BUDAYA LAYAR DAN POLITIK IDENTITAS MUSLIM URBAN (Studi

advertisement
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
BUDAYA LAYAR DAN POLITIK IDENTITAS MUSLIM URBAN
(Studi Pada Kelompok Muda Muslim Kota Ambon)
Abdul Manaf Tubaka, Rasniati Kamala
Dosen pada Jurusan Sosiologi Agama IAIN Ambon
Mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama IAIN Ambon
email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban atas empat pertanyaan penelitian.
Bagaimana Budaya Layar (Film, Media Sosial Facebook, Twiter, dan musik
mempengaruhi Identitas muslim Urban kota Ambon? Bagaimana Artikulasi identitas
Muslim kota Ambon dalam berhubungan dengan budaya Layar? Faktor-Faktor apa saja
yang mempengaruhi artikulasi identitas muslim urban kota Ambon? Bagaimana dampak
yang ditimbulkan dari pengaruh budaya layar terhadap artikulasi identitas kelompok
muslim urban kota Ambon ?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif (qualitavie research method)
dengan pendekatan verstehen atau understanding untuk menggali dari dalam (Inside
View) nilai atau makna yang bersumber dari subjek penelitian melalui kelompok muda
muslim urban yang ditemui di ruang-ruang publik yang ada di kota Ambon.
Data diperoleh melalui Observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Analisis
data diawali dengan membuat abstraksi, membuat kategorisasi, pemberian kode,
pemeriksaan keabsahan data, kemudian menginterpretasikan data dan menarik
kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, pertama, Budaya Layar sangat mempengaruhi
Identitas muslim urban di kota Abon. Kedua, Pengaru itu berkaitan dengan respon
identitas muslim urban yang dinamis dari pemaknaan yang dikonstruksi. Ketiga, Selera
dan gengsi sebagai faktor yang mempengaruhi artikulasi identitas muslim urban kota
Ambon. Keempat, Budaya Layar sebagai budaya populer atau budaya massa tentu akan
memberikan dampak positif maupun negatif bagi artikulasi identitas muslim urban kota
dengan pemaknaan yang dinamis .
Key Word: Budaya Layar, Politik Identitas, Kelompok Muda Muslim Urban
Screen Culture and Urban Muslim Identity Politics
(Studies in Muslim Youth Group of the city of Ambon)
Abdul Manaf Tubaka, Rasniati Kamala
Dosen pada Jurusan Sosiologi Agama IAIN Ambon
Mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama IAIN Ambon
email: [email protected]
ABSTRACT
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 1
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
This study aims to find answers to the four questions of the study. How Culture Screen
(Film, Social Media Facebook, Twiter, and music affect Identity Muslims Urban
Ambon? How articulation of Muslim identity Ambon city in dealing with cultural
Screen? Factors that influence the articulation of Islamic identity in the urban city of
Ambon? What impact arising from the culture influence of the sccreen on the
articulation of group identity Ambon city urban Muslims?
This study uses qualitative research methods (qualitavie research method)
approach verstehen or understanding to explore from the inside (Inside View) value or
meaning derived from research subjects through a group of young Muslims urban
encountered in public spaces in the city of Ambon.
Data obtained through observation, interview and documentation. Data analysis
begins with making abstraction, making categorization, coding, data validity checking,
and interpret data and draw conclusions.
The results showed that, first, Cultural Identity screen is greatly influenced
urban Muslims in the city Abon. Second, it is concerned with the response Pengaru
Muslim identity of the urban dynamic of signification constructed. Third, tastes and
prestige as a factor affecting articulation of Muslim identity of the urban city of Ambon.
Fourth,
Screen Culture as popular culture or mass culture will certainly give
a positive and negative impact for the articulation of Muslim identity symbolize the
urban
dynamic.
Key Word: Screen Culture, Identity Politics, Muslim Youth Group of the Urban
PENDAHULUAN
Globalisasi telah mencairkan batas-batas budaya suatu masyarakat. Mobilitas
orang dan barang telah memberikan implikasi yang luas bagi identitas agama dan
budaya. Kebudayaan telah mengalami redefinisi dimana mobilitas orang dan barangbarang modernitas telah masuk di ruang-ruang budaya masyarakat yang paling privasi
sekalipun. Televisi, Medsos telah menjadi barang konsumsi sehari-hari. Mulai dari
anak-anak sampai pada orang dewasa. Proses peniruan tak dapat dihindari akibat dari
ruang perjumpaan budaya yang begitu massif. Dulu identifikasi alat-alat musik maupun
pilihan sekolah di Maluku terstigmatisasi ke dalam kategori katong dan kamong.1
Bahkan sewaktu kecil, ketika seseorang ingin bermain gitar, dianggap sebagai simbol
penjajah yang perlu dihindari. Realitas semacam ini juga terjadi dalam skala nasional
maupun internasional. Tetapi lain halnya dengan situasi sekarang ini, di mana industri
media telah melahirkan model realitas yang berbeda sama sekali, bahkan telah membuat
dunia dengan batas-batas geografisnya telah menjadi sebuah desa global dengan
beragam implikasi di dalamnya. Untuk itu, habitus mengalami redefinisi secara luas
dalam seting sejarah kelompok masyarakat tertentu, terutama kalangan muda muslim
urban.
Ariel Heryanto mengatakan bahwa ditengah ekspansi industri media global
maupun nasional belum pernah sehebat sekarang, juga jejaring global media sosial,
kebanyakan pertempuran ideologis untuk mengisi kekosongan posisi hegemonik
1
Dialek Ambon yang menekankan pada aspek identifikasi agama, kelompok ataupun aliran keagamaan.
Istilah ini mengandng makna jamak. Istilah ini sering hadir dalam perjumpaan di ruang publik maupun di
ruang-ruang agama maupun kelompok tersendiri. Istilah ini secara psikologis, membedakan secara jelas
identitas diri dari setiap orang dalam berinteraksi dengan orang lain.
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 2
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
kekuasaan terjadi di arena budaya populer, dalam berbagai bentuknya, dan dirancang
dengan sasaran kaum profesional yang sedang berada di tengah-tengah karir mereka,
serta kaum muda perkotaan yang tengah melonjak jumlahnya. Kelompok-kelompok
sosial ini hanya merupakan bagian kecil saja dari 220 juta penduduk Indonesia, dan
mereka tidak mewakili aspirasi sebagian besar masyarakat penduduk Indonesia. Namun
jumlah mereka bertamba, dan suara mereka amat lantang di ruang publik.2
Intensitas masyarakat dalam bersentuhan dengan industri media membuat ruang
identitas agama dan budaya mengalami penafsiran ulang khusunya pada kelompok
muda urban kota. Kelompok muda muslim urban menjadi suatu ruang kajian dari relasirelasi sosial yang bertumpu pada budaya layar (screen culture). Fenomena ini menjadi
suatu diskursus dalam kajian ilmu sosial. Identitas seseorang akan mengalami redefinis
identitas yang bisa dalam dua bentuk, pertama, memperkuat identitas sembari
menikmati budaya layar yang memberikan kenikatan tersendiri bagi kebutuhan hidup
akan rekreasi, waktu luang dengan mendengar musik, menonton film dan juga
berselancar dalam dunia media sosial. Bentuk pertama memberikan ruang bagi
artikulasi identitas secara jelas, tetapi pada saat bersamaan, dapat menikmati unsurunsur budaya layar yang datang dari industri media. Proses semacam ini dapat
berimplikasi pada mencairnya identitas dengan pembauran melalui mekanisme asimilasi
dan akulturasi.
Dampak lajunya industri media telah menggugat pengetahuan identitas agama
dan budaya yang dulu di pegang oleh masyarakat di pedesaan. Masyarakat Islam
pedesaan masih secara ketat membedakan simbol-simbol agama dan budaya yang
diidentifikasikan ke dalam yang Islami dan bukan Islami atau kafir. Misalnya, trend
anak-anak muda yang ingin bermain gitar atau alat musik yang lain masih di anggap
sebagai entitas dari kelompok penjajah yang kafir. Kecuali gambus atau kasida yang
dianggap membawa simbol-simbol Islam. Fenomena ini memberikan model kategori
selera musik di kota Ambon pada lagu-lagu kasida menjadi milik orang Islam dan
musik pop menjadi milik atau tetapnya identik dengan orang Kristen Ambon.
Ketegangan sosial keagamaan dilihat sebagai habitus yang tercipta selama dua
dekade bangsa ini di bawah pemerintahan orde baru. Karena itu, pola interaksi sosial
keagamaan mengalama ketegangan yang bertumpu pada identitas yang serba kaku pula.
Setiap kelompok etnis menjaga identitas budaya mereka dari berbagai dominasi dan
hegemoni budaya luar. Proses semacam ini menghasilkan pandangan yang keliru
terhadap etnisitas yang lain. Stereotif menjadi kenyataan yang terus hidup di tengah
masyarakat akibat sikap dan pemikiran yang etnosentrisme.
Padahal, ruang artikulasi kepentingan identitas etnis mengalami pencairan
seiring dengan arus globalisasi yang begitu kuat. Pertemuan antar etnis dengan segala
derivasi identitas agama dan budaya mengalami intensitas perjumpaan yang massif. Hal
ini diperkuat oleh ledakan kemajuan teknologi transfortasi dan informasi, sehingga
menjadikan ruang agama dan budaya mau tidak mau harus mengalami tafsiran yang
sesuai dengan selera perkembangan jaman itu sendiri. Hadirnya taknologi media sosial
facebook, twiter, film dan musik telah menjadi sarana mimikri sebagaimana dielaborasi
oleh Homi K Bhaba.3
Kajian dalam penelitian ini, ingin melepaskan ruang diskursus semacam itu.
Sebab tantangan globalisasi dengan hadirnya dunia virtual yang digandrungi oleh
2
3
Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, (Jakarta, KPG:2015).h. 2
Homi K Bhaba, Identitas, (Yogyakarta, Kanisius: 2005). H. 5
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 3
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
mansyarakat dunia, telah merubah cara pandang disiplin ilmu sosiologi dalam melihat
lanscap kajiannya. Dunia virtual memberikan pengaruh bagi keilmuan sosiologi untuk
melihat fenomena sosial keagamaan yang tidak lazim digunakan oleh maenstrim
keilmuan sosial pada umumnya. Fenomena sosial keagamaan yang bertumpu pada
relasi-relasi sosial keagamaan dengan menggunakan budaya layar (sinema, televisi,
internet, dan media sosial) memungkinkan terjadianya ruang negosiasi selera budaya
dari identitas budaya yang berbeda satu sama lainnya. Proses semacam ini menjadi
ruang kajian yang menampilkan budaya layar sebagai instrumen budaya populer dalam
mengkonstruksi identitas diri kelompok muda muslim Urban kota Ambon dalam
mengartikulasikan politik identitas religius. Kajian semacam ini juga menjadi ranah
studi interdisipliner yang melihat fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi dsb sebagai
kajian budaya.
