laporan penelitian pertumbuhan dan perkembangan lembaga

advertisement
LAPORAN PENELITIAN
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PAGAR MARTAPURA
KALIMANTAN SELATAN
Oleh :
DRA. HJ. RAFI`AH GAZALI, M.Ag
NIP. 19530423 198603 2 001
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
BANJARMASIN
2013
i
i
IDENTIFIKASI PENGESAHAN
1. Judul Penelitian
:
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga
Pendidikan Islam Dalam Pagar Martapura Kalimantan
Selatan
2. Penelitian
a. Nama
b. NIP
c. Pangkat/ Gol
d. Jabatan Sekarang
e. Bidang Keahlian
f. Fakultas/Jurusan
g. Universitas
:
:
:
:
:
:
:
Dra. Hj. Rafi`ah Gazali, M.Ag
19530423 198603 2 001
Lektor / III/d
Tenaga Pengajar
Pendidikan Agama Islam
FKIP/PGSD
Lambung Mangkurat
:
:
:
:
:
:
:
Dr. H. Sarbaini, M.Pd
19591227 198603 1 003
Lektor Kepala ( IV/c)
Ketua UPT MPK-MBB UNLAM
Pendidikan Nilai
FKIP / PKn
Lambung Mangkurat
3. Pembimbing
a. Nama
b. NIP
c. Pangkat/Gol
d. Jabatan Sekarang
e. Bidang Keahlian
f. Fakultas/ Jurusan
g. Universitas
4. Sumber Dana Penelitian
: Mandiri
5. Jangka Waktu Penelitian : 3 (Tiga) Bulan
Banjarmasin, 05 Maret 2013
Dekan FKIP
Peneliti,
Drs. H. Ahmad Sofyan, M.A
NIP. 19511110 197703 1 003
Dra. Hj. Rafi`ah Gazali, M.Ag
NIP. 19530423 198603 2 001
Mengetahui,
Kepala Lembaga Penelitian
Dr. Ahmad Alim Bachri, SE.,M.Si
NIP. 19671231 199512 1 002
ii
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga dapat
menyelesaikan penelitian mandiri yang berjudul: “PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DALAM PAGAR
MARTAPURA KALIMANTAN SELATAN”, sesuai dengan kemampuan yang
peneliti miliki.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan penggikut beliau hingga
akhir zaman.
Sejak awal penelitian hingga selesai peneliti banyak mendapat bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini peneliti
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mereka yang telah
banyak memberikan bantuan. Khususnya kepada:
1. Bapak Dekan FKIP Banjarmasin Drs. H. Ahmad Sofyan, M.A. yang berkenan
menyetujui ini.
2. Bapak Dr.H.Sarbaini, M.Pd., Ketua UPT MPK-MBB Universitas Lambung
Mangkurat, yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada
peneliti.
3. Pimpinan Perpustakaan UNLAM Banjarmasin beserta staf yang telah
memberikan pelayanan kepada peneliti dalam rangka pengumpulan data yang
diperlukan.
4. Pimpinan Perpustakaan FKIP
Banjarmasin beserta staf yang telah
memberikan pelayanan kepada peneliti dalam rangka pengumpulan data yang
diperlukan.
5. Semua responden dan informan yang telah memberikan bantuan berupa data
dan informasi yang peneliti perlukan dalam penyusunan penelitian ini.
iii
Atas segala bantuan dan sumbangsih yang peneliti terima, peneliti hanya
mendo’akan semoga semua amal baik tersebut mendapat ganjaran berlipat ganda
dari Allah SWT.
Akhirnya, semoga penelitian yang sangat sederhana ini bermanfaat. Amin
Banjarmasin,
Maret
2013
Peneliti ,
Dra. Hj. Rafi`ah Gazali , M.Ag.
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
IDENTIFIKASI PENGESAHAN ...............................................................
ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
iii
DAFTAR ISI .................................................................................................
iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah dan Penegasan Judul ...................
1
B. Alasan Memilih Judul ..........................................................
6
C. Rumusan Masalah ...............................................................
7
D. Tujuan Penelitian .................................................................
7
E. Signifikansi Penelitian .........................................................
7
F. Metode Penelitian ……………………………………… ....
8
G. Sistematika Penulisan .........................................................
10
KEHIDUPAN SYEKH MUHAMMAD ARSYAD
AL-BANJARI
A. Masuknya Islam di Kalimantan Selatan …........................
12
B. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari …………………...
16
1. Situasi Struktural dan Kultural pada Masa
Hidup al-Banjar ……………………………………… 16
BAB III
2. Pendidikan Al-Banjari ………………………………..
24
3. Aktivitas dan Karya Al-Banjari ………………………
30
DALAM PAGAR SEBUAH KOMUNITAS
A. Sejarah Dalam Pagar ..........................................................
46
B. Dalam Pagar Sebagai Sentral Pendidikan ..........................
48
iv
BAB IV
DINAMIKA PENDIDIKAN DALAM PAGAR
A. Perkembangan Pendidikan Islam Dalam Pagar .................
56
1. Perkembangan Kelembagaan Dalam Pagar ……………
56
2. Metode …………………………………………………
67
3. Materi .............................................................................
71
B. Faktor Yang Mempengaruhi Masa Keemasan dan
BAB V
BAB VI
Kemunduran Lembaga Pendidikan Islam Dalam Pagar ....
72
1. Tokoh-tokoh ...................................................................
73
2. Lingkungan ....................................................................
74
3. Kesinambungan dan Perubahan .....................................
77
ANALISIS
1. Periode Printis dari Tahun 1774-1931 ...........................
84
2. Periode Pembangunan dari Tahun 1931-1975 ...............
86
3. Periode Pengembangan dari Tahun 1975-2006 .............
87
PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................
93
B. Saran-Saran .........................................................................
95
DAFTAR PUSTAKA
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah dan Penegasan Judul
Pendidikan adalah suatu sarana untuk memberikan atau mendapatkan ilmu
pengetahui, wawasan dan keterampilan. 1 Selain itu, pendidikan juga berfungsi
untuk memudahkan transformasi kebudayaan dan nilai-nilai dari suatu generasi
kepada berikutnya.2
Dalam kehidupan masyarakat, pendidikan memegang peranan penting
dalam rangka menentukan eksistensinya dan perkembangan masyarakat tersebut.
Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan suatu usaha melestarikan, dan
mengalihkan dan mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala
aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerus. Demikian pula halnya dengan
pendidikan Islam di kalangan umat Islam, ia merupakan salah satu bentuk
manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, mengalihkan dan
menanamkan nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya.
Sehingga nilai-nilai kultural religius yang dicita-citakan dapat tetap berfungsi dan
terus berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu.
Dalam sejarahnya, Pendidikan Islam berkembang seiring dengan
munculnya agama Islam itu sendiri. Pada masa perkembangan Islam itu, tentu saja
pendidikan yang bersifat formal dan sistematis belum dilaksanakan. Pendidikan
1
Nur Uhbiyah, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka, 1997), h. 2.
Azrumardi Azra, Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. Vii.
2
2
formal Islam muncul dengan adanya kebangkitan madrasah/lembaga pendidikan
Islam, itupun hanya beberapa abad setelah perkembangan Islam.3
Meskipun dalam keadaan yang termasuk informal, akan tetapi berbagai
kelompok masyarakat tetap mengusahakan agar terlaksana pendidikan demi
kepentingan mereka dan masa depan generasinya. Mereka senantiasa memberikan
pengetahuan dan wawasan keIslaman kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka,
begitu pula dengan berbagai kebudayaan, pandangan dan nilai-nilai yang
dianggap baik oleh suatu masyarakat diusahakan ungtuk diwariskan, dan usaha
untuk itu yang diutamakan adalah melalui pendidikan.4
Pendidikan Islam yang sudah terorganisasi dan melembaga tampak dalam
berbagai bentuk yang bervariasi. Dari yang sangat sederhana, yaitu dengan
menggunakan rumah, surau, mushalla, mesjid dan lainnya untuk tempat belajar,
sampai dengan menggunakan wadah yang lebih kondusif seperti gedung dan
ruangan khusus untuk belajar. Dan terakhir ini, muncul suatu lembaga pendidikan
agama Islam yaitu pondok pesantren.
Pondok pesantren sangat kondusif bagi pembelajaran dan proses
pendidikan Islam, baik itu pendidikan formal maupun yang semi formal, yang
jelas adalah bahwa lembaga seperti ini sangat diperlukan sebagai tempat muridmurid menerima ilmu pengetahuan agama secara regular dan sistemik. Dengan
adanya tempat seperti ini, lebih memudahkan interaksi antara pengajar
(guru/ustadz) dengan yang diajar (murid/santri). Dengan situasi yang demikian ini
lebih memudahkan pencapaian tujuan dari proses pendidikan tersebut.
3
Zakiah Daradjat, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), h. 51.
4
Ibid.
3
Di Kalimantan Selatan, khususnya kalangan masyarakat Kabupaten
Banjar, perhatian terhadap pendidikan cukup tinggi, hal ini dapat diketahui dari
banyaknya lembaga pendidikan yang didirikan oleh masyarakat di berbagai
tempat desa atau kota, dengan berbagai corak yang bersifat swasta. Lebih-lebih
lagi sebelum tersebar luasnya lembaga-lembaga pendidikan oleh pemerintah.5
Dalam Pagar merupakan salah satu desa di Kabupaten Banjar Propinsi
Kalimantan Selatan dan terletak di pinggiran kota Martapura. Dalam Pagar
merupakan tempat pemukiman Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan
keluarganya, di desa ini pula dia mendirikan pengajian pada waktu hidupnya pada
akhir abad ke-18 sampai permulaan abad ke-19.6 Setelah masa tersebut, di Dalam
Pagar ini berkembang pengajian-pengajian yang serupa dan dipimpin oleh tuan
guru masing-masing.
Kedudukan para tuan guru dalam masyarakat Banjar tradisional tergolong
dominan meskipun tanpa institusi, sebagai gantinya adalah majelis pengajian.
Jenis pengajian yang berkembang pada masyarakat Banjar tradisional tergantung
pada orientasi tuan guru dan pada kecenderungan masyarakat yang berkembang
waktu itu. Biasanya pengajian ini ada yang lebih kepada pemenuhan kebutuhan
spiritual masyarakat, dan ada juga yang lebih menekankan pada keahlian dalam
bidang ilmu agama, dalam hal ini seorang murid sangat dituntut keseriusan dan
ketekunan dalam mendalami ilmu-ilmu agama. 7 Pengajian tersebut dilakukan
di rumah-rumah pada tuan guru dan dengan silih berganti di antara murid-murid
5
Laporan Seminar, Profil Pendidikan Islam di Kal-Sel, (Banjarmasin: t.tp, 1986), h. 19.
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayan Banjar,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 14.
7
Ahmad Syadzali, "Tradisi Mengaji Duduk Dalam Masyarakat Banjar" dalam Jurnal
Kebudayaan KANDIL: Melintas Tradisi, Edisi 3, Tahun I, Desember 2003 h. 54.
6
4
tersebut sesuai dengan waktu yang disepakati oleh kedua pihak, antara tuan guru
dan para murid dan juga sesuai dengan tingkatan kitab yang dipelajari.8
Perkembangan zaman yang terjadi pun mempengaruhi kegiatan pengajianpengajian tersebut, sehingga dalam pelaksanaan lebih sistemik dan terorganisasi
dengan baik dalam sebuah lembaga pendidikan yang semi formal yang kerap
disebut dengan pesantren. Maksud dari pesantren itu adalah sebagaimana
pendapat Sudjoko yang dikutip oleh Hasan Basri, yaitu:
Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya
dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama
Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam
bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal
di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.9
Dalam Pagar ini pernah terkenal sebagai desa yang mempunyai lembaga
pendidikan Islam informal yang banyak melahirkan banyak ulama lokal dan
regional yang terus-menerus dari masa ke masa, generasi ke generasi sampai
tahun 1980-an, dan saat itu pengaruhnya masih dapat dirasakan. Baru dua puluh
tahun terakhir ini, Dalam Pagar mengalami kemunduran dan nampak sangat sulit
untuk
bisa
bangkit
kembali
mengulang
masa
keemasan
ketika
awal
pembentukannya. Lembaga pendidikan Islam yang ada di Dalam Pagar seperti
Pondok pesantren Sulamul 'Ulum untuk sekarang ini sudah kalah jauh jika
dibandingkan dengan pondok pesantren Darussalam yang juga berada di daerah
Martapura.
8
Ibid., h. 55.
Hasan Basri, "Pesantren: Karakteristik dan Unsur-Unsur Kelembagaan", dalam Abuddin
Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), h. 104.
9
5
Hal ini bisa dilihat dari kualitas dan kuantitas yang dihasilkan oleh kedua
lembaga pendidikan Islam tersebut. Secara kualitas, lembaga pendidikan Islam
pondok pesantren Darussalam masih mempertahankan pola tradisional, yakni pola
yang tetap mempertahankan sistem pengajian kitab klasik dan sedikit
memasukkan pelajaran umum seperti bahasa asing. Sedangkan pondok pesantren
Sulamul
'Ulum
sudah
mengembangkan
pola
modern,
yakni
berusaha
mengkobinasikan antara pengajaran pengetahuan agama dengan pengajaran
pengetahuan umum. secara kuantitas pondok pesantren Sulamul 'Ulum sekarang
lebih sedikit mempunyai murid, hal ini disebabkan oleh murid yang sekolah
di pondok pesantren Sulamul 'Ulum kebanyakan adalah penduduk sekitar Dalam
Pagar, sedangkan pondok pesantren Darussalam mempunyai santri yang cukup
banyak, hal ini disebabkan oleh para santrinya bukan hanya penduduk berada di
sekitar Pasayangan melainkan juga berasal dari luar seperti Hulu Sungai, Pagatan,
Banjarmasin, bahkan sampai Kalimantan Tengah, Jawa, dan Sulawisi.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang Dalam Pagar ini maka perlu
diadakan penelitian lebih mendalam. Oleh karena itu, dengan berlatar belakang
dari permasalahan di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan sebuah
penelitian yang penulis tuangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul
"PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN
ISLAM DALAM PAGAR KALIMANTAN SELATAN".
Untuk menghindari adanya kesalahpahaman terhadap judul di atas, maka
penulis merasa perlu menegaskan judul. Berikut ini dikemukakan beberapa istilah
yang terdapat dalam judul tersebut, yaitu:
6
1. Pertumbuhan, yaitu proses lahirnya atau tumbuhnya sesuatu, dari yang
tidak lengkap atau sederhana menjadi lengkap. Dalam hal ini adalah
proses awal pendirian sampai dengan terbentuknya sebuah lembaga
dengan kondisi yang lebih kondusif yang sesuai dengan keberadaan
sebuah lembaga pendidikan.
2. Perkembangan, proses pertumbuhan yang kurang sempurna menuju
keadaan yang lebih sempurna. Atau dengan kata lain, perkembangan
adalah proses pertumbuhan status atau kondisi, yang baik menjadi lebih
baik. Dan dalam hal ini adalah perubahan dan kemajuan yang dicapai oleh
lembaga pendidikan.
3. Lembaga Pendidikan Islam yang dimaksud penulis sarana yang berperan
dalam memberikan pendidikan, ilmu pengetahuan dan wawasan tentang
agama Islam kepada masyarakat.
4. Dalam Pagar adalah sebuah desa yang terletak di pinggir Kota Martapura
Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan.
Jadi yang dimaksud dengan judul di atas adalah suatu kegiatan untuk
meneliti proses pertumbuhan dan perkembangan Dalam Pagar sebagai lembaga
pendidikan Islam pertama kali timbul di daerah Kalimantan Selatan.
B. Alasan Memilih Judul
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi penulis mengemukakan judul
di atas, yaitu:
1. Dalam Pagar adalah lembaga pendidikan Islam yang pertama di
Kalimantan Selatan dan sangat sedikit orang yang mengetahuinya.
7
2. Dalam sejarahnya, Dalam Pagar telah melahirkan ulama-ulama terkemuka
pada masa itu.
3. Sistem pendidikan Dalam Pagar merupakan sistem yang layak dan
dipertimbangkan untuk dijadikan contoh bagi lembaga pendidikan Islam
yang lain.
4. Sepengetahuan penulis, masalah tentang hal ini belum pernah diteliti.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dan agar penelitian ini lebih terarah,
maka penulis menetapkan perumusan masalah sebagai berikut : Bagaimana
pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Dalam Pagar Kalimantan
Selatan?
D. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan maka tujuan
dalam penelitian ini adalah: untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan dan
perkembangan lembaga pendidikan Dalam Pagar Kalimantan Selatan.
E. Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari berbagai pihak,
diantaranya adalah:
1. Sebagai bahan pertimbangan dan informasi bagi pemerhati sejarah,
pendidikan agama Islam yang ada di Kalimatan Selatan.
2. Sebagai bahan perbandingan dan informasi bagi para peneliti berikutnya
yang ingin meneliti masalah ini lebih luas dan mendalam lagi.
8
3. Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman penulis khususnya tentang
sejarah lembaga pendidikan Islam pertama di Kalimantan Selatan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan ini berbentuk penelitian sejarah (historical
research), yaitu usaha untuk melukiskan dan menjelaskan fenomena kehidupan
sepanjang terjadi perubahan karena antara manusia terhadap masyarakat, atau
untuk mendeskripsikan apa-apa yang telah terjadi pada masa lampau, terutama
tentang lembaga pendidikan Islam di Dalam Pagar. Adapun sifat penelitian ini
adalah studi literatur:
2.
Data dan Sumber Data
a. Data
Jenis data yang digali dalam penelitian ini terdiri dari data pokok dan data
penunjang.
1). Data pokok
a). Bentuk lembaga pendidikan Dalam Pagar Kalimantan Selatan.
b). Peranan Lembaga tersebut dalam kehidupan masyarakat
di sekitar Dalam Pagar, meliputi:
(1). Peran tokoh alumni Dalam Pagar
(2). Pembelajaran masyarakat Dalam Pagar tentang agama
Islam
c). Pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Dalam
Pagar Kalimantan Selatan.
9
2). Data penunjang
a). Keadaan masyarakat sebelum berdirinya Dalam Pagar.
b). Sejarah berdirinya Dalam Pagar sebagai Lembaga Pendidikan
Islam pertama di Kalimantan Selatan.
b. Sumber Data
Untuk memperoleh data yang diperlakukan dalam penelitian ini maka
penulis menggali data yang bersumber dari:
1). Buku, catatan, dokumen dan bahan lain yang memberikan
informasi.
2). Masyarakat di sekitar Dalam Pagar Martapura
3). Orang yang mengetahui tentang pendidikan Islam di Dalam Pagar
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini maka
penulis teknik sebagai berikut:
a. Studi dokumen, yaitu mengkaji dokumen yang berhubungan
dengan pengetahuan atau informasi tentang pendidikan Islam di
Dalam Pagar.
b. Wawancara, yaitu melakukan wawancara (interview) terhadap
masyarakat Dalam Pagar dan orang yang mengetahui tentang
pendidikan Islam di Dalam Pagar untuk meraih data-data tentang
objek penelitian yang diteliti.
4. Teknik Pengolahan Data
10
a. Editing, yaitu penulis mengadakan penelitian kembali terhadap
data yang diperoleh kemudian di lapangan dan kemudian
menyempurnakan.
b. Klasifikasi, yaitu penulis setelah melakukan edit terhadap data
yang diperoleh kemudian mengelompokkan data berdasarkan
variasi kasus agar mudah dianalisis.
c. Interprestasi, yaitu memahami dan memberi penafsiran-penafsiran
terhadap data dari bahan yang telah dikumpulkan.
5. Analisa Data
Teknik analisis yang dilakukan terhadap data-data yang ditemukan adalah
teknik analisis deskripsi kualitatif.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mudah memahami pembahasan ini, maka penulis membuat
sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I. Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah dan penegasan
judul, perumusan masalah, alasan memilih judul, tujuan penelitian, signifikansi
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II. Sejarah lahirnya lembaga pendidikan Islam di Kalimantan Selatan
yang terdiri atas masuknya Islam di Kalimantan Selatan, pengertian lembaga
pendidikan Islam dan proses berdirinya, fase-fase perkembangan lembaga
pendidikan Islam di Kalimantan Selatan, dan tokoh pendiri lembaga pendidikan
Islam di Kalimantan
11
BAB III. Dalam Pagar: awal aktivitas lembaga pendidikan Islam di
Kalimantan Selatan, berisi tentang aktivitas lembaga pendidikan Islam Dalam
Pagar.
BAB IV. Pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam di
Dalam Pagar, berisi tentang aktivitas lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar,
fungsi dan peranan lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar, dan Analisis tentang
lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar.
BAB V. Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
12
12
BAB II
KEHIDUPAN SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
A. Masuknya Islam di Kalimantan Selatan
Kapan masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan, tidak ditemukan
bukti yang pasti karena tidak ditemukan catatan sejarah tentang itu. Suatu
kesimpulan yang berharga dan dapat diterima adalah bahwa masuknya agama
Islam tidak bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Banjar. Masuknya agama
Islam lebih dahulu terjadi sebelum Kerajaan Banjar terbentuk. Kalau kerajaan
Banjar terbentuk pada awal abad ke-16 maka masuknya agama Islam lebih awal
dari itu.1
Tersebarnya agama Islam menyelusuri arus lalu lintas perdangangan
laut/sungai. Karena kota-kota perdagangan umumnya di pinggir atau ditepi sungai
yang dapat dilayari, maka agama Islam pun berkembang pertama kali di daerah
dimana terjadinya komunikasi antara bangsa dan komunikasi perdangangan.
