bahwa:
“1970 Rhoma and his new group Soneta
Exploded onto the pop charts with a gradually
changing, somewhat more rock oriented,
electrified, and highly danceable dangdut style.
He replaced the original melayu instruments
with modern ones and restructured the
arrangement into modern terms. Rhoma
added electric guitars, synthesizer, and a
drum set to more traditional instruments
in a conscious attempt to substitute a truly
Indonesian Musik for the western rock he had
abandoned.
Lagu yang dibawakan Oma pada saat itu
masih merupakan percampuran jenis musik yang
ada sebelumnya, seperti halnya Melayu, India, dan
Barat. Ketegasan gaya didapatkan pada tahun 1975
ketika Oma memadukan rock dan dangdut sebagai
jenis musiknya.
Pada tahun 1978 muncul kelompok musik
Tarantula yang mengusung ide lokal seperti
jaipongan (yang dibawa Camelia Malik) dan
idiom perkusi Amerika Latin. Sasongko (2006:36)
menegaskan bahwa Tarantula merupakan subgenre
yang disebut dangdut jaipongan. Dangdut jaipongan
menjadi pelopor tersendiri dalam pergerakan musik
dangdut lokal. Simatupang mencatat bahwa pada
tahun 1980-an, muncul dangdut Sunda, dangdut
Jawa, dangdut Batak, dan dangdut Minang. Pada
tahun 1978 resistensi terhadap musik dangdut pada
saat itu, yang diusung oleh OM Pancaran Sinar
Petromax, Warkop DKI dengan membawakan
lagu dangdut plesetan, yang dalam lirik berisikan
sentilan-sentilan moral dan politik. Hal lain yang
diusung dari dangdut plesetan adalah penggunaan
alat musik secara akustik, kembali ke idiom musik
Melayu sebenarnya.
Variasi-variasi yang muncul karena perkembangan musik Barat menjadi warna tersendiri
dalam perkembangan dangdut. Banyak pengaruh
yang terjadi dalam dangdut. Dari ketiga pengaruh
jenis musik, Melayu, India, dan Barat, menjadikan
dangdut seperti sekarang. Simatupang menyebut
percampuran tersebut sebagai musik hibrid.
Percampuran berbagai jenis komponen musik
membuat dangdut menjadi musik khas yang
tersendiri. Dangdut mengalami bongkar pasang
komponen dari pengaruh yang masuk pada saat
itu, dan berdiri sebagai sebuah genre baru yang
dirasa sebagai “Indonesia”.
Periode selanjutnya adalah periode dari
dangdut koplo. Dangdut koplo muncul pada saat
reformasi dikibarkan. Dangdut koplo hadir dalam
9
Michael H.B. Raditya, Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban
mengisi kekosongan kreativitas paska pemerintahan
orde baru. Pemerintahan Orde Baru mengungkung
dan mengendalikan sistem yang memunculkan
batasan-batasan dan pengkotak-kotakan dalam
masyarakat. Bila ditilik lebih dalam, keberadaan
dangdut koplo telah ada sejak masa Orde Baru,
bahkan akar-akar keberadaannya juga telah ada sejak
dahulu. Musik koplo mendapatkan variasi dalam
fusion musik yang membuat musik koplo, seperti
halnya musik Sunda, musik lokal Jawa Timur,
house music, dan dangdut itu sendiri. Kemasyuran
dangdut Koplo diperkuat dengan kehadiran Inul
Daratista. Inul Daratista merupakan penggebrak
dunia musik Indonesia secara umum, dan musik
dangdut secara khusus. Memang ketenarannya
tidak jauh dengan selintingan-selintingan atas gaya
panggung dan cara berpakaiannya.
Keberadaan Inul berpengaruh pada musik
dangdut hingga sekarang. Musik dangdut
Indonesia kini lebih beragam. Dari goyangan
“ngebor” Inul, muncul goyangan lainnya, seperti
goyangan “gergaji”, “vibrator”, dan “ngecor”.
Inul merupakan penggerak musik dangdut, dia
menggebrak musik dangdut yang sopan dengan
dangdut yang enerjik, yaitu koplo. Dangdut yang
serius diubahnya menjadi dangdut yang bebas
dan penuh goyangan sehingga dangdut kini lebih
berwarna dan memunculkan Inul-Inul baru yang
mewarnai musk dangdut dan musik Indonesia.
