LAPORAN PENELITIAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DALAM PAGAR MARTAPURA KALIMANTAN SELATAN Oleh : DRA. HJ. RAFI`AH GAZALI, M.Ag NIP. 19530423 198603 2 001 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR BANJARMASIN 2013 i i IDENTIFIKASI PENGESAHAN 1. Judul Penelitian : Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan 2. Penelitian a. Nama b. NIP c. Pangkat/ Gol d. Jabatan Sekarang e. Bidang Keahlian f. Fakultas/Jurusan g. Universitas : : : : : : : Dra. Hj. Rafi`ah Gazali, M.Ag 19530423 198603 2 001 Lektor / III/d Tenaga Pengajar Pendidikan Agama Islam FKIP/PGSD Lambung Mangkurat : : : : : : : Dr. H. Sarbaini, M.Pd 19591227 198603 1 003 Lektor Kepala ( IV/c) Ketua UPT MPK-MBB UNLAM Pendidikan Nilai FKIP / PKn Lambung Mangkurat 3. Pembimbing a. Nama b. NIP c. Pangkat/Gol d. Jabatan Sekarang e. Bidang Keahlian f. Fakultas/ Jurusan g. Universitas 4. Sumber Dana Penelitian : Mandiri 5. Jangka Waktu Penelitian : 3 (Tiga) Bulan Banjarmasin, 05 Maret 2013 Dekan FKIP Peneliti, Drs. H. Ahmad Sofyan, M.A NIP. 19511110 197703 1 003 Dra. Hj. Rafi`ah Gazali, M.Ag NIP. 19530423 198603 2 001 Mengetahui, Kepala Lembaga Penelitian Dr. Ahmad Alim Bachri, SE.,M.Si NIP. 19671231 199512 1 002 ii ii KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan penelitian mandiri yang berjudul: “PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DALAM PAGAR MARTAPURA KALIMANTAN SELATAN”, sesuai dengan kemampuan yang peneliti miliki. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan penggikut beliau hingga akhir zaman. Sejak awal penelitian hingga selesai peneliti banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mereka yang telah banyak memberikan bantuan. Khususnya kepada: 1. Bapak Dekan FKIP Banjarmasin Drs. H. Ahmad Sofyan, M.A. yang berkenan menyetujui ini. 2. Bapak Dr.H.Sarbaini, M.Pd., Ketua UPT MPK-MBB Universitas Lambung Mangkurat, yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada peneliti. 3. Pimpinan Perpustakaan UNLAM Banjarmasin beserta staf yang telah memberikan pelayanan kepada peneliti dalam rangka pengumpulan data yang diperlukan. 4. Pimpinan Perpustakaan FKIP Banjarmasin beserta staf yang telah memberikan pelayanan kepada peneliti dalam rangka pengumpulan data yang diperlukan. 5. Semua responden dan informan yang telah memberikan bantuan berupa data dan informasi yang peneliti perlukan dalam penyusunan penelitian ini. iii Atas segala bantuan dan sumbangsih yang peneliti terima, peneliti hanya mendo’akan semoga semua amal baik tersebut mendapat ganjaran berlipat ganda dari Allah SWT. Akhirnya, semoga penelitian yang sangat sederhana ini bermanfaat. Amin Banjarmasin, Maret 2013 Peneliti , Dra. Hj. Rafi`ah Gazali , M.Ag. iii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................... i IDENTIFIKASI PENGESAHAN ............................................................... ii KATA PENGANTAR .................................................................................. iii DAFTAR ISI ................................................................................................. iv BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah dan Penegasan Judul ................... 1 B. Alasan Memilih Judul .......................................................... 6 C. Rumusan Masalah ............................................................... 7 D. Tujuan Penelitian ................................................................. 7 E. Signifikansi Penelitian ......................................................... 7 F. Metode Penelitian ……………………………………… .... 8 G. Sistematika Penulisan ......................................................... 10 KEHIDUPAN SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI A. Masuknya Islam di Kalimantan Selatan …........................ 12 B. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari …………………... 16 1. Situasi Struktural dan Kultural pada Masa Hidup al-Banjar ……………………………………… 16 BAB III 2. Pendidikan Al-Banjari ……………………………….. 24 3. Aktivitas dan Karya Al-Banjari ……………………… 30 DALAM PAGAR SEBUAH KOMUNITAS A. Sejarah Dalam Pagar .......................................................... 46 B. Dalam Pagar Sebagai Sentral Pendidikan .......................... 48 iv BAB IV DINAMIKA PENDIDIKAN DALAM PAGAR A. Perkembangan Pendidikan Islam Dalam Pagar ................. 56 1. Perkembangan Kelembagaan Dalam Pagar …………… 56 2. Metode ………………………………………………… 67 3. Materi ............................................................................. 71 B. Faktor Yang Mempengaruhi Masa Keemasan dan BAB V BAB VI Kemunduran Lembaga Pendidikan Islam Dalam Pagar .... 72 1. Tokoh-tokoh ................................................................... 73 2. Lingkungan .................................................................... 74 3. Kesinambungan dan Perubahan ..................................... 77 ANALISIS 1. Periode Printis dari Tahun 1774-1931 ........................... 84 2. Periode Pembangunan dari Tahun 1931-1975 ............... 86 3. Periode Pengembangan dari Tahun 1975-2006 ............. 87 PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 93 B. Saran-Saran ......................................................................... 95 DAFTAR PUSTAKA iv 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah dan Penegasan Judul Pendidikan adalah suatu sarana untuk memberikan atau mendapatkan ilmu pengetahui, wawasan dan keterampilan. 1 Selain itu, pendidikan juga berfungsi untuk memudahkan transformasi kebudayaan dan nilai-nilai dari suatu generasi kepada berikutnya.2 Dalam kehidupan masyarakat, pendidikan memegang peranan penting dalam rangka menentukan eksistensinya dan perkembangan masyarakat tersebut. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan suatu usaha melestarikan, dan mengalihkan dan mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerus. Demikian pula halnya dengan pendidikan Islam di kalangan umat Islam, ia merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, mengalihkan dan menanamkan nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya. Sehingga nilai-nilai kultural religius yang dicita-citakan dapat tetap berfungsi dan terus berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Dalam sejarahnya, Pendidikan Islam berkembang seiring dengan munculnya agama Islam itu sendiri. Pada masa perkembangan Islam itu, tentu saja pendidikan yang bersifat formal dan sistematis belum dilaksanakan. Pendidikan 1 Nur Uhbiyah, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka, 1997), h. 2. Azrumardi Azra, Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. Vii. 2 2 formal Islam muncul dengan adanya kebangkitan madrasah/lembaga pendidikan Islam, itupun hanya beberapa abad setelah perkembangan Islam.3 Meskipun dalam keadaan yang termasuk informal, akan tetapi berbagai kelompok masyarakat tetap mengusahakan agar terlaksana pendidikan demi kepentingan mereka dan masa depan generasinya. Mereka senantiasa memberikan pengetahuan dan wawasan keIslaman kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka, begitu pula dengan berbagai kebudayaan, pandangan dan nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat diusahakan ungtuk diwariskan, dan usaha untuk itu yang diutamakan adalah melalui pendidikan.4 Pendidikan Islam yang sudah terorganisasi dan melembaga tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Dari yang sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan rumah, surau, mushalla, mesjid dan lainnya untuk tempat belajar, sampai dengan menggunakan wadah yang lebih kondusif seperti gedung dan ruangan khusus untuk belajar. Dan terakhir ini, muncul suatu lembaga pendidikan agama Islam yaitu pondok pesantren. Pondok pesantren sangat kondusif bagi pembelajaran dan proses pendidikan Islam, baik itu pendidikan formal maupun yang semi formal, yang jelas adalah bahwa lembaga seperti ini sangat diperlukan sebagai tempat muridmurid menerima ilmu pengetahuan agama secara regular dan sistemik. Dengan adanya tempat seperti ini, lebih memudahkan interaksi antara pengajar (guru/ustadz) dengan yang diajar (murid/santri). Dengan situasi yang demikian ini lebih memudahkan pencapaian tujuan dari proses pendidikan tersebut. 3 Zakiah Daradjat, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 51. 4 Ibid. 3 Di Kalimantan Selatan, khususnya kalangan masyarakat Kabupaten Banjar, perhatian terhadap pendidikan cukup tinggi, hal ini dapat diketahui dari banyaknya lembaga pendidikan yang didirikan oleh masyarakat di berbagai tempat desa atau kota, dengan berbagai corak yang bersifat swasta. Lebih-lebih lagi sebelum tersebar luasnya lembaga-lembaga pendidikan oleh pemerintah.5 Dalam Pagar merupakan salah satu desa di Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan dan terletak di pinggiran kota Martapura. Dalam Pagar merupakan tempat pemukiman Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan keluarganya, di desa ini pula dia mendirikan pengajian pada waktu hidupnya pada akhir abad ke-18 sampai permulaan abad ke-19.6 Setelah masa tersebut, di Dalam Pagar ini berkembang pengajian-pengajian yang serupa dan dipimpin oleh tuan guru masing-masing. Kedudukan para tuan guru dalam masyarakat Banjar tradisional tergolong dominan meskipun tanpa institusi, sebagai gantinya adalah majelis pengajian. Jenis pengajian yang berkembang pada masyarakat Banjar tradisional tergantung pada orientasi tuan guru dan pada kecenderungan masyarakat yang berkembang waktu itu. Biasanya pengajian ini ada yang lebih kepada pemenuhan kebutuhan spiritual masyarakat, dan ada juga yang lebih menekankan pada keahlian dalam bidang ilmu agama, dalam hal ini seorang murid sangat dituntut keseriusan dan ketekunan dalam mendalami ilmu-ilmu agama. 7 Pengajian tersebut dilakukan di rumah-rumah pada tuan guru dan dengan silih berganti di antara murid-murid 5 Laporan Seminar, Profil Pendidikan Islam di Kal-Sel, (Banjarmasin: t.tp, 1986), h. 19. Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayan Banjar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 14. 7 Ahmad Syadzali, "Tradisi Mengaji Duduk Dalam Masyarakat Banjar" dalam Jurnal Kebudayaan KANDIL: Melintas Tradisi, Edisi 3, Tahun I, Desember 2003 h. 54. 6 4 tersebut sesuai dengan waktu yang disepakati oleh kedua pihak, antara tuan guru dan para murid dan juga sesuai dengan tingkatan kitab yang dipelajari.8 Perkembangan zaman yang terjadi pun mempengaruhi kegiatan pengajianpengajian tersebut, sehingga dalam pelaksanaan lebih sistemik dan terorganisasi dengan baik dalam sebuah lembaga pendidikan yang semi formal yang kerap disebut dengan pesantren. Maksud dari pesantren itu adalah sebagaimana pendapat Sudjoko yang dikutip oleh Hasan Basri, yaitu: Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.9 Dalam Pagar ini pernah terkenal sebagai desa yang mempunyai lembaga pendidikan Islam informal yang banyak melahirkan banyak ulama lokal dan regional yang terus-menerus dari masa ke masa, generasi ke generasi sampai tahun 1980-an, dan saat itu pengaruhnya masih dapat dirasakan. Baru dua puluh tahun terakhir ini, Dalam Pagar mengalami kemunduran dan nampak sangat sulit untuk bisa bangkit kembali mengulang masa keemasan ketika awal pembentukannya. Lembaga pendidikan Islam yang ada di Dalam Pagar seperti Pondok pesantren Sulamul 'Ulum untuk sekarang ini sudah kalah jauh jika dibandingkan dengan pondok pesantren Darussalam yang juga berada di daerah Martapura. 8 Ibid., h. 55. Hasan Basri, "Pesantren: Karakteristik dan Unsur-Unsur Kelembagaan", dalam Abuddin Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), h. 104. 9 5 Hal ini bisa dilihat dari kualitas dan kuantitas yang dihasilkan oleh kedua lembaga pendidikan Islam tersebut. Secara kualitas, lembaga pendidikan Islam pondok pesantren Darussalam masih mempertahankan pola tradisional, yakni pola yang tetap mempertahankan sistem pengajian kitab klasik dan sedikit memasukkan pelajaran umum seperti bahasa asing. Sedangkan pondok pesantren Sulamul 'Ulum sudah mengembangkan pola modern, yakni berusaha mengkobinasikan antara pengajaran pengetahuan agama dengan pengajaran pengetahuan umum. secara kuantitas pondok pesantren Sulamul 'Ulum sekarang lebih sedikit mempunyai murid, hal ini disebabkan oleh murid yang sekolah di pondok pesantren Sulamul 'Ulum kebanyakan adalah penduduk sekitar Dalam Pagar, sedangkan pondok pesantren Darussalam mempunyai santri yang cukup banyak, hal ini disebabkan oleh para santrinya bukan hanya penduduk berada di sekitar Pasayangan melainkan juga berasal dari luar seperti Hulu Sungai, Pagatan, Banjarmasin, bahkan sampai Kalimantan Tengah, Jawa, dan Sulawisi. Untuk mengetahui lebih jauh tentang Dalam Pagar ini maka perlu diadakan penelitian lebih mendalam. Oleh karena itu, dengan berlatar belakang dari permasalahan di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengadakan sebuah penelitian yang penulis tuangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul "PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DALAM PAGAR KALIMANTAN SELATAN". Untuk menghindari adanya kesalahpahaman terhadap judul di atas, maka penulis merasa perlu menegaskan judul. Berikut ini dikemukakan beberapa istilah yang terdapat dalam judul tersebut, yaitu: 6 1. Pertumbuhan, yaitu proses lahirnya atau tumbuhnya sesuatu, dari yang tidak lengkap atau sederhana menjadi lengkap. Dalam hal ini adalah proses awal pendirian sampai dengan terbentuknya sebuah lembaga dengan kondisi yang lebih kondusif yang sesuai dengan keberadaan sebuah lembaga pendidikan. 2. Perkembangan, proses pertumbuhan yang kurang sempurna menuju keadaan yang lebih sempurna. Atau dengan kata lain, perkembangan adalah proses pertumbuhan status atau kondisi, yang baik menjadi lebih baik. Dan dalam hal ini adalah perubahan dan kemajuan yang dicapai oleh lembaga pendidikan. 3. Lembaga Pendidikan Islam yang dimaksud penulis sarana yang berperan dalam memberikan pendidikan, ilmu pengetahuan dan wawasan tentang agama Islam kepada masyarakat. 4. Dalam Pagar adalah sebuah desa yang terletak di pinggir Kota Martapura Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan. Jadi yang dimaksud dengan judul di atas adalah suatu kegiatan untuk meneliti proses pertumbuhan dan perkembangan Dalam Pagar sebagai lembaga pendidikan Islam pertama kali timbul di daerah Kalimantan Selatan. B. Alasan Memilih Judul Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi penulis mengemukakan judul di atas, yaitu: 1. Dalam Pagar adalah lembaga pendidikan Islam yang pertama di Kalimantan Selatan dan sangat sedikit orang yang mengetahuinya. 7 2. Dalam sejarahnya, Dalam Pagar telah melahirkan ulama-ulama terkemuka pada masa itu. 3. Sistem pendidikan Dalam Pagar merupakan sistem yang layak dan dipertimbangkan untuk dijadikan contoh bagi lembaga pendidikan Islam yang lain. 4. Sepengetahuan penulis, masalah tentang hal ini belum pernah diteliti. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dan agar penelitian ini lebih terarah, maka penulis menetapkan perumusan masalah sebagai berikut : Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Dalam Pagar Kalimantan Selatan? D. Tujuan Penelitian Sejalan dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan maka tujuan dalam penelitian ini adalah: untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Dalam Pagar Kalimantan Selatan. E. Signifikansi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari berbagai pihak, diantaranya adalah: 1. Sebagai bahan pertimbangan dan informasi bagi pemerhati sejarah, pendidikan agama Islam yang ada di Kalimatan Selatan. 2. Sebagai bahan perbandingan dan informasi bagi para peneliti berikutnya yang ingin meneliti masalah ini lebih luas dan mendalam lagi. 8 3. Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman penulis khususnya tentang sejarah lembaga pendidikan Islam pertama di Kalimantan Selatan. F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian yang dilaksanakan ini berbentuk penelitian sejarah (historical research), yaitu usaha untuk melukiskan dan menjelaskan fenomena kehidupan sepanjang terjadi perubahan karena antara manusia terhadap masyarakat, atau untuk mendeskripsikan apa-apa yang telah terjadi pada masa lampau, terutama tentang lembaga pendidikan Islam di Dalam Pagar. Adapun sifat penelitian ini adalah studi literatur: 2. Data dan Sumber Data a. Data Jenis data yang digali dalam penelitian ini terdiri dari data pokok dan data penunjang. 1). Data pokok a). Bentuk lembaga pendidikan Dalam Pagar Kalimantan Selatan. b). Peranan Lembaga tersebut dalam kehidupan masyarakat di sekitar Dalam Pagar, meliputi: (1). Peran tokoh alumni Dalam Pagar (2). Pembelajaran masyarakat Dalam Pagar tentang agama Islam c). Pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Dalam Pagar Kalimantan Selatan. 9 2). Data penunjang a). Keadaan masyarakat sebelum berdirinya Dalam Pagar. b). Sejarah berdirinya Dalam Pagar sebagai Lembaga Pendidikan Islam pertama di Kalimantan Selatan. b. Sumber Data Untuk memperoleh data yang diperlakukan dalam penelitian ini maka penulis menggali data yang bersumber dari: 1). Buku, catatan, dokumen dan bahan lain yang memberikan informasi. 2). Masyarakat di sekitar Dalam Pagar Martapura 3). Orang yang mengetahui tentang pendidikan Islam di Dalam Pagar 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini maka penulis teknik sebagai berikut: a. Studi dokumen, yaitu mengkaji dokumen yang berhubungan dengan pengetahuan atau informasi tentang pendidikan Islam di Dalam Pagar. b. Wawancara, yaitu melakukan wawancara (interview) terhadap masyarakat Dalam Pagar dan orang yang mengetahui tentang pendidikan Islam di Dalam Pagar untuk meraih data-data tentang objek penelitian yang diteliti. 4. Teknik Pengolahan Data 10 a. Editing, yaitu penulis mengadakan penelitian kembali terhadap data yang diperoleh kemudian di lapangan dan kemudian menyempurnakan. b. Klasifikasi, yaitu penulis setelah melakukan edit terhadap data yang diperoleh kemudian mengelompokkan data berdasarkan variasi kasus agar mudah dianalisis. c. Interprestasi, yaitu memahami dan memberi penafsiran-penafsiran terhadap data dari bahan yang telah dikumpulkan. 5. Analisa Data Teknik analisis yang dilakukan terhadap data-data yang ditemukan adalah teknik analisis deskripsi kualitatif. G. Sistematika Penulisan Untuk lebih mudah memahami pembahasan ini, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I. Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah dan penegasan judul, perumusan masalah, alasan memilih judul, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II. Sejarah lahirnya lembaga pendidikan Islam di Kalimantan Selatan yang terdiri atas masuknya Islam di Kalimantan Selatan, pengertian lembaga pendidikan Islam dan proses berdirinya, fase-fase perkembangan lembaga pendidikan Islam di Kalimantan Selatan, dan tokoh pendiri lembaga pendidikan Islam di Kalimantan 11 BAB III. Dalam Pagar: awal aktivitas lembaga pendidikan Islam di Kalimantan Selatan, berisi tentang aktivitas lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar. BAB IV. Pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam di Dalam Pagar, berisi tentang aktivitas lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar, fungsi dan peranan lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar, dan Analisis tentang lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar. BAB V. Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. 12 12 BAB II KEHIDUPAN SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI A. Masuknya Islam di Kalimantan Selatan Kapan masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan, tidak ditemukan bukti yang pasti karena tidak ditemukan catatan sejarah tentang itu. Suatu kesimpulan yang berharga dan dapat diterima adalah bahwa masuknya agama Islam tidak bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Banjar. Masuknya agama Islam lebih dahulu terjadi sebelum Kerajaan Banjar terbentuk. Kalau kerajaan Banjar terbentuk pada awal abad ke-16 maka masuknya agama Islam lebih awal dari itu.1 Tersebarnya agama Islam menyelusuri arus lalu lintas perdangangan laut/sungai. Karena kota-kota perdagangan umumnya di pinggir atau ditepi sungai yang dapat dilayari, maka agama Islam pun berkembang pertama kali di daerah dimana terjadinya komunikasi antara bangsa dan komunikasi perdangangan. Pesatnya perkembangan agama Islam itu sangat dipengaruhi oleh penguasa 1 Sejarah mencatat, bahwa ketika Islam datang ke Indonesia, kondisi dan situasi alam Indonesia yang luas dan kaya akan budaya ini diwarnai dengan adanya beragam agama, dan kerajaan-kerajaan. Agama-agama yang telah ada sebelum Islam antara lain agama budaya setempat (animisme-dinamisme), Hindu dan Budha. Sedangkan kerajaan-kerajaan yang ada sebelumnya diwarnai pula oleh kerajaan dari agama-agama tersebut. Ada kerajaan yang bercorak Hindu seperti Kerajaan Mulawarman di Sumatra Selatan, Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan sekitarnya, serta kerajaan-kerajaan lain yang pada umumnya berada di daerah pedalaman. Keadaan tersebut berbeda dengan daerah pesisir yang pada umumnya belum dikuasai oleh kerajaan dan agama-agama tersebut. Daerah ini relatif mudah diislamkan. Sedangkan di daerah pedalaman yang sudah terdapat kerajaan tersebut terpaksa harus menggunakan pendekatan politik dan perkawinan. Yaitu, pendekatan yang mencoba menaklukkan kerajaan tersebut dengan memilih waktu yang tepat, yaitu saat kerajaan tersebut lemah, serta dengan mengislamkan putra-putra mahkota. Dengan cara demikian, tanpa adanya perang dan konflik, Islam dapat masuk ke daerah tersebut dan kerajaan dapat dikuasai. Lihat Yusuf Abdulah Fuar, Proses Masuknya Islam ke Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1981), cet. I, h. 87; Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 87. 13 setempat. Kalau di daerah itu telah terbentuk sebuah Kerajaan Islam, maka agama Islam pun ikut berkembang dengan pesat. Berkembangnya agama Islam di Kalimantan Selatan karena kedudukan beberapa kota atau tempat pemukiman yang terletak di sepanjang sungai atau pantai. Kota atau tempat pemukiman itu mendapat kunjungan ramai dari para pedagang dari segala bangsa. Para mubalig yang juga adalah para pedagang menggunakan kesempatan komunikasi transaksi perdagangan sambil menyebarkan agama Islam. Penduduk setempat tertarik memasuki agama Islam, karena budi pekerti dari tutur kata yang menunjukkan moral yang tinggi, akhlak mulia, dan cara berpakaian yang selalu bersih. Proses perkawinan merupakan salah satu cara tersebarnya agama Islam di daerah ini. Kalau Kerajaan Islam Banjar terbentuknya pada permulaan abad ke-16, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Banjarmasin sudah terbentuk pada abad ke-15. Karena itulah masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan setidak-tidaknya terjadi pada permulaan abad ke-15. Timbul pertanyaan siapakah yang melakukan tablig dan atas inisiatif siapa tablig itu diselengarakan. Tablig, artinya menyampaikan perintah-perintah agama Islam atau tuntutannya kepada orang di luar Islam. Tablig yang disebut juga dakwah, mulamula atas inisiatif Nabi besar Muhammad saw, atas ketentuan Illahi, Inilah kewajiban setiap rasul Allah, menyampaikan perintah-perintah Allah swt kepada orang banyak dengan ajakan nasihat yang bijaksana, Tanpa kekerasan dan tanpa 14 paksaan. Cara paksaan kecuali tidak ada menanamkan keyakinan dan kejujuran, juga dilarang Allah. Demikian peranan tablig atau dakwah yang efektif menjadi salah satu sebab mengapa Islam pesat berkembang melebihi agama-agama lain. Jalur penyebaran agama Islam di Indonesia menyelusuri jalur perdagangan. Kota-kota perdagangan merupakan tempat terjadinya interaksi budaya dan agama disamping fungsinya sebagai pusat kegiatan transaksi ekonomi. Karena itulah pemeluk agama Islam yang pertama adalah di tempat-tempat kota perdagangan disepanjang pantai atau disepanjang sungai. Karena Islam berkembangnya disepanjang pantai atau disepanjang jalur perdagangan, maka pembawa Islam yang pertama kali adalah golongan pedagang itu sendiri, pedagang yang telah memeluk agama Islam ataupun pedagang yang juga seorang ulama. Kelompok pertama yang memeluk agama Islam adalah kelompok yang sering melakukan interaksi perdagangan yaitu kelompok pedagang pula. Tetapi perlu diingat bahwa sebagian besar dari pelaku perdagangan di kerajaan di Indonesia dipegang oleh kaum bangsawan atau pemilik modalnya adalah kaum bangsawan. Karena itu adalah sangat mungkin sekali bahwa pemeluk agama Islam pertama adalah kelompok pedangan yang juga kaum bangsawan. Dalam proses peng-Islaman selanjutnya Khatib Dayan memegang peranan besar di daerah wilayah kerajaan Banjar sampai dia meninggal. Kubur Khatib Dayan sekarang terletak dalam di Kuin Utara. kompleks makam Sultan Suriansyah 15 Hubungan antara daerah Banjar dengan Kerajaan Demak sudah terjalin dalam waktu yang lama. Hubungan itu terutama adalah hubungan ekonomi perdagangan dan akhirnya meningkat menjadi hubungan bantuan militer ketika Pangeran Samudra berhadapan dengan Raja Daha Pangeran Temenggung. Dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa Pangeran Samudera mengirim Duta ke Demak untuk mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tingkat tinggi sebagai Duta Pangeran Samudera ditunjuk Patih Balit, seorang pembesar Kerajan Banjar. Utusan datang menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, sertibu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin, seribu bongkah damar, sepuluh biji intan. Penggiring duta kerajaan ini tidak kurang dari 400 orang. Demak menyambut baik utusan ini dan sebagai pemegang syiar agama Islam tentu saja memohon pula kepada utusan Raja Pangeran Samudera, Raja Banjar dan semua pembesar mau masuk Islam.2 Berdasarkan hasil penelitian Panitia Hari Jadi kota Banjarmasin, Pangeran Samudera Raja Banjar di Islamkan oleh wakil Penghulu Demak Khatib Dayan pada tanggal 24 Sepetember 1526, hari Rabu jam sepeluh pagi bertepatan dengan Zulhijjah 932 Hijriyah, tanggal 8. Khatib Dayan bukanlah penghulu Demak tetapi utusan dari Penghulu Demak Rahmatullah dengan tugas melakukan proses pengIslaman Raja beserta pembesar kerajaan dan rakyat kerajaan. Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar sampai dia meninggal dan dikuburkan di Kuin Utara, Banjarmasin. Ada yang berpendapat Khatib Dayan itu adalah seorang Arab golongan Ahlul Bait bernama Sayyid Abdurrahman. Orang Jawa lazim 2 J.J. Ras, Hikayat Banjar a Study in Malay Historiograpfy, (Martinus Nijhoff: The Hague, 1968), h. 234-242. 16 menyebutnya Ngabdul Rahman. Mungkin pula Khatib Dayan itu orang Jawa keturunan Arab karena sepanjang pantai utara Jawa, Tuban Gresik, Demak, merupakan tempat pemukinan orang Arab. B. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari 1. Situasi Struktural dan Kultural pada Masa Hidup Al-Banjari Nama lengkap Al-Banjari adalah Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari. Ia dilahirkan di Desa Lok Gabang (sekarang termasuk wilayah kecamatan Astambul kabupaten Banjar) pada hari Kamis 15 Safar 1122 H (17 Maret 1710 M) dan wafat pada tanggal 6 Syawal 1227 H (13 Oktober 1812 M) di kampung Dalam Pagar. Jenazahnya dimakamkan di Kalampaian Martapura.3 Selama hidupnya, Al-Banjari bertempat tinggal di dua tempat yang sangat berpengaruh terhadap jalan hidupnya, yaitu di Martapura sebagai tempat lahir dan dibesarkan hingga dewasa dan sebagai tempat aktivitasnya dalam berdakwah hingga wafatnya, dan di Tanah Suci (Mekkah dan Madinah) sebagai tempat belajar cultural pada masa hidup al-Banjari, yaitu sekitar abad ke-18 dan awal abad ke-19 M yang melingkari kedua tempat tersebut tentu saja mempengaruhi pemikiran-pemikiran keagamaan al-Banjari di segala bidang.4 Pada masa hidup al-Banjari telah bertahta sebanyak empat orang raja Kerajaan Banjar di Martapura. Yaitu Sultan Tahlilillah raja Banjar XIV (17001745 M), Sultan Tamjidillah raja Banjar XV (1745-1778 M), Sultan inilah yang 3 W. Muhammad Shagir Abdullah, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Matahari Islam, (Kuala Mempawah: Yayasan Pendidikan dan Dakwah Islamiyah al-Fathanah, 1983), h. 6. lihat Yusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Banjarmasin: TB. Aulia, 1980), h. 28-29. 4 Tim Peneliti IAIN Antasari, Pemikira-pemikiran Keagamaan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 1988/1989), h. 9. 17 membiayai Al-Banjari ketika menuntut ilmu di tanah suci. Sultan Tahmidillah raja Banjar XVI (1778-1808 M), Sultan Suleman raja Banjar XVII (1808-1825 M). pada masa sultan inilah, Al-Banjari meninggal dunia pada tanggal 6 Syawal 1227 H/1812 M.5 Situasi politik di keraton Banjarmasin selalu bergejolak. Pergantian Sultan selalu ditandai oleh perebutan dan perampasan mahkota di antara pangeran, yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Stabilitas politik sering terganggu karenanya, sehingga tidak jarang pihak yang sedang berkuasa meminta bantuan Belanda (VOC) untuk melestarikan tahtanya, meskipun dengan memberikan imbalan berupa penyerahan sebagian wilayah kerajaan dan sebagian kekuasaan sultan kepada pihak VOC. Seperti yang dilakukan oleh Sultan Tahmidullah (Susuhunan Nata Alam) dalam kontraknya dengan VOC yang ditandatangani pada tahun 1787 M.6 Memang pada masa hidup Al-Banjari, di keraton Kerajaan Banjar selalu terjadi pertarungan antara keturunan Sultan Kuning dan Sultan Tamjidullah dalam merebutkan mahkota kerajaan. Mulanya kemenangangan diperoleh silih berganti, namun akhirnya keturunan Tamjidullah lebih dominant. Hal ini di samping banyak keturunan Sultan Kuning yang dibunuh juga karena bantuan dari VOC sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani bersama.7 Berdirinya kerajaan Islam Banjar pada awal abad XVI M. dengan ibukotanya Banjarmasin, mempunyai arti penting dalam perkembangan ekonomi bagi masyarakat di daerah ini. Banjarmasin yang terletak di daerah pesisir, dengan 5 Yusuf Halidi, op. cit., h. 25., Ahmad Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 23. 6 Sutrisno Kutoyo dn Sutjianingsih, (Ed.) Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, (Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen P dan K, 1977/1978), h. 34. 7 Ibid., h. 33, Tim Peneliti IAIN, op. cit., h. 10. 18 cepat menjadi kota dagang yang besar sebagai Bandar transit komoditas, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar daerah. Banyak faktor yang menopang ramainya perdagangan di daerah ini, di antaranya: Pertama, banyaknya hasil kebun, hutan dan tambang dari daerah ini yang menjadi komuditas utama dalam perdagangan internasional pada waktu itu. Komoditas tersebut seperti lada, rotan, lilin, madu, dammar, sarang burung, intan, emas dan batu permata lainnya. Sedangkan yang dipasok dari luar seperti asam jawa, bawang merah, bawang putih, garam, terasi, rempah-rempah (raragi). 8 Kedua, banyaknya pedagang dari daerah dan negara lain yang datang ke Banjarmasin, seperti dari Jawa, Makasar dan China. Ada juga dari Eropa seperti Portugis, Belanda dan Inggris, ini semua menjadikan perdagangan semakin ramai. Ketiga, beralihnya jalur perdagangan Maluku India yang melewati Patani – Banjarmasin – Makasar, setelah adanya politik penghancuran kota-kota pesisir utara Jawa oleh kerajaan Mataram. 9 Ini semua membuat perekonomian rakyat menjadi lebih baik, dan sedikit banyak telah membentuk jiwa pedagang penduduk di daerah ini. Sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat ialah sistem 'bubuhan'. Bubuhan adalah kesatuan kelompok daerah dan bersifat bilateral, kesatuan ekonomis, kesatuan gotong-royong, kesatuan tindakan dalam mempertahankan diri terhadap musuh dan sebagainya. Raja adalah kepala atau ketua bubuhan rajaraja, sedangkan setiap bubuhan dalam masyarakat biasanya dipilih atas dasar tua 8 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, Diskripsi dan Analisa Kebudayan Banjar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 29. 9 Tim Peneliti IAIN, op, cit, h. 30, Ramli Nawawi, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Banjarmasin, Thesis, FKG Unlam) 1997, h. 20-23. 19 usia, ilmu dan charisma yang dimiliki. Kekuasaan kerajaan diasaskan kepada kekuasaan atas kepala-kepala bubuhan dari atas ke bawah. Kepala bubuhan menentukan kebijaksanaan di dalam dan bertanggung jawab ke luar bubuhannya. Bubuhan raja-raja atau kaum bangsawan tanah-tanah lungguh tertentu dari wilayah kerajaan yang dipinjamkan raja-raja kepada mereka, yang bertindak sebagai penguasa mutlak terhadap tanah tersebut. Sebagian besar rakyat bekerja untuk kepentingan mereka melalui kepala bubuhan mereka.10 Kesuksesan dakwah al-Banjari banyak disebabkan oleh penggunaan sistem sosial ini dalam karya dakwahnya. Sejak kerajaan Banjar berdiri tahun 1540 M. dengan sultan pertamanya Sultan Suriansyah (Suryanullah) yang bergelar Panembahan Batu Habang, agama Islam tersebar luas. Kerajaan ini berhasil menyebarkan Islam ke seluruh wilayah kekuasaan yang sekarang termasuk dalam wilayah Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan sebagian Kalimantan Tengah, sehingga agama ini dianut oleh mayoritas masyarakat di kawasan tersebut.11 Cepatnya perkembangan dan tersiarnya agama Islam di kalangan penduduk, disebabkan Islam masuk dari atas, yaitu dari pihak raja-raja yang memerintah pada masa itu. Karena kepatuhan rakyat kepada rajanya sangat kuat, maka rakyatnya beragama seperti agama rajanya (ad-dien 'ala mulukihim). Disamping itu memang Islam ditetapkan sebagai agama resmi kerajaan Banjar. 10 Alfani Daud, op. cit., h. 72-73. Hafiz Anshari, AZ, Peranan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di dalam Pengembangan Islam di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Khazanah Majalah Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, Vol. I, 2002), h. 15. 11 20 Maka tidak heran kalau Islam yang merka anut hanya menyentuh bagian permukaan dari kehidupan masyarakat selama berabad-abad. Sebelum al-Banjari melancarkan dakwahnya hampir tidak ditemukan data yang menjelaskan situasi keberagamaan masyarakat Islam pada waktu itu. Namun demikian dapat diperkirakan, bahwa di bidang aqidah mereka masih dipengaruhi oleh unsur-unsur kepercayaan kaharingan dan agama Hindu Syiwa yang sudah membudaya dalam masyarakat, baik di kalangan rakyat banyak maupun di kalangan raja-raja dan kaum bangsawan. 12 Hal ini tampak misalnya dalam berbagai upacara keluarga dan masyarakat seperti mandi badudus (mandi calon pengantin), mandi tian mandaring (mandi hamil pertama) pada bulan ketujuh dan menyaggar banua (membersihkan kampung tempat tinggal dari gangguan jin atau roh-roh jahat) yang pelaksanannya bercampura dengan unsurunsur Islam dan budaya lama. 13 Disamping itu masyarakat Banjar senang bersahabat dengan jin, untuk memperoleh ilmu tawakkal, yaitu ilmu untuk mengetahui hal-hal yang gaib yang disampaikan oleh jin yang menjadi sahabatnya. Di bidang fiqih atau syari'ah, masyarakat Banjar menganut mazhab Syafi'i. namun pengamalan ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji tidak banyak data yang menunjukkan hal tersebut, tetapi diperkirakan masih rendah, baik pada masyarakat awam maupun di kalangan para bangsawan. Akan tetapi kalau kita meneliti kuburan raja-raja Banjar semuanya dimakamkan secara Islam. Di samping itu dengan adanya perdagangan di Banjarmasin pada abad ke-17 dan 18 12 Sutrisno Kutoyo dan Sri Sutjianingsih, op.cit., h. 42-43. M. Asywadie Syukur, Pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Tauhid dan Tasawuf, (Banjarmasin: Fakultas Dakwah IAIN Antasari, 1991), h. 5. 13 21 M. maka terbukalah pintu untuk melaksanakan ibadah haji bagi penduduk yang berkemampuan, melalui kapal-kapal dagang bangsa Eropa yang singgah di Bandar ini.14 Di bidang tasawuf, diduga telah berkembang ajaran wahdat al wujud sejak lama, karena penyebaran ajaran Islam di nusantara ini tidak dapat dipisahkan dengan ajaran tasawuf. Ajaran wahdat al wujud atau sejenisnya diperkirakan sudah ada di Kalimantan Selatan sejak awal Islam masuk ke kawasan ini, baik datang dari Jawa maupun Aceh, karena hubungan Banjar dengan Jawa dan Aceh sudah terjalin sejak lama, sementara di Jawa dan Aceh sudah berkembang ajaran ini.15 Pada abad ke-17 ditemukan sebuah karya tentang Asal Kejadian Nur Muhammad, yang ditulis dengan bahasa malayu huruf Arab. Menurut R. O. Wintedt dikarang oleh seorang ulama Banjar pada tahun 1688 M, yang bernama Syamsuddin al-Banjari, tulisan tersebut diberikan kepada Sultanah Taj al-Alam Syafiat al-Alam Syafiat al-Din, putri sultan Iskandar Muda yang memerintah di Aceh pada tahun 1050-1085 H/ 1641-1675 M. Ratu ini cukup loyal terhadap ajaran-ajaran tasawuf wujudiyah yang berkembang di sana, padahal sebelumnya mendapat tekanan keras dari pihak penguasa dan ulama fiqih.16 Apa yang dikemukakan di atas, memberikan gambaran kepada kita bahwa, dalam masyarakat banjar, bahasa malayu sudah lama dikenal dan dipergunakan, termasuk dalam membuat karya tulis. Begitu pula kitab Shirat 14 Rasyidah H.A., Ijtihad Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Bidang Fiqih, Tesis, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1990), h. 19. 15 M. Asywadie Syukur, loc. cit. 16 Abdurrahman, op. cit., h. 19. 