Pesatnya perkembangan agama Islam itu sangat dipengaruhi oleh penguasa
1
Sejarah mencatat, bahwa ketika Islam datang ke Indonesia, kondisi dan situasi alam
Indonesia yang luas dan kaya akan budaya ini diwarnai dengan adanya beragam agama, dan
kerajaan-kerajaan. Agama-agama yang telah ada sebelum Islam antara lain agama budaya
setempat (animisme-dinamisme), Hindu dan Budha. Sedangkan kerajaan-kerajaan yang ada
sebelumnya diwarnai pula oleh kerajaan dari agama-agama tersebut. Ada kerajaan yang bercorak
Hindu seperti Kerajaan Mulawarman di Sumatra Selatan, Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat,
Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan sekitarnya, serta kerajaan-kerajaan lain yang pada
umumnya berada di daerah pedalaman. Keadaan tersebut berbeda dengan daerah pesisir yang pada
umumnya belum dikuasai oleh kerajaan dan agama-agama tersebut. Daerah ini relatif mudah
diislamkan. Sedangkan di daerah pedalaman yang sudah terdapat kerajaan tersebut terpaksa harus
menggunakan pendekatan politik dan perkawinan. Yaitu, pendekatan yang mencoba menaklukkan
kerajaan tersebut dengan memilih waktu yang tepat, yaitu saat kerajaan tersebut lemah, serta
dengan mengislamkan putra-putra mahkota. Dengan cara demikian, tanpa adanya perang dan
konflik, Islam dapat masuk ke daerah tersebut dan kerajaan dapat dikuasai. Lihat Yusuf Abdulah
Fuar, Proses Masuknya Islam ke Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1981), cet. I, h. 87; Harry J. Benda,
Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 87.
13
setempat. Kalau di daerah itu telah terbentuk sebuah Kerajaan Islam, maka agama
Islam pun ikut berkembang dengan pesat.
Berkembangnya agama Islam di Kalimantan Selatan karena kedudukan
beberapa kota atau tempat pemukiman yang terletak di sepanjang sungai atau
pantai. Kota atau tempat pemukiman itu mendapat kunjungan ramai dari para
pedagang dari segala bangsa. Para mubalig yang juga adalah para pedagang
menggunakan
kesempatan
komunikasi
transaksi
perdagangan
sambil
menyebarkan agama Islam. Penduduk setempat tertarik memasuki agama Islam,
karena budi pekerti dari tutur kata yang menunjukkan moral yang tinggi, akhlak
mulia, dan cara berpakaian yang selalu bersih. Proses perkawinan merupakan
salah satu cara tersebarnya agama Islam di daerah ini.
Kalau Kerajaan Islam Banjar terbentuknya pada permulaan abad ke-16,
maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Banjarmasin sudah
terbentuk pada abad ke-15. Karena itulah masuknya agama Islam ke Kalimantan
Selatan setidak-tidaknya terjadi pada permulaan abad ke-15.
Timbul pertanyaan siapakah yang melakukan tablig dan atas inisiatif siapa
tablig itu diselengarakan.
Tablig, artinya menyampaikan perintah-perintah agama
Islam atau
tuntutannya kepada orang di luar Islam. Tablig yang disebut juga dakwah, mulamula atas inisiatif
Nabi besar Muhammad saw, atas ketentuan Illahi, Inilah
kewajiban setiap rasul Allah, menyampaikan perintah-perintah Allah swt kepada
orang banyak dengan ajakan nasihat yang bijaksana, Tanpa kekerasan dan tanpa
14
paksaan. Cara paksaan kecuali tidak ada menanamkan keyakinan dan kejujuran,
juga dilarang Allah.
Demikian peranan tablig atau dakwah yang efektif menjadi salah satu
sebab mengapa Islam pesat berkembang melebihi agama-agama lain. Jalur
penyebaran agama Islam di Indonesia menyelusuri jalur perdagangan. Kota-kota
perdagangan merupakan tempat terjadinya interaksi budaya dan agama disamping
fungsinya sebagai pusat kegiatan transaksi ekonomi. Karena itulah pemeluk
agama Islam yang pertama adalah di tempat-tempat kota perdagangan
disepanjang pantai atau disepanjang sungai. Karena Islam berkembangnya
disepanjang pantai atau disepanjang jalur perdagangan, maka pembawa Islam
yang pertama kali adalah golongan pedagang itu sendiri, pedagang yang telah
memeluk agama Islam ataupun pedagang yang juga seorang ulama. Kelompok
pertama yang memeluk agama Islam adalah kelompok yang sering melakukan
interaksi perdagangan yaitu kelompok pedagang pula. Tetapi perlu diingat bahwa
sebagian besar dari pelaku perdagangan di kerajaan di Indonesia dipegang oleh
kaum bangsawan atau pemilik modalnya adalah kaum bangsawan. Karena itu
adalah sangat mungkin sekali bahwa pemeluk agama Islam pertama adalah
kelompok pedangan yang juga kaum bangsawan.
Dalam proses peng-Islaman selanjutnya Khatib Dayan memegang
peranan besar di daerah wilayah kerajaan Banjar sampai dia meninggal. Kubur
Khatib Dayan sekarang terletak dalam
di Kuin Utara.
kompleks makam Sultan Suriansyah
15
Hubungan antara daerah Banjar dengan Kerajaan Demak sudah terjalin
dalam waktu yang lama. Hubungan itu terutama adalah hubungan ekonomi
perdagangan dan akhirnya meningkat menjadi hubungan bantuan militer ketika
Pangeran Samudra berhadapan dengan Raja Daha Pangeran Temenggung. Dalam
Hikayat Banjar disebutkan bahwa Pangeran Samudera mengirim Duta ke Demak
untuk mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tingkat tinggi sebagai
Duta Pangeran Samudera ditunjuk Patih Balit, seorang pembesar Kerajan Banjar.
Utusan datang menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah sebagai
tanda persahabatan berupa sepikul rotan, sertibu buah tudung saji, sepuluh pikul
lilin, seribu bongkah damar, sepuluh biji intan. Penggiring duta kerajaan ini tidak
kurang dari 400 orang. Demak menyambut baik utusan ini dan sebagai pemegang
syiar agama Islam tentu saja memohon pula kepada utusan Raja Pangeran
Samudera, Raja Banjar dan semua pembesar mau masuk Islam.2
Berdasarkan hasil penelitian Panitia Hari Jadi kota Banjarmasin, Pangeran
Samudera Raja Banjar di Islamkan oleh wakil Penghulu Demak Khatib Dayan
pada tanggal 24 Sepetember 1526, hari Rabu jam sepeluh pagi bertepatan dengan
Zulhijjah 932 Hijriyah, tanggal 8. Khatib Dayan bukanlah penghulu Demak tetapi
utusan dari Penghulu Demak Rahmatullah dengan tugas melakukan proses pengIslaman Raja beserta pembesar kerajaan dan rakyat kerajaan. Khatib Dayan
bertugas di Kerajaan Banjar sampai dia meninggal dan dikuburkan di Kuin Utara,
Banjarmasin. Ada yang berpendapat Khatib Dayan itu adalah seorang Arab
golongan Ahlul Bait bernama Sayyid Abdurrahman. Orang Jawa lazim
2
J.J. Ras, Hikayat Banjar a Study in Malay Historiograpfy, (Martinus Nijhoff: The
Hague, 1968), h. 234-242.
16
menyebutnya Ngabdul Rahman. Mungkin pula Khatib Dayan itu orang Jawa
keturunan Arab karena sepanjang pantai utara Jawa, Tuban Gresik, Demak,
merupakan tempat pemukinan orang Arab.
B. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
1. Situasi Struktural dan Kultural pada Masa Hidup Al-Banjari
Nama lengkap Al-Banjari adalah Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah
Al-Banjari. Ia dilahirkan di Desa Lok Gabang (sekarang termasuk wilayah
kecamatan Astambul kabupaten Banjar) pada hari Kamis 15 Safar 1122 H
(17
Maret 1710 M) dan wafat pada tanggal 6 Syawal 1227 H (13 Oktober 1812 M) di
kampung Dalam Pagar. Jenazahnya dimakamkan di Kalampaian Martapura.3
Selama hidupnya, Al-Banjari bertempat tinggal di dua tempat yang sangat
berpengaruh terhadap jalan hidupnya, yaitu di Martapura sebagai tempat lahir dan
dibesarkan hingga dewasa dan sebagai tempat aktivitasnya dalam berdakwah
hingga wafatnya, dan di Tanah Suci (Mekkah dan Madinah) sebagai tempat
belajar cultural pada masa hidup al-Banjari, yaitu sekitar abad ke-18 dan awal
abad ke-19 M yang melingkari kedua tempat tersebut tentu saja mempengaruhi
pemikiran-pemikiran keagamaan al-Banjari di segala bidang.4
Pada masa hidup al-Banjari telah bertahta sebanyak empat orang raja
Kerajaan Banjar di Martapura. Yaitu Sultan Tahlilillah raja Banjar XIV (17001745 M), Sultan Tamjidillah raja Banjar XV (1745-1778 M), Sultan inilah yang
3
W. Muhammad Shagir Abdullah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Matahari
Islam, (Kuala Mempawah: Yayasan Pendidikan dan Dakwah Islamiyah al-Fathanah, 1983), h. 6.
lihat Yusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Banjarmasin:
TB. Aulia, 1980), h. 28-29.
4
Tim Peneliti IAIN Antasari, Pemikira-pemikiran Keagamaan Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 1988/1989), h. 9.
17
membiayai Al-Banjari ketika menuntut ilmu di tanah suci. Sultan Tahmidillah raja
Banjar XVI (1778-1808 M), Sultan Suleman raja Banjar XVII (1808-1825 M).
pada masa sultan inilah, Al-Banjari meninggal dunia pada tanggal 6 Syawal
1227 H/1812 M.5
Situasi politik di keraton Banjarmasin selalu bergejolak. Pergantian Sultan
selalu ditandai oleh perebutan dan perampasan mahkota di antara pangeran, yang
mengakibatkan terjadinya perang saudara. Stabilitas politik sering terganggu
karenanya, sehingga tidak jarang pihak yang sedang berkuasa meminta bantuan
Belanda (VOC) untuk melestarikan tahtanya, meskipun dengan memberikan
imbalan berupa penyerahan sebagian wilayah kerajaan dan sebagian kekuasaan
sultan kepada pihak VOC. Seperti yang dilakukan oleh Sultan Tahmidullah
(Susuhunan Nata Alam) dalam kontraknya dengan VOC yang ditandatangani
pada tahun 1787 M.6 Memang pada masa hidup Al-Banjari, di keraton Kerajaan
Banjar selalu terjadi pertarungan antara keturunan Sultan Kuning dan Sultan
Tamjidullah dalam merebutkan mahkota kerajaan. Mulanya kemenangangan
diperoleh silih berganti, namun akhirnya keturunan Tamjidullah lebih dominant.
Hal ini di samping banyak keturunan Sultan Kuning yang dibunuh juga karena
bantuan dari VOC sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani bersama.7
Berdirinya kerajaan Islam Banjar pada awal abad XVI M. dengan
ibukotanya Banjarmasin, mempunyai arti penting dalam perkembangan ekonomi
bagi masyarakat di daerah ini. Banjarmasin yang terletak di daerah pesisir, dengan
5
Yusuf Halidi, op. cit., h. 25., Ahmad Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam
Perbandingan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 23.
6
Sutrisno Kutoyo dn Sutjianingsih, (Ed.) Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, (Jakarta:
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen P dan K, 1977/1978), h. 34.
7
Ibid., h. 33, Tim Peneliti IAIN, op. cit., h. 10.
18
cepat menjadi kota dagang yang besar sebagai Bandar transit komoditas, baik
yang berasal dari dalam maupun dari luar daerah.
Banyak faktor yang menopang ramainya perdagangan di daerah ini,
di antaranya: Pertama, banyaknya hasil kebun, hutan dan tambang dari daerah ini
yang menjadi komuditas utama dalam perdagangan internasional pada waktu itu.
Komoditas tersebut seperti lada, rotan, lilin, madu, dammar, sarang burung, intan,
emas dan batu permata lainnya. Sedangkan yang dipasok dari luar seperti asam
jawa, bawang merah, bawang putih, garam, terasi, rempah-rempah (raragi). 8
Kedua, banyaknya pedagang dari daerah dan negara lain yang datang ke
Banjarmasin, seperti dari Jawa, Makasar dan China. Ada juga dari Eropa seperti
Portugis, Belanda dan Inggris, ini semua menjadikan perdagangan semakin ramai.
Ketiga, beralihnya jalur perdagangan Maluku India yang melewati Patani –
Banjarmasin – Makasar, setelah adanya politik penghancuran kota-kota pesisir
utara Jawa oleh kerajaan Mataram. 9 Ini semua membuat perekonomian rakyat
menjadi lebih baik, dan sedikit banyak telah membentuk jiwa pedagang penduduk
di daerah ini.
Sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat ialah sistem 'bubuhan'.
Bubuhan adalah kesatuan kelompok daerah dan bersifat bilateral,
kesatuan
ekonomis, kesatuan gotong-royong, kesatuan tindakan dalam mempertahankan
diri terhadap musuh dan sebagainya. Raja adalah kepala atau ketua bubuhan rajaraja, sedangkan setiap bubuhan dalam masyarakat biasanya dipilih atas dasar tua
8
Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, Diskripsi dan Analisa Kebudayan Banjar,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 29.
9
Tim Peneliti IAIN, op, cit, h. 30, Ramli Nawawi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
(Banjarmasin, Thesis, FKG Unlam) 1997, h. 20-23.
19
usia, ilmu dan charisma yang dimiliki. Kekuasaan kerajaan diasaskan kepada
kekuasaan atas kepala-kepala bubuhan dari atas ke bawah. Kepala bubuhan
menentukan kebijaksanaan di dalam dan bertanggung jawab ke luar bubuhannya.
Bubuhan raja-raja atau kaum bangsawan tanah-tanah lungguh tertentu dari
wilayah kerajaan yang dipinjamkan raja-raja kepada mereka, yang bertindak
sebagai penguasa mutlak terhadap tanah tersebut. Sebagian besar rakyat bekerja
untuk kepentingan mereka melalui kepala bubuhan mereka.10 Kesuksesan dakwah
al-Banjari banyak disebabkan oleh penggunaan sistem sosial ini dalam karya
dakwahnya.
Sejak kerajaan Banjar berdiri tahun 1540 M. dengan sultan pertamanya
Sultan Suriansyah (Suryanullah) yang bergelar Panembahan Batu Habang, agama
Islam tersebar luas. Kerajaan ini berhasil menyebarkan Islam ke seluruh wilayah
kekuasaan yang sekarang termasuk dalam wilayah Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur dan sebagian Kalimantan Tengah, sehingga agama ini dianut
oleh mayoritas masyarakat di kawasan tersebut.11
Cepatnya perkembangan dan tersiarnya agama Islam di kalangan
penduduk, disebabkan Islam masuk dari atas, yaitu dari pihak raja-raja yang
memerintah pada masa itu. Karena kepatuhan rakyat kepada rajanya sangat kuat,
maka rakyatnya beragama seperti agama rajanya (ad-dien 'ala mulukihim).
Disamping itu memang Islam ditetapkan sebagai agama resmi kerajaan Banjar.
10
Alfani Daud, op. cit., h. 72-73.
Hafiz Anshari, AZ, Peranan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di dalam
Pengembangan Islam di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Khazanah Majalah Ilmiah
Keagamaan dan Kemasyarakatan, Vol. I, 2002), h. 15.
11
20
Maka tidak heran kalau Islam yang merka anut hanya menyentuh bagian
permukaan dari kehidupan masyarakat selama berabad-abad.
Sebelum al-Banjari melancarkan dakwahnya hampir tidak ditemukan data
yang menjelaskan situasi keberagamaan masyarakat Islam pada waktu itu.
Namun demikian dapat diperkirakan, bahwa di bidang aqidah mereka masih
dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan kaharingan dan agama Hindu Syiwa
yang sudah membudaya dalam masyarakat, baik di kalangan rakyat banyak
maupun di kalangan raja-raja dan kaum bangsawan. 12 Hal ini tampak misalnya
dalam berbagai upacara keluarga dan masyarakat seperti mandi badudus (mandi
calon pengantin), mandi tian mandaring (mandi hamil pertama) pada bulan
ketujuh dan menyaggar banua (membersihkan kampung tempat tinggal dari
gangguan jin atau roh-roh jahat) yang pelaksanannya bercampura dengan unsurunsur Islam dan budaya lama. 13 Disamping itu masyarakat Banjar senang
bersahabat dengan jin, untuk memperoleh ilmu tawakkal, yaitu ilmu untuk
mengetahui hal-hal yang gaib yang disampaikan oleh jin yang menjadi
sahabatnya.
Di bidang fiqih atau syari'ah, masyarakat Banjar menganut mazhab Syafi'i.
namun pengamalan ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji tidak banyak data
yang menunjukkan hal tersebut, tetapi diperkirakan masih rendah, baik pada
masyarakat awam maupun di kalangan para bangsawan. Akan tetapi kalau kita
meneliti kuburan raja-raja Banjar semuanya dimakamkan secara Islam. Di
samping itu dengan adanya perdagangan di Banjarmasin pada abad ke-17 dan 18
12
Sutrisno Kutoyo dan Sri Sutjianingsih, op.cit., h. 42-43.
M. Asywadie Syukur, Pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
dalam Tauhid dan Tasawuf, (Banjarmasin: Fakultas Dakwah IAIN Antasari, 1991), h. 5.
13
21
M. maka terbukalah pintu untuk melaksanakan ibadah haji bagi penduduk yang
berkemampuan, melalui kapal-kapal dagang bangsa Eropa yang singgah di
Bandar ini.14
Di bidang tasawuf, diduga telah berkembang ajaran wahdat al wujud sejak
lama, karena penyebaran ajaran Islam di nusantara ini tidak dapat dipisahkan
dengan ajaran tasawuf. Ajaran wahdat al wujud atau sejenisnya diperkirakan
sudah ada di Kalimantan Selatan sejak awal Islam masuk ke kawasan ini, baik
datang dari Jawa maupun Aceh, karena hubungan Banjar dengan Jawa dan Aceh
sudah terjalin sejak lama, sementara di Jawa dan Aceh sudah berkembang ajaran
ini.15
Pada abad ke-17 ditemukan sebuah karya tentang Asal Kejadian Nur
Muhammad, yang ditulis dengan bahasa malayu huruf Arab. Menurut R. O.
Wintedt dikarang oleh seorang ulama Banjar pada tahun 1688 M, yang bernama
Syamsuddin al-Banjari, tulisan tersebut diberikan kepada Sultanah Taj al-Alam
Syafiat al-Alam Syafiat al-Din, putri sultan Iskandar Muda yang memerintah di
Aceh pada tahun 1050-1085 H/ 1641-1675 M. Ratu ini cukup loyal terhadap
ajaran-ajaran tasawuf wujudiyah yang berkembang di sana, padahal sebelumnya
mendapat tekanan keras dari pihak penguasa dan ulama fiqih.16
Apa yang dikemukakan di atas, memberikan gambaran kepada kita
bahwa, dalam masyarakat banjar, bahasa malayu sudah lama dikenal dan
dipergunakan, termasuk dalam membuat karya tulis. Begitu pula kitab Shirat
14
Rasyidah H.A., Ijtihad Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Bidang Fiqih,
Tesis, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1990), h. 19.
15
M. Asywadie Syukur, loc. cit.
16
Abdurrahman, op. cit., h. 19.
22
al-Mustaqim yang ditulis al-Raniri dari Aceh yang mempergunakan bahasa
malayu Arab diduga juga sudah beredar di daerah ini, meskipun semua itu dalam
bentuk salinan.17 Hal ini tidak mengherankan, karena orang-orang Banjar adalah
keturunan campuran antara orang-orang Melayu dan Jawa yang mendesak orang
Dayak (penduduk Asli Kalimantan) dari arah selatan, dan ditambah lagi dengan
campuran dari pendatang-pendatang lain, seperti orang-orang Bugis, Cina, India
dan Arab. 18 Selain itu, bahasa bahasa malayu memang merupakan bahasa
pengantar dalam dunia perdagangan di nusantara pada masa itu. Disamping itu
dapat difahami pula bahwa sejak dulu beberapa abad sebelum syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari, di daerah ini sudah mempunyai seorang ulama terkemuka yang
menulis kitab tasawuf wujudiyah. Terlepas apakah karya tersebut original atau
tidak, kita dapat membanggakannya bahwa sejak abad ke-17 sudah punya seorang
ulama penulis.
Demikianlah dari sebagian situasi struktural dan kultural di Martapura dan
sekitarnya, yang termasuk wilayah kerajaan Banjar, yaitu tempat al-Banjari
dilahirkan dan dibesarkan serta berkiprah dalam dakwahnya, sesudah dia kembali
dari tanah suci. Adapun kota Mekkah dan Medinah, tempat al-Banjari bermukim
selama 35 tahun (sekitar 1740-1775 M), pada saat itu belum berada di bawah
kekuasaan wahabisme sebagaimana sekarang ini. Dalam gerakan wahabisme I,
kota Mekkah baru jatuh ke tangannya pada tahun 1806 dan kota Medinah pada
tahun 1804. 19 Padahal al-Banjari sudah pulang ke Indonesia sekitar tiga puluh
tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1775. waktu itu kedua kota suci umat
17
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabil al-Muhtadin, (Mesir, t.th) Juz. I, h. 3.
Ramli Nawawi, op. cit., h. 28-29.
19
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 25.
18
23
Islam ini berada di bawah kekuasaan Turki Usmani yang diperintah oleh sultan
Mahmud II, berkududukan di ibukotanya Istambul.
