1 PEMBIMBING KE DALAM DOKUMEN KEESAAN GEREJA PENDAHULUAN 1. Sejak Sidang Raya (SR) X DGI/PGI di Ambon 1984 menyepakati Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG), sangat dirasakan pentingnya dokumen ini dimiliki, dibaca, dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh warga gereja, terutama oleh para pejabat di gereja, mulai dari tingkat Majelis Jemaat sampai ke tingkat Majelis Sinode. SR XI PGI tahun 1989 di Surabaya menguatkan keputusan itu dengan Keputusan nomor 05/SRXI/1989, dan menyetujui penyusunan Buku Penjelasan LDKG dalam upaya menjemaatkannya, yang dilaksanakan oleh Gerejagereja dalam kerjasama dengan PGI, PGI Wilayah, Lembaga Pendidikan Teologi dan lembaga-lembaga pembinaan lainnya. 2. Khusus mengenai Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM) (Keputusan SR XI PGI No. 09/SR-XI/1989 Sidang Raya memberikan catatan dan pokok-pokok pikiran, antara lain sebagai berikut: ”3.4. LDKG perlu dimasukkan sebagai materi pembinaan warga jemaat oleh gereja-gereja anggota PGI. 3.5. LDKG perlu dimasukkan menjadi salah satu mata-kuliah pendidikan teologi bagi lembaga-lembaga pendidikan teologi di Indonesia.” 3. Mengingat pengalaman gereja-gereja antara Ambon-Surabaya yang tidak sedikit merasakan kesulitan untuk mengerti LDKG tanpa pembimbing atau petunjuk, maka MPL-PGI 1990 yang menerima mandat SR XI Surabaya untuk menyusun Buku Penjelasan LDKG, menyepakati rencana penerbitan buku serial penjelasan LDKG dalam rangka pengantar LDKG. Dalam hubungan ini MPL-PGI 1990 menetapkan Seri I dari Buku Penjelasan LDKG dengan judul ”Pembimbing Ke Dalam LDKG”. Buku pembimbing ini diharapkan dapat memandu para pembaca LDKG untuk memahami sejarah lahirnya LDKG, intisarinya, hubungan antarLDKG dan sistematika masing-masing dokumen. 2 SEJARAH KELAHIRAN ”LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA” 1. Secara resmi, LDKG lahir sebagai keputusan Sidang Raya X DGI di Ambon tahun 1984. Dalam perkembangan kemudian LDKG rumusan Ambon itu mengalami beberapa perubahan dalam upaya penyempurnaan dalam Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989. Dalam SR XII PGI di Jayapura tahun 1994, LDKG yang disempurnakan di Surabaya lebih disempurnakan lagi. Namun, kita menyadari bahwa sebelum LDKG ini memperoleh bentuknya seperti sekarang ini, telah terjadi proses yang cukup panjang. 2. Ketika DGI dibentuk tahun 1950, dengan tujuan ”Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia” belum ada bayangan atau gambaran mengenai Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Baru kemudian diperkembangkanlah pemahaman dan gambaran mengenai apa yang dimaksud dengan Gereja Kristen Yang Esa tersebut. Dalam proses pengembangan pemahaman dan gambaran tersebut dari satu Sidang Raya ke Sidang Raya berikutnya, semakin dirasakan adanya semacam ketegangan antara 2 (dua) kecenderungan: a. Kecenderungan untuk mengutamakan ”keesaan rohani dalam Kristus”, dan karena itu enggan membahas hal-hal yang menjurus pada penyatuan secara strukturalorganisatoris. b. Kecenderungan untuk mengutamakan keesaan struktural organisasi, dan karena itu kurang sabar terhadap segala perbedaan dan sikap mempertahankan identitas diri masingmasing. 3. Dalam upaya menampung kedua kecenderungan tadi dan bersamaan pula dengan iklim yang sedang mempengaruhi 3 Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) dengan pola pendekatannya melalui 3 (tiga) komisi, yaitu: - Komisi Faith and Order (Iman dan Tata Gereja) - Komisi Life and Work (Hidup dan Karya Gereja) - Komisi Mission and Evangelism (Misi dan Pekabaran Injil), maka DGI pun menata diri dengan pola tersebut. Dimulailah studi dan penyelidikan bersama mengenai Pengakuan Iman, Tata Gereja, Katekisasi, Liturgi yang digunakan oleh Gereja-gereja Anggota (Lih. Keputusan Sidang Raya II DGI 1953). Studi dan penyelidikan bersama ini memuncak dalam Sidang Raya VI di Ujung Pandang (sekarang Makassar) tahun 1967, dengan munculnya konsep: (1) Tata Sinode Oikoumene Gereja di Indonesia (SINOGI) (2) Pemahaman Iman Bersama. 4. Namun Gereja-gereja Anggota PGI tampaknya belum siap untuk menerima gagasan SINOGI dan Pemahaman Iman Bersama tersebut. Sidang Raya VII DGI di Pematang Siantar tahun 1971 kemudian berhasil menampung sebagian dari konsep SINOGI dengan memperbarui struktur DGI. Perubahan pokok yang terjadi ialah bahwa Badan Pekerja Lengkap (BPL) DGI bukan lagi hanya sejumlah kecil orang-orang yang dipilih oleh SR untuk bertindak atas nama semua gereja, tetapi keanggotaan BPL itu terdiri dari unsur pimpinan tiap Gereja Anggota yang ditunjuk oleh gerejanya dan disahkan oleh SR. Dengan demikian, kesepakatan yang diambil sepenuhnya mendapat dukungan oleh dan berakar di dalam gereja. 5. Sejak itu tidak sedikit yang telah kita capai dalam upaya mewujudkan keesaan gereja itu secara nyata. Namun, sementara itu banyak pula yang merasa bahwa apa yang telah dicapai itu terlalu sedikit dan bahwa kita bergerak terlalu lamban. Perlu diambil langkah yang lebih berani untuk segera memproklamasikan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Di pihak lain terdapat pandangan yang merasa bahwa apa yang telah tercapai itu justru 4 sudah cukup maju. Kita jangan terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan yang drastis. Kedua pola pandang ini jelas sekali tampak dalam Sidang Raya IX di Tomohon tahun 1980. Ada pihak yang mendesak supaya segera diproklamasikan Gereja Kristen Yang Esa itu dengan nama ”Gereja Kristen di Indonesia”. Sedangkan kelompok lain mengatakan bahwa apa yang dicapai selama 30 tahun ini sudah cukup banyak. Hal yang sudah dicapai itu kita pelihara dan kembangkan, sambil meningkatkan usaha-usaha pembaruan dan mengatasi tembok-tembok pemisah yang masih ada. 6. Sidang Raya IX di Tomohon, 1980 itu akhirnya memutuskan: ”1. Supaya masa 4 (empat) tahun mendatang ini sungguhsungguh dimanfaatkan DGI dan Gereja-gereja Anggota untuk secara bersama-sama menyusun dan melaksanakan program-program yang konkrit secara bertahap, di tingkat setempat, sewilayah dan nasional, guna mempersiapkan pembentukan satu Gereja Kristen Yang Esa di dalam Sidang Raya X DGI.” Kurun waktu 4 (empat) tahun antara Tomohon dan Ambon harus digunakan untuk mencari jalan keluar yang kreatif, agar dalam Sidang Raya X itu tidak terjadi jalan buntu, tapi dapatlah dicapai sesuatu yang lebih maju dan dapat diterima semua pihak. Semua menyadari bahwa keesaan gereja itu bukan hanya sekadar keesaan rohani saja, tetapi sekaligus juga tampak dalam wujud yang kelihatan (kelembagaan), sehingga keesaan rohani itu menjadi kesaksian kepada dunia. Juga disadari bahwa keesaan bukanlah keseragaman (uniformitas) dan bukan pula keterpisahan, melainkan keragaman dalam kebersamaan. 7. Segera setelah Sidang Raya IX Tomohon, Badan Pekerja Harian (BPH) DGI menyampaikan gagasan mengenai pembaruan struktur, nama dan sarana DGI. Dalam gagasan tersebut dikemukakan 2 (dua) langkah penting: 5 ”a. Bertolak dari peristiwa pembentukan DGI selaku badan persekutuan oikoumene gereja-gereja di Indonesia, kita mulai dengan kegiatan-kegiatan yang dapat kita laksanakan untuk mengungkapkan keesaan gereja yang baru secara lebih nyata. b. Sesudah itu, setiap kali sesudah jangka waktu tertentu, kita mempersiapkan langkah-langkah baru, dan dalam rangka mempersiapkan langkah-langkah baru itu kita melembagakan kemajuan-kemajuan yang kita capai di tahun-tahun yang akan datang.” Titik tolak inilah yang kemudian melahirkan konsep LDKG. Kita mencatat di mana kita berada selama 30 tahun lebih. Hal-hal apa yang dapat kita kerjakan bersama. Hal-hal yang telah kita terima dan laksanakan, kita lembagakan untuk kemudian dikembangkan lebih maju lagi. 8. Dengan mempelajari keputusan-keputusan sidang raya-sidang raya sebelumnya, dan dengan memperhatikan perkembangan pemikiran-pemikiran baru yang dilahirkan dari Gerakan Oikoumene sedunia (DGD), maka dibuatlah suatu daftar mengenai pemahaman Keesaan Gereja. Daftar tersebut menyebut bahwa Gereja yang Esa itu: (1) harus mempunyai satu Pengakuan Iman; (2) harus mempunyai satu Tata Gereja Dasar; (3) harus dapat beribadah bersama dan merayakan Perjamuan Kudus bersama; (4) mempunyai wadah di setiap tingkat untuk bermusyawarah dan menentukan hal-hal yang menyangkut pelaksanaan tugas panggilan bersama; (5) diwarnai oleh tindakan saling mengakui dan saling menerima di antara bagian-bagian yang berbeda-beda itu, atas dasar pemahaman bahwa bagian-bagian itu adalah sama-sama manifestasi penuh dari gereja yang satu, yaitu tubuh Kristus; (6) terpanggil untuk memberitakan Injil yang satu di wilayah yang satu pula; 6 (7) diwarnai oleh tindakan saling membantu dan saling menopang di antara bagian-bagiannya dalam kekurangan dan kelebihan masing-masing, untuk dapat mewujukan keseimbangan. Dalam perkembangan selanjutnya, akhirnya daftar tersebut dipadatkan menjadi 5 (lima) butir, karena butir 2 dan butir 4 adalah senyawa, yang menyangkut masalah wadah. Sedangkan butir 3 dapat disatukan dengan butir 5, dalam pemahaman bahwa ibadah bersama dan perayaan Perjamuan Kudus bersama baru sungguh-sungguh terjadi karena ada tindakan saling mengakui dan saling menerima. Lalu lahirlah Lima Ciri Pokok Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. (1) Satu Pengakuan Iman. (2) Satu wadah bersama. (3) Satu tugas Panggilan dalam satu wilayah bersama. (4) Saling mengakui dan saling menerima. (5) Saling menopang. 9. Pada Sidang BPL-DGI tahun 1981 lahirlah konsep tentang ”SIMBOL-SIMBOL KEESAAN”, yang meliputi 4 (empat) dokumen: (1) PIAGAM PRASETYA KEESAAN (2) PEMAHAMAN IMAN BERSAMA (3) PIAGAM SALING MENGAKUI DAN SALING MENERIMA (4) TATA GEREJA DASAR Penyusunan rancangan-rancangan naskah dan pembahasannya berlangsung secara intensif antara tahun 1981-1983. Sidang BPL 1983 di Rantepao – Tana Toraja, digunakan sepenuhnya untuk membahas dan mematangkan rancangan-rancangan naskah tersebut. Disusul kemudian di tahun 1984 selama 7 bulan dengan 6 Pertemuan Wilayah untuk membahas Rancangan Naskah hasil Rantepao, disamping pembahasan yang diselenggarakan oleh Gereja-gereja, DGW, Lembaga-lembaga Pembinaan dan Sekolah-sekolah Teologi. 7 10. Dalam proses pembahasan itulah terjadi perubahan-perubahan, bukan hanya menyangkut isi rancangan naskah, tetapi juga menyangkut jumlah dokumen dan pokok-pokok dari tiap dokumen. Piagam Prasetya Keesaan yang semula merupakan dokumen tersendiri kemudian ditiadakan dan ditampung dalam dokumen baru, karena dipandang sebagai Mukadimah bagi PBIK dan Tata Dasar. Konsep awal mengenai Simbol-simbol Keesaan mengalami perluasan, pembaruan dan peningkatan, sehingga akhirnya lahirlah LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA (LDKG) yang terdiri dari: I. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) II. Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) III. Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM) IV. Tata Dasar PGI (TD-PGI) V. Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana (MKTDD). Dari proses sejarah lahirnya LDKG ini, jelas bahwa keprihatinan gereja-gereja pada mulanya tertuju pada PBIK, PSMSM dan Tata Dasar. Dokumen I dan V, yaitu yang awal dan yang akhir, adalah hasil suatu proses yang baru kemudian dikembangkan, yang tentunya berdasarkan mandat Sidang Raya IX DGI Tomohon. PTPB sebenarnya sudah ada dalam kandungan, ketika Sidang Raya IX DGI Tomohon menetapkan ”Garis-garis Besar Haluan dan Kebijaksanaan di Bidang Membarui, Membangun dan Mempersatukan Gereja”. Demikian pula halnya dengan Kemandirian Teologi, Daya dan Dana sudah digarisbawahi oleh Sidang Raya IX DGI, Tomohon. 11. Cukup penting untuk kita pahami ialah urutan dokumen dalam LDKG ini, yang pada dasarnya mencerminkan pendekatan baru terhadap proses keesaan gereja di Indonesia. Pengalaman sejak tahun 1950 sampai tahun 1980 (selama 30 tahun) membuktikan bahwa pendekatan struktural kurang banyak membawa kemajuan. Pendekatan kreatif justru dimulai dengan hal-hal 8 konkrit, urgen dan aktual. Tanpa mempersoalkan terlebih dahulu masalah struktur organisasi, semua sepakat bahwa gereja diutus dan ditempatkan oleh Tuhan untuk melaksanakan panggilan yang sama di tengah-tengah masyarakat yang sama, yaitu di tengah-tengah proses sejarah Bangsa dan Negara yang sedang membangun. Dalam situasi tersebut gereja terpanggil untuk menerjemahkan syalom sebagai kelimpahan anugerah Allah, dengan terus-menerus menyatakan tanda-tanda syalom itu, sehingga dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi pembangunan. Tantangan-tantangan yang nyata, urgen dan aktual ini lebih memudahkan gereja-gereja menyepakati pokokpokok tugas panggilannya. Itulah sebabnya mengapa PTPB merupakan dokumen awal dalam LDKG. 12. Untuk mampu melaksanakan secara bersama-sama tugas panggilan bersama itu, dibutuhkan suatu pemahaman bersama mengenai pokok-pokok dasar iman kristiani. Tanpa adanya pemahaman bersama akan sulit melaksanakan tugas panggilan gereja secara bersama-sama. Visi yang jelas mengenai misi bersama seperti tertuang dalam PTPB memerlukan landasan yang sama. Berdasarkan pemahaman ini, maka gereja-gereja lebih terbuka dan lebih berani menyepakati pemahaman bersama iman Kristen dalam konteks nyata Indonesia. Dengan demikian, maka PBIK disepakati selaku Dokumen ke-2 dalam LDKG. Selaku dokumen ia belum merupakan Pengakuan Iman, tetapi adalah langkah awal menuju suatu Pengakuan Iman Bersama. 13. Tindakan berikut adalah menata sisi praktis kehidupan persekutuan antar-gereja. Dari pengalaman perjalanan bersama 30 tahun, maka hal-hal yang secara praktis sudah dilaksanakan bersama, demikian pula kemajuan-kemajuan yang telah dicapai selama ini, perlu dilembagakan. Dari pengalaman tersebut menjadi jelas bahwa secara praktis seluruh aspek kegiatan gereja telah tercakup, walaupun tidak 9 semuanya berjalan dengan mulus dan lancar. Misalnya pengakuan dan penerimaan jabatan gerejawi, perpindahan keanggotaan gereja, perayaan Perjamuan Kudus bersama, dan lain sebagainya. Dengan melembagakannya dalam satu Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM), maka langkahlangkah lebih maju untuk masa mendatang lebih terbuka dalam proses meningkatkan hubungan kreatif antar-Gereja Anggota menampakkan keesaan secara lebih nyata. Dokumen ke-3 ini sangat penting dan memiliki nilai historis yang sangat berarti, mengingat latar belakang warisan teologis yang beraneka ragam, namun mampu saling mengakui dan saling menerima dalam penyelenggaraan kehidupan persekutuan, kesaksian dan pelayanan gereja. 14. Dengan disepakatinya ketiga dokumen tersebut, semakin disadari pula betapa pentingnya wadah kebersamaan yang ada itu dilanjutkan, ditingkatkan dan diperbarui. Kesadaran akan kebutuhan untuk melanjutkan, meningkatkan dan membarui wadah kebersamaan ini lebih memudahkan dan memperlancar percakapan dan pengertian yang menyangkut sisi struktur organisasi. Dalam kerangka inilah kita memahami posisi Tata Dasar PGI sebagai Dokumen ke-4. Dalam segala kesederhanaannya, dokumen ini mencerminkan bahwa gerejagereja di Indonesia telah memasuki tahap keesaan yang lebih maju. 15. Untuk menopang proses kebersamaan dan keesaan gereja di Indonesia, disadari mutlaknya gereja-gereja di Indonesia itu mandiri di bidang teologi, daya dan dana. Terutama mengingat bahwa gereja-gereja berada di tengah-tengah dan adalah bagian integral dari bangsa Indonesia yang tengah mempersiapkan diri menuju tinggal landas, yang berarti menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta melaksanakan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan 10 Pancasila atas kemampuan sendiri. Dalam konteks itu kemandirian gereja menjadi semakin mutlak. Dari kesadaran ini lahirlah Dokumen ke-5; ”Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana”. 16. Dari catatan sejarah kelahiran LDKG ini dapatlah dipahami logika dari urutan atau sistematika LDKG. Ia tidak dimulai dengan segi struktur, karena bahaya salah paham akan suatu ”super struktur” dapat menjadi penghambat. Ia juga tidak diawali dengan pemahaman iman, karena keragaman latar belakang tradisi teologis yang banyak dapat memperlambat jalannya arak-arakan keesaan. LDKG bertolak dari pemahaman tentang ”apa tugas panggilan kita bersama”. Dari titik tolak ini langkah berikutnya terbukti lebih ringan. 17. Sidang Raya DGI/PGI X Ambon tahun 1984 telah menyepakati dan menerima Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG). Keputusan Sidang Raya X tersebut adalah hasil pergumulan yang lama dan luas, yang mencerminkan pandangan historis-teologis gereja-gereja kita di Indonesia. Ia adalah upaya gereja untuk memahami bersama apa yang tengah berkembang dalam masyarakat bangsa serta rekaan-rekaan tentang apa dan bagaimana perkembangan masyarakat itu selanjutnya dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang. Ia merupakan jawaban gereja atas persoalan-persoalan yang dihadapi dan yang akan dihadapi, karena gereja sadar bahwa gereja ikut memikul tanggungjawab agar cita-cita dan harapan Bangsa dan Negara dalam Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila itu dapat tercapai. Oleh karena itu, LDKG ini dengan segala kekurangan dan keterbatasannya merupakan dokumen yang bersejarah dan sangat penting bagi perjalanan bersama gereja-gereja di Indonesia. 11 18. Melalui pengalaman-pengalaman nyata dalam kehidupan persekutuan, kesaksian dan pelayanan, sesudah jangka waktu tertentu, kita tiap-tiap kali terpanggil untuk memahami kembali masalah-masalah dan tantangan-tantangan baru. Dengan memperhatikan dan berupaya memahami tantangan baru itu, kita setiap kali menanyakan kembali apa petunjuk serta kehendak Tuhan, melalui Firman dan atas bimbingan Roh Kudus. Dan berdasarkan petunjuk itu kita menetapkan langkah-langkah lebih lanjut untuk menerus-kan perjalanan bersama gerejagereja Tuhan melaksanakan tugas panggilan yang sama. 19. Penelusuran sejarah kelahiran LDKG ini sangat berguna untuk memahami dan menilai kekuatan serta sekaligus kelemahan LDKG seperti yang ditetapkan oleh Sidang Raya X DGI di Ambon 1984. Setelah 5 tahun pengalaman dalam kehidupan PGI dengan berpedoman pada LDKG 1984, gereja-gereja makin menyadari bahwa ada hal-hal yang perlu diperbaiki, dikoreksi dan diperbarui. Hal yang sangat mencolok dirasakan adalah bahwa keutuhan LDKG sebagai dokumen yang bulat, lengkap dalam keterkaitan yang tak terpisahkan, kurang tercermin. Artinya, kelima dokumen tersebut tidak sepenuhnya berada pada gelombang yang sama. Maksudnya adalah bahwa keakraban visi teologis dan pendekatan misiologis kurang merata dalam semua dokumen. Oleh sebab itu Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI memutuskan untuk menyampaikan Rancangan Usul Perubahan LDKG kepada Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989. Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989 kemudian memutuskan untuk menetapkan perubahan-perubahan LDKG sehingga memperoleh bentuknya seperti sekarang ini (lih. LDKG hasil keputusan Sidang Raya XI PGI Surabaya, 1989). 20. LDKG yang ditetapkan oleh Sidang Raya X PGI Ambon yang kemudian telah diperbarui oleh Sidang Raya XI PGI Surabaya, mempunyai makna yang sangat penting dalam sejarah gereja di 12 Indonesia dan juga dalam sejarah oikoumene di seluruh dunia. Beberapa hal patut kita catat: (1) LDKG merupakan dokumen keesaan gereja-gereja kita yang bersifat utuh dan menyeluruh (komprehensif), karena di dalamnya terkandung seluruh kekayaan pengalaman kita beroikoumene di Indonesia sejak DGI berdiri di tahun 1950. Selama ini dokumen-dokumen keesaan yang dihasilkan masih bersifat fragmentaris. Sekaligus, baik sebagai masingmasing bagian maupun sebagai suatu kesatuan yang utuh, LDKG telah dapat berfungsi sebagai dasar tumpuan yang strategis dan konseptual; yang dapat menjawab segala tantangan pokok yang aktual, yang biasanya jadi kerikilkerikil dan faktor penghambat bagi proses keesaan selama ini. Sehingga dengan penuh kearifan (dan bukan dengan pressure atau paksaan) kita bersama dapat memasuki sejarah keesaan dalam wadah baru PGI. (2) Upaya meningkatkan keesaan gereja dalam LDKG tidak terjebak dalam pendekatan organisatoris/kelembagaan, suatu hal yang selama ini lebih banyak menimbulkan berbagai masalah dan kendala dalam upaya mencapai ”tujuan DGI”. Tetapi gereja-gereja kita di Indonesia mengikuti pendekatan dari segi misi bersama, sebagaimana dinampakkan dalam bobot yang kuat dari PTPB ataupun dengan menempatkan posisi PTPB dalam kedudukan awal dan pengarah bagi dokumen-dokumen lainnya. (3) Kekuatan LDKG ialah bahwa ia merupakan Dokumen Keesaan dengan nilai teologis-eklesiologis, historis dan missiologis. a. Secara keseluruhan LDKG mencerminkan suatu pergumulan teologis dan eklesiologis (terutama PTPB, PBIK dan Tata Dasar) dalam upaya keesaan: membarui, membangun dan mempersatukan gereja-gereja kita. Hal ini terjadi karena kesadaran untuk meniti jalan keesaan di bawah tuntunan Firman Allah, selalu dikaitkan erat dengan konteks nyata gereja-gereja kita di Indonesia. 13 b. LDKG (terutama dimotori oleh PTPB dan upaya kemandirian di bidang teologi, daya dan dana) dengan sadar berusaha menguak tabir masa depan gerejagereja kita di Indonesia dan bagaimana seharusnya kita berpartisipasi dalam Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila menuju akhir abad ke20 dan menjelang awal abad ke-21. Perspektif historis jelas sekali mendapat tekanan yang kuat. Dengan demikian, LDKG secara keseluruhan menjadi modal dan tekad bersama gereja-gereja dalam memasuki masa depan bersama. Walaupun dokumen pertama (PTPB) memiliki sifat periodik, yaitu antara 2 Sidang Raya, namun sekaligus di sini dicerminkan secara jelas visi bersama yang menggapai masa depan yang jauh disertai pandangan misiologis yang konseptual. 21. Perbaikan Sistematika LDKG 1) Untuk memahami tiap-tiap dokumen, maka dalam LDKG 1984 terdapat ”kata pengantar” pada setiap dokumen, kecuali dokumen Kemandirian yang langsung dimulai dengan Titik Tolak Pemikiran. Jelasnya: - dalam PTPB digunakan istilah: Pengantar - dalam PBIK : Pendahuluan - dalam PSMSM : Pendahuluan - dalam Tata Dasar : Pembukaan Pengantar dalam PTPB merupakan rumusan yang terpanjang, karena dimaksudkan sekaligus merupakan pengantar untuk dokumen-dokumen lainnya. Dengan demikian bagaimanapun juga tak dapat dihindari semacam tumpang-tindih dalam semua Pengantar tersebut. Juga agak sukar dipahami mengapa Kata Pengantar umum yang juga menjelaskan dokumen-dokumen lainnya ditempatkan dalam PTPB. 14 2) Kelemahan tersebut kemudian diperbaiki oleh Sidang Raya XI PGI di Surabaya, dengan: a. Membuat suatu Pengantar Umum untuk keseluruhan LDKG secara utuh dan menempatkannya secara terpisah dari semua dokumen. Istilah yang dipakai adalah PRASETYA KEESAAN, yang mengingatkan kita kepada usul BPL-DGI tahun 1981. b. Selanjutnya, di awal setiap dokumen dibuat satu pasal yang menggantikan ”pengantar/pendahuluan” dengan judul DASAR PEMIKIRAN. Ini tidak berlaku bagi Tata Dasar yang tetap memakai istilah Pembukaan. Dengan adanya perbaikan ini, maka keterikatan serta saling keterkaitan dalam hubungan yang hidup antar-kelima dokumen sebagai satu kesatuan naskah yang utuh, lebih terlihat. 22. Dalam SR XII PGI di Jayapura tahun 1994, naskah LDKG disempurnakan seperlunya. Hampir tidak ada perubahan signifikan, kecuali bahan naskah PTPB diaktualisasikan dengan memperhatikan tema dan subtema SR tersebut. 23. SR XIII PGI Palangka Raya tahun 2000 menerima Dokumen Keesaan Gereja (DKG) yang diperbarui, yang di dalamnya ditegaskan bahwa GKYE sudah harus diwujudnyatakan selambat-lambatnya pada SR XIV PGI (2004-2005). Untuk mencapai itu gereja-gereja sudah mesti berada dalam kondisi siap dengan melaksanakan 4 agenda: Dasawarsa Mengatasi Kekerasan, Masyarakat Sipil, Derajat Konektivitas, dan Akuntabilitas Gereja. DKG ini berbeda dengan LDKG yang lalu dengan menempatkan Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) pada urutan pertama, didahului dengan suatu penjelasan mengenai Pemikiran Dasar. Demikian juga tidak lagi dipakai istilah ”Lima” dengan pemahaman bahwa 15 keseluruhan dokumen-dokumen ini mesti dilihat secara holistik. 24. SR XIV PGI, 29 November – 5 Desember 2004 di Wisma Kinasih, Bogor menilai bahwa gereja-gereja ternyata belum dalam kondisi siap melaksanakan 4 agenda tersebut, yang juga berarti belum dalam kondisi siap mewujudnyatakan GKYE. Itu tidak berarti bahwa kita meninggalkan cita-cita perwujudan GKYE. Namun SR memahami bahwa wujud keesaan gereja mestinya tidak saja dinilai dari keesaan strukturalorganisatoris, tetapi juga fungsional-organisme. Ini berarti bahwa keesaan kita adalah keesaan in action, dalam arti bahwa justru dalam melaksanakan aksi bersama keesaan kita makin lama makin nyata. Tetapi memang aksi bersama itu mesti ditempatkan dalam kerangka (frame) visi dan misi bersama, yang setiap lima tahun sekali diperbarui dengan diinspirasikan oleh tema dan subtema Sidang Raya. Maka SR kembali menegaskan pelaksanaan PTPB sebagai agenda bersama gereja-gereja dalam lima tahun mendatang. Dalam konteks itu, PTPB ditempatkan pada urutan pertama, tanpa mengabaikan keyakinan bahwa melakukan aksi bersama itu, justru merupakan wujud perjumpaan Allah dengan manusia (baca: gereja-gereja). A. Mengenai Dokumen PTPB 25. PTPB adalah dokumen pertama yang mengawali dokumendokumen lainnya. Dokumen ini menempati posisi yang sangat penting dan strategis, karena dokumen ini memuat hal-hal dasariah mengenai: a. pemahaman bersama gereja-gereja tentang tugas panggilan (misi) bersama; b. konteks nyata tatkala gereja ditempatkan dalam suatu realisme yang berpengharapan. Dalam kerangka ini maka PTPB dapat dilihat sebagai titik tolak dan sekaligus pemberi arah bagi ke-4 dokumen 16 berikutnya, khususnya dalam upaya membangun dan mempersatukan gereja. membarui, 26. Dalam pelaksanaan tugas panggilan bersama itulah maka PTPB berfungsi sebagai ”kerangka dasar bersama gerejagereja anggota PGI, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama” dalam rangka melaksanakan tugas panggilan bersama untuk mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil society) Indonesia yang mandiri, berkeadilan, menghormati hak-hak asasi manusia, berkedamaian dan saling mengasihi (PTPB butir 8). Ini berarti bahwa semua Gereja Anggota mempunyai tugas panggilan yang satu dan sama, yang dijalankan secara bersama-sama dan juga secara sendiri-sendiri sesuai dengan kondisi dan situasi masing-masing, dengan menggunakan PTPB sebagai kerangka dasar bagi suatu strategi pokok. 27. PTPB ini bukan sekadar dokumen yang berisi program makro gereja-gereja di Indonesia, tetapi dokumen ini memberikan visi teologis yang jelas sebagai hasil pergumulan gereja-gereja secara bersama. Secara padat PTPB memberikan rumusan yang sangat alkitabiah mengenai tugas panggilan bersama. Juga PTPB ini dapat dilihat sebagai dokumen misiologi gereja-gereja di Indonesia, karena ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan paling pokok, antara lain: - apa arti Injil yang diberitakan kepada segala makhluk; - cara-cara bagaimanakah Injil itu diberitakan kepada segala makhluk; - siapa yang harus memberitakan Injil. Demikian pula jelas tampak bahwa kesadaran kontekstual sangat intensif dengan melihat pergumulan bangsa dalam proses memasuki era reformasi yang di dalamnya masyarakat berkeadaban (civil society) diwujudkan. 17 28. PTPB mempunyai batasan waktu. Dokumen ini memuat garisgaris besar program makro untuk jangka waktu 5 tahun: 2009-2014. Secara singkat-padat hal itu dirumuskan dalam Visi dan Misi PGI 2009-2014 sebagaimana diterima oleh Sidang Raya XV PGI (lihat halaman 39). Beberapa hal penting yang merupakan muatan penting PTPB 2009-2014: a. Gereja-gereja mestinya makin membuka diri kepada sesama, tanpa memandang suku, agama, ras, etnis dan kepentingan. Itulah wujud pelaksanaan tema Sidang Raya XV: “Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang” (Mz. 145:9a). b. Melanjutkan berbagai upaya untuk mewujudkan dan memperkuat masyarakat berkeadaban (civil society) di Indonesia. Upaya-upaya ini makin dirasakan pentingnya dewasa ini, ketika partai-partai politik dan lembagalembaga negara makin memperlihatkan kecenderungan yang hanya mengarahkan perhatian kepada kepentingan partai, golongan dan kelompok. c. Tetap berjuang bersama berbagai elemen-elemen bangsa lainnya menegakkan hukum yang berkeadilan, memelihara perdamaian dan lingkungan hidup dengan mewujudkan suatu masyarakat demokratis yang substansial. Ini berarti, nilai-nilai demokrasi mestinya makin dikedepankan ketimbang sekadar memenuhi tuntutan-tuntutan prosedur belaka. d. Menegaskan kembali bahwa kualitas manusia dan masyarakat, sumber daya manusia dan lapangan kerja serta masalah kemiskinan, perlu ditanggulangi secara bersama-sama oleh semua golongan masyarakat. e. Tentang pertumbuhan gereja, menekankan kembali pembinaan kualitas orang-orang beriman sehingga hidup secara bertanggungjawab di dalam masyarakat Indonesia yang makin majemuk ini. 18 29. Tugas Panggilan Gereja yang dirumuskan oleh PTPB adalah tugas panggilan yang tidak pernah berubah di semua tempat dan dalam segala zaman, untuk: (1) memberitakan Injil kepada segala makhluk (Mrk. 16:15); (2) menampakkan keesaan mereka seperti keesaan Tubuh Kristus dengan rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh (1 Kor. 12:4); dan (3) menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakkan keadilan (Mrk. 10:45; Luk. 4:18; 10:25-37; Yoh. 15:16). 30. Tiga segi dari tugas yang satu itu dirumuskan oleh PTPB secara padat dalam Bab I. PEMAHAMAN TUGAS PANGGILAN GEREJA, terdiri dari 4 butir. Bab ini hendak mengatakan: (a) bahwa keesaan itu adalah sesuatu yang dinamis dan dilihat dalam kerangka membarui, membangun dan mempersatukan gereja. Membarui, bukan sekadar asal baru, tetapi agar gereja semakin mampu mewujudkan apa yang dikehendaki oleh Tuhan melalui Firman-Nya, sehingga gereja semakin mampu secara responsif dan tepat menjawab tuntutan dan kebutuhan zaman yang selalu berkembang dan berubah. Membangun, bukan sekadar memperbanyak dan mempercantik gedung gereja atau pembangunan fisik lainnya; juga tidak sekadar menambah jumlah anggota gereja. Membangun dimaksudkan untuk terus-menerus bertumbuh ke arah Kristus (Ef. 4:13-16), merangsang untuk memanfaatkan secara kreatif semua karunia yang Tuhan sediakan baik dalam diri warga, dalam gereja dan di sekitarnya. Mempersatukan, sekaligus berarti mengajak gereja menyusun program-program yang menunjang upaya pewujudan Gereja yang Esa, tidak melakukan hal-hal yang langsung atau tidak langsung menghambat atau bertentangan dengan tujuan keesaan. Tersirat di sini kesediaan untuk tidak memutlakkan jati 19 diri masing-masing, tetapi menempatkannya dalam jati diri bersama. (b) bahwa kesaksian dan pekabaran Injil itu adalah hakikat panggilan gereja dan sebab itu disampaikan kepada segala makhluk (Mrk. 16:15). Dalam hubungan ini cara-cara pemberitaan itu hendaklah bijaksana dengan memperhatikan keadaan di sekitar dan harus pula sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang beradab. Yang bersaksi dan mengabarkan Injil itu adalah semua warga gereja, dan oleh sebab itu semua warga perlu diperlengkapi untuk melaksanakan tugas kesaksian itu dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan karunia dan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. (c) bahwa partisipasi dan pelayanan dalam memasuki era reformasi yang di dalamnya masyarakat berkeadaban (civil society) diwujudkan bukan dimaksudkan mengganti pelayanan karitatif yang biasa dilakukan oleh gereja, melainkan melengkapinya. Berpartisipasi dan melayani dalam memasuki era ini adalah bagian dari tugas pokok gereja untuk mengelola ciptaan Tuhan, untuk ikut menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera bagi semua orang dan sebagai antisipasi terhadap kedatangan Kerajaan Allah, yaitu kegenapan ”langit baru dan bumi baru di mana terdapat kebenaran” (2 Ptr. 3:13). Ada penekanan-penekanan khusus, yaitu menyangkut pembangunan desa yang dianggap penting bagi pembangunan nasional, juga mengingat sebagian besar rakyat dan jemaat ada di pedesaan. Demikian pula perhatian khusus diberikan kepada penduduk kota yang tercecer, serta sumber daya manusia dan masalah-masalah lapangan kerja, penegakan HAM, demokratisasi di berbagai bidang. 20 B. Mengenai Dokumen PBIK 31. Secara historis PBIK merupakan salah satu dokumen sentral yang sejak perjalanan bersama gereja-gereja dalam DGI tahun 1950 menjadi bahan bahasan yang terus berkelanjutan. Pokok mengenai Pengakuan Iman cukup lama menjadi perhatian gereja-gereja, khususnya dalam upaya melangkah mencapai tujuan DGI: Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Pergumulan bersama itu kemudian melahirkan konsep PEMAHAMAN IMAN BERSAMA (PIB) yang dibahas dalam Sidang Raya VI 1967 di Makassar. Konsep naskah PIB tersebut meliputi pokok-pokok kepercayaan tentang: Allah yang Esa Yesus Kristus Roh Kudus Gereja Firman Allah Sakramen Jabatan Tertib Gereja Dosa dan Keampunan Dosa Pengharapan Kristen, dan Pemerintah Ternyata diperlukan waktu yang cukup panjang, yaitu 17 tahun, sebelum gereja-gereja berani mengambil langkah untuk menyepakati PEMAHAMAN BERSAMA IMAN KRISTEN (PBIK) pada Sidang Raya X DGI 1984 di Ambon. 32. Sebagai dokumen ia belum dipandang sebagai Pengakuan Iman Bersama, tetapi sebagai langkah awal menuju penyusunan Pengakuan Iman Bersama. Sebagai naskah teologis PBIK ini mempunyai kedudukan dan makna strategis dalam hubungannya dengan dokumen-dokumen lainnya. Dengan menyepakati PTPB sangat dirasakan pentingnya suatu landasan gerak yang sama; demikian pula dalam penyeleng- 21 garaan persekutuan antar-gereja (PSMSM) dan menapak kebersamaan dalam satu wadah (TATA DASAR PGI) serta upaya menuju keesaaan yang utuh dan menyeluruh (Saling Menopang di Bidang Daya dan Dana) sangat dibutuhkan pemahaman yang sama tentang Iman Kristen. 