22 al-Mustaqim yang ditulis al-Raniri dari Aceh yang mempergunakan bahasa malayu Arab diduga juga sudah beredar di daerah ini, meskipun semua itu dalam bentuk salinan.17 Hal ini tidak mengherankan, karena orang-orang Banjar adalah keturunan campuran antara orang-orang Melayu dan Jawa yang mendesak orang Dayak (penduduk Asli Kalimantan) dari arah selatan, dan ditambah lagi dengan campuran dari pendatang-pendatang lain, seperti orang-orang Bugis, Cina, India dan Arab. 18 Selain itu, bahasa bahasa malayu memang merupakan bahasa pengantar dalam dunia perdagangan di nusantara pada masa itu. Disamping itu dapat difahami pula bahwa sejak dulu beberapa abad sebelum syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, di daerah ini sudah mempunyai seorang ulama terkemuka yang menulis kitab tasawuf wujudiyah. Terlepas apakah karya tersebut original atau tidak, kita dapat membanggakannya bahwa sejak abad ke-17 sudah punya seorang ulama penulis. Demikianlah dari sebagian situasi struktural dan kultural di Martapura dan sekitarnya, yang termasuk wilayah kerajaan Banjar, yaitu tempat al-Banjari dilahirkan dan dibesarkan serta berkiprah dalam dakwahnya, sesudah dia kembali dari tanah suci. Adapun kota Mekkah dan Medinah, tempat al-Banjari bermukim selama 35 tahun (sekitar 1740-1775 M), pada saat itu belum berada di bawah kekuasaan wahabisme sebagaimana sekarang ini. Dalam gerakan wahabisme I, kota Mekkah baru jatuh ke tangannya pada tahun 1806 dan kota Medinah pada tahun 1804. 19 Padahal al-Banjari sudah pulang ke Indonesia sekitar tiga puluh tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1775. waktu itu kedua kota suci umat 17 Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabil al-Muhtadin, (Mesir, t.th) Juz. I, h. 3. Ramli Nawawi, op. cit., h. 28-29. 19 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 25. 18 23 Islam ini berada di bawah kekuasaan Turki Usmani yang diperintah oleh sultan Mahmud II, berkududukan di ibukotanya Istambul. Pada bagian lain, suasana keagamaan di tanah suci pada masa itu masih seperti suasana di dunia Islam sebelum timbulnya gerakan modernisme. 20 Di bidang aqidah, Asy'ariyah sangat dominan. Aliran ini dalam perkembangannya memang sangat lengket dengan mazhab Syafi'i dan Maliki, sehingga pada umumnya pengikut kedua mazhab itu beraliran Asy'ariyah di bidang akidah dan begitu pula sebaliknya. 21 Di bidang sufisme (tasawuf), perkembangan terekatterekat sufi sangat dominan. Berbarengan dengan itu, penghormatan yang berlebih-lebihan kepada guru-guru tarekat, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal menggejala di mana-mana. Begitu pula dibidang fiqih, taqlidisme hamper merata. Para ulama hanya mengikuti saja pendapat-pendapat fuqaha masa lalu sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab mereka yang dipelajari. Dalam hal ini, Nejd yang terletak di sebelah utara Hejaz (daerah tanah suci) telah bangkit suatu gerakan reformisme yang kemudian disebut wahabisme yang dipelopori oleh Muhammad bin Abd. Al-Wahab (1703-1787 M), yang bermazhab Hambali dan beraliran Salaf menurut Ibnu Taymiyah (w. 1328 M). Gerakan ini bertujuan untuk mengembalikan Islam sebagaimana yang difahami dan dipraktikan pada masa Nabi, sahabat dan Tabi'in sampai pada abad ke tiga Hijri. Mereka berusaha memurnikan akidah umat dari hal-hal yang dianggab syirik dalam segala bentuknya. Mengembalikan ajaran Islam kepada sumber 20 Periode modern dalam sejarah Islam menurut Harun Nasution dimulai sejak abad ke-19 M. Lihat Harun Nasution, op. cit., h. 13. 21 Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafat al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbiquh, (Kairo: Dar al-Ma'arif , t.th), Jilid. II, h. 48. 24 aslinya yaitu al-Qur'an dan Hadis, melarang taklid dan menganjurkan ijtihad, memberantas praktik-praktik ibadah yang tidak ada dasarnya, dan memberantas segala hal yang dianggab bid'ah dan khurafat. Pada tahun 1773 M, gerakan ini berhasil menklukkan kota Riad di Nejd, yang kemudian dijadikan sebagai pusa gerakan dan ibukota.22 Peristiwa tersebut terjadi sekitar 2 (dua) tahun sebelum alBanjari pulang ke tanah air. 2. Pendidikan Al-Banjari Al-Banjari dilahirkan dari keluarga Abdullah dan Siti Aminah. Dalam keluarga inilah ia pertama kali memperoleh pendidikan dasar sampai ia berusia 8 tahun. Terutama dari ayahnya dan pada guru setempat, sebab tidak ada data yang yang menunjukkan bahwa telah ada surau atau pesantren yang berdiri pada masa itu di wilayah ini.23 Sejak usia mudanya telah tampak ciri-ciri khas yang berbeda dengan kawan sebayanya terutama terlihat pada ketinggian intelegensinya dan keluhuran akhlaknya. Pada suatu ketika Sultan Tahlilullah (1700 - 1745 M) mengontrol keadaan rakyatnya dan sampailah di desa Lok Gabang, sultan bertemu dengan al-Banjari yang waktu itu berusia sekitar 7 – 8 tahun dan tertarik oleh kecerdasannya, terutama kemampuannya melukis keindahan alam seperti keadaan aslinya. 24 Lalu Sultan meminta kepada orang tuanya agar anak tersebut dapat diserahkan kepadanya dan dijadikan "anak angkat", agar dapat disalurkan pendidikan dan bakatnya. Demi masa depannya, kedua orang tua al-Banjari dengan ikhlas 22 Harun Nasution, op. cit., h. 24. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Melacak Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), h. 250. 24 Yusuf Halidi, op. cit., h. 22. 23 25 menyerahkan anaknya kepada sultan. Sejak itu (dalam usia 8 tahun) al-Banjari memasuki pendidikan di kraton Martapura. Dalam lingkungan yang baru itu ia sangat cepat menyesuaikan diri, dengan kepribadian yang simpatik dan sederhana, berbudi pekerti yang mulia dan rajin beribadah, tentunya membuat sultan sangat menyayanginya dengan sepenuh hati sebagaimana menyayangi keluarganya sendiri.25 Sesuai dengan keinginan sultan untuk mendidik al-Banjari, sultan mendatangkan seorang guru untuk mendidiknya. Ternyata anak yang belum dewasa ini mempunyai kecerdasan yang luar biasa, daya tangkapnya sangat kuat dan segala pelajaran diterimanya dengan mudah. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia dapat menghatamkan al-Qur'an. 26 Melihat kepandaian dan ketekunannnya dalam menuntut ilmu, maka sultan berjanji bahwa kelak setelah ia dewasa, akan diberangkatkan ke Tanah Suci Mekkah. Janji tersebut dipenuhi Sultan ketika al-Banjari sekitar 30 tahun. Namun sebelum berangkat, sultan mengawinkannya dengan seorang wanita keluarga istana bernama Bajut. Barangkali perkawinan ini dimaksudkan untuk mengikat al-Banjari agar kembali ke kerajaan Banjar. 27 Dan berusaha menyelesaikan studinya secepat mungkin. Menjelang musim haji, ketika isterinya Bajut sedang hamil, al-Banjari berangkat ke Mekkah. Selama di Haramain, al-Banjari telah belajar dengan banyak guru, diantaranya adalah Athailah bin Ahmad al-Mishry, Muhammad 25 Ahmad Basuni, Jiwa yang Besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, (Bandung: Pustaka Galunggan, 1971), h. 8. 26 Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Tuan Haji Besar, (Martapura: Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, 1996), h. 20. 27 Hafiz Anshari, op. cit., h. 13. 26 Sulaiman al-Kurdi, di bidang tasawuf dia berguru dengan Muhammad Abdul Karim Samman al-Madani. Guru-gurunya yang lain adalah : a. Ahmad Abdul Mun'im al-Damanhuri, b. Muhammad Murthada as-Zabidi, c. Hasan 'Akisy al-Yamani, d. Salim Sabdullah al-Nashri, e. Shiddiq bin Umar Khan, f. Abdullah Hijazi asy-Suarkawy, g. Abd. Rahman bin Abd. Aziz al-Maghrabi, h. Sayyid Abd. Rahman bin Sulaiman al-Ahdal, i. Abd. Rahman bin Abd. Mubin al-Fathani, j. Abd. Ghani bin Muhammad Hilal, k. Abis as-Sandi, l. Abd. Wahab at-Thanthawy, m. Maulana Sayyid Abdullah Mirghani, n. Muhammad bin Ahmad al-Jauhari, o. Muhammad Zein bin Faqih Jalaludin Aceh.28 Selain belajar dengan guru-guru di atas, menurut Azyumardi, ada kemingkinan al-Banjari juga berguru dengan Ibrahim al-Ra'is al-Zamzami di mana dari guru inilah al-Banjari mempelajari ilmu falak (astronomi), bidang yang 28 Abu Daudi, op. cit, h. 25-26. 27 menjadikannya salah seorang astronomi yang paling menonjol di antara para ulama Melayu – Indonesia.29 Kurang lebih 30 tahun ia bermukim di Mekkah dengan tekun menuntut ilmu, tidak kenal jemu dan lelah.30 Dengan kecerdasan yang dimiliki, tidak sedikit ilmu yang diperolehnya. Berkat ketinggian hikmah, kejernihan hati dan kekuatan daya tangkap serta kecerdasan otaknya, akhirnya ia berhasil menampung sejumlah 35 macam ilmu pengetahuan yang meliputi pengetahuan agama dan pengetahuan umum. 31 Al-Banjari berpendapat bahwa Islam itu bukan saja dadanya penuh pengetahuan agama, tetapi otaknya pun harus diisi dan dilengkapi dengan pengetahuan umum. Diceritakan bahwa setelah menyelesaikan studinya di Mekkah, al-Banjari beserta teman-temannya bertekad untuk melanjutkan studi ke Mesir. Mesir pada waktu itu merupakan pusat ilmu pengetahuan. Suatu tekad yang teguh untuk menuntut ilmu sebagai cita-citanya sejak meninggalkan tanah air. Sebelum ia meninggalkan Mekkah, ia diberikesempatan untuk mengajar di Mesjid al-Haram oleh gurunya Syekh Athailah.32 Dalam perjalanannya menuju Mesir, ia mampir di kota Madinah. Di Madinah ia tinggal di tempat seorang ulama besar yaitu Syekh Abdu al-Karim Samman al-Madani.33 Pada waktu itu kota Madinah kedatangan ulama besar dari Mesir yaitu Syekh Sulaiman Kurdi (w. 1194 H) yang akan 29 Azyumardi Azra, loc. cit. Badan Pengelola Mesjid Raya Sabilal Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Riwayat Singkat Kehidupan dan Perjuangannya, (Banjarmasin: 1984), h. 4. 31 Yusuf Halidi, op. cit., h. 29. 32 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 19. 33 Rasyidah H. A., op. cit., h. 27. 30 28 mengajar di Mesjid Madinah. 34 Mendengar berita tersebut, al-Banjari beserta teman-temannya yang haus akan ilmu, langsung meminta izin untuk dapat belajar pada beliau dan mereka membatalkan niatnya untuk pergi ke Mesir dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk belajar pada Syekh Sulaiman Kurdi atas bantuan Syekh Saman tadi. Kurang lebih lima tahun lamanya al-Banjari belajar di Madinah sesuai dengan maksud dan tujuan semula, ia akan melanjutkan studinya ke Mesir. Hal ini ia bicarakan dengan gurunya Syekh al-Islam (Sulaiman Kurdi). Atas saran gurunya sudah tahu akan kealiman murid-muridnya ini, karena telah sekian lama bergaul. Dengan syekh Sulaiman Kurdi, al-Banjari banyak mengadakan Tanya jawab antara lain masalah yang terjadi di kerajaan Banjar, memungut pajak dan hukuman denda (bayar uang) bagi pelanggar hukum yang meninggalkan sembahyang Jum'at dengan sengaja dan tentang berbagai masalah penting lainnya. Ini semua ditulis dan dikumpulkan oleh al-Banjari dalam sebuah karyanya yang berjudul Fatawa Syekh Sulaiman Kurdi.35 Atas saran guru dan juga mengingat keadaan anak negeri yang sangat membutuhkan pendidikan agama, tergugahlah hati al-Banjari dan temantemannya untuk segera pulang. Ilmu sudah didapat, tinggal mengamalkannya. Sebelum meninggalkan kota suci, al-Banjari dan teman-temannya menyempatkan diri belajar ilmu suluk kepada Syekh Saman al-Banjari mengambil ijazah Tharekat al-Khalwatiyah sebagaimana temannya Syekh Abdu al-Saman 34 Abu Daudi, op. cit., h. 28. Karel A. Steenbrink, op. cit., h. 92. 35 29 al-Palimbani. 36 Di samping tarikat khalwatiyah, al-Banjari juga memperoleh ijazah khalifah yang membuatnya berhak mengajarkan ilmu tasawuf dan tarekat yang didapatkannya dari guru tersebut. Malah al-Banjari dianggab sebagai ulama yang bertanggung jawab atas tersebarnya tarekat Sammaniyah di Kalimantan.37 Konon pada saat itu yang mendapatkan ijazah sebagai khalifah yang berasal dari Indonesia hanya ada empat orang,38 yang dikenal dengan empat serangkai. Dalam usia yang terbilang sudah tua yaitu kurang lebih 65 tahun alBanjari pulang ke kampong halaman bersama teman-temannya. Sebelum mereka berziarah ke kubur Nabi dan berdoa agar segala usahanya mengembangkan ilmu agama Islam mendapat perlindungan dari Allah SWT. Pada tahun 1168 H / 1771 M, mereka kembali ke kampong halaman dengan terlebih dahulu mampir di Betawi (Jakarta).39 Pada bulan Ramadahan 1186 H (Desember 1772 M) al-Banjari tiba di Martapura ibu kota pemerintahan kerajaan Banjar setelah lebih kurang 35 tahun ditinggalkannya. 40 Sejak itulah dia berusa dengan gigih membina masyarakat, berdakwah dan mengembangkan Islam di daerah ini, sampai ia wafat pada hari Selasa 6 Syawal 1227 H ( 13 Oktober 1812 M ) pukul 18.30. 41 Menjelang wafatnya samapai berwasiat : apabila ia wafat pada musim kemarau maka beliau minta makam di karang tangah dekat makam Syekh Abd. Wahab Bugis dan isteriisteri beliau yang bernama tuan Bajut dan tuan Bidur, tetapi apabila di musim 36 M. Chatib Quzwaim, Mengenal Allah Suatu Stud Mengenal Ajaran Tasawuf Syekh 'Abdus Samad al-Palimabani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 29. 37 Azyumardi Azra, op. cit., h. 253. 38 Abu Daudi, op. cit., h. 30. 39 Rasyidah H. A., op. cit., h. 30. 40 Yusuf Halidi, op. cit., h. 36. 41 Hafiz Anshari, op. cit., h. 15. 30 penghujan ( banjir ), maka beliau minta dimakamkan di Kalampayan. 42 Di mana di Kalampayan itu terdapat kebun dan balai tempat beliau beristirahat serta mushalla tempat khalwat. Tatkala sampai pada hari duka (wafatnya al-Banjari) ketika itu masih musim kemarau dan jalan untuk Kalampayan tidak bisa ditempuh dengan perahu. Namun apa yang terjadi, setelah Isya malam Selasa 6 Syawal 1227 H, hujan turun dengan derasnya sehingga membanjiri sungai-sungai untuk menuju jalan ke Kalampayan, sehingga dapatlah terlaksana wasiat Syekh Muhammad Arsyad minta di makamkan di Kalampayan. Sesuai dengan wasiatnya, ia di makamkan di desa Kalampayan yang sekarang termasuk dalam wilayah Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. 3. Aktivitas dan Karya al-Banjari Setibanya al-Banjari di tanah air pada tahun 1186 H/1772 M. al-Banjari mulai aktif membangun masyarakat, terutama sektor keagamaan. Hal ini adalah sebagai pengamalan ilmu yang telah diperolehnya selama di tanah Suci. Diantara aktivitasnya yang menonjol adalah sebagai berikut : a. Membetulkan Arah Kiblat Beberapa Mesjid di Jakarta Sebelum samapai dikampung halaman, al-Banjari terlebih dahulu singah di Betawi, selama di sana al-Banjari menyempatkan diri mengunjungi beberapa mesjid untuk melakukan sembahyang Jum'at. Sambil mengadakan silaturrahmi dengan masyarakat Betawi, beliau juga memeriksa arah kiblat mesjid yang dikunjunginya. Ternyata ada beberapa mesjid 42 Abu Daudi, op. cit., h. 67-68. 31 yang arah kiblatnya kurang tepat, yaitu Mesjid Pekojaan, Mesjid Jembatan Lima dan Mesjid Luar Batang. Kiblat shalat di mesjid itu bergeser beberapa derajat dari kiblat asli. Ketika al-Banjari meyakinkan kepada jemaah Mesjid Jembatan Lima bahwa arah Mesjid tersebut terlalu miring ke kiri sekitar 25 derajat, maka ia berdiri di hadapan para jamaah kemudian mengangkat tangannya, maka tampaklah dari celah lengan baju jubahnya Ka'bah atau Baitullah yang menjadi kiblat umat Islam itu. Jamaah pun menjadi yakin dan percaya dengan pendapat al-Banjari tersebut. 43 Sampai sekarang di Mihrab Mesjid tersebut didapatkan tulisan dalam bahasa Arab yang menyatakan bahwa arah kiblat mesjid itu dipalingkan ke kanan kurang lebih 25 derajat oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pada tanggal 4 bula 2 tahun 1186 H/1772 M. 44 peristiwa ini menunjukkan keahlian al-Banjari di bidang ilmu falaq (astronomi) yang dipelajarinya di tanah Suci. Mendengar peristiwa yang menggegerkan masyarakat itu. Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda Petrus Albertus Van Der Parra (berkuasa 1761 – 1775 M) mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh para ulama Islam di sebelah kanan dan para Pendeta Kristen di sebelah kiri. Kemudian Gubernur menanyakan kepada al-Banjari. Apakah isi yang ada di dalam buah kelapa ini, al-Banjari menjawab bahwa isi di dalam kelapa itu ada air dan di dalam air itu ada ikannya. Mendengar jawaban itu sangatlah terkejut Gubernur dan hadirin kala itu sehingga timbul rasa mencemoohnya. Tetapi setelah buah kelapa itu dibelah ternyata terdapat di dalamnya air kelapa dan ikan yang masih hidup. 43 Abu Daudi, op. cit., h. 67. Tim Penelitian IAIN Antasari, op. cit., h. 19. 44 32 Setelah peristiwa itu, al-Banjari diajak lagi naik kapal dan sesampainya di tengah laut, Gubernur menanyakan berapa dalam laut ini, kemudian ia menjawab bahwa dalamnya laut itu sekian kaki. Setelah diadakan pengelotan (pengukuran) ternyata benar. Semenjak itulah al-Banjari diberi gelar oleh Gubernur sebagai Tuan Haji Besar. Peristiwa buah kelapa, mengukur laut dan melihat Ka'bah di celah lengan bajunya ini, dianggab oleh masyarakat sebagian dari karamah al-Banjari.45 Khususnya bagi mereka yang mempercayai adanya karamah. b. Kaderisasi Ulama dan Juru Dakwah Bertepatan dengan bulan Ramadhan 1186 H, al-Banjari sampai di kampung halaman. Kedatangan al-Banjari disambut gembira oleh semua lapisan masyarakat. Bahkan Sultan Tahmidullah (Susuhanan Nata Alam) yang naik tahta di kerajaan Banjar pada tahun 1761 M. Memberikan sebidang tanah kepadanya yang terletak di tepi sungai Martapura, tidak jauh dari istana kerajaan untuk dijadikan sebagai perkampungan baru bagi anak cucunya dan pusat kegiatan dakwahnya menyiarkan agama Islam. 46 Tindakan Sultan ini mungkin karena waktu itu al-Banjari sudah termasuk dalam "bubuhan" raja-raja (kaum bangsawan) karena perkawinannya dengan Ratu Aminah binti Muhammad Thaha bin Sultan Tahmidullah sehingga dia berhak mendapatkan "tanah lungguh" sebagaimana anak-anak bangsawan lainnya. Sesuai dengan sistem kekuasaan yang berlaku.47 Al-Banjari bersama sejumlah pengikutnya dan keluarganya segera menggarap tanah itu. Di sini dibangun rumah-rumah untuk tempat tinggal, ruang 45 Yusuf Khalidi, op. cit., h. 35. Ibid., h. 37. 47 Pengelompokan penduduk dalam sistem bubuhan, lihat Alfani Daud, op. cit., h. 94-95. 46 33 pengajian, perpustakaan dan asrama untuk tempat tinggal para santri, juga dibuka lahan pertanian (sawah). Di tempat inilah al-Banjari dengan dibantu oleh sahabat akrabnya yang juga telah menjadi menantunya, Syekh Abdul Abidin al-Wahab Bugis, mendidik para santri untuk dipersiapkan agar menjadi ulama besar juru dakwah yang kuat dan tangguh mengembangkan Islam. Pendidikan ini terutama sekali ditekankan kepada anak, cucu dan keluarga al-Banjari sendiri. Namun dalam perkembangannya, santrinya semakin banyak yang berdatangan dari berbagai pelosok kerajaan dan santri yang jauh diasramakan pada rumah-rumah yang sudah disediakan.48 Dalam perkembangan selanjutnya komplek pengajian ini semakin bertambah ramai, sehingga menjadi sebuah kampong dan diberi nama kampung "Dalam Pagar". Zafri Zam-Zam memberikan istilah kepada kampung ini sebagai "kawah candradimuka tempat menempa para ulama".49 Dilihat dari sudut pendidikan, bentuk pengajian di dalam satu komplek yang ada mushalla, tempat belajar dan asrama untuk para santri dimana dalam terminology modern tersebut dengan pesantren, ketika itu, merupakan hal baru di kerajaan Banjar. Sebelumnya pengajian-pengajian dilaksanakan dirumah-rumah saja. Disamping itu, hal yang juga menarik, para santri tidak hanya diberi pelajaran agama, tetapi juga dibekali dengan keterampilan bertani dari sawah yang dicetak sebelumnya. Dengan demikian para santri diharapkan dapat hidup mandiri.50 48 Hafiz Anshari, op. cit., h. 17. Zafri Zamzam, op. cit., h. 10. 50 Hafiz Anshari, op. cit., h. 18. 