Untuk itu, penelitian menjadi unik ditengah kecenderungan penelitian pada isuisu umum. Sementara itu, penelitian ini menjadi jelas dimana tren budaya layar ini
semakin meningkat di konsumsi oleh kelompok muda muslim sebagai konsekuensi
industri media itu sendiri.
RUMUSAN MASALAH
Masalah penelitian ini berangkat dari dua kata kunci yang menjadi dasar pijakan
kajian ini, yakni Budaya Layar dan Politik Identitas Muslim Urban. Untuk itu, rumusan
permasalahan penelitian ini adalah “Mengapa Budaya Layar mempengaruhi Politik
Identitas Muslim Urban di kota Ambon?” Dari uraian diatas dan gambaran sementara
yang peneliti miliki tentang Budaya Layar dan Politik Identitas Muslim Urban kota
Ambon, dapat peneliti ringkas dalam beberapa pertanyaaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana Budaya Layar (Film, Media Sosial Facebook, Twiter, dan musik
mempengaruhi Identitas muslim Urban kota Ambon ?
b. Bagaimana Artikulasi identitas Muslim kota Ambon dalam berhubungan
dengan budaya Layar?
c. Faktor-Faktor apa saja yang mempengaruhi artikulasi identitas muslim urban
kota Ambon?
d. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari pengaruh budaya layar terhadap
artikulasi identitas kelompok muslim urban kota Ambon ?
PEMBATASAN PENELITIAN
Penelitian ini mengangkat fenomena sosial religius kelompok muda urban kota
Ambon dalam berinteraksi dengan berbagai macam budaya yang di tampilkan melalui
sosial media facebook, film dan musik. Penelitian ini bertujuan menganalisis politik
identitas religius kelompok muda urban kota Ambon dalam megkonsumsi budayabudaya luar dalam berbagai media sosial, film dan musik sebagai selera bersama yang
memberikan kenikmatan sebagai budaya populer di kalangan kelompok muda muslim
kota Ambon. Sasaran penelitian ini secara jelas mengamati kelompok muda muslim
kota Ambon yang diperoleh melalui pengamatan terhadap intensitas mereka dengan
budaya-budaya populer.
SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Penelitian ini memiliki dua signifikansi yakni antara lain signifikansi teoritis dan
signifikansi praktis. Adapun signifikansi yang ingin didapat dari penelitian ini adalah:
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 4
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
1.
2.
Sebagai bahan kajian akademik bagi pengembangan studi media dan budaya yang
menjadi trend kajian budaya (cultural studies). Tren ini mencoba menggugat
maenstrem penelitian yang sosiologi. Sebab, fenomena ruang lingkup Sosiologi
telah menemukan ruang yang cukup luas dengan adanya ekspansi globalisasi
melalui budaya layar, facebook, twiter, musik dan film sebagai sarana interaksi
sosial masyarakat.
Sebagai bahan praktis bacaan dalam memberikan pandagan bagi pemangku
kepentingan dalam memberikan solusi bagi ketegangan antara agama dan budaya
itu sendiri.
HASIL PENELITIAN TERDAHULU
Kajian yang mengangkat soal isu budaya layar dan politik identitas belum
banyak dilakukan di Indonesia. Secara historisitas, para ilmuan sosial di Indonesia
masih melihat fenomena ketegangan identitas etnis, agama dan budaya sebagai wilayah
kajian yang menjadi kecenerungan umum di Indonesia. Penelitian ini menjadi trend di
Indonesia melalui riset yang di lakukan oleh Ariel Heryanto mengenai budaya layar di
Indonesia yang digunakan sebagai bahan propaganda rezim orde baru maupun sebagai
ruang negoisasi identitas dari berbagai entitas etnis dan agama di Indonesia. Dalam
konteks itu, penelitian mengenai kajian ini belum di lakukan di Maluku. Penelitian ini
menjadi isu unik dan tepat untuk diangkat sebab keunikannya terletak pada upaya
membuka jalan bagi studi-studi semacam ini selanjutnya. Kegandrungan kelompok
muda muslim kota yang hidup dalam intensitas media sosial, budaya layar, musik dan
film yang menjadi trend budaya masa kini.
KERANGKA TEORI
F.1. Era Migrasi dan Globalisasi
Dunia memasuki abad ke-21. Di abad “baru” ini arus “migrasi” dan globalisasi
akan terus meningkat secara luar biasa4 Dalam kaitan ini globalisasi ditandai oleh
semakin masif dan aneka ragamnya mobilitas di atas muka bumi seperti manusia, objek,
kapital, informasi, imaji, hingga aneka ragam sampah. Kita mengamati terdapat saling
ketergantungan yang kompleks diantara aspek-aspek tersebut di atas, berikut segala
konsekuensi sosialnya5 Apakah implikasi serius kecenderungan baru ini terhadap
keberadaan sosiologi sebagai suatu disiplin yang selama beberapa abad telah malang
melintang?
Mobilitas yang diverse seperti disitir di atas tampaknya mentransformasikan
pokok bahasan sosiologi dari masyarakat (society) ke mobilitas (mobility). John Urry6,
memperlihatkan secara jelas berkembangnya dunia “tanpa batas” (borderless world).
Dalam cara pandang yang mirip, Tourine (1998) dalam artikel seminalnya “Culture
withouth Society” menyoroti hal serupa. Selanjutnya, mereka cenderung mengatakan
bahwa basis tradisional sosiologi yaitu studi mengenai masyarakat, dapat dikatakan kini
ketinggalan jaman.7 Gumilar dalam Bauman mengatakan, apabila sosiologi ingin terus
4
Evers, Hans-Dieter and Ruediger Korff, Southeast Asian Urbanism. Berlin, Lit Verlag: 2000)H. 1
Featherstone, Mike and Scott Lash (eds.), Space of Culture, (Sage Londong, City, Nation, and
World: 1999) . H. 1
6
John, Urry,. Sociology Beyond Societies: Mobilities for the Twenty-first
(London, Century. Routledge:1999).H. 1
7
Bauman, Zygmunt Thinking Sociologically. London, Blackwell:1998). H.4
Gumilar Rusliwa Somantri, Sosiologi di Era Migrasi dan Globalisasi. Makalah. 2000.h. 3
5
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 5
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
menyumbang secara produktif terhadap pemahaman dari “the post-societal era”,
seyogyanya melupakan kekakuan-kekakuan warisan “the pre-global” era. Dalam
konteks ini, sosiologi seyogyanya mengalihkan perhatiannya kepada studi mengenai
“mobilitas” fisik, imajinatif, virtual dan sebagainya. Dengan kata lain, diperlukan
perumusan kembali “new rules” dari metode dan teori sosiologi yang cocok untuk
konteks sekarang ini.
Para sosiolog progresif-kontemplatif di atas, terutama Urry, mengatakan terdapat
tiga argumen yang melawan pendapat di atas. Pertama, sebenarnya konsep
“masyarakat” tidak pernah menjadi hal kunci dalam sosiologi (justeru konsep kunci
yang ditemukan adalah tindakan sosial, agensi, interaksi, atau sistem dunia). Kedua,
agak berbeda dengan yang pertama, dikatakan bahwa masyarakat masih merupakan
entitas yang perlu diperhitungkan. Dalam kaitan ini, negara bangsa di era migrasi dan
global dipercayai masih mampu berperan optimal dalam menjaga pola-pola kekuasan
yang ada. Sedangkan argumen ketiga, relatif radikal dalam melihat “keberadaan”
sosiologi. Yaitu, dikatakan bahwa globalisasi telah meluluhlantakan sosiologi sebagai
suatu disiplin ilmu seperti tercermin dengan hilangnya “masyarakat” sebagai konsep
sentral, sehingga disiplin ilmu ini dapat “dicampakan ke dalam jambangan” untuk
selama-lamanya.
Argumen di atas tampaknya juga mendapat tantangan dari argumen lain.
Pertama, diperlihatkan oleh tradisi sosiologi di kawasan Atlantik utara yang secara
historis berkembang seputar konsep masyarakat sehingga menjadi kondisi
pemertahanan dari “characteristic structuring” mereka. Kedua, mobilitas dalam
skala yang besar melibatkan aneka ragam teknologi dan objek menghadirkan
problem bagi “the powers of the society”. Ketiga, mobilitas lintas batas dalam
konteks pola-pola spatial dan temporal yang sangat baru ini, justeru menyodorkan
agenda besar baru bagi sosiologi, yaitu studi mengenai mobilitas horisontal yang
selama ini diabaikan. Dalam kaitan ini, argumen berpijak pada pemikiran bahwa
perhatian terhadap manusia yang “mobile” secara metaphoris dan literalis dapat
ditransfer pada mobilitas entitas lain seperti ide, imaji, uang, teknologi, sampah,
dan sebagainya. Terdapat implikasi disruptif dari “mobile hybrids” di atas terhadap
“the nature of reproducing society” dan sekaligus sosiologi yang secara historis berdasar
pada “societal realm” sebagai premis dasarnya
F.2.Konsep Akulturasi
Akulturasi (acculturation) dapat didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul
bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan
unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri
tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Dalam hal ini terdapat perbedaan antara bagian kebudayaan yang sukar berubah
dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (covert culture), dengan bagian
kebudayaan yang mudah berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing
(overt culture). Covert culture misalnya: 1) sistem nilai-nilai budaya, 2) keyakinankeyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 3) beberapa adat yang sudah dipelajari
sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan 4) beberapa adat
yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. Sedangkan overt culture
misalnya kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan benda-benda yang berguna, tetapi juga
ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang berguna dan memberi
kenyamanan. Konsep akulturasi menjadi penjelasan teori terhadap fenomena sosial yang
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 6
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
diteliti dalam kajian budaya ini. Budaya layar sebagai instrumen sosial yang
mempertemukan berbagai identitas agama dan budaya dalam suatu selera yang sama
sebagai alat pemuas kebutuhan manusia. Hal ini menjadi suatu kenyataan hidup yang
tidak mungkin dihindari oleh setiao orang. Dalam hal ini, konsep akulturasi tidak
menghilangkan identitas seseorang ketika mengalami perjumpaan dengan agama dan
budaya orang lain, tetapi dalam menjadi rumah bersama atas dasar kepentingan yang
saling menghidupkan.