Pada bagian lain, suasana keagamaan di tanah suci pada masa itu masih
seperti suasana di dunia Islam sebelum timbulnya gerakan modernisme. 20 Di
bidang aqidah, Asy'ariyah sangat dominan. Aliran ini dalam perkembangannya
memang sangat lengket dengan mazhab Syafi'i dan Maliki, sehingga pada
umumnya pengikut kedua mazhab itu beraliran Asy'ariyah di bidang akidah dan
begitu pula sebaliknya. 21 Di bidang sufisme (tasawuf), perkembangan terekatterekat sufi sangat dominan. Berbarengan dengan itu, penghormatan yang
berlebih-lebihan kepada guru-guru tarekat, baik yang masih hidup atau yang
sudah meninggal menggejala di mana-mana. Begitu pula dibidang fiqih,
taqlidisme hamper merata. Para ulama hanya mengikuti saja pendapat-pendapat
fuqaha masa lalu sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab mereka yang
dipelajari. Dalam hal ini, Nejd yang terletak di sebelah utara Hejaz (daerah tanah
suci) telah bangkit suatu gerakan reformisme yang kemudian disebut wahabisme
yang dipelopori oleh Muhammad bin Abd. Al-Wahab (1703-1787 M), yang
bermazhab Hambali dan beraliran Salaf menurut Ibnu Taymiyah (w. 1328 M).
Gerakan ini bertujuan untuk mengembalikan Islam sebagaimana yang difahami
dan dipraktikan pada masa Nabi, sahabat dan Tabi'in sampai pada abad ke tiga
Hijri. Mereka berusaha memurnikan akidah umat dari hal-hal yang dianggab
syirik dalam segala bentuknya. Mengembalikan ajaran Islam kepada sumber
20
Periode modern dalam sejarah Islam menurut Harun Nasution dimulai sejak abad ke-19
M. Lihat Harun Nasution, op. cit., h. 13.
21
Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafat al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbiquh, (Kairo: Dar
al-Ma'arif , t.th), Jilid. II, h. 48.
24
aslinya yaitu al-Qur'an dan Hadis, melarang taklid dan menganjurkan ijtihad,
memberantas praktik-praktik ibadah yang tidak ada dasarnya, dan memberantas
segala hal yang dianggab bid'ah dan khurafat. Pada tahun 1773 M, gerakan ini
berhasil menklukkan kota Riad di Nejd, yang kemudian dijadikan sebagai pusa
gerakan dan ibukota.22 Peristiwa tersebut terjadi sekitar 2 (dua) tahun sebelum alBanjari pulang ke tanah air.
2. Pendidikan Al-Banjari
Al-Banjari dilahirkan dari keluarga Abdullah dan Siti Aminah. Dalam
keluarga inilah ia pertama kali memperoleh pendidikan dasar sampai ia berusia 8
tahun. Terutama dari ayahnya dan pada guru setempat, sebab tidak ada data yang
yang menunjukkan bahwa telah ada surau atau pesantren yang berdiri pada masa
itu di wilayah ini.23 Sejak usia mudanya telah tampak ciri-ciri khas yang berbeda
dengan kawan sebayanya terutama terlihat pada ketinggian intelegensinya dan
keluhuran akhlaknya.
Pada suatu ketika Sultan Tahlilullah (1700 - 1745 M) mengontrol keadaan
rakyatnya dan sampailah di desa Lok Gabang, sultan bertemu dengan al-Banjari
yang waktu itu berusia sekitar 7 – 8 tahun dan tertarik oleh kecerdasannya,
terutama kemampuannya melukis keindahan alam seperti keadaan aslinya. 24 Lalu
Sultan meminta kepada orang tuanya agar anak tersebut dapat diserahkan
kepadanya dan dijadikan "anak angkat", agar dapat disalurkan pendidikan dan
bakatnya. Demi masa depannya, kedua orang tua al-Banjari dengan ikhlas
22
Harun Nasution, op. cit., h. 24.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII (Melacak Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999),
h. 250.
24
Yusuf Halidi, op. cit., h. 22.
23
25
menyerahkan anaknya kepada sultan. Sejak itu (dalam usia 8 tahun) al-Banjari
memasuki pendidikan di kraton Martapura. Dalam lingkungan yang baru itu ia
sangat cepat menyesuaikan diri, dengan kepribadian yang simpatik dan sederhana,
berbudi pekerti yang mulia dan rajin beribadah, tentunya membuat sultan sangat
menyayanginya dengan sepenuh hati sebagaimana menyayangi keluarganya
sendiri.25
Sesuai dengan keinginan sultan untuk mendidik al-Banjari, sultan
mendatangkan seorang guru untuk mendidiknya. Ternyata anak yang belum
dewasa ini mempunyai kecerdasan yang luar biasa, daya tangkapnya sangat kuat
dan segala pelajaran diterimanya dengan mudah. Sehingga dalam waktu yang
relatif singkat ia dapat menghatamkan al-Qur'an. 26 Melihat kepandaian dan
ketekunannnya dalam menuntut ilmu, maka sultan berjanji bahwa kelak setelah ia
dewasa, akan diberangkatkan ke Tanah Suci Mekkah.
Janji tersebut dipenuhi Sultan ketika al-Banjari sekitar 30 tahun. Namun
sebelum berangkat, sultan mengawinkannya dengan seorang wanita keluarga
istana bernama Bajut. Barangkali perkawinan ini dimaksudkan untuk mengikat
al-Banjari agar kembali ke kerajaan Banjar. 27 Dan berusaha menyelesaikan
studinya secepat mungkin.
Menjelang musim haji, ketika isterinya Bajut sedang hamil, al-Banjari
berangkat ke Mekkah. Selama di Haramain, al-Banjari telah belajar dengan
banyak guru, diantaranya adalah Athailah bin Ahmad al-Mishry, Muhammad
25
Ahmad Basuni, Jiwa yang Besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Bandung:
Pustaka Galunggan, 1971), h. 8.
26
Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Tuan Haji Besar,
(Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, 1996), h. 20.
27
Hafiz Anshari, op. cit., h. 13.
26
Sulaiman al-Kurdi, di bidang tasawuf dia berguru dengan Muhammad Abdul
Karim Samman al-Madani. Guru-gurunya yang lain adalah :
a. Ahmad Abdul Mun'im al-Damanhuri,
b. Muhammad Murthada as-Zabidi,
c. Hasan 'Akisy al-Yamani,
d. Salim Sabdullah al-Nashri,
e. Shiddiq bin Umar Khan,
f. Abdullah Hijazi asy-Suarkawy,
g. Abd. Rahman bin Abd. Aziz al-Maghrabi,
h. Sayyid Abd. Rahman bin Sulaiman al-Ahdal,
i. Abd. Rahman bin Abd. Mubin al-Fathani,
j. Abd. Ghani bin Muhammad Hilal,
k. Abis as-Sandi,
l. Abd. Wahab at-Thanthawy,
m. Maulana Sayyid Abdullah Mirghani,
n. Muhammad bin Ahmad al-Jauhari,
o. Muhammad Zein bin Faqih Jalaludin Aceh.28
Selain belajar dengan guru-guru di atas, menurut Azyumardi, ada
kemingkinan al-Banjari juga berguru dengan Ibrahim al-Ra'is al-Zamzami di
mana dari guru inilah al-Banjari mempelajari ilmu falak (astronomi), bidang yang
28
Abu Daudi, op. cit, h. 25-26.
27
menjadikannya salah seorang astronomi yang paling menonjol di antara para
ulama Melayu – Indonesia.29
Kurang lebih 30 tahun ia bermukim di Mekkah dengan tekun menuntut
ilmu, tidak kenal jemu dan lelah.30 Dengan kecerdasan yang dimiliki, tidak sedikit
ilmu yang diperolehnya. Berkat ketinggian hikmah, kejernihan hati dan kekuatan
daya tangkap serta kecerdasan otaknya, akhirnya ia berhasil menampung sejumlah
35 macam ilmu pengetahuan yang meliputi pengetahuan agama dan pengetahuan
umum. 31 Al-Banjari berpendapat bahwa Islam itu bukan saja dadanya penuh
pengetahuan agama, tetapi otaknya pun harus diisi dan dilengkapi dengan
pengetahuan umum.
Diceritakan bahwa setelah menyelesaikan studinya di Mekkah, al-Banjari
beserta teman-temannya bertekad untuk melanjutkan studi ke Mesir. Mesir pada
waktu itu merupakan pusat ilmu pengetahuan. Suatu tekad yang teguh untuk
menuntut ilmu sebagai cita-citanya sejak meninggalkan tanah air. Sebelum ia
meninggalkan Mekkah, ia diberikesempatan untuk mengajar di Mesjid al-Haram
oleh gurunya Syekh Athailah.32 Dalam perjalanannya menuju Mesir, ia mampir di
kota Madinah. Di Madinah ia tinggal di tempat seorang ulama besar yaitu Syekh
Abdu al-Karim Samman al-Madani.33 Pada waktu itu kota Madinah kedatangan
ulama besar dari Mesir yaitu Syekh Sulaiman Kurdi (w. 1194 H) yang akan
29
Azyumardi Azra, loc. cit.
Badan Pengelola Mesjid Raya Sabilal Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Riwayat Singkat Kehidupan dan Perjuangannya, (Banjarmasin: 1984), h. 4.
31
Yusuf Halidi, op. cit., h. 29.
32
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 19.
33
Rasyidah H. A., op. cit., h. 27.
30
28
mengajar di Mesjid Madinah. 34 Mendengar berita tersebut, al-Banjari beserta
teman-temannya yang haus akan ilmu, langsung meminta izin untuk dapat belajar
pada beliau dan mereka membatalkan niatnya untuk pergi ke Mesir dan pada
akhirnya mereka memutuskan untuk belajar pada Syekh Sulaiman Kurdi atas
bantuan Syekh Saman tadi.
Kurang lebih lima tahun lamanya al-Banjari belajar di Madinah sesuai
dengan maksud dan tujuan semula, ia akan melanjutkan studinya ke Mesir. Hal ini
ia bicarakan dengan gurunya Syekh al-Islam (Sulaiman Kurdi). Atas saran
gurunya sudah tahu akan kealiman murid-muridnya ini, karena telah sekian lama
bergaul. Dengan syekh Sulaiman Kurdi, al-Banjari banyak mengadakan Tanya
jawab antara lain masalah yang terjadi di kerajaan Banjar, memungut pajak dan
hukuman denda (bayar uang) bagi pelanggar hukum yang meninggalkan
sembahyang Jum'at dengan sengaja dan tentang berbagai masalah penting lainnya.
Ini semua ditulis dan dikumpulkan oleh al-Banjari dalam sebuah karyanya yang
berjudul Fatawa Syekh Sulaiman Kurdi.35
Atas saran guru dan juga mengingat keadaan anak negeri yang sangat
membutuhkan pendidikan agama, tergugahlah hati al-Banjari dan temantemannya untuk segera pulang. Ilmu sudah didapat, tinggal mengamalkannya.
Sebelum meninggalkan kota suci, al-Banjari dan teman-temannya menyempatkan
diri belajar ilmu suluk kepada Syekh Saman al-Banjari mengambil ijazah
Tharekat al-Khalwatiyah sebagaimana temannya Syekh Abdu al-Saman
34
Abu Daudi, op. cit., h. 28.
Karel A. Steenbrink, op. cit., h. 92.
35
29
al-Palimbani. 36 Di samping tarikat khalwatiyah, al-Banjari juga memperoleh
ijazah khalifah yang membuatnya berhak mengajarkan ilmu tasawuf dan tarekat
yang didapatkannya dari guru tersebut. Malah al-Banjari dianggab sebagai ulama
yang bertanggung jawab atas tersebarnya tarekat Sammaniyah di Kalimantan.37
Konon pada saat itu yang mendapatkan ijazah sebagai khalifah yang berasal dari
Indonesia hanya ada empat orang,38 yang dikenal dengan empat serangkai.
Dalam usia yang terbilang sudah tua yaitu kurang lebih 65 tahun alBanjari pulang ke kampong halaman bersama teman-temannya. Sebelum mereka
berziarah ke kubur Nabi dan berdoa agar segala usahanya mengembangkan ilmu
agama Islam mendapat perlindungan dari Allah SWT. Pada tahun 1168 H / 1771
M, mereka kembali ke kampong halaman dengan terlebih dahulu mampir di
Betawi (Jakarta).39
Pada bulan Ramadahan 1186 H (Desember 1772 M) al-Banjari tiba di
Martapura ibu kota pemerintahan kerajaan Banjar setelah lebih kurang 35 tahun
ditinggalkannya. 40 Sejak itulah dia berusa dengan gigih membina masyarakat,
berdakwah dan mengembangkan Islam di daerah ini, sampai ia wafat pada hari
Selasa 6 Syawal 1227 H ( 13 Oktober 1812 M ) pukul 18.30. 41 Menjelang
wafatnya samapai berwasiat : apabila ia wafat pada musim kemarau maka beliau
minta makam di karang tangah dekat makam Syekh Abd. Wahab Bugis dan isteriisteri beliau yang bernama tuan Bajut dan tuan Bidur, tetapi apabila di musim
36
M. Chatib Quzwaim, Mengenal Allah Suatu Stud Mengenal Ajaran Tasawuf Syekh
'Abdus Samad al-Palimabani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 29.
37
Azyumardi Azra, op. cit., h. 253.
38
Abu Daudi, op. cit., h. 30.
39
Rasyidah H. A., op. cit., h. 30.
40
Yusuf Halidi, op. cit., h. 36.
41
Hafiz Anshari, op. cit., h. 15.
30
penghujan ( banjir ), maka beliau minta dimakamkan di Kalampayan. 42 Di mana
di Kalampayan itu terdapat kebun dan balai tempat beliau beristirahat serta
mushalla tempat khalwat.
Tatkala sampai pada hari duka (wafatnya al-Banjari) ketika itu masih
musim kemarau dan jalan untuk Kalampayan tidak bisa ditempuh dengan perahu.
Namun apa yang terjadi, setelah Isya malam Selasa 6 Syawal 1227 H, hujan turun
dengan derasnya sehingga membanjiri sungai-sungai untuk menuju jalan ke
Kalampayan, sehingga dapatlah terlaksana wasiat Syekh Muhammad Arsyad
minta di makamkan di Kalampayan. Sesuai dengan wasiatnya, ia di makamkan di
desa Kalampayan yang sekarang termasuk dalam wilayah Kecamatan Astambul
Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.
3. Aktivitas dan Karya al-Banjari
Setibanya al-Banjari di tanah air pada tahun 1186 H/1772 M. al-Banjari
mulai aktif membangun masyarakat, terutama sektor keagamaan. Hal ini adalah
sebagai pengamalan ilmu yang telah diperolehnya selama di tanah Suci. Diantara
aktivitasnya yang menonjol adalah sebagai berikut :
a. Membetulkan Arah Kiblat Beberapa Mesjid di Jakarta
Sebelum samapai dikampung halaman, al-Banjari terlebih dahulu singah
di Betawi, selama di sana al-Banjari menyempatkan diri mengunjungi beberapa
mesjid untuk melakukan sembahyang Jum'at.
Sambil mengadakan silaturrahmi dengan masyarakat Betawi, beliau juga
memeriksa arah kiblat mesjid yang dikunjunginya. Ternyata ada beberapa mesjid
42
Abu Daudi, op. cit., h. 67-68.
31
yang arah kiblatnya kurang tepat, yaitu Mesjid Pekojaan, Mesjid Jembatan Lima
dan Mesjid Luar Batang. Kiblat shalat di mesjid itu bergeser beberapa derajat dari
kiblat asli. Ketika al-Banjari meyakinkan kepada jemaah Mesjid Jembatan Lima
bahwa arah Mesjid tersebut terlalu miring ke kiri sekitar 25 derajat, maka ia
berdiri di hadapan para jamaah kemudian mengangkat tangannya, maka
tampaklah dari celah lengan baju jubahnya Ka'bah atau Baitullah yang menjadi
kiblat umat Islam itu. Jamaah pun menjadi yakin dan percaya dengan pendapat
al-Banjari tersebut. 43 Sampai sekarang di Mihrab Mesjid tersebut didapatkan
tulisan dalam bahasa Arab yang menyatakan bahwa arah kiblat mesjid itu
dipalingkan ke kanan kurang lebih 25 derajat oleh Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari pada tanggal 4 bula 2 tahun 1186 H/1772 M.
44
peristiwa ini
menunjukkan keahlian al-Banjari di bidang ilmu falaq (astronomi) yang
dipelajarinya di tanah Suci.
Mendengar peristiwa yang menggegerkan masyarakat itu. Gubernur
Jenderal Pemerintah Hindia Belanda Petrus Albertus Van Der Parra (berkuasa
1761 – 1775 M) mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh para ulama Islam
di sebelah kanan dan para Pendeta Kristen di sebelah kiri. Kemudian Gubernur
menanyakan kepada al-Banjari. Apakah isi yang ada di dalam buah kelapa ini,
al-Banjari menjawab bahwa isi di dalam kelapa itu ada air dan di dalam air itu ada
ikannya. Mendengar jawaban itu sangatlah terkejut Gubernur dan hadirin kala itu
sehingga timbul rasa mencemoohnya. Tetapi setelah buah kelapa itu dibelah
ternyata terdapat di dalamnya air kelapa dan ikan yang masih hidup.
43
Abu Daudi, op. cit., h. 67.
Tim Penelitian IAIN Antasari, op. cit., h. 19.
44
32
Setelah peristiwa itu, al-Banjari diajak lagi naik kapal dan sesampainya di
tengah laut, Gubernur menanyakan berapa dalam laut ini, kemudian ia menjawab
bahwa dalamnya laut itu sekian kaki. Setelah diadakan pengelotan (pengukuran)
ternyata benar. Semenjak itulah al-Banjari diberi gelar oleh Gubernur sebagai
Tuan Haji Besar. Peristiwa buah kelapa, mengukur laut dan melihat Ka'bah
di celah lengan bajunya ini, dianggab oleh masyarakat sebagian dari karamah
al-Banjari.45 Khususnya bagi mereka yang mempercayai adanya karamah.
b. Kaderisasi Ulama dan Juru Dakwah
Bertepatan dengan bulan Ramadhan 1186 H, al-Banjari sampai
di kampung halaman. Kedatangan al-Banjari disambut gembira oleh semua
lapisan masyarakat. Bahkan Sultan Tahmidullah (Susuhanan Nata Alam) yang
naik tahta di kerajaan Banjar pada tahun 1761 M. Memberikan sebidang tanah
kepadanya yang terletak di tepi sungai Martapura, tidak jauh dari istana kerajaan
untuk dijadikan sebagai perkampungan baru bagi anak cucunya dan pusat
kegiatan dakwahnya menyiarkan agama Islam. 46 Tindakan Sultan ini mungkin
karena waktu itu al-Banjari sudah termasuk dalam "bubuhan" raja-raja (kaum
bangsawan) karena perkawinannya dengan Ratu Aminah binti Muhammad Thaha
bin Sultan Tahmidullah sehingga dia berhak mendapatkan "tanah lungguh"
sebagaimana anak-anak bangsawan lainnya. Sesuai dengan sistem kekuasaan
yang berlaku.47
Al-Banjari bersama sejumlah pengikutnya dan keluarganya segera
menggarap tanah itu. Di sini dibangun rumah-rumah untuk tempat tinggal, ruang
45
Yusuf Khalidi, op. cit., h. 35.
Ibid., h. 37.
47
Pengelompokan penduduk dalam sistem bubuhan, lihat Alfani Daud, op. cit., h. 94-95.
46
33
pengajian, perpustakaan dan asrama untuk tempat tinggal para santri, juga dibuka
lahan pertanian (sawah). Di tempat inilah al-Banjari dengan dibantu oleh sahabat
akrabnya yang juga telah menjadi menantunya, Syekh Abdul Abidin al-Wahab
Bugis, mendidik para santri untuk dipersiapkan agar menjadi ulama besar juru
dakwah yang kuat dan tangguh mengembangkan Islam. Pendidikan ini terutama
sekali ditekankan kepada anak, cucu dan keluarga al-Banjari sendiri. Namun
dalam perkembangannya, santrinya semakin banyak yang berdatangan dari
berbagai pelosok kerajaan dan santri yang jauh diasramakan pada rumah-rumah
yang sudah disediakan.48
Dalam perkembangan selanjutnya komplek pengajian ini semakin
bertambah ramai, sehingga menjadi sebuah kampong dan diberi nama kampung
"Dalam Pagar". Zafri Zam-Zam memberikan istilah kepada kampung ini sebagai
"kawah candradimuka tempat menempa para ulama".49
Dilihat dari sudut pendidikan, bentuk pengajian di dalam satu komplek
yang ada mushalla, tempat belajar dan asrama untuk para santri dimana dalam
terminology modern tersebut dengan pesantren, ketika itu, merupakan hal baru di
kerajaan Banjar. Sebelumnya pengajian-pengajian dilaksanakan dirumah-rumah
saja. Disamping itu, hal yang juga menarik, para santri tidak hanya diberi
pelajaran agama, tetapi juga dibekali dengan keterampilan bertani dari sawah yang
dicetak sebelumnya. Dengan demikian para santri diharapkan dapat hidup
mandiri.50
48
Hafiz Anshari, op. cit., h. 17.
Zafri Zamzam, op. cit., h. 10.
50
Hafiz Anshari, op. cit., h. 18.
49
34
Dilihat dari sudut pembinaan kader ulama, tempat ini melahirkan banyak
ulama besar setelah al-Banjari. Ulama-ulama inilah belakangan yang banyak
mewarnai kehidupan keagamaan di Kalimantan Selatan, sehingga daerah ini juga
dikenal sebagai salah satu wilayah yang komunitas masyarakatnya adalah
masyarakat agamis.
