1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Secara umum wilayah Indonesia adalah tempat pertemuan tumbukan 3 (tiga) lempeng tektonik yaitu lempeng Hindia Australia yang bergerak ke arah utara dan menunjam ke bawah karena bertumbukan dengan lempeng Euroasia di bawah laut sebelah barat Sumatera terus sampai di selatan Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara Timur dan membelok ke utara. Kemudian dari arah timur lempeng Pasifik bergerak ke arah barat menunjam ke bawah lempeng Euroasia di Daerah Laut Banda-Halmahera. Daerah jalur penunjaman lempeng tektonik disebut dengan subduction zone yang merupakan juga jalur gempa dan di utara jalur gempa adalah inner zone tempat jalur sabuk gunung api. Dampak dari akibat tumbukan lempeng tektonik tersebut banyak terjadi bencana kebumian seperti erupsi gunung api, tanah longsor, gempa bumi, tsunami. (sumber: www.bmkg.go.id ) Gempa bumi adalah konsekuensi logis dari fakta bahwa Pulau Jawa yang merupakan bagian dari kepulauan Indonesia berada di wilayah rawan gempa. Website Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (administrator,2009 dalam elantowow.wordpress.com), menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu bagian wilayah di dunia yang mempunyai sistem seismotonik yang tergolong rumit dengan frekuensi kejadian gempa bumi cukup tinggi. Fenomena tersebut disebabkan posisi Indonesia terletak pada wilayah tumbukan (pertemuan) 3 (tiga) buah lempeng besar berukuran benua yang secara terus menerus bergerak. Ketiga lempeng aktif tersebut adalah Hindia-Australia, Pasifik, dan Eurasia. Karenanya, gempa bumi berkekuatan lebih dari 6 Skala Richter berpeluang terjadi di wilayah selatan Pulau Jawa. 1 2 Selain dapat merusak sarana dan prasarana permukiman penduduk, gempa bumi juga dapat mengubah kondisi geologi serta hidrologi secara cepat. Rekahan pada batuan dapat menyebabkan penurunan debit mata air dan intrusi air laut ke dalam air tanah. Selain akibat pergerakan lempeng, gempa bumi juga dapat disebabkan oleh aktivitas vulkanik. Namun, gempa vulkanik getarannya tidak besar dan sebarannya tidak seluas gempa tektonik. Gambar 1.1 Peta wilayah rawan gempa bumi di Indonesia (Sumber: http://esdm.go.id). Pulau Jawa bagian selatan diguncang gempa bumi yang merusak sebelas wilayah kabupaten/kota di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah pada hari Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.53 pagi. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG; saat ini Badan Geologi, Klimatologi dan Geofisika – BMKG) mencatat kekuatan gempa pada 5,9 Skala Richter. Badan Survei Geologi Amerika Serikat (U.S. Geological Survey) mencatat kekuatan gempa sebesar 6,3 Skala Richter pada kedalaman 10 Km. Pusat gempa terletak di daratan selatan Yogyakarta (7.962° Lintang Selatan, 110.458° Bujur Timur). Laporan Inter Agency Standing Committee – IASC tahun 2006, menyebutkan bahwa dua wilayah terparah adalah Kabupaten Bantul di D.I. Yogyakarta dan Kabupaten Klaten di Jawa Tengah. Gempa bumi tersebut mengakibatkan korban tewas seketika sebanyak 5.744 orang dan melukai lebih dari 45.000 orang. Sebanyak 350.000 rumah hancur/rusak berat dan 278.000 rumah rusak sedang/ringan. Dampak gempa ini menyebabkan 1,5 juta orang tidak 3 memiliki rumah karena rusak atau hancur. Total penduduk terdampak gempa adalah 2,7 juta jiwa, tiga kali lebih besar dari pada jumlah yang tercatat pada petistiwa gempa-tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Jumlah kerusakan dan kerugian total mencapai 3,1 milyar USD, setara dengan kejadian gempa di Gujarat dan Kashmir. (Elanto, 2011. Potensi Ancaman Bencana di Yogyakarta dan Sekitarnya). Skala kekuatan gempa bumi ini sebenarnya lebih kecil daripada beberapa gempa bumi yang pernah melanda wilayah di Jawa Tengah selatan. Namun, karena letak pusat gempa yang dangkal dan berada di daratan menyebabkan kerusakan yang lebih besar daripada gempa berskala kekuatan besar tetapi terjadi tidak di daratan. Keterkaitan gempa bumi dan tsunami telah banyak dicatat dalam