F.2. Teori Identitas
Dalam hubungan dengan Identitas, Richard Jenkis sebagaimana dikutif oleh
Haralombos mengemukakan bahwa identitas dibentuk di dalam proses sosialisasi.
Menurut Jenkins, identitas itu adalah baik internal apa yang kita pikirkan tentang
identitas kita dan eksternal bagaimana orang lianj melihat kita. Identitas dibentuk dan
distabilkan dalam sebuah hubungan yang dialektikal antara faktor internal dan eksternal
tersebut, mereka berinterkasi untuk membentuk identitas. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa faktor eksternal tentang bagaimana orang lain melihat dan bereaksi pada
kita bisa saja kontradiktif atau merusak, atau mendukung dan memperkuat pandangan
kita tentang diri kita8
F.3. Teori Politik Identitas
Menurut Young, politik identitas berkaitan secara erat dengan gagasan atau ide
tentang terjadinya penindasan terhadap kelompok-kelompok sosial berkaitan dengan
identitas mereka (baik berdasarkan ras, etnis, gender, seksualitas, kelas, dll). Artinya,
identitas seseorang sebagai seorang wanita atau sebagai seorang penduduk asli
Amerika misalnya, membuatnya rentan terhadap imperialisme kultural (termasuk
terjadinya stereotipe atau penyalahgunaan identitas kelompok), kekerasan, eksploitasi,
serta marjinalisasi atau ketidak berdayaaan, Gerakan-gerakan yang dipandang sebagai
politik identitas, memandang telah terjadi penindasan dan berusaha merekomendasikan
dilakukannya klaim ulang, deskripsi ulang, atau transformasi ulang terhadap catatancatatan keanggotaan kelompok yang sebelumnya distigmatisasikan. Stuart Hall
menjelaskan identity politics sebagai the politics of location (Hall, 1996:1) artinya
politik menempatkan individu-individu pada lokasi-lokasi (realitas sosial) tertentu
yang telah dengan sengaja dikonstruksi. Politik identitas selalu berhubungan dengan the
definition of self/subject dalam konstruksi tersebut. Dengan kata lain, politik
identitas merupakan pemahaman bahwa identitas-identitas individu didasarkan pada
tempat atau posisi dimana individu tersebut diletakkan (place-based identity).
Sedangkan menurut MadanSarup, politik identitas atau identity politics
merupakan “As politics is about the production of identities-politic produces the subject
of its action.” (Sarup,1996:48). Artinya politik identitas merupakan politik tentang
produksi identitas-identitas, penciptaan-penciptaan subyek beserta tindakan dan nilai
yang dipandang baik dan seharusnya dijalani subyek tersebut sebagai sebuah
kehidupan yang tidak bisa dipertanyakan.
Dalam perspektif social construction of reality, politik identitas dipandang
sebagai konstruksi sosial, usaha penciptaan identitas yang dilakukan secara sadar dan
melaui berbagai cara, bukan dipandang sebagai sesuatu yang secara alami
dianugerahkan oleh Tuhan maupun sesuatu yang sifatnya anatomis. Sebagaimana
dikemukakan Madan Sarup “all identities, whether based on class, ethnicity, religion or
nation, are social constructions...Though identity may be constructed in many different
8
Haralombos, 2004)h. 826
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 7
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
ways, it is always constructed in the symbolic, that is to say, in language.” (Sarup,
1996: 48). Jika pandangan Stuart Hall ini dikaitkan dengan pandangan Madan Sarup,
maka politik identitas dapat dipahami sebagai produksi identitas-identitas melalui
penciptaan tempat-tempat atau posisi-posisi subyek dalam lingkungan sosial beserta
tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan subyek sesuai dengan tempat dan
posisinya tersebut.
Memasuki millenium of television, sebagai salah satu indikator modernitas
(Bungin, 2001: 25), maka permasalahan identitas menjadi lebih problematik, lebih
mudah mengalami perubahan. Sebagaimana dikemukakan Kellner bahwa dalam
masyarakat modern, identitas lebih bersifat personal, artinya individu memiliki
kesempatan dan peran dalam menentukan identitas yang diinginkan dan sesuai
untuknya. Identitas lebih berkaitan dengan style, untuk memproduksi suatu image
bagaimana individu ingin menampilkan dirinya.
Memilih dan membentu dan selanjutnya membentuk ulang - identitas
merupakan sebuah kemungkinan dalam masyarakat modern. Identitas tidak lagi secara
mutlak ditetapkan masyarakat atas diri individu, sehingga identitas merupakan refleksi
dari diri individu, bukan lagi mutlak refleksi institusi sosial dimana individu berada.
Tetapi masih, identitas dalam masyarakat modern juga bersifat sosial, dalam hal ini
dikenal istilah mutual recognition, dimana identitas seseorang tergantung pada
pengakuan pihak lain yang selanjutnya dikombinasikan dengan self-validation dari
individu bersangkutan. Individu harus berusaha memperoleh pengakuan untuk
menerima pengesahan sosial atas identitas yang dipilihnya, sehingga merupakan
identitas yang diakui (Kellner, 1999:232).
Dalam pandangan postmodern, budaya manusia saat ini menunjukkan bahwa
identitas individu lebih cenderung dimediasi melalui image-image atau citra-citra yang
ditampilkan individu tersebut, baik melalui fashion, kosmetik, gaya bicara maupun style
(Kellner, 1999:231). Sehingga media massa, termasuk tayangan iklan di dalamnya yang
mengandalkan teknologi pencitraan, memiliki peran yang besar dalam proses
konstruksi identitas individu. Maka dengan demikian
tayangan iklan selain
mengkonstruksi identitas melalui citra-citra, juga sekaligus memberikan mutual
recognition atas identitas tersebut. Sehingga iklan merupakan salah satu bentuk
tayangan televisi yang menjadi sumber atau rujukan bagi individu untuk melakukan
kategorisasi, identifikasi dan pembandingan sosial (Social Identity Theory) dalam
proses konstruksi identitas. Konstruksi identitas melalui image-image atau citra-citra,
khususnya dalam iklan anak-anak di televisi merupakan politik identitas, yaitu
produksi identitas-identitas anak. Penciptaan anak-anak ideal beserta tindakan dan
nilai yang dipandang baik dan seharusnya dijalani oleh anak-anak tersebut, melalui
citra-citra yang ditampilkan dalam realitas virtual iklan anak-anak di televisi.
Konstruksi sosial atas identitas, menurut Seyla Benhabib
merupakan proses
pertarungan politik, sosial dan budaya untuk saling bersaing menghegemoni diantara
kelompok-kelompok sosial, masing-masing berusaha mendominasi atau membebankan
definisi-definisi
identitas
tertentu
terhadap
kelompok
sosial
lain,
(http://www.ed.uiuc.edu/EPS/PES -yearbook/94_docs/BENHABIB.HTM,
diakses
Sabtu, 1 Juni 2002).
Maka tayangan iklan anak-anak di televisi pun merupakan arena sosial, di
dalamnya terjadi proses pertarungan politik, sosial dan budaya dimana suatu
kelompok sosial tertentu berusaha menghegemoni dan membebankan definisidefinisi tertentu atas identitas anak-anak. Dikaitkan dengan politik identitas anak, Social
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 8
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
Construction of Reality memberikan suatu pola berfikir bahwa konstruksi identitas
anak dalam iklan anak-anak di televisi pada akhirnya diterima oleh target audience
(dalam hal ini anak-anak) sebagai sebuah realitas yang taken for granted.
Penggambaran identitas-identitas anak diterima sebagai pengetahuan sehari-hari
yang pada akhirnya dipandang dan dipercaya sebagai sebuah realitas sosial dan
menjadi stock of knowledge bagi individu, khususnya anak-anak. Individu dalam
masyarakat membangun sebuah realitas media melalui iklan anak-anak di televisi
(eksternalisasi) yang selanjutnya diterima dan diyakini oleh target audience (anak-anak)
sebagai kebenaran, sebagai realitas yang taken for granted (obyektifasi). Karena
diyakini sebagai kebenaran, realitas (yang sesungguhnya) buatan tersebut pada
akhirnya memiliki kekuatan yang memaksa terhadap individu atau kelompok (anakanak) yang mendiami realitas tersebut untuk bersikap dan bertindak sesuai dengannya
tipifikasi-tipifikasi yang dicontohkan dalam realitas media.
F.4. Kajian Budaya dan Media
Berker membagi kajian budaya sebagaimana dikutip oleh Rachmah Ida 9 dalam
empat elemen. Pertama, kajian budaya adalah kajian interdisipliner ( antar disiplin ilmu)
di mana perspektif-perspektif dari disiplin ilmu yang berbeda dipakai untuk
menjelaskan tentang budaya dan kekuasaan (culture and power). Kedua, kajian budaya
begitu memperhatikan semua praktik-praktik, institusi-institusi (sosial, budaya, politik,
ekonomi, dsb), dan sistem-sistem klasifikasi yang terjadi dalam komunitas-komunitas
dengan nilai budaya tertentu, kepercayaan tertentu, kompetensi-kompetensi-kompetensi
tertentu, kehidupan rutin tertentu dan bentuk-bentuk kebiasaan tindakan mereka. Ketiga,
kajian budaya mempersoalkan dan mempertanyakan secara kritis bentukbentuk”power” atau kekuasaan yang bervariasi dan berbeda meliputi gender, ras, kelas,
kolonialisasi, dsb. Keempat, kajian budaya tidak hanya merupakan disiplin akademik,
melainkan juga mencoba untuk mencari hubungan di luar akademik dengan gerakangerakan atau perubahan-perubahan sosial dan politik, pekerja dalam institusi-institusi
budaya dan manajemen budaya.