Kalau dianalisis lebih jauh, langkah dan strategi al-Banjari merupakan
langkah dan strategi yang tepat. Hasilnyapun tampak sekali bukan saja sesudah ia
wafat, tetapi juga disaat ia masih hidup. Banyak ulama besar yang dilahirkan,
diantaranya Syekh Muhammad As'ad dan Syekh Abu Zu'ud, masing-masing
sebagai mufti dan Kadi pertama kerajaan Banjar. Dikalangan wanita juga muncul
seorang ulama, yaitu Fatimah binti Usman, penulis kitab parukunan yang samapai
sekarang banyak beredar dan banyak dipakai di Kalimantan Selatan.51
Menurut Hafiz Anshari langkah al-Banjari ini sangat tepat, hal ini
didasarkan atas beberapa alasan. Pertama, langkah awal yang dilakukannya
penyiapan kader penerus perjuangannya, karena pada saat tiba di Martapura ia
suadah berumur sekitar 64 tahun (menurut hitungan tahun hijriyah). Kedua, di
kerajaan Banjar ketika itu tidak ada tokoh yang benar-benar alim, terutama bidang
fiqih. Ketiga, tenaga da'i tidak banyak, padahal wilayah kekuasaan kerajaan
Banjar cukup luas.52
c. Meluruskan Akidah Umat
Meskipun al-Banjari terbilang sebagai seorang murid tarekat yang
mengamalkan tasawuf, namun kegiatan dakwahnya terfokos pada peneguhan
51
Alfani Daud, op. cit., h. 56-57.
Hafiz Anshari, op. cit.
52
35
akidah umat dan pemurniannya, dan pengamalan syari'at Islam dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Justru itu bila ada ajaran yang bisa melemahkan kedua fokus
dakwahnya itu berkembang dalam masyarakat, maka wajar kalau ia bersikap tegas
untuk memberantasnya.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa keberagamaan masyarakat
Banjar pada masa hidup al-Banjari dapat dikatakan masih sangat rendah di bidang
akidah, diperkirakan masyarakat Banjar ketika itu masih sangat dipengaruhi oleh
kepercayaan lama, yaitu kaharingan dan agama Hindu-Budha. Hal ini terlihat dari
pelaksanaan upacara adat yang bercampur baur antara unsure Islam dan unsure
lain, seperti upacara menyanggar banua, yaitu sebuah upacara adapt yang
diselenggarakan oleh keluarga Datuk Taruna di desa Barikin. Sebab menurut
mereka, kalau upacara itu tidak dilaksanakan, maka akan mendatangkan
malapetaka dalam keluarga. Ada pula upacara membuang pasilih atau mandi
badudus yaitu upacara mandi-mandi yang dilaksanakan dalam rangka penobatan
raja-raja Banjar di zaman
Hindu. Namun setelah berdirinya kerajan Banjar,
upacara tersebut dihapus. Kemudian upacara badudus atau membuang pasilih
dijadikan acara mandi-mandi calon pangeran dan mandi-mandi tian mandaring
(mandi hamil pertama) pada bulan ketujuh. Di samping itu masyarakat di daerah
ini juga senang bersahabat dengan jin untuk memperoleh ilmu muwakal, yaitu
mengetahui hal-hal gaib yang diberikan oleh jin sahabatnya.53
Melihat kenyataan rusaknya akidah umat pada saat itu, al-Banjari merasa
sangat prihatin dan dia berusaha sekuat tenaga untuk meluruskannya. Dengan
53
Al- Banjari., op. cit., h. 30-35.
36
alasan untuk menjaga akidah umat di samping ada permintaan dari Sultan yang
berkuasa pada saat itu, maka al-Banjari mengarang sebuah risalah yang berjudul
Tuhfah al-Ragibin. Di dalam kitab tersebut diuraikan secara rinci dan lengkap
mengenai prosesi upacara-upacara tersebut dan hukum melaksanakannya.
Dalam sejarah perjalanan hidupnya, al-Banjari juga pernah menangani
masalah rumit yang terjadi pada masyarakat Kalimantan Selatan saat itu, yaitu
berkembangnya tasawuf wujudi (Wihdah al-wujud), sebuah paham tasawuf yang
bercorak falsafi yang diajarkan dan dikembangkan oleh H. Abdul Hamid. Kalau
al-Banjari mengajarkan bahwa Allah itu Khalik, selainnya adalah makhluk sesuai
dengan aliran Ahlu Sunnah, sedang H. Abdul Hamid mengajarkan bahwa yang
ada hanya satu. Pencipta dan yang diciptakan hanya satu. Aku adalah Dia dan Dia
adalah Aku. Katanya, orang selama ini hanya sampai kepada kulit (syariat) belum
sampai kepada isi (hakikat). Masyarakat Islam setempat geger setelah mendengar
ajaran tasawuf H. Abdul Hamid, dan penilaiannya terhadap ajaran yang diajarkan
oleh al-Banjari selama ini kepada murid-muridnya. Kemudian timbul di kalangan
masyarakat pendapat yang kontra dan pro, di samping banyak yang menentang
terdapat pula yang menyetujuinya.54
Kemudian Sultan Tahmidillah II segera mengambil kebijakan. Ia
diperintahkan kepada utusanya untuk memanggil H. Abdul Hamid supaya dating
mengahadap Sultan di istana. H. Abdul Hamid menyatakan: "Di sini tidak ada
Haji Abdul Hamid, yang ada Allah".
54
Ahmadi Isa, op. cit., h. 5.
37
Sultan mengirim utusan lagi untuk memanggil agar Allah dating
menghadap ke istana. Terhadap penggilan itu, H. Abdul Hamid mengatakan :
"Allah tidak bisa diperintah: Menurut riwayat lain, H. Abdul Hamid menjawab:
"Allah tidak ada, yang ada H. Abdul Hamid".
Untuk ketiga kalinya, Sultan Tahmidillah II mengirim lagi utusan dengan
perintah: "Allah bersama Haji Abdul Hamid diminta dating ke istana". Barulah H.
Abdul Hamid bersedia dating memenuhi panggilan Sultan.55
Al-Banjari tidak mungkin hanya berdiam diri. Demikian pula Sltan
Tahmidillah II (1187-1223 H/1773-1808 M) yang memerintah saat itu. Ia
meminta pendapat/fatwa kepada al-Banjari tentang masalah tersebut. Setelah alBanjari mempelajari ajaran tersebut dan mengkaji dampak yang ditimbulkannya
dalam masyarakat, maka ia mengeluarkan fatwa bahwa paham yang seperti ini
termasuk paham wujudiyah mulhid, mereka juga disebut golongan zindik.
Terhadap golongan mulhid dan zindik ini al-Banjari mengeluarkan fatwa. Isi
fatwa itu direkamnya dalam Risalah Tuhfah al-Ragibin berbunyi, "tiada syak pada
wajib membunuh dia karena murtadnya. Dan membunuh seumpama orang itu
lebih baik daripada membunuh seratus kafir asli".56 Maka berdasarkan fatwa ini,
Sultan menjatuhkan hukuman mati atas H. Abdul Hamid yang kuburannya
terdapat di Desa Abulung Sungai Batang, tidak jauh dari Desa Dalam Pagar.57
d. Membentuk Mahkamah Syari'ah
Sejalan dengan keberhasilan dakwah al-Banjari dalam menanamkan
kesadaran pengalaman ajaran agama di masyarakat, menggugah hati Sultan
55
Taufik Abdullah, Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 50.
Al-Banjari, op. cit., h. 28.
57
Zafri Zamzam, op. cit., h. 9.
56
38
Tahmidullah untuk memantapkannya dengan aparat kekuasaan kerajaan. Untuk
itu sultan pun minta nasehat kepada gurunya, al-Banjari yang memang
mempunyai ide yang serupa. Al-Banjari menyarankan agar dibentuk suatu
lembaga baru dalam struktur Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh seorang mufti.58
Dalam struktur baru itu, sultan dianggap sebagai kepala seluruh pejabat
agama Islam. Di bawah sultan ada mufti, yang kewibawaanya meliputi seluruh
pejabat agama dalam wilayah kesultanan, dan dianggap sebagai hakim tinggi.59
Sebagai hakim tertinggi, mufti melakukan pengawasan atas seluruh pengadilan di
wilayah kesultanan. 60 Mufti juga bertugas memberi fatwa dan nasehat kepada
sultan dalam masalah-masalah keagamaan (mungkin semacam Mahkamah Agung
sekarang ini).
Sebagai hakim sehari-hari di ibukota, ditunjuk seorang qadhi yang
mengurusi dan menyelesaikan masalah-masalah perdata, pernikahan dan waris
yang timbul dalam masyarakat menurut hukum Islam.61 Inilah lembaga semacam
Mahkamah Syar'iyyah yang pertama di Kerajaan Banjar dengan ibukotanya
Martapura. Untuk menjabat sebagai mufti kerajaan yang pertama diangkat sultan
seoarang cucu al-Banjari bernama Muhammad As'ad dan sebagai qadhi dijabat
pertama kali oleh H. Sa'ud anak al-Banjari sendiri.62 Terbentuknya lembaga ini
makin memantapkan pelaksanaan hukum Islam di kerajaan Banjar, apalagi pada
periode ini pelaksananya adalah orang-orang yang betul-betul alim dan berada
58
Tim Peneliti, op. cit., h. 22.
Amir Hasan Bondan, op. cit., h. 150.
60
Alfani Daud., loc. cit.
61
Abu Daudi, op. cit., h. 57-58.
62
Tim Peneliti, op. cit., h. 23.
59
39
di bawah bimbingan al-Banjari. 63 Meskipun demikian, al-Banjari tidak pernah
menjabat jabatan struktural dalam Kerajaan Banjar. Ini menunjukkan kezuhudan
dan kesederhanaan dalam kehidupannya, walaupun ia mempunyai ilmu yang
dalam dan dekat dengan pihak penguasa, tapi ia tidak pernah mau apalagi minta
jabatan dengan pihak istina.
Sebagai tindak lanjut dari keberadaan lembaga ini, atas usul al-Banjari,
sultan juga memberlakukan hukum pidana Islam di wilayah kerajaan Banjar.
Hukum pidana tersebut meliputi hukuman mati bagi orang Islam yang murtad,
hukum mati bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, hukum dera bagi
penzina dan sebagainya. 64 Dengan diberlakukan hukum pidana tersebut, maka
lengkaplah pemberlakuan hukum Islam di kerajaan ini, yaitu perdata dan pidana.
Ini semua mempunyai arti penting bagi perkembangan Islam selanjutnya di
kawasan ini. Hal tersebut terlihat jelas pada masa pemerintahan Sultan Adam
al-Wasiqbillah (1825-1857 M). Ketika itu dikukuhkan sebuah Undang-undang
yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam yang dikeluarkan pada
tahun 1835 M.65
e. Membuat Karya Tulis
Al-Banjari semasa hidupnya banyak sekali meninggalkan warisan
berharga pada masyarakat Islam. Di antaranya yang paling bernilai ialah beberapa
buah karya tulis yang sempat disusunnya untuk kepentingan dakwah, Dilihat dari
segi isinya, maka karya tulis - karya tulis tersebut dapat dikategorikan kedalam
63
Hafiz Anshari., op. cit., h. 21.
Zafri Zamzam, op. cit., h. 12.
65
Hafiz Anshari., op. cit.
64
40
tiga bidang ilmu agama Islam, yaitu bidang tasawuf, akidah dan syari'ah. Karyakarya al-Banjari itu ialah:
1). Kanz al-Ma'rifah yang berbicara tentang amalan-amalan dalam
tarikat seperti maqamat dan zikir. Buku ini hanya berupa naskah
dan belum pernah dicetak.
2). Tuhfah ar-Ragibin fi Bayani Haqiqah al-Imam al-Mu'min wama
Yufsidu min raddat al-Murtadin. Risalah berbicara tentang firqahfirqah yang tersesat dalam Islam, hal-hal yang menyebabkan orang
menjadi murtad atau kafir, kemudian upacara-upacara adat yang
dianggap bertentangan dengan agama, seperti adapt menyanggar
banua dan membuang pasilih. Risalah ini ditulis pada tahun
1188 H/1774 M, berbarengan dengan waktu penulis Risalah Ushul
al-Dien. Kedua risalah ini memang berbeda sasarannya, meski
sama-sama membahas masalah aqidah. Kalau Ushul al-Dien
bertujuan memberikan dasar keimanan kepada Allah bagi
masyarakat awam pada umumnya, sedangkan risalah ini untuk
menjelaskan hakikat iman dan hal-hal yang bisa merusaknya yang
tampaknya lebih banyak ditujukan kepada kalangan raja-raja dan
para ulama untuk menegakkan aqidah yang benar menurut
Ahlusunnah wal jamaah dan memurnikan akidah umat.66 Buku ini
sudah diterbitkan beberapa kali, diantaranya di Mekkah, Mesir dan
di Indonesia.
66
Al-Banjari, Tuhfah al-Raghibin, op. cit., h. 30-35.
41
3). Fath al-Rahman. Risalah ini sebenarnya adalah karya Syaikh alIslam Zakariya al-Ansari berjudul Fath al-Rahman bi Syarh
Risalat al-Waliy al-Raslan, yaitu komentar terhadap sebuah risalah
tentang
ilmu tauhid yang ditulis oleh Raslan
al-Dimasyqi.
Al-Banjari menterjemahkan risalah tersebut ke dalam bahasa
Melayu dengan huruf Arab yang ditulis miring di bawah teks
aslinya. Risalah ini diterbitkan oleh Toko Buku Hasanu
Banjarmasin, cetakan kedua tahun 1405 H/1985 M, setebal 91
halaman dengan keterangan bahwa teks aslinya berasal dari tulisan
Haji Muhammad Sa'id bin Mufti Ahmad bin Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari.67
4). Majmu', kitab ini berbicara tentang dasar-dasar ajaran Islam,
meliputi masalah akidah dengan mazhab Asy'ariyah pola Sanusiah,
berbicara tentang sifat-sifat yang wajib, harus dan mustahil bagi
Allah dan Rasul-Nya. Lazimnya di masyarakat dikenal dengan
istilah sifat dua puluh. Dalam masalah tasawuf dibicarakan pula
tentang
roh,
sifat-sifat
terpuji
dan
amalan-amalan
untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Kitab ini masih dalam bentuk
salinan dan belum pernah diterbitkan.
5) Ushul al-Din, risalah ini berbicara tentang ilmu-ilmu dasar dalam
akidah yang juga dikenal oleh masyarakat Banjar dengan nama
Pelajaran Sifat Dua Puluh. Menurut Abu Daudi, risalah ini ditulis
67
Ibid.
42
al-Banjari pada tahun 1188 H/1774 M. Sayangnya buku ini belum
ditemukan naskahnya, kemingkinan isinya sudah dimasukkan ke
dalam Kitab Parukunan.
6) Qaul al-Mukhtashar fi 'Alamat al-Mahd al-Muntazhar. Buku ini
berbicara tentang tanda-tanda hari kiamat dan datangnya Imam
Mahdi. Risalah ini ditulis al-Banjari pada tahun 1196 H/1782 M.
buku ini sudah pernah diterbitkan di Singapura pada tahun 1356
H/1937 M.
7) Kitab Parukunan, buku ini berbicara tentang dasar-dasar ibadah
dan akidah yang dibawakan dengan cara yang sederhana kerena
memang diperuntukkan bagi orang yang baru belajar agama. 68
Kitab ini ditulis oleh Fatimah binti Usman, cucu al-Banjari, hasil
catatan pelajaran yang telah diterima dari kakeknya, al-Banjari.
Walaupun sebagai pengarangnya disebut nama Jalaluddin, anak
al-Banjari yang menjabat sebagai mufti Kesultanan Banjar waktu
itu.69 Namun bila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya karya tersebut
adalah hasil pemikiran al-Banjari sendiri. Buku ini sudah
diterbitkan beberapa kali, baik di Singapura maupun di Indonesia.
8) Luqthah al-Ajlan, ialah buku yang berbicara tentang hukum-hukum
yang menyangkut kehidupan kaum wanita seperti haidh, nifas dan
istihadhah. Risalah ini ditulis al-Banjari pada tahun 1192 H / 1778
68
Asywadie Syukur, Pemikiran-pemikiran al-Banjari, op. cit., h. 6.
Alfani Daud, op. cit., h. 54-55.
69
43
M untuk kepentingan dakwahnya di kalangan wanita. Risalah ini
masih berupa naskah belum pernah diterbitkan.
9) Kitab Sabil al-Muhtadin Littafaqquh fi Amr al-Din yang berbicara
tentang ilmu fiqih yang terdiri dari dua jilid. Buku ini adalah karya
tulis al-Banjari yang terbesar dan cukup popular di kalangan umat
Islam di Asia Tenggara. Kitab ini selesai ditulis pada tanggal 27
Rabi'ul Akhir 1195 H/ 22 April 1781 M. Atas permintaan Sultan
Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah.
70
Diterbitkan dibeberpa
Negara seperti di Mesir, Singapura, Mekkah, Turki dan juga di
Indonesia.
10) Mushaf al-Qur'anul Karim. Al-Banjari menulis tangan sebuah
mushaf al-Qur'an dengan tulisan yang sangat indah, yang bisa
disaksikan di kubah tempat ia dimakamkan di Kalampayan hingga
sekarang ini. Mushaf tersebut ditulis pada tahun 1779 M.
11) Kitab al-Nikah, buku membahas tentang hukum perkawinan, talak
dan rujuk. Buku ini untuk pertama kalinya diterbitkan di Istambul
pada tahun 1304 H/ 1887 M dalam bahasa Malayu sebanyak 40
halaman. Risalah ini juga kemudian diterbitkan di Singapura dan
Indonesia.
12) Kitab al-Faraidh, kitab ini mengemukakan tentang hukum warisan
yang menyangkut ahli waris, harta warisan, besar bagian yang akan
70
Al-Banjari, Sabil al-Muhtadin, op. cit., h. 3.
44
diterima masing-masing ahli waris. Buku ini belum ditemukan
naskahnya.
13) Khasyiyah Fath al-Jawad, adalah terjemahan dari Kitab Fathul
al-Jawad, kitab fiqih karya Ibnu Hajar al-Haitami yang diberi
komentar-komentar oleh al-Banjari agar dapat dipahami dengan
mudah oleh para muridnya dan masyarakat Banjar.71
14) Fatwa Sulaiman Kurdi, risalah ini berisi tentang fatwa-fatwa
Syeikhul Islam Imamul Haramain Syekh Muhammad bin Sulaiman
al-Kurdie, sehubungan dengan adanya pertanyaan-pertanyaan alBanjari kepada beliau tentang keadaan atau tindakan raja/Sultan
memungut pajak dan hukuman denda bagi pelanggar hukum
(meninggalkan shalat Jum'at dengan sengaja), dan berbagai
masalah penting lainnya. Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab dan
belum pernah diterbitkan. Naskah aslinya tulisan al-Banjari sampai
sekarang masih ada.72
15) Ilmu Falak. Risalah ini ditulis dalam Bahasa Arab, yang isinya
menerangkan tentang cara menghitung kapan terjadinya gerhana
matahari dan bulan. Risalah ini belum pernah dicetak/diterbitkan,
namun naskah aslinya yang ditulis oleh anak beliau sendiri masih
ada dalam bentuk manuskrip yang sudah berusia hampir dua abad,
dalam pemeliharaan salah seorang zuriat al-Banjari di Dalam
71
Tim Peneliti, op. cit., h. 29.
Abu Daudi, op. cit., h. 54.
72
45
Pagar.
73
Dua karya al-Banjari yang terakhir inilah (Fatawa
Sulaiman Kurdi dan Ilmu Falak) yang ditulis dalam bahasa Arab,
sedangkan karya-karya lainnya selalu ditulis dalam bahasa Malayu.
73
Ibid., h. 53.
46
46
BAB III
DALAM PAGAR SEBUAH KOMUNITAS
A. Sejarah Dalam Pagar
Mengingat kawasan yang dipilih Syekh Muhammad Arsyad terletak
dipinggir sungai Martapura, maka untuk menjaga keselamatan dan menghindari
kalau terjadi erosi, komplek perumahannya dibangun menjorok ke darat jauh dari
tepi sungai.
Mulailah dibangun rumah Syekh Muhammad Arsyad dan sebuah mushalla
disampingnya, kemudian dibangun purumahan anak-anak beliau dan perumahan
para murid disebelah kiri kanan rumah Syekh Muhammad Arsyad, berjejer
berseberangan menuju tepi sungai; dan ditengah-tengahnya dibuat jalan untuk
menuju sungai.
Untuk dapat terlaksananya pendidikan secara intensif dan efektif, maka
lokasi atau komplek tersebut perlu dipagar sedemikian rupa sehingga dapat
menghambat keluar masuknya para murid dengan leluasa.
Bagi murid atau penghuni komplek yang keluar masuk komplek tersebut
terbiasa mengatakan "mau kedalam" atau "datang dari dalam", oleh karena
komplek itu dilengkapi dengan pagar, maka ungkapan dalam dan pagar menjadi
satu kesatuan kata yang berbunyi "dalampagar".
Disisi lain, meneurut cerita orang-orang tua dulu, ketika Syekh
Muhammad Arsyad membersihkan tanah perbatasan tersebut dari pepohonan dan
kayu-kayuannya, maka sebelum membangun rumah-rumahnya, beliau wafaklah
46
47
tanah tersebut sebagai pertanda penyerahan beliau kepada Allah swt, agar selalu
mendapat pemeliharaan-Nya, hal ini kemudian ada hubungannya dengan asal usul
kampung tersebut, dimana setelah komplek itu dihuni oleh Syekh Muhammad
Arsyad berserta keluarga dan anak murid, tiba-tiba datanglah pada suatu malam
sekelompok orang yang ingin berbuat jahat kepada penghuni kampung itu.
Namun setibanya mereka disana apa yang terjadi; pandangan mereka terhalang
oleh pagar-pagar yang tinggi sehinga tidak tanpak lagi rumah-rumah yang akan
dituju. Maka pulanglah mereka dengan sia-sia.