49 34 Dilihat dari sudut pembinaan kader ulama, tempat ini melahirkan banyak ulama besar setelah al-Banjari. Ulama-ulama inilah belakangan yang banyak mewarnai kehidupan keagamaan di Kalimantan Selatan, sehingga daerah ini juga dikenal sebagai salah satu wilayah yang komunitas masyarakatnya adalah masyarakat agamis. Kalau dianalisis lebih jauh, langkah dan strategi al-Banjari merupakan langkah dan strategi yang tepat. Hasilnyapun tampak sekali bukan saja sesudah ia wafat, tetapi juga disaat ia masih hidup. Banyak ulama besar yang dilahirkan, diantaranya Syekh Muhammad As'ad dan Syekh Abu Zu'ud, masing-masing sebagai mufti dan Kadi pertama kerajaan Banjar. Dikalangan wanita juga muncul seorang ulama, yaitu Fatimah binti Usman, penulis kitab parukunan yang samapai sekarang banyak beredar dan banyak dipakai di Kalimantan Selatan.51 Menurut Hafiz Anshari langkah al-Banjari ini sangat tepat, hal ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama, langkah awal yang dilakukannya penyiapan kader penerus perjuangannya, karena pada saat tiba di Martapura ia suadah berumur sekitar 64 tahun (menurut hitungan tahun hijriyah). Kedua, di kerajaan Banjar ketika itu tidak ada tokoh yang benar-benar alim, terutama bidang fiqih. Ketiga, tenaga da'i tidak banyak, padahal wilayah kekuasaan kerajaan Banjar cukup luas.52 c. Meluruskan Akidah Umat Meskipun al-Banjari terbilang sebagai seorang murid tarekat yang mengamalkan tasawuf, namun kegiatan dakwahnya terfokos pada peneguhan 51 Alfani Daud, op. cit., h. 56-57. Hafiz Anshari, op. cit. 52 35 akidah umat dan pemurniannya, dan pengamalan syari'at Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Justru itu bila ada ajaran yang bisa melemahkan kedua fokus dakwahnya itu berkembang dalam masyarakat, maka wajar kalau ia bersikap tegas untuk memberantasnya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa keberagamaan masyarakat Banjar pada masa hidup al-Banjari dapat dikatakan masih sangat rendah di bidang akidah, diperkirakan masyarakat Banjar ketika itu masih sangat dipengaruhi oleh kepercayaan lama, yaitu kaharingan dan agama Hindu-Budha. Hal ini terlihat dari pelaksanaan upacara adat yang bercampur baur antara unsure Islam dan unsure lain, seperti upacara menyanggar banua, yaitu sebuah upacara adapt yang diselenggarakan oleh keluarga Datuk Taruna di desa Barikin. Sebab menurut mereka, kalau upacara itu tidak dilaksanakan, maka akan mendatangkan malapetaka dalam keluarga. Ada pula upacara membuang pasilih atau mandi badudus yaitu upacara mandi-mandi yang dilaksanakan dalam rangka penobatan raja-raja Banjar di zaman Hindu. Namun setelah berdirinya kerajan Banjar, upacara tersebut dihapus. Kemudian upacara badudus atau membuang pasilih dijadikan acara mandi-mandi calon pangeran dan mandi-mandi tian mandaring (mandi hamil pertama) pada bulan ketujuh. Di samping itu masyarakat di daerah ini juga senang bersahabat dengan jin untuk memperoleh ilmu muwakal, yaitu mengetahui hal-hal gaib yang diberikan oleh jin sahabatnya.53 Melihat kenyataan rusaknya akidah umat pada saat itu, al-Banjari merasa sangat prihatin dan dia berusaha sekuat tenaga untuk meluruskannya. Dengan 53 Al- Banjari., op. cit., h. 30-35. 36 alasan untuk menjaga akidah umat di samping ada permintaan dari Sultan yang berkuasa pada saat itu, maka al-Banjari mengarang sebuah risalah yang berjudul Tuhfah al-Ragibin. Di dalam kitab tersebut diuraikan secara rinci dan lengkap mengenai prosesi upacara-upacara tersebut dan hukum melaksanakannya. Dalam sejarah perjalanan hidupnya, al-Banjari juga pernah menangani masalah rumit yang terjadi pada masyarakat Kalimantan Selatan saat itu, yaitu berkembangnya tasawuf wujudi (Wihdah al-wujud), sebuah paham tasawuf yang bercorak falsafi yang diajarkan dan dikembangkan oleh H. Abdul Hamid. Kalau al-Banjari mengajarkan bahwa Allah itu Khalik, selainnya adalah makhluk sesuai dengan aliran Ahlu Sunnah, sedang H. Abdul Hamid mengajarkan bahwa yang ada hanya satu. Pencipta dan yang diciptakan hanya satu. Aku adalah Dia dan Dia adalah Aku. Katanya, orang selama ini hanya sampai kepada kulit (syariat) belum sampai kepada isi (hakikat). Masyarakat Islam setempat geger setelah mendengar ajaran tasawuf H. Abdul Hamid, dan penilaiannya terhadap ajaran yang diajarkan oleh al-Banjari selama ini kepada murid-muridnya. Kemudian timbul di kalangan masyarakat pendapat yang kontra dan pro, di samping banyak yang menentang terdapat pula yang menyetujuinya.54 Kemudian Sultan Tahmidillah II segera mengambil kebijakan. Ia diperintahkan kepada utusanya untuk memanggil H. Abdul Hamid supaya dating mengahadap Sultan di istana. H. Abdul Hamid menyatakan: "Di sini tidak ada Haji Abdul Hamid, yang ada Allah". 54 Ahmadi Isa, op. cit., h. 5. 37 Sultan mengirim utusan lagi untuk memanggil agar Allah dating menghadap ke istana. Terhadap penggilan itu, H. Abdul Hamid mengatakan : "Allah tidak bisa diperintah: Menurut riwayat lain, H. Abdul Hamid menjawab: "Allah tidak ada, yang ada H. Abdul Hamid". Untuk ketiga kalinya, Sultan Tahmidillah II mengirim lagi utusan dengan perintah: "Allah bersama Haji Abdul Hamid diminta dating ke istana". Barulah H. Abdul Hamid bersedia dating memenuhi panggilan Sultan.55 Al-Banjari tidak mungkin hanya berdiam diri. Demikian pula Sltan Tahmidillah II (1187-1223 H/1773-1808 M) yang memerintah saat itu. Ia meminta pendapat/fatwa kepada al-Banjari tentang masalah tersebut. Setelah alBanjari mempelajari ajaran tersebut dan mengkaji dampak yang ditimbulkannya dalam masyarakat, maka ia mengeluarkan fatwa bahwa paham yang seperti ini termasuk paham wujudiyah mulhid, mereka juga disebut golongan zindik. Terhadap golongan mulhid dan zindik ini al-Banjari mengeluarkan fatwa. Isi fatwa itu direkamnya dalam Risalah Tuhfah al-Ragibin berbunyi, "tiada syak pada wajib membunuh dia karena murtadnya. Dan membunuh seumpama orang itu lebih baik daripada membunuh seratus kafir asli".56 Maka berdasarkan fatwa ini, Sultan menjatuhkan hukuman mati atas H. Abdul Hamid yang kuburannya terdapat di Desa Abulung Sungai Batang, tidak jauh dari Desa Dalam Pagar.57 d. Membentuk Mahkamah Syari'ah Sejalan dengan keberhasilan dakwah al-Banjari dalam menanamkan kesadaran pengalaman ajaran agama di masyarakat, menggugah hati Sultan 55 Taufik Abdullah, Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 50. Al-Banjari, op. cit., h. 28. 57 Zafri Zamzam, op. cit., h. 9. 56 38 Tahmidullah untuk memantapkannya dengan aparat kekuasaan kerajaan. Untuk itu sultan pun minta nasehat kepada gurunya, al-Banjari yang memang mempunyai ide yang serupa. Al-Banjari menyarankan agar dibentuk suatu lembaga baru dalam struktur Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh seorang mufti.58 Dalam struktur baru itu, sultan dianggap sebagai kepala seluruh pejabat agama Islam. Di bawah sultan ada mufti, yang kewibawaanya meliputi seluruh pejabat agama dalam wilayah kesultanan, dan dianggap sebagai hakim tinggi.59 Sebagai hakim tertinggi, mufti melakukan pengawasan atas seluruh pengadilan di wilayah kesultanan. 60 Mufti juga bertugas memberi fatwa dan nasehat kepada sultan dalam masalah-masalah keagamaan (mungkin semacam Mahkamah Agung sekarang ini). Sebagai hakim sehari-hari di ibukota, ditunjuk seorang qadhi yang mengurusi dan menyelesaikan masalah-masalah perdata, pernikahan dan waris yang timbul dalam masyarakat menurut hukum Islam.61 Inilah lembaga semacam Mahkamah Syar'iyyah yang pertama di Kerajaan Banjar dengan ibukotanya Martapura. Untuk menjabat sebagai mufti kerajaan yang pertama diangkat sultan seoarang cucu al-Banjari bernama Muhammad As'ad dan sebagai qadhi dijabat pertama kali oleh H. Sa'ud anak al-Banjari sendiri.62 Terbentuknya lembaga ini makin memantapkan pelaksanaan hukum Islam di kerajaan Banjar, apalagi pada periode ini pelaksananya adalah orang-orang yang betul-betul alim dan berada 58 Tim Peneliti, op. cit., h. 22. Amir Hasan Bondan, op. cit., h. 150. 60 Alfani Daud., loc. cit. 61 Abu Daudi, op. cit., h. 57-58. 62 Tim Peneliti, op. cit., h. 23. 59 39 di bawah bimbingan al-Banjari. 63 Meskipun demikian, al-Banjari tidak pernah menjabat jabatan struktural dalam Kerajaan Banjar. Ini menunjukkan kezuhudan dan kesederhanaan dalam kehidupannya, walaupun ia mempunyai ilmu yang dalam dan dekat dengan pihak penguasa, tapi ia tidak pernah mau apalagi minta jabatan dengan pihak istina. Sebagai tindak lanjut dari keberadaan lembaga ini, atas usul al-Banjari, sultan juga memberlakukan hukum pidana Islam di wilayah kerajaan Banjar. Hukum pidana tersebut meliputi hukuman mati bagi orang Islam yang murtad, hukum mati bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, hukum dera bagi penzina dan sebagainya. 64 Dengan diberlakukan hukum pidana tersebut, maka lengkaplah pemberlakuan hukum Islam di kerajaan ini, yaitu perdata dan pidana. Ini semua mempunyai arti penting bagi perkembangan Islam selanjutnya di kawasan ini. Hal tersebut terlihat jelas pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Wasiqbillah (1825-1857 M). Ketika itu dikukuhkan sebuah Undang-undang yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam yang dikeluarkan pada tahun 1835 M.65 e. Membuat Karya Tulis Al-Banjari semasa hidupnya banyak sekali meninggalkan warisan berharga pada masyarakat Islam. Di antaranya yang paling bernilai ialah beberapa buah karya tulis yang sempat disusunnya untuk kepentingan dakwah, Dilihat dari segi isinya, maka karya tulis - karya tulis tersebut dapat dikategorikan kedalam 63 Hafiz Anshari., op. cit., h. 21. Zafri Zamzam, op. cit., h. 12. 65 Hafiz Anshari., op. cit. 64 40 tiga bidang ilmu agama Islam, yaitu bidang tasawuf, akidah dan syari'ah. Karyakarya al-Banjari itu ialah: 1). Kanz al-Ma'rifah yang berbicara tentang amalan-amalan dalam tarikat seperti maqamat dan zikir. Buku ini hanya berupa naskah dan belum pernah dicetak. 2). Tuhfah ar-Ragibin fi Bayani Haqiqah al-Imam al-Mu'min wama Yufsidu min raddat al-Murtadin. Risalah berbicara tentang firqahfirqah yang tersesat dalam Islam, hal-hal yang menyebabkan orang menjadi murtad atau kafir, kemudian upacara-upacara adat yang dianggap bertentangan dengan agama, seperti adapt menyanggar banua dan membuang pasilih. Risalah ini ditulis pada tahun 1188 H/1774 M, berbarengan dengan waktu penulis Risalah Ushul al-Dien. Kedua risalah ini memang berbeda sasarannya, meski sama-sama membahas masalah aqidah. Kalau Ushul al-Dien bertujuan memberikan dasar keimanan kepada Allah bagi masyarakat awam pada umumnya, sedangkan risalah ini untuk menjelaskan hakikat iman dan hal-hal yang bisa merusaknya yang tampaknya lebih banyak ditujukan kepada kalangan raja-raja dan para ulama untuk menegakkan aqidah yang benar menurut Ahlusunnah wal jamaah dan memurnikan akidah umat.66 Buku ini sudah diterbitkan beberapa kali, diantaranya di Mekkah, Mesir dan di Indonesia. 66 Al-Banjari, Tuhfah al-Raghibin, op. cit., h. 30-35. 41 3). Fath al-Rahman. Risalah ini sebenarnya adalah karya Syaikh alIslam Zakariya al-Ansari berjudul Fath al-Rahman bi Syarh Risalat al-Waliy al-Raslan, yaitu komentar terhadap sebuah risalah tentang ilmu tauhid yang ditulis oleh Raslan al-Dimasyqi. Al-Banjari menterjemahkan risalah tersebut ke dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab yang ditulis miring di bawah teks aslinya. Risalah ini diterbitkan oleh Toko Buku Hasanu Banjarmasin, cetakan kedua tahun 1405 H/1985 M, setebal 91 halaman dengan keterangan bahwa teks aslinya berasal dari tulisan Haji Muhammad Sa'id bin Mufti Ahmad bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.67 4). Majmu', kitab ini berbicara tentang dasar-dasar ajaran Islam, meliputi masalah akidah dengan mazhab Asy'ariyah pola Sanusiah, berbicara tentang sifat-sifat yang wajib, harus dan mustahil bagi Allah dan Rasul-Nya. Lazimnya di masyarakat dikenal dengan istilah sifat dua puluh. Dalam masalah tasawuf dibicarakan pula tentang roh, sifat-sifat terpuji dan amalan-amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kitab ini masih dalam bentuk salinan dan belum pernah diterbitkan. 5) Ushul al-Din, risalah ini berbicara tentang ilmu-ilmu dasar dalam akidah yang juga dikenal oleh masyarakat Banjar dengan nama Pelajaran Sifat Dua Puluh. Menurut Abu Daudi, risalah ini ditulis 67 Ibid. 42 al-Banjari pada tahun 1188 H/1774 M. Sayangnya buku ini belum ditemukan naskahnya, kemingkinan isinya sudah dimasukkan ke dalam Kitab Parukunan. 6) Qaul al-Mukhtashar fi 'Alamat al-Mahd al-Muntazhar. Buku ini berbicara tentang tanda-tanda hari kiamat dan datangnya Imam Mahdi. Risalah ini ditulis al-Banjari pada tahun 1196 H/1782 M. buku ini sudah pernah diterbitkan di Singapura pada tahun 1356 H/1937 M. 7) Kitab Parukunan, buku ini berbicara tentang dasar-dasar ibadah dan akidah yang dibawakan dengan cara yang sederhana kerena memang diperuntukkan bagi orang yang baru belajar agama. 68 Kitab ini ditulis oleh Fatimah binti Usman, cucu al-Banjari, hasil catatan pelajaran yang telah diterima dari kakeknya, al-Banjari. Walaupun sebagai pengarangnya disebut nama Jalaluddin, anak al-Banjari yang menjabat sebagai mufti Kesultanan Banjar waktu itu.69 Namun bila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya karya tersebut adalah hasil pemikiran al-Banjari sendiri. Buku ini sudah diterbitkan beberapa kali, baik di Singapura maupun di Indonesia. 8) Luqthah al-Ajlan, ialah buku yang berbicara tentang hukum-hukum yang menyangkut kehidupan kaum wanita seperti haidh, nifas dan istihadhah. Risalah ini ditulis al-Banjari pada tahun 1192 H / 1778 68 Asywadie Syukur, Pemikiran-pemikiran al-Banjari, op. cit., h. 6. Alfani Daud, op. cit., h. 54-55. 69 43 M untuk kepentingan dakwahnya di kalangan wanita. Risalah ini masih berupa naskah belum pernah diterbitkan. 9) Kitab Sabil al-Muhtadin Littafaqquh fi Amr al-Din yang berbicara tentang ilmu fiqih yang terdiri dari dua jilid. Buku ini adalah karya tulis al-Banjari yang terbesar dan cukup popular di kalangan umat Islam di Asia Tenggara. Kitab ini selesai ditulis pada tanggal 27 Rabi'ul Akhir 1195 H/ 22 April 1781 M. Atas permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah. 70 Diterbitkan dibeberpa Negara seperti di Mesir, Singapura, Mekkah, Turki dan juga di Indonesia. 10) Mushaf al-Qur'anul Karim. Al-Banjari menulis tangan sebuah mushaf al-Qur'an dengan tulisan yang sangat indah, yang bisa disaksikan di kubah tempat ia dimakamkan di Kalampayan hingga sekarang ini. Mushaf tersebut ditulis pada tahun 1779 M. 11) Kitab al-Nikah, buku membahas tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk. Buku ini untuk pertama kalinya diterbitkan di Istambul pada tahun 1304 H/ 1887 M dalam bahasa Malayu sebanyak 40 halaman. Risalah ini juga kemudian diterbitkan di Singapura dan Indonesia. 12) Kitab al-Faraidh, kitab ini mengemukakan tentang hukum warisan yang menyangkut ahli waris, harta warisan, besar bagian yang akan 70 Al-Banjari, Sabil al-Muhtadin, op. cit., h. 3. 44 diterima masing-masing ahli waris. Buku ini belum ditemukan naskahnya. 13) Khasyiyah Fath al-Jawad, adalah terjemahan dari Kitab Fathul al-Jawad, kitab fiqih karya Ibnu Hajar al-Haitami yang diberi komentar-komentar oleh al-Banjari agar dapat dipahami dengan mudah oleh para muridnya dan masyarakat Banjar.71 14) Fatwa Sulaiman Kurdi, risalah ini berisi tentang fatwa-fatwa Syeikhul Islam Imamul Haramain Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdie, sehubungan dengan adanya pertanyaan-pertanyaan alBanjari kepada beliau tentang keadaan atau tindakan raja/Sultan memungut pajak dan hukuman denda bagi pelanggar hukum (meninggalkan shalat Jum'at dengan sengaja), dan berbagai masalah penting lainnya. Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab dan belum pernah diterbitkan. Naskah aslinya tulisan al-Banjari sampai sekarang masih ada.72 15) Ilmu Falak. Risalah ini ditulis dalam Bahasa Arab, yang isinya menerangkan tentang cara menghitung kapan terjadinya gerhana matahari dan bulan. Risalah ini belum pernah dicetak/diterbitkan, namun naskah aslinya yang ditulis oleh anak beliau sendiri masih ada dalam bentuk manuskrip yang sudah berusia hampir dua abad, dalam pemeliharaan salah seorang zuriat al-Banjari di Dalam 71 Tim Peneliti, op. cit., h. 29. Abu Daudi, op. cit., h. 54. 72 45 Pagar. 73 Dua karya al-Banjari yang terakhir inilah (Fatawa Sulaiman Kurdi dan Ilmu Falak) yang ditulis dalam bahasa Arab, sedangkan karya-karya lainnya selalu ditulis dalam bahasa Malayu. 73 Ibid., h. 53. 