Selain itu, Stuart Hall seperti dikutip Rochmah ida,10 menjelaskan bahwa kajian
media dan budaya, atau yang lebih dikenal dengan Media and Cultural Studies pada
dasarnya mencoba untuk menggoyang kemapanan berfikir kita tentang “realitas” dan
apa yang dimaksud dengan “real” (yang sebenarnya) dalam kehidupan budaya kita
sehari-hari. Dalam dunia yang sudah dipenuhi dengan images atau gambar-gambar, dan
tulisan-tulisan yang ada di koran, televisi, film, video, radio, iklan, novel dan lain
sebagainya, cara kita menentukan diri kita atau mendefinisikan identitas kita dan
lingkungan sekitar kita ternyata bervariasi dan berbeda satu sama lain. Cara kita
melihat, memandang, memahami dan berprilaku terhadap realitas sosial telah diantarai
oleh media massa. Apa yang ada disekitar kita, menentukan cara kita bertindak dan
berperilaku terhadapnya, karena apa yang kita lihat, tonton, baca, dengarkan, dan
nikmati dari media massa seolah “mengajarkan” kita untuk melakukan seperti itu. Pada
kenyataannya, budaya kita sebenarnya juga dibentuk oleh media massa yang kita
nikmati tiap hari.
Realitas semacam ini memberikan makna tersendiri bagi proses sosial dengan
media sosial yang menjadi andalan bagi kehidupan masyarakat kontemporer saat ini.
9
Rachmah Ida, Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya, (Jakarta, KENCANA: 2014). h. 2
Ibid. 3
10
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 9
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
Perilaku dan persepsi setiap orang akan ditentukan oleh intensitas mereka dalam
mengkonsumsi budaya populer yang dihadirkan melalui beragam simbol modernitas
saat ini, yakni musik, film, televisi, radio, dan media sosial lainnya. Kehadiran barangbarang industri media tersebut menghadirkan pola artikulasi identitas yang bertumpu
pada intensitas pemakaian barang-barang industri media tersebut. Budaya media dengan
intrumens modernitasnya telah memberikan akses yang sama secara struktural maupun
kultural. Secara struktural, infrastrktur yang menjadi tumpuan harapan bagi mobilitas
orang dan barang telah dapat dinikmati oleh hampir seluruh lapisan masyarakat,
terutama akses transformtasi dan masuknya media televisi di setiap lingkungan
masyarakat.
Kehadiran media televisi menjadi satu model kepemilikan yang dapat
menghadirkan model artikulasi identitas melalui representasi. Representasi berhubungan
dengan bagaimana dunia dikonstruksi secara sosial dan direpresentasikan kepada dan
oleh kita dalam cara-cara yang bermakna. Dalam hal ini, studi budaya mengajarkan
kepada kita kebutuhan untuk melakukan investigasi bagaimana „makna diproduksi
dalam berbagai konteks. Representasi budaya dan makna mempunyai materialitas
tertentu yakni melekat pada suara (sound), tulisan-tulisan/pesan/simbol (inscription),
objek, gambar-gambar (images), buku-buku, majalah-majalah, dan program-program
televisi.11
Selain representasi sebagai bagian dari kajian budaya, aspek materialisme juga
menjadi bagian dari bagian dari wilayah kajian yang sangat menentukan ruang produksi
makna. Materialisme melihat ekonomi industrialisasi modern dan budaya media yang
terorganisir dalam garis kapitalis sebagai basis kesadaran yang mempengaruhi perilaku
sosial. Karl Marx sejak awal telah berucap bahwa basis kesadaran manusia ditentukan
oleh aspek materialnya. Untuk itu, relasi-relasi sosial ditentukan oleh selera
materialisme yang kuat seiring massifnya barang-barang industri media sebagai pemuas
kebutuhan manusia dewasa ini. Tentu saja nilai-nilai agama memberikan tuntunan
dalam berprilaku bagi kelompok identitas muslim urban. Tetapi, selera bersama dalam
mempergunakan aspek material menjadi titik perjumpaan dari setiap identitas agama
maupun budaya yang berbeda.
Realitas semacam ini menjadi fenomena budaya tersendiri dalam ruang interaksi
sosial kontemporer. Jadi, identitas agama dan budaya di satu sisi, tetapi pada saat yang
bersamaan, mereka memiliki kesamaan selera yang sama. Selera yang sama tersebut
ditentukan oleh barang-barang modernitas. Dalam konteks itu, kita bisa melihat
bagaimana seorang muslimah dengan berbusana hijab, tetapi pada saat yang sama juga
mengkonsumsi film, musik, dan media sosial yang sama dengan yang lain sebagai ruang
artikulasi diri dalam berrelasi dengan yang lain. Relaitas sosial semacam ini
memberikan dasar bagi suatu hubungan sosial yang telah tercairkan pada aras publik.
Arena modernitas seperti bioskop misalnya, mempertemukan beragam identitas agama
dan budaya dalam satu komunitas sosial.
Selain, aspek materialisme, kajian budaya juga memperkenalkan artikulasi
sebagai aspek yang memberikan ruang bagi setiap identitas agama dan budaya untuk
menggugat kemapanan yang serba kaku. Artikulasi diri untuk menemukan kepentingan
dirinya dengan realitas sosial yang di hadapi setiap hari. Realitas itu tentu tidak dalam
ruang yang tanpa kepentingan. Realitas selalu menyimpan kepentingan dari setiap
bentuk realitas yang ada. Hanya saja, setiap orang tentu akan memberikan respon
11
Ibid. h. 5
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 10
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
terhadap realitas yang dijalani sebagai nilai yang baru sesuai dengan kepentingan
dirinya.
Untuk itu, kajian budaya dalam melihat politik identitas kelompok muda muslim
urban di kota Ambon sebagai suatu fenomena sosial yang sedang tren saat ini.
Kelompok muda muslim sebagai sasaran dalam penelitian ini berada dalam dua alasan
pokok. Pertama, secara historisitas, kelompok muda tidak mengalami secara langsung
retakan sosial, politik, agama, ekonomi dan budaya yang menjadi cacat bawaan sejarah
masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Maluku dalam hal diktomi identitas suku,
agama dan budaya. Ruang perjumpaan mereka telah secara massif dikonstruksi oleh
realitas budaya layar yang hadir melalui barang-barang industri media tersebut. Kedua,
Realitas sosial dewasa ini, telah mengalami transformasi stuktur sosial di mana interaksi
sosial telah terjadi secara intens tanpa batas-batas geografis yang berarti. Mobilitas
orang dan barang begitu intens dari satu daderah ke daerah lain tanpa da hambatan
sedikit pun.
F.5. Media Massa dan Konstruksi Identitas
Saat ini, kebebasan yang besar dalam mengakses media telah memberikan
pengaruh besar dalam proses konstruksi identitas individu, terutama bagi kalangan
remaja dan anak-anak. Sebagaimana dikemukakan Grodin dan Lindlof sebagai berikut:
“With a simple flip of the television channel or radio station, or turn of the newspaper
or magazine page, we have at our disposal an enormous array of possible identity
models.”
Identitas, saat ini dimediasi melalui images yang ditampilkan media. Sehingga
tidak mungkin lagi identitas individu dikonstruksi hanya oleh komunitas kecil (peer
group) atau hanya dipengaruhi oleh keluarga saja. Proses terjadinya pengaruh media
terhadap konstruksi identitas dijelaskan oleh Brown sebagai berikut, bahwa individu
secara aktif dan keatif mencontoh simbol-simbol budaya, dongeng, dan ritual yang
tersedia di media selama mereka membangun identitas diri mereka. Media memegang
peranan penting dalam proses ini, karena dipandang sebagai sumber pilihan budaya
yang tidak menyusahkan. Identitas bukanlah sesuatu yang stagnan, identitas
dikonstruksi sepanjang waktu dan dapat secara konstan diperbaharui atau dirubah
secara total. Jadi, pengaruh media populer dalam konstruksi identitas tidak berlangsung
dalam kurun waktu sesaat saja, melainkan terus-menerus, sepanjang individu tersebut
berinteraksi dalam lingkungan sosialnya dan sepanjang terdapat terpaan media pada
individu.
Dalam konstruksi identitas, tidak dapat dilupakan adanya faktor tekanan dari
masyarakat atau kelompok sosial tehadap orang muda dan anak-anak ketika mereka
dalam proses konstruksi identitas. Bentuk tekanan ini menurut Hamley dapat berupa
sejumlah harapan-harapan tertentu oleh masyarakat tentang bagamana individu harus
atau seharusnya hidup. Dengan kata lain, masyarakat memberikan batasan-batasan
tentang identitas yang harus dipelihara dan identitas yang tidak dapat diterima.
Dalam kondisi demikian, terdapat kemungkinan bahwa identitas yang diharapkan oleh
masyrakat sesungguhnya berbeda atau bahkan berlawanan dengan identitas yang
dianggap cocok oleh individu bagi dirinya.
Dalam memahami poses pembentukan identitas, Henry Tajfel dan John
Turner mengemukakan Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory) bahwa proses
pembentukan identitas dalam diri individu melalui tiga thapan, yaitu: kategorisasi,
identifikasi, pembandingan sosial . Yang pertama kategorisasi (categorization),
individu menganali dan mengelompokkan identitas-identitas berdasarkan kategori sosial
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 11
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
seperti etnis, ras, religi, pekerjaan, status sosial, dll. Kategori-kategori ini selanjutnya
akan memberikan suatu pengertian tentang siapa dan bagaimana individu pemilik
identitas.
Selanjutnya yang kedua adalah identifikasi (identification). Pada tahap ini
individu mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok-kelompok tertentu dimana ia
terafiliasi. Dalam identifikasi terkandung dua makna dalam diri individu, pertama,
bahwa sebagian dari diri individu dibangun berdasarkan keanggotaan dalam suatu
kelompok. Dalam hal ini terdapat pemikiran kami vs mereka. Kedua, bahwa pada saat
tertentu individu berfikir bahwa dirinya sebagai aku, dan memandang orang lain sebagai
dia. Jadi pada saat tertentu individu memandang dirinya sebagai anggota suatu
kelompok, yang disebut sebagai social identity, dan pada saat yang lain memandang
dirinya sebagai individu yang unik, yang disebut sebagai personal identity. Tahap
ketiga dari proses pembentukan identitas adalah pembandingan sosial (social
comparison), yaitu tindakan individu yang membuat perbandingan antara dirinya
dengan orang lain dalam rangka mengevaluasi dirinya. Anggota suatu kelompok
membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain untuk menguatkan persepsinya
bahwa kelompoknya adalah positif, dan implikasinya, memperoleh konsep diri bahwa
dia sebagai anggota kelompok juga positif.