Kenapa jadi demikian, kenapa mereka tidak dapat menembus pagar tadi,
hal ini mungkin sebagai pertanda bahwa penyerahan Syekh Muhammad Arsyad
kepada Tuhan untuk pemeliharaan komplek perumahan itu dikabulkan Tuhan dan
dipelihara-Nya, sehingga orang-orang yang hendak berbuat jahat tidak dapat
memasukinya pada masa itu.
Masyhurlah nama tempat itu kemana-mana, karena disitulah Syekh
Muhammad Arsyad berdiam, dan di kampung Dalam Pagar pula mendidik anak
cucu serta para murid yang datang dari berbagai kampung dan daerah.
Karena keturunan anak dan cucu Syekh Muhammad Arsyad berdiam di
kampung Dalam Pagar secara turun temurun, sehingga kampungnya menjadi luas
dan banyak dikunjungi orang untuk belajar ilmu-ilmu agama; dan alhamdulillah
sampai sekarang masih disukai oleh para penuntut ilmu yang datang belajar di
kampung itu.
Suatu hal yang membuktikan bahwa Syekh Muhammad Arsyad
mempunyai wawasan pandangan juah kedepan, dimana waktu beliau membangun
47
48
komplek perumahannya jauh menjorok kedalam; karena menjaga sewaktu-waktu
mungkin akan terjadi erosi, maka setelah dua abad kemudian perkiraan tersebut
menjadi kenyataan, dimana komplek perumahan tersebut telah habis terkikis air
dan hanyalah yang tertinggal sekarang bekas rumah beliau di kampung Dalam
Pagar Ulu yag sekarang menjadi bekas rumah Almarhum Tuan Guru H. Zainal
Ilmi.
B. Dalam Pagar Sebagai Sentral Pendidikan Islam
Sebelum masuknya pengaruh Barat, di Kalimantan Selatan telah
berkembang pendidikan tradisional, utamanya pendidikan agama yang dikenal
sebagai "kaji duduk" yakni sistem pengajaran untuk menyebarkan ajaran-ajaran
Islam, pada mulanya dilangsungkan di tempat tinggal Tuan Guru, tetapi kemudian
banyak yang berlangsung di langgar-langgar.
Pelajaran yang diberikan oleh para taun guru dalam pengajian adalah ilmu
tauhid, ilmu fikih dan ilmu tasawuf. Selain itu ada pula yang mempelajari bahasa
Arab secara pasif, di samping pelajaran membaca Alquran. Kitab yang digunakan
pada umumnya adalah kitab berbahasa Arab dan dibawakan oleh tuan guru yang
pernah belajar di Mekkah. Kitab itu dikenal sebagai Kitab Kuning. Dalam
perkembangannya digunakan pula kitab beraksara Arab berbahasa Banjar atau
Melayu, sehingga disebut kitab berbahasa Arab Melayu, sebagaimana kitab-kitab
yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Pengajian yang umum berlangsung adalah pengajian Bandongan atau
Balangan. Guru membaca dan menguraikan isi kitab, sedangkan murid-muridnya
memegang kitab yang sama dan diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang
48
49
belum dimengerti. Ada pula yang disebut pengajian Sorongan seperti yang
dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kepada anak cucunya, agar
sampai kelak mewarisi kealiman bapaknya. Di samping itu, adapula pengajian
maahad karena dilaksanakan pada hari Minggu (ahad), atau menyanayan,
manyalasa, maarba, mangamis, manjumahat, dan manyabtu sesuai dengan nama
hari pelaksanaan pengajian, yang mana murid hanya mendengarkan saja dan tidak
menggunakan kitab, sedangkan guru menguraikan isi kitab yang dibacanya.
Untuk menjadi ulama ahli Qur'an, hadis, dan sebagainya diperlukan
beberapa guru yang waktu pengajinya memakan waktu puluhan tahun, bahkan
kadang-kadang dilanjutkan di Mekkah. Mereka yang kembali, kemudian menjadi
tuan guru yang memberikan pengjian di rumah atau di langgar-langgar.
Masuknya pemeritah Hindia Belanda dengan kebijakan di bidang
pedidikan, kemudian melahirkan elite baru yang semakin memudarkan peranan
elite tradisional. Tetapi elite baru ini tidak semuanya diterima oleh masyarakat.
Demikian pula dengan masuknya agama Kristen yang penyebarannya
mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda, telah menimbulkan reaksi
para ulama tentang adanya bahaya kristenisasi sehingga mereka berupaya
menyempurnakan metode syiar agama dan pendidikan Islam di masyarakat.
Kristenisasi dianggap sebagai cara yang efektif untuk melawan
gerakan-gerakan Islam sendiri sangat mudah memicu perasaan anti Belanda.
Ketika Pemerintah Hindia Belanda
mendirikan sekolah-sekolah umum, para
ulama menilainya sebagai suatu usaha untuk mengasingkan anak-anak mereka
dari agama Islam dan kemudian menasranikannya. Akibat dari itu, di beberapa
49
50
daerah timbul gagasan mendirikan sekolah bukan sekedar untuk menyaingi
sekolah-sekolah umum yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, tetapi
juga untuk melawan Belanda melalui jalur pendidikan.
Sekolah-sekolah agama yang didirikan itu antara lain Sekolah Islam
Darussalam tahun 1914, Arabische School yang kemudian menjadi Ma'ahad
Rasyidiyah Amuntai tahun 1930, dan Diniyah Islamiyah di Barabai tahun 1932.
Sekolah-sekolah itu telah diatur sesuai metode pengajaran modern dengan
menggunakan sistem klasikal. Alumni sekolah-sekolah ini banyak menghasilkan
pemimpin-pemimpin muda Islam, baik yang bergiat di bidang politik, sosial
maupun keagamaan.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa pembaharuan pendidikan
Islam di Kalimantan Selatan lebih dominan dipengaruhi faktor Timur Tengah.
Namun demikian, dalam kenyataan politik di tanah air pada masa itu, pemerintah
Hindia Belanda telah melakukan dan mengembangkan sistem pendidikan
persekolahan dengan sistem modern, agaknya cukup beralasan bahwa tumbuh dan
berkembangnya pendidikan Islam di Kalimantan Selatan juga merupakan respons
atas kebijakan dan politik pemerintah Hindia Belanda.
Dengan demikian, kedatangan budaya Barat, terutama Belanda ke
Kalimantan Selatan, sekali-kali tidak mengendurkan pengembangan syiar Islam
di daerah ini. Hal ini juga bisa dilihat pada aktivitas pendidikan yang ada
di Dalam Pagar, sebab pendidikan Islam "Dalam Pagar" sudah melakukan
aktivitas pendidikan informal yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari dan diteruskan oleh anak, cucu dan murid-murid beliau yang hanya
50
51
berada di sekitar Dalam Pagar, melainkan juga berasal dari luar seperti Hulu
Sungai, Pagatan, Banjarmasin, bahkan sampai Kalimantan Tengah.
Pada masa itu, para santrinya tinggal di rumah guru-guru yang mengajar,
mereka dapat didikan langsung baik tentang keilmuan maupun yang lainnya.
Selain mengajar guru-guru juga memberikan contoh tauladan yang baik kepada
santri-santrinya, para guru juga mengajarkan cara bertani dan berkebun dan cara
menanam tanaman dengan baik. Santri putri juga turut membantu, sekaligus ikut
mengikuti pengajian.
Sistem pengajian yang dilakukan pada masa itu dengan cara bergantian,
karena isi yang diajarkan antara murid yang lama dan yang baru tidak sama isi
redaksinya, hal tersebut mengakibatkan guru-guru tersebut hafal kitab dengan
sendirinya.
Guru sebagai tenaga kependidikan yang paling bertanggung jawab
secara langsung atas proses pembelajaran murid diberi kewenangan untuk
mengembangkan aktivitas mereka. Guru perlu diperdayakan agar mereka dapat
melaksanakan tugas mereka membelajarkan para murid untuk mencapgai tujuan.
Selain sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar,
kewenangan mengambil keputusan yang terkait dengan peningkatan pola
pembelajaran.
Dalam membangun lembaga pendidikan, setiap lembaga pendidikan
pasti mengalami pasang surut dalam menjalankan pengembangan pendidikan. Hal
ini
banyak
dipengaruhi
oleh
kiprah
dan
peranan
tokoh-tokoh
dalam
51
52
mengembangkan lembaga pendidikan, khususnya di Dalam Pagar juga mengalami
masa pasang surut dalam mengembangkan lembaga pendidikannya.1
Sebagai gambaran perkembangan lembaga pendidikan Dalam Pagar
serta kiprah dan peranan tokoh-tokohnya dari sejak berdiri dan sesudahnya, akan
dijelaskan sebagai berikut:
Tahun 1774 M – 1812 M., lembaga pendidikan yang di Dalam Pagar
masih berbentuk pendidikan non formal adapun metode yang digunakan ialah
dalam bentuk pengajian, dan pengajian tersebut langsung dipimpin/dilaksanakan
oleh Syekh Muhammad Arsyad sampai akhir hayat beliau.
Tahun 1812 M – 1931 M., pengajian menyebar di rumah-rumah anak
cucu zuriat Syekh Muhammad Arsyad.
Tahun 1931 M – 1951 M., Oleh guru K. H. M. Thoha bin H. M. Sa'ad
(Qadhil Qudrat), didirikan madrasah "al-Istiqamah" tingkat tahdhiri dan tsanawi.
Sistem/metode pendidikan dan pengajarannya mengacu kepada madrasah
Thawalib di Padang Panjang Sumatera Barat. Adapun pimpinan harian madrasah
di percayakan kepada saudara sepupu beliau yang juga keturunan ke-4 dari Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari yang pernah belajar di madrasah Thawalib tersebut
diantaranya:
- K. H. Salman Jalil (Mantan Inspektur Peradilan Wilayah Kalimantan)
- K. H. Abdurrahman Isma'il (Mantan Kepala KAU Kecamatan Martapura)
- K. H. Sirajuddin (Mantan Kepala KAU Kecamatan Martapura)
- K. H. Iderus Ma'ruf (Mantan Kepala kantor Dep. Agama Kabupaten Banjar)
1
Hasil wawancara, pada tanggal September 2006 dengan bapak Irsyad Zain.
52
53
- K. H. Muhammad Hamzah (Mantan Panitra Kerapatan Qadhi Martapura).2
Tahun 1951 – 1963 M., Setelah kembali dari melanjutkan pendidikan di
kota Mekkah selama 12 tahun, Maka K. H. Salman Jalil dan K. H. Abdurrahman
Isma'il menerus kembangkan madrasah Islamiyah Istiqamah yang kemudian
berganti nama menjadi "Madrasatusyar'iyah". Bagunan gedung diperbaiki dan
ditambah dibawah binaan tuan Guru K. H. Zainal Ilmi.
Tahun 1963 – 1995 M., Oleh tuan Guru K. H. Sya'rani Arief (Kampung
Melayu Martapura) madrasah berganti nama dengan madarah "Sullamul Ulum"
Yang dipimpin oleh K. H. Abdurrahman Isma'il kemudian diteruskan oleh
generasi dibawahnya K. H. Muhmud Arsyad, kemudian dilanjutkan oleh
K. H. Abdul Hamid.
Tahun 1965 M - sekarang., Oleh K. H. Abdurrahman Isma'il dikukuhkan
tingkat pengajaran baru yaitu tingkat Aliyah.
Tahun 1989 M – sekarang., Oleh K. H. Mahmud Arsyad Perguruan
di tambah lagi tingkatnya dengan didirikan Taman Kanak-kanak/Pendidika
al-Qur'an (TKA/TPA).
Tahun 1995 M – sekarang., Perguruan berubah nama menjadi pondok
Pesantren "Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari" dan dipimpin oleh Guru
H. M. Fadhil Zein,3 yang membawa :
a). Tingkat Taman Kanak-kanah al-Qur'an
: 1 Tahun
b). Tingkat Taman Pendidikan al-Qur'an
: 1 Tahun
c). Tingkat Madrasah Diniyah Awal
: 1 Tahun
2
Ibid.
Hasil wawancara, pada tanggal September 2006 dengan guru H.M. Fadhil Zein.
3
53
54
Madrasah Ibtidaiyah Swasta
: 6 Tahun
d). Tingkat Madrasah Diniyah Wustha
: 3 Tahun
e). Tingkah Madrasah Ulya
: 3 Tahun
f). Tingkat Takhassus
: 3 Tahun
Secara umum dari keseluruhan data yang tergambar dapat dijelaskan
bahwa peranan dan kiprah tokoh-tokoh dalam mengembangkan lembaga
pendidikan di Dalam Pagar, mempunyai andil yang sangat besar. Dan tentu
tantangan yang dihadapi institusi pendidikan agama berbeda dengan masa
sesudahnya.
Walaupun pendidikan formal telah berdiri, tetapi tidak menghilangkan
rutinitas mengaji duduk yang telah berjalan sebelumnya. Pada tahun 1950
Madrasah al-Istiqamah banyak mengeluarkan alumni sebagai kader-kader
terkemuka, diantaranya ada yang jadi guru, qadi pengadilan agama dan lain
sebagainya. Kemudian al-Istiqamah diganti namanya dengan madrasah Syar'iyah
(ibtida' 6 tahun). Pada tahun 1956 madrasah Syar'iyah pun berganti nama dengan
"Sullamul 'Ulum", dengan menambah jenjang pendidikan menjadi:
1. Majlis Ta'lim pada malam hari
2. Madrasah tingkat Taman Kanak-kanak al-Qur'an
3. Madrasah tingkat Ibtidaiyah. Pada tingkat ini madrasah di bagi dua
yaitu: Diniyah (khusus agama) dan Asriyah (dengan menggunakan kurikulum
pemeritah).
4. Madrasah tingkat Tsanawiyah
5. Madrasah tingkat Aliyah
54
55
Sampai sekarang dengan bergonta-gantinya nama lembaga pendidikan
tidak mengakibatkan rutinitas mengaji duduk terhenti, melainkan tetap eksis
berjalan seperti biasa.
55
56
56
BAB IV
DINAMIKA PENDIDIKAN DALAM PAGAR
A. Perkembangan Pendidikan Islam Dalam Pagar
1. Perkembangan Kelembagaan Dalam Pagar
a). Periode Perintis dari tahun 1774 – 1931.
Institusi berasal dari bahasa Inggris institution yang berarti lembaga1 atau
pendirian suatu badan sekaligus pengorganisasian.2 Institusi pendidikan berarti
proses pendirian atau pengorganisasian suatu visi dan misi pendidikan ke dalam
bentuk kelembagaan. Pelembagaan ini bukan semata-mata terpaku pada bangunan
fisik yang kasat mata., tetapi juga suatu nilai abstrak yang tersembunyi dibaliknya
yakni berupa pola kepemimpinan dan pola hubungan orang-orang yang terlibat
di dalamnya.
Sebelum masa Asyad, isntitusi pendidikan Islam di kerajaan Banjar seperti
telah diuraikan di atas masih berkisar pada (mesjid, langgar rumah, tatuha, rumah
pembakal, rumah tatuha, rumah orang berpunya, istana dan sejenisnya). Mungkin
pada awal kedatangannya dari Haramain Arsyad masih menggunakan instutusi
pendidikan itu, tetapi karena setiap hari ramai masyarakat mengunjunginya untuk
meminta nasehat dan mendengar ceramahnya, kemudian semakin lama para
muridnya semakin banyak, maka dirasakan sudah tidak mencukupi lagi, perlu
institusi pendidikan baru yang lebih besar dan luas. Pembangunan institusi
1
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
1996), h. 325.
2
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), h. 262.
56
pendidikan baru bukan berarti Arsyad membuang institusi lama, tetap dibiarkan
berjalan dan sekali waktu ia masih memberikan pengajian bahkan beberapa model
pendidikan Islam dari institusi pendidikan Islam lama ia ratifikasi dan kombinasi
ke dalam institusi pendidikan Islam baru yang dibangunnya. Dalam ungkapan
ringkasnya, institusi pendidikan Islam yang dibangun Arsyad, tidaklah kemudian
mematikan institusi pendidikan Islam lama, melainkan sekedar memperkaya dan
mengembangkannya secara lebih baik sekaligus sebagai mitra baru yang
mengajak saling mendukung dan membela satu sama lain antara institusi
pendidikan Islam baru dan institusi pendidikan Islam lama.dalam perjalan waktu
memang institusi pendidikan Islam lama ini masih berfungsi sebagai wahana
pendidikan terutama bagi anak-anak untuk mempelajari dasar-dasar ilmu agama
yang keluasannya bisa melanjutkan pelajarannya dengan memasuki institusi
pendidikan Islam baru yang dibangun Arsyad yang memang mengerjakan
pelajaran yang luas, tinggi dan beragam, walaupun tetap disediakan juga untuk
pelajaran ilmu-ilmu dasar agama sebagai dampinganya. Di samping motif
semakin banyaknya murid, terdapat juga motif lain yakni keinginan Arsyad untuk
memberikan pengajaran tingkat tinggi terutama dalam bidang ilmu fiqih yang
sebelumnya masih bertaraf sangat rendah, padahal ia merupakan ilmu yang
teramat penting untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis dan menata
masyarakat supaya bisa lebih tertib dan teratur atas dasar hukum-hukum Tuhan.
Selain itu, untuk menciptakan miliu pendidikan yang sehat jauh dari pengaruh
percaturan politik kerajaan yang waktu itu masih memang sedang panaspanasnya, penuh intrik dan saling mengintai untuk menyingkirkan lawan
57
politiknya terutama antara keturunan Suriansyah dan keturunan Pangeran
Temenggung. Dari miliu pendidikan yang sehat ini juga bisa diharapkan
mewujudkan atau memproduk insan cita yang beramal ilmiyah dan bertakwa
ilahiyah alias pribadi muslim yang utuh sehat jasmani-ruhani, berpengetahuan dan
berakhlakul-karimah. Lebih dari itu, dengan miliu pendidikan yang sehat akan
melahirkan lingkungan budaya yang baik, menjadi wahana kondusif untuk
perkembangan seluruh potensi anak didik baik pada ranah kognitif, afektif
maupun psiko-motorik.
Proses pembangunan institusi pendidikan Islam baru ini, berawal dari
Arsyad meminta sultan Tahmidullah II (1761-1787 M.) memberinya sebidang
tanah tidak terpakai dan masih berupa hutan belukar di luar ibukota kerajaan yang
berada sekitar 4 km dari Martapura, tepatnya berada di tepian Sungai Martapura
yang membentang dari Riam Kanan dan Riam Kiri menuju Banjarmasin. Alat
transformasi untuk mencapai daerah tersebut adalah jukung (semacam sampan
kecil) yang dikayuh dengan dayung kecil menelusuri aliaran sungai yang cukup
panjang dan berarus lumayan deras. Dia dan Syekh Abdul Wahab Bugis yang kini
menjadi menantunyadibantu beberapa murid, melakukan babat alas sekuat tenaga
membersihkan belukar menjadi tanah lapang, kemudian membangun sebuah pusat
pendidikan Islam yang terdiri dari ruangan untuk kuliah, asrama para murid,
rumah para guru (termasuk empat buah rumah untuk isteri-isreri Arsyad yakni
Bajud, Markidah, Aminah dan Bidur), ruang belajar, langgar, perpustakaan dan di
belakangnya runah para anak cucunya. Pusat ini secara ekonomis dapat
membiayai dirinya sendiri, sebab Arsyad bersama dengan beberapa guru dan
58
murid menolah tanah dilingkungan itu menjadi sawah dan kebun yang prodoktif.
Tak lama kemudian, pusat itu telah menjadikan dirinya lokasi paling penting
untuk melatih para murid yang diharapkan kelak menjadi ulama terkenal
dikalangan masyarakat Kalimantan. Sebelum dibangn pusat pendidikan Islam
tersebut Arsyad memberi pagar disekelilingnya sebagai perwatasan dan baru
kemudian di dalamnya didirikan kampung baru yang sampai sekarang dikenal
kampung Dalam Pagar, sehingga pusat pendidikannya pun kemudian disebut
Punduk Dalam Pagar. Pasalnya, karena setiap orang yang menuju atau dating
ketempat tersebut, jika ditanya selalu mengatakan mau atau dating dari Dalam
Pagar.3
Dalam merancang konsep institusi pendidikan Dalam Pagar, Arsyad
kelihatannya banyak diilhami bahkan mungkin dipengaruhi beberapa institusi
pendidikan Islam di Haramain dengan tanpa menafikan sama sekali pengaruh
institusi pendidikan Islam di Nusantara secara umum dan Kalimantan secara
khusus. Argumen ini cukup beralasan, karena hamper seperempat abad lebih
Arsyad tinggal dan menuntut ilmu di Haramain bergelut dalam berbagai institusi
pendidikan Islam di sana walaupun tidak seluruhnya, tetapi paling tidak ia
mengetahui dan menyaksikan dengan penuh rasa penghayatan yang mendalam. Ia
di sana mengetahui tentang madrasah, ribat (riwat, zawiyah dan khanqah),
meskipun tidak terlibat sangat jauh, tetapi pernah bergulat sesekali. Pergulatannya
yang sangat intens adalah dilingkungan studi di masjid al-Haram di Makkah dan
masjid an-Nabawi di Madinah.
3
Humaidy, "Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Pendidikan Islam di Kalimantan
Selatan", dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Edisi 3, Tahun 1 (Desember 2003), h. 43.