33. Tidak kurang pentingnya untuk dicatat, bahwa gereja-gereja yang tergabung dalam PGI itu berlatar belakang berbagai tradisi teologis yang sangat beragam. Termasuk di sana adalah Gereja yang mempunyai tradisi yang tidak begitu mementingkan rumusan-rumusan konfesi, karena menganggap terlalu mengikat semua Gereja itu, telah berhasil menyepakati rumusan Pemahaman Bersama Iman Kristen. Dari rumusan PBIK ini tampak bagaimana keragaman tradisi telah ikut mewarnai PBIK dan muncul bersama-sama dalam suatu toleransi internal yang sehat. Dapat dikatakan bahwa dokumen ini dengan segala kelemahan dan keterbatasannya mampu mengungkapkan pokok-pokok kepercayaan yang alkitabiah, yang dikaitkan dengan tradisi reformatoris dan berhasil menciptakan cukup ruang bagi berbagai tradisi untuk saling melengkapi. 34. PBIK seperti yang telah diperbarui oleh Sidang Raya XI PGI tahun 1989 di Surabaya memuat pokok-pokok sebagai berikut: DASAR PEMIKIRAN: I. TUHAN ALLAH II. PENCIPTAAN DAN PEMELIHARAAN III. MANUSIA IV. PENYELAMATAN V. KERAJAAN ALLAH DAN HIDUP BARU VI. GEREJA VII. ALKITAB 35. PBIK bersifat pernyataan, dalam arti bahwa gereja-gereja menyatakan hal-hal menyangkut pokok-pokok kepercayaan 22 Kristen yang telah dapat mereka sepakati pemahamannya secara bersama-sama. Itu berarti bahwa mungkin masih ada pokok-pokok tentang Iman Kristen yang masih belum dapat/sampai pada pemahaman yang sama. Oleh sebab itu, dapat dimengerti apabila dalam PBIK terdapat kekurangan ataupun ketimpangan. Yang penting adalah, agar apa yang dapat kita katakan bersama itu kita nyatakan dan kita jadikan pegangan bersama; untuk dijadikan landasan dan sumber motivasi teologis dalam melanjutkan perjalanan bersama sebagai gereja yang diutus ke dalam dunia. 36. Kalau kita bandingkan pokok-pokok dalam konsep naskah PIB 1967 (12 butir) dengan PBIK 1989 (8 butir) tampaknya ada hal-hal yang sengaja tidak dimasukkan. Hal ini disebabkan di satu pihak beberapa pokok akan ditampung dalam PSMSM dan di pihak lain ada pokok-pokok yang (seperti: Sakramen, Jabatan, Tertib gereja) langsung dimasukkan ke dalam pokok yang ada (seperti: Pemerintah dimasukkan kedalam Bab IV: Penyelamatan). Yang jelas bahwa gereja-gereja dalam PBIK ini tidak mengikat/ membatasi diri dalam pola Pengakuan Iman Rasuli (Allah Bapa; Yesus Kristus; Roh Kudus dan Pengharapan Kristiani), tetapi menyentuh pokok-pokok iman yang menopang kehadiran gereja di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Sebab itu PBIK juga berbicara tentang kekuasaan, pemerintah, dan hal-hal yang menyentuh masalah adat dan kebudayaan, ilmu dan teknologi, dan lain sebagainya. 37. PBIK mengungkapkan bagaimana gereja-gereja di Indonesia memahami imannya di tengah-tengah kenyataan kehidupan dan menjawab tantangan konkret dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konteksnya adalah masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika itu. Sebagai contoh: PBIK ini mulai dengan pokok: TUHAN ALLAH. Butir 1 langsung berbicara tentang keesaan Allah: ”TUHAN Allah 23 kita, TUHAN itu esa” (Ul. 6:4). Tidak ada Allah selain Dia (Kel. 20:3; Ul. 5:7). Dengan rumusan ini PBIK hendak menjernihkan banyak salah paham yang menuduh gereja mempercayai tiga Tuhan dan menyangkal keesaan Allah. Dengan pernyataan ini gereja berdialog dengan dunia dimana ia ditempatkan. C. Mengenai Dokumen Oikoumene Gerejawi 38. Salah satu ciri keesaan gereja ialah bahwa gereja-gereja dari berbagai bentuk dan tradisi rohani dapat saling mengakui dan saling menerima sebagai ungkapan dari gereja yang esa, kudus, dan am. Gereja yang satu mengakui dan menerima gereja yang lain sebagai sama-sama gereja Tuhan yang penuh. Mengingat kemajemukan corak dan bentuk bergereja serta pola beribadah, maka diterimanya dokumen ini, yang di dalamnya dokumen PSMSM dan KTDD yang dulu tercakup patut disyukuri dengan sukacita. 39. Dokumen ini pada dasarnya tidak lain daripada pelembagaan praktik-praktik kehidupan persekutuan antar-gereja yang telah berlangsung selama 54 tahun sejak tahun 1950 dan sekaligus berfungsi sebagai daya konstruktif dan daya fasilitatif bagi semua usaha untuk memanifestasikan keesaan dan kebersamaan gereja secara operasional. Kenyataan tersebut secara jelas dikatakan dalam Konsep Dasar Keesaan Gerejawi, yang antara lain menyatakan: Kami menyadari dan mengakui akan kemustahilan pewujudnyataan GKYE demi dunia itu. Perpecahan dan kesendiri-sendirian dari gereja-gereja telah menjadi kendala mendasar bagi keberadaan gereja sebagai gereja dan mengaburkan, melemahkan serta menumpulkan kesaksian dan pelayanan kami. Namun semakin dalam kami menyadari 24 kemustahilan itu, semakin dalam pula rasa heran dan syukur kami atas kasih dan kuasa TUHAN yang telah sudi melakukan yang mustahil itu menjadi mungkin dan menjadi kenyataan dengan penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya, sehingga kemustahilan itu semakin mendekatkan kami kepada TUHAN dan semakin bergantung hanya kepada-Nya. Bahkan kami percaya TUHAN sedang terus melakukan pekerjaan menyatukan gereja TUHAN demi persatuan dan kesatuan umat manusia dengan melawan segala macam bentuk kekerasan yang memecah belah dan merusak manusia, agar gereja dan dunia ini menjadi tempat kediaman TUHAN dan tempat kediaman manusia. 40. Dokumen ini pada hakikatnya bermaksud pula untuk sekaligus meningkatkan secara serius hubungan kreatif antar-gereja anggota. Jati diri masing-masing gereja tetap diakui sepenuhnya, namun kini ia ditempatkan dalam relasi kebersamaan dengan jati diri gereja lainnya. Perbedaan diterima dan dihormati, tetapi tidak ditonjolkan dalam kedudukan yang kontradiktif, melainkan ditempatkan dalam kedudukan keragaman yang saling memperkaya. Hal ini juga dicantumkan secara rinci dalam PTPB butir 31.f.1.: Identitas tiap-tiap gereja tetap dihormati, tetapi dilihat dalam rangka identitas bersama sebagai Gereja Kristen di Indonesia dengan pengertian bahwa identitas bersama dalam Kristus adalah identitas utama yang menggarami identitas sendiri-sendiri. 41. Dengan diterimanya Dokumen ini, telah menjadi jelas langkahlangkah yang harus diambil di setiap gereja dalam menopang dan meningkatkan perwujudan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. 25 Termasuk pula langkah-langkah apa yang masih perlu ditingkatkan, dan hal-hal apa yang seharusnya perlu dihindari yang dapat menghambat proses mengesa itu. 42. Dokumen ini erat sekali berkaitan dengan penyelenggaraan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan gereja. Oleh sebab itu, PSMSM dalam LDKG 1984, yang dirasakan kurang lengkap menyentuh seluruh segi persekutuan, kesaksian, dan pelayanan telah disempurnakan dalam Sidang Raya XI 1989; dengan menambahkan butir diakonia, pekabaran Injil, dan penggembalaan. 43. Dokumen ini mencakup seluruh segi penyelenggaraan kehidupan bergereja, yang meliputi pokok-pokok: a. Konsep Dasar Keesaan Gereja b. Saling mengakui dan saling menerima 1) Keanggotaan Gereja dan Perpindahan/Penerimaan Keanggotaan 2) Diakonia 3) Pemberitaan Firman 4) Pekabaran Injil 5) Baptisan Kudus 6) Perjamuan Kudus 7) Penggembalaan 8) Disiplin Gereja 9) Pengajaran Pokok-pokok Iman Kristen 10) Pemberkatan Perkawinan Gerejawi/Penguburan/ Pengabuan 11) Pelayan/Pejabat Gereja c. Saling Menopang di Bidang Daya dan Dana Setiap pokok diawali dengan kata ”kami mengakui dan menerima” dan diakhiri dengan semacam janji, yang tertuang dalam kalimat: ”Oleh karena itu, kami ...” 26 Ini menunjukkan kesungguhan gereja-gereja untuk secara serius melanjutkan dan meningkatkan kebersamaan antargereja. 44. Perlu pula dicatat kemajuan yang dicapai dalam rumusan PSMSM 1989, bila dibandingkan dengan rumusan 1984, khususnya sehubungan dengan pokok Baptisan. Pada hakikatnya rumusan 1984 tetap dipertahankan, dengan penambahan kecil pada butir 3 yang menjadi dasar untuk mengambil kesepakatan untuk tidak melakukan pembaptisan ulang. Kalimat tambahan itu berbunyi: ”Kepada mereka yang telah dibaptis dalam pengertian dan cara yang demikian, dikaruniakan Roh Kudus oleh Allah dalam Kristus yang akan terus memimpin dan membarui (Kis. 2:38; Rm. 8:1; 1 Kor. 12:7-11; 2 Kor. 5:17; Kol. 2:12).” Ini adalah sangat penting, karena dalam rumusan 1984 tidak ada kesepakatan untuk tidak mengadakan pembaptisan ulang, walaupun diharapkan bahwa dengan pengakuan dan penerimaan akan baptisan dari masingmasing gereja, maka baptisan ulang tidak akan terjadi. Kesepakatan dalam PSMSM 1989 ini dapat dianggap sebagai langkah maju yang sangat penting. Rumusan itu berbunyi: ”Oleh karena itu, di dalam menerima perpindahan keanggotaan gereja dari warga gereja di lingkungan PGI, kami tidak melakukan pembaptisan ulang, melainkan hanya mengumumkannya di dalam kebaktian jemaat.” 45. Kehadiran Oikoumene Gerejawi sebagai salah satu dokumen dari DKG menandai lahirnya tahap baru dalam perjalanan keesaan. Kebhinekaan tradisi denominasi ataupun organisasi gereja tidak lagi dipertentangkan satu sama lain, tetapi dilihat sebagai kekayaan manifestasi dari gereja-gereja yang satu. Pengakuan ini adalah kenyataan positif sebagai kondisi yang 27 sehat untuk melanjutkan aksi bersama dalam penyelenggaraan persekutuan, kesaksian dan pelayanan bersama, menuju perwujudan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. 46. Mengenai Saling Menopang di Bidang Daya dan Dana mestinya terus-menerus diperkembangkan dengan memanfaatkan semua kemampuan yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya secara bebas dan bertanggung jawab bagi persekutuan, pelayanan dan kesaksian. D. Mengenai Dokumen Tata Dasar 47. Sebagai konsekuensi logis dari kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam kembara keesaan gereja di Indonesia selama 30 tahun lebih, terutama dengan diterimanya PTPB, PBIK, dan PSMSM, maka wadah kebersamaan oikoumenis dalam wujud Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) sudah waktunya pula untuk ditingkatkan dan diperbarui. Keyakinan ini pulalah yang melahirkan dokumen ke-4 LDKG, yaitu Tata Dasar PGI. 48. Sejak lahirnya DGI 1950 sampai diterimanya Tata Dasar PGI tahun 1984, maka seperti lembaga-lembaga lainnya, kita menggunakan ANGGARAN DASAR dan ANGGARAN RUMAH TANGGA, untuk peraturan dasar yang digunakan menata kehidupan lembaga oikoumenis ini. Sementara itu dalam gereja pada umumnya dipakai istilah TATA GEREJA (Church Order atau Kerk Orde). Memang Alkitab tidak memuat himpunan peraturan yang lengkap dan siap pakai, tetapi memberikan prinsip-prinsip yang jelas. Gereja hanya menggali, menghimpunkannya dan kemudian menatanya menjadi peraturan yang operasional untuk mengatur kehidupan bergereja. Kemajuan-kemajuan telah cukup banyak tercapai selama lebih 3 dasawarsa ini, baik dalam usaha-usaha/kegiatankegiatan bersama, maupun dalam kesadaran dan pemikiran 28 yang dinamis. Dengan landasan itu lahirlah pernyataan kesepakatan ”untuk meningkatkan DGI dalam satu lembaga gerejawi dengan nama PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA, disingkat PGI” (Pembukaan Tata Dasar PGI). Dalam pengertian gerejawi itu pulalah maka dipakailah istilah TATA DASAR dan bukan Anggaran Dasar. 49. Menyadari sepenuhnya bahwa wadah kebersamaan oikoumenis yang selama ini dikenal sebagai Dewan Gerejagereja di Indonesia (DGI) pada hakikatnya di satu pihak, sudah jauh lebih maju daripada sekadar tempat bertemu, berkonsultasi dan saling bertukar pengalaman. Di pihak lain masih belum dicapai tahap untuk dapat diproklamasikan sebagai Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Karena itu disepakatilah nama PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI). Perubahan ini bukan hanya sekadar perubahan nama, tetapi sekaligus pengakuan akan hakikatnya yang baru; yaitu sebagai lembaga gerejawi yang sudah kian menggereja walaupun belum sepenuhnya menjadi gereja. 50. Kata ”Persekutuan” itu memberi makna yang baru. Kata ini adalah bahasa Alkitab, bahasa rohani yang mengandung makna yang dalam dan menyentuh segi eksistensial, internal dan spiritual. Persekutuan ini dihayati dan dinampakkan melalui pelaksanaan PTPB, penghayatan PBIK, kesediaan dan kemauan untuk mempraktikkan PSMSM dan tekad serta upaya mengusahakan kemandirian teologi, daya, dan dana. 51. Kata ”DEWAN” lebih memberi kesan himpunan wakil-wakil gereja; masing-masing dalam kepelbagaian jati diri yang kuat. Sedangkan ”PERSEKUTUAN” lebih mengesankan adanya keterkaitan lahir dan batin antara Gereja Anggota, yang di dalamnya jati diri yang beragam itu ditempatkan di bawah identitas bersama sebagai Gereja Kristus di Indonesia; dan 29 identitas bersama dalam Kristus ini adalah identitas utama yang menggarami identitas sendiri-sendiri itu. Dengan Persekutuan ini gereja-gereja di Indonesia memasuki era baru, masa depan bersama! 52. Dibandingkan dengan Anggaran Dasar DGI, maka dalam Tata Dasar PGI tampak beberapa ketentuan yang menunjuk pada hakikat barunya sebagai persekutuan, di antaranya dapat kita catat: (1) Tujuan Dalam Anggaran Dasar DGI tujuan dirumuskan: ”Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”. Dalam Tata Dasar PGI, tujuan dirumuskan: ”Mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”. Rumusan ini hendak mengukuhkan pengakuan bahwa pada hakikatnya gereja itu sudah esa, namun keesaan itu harus lebih ditampakkan dalam wujud yang lebih nyata. Jelasnya, bukannya mencari sesuatu yang baru sama sekali dan yang belum pernah ada, melainkan yang sudah ada masih perlu dicarikan wujudnyatanya yang lebih jelas, lebih kelihatan, agar menjadi kesaksian bagi dunia. Dengan demikian maka dua kecenderungan yang saling berlawanan, yaitu yang menekankan keesaan rohani dan yang menekankan keesaan institusional memperoleh kelegaan yang wajar. (2) Dalam pasal mengenai Penerimaan Anggota (pasal 8), disebutkan salah satu syarat penerimaan menjadi anggota ialah kesediaan mencantumkan ”Anggota PGI” di belakang nama gereja yang bersangkutan (ayat 2.e). Dilihat sepintas lalu tidak punya makna apa-apa. Padahal di balik yang tampaknya sepele itu, terkandung maksud dan makna yang luas dan dalam. Dengan tindakan ini dimaksudkan agar keesaan yang sudah tercapai ini banyak dilihat dan diketahui oleh dunia. 30 Jadi dengan upaya kecil tapi sederhana itu, proses mewujudkan keesaan secara lebih kelihatan itu berjalan terus. (3) Kewajiban dan Hak Gereja Anggota Dalam pasal mengenai Kewajiban dan Hak Gereja Anggota (Pasal 9), di ayat disebut: ”Gereja anggota bertanggungjawab mengenai keputusan-keputusan yang telah disepakati bersama, dan berkewajiban untuk melaksanakannya termasuk dalam melaksanakan dokumen-dokumen keesaan gereja.” Anak kalimat (”dan berkewajiban untuk melaksanakannya”) tidak tercantum dalam Anggaran Dasar DGI. Rumusan tadi memberi petunjuk bahwa ada ikatan yang kuat dan akad yang tangguh untuk melaksanakan semua keputusan yang diambil bersama. Jadi ada semacam kewajiban moral dan etika yang mengikat semua Gerejagereja Anggota. (4) Anggota Mitra Unsur baru yang tidak terdapat baik dalam Anggaran Dasar DGI maupun dalam Tata Dasar-PGI tahun 1984, ialah kehadiran Anggota Mitra dalam Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI (Pasal 13 ayat 2). Yang dimaksud dengan Anggota Mitra ialah: - Para wakil dari unsur wanita, pemuda, dan warga gereja yang bukan pendeta. Keanggotaan kelompok ini dalam MPL-PGI merupakan kemajuan yang cukup penting. Ia adalah respons terhadap butir 45 PTPB yang menyatakan bahwa: ”Kemajuan dalam persekutuan gereja dengan mengusahakan kemandirian di bidang teologi, daya dan dana akan tercapai jika semua anggota gereja (laki-laki, perempuan, pemuda, remaja, anak-anak) ikut-serta 31 secara aktif, kreatif, dan bertanggungjawab dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Diperlukan juga keikutsertaan semua lembaga gerejawi dan lembaga keumatan, seperti: sekolah-sekolah teologi, pusat-pusat pembinaan warga-gereja, lembaga-lembaga pendidikan umum, dan sebagainya. Selama ini kelompok yang digolongkan sebagai Anggota Mitra tadi hanya diperlakukan sebagai pelaksana kegiatan, dan tidak atau sangat kurang terlibat dalam seluruh proses dan perencanaan sampai kepada pelaksanaan kegiatan. Dengan adanya ketentuan dalam Tata Dasar PGI ini maka boleh dikatakan seluruh unsur yang ada dalam gereja diikutsertakan dalam seluruh kegiatan bersama. 53. Sistematika Tata Dasar PGI Berbeda dengan Anggaran Dasar-PGI, maka Tata Dasar PGI disusun secara agak diperluas: (1) Pembukaan, sebagai suatu mukadimah disertai dengan 2 butir penjelasan yang bersifat fragmentaris, yaitu: - penjelasan mengenai Pembukaan yang menguraikan alasan-alasan prinsipal perubahan dari Dewan menjadi Persekutuan dan; - penjelasan tentang Tujuan PGI dalam Pasal 4. (2) Batang Tubuh, yang terdiri dari XII Bab dan 27 pasal. (3) Penjelasan Tata Dasar PGI: PEMBUKAAN (1). (4) Penjelasan Tentang Pasal 4 Tata Dasar PGI (2). Baik Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasan merupakan kesatuan naskah yang utuh dan otentik. 32 PRASETYA KEESAAN 1. Segala puji dan syukur kami persembahkan bagi-Mu, yang oleh karena kasih-karunia-Mu yang ajaib telah memungkinkan hadirnya suatu umat percaya di Indonesia, sehingga ”kami yang dulunya bukan umat dan hidup dalam kegelapan, kini dapat menjadi umat-Mu yang hidup dalam terang-Mu yang ajaib, serta terpanggil untuk memberitakan perbuatanperbuatan yang besar” (bnd. 1 Ptr. 2:9-10). 2. Menyadari hal ini, maka kami mengaku bahwa perbuatanperbuatan Tuhan yang besar itulah yang telah menghadirkan gereja-gereja di Indonesia yang tersebar di pelbagai wilayah bumi Indonesia dalam momentum-momentum serta liku-liku alur sejarah yang berbeda-beda dan bahwa perbuatan Tuhan yang besar itu pulalah yang kemudian mempersatukan kepelbagaian sejarah gereja-gereja kami dan menempatkan gereja-gereja-Mu di Indonesia secara bersama-sama dalam rangka pelaksanaan tugas panggilan orang-orang percaya di segala abad dan tempat untuk menjadi saksi-saksi-Mu yang dimulai dari Yerusalem, seluruh Yudea, Samaria sampai ke ujung-ujung bumi (bnd. Kis. 1:8). 3. Kami mengaku pula bahwa dalam rangka menyatukan kepelbagaian sejarah gereja-gereja di Indonesia, maka melalui Roh-Mu yang Kudus, Tuhan sendirilah yang menggerakkan dan menuntun gereja-gereja-Mu di Indonesia untuk dengan sadar memuarakan sejarah sendiri-sendiri ke dalam sejarah bersama yang diawali dengan lahirnya wadah keesaan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada hari-hari menyongsong perayaan Pentakosta tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta; kemudian untuk melangkah lebih maju lagi dalam sejarah bersama tersebut 34 tahun kemudian dalam wadah keesaan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang lahir dalam Sidang Raya X DGI/PGI di Ambon, pada tahun 1984. 33 4. Adapun peningkatan DGI menjadi PGI dalam Sidang Raya X di Ambon adalah ungkapan kesadaran dan pemahaman kami gereja-gereja-Mu akan hakikat kami sebagai gereja Tuhan yang Esa di Indonesia dan yang terpanggil terus-menerus untuk semakin penuh mengungkapkan keesaan tersebut di Indonesia. Arti peningkatan dari DGI menjadi PGI berkisar terutama pada perkataan ”Dewan” yang diganti dengan perkataan ”Persekutuan”. Kata ”Persekutuan” lebih bersifat gerejawi dan bernada keakraban dibandingkan dengan kata ”Dewan”. Jadi, penggantian kata ”Dewan” menjadi ”Persekutuan” di sini hendak mengungkapkan bahwa sejak DGI didirikan tahun 1950 telah terjadi peningkatan dalam perjalanan kami bersama gereja-gereja-Mu menuju perwujudan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia baik dalam kesadaran dan pemikiran bersama maupun dalam usaha-usaha bersama. Jadi nama ”Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia” hendak menggarisbawahi bahwa kami gereja-gereja-Mu telah mencapai tahap perjalanan sejarah keesaan, yang di dalamnya hubungan ketaatan dan ketergantungan kami kepada-Mu, Tuhan atas sejarah, hendak kami ungkapkan dalam janji dan tekad bersama untuk hidup semakin akrab satu dengan yang lain sebagai sesama anggota keluarga Allah (Ef. 2:19), untuk lebih sehati sepikir dan setia kawan serta menopang dalam hidup dan misi bersama, menjadi bagaikan satu arak-arakan bersama di perjalanan menuju perwujudan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia (bnd. Mzm. 84:4; Yes. 2:2-3; Kis. 1:8; 2 Kor. 2:14; Ibr. 12:1). 5. Kami sadar sepenuhnya bahwa perjalanan sejarah bersama yang lebih maju dan meningkat ke masa depan bukanlah tanpa tantangan, hambatan dan pergumulan-pergumulan berat, sebagaimana yang telah dialami bersama dalam perjalanan sejarah bersama gereja-gereja kami di masa lampau. Namun kami bersyukur kepada-Mu Tuhan, Kepala Gereja, bahwa 34 sampai sejauh ini Roh Kudus-Mu jugalah yang telah membuka jalan dan menunjukkan cara-cara yang patut kami tempuh dalam upaya mewujudkan kebersamaan bersekutu, bersaksi dan melayani di tengah-tengah dunia, khususnya di tengahtengah bangsa Indonesia yang sedang bergumul berat membangun masa depannya melalui Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. 6. Sampai pada tahap sejarah bersama ini, kami menyadari dan meyakini bahwa jalan bersama yang lebih maju dan meningkat ialah dengan menggumuli dan menyepakati bersama hal-hal pokok yang saling berkaitan sebagai berikut: 6.1. Suatu wawasan tugas panggilan dan misi bersama gereja-gereja di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang sedang membangun masa depannya dalam Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. Misi bersama ini harus dilihat sebagai misi yang mencakup tanggung jawab gereja untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa, oleh karenanya harus dilaksanakan bersama-sama oleh kami gereja-gereja-Mu dengan titik pandang mengenai seluruh Tanah Air Indonesia sebagai suatu wilayah pelayanan dan kesaksian bersama kami (Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama, disingkat PTPB). 6.2. Dalam kehadiran bersama untuk melaksanakan misi bersama ini, maka kami gereja-gereja-Mu di Indonesia perlu seia-sekata tentang hal-hal pokok yang kami pahami bersama mengenai Iman Kristen yang universal kepada Tuhan yang satu, namun yang harus dihayati dan diamalkan di tengah-tengah konteks nyata kehidupan bangsa dan negara kami Indonesia. Pemahaman bersama iman ini merupakan langkah awal bagi suatu Pengakuan Iman bersama kami gereja-Mu di Indonesia yang tidak terlepas dari Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel, yang adalah 35 6.3. 6.4. lambang-lambang keesaan Gereja Tuhan di segala abad dan tempat. Juga diakui bersama Pengakuan Iman bersama masing-masing gereja anggota yang telah lahir dalam rangka sejarah gerakan pembaruan gereja (Reformasi) sebagai bagian dari warisan gereja yang memperkaya Iman Kristen (Pemahaman Bersama Iman Kristen, disingkat PBIK). Demikian pun kami gereja-gereja-Mu di Indonesia perlu sehati-sepikir, saling mengakui dan saling menerima dalam hal-hal yang mendasar tentang penyelenggaraan Persekutuan, Kesaksian dan Pelayanan masing-masing Gereja Anggota dengan tetap saling menghormati latarbelakang sejarah, kekayaan rohani dan karunia masingmasing. Hal saling mengakui dan saling menerima ini akan mendorong kami gereja-gereja-Mu untuk terus mendalami dan melaksanakan kehendak Allah seperti yang disaksikan oleh Alkitab agar dapat menjadi berkat dalam usaha membarui, membangun dan mempersatukan gereja serta demi kehadiran bersama yang lebih bermakna dari gereja di Indonesia (Piagam Saling Mengakui dan Saling menerima, disingkat PSMSM). Akhirnya, kami gereja-gereja-Mu di Indonesia terpanggil untuk secara nyata menampakkan kehadiran bersama, bersekutu dan melayani dalam bentuk dan wadah kebersamaan konkret. Dalam hubungan ini, maka wadah keesaan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang telah kami sepakati bersama di Ambon, perlu terus-menerus dipupuk, ditingkatkan, dan dikembangkan. Dengan demikian, kehadiran bersama gereja-gereja-Mu, dapat menjadi suatu kekuatan kesaksian nyata di tengahtengah dunia, khususnya di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia yang sedang membangun masa depannya. Sekaligus dengan itu pula, maka kami gereja- 36 6.5. gereja-Mu secara bersama mengantisipasi masa depan serta mempersiapkan diri lebih baik dalam pelaksanaan tugas panggilan kami bersama di tahun-tahun mendatang, dengan menyepakati suatu landasan kelembagaan kami bersama (Tata Dasar PGI, disingkat TD). Untuk dapat menopang dan menunjang dengan baik seluruh pelaksanaan tugas panggilan bersama kami untuk bersekutu, bersaksi dan melayani di tengah dunia dan khususnya di tengah kehidupan bangsa Indonesia, agar gereja-gereja di Indonesia dan di seluruh dunia lebih dapat saling melayani dan saling menopang dengan baik, maka kami gereja-gereja-Mu di Indonesia tidak dapat tidak harus, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama memupuk dan mengembangkan sikap kedewasaan penuh untuk mengelola segala sesuatu yang dipercayakan dan diterima dari-Mu Tuhan secara bertanggung jawab, baik dalam gaya hidup dan pendekatan kegembalaan maupun dalam bentuk-bentuk kemandirian teologi, daya, dan dana (Saling Menopang di Bidang Daya dan Dana, disingkat ”Saling Menopang”). 7. Pada akhirnya dalam keyakinan yang kukuh akan peran dan campur tangan Tuhan melalui Roh-Mu yang Kudus di tengahtengah gereja-gereja-Mu, dari zaman ke zaman menuju ke kepenuhan sejarah, maka kami dengan segala kerendahan hati bertekad sepenuhnya untuk Engkau tuntun melangkah lebih maju lagi dalam sejarah perjalanan bersama gereja-gereja di Indonesia ke masa depan mengakhiri abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, menuju perwujudan harapan dan dambaan keesaan yang sejak awal dicetuskan bersama oleh kami gereja-gereja-Mu, ketika terbentuknya wadah keesaan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), yakni agar dengan kepemimpinan dan karunia Tuhan maka Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia dapat terwujud. Dalam keyakinan bahwa 37 keesaan gereja adalah demi kesaksian yang nyata dari perbuatan-perbuatan penyelamatan-Mu yang besar dan ajaib di tengah dunia khususnya di tengah bangsa Indonesia (bnd. Yoh. 17:21b), maka kami menyatakan janji setia kepada-Mu untuk melaksanakan Dokumen Keesaan Gereja (DKG). 38 39 I. POKOK-POKOK TUGAS PANGGILAN BERSAMA (PTPB) 2009-2014 Visi dan Misi PGI 2009 - 2014 Visi : “Menjadi Gereja yang Merefleksikan Kebaikan Allah di Tengah-tengah Masyarakat Majemuk Indonesia.” Misi : Gereja-gereja di Indonesia, a. makin menguatkan persekutuan di antara gerejagereja di Indonesia sebagai basis bagi pelayanan dan kesaksian; b. makin lebih terbuka kepada lingkungan yang di dalamnya mereka hidup; c. menggiatkan pelayanan yang komprehensip di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai wujud pemberitaaan Kabar Baik; d. ikut mewujudkan masyarakat majemuk Indonesia yang berkeadaban dengan memelopori berbagai upaya terciptanya hubungan-hubungan yang baik dengan komponen-komponen masyarakat; e. memberikan sumbangan berharga bagi terjadinya proses demokratisasi yang substansial di dalam Negara Indonesia. 40 PENDAHULUAN A. DASAR PEMIKIRAN 1. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) 2009-2014 adalah landasan operasional yang memberi arah bagi gerejagereja, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dalam rangka perwujudan keesaan gereja. PTPB disusun dengan dasar pemikiran yang memuat konteks kehidupan bangsa Indonesia pada masa kini, dasar-dasar teologiseklesiologis, tema dan subtema Sidang Raya XV PGI serta visi dan misi PGI 2009-2014. PTPB ini lebih menekankan pendekatan misiologis-pastoral, tanpa mengabaikan pendekatan dogmatis. Berdasarkan pengalaman gereja-gereja selama ini, pendekatan misiologis-pastoral dipandang lebih dinamis dan kreatif. Landasan teologisnya adalah: a. gereja ada karena dipanggil oleh Allah dan diutus menjadi berkat bagi segala bangsa (bdk. Kej. 12:1-3); b. sebagai kelanjutan dari misi Kristus, maka gereja ada karena dipanggil dan diutus oleh Yesus Kristus untuk memberitakan Injil dan diberi kuasa untuk mengusir setan, sekalipun mereka berbeda latar belakang (bdk. Mrk. 3:13-19); c. gereja dipanggil untuk memberi buah (bdk. Mat.17:17-20); d. keesaan gereja adalah juga misi supaya dunia percaya (bdk. Yoh. 17:21). 2. Gereja-gereja di Indonesia percaya bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah aspek dari pemeliharaan Allah terhadap ciptaan-Nya. Oleh sebab itu masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan meliputi seluruh wilayah kepulauan dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, adalah buah dari pekerjaan Allah dan 41 oleh karena itu adalah karunia Allah. Dari semula Allah terusmenerus bekerja di tengah dunia ini, di antara bangsa-bangsa termasuk bangsa Indonesia (bdk. Am.9:7), sebab Allah di dalam Yesus Kristus adalah Tuhan atas sejarah dan atas seluruh bangsa-bangsa, dan seluruh dunia ini merupakan sasaran kasih Allah (bdk. Yoh.3:16). 3. Dalam keyakinan itu, gereja-gereja di Indonesia menyadari bahwa ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh bangsa Indonesia. Ia lahir dari tengah-tengah bangsa Indonesia sebagai buah pekerjaan Roh Kudus, dan telah ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan tugas panggilannya dan menjadi berkat bagi semua orang di dalam negara Pancasila, yang sedang memulihkan diri dari berbagai krisis multidimensi, dijiwai oleh semangat reformasi yang dipelopori mahasiswa sejak tahun 1998. Dalam kenyataannya, kehidupan gereja-gereja sering mengalami kemerosotan tingkat solidaritas satu terhadap yang lain, yang ikut melemahkan gereja dalam memenuhi tugas panggilan dan pengutusan di tengah-tengah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Gereja juga tidak jarang terjebak dalam pemahaman tentang spiritualitas yang sempit dan gejala formalisme; manifestasinya adalah secara formal gereja itu ada tapi tidak fungsional untuk berperan di tengahtengah masyarakat, bangsa dan negara Republik Indonesia. Melaksanakan tugas panggilan itu tidak lain berarti melaksanakan kehendak Tuhan yang tidak berubah (bdk. Ibr. 13:8) di tengah-tengah kehidupan bangsa-bangsa dan masyarakat dunia yang terus-menerus berubah. Oleh karena itu gerejagereja di Indonesia terus-menerus bergumul memahami kehendak Tuhan itu dari waktu ke waktu. 4. Masyarakat, bangsa dan negara kita telah memasuki tahun ke11 sejak reformasi dicetuskan pada tahun 1998. Sejak saat itu 42 kita bergumul untuk keluar dari berbagai krisis multidimensi. Setelah mengalami sistem pemerintahan yang otoriter selama 32 tahun, kita sekarang menerapkan prinsip-prinsip demokrasi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya-upaya itu tidak selalu mudah, sebab tidak jarang demokrasi diartikan secara sempit dengan mengabaikan substansinya. Demokrasi cenderung difahami secara prosedural, ketimbang substansial. Ini mempunyai dampak besar di dalam pengelolaan terhadap negara yang terkesan gamang. Kita pun masih bergumul untuk tetap melestarikan nilai-nilai Pancasila dan UUD Negara RI 1945 di antara berbagai ideologi yang muncul di dalam dunia dewasa ini, di dalam berbagai bidang kehidupan. Di dalam bidang ekonomi misalnya, sebagai akibat kegamangan itu kita cenderung menerapkan ekonomi pasar bebas, ketimbang ekonomi kerakyatan. Akibatnya, negara kita dengan mudah terjebak ke dalam krisis ekonomi, sebagai akibat pengabaian fundamental ekonomi kerakyatan tersebut. 5. Sebagai bagian dari seluruh rakyat, masyarakat, dan bangsa Indonesia, maka gereja-gereja di Indonesia sepenuhnya ikut memikul tanggungjawab agar cita-cita dan harapan bangsa dan negara untuk keluar dari berbagai krisis, yang di dalamnya tercakup masyarakat berkeadaban (civil society) Indonesia yang mandiri, menghormati hak-hak asasi manusia, dan menegakkan hukum yang berkeadilan, sungguh-sungguh terwujud. Oleh karena itu gereja-gereja di Indonesia berperanserta secara penuh dan memelopori terwujudnya cita-cita reformasi ini. Hal itu gereja-gereja lakukan secara positif, kreatif, kritis, realistis, dan transformatif. 6. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) masa bakti 2009-2014 ditetapkan pada Sidang Raya XV PGI 2009 di Mamasa-Sulawesi Barat, berdasarkan keyakinan dan kesadaran gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI untuk secara bersama-sama melaksanakan tugas panggilan gereja 43 dan sesuai dengan bidang dan kemampuannya masingmasing. PTPB ini dijiwai dan diilhami oleh, serta bersumber pada tema Sidang Raya tersebut: “Tuhan Itu Baik kepada Semua Orang (Mzm. 145:9a)” dan sub-tema: “Bersama-sama Seluruh Komponen Bangsa Mewujudkan Masyarakat Majemuk Indonesia yang Berkeadaban, Inklusif, Adil, Damai dan Demokratis.” Di dalam memasuki tahun ke-11 reformasi di negeri kita ini, gereja-gereja melihat bahwa keteganganketegangan di antara sesama anak bangsa, baik yang bernuansa etnis maupun agama, masih tetap terjadi. Inilah akibat kegagalan kita memahami, menghayati dan menghormati kemajemukan (pluralisme/pluralitas) sebagai pilar utama kesatuan bangsa. 