Kota Ambon Dan Komposisi Etnisitas
Kota Ambon atau Amboina atau Ambonese (kadang dieja sebagai Ambong atau
Ambuni) adalah sebuah kota dan sekaligus ibu kota dari provinis Maluku. Kota ini
dikenal juga dengan nama Ambon Manise yang berarti kota Ambon yang
indah/manis/cantik, merupakan kota terbesar di wilayah kepulauan Maluku dan menjadi
sentral bagi wilayah kepulauan Maluku. Saat ini kota Ambon menjadi pusat pelabuhan,
pariwisata dan pendidikan di wilayah kepulauan Maluku.
Kota Ambon berbatasan dengan Laut banda disebelah selatan dan dengan
kabupaten Maluku Tengah di sebelah timur (pulau-pulau Lease yang terdiri atas
pulau-pulau Haruku pulau Saparua, pulau Molana, pulau Pombo dan pulau Nusalaut), di
sebelah barat (petuanan negeri Hila, Leihitu Maluku Tengah dan Kaitetu Maluku
Tengah dan di sebelah utara (kecamatan Salahutu Maluku Tengah).
Kota ini tergolong sebagai salah satu kota utama dan kota besar diregion
pembangunan Indonesia Timur dilihat dari aspek perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi. Ambon, sempat diguncang kerusuhan sosial bermotifkan SARA antara tahun
1996-2002. Namun, sekarang Ambon Manise sudah berbenah diri menjadi kota yang
lebih maju dan dilirik sebagai kota internasional di Indonesia Timur.
Dilihat dari aspek demografis dan etnisitas, kota Ambon ini merupakan potret
kota yang plural. Di mana dikota ini berdiam etnis-etnis Alifuru (asli Maluku), Jawa,
Bali, Buton, bugis, Makasar, Papua, Melayu, Minahasa, Minang, Flobamora (suku
Flores, Sumba, Alor dan Timor) dan orang-orang keturunan asing (komunitas peranakan
Tionghoa, komunitas Arab-Ambon, komunitas Spanyol-Ambon, komunitas PortugisAmbon dan komunitas Belanda-Ambon). Saat ini, kota Ambon terbagi atas 5 kecamatan
yaitu Nusaniwe, Sirimau, Teluk Ambon, Teluk Banguala dan Leitimur Selatan, yang
terbagi lagi atas 50 keluarahan-desa.
Habitus Identitas Islam versus Budaya Kapitalisme
Kelompok muslim muda urban kota Ambon merupakan segmen generasi
muslim yang sedang tumbuh pesat dengan berbagai ragam ekspresi identitas
keagamaannya. Ekspresi ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Oleh karena
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 12
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
identitas keagamaan seseorang tidak berada dalam ruang hampa. Karena itu, goresan
dari luar membentuk mozaik identitas yang kemudian membentuk habitus baru dalam
ruang publik. Ruang publik ditekankan sebagai upaya melihat lintasan politik identitas
yang diekspresikan melalui ruang budaya Layar (culture screen), serta tindakan
mengkonsumsi produk-produk kapitalisme. Sebab kelompok muslim muda urban
menjadi segmen generasi yang masif mengkonsumsi budaya layar sebagai konsekuansi
dari lahirnya industri media yang begitu pesat sekarang ini.
Kehadiran media sosial semisal, facebook, Televisi, Film, dan Musik telah
mengubah paradigma berfikir tentang realitas kehidupan manusia yang serba tunggal
dan monoton. Media sosial telah membuka sekat-sekat promordial yang eksklusif.
Identitas keagamaan dirawat dengan penuh kecurigaan terhadap apa saja yang datang
dari luar. Sikap-sikap semacam itu memberikan dampak bagi terjadinya tindakan
eksklusif dan selalu memberikan penilaian sepihak kepada orang yang berbeda dengan
kita.
Sudut pandang semacam itu, bukan tidak disadari oleh orang Islam yang tinggal
di kota Ambon. Kesadaran dan ekspresi identitas keislaman semacam itu tentu
didapatkan dari perjumpaan antara agama (dalam hal ini Islam dan kristen ) di Maluku
dengan bukan saja perjumpaan secara damai melalui arena sosiol budaya, tetapi juga
perjumpaan secara konflik melalui arena politik dan kekuasaan. Realisas kehidupan
sosial politik yang demikian tentu melahirkan perilaku yang ambiku, sebab kedua arena
perjumpaan itu telah membentuk habitus yang sewaktu-waktu dapat diaktifkan kembali.
Realitas kelompok muda muslim urban di kota Ambon ini tidak hanya
menyangkut orang-orang yang datang dari Seram, Buru, Banda, Tenggara dan Lease,
tetapi juga orang Makasar, Bugis, Buton, Jawa, Minang atau imigran dari luar Maluku
yang tinggal bertahun-tahun di Kota Ambon. Orang-orang Islam ini teresebar di lima
kecamatan yang ada di kota Ambon. Tetapi yang terpadat ada pada kecamatan Sirimau
tepatnya di negeri Batu Merah. Orang-orang muslim yang tinggal di Ambon ini,
seluruhnya dijadikan sebagai subjek yang memberikan respon terhadap tumbuh
berkembangnya dunia kapitalis dengan berbagai atribut yang melekat. Sebagai seorang
muslim, tentu hal yang pertama dipelajari adalah ajaran-ajaran agama yang disosialisasi
melalui kehidupan keluarga, baru kemudian mereka mengalami masa pengenalan dan
adaptasi dengan produk-produk kapitalisme yang di datangkan dari Barat.
Untuk itu, perilaku sosial mereka tentu dibimbing oleh ajaran agama yang
diyakini. Kenyataan ini dapat dilihat dari hasil wawancara peneliti dengan salah seorang
dosen12 IAIN Ambon yang mengatakan bahwa “kita dari kecil diajarkan soal-soal
agama, sehingga tidak mungkin kemudian agama dilarang untuk di bawa-bawah ke
ruang publik”. Pernyataan ini menunjukan bahwa Identitas muslim menjadi sesuatu
yang melekat diri setiap orang. Hal ini menunukan betappa modernitas dengan
semangat sekularismenya tidak mungkin menggeser peran agama dalam mengatur
perilaku pemeluknya.
Dalam konteks itu, seluruh produk kapitalisme yang selalu memanjakan
kehidupan manusia tidak bisa dicurigai akan menghilangkan identitas keislaman
seseorang. Para ahli selalu mendengungkan, akan terjadi sekularisasi kehidupan yang
berujung pada aspek bermanfaatnya segala suatu bagi kehidupan manusia sebagai dasar
kebenaran yang dipakai. William James misalnya memberikan kerangka acuan
kebenaran dengan mengatakan bawha “it is true if it is useful”. If it is useful, it is true”.
12
Muhisn Ahmad, dosen Jurusan Aqidah Filsafat. Wawancara tanggal 15 Oktober 2016
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 13
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
Pemikiran William James itu sebagai sala satu penegasan tentang ramalan ajaran
sekularisme yang akan menghadang kehidupan manusia. Sekularisme akan meniadakan
peran agama sebagai sumber kebenaran dan sebagai pola bagi perilaku (pattern of
behavier). Pemikiran sekularisme ini kemudian menuai kritik baik dari lembaga
akademis maupun lembaga keagamaan.
Dialektika tentang kebenaran sekularisme ini kemudian menarik sejarah panjang
pertentangan ideologi antara Islam dan Barat sebagaimana ditulis oleh Francis
Fukuyama tentang benturan peradaban (class of civilation). Pemikiran Fukuyama
tersebut mendapat respon dari berbagai kalangan. Seluruh produk kapitalisme dicurigai
sebagai agen budaya barat yang sekuler tersebut. Seluruh produk kapitalisme melalui
studi-studi semiotika, dinilai sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai. Produk kapitalisme
adalah entitas budaya Barat yang mengusung nilai-nilai kebebasan, seks bebas, dan
materialistik. Produk-produk kapitalisme dengan berbagai macam tawaran kemewahan
hidup menggambarkan negara-negara maju dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh
masyarakat Barat tersebut.
Kapitalisme dengan intrumen globalisasinya telah meramba seluruh penjuru
dunia, dari kota sampai ke pelosok-pelosok desa. Peran industri media telah membuat
dunia menjadi desa global (global village). Suka atau tidak suka, produk kapitalisme
telah menjadi bagian dari kebutuhan hidup primer yang secara sadar diterima sebagai
kebenaran pragmatis sebagaimana dijelaskan oleh William james.
Dalam konteks itu, identitas keislaman dari kelompok muda muslim urban di
kota Ambon akan dijelaskan dengan melihat bagaimana identitas keislaman itu
melakukan negosiasi dalam merespon produk-produk kapitalisme tersebut. Identitas
Islam dari kelompok muda muslim urban di Kota Ambon berada pada dua aspek
analisis. Yang pertama, melebur dalam perilaku materialistik dan meningabaikan nilainilai ajaran Islam. Kedua, Mengkonsumsi produk-produk kapitalisme dan pada saat
yang sama menjaga identitas keislaman sebagai bagaian dari politik identitas itu sendiri.
Realitas kelompok muda muslim urban di kota Ambon ini telah menjadi bagian
dari entitas kemoderenan dimana mereka tidak bisa menghindarkan diri dari pengaruh
produk-produk kapitalisme yang secara cepat mobilitasnya. Industri media sebagai
sarana kapitalis telah menyuguhkan fenomena kehidupan yang bertumpu pada aspek
keindahan dan suasana yang memanjakan mata dan telinga. Kelompok muda muslim
urban di kota Ambon ini termasuk bagian dari pangsa pasar kapitalisme. Film, Musik,
Coffe, XXI, dan media sosial telah menjadi bagian dari keseharian hidup kelompok
muda muslim urban di kota Ambon. Rasanya tidak seorang pun yang dapat menghindar
untuk tidak menggunakannya. Produk-produk kapital itu telah memberikan kegunaan
bagi kemudahan hidup manusia.