46 46 BAB III DALAM PAGAR SEBUAH KOMUNITAS A. Sejarah Dalam Pagar Mengingat kawasan yang dipilih Syekh Muhammad Arsyad terletak dipinggir sungai Martapura, maka untuk menjaga keselamatan dan menghindari kalau terjadi erosi, komplek perumahannya dibangun menjorok ke darat jauh dari tepi sungai. Mulailah dibangun rumah Syekh Muhammad Arsyad dan sebuah mushalla disampingnya, kemudian dibangun purumahan anak-anak beliau dan perumahan para murid disebelah kiri kanan rumah Syekh Muhammad Arsyad, berjejer berseberangan menuju tepi sungai; dan ditengah-tengahnya dibuat jalan untuk menuju sungai. Untuk dapat terlaksananya pendidikan secara intensif dan efektif, maka lokasi atau komplek tersebut perlu dipagar sedemikian rupa sehingga dapat menghambat keluar masuknya para murid dengan leluasa. Bagi murid atau penghuni komplek yang keluar masuk komplek tersebut terbiasa mengatakan "mau kedalam" atau "datang dari dalam", oleh karena komplek itu dilengkapi dengan pagar, maka ungkapan dalam dan pagar menjadi satu kesatuan kata yang berbunyi "dalampagar". Disisi lain, meneurut cerita orang-orang tua dulu, ketika Syekh Muhammad Arsyad membersihkan tanah perbatasan tersebut dari pepohonan dan kayu-kayuannya, maka sebelum membangun rumah-rumahnya, beliau wafaklah 46 47 tanah tersebut sebagai pertanda penyerahan beliau kepada Allah swt, agar selalu mendapat pemeliharaan-Nya, hal ini kemudian ada hubungannya dengan asal usul kampung tersebut, dimana setelah komplek itu dihuni oleh Syekh Muhammad Arsyad berserta keluarga dan anak murid, tiba-tiba datanglah pada suatu malam sekelompok orang yang ingin berbuat jahat kepada penghuni kampung itu. Namun setibanya mereka disana apa yang terjadi; pandangan mereka terhalang oleh pagar-pagar yang tinggi sehinga tidak tanpak lagi rumah-rumah yang akan dituju. Maka pulanglah mereka dengan sia-sia. Kenapa jadi demikian, kenapa mereka tidak dapat menembus pagar tadi, hal ini mungkin sebagai pertanda bahwa penyerahan Syekh Muhammad Arsyad kepada Tuhan untuk pemeliharaan komplek perumahan itu dikabulkan Tuhan dan dipelihara-Nya, sehingga orang-orang yang hendak berbuat jahat tidak dapat memasukinya pada masa itu. Masyhurlah nama tempat itu kemana-mana, karena disitulah Syekh Muhammad Arsyad berdiam, dan di kampung Dalam Pagar pula mendidik anak cucu serta para murid yang datang dari berbagai kampung dan daerah. Karena keturunan anak dan cucu Syekh Muhammad Arsyad berdiam di kampung Dalam Pagar secara turun temurun, sehingga kampungnya menjadi luas dan banyak dikunjungi orang untuk belajar ilmu-ilmu agama; dan alhamdulillah sampai sekarang masih disukai oleh para penuntut ilmu yang datang belajar di kampung itu. Suatu hal yang membuktikan bahwa Syekh Muhammad Arsyad mempunyai wawasan pandangan juah kedepan, dimana waktu beliau membangun 47 48 komplek perumahannya jauh menjorok kedalam; karena menjaga sewaktu-waktu mungkin akan terjadi erosi, maka setelah dua abad kemudian perkiraan tersebut menjadi kenyataan, dimana komplek perumahan tersebut telah habis terkikis air dan hanyalah yang tertinggal sekarang bekas rumah beliau di kampung Dalam Pagar Ulu yag sekarang menjadi bekas rumah Almarhum Tuan Guru H. Zainal Ilmi. B. Dalam Pagar Sebagai Sentral Pendidikan Islam Sebelum masuknya pengaruh Barat, di Kalimantan Selatan telah berkembang pendidikan tradisional, utamanya pendidikan agama yang dikenal sebagai "kaji duduk" yakni sistem pengajaran untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam, pada mulanya dilangsungkan di tempat tinggal Tuan Guru, tetapi kemudian banyak yang berlangsung di langgar-langgar. Pelajaran yang diberikan oleh para taun guru dalam pengajian adalah ilmu tauhid, ilmu fikih dan ilmu tasawuf. Selain itu ada pula yang mempelajari bahasa Arab secara pasif, di samping pelajaran membaca Alquran. Kitab yang digunakan pada umumnya adalah kitab berbahasa Arab dan dibawakan oleh tuan guru yang pernah belajar di Mekkah. Kitab itu dikenal sebagai Kitab Kuning. Dalam perkembangannya digunakan pula kitab beraksara Arab berbahasa Banjar atau Melayu, sehingga disebut kitab berbahasa Arab Melayu, sebagaimana kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Pengajian yang umum berlangsung adalah pengajian Bandongan atau Balangan. Guru membaca dan menguraikan isi kitab, sedangkan murid-muridnya memegang kitab yang sama dan diberi kesempatan menanyakan hal-hal yang 48 49 belum dimengerti. Ada pula yang disebut pengajian Sorongan seperti yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kepada anak cucunya, agar sampai kelak mewarisi kealiman bapaknya. Di samping itu, adapula pengajian maahad karena dilaksanakan pada hari Minggu (ahad), atau menyanayan, manyalasa, maarba, mangamis, manjumahat, dan manyabtu sesuai dengan nama hari pelaksanaan pengajian, yang mana murid hanya mendengarkan saja dan tidak menggunakan kitab, sedangkan guru menguraikan isi kitab yang dibacanya. Untuk menjadi ulama ahli Qur'an, hadis, dan sebagainya diperlukan beberapa guru yang waktu pengajinya memakan waktu puluhan tahun, bahkan kadang-kadang dilanjutkan di Mekkah. Mereka yang kembali, kemudian menjadi tuan guru yang memberikan pengjian di rumah atau di langgar-langgar. Masuknya pemeritah Hindia Belanda dengan kebijakan di bidang pedidikan, kemudian melahirkan elite baru yang semakin memudarkan peranan elite tradisional. Tetapi elite baru ini tidak semuanya diterima oleh masyarakat. Demikian pula dengan masuknya agama Kristen yang penyebarannya mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda, telah menimbulkan reaksi para ulama tentang adanya bahaya kristenisasi sehingga mereka berupaya menyempurnakan metode syiar agama dan pendidikan Islam di masyarakat. Kristenisasi dianggap sebagai cara yang efektif untuk melawan gerakan-gerakan Islam sendiri sangat mudah memicu perasaan anti Belanda. Ketika Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah umum, para ulama menilainya sebagai suatu usaha untuk mengasingkan anak-anak mereka dari agama Islam dan kemudian menasranikannya. Akibat dari itu, di beberapa 49 50 daerah timbul gagasan mendirikan sekolah bukan sekedar untuk menyaingi sekolah-sekolah umum yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga untuk melawan Belanda melalui jalur pendidikan. Sekolah-sekolah agama yang didirikan itu antara lain Sekolah Islam Darussalam tahun 1914, Arabische School yang kemudian menjadi Ma'ahad Rasyidiyah Amuntai tahun 1930, dan Diniyah Islamiyah di Barabai tahun 1932. Sekolah-sekolah itu telah diatur sesuai metode pengajaran modern dengan menggunakan sistem klasikal. Alumni sekolah-sekolah ini banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin muda Islam, baik yang bergiat di bidang politik, sosial maupun keagamaan. Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa pembaharuan pendidikan Islam di Kalimantan Selatan lebih dominan dipengaruhi faktor Timur Tengah. Namun demikian, dalam kenyataan politik di tanah air pada masa itu, pemerintah Hindia Belanda telah melakukan dan mengembangkan sistem pendidikan persekolahan dengan sistem modern, agaknya cukup beralasan bahwa tumbuh dan berkembangnya pendidikan Islam di Kalimantan Selatan juga merupakan respons atas kebijakan dan politik pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian, kedatangan budaya Barat, terutama Belanda ke Kalimantan Selatan, sekali-kali tidak mengendurkan pengembangan syiar Islam di daerah ini. Hal ini juga bisa dilihat pada aktivitas pendidikan yang ada di Dalam Pagar, sebab pendidikan Islam "Dalam Pagar" sudah melakukan aktivitas pendidikan informal yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan diteruskan oleh anak, cucu dan murid-murid beliau yang hanya 50 51 berada di sekitar Dalam Pagar, melainkan juga berasal dari luar seperti Hulu Sungai, Pagatan, Banjarmasin, bahkan sampai Kalimantan Tengah. Pada masa itu, para santrinya tinggal di rumah guru-guru yang mengajar, mereka dapat didikan langsung baik tentang keilmuan maupun yang lainnya. Selain mengajar guru-guru juga memberikan contoh tauladan yang baik kepada santri-santrinya, para guru juga mengajarkan cara bertani dan berkebun dan cara menanam tanaman dengan baik. Santri putri juga turut membantu, sekaligus ikut mengikuti pengajian. Sistem pengajian yang dilakukan pada masa itu dengan cara bergantian, karena isi yang diajarkan antara murid yang lama dan yang baru tidak sama isi redaksinya, hal tersebut mengakibatkan guru-guru tersebut hafal kitab dengan sendirinya. Guru sebagai tenaga kependidikan yang paling bertanggung jawab secara langsung atas proses pembelajaran murid diberi kewenangan untuk mengembangkan aktivitas mereka. Guru perlu diperdayakan agar mereka dapat melaksanakan tugas mereka membelajarkan para murid untuk mencapgai tujuan. Selain sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar, kewenangan mengambil keputusan yang terkait dengan peningkatan pola pembelajaran. Dalam membangun lembaga pendidikan, setiap lembaga pendidikan pasti mengalami pasang surut dalam menjalankan pengembangan pendidikan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh kiprah dan peranan tokoh-tokoh dalam 51 52 mengembangkan lembaga pendidikan, khususnya di Dalam Pagar juga mengalami masa pasang surut dalam mengembangkan lembaga pendidikannya.1 Sebagai gambaran perkembangan lembaga pendidikan Dalam Pagar serta kiprah dan peranan tokoh-tokohnya dari sejak berdiri dan sesudahnya, akan dijelaskan sebagai berikut: Tahun 1774 M – 1812 M., lembaga pendidikan yang di Dalam Pagar masih berbentuk pendidikan non formal adapun metode yang digunakan ialah dalam bentuk pengajian, dan pengajian tersebut langsung dipimpin/dilaksanakan oleh Syekh Muhammad Arsyad sampai akhir hayat beliau. Tahun 1812 M – 1931 M., pengajian menyebar di rumah-rumah anak cucu zuriat Syekh Muhammad Arsyad. Tahun 1931 M – 1951 M., Oleh guru K. H. M. Thoha bin H. M. Sa'ad (Qadhil Qudrat), didirikan madrasah "al-Istiqamah" tingkat tahdhiri dan tsanawi. Sistem/metode pendidikan dan pengajarannya mengacu kepada madrasah Thawalib di Padang Panjang Sumatera Barat. Adapun pimpinan harian madrasah di percayakan kepada saudara sepupu beliau yang juga keturunan ke-4 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang pernah belajar di madrasah Thawalib tersebut diantaranya: - K. H. Salman Jalil (Mantan Inspektur Peradilan Wilayah Kalimantan) - K. H. Abdurrahman Isma'il (Mantan Kepala KAU Kecamatan Martapura) - K. H. Sirajuddin (Mantan Kepala KAU Kecamatan Martapura) - K. H. Iderus Ma'ruf (Mantan Kepala kantor Dep. Agama Kabupaten Banjar) 1 Hasil wawancara, pada tanggal September 2006 dengan bapak Irsyad Zain. 52 53 - K. H. Muhammad Hamzah (Mantan Panitra Kerapatan Qadhi Martapura).2 Tahun 1951 – 1963 M., Setelah kembali dari melanjutkan pendidikan di kota Mekkah selama 12 tahun, Maka K. H. Salman Jalil dan K. H. Abdurrahman Isma'il menerus kembangkan madrasah Islamiyah Istiqamah yang kemudian berganti nama menjadi "Madrasatusyar'iyah". Bagunan gedung diperbaiki dan ditambah dibawah binaan tuan Guru K. H. Zainal Ilmi. Tahun 1963 – 1995 M., Oleh tuan Guru K. H. Sya'rani Arief (Kampung Melayu Martapura) madrasah berganti nama dengan madarah "Sullamul Ulum" Yang dipimpin oleh K. H. Abdurrahman Isma'il kemudian diteruskan oleh generasi dibawahnya K. H. Muhmud Arsyad, kemudian dilanjutkan oleh K. H. Abdul Hamid. Tahun 1965 M - sekarang., Oleh K. H. Abdurrahman Isma'il dikukuhkan tingkat pengajaran baru yaitu tingkat Aliyah. Tahun 1989 M – sekarang., Oleh K. H. Mahmud Arsyad Perguruan di tambah lagi tingkatnya dengan didirikan Taman Kanak-kanak/Pendidika al-Qur'an (TKA/TPA). Tahun 1995 M – sekarang., Perguruan berubah nama menjadi pondok Pesantren "Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari" dan dipimpin oleh Guru H. M. Fadhil Zein,3 yang membawa : a). Tingkat Taman Kanak-kanah al-Qur'an : 1 Tahun b). Tingkat Taman Pendidikan al-Qur'an : 1 Tahun c). Tingkat Madrasah Diniyah Awal : 1 Tahun 2 Ibid. Hasil wawancara, pada tanggal September 2006 dengan guru H.M. Fadhil Zein. 3 53 54 Madrasah Ibtidaiyah Swasta : 6 Tahun d). Tingkat Madrasah Diniyah Wustha : 3 Tahun e). Tingkah Madrasah Ulya : 3 Tahun f). Tingkat Takhassus : 3 Tahun Secara umum dari keseluruhan data yang tergambar dapat dijelaskan bahwa peranan dan kiprah tokoh-tokoh dalam mengembangkan lembaga pendidikan di Dalam Pagar, mempunyai andil yang sangat besar. Dan tentu tantangan yang dihadapi institusi pendidikan agama berbeda dengan masa sesudahnya. Walaupun pendidikan formal telah berdiri, tetapi tidak menghilangkan rutinitas mengaji duduk yang telah berjalan sebelumnya. Pada tahun 1950 Madrasah al-Istiqamah banyak mengeluarkan alumni sebagai kader-kader terkemuka, diantaranya ada yang jadi guru, qadi pengadilan agama dan lain sebagainya. Kemudian al-Istiqamah diganti namanya dengan madrasah Syar'iyah (ibtida' 6 tahun). Pada tahun 1956 madrasah Syar'iyah pun berganti nama dengan "Sullamul 'Ulum", dengan menambah jenjang pendidikan menjadi: 1. Majlis Ta'lim pada malam hari 2. Madrasah tingkat Taman Kanak-kanak al-Qur'an 3. Madrasah tingkat Ibtidaiyah. Pada tingkat ini madrasah di bagi dua yaitu: Diniyah (khusus agama) dan Asriyah (dengan menggunakan kurikulum pemeritah). 4. Madrasah tingkat Tsanawiyah 5. Madrasah tingkat Aliyah 54 55 Sampai sekarang dengan bergonta-gantinya nama lembaga pendidikan tidak mengakibatkan rutinitas mengaji duduk terhenti, melainkan tetap eksis berjalan seperti biasa. 55 56 56 BAB IV DINAMIKA PENDIDIKAN DALAM PAGAR A. Perkembangan Pendidikan Islam Dalam Pagar 1. Perkembangan Kelembagaan Dalam Pagar a). Periode Perintis dari tahun 1774 – 1931. Institusi berasal dari bahasa Inggris institution yang berarti lembaga1 atau pendirian suatu badan sekaligus pengorganisasian.2 Institusi pendidikan berarti proses pendirian atau pengorganisasian suatu visi dan misi pendidikan ke dalam bentuk kelembagaan. Pelembagaan ini bukan semata-mata terpaku pada bangunan fisik yang kasat mata., tetapi juga suatu nilai abstrak yang tersembunyi dibaliknya yakni berupa pola kepemimpinan dan pola hubungan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sebelum masa Asyad, isntitusi pendidikan Islam di kerajaan Banjar seperti telah diuraikan di atas masih berkisar pada (mesjid, langgar rumah, tatuha, rumah pembakal, rumah tatuha, rumah orang berpunya, istana dan sejenisnya). Mungkin pada awal kedatangannya dari Haramain Arsyad masih menggunakan instutusi pendidikan itu, tetapi karena setiap hari ramai masyarakat mengunjunginya untuk meminta nasehat dan mendengar ceramahnya, kemudian semakin lama para muridnya semakin banyak, maka dirasakan sudah tidak mencukupi lagi, perlu institusi pendidikan baru yang lebih besar dan luas. Pembangunan institusi 1 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 325. 2 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 262. 56 pendidikan baru bukan berarti Arsyad membuang institusi lama, tetap dibiarkan berjalan dan sekali waktu ia masih memberikan pengajian bahkan beberapa model pendidikan Islam dari institusi pendidikan Islam lama ia ratifikasi dan kombinasi ke dalam institusi pendidikan Islam baru yang dibangunnya. Dalam ungkapan ringkasnya, institusi pendidikan Islam yang dibangun Arsyad, tidaklah kemudian mematikan institusi pendidikan Islam lama, melainkan sekedar memperkaya dan mengembangkannya secara lebih baik sekaligus sebagai mitra baru yang mengajak saling mendukung dan membela satu sama lain antara institusi pendidikan Islam baru dan institusi pendidikan Islam lama.dalam perjalan waktu memang institusi pendidikan Islam lama ini masih berfungsi sebagai wahana pendidikan terutama bagi anak-anak untuk mempelajari dasar-dasar ilmu agama yang keluasannya bisa melanjutkan pelajarannya dengan memasuki institusi pendidikan Islam baru yang dibangun Arsyad yang memang mengerjakan pelajaran yang luas, tinggi dan beragam, walaupun tetap disediakan juga untuk pelajaran ilmu-ilmu dasar agama sebagai dampinganya. Di samping motif semakin banyaknya murid, terdapat juga motif lain yakni keinginan Arsyad untuk memberikan pengajaran tingkat tinggi terutama dalam bidang ilmu fiqih yang sebelumnya masih bertaraf sangat rendah, padahal ia merupakan ilmu yang teramat penting untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis dan menata masyarakat supaya bisa lebih tertib dan teratur atas dasar hukum-hukum Tuhan. Selain itu, untuk menciptakan miliu pendidikan yang sehat jauh dari pengaruh percaturan politik kerajaan yang waktu itu masih memang sedang panaspanasnya, penuh intrik dan saling mengintai untuk menyingkirkan lawan 57 politiknya terutama antara keturunan Suriansyah dan keturunan Pangeran Temenggung. Dari miliu pendidikan yang sehat ini juga bisa diharapkan mewujudkan atau memproduk insan cita yang beramal ilmiyah dan bertakwa ilahiyah alias pribadi muslim yang utuh sehat jasmani-ruhani, berpengetahuan dan berakhlakul-karimah. Lebih dari itu, dengan miliu pendidikan yang sehat akan melahirkan lingkungan budaya yang baik, menjadi wahana kondusif untuk perkembangan seluruh potensi anak didik baik pada ranah kognitif, afektif maupun psiko-motorik. Proses pembangunan institusi pendidikan Islam baru ini, berawal dari Arsyad meminta sultan Tahmidullah II (1761-1787 M.) memberinya sebidang tanah tidak terpakai dan masih berupa hutan belukar di luar ibukota kerajaan yang berada sekitar 4 km dari Martapura, tepatnya berada di tepian Sungai Martapura yang membentang dari Riam Kanan dan Riam Kiri menuju Banjarmasin. Alat transformasi untuk mencapai daerah tersebut adalah jukung (semacam sampan kecil) yang dikayuh dengan dayung kecil menelusuri aliaran sungai yang cukup panjang dan berarus lumayan deras. Dia dan Syekh Abdul Wahab Bugis yang kini menjadi menantunyadibantu beberapa murid, melakukan babat alas sekuat tenaga membersihkan belukar menjadi tanah lapang, kemudian membangun sebuah pusat pendidikan Islam yang terdiri dari ruangan untuk kuliah, asrama para murid, rumah para guru (termasuk empat buah rumah untuk isteri-isreri Arsyad yakni Bajud, Markidah, Aminah dan Bidur), ruang belajar, langgar, perpustakaan dan di belakangnya runah para anak cucunya. Pusat ini secara ekonomis dapat membiayai dirinya sendiri, sebab Arsyad bersama dengan beberapa guru dan 58 murid menolah tanah dilingkungan itu menjadi sawah dan kebun yang prodoktif. Tak lama kemudian, pusat itu telah menjadikan dirinya lokasi paling penting untuk melatih para murid yang diharapkan kelak menjadi ulama terkenal dikalangan masyarakat Kalimantan. Sebelum dibangn pusat pendidikan Islam tersebut Arsyad memberi pagar disekelilingnya sebagai perwatasan dan baru kemudian di dalamnya didirikan kampung baru yang sampai sekarang dikenal kampung Dalam Pagar, sehingga pusat pendidikannya pun kemudian disebut Punduk Dalam Pagar. Pasalnya, karena setiap orang yang menuju atau dating ketempat tersebut, jika ditanya selalu mengatakan mau atau dating dari Dalam Pagar.3 Dalam merancang konsep institusi pendidikan Dalam Pagar, Arsyad kelihatannya banyak diilhami bahkan mungkin dipengaruhi beberapa institusi pendidikan Islam di Haramain dengan tanpa menafikan sama sekali pengaruh institusi pendidikan Islam di Nusantara secara umum dan Kalimantan secara khusus. Argumen ini cukup beralasan, karena hamper seperempat abad lebih Arsyad tinggal dan menuntut ilmu di Haramain bergelut dalam berbagai institusi pendidikan Islam di sana walaupun tidak seluruhnya, tetapi paling tidak ia mengetahui dan menyaksikan dengan penuh rasa penghayatan yang mendalam. Ia di sana mengetahui tentang madrasah, ribat (riwat, zawiyah dan khanqah), meskipun tidak terlibat sangat jauh, tetapi pernah bergulat sesekali. Pergulatannya yang sangat intens adalah dilingkungan studi di masjid al-Haram di Makkah dan masjid an-Nabawi di Madinah. 3 Humaidy, "Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan", dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Edisi 3, Tahun 1 (Desember 2003), h. 43. 59 Dengan demikian punduk Dalam Pagar, meskipun formatnya berangkat dari institusi pendidikan lokal seperti langgar (termasuk masjid, rumah tatuha, rumah pembakal, rumahguru, rumah orang berpunya dari istana), tetapi punya orientasi instisional, yakni banyak mengambil model beberapa institusi pendidikan di Haramain terutama lingkaran studi di kedua masjid suci, berikutnya ribat dan madrasah. Kalau boleh diformulasikan dalam kadar takaran yang bisa ditimbang Dalam Pagar memiliki unsur, rumah tatuha, rumah pembakal masjid Haramain sangat dominan terutama dalam otoritas guru, sistem pengajarannya dan kitab-kitab yang dipergunakan, disusul unsur ribat dalam model pelatihan spiritual, materi suluk dan cara khalwatnya, diikuti unsur langgar (termasuk juga masjid, rumah tatuha, rumah pembakal, rumah guru, rumah orang berpunya dan istana) dalam materi dasar ajaran, media bahasa yang dipergunakan di samping model bangunannya, dan kemudian unsur madrasah dalam model pengasramaan dan penekanan ajaran pada ilmu fiqihnya. Dalam analisis Ahmad Basuni Dalam Pagar sudah merupakan pesanten karena di sana ada tempat tinggal guru, ada tempat pengajian, pondokan para santri dan langgar.4 Bolehlah dikatakan demikian, tetapi semacam bukan berarti persis sama sekali, sebab istilah pesanteren di Kalimantan Selatan baru dikenal tahun 1970-an. Pemadanan lebih persis adalah dengan surau di Padang, rangkang, meuasah, dayah di Aceh, punduk di kawasan Melayu seperti Malaysia, Fatani (Thailand), Riau, Palembang (Sumatera) dan Brunai Darussalam. Oleh karena Kalimantan Selatan atau suku Banjar termasuk sebagai masyarakat Malayu dan 4 Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 52-54. 