Hal tersebut terjawab dengan hampir setiap daerah
memiliki OM-OM Dangdut Koplo. Setiap OMOM membawa gaya dan ciri khas masing-masing
yang menjadi ciri khas bagi pertunjukannya. Dalam
keberlangsungannya, selera nasional mempunyai
masa kebosanan sehingga ada masa naik dan
turun dari pasar nasional. Berbeda halnya dengan
pasar lokal, eksistensi dari OM-OM tersebut
tetap terjaga, karena OM tersebut berangkat dari
kultural masyarakat sehingga OM tersebut akan
selalu terpatronase oleh masyarkatnya.
Perjalanan dangdut dari awal keberadaannya
hingga dangdut koplo membuktkan bahwa hibriditas menjadi landasan dari eksistensi musik
dangdut. Pada dasarnya Burke (2009:51) menyatakan bahwa: All cultures are involved in one
another, none is single, and pure, all are hybrid,
10
heterogeneous. Adanya percampuran sebagai dasar
dari fondasi jenis musik ini sebagai satu kesatuan.
Berangkat dari hal tersebut, dapat diyakini
bahwa hibriditas merupakan percampuran yang
berintegrasi, dalam konsepsi ini bahkan tidak
hanya integrasi tetapi berakulturasi. Terbentuk
konstruksi baru yang merupakan hasil akulturasi
beberapa percampuran. Dalam hal ini, sesuatu
konsep terapan yang baru membentuk identitas
baru pada keberlangsungannya, dan dalam hal ini
adalah dangdut sebagai musik hibrid.
Dangdut: Habitus + Hibriditas = Eksistensi
Perjalanan dangdut dari gaya dangdut Melayu
hingga dangdut koplo sudah sangat membuktikan
eksistensi dari jenis musik ini. Terjadi banyak
perubahan gaya yang disesuaikan dengan
kondisional yang terjadi pada saat itu, telah terbagi
atas dangdut Melayu, dangdut India, dangdut rock,
dangdut house, dangdut daerah, dan dangdut koplo.
Dalam pembuktian eksistensi yang difokuskan
pada peran habitus dalam hibriditas, dangdut
koplo akan ditelaah lebih lanjut sebagai contoh
pembuktiannya. Asal mula keberadaan dangdut
koplo tercipta di Jawa Timur, tetapi beberapa orang
mengatakan bahwa Jawa Timur merupakan tempat
perkembangannya saja. Dalam bukunya Weintraub
(2012:252) menyatakan bahwa:
Malik B.Z, pencipta lagu “Keagungan
Tuhan”, mengaku pernah menyisipkan
irama mirip irama koplo dari genre kesenian
lokal Jawa Timur, Reog Ponorogo, ke dalam
salah satu komposisi musik populer di
tahun 1970-an. Yadi pemain keyboard di
Bandung, Jawa Barat berteori bahwa irama
pokok gendang koplo berasal dari motif
gendangan yang mengiringi pola langkah
kaki (mincid) dalam jaipongan Sunda, dan
pendapat dari Yadi tersebut dibenarkan oleh
musisi di Kota Surabaya dan Banyuwangi
Jawa Timur.
Membenarkan awal penciptaannya yang
terjadi karena kendangan Sunda, hal tersebut
berhubungan dengan persebaran penggunaan
alat pendengar lagu yang mengoperasikan kaset.
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
Pada tahun 1980-an, gendangan jaipongan masuk
ke Jawa Timur bersamaan dengan musik lain.
Pembacaan Weintraub dalam hal ini bahwa Koplo
“mungkin” tercipta dari reintepretasi ritme dangdut
yang diterjemahkan melalui jaipongan.
Penjelasan akar Dangdut Koplo mengungkapkan bahwa habitus musikal dangdut koplo terbentuk
dari kebudayaan Jawa Barat (baca: Jaipongan), dan
diintepretasikan dengan kebudayaan Jawa Timur,
tempat dangdut koplo hidup dan berkembang.
Habitus musikal dari dangdut koplo yang dapat
ditelaah lebih dalam adalah perihal senggakan.