Kehidupan dijalani sebagai sesuatu yang berdimensi estetik jika kehidupan itu
ekspresikan melalui dunia maya dengan bantuan media sosial. Hampir seluruh perilaku
digerakan oleh keinginan untuk eksis pada ranah virtual. Seluruh kegiatan yang
dilakukan oleh kelompok muda muslim urban di kota Ambon rasanya hambar kalau
tidak diekspos melalui facebok, instagram, WA, dan berbagai media sosial lainnya. Hal
yang ramai dan intens digunakan adalah media facebook. Pertama karena mudah
diakses oleh siapa saja. Kedua, karena mudah membuat akun facebook. Ketiga, karena
media facebook telah duluan dikenal secara umum di masyarakat.
Dalam konteks itu, perilaku setiap muslim urban di kota Ambon tengah
merayakan sebuah kemajuan dari industri media yang memanjakan kehidupan manusia
di abad ini. Taruhan identitas keislaman terus diperbincangkan dengan melihat trend
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 14
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
perkembangan antara identitas keislaman dengan ancaman dari produk kapitalisme itu
sendiri.
Muslim Urban Kota Ambon: Bertemu Pada Ruang (Space) dan Tempat (Place).
“Kota Ambon kalau di malam hari seperti Hongkong, tapi kalau siang hari
seperti kingkong”. Kalimat itu seringkali terlontar dari mulut anak-anak muda kota
Ambon ketika memperbincangkan atau sekedar membandingkan kota Ambon dengan
kota-kota yang lain di Indonesia. Entah alasan apa kalimat itu dilontarkan. Apakah hal
itu menggambarkan realitas kota Ambon yang belum berbenah diri menjadi kota yang
tertata indah layaknya kota-kota lain di Indonesia. Atau hal ini menggambarkan realitas
sebuah kota yang porak-poranda akibat konflik kemanusiaan 17 tahun silam di kota
Ambon. Namun, yang pasti bahwa kota Ambon merupakan kota yang indah dengan
struktur tanah yang berbukit, dengan sedikit area dataran, sehingga kota ini hampir
keseluruhannya dikelilingi oleh laut.
Tipologi kota Ambon yang demikian, memang akan terlihat indah di kala malam
hari. Kita bisa menikmati keindahan kota Ambon dari area pemukiman yang berada di
perbukitan. Cahaya lampu menerangi kota sehingga nampak bahwa kota Ambon
memiliki daya tarik tersendiri di kalah malam tersebut. Selain tempat berbukit, kota
Ambon juga dapat dinikmati di area pantai di mana kota Ambon membentuk teluk yang
jika dilihat pada malam hari seperti kota Laut yang merapatkan imajinasi dari pusat
kota dengan pinggiran kota, yakni Poka, waelela dan rumah tiga. Sehingga keseluruhan
pemandangan di malam hari itu menjadi tempat (Place) sekaligus ruang (space) yang
memproduksi aktivitas orang dan barang.
Kota dengan struktur tanah yang demikian, membentuk habitus bagi masyarakat
di kota Ambon. Ruang dan tempat yang tersedia melahirkan serangkaian perjumpaan
yang dijempatani oleh infrastruktur jalan dan jembatan sehingga menghubungkan satu
tempat dengan tempat lain. Kota Ambon memiliki Jempatan Merah Putih (JMP) yang
baru saja nikmati oleh masyarakat di kota Ambon sejak JMP diresmikan oleh Pressiden
Jokowi pada tahun 2016.
Model semacam ini bisa kita lihat pada kota-kota yang lain di kawasan timur,
semisal kota Fak-Fak. Kota ini disebut demikian, karena kawasan itu memang
membentuk tiga kotak yang oleh masyarakat setempat disebutnya dengan istilah FakFak.
Tempat menjadi rujukan konsep untuk melihat bagaimana aktivitas masyarakat
dikonstruksi berdasarkan ruang dan tempat yang diterima sejak masih kecil. Artinya
ruang dan tempat itu telah menjadi bagian dari identitas diri yang melahirkan habitus
bagi keseluruhan hidup masyarakat yang hidup di kota Ambon. Relph (1976) berucap
sebagaimana dikutip oleh Crhis Barker bahwa kita dapat membedakan ruang dan tempat
berdasarkan bahwa yang disebut terkahir ini merupakan fokus pengalaman, ingatan,
hasrat, dan identitas manusia. Artinya, tempat merupakan konstruksi diskursif yang
menjadi sasaran identitas atau investasi emosional.13
Sebagai investasi emosional, kota Ambon dengan nuansa perbukitan itu telah
melekat menjadi suatu perayaan akan hasrat untuk mencintai tempat tersebut dengan
imajinasi kota yang indah dan nyaman bagi setiap orang yang datang berkunjung.
Tempat-temat seperti MCM, ACC, Workshop Coffee, Dermaga Caffee, serta tempattempat yang indah lainnya menjadi ajang interaksi sosial yang cukup tinggi. Penyediaan
13
Barker, Crhris, Cultural Studies. Teori dan Praktek. (Yokyakarta: Bentang, 2005).h. 385
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 15
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
ruang publik semacam itu dengan kemasan etalase kapitalisme telah memudahkan
setiap orang agar bisa melepaskan hasrat kenikmatannya. Dalam ruang-ruang semacam
itulah setiap orang dengan latar belakang apapun dan dari mana pun akan berjumpa
dengan satu tujuan yakni melepaskan waktu senggang untuk menikmati produk
kapitalisme.
Menikmati produk kapitalisme merupakan bagian dari unifikasi selera bersama.
Selera bersama itu dikemas dalam ruang dan tempat yang memungkin semua orang
hadir dan berinteraksi. Tidak ada seorang pun yang berfikir untuk tidak berada di
tempat-tempat tersebut. Proses-proses semacam itu disebut sebagai budaya massa.
Budaya Massa secara sederhana dapat dikatakan bahwa budaya populer yang dihasilkan
melalui teknik-teknik industrial massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan
kepada khalayak konsumen massa.14
Sebagai produk industri massa, dengan ragam keuntungan bagi konsumen,
maka, segala hal yang berkaitan dengan budaya massa memberi dampak bagi upaya
untuk memprodusi uang bagi proses kesenangan itu sendiri. Dengan demikian, budaya
massa telah membentuk klasifikasi sosial yang secara massal pula. Pola semacam ini
menghadirkan hasrat untuk memiliki (desire to have) sebagai bagian dari identitas
kapitalisme itu sendiri. Kehadiran orang-orang pada ruang dan tempat juga menjadi
ukuran akan status sosial tertentu. Dalam konteks itulah, politik identitas muslim urban
di kota Ambonmengambil bagian dari budaya massa itu sendiri. Industri media telah
memberikan aspek kesadaran baru bagi kelompok muda muslim urban dlam memaknai
ruang dan tempat perjumpaan itu sendiri.
Perjumpaan pada ruang dan tempat yang mempertemukan selera bersama
tersebut, mulai dari selera musik, Film, media sosial, sampai pada perjumpaan di
warung-warung kopi telah menghadirkan sudut pandang lain dari ketegangan ideologi
yang selama ini diperdebatkan. Islam dengan beragama derivasinya muncul sebagai
lawan tanding dari ideologi kapitalisme yang dianggap sebagai perusak moral dari ide
atau gagasan-gagasan Islam itu sendiri. Kapitalisme oleh sebagaian ideologi Islam
dianggap mewakili dunia Barat yang serba bebas. Hal ini tentu saja bertentangan
dengan misi agama yang cenderung mengkapling ruang eskatologis dengan berbagai
aturan atau norma agama yang ketat dan kaku. Perlawanan semacam itu mendapati jalan
buntu ketika ruang dan tempat yang menghadirkan budaya massa dengan kekuatan
industri media telah mejadi selera bersama.
Konsep ruang (space) dan tempat (place) menjadi fokus kajian studi budaya
yang oleh para ahli Sosiologi telah membahasnya. Giddens (1990), sebagaimana dikutip
oleh Barker15 misalnya, membedakan keduanya berdasarkan kehadiran dan
ketidakhadiran. Tempat dicirikan oleh adanya perjumpaan langsung dan ruang dicirikan
oleh hubungan antar mereka yang tidak hadir. Ruang mengacu pada sebuah ide abstrak,
suatu ruang kosong atau mati yang dipenuhi dengan berbagai tempat yang konkrit,
spesifik, dan manusiawi. Maka, rumah adalah tempat di mana saya bertemu keluarga
secara rutin, sedangkan email atau surat menyediakan kontak melintasi ruang
antarorang yang tidak hadir.
Senada dengan itu, Seamon melihat sebagaimana dikutip oleh Barker, bahwa
tempat disebut rumah sebagai produk kehadiran fisik dan ritual sosial. Namun
demikian, pembedaan kehadiran-ketidakhadiran ini, meski berguna, terasa agak kasar
14
Strinati, Dominic., Populer Culture. Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. ( Yogyakarta: AR-RUZZ,
2009). h. 36
15
Ibid. h. 384
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 16
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
karena, seperti dikatakan Harvey,16 tempat memiliki cakupan makna metaforis yang
lebih kaya dari pada apa yang bisa dimunculkan oleh kehadiran.
Politik Identitas Kelompok Muda Muslim Urban di Kota Ambon
Menurut berbagai dongang antropologis dan sosiologis identitas seseorang
dalam masyarakat tradisional bersifat tetap, kukuh, dan stabil. Identitas merupakan
fungsi dari peran sosial yang didefinisikan sebelumnya, dan merupakan sistem mitos
tradisional yang memberikan orientasi dan sanksi religius untuk menentukan tempat
sesorang di dunia, sambil secara keras membatasi pemikiran dan perilaku. Seseorang
lahir dan mati sebagai anggota dari sebuah marga, dari suatu sistem keluarga tertentu,
serta dari sebuah suku atau kelompok sosial teretntu dengan jalan hidup yang sudah
ditentukan sebelumnya. Dalam masyarakat pra modern, identitas bukan suatu hal yang
problematis dan tidak dapat dipikirkan ulang atau didiskusikan. Individu tidak
mengalami krisis identitas atau memodifikasi identitasnya secara radikal.17
Klob sebagai dikutip oleh Kellner18 mengatakan bahwa Identitas tetap muncul
dari seringkaian aturan dan norma yang tidak lagi utuh. Seseorang bisa menjadi ibu,
anak laki-laki, penduduk Texas, seorang warga Skotlandia, profesor, Sosialis, Katolik,
Lesbian, atau kombinasi dari berbagai peran dan kemungkinan sosial tersebut. Karena
itu, identitas relatif tetap dan terbatas, meskipun batasan kemungkinan identitas, atau
identitas-identitas baru, terus berkembang. Memang, dalam modernitas, kesadaran diri
(self Consciousness) muncul dengan sendirinya, kita sangat mungkin untuk terus
merefleksikan peran-peran sosial dan segala kemungkinan yang ada serta mengambil
jarak dengan tradisi.