peristiwa sejarah bencana di Indonesia. Dari 105 kejadian tsunami di Indonesia 90,5 % di antaranya disebabkan oleh gempa bumi dasar samudera, 8,6% disebabkan oleh erupsi gunung api, dan 1% disebabkan oleh longsor lahan. Sejarah mencatat bahwa kejadian tsunami di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa disebabkan oleh gempa bumi dasar samudera dan erupsi gunung api. Berdasarkan dua kejadian tsunami di selatan Jawa yang dipicu oleh gempa bumi dengan magnitudo 7,8 (1994) dan 7,7 (2006) dapat disimpulkan bahwa peluang terjadinya tsunami di pesisir selatan Jawa selama periode ulang 25 tahun adalah 0,08 (Dewi, 2010). Tingginya ancaman gempa bumi dan tsunami di Kabupaten Bantul haruslah diimbangi dengan tingkat kesiapsiagaan masyarakat yang tinggi. Kesiapsiagaan masyarakat yang tinggi dapat meminimalisasi risiko bencana gempa bumi dan tsunami. Kesiapsiagaan dari pemerintah, individu dan rumah tangga, serta komunitas sekolah yang tinggi dapat meningkatkan upaya pengurangan risiko bencana secara terpadu dan berkesinambungan. Berdasarkan letak geografisnya D.I.Y mempunyai potensi kebencanaan cukup besar antara lain gempa bumi, tsunami, gunung berapi, banjir lahar dingin dan sebagian wilayah mempunyai ancaman kekeringan. 4 Menyadari potensi ancaman bencana yang ada Gubernur D.I.Y Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya pada acara diskusi regeonal slum upgrading working group (RSUWG) yang diselenggarakan Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum yang dibacakan oleh staf ahli gubernur bidang pembangunan Bayudono, menegaskan bahwa kearifan lokal menjadi dasar penanganan bencana di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam sambutannya Gubernur mengatakan “ Masyarakat diberi kesempatan untuk melakukan musyawarah, berembug, bergotong royong agar solusi yang disepakati sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Masyarakat lebih mengetahui masalah yang dihadapi karena setiap wilayah mempunyai permasalahan yang berbeda. Jangan sampai bencana fisik yang terjadi akibat bencana alam akan menimbulkan bencana non fisik yakni lunturnya nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, musyawarah dan kearifan lokal lainnya. Bencana dapat menimbulkan kebersamaan, kekeluargaan, kesetiakawanan dalam masyarakat (Antara News, 26 Juni 2013). Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji pengurangan resiko bencana di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta dalam bentuk tesis dengan judul “ Kajian Pengurangan Resiko Bencana Tsunami Dengan Pendekatan Kearifan Lokal dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah” (Studi di Kawasan Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan masalah pokok penelitian ini sebagai berikut : a. Bagaimana kearifan lokal, kaitannya dengan filosofi “Hamemayu Hayuning Bawana” dalam pengurangan resiko bencana tsunami di kawasan Parangtritis Kabupaten Bantul ? b. Bagaimana Implikasi pengurangan resiko bencana tsunami dengan Pendekatan Kearifan Lokal terhadap ketahanan daerah? 5 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui peran kearifan lokal dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana tsunami b. Mengetahui Implikasi Pengurangan Risiko Bencana Tsunami Terhadap Ketahanan Daerah. 1.4 Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut: a. Manfaat Secara Teoritis/Keilmuan. Hasil Penelitian diharapkan bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah bahan bacaan terkait dengan bidang kajian. b. Manfaat bagi Instansi Yang di Teliti Dapat memberikan masukan dan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan selanjutnnya. 1.5 Keaslian Penelitian Tema Kajian Pengurangan Risiko Bencana Tsunami Dengan Pendekatan Kearifan Lokal dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah, merupakan tema yang menarik yang sepengetahuan peneliti belum pernah dijadikan obyek kajian oleh penelitian sebelumnya, terlebih yang menjadikan Kawasan Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul sebagai lokasi penelitian.