7. PTPB ini akan menjadi kerangka dasar bersama gereja-gereja anggota PGI, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dalam rangka melaksanakan tugas panggilan bersama untuk ikut mewujudkan masyarakat berkeadaban Indonesia yang majemuk, yang inklusif dan berusaha mewujudkan keadilan di dalam segala bidang, memajukan kehidupan damai-sejahtera, termasuk penegakan HAM, keutuhan ciptaan dan kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup, serta menghormati prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, PTPB sebagai dokumen keesaan gereja-gereja di Indonesia mendorong gereja-gereja dalam menciptakan suasana, wawasan serta pandangan dan sebagai landasan yang di dalamnya gereja-gereja di Indonesia secara bersama-sama melaksanakan tugas kesaksian dan pelayanannya dalam rangka perwujudan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. B. PEMAHAMAN TUGAS PANGGILAN GEREJA 8. Tiap gereja adalah ungkapan dari gereja yang esa, kudus, am, dan rasuli, yaitu persekutuan orang-orang percaya, laki-laki- 44 perempuan, tua-muda, di segala tempat dan sepanjang zaman. Gereja di semua tempat dan sepanjang zaman terpanggil untuk: a. menampakkan keesaan mereka seperti keesaan Tubuh Kristus dengan rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh yang selalu membarui (bdk. Rm. 12:1-8; 1 Kor. 12:4); b. memberitakan Injil kepada segala makhluk (bdk. Mrk. 16:15); c. menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakkan keadilan dan HAM, perdamaian dan keutuhan ciptaan (bdk. Mrk. 10:45; Luk.4:18; 10:25-37; Yoh. 15:16). 9. Tugas panggilan gereja adalah kelanjutan dari misi Yesus Kristus, yang telah diutus Allah untuk menyelamatkan dunia ini dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah. Tugas panggilan gereja ini tidak pernah berubah di semua tempat dan sepanjang zaman, walaupun tugas ini harus dijalankan secara kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda. 10. Hakikat dan tugas panggilan serta pengutusan gereja itu adalah: keesaan, kesaksian, dan pelayanan dalam kasih. a. Pertama, tugas panggilan gereja mengharuskan gereja hidup berpadanan dengan Injil, dan mengharuskan gerejagereja sebagai tubuh, sehati sepikir berjuang untuk iman yang ditimbulkan oleh berita Injil, dan mengharuskan gereja-gereja untuk saling memahami, memperhatikan, dan melayani demi kepentingan bersama (bdk. Flp.1:27; 2:4; 1 Kor.12:27). Inilah tugas keesaan, yaitu tugas membarui, membangun, dan mempersatukan gereja. b. Kedua, tugas panggilan gereja adalah menyampaikan Injil Yesus Kristus, yaitu Injil perdamaian yang adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah (bdk. Rm. 1:16-17; Kol. 1:20). Ini berarti bahwa gereja harus memberitakan Injil, yaitu 45 tentang Allah di dalam Yesus Kristus yang memberlakukan keadilan dan kebenarannya yang menyelamatkan (bdk. Rm. 1:16-17; bdk. Luk. 4:18-19), yang menuntut pertobatan, yang mengaruniakan pengampunan dosa dan keselamatan, yang memberikan keadilan-Nya kepada orang-orang miskin dan tertindas, dan yang mengaruniakan kesejahteraan kepada segala bangsa dan kepada segala makhluk (bdk. Luk. 24:47; Mrk. 16:15), sebagai bagian dari karya menyeluruh Yesus Kristus yang memperdamaikan dan memulihkan segala sesuatu ke dalam persekutuan yang harmonis dengan sesamanya dan dengan Allah (bdk. Ef. 1:10; Kol. 1:20). Gereja harus memberitakan Injil itu kepada segala makhluk, di seluruh dunia, sampai ke ujung bumi, di seluruh alam di bawah langit dan sampai kepada akhir zaman (bdk. Mat. 28:1820; Mrk. 16:15; Kol. 1:23). Inilah tugas pemberitaan atau pekabaran Injil, yang merupakan bagian dari keseluruhan misi (tugas pengutusan) gereja di dunia ini. c. Ketiga, tugas panggilan gereja pun mengharuskan gereja memerangi segala penyakit, kelemahan, ketidak-adilan dan pelanggaran HAM dalam masyarakat. Demikian juga gereja berkewajiban mengusahakan dan memelihara secara bertanggung jawab sumber-sumber alam dan lingkungan hidup. Sebab waktu Yesus berkeliling di seluruh Galilea, Ia melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa ini (bdk. Mat.4:23). Inilah tugas pelayanan dalam kasih serta keadilan. 11. Tugas panggilan gereja dengan ketiga seginya itu harus dijalankan dengan cara yang sebaik-baiknya dengan bentuk paling tepat bagi tiap tempat dan zaman. Untuk itu gereja harus selalu berusaha memahami lingkungan yang di dalamnya gereja ditempatkan dan melaksanakan tugas panggilan itu, dengan kepekaan dan ketajaman melihat tanda-tanda zaman dan menguji roh zaman. 46 C. DASAR-DASAR PENYUSUNAN PTPB 12. Di dalam sejarah gereja di Indonesia terlihat bahwa gerejagereja pada umumnya mula-mula lahir di lingkungan suku dan daerah-daerah tertentu dan menjalankan tugas panggilan mereka masing-masing dengan cara dan bentukbentuk yang paling tepat bagi lingkungan pelayanan dan kesaksian mereka yang terbatas itu. 13. Seiring dengan perkembangan sejarah bangsa dan gereja di Indonesia, gereja-gereja di Indonesia tidak lagi hanya memahami dan menjalankan tugas panggilan masingmasing saja. Sekarang ini gereja-gereja juga menjalankan tugas-tugas panggilan bersama di seluruh Indonesia sebagai wilayah kesaksian dan pelayanan bersama. Dan sejalan dengan itu, gereja-gereja di Indonesia bersama dengan gereja-gereja sedunia melihat Asia dan seluruh dunia sebagai satu wilayah kesaksian dan pelayanan bersama. 14. Sidang Raya IX Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Porto Allegre-Brasil, 14-23 Februari 2006, berlangsung di bawah tema: “God, in your grace, transform the world.“ Sebagian dari gereja-gereja di Indonesia telah ikut serta, bersamasama dengan gereja-gereja di seluruh dunia, dalam Sidang Raya itu. Hasil pergumulan bersama gereja-gereja itu telah memperkaya pemikiran gereja-gereja di Indonesia dalam menjalani tahun-tahun yang lampau dan masih bermanfaat untuk memasuki tahun-tahun mendatang. 15. Dalam rangka usaha untuk menetapkan PTPB, Sidang Raya XV PGI 2009 di Mamasa – Sulawesi Barat berusaha untuk memahami tantangan-tantangan dan kesempatankesempatan bagi pelaksanaan tugas panggilan gereja-gereja di Indonesia pada masa bakti 2009-2014. 47 16. Berpedoman pada tema Sidang Raya XV PGI itu, gerejagereja di Indonesia diserukan untuk memohon agar dimampukan sebagai abdi Allah yang meneladani Yesus Kristus mengambil bagian penuh dalam segala usaha untuk mengatasi semua persoalan terhadap kelangsungan hidup, baik di dunia pada umumnya, maupun di Indonesia pada khususnya. 17. Dalam kehidupan negara dan bangsa kita, pada masa bakti 2009-2014 kita bersama-sama dengan berbagai komponen bangsa terpanggil untuk mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil society) dengan menghormati kemajemukan sebagai sesuatu yang sudah demikian sejak semula, bahkan sebagai pilar penting dari kesatuan bangsa. Bersama-sama dengan seluruh komponen bangsa kita memajukan sikap hidup kekeluargaan yang inklusif sebagai basis bagi terciptanya keadilan dan kedamaian di dalam masyarakat, serta memajukan nilai-nilai demokratis di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 18. Dalam masa lima tahun ke depan (2009-2014) kita tetap bertekad melaksanakan pembaruan, pembangunan, dan persatuan gereja sebaik-baiknya dengan melakukan introspeksi di dalam kehidupan bergereja kita. Kita tetap melakukan evaluasi mengenai hakikat keesaan kita di tengah-tengah masyarakat majemuk Indonesia. Sesungguhnya gerakan oikoumene tidak sekadar mewujudkan Gereja Kristen yang Esa (GKYE), melainkan berusaha agar bumi kita ini layak didiami. Maka semboyan “Gereja bagi Orang Lain” yang dicetuskan dalam Sidang Raya XIV PGI tetap dilanjutkan dengan semakin mendasarkannya pada keyakinan bahwa Tuhan memang baik kepada semua orang. Oleh karena itu, gereja terpanggil untuk mewujudkan solidaritas, pembebasan, dan pemberdayaan bagi semua orang. 48 19. Berdasarkan pengalaman, kita juga menyadari bahwa kita harus berusaha agar hubungan-hubungan oikoumenis kita, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, secara langsung atau tidak langsung mempunyai pengaruh positif dan tidak mempunyai pengaruh negatif atas tugas panggilan kita. 20. Berdasarkan hal-hal yang tercantum di atas, disusunlah “Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama” untuk masa bakti 2009-2014 dengan garis besar sebagai berikut: a. keesaan, yaitu membarui, membangun dan mempersatukan gereja dengan sorotan khusus kepada kenyataan persekutuan kita di dalam pluralitas; b. kesaksian, yaitu memberitakan Injil kepada segala makhluk sebagai pelaksanaan misi Allah dalam kehidupan bersama ciptaan lainnya; c. pelayanan, yaitu berperan-serta dan melayani dalam masyarakat yang sedang berada dalam proses mewujudkan masyarakat berkeadaban dengan memberi tekanan pada keadilan, pelayanan dan penegakan HAM, harkat dan martabat manusia. 49 BAB I KEESAAN MEMBARUI, MEMBANGUN, DAN MEMPERSATUKAN GEREJA A. ARTI MEMBARUI, MEMBANGUN, DAN MEMPERSATUKAN GEREJA 21. Membarui, membangun dan mempersatukan gereja, berarti: a. Menguji keadaan gereja, termasuk bentuk-bentuk pengungkapan ibadahnya, dan seluruh warganya di bawah bimbingan Roh Kudus, untuk melihat sampai di mana keadaan gereja itu sesuai atau tidak sesuai dengan kehendak Tuhan bagi gereja seperti diungkapkan dalam Firman Allah; dan sekaligus menilai sampai di mana keadaan gereja itu sepadan atau tidak sepadan dengan tugas panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja kita di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang sedang menuju masyarakat berkeadaban (civil society). b. Di bawah bimbingan Roh Kudus gereja mengupayakan secara realistis pembaruan-pembaruan dan pertumbuhan agar keadaan gereja menjadi lebih sesuai dengan kehendak Tuhan bagi gereja seperti diungkapkan dalam Firman Allah dan menjadi lebih sepadan dengan tugas panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang sedang menuju masyarakat berkeadaban (civil society). 22. Membarui gereja: a. Membarui gereja adalah tugas panggilan terus-menerus bagi orang-orang percaya. Sebagai tubuh yang hidup dari Kristus yang hidup, gereja harus selalu berusaha menempatkan dirinya di bawah sorotan Firman Allah. 50 Sama seperti setiap orang percaya, gereja harus selalu bersedia untuk mengadakan pertobatan dan pembaruan budi di bawah terang Firman Allah. b. Membarui gereja juga berarti bahwa sebagai lembaga yang terlibat dalam perkembangan sejarah, baik sejarah gereja maupun sejarah bangsa dan sejarah bangsabangsa, gereja harus terus-menerus menguji roh zaman dan berusaha agar dia tidak ditinggalkan oleh perkembangan sejarah, tetapi justru ikut membentuk sejarah itu. Untuk itu pembaruan budi harus terusmenerus dilakukan dalam kehidupan gereja. c. Membarui gereja memuat pula pengertian pembaruan dalam pemikiran teologi, gaya hidup dan pola kelembagaan gereja secara kreatif dan terus-menerus, di bawah bimbingan Roh Kudus. 23. Membangun gereja: a. Membangun gereja pada dasarnya berarti memenuhi apa yang tertulis dalam Efesus 4:12-16, yaitu “pembangunan Tubuh Kristus sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh ruparupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.” b. Membangun gereja sebagai “pembangunan tubuh Kristus” juga berarti menggunakan segala nilai budaya, penge-tahuan, ketrampilan, dan pengalaman modern 51 yang positif agar terjamin adanya pengelolaan yang sebaik-baiknya, dengan tetap terjamin agar nilai-nilai budaya, pengetahuan ketrampilan dan pengalaman modern itu memperkuat dan tidak melemahkan gereja sebagai “Tubuh Kristus”. c. Membangun gereja berarti juga memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada pertumbuhan gereja (bdk. Ef. 4:15-16). Dengan menyadari sepenuhnya bahwa baik pembangunan maupun pertumbuhan gereja itu pertamatama adalah pekerjaan Roh Kudus yang memakai manusia sebagai alat-Nya, gereja terpanggil untuk menggunakan segala karunia yang ada padanya untuk terus bertumbuh dan membangun dirinya. Sebagai persekutuan yang dinamis, pembangunan dan pertumbuhan gereja itu harus berlangsung terusmenerus (bdk. Ef. 4:13). d. Pertumbuhan gereja pada hakikatnya bersifat ganda, baik intensif maupun ekstensif. Intensif dalam arti peningkatan kualitas keimanan seluruh warga gereja sebagai orang percaya yang dewasa, dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh “rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan” (Ef. 4:14). Ekstensif dalam arti pertumbuhan orang-orang percaya dan pertumbuhan gerak dan jangkauan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8). e. Dengan demikian dalam rangka pembangunan dan pertumbuhan gereja, pembinaan segenap warga gereja menjadi mutlak penting. Demikian juga kegiatan evangelisasi dan pekabaran Injil akan berjalan seimbang, sehingga tidak seorang pun anggota gereja terlupakan. Sehubungan dengan itu lembaga-lembaga pendidikan teologi perlu memberi perhatian yang lebih sungguh- 52 sungguh kepada pneumatologi. 24. pemahaman eklesiologi dan Mempersatukan gereja: a. Mempersatukan gereja berarti memenuhi apa yang tertulis dalam Yohanes 17:21, yaitu menampakkan keesaan yang telah ada dalam Tuhan yang satu secara lebih nyata, sehingga dapat dilihat oleh dunia sebagai satu kesaksian. Hal itu berarti bahwa keesaan gereja tidak hanya dalam arti rohani saja, melainkan juga dalam bentuk yang nyata bagi dunia. b. Keesaan gereja itu perlu mengambil bentuk-bentuk yang terdapat dalam dunia. Gereja-gereja di Indonesia mulamula lahir dalam bentuk-bentuk keesaan di kalangan kehidupan suku-suku dan daerah-daerah tertentu. Sekarang ini gereja-gereja kita sedang berusaha keras untuk mewujudnyatakan keesaan gereja di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia. c. Namun demikian, di sisi lain hakikat dan pola keesaan gereja tidak sama dengan hakikat dan pola kesatuan seperti yang terdapat di dalam dunia. Sebab keesaan gereja itu adalah keesaan yang sama dengan keesaan Allah dalam Bapa, Anak, dan Roh Kudus, keesaan relasional yang sinergis. d. Struktur keesaan gereja itu tidak disusun atas kekuasaan seperti yang terdapat di dalam dunia, melainkan atas persekutuan, pelayanan dan kasih (bdk. Mat. 18:1-5; Luk. 22:24-38; Mrk. 10:35-45). Struktur keesaan itu harus menjamin efisiensi dalam memahami dan menjalankan tugas panggilan bersama. Sehubungan dengan itu keesaan gereja harus berakar pada warga jemaat, sehingga keesaan itu tidak sekadar dilihat sebagai masalah kelembagaan, tetapi adalah panggilan menyeluruh semua orang percaya. e. Mempersatukan gereja-gereja di Indonesia yang dulu lahir dan tumbuh terpisah-pisah dan tersendiri-sendiri, 53 tidak berarti menghilangkan segala anugerah dan karunia yang telah diterima dari Tuhan dalam sejarah gerejagereja itu, melainkan menempatkan segala anugerah dan karunia itu dalam kerangka keesaan yang lebih besar sebagai kesaksian di tengah-tengah bangsa Indonesia. Itu berarti bahwa dalam kerangka keesaan itu terjamin adanya ruang gerak bagi keaneka-ragaman. Dalam kenyataan itu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus dijunjung tinggi. B. PERLUNYA MEMBARUI, MEMBANGUN DAN MEMPERSATUKAN GEREJA 25. Pada satu pihak, kita percaya bahwa, di dalam iman, semua gereja telah satu, sebab semuanya adalah ungkapan dari gereja yang kudus, am dan rasuli, yaitu persekutuan orangorang percaya di semua tempat dan segala zaman. Pada pihak lain, adalah kenyataan bahwa gereja-gereja itu terpisah-pisah bahkan terpecah-pecah. Hal itu berarti adanya tugas panggilan bagi semua gereja untuk menjadi satu, agar keesaan yang telah ada dalam Tuhan yang satu itu menjadi kenyataan yang dapat dilihat oleh dunia. Sebab keesaan gereja itu adalah kesaksian di hadapan dunia seperti tercantum dalam Yohanes 17:21 “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” 26. Dalam kesetiaan kepada tugas panggilan “untuk menjadi satu” itu, maka dengan bimbingan Roh Kudus, gereja-gereja di Indonesia, yang mula-mula lahir dan tumbuh secara terpisah-pisah dan sendiri-sendiri di berbagai daerah dan kalangan berbagai suku, telah membentuk Dewan Gerejagereja di Indonesia (DGI) pada tanggal 25 Mei 1950, dengan 54 tujuan “Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”. Dengan demikian maka gereja-gereja tersebut tidak lagi merupakan gereja-gereja yang terpisah-pisah dan tersendiri-sendiri. Sebab dengan pembentukan DGI itu, gereja-gereja anggotanya terlibat dalam proses untuk mengesa atau menyatu menuju “Mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”, sambil menjalankan tugas panggilan bersama dengan melihat seluruh Indonesia sebagai satu wilayah kesaksian dan pelayanan bersama. Sejarah bersama ini telah membawa gereja-gereja di Indonesia makin mampu keluar dari keterbatasan-keterbatasannya sehingga Sidang Raya X DGI tahun 1984 di Ambon telah memutuskan untuk melanjutkan dan meningkatkan wadah kebersamaan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia menjadi Persekutuan Gerejagereja di Indonesia. 27. Berdasarkan tema Sidang Raya XV PGI 2009, gereja-gereja di Indonesia secara sadar memahami dirinya sebagai persekutuan yang berada di tengah-tengah dunia, yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) bahkan kepentingan. Gereja-gereja yakin bahwa mereka dipanggil oleh Allah untuk menjadi umat-Nya yang terpilih (Yoh. 15:16). Mereka memang tidak berasal dari dunia (Yoh. 15:19), namun tetap berada di dalam dunia (Yoh. 15:17-18). Dalam keyakinan ini, gereja-gereja menjalankan tugas panggilannya sebagai saksi-saksi Kristus di tengah-tengah masyarakat majemuk Indonesia, untuk menjembatani yang terputus dan menyatukan yang terpisah. 28. Keyakinan bahwa Tuhan itu baik kepada semua orang semakin meyakinkan gereja-gereja akan peranannya sebagai pembawa kebaikan bagi sesama manusia dengan bersamasama mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadaban (civil society), inklusif, adil, damai dan demokratis, sebagaimana ditegaskan oleh sub-tema Sidang Raya XV. Dengan demikian, sebagaimana ditegaskan dalam Sidang 55 Raya XIV (2004) kita tetap meminta dan meyakini kehadiran Roh Kudus sebagai Roh Pembaharu agar memperbarui budi kita untuk mampu menyatakan kebaikan Tuhan kepada semua orang meruntuhkan tembok-tembok pemisah yang didasarkan atas perbedaan kelamin, kelas, sosial-ekonomi, ras, suku, agama, bahasa, asal, dan sebagainya, serta membebaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan lingkungan masing-masing dan bersama-sama memasuki konteks baru Indonesia yang tidak diskriminatif. 29. Berdasarkan pengalaman gereja-gereja dalam menghadapi tantangan dan kesempatan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara, maka disadari bahwa bahaya keterpencilan dan bahaya ikut-ikutan saja bagi gereja-gereja itu di tengah-tengah perjalanan bangsa ke masa depan hanya dapat dielakkan apabila gereja-gereja itu membarui, membangun dan mempersatukan dirinya serta membarui budi di bawah bimbingan Roh Kudus, C. GERAK BERSAMA MENUJU KEESAAN GEREJA 30. Dalam kesetiaan kepada tugas panggilan “untuk menjadi satu”, gereja-gereja itu tidaklah merupakan gereja-gereja yang terpisah-pisah, lepas satu sama lain, melainkan satu kesatuan demi tujuan bersama. Gereja-gereja terlibat dalam proses untuk mengesa menuju “Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”, sambil menjalankan tugas panggilan bersama dengan melihat seluruh Indonesia sebagai satu wilayah kesaksian dan pelayanan bersama. 31. Dijiwai oleh tema dan sub-tema Sidang Raya XV PGI 2009, gereja-gereja memahami dirinya sebagai persekutuan yang ditempatkan Tuhan di bumi Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk dari segi SARA untuk meneruskan dan 56 memancarkan kebaikan Tuhan di dalam segala bidang kehidupan. 32. Menilik pengalaman gereja-gereja menghadapi tantangantantangan di dalam masyarakat, bangsa dan negara yang sedang berada di dalam era reformasi, timbul kekuatiran adanya bahaya keterpencilan ataupun “ikut-ikutan” pada gereja-gereja dalam ziarah bersama mereka ke masa depan. Namun demikian, bahaya-bahaya tersebut dapat dihindari apabila gereja-gereja membuka diri untuk diperbarui, dibangun dan dipersatukan oleh Roh Kudus melalui pembaruan budi (Rm. 12:2b). 33. Dalam rangka gerak bersama ke arah keesaan gereja-gereja di Indonesia, pendekatan-pendekatan berikut yang lahir dari pergumulan-pergumulan situasi kita di Indonesia akan tetap dikedepankan: a. Menghormati dan menghargai identitas tiap-tiap gereja. Penghormatan itu dilihat dalam rangka identitas bersama sebagai Gereja Kristen di Indonesia. Identitas bersama itu terpancar dari Pribadi dan Karya Kristus yang menggarami tiap-tiap identitas; b. menghormati dan menghargai sejarah tiap-tiap gereja sebagai sejarah bersama; c. menghormati dan menghargai tugas panggilan tiap-tiap gereja sebagai tugas panggilan bersama; d. menghormati dan menghargai kewenangan tiap-tiap gereja untuk mengatur kehidupan di dalam gerejanya masing-masing. Namun kewenangan itu dilihat sebagai pengejawantahan kewenangan bersama yang dikaruniakan Kristus kepada jemaat-Nya; e. menghormati dan menghargai pengembangan teologi, daya, dan dana tiap-tiap gereja. Semuanya itu dilihat sebagai pengembangan bersama dan tugas panggilan bersama di seluruh Indonesia. 57 f. Kelima hal di atas dapat terwujud dalam kebersamaan di tingkat lokal dan wilayah. Oleh karena itu PGI Wilayah/SAG, PGI Setempat/PGID dan POUK mempunyai peranan penting dalam gerak bersama ke arah keesaan gereja-gereja itu. 34. Dengan memperhatikan semua yang dikemukakan di atas, pada masa bakti 2009-2014 PGI semakin menggiatkan berbagai upaya kebersamaan melalui program-program konkret di aras masing-masing. D. WUJUD PERSEKUTUAN D1. PANGGILAN OIKUMENIS SEMESTA 35. Berdasarkan pengakuan bahwa tiap gereja adalah ungkapan dari gereja yang esa, kudus, am dan rasuli, dan bahwa semua gereja di segala zaman dan tempat terpanggil untuk melaksanakan tugas panggilan gereja yang sama dan satu, yaitu memberitakan Injil, maka gereja-gereja di seluruh dunia bertanggungjawab melaksanakan tugas panggilan itu di dalam persekutuan dan kerjasama, serta saling menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing. Di dalam mengemban panggilan oikumenis semesta maka hubungan dan kerjasama perlu terus dibina. 36. Yang dimaksud dengan hubungan-hubungan oikumenis ialah pertama-tama hubungan dengan gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen di Indonesia yang tidak atau belum menjadi anggota PGI. Hubungan dengan mereka juga patut dilanjutkan, ditingkatkan, diperluas dan diperdalam. 37. Selain itu, yang dimaksud dengan hubungan-hubungan oikumenis ialah hubungan dengan gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen di luar Indonesia. 58 38. Dalam rangka hubungan-hubungan oikumenis di Indonesia, hubungan dengan KWI patut dilanjutkan, ditingkatkan, diperluas, dan diperdalam melalui bentuk dialog dan kerjasama. 39. Hubungan dengan gereja-gereja dan lembaga- lembaga Kristen yang tidak atau belum berada dalam lingkungan PGI juga patut dilanjutkan, ditingkatkan, diperluas dan diperdalam. 40. Dalam rangka hubungan ini, pada satu pihak perlu diperkuat kesadaran mengenai adanya tugas panggilan bersama yang diterima dari Tuhan yang satu dan bersama-sama harus dilaksanakan di satu wilayah bagi kesaksian dan pelayanan bersama, yaitu Nusantara Indonesia, dalam wilayah Negara Pancasila bagi terwujudnya masyarakat yang berlandaskan hukum, keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. 41. Pada pihak lain perlu ditingkatkan komunikasi untuk menghilangkan anekaragam salah paham dan pra-anggapan yang dapat mempertajam adanya perbedaan. 42. Hubungan-hubungan dengan gereja-gereja dan lembagalembaga Kristen di luar negeri termasuk lembaga/ persekutuan Kristen warga negara RI di luar negeri, patut dilanjutkan, ditingkatkan, diperluas, dan diperdalam sebagai ungkapan dari keuniversalan gereja: a. Bentuk-bentuk, cara-cara dan isi dari hubungan oikumenis dengan gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen di luar negeri baik secara bilateral (dua pihak) mau pun secara multilateral (banyak pihak) direncanakan, ditetapkan, dan dilaksanakan bersama-sama dalam jiwa kemitraan untuk saling melayani, saling membantu 59 dalam ketenagaan, pengalaman, sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kerelaan masing-masing. b. Mengusahakan agar bentuk-bentuk, cara dan isi hubungan oikumenis dengan gereja-gereja dan lembagalembaga Kristen di luar Indonesia merupakan faktor yang men-dukung pelaksanaan PTPB dan menunjang pembinaan dan persatuan gereja-gereja. 43. Dengan memperhatikan semua hal di atas, maka pada masa bakti 2009-2014 PGI dan gereja-gereja di Indonesia berupaya untuk: a. melanjutkan, meningkatkan, memperluas dan memperdalam hubungan dengan gereja-gereja, baik di dalam maupun di luar negeri, sesuai dengan kebutuhan dan pada aras masing-masing; b. melanjutkan, meningkatkan, memperluas dan memperdalam relasi dengan KWI, PGLII, PGPI, Bala Keselamatan, dll. di Indonesia dalam bentuk dialog dan kegiatankegiatan bersama yang konkret. D2. Kemandirian di Bidang Teologi, Daya dan Dan Dana1 44. 1 Kemandirian di bidang teologi, daya dan dana adalah bagian integral dalam persekutuan gereja (uraian selengkapnya tentang hal ini lihat dokumen “Kemandirian di bidang Teologi, Daya dan Dana”). Hal ini merupakan suatu proses yang memerlukan perencanaan yang cermat dan pelaksanaan yang tekun, baik secara bersama-sama pada tingkat lokal, regional dan nasional, maupun dalam kehidupan masing-masing gereja. PTPB 2004-2009 ini kembali menggunakan istilah Kemandirian Teologi, Daya dan Dana, mengacu pada dokumen “Kemandirian Teologi, Daya dan Dana” yang terdapat pada LDKG hasil Sidang Raya XII/1994, dan tidak lagi menggunakan istilah ataupun mengacu pada dokumen “Saling Menopang di Bidang Daya dan Dana” 60 45. Kemajuan dalam persekutuan gereja dengan mengusahakan kemandirian di bidang teologi, daya dan dana akan tercapai jika semua anggota gereja (laki-laki, perempuan, pemuda, remaja, anak-anak) ikut-serta secara aktif, kreatif, dan bertanggungjawab dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Diperlukan juga keikutsertaan semua lembaga gerejawi dan lembaga keumatan, seperti: sekolah-sekolah teologi, pusat-pusat pembinaan warga-gereja, lembagalembaga pendidikan umum, dan sebagainya. 46. Dalam rangka kemandirian teologi, daya dan dana diperlukan usaha pembaruan gereja yang meliputi: a. pengembangan teologi kontekstual; b. pemahaman yang benar tentang keberadaan dan peranan perempuan dan laki-laki baik secara fungsional maupun struktural di dalam gereja dan masyarakat dalam terang Firman Tuhan; c. peranan keluarga yang strategis dan penting dalam pelayanan, khususnya dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) maupun dalam rangka pengembangan hubungan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan; d. perhatian khusus pada pembinaan/pengembangan pemuda dan anak-anak. Perhatian ini diberikan sebagai kesinambungan kehidupan gereja dan sikap hidup kristiani. Pemuda dan anak-anak mestilah menjadi bagian dari program pembinaan warga gereja yang terpadu dan meliputi semua kalangan; e. perhatian gereja pada pembinaan mahasiswa dan kaum intelektual (termasuk masyarakat Perguruan Tinggi). Gereja juga perlu memperhatikan pelayanan dan pembinaan kaum profesional, dan itu dijadikan bagian dari program pembinaan warga gereja yang diselenggarakan secara terpadu dan meliputi semua bidang. 61 47. Secara khusus perlu diusahakan agar warga gereja yang mempunyai kedudukan dan tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di berbagai bidang kehidupan mengambil bahagian secara aktif dan bertanggung jawab dalam pemikiran dan kegiatan-kegiatan untuk membarui, membangun, dan mempersatukan gereja dengan mengusaha-kan kemandirian di bidang teologi, daya dan dana. 48. Dengan memperhatikan semua yang dikemukakan di atas, pada masa bakti 2009-2014 PGI perlu: a. mendorong semua warga-gereja (laki-laki, perempuan, pemuda, remaja, anak-anak) di dalam lingkungannya masing-masing untuk terlibat secara aktif dalam berbagai program yang diusahakan gereja guna memenuhi tujuan kemandirian di bidang teologi, daya dan dana; b. menyesuaikan pelaksanaan program itu dengan kebutuhan di aras masing-masing, dan juga secara kategorial. D3. Keadilan Jender, Perlindungan Anak 49. Pemberdayaan Pemuda dan Meski telah banyak usaha yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia untuk mengatasi masalah ketidak-adilan jender, fakta memperlihatkan bahwa masih banyak terjadi praktik kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anakanak. Praktik tersebut bersumber pada struktur sosial dan budaya patriarkis yang cenderung hierarkis, memusatkan kekuasaan pada diri seseorang, eksklusif dan elitis. Akibatnya hanya sekelompok orang tertentu saja yang dianggap memiliki otoritas sebagai penentu dan pengambil keputusan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat, sehingga menciptakan peluang terjadinya subordinasi dan dominasi dari kelompok berkuasa atas yang lain. 62 50. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan pemaknaan kembali panggilan dan pengutusan gereja sebagai rumah tangga Allah (God’s household) yang aman dan memulihkan bagi semua, sekaligus menjadi alat karya penyelamatan Allah bagi dunia. Dalam hal ini gereja-gereja mengakui peran dan kontribusi perempuan dan anak-anak dalam pembangunan jemaat dan masyarakat. Pada pihak lain, gereja-gereja mengakui bahwa masih terjadi kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak. Oleh karena itu gereja-gereja perlu melakukan pembaruan pikiran dan praksis teologi yang membebaskan demi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. 51. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka pada masa bakti 2009-2014 PGI: a. secara proaktif memperkembangkan program-program yang secara serius mengangkat kesetaraan jender; b. ikut secara proaktif membina warga jemaat (umat, anggota) agar tidak mempraktikkan kekerasan di dalam rumahtangga (KDRT), dan seterusnya; c. secara proaktif membina warga jemaat (umat, anggota) agar turut menanggulangi berbagai penyakit masyarakat seperti penggunaan narkoba, mabuk-mabukan, prostitusi, judi, pola hidup konsumtif, dan seterusnya; d. secara proaktif mendorong warga gereja agar memperhatikan kesehatan reproduksi antara lain dengan mencegah penyebaran HIV/AIDS. e. mencermati dan menyiasati berbagai UU dan perda yang cenderung mendiskriminasi perempuan dan anak-anak. f. memperkembang teologi yang tidak bias jender. g. memperkembang pengkaderan pemuda yang teratur dan sistematis agar pemuda mempunyai kemungkinan menjadi pemimpin di masa depan. h. memberi perhatian yang lebih serius kepada pembinaan anak-anak di semua aras, agar sejak dini disiapkan kader pemimpin dan pelayan gereja dan masyarakat. 63 i. mencermati kurangnya perhatian gereja terhadap pelayanan anak dan persoalan anak, baik di dalam gereja (seperti kurangnya fasilitas dalam ibadah anak, minimnya anggaran biaya untuk pelayanan anak dan sumber daya pelayanan anak yang kurang trampil dan kompeten) maupun di dalam kiehidupan bermasyarakat (seperti kekerasan terhadap anak, penularan HIV/AIDS, trafficking, pekerja anak, anak berkebutuhan khusus, dan anak terlantar) j. secara sungguh-sungguh meningkatkan pembinaan kepada kaum laki-laki/bapak-bapak agar mewujudkan keadilan jender dan dapat membina kehidupan keluarga sesuai dengan prinsip-prinsip kristiani. 64 BAB II KESAKSIAN (MARTURIA) BERSAKSI DAN MEMBERITAKAN INJIL KEPADA SEGALA MAKHLUK A. ARTI INJIL DIBERITAKAN KEPADA SEGALA MAKHLUK 52. Sidang Raya VII DGI 1971 di Pematang Siantar menyatakan bahwa tugas gereja ialah memberitakan Injil Yesus Kristus. Selanjutnya dikatakan bahwa Injil adalah “berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan yang tersedia bagi manusia (bdk. Mrk.1:15) serta kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (bdk. Luk.4:18-21).”Sebab Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan manusia.” (Rm.1:16). 53. Memberitakan Injil kepada segala makhluk mengandung makna tanggungjawab terhadap keutuhan ciptaan Tuhan. Tuhan memberi mandat untuk mengusahakan dan memelihara segala ciptaan Tuhan (bdk. Kej.2:15). Karena dosa manusia bumi pun ikut terkutuk (bdk. Kej. 3:17-18 dan ditaklukkan kepada kesia-siaan dan perbudakan kebinasaan. Segala makhluk ikut mengerang merasa sakit bersalin menanti kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah (Rm.8:2022). Allah menghendaki pulihnya kembali hubungan utuh dan menyeluruh antar-segala makhluk (bdk. Yes.11:1-10). Kristus datang untuk membarui segala sesuatu (bdk. Why.21:5) dan di dalam Kristus kita adalah ciptaan baru (bdk. 2 Kor.5:17). 54. Dengan demikian, gereja-gereja di Indonesia menegaskan bahwa Injil adalah Berita Kesukaan yang utuh dan menyeluruh. Injil bukan berita yang berkeping-keping yang didalamnya kepingan yang satu dipertentangkan dengan 65 kepingan yang lain, seperti misalnya mempertentangkan kepingan (segi) “vertikal” dengan kepingan (segi) “horizontal”. Injil itu menyangkut keseluruhan hidup makhluk, tidak hanya perkara sorga tetapi juga perkaraperkara sekarang dan di sini. 55. Orang-orang Kristen sendiri, baik sebagai perorangan maupun persekutuan, yaitu gereja, harus terus-menerus menempatkan diri di bawah terang Injil, agar kehidupannya dapat berpadanan dengan Injil Kristus (bdk. Flp. 1:27). Sebab mereka memerlukan pengampunan, pertobatan, dan pembaruan budi terus-menerus. Dengan demikian orangorang Kristen dan gereja-gereja mempunyai wibawa untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk. 56. Rasul Paulus mengatakan bahwa pemberitaan tentang Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan ( I Kor. 1:23). 57. Secara sadar sub-tema Sidang Raya XV PGI ini dimulai dengan perkataan “bersama-sama”. Yang dimaksud di sini adalah bahwa tugas itu tidak dapat dilaksanakan oleh gereja-gereja sendiri, tetapi oleh semua lapisan masyarakat termasuk pemerintah. B. KEHARUSAN GEREJA MEMBERITAKAN INJIL KEPADA SEGALA MAKHLUK 58. Gereja-gereja di Indonesia lahir dari pemberitaan saksi-saksi mulai dari kota Yerusalem, seluruh Yudea, Samaria dan sampai ke ujung bumi (bdk. Kis. 1:8). Tugas panggilan itu akan berlanjut sampai kepada akhir zaman (bdk. Mat.28:20), agar Injil dapat diberitakan kepada segala makhluk (bdk. Mrk.16:15). Gereja-gereja telah terlibat dan mengambil 66 bagian dalam perjalanan pemberitaan itu. Gereja-gereja di Indonesia juga berada dalam perjalanan dan ikut-serta dalam tugas panggilan gereja di semua tempat dan segala zaman untuk memberitakan Injil kepada semua makhluk sampai ke ujung bumi dan sampai kepada akhir zaman. 