Terjadinya senggakan dalam konsep musik telah
terjadi pada seni karawitan. Pada dasarnya,
Poerwadarminta (1939:557) dan Murwaningrum
(2012:5) menyatakan bahwa:
Senggakan memiliki kata dasar senggak
yang memiliki arti njuwara gijak aramé
mbarengi (njamboengi) oenining gamelan
(sinden). Dari cara penyajiannya, senggakan
di dalam karawitan memiliki kesan rasa
ramé. Dengan demikian senggakan dapat
diartikan vokal bersama atau tunggal
dengan menggunakan cakepan parikan dan
atau serangkaian kata-kata (terkadang tanpa
makna) yang berfungsi untuk mendukung
terwujudnya suasana ramai dalam sajian
suatu gendhing.
Dalam keberlangsungannya, ketika senggakan
dapat dilakukan dengan vokal bersama atau tunggal
dan bermakna atau sebaliknya, senggakan dapat
diartikan sebagai unsur yang fleksibel. Keberadaan
senggakan yang fleksibel digunakan secara bebas bagi
mereka yang mempunyai habitus dan intepretasi
yang baik. Perkembangan senggakan pun sangat
pesat dalam penggunaannya, dan senggakan pun
telah beradaptasi dengan konteks-konteks yang
berlangsung. Seperti halnya telah adanya senggakan
tanpa lagu, senggakan mengikuti pola kendang dan
senggakan pematut.
Senggakan telah berkembang sedemikan rupa
dalam penggunaannya. Posisi senggakan pun tidak
sendiri. Dalam penerapannya senggakan saling
berhubungan dengan alat musik yang dimainkan.
Seperti yang diungkapkan Budiarti (2006:45-52)
bahwa:
Senggakan yang mengikuti pola tabuhan
kendhang penerapannya sewaktu-waktu
menyesuaikan pola tabuhan kendhang.
Cakepan yang digunakan biasanya berupa
frase tertentu seperti “telulululu, ho’ yah-ho’
yah, hae-hae, domak tingting jos, esod-esod,
eh-oh-eh, ep-op-ep” dan lain-lain. Adapun
senggakan pematut diterapkan pada irama
lancar dan irama dadi yang pada umumnya
menggunakan cakepan “dhowa lolo loing”.
Selain senggakan-senggakan, ada juga
interaktif atau dialog antara sindhen dengan
penggerong atau pengrawit.
Senggakan dalam permainannya menyatu
dengan permainan kendang, dan dalam keberlangsungannya senggakan tidak lagi hanya pada suara
tetapi mengikuti dan saling melengkapi dengan
yang lain. Pengaruh senggakan dalam karawitan pun
ikut membekas dalam habitus kultural masyarakat,
yaitu banyak implikasi yang muncul seperti halnya
dalam penggunaan beberapa kata yang tetap
digunakan untuk merepresentasikan senggakan
dalam bentuknya. Para pemain telah mempunyai
pengetahuan tentang Senggakan secara tidak sadar
ketika mereka mendengarkan karawitan, sehingga
dalam permainannya mempunyai unsur-unsur
musikal yang sama. Senggakan yang notabene
merupakan unsur karawitan menjadi warna baru
dalam dunia dangdut. Para pemain dangdut koplo
yang secara keseluruhan berasal dari tanah Jawa
pun mempunyai landasan pengetahuan atas hal
tersebut.
Pada hal ini senggakan menjadi habitus pada
dangdut koplo, habitus lain berada pada kendangan
dangdut koplo yang lebih enerjik. Dangdut ala
Rhoma Irama juga menjadi habitus dari dangdut
koplo dalam perkembangannya. Habitus-habitus
ini bertemu dalam satu arena dan terjadi proses
hibriditas. Hibriditas atas semua unsur musikal
membuat kekuatan pertunjukan semakin kuat.
Berhubungan dengan itu, senggakan pada kendang
tidak berdiri begitu saja. Senggakan yang dibuat
oleh pemain lainnya, baik dari alat musik, dari
teriakan MC, maupun pemain tamborin dan
penyanyi, serta goyangan penyanyi sebagai puncak
dari senggakan. Seperti halnya contoh berikut:
11
Michael H.B. Raditya, Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban
Dari proses hibriditas yang terjadi, dapat
dilihat bahwa senggakan tidak hanya terdiri dari
kendang, tetapi juga ada penambahan seperti halnya
alat musik lain, suara vocal penyanyi dan MC, dan
joged dari para penyanyi serta dari pemain musik
12
lainnya. Hal ini membentuk senggakan menjadi
satu kesatuan yang utuh, dan semakin kuat dalam
keberlangsungannya. Tidak hanya pada hibriditas
unsur, hibriditas terjadi pada habitus-habitus dari
dangdut koplo, seperti halnya perpaduan antara
Journal of Urban Society’s Art | Volume 13 No. 1, April 2013
dangdut ala Rhoma, dengan dangdut daerah.