Sesorang dapat memilih dan membuat dan kemudian membuat ulang
identitasnya ketika kemungkinan-kemungkinan hidup seseorang berubah dan meluas,
atau menciut. Namun, modernitas juga meningkatkan keterarahan kepada yang lain
(other directedness), karena seiring meningkatnya kemungkinan identitas, orang harus
mendapatkan pengakuan agar identitasnya diakui dan sah secara sosial. Dalam
modernitas, masih terdapat struktur interaksi yang diatur, seseai peran sosial, norma,
adat istiadat, serta harapan yang ada dan terdefinisikan secara sosial di mana orang
harus memilih dan mereproduksi elemen-elemen ini untuk mendapatkan identitas dalam
suatu proses kompleks pengakuan yang saling menguntungkan. Dengan demikian, yang
lain merupakan pembentuk identitas dalam modernitas dan, karenanya, karakter terarah
kepada yang lain ini merupakan tipe umum karakter dalam modernitas akhir, yang
bergantung kepada yang lain untuk mendapatkan pengakuan dan memapankan identitas
diri.19 Karena itu, dalam modernitas, identitas menjadi masalah personal sekaligus
teoritis. Ketegang muncul di dalam dan di antara teori tentang identitas, juga di dalam
individu modern. Di satu sisi, beberapa teoritikus identitas mendefinisikan, Identitas
personal terkat dengan diri substansial, sebuah esensi diri yang bersifat bawaan dan
swa-identik yang membentuk seseorang. Dari Cogito Descartes, Ego transendental Kant
dan Husserl, konsep pencerahan tentang akal, hingga beberapa konsep kontemporer
tentang subjek, identitas dipandang sebagi sesuatu yang esensial, substansial, uniter,
tetap, dan pada dasarnya tidak berubah. Akan tetapi, beberapa teoritikus modern lainnya
16
Ibid.
Kellner, Douglas., Budaya Media Cultural Studies Identitas dan politik antara Modern dan Posrmodern.
(Yogyakarta: Jalasutra, 2010).h. 315-316
18
Ibid.
19
Lihat Riesman et.al. The Lonely Crowd. (Garden City: N.Y. Anchor Books, 1950).
17
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 17
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
tentang identitas sebaliknya merumuskan tidak adanya substansialitas diri (hume), atau
memandang diri dan identitas sebagai proyek eksistensial, sebagai kreasi indivisu yang
otentik (Kierkegard, Marx, Nietzche, Heidegger, Sartre). Eksistensi diri selalu rapu dan
memerlukan komitmen, keputusan, dan aksi untuk bertahan hidup, sehingga menjadikan
penciptaan identitas sebuah proyek eksistensial bagi tiap individu.20
Untuk menjelaskan Politik identitas dari kelompok muda muslim urban di kota
Ambon ini, tentu menjadi menarik sebab ruang geografis pun mendisiplinkan tubuh dan
kesadaran mereka melalui segregasi pemukiman. Penelitian yang mengangkat tema
segregasi pemukiman dan juga tata ruang sudah banyak dilakukan, seperti yang di
lakukan oleh Gemal sigit dkk21. Ruang dan tempat di kota Ambon yang tersegrasi
berdampak pada susahnya menemukan ruang publik yang bisa direkayasa oleh
pemerintah sebagai ajang pertemuan antara yang Islam dan Kristen. Keterpisahan ini
hanya akan menegaskan eksklusifitas identitas agama. Proses semacamitu melahirkan
kesadaran yang masih kaku dan sering menjadi ajang saling melirik penampilan satu
sama lain dari identitas agama itu sendiri. Pertemuan pada fasilitas –fasilitas modern
selalu menegaskan serangkaian identitas yang khas dari setiap orang. Kita menjumpai
orang-orang Islam dengan Jilbab tetapi dibungkus dengan model atau gaya sebagai
pemanis penampilan. Atau kita bertemu anak muda kristen dengan kalung salip di dada.
Semua itu menjadi penanda Identitas.
Jadi ini semacam kontestasi yang ditonjolkan dalam ruang publik pada
masyarakat urban di kota Ambon. Kelompok muda muslim urban merespon budaya
massa dengan bergam suara. Hal ini seperti diungkapkan oleh Layla salah seorang
informan:
“Kalau produk kapitalisme itu Ok saja. Yang penting tidak di luar koridor.
Produk kapitalisme yang dihawatirkan itu jangan minum bir gitu ya. Kalau
untuk pergaulan dengan siapa pun kita ok aja ya. Rasul juga begitu ya. Untuk
film saya lebih suka film barat. Yang penting ambil yang positifnya aja. Saya
pribadi tidak suka K-Pop”.22
Suara ini mewakili kelompok anak muda yang moderat dengan perubahan yang
sedang terjadi. Intinya tidak mesti harus kaku dengan produk kapitalisme, tetapi juga
tidak boleh bebas sehingga melanggar larang agama. Selian itu ada respon yang
beragam juga datang dari Zainab yang menjelaskan ruang dan tempat untuk
memanjakan tubuh di ruang dan tempat modern itu segedar sebagai ajang berteme relasi
dan juga mencari suasana.
“Tujuan kita ke kafe untuk apa dulu. Ke sana kan untuk ketemu ketemu relasi.
Kita dengan teman yang berpakaian minim tidak masalah. Pertemuan kita kan
karena selera bersama. Tapi kita tidak menganggapnya produk kapitalisme. Ini
Soal kenyamanan. Kenapa tidak di rumah, ini kan soal suasanan baru.
Sebenarnya kita harus memperhatikan identitas kita sebagai muslim itu aja.
Sehingga kalau ke cafe ngopi-ngopi itu karena suasana baru”.23
20
Ibid.
Lihat penelitian Sigit, Gemal P. Ruang Netral di Kota Ambon:Segregasi dan Integrasi Ruang Kota.
CoUSD Proceedings 8 September 2015 (30 – 42).h. 30-31
22
Wawancara tangga 25 September 2016 di kampus Hijau
23
Wawancara tanggal 25 September 2016 di kampus Hijau
21
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 18
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
Ratu memiliki pandangan yang hampir senada, tetapi tak serupa. Salah satu
informan saya ini mengatakan bahwa :
Kalau ke mall untuk sopping. Kalau ngopi bersama keluarga boleh. Atau sama
suami. Tidak perlu kaku. Kalau perempuan ke Mall itu kan untuk shopping
bangat dong. Asal jang ke cafe bersama laki-laki yang bukan muhrim. Sekarang
dengan perkembangan jaman begini kan masa mau tertutup terus.
Sama halnya juga dengan Dela, Irna, Marni. Mereka mengatakan kalau ke
Caffee itu hanya ngumpul sama teman. weeken sama teman. Kalau di sini kan jarang.
Kalau kece tu setiap hari. Penampilan kan nomor satu. Ngumpul-ngumpul tapi ngga
omongin orang. Disini kan rame jadi tetap asik aja. Tempatnya tidak tertutup. Kalau itu
si biasa. Setiap orang boleh dengan pendirian masing-masing. Semua musik saya suka.
Kalau kesida tidk terlalu suka. Soal jilbab itu sebetulnya yang penting nyaman. Tidak
boleh menonjolkan bentuk-bentuk tubuh. Kalau waktu sholat kalau langsung waktu
sholat, kalau langsung sholat. Atau kadang-kadang ada waktu sholat yang kita
Sementara untuk sebagian kelompok muda muslim urban yang masih merasa ini
hal baru bagi mereka.
“Ini baru pertama kali ke sini. Sebenarnay kita lihat dulu. Kalau itu
kongko kongko yang seng penting. Kalau ada adekan-adekan kaya gimana tidak
boleh. Kalau Bapak pung anak, bagaimana mendidik penggunaan medsos.
Tergantung katong mengarahkan FB dipake untuk apa? jang sampe digunakan
untuk negatif. Katong orang Islam seng boleh ketinggalan. Kalau ada pilihan
yang lain kita pilih yang lain. Tempat ini kan terbuka. Kita tidak tau kalau ini
produk kapitalisme. Orang Islam harus menjaga-jaga juga. Sepanjang membawa
positif seng apa. Kalau waktu sholat, katong sholat. Harus ada kontrol anak-anak
kita. Aspek usia harus diperhatikan. Kalau memperkenalkan harus. Tergantung
jadi katong memilih. Sepanjang baik dan cokok, Jilbab tetap katong Tetap harus
mempertahan sebagai orang Islam. Bebas dengan pengawasan. Pendidikan
agama itu penting. Dia harus sholat, tau ngaji gitu”.24
“Ga ada masalah. Kalau ragu-ragu kita nga bisa makan ke mana-mana. Saya nga
hawatir. Yang penting ajaran lima waktu itu wajib. Kalau globalisasi itu ga perlu
hawatir. Untuk medsos saya larang. Belum waktunya. Setiap orang tua harus
hawatir. Ada waktunya. Saya tidak gunakan FB. Kalau untuk medsos saya agak
kolot. WA untuk pekerjaan saya gunakan. Tergantung kita sendiri. Hal baru itu
bisa mendatang kebaikan juga kerusakan. Medsos tu kan kadang dislingi iklaniklan orang dewasa. Anak saya udah saya ajak ngaji. Kalau jaman nabi ada
strarbukc pasti kita bisa contohi juga. Kita logika aja, zaman itu kan
berkembang, jang sampai kita tergerus jaman. Hidup ini kalau terus perpegNG
pada dogmatis juga kita kaku. Islam itu kan rahmatan lil alamin”.
Menikmati Modernitas Tanpa Menanggalkan Keimanan
Gambaran linier yang selalu menghadapkan Islam vis a vis dengan
kapitalisme (ataupun sekularisme) tampaknya semakin usang. Alih-alih Islam dan
kapitalisme terus terlibat dalam baku hantam tiada berujung untuk saling
24
Wawancara tanggal 28 September 2016 di MCM
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 19
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
menjinakkan, keduanya malah terlihat saling berangkulan. Adalah me-dia baru yang
telah menciptakan space bagi keduanya untuk saling bersinergi dalam kultur yang
sinkretis (hybrid). Media baru pula yang sudah ikut andil dalam dekonstruksi sekatsekat dikotomik antara kedua entitas dengan garis ideologi-politik yang tidak saja
berbeda, melainkan juga bertabrakan.25
Kontradiksi yang telah menfosil dan nyaris tak terjembatani selama puluhan
dekade, luruh dalam sentuhan dingin media baru yang bercorak popular. Sinergi
antara kedunya terepresentasikan cukup baik dalam aneka budaya pop (pop culture)
seperti musik, film, novel, sinetron, dan berbagai produk industri budaya massa lainnya.