59. Gereja-gereja di Indonesia menegaskan bahwa Injil adalah Berita Kesukaan yang utuh dan menyeluruh, untuk segala makhluk, yaitu manusia dan alam lingkungan hidupnya serta keutuhannya. Injil yang seutuhnya itu diberitakan kepada manusia yang seutuhnya, sebab Injil itu mencakup seluruh segi kehidupan manusia, tidak hanya kehidupan nanti di sorga, melainkan juga kehidupan sekarang di dunia ini. Injil itu bukan hanya mengenai jiwa atau roh manusia, tetapi juga mengenai seluruh keberadaannya, baik sebagai makhluk rohani maupun sebagai makhluk politik, makhluk sosial, makhluk ekonomi, makhluk ilmu dan teknologi, makhluk kebudayaan, dan seterusnya. 60. Dalam kegiatan pekabaran Injil, gereja-gereja di Indonesia berpandangan bahwa Injil adalah untuk seluruh dunia. Sejalan dengan itu, gereja juga memahami bahwa kegiatan pekabaran Injil dilaksanakan oleh gereja melalui seluruh aspek kehidupannya yang dijiwai oleh kuasa Roh Kudus. Pandangan ini didasarkan pada penugasan Kristus sendiri bagi gereja-Nya untuk mengabarkan Injil “sampai ke ujung bumi” kepada “semua bangsa” “sampai kepada akhir zaman” dengan kuat kuasa dari kehadiran Kristus yang disalibkan dan bangkit, serta yang hadir dalam Roh Kudus di tengah kehidupan dunia dan gereja-Nya (bdk. Mrk. 1:17;3:14;16:1516; Mat. 28:16-20; Kis. 1:8; 1 Kor. 1:17,23). Dengan demikian, panggilan dan tanggungjawab untuk mengabarkan Injil diterima dan dipikul oleh semua warga gereja, setiap orang percaya, sebagai pembawa amanat kesukaan yang membebaskan itu, dengan menjadikan dunia ini, dan 67 khususnya Indonesia, sebagai satu wilayah kesaksian dan pelayanan bersama. 61. Oleh karena Injil yang membebaskan dan memperbarui serta mempersatukan itu tidak terlepas dari kenyataan penyaliban Kristus, tindakan pengosongan diri, penjelmaanNya dan ketaatan-Nya (bdk. Flp 2:7-8) maka aspek-aspek ini harus mendasari tindakan pekabaran Injil yang dilaksanakan oleh gereja-gereja. Itu berarti bahwa dalam pelaksanaan pekabaran Injil gereja-gereja harus memperhitungkan keadaan lingkungan (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama) dengan melaksanakan pendekatanpendekatan yang lemah lembut dan hormat, dengan hati nurani yang murni (bdk. 1 Ptr.3:15-16); serta mengembangkan dialog yang konstruktif dengan semua pihak. 62. Peran-serta gereja yang mengabarkan Injil di dalam masyarakat yang bereformasi dan sedang menuju masyarakat yang berkeadaban (civil society) menuntut gereja memberi perhatian khusus kepada korban-korban ketidak-adilan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia, serta terhadap orang-orang miskin dan tertindas, berhubung karena inilah masalah-masalah sosial yang peka dan mendesak untuk diatasi. 63. Baik para pekabar Injil yang datang ke Indonesia maupun pekabar Injil yang dari Indonesia sendiri sudah melaksanakan tugas sesuai dengan hakikat dan sejarah gereja-gereja di Indonesia, dan mereka terus-menerus mengambil bagian dalam pelaksanaan tugas panggilan untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk sampai ke ujung bumi dan sampai kepada akhir zaman. 64. Gereja-gereja di Indonesia mempunyai pandangan bahwa semua agama berkeyakinan bahwa mereka mempunyai berita bagi semua orang. Dalam hal ini keberadaan gereja 68 tidak berbeda dengan keberadaan agama-agama lain. Pemberitaan itu harus dijalankan dengan cara-cara yang sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, sesuai pula dengan keluhuran agama sendiri. Sidang Lengkap VI DGI di Makassar pada tahun 1967 telah memberikan pedoman mengenai usaha-usaha untuk penyampaian berita Injil dengan mengemukakan bahwa: a. gereja harus memberitakan Injil (bdk. Mat. 28:18-20; 1 Kor. 9:16); b. gereja harus menempuh cara yang bijaksana (bdk. Mat. 10:16); c. gereja harus tahan uji (bdk. Mat. 5:11). 65. Pada masa bakti 2009-2014, di tengah bahaya pendangkalan kehidupan kerohanian (spiritual), bahaya kekosongan jiwa dalam usaha mengejar kepuasan materi, serta bahaya keterasingan dan kesepian sebagai akibat peningkatan individualisme ketika berusaha mewujudkan masyarakat yang berkeadaban (civil society), maka gereja-gereja harus meningkatkan pelaksanaan tugas panggilannya. 66. Juga pada masa bakti 2009-2014 kemajemukan bangsa dapat menimbulkan masalah, bahkan perpecahan apabila tidak ada penghormatan terhadapnya. Di samping itu, persoalan-persoalan yang pernah dikemukakan dalam Sidang Raya XIV (2004) akan tetap memperoleh perhatian gereja-gereja; mencakup: penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, di samping persoalan akut kemiskinan dan kesehatan. Oleh karena itu, mengacu pada subtema Sidang Raya XV PGI, maka memberitakan Injil Yesus Kristus, yang memperjuangkan perdamaian, berarti memberi perhatian kepada masalah-masalah tersebut. 69 C. CARA-CARA MEMBERITAKAN INJIL PADA MASA BAKTI 2009-2014 67. Dalam pemberitaan Injil, tiap makhluk dalam tiap keadaan memerlukan cara pendekatan yang paling tepat. Itulah sikap rasul Paulus dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Yahudi, orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat, orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, orang-orang yang lemah: “Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.” (1 Kor. 9:20-23). Dalam masyarakat majemuk dari segi kebudayaan, agama, bahasa, adat-istiadat, tingkat kemajuan, pendidikan seperti masyarakat Indonesia, pemberitaan Injil kepada segala makhluk dengan sendirinya harus memperhatikan kemajemukan dalam cara dan penekanan, dengan menggunakan semua karunia yang majemuk yang terdapat di kalangan gereja-gereja kita. a. Semua upaya pekabaran Injil dengan cara dan penekanan yang beranekaragam bentuknya itu harus ditempatkan dalam rangka pemahaman mengenai tugas panggilan bersama dan hendaknya tidak bertentangan satu sama 70 lain, tetapi tetap mengungkapkan ketaatan bersama kepada satu Tuhan yang memberi tugas panggilan bersama yang dilaksanakan di wilayah kesaksian dan pelayanan bersama yaitu Indonesia. Upaya-upaya tersebut perlu makin dikembangkan, antara lain melalui pemanfaatan media komunikasi. b. Tugas bersaksi dan memberitakan Injil harus dilaksanakan dengan menampilkan keteladanan yang prima di berbagai aspek kehidupan, sebagai wujud adanya integralitas antara perkataan dan perbuatan (Yoh. 13:15; 1 Tim. 4:12). 68. Mandat memberitakan Injil dipercayakan kepada gereja. Semua warga gereja, baik sendiri maupun bersama-sama memikul tanggungjawab mengenai pelaksanaan mandat dan tugas panggilan gereja. Oleh sebab itu tiap warga gereja harus dilengkapi untuk melaksanakan pemberitaan Injil dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan karunia dan kesempatan yang diberikan kepadanya. Gereja dapat mengadakan lembaga-lembaga untuk menjalankan pemberitaan Injil itu secara terencana. 69. Masyarakat Indonesia yang di dalamnya Injil diberitakan adalah masyarakat majemuk (pluralis) dari segi suku, agama, ras dan antar-golongan. Maka mengabarkan Injil dalam masyarakat seperti ini mestilah mempertimbangkan kemajemukan itu, agar “Berita Kesukaan” (Kabar Baik) yang disampaikan tidak berubah menjadi kabar buruk bagi para pendengarnya. Dalam masyarakat majemuk seperti itu, kehadiran (presensia) gereja yang peka terhadap dunia sekitarnya, proaktif di dalam mengambil prakarsa penyelesaian persoalan-persoalan bersama, dan solider dengan nasib masyarakat, sesungguhnya adalah pemberitaan Injil. (bnd. butir 74, 75 dan 80-83) 71 70. Semua upaya pekabaran Injil yang beranekaragam bentuknya dan yang dilakukan oleh gereja-gereja itu tidak boleh saling bertentangan satu sama lain, melainkan tetap mengungkapkan ketaatan bersama kepada Tuhan Yang Satu yang memberi tugas panggilan bersama untuk dilaksanakan di wilayah kesaksian dan pelayanan bersama yaitu Indonesia. 71. Dengan memperhatikan semua kenyataan di atas, maka pada masa bakti 2009-2014 perlu diusahakan adanya suatu pedoman umum yang dilaksanakan bersama-sama dalam kemajemukan cara dan bentuk. Untuk itu sewaktu-waktu perlu diadakan pembicaraan bersama mengenai masalahmasalah pokok yang menyangkut pemberitaan Injil kepada segala makhluk di Indonesia, seperti misalnya masalahmasalah berikut: a. kebebasan beragama dan kerukunan perlu semakin dikembangkan dengan berpegang pada prinsip: kebebasan beragama jangan dikorbankan demi kerukunan dan kerukunan jangan dikorbankan oleh kebebasan beragama. Hal itu dijamin oleh UUD Negara RI 1945 pasal 29 ayat (2) yang menegaskan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, dan pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya ...dst.” b. pemberitaan Injil dan keesaan gereja merupakan kesaksian kepada dunia. Oleh sebab itu pemberitaan tidak lepas dan tidak boleh bertentangan dengan usahausaha membarui dan membangun serta mempersatukan gereja. c. pemberitaan Injil dan persekutuan berkaitan erat. Persekutuan adalah suatu bentuk pemberitaan Injil dan 72 pemberitaan Injil adalah Amanat Yesus Kristus bagi orang-orang percaya sebagai persekutuan. d. pemberitaan Injil kepada segala makhluk memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai banyak permasalahan, sehingga perlu diadakan usaha studi dan penelitian bersama yang sebaik-baiknya dan usaha-usaha pendidikan serta pembinaan bersama. Demikian pula implikasi pemberitaan Injil dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dalam pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi, perlu mendapat perhatian. e. pemberitaan dan pelayanan mempunyai integritasnya masing-masing yang terkait satu sama lain. Keduaduanya adalah ungkapan dari tugas panggilan yang satu. f. kemajemukan dalam cara dan bentuk perlu makin dikembangkan antara lain dengan memanfaatkan media komunikasi yang menggunakan teknologi yang tepat guna dan ramah lingkungan, serta memanfaatkan budaya yang majemuk. Pemahaman bersama bahwa kemajemukan dalam cara-cara dan bentuk pemberitaan Injil harus ditempatkan dalam rangka pemahaman mengenai tugas panggilan bersama. D. HUBUNGAN DAN KERJASAMA 72. Gereja-gereja, bertolak dari tema dan sub-tema Sidang Raya XV, bertekad untuk meneruskan dan memperluas hubungan dan kerjasama dengan semua umat beragama baik di dalam maupun di Luar Negeri sesuai dengan kebutuhan pada aras masing-masing, sebagaimana telah dilaksanakan pada masa bakti 2004-2009. 73. Sesungguhnya Allah menciptakan manusia menurut gambar dan citra-Nya (bdk. Kej. 1:26). Allah adalah Allah bangsa- 73 bangsa (bdk. Mzm. 47:9-10). Ia tidak saja mengasihi Israel, tetapi juga Edom, Mesir dan seterusnya. Yesus Kristus memerintahkan agar kita mengasihi sesama sama seperti diri kita sendiri (Mat 22:39). Itulah juga hakikat inkarnasi Ilahi di dalam Yesus Kristus yang adalah Manusia bagi Orang Lain. Atas dasar ini, maka kita menjalin relasi dengan sesama tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. 74. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, kita harus mensyukuri kemajemukan agama-agama di Indonesia sebagai karunia Tuhan. Di dalam terang iman, kemajemukan mendorong kita untuk terus mempelajari dan melakukan kesaksian dan pelayanan yang sesuai dengan konteks kemajemukan kita. 75. Dalam usaha gereja mewujudkan tugas panggilannya untuk memberi kesaksian di tengah-tengah masyarakat majemuk, maka gereja hendaklah membina hubungan dan kerjasama dengan semua golongan termasuk dengan umat beragama. Kerjasama itu dikembangkan sesuai dengan dasar dan jiwa negara Pancasila di dalam rangka tanggungjawab membangun masyarakat berkeadaban dan bermoral tinggi. 76. Akhir-akhir ini dengan prihatin kita mencatat maraknya fundamentalisme dan sektarianisme hampir di semua agama. Untuk mengatasi hal tersebut semakin perlu ditingkatkan dialog dan kerjasama antar-umat beragama dan golongan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk mencari solusi menghadapi perubahan secara kritis, bijak, jujur, arif dan terbuka. 77. Dalam hubungan ini perlu dikembangkan dan ditingkatkan percakapan dan kerjasama antar-umat beragama dan golongan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi bersama seperti masalah kemskinan, keadilan, perdamaian, 74 sekularisme, konsumerisme, kelestarian lingkungan, hak asasi manusia, korupsi, kolusi dan nepotisme dan sebagainya. 78. Bersama-sama umat beragama lain memajukan budaya disiplin. Agama-agama pada hakikatnya merupakan sumber motivasi dalam pengembangan disiplin. Oleh karena itu hubungan dan kerjasama antar-golongan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dirasakan penting untuk ikut mengembangkan dan meningkatkan disiplin nasional.. 79. Dalam rangka membangun masa depan bersama masyarakat, bangsa dan rakyat Indonesia dengan berwawasan Nusantara, maka hubungan umat Kristen dengan umat beragama lainnya dan golongan berkepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa perlu terus dibina dan ditingkatkan E. PLURALISME 80. Di dalam memberitakan Injil, gereja-gereja mempertimbangkan secara serius pluralitas Indonesia. Pluralisme adalah pemahaman bahwa kenyataan lebih dari satu, sedangkan pluralitas adalah kenyataan itu sendiri sebagai sesuatu sebagaimana adanya semula. Maka pemutlakan, baik dalam pemikiran maupun dalam sikap, adalah pereduksian (pemiskinan) terhadap kenyataan yang maha kaya ini. Secara sosiologis, pluralisme mengakui adanya kemajemukan di dalam masyarakat, yang memang mempunyai pandangan hidup yang sangat beranekaragam sebagaimana dikonkretkan di dalam pranata-pranata sosial: suku, etnis, ras, agama, bahkan kepentingan. 81. Tentang pluralitas Indonesia telah disadari dari semula ketika negara ini didirikan. Sebagai masyarakat yang 75 pluralistis, disadari pula adanya potensi-potensi kerawanan di dalamnya. Itulah sebabnya Pancasila bukan sekadar modus vivendi (cara hidup bersama), melainkan juga sebagai “Rumah Bersama” yang memungkinkan tegaknya negara dan terwujudnya bangsa ini sebagai Keluarga Besar Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mewujudkan semangat kesatuan di dalam kepelbagaian itu. 82. Di antara berbagai kerawanan oleh karakter bangsa yang sangat pluralistis itu, maka pluralitas agama memiliki potensi yang jauh lebih rawan. Ini terjadi karena agama menentukan bukan saja kehidupan masa kini, tetapi juga di masa depan. Maka adalah tugas bersama untuk memahami, bahkan menghayati keanekaragaman di antara anak bangsa itu. Secara lebih konkret pemahaman dan penghayatan itu ditindak-lanjuti dengan pertemuan-pertemuan aktif antarumat beragama yang berbeda keyakinan, mengedepankan nilai-nilai persamaan, kesediaan membangun komunikasi, dan kesediaan bekerjasama dalam menangani masalahmasalah bersama seperti ketidak-adilan, kemiskinan, korupsi, pencemaran lingkungan, dan sebagainya. Pluralitas dan pluralisme seyogianya tidak dilihat sebagai gangguan terhadap iman pribadi; sebaliknya justru semua unsur dan komponen bangsa diajak untuk berintrospeksi dalam konteks relasi dengan umat beragama lain. Pluralitas dan pluralisme dapat merupakan jalan bagi para penganut agama-agama dan kepercayaan untuk menemukan kembali panggilan dasarnya: memperjuangkan damai-sejahtera (shalom) Allah sendiri, agar bumi ini menjadi oikos (rumah), yakni ”tempat yang layak untuk hidup bersama di dalamnya”. 83. Dengan memperhatikan semua kenyataan-kenyataan di atas, maka pada masa bakti 2009-2014 PGI memperhatikan dan melaksanakan hal-hal berikut: 76 a. meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan teologi yang inklusif-pluralistis dan terbuka, serta mempertimbangkan pluralisme agama sebagai konteks berteologi; b. membangun relasi intensif melalui dialog intra- dan antar-umat beragama guna menghasilkan sumbangansumbangan bersama bagi kepentingan bangsa dan kemanusiaan; c. secara terus-menerus mengkritisi produk perundangundangan yang diskrininatif; d. melakukan advokasi terhadap korban-korban akibat ketidak-adilan oleh kekerasan atas nama agama, baik terhadap umat Kristen maupun umat beragama lain; e. mendesak dan mendorong Pemerintah, baik melalui gerakan-gerakan politik maupun penggalangan opini publik, untuk: 1) mengambil sikap tegas dalam menjamin hak-hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang merupakan hak asasi setiap warga negara, sesuai dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945; 2) mendesak aparat keamanan mengambil tindakan tegas terhadap aksi-aksi sekelompok kalangan yang memakai cara-cara kekerasan, baik fisik maupun simbolik, dalam menyikapi perbedaan pandangan maupun keyakinan; 3) berinisiatif mengajukan dan mendorong proses legislasi produk hukum yang mengikat guna menjamin kebebasan berkeyakinan dan beribadah secara konkret. (Dalam konteks ini jaminan ditujukan bukan hanya kepada enam agama “resmi”, melainkan juga terhadap agama-agama “tidak resmi”); 4) tidak mengeluarkan UU dan Perda-perda yang diskriminatif; 5) mempertahankan dan menerapkan secara sungguhsungguh nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara dan “Rumah Bersama” yang menjamin pluralitas/ pluralisme dan persatuan nasional. 77 F. PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM 84. Sebagai manifestasi pelaksanaan tugas gereja untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk, maka setiap orang percaya bertanggungjawab bagi terpeliharanya keutuhan ciptaan. Dengan demikian setiap orang percaya mestinya menjadi hamba-hamba Allah yang sadar lingkungan dan berperan aktif dalam memelihara kelestariannya. 85. Sumber daya alam (SDA) mestinya dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat manusia, dengan mempertimbangkan secara sangat sungguh-sungguh upaya-upaya pelestarian alam dan pemeliharaan lingkungan hidup. Keharusan ini menjamin terciptanya hidup yang damai-sejahtera dan berkeutuhan ciptaan secara sinambung. 86. Indonesia memiliki SDA yang kaya raya. Akan tetapi eksploitasi alam yang terus meningkat telah menyebabkan kualitas lingkungan hidup semakin menurun. Berbagai kerusakan lingkungan a.l. terlihat dalam kenyataankenyataan berikut: degradasi air dan lahan/tanah, deforestasi hutan, kepunahan jenis binatang dan tumbuhan, perubahan atmosfir, serta degradasi masyarakat dan budaya (kearifan lokal). Semua ini, ditambah lagi dengan makin meningkatnya epidemi seperti demam berdarah, malaria dan berbagai flu, yang merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari makin memanasnya bumi (global warming) yang di dalamnya kita berdiam, dan yang lambat atau cepat mengancam manusia dan alam semesta. 87. Sebagai manifestasi tanggungjawab gereja terhadap pelestarian lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam maka pada masa bakti 2009-2014 PGI berusaha untuk: 78 a. membangun jejaring untuk bekerjasama dalam pelestarian dan pengembangan sumber daya alam serta lingkungan hidup; b. menyusun kurikulum pembinaan warga gereja (termasuk Sekolah Minggu hingga Katekisasi), lembaga pendidikan tinggi teologi dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya tentang pelestarian SDA; c. membina warganya untuk melakukan penghematan sumber daya alam sekaligus berperan-serta dalam pelestarian lingkungan hidup, a.l. menanam pohon, tidak sembarangan menebang pohon dan membabat hutan, dan membatasi penggunaan pupuk kimia; d. terus-menerus mendorong Pemerintah agar melakukan antara lain: (1) menyerukan penghentian sementara (moratorium) penebangan hutan untuk tujuan komersial dan berkonsentrasi pada rehabilitasi dan reboisasi hutan secara intensif dan ekstensif dalam jangka waktu lima tahun sampai sepuluh tahun; (2) tidak memperkenankan penambangan di lingkungan hutan lindung selama kemampuan teknologi yang aman dan ramah lingkungan belum tersedia, serta sumber daya manusia belum memadai; (3) membuat pembatasan yang memadai atas pengalihan hutan rakyat menjadi komoditas industri perkebunan seperti kelapa sawit dan tanaman lainnya (pewilayahan komoditas), agar ekstensifikasi perkebunan yang mengubah kawasan hutan cadangan atau areal penggunaan lain dapat dihentikan; (4) mengadakan pengawasan dan upaya penegakan hukum (law enforcement) kepada siapapun tanpa kecuali; 79 (5) mengawasi pembuatan AMDAL supaya dilakukan secara benar dan jujur dengan melibatkan seluruh pengampu kepentingan (stakeholder); (6) melaksanakan dengan tegas UU dan peraturanperaturan lainnya dalam hubungan dengan polusi dan perusakan lingkungan; e. mendorong kalangan swasta dan dunia bisnis agar: (1) bertanggung jawab penuh terhadap kelestarian sumber daya alam di lokasi perusahan dan sekitarnya; (2) memberdayakan masyarakat demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup warga setempat; (3) memfasilitasi dan mendukung upaya-upaya pemeliharaan alam dan lingkungan yang dilakukan masyarakat atau lembaga-lembaga lokal. f. mendorong semua lapisan masyarakat agar secara bersama-sama: (1) menggali dan menghidupkan kembali budaya/ kearifan lokal dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam; (2) berperan aktif dalam upaya pengamanan sumber daya alam dan lingkungan di wilayahnya; (3) mengembangkan pertanian selaras alam, seperti: memanfaatkan teknologi pertanian ramah lingkungan, memakai pupuk organis sebanyakbanyaknya dan meminimalisi konsumsi bahanbahan yang bersifat anorganik, termasuk penggunaan pupuk buatan; (4) mempertahankan keanekaragaman hayati dan budaya pertanian di wilayahnya. 80 BAB III PELAYANAN (DIAKONIA) BERPERAN-SERTA DAN MELAYANI A. PERLUNYA BERPERAN-SERTA DAN MELAYANI 88. 2 Gereja-gereja di Indonesia berperan-serta dan melayani dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang sedang bereformasi mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil society) berdasarkan panggilan-Nya yang bersumber pada Injil Yesus Kristus. Gereja-gereja di Indonesia, yang mengikuti teladan Tuhan-Nya yang sudah menjadi manusia bagi sesamanya (bdk Kej. 12:1-9; Luk. 10:25-37)2, mengambil bagian penuh secara positif, kreatif, kritis, realistis dan transformatif dalam semua kegiatan itu. Positif artinya terbuka terhadap yang baik, kreatif artinya: dalam kuat dan kuasa Roh Kudus menggantikan yang lama yang tidak berguna dengan yang baru, atau menambahkan yang baru pada yang sudah ada; kritis artinya melihat segala sesuatu dalam Terang Firman Tuhan; realistis artinya siuman/sadar akan waktu dan batas-batas kenyataan dan tidak terbawa oleh impian kosong; transformatif artinya selalu berupaya mewujudkan pem-baruan dengan berdasarkan pimpinan Roh Kudus. Tugas panggilan tersebut tidak hanya memberikan ruang bagi gereja-gereja untuk berperan-serta dan melayani dalam perwujudan masyarakat berkeadaban (civil society) di Indonesia, melainkan juga untuk mengajak dan mengharapkan peranserta secara bertanggungjawab dari semua warga-negara dan semua golongan, berdasarkan hak dan kewajiban yang Yang ditekankan di sini adalah gereja yang mesti menjadi manusia bagi sesama, sedangkan dalam butir 20, yang ditekankan adalah Yesus Kristus yang menjadi Manusia bagi orang lain. 81 sama. Sumber daya manusia tetap menjadi faktor penting, yang di dalamnya aspek pendidikan memainkan peranan kunci yang menentukan bagi terciptanya suatu masyarakat menengah yang dapat menjadi basis bagi proses demokratisasi yang sehat. 89. Gereja berperan-serta dan melayani dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara Pancasila untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yaitu kesejahteraan, keadilan, kebebasan, persaudaraan, perdamaian, hukum yang berkeadilan, dan kemanusiaan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia ini. 90. Kita telah melaksanakan pembangunan nasional selama tiga dasawarsa yang menekankan cita-cita kita pada waktu lalu agar sebuah masyarakat modern yang adil, makmur dan lestari berdasarkan Pancasila terwujud. Cita-cita itu belum terwujud, karena pembangunan nasional telah diselewengkan menjadi upaya mempertahankan dan melestarikan kekuasaan yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahaya-bahaya itu sesungguhnya telah diprediksi dalam PTPB 1994-1999, yaitu adanya jurang yang lebar antara yang kaya dan yang miskin, adanya ketidakadilan, kurangnya peran-serta rakyat, kesenjangan wewenang antara pusat dengan wilayah, sentra industri dengan wilayah pedesaan, serta langkanya kesempatan kerja. Hal-hal ini, demikian dikatakan akan mengakibatkan antara lain: a. Kegagalan total pembangunan. b. Negara menjadi negara industri modern tetapi militeristis dan totaliter, yang menghancurkan peradaban manusia dan negara. c. Ketidak-stabilan politik dan terhentinya kehidupan ekonomi yang berkepanjangan. 82 d. Kehancuran lingkungan hidup sebagai akibat eksploitasi yang tidak bertanggungjawab terhadap sumber-sumber daya alam. 91. Bangsa Indonesia melakukan koreksi terhadap arah pembangunan yang menyimpang ini dengan mencanangkan reformasi, yang di dalamnya sebuah masyarakat berkeadaban (civil society) berdasarkan Pancasila diwujudkan. 92. Tugas panggilan gereja untuk berperan-serta dan melayani itu dapat dilihat dari beberapa segi yang saling memperkuat dan saling memperkaya: a. Dari segi tanggungjawab untuk mengelola, memelihara dan melestarikan ciptaan Allah (bdk. Kej. 1:26-28; Mzm. 8). b. Dari segi pemberitaan Injil, untuk menghadirkan tandatanda Kerajaan Allah yang telah datang, telah berada di antara kita dan sedang dinantikan kegenapannya dalam “langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran” (bdk. 2 Ptr. 3:13). Dalam hubungan ini Sidang Raya VII DGI di Pematang Siantar (1971) mengatakan “Gereja disuruh ke dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus” dan Konsultasi Pekabaran Injil tanggal 6-8 Juni 1994 di Sukabumi mengatakan bahwa PI merupakan bagian dari misi gereja yang bertujuan memanusiakan manusia berlandaskan misi Allah (Missio Dei) dalam diri Yesus Kristus. c. Dari segi tanggungjawab untuk mengusahakan agar kehidupan masyarakat didasarkan atas keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang tanpa membedakan suku, ras, agama, budaya sebagai wujud kasih Allah bagi dunia (bdk.Yer. 22:3; Am. 5:15-24). 83 93. Ajakan dan harapan dari negara Pancasila agar semua warganegara dan semua golongan berperan-serta mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil society) atas dasar hak dan kewajiban yang sama, antara lain diungkapkan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sebagai berikut: a. Pembukaan berbicara mengenai “mengantarkan rakyat Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. b. Pasal 1 ayat (2) mengatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat….” c. Pasal 27 menyatakan: (1) “Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (2) Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut-serta dalam upaya pembelaan negara”. d. Pasal 28E menyatakan: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati-nuraninya; (3) Setiap orang berhak atas kesepakatan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 94. Berperan-serta dan melayani dalam negara Pancasila merupakan pelaksanaan tugas panggilan yang bersumber 84 dari Injil Yesus Kristus dan sebagai pelaksanaan serta tanggung jawab bernegara. 95. Pengalaman gereja menjalankan tugas panggilannya, baik dalam era pembangunan maupun dalam era reformasi, yang di dalamnya terjadi perubahan yang sangat cepat, menghadapi tiga kemungkinan: a. Gereja menjadi tersingkir, semakin terdesak dan tidak mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara, apabila gereja ketinggalan dari berbagai gerak reformasi yang dinamis ini. b. Gereja ikut-ikutan saja dengan arus reformasi, sehingga makin kaburlah misi gereja, karena dengan demikian gereja menjadi serupa dengan dunia ini (bdk. Rm. 12:2). c. Gereja mengikuti pekerjaan Roh Kudus yang membarui, membangun, dan mempersatukan gereja agar semakin mampu menghadapi tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan dalam masyarakat, bangsa dan negara yang sedang bereformasi dalam mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil society), dengan memberitakan Injil kepada segala makhluk, berperan-serta dan melayani dalam mewujudkan masyarakat berkeadaban itu. B. TUJUAN GEREJA BERPERAN-SERTA DAN MELAYANI 96. Gereja-gereja di Indonesia, berpedoman pada Injil yang memberitakan bahwa Tuhan menghendaki keadilan, kesejahteraan, persaudaraan, kemanusiaan, kelestarian alam bagi dunia dengan kedatangan Kerajaan-Nya, serta pada Pancasila, berperan-serta dan melayani untuk: 85 a. Mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan melawan segala realitas yang hendak mengerdilkan kehidupan keagamaan, kepercayaan, spiritual, dan etik. b. Mengamalkan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dengan melawan segala realitas yang merendahkan martabat dan mempersempit hak-hak asasi manusia. c. Mengamalkan sila Persatuan Indonesia dengan melawan segala realitas yang dapat menimbulkan pertentangan dan ketegangan berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). d. Mengamalkan sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dengan melawan segala realitas yang dapat membawa ke otoritarianisme, militerisme dan totaliterisme. e. Mengamalkan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dengan berusaha menghilangkan jurang antara yang kaya dan yang miskin, serta melawan segala realitas yang merusak lingkungan hidup. C. CARA BERPERAN-SERTA DAN MELAYANI 97. Sejak zaman Zending gereja-gereja telah menjalankan kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pertanian dan pengangkutan. Usaha-usaha itu tidak hanya dijalankan oleh gereja-gereja sendiri, tetapi juga oleh lembaga-lembaga yang secara khusus didirikan untuk melaksanakan pelayanan di bidang-bidang tertentu. Selama pergerakan kemerdekaan, perang kemerdekaan, pembinaaan bangsa dalam revolusi, gereja dan orang-orang Kristen telah turut berperan-serta di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, militer, dsb. 86 Pada masa bakti 2009-2014 gereja melanjutkan peransertanya dalam memberikan koreksi terhadap pembangunan nasional yang sempat menyimpang karena kecenderungannya sebagai alat mempertahankan dan melestarikan kekuasaan, yang di dalamnya korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi sangat akut, dan berperan-serta dalam cita-cita mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil society), dengan memperjuang-kan hal-hal berikut: a. Mengupayakan proses demokratisasi di bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. b. Penegakan hukum yang berkeadilan dan mengabdi kepada kepentingan nasional serta memajukan kesadaran masyarakat terhadap budaya hukum. c. Penegakan hak-hak asasi manusia, antara lain hak-hak kaum perempuan dan anak, masyarakat terasing, masyarakat adat, kaum cacat, narapidana, buruh, petani, nelayan, dsb. d. Mengupayakan perdamaian yang otentik, termasuk menghilangkan akar-akar kekerasan, teror dan terorisme dan fundamentalisme agama. e. Mengupayakan berbagai jenis pendidikan yang mendorong terciptanya lapangan kerja. f. Memajukan pendidikan nasional yang mencakup: pendidikan nilai (pembinaan spiritual, moral, dan etik) serta pembinaan ketrampilan dan profesional yang berbasis kewilayahan. g. Dalam rangka civil society, berupaya memberikan civic education dan pendidikan multikultural. h. Membangun dan memperluas jejaring lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan gereja untuk saling menopang dan meningkatkan kualitas pendidikan. i. Pembinaan dan pelatihan kewirausahaan, pengembangan badan usaha dan koperasi. 87 j. Peningkatan kesehatan masyarakat yang optimal dan terjangkau bagi kalangan miskin. D. GEREJA DAN PELAYANAN KEADILAN DAN PENEGAKAN HARKAT DAN MARTABAT MANUSIA 98. Dalam rangka perwujudan peran-serta dan melayani pada masa bakti 2009-2014, maka persoalan politik dan ideologi, penegakan hukum, keadilan, pelayanan dan pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia tetap diberi perhatian penting. D1. GEREJA, POLITIK & IDEOLOGI 99. Umat Tuhan ditempatkan Tuhan di bumi, dan secara khusus di dalam sebuah masyarakat dan/atau negara untuk hidup bersama dan bergaul dengan sesama warga masyarakat/ warganegara. Karena itu umat Tuhan diserukan untuk berdoa bagi “kota” dan ikut mengusahakan kesejahteraan “kota”, sebab kesejahterannya adalah pula kesejahteraan umat Tuhan (Yer. 29:7). Inilah dasar bagi umat Tuhan untuk membangun dan hidup bersama di dalam “kota” (polis). Umat Tuhan juga diperintahkan untuk menghormati pemerintah, selama pemerintah mengemban pedang keadilan bagi kesejahteraan bersama (Rm.13). Tetapi kritik juga harus disampaikan apabila pemerintah bertindak zalim (bdk. Why. 13). 100. Guna mewujudkan kehidupan bersama di dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini, gereja berkeyakinan bahwa Tuhan mengaruniakan Pancasila kepada bangsa Indonesia. Pancasila adalah dasar dan ideologi yang di atasnya negara dan bangsa didirikan, tetapi juga adalah rumah bersama yang di dalamnya semua warga 88 masyarakat/warga negara hidup. Pancasila adalah “Perjanjian Luhur” seluruh bangsa yang mestinya dihormati kalau kita tidak ingin bangsa dan negara Indonesia runtuh. 101. Dalam tahun-tahun terakhir ini ditengarai adanya kecenderungan bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami krisis besar, khususnya dalam masalah kebangsaan. Hal itu terlihat dalam sikap pengingkaran terhadap Pancasila dan pembusukan politik (political decay). Bahkan ada kecenderungan menggeser Pancasila dengan ideologi lain, sebagaimana tampak dari munculnya berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang tidak lagi berdasar pada Pancasila. 102. Perlu ditegaskan bahwa berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI 1945 telah dibayar dengan harga mahal oleh seluruh komponen bangsa. Karena itu setiap penyimpangan dan pereduksian terhadap nila-nilai Pancasila dan UUD Negara RI 1945 adalah rongrongan terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pengkhianatan terhadap “Perjanjian Luhur” tersebut. 