Padu-padan antara unsur Barat dan unsur lokal
menjadi hibriditas yang menarik, terlebih pada
dangdut Koplo ini.
Dangdut koplo sebagai sebuah model dari
dangdut telah membuktikan bahwasanya habitus
musikal menjadi pondasi kuat dalam pembentukan
hibriditas yang kerap melakukan mimikri dalam
penerapannya. Dalam hal ini, eksistensi terbentuk
dengan didasarkan pada habitus dan hibriditas.
Dangdut: Habitus + Hibriditas = Eksistensi.
Simpulan
Eksistensi dangdut memang sudah terbukti,
hampir sejak kemerdekaan berlangsung, jenis musik ini telah ada dan terus berkembang hingga dengan perubahannya kini. Masa demi masa kejayaan
dangdut yang dimulai dengan dangdut Melayu,
India, Barat, daerah, dan koplo, tidak dapat dipungkiri keberadaannya dangdut sebagai musik dapat
menerima semua kebudayaan dan perkembangan
yang ada. Percampuran atas kebudayaan dan pembentukan hal yang baru menjadi kunci tersendiri
bagi dangdut sebagai musik populer. Musik yang
muncul dan berkembang dengan kontur urban
membentuk nilai-nilai khas tersendiri. Hibriditas
semakin terjadi dalam kontur masyarakat urban.
Urban area merupakan pertemuan banyak
kebudayaan, dan hibriditas itu teraplikasikan
dalam dangdut sebagai jenis musik. Hibriditas
dalam proses pembentukannya menggunakan
unsur mimikri. Mimikri dalam hibriditas tidak
terjadi semudah itu, habitus berperan serta
dalam penubuhan yang ada dalam sebuah proses
mimikri, dan unsur habitus, mimikri dan hibriditas
menjadi satu kesatuan dalam pembentukannya.
Dalam pembentukan hibriditas yang terjadi
pada dangdut, ternyata tidak hanya nilai global
saja yang bercampur, tetapi nilai-nilai lokal juga
menjadi unsur kuat dalam sebuah hibriditas.
Global dan lokal bercampur menjadi satu kesatuan
membentuk nilai baru yang tidak meninggalkan
kedua nilai percampuran, tetapi memperkaya.
Eksistensi dangdut terbentuk karena kekuatan
habitus dalam hibriditas.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Sekolah Pascasrajana, UGM; Dr. G.R. Lono
Lastoro Simatupang, M.A.; Prof. Dr. Timbul
Haryono, M.Sc.; Prof. Triyono Bramantyo, M.Ed.,
Ph.D.; Dr. RR. Paramitha Dyah F., M.Hum.; Prof.
R.M. Soedarsono; Prof. Andrew N. Weintraub;
Drs. R Isnur Dewoyono dalam membantu penulis
untuk mendapatkan ide, gagasan, metode, data,
teori dan terciptanya tulisan ini. Pertemuan demi
pertemuan yang mereka sempatkan, waktu yang
mereka korbankan, dan ilmu yang tak segan
diberikan. Terima kasih.
Kepustakaan
Bhaba, Homi. K. 2007. The Location of Culture.
Cetakan ke-5. London, New York: Routledge.
Beng, Tan Soei. 1993. Bangsawan: A Social and
Stylistic History of Popular Malay Opera. New
York: Oxford University Press.
Burke, J.P. 2009. Identity Theory. Oxford: Oxford
University Press.
Budiarti, Muriah. 2006. “Kehadiran Suryati dalam
Dunia Kepesindhenan Gaya Banyumas”.
Tesis, Program Pascasarjana Institut Seni
Indonesia Surakarta.
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of
Practice. Cambridge: Cambridge University
Press.
Bourdieu, Pierre.1990. The Logic of Practice. Terj.
Richard Nice. Stanford: Stanford University
Press.