59
Dengan demikian punduk Dalam Pagar, meskipun formatnya berangkat
dari institusi pendidikan lokal seperti langgar (termasuk masjid, rumah tatuha,
rumah pembakal, rumahguru, rumah orang berpunya dari istana), tetapi punya
orientasi instisional, yakni banyak mengambil model beberapa institusi
pendidikan di Haramain terutama lingkaran studi di kedua masjid suci, berikutnya
ribat dan madrasah. Kalau boleh diformulasikan dalam kadar takaran yang bisa
ditimbang Dalam Pagar memiliki unsur, rumah tatuha, rumah pembakal masjid
Haramain sangat dominan terutama dalam otoritas guru, sistem pengajarannya
dan kitab-kitab yang dipergunakan, disusul unsur ribat dalam model pelatihan
spiritual, materi suluk dan cara khalwatnya, diikuti unsur langgar (termasuk juga
masjid, rumah tatuha, rumah pembakal, rumah guru, rumah orang berpunya dan
istana) dalam materi dasar ajaran, media bahasa yang dipergunakan di samping
model bangunannya, dan kemudian unsur madrasah dalam model pengasramaan
dan penekanan ajaran pada ilmu fiqihnya.
Dalam analisis Ahmad Basuni Dalam Pagar sudah merupakan pesanten
karena di sana ada tempat tinggal guru, ada tempat pengajian, pondokan para
santri dan langgar.4 Bolehlah dikatakan demikian, tetapi semacam bukan berarti
persis sama sekali, sebab istilah pesanteren di Kalimantan Selatan baru dikenal
tahun 1970-an. Pemadanan lebih persis adalah dengan surau di Padang, rangkang,
meuasah, dayah di Aceh, punduk di kawasan Melayu seperti Malaysia, Fatani
(Thailand), Riau, Palembang (Sumatera) dan Brunai Darussalam. Oleh karena
Kalimantan Selatan atau suku Banjar termasuk sebagai masyarakat Malayu dan
4
Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986),
h. 52-54.
60
sangat kental budaya Melayunya. Steenbrink sedikit membantah hal ini, dengan
menyatakan bahwa kebudayaan Banjar itu memang sebagian termasuk dunia
kebudayaan Melayu, tetapi daerah Melayu khususnya Banjar mempunyai corak
Jawa yang paling kuat, baik dalam dunia kraton, bahasa maupun bahasa
setempatnya.5 Namun Faruk HT balik membantah keras adanya pengaruh kuat
Jawa tersebut, karena feodalisme yang menjadi inti kebudayaan Jawa menurutnya
tidak sempat berpengaruh dan mengakar kuat dalam budaya Banjar, hanya lapisan
tanpa makna yang signifikan.6 Unsur Melayu tetap dominan dal budaya Banjar
karena sudah lama menjadi inti dari terbentuknya masyarakat Banjar. Hal ini
tampak dari bahasa Banjar yang menjadi bahasa pengantar masyarakat Banjar
hampir 75% dari kosa katanya berasal dari Melayu yang terekpresi pada bahasa
dalam percakapan sehari-hari, bahasa dalam pergaulan dan bahasa berbagai
kesenian.
Berangkat dari pemahaman di atas, penulis lebih senang menyebut Dalam
Pagar sebagai punduk (sebutlah ini sudah penulis pakai sejak awal penulisan)
karena merupakan sebutan paling popular institusi pendidikan tradisional Islam
kawasan Melayu, juga menjadi sebutan yang lazim dari masyarakat Banjar pada
umumnya dan Banjar Hulu pada khususnya.
Punduk dengan pesantern mempunyai perbedaan cukup banyak. Pertama,
dalam proses sejarah pemunculannya punduk lebih bernuansa Timur Tengah,
tanpa ada pengaruh signifikan dari institusi Hindu-Budha (karena agama Hindu-
5
Karel A. Steebrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 94.
6
Muhammad Najid, Ed., Demokraso dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Yogyakarta:
LKPSM NU, 1996), h, 130.
61
Budha di Kalimantan Selatan tidak begitu mengakar), meskipun masih terasa kuat
berakar pada tradisi local, sedangkan pesantren nyata-nyata merupakan
persambungan institusi pendidikan Hindu-Budha yang disebut mandala dan
asymara
yang
berada
jauh
di
pegunungan.
Kedua,
dalam
proses
pembangunannyan punduk bukan didirikan tuan guru semata-mata, tetapi juga
atas partisipasi masyarakat bahkan tanahnya merupakan pemberian sultan dari
kerajaan Banjar dan dibantu masyarakat dan menggarap dan mengolahnya lahan
produktif, sehingga punduk tidak merupakan milik mutlak tuan guru, melainkan
tuan guru bersama masyarakat yang memilikinya, sedangkan pesantren memakai
kiai yang mendirikannya karena ia pada umumnnya tuan tanah yang sangat kaya
sehingga pesantren memang mutlak menjadi miliknya, tidak heran jika posisi kiai
dan pesantrennya bagaikan posisi raja dengan istananya. Ketiga, dalam pola
kepemimpinannya, di dalam punduk tuan guru tidak berkuasa mutlak terhadap
murid-muridnya, tetapi berbagi kuasa dengan tuan guru yang berada di luar
punduk sekalipun, sehingga hubungan guru-murid meskipun tidak sampai
mencapai taraf kemitraan terasa cukup dialogis, kehormatan murid terhadap
gurunya terbatas samapi diguru semata-mata tidak sampai ke anak cucuketurunannya, sedangkan di dalam pesantren kiai berkuasa mutlak terhadap santrisantrinya, ia harus selalu ditaati tanpa reserve, tidak boleh dikritik apalagi sampai
didemontrasi santrinya, santri harus patuh bak mayat yang diperlakukan apa saja
oleh pemandinya, hubungan kiai dengan santri merupakan hubungan patron-klan
atau tuan hamba yang bersifat doktriner, otoriter dan tidak dialogis, sehingga
santri tidak saja harus sangat menghormati kiainya tetapi sekaligus juga
62
menghormati anak-cucu-keturunan dan keluarganya. Keempat, dalam karakternya,
punduk agak inklusif membiarkan murid-muridnya mengaji tidak semat-mata
terikat kepada satu tuan guru, tetapi beberapa tuan guru bahkan tuan guru diluar
sekalipun tidak terlarang, sedangakan pesantren sangat ekslusif, santri-santrinya
mengaji terikat ketat pada satu kiai atau paling dua-tiga kiai saja, tidak dibiarkan
mengaji pada banyak kiai, apalagi mengaji pada banyak kiai dari luar sangat
dilarang. Kelima, dalam relasinya keluar, punduk tidak mengasingkan diri dengan
masyarakat sekitarnya bahkan terkadang begitu menyatu karena masyarakat
merasa ikut memilikinya, sedangkan pesantren meskipun tidak tertutup sama
sekali dengan masyarakat sekitarnya, tetapi terasa sekali sengaja membuat jarak
yang jelas dan tegas, mungkin dalam rangka menjaga lingkungan pesantren dari
pengaruh luar yang tidak kondusif.7
Arsyad berperan dalam pembaharuan institusi pendidikan di Kalimantan
Selatan dengan mengenalkan institusi pendidikan semi formal pertama dalam
masyarakat, di mana pengajian dikonsentrasikan dalam satu kompleks dan ilmu
agama yang diajarkan lebih luas dan lebih mendalam.
b). Periode Pembangunan dari tahun 1931 – 1975.
Pada saat lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar ini dipimpin oleh
GH. M. Thoha bin H. M. Sa'ad (Qadhil Qudhat) pada zaman Belanda, didirikan
Madrasah "Al-Istiqomah" tingkat tahdiri dan tsanawi. Sistem/metode pendidikan
pengajaran mengacu kepada madrasah "Thawalib" di Padang Panjang Sumatra
Barat.
7
Humaidy, "Punduk Darussalam dalam Lintas Sejarah", dalam Jurnal Kebudayaan
Kandil Edisi 2, Tahun 1 (September 2003), h. 68.
63
Pimpinan harian madrasah di percayakan kepada sepupu beliau yang juga
keturunan ke-4 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang pernah belajar di
madrasah Thawalib tersebut diantaranya: Guru Muhammad Anwar bin
Abdurrahman dan dibantu oleh Guru H. M. Hasan yang kemudian menjadi Qadhi
di Martapura.
Selama kepemipinan GH. M. Thoha bin H. M. Sa'ad diadakan perubahan
di bidang pengajaran yaitu disamping diajarkan ilmu-ilmu agama diajarkan pula
ilmu pengetahuan umum dan eksakta dengan menggunakan buku yang berbahasa
Arab dan bahasa pengantarnya pun menggunakan bahasa Arab dalam kurikulum
dan tahun belajar di lembaga pendidikan ini dibagi tingkatan tertentu yaitu:
Awaliyah, Wustha dan "Ulya. Kemudian nama madrasah "Al-Istiqomah" diganti
dengan "Madrastusysyar'iyah". Pergantian nama ini disesuaikan dengan tuntutan
zaman ketika itu, saat tentara Jepang memasuki Martapura tepatnya tanggal 8
Desember 1942 situasi menjadi berubah. Dai Nippon menggunakan kekuasaannya
sehingga seluruh partai dan organisasi massa dibubarkan, bahkan nama lembaga
pendidikan Islampun harus menggunakan bahasa Jepang "Kai Kjo Gakko".
Dengan kondisi seperti ini, madrasah "Al-Istiqomah terpaksa mengikuti ketetapan
ini asalkan bisa menyelenggarakan pendidikan sebagaimana semula.
Setelah kemerdekaan dapat dicapai, pertumbuhan lembaga pendidikan
Islam Dalam Pagar mendapat angin segar namun tidak diiringi dengan jumlah
tenaga pengajarnya. Hal ini disebabkan oleh K. H. Salman Jalil dan K. H.
Abdurrahman Ismail melanjutkan pendidikan beliau ke kota Mekkah selama 12
tahun. Setelah datangnya K. H. Salman Jalil dan K. H. Abdurrahman Ismail dari
64
kota Mekkah mereka menerus kembangkan lembaga pendidikan Islam Dalam
Pagar yang sempat mandek yang disebabkan oleh peristiwa perang.
Dengan bantuan dan binaan Tuan Guru K. H. Zainal Ilmi. K. H. Salman
Jalil dan K. H. Abdurrahman Ismail mulai memperbaiki gedung-gedung madrasah
dengan bantuan hasil swadaya masyarakat murni dengan ukuran 14 m x 10 m
yang dapat menampung 2 lokal belajar dan 4 kantor.
Walaupun pendidikan formal telah berdiri, tetapi tidak menghilangkan
rutinitas kaji duduk yang telah berjalan sebelumnya. Pada tahun 1950
Madrastusysyar'iyah banyak mengeluarkan kader-kader ulama yang terkemuka,
di antaranya ada yang jadi guru, qadi pengadilan agama dan lain sebagainya.
Pada tahun 1956 Madrastusysyar'iyah di ganti dengan nama "Sullamul
'Ulum", dengan tingkatan ibtidaiyah 6 tahun, dan tsanawiyah 3 tahun. Tahun 1960
Sullamul 'Ulum menambah jenjang pendidikan lagi, menjadi:
1). Majelis Ta'lim pada malam hari.
2). Madrasah tingkat Taman Kanak-kanak Al-Qur'an.
3). Madrasah tingkat Ibtidaiyah. Pada tingkat ini madrasah di bagi dua,
yaitu: diniyah (khusus agama), dan asriyah (kurikulum pemberintah).
4). Madrasah tingkat Tsanawiyah.
5). Madrasah tingkat Aliyah.
Bergantinya nama lembaga pendidikan tidak mengakibatkan rutinitas kaji
duduk terhenti melainkan tetap berjalan seperti biasa.
65
Pada tahun 1967 didirikanlah asrama khusus untuk santri, namun asrama
tersebut tidak mampu menampung semua santri, sehingga ada santri yang masih
tetap tinggal di rumah guru-guru dan bahkan di rumah penduduk.
c). Periode Pengembangan dari Tahun 1975 – 2006.
Ketika Pemerintah RI lewat SKB Tiga Menteri tahun 1975 menggalakkan
lembaga pendidikan madrasah dan mensejajarkan statusnya dengan sekolah
umum.8 Berdasarkan ketetapan tersebut, lembaga pendidikan Dalam Pagar pada
tahun 1978 ketika masih pimpinan masih dipegang GH. Abdurrahman Ismail,
menyelenggarakan lembaga pendidikan madrasah yakni madrastusysyar'iyah.
Madrastusysyar'iyah dengan mengikuti binaan Kandepag Kab. Banjar,
maka madrasah ini bernaung di bawah pondok pesantren Sullamul Ulum yang
kemudian hari Ponpes diberinama oleh GH. Abdul Hamid Syarwani pimpinan
Ponpes ketika itu dengan Ponpes "Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari".
Karena tingkat ibtidaiyahnya tidak diajarkan pengetahuan umum dan usia
serta pengetahuan agama santrinya yang kelas 4, 5 dan 6 serta murid kelas 1, 2
dan MTs atau SLTP, oleh kepala madrasah ini H. M. Fadhil Zein dijadikan
Madrasah Diniyah Wustha sesuai dengan rekomendasi dari Kandepag Kab.
Banjar.
8
Isi dari SKB Tiga Menteri di antaranya: Bab I ayat 2 menyatakan bahwa madrasah
meliputi tiga tingkatan yang tingkat Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar, tingkat
Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama, dan Madrasah Aliyah setingkat dengan
Sekolah Menengah Atas. Selanjutnya Bab II pasal 2 disebutkan bahwa ijazah madrasah
mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, lulusan madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan siswa madrasah dapat berpindah ke
sekolah umum yang setingkat. Sedang mengenai pengelolaan dan pembinaan dinyatakan dalam
Bab IV pasal 4 berisi pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama RI, pembinaan mata
pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama, pembinaan dan pengawasan mutu
pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersamasama Menteri Dalam Negeri. M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 58.
66
Jadi Depag RI mengenal : Madrasah Islam Swasta 6 tahun, Madrasah
Tsanawiyah 3 tahun, dan Madrasah Aliyah 3 tahun dengan studi pelajaran agama
sama dengan pelajaran umum 75 %, serta Madrasah Diniyah Awaliyah 4 tahun,
Madrasah Diniyah Wustha 3 tahun, Madrasah Diniyah 'Ulya 3 tahun dengan studi
pelajaran agama 100 %. Dan pelajaran umum 0 %.
Dengan demikian para santri bukan saja bisa belajar ilmu agama tetapi
juga bisa mengecap ilmu-ilmu pelajaran umum, hal ini disebabkan karena Ponpes
"Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari" membuat suatu trobosan dengan
menawarkan sistem salafiyah dan khalafiyah yang dikolaborasikan secara lebih
optimal dengan mengikuti sistem madrasah. Tujuan pembelajaran sudah tersusun
dengan sistematis. Materi pelajaran selain 60 % materi agama dan bahasa Arab
dan kurikulum pesantren ditambah 40 % mata pelajaran umum sesuai dengan
kurikulum madrasah dari Departemen Agama. Proses belajar mengajar
dilaksanakan dengan sistem klasikal, dengan menggunakan metode pembelajaran
yang lebih variatif dan inovatif. Sistem evaluasi menggunakan tes lisan dan
tulisan, baik evaluasi yang diselenggarakan oleh Pesantren sendiri maupun dengan
mengikuti ujian Negeri, sehingga pada akhirnya mendapat syahadah dan ijazah
Negeri.
2. Metode
Metode dalam bahasa Inggris methode dari bahasa Latin methodus dan
Yunani methodos, meta artinya sesudah dan di atas hodos artinya suatu cara.9
Metode pengajaran berarti cara-cara pelaksanaan dari proses pengajaran atau soal
9
L. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 1991),
h. 10.
67
bagaimana tekhnisnya sesuatu bahan pelajaran diberikan kepada murid-murid di
sekolah (termasuk punduk) untuk mencapai tujuan.10
Metode Arsyad dalam proses pengajarannya bisa dikategorikan dalam dua
arah, yakni metode makro dan metode mikro yang pada dasarnya hanya lebih
memperkaya, meningkatkan kualitas dan sedikit memberi hal-hal baru pada
metode pengajaran dari institusi pendidikan lama.
a. Metode Makro
1). Kontekstualistik
yakni
metode
memindahkan
dan
mengembangkan suatu teks atau nilai dari yang rumit, lambat dan individual
menjadi praktis, cepat dan massal. Dalam konteks pengajaran Arsyad adalah
berbagai teks disiplin ilmu pengetahuan Islam pada zamannya yang terbungkus
dalam bahasa Arab, dipindah, diolah dan dimodifikasi menjadi bahasa Melayu,
dalam bentuk terjemahan, syarah, kompilasi, seleksi, kreasi atau gabungan, baik
satu antara dua, sampai tiga maupun semuanya.
2). Migrasianistik yakni pengajaran yang menganjurkan atau bahkan
mewajibkan murid-murid yang sudah dianggap selesai dan mampu untuk
bermigrasi atau merantau ke berbagai daerah atau sampai ke luar negeri.
3). Sentralistik yakni metode memusatkan pengajarannya pada satu
kompleks yang jauh dari keramaian kota, yang pada masa sebelumnya belum
pernah ada dan belum ada orang yang melakukannya.
10
B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1977),
h. 149.
68
4). Integralistik yakni metode baru yang sebelumnya belum pernah
dilakukan yang ingin menyelaraskan lingkungan pengajaran di punduk (sekolah),
lingkungan pengajaran rumah tangga dan lingkungan pengajaran masyarakat.
5). Gradulistik yakni metode penjenjangan dalam mengajarkan ilmu
pengetahuan, terutama pengetahuan agama. Metode ini bukan metode baru dan
pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Arsyad menerapkan metode ini
dalam pengajarannya dengan dua segi pentahapan yakni pertama dari sudut
pemberian materi pengajaran lebih mendahulukan ilmu tauhid, baru ilmu fiqih,
setelah itu menyusul ilmu tasawuf.
6). Klasifikalistik yakni metode pengajaran yang menggolonggolongkan murid berdasarkan atas pertimbangan berbagai perbedaan. Dalam hal
ini Arsyad menggolongkan murid-muridnya berdasarkan jenis kelamin, bakat dan
tingkat kecerdasan.
b. Metode Mikro
1). Uswatun Hasanah yakni metode pengajaran di mana guru lebih
dahulu membentu dirinya patut atau ideal untuk menjadi teladan bagi muridmuridnya. Pembentukan diri itu dapat ditempuh dengan meningkatkan wawasan
keilmuan, kesalehan, pengabdian, dedikasi dan integritas moral.
2). Halaqah yakni metode pengajaran di mana tuan guru membaca
sebuah kitab disekelilingnya duduk para murid mendengarkan, memperhatikan
69
menyimak sambil memberikan catatan seperlunya pada beberapa kata Arab yang
belum dimengerti maknanya.11
3). Sorogan yakni metode di mana murid menghadap guru bergiliran
satu persatu dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode ini dalam
dunia modern dinamakan dengan istilah toturship atau mentorship.12
4). Ceramah yakni metode penyampaian pesan dan informasi (materi
pengajaran) kepada murid secara satu arah yang dilaksanakan dengan lisan atau
lewat suara oleh guru.
5). Tanya-Jawab yakni metode pengajaran dimana guru bertanya
materi pelajaran baik yang sudah, sedang maupun yang akan diajarkan, sedangkan
murid-murid menjawabnya, Arsyad dalam beberapa karangannya kelihatan sangat
gemar menggunakan metode tanya-jawab, misalnya pada kitab Sabi al-Muhtadin,
Luqtah al-Ajlan dan Tuhfah ar-Ragibin, hamper dalam setiap bab ditemukan data
yang memuat tanya-jawab permasalahan.
6). Diskusi yakni metode pengajaran dimana proses interaksi dan
komunikasi dua arah atau lebih terjadi, melibatkan guru dan murid untuk
memecahkan masalah dan mengambil kesimpulan.
7). Penugasan yakni metode pengajaran dimana guru memberikan
tugas kepada murid-muridnya berupa materi keilmuan dan keterampilan agar
dikerjakan dan diselesaikan dalam waktu tertentu.
8). Drill yakni metode pengajaran mata pelajaran yang lebih dominan
praktik atau latihan daripada teori.
11
Muhmis Baderi, "Profil Pesantren di Kalimantan Selatan", makalah seminar Profil
Pendidikan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan, 11-12 September 1986 di Banjarmasin, h. 6.
12
Baderi, loc. cit.
70
9). Takhassus yakni metode khusus dalam pengajaran dimana guru
secara intens mengontrol, banyak memberi nasihat, menuntun dan membimbing
murid-muridnya dalam melakukan suluk, khalwat atau latihan spiritual.
Semua metode pengajarannya baik yang makro maupun mikro
dilaksanakan satu persatu atau digabung satu, dua, tiga atau lebih dalam satu
waktu dan tempat. Yang jelas metode pengajarannya ini memperbaharui metode
pengajaran lama dalam artian memperkaya, mengembangkan, meningkatkan dan
memberikan tambahan baru yang sangat bermakna.
3. Materi
Sebelum kedatangan Arsyad, materi pelajaran agama masih sangat
sederhana. Dalam pengajian al-Qur'an sekedar membaca, menghapal dan
melagukan. Dalam pengajaran fiqih terbatas aturan shalat, wudhu dan berdo'a.
Mungkin hanya dalam pelajaran tasawuf yang sudah cukup mendalam karena
sampai tingkat wihdatul wujud, meskipun diragukan tingkat pemahamannya
karena tidak didukung oleh pemahaman tauhid dan fiqih yang mendalam sebagai
bagian atau tahap penting yang harus dilalui oleh orang-orang beriman.