103. Gereja mempunyai tanggungjawab politik dalam arti turut serta secara aktif di dalam mengupayakan terselenggaranya kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945 dengan memperjuangkan keseimbangan antara kekuasaan (power), keadilan (justice) dan kasih (love). 104. Dengan memperhatikan semua kenyataan tersebut, maka pada masa bakti 2009-2014 PGI dan gereja-gereja di Indonesia hendaknya: a. mendorong seluruh warganya untuk, bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya melawan berbagai upaya yang mendiskreditkan Pancasila. Pancasila harus 89 tetap dipertahankan sebagai dasar dan ideologi negara, serta rumah bersama. Untuk maksud itu berbagai upaya dapat dijalankan guna mengawal dan menerapkan nilainilai Pancasila dalam penyusunan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, dan mengawasi penegakan HAM di Indonesia. b. terus menggiatkan dan meningkatkan pendidikan politik, yang pada masa bakti 2004-2009 telah dilaksanakan beberapa kali, dengan penekanan pada kehidupan bersama sebagai warga negara di dalam masyarakat pluralis Indonesia c. memperlengkapi warga gereja agar: (1) setiap warga gereja memahami dan menghayati nilai-nilai Kristiani di dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai pelajar, mahasiswa, pegawai, pedagang, wiraswasta, ataupun di dalam menekuni berbagai profesi. (2) setiap warga gereja yang berkecimpung di bidang politik mempunyai wawasan kristiani, jujur, dapat dipercaya dan mengutamakan kepentingan rakyat. D2. GEREJA DAN PENEGAKAN HUKUM DAN HAM 105. Manusia adalah gambar dan citra Allah (Kej. 1:26-27). Sebagai citra Allah, manusia memancarkan dan merefleksikan sifat-sifat Allah di dalam kehidupan seharihari, baik dengan sesama maupun dengan lingkungannya. Sifat-sifat Allah itu antara lain adalah: baik, benar, adil, kasih. Kita dipanggil untuk merefleksikan bahwa Tuhan itu baik kepada semua orang melalui perbuatan-perbuatan kita yang baik dan menghargai setiap orang. 106. Karena manusia adalah gambar dan citra Allah, maka penghormatan atas harkat dan martabatnya sebagai 90 manusia adalah juga penghormatan kepada Allah. Sebaliknya, peng-hinaan dan pelecehan terhadapnya adalah juga penghinaan dan pelecehan terhadap Allah. 107. Di Indonesia perhatian terhadap harkat dan martabat manusia, terutama sejak gerakan reformasi, telah memperoleh perhatian yang memadai. Namun kita masih terus berusaha mewujudkannya, sebab di dalam kehidupan sehari-hari cita-cita penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia belum sungguh-sungguh bertindih-tepat dengan implemen-tasinya. 108. Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana secara jelas tercantum dalam UUD Negara RI 1945 pasal 1 ayat 3. Dengan demikian kehidupan ketatanegaraan, kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan haruslah berdasar atas hukum yang telah disepakati. Itu juga berarti, Indonesia memiliki satu kesatuan sistem hukum yang dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD Negara RI 1945. Maka hukum seperti itu mestinya mencerminkan keadilan, di mana hak-hak asasi manusia dilindungi. Itu berarti tidak ada hak istimewa yang diberikan kepada warga negara berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan. 109. Peraturan hukum yang diskriminatif ini sangat berpotensi memecah-belah persatuan, tidak senafas dengan prinsip hukum yang kita anut, yang memandang setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan tidak sejalan dengan perlindungan HAM yang hendak kita tegakkan. Dalam hal ini negara mestinya memposisikan diri sebagai pelindung dari seluruh masyarakat tanpa kecuali. 91 110. Dengan memperhatikan semua kenyataan tersebut maka pada masa bakti 2009-2014 PGI dan gereja-gereja di Indonesia hendaknya: a. mengintensifkan lobby-lobby dan membentuk jejaring dengan berbagai komponen masyarakat yang mempunyai keprihatinan yang sama terhadap persoalan hak-hak asasi manusia, agar hak-hak asasi manusia sungguh-sungguh dijunjung tinggi dan dihormati melalui berbagai perangkat hukum. Khusus di lingkungan warga gereja, itu bisa dilakukan dengan memfasilitasi pertemuan para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan pengacara) dalam rangka pembekalan nilai-nilai kristiani pada pelaksanaan hukum di Indonesia; b. mengintensifkan pemikiran-pemikiran kreatif dan konstruktif agar semua keputusan negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. c. mengintensifkan jejaring dengan berbagai komponen bangsa untuk menolak semua RUU dan UU yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. d. membentuk Komisi Hukum dan HAM di setiap sinode gereja-gereja, untuk terlibat dalam proses legislasi di tingkat nasional (DPR) maupun lokal (DPRD) serta memberikan penyuluhan hukum kepada jemaat-jemaat. Hal ini bisa juga dilakukan lintas-agama yaitu dengan berbagai elemen masyarakat yang mempunyai perhatian dan keprihatinan yang sama terhadap proses legislasi dan HAM. D3. GEREJA DAN PENATAAN SOSIAL-EKONOMI 111. Manusia diberi mandat oleh Allah untuk menjadi penatalayan (steward) yang baik dengan mengusahakan bumi ini bagi kesejahteraannya (Kej. 1:28). Rumah (oikos), yang di dalamnya manusia hidup harus dikelola dan ditata. 92 Bukanlah sebuah kebetulan apabila istilah “ekonomi” mempunyai akar yang sama dengan “ekumene”, keduanya mengacu pada penataan rumah agar bisa didiami secara layak. Dalam derajat tertentu perumpamaan Yesus mengenai talenta yang digandakan mengacu pada usaha untuk lebih memperbaiki kualitas kehidupan. Talenta tidak boleh ditanam di dalam tanah sehingga tidak produktif. 112. Atas dasar keyakinan itu, kita mengupayakan kehidupan sosial-ekonomi yang baik dan lebih berkualitas, agar sungguh-sungguh kita bisa hidup layak di dalam dunia ciptaan Tuhan. Semua upaya-upaya sosial-ekonomi mestinya mengarah kepada perwujudan keadilan di dalam memanfaatkan sumber-sumber alam secara bertanggungjawab, sehingga tidak ada pihak yang lebih diuntungkan dibanding pihak yang lain. 113. Dalam implementasinya pembangunan ekonomi di negara kita dewasa ini ternyata lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan pro pasar bebas (neo liberalisme). Hal ini telah menghasilkan krisis multi-dimensi yang berkepanjangan, di antaranya: kemiskinan dan pengangguran yang tetap tinggi serta ketergantungan pemerintah terhadap pinjaman modal baik dari dalam mapun luar negeri. 114. Ternyata kebijakan pertumbuhaan ekonomi pro pasar bebas ini menciptakan ketidak-adilan ekonomi dan kesenjangan pendapatan yang makin meluas. Globalisasi ekonomi yang dijanjikan akan membuat dunia semakin sejahtera dengan menerapkan neo liberalisme ternyata tidak terwujud. Justru krisis demi krisis yang muncul: keuangan, pangan, enerji, keamanan, lingkungan hidup, dan seterusnya. Orang-orang miskin, yang jumlahnya makin membengkak justru menderita dampak terbesar dari berbagai krisis ini. 93 115. Jelas bahwa berbagai krisis ini disebabkan oleh penerapan paradigma profit making yang lebih menguntungkan kelompok dominan atau pemilik modal, yang mempunyai etos kompetisi guna mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan apa dan siapa saja. Dalam pandangan gereja-gereja, ini adalah dosa dan kejahatan yang bakal membawa kepada kematian dan kehancuran. Kecuali diterapkan paradigma ekonomi yang pro-rakyat, maka dunia kita bisa diselamatkan dari ancaman kematian dan kehancuran itu. 116. Guna mencapai itu, maka gereja-gereja mendorong diterapkannya paradigma pro-rakyat sebagaimana dipromosikan dalam dokumen AGAPE (Alternative Globalization Addressing People on Earth – Globalisasi Alternatif bagi Umat Manusia di Bumi): sebuah sistem ekonomi global yang dijalankan atas prinsip cinta-kasih yang berorientasi kepada Allah, manusia dan alam semesta, di mana etos dominannya bukanlah pencarian untung semata, melainkan cinta-kasih. Di sini pembangunan ekonomi mengutamakan keadilan, damai-sejahtera, dan sukacita bersama, dari semua untuk semua. 117. Dengan memperhatikan semua kenyataan tersebut, PGI dan gereja-gereja bertekad untuk meningkatkan derajat hidup dan ekonomi jemaat. Untuk itu diserukan kepada seluruh gereja untuk: a. menyampaikan suara kenabian yang menolak sistem ekonomi yang tidak adil dan tidak ramah lingkungan, serta menawarkan solusi alternatif bagi penciptaan ekonomi yang membawa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk; b. membuka dan memperluas jejaring ke pihak swasta dan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial ekonomi lainnya; 94 c. mengembangkan kewirausahaan di kalangan jemaat; d. membangun kemitraan antar-jemaat di tingkat lokal, nasional dan internasional, dalam rangka solidaritas untuk menanggulangi kemiskinan; e. memperkuat pelayanan kategorial yang oikoumenis dan bersifat diakonial transformatif; f. mengembangkan SDM melalui pelayanan pendidikan dan kesehatan. D4. GEREJA DAN BIDANG PENDIDIKAN 118. Pada masa pelayanan Yesus di dunia ini, Ia menunjukkan pentingnya pengajaran dan pendidikan kepada muridmurid-Nya dan manusia di sekelilingnya. Dan salah satu tugas utama yang diamanatkan kepada para murid/ pengikut-Nya adalah mengajar dan melayani, memberitakan firman dan membaptiskan (Mat. 28:19-20). Itulah sebabnya pendidikan dan pengajaran telah menjadi pusat perhatian dalam kehidupan jemaat mula-mula. Dan yang menjadi sumber dan acuan utama tugas dan muatan pendidikan dan pengajaran itu adalah Kitab Suci (2 Tim. 3:16-17). Lewat pendidikan dan pengajaran inilah gereja meneruskan pewarisan iman, nilai dan pengetahuan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. 119. Pendidikan merupakan hak asasi dari setiap manusia dalam proses mempersiapkan diri menuju masa depan yang lebih baik. Dalam pasal 28 ayat 1 UUD Negara RI 1945 ditegaskan bahwa “setiap manusia Indonesia berhak mendapatkan pendidikan sebagai pemenuhan salah satu kebutuhan dasarnya dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup”. Dengan demikian pendidikan memiliki makna yang amat strategis dalam meningkatkan 95 SDM yang berkualitas demi mencapai kesejahteraan hidup. Namun pada kenyataannya, pendidikan belum mendapat perhatian utama dalam kehidupan bangsa kita. Realitas yang sangat menyedihkan adalah, sejak kemerdekaan sampai saat ini pendidikan belum menempati posisi sentral dan strategis dalam upaya mengisi kemerdekaan dan dalam menjawab amanat mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu akibatnya adalah rendahnya kualitas SDM Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. 120. Gereja yang diutus Tuhan di tengah dunia memang tidak bisa tidak harus menjadi gereja yang concern (peduli) terhadap pergumulan dunia sekitarnya, bahkan juga terhadap pergumulan masyarakat dan bangsanya. Tanpa memiliki sikap seperti itu, gereja tidak lebih dari sekedar persekutuan yang eksklusif, introvert, yang hanya menjadi pemantau dan pengamat di tengah sejarah. Gereja wajib memberi perhatian khusus kepada pelayanan pendidikan dalam skala yang lebih luas, disertai peningkatan mutu penyelenggara pendidikan dan semua peserta didiknya. 121. Dengan memperhatikan pokok-pokok pikiran tersebut, pada kurun 2009-2014 ini, gereja-gereja hendaknya (bdk. butir 97): a. Mengupayakan berbagai jenis pendidikan yang mendorong terciptanya lapangan kerja b. Memajukan pendidikan nasional yang mencakup: pendidikan nilai (pembinaan spiritual, moral, dan etik) dan pembinaan keterampilan dan profesional yang berbasis kewilayahan. c. Dalam rangka civil society, diupayakan memberikan civic education dan pendidikan multikultural d. Membangun dan memperluas jejaring lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan gereja untuk saling menopang dan meningkatkan kualitas pendidikan. 96 e. mendorong gereja-gereja untuk memperhatikan peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan guruguru, dosen yang beragama Kristen di semua jenjang pendidikan, baik formal maupun informal, serta membantu peningkatan pendidikan dan kompetensi guru-guru. f. meningkatkan hubungan kerja sama secara sinergis antara lembaga Kristen dalam rangka pengadaan guruguru yang kompeten; kerjasama dengan mitra-mitra dan lembaga donor baik dari dalam maupun luar negeri dalam rangka peningkatan kualitas SDM guru/dosen. g. mendukung program Mejelis Pendidikan Kristen (MPK) dalam meningkatkan kualitas kinerja/manajemen para kepala sekolah dan kompetensi guru-guru Sekolah Kristen melalui Program Anak Asuh yang menjadi program prioritas bagi MPK dalam beberapa tahun mendatang. Program Anak Asuh tersebut merupakan program ”eksperimentasi” di mana ”sekolah yang terbaik” di suatu daerah (di dalam suatu MPK Wilayah) menjadi tempat belajar/magang kepala sekolah dan guru-guru yang masih lemah dan memerlukan pembinaan (supervisi). Hal-hal yang memerlukan keahlian (expertise) yang lebih tinggi atau yang belum ada di daerah tersebut, dapat dibantu oleh MPK Pusat. Setiap tahun, kalau perkembangan sekolah-sekolah yang dibina mendapat kemajuan, sekolah lainnya akan mendapat giliran sebagai ”sekolah yang diasuh”. h. melakukan kajian kritis terus-menerus terhadap berbagai produk perundang-undangan yang berhubungan dengan pendidikan, sehingga tidak mereduksi ciri dan identitas pendidikan Kristen. i. mendorong sekolah-sekolah teologi secara berkala meninjau kurikulum yang ada sesuai perkembangan 97 pendidikan yang menjawab kebutuhan gereja dan masyarakat. j. mendorong pemerintah agar memperhatikan pendidikan di pedesaan dan daerah-daerah terpencil agar mendapat perhatian serius dalam rangka pemerataan pendidikan. D5. GEREJA DAN BIDANG KESEHATAN 122. Allah mengasihi manusia sehingga Ia ingin melihat manusia berada dalam keadaan yang sejahtera (yaitu bebas dari penyakit), yang sekaligus berada dalam hubungan yang harmonis dengan Allah sendiri. Di dalam Keluaran 15:26, Allah berkata “Aku, Tuhanlah yang menyembuhkan engkau”. Tugas dan pelayanan yang dilaksanakan Yesus di dunia adalah menyembuhkan orang sakit dan membebaskan manusia dari penderitaan. Ini dimateraikan oleh Allah sendiri, kemudian diteruskan oleh Yesus, murid-murid-Nya, Rasul-rasul, tua-tua sampai kepada orang-orang percaya. Suatu kenyataan bahwa salah satu penyebab berkembangnya umat Kristen di dunia ini adalah karena pelayanan penyembuhan itu. Gereja berkembang oleh karena Kasih Allah dinyatakan melalui orang-orang Kristen yang percaya. 123. Sehat adalah suatu keadaan kesejahteraan yang dinamis dari para individu atau masyarakat dalam hal tubuh, jiwa, ekonomi, sosial dan rohani. Suatu keadaan harmonis dengan sesama manusia, dengan alam sekitar, dan dengan Allah pencipta-Nya. Penyembuhan adalah suatu proses mengembalikkan keadaan yang sakit ke arah keadaan yang sehat. Dalam proses itu harus memperhatikan faktor-faktor keadaan tubuh (fisik), lingkungan masyarakat (sosial), jiwa (mental), dan hidup kerohanian (spiritualitas). 98 124. Kesehatan adalah hak dasar manusia dan masyarakat, sebagaimana diatur dalam UUD tahun 1945. Negara memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, menyediakan fasilitas pelayanan yang bermutu. Upaya pelayanan kesehatan mencakup pencegahan, pengobatan, promosi, penyuluhan, dan rehabilitasi kesehatan. Kondisi kesehatan masyarakat, dimana jemaat juga diam bersama, belum menggembirakan. Angka kesakitan dan kematian bayi dan ibu melahirkan masih relatif tinggi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara. Angka harapan hidup relatif rendah di antara negara-negara itu. Jumlah penderita penyakit menular terus bertambah, padahal penyakitpenyakit ini, dahulu pernah dinyatakan bebas dari Indonesia. Sementara upaya untuk mengurangi angka kesakitan ini dilaksanakan, dewasa ini kita diperhadapkan dengan penyakit-penyakit kedaruratan, seperti HIV/AIDS, deman berdarah, flu burung, dan lain-lain. Angkanya dari waktu ke waktu terus bertambah. Bahkan tidak jarang membawa kepada kematian. 125. Gereja-gereja di Indonesia telah menunjukkan kepeloporan dalam pelayanan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan yang digunakan adalah rumah sakit, balai pengobatan, balai kesejahteraan ibu dan anak, fakultas kedokteran, akademi perawatan dan kebidanan, diperhadapkan dengan tingkat “persaingan” dengan penyelenggara pelayanan kesehatan yang dikelola lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta. Tantangan sarana ini adalah memenuhi ketenagaan (khususnya medis), peralatan yang mengikuti perkembangan penyakit dan pembiayaan kesehatan, khususnya untuk masyarakat (pasien) yang miskin, sebagaimana satu misi sosial Rumah Sakit Kristen. 126. Gereja yang diutus ke dunia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menjadi gereja yang menyembuhkan bagi masyarakat. 99 127. Dengan memperhatikan pokok-pokok pikiran tersebut, maka pada masa bakti tahun 2009-2014, PGI bersama gereja-gereja di Indonesia bertekad: a. Mendorong gereja-gereja untuk mengembangkan pelayanan kesehatan yang holistik. b. Mendorong upaya-upaya peningkatan angka harapan hidup, penurunan angka kematian ibu melahirkan, angka kematian bayi-lahir, dan peningkatan gizi bayi di bawah lima tahun. c. Mendorong jemaat untuk mengembangkan pola hidup bersih dan sehat berbasis jemaat. d. Bersama dengan masyarakat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA (narkotika, psiko-tropika dan zat adiktif) e. Mendorong jemaat untuk peduli dan menjaga serta mengoptimalkan penggunaan air bersih, sanitasi dan kesehatan lingkungan f. Menetapkan kalender gerejawi untuk diakonia kesehatan g. Mendorong jemaat untuk peningkatan gizi masyarakat melalui bahan-bahan lokal dalam masyarakat. h. Kampanye terhadap HIV/AIDS, menghilangkan stigmatisasi dan diskriminasi i. Melakukan kajian kritis terus-menerus terhadap berbagai produk perundang-undangan yang berhubungan dengan kesehatan yang berpihak kepada kemanusiaan tanpa diskriminatif. j. Mendukung program Persekutuan Pelayanan Kristen Untuk Kesehatan di Indonesia (PELKESI) dalam memper-juangkan pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau masyarakat, berbagi sumber daya kesehatan k. Mendorong pendidikan kesehatan sejak usia dini. l. Mendorong sekolah-sekolah teologi untuk mengkaji kurikulum tentang gereja yang menyembuhkan dan pendidikan kesehatan. 100 m. Mendorong pemerintah untuk memfasilitasi penempatan tenaga-tenaga kesehatan, yaitu dokter umum, dokter spesialis, perawat dan bidan di daerahdaerah pedalaman dan terpencil. n. Kerjasama inter dan antar insitusi Kristen di bidang kesehatan dan kerjasama dengan mitra luar negeri. o. Mendorong gereja-gereja untuk mengembangkan program pelayanan kesehatan primer (PKP) dan pelayanan pastoral konseling di bidang kesehatan. PENUTUP PELAKSANAAN PTPB 128. Pelaksanaan PTPB pada masa bakti 2009-2014 adalah tanggungjawab gereja-gereja anggota PGI, PGI beserta seluruh alat kelengkapan dan perangkat strukturalnya (bidang, departemen, biro, dst.), lembaga-lembaga pendidikan teologi, pembinaan warga gereja, pendidikan umum, pelayanan kesehatan, pelayan dan pembinaan oikumenis, serta kelompok-kelompok kategorial yaitu anak, remaja, pemuda, mahasiswa, laki-laki dan perempuan, dan kelompok-kelompok fungsional/profesional. a. Gereja-gereja anggota PGI menetapkan program gereja masing-masing dalam rangka pelaksanaan PTPB sesuai dengan ketentuan yang berlaku di gereja masingmasing dengan melibatkan seluruh warga gereja. b. Gereja-gereja anggota PGI di masing-masing wilayah menentukan program tahunan PGIW/SAG, PGIS/PGID, dan POUK dalam rangka pelaksanaan PTPB, termasuk bagi alat-alat kelengkapan masing-masing, melalui Sidang MPL PGIW/SAG danPGIS/PGID. 101 c. Gereja-gereja anggota PGI menetapkan program tahunan PGI dalam rangka pelaksanaan PTPB oleh alatalat kelengkapan PGI, melalui Sidang MPL-PGI. d. Lembaga-lembaga/badan-badan gerejawi dan lembagalembaga keumatan, dan para warga gereja yang mempunyai kedudukan dan peran penting dalam masyarakat dan negara diikut-sertakan secara teratur untuk mendukung dan membantu pelaksanaan PTPB. e. Jaringan lembaga pelayanan Kristen, Lembaga Swadaya Masyarakat, Usaha Kesejahteraan Sosial, Lembaga Pengembangan Prakarsa Masyarakat, lembaga-lembaga lain yang bersifat oikumenis, perlu ditingkatkan peranannya sebagai wujud nyata kebersamaan dalam rangka menanggulangi kemiskinan. 129. Diusahakan agar PTPB menyadarkan gereja-gereja akan pentingnya produk dokumen bersama ini bagi gerakan keesaan, sehingga dengan sungguh-sungguh menciptakan suasana, wawasan serta pandangan bersama dalam rangka mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. 130. Diusahakan agar kerjasama dengan Pemerintah Republik Indonesia secara langsung atau tidak langsung membantu pelaksanaan PTPB dan ikut mengatasi hambatan-hambatan yang dapat timbul dalam rangka pelaksanaan PTPB. 131. Pelaksanaan PTPB ini hanya dapat berhasil dengan pertolongan Roh Kudus yang memungkinkan semua pihak menyatakan kebaikan Tuhan kepada semua orang, dan keikut-sertaan seluruh warga gereja. 102 103 II. PEMAHAMAN BERSAMA IMAN KRISTEN DASAR PEMIKIRAN Berkat kuasa Roh Kudus yang telah melahirkan DGI menjelang hari Pentakosta tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta, yang pada Sidang Raya X DGI/PGI di Ambon tahun 1984, menjadi PGI maka kami Gereja-gereja Anggota PGI telah bersepakat dan bertekad untuk mewujudkan tugas dan panggilan kami sebagai gereja-gereja Tuhan di Indonesia, dalam suasana dan semangat persekutuan, dan bukan secara sendiri-sendiri atau terpisah-pisah. Kami telah memasuki sejarah bersama dan berada di atas jalan bersama sebagai gereja yang Esa di Indonesia, yang sedang tumbuh menuju kesempurnaan sebagai gereja Tuhan yang Esa di segala tempat dan di sepanjang zaman. Kami mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel yang telah lahir dari pergumulan iman pada zaman gereja purba, sebagai kesaksian yang benar dan penuh berdasarkan Alkitab mengenai iman Kristen dan sebagai lambang keesaan Gereja Tuhan di segala tempat dan di sepanjang zaman. Kami mengakui Pengakuan Iman yang telah lahir dalam rangka sejarah gerakan pembaruan gereja (Reformasi) sebagai bagian dari warisan gereja yang memperkaya iman kami. Kami memahami bahwa pelbagai Pengakuan Iman sebagai hasil pergumulan gereja-gereja anggota PGI di masa lampau, kini dan di masa mendatang, dalam rangka menyatakan imannya, adalah bagian dari kesaksian kami bersama yang didasarkan pada Alkitab. Demi pelaksanaan tugas panggilan bersama, dengan melihat Indonesia dengan segala kemajemukannya sebagai satu wilayah kesaksian dan pelayanan kami bersama, maka pada Sidang Raya XIV di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 29 November– 5 Desember 2004 kami sepakat untuk meningkatkan dan mengembangkan PEMAHAMAN BERSAMA IMAN KRISTEN DI INDONESIA yang ditetapkan oleh Sidang Raya X DGI/PGI tahun 1984 di Ambon. 104 Pengembangan dan peningkatan ini dimaksudkan untuk lebih mencerminkan lagi pergumulan-pergumulan kami dalam menghayati iman Kristen di tengah-tengah masyarakat dan bangsa Indonesia. Pemahaman Bersama Iman Kristen ini dimaksudkan sebagai langkah pendahuluan bagi Pengakuan Iman Bersama dan sebagai landasan dan sumber motivasi teologi bagi kami bersama untuk melanjutkan perjalanan kami sebagai gereja. Pokok-pokok Pemahaman Bersama Iman Kristen di Indonesia sebagai berikut: BAB I TUHAN ALLAH Kami percaya bahwa: 1. Sesungguhnya ”Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa” (Ul. 6:4). Tidak ada Allah selain Dia (Kel. 20:3; Ul. 5:7). Dialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta seluruh isinya, dan yang tetap memeliharanya hingga kesudahan alam (Kej. 1:2; Mzm. 24:1-2; 89:12; 104:1 dst.; Kol. 1:16). Allah menyatakan diri dalam karya penciptaan-Nya dan dalam sejarah umat manusia (Mzm. 19:2-3; Rm. 1:19-20) dan secara khusus dan sempurna dalam Yesus Kristus Anak-Nya yang Tunggal (Yoh. 1:18). Oleh pimpinan Roh Kudus kami mengenal dan menyembah Dia sebagai Bapa dalam Yesus Kristus, sebab semua orang yang dipimpin oleh Roh Allah adalah anak-anak Allah (Rm. 8:14-15). 2. Allah berbicara kepada manusia, berulang kali dan dalam pelbagai cara dengan perantaraan nabi-nabi, dan pada zaman akhir ini dengan perantaraan Yesus Kristus, Anak-Nya yang Tunggal (Ibr. 1:1-2). Dalam Yesus Kristus Allah menyatakan diri sebagai Allah yang mengampuni dan menyelamatkan manusia dari penghukuman karena dosa, yaitu dengan jalan mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam 105 keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ’Yesus Kristus adalah Tuhan’ bagi kemuliaan Allah, Bapa” (Flp. 2:7-11). 3. Allah hadir dan bekerja di dalam dunia dan dalam gereja melalui Roh Kudus yang memerdekakan manusia dari hukum dosa dan hukum maut (Rm. 8:2; 2 Kor. 3:17). Roh Kudus itu menghidupkan, membarui, membangun, mempersatukan, menguatkan, menertibkan, dan meneguhkan serta memberi kuasa pada gereja untuk menjadi saksi, menginsyafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman, dan memimpin orang-orang percaya kepada seluruh kebenaran Allah (Yeh. 37; Kis. 1:8; Ef. 3:16-17; 4:3-4; Rm. 8:1; 1 Kor. 12:7, 12; 14:26, 33; 2 Tim. 1:7; Yoh. 16:8-11, 13). Karena itu kami mengaku dan memuliakan serta menyaksikan Allah yang Maha Esa dan kekal, yaitu Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus (Yes. 43:10; 44:6; Mat. 28:19; 2 Kor. 13:13; Flp. 4:20; Ibr. 13:8; Why. 4:8). BAB II PENCIPTAAN DAN PEMELIHARAAN Kami percaya bahwa: 4. Alam semesta, langit, dan bumi serta segenap isinya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, adalah milik dan ciptaan Allah (Kej. 1-2; Mzm. 24:1-2; 89:12; Yes. 44:24; Yer. 27:5; Kol. 1:16). Segenap ciptaan itu sungguh amat baik (Kej. 1-31), namun semua yang telah diciptakan Allah itu tidak boleh diperilah dan disembah (Kel. 20:3-5; Rm. 1:18-25). 106 5. Seluruh ciptaan itu ditempatkan Allah dalam keselarasan yang saling menghidupkan, sejalan dengan kasih karunia pemeliharaan-Nya atas ciptaan-Nya (Kej. 1:20-30; 2:15; 19; Mzm. 104:10-18; Yes. 45:7-8). Allah tidak menginginkan ciptaan-Nya kacau dan saling menghancurkan (Kej. 21-22; 9:8-17), kendatipun dosa telah membawa segenap makhluk kepada kesia-siaan dan membuatnya turut mengerang dan mengeluh menantikan saat penyelamatan (Rm. 8:20-22). Allah telah memberikan mandat khusus kepada manusia untuk turut dalam memelihara dan penguasaan seluruh ciptaan-Nya (Kej. 1:26-28; 2:15). Manusia harus bertanggungjawab dalam memelihara dan mengusahakan kelestarian alam ciptaan Allah itu. Perusakan terhadap ciptaan Allah, terhadap alam dan lingkungan sekitar, pada dasarnya adalah perlawanan terhadap Allah yang telah menjadikan segala sesuatu dan yang senantiasa memeliharanya dalam kasih dan kesetiaan. 6. Dari permulaan hingga akhir, Tuhan Allah memerintah, memelihara dan menuntun segenap ciptaan-Nya dengan kasih setia dan adil (Mzm. 145:9; 146:6). Dan dengan terus-menerus menentang segala kuasa yang hendak merusakkan ciptaanNya. Ia menuntun seluruh ciptaan-Nya menuju kesempurnaan di dalam langit baru dan bumi baru (Yes. 1:10; 51:9-11; 2 Ptr. 3:13; Why. 21:1-5), yang di dalamnya segala ciptaan yang ada di atas dan yang ada di bawah bumi bertekuk lutut dan mengaku: ”Yesus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:10) BAB III MANUSIA Kami percaya bahwa: 7. Manusia diciptakan Allah menurut gambar/citra-Nya (Kej. 1:26-27). Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan 107 dengan martabat yang sama (Kej. 1:27), dan dikaruniai tugas mandat untuk beranak cucu dan memenuhi bumi serta untuk menguasai, mengusahakan, dan memelihara seluruh ciptaan Allah (Kej. 1:26-28; 2:15). Untuk dapat melaksanakan tugas dan mandat itu, Allah memperlengkapi manusia dengan akal budi dan hikmat serta memahkotainya dengan kemuliaan, hormat, dan kuasa (Mzm. 8:6-7). Manusia diciptakan dalam kesatuan tubuh, jiwa dan roh, sehingga Ia dipanggil untuk memelihara kehidupan secara utuh jasmani dan rohani dalam rangka pemenuhan tanggung jawabnya kepada Allah (Kej. 2:7; 1 Kor. 3:16; 6:17-20; 1 Tes. 5:23; Yak. 2:26). Manusia diciptakan dalam kebebasan, dan dalam kebebasannya itu ia bertanggung jawab kepada Allah (Kej. 2:16-17). Ia juga diciptakan sebagai makhluk yang hidup dalam persekutuan dan wajib mengatur kehidupan bersamanya dalam keluarga dan masyarakat, yang dapat membawa kebaikan bagi semua orang (Kej. 2:18). Dengan demikian, manusia mempunyai martabat kemanusiaan, yaitu hak-hak dan kewajibankewajiban asasi yang tidak boleh diambil oleh siapa pun dan oleh kuasa apa pun. 8. Manusia telah menyalahgunakan kebebasannya dengan menolak untuk menerima kedudukannya sebagai ciptaan dan ingin menjadi seperti dengan Allah (Kej. 3:5-6, 22). Ia terbujuk oleh iblis dan memberontak melawan Allah (Kej. 3:1-7; 11:19), dengan demikian, ia terasing dari Allah, dan serentak dengan itu, ia terasing dari sesamanya, dan dari alam lingkungan hidupnya serta hidup bersusah payah dan menderita (Kej. 3:17-19; 24). Ia dikuasai oleh iblis, dan menjadi hamba dosa (Rm. 6:17-20) dan sebagai upahnya ia menerima maut dan kebinasaan (Rm. 6:23). Ia tidak dapat melepaskan dirinya dari perbudakan dosa dan kebinasaan karena perbuatannya sendiri. ”Tidak ada yang benar, seorang pun tidak” (Rm. 3:10). Sebagai akibatnya, manusia tidak mampu melaksana-kan tugas dan mandatnya seperti yang 108 dikehendaki Allah; sebaliknya, ia memutarbalikkan segala sesuatu dan berusaha menempatkan dirinya pada kedudukan sebagai Allah (Kej. 11:1-9). Segala kecenderungan hati manusia ”membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej. 6:5). Hidup manusia menjadi tidak berpeng-harapan. Manusia adalah debu dan akan kembali kepada debu (Kej. 3:19b; Pkh. 3:19-21). Kejatuhan manusia ke dalam dosa ini telah menyeret seluruh ciptaan ke dalam kebinasaan, dan kehidupan di atas bumi menjadi rusak. 9. Allah tetap mengasihi manusia yang telah Ia ciptakan menurut gambar-Nya. Ia tidak menghendaki kebinasaan manusia, melainkan keselamatannya (Yoh. 3:16; bnd. Kej. 6:8). Oleh karena itu Allah senantiasa memelihara manusia dari sejak semula, juga ketika manusia telah jatuh ke dalam dosa dan memberontak terhadap-Nya (Kej. 3:21; 4:15; 6:8, 13 dst.; Mat. 20:1-16). Kasih Allah yang agung yang menyelamatkan manusia dari kuasa dosa dan kebinasaan dan pemulihannya ke dalam hubungan yang benar dengan Allah, menjadi nyata dengan sempurna dalam Yesus Kristus (Yoh. 3:16; Rm. 3:2226; 5:15, 17, 21). BAB IV PENYELAMATAN Kami percaya bahwa: 10. Allah tetap mengasihi manusia, walaupun manusia telah jatuh ke dalam dosa, dan bumi menjadi rusak dan penuh kekerasan. Untuk dunia yang demikian Allah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus, dan di dalam Dia Allah menyediakan keselamatan bagi orang yang percaya (Yoh. 3:16; Kis. 16:31). Hanya pada-Nya manusia akan beroleh keselamatan yang kekal (Kis. 4:12; Yoh. 14:6), yang dicari-cari oleh umat manusia di sepanjang zaman dan dengan pelbagai cara. Keselamatan itu telah mencapai manusia karena Yesus 109 Kristus ”yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan mengosongkan diri-Nya sendiri, dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:6-8), dan ”Allah telah membangkitkan-Nya dari antara orang mati sebagai buah sulung bagi segenap orang percaya” (Kor. 15:20-23). 11. Dalam Kristus yang mati karena pelanggaran manusia, dan yang dibangkitkan demi pembenaran manusia (Rm. 4:25), Allah mewujudkan rencana penyelamatan-Nya atas manusia. Dalam Kristus Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya (Kor. 5:18-19; Kol. 1:20). Dalam Kristus manusia memperoleh pengampunan dari Allah dan diselamatkan dari kebinasaan. Orang-orang yang percaya dan dibaptiskan dalam nama Yesus Kristus dibaptiskan dalam kematian-Nya dan dibangkitkan bersama Dia ke dalam kehidupan yang baru (Rm. 6:4; Kol. 3:910). Sebagai manusia baru, orang percaya tidak berduka cita dalam menghadapi maut, seperti orang lain yang tidak mempunyai pengharapan (1 Tes. 4:13). Karena manusia baru yang mati dalam Kristus, akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus (1 Kor. 15:22). 12. Di dalam Kristus Allah mulai mewujudkan rencana penyelamatan-Nya (Ef. 1:9-10) yang akan digenapkan-Nya pada kedatangan Yesus kembali (1 Kor. 15:22-25; Ibr. 9:28). Dalam menyongsong penggenapan rencana penyelamatan Allah itu, menuju kegenapan janji Allah akan langit baru dan bumi baru di dalam Kerajaan-Nya (Why. 21:5), orang-orang percaya sebagai manusia baru dipanggil untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik sebagai ungkapan syukur atas keselamatan yang dianugerahkan Kristus (2 Ptr. 3:14; Kol. 1:17; 3:15-17), dengan memberitakan keselamatan yang disediakan Allah kepada segala makhluk (Mrk. 16:15) yang 110 mencakup seluruh segi kehidupan manusia di atas muka bumi ini (Luk. 4:18-19). Dalam hubungan dengan itu, orang-orang percaya dipanggil untuk bekerja sama dengan semua orang yang berkemauan baik, dari segala golongan dan lapisan masyarakat dalam segala hal yang membawakan kebaikan bagi semua orang, dengan sikap rendah hati dan selalu menguji segala roh (1 Tes. 5:13-15; 1 Yoh. 4:1). 13. Dalam penantian penggenapan rencana penyelamatan Allah itu, Allah menetapkan pemerintah sebagai hamba-Nya yang dilengkapi dengan wewenang untuk memuji perbuatan baik dan menghukum perbuatan yang jahat (Rm. 13:1-7; 1 Ptr. 2:13-14). Oleh karena itu, gereja yaitu persekutuan orangorang yang telah dibarui di dalam Kristus, dipanggil untuk mendoakan dan membantu pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah demi kebaikan semua orang (1 Tim. 2:1-2; bnd Yer. 29:7). Tetapi pemerintah dapat pula menyalahgunakan kuasa yang ada padanya (Why. 13). Oleh sebab itu gereja pun dipanggil untuk senantiasa siap sedia melaksanakan tugas kenabiannya dengan mendoakan dan membantu pemerintah agar pemerintah tidak menyalahgunakan kuasa yang diberikan Allah kepadanya (Mzm. 58:2-3; Yes. 1:16-17; Mi. 6:8). Apabila pemerintah melampaui batas kekuasaannya dengan menuntut sesuatu yang hanya dapat diberikan kepada Allah (Mat. 22:21; Mrk. 12:17; Luk. 20:25), maka orang-orang percaya ”harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5:29). 