Bourdieu, Pierre. 1994. Distinction: A Social
Critique of the Judgment of Taste. London:
Routledge.
Clark, Jude. 2003. “Introduction: Urban Culture:
Representations and Experiences in/of Urban
Space and Culture.” Agenda, No. 57, Urban
Culture (2003), pp. 3-10.
Hauser, Arnold. 1982. The Sociology of Art. Terj.
Kenneth J. Northcott. London: University of
Chicago Press.
Indriya, W. 2006. “Belum Ada Apa-Apa, Penonton
13
Michael H.B. Raditya, Hibriditas Musik Dangdut dalam Masyarakat Urban
Sudah Minta Dangdut”, dalam Perjalanan
Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan:
Perubahan dalam Pelaksanaan, Isi dan Profesi,
Disunting oleh Yampolksy, P, Jakarta: Equinox
Publishing.
Jenkins, Richard. 1990. “Dimensions of Adulthood
in Britain: Long Term Unemployment
and Mental Handicap,” in P. Spencer (ed.)
Anthropology and the Dirddle of The Sphinx:
Paradoxes of Change in the Life Course. London:
Routledge.
________. 1992. Pierre Bourdieu “Key Sociologists”.
London: Routledge.
________. 2013. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu.
Terj. Nurhadi. Bantuk: Kreasi Wacana.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, dan Masyarakat.
Jakarta: Sinar Harapan.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta:
Balai Pustaka.
Lockard, Craig A. 1998. Dance of Life, Popular
Music and Pokitics in Southeast Asia. Honolulu:
University of Hawai’I Press.
Lynch, Gordon. 2005. Understanding Theology and
Popular Culture. Victoria: Blackwell.
Murwaningrum, Dyah. 2012. “Senggakan Sebagai
Permainan Vokal dalam Lengger Banyumasan
di Jawa Tengah”. Tesis, Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
UGM.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. BAOESASTRA
DJAWA. Batavia: J.B. Walter Uitgevers –
Maatschappij n.v. Groningen.
Raditya, Michael Haryo Bagus. 2013. “Esensi
Senggakan pada Dangdut Koplo Sebagai
Identitas Musikal”. Tesis, Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
UGM.
Richter, Max M. 2012. Musical Worlds in
Yogyakarta. Leiden: KITLV Press.
Sasongko, Michael Hari. 2006. “Perubahan Wujud
Penayangan dan Makna Musik Dangdut di
14
TPI dan Indosiar 1994-2004”. Disertasi,
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan
dan Seni Rupa UGM.
Selo Sumardjan. 1980. “Kesenian dalam Perubahan
Kebudayaan” dalam Analisis Kebudayaan
Tahun 1 no.2. (1980/1981).
Shuker, Roy. 1994. Understanding Popular Music.
New York: Routledge.
Simatupang, GR. Lono Lastoro. 1996. “The
Development of Dangdut and Its Meanings
A Study of Popular Music In Indonesia”.
Tesis, Departement of Anthropology and
Sociology Monash University. Victoria:
Monash Univeristy.
Spreadley, James P. 2007. Metode Etnografi. Terj
Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana.
Sumardjo, Jakob. 2010. Estetika Paradoks. Bandung:
Sunan Ambu Press.
Takari, Muhammad. September 2001. “Akumulasi
Musikal dalam Seni Pertunjukan Dangdut.”
Selonding, Vol 1.No. 1.
Turner, K. 1984. Mass Media and Popular Culture.
Chicago: Science Research Association.
Usman, Sunyoto. 2000. “Apresiasi Masyarakat
terhadap Musik Populer” dalam Ketika Orang
Jawa Nyeni, Ahimsa-Putra (Ed). Yogyakarta:
Galang Press.
Weintraub, Andrew N. 2012. Dangdut: Musik,
Identitas, dan Budaya Indonesia. Jakarta: KPG.
Weirtheim, W.F. 1964. Indonesian Society in
Transition: A Study of Social Change. The
Hague: W. van Hoewe; Bandung: Sumur
Bandung.
William, H Frederick. 2011. Rhoma Irama and
the Dangdut Style: Aspects of Contemporary
Indonesian Popular Culture. New York:
Southeast Asia Program Publications at
Cornell University.
Young, Robert J.C. 1995. Hybridity in Theory,
Culture and Race. London: Routledge.
Download