Memasuki zaman Arsyad (ketika sudah pulang dari Haramain), materi
pelajaran agama mengalami pendalaman dan perluasan. Dalam pengajaran di
samping membaca, menghapal dan melagukan juga diiringi dengan pelajaran
bahasa Arab, tafsir, tajwid sekaligus khat dan kaligrafi. Yang disebut terakhir
merupakan salah satu keahlian Arsyad, karena hasil tulisan tangannya sampai
sekarang masih bisa kita nikmati keindahannya. Dalam pengajaran fiqih sudah
tersusun sangat sistimatis dan thaharah sampai haji dengan tambahan-tambahan
71
kasus-kasus local seperti hukum memakan amal wanyi (lebah) dan haliling
(sejenis siput darat). Dalam pengajaran tauhid sudah dibicarakan berbagai aliran
teologi dalam Islam, konsep tentang iman dengan segala seluk beluknya termasuk
kebalikannya yakni konsep kafir, musyrik, murtad, zindiq, bid'ah, mubadzir dan
kepercayaan menyimpang lainnya. Dalam pengajaran tasawuf, ia lebih memilih
tasawuf yang masih bisa diterima syariat ketimbang yang bertentangan. Ia juga
mengajarkan ilmu falaq sebagai cabang ilmu keahliannya dan keterampilan
bertani dan membuat irigasi.
Sementara kitab-kitab pelajaran yang ia gunakan dalam pelajaran,
mungkin tidak semata-mata hasil dari beberapa buah karyanya, melainkan juga
buah karya ulama-ulama lain. Hal ini senada dengan sinyalemen Martin bahwa
kitab yang digunakan di kawasan Melayu, biasanya karya-karya orisinil ulama
Melayu. Sudah barang tentu Arsyad juga menggunakan kitab-kitab berbahasa
Arab secara langsung, terutama karya-karya ulama madzhab Syafi'i dalam fiqih,
madzhab ahlussunnah dalam tauhid dan tasawuf.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Masa Keemasan dan Kemunduran
Lembaga Pendidikan Islam Dalam Pagar
Pada pembahasan ini peneliti akan mengemukakan tiga faktor yang
mempengaruhi masa keemasan dan kemunduran lembaga pendidikan Islam
Dalam Pagar. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor tokoh, faktor lingkungan dan
faktor kesinambungan dan perubahan. Hal ini peneliti lakukan sesuai dengan
pembatasan masalah. Secara sistematis faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
72
1. Tokoh-tokoh
Keberhasilan transmisi dan sosialisasi ajaran Islam salah satunya
ditentukan oleh hadirnya lembaga pendidikan Islam, di samping melalui
pendekatan politis, kultural, perkawinan dan perdagangan. Kita mengenal surau di
Sumatra Barat, rangkang dan meunasah di Aceh, langgar di Jakarta, tajuk di Jawa
Barat, pesantren di Jawa, dan lain-lain. Lembaga-lembaga pendidikan Islam
tersebut tidak bisa dipisahkan dari peran yang sangat signifikan dengan cara
mengembangkan sistem pendidikan, visi dan misi yang harus diperjuangkan,
kurikulum, bahan ajar seperti buku dan kitab, sarana prasarana, etos keilmuan,
sumber dana, kualitas lulusan, dan lain-lain.
Terjadinya proses kegiatan pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan
dari peran tokoh sebagai aktor utamanya. Gerakan pendidikan Islam tersebut
merata di seleruh kepulauan di Indonesia, yaitu mulai dari Aceh, Sumatra Barat,
Jambi, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, hingga ke pulau Jawa, Sulawisi, Nusa
Tenggara, Kalimantan, dan Maluku. Melalui lembaga-lembaga dimaksud telah
mampu mencetak kader-kader yang selanjutnya memimpin perjalanan kehidupan
bangsa.
Upaya gerekan pendidikan ini berlangsung dari sejak zaman
prakemerdekaan hingga zaman kemerdekaan dan zaman modern seperti sekarang
ini. Gerakan pendidikan tersebut selain mendapat pengaruh dari dalam negeri,
juga dipengaruhi oleh gerakan yang berkembang di Timur Tengah seperti Saudi
Arabia (Makkah), Mesir, Turki, India, dan sebagainya. Pengaruh ini terjadi karena
73
adanya hubungan yang kuat antara ulama yang ada di kepulauan nusantara dengan
ulama-ulama yang ada di Timur Tengah.
Dalam menatap, merancang dan menyiapkan visi, misi dan strategi
pendidikan Islam di era globalisasi yang penuh tentangan ini, umat Islam
ditantang untuk berpikir dan bekerja lebih keras lagi. Umat Islam harus mampu
merumuskan konsep pendidikan yang sesuai dengan zamannya. Upaya ini
menuntut adanya pemikiran, gagasan, dan saran-saran yang konstruktif. Umat
Islam perlu melihat dan belajar serta bersikap terbuka terhadap gagasan dan
pemikiran yang datang dari manapun.
2. Lingkungan
Seiring dengan perkembangan zaman, dunia pendidikan pun semakin
berkembang, Jika pada masa sebelumnya pendidikan tidak menekankan pada
pentingnya institusi, maka pada fase berikutnya lebih mengedepankan peran
institusi.
Tidak mengherankan jika pendidikan Islam tradisional pun pada akhirnya
mengikuti model pendidikan yang lebih terorganisasi, sehingga diterapkannya
sistem kelas, kurikulum, biaya pendidikan, dan sistem penggajian guru.
Ketika model pendidikan Islam tradisional ala pesantren dikenal secara
luas, maka hal itu juga sekaligus memperkenalkan model pendidikan Islam
tradisional terinstitusi kepada masyarakat lokal, walaupun tidak terlalu modern,
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa institusi pendidikan Islam
tradisional yang bermunculan, misalnya seperti Normal Islam di Amuntai dan
Pesantren Darussalam di Martapura, kemudian pada awal dekade 80-an mulai
74
bermunculan pula pesantren-pesantren serupa, meskipun pada umumnya lebih
menekankan ciri tradisionalnya.
Kemudian pada pertengahan 80-an hingga menjelang awal 90-an,
pesantren-pesantren yang mengklaim dirinya modern mulai bermunculan, yang
pada umumnya merupakan cabang dari pesantren di Jawa, adapun ciri khasnya
yaitu, dengan mengajarkan bahasa Inggeris kepada santrinya.
Dengan pesatnya perkembangan pesantren, maka dengan sendirinya peran
mengaji duduk secara perlahan-lahan mulai tergusur, istilah tuan Guru pun mulai
jarang terdengar, di samping keberadaan para tuan guru semakin langka, apalagi
di daerah yang sudah tergolong perkotaan. Peran tuan Guru tampaknya tidak
hanya tergusur oleh keberadaan pesantren-pesantren, tetapi juga direbut oleh jalur
pendidikan formal umum serta lembaga pendidikan agama yang sudah
di negerikan. Selain itu terkait pula dengan adanya perubahan minat masyarakat
yang lebih senang menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah umum
milik pemerintah ataupun swasta.
Kecenderungan para orang tua menyekolahkan anak-anaknya pada
sekolah-sekolah formal terkait dengan perubahan cara pandang mereka dalam
melihat dunia pendidikan. Pada umumnya para orang tua mengaitkan pendidikan
dengan lapangan pekerjaan, sehingga mereka beranggapan bahwa alumni sekolahsekolah formal lebih mudah dalam mencari pekerjaan.
Fenomena di atas semakin menjauhkan perhatian masyarakat terhadap
penting tidaknya keberadaan mengaji duduk, karena pendidikan di luar jalur
formal tidak menjanjikan pekerjaan yang "sesuai" dengan kebutuhan masyarakat,
75
pendidikan agama yang formal ataupun non formal tetap dianggap penting, karena
masih diperlukan sebagai bentuk proteksi sosial terhadap nilai-nilai yang
dianggap asing secara kultural.
Trend di atas pada satu sisi memang mengandung nilai positif, namun
pada sisi yang lain lebih menekankan pada sosok kharismatis seorang guru,
meskipun hal itu bisa ditolerir dalam konteks lokal, tetapi bagaimanapun
membekali anak-anak muda dengan penguasaan ilmu agama yang lebih serius
dengan segala perangkat ilmu alat-nya tetaplah penting.
Terlepas dari trend di atas, bagaimanapun masyarakat lokal harus
menghargai mengaji duduk sebagimana sebuah bentuk pendidikan lokal non
formal yang telah banyak melahirkan banyak ulama.
Selain itu ada pula dimensi spiritual mengaji duduk yang mengandung
nilai positif, dan tidak bisa diremehkan begitu saja, yaitu bagaimana seorang tuan
Guru mengajar berdasarkan nilai-nilai kesalehan., di mana keikhlasan merupakan
bagian yang include di dalamnya. Dalam pandangan tradisional mereka benarbenar guru sejati tanpa tanda jasa, karena tidak menekankan unsur-unsur
komersialitas dalam pendidikan.
Begitu juga seorang murid dalam pandangan tradisional, adalah orang
yang menjunjung nilai-nilai kesalehan, yang tujuannya tidak hanya pada hal-hal
yang duniawi saja, tetapi pada tujuan-tujuan ukhrawi. Namun ketika masyarakat
sudah beralih orientasi, maka nilai-nilai sacral dalam pendidikan agama lokal
mengalami pengeroposan. Secara umum orientasi pendidikan bergeser dari
memperoleh ilmu kepada ijazah.
76
3. Kesinambungan dan Perubahan
Bentuk pendidikan pada masa-masa awal masuknya Islam di
Kalimantan Selatan hingga beberapa abad belakangan, tampaknya memiliki ciri
khas yang lebih menekankan sisi non formalnya, yaitu tidak mengutamakan
adanya kehadiran istitusi formal dalam menyelenggarakan aktivitas pendidikan.
Sebagai masyarakat yang dikenal religius, umumnya masyarakat Banjar
tradisional lebih memahami pendidikan sebagai sesuatu yan tidak terlepas dari
agama, sehingga kadang-kadang dalam sudut pandang tradisional pendidikan
formal yang lebih berorientasi pada ilmu-ilmu non agama dianggap sebagai suatu
stigma.
Prinsip-prinsip
teologis
dalam
masyarakat
ketika
memandang
pendidikan begitu kuat diterapkan, sehingga semua aktivitas pendidikan yang
berhubungan dengan pendidikan dipandang memiliki hubungan yang sakral
dengan perintah-perintah Tuhan. Dengan ungkapan lain setiap aktivitas
pendidikan dipandang juga sebagai perbuatan yang sangat mulia. Tidak
mengherankan pula jika ada orang yang berprofesi sebagai Tuan Guru atau
Mu'allim dipandang sebagai sebuah pekerjaan yang terhormat.
Profesi sebagai Tuan Guru atau Mu'allim di atas, tentulah berdasarkan
qualifikasi keilmuan yang dimilikinya, biasanya dalam masyarakat Banjar
tradisional pengakuan terhadap seseorang Tuan Guru atau Mu'allim didasarkan
pada criteria, apabila ia telah lama menuntut ilmu di tanah Suci Mekkah, atau
paling tidak berguru pada Tuan Guru-Tuan Guru lokal yang dianggap sangat 'alim
77
dalam berbagai cabang ilmu agama, khususnya dalam prihal ilmu-ilmu lahir dan
ilmu-ilmu batin.
Kemudian menjelang abad ke-20 hingga sekarang kiblat keilmuan
masyarakat Banjar mengalami pergeseran, yaitu dari Mekkah ke Mesir,
khususnya Universitas al-Azhar, dan penekanan studinya pada fiqh dan teologi.
Umumnya para calon Tuan Guru yang menuntut ilmu ke sana terlebih dahulu
menempuh jalur pendidikan formal, karena untuk masuk universitas tersebut
diperlukan syarat formal, yaitu berupa ijazah.
Kedudukan para Tuan Guru dalam masyarakat Banjar tradisional
tergolong dominan meskipun tanpa institusi, sebagai gantinya adalah majelis
pengajian. Pada dasarnya mereka juga adalah ulama atau qadhi yang memiliki
hubungan dengan kekuasaan (meskipun tidak semua) maupun pada bagian lapisan
masyarakat.
Mengenai besar kecilnya pengaruh Tuan Guru di tengah masyarakat
Banjar tradisional, tidak hanya ditentukan oleh qualifikasi keilmuan saja, tetapi
juga tergantung seberapa besar kharisma yang dimiliki oleh Tuan Guru, serta
berapa banyak jumlah jamaahnya.
Adapun jenis pengajian yang berkembang pada masyarakat Banjar
tradisional tergantung pada orientasi Tuan Guru dan kecenderungan masyarakat
yang berkembang pada saat itu. Jenis pengajian yang pertama adalah lebih kepada
pemenuhan kebutuhan spiritual masyarakat, sedangkan jenis pengajian yang
kedua lebih menekankan pada keahlian dalam bidang ilmu agama, dalam hal ini
seorang murid sangat dituntut keseriusan dan ketentuannya dalam mendalami
78
ilmu-ilmu agama, untuk bisa mencapai tujuan tersebut seorang murid harus
mengusai yang namanya ilmu alat, yaitu ilmu bahasa, lebih spesifiknya adalah
bahasa Arab (yang berhubungan dengan ilmu nahwu dan sharaf). Dengan
menguasai ilmu alat, maka seorang murid diharapkan bisa mengusai berbagai
cabang ilmu agama, dan para muridnya diharapkan bisa menguasai berbagai
cabang ilmu agama, dan para murid inilah nantinya yang menjadi Tuan GuruTuan Guru lokal, yang merupakan penyambung estafet keberlanjutan pengajaran
agama di kampung-kampung.
Jenis model pengajaran yang besifat lokal pada masyarakat Banjar,
sebagaimana yang dimaksud di atas sudah berlangsung lama dari generasi ke
generasi, inilah yang disebut dengan mengaji duduk. Pengajian-pengajian ini
biasanya dilaksanakan di rumah-rumah para Tuan Guru, para murid pun datang
silih berganti untuk belajar kepada Tuan Guru berdasarkan waktu-waktu yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak, serta sesuai dengan tingkatan kitab yang
dipelajari.
Model pengajian ini disebut dengan mengaji duduk karena Tuan Guru
dan murid berada dalam posisi duduk di lantai (balapak), serta saling berhadaphadapan. Jika jumlah murid tergolong banyak, maka posisi duduk bisa dalam
bentuk lingkaran. Adapun menyangkut peralatan sangat bersifat sederhana, yaitu
meliputi pensil, buku tulis, kitab yang dipelajari, bangku kecil tempat meletakkan
kitab saat belajar atau memakai papan tulis.
79
Seorang murid dalam menempuh pelajarannya dalam mengaji duduk
kadang-kadang berlangsung relatif lama, karena banyaknya kitab yang harus
dipelajari serta banyaknya cabang ilmu agama yang harus dikuasai.
Selain itu, metode pengajaran seorang Tuan Guru yang sangat berbeda
dengan metode pengajaran modern, juga turut memperlama masa belajar seorang
murid. Dalam metode tradisional ini peran Tuan Guru sangat dominan, di mana ia
harus membimbing para muridnya dalam membaca teks-teks yang terdapat dalam
kitab-kitab pelajaran agama yang berbahasa Arab secara telaten, yaitu dari baris
perbaris hingga menamatkan sebuah kitab, dan akhirnya para murid bisa mandiri
dalam mempelajari teks-teks yang lain.
Setelah sekian lama para murid menuntut ilmu (mengaji duduk) pada
seorang Tuan Guru, maka mereka akan memperoleh ijazah, yang umumnya bisa
berupa pengakuan lisan dari Tuan Guru yang mengajarkan, yang isinya
menyatakan bahwa si murid telah selesai menerima pengajaran dalam kitab-kitab
tertentu. Kadang-kadang ketika mendekati tahap akhir pengajaran sebuah kitab,
ada semacam upacara salamatan yang dikenal dengan balamat, sehingga seorang
murid memperoleh kemantapan secara spiritual dalam meresapkan ilmu
pengetahuan yang dperolehnya, meskipun tradisi ini jarang dilakukan. Adapun
pemberian ijazah yang lebih istimewa, seorang murid tidak hanya donyatakan
selesai dalam menerima pelajaran, tetapi juga menerima semacam lisensi untuk
mengajarkan kitab tersebut kepada orang lain, pemberian ijazah seperti ini
biasanya tergantung kepada kualitas kecerdasan sang murid. Selain itu pemberian
ijazah tidak hanya dalam bidang ilmu-ilmu agama yang sudah umam dikenal,
80
tetapi juga menyangkut pengajaran kitab khusus, yang dikenal dengan menyalin
ilmu batin (umumnya berhubungan dengan tasawuf). Dalam menyalin ilmu batin,
seorang murid menerima pengajaran khusus yang terkait dengan pengetahuan
yang berisi pandangan-pandangan ataupun tata cara ritual sufistik.
Seorang murid ketika telah selesai menerima pangajaran dari seorang
Tuan Guru, bisa saja berpindah kepada Tuan Guru yang lain untuk memperdalam
cabang ilmu agama yang lain sesuai dengan keahlian Tuan Guru tersebut, dalam
tradisi mengaji duduk, seorang murid bisa memperoleh banyak Tuan Guru.
Kadang-kadang seorang Tuan Guru ketika sudah selesai memberikan pelajaran
beberapa kitab, kemudian merekomendasikan muridnya untuk melanjutkan
pelajarannya pada Tuan Guru yang lebih ahli, atau menyerahkan pilihan kepada
murid itu sendiri, yaitu mau berguru kepada Tuan Guru siapa saja yang dianggap
sesuai dengan selera murid.
Dalam tradisi mengaji duduk, ada sisi lain yang sangat dijunjung tingi
oleh para murid, yaitu ketaatan pada Tuan Guru. Ketaatan tersebut merupakan
bagian pandangan yang dianggap memiliki nilai sacral dalam pendidikan Islam
lokal, sehingga seorang murid secara individual selalu berusaha menjaga
ketaatannya pada seorang Tuan Guru agar terhindar dari ketulahan, atau yang bisa
dipahami sebagai kualat. Menurut keyakinan lokal ketulahan itu bisa
menimbulakn efek negatif, efek paling ringan adalah seorang murid bisa
kehilangan barakah dari ilmu yang diperolehnya.
Sisi lain lagi yang menarik dalam tradisi mengaji duduk pada
masyarakat Banjar adalah Tuan Guru tidak menuntut bayaran dari para murid
81
yang diajarinya, hanya saja kesadaran para murid untuk memberikan infak kepada
para Tuan Guru tersebut, yang kadang-kadang berupa uang, atau kebutuhan
sandang pangan. Dalam pandangan lokal sosok Tuan Guru adalah mereka yang
secara ikhlas mengajarkan ilmunya kepada masyarakat, yang hanya karena Allah
saja.
Mengenai kitab yang diajarkan oleh para Tuan Guru kepada para murid
cenderung bervariasi, ada yang berupa kitab Arab yang terdiri kitab-kitab dasar
mengenai nahwu (ajrumiyyah, mukhtasar jiddan, kawakib hingga alfiyah ibn
Malik) dan sharaf (dlammun atau yang belakangan kitab tashrif), fiqh (fathul
qarid, bijuri hingga i'anah dan seterusnya pada kitab yang lebih tinggi) dan tauhid
untuk pemula hingga yang lebih mendalam, selain itu diajarkan pula kitab hadis
seperti riyadhusshalihin hingga pada dua kitab shahihnya (Imam Bukhari dan
Muslim yang terdiri dari beberapa jilid). Kemudian ada juga diajarkan kitab-kitab
Arab-Melayu (dasar) seperti kitab parukunan basar, sifat dua puluh, hidayah
al-salikin dan beberapa macam kitab lagi.
Adapun mengenai sejauh mana pengajaran lewat mengaji duduk ini bisa
menghasilkan alumni yang qualified, hal ini dibuktikan dengan penguasaan para
murid terhadap kitab-kitab yang diajarkan kepada mereka, dan kemudian
mengajarkannya kepada lapisan masyarakat. Para murid yang telah dianggap
selesai menuntut ilmu memang kebanyakan menjadi Tuan Guru di kampungkampung di mana mereka bermukim, meskipun ada juga yang menekuni bidang
lain, seperti berdagang dan menggeluti biadang pertanian.
82
Selain mengaji duduk yang telah diuraikan di atas, pengajian lain yang
sebelumnya telah disinggung secara singkat juga tidak kalah pentingnya dalam
masyarakat Banjar, khususnya yang banyak digemari oleh masyarakat awam.
Pengajian ini pada dasarnya adalah pengajian duduk juga, hanya saja pengajian
ini lebih mengarah kepada pengajian jamaah, di mana peserta pengajian tidak
disyaratkan untuk mengerti tentang ilmu alat, tetapi hanya lebih sebagai mustami'
(pendengar) saja.
Mengaji duduk secara keseluruhan tampaknya lebih populis, di mana
seluruh lapisan masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan pengajaran agama
dari para Tuan Guru yang tersebar di kampung-kampung.
83
84
BAB V
ANALISIS
Berdasarkan uraian dari bab-bab terdahulu, menyangkut pertumbuhan dan
perkembangan lembaga pendidikan Dalam Pagar Kalimantan Selatan yang diterapkan
sejak 1774 – 2006 M dapat disampaikan sebagai berikut:
1. periode perintis dari tahun 1774 – 1931
Periode tahun 1774 – 1931 merupakan suatu permulaan berdirinya lembaga
pendidikan Dalam Pagar oleh Muhammad Arsyad sampai akhir hayat beliau
diteruskan kemudian oleh anak cucu zuriat Syekh Muhammad Arsyad.
Ditinjau dari pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan di Dalam
Pagar masih berbentuk pendidikan non formal adapun metode yang digunakan ialah
dalam bentuk pengajian, dan pengajian tersebut langsung dipimpin/dilaksanakan oleh
Syekh Muhammad Arsyad dan hal ini berlangsung terus menurus dijalankan oleh
anak cucu zuriat Syekh Muhammad Arsyad hingga tahun 1913.