14. Dalam penantian penggenapan rencana penyelamatan Allah itu, orang-orang percaya terpanggil untuk mendoakan dan ikut berusaha agar segala bentuk kekuasaan lainnya, seperti kuasa keagamaan, kebangsaan, ideologi, politik, sosial, ekonomi, militer, adat dan kebudayaan, ilmu dan teknologi, dan sebagainya yang ikut mempengaruhi perikehidupan masyarakat, dikembangkan dan digunakan untuk kebaikan 111 semua orang dan dipertanggungjawabkan kepada Allah sumber segala kuasa, dan kepada semua orang yang perikehidupannya dipengaruhi oleh penggunaan kuasa-kuasa itu. BAB V KERAJAAN ALLAH DAN HIDUP BARU Kami percaya bahwa: 15. Karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus terhadap dunia dan isinya bersifat menyeluruh. Hal itu dinyatakan dengan kehadiran Kerajaan Allah (Mrk. 1:15) yang akan mendapatkan pemenuhan dalam ”langit baru dan bumi baru” (2 Ptr. 3:13; Why. 21:1). Kerajaan Allah itu adalah kuasa dan pemerintahan Allah yang menyelamatkan, yang tampak dan berwujud di dalam lingkungan dan suasana hidup yang di dalamnya terdapat kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera, kesukacitaan, pemulihan dan pembaruan hidup (Mzm. 145:1113; Mat. 9:35; Luk. 4:21; 4:43; Rm. 14:7; 1 Kor. 4:20). 16. Kerajaan Allah itu sudah datang dan menjadi nyata dalam kehidupan dunia dan umat manusia dengan kedatangan Yesus Kristus, Raja dan Juruselamat dunia (Mrk. 1:15). Walaupun demikian, penyataan Allah secara penuh baru akan terjadi ketika ”dalam nama Yesus bertekuk lutut, segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi, dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah, Bapa” (Flp. 2:10-11). Oleh karena itu, gereja dan orang-orang percaya mendoakan dan menyongsong penggenapan Kerajaan Allah itu dengan secara tekun bekerja menegakkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dalam kehidupan sehari-hari (Mat. 6:10, 33; 25:1-46). 17. Dalam rangka penggenapan Kerajaan Allah itu, gereja sebagai persekutuan orang percaya dan setiap warganya dipanggil 112 untuk menjalankan suatu kehidupan baru sesuai dengan tuntutan Kerajaan Allah (Mrk. 1:15; Ef. 4:11; 2 Ptr. 1:10-11). Hidup yang berpadanan dengan tuntutan Kerajaan Allah adalah hidup yang dipimpin oleh Roh Allah yang kudus yang membuahkan kasih, sukacita, damai sejahtera, keadilan dan kebenaran ([Ef. 5:3 dst.]; Gal. 5:21). Sebagai warga Kerajaan Allah, orang-orang percaya tahan uji di dalam menghadapi segala tantangan, penganiayaan, penderitaan, karena pengharapan di dalam Yesus Kristus akan penggenapan Kerajaan Allah (Kis. 14:22; 2 Tes. 1:3-5; 1 Ptr. 3:13-15). Gereja dan orang-orang percaya juga terpanggil untuk bersaksi dan memberitakan kedatangan Kerajaan Allah dengan tekun menjalankan pelayanan dalam kasih, kebenaran, keadilan dan damai sejahtera terhadap semua orang. BAB VI GEREJA Kami percaya bahwa: 18. Roh Kudus menghimpun umat-Nya dari segala bangsa, suku, kaum, dan bahasa, ke dalam suatu persekutuan yaitu gereja, yang di dalamnya Kristus adalah Tuhan dan Kepala (Ef. 4:3-16; Why. 7:9). Roh Kudus juga telah memberi kuasa kepada gereja dan mengutusnya ke dalam dunia untuk menjadi saksi, memberitakan Injil Kerajaan Allah, kepada segala makhluk di semua tempat dan di sepanjang zaman (Kis. 1:8; Mrk. 16:15; Mat. 28:19-20). Dengan demikian gereja tidak hidup untuk dirinya sendiri. Sama seperti Kristus telah meninggalkan kemuliaan-Nya di sorga, mengosongkan diri dan menjadi manusia (Yoh. 1:14; Flp. 2:6-8), dan tergerak hati-Nya oleh sebab belas kasihan kepada semua orang yang sakit; lelah dan terlantar seperti domba tanpa gembala, demikian pulalah gereja dipanggil untuk selalu menyangkal diri dan mengorbankan kepentingannya sendiri, agar semua orang yang menderita karena pelbagai penyakit dan kelemahan yang 113 merindukan kelepasan, dapat mengalami pembebasan dan penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus (Mat. 9:35-38; Luk. 4:18-19). Dengan demikian, gereja dan warganya akan dapat menghayati dengan sungguh-sungguh makna dari baptisan dan perjamuan kudus yang senantiasa dilayankan bersamasama dengan pemberitaan Firman Allah di tengah-tengah ibadah gereja sebagai tanda keberadaan dan kekudusannya. 19. Gereja ada di tengah-tengah dunia ini sebagai arak-arakan umat Allah (Kej. 12:3; Mzm. 84:8; Yes. 2:2-3; Ibr. 12:1; Kis. 1:8; 2 Kor. 2:14), yang terus bergerak menuju ke kepenuhan hidup di dalam Kerajaan Allah (Flp. 3:12-14). Ia dituntut untuk selalu terbuka kepada dunia ini, agar dunia ini terbuka kepada undangan Allah untuk turut serta di dalam arak-arakan orang percaya menuju pemenuhan janji Allah akan Kerajaan-Nya di dalam Yesus Kristus (1 Ptr. 2:9-10; 3:15-16). Dengan senantiasa menguji setiap roh, apakah roh itu berasal dari Roh Allah (1 Yoh. 4:1). Gereja dipanggil untuk membina hubungan dan kerjasama dengan pemerintah dan semua pihak di dalam masyarakat untuk mendatangkan kebaikan dan damai sejahtera bagi semua orang, dalam rangka mewujudkan dan mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah menuju kesempurnaannya di dalam Yesus Kristus. 20. Gereja ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks sosial politik, ekonomi dan budaya tertentu. Demikianlah halnya gereja-gereja di Indonesia dipanggil dan ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan tugas panggilannya di tengah Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang diyakini sebagai anugerah dari Tuhan. Kehadiran gereja-gereja di Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan tanda pengutusan Tuhan sendiri agar gereja-gereja secara aktif mengambil bagian dalam mewujud- 114 kan perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan di Indonesia. Di samping itu, gereja terpanggil secara aktif dan kreatif mengambil bagian dalam usaha mencegah segala hal yang merongrong dan merendahkan harkat dan martabat manusia Indonesia serta segala hal yang merusak lingkungan alam Indonesia. Tugas panggilan itu dilaksanakan melalui berbagai upaya pencegahan sekaligus upaya pembelaan dan penegakan hukum/keadilan bagi seluruh rakyat dan tanah tumpah darah Indonesia. 21. Gereja mengakui bahwa negara adalah alat dalam tangan Tuhan yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia dan memelihara ciptaan Allah. Oleh karena itu gereja dan negara harus bahu-membahu dalam mengusahakan penegakan keadilan dan mengusahakan kesejahteraan seluruh rakyat serta keutuhan ciptaan. Akan tetapi sebagai lembaga keagamaan yang otonom, gereja mengemban fungsi dan otoritas yang bebas dari pengaruh negara, dan sebaliknya gereja tidak berhak untuk mengatur kehidupan negara oleh karena negara mempunyai fungsi tersendiri dalam menjalankan panggilannya di dunia (Rm. 13:16-17; 1 Ptr. 2:13-14). Dengan demikian gereja dan negara harus membina hubungan yang koordinatif dan bukan hubungan subordinatif di mana yang satu menguasai yang lain. Gereja dan negara masing-masing mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab untuk kebaikan seluruh manusia bahkan seluruh ciptaan. Gereja mempunyai kewajiban untuk menaati hukum negara, sebaliknya negara berkewajiban mengayomi dan melindungi seluruh rakyatnya, termasuk gereja agar leluasa dalam menjalankan fungsi dan panggilannya masing-masing (1 Ptr. 2:16). 22. Dalam hidup dan pelaksanaan tugas panggilannya, gereja yang terdiri dari orang-orang berdosa yang telah dibenarkan oleh anugerah Allah berdasarkan iman kepada Yesus Kristus (Rm. 115 3:28), selalu memerlukan pertobatan dan pembaruan yang terus-menerus. Untuk itu ia senantiasa memerlukan kehadiran, pernyataan, bimbingan, pemeliharaan dan teguran Roh Kudus yang terus-menerus membarui, membangun dan mempersatukannya serta yang memberinya kuasa untuk menjadi saksi. 23. Allah menjadikan gereja itu sebagai suatu persekutuan yang mengaku satu tubuh, satu Roh dalam ikatan damai sejahtera, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua (Ef. 4:4-6). Dengan demikian gereja itu esa. Keesaan gereja bukanlah keesaaan menurut dunia, melainkan keesaan seperti keesaan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus (Yoh. 17:21-22). Maka keesaan itu tidak didasarkan pada kekuasaan duniawi, melainkan pada persekutuan dan kasih. Sebagai persekutuan kasih, gereja adalah keluarga dan kawan sekerja Allah (Ef. 2:19; 1 Kor. 3:9a) yang dituntut untuk hidup di dalam kasih, sehati sepikir, dalam satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri melainkan selalu berbuat untuk kepentingan orang lain juga, dan anggota yang satu mendukung anggota yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri (Flp. 2:1-4). Kristus menghendaki keesaan seperti itu (Ef. 4:3) yang merupakan suatu kesaksian kepada dunia ini agar dunia percaya bahwa sesungguhnya Yesus Kristus telah diutus oleh Allah (Yoh. 17:12-23) dan bahwa gereja telah beroleh mandat dari Yesus Kristus untuk memberitakan pendamaian dan penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus bagi dunia ini. 24. Persekutuan ini dikuduskan dalam kebenaran (Yoh. 17:17-19). Dengan demikian gereja itu kudus. Pengudusan itu dilakukan oleh Kristus yang telah menguduskan diri-Nya bagi gereja (Yoh. 17:19) dan menguduskan gereja itu sebagai umat kepunyaan-Nya (Tit. 2:14; 1 Ptr. 2:9). Persekutuan yang 116 dikuduskan itu diutus-Nya ke dalam dunia. Maka gereja itu ada di dunia tapi bukan dari dunia (Yoh. 17:14-18). 25. Persekutuan ini mencakup semua orang percaya dari segala tempat dan sepanjang zaman, dan mencakup segala suku, bangsa, kaum dan bahasa, dan dari pelbagai lapisan sosial yang dipersekutukan ke dalam tubuh Kristus yaitu gereja. Dengan demikian gereja itu am (Katolik). Sebagai persekutuan yang am, gereja tidak mengenal perbedaan-perbedaan ataupun pembatasan-pembatasan menurut kaidah-kaidah dunia ini (Gal. 3:28; 1 Kor. 11:7-12; Why. 7:9). Persekutuan baru ini mencakupi bangsa, suku, kaum dan bahasa, orang tua, pemuda/remaja, anak-anak, laki-laki dan perempuan, penguasa dan rakyat jelata, yang kaya dan yang miskin; yang cacat dan yang sehat, yang bodoh dan yang pandai, semuanya diberi tempat oleh Allah dalam persekutuan baru itu, semuanya dipanggil dan dilengkapi untuk menjadi saksi Injil Kerajaan Allah dalam Yesus Kristus di tengah-tengah dunia. 26. Persekutuan ini bertekun dalam dan dibangun di atas pengajaran para rasul tentang Injil Yesus Kristus (Kis. 2:42; Ef. 2:20). Dengan demikian gereja itu rasuli. Persekutuan yang rasuli itu terpanggil untuk memelihara ajaran para rasul itu (2 Tes. 3:6; 1 Tim. 1:3) dan dengan senantiasa memperhatikan tanda-tanda zaman meneruskannya kepada semua orang percaya di segala tempat dan di sepanjang zaman (Flp. 1:6; Kol. 1:25). 27. Oleh karena itu gereja dan orang-orang percaya laki-laki dan perempuan di segala tempat dan di sepanjang zaman terpanggil untuk mewujudkan keesaan, kekudusan, keimanan dan kerasulannya, baik dalam kehadiran gereja secara sendirisendiri maupun secara bersama-sama dalam pengamalan tugas panggilannya sehari-hari. Dengan demikian semua bentuk kehidupan gereja itu untuk menjadi saksi Yesus Kristus 117 ke ujung bumi adalah ungkapan dari gereja yang esa, kudus, am, dan rasuli. BAB VII ALKITAB Kami percaya bahwa: 28. Alkitab yang terdiri dari Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru merupakan kesaksian yang menyeluruh mengenai Allah yang menyatakan diri, kehendak dan karya penciptaan, pemeliharaan dan penyelamatan-Nya kepada manusia, dan juga mengenai jawaban manusia terhadap-Nya. Kesaksian yang menyeluruh ini berpusat pada Yesus Kristus ”Firman yang menjadi manusia” (Yoh. 1:14). Dengan demikian pemahaman mengenai isi Alkitab termasuk pemahaman atas bagian-bagiannya harus selalu dilihat sebagai satu kesatuan. 29. Kesaksian itu telah terjadi dengan kuasa dan bimbingan Allah sendiri melalui Roh Kudus yang menyertai dan mengilhami para penulis Alkitab (2 Ptr. 1:21; 2 Tim. 3:16). Kesaksian itu telah menggunakan bentuk-bentuk dan unsur-unsur kemanusiaan dan kebudayaan pada lingkup sejarah tertentu, sehingga menampakkan adanya keterbatasan-keterbatasan tertentu; namun, kebenaran kesaksian Alkitab tersebut melampaui batas-batas ruang dan waktu. Oleh karena itu Alkitab adalah Firman. 30. Sebagai Firman Allah, Alkitab mempunyai kewibawaan tertinggi, dan menjadi ”pelita pada kaki dan terang pada jalan” orang-orang percaya (Mzm. 119:105) serta menjadi dasar dan pedoman bagi perbuatan dan kehidupan orang beriman (2 Tim. 3:16-17). Oleh karena itu orang-orang percaya baik pribadi maupun bersama-sama harus membacanya, merenungkannya siang-malam (Mzm. 1), berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memahami, menghayati dan melaksa- 118 nakannya dengan benar dalam iman dan ketaatan kepada Allah dalam Kristus. Jadi Alkitab itu bukanlah ajimat atau kitab ramalan. Sebagaimana Roh Kudus telah menyertai dan membimbing para penulis Alkitab, serta memimpin manusia untuk percaya kepada Yesus Kristus, maka pemahaman yang benar mengenai isi Alkitab serta penghayatan dan pelaksanaannya di dalam kehidupan sehari-hari juga hanya akan terjadi atas bimbingan Roh Kudus (1 Kor. 12:3; Yoh. 16:15; 2 Ptr. 1:20-21). 119 III. OIKOUMENE GEREJAWI A. KONSEP DASAR KEESAAN GEREJAWI Kami menyadari dan mengakui akan kemustahilan pewujudnyataan GKYE demi dunia. Perpecahan dan kesendirisendirian gereja-gereja telah menjadi kendala mendasar bagi keberadaan gereja sebagai gereja dan mengaburkan, melemahkan serta menumpulkan kesaksian dan pelayanan kami. Namun semakin dalam kami menyadari kemustahilan itu, semakin dalam pula rasa heran dan syukur kami atas kasih dan kuasa TUHAN yang telah sudi melakukan yang mustahil itu menjadi mungkin dan menjadi kenyataan dengan penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya, sehingga kemustahilan itu semakin mendekatkan kami kepada TUHAN dan semakin bergantung hanya kepada-Nya. Bahkan kami percaya TUHAN sedang terus melakukan pekerjaan menyatukan gereja TUHAN demi persatuan dan kesatuan umat manusia dengan melawan segala macam bentuk kekerasan yang memecah belah dan merusak manusia, agar gereja dan dunia ini menjadi tempat kediaman TUHAN dan tempat kediaman manusia. Karena itu kami terdorong untuk semakin mempercayakan diri hanya kepada TUHAN dan tidak mengurangi sedikit pun totalitas dari panggilan dan anugerah keesaan untuk kami wujudnyatakan. Dengan ketetapan hati itu kami mengambil bagian dalam karya TUHAN memulihkan dan menyembuhkan gereja dan dunia dari keterbelahan dan keterpecahannya. Kami mengaku bahwa semakin kami mendekat kepada TUHAN, semakin kami mendekat satu kepada yang lain; semakin kami berjumpa dengan TUHAN, semakin kami berjumpa satu dengan yang lain; semakin kami menyatu di dalam TUHAN, semakin kami menyatu satu di dalam yang lain. Dan semakin kami bergantung pada TUHAN dalam kesatuan itu, semakin kami mandiri dan berdaya, sehingga kami semakin dimampukan untuk saling mengakui dan saling menerima, saling menopang dan saling melengkapi. 120 Kami percaya dan memahami bahwa keesaan di dalam TUHAN itu adalah kesatuan yang bersumber pada hakikat Allah dalam Kristus, yaitu keesaan yang secara hakiki mengandung kemajemukan dan kesaksian demi dunia, sebagaimana nyata dalam doa Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 17:21-23). Karena keesaan gereja bersumber pada Allah dalam Kristus, kami percaya dan memahami bahwa keesaan bukan suatu pilihan atau alternatif yang secara netral dapat dipilih atau ditolak oleh gereja sebagai gereja. Keesaan gereja adalah anugerah TUHAN untuk diwujudnyatakan dan panggilan TUHAN untuk dilaksanakan oleh gereja TUHAN, agar gereja menjadi satu, dan agar dunia tahu (Yoh. 17:23) dan percaya (Yoh. 17:21). Karena keesaan gereja bersumber pada hakikat Allah dalam Kristus, kami percaya dan memahami bahwa keesaan gereja bukan kesatuan yang seragam yang menyesakkan dan mematikan individualitas dan keunikan, tetapi kesatuan yang majemuk yang memberi ruang kebebasan dan kehidupan pada semua makhluk. Kami percaya dan mengalami bahwa Yesus Kristus yang sama telah menjadi Tuhan yang membudaya dan diterima akrab dalam setiap komunitas orang percaya dengan kebudayaannya masingmasing, sehingga Tuhan Yesus Kristus menjadi pengesa dari suatu keesaan yang sangat majemuk merangkum semua manusia dengan segala kekayaan budayanya. Kami menamai keesaan ini Oikoumene Gerejawi (OG) yang adalah GKYE. Kami percaya bahwa secara hakiki GKYE adalah tubuh Kristus dalam setiap budaya dan lintas semua budaya sekaligus. Karena itu kami mengupayakan agar keesaan gereja itu akan makin nyata di Indonesia dan mencakup seluruh gereja termasuk gereja-gereja di luar PGI. Di dalam kesatuan itu, kami persembahkan semua individualitas dan ciri khas kami masing-masing, dan semua perbedaan ras, etnis, budaya, ajaran, denominasi, struktural kami, kepada Tuhan Yesus Kristus, agar mendapatkan tempat dan fungsinya yang benar, yaitu sebagai elemen kemajemukan yang membentuk, menghidupkan, dan memperkaya kesatuan, dan tidak menjadi prinsip primordial yang eksklusif, memecah. 121 Kami mengaku bahwa setiap ketertutupan dan perpecahan adalah pengingkaran terhadap Tuhan Yesus sebagai satu-satunya dasar keesaan gereja dan menggantikannya dengan sesuatu yang lain, yang seharusnya kami persembahkan di kaki salib Kristus untuk disucikan dan dijadikan alat-Nya. Ketertutupan ini pada dasarnya adalah penyaliban Kristus kembali. Karena itu kami percaya bahwa keesaan itu, selain bukan keseragaman, juga bukan kemajemukan yang didominasi oleh pihak-pihak tertentu atau oleh kekuatan apa pun yang bukan TUHAN, misalnya ajaran tertentu, budaya tertentu, atau yang memiliki teknologi dan uang, semua hal yang dapat dipengaruhi oleh dosa. Keesaan gereja dalam TUHAN adalah tempat hidup bagi semua manusia. Karena keesaan gereja bersumber pada Allah dalam Kristus yang menghendakinya agar dunia tahu dan percaya, kami percaya dan memahami bahwa keesaan gereja itu sendiri adalah pada hakikatnya kesaksian dan pemberitaan Injil. Kami memahami bahwa semua tindak gerejawi, seperti kesaksian, pelayanan, dan suara kenabian, kesungguhannya dan keabsahannya bertumpu pada keesaan gereja dalam TUHAN. Karena itu Oikoumene Gerejawi menjadi titik tumpu bagi PTPB. Karena pewujudnyataan Oikoumene Gerejawi dalam GKYE, yang majemuk dan demi dunia itu, berdasarkan ketaatan kepada Tuhan Yesus Kristus, maka kami percaya dan memahami bahwa pemberian bentuk Oikoumene Gerejawi dalam GKYE itu, ditentukan, pertama, oleh derajat konektivitas antar anggota tubuh dan seluruh tubuh dengan Sang Kepala (1 Kor. 12) dan kedua, asas akuntabilitas gerejawi (kebertanggungjawaban kita satu terhadap yang lain dan bersama-sama kepada TUHAN). Derajat konektivitas itu tercipta antara umat, aktivis oikoumene gerejawi (AOG), dan sentra-sentra gerejawi di semua aras (lokal, wilayah, regional, nasional) dalam fungsi pelayanan dan kesaksian terhadap lingkungannya. Dalam upaya mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia kami mengikrarkan kembali kesediaan saling mengakui dan menerima satu terhadap yang lain dengan segala perbedaan 122 yang ada, dan menyatakan komitmen kami untuk saling menopang dalam bidang teologi, daya, dan dana sebagai berkat TUHAN, yang harus kami jadikan berkat bagi dunia. B. SALING MENGAKUI DAN SALING MENERIMA 1. Keanggotaan Gereja dan Perpindahan/Penerimaan Keanggotaan Kami mengakui dan menerima keanggotaan gereja setiap orang yang telah menyambut panggilan Tuhan untuk hidup di dalam dan dari kasih penyelamatan Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus. Dalam hal perpindahan anggota gereja ke daerah yang sudah ada Gereja Anggota PGI di situ, kami berupaya untuk menghormatinya dengan mengintegrasikan diri ke dalam hidup dan pelayanannya. Mereka adalah orangorang yang telah menerima baptisan kudus dan orang-orang yang telah mengaku percaya di hadapan jemaat dan Tuhan di dalam kebaktian yang diselenggarakan menurut peraturan Gereja Anggota PGI. Dengan menerima baptisan dan pengakuan percaya, mereka dimasukkan ke dalam Gereja Tuhan yang mengaku satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan, sehingga mereka semua adalah anggota dari keluarga Allah yang satu, sebagai satu tubuh dalam kebersamaan dan damai sejahtera (bnd. 1 Kor. 12:13-26; Rm. 12:5 dst.; Ef. 4:3-6; 1 Tim. 3:15) untuk menerima kasih dan keselamatan dari Allah dalam Kristus dan untuk memikul dan melaksanakan panggilan dan misi bersama sebagai bagian dari orang percaya sedunia dan di Indonesia. Atas dasar itu, kami menerima dan melaksanakan perpindahan keanggotaan gereja dari warga yang pindah dengan dukungan surat keterangan dari gereja atau jemaat asalnya yang menerangkan keadaan warga yang pindah itu. Cara pelaksanaan penerimaan keanggotaan baru disesuaikan dengan peraturan gereja penerima. 123 2. Diakonia Kami mengakui dan menerima pelayanan diakonia yang diadakan oleh gereja-gereja dalam lingkungan PGI. Yang dimaksud dengan pelayanan diakonia dalam hal ini adalah pelayanan dan keterlibatan gereja yang ditimbulkan dari panggilan dan tugasnya untuk memperhatikan, membantu, memerdekakan dan melepaskan setiap orang, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dan keluarga mereka masing-masing pada masa kini dan masa depan dengan selayaknya. Mereka ini adalah orang-orang yang miskin, sakit, terasing, lemah dan terlantar, bodoh, korban bencana alam dan peperangan, terbelakang, terkena perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang, menjadi korban kekerasan dan ketidakpastian hukum (lih. Kel. 21:23-33; Yes. 58:6-7; Za. 7:9-10; Mat. 9:35-38; 25:31-46; Luk. 4:16-21; Kis. 6:1-7; Yak. 1:26-27; 1 Tim. 5:3-16). Pelayanan diakonia ini berpola pada Yesus sebagai Pelayan yang memberi nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (Mrk. 10:45). Oleh karena itu, kami dengan sukacita mau membangun pola pelayanan yang saling mengisi dan menopang antargereja dalam lingkungan PGI dan melibatkan diri secara bersama-sama dalam pelayanan diakonia gereja. Pelayanan tersebut dilaksanakan dalam semangat yang kuat menanggung yang lemah, yang kaya mencukupkan yang miskin, sehingga terciptalah keseimbangan dan pemerataan pelayanan (bnd. 2 Kor. 8:9; Gal. 2:9-10) demi kehadiran misi kami bersama sebagai gereja. 3. Pemberitaan Firman Kami mengakui dan menerima pelayanan pemberitaan Firman Allah berdasarkan Alkitab yang dilakukan dengan teratur dan tertib oleh Gereja Anggota PGI. Pelayanan pemberitaan Firman Allah adalah pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan sendiri, dan karena itu merupakan bagian hakiki dari kehidupan gereja sebagai persekutuan kenabian dan keimanan, kerasulan, 124 untuk memanggil ke dalam pertobatan, untuk memberi hikmat, untuk menuntun kepada keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik dalam kebenaran, sehingga setiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk melakukan perbuatan baik (Mrk. 3:14; 16:15; Mat. 28:16-20; 2 Tim. 3:15-17; 4:2). Oleh karena itu, kami mengadakan kegiatan-kegiatan pertukaran pelayanan firman, kebaktian-kebaktian bersama, dan memajukan kegiatan-kegiatan untuk melakukan Pemahaman Alkitab secara bersama dan teratur, serta menerbitkan bahan-bahannya dan membaginya. 4. Pekabaran Injil Kami mengakui dan menerima Pekabaran Injil yang diselenggarakan oleh setiap Gereja Anggota PGI menurut peraturan gereja tersebut dengan memperhatikan pemahaman-pemahaman bersama mengenai Injil dan Pekabaran Injil yang sudah dihasilkan dalam perjalanan memasuki sejarah bersama selama ini (Mat. 28:19-20; Mrk. 16:15; Yoh. 1:8), yakni: Injil adalah berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan yang tersedia bagi manusia (Mrk. 1:15; Mat. 28:19-20; Kis. 1:8) serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Luk. 4:18-21); sebagai berita kesukaan, Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan manusia (Rm. 1:16). Oleh karena itu, kami sepakat untuk lebih meningkatkan kepekaan kami di dalam menjawab panggilan Tuhan untuk mengabarkan Injil dengan memperhatikan ”tanda-tanda zaman” yang ada dan dengan mengembangkan kebersamaan dan semangat topangmenopang dalam pelaksanaan Pekabaran Injil, yang mencakup tugas penelitian dan pengembangan teologi, daya, dana, pola hidup dan pendekatan misioner kegembalaan. 125 5. Baptisan Kudus Kami mengakui dan menerima pelayanan baptisan kudus yang diselenggarakan oleh Gereja Anggota PGI kepada seseorang. Pelayanan baptisan kudus ini sah berdasarkan kesaksian Alkitab, karena hal itu: a. Telah diamanatkan oleh Tuhan Yesus yang telah bangkit (Mat. 28: 18-20; Mrk. 16:15-16); b. Telah dilakukan dalam dan oleh gereja di zaman para rasul (Kis. 8:36-38; 16:33, 18:8; 22:16; 1 Kor. 1:16); c. Dilaksanakan dalam kebaktian yang didasari dengan pemberitaan Firman (Kis. 2:37-42) disertai dengan tanda yang nyata yaitu air (Kis. 8:37-39) dan dilayani dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19; Mrk. 16:16), tanpa membedakan bentuk-bentuk praktis pelaksanaan baptisan dewasa atau anak, percik atau selam. Kepada mereka yang telah dibaptis dalam pengertian dan cara yang demikian, dikaruniakan Roh Kudus oleh Allah dalam Kristus yang akan terus memimpin dan membarui (Kis. 2:38; Rm. 8; 1 Kor. 12:7-11; 2 Kor. 5:17; Kol. 2:10-11); d. Mempersatukan setiap orang yang telah menerima baptisan kudus itu dengan kematian dan kebangkitan Kristus (Rm. 6:3-5; Kol. 2:12) yang terjadi hanya sekali untuk selama-lamanya bagi setiap orang (Ibr. 9:26-28; 1 Ptr. 3:18); e. Menghisabkan setiap orang yang telah menerima baptisan kudus itu ke dalam satu tubuh (1 Kor. 12:13); yaitu gereja yang merupakan persekutuan orang-orang beriman dari segala zaman dan tempat, dan yang terus-menerus tumbuh dan membangun diri dalam kasih (Ef. 4:16). Setiap orang yang telah dibaptis itu menjadi bait Allah dan tempat kediaman Roh Kudus (1 Kor. 3:16) dan menerima karunia Roh Kudus (1 Kor. 12:7-11) dan hidupnya dipimpin oleh Roh Kudus (Rm. 8:9, 14). Oleh karena itu, di dalam menerima perpindahan keanggotaan gereja dari wargagereja di lingkungan PGI, kami tidak melakukan 126 pembaptisan ulang, melainkan hanya mengumumkannya di dalam kebaktian jemaat. 6. Perjamuan Kudus Kami mengakui dan menerima pelayanan Perjamuan Kudus yang diselenggarakan oleh setiap Gereja Anggota PGI menurut pemahaman dan peraturan gereja tersebut. Pelayanan Perjamuan Kudus ini sah berdasarkan kesaksian Alkitab, karena hal itu: a. Telah diamanatkan oleh Tuhan Yesus sebagai tanda kehadiran-Nya dan tanda peringatan akan kematian, kebangkitan, dan kedatangan-Nya kembali (Luk. 22:14-20; 1 Kor. 11:23-26), untuk keampunan dosa manusia, yang harus terus-menerus diberitakan sampai Ia datang kembali. b. Telah dilakukan dalam dan oleh gereja dan di zaman para Rasul (2 Kor. 10:17; 11:23-26; bnd. Kis. 2:42, 46). c. Memungkinkan setiap orang percaya untuk mengalami sukacita keselamatan yang telah dikerjakan oleh Kristus dalam pengharapan akan memasuki perjamuan Anak Domba (Why. 19:9) dalam penggenapan Kerajaan Allah (Mat. 26:26-29; Mrk. 14:25; Luk. 22: 15-16). d. Adalah ucapan syukur jemaat atas kasih karunia pengampunan dosa dan penyelamatan manusia oleh Kristus, Pembela dan Pengantara manusia (Rm. 8:34; Ibr. 7:25), yang tetap mengasihi umat-Nya sampai pada kesudahannya (Yoh. 13:1). e. Dilayani dalam suatu kebaktian yang didasari dengan pemberitaan Firman dan melalui tanda-tanda nyata, yaitu roti dan air anggur (1 Kor. 11:23-25; bnd. Mat. 26-29; Mrk. 14:22-25 dan Luk. 22:14-20). f. Dihayati sebagai persekutuan dengan tubuh dan darah Kristus yang membawa kepada persekutuan persaudaraan, sehingga kehadiran gereja yang esa, kudus, am dan rasuli itu tercermin dalam perayaan Perjamuan 127 Kudus itu (bnd. 1 Kor. 10:16-17). Dengan Persekutuan Perjamuan Kudus ini pula gereja menjadikan dirinya sebagai tanda pekerjaan penyelamatan Allah di dalam dunia, sebagai tanda kesatuan umat manusia baru. Dalam pemahaman seperti itu, maka melalui Perjamuan Kudus gereja merindukan kesatuan segenap umat manusia dalam Kerajaan dan Pemerintahan Allah yang melampaui batasbatas kelembagaan gereja sehingga Kristus menjadi semua di dalam semua (bnd. Mrk. 14:25; 1 Kor. 11:26; Kol. 3:1011). Oleh karena itu, kami mengadakan sesering mungkin pelayanan Perjamuan Kudus secara bersama di tempat kami berada. 7. Penggembalaan Kami mengakui dan menerima pelaksanaan pelayanan penggembalaan dalam kehidupan gereja-gereja dalam lingkungan PGI. ”Penggembalaan” adalah pelayanan gereja untuk memelihara, menuntun, membimbing, memberi pengertian, mengarahkan dan menyadarkan warga bagi keutuhan hidupnya, agar ia hidup di dalam kasih pengampunan dan keselamatan Allah dalam Kristus. Tindakan penggembalaan ini berpola pada keprihatinan penuh dari Allah terhadap umat-Nya, Israel, dan khususnya pada Yesus Kristus sebagai Gembala Agung kepada kawanan domba gembalaan-Nya (lih. Mzm. 23; Yeh. 34; Luk. 15:1-7; Mat. 18:1214; Yoh. 10; 1 Ptr. 2:18-25; 5:1-4). Pelayanan penggembalaan yang dimaksud di sini adalah pelayanan penggembalaan atas warga jemaat yang karena alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu tidak dapat dilayani oleh gerejanya, sehingga dengan persetujuan bersama diserahkan kepada gereja lain dalam lingkungan PGI. Bahwa hal ini dimungkinkan didasarkan pada pemahaman dan keyakinan bersama bahwa pada dasarnya semua wargagereja adalah satu kawanan dengan satu Gembala Agung, yaitu Yesus Kristus, yang telah mengorbankan hidup- 128 Nya untuk kami, umat-Nya. Oleh karena itu, kami bersedia bekerja sama di dalam pelayanan penggembalaan. 8. Disiplin Gerejawi Kami mengakui dan menerima tindakan disiplin gerejawi seperti yang dinyatakan dalam Alkitab (Mat. 18:15-18; Gal. 6:1-2; bnd. Flp. 2:1-4). Tindakan disiplin gerejawi adalah salah satu bentuk proses pelayanan penggembalaan khusus kepada anggota atau pejabat gereja yang perbuatan atau ajarannya nyata-nyata menyimpang dari Firman Tuhan. Hal itu dilaksanakan berdasarkan kasih dengan tujuan mengembalikan saudara yang bersangkutan ke jalan yang benar, kepada kehidupan dalam kepenuhan dan kelimpahan yang Kristus anugerahkan, sehingga dicapailah kesatuan yang kuat dan utuh serta ketertiban di dalam kehidupan berjemaat (2 Tim. 1:7b). Cara pelaksanaan tindakan disiplin ini diatur menurut peraturan Gereja Anggota PGI. Oleh karena itu, kami saling menghormati, saling mengakui setiap keputusan gerejawi yang mengenakan tindakan disiplin terhadap pejabat atau warganya. 9. Pengajaran Pokok-pokok Iman Kristen Kami mengakui dan menerima penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pokok-pokok iman Kristen (kepada mereka yang akan dibaptis), serta pemahaman peraturan Gereja Anggota PGI. Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pokokpokok iman Kristen adalah kegiatan yang ditugaskan oleh Tuhan sendiri kepada jemaat-Nya sebagai kegiatan yang berlangsung terus-menerus. Hal tersebut dilaksanakan agar wargajemaat bertumbuh menjadi dewasa penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga mereka siap senantiasa memberi pertanggungjawaban tentang pengharapan mereka dalam Kristus (Ef. 4:11-16; 1 Ptr. 3:15). 129 Oleh karena itu kami saling mendukung dan mengembangkan segala upaya untuk menata dan meningkatkan mutu pengajaran pokok-pokok iman Kristen. 10. Pemberkatan Pernikahan Gerejawi Kami mengakui dan menerima setiap pelayanan pemberkatan pernikahan gerejawi oleh pejabat gereja menurut peraturan Gereja Anggota PGI. Perkawinan adalah suatu pranata hubungan antara dua orang manusia, laki-laki dan perempuan, yang dihisabkan ke dalam karya penciptaan Allah dan termasuk ke dalam tata alam semesta yang diciptakan dan dipelihara Allah (Kej. 1:27-28; 2:15, 24-25). Karena itu terhadap pasangan yang menikah, kasih dan pemeliharaan Allah harus dinyatakan dan dikukuhkan melalui pemberkatan perkawinan yang dilakukan oleh pejabat gereja. Pemberkatan itu mengingatkan suami isteri mengenai rahasia hubungan antara Kristus dengan jemaat. Mereka bergantung dari anugerah Allah dan masing-masing dituntut untuk hidup saling setia dan saling melayani di dalam kekudusan, kasih dan damai sejahtera (Ef. 5:22-23; 1 Ptr. 3:1-7). Oleh kerena itu kami bersedia bekerja sama di dalam proses penyelenggaraan kebaktian pemberkatan nikah. 11. Pelayan/Pejabat Gerejawi Kami mengakui menerima pengadaan, pengangkatan dan peneguhan/pelantikan pejabat gerejawi yang dilakukan oleh setiap Gereja Anggota PGI menurut petunjuk Alkitab (1 Tim. 3:1-5; Tit. 1:5-16) dan sesuai dengan peraturan gereja tersebut. Pengadaan, pengangkatan, dan peneguhan/pelantikan pejabat gerejawi itu adalah untuk melayani dan menuntun jemaat dalam persekutuan, peribadahan, kesaksian, pembinaan, dan pelayanan di tengah dunia. Hal itu berdasarkan kesaksian Alkitab bahwa: 130 (1) Seluruh anggota jemaat dipanggil untuk melayani (1 Ptr. 2:9); (2) Pada dasarnya Allahlah yang memangggil para pejabat gerejawi, untuk menjadi kawan sekerja-Nya dalam perwujudan pekerjaan dan misi Allah bagi dan dalam dunia ini. Panggilan Allah ini teruji di dalam pemanggilan yang dilakukan oleh gereja terhadap calon pejabat gerejawi dan di dalam kesungguhan sikap dan kelurusan hati pejabat tersebut untuk menaati Allah dan memberlakukan kehendak-Nya (1 Kor. 7:20; Ef. 1:18; Flp. 3:14; 2 Tes. 1:11; 2 Tim. 1:9; Ibr. 3:1; 2 Ptr. 1:10); (3) Kristus memberikan jabatan (Ef. 4:11-16) untuk memperlengkapi wargagereja bagi pekerjaan pelayanan. Pemberian jabatan itu ditandai dengan penumpangan tangan oleh pejabat gereja dalam kebaktian jemaat (Kis. 6:1-6; 13:2-3). Oleh karena itu, kami mengadakan pertukaran pelayan/pejabat gerejawi, baik untuk saat-saat tertentu maupun jangka waktu yang lama, dengan didukung oleh suratsurat keterangan dari gereja pengutus dan menyatakan kesediaannya untuk memenuhi peraturan gereja penerima demi keberhasilan pelayanannya (1 Kor. 9:19-23). 