60 sangat kental budaya Melayunya. Steenbrink sedikit membantah hal ini, dengan menyatakan bahwa kebudayaan Banjar itu memang sebagian termasuk dunia kebudayaan Melayu, tetapi daerah Melayu khususnya Banjar mempunyai corak Jawa yang paling kuat, baik dalam dunia kraton, bahasa maupun bahasa setempatnya.5 Namun Faruk HT balik membantah keras adanya pengaruh kuat Jawa tersebut, karena feodalisme yang menjadi inti kebudayaan Jawa menurutnya tidak sempat berpengaruh dan mengakar kuat dalam budaya Banjar, hanya lapisan tanpa makna yang signifikan.6 Unsur Melayu tetap dominan dal budaya Banjar karena sudah lama menjadi inti dari terbentuknya masyarakat Banjar. Hal ini tampak dari bahasa Banjar yang menjadi bahasa pengantar masyarakat Banjar hampir 75% dari kosa katanya berasal dari Melayu yang terekpresi pada bahasa dalam percakapan sehari-hari, bahasa dalam pergaulan dan bahasa berbagai kesenian. Berangkat dari pemahaman di atas, penulis lebih senang menyebut Dalam Pagar sebagai punduk (sebutlah ini sudah penulis pakai sejak awal penulisan) karena merupakan sebutan paling popular institusi pendidikan tradisional Islam kawasan Melayu, juga menjadi sebutan yang lazim dari masyarakat Banjar pada umumnya dan Banjar Hulu pada khususnya. Punduk dengan pesantern mempunyai perbedaan cukup banyak. Pertama, dalam proses sejarah pemunculannya punduk lebih bernuansa Timur Tengah, tanpa ada pengaruh signifikan dari institusi Hindu-Budha (karena agama Hindu- 5 Karel A. Steebrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 94. 6 Muhammad Najid, Ed., Demokraso dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1996), h, 130. 61 Budha di Kalimantan Selatan tidak begitu mengakar), meskipun masih terasa kuat berakar pada tradisi local, sedangkan pesantren nyata-nyata merupakan persambungan institusi pendidikan Hindu-Budha yang disebut mandala dan asymara yang berada jauh di pegunungan. Kedua, dalam proses pembangunannyan punduk bukan didirikan tuan guru semata-mata, tetapi juga atas partisipasi masyarakat bahkan tanahnya merupakan pemberian sultan dari kerajaan Banjar dan dibantu masyarakat dan menggarap dan mengolahnya lahan produktif, sehingga punduk tidak merupakan milik mutlak tuan guru, melainkan tuan guru bersama masyarakat yang memilikinya, sedangkan pesantren memakai kiai yang mendirikannya karena ia pada umumnnya tuan tanah yang sangat kaya sehingga pesantren memang mutlak menjadi miliknya, tidak heran jika posisi kiai dan pesantrennya bagaikan posisi raja dengan istananya. Ketiga, dalam pola kepemimpinannya, di dalam punduk tuan guru tidak berkuasa mutlak terhadap murid-muridnya, tetapi berbagi kuasa dengan tuan guru yang berada di luar punduk sekalipun, sehingga hubungan guru-murid meskipun tidak sampai mencapai taraf kemitraan terasa cukup dialogis, kehormatan murid terhadap gurunya terbatas samapi diguru semata-mata tidak sampai ke anak cucuketurunannya, sedangkan di dalam pesantren kiai berkuasa mutlak terhadap santrisantrinya, ia harus selalu ditaati tanpa reserve, tidak boleh dikritik apalagi sampai didemontrasi santrinya, santri harus patuh bak mayat yang diperlakukan apa saja oleh pemandinya, hubungan kiai dengan santri merupakan hubungan patron-klan atau tuan hamba yang bersifat doktriner, otoriter dan tidak dialogis, sehingga santri tidak saja harus sangat menghormati kiainya tetapi sekaligus juga 62 menghormati anak-cucu-keturunan dan keluarganya. Keempat, dalam karakternya, punduk agak inklusif membiarkan murid-muridnya mengaji tidak semat-mata terikat kepada satu tuan guru, tetapi beberapa tuan guru bahkan tuan guru diluar sekalipun tidak terlarang, sedangakan pesantren sangat ekslusif, santri-santrinya mengaji terikat ketat pada satu kiai atau paling dua-tiga kiai saja, tidak dibiarkan mengaji pada banyak kiai, apalagi mengaji pada banyak kiai dari luar sangat dilarang. Kelima, dalam relasinya keluar, punduk tidak mengasingkan diri dengan masyarakat sekitarnya bahkan terkadang begitu menyatu karena masyarakat merasa ikut memilikinya, sedangkan pesantren meskipun tidak tertutup sama sekali dengan masyarakat sekitarnya, tetapi terasa sekali sengaja membuat jarak yang jelas dan tegas, mungkin dalam rangka menjaga lingkungan pesantren dari pengaruh luar yang tidak kondusif.7 Arsyad berperan dalam pembaharuan institusi pendidikan di Kalimantan Selatan dengan mengenalkan institusi pendidikan semi formal pertama dalam masyarakat, di mana pengajian dikonsentrasikan dalam satu kompleks dan ilmu agama yang diajarkan lebih luas dan lebih mendalam. b). Periode Pembangunan dari tahun 1931 – 1975. Pada saat lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar ini dipimpin oleh GH. M. Thoha bin H. M. Sa'ad (Qadhil Qudhat) pada zaman Belanda, didirikan Madrasah "Al-Istiqomah" tingkat tahdiri dan tsanawi. Sistem/metode pendidikan pengajaran mengacu kepada madrasah "Thawalib" di Padang Panjang Sumatra Barat. 7 Humaidy, "Punduk Darussalam dalam Lintas Sejarah", dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Edisi 2, Tahun 1 (September 2003), h. 68. 63 Pimpinan harian madrasah di percayakan kepada sepupu beliau yang juga keturunan ke-4 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang pernah belajar di madrasah Thawalib tersebut diantaranya: Guru Muhammad Anwar bin Abdurrahman dan dibantu oleh Guru H. M. Hasan yang kemudian menjadi Qadhi di Martapura. Selama kepemipinan GH. M. Thoha bin H. M. Sa'ad diadakan perubahan di bidang pengajaran yaitu disamping diajarkan ilmu-ilmu agama diajarkan pula ilmu pengetahuan umum dan eksakta dengan menggunakan buku yang berbahasa Arab dan bahasa pengantarnya pun menggunakan bahasa Arab dalam kurikulum dan tahun belajar di lembaga pendidikan ini dibagi tingkatan tertentu yaitu: Awaliyah, Wustha dan "Ulya. Kemudian nama madrasah "Al-Istiqomah" diganti dengan "Madrastusysyar'iyah". Pergantian nama ini disesuaikan dengan tuntutan zaman ketika itu, saat tentara Jepang memasuki Martapura tepatnya tanggal 8 Desember 1942 situasi menjadi berubah. Dai Nippon menggunakan kekuasaannya sehingga seluruh partai dan organisasi massa dibubarkan, bahkan nama lembaga pendidikan Islampun harus menggunakan bahasa Jepang "Kai Kjo Gakko". Dengan kondisi seperti ini, madrasah "Al-Istiqomah terpaksa mengikuti ketetapan ini asalkan bisa menyelenggarakan pendidikan sebagaimana semula. Setelah kemerdekaan dapat dicapai, pertumbuhan lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar mendapat angin segar namun tidak diiringi dengan jumlah tenaga pengajarnya. Hal ini disebabkan oleh K. H. Salman Jalil dan K. H. Abdurrahman Ismail melanjutkan pendidikan beliau ke kota Mekkah selama 12 tahun. Setelah datangnya K. H. Salman Jalil dan K. H. Abdurrahman Ismail dari 64 kota Mekkah mereka menerus kembangkan lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar yang sempat mandek yang disebabkan oleh peristiwa perang. Dengan bantuan dan binaan Tuan Guru K. H. Zainal Ilmi. K. H. Salman Jalil dan K. H. Abdurrahman Ismail mulai memperbaiki gedung-gedung madrasah dengan bantuan hasil swadaya masyarakat murni dengan ukuran 14 m x 10 m yang dapat menampung 2 lokal belajar dan 4 kantor. Walaupun pendidikan formal telah berdiri, tetapi tidak menghilangkan rutinitas kaji duduk yang telah berjalan sebelumnya. Pada tahun 1950 Madrastusysyar'iyah banyak mengeluarkan kader-kader ulama yang terkemuka, di antaranya ada yang jadi guru, qadi pengadilan agama dan lain sebagainya. Pada tahun 1956 Madrastusysyar'iyah di ganti dengan nama "Sullamul 'Ulum", dengan tingkatan ibtidaiyah 6 tahun, dan tsanawiyah 3 tahun. Tahun 1960 Sullamul 'Ulum menambah jenjang pendidikan lagi, menjadi: 1). Majelis Ta'lim pada malam hari. 2). Madrasah tingkat Taman Kanak-kanak Al-Qur'an. 3). Madrasah tingkat Ibtidaiyah. Pada tingkat ini madrasah di bagi dua, yaitu: diniyah (khusus agama), dan asriyah (kurikulum pemberintah). 4). Madrasah tingkat Tsanawiyah. 5). Madrasah tingkat Aliyah. Bergantinya nama lembaga pendidikan tidak mengakibatkan rutinitas kaji duduk terhenti melainkan tetap berjalan seperti biasa. 65 Pada tahun 1967 didirikanlah asrama khusus untuk santri, namun asrama tersebut tidak mampu menampung semua santri, sehingga ada santri yang masih tetap tinggal di rumah guru-guru dan bahkan di rumah penduduk. c). Periode Pengembangan dari Tahun 1975 – 2006. Ketika Pemerintah RI lewat SKB Tiga Menteri tahun 1975 menggalakkan lembaga pendidikan madrasah dan mensejajarkan statusnya dengan sekolah umum.8 Berdasarkan ketetapan tersebut, lembaga pendidikan Dalam Pagar pada tahun 1978 ketika masih pimpinan masih dipegang GH. Abdurrahman Ismail, menyelenggarakan lembaga pendidikan madrasah yakni madrastusysyar'iyah. Madrastusysyar'iyah dengan mengikuti binaan Kandepag Kab. Banjar, maka madrasah ini bernaung di bawah pondok pesantren Sullamul Ulum yang kemudian hari Ponpes diberinama oleh GH. Abdul Hamid Syarwani pimpinan Ponpes ketika itu dengan Ponpes "Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari". Karena tingkat ibtidaiyahnya tidak diajarkan pengetahuan umum dan usia serta pengetahuan agama santrinya yang kelas 4, 5 dan 6 serta murid kelas 1, 2 dan MTs atau SLTP, oleh kepala madrasah ini H. M. Fadhil Zein dijadikan Madrasah Diniyah Wustha sesuai dengan rekomendasi dari Kandepag Kab. Banjar. 8 Isi dari SKB Tiga Menteri di antaranya: Bab I ayat 2 menyatakan bahwa madrasah meliputi tiga tingkatan yang tingkat Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar, tingkat Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama, dan Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas. Selanjutnya Bab II pasal 2 disebutkan bahwa ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Sedang mengenai pengelolaan dan pembinaan dinyatakan dalam Bab IV pasal 4 berisi pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama RI, pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama, pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersamasama Menteri Dalam Negeri. M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 58. 66 Jadi Depag RI mengenal : Madrasah Islam Swasta 6 tahun, Madrasah Tsanawiyah 3 tahun, dan Madrasah Aliyah 3 tahun dengan studi pelajaran agama sama dengan pelajaran umum 75 %, serta Madrasah Diniyah Awaliyah 4 tahun, Madrasah Diniyah Wustha 3 tahun, Madrasah Diniyah 'Ulya 3 tahun dengan studi pelajaran agama 100 %. Dan pelajaran umum 0 %. Dengan demikian para santri bukan saja bisa belajar ilmu agama tetapi juga bisa mengecap ilmu-ilmu pelajaran umum, hal ini disebabkan karena Ponpes "Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari" membuat suatu trobosan dengan menawarkan sistem salafiyah dan khalafiyah yang dikolaborasikan secara lebih optimal dengan mengikuti sistem madrasah. Tujuan pembelajaran sudah tersusun dengan sistematis. Materi pelajaran selain 60 % materi agama dan bahasa Arab dan kurikulum pesantren ditambah 40 % mata pelajaran umum sesuai dengan kurikulum madrasah dari Departemen Agama. Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan sistem klasikal, dengan menggunakan metode pembelajaran yang lebih variatif dan inovatif. Sistem evaluasi menggunakan tes lisan dan tulisan, baik evaluasi yang diselenggarakan oleh Pesantren sendiri maupun dengan mengikuti ujian Negeri, sehingga pada akhirnya mendapat syahadah dan ijazah Negeri. 2. Metode Metode dalam bahasa Inggris methode dari bahasa Latin methodus dan Yunani methodos, meta artinya sesudah dan di atas hodos artinya suatu cara.9 Metode pengajaran berarti cara-cara pelaksanaan dari proses pengajaran atau soal 9 L. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 10. 67 bagaimana tekhnisnya sesuatu bahan pelajaran diberikan kepada murid-murid di sekolah (termasuk punduk) untuk mencapai tujuan.10 Metode Arsyad dalam proses pengajarannya bisa dikategorikan dalam dua arah, yakni metode makro dan metode mikro yang pada dasarnya hanya lebih memperkaya, meningkatkan kualitas dan sedikit memberi hal-hal baru pada metode pengajaran dari institusi pendidikan lama. a. Metode Makro 1). Kontekstualistik yakni metode memindahkan dan mengembangkan suatu teks atau nilai dari yang rumit, lambat dan individual menjadi praktis, cepat dan massal. Dalam konteks pengajaran Arsyad adalah berbagai teks disiplin ilmu pengetahuan Islam pada zamannya yang terbungkus dalam bahasa Arab, dipindah, diolah dan dimodifikasi menjadi bahasa Melayu, dalam bentuk terjemahan, syarah, kompilasi, seleksi, kreasi atau gabungan, baik satu antara dua, sampai tiga maupun semuanya. 2). Migrasianistik yakni pengajaran yang menganjurkan atau bahkan mewajibkan murid-murid yang sudah dianggap selesai dan mampu untuk bermigrasi atau merantau ke berbagai daerah atau sampai ke luar negeri. 3). Sentralistik yakni metode memusatkan pengajarannya pada satu kompleks yang jauh dari keramaian kota, yang pada masa sebelumnya belum pernah ada dan belum ada orang yang melakukannya. 10 B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1977), h. 149. 68 4). Integralistik yakni metode baru yang sebelumnya belum pernah dilakukan yang ingin menyelaraskan lingkungan pengajaran di punduk (sekolah), lingkungan pengajaran rumah tangga dan lingkungan pengajaran masyarakat. 5). Gradulistik yakni metode penjenjangan dalam mengajarkan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama. Metode ini bukan metode baru dan pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Arsyad menerapkan metode ini dalam pengajarannya dengan dua segi pentahapan yakni pertama dari sudut pemberian materi pengajaran lebih mendahulukan ilmu tauhid, baru ilmu fiqih, setelah itu menyusul ilmu tasawuf. 6). Klasifikalistik yakni metode pengajaran yang menggolonggolongkan murid berdasarkan atas pertimbangan berbagai perbedaan. Dalam hal ini Arsyad menggolongkan murid-muridnya berdasarkan jenis kelamin, bakat dan tingkat kecerdasan. b. Metode Mikro 1). Uswatun Hasanah yakni metode pengajaran di mana guru lebih dahulu membentu dirinya patut atau ideal untuk menjadi teladan bagi muridmuridnya. Pembentukan diri itu dapat ditempuh dengan meningkatkan wawasan keilmuan, kesalehan, pengabdian, dedikasi dan integritas moral. 2). Halaqah yakni metode pengajaran di mana tuan guru membaca sebuah kitab disekelilingnya duduk para murid mendengarkan, memperhatikan 69 menyimak sambil memberikan catatan seperlunya pada beberapa kata Arab yang belum dimengerti maknanya.11 3). Sorogan yakni metode di mana murid menghadap guru bergiliran satu persatu dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode ini dalam dunia modern dinamakan dengan istilah toturship atau mentorship.12 4). Ceramah yakni metode penyampaian pesan dan informasi (materi pengajaran) kepada murid secara satu arah yang dilaksanakan dengan lisan atau lewat suara oleh guru. 5). Tanya-Jawab yakni metode pengajaran dimana guru bertanya materi pelajaran baik yang sudah, sedang maupun yang akan diajarkan, sedangkan murid-murid menjawabnya, Arsyad dalam beberapa karangannya kelihatan sangat gemar menggunakan metode tanya-jawab, misalnya pada kitab Sabi al-Muhtadin, Luqtah al-Ajlan dan Tuhfah ar-Ragibin, hamper dalam setiap bab ditemukan data yang memuat tanya-jawab permasalahan. 6). Diskusi yakni metode pengajaran dimana proses interaksi dan komunikasi dua arah atau lebih terjadi, melibatkan guru dan murid untuk memecahkan masalah dan mengambil kesimpulan. 7). Penugasan yakni metode pengajaran dimana guru memberikan tugas kepada murid-muridnya berupa materi keilmuan dan keterampilan agar dikerjakan dan diselesaikan dalam waktu tertentu. 8). Drill yakni metode pengajaran mata pelajaran yang lebih dominan praktik atau latihan daripada teori. 11 Muhmis Baderi, "Profil Pesantren di Kalimantan Selatan", makalah seminar Profil Pendidikan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan, 11-12 September 1986 di Banjarmasin, h. 6. 12 Baderi, loc. cit. 70 9). Takhassus yakni metode khusus dalam pengajaran dimana guru secara intens mengontrol, banyak memberi nasihat, menuntun dan membimbing murid-muridnya dalam melakukan suluk, khalwat atau latihan spiritual. Semua metode pengajarannya baik yang makro maupun mikro dilaksanakan satu persatu atau digabung satu, dua, tiga atau lebih dalam satu waktu dan tempat. Yang jelas metode pengajarannya ini memperbaharui metode pengajaran lama dalam artian memperkaya, mengembangkan, meningkatkan dan memberikan tambahan baru yang sangat bermakna. 3. Materi Sebelum kedatangan Arsyad, materi pelajaran agama masih sangat sederhana. Dalam pengajian al-Qur'an sekedar membaca, menghapal dan melagukan. Dalam pengajaran fiqih terbatas aturan shalat, wudhu dan berdo'a. Mungkin hanya dalam pelajaran tasawuf yang sudah cukup mendalam karena sampai tingkat wihdatul wujud, meskipun diragukan tingkat pemahamannya karena tidak didukung oleh pemahaman tauhid dan fiqih yang mendalam sebagai bagian atau tahap penting yang harus dilalui oleh orang-orang beriman. Memasuki zaman Arsyad (ketika sudah pulang dari Haramain), materi pelajaran agama mengalami pendalaman dan perluasan. Dalam pengajaran di samping membaca, menghapal dan melagukan juga diiringi dengan pelajaran bahasa Arab, tafsir, tajwid sekaligus khat dan kaligrafi. Yang disebut terakhir merupakan salah satu keahlian Arsyad, karena hasil tulisan tangannya sampai sekarang masih bisa kita nikmati keindahannya. Dalam pengajaran fiqih sudah tersusun sangat sistimatis dan thaharah sampai haji dengan tambahan-tambahan 71 kasus-kasus local seperti hukum memakan amal wanyi (lebah) dan haliling (sejenis siput darat). Dalam pengajaran tauhid sudah dibicarakan berbagai aliran teologi dalam Islam, konsep tentang iman dengan segala seluk beluknya termasuk kebalikannya yakni konsep kafir, musyrik, murtad, zindiq, bid'ah, mubadzir dan kepercayaan menyimpang lainnya. Dalam pengajaran tasawuf, ia lebih memilih tasawuf yang masih bisa diterima syariat ketimbang yang bertentangan. Ia juga mengajarkan ilmu falaq sebagai cabang ilmu keahliannya dan keterampilan bertani dan membuat irigasi. Sementara kitab-kitab pelajaran yang ia gunakan dalam pelajaran, mungkin tidak semata-mata hasil dari beberapa buah karyanya, melainkan juga buah karya ulama-ulama lain. Hal ini senada dengan sinyalemen Martin bahwa kitab yang digunakan di kawasan Melayu, biasanya karya-karya orisinil ulama Melayu. Sudah barang tentu Arsyad juga menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab secara langsung, terutama karya-karya ulama madzhab Syafi'i dalam fiqih, madzhab ahlussunnah dalam tauhid dan tasawuf. B. Faktor Yang Mempengaruhi Masa Keemasan dan Kemunduran Lembaga Pendidikan Islam Dalam Pagar Pada pembahasan ini peneliti akan mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi masa keemasan dan kemunduran lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor tokoh, faktor lingkungan dan faktor kesinambungan dan perubahan. Hal ini peneliti lakukan sesuai dengan pembatasan masalah. Secara sistematis faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: 72 1. Tokoh-tokoh Keberhasilan transmisi dan sosialisasi ajaran Islam salah satunya ditentukan oleh hadirnya lembaga pendidikan Islam, di samping melalui pendekatan politis, kultural, perkawinan dan perdagangan. Kita mengenal surau di Sumatra Barat, rangkang dan meunasah di Aceh, langgar di Jakarta, tajuk di Jawa Barat, pesantren di Jawa, dan lain-lain. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut tidak bisa dipisahkan dari peran yang sangat signifikan dengan cara mengembangkan sistem pendidikan, visi dan misi yang harus diperjuangkan, kurikulum, bahan ajar seperti buku dan kitab, sarana prasarana, etos keilmuan, sumber dana, kualitas lulusan, dan lain-lain. Terjadinya proses kegiatan pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh sebagai aktor utamanya. Gerakan pendidikan Islam tersebut merata di seleruh kepulauan di Indonesia, yaitu mulai dari Aceh, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, hingga ke pulau Jawa, Sulawisi, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Maluku. Melalui lembaga-lembaga dimaksud telah mampu mencetak kader-kader yang selanjutnya memimpin perjalanan kehidupan bangsa. Upaya gerekan pendidikan ini berlangsung dari sejak zaman prakemerdekaan hingga zaman kemerdekaan dan zaman modern seperti sekarang ini. Gerakan pendidikan tersebut selain mendapat pengaruh dari dalam negeri, juga dipengaruhi oleh gerakan yang berkembang di Timur Tengah seperti Saudi Arabia (Makkah), Mesir, Turki, India, dan sebagainya. Pengaruh ini terjadi karena 73 adanya hubungan yang kuat antara ulama yang ada di kepulauan nusantara dengan ulama-ulama yang ada di Timur Tengah. Dalam menatap, merancang dan menyiapkan visi, misi dan strategi pendidikan Islam di era globalisasi yang penuh tentangan ini, umat Islam ditantang untuk berpikir dan bekerja lebih keras lagi. Umat Islam harus mampu merumuskan konsep pendidikan yang sesuai dengan zamannya. Upaya ini menuntut adanya pemikiran, gagasan, dan saran-saran yang konstruktif. Umat Islam perlu melihat dan belajar serta bersikap terbuka terhadap gagasan dan pemikiran yang datang dari manapun. 2. Lingkungan Seiring dengan perkembangan zaman, dunia pendidikan pun semakin berkembang, Jika pada masa sebelumnya pendidikan tidak menekankan pada pentingnya institusi, maka pada fase berikutnya lebih mengedepankan peran institusi. Tidak mengherankan jika pendidikan Islam tradisional pun pada akhirnya mengikuti model pendidikan yang lebih terorganisasi, sehingga diterapkannya sistem kelas, kurikulum, biaya pendidikan, dan sistem penggajian guru. Ketika model pendidikan Islam tradisional ala pesantren dikenal secara luas, maka hal itu juga sekaligus memperkenalkan model pendidikan Islam tradisional terinstitusi kepada masyarakat lokal, walaupun tidak terlalu modern, Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa institusi pendidikan Islam tradisional yang bermunculan, misalnya seperti Normal Islam di Amuntai dan Pesantren Darussalam di Martapura, kemudian pada awal dekade 80-an mulai 74 bermunculan pula pesantren-pesantren serupa, meskipun pada umumnya lebih menekankan ciri tradisionalnya. Kemudian pada pertengahan 80-an hingga menjelang awal 90-an, pesantren-pesantren yang mengklaim dirinya modern mulai bermunculan, yang pada umumnya merupakan cabang dari pesantren di Jawa, adapun ciri khasnya yaitu, dengan mengajarkan bahasa Inggeris kepada santrinya. Dengan pesatnya perkembangan pesantren, maka dengan sendirinya peran mengaji duduk secara perlahan-lahan mulai tergusur, istilah tuan Guru pun mulai jarang terdengar, di samping keberadaan para tuan guru semakin langka, apalagi di daerah yang sudah tergolong perkotaan. Peran tuan Guru tampaknya tidak hanya tergusur oleh keberadaan pesantren-pesantren, tetapi juga direbut oleh jalur pendidikan formal umum serta lembaga pendidikan agama yang sudah di negerikan. Selain itu terkait pula dengan adanya perubahan minat masyarakat yang lebih senang menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah umum milik pemerintah ataupun swasta. Kecenderungan para orang tua menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah formal terkait dengan perubahan cara pandang mereka dalam melihat dunia pendidikan. Pada umumnya para orang tua mengaitkan pendidikan dengan lapangan pekerjaan, sehingga mereka beranggapan bahwa alumni sekolahsekolah formal lebih mudah dalam mencari pekerjaan. Fenomena di atas semakin menjauhkan perhatian masyarakat terhadap penting tidaknya keberadaan mengaji duduk, karena pendidikan di luar jalur formal tidak menjanjikan pekerjaan yang "sesuai" dengan kebutuhan masyarakat, 75 pendidikan agama yang formal ataupun non formal tetap dianggap penting, karena masih diperlukan sebagai bentuk proteksi sosial terhadap nilai-nilai yang dianggap asing secara kultural. Trend di atas pada satu sisi memang mengandung nilai positif, namun pada sisi yang lain lebih menekankan pada sosok kharismatis seorang guru, meskipun hal itu bisa ditolerir dalam konteks lokal, tetapi bagaimanapun membekali anak-anak muda dengan penguasaan ilmu agama yang lebih serius dengan segala perangkat ilmu alat-nya tetaplah penting. Terlepas dari trend di atas, bagaimanapun masyarakat lokal harus menghargai mengaji duduk sebagimana sebuah bentuk pendidikan lokal non formal yang telah banyak melahirkan banyak ulama. Selain itu ada pula dimensi spiritual mengaji duduk yang mengandung nilai positif, dan tidak bisa diremehkan begitu saja, yaitu bagaimana seorang tuan Guru mengajar berdasarkan nilai-nilai kesalehan., di mana keikhlasan merupakan bagian yang include di dalamnya. Dalam pandangan tradisional mereka benarbenar guru sejati tanpa tanda jasa, karena tidak menekankan unsur-unsur komersialitas dalam pendidikan. Begitu juga seorang murid dalam pandangan tradisional, adalah orang yang menjunjung nilai-nilai kesalehan, yang tujuannya tidak hanya pada hal-hal yang duniawi saja, tetapi pada tujuan-tujuan ukhrawi. Namun ketika masyarakat sudah beralih orientasi, maka nilai-nilai sacral dalam pendidikan agama lokal mengalami pengeroposan. Secara umum orientasi pendidikan bergeser dari memperoleh ilmu kepada ijazah. 76 3. Kesinambungan dan Perubahan Bentuk pendidikan pada masa-masa awal masuknya Islam di Kalimantan Selatan hingga beberapa abad belakangan, tampaknya memiliki ciri khas yang lebih menekankan sisi non formalnya, yaitu tidak mengutamakan adanya kehadiran istitusi formal dalam menyelenggarakan aktivitas pendidikan. Sebagai masyarakat yang dikenal religius, umumnya masyarakat Banjar tradisional lebih memahami pendidikan sebagai sesuatu yan tidak terlepas dari agama, sehingga kadang-kadang dalam sudut pandang tradisional pendidikan formal yang lebih berorientasi pada ilmu-ilmu non agama dianggap sebagai suatu stigma. Prinsip-prinsip teologis dalam masyarakat ketika memandang pendidikan begitu kuat diterapkan, sehingga semua aktivitas pendidikan yang berhubungan dengan pendidikan dipandang memiliki hubungan yang sakral dengan perintah-perintah Tuhan. Dengan ungkapan lain setiap aktivitas pendidikan dipandang juga sebagai perbuatan yang sangat mulia. Tidak mengherankan pula jika ada orang yang berprofesi sebagai Tuan Guru atau Mu'allim dipandang sebagai sebuah pekerjaan yang terhormat. Profesi sebagai Tuan Guru atau Mu'allim di atas, tentulah berdasarkan qualifikasi keilmuan yang dimilikinya, biasanya dalam masyarakat Banjar tradisional pengakuan terhadap seseorang Tuan Guru atau Mu'allim didasarkan pada criteria, apabila ia telah lama menuntut ilmu di tanah Suci Mekkah, atau paling tidak berguru pada Tuan Guru-Tuan Guru lokal yang dianggap sangat 'alim 77 dalam berbagai cabang ilmu agama, khususnya dalam prihal ilmu-ilmu lahir dan ilmu-ilmu batin. Kemudian menjelang abad ke-20 hingga sekarang kiblat keilmuan masyarakat Banjar mengalami pergeseran, yaitu dari Mekkah ke Mesir, khususnya Universitas al-Azhar, dan penekanan studinya pada fiqh dan teologi. Umumnya para calon Tuan Guru yang menuntut ilmu ke sana terlebih dahulu menempuh jalur pendidikan formal, karena untuk masuk universitas tersebut diperlukan syarat formal, yaitu berupa ijazah. Kedudukan para Tuan Guru dalam masyarakat Banjar tradisional tergolong dominan meskipun tanpa institusi, sebagai gantinya adalah majelis pengajian. Pada dasarnya mereka juga adalah ulama atau qadhi yang memiliki hubungan dengan kekuasaan (meskipun tidak semua) maupun pada bagian lapisan masyarakat. Mengenai besar kecilnya pengaruh Tuan Guru di tengah masyarakat Banjar tradisional, tidak hanya ditentukan oleh qualifikasi keilmuan saja, tetapi juga tergantung seberapa besar kharisma yang dimiliki oleh Tuan Guru, serta berapa banyak jumlah jamaahnya. Adapun jenis pengajian yang berkembang pada masyarakat Banjar tradisional tergantung pada orientasi Tuan Guru dan kecenderungan masyarakat yang berkembang pada saat itu. Jenis pengajian yang pertama adalah lebih kepada pemenuhan kebutuhan spiritual masyarakat, sedangkan jenis pengajian yang kedua lebih menekankan pada keahlian dalam bidang ilmu agama, dalam hal ini seorang murid sangat dituntut keseriusan dan ketentuannya dalam mendalami 78 ilmu-ilmu agama, untuk bisa mencapai tujuan tersebut seorang murid harus mengusai yang namanya ilmu alat, yaitu ilmu bahasa, lebih spesifiknya adalah bahasa Arab (yang berhubungan dengan ilmu nahwu dan sharaf). Dengan menguasai ilmu alat, maka seorang murid diharapkan bisa mengusai berbagai cabang ilmu agama, dan para muridnya diharapkan bisa menguasai berbagai cabang ilmu agama, dan para murid inilah nantinya yang menjadi Tuan GuruTuan Guru lokal, yang merupakan penyambung estafet keberlanjutan pengajaran agama di kampung-kampung. Jenis model pengajaran yang besifat lokal pada masyarakat Banjar, sebagaimana yang dimaksud di atas sudah berlangsung lama dari generasi ke generasi, inilah yang disebut dengan mengaji duduk. Pengajian-pengajian ini biasanya dilaksanakan di rumah-rumah para Tuan Guru, para murid pun datang silih berganti untuk belajar kepada Tuan Guru berdasarkan waktu-waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, serta sesuai dengan tingkatan kitab yang dipelajari. Model pengajian ini disebut dengan mengaji duduk karena Tuan Guru dan murid berada dalam posisi duduk di lantai (balapak), serta saling berhadaphadapan. Jika jumlah murid tergolong banyak, maka posisi duduk bisa dalam bentuk lingkaran. Adapun menyangkut peralatan sangat bersifat sederhana, yaitu meliputi pensil, buku tulis, kitab yang dipelajari, bangku kecil tempat meletakkan kitab saat belajar atau memakai papan tulis. 79 Seorang murid dalam menempuh pelajarannya dalam mengaji duduk kadang-kadang berlangsung relatif lama, karena banyaknya kitab yang harus dipelajari serta banyaknya cabang ilmu agama yang harus dikuasai. Selain itu, metode pengajaran seorang Tuan Guru yang sangat berbeda dengan metode pengajaran modern, juga turut memperlama masa belajar seorang murid. Dalam metode tradisional ini peran Tuan Guru sangat dominan, di mana ia harus membimbing para muridnya dalam membaca teks-teks yang terdapat dalam kitab-kitab pelajaran agama yang berbahasa Arab secara telaten, yaitu dari baris perbaris hingga menamatkan sebuah kitab, dan akhirnya para murid bisa mandiri dalam mempelajari teks-teks yang lain. Setelah sekian lama para murid menuntut ilmu (mengaji duduk) pada seorang Tuan Guru, maka mereka akan memperoleh ijazah, yang umumnya bisa berupa pengakuan lisan dari Tuan Guru yang mengajarkan, yang isinya menyatakan bahwa si murid telah selesai menerima pengajaran dalam kitab-kitab tertentu. Kadang-kadang ketika mendekati tahap akhir pengajaran sebuah kitab, ada semacam upacara salamatan yang dikenal dengan balamat, sehingga seorang murid memperoleh kemantapan secara spiritual dalam meresapkan ilmu pengetahuan yang dperolehnya, meskipun tradisi ini jarang dilakukan. Adapun pemberian ijazah yang lebih istimewa, seorang murid tidak hanya donyatakan selesai dalam menerima pelajaran, tetapi juga menerima semacam lisensi untuk mengajarkan kitab tersebut kepada orang lain, pemberian ijazah seperti ini biasanya tergantung kepada kualitas kecerdasan sang murid. Selain itu pemberian ijazah tidak hanya dalam bidang ilmu-ilmu agama yang sudah umam dikenal, 80 tetapi juga menyangkut pengajaran kitab khusus, yang dikenal dengan menyalin ilmu batin (umumnya berhubungan dengan tasawuf). Dalam menyalin ilmu batin, seorang murid menerima pengajaran khusus yang terkait dengan pengetahuan yang berisi pandangan-pandangan ataupun tata cara ritual sufistik. Seorang murid ketika telah selesai menerima pangajaran dari seorang Tuan Guru, bisa saja berpindah kepada Tuan Guru yang lain untuk memperdalam cabang ilmu agama yang lain sesuai dengan keahlian Tuan Guru tersebut, dalam tradisi mengaji duduk, seorang murid bisa memperoleh banyak Tuan Guru. Kadang-kadang seorang Tuan Guru ketika sudah selesai memberikan pelajaran beberapa kitab, kemudian merekomendasikan muridnya untuk melanjutkan pelajarannya pada Tuan Guru yang lebih ahli, atau menyerahkan pilihan kepada murid itu sendiri, yaitu mau berguru kepada Tuan Guru siapa saja yang dianggap sesuai dengan selera murid. Dalam tradisi mengaji duduk, ada sisi lain yang sangat dijunjung tingi oleh para murid, yaitu ketaatan pada Tuan Guru. Ketaatan tersebut merupakan bagian pandangan yang dianggap memiliki nilai sacral dalam pendidikan Islam lokal, sehingga seorang murid secara individual selalu berusaha menjaga ketaatannya pada seorang Tuan Guru agar terhindar dari ketulahan, atau yang bisa dipahami sebagai kualat. Menurut keyakinan lokal ketulahan itu bisa menimbulakn efek negatif, efek paling ringan adalah seorang murid bisa kehilangan barakah dari ilmu yang diperolehnya. Sisi lain lagi yang menarik dalam tradisi mengaji duduk pada masyarakat Banjar adalah Tuan Guru tidak menuntut bayaran dari para murid 81 yang diajarinya, hanya saja kesadaran para murid untuk memberikan infak kepada para Tuan Guru tersebut, yang kadang-kadang berupa uang, atau kebutuhan sandang pangan. Dalam pandangan lokal sosok Tuan Guru adalah mereka yang secara ikhlas mengajarkan ilmunya kepada masyarakat, yang hanya karena Allah saja. Mengenai kitab yang diajarkan oleh para Tuan Guru kepada para murid cenderung bervariasi, ada yang berupa kitab Arab yang terdiri kitab-kitab dasar mengenai nahwu (ajrumiyyah, mukhtasar jiddan, kawakib hingga alfiyah ibn Malik) dan sharaf (dlammun atau yang belakangan kitab tashrif), fiqh (fathul qarid, bijuri hingga i'anah dan seterusnya pada kitab yang lebih tinggi) dan tauhid untuk pemula hingga yang lebih mendalam, selain itu diajarkan pula kitab hadis seperti riyadhusshalihin hingga pada dua kitab shahihnya (Imam Bukhari dan Muslim yang terdiri dari beberapa jilid). Kemudian ada juga diajarkan kitab-kitab Arab-Melayu (dasar) seperti kitab parukunan basar, sifat dua puluh, hidayah al-salikin dan beberapa macam kitab lagi. Adapun mengenai sejauh mana pengajaran lewat mengaji duduk ini bisa menghasilkan alumni yang qualified, hal ini dibuktikan dengan penguasaan para murid terhadap kitab-kitab yang diajarkan kepada mereka, dan kemudian mengajarkannya kepada lapisan masyarakat. Para murid yang telah dianggap selesai menuntut ilmu memang kebanyakan menjadi Tuan Guru di kampungkampung di mana mereka bermukim, meskipun ada juga yang menekuni bidang lain, seperti berdagang dan menggeluti biadang pertanian. 82 Selain mengaji duduk yang telah diuraikan di atas, pengajian lain yang sebelumnya telah disinggung secara singkat juga tidak kalah pentingnya dalam masyarakat Banjar, khususnya yang banyak digemari oleh masyarakat awam. Pengajian ini pada dasarnya adalah pengajian duduk juga, hanya saja pengajian ini lebih mengarah kepada pengajian jamaah, di mana peserta pengajian tidak disyaratkan untuk mengerti tentang ilmu alat, tetapi hanya lebih sebagai mustami' (pendengar) saja. Mengaji duduk secara keseluruhan tampaknya lebih populis, di mana seluruh lapisan masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan pengajaran agama dari para Tuan Guru yang tersebar di kampung-kampung. 83 84 BAB V ANALISIS Berdasarkan uraian dari bab-bab terdahulu, menyangkut pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Dalam Pagar Kalimantan Selatan yang diterapkan sejak 1774 – 2006 M dapat disampaikan sebagai berikut: 1. periode perintis dari tahun 1774 – 1931 Periode tahun 1774 – 1931 merupakan suatu permulaan berdirinya lembaga pendidikan Dalam Pagar oleh Muhammad Arsyad sampai akhir hayat beliau diteruskan kemudian oleh anak cucu zuriat Syekh Muhammad Arsyad. Ditinjau dari pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan di Dalam Pagar masih berbentuk pendidikan non formal adapun metode yang digunakan ialah dalam bentuk pengajian, dan pengajian tersebut langsung dipimpin/dilaksanakan oleh Syekh Muhammad Arsyad dan hal ini berlangsung terus menurus dijalankan oleh anak cucu zuriat Syekh Muhammad Arsyad hingga tahun 1913. Sedangkan proses pembelajaran yang dilaksankan pada periode ini adalah sistem halaqah ketika pengajian masih dilaksanakan di rumah Muhammad Arsyad dan anak cucu zuriat beliau. Metode halaqa ini terbukti mampu menjadi jembatan untuk mentrasfer ilmu dari seorang kyai/guru kepada santrinya secara optimal, karena pada saat menyampaikan materi posisi duduk kyai/guru berada pada titik sentral pandangan santri sehingga perhatian mereka hanya tertuju kepada kitab yang mereka pegang dan kyai di depan mereka yang sedang membacakan, menterjemahkan kemudian menjelaskan materi yang diajarkan. Namun disamping itu, metode ini juga memiliki kelemahan diantaranya kyai melaksanakan pembelajaran secara monoton sehingga keaktifan dari santri terasa minim bahkan dapat dikatakan tidak ada, mereka hanya memperhatikan setiap kata yang dibacakan kyai dari kitab yang dipelajari sambil memberi harkat dan mencantumkan arti/terjemahan dari setiap kata tersebut, sehingga kitab kuning yang dipelajari penuh dengan "jenggot" terjemahan. Ketika proses pembelajaran dipindahkan ke sebuah langgar, sistem yang digunakan kemudian beralih menggunakan sistem klasikal. Meskipun sistem klasikal namun materi yang diajarkan tetap tidak berubah seperti yang diajarkan seperti di rumah. Beliau mencoba menggabungkan beberapa metode yang ada seperti sorogan, bandongan, menghafal, dan sebagainya dalam upaya menanamkan kecintaan kepada ilmu-ilmu Agama. Media pembelajaran pada periode ini sudah mulai digunakan seperti alat tulis, batu kapur, buku, pensil dan sebagainya walaupun sarana yang sangat sederhana. Metode ini membawa angin segar bagi perkembagan lembaga pendidikan ini selanjutnya. Pada periode perintis, sistem yang digunakan adalah salafiyah atau tradisional. Karena pembelajaran diberikan dengan sistem halaqah, sorogan dan bandongan, tanpa kelas (meskipun ketika pembelajaran pindah kelanggar menggunakan sistem klasikal namun materi dan metode yang digunakan masih tetap sistem halaqah) dan tanpa batas umur. Dan materi pelajaran yang diajarkan semuanya adalah materi yang diajarkan 100 % pelajaran Agama dan Bahasa Arab, dan sistem evaluasi subjektif, belum berbentuk tes tertulis dan belum mengeluarkan ijazah tertulis. 