Sementara itu, kajian-kajian yang hanya menampilkan sisi harmoni antara Islam
dengan kapitalisme tanpa menyingkap dimensi kontradiksinya, juga dapat berujung
padakenaïfan. Kendatipun ada persenyawaan antara keduanya, tetap saja aspek
perbedaan dan sekaligus juga pertentangan menjadi realitas yang tidak bisa diabaikan
begitu saja. Bagaimanapun persinggungan antara keduanya, tidak sebatas berlangusng
dalam mekanisme akomodasi, melainkan juga kontestasi dan negosiasi. Sebab, jalinan
yang berlangsung melibatkan „kekuasaan‟ yang acak, cair dan kompleks.
Mengikuti pendapat Michel Foucault, kekuasaan itu bukanlah sesuatu yang
serba konkrit, homogen dan imanen. Sebaliknya, ia banyak, beragam dan bersifat
produktif, bukan represif. Kekuasaan ada di mana-mana dan menyebar ke manamana, tidak dapat dilokalisasi, terkait dengan jaringan dan pembentukan struktur
kegiatan, serta melekat pada kehendak untuk mengetahui. Permainannya akan
mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui perjuangan
dan pertarungan terus menerus (Konrad Kebung, 1997: 76; Faucoult, 1980; Colin
Gordon (ed.), 1980; 119).
Bagaimana kita dapat menjelaskan keintiman relasional antara Islam dan
kapitalisme berikut kontradiksi yang menyertainya itu? Jawaban yang relatif lebih
fresh atas persoalan itu, dapat diperoleh dari buku terbaru anggitan Ariel Heryanto
“Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia” (terbitan Gramedia, 2015,
366 hlm). Melalui perspektif post-Islamisme yang dimodifikasi dari Asef Bayat, Ariel
mencoba melampaui cara pandang yang bersifat dikotomis; „komodifikasi versus
Islamisasi kapitalisme. Menurutnya, tren muslim Indonesia modern itu, cenderung
ekspresif dalam menampilkan identitas keagamaannya tanpa arus menghilangkan aspek
konsumtif (kenikmatan) dari modernitas. Dalam bahasanya Ariel, sinkretisme antara
Islam dan kapitalisme terekspresikan secara jelas dalam manunggaling identitas dan
kenikmatan pada diri kelas menengah muslim urban.
Diskursus Islam dan kapitalisme bukanlah satu-satunya topik bahasan dalam
buku “Identitas dan Kenikmatan”. Buku ini mengulas bentangan topik yang luas dan
beragam terkait dengan fenomenakebudayaan mutakhir di Indonesia pasca Orde
Baru, mulai daripersoalan etnisitas, minoritas, marginalitas, sampai kekerasan
berdarah dalam peristiwa PKI. Hanya saja, topik yang disebutkan lebih awal
terlihat cukup seksi, bukan saja tata letaknya yang sengaja ditempatkan oleh Ariel
di awal bab, melainkan juga terkait dengan konteks Islam di Indonesia yang
pamornya tengah menanjak. Diskursus Ariel tentang keislaman sendiri difokuskan pada
politik identitas M. Khusna Amal, Politik Identitas Muslim Urban muslim urban
dalam budaya populer. Sebagaimana dalam tulisan-tulisan sebelumnya, dalam buku
“Identitas dan Kenikmatan” ini, Ariel masih tetap konsisten dalam mengambil subjek
25
Anonim
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 20
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
kajiannya, yakni segmen kelas menengah (middle classes) urban; kelompok sosial
yang dinilai memiliki keunggulan komparartif (tidak saja dalam modal finansial, tapi
juga dalam bergam modal sosial, simbolik, dan kultural) dibandingkan kelas bawah.26
KESIMPULAN
Dengan demikian, empat pertanyaan penelitian ini dapat di simpulkan dalam
penjelasan sebagai berikut. Identitas dan kenikmatan ibarat dua sisi mata uang
yang saling melengkapi. Perjuangan yang dilakukan setiap orang, dalam merumuskan
identitasnya tidak bisa dipisahkan dari hasrat mereka untuk mendapatkan kenikmatan.
Ikhtiar yang dilakukan muslim urban, sebagaimana diulas Ariel, dalam menampilkan
kesalehannya dalam ruang-ruang budaya pop yang tampak trendi, menjadi contoh
paling baik bagimana identitas dan kenikmatan itu saling meneguhkan.
Karena itulah, setiap perjuangan yang dilakukan muslim urban dalam kegiatan
keagamaan, tidak bisa dikosongkan dari kepentingan yang bercorak konsumtif.
Perjuangan muslim urban dalam merumuskan identitasnya itu, tidaklah berlangsung
secara otonom. Kehadiran media baru, budaya massa, dan budaya pop,memiliki
pengaruh nyata dalam keikutsertaannya menentukan corak politik identitas yang
dirumuskan khalayak tersebut. Menurut Ariel, budaya pop telah menyediakan ruang
kontestasi bagi khlayak untuk memperjuangkan corak identitasnya. Melalui aneka
media baru (seperti film, televisi, video, facebook, dan berbagai jenis media sosial
lainnya), masing-masing dari khalayak berusaha untuk menampilkan diri dalam citraan
(image) yang beragam dan juga kerap bersaingan.
Kendatipun beragam konstruksi identitas yang dibangunnya, namun ada satu
kesamaan yang tampak menonjol, yakni tampilan
kesalehan dengan tetap
mempertahankan selera budaya modern. Itulah yang dikenal dengan identitas muslim
post-Islamisme. identitas keislaman baru yang tidak anti Islamisme dan juga
modernisme yang kerap dilabeli sekuler. Bagaimanapun, buku karya Ariel ini telah
memberikan perspektif baru dalam membaca gejala kebudayaan kontemporer,
termasuk fenomena keagamaan, dalam ranah pop culture. Melalui buku ini, pembaca
akan menyadari bahwa budaya pop yang selama ini dianggap remeh temeh, dangkal,
tidak substansial, dan tidak penting, ternyata dapat dijadikan sebagai sarana kritik dan
bahkan perubahan. Terlepas dari bias kapitalisme, budaya pop dapat digunakan
sebagai kendaraan politik untuk mengguncang kemapanan (status quo). Meski
demikian, Kelompok Muda Muslim Urban kota Ambon terus melakukan negosiasi
untuk melihat peluang yang terus menerus dinamis dalam mengisis, atau meredefinis
identitas keislaman mereka. Kelompok Muda Muslim Urban kota Ambon merupakan
kelas menengah yang dianggap paling akrab dengan budaya pop.
Penelitian ini memiliki tantangan tersendiri dimana upaya mendeskripsikan
bagaimana kelompok muda muslim urban kota Ambon merepresentasikan diri mereka
di tengah begitu besarnya godaan kapitalisme yang memanjakan selera dan kenikmatan.
Oleh karena itu, setiap muslim harus mampu menghindari dampak negatif dari produk
kapitalisme.
DAFTAR PUSTAKA
26
Ariel Heryanto,. 1990. xiii
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 21
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
Ariel Heryanto, 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia,
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Bauman, Zygmunt 1998. Thinking Sociologically. London: Blackwell.
Emy Susanti,et.al., 2005,. Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar, Jakarta: Kencana
Evers, Hans-Dieter and Ruediger Korff, 2000. Southeast Asian Urbanism. Berlin: Lit
Verlag
Featherstone, Mike and Scott Lash (eds.), 1999. Space of Culture, Sage Londong: City,
Nation, and World.
Gumilar Rusliwa Somantri, 2000. Sosiologi di Era Migrasi dan Globalisasi. Makalah.
Homi K Bhaba, 2005. Identitas, Yogyakarta: Kanisius
John, Urry,. 1999. Sociology Beyond Societies: Mobilities for the Twenty-first,
London: Century. Routledge.
Matthew B. Miles dan A. Michael Hubarman, 1992. Analisis Kualitatif, Jakarta: UI
Press.
Poerwanti Hadi Pratiwi, 2006. Asimilasi dan akulturasi: sebuah tinjauan konsep.
Makalah.
Ida, Rachmah., 2014., Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya, Jakarta:
KENCANA
Adorno, T. 1991. The Culture Industry. London: Routledge.
Bayat, Asef. 2012. Pos-Islamisme. Yogyakarta: LKiS.
Strinati, Dominic., 2007. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. al„Adâlah, Volume 18 Nomor 1 Mei 2015 Yogyakarta: Jejak.
Greg, Fealy & Withe, Sally (ed.). Expressing Islam: Religious Life and Politics in
Indonesia. Singapore: ISEAS.
Gane, Mike. 1993. Baudrillard Live. Routledge: London.
Gordon, Colin (ed.). 1980.Michel Foucault, Power/Knowledge, Selected Interview &
Other Writings.New York: Pantheon Book.
Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self-Identity. Cambridge: Polity Press.
Heryanto, Ariel. 1990.“Memperjelas Sosok yang Samar, Sebuah Pengantar”, dalam
Richard Tanter dan Kenneth Young (ed.) The Politics of Middle Class
Indonesia, Australia: Monash University.
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 22
Budaya Layar Dan Politik Identitas Muslim Urban
Heryanto, Ariel. 1994.“Kelas Menengah yang Majemuk”, dalam Hadi Jaya, Kelas
Menengah Bukan Ratu Adil.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kebung, Konrad. 1997. Michel Foucault: Parrhesia dan Persoalan Mengenai Etika.
Jakarta: Obor.
Michel Foucault. 1980.Power/Knowledge. New York: Pantheon.
Piliang, Yasraf Amir. 1999. Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan
Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
Kellner, Douglas., 2010. Budaya Media Cultural Studies Identitas dan politik antara
Modern dan Posrmodern. Yogyakarta: Jalasutra,
Jurnal Fikratuna Volume 8 Nomor 1, 2016
Halaman 23
Download