12. Penguburan/Pengabuan Kami mengakui dan menerima pelayanan upacara penguburan dan atau pengabuan menurut pemahaman dan peraturan Gereja Anggota PGI, untuk memberitakan kebangkitan Kristus, bahwa ia telah mengalahkan maut, dan untuk memberikan penghiburan (1 Tes. 4:18) dan harapan bagi keluarga yang ditinggalkan. Penghiburan dan pengharapan ini berdasar pada kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Bahwa manusia yang mati di dalam Kristus kepadanya akan diberikan tubuh yang baru, yaitu tubuh kemuliaan atau tubuh rohani yang tidak lagi mengalami kebinasaan. Bahwa Tuhan bukanlah 131 Tuhan untuk orang yang hidup saja, tetapi juga Tuhan yang kesetiaan-Nya tetap dialami oleh orang-orang yang telah meninggal. Hal ini tampak di dalam kebangkitan dari antara orang mati bagi setiap orang yang mati di dalam Kristus untuk beroleh kasih dan kemurahan Allah (Rm. 8:9; 14:8; 1 Kor. 15:35-38; Flp. 3:21; 1 Tes. 4:13-18). Pelayanan penguburan dan atau pengabuan seorang wargagereja lain, yang karena keadaan pada waktu dan tempat tertentu tidak dapat dilakukan oleh gereja asalnya, dapat dilaksanakan oleh Gereja Anggota PGI lainnya. C. SALING MENOPANG DI BIDANG DAYA DAN DANA 1. Yang dimaksud dengan saling topang-menopang gereja adalah suatu upaya bersama untuk terus-menerus memperkembangkan semua kemampuan (potensi) dan pemberian Tuhan secara bebas dan bertanggungjawab bagi persekutuan, pelayanan, dan kesaksian. Melalui proses kebersamaan itu gereja menuju kemandirian (keberdayaan), yaitu ”kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef. 4:13). Saling menopang berarti memiliki kepribadian yang bersedia berbagi dalam hubungan secara langsung dengan Kristus sebagai sumber segalanya. Ketergantungan kepada Kristus ini membawa tiap orang percaya pada ”Kesatuan Iman” (Ef. 4:13) untuk saling membantu di antara seorang dengan yang lain, satu gereja dengan gereja yang lain, baik di dalam maupun di luar negeri. 2. Saling menopang mencakup tiga unsur, yaitu teologi, daya, dan dana, yang merupakan satu mata rantai yang saling berkaitan erat, di mana yang satu dapat menghambat bila tidak diperhatikan, tapi akan sangat mendorong bilamana dikaitkan dengan yang lainnya. Namun dalam pelaksanaannya, saling 132 menopang dalam bidang daya merupakan unsur yang sangat strategis. 3. Secara umum saling menopang dipahami sebagai sikap yang merupakan salah satu ciri kemandirian. Sikap itu: a. bersumber pada pengenalan dan kesadaran akan hakikat dan tujuan hidup kristiani; b. didasari pada rasa percaya diri yang kuat karena kemurahan Allah; c. menyatakan diri dalam perilaku yang ditandai dengan tekad dan kemauan untuk menjawab persoalan-persoalan dan tantangan-tantangan hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain dengan jalan mengelola sebaikbaiknya potensi-potensi dan kesempatan-kesempatan yang tersedia. 4. Saling menopang didasarkan pada pemahaman dan pengakuan bahwa dalam diri Yesus Kristus yang datang di tengah kancah kehidupan dunia, Allah berkenan mengawali misi-Nya untuk menyelamatsejahterakan dunia dengan membebaskan manusia dari dosa, maut dan segala bentuk penindasan dan penderitaan dalam rahmat pengampunanNya. Hakikat dan tujuan hidup gereja adalah keikutsertaannya dalam misi ilahi tersebut dengan jalan menjadi: a. buah sulung dari dunia yang sudah diselamatsejahterakan oleh dan di bawah kuasa Tuhan; b. satu persekutuan persaudaraan yang setia mengikuti Tuhannya, yang bersaksi tentang Yesus Kristus serta memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada semua makhluk dan yang melayani sesama manusia dengan menghalau segala sesuatu yang menghalangi keselamatsejahteraan (1 Kor. 3:9, Yak. 1:18; Mrk. 3:14, dll.). 5. Dalam hidup dan bekerja sesuai dengan hakikat serta tujuan tersebut, gereja dipanggil untuk: 133 a. Senantiasa menerima pertumbuhan, membangun dan membarui diri dalam kasih menuju ke ”kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef. 4:12-16). b. Menyatakan kesediaan saling menopang sebagai salah satu wujud kedewasaan. 6. Kemampuan gereja untuk saling menopang (kemandirian gereja) diungkapkan dengan berbagai cara oleh Alkitab, antara lain: a. Besarnya kemampuan umat Tuhan. Ulangan 15:6: ”Apabila TUHAN, Allahmu, memberkati engkau, seperti yang dijanjikan-Nya kepadamu, maka engkau akan memberi pinjaman kepada bangsa, tetapi engkau sendiri tidak akan meminta pinjaman; engkau akan menguasai banyak bangsa, tapi mereka tidak akan menguasai engkau”. Yosua 23:10: ”Satu orang saja daripada kami dapat mengejar seribu orang, sebab TUHAN Allah, dialah yang berperang bagi kamu, seperti yang dijanjikan-Nya kepadamu”. b. Kemampuan mengembangkan diri dalam segala keadaan dan melipatgandakan talenta. Filipi 4:11-13: ”Kekuatan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku: baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”. Matius 25:16: ”Segera pergilah hamba yang menerima lima talenta itu. Ia menjalankan uang itu lalu beroleh laba lima talenta”. 134 c. Harga diri warga gereja. 1 Tesalonika 4:11-12: ”Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu, sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata luar dan tidak bergantung pada mereka”. Kisah Para Rasul 20:35: ”Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima”. d. Kemandirian dalam hal kepercayaan. Yohanes 4:42: ”Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kau katakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia”. 7. Rasa percaya diri yang mendasari saling menopang di antara gereja-gereja, bersumber pada iman, pengetahuan dan kesetiaan, bahwa Tuhan menganugerahkan kekuatan dan berkat. 2 Korintus 8:9: ”Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya”. 2 Korintus 9:8: ”Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kami senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan”. 8. Saling menopang harus terjadi pada diri perorangan sampai di semua satuan persekutuan gereja: di satuan keluarga, di satuan jemaat setempat, di satuan sinodal dan di satuansatuan oikoumenis, oleh sebab itu suatu gereja tidak dapat benar-benar saling menopang di luar ikatan persekutuannya 135 dengan gereja-gereja lain, seperti diungkapkan dalam Efesus 4:16: ”daripada-Nyalah seluruh tubuh yang rapi tersusun diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya sesuai dengan kadar pekerjaan anggota”. Dengan demikian saling menopang memprasyaratkan: a. Pemilikan dan pembaruan visi tentang hakikat dan tujuan hidup. b. Pemilikan nilai-nilai tertentu seperti rasa percaya diri, jeli dalam mengamati perkembangan, berpandangan ke depan, gigih dalam berusaha, menghargai waktu, tertib, hemat dan mampu membina kerjasama. c. Pemilikan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan, teknologi, serta berbagai keterampilan. 9. Untuk melaksanakan panggilannya sesuai dengan hakikat dan tujuan hidupnya, gereja memerlukan visi dan motivasi teologis, tenaga manusia dan dana serta berbagai sarana lain. Karena itu: a. Kemandirian gereja harus terwujud di tiga bidang sekaligus, yaitu teologi, daya dan dana. b. Tiga bidang tersebut merupakan mata rantai yang saling berkaitan. c. Kemandirian daya dalam arti kedewasaan kemanusiaannya merupakan mata rantai yang paling sentral dan strategis, sehingga harus diberi perhatian besar. 10. Berdasarkan panggilan gereja untuk melayani sesama, kemandirian gereja harus mampu memberikan sumbangan positif bagi perwujudan kemandirian bangsa, terutama dalam kaitannya dengan tiga hal yaitu: a. Sifat majemuk masyarakat Indonesia, menuntut diadakannya secara terus-menerus dialog dan kerjasama, yang dijiwai oleh motivasi yang tulus di antara para pemeluk semua agama yang ada. 136 b. Perkembangan yang cepat dari masyarakat Indonesia menuju masyarakat teknologi dan industri yang menuntut kesiapan semua pihak untuk menghadapi baik dampak positif maupun negatif dari perkembangan itu. c. Peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. 11. Seluruh upaya saling menopang di bidang teologi, daya dan dana dilaksanakan dalam konteks keesaan, visi dan misi bersama, sekaligus merupakan gaya hidup otentik dari gerejagereja di Indonesia. 137 TATA DASAR PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA BAB I NAMA, WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 Nama Di Indonesia ada Persekutuan gerejawi dengan nama PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA, disingkat PGI. Pasal 2 Waktu dan Tempat Kedudukan 1. PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA, yang ditetapkan pada Sidang Raya DGI pada tanggal 21-31 Oktober 1984 di Ambon, merupakan kelanjutan serta peningkatan Dewan Gereja-gereja di Indonesia yang telah didirikan pada tanggal 25 Mei 1950, untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya. 2. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia berkedudukan di Ibu kota Negara Republik Indonesia. BAB II PENGAKUAN DAN TUJUAN Pasal 3 Pengakuan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat Dunia serta Kepala Gereja, sumber kebenaran dan hidup, yang menghimpun dan menumbuhkan gereja sesuai dengan Firman Allah dalam Alkitab, 138 yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (I Kor 3:11): “ Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan yaitu Yesus Kristus” (bnd. Mat. 16:1618, Ef. 4:15 dan Ul. 7:6). Pasal 4 Tujuan Tujuan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mewujudkan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia. adalah BAB III AZAS BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA Pasal 5 Dalam terang pengakuan yang tercantum dalam pasal 3 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia berazaskan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. BAB IV USAHA-USAHA Pasal 6 Bentuk dan Isi Usaha 1. Untuk mencapai tujuan tersebut pada Pasal 4 di atas, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengadakan usaha pelayanan dan kesaksian serentak dengan usaha memberi bentuk pada keesaan di lingkungan umat Kristen di Indonesia. a. Mendukung gereja-gereja dan jemaat-jemaat untuk meningkatkan kesadaran dan penghayatan warga jemaat untuk lebih menampakkan persekutuan dalam 139 b. c. d. e. 2. kesatuan Roh (Ef. 4:3) dengan kebaktian dan perjamuan kudus bersama, menuju penghayatan dan pengamalan pemahaman bersama Iman Kristen di Indonesia. Meningkatkan kebersamaan dan pelayanan dan kesaksian (Kis. 2:42) Meningkatkan rasa persaudaraan dan sikap tolong menolong (Gal. 6:2) Meningkatkan dan mengembangkan kesadaran dan memampukan gereja-gereja untuk mandiri (Ef. 4:13) Usaha-usaha tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dengan mengacu pada strategi dan program lima tahun PGI berdasarkan visi dan misi yang merupakan penjabaran dari dokumen-dokuman keesaaan Gereja yang ditetapkan dalam setiap Sidang Raya untuk dilaksanakan bersama-sama dengan melihat seluruh Indonesia dan dunia sebagai wilayah pelayanan dan kesaksian bersama. Bersama-sama dengan gereja-gereja anggota memperjuangkan pengakuan dan penghargaan atas harkat dan martabat manusia dan perlindungan hukum demi tegaknya hak-hak asasi manusia secara adil dan beradab. Pasal 7 Pelaksanaan Usaha 1. 2. Usaha-usaha Persekutuan gereja-gereja di Indonesia tersebut pada Pasal 6 di atas, dilaksanakan oleh gerejagereja anggota PGI dan alat-alat kelengkapan PGI. Usaha yang dilaksanakan oleh gereja-gereja anggota PGI dan oleh alat-alat kelengkapan PGI merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh, yang saling memperkuat dan mendukung dalam rangka pelaksanaan dokumen-dokumen keesaaan Gereja. 140 BAB V KEANGGOTAAN Pasal 8 Penerimaan Anggota 1. 2. Yang dapat diterima menjadi anggota PGI, ialah gerejagereja yang berkedudukan di Indonesia. Syarat-syarat penerimaan adalah sebagai berikut: a. Mempunyai Tata Gereja sendiri, memberitakan Firman Allah dan melayani sakramen sesuai dengan kesaksian Alkitab. b. Mempunyai anggota dewasa yang sudah dibaptis/sidi sekurang-kurangnya 10.000 (sepuluh ribu) orang dengan rekomendasi 10 (sepuluh) gereja anggota PGI dan PGIW/SAG setempat. c. Menunjukkan kerjasama yang baik dengan gerejagereja tetangganya, terutama gereja anggota PGI. d. Menyatakan persetujuannya secara tertulis terhadap dokumen-dokumen keesaan Gereja serta kesediaannya untuk melaksanakan semua hak dan kewajibannya sebagai gereja anggota dengan bersungguh-sungguh. e. Menyatakan kesediaan mencantumkan “anggota PGI” di belakang nama gereja yang bersangkutan. Pasal 9 Kewajiban dan Hak Gereja Anggota 1. Gereja anggota bertanggung jawab mengenai keputusankeputusan yang telah disepakati bersama, dan berkewajiban untuk melaksanakannya termasuk dalam melaksanakan dokumen-dokumen keesaan gereja. 2. Gereja anggota menempatkan pelaksanaan tugas panggilannya dalam rangka pelaksanaan visi, misi, strategi dan program kerja lima tahun PGI sebagai penjabaran dari dokumendokumen keesaan Gereja. 141 3. Gereja anggota menerima Pemahaman Bersama Iman Kristen di Indonesia dan melaksanakan Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima. 4. Gereja anggota memberikan sumbangan yang sepadan dengan anugerah yang diterimanya untuk membiayai pelaksanaan keputusan bersama. 5. Gereja anggota terbuka untuk menerima pelayanan dari alatalat kelengkapan PGI dan dari gereja anggota PGI lainnya dalam terang kebersamaan dan perwujudan persekutuan, termasuk fungsi mediasi dalam hal-hal yang berhubungan dengan terganggunya persekutuan dan keesaan Gereja. Pasal 10 Berakhirnya Keanggotaan Berakhirnya keanggotaan dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia baik atas nama permintaan gereja anggota yang bersangkutan maupun sebab lainnya, ditetapkan oleh Sidang Raya PGI. BAB VI ALAT KELENGKAPAN Pasal 11 Alat-alat Kelengkapan Alat kelengkapan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia terdiri dari: a. b. c. d. e. f. g. Sidang Raya Majelis Pekerja Lengkap Majelis Pekerja Harian Badan Pengawas Perbendaharaan Majelis Pertimbangan PGI Wilayah/SAG Badan-badan lain yang ditentukan oleh Sidang Raya 142 Pasal 12 Sidang Raya 1. Sidang Raya adalah lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan terakhir. Sidang Raya juga merupakan pesta iman. 2. Sidang Raya terdiri dari para utusan semua gereja anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Sidang Raya terdiri dari 2 (dua) bagian: a. Persidangan ialah forum untuk mengambil keputusan mengenai kebijakan-kebijakan pokok PGI. b. Pesta iman ialah pertemuan bagi para peserta Sidang Raya untuk memperdalam penghayatan iman serta wawasan peserta sidang. 3. Sidang Raya diadakan sekali dalam lima tahun di tempat yang ditentukan oleh Sidang Raya/Majelis Pekerja Lengkap atas undangan Majelis Pekerja Harian. 4. Sidang Raya diawali oleh Pertemuan Raya Pemuda Gereja (PRPG) dan Pertemuan Raya Perempuan Gereja (PRPrG) yang merupakan forum pengambilan keputusan untuk diusulkan dan ditetapkan oleh Sidang Raya. 5. Dalam hal luar biasa Sidang Raya Istimewa Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dapat diadakan dengan ketentuan: a. Bila dianggap perlu oleh Majelis Pekerja Lengkap, atau b. Atas permintaan tertulis dari sekurang-kurangnya 1/3 (satu pertiga) jumlah gereja anggota dengan menyebut masalah-masalah yang hendak dibicarakan. 6. Tugas Sidang Raya adalah: a. Membahas dan memperdalam hidup gerejawi dalam persekutuan, kebaktian, kesaksian, dan pelayanan, dengan bersama-sama menelaah Firman Allah. b. Membahas keadaan dan tanggung jawab bersama gerejagereja di Indonesia, menetapkan dokumen-dokumen keesaan Gereja. c. Menilai dan menerima pertanggungjawaban MPH-PGI. d. Membahas dan menerima hasil-hasil PRPG dan PRPrG. e. Memilih dan atau menetapkan anggota-anggota dari: 143 (1) (2) (3) (4) Majelis Pekerja Lengkap PGI Majelis Pekerja Harian PGI Badan Pengawas Perbendaharaan PGI Majelis Pertimbangan PGI Pasal 13 Majelis Pekerja Lengkap 1. Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia disingkat MPL-PGI terdiri dari: 1) Anggota penuh: a. Seorang wakil dari setiap gereja anggota b. Semua anggota MPH-PGI c. Seorang wakil dari setiap PGI Wilayah/SAG d. Seorang wakil dari unsur Pemuda dan seorang wakil dari unsur Wanita atas rekomendasi dari PRPG dan PRPrG. 2) Anggota Mitra: Yakni para wakil dari unsur Wanita, Pemuda dan Warga Gereja yang bukan pendeta. 2. MPL-PGI bersidang sekali setahun di tempat yang ditentukan oleh Majelis Pekerja Lengkap atas undangan Majelis Pekerja Harian. 3. Dalam hal luar biasa Sidang Istimewa MPL-PGI dapat diadakan dengan ketentuan: a. Bila dianggap perlu oleh Majelis Pekerja Harian, atau b. Atas permintaan tertulis dari sekurang-kurangnya 1/3 (satu pertiga) jumlah anggota MPL-PGI (bukan anggota Majelis Pekerja Harian), dengan menyebut masalahmasalah yang hendak dibicarakan. 4. MPL-PGI bertugas untuk: a. Mengawasi pelaksanaan keputusan Sidang Raya PGI. b. Menetapkan program kerja tahunan PGI yang merupakan penjabaran lebih rinci dari dokumen-dokumen keesaan gereja yang telah ditetapkan oleh Sidang Raya. 144 c. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahunan PGI. d. Menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul antara 2 (dua) Sidang Raya. e. Menerima dan menilai laporan tahunan termasuk laporan keuangan/ perbendaharaan yang disampaikan oleh Majelis Pekerja Harian. Pasal 14 Majelis Pekerja Harian 1. Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia disingkat MPH-PGI, terdiri dari: a. Seorang Ketua Umum b. 4 (empat) orang Ketua c. Seorang Sekretaris Umum d. Seorang Wakil Sekretaris Umum e. Seorang Bendahara f. Seorang Wakil bendahara g. 4 (empat) orang anggota, dengan ketentuan bahwa seluruh anggota MPH-PGI berjumlah 13 (tiga belas) orang. 2. Tata Cara Pemilihan dan syarat-syarat keanggotaan MPH-PGI ditetapkan oleh Sidang Raya atas usul MPL-PGI. 3. MPH-PGI bersidang sekurang-kurangnya satu kali dalam 6 (enam) bulan. 4. MPH-PGI bertugas untuk: a. Melaksanakan pekerjaan yang telah ditetapkan oleh Sidang Raya dan Sidang MPL-PGI. b. Menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul antara 2 (dua) Sidang MPL-PGI dan mempertanggungjawabkannya kepada MPL-PGI. c. Menyusun dan mengajukan Program Kerja tahunan dan Rencana Anggaran dan Pendapatan Tahunan PGI kepada Sidang MPL-PGI untuk memperoleh pengesahan dan penetapan. 145 d. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Sidang MPL-PGI dan Sidang Raya. 5. Dalam keadaan mendesak MPH-PGI dapat mengambil kebijakan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bergereja, berbangsa dan bernegara dan mempertanggung jawabkannya kepada Sidang MPL terdekat. Pasal 15 Badan Pengawas Perbendaharaan 1. Badan Pengawas Perbendaharaan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, disingkat BPP-PGI terdiri dari warga gereja dari gereja anggota PGI yang oleh Sidang Raya dianggap mampu untuk melaksanakan tugas pengawasan atas pengelolaan segenap perbendaharaan/harta milik PGI dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja PGI. BPP-PGI dipilih dan ditetapkan oleh Sidang Raya, terdiri dari 3 (tiga) orang: a. Seorang Ketua b. Seorang Sekretaris c. Seorang Anggota 2. Keanggotaan BPP-PGI tidak boleh dirangkap oleh anggota MPL-PGI, MP-PGI dan oleh anggota Badan-badan lain yang dibentuk oleh Sidang Raya PGI dan oleh MPL-PGI. 3. BPP-PGI bertugas untuk: a. Mengadakan pengawasan atas pengelolaan segenap perbendaharaan/harta milik PGI dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja PGI. b. Melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh Sidang Raya dan MPL-PGI. c. Mengajukan saran-saran kepada Sidang Raya baik berupa peningkatan maupun penyelesaian masalah yang mungkin timbul, di bidang tata laksana keuangan dan pengelolaan perbendaharaan/harta milik PGI. d. Melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan tahunan PGI. Dalam pemeriksaan tersebut BPP dapat menggunakan 146 jasa Akuntan Publik terdaftar, dengan persetujuan MPHPGI. e. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada MPL dan Sidang Raya. Pasal 16 Majelis Pertimbangan 1. Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, disingkat MP-PGI, terdiri dari warga gereja dari gereja anggota PGI yang oleh Sidang Raya dianggap mampu untuk memberi pertimbangan/sumbangan pikiran kepada MPH-PGI serta alatalat kelengkapan PGI. 2. MP-PGI dipilih dan ditetapkan oleh Sidang Raya, terdiri dari: a. seorang Ketua b. seorang Wakil Ketua c. seorang Sekretaris d. 2 (dua) orang anggota, dengan ketentuan bahwa seluruh anggota MP-PGI berjumlah 5 (lima) orang. 3. MP-PGI memberikan pertimbangan/sumbangan pikiran kepada MPH-PGI serta alat-alat kelengkapan PGI, diminta atau tidak diminta. 4. MP-PGI bersidang sekurang-kurangnya satu kali dalam 6 (enam) bulan. Pasal 17 Persekutuan Gereja-gereja di Wilayah/SAG Status dan Fungsi 1. Status PGI Wilayah/SAG dan Tata Kerja: a. PGI Wilayah/SAG adalah alat kelengkapan PGI sebagai wujud persekutuan gerejawi yang dibentuk dan didukung oleh gereja-gereja anggota dan bukan/belum anggota PGI yang berada di wilayah tersebut, dan disahkan oleh MPL- 147 PGI dalam rangka perwujudan keesaan gereja di Indonesia. b. Tata kerja PGI Wilayah/SAG adalah implementasi Tata Dasar PGI dengan tetap memperhatikan kondisi dan situasi wilayah yang bersangkutan dan tidak boleh bertentangan dengan Tata Dasar PGI. 2. a. Dalam rangka peningkatan penghayatan persekutuan dan pelaksanaan tugas panggilan gereja maka di setiap propinsi dibentuk Persekutuan Gereja Wilayah/SAG se Wilayah dengan nama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah, disingkat PGI Wilayah/ Sinode Am Gereja (SAG) b. Dalam rangka pengembangan dan pemantapan Gerakan Oikoumene di satu wilayah, di lingkungan PGI Wilayah/ SAG dapat dibentuk PGIS, PGID dan selanjutnya diatur dalam Tata Kerja PGIW/SAG setempat. 3. Fungsi PGI Wilayah/SAG adalah untuk: a. Membicarakan, menggumuli, dan mewujudkan kehadiran bersama gereja-gereja di wilayah sebagai Gereja Kristen Yang Esa di Wilayah disingkat GKYE-Wilayah. b. Menggalang kebersamaan gereja-gereja di wilayah melalui kegiatan-kegiatan bersama, dan membantu gereja-gereja untuk memikirkan/mengusahakan kebutuhan-kebutuhannya. c. Melaksanakan keputusan-keputusan Sidang Raya/MPLPGI dengan menjabarkan ke dalam bentuk-bentuk kegiatan bersama, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan wilayah yang bersangkutan. d. Membina dan mengembangkan Persekutuan Oikoumenis Umat Kristen, disingkat POUK, sehingga POUK dapat mengembangkan peranannya sebagaimana ditetapkan dalam ketetapan SR dan MPL. e. Mengantisipasi dampak dari otonomi daerah. 148 f. Membangun jejaring dengan mitra kerja di wilayah terutama dengan warga gereja, membuat peta politik di wilayah agar gereja-gereja makin mampu berfungsi di bidang politik dan hukum. g. Memberi rekomendasi bagi calon-calon gereja anggota PGI di wilayahnya 4. Wakil PGI Wilayah hadir dalam Sidang Raya sebagai anggota mitra. Pasal 18 Badan-badan Lain 1. Dalam rangka pelaksanaan tugas khusus PGI, Sidang Raya dan atau MPL-PGI membentuk badan-badan lainnya. 2. Susunan organisasi, tata kerja dan pengurus badan yang dibentuk oleh Sidang Raya PGI ditetapkan oleh Sidang Raya. 3. Susunan organisasi, tata kerja dan pengurus badan yang dibentuk oleh MPL-PGI ditetapkan oleh MPL-PGI atas usul MPH-PGI. BAB VII SIDANG-SIDANG Pasal 19 Ketentuan Sidang, hak bicara dan hak suara 1. Sidang-sidang di lingkungan PGI terdiri dari: a. Sidang Raya b. Sidang Majelis Pekerja Lengkap c. Sidang Majelis Pekerja Harian d. Sidang Badan Pengawas Perbendaharaan e. Sidang Majelis Pertimbangan f. Sidang PGI Wilayah/SAG g. Sidang Badan-badan lainnya. 149 2. Sidang-sidang PGI dianggap sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota. Jika jumlah itu tidak mencapai, maka Ketua dan Sekretaris memanggil sidang secara tertulis untuk kedua kalinya dan sidang ini dianggap sah bila dihadiri oleh 2/5 (dua perlima) dari jumlah anggota. Jika jumlah itu tidak tercapai, maka Ketua dan Sekretaris sekali lagi dengan cara yang sama memanggil sidang untuk ketiga kalinya dan rapat dianggap sah. 3. Pada Sidang Raya PGI setiap gereja anggota mempunyai hak bicara dan hak suara yang sama. 4. Pada Sidang MPL-PGI: a. Alat kelengkapan PGI seperti PGI Wilayah/SAG, Departemen, Biro PGI mempunyai hak bicara. b. Anggota Mitra MPL mempunyai hak bicara. 5. Pada sidang-sidang MPH, BPP, MP dan badan-badan lainnya setiap anggota mempunyai hak bicara dan hak suara yang sama. 6. Pada sidang MPH-PGI, a. Anggota BPP dan MP mempunyai hak bicara dan tidak mempunyai hak suara b. BPP dan MP dapat memberikan informasi dan pertimbangan atas permintaan sidang MPH. 7. Dalam semua persidangan PGI keputusan diusahakan dengan jalan musyawarah namun bila perlu dilakukan dengan pemungutan suara. BAB VIII KUASA PERWAKILAN Pasal 20 1. Persekutuan gereja-gereja di Indonesia diwakili oleh Ketua Umum bersama Sekretaris Umum di dalam dan di luar pengadilan, dengan ketentuan bahwa: 150 a. Untuk mengikat PGI pada pihak lain atau pihak lain dengan PGI dan untuk menjual atau dengan jalan lain melepaskan hak atas barang-barang yang tidak bergerak, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari MPLPGI. b. Untuk membeli atau dengan jalan lain mendapatkan hak atas barang-barang yang tidak bergerak, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sidang MPH-PGI dan melaporkan/mempertanggungjawabkannya kemudian kepada Sidang MPL-PGI. 2. Jika Ketua Umum dan atau sekretaris Umum berhalangan, maka mereka dapat diwakili masing-masing oleh seorang Ketua, Wakil Sekretaris Umum atau seorang pejabat PGI yang ditunjuk oleh MPH-PGI. BAB IX PERBENDAHARAAN DAN PENGAWASAN Pasal 21 Perbendaharaan 1. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengelola perbendaharaannya sendiri. 2. Perbendaharaan PGI, yang meliputi keuangan dan harta milik, diperoleh dari: a. Iuran gereja-gereja anggota. b. Sumbangan-sumbangan dalam segala bentuk, yang tidak mengikat. c. Pendapatan-pendapatan lainnya yang sah, sesuai dengan nilai kristiani. 3. Tahun Buku PGI berlangsung dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. 151 Pasal 22 Pengawasan 1. Pengelolaan perbendaharaan didasarkan pada: a. Sistem Pendapatan dan Belanja yang berimbang, dinamis dan realistis. b. Peraturan penatalayanan dan pengelolaan perbendaharaan PGI, yang disahkan/ditetapkan oleh MPLPGI atas usul MPH-PGI. c. Peraturan tentang pengawasan/pemeriksaan atas keuangan dan perbendaharaan PGI oleh BPP-PGI ditetapkan oleh Sidang MPL-PGI, atas usul MPH-PGI. 2. Pengawasan/pemeriksaan perbendaharaan PGI dilakukan oleh BPP-PGI. Pasal 23 Pertanggungjawaban 1. Bendahara memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan tugasnya pada setiap sidang MPH-PGI. 2. MPH-PGI memberikan pertanggungjawaban perbendaharaan kepada Sidang MPL-PGI tentang neraca dan perhitungan penerimaan/pengeluaran yang telah diperiksa oleh BPP-PGI. 3. BPP-PGI memberikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugasnya kepada MPL-PGI dan Sidang Raya. 4. MPH-PGI memberikan laporan pertanggungjawaban tugasnya kepada Sidang Raya. BAB X PERUBAHAN DAN TAMBAHAN Pasal 24 1. Perubahan dan tambahan TATA DASAR ini dapat diadakan oleh Sidang Raya, jikalau sidang itu dihadiri oleh sekurang- 152 kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah gereja anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah suara yang hadir. 2. Perubahan dan tambahan TATA DASAR hanya berlaku sesudah disahkan oleh Sidang Raya. BAB XI PEMBUBARAN Pasal 25 1. Sidang Raya dapat membubarkan PGI dan pembubaran adalah sah jikalau sidang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari gereja anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya ¾ (tiga perempat) jumlah suara yang hadir. 2. Dalam putusan tentang pembubaran itu Sidang Raya menetapkan Panitia Likuidasi dan tata cara penyelesaian milik PGI. BAB XII KETENTUAN DAN PENUTUP Pasal 26 Tata Rumah Tangga 1. Hal-hal yang tidak dimuat atau belum cukup diatur dalam TATA DASAR ini akan ditetapkan dalam TATA RUMAH TANGGA PGI, yang isinya tidak boleh bertentangan dengan TATA DASAR ini. 2. TATA RUMAH TANGGA dalam ayat 1 tersebut di atas, ditetapkan oleh Sidang Majelis Pekerja Lengkap yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) suara yang hadir. 153 Pasal 27 Peralihan 1. Semua gereja anggota DGI dengan sendirinya menjadi anggota PGI. 2. Semua kewajiban, hak, harta kekayaan dan milik DGI menjadi kewajiban, hak, harta kekayaan dan milik PGI. TATA DASAR PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (TDPGI) ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan pada Sidang Raya XV PGI di Mamasa, 19-23 November 2009. 154 155 TATA RUMAH TANGGA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Ketentuan Umum TATA RUMAH TANGGA ini dibuat berdasarkan ketentuan TATA DASAR PGI, Bab XIII Pasal 26 Tentang TATA RUMAH TANGGA. BAB II TEMPAT DAN KEDUDUKAN SEKRETARIAT UMUM Pasal 2 Sekretariat Umum 1. 2. 3. Tempat Kantor Sekretariat Umum PGI ditetapkan oleh MPHPGI. a. Sekretariat Umum PGI adalah wahana dan sarana untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dari MPH-PGI dalam rangka menjalankan Keputusan Sidang Raya PGI/ MPLPGI. b. Fungsi pokok Sekretariat Umum PGI adalah penyelenggara informasi dan komuni-kasi antara gereja-gereja maupun dengan pihak-pihak di luar gereja, penyelenggara persidangan-persidangan gereja-gereja selaku persekutuan, serta penyelenggara program-program yang telah disetujui bersama. c. Sekretariat Umum PGI juga merupakan wahana dan sarana peningkatan dan pengembangan kuantitas dan kualitas pelayanan PGI. a. Sekretariat Umum PGI dipimpin oleh Sekretaris Umum. b. Untuk menyelenggarakan fungsi Sekretariat Umum PGI, Sidang Raya PGI mengangkat dan menetapkan 156 fungsionaris PGI dalam diri pejabat penuh waktu yang terdiri dari Ketua Umum PGI, Sekretaris Umum PGI, Wakil Sekretaris Umum PGI dan Wakil Bendahara PGI. c. Para fungsionaris PGI yang lainnya, yaitu para pejabat PGI terdiri dari Sekretaris Bidang yang diangkat Sidang MPLPGI, dan para Kepala Biro yang terdiri dari mereka yang ahli di bidangnya yang diangkat oleh Sidang MPH-PGI. 4. Susunan dan pembagian bidang pekerjaan pada Sekretariat Umum PGI ditetapkan oleh MPL-PGI atas usul MPH-PGI. BAB III PROGRAM KERJA Pasal 3 Penyusunan Program 1. Program-program PGI merupakan penjabaran lebih rinci dari keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Sidang Raya PGI dan Sidang MPL PGI. 2. Program-program PGI disusun dan direncanakan secara tahunan sebagai penjabaran Prokelita. 3. Program dan Anggaran Tahunan PGI, ditetapkan oleh MPL-PGI atas usul MPH-PGI. 4. Usul Program Tahunan PGI disusun oleh MPH-PGI yang antara lain berisi rangkuman program dari gereja-gereja anggota dan PGI-Wilayah-PGI-Wilayah/Sinode Am Gereja (SAG) yang merupakan implementasi Keputusan Sidang Raya PGI dan Sidang MPL-PGI. Pasal 4 Pelaksanaan Program 1. MPH-PGI menetapkan dan mensahkan pelaksanaan Pokokpokok Program PGI dan Anggarannya. 157 2. MPH-PGI merinci Pokok-pokok Program itu dalam bentuk kerangka acuan untuk di-laksanakan oleh alat kelengkapan MPH-PGI bersama-sama dengan gereja-gereja anggota PGIWilayah. 3. MPH-PGI menetapkan pedoman pelaksanaan program dalam suatu ketetapan tentang “Tata Laksana Program PGI”. BAB IV KEANGGOTAAN Pasal 5 Permohonan menjadi Gereja Anggota PGI 1. Permohonan menjadi gereja anggota PGI disampaikan secara tertulis oleh gereja pemohon kepada MPH-PGI, dengan tembusan kepada gereja-gereja anggota PGI dan PGI-Wilayah di wilayah tempat gereja dan jemaat-jemaat dari gereja pemohon berada. 2. Surat permohonan untuk menjadi gereja anggota PGI harus disertai: a. Salinan keputusan badan tertinggi dari gereja pemohon untuk menjadi anggota PGI, merupakan dasar bagi pemohon. b. Statistik gereja pemohon yang menunjukkan jumlah anggota sidi atau baptisan dan anak-anak, jumlah jemaat atau gereja setempat, jumlah pejabat atau petugas gerejawi dan kegiatan-kegiatan kesaksian dan pelayanan gereja pemohon. c. Salinan naskah-naskah tentang status hukum terakhir dari gereja pemohon. d. Tata gereja dan peraturan-peraturan gerejawi gereja pemohon. e. Pernyataan tertulis yang menegaskan persetujuan gereja pemohon terhadap TATA DASAR PGI umumnya, dan 158 khususnya terhadap Pasal 4 (Tujuan PGI) dan Pasal 9 (Kewajiban dan Hak Gereja Anggota). 3. Dalam menentukan pendapat terhadap tiap permohonan untuk menjadi anggota PGI, MPH-PGI berkewajiban secara berturut-turut: a. Mengumpulkan keterangan-keterangan seperlunya mengenai hal-ihwal gereja pemohon. b. Menghubungi gereja-gereja anggota PGI-Wilayah di wilayah yang bersangkutan untuk meminta pendapat mereka. c. Meneruskan permohonan gereja pemohon kepada MPLPGI dengan disertai keterangan-keterangan seperti yang dimaksudkan pada butir a dan b ayat ini dan pendapat MPH-PGI. Pasal 6 Penerimaan sebagai Gereja Anggota PGI 1. MPL-PGI, berdasarkan surat permohonan gereja pemohon dan keterangan-keterangan serta pendapat yang diterima dari MPH-PGI, mengambil keputusan mengenai permohonan tersebut. 2. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, MPL-PGI dapat menyerahkan keputusan tentang penerimaan sesuatu gereja pemohon sebagai gereja anggota PGI kepada Sidang Raya PGI. 3. Gereja pemohon yang ternyata belum memenuhi syarat-syarat untuk diterima sebagai gereja anggota PGI dapat diundang untuk menghadiri Sidang Raya PGI sebagai peninjau. 