2. Periode pembangunan dari tahun 1931 – 1975 Pada periode ini terjadi pembaharuan besar dalam materi pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan ini, yakni memasukkan pelajaran umum ke dalam kurikulum selain materi pelajaran agama, materi pelajaran umum tersebut menggunakan buku yang berbahasa arab dan disampaikan dengan berbahasa Arab pula. Pembaharuan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang lengkap dan membuka wawasan berpikir para santri akan hal hal-hal lain selain ajaran-ajaran agama. Pelajaran umum tersebut sebagai pelengkap dari ilmu-ilmu keagamaan yang telah mereka ketahui sebelumnya. Pembaharuan ini dibawa oleh ulama-ulama yang pulang dari menuntut ilmu di madrasah "Thawalib" di Padang Panjang Sumatra Barat. Mereka datang membawa sistem yang diajarkan di sana dan sistem itu memang yang terbaik pada saat itu. Sistem pembelajaran yang diterapkan madrasah "Thawalib" tersebut, pada dasarnya adalah seperti sistem pengajaran yang diterapkan di Timur Tengah. Begitu pula kitabkitab yang digunakan semuanya kitab-kitab klasik yang berasal dari Timur Tengah. Senada yang diajarkan Syekh Muhammad Arsyad, namun ditambah dengan mengajarkan pengetahuan umum dalam Bahasa Arab. Dengan 70 % agama ditambah dengan mata pelajaran umum 30 % yang pada awalnya juga berbahasa Arab adalah suatu pembaharuan yang menunjukkan suatu keberanian untuk mengambil sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk kemajuan ummat di samping tetap mempertahankan hal-hal lama yang dianggap baik. Sistem asrama sebagai salah satu elemen lembaga pendidikan ini dengan baik, berbagai kegiatan keagamaan disusun dan dilaksanakan bersama-sama. Jumlah asrama tidak sebanding dengan jumlah santri, sehingga sebagian besar masih menjadi santri kalong. Pada periode ini, sistem pembelajaran yang digunakan adalah sistem khalafiyah. Yaitu dengan sistem klasikal, sudah memiliki kurikulum yang tersusun rapi dan ada batas umur ditambah dengan pelajaran umum selain pelajaran agama. Namun di sisi lain, lembaga pendidikan ini juga melaksanakan sistem kalaborasi digabungnya sistem salafiyah dan khalafiyah, walaupun belum maksimal. Ini terlihat pada tujuan pembelajaran yang mulai tersusun dengan rapi, materi yang diajarkan selain mata pelajaran Agama dan Bahasa Arab 70 % ditambah dengan mata pelajaran umum 30 % yang pada awalnya juga berbahasa Arab. Sistem pembelajaran klasikal dengan metode gabungan: halaqah, sorongan, bandongan, menghafal, dan pembiasaan bahasa asing. Sistem evaluasi objektif, berbentuk tes tertulis dan lisan, sudah mengeluarkan ijazah tertulis (syahadah). 3. periode pengembangan dari tahun 1975 – 2006 Pada periode ini perkembangan lembaga pendidikan Islam di Dalam Pagar mengembangkan lembaga pendidikan berdasarkan SKB Tiga Menteri tahun 1975. Dengan satu prinsip selalu terbuka menerima perubahan kearah yang lebih baik dengan tetap mempertahankan hal-hal lama yang masih relevan, lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar mengikuti ketetapan pemerintah menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah. Dengan mengikuti sistem madrasah ini, kurikulum pesantren yang selama ini diterapkan oleh lembaga Islam Dalam Pagar (Ponpes "Syekh Muhammad Arsyad alBanjari") harus menyesuaikan dengan kurikulum madrasah yang sering mengalami perubahan. Mulai kurikulum 1976 kemudian disempurnakan dengan kurikulum 1984 yang berisi 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Selanjutnya Departemen Agama memberlakukan lagi kurikulum baru tahun 1994 yang mensyaratkan penyelenggaraan sepenuhnya 100% kurikulum sekolah-sekolah Depdikbud. Terakhir muncul kurikulum 2004 dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang mengehendaki adanya kompetensi dalam kemahiran di segala bidang pada diri siswanya. Perubahan kurikulum madrasah tersebut tetap diikuti namun tanpa merubah kurikulum pesantren sendiri. Meskipun beban pelajaran umum semakin bertambah, begitu pula alokasi jam pertemuan dalam seminggu menjadi semakin padat, namun tetap tidak merubah jumlah mata pelajaran dalam kurikulum pesantren yang telah lama dirintis. Dengan materi pelajaran selain 60 % materi agama dan bahasa Arab dan kurikulum pesantren ditambah 40 % mata pelajaran umum sesuai dengan kurikulum madrasah dari Departemen Agama. Pada periode pengembangan ini, sistem salafiyah dan khalafiyah dikolaborasikan secara lebih optimal dengan mengikuti sistem madrasah. Tujuan pembelajaran sudah tersusun dengan sistematis. Dan proses belajar mengajar dilaksanakan dengan sistem klasikal, dengan menggunakan metode pembelajaran yang lebih variatif dan inovatif. Sistem evaluasi menggunakan tes lisan dan tulisan, baik evaluasi yang diselenggarakan oleh Pesantren sendiri maupun dengan mengikuti ujian Negeri, sehingga pada akhirnya mendapat syahadah dan ijazah Negeri. Hasil dari kolaborasi antara sistem Salafiyah dan Khalafiyah ini mampu menghasilkan para alumni tidak hanya mampu menjadi imam, khatib, atau penghulu saja, namun lebih dari itu, mereka menjadi ahli teknokrat yang handal, ahli politik Islami, pegawai baik di jajaran pemerintah maupun swasta. Ini membuktikan bahwa lembaga Islam Dalam Pagar bukan hanya maupu mencetak guru-guru agama, namun lebih dari itu, lembaga ini juga mampu memberikan kontribusi yang dalam pengembangan di negara ini. Perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan anak didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan dan keterampilan, kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat secara luas, serta meningkatkan kesadaran terhadap alam lingkungannya. Asas pendidikan yang demikian itu diharapkan dapat merupakan upaya pembudayaan untuk mempersiapkan warga guna melakukan suatu pekerjaan yang menjadi mata pencahariannya dan berguna bagi masyarakatnya, serta mampu menyesuaikan diri secara konstruktif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Untuk memnuhi tuntutan pembinaan dan pengembangan masyarakat berusaha mengerahkan sumber daya dan kemungkinan yang ada agar pendidikan secara keseluruhan mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi masyarakat dan bangsa. Kini masyarakat dan bangsa dihadapkan dengan berbagai masalah dan persoalan yang mendesak. Masalah-masalah yang paling menonjol ialah tekanan masalah penduduk, krisis ekonomi, pengangguran, arus urbanisasi dan lainnya. Sementara krisis nilai, teranca,nya kepribadian bangsa, dekadensi moral semakin sering terdengar. Dalam upaya mengarahkan segala sumber yang ada dalam bidang pendidikan untuk memecahkan berbagai masalah tersebut, maka eksistensi pondok pesantren lebih disorot. Karena masyarakat dan pemerintah mengaharapkan pondok pesantren yang memiliki potensi yang besar dalam bidang pendidikan. Dilihat dari fungsi dan peranan pendidikan Islam Dalam Pagar yang memiliki watak otentik pondok pesantren yang cenderung menolak pemusatan (sentralisasi), merdeka dan bahkan desentralisasi dan posisinya di tengah-tengah masyarakat, pendidikan Islam Dalam Pagar sangat bisa diharapkan memainkan peranan pemberdayaan (enpowerment) dan transformasi masyarakat secara efektif, diantaranya : 1. Peranan Instrumental dan Fasilitator Hadirnya lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar yang tidak hanya sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan, namun juga sebagai lembaga pemberdayaan umat merupakan petunjuk yang amat berarti. Bahwa lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar menjadi sarana bagi pengembangan potensi dan pemberdayaan umat, seperti halnya dalam pendidikan atau dakwah islamiyah, sarana dan pengembangan umat, ini tentunya memerlukan sarana bagai pencapaian tujuan. Sehingga lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar tersebut telah berperan sebagai alat atau instrument pengembangan potensi dan pemberdayaan umat. 2. Peran Mobilisasi; Lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar merupakan lembaga yang berperan dalam memobilisasi masyarakat dalam perkembangan mereka. Peranan seperti ini jarang dimiliki oleh lembaga atau perguruan lainnya,dikarenakan hal ini dibangun atas dasar kepercayaan masyarakat bahkan lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar adalah tempat yang tepat untuk menempa akhlak dan budi pekerti yang baik. Sehingga bagi masyarakat tertentu, terdapat kecenderungan yang memberikan kepercayaan pendidikan hanya kepada lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar ini. 3. Peranan Sumber Daya Manusia; Dalam sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pondok pesantren sebagai upaya mengotimalkan potensi yang dimilikinya, lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar memberikan pelatihan khusus atau diberikan tugas magang di beberapa tempat yang sesuai dengan pengembangan yang akan dilakukan di lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar. Di sini peranan lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar sebagai fasilitator dan instrumental sangat dominan. 4. Sebagai Agent of Development Lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang yang ditawarkan. Kehadirannya bisa disebut sebagai agen perubahan sosial (agent of social change), yang selalu melakukan pembebasan pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, pemiskinan ilmu pengetahuan, dan bahkan dari pemiskinan ekonomi. 5. Sebagai Center of Excellence Institusi pendidikan Islam Dalam Pagar berkembang sedemikian rupa akibat persentuhan-persentuhannya dengan kondisi dan situasi zaman yang selalu berubah. Sebagai upaya untuk menjawab tantangan zaman ini, lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar kemudian mengembangkan peranannya dari sekedar lembaga keagamaan dan pendidikan, menjadi lembaga pengembangan masyarakat. Pada tatanan ini lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar telah berfungsi sebagai pusat keagamaan, pendidikan dan pengembangan masyarakat (center of excellence). BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Ketika terjadi pembaharuan pendidikan Islam di Kalimantan Selatan akhir abad ke-18, situasi internasional dunia muslim dan khususnya regional muslim Nusantara penuh dengan dinamika pembaharuan Islam. Ciri pembaharuan Islam waktu itu termasuk dalam bidang pendidikan Islam adalah bersifat damai, evolusioner dan lebih menekankan pada revitalisasi jati diri Islam dalam masyarakat. Pembaharuan pendidikan Islam di Kalimantan Selatan pada akhir abad ke-18 adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari salah satu ulama besar Nusantara abad itu yang berasal dari Martapura, Kalimantan Selatan. Pembaharuan pendidikannya sangat jelas bisa dilihat pada aspek paradigma pendidikan, isntitusi pendidikan, metode pengajaran dan materi pengajaran yang pada giliran berikutnya menjadi karakteristik pendidikan Islam di Kalimantan Selatan dalam waktu yang cukup panjang. Sehubungan dengan kompleknya permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan agama lokal, salah satunya adalah makin menipisnya nilai kesalehan serta merosotnya dimensi sacral. Mungkin fenomena ini sekarang yang sedang berlangsung di sekolah-sekolah agama formal. Sehubungan dengan hal ini pendidikan agama tidak hanya membimbing anak didik menjadi tahu, tetapi juga bagaimana menghidupkan kepekaan yang terkait dengan penghayatan terhadap pengetahuan yang mereka peroleh. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi masa keemasan dan kemunduran lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar meliputi: 1. Faktor tokoh, seorang tokoh dalam membangun lembaga pendidikan, sangat mempunyai peran penting dalam menjalankan pengembangan pendidikan. Hal ini disebabkan oleh kiprah dan peranan tokoh-tokoh dalam mengembangkan lembaga pendidikan, khususnya di Dalam Pagar juga mengalami masa pasang surut dalam mengembangkan lembaga pendidikannya. Hal ini disebabkan oleh tantangan yang dihadapi institusi pendidikan agama dan para tokoh berbeda dengan masa sesudahnya. 2. Faktor lingkungan, adalah karena kecenderungan para orang tua menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah formal terkait dengan perubahan cara pandang mereka dalam melihat dunia pendidikan. Pada umumnya para orang tua mengaitkan pendidikan dengan lapangan pekerjaan, sehingga mereka beranggapan bahwa alumni sekolah-sekolah formal lebih mudah dalam mencari pekerjaan. 3. Faktor kesinambungan dan perubahan, adalah karena bentuk pendidikan pada masa-masa awal masuknya Islam di Kalimantan Selatan hingga beberapa abad belakangan, tampaknya memiliki ciri khas yang lebih menekankan sisi non formalnya, yaitu tidak mengutamakan adanya kehadiran institusi formal dalam menyelenggarakan aktivitas pendidikan. B. Saran-saran Saran-saran yang penulis kemukakan sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam Dalam Pagar Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut: 1. Dalam dunia pendidikan Islam termasuk dunia pendidikan pesantren, banyak hal yang menarik untuk diteliti, baik dari aspek lembaga maupun dari sisi tokoh yang menjadi arsitek berdirinya suatu lembaga. Sebagaimana telah dilakukan penulis kepada seorang tokoh pendidik yang beretnis Banjar, yang hidup pada abad ke-18 M. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai ulama yang hidup pada masa itu, tentu saja tantangan yang dihadapinya jauh berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh ulama yang hidup di kota lain. Dari sisi ini menjadi menarik untuk meneliti tokoh ini. Kiprahnya dalam bidang pendidikan salah satu saja dari sekian kiprahnya, seperti bagaimana peran dan kiprahnya dalam mengembangkan majelis ta'lim yang menjadi fenomena yang menjamur saat ini. Hal-hal tersebut cukup menarik untuk dikaji oleh kalangan akademisi. 2. Lembaga pendidikan Dalam Pagar yag didirikan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari telah memiliki usia yang cukup panjang. Pesantren yang mulanya hanya mengaji duduk, mengalami kemajuan di eranya., namun sesudahnya mengalami stagnasi. Ke depan institusi pendidikan agamanya diharapkan menjadi institusi pendidikan agama yang ideal. Untuk itu diperlukan pemikiran, agar idealisasi dari tujuan setiap lembaga pendidikan itu dapat dicapai. 3. Lembaga pendidikan ini harus mengambil peran yang sangat strategis di era sekarang ini sebagai tempat untuk mencetak ulama yang memiliki kemampuan memahami kitab kuning. Yang menjadi tantangan institusi ini adalah sejauhmana lembaga pendidikan ini dapat mengantarkan anak didik benar-benar memiliki keahlian yang tinggi dalam memahami subtansi ilmu-ilmu agama dalam khazanah klasik itu. Juga tantangan berikutnya, sejauhmana lulusan dari lembaga pendidikan ini dapat menjadi "ulama" yang mumpuni, yang semakin langka akhirakhir ini. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Muhammad Shagir, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Matahari Islam, Kuala Mempawah, Yayasan Pendidikan dan Dakwah Islamiyah al-Fathanah, 1983. Abdullah, Taufik, Islam di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang, 1974. Anshari, Hafiz, AZ, Peranan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di dalam Pengembangan Islam di Kalimantan Selatan, Banjarmasin, Khazanah Majalah Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, Vol. I, 2002. Azra, Azrumardi, Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999. -------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Melacak Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1999. Badan Pengelola Mesjid Raya Sabilal Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad alBanjari Riwayat Singkat Kehidupan dan Perjuangannya, Banjarmasin, 1984. Baderi, Muhmin, "Profil Pesantren di Kalimantan Selatan", makalah seminar Profil Pendidikan Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan, 11-12 September 1986 di Banjarmasin. Basri, Hasan, "Pesantren: Karakteristik dan Unsur-Unsur Kelembagaan", dalam Abuddin Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Grasindo, 2001. Basuni, Ahmad, Jiwa yang Besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Bandung, Pustaka Galunggan, 1971. -------------------, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Surabaya, Bina Ilmu, 1986. Daradjat, Zakiah, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999. Daud, Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisa Kebudayan Banjar, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1995. Daudi, Abu, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Tuan Haji Besar, Martapura, Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, 1996. Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia, 1996. Halidi, Yusuf, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Banjarmasin, TB. Aulia, 1980. Humaidy, "Punduk Darussalam dalam Lintas Sejarah", dalam Jurnal Kebudayaan Kandil Edisi 2, Tahun 1 (September 2003). Isa, Ahmad, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001. Kutoyo, Sutrisno dan Sutjianingsih, (Ed.) Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Jakarta, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen P dan K, 1977/1978. Laporan Seminar, Profil Pendidikan Islam di Kal-Sel, Banjarmasin, t.tp, 1986. Madkour, Ibrahim, Fi al-Falsafat al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbiquh, Kairo, Dar alMa'arif , t.th. Moleong, L. J., Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Remaja Rosdakarya, 1991. Najid, Muhammad, Ed., Demokraso dalam Perspektif Budaya Nusantara, Yogyakarta, LKPSM NU, 1996. Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1982. Nawawi, Ramli, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Banjarmasin, Thesis, FKG Unlam, 1997. Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya, Arkola, 1994. Quzwaim, M. Chatib, Mengenal Allah Suatu Studi Mengenal Ajaran Tasawuf Syekh 'Abdus Samad al-Palimabani, Jakarta, Bulan Bintang, 1985. Ras, J.J., Hikayat Banjar a Study in Malay Historiograpfy, Martinus Nijhoff: The Hague, 1968. Rasyidah H.A., Ijtihad Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Bidang Fiqih, Tesis, Jakarta, Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1990. Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta, Bulan Bintang, 1984. Suryosubroto, B., Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta, Rineka Cipta, 1977. Syadzali, Ahmad, "Tradisi Mengaji Duduk Dalam Masyarakat Banjar" dalam Jurnal Kebudayaan KANDIL: Melintas Tradisi, Edisi 3, Tahun I, Desember 2003. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabil al-Muhtadin, Mesir, t.tp, t.th. Syukur, M. Asywadie, Pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Tauhid dan Tasawuf, Banjarmasin, Fakultas Dakwah IAIN Antasari, 1991. Tim Peneliti IAIN Antasari, Pemikiran-pemikiran Keagamaan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Banjarmasin, IAIN Antasari, 1988/1989. Uhbiyah, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, CV. Pustaka, 1997.