Sedangkan proses pembelajaran yang dilaksankan pada periode ini adalah
sistem halaqah ketika pengajian masih dilaksanakan di rumah Muhammad Arsyad
dan anak cucu zuriat beliau. Metode halaqa ini terbukti mampu menjadi jembatan
untuk mentrasfer ilmu dari seorang kyai/guru kepada santrinya secara optimal, karena
pada saat menyampaikan materi posisi duduk kyai/guru berada pada titik sentral
pandangan santri sehingga perhatian mereka hanya tertuju kepada kitab yang mereka
pegang dan kyai di depan mereka yang sedang membacakan, menterjemahkan
kemudian menjelaskan materi yang diajarkan. Namun disamping itu, metode ini juga
memiliki kelemahan diantaranya kyai melaksanakan pembelajaran secara monoton
sehingga keaktifan dari santri terasa minim bahkan dapat dikatakan tidak ada, mereka
hanya memperhatikan setiap kata yang dibacakan kyai dari kitab yang dipelajari
sambil memberi harkat dan mencantumkan arti/terjemahan dari setiap kata tersebut,
sehingga kitab kuning yang dipelajari penuh dengan "jenggot" terjemahan. Ketika
proses pembelajaran dipindahkan ke sebuah langgar, sistem yang digunakan
kemudian beralih menggunakan sistem klasikal. Meskipun sistem klasikal namun
materi yang diajarkan tetap tidak berubah seperti yang diajarkan seperti di rumah.
Beliau mencoba menggabungkan beberapa metode yang ada seperti sorogan,
bandongan, menghafal, dan sebagainya dalam upaya menanamkan kecintaan kepada
ilmu-ilmu Agama. Media pembelajaran pada periode ini sudah mulai digunakan
seperti alat tulis, batu kapur, buku, pensil dan sebagainya walaupun sarana yang
sangat sederhana. Metode ini membawa angin segar bagi perkembagan lembaga
pendidikan ini selanjutnya.
Pada periode perintis, sistem yang digunakan adalah salafiyah atau
tradisional. Karena pembelajaran diberikan dengan sistem halaqah, sorogan dan
bandongan, tanpa kelas (meskipun ketika pembelajaran pindah kelanggar
menggunakan sistem klasikal namun materi dan metode yang digunakan masih tetap
sistem halaqah) dan tanpa batas umur. Dan materi pelajaran yang diajarkan
semuanya adalah materi yang diajarkan 100 % pelajaran Agama dan Bahasa Arab,
dan sistem evaluasi subjektif, belum berbentuk tes tertulis dan belum mengeluarkan
ijazah tertulis.
2. Periode pembangunan dari tahun 1931 – 1975
Pada periode ini terjadi pembaharuan besar dalam materi pelajaran yang
diajarkan di lembaga pendidikan ini, yakni memasukkan pelajaran umum ke dalam
kurikulum selain materi pelajaran agama, materi pelajaran umum tersebut
menggunakan buku yang berbahasa arab dan disampaikan dengan berbahasa Arab
pula. Pembaharuan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang lengkap dan
membuka wawasan berpikir para santri akan hal hal-hal lain selain ajaran-ajaran
agama. Pelajaran umum tersebut sebagai pelengkap dari ilmu-ilmu keagamaan yang
telah mereka ketahui sebelumnya.
Pembaharuan ini dibawa oleh ulama-ulama yang pulang dari menuntut ilmu
di madrasah "Thawalib" di Padang Panjang Sumatra Barat. Mereka datang membawa
sistem yang diajarkan di sana dan sistem itu memang yang terbaik pada saat itu.
Sistem pembelajaran yang diterapkan madrasah "Thawalib" tersebut, pada dasarnya
adalah seperti sistem pengajaran yang diterapkan di Timur Tengah. Begitu pula kitabkitab yang digunakan semuanya kitab-kitab klasik yang berasal dari Timur Tengah.
Senada yang diajarkan Syekh Muhammad Arsyad, namun ditambah dengan
mengajarkan pengetahuan umum dalam Bahasa Arab. Dengan 70 % agama ditambah
dengan mata pelajaran umum 30 % yang pada awalnya juga berbahasa Arab adalah
suatu pembaharuan yang menunjukkan suatu keberanian untuk mengambil sesuatu
yang baik dan bermanfaat untuk kemajuan ummat di samping tetap mempertahankan
hal-hal lama yang dianggap baik.
Sistem asrama sebagai salah satu elemen lembaga pendidikan ini dengan
baik, berbagai kegiatan keagamaan disusun dan dilaksanakan bersama-sama. Jumlah
asrama tidak sebanding dengan jumlah santri, sehingga sebagian besar masih menjadi
santri kalong.
Pada periode ini, sistem pembelajaran yang digunakan adalah sistem
khalafiyah. Yaitu dengan sistem klasikal, sudah memiliki kurikulum yang tersusun
rapi dan ada batas umur ditambah dengan pelajaran umum selain pelajaran agama.
Namun di sisi lain, lembaga pendidikan ini juga melaksanakan sistem kalaborasi
digabungnya sistem salafiyah dan khalafiyah, walaupun belum maksimal. Ini terlihat
pada tujuan pembelajaran yang mulai tersusun dengan rapi, materi yang diajarkan
selain mata pelajaran Agama dan Bahasa Arab 70 % ditambah dengan mata pelajaran
umum 30 % yang pada awalnya juga berbahasa Arab. Sistem pembelajaran klasikal
dengan metode gabungan: halaqah, sorongan, bandongan, menghafal, dan
pembiasaan bahasa asing. Sistem evaluasi objektif, berbentuk tes tertulis dan lisan,
sudah mengeluarkan ijazah tertulis (syahadah).
3. periode pengembangan dari tahun 1975 – 2006
Pada periode ini perkembangan lembaga pendidikan Islam di Dalam Pagar
mengembangkan lembaga pendidikan berdasarkan SKB Tiga Menteri tahun 1975.
Dengan satu prinsip selalu terbuka menerima perubahan kearah yang lebih baik
dengan tetap mempertahankan hal-hal lama yang masih relevan, lembaga pendidikan
Islam Dalam Pagar mengikuti ketetapan pemerintah menyelenggarakan pendidikan
dengan sistem madrasah.
Dengan mengikuti sistem madrasah ini, kurikulum pesantren yang selama ini
diterapkan oleh lembaga Islam Dalam Pagar (Ponpes "Syekh Muhammad Arsyad alBanjari") harus menyesuaikan dengan kurikulum madrasah yang sering mengalami
perubahan. Mulai kurikulum 1976 kemudian disempurnakan dengan kurikulum 1984
yang berisi 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Selanjutnya Departemen
Agama memberlakukan lagi kurikulum baru tahun 1994 yang mensyaratkan
penyelenggaraan sepenuhnya 100% kurikulum sekolah-sekolah Depdikbud. Terakhir
muncul kurikulum 2004 dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang
mengehendaki adanya kompetensi dalam kemahiran di segala bidang pada diri
siswanya.
Perubahan kurikulum madrasah tersebut tetap diikuti namun tanpa merubah
kurikulum pesantren sendiri. Meskipun beban pelajaran umum semakin bertambah,
begitu pula alokasi jam pertemuan dalam seminggu menjadi semakin padat, namun
tetap tidak merubah jumlah mata pelajaran dalam kurikulum pesantren yang telah
lama dirintis. Dengan materi pelajaran selain 60 % materi agama dan bahasa Arab
dan kurikulum pesantren ditambah 40 % mata pelajaran umum sesuai dengan
kurikulum madrasah dari Departemen Agama.
Pada periode pengembangan ini, sistem salafiyah dan khalafiyah
dikolaborasikan secara lebih optimal dengan mengikuti sistem madrasah. Tujuan
pembelajaran sudah tersusun dengan sistematis. Dan proses belajar mengajar
dilaksanakan dengan sistem klasikal, dengan menggunakan metode pembelajaran
yang lebih variatif dan inovatif. Sistem evaluasi menggunakan tes lisan dan tulisan,
baik evaluasi yang diselenggarakan oleh Pesantren sendiri maupun dengan mengikuti
ujian Negeri, sehingga pada akhirnya mendapat syahadah dan ijazah Negeri.
Hasil dari kolaborasi antara sistem Salafiyah dan Khalafiyah ini mampu
menghasilkan para alumni tidak hanya mampu menjadi imam, khatib, atau penghulu
saja, namun lebih dari itu, mereka menjadi ahli teknokrat yang handal, ahli politik
Islami, pegawai baik di jajaran pemerintah maupun swasta. Ini membuktikan bahwa
lembaga Islam Dalam Pagar bukan hanya maupu mencetak guru-guru agama, namun
lebih dari itu, lembaga ini juga mampu memberikan kontribusi yang dalam
pengembangan di negara ini.
Perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan anak
didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan,
kecerdasan dan keterampilan, kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat secara
luas, serta meningkatkan kesadaran terhadap alam lingkungannya. Asas pendidikan
yang demikian itu diharapkan dapat merupakan upaya pembudayaan untuk
mempersiapkan warga guna melakukan suatu pekerjaan yang menjadi mata
pencahariannya dan berguna bagi masyarakatnya, serta mampu menyesuaikan diri
secara konstruktif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungan
sekitarnya. Untuk memnuhi tuntutan pembinaan dan pengembangan masyarakat
berusaha mengerahkan sumber daya dan kemungkinan yang ada agar pendidikan
secara keseluruhan mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi masyarakat
dan bangsa.
Kini masyarakat dan bangsa dihadapkan dengan berbagai masalah dan
persoalan yang mendesak. Masalah-masalah yang paling menonjol ialah tekanan
masalah penduduk, krisis ekonomi, pengangguran, arus urbanisasi dan lainnya.
Sementara krisis nilai, teranca,nya kepribadian bangsa, dekadensi moral semakin
sering terdengar.
Dalam upaya mengarahkan segala sumber yang ada dalam bidang
pendidikan untuk memecahkan berbagai masalah tersebut, maka eksistensi pondok
pesantren lebih disorot. Karena masyarakat dan pemerintah mengaharapkan pondok
pesantren yang memiliki potensi yang besar dalam bidang pendidikan.
Dilihat dari fungsi dan peranan pendidikan Islam Dalam Pagar yang
memiliki watak otentik pondok pesantren yang cenderung menolak pemusatan
(sentralisasi), merdeka dan bahkan desentralisasi dan posisinya di tengah-tengah
masyarakat, pendidikan Islam Dalam Pagar sangat bisa diharapkan memainkan
peranan pemberdayaan (enpowerment) dan transformasi masyarakat secara efektif,
diantaranya :
1. Peranan Instrumental dan Fasilitator
Hadirnya lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar yang tidak hanya sebagai
lembaga pendidikan dan keagamaan, namun juga sebagai lembaga pemberdayaan
umat merupakan petunjuk yang amat berarti. Bahwa lembaga pendidikan Islam
Dalam Pagar menjadi sarana bagi pengembangan potensi dan pemberdayaan umat,
seperti halnya dalam pendidikan atau dakwah islamiyah, sarana dan pengembangan
umat, ini tentunya memerlukan sarana bagai pencapaian tujuan. Sehingga lembaga
pendidikan Islam Dalam Pagar tersebut telah berperan sebagai alat atau instrument
pengembangan potensi dan pemberdayaan umat.
2. Peran Mobilisasi;
Lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar merupakan lembaga yang berperan
dalam memobilisasi masyarakat dalam perkembangan mereka. Peranan seperti ini
jarang dimiliki oleh lembaga atau perguruan lainnya,dikarenakan hal ini dibangun
atas dasar kepercayaan masyarakat bahkan lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar
adalah tempat yang tepat untuk menempa akhlak dan budi pekerti yang baik.
Sehingga bagi masyarakat tertentu, terdapat kecenderungan yang memberikan
kepercayaan pendidikan hanya kepada lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar ini.
3. Peranan Sumber Daya Manusia;
Dalam sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pondok pesantren
sebagai upaya mengotimalkan potensi yang dimilikinya, lembaga pendidikan Islam
Dalam Pagar memberikan pelatihan khusus atau diberikan tugas magang di beberapa
tempat yang sesuai dengan pengembangan yang akan dilakukan di lembaga
pendidikan Islam Dalam Pagar. Di sini peranan lembaga pendidikan Islam Dalam
Pagar sebagai fasilitator dan instrumental sangat dominan.
4. Sebagai Agent of Development
Lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar dilahirkan untuk memberikan
respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan
pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang yang ditawarkan.
Kehadirannya bisa disebut sebagai agen perubahan sosial (agent of social change),
yang selalu melakukan pembebasan pada masyarakat dari segala keburukan moral,
penindasan politik, pemiskinan ilmu pengetahuan, dan bahkan dari pemiskinan
ekonomi.
5. Sebagai Center of Excellence
Institusi pendidikan Islam Dalam Pagar berkembang sedemikian rupa akibat
persentuhan-persentuhannya dengan kondisi dan situasi zaman yang selalu berubah.
Sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman ini, lembaga pendidikan Islam
Dalam Pagar kemudian mengembangkan peranannya dari sekedar lembaga
keagamaan dan pendidikan, menjadi lembaga pengembangan masyarakat. Pada
tatanan ini lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar telah berfungsi sebagai pusat
keagamaan, pendidikan dan pengembangan masyarakat (center of excellence).
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketika terjadi pembaharuan pendidikan Islam di Kalimantan Selatan
akhir abad ke-18, situasi internasional dunia muslim dan khususnya regional
muslim Nusantara penuh dengan dinamika pembaharuan Islam.
Ciri pembaharuan Islam waktu itu termasuk dalam bidang pendidikan
Islam adalah bersifat damai, evolusioner dan lebih menekankan pada revitalisasi
jati diri Islam dalam masyarakat. Pembaharuan pendidikan Islam di Kalimantan
Selatan pada akhir abad ke-18 adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari salah
satu ulama besar Nusantara abad itu yang berasal dari Martapura, Kalimantan
Selatan.
Pembaharuan pendidikannya sangat jelas bisa dilihat pada aspek
paradigma pendidikan, isntitusi pendidikan, metode pengajaran dan materi
pengajaran yang pada giliran berikutnya menjadi karakteristik pendidikan Islam
di Kalimantan Selatan dalam waktu yang cukup panjang.
Sehubungan dengan kompleknya permasalahan yang dihadapi oleh
dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan agama lokal, salah satunya adalah
makin menipisnya nilai kesalehan serta merosotnya dimensi sacral. Mungkin
fenomena ini sekarang yang sedang berlangsung di sekolah-sekolah agama
formal. Sehubungan dengan hal ini pendidikan agama tidak hanya membimbing
anak didik menjadi tahu, tetapi juga bagaimana menghidupkan kepekaan yang
terkait dengan penghayatan terhadap pengetahuan yang mereka peroleh.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi masa keemasan dan
kemunduran lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar meliputi:
1. Faktor tokoh, seorang tokoh dalam membangun lembaga pendidikan,
sangat mempunyai peran penting dalam menjalankan pengembangan
pendidikan. Hal ini disebabkan oleh kiprah dan peranan tokoh-tokoh
dalam mengembangkan lembaga pendidikan, khususnya di Dalam Pagar
juga mengalami masa pasang surut dalam mengembangkan lembaga
pendidikannya. Hal ini disebabkan oleh tantangan yang dihadapi
institusi pendidikan agama dan para tokoh berbeda dengan masa
sesudahnya.
2. Faktor lingkungan, adalah karena kecenderungan para orang tua
menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah formal terkait
dengan perubahan cara pandang mereka dalam melihat dunia
pendidikan. Pada umumnya para orang tua mengaitkan pendidikan
dengan lapangan pekerjaan, sehingga mereka beranggapan bahwa
alumni sekolah-sekolah formal lebih mudah dalam mencari pekerjaan.
3. Faktor kesinambungan dan perubahan, adalah karena bentuk pendidikan
pada masa-masa awal masuknya Islam di Kalimantan Selatan hingga
beberapa abad belakangan, tampaknya memiliki ciri khas yang lebih
menekankan sisi non formalnya, yaitu tidak mengutamakan adanya
kehadiran
institusi
formal
dalam
menyelenggarakan
aktivitas
pendidikan.
B. Saran-saran
Saran-saran yang penulis kemukakan sehubungan dengan pertumbuhan
dan perkembangan lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar Kalimantan Selatan
adalah sebagai berikut:
1. Dalam dunia pendidikan Islam termasuk dunia pendidikan pesantren,
banyak hal yang menarik untuk diteliti, baik dari aspek lembaga maupun dari sisi
tokoh yang menjadi arsitek berdirinya suatu lembaga. Sebagaimana telah
dilakukan penulis kepada seorang tokoh pendidik yang beretnis Banjar, yang
hidup pada abad ke-18 M. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai ulama
yang hidup pada masa itu, tentu saja tantangan yang dihadapinya jauh berbeda
dengan tantangan yang dihadapi oleh ulama yang hidup di kota lain. Dari sisi ini
menjadi menarik untuk meneliti tokoh ini. Kiprahnya dalam bidang pendidikan
salah satu saja dari sekian kiprahnya, seperti bagaimana peran dan kiprahnya
dalam mengembangkan majelis ta'lim yang menjadi fenomena yang menjamur
saat ini. Hal-hal tersebut cukup menarik untuk dikaji oleh kalangan akademisi.
2. Lembaga pendidikan Dalam Pagar yag didirikan oleh Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari telah memiliki usia yang cukup panjang. Pesantren yang
mulanya hanya mengaji duduk, mengalami kemajuan di eranya., namun
sesudahnya mengalami stagnasi. Ke depan institusi pendidikan agamanya
diharapkan menjadi institusi pendidikan agama yang ideal. Untuk itu diperlukan
pemikiran, agar idealisasi dari tujuan setiap lembaga pendidikan itu dapat dicapai.
3.
Lembaga pendidikan ini harus mengambil peran yang sangat strategis di
era sekarang ini sebagai tempat untuk mencetak ulama yang memiliki kemampuan
memahami kitab kuning. Yang menjadi tantangan institusi ini adalah sejauhmana
lembaga pendidikan ini dapat mengantarkan anak didik benar-benar memiliki
keahlian yang tinggi dalam memahami subtansi ilmu-ilmu agama dalam khazanah
klasik itu. Juga tantangan berikutnya, sejauhmana lulusan dari lembaga
pendidikan ini dapat menjadi "ulama" yang mumpuni, yang semakin langka akhirakhir ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Shagir, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Matahari Islam,
Kuala Mempawah, Yayasan Pendidikan dan Dakwah Islamiyah al-Fathanah,
1983.
Abdullah, Taufik, Islam di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang, 1974.
Anshari, Hafiz, AZ, Peranan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di dalam
Pengembangan Islam di Kalimantan Selatan, Banjarmasin, Khazanah Majalah
Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, Vol. I, 2002.
Azra, Azrumardi, Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
-------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII (Melacak Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia,
Bandung, Mizan, 1999.
Badan Pengelola Mesjid Raya Sabilal Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad
alBanjari Riwayat Singkat Kehidupan dan Perjuangannya, Banjarmasin, 1984.
Baderi, Muhmin, "Profil Pesantren di Kalimantan Selatan", makalah seminar Profil
Pendidikan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan, 11-12 September 1986 di
Banjarmasin.
Basri, Hasan, "Pesantren: Karakteristik dan Unsur-Unsur Kelembagaan", dalam Abuddin
Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta,
PT. Grasindo, 2001.
Basuni, Ahmad, Jiwa yang Besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Bandung,
Pustaka Galunggan, 1971.
-------------------, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Surabaya, Bina Ilmu, 1986.
Daradjat, Zakiah, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayan Banjar,
Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1995.
Daudi, Abu, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Tuan Haji Besar, Martapura,
Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, 1996.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia, 1996.
Halidi, Yusuf, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
Banjarmasin, TB. Aulia, 1980.
Humaidy, "Punduk Darussalam dalam Lintas Sejarah", dalam Jurnal Kebudayaan Kandil
Edisi 2, Tahun 1 (September 2003).
Isa, Ahmad, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2001.
Kutoyo, Sutrisno dan Sutjianingsih, (Ed.) Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Jakarta,
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen P dan K, 1977/1978.
Laporan Seminar, Profil Pendidikan Islam di Kal-Sel, Banjarmasin, t.tp, 1986.
Madkour, Ibrahim, Fi al-Falsafat al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbiquh, Kairo, Dar alMa'arif , t.th.
Moleong, L. J., Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Remaja Rosdakarya, 1991.
Najid, Muhammad, Ed., Demokraso dalam Perspektif Budaya Nusantara, Yogyakarta,
LKPSM NU, 1996.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1982.
Nawawi, Ramli, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Banjarmasin, Thesis, FKG
Unlam, 1997.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya, Arkola,
1994.
Quzwaim, M. Chatib, Mengenal Allah Suatu Studi Mengenal Ajaran Tasawuf Syekh
'Abdus Samad al-Palimabani, Jakarta, Bulan Bintang, 1985.
Ras, J.J., Hikayat Banjar a Study in Malay Historiograpfy, Martinus Nijhoff: The Hague,
1968.
Rasyidah H.A., Ijtihad Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Bidang Fiqih, Tesis,
Jakarta, Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1990.
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta,
Bulan Bintang, 1984.
Suryosubroto, B., Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1977.
Syadzali, Ahmad, "Tradisi Mengaji Duduk Dalam Masyarakat Banjar" dalam Jurnal
Kebudayaan KANDIL: Melintas Tradisi, Edisi 3, Tahun I, Desember 2003.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabil al-Muhtadin, Mesir, t.tp, t.th.
Syukur, M. Asywadie, Pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam
Tauhid dan Tasawuf, Banjarmasin, Fakultas Dakwah IAIN Antasari, 1991.
Tim Peneliti IAIN Antasari, Pemikiran-pemikiran Keagamaan Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari, Banjarmasin, IAIN Antasari, 1988/1989.
Uhbiyah, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, CV. Pustaka, 1997.
Download