4. Peresmian gereja pemohon sebagai gereja anggota PGI dilakukan dalam Sidang MPL-PGI atau dalam Sidang Raya PGI. 159 Pasal 7 Berakhirnya Keanggotaan dalam PGI atas Permintaan Sendiri 1. 2. 3. 4. Jika suatu gereja anggota PGI menyatakan mengakhiri keanggotaannya dalam PGI, maka gereja yang bersangkutan harus menyampaikannya secara tertulis kepada MPH-PGI yang disertai: a. Salinan keputusan badan tertinggi gereja tersebut tentang pengakhiran keanggotaan itu. b. Ketentuan-ketentuan mengenai alasan-alasan pengakhiran keanggotaan itu. MPH-PGI mempelajari hal itu dan mengadakan pendekatan kepada gereja bersangkut-an serta menyampaikan pendapatnya kepada MPL-PGI untuk dibahas dan diteruskan ke Sidang Raya. Sidang Raya mengambil keputusan terakhir mengenai hal itu, dengan ketentuan bahwa keputusan pengakhiran keanggotaan itu harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah gereja anggota yang hadir. Segala kewajiban dan hak gereja anggota tersebut yang terkait dengan PGI, dengan sendirinya hilang. Pasal 8 Berakhirnya Keanggotaan Bukan Atas Permintaan Sendiri 1. 2. Jika karena alasan-alasan tertentu MPH-PGI berpendapat bahwa suatu gereja anggota tidak dapat lagi dipertahankan sebagai anggota PGI, maka MPH-PGI wajib mengusul-kan hal itu kepada MPL-PGI dengan menerangkan alasan-alasan itu. MPL-PGI mempelajarinya, dan jika alasan-alasan itu kuat dan dapat dibenarkan, maka MPL-PGI mengusulkan hal itu kepada Sidang Raya. 160 3. 4. 5. Bila MPL-PGI menganggap berakhirnya keanggotaan gereja tersebut sudah mendesak, maka MPL-PGI dapat memutuskan pemberhentian sementara. Sidang Raya mengambil keputusan akhir mengenai hal itu, dengan ketentuan bahwa keputusan pengakhiran itu harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah gereja anggota yang hadir. Segala kewajiban dan hak gereja anggota tersebut yang terkait dengan PGI, ditetapkan dan diselesaikan oleh Sidang Raya yang memutuskan pengakhiran keanggotaan itu. BAB V SIDANG RAYA PGI Pasal 9 Perutusan dan Hak Suara Gereja Anggota PGI 1. Setiap gereja anggota PGI mengirim 5 (lima) orang utusan ke Sidang Raya PGI, masing-masing utusan ditetapkan dan dilengkapi dengan Surat Kuasa (Surat Kredensi) oleh gereja anggota yang mengutusnya. 2. Karena perutusan suatu gereja anggota PGI merupakan perutusan dari seluruh umat Tuhan dalam lingkungan gereja anggota PGI, maka perutusan harus mencakup pimpinan gereja maupun anggota gereja yang menjalankan kesaksian dan pelayanan di berbagai bidang masyarakat, wanita, non pendeta dan generasi muda. 3. Peserta Sidang Raya PGI terdiri dari: a. gereja-gereja yang mempunyai anggota maksimal 50.000 anggota gereja mempunyai 1 hak suara memutuskan. b. gereja-gereja yang mempunyai anggota maksimal 50.001500.000 anggota gereja mempunyai 2 hak suara memutuskan. 161 4. c. gereja-gereja yang mempunyai anggota maksimal 500.001- dan seterusnya anggota gereja mempunyai 3 hak suara memutuskan. Setiap anggota perutusan gereja anggota PGI adalah anggota dari gereja anggota PGI yang bersangkutan. Pasal 10 Pimpinan Sidang Raya 1. 2. 3. 4. Sidang Raya dibuka dan ditutup oleh Ketua Umum. Sidang Raya dipimpin oleh Majelis Ketua yang dipilih oleh dan dari utusan gereja anggota, didampingi oleh Ketua Umum. Sekretaris persidangan adalah Sekretaris Umum. Majelis Ketua hanya berfungsi selama Sidang Raya berlangsung. Pasal 11 Peserta Sidang Raya PGI 1. Peserta Sidang Raya terdiri dari: a. 5 (lima) orang utusan gereja-gereja anggota. b. 2 (dua) orang utusan PGI-Wilayah. c. Semua anggota MPH-PGI d. Para pimpinan Departemen/Badan/Biro PGI. 2. Selain utusan-utusan, Sidang Raya PGI dihadiri oleh peninjaupeninjau, penasihat-penasihat dan tamu-tamu. 3. Dalam 5 (lima) orang utusan gereja anggota, harus tercermin unsur wanita, non pendeta dan generasi muda. 4. a. Peninjau-peninjau dari gereja-gereja anggota PGI diundang oleh MPH-PGI atas usul gereja-gereja anggota PGI. Jumlahnya tidak melebihi jumlah utusan gereja anggota PGI yang bersangkutan, dan mereka tidak dapat menjadi pembawa hak suara gerejanya. 162 b. Peninjau-peninjau dari PGI-Wilayah/SAG diundang oleh MPH-PGI yang jumlahnya dari setiap wilayah ditentukan oleh MPH-PGI. c. Peninjau-peninjau dari gereja-gereja yang telah mengajukan permohonan menjadi gereja anggota PGI tetapi belum memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk menjadi anggota PGI, diundang oleh MPH-PGI. 5. Penasihat-penasihat dalam Sidang Raya PGI diundang oleh MPH-PGI atas petunjuk MPL-PGI, yang terdiri dari: a. Anggota-anggota MPL-PGI, MP-PGI dan BPP-PGI. b. Para mantan Ketua Umum dan Sekretaris Umum PGI. c. Orang-orang yang dianggap mampu memberikan nasihat khusus pada Sidang Raya PGI. 6. Tamu-tamu yang diundang oleh MPH-PGI atas usul MPL-PGI, terutama dalam rangka persekutuan oikoumenis. Pasal 12 Sidang Raya Istimewa PGI 1. 2. 3. MPH-PGI mengundang Sidang Raya Istimewa jika syaratsyarat seperti tersebut pada TATA DASAR Bab VI Pasal 12 ayat 4 telah dipenuhi. Apabila MPH-PGI tidak mengundang Sidang Raya Istimewa PGI dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari setelah permintaan diterima, maka gereja-gereja anggota PGI yang memintanya, dapat memanggil Sidang Raya Istimewa PGI atas biaya PGI, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam TATA DASAR PGI. Dalam mengundang Sidang Raya Istimewa PGI, pengundang harus memberitahukan pokok-pokok acara sidang. 163 Pasal 13 Notulen dan Keputusan Sidang Raya PGI 1. 2. 3. 4. Notulen dan Keputusan-keputusan Sidang Raya PGI dan Sidang Raya Istimewa PGI, adalah dokumen resmi PGI. Dalam hal terjadi pergantian Sekretaris Umum, maka Sekretaris Umum yang digantikan harus mempersiapkan Notulen dan Daftar Keputusan-keputusan Sidang Raya yang disampaikan kepada Sekretaris Umum yang menggantikannya pada waktu serah terima jabatan dilakukan. Sekretaris Umum yang menggantikan (baru) kemudian meneruskan Notulen dan Daftar Keputusan Sidang Raya PGI tersebut kepada Sidang MPL-PGI pertama setelah Sidang Raya PGI untuk disahkan. Notulen dan Daftar Keputusan-keputusan Sidang Raya PGI yang sudah disahkan oleh Sidang MPL-PGI pertama setelah Sidang Raya, kutipan/turunannya dikirim ke setiap anggota MPL dan Pimpinan gereja anggota, aslinya disimpan di Sekretariat Umum PGI. Notulen dan Daftar Keputusan Sidang Raya PGI dibuat oleh Sekretaris Umum, Keputusan-keputusan Sidang Raya PGI harus diajukan dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI yang pertama untuk disahkan. Pasal 14 Pimpinan Sidang 1. Pada permulaan Sidang Raya PGI, persidangan dipimpin oleh ketua Umum PGI dengan dibantu oleh Sekretaris Umum PGI selaku Sekretaris Persidangan, yang segera melakukan pembukaan Sidang Raya, menetapkan Tata-tertib Persidangan dan melaksanakan pemilihan Majelis Ketua sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 164 2. 3. 4. Majelis Ketua terdiri dari 5 (lima) orang, yang dipilih oleh dan dari utusan gereja anggota untuk memimpin persidangan. Segera setelah Majelis Ketua terpilih, Ketua Umum PGI menyerahkan pimpinan Sidang Raya kepada Majelis Ketua, selanjutnya ia mendampingi Majelis Ketua sebagai nara sumber yang aktif. Pada akhir Sidang Raya PGI, Majelis Ketua meletakkan jabatan dan menyerahkan pimpinan kembali kepada Ketua Umum PGI terpilih dan Ketua Umum PGI terpilih menutup persidangan. Pasal 15 Tempat dan Waktu Sidang Raya PGI 1. 2. 3. 4. Setiap Sidang Raya PGI menetapkan waktu dan tempat Sidang Raya PGI berikutnya. Sidang Raya PGI dapat menyerahkan penetapan waktu dan tempat Sidang Raya PGI berikutnya kepada Sidang MPL-PGI. Dalam keadaan yang luar biasa, tempat dan waktu yang telah ditetapkan oleh Sidang Raya PGI dapat diubah. Yang berhak mengadakan keputusan untuk mengubah adalah Sidang MPL-PGI. Sidang Raya Istimewa PGI dilaksanakan di tempat yang ditentukan oleh MPH-PGI atau gereja-gereja anggota PGI yang mengundangnya. Pasal 16 Persiapan Sidang Raya PGI 1. MPH-PGI atas nama MPL-PGI mempersiapkan bahan-bahan: laporan, usul dan sebagainya untuk memperlancar pembahasan dalam Sidang Raya PGI dan sudah dikirim oleh MPH-PGI kepada tiap-tiap gereja anggota selambat- 165 2. lambatnya 1 (satu) bulan sebelum pelaksanaan Sidang Raya PGI. Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam TATA DASAR PGI Bab VI Pasal 12 ayat 6, MPL-PGI dapat mengusulkan bahan-bahan dan tata cara mengenai pemilihan personalia MPH-PGI untuk diputuskan oleh Sidang Raya PGI. BAB VI MAJELIS PEKERJA LENGKAP Pasal 17 Sidang-sidang MPL-PGI 1. 2. 3. 4. Sidang MPL-PGI yang pertama dalam suatu masa antara Sidang Raya, harus sudah dapat dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sesudah Sidang Raya. Sidang MPL-PGI diadakan 1 (satu) kali setahun sebelum tahun anggaran baru PGI. Jika diperlukan dapat pula diadakan Sidang MPL-PGI menjelang Sidang Raya PGI berikutnya. Masa Kerja MPL-PGI adalah 5 (lima) tahun (atau sama dengan antara 2 (dua) Sidang Raya). Pasal 18 Peserta Sidang MPL-PGI 1. Peserta Sidang MPL-PGI terdiri dari: a. Seorang wakil dari setiap gereja anggota. Jika anggota MPL-PGI tersebut berhalangan tetap maka pimpinan Gereja yang bersangkutan menunjuk penggantinya, dan jika berhalangan tidak tetap ditunjuk yang mewakili, yang dinyatakan dengan Surat Kuasa. b. Semua anggota MPH-PGI. Jika ada yang berhalangan, ia tidak dapat diganti. 166 c. Anggota penuh dan anggota mitra unsur wanita, pemuda dan warga gereja bukan pendeta. Jika ada yang berhalangan tetap, maka MPH-PGI mengajukan usul pengganti kepada Sidang MPL-PGI untuk ditetapkan dan disahkan. d. Anggota wakil PGI-Wilayah/SAG. Jika ada yang berhalangan, baik halangan tetap maupun halangan sementara, maka PGI-Wilayah/SAG yang bersangkutan menunjuk penggantinya dengan Surat Kuasa, dengan ketentuan bahwa para anggota MPL-PGI lainnya tidak dapat ditunjuk sebagai pengganti. e. Para penasihat yaitu wakil dari badan-badan PGI, badanbadan kerjasama PGI di dalam dan di luar negeri yang diundang oleh MPH-PGI. f. Para peninjau, wakil wakil gereja calon anggota dan calon anggota PGI-Wilayah/ SAG yang diundang oleh MPH-PGI. g. Para tamu, yang diundang oleh MPH-PGI. 2. Dalam Sidang MPL-PGI, anggota penuh mempunyai hak suara, anggota mitra mempunyai hak bicara, sedang peserta lainnya mempunyai hak bicara atas Izin Majelis Ketua Pasal 19 Notulen Keputusan Sidang MPL-PGI 1. Notulen dan Keputusan Sidang-sidang MPL-PGI adalah dokumen resmi PGI. 2. Notulen dan Keputusan-keputusan yang sudah disahkan dalam ayat 1 di atas, kutipan/turunannya dikirim ke Pimpinan gereja anggota dan anggota MPL-PGI, sedang aslinya disimpan di Sekretariat Umum PGI. 167 Pasal 20 Majelis Ketua Sidang MPL-PGI 1. Pada permulaan setiap Sidang MPL-PGI, Persidangan dipimpin oleh Ketua Umum PGI dengan dibantu oleh Sekretaris Umum PGI, yang segera harus melaksanakan pemilihan Majelis Ketua Sidang MPL-PGI sesuai dengan ketentuan Tata Tertib yang berlaku. 2. Segera setelah Majelis Ketua MPL-PGI terpilih, Ketua Umum PGI yang memimpin Sidang menyerahkan Pimpinan Sidang kepada Majelis Ketua dan selanjutnya ia mendampingi Majelis Ketua sebagai nara sumber aktif. 3. Pada akhir Sidang MPL-PGI Majelis Ketua meletakkan jabatan dan menyerahkan pimpinan kembali kepada Ketua Umum PGI dan Ketua Umum PGI menutup persidangan. 4. a. Sidang MPL-PGI dipimpin oleh Majelis Ketua sebanyak 5 (lima) orang, yang dipilih oleh dan dari anggota MPL-PGI, dengan memperhatikan peran serta unsur-unsur dari utusan gereja, Pendeta/non Pendeta, Pemuda, Wanita, dan PGI Wilayah/SAG”. b. Majelis Ketua hanya berfungsi selama Sidang MPL-PGI berlangsung. c. Majelis Ketua didampingi oleh Ketua Umum PGI sebagai nara sumber yang aktif. d. Sekretaris persidangan adalah Sekretaris Umum PGI. Pasal 21 Tugas Sidang MPL-PGI 1. Untuk dapat menjalankan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam TATA DASAR Pasal 13 ayat 4, maka Sidang MPL-PGI bertugas untuk: a. Menilai dan menerima Laporan MPH-PGI: Umum, Keuangan, dan Perbendaharaan/harta milik PGI. 168 2. b. Membahas dan memutuskan usulan-usulan program dan anggaran tahunan PGI yang diajukan oleh MPH-PGI. c. Memberikan tugas-tugas khusus kepada MPH-PGI dalam rangka penyelesaian persoalan-persoalan yang timbul. d. Mempersiapkan pelaksanaan Sidang Raya PGI baik isi maupun teknis. e. Menerima informasi/laporan dari BPP-PGI dan MP-PGI sebagai bahan pertimbangan. Di samping itu Sidang MPL-PGI bertugas juga untuk melaksanakan hal-hal lainnya sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya sebagaimana yang tersebut dalam TATA DASAR dan TATA RUMAH TANGGA antara lain: Penerimaan anggota baru, pembentukan badan-badan PGI serta susunan organisasi, Tata Kerja dan Pengurus Badan yang bersangkutan, dan personalia Sekretariat Umum PGI serta peraturan-peraturan pokoknya. BAB VII MAJELIS PEKERJA HARIAN Pasal 22 Tugas MPH-PGI 1. 2. 3. 4. Melaksanakan pekerjaan yang telah ditetapkan oleh Sidang Raya PGI dan Sidang MPL-PGI. Menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul antara 2 (dua) Sidang MPL-PGI dan mempertanggungjawabkannya kepada Sidang MPL-PGI. Menyusun dan mengajukan Program Kerja tahunan dan rencana anggaran dan pendapatan tahunan PGI kepada Sidang MPL-PGI untuk memperoleh pengesahan dan penetapan. Mempertanggungjawabkan pelaksanaaan tugasnya kepada Sidang MPL-PGI dan Sidang Raya PGI. 169 5. Menginformasikan secara berkala: triwulan, catur wulan atau semester pendapatan dan pengeluaran PGI kepada gerejagereja anggota agar diketahui persis kewajiban-kewajiban yang belum dilunasi dan yang sudah terlunasi. Pasal 23 Sidang MPH-PGI 1. 2. 3. 4. Sidang MPH-PGI dihadiri oleh anggota-anggota MPH-PGI. Ketua Umum PGI dan Sekretaris Umum PGI mengundang dan mempersiapkan Sidang MPH-PGI. Dalam surat undangan Sidang MPH-PGI dicantumkan pokokpokok acara sidang. Selain anggota-anggota MPH-PGI, Sidang MPH-PGI juga dihadiri oleh MP-PGI dan Pimpinan Departemen/Badan/Biro PGI. Sidang MPH-PGI dapat melakukan Sidang Terbatas, yang hanya dihadiri oleh anggota MPH-PGI saja, apabila ada pokokpokok bahasan dalam Sidang MPH-PGI yang dianggap hanya dapat dibahas dan diputuskan oleh anggota MPH-PGI sendiri. Sidang MPH-PGI dipimpin oleh Ketua Umum PGI bersama para Ketua PGI dengan dibantu oleh Sekretaris Umum PGI. Pasal 24 Masa Bakti MPH-PGI 1. 2. Masa Kerja MPH-PGI adalah 5 (lima) tahun atau sama dengan antara 2 (dua) Sidang Raya dan setiap anggotanya dapat dipilih kembali dengan ketentuan seseorang tidak boleh memangku jabatan yang sama lebih dari 2 (dua) Masa Bakti berturut-turut dan usia tidak lebih dari 65 tahun. Pejabat PGI paruh waktu dapat dipilih dengan usia setinggitingginya 65 (enam puluh lima) 170 3. 4. MPH-PGI meletakkan jabatannya pada saat serah terima dengan MPH-PGI yang baru. Serah terima itu dilaksanakan paling lambat 1 (satu) bulan sesudah Sidang Raya berakhir. Pasal 25 Tugas Sidang MPH-PGI 1. 2. 3. Untuk dapat melaksanakan tugas sebagaimana yang disebutkan dalam TATA DASAR Pasal 14 ayat 4, maka Sidang MPH-PGI bertugas untuk: a. Membahas dan mengambil keputusan terhadap laporan Sekretariat Umum dan laporan keuangan serta perbendaharaan/harta milik PGI. b. Membahas dan memutuskan usulan-usulan program dan rincian anggarannya sebagaimana yang ditetapkan Keputusan Sidang MPL-PGI. c. Memberikan tugas-tugas khusus kepada Pimpinan Sekretariat Umum, dalam rangka penyelesaian persoalanpersoalan yang timbul. d. Mempersiapkan pelaksanaan Sidang MPL-PGI baik isi maupun teknis. Sidang MPH-PGI bertugas pula untuk melaksanakan hal-hal lainnya sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya sebagaimana disebutkan dalam TATA DASAR dan TATA RUMAH TANGGA PGI, Peraturan-peraturan Kepegawaian, peraturan-peraturan Badan-badan PGI, dengan tetap berpedoman pada Keputusan Sidang Raya PGI dan Sidang MPL-PGI. Dalam menjalankan tugasnya MPH-PGI dapat membentuk Komisi, Kelompok Penasihat (Pokhat), Kelompok Kerja (Pokja) dan Panitia untuk membantu tugas tersebut. Adapun masa kerja Komisi, Pokhat, Pokja ditentukan sesuai kebutuhan MPH-PGI. 171 Pasal 26 Uraian Tugas Anggota-anggota MPH-PGI 1. a. Anggota-anggota MPH-PGI secara bersama-sama bertanggung jawab agar ketentuan-ketentuan TATA DASAR dan TATA RUMAH TANGGA PGI dilaksanakan sebaik-baiknya. b. Anggota-anggota MPH-PGI terdiri dari: (1) Pejabat Penuh Waktu yaitu Ketua Umum, Sekretaris Umum, Wakil Sekretaris Umum, dan Wakil Bendahara. (2) Pejabat Tidak penuh Waktu, yaitu Ketua-ketua, Bendahara dan anggota-anggota lainnya. 2. a. Ketua Umum bertugas : (1) Memimpin MPH-PGI dalam rangka melaksanakan tugas MPH-PGI. (2) Bersama-sama jajaran MPH-PGI lainnya menjalankan usaha-usaha untuk peningkatan pelayanan PGI kepada gereja-gereja, pengembangan hubungan dengan gereja-gereja lain, pengembangan hubungan dengan Pemerintah dan golongan agama lain. (3) Bersama dengan Sekretaris Umum bertanggungjawab terhadap pelaksanaan Program MPH-PGI; (4) Bersama dengan Sekretaris Umum, dan Bendahara mengusahakan dan menerima dana untuk keuangan PGI; (5) Bila Ketua Umum berhalangan, salah seorang Ketua mewakilinya. b. Ketua-Ketua bertugas: (1) Mewakili Ketua Umum, jika Ketua Umum berhalangan hadir dalam menjalankan usaha-usaha untuk peningkatan pelayanan PGI kepada gereja-gereja, pengembangan hubungan dengan gereja-gereja lain, pengembangan hubungan dengan Pemerintah dan golongan agama lain; 172 (2) Bersama Ketua Umum dalam memimpin Sidang/Rapat dalam lingkungan PGI; (3) Mewakili Ketua Umum dalam memimpin Sidang/Rapat dalam lingkungan PGI, jika Ketua Umum berhalangan; (4) Memberikan Perhatian, Pembinaan kepada PGIW/SAG dan gereja anggota sesuai dengan pembagian Wilayah Tugas yang ditetapkan oleh MPH-PGI; (5) Memberikan supervisi/bimbingan kepada unit-unit kerja tertentu yang ada dalam lingkungan PGI, sesuai dengan pembagian tugas yang ditetapkan oleh MPHPGI; (6) Hadir dalam Rapat-rapat Badan/Komisi/Kelompok Kerja/Panitia PGI. 3. Sekretaris Umum bertugas: (1) Mengkoordinasikan aktivitas organisasi dan pelaksanaan program-program yang diselenggarakan oleh Departemen, Biro, Badan-badan dan Komisi dalam lingkungan PGI; (2) Bersama-sama jajaran MPH-PGI lainnya melaksanakan pelayanan ke gereja-gereja Anggota PGI dalam rangka meningkatkan hubungan Oikoumenis di antara gerejagereja di Indonesia dan hubungann Oikoumenis internasional; (3) Bertugas sebagai Sekretaris persidangan dalam lingkup Sidang PGI; (4) Bersama dengan Ketua Umum bertanggungjawab terhadap Pelaksanaan Program Kerja MPH-PGI; (5) Bersama dengan Ketua Umum dan Bendahara mengusahakan dan menerima dana untuk Keuangan PGI; (6) Bila Sekretaris Umum berhalangan, Wakil Sekretaris Umum mewakilinya; (7) Hadir dalam Rapat-rapat Badan Komisi/Kelompok Kerja/Panitia PGI; 173 4. Wakil Sekretaris Umum bertugas: (1) Mewakili Sekretaris Umum PGI dalam hal Sekretaris Umum PGI berhalangan.; (2) Bersama Sekretaris Umum mengkoordinasikan aktivitas organisasi dan Pelaksanaan program-program yang diselenggarakan oleh Departemen, Biro dan Badanbadan di lingkungan PGI; (3) Mengkoordinasikan aktivitas staf sekertariat umum sebagai unit utama pelayanan roda organisasi; (4) Bertanggungjawab atas Notulensi Persidangan dalam lingkup PGI; (5) Hadir dalam Rapat-rapat Badan/Komisi/Kelompok Kerja/Panitia PGI; (6) Melaksanakan tugas-tugas urusan internal kantor, tata usaha, personalia dan lain-lain. 5. a. Bendahara bertugas : (1) Bendahara PGI memimpin dan dan mengkoordinasi segala urusan Keuangan dan Perbendaharaan/harta milik PGI; (2) Bendahara PGI bersama-sama dengan Ketua Umum PGI dan Sekretaris Umum PGI mengusahakan dan menerima dana untuk Keuangan PGI; (3) Bendahara PGI bertanggungjawab atas Laporan Keuangan/Perbendaharaan PGI pada lembaga dalam naungan PGI; (4) Apabila Bendahara PGI berhalangan, maka Wakil Bendahara PGI mewakilinya; (5) Apabila salah seorang dari Bendahara PGI dan Wakil Bendahara PGI berhalangan, maka mereka dapat saling menyerahkan tugas masing-masing; 174 b. Wakil Bendahara bertugas: (1) Mengkoordinir pencatatan Buku Kas dan Adminstrasi Keuangan/Perbendaharaan PGI; (2) Bersama Bendahara mengkoordinir staf Keuangan dalam melaksanakan tugas setiap hari; (3) Mengkoordinir Teknis Laporan Keuangan PGI yang dilaporkan oleh Bendahara PGI kepada lembaga dalam lingkup kerja PGI; (4) Mewakili Bendahara jika Bendahara berhalangan hadir; (5) Hadir dalam Rapat-rapat Badan Komisi/Kelompok Kerja/Panitia PGI. 6. Bendahara PGI, atas nama MPH-PGI, berkewajiban menyampaikan Laporan Berkala/ Triwulan Keuangan PGI yang sudah disahkan oleh Sidang MPH-PGI, kepada anggotaanggota MPL-PGI. 7. Pada tiap-tiap penutupan tahun anggaran, Bendahara PGI menyampaikan kepada MPH-PGI Neraca Keuangan PGI yang telah diperiksa BPP-PGI. 8. Bendahara PGI berkewajiban untuk setiap tahun mengirimkan Laporan Keuangan PGI yang sudah disahkan oleh Sidang MPL-PGI kepada semua gereja anggota dan kepada anggota-anggota MPL-PGI. 9. Bendahara PGI berkewajiban untuk mengirim kepada gerejagereja anggota PGI, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum Sidang Raya PGI dilangsungkan, Laporan Keuangan PGI beserta lampiran-lampiran pendukungnya yang meliputi tahun-tahun yang bersangkutan antara 2 (dua) Sidang Raya PGI. 10. Anggota bertugas: (1) Mewakili MPH-PGI dalam menjalankan usaha-usaha untuk peningkatan pelayanan PGI kepada gereja-gereja, hubungan dengan gereja-gereja lain, pengembangan hubungan dengan Pemerintah dan golongan agama lain; 175 (2) Memberikan Perhatian, Pembinaan kepada PGIW/SAG dan gereja anggota sesuai dengan pembagian Wilayah Tugas yang ditetapkan oleh MPH-PGI; (3) Memberikan supervisi/bimbingan kepada unit-unit kerja tertentu yang ada dalam lingkungan PGI, sesuai dengan pembagian tugas yang ditetapkan oleh MPH-PGI; (4) Hadir dalam Rapat-rapat Badan /Komisi/Kelompok Kerja/Panitia PGI. Pasal 27 Notulen dan Keputusan Sidang MPH-PGI 1. Notulen dan Keputusan Sidang MPH-PGI adalah dokumen resmi PGI. 2. Keputusan dalam ayat 1 di atas yang sudah disahkan, kutipan/turunannya dikirim oleh MPH-PGI kepada seluruh anggota MPL-PGI, aslinya disimpan di Sekretariat Umum PGI. Pasal 28 Berakhirnya Keanggotaan dan Pengisian Lowongan Anggota MPH-PGI 1. Seorang anggota MPH-PGI berhenti dari jabatannya, karena: a. meninggal dunia b. minta berhenti. c. pindah untuk menetap di luar negeri. d. diberhentikan oleh Sidang MPL-PGI berdasarkan usul Sidang MPH-PGI dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari anggota MPL-PGI yang hadir. 2. a. Apabila ada anggota MPH-PGI berhenti dari jabatannya, maka penggantinya dipilih dan diangkat oleh Sidang MPLPGI untuk Masa Bakti yang sedang berjalan. 176 b. Masa Bakti anggota pengganti tersebut dianggap sebagai 1 (satu) periode Masa Bakti, bila Masa Bakti MPH-PGI itu di bawah 1 (satu) tahun. BAB VIII BADAN PENGAWAS PERBENDAHARAAN PGI DAN MAJELIS PERTIMBANGAN PGI Pasal 29 Pengertian Pengawas Perbendaharaan PGI 1. Pengawasan Perbendaharaan PGI ialah Pemeriksaan dan Penilaian ulang dalam pengelolaan perbendaharaan/kekayaan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja PGI untuk mencapai efisiensi, efektivitas dan taat ketentuan untuk mendukung tercapainya tujuan PGI sesuai TATA DASAR PGI Pasal 4. 2. Pelaksanaan Pengawasan Perbendaharaan PGI harus dilandasi dengan nilai-nilai Kristiani dengan tidak mengabaikan dimensi profesionalitas. 3. Sesuai TATA DASAR PGI Pasal 5 ayat 3.d, hasil pemeriksaan dan laporan keuangan tahunan PGI yang disampaikan BPPPGI ke Sidang MPL-PGI dan Sidang Raya PGI, bahan laporan tersebut atas persetujuan MPH-PGI dibagikan kepada utusan Sidang MPL dan Sidang Raya termasuk Pimpinan Departemen/ Badan/Biro PGI. Pasal 30 Berakhirnya Keanggotaan dan Pengisian Lowongan Anggota MP-PGI 1. Seorang anggota MP-PGI berhenti dari jabatannya, karena: a. meninggal dunia. b. minta berhenti. c. pindah untuk menetap di luar negeri. 177 d. diberhentikan oleh Sidang MPL-PGI berdasarkan usul Sidang MPH-PGI dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari anggota MPL-PGI yang hadir. 2. a. Apabila ada anggota MP-PGI berhenti dari jabatannya, maka penggantinya dipilih dan diangkat oleh Sidang MPLPGI untuk Masa Bakti yang sedang berjalan. b. Masa Bakti anggota pengganti tersebut tidak dianggap 1 (satu) Masa Bakti bila Masa Bakti MP-PGI di bawah 1 (satu) tahun. 3. Masa Bakti MP-PGI adalah 5 (lima) tahun atau sama dengan antara 2 (dua) Sidang Raya dan setiap anggotanya dapat menjadi anggota MP-PGI lebih dari 2 (dua) Masa Bakti berturut-turut. 4. MP-PGI bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. BAB IX PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA WILAYAH/ SINODE AM GEREJA (SAG) Pasal 31 1. 2. 3. 4. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah (PGIWilayah)/SAG adalah bagian integral dari dan sebagai perwujudan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia di tingkat wilayah. PGI-Wilayah/SAG melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Raya PGI/MPL-PGI, yang dijabarkan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan setempat. MPH PGI dapat membantu PGI-Wilayah/SAG untuk dapat menjalankan peranan dan tugasnya dalam rangka pelaksanaan Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama dan perwujudan Keesaan Gereja di Indonesia. PGI-Wilayah/SAG disahkan oleh MPL-PGI dan kepengurusannya dilantik oleh MPH PGI. 178 5. Dalam hal gereja-gereja bersama-sama umat Kristen di suatu wilayah tertentu menganggap perlu menggunakan nama yang lain dari nama PGI-Wilayah/SAG dan nama itu dirasakan lebih mampu mengungkapkan Keesaan Gereja di wilayah tersebut, maka nama itu dapat dipergunakan sejauh tidak bertentangan dengan upaya perwujudan Keesaan di wilayah itu sebagaimana yang diatur dalam TATA DASAR dan TATA RUMAH TANGGA PGI. Nama serta Tata Kerja dari persekutuan tersebut diinformasikan kepada MPH-PGI untuk dilaporkan kepada MPL-PGI. 6. a. Dalam upaya meningkatkan peranan PGI-Wilayah/SAG dalam menjalankan visinya, gereja-gereja anggota PGIWilayah/SAG setempat, perlu menyediakan dana dan tenaga yang lebih memadai untuk PGI-Wilayah/SAG. b. MPH-PGI bersama-sama PGI-Wilayah/SAG dan gerejagereja anggotanya merumuskan lebih jelas dan seimbang hubungan PGI dengan gereja-gereja anggota di satu pihak dalam kaitan dengan PGI-Wilayah/SAG di lain pihak, serta koordinasi Program-program PGI – Gereja-gereja PGIWilayah/SAG dan selanjutnya diatur dalam Tata Kerja PGIW setempat. c. Dalam era otonomi daerah gereja-gereja anggota PGI Wilayah/Sinode dan gereja-gereja di Wilayah secara bersama-sama melakukan studi dan kajian tentang perkembangan peta politik dan hukum di Wilayah. BAB X BADAN-BADAN LAIN Pasal 32 Badan-badan Lain dalam Lingkungan PGI 1. Yang dimaksud dengan badan-badan lain dalam lingkungan PGI ialah Badan yang dibentuk oleh Sidang Raya PGI dan atau Sidang MPL-PGI sebagai Badan yang berdiri sendiri untuk 179 melaksanakan suatu tugas khusus dan demi perwujudan efektivitas dan efisiensi pelayanan. 2. Hubungan tanggung jawab Badan-badan ini kepada dan di dalam PGI, dinyatakan dengan: a. Pengesahan AD/Tata Kerja oleh MPH-PGI atas penugasan Sidang Raya PGI dan atau Sidang MPL-PGI. b. Pengesahan dan Pelantikan Pengurus. c. Laporan pertanggungjawaban kerja dan keuangan diatur dalam Anggaran Dasar/ Tata Kerja Badan tersebut. Pasal 33 Badan-badan Kerja Sama 1. Yang dimaksud dengan Badan-badan Kerjasama, ialah Badanbadan yang tidak dibentuk oleh PGI, tetapi yang sebagian atau seluruh tugasnya sejalan dengan tugas PGI dalam rangka pencapaian tujuan PGI. 2. Suatu Badan Kerja sama PGI ditetapkan dan atau diakhiri oleh Sidang MPL-PGI atas usul Sidang MPH-PGI. 3. Syarat-syarat dan bentuk kerja sama itu ditetapkan oleh Sidang MPL-PGI atas usul Sidang MPH-PGI. 4. Dalam rangka kerja sama itu dapat dibentuk suatu Panitia/ Komisi bersama. BAB XI HUBUNGAN-HUBUNGAN PGI Pasal 34 Hubungan-hubungan Oikoumenis PGI mengadakan, memelihara dan melayani hubungan baik dengan gereja-gereja dan badan-badan Kristen lainnya di dalam maupun di luar negeri. 180 Pasal 35 Hubungan dengan Pemerintah dan Masyarakat PGI mengambil peran aktif mengadakan, memelihara dan melayani hubungan kerja sama dengan Pemerintah khususnya Departemen Agama serta mengambil peran aktif dalam memperjuangkan kebebasan beragama termasuk dengan semua golongan agama yang ada dalam masyarakat. BAB XII SIDANG-SIDANG PGI Pasal 36 Penyelenggaraan Persidangan PGI 1. 2. 3. 4. Semua Sidang dalam lingkungan PGI merupakan persekutuan berdoa, persekutuan belajar dan persekutuan bekerja. Kecuali ditentukan lain dalam TATA DASAR dan TATA RUMAH TANGGA PGI, maka setiap Sidang dalam lingkungan PGI adalah sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota. Dalam hal kuorum tidak tercapai, maka undangan berikutnya dapat disampaikan: a. Untuk Sidang MPH-PGI, 1 (satu) minggu sesudahnya. b. Untuk Sidang MPL, 1 (satu) bulan sesudahnya c. Untuk Sidang Raya, 3 (tiga) minggu sesudahnya. Untuk setiap Sidang harus dikirim undangan tertulis, yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum dengan menyebut tempat, waktu dan acara Sidang. Pasal 37 Tata Tertib Sidang-sidang PGI 1. Tata Tertib Sidang Raya PGI ditetapkan oleh Sidang Raya PGI 181 2. Tata Tertib Sidang-sidang PGI lainnya, ditetapkan sendiri oleh Sidang-sidang PGI yang bersangkutan dengan menggunakan pola Tata Tertib Sidang Raya PGI terakhir. BAB XIII KEUANGAN DAN ANGGARAN PGI Pasal 38 Iuran dan Sumbangan 1. 2. 3. 4. Tiap gereja anggota PGI wajib membayar iuran tahunan kepada PGI sesuai dengan sistem dan atau jumlah yang dimufakati dan ditetapkan oleh Sidang MPL-PGI. Iuran dan sumbangan lainnya dikirim langsung kepada Bendahara PGI. Sidang MPL-PGI dapat mengadakan peraturan-peraturan pembayaran iuran dan menentukan cara-cara untuk menambah pendapatan PGI, jika dirasa perlu. Sidang MPL-PGI menetapkan ketentuan-ketentuan terhadap gereja-gereja anggota PGI yang lebih dari 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak membayar iurannya. Pasal 39 Tahun Anggaran PGI 1. 2. 3. Tahun Anggaran PGI berjalan dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember Anggaran Pendapatan dan Belanja PGI, baru dapat dilaksanakan setelah disahkan oleh Sidang MPL-PGI. Setiap Sidang MPL-PGI mengesahkan anggaran untuk 2 (dua) tahun berikutnya dan perubahan dan atau tambahan anggaran dalam tahun yang berjalan bila dianggap perlu atas usul Sidang MPH-PGI. 182 BAB XIV PEMBUBARAN PGI Pasal 40 Pembubaran PGI 1. Dalam keputusan pembubaran PGI sebagaimana dimaksudkan dalam TATA DASAR PGI Bab XII Pasal 25 susunan dan personalia Panitia Likuidasi dan tata cara penyelesaian milik PGI ditetapkan oleh Sidang Raya PGI. 2. Keputusan pembubaran PGI tersebut mulai berlaku jika telah ditetapkan dengan Akte Notaris. BAB XV PERUBAHAN DAN TAMBAHAN TATA RUMAH TANGGA Pasal 41 Perubahan dan Tambahan Tata Rumah Tangga PGI Perubahan dan Tambahan TATA RUMAH TANGGA PGI ditetapkan oleh Sidang MPL-PGI yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah anggota, dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) suara yang hadir. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP TATA RUMAH TANGGA PGI Pasal 42 Ketentuan Penutup Tata Rumah Tangga PGI 1. Segala sesuatu yang belum diatur dalam TATA DASAR PGI dan TATA RUMAH TANGGA PGI, diatur dan ditentukan oleh Sidang MPL-PGI atau Sidang MPH-PGI. 183 2. Segala tata urutan peraturan-peraturan PGI ditetapkan oleh Sidang MPL-PGI 3. Segala perbedaan pendapat dalam penafsiran TATA DASAR PGI dan TATA RUMAH TANGGA PGI, diselesaikan dan diputuskan oleh Sidang MPL-PGI atau Sidang MPH-PGI. Pasal 43 TATA RUMAH TANGGA PGI ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan dalam Sidang MPL-PGI di Hotel Seruni, Cisarua, Bogor pada tanggal 3 Maret 2010 184 GLOSARIUM Super struktur (hal. 10) Struktur yang besar Lembaga gerejawi: (hal 28) Lembaga-lembaga gereja, baik yang anggota PGI maupun yang bukan. Lembaga keumatan (hal 31) Lembaga ormas keagaamaan (mis. KWI, MUI, PHDI, Walubi, Matakin, dll) Misiologis-pastoral (h.39) Sesuatu yang mengandung sifat/karakter misi dan sekaligus bersifat pelayanan pastoral (penggembalaan). Krisis multidimensi (h.40) Krisis yang mempengaruhi berbagai dimensi/segi kehidupan masyarakat Ekonomi pasar (h.40) Sistem perekonomian yang memihak pada pemilik modal besar (kapitalis) Ekonomi kerakyatan (h.41) Sistem perekonomian yang memihak pada pemilik modal kecil (c.q. rakyat) Evangelisasi (h.49) Pemberitaan injil/kabar baik dengan kecenderungan menjadikan orang lain menjadi kristen Keesaan relasional (h.49) Suatu keutuhan yang yang terbentuk dari hubungan antar pribadi yang saling menguatkan satu sama lain. Pneumatologi (hal. 52) Ilmu/pelajaran tentang Roh Kudus Oikumenis Semesta: (hal 57) Gerakan oikumene yang bersifat luas dan melibatkan sebanyak mungkin pihak terkait. 185 Trafficking (h.59) Penjualan orang/manusia ke luar negeri secara ilegal Subordinasi (hal. 61) Menempatkan orang lain pada posisi yang lebih rendah Nepotisme (hal. 68) Memberikan hak istimewa kepada sesorang karena ada ikatan kekerabatan (keluarga) Pluralitas (h.69) Kemajemukan. Pluralisme (h.69) Kenyataan masyarakat yang majemuk Inklusif-pluralistis (h.69) Suatu yang bersifat terbuka bagi orang lain di mana kemajemukan menjadi bagian dirinya. Fundamentalisme (hal. 73) Paham keagamaan yang sempit yang menganggap kebenaran hanya pada dirinya Sektarianisme (hal. 73) Kepatuhan berlebihan pada kelompoknya (sektenya) Stakeholder (hal. 79) Pihak-pihak yang berkepentingan (terkait) Bertindih-tepat (h.81) Adanya kesesuaian yang tepat. Sama dengan. Eksklusif (h.85) Terpisah dari yang lain (khusus) Otoritarianisme (hal 85) Sikap penguasa yang bertindak sewenang-wenang terhadap ortang lain (rakyat). Totaliterisme (hal. 85) paham pemerintahan yang menempatkan semua orang lebih rendah dari dirinya; bertindak semena-mena terhadap rakyat. Introvert (h.95) Bersifat tertutup. Bersifat suka memendam rasa dan pikiran sendiri dan